Malaikat Dan Iblis Angels And Demons Karya Dan Brown Bagian 9
105 KABUT KELETIHAN PERLAHAN mulai terangkat ketika Langdon beranjak pergi dan meninggalkan kardinal yang sudah tewas itu dengan berenang melintasi kolam. Sambil merasa letih dan sendirian di dalam kolam air mancur, Langdon setengah berharap dirinya lebih baik pingsan saja. Tetapi, dia merasakan sebuah dorongan baru yang timbul di dalam dirinya. Sesuatu yang tidak dapat ditolak sehingga membuatnya kalut. Dia merasa tubuhnya menegang dengan ketabahan yang tidak diduga-duganya. Pikirannya, seperti mengabaikan rasa sakit di hatinya, memaksanya meninggalkan masa lalu dan membimbingnya untuk berkonsentrasi pada satu tugas yang sangat mendesak.
Temukan markas Illuminati. Selamatkan Vittoria.
Sambil berpaling dan menatap pahatan patung yang menjulang tinggi yang terdapat di tengah-tengah air mancur karya Bernini itu, Langdon mengumpulkan harapan dan mengembalikan tekadnya untuk menemukan petunjuk terakhir Illuminati. Dia tahu figur-figur yang terpahat di bongkahan pualam di hadapannya ini pasti menunjukkan di mana markas Illuminati itu berada. Ketika Langdon memeriksa air mancur itu, harapannya dengan cepat menguap. Kata segno seperti sedang mengejeknya. Biarkan para malaikat membimbingmu dalam pencarian sucimu. Langdon memandang dengan kesal ke arah ukiran yang berada di depannya. Air mancur ini karya Pagan! Tidak ada bentuk malaikat di mana pun!
Ketika Langdon menghentikan pencariannya, matanya secara alamiah menyusuri pilar baru yang menjulang tinggi. Empat petunjuk, pikirnya, tersebar di Roma seperti sebuah salib raksasa.
Sambil memeriksa hieroglif yang menyelimuti obelisk, Langdon bertanya-tanya apakah petunjuk selanjutnya tersembunyi di balik simbol-simbol Mesir. Dia langsung menyingkirkan pemikiran itu. Hieroglif ini ditulis berabad-abad sebelum Bernini hidup, dan belum bisa dibaca sebelum batu Rosetta ditemukan. Tapi Langdon masih ingin berspekulasi dengan berpikir kalau Bernini mengukirkan simbol tambahan yang tidak terlihat oleh seorang pun di antara simbol hieroglif yang rumit itu.
Langdon merasakan adanya secercah harapan, dan mulai mengamati air mancur itu sekali lagi dan memeriksa keempat sisi obelisk. Dalam dua menit, Langdon berhasil menyelesaikan sisi terakhir obelisk dan harapannya langsung memudar. Tidak ada simbol hieroglif yang menonjol seperti tambahan yang diberikan oleh Bernini. Jelas tidak ada malaikat di sini.
Langdon melihat jam tangannya. Pukul sebelas tepat. Dia tidak dapat mengatakan apakah waktu berlalu deng
an cepat atau merayap dengan lambat. Gambaran tentang Vittoria dan si Hassassin berputar menghantuinya ketika Langdon merangkak di sekitar air mancur itu. Rasa putus asa mulai merambatinya ketika dia tidak berhasil menemukan petunjuk yang dicarinya. Merasa sangat letih dan sakit, Langdon tahu dia akan pingsan sebentar lagi. Dia mendongakkan kepalanya dan berteriak pada malam.
Tapi suaranya tercekat di dalam tenggorokannya. Langdon kini menatap obelisk. Benda yang bertengger di puncak obelisk itu adalah benda yang tadi diabaikannya.
Sekarang, benda itu membuatnya berhenti secara tiba-tiba. Itu bukan sosok malaikat. Sama sekali bukan. Tadi dia sama sekali tidak mengira kalau benda itu adalah bagian dari air mancur Bernini. Dia mengira benda yang bertengger itu adalah makhluk hidup, pencari sisa-sisa makanan yang bertengger di menara mulia itu.
Seekor burung dara. Langdon menyipitkan matanya ke atas untuk memerhatikan benda itu. Tapi pandangan matanya mengabur karena kabut yang menyelimutinya. Itu seekor burung dara, bukan" Dia dengan jelas melihat kepala dan paruhnya membayang di hamparan bintang yang menghiasi langit. Terlebih lagi, burung itu tidak bergerak sejak Langdon tiba tadi, bahkan ketika perkelahian sengit di bawahnya berlangsung sekalipun. Burung itu masih tetap duduk seperti ketika Langdon memasuki lapangan itu. Burung itu bertengger tinggi di puncak obelisk, menatap dengan tenang ke arah barat.
Langdon menatapnya sesaat dan kemudian mencelupkan tangannya ke dalam air mancur dan meraup segenggam penuh uang logam. Dia melemparkan uang logam itu ke atas. Koin itu kemudian berhamburan di bagian atas obelisk itu. Burung itu sama sekali tidak bergerak. Langdon mencobanya lagi. Kali ini salah satu uang logam itu mengenai burung tersebut. Samar-samar terdengar bunyi logam yang saling beradu dan mengalir ke seluruh lapangan.
Burung dara itu terbuat dari perunggu.
Kamu sedang mencari sesosok malaikat, bukan seekor burung dara, suara itu mengingatkannya. Tetapi terlambat, Langdon sudah menghubung-hubungkannya. Dia sadar burung itu sama sekali bukanlah seekor burung dara.
Itu burung merpati. Hampir tidak menyadari apa yang dilakukannya, Langdon kembali masuk ke air, menuju pusat air mancur dan mulai mendaki gunung batu travertine yang terdapat di sana. Sambil menginjak kepala-kepala dan lengan-lengan besar figur-figur karya Bernini, Langdon memanjat lebih tinggi lagi. Di tengah perjalanan ke dasar obelisk, dia berhasil terhindar dari kabut dan dapat melihat kepala burung itu dengan lebih jelas.
Tidak diragukan lagi. Itu burung merpati. Warna gelap di tubuh burung itu terjadi akibat dari polusi udara kota Roma yang menutupi warna asli perunggunya. Lalu arti yang sesungguhnya muncul. Langdon telah melihat sepasang burung merpati di Pantheon tadi sore. Sepasang burung merpati tidak berarti apa-apa. Sedangkan burung merpati ini bertengger sendirian.
Burung merpati yang sendirian adalah simbol Pagan dari Malaikat Perdamaian.
Kebenaran itu hampir saja membuat Langdon memanjat lebih tinggi lagi. Bernini memilih simbol Pagan untuk malaikat sehingga dia dapat menyembunyikannya di sebuah air mancur Pagan. Biarkan para malaikat membimbingmu dalam pencarian muliamu. Merpati itulah malaikat yang dicarinya! Langdon tidak dapat memikirkan tempat yang lebih mulia sebagai petunjuk terakhir Illuminati daripada yang ada di puncak obelisk itu.
Burung itu menghadap ke barat. Langdon berusaha mengikuti arah tatapannya, tetapi dia tidak dapat melihat apa-apa melalui gedung yang berada di sekitarnya. Dia memanjat lebih tinggi lagi. Sebuah kutipan yang diucapkan oleh Santo Gregorius dari Nyssa muncul dalam ingatannya secara tak terduga. Jika jiwa berhasil tercerahkan ... dia akan berbentuk seperti burung merpati yang indah.
Langdon memanjat semakin tinggi, ke arah burung merpati itu. Dia merasa seperti terbang sekarang. Dia mencapai landasan tempat obelisk itu berdiri dan tidak dapat memanjat lebih tinggi lagi. Sambil memandang ke sekelilingnya, Langdon tahu dia memang tidak perlu memanjat lagi. Seluruh kota Roma terbentang di
depannya. Pemandangan itu membuatnya sangat terpesona.
Di sebelah kirinya, kerumunan lampu-lampu media massa dengan riuh mengelilingi Santo Petrus. Di sebelah kanannya, kubah Santa Maria della Vittoria masih terlihat berasap. Di depannya, jauh di ujung sana, terlihat Piazza del Popolo. Di bawah kakinya, titik keempat dan terakhir itu berada. Sebuah salib besar dari empat obelisk raksasa.
Dengan gemetar, Langdon melihat ke arah burung merpati di atasnya. Dia menoleh dan menghadap ke arah yang benar. Lelaki itu kemudian menurunkan matanya ke arah garis langit.
Dalam sekejap dia melihatnya.
Begitu pasti. Begitu jelas. Begitu sederhana.
Ketika menemukan apa yang dicarinya, Langdon tidak dapat memercayainya. Markas Illuminati tetap tersembunyi selama berabad-abad. Pemandangan seluruh kota itu seperti kabur ketika Langdon melihat sebuah gedung dari batu yang besar sekali di seberang sungai di depannya. Gedung itu sama terkenalnya dengan gedung-gedung lainnya di Roma. Berdiri di tepi sungai Tiber dan berhadapan secara diagonal dengan Vatican. Bentuk geometri gedung itu pun sangat mencolok- sebuah kastil berbentuk bundar, dikelilingi oleh benteng persegi, dan di sisi luar tembok benteng tersebut, mengelilingi gedung itu, terlihat sebuah taman berbentuk segilima.
Benteng kuno dari batu di depannya itu dengan dramatis diterangi oleh lautan sinar yang lembut. Tinggi di puncak kastil
itu, berdiri patung malaikat berukuran besar dari perunggu. Malaikat itu mengacungkan pedangnya ke bawah, tepat di tengah-tengah kastil itu. Dan seolah itu saja tidak cukup, langsung menuju ke pintu utama kastil itu, berdiri sebuah jembatan terkenal, Jembatan Malaikat-Bridge of Angels ... jalan menuju ke kastil itu dihiasi oleh dua belas patung malaikat yang dibuat tak lain oleh Bernini sendiri.
Ketika akhirnya Langdon bisa bernapas dengan normal, dia menyadari kalau salib obelisk Bernini yang terbentang di kota ini menuju ke sebuah benteng yang sangat bergaya Illuminati; lengan horizontal salib itu langsung melewati bagian tengah jembatan kastil tersebut dan membaginya menjadi dua bagian yang setara.
Langdon kemudian mengambil jas wolnya dan menjauhkannya dari tubuhnya yang basah kuyup. Lelaki itu kemudian meloncat masuk ke dalam sedan curiannya dan menginjakkan sepatunya yang basah ke atas pedal gas, dan melesat membelah malam.
106 SAAT ITU PUKUL 11:07 malam. Mobil Langdon melesat dengan cepat dan menembus malam Roma. Dia memacu mobilnya di sepanjang Lungotevere Tor Di Nona yang berada di sepanjang sungai Tiber. Sekarang Langdon dapat melihat bangunan yang ditujunya tersebut muncul seperti sebuah gunung di sisi kanannya.
Castel Sant' Angelo. Kastil Malaikat.
Tiba-tiba, belokan yang menuju ke Jembatan Malaikat yang sempit- Ponte Sant' Angelo-muncul tak jauh di hadapannya. Langdon menginjak rem dan membelok. Dia membelok tepat waktu, tetapi jembatan itu dipasangi penghalang. Dia tergelincir sepanjang sepuluh kaki dan menabrak serangkaian pilar pendek dari semen yang menghalangi jalannya. Langdon tersentak ke depan ketika mobilnya bergetar. Dia melupakan sesuatu. Untuk menjaga keindahannya, Jembatan Malaikat sekarang hanya dijadikan zona bagi pejalan kaki.
Dengan gemetar, Langdon terhuyung-huyung keluar dari mobilnya yang sudah rusak, dan berandai-andai dia memilih jalan yang lainnya. Langdon merasa kedinginan. Tubuhnya menggigil karena basah terkena air mancur tadi. Dia mengenakan jas wol Harris-nya di atas baju basahnya. Untunglah jas bermerek Harris selalu berlapis dua sehingga folio Diagramma akan tetap kering di dalam sakunya. Di depannya, di seberang jembatan, benteng batu itu menjulang
seperti sebuah gunung. Walau merasa sakit dan sangat letih, Langdon harus berlari dan melompat.
Di kedua sisinya, seperti sepasukan pengawal, barisan malaikat karya Bernini itu seperti melambai-lambai dan memberi selamat kepada Langdon karena berhasil menuju ke tujuan terakhir. Biarkan para malaikat membimbingmu dalam pencarian sucimu. Kastil tersebut tampak semakin menjulang ketika dia berjalan mendekat. Ternyata kastil itu bukan bangunan y
ang dapat dipanjat dengan mudah karena lerengnya yang curam dan lebih menakutkan dibandingkan dengan Basilika Santo Petrus. Langdon berlari-lari kecil menuju benteng sambil mengomel. Lalu dia melihat ke depan, ke arah tengah-tengah benteng yang berbentuk bundar dan menjulang tinggi ke arah malaikat berukuran besar yang sedang menghunuskan pedangnya.
Kastil itu tampak sunyi. Langdon tahu, selama berabad-abad Vatican menggunakan kastil itu sebagai makam, benteng, tempat peristirahatan paus, penjara bagi musuh gereja dan museum. Tampaknya kastil ini juga memiliki penyewa lain-kelompok Illuminati. Kenyataan itu menciptakan kesan menakutkan. Walau kastil ini adalah milik Vatican, mereka hanya menggunakannya sesekali saja. Tampaknya Bernini telah merenovasi tempat itu selama beberapa tahun. Konon, di bagian dalam gedung itu sekarang memiliki banyak jalan masuk rahasia, gang, dan ruang-ruang tersembunyi seperti sarang lebah. Langdon merasa yakin patung malaikat dan taman berbentuk segilima yang terdapat di sekitar kastil itu pasti karya Bernini juga.
Ketika tiba di depan pintu ganda yang besar, Langdon mendorongnya dengan kuat. Lelaki itu tidak heran ketika kedua pintunya tidak dapat bergerak. Dua gerendel besi besar
tergantung setinggi matanya. Tapi Langdon tidak peduli. Dia melangkah mundur, lalu matanya menyusuri dinding bagian luarnya yang curam. Benteng ini telah digunakan untuk menangkal serangan dari tentara-tentara Berber, Moor dan orang-orang kafir. Langdon tahu kemungkinan dia dapat masuk sangat kecil.
Vittoria, pikir Langdon. Apakah kamu ada di dalam"
Langdon bergegas mengelilingi dinding luar itu. Pasti ada jalan masuk yang lain.
Ketika mengelilingi bangunan berbentuk bulat di sudut benteng yang terletak di sebelah barat, Langdon, dengan napas terengah-engah, sampai di lapangan parkir kecil di luar Lungotere Angelo. Di tembok ini dia menemukan jalan masuk kedua ke dalam kastil, semacam jalan masuk yang berupa jembatan yang dapat dinaik-turunkan. Jembatan itu sekarang terangkat dan terkunci. Langdon menatap ke atas lagi.
Satu-satunya cahaya yang terdapat di sana adalah cahaya dari luar yang menerpa bagian depan puri itu. Semua jendela kecil di dalam tampak gelap. Mata Langdon memanjat lebih tinggi. Di puncak tertinggi dari menara utama, seratus kaki ke atas, tepat di bawah pedang patung malaikat yang berdiri gagah, terlihat ada satu balkon yang menonjol. Dinding pualamnya tampak bercahaya dengan samar, seolah bagian dalamnya diterangi oleh obor. Langdon berhenti sejenak. Tiba-tiba tubuh basah kuyupnya gemetar. Sebuah bayangan" Dia menunggu dengan tegang. Lalu dia melihatnya lagi. Punggungnya terasa seperti tertusuk. Ada orang di atas!
"Vittoria!" dia berseru tapi suaranya tertelan oleh gelegak air sungai Tiber di belakangnya. Langdon berjalan berputar-putar sambil bertanya-tanya di mana para Garda Swiss itu. Apakah mereka masih mendengarkan radionya"
Di lapangan parkir terlihat sebuah truk pers yang sedang diparkir. Langdon berlari ke arahnya. Seorang lelaki berperut gendut mengenakan headphone, sedang duduk di kabin sambil membetulkan pengungkit. Langdon mengetuk sisi mobil itu. Lelaki itu terkejut dan melihat baju Langdon yang basah kuyup. Dia lalu melepaskan headphone-nya...
"Ada apa, bung"" sapa lelaki itu dengan aksen Australia.
"Aku membutuhkan teleponmu."
Lelaki itu mengangkat bahunya. "Tidak ada nada sambung. Aku sudah mencobanya sepanjang malam ini. Kurasa saluran telepon sedang penuh."
Langdon menyumpah keras. "Kamu melihat ada seseorang masuk ke dalam sana"" tanya Langdon sambil menunjuk ke arah jalan masuk dengan pintu seperti jembatan itu.
"Sebenarnya, iya. Sebuah van hitam keluar masuk sepanjang malam ini."
Langdon merasa seperti sebuah batu bata menghantam dasar perutnya.
"Bangsat itu beruntung," kata lelaki Australia itu sambil menatap ke arah menara, kemudian mengerutkan keningnya ketika melihat pemandangan ke Vatican yang terhalang oleh gedung-gedung. "Aku bertaruh pemandangan dari atas sana pasti sempurna Aku tidak dapat masuk ke Santo Petrus jadi aku harus mengambil gambar dar
i sini." Langdon tidak mendengarkannya. Dia sedang mencari kesempatan.
"Bagaimana pendapatmu"" tanya lelaki Australia itu. "Apakah 11th Hour Samaritan itu nyata"" Langdon berpaling. "Apa""
"Kamu tidak mendengar" Kapten Garda Swiss itu menerima telepon dari seseorang yang mengaku mempunyai
info sangat penting. Orang itu sekarang sedang terbang ke sini. Yang kutahu dia akan menyelamatkan Vatican ... itu baru berita yang akan menaikkan rating." Lalu lelaki itu tertawa.
Tiba-tiba Langdon merasa bingung. Seorang Samaritan yang baik sedang terbang ke sini untuk menolong" Apakah orang itu tahu di mana antimateri itu" Lalu mengapa dia tidak langsung saja mengatakan kepada para Garda Swiss" Mengapa dia harus datang sendiri ke sini" Ada yang aneh, tetapi Langdon tidak punya waktu untuk memikirkannya.
"Hei," seru lelaki Australia itu sambil mengamati Langdon dengan lebih seksama. "Bukankah kamu lelaki yang kulihat di TV" Yang berusaha menolong kardinal di Lapangan Santo
Petrus"" Langdon tidak menjawab. Matanya tiba-tiba terpaku pada sebuah alat yang terpasang di atap truk itu-satelit yang dipasang di sebuah perlengkapan tambahan yang dapat direbahkan. Langdon lalu melihat ke arah kastil sekali lagi. Benteng di bagian luar setinggi lima puluh kaki, sementara benteng bagian dalamnya masih menanjak lebih tinggi lagi. Sebuah sistem pertahanan tertutup. Puncaknya sangat tinggi dari sini, tetapi kalau dia dapat melalui tembok pertama ....
Langdon berpaling pada lelaki itu dan menunjuk pada penyangga satelit itu. "Berapa tingginya alat itu""
"Hah"" Lelaki itu tampak bingung. "Lima belas meter. Mengapa""
"Pindahkan truk itu ke dekat dinding. Aku membutuhkan bantuan."
"Apa maksudmu"" Langdon menjelaskan.
Mata lelaki Australia itu terbelalak. "Apa kamu sudah gila" Ini ekstensi teleskop seharga 200 ribu dolar. Bukan tangga!"
"Kamu mau rating" Aku punya informasi yang akan membuatmu senang," kata Langdon putus asa. "Informasi seharga 200 ribu dolar""
Langdon mengatakan padanya apa yang ingin diungkapkannya untuk mengganti kebaikan lelaki itu.
Sembilan puluh detik kemudian, Robert Langdon sudah mencengkeram bagian atas alat pemancang satelit itu dan melambai tertiup angin malam di atas ketinggian lima belas kaki dari tanah. Sambil mencondongkan tubuhnya, dia meraih puncak dinding pagar pertama, menarik tubuhnya ke dinding, lalu meloncat ke bagian yang lebih rendah dari benteng itu.
"Sekarang, ingat janjimu tadi!" seru lelaki Australia itu. "Di mana dia""
Langdon merasa berdosa karena mengungkapkan informasi itu. Tetapi janji adalah janji. Lagipula, si Hassassin juga mungkin akan menghubungi pers. "Piazza Navona," teriak Langdon. "Dia ada di air mancurnya."
Lelaki Australia itu memendekkan pemancang cakram satelitnya dan mengejar berita yang akan mengangkat karirnya.
Di dalam ruangan batu yang terletak tinggi di atas kota, si Hassassin membuka sepatu botnya yang basah dan membalut jari kakinya yang terluka. Ada rasa sakit, tetapi tidak terlalu sakit karena dia masih dapat bersenang-senang.
Dia berpaling untuk memandang hadiahnya.
Perempuan itu berada di sudut ruangan, terlentang di atas sofa besar yang sederhana dengan kedua tangannya terikat di belakang dan mulut tersumbat. Si Hassassin mendekatinya. Perempuan itu sudah terjaga sekarang. Hal itu membuatnya senang. Anehnya, di dalam mata perempuan itu dia melihat api, bukan sinar ketakutan.
Rasa takut itu akan datang.
107 ROBERT LANGDON BERLARI di atas tembok benteng, dan merasa senang karena ada lampu sorot di dekatnya. Ketika dia memutari tembok itu, halaman di bawahnya tampak seperti museum peralatan perang kuno. Di sana terlihat ketapel besar, tumpukan peluru meriam dari pualam, dan sebuah gudang peluru yang berisi peralatan yang mengerikan. Sebagian dari kastil itu terbuka bagi wisatawan pada siang hari dan sebagian halamannya dipertahankan seperti aslinya.
Mata Langdon menyeberangi halaman menuju ke tengah-tengah bangunan kastil di hadapannya. Menara benteng berbentuk bundar itu menjulang setinggi 107 kaki hingga ke patung malaikat dari perunggu di atasnya.
Dari dalam balkon di atas menara itu terlihat sinar memancar keluar. Langdon ingin memanggil dari tempatnya berdiri saat ini tetapi dia tahu cara yang lebih baik. Dia harus menemukan jalan masuk ke sana.
Dia melihat jam tangannya.
11:12 malam. Sambil berlari di jalan melandai dari batu yang mengelilingi bagian dalam tembok itu, Langdon turun untuk menuju ke halaman. Ketika dia sudah berada di tanah datar lagi, Langdon kembali berlari dalam kegelapan, dan bergerak searah dengan jarum jam untuk mengelilingi benteng itu. Dia melewati tiga serambi, tetapi ketiganya dikunci secara permanen. Bagaimana si Hassassin itu bisa masuk" Langdon terus berlari. Setelah itu
dia melewati dua pintu masuk bergaya modern, tetapi kedua pintu itu juga terkunci dari luar. Tidak di sini. Dia terus berlari.
Langdon hampir mengelilingi seluruh gedung itu, hingga akhirnya dia melihat sebuah jalanan berkerikil melintasi halaman di depannya. Di ujung satunya, di sisi luar kastil itu, dia melihat bagian belakang dari jembatan tarik yang menuju ke luar. Di ujung lainnya, jalan itu masuk ke dalam benteng. Jalan itu tampaknya memasuki semacam terowongan-sebuah celah masuk ke pusat kastil. Il traforo! Langdon pernah membaca tentang traforo yang terdapat di kastil itu, sebuah jalan landai berputar di bagian dalam benteng yang digunakan oleh komandan pasukan pada masa lalu untuk turun dari atas benteng dengan cepat sambil menunggang kudanya. Si Hassassin itu mendaki ke atas! Pintu gerbang yang menutup jalan itu terangkat, seperti membiarkan Langdon masuk dengan mudah. Langdon merasa begitu gembira ketika dia berlari ke arah terowongan itu. Tetapi ketika dia tiba di pintu masuknya, kegembiraannya menghilang.
Terowongan berputar itu menuju ke bawah.
Salah jalan. Bagian dari traforo ini tampaknya turun ke ruang bawah tanah, bukan ke atas.
Dia berdiri di mulut lubang gelap itu yang tampaknya berputar sangat dalam ke bawah tanah. Langdon ragu-ragu, lalu dia melihat ke atas lagi, ke arah balkon dengan sinar samar itu. Dia sangat yakin melihat sesuatu di sana. Putuskan! Tanpa adanya pilihan lainnya, Langdon berlari menuruni tangga itu.
Tinggi di atas Langdon, si Hassassin berdiri di depan mangsanya. Dia membelai lengan perempuan itu. Kulit perempuan itu halus seperti satin. Harapan untuk menjelajahi
tubuh indahnya sudah tak tertahankan lagi. Berapa banyak cara yang bisa dia lakukan untuk menganiaya perempuan ini"
Si Hassassin tahu dia berhak atas perempuan ini. Dia telah melayani Janus dengan baik. Perempuan ini adalah rampasan perang, dan ketika dia sudah selesai dengan perempuan ini, dia akan mendorongnya jatuh dari sofa dan memaksanya untuk berlutut. Perempuan ini akan melayaninya lagi. Kepatuhan yang penghabisan. Lalu, ketika dia sendiri sudah mencapai klimaksnya, dia akan menyembelih leher perempuan itu.
Ghayat assa'adah, mereka menyebutnya demikian. Kenikmatan yang penghabisan.
Setelah itu, dia akan larut di dalam kemenangannya dengan berdiri di atas balkon dan menikmati puncak kemenangan Illuminati ... sebuah pembalasan dendam yang telah diinginkan begitu banyak orang sejak begitu lama.
Terowongan itu menjadi semakin gelap. Tapi Langdon terus menuruninya.
Setelah dia betul-betul berada di dalam tanah, cahaya menghilang sama sekali. Sekarang terowongan itu menjadi datar, dan Langdon memperlambat langkahnya. Menurut gema langkah kakinya dia tahu dia mulai memasuki ruangan yang lebih besar. Di depannya, di dalam keremangan, dia merasa melihat secercah sinar ... pantulannya kabur dalam keremangan di sekitarnya. Dia bergerak maju sambil mengulurkan tangannya. Tangannya menemukan permukaan yang halus di dalam gelap. Khrom dan kaca. Itu sebuah kendaraan. Dia meraba permukaannya, lalu menemukan sebuah pintu, dan membukanya.
Lampu di langit-langit mobil itu langsung menyala. Dia mundur ketika mengenali mobil van hitam itu. Langdon
langsung merasakan kebencian yang memuncak ketika dia melihat ke dalam. Kemudian dia masuk ke dalam mobil. Langdon mencari-cari sepucuk senjata untuk menggantikan senjatanya yang hilang di air mancur tadi. Tapi dia
tidak menemukan apa-apa. Tapi dia menemukan ponsel milik Vittoria. Ponsel itu rusak dan tidak dapat dipakai lagi. Keadaan itu membuatnya takut. Dia berdoa supaya dia tidak terlambat.
Dia meraih ke depan dan menyalakan lampu depan mobil itu. Ruangan di sekitarnya menjadi terang dan menunjukkan wujudnya. Ruangan itu sederhana dan kasar. Langdon menduga kalau ruangan ini dulu pernah menjadi kandang kuda dan tempat penyimpanan amunisi. Ruangan itu juga tidak memiliki pintu.
Tidak ada jalan keluar. Aku telah memilih jalan yang salah.
Akhirnya dia meloncat keluar dan mengamati dinding di sekitarnya. Tidak ada pintu keluar. Tidak ada gerbang. Dia ingat pada malaikat yang menunjuk pintu masuk ke terowongan ini dan bertanya-tanya apakah itu hanya sebuah kebetulan saja. Tidak! Dia ingat kata-kata si pembunuh ketika mereka berada di air mancur tadi. Perempuan itu ada di Gereja Pencerahan ... menunggu aku kembali. Langdon sudah datang terlalu jauh untuk mengalami kegagalan sekarang. Jantungnya berdebar keras. Keputusasaan dan kebencian mulai melumpuhkan akal sehatnya.
Ketika dia melihat darah di lantai, ingatan Langdon segera beralih ke Vittoria. Tetapi ketika matanya mengikuti noda darah itu, dia melihat ada jejak kaki. Langkahnya panjang dan noda darahnya hanya terdapat pada kaki kiri. Si Hassassin!
Langdon mengikuti jejak kaki itu ke arah sudut ruangan dan dia melihat bayangannya menjadi semakin samar. Dia menjadi semakin bingung setiap kali dia melangkah. Jejak darah itu
tampak seolah langsung menuju ke arah sudut ruangan itu lalu menghilang.
Ketika Langdon tiba di sudut, dia tidak dapat memercayai matanya. Balok batu granit di lantai di sini tidak persegi seperti yang lainnya. Dia ternyata menemukan petunjuk lainnya. Balok itu diukir menjadi bentuk segi lima yang sempurna, dan diatur sehingga ujungnya menunjuk ke arah sudut. Dengan cerdik balok itu disamarkan oleh dinding yang berlapis, celah sempit di batu yang berfungsi sebagai pintu keluar. Langdon menyelinap ke dalam. Dia sekarang berada di sebuah gang. Di depannya terlihat sisa penghalang dari kayu yang dulu pasti menjadi penutup terowongan itu.
Ada cahaya dari kejauhan.
Langdon sekarang berlari. Dia melintasi kayu itu dan menuju ke arah datangnya sinar. Gang itu dengan cepat membuka ke arah ruangan lain yang lebih besar. Di sini hanya ada sebuah obor yang menyala di dinding. Ternyata Langdon berada di bagian kastil yang tidak dialiri listrik ... bagian yang tidak pernah dimasuki wisatawan. Ruangan itu pasti tampak mengerikan di siang hari. Nyala obor itu semakin menambah kesuraman di sekitarnya.
Il prigione. Ada belasan sel penjara kecil dengan terali besi yang sudah keropos dimakan erosi. Tapi kemudian Langdon menemukan sebuah sel yang lebih besar dengan terali yang masih tetap utuh. Di lantai Langdon melihat sesuatu yang hampir membuat jantungnya berhenti berdetak-beberapa jubah hitam dan setagen merah tergeletak di atas lantai. Di sinilah dia menahan para kardinal itu!
Di dekat sel terdapat sebuah pintu besi di dinding. Pintu itu terbuka sedikit dan dari situ Langdon dapat melihat sejenis
gang. Dia berlari ke arah pintu itu. Tetapi Langdon berhenti sebelum dia tiba di sana. Jejak darah itu tidak memasuki gang itu. Ketika Langdon membaca tulisan di atas gang itu, dia tahu mengapa.
Il Passetto. Langdon terpaku. Dia pernah mendengar tentang terowongan itu berkali-kali tanpa pernah mengetahui dengan pasti di mana tempat itu berada. Il Passetto atau Gang Kecil adalah terowongan sempit sepanjang tiga perempat mil yang dibangun antara Kastil Santo Angelo dan Vatican. Terowongan itu digunakan oleh beberapa paus untuk melarikan diri ke tempat aman selama Vatican dikepung ... juga ketika beberapa paus yang tidak terlalu saleh menggunakannya untuk mengunjungi para kekasihnya atau menyaksikan penyiksaan musuh-musuh mereka. Kini, kedua ujung terowongan itu pasti sudah ditutup dan kuncinya disimpan di ruang penyimpanan di Vatican. Tiba-tiba Langdon khawatir dia tahu bagaimana Illuminati bisa bergerak keluar masuk dari Vatican. Dia bertanya-tanya siapa yang mengkhi
anati gereja dan mengeluarkan kunci itu. Olivetti" Salah satu dari Garda Swiss" Sekarang itu sudah tidak penting lagi.
Kini jejak darah di lantai membawanya ke ujung yang berlawanan dengan penjara itu. Langdon lalu mengikutinya. Di sini, terdapat gerbang berkarat dengan rantai yang tergantung. Kuncinya tidak digembok lagi dan gerbang itu terbuka. Di dalam gerbang itu terdapat tangga spiral yang curam. Lantai di sini juga ditandai oleh balok bergambar pentagram. Langdon menatap balok itu dengan gemetar, dan bertanya-tanya apakah Bernini sendiri yang memegang pahat dan membentuk bongkahan batu itu. Di atasnya, terlihat sebuah pintu masuk berbentuk melengkung yang dihiasi dengan kerubi kecil. Ini dia.
Jejak darah menikung dan naik ke tangga itu.
Sebelum naik, Langdon tahu dia membutuhkan senjata, senjata apa saja. Dia kemudian menemukan sepotong terali besi di dekat salah satu sel. Ujungnya miring dan tajam. Walau berat sekali, itu adalah senjata terbaik yang dapat ditemukannya. Dia berharap faktor kejutan, digabung dengan luka si Hassassin, akan cukup menguntungkan dirinya. Harapan terbesarnya adalah dia tidak datang terlambat.
Anak tangga berputar itu rusak dan memutar curam ke atas. Langdon mulai mendaki sambil mendengarkan kalau-kalau ada suara. Tidak ada. Ketika dia mendaki, cahaya dari ruangan penjara di bawahnya memudar. Dia naik ke tempat yang gelap gulita dengan satu tangannya tetap menyentuh dinding. Lebih tinggi lagi. Dalam kegelapan, Langdon merasakan hantu Galileo sedang mendaki anak tangga yang sama dan begitu bersemangat untuk berbagi pandangannya tentang surga kepada ilmuwan lainnya.
Langdon masih terheran-heran dengan keberadaan markas Illuminati itu. Ruang pertemuan Illuminati berada di dalam sebuah gedung milik Vatican. Tidak diragukan lagi, sementara para penjaga Vatican sedang keluar mencari-cari di ruang bawah tanah dan rumah para ilmuwan ternama, kelompok Illuminati malah sedang mengadakan pertemuan di sini ... tepat di bawah hidung Vatican. Tiba-tiba itu tampak begitu sempurna. Bernini, sebagai kepala arsitek renovasi pasti memiliki akses tidak terbatas di dalam gedung ini ... dia dapat mengubah bentuk sesuai dengan keinginannya tanpa mendapat banyak pertanyaan. Berapa banyak jalan masuk rahasia yang ditambahkan Bernini" Berapa banyak hiasan tersamar yang menunjuk ke arah ini"
Gereja Pencerahan. Langdon tahu dia sudah dekat. Ketika tangga itu mulai menyempit, Langdon merasa gang itu
mengurungnya. Bayangan sejarah mulai berbisik-bisik di dalam gelap, tetapi dia terus bergerak. Ketika dia melihat secercah cahaya berbentuk horizontal di depannya, dia tahu dia sedang berdiri beberapa anak tangga di bawah bordes, tempat sinar obor menyebar dari ambang pintu di depannya. Tanpa menimbulkan suara, dia naik lagi.
Langdon tidak tahu di bagian kastil yang mana dia sekarang berada, tetapi dia tahu dia telah mendaki cukup jauh untuk berada di dekat puncak. Dia membayangkan patung malaikat berukuran besar yang berdiri di puncak kastil dan dia menduga patung tersebut berada tepat di atasnya.
Lindungi aku malaikat, katanya dalam hati sambil mencengkeram terali besinya. Kemudian, tanpa menimbulkan suara, dia meraih pintu.
Di atas sofa, Vittoria merasa kedua lengannya sakit. Ketika pertama kali terjaga dan mengetahui bahwa kedua lengannya terikat di belakang punggungnya, Vittoria mengira dia dapat bersantai dan berusaha membebaskan tangannya. Tetapi waktu telah habis. Monster itu telah kembali. Sekarang lelaki itu berdiri di di dekatnya. Dadanya telanjang dan bidang, tergores-gores karena perkelahian yang pernah dilaluinya. Matanya tampak seperti dua buah celah hitam ketika menatap tubuhnya. Vittoria merasa lelaki itu sedang membayangkan apa yang dapat dilakukannya dengan tubuhnya. Perlahan, seolah mengejeknya, si Hassassin melepas ikat pinggangnya yang basah dan menjatuhkannya di lantai.
Vittoria merasa sangat ketakutan. Dia memejamkan matanya. Ketika dia membukanya lagi, si Hassassin telah mengeluarkan sebilah pisau lipat. Dia mengayunkannya sehingga terbuka di depan wajah Vittoria.
Vittoria meliha t ketakutannya terpantul di baja pisau itu.
Si Hassassin membalik pisaunya dan menggoreskan bagian punggung pisaunya di perut Vittoria. Rasa dingin dari pisau itu membuat Vittoria menggigil. Dengan tatapan merendahkan, si Hassassin menyelipkan pisau itu ke pinggang celana pendek Vittoria. Vittoria menahan napasnya. Si Hassassin menggerakkan pisaunya ke depan dan ke belakang dengan perlahan ... lebih rendah lagi. Lelaki itu mencondongkan tubuhnya dan napasnya yang panas berhembus di telinga Vittoria.
"Pisau ini yang mencungkil mata ayahmu."
Kemarahan segera meledak dan membuat Vittoria merasa mampu untuk membunuh lelaki itu saat itu juga.
Si Hassassin memutar pisaunya lagi dan mulai memotong ke atas melalui bahan khaki celana pendek Vittoria. Tiba-tiba dia berhenti. Ada seseorang di dalam ruangan ini.
"Lepaskan dia!" suara laki-laki menggeram dari ambang pintu.
Vittoria tidak dapat melihat siapa yang berbicara di sana, tetapi dia mengenali suara itu. Robert! Dia hidup!
Si Hassassin melihat ke arah Langdon seolah dia melihat hantu. "Ah Langdon, kamu pasti punya malaikat penjaga."
108 KETIKA LANGDON SUDAH berada di dekat si pembunuh, dia tahu dirinya sedang berada di tempat suci. Hiasan di dalam ruang sederhana itu, walau tua dan sudah pudar, penuh dengan simbologi yang sudah tidak asing lagi. Lantai berbentuk segi lima. Lukisan dinding yang menggambarkan planet-planet. Merpati. Piramida.
Gereja Pencerahan. Sederhana dan murni. Dia akhirnya bisa sampai di sini.
Langsung di depannya, dengan latar belakang pintu balkon yang terbuka, berdiri si Hassassin. Dia bertelanjang dada, berdiri di dekat Vittoria yang terbaring terikat tetapi jelas masih hidup. Langdon merasa sangat lega melihatnya. Saat itu juga, mata Langdon bertemu dengan mata Vittoria, dan berbagai perasaan yang campur aduk muncul-rasa syukur, putus asa, dan sesal.
"Jadi, kita bertemu lagi," kata si Hassassin. Dia melihat ke arah terali besi di tangan Langdon dan tertawa keras. "Dan kali ini kamu datang padaku dengan membawa itu""
"Bebaskan dia."
Si Hassassin meletakkan pisaunya di leher Vittoria. "Aku akan membunuhnya."
Langdon tidak meragukan kemampuan si Hassassin untuk melakukan tindakan semacam itu. Tapi dia berusaha berkata dengan tenang. "Kukira dia akan lebih senang menerimanya ... daripada menghadapi hal lain yang kamu ingin lakukan terhadapnya."
Si Hassassin tersenyum pada penghinaan itu. "Kamu benar. Dia punya banyak hal untuk ditawarkan. Sayang sekali untuk dilewatkan."
Langdon melangkah ke depan, tangannya mencengkeram terali berkarat itu, dan mengarahkan ujung potongan terali pada si Hassassin. Luka di tangannya terasa sangat sakit. "Lepaskan
dia." Untuk sesaat, si Hassassin tampak mempertimbangkannya. Sambil menarik napas, dia melemaskan bahunya. Itu jelas merupakan gerakan menyerah, tapi pada saat itu juga lengan si Hassassin tampak terayun dengan cepat dan tidak terduga. Seperti bayangan, tiba-tiba sebuah pisau datang merobek udara dan melesat ke arah dada Langdon.
Entah itu karena insting atau keletihan yang dirasakannya yang membuat Langdon menekuk lututnya pada saat itu. Dia tidak tahu. Tapi yang pasti pisau tersebut melayang dan nyaris mengenai telinga kirinya dan jatuh ke lantai di belakang Langdon. Si Hassassin tampak tidak peduli. Dia tersenyum pada Langdon yang sekarang berlutut sambil masih menggenggam terali besi itu. Pembunuh itu melangkah menjauh dari Vittoria, dan bergerak ke arah Langdon seperti seekor singa yang mengancam.
Ketika Langdon berusaha bangkit dan mengangkat terali itu lagi, kaus turtleneck dan celananya yang basah tiba-tiba terasa lebih membatasi dirinya. Sementara itu, si Hassassin yang setengah berpakaian, tampak bergerak jauh lebih cepat dan luka di kakinya tampak sama sekali tidak memperlambat gerakannya. Langdon mengira, lelaki ini pasti sudah terbiasa dengan rasa sakit. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Langdon berharap dia membawa sepucuk senjata yang besar sekali.
Si Hassassin bergerak berkeliling dengan perlahan seolah sedang menikmati waktunya. Dia selalu berusaha untuk menjaga jara
k lalu bergerak ke arah pisau yang tergeletak di lantai. Langdon menghalanginya. Kemudian si pembunuh bergerak kembali ke arah Vittoria. Sekali lagi Langdon mencegahnya.
"Masih ada sedikit waktu," kata Langdon. "Katakan di mana tabung itu. Vatican akan membayarmu lebih banyak daripada yang dapat dibayarkan Illuminati."
"Kamu naif sekali."
Langdon mengayunkan potongan besi itu. Si Hassassin mengelak. Langdon bergerak ke sekitar bangku sambil memegang senjata di depannya, dan berusaha menyudutkan si Hassassin di ruangan oval ini. Ruangan keparat ini tidak memiliki sudut! Anehnya, si Hassassin tidak menunjukkan niat untuk menyerang Langdon ataupun melarikan diri. Dia hanya mengikuti permainan Langdon. Menunggu dengan tenang.
Tapi menunggu apa" Si pembunuh itu terus bergerak berkeliling. Tak diragukan lagi, dia ahli dalam menempatkan diri. Ini seperti permainan catur yang tidak ada akhirnya. Senjata di tangan Langdon mulai terasa berat, dan tiba-tiba dia tahu apa yang ditunggu oleh si Hassassin itu. Dia menungguku sampai aku kecapekan. Dia berhasil. Langdon mulai merasa letih, dan adrenalin saja tidak cukup untuk membuatnya waspada. Langdon tahu, dia harus bertindak.
Si Hassassin tampaknya dapat membaca pikiran Langdon, lalu dia bergeser lagi seolah menggiring Langdon ke arah meja di tengah ruangan itu. Langdon dapat melihat ada sesuatu di atas meja itu. Sesuatu yang berkilauan ditimpa cahaya obor. Sebuah senjata" Langdon tetap memusatkan tatapannya pada si Hassassin dan juga bergerak ke arah meja itu. Ketika si Hassassin kembali bergeser, dengan sengaja dia melirik ke arah
meja. Langdon berusaha untuk mengabaikan umpan itu, tetapi nalurinya melawannya. Dia ikut juga mencuri pandang. Hasilnya cukup membuat Langdon jera.
Benda yang terletak di atas meja itu sama sekali bukan senjata. Pandangannya membuatnya terpaku sejenak.
Di atas meja itu tergeletak sebuah peti perunggu sederhana, berkilap karena usianya yang sudah sangat kuno. Peti itu berbentuk segilima dengan tutup yang terbuka. Di dalamnya terdapat lima bagian yang berisi lima cap. Cap itu terbuat dari besi tempa dan memiliki alat cap yang besar dengan tangkai pegangan dari kayu. Langdon tahu dengan pasti apa yang tertulis di kelima cap itu.
ILLUMINATI, EARTH (tanah), AIR (udara), FIRE (api), WATER (air).
Langdon menatap si Hassassin kembali, khawatir dia akan menyergapnya. Tetapi si Hassassin ternyata tidak melakukan apa-apa. Si pembunuh itu sedang menunggu, seolah merasa segar kembali karena permainan itu. Langdon berusaha untuk mengembalikan konsentrasinya dan kembali menatap tajam ke arah buruannya sambil mengancamnya dengan terali besi runcing itu. Tetapi bayangan kotak perunggu itu tetap membayang dalam benaknya. Walau cap itu sendiri membuatnya terpesona karena selama ini menjadi artifak yang diragukan keberadaannya oleh beberapa akademisi pengamat Illuminati, tapi Langdon tiba-tiba menyadari kalau di dalam peti itu pasti ada benda lainnya. Ketika si Hassassin bergerak lagi, Langdon kembali mencuri pandang ke bawah sana.
Ya Tuhan! Di dalam peti, kelima cap itu terletak di dalam wadah yang berada di pinggirannya. Tapi di tengah-tengahnya masih ada wadah lainnya. Dan wadah itu kosong sehingga pasti ada sebuah
cap lainnya yang disimpan di situ ... sebuah cap yang jauh lebih besar dari yang lainnya, dan betul-betul persegi.
Serangan yang datang ke arahnya sungguh tidak terduga.
Si Hassassin menyambar ke arah Langdon seperti seekor burung pemangsa. Konsentrasi Langdon terpecah setelah si Hassassin membiarkannya melihat ke isi peti itu sehingga ketika dia berusaha melawannya, dia merasa tongkat besi yang dibawanya terasa seberat batang pohon. Dia menangkis terlalu lambat. Si Hassassin mengelak. Ketika Langdon mencoba untuk menarik kembali senjatanya, tangan si Hassassin terulur cepat dan menangkapnya. Cengkeraman si Hassassin kuat, dan lengannya yang terluka sama sekali tidak memengaruhinya. Kedua lelaki itu berkelahi dengan sengit. Langdon merasa besi itu dirampas dengan kasar dari tangannya sehingga membuat telapak tangannya terasa sakit. Sesaat ke
mudian, Langdon menatap ujung tajam dari tongkat besi yang tadi dipegangnya. Sang pemburu sekarang menjadi buruan.
Langdon merasa seperti baru saja diterjang badai. Si Hassassin mengelilinginya sambil tersenyum dan mendesak Langdon ke dinding. "Apa pepatah Amerikamu itu"" tanyanya dengan nada menghina. "Sesuatu tentang rasa penasaran dan
kucing"" Langdon hampir tidak dapat memusatkan pikirannya. Dia mengutuk kecerobohannya sendiri ketika si Hassassin bergerak mendekat. Ini tidak masuk akal. Enam cap Illuminati" Dalam keputusasaannya Langdon asal bicara. "Aku tidak pernah mendengar tentang cap Illuminati yang keenam!"
"Kupikir seharusnya kamu sudah pernah mendengarnya." Pembunuh itu tertawa ketika dia menggiring Langdon ke arah dinding oval.
Langdon bingung. Dia yakin dia tidak pernah mendengarnya. Ada lima cap Illuminati. Dia mundur sambil mencari senjata apa saja yang ada di dalam ruangan itu.
"Sebuah kesatuan sempurna dari elemen-elemen kuno," kata si Hassassin. "Cap yang terakhir adalah cap yang paling cemerlang. Aku khawatir kamu tidak akan pernah melihatnya."
Langdon merasa dia tidak akan melihat apa-apa lagi saat ini. Dia terus mundur sambil mengamati ruangan untuk mencari sesuatu untuk mempertahankan diri. "Dan kamu sudah pernah melihat cap terakhir itu"" tanya Langdon sambil mencoba mengulur waktu.
"Mungkin suatu hari kelak mereka akan menghormatiku. Ketika aku membuktikan kalau aku memang pantas." Dia meninju Langdon seolah dia menikmati sebuah permainan.
Langdon bergeser ke belakang Iagi. Dia merasa bahwa si Hassassin mengarahkannya ke sekitar dinding menuju ke suatu tujuan yang tidak terlihat. Ke mana" Langdon tidak mampu melihat ke belakangnya. "Cap itu" " tanyanya. "Di mana itu""
"Bukan disimpan di sini. Sepertinya Janus adalah satu-satunya orang yang memegang cap itu."
"Janus"" Langdon tidak mengenal nama itu.
"Pemimpin Illuminati. Dia akan segera datang."
"Pemimpin Illuminati akan datang ke sini""
"Untuk memberikan cap terakhir."
Langdon menatap Vittoria dengan perasaan takut. Anehnya, Vittoria tampak tenang. Matanya terpejam dari dunia di sekitarnya sementara paru-parunya naik-turun dengan perlahan ... seperti mengambil napas dengan dalam. Apakah Vittoria akan menjadi korban terakhir" Atau dia sendiri"
"Sombong sekali," desis si Hassassin sambil menatap mata Langdon. "Kalian berdua tidak ada artinya. Tentu saja kalian
memang akan mati. Itu dapat kupastikan. Tetapi korban terakhir yang tadi kubicarakan adalah seorang musuh yang betul-betul berbahaya."
Langdon mencoba mencerna kata-kata si Hassassin. Seorang musuh yang berbahaya" Semua kardinal teratas sudah tewas, Paus juga sudah mereka bunuh. Kelompok Illuminati sudah menyapu mereka semua habis-habisan. Akhirnya Langdon menemukan jawabannya di dalam kekosongan mata si Hassassin.
Sang camerlegno. Camerlegno Ventresca menjadi satu-satunya harapan dunia dalam menghadapi cobaan ini. Malam ini sang camerlegno sudah menyalahkan Illuminati lebih banyak daripada yang dilakukan oleh para pembuat teori konspirasi selama puluhan tahun.
"Kau tidak akan pernah bisa mendekatinya," kata Langdon menantang.
"Bukan aku," jawab si Hassassin sambil memaksa Langdon kembali tersudut ke dinding "Kehormatan itu diberikan kepada Janus sendiri."
"Ketua Illuminati sendiri yang berniat untuk mencap sang camerlegno""
"Kekuasaan mempunyai haknya tersendiri."
"Tetapi tidak seorang pun dapat memasuki Vatican City saat ini!"
Si Hassassin tampak berpuas diri. "Bisa saja kalau dia mempunyai perjanjian."
Langdon merasa bingung. Satu-satunya orang yang diharapkan datang ke Vatican sekarang adalah seorang yang disebut pers sebagai 11th Hour Samaritan, seseorang yang
menurut Rocher mempunyai informasi yang dapat menyelamatkanLangdon tiba-tiba berhenti. Astaga!
Si Hassassin menyeringai, jelas dia menikmati kesadaran Langdon yang menyakitkan itu. "Aku juga bertanya-tanya bagaimana Janus bisa memperoleh izin masuk. Lalu, di van ketika aku mendengarkan radio, mereka melaporkan tentang 11th Hour Samaritan." Dia tersenyum. "Vatican akan menerima Janus dengan tan
gan terbuka." Langdon hampir tersungkur ke belakang. Janus adalah Samaritan itu! Itu adalah penipuan yang tak terduga. Ketua Illuminati itu akan mendapatkan pengawalan kehormatan langsung ke ruang kerja sang camerlegno. Tetapi bagaimana Janus dapat menipu Rocher" Atau Rocher juga terlibat" Langdon merasa sangat ngeri. Sejak dia hampir mati kehabisan udara di ruang arsip rahasia, Langdon tidak lagi memercayai Rocher sepenuhnya.
Si Hassassin tiba-tiba mengayunkan tinjunya, menyerang Langdon ke samping.
Langdon meloncat ke belakang, kemarahannya membara. "Janus tidak akan keluar dari Vatican dalam keadaan hidup!"
Si Hassassin mengangkat bahunya. "Kadang kala cita-cita sepadan dengan kematian."
Langdon merasa pembunuh itu bersungguh-sungguh. Janus datang ke Vatican City dalam misi bunuh diri" Pencarian kehormatan" Saat itu juga Langdon mengerti keseluruhan persekongkolan ini. Persekongkolan Illuminati yang sempurna. Tanpa sengaja Illuminati telah menciptakan pemimpin baru ketika mereka membunuh Paus yang selama ini menjadi musuh bebuyutan mereka. Dan tantangan terbesar yang ada sekarang
adalah pemimpin Illuminati harus membunuh pemimpin baru tersebut.
Tiba-tiba, Langdon merasa dinding di belakangnya menghilang. Lalu ada udara dingin menyerbu sehingga dia menjadi terhuyung-huyung ke dalam kegelapan malam. Balkon itu! Sekarang dia baru tahu apa yang ada di dalam benak si Hassassin.
Langdon segera merasakan keberadaan jurang di belakangnya, jurang sedalam ratusan kaki dengan halaman yang terhampar di bawahnya. Dia tadi sudah melihatnya sebelum masuk ke sini. Si Hassassin sudah tidak ingin membuang waktu lagi. Dengan sebuah dorongan yang kejam, dia menyergap. Tombak di tangannya memotong ke arah pinggang Langdon. Langdon tergelincir ke belakang, dan ujung tombak itu hanya mengenai pakaiannya. Ujung tombak itu mengarah kepadanya lagi. Langdon semakin terdesak ke belakang, dan sudah merasakan pagar balkon di belakangnya. Tidak diragukan lagi, ayunan yang berikutnya akan membunuhnya. Tapi Langdon mencoba sesuatu yang nekad. Dia berputar ke samping dan mengulurkan tangannya untuk meraih tongkat besi itu sehingga dia merasakan sakit di telapak tangannya. Dia menahannya.
Si Hassassin tampak tidak terganggu. Mereka saling tarik sesaat, saling bertatapan. Langdon dapat mencium napas si Hassassin. Terali besi runcing itu mulai terlepas dari genggaman Langdon. Si Hassassin terlalu kuat. Dengan putus asa, Langdon mengulurkan kakinya, walau membahayakan keseimbangannya, dan berusaha menginjakkan kakinya ke kaki si Hassassin yang terluka. Tetapi si pembunuh itu sangat berpengalaman dan segera bergerak melindungi kelemahannya.
Langdon telah memainkan kartu terakhirnya. Dan dia tahu, dia akan kalah.
Kedua tangan si Hassassin terjulur ke depan, mendorong Langdon ke belakang sehingga menghantam pagar balkon. Langdon tidak merasakan apa-apa selain kekosongan di belakangnya ketika merasakan pagar yang ternyata hanya setinggi bokongnya. Si Hassassin memegangi terali besi tersebut secara menyilang dan mendorongkannya ke dada Langdon. Punggung Langdon melengkung di atas jurang.
"Ma'assalamah," si Hassassin mendesis. "Selamat
tinggal." Dengan tatapan tanpa belas kasihan, si Hassassin memberikan dorongan terakhir. Langdon kehilangan keseimbangan dan kakinya terangkat dari lantai. Tak lama kemudian, tubuhnya melayang melewati pagar. Hanya dengan insting bertahan diri yang masih tersisa, Langdon berhasil meraih pinggiran pagar agar tidak jatuh ke bawah. Tangan kirinya tergelincir, tapi tangan kanannya masih sempat berpegangan di pagar. Sementara itu, kakinya berusaha menemukan pijakan di bawahnya. Dia akhirnya tergantung-gantung dan menahan berat tubuhnya dengan kaki dan satu tangan ... berusaha untuk tetap bertahan.
Si Hassassin mencondongkan tubuhnya dan mengangkat terali besi itu ke atas, bersiap memukulkannya ke tangan Langdon. Ketika tongkat besi itu mulai terayun cepat, Langdon melihat sebuah bayangan. Mungkin itu adalah gambaran kematiannya sendiri atau hanya ketakutan yang luar biasa. Tetapi pada saat itu juga, dia melihat aura
di sekitar si Hassassin. Sebuah cahaya tampak membesar dari sesuatu yang tidak terlihat di belakang si pembunuh ... seperti bola api yang mendekat.
Ayunan tongkat besi itu tiba-tiba terhenti di udara. Si Hassassin tiba-tiba menjatuhkan tongkatnya dan berteriak kesakitan.
Terali besi itu jatuh melewati tubuh Langdon dan ditelan kegelapan malam. Si Hassassin berputar ke dalam, dan Langdon melihat api menyala di punggung si pembunuh. Langdon mengangkat wajahnya ke atas dan melihat Vittoria. Mata Vittoria menyala ketika menghadapi si Hassassin.
Vittoria mengayunkan obor itu di depannya. Perasaan dendam di wajahnya terlihat jelas di balik nyala api. Bagaimana dia bisa terbebas, Langdon tidak peduli. Langdon mulai berusaha untuk naik melintasi pagar balkon itu.
Pertempuran itu akan berlangsung singkat saja. Si Hassassin adalah lawan yang sangat tangguh. Sambil berteriak kesakitan, pembunuh itu menyerang Vittoria. Dia mencoba mengelak, tetapi lelaki itu sudah di atasnya dan mencoba merebut obor itu darinya. Langdon tidak ingin menunggu lebih lama lagi. Dia segera meloncati pagar, dan memukulkan tinjunya di punggung si Hassassin yang terbakar.
Teriakannya seperti menggema ke seluruh Vatican.
Sesaat si Hassassin seperti membeku, punggungnya melengkung kesakitan. Dia melepaskan obor yang tadi direbutnya dari musuhnya dan Vittoria menekankan obor itu ke wajah si Hassassin. Ada suara berdesis dari daging yang terbakar ketika mata kiri si Hassassin terpanggang. Dia berteriak lagi, dan mengangkat tangannya ke wajahnya.
"Satu mata untuk satu mata," desis Vittoria. Kali ini Vittoria mengibas-ngibaskan obor itu seperti sebuah tongkat pemukul. Ketika obor itu mengenai tubuh si Hassassin lagi, lelaki besar itu terhuyung-huyung ke arah pagar balkon. Langdon dan Vittoria bersama-sama mengejarnya dan kemudian
mendorongnya. Tubuh si Hassassin terdorong ke belakang, melewati pagar itu dan melayang ke kegelapan. Tidak ada jeritan. Satu-satunya suara hanyalah derak tulang punggung yang patah ketika si Hassassin mendarat di atas tumpukan bola peluru meriam di bawah dengan lengan dan kaki terentang seperti sayap elang.
Langdon berpaling pada Vittoria dengan bingung. Tali dengan ikatannya yang longgar masih bergantung di pinggang dan bahunya. Mata Vittoria masih menyala-nyala.
"Ternyata Houdini belajar yoga juga."
109 SEMENTARA ITU, di Lapangan Santo Petrus, sebarisan Garda Swiss meneriakkan perintah dan menyebar ke luar. Mereka berusaha untuk mendorong kerumunan massa agar kembali ke jarak yang aman. Tapi tidak ada gunanya. Kerumunan itu terlalu rapat dan tampak terlalu tertarik pada Vatican yang sedang menunggu kehancurannya daripada memerhatikan keselamatan mereka sendiri. Atas kebaikan sang camerlegno, layar dari berbagai media yang menjulang di lapangan itu sekarang menayangkan laporan langsung yang memperlihatkan tabung antimateri yang sedang menghitung mundur. Gambar itu diambil langsung dari monitor keamanan Garda Swiss. Celakanya, gambar tabung itu tidak membuat takut kerumunan itu. Orang-orang di lapangan tampaknya ingin melihat tetes kecil dari cairan yang tertopang di dalam tabung itu dan merasa yakin kalau benda itu tidak terlalu mengancam seperti yang para petugas katakan. Mereka juga dapat melihat jam yang berdetik mundur sekarang. Mereka masih memiliki waktu 45 menit sebelum meledak. Masih banyak waktu untuk tinggal dan menonton.
Meskipun begitu, Garda Swiss secara bulat telah setuju bahwa keputusan sang camerlegno untuk memberikan pernyataan kepada dunia tentang kebenaran dan menunjukkan tayangan visual yang sebenarnya dari ancaman Illuminati yang berupa antimateri itu kepada pers, adalah tindakan yang cerdas. Illuminati pasti mengharapkan Vatican untuk terus menjadi
lembaga yang diam seperti biasanya ketika menghadapi kemalangan. Tetapi tidak malam ini. Camerlegno Carlo Ventresca telah membuktikan dirinya mampu mengatasi musuh.
Di dalam Kapel Sistina, Kardinal Mortati menjadi cemas. Saat itu pukul 11:15 malam. Sebagian besar dari para kardinal itu terus berdoa, tetapi yang lainnya telah berkumpul di depan
pintu keluar, jelas merasa tidak tenang karena berjalannya waktu. Beberapa orang kardinal mulai menggedor pintu dengan kepalan tangan mereka.
Di luar pintu, Letnan Chartrand mendengar gedoran itu dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Dia melihat jam tangannya. Ini sudah waktunya. Kapten Rocher telah memberikan perintah keras agar tidak membiarkan para kardinal itu keluar hingga dia memberikan perintah selanjutnya. Gedoran di pintu menjadi lebih sering dan Chartrand merasa tidak tenang. Dia bertanya-tanya apakah sang kapten sudah lupa. Sang kapten telah bertindak sangat tidak menentu sejak dia menerima telepon misterius itu.
Chartrand mengeluarkan walkie-talkie-nya. "Kapten" Chartrand di sini. Ini sudah lewat dari waktunya. Haruskah saya membuka pintu Kapel Sistina""
"Pintu itu harus tertutup. Aku 'kan sudah memberimu perintah."
"Ya, Pak. Saya hanya-"
"Tamu kita akan segera datang. Bawa beberapa orang ke atas dan jaga pintu Kantor Paus. Sang camerlegno tidak boleh pergi ke mana-mana."
"Maaf, Pak""
"Apa yang tidak kamu mengerti, Letnan"" "Tidak ada, Pak. Segera saya laksanakan."
Di atas, di Kantor Paus, sang camerlegno masih bermeditasi dengan tenang di depan api perapian. Beri aku kekuatan, Tuhan. Bawakan kami keajaiban. Dia menepuk tumpukan arang di hadapannya sambil bertanya-tanya apakah dia akan selamat malam ini.
110 PUKUL 11 LEWAT 23 malam. Vittoria berdiri gemetar di atas balkon Kastil Santo Angelo sambil menatap ke arah Roma. Matanya basah karena air mata. Dia sangat ingin memeluk Langdon, tetapi dia tidak bisa. Tubuhnya terasa seperti mati rasa. Dia sedang berusaha memahami semua yang terjadi hari ini. Lelaki yang telah membunuh ayahnya telah tergeletak di bawah, mati, dan dia hampir menjadi korbannya juga.
Ketika tangan Langdon menyentuh bahunya, kehangatan yang tidak tampak secara ajaib mencairkan es dalam diri Vittoria. Tubuhnya bergetar. Kabut di kepalanya seperti terangkat. Kemudian dia berpaling. Robert tampak kacau sekali. Tubuhnya basah dan pakaiannya kusut. Lelaki itu pasti telah melalui pencucian dosa yang berat sebelum sampai ke sini untuk menolongnya.
"Terima kasih bisik Vittoria.
Langdon tersenyum letih dan mengingatkan bahwa Vittorialah yang berhak menerima ucapan terima kasih. Kemampuannya untuk menggeser tulang bahunyalah yang telah menyelamatkan mereka berdua. Vittoria mengusap matanya. Dia bisa saja berdiri di situ berdua saja dengan Langdon selamanya, tetapi itu tidak mungkin.
Malaikat Dan Iblis Angels And Demons Karya Dan Brown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kita harus keluar dari sini," kata Langdon.
Pikiran Vittoria sedang berada di tempat lain. Dia sedang menatap ke Vatican. Negara terkecil di dunia itu tampak dekat
sekali, bersinar karena serangan lampu media. Dia sangat terkejut karena banyak bagian dari Lapangan Santo Petrus masih terisi oleh orang-orang. Garda Swiss tampaknya hanya dapat mengusir mereka hingga 150 kaki ke belakang-area yang berada tepat di depan gereja dan kurang dari sepertiga dari lapangan itu. Lapisan kerumunan orang yang memenuhi lapangan semakin memadat. Mereka yang tadi berada di tempat yang lebih aman, sekarang berkumpul lebih dekat, mengurung orang-orang yang sudah berada di lapisan dalam. Mereka terlalu dekat! Pikir Vittoria. Sangat terlalu dekat!
"Aku akan kembali ke sana lagi," kata Langdon datar.
Vittoria berpaling dan menatap dengan ragu. "Ke Vatican""
Langdon menceritakan tentang Samaritan kepada Vittoria, dan menjelaskan kenapa hal itu menjadi penting. Ketua Illuminati, seorang bernama Janus, benar-benar akan datang untuk mencap sang camerlegno. Sebuah tindakan dominasi Illuminati yang terakhir.
"Tidak seorang pun di Vatican tahu akan hal itu," kata Langdon. "Aku tidak tahu bagaimana menghubungi mereka, dan orang ini akan datang sebentar lagi. Aku harus memperingatkan para penjaga sebelum mereka membiarkannya masuk."
"Tetapi kamu tidak akan dapat menembus kerumunan itu!"
Suara Langdon terdengar sangat meyakinkan. "Ada jalan lain. Percayalah padaku."
Sekali lagi Vittoria merasa ahli sejarah di hadapannya ini tahu sesuatu yang tidak diketahuinya. "Aku ikut."
"Tidak. Mengapa membahayakan kita berdua-"
" Aku harus mencari jalan untuk mengusir orang-orang itu dari lapangan! Mereka dalam bahaya besar-"
Ketika itu, balkon tempat mereka berdiri mulai bergetar. Suara yang memekakkan telinga mulai mengguncangkan kastil
itu. Lalu sebuah cahaya putih dari arah Basilika Santo Petrus menyilaukan mata mereka. Vittoria hanya ingat pada satu hal. Oh, Tuhan! Antimateri itu meledak lebih awal!
Tetapi suara gemuruh itu bukan karena sebuah ledakan, melainkan sorak sorai riuh yang berasal dari kerumunan tersebut. Vittoria menyipitkan matanya ke arah sinar itu. Ada serbuan sinar lampu-lampu pers dari lapangan. Ketika mata Vittoria sudah dapat menyesuaikan diri, dia tahu sepertinya sinar itu diarahkan kepada mereka! Semua orang berpaling ke arah mereka, berteriak-teriak dan menunjuk-nunjuk. Suara riuh itu semakin keras. Udara di lapangan tiba-tiba tampak menjadi riang gembira.
Langdon tampak keheranan. "Apa-apan itu""
Langit di atas mereka menderu.
Tiba-tiba, dari belakang menara muncul sebuah helikopter kepausan. Helikopter itu bergemuruh lima puluh kaki di atas mereka, langsung menuju ke Vatican City. Ketika helikopter itu melintas di atas mereka, disinari lampu sorot media, kastil Santo Angelo seperti bergetar. Sinar itu mengikuti helikopter tersebut ketika melintas di atas kastil. Setelah itu Langdon dan Vittoria kembali berdiri di dalam kegelapan.
Vittoria merasa tidak tenang karena mereka tahu mereka terlambat ketika melihat helikopter besar itu melambat dan berhenti di atas Lapangan Santo Petrus. Helikopter itu membuat debu berterbangan di sekitarnya, lalu mendarat di bagian yang terbuka di lapangan itu, di antara kerumunan orang dan gereja, dan menyentuh dasar tangga gereja.
"Itu juga jalan masuk," kata Vittoria. Di lantai pualam putih, Vittoria dapat melihat seseorang keluar dari Vatikan dan bergerak ke arah helikopter itu. Dia tidak akan dapat mengenali
sosok itu kalau tidak karena baret merah yang dikenakan di kepala orang itu. "Sambutan penuh penghormatan. Itu Rocher."
Langdon meninju pagar balkon dengan gemas. "Seseorang harus memperingatkan mereka!" Dia beranjak pergi.
Vittoria menangkap lengannya. "Tunggu!" Dia baru saja melihat yang lainnya, sesuatu yang tidak ingin dipercayainya. Dengan jari gemetar, dia menunjuk ke arah helikopter itu. Walau dari jarak sejauh ini, Vittoria tetap tidak mungkin salah. Sesosok yang lainnya mulai menuruni anak tangga helikopter ... sesosok yang bergerak begitu aneh sehingga dapat dipastikan hanya satu orang yang dapat bergerak seperti itu. Walau sosok itu duduk, dia bergerak dengan cepat ke lapangan terbuka tanpa kesulitan dan dengan kecepatan yang mengagumkan.
Seorang raja di atas singgasana listrik.
Orang itu Maximilian Kohler.
111 KOHLER MERASA MUAK oleh kemewahan yang terlihat dari Hallway of the Belvedere. Sehelai daun emas di langit-langit sendiri dapat membiayai penelitian kanker selama setahun. Rocher mengantar Kohler melalui jalan naik yang landai menuju Istana Apostolik.
"Tidak ada lift"" tanya Kohler.
"Tidak ada listrik," jawab Rocher sambil menunjuk pada lilin-lilin yang menyala di sekitar mereka di dalam gedung gelap itu. "Bagian dari taktik pencarian kami."
"Taktik yang pasti tidak berhasil."
Rocher mengangguk. Kohler terbatuk lagi dengan keras dan dia tahu ini mungkin yang terakhir baginya. Pikiran itu sama sekali tidak mengganggunya.
Ketika mereka tiba di lantai atas dan memandang ke koridor yang menuju ke Kantor Paus. Empat orang Garda Swiss berlari ke arah mereka dengan wajah kebingungan. "Kapten, apa yang Anda lakukan disini" Saya pikir, tamu kita ini mempunyai informasi yang-"
"Beliau hanya mau berbicara dengan sang camerlegno."
Penjaga itu mundur dengan wajah curiga.
"Katakan kepada sang camerlegno," kata Rocher dengan tegas, "Direktur CERN, Maximilian Kohler, ada di sini untuk bertemu dengan beliau. Segera."
"Ya, Pak!" Salah satu dari penjaga itu berlari ke arah kantor sang camerlegno sementara yang lainnya tetap di tempat. Mereka mengamati Rocher dan tampak tidak tenang. "Tunggu sebentar, kapten. Kami akan memberi tahu kedatangan tamu
An da." Kohler terus berjalan. Dia berpaling dengan tajam dan menggerakkan kursi rodanya di sekitar penjaga-penjaga itu.
Penjaga itu berpaling dan berlarian di samping lelaki tua itu. "Fermati! Pak, berhenti!"
Kohler merasa jijik pada mereka. Bahkan penjaga keamaan yang paling hebat di dunia juga merasa iba kepada orang cacat. Kalau Kohler seseorang yang sehat, penjaga itu pasti tidak ragu untuk merobohkannya. Orang cacat itu tidak berdaya, pikir Kohler. Begitulah apa yang dipercaya oleh seluruh dunia.
Kohler tahu dia hanya mempunyai waktu yang sedikit untuk menyelesaikan apa yang membuatnya datang ke sini. Dia juga tahu dia mungkin akan mati di sini malam ini. Dia heran betapa dia tidak peduli. Kematian adalah risiko yang siap ditanggungnya. Dia bekerja keras dalam hidupnya dan tidak akan membiarkan pekerjaannya itu dihancurkan begitu saja oleh seseorang seperti Camerlegno Ventresca.
"Signore!" penjaga itu berteriak dan berlari ke depan untuk membuat barisan yang menghalangi langkah Kohler. "Kamu harus berhenti!" Salah satu dari mereka mengeluarkan pistol dan membidikkan ke Kohler.
Kohler berhenti. Rocher melangkah maju dan tampak menyesal. "Pak Kohler, saya mohon. Ini hanya sebentar saja. Tidak ada yang boleh memasuki Kantor Paus tanpa pemberitahuan."
Kohler dapat melihat di dalam mata Rocher bahwa dia tidak punya pilihan kecuali menunggu. Baik, pikir Kohler. Kita akan menunggu.
Tampaknya penjaga-penjaga itu menghentikan Kohler di sebelah cermin setinggi tubuh yang berkilauan. Pantulan dirinya di cermin itu tidak membuat Kohler senang. Kemarahan lama itu muncul lagi. Itu yang membuatnya kuat. Dia sekarang berada di antara musuhnya. Orang-orang inilah yang telah merampok harga dirinya. Inilah orang-orang itu. Karena merekalah dia tidak pernah merasakan sentuhan perempuan ... dia tidak pernah dapat berdiri tegak untuk menerima penghargaan. Kebenaran apa yang orang-orang ini miliki" Apa buktinya, keparat! Sebuah buku yang berisi kisah-kisah kuno" Janji-janji keajaiban yang akan muncul" Ilmu pengetahuanlah yang menciptakan keajaiban setiap haril
Kohler menatap sesaat dengan matanya yang sekeras batu. Malam ini aku mungkin mati di tangan agama, pikirnya. Tetapi itu tidak akan menjadi yang pertama kalinya.
Untuk sesaat, dia berusia sebelas tahun lagi dan berbaring di atas tempat tidurnya di rumah besar orang tuanya di Frankfurt. Sprei di bawahnya adalah kain linen terhalus di Eropa, tetapi basah oleh keringatnya. Max muda merasa dirinya terbakar. Rasa sakit itu sangat luar biasa sehingga melumpuhkan tubuhnya. Ayah dan ibunya berlutut di samping tempat tidurnya selama dua hari. Mereka berdoa.
Di dalam kegelapan berdiri tiga dokter terbaik di Frankfurt.
"Aku mendesakmu untuk mempertimbangkannya!" salah satu dari dokter-dokter itu berkata. "Lihatlah anak lelaki itu! Demamnya meninggi. Dia sangat kesakitan. Dan berada dalam bahaya!"
Tetapi Max tahu jawaban ibunya sebelum ibunya mengatakannya kepada ketiga dokter itu. "Gott wird ihn bescbuetzen."
Ya, pikir Max. Tuhan akan melindungiku. Pengakuan dalam suara ibunya memberinya kekuatan. Tuhan akan melindungiku.
Satu jam kemudian, Max merasa seluruh tubuhnya seperti diremukkan di bawah mobil. Dia bahkan tidak dapat bernapas untuk menangis.
"Anak lelakimu sangat menderita," dokter yang lain berkata. "Biarkan aku setidaknya mengurangi rasa sakitnya. Aku membawa dalam tasku sebuah suntikan sederhana-"
"Ruhe, bitte!" ayah Max membungkam dokter itu tanpa membuka matanya. Dia hanya terus berdoa.
"Ayah, kumohon!" Max sangat ingin berteriak. "Biarkan mereka menghentikan rasa sakit ini!" Tetapi kata-kata itu menghilang di dalam batuk yang membuatnya kejang.
Satu jam kemudian, rasa sakit itu semakin memburuk. "Anak lelakimu bisa lumpuh," salah satu dari dokter-dokter itu berkata. "Atau bahkan mati. Kami punya obat yang akan membantu menghilangkan penderitaannya!"
Bapak dan Ibu Kohler tidak akan mengizinkannya. Mereka tidak percaya pada obat-obatan. Siapa mereka yang dapat mencampuri rencana besar Tuhan" Mereka berdoa dengan lebih kuat. Lagipula, Tuhan telah memberkati me
reka dengan memberikan anak lelaki ini, mengapa Tuhan akan mengambilnya" Ibunya berbisik pada Max untuk menjadi lebih kuat. Dia menjelaskan bahwa Tuhan sedang mengujinya ... seperti cerita Ibrahim dalam Alkitab ... sebuah ujian terhadap keyakinannya.
Max mencoba untuk yakin, tetapi rasa sakit itu luar biasa. "Aku tidak dapat menyaksikan ini!" kata salah satu dari dokter-dokter itu lalu berlari meninggalkan ruangan.
Ketika fajar, Max hampir tidak sadarkan diri. Setiap otot di tubuhnya terasa sakit sekali. Di mana Yesus" dia bertanya-tanya. Apakah dia tidak mencintaiku" Max merasa hidupnya mulai meninggalkan tubuhnya.
Ibunya telah jatuh tertidur di samping tempat tidur sementara tangannya masih menggenggam tangan Max. Ayah Max berdiri di seberang ruangan di dekat jendela, menatap ke langit fajar. Tampaknya dia sedang kerasukan. Max dapat mendengar ayahnya bergumam lembut, mengucap doa permohonan belas kasihan yang tidak pernah berhenti.
Saat itu Max merasakan ada sesosok yang besar berdiri di dekatnya. Malaikat" Max hampir tidak dapat melihat. Matanya bengkak dan tertutup. Sosok itu berbisik di telinganya, tetapi itu bukan suara dari malaikat. Max mengenalinya. Itu suara dari salah satu dokter-dokter tadi ... dokter yang sudah duduk di sudut kamarnya selama dua hari. Dia tidak pernah pergi, dan memohon orang tua Max untuk diizinkan memberikan obat baru dari Inggris.
"Aku tidak akan memaafkan diriku sendiri," bisik dokter itu, "kalau aku tidak melakukan ini." Lalu dokter itu dengan lembut mengambil lengan Max yang lemah. "Andai saja aku melakukan ini lebih awal."
Max merasakan ada tusukan kecil di lengannya. Hampir tidak terlihat walau sakitnya jelas terasa.
Lalu dokter itu dengan tenang mengemasi peralatannya. Sebelum dia pergi, dia meletakkan tangannya di dahi Max. "Ini akan menyelamatkan hidupmu. Aku sangat percaya pada kekuatan obat-obatan."
Dalam beberapa menit, Max merasa seolah semacam kekuatan ajaib mengalir di dalam pembuluh darahnya. Kehangatan menyebar ke seluruh tubuhnya dan mematikan rasa sakitnya. Akhirnya, untuk pertama kalinya dalam beberapa hari yang menyakitkan itu, Max tertidur.
Ketika demam itu berakhir, ayah dan ibunya berkata itu karena keajaiban Tuhan. Tetapi ketika ternyata anaknya menjadi lumpuh, mereka menjadi sangat sedih. Mereka mendorong kursi roda anaknya ke gereja dan memohon pendeta untuk menasihati mereka.
"Ini hanya karena kebesaran Tuhan," kata pendeta itu, "sehingga anak ini selamat."
Max mendengarkan, tapi dia tidak mengatakan apa-apa.
"Tetapi anak lelaki kami tidak dapat berjalan!" Nyonya Kohler menangis.
Pendeta itu mengangguk sedih. "Ya. Itu berarti Tuhan menghukumnya karena tidak cukup mempunyai keyakinan."
"Pak Kohler"" Itu suara Garda Swiss yang tadi berlari mendahului. "Sang camerlegno mengizinkan Anda untuk bertemu."
Kohler menggerutu dan bergerak lagi di koridor itu.
"Beliau heran akan kunjungan Anda," kata penjaga itu.
"Aku yakin itu," kata Kohler sambil terus menggelinding. "Aku ingin bertemu dengan beliau sendirian."
"Tidak mungkin," kata penjaga itu. "Tidak seorang-"
"Letnan!" bentak Rocher. "Pertemuan ini akan berjalan seperti yang kehendaki Pak Kohler."
Penjaga itu menatapnya dengan tidak percaya.
Di luar pintu Kantor Paus, Rocher mengizinkan penjaga-penjaganya untuk melakukan pencegahan standar sebelum membiarkan Kohler masuk. Alat pendeteksi metal yang mereka pegang diarahkan ke seluruh peralatan elektronik Kohler tanpa hasil. Para penjaga itu menggeledah Kohler tetapi jelas mereka merasa enggan untuk melakukan penggeledahan seperti yang seharusnya karena kelumpuhan yang dimiliki Kohler. Mereka tidak pernah menemukan revolver di bawah kursinya. Mereka juga tidak menyita benda lainnya ... yaitu satu benda yang Kohler tahu akan membuat penutupan yang tak terlupakan dalam rangkaian kejadian pada malam yang luar biasa ini.
Ketika Kohler memasuki Kantor Paus, Camerlegno Ventresca sendiri sedang berlutut dalam doanya di samping api yang sudah hampir padam. Dia tidak membuka matanya.
"Pak Kohler," kata sang camerlegno. "Apakah Anda datang untuk memb
uatku menjadi seorang martir""
112 SEMENTARA ITU, terowongan sempit yang disebut Il Passetto terbentang di depan Langdon dan Vittoria ketika mereka berlari ke arah Vatican City. Obor di tangan Langdon hanya dapat menyinari beberapa yard di depan mereka. Dinding itu sangat sempit dengan langit-langit yang rendah. Udaranya beraroma lembab. Langdon terus berlari menembus ke kegelapan bersama Vittoria yang berlari dekat di belakangnya.
Terowongan itu menurun curam ketika meninggalkan Kastil Santo Angelo dan terus terbentang hingga ke bagian bawah benteng batu yang tampak seperti saluran air Roma. Di sana, terowongan itu menjadi datar dan mulai menjadi jalan rahasia ke arah Vatican City.
Ketika Langdon berlari, pikirannya berputar berulang-ulang seperti kaleidoskop yang memberikan gambaran-gambaran yang kacau: Kohler, Janus, si Hassassin, Rocher ... cap keenam" Aku yakin kamu sudah pernah mendengar tentang cap keenam, kata si pembunuh itu. Yang paling cemerlang dari semuanya. Langdon sangat yakin dia belum pernah mendengarnya. Bahkan para pecinta teori konspirasi sendiri tidak pernah menyebut-nyebut tentang cap keenam. Nyata atau dalam khayalan sekalipun. Yang ada hanya desas-desus tentang emas batangan dan Berlian Illuminati yang tanpa cela, tapi tidak ada kabar tentang cap keenam.
"Kohler tidak mungkin si Janus!" kata Vittoria sambil terus berlari di dalam terowongan. "Itu tidak mungkin!"
Tidak mungkin, adalah kata-kata yang tidak mau digunakan lagi oleh Langdon malam ini. "Aku tidak tahu," teriak Langdon sambil terus berlari. "Kohler mempunyai dendam, dia juga memiliki pengaruh yang besar."
"Krisis ini membuat CERN terlihat seperti monster besar! Max tidak akan melakukan apa pun untuk merusak reputasi
CERN!" Di satu sisi, Langdon tahu malam ini CERN telah mendapat celaan dari masyarakat. Semua itu karena Illuminati berniat untuk menjadikan krisis ini sebagai tontonan bagi masyarakat. Walau begitu, Langdon bertanya-tanya seberapa besar sesungguhnya kerugian CERN. Celaan gereja adalah hal yang biasa bagi institusi itu. Kenyataannya, semakin sering Langdon memikirkannya, semakin sering dia bertanya-tanya apakah krisis ini sebenarnya mendatangkan keuntungan bagi CERN. Kalau pengungkapan di depan umum itu adalah bagian dari permainan, maka antimateri adalah primadona malam ini. Semua orang di planet ini membicarakannya.
"Kamu tahu apa yang dikatakan P.T. Barnum"" seru Langdon sambil agak menoleh ke belakang. "'Aku tidak peduli apa yang kamu katakan tentang diriku, tulis saja namaku dengan benar!' Aku bertaruh semua orang diam-diam mulai antri untuk mendapatkan lisensi teknologi antimateri. Dan mereka akan melihat kekuatan yang sesungguhnya pada malam ini .... "
"Tidak masuk akal," kata Vittoria. "Mengumumkan terobosan ilmiah tidak dengan memamerkan kekuatannya yang merusak! Ini sangat merugikan bagi antimateri, percayalah padaku!"
Obor Langdon mulai meredup sekarang. "Kalau begitu, ini jadi jauh lebih sederhana daripada itu. Mungkin Kohler bertaruh Vatican akan terus merahasiakan antimateri dan menolak untuk
memperkuat posisi Illuminati dengan memastikan keberadaan senjata itu. Kohler berharap Vatican akan tetap terus tutup mulut tentang ancamam itu, tetapi sang camerlegno mengubah tradisi pada malam ini."
Vittoria hanya diam saja ketika mereka berlari di dalam terowongan itu.
Tiba-tiba skenario itu menjadi lebih jelas bagi Langdon. "Ya! Kohler tidak pernah memperhitungkan reaksi sang camerlegno. Sang camerlegno telah melanggar tradisi Vatican tentang kerahasiaan dan mengumumkan krisis yang mereka hadapi. Sang camerlegno adalah orang yang jujur. Dia mengizinkan penyiaran antimateri ke hadapan publik. Itu adalah langkah yang jitu dan Kohler tidak pernah menduganya. Dan hal yang paling ironis dari semuanya ini adalah Illuminati balas menyerang. Tanpa diduga oleh mereka, krisis ini malah melahirkan jiwa pemimpin baru gereja di dalam diri sang camerlegno. Dan sekarang Kohler datang untuk membunuhnya!"
"Max memang seorang yang menyebalkan," jelas Vittoria, "tetapi dia bukanlah pembunuh. Dan dia tidak akan per
nah terlibat pada pembunuhan ayahku."
Di dalam benak Langdon, suara Kohler-lah yang menjawabnya. Leonardo dianggap berbahaya di mata para ilmuwan puritan di CERN. Mencampurkan ilmu pengetahuan dengan Tuhan adalah fitnah ilmiah yang besar. "Mungkin Kohler mengetahui tentang proyek antimateri itu beberapa minggu yang lalu dan tidak menyukai implikasi keagamaannya."
"Sehingga dia membunuh ayahku karena itu" Aneh sekali! Lagipula, Max Kohler tidak mungkin tahu tentang keberadaan proyek itu."
"Ketika kamu pergi, mungkin saja ayahmu mengalami kesulitan dan mendiskusikannya dengan Kohler untuk meminta petunjuknya. Kamu sendiri bilang ayahmu juga memikirkan tentang implikasi moral dari penciptaan bahan yang sangat berbahaya itu."
"Meminta petunjuk moral dari Maximilian Kohler"" Vittoria mendengus. "Aku tidak percaya itu!"
Tiba-tiba terowongan itu membelok ke kanan, dan obor di tangan Langdon mulai semakin meredup. Lelaki itu mulai khawatir bagaimana tempat ini jadinya ketika oborna mati.
"Lagi pula," sanggah Vittoria, "kenapa Kohler meneleponmu pagi ini dan minta tolong padamu kalau dia memang ada di belakang ini semua""
Langdon telah memikirkan hal itu. "Dengan meneleponku, Kohler menutupi keterlibatannya. Dia harus memastikan agar orang-orang tidak akan menuduhnya sebagai penyebab krisis ini. Dia mungkin tidak pernah menduga kita akan terlibat sejauh
ini." Pikiran kalau dirinya sudah dimanfaatkan oleh Kohler membuat Langdon marah. Keterlibatan Langdon telah meningkatkan kredibilitas Illuminati. Kredibilitas dan buku-buku yang ditulisnya telah dikutip oleh media sepanjang malam itu. Walau tampak aneh, kemunculan seorang dosen dari Harvard di Vatican City meningkatkan kesan gawat di dalam khayalan publik yang paranoid dan menghapuskan keraguan dunia tentang keberadaan persaudaraan Illuminati sehingga mereka tidak lagi menjadi fakta sejarah tapi menjadi kekuatan yang harus diperhitungkan.
"Wartawan BBC itu," kata Langdon, "berpikir CERN adalah markas Illuminati baru."
"Apa!" Vittoria tersandung di belakangnya. Dia berusaha menenangkan diri, lalu mengejar Langdon. "Dia bilang begitu""
"Ditayangkan secara langsung. Lelaki itu menyamakan CERN dengan perkumpulan rahasia Mason-organisasi yang tidak bersalah yang tanpa mereka sadari telah memberi bantuan kepada kelompok Illuminati pada masa lalu."
"Ya Tuhan, ini akan menghancurkan CERN."
Langdon tidak terlalu yakin akan hal itu. Tapi di sisi lain, teori itu tiba-tiba tampak lebih masuk akal. CERN adalah surga ilmu pengetahuan yang besar. Institusi itu adalah rumah bagi para ilmuwan yang berasal lebih dari belasan negara. Mereka tampaknya memiliki pendanaan pribadi yang tidak pernah habis. Dan Maximillian Kohler adalah direktur mereka.
Kohler adalah Janus. "Kalau Kohler tidak terlibat," kata Langdon menantang pendapat Vittoria, "lalu mau apa dia datang ke sini""
"Mungkin untuk mencoba menghentikan kegilaan ini. Menunjukkan dukungan. Mungkin saja dia benar-benar bertindak sebagai Samaritan! Dia dapat saja tahu siapa yang mengetahui proyek antimateri dan datang untuk berbagi informasi itu."
"Si pembunuh itu bilang dia akan datang untuk mencap sang camerlegno."
"Dengarkan dirimu sendiri! Itu akan merupakan misi bunuh diri. Max tidak akan keluar dari sini dalam keadaan hidup."
Langdon mempertimbangkannya. Mungkin memang itu maksudnya.
Samar-samar dari kejauhan terlihat pintu baja yang menghalangi perjalanan mereka di terowongan itu. Jantung Langdon hampir berhenti berdetak. Ketika mereka mendekat,
mereka melihat bahwa kunci kuno itu tergantung di gemboknya. Pintu itu tidak terkunci. Mereka dapat membukanya dengan bebas.
Langdon menghela napas lega karena tahu, seperti yang telah diduganya sebelumnya, bahwa terowongan kuno ini telah digunakan lagi akhir-akhir ini, dan juga hari ini. Sekarang dia merasa yakin empat orang kardinal yang ketakutan itu sebelumnya telah dibawa secara diam-diam melalui jalan ini.
Mereka terus berlari. Sekarang Langdon dapat mendengar suara dari keriuhan di sebelah kiri Lapangan Santo Petrus. Mereka telah semakin dekat.
Mereka bertemu dengan sebuah pintu gerbang lainnya, kali ini lebih berat. Yang ini juga tidak terkunci. Sekarang suara dari Lapangan Santo Petrus mulai memudar di belakang mereka, dan Langdon merasa bahwa mereka telah melewati tembok luar Vatican City. Dia bertanya-tanya di bagian mana terowongan kuno ini akan berakhir. Di taman" Di gereja" Di tempat kediaman Paus"
Kemudian tiba-tiba saja, terowongan itu berakhir.
Pintu berat itu menghalangi mereka seperti tembok tebal yang terbuat dari besi tempa. Walau hanya diterangi api obor yang sudah meredup, Langdon dapat melihat bahwa penghalang di hadapannya itu sangat halus. Tidak ada pegangan, tidak ada kenop, tidak ada lubang kunci, tidak ada engsel. Tidak ada pintu masuk.
Tiba-tiba Langdon merasa begitu panik. Dalam dunia arsitektur, pintu seperti ini sangat langka dan disebut sebuah senza chiave-penghalang satu arah yang digunakan sebagai pintu keamanan, dan hanya dapat dibuka dari satu sisi-dari sisi di balik pintu ini. Harapan Langdon langsung meredup ... bersamaan dengan padamnya api obor di dalam genggamannya.
Dia melihat jam tangannya. Mickey bersinar dengan gembira.
11:29 malam. Dengan teriakan keputusasaan, Langdon mengayunkan obor itu dan mulai menggedor-gedor pintu di hadapannya.
113 ADA YANG SALAH. Letnan Chartrand berdiri di depan Kantor Paus dan merasakan perasaan tidak tenang yang dirasakan penjaga yang berdiri bersamanya. Mereka tahu kalau mereka berdua sama-sama cemas. Kata Rocher, dengan tetap menutup tempat pelaksanaan rapat pemilihan paus, mereka dapat menyelamatkan Vatican dari kehancuran. Lalu Chartrand bertanya-tanya kenapa instingnya sebagai penjaga tergugah. Dan kenapa Rocher bertindak sangat aneh"
Benar-benar serba salah. Kapten Rocher berdiri di sebelah kanan Chartrand. Rocher menatap lurus ke depan dengan tatapan tajam yang tidak seperti biasanya. Pandangannya seperti mengarah ke tempat yang sangat jauh. Chartrand hampir tidak mengenali sang kapten. Rocher tidak seperti biasanya dalam beberapa jam terakhir ini. Keputusannya tidak masuk akal.
Seseorang juga harus hadir dalam pertemuan di dalam ruangan itu! pikir Chartrand. Dia mendengar Maximilian mengunci pintu setelah dia masuk. Mengapa Rocher mengizinkan hal itu"
Tetapi ada yang sangat mengganggu pikiran Chartrand. Kardinal- kardinal itu. Mereka masih terkunci di dalam Kapel Sistina. Ini benar-benar gila. Sang camerlegno telah meminta mereka dipindahkan lima belas menit yang lalu! Rocher telah melanggar keputusan sang camerlegno dan tidak memberi tahu
hal itu kepadanya. Chartrand sudah memperlihatkan keprihatinannya, tapi Rocher malah tidak berpikir dengan waras. Rantai komando tidak pernah dipertanyakan dalam Garda Swiss, dan Rocher sekarang adalah petinggi teratas setelah kematian Komandan.
Setengah jam, pikir Rocher yang diam-diam melihat jam tangan chronometer buatan Swiss-nya di dalam keremangan sinar lilin di koridor itu. Ayo, cepat.
Chartrand berharap dia dapat mendengar apa yang terjadi di dalam ruangan itu. Sekalipun demikian, dia tahu tidak ada orang lain untuk menangani krisis ini selain sang camerlegno. Lelaki itu telah diuji dengan sangat luar biasa malam ini, dan dia sama sekali tidak menunjukkan rasa takut. Dia menghadapi masalah ini dengan berani ... jujur, tulus, bercahaya seperti contoh bagi semua orang. Sekarang Chartrand merasa bangga menjadi seorang Katolik. Illuminati membuat kesalahan ketika mereka menantang Camerlegno Ventresca.
Pada saat itu lamunan Chartrand terguncang oleh bunyi yang tidak terduga. Sebuah gedoran.
Bunyi itu berasal dari serambi. Bunyi gedoran itu terdengar jauh dan terhalang, tetapi terus menerus. Rocher mendongak. Lalu sang kapten menoleh pada Chartrand dan menunjuk ke arah serambi. Chartrand mengerti. Dia menyalakan senternya dan pergi untuk menyelidiki.
Sekarang bunyi gedoran itu terdengar semakin putus asa. Chartrand berlari sepanjang tiga puluh yard di koridor dan menuju ke arah perempatan ruangan. Bunyi itu tampaknya berasal dari sekitar sudut itu, di luar ruangan Sala Clementina. Chartrand terpaku. Hanya ada satu ruangan di sana- perpustakaan
pribadi Paus. Perpustakaan pribadi Paus telah dikunci sejak Paus wafat. Tidak mungkin ada orang di sana!
Chartrand bergegas menuju ke sana, berbelok lagi, dan bergegas ke arah pintu perpustakaan. Serambi berpilar kayu itu sederhana, tetapi dalam kegelapan, pilar-pilar itu tampak seperti penjaga berwajah keras. Bunyi gedoran itu berasal dari suatu tempat di dalam ruangan. Chartrand ragu-ragu. Dia belum pernah masuk ke perpustakaan pribadi walau beberapa orang temannya sudah pernah. Tidak seorang pun yang boleh masuk tanpa ditemani oleh Paus sendiri.
Dengan ragu, Chartrand meraih kenop pintu itu dan memutarnya. Seperti yang sudah di duganya, pintu itu terkunci. Dia menempelkan telinganya pada pintu itu. Bunyi gedoran itu terdengar lebih keras. Lalu dia mendengar suara yang lainnya. Suara! Seseorang memanggil-manggil!
Dia tidak dapat menangkap kata-kata yang diucapkan mereka, tetapi dia dapat mendengar kepanikan dari teriakan mereka. Apakah ada orang yang terperangkap di dalam perpustakaan itu" Apakah Garda Swiss belum mengosongkan gedung ini dengan benar" Chartrand ragu-ragu sambil bertanya-tanya apakah dia harus kembali menemui Kapten Rocher dan bertanya kepadanya. Peduli setan. Chartrand sudah terlatih untuk membuat keputusan, dan sekarang dia akan membuat satu keputusan. Dia mengeluarkan pistolnya dan melepaskan satu tembakan ke arah gerendel pintu. Kayu itu meletus, pintu pun terbuka.
Di ambang pintu, Chartrand tidak melihat apa-apa kecuali kegelapan. Dia menyalakan senternya. Ruangan itu berbentuk persegi dan dihiasi oleh permadani oriental, rak-rak buku dari kayu ek yang diisi dengan berbagai buku, sebuah sofa berlapis kulit, dan sebuah perapian dari pualam. Chartrand pernah mendengar tentang tempat ini di mana tiga ribu jilid buku kuno diatur berdampingan dengan ratusan majalah masa kini dan
terbitan berkala lainnya. Apa pun yang dikehendaki Sri Paus. Meja tamu di hadapannya tertutup oleh jurnal ilmu pengetahuan dan politik.
Bunyi gedoran itu terdengar lebih jelas sekarang. Chartrand mengarahkan senternya ke arah bunyi itu. Di dinding yang terdapat di ujung ruangan, jauh dari area duduk, terlihat sebuah pintu yang terbuat dari besi. Pintu itu terkunci rapat seperti sebuah kotak brankas. Pintu itu memiliki empat buah kunci dalam ukuran besar. Ada tulisan kecil tepat di tengah-tengah pintu itu yang membuat napas Chartrand tersendat.
IL PASSETTO Chartrand memandang tak percaya. Jadi ini adalah jalan rahasia Sri Paus kalau ingin melarikan diri. Chartrand memang pernah mendengar tentang Il Passetto, dan juga pernah mendengar kabar angin bahwa pintu itu pernah menjadi jalan masuk. Tetapi terowongan itu tidak pernah digunakan lagi selama bertahun-tahun! Siapa gerangan yang menggedor dari balik pintu ini"
Chartrand mengambil senternya dan mengetuk pintu di hadapannya itu. Terdengar ada suara kegembiraan yang meluap-luap dari balik pintu, walau hanya terdengar samar-samar. Gedoran itu berhenti, dan suara itu berteriak lebih keras. Chartrand hampir tidak dapat mengerti kata-kata dari balik penghalang di depannya itu.
"... Kohler ... berbohong ... camerlegno
"Siapa itu"" teriak Chartrand.
"... ert Langdon ... Vittoria Ve ..."
Chartrand cukup memahami kata yang mereka teriakkan, tapi itu malah membuatnya bingung. Kupikir kalian telah mati!
" ... pintu ini," suara itu berteriak. "Buka ...!"
Chartrand melihat penghalang besi itu dan tahu dia memerlukan dinamit untuk membukanya. "Tidak mungkin!" dia berseru. "Terlalu tebal!"
"... pertemuan ... hentikan ... erlengo ... bahaya ..."
Walau dia dilatih untuk mengatasi keadaan berisiko yang menimbulkan kepanikan, tapi dia belum pernah merasa begitu ketakutan ketika mendengar beberapa kata terakhir itu. Apakah dia tidak salah mengerti" Jantungnya berdebar keras. Dia lalu ingin memutar tubuhnya dan berlari kembali menuju ke Kantor Paus. Ketika dia berputar, dia terhenti. Tatapannya jatuh pada sesuatu di atas pintu ... sesuatu yang lebih mengguncangkan daripada pesan yang baru saja didengarnya tadi dari balik pintu tadi. Mencuat dari lubang-lubang kunci di hadapannya
terlihat kunci-kunci untuk membuka pintu tebal ini. Chartrand menatapnya. Kunci-kunci itu ada di sini" Dia mengedipkan matanya karena tidak percaya. Kunci pintu itu seharusnya tersimpan di sebuah lemari besi di suatu tempat! Jalan ini tidak pernah terpakai, tidak selama berabad-abad!
Chartrand menjatuhkan senternya di atas lantai. Dia meraih kunci pertama dan memutarnya. Mekanisme di dalamnya berkarat dan kaku, tetapi masih dapat berfungsi. Seseorang telah membukanya baru-baru ini. Chartrand mencoba kunci berikutnya. Lalu yang lainnya. Ketika kunci terakhir terbuka, Chartrand menarik pintu besar itu. Lempengan besi berat itu terbuka dengan bunyi bergemeratak. Dia mengambil senternya dan mengarahkannya ke terowongan itu.
Robert Langdon dan Vittoria Vetra tampak seperti hantu ketika mereka berjalan terhuyung-huyung di perpustakaan. Keduanya terlihat kusut dan letih, tetapi mereka sangat bersemangat.
"Apa ini!" tanya Chartrand. "Ada apa! Dari mana kalian""
"Di mana Max Kohler"" tanya Langdon.
Chartrand menunjuk. "Sedang mengadakan pertemuan pribadi dengan sang camer-"
Langdon dan Vittoria mendorong melewati Chartrand dan berlari ke dalam serambi yang gelap. Chartrand berputar dan secara naluriah membidikkan senjatanya ke arah punggung mereka. Namun dengan cepat dia menurunkannya dan mengejar mereka. Tampaknya Rocher mendengar mereka datang karena ketika mereka tiba di depan Kantor Paus, Rocher telah menghadang mereka dengan kaki terentang, menjaga dan mengarahkan pistolnya pada mereka. "Alt!"
"Sang camerlegno dalam bahaya!" teriak Langdon sambil menaikkan lengannya sebagai tanda menyerah ketika dia berhenti berlari. "Buka pintunya! Max Kohler akan membunuh sang camerlegnol"
Rocher tampak marah. "Buka pintunya!" teriak Vittoria. "Cepat!"
Tetapi mereka terlambat. Dari dalam Kantor Paus terdengar teriakan yang mengerikan. Itu teriakan sang camerlegno.
114 KONFRONTASI ITU BERAKHIR dalam waktu beberapa detik saja.
Camerlegno Ventresca masih menjerit-jerit ketika Chartrand melangkah mendahului Rocher dan menendang pintu Kantor Paus hingga terbuka. Dalam sekejap para petugas Garda Swiss berlari masuk. Langdon dan Vittoria berlari di belakang mereka.
Pemandangan di depan mereka membuat mereka terguncang.
Ruangan itu hanya diterangi oleh cahaya lilin dan api perapian yang sudah hampir mati. Kohler berada di dekat perapian, berdiri dengan canggung di depan kursi rodanya. Dia mengacungkan sepucuk pistol, membidik ke arah sang camerlegno yang tergeletak di atas lantai di depan kaki Kohler sambil menggeliat kesakitan. Jubah sang camerlegno sobek, dan dada telanjangnya menghitam. Langdon tidak dapat membaca simbol itu dari seberang ruangan, tetapi sebuah cap persegi tergeletak di atas lantai di dekat Kohler. Besi itu masih menyala merah.
Dua orang Garda Swiss bertindak tanpa ragu-ragu. Mereka menembakkan senjata mereka. Peluru itu menghantam dada Kohler sehingga dia terjengkang ke belakang. Kohler terjatuh di atas kursinya dengan dada bersimbah darah. Pistolnya jatuh ke lantai.
Langdon berdiri terpaku di ambang pintu.
Vittoria tampak lumpuh. "Max..., dia berbisik.
Sang camerlegno yang masih bergerak-gerak di lantai berguling ke arah Rocher. Lalu dengan tatapan ketakutan seperti saat perburuan tukang sihir pada masa lampau, sang camerlegno mengacungkan telunjuknya ke arah Rocher dan meneriakkan
satu kata. "ILLUMINATUS"
"Kamu keparat," kata Rocher sambil berlari ke arahnya. "Kamu orang yang berlagak suci, bedeb-"
Kali ini Chartrand yang bertindak secara naluriah dengan menembakkan tiga butir peluru ke punggung Rocher. Kapten itu jatuh dengan wajah mencium lantai dan tergelincir karena darahnya sendiri. Chartrand dan petugas lainnya segera berlari ke arah sang camerlegno yang masih tergeletak memegangi dirinya sendiri dan setengah sadar dalam kesakitannya.
Kedua petugas itu berseru ngeri ketika melihat simbol yang tercap pada dada sang camerlegno. Petugas kedua melihat cap itu dari arah terbalik dan langsung terhuyung dengan sinar ketakutan di matanya. Chartrand, yang tampak sangat bingung melihat simbol itu, s
egera menutupkan kembali jubah sang camerlegno yang terkoyak di bagian dada supaya tidak terlihat.
Langdon merasa seperti bermimpi ketika dia bergerak melintasi ruangan itu. Melalui kabut kegilaan dan kekejaman, dia berusaha memahami apa yang sedang dilihatnya. Seorang ilmuwan lumpuh, dalam usaha terakhir untuk menunjukkan dominasinya, telah terbang ke Vatican City dan ingin meletakkan cap di dada pejabat tertinggi gereja. Sesuatu yang sepadan dengan kematian, kata si Hassassin. Langdon bertanya-tanya bagaimana mungkin orang cacat seperti Kohler bisa mengalahkan sang camerlegno. Tapi Kohler memiliki senjata. Tidak penting bagaimana dia melakukannya! Kohler nyaris berhasil menyelesaikan misinya.
Langdon bergerak ke arah pemandangan yang mengerikan itu. Sang camerlegno sedang dirawat, dan Langdon merasa dirinya tertarik ke arah cap yang masih berasap dan tergeletak di atas lantai di dekat kursi roda Kohler. Cap keenam! Semakin Langdon mendekat, dia menjadi semakin bingung. Cap itu tampak berbentuk persegi sempurna dan berukuran sangat besar, dan jelas berasal dari bagian tengah peti yang tadi dilihatnya di Markas Illuminati. Cap keenam dan terakhir, kata si Hassassin tadi. Yang paling cemerlang dari yang lainnya.
Langdon berlutut di samping Kohler dan meraih benda yang masih menyala karena panas. Dia memegang pegangannya yang terbuat dari kayu lalu memungutnya. Dia tidak yakin apa yang akan dilihatnya, tetapi jelas bukan yang seperti ini.
Langdon menatapnya lama dan larut dalam kebingungan. Semuanya tidak masuk akal. Mengapa para penjaga itu berteriak ketakutan ketika melihat benda ini" Benda itu hanyalah sebuah benda dengan garis-garis yang tidak ada artinya. Yang paling cemerlang dari yang lainnya" Langdon memang dapat memastikan kalau benda itu simetris ketika dia memutar pegangannya yang terbuat dari kayu, tetapi sama sekali tidak ada artinya.
Ketika dia merasa ada seseorang menyentuh bahunya. Langdon menoleh dan menduga itu tangan Vittoria. Tetapi tangan itu berlumuran darah. Itu tangan Maximilian Kohler yang terulur dari kursi rodanya.
Langdon menjatuhkan cap itu dan berusaha berdiri. Kohler masih hidup!
Tergeletak di atas kursi rodanya, direktur yang sekarat itu masih bernapas, sekalipun dengan napas yang terputus-putus. Mata Kohler bertemu dengan mata Langdon, dan itu adalah mata kelabu yang sama yang menyambutnya di CERN siang tadi. Mata itu kini tampak lebih keras di saat kematiannya. Kali ini dipenuhi oleh kebencian dan rasa permusuhan.
Tubuh ilmuwan itu bergetar, dan Langdon merasakan Kohler berusaha untuk bergerak. Semua orang di dalam ruangan ini sedang memusatkan perhatiannya pada sang camerlegno sehingga usaha Kohler luput dari pandangan mereka. Langdon ingin berteriak tetapi dia tidak dapat melakukan apa-apa. Dia seperti tersihir oleh kekuatan yang terpancar dari Kohler dalam detik-detik terakhir hidupnya. Sang direktur dengan susah payah mengangkat lengannya dan menarik sebuah alat kecil dari lengan kursi rodanya. Alat itu hanya sebesar kotak korek api. Dia memegangnya dengan gemetar. Sesaat Langdon khawatir kalau Kohler memegang senjata. Tetapi benda itu ternyata sesuatu yang lain.
"B .. beri ...," kata-kata terakhir Kohler hanya merupakan bisikan yang tidak jelas. "B .. berikan ini ... kepada p ... pers." Lalu Kohler terkulai tidak bergerak, dan alat itu jatuh di atas pangkuannya.
Langdon sangat terkejut ketika menatap alat tersebut. Itu hanya alat elektronik. Kata SONY RUVI tercetak di bagian depannya. Langdon langsung mengenalinya sebagai salah satu
alat elektronik baru. Itu adalah kamera video berukuran mini. Berani sekali lelaki ini! pikir Langdon. Tampaknya Kohler telah merekam semacam pesan bunuh diri untuk diberikan kepada media agar disiarkan ... tidak diragukan lagi, itu pasti berisi pesan yang mengungkap pentingnya ilmu pengetahuan dan kejahatan agama. Langdon memutuskan dirinya telah melakukan cukup banyak bagi kepentingan lelaki tua itu malam ini. Sebelum Chartrand melihat kamera itu, Langdon menyelipkannya di dalam saku jasnya yang paling dalam. Pesan terakhir Kohler dapat
membusuk di neraka! Suara camerlegno memecah kesunyian. Dia berusaha untuk duduk. "Para kardinal," dia tergagap pada Chartrand.
"Masih berada di dalam Kapel Sistina!" seru Chartrand. "Kapten Rocher memerintahkan-"
"Pindahkan ... sekarang. Semuanya."
Chartrand memerintahkan penjaga lainnya untuk segera mengeluarkan para kardinal.
Sang camerlegno meringis kesakitan. "Helikopter ... di depan ... bawa aku ke rumah sakit."
115 DI LAPANGAN SANTO Petrus, pilot Garda Swiss duduk di kokpit helikopter Vatican yang diparkir di sana sambil mengusap pelipisnya. Keriuhan di lapangan sekitarnya begitu keras sehingga melebihi suara baling-baling pesawatnya. Ini bukan upacara menyalakan lilin sambil berdoa di depan gereja dengan khidmat. Dia kagum karena kerumunan itu belum juga bubar.
Saat itu, kurang dari 25 menit menjelang tengah malam, orang-orang itu masih saja berkumpul. Beberapa di antaranya berdoa, ada juga yang menangis bagi gereja, sementara yang lainnya lagi meneriakkan sumpah serapah dan mengatakan gereja memang patut mendapatkan ini semua, tapi ada juga yang membacakan ayat-ayat dari Alkitab yang berisi wahyu-wahyu.
Kepala sang pilot terasa berdenyut keras ketika lampu-lampu pers mengarah ke kaca depan pesawatnya. Dia menyipitkan matanya ke arah massa yang berteriak dengan riuh rendah. Spanduk-spanduk melambai-lambai di atas kerumunan itu.
ANTIMATERI ADALAH ANTIKRISTUS! ILMUWAN = SETAN DI MANA TUHANMU SEKARANG"
Pilot itu mendesah, sakit kepalanya semakin memburuk. Dengan setengah sadar dia meraih tutup dari vinyl di kaca depan
lalu memasangnya sehingga dia tidak harus melihat itu semua, tetapi dia tahu dia harus terbang dalam beberapa menit lagi. Letnan Chartrand baru saja menghubunginya lewat radio dan menyampaikan berita mengerikan. Sang camerlegno telah diserang oleh Maximilian Kohler dan sekarang sedang terluka parah. Chartrand, lelaki Amerika dan rekan perempuannya sekarang sedang membawa sang camerlegno keluar untuk memindahkannya ke sebuah rumah sakit.
Secara pribadi, pilot itu merasa bertanggung jawab atas penyerangan tersebut. Dia mencaci dirinya sendiri karena tidak bertindak sesuai dengan intuisinya. Tadi, ketika dia menjemput Kohler di bandara, dia telah merasakan keanehan di mata ilmuwan itu. Dia tidak dapat memastikannya, tetapi dia tidak menyukainya. Itu sudah tidak penting lagi. Tapi Rocher-lah yang memegang komando pada saat itu. Ketika itu, sang kapten bersikeras tamu inilah yang mereka harapkan. Tampaknya Rocher salah.
Terdengar tepuk tangan yang gegap gempita. Pilot itu melihat keluar dan menyaksikan sebarisan kardinal yang bergerak dengan khidmat dan keluar dari Vatican untuk menuju Lapangan Santo Petrus. Perasaan lega yang dirasakan oleh para kardinal karena telah meninggalkan area bom nuklir tampaknya berubah menjadi tatapan kebingungan pada pemandangan yang terjadi di luar gereja.
Suara riuh rendah dari kerumunan itu bertambah lagi. Kepala pilot itu berdentam-dentam. Dia memerlukan sebutir aspirin. Mungkin tiga butir. Dia tidak suka menerbangkan pesawat ketika berada dalam pengaruh obat, tetapi beberapa butir aspirin pasti tidak membuatnya terlalu lemah dibandingkan dengan sakit kepalanya yang luar biasa ini. Dia meraih kotak P3K yang tersimpan bersama berbagai macam peta dan buku
panduan terbang di dalam sebuah kotak kargo yang diletakkan di antara tempat duduk di bagian depan pesawat. Ketika dia mencoba membuka kotak tersebut, ternyata kotak itu terkunci. Dia mencari-cari kuncinya, namun akhirnya dia menyerah. Malam ini jelas bukan malam keberuntungannya. Dia kembali mengurut-urut pelipisnya.
Di dalam kegelapan Basilika Santo Petrus. Langdon, Vittoria dan dua orang Garda Swiss berusaha keras untuk menuju ke pintu keluar utama. Karena mereka tidak dapat menemukan sesuatu yang lebih tepat, keempatnya menggotong sang camerlegno yang terluka itu di atas sebuah meja kecil sambil berusaha menyeimbangkan tubuh tak bergerak itu di antara mereka seolah mereka sedang membawa sebuah tandu. Di luar pintu, suara samar-samar dari sorakan kerumunan manusia sekarang mulai jelas terdengar. S
ang camerlegno terbaring dalam keadaan antara sadar dan tidak.
Waktu hampir habis. 116 SAAT ITU PUKUL 11:39 ketika Langdon melangkah bersama yang lainnya dari Basilika Santo Petrus. Sinar yang menerpa mata mereka sangat menyilaukan. Lampu-lampu pers menyinari pualam putih seperti sinar matahari di atas padang salju. Langdon menyipitkan matanya dan berusaha menemukan tempat perlindungan di balik pilar-pilar besar di bagian depan, namun cahaya itu datang dari semua arah. Di depannya, sekumpulan layar video besar bermunculan di atas kerumunan itu.
Ketika dia berdiri di atas tangga gedung raksasa yang terhampar hingga ke piazza di bawahnya, Langdon merasa seperti seorang aktor drama yang enggan muncul ketika sedang berdiri di atas panggung terbesar di dunia. Dari suatu tempat, di antara gemuruh dari ribuan suara, Langdon mendengar suara mesin helikopter. Di sebelah kiri mereka, sebarisan kardinal sedang bergerak ke arah lapangan. Mereka semua berhenti karena khawatir akan terlihat oleh banyak orang dalam keadaan seperti itu.
"Berhati-hati sekarang," desak Chartrand, suaranya terdengar tegas ketika kelompok itu mulai menuruni tangga gedung ke arah helikopter yang sedang menanti mereka.
Langdon merasa seolah mereka sedang bergerak di bawah air. Lengannya terasa sakit karena beban tubuh sang camerlegno dan meja itu sendiri. Dia bertanya-tanya bagaimana suasananya bisa menjadi sangat tidak bermartabat seperti ini. Lalu dia menemukan jawabannya. Dua wartawan BBC yang sudah tidak asing lagi sedang berusaha menyeberangi lapangan terbuka itu untuk kembali ke tempat pers berkumpul. Tapi kini, karena mendengar gemuruh suara massa, mereka berbalik arah dan menuju ke arah mereka. Macri menaikkan kameranya ke pundaknya dan menyalakan. Nah, datanglah para burung pemakan bangkai, pikir Langdon.
"Alt!" bentak Chartrand. "Kembali!"
Tetapi kedua wartawan itu terus bergerak mendekat. Langdon menduga, jaringan TV lainnya, dalam waktu sekitar enam detik setelah itu, juga akan menyiarkan apa yang diberikan oleh BBC. Tetapi dia salah. Rupanya mereka hanya membutuhkan waktu dua detik saja. Seolah terhubung oleh semacam kesadaran universal, setiap layar yang terpancang di piazza itu menghentikan tayangan jam yang sedang menghitung mundur, dan para komentator Vatican mereka. Lalu mereka mulai menayangkan gambar yang sama-laporan dengan posisi kamera yang bergoyang-goyang yang menayangkan kejadian di tangga gedung Vatican. Sekarang, ke mana pun Langdon menatap, dia melihat tubuh lunglai sang camerlegno dalam tayangan close-up.
Ini tidak sopan! pikir Langdon. Dia ingin berlari ke bawah dan mencegahnya, namun dia tidak bisa. Lagi pula itu tidak ada gunanya. Entah karena suara sorak-sorai para pengunjung atau udara malam yang dingin yang menyebabkannya, Langdon tidak tahu. Tapi saat itu sesuatu yang tidak terduga terjadi.
Seperti orang yang terjaga dari mimpi buruk, mata sang camerlegno terbuka dan dia duduk tegak. Karena sangat terkejut, Langdon dan yang lainnya, terguncang oleh perubahan beban di tangan mereka. Bagian depan meja itu turun. Sang camerlegno pun mulai tergelincir. Mereka lalu berusaha menahannya dengan menurunkan meja itu ke lantai, tapi sudah terlambat. Sang camerlegno tergelincir ke depan. Tapi anehnya, dia tidak jatuh. Kakinya menyentuh lantai pualam dan dia segera menegakkan tubuhnya. Dia berdiri untuk beberapa saat, terlihat kebingungan dan kemudian, sebelum orang lain dapat menahannya, sang camerlegno mencondongkan tubuhnya dan berjalan tertatih-tatih menuruni tangga ke arah Macri. "Jangan!" teriak Langdon.
Chartrand bergegas ke depan dan berusaha menghalangi sang camerlegno. Tetapi sang camerlegno menoleh padanya dan menatapnya dengan mata terbelalak marah. "Tinggalkan aku!"
Chartrand terlonjak mundur.
Pemandangan itu berubah dari buruk ke lebih buruk. Jubah sang camerlegno yang koyak, yang tadi oleh Chartrand hanya ditutupkan di depan dadanya, mulai merosot. Sesaat, Langdon mengira jubah itu tidak akan jatuh, tapi rupanya tidak demikian. Jubah itu merosot dari bahu sang camerlegno, dan turun ke sekitar pinggangnya
. Kerumunan yang tercengang di lapangan itu tampaknya menulari semua orang di seluruh dunia dalam waktu sangat singkat. Kamera-kamera merekam dan lampu media berpijar terang. Di layar media yang terdapat di mana-mana, gambar dada sang camerlegno yang dicap ditayangkan dengan sangat rinci. Beberapa layar bahkan menghentikan gambar itu dan memutarnya 180 derajat untuk melihat cap di dada sang camerlegno secara terbalik.
Ini adalah kemenangan besar bagi Illuminati.
Langdon menatap gambar cap itu di berbagai layar yang terpancang di lapangan. Gambar persegi yang terlihat itu adalah gambar yang tadi sudah dilihatnya, tapi sekarang simbol itu terlihat lebih masuk akal baginya. Sangat masuk akal. Kekuatan besar dari cap itu menghantam Langdon seperti tabrakan kereta api.
Orientasi. Langdon melupakan peraturan pertama dari simbologi. Kapan persegi tidak dapat dikatakan sebagai persegi" Dia juga lupa bahwa cap-cap yang terbuat dari besi itu, seperti halnya cap dari karet, tidak pernah mirip dengan hasil cap mereka. Hasil cap selalu merupakan kebalikan dari bentuk yang ada pada alat capnya. Tadi, Langdon telah melihat kliise dari cap tersebut!
Tabib Sakti Pulau Dedemit 1 Kuda Putih Karya Okt Tusuk Kondai Pusaka 14
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama