Ceritasilat Novel Online

Pembalasan 2

Fear Street Sagas 07 Pembalasan Children Of Fear Bagian 2


"Auw!" jerit Leah. "Apa-apaan kau?"
"Diamlah!" Luke memperingatkan dengan suara pelan. "Aku
mendengar sesuatu tadi. Ada di luar sana... mencari kita."
"Di mana?" tanya Leah sambil bangkit berdiri.
Luke mencoba meraihnya, tapi jemarinya hanya mengenai rok
Leah saat adiknya itu bergegas merangkak ke luar dari batang pohon.
"Leah, kembali!" bisik Luke kasar.
Ia teringat jeritan tikus saat burung hantu membawanya terbang.
Apa yang akan dilakukan makhluk ini kepada Leah" Tidak ada,
pikirnya memutuskan. Aku takkan membiarkan Leah terluka.
Dengan susah payah, ia keluar dari batang kayu itu. Ia melihat
Leah beberapa meter jauhnya. Cahaya bulan menerobos cabangcabang tebal dan menerangi adiknya.
Mata yang bercahaya itu bergerak keluar dari kegelapan,
Luke mendengar geraman pelan dan berat. Geraman seekor
serigala. Makhluk buas itu menyelinap keluar dari kegelapan ke bawah
cahaya bulan. Luke menggigil melihatnya. Tubuh serigala itu panjang
dan kuat, bergerak semakin dekat.
Mereka tidak punya kesempatan untuk mengusirnya. Atau
melarikan diri darinya. Luke tersentak saat melihat kepala serigala itu. Bangkai seekor
kelinci menjuntai di rahangnya.
Makhluk keperakan itu merayap perlahan-lahan mendekati
Leah, kepalanya menunduk. Lalu ia menjatuhkan bangkai kelinci itu
di kaki Leah dan membaringkan diri.
Lari, Leah! Lari! jerit benak Luke.
Jantungnya hampir-hampir berhenti saat ia menyaksikan Leah
berlutut. Luke merasakan jeritannya mendesak tenggorokannya. Ia
berjuang menahannya. Dengan terpesona, ia menyaksikan kedua tangan Leah terbenam
ke dalam bulu-bulu lebat serigala itu. Leah menekankan wajahnya ke
leher serigala itu. Luke mengembuskan napas lega.
Serigala Leah. Apakah Leah memiliki kekuatan untuk menguasai hewan
seperti yang dipercayai penduduk kota" Tidak, kata Luke sendiri.
Hewan-hewan mempercayainya karena Leah bersikap ramah terhadap
mereka, tapi hanya itu. Ia punya bakat. Seperti ayah mereka.
Luke mendengar suara gemeresik dan menunduk. Corey telah
merangkak keluar dari batang pohon. Matanya membelalak, ia
menatap Leah dan serigala itu.
"Jangan takut," kata Luke pelan sambil berlutut di samping
adiknya. "Ayah pernah menceritakan tentang seorang pria yang patah
kakinya di hutan. Anjingnya yang berburu untuknya. Anjing itu
membawakan daging untuknya hingga dia cukup kuat untuk mencari
bantuan." Corey tampak ragu-ragu, dan Luke menjelaskan lebih jauh apa
yang diharapkannya merupakan kenyataan.
"Serigala itu pasti merasakan bahwa Leah memerlukan bantuan
sekarang. Leah selalu baik padanya. Dia menemukan serigala itu saat
masih bayi. Induknya mati. Leah memeliharanya hingga serigala itu
mampu hidup sendiri. Sekarang dia membalas budi."
Sambil mengangguk, Corey menggosok matanya yang
kelelahan. Luke menarik adiknya kembali ke dalam lubang pohon.
Corey meringkuk rapat padanya.
Luke menatap Leah... berbaring di tanah, meringkuk kepada
serigala itu... tidur dengan damai.
Itu pemandangan terakhir yang dilihatnya sebelum ia jatuh
tertidur. *********** Luke terbangun dengan terkejut.
Ia menahan napas, mendengarkan.
Ia memicingkan mata berusaha melihat menembus kegelapan.
Serigalanya telah menghilang. Leah tidur lelap di sisinya dalam
batang pohon. Luke menggeliat, berusaha agar merasa lebih nyaman. Ia
memejamkan mata. Tapi ia tidak bisa tidur kembali.
Apa yang akan kami lakukan besok" Bagaimana caraku
menjaga Leah dan Corey" Kami tak punya uang. Tidak ada makanan.
Hanya pakaian yang kami kenakan.
Besok. Besok aku akan memikirkannya. Besok aku harus
menemukan cara agar kami tetap hidup.
Ia mendengarkan dedaunan gemeresik tertiup angin, berharap
suara lembut itu akan menidurkannya.
Siulan melengking memecahkan kesunyian malam.
Mata Luke terbuka lebar. Apa itu"
Siulan itu kembali terdengar. Lebih keras. Lebih lama.
Luke bergegas keluar dari lubang pohon. Ia berdiri. Kakinya
yang terlipat terasa lemas. Ia jatuh ke tanah. Kakinya tak bisa
merasakan apa pun. Sambil mengerang, ia menggosok-gosok
tungkainya yang kram. Ia kembali mendengar bunyi peluit itu.
Suara itu memanggilku, pikirnya. Aku harus tahu apa yang
menimbulkan suara itu. Luke berusaha bangkit berdiri. Dengan terhuyung-huyung ia
melintasi hutan hingga tiba di tempat terbuka yang menghadap
lembah. Awan bergerak meninggalkan bulan dan menyiramkan cahaya
keperakan ke rel kereta api.
Sambil terengah-engah, Luke mengawasi lokomotif yang
meluncur di atas rel. Kereta! Kalau saja kami punya uang untuk membeli karcis....
Luke menatap kereta itu. Salah satu pintu kereta barangnya
terbuka. Apakah yang duduk di ambang pintunya itu anak-anak"
pikirnya penasaran. Anak-anak"
Ya, mereka memang anak-anak, Luke menyadarinya dengan
penuh semangat. Itu kereta yatim piatu!
Kereta yatim piatu yang disebut-sebut Earl Wade. Luke pernah
juga membaca tentang kereta itu di koran. Kereta itu menuju ke barat.
Kereta itu berhenti di setiap kota, dan orang-orang di kota itu
mendapat kesempatan untuk memilih anak-anak yang untuk bekerja di
tempat mereka. Kalau mereka menyukai anak-anak itu, mereka bisa
mengadopsinya. Perasaan bersalah menyapu dirinya. Luke tak pernah berniat
agar Leah dan Corey diadopsi. Ia selalu berencana untuk menjaga
mereka. Ia masih akan tetap menjaga mereka, tapi ia akan mencari
keluarga yang akan membantunya. Di kota tempat orang-orang belum
pernah mendengar tentang keluarga Fier. Belum pernah mendengar
tentang bakat Leah. Belum pernah melihat Leah memberi makan
seekor serigala dan berjalan melintasi kota dengan seekor ular melilit
bahunya. Luke memutuskan bahwa kereta yatim piatu merupakan
pemecahan yang sempurna. Dengan semangat baru, ia berbalik dan bergegas masuk kembali
ke dalam hutan. Kereta itu akan membawa kami ke luar kota. Dengan kereta itu
kami akan mendapat kesempatan untuk menemukan rumah baru.
Kereta itu akan menjauhkan kami dari rasa takut.
Bab 7 KEESOKAN paginya, sewaktu Leah dan Corey terjaga, Luke
menjelaskan rencananya. "Tapi kau sudah berjanji," kata Leah marah. "Katamu kau
takkan membawa kami naik kereta yatim piatu."
"Kita tak punya pilihan," kata Luke sedih. "Kita tidak bisa
kembali ke pertanian. Kau memerlukan rumah, dan Corey
memerlukan orangtua."
"Bagaimana denganmu?" tanya Leah, wajahnya memerah
marah. "Aku sudah cukup tua untuk menjaga diri," kata Luke
kepadanya. "Aku juga bisa menjaga diriku sendiri," kata Leah bersikeras.
Corey merapatkan bibirnya dan menggoyang-goyangkan
kepalanya. "Aku berjanji takkan meninggalkan kau maupun Corey, dan aku
akan menepatinya. Aku sudah terlalu tua untuk diadopsi, tapi entah
bagaimana kita akan tetap bersama. Mungkin ada keluarga yang
memerlukan bantuan tenaga di pertanian mereka dan mau menerima
kita semua," tambah Luke, sambil memaksa agar suaranya terdengar
penuh harapan. "Paling tidak, kereta itu akan memberi kita makan dan
tempat penampungan. Dan membawa kita pergi dari Stormy Ridge."
Luke mengawasi ekspresi Leah perlahan-lahan berubah dari
kemarahan menjadi kesedihan. Tapi Luke lega saat Leah tidak
mendebatnya lagi. *********** Seiring dengan naiknya matahari menerangi langit, Luke
mengangkat Leah dan Corey ke gerbong yang kosong. Lalu ia naik ke
dalam menggabungkan diri dengan mereka.
Ia memandang sekitarnya. Jerami dan selimut bertebaran di
lantai. Cahaya matahari menerobos celah-celah papan merah yang
menjadi dinding gerbong. "Ambil selimut, Leah," katanya. "Kita duduk di sini, sambil
menunggu." Ia mengajak mereka ke sebuah sudut dan duduk. Corey duduk
di pangkuan Luke. Leah duduk dengan kaku di sampingnya.
Mereka akan bahagia, kata Luke pada diri sendiri. Akan
kudapatkan rumah baru untuk mereka, dengan orang-orang yang
ramah. Luke mendengar langkah-langkah banyak kaki.
Tiba-tiba anak-anak naik ke dalam gerbong itu. Masing-masing
memancarkan ekspresi kekalahan. Mulut mereka cemberut. Beberapa
malah berkaca-kaca. Luke menyadari bahwa masing-masing anak membawa sebuah
buntalan kecil yang menurut dugaannya berisi barang-barang milik
mereka. Seorang wanita gemuk mengangkat anak-anak yang lebih kecil
ke dalam gerbong. Rambutnya beruban dan diikat kencang di
belakang kepala, sesuai dengan ekspresi wajahnya yang keras dan
muram. Luke mengernyit mendengar suaranya yang dingin dan marah
saat mengangkat anak terakhir ke atas kereta.
Ia mengawasi saat mata hitam dan bulat wanita itu mengamati
bagian dalam gerbong. Apa dia akan melihat kehadiran mereka dan
mengusir mereka" "Jaga sikap kalian! Dan jangan ribut!" bentaknya.
Luke menahan napas saat wanita itu melontarkan pandangan
marah kepada anak-anak itu sekali lagi. Lalu ia mendengar pintu
gerbong ditutup dengan suara keras.
Leah meringkuk semakin rapat kepada dirinya. "Luke?"
Luke memeluk bahunya untuk menenangkan adiknya. "Kita
akan baik-baik saja, Leah. Jangan khawatir."
Luke mendengar peluit kereta melengking, lalu merasakan
gerbongnya tersentak maju. Corey mencengkeram kemeja Luke,
jemarinya yang kecil menancap di kulit Luke.
"Jangan takut," kata Luke, berusaha meyakinkannya dengan
suara pelan. "Kita akan bertualang."
Corey memiringkan kepalanya ke belakang. Dalam
keremangan, Luke melihat senyum beraninya dan ia mengacak-acak
rambut Corey yang lebat. Luke memandang sekeliling mereka yang remang-remang.
Cahaya matahari dan bayang-bayang menari-nari di dalam gerbong
sementara kereta bergoyang-goyang ke kiri dan kanan. Luke bergegas
menghitung, ada lebih dari dua lusin anak di dalam gerbong itu.
Sebagian besar tampak kurus, dengan mata besar yang memancarkan
kesedihan. Tak satu pun tersenyum.
Lalu ia menyadari empat orang pemuda yang tengah terhuyunghuyung mendekatinya. Luke merasa mereka kurang-lebih sebaya
dengan dirinya. Mereka tidak sejangkung dirinya, tapi tampak lebih
besar. Ia melihat mereka mendekati seorang gadis kecil, lalu bersamasama meludahinya. Luke mengawasi saat gadis itu meringkuk dan
menutupi kepalanya dengan selimut. Lalu Luke menyaksikan mereka
mengulangi perbuatannya kepada seorang bocah lelaki. Sambil
menangis, bocah itu melompat dan berlari ke ujung seberang kereta.
Luke mendengar pemuda-pemuda itu tertawa dan mengejeknya. Ia
mengertakkan gigi menahan kemarahannya.
Luke mengawasi saat mereka berhenti beberapa meter di depan
dirinya dan adik-adiknya. Mereka berdiri berjajar dan memelototinya.
Luke balas melotot dan segera mengalihkan Corey kepada Leah. Lalu
ia bangkit berdiri dan menghadapi mereka.
Pemuda yang terbesar di antara keempatnya maju selangkah,
memicingkan matanya. "Siapa kau?" tanya pemuda itu. Luke merasakan jari pemuda itu
menyodok dadanya saat ia bicara. "Aku belum pernah melihatmu
sebelum ini." "Kurasa kau saja yang tidak memperhatikan," kata Luke
berbohong, takut ia dan adik-adiknya akan dikeluarkan dari gerbong
kalau Pengawas menemukan mereka. "Kami sudah di sini sejak tadi.
Tapi kami diam saja."
"Begitukah?" tanya pemuda itu. "Aku Mike." Ia menunjuk ke
belakang dengan ibu jarinya. "Ini adik-adikku. Kami memutuskan
untuk melarikan diri. Kau mau ikut?"
"Tidak," jawab Luke. Dari sudut matanya ia melihat Leah dan
Corey juga menggeleng. Luke mengembuskan napas lega, takut
gagasan melarikan diri mungkin menarik bagi adik-adiknya.
"Sam, buka pintunya," kata Mike.
Luke mengawasi saat salah seorang adik Mike melangkah ke
pintu gerbong. Pintunya berderit dan mengerang saat Sam
membukanya. Angin meraung-raung memasuki gerbong. Luke bisa
melihat pepohonan dan ladang-ladang hijau melintas saat keretanya
berpacu di atas rel, meninggalkan kota tempat mereka baru saja
berhenti. "Yakin kau tidak mau ikut?" tanya Mike.
Luke kembali mengalihkan perhatiannya kepada pemuda itu.
"Yakin." Mike memicingkan mata memandang Corey. "Kau mau ikut?"
"Dia tak ingin pergi bersama kalian," kata Luke.
"Biar dia sendiri yang mengatakannya," kata Mike.
"Corey tidak bicara," kata Leah.
Mike tersenyum kejam. "Begitu" Kenapa" Kucing menggigit
lidahmu" Biar kulihat."
Corey merapatkan bibirnya dan menggeleng kuat-kuat.
"Ayo," kata Mike. "Biar kulihat."
Luke melihat Mike melangkah maju mendekati adik lelakinya
dan mengulurkan tangan ke arahnya. Luke melompat di antara mereka
dan mendorong bahu Mike. "Jangan ganggu adikku," katanya.
Mike terhuyung jatuh dan bergegas bangkit berdiri. "Jangan
memerintahku," kata Mike. "Tak ada yang bisa mendorongku tanpa
mendapat balasan." Luke mengangkat lengannya untuk memblokir tinju pemuda itu.


Fear Street Sagas 07 Pembalasan Children Of Fear di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terlambat. Kepalan Mike menghajar perutnya. Perut Luke terasa
sangat sakit, ia jatuh berlutut.
"Luke! Bangun!" Ia mendengar Leah menjerit. "Dia mau
mengambil Corey!" Dengan pandangan berkunang-kunang, Luke melihat Mike
menyambar dagu Corey. "Kau mau ikut kami, bukan, bocah kecil?" tanya Mike kepada
Corey, sambil mengguncang bahunya. "Hei, aku bertanya padamu.
Jawab!" teriaknya. Ia mengguncang Corey sekeras-kerasnya,
menyentakkan kepalanya maju-mundur.
Luke berjuang bangkit, memaksa diri untuk berlutut. Ia melihat
Mike mendorong Corey ke pintu kereta yang terbuka. Angin menariknarik pakaian Corey yang lusuh dan meng-acak-acak rambut
hitamnya. "Kalau kau tidak mau bicara, akan kudorong kau ke luar," kata
Mike. "Lepaskan!" teriak Leah sambil menghantam lengan Mike.
Salah seorang adik Mike menyambar Leah, memeluknya eraterat. Leah menendang-nendang tanpa hasil ke udara.
Sambil terengah-engah, Luke bangkit berdiri. Ia menerjang
Mike. "Jangan ganggu adikku!"
Sam, adik Mike, menyambar lengan Luke dan
menghantamkannya ke dinding. Pandangan Luke seketika berkunangkunang. Ia memaksa diri untuk memusatkan perhatian pada Corey.
Sambil melawan rasa sakitnya, ia mengulurkan tangan ke arah Mike.
Sam mencengkeram Luke, menjepit lengannya di sisi tubuhnya.
"Bicara!" teriak Mike kepada Corey sambil menariknya lebih
dekat ke pintu. "Bicara, atau akan kupaksa kau menjerit!"
Perut Luke bergolak melihat Corey menggeleng kuat-kuat, mata
hijaunya membelalak ketakutan. Bibir bawahnya gemetar.
"Lepaskan adikku!" jerit Luke. Ia menendang dan
memberontak, berusaha membebaskan diri dari cengkeraman Sam.
Mike mencibir. "Baiklah. Akan kulepaskan adikmu."
Ia memeluk pinggang Corey dan mendorongnya ke arah pintu.
Jantung Luke bagai berhenti berdetak di dadanya saat ia melihat
adiknya menggeliat-geliat berusaha membebaskan diri. Mike
menariknya ke pintu yang terbuka, lalu Luke melihat ia
mencengkeram tumit Corey dan membaliknya.
Luke berjuang keras membebaskan diri dari cengkeraman Sam.
Tapi pemuda itu memeganginya erat-erat. Luke merasa matanya panas
oleh air mata kemarahan saat menyaksikan adik lelakinya
menggantung-gantung di luar kereta. Angin membuat rambut hitam
Corey melecut-lecut di sekitar kepalanya.
Jeritan putus asa Leah menggema ke seluruh gerbong. Tapi
Luke tidak mampu mengalihkan pandangannya dari Corey.
"Akan kulepaskan adikmu," teriak Mike mengatasi keriuhan
kereta yang melaju. Luke mengalihkan tatapannya ke Mike. Mata Mike yang hitam
bercahaya, bibirnya menyeringai kejam.
"Akan kujatuhkan adikmu," teriak Mike mengatasi suara kereta.
"Aku bersumpah akan kujatuhkan adikmu."
Bab 8 "LUKE"hentikan dia! Dia akan membunuh Corey!"
Jerit ketakutan Leah berdering di telinga Luke.
"Sekarang?" jerit Mike. "Apakah kujatuhkan adikmu
sekarang?" "Tidak!" teriak Luke sambil berjuang membebaskan diri dari
jepitan adik Mike. "Ya!" jawab Mike, sambil mengayun-ayunkan Corey.
"Corey, bicaralah!" pinta Luke. "Itu yang dia inginkan."
"Dia jatuuuh!" jerit Mike.
Luke mendengar dengungan keras. Lalu Sam menjerit
kesakitan. "Aku disengat!" teriak Sam. Ia melepaskan Luke.
Luke melompat ke pintu dan menangkap pinggang Corey. Ia
menarik adiknya menjauhi Mike dan membawanya masuk kembali ke
gerbong. Mike meraung dan menerjang Luke. Lalu ia menjerit dan
melompat menjauh. Ia mencakari dada dan perutnya dengan panik.
Lebah-lebah beterbangan ke arahnya dari segala arah.
Adik-adik Mike berlari mendekat untuk membantunya.
Leah bergegas mendekati Luke. "Corey tidak apa-apa?"
"Kurasa begitu. Kupikir dia hanya pusing sekarang ini," jawab
Luke sambil terengah-engah.
"Dan ketakutan." Leah membungkuk dan memeluk Corey.
"Corey yang malang," katanya.
Pintu menuju ke gerbong berikutnya tiba-tiba terbuka.
Pengawas bergegas masuk dari sana.
"Ada apa di sini!" seru pengawas dengan suara melengking.
"Kenapa pintunya terbuka?"
"Mereka mau melemparkan adikku keluar dari gerbong!" kata
Luke kepadanya, suaranya gemetar karena marah. Ia menunjuk Mike
dan adik-adiknya. "Mereka mencoba melarikan diri!" kata Mike, sambil menunjuk
Luke dan Leah. "Mereka membuka pintu ini"dan membiarkan lebahlebah besar ini masuk!"
"Mereka jahat!" teriak Leah. "Jahat dan pembohong!"
Anak-anak lain seketika mulai turut berbicara dan berteriak
bersama. Pengawas bergegas mengeluarkan sebuah peluit dan
meniupnya keras-keras. Luke menutupi telinganya, melindunginya dari lengkingan itu.
Ia melihat anak-anak lain meringkuk dan juga menutupi telinga
mereka. Gerbong berubah sunyi. Pengawas mengangguk singkat.
"Sekarang, kalau begitu, apa yang terjadi di sini?" tanyanya tajam,
mata hitamnya yang mungil menatap tajam.
"Kau!" Luke melihat jari Pengawas yang gemuk itu terarah kepada
Corey. "Ceritakan apa yang terjadi di sini."
Corey melangkah mundur, matanya membelalak. Dagunya
gemetar. Luke melangkah maju. "Dia tidak..."
"Diam!" kata Pengawas. "Aku bertanya padanya, bukan
padamu." "Tapi dia tidak..."
Wanita itu berpaling kepada Luke, mata hitamnya
memancarkan kemarahan. Luke menahan napasnya. Ia belum pernah
melihat kemarahan sehebat itu.
"Diamlah," kata Pengawas dengan suara pelan, "atau akan
kutinggalkan kau di kota berikutnya... tidak peduli kau mendapat
orangtua angkat atau tidak."
Apa yang akan terjadi pada Leah dan Corey kalau begitu" pikir
Luke penasaran. Apa yang akan terjadi kalau aku tidak bersama
mereka" Aku sudah berjanji kami akan tetap bersama. Tidak peduli apa
pun yang terjadi. Ia mengangguk dan melangkah mundur. Leah meraih
tangannya. Luke tersenyum singkat kepadanya, berharap Leah tidak
melihat betapa khawatir dirinya terhadap Corey.
Jelas Pengawas akan segera menyadari bahwa Corey tidak
bicara, pikir Luke. Jelas dia akhirnya akan bertanya kepada anak yang
lain. Pengawas itu memelototi Corey. "Sekarang, kalau begitu, bocah
kecil. Katakan apa yang terjadi."
Luke mengawasi saat Corey melangkah mundur menjauhi
Pengawas. Pengawas mengikutinya, hingga Corey terjebak di sudut.
Pengawas berkacak pinggang. "Jangan diam saja! Aku takkan
membantumu kalau kau tidak meminta bantuanku. Katakan apa yang
mereka lakukan." Ia menggoyang-goyang jarinya di depan wajah
Corey. "Katakan!"
Luke mengawasi tanpa daya saat Corey merapatkan bibirnya
dan menggeleng. Pengawas menggoyang jarinya semakin cepat. "Katakan!"
Corey mengernyitkan wajah dan memejamkan mata rapat-rapat
seakan-akan ia bisa mengusir Pengawas kalau tidak melihatnya.
Pengawas menjerit dan melompat mundur. Luke melihat seekor
lebah hitam-kuning terbang menjauhi wajahnya. Bibir bawah
Pengawas mulai membengkak. Sesaat kemudian besarnya telah
mencapai tiga kali ukuran normal.
Luke mendengar Leah tertawa tertahan.
Lebah itu terbang melintasi gerbong, mendengung liar. Hewan
itu mengitari kepala Leah. Lalu melesat keluar melalui pintu yang
terbuka. "Tutup pintunya," kata Pengawas, kata-katanya agak kacau
karena terhalang bibirnya yang membengkak.
"Sudah kukatakan mereka membiarkan lebah-lebahnya masuk,"
rengek Mike sambil menutup pintunya.
Pengawas bergegas meninggalkan gerbong melalui pintu yang
menuju ke kompartemen pribadinya.
Begitu dia berlalu, Luke bisa merasakan Mike menatapnya
dengan tajam. Luke berbalik dan menghadapi pelototan Mike.
"Kau dan adik-adikmu berhasil meloloskan diri kali ini," kata
Mike, suaranya menahan kemarahan. "Tapi urusan kita belum selesai.
Akan kutemukan cara untuk mengusirmu dari kereta ini, bahkan kalau
harus, aku akan membunuhmu!"
Bab 9 LUKE berbaring dengan mata nyalang menatap langit-langit
gerbong. Ia melirik ke arah Leah. Leah tertidur lelap di sampingnya.
Corey juga. Di sekitarnya, ia mendengar tarikan napas dalam anakanak yang tengah tidur.
Ia berbaring miring. Jerami menusuk-nusuk dan menggelitik
kulitnya sementara goyangan kereta mengguncangnya ke sana kemari.
Kepalanya berdenyut-denyut. Perutnya bergolak karena bau selimut
yang lembap. Ia penasaran berapa banyak anak yang telah tidur di
gerbong ini, berapa banyak lagi yang akan tidur di sini.
Apakah mereka semua mendapatkan rumah" Apa yang terjadi
pada mereka yang tidak mendapatkan rumah"
Luke menarik selimut Corey lebih tinggi ke bahunya. Apa yang
harus kulakukan terhadapmu" pikirnya penasaran. Dulu kau mau
bicara. Kau mau tertawa"sewaktu Ma dan Papa masih hidup.
Kau akan tertawa lagi, pikir Luke bersumpah. Entah bagaimana
aku akan membuatmu tertawa lagi. Dan berbicara lagi. Tapi
bagaimana caranya" Luke menggosok keningnya. Kepalanya masih terasa sakit
akibat terbentur sewaktu dihantam adik Mike ke dinding.
Lalu ia membeku. Bulu kuduknya meremang.
Ada yang mengawasiku, pikir Luke. Perlahan-lahan, ia
mengawasi gerbong. Mike"
Tidak, ia bisa melihat Mike dan adik-adiknya tergeletak di
ujung seberang gerbong, mendengkur.
Suara mereka bahkan lebih buruk daripada suara lokomotif,
pikir Luke. Mereka tidur dan begitu pula semua orang lainnya. Aku
hanya tegang sesudah kejadian hari ini.
Lalu Luke melihat seorang gadis yang meringkuk di sudut
gerbong di seberangnya" sejauh mungkin dari anak-anak lainnya.
Luke sempat melihatnya tadi. Tampaknya gadis itu kuranglebih sebaya dengannya. Kepangan rambut pirang keemasannya jatuh
di bahunya. Luke ingat mata gadis itu berwarna biru.
Dan sekarang ia bisa merasakan mata biru gadis itu mengawasi
dirinya... sama seperti dirinya mengawasi gadis itu. Ia memandangnya
dalam keremangan dan mengira melihat gadis itu tersenyum kecil.
Lalu gadis itu berpaling, menatap keluar dari celah-celah papan
dinding gerbong. Sesudah pengalamannya dengan Wade bersaudara di kota dan
Mike serta adik-adiknya di kereta, Luke sangat ingin bercakap-cakap
dengan seseorang yang ramah. Gadis itu tampaknya cukup ramah.
Luke merangkak menyeberangi gerbong, berhati-hati agar tidak
mengganggu anak-anak yang tidur. Saat tiba di sisi seberang, ia duduk
di samping gadis itu. "Halo," katanya pelan.
Luke melihatnya menunduk.
"Halo juga." "Namaku Luke." Luke mengawasi bibir gadis itu merekah membentuk senyum
malu-malu. "Namaku Mary."
Senyumnya cantik, pikir Luke.
"Aku tidak bisa tidur," katanya kepada Mary.
"Aku juga." Mary menengadah memandangnya. "Kurasa aneh
juga karena kereta ini bergoyang-goyang seperti kursi goyang raksasa,
jadi seharusnya mudah untuk tertidur di sini."
Luke mengangguk setuju. "Adik-adikku tidak menemui
kesulitan untuk tertidur."
Mary menyentuh lengannya. "Kau berani sekali tadi siang...
membela adikmu." Luke merasa pipinya memerah. Mary bergegas melepaskan
lengan Luke seolah tiba- tiba merasa malu.
"Aku tidak merasa berani," kata Luke pelan. Ia mencondongkan
tubuh mendekati Mary. Aroma tubuh Mary seperti bunga-bunga
mawar yang dulu ditanam ibunya di kebun. "Aku ketakutan," kata
Luke mengakui. "Aku khawatir melihatmu," kata Mary pelan sebelum
menunduk. Kata-katanya menyebabkan Luke tertegun... dan merasa hangat
pada saat yang sama. Mary mengkhawatirkanku, ia menyadari dengan
perasaan terpesona. Kurasa belum ada orang yang mengkhawatirkan
diriku sejak kematian ibuku.
"Aku tidak tahu kenapa Mike begitu tidak menyukaiku," kata
Luke, masih belum yakin akan alasan Mike memilih dirinya dan
Corey tadi siang. "Mike tidak menginginkan persaingan. Pemuda-pemuda selalu
diadopsi lebih dulu" dan kau sedikit lebih tua daripada dirinya," kata
Mary menjelaskan. "Itu sebabnya dia berusaha meyakinkanmu untuk
melarikan diri lebih dulu. Dia sendiri tidak akan pergi. Dia hanya
tidak ingin ada yang memilihmu lebih dulu daripada dirinya dan adikadiknya."
Luke menggeleng. "Mike tidak perlu mengkhawatirkan diriku.
Aku hanya ingin memastikan Leah dan Corey diadopsi."
"Mungkin sulit," kata Mary kepadanya. "Sulit untuk
menemukan keluarga yang bersedia untuk mengadopsi lebih dari satu
anak." "Aku akan mempertahankan Corey dan Leah bersama-sama,"
kata Luke, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Mary.
"Apakah banyak anak yang diadopsi di setiap kota?" tanya
Luke. "Terkadang anak-anak yang kecil beruntung. Mereka masih
manis, dan para wanita senang untuk memeluk mereka. Anak-anak
yang berusia menengah, terutama gadis-gadis, yang sulit menemukan
rumah. Gadis seusiaku sangat kecil keberuntungannya." Mary
mendesah. "Mereka semua tampak begitu sedih," kata Luke, teringat akan
wajah-wajah mereka sewaktu naik ke gerbong.
"Rasanya menyakitkan untuk berharap di setiap kota, hanya
untuk mendapati bahwa tidak ada yang menginginkan dirimu," jawab
Mary.

Fear Street Sagas 07 Pembalasan Children Of Fear di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagaimana caranya agar mereka mau mengambil kami?" tanya
Luke, membulatkan tekad untuk menurunkan Leah dan Corey dari
kereta ini secepat mungkin.
Mary tersenyum. "Berdirilah tegak. Rapikan rambutmu.
Berbicaralah dengan sopan, dan beritahu semua orang yang melintas
bahwa kau suka bekerja keras."
Luke tergelak. "Rambutku mungkin akan menjadi masalah." Ia
menyisirnya dengan tangan. "Aku tidak ingat kapan terakhir kali
mencukurnya." "Tidak jelek," jawab Mary pelan.
"Rambutmu mirip madu," kata Luke. Ia merasa wajahnya
menghangat. Ia belum pernah mengatakan hal sebodoh itu kepada
seorang gadis sebelumnya.
Mary tertawa lembut sebelum menutupi mulutnya. "Apakah kau
juga lapar?" tanyanya.
Luke tertawa pelan agar tidak membangunkan siapa pun.
"Ya, aku juga lapar," katanya, sambil tersenyum. "Mungkin itu
sebabnya rambutmu mengingatkanku akan madu. Matamu
mengingatkanku akan blueberry."
Luke bisa melihat bahwa Mary berusaha keras untuk menahan
tawanya. Ia gembira saat mendengar tawa pelan Mary. Setelah
kematian orangtuanya, ia jarang sekali punya kesempatan untuk
mengunjungi teman-temannya, dan tidak sempat bercakap-cakap
dengan para gadis. "Matamu mengingatkanku akan puding cokelat," kata Mary,
lalu memalingkan wajahnya.
Ia pemalu, pikir Luke. Ia berharap bisa mengetahui bagaimana
caranya agar Mary merasa lebih nyaman berada di dekatnya.
"Mungkin sesudah sarapan besok pagi, aku akan menganggap
rambutmu hanya sekadar kuning dan matamu sekadar biru."
Mary memandangnya. "Jangan berharap. Bubur yang mereka
sajikan untuk sarapan sangat tidak enak. Semuanya menggumpal."
"Ibuku dulu sering membuat bubur yang lezat," kata Luke,
sambil menyandarkan kepalanya ke dinding. Gerakan kereta
menggetarkan tengkoraknya. "Aku dulu selalu menghabiskan empat
mangkuk setiap pagi."
"Apa yang terjadi dengan ibumu?" tanya Mary. Suaranya sarat
akan keprihatinan. "Dia dan ayahku akan menghadiri Pameran Seratus Tahunan.
Keretanya terbalik menimpa mereka. Membunuh mereka berdua."
Kenangan itu membuatnya menggigil. Ia tidak ingin menceritakan
kepada Mary bagaimana kuda-kudanya tiba-tiba berubah liar dan
melesat tanpa terkendali. Ia masih tak bisa mempercayai bahwa
ayahnya kehilangan kendali terhadap hewan.
"Maaf." Aku bisa bercakap-cakap dengannya sepanjang malam, pikir
Luke. "Apa yang terjadi dengan orangtuamu?" tanyanya lembut,
menduga bahwa keduanya juga telah meninggal.
"Mereka berdua meninggal karena influenza," jawab Mary
pelan. "Belum lama ini," tambahnya. Mary menarik lututnya dan
menutupi wajah dengan tangannya.
Luke melihat bahu Mary terguncang. Ia merasa tidak enak
karena telah membangkitkan kesedihan Mary. Ia teringat bagaimana
sulitnya beberapa minggu pertama setelah kematian orangtuanya. Ia
terus mengira akan bertemu dengan mereka, mendengar suara-suara
mereka. Luke berdeham. "Ada lubang di atap gerbong. Aku bisa melihat
bintang-bintang." Mary menengadah. Di bawah sinar bulan, Luke bisa melihat
aliran air mata di pipi gadis itu.
"Ayo, ajukan permintaan," katanya, berharap bisa mengalihkan
Mary dari kesedihannya. Mary tersenyum kecil, gemetar. "Aku belum pernah meminta
kepada bintang sejak masih anak-anak."
"Itu terlalu lama," kata Luke meyakinkannya. "Mintalah."
Mary mendengus dan kembali menatap sepotong langit yang
terlihat melalui lubang. "Kuharap kau, adik-adikmu semuanya diadopsi keluarga yang
ramah di kota berikutnya," kata Mary pelan.
Dia dermawan sekali, pikir Luke. Memikirkan orang lain
sebelum diri sendiri. "Aku juga berharap begitu untukmu," kata Luke.
Senyum ragu-ragu merekah di bibir Mary.
Luke tersenyum kepadanya. Aku sudah menemukan kebaikan
dari kereta yatim piatu ini, pikirnya tersadar. Mary.
Bab 10 KEESOKAN harinya kereta berhenti tepat sesudah matahari
terbit. Peluitnya melengking dan roda-rodanya mencicit.
Luke mendengar beberapa anak mengerang. Beberapa
mendengus. "Aku mau pulang," kata seorang gadis kecil.
"Kau tak punya rumah," kata seseorang padanya. "Tidak satu
pun dari kita yang punya rumah."
Luke menyisir rambut Corey menggunakan sisir yang
dipinjamnya dari Mary, hingga seluruh kekusutannya lenyap. Ia
meludahi telapak tangannya dan membersihkan noda di pipi-pipi
Corey. Corey mengernyitkan hidungnya.
"Maaf, Corey," kata Luke. "Hanya ini yang terbaik yang bisa
kulakukan sekarang ini. Ia merapikan kerah kemeja flanel Corey dan
mengeratkan kembali sisi-sisi celana terusannya yang telah
mengendur sewaktu tidur semalam.
Luke mengalihkan perhatiannya kepada Leah. Leah
menyipitkan matanya. "Jangan berani-berani mengoleskan ludahmu ke wajahku,"
katanya memperingatkan Luke.
Luke memiringkan kepala dan berpura-pura mengamati Leah.
"Bagaimana menurutmu, Corey" Apa sebaiknya kuludahi dia?"
Corey tersenyum lebar dan menggoyang-goyangkan kepalanya,
rambut hitamnya menampar-nampar keningnya.
Leah mengepalkan tinjunya. "Kalau kau berani, akan kutinju
hidung kalian berdua."
Kata-katanya mengingatkan Luke kembali pada masa saat
mereka sering saling menggoda... sebelum orangtua mereka
meninggal... saat mereka semua berbahagia.
"Dia tidak memerlukan ludah di wajahnya," kata Luke,
memaksa suaranya agar terdengar serius. "Dia perlu tersenyum!"
Leah menjerit saat Luke menyambar pinggangnya. Mereka
berdua jatuh ke lantai yang tertutup jerami. Luke menggelitik tulang
rusuknya. "Senyum, Leah!" katanya.
"Tidak!" jerit Leah.
"Bantu aku, Corey," seru Luke. "Bantu aku membuatnya
tersenyum." Luke tertawa saat Corey menyelinap ke bawah lengannya dan
mulai menggelitik perut Leah, jemarinya yang kecil bergerak-gerak.
"Hentikan!" jerit Leah, tapi Luke tidak mendengar kemarahan
dalam suaranya. "Kami akan berhenti kalau kau tersenyum," kata Luke
kepadanya. "Aku takkan pernah tersenyum," kata Leah bersikeras. "Tidak
akan!" "Ayo, Corey," desak Luke. "Gelitiki lebih keras."
Lalu Luke mendengar tawa, tapi bukan tawa Leah.
Tawa Corey. Luke membeku dan terpesona mendengarkan Corey tertawa,
sementara jemarinya yang mungil terus menggelitik pinggang Leah.
"Kau dengar, Leah?" tanya Luke.
"Ya," jawab Leah dengan suara mendesah, seakan-akan takut
kalau ia berbicara terlalu keras suara tawa itu akan menghilang.
Luke bangkit berdiri dan mengangkat Corey ke udara. "Kau
tertawa! Kalau kau bisa tertawa, kau bisa berbicara. Kau bisa
mengatakan namaku?" Corey berhenti tertawa dan menggeleng.
Leah bangkit berdiri. "Cobalah, Corey. Cobalah untuk
mengatakan nama Luke. Mudah sekali."
Corey merapatkan mulutnya dan menggeleng kepalanya kuatkuat.
Leah mengulurkan kedua lengannya, dan Luke memberikan
Corey kepadanya. Leah memeluknya erat-erat. "Luke benar. Kalau
kau bisa tertawa, kau bisa berbicara." Ia mulai bergoyang-goyang.
"Tidak lama lagi. Tidak lama lagi kau akan bisa berbicara lagi."
Leah memandang Luke dan tersenyum. Luke balas tersenyum.
Mereka berdua terlonjak sewaktu Pengawas menerobos masuk
melalui pintu. Sekalipun bibir bawahnya masih membengkak akibat
sengatan lebah, ia meniup peluitnya.
"Semuanya turun dari kereta!" katanya. "Melangkahlah yang
riang. Bersikaplah yang baik!"
Luke melompat turun dari gerbong. Ia membantu Leah dan
Corey turun. Lalu ia mengulurkan tangan membantu Mary. Mary
tersenyum kepadanya. Mary bahkan tampak lebih cantik lagi di siang
hari. Luke menyadari hal itu dengan terpesona.
Ia mengayun Mary ke tanah, tidak mampu mengalihkan
pandangannya dari gadis itu.
"Kau tampak lebih bahagia pagi ini," kata Mary kepadanya.
Luke mengangguk. "Sudah lama sekali sejak kami tertawa
bersama. Rasanya menyenangkan."
"Kuharap kau menemukan keluarga hari ini. Semoga
beruntung," kata Mary lembut.
Luke mengawasi Mary melangkah menjauh. Ia tampak sangat
gugup, pikir Luke. Seandainya aku bisa berdiri bersamanya.
"Kita tunggu di sini saja," kata Luke. Ia penasaran apakah
mereka akan segera terpilih. Kalau benar, ia berharap Mary juga akan
terpilih. Ia senang bisa tinggal satu kota dengan Mary.
Luke meraih tangan Corey dan mengajaknya ke tempat yang
jauh dari Mike dan adik-adiknya, tapi cukup dekat dengan anak-anak
yang lain sehingga ia masih bisa melihat Mary. Leah bergegas
mengikutinya. Sepasang suami-istri yang tampak kaya mendekati mereka.
Perut yang pria begitu gendut sehingga jasnya yang halus buatannya
tidak bisa dikancingkan. Yang wanita mengenakan topi berwarna
cerah dan gaun sutra hijau.
Perut pria itu bergoyang-goyang saat ia menjabat tangan Luke.
"Cengkeramanmu kuat, Nak," katanya dengan suara keras.
"Terima kasih, Sir," kata Luke.
Pria itu meremas lengan Luke. "Cukup berotot."
"Ya, Sir," kata Luke, merasa seperti seekor kuda yang hendak
dilelang. "Aku dulu petani."
"Petani?" kata pria itu. "Aku punya toko serbaada. Aku mencari
orang yang cukup kuat untuk mengangkat peti-peti dan kotak-kotak."
"Aku bisa melakukannya, Sir," kata Luke berusaha untuk
meyakinkannya. "Aku sering memotong kayu dan mengangkat
jerami." "Dan kami mencari gadis muda untuk membantu berjualan,"
kata yang wanita sambil tersenyum kepada Leah.
Luke melirik adik perempuannya. Senyum Leah telah
menghilang. Sekarang ia tengah cemberut. Luke menyodok bahunya,
tapi Leah hanya menarik bibirnya sedikit.
Kami takkan pernah diadopsi kalau seperti ini, pikir Luke.
"Namaku Luke Fier, dan ini adikku, Leah."
Wanita itu berlutut dan meraih dagu Corey. "Kau manis sekali.
Siapa namamu?" "Namanya Corey," kata Luke.
"Berapa usiamu, Corey?" tanya wanita itu.
"Enam tahun," kata Luke kepadanya.
Wanita itu menengadah memandang Luke, keningnya berkerut.
Luke berdeham. "Dia tidak bicara lagi sejak orangtua kami
meninggal." "Oh." Wanita itu bangkit berdiri dan menyelipkan lengan di
lengan suaminya. "Kami memerlukan anak-anak yang bisa bicara
untuk membantu kami mengurus toko."
Mereka berjalan pergi, dan Luke berusaha menekan
kekecewaannya. "Leah, kau seharusnya tersenyum kepada wanita itu,"
katanya. "Mereka tampaknya cukup ramah."
"Aku merasa seperti seekor babi di etalase di acara pekan raya,"
kata Leah sambil bersedekap. "Orang-orang memandang kita dari atas
ke bawah. Menyodok-nyodokmu untuk melihat seberapa kuat dirimu.
Aku terkejut mereka tidak membuka mulut kita dan menghitung gigigigi kita."
"Aku juga tidak menyukainya, Leah, tapi sekarang kita tidak
punya pilihan. Dan Corey memerlukan rumah tempat dia bisa tumbuh
dewasa. Rumah tempat kita bisa tertawa dan bercakap-cakap lagi,"
kata Luke. Leah memutar bola matanya. "Baiklah. Aku akan lebih ramah
lain kali." Dengan perasaan lega, Luke memandang Mary berharap dia
lebih beruntung. Sepasang suami-istri baru saja berhenti dan
bercakap-cakap dengannya, tapi tidak lama kemudian mereka pun
berlalu. Kalau dia tidak mendapatkan rumah hari ini, dia akan kembali
ke kereta. Dan aku bisa bercakap-cakap lagi dengannya, pikir Luke.
Sekalipun mereka baru satu atau dua kali bercakap-cakap, Luke tahu
ia akan merindukan Mary bila gadis itu pergi.
"Oh, ya ampun!" seru seorang wanita. "Dia cantik sekali,
bukan" Mata hijaunya benar-benar menawan."
Luke tersentak berbalik tepat pada waktunya untuk melihat
seorang wanita tengah memeluk Corey erat-erat.
"Apa pendapatmu, Alfred?" tanyanya.
Seorang pria jangkung berdiri di belakang wanita itu. Ia
berulang-ulang mengusap kumisnya yang hitam. "Well, dia tampak
sedikit kurus, tapi kurasa sudah wajar."
"Tapi dia akan tumbuh," jawab wanita itu, dan mencondongkan
tubuh ke arah Corey. "Benar, bukan?"
Sambil menggeleng, Corey melangkah mundur dan menginjak
kaki Luke. Wanita itu tertawa ringan. "Tentu saja kau akan tumbuh. Kau
akan menjadi pemuda yang besar dan kuat."
"Dia tidak berbicara," kata Leah tak sabar.
Mata biru wanita itu membelalak terkejut. "Dia tidak
berbicara?" Ia mula-mula memandang Leah, lalu memandang Luke.
"Dia tidak berbicara?"
"Tidak, Ma'am," kata Luke.
"Kalau begitu dia bodoh," kata Alfred, "dan dia tidak ada
gunanya." "Dia bukan bodoh," sergah Leah. "Dia terkutuk. Kami semua
terkutuk." Wanita itu tersentak dan melangkah mundur.
"Leah!" kata Luke. "Jangan berbohong."
"Tapi itu kenyataannya," kata Leah, membelalakkan matanya.
"Lihat, saja nama kita. Fier. Kalau kau mengatur huruf-hurufnya,
bunyinya F-i-r-e. Api! Kematian karena api mengikuti keluarga kita
selama berabad-abad. Rumah kita terbakar. Itu sebabnya kita harus


Fear Street Sagas 07 Pembalasan Children Of Fear di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melarikan diri. Ayah memberitahuku..."
Wajah wanita itu memucat. Ia menyambar lengan suaminya.
"Kurasa anak ini tidak cocok untuk kita."
Luke mengawasi pasangan itu bergegas pergi. Ia merasa
kemarahannya muncul. Ia marah terhadap Leah karena adiknya itu
mempersulit keadaan mereka.
"Jangan berbohong lagi," kata Luke.
"Aku tidak berbohong. Rumah kita memang dibakar," kata
Leah bersikeras. "Apa Ayah tidak pernah memberitahumu bahwa
keluarga kita terkutuk?"
"Tidak," kata Luke. "Tapi kalaupun dia memberitahuku bahwa
kita terkutuk, aku tidak akan memberitahu orang-orang itu. Kau
membuat mereka pergi ketakutan."
"Aku tidak menyukai mereka." Leah mengangkat kedua
tangannya dan menggoyang-goyangkan jemarinya. "Oh, Alfred!"
katanya dengan suara melengking, meniru wanita yang baru saja
berlalu. Luke terpaksa menahan senyumnya. Lalu ia tertawa singkat. Ia
tidak bisa menahan diri. Leah mengulurkan tangan, mencubit pipi kakaknya, dan
mengernyitkan hidungnya. "Kau manis sekali! Apa sebaiknya
kuletakkan kau di rak di ruang tamu" Aku berjanji akan
membersihkanmu dari debu sesekali."
Luke tertawa. "Baiklah. Aku mengerti. Mereka bukanlah yang
kita harapkan." Leah menjulurkan bibir bawahnya. "Lagi pula, mereka hanya
menginginkan Corey. Bukan kau dan aku. Kita semua harus tetap
bersama-sama." Luke tidak mampu mendebatnya. Ia memegang bahu Leah.
"Aku takkan membiarkan siapa pun mengambil hanya salah satu dari
kalian. Aku berjanji."
"Kau berjanji tidak akan mengajak kami naik kereta yatim
piatu, dan sekarang kita ada di sini!" kata Leah mengingatkannya.
Luke mendesah putus asa. Ia memandang sekeliling stasiun
kereta. Ia mengawasi wajah-wajah anak yang berubah cerah setiap
kali ada orang yang berhenti untuk bercakap-cakap dengan mereka.
Saat orang itu melangkah pergi, keceriaan mereka sirna.
Luke melihat seorang pria menggendong seorang gadis kecil.
Istrinya mencubit hidung gadis kecil itu sambil berlalu. Paling tidak
dia menemukan rumah, pikir Luke.
Pandangannya jatuh kepada Mike. Mike tengah bercakap-cakap
dengan seorang wanita yang tersenyum, mengenakan gaun putih yang
indah. Dia tampaknya menyukai Mike, pikir Luke. Kuharap dia akan
mengadopsinya. Dengan begitu aku tidak perlu mengkhawatirkan
dirinya lagi. Wanita itu mulai mengangguk-angguk, dan Mike tersenyum
lebar. Luke mendengar geraman pelan. Dari sudut matanya, ia melihat
seekor anjing collie besar melesat lewat. Hewan itu melompat
menerkam Mike dan menjatuhkannya ke tanah.
Mike mencengkeram bulu-bulu hewan itu, tapi ia tidak bisa
mengalihkan anjing itu dari atas dadanya. "Tolong!" jeritnya.
Luke mendengar derakan rahang anjing itu saat menancapkan
gigi-giginya ke pipi Mike.
Hewan itu menggoyang-goyangkan kepalanya sekuat tenaga"
dan mencabik sepotong daging dari wajah Mike.
Mike menjerit kesakitan. Darah menyembur dari luka yang
menganga itu, menghujani tepi gaun wanita berpakaian putih itu. Ia
menjerit. Mike kembali menjerit, sambil mendorong anjing itu. Sambil
menggeram, hewan itu menarik bibirnya ke belakang dan
memamerkan gigi-giginya yang berlumuran darah.
Luke mendengar jerit ketakutan saat orang-orang mulai
berlarian mencari perlindungan di pepohonan dekat tempat itu. Seperti
seekor induk ayam, Luke melihat Pengawas mulai mengumpulkan
anak-anak yang lebih kecil.
Luke berbalik hendak mengajak Leah dan Corey mencari
perlindungan... dan mengejang.
Leah tengah mencondongkan tubuhnya, wajahnya dekat dengan
wajah Corey. "Sekarang dia tahu bagaimana rasanya kalau berbeda,"
katanya lembut. Bab 11 "TIDAK pantas kau berkata begitu!" seru Luke.
"Tapi itu kenyataannya," jawab Leah. "Dengan bekas luka yang
akan ada di wajahnya, berani taruhan dia tidak akan mengejek orang
lain yang agak berbeda. Seperti Corey."
"Tolong dia!" jerit wanita bergaun putih itu. "Tolong!"'
Luke merasa dirinya membeku. Ia tidak mampu memaksa
kakinya berlari mendekati Mike. Ia hanya bisa menyaksikan.
Ia menyaksikan saat seorang pria bergegas mendekat dan
menarik anjing itu dari atas tubuh Mike.
"Aku tidak mengerti," kata pria itu. "Anjingku belum pernah
berbuat seperti ini sebelumnya."
Adik-adik Mike membantunya bangkit berdiri. Mike menekan
pipinya yang tercabik dengan tangan. Darah merah meresap dari selasela jemarinya dan menuruni lengannya.
Perut Luke bergolak. Ia mencuri pandang ke arah Leah.
Senyum cerah merekah di wajah adiknya. Mata hijaunya berkilauan.
Leah menikmati kejadian ini.
************* Malamnya Luke menanti hingga Leah dan Corey telah tidur.
Lalu ia merangkak menyeberangi gerbong ke sudut tempat Mary
duduk seorang diri. "Aku khawatir dengan Leah," kata Luke kepada Mary dengan
suara pelan. "Orang-orang di tempat asalku takut terhadapnya. Mereka
menganggapnya jahat. Aku tidak pernah mempercayainya, tapi
sekarang..." Dengan suara pelan Luke menceritakan segalanya kepada Mary,
segala sesuatu yang terjadi sejak kematian orangtuanya. Tentang
ternak tetangga yang berubah sinting. Tentang kuda-kuda yang
berhamburan saat orang-orang membakar rumah pertanian. Tentang
serigala yang membawakan makanan untuk mereka.
"Kau sudah melihat lebah-lebah yang menyengat Mike dan
adik-adiknya. Lalu yang menyengat bibir Pengawas sewaktu dia
memarahi Corey," katanya kepada Mary. "Dan hari ini anjing collie
yang menyerang Mike" dan Leah tampak sangat gembira
karenanya." "Pasti ada penjelasan yang masuk akal untuk semua yang sudah
terjadi. Aku pernah melihat orang-orang yang sangat ahli dalam
menghadapi binatang. Tapi tidak ada yang bisa melakukan seperti apa
yang baru saja kaujelaskan," kata Mary lembut.
Luke menggeleng. "Tapi bagaimana dengan kegembiraan Leah
saat kejadian-kejadian buruk ini berlangsung?"
"Segalanya menimpa orang-orang yang tidak disukainya," kata
Mary kepadanya. "Leah gembira karena orang-orang yang tidak
disukainya terluka. Tapi itu bukan berarti dia yang membuat hewanhewan itu melukai orang-orang."
Luke ingin mempercayai penjelasan Mary yang logis. Ia ingin
percaya bahwa Leah tidak bersalah.
Mary meraih tangannya dan meremasnya dengan lembut.
Tangan Mary terasa begitu lembut. Luke belum pernah menyentuh
apa pun yang selembut itu.
Ia tidak ingin memikirkan Leah, atau Corey, atau tanggung
jawabnya. Ia hanya ingin memikirkan Mary.
Dengan jantung berdebar-debar begitu kencang hingga ia
merasa yakin Mary mampu mendengarnya, Luke mencondongkan
tubuh dan mencium gadis itu.
Bibir Mary juga lembut. Dan begitu hangat.
Luke menarik kepalanya mundur untuk mengamatinya. Mary
memejamkan mata. Bahkan dalam keremangan, Luke bisa melihat
bahwa wajah Mary memerah.
Luke memeluknya dan menciumnya lagi. Lebih lama.
Aku bisa berbahagia bersama Mary, pikirnya. Aku bisa
berbahagia bersamanya untuk selama-lamanya. Kalau tidak ada yang
mengadopsinya, aku akan menikahinya. Akan kunikahi dia dan kami
akan membesarkan Leah dan Corey bersama-sama.
Udara malam semakin dingin.
Luke merasa seakan-akan ribuan jarum es menusuk-nusuk
kulitnya. Ia menggigil dan menjauh.
Mata Mary membelalak. Bulu kuduk Luke meremang.
Ia menggigil. Mary tersentak dan surut mundur seakan ingin menghilang ke
dalam bayangan. Ia menunjuk sesuatu di belakang Luke dengan
tangan gemetar. Sebelum Luke sempat berbalik, tangan-tangan yang kuat telah
mencengkeram lehernya. Dan perlahan-lahan mulai menjepitnya.
Bab 12 "KAU sama saja dengan tetangga-tetangga kita!" bisik Leah ke
telinga Luke. Luke memutar kepalanya sehingga bisa memandang wajah
Leah. Mata Leah berkilau marah.
Luke meraih pergelangan tangan Leah. Tapi Leah berhasil
mempererat cekikannya. "Menurutmu aku jahat!" tuduhnya.
"Tidak, Leah..." kata Luke.
"Kau yang sebenarnya jahat, Luke," kata Leah dengan suara
gemetar. "Kau senang sewaktu anjingnya menggigit Mike. Kau hanya
tidak mau mengakuinya."
"Aku tidak senang," kata Luke dengan suara serak.
Dari sudut matanya ia melihat Mary bangkit berdiri. Gadis itu
mengulurkan kedua tangannya ke arah Leah.
"Ini karena keretanya," kata Mary dengan suara pelan. "Kereta
ini membuat semua orang tidak lagi merasa bahagia. Membuat semua
orang tidak lagi mempercayai orang lain."
"Bukan keretanya," kata Leah bersikeras. "Tapi kau... dan Luke.
Aku mendengar pembicaraan kalian berdua. Menurut kalian aku
jahat!" Sambil menjerit marah Leah mendorong Luke. Kepala Luke
menghantam lantai gerbong dengan suara keras. Rasa sakit meledak
dalam kepalanya. Cahaya putih berpendar menghalangi
pandangannya. Leah memanjat ke atas kakaknya dan menunggangi dadanya.
"Jahat!" jerit Leah. "Menurutmu aku jahat!"
Jemari Leah kembali mencengkeram leher Luke, menghalangi
napasnya. Luke menyambar lengan adiknya, berusaha membebaskan
diri. Tapi Leah menancapkan ibu jarinya ke daging lunak di pangkal
tenggorokan Luke. Menekan dan menekan.
Luke tercekik dan tersentak. Pandangannya mulai berwarna
merah. Warna itu semakin terang, lalu memudar.
Cahaya bulan mulai menghilang. Kegelapan turun.
Di kejauhan, Luke bisa mendengar tangisan pelan.
Corey! Pertengkaran mereka sudah membangunkan adik lelakinya.
Lalu Luke merasakan cekikan Leah mengendur. Udara malam
menghambur memasuki paru-parunya. Ia berguling, terengah-engah
menghela napas. Lalu beranjak duduk.
Ia menoleh ke balik bahunya. Corey menyusup ke atas
pangkuan Leah. Leah membujuknya lembut sambil menggoyanggoyangnya.
"Shh," bisik Leah lembut. "Shh. Tidak apa-apa. Aku hanya
ingin memaksa Luke mendengarkan. Aku tidak jahat."
Ia menengadah, pandangannya terpaku lurus kepada Luke.
"Aku tidak jahat," katanya dengan suara gemetar.
Luke menggosok-gosok lehernya yang memar. Dia mencoba
untuk membunuhku, pikirnya liar. Kalau Corey tidak menangis, dia
pasti sudah membunuhku. "Aku tidak bermaksud untuk membunuhmu, Luke," kata Leah
pelan seakan-akan mampu membaca pikirannya.
Tiba-tiba Luke menyadari bahwa Leah berbicara jujur. Leah
takkan membunuhnya. Bukan begitu caranya. Kalau adiknya
menginginkan kematiannya, dia akan mengirimkan salah satu hewan
temannya untuk membunuhnya.
Corey merayap turun dari pangkuan Leah dan meraih kemeja
flanel Luke. Ia meraih bagian depan gaun calico Leah yang telah
lusuh. "Kita sudah membuatnya gelisah," kata Leah. "Dia ingin kita
meminta maaf. Maaf kalau aku sudah menyakitimu."
Leah tampak tenang, tapi Luke sulit melupakan pandangan liar
di mata Leah sewaktu mencekik dirinya.
Corey memuntir kemeja Luke. Pandangannya memancarkan
ketakutan. Luke tidak ingin membuat adik kecilnya semakin kebingungan.
Ia memeluk Corey. "Tidak apa-apa," bisiknya dengan suara serak.
"Hari ini sangat melelahkan. Kita semua kelelahan. Kita harus tidur.
Aku tidak marah kepada Leah. Aku berjanji."
Luke mengira Corey akan melepaskannya saat itu, tapi Corey
hanya mempererat cengkeramannya pada kemeja Luke dan menariknarik lebih keras lagi. Luke membaringkan diri di lantai gerbong di
samping Corey. Lalu Corey menarik-narik gaun Leah. Leah berbaring di sisi
Corey yang lain. Tidak lama kemudian Luke telah mendengar dengkur lembut
adik lelakinya, yang tidur sambil meringkuk rapat di antara dirinya
dan Leah. Luke bisa merasakan tatapan Leah yang dingin menusuk dirinya
dari balik kepala Corey. Luke butuh waktu yang sangat lama sebelum akhirnya tertidur.
************** Keesokan paginya Pengawas membagikan mangkuk-mangkuk
berisi bubur kepada setiap anak. Luke duduk di samping Mary sambil
menyantap sarapannya. Ia segera menghabiskan buburnya yang tidak seberapa itu.
Mary mengulurkan mangkuknya.
"Kau tampak lapar. Ini, ambil sarapanku," katanya.
"Oh, aku tidak bisa," jawab Luke, meskipun perutnya
menggemuruh. "Please"aku tidak menyukainya. Hanya akan dibuang-buang
bagiku," katanya. "Well, kalau kau tidak mau," jawab Luke. Ia meraih bubur itu
dan tersenyum kepada Mary. "Terima kasih."
"Sama-sama. Bagaimana tenggorokanmu?" tanya Mary.
Luke menggosoknya. "Lebih baik. Leah belum pernah berbuat
seperti ini." "Berkelana dengan kereta ini mengubah orang-orang. Berani
taruhan Mike dan adik-adiknya bukan orang yang kasar sebelum
mereka naik ke gerbong ini," kata Mary.
Tanpa peringatan, sebuah tangan yang besar menyambar
mangkuk makanan dari tangan Luke. Ia berbalik dan memandang adik


Fear Street Sagas 07 Pembalasan Children Of Fear di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mike, Sam, tengah menengadah dan menghabiskan bubur itu dengan
sekali tenggak. Sam mencibir. Ia menjilat bibirnya. "Trims, Luke. Kau baik
sekali mau memberikan sarapanmu padaku."
Luke ingin melompat bangkit dan meninju wajah Sam. Tapi
sentuhan lembut Mary pada bahunya menahan dirinya.
"Dia tidak layak untuk diributkan," katanya.
Luke mengangguk setuju. "Kau benar."
Luke berbalik dan menatap ke celah-celah papan ke
pemandangan yang melintas di luar.
Gandum-gandum tengah menguning keemasan di ladangladang di luar. Aku pasti senang kalau bisa bekerja di pertanian lagi,
pikirnya. Dengan seekor keledai yang mematuhi perintahku. Jelas ada
orang di kota berikutnya yang menginginkan tiga anak yang sehat
untuk bekerja di pertanian.
Luke mendengar erangan pelan. Ia berpaling dan melihat Sam
tengah mencengkeram perutnya.
"Makan terlalu banyak akan menyebabkan sakit perut, Sam,"
kata Luke kepadanya. "Kau tampaknya cukup tua untuk
mengetahuinya." Sam meringis. Lalu ia tercekik.
Wajah Sam mulai berubah keunguan. Pipi-pipinya
menggembung saat ia mengeluarkan suara orang tercekik yang
menakutkan. Ia menunjuk ke mulutnya yang terbuka.
Dengan terkejut, Luke melompat bangkit. Ia bergegas mendekat
dan berlutut di samping Sam. "Apa buburnya terganjal di
tenggorokanmu?" tanya Luke.
Sam membuka dan menutup mulutnya" tapi tidak terdengar
suara. Hanya suara tercekik yang menakutkan.
Luke menghela napas dalam-dalam. Lalu ia memasukkan
jemarinya ke dalam mulut Sam.
Sesuatu menggeliat tersentuh jemarinya. Sesuatu yang dingin
dan licin. Sesuatu yang dingin, licin... dan hidup.
Bab 13 LUKE gemetar ketakutan. Ia mempererat cengkeramannya pada
benda yang licin itu dan menariknya.
Seekor lintah hitam-keunguan meluncur keluar dari dalam
mulut Sam. Luke tercekik, tenggorokannya sendiri terasa menegang.
Ia membuang lintah itu ke lantai dan menginjak-injaknya.
Darah merah tua menyembur dari bawah sepatunya.
Sam terus tercekik. Matanya mulai menonjol.
Masih ada lintah lagi di dalam mulutnya, pikir Luke. "Tolong!"
jeritnya. "Aku butuh bantuan!" EBUKULAWAS.BLOGSPOT.COM
Anak-anak yang lain tetap menjauh, mata mereka membelalak.
Sam mencengkeram lengan Luke. Luke bisa melihat tenggorokan Sam
menyentak-nyentak. Luke menjejalkan jemarinya ke dalam mulut Sam yang
ternganga. Jemarinya menyentuh lintah yang dingin dan licin lainnya,
yang tengah menyantap darah di tenggorokan Sam. Luke menariknarik sekuatnya, jemarinya terpeleset di kulit makhluk yang licin dan
menggeliat-geliat itu. Ia menjepitkan jemarinya ke lintah itu dan
menariknya hingga terlepas.
Sam menjerit tertahan. Wajahnya berubah menjadi ungu tua.
Warna menjijikkan yang sama seperti warna lintah yang ditarik Luke
dari dalam mulutnya. Saudara-saudara Sam mengesampingkan Luke. Luke
mengawasi tanpa daya saat mereka memondong Sam ke gerbong
pribadi Pengawas, dengan seekor lintah yang lain menjuntai dari
mulutnya. Lintah-lintah itu ada di mangkukku, pikir Luke tersadar. Aku
yang seharusnya memakan lintah-lintah itu. Leah yang melakukannya!
Luke terhuyung-huyung bangkit berdiri. Ia memandang
sekitarnya dan melihat Leah. Adik perempuannya itu duduk bersandar
ke dinding seberang, menatap ke luar melalui celah-celah papan. Kaki
Luke terasa lemas saat ia menyeberangi gerbong mendekati adiknya.
"Kau mau menyelesaikan apa yang sudah kau mulai semalam,
Leah?" tanyanya tajam.
Leah berpaling, wajahnya pucat pasi. "Apa maksudmu?"
"Lintah-lintah itu. Lintah-lintah itu akan membunuh Sam
sebelum malam turun. Lintah-lintah itu akan membunuhku kalau Sam
tidak mencuri buburku."
Mata Leah membelalak shock. "Maksudmu aku yang
meletakkan makhluk-makhluk menakutkan itu di buburmu?"
"Atau mungkin kau sekadar memerintahkan mereka untuk
merayap masuk ke dalam mangkukku," kata Luke kepadanya. "Kau
tampaknya senang menyaksikan hewan atau makhluk lainnya
menyakiti orang-orang."
Leah tersentak seakan-akan Luke telah menamparnya.
"Maksudmu aku punya bakat berhubungan dengan hewan"kau
pernah mengatakan bahwa itu sesuatu yang seharusnya dibanggakan,"
jerit Leah. "Memang benar. Bakat yang diwariskan Ayah kepadamu. Dia
tidak menginginkanmu menggunakan bakat itu untuk kejahatan."
"Dari mana kau tahu bagaimana dia menginginkanku
memperlakukan bakat itu" Apakah dia mengatakannya padamu?"
Kata-kata itu menusuk Luke. Selama ini ia selalu merasa
penasaran kenapa ayahnya hanya mewariskan bakat itu kepada Leah.
"Aku cukup mengenal Ayah untuk tahu bahwa dia tidak pernah
menggunakan keahliannya untuk menyakiti siapa pun."
"Menurutmu aku tidak begitu?"
"Ya..." Luke merasakan sentakan keras di lengannya. Ia menunduk.
Tatapannya jatuh ke wajah Corey yang kecil dan bulat. Dagu adiknya
bergetar, mata hijaunya dipenuhi air mata saat ia berpegangan pada
lengan Luke. Luke melihat bahwa ia juga telah memegangi lengan
Leah. Luke memandang Leah. "Maaf mengenai semalam, Luke," kata Leah pelan. "Aku
marah, tapi aku tidak memasukkan apa pun ke dalam mangkukmu
pagi ini." Luke menatap ke mata hijau Leah yang jernih. Ia ingin
mempercayainya. Corey kembali menarik-narik kemeja Luke. Luke tahu bahwa
Leah tidak ingin menyakiti Corey sama seperti dirinya. Ia juga tahu
bahwa pertengkaran mereka sudah membuat adik mereka gelisah.
"Baiklah, Corey," kata Luke. "Kami akan berhenti bertengkar."
Corey berhenti menarik-narik lengan mereka, tapi tidak
melepaskan pegangannya. "Duduklah di sudut kita, Corey," kata Leah. "Akan kuceritakan
kisah lain tentang keluarga kita."
Corey melangkah pergi dengan gembira.
Luke merasa malu atas keragu-raguan yang sempat
dirasakannya. Seharusnya aku mempercayai Leah sama seperti Corey,
pikirnya menyadari. "Mungkin sebaiknya kau bertanya pada teman wanitamu
mengenai buburnya," kata Leah pelan.
"Apa?" "Well, dia yang memberikan bubur itu padamu. Corey dan aku
melihatnya berbuat begitu," kata Leah. "Mungkin sebaiknya
kautanyakan padanya mengenai lintah-lintah itu."
Leah berbalik dan mendekati Corey.
Benar, pikir Luke. Mary yang memberikan bubur itu kepadaku.
Luke bergegas mendekati Mary.
"Mary, ada yang ingin kutanyakan..." kata Luke tergagap.
Mary menatapnya dengan pandangan bertanya.
Ini Mary. Gadis terbaik yang pernah kutemui.
"Apa, Luke?" tanya Mary.
Luke menunduk memandangnya. Ia merasa seperti orang
bodoh. Mary takkan pernah bisa melakukan tindakan seperti itu,
pikirnya mengambil keputusan.
Luke menggeleng dan duduk di samping Mary. "Aku ingin
menanyakan... apakah kau tahu kota perhentian kita yang berikutnya?"
"Aku tidak yakin," jawab Mary.
Pintu gerbong pribadi Pengawas membuka dengan suara keras.
Luke berbalik dan mengawasi Pengawas berjalan melintasi tengahtengah gerbong.
Mary beranjak bangkit dan berdiri di samping Luke. Luke bisa
merasakannya gemetar saat Pengawas menatap mereka dengan galak.
"Kita akan berhenti tidak lama lagi," kata Pengawas. "Kalian
sebaiknya tampil sebaik-baiknya dan menjaga sikap kalian."
Ia menyeberangi gerbong dan berhenti di depan Leah dan
Corey. "Berdiri, anak muda!" katanya.
Corey beranjak bangkit dari pangkuan Leah dan berdiri di
depan Pengawas. Matanya membelalak.
"Kuminta kau bicara. Aku tahu kau bisa. Bicara!" katanya.
Corey merapatkan bibirnya.
Luke maju selangkah ke arah Corey, tapi Mary menyambar
lengannya. "Dia hanya akan semakin mendesak adikmu kalau kau ikut
campur," bisik Mary.
Luke mengangguk, teringat pada ancaman Pengawas untuk
meninggalkannya saat terakhir kali ia berusaha untuk menolong
Corey. Meskipun sulit, ia bertahan di samping Mary.
Leah memandang ke arahnya, dan Luke tahu adiknya itu ingin
bertindak untuk menolong Corey. Luke menggeleng singkat, dan ia
bisa melihat bahwa adik perempuannya itu memahami.
Pengawas itu mengulurkan tangan dan memuntir telinga Corey.
"Bicara!" katanya. Ia menarik-narik rambut Corey. "Katakan
namamu!" Air mata membanjiri mata Corey. Tapi ia menggeleng.
Wanita itu mencengkeram lengan Corey begitu keras hingga
Luke bisa melihat buku-buku jarinya memutih. Corey menatap Luke,
matanya memancarkan permintaan tolong.
Luke melangkah maju dan merasakan tarikan Mary pada lengan
bajunya. "Kau hanya akan memperburuk keadaannya," bisiknya.
"Percayalah." Kemarahan tercekat di tenggorokannya saat Luke menyaksikan
Pengawas mengasari Corey.
"Bicara!" teriaknya kepada bocah kecil itu, sambil mendekatkan
wajahnya ke wajah Corey. Corey menangis dan menggeleng liar.
"Akan kuberi sesuatu untuk kautangisi," kata Pengawas.
Luke tidak mampu menahan diri lebih lama. Ia mengepalkan
tinjunya dan melangkah mendekati Pengawas.
Kereta berhenti. "Semuanya keluar," teriak Pengawas. Ia mendorong Corey ke
pintu. "Dan kuharap kau bicara," perintahnya.
*************** Dengan lelah Luke melangkah kembali ke kereta. Ia memegang
tangan Mary. Leah dan Corey berjalan di sampingnya. Ia bisa
mendengar suara anak-anak yang lain di belakangnya.
Beberapa orang menunjukkan minat pada Luke, Leah, dan
Corey... hingga mereka tahu bahwa Corey tidak bicara.
Kalau saja Corey bicara lagi, pikir Luke.
Kebisuannya mengganggu orang-orang. Aku yakin begitu
memiliki ayah dan ibu lagi, Corey akan mulai berbicara. Tapi
bagaimana aku bisa meyakinkan orang-orang untuk menerimanya
dalam keadaannya yang sekarang... menerima kami semua"
Ia memandang gerbong dan merasakan kebencian menggelegak
dalam perutnya. Ia benci naik ke sana, menghirup udara yang busuk
dan sesak di dalamnya... dan menunggu. Menunggu kota berikutnya.
Hari penuh kekecewaan yang berikutnya.
Ia melihat seekor gagak hitam besar yang terbang keluar dari
gerbong. Seekor gagak yang lain menghambur keluar. Sayap-sayap
hitamnya yang ramping membentang lebar saat membubung ke
angkasa. Aneh sekali, pikir Luke. Lalu seekor gagak yang lain terbang keluar. Dan yang lain. Dan
yang lain. Ada yang tidak beres, pikir Luke saat mereka mendekati kereta.
Ia mendengar keriuhan kepakan sayap menggema dalam gerbong.
Gagak-gagak lain beterbangan keluar sementara lainnya masuk.
Saat mengintip ke dalam gerbong, Luke merasa tercekik. Mary
tersentak dan menutup mulutnya, wajahnya memucat.
Leah mengangkat Corey sehingga bisa melihat pemandangan
mengerikan itu dengan lebih jelas.
Luke merasa jijik, tapi tidak mampu mengalihkan
pandangannya dari Pengawas. Wanita itu tergeletak di lantai"
dikerumuni burung-burung gagak.
Mematuk dan mencabik dagingnya.
Burung-burung ini membunuhnya, pikir Luke menyadari. Dan
sekarang mereka tengah menyantap mayatnya.
Bab 14 "APAKAH kau senang karena ini?" tanya Luke kepada Leah
begitu kereta kembali melaju ke barat.
Leah mengangkat dagunya. Luke melihat kekeraskepalaan
memancar sekilas di matanya. "Pengawas itu jahat. Kau melihat apa
yang dilakukannya pada Corey."
Luke melirik adik lelakinya. Corey tengah duduk di sudut
dengan, wajah pucat. Ia gemetar begitu hebat sesudah melihat
kejadian itu sehingga Luke harus menggunakan lima helai selimut
untuk menghentikannya. "Pengawas tidak layak untuk tewas dengan cara seperti itu,"
kata Luke, perutnya masih mual mengingat apa yang dilihatnya.
"Dia tidak ramah terhadap semua orang," kata Leah
mengingatkan. Luke menggeleng. Bagaimana caraku membuatnya mengerti"
pikirnya penasaran. Bagaimana aku bisa menghentikannya"
"Tapi tidak ada yang layak untuk tewas karena dipatuki
segerombolan burung, Leah."
"Kau pikir aku yang menyuruh gagak-gagak itu untuk
membunuh Pengawas?" tanya Leah dengan nada menuduh.
Luke mengamatinya. Leah menyelinap mendekati Corey dan
memeluknya. Corey meletakkan kepalanya ke bahu kakaknya. Luke
mendesah dan memejamkan mata.
Adik perempuannya. Adik perempuannya yang memiliki mata
hijau membara. Adik perempuannya"yang menunjukkan keberanian
dan cinta terhadap keluarganya.
Tapi dia juga tersenyum saat melihat mayat di dalam gerbong.
"Tidak," katanya berbohong. "Kurasa kau tidak memerintahkan
gagak-gagak itu untuk membunuh Pengawas."
Tapi sebenarnya ia beranggapan begitu. Ia merasa Leah entah
bagaimana telah memandu gagak-gagak itu ke gerbong, entah
bagaimana memaksa mereka untuk menukik dan menyerang
Pengawas. Aku tidak bisa mengingkari kebenaran lebih lama lagi. Leah
jahat. Dia seorang pembunuh, pikir Luke.
"Mary gelisah karena kematian Pengawas," kata Luke kepada
Leah. "Aku mau menemaninya sebentar."


Fear Street Sagas 07 Pembalasan Children Of Fear di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dan membicarakan diriku?" tanya Leah sambil menyipitkan
matanya. "Aku mau membicarakan masa depan dengannya," kata Luke.
"Aku bosan bepergian dengan kereta ini. Aku bosan dengan orangorang yang meremas lenganku untuk melihat apakah aku kuat. Aku
bosan dengan orang-orang yang berlalu begitu mengetahui bahwa
Corey tidak bicara." Ia mendesah dalam dan menyisir rambut
hitamnya dengan tangan. "Aku lelah, Leah."
"Dia lebih suka bersama Mary daripada bersama kita," bisik
Leah kepada Corey. "Benar, bukan, Luke?" tanyanya dengan suara
serak. Luke berbalik dan melangkah menyeberangi gerbong. Ya,
katanya mengakui sendiri, sambil berjuang mempertahankan
keseimbangannya sementara keretanya terguncang-guncang di atas
rel. Ya, aku harus menjauhimu dulu, Leah. Dan aku akan
membicarakan dirimu. Kekuatanmu membuatku takut.
Mary tersenyum kepada Luke saat ia mendekat, tapi bahkan
senyum itu tidak mampu mencerahkan suasana hati Luke. Ia duduk di
samping Mary dan meraih tangannya.
"Kau mengkhawatirkan Leah," kata Mary lembut.
Luke mengangguk. "Aku tidak bisa mengingkarinya lebih lama
lagi, Mary. Leah memiliki kekuatan istimewa. Kekuatan yang
digunakannya untuk tujuan-tujuan jahat."
Mary meremas tangannya. "Aku mengawasinya sewaktu dia
melihat Pengawas. Matanya berkilau gembira."
"Dan senyumnya," tambah Luke. "Senyum kemenangan."
Mary memejamkan mata. "Maafkan aku, Luke. Maafkan aku."
"Terkadang kupikir bahwa saja ada keluarga yang mau
menampung kami, Leah akan bahagia lagi. Dia tidak akan menyakiti
orang-orang lagi." "Mungkin benar, Luke. Dia begitu sedih," kata Mary
menyetujui. Luke mendapatkan kekuatan dalam tatapan Mary yang mantap.
"Tapi kalau kita tidak diadopsi, aku tidak tahu apa yang harus
kulakukan. Aku tidak akan pernah bisa menyerahkan Leah ke pihak
berwenang. Dia adikku. Dan aku sudah berjanji kepada ibuku bahwa
aku akan selalu menjaga Leah dan Corey."
"Kalau begitu kuharap ada keluarga yang mengadopsi kalian
secepatnya," jawab Mary pelan. "Aku tahu kau ingin menepati
janjimu." "Memang," kata Luke kepadanya. "Tapi bagaimana kalau
menepati janjiku berarti ada orang lain yang terbunuh?"
Bab 15 "SEBAIKNYA jangan dipikirkan," kata Mary kepadanya.
"Berharap sajalah ada keluarga yang menerima kalian di kota
berikutnya. Mungkin dengan begitu semua masalahmu akan
terpecahkan." "Tapi kalau kami diadopsi, bagaimana dengan dirimu?" tanya
Luke. "Aku tidak suka meninggalkanmu sendirian di sini."
"Oh, aku akan baik-baik saja," kata Mary berusaha meyakinkan
Luke. Dia begitu penuh perhatian, pikir Luke menyadari. Selalu
memikirkan orang lain. Dia membuatku bisa menempuh perjalanan
ini. "Tapi aku akan merindukanmu," kata Luke mengakui.
Mary menunduk. Luke tersenyum. "Masih malu-malu padaku," godanya sambil
meraih tangan Mary. Lalu ia melihatnya. Seekor labah-labah hitam di lengan Mary. Labah-labah dengan
warna merah berbentuk jam pasir di perutnya.
Janda hitam! Mary tersentak. Tangannya terasa menegang dalam genggaman
Luke, dan Luke tahu bahwa Mary juga telah melihat tanda merah itu.
"Jangan bergerak," kata Luke memperingatkan, suaranya pelan.
Luke perlahan-lahan mengangkat tangannya yang masih bebas.
Ia tidak ingin mengejutkan labah-labah itu.
Ia pernah melihat seekor sapi mati akibat gigitan labah-labah
janda hitam. Kalau racunnya cukup kuat untuk membunuh seekor
sapi... racunnya akan membunuh Mary dengan mudah.
"Jangan bergerak," bisik Luke. Ia mengayunkan tangannya dan
menjatuhkan labah-labah itu dari lengan Mary. Lalu ia melompat dan
menginjak labah-labah itu.
Mary menjerit pelan. Luke berpaling ke arahnya. "Sudah mati," katanya.
Wajah Mary memucat, matanya membelalak ngeri.
Luke berlutut di sampingnya. "Mary, tidak apa-apa. Labahlabahnya sudah mati. Sudah kubunuh."
Mary menyentakkan kepalanya. "Aku tergigit, Luke."
Luke menyambar lengan Mary dan mengacungkannya di bawah
sinar bulan yang menerobos celah-celah dinding. Ia bisa melihat
segaris tipis darah dan titik di lengan Mary yang mulai membengkak.
"Kau akan sembuh," katanya berjanji. "Akan kucarikan dokter."
Luke bergegas menuju ke pintu kompartemen pribadi
Pengawas. Ia memutar kenopnya dan menarik, tapi pintunya tetap
tertutup. Terkunci! Pintunya terkunci. Ia menghantam pintunya, tapi
tidak ada seorang pun yang membukanya. Pengawas sudah tewas.
Tidak ada yang menggantikannya.
Kami terjebak! Ia memandang Mary. Wajah Mary tampak
begitu pucat. Keringat tipis melapisi keningnya.
"Jangan khawatir," seru Luke. "Akan kucari bantuan dengan
cara lain." Luke melesat melintasi gerbong. Ia berjuang keras membuka
pintu geser. Angin menghambur masuk, mendorongnya mundur.
Ia berpegangan di sisi gerbong dan menjulurkan kepala ke luar.
Ia melihat tangga kayu yang menuju ke atap kurang-lebih sejauh
jangkauan tangan. Ia menunduk melihat roda-roda besi besar di bawah kereta.
Roda-roda itu berputar begitu cepat.
Mulutnya terasa kering. Kalau aku jatuh...
Jangan memikirkan itu, perintah Luke sendiri.
Ia mendengarkan suara roda-roda itu. Iramanya menghantami
kepalanya. Harus menyelamatkan Mary. Harus menyelamatkan Mary.
Harus menyelamatkan Mary.
Luke mengulurkan lengannya ke tangga. Jemarinya hanya dapat
meraih sisinya. Ia mencondongkan tubuhnya semakin jauh. Berjuang keras
untuk meraih tangga itu. Kereta tersentak ke satu sisi. Kaki Luke terpeleset dari
pijakannya. Ia jatuh. Meluncur ke bawah.
Ia berhasil menyambar anak tangga dengan satu tangan. Otototot di lengannya bagai terbakar saat ia berjuang menahan berat
tubuhnya sendiri. Luke menghela napas dalam-dalam dan mengayunkan tubuhnya
sehingga berhadapan dengan tangga. Ia meraih anak tangga itu dengan
tangannya yang lain"dan mulai memanjat ke atas.
Setiap langkah Luke membuat tangga yang telah reot itu
berderit-derit. Ia naik ke atap kereta, membaringkan diri rata di sana.
Ia mengamati keretanya dalam kegelapan. Di kejauhan, ia
melihat tiang asap kelabu membubung ke langit. Tidak terlalu jauh
dari lokomotif, pikir Luke. Kalau aku bisa ke sana, teknisinya akan
membantuku mencarikan dokter untuk Mary.
Dengan hati-hati Luke bangkit berdiri. Bagai pemain trapeze
yang pernah dilihatnya di sirkus, ia melangkah menyusuri kereta
dengan perlahan-lahan. Keretanya melaju lebih keras, dan Luke jatuh berlutut. Sakit
menyengat dari kakinya. Ia bangkit berdiri dan melanjutkan
perjalanan ke lokomotif. Tidak boleh membuang-buang waktu. Mary memerlukan setiap
detik yang bisa diberikannya.
Ia tiba di ujung gerbong. Ia mengamati jarak di antara
gerbongnya dan gerbong di depannya.
Ia merasa pusing seiring dengan detakan kereta saat melewati
Karena Aku Mencintai Manusia 2 Lima Sekawan 9 Jo Anak Gelandangan Genta Perebutan Kekuasaan 2

Cari Blog Ini