Ceritasilat Novel Online

Alice In Wonderland 2

Alice In Wonderland Karya Lewis Carroll Bagian 2


"Keduanya sama bagimu," kata si Hatter, dan pada titik ini percakapan itu berhenti, dan mereka diam selama beberapa menit, sementara itu Alice terus berpikir semua yang mampu dia ingat soal burung gagak dan meja tulis, yang keduanya adalah dua hal yang berbeda.
Si Hatter lah yang lalu memecah kebekuan itu." Sekarang hari keberapa dalam bulan ini"" tanyanya sambil menengok ke arah Alice: Si Hatter lalu mengeluarkan jam dari sakunya dan melihatnya dengan susah payah, menggoyang-goyangkan dan mendekatkan jam ke telinga.
Alice berpikir sejenak dan kemudian menjawab, "hari ke empat."
"Meleset dua hari!" desah si Hatter. "Sudah kubilang padamu, mentega tidak cocok untuk kerja-kerja itu!" tegasnya, memandang dengan marah pada si March Hare.
80 "Itu mentega terbaik," jawab si March Hare tanpa perlawanan.
"Ya, tapi pasti sudah tercampur remah-remah,M gerutu si Hatter: "kau pasti sudah mencampurkanya bersama pisau roti."
Si March Hare merebut jam itu dan menelitinya dengan wajah murung: lalu ia mencelupkannya ke dalam cangkir teh, dan melihatnya sekali lagi: Tapi ia tak punya sanggahan lain selain mengatakan penegasan awalnya, "itu mentega terbaiki"
Alice berkali-kali melihat melalui atas pundak si March Hare dengan penasaran. "Betapa lucu jam itu!" ia berucap. "Jam itu hanya menunjukkan hari apa tapi tidak jam berapa!"
"Memangnya kenapa"" gumam si Hatter. "Apakah jam milikmu ada angka tahunnya""
"Tentu saja tidak," sahut Alice: "Tapi itu karena jam tersebut telah berhenti di suatu angka tahun yang tetap untuk jangka wakt
u yang lama." "Sama dengan masalah jam milikku," kata si Hatter.
Alice merasa bingung. Ucapan si Hatter sepertinya tidak bermakna apa-apa, meski susunan kalimatnya benar. "Aku sungguh tidak bisa memahami kalian," kata Alice sesopan mungkin.
"Si Dormouse sudah tidur lagi," kata si Hatter, dan ia menumpahkan sedikit teh panas ke hidung binatang itu.
Si Dormouse menggoyang-goyangkan kepalanya dengan gusar dan berkata, tanpa membuka matanya,"tentu saja, tentu saja; betapa aku ingin mengatakannya sendiri."
"Maukah kamu menebak teka-teki itu"" kata si Hatter, kepada Alice lagi.
"Tidak. Aku menyerah," jawab Alice; "apa jawabannya""
81 "Aku tak punya ide apapun," kata si Hatter.
"Begitu juga aku," kata si March Hare
Alice mendesah bosan. "Kupikir kalian harus memanfaatkan waktu dengan lebih baik," katanya, "daripada hanya sekedar menghabiskannya dengan menanyakan teka-teki yang tidak ada jawabannya."
"Jika saja kau tahu apa makna waktu seperti aku," kata si Hatter, "kau mungkin boleh bicara soal pemborosan waktu. Dia itu sesungguhnya yang boros waktu.'
"Aku tidak mengerti maksudmu," kata Alice
"Tentu saja kau tidak paham," kata si Hatter menegakkan kepalanya dengan meyakinkan. "Aku berani mengatakan kalau kau bahkan tak pernah bicara dengan sosok si waktu itu !"
"Bisa jadi," jawab Alice hati-hati: "Tapi aku juga memukul irama ketukan waktu saat belajar musik"
82 "Ah! itulah sebabnya," kata si Hatter. "Dia tidak akan tahan mengetuk-ngetukkan irama waktu terus. Kalau kamu terus bicara dengan baik padanya, si waktu itu akan melakukan apa saja yang kamu suka dengan waktu. Misalnya, seandainya jam sembilan pagi, waktu untuk mulai pelajaran: kamu hanya diwajibkan membisikan petunjuk pada si sosok waktu itu dan jam milikmu akan berputar dengan sebuah dentingan! pukul setengah satu, waktunya makan malam!"
"Kuharap juga begitu," kata si March Hare padanya dengan berbisik.
"Pasti, itu akan menyenangkan," kata Alice penuh keyakinan: "Tapi kemudian, aku pun pasti akan merasa lapar karenanya."
"Pada mulanya mungkin tidak," kata si Hatter, "Tapi kamu bisa mematoknya di jam setengah satu selama periode yang kau inginkan."
"Begitukah caramu mengatur si waktu itu"" Tanya Alice.
Si Hatter menggelengkan kepalanya dengan sedih, "bukan aku yang mengaturnya!" jawabnya. "Kami bertengkar saat bulan Maret kemarin- sebelum March Hare berubah menjadi gila, kamu tahu-(menunjuk si March Hare dengan sendok teh) - saat itu sedang berlangsung pagelaran yang diselenggarakan oleh sang ratu hati dan aku mesti bernyanyi:
Kelap-kelip, wahai kelelawar kecil betapa ku ingin tahu dimana kamu berada!
"Mungkin kau sudah tahu lagunya""
83 "Ya, aku pernah mendengar lagu seperti Itu," kata Alice. "Lalu berlanjut, kau tahu," sambung si Hatter, "seperti ini:
tinggi sekali langit kau terbang,
di langit seperti nampan teh melayang
kelap-kelip Saat itu si Dormouse menggelengkan kepala dan bernyanyi sembari tidur, "kelap-kelip, kelap-kelip... dan itu memaksa mereka untuk mencubitnya agar ia berhenti.
"Ya, aku sudah menyelesaikan bagian bait pertama dengan susah payah," kata si Hatter, "saat sang ratu melompat bangun dan menghardik, "dia telah mengacaukan waktu! penggal kepalanya!"
"Sungguh sangat kejam!" seru Alice.
"Dan sejak saat itu," lanjut si Hatter dengan nada sedih, "sosok waktu itu tak pernah melakukan apapun yang kusuruh! itulah mengapa saat ini selalu jam enam."
Melintas ide cemerlang di benak Alice. "Itukah alasannya kenapa ada banyak teh disini"" ia bertanya.
"Ya, itulah sebabnya," kata si Hatter dengan mendesah: "Selalu waktu untuk minum teh, dan kita tak punya waktu untuk mencucinya."
"Lalu kamu terus menerus disibukkan dengannya, kukira"" kata
Alice "Benar sekali," kata si Hatter: "seperti sudah dirancang begitu."
"Tapi, bila kamu memulainya dari awal lagi, apa yang kira-kira akan terjadi"" Alice mmberanikan diri bertanya.
84 "Lebih baik kita ganti bahan pembicaraan," sela si March Hare, dengan menguap. "Aku sudah capek dengan soal itu. Aku usul agar gadis kecil ini menceritakan sebuah kisah pada kita,".
"Aku tak punya cerita apa-apa," kata Alice, agak terkejut de
ngan usulan itu. "Kalau begitu si Dormouse saja!" lalu mereka mencubit binatang itu dari kedua sisi.
Si Dormouse perlahan membuka matanya. "Aku tidak tidur," dia berkata dengan suara serak dan lemah, "aku dengar setiap kata yang kalian ucapkan."
"Berceritalah!"kata si March Hare.
"Ya, ayolah!" pinta Alice.
"Dan cepat ceritakan," tambah si Hatter, "sebelum keburu kau tertidur lagi."
"Pada zaman dulu, hiduplah tiga gadis kecil," si Dormouse memulai dengan terburu buru; "mereka bernama Elsie, Lacie dan Tillie dan mereka hidup di dasar sebuah sumur."
"Bagaimana mereka bisa hidup disitu"" kata Alice, yang selalu tertarik untuk menanyakan soal minuman dan makanan.
"Mereka hidup dengan minum sirup," kata si Dormouse, setelah berpikir beberapa saat.
"Mereka tak bisa begitu, kau tahu 'kan"" Ucap Alice dengan lemah lembut; "mereka pasti sakit karenanya."
"Ya, begitulah," kata si Dormouse; "mereka memang sakit parah."
Alice berusaha membayangkan betapa tidak wajar cara hidup seperti itu, tapi pikiran itu membingungkannya, lalu ia melanjutkan:
85 "Tapi kenapa mereka hidup di dasar sumur""
"Minum lagi tehnya," tawar si March Hare pada Alice dengan sangat sungguh-sungguh.
"Teh punyaku sudah habis," jawab Alice dengan nada tersinggung, "jadi akutak bisa minum teh lagi."
"Maksudmu kau tak mau bila kurang," kata si Hatter: "Memang lebih mudah mengambil lebih daripada tidak dapat sama sekali."
"Tak ada yang memintamu berpendapat," kata Alice
"Sekarang siapa yang menyinggung orang lain"" Tanya si Hatter tak mau kalah.
Alice sungguh tak tahu mesti mengatakan apa; jadi dia menyibukkan diri dengan mengambil teh, roti mentega, dan beralih ke Dormouse, dan mengulangi pertanyaanya, "mengapa mereka hidup di dasar sumur""
Lagi, si Dormouse berpikir untuk beberapa saat, dan kemudian berkata, "karena sumur itu adalah sumur sirup."
"Tidak ada sumur seperti itu!" Alice mulai marah, tapi si March Hare dan Hatter berucap, "Shh! Shhh!" dan si Dormouse dengan dongkol berucap, "kalau kau tidak bisa sopan, lebih baik teruskan sendiri ceritanya."
"Oh, tidak, teruskan ceritanya!" sesal Alice; "aku tak akan menyela lagi. Ya, aku yakin pasti ada sumur yang seperti itu."
"Ya, tentu saja ada!" kata si Dormouse dengan marah. Tapi kemudian ia ia meneruskan ceritanya, "dan tiga gadis kecil ini -mereka belajar mengambil, kau tahu -"
"Apa yang mereka ambil "" kata Alice, benar-benar lupa dengan janjinya untuk tidak menyela.
86 "Sirup," kata si Dormouse, kali ini tanpa menaruh perhatian sedikitpun.
"Aku ingin cangkir yang bersih," sela si Hatter, "ayo semuanya pindah tempat"
ia berpindah tempat selagi bicara, dan si Dormouse mengikutinya; si March Hare bergerak ke tempat si Dormouse dan Alice dengan malas menempati posisi si March Hare. Si Hatter menjadi satu-satunya pihak yang diuntungkan. Sementara Alice posisinya tidak berubah lebih baik, karena si March Hare telah menumpahkan wadah susu ke piringnya.
Alice tidak ingin menyinggung si Dormouse lagi, jadi ia berkata dengan sangat hati hati: Tapi aku tidak mengerti. Darimana mereka mengambil air gula itu""
"Kau bisa mengambil air dari sumur, 'kan," kata si Hatter; "jadi, kupikir kau bisa mengambil sirup dari sumur sirup - eh, bodoh""
"Tapi mereka ada di dalam sumur itu," kata si Alice pada si Dormouse, dengan berusaha tidak menekankan ucapannya.
"Tentu saja mereka di dalam, "kata si Dormouse, "-baik baik
saja." Jawaban ini membingungkan Alice, dan ia membiarkan si Dormouse meneruskan kalimatnya beberapa saat tanpa berusaha menyelanya.
"Mereka belajar mengambil...," lanjut si Dormouse, dengan menguap dan mengucek matanya, karena sangat ngantuk; "dan mereka mengambil dengan semua - semua yang berawal dengan huruf R"
"Kenapa mesti, berawal dengan huruf P"" Tanya Alice.
87 "Memangnya kenapa"" kata si March Hare. Alice terdiam.
Si Dormouse matanya sudah tertutup saat itu dan mulai terbuai dalam tidur; karena dicubit oleh si Hatter, ia terbangun lagi dengan jeritan kecil, dan melanjutkan:"- itu dimulai dengan huruf P seperti perangkap tikus, dan panorama bulan, penggalan ingatan dan persamaan -kau ingat ketika kau mengatakan
bahwa hal-hal itu punya persamaan satu dengan yang lain" - pernahkah kau sadari bahwa hal-hal seperti itu dilakukan dengan mengambil persamaan antar keduanya""
"Kini kau menanyakanya padaku," kata si Alice, sangat bingung,
88 "Aku pikir tidak-"
"Kalau begitu kau tak perlu bicara," kata si Hatter.
Kekasaran itu tidak bisa Alice terima lagi; dia lalu berdiri dengan sangat muak, dan melangkah pergi; si Dormouse serta merta tertidur, dan tak satupun yang menaruh perhatian pada kepergian Alice,' meski Alice sesekali menoleh lagi ke belakang, setengah berharap mereka akan memanggilnya kembali; terakhir ketika ia menoleh, mereka terlihat sedang berusaha memasukkan si Dormouse ke dalam wadah teh.
"Aku tak akan pergi kesana lagi!" kata Alice seraya terus berjalan melintasi hutan. "Sungguh jamuan minum teh paling bodoh yang pernah kuhadiri seumur hidupku!"
Saat ia mengatakan hal itu, ia melihat bahwa salah satu dari pohon di hutan itu berpintu. "Itu sangat aneh!" pikirnya. "Tapi semuanya memang aneh hari ini. Kupikir aku harus cepat pergi kesana."
Dan iapun masuk ke dalam pohon berpintu itu.
Sekali lagi ia berada di sebuah ruangan yang panjang dan dekat dengan meja kaca kecil yang dulu ditemuinya. "Sekarang aku akan membuat semuanya lebih baik," ia berkata pada dirinya sendiri dan mulai dengan mengambil kunci emas kecil itu, dan membuka pintu yang menuju ke arah taman yang indah. Kemudian ia menggigit jamur (dia sudah menyimpannya sebagian di dalam kantongnya) hingga tubuhnya tinggal satu kaki): Kemudian ia berjalan menuruni lorong kecil; dan- akhirnya ia sampai di taman indah itu, diantara hamparan bunga-bunga yang cemerlang dan sumber air yang sejuk dan jernih.
89 Pertandingan Kriket Sang Ratu
SEBUAH bunga berukuran besar tumbuh di dekat pintu gerbang menuju taman: Bunga mawar putih sedang dikelilingi tiga orang tukang kebun. Mereka mengecatnya dengan warna merah. Hal ini nampak aneh di mata Alice. Alice berusaha mendekat dan melihat ke arah mereka. Ketika ia muncul, tiba-tiba terdengar salah satu tukang kebun itu berseru: "Hati- hatilah wahai Lima, Jangan kau percikkan cat ke arahku seperti itu."
"Aku tak sengaja," balas si Lima kesal, "si Tujuhlah yang menyentak sikuku hingga cat itu muncrat."
Si Tujuh mendongakkan kepala, "memangnya kamu tak pernah salah, Lima" Kau selalu saja menyalahkan orang lain!"
"Lebih baik kau tutup mulut saja!", ancam si Lima, "aku dengar sang Ratu mau memenggal kepalamu kemarin!"
"Memang dia salah apa"" sela salah satu dari mereka ingin
tahu. "Itu bukan urusanmu, wahai Dua!" sergah si Tujuh tak suka. "Ya, itu memang urusan dia sendiri," bela si Lima, "makanya kukatakan padanya: "Kepalamu mau dipenggal karena kamu telah
Si Tujuh memercikkan kuas catnya ke bawah saat ia hendak mulai bekerja, "baiklah, lebih baik kita tidak teruskan masalah ini," -Matanya seketika melihat ke arah Alice. Si Tujuh bergegas menghentikan pekerjaannya. Yang lain memandang ke sekeliling seraya melepaskan topi dan membungkukkan badan, menghormat.
"Maukah kalian memberitahuku," tanya Alice, "kenapa kalian mengecat bunga mawar ini dengan warna merah"" Si Lima dan Tujuh memandang ke arah si Dua, tapi diam saja. Si Dua akhirnya menjelaskan dengan suara lirih: "Ketahuilah Nona, mestinya ditanam mawar merah di sini tapi kami telah salah menanaminya dengan mawar putih. Bila sang Ratu tahu, kami semua akan di penggal. Jadi kami berusaha semampu kami membuatnya berwarna merah kembali, sebelum sang
91 Ratu datang kemari untuk -" Si lima terburu buru memandang ke sekeliling taman dan kemudian berseru: "Awas, sang Ratu datang! Sang Ratu datang!" Lalu ketiga tukang kebun itu bergegas menengkurapkan diri, tubuhnya memipih seperti lembaran kartu remi. Lalu terdengarlah suara langkah kaki. Alice melihat ke sekeliling, ia ingin sekali melihat wajah sang Ratu.
Awalnya, nampaklah sepuluh orang prajurit membawa tongkat pemukul. Bentuk tubuh mereka menyerupai tubuh para tukang kebun: pipih dan persegi. Tangan dan kaki mereka menjulur dari pojok-pojok persegi tubuh mereka yang seperti kartu remi. Kemudian disusul sepuluh orang anggota istana. Pa
kaian mereka berhiaskan permata, berjalan berjajar dua-dua layaknya barisan prajurit Disusul rombongan putra-putri istana berjumlah sepuluh orang. Pakaian mereka berhiaskan Jambang hati berbentuk daun waru. Lalu diikuti rombongan tamu istana. Kebanyakan mereka adalah para Raja dan Ratu. Salah satu diantara mereka; tak lain adalah si Kelinci putih yang pernah Alice kenal sebelumnya. Kelinci putih itu kini sedang berbicara sendiri dengan agak gugup dan berjalan tanpa memperhatikan Alice. Selanjutnya, rombongan para Jack si pembohong berpakaian gambar hati, membawa mahkota Raja di atas nampan. Di akhir arak-arakkan, nampaklah SANG RAJA DAN RATU BERLAMBANG HATI.
Alice ragu apakah ia mesti menengkurapkan dirinya seperti para tukang kebun itu, tapi ia tak pernah tahu ada peraturan yang menyatakan harus begitu, disamping itu, apakah gunanya arak-arakkan bila semua orang menengkurapkan tubuhnya dan tidak bisa melihat arak-arakkan itu karenanya" jadi ia memutuskan untuk menunggu dengan tetap berdiri di tempatnya.
92 Ketika arak-arakkan ku sampai di dekat Alice, mereka semua berhenti dan memandang kepadanya. Kemudian Sang Ratu berseru pada si Jack si pembohong: "Siapa ini"" Tapi si Jack si pembohong hanya membungkukkan badan sambil terus tersenyum.
"Dasar idiot!", maki Sang Ratu sambil melengos dan bertanya langsung pada Alke: "Siapa namamu""
"Nama saya Alice, Yang Mulia," jawab Alice tegas, ia tidak takut sedikitpun, "toh mereka semua hanyalah lembaran-lembaran kartu remi. Kenapa aku harus takut"!"
"Siapa mereka ini"" tanya Sang Ratu, tangannya menunjuk ke arah tiga tukang kebun yang berbaring di dekat bunga mawar. Karena mereka menengkurap dan pola gambar punggung mereka sama, sang Ratu sulit mengetahui apakah mereka itu tukang kebun, prajurit, keluarga istana atau ketiga anaknya.
"Mana aku tahu!" jawab Alice. ia merasa heran sendiri dengan keberaniannya, "toh mereka bukan urusanku!"
Muka sang Ratu memerah, geram. Setelah dengan tajam menatap Alke beberapa saat, Sang Ratu berseru dengan marah: "Penggal kepalanya! Penggal!!"
"Tidak masuk akal!" teriak Alke dengan suara keras dan mantap.
Sang Raja menggenggam tangan Sang Ratu dan berusaha mengingatkan dengan suara lembut: "Ingat Ratu, dia itu masih kecil!"
Sang Ratu memalingkan muka kemudian memerintah Jack si pembohong: "Balikkan tubuh mereka!" Jack Si pembohongpun membalikkan tubuh tukang kebun itu dengan menyepaknya.
"Bangun! Berdiri!" teriak Sang Ratu dan ketiga tukang kebun itupun serta merta berdiri. Mereka lalu membungkuk memberi hormat
93 pada sang Raja, sang Ratu, para pangeran dan anggota arak-arakkan lainnya.
"Kalian jangan bertingkah!" bentak sang Ratu, "kalian sudah membuatku pusing!" Lalu sang Ratu memandang bunga mawar itu dan bertanya dengan kesal: "Apa yang telah kalian lakukan pada bunga ini""
"Maafkan kami, Yang Mulia," jawab si Dua sambil berjongkok,
94 "kami sedang berusaha..."
"Oh jadi begitu!" kata Sang Ratu sembari memeriksa bunga itu, "penggal kepala mereka!" perintahnya kemudian. Lalu arak-arakkan itu melanjutkan perjalanan lagi. Sedangkan tiga orang prajurit tetap tinggal di tempat untuk menghukum para tukang kebun. Tukang kebun itu berlari minta perlindungan pada Alice.
"Jangan takut, kalian tak akan dipenggal," hibur Alice sembari menyembunyikan tukang kebun itu ke dalam pot bunga besar di dekatnya. Tiga orang prajurit lalu berjalan mondar-mandir mencari tukang kebun itu. Kemudian mereka berlari mengejar arak-arakkan itu.
"Kepala mereka sudah dipenggal"" tanya sang Ratu.
"Maafkan kami, Yang Mulia. Kepala mereka sudah hilang." jawab ketiga prajurit
"Baiklah!" seru sang Ratu, "kamu bisa main kricket""
Ketiga prajurit itu diam, mereka serentak menengok pada Alice karena nampaknya Ratu memang sedang bertanya pada gadis itu. Bukan pada mereka.
"Bisa!" jawab Alice dengan berteriak.
"Kalau begitu, ayo ikut!" balas sang Ratu.
Kemudian Alice bergabung ke dalam arak-arakkan, sambil menduga-duga apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Hari ini cerah sekali," terdengar suara kecil malu-malu di dekatnya. Ternyata Alice sedang berjalan di samping si Kelinci Putih. Kelin
ci itu menengok ke arahnya.
"Sangat cerah," sahut Alice," dimana Permaisuri""
"Hush!" cegah si kelinci dengan berbisik dan terburu-buru, ia
95 tak henti hentinya menengok ke kiri dan ke kanan, kemudian dengan berjinjit ia berbisik pada Alice "Dia sedang menjalani hukuman." "Salah apa""
"Apakah kau mengatakan kasihan!""
"Tidak..," kata Alice, "kupikir hal itu bukan hal yang patut di kasihani. Aku tadi mengatakan salah apa""
"Dia menampar telinga sang Ratu -" jelas si kelinci. Alice tertawa kecil mendengarnya. "Oh Huss!" bisik si kelinci ketakutan. "Ratu akan dengar! Kau tahu, permaisuri datang agak terlambat dan sang sang Ratu berkata -"
"Cari posisi kalian!" teriak sang Ratu dengan suara menggemuruh, dan semuanya mulai berlarian ke semua arah, saling tabrak dan tumpah tindih satu sama lain; tapi sejenak kemudian keributan itu pun selesai dan pertandingan dimulai.
Selama hidupnya, Alice belum pernah melihat arena kricket seaneh sekarang ini. Semuanya tersusun seperti undak-undakkan sebuah bukit. Dan bolanya berupa burung Angsa hidup. Tongkat pemukulnya burung Unta yang juga masih hidup. Para prajurit diperintahkan memanjangkan tubuh mereka dua kali lipat dan harus berdiri membuat lengkungan, dengan bertumpu pada tangan dan kaki mereka.
Kesulitan utama yang Alice hadapi awalnya adalah ia harus bisa membawa burung Unta itu dan menggunakannya sebagai tongkat pemukul. Terpaksa ia selipkan burung Unta itu di sela ketiak. Dan pada saat yang sama ia juga harus meluruskan leher burung itu agar bisa digunakan memukul. Sayangnya, burung Unta itu tetap saja berusaha memutar lehernya dan bingung menatap wajah Alice. Alice
96 tak bisa menahan diri untuk tertawa. Ketika Alice hendak menurunkan kepala burung itu dan bersiap memulai permainan, si Landak telah menggulung tubuhnya dan siap merangkak pergi. Alice kebingungan. Selain itu, ternyata juga sudah ada bubungan dan kerutan di seluruh jalan yang akan ia lewati. Alice akhirnya tak tahu kemana harus melemparkan si Landak. Apalagi lengkungan gawang para prajurit itu selalu saja berdiri kokoh dan berpindah-pindah ke seluruh bagian arena. Alice kesulitan untuk bisa bermain.
Semua pemain langsung bermain di arena tanpa menunggu giliran, sesekali bertengkar dan saling memperebutkan landak. Dan dalam waktu singkat saja, emosi sang Ratu sudah terpancing. Sang Ratu melangkah, ikut bergabung ke arena seraya berteriak: "Penggal kepalanya! Penggal kepalanya!"
Alice mulai merasa khawatir: memang ia tak pernah punya perselihan dengan sang Ratu, tapi ia tahu itu bisa terjadi kapan saja, "lalu," pikirnya, "apa jadinya aku ini" mereka dengan mengerikan suka memenggal kepala siapa saja disini; masalah yang paling besar adalah tak akan ada siapapun yang akan tetap hidup disini!"
Dia mencari-cari cara untuk bisa melarikan diri, dan berpikir apakah ia bisa menyelinap keluar tanpa terlihat, lalu ia melihat sesuatu yang aneh muncul; pada awalnya hal itu membuat Alice menebak-nebak, tapi, setelah memperhatikannya beberapa saat, ia memastikan itu adalah seringaian, dan ia berkata pada dirinya sendiri, "kucing Chesire; kini aku punya teman untuk di ajak bicara."
"Bagaiamana kabarmu"" Tanya si kucing, tak lama setelah bagian mulutnya cukup terlihat dan bisa digunakan untuk berbicara.
Alice menunggu hingga mata kucing itu nampak, dan
97 kemudian mengangguk. "Tak ada gunanya menjawabnya," pikirnya, "sebelum telinga kucing itu terlihat, setidaknya salah satu dari telinga itu." Lalu seluruh bagian kepala kucing itu pun nampak, kemudian Alice menurunkan burung angsa di gendongannya, dan mulai cerita mengenai permainan itu, ia merasa sangat gembira telah mendapatkan teman yang akan mendengarkan ceritanya. Tapi Si kucing beranggapan bahwa kemunculannya kali ini sudah cukup, dan tubuh kucing itupun tak lama kemudian menghilang lagi.
"Kupikir mereka sama sekali tidak adil," kata Alice dengan nada agak mengeluh, "dan mereka semua saling berselisih dengan mengerikan dan gaduh, sehingga tidak akan bisa mendengar seseorang yang sedang bicara- dan sepertinya mereka tak punya aturan permainan; setidaknya, bila aturan itu ada
, toh tak seorangpun mematuhinya - dan kau pasti tak bisa bayangkan betapa membingungkan. Alat pertandingannya semuanya adalah mahluk hidup; misalnya, ada gawang yang mestinya bisa aku lewati berikutnya, tapi gawang itu tiba tiba berjalan-jalan di sisi tepi lain dari arena lapangan itu - dan mestinya aku juga sudah bisa memasukan trenggiling sang Ratu, tapi trenggiling itu malah lari ketika melihat bola trenggilingku muncul""
"Apa kau suka dengan sang Ratu"" Tanya si kucing dengan suara pelan.
"Tidak sama sekali," kata Alice: "Dia amat sangat -" tapi kemudian ia menyadari sang Ratu berada tak jauh di belakangnya, mendengarkan, lalu ia melanjutkan, "punya kesempatan untuk menang, meski sebenarnya sangat sulit memenangkan pertandingan itu."
98 Sang Ratu tersenyum dan menghampiri, kemudian berlalu.
"Kau sedang bicara dengan siapa"" Tanya sang Raja, mendatangi Alice, dan kemudian menatap kepala si kucing dengan sangat penasaran.
"Dia temanku - kucing Chesire," jawab Alice; "ijinkan aku memperkenalkannya."
"Aku sama sekali tidak suka dengan penampakkan rupa kucing itu," kata sang Raja: "Tapi, dia boleh mencium tanganku bila dia mau."
"Aku pilih untuk tidak melakukannya," ucap si kucing. "Jangan kurang ajar," kata sang Raja, "dan jangan menatapku seperti itu!" dia bersembunyi di belakang Alice.
"Kucing boleh menatap Raja," kata si Alice, "aku pernah
99 membacanya di sejumlah buku, tapi aku tak ingat buku apa."
"Kalau begitu, buku-buku itu harus dilenyapkan," putus sang Raja, dan dia memanggil sang Ratu, yang saat itu sedang melintas. "Sayang, kuharap kau melenyapkan kucing ini !"
Sang Ratu hanya punya satu cara untuk menyelesaikan semua kesulitan, tak perduli besar atau kecil. "Penggal kepalanya!"
100 perintahnya kemudian dengan tak acuh.
"Aku akan panggil sendiri algojo itu," kata sang Raja dengan menggebu-gebu, dan dia bergegas pergi.
Alice berpikir lebih baik kembali saja dan melihat jalannya pertandingan, saat ia mendengar suara sang Ratu di kejauhan, berteriak dengan penuh nafsu, ia telah mendengar sang Ratu itu telah menjatuhkan hukuman pada tiga pemain karena mereka melewatkan giliran mereka, dan Alice tidak suka dengan hal itu, karena pertandingan itu berjalan dengan membingungkan sehingga ia pun tidak tahu itu gilirannya atau bukan. Lalu Alice pergi mencari landaknya.
Landak itu sedang terlibat perkelahian dengan landak lain, dan Alice melihat sebuah kesempatan yang baik untuk memasukan salah satu dari landak itu; satu-satunya kesulitan adalah tongkat pemukul burung angsanya telah pergi ke sisi lain arena, Alice melihat burung angsa itu sedang berusaha terbang ke sebuah pohon.
Ketika ia sudah berhasil menangkap burung angsa itu dan membawanya kembali ke arena, pertengkaran si landak sudah selesai, dan kedua landak itu sudah sama-sama menghilang: "Tapi tak masalah", pikir Alice, "karena gawang-gawangnya juga sudah tidak ada di arena lagi." Lalu ia menyelipkan burung angsa itu diantara lengannya, menjaganya agar tidak terlepas lagi, dan melangkah kembali untuk bercakap-cakap dengan temannya.
Ketika ia kembali menemui si kucing Chesire, ia terkejut kucing itu sudah dikelilingi oleh kerumunan; sedang terjadi perselisihan yang melibatkan para algojo, sang Raja dan sang Ratu, ketiganya saling berbicara bersamaan, sementara yang lain terdiam dan melihat dengan cemas.
101 Saat Alice muncul, ia diminta oleh ketiganya untuk menyelesaikan persoalan itu, dan mereka kembali mengulangi alasan masing-masing. Karena mereka berbicara serentak, Alice kesulitan untuk bisa menangkap omongan mereka.
Alasan para algojo adalah bahwa ia tidak bisa begitu saja memenggal kepala seseorang bila seseorang itu tak punya tubuh: karena para algojo itu tak pernah melakukan hal seperti itu sebelumnya.
Alasan sang Raja adalah bahwa semua yang punya kepala pasti bisa dipenggal, dan algojo itu dianggapnya tidak masuk akal.
Alasan sang Ratu adalah bila hal itu tidak segera dilaksanakan, ia akan menghukum semua yang ada di situ, semua yang ada di lingkaran itu (ucapannya ini membuat semua yang ada dalam kerumunan itu sangat gelisah dan ngeri).
Alice tak da pat berkata lain selain, "keputusannya ada di tangan permaisuri: kalian lebih baik bertanya padanya."
"Dia ada di penjara," kata sang Ratu pada para algojo: "Bawa dia kemari." Dan algojo itu pun melesat pergi seperti panah.
Bagian kepala si kucing itu mulai mengabur saat penjaga itu pergi, dan beberapa saat kemudian, penjaga itu sudah kembali dengan membawa permaisuri. Tapi, kucing itu sudah benar-benar lenyap dari pandangan mata: sang Raja dan si algojo lari kesana kemari mencari-cari kucing itu, sementara anggota kerumunan lain berjalan kembali ke arena dan melanjutkan pertandingan.*
102 Kisah Kura-Kura Palsu "BETAPA senangnya aku bertemu kamu lagi, sayang!" kata Permaisuri sembari merangkulkan lengannya ke tubuh Alice, dan mereka berjalan bersama menjauhi arena pertandingan itu.
Alice gembira bertemu dengan Permaisuri yang telah berubah bersikap menjadi lebih menyenangkan. Meski Alice masih menduga: Mungkin, ketika mereka bertemu di dapur, Permaisuri akan sangat tidak sopan lagi karena pengaruh lada.
"Kalau aku jadi bangsawan," Permaisuri menggumam sendiri (meski tidak dengan nada mengharap). Aku tak akan menyimpan banyak lada di dapur. Masakan soup tak akan terasa enak tanpa lada-tapi, mungkin lada yang membuat orang jadi pemarah," lanjutnya, sangat gembira menyadari penemuan pengetahuan baru itu, "dan cuka membuat mereka asam - camomile membuatnya terasa pahit dan biji gula dan semacamnyalah yang membuat anak anak bersikap manis. Aku berharap masyarakat tahu soal itu: lalu mereka tidak akan lagi pelit dengan bumbu-bumbu itu."
Alice sudah lupa bila Permaisuri di dekatnya, hingga ia agak terkejut ketika mendengar suara Permaisuri di dekat telinganya. "Kamu sedang berpikir tentang sesuatu, sayang. Dan itu membuatmu
lupa untuk berbicara. Saat ini aku tak bisa memberitahumu nilai moral dari perilaku seperti itu, tapi aku pasti akan bisa mengingatnya."
"Mungkin bisa juga tak ada nilai moralnya," Alice mengambil resiko untuk mengucapkannya.
"Alah, Dasar, anak-anak!"kata-Permaisuri. "Segala sesuatu pasti memiliki alasan dan nilai moral." Dan ia mendekap lengan Alice.
Alice tidak suka terus menerus berdekatan dengannya: pertama karena Permaisuri sangat jelek dan kedua karena dia memiliki tinggi tubuh yang pas untuk menyandarkan dagunya itu ke bahu Alice, dagu yang runcing. Tapi, ia tidak ingin bersikap kasar, jadi ia tahan sebisanya.
"Pertandingan berjalan dengan agak lebih baik sekarang," kata Alice, agar nampak tetap mau di ajak bercakap-cakap.
"Begitulah," kata Permaisuri, "dan alasan moral dibaliknya adalah - "cinta, cinta, itulah yang membuat dunia terus berjalan!"
"Seseorang pernah berkata," bisik Alice, "itu hanya dilakukan oleh orang-orang yang menyembunyikan kepentingan tertentu!"
"Ah, benar! itu sama artinya", kata Permaisuri, sembari menekankan dagu kecil dan runcingnya ke pundak Alice, "dan nilai pesan moralnya adalah hati-hati lah dengan perasaan dan akal karena bisa digunakan seseorang untuk kepentingan diri sendiri."
"Betapa senangnya ia menemukan moralitas dibalik hal-hal itu!" pikir Alice.
"Aku berani katakan kamu pasti heran kenapa aku tidak merengkuhkan lenganku ke pingganmu," kata Permaisuri setelah terdiam beberapa saat "Alasannya adalah karena aku tak yakin dengan
105 sifat burung angsa yang kau gendong itu. Haruskah aku mencobanya""
"Dia mungkin akan menggigitmu," Alice menjawab dengan hati-hati, sama sekali tidak merasa khawatir bila sang Ratu akan mencoba melakukannya.
"Benar sekali," kata Permaisuri: "Burung angsa dan mostar keduanya sama-sama berkaitan dengan gigitan. Dan alasannya adalah -"bangsa burung pasti punya kesamaan satu dengan yang lain."
"Tapi mostar itu bukanlah bangsa burung," bantah Alice.
"Benar, seperti biasa," kata Permaisuri: "Betapa jelas kau telah menempatkan dua hal berbeda itu dalam prinsip persamaan!"
"Mostar itu mineral, kukira," kata Alke.
"Ya, tentu saja," sahut Permaisuri, yang nampaknya siap untuk menyetujui semua yang Alice katakan; "aku punya kue mostar tak jauh dari sini. Dan nilai moral dari pernyataan itu adalah - makin banyak yang jadi milikku, maka milikmu akan
makin sedikit." "Oh, aku tahu!" seru Alice, yang tidak memperhatikan bagian akhir ucapan Permaisuri, "mostar itu adalah sayuran. Memang tidak seperti sayur, tapi itu memang sayuran."
"Aku sangat setuju denganmu," kata Permaisuri: "Dan nilai moralnya adalah: jadilah dirimu seperti apa yang mungkin bagimu-atau bila kau ingin menyatakannya dengan lebih sederhana-" jangan pernah membayangkan dirimu untuk menjadi selain seperti yang nampak di harapkan orang lain atas dirimu dan bahwa kamu tak lebih adalah apa yang kau tampakkan pada diri orang lain dan kau ingin nampak lain dihadapan orang lain."
"Kupikir aku bisa lebih memahaminya," kata Alice dengan sopan," bila saja aku mencatatnya: tapi aku benar-benar tak dapat
106 menangkap ucapanmu."
"Tak masalah apa yang aku ucapkan kalau aku bisa memilihnya salah satu," jawab Permaisuri dengan nada puas.
"Semoga saja kau tidak menyulitkan dirimu hanya untuk mengatakan kalimat yang lebih panjang dari ucapanmu tadi," kata Alice.
"Oh, jangan bicara yang sulit-sulit! Aku telah menghadiahimu dengan semua yang sudah aku katakan padamu."
"Hadiah yang tidak berharga!" pikir Alice. "Aku senang mereka tidak memberikan hadiah ulang tahun dengan hadiah seperti itu!" tapi ia tidak mengucapkannya dengan suara yang keras.
"Berpikir lagi, ya"" tanya Permaisuri, dengan menekankan lagi dagunya ke bahu Alice.
"Aku punya hak untuk berpikir," sergah Alice dengan tajam, karena ia mulai merasa agak khawatir.
"Kata-katamu sama benarnya dengan," kata Permaisuri, "babi harus bisa terbang; dan..."
Tapi di titik ini, Alice terkejut, suara Permaisuri tiba-tiba tidak terdengar, bahkan pada saat ia tengah mengucapkan kata-kata kesukaanya yakni 'alasan', lengan Permaisuri yang sedang menggandengnya itu pun mulai gemetar. Ketika Alice menengadahkan muka, sang Ratu ternyata sudah berdiri di hadapan mereka, dengan tangan bersedekap, memberengut dan menggeram seperti badai petir.
"Hari yang cerah, yang mulia!" sapa Permaisuri dengan suara pelan dan rendah.
"Sekarang, aku peringatkan kamu," teriak sang Ratu seraya
107 menghentakkan kakinya ke tanah; "tubuhmu atau kepalamu yang dipenggal, dan akan dilakukan secepatnya! Cepat pilih!"
Permaisuri memilih dan ia pergi saat itu juga.
"Mari kita ke pertandingan saja," ajak sang Ratu pada Alice; dan Alice terlalu takut untuk mengucapkan sesuatu. Perlahan ia pun hanya mengikuti sang Ratu kembali ke arena pertandingan kriket
Peserta lain telah mengambil kesempatan karena ketidakhadiran sang Ratu, dengan beristirahat dan berteduh, tapi ketika melihat sang Ratu muncul, mereka bergegas kembali ke pertandingan, dan sang Ratu hanya berucap bahwa penundaan waktu itu harus dibayar dengan nyawa mereka.
Selama pertandingan itu sang Ratu tidak pernah berhenti berselisih dengan pemain lain dan berteriak, "penggal kepalanya!" atau, "penggal kepala gadis itu!" Mereka yang terkena hukuman dibawa ke tahanan oleh para prajurit Para prajurit itu tentu saja mesti berhenti menjadi gawang untuk bisa melaksanakan tugas itu. Hingga ketika akhir separuh babak pertandingan tak ada gawang lagi yang tersisa di arena, dan semua pemain, kecuali sang Raja, sang Ratu dan Alice, telah berada di tahanan dan terkena hukuman penggal kepala.
"Kemudian sang Ratu berhenti, kehabisan nafas dan berkata pada Alice, "pernahkah kamu bertemu dengan kura-kura palsu""
"Belum," kata Alice, "aku bahkan tak tahu mahluk apa si kura-kura palsu itu."
"Mahluk itu adalah bahan untuk membuat sup kura-kura,"
108 kata sang Ratu "Aku belum pernah melihat atau mendengar hal itu sebelumnya," kata Alice.


Alice In Wonderland Karya Lewis Carroll di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalo begitu, ayo ikut aku," kata sang Ratu, "dan dia akan menceritakan sejarah hidupnya."
Saat mereka berjalan bersama, Alice mendengar sang Raja berbisik pelan pada seluruh pemain: "Kalian semua akan diampuni."
"Nah, begitu. Itu lebih bijaksana," Alice berucap dalam hati. ia merasa ngeri bila membayangkan jumlah hukuman yang telah diperintahkan oleh sang Ratu.
Sejenak kemudian merekapun akhirnya sampai di tempat seekor binatang bernama Griphon. Saat itu Griphon sedang tidur terlentang di bawah terik matahari, (kalau ingin tahu bentuk bi
natang ini, lihat saja gambarnya). "Ayo bangun, pemalas !", perintah sang Ratu, "dan antar gadis kecil ini menemui si kura-kura palsu untuk mendengar riwayatnya. Aku harus kembali memeriksa pelaksanaan hukuman yang kuperintahkan," - beliau pun lalu pergi, meninggalkan mereka berdua. Alice merasa tidak suka dengan tatapan mata si Griphon. Tapi ia pikir, pasti akan lebih aman bersama Griphon daripada ikut Ratu yang kejam itu. Akhirnya ia pun hanya menunggu.
Tak lama kemudian, si Griphon mulai duduk sambil mengerjap-ngerjapkan matanya, menatap kepergian sang Ratu. ia pun kemudian tertawa kecil: "lucu," gumamnya kemudian.
"Apanya yang lucu"" tanya Alice tak mengerti.
"Apa yang lucu" Ya, beliau itu yang lucu!" jelas si Griphon, "semua itu beliau lakukan hanya untuk kesenangan saja. Dia tidak pernah tidak membunuh siapapun. Sudahlah!"
109 "Semuanya disini selalu mengatakan sudahlah" pikir Alice ketika ia melangkah mengikuti si Gryphon: "Dalam hidupku aku tak akan mau diperintah-perintah! Tidak akan!"
Belum jauh mereka berjalan, sudah nampak di depan mereka si kura-kura palsu, ia sedang duduk bersedih, menyendiri di tepian batu karang. Saat mereka mendekat, Alice mendengar kura-kura itu terisak-isak seolah sudah hancur hatinya. Alice sangat kasihan melihatnya.
"Kenapa ia bersedih"" tanya Alice pada si Griphori. Si Griphon menjawabnya dengan kata-kata yang hampir sama dengan jawaban sebelumnya: "Semua itu demi kesenanganya. Sebenarnya ia tak punya alasan untuk bersedih. Kamu pasti sudah mengerti hal ini. Sudahlah!"
Mereka berdua lalu mendaki batu karang, menemui si kura-kura palsu yang sedang mengawasi mereka dengan bola matanya yang besar dan penuh air mata. Si kura-kura hanya diam saja, tak
110 mengucapkan sepatah katapun.
"Nona kecil ini datang kemari ingin mendengar riwayatmu" kata si Griphon.
"Aku akan menceritakannya," sambut si kura-kura,'"duduklah dan diamlah sampai ceritaku selesai."
Maka duduklah mereka berdua dan tak ada seorangpun berani bicara untuk beberapa saat. Alice hanya sibuk berpikir sendiri: "Bagaimana ceritanya bisa selesai bila tidak segera dimulai"" Alice mulai tidak sabar, tapi ia berusaha menahan diri.
"Saat itu," kata si kura-kura memulai cerita, "aku kura-kura asli." Kemudian ketiganya sama-sama menunggu dalam kediaman yang panjang, diselingi dengkur si Griphon: "herg..!" Dan juga isakan si kura-kura berulang-ulang. Alice hampir saja tak sabar untuk berdiri dan berkata: "Terima kasih untuk kisah yang menarik ini!" Tapi ia mengurungkan niat karena ia masih berharap tahu kelanjutannya.
"Saat kami masih kecil," lanjut si kura-kura. Suaranya makin pelan, sambil sesekali terisak," kami pergi ke sekolah di laut. Saat itu guru kami adalah seekor kura-kura yang sudah tua. Kami biasa memanggilnya dengan Pak Tortoise - alias Tarto atau Pak Kura-Kura."
"Kenapa kalian memanggilnya begitu "" tanya Alice.
"Kami memanggilnya begitu karena dia mengajari kami begitu," jawab si kura-kura, "dasar kamu bodoh!"
"Mestinya kamu malu bertanya hal sepele seperti itu," tambah si Griphon. Kemudian keduanya duduk terdiam, menatap Alice. Alice seolah mau terbenam ke dasar bumi oleh hinaan itu. Dan berkatalah
111 si Griphon pada si kura-kura: "Cepat lanjutkan, kawan! Kalau tidak, ceritamu nanti bisa seharian tak selesai" Si kura-kura pun melanjutkan kisahnya.
"Ya saat itu kita pergi ke sekolah di dalam laut, meski kau tidak akan percaya-"
"Aku tidak pernah mengatakan begitu!" sela Alice.
"Kau mengatakan begitu tadi!" kata si kura-kura.
"Diam!" lanjut si Gryphon, sebelum Alice mampu melanjutkan
112 ucapannya. Si kura-kura kemudian melanjutkan.
"Kita telah mendapatkan pendidikan terbaik-sebenarnya, kita setiap hari pergi ke sekolah itu -"
"Aku juga sudah sekolah," kata Alice; "kau tak perlu begitu membanggakannya."
"Dengan pelajaran tambahan"" kata si kura-kura dengan agak gelisah.
"Ya," kata Alice, "kami mempelajari juga bahasa Perancis dan musik."
"Mencuci juga"" Tanya si kura-kura.
"Pasti tidak!" jawab Alice jengkel.
"Ah, kalau begitu sekolahmu itu tidak bermutu," kata si kura-kura dengan nada sangat lega. "Di sekolah kami pada
akhir program, kita mendapat pelajaran ekstra bahasa Perancis, musik dan mencuci -"
"Bukankah seharusnya kau tak bisa menuntut terlalu banyak," kata Alice; "dengan hidup di dasar laut."
"Aku tak mampu mempelajarinya," kata kura-kura dengan melenguh. "Aku hanya mengambil kelas reguler."
"Apa itu"" Tanya Alice.
"Menggulung dan menggeliat, tentu saja sebagai awalan," jawab si kura-kura; "lalu dilanjutkan dengan cabang-cabang lain aritmatika - ambisi, gangguan, membodohi dan mengejek."
"Aku tak pernah dengar ada kata membodohi itu," Alice memberanikan diri bertanya, "apa artinya itu""
Si Gryphon terkejut dan mengangkat kedua cakarnya, "apa! tidak pernah tahu pembodohan!" Serunya, "kupikir kau tahu apa arti
113 kata memperindah""
"Ya," sahut Alice ragu ragu: "Itu artinya membuat sesuatu menjadi lebih indah."
"Kalau begitu," lanjut si Gryphon, "bila kau tak tahu apa itu membodohi, berarti kau totol."
Alice tidak berani menanyakannya lagi, lalu ia menoleh pada si kura-kura dan berkata: "Apa lagi yang telah kau pelajari""
"Baiklah, soal misteri," jawab si kura-kura seraya menghitung pelajaran dengan buku-bukunya. "Aku punya misteri kuno dan modern, dengan geografi: kemudian mengeja berpanjang-panjang - guru pelajaran mengeja panjang itu adalah belut laut raksasa yang sudah tua, biasanya datang seminggu sekali; dia mengajari kami mengeja panjang, meregang dan pingsan dengan bergulingan.
"Seperti apa itu"" Tanya Alice.
"Tapi aku tidak bisa menunjukkannya padamu sendirian," kata si kura-kura; "aku terlalu kaku. Dan Gryphon tak pernah mempelajarinya."
"Aku tak punya waktu," kata si Gryphon; "tapi aku belajar pada guru yang mengajar pelajaran klasik. Dia adalah seekor udang tua, ya begitulah dia."
"Aku tak pernah pergi menemuinya," kata si kura-kura dengan mendesah: "Dia mengajar pelajaran tertawa dan bersedih, begitulah mereka biasanya menyebutnya."
"Dia juga mempraktekannya, ya dia mempraktekkannya," kata si Gryphon, ganti mengeluh; dan kedua mahluk itu menyembunyikan wajah mereka di cakarnya.
"Dan berapa jam sehari kau mempelajarinya"" Tanya Alice,
114 bergegas mengubah bahan pembicaraan.
"Sepuluh jam di hari pertama," kata si kura-kura: "Sembilan jam di hari berikutnya, begitu seterusnya."
"Sungguh metode yang aneh!" seru Alice.
"Itulah alasan kenapa mereka menyebutnya dengan pelajaran," ucap si Gryphon: "Karena jam pelajarannya berkurang dari hari ke hari."
Itu adalah hal baru bagi Alice, dan ia memikirkan ulang sejenak sebelum ia berucap. "Dan hari kesebelas pastilah hari liburnya""
"Tentu saja," kata si kura-kura.
"Dan bagaimana dengan hari keduabelasnya"" kata Alice
ingin tahu. "Ah, cukup bicara soal pelajaran," sela si Gryphon: "Katakan saja pada gadis kecil ini soal pertandingan itu sekarang."
115 Tarian Udang Laut KURA-kura palsu itu mendesah panjang, dan mengucek matanya. Dia lalu menatap Alice, dan mencoba berbicara, tapi suaranya tersendat di sela-sela isakkannya. "Sepertinya kerongkongannya tersedak tulang," kata si Gryphon dan ia mulai menggoncang dan menekan-nekan punggung kura-kura itu. Akhirnya suara kura-kura itu pun pulih seperti sedia kala dan dengan airmata memenuhi pipinya, dia melanjutkan: "Pasti kamu belum pernah hidup di dasar laut." ("Belum," gumam Alice malas.) -"Dan kamupun belum pernah berkenalan dengan si Udang Laut."- (Alice mulai ngomong sendiri dalam hati: "Aku pernah sekali makan udang," tapi buru-buru Alice muntah, "oh tidak, aku tidak pernah tahu" - "Jadi, kamu pasti belum tahu betapa mengasyikannya tarian udang itu," lanjut si kura-kura.
"Belum. Aku memang belum pernah merasakannya," lanjut Alice, "seperti apa tarian itu""
"Jadi," sela si Griphon, "saat itu awalnya kamu buat garis sepanjang pantai itu. Iya 'kan, kura-kura..""
"Dua buah garis," jerit si kura-kura, "aku buat bersama si anjing laut, teman-teman sesama kura-kura, si Ikan Salmon dan temantemanku yang lain. Kemudian ketika kau telah menghalau si ubur-ubur-"
"Biasanya itu butuh waktu beberapa saat lamanya." "Kau lalu melangkah, maju ke depan dua kali". Tiap kali dengan berpasangan dengan si udang lauti" teriak si Gryphon.
"Ya," kata si kura-kura: "Maju dua kali, berpasangan -" "Ganti si udang, dan kemudian melangkah mundur lagi dengan aba-aba bersamaan -"
"Lalu, kamu tahu 'kan," lanjut si kura-kura, "kau lempar si -" "Si udang!" teriak si Gryphon, dengan melompat. "Sejauh-jauhnya ke laut"
"Sejauh yang bisa kau kejar dengan merenanginya!" jerit si Gryphon.
"Lalu jungkir balik di laut itu!" teriak si kura-kura sembari melonjak-lonjak liar kesana-kemari.
"Ganti si udang lagi!" seru si Gryphon.
"Lalu kembali ke pantai lagi, dan begitulah gerakan pertamanya," kata si kura-kura, suaranya tiba-tiba merendah dan kedua mahluk itu, yang tadi jungkir balik berjumpalitan, kembali duduk dengan sedih dan keduanya sama-sama terdiam, menatap Alice.
"Pasti tarian itu sangat bagus," kata Alice dengan lirih.
"Kamu ingin melihat tarian itu sebentar saja"" tanya si kura-kura.
"Wah, mau sekali."
"Kalau begitu, mari kita coba gerakan pertama!" ajak si kura-kura pada si Griphon, "kita tetap bisa melakukannya meskipun tanpa
117 si udang. Bagaimana bila sambil menyanyi saja""
"Baiklah. Kalau begitu, kamu saja yang nyanyi," usul si Griphon, "sebab aku sudah lupa syairnya."
Lalu mereka mulai menari dengan sepenuh hati berputar dan berputar, Alice kadang-kadang mengetukkan kakinya ketika mereka melintas terlalu dekat, dan si Griphon melambaikan ujung cakarnya untuk menandai hitungan, sementara si kura-kura menyanyikan lagu di bawah ini dengan pelan dan sedih:
118 Bisakah kau berjalan lebih cepat"
Tanya si ikan laut kecil pada siput.
Lumba-lumba mengikut di belakang kita, dan ia sedang menyusul aku punya buntut
Lihat betapa bergairah si udang dan kura-kura maju ke depan.
Mereka pun sudah menunggu di batu karang itu- maukah kau datang kesana dan ikut menari bersama meliukkan badan"
Maukah kau, tak maukah kau, maukah kau, tak maukah kau, maukah kau ikut menari bersama meliukkan badan.
Maukah kau, tak maukah kau, maukah kau, tak maukah kau ikut meliukkan badan menari bersama.
Kau tak bisa bayangkan betapa menyenangkan
Ketika mereka mengangkat tubuh kami dan melemparkannya,
jauh ke tengah laut dengan si udang!
Tapi siput menjawab-terlalu jauh, terlalu jauh! dengan tatapan
mata curiga - ia berterima kasih atas kebaikan hati si ikan laut kecil itu, tapi ia tak akan ikut bergabung menari,
tak akan, tidak bisa, tak akan, tak bisa, ia tak akan ikut menari tak akan, tak bisa, tak akan, tak bisa, ia tak bisa ikut menari
"Apa masalahnya dengan jarak yang jauh itu"" Tanya temannya yang bersisik itu.
Masih ada pantai lain, kau tahu, di sisi lain laut itu. Makin jauh dari Inggris makin dekat ke Perancis sana-Kalau begitu jangan sedih, siput sayangku, ayolah dan ikut
119 menari saja. Maukah kau, tak bersediakah kau, maukah kau, tak bersediakah kau ikut menari saja "
Maukah kau, tak bersediakah kau, maukah kau, tak bersediakah kau ikut menari saja"
"Terima kasih. Sungguh tarian yang memikat," kata Alice, merasa senang pada akhirnya tarian itu selesai; dan aku sangat suka dengan lagu soal ikan laut kecil yang aneh itu!
"Oh - soal ikan laut kecil itu, kata si kura-kura, "mereka -ah, pasti kau sudah pernah melihat mereka""
"Ya," kata Alice, "aku sering melihatnya di rumah makan," ia meralat dirinya sendiri dengan tergesa gesa.
"Aku tak tahu rumah makan itu dimana," kata si kura-kura, "tapi bila kau sudah sering melihatnya, tentunya kau sudah tahu seperti apa mereka."
"Aku yakin juga begitu," jawab Alice hati-hati. "Ekornya ada di mulut - dan mereka hanya remah kecil-kecil dan jumlahmya sedikit"
"Kau salah menyebut mereka remah kecil dan sedikit," kata si kura-kura: "Kalau kecil dan sedikit tentu mereka semua sudah hilang di laut. Tapi benar, mereka memang memiliki ekor di bagian mulutnya dan penyebabnya adalah -" pada bagian ini si kura-kura menguap dan menutup matanya -"katakan penyebabnya pada gadis ini dan semuanya," katanya pada si Gryphon.
"Penyebabnya adalah," kata si Gryphon, "karena mereka mau pergi menari bersama si udang. Mereka pun dilempar ke laut
120 Jarak lemparan itu sangat jauh. Jadi mereka bergegas menempelkan ekor itu ke mulut. Tapi kemudian mereka tak bisa melepaskannya lagi
. Begitulah alasannya."
Terima kasih, kata Alice, "sangat menarik. Aku tidak tahu banyak soal ikan laut kecil itu sebelumnya."
"Bila kau mau, aku bisa memberitahumu lebih banyak," kata Gryphon. Tahukah kamu kenapa mereka disebut ikan laut kecil""
"Aku tak pernah memikirkannya," kata Alice, "kenapa""
"Karena mereka memakai boot dan sepatu," jawab si Gryphon sungguh sungguh.
Alice benar benar bingung. "Boot dan sepatu!" ulangnya tak percaya.
"Kenapa memangnya, terbuat dari apa sepatumu"" Tanya Gryphon. "Maksudku, apa yang membuatnya berkilat""
Alice melihat sepatu yang dipakainya, dan berpikir sejenak sebelum menjawab, "dilapisi dengan semir."
"Boot dan sepatu untuk dipakai di dasar laut," lanjut Gryphon dengan suara berat, "dilapisi dengan ikan kecil itu. Apakah sekarang kau paham."
"Sepatu itu terbuat dari apa"" Tanya Alice penasaran.
"Tentu saja dari ikan lidah dan hiu," jawab Gryphon dengan agak tidak sabar. "Belut mana saja yang bisa memberitahumu soal itu."
"Kalau aku jadi si ikan kecil itu," kata Alke, pikirannya masih melayang di lagu itu, "pasti aku akan berkata pada si hiu, menjauhlah: kami tak ingin kau dekat dengan kami!"
"Hiu itu memang diminta untuk menyertai ikan kecil itu,"
121 kata si kura-kura: "Tak ada ikan yang cukup bijaksana bila pergi tanpa dikawal seekor hiu."
"Benar begitukah"" kata Alice sangat terkejut.
"Tentu saja tidak," kata si kura-kura: "Karena, bila ada ikan datang padaku dan mengatakan dia akan melakukan perjalanan, aku akan bertanya, apa dengan hiu""
"Maksudmu"" kata Alice.
"Maksudku adalah persis dengan apa yang kukatakan tadi," jawab si kura-kura dengan nada tersinggung. Dan si Gryphon menambahkan, "sekarang, mari kita dengarkan saja kisah petualanganmu."
122 "Aku bisa menceritakan petualanganku - mulai pagi ini, kata Alice sedikit malu-malu; tapi tak ada gunanya dengan kemarin, karena aku adalah orang yang berbeda dengan kemarin."
"Jelaskan maksudnya," kata si kura-kura.
"Oh tidak, tidak! petualangannya..," kata si Gryphon tak sabar: "Penjelasan hanya akan menghabiskan waktu saja."
Lalu Alice menceritakan kisah petualangannya sejak pertama kali ia melihat si kelinci putih. Pada awalnya ia merasa agak kikuk, dua mahluk itu mendekatinya, memepetnya dari dua sisi, dan membuka mulut dan mata mereka lebar-lebar, tapi ia kemudian bisa mengatasi kekikukannya itu. Kedua mahluk pendengar kisah Alice itu awalnya diam hingga Alice sampai pada bagian mengulang-ulang kata "kau sudah tua Pak William," serta bagian ia bertemu dengan si ulat, tapi kini ia mengucapkannya berbeda, lalu si kura-kura mengambil nafas panjang, dan berkata, "itu sangat aneh."
"Semuanya hanyalah masalah bagaimana membuatnya seaneh mungkin," kata Gryphon.
"Semuanya beda!" ulang si kura-kura. "Aku senang untuk mendengarnya kembali dan mengulang sesuatu sekarang. Katakan padanya untuk mulai." Dia menatap si Gryphon saat ia anggap si Gryphon itu punya kekuasaan untuk menyuruh Alice.
"Berdiri dan ulangi kata-kata ini: "Ini adalah suara pemalas," kata si Gryphon.
"Cara mahluk ini menyuruh seseorang dan memintanya untuk mengulangi pelajaran!" cerna Alice; "mengingatkanku seperti saat aku di sekolah dulu." Meski begitu, Alice kemudian berdiri, dan mulai mengulanginya, tapi kepalanya penuh dengan bayangan tarian
123 lobster, yang membuatnya susah mengerti apa yang sedang Ia ucapkan, dan kata-kata itu terucap dengan sangat aneh:
Ini suara lobster; begitu aku mendengarnya menyeru, kau telah membakarku terlalu matang, dan aku mesti menggulai rambutku,
seperti bebek dengan alisnya, begitu juga dia dengan hidungnya memotong ikat pinggang dan kancing bajunya, dan melepaskan keluar jari kakinya.
"Berbeda dengan yang biasanya aku ucapkan di masa kecil," kata si Gryphon
"Aku malah belum pernah mendengarnya," kata si kura-kura, "tapi terdengar tak masuk akal."
Alice tidak berkata apa-apa. ia duduk dengan kepala ditutupi tangannya, ingin semuanya kembali berjalan seperti biasa.
"Aku minta semua hal itu dijelaskan," kata si kura-kura.
"Dia tidak bisa menjelaskannya," kata Gryphon, "lanjutkan saja dengan bait berikutnya."
"Tapi bagaimana dengan k
akinya"" Tanya si kura-kura. "Bagaimana ia bisa melepaskannya dari hidungnya, kau tahu""
"Posisi pertama ketika menari," kata Alice; tapi ia sangat dibingungkan oleh semua hal itu dan ingin mengubah bahan pembicaraan.
"Lanjutkan dengan bait berikutnya," ulang si Gryphon tak sabar: "Dimulai dengan aku melintasi taman miliknya."
Alice tak berani membantah, meski ia yakin pasti akan
124 salah, dan ia melanjutkan dengan suara gemetar: Aku melintasi taman miliknya, dan memperhatikan dengan sebelah mata,
Betapa burung hantu dan harimau kumbang itu sedang berbagi kue bersama.
"Apa gunanya mengulanginya lagi," sela si kura-kura, "kalau kau tak menjelaskan maksudnya" sampai sekarang, itu semua membuatku bingung!"
"Ya, kupikir kau lebih baik berhenti mengulanginya," kata si Gryphon dan Alice gembira karenanya.
"Akankah kita coba gerakan tari lobster yang lain"" lanjut si Gryphon, "atau sukakah kau bila si kura-kura menyanyikan sebuah lagu""
"Oh, nyanyikan saja, bila si kura-kura mau melakukannya," jawab Alice, dengan bersemangat ketika si Gryphon menyatakan, dengan agak tersinggung, "Hm! jangan pikirkan soal selera! maukah kau nyanyikan untuknya lagu sup kura-kura, teman""
Si kura-kura mendesah panjang, dan mulai, dengan suara kadang diselingi isakan, menyanyikan lagu ini:
Sayur sop yang enak, segar dan merangsang lidah
sudah terhidang di mangkuk besar dan indah
Oh siapakah yang tak ingin mencicipi"
Sop di sore hari, sop enak sekali!
Sop di sore hari, sop enak sekali!
Uee-naak sopp-nya Uee-naak sopp-nya Sop di sore hari Sop yang sangat enak sekali!
Sop yang merangsang lidah! Siapa yang akan teringat pada ikan, Permainan, dan makanan lain" Siapakah yang tidak akan menukarkannya dengan dua poundsterling demi sup itu " Harga yang pantas untuk sop enak
So-op yang ue-nak! So-op yang ue-nak! So-op di sore hari SOP ENAK sekali !
"Diulang lagi!" teriak si Griphon. Namun ketika si kura-kura hendak melakukannya, tiba-tiba terdengar teriakan di kejauhan sebagai tanda dimulainya pengadilan.
"Ayo!" ajak si Griphon tergesa-gesa menggandeng tangan Alice. Tentu saja lagu itu tidak jadi dinyanyikan lagi.
"Itu sidang apa"" tanya Alice terengah-engah. Tapi si Griphon hanya menjawab: "Ayo, cepat!" Dan iapun terus berlari dan dari belakang masih terdengar nyanyian sayup-sayup bersama angin:
Sop di sore hari Sop yang enak sekali! 126 pencurian Kue Tart SANG Raja dan Ratu duduk di singgasana ketika mereka tiba di ruang sidang dengan kerumunan di sekeliling mereka - kelompok burung dan berbagai jenis binatang, semuanya seperti kartu remi; sementara Jack si pembohong berdiri di hadapan Raja dan Ratu dalam keadaan terantai, dengan seorang prajurit penjaga di sisinya; dan di samping sang Raja berdiri si kelinci putih, tangan kanannya memegang sebuah terompet, dan tangan kirinya menggenggam gulungan kertas perkamen. Di tengah ruang pengadilan itu berdiri sebuah meja dengan kuetart besar di atasnya: nampak sangat lezat, membuat Alice merasa
sangat lapar saat memandanginya - "kuharap mereka sudah selesai bersidang," pikirnya, "dan akan membagikan hidangan itu!" tapi tampaknya kesempatan seperti itu tak pernah ada. Untuk melewatkan waktu Alice pun mulai meneliti apa saja yang ada di ruangan itu dengan pandangan matanya.
Alice tak pernah berada di ruang pengadilan sebelumnya, tapi pernah membacanya di sejumlah buku, dan ia amat gembira tahu nama-nama apa saja yang ada di situ. "Itu jaksanya," katanya pada diri sendiri, "karena ia memakai wig besar."
Tentu saja, jaksa itu tak lain adalah sang Raja sendiri; dan karena Raja memakai mahkotanya di atas wig itu, ia kelihatan tidak nyaman, dan sungguh sangat tak pantas.
"Dan itu tempat para juri," pikir Alice, "mereka semua ada dua belas mahluk." (Alice menyebut mereka mahluk, karena beberapa di antara mereka memang terdiri dari para binatang dan sisanya burung-burung.). "Kupikir merekalah para juri itu." Dia mengucapkan kalimat itu dua atau tiga kali pada dirinya sendiri, dan menjadi bangga karenanya; sebab ia pikir, pastilah sangat sedikit gadis kecil seumurannya tahu soal itu. Para juri itu telah siap semua d
engan pekerjaannya. Kedua belas juri itu semuanya sibuk menulis sesuatu di kertas. "Apa yang sedang mereka tuliskan"" bisik Alice pada si Gryphon. "Mereka belum punya apa-apa untuk di tulis, sidangnya saja belum dimulai, kok."
"Mereka menuliskan nama-nama mereka sendiri," Gryphon menjawab dengan berbisik, "karena mereka takut lupa menuliskannya sebelum sidang berakhir."
128 "Bodoh!" Kata Alice dengan suara keras dan mantap, tapi ia buru-buru berhenti, karena si kelinci itu berteriak, "diam!" Lalu sang Raja memakai kaca matanya dan memandang ke seluruh ruangan dengan gelisah, mencari-cari siapa yang berteriak itu.
Alice bisa melihat, dengan mengintip dari atas bahu mereka, para juri itu sedang menuliskan kata-kata bodoh! pada kertas di tangan mereka dan ia juga yakin bila salah satu dari mereka tak bisa mengeja kata bodoh itu dan harus bertanya pada sebelahnya, "kertas mereka akan penuh coretan sebelum persidangan itu selesai!" pikir Alice
Salah seorang dari juri itu punya pensil yang ujungnya berderit. Tentu saja Alice tak tahan mendengarnya, lalu ia berjalan mengitari ruangan hingga berada tepat di belakang juri, dan berkesempatan untuk merebut pensilnya. Alice melakukannya sangat cepat sehingga juri malang itu (si kadal Bill) tak menyadarinya; lalu setelah mencari kesana-kemari, kadal itu terpaksa menulis dengan menggunakan jari-jemarinya; dan tentu saja itu sia-sia karena tak akan membekaskan apa-apa pada kertas.
"Umumkan dan bacakan tuntutannya!" perintah sang Raja.
Lalu si kelinci putih meniup terompetnya tiga kali, membuka gulungan kertas dan membaca tuntutan seperti ini: Ratu Hati telah membuat kue tart Semuanya dilakukan saat musim panas: Lalu Jack si pembohong, dia telah mencuri kue tart, Dan membawa lari dengan bergegas
"Pikirkan putusan anda," kata sang Raja pada juri.
"Jangan dulu, belum, belum waktunya!" sela si-kelinci dengan terburu-buru. "Masih ada runtutan penjelasan lain sebelum itu!"
129 "Panggil saksi pertama," perintah .sang Raja, dan kelinci, itu meniup terompetnya tiga kali dan menyeru, "saksi pertama!"
Saksi pertama itu ternyata adalah si Hatter. Dia maju ke tempat saksi dengan secangkir teh di tangan kanannya serta sepotong roti mentega di tangan kirinya. "Maafkan saya, Yang Mulia," dia berkata, "karena telah membawanya ke sini: tapi saya belum selesai minum teh.."
"Mestinya kau sudah minum teh itu. kapan kamu tadi mulai minum teh""
Si Hatter menatap ke arah si March Hare, yang juga ikut ke pengadilan bersamanya dan bergandengan tangan dengan si Dormouse. "Hari keempatbelas bulan Maret, sejak itulah kukira," katanya.
"Kelimabelas," kata si March Hare.
"Enambelas," tambah si Dormouse.
"Catat itu," kata sang Raja pada juri, dan merekapun bergegas mencatat ketiga pernyataan itu di kertas, kemudian menjumlahkan ketiganya dan menuliskan hasilnya dalam bentuk angka mata uang.
"Lepaskan topimu," kata sang Raja pada si Hatter.
"Topi itu bukan milikku," kata si Hatter.
"Curian!" seru sang Raja, menoleh pada para juri. Serta merta mereka pun mencatatnya.
"Saya menyimpannya untuk dijual," tambah si March Hare menjelaskan. "Saya tak memilikinya satupun, karena saya adalah seorang penjual topi."
Pada saat itu, sang Ratu memakai kacamatanya dan mulai
130 menatap ke arah si Hatter yang berubah pucat dan gugup.
"Berikan buktinya," perintah sang Raja; "dan jangan gugup atau aku akan menghukummu."
Perintah itu sama sekali tidak membuat si saksi menjadi berani-dari tidak gugup, ia masih saja berdiri dengan satu kaki berpindah-pindah, menatap sang Ratu dengan gugup dan khawatir. Dan dalam kebingungannya ia malah menggigit tepian cangkir itu dan bukannya roti menteganya.
Tepat pada saat itu Alice merasakan suatu sensasi yang sangat aneh dan membuatnya jadi bingung sebelum akhirnya ia menyadarinya: Tubuhnya sudah membesar lagi. Awalnya ia berpikir untuk berdiri dan meninggalkan saja ruang pengadilan itu tapi kemudian ia memutuskan untuk tetap berada di situ selama masih ada tempat yang cukup bagi dirinya.
"Semoga tubuhmu tidak akan menghimpitku," kata si Dormouse yang duduk di sebelahnya. "Aku jadi susah bernafas."
"A ku tak bisa menghindarinya," kata Alice tanpa berusaha membantah: "Aku sedang tumbuh menjadi besar."
"Kau tak punya hak untuk tumbuh besar disini," kata Dormouse.
"Jangan ngawur," sahut Alice dengan lebih terbuka, "kau juga pasti pernah mengalaminya."
"Ya, tapi aku tumbuh besar secara normal," kata Dormouse: "Tidak dengan cara yang menggelikan seperti itu." Dan binatang itupun berdiri dengan sangat sebal lalu melangkah ke sisi lain ruang sidang itu.
Sementara sang Ratu tak pernah berhenti menatap si Hatter
131 dan ketika si Dormouse sedang melintas, sang Ratu berkata pada salah satu petugas pengadilan, "bawakan aku daftar nama penyanyi di pertunjukkan terakhir!" Si Hatter langsung gemetar, dan ia melepas sepatunya.
"Berikan bukti yang kau punya," perintah sang Raja dengan marah, "atau aku akan menghukummu, tak perduli kau gugup atau tidak."
"Saya orang miskin, Yang Mulia," si Hatter berucap dengan suara gemetar-"dan saya belum minum teh. Lebih dari seminggu ini roti dan mentega habis - dan kelap-kelip cahaya teh itu -"
"Kelap-kelip apa"" Tanya sang Raja.
132 "Awalnya teh," jawab si Hatter yang terdengar sang Raja seperti menyebut huruf T.
"Tentu saja berawalan huruf T!" sergah sang Raja tajam. "Apakah kau menganggapku bodoh" Ayo katakan!"
"Saya orang miskin," lanjut si Hatter, "banyak yang berkelap-kelip sesudah itu - hanya kata si March Hare -"
"Saya tidak mengatakan apa-apa!" sela si March Hare dengan buru-buru.
"Kau mengatakannya!" kata si Hatter.
"Saya menyangkal telah mengatakannya!" kata si March
Hare. "Dia menyangkalnya," kata sang Raja: "Hilangkan saja bagian itu."
"Baiklah, pada dasarnya, kata si Dormouse-" lanjut si Hatter, hati-hati melirik si Dormouse untuk mengecek apakah dia juga akan menyangkalnya: Tapi ternyata si Dormouse tidak melakukannya, karena sudah tertidur lagi.
"Setelah itu," lanjut si Hatter, "saya potong beberapa buah roti mentega-"
"Tapi apa kata Dormouse"" Tanya salah seorang juri.
"Saya tak ingat," kata si Hatter.


Alice In Wonderland Karya Lewis Carroll di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau harus ingat," tegas sang Raja, "kalau tidak, aku akan menghukummu."
Si Hatter yang menyedihkan itu menjatuhkan teh dan roti menteganya kemudian berlutut. "Saya orang miskin, Yang Mulia," pintanya.
"Kau saksi yang payah," kata sang Raja. 133
Pada saat itu si babi Guinea bersorak, dan segera didiamkan oleh petugas pengadilan (karena agak sulit diungkapkan dengan kata-kata, saya hanya akan menjelaskan cara mereka melakukannya. Mereka memiliki karung kain, yang ujungnya diikat dengan tali, di karung inilah babi itu kemudian dimasukkan, kepalanya dulu, dan kemudian mereka mendudukinya).
"Aku senang mereka melakukannya," pikir Alice. "Aku sering baca di Koran, pada akhir persidangan, ada yang mencoba bertepuk tangan tapi kemudian segera ditindak oleh petugas pengadilan, dan aku tak bisa memahami sebabnya hingga sekarang."
"Bila hanya itu yang kau ketahui, kau boleh merendahkan
diri." "Aku tak bisa lebih rendah lagi," kata si Hatter: "Aku sudah berlutut di lantai."
"Kalau begitu kau boleh duduk," jawab sang Ratu.
Babi lainnya bersorak tapi segera ditindak oleh petugas pengadilan.
"Ayolah, hukum babi itu!" pikir Alice. "Kita teruskan saja dengan bukti lain yang lebih baik."
"Saya lebih suka bila disuruh menyelesaikan minum teh saja," kata si Hatter, dengan pandangan khawatir ke arah Alice yang sedang membaca daftar penyanyi.
"Kau boleh pergi," kata sang Raja, dan si Hatter bergegas meninggalkan pengadilan, bahkan tanpa sempat memakai sepatunya.
"Dan lepaskan topinya itu di luar," tambah sang Raja pada salah satu petugas pengadilan: namun si Hatter sudah lenyap tak terkejar sebelum petugas itu sampai di pintu.
134 "Panggil saksi berikutnya!" perintah sang Raja.
Saksi berikutnya ternyata adalah tukang masak si permaisuri. Dia masuk ruangan dengan membawa sekotak lada. Alice bisa menebak siapa saksi itu, bahkan sebelum tukang masak itu memasuki ruang sidang, karena semua yang berada di dekat pintu serentak mulai bersin.
"Katakan buktimu," kata sang Raja.
"Aku tak akan memberikannya," kata si tukang masak.
Sang Raja menatap kelinci putih dengan cemas. Saat itu si kelinci berucap lirih, "
Yang Mulia tetap harus memeriksa kesaksian saksi ini."
"Baiklah, kalau begitu," kata sang Raja dengan murung. Setelah melipat tangannya dan memberengut pada si tukang masak itu hingga matanya hampir tak kelihatan, sang Raja bertanya dengan
135 suara berat dan dalam, "terbuat dari apa kue tart itu""
"Lada" Jawab si tukang masak.
"Sirup," terdengar sebuah suara mengantuk menyeru di belakangnya.
"Tangkap Dormouse itu," teriak sang Ratu. "Penggal Dormouse itu, keluarkan dia dari ruang sidang, tekan dia, jepit dia! cabuti sungutnya!"
Untuk beberapa saat semua yang ada di ruang itu sibuk mengusir si Dormouse, dan ketika masalah itu terselesaikan, si tukang masak sudah menghilang.
"Tak masalah!" kata sang Raja, sangat lega. "Panggil saksi berikutnya." Dan dia menambahkan dengan suara lembut pada sang Ratu, "sungguh, sayangku, kau saja yang periksa saksi berikutnya. Hal ini sudah membuat kepalaku pening!"
Alice melihat si kelinci putih itu ragu-ragu membaca daftar saksi. Alice sangat penasaran siapakah saksi berikutnya itu, "saksi-saksi sebelumnya belum memberikan bukti-bukti yang cukup," gumam Alice pada dirinya sendiri. Bayangkan bagaimana kagetnya Alice, ketika si kelinci itu membaca keras-keras, dengan suara melengking tinggi, nama: "Alice!"
136 Bukti Kesaksian Alice "YA, aku disini!" seru Alice, lupa karena bingung dengan perubahan tubuh yang ia alami. Tubuhnya kini sudah membesar dan dengan tergesa ia meloncat hingga ia merobohkan tempat saksi dengan ujung bajunya, menjungkirkan kepala para juri itu ke bawah hingga merekapun tergeletak dan lintang pukang berjumpalitan, mengingatkannya pada akuarium bulat ikan masnya yang tidak sengaja telah ia tumpahkan seminggu sebelumnya.
"Oh saya mohon maaf!" serunya cemas, dan mulai bergegas memunguti para juri itu lagi. Peristiwa penumpahan ikan mas itu masih membekas di benaknya, dan samar-samar diingatnya, ia harus mengumpulkan dan meletakkan para juri itu kembali ke tempat semula, sebab kalau tidak, mereka bisa mati karenanya.
"Sidang tidak bisa dilanjutkan," kata sang Raja dengan sesal, "sampai semua juri kembali ke tempatnya semula - semuanya," dia mengulang dengan penuh tekanan, menatap tajam ke arah Alice.
Alice kembali memandangi tempat juri dan yakin bahwa sesuai keinginannya, dia telah menaruh si kadal dengan kepala di bawah. Binatang malang itu pun menggoyang-goyangkan ekornya dengan sedih, karena tak bisa bergerak. Segera Alice mengeluarkannya
lagi dari tempat itu dan menaruhnya dengan posisi yang benar: "Itu tak penting," katanya pada diri sendiri: "Tapi kupikir itu akan penting bila dimaksudkan untuk menjajarkan posisi dan derajat semua yang ada di ruang sidang."
Tak lama setelah para juri agak pulih dari kekagetan mereka, dan kertas serta pensil sudah mereka pegang kembali, para juri
138 kembali rajin menuliskan urutan peristiwa tadi. Semuanya, kecuali si kadal, yang nampaknya tak bisa berbuat apa-apa selain duduk dengan mulut terbuka, memandangi langit-langit ruang sidang.
"Apa yang kau tahu soal persidangan ini"" Tanya sang Raja pada Alice.
"Tak ada," kata Alice.
"Tak tahu sama sekali"" tegas sang Raja.
"Sama sekali tidak," kata Alice.
"Ku sangat penting," kata sang Raja, beralih menatap para juri. Para juri itu baru saja mulai menuliskan ucapan Raja itu, ketika kelinci putih menyela: "Tidak penting, maksud sang Raja, tentu saja," dengan nada penuh hormat, tapi seraya memberengut menatap sang Raja.
"Tentu saja, maksudku, tidak penting" ralat sang Raja buru-buru, dan meneruskan pada dirinya sendiri dengan menggumam, "penting-tidak penting, penting -tidak penting," seolah mencari-cari mana yang lebih baik.
Beberapa juri menuliskannya penting sebagian lainnya menuliskannya tidak penting. Alice bisa melihatnya karena berdiri cukup dekat untuk bisa melihat isi kertas para juri itu: "Tapi itu tak masalah," pikirnya dalam benaknya sendiri.
Pada saat itu sang Raja, yang untuk beberapa saat sibuk menulis di buku catatannya, berteriak, "diam!" dan membaca keras-keras buku catatannya, "aturan nomor empatpuluh dua. Siapa saja yang tinggi tubuhnya lebih dari satu mil keluar dari
ruang sidang." Semua langsung menatap Alice.
"Tinggiku tidak satu mil," kata Alice.
139 Tinggimu segitu," kata sang Raja. "Bahkan hampir dua mil," tambah sang Ratu. "Apapun alasannya, aku tidak akan pergi," kata Alice, "disamping itu, aturan itu tidak umum: Kau baru mengarangnya tadi." "Itu aturan paling tua di dalam catatan buku ini." Bantah sang Raja dengan tegas.
"Kalau begitu mestinya jadi aturan nomor satu," kata Alice.
Sang Raja berubah pucat, dan buru-buru menutup buku catatannya. "Buat keputusan kalian," perintahnya pada para juri dengan suara lemah dan gemetar.
"Mestinya harus ada bukti-bukti tambahan, Yang Mulia," kata kelinci putih,
140 melompat maju dengan tergesa; "amplop ini baru saja diambil dan dibawa kemari."
"Isinya apa"" kata sang Ratu.
"Saya belum membukanya," kata si kelinci putih, "tapi sepertinya isinya surat, yang ditulis oleh tahanan kepada-seseorang."
"Pasti begitu," kata sang Raja, "bila tidak ditujukan untuk siapa-siapa, itu tidak wajar."
"Ditujukan pada siapa"" Tanya salah satu anggota juri.
"Tak ditujukan pada siapa pun," kata kelinci putih, "nyatanya, tak ada tulisannya di sampul luar." Dia membuka surat itu sembari bicara, dan menambahkan, "isinya bukan surat ternyata: Tapi serangkaian puisi."
"Apakah gaya tulisannya milik tahanan"" Tanya anggota juri yang lain.
"Tidak, tidak," kata si kelinci putih, "dan itulah anehnya." (para juri nampak kebingungan);
"Tahanan itu pasti telah memalsukan tulisan tangan orang lain," kata sang Raja. (dan wajah para juri pun mulai ceria lagi).
"Yang Mulia," kata Jack si pembohong,"saya tidak menulisnya, dan mereka tidak bisa membuktikan kalau yang menulis itu adalah saya: Tidak ada nama tertera di situ."
"Bila kau tidak menuliskan namamu di situ," kata sang Raja, "itu berarti hanya akan membuat masalahnya tambah buruk. Kau pasti punya maksud tersembunyi. Kalau tidak tentu kau sudah menuliskan namamu layaknya seorang yang jujur."
Tepuk tangan terdenga: sungguh hal cerdas pertama kali yang diucapkan sang Raja selama persidangan itu.
141 "Dengan begitu terbukti sudah kesalahannya," putus sang
Ratu. "Itu tak membuktikan apapun!" bantah Alice. "Kau bahkan tak tahu apa isinya!"
"Bacakan isinya." Perintah sang Raja.
Si kelinci putih lalu memakai kacamatanya. "Darimanas aya mesti memulainya, Yang Mulia"" tanyanya.
"Mulai saja dari awal," kata sang Raja geram, "teruskan sampai akhi: kemudian berhenti."
Di bawah ini adalah puisi yang dibacakan si kelinci: mereka memberitahuku kau telah pergi menemuinya, dan menyebutku di hadapannya dia telah memberiku sifat yang baik tapi dikatakannya aku tak bisa berenang.
Dia mengirimi mereka dengan kata-kata yang tidak kulupakan
(kita tahu benar begitu) bila masalah itu akan dia teruskan
apa jadinya dirimu" aku telah memberinya satu, mereka memberinya dua kau memberi kami tiga atau lebih; akan kembali dari tangannya ke tanganmu semuanya meski sebelumnya semua itu milikku
bila aku atau dia punya kesempatan
142 terlibat dalam urusan ini
dia mempercayakan padamu agar dia dibebaskan,
sama bebasnya dengan kami
dugaanku adalah bahwa telah kau (sebelum dia kejam dan suka marah begitu) beri satu penghalang antara aku dia, kami sendiri dan makanan itu.
Jangan biarkan ia tahu bila dia sangat menyukainya Karena ini baginya Rahasia, jaga semuanya, Antara kau dan aku saja.
"Itulah bukti berharga yang telah kita dengar," kata sang Raja, dengan menggosok-gosok tangannya; "jadi sekarang biarkan para juri-"
"Kalau saja ada yang bisa menjelaskan puisi itu," kata Alice, (tubuhnya sangat besar pada menit-menit terakhir hingga ia pun sama sekali tidak takut untuk menyela). "Saya akan memberinya enam sen. Saya tak yakin rangkaian puisi itu punya arti tertentu."
Para juri semuanya menulis di kertas masing-masing. "Dia tidak percaya rangkaian puisi itu punya arti," tapi tetap saja tak satupun dari mereka berusaha menjelaskan isi puisi itu.
"Kalau tak ada artinya," kata sang Raja, "berarti selesailah semua masalahnya. Karena kita tak perlu untuk mencarinya. Dan saya belum tahu itu," lanjutnya dengan membentangkan puisi itu di
143 pangkuannya, membacanya dengan sebelah mata: "Sepertinya saya menemukan arti dalam puisi ini."- dikatakan aku tak bisa berenang-' kau tidak bisa berenang, 'kan"" ia bertanya pada Jack si pembohong
Dengan sedih Jack si pembohong itu menggeleng. "Apakah aku terlihat seperti 'itu"" tanyanya (tentu saja ia tidak begitu, karena tubuh Jack si pembohong ftu seperti kartu remi).
"Sampai sejauh ini benar," kata sang Raja, dan dia terus menggumamkan puisi itu: "Kami tahu itu benar- "itu pasti suara para juri - "aku telah memberinya satu, mereka memberinya dua-" ya, itu pasti yang ia sedang lakukan dengan kue tart itu-"
"Tapi kelanjutannya "roti-roti itu semua akhirnya kembali dari dia ke tanganmu, "kata Alice.
"Ya, karena kue itu ada disana sekarang!" kata sang Raja dengan puas karena merasa menang, sembari menunjuk kue tart yang ada di atas meja.
"Semuanya sudah jelas. Kemudian lagi - "sebelum dia kejam dan suka marah begitu- kupikir kau pasti tak pernah marah, sayangku"" katanya pada sang Ratu.
"Tidak pernah!" jawab sang Ratu dengan sangat marah, melempar tempat tinta ke arah si kadal, (si kadal kecil yang malang itu sudah tidak lagi menulisi kertasnya dengan jarinya, karena tidak membekaskan apa-apa; tapi pada saat itu juga ia mulai melakukannya lagi dengan terburu-buru, menggunakan tinta yang melumuri dan menetes dari wajahnya, sebelum tinta itu habis.)
"Lalu kau pun tak pantas marah seperti itu," kata sang Raja, mengedarkan pandangannya ke seluruh ruang sidang dengan tersenyum. Semuanya diam mencekam.
145 "Hanya permainan kata-kata!" ralat sang Raja merasa tersudut, dan semua yang ada di ruang itu pun kemudian tertawa. "Biarkan para juri yang membuat keputusannya," kata sang Raja, ia sudah mengulangi kata itu selama empat puluh kali hari itu.
"Tidak, tidak!" kata sang Ratu. "Hukumannya dulu - baru keputusannya."
"Kejam dan tidak masuk akal!" teriak Alice, "untuk menetapkan hukumannya dulu!"
"Jaga mulutmu!" bentak sang Ratu, wajahnya berubah ungu.
"Tidak bisa!" kata Alice.
"Penggal kepalanya!" teriak sang Ratu sekeras-kerasnya. Tak satupun yang ada di ruangan itu berani bergerak.
"Siapa yang peduli denganmu"" kata Alice, (pada saat ini tubuhnya sudah tumbuh membesar dengan ukuran yang sesuai). "Toh kalian tak lebih hanyalah sekumpulan kartu remi!"
Lalu seluruh kartu remi itu berhamburan ke udara dan melayang jatuh menerpa wajah Alice. Alice berteriak karena ketakutan dan marah serta berusaha memukul-mukulnya. Namun sesaat kemudian, Alice mendapati dirinya sedang tertidur dalam pangkuan kakaknya di tepian sungai. Kakaknya segera membersihkan guguran daun-daun di wajah Alice.
"Bangun, Alice sayang!" bujuk kakaknya, "kamu sudah tertidur lama sekali."
"Oh.. Aku baru saja mimpi aneh!" kata Alice. ia lalu menceritakan seluruh petualangannya di negeri ajaib yang mampu ia ingat - seperti kisah yang kalian baca ini -. Sehabis bercerita, Alice dicium kakaknya: "Sungguh mimpi yang sangat indah! Tapi Alice, kau harus minum
146 tehmu dulu. Nanti keburu dingin."
Alice bergegas berlari mengambil teh dan meminumnya seraya membayangkan betapa indah mimpi yang baru saja ia alami.
Sementara untuk beberapa lama, kakaknya masih duduk di tempatnya semula, di tepian sungai itu. ia sandarkan kepala di tangannya, menikmati pancaran cahaya matahari sambil membayangkan petualangan adiknya di dunia mimpi. Hingga akhirnya, ia sendiripun ikut-ikutan bermimpi, dan beginilah mimpinya:
Awalnya ia bermimpi menjadi Alice dengan tangan kecilnya memeluk lutut. Sebuah sorot mata berbinar menatapnya - ia bisa mendengar suaranya yang merdu, dan kepalanya yang bergoyang-goyang berusaha menyibakkan rambut yang menutupi matanya -dan ketika ia terus mendengarkan, mendengarkan suara itu, tempat itu menjadi hidup dan diceriakan oleh kehadiran mahluk-mahluk aneh seperti yang ada dalam mimpi adiknya.
Rumput-rumput menggersik di kakinya ketika kelinci putih itu melintas - sementara tikus yang ketakutan itu berenang di sebuah genangan- dia dengar denting cangkir teh ketika March Hare dan si Hatter sedang melakukan perjamun tanpa akhir mereka dan suara menggeletar sang Ratu memerintahkan hukuman pen
ggal kepala pada para tamu kerajaan - sekali lagi anak babi itu bersin di pangkuan permaisuri, sementara piring dan panci berhamburan ke arah mereka -terdengar juga pekikan si Gryphon dan juga deritan pensil si kadal kecil serta batuk batuknya si babi Guinea ketika babi itu dimasukkan karung dan di duduki oleh petugas pengadilan. Suara-suara itu sesekali diselingi isakan si kura-kura palsu.
Dia masih duduk melamun, dengan mata terpejam, dan
147 setengah percaya bila dirinya tengah berada di dunia mimpi penuh fantasi itu, meski ia tahu ia mesti membuka matanya dan kembali menemui kehidupan nyata yang menjemukan - rumput itu akan berubah menjadi rumput biasa yang bergoyang tertiup angin dan suara genangan itu hanya suara riak gelombang biasa- dentingan cangkir teh itu akan berubah menjadi hanya dentang bel kalung domba dan suara parau sang Ratu itu sebenarnya hanyalah teriakan seorang pengembala - dan bersin bayi babi itu, jerit si Gryphon dan suara-suara aneh itu, akan berubah (seperti yang ia sudah tahu) menjadi hanya suara keriuhan lahan persawahan - dan lenguhan ternak di kejauhan akan menggantikan isakan si kura-kura palsu.
Akhirnya, ia bayangkan pada dirinya sendiri bagaimana akhirnya nanti bila si Alice itu kemudian tumbuh jadi perempuan dewasa seperti dirinya. Bagaimanakah ia akan menyimpan, dalam tahun-tahun yang akan dihadapinya, kesederhanaan dan kelembutan masa kecilnya yang telah berlalu" Dan bagaimana ia akan berkumpul bersama anak-anak yang ia lahirkan kelak serta membuat mata anak-anak itu berbinar dengan cerita-cerita yang ia kisahkan pada mereka. Termasuk juga pengalaman di dunia mimpi di masa kanak-kanaknya itu. Bagaimanakah Alice yang sudah menjadi ibu Ku kelak akan terharu dengan kesedihan dan juga berbahagia dengan kebahagian anak-anak yang ia lahirkan, ketika ia mengenang masa kecilnya sendiri di musim yang membahagiakan itu
148 Salam Paskah bagi anak anak pecinta Alice
BAYANGKANLAH, seolah kalian sedang membaca surat dari seorang sahabat lama. Seorang sahabat yang tengah berbisik kepadamu, seperti yang kutuliskan di saat Paskah dengan sepenuh hati ke dalam surat ini.
Tahukah kalian perasaan penuh mimpi yang dialami seseorang di suatu pagi musim panas, dengan kicau burung dan angin sepoi bertiup melalui jendela - perasaan yang hadir saat ia berbaring bermalas-malasan dengan mata agak terpejam, seolah melihat ranting pohon melambai, atau air beriak memantulkan cahaya keemasan" Sungguh perasaan itu merupakan suatu kenikmatan yang begitu dekat dengan kesedihan dan mampu menumpahkan airmata layaknya sentuhan keindahan sebuah puisi atau lukisan. Bukankah tangan lembut dan merdu suara ibumu yang telah membukakan tirai jendela dan membangunkanmu" Karena kau telah dibangunkan hingga kau bangkit dan melupakan mimpi buruk yang menakutkan dalam gelap malam lalu disambut cerah cahaya matahari, serta bangkit untuk merayakan hari baru yang bahagia itu, kau mesti mensyukuri kehadiran teman tak tampak itu, yang telah mengirimkan cahaya matahari yang indah itu"
Bukankah aneh kata-kata itu sudah diungkapkan oleh seorang yang telah menulis kisah seperti halnya kisah "Alice"" Dan tak pantaskah surat seperti ini ada dalam buku yang berisi bukan apa-apa itu" bisa jadi begitu. Beberapa orang mungkin akan me-nyalahkanku karena telah menggabungkan dua hal yang berlainan yakni kesedihan dan keriangan sekaligus; sementara sebagian lain mungkin akan tersenyum dan menganggap aneh dan ganjil bila semua orang sepantasnya harus tidak membicarakan hal-hal yang baik, kecuali saat di gereja dan pada hari minggu saja: tapi kupikir - tidak harus begitu, saya yakin - sebagian anak-anak akan membacanya dengan perasaan lembut dan penuh cinta, sama seperti semangat yang saya rasakan saat menuliskannya.
Itu karena saya tidak percaya Tuhan jahat pada kita dengan membagi kehidupan ini menjadi dua sisi yang saling bertentangan-mesti berwajah sedih di hari minggu, dan berpikir bahwa adalah tidak pada tempatnya untuk selalu menyebut namaNya tiap hari. Apakah kau mengira Tuhan hanya sayang pada umatnya yang taat beribadah saja, dan hanya mau me
ndengar suara para pendoa - dan dia tidak suka melihat Isa melangkah riang gembira di bawah cahaya matahari, serta mendengar suara riang anak-anak, ketika mereka bergulingan di rerumputan" Tawa tak berdosa anak-anak itu sama merdunya di telinga tuhan.
Apakah hal itu tidak ada artinya bila dibandingkan dengan suara nyanyian gereja paling agung yang terdengar dari kerdip lilin di sejumlah katedral yang agung"
Dan bila saya menuliskan sesuatu seperti surat ini untuk menambahi kisah-kisah lugu dan penuh kegembiraan di dalam buku
150 anak-anak, itu karena saya mengharapkan untuk bisa mengenangnya tanpa diliputi rasa malu dan kesedihan (karena betapa banyak kehidupan yang mesti diingat kembali) ketika tiba saatnya bagiku untuk berjalan melalui lembah penuh bayang-bayang itu.
Cahaya Paskah ini akan menyinarimu, anak-anak, merasakan kehidupan di tiap tiap bibirnya dan ingin segera berlari keluar menyambut udara pagi yang segar - dan hari-hari Paskah lain akan tiba lagi dan berlalu, sebelum kau menjadi renta, dan beruban, melangkah perlahan dan tertatih untuk sekali lagi berjemur riang gembira di bawah sinar matahari - tapi menurutku bagus, bahkan untuk saat ini, untuk berpikir sesekali tentang pagi yang luar biasa itu ketika cahaya penuh berkah akan bersinar dengan kemilau di sayap-sayapnya.
Tentu saja kegembiraanmu tidak perlu membuat kalian berpikir bahwa kau suatu hari nanti akan melihat senja yang lebih indah dari ini - ketika pemandangan yang lebih indah akan tampak di matamu melebihi derai angin di reranting dan kilauan riak-riak air itu - ketika tangan malaikat akan membuka tirai jendelamu, dan suara yang lebih merdu dari suara ibumu akan membangunkanmu dan mengantarmu pada hari baru yang lebih gilang-gemilang -dan ketika semua kesedihan, dan dosa, yang menyelimuti kehidupan di muka bumi ini, akan terlupakan seperti mimpi-mimpi malam hari yang telah lewat!
Teman yang selalu menyayangimu
Lewis Carroll Paskah, 1876 151 Salam natal dari Si Musang pada anak anak
nona, bila si musang boleh istirahat mengesampingkan sejenak saja tipuan-tipuan licik dan permainan jahat disini di gelombang suasana natal yang bahagia.
kita telah mendengar anak-anak berkata -anak-anak yang baik hati, anak-anak yang kita cintai -pada hari natal dulu kala tibalah pesan dari atas bumi
tetap masih sama, dengan suasana natal di sekeliling kita, mereka pun mengingatnya lagi dan terus menggemakan suara-suara penuh suka cita damai di bumi, kebaikan untuk umat manusia di bumi
hati kita mestinya seperti hati anak-anak itu
tempat tamu-tamu surga berumah,
hingga anak-anak, dengan kegembiraan mereka itu,
mencipta hari-hari dalam tahun itu menjelmakan suasana natal
jadi, dengan melupakan tipuan dan permainan untuk sejenak, gadis kecilku, kami ucapkan padamu, bila diijinkan, selamat natal dan tahun baru
Natal, 1887 Biografi Singkat Lewis Carroll (1832 - 1898)
LEWIS CARROLL bernama lengkap Charles Lutwidge Dogson, menyelesaikan studi matematika di gereja kristen Oxford dan sempat mengajar di almamaternya meski akhirnya berhenti. Dia juga sempat, sebagai pendeta, memberikan kotbah di gereja tersebut. Meski inipun tidak berlangsung lama.
Selain menulis novel Alice's Adventures Under Ground (lebih dikenal dengan Alice in Wonderland, setelah mengalami revisi beberapa kali), Lewis juga menulis buku-buku matematika dan sejumlah buku komik. Buku Alice's Adventures Under Ground merupakan bukunya yang sangat sukses dan berhasil merombak kesusastraan anak-anak pada jaman Victoria yang kering imaginasi dan kaku.
Selain menulis, ia juga memiliki kegemaran di bidang fotografi. Sukses Alice's Adventures Under Ground kemudian di ikuti dengan karya-karyanya yang lain. Diantaranya Through The Looking Glass And What Alice Found There (1871) serta kumpulan puisi The Hunting of The Snark[1876).
tamat Rahasia Hiolo Kumala 21 Pendekar Gila 30 Dewi Ratu Maksiat Hikmah Pedang Hijau 9

Cari Blog Ini