Eldest Seri 2 Eragon Karya Christhoper Paolini Bagian 13
Eragon mengawasi dengan penuh minat saat Angela mengenakan baju besi hijau dan hitamnya, lalu, setelah mengeluarkan kotak kayu berukir, merangkai tongkat berpedangnya dari dua tangkai terpisah yang disambung di bagian tengah dan dua pedang baja yang ditancapkan di kedua ujung tongkat. Angela memutar-mutar senjata yang telah selesai itu di atas kepala beberapa kali sebelum tampak puas bahwa senjatanya akan mampu menahan kejutan pertempuran.
Para kurcaci memandang Angela dengan tatapan tidak suka, dan Eragon mendengar salah satunya menggerutu, "...penghujatan kalau ada siapa pun kecuali Durgrimst Quan menyandang huthvir."
Sesudah itu satu-satunya suara yang terdengar hanyalah musik kacau para kurcaci mengasah pedang mereka.
Menjelang subuh, jeritan-jeritan mulai terdengar. Eragon dan Saphira yang terlebih dulu menyadarinya karena indra mereka yang telah meningkat, tapi jeritan-jeritan kesakitan itu dalam Waktu singkat cukup keras hingga didengar yang lainnya.
Sambil berdiri, Orik memandang ke Kekaisaran, di mana keributan itu berasal. "Makhluk apa yang mereka siksa hingga melolong seperti itu" Suaranya membekukan sumsum dalam tuangku, sungguh."
"Sudah kukatakan kalian tidak perlu menunggu terlalu lama " kata Angela. Keriangan tidak lagi terpancar dari dirinya; ia tampak pucat, lesu, dan wajahnya tampak kelabu, seperti sakit.
Dari posisinya di dekat Saphira, Eragon bertanya, "Kau yang melakukannya""
"Aye. Kuracuni sayur, roti, minuman mereka-apa pun yang bisa kudapat. Beberapa akan mati sekarang, lainnya akan mati nanti saat berbagai racun mulai berpengaruh. Para perwiranya kuberi nightshade dan racun lain sejenis agar berhalusinasi dalam pertempuran." Ia berusaha tersenyum, tapi tidak begitu berhasil. "Kurasa itu bukan cara bertempur yang terhormat, tapi aku lebih suka berbuat begitu daripada terbunuh. Membingungkan musuh kita dan semuanya."
"Hanya pengecut atau pencuri yang menggunakan racun!" seru Orik. "Kemegahan apa yang bisa didapat dari mengalahkan musuh yang sakit"" Suaranya semakin lama semakin keras.
Angela tertawa mengejek. "Kemegahan" Kalau kau ingin kemegahan, ada ribuan prajurit lain yang tidak kuracuni. Aku yakin kau akan mendapatkan kemegahan pada akhir hari nanti."
"Itu sebabnya kau membutuhkan peralatan dalam tenda Orrin"" tanya Eragon. Ia mendapati perbuatan Angela menjijikkan tapi tidak mau sok tahu perbuatan itu baik atau jahat. Perbuatan itu perlu. Angela meracuni para prajurit berdasarkan alasan yang sama dengan Nasuada menerima tawaran persahabatan kaum Urgal--karena mungkin itulah satu-satunya harapan untuk selamat.
"Benar." Lolongan para prajurit semakin banyak hingga Eragon ingin menutup telinga dan memblokir suara itu. Suara tersebut menyebabkan ia mengernyit dan bergerak-gerak gelisah, serta membuat giginya menggemeretak. Tapi ia memaksa diri mendengarkan. Ini konsekuensi melawan Kekaisaran. Tidak memedulikannya bisa jadi kesalahan. Jadi ia duduk dengan tangan mengepal dan rahang terkatup menyakitkan sementara Burning Plains menggemakan suara tak berwujud dari orang-orang yang sekarat.
BADAI MENGAMUK Cahaya horisontal pertama subuh telah menerangi tanah sewaktu Trianna berkata kepada Eragon, Sudah waktunya.
Gelombang energi menggusur kantuk Eragon. Setelah melompat bangkit, ia menyeba
rkan berita itu pada semua orang di sekitarnya, bahkan sambil naik ke pelana Saphira, mencabut busur baru dari tabungnya. Kull dan para kurcaci mengelilingi Saphira, dan bersama-sama mereka bergegas ke pertahanan hingga tiba di celah yang dibuka semalam.
Kaum Varden mengalir keluar melalui celah itu, sediam mungkin. Deret demi deret pejuang berbaris keluar, baju besi dan senjata mereka dililit kain agar tidak ada suara yang membuat Kekaisaran siaga dengan kedatangan mereka. Saphira menggabungkan diri ke dalam prosesi sewaktu Nasuada muncul menunggang kuda abu-abu di tengah pasukan, Arya dan Trianna di kedua sisinya. Mereka berlima bertukar sapa dengan lirikan sekilas, tidak lebih.
Sepanjang malam, uap berbau menusuk mengumpul rendah di permukaan tanah, dan sekarang cahaya pagi yang suram menerangi tepi-tepi awan, mengubahnya jadi merah kekuningan. Dengan cara seperti itu, kaum Varden berhasil menyeberangi tiga perempat lahan kosong sebelum terlihat para penjaga Kekaisaran. Saat terompet-terompet tanda bahaya dari tanduk berbunyi di depan mereka, Nasuada berteriak, "Sekarang, Eragon! Beritahu Orrin untuk menyerang. Ikuti aku, kaum Varden! Bertempurlah untuk merebut kembali rumah kalian. Bertempurlah untuk menjaga istri dan anak-anak kalian! Bertempurlah untuk menjatuhkan Galbatorix! Serang dan mandikan pedang kalian dengan darah musuh kita! Serbu!" Ia menjejak kudanya agar maju, dan sambil melolong hebat, orang-orang mengikuti, mengayun-ayunkan senjata di atas kepala.
Eragon menyampaikan perintah Nasuada pada Barden, perapal mantra yang mendampingi Raja Orrin. Sesaat kemudian, ia mendengar gemuruh ladam kuda saat Orrin dan kavalerinya--bersama para Kull yang tersisa, yang mampu berlari secepat kuda--menghambur keluar dari timur. Mereka menyerang sisi pasukan Kekaisaran, menjepit para prajurit ke Sungai Jiet dan mengalihkan mereka cukup lama agar kaum Varden mampu menyeberangi jarak yang tersisa di antara mereka tanpa perlawanan.
Kedua pasukan bertabrakan diiringi raungan yang memekakkan telinga. Tombak beradu dengan tombak, martil menghantam perisai, pedang mengenai helm, dan di atas semua itu gagak-gagak kelaparan terbang berputar-putar sambil berkaok serak, menggila karena bau daging segar di bawah.
Jantung Eragon bagai melompat dalam dadanya. Sekarang aku harus membunuh atau dibunuh. Hampir seketika ia merasakan ward mengisap tenaganya saat menangkis serangan pada Arya, Orik, Nasuada, dan Saphira.
Saphira menahan diri tidak memimpin pertempuran di depan, karena dengan begitu mereka akan terlalu terbuka bagi para penyihir Galbatorix di garis depan. Setelah menghela napas panjang, Eragon mulai mencari para penyihir itu dengan benaknya, sambil terus memanah.
Du Vrangr Gata menemukan perapal mantra pertama musuh. Begitu diberitahu, Eragon menjangkau wanita yang menemukan lawan itu, dan dari sana ke musuh yang dihadapinya. Dengan mengerahkan segenap kekuatan, Eragon menghancurkan pertahanan penyihir itu, mengambil alih kesadarannya--berusaha sebaik-baiknya untuk tidak memedulikan kengerian orang itu--menentukan pasukan mana yang dikawal orang tersebut, dan membantainya dengan salah satu dari kedua belas kata kematian. Tanpa berhenti, Eragon menemukan benak setiap pralurit yang sekarang tak terlindungi dan membunuh mereka juga. Kaum Varden bersorak saat sekumpulan orang tiba-tiba terk
Kemudahannya membantai menyebabkan Eragon tertegun. para prajurit tidak memiliki kesempatan melarikan diri atau Tnelawan. Betapa berbedanya dengan di Farthen Dur, pikirnya. Sekalipun terpesona pada keahliannya, kematian-kematian itu memuakkannya. Tapi tidak ada waktu untuk memikirkan hal itu.
Setelah pulih dari serangan awal kaum Varden, Kekaisaran mulai mengoperasikan mesin-mesin perang: katapel yang melontarkan peluru bulat keramik yang dipanggang hingga keras, pengumpan raksasa yang dilengkapi bergentong-gentong api cair, dan busur raksasa yang menghujani para penyerang dengan anak panah sepanjang enam kaki. Bola-bola keramik dan api cairnya menimbulkan kerusakan hebat saat mendarat. Salah satu bola meledak di tanah tidak sampai sep
uluh yard dari Saphira. Saat Eragon merunduk ke balik perisai, sepotong kepingan bergerigi melayang berputar ke kepalanya, tapi dihentikan di udara oleh salah satu ward-nya. Ia mengerjapkan mata karena tiba-tiba kehilangan sebagian energi.
Mesin-mesin itu dalam waktu singkat menghambat kemajuan kaum Varden, menuai bencana ke mana pun mereka diarahkan. Mesin-mesin itu harus dihancurkan kalau kami mau bertahan cukup lama untuk menguras tenaga Kekaisaran, Eragon tersadar. Mudah sekali bagi Saphira untuk membongkar mesin-mesin itu, tapi Saphira tidak berani terbang di antara para prajurit karena khawatir menghadapi serangan dengan sihir.
Setelah menerobos barisan kaum Varden, delapan prajurit menghambur ke arah Saphira, menusuknya dengan tombak. Sebelum Eragon sempat mencabut Zar'roc, para kurcaci dan Kull menghabisi kedelapan prajurit itu.
"Pertempuran yang bagus!" raung Garzhvog.
"Pertempuran yang bagus!" kata Orik, menyetujui sambil menyeringai buas.
Eragon tidak menggunakan mantra untuk mesin-mesin itu; mesin-mesin tersebut pasti dilindungi dari mantra apa pun. Kecuali... Setelah memperluas jangkauan pikirannya, ia menemukan benak prajurit yang mengoperasikan salah satu katapel. Sekalipun yakin prajurit itu dilindungi penyihir, Eragon mampu mendominasinya dan mengarahkan tindakannya dari jauh. Ia membimbing orang itu menaiki senjatanya, yang tengah diisi peluru, lalu memaksanya menggunakan pedang untuk memutus tali terpuntir yang menjadi sumber tenaga mesin. Talinya terlalu tebal untuk bisa putus sebelum prajurit itu diseret menjauh oleh rekan-rekannya, tapi kerusakan telah terjadi. Diiringi derak keras, tali yang genting itu putus sama sekali, menyebabkan lengan katapel terayun ke belakang dan melukai sejumlah orang. Sambil tersenyum muram, Eragon melanjutkan ke katapel berikut dan, dalam waktu singkat, melumpuhkan mesinmesin yang tersisa.
Saat kembali ke dirinya sendiri, Eragon menyadari puluhan Varden yang berjatuhan di sekitar Saphira; salah seorang Du Vrangr Gata telah dikuasai. Eragon merapal mantra mematikan dan kembali menyusuri aliran sihir, mencari orang yang merapal mantra mematikannya, memercayakan keselamatan fisiknya pada Saphira dan para pengawal.
Selama lebih dari satu jam, Eragon memburu para penyihir Galbatorix, tapi tidak terlalu berhasil, karena mereka liat dan licin serta tidak menyerangnya secara langsung. Sikap mereka membingungkan Eragon hingga mendapat informasi dari benak salah satu perapal mantra--beberapa saat sebelum orang itu membunuh diri--pikiran, ...diperintahkan tidak membunuh dirimu atau naga... tidak membunuh dirimu atau naga.
Itu menjawab pertanyaanku, katanya pada Saphira, tapi kenapa Galbatorix masih menginginkan kita hidup-hidup" Kita sudah menunjukkan dengan jelas kita mendukung kaum Varden.
Sebelum Saphira sempat menjawab, Nasuada muncul di depan mereka, wajahnya dipenuhi tanah dan luka. Perisainya ringsek, darah mengalir turun di kaki kirinya dari luka di paha. "Eragon," katanya terengah-engah. "Aku membutuhkan kalian berdua untuk bertempur, menampakkan diri dan menguatkan orang-orang... menakut-nakuti para prajurit."
Kondisi Nasuada mengguncang Eragon. "Biar kusembuhkan dirimu dulu," serunya, takut Nasuada pingsan. Seharusnya kupasang lebih banyak ward di sekitarnya.
"Tidak! Aku bisa menunggu, tapi kita akan kalah, kecuali kau menghambat para prajurit." Mata Nasuada berkaca-kaca dan kosong, bagai lubang-lubang hampa di wajahnya Kita membutuhkan... Penunggang." Ia bergoyang-goyang di pelananya.
Eragon memberi hormat dengan Zar'roc. "Baiklah, my Lady."
"Pergi," kata Nasuada, "dan semoga dewa apa pun yang ada mengawasimu."
Eragon terlalu tinggi di punggung Saphira untuk menyerang musuh-musuh di bawahnya, jadi ia turun dan menempatkan diri di dekat cakar kanan Saphira. Kepada Orik dan Garshvog, ia berkata, "Lindungi sisi kiri Saphira. Dan apa pun yang kalian lakukan, jangan menghalangi kami."
"Kau akan dilindas, Firesword."
"Tidak," kata Eragon, "tidak akan. Sekarang ambil tempat kalian!" Saat mereka mematuhinya, ia memegang kaki Saphira dan memandang salah satu mat
a birunya. Bagaimana kalau kita menari, sobat hatiku"
Mari, makhluk kecil. Lalu ia dan Saphira menggabungkan identitas mereka hingga ke tingkat yang jauh lebih tinggi daripada sebelumnya, menyingkirkan semua perbedaan di antara mereka untuk menjadi satu entitas tunggal. Mereka melolong, melompat maju, dan membuka jalan ke garis depan. Begitu tiba di sana, Eragon tidak tahu dari mulut siapa memancar semburan api yang melalap selusin prajurit, memanggang mereka dalam jala bajanya, atau lengan siapa yang mengayunkan Zar'roc, membelah helm seorang prajurit menjadi dua.
Bau darah yang seperti logam memenuhi udara, dan tirai asap mengepul menutupi Burning Plains, menutupi dan menampilkan kerumunan, tumpukan, jajaran, dan batalion tubuh yang beradu. Di atas kepala, burung-burung bangkai menunggu santapan mereka dan matahari menanjak menuju tengah hari.
Dari benak mereka yang ada di sekelilingnya, Eragon dan Saphira melihat sekilas bagaimana penampilan mereka. Saphira selalu yang terlebih dulu diperhatikan: makhluk kelaparan raksasa dengan cakar dan taring memerah, yang membantai siapa pun yang ditemuinya dengan ayunan cakar, kibasan ekor, dan semburan api yang melahap sepeleton prajurit. Sisik-sisiknya yang cemerlang berkilau seperti bintang dan nyaris membutakan musuh-musuhnya dengan cahaya yang dipantulkannya. Kemudian mereka melihat Eragon yang berlari di samping Saphira. Ia bergerak lebih cepat daripada kemampuan para prajurit bereaksi dan, dengan kekuatan yang melebihi manusia, membelah perisai dengan satu pukulan, melekukkan baju besi, dan mematahkan pedang mereka yang melawannya. Anak-anak panah dan tombak yang dilontarkan kepadanya berjatuhan ke tanah sepuluh kaki jauhnya, dihalangi ward.
Lebih sulit bagi Eragon--juga bagi Saphira--untuk melawan rasnya sendiri daripada sewaktu melawan para Urgal di Farthen Dar. Setiap kali melihat ekspresi ketakutan atau memandang ke benak seorang prajurit, ia berpikir, Ini bisa saja diriku. Tapi ia dan Saphira tidak bisa berbelas kasihan; kalau ada prajurit yang berdiri di depan mereka, ia tewas.
Tiga kali mereka maju dan tiga kali Eragon dan Saphira membantai setiap orang dalam jajaran pertama Kekaisaran sebelum mundur kembali ke induk pasukan kaum Varden agar tidak terkepung. Pada akhir serangan ketiga, Eragon harus mengurangi atau menghapus ward-ward tertentu di sekitar Arya, Orik, Nasuada, Saphira, dan dirinya sendiri agar mantra-mantra itu tidak menguras tenaganya terlalu cepat. Karena sekalipun kekuatannya begitu besar, tuntutan pertempuran tidak kalah besarnya.
Siap" tanyanya pada Saphira sesudah beristirahat sebentar. Saphira meraung menyetujui. Awan anak panah mendesing ke arah Eragon begitu ia terjun kembali ke dalam pertempuran. Secepat elf, ia menghindari sebagian besar di antaranya--karena sihirnya tidak lagi melindungi dirinya dari serangan seperti itu--menangkap dua belas di antaranya dengan perisai, dan terhuyung saat salah satu anak panah mengenai perutnya dan satu lagi di sisinya. Tidak sebatang pun mampu menembus baju besinya, tapi anak-anak panah itu mengempaskan napas dari paru-parunya dan menimbulkan memar sebesar apel. Jangan berhenti! Kau pernah menghadapi sakit yang lebih hebat dari ini, katanya dalam hati.
Eragon menyerbu kelompok yang terdiri atas delapan prajurit, melesat dari satu prajurit ke prajurit lain, menangkis tombak mereka dan menusukkan Zar'roc seperti sambaran kilat yang mematikan. Tapi pertempuran menumpulkan refleksnya, dan salah seorang prajurit berhasil menghunjamkan tombak menembus baju besi Eragon, mengiris otot trisepnya.
Prajurit itu menyurut saat Saphira meraung.
Eragon memanfaatkan kesempatan itu untuk membentengi diri dengan energi yang tersimpan dalam batu mirah di tangkai Zar'roc lalu membunuh ketiga prajurit yang tersisa.
Dengan mengayunkan ekor melewati Eragon, Saphira menjatuhkan puluhan orang yang menghalangi jala'n Eragon. Memanfaatkan kesempatan itu, Eragon memandang lengannya yang berdenyut-denyut dan berkata, "Waise heill." Ia juga menyembuhkan memarnya, mengandalkan batu mirah Zar'roc, juga berlian-berlian dalam sa
buk Beloth si Bijaksana. Lalu mereka berdua mendesak maju.
Eragon dan Saphira memenuhi Burning Plains dengan turnpukan menggunung musuh mereka, tapi Kekaisaran tidak goyah atau mundur. Untuk setiap orang yang mereka bunuh, orang lain maju menggantikannya. Keputusasaan memenuhi Eragon saat kawanan prajurit itu perlahan-lahan memaksa kaum Varden mundur ke perkemahannya sendiri. Ia melihat keputusasaannya juga tercermin di wajah Nasuada, Arya, Raja Orrin, bahkan Angela sewaktu ia berpapasan dengan mereka dalam pertempuran.
Biarpun sudah menjalani semua latihan kita, kita masih tidak bisa menghentikan Kekaisaran, pikir Eragon murka. Mereka terlalu banyak! Kita tidak bisa menahan mereka selamanya. Dan Zar'roc serta sabuknya sudah hampir kosong.
Kau bisa mengambil energi dari sekitarmu kalau terpaksa.
Tidak, kecuali aku membunuh penyihir Galbatorix yang lain dan mengambilnya dari para prajurit. Kalau tidak, aku hanya akan menyakiti kaum Varden lain, karena tidak ada tanaman atau hewan yang bisa kugunakan untuk mendukung kita di sini.
Seiring berlalunya waktu, Eragon semakin kaku dan kelelahan dan--karena tidak lagi dilindungi sihir--mengalami luka-luka kecil yang semakin banyak. Lengan kirinya terasa kebas akibat puluhan serangan yang menghujani perisainya yang ringsek. Guratan di keningnya membutakan dirinya dengan tetes-tetes keringat yang panas bercampur darah. Ia merasa salah satu Jarinya mungkin patah.
Keadaan Saphira juga tidak lebih baik. Perisai para prajurit merobek bagian dalam mulutnya, lusinan pedang dan anak panah melukai sayapnya yang tidak terlindung, dan sebatang harpun melubangi salah satu pelat baju besinya, melukai bahunya. Eragon melihat kedatangan tombaknya dan mencoba menangkisnya dengan mantra tapi terlambat. Setiap kali Saphira bergerak, ia menghamburkan ratusan tetes darah ke tanah.
Di samping mereka, tiga pejuang Orik dan dua Kull telah tewas.
Dan matahari mulai merayap ke malam.
Saat Eragon dan Saphira bersiap melakukan serangan ketujuh dan terakhir mereka, terdengar suara terompet dari timur, keras dan jelas, dan Raja Orrin berteriak, "Para kurcaci datang! Para kurcaci datang!"
Kurcaci" Eragon mengerjapkan mata dan memandang sekitarnya, kebingungan. Ia tidak melihat apa-apa kecuali prajurit. Lalu semangat menyentak dirinya saat ia memahami. Para kurcaci! Ia naik ke punggung Saphira dan Saphira melompat ke udara, membubung sebentar dengan sayap-sayapnya yang tercabik saat mereka mengamati medan tempur.
Memang benar--sekumpulan besar prajurit berbaris keluar dari timur ke Burning Plains. Dan mereka dipimpin Raja Hrothgar, yang terbungkus jala baja emas, helm beperhiasan menutupi kepalanya, dan Volund, kapak perang kunonya, tercengkeram dalam tinju besinya. Raja kurcaci itu mengangkat Volund sebagai sapaan sewaktu melihat Eragon dan Saphira.
Eragon melolong sekuat tenaga dan membalas sapaan, mengayun-ayunkan Zar'roc di udara. Semangat baru menyebabkan ia melupakan luka-lukanya dan merasa buas dan bertekad bulat lagi. Saphira menambahkan suaranya sendiri, dan kaum Varden memandangnya dengan penuh harap, sementara par, prajurit Kekaisaran ragu-ragu karena ketakutan.
"Apa yang kau lihat"" seru Orik saat Saphira kembali mendarat. "Apakah Hrothgar" Berapa banyak pejuang yang dibawanya"
Penuh semangat karena lega, Eragon berdiri di pijakan kaki dan berteriak, "Kuatkan hati, Raja Hrothgar ada di sini. tampaknya semua kurcaci yang ada datang bersamanya! Kita akan menghancurkan Kekaisaran!" Sesudah orang-orang berhenti bersorak, ia menambahkan, "Sekarang ambil pedang kalian dan ingatkan para pengecut ini kenapa mereka harus takut pada kita. Serbu!"
Tepat pada saat Saphira melompat ke arah para prajurit, Eragon mendengar jeritan kedua, kali ini dari barat: "Ada kapal! Ada kapal di Sungai Jiet!"
"Terkutuk!" raungnya. Kita tidak bisa membiarkan kapal itu mendarat kalau kapal itu berisi tambahan pasukan Kekaisaran. Setelah menghubungi Trianna, ia berkata, Beritahu Nasuada bahwa Saphira dan aku akan membereskan ini. Kami akan menenggelamkan kapal itu kalau kapal itu dari Galbatorix.
Sesuai keingina n Anda, Argetlam, jawab wanita penyihir itu.
Tanpa ragu, Saphira terbang, berputar-putar tinggi di atas dataran yang terinjak-injak dan berasap itu. Sementara keributan pertempuran memudar dari telinganya, Eragon menghela napas dalam, merasakan pikirannya menjernih. Di bawah, ia terkejut melihat betapa tersebarnya kedua pasukan. Kekaisaran dan kaum Varden melebur menjadi serangkaian kelompok kecil yang saling bertempur di sepanjang panjang dan lebar Burning Plains. Dalam kekacauan inilah para kurcaci masuk, menyerang Kekaisaran dari samping--seperti yang dilakukan Orrin sebelumnya dengan kavalerinya.
Eragon tidak melihat pertempuran lagi sewaktu Saphira berbelok ke kiri dan membubung menembus awan ke Sungai Jiet. Embusan angin menyingkirkan asap dan menampilkan kapal besar bertiang tiga yang meluncur di permukaan air oranye, melaju menentang arus dengan dua baris dayung. Kapal itu terbakar dan rusak di sana sini, dan tidak mengibarkan panji-panji apa pun yang menunjukkan keberpihakannya. Tapi Eragon bersiap menghancurkannya. Saat Saphira menukik ke sana, ia mengangkat Zar'roc ke atas kepala dan berteriak buas.
PERTEMUAN Roran berdiri di haluan Dragon Wing dan mendengarkan dayung-dayung mendesis di air. Ia baru selesai mendayung dan sakit yang dingin menusuk menyebar di bahu kanannya. Apakah aku akan selalu berurusan dengan pengingat Ra'zac ini" Ia mengusap keringat dari wajahnya dan tidak memedulikan kesakitannya, memusatkan perhatian ke sungai di depan, yang tertutup awan sehitam jelaga.
Elain menggabungkan diri dengannya di pagar. Ia meletakkan salah satu tangan di perutnya yang membesar. "Airnya tampak jahat," katanya. "Mungkin kita sebaiknya tetap di Dauth, bukannya mencari masalah lagi."
Roran khawatir apa yang dikatakan Elain benar. Sesudah Boar's Eye, mereka berlayar ke timur dari Kepulauan Selatan kembali ke pantai dan memasuki mulut Sungai Jiet ke kota pelabuhan Surda bernama Dauth. Pada saat mereka mendarat, persediaan mereka telah habis dan para penduduk desa sakit-sakitan.
Tadinya Roran berniat berhenti di Dauth, terutama sesudah mereka mendapat sambutan antusias dari gubernurnya, Lady Alarice. Tapi itu sebelum ia diberitahu tentang pasukan Galbatorix. Kalau kaum Varden kalah, ia tidak akan pernah bertemu Katrina lagi. Jadi, dengan bantuan Jeod, ia meyakinkan Horst dan banyak penduduk desa lain bahwa kalau mereka ingin tinggal di Surda, selamat dari Kekaisaran, mereka harus mendayung menyusuri Sungai Jiet dan membantu kaum Varden. Tugas yang sulit, tapi akhirnya Roran berhasil. Dan begitu mereka memberitahukan niatnya pada Lady Alarice, ia memberi mereka semua persediaan yang mereka inginkan.
Sejak itu Roran sering bertanya-tanya apakah ia membuat keputusan yang benar. Sekarang semua orang benci hidup di Dragon Wing. Orang-orang tegang dan mudah marah, situasi yang diperburuk pengetahuan bahwa mereka berlayar menuju pertempuran. Apakah semua ini merupakan keegoisanku" pikir Roran penasaran. Apakah aku benar-benar melakukan ini demi kebaikan para penduduk desa, atau hanya karena ini akan membawaku satu langkah lebih dekat menemukan Katrina"
"Mungkin seharusnya begitu," katanya pada Elain.
Bersama-sama mereka mengawasi lapisan tebal asap mengumpul di atas kepala, menggelapkan langit, menutupi matahari, dan menyaring cahaya yang tersisa hingga segala sesuatu di bawahnya berwarna oranye memuakkan. Cahaya itu menghasilkan suasana senja menakutkan yang belum pernah dibayangkan Roran. Para kelasi di geladak tampak sama takutnya dan menggumamkan mantra-mantra perlindungan, mengeluarkan kalung-kalung batu untuk mengusir mata setan.
"Dengar," kata Elain. Ia memiringkan kepala. "Apa itu""
Roran berusaha keras mendengarkan dan menangkap suara denting samar logam beradu dengan logam. "Itu," katanya, "suara takdir kita." Sambil berbalik, ia berteriak ke balik bahunya, "Kapten, ada pertempuran di depan!"
"Siapkan busur!" raung Uthar. "Tingkatkan kecepatan mendayung, Bonden. Dan setiap orang yang mampu sebaiknya bersiap-siap, kalau tidak kalian akan menggunakan usus kalian sebagai bantal!"
Roran tetap berada di tempatnya sementara Dragon Wing tiba-tiba dipenuhi kegiatan. Sekalipun keributan meningkat, ia masih bisa mendengar suara pedang dan perisai beradu di kejauhan. Jeritan orang-orang sekarang terdengar, juga raungan makhluk buas raksasa.
Ia melirik saat Jeod menggabungkan diri dengan mereka di haluan. Wajah pedagang itu pucat. "Kau pernah bertempur"" tanya Roran.
Jakun Jeod naik-turun saat menelan ludah dan menggeleng.
"Aku banyak bertempur bersama Brom, tapi tidak pernah dalam pertempuran sebesar ini."
"Kalau begitu, ini pertama kali bagi kita berdua."
Asap menipis di sebelah kanan, memungkinkan mereka melihat daratan gelap yang menyemburkan api dan uap oranye busuk dan tertutup ratusan orang yang bertempur. Mustahil menentukan siapa pihak Kekaisaran dan siapa kaum Varden, tapi jelas bagi Roran bahwa pertempuran itu bisa miring ke salah satu pihak kalau mendapat dorongan yang tepat. Kami bisa memberikan dorongan itu.
Lalu terdengar suara yang menggema di perairan saat seseorang berteriak, "Ada kapal! Ada kapal di Sungai Jiet!"
"Sebaiknya kau ke bawah," kata Roran pada Elain. "Kau tidak aman di sini." Elain mengangguk dan bergegas ke lubang palka depan, di mana ia menuruni tangga, menutup pintu di belakangnya. Sesaat kemudian, Horst berlari ke haluan dan memberi Roran salah satu perisai buatan Fisk.
"Kupikir kau mungkin membutuhkannya," kata Horst.
"Terima kasih. Aku--"
Roran berhenti saat udara di sekitar mereka bergetar, seakan ada pukulan hebat. Buk. Gigi-giginya beradu. Buk. Telinganya terasa sakit akibat tekanannya. Menjelang memudarnya pukulan kedua terdengar buk ketiga dan, seiring dengan itu, teriakan yang dikenali Roran, karena ia berulang kali mendengarnya di masa kanak-kanak. Ia menengadah dan memandang naga biru raksasa yang menukik keluar dari awan. Dan di punggung naga itu, di pertemuan antara leher dan bahunya, duduk sepupunya, Eragon.
Ia bukan Eragon yang diingatnya, seakan ada seniman yang mengambil ciri-ciri dasar sepupunya dan meningkatkannya, merapikannya, menjadikannya lebih anggun sekaligus halus. Eragon yang ini berpakaian seperti pangeran, dengan pakaian dan baju besi yang indah-sekalipun dinodai kotoran perang dan di tangan kanannya terdapat pedang kemerahan. Eragon ini, Roran tahu, mampu membunuh tanpa ragu. Eragon ini kuat dan tidak terkalahkan... Eragon ini mampu membantai Ra'zac dan tunggangan mereka serta membantunya menyelamatkan Katrina.
Setelah mengembangkan sayap-sayapnya yang tembus pandang, si naga berhenti dan melayang-layang di depan kapal. Lalu pandangan Eragon beradu dengan pandangan Roran.
Hingga saat itu, Roran tidak benar-benar memercayai cerita Jeod tentang Eragon dan Brom. Sekarang, saat ia menatap sepupunya, gelombang emosi yang membingungkan menyapu dirinya. Eragon Penunggang! Rasanya mustahil bocah kurus, muram, dan terlalu bersemangat yang tumbuh dewasa bersamanya telah berubah menjadi pejuang yang menakutkan ini. Melihatnya masih hidup menyebabkan Roran dipenuhi suka cita yang tak diduganya. Tapi, pada saat yang sama, kemarahan menakutkan yang dikenalinya berkembang dalam dirinya karena peranan Eragon dalam kematian Garrow dan pengepungan atas Carvahall. Selama beberapa detik itu, Roran tidak tahu apakah ia menyayangi atau membenci Eragon.
Ia menegang terkejut saat makhluk yang luas dan asing menyentuh benaknya. Dari kesadaran itu terdengar suara Eragon: Roran"
"Aye." Pikirkan jawabanmu dan aku akan mendengarnya. Apakah semua orang dari Carvahall bersamamu"
Kurang-lebih. Bagaimana kau... Tidak, kita bisa membicarakan hal itu nanti; sekarang tidak ada waktu. Tetap di tempatmu hingga pertempuran berakhir. Lebih baik lagi, teruskan berlayar, agar Kekaisaran tidak bisa menyerang kalian.
Kita harus bicara, Eragon. Banyak yang harus kau pertanggungjawabkan.
Eragon ragu dengan ekspresi galau, lalu berkata, Aku tahu. Tapi tidak sekarang, nanti. Tanpa perintah yang terlihat, naga itu berbelok menjauhi kapal dan terbang ke timur, menghilang dalam kabut yang menutupi Burning Plains.
Dengan nada terpesona, Horst berkata, "Penunggang! Penunggang yang sebenarnya! Ti
dak pernah kuduga aku akan melihatnya, apalagi ia ternyata Eragon." Ia menggeleng. "Kurasa kau sudah mengatakan yang sebenarnya, eh, Longshanks""
Jeod hanya tersenyum sebagai jawaban, tampak seperti anak yang gembira.
Roran nyaris tidak mendengar kata-kata mereka saat menatap geladak, merasa akan meledak karena tegang. Puluhan pertanyaan tak terjawab menyerangnya. Ia memaksa diri tidak memedulikannya. Aku tidak boleh memikirkan Eragon sekarang Kita harus bertempur. Kaum Varden harus mengalahkan Kekaisaran.
Kemurkaan yang semakin besar melahap dirinya. Ia pernah mengalaminya, kesintingan yang memungkinkan dirinya mengalahkan hampir setiap hambatan, menyingkirkan benda-benda yang biasanya tidak mampu digesernya, menghadapi musuh dalam pertempuran dan tidak merasa takut. Perasaan itu mencengkeram dirinya sekarang, bagai demam dalam pembuluh darahnya, mempercepat napasnya dan menyebabkan jantungnya berdebar-debar.
Ia mendorong diri menjauhi pagar, lari di sepanjang kapal ke geladak depan, tempat Uthar berdiri dekat kemudi, dan berkata, "Labuhkan kapalnya."
"Apa"" "Labuhkan kapalnya, kataku! Tunggu di sini bersama para prajurit lain dan gunakan busur untuk mengacau sedapat mungkin, jangan sampai musuh naik ke Dragon Wing, dan jaga keluargamu dengan nyawamu. Mengerti""
Uthar menatapnya datar, dan Roran takut ia tidak menerima perintah itu. Lalu kelasi berpengalaman tersebut mendengus dan berkata, "Aye, aye, Stronghammer."
Suara langkah Horst yang berat mendahului kemunculannya di geladak depan. "Apa yang ingin kaulakukan, Roran"" "Lakukan"" Roran tertawa dan berbalik menghadapi tukang besi itu. "Lakukan" Aku berniat mengubah nasib Alagaesia!"
YANG PERTAMA Eragon nyaris tidak menyadari saat Saphira membawanya kembali ke pertempuran. Ia tahu Roran ada di laut, tapi tidak pernah terlintas dalam benaknya bahwa Roran mungkin menuju ke Surda, atau bahwa mereka akan bertemu kembali dengan cara seperti ini. Dan mata Roran! Pandangan Roran seperti menusuk Eragon, menanyainya, lega, murka... menuduh. Dalam pandangan itu, Eragon melihat sepupunya tahu peranan Eragon dalam kematian Garrow dan belum memaafkan dirinya.
Baru sesudah ada pedang yang mental dari baju besinya Eragon kembali memerhatikan sekitarnya. Ia berteriak serak dan mengayunkan pedang ke bawah, membelah prajurit yang menyerangnya. Setelah memaki diri sendiri karena seceroboh itu, Eragon menjangkau Trianna dan berkata, Tidak seorang pun di kapal itu yang merupakan musuh. Sebarkan berita bahwa mereka tidak boleh diserang. Tanyakan pada Nasuada apakah ia bisa mengirim orang untuk menjelaskan situasinya pada mereka yang di kapal dan memastikan mereka jauh dari pertempuran.
Sesuai keinginan Anda, Argetlam.
Dari sisi barat pertempuran, di mana ia melayang-layang, Saphira menyusuri Burning Plains dalam beberapa lompatan raksasa, berhenti di depan Hrothgar dan para kurcaci. Setelah turun, Eragon mendekati raja itu, yang berkata, "Hail, Argetlam! Hail, Saphira! Para elf tampaknya sudah berbuat lebih dari Yang mereka janjikan padamu." Orik berdiri di sampingnya.
"Tidak, Sir, para naga."
"Sungguh" Aku harus mendengar petualanganmu begitu pekerjaan sialan ini selesai. Aku senang kau menerima tawaranku menjadi Durgrimst Ingeitum. Aku merasa tersanjung menjadi kerabatmu."
"Dan aku menjadi kerabat Anda."
Hrothgar tertawa, lalu berpaling pada Saphira dan berkata, "Aku masih belum melupakan sumpahmu untuk memperbaiki Isidar Mithrim, Naga. Bahkan sekarang ini, para seniman kami sedang menyusun kembali safir bintang di tengah Tronjheim. Aku berharap bisa melihatnya utuh lagi."
Saphira membungkukkan kepala. Sesuai janjiku, begitulah yang akan terjadi.
Sesudah Eragon mengulangi kata-katanya, Hrothgar mengulurkan jarinya yang keriput dan mengetuk salah satu pelat logam di sisi tubuh Saphira. "Kulihat kau mengenakan baju besi buatan kami. Kuharap berguna bagimu."
Sangat berguna, Raja Hrothgar, kata Saphira melalui Eragon. Baju besi ini menyelamatkanku dari banyak luka.
Hrothgar menegakkan tubuh dan mengangkat Volund, matanya yang dalam berkilau. "Well, kalau begitu, apakah s
ebaiknya kita maju dan mengujinya lagi dalam peleburan perang"" Ia memandang para pejuangnya dan berteriak, "Akh sartos oen durgrimst!"
"Vor Hrothgarz korda! Vor Hrothgarz korda!"
Eragon memandang Orik, yang menerjemahkan sambil berteriak keras, "Demi martil Hrothgar!" Setelah turut meneriakkannya, Eragon berlari bersama raja kurcaci itu ke jajaran prajurit berbaju merah, Saphira di sampingnya.
Akhirnya sekarang, dengan bantuan para kurcaci, pertempuran berpihak ke kaum Varden. Bersama-sama mereka mendesak Kekaisaran, memecah belah mereka, menghancurkannya, memaksa pasukan Galbatorix meninggalkan posisi yang mereka pertahankan sejak pagi. Usaha mereka dibantu fakta semakin luasnya pengaruh racun yang disebar Angela. Banyak perwira Kekaisaran bertingkah tidak rasional, memberi perintah Yang mempermudah kaum Varden menerobos semakin jauh ke dalam pasukan, menimbulkan kekacauan ke mana pun mereka pergi. Para prajurit tampak menyadari keberuntungan tidak lagi tersenyum pada mereka, karena ratusan di antaranya menyerah, atau membelot saat itu juga dan berbalik menyerang mantan rekannya, atau membuang senjata dan melarikan diri.
Dan hari semakin sore. Eragon tengah sibuk bertempur melawan dua prajurit sewaktu sebatang harpun yang berkobar-kobar meraung di atas kepala dan membenamkan diri di salah satu tenda komando Kekaisaran dua puluh yard jauhnya, menyulut kainnya. Setelah mengalahkan musuh, Eragon melirik ke belakang dan melihat lusinan peluru berkobar-kobar berhamburan dari kapal di Sungai Jiet. Apa yang kaulakukan, Roran" pikir Eragon penasaran sebelum kembali menyerbu sekelompok prajurit.
Tidak lama kemudian, lengkingan terompet terdengar dari belakang pasukan Kekaisaran, diikuti lengkingan terompet yang lain, lalu yang lainnya lagi. Ada yang mulai memukul genderang, yang dentumannya membekukan medan tempur saat setiap orang mencari-cari sumber suara. Bahkan sementara Eragon mengawasi, ada sosok besar yang memisahkan diri dari kaki langit di utara dan membubung di langit di atas Burning Plains. Gagak-gagak berhamburan di depan bayangan hitam berduri itu, yang melayang tanpa bergerak memanfaatkan arus udara panas. Mulanya Eragon menduga makhluk itu Lethrblaka, salah satu tunggangan Ra'zac. Lalu seberkas cahaya berhasil menembus awan dan menerangi sosok itu dari barat.
Seekor naga merah melayang-layang di atas mereka, berpendar dan berkilauan ditimpa cahaya matahari seperti bara semerah darah. Membran sayapnya seperti warna anggur yang diacungkan di depan lentera. Cakar, gigi, dan duri-duri di sepanjang tulang punggungnya seputih salju. Dalam pandangannya terpancar kesenangan yang menakutkan. Di punggungnya terdapat pelana, dan di pelana itu duduk seseorang berpakaian baju baja mengilap dan bersenjatakan pedang satu setengah hasta.
Ketakutan mencengkeram Eragon. Galbatorix berhasil menetaskan naga lain!
Lalu pria berbaju baja itu mengangkat tangan kiri dan seberkas energi kemerahan yang berderak-derak melesat dari telapak tangannya dan menghantam dada Hrothgar. Para kurcaci perapal mantra menjerit kesakitan saat energi tubuh mereka terlalap habis dalam usaha menghalangi serangan. Mereka berjatuhan, tewas, lalu Hrothgar mencengkeram dadanya dan jatuh ke tanah. Para kurcaci mengerang putus asa saat melihat raja mereka jatuh.
"Tidak!" jerit Eragon, dan Saphira meraung marah. Eragon melotot benci ke Penunggang lawan. Akan kubunuh kau karena perbuatanmu ini.
Eragon tahu bahwa, mengingat kondisi mereka, ia dan Saphira terlalu lelah untuk menghadapi lawan setangguh itu. Setelah memandang sekitarnya, Eragon melihat seekor kuda yang terkapar di lumpur, sebatang tombak menancap di sisi tubuhnya. Kuda itu masih hidup. Eragon memegang lehernya dan bergumam, Tidurlah, saudara. Lalu ia memindahkan energi kuda yang tersisa ke dalam dirinya dan Saphira. Energi itu tidak cukup untuk memulihkan seluruh kekuatan mereka, tapi meredakan sakit di otot-otot dan menghentikan getaran pada kaki dan tangan mereka.
Dengan tambahan tenaga, Eragon melompat ke punggung Saphira, sambil berteriak, "Orik, pimpin saudara-saudaramu!" Di seberang
medan tempur, ia melihat Arya menatapnya prihatin. Eragon mengesampingkan elf itu dari pikirannya sambil mengeratkan tali-tali pelana di kaki. Lalu Saphira melesat ke naga merah itu, mengepakkan sayap sekuat tenaga untuk mendapat kecepatan yang diperlukan.
Kuharap kau ingat pelajaranmu dengan Glaedr, kata Eragon. Ia mengeratkan cengkeraman pada perisai.
Saphira tidak menjawab melainkan meraung dengan pikirannya ke naga yang lain, Pengkhianat! Pemecah telur, pelanggar sumpah, pembunuh! Lalu sebagai satu kesatuan, ia dan Eragon menyerang benak pasangan itu, berusaha menerobos pertahanan mereka. Kesadaran Penunggang itu terasa aneh bagi Eragon, seakan terdiri atas beberapa lapis; puluhan suara keras berbisikbisik dalam ceruk-ceruk pikirannya, seperti roh-roh tertawan yang memohon dilepaskan.
Begitu ada kontak di antara mereka, si Penunggang membalas dengan semburan kekuatan murni yang lebih besar bahkan daripada yang mampu dikerahkan Oromis. Eragon mundur jauh ke balik perlindungannya sendiri, mati-matian merapalkan mantra ajaran Oromis untuk menghadapi keadaan seperti ini:
Di bawah langit musim dingin yang dingin dan kosong
Berdiri pria kecil berpedang perak.
Ia melompat dan menusuk membabi buta,
Melawan bayang-bayang yang berkumpul di depannya.
Kepungan terhadap benak Eragon mereda saat Saphira dan naga merah beradu, dua meteor tembus pandang yang bertabrakan keras. Mereka saling menyerang, menendang perut satu sama lain dengan kaki belakang. Cakar-cakar mereka memperdengarkan jeritan mengerikan saat menggurat baju besi Saphira dan sisik-sisik pipih naga merah itu. Naga merah tersebut lebih kecil daripada Saphira, tapi kaki dan bahunya lebih tebal. Ia berhasil menendang menjauhkan Saphira sejenak, lalu mereka kembali merapat, masing-masing berusaha menghunjamkan rahang ke leher lawan.
Eragon harus berjuang keras agar Zar'roc tidak terlepas sementara kedua naga terjatuh ke tanah, saling menghantam dengan kaki dan ekor mereka. Tidak lebih dari lima puluh yard di atas Burning Plains, Saphira dan naga merah itu menjauh, berusaha naik. Begitu Saphira berhenti naik, ia mengangkat kepala, seperti ular yang akan menyerang, dan menyemburkan api.
Semburannya tidak pernah mencapai sasaran; dua belas kaki dari naga merah itu, semburannya pecah dan lewat di kedua sisi lawan tanpa melukai. Terkutuk, pikir Eragon. Bahkan saat naga merah itu membuka rahang untuk membalas, Eragon berseru, "Skolir nosu fra brisingr!" Tindakannya tepat pada saatnya. Semburan api itu berputar-putar di sekitar mereka tapi tidak membakar sisik-sisik Saphira.
Sekarang Saphira dan naga merah itu melesat menerobos asap ke langit yang bersih dan dingin di atasnya, melesat kian kemari dalam usaha mereka membubung lebih tinggi daripada lawan. Naga merah itu menggigit ekor Saphira, dan Saphira serta Eragon menjerit kesakitan bersama-sama. Terengah-engah akibat usahanya, Saphira berputar dengan rapat, berakhir di belakang naga itu, yang lalu berputar ke kiri dan berusaha terbang memutar ke atas Saphira.
Sementara naga-naga berduel dengan gerakan-gerakan akrobatik yang semakin rumit, Eragon menyadari adanya gangguan di Burning Plains: para perapal mantra Du Vrangr Gata dikalahkan dua penyihir baru dari Kekaisaran. Para penyihir itu jauh lebih kuat daripada para pendahulunya. Mereka telah membunuh salah seorang anggota Du Vrangr Gata dan tengah menyerang pertahanan penyihir kedua. Eragon mendengar Trianna menjerit dengan pikirannya, Shadeslayer! Kau harus membantu kami! Kami tidak bisa mencegah mereka. Mereka akan membunuh seluruh kaum Varden. Tolong kami, merekaSuara Trianna menghilang saat Penunggang lawan menusuk kesadaran Eragon. "Ini harus diakhiri," kata Eragon dengan gigi terkatup sambil berjuang melawan serangan itu. Dari balik leher Saphira, ia melihat naga merah itu menukik ke arah mereka, menuju ke bawah Saphira. Eragon tidak berani membuka pikiran untuk berbicara dengan Saphira, jadi ia berkata, "Tangkap aku!" Dengan dua ayunan Zar'roc, ia memutus tali yang melilit di kakinya dan melompat dari punggung Saphira.
Ini sinting, pikir Eragon. Ia te
rtawa penuh semangat saat perasaan tanpa bobot menguasai dirinya. Deru angin mencabut helmnya dan menyebabkan matanya berair dan pedas. Setelah melepas perisai, Eragon membentangkan lengan dan kakinya, sebagaimana yang diajarkan Oromis, untuk menstabilkan terbangnya. Di bawah, Penunggang berpakaian baja itu menyadari tindakan Eragon. Naga merahnya berusaha berbelok ke kiri Eragon tapi tidak bisa menghindar. Eragon menyerang dengan Zar'roc saat sisi tubuh naga itu melintas, dan ia merasakan pedangnya membenam ke otot-otot makhluk tersebut sebelum momentum membawanya melewatinya.
Naga itu meraung kesakitan.
Benturannya menyebabkan Eragon berjungkir balik. Pada saat berhasil menghentikan putaran, ia jatuh melewati awan dan akan terempas di Burning Plains. Ia bisa menghentikan jatuhnya dengan sihir kalau terpaksa, tapi dengan begitu akan menguras sisa cadangan energinya. Ia melirik ke balik bahunya. Ayo, Saphira, di mana kau"
Seakan menjawab, Saphira muncul dari asap busuk, sayapsayapnya menempel rapat ke tubuhnya. Ia menyapu ke bawah Eragon dan membuka sayap untuk memperlambat kejatuhannya. Dengan berhati-hati agar tidak tertusuk salah satu duri Saphira, Eragon mengarahkan diri ke pelana, menyambut kembalinya gravitasi sementara Saphira berhenti menukik.
Jangan pernah berbuat begitu lagi padaku, sergah naga itu.
Eragon mengamati darah yang membasahi mata Zar'roc. Tapi berhasil, bukan"
Kepuasannya lenyap saat menyadari tindakannya menempatkan posisi Saphira di bawah kekuasaan naga merah itu. Naga merah itu menyerang dari atas, dari sana-sini, dan memaksa Saphira ke tanah. Saphira berusaha melepaskan diri, tapi setiap kali, naga merah itu menukik ke arahnya, menggigit dan memukulnya dengan sayap agar Saphira berbelok.
Kedua naga berputar-putar dan saling menerjang hingga lidah mereka menjulur keluar, ekor mereka terkulai, dan mereka tidak lagi mengepakkan sayap, hanya melayang.
Setelah menutup benaknya dari kontak apa pun, sahabat atau bukan, Eragon berkata, "Mendaratlah, Saphira; tidak ada gunanya. Akan kuhadapi ia di darat."
Sambil mendengus pasrah, Saphira turun ke dataran rata terdekat, dataran batu yang berada di tepi barat Sungai Jiet. Air telah berubah merah akibat darah yang mengalir ke sana dari pertempuran. Eragon melompat turun dari Saphira begitu ia mendarat dan menjajaki pijakannya. Dataran itu halus dan keras, tanpa ada apa-apa yang bisa menyandung kakinya. Ia mengangguk, senang.
Beberapa detik kemudian, naga merah itu melintas di atas kepala dan mendarat di sisi seberang dataran. Ia mengangkat kaki kiri belakang agar lukanya tidak bertambah parah: luka panjang yang nyaris memutus ototnya. Naga itu gemetaran, seperti anjing yang luka. Ia mencoba melompat maju, lalu berhenti dan menggeram pada Eragon.
Penunggang lawan melepaskan kakinya dan meluncur turun di sisi naga yang tidak terluka. Lalu ia berputar mengitari naga dan memeriksa kakinya. Eragon membiarkannya; ia tahu betapa sakit bagi orang itu untuk melihat kerusakan pada rekannya yang terikat dengan dirinya. Tapi ia menunggu terlalu lama, karena Penunggang itu menggumamkan beberapa kata yang tidak dipahaminya, dan dalam waktu tiga detik luka naga itu sembuh.
Eragon menggigil ketakutan. Bagaimana ia bisa melakukannya secepat itu, dengan mantra sesingkat itu" Sekalipun begitu, siapa pun orangnya, Penunggang baru tersebut jelas bukan Galbatorix, yang naganya berwarna hitam.
Eragon mengingat informasi itu saat melangkah maju menghadapi si Penunggang. Ketika mereka bertemu di tengah dataran, Saphira dan naga merah mengitari di belakang.
Si Penunggang mencengkeram pedang dengan dua tangan dan mengayunkannya dari atas kepala ke Eragon, yang mengangkat Zar'roc untuk mempertahankan diri. Pedang mereka beradu, menghamburkan bunga api kemerahan. Lalu Eragon mendorong lawannya dan menghujaninya dengan serangkaian serangan yang rumit. Ia menusuk dan menangkis, menari-nari dengan kaki yang ringan, memaksa Penunggang berbaju baja itu mundur ke tepi dataran.
Sewaktu mereka tiba di tepi, Penunggang tersebut bertahan, menangkis serangan-serangan Eragon, sepand
ai apa pun. Seakan ia bisa menduga setiap langkahku, pikir Eragon, frustrasi. Kalau ia sudah beristirahat, mudah baginya mengalahkan Penunggang itu, tapi sebagaimana kenyataannya, ia tidak mampu mengatasinya. Penunggang tersebut tidak memiliki kecepatan dan kekuatan elf, tapi keahlian teknisnya lebih baik daripada Vanir dan sebaik Eragon.
Eragon merasa panik sewaktu energi awalnya mulai menyurut dan ia hanya berhasil menggurat pelat dada si Penunggang yang berkilau. Cadangan tenaga terakhir yang tersimpan di batu mirah Zar'roc dan sabuk Beloth si Bijaksana hanya cukup untuk mempertahankan pengerahan tenaga semenit lagi. Lalu Penunggang itu maju selangkah. Lalu selangkah lagi. Dan sebelum Eragon sadar, mereka kembali ke tengah dataran, di mana mereka berdiri berhadapan, saling menyerang.
Zar'roc terasa begitu berat di tangannya, Eragon nyaris tidak mampu mengangkatnya. Bahunya terasa terbakar, ia terengah-engah, dan keringat membanjiri wajahnya. Bahkan keinginan untuk membalas kematian Hrothgar tidak membantunya mengatasi kelelahan.
Akhirnya Eragon terpeleset dan jatuh. Bertekad bulat tidak akan terbunuh dalam keadaan tergeletak, ia berguling bangkit kembali dan menusuk si Penunggang, yang menangkis Zar'roc dengan sentakan pergelangan tangan yang malas.
Cara si Penunggang memainkan pedangnya sesudah itumemutar-mutarnya dengan cepat di sisinya--tiba-tiba terasa dikenali Eragon, juga permainan pedangnya sebelum ini. Ia menatap dengan kengerian yang semakin besar ke pedang satu setengah hasta milik lawannya, lalu memandang ke celah mata helm lawan yang memantulkan bayangan, dan berteriak, "Aku mengenalmu!"
Ia menerjang Penunggang itu, menahan kedua pedang di antara tubuh mereka, mengaitkan jemarinya ke bawah helm lawan, dan menyentakkannya hingga lepas. Dan di sana, di tengah dataran, di tepi Burning Plains Alagaesia, berdirilah Murtagh.
WARISAN Murtagh tersenyum. Lalu ia berkata, "Thrysta vindr," dan bola air yang keras terbentuk di antara mereka dan menghantam dada Eragon, melemparnya dua puluh kaki ke seberang dataran.
Eragon mendengar Saphira menggeram saat ia mendarat pada punggungnya. Pandangannya berubah jadi merah dan putih, lalu ia bergelung dan menunggu sakitnya mereda. Kegembiraan apa pun yang dirasakannya atas kemunculan Murtagh dikalahkan keanehan situasi pertemuan mereka. Campuran perasaan kaget, bingung, dan marah menggelegak dalam dirinya.
Setelah menurunkan pedang, Murtagh menunjuk Eragon dengan tangannya yang terbungkus baja, melengkungkan setiap jari kecuali telunjuknya. "Kau tidak akan pernah menyerah."
Hawa dingin merayapi tulang punggung Eragon, karena ia mengenali adegan dari firasatnya sewaktu menyusuri Az Ragni ke Hedarth: Seseorang terkapar di Lumpur dengan helm melesak dan jala baja berlumuran--wajahnya tersembunyi di balik lengan yang teracung. Tangan berbaju baja memasuki pandangan Eragon dan dengan wibawa takdir, menunjuk orang yang terkapar itu. Masa lalu dan masa depan bersatu. Sekarang kehancuran Eragon akan diputuskan.
Setelah mendorong diri bangkit, ia terbatuk dan berkata, "Murtagh... bagaimana kau bisa masih hidup" Kulihat Urgal menyeretmu ke bawah tanah. Kucoba men-scry dirimu tapi hanya melihat kegelapan."
Murtagh tertawa pelan. "Kau tidak melihat apa-apa, sama seperti aku tidak melihat apa-apa sewaktu pertama kali mencoba men-scry dirimu selama hari-hariku di Uru baen."
"Tapi kau sudah mati!" teriak Eragon, hampir tak terdengar. "Kau mati di bawah Farthen Dur. Arya menemukan pakaianmu yang berlumuran darah di terowongan."
Wajah Murtagh berubah gelap. "Tidak, aku belum mati. Itu ulah si Kembar, Eragon. Mereka mengambil alrh sekelompok Urgal dan mengatur penyergapan untuk membunuh Ajihad dan menangkapku. Lalu mereka menyihirku agar aku tak bisa melarikan diri dan membawaku pergi ke Uru'baen."
Eragon menggeleng, tidak mampu memahami apa yang terjadi.
"Tapi kenapa kau setuju melayani Galbatorix" Katamu kau membencinya. Katamu--"
"Setuju!" Murtagh kembali tertawa, dan kali ini kedengaran agak sinting. "Aku tidak setuju. Mula-mula Galbatorix menghukumku karena tidak memeduli
kan perlindungannya selama bertahun-tahun saat aku dibesarkan di Uru baen, karena menentang kehendaknya dan melarikan diri. Lalu ia merampas segala sesuatu yang kuketahui tentang dirimu, Saphira, dan kaum Varden."
"Kau mengkhianati kami! Aku berduka atas dirimu, tapi kau mengkhianati kami!"
"Aku tidak memiliki pilihan."
"Ajihad benar karena mengurung dirimu. Ia seharusnya membiarkan kau membusuk di sel, dengan begitu tidak satu pun dari semua ini--"
"Aku tidak memiliki pilihan!" sergah Murtagh. "Dan sesudah Thorn menetas bagiku, Galbatorix memaksa kami berdua bersumpah setia padanya dalam bahasa kuno. Kami tidak bisa menentang perintahnya sekarang."
Iba dan kebencian menggumpal dalam diri Eragon. "Kau menjadi ayahmu."
Kilau aneh muncul di mata Murtagh. "Tidak, bukan ayahku. Aku lebih kuat daripada Morzan. Galbatorix mengajarkan sihir yang belum pernah kauimpikan... Mantra-mantra yang begitu kuat hingga para elf tidak berani merapalkannya, mereka memang pengecut. Kata-kata dalam bahasa kuno yang telah lama hilang hingga Galbatorix menemukannya. Cara-cara memanipulasi energi... Rahasia-rahasia, rahasia-rahasia menakutkan yang bisa menghancurkan musuh dan memenuhi semua keinginanmu."
Eragon teringat kembali sebagian pelajaran Oromis dan menukas, "Hal-hal yang seharusnya tetap dirahasiakan."
"Kalau kau tahu, kau tidak akan mengatakan begitu. Brom hanya amatiran, tidak lebih. Dan para elf, bah! Mereka hanya bisa bersembunyi di hutan mereka dan menunggu ditaklukkan." Murtagh mengawasi Eragon. "Kau sekarang mirip elf. Apakah Islanzadi yang melakukannya"" Sewaktu Eragon tetap membisu, Murtagh tersenyum dan mengangkat bahu. "Tidak penting. Aku akan tahu yang sebenarnya tidak lama lagi." Ia diam, mengerutkan kening, lalu memandang ke timur.
Mengikuti tatapannya, Eragon melihat si Kembar berdiri di depan Kekaisaran, menghamburkan bola-bola energi ke tengah kaum Varden dan para kurcaci. Tirai asap menyulitkan untuk memastikan, tapi Eragon yakin para penyihir tak berambut itu tersenyum dan tertawa saat membantai orang-orang tempat mereka dulu bersumpah setia. Yang tidak disadari si Kembar--dan yang terlihat jelas oleh Eragon dan Murtagh dari tempat mereka--adalah Roran tengah merayap mendekati mereka dari samping.
Jantung Eragon bagai berhenti berdetak sesaat sewaktu mengenali sepupunya. Bodoh! Menyingkirlah dari mereka! Kau akan terbunuh.
Tepat pada saat ia membuka mulut untuk merapalkan mantra yang akan mengalihkan Roran dari bahaya--tidak peduli risikonya, Murtagh berkata, "Tunggu. Aku ingin melihat apa yang akan dilakukannya."
"Kenapa"" Senyum muram merekah di wajah Murtagh. "Si Kembar senang menyiksaku sewaktu menahan aku."
Eragon meliriknya, curiga. "Kau tidak akan menyakiti Roran" Kau tidak akan memperingatkan si Kembar""
"Vel einradhin iet ai Shur'tugal." Demi janjiku sebagai Penunggang.
Bersama-sama mereka melihat Roran bersembunyi di balik tumpukan mayat. Eragon tegang saat si Kembar memandang tumpukan. Sejenak, tampaknya mereka telah menemukan Roran, lalu mereka berpaling dan Roran melompat keluar. Ia mengayunkan martil dan menghantam kepala salah satu si Kembar, membelah tengkoraknya. Si Kembar yang seorang lagi jatuh ke tanah, tersentak-sentak, dan menjerit tanpa suara hingga nyawanya juga tercabut di bawah martil Roran. Lalu Roran menginjak mayat-mayat musuhnya, mengangkat martil ke atas kepala, dan meraung penuh kemenangan.
"Sekarang apa"" tanya Eragon, sambil berpaling dari medan tempur. "Apakah kau kemari untuk membunuhku""
"Tentu saja tidak. Galbatorix menginginkanmu hidup-hidup."
"Untuk apa""
Bibir Murtagh tersentak. "Kau tidak tahu" Ha! Benar-benar lucu. Bukan karena dirimu; tapi karena dia." Ia menunjuk Saphira. Naga dalam telur terakhir Galbatorix, telur naga terakhir di dunia, adalah jantan. Saphira satu-satunya naga betina yang ada. Kalau ia melahirkan, ia akan menjadi induk seluruh rasnya. Kau mengerti sekarang" Galbatorix tidak ingin memusnahkan naga. Ia ingin menggunakan Saphira untuk membangun kembali para Penunggang. Ia tidak bisa membunuhmu, kalian berdua, kalau ingin visinya jadi ken
yataan... Dan visi yang luar biasa, Eragon. Kau seharusnya mendengar ia menjabarkannya, lalu mungkin pendapatmu tentang dirinya tidak seburuk itu. Apakah jahat kalau ia ingin menyatukan Alagaesia di bawah satu bendera, menghilangkan perlunya berperang, dan memulihkan para Penunggang""
"Ia yang menghancurkan para Penunggang!"
"Dan untuk alasan yang bagus," kata Murtagh. "Mereka sudah tua, gendut, dan korup. Para elf mengendalikan dan memanfaatkan mereka untuk menaklukkan manusia. Mereka harus disingkirkan agar kita bisa memulai awal baru."
Rengutan murka mengubah wajah Eragon. Ia mondar-mandir di dataran, napasnya berat, lalu memberi isyarat ke pertempuran dan berkata, "Bagaimana kau bisa membenarkan penderitaan sebanyak ini berdasarkan celoteh orang sinting" Galbatorix hanya membakar, membantai, dan mengumpulkan kekuasaan bagi dirinya sendiri. Ia berbohong. Ia membunuh. Ia memanipulasi. Kau tahu ini! Itu sebabnya kau menolak bekerja padanya dulu." Eragon diam sejenak, lalu nadanya berubah lebih lembut. "Aku bisa memahami kau terpaksa bertindak di luar kehendakmu dan kau tidak bertanggung jawab atas pembunuhan Hrothgar. Tapi kau bisa mencoba melarikan diri. Aku yakin Arya dan aku dapat merancang cara untuk menetralisir ikatan yang ditetapkan Galbatorix pada dirimu... Bergabunglah denganku, Murtagh. Kau bisa berbuat banyak bagi kaum Varden. Bersama kami, kau akan dipuji dan dikagumi, bukannya dikutuk, ditakuti, dan dibenci."
Sejenak, waktu Murtagh menunduk memandang pedangnya, Eragon berharap ia akan menerimanya. Lalu Murtagh berkata dengan suara pelan, "Kau tidak bisa membantuku, Eragon. Tidak seorang pun kecuali Galbatorix bisa melepaskan kami dari sumpah kami, dan ia tidak akan pernah berbuat begitu... Ia tahu nama sejati kami, Eragon... Kami budaknya untuk selama-lamanya."
Sekalipun ingin, Eragon tidak bisa mengingkari simpati yang dirasakannya atas penderitaan Murtagh. Dengan sangat berat, ia berkata, "Kalau begitu biarkan kami membunuh kalian berdua."
"Membunuh kami! Untuk apa kami membiarkannya""
Eragon memilih kata-katanya dengan hati-hati, "Dengan begitu kau akan bebas dari kendali Galbatorix. Dan dengan begitu akan menyelamatkan ratusan, kalau bukan ribuan, orang. Bukankah itu alasan yang cukup mulia untuk mengorbankan diri""
Murtagh menggeleng. "Mungkin bagimu, tapi hidup masih terlalu manis bagiku untuk ditinggalkan semudah itu. Tidak ada hidup orang asing yang lebih penting daripada hidup Thorn atau hidupku sendiri."
Sekalipun ia membencinya--sebenarnya, membenci seluruh situasi--saat itu Eragon tahu apa yang harus dilakukannya Setelah memperbarui serangan terhadap benak Murtagh, ia melompat maju, kedua kaki meninggalkan tanah saat ia menerjang Murtagh, berniat menusuk jantungnya hingga tembus.
"Letta!" teriak Murtagh.
Eragon jatuh kembali ke tanah saat pita tak kasatmata melilit lengan dan kakinya, melumpuhkan dirinya. Di sebelah kanannya, Saphira menyemburkan api dan menerjang Murtagh seperti kucing menerkam tikus.
"Risa!" kata Murtagh, sambil mengulurkan tangan seperti cakar seakan hendak menangkap Saphira.
Saphira berteriak terkejut saat mantra Murtagh menghentikannya di tengah udara dan menahannya di sana, mengambang beberapa kaki di atas dataran. Sekeras apa pun ia menggeliat, ia tidak mampu menyentuh tanah, atau terbang lebih tinggi.
Bagaimana ia bisa tetap manusia tapi memiliki kekuatan untuk berbuat begitu" pikir Eragon penasaran. Bahkan dengan kemampuan baruku, tugas seperti itu akan menyebabkan aku terengah-engah dan tidak mampu berjalan. Mengandalkan pengalamannya mematahkan mantra Oromis, Eragon berkata, "Brakka du vanyali sem huildar Saphira un eka!"
Murtagh tidak berusaha menghentikannya, hanya menatapnya datar, seakan mendapati perlawanan Eragon kerepotan yang sia-sia. Sambil menyeringai, Eragon melipatgandakan usahanya. Tangannya berubah dingin, tulang-belulangnya sakit, dan denyut nadinya melambat saat sihir menyerap energinya.
Tanpa diminta, Saphira menggabungkan kekuatan dengannya, memberinya akses ke sumber daya tubuhnya yang besar.
Lima detik berlalu.... Dua puluh detik. .. Nadi yang tebal berdenyut-denyut di leher Murtagh.
Semenit.... Satu setengah menit... Getaran tak tertahan mengguncang Eragon. Otot kuadrisep dan urat-uratnya bergetar, dan kakinya pasti lemas kalau ia bisa bergerak.
Dua menit berlalu.... Akhirnya Eragon terpaksa melepaskan sihirnya, kalau tidak ia mengambil risiko pingsan dan tewas. Ia merosot, terkuras habis.
Tadinya ia takut, tapi hanya karena menduga dirinya akan gagal. Sekarang ia takut karena tidak tahu kemampuan Murtagh.
"Kau tidak akan bisa menang dariku," kata Murtagh. "Tidak ada yang bisa, kecuali Galbatorix." Sambil berjalan mendekati Eragon, ia mengarahkan pedang ke leher Eragon, melukai kulitnya. Eragon melawan dorongan untuk mengernyit. "Mudah sekali membawamu kembali ke Uru baen."
Eragon menatap tajam mata Murtagh. "Jangan. Lepaskan aku."
"Kau baru saja mencoba membunuhku."
"Dan kau akan berbuat begitu kalau berada di posisiku." Sewaktu Murtagh tetap membisu dan tanpa ekspresi, Eragon berkata, "Kita dulu teman. Kita bertempur bersama. Galbatorix tidak mungkin mengubahmu sebegitu rupa hingga kau lupa... Kalau kaulakukan ini, Murtagh, kau akan hilang untuk selamanya."
Semenit yang terasa lama berlalu, satu-satunya suara hanyalah pertempuran kedua pasukan. Darah mengalir di leher Eragon, di tempat ujung pedang melukainya. Saphira melecutkan ekor dengan kemurkaan tanpa daya.
Akhirnya, Murtagh berkata, "Aku diperintahkan berusaha menangkapmu dan Saphira." Ia diam sejenak. "Aku sudah mencoba... Pastikan kita tidak bersimpang jalan lagi. Galbatorix pasti memaksaku bersumpah lagi dalam bahasa kuno, sumpah yang akan menghalangiku berbelas kasihan padamu saat kita bertemu lagi." Ia menurunkan pedang.
"Kau bertindak benar," kata Eragon. Ia berusaha mundur tapi terpaku di tempat.
"Mungkin. Tapi sebelum kubiarkan kau pergi..." Murtagh mengulurkan tangan, mengambil Zar'roc dari cengkeraman Eragon dan mengambil sarung merah Zar'roc dari sabuk Beloth si Bijaksana. "Kalau aku telah menjadi ayahku, aku akan menyandang pedang ayahku. Thorn nagaku, dan ia akan menjadi duri bagi semua musuh kami. Maka sudah selayaknya kalau aku juga menyandang pedang Kesengsaraan. Kesengsaraan dan Thorn- duri-sangat cocok. Lagi pula, Zar'roc seharusnYa diwariskan pada putra pertama Morzan, bukan putra bungsunya. Pedang ini hakku berdasarkan kelahiran."
Eldest Seri 2 Eragon Karya Christhoper Paolini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Perut Eragon terasa melilit. Tidak mungkin.
Senyum kejam merekah di wajah Murtagh. "Aku tidak pernah memberitahukan nama ibuku, bukan" Dan kau tidak Pernah memberitahukan nama ibumu. Sekarang kuberitahukan: Selena. Selena adalah ibuku dan ibumu. Morzan ayah kita. Si Kembar mengetahui kaitannya sewaktu mereka memeriksa isi kepalamu. Galbatorix cukup tertarik pada informasi itu."
"Kau bohong!" seru Eragon. Ia tidak mampu memikirkan dirinya putra Morzan. Apakah Brom tahu" Apakah Oromis tahu"... Kenapa mereka tidak memberitahuku" Ia teringat, saat itu Angela meramalkan salah seorang anggota keluarganya akan mengkhianatinya. Angela benar.
Murtagh hanya menggeleng dan mengulangi kata-katanya dalam bahasa kuno, lalu mendekatkan bibir ke telinga Eragon dan berbisik, "Kau dan aku, kita sama, Eragon. Bayangan satu sama lain. Kau tidak bisa mengingkarinya."
"Kau keliru," raung Eragon, berusaha keras melawan mantra Murtagh. "Kita tidak mirip sama sekali. Aku tidak lagi memiliki bekas luka di punggungku."
Murtagh melompat mundur seakan tersengat, wajahnya berubah keras dan dingin. Ia mengangkat Zar'roc dan mengacungkannya di depan dada. "Terserahlah. Kuambil warisanku darimu, adikku. Selamat tinggal."
Lalu ia mengambil helmnya dari tanah dan naik ke punggung Thorn. Tidak sekali pun ia memandang Eragon saat naga itu berjongkok, mengangkat sayap, dan terbang pergi dari dataran ke utara. Baru sesudah Thorn menghilang di balik kaki langit, jaring-jaring sihir terlepas dari Eragon dan Saphira.
Cakar Saphira beradu dengan batu saat ia mendarat. Ia merangkak mendekati Eragon dan menyentuh lengan Eragon dengan moncongnya. Kau baik-baik saja, makhluk kecil"
Aku baik-baik saja. Tapi sebenarnya tidak, dan Saphira tahu itu.
Sambil berjalan ke t epi dataran, Eragon mengamati Burning Plains dan sisa-sisa pertempuran, karena pertempuran telah berakhir. Dengan kematian si Kembar, kaum Varden dan para kurcaci berhasil merebut kemenangan kembali dan menyerbu Para prajurit yang kebingungan, mendesak mereka ke sungai atau mengejar mereka kembali ke asal.
Sekalipun sebagian besar pasukan mereka masih utuh, Kekaisaran memerintahkan mundur, tidak ragu lagi untuk berkumpul kembali dan menyiapkan usaha kedua menyerang Surda. Mereka meninggalkan bertumpuk-tumpuk mayat dari kedua belah pihak yang bertempur, cukup banyak manusia dan kurcaci untuk menghuni satu kota besar. Asap hitam tebal bergulung-gulung dari mayat-mayat yang jatuh ke api tanah.
Sekarang sesudah pertempuran mereda, rajawali dan elang, gagak, turun menutupi medan tempur bagai tirai.
Eragon memejamkan mata, air mata mengalir dari bawah kelopaknya.
Mereka menang, tapi ia kalah.
REUNI Eragon dan Saphira berjalan di antara mayat-mayat yang memenuhi Burning Plains, berjalan lambat karena luka-luka dan kelelahan mereka. Mereka menemui orang-orang lain yang selamat, terhuyung-huyung melintasi medan perang yang berkobar, orang-orang bermata kosong yang memandang tanpa benar-benar melihat, tatapan mereka menerawang.
Sekarang sesudah perasaan haus darahnya mereda, Eragon tidak merasakan apa-apa kecuali kesengsaraan. Pertempuran ini terasa begitu tanpa tujuan baginya. Benar-benar tragedi bahwa begitu banyak yang harus mati untuk mengalahkan satu orang sinting. Ia berhenti sejenak untuk melewati setumpuk anak panah yang terbenam di lumpur dan menyadari luka di ekor Saphira akibat gigitan Thorn, juga luka-luka Saphira lainnya. Beri aku kekuatanmu; biar kusembuhkan dirimu.
Rawat dulu mereka yang terluka parah.
Kau yakin" Cukup yakin, makhluk kecil.
Dengan susah payah, Eragon membungkuk dan menyembuhkan leher prajurit yang tercabik sebelum pindah ke para anggota Varden lain. Ia tidak membedakan teman dan lawan, merawat keduanya hingga batas kemampuannya.
Eragon begitu sibuk dengan pikirannya hingga tidak memerhatikan pekerjaannya. Ia berharap bisa menolak klaim Murtagh, tapi segala sesuatu yang dikatakan Murtagh tentang ibunya--ibu mereka--sama seperti beberapa hal yang diketahuinya tentang ibunya: Selena meninggalkan Carvahall sekitar dua puluh tahun yang lalu, kembali hanya sekali untuk melahirkan Eragon, dan tidak pernah terlihat lagi. Benaknya melayang kembali ke saat ia dan Murtagh pertama kali tiba di Farthen Dur. Murtagh mendiskusikan bagaimana ibunya menghilang dari puri Morzan sewaktu Morzan memburu Brom Jeod, dan telur Saphira. Sesudah Morzan melempar Zar'roc ke Murtagh dan nyaris membunuhnya, Ibu pasti menyembunyikan kehamilannya lalu kembali ke Carvahall untuk melindungiku dari Morzan dan Galbatorix. Ia senang karena tahu Selena begitu menyayanginya.
Sejak ia cukup dewasa untuk memahami bahwa dirinya hanya anak angkat, Eragon bertanya-tanya siapa ayahnya dan kenapa ibunya membiarkan dirinya dibesarkan kakak ibunya, Garrow, dan istrinya, Marian. Jawaban-jawaban atas pertanyaan ini dijejalkan padanya dari sumber yang begitu tak terduga, dan dalam situasi yang sangat mengguncang, hingga ia tidak mampu menerimanya saat itu. Membutuhkan waktu berbulan-bulan, kalau bukan bertahun-tahun, untuk menerima kenyataan ini.
Sejak dulu Eragon selalu beranggapan dirinya akan senang kalau tahu identitas ayahnya. Sekarang sesudah ia tahu, informasi itu justru memuakkan baginya. Sewaktu lebih muda, ia sering menghibur diri dengan membayangkan ayahnya seseorang yang agung dan penting, sekalipun Eragon tahu kemungkinan sebaliknya lebih besar. Walau begitu, tidak pernah terlintas dalam benaknya, bahkan dalam lamunannya yang paling megah, bahwa ia putra Penunggang, apalagi salah satu dari kaum Terkutuk.
Hal itu mengubah lamunannya menjadi mimpi buruk.
Aku dilahirkan monster... Ayahku yang mengkhianati para Penunggang demi Galbatorix. Eragon merasa sangat tertekan.
Tapi tidak... Sementara ia menyembuhkan tulang punggung seseorang yang patah, cara pandang baru terhadap situasi ini melintas dalam benaknya, cara pandang ya
ng memulihkan sebagian kepercayaan dirinya: Morzan mungkin orangtuaku, tapi ia bukan ayahku. Garrow ayahku. Ia yang membesarkan diriku. Ia yang mengajariku bagaimana hidup dengan baik dan terhormat, dengan integritas. Aku menjadi aku karena Garrow. Bahkan Brom dan Oromis lebih layak kusebut ayahku daripada Morzan. Dan Roran saudaraku, bukan Murtagh.
Eragon mengangguk, membulatkan tekad untuk mempertahankan cara pandang itu. Hingga saat ini, ia menolak menerima Garrow sebagai ayahnya sepenuhnya. Dan sekalipun Garrow telah tewas, tindakan itu melegakan Eragon, memberinya perasaan mengakhiri, dan membantunya mengurangi perasaan tertekannya karena Morzan.
Kau lebih bijaksana, kata Saphira.
Bijaksana" Eragon menggeleng. Tidak, aku baru saja belajar cara berpikir. Setidaknya, itulah yang diajarkan Oromis padaku. Eragon mengusap selapis tanah dari wajah bocah pembawa panji-panji, memastikan bocah itu telah benar-benar tewas, lalu menegakkan tubuh, mengernyit saat otot-ototnya tersentak memprotes. Kau sadar, bukan, bahwa Brom pasti sudah tahu hal ini. Kenapa lagi ia memilih bersembunyi di Carvahall sementara menunggu dirimu menetas"... Ia ingin mengawasi putra musuhnya. Ia merasa terganggu memikirkan Brom mungkin pernah mempertimbangkan dirinya sebagai ancaman. Dan ia benar. Lihat apa yang akhirnya terjadi padaku!
Saphira mengacak-acak rambutnya dengan embusan napasnya yang panas. Ingat saja, apa pun alasan Brom, ia selalu berusaha melindungi kita dari bahaya. Ia tewas demi menyelamatkan dirimu dari Ra'zac.
Aku tahu... Menurutmu ia tidak memberitahukan hal ini padaku karena khawatir aku akan meniru Morzan, seperti Murtagh"
Tentu saja tidak. Eragon memandang Saphira, penasaran. Bagaimana kau bisa seyakin itu" Saphira mengangkat kepalanya tinggi di atasnya dan menolak membalas tatapannya atau menjawab. Terserahlah, kalau begitu. Sambil berlutut di samping salah satu anak buah Raja Orrin yang perutnya tertembus anak panah, Eragon mencengkeram lengannya agar orang itu berhenti menggeliat-geliat. "Tenang."
"Air," gumam orang itu. "Demi belas kasihan, air. Tenggorokanku sekering pasir. Kumohon, Shadeslayer." Keringat menitik di wajahnya.
Eragon tersenyum, berusaha menghiburnya. "Aku bisa memberimu minum sekarang, tapi lebih baik kau menunggu sesudah kusembuhkan dirimu. Kau bisa menunggu" Kalau kau mau menunggu, aku berjanji kau akan mendapatkan semua air yang kauinginkan."
"Kau berjanji, Shadeslayer""
"Aku berjanji."
Pria itu terlihat berusaha keras melawan gelombang kesakitan lagi sebelum berkata, "Kalau terpaksa."
Dengan bantuan sihir, Eragon mencabut anak panah itu, lalu ia dan Saphira memulihkan isi perut orang tersebut, menggunakan sebagian energi pejuang itu untuk menguatkan mantranya. Sesudahnya, orang itu memeriksa perutnya, menekankan kedua tangan ke kulitnya yang tak bercacat, lalu menatap Eragon, air mata menggenangi matanya. "Aku... Shadeslayer, kau...."
Eragon memberikan kantong airnya. "Ini, simpanlah. Kau lebih membutuhkannya daripada diriku."
Seratus yard dari sana, Eragon dan Saphira menerobos dinding asap yang busuk. Mereka menemui Orik dan sepuluh kurcaci lain-beberapa wanita-mengerumuni mayat Hrothgar, yang dibaringkan di atas empat perisai, terbungkus jala baja emasnya. Para kurcaci menarik-narik rambut mereka, memukuli dada, dan melolong-lolong sedih ke langit. Eragon membungkuk dan bergumam, "Stydja unin mor'ranr, Hrothgar Konungr."
Sesudah beberapa waktu, Orik menyadari kehadiran mereka dan bangkit, wajahnya merah karena menangis dan janggutnya tidak lagi terkepang seperti biasa. Ia terhuyung-huyung mendekati Eragon dan, tanpa basa-basi, bertanya, "Apakah kau berhasil membunuh pengecut yang bertanggung jawab atas kejadian ini""
"Ia berhasil lolos." Eragon tidak mampu memaksa diri menjelaskan bahwa Penunggang itu Murtagh.
Orik menghantamkan tinju ke tangannya. "Barzuln!"
"Tapi aku bersumpah padamu demi setiap batu di Alagaesia bahwa, sebagai anggota Durgrimst Ingeitum, aku akan berusaha sekuat tenaga membalas kematian Hrothgar."
"Aye, kau satu-satunya selain para elf yang cukup kuat untuk men
gadili pembunuh busuk ini. Dan kalau kautemukan dirinya... giling tulang-belulangnya hingga jadi debu, Eragon.
Cabut gigi-giginya dan isi pembuluh darahnya dengan timah cair; buat ia menderita demi setiap menit hidup Hrothgar yang dicurinya."
"Bukankah kematiannya bagus" Bukankah Hrothgar ingin tewas dalam pertempuran, dengan Volund di tangan""
"Dalam pertempuran, ya, menghadapi musuh jujur yang berani menantangnya dan bertempur." Sambil menggeleng, Orik berpaling memandang Hrothgar, lalu melipat lengan dan menunduk. Ia menarik napas gemetar beberapa kali. "Sewaktu orangtuaku meninggal karena cacar, Hrothgar memberiku hidup lagi. Ia menerimaku di aulanya. Ia menjadikanku ahli warisnya. Kehilangan dirinya..:." Orik menjepit batang hidung dengan ibu jari dan telunjuk, menutupi wajahnya. "Kehilangan dirinya seperti kehilangan ayahku untuk kedua kalinya."
Kedukaan dalam suaranya begitu jelas hingga Eragon merasa turut berbagi kesengsaraan si kurcaci. "Aku mengerti," katanya.
"Aku tahu kau mengerti, Eragon... Aku tahu kau mengerti." Sesaat kemudian, Orik mengusap mata dan memberi isyarat pada sepuluh kurcaci. "Sebelum kami melakukan apa pun, kami harus mengembalikan Hrothgar ke Farthen Dur agar ia bisa dimakamkan bersama para pendahulunya. Durgrimst Ingeitum harus memilih grimstborith baru, lalu ketiga belas ketua klan--termasuk mereka yang kautemui di sini--akan memilih raja kami yang berikutnya dari antara mereka sendiri. Apa yang akan terjadi nanti, aku tidak tahu. Tragedi ini akan menguatkan beberapa klan dan mengubah pendapat beberapa klan lainnya tentang tujuan kita...." Ia kembali menggeleng.
Eragon memegang bahu Orik. "Jangan mengkhawatirkan hal itu sekarang. Kau hanya perlu memintanya, dan lengan serta kemauanku siap melayanimu... Kalau kau mau, datanglah ke tendaku dan kita bisa berbagi bir putih dan bersulang untuk kenangan pada Hrothgar."
"Aku suka itu. Tapi tidak sekarang. Tidak sebelum kami selesai memohon pada dewa-dewa untuk memberi Hrothgar jalan yang aman ke kehidupan sesudah kematian." Setelah meninggalkan Eragon, Orik kembali ke lingkaran para kurcaci dan menambahkan suaranya sendiri ke dalam permohonan mereka.
Sambil terus berjalan melintasi Burning Plains, Saphira berkata, Hrothgar raja yang hebat.
Aye, dan orang yang baik. Eragon mendesah. Kita harus mencari Arya dan Nasuada. Aku bahkan tidak bisa menyembuhkan luka tergurat sekarang, dan mereka harus tahu tentang Murtagh.
Setuju. Mereka berbelok ke selatan menuju perkemahan kaum Varden, tapi sebelum mereka berjalan lebih dari beberapa yard, Eragon melihat Roran mendekat dari Sungai Jiet. Ketakutan menguasai Eragon. Roran berhenti tepat di depan mereka, mengangkang, dan menatap Eragon, rahangnya naik-turun seakan ia ingin bicara tapi tak mampu mengeluarkan kata-kata.
Lalu ia memukul dagu Eragon.
Mudah sekali bagi Eragon untuk menghindari pukulan itu, tapi ia membiarkan pukulan tersebut mengenainya, agak menghindarinya agar Roran tidak mematahkan buku-buku jarinya.
Rasanya tetap menyakitkan.
Sambil mengernyit, Eragon menghadapi sepupunya. "Kurasa aku layak mendapatkannya."
"Memang benar. Kita harus bicara."
"Sekarang""
"Ini tidak bisa menunggu. Ra'zac menangkap Katrina, dan aku membutuhkan bantuanmu untuk menyelamatkan dirinya. Mereka sudah menahannya waktu kami meninggalkan Carvahall."
Jadi itu rupanya. Saat itu Eragon sadar kenapa Roran tampak begitu muram dan ketakutan, dan kenapa ia membawa seluruh desa ke Surda. Brom benar, Galbatorix mengirim Ra'zac kembali ke Lembah Palancar. Eragon mengerutkan kening, terbelah antara tanggung jawabnya pada Roran dan kewajibannya melapor pada Nasuada. "Ada yang harus kulakukan terlebih dulu, dan sesudah itu kita bisa bicara. Bagaimana" Kau boleh menemaniku kalau mau...."
"Aku ikut." Sementara mereka melintasi lahan yang berlubang-lubang, Eragon terus melirik Roran dari sudut matanya. Akhirnya ia berkata dengan suara pelan, "Aku merindukanmu."
Roran goyah, lalu menjawab dengan anggukan singkat. Beberapa langkah kemudian, ia bertanya, "Ini Saphira, bukan" Kata Jeod itulah namanya."
"Aye. " Sap hira memandang Roran dengan satu matanya yang kemilau. Roran menahan tatapannya tanpa berpaling, yang lebih daripada yang bisa dilakukan sebagian besar orang. Sejak dulu aku ingin bertemu teman sesarang Eragon.
"Ia bicara!" seru Roran sewaktu Eragon mengulangi kata-katanya.
Kali ini Saphira berbicara langsung padanya: Apa" Kau pikir aku sebisu kadal karang"
Roran mengerjapkan mata. "Maafkan aku. Aku tidak tahu naga secerdas itu." Senyum muram menggerakkan bibirnya. "Mula-mula Ra'zac dan para penyihir, sekarang kurcaci, Penunggang, dan naga yang bisa bicara. Rasanya seluruh dunia sudah sinting."
"Rasanya memang begitu."
"Kulihat kau bertempur melawan Penunggang lain. Apakah kau berhasil melukainya" Itukah sebabnya ia melarikan diri""
"Tunggu. Nanti kau akan mendengarnya."
Sewaktu mereka tiba di paviliun yang dicari Eragon, ia membuka tutupnya dan merunduk masuk, diikuti Roran dan Saphira, yang menjejalkan kepala dan leher di belakang mereka. Di tengah tenda, Nasuada duduk di tepi meja, membiarkan pelayan menanggalkan baju besinya yang ringsek sementara ia melanjutkan diskusi yang sengit dengan Arya. Luka di pahanya telah disembuhkan.
Nasuada berhenti bicara saat melihat para pendatang baru. Ia berlari mendekat, memeluk Eragon dan berseru, "Di mana saja kau" Kami mengira kau tewas, atau lebih buruk lagi."
"Tidak juga." "Lilinnya masih menyala," gumam Arya.
Setelah melangkah mundur, Nasuada berkata, "Kami tidak bisa melihat apa yang terjadi padamu dan Saphira sesudah kalian mendarat di dataran. Sewaktu naga merah itu pergi dan kau tidak muncul, Arya berusaha menghubungimu tapi tidak merasakan apa-apa, jadi kami menganggap...." Ia tidak melanjutkan. "Kami baru saja memperdebatkan cara terbaik memindahkan Du Vrangr Gata dan seluruh kompi pejuang ke seberang sungai."
"Maafkan aku. Aku tidak bermaksud membuatmu khawatir. Aku hanya begitu lelah sesudah bertempur, hingga lupa menurunkan perlindunganku." Lalu Eragon memperkenalkan Roran. "Nasuada, aku ingin memperkenalkan sepupuku, Roran. Ajihad mungkin pernah menyinggung soal dirinya padamu. Roran, Lady Nasuada, pemimpin kaum Varden dan majikanku. Dan ini Arya Svitkona, duta besar elf." Roran membungkuk memberi hormat pada mereka bergantian.
"Aku tersanjung bisa bertemu dengan sepupu Eragon," kata Nasuada.
"Aku juga," tambah Arya.
Sesudah mereka selesai berbasa-basi, Eragon menjelaskan bahwa seluruh penduduk desa Carvahall telah tiba dengan menggunakan Dragon Wing, dan Roran telah membunuh si Kembar.
Nasuada mengangkat alisnya yang gelap. "Kaum Varden berutang budi padamu, Roran, karena telah menghentikan amukan mereka. Siapa yang tahu seberapa besar kerusakan yang diakibatkan si Kembar sebelum Eragon atau Arya sempat menghadapi mereka" Kau membantu kami memenangkan pertempuran ini. Aku tidak akan melupakannya. Persediaan kami terbatas, tapi akan kupastikan setiap orang di kapalmu mendapat pakaian dan makanan, dan yang sakit mendapat pengobatan."
Roran membungkuk lebih rendah lagi. "Terima kasih, Lady Nasuada."
"Kalau aku tidak begitu terdesak waktu, aku pasti berkeras agar kau menceritakan bagaimana dan kenapa kau dan penduduk desamu menghindari orang-orang Galbatorix, pergi ke Surda, lalu menemukan kami. Bahkan fakta-fakta singkat perjalananmu saja sudah merupakan kisah yang luar biasa. Aku masih berniat mengetahui rinciannya--terutama karena kuduga berkaitan dengan Eragon--tapi aku harus menangani masalah-masalah lain yang lebih penting saat ini."
"Tentu saja, Lady Nasuada."
"Kau boleh pergi, kalau begitu."
"Kumohon," kata Eragon, "biarkan ia di sini. Ia juga harus mendengar ini."
Nasuada memandangnya dengan tatapan bertanya. "Baiklah. Kalau kau mau. Tapi cukup basa-basinya. Langsung saja ceritakan intinya dan katakan mengenai Penunggang itu!"
Eragon memulai dengan sejarah singkat tiga telur naga yang tersisa--dua di antaranya sekarang telah menetas--juga tentang Morzan dan Murtagh, agar Roran memahami pentingnya berita ini. Lalu ia menceritakan pertempuran dirinya dan Saphira melawan Thorn dan Penunggang misterius itu, menekankan terutama pada kekuatann
ya yang luar biasa. "Begitu ia memutar pedang, aku sadar kami pernah berduel, jadi kuterjang dirinya dan melepas helmnya." Eragon diam sejenak.
"Ia Murtagh, bukan"" tanya Nasuada dengan suara pelan.
"Bagaimana...""
Nasuada mendesah. "Kalau si Kembar selamat, masuk akal jika Murtagh juga selamat. Apakah ia memberitahukan kejadian yang sebenarnya hari itu di Farthen Dur"" Jadi Eragon menceritakan bagaimana si Kembar mengkhianati kaum Varden, merekrut para Urgal, dan menculik Murtagh. Air mata bergulir di pipi Nasuada. "Sayang sekali kejadian ini menimpa Murtagh pada saat ia telah mengalami kesulitan sebesar itu. Aku senang ditemani dirinya di Tronjheim dan percaya ia sekutu kita, terlepas dari bagaimana ia dibesarkan. Sulit bagiku memandangnya sebagai musuh kita." Setelah berpaling pada Roran, ia berkata, "Rasanya aku juga berutang budi secara pribadi padamu karena telah membantai para pengkhianat yang membunuh ayahku."
Ayah, ibu, saudara, sepupu, pikir Eragon. Semua berujung pada keluarga. Dengan mengumpulkan keberanian, ia menyelesaikan laporannya dengan cerita soal pencurian Murtagh atas Zar'roc lalu rahasia terakhirnya yang menakutkan.
"Tidak mungkin," bisik Nasuada.
Eragon melihat Roran kaget dan muak sebelum sepupunya itu berhasil menutupi reaksinya. Itu, lebih daripada apa pun, menyakiti Eragon.
"Mungkinkah Murtagh berbohong"" tanya Arya.
"Aku tidak tahu bagaimana caranya. Sewaktu kutanyai, ia memberitahukan hal yang sama dalam bahasa kuno."
Kesunyian yang panjang dan tidak enak memenuhi paviliun.
Lalu Arya berkata, "Tidak ada orang yang boleh tahu hal ini. Moral kaum Varden sudah cukup merosot dengan kehadiran Penunggang baru. Dan mereka akan lebih gusar lagi kalau tahu ia Murtagh, yang pernah bertempur bersama mereka dan mereka percayai di Farthen Dur. Kalau berita menyebar bahwa Eragon Shadeslayer putra Morzan, orang-orang akan mendapat pikiran yang salah dan hanya sedikit yang mau bergabung dengan kita. Bahkan Raja Orrin tidak boleh diberitahu."
Nasuada menggosok-gosok dahinya. "Aku khawatir kau benar. Penunggang baru...." Ia menggeleng. "Aku tahu peristiwa ini bisa saja terjadi, tapi aku tidak benar-benar percaya akan terjadi, karena telur-telur yang tersisa di Galbatorix sudah begitu lama tidak menetas."
"Kejadian ini memiliki kesimetrisan yang jelas," kata Eragon.
"Tugas kita sekarang berlipat ganda sulitnya. Kita mungkin bisa bertahan hari ini, tapi Kekaisaran tetap jauh lebih banyak daripada kita, dan sekarang kita menghadapi bukan hanya satu tapi dua Penunggang, keduanya lebih kuat daripada dirimu, Eragon. Menurutmu kau bisa mengalahkan Murtagh dengan bantuan para elf perapal mantra""
"Mungkin. Tapi aku ragu ia cukup bodoh untuk melawan mereka dan diriku bersama-sama."
Selama beberapa menit mereka mendiskusikan pengaruh kehadiran Murtagh bagi mereka dan strategi-strategi untuk meminimalisir atau menghapus pengaruh itu. Akhirnya Nasuada berkata, "Cukup. Kita tidak bisa memutuskan ini di saat kita berlumuran darah dan lelah, dan benak kita masih buram akibat bertempur. Pergi, beristirahatlah, dan kita akan membicarakan masalah ini besok."
Sewaktu Eragon berbalik hendak pergi, Arya mendekat dan menatap lurus matanya. "Jangan biarkan ini terlalu mengganggumu, Eragon-elda. Kau bukan ayahmu, bukan kakakmu. Aib mereka bukanlah aibmu."
"Aye," Nasuada menyetujui. "Juga jangan bayangkan ini menurunkan pendapat kami tentang dirimu." Ia mengulurkan tangan dan memegang wajah Eragon dengan dua tangan. "Aku mengenalmu, Eragon. Kau memiliki hati yang baik. Nama ayahmu tidak bisa mengubahnya."
Kehangatan berkembang dalam diri Eragon. Ia memandang kedua wanita itu bergantian, lalu memutar tangan di depan dada, terharu karena persahabatan mereka. "Terima kasih."
Begitu mereka kembali di tempat terbuka, Eragon berkacak pinggang dan menghirup udara berasap dalam-dalam. Hari sudah sangat sore, dan cahaya jingga telah meredup menjadi cahaya keemasan senja yang menyelimuti perkemahan dan medan perang, memberinya keindahan yang aneh. "Jadi sekarang kau tahu," katanya.
Roran mengangkat bahu. "Darah selalu mengun
gkapkan." "Jangan berkata begitu," gerutu Eragon. "Jangan pernah mengatakan itu."
Roran mengamatinya selama beberapa detik. "Kau benar; itu pikiran yang sangat jahat. Aku tidak bermaksud begitu." Ia menggaruk janggut dan menyipitkan mata memandang matahari yang beristirahat di kaki langit. "Nasuada tidak seperti dugaanku."
Kata-kata itu menyebabkan Eragon tergelak lelah. "Yang kauharapkan adalah ayahnya, Ajihad. Tapi ia pemimpin yang sama baiknya seperti ayahnya, kalau bukan malah lebih baik."
"Kulitnya, apakah diwarnai""
"Tidak, memang begitulah kulitnya."
Tepat pada saat itu Eragon merasakan Jeod, Horst, dan puluhan orang lain dari Carvahall bergegas mendekati mereka. Para penduduk desa melambat saat mereka mengerumuni tenda dan melihat Saphira. "Horst!" seru Eragon. Ia melangkah maju dan memeluk tukang besi itu erat-erat. "Senang bertemu denganmu lagi!"
Horst ternganga memandang Eragon, lalu senyum gembira tampak di wajahnya. "Terkutuklah kalau aku juga tidak senang bertemu lagi denganmu, Eragon. Kau banyak berubah sejak pergi."
"Maksudmu sejak aku melarikan diri."
Bertemu para penduduk desa merupakan pengalaman yang aneh bagi Eragon. Kekerasan begitu mengubah beberapa dari mereka hingga ia nyaris tidak mengenali mereka. Dan mereka memperlakukan dirinya dengan sikap yang berbeda daripada sebelumnya, dengan campuran sikap terpesona dan memuja. Ini mengingatkannya pada sebuah mimpi, di mana segala sesuatu yang dikenalinya terasa asing. Ia agak gugup karena merasa begitu berbeda di antara mereka.
Sewaktu Eragon mendekati Jeod, ia berhenti sejenak. "Kau tahu tentang Brom""
"Ajihad mengirim pesan padaku, tapi aku ingin mendengar apa yang terjadi dari dirimu."
Eragon mengangguk, muram. "Begitu ada kesempatan, kita akan berbicara panjang-lebar."
Lalu Jeod beralih ke Saphira dan membungkuk di hadapannya. "Aku menunggu seumur hidup untuk melihat naga, dan sekarang aku melihat dua naga pada satu hari yang sama. Aku benar-benar beruntung. Tapi, kaulah naga yang ingin kutemui."
Dengan melekukkan leher, Saphira menyentuh alis Jeod. Jeod menggigil karena kontak itu. Sampaikan terima kasihku padanya karena membantu menyelamatkanku dari Galbatorix. Kalau tidak, aku pasti masih terkurung dalam istana Raja. Ia teman Brom, dan jadi ia teman kita juga.
Sesudah Eragon mengulangi kata-katanya, Jeod berkata, "Atra esterni ono thelduin, Saphira Bjartskular," mengejutkan mereka dengan pengetahuannya akan bahasa kuno.
"Kau pergi ke mana"" tanya Horst pada Roran. "Kami mencarimu ke sana-kemari sesudah kau pergi memburu kedua penyihir itu."
"Itu tidak penting sekarang. Kembalilah ke kapal dan perintahkan semua orang untuk turun; kaum Varden mengirimkan makanan dan tenda untuk kita. Kita bisa tidur di tanah padat malam ini!" Orang-orang bersorak.
Eragon mengawasi dengan penuh minat saat Roran memberi perintah. Sewaktu Jeod dan penduduk desa akhirnya berlalu, Eragon berkata, "Mereka memercayai dirimu. Bahkan Horst mematuhi perintahmu tanpa bertanya. Kau berbicara atas nama seluruh Carvahall sekarang""
"Benar." Kegelapan yang pekat menyelimuti Burning Plains saat mereka menemukan tenda kecil untuk dua orang yang disediakan kaum Varden bagi Eragon. Karena Saphira tidak bisa memasukkan kepala melalui pintunya, ia meringkuk di tanah di samping tenda dan bersiap menjaga.
Begitu kekuatanku pulih, akan kurawat luka-lukamu, Eragon berjanji.
Aku tahu. Jangan tidur terlalu malam karena bercakap-cakap.
Di dalam tenda, Eragon menemukan lentera minyak yang disulutnya dengan baja dan batu api. Ia bisa melihat dengan baik tanpa lentera, tapi Roran membutuhkannya.
Mereka duduk berhadapan: Eragon di ranjang yang dibentangkan di sepanjang satu sisi tenda, Roran di kursi bulat lipat yang ditemukannya menyandar di sudut. Eragon tidak yakin bagaimana memulainya, jadi ia tetap membisu dan menatap api lentera yang menari-nari.
Tidak satu pun dari mereka bergerak.
Sesudah entah berapa menit, Roran berkata, "Ceritakan bagaimana ayahku meninggal."
"Ayah kita." Eragon tetap tenang saat ekspresi Roran mengeras. Dengan suara lembut, ia berkata, "Aku
sama berhaknya dengan dirimu memanggilnya begitu. Lihatlah ke dalam dirimu sendiri; kau tahu itu benar."
"Baik. Ayah kita, bagaimana ia meninggal""
Eragon telah sering mengulangi cerita itu dalam beberapa kesempatan. Tapi kali ini tidak ada yang disembunyikannya. Tidak sekadar menyebutkan kejadian demi kejadian, ia menjabarkan apa yang dipikirkan dan dirasakannya sejak menemukan telur Saphira, berusaha agar Roran memahami kenapa ia melakukan apa yang dilakukannya. Ia belum pernah segelisah ini.
"Aku keliru menyembunyikan Saphira dari anggota keluarga lainnya," Eragon mengakhiri, "tapi aku takut kalian mungkin berkeras membunuhnya, dan aku tidak menyadari seberapa besar bahaya yang mengancam kita karena kehadirannya. Kalau aku tahu... Sesudah Garrow meninggal, kuputuskan untuk pergi dan melacak Ra'zac, juga agar Carvahall tidak terancam bahaya lagi." Tawa hambar terdengar dari mulutnya. "Ternyata tidak berhasil, tapi kalau aku tetap tinggal, para prajurit akan datang jauh lebih cepat. Lalu siapa yang tahu" Mungkin bahkan Galbatorix sendiri yang datang ke Lembah Palancar. Aku mungkin penyebab Garrow--Ayah--meninggal, tapi aku tidak pernah berniat begitu, aku juga tidak meniatkan kau dan semua orang lain di Carvahall menderita akibat pilihanku." Ia memberi isyarat pasrah. "Aku sudah berusaha sebaik-baiknya, Roran."
"Dan yang lainnya--Brom adalah Penunggang, menyelamatkan Arya di Gil'ead, dan membunuh Shade di ibukota kurcaci--semua itu terjadi""
"Aye." Secepat mungkin, Eragon menceritakan apa yang terjadi sejak ia dan Saphira pergi bersama Brom, termasuk perjalanan mereka ke Ellesmera dan perubahannya sendiri selama Agaeti Blodhren.
Sambil mencondongkan tubuh ke depan, Roran menumpukan siku pada lututnya, menangkupkan tangan, dan menatap tanah di antara mereka. Mustahil bagi Eragon untuk membaca emosinya tanpa menjangkau ke dalam kesadaran Roran, yang tidak ingin dilakukannya, tahu tindakan itu melanggar privasi Roran.
Roran membisu begitu lama hingga Eragon mulai bertanya-tanya apakah ia akan pernah menjawab. Lalu, "Kau melakukan kesalahan, tapi kesalahanmu tidak lebih besar daripada kesalahanku sendiri. Garrow meninggal karena kau merahasiakan Saphira. Banyak yang lain meninggal karena aku menolak menyerahkan diri pada Kekaisaran... Kita sama-sama bersalah." Ia menengadah, lalu mengulurkan tangan kanan perlahan-lahan. "Saudara""
"Saudara," kata Eragon.
Ia mencengkeram lengan bawah Roran, dan mereka berpelukan, bergulat seperti yang dulu biasa mereka lakukan di rumah. Sewaktu mereka memisahkan diri, Eragon terpaksa mengusap mata dengan dasar telapak tangannya. Galbatorix seharusnya menyerah sekarang, karena kita bersatu lagi," katanya bergurau. "Siapa yang tahan menghadapi kita berdua"" Ia kembali duduk di ranjang. "Sekarang katakan, bagaimana Ra'zac bisa menangkap Katrina""
Kebahagiaan menghilang dari wajah Roran. Ia berbicara dengan nada monoton pelan, dan Eragon mendengarkan dengan ketertegunan yang membesar sementara Roran menceritakan jalinan serangan, pengepungan, dan pengkhianatan, meninggalkan Carvahall, menyeberangi Spine, dan menyerang dermaga Teirm, berlayar melintasi pusaran air raksasa.
Sewaktu akhirnya ia selesai, Eragon berkata, "Kau lebih hebat daripada diriku. Aku tidak bisa melakukan separo pun dari tindakanmu. Bertempur, ya, tapi meyakinkan semua orang untuk mengikutiku, tidak."
"Aku tidak memiliki pilihan. Sewaktu mereka mengambil Katrina--" Suara Roran pecah. "Aku bisa menyerah dan mati, atau aku bisa berusaha melarikan diri dari perangkap Galbatorix, tidak peduli konsekuensinya." Ia menatap Eragon dengan pandangan berkobar-kobar. "Aku berbohong, membakar, dan membantai untuk bisa kemari. Aku tidak lagi harus khawatir soal melindungi semua orang dari Carvahall; kaum Varden akan memastikan hal itu. Sekarang aku hanya memiliki satu tujuan dalam hidup ini, menemukan dan menyelamatkan Katrina, kalau ia belum tewas. Kau mau membantuku, Eragon""
Eragon mengulurkan tangan dan meraih kantong pelana dari sudut tenda--tempat kaum Varden meletakkannya--dan mengambil mangkuk kayu dan botol air perak
berisi faelnirv yang telah dimantrai, pemberian Oromis padanya. Ia menghirup sedikit cairan itu untuk memulihkan tenaga dan tersentak saat cairan itu mengalir menuruni tenggorokannya, menyebabkan saraf-sarafnya bagai digelitik api dingin. Lalu ia menuang faelnirv ke mangkuk hingga membentuk genangan dangkal selebar telapak tangannya.
"Perhatikan." Setelah mengerahkan tenaga barunya, Eragon berkata, "Draumr kopa."
Cairan itu berpendar dan menghitam. Sesudah beberapa detik, sebaris cahaya tipis muncul di tengah mangkuk, menampilkan Katrina. Katrina tergeletak menempel ke dinding yang tak kasatmata, kedua tangannya tergantung di atasnya karena borgol yang tidak kelihatan dan rambut merahnya tergerai seperti kipas di punggungnya.
"Ia masih hidup!" Roran membungkuk di atas mangkuk, meraihnya seakan mengira bisa terjun ke dalam faelnirv dan bergabung dengan Katrina. Harapan dan kebulatan tekadnya berbaur dengan ekspresi yang begitu lembut hingga Eragon tahu hanya kematian yang bisa menghentikan Roran dari usaha membebaskan Katrina.
Karena tidak mampu mempertahankan mantranya lebih lama lagi, Eragon membiarkan gambaran itu memudar. Ia menyandar ke dinding tenda agar tidak jatuh. "Aye," katanya lelah, "ia masih hidup. Dan kemungkinan ia ditawan di Helgrind, di sarang Ra'zac." Eragon meraih bahu Roran. "Jawaban untuk pertanyaanmu, Saudara, adalah ya. Aku akan pergi ke DrasLeona bersamamu. Aku akan membantumu menyelamatkan Katrina. Dan sesudah itu, bersama-sama, kau dan aku akan membunuh Ra'zac dan membalas kematian ayah kita."
--------------------------SELESAI
Edited by Putri Fitriani http://www.facebook.com/hazel.angelo.5/
tamat Breaking Dawn 9 Goosebumps - 2000 12 Sari Otak Persekutuan Pedang Sakti 11
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama