Perfume The Story Of A Murderer Karya Patrick Suskind Bagian 5
Beberapa tahun terakhir, saat sedang heboh-hebohnya terjadi pembunuhan, godaan jahat ini belum mendera. Daya tarik yang terasakan masih daya tarik normal seorang anak
kecil. Karena itu ia juga tidak terlalu mencemaskan Laure bakal jadi korban. Semua orang tahu bahwa si pembunuh tak pernah menyerang anak-anak atau wanita dewasa. Incarannya selatu gadis perawan yang baru mekar. Namun, ia tetap memperketat penjagaan di rumah, memasang terali di semua jendela lantai atas, dan menyuruh pengasuh Laure berbagi kamar tidur dengan si gadis. Ia tak mau mengirim putrinya keluar kota seperti banyak dilakukan kawan-kawan lain - bahkan ada yang memboyong seluruh keluarga. Richis menganggap sikap ini sangat tidak pantas dilakukan sebagai seorang anggota dewan. Ia justru harus jadi panutan ketegaran, keberanian, dan keteguhan bagi masyarakat. Lagi pula, ia jenis orang yang tak rela putusannya dibuat oleh orang lain. Apalagi oleh publik yang panik dan gosip kriminal yang tidak jelas. Jadilah ia selama hari-hari kelabu itu menjadi salah satu dari segelintir orang yang kebal dari rasa takut dan tetap tenang.
Anehnya, kondisi itu kini berubah. Sementara masyarakat merayakan berakhirnya pembunuhan seolah si pelaku sudah digantung dan dengan segera melupakan masa-masa kelabu, ketakutan mulai merayapi jantung Antoine Richis seperti racun. Selama ini ia tak pernah mengakui bahwa justru rasa takutlah yang membuat ia menunda berbagai perjalanan dinas dan enggan meninggalkan rumah, atau buru-buru mengakhiri kunjungan dan pertemuan hanya agar bisa segera kembali pulang. Alasannya sibuk atau capek, tapi sesungguhnya ia cemas - sewajarnya kecemasan seorang ayah pada putrinya saat menjelang usia menikah. Tidakkah kecantikan Laure telah tersebar ke dunia luar" Tidakkah orang-orang selalu memanjangkan leher, bahkan sekarang, saat ia menemani putrinya ke gereja setiap Minggu" Berapa banyak lelaki terpandang yang telah mengajukan lamaran, baik atas nama sendiri atau atas nama putra mereka ... "
Empat Puluh Dua SUATU HARI DI BULAN MARET, Richis sedang santai di ruang duduk, menatap Laure keluar menuju taman belakang rumah. Si gadis mengenakan gaun biru, rambut merah tergerai lepas dan berkilau di terik matahari. Ia belum pernah melihat wajah itu demikian cantik. Laure menghilang di batik tanaman pagar. Dua detik selama Laure lenyap dari pandangan terasa terlalu la
ma, dan Richis ketakutan setengah mati karena dalam dua detik itu ia merasa kehilangan.
Malamnya Richis terbangun bermandikan keringat dan gemetar ketakutan. Akhirnya ia mengaku bahwa ia takut. Terasa bagai cengkeraman. Tapi dengan pengakuan itu perasaan jadi lebih tenang dan pikiran lebih jernih. Jujur saja, sejak awal ia tidak percaya pada kemanjuran kutukan uskup, juga pada kabar bahwa kini si pembunuh tengah asyik berdiam di Grenoble. Ia lebih yakin bahwa sebenarnya si pembunuh masih bercokol di Grasse Monster itu pasti tinggal di sini. Di tengah-tengah penduduk Grasse dan kelak akan menyerang lagi. Richis pemah melihat sendiri beberapa gadis yang menjadi korban selama bulan Agustus dan September. Pemandangan itu begitu mengguncang dan menghantui. Di pihak lain ia juga mengakui dan kagum, bahwa masing-masing korban tersebut memang sangat cantik dan elok. Si pembunuh telah membuka mata bahwa Grasse ternyata menyimpan banyak wanita cantik. Harus diakui bahwa monster itu punya selera istimewa soal wanita. Juga sistem yang dipakai. Setiap pembunuhan tidak hanya dilakukan dengan efisiensi yang sama, tapi pilihan korban juga
terencana dengan rapi dan halus. Richis memang tidak tahu apa yang sebenarnya dicari si pembunuh dari setiap korban karena ia pasti tak akan bisa merampas satu hal yang terbaik dari mereka semua, yaitu keindahan dan pesona keremajaan.... Atau bisa" Renungan berikut memang terdengar musykil, tapi tampaknya si pembunuh tidak memiliki jiwa destruktif, malah lebih seperti seorang kolektor yang hati-hati. Bagaimana bila semua korban tidak dilihat secara terpisah, tapi sebagai bagian dari prinsip atau idealisme tertentu yang lebih tinggi" Dus, karakteristik dari masing-masing korban bisa digabung secara idealistis menjadi sebuah kesatuan tunggal - seperti potongan-potongan mozaik yang membentuk sebuah keindahan absolut. Kalau hal ini bisa dilakukan, pancaran aura yang keluar tak akan lagi menyerupai manusia, tapi malaikat -atau semacam itu. (Kita lihat di sini, Richis adalah seorang pemikir intelek yang tidak takut mengambil kesimpulan tabu seputar agama. Walau tidak berpikir dalam kerangka penciuman dan lebih ke arah visual, kesimpulannya sangat mendekati kebenaran.)
Kalau begitu, lanjut Richis, anggaplah bahwa si pembunuh adalah seorang kolektor keindahan dan sedang mengerjakan sebuah lukisan tentang kesempurnaan - pun bila itu hanya eksis dalam pikiran sintingnya sendiri. Anggaplah kemudian bahwa si pembunuh tak pelak lagi memang memiliki selera tinggi dan metode sempurna. Jika benar demikian, ia pasti sadar bahwa masih ada satu komponen terpenting di muka bumi ini yang harus ia dapatkan kalau mau lukisannya sempurna, yaitu keelokan Laure. Seluruh tindakan sebelumnya tak akan berarti kalau yang satu ini luput. Laure adalah fondasi bagi bangunan kesempurnaan itu.
Sementara kesimpulan mengerikan ini terbentuk, Richis duduk di pinggir ranjang dan takjub melihat ketenangannya sendiri. Tubuh tidak terasa dingin atau menggigil lagi. Ketakutan yang mendera selama berminggu-minggu telah lenyap, digantikan kesadaran akan adanya sebuah bahaya. Jelaslah kini bahwa Laure memang menjadi tujuan utama sejak awal. Menjadi mahkota dari semua pembunuhan, seperti orang naik tangga menuju puncak. Belum jelas benar apa tujuan di balik semua ini, kalau memang ada. Apa pun itu, yang penting sekarang Richis sudah tahu inti masalahnya. Rahasia di belakang metode sistematis si pembunuh dan motif idealismenya. Makin lama dipikir ia makin puas dengan kesimpulan ini dan makin besar pula kekagumannya pada si pembunuh. Kekaguman yang ia akui seperti layaknya becermin, karena merasa berhasil mengungkap jejak musuh dengan kejelian dan ketajaman analisis pribadi.
Richis merasa bahwa seandainya ia berada di posisi sebagai pembunuh dan terobsesi dengan idealisme serupa, tindakannya pasti tak jauh beda dengan si pembunuh. Bekerja perlahan, menempatkan Laure sebagai puncak prestasi.
Pikiran ini muncul didasari pertimbangan bahwa jika ia mampu menempatkan diri dalam pikiran calon pembunuh putrinya ini, berarti ia berada di atas si pembun
uh. Toh si pembunuh tak bisa berlaku sebaliknya, menempatkan diri di pikiran Richis. Teknik ini kira-kira sama dengan teknik bisnis mutatis mutandis. Kita bisa mengalahkan pesaing jika mampu menjejaki niat bisnisnya. Dengan demikian, si pesaing tak mungkin bisa unggul. Kecuali mungkin Antoine Richis, karena ia adalah seorang pejuang alami dan petarung berpengalaman. Orang tahu bahwa bisnis parfum terbesar di Prancis, kekayaan, jabatannya sebagai anggota-kedua dewan kota, semua tidak jatuh begitu saja dari langit tapi diperoleh dengan darah dan keringat perjuangan. Dengan kelihaian dan kelicikan, ia mampu mengenali
bahaya jauh-jauh hari, pandai menebak rencana pesaing dan mengalahkan lawan. Dengan cara yang sama pula ia akan mencapai cita-cita di masa depan, yaitu kekuasaan dan status bangsawan untuk anak-cucu. Demikian pula, ia akan mengatasi rencana si pembunuh - dalam hal ini sebagai pesaing mendapatkan Laure. Selain atas alasan sebagai seorang ayah, Laure juga merupakan fondasi penting bagi rencana Richis ke depan. Jadi mutlak harus dimenangkan. Ia tulus menyayangi tapi juga butuh untuk kepentingan pribadi. Tak ada yang boleh melangkahi ambisinya. Akan ia pertahankan dengan segala cara.
Richis merasa lebih baik sekarang. Keberhasilan merendahkan posisi imajiner si pembunuh dari sosok Iblis menakutkan menjadi sekadar pesaing membuatnya lebih berani dan angkuh. Tak ada lagi sisa-sisa rasa takut. Kesedihan dan kegelisahan yang membuatnya pikun telah lenyap. Kabut perangkap kemurungan yang meraja selama berminggu-minggu itu terangkat sudah. Secara psikologis ia merasa lebih siap, kenal medan, dan mampu mengatasi setiap tantangan.
Empat Puluh Tiga DENGAN LEGA IA MELOMPAT dari ranjang, menarik bel pelayan, dan menyuruh pelayannya yang terkantuk-kantuk mengepak pakaian dan perbekalan karena pagi ini juga ia hendak pergi ke Grenoble bersama Laure. Setelah salin pakaian ia bergegas membangunkan pelayan lain.
Tengah malam itu, rumah di jalan Droite tampak begitu sibuk. Tungku menyala di dapur; pembantu-pembantu wanita berkelebat di koridor; para pelayan bergegas turun naik tangga; kunci-kunci gudang loteng bergemerencing di
saku pengurus rumah tangga; obor-obor menyala di pekarangan; pengurus kuda sibuk menyiapkan kuda tunggang dan keledai untuk membawa perbekalan - sibuk memasang tali kekang, sadel, mondar-mandir memuati barang. Orang sampai nyaris yakin bahwa pasukan Austro-Sardinian akan datang, menjarah dan membakar seperti yang terjadi pada tahun 1746, dan bahwa pemilik rumah sedang bersiap kabur dalam kepanikan. Padahal sama sekali tidak! Pemilik rumah sedang duduk di ruang kerja dengan pose seagung panglima perang Prancis. Secangkir cafe au lait terseduh nikmat seraya memberi perintah pada bawahan. Ia juga menulis surat untuk wali kota, anggota-pertama dewan kota, sekretaris, pengacara, bankirnya di Marseille, kepada Baron de Bouyon dan partner-partner bisnisnya.
Sekitar jam enam pagi ia selesai dengan urusan korespondensi dan memberi semua perintah yang dibutuhkan untuk melaksanakan rencana. Tak lupa mengantongi dua pucuk pistol, mengencangkan sabuk uang, dan mengund laci meja. Setelah itu ia beranjak membangunkan Laure.
Jam delapan pagi rombongan kecil itu berangkat. Richis berkuda di depan. Tampak gagah dengan bordiran emas, mantel burgundi di balik mantel berkuda warna hitam dan topi hitam berhias bulu unggas. Ia diikuti Laure, berkuda dengan gaun lebih sederhana namun memancarkan kecantikan yang membuat orang-orang sepanjang jalan dan di jendela menatap sendu. Ditingkahi suara "aah..." dan "ooh..." sementara para lelaki menurunkan topi - seolah demi sang anggota dewan, tapi sesungguhnya demi Laure sang gadis anggun. Tak jauh di belakang menyusul si pengasuh dan rombongan pelayan dengan dua kuda beban. Buruknya jalan menuju Grenoble membuat perjalanan tak mungkin ditempuh dengan kereta. Ujung parade diisi
selusin keledai beban di bawah pengawasan dua orang tukang kuda. Tiba di gerbang du Cours, para penjaga menawarkan pengawalan sampai keledai terakhir lewat dari gerbang. Anak-anak berlarian di belakang samp
ai beberapa lama, melambaikan tangan pada rombongan yang berjalan perlahan menyusuri jalan curam dan berliku ke arah pegunungan.
Kepergian Antoine Richis dan putrinya meninggalkan kesan aneh namun dalam pada warga Grasse. Rasanya seperti baru saja menyaksikan prosesi pengorbanan kuno. Segera tersebar berita bahwa Richis sedang menuju Grenoble - kota tempat si pembunuh gadis kini bernaung. Orang-orang tak bisa menebak apa maksudnya. Apakah Richis menunjukkan keberanian atau kebodohan dengan mengabaikan ancaman kriminal" Apakah ia sedang menantang atau berdamai dengan Tuhan" Ada pertanda samar bahwa inilah terakhir kali mereka melihat Laure Richis, si gadis cantik berambut merah.
Kecurigaan ini bisa jadi benar, tapi dasar anggapannya palsu. Richis sama sekali tidak sedang menuju Grertoble. Pawai kepergiannya hanya taktik pengalih perhatian. Satu setengah mil di barat laut Grasse, dekat desa Saint-Vallier, ia memerintahkan rombongannya untuk berhenti. Kepada pelayan ia menyerahkan surat-surat legal dan berkas-berkas pengiriman barang lalu menyuruhnya membawa rombongan keledai dan tukang kuda melanjutkan perjalanan ke Grenoble.
Ia sendiri malah balik arah bersama sang putri dan pengasuhnya ke arah Cabris. Di situ mereka beristirahat siang hari dan setelah itu langsung melewad pegunungan Tannerort ke arah selatan. Jalan yang ditempuh sangat sukar, tapi mampu memutari Grasse dan lembahnya dalam jalur memutar sangat luas dan tiba di tepi pantai sore hari tanpa dikenali. Hari berikutnya, menurut rencana Richis, ia
akan menyeberang naik feri bersama Laure ke Iles de Lerins - sebuah pulau kecil tempat biara Saint-Honorat yang terkenal berbenteng dan dijaga ketat. Pengurusnya memang sudah tua-tua, tapi terdiri dari pendeta-pendeta mumpuni yang dikenal baik oleh Richis karena selama bertahun-tahun ia selalu membeli dan menjual kembali seluruh hasil produksi biara berupa anggur eukaliptils, kacang pirtus, dart minyak cemara. Biara Saint-Honorat ini - selain penjara Chateau d'If dan penjara negara di pulau Ile Sainte-Marguerite - merupakan tempat paling aman di seluruh Provence. Richis berniat menitipkan putrinya di situ untuk sementara. Ia sendiri harus segera kembali. Kali ini memutari Grasse ke arah timur lewat Antibes dan Cagnes, lalu tiba di Verice sore itu juga. Ia telah memerintahkan sekretarisnya untuk langsung ke sana menyiapkan perjanjian dengan Baron de Bouyon tentang pernikahan anak-anak mereka, Laure dan Alphonse. Richis akan memberi tawaran yang tak bisa ditolak sang Baron berupa pembayaran seluruh utang berjumlah 40 ribu livre, maskawin berupa tanah bernilai setara berikut pembagian kepemilikan atas tanah tersebut, sebuah penggilingan minyak dekat Maganose, dan penghasilan tahunan sebesar 30 ribu livre untuk kedua mempelai. Richis sendiri mengajukan syarat agar perkawinan ini harus berlangsung dalam tempo sepuluh hari ke depan, seluruh kontrak diteken pada hari jadi dan kedua mempelai kelak tinggal di Vence.
Richis bukannya tak sadar bahwa dalam ketergesa-gesaan ini ia telah menawar harga terlalu tinggi untuk mahar penyatuan kedua keluarga. Bisa lebih murah kalau ia mau menunggu lebih lama. Sang Baron bakal mengemis padanya agar diizinkan meningkatkan status sosial putri seorang pedagang grosir borjuis melalui perkawinan dengan putranya. Dengan demikian, tak hanya keelokan
Laure yang akan tumbuh, tapi juga kekayaan Richis dan kondisi keuangan Bouyon. Tapi peduli amat! Lawan sesungguhnya dalam bisnis kali ini bukan sang Baron, tapi si pembunuh misterius. Dialah pesaing yang bisnisnya wajib dirusak. Seorang wanita menikah yang tak lagi perawan, apalagi kalau hamil, tak akan cocok lagi untuk masuk ke galeri keindahannya. Puncak potongan mosaik ini justru akan merusak keindahan yang lain. Dengan kata lain, Laure tak akan lagi menarik minat si pembunuh dan semua usahanya akan sia-sia. Richis ingin menikmati kekalahan itu! Ia berniat menyelenggarakan pesta pernikahan di Grasse, lengkap dengan segala kemegahan dan terbuka untuk umum. Pun bila ia tak mengenal sendiri seperti apa wajah saingannya itu, ia tetap akan mencici
pi kesenangan pribadi dengan menganggap bahwa si pembunuh pasti hadir di antara pengunjung dan terpaksa melihat objek mimpinya dirampas di depan hidung.
Rencana telah disusun rapi, dan sekali lagi kita harus mengagumi ketajaman insting Richis yang nyaris mendekati kenyataan. Perkawinan Laure Richis dengan putra Baron memang akan menjadi pukulan berat bagi si pembunuh kora Grase. Tapi rencana ini belum sepenuhnya terlaksana. Richis belum menyelamatkan putrinya dengan perkawinan. Ia belum menyeberang dan menitipkan putrinya di biara Saint-Honorat. Tiga penunggang kuda itu - Richis, Laure, dan pengasuhnya -masih harus melewati pegunungan Tanneron yang tak ramah. Kadang jalan begitu buruk sampai mereka terpaksa turun dati kuda. Sungguh memperlambat perjalanan. Sore hari mereka berharap bisa mencapai laut dekat La Napoule,
Empat Puluh Empat KETIKA LAURE RICHIS dan ayahnya meninggalkan Grasse, Grenouille sedang berada di bagian lain kota itu, di tempat Arnulfi, sibuk merendam bunga jonquil. Sendirian dan suasana hatinya cerah. Hari-hari di kota ini akan segera berakhir. Hari kemenangan sudah dekat. Di kabinnya ada sebuah peti beralas kain kanin berisi 24 flacon kecil yang masing-masingnya sarat dengan aroma dari 24 perawan. Esensi aroma berharga ini dibuat Grenouile selama setahun terakhir dengan merendam tubuh mereka dalam
inyak dingin, memproses potongan rambut dan pakaian, melakukan pembilasan dan penyulingan. Dan hari ini ia berencana mengambil korban ke-25 - korban paling berharga dan terpenting. Persiapan akhir telah dilakukan sebelum ekspedisi. Ia telah menyiapkan sebuah wadah kecil berisi minyak yang dimurnikan beberapa kali, selembar kain dari linen terbaik, dan sebotol besar alkohol berkadar tinggi. Medan telah dipelajari sampai detail terkecil. Bulan baru telah dimulai.
Grenouille sadar tak ada gunanya mendobrak rumah di jalan Droite begitu saja. Itu sebabnya ia berniat menyelinap tanpa menggunakan parfum apa pun persis setelah matahari terbenam dan sebelum pintu-pintu ditutup. Tubuh Grenouille yang tiada berbau ini berkali-kali terbukti ampuh menumpulkan indra perseptif manusia. Sedikit banyak ia jadi seperti hantu, meski tetap harus berhati-hati dan segera mencari tempat persembunyian begitu masuk rumah. Ia akan menu.nggu di persembunyian tersebut sampai seisi rumah lelap, baru setelah itu beraksi mengikuti kompas hidung menyusuri kegelapan naik sampai ke kamar "harta karun'. Ia berencana menggunakan kain berlapis minyak di tempat itu juga. Yang dibawa
pulang nanti, seperti biasa, hanya rambut dan pakaian korban, karena dua benda ini bisa langsung dibilas dengan alkohol rektifikasi, kendati sebenarnya lebih aman dikerjakan di tempat kerja. Mungkin butuh tambahan satu malam untuk menyelesaikan pembuatan pomade dan mengolah konsentratnya. Kalau semua berjalan lancar, dan ia yakin pasti begitu, dua hari mendatang ia akan memiliki seluruh ramuan yang dibutuhkan umuk membuat parfum terbaik di dunia. Ia akan meninggalkan Grasse sebagai manusia paling harum di dunia.
Sekitar tengah hari, ia selesai merendam jonquil. Grenouille mematikan api, menutup belanga minyak, lalu keluar untuk menyegarkan diri. Angin bertiup dari arah barat.
Sejak napas pertama ia langsung tahu bahwa ada yang tidak beres. Atmosfernya tidak wajar. Seperti ada yang hilang dari kelambu rajutan benang emas yang membentuk aroma istimewa di taman belakang tembok. Beberapa minggu terakhir Grenouille merasakan aroma rajutan itu tumbuh makin kuat sampai bisa diendus dengan jelas dari kabinnya di ujung kota. Sekarang kok hilang. Lenyap begitu saja dari jamahan hidung Grenouille yang supersensitif. Grenouille nyaris kaku ketakutan.
Gadis mungilku sudah mati, pikirnya. Lalu yang lebih menakutkan lagi: ada yang mendahului. Seseorang telah memetik bunga mawarku dan mengambil aromanya untuk disimpan sendiri! Benarkah begitu" Grenouille bahkan tak sanggup menjerit saking tegangnya, tapi tetap bisa menghasilkan air mata yang tahu-tahu mengalir di kedua sisi hidung.
Lalu Druot, sekembalinya dari tongkrongan wajib di Quatre Dauphins untuk makan siang, iseng
mengabari sambil lalu bahwa subuh tadi sang anggota dewan pergi menuju Grenoble bersama dua belas keledai beban dan
putrinya. Grenouille segera mengusap air mata dan lari memastikan sendiri ke gerbang Cours. Ia berhenti untuk mengendus udara di sekitar rumah sebelum sampai di gerbang. Dari angin barat nan murni, yang belum lagi terkontaminasi aroma kota, ia bisa melacak rajutan benang emas itu. Walau tipis dan amat samar, tapi tidak salah lagi! Tapi... aroma ini tidak bertiup dari barat laut menuju Grenoble, tapi dari arah Cabris - kalau tidak langsung berhembus dari barat daya.
Pada penjaga gerbang kota Grenouille bertanya jalan mana yang tadi diambil oleh sang anggota dewan. Si penjaga menunjuk arah utara. Bukan jalan ke Cabris" Atau sebaliknya barangkali, mengarah ke selatan ke arah Auribeau dan La Napoule" Sama sekali tidak, tegas si penjaga. Ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri.
Grenouille berlari kembali ke kabin dan segera mengepak kain linen, wadah pomade, alat pengaduk, gunting, serta sebilah kayu kecil ke dalam buntel dan langsung menempuh perjalanan. Tidak ke arah Grenoble, tapi ke arah yang ditunjuk hidungnya, yaitu ke selatan.
Jalan yang diambil adalah jalur langsung menuju La Napoule yang membentang sepanjang kaki bukit pegunungan Tanneron, lewat sungai di lembah Frayere dan Siagne. Ini jalur mudah dan Grenouille menyusul dengan cepat. Begitu kota Auribeau muncul di sisi kanannya, menempel pada pegunungan di atasnya, ia bisa mengendus bahwa ia hampir bisa menyusul. Sekarang ia bisa mencium bau masing-masing rombongan dan bau kuda-kuda mereka. Tak lebih dari setengah mil ke arah Barat, di suatu tempat di hutan Tartneron. Mereka tengah menyusuri jalan ke arah selatan, ke arah laut. Grenouille mengikuti.
Sekitar jam lima sore itu, Grenouille tiba di La Napoule. Ia langsung ke penginapan, makan, dan memesan kamar murah, di samping mengaku sebagai seorang ahli
penyamak kulit dari Nice yang hendak menuju Marseille. Ia bisa tidur di kandang kuda kalau mau. Grenouille tak keberatan. Segera menggelar selimut di sudut kandang dan beristirahat. Hidungnya mencium tiga penunggang kuda mendekati kota. Ia hanya harus menunggu.
Dua jam kemudian, menjelang malam, yang ditunggu akhirnya tiba di kota. Agar tetap tak dikenali, mereka berganti kostum. Dua wanita dari rombongan itu kini bermantel dan berkerudung hitam, sementara Richis mengenakan mantel panjang warna hitam. Ia memperkenalkan diri sebagai seorang bangsawan yang tengah dalam perjalanan menuju Castllane. Pagi-pagi sekali ia ingin diseberangkan ke Iles de Urins. Pemilik penginapan diminta menyiapkan perahu untuk besok pagi. Apakah ada tamu lain di penginapan ini selain ia dan rombongan" Richis bertanya. Tidak, jawab pemilik penginapan. Hanya seorang ahli penyamak kulit dari Nice yang kemalaman dan tidur di kandang kuda.
Richis segera menyuruh putri dan pengasuhnya naik ke kamar mereka. Ia hendak ke kandang kuda dengan alasan mau mengambil sesuatu dari tas di sadel. Awalnya ia tak bisa menemukan si ahli karena gelap dan terpaksa meminjam lentera dari tukang kuda. Lalu ia melihatnya: berbaring bersama tumpukan jerami dan selimut tua di sudut kandang, dengan kepala bersandar buntel dan tidur lelap. Orang ini tidak tampak mencolok. Richis bahkan beroleh kesan seolah si ahli tidak ada di situ sama sekali. Padahal persis di depan mata. Pikirnya, pasti hanya pantulan bayangan dari cahaya lentera. Yang jelas saat itu ia langsung yakin bahwa orang ini tidak berbahaya dan segera pergi lagi diam-diam karena tak ingin membangunkannya, lalu kembali ke penginapan.
Richis makan malam di kamar bersama putrinya. Ia belum menjelaskan alasan dan tujuan perjalanan ini
padanya. Pun saat didesak. Richis berjanji akan bercerita besok pagi, seraya meyakinkan bahwa semua ini demi kebaikan dan jaminan masa depan Laure sendiri.
Setelah makan mereka bermain kartu l'hombre sebentar. Ia kalah karena lebih menyimak wajah lawan ketimbang kartunya sendiri. Sekitar jam sembilan ia mengantar Laure ke kamar yang berada persis di depan kamarnya sendiri. Pintu ia kunci dari luar lalu pe
rgi tidur. Mendadak Richis merasa begitu lelah setelah sehari semalam berkuda, sekaligus puas dengan perkembangan situasi sejauh ini. Ia tidak curiga atau mencemaskan apa pun, padahal baru kemarin ia sulit tidur selama berminggu-minggu. Malam ini ia langsung lelap tanpa bermimpi, tanpa suara dan tidak bergerak sampai pagi. Untuk pertama kali Richis tidur dengan begitu nyaman dan segar.
Bersamaan dengan itu, Grenouille bangun dari peraduannya di kandang kuda. Ia juga puas dengan perkembangan situasi dan merasa bugar, walau belum tidur sedetik pun. Saat Richis datang mencari, ia hanya pura-pura tidur. Menebar aura kepolosan melalui aroma aslinya yang tak berbau. Jika Richis hanya melihat sekilas, Grenouille sempat mengamati dengan cermat melalui hidung. Kelegaan Richis juga tak lolos dari perhatiannya.
Dalam pertemuan itu kedua pihak sama-sama yakin bahwa yang diamati tidak perlu dicemaskan. Keduanya sama-sama benar dan salah, dan memang demikianlah seharusnya, pikir Grenouille. Buat dia sendiri, posisi ini akan mempermudah rencana. Richis juga akan berpikiran sama jika situasinya dibalik.
Empat Puluh Lima GRENOUILLE MENYIAPKAN PEKERJAAN dengan
kecakapan seorang profesional. Ia membuka buntel, mengeluarkan kain linen, pomade, dan alat pengaduk, kemudian menggelar kain linen itu di atas selimut lalu mulai mengolah pasta berlemak. Pekerjaan ini butuh waktu karena minyak lemak harus dioleskan tipis atau tebal tergantung bagian tubuh mana yang akan ditempel di kain tersebut. Bagian mulut dan ketiak, buah dada, kelamin dan kaki memberi aroma lebih kuat ketimbang garas kaki, punggung, dan siku, misalnya. Telapak tangan lebih beraroma ketimbang punggung tangan, alis mata melebihi kelopak mata, dan sebagainya. Karena itu harus diberi lapisan lemak lebih tebal. Grenouile sedang membuat sebuah model, di mana diagram aroma ditransfer ke aras kain linen tersebut berdasarkan bagian tubuh yang akan dibalut. Pekerjaan ini termasuk yang paling menyenangkan dilakukan karena bergantung pada kecakapan teknik artistik yang digabung dengan wawasan, imajinasi, dan ketangkasan si seniman itu sendiri, selain juga melambungkan kenikmatan menunggu hasil akhir.
Setelah pomade habis dioles, ia haluskan lagi di sana-sini, membuang beberapa bagian yang terlalu tebal, menambah lagi di sana, menata ulang, memeriksa lanskap sebaran lemak dari model yang dibuat, sekali lagi. Semua dilakukan dengan hidung, bukan dengan mata, karena sekelilingnya gelap gulita. Mungkin itu juga sebabnya Grenouille merasa nyaman. Tak ada yang mengganggu di malam bulan baru ini. Dunia hanya menyisakan aroma dan debur halus ombak dari laut.
Grenouille lalu menggulung kain linen seperti bagian-bagian yang telah disempurnakan tadi pasti saling tumpang-tindih, menipis, atau bergeser. Tapi tak ada cara lain lagi membawanya. Setelah dilipat cukup kecil sampai muat di bawah lengan tanpa menghalangi gerak, ia memasukkan pengaduk, gunting, dan pentungan kayu kecil ke saku, lalu menyelinap di kegelapan malam.
Awan sedang tebal. Tak ada cahaya menyala di penginapan. Satu-satunya sumber cahaya hanya setitik kerdipan mercusuar di benteng pulau Ile Sainte-Marguerite, berjarak satu mil di sebelah timur. Angin amis bertiup ringan dari arah pelabuhan. Anjing-anjing sedang lelap.
Grenouille berjalan ke jendela atap bagian belakang bangunan gudang tempat sebuah tangga bersandar. Ia angkat tangga itu, diseimbangkan secara vertikal, tiga anak tangga ia apit dengan tangan kanan, sementara sisanya dibiarkan menekan bahu kanannya. Lalu ia bergerak melewati pekarangan sampai tiba persis di bawah jendela kamar Laure. Jendelanya terbuka lebar. Sambil memanjat tangga ia bersyukur atas situasi yang mempermudah panen aroma kali ini di La Napoule. Di Grasse, kebanyakan rumah, termasuk rumah Richis, sudah dipasangi terali dan dijaga ketat. Laure bahkan tidur sendiri di kamar ini. Ia tak harus memusingkan si pengasuh lagi.
Grenouille mendorong daun jendela, menyelinap ke kamar, dan menggelar kain linen. Lalu beralih ke ranjang. Aroma dominan mengambang dari rambut Laure karena si gadis tidur tengkur
ap dengan kepala bersandar bantal dan disangga lengan terlekuk - memperlihatkan belakang kepala dalam posisi yang nyaris ideal untuk dihajar dengan kayu.
Suara pukulan terdengar tumpul dan gemeretak. Grenouille benci ini. Benci karena suara yang ditimbulkan. Suara yang keluar di tengah prosedur yang mestinya tak
bersuara. la enahan suara itu dengan engeraskan gemeretak gerahamnya. Setelah usai ia berdiri kaku seolah takut suara itu berbalik menggema. Tapi tidak. Hanya kesunyian yang datang. Kesunyian yang makin meninggi, karena kini napas si gadis tak lagi terdengar. Seketika itu juga ketegangan Grenouille mengendur dan ia kembali rileks.
Setelah menyingkirkan pentungan, kini tinggal membereskan tujuan utama. Pertama-tama ia membuka lipatan kain linen kemudian menggelarnya di atas meja dan kursi dengan hati-hati agar lapisan lemaknya tidak rusak. Lalu ia menarik seprai pembungkus ranjang. Aroma si gadis meledak begitu hangat dan masif, namun Grenouille tetap teguh. Ia kenal aroma ini dan kelak akan dinikmati sendiri seutuhnya setelah pekerjaan selesai. Yang penting sekarang adalah bagaimana menangkap aroma ini sebanyak mungkin. Kini waktunya konsentrasi dan buru-buru.
Dengan gunting ia memotong dan menyingkirkan gaun tidur lalu menebar kain linen berlemak ke tubuh telanjang si gadis, mengangkat mayat dan menyelipkan bagian kain yang tersampir ke bawah tubuh, membungkus rapat dari kaki sampai kening. Hanya rambut yang menyembut keluar dari bungkusan mumi itu. Grenouille memotongnya sampai ke dekat kulit kepala dan mengepaknya bersama pakaian tidur, diikat dan dibuntel. Terakhir ia mengambil secarik kain yang masih tersampir dan membungkuskannya ke kepala yang baru dicukur. Ujung-ujung kain dan bagian lain dirapikan dengan jari agar rapat dan ketat. Ia menjauh sedikit, mencermati pekerjaannya dan puas melihat mayat telah terbungkus sempurna.
Kini waktunya menunggu. Selama enam jam, sampai fajar. Grenouille menarik kursi kecil tempar ia menaruh buntel pakaian Laure. Ditariknya ke dekat ranjang dan ia pun duduk. Desah lembut aroma si gadis masih menempel
di mantel hitam, bercampur dengan aroma biskuit adas manis dalam kantung yang disimpan sebagai bekal perjalanan. Grenouille mengangkat kaki ke tepi ranjang, berselimut pakaian tidur korban dan asyik mengunyah biskuit. Ia memang lelah, tapi tak mau tidur karena sangat tidak pantas tertidur kala bekerja. Pun bila yang dilakukan hanya menunggu. Ia ingat kembali malam hari saat menyuling di toko Baldini. Pada botol suling yang gosong, letikan api, decik lembut suara hasil sulingan saat menetes dari tube ke botol Florentine. Saat seperti ini api harus tetap dijaga, menuang lagi air penyulingan, mengganti botol Florentine serta mengganti ramuan yang sudah jenuh. Saat itu Grenouille merasa mampu terjaga bukan semata-mata menjaga rutinitas pekerjaan, tapi karena kondisi terjaga itu memiliki tujuan unik tersendiri. Bahkan sekarang, di kamar tidur ini, di mana proses penyerapan sedang berlangsung dengan sendirinya, karena kalau diusik dengan pemeriksaan prematur justru akan merusak proses itu sendiri. Bahkan di sini, saat ini, Grenouille merasakan pentingnya kondisi terjaga. Tidur hanya akan membahayakan semangat keberhasilan.
Tak sulit baginya untuk begadang dan menunggu, kendati lelah. Grenouille mencintai penantian ini. Begitu juga dengan kasus ke-24 gadis sebelumnya. Tidak terasa hambar atau apa. Bosan pun tidak. Yang terasa adalah penantian penuh perhatian, penuh makna dan aktif. Ada yang terjadi sementara ia menunggu. Hal terpenting dan paling pokok dari seluruh kegiatan yang dilakukan. Ia telah mengusahakan yang terbaik, mengerahkan seluruh keahlian artistik dan tidak membuat kesalahan. Kerja yang dilakukan terasa unik. Sepatutnya dimahkotai kesuksesan. Hanya tinggal beberapa jam lagi. Proses menunggu ini justru membuatnya puas. Belum pernah ia merasa begitu nyaman, begitu damai, tenang, utuh dan menyatu dengan
diri sendiri. Bahkan melebihi saat di gunung dulu, karena sekarang ada karya nyata yang sedang berlangsung sementara menunggu. Benak Grenouille jarang disesaki k
eceriaan seperti ini. Anehnya, pikiran ini tidak melambung sampai ke masa depan. Ia tidak memikirkan seperti apa aroma yang akan diperoleh beberapa jam lagi, tidak pula soal aroma yang terbentuk dari aura 25 orang perawan. Tidak membayangkan rencana, kebahagiaan, atau kesuksesan di masa depan. Tidak. Grenouille malah pergi ke masa lalu. Ia ingat berbagai tahapan dan peristiwa dalam hidupnya, mulai dari rumah Madame Gaillard dan tumpukan kayu lembap di pekarangan, sampai perjalanan hari ini ke desa La Napoule yang berbau amis. Ia teringat Grimal si penyamak, Giuseppe Baldini, dan Marquis de la Taillade-Espinasse. Ia teringat kota Paris, pada kabut aromanya yang amat luas - aroma jahat dari ribuan penghuninya yang angkuh, pada si gadis berambut merah dari jalan Marais, padang-padang nan luas, angin pegunungan dan hutan, ia juga teringat gunung Auvergne dan mimpi mengerikan di gua itu, pada kenangan tentang aroma diri yang tidak seperti manusia normal. Setiap detail melintas dengan kepuasan luar biasa. Sungguh, kalau dikilas balik begini rasanya ia jadi manusia paling beruntung sedunia. Takdir menuntun ke jalan hidup yang keras dan sadis, tapi terbukti memang jalan yang benar. Bagaimana lagi caranya ia bisa sampai di sini, pada saat ini, di kamar ini, persis di ambang pencapaian tujuan hidup" Makin direnung, tak pelak lagi bahwa ia memang manusia penuh berkah.
Rasa syukur dan kerendahan hati membuncah mendeburi batin. "Terima kasih," ujarnya perlahan. "Terima kasih, wahai Jean-Baptiste Grenouille, karena telah menjadi apa adanya dirimu!" Ia begitu terharu, oleh diri sendiri.
Grenouille menutup mata. Bukan untuk tidur, tapi agar mampu menyelimuti diri dengan kedamaian malam suci ini. Kedamaian yang begitu tenang dan sekaligus mengungkung mengelilingi. Ia mencium lelapnya si pengasuh di ruang sebelah, kenyamanan Antoine Richis di seberang koridor, nyenyaknya si pemilik penginapan dan para pelayan, anjing penjaga, ternak di kandang, seluruh desa dan laut. Angin telah lama mati. Waktu seperti berhenti berdetak. Tak ada yang mengusik kedamaian.
Sesekali ia menggeser kaki di pinggir tempat tidur agar lebih nyaman dan menyenggol lembut kaki mendiang Laure. Bukan kakinya persis, tapi kain yang membungkus tubuh itu dan lapisan tipis lemak peresap yang terus melahap aroma. Aroma dahsyat sang gadis. Aroma Grenouille.
Empat Puluh Enam SAAT BURUNG MULAI BERCICIT, tak lama menjelang fajar, Grenouile bangkit dan menyelesaikan pekerjaan. Kain linen dibuka dan diangkat seperti membuka perban. Lemak mengelupas dari kulit dengan sempurna. Beberapa potongan kecil bersisa di sejumlah tempat dan harus dikerik dengan sendok. Sisa lapisan pomade dilap dengan pakaian dalam si gadis. Grenouille mengelap seluruh tubuh dari kepala sampai telapak kaki untuk terakhir kali. Begitu menyeluruh sampai minyak dari pori-pori kulit juga ikut terangkat, berikut seluruh serpih dan filamen terakhir aromanya. Saat itulah Laure benar-benar mati bagi Grenouille. Layu, pucat, dan lemas seperti kelopak jatuh.
Grenouille membungkus pakaian dalam bekas mengelap bersama pakaian tidur dan rambut. Hanya pada benda-benda itu si gadis kini "hidup". Grenouille menggulung sedemikian rupa sampai benar-benar padat lalu diapitnya di bawah lengan. Ia bahkan tak mau repot menutup mayat telanjang itu di tempat tidur. Pun saat cahaya buram fajar memberkas masuk dari jendela, ia tidak melirik untuk terakhir kalinya. Keelokan fisik tidak menarik minat Grenouille. Laure tak lagi eksis sebagai tubuh, tapi sebagai aroma tanpa wujud. Itu yang dibawanya sekarang di bawah ketiaknya.
Perlahan ia menyelinap keluar jendela menuruni tangga. Angin mulai bertiup dan langit mulai cerah. Memancarkan cahaya biru gelap nan dingin ke tanah di bawahnya.
Setengah jam kemudian, pelayan penginapan menyalakan api di dapur. Saat keluar untuk mengambil cambahan kayu bakar ia, melihat tangga masih bersandar di bawah jendela, namun ia masih terlalu mengantuk untuk berkesimpulan macam-macam. Beberapa menit lewat jam enam, matahari bangkit. Berpendarlah raksasa merah keemasan itu, beranjak naik dari benta
ngan laut di antara hes de Urins. Langit tak berawan, menandai datangnya musim semi.
Dengan kamar menghadap ke arah barat, Richis belum mau bangun sampai jam tuJuh. Ia benar-benar tidur nyenyak untuk pertama kali sejak berbulan-bulan dan tidak seperti biasanya memilih untuk berbaring dulu barang seperempat jam di atas ranjang. Mengulat dan melenguh nikmat sementara menyimak suara kesibukan dari dapur di lantai bawah. Akhirnya ia bangun dan membuka jendela. Menikmati pemandangan dan cuaca cerah pagi hari serta desir laut di kejauhan. Suasana hatinya meningkat tanpa batas. Richis bersiul melantunkan melodi ceria.
Ia terus bersiul sambil bersalin, dan masih bersiul saat meninggalkan kamar lalu tiba di depan pintu kamar putrinya di seberang koridor. Tangan mengetuk dan
mengetuk lagi dengan lembut agar tidak mengejutkan Laure yang mungkin masih lelap. Tak ada jawaban. Richis tersenyum. Laure pasti masih tidur.
Dengan hati-hati ia menyelipkan kunci ke lubangnya dan memutar dengan sangat perlahan agar tidak berisik. Ia ingin melihat Laure lelap. Ingin membangunkannya dengan kecupan, untuk terakhir kali sebelum diserahkan ke lelaki lain dalam ikatan perkawinan.
Pintu terbuka, Richis masuk dan langsung disambut terik matahari pagi. Seisi kamar berkilau seperti disepuh perak. Untuk sesaat ia terpaksa berpejam mata karena pedih.
Saat membuka pintu lebih lebar, ia melihat Laure terbaring di tempat tidur, telanjang, botak, dan mati. Tubuhnya bersih dan berkilauan. Rasanya seperti mimpi buruk. Mimpi yang menghantui beberapa minggu terakhir di Grasse dan sudah nyaris terlupakan. Kini setiap detaiinya kembali menyerbu bagai kilat. Detik itu segalanya persis seperti yang ada di mimpi, hanya lebih terang.
Empat Puluh Tujuh BERITA KEMATIAN LAURE RICHIS menyebar ke seantero Grasse. Sama hebohnya dengan berita, "Sang Raja wafat!" atau, "Perang kembali merebak!" atau, "Bajak laut tiba di pantai!" Lengkap dengan kengerian yang sama kuatnya. Seketika itu ketakutan yang telah begitu hati-hati dilupakan kembali merebak dengan intensitas yang sama seperti musim gugur lalu, diiringi fenomena klasik kepanikan, murka, marah, kecurigaan histeris yang membabi buta, dan keputusasaan. Orang-orang kembali mengunci diri di rumah, mengurung putri mereka rapat-rapat, memasang barikade, saling curiga dan tak berani
tidur. Semua menduga peristiwa kali ini juga akan berlanjut seperti dulu: satu pembunuhan setiap minggu. Kalender waktu seperti digulung mundur enam bulan.
Ketakutan kali ini lebih hebat daripada enam bulan lalu karena orang-orang merasa tak berdaya menghadapi bahaya yang mereka kira sudah berakhir. Kutukan uskup saja tak mempan! Bahkan Antoine Richis - sosok terkaya di kota, sang anggota dewan yang kuat, berkuasa, dan pasti lebih dari mampu beroleh bantuan penjagaan - tak mampu melindungi putrinya! Kalau tangan malaikat Laure saja tak mampu menyurutkan langkah si pembunuh (karena ia memang begitu elok di mata publik yang mengenalnya, apalagi sekarang setelah ia mati), harapan apa lagi yang tersisa untuk lolos dari jerat si pembunuh" Monster ini lebih kejam ketimbang wabah penyakit. Kau bisa kabur sebelum wabah menyerang, tapi tidak dari si pembunuh. Kasus Richis sudah cukup membuktikan ini. Tampaknya ia memiliki kekuatan gaib. Pasti bersekutu dengan Iblis, kalau bukan Iblis itu sendiri. Banyak orang, terutama rakyat biasa, tak tahu jalan lain selain "melarikan diri" ke gereja. Para saudagar memanjatkan doa ke pelindung masing-masing: ahli kunci kepada St. Aloysius, tukang tenun kepada St. Crispin, tukang kebun kepada St. Anthony, ahli parfum kepada St. Joseph. Mereka juga menyertakan anak-istri, berdoa bersama, makan dan tidur di gereja. Tidak mau pulang karena mereka yakin bahwa inilah satu-satunya tempat mengungsi paling aman. Di bawah perlindungan jemaah yang putus asa dan tatapan patung Bunda Maria.
Mereka yang ingat bahwa gereja telah gagal lebih suka masuk ke kelompok-kelompok klenik. Rela membayar mahal seorang penyihir resmi dari Gourdon, merayap ke salah satu gua batu di jalur bawah tanah kota Grasse, dan mengadakan misa hitam
untuk si penyihir. Kelompok lain, khususnya kalangan menengah ke atas dan bangsawan
intelek, mempertaruhkan uang pada metode ilmiah terkini, seperti memagnetkan sekeliling rumah, menghipnotis putri mereka, mengadakan pertemuan rahasia di ruang-ruang duduk mereka untuk menggelar rapat bertema fluidal, plus menyewa ahli telepati untuk mengusir roh si pembunuh dengan pemfokusan emisi pikiran komunal. Serikat-serikat kerja menggelar prosesi upacara penyesalan dan pengakuan dosa, bolak-balik dari Grasse ke La Napoule. Para pendeta dari kelima biara yang ada di kota segera membuka layanan doa 24 jam serta mengumandangkan nyanyian doa tanpa berhenti agar ratapan mereka terdengar siang dan malam di setiap sudut kota. Aktivitas pekerjaan praktis lumpuh.
Demikianlah, dengan kepasifan dan keingintahuan, warga Grasse menanti siapa korban berikutnya. Tak ada yang ragu bahwa pasti bakal jatuh korban baru. Diam-diam mereka tak sabar menunggu kabar ini, asalkan terjadi pada orang lain, bukan diri sendiri.
Kali ini, kalangan pemerintah sipil, regional, dan provinsi tak mau terpengaruh oleh mood histeria massa para warga. Untuk pertama kali sejak pembunuhan ini terjadi, usaha-usaha kerja sama yang efektif dan terencana diadakan antara pemerintah distrik kota Grasse, Draguignan, dan Toulon, melibatkan hakim, polisi, komisaris, parlemen, dan angkatan laut.
Kerja sama kolosal ini sebagian berangkat dari kecemasan akan timbulnya pemberontakan sipil, dan sebagian lagi dari fakta bahwa hanya pada pembunuhan Laure inilah mereka beroleh petunjuk yang memungkinkan pembentukan sistem pengusutan yang lebih efektif. Ada saksi mata tentang deskripsi si pembunuh. Yakin bahwa buronan mereka adalah si ahli penyamak kulit yang menginap di kandang kuda pada malam itu dan menghilang tanpa jejak keesokan paginya. Menurut kesaksian gabungan
antara pemilik penginapan, para pelayan, dan Richis, orang ini sulit dideskripsikan. Yang jelas, ia lelaki bertubuh pendek bermantel cokelat dan menyandang buntel kasar dari kain linen. Kesaksian ini tak terlalu menghasilkan karena mereka tetap tak mampu menyusun profil fisik seperti wajah, warna rambut, atau cara bicara. Pemilik penginapan juga menambahkan bahwa kalau tidak salah orang itu agak pincang, seolah kakinya terluka atau lumpuh.
Berbekal petunjuk ini, dua pasukan berkuda diutus untuk melakukan pengejaran siang itu juga, mengikuti jalur sepanjang Marechaussee ke arah Marseille - satu pasukan menyusuri pantai dan satu lagi menjejaki jalur darat. Sekitar daerah La Napoule disisir oleh para sukarelawan. Dua komisaris polisi dari pengadilan kota Grasse berkuda ke Nice untuk mengonfirmasikan petunjuk tentang si ahli. Kapal-kapal yang berangkat dari pelabuhan Frejus, Cannes, dan Antibes diperiksa, jalan ke arah perbatasan menuju Savoy diblokir dan para musafir harus menunjukkan identitas diri. Mereka yang bisa membaca segera melihat selebaran perintah penangkapan dan deskripsi pelaku tersebar di semua gerbang kota Grasse, Vince, dan Gourdoti, termasuk di pintu-pintu gereja daerah pedesaan. Pengumuman berita diteriakkan tiga kali sehari di seluruh kota. Laporan -bahwa si pelaku berkaki pincang malah semakin menegaskan opini bahwa si pembunuh memang tak lain dari Iblis itu sendiri dan cenderung menambah kepanikan ketimbang menjadi informasi berguna.
Hakim ketua pengadilan kota Grasse menawarkan hadiah 200 ribu livre atas nama Richis bagi mereka yang memberi informasi yang mengarah pada tertangkapnya si pembunuh. Pengaduan dan penahanan atas para ahli penyamak kulit segera marak di Grasse, Opio, dan Gourdon
hanya karena mereka berkaki pincang. Bahkan ada yang langsung diadili massa walaupun punya alibi dan saksi.
Sepuluh hari setelah pembunuhan, seorang warga kota datang ke kantor pengadilan dan memberikan pernyataan berikut: siang hari saat kejadian perkara, ia, Gabriel Tagliaseo, kapten penjaga gerbang kota, telah didekati oleh seseorang saat sedang menjalankan tugas harian di muka gerbang Cours. Ia baru sadar bahwa orang itu nyaris tepat dengan gambaran yang disebarkan dalam selebaran perintah penangkapan. Ia
didesak dan ditanya berkali-kali tentang jalan mana yang ditempuh rombongan Richis pada pagi hari itu. Awalnya ia tidak menganggap penting peristiwa ini, baik saat itu maupun kemudian, dan tak akan mampu mengingat perawakan orang tersebut hanya berdasarkan ingatan kalau saja tidak bertemu lagi secara kebetulan sehari yang lalu, di kota Grasse ini, tepatnya di jalan Louve, di depan studio Maitre Druot dan Madame Arnulfi. Pada saat itu, ia melihat si tersangka berjalan masuk dengan langkah pincang.
Grenouille ditahan satu jam kemudian. Pemilik dan pelayan penginapan dari La Napoule segera dipanggil ke Grasse. Mereka langsung mengenali Grenouille sebagai si ahli penyamak kulit yang menginap di kandang kuda pada malam itu. Mereka yakin benar bahwa inilah si buronan pembunuh itu.
Tempat Arnulfi digeledah. Juga kabin di padang zaitun di belakang biara Franciscan. Di sebuah sudut mereka menemukan sobekan-sobekan gaun malam, pakaian dalam, dan rambut merah Laure Richis. Dan waktu lantai kabin dibongkar, lembar demi lembar pakaian dan rambut ke-24 korban lainnya langsung terlihat. Pentungan kayu yang digunakan untuk membunuh juga ditemukan, plus sebuah buntel linen. Lonceng gereja dibunyikan. Dewan hakim mengumumkan bahwa pembunuh keji para perawan yang telah dicari selama hampir setahun, akhirnya berhasil ditangkap dan ditahan.
Empat Puluh Delapan SEMULA TAK ADA YANG PERcAYA berita ini. Orang menganggap ini sekadar akal-akalan pemerintah untuk menutupi ketidakmampuan mereka sendiri, di samping usaha meredakan kemungkinan pemberontakan massa. Orang-orang masih ingat benar saat tersiar kabar bahwa si pembunuh telah pindah ke Grenoble. Kali ini ketakutan telah mencengkeram begitu dalam sampai mereka tak tahu lagi apa yang harus dipercaya.
Tapi semua ini berubah keesokan harinya, saat bukti-bukti digelar di alun-alun gereja di depan kantor pengadilan. Sungguh pemandangan mengerikan: 25 pakaian dengan 25 kumpulan rambut, semua ditumpuk seperti orang-orangan sawah, di tiang-tiang pancang yang disusun berjejer di depan gereja. Opini publik kontan berubah.
Ratusan orang menyemut di depan galeri horor itu. Keluarga korban yang mengenali bukti-bukti itu menjerit dan pingsan. Sisa keramaian, karena ingin mencari sensasi dan ingin diyakinkan lebih jauh, menuntut melihat si pembunuh. Teriakan segera menjadi begitu keras dan ramai. Begitu mengancam, sampai dewan hakim memutuskan membawa Grenouille keluar dari sel dan dipertontonkan sesuai keinginan publik, di jendela lantai kedua kantor pengadilan.
Begitu Grenouille muncul di jendela, keributan langsung hening. Tak ada suara batuk atau bahkan tarikan napas. Semua menatap dengan mulut menganga selama beberapa
menit. Tak seorang pun yang mengerti bagaimana lelaki pendek jelek dan remeh di jendela itu - makhluk teramat biasa-biasa itu, mampu melakukan lebih dari dua lusin pembunuhan. Memang tak ada yang bisa mengatakan bagaimana tampang si pembunuh itu sebenarnya, tapi semua setuju: tidak mungkin seperti ini! Namun, meski tak cocok dengan imajinasi mereka, bukti-bukti yang terpampang tak bisa dibantah. Realitas fisik orang yang disebut sebagai pelaku ini sangat bertentangan, tapi begitulah adanya.
Kebingungan baru berhenti setelah bayangan Grenouille lenyap dari jendela. Orang-orang yang semula bingung dan tak yakin kembali menggemakan reaksi yang wajar: mulut tertutup dan sorot mata nan hidup. Satu tuntutan terdengar bagai kor gereja dalam balutan amarah dan semangat balas dendam: "Kami ingin dia!"
Massa hendak menyeruduk menyerbu kantor pengadilan dan mencekik Grenouille dengan tangan sendiri. Mencabiknya sampai menyerpih. Para penjaga dan petugas nyaris tak mampu membendung dan memaksa massa mundur. Grenouille segera dijebloskan kembali ke penjara bawah tanah. Dewan hakim muncul di jendela dan menjanjikan pengadilan yang cepat dan adil. Butuh beberapa jam sampai massa benar-benar bubar, dan butuh beberapa hari sampai kota tenang kembali.
Proses pengadilan Grenouille memang bergerak sangat cepat. Tidak hanya karena bukti-buktinya sangat telak, tapi si tertuduh itu sendiri mengaku de
ngan suka rela atas semua tuduhan pembunuhan.
Namun saat ditanya tentang motif, Grenouille tak punya jawaban meyakinkan. Berkali-kali ia menjawab bahwa ia membunuh karena membutuhkan gadis-gadis itu. Dibutuhkan untuk apa dan apa maksudnya 'membutuhkan' sama sekali tidak dijawab. Warga menuntut diadakan penyiksaan dengan digantung terbalik berjam-jam, dipaksa minum tujuh gentong air, kaki dijepit.... Tapi tak berhasil. Monster ini seperti tak kenal rasa sakit. Tidak menjerit atau bersuara, dan saat ditanya selalu menjawab, "Aku membutuhkan mereka."
Hakim meyakini bahwa orang ini tidak waras. Siksaan dihentikan dan diputuskan untuk menghentikan kasus tanpa interogasi lebih lanjut.
Satu-satunya penundaan setelah itu hanya perebutan wewenang dengan lembaga peradilan kota Draguignan yang membawahi La Napoule dan parlemen di Aix. Keduanya menuntut pengambilalihan proses peradilan. Tentu saja pihak Grasse menolak mentah-mentah karena merekalah yang telah menangkap si pelaku, plus fakta bahwa 24 pembunuhan terjadi di Grasse. Kalau Grenouille diserahkan ke pengadilan lain, bisa-bisa Grasse musnah diamuk massa. Tidak! Darah Grenouille harus tumpah di Grasse!
Pada tanggal 15 April 1766, putusan pengadilan dijatuhkan dan dibacakan pada tertuduh di selnya, "Ahli parfum bernama Jean-Baptiste Grenouille, dalam waktu 48 jam ke depan, akan diarak ke gerbang kota dan dipaku ke salib, wajah dihadapkan ke langit, dan jika masih hidup akan dijatuhi dua belas pukulan dengan tongkat besi untuk mematahkan seluruh persendian lengan, kaki, pinggul, dan bahu. Lalu, dengan tubuh masih terpaku ke salib, akan diangkat dan dibiarkan tergantung sampai mati."
Tindakan pengampunan yang biasa, di mana terhukum dicekik kawat sampai mati setelah tubuhnya hancur, dengan tegas dilarang. Pun bila rasa sakit menjelang ajalnya berlangsung sampai berhari-hari. Setelah mati, mayat Grenouflle akan dikubur malam hari di sebuah kuburan tak bertanda di halaman belakang tempat penjagalan binatang.
Grenouille menerima putusan hukuman tanpa emosi. Petugas pelaksana pengadilan bertanya apakah ia punya keinginan terakhir. "Tidak, tidak ada," jawab Grenouille. Telah ia dapatkan semua yang diinginkan.
Seorang pendeta masuk ke sel untuk mengorek pengakuan dosa, tapi keluar lagi lima belas menit kemudian tanpa hasil. Saat disebut nama Tuhan, terhukum hanya menatap dengan wajah kosong, seperti baru pertama kali mendengar nama itu, lalu berbaring di dipan dan tidur lelap. Tak ada gunanya berkata apa-apa lagi.
Selama dua hari menjelang pelaksanaan hukuman, banyak orang ingin melihat wajah si pembunuh dari jarak dekat. Penjaga mengizinkan mereka mengintip lewat jendela kecil di pintu sambil menarik pembayaran enam sol sekali intip. Seniman lukis yang ingin membuat sketsanya harus membayar dua franc. Objek lukisannya mengecewakan. Dengan pinggang dan pergelangan kaki terantai, ia berbaring di dipan dan tidur terus. Wajah menghadap tembok dan tak bereaksi terhadap pukulan atau teriakan. Pengunjung dilarang masuk ke sel. Walau iming-imingnya menggiurkan, kali ini para penjaga tak berani melanggar larangan. Takut ada kerabat korban yang membunuh tahanan. Untuk alasan yang sama pula turun larangan memberi makanan, karena takut diracun. Selama proses peradilan, Grenouille makan dari hidangan pelayan di dapur uskup dan harus terlebih dulu dicicipi oleh kepala penjara. Namun dua hari menjelang hukuman, ia tidak makan apa-apa sama sekali. Hanya berbaring dan tidur. Kadang terdengar gemerencing rantainya, dan penjaga yang buru-buru melongok melihat Grenouille menyesap air dari kantong air lalu kembali tidur. Orang ini tampaknya benar-benar lelah hidup dan tak ingin menghabiskan sisa waktu dalam keadaan sadar.
Sementara itu, sebuah parade disiapkan untuk menyambut pelaksanaan hukuman. Tukang kayu membangun tempat eksekusi berukuran sembilan kaki kali sembilan kaki persegi dan tinggi enam kaki, lengkap dengan tangga dan pegangannya. Grasse belum pernah seramai ini. Sebuah panggung kayu juga dibuat untuk para bangsawan lokal, lengkap dengan pagar untuk membatasi mereka dari rakyat bia
sa yang dibiarkan menonton agak jauh. Di bangunan-bangunan di kiri dan kanan gerbang Cours serta barak-barak penjaga, orang-orang memesan tempat di jendela dengan harga gila-gilaan. Para asisten algojo bahkan sampai menyewa kamar-kamar pasien di Rumah Sakit Charite, yang kebetulan mengarah ke jalan. Mereka menyewakannya kembali kepada para calon penonton yang penasaran dengan keuntungan yang lumayan. Para penjual limun menimbun bergentong-gentong air gula-gula. Para pelukis mencetak beratus-ratus lembar salinan sketsa si pembunuh di penjara, dengan sedikit sentuhan imajinasi pribadi. Lusinan penjaja keliling mengalir ke kota seperti air, dan para pembuat roti sibuk membuat biskuit suvenir.
Sang algojo bernama Monsieur Papon. Ia sudah lama tak mengeksekusi orang. Pengadilan membuatkan sebilah tongkat besi baru untuknya. Dua hari ini ia rajin pergi ke rumah jagal untuk melatih ketepatan pukulan pada daging bangkai yang telah disediakan. Ia hanya diizinkan memukul dua belas kali dan harus persis menghancurkan kedua belas persendian tanpa merusak organ vital seperti dada atau kepala. Sebuah tugas sulit yang menuntut sentuhan ahli dan ketepatan waktu yang sempurna.
Warga kota bersiap diri seperti hendak menyambut perayaan nasional. Semua setuju bahwa tak boleh ada aktivitas kerja pada hari itu. Para wanita menyetrika pakaian liburan mereka; kaum pria membersihkan mantelmantel panjang dan menyemir sepatu sampai mengkilap. Pakaian-pakaian resmi dari semua lapisan profesi dan kenegaraan disiapkan dengan rapi, lengkap dengan medali, kain selempang, rantai, dan wig yang dibedaki putih-putih. Kelompok beragama berniat berkumpul bersama untuk upacara keagamaan begitu hukuman selesai. Para pemuja setan berencana mengadakan misa thanksgiving untuk Lucifer. Kalangan ilmuwan dan bangsawan berniat berkumpul dalam pertemuan spiritual magnetis di istana Cabrises, Villeneuves, dan Fontmichels. Bakaran dan kukusan makanan sudah mulai tercium di dapur-dapur; anggur-anggur dikeluarkan; bebungaan ditata di pasar; para pemain organ dan paduan suara berlatih di katedral.
Di kediaman Richis di jalan Droite, keadaan tetap tenang. Richis melarang persiapan apa pun menyambut apa yang disebut khalayak sebagai 'Hari Pembebasan'. Malah terasa munafik dan menjijikkan, baik rasa takut dadakan yang timbul saat Laure dibunuh maupun suka cita mereka menjelang hukuman Grenouille. Ia tidak ikut waktu si pelaku dihadirkan bersama bukti-bukti di alun-alun gereja. Tidak pula saat pengadilan atau prosesi para pencari sensasi selama Grenouile ditahan. Ia hanya meminta petugas pengadilan untuk datang ke rumah, agar ia bisa mengidentifikasi rambut dan pakaian putrinya, memberi kesaksian dengan singkat dan tenang, serta diizinkan menyimpan barang-barang bukti itu sebagai kenang-kenangan. Ia bawa benda-benda itu ke kamar Laure, menggelar gaun tidur yang sobek-sobek bersama pakaian dalam di atas ranjang, menyusun rambut di atas bantal, duduk di pinggir ranjang dan tidak meninggalkan kamar lagi siang atau malam. Seolah dengan kesia-siaan ini ia bisa membayar apa yang gagal dijaganya malam itu di La Napoule. Ia begitu mual dan jijik. Pada dunia dan pada dirinya sendiri, sampai tak mampu menangis.
Ia juga jijik pada si pembunuh. Tak sudi menganggapnya sebagai manusia. Lebih pantas dipandang sebagai binatang kurban untuk disembelih. Ia tak mau melihatnya sampai pelaksanaan hukuman, saat monster itu dipaku ke salib dan dua belas pukulan peremuk sendi dijatuhkan. Barulah ia mau melihatnya. Melihat dari dekat. Khusus untuk itu ia telah memesan tempat di barisan depan. Dan setelah masyarakat bubar beberapa jam kemudian, ia ingin merayap ke panggung eksekusi, berjongkok dekat situ, terus menatap bermalam-malam dan berhari-hari... tak peduli berapa lama. Menatap mata orang itu, si pembunuh putri kesayangannya, setetes demi setetes mengalirkan rasa jijiknya ke mata itu, menuangkan seluruh kebencian dan rasa jijik yang terasa bagai bara asam pada orang itu dalam kesakitan menjelang ajal... sampai binatang itu musnah....
Setelah itu" Apa yang akan ia lakukan setelah itu" Ent
ahlah. Meneruskan hidup normal, barangkali" Atau menikah" Punya anak laki-laki" Atau tidak melakukan apa-apa" Atau barangkali lebih enak mati saja" Apa pun itu, apalah bedanya sekarang. Dipikirkan pun tak berguna. Ia sama sekali tak tahu hendak ke mana dan mau apa setelah itu.
Empat Puluh Sembilan EKSEKUSI DIJADWALKAN pada jam lima sore. Gelombang penonton pertama sudah bersiap sejak pagi dan mengamankan tempat untuk menonton. Membawa kursi dan bangku, bantal, makanan, anggur, dan anak-anak. Seperti piknik saja. Siang hari, penduduk desa sekitar mengalir dari segala arah. Parade penonton dengan segera
menjadi begitu padat. Pendatang baru terpaksa berkemah sepanjang jalan ke Grenoble dan di taman-taman teras serta lapangan di ujung areal tempat hukuman. Para pedagang segera kebanjiran uang. Orang-orang makan, minum, bersenandung, dan berkeliaran seperti di pasar malam. Dengan cepat jumlah pengunjung meledak sampai seputuh ribu orang. Melebihi jumlah pengunjung saat penobatan Ratu Yasmin atau peristiwa apa pun yang pernah terjadi di Grasse. Mereka membanjir berdiri sampai ke lereng jalan, bergelantungan di pohon, bergerombol di tembok dan atap bangunan. Hanya lokasi di pusat keramaian itu - sepetak areal yang terlindungi pagar kokoh - yang sepi dari manusia dan terbuka untuk panggung penonton VIP serta panggung eksekusi. Makin lama tampak makin kecil, seperti mainan atau panggung sandiwara boneka. Sebuah jalan setapak dibiarkan lengang, dari tempat hukuman ke gerbang Course dan terus ke jalan Droite.
Beberapa menit lewat pukul tiga, Monsieur Papon dan para asistennya muncul. Tepuk tangan membahana bagai guntur. Mereka membawa dua bilah balok membentuk salib St. Andrew ke tempat hukuman, memasangnya ke ketinggian tertentu dengan memasak dasarnya ke sebuah lubang khusus. Seorang ahli kayu memaku posisinya agar kokoh. Setiap gerakan disa but tepuk tangan penonton. Dan ketika Papon maju embawa tongkat besi ke arah salib, mengukur langkah, mengayunkan pukulan imajiner beberapa kali, sorak-sorai massa langsung meledak.
Jam empat, panggung VIP mulai terisi. Banyak sosok bangsawan apik yang bisa dikagumi; pria-pria kaya dengan pesuruh dan tingkah gemulai, wanita-wanita cantik, topi-topi besar, serta pakaian berkilauan. Seluruh bangsawan dari kota dan desa hadir di situ. Para anggota dewan kota hadir bergerombol, dipimpin dua orang anggota. Richis
mengenakan pakaian hitam, dengan stoking hitam dan topi yang juga hitam. Menyusul kemudian aparat pengadilan, dipimpin oleh hakim tinggi. Terakhir, uskup datang dengan tandu, berkilauan dalam jubah ungu dan topi kecil berwarna hijau. Semua yang bertopi langsung menurunkan topi mereka. Ini benar-benar mengejutkan. Lalu tak ada apa-apa selama sepuluh menit.
Para tuan dan nyonya sudah duduk di tempat masing-masing, rakyat jelata menunggu dengan tak sabar. Semua menunggu. Papon dan para asistennya berdiri di panggung eksekusi seolah mereka juga dipaku tak bergerak. Matahari nanar menyemburkan sinar kuning di atas Esterel. Dari lembah Grasse bertiup angin hangat, bersama sedikit aroma jeruk. Atmosfer sangat hangat dan tenang.
Akhirnya, saat ketegangan seolah tak bisa ditahan lagi tanpa ledakan suara protes, kegilaan, atau ribut-ribut, mereka mendengar suara derap kuda dan derak roda kereta.
Dari arah jalan Droite, datang sebuah kereta ditarik sepasang kuda. Itu kereta sang letnan polisi. Berjalan melewati gerbang kota dan muncul lagi di jalan sempit yang menuju ke panggung. Letnan polisi berkeras untuk tampil seperti ini, karena kalau tidak ia tak bisa menjamin keselamatan si terhukum. Ini memang tidak biasa. Jarak dari penjara ke lokasi hukuman tak sampai lima menit. Kalau si terhukum tak mampu menempuh jarak itu dengan jalan kaki, biasanya ia akan dibawa dengan kereta keledai. Kini seorang terhukum dibawa ke lokasi hukumannya sendiri dalam sebuah kereta tertutup nan anggun, dengan sais dan pengawalan lengkap - sungguh luar biasa.
Tak ada tanda-tanda keributan atau ketidakpuasan di antara penonton. Malah sebaliknya. Publik senang bahwa setidaknya ada yang terjadi. Mereka malah memuj
i gagasan untuk memakai kereta tertutup. Persis seperti penonton
drama yang senang melihat pertunjukan disajikan dengan cara baru. Penjahat paling mengerikan sudah sepantasnya diperlakukan lebih dari biasa. Tak bisa diseret ke tempat eksekusi dengan rantai seperti pencuri ayam lalu dibunuh begitu saja. Tak ada sensasinya kalau begitu. Tapi kalau digotong paksa untuk dipaku ke salib setelah badannya remuk, nah itu baru kreatif.
Kereta berhenti di tengah-tengah, di antara panggung eksekusi dan panggung VIP. Seorang penjaga melompat turun, membuka pintu, dan menurunkan tangga penuntun. Letnan polisi juga turun, menyusul petugas lain, dan akhirnya Grenouille. Ia mengenakan mantel biru panjang, kemeja putih, stoking sutra putih, dan sepatu hitam bertali. Ia tidak diikat atau diseret. Grenouille beranjak turun dari kereta seperti manusia bebas.
Lalu keajaiban terjadi. Atau menyerupai keajaiban, atau setidaknya sesuatu yang sulit dijelaskan - begitu dahsyat sampai semua yang menyaksikan tak punya kata lain yang lebih tepat selain keajaiban. Itu pun kalau mereka sanggup membuka aib, karena setelah peristiwa ini, tak akan ada yang sudi mengungkitnya.
Sepuluh ribu penonton pelaksanaan eksekusi sore hari itu mendadak merasa tak percaya, dan yakin bahwa orang bermantel biru yang baru turun dari kereta itu tak mungkin si pembunuh. Bukannya mereka ragu atau tak mengenali. Orang itu adalah orang yang sama dengan yang mereka lihat beberapa hari lalu di jendela kantor pengadilan. Saat itu, kalau saja mampu terpegang pasti bakal habis tersate dengan kebencian membeludak. Ini memang orang yang dua hari lalu dijatuhi vonis hukuman mati dengan disiksa, berdasarkan bukti-bukti tak terbantahkan dan pengakuannya sendiri. Orang yang sama yang telah dinanti pelaksanaan hukumannya. Memang dia, tidak salah lagi!
Di pihak lain... kok seperti bukan dia juga. Tak mungkin. Dia tak mungkin si pembunuh. Orang yang berdiri di panggung itu adalah perwujudan kepolosan. Semua langsung merasa begitu, mulai dari uskup sampai penjual limun, dari marquis sampai pembantu, dari hakim kepala sampai bocah miskin.
Papon juga demikian. Tangan kekarnya gemetar menggenggam tongkat besi. Seketika itu kedua lengannya serasa lemah, lutut goyah, dan hatinya berdebar seperti anak kecil. Ia tak mungkin sanggup mengangkat tongkat. Tak mungkin sanggup memakainya untuk menghajar pemuda kecil tak bersalah ini. Ia terhuyung-huyung dan terpaksa menyangga tubuh dengan tongkat besi yang sedianya dipakai untuk membunuh, agar tidak melorot berlutut. Tak terbayangkan, Papon yang perkasa bisa sampai sedemikian. Perasaan serupa juga dirasakan oleh sepuluh ribu laki-laki dan perempuan, anak-anak dan kepala-kepala keluarga yang berada di situ. Lemas seperti seorang wanita di pelukan pesona sang kekasih. Hati mereka dijerat perasaan kasih sayang, kelembutan dan... oh, demi Tuhan, cinta pada pria pembunuh bertubuh kecil itu. Tak berdaya menahan perasaan. Rasanya seperti ledakan tangis haru yang terpendam begitu lama dan tak bisa ditahan lagi. Meledak dan meluruhkan semua benteng pertahanan. Semangat mereka kini layaknya cairan. Jiwa dan pikiran meleleh tak bersisa kecuali sebentuk cairan. Hati seperti melambung dan mengambang dalam diri. Mereka persembahkan hati mereka ke haribaan lelaki kecil bermantel biru panjang itu. Terserah mau diapakan. Mereka mencintainya.
Grenouille berdiri di ambang pintu kereta, selama beberapa menit, bergeming. Penjaga di sebelahnya berlutut dan terus merendah sampai ke posisi pasrah total seperti orang Timur di hadapan sultan atau Tuhan. Bahkan dalam
posisi ini pun ia masih terus merunduk dan mengkerut, seperti coba meratakan diri dengan tanah atau tenggelam di dalamnya. Ia ingin menyelam ke seberang dunia kalau bisa, atas dasar penyerahan diri sepenuhnya. Petugas pengawal dan letnan polisi yang gagah berani dan semula bertugas menyeret terhukum ke panggung untuk diserahterimakan ke tangan algojo, tak mampu berkoordinasi. Mereka menangis, bolak-balik memakai dan melepas topi, berlutut, berpelukan, mengepakkan tangan ke udara, memelintir tangan sendiri, ke
jang-kejang dan meringis seperti korban tarian St. Vitus.
Para bangsawan yang berada sedikit lebih jauh menyerah pada emosi masing-masing tanpa malu-malu. Semua bertingkah sesuai tuntutan hati. Ada wanita yang begitu melihat Grenouille langsung berkepal tangan di pangkuan dan mendesah bahagia. Yang lain tak kuasa menahan perasaan dan langsung pingsan. Ada pria bangsawan yang tak berhenti bangun dan duduk dari kursi, melompat dan menggeram memegang pangkal pedang seolah hendak mencabutnya. Tapi setiap kali dicabut selalu dimasukkan lagi sedetik kemudian. Ada yang melempar pandangan ke langit, mengepal dan mengacungkan tangan ke udara sambil berdoa dalam diam. Uskup Monseigneur seperti jatuh sakit. Tubuh ambruk ke depan dan membenturkan kepala ke lutut sampai topi kecilnya jatuh. Ia tidak sakit, tapi untuk pertama kalinya ia dibalut pesona religius melihat keajaiban yang terjadi di depan mata. Tuhan telah menurunkan malaikat-Nya dalam wujud seorang pembunuh. Oh, menakjubkan, hal ini bisa terjadi di abad ke-18. Betapa agung Tuhan! Dan betapa kecil serta tak berartinya diri ini, yang telah lancang menurunkan kutukan-Nya padahal ia sendiri tak yakin. Semata-mata demi menenangkan masyarakat. Oh, betapa tipis iman ini! Dan kini Tuhan telah mempersembahkan mukjizat! Oh,
betapa senangnya dipermalukan seperti ini. Penghinaan yang manis. Sungguh agung menjadi seorang uskup yang dihinakan Tuhan seperti ini.
Sementara itu, masa di seberang pagar mulai bertingkah lebih liar melihat kehadiran Grenouille. Mereka yang sejak semula sudah bersimpati kini sarat berahi, dan mereka yang sejak awal mengagumi kini meledak dalam kegembiraan meluap-luap. Semua melihat lelaki bermantel biru itu sebagai sosok paling tampan, paling menarik, dan sempurna. Di mata biarawati ia hadir sebagai perwujudan sang Juru Selamat. Bagi pemuja setan ia adalah sang Raja Kegelapan. Ia laksana perwujudan Prinsip Tertinggi di mata penganut aliran Pencerahan, menjadi pangeran negeri dongeng bagi para remaja, dan sosok ideal bagi kaum pria. Seolah Grenouille mampu melihat menembus titik terlemah masing-masing orang, mencengkeram dan membelai pusat erotis dalam diri. Seolah memiliki sepuluh ribu tangan tak terlihat dan merangsang sepuluh ribu orang yang ada di situ dengan cara yang paling diinginkan oleh fantasi terliar masing-masing.
Hasilnya adalah sebuah pesta seks terbesar dalam sejarah. Wanita-wanita terhormat merobek pakaian, mempertontonkan dada, menjerit histeris, rebah ke tanah dengan rok terangkat tinggi. Para lelaki menyaksikan lanskap daging ini dengan pandangan nafsu, jari gemetar membuka celana, lalu menerkam siapa saja tanpa memandang wajah. Menggeram dan bersanggama dalam posisi dan kombinasi yang paling musykil: kakek dengan perawan, penganggur dengan istri pengacara, pekerja magang dengan biarawati, jesuit dengan istri seorang free-mason - semua terjadi dengan semrawut dan sesuka hati. Udara disarati manisnya aroma keringat nafsu dan jerit serta lenguhan dari sepuluh ribu binatang manusia. Tak bedanya neraka.
Grenouille tersenyum - atau begitulah yang tampak di mata yang melihat. Ia tampak menyunggingkan senyum paling polos, penuh cinta dan menawan sekaligus amat menggoda. Tapi sesungguhnya bukan senyuman, tapi seringai sinis dalam gelora kemenangan total sekaligus kebencian. Ia, Jean-Baptiste Grenouille - yang terlahir tanpa bau badan di tempat paling busuk di seluruh jagat, di tengah sampah, kotoran, dan keburukan, dibesarkan tanpa cinta, tanpa kehangatan jiwa manusia, bertahan hidup hanya berdasarkan kekerasan dan kekuatan kebencian, bertubuh kecil, bongkok, pincang, buruk rupa, dijauhi, sebenar-benarnya kutukan luar-dalam - ternyata mampu membuat dunia kagum. Bukan, bukan kagum... tapi cinta! Menginginkannya! Mengidolakannya! Ia telah melahirkan karya besar ala Prometheus. Ia mampu bertahan dengan kelihaian dan kelicikan, mampu memercikkan diri dengan semburat agung kedewataan. Sesuatu yang ada pada diri setiap manusia sejak lahir tapi hanya mampu dibangkitkan oleh Grenouille. Dan tidak hanya itu! Ia telah memercikkan keagungan itu ke diri sen
diri. Oh, ia bahkan lebih hebat dari Prometheus. Ia telah menciptakan aura yang lebih bersinar dan lebih efektif dari semua manusia yang pernah hidup sampai sekarang. Dan ia tidak berutang pada siapa pun -tidak pada ayah, ibu, atau Tuhan sekalipun. Ia berutang dan bersyukur hanya pada diri sendiri. Ia adalah tuhan bagi diri sendiri, dan lebih elok dari tuhan berbau dupa dan terkurung di gereja-gereja. Seorang uskup agung berlutut di hadapannya, melenguh kesenangan. Orang-orang kaya dan berkuasa, wanita dan pria bangsawan yang angkuh, semua menjilat mengidolakannya. Sementara rakyat jelata -termasuk kerabat para korban, merayakan pesta seks atas nama dan demi kehormatannya. Sekali angguk saja mereka pasti sontak mengangkatnya sebagai penggand Tuhan dan memujanya. Memuja Grenouille yang Agung.
Ya, ia memang Grenouille yang Agung! Mimpi masa lalu kini menjadi nyata. Detik itu Grenouille merasakan kemenangan terbesar dalam hidup. Dan takut.
Ia, merasa takut karena, tak bisa menikmati saat itu sedetik pun. Sejak melangkah keluar dari kereta, ke bawah terik matahari sebagai bahan tontonan, dibungkus parfum yang membuat orang mencintainya - parfum yang telah digarapnya selama dua tahun, parfum yang seumur hidup diinginkan... seketika ia, melihat dan mencium sendiri betapa, hebatnya pengaruh yang ditimbulkan, seketika itu pula, segenap kebenciannya, pada, manusia, melonjak dan menghambarkan rasa, kemenangan yang ada. Membuatnya tak hanya, nelangsa, tapi juga sama, sekali tidak puas. Apa, yang selalu diimpikan - yaitu agar orang mau mencintainya - menjadi nyata bersamaan dengan kesadaran yang membuat menara pencapaian itu hancur berantakan, karena ia, tidak balik mencintai mereka. Ia, membenci dan mendendam lahir-batin. Grenouille baru menyadari bahwa ia, tak pernah menemukan kegembiraan dalam cinta. Kegembiraan yang didapat selama ini selalu dari kebencian. Dalam kondisi membenci dan dibenci.
Namun kebenciannya pada manusia tak lagi punya gaung. Makin ia membenci mereka pada saat ini, makin mereka memujanya, karena, yang mereka rasakan hanya aura aroma samaran, parfum curian yang memang pantas dipuja.
Ia akan senang sekali kalau bisa memusnahkan manusia dari muka bumi sekarang juga, sebagaimana ia pemah memusnahkan aroma asing dalam jiwa kelamnya sewaktu berada di gua. Ia ingin mereka sadar betapa besar kebenciannya pada mereka. Betapa hanya itu emosi yang ia punya. Ia ingin mereka balik membenci dan membunuhnya seperti niat semula. Untuk pertama kalinya, Grenouille
ingin sekali mengosongkan diri. Untuk pertama kali ia, ingin seperti orang lain dan benar-benar mengosongkan diri. Pemujaan dan kecintaan mereka akan ia balikkan dengan kebencian. Sekali saja, ia ingin ditangkap dalam kondisi asli. Dalam. wujud Grenouille yang sebenarnya. Agar manusia balik merespons dengan jawaban yang sama. Kebencian.
Tapi tentu saja tidak begitu. Khususnya hari ini, karena, ia sedang terbungkus oleh parfum terbaik di dunia. Tak ada, wajah di balik topeng itu. Hanya, seonggok daging tanpa bau. Mendadak perutnya sakit. Kabut itu naik lagi.
Rasanya seperti kembali ke gua di pegunungan. Dalam mimpi, dalam tidur, dalam hati, dalam fantasi - seketika itu kabut meninggi. Kabut mengerikan dari bau badannya sendiri yang tak bisa ia cium karena memang tidak berbau. Dan persis seperti dulu ia, kembali dicengkeram ketakutan dan teror tanpa batas. Begitu mencekik. Tapi kali ini berbeda. Kali ini bukan mimpi, bukan tidur, tapi nyata! Ia juga tidak sedang berbaring sendirian dalam gua, tapi berdiri di tempat umum, di hadapan sepuluh ribu manusia. Kali ini tidak ada jeritan yang membangunkan dan membebaskan. Tak bisa melarikan diri ke realitas karena yang dipijaknya kini adalah dunia nyata. Saat ini mimpinya jadi kenyataan. Seperti keinginannya.
Kabut mencekik terus membumbung dari kekelaman jiwa Grenouille, sementara di sekelilingnya, orang-orang melenguh dalam pesta dan luapan orgasme. Seseorang berlari ke arahnya. Ia melompat dari barisan terdepan panggung VIP dengan begitu gegas sampai topi hitamnya jatuh. Dan kini, dengan mantel hitam terkembang, ora
ng itu melangkah melewati padang manusia, seperti burung gagak atau malaikat pencabut nyawa. Orang itu ternyata, Richis.
Ia akan membunuhku, pikir Grenouille. Satu-satunya manusia yang tak akan membiarkan diri tertipu oleh topeng aroma. Tak mungkin rela ditipu sedemikian. Aroma putrinya, menempel di tubuhku, mengkhianati bagai darah teracun. Ia pasti mengenali dan membunuhku. Harus!
Grenouille membentangkan tangan menerima kehadiran sang malaikat pencabut nyawa. Ia sudah bisa merasakan tusukan pisau atau ujung pedang menggelitik dada, pisau yang bergerak menembus perisai aroma dan kabut menyesakkan ini, terus sampai ke jantungnya yang beku -akhirnya, akhirnya ada sesuatu yang terasakan di hati ini selain diri sendiri! Grenouille menyambut ajal dengan suka cita.
Yang terjadi kemudian, Richis menghambur ke pelukan Grenouille. Bukan sebagai malaikat pencabut nyawa atau dengan dendam seorang ayah, tapi sebagai Richis yang tergugu menangis sesenggukan. Memeluk dan bergelayutan begitu kuat seperti tak ada pijakan lain di tengah laut kebahagiaan. Tak ada tusukan pisau yang membebaskan atau tebasan pedang. Tidak pula sumpah serapah atau jerit kebencian. Hanya pipi sang jutawan Richis yang basah oleh air mata, bergelayut dengan bibir gemetar merengek, "Maafkan aku, anakku... putraku tersayang... maafkan aku!"
Dus, segala yang ada di dalam. diri Grenouille memutih sementara dunia luar di sekelilingnya menghitam kelam. Perangkap kabut menebal sampai mencair seperti susu mendidih. Menggenangi dan memaksakan bobot luar biasa ke relung jiwa. Tak ada jalan melarikan diri. Demi Tuhan, ia ingin kabur.. tapi kabur ke mana" Ia ingin meledak. Lari dari cekikan diri sendiri. Akhirnya ia luruh dan hilang
Lima Puluh SAAT TERSADAR, ia tengah terbaring di ranjang Laure Richis. Bekas pakaian tidur dan rambut telah disingkirkan. Sebatang lilin menyala di meja kecil di sisi ranjang jendela terbuka dan ia bisa mendengar luapan ekstasi warga kota di kejauhan. Antoine Richis duduk di bangku di samping ranjang sambil menatapnya. Memegang dan membelai tangan Grenouille dengan lembut.
Bahkan sebelum membuka mata, Grenouille sudah lebih dulu memeriksa suasana. Sekeliling sangat tenang. Tak ada ribut-ribut atau keramaian jiwanya kembali dikuasai kebekuan, sesuai kebutuhan pikiran sadar saat ingin memproyeksikan pikiran ke realitas. Di sana ia mencium aroma parfumnya. Sudah berubah. Puncaknya runtuh, sehingga inti aroma Laure membuncah lebih kuat dari biasa, macam nyala api yang buram dan berpendar sejuk. Ia merasa aman. Sadar tak akan bisa diserang setidaknya sampai beberapa jam lagi, lalu membuka mata.
Tatapan Richis menyambut Grenouille. Pancaran kebaikan berpendar kuat di mata itu. Kelembutan, kasih sayang, serta senyum bodoh dan rasa cinta seorang kekasih.
Ia tersenyum, menggenggam tangan Grenouille lebih erat, lalu berkata, "Semua akan baik-baik saja. Majelis hakim sudah membalik putusan pengadilan. Semua kesaksian ditarik kembali. Kau bebas sekarang. Bebas melakukan apa saja. Tapi aku ingin kau tinggal di sini bersamaku. Aku telah kehilangan seorang putri, tapi ingin memilikimu sebagai putra. Kau mirip sekali dengannya. Sama elok. Rambutmu, mulutmu, tanganmu... aku memegangi canganmu terus selama ini. Tanganmu seperti dia - putriku. Dan saat kutatap matamu, rasanya ia seperti
menatap balik padaku. Seolah kau benar-benar kakaknya. Dan aku ingin kau jadi anakku, sobat. Menjadi kebanggaan dan sumber bahagiaku. Ahli warisku. Apakah... orang tuamu masih hidup""
Grenouille menggeleng. Wajah Richis memerah kesenangan. "Kalau begitu, maukah kau jadi putraku"" ia tergagap. Melompat dari bangku dan duduk di pinggir ranjang sambil menggamit tangan Grenouille yang lain. "Maukah" Maukah" Bersediakah kau menjadikan aku sebagai ayahmu" Tunggu, jangan katakan apa-apa dulu! jangan bicara. Kau masih terIalu lemah untuk bicara. Mengangguk sajalah."
Grenouille mengangguk. Kebahagiaan meledak dari seluruh pori-pori kulit Richis bagai manisan bunga merah. Lalu ia membungkuk dan mencium mulut Grenouille.
"Sekarang tidurlah, anakku!" ia berkata sambil bangkit b
erdiri. "Aku akan mengawasi sampai kau lelap." Dan setelah memandang lekat-lekat dalam diam cukup lama, ia menambahkan, "Kau telah membuatku merasa amat sangat bahagia."
Grenouille menarik ujung-ujung bibirnya seperti yang selalu ia Iihat kalau orang tersenyum. Lalu menutup mata. Ia menunggu beberapa saat sebelum mengatur napasnya, makin teratur dan dalam seperti orang tidur. Ia bisa merasakan tatapan mesra Richis. Pada satu titik ia merasakan gerakan Richis yang membungkuk hendak mencium lagi, tapi tak jadi karena takut membangunkan. Akhirnya lilin ditiup dan Richis berjingkat keluar kamar.
Grenouille tetap berbaring sampai tak lagi mendengar suara apa pun dari dalam rumah atau dari luar jendela. Saat bangun, hari sudah sore. Segera ia bersalin dan menyelinap keluar diam-diam. Tanpa suara melewati koridor ruang atas, turun tangga, melewati ruang duduk, dan tiba di teras.
Dari sini ia bisa melihat melewati tembok kota sampai ke lembah yang mengelilingi Grasse. Kabut tipis menggantung di atas tanah, dan aroma yang mengambang - bau rumput, semak, dan mawar - terasa membilas... segar, datar, dan sederhana. Grenouille melewati taman dan memanjat tembok.
Setibanya di tempat eksekusi (karena tak bisa memutar lewat jalan lain) ia harus membuka jalan melewati endapan aroma manusia sebelum tiba di tapangan terbuka. Seluruh areal sampai ke lereng lembah diseraki bekas-bekas pesta. Ribuan manusia terbaring di sana-sini, kelelahan setelah festival berahi. Banyak yang telanjang atau setengah telanjang dengan baju dipakai sebagai selimut. Udara berisi aroma anggur basi, brendi, keringat dan air seni, kotoran bayi dan daging gosong. Api unggun bekas bakaran, minuman, dan pesta masih mengasap di sana-sini, berikut bisikan atau cekikikan di antara ribuan bunyi dengkur. Besar kemungkinan ada beberapa orang yang masih bangun, melahap dengan rakus sisa-sisa kesadaran dari benak masing-masing. Tapi tak ada yang melihat Grenouille. Dengan cepat dan hati-hati ia melewati serakan tubuh seperti melewati rawa-rawa. Yang melihat pun tak lagi mengenali. Aromanya sudah hilang. Grenouille kembali tak berbau dan mukjizat telah berakhir.
Setibanya di jalan utama, ia tidak mengambil jalur menuju Grenoble atau Cabris, tapi berjalan lurus melewati padang ke arah barat tanpa menoleh lagi. Saat matahari terbit, gemuk dengan pendaran kekuningan dan terik hangat, ia sudah lama lenyap.
Warga kota Grasse bangun dengan sakit kepala luar biasa, seperti habis minum arak semalaman. Bahkan mereka yang tidak mabuk juga merasa kepalanya berat, mual di perut dan di hati. Di tempat eksekusi, di bawah siraman matahari pagi, rakyat jelata berusaha mencari pakaian mereka yang tersampir entah di mana. Para wanita terhormat mencari suami dan anak-anak mereka; pasangan-pasangan asing melepaskan pelukan dengan kaget dan ngeri. Kenalan, tetangga, dan pasangan suami-istri mendadak berdiri saling membelakangi. Malu oleh ketelanjangan masing-masing.
Umumnya mereka merasa pengalaman hari kemarin sangat menjijikkan, sulit dijelaskan, dan sedemikian bertentangan dengan nilai-nilai moral. Sedemikian rupa sampai mereka menghapus begitu saja dari ingatan begitu pikiran kembali waras. Banyak yang tak mampu mengingat lagi peristiwa ini saat ditanya. Pihak lain yang tidak terlalu ketat dengan kendali nilai-nilai, mencoba menutup mata, telinga, dan pikiran. Tapi tentu saja tidak mudah. Rasa malu yang membayangi terlalu jelas dan universal. Jadilah, begitu menemukan pakaian dan kerabat yang dicari, masing-masing segera pulang diam-diam secepat mungkin. Siang hari, tempat itu kembali lengang.
Warga kota Grasse tidak keluar rumah sampai sore kecuali jika amat terpaksa. Salam sapa saat bertemu dilakukan sepintas lalu atau tidak menyapa sama sekali. Tak ada yang berani membuka pembicaraan. Tak sepatah kata pun terlontar soal peristiwa pagi ini dan malam sebelumnya. Semua merunduk dan bicara seperlunya. Memendam jengah dan perasaan bersalah. Belum pernah keselarasan tercipta demikian sempurna seperti pada hari itu.
Banyak pihak yang dipaksa bertanggung jawab dan berurusan langsung denga
n peristiwa itu, tergantung wewenang institusi masing-masing. Keberlangsungan kehidupan bennasyarakat, ketegasan hukum dan peraturan menuntut ketegasan penyelesaian. Dewan kota segera mengadakan pertemuan sore itu juga. Para anggota,
termasuk Richis, saling memberi salam dan berpelukan dalam diam. Lalu tanpa menyebut langsung peristiwa itu atau bahkan nama Grenouille, mereka memutuskan untuk segera membongkar dan membubarkan lokasi eksekusi, plus mengembalikan lingkungan sekitar ke kondisi semula. Untuk ini, dana 160 livre dianggap sudah cukup.
Bersamaan dengan itu, para hakim juga mengadakan pertemuan di kantor pengadilan. Tanpa banyak debat, majelis hakim setuju untuk menganggap "kasus G" telah selesai, ditutup dan diarsipkan tanpa registrasi. Lalu membuka pengadilan baru tentang pembunuh 25 perawan di sekitar Grasse yang dianggap belum terungkap. Perintah diserahkan ke letnan polisi agar segera memulai penyelidikan.
Esok harinya, sang letnan melaporkan penemuan baru. Atas dasar bukti-bukti tak terbantahkan, ia menahan Dominique Druot, Maitre parfumeur dari jalan Louve. Toh pakaian dan rambut korban memang ditemukan di kabin yang tercatat menjadi miliknya. Para hakim menyimak permohonan tak bersalah Druot beberapa saat sebelum memutuskan bahwa ia berbohong. Setelah empat belas jam disiksa, Druot mengakui segalanya dan bahkan memohon untuk segera dieksekusi. Permintaan dituruti dan eksekusi dilangsungkan sehari kemudian. Ia digantung saat fajar. Tanpa ribut-ribut, tanpa panggung apa pun. Hanya dihadiri seorang algojo, seorang hakim saksi, seorang dokter, dan pendeta. Begitu kematian diresmikan, diverifikasi, dan dicatat, mayatnya langsung dikubur. Dengan demikian kasus ditutup.
Seluruh warga melupakan peristiwa itu sama sekali. Benar-benar melupakan sampai para pelancong yang mampir setelah beberapa hari berselang dan iseng bertanya soal pembunuhan perawan kota Grasse, tak menemukan satu orang waras pun yang mau memberi
informasi. Hanya segelintir orang bodoh dan orang gila dari Rumah Sakit Charite yang bercerita dengan kacau tentang pesta besar di gerbang Cours. Mereka dendam karena pada hari itu dipaksa keluar kamar.
Kehidupan kembali berjalan normal. Warga kembali bekerja keras, tidur nyenyak, berbisnis dan bersikap seperti biasa. Air tetap menggelegak dari mata air dan pancuran, menggenangi jalan dengan kotoran dan lumpur. Kota Grasse kembali kumuh, namun bangga atas posisi mereka di atas lembah raksasa nan subur. Matahari bersinar hangat. Bulai Mei menjelang. Saatnya panen bunga mawar.
Bagian IV Lima Puluh Satu GRENOUILLE MELANJUTKAN PERJALANAN hanya saat malam tiba. Seperti yang ia lakukan saat pertama kali bertualang, ia menghindari perkotaan dan jalan besar. Ia tidur siang hari, bangun saat senja dan melanjutkan perjalanan. Makan dari apa saja yang ditemui: rumput, jamur, bunga, bangkai burung, cacing. Ia berjalan melewati Provence. Di selatan Orange ia melintasi Rhene dengan perahu curian, mengikuti arus dalam sungai Ardeche ke Uvennes, lalu ke Allier di utara.
Tiba di Auvergne, ia merapat ke Plomb du Cantat yang membentang ke arah barat. Tampak megah dan berkilau keperakan diterpa terang bulan. Udara dingin berembus sejuk. Tapi ia tak punya dorongan untuk berkunjung. Tak ingin tinggal di gua lagi. Hidup macam itu sudah pernah
dicicipi dan terbukti tidak menyenangkan. Grenouille tercekik oleh dua dunia. Ia, ingin pergi ke Paris dan mati di sana. Itu yang diinginkannya sekarang.
Dari waktu ke waktu ia meraih ke dalam kantung dan menggenggam flacon kecil parfumnya. Botol itu masih nyaris penuh. Hanya dipakai setetes saat "pertunjukan" di Grasse. Satu flacon ini cukup untuk memperbudak seluruh dunia. Kalau mau, ia bisa, diarak lagi di Paris. Tidak oleh sepuluh ribu, tapi ratusan ribu manusia. Atau ia bisa, langsung ke Versailles dan menyuruh sang Raja mencium kakinya. Atau menulis surat wangi untuk Paus dan mendeklarasikan diri sebagai sang Juru Selamat. Atau disucikan di Notre-Dame sebagai Kaisar Tertinggi melebihi segala raja dan kaisar lain. Atau bahkan mengaku sebagai Tuhan yang turun ke bumi - itu
pun kalau memang benar ada Tuhan yang membiarkan diri disucikan manusia....
Ia bisa melakukan semua itu kalau mau. Kekuatan ada di genggaman tangan. Daya yang jauh melebihi kekuatan uang, teror, atau kematian. Kekuatan mutlak untuk menguasai cinta seluruh umat manusia. Hanya satu yang tak bisa dilakukannya, yaitu membaui tubuhnya. sendiri. Apa gunanya bergaya jadi Tuhan kalau tak bisa mencium bau tubuh sendiri dan karenanya tak pernah punya peluang untuk mengenali diri" Persetan. Persetan dengan dunia. Persetan dengan diri sendiri. Persetan dengan parfumnya.
Tangan yang menggenggam flacon terasa wangi oleh aroma halus. Setiap kali tangan itu didekatkan ke hidung dan diendus, Grenouille melamun. Lupa berjalan dan duduk mengendus lebih lama. Tak ada yang tahu betapa enak parfum ini, pikirnya. Tak ada yang tahu betapa sempurna pembuatannya. Orang hanya terkuasai efeknya tanpa pernah tahu bahwa parfum inilah penyebabnya. Membudaki mereka. Yang benar-benar mengenali keindahannya hanya aku, karena akulah yang membuatnya.
Dus, hanya aku pula yang tak bisa dikuasai. Hanya aku yang tahu betapa tak berartinya semua ini.
Tiba di Burgundy, Grenouille lanjut berpikir: saat berdiri di belakang tembok itu, tempat si gadis berambut merah bermain dan aromanya turun menggenangiku... atau bahkan sekadar fantasi akan aromanya - karena parfum yang tercipta dari aroma itu belum lagi ada... mungkin apa yang kurasakan saat itu sama dengan apa yang dirasakan oleh orang-orang saar kubanjiri mereka dengan parfum ini" Ah, tidak. Bukan itu. Tidak tepat benar. Karena aku tahu bahwa aku hanya menginginkan aroma, bukan si gadis itu sendiri. sedangkan orang-orang itu percaya bahwa mereka menginginkan aku, dan apa yang mereka inginkan sebenarnya tetap jadi misteri bagi mereka.
Lalu ia berhenti berpikir. Berpikir membuat kepalanya sakit. Saat itu ia tiba di Orleanais.
Grenouille menyeberangi sungai Loire di kota Sully. Keesokan harinya, aroma Paris sudah sampai di hidung. Tanggal 25 juni 1766, jam enam pagi, ia memasuki kota lewat jalan Saint-jacques.
Hari panas sekali. Yang terpanas tahun ini. Puluhan ribu aroma dan kebusukan meretas seperti keluar dari ribuan borok bernanah. Angin tak bertiup. Sayur-mayur di pasar menjadi layu, daging dan ikan membusuk. Udara kotor menggantung di gang-gang. Bahkan sungai seperti berhenti mengalir. Baunya amit-amit. Hari ini persis seperti hari saat Grenouille lahir.
Ia menyeberang jembatan Pont-Neuf ke sisi sungai sebelah kanan, terus ke Les Halles dan Cimetiere des Innocents. Grenouille duduk di bawah atap rumah makam yang membatasi jalan Fers. Di hadapannya membentang tanah pemakaman yang rusak seperti kawah-kawah bekas perang. Penuh liang, galian, dan parit-parit kuburan,
bertabur tengkorak dan tulang, semak atau rumput tajam. Sebuah diorama tong sampah kematian.
Sepi sekali. Tak ada orang. Bau busuk mayat begitu keras sampai penggali kubur menyerah dan lebih suka menyingkir. Hanya saat matahari terbenam mereka muncul lagi menggali lubang mayat berbekal obor sampai jauh malam.
Tapi lewat tengah malam, sepeninggal para penggali kubur, tempat ini ramai oleh bermacam makhluk terbuang. Ada maling, pembunuh, begal, pelacur, desertir, dan bajingan muda. Api unggun kecil dinyalakan agar mampu menyamarkan bau busuk.
Saat Grenouille keluar dan membaur, semula tak ada yang memerhatikan. Ia berjalan. sampai perapian tanpa diganggu, seolah menjadi bagian dari mereka. Mereka seperti berurusan dengan hantu, malaikat, atau makhluk gaib lain, karena biasanya mereka sangat peka kalau ada orang asing.
Tapi malam ini, pria kecil bermantel biru panjang itu muncul begitu saja, seperti keluar dari dalam tanah. Ada botol kecil di genggaman tangan yang tutupnya ia buka. Itulah yang langsung diingat oleh mereka: bahwa orang asing itu berdiri di sana, dekat perapian, membuka sebuah botol kecil, lalu menghabiskan isinya dengan menuangkannya ke seluruh tubuh. Seketika itu tubuhnya bercahaya begitu indah. Seperti kobaran api.
Untuk sesaat mereka mundur, kagum sekaligus heran. Tapi detik itu juga mereka merasa bahwa sikap mundur in
i hanya persiapan sebelum merangsek maju. Kekaguman berubah menjadi hasrat, dan keheranan menjadi kegembiraan luar biasa. Semua tertarik ke arah malaikat kecil itu. Daya tarik yang liar dan amat kuat memancar dari tubuhnya. Tak mungkin ditahan manusia. Pun kalau bisa, tak ada yang mau begitu. Pusaran daya tarik yang menyeret ini berasal dari kehendak manusia sendiri. Terarah langsung ke pria itu.
Mereka mengitarinya. Berjumlah dua puluh sampai tiga puluh orang. Dan lingkaran itu makin lama makin mengecil. Karena sempit, segera terjadi saling dorong dan sikut. Semua ingin lebih dekat ke tengah.
Dan suatu ketika pertahanan kesadaran yang terakhir tumbang bersama dengan lingkaran itu. Mereka merangsek ke arah malaikat kecil, mendorongnya ke tanah. Semua ingin menyentuh dan memiliki sepotong dirinya, entah itu bulu, hiasan mantel, pokoknya sepercik saja dari kobaran itu. Mereka merobek pakaian, rambut, dan kulit. Membenamkan cakar dan gigi ke daging tubuhnya, menyerang seperti sekelompok hyena berebut makanan.
Tapi tubuh manusia liat dan tak mudah dikoyak. Kuda saja kesulitan membelah orang. Kilatan pisau segera berkelebat. Menusuk dan mengiris. Tak lama ayunan kapak dan golok meluncur ke persendian. Menghantam dan meremukkan tulang. Dalam waktu singkat malaikat itu telah terbagi menjadi tiga puluh potong. Setiap "binatang" di tempat itu langsung menyambar potongan-potongan itu untuk diri sendiri. Dipeluk dan diciumi. Lantas, terdorong oleh nafsu, mereka melahapnya. Setengah jam kemudian, Jean-Baptiste Grenouilie lenyap dari muka bumi.
Saat kanibal-kanibal itu tersadar, tak ada yang berkomentar. Ada yang bersendawa, meludah potongan tulang, mencungkil sisa daging dengan lidah, atau melempar sobekan mantel biru panjang ke perapian. Semua merasa sedikit malu dan takut memandang satu sama lain. Setiap pria dan wanita di tempat itu pernah membunuh atau melakukan berbagai kejahatan lain, tapi memakan manusia" Rasanya tak percaya baru saja melakukan hal itu. Kaget menyadari kejadiannya berlangsung begitu mudah sampai tak sempat merasa
bersalah. Hanya sedikit malu saja. Dan meski daging sang malaikat terasa agak berat mengganjal di perut, hati terasa begitu ringan. Tiba-tiba saja seperti ada cahaya terang memayungi jiwa mereka yang gelap. Tak ada wajah menyesal. Malah terlihat begitu puas dan bahagia. Mungkin itu sebabnya mereka malu untuk saling tatap.
Saat keberanian itu muncut, diawali pandangan curi-curi, lalu terang-terangan. Membuat mereka tersenyum. Tersenyum dan bangga. Untuk pertama kali mereka melakukan sesuatu atas nama cinta.
TAMAT tamat Hati Budha Tangan Berbisa 16 Satria Gendeng 14 Tiga Pendekar Aneh Manusia Setengah Dewa 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama