Harry Potter Dan Relikui Kematian Deathly Hallows Karya Jk Rowling Bagian 1
HARRY POTTER Buku ke 7 RELIKUI KEMATIAN (DEATHLY HALLOWS) KARYA JK ROWLING Bab 1 KEBANGKITAN PANGERAN KEGELAPAN
Dua orang itu muncul secara tiba-tiba, terpisah beberapa meter di sebuah jalan sempit yang diterangi oleh cahaya bulan. Sesaat mereka berdiri diam, tongkat masing-masing saling terarah ke dada yang lain. Setelah mengenali satu sama lain, mereka menyimpan tongkat masing-masing dibalik jubah dan mulai berjalan cepat ke arah yang sama.
"Bagaimana"" tanya orang yang paling tinggi dari keduanya. "Sempurna," jawab Severus Snape.
Jalan kecil itu dikelilingi oleh semak liar yang rendah disebelah kiri, pagar tanaman yg tinggi dan terawat disebelah kanan. Jubah panjang mereka berkibar selagi mereka berjalan bersama.
"Kupikir aku akan terlambat," ujar Yaxley, tubuh lebarnya terlihat dan menghilang di bawah cahaya bulan yang terhalang dedaunan. "Sedikit lebih rumit dari yang kukira, tapi kuharap dia puas. Kedengarannya kau yakin bahwa sambutanmu akan bagus""
Snape hanya mengangguk tanpa memberikan penjelasan. Mereka berbelok ke kanan, ke arah jalan raya yang lebar yang menjadi ujung jalan kecil itu. Pagar tanaman tinggi yang mengelilingi mereka membelok di kejauhan, di belakang pagar besi yang menghalangi jalan kedua lelaki itu.
Tidak satu pun dari mereka menghentikan langkah: dalam kesunyian keduanya mengangkat lengan kiri mereka dalam penghormatan lalu berjalan menembusnya, seakan pagar logam berwarna gelap itu hanyalah asap.
Pagar tanaman itu seakan meredam suara langkah kaki mereka. Terdengar sebuah desikan di suatu tempat di sisi kanan mereka : Yaxley mengacungkan tongkatnya lagi, mengarahkannya melewati kepala kawannya, tapi sumber desikan itu ternyata hanyalah seekor burung merak putih yang berjalan dengan angkuh disepanjang puncak pagar tanaman itu. "Selalu berkecukupan, Lucius.
Burung merak..." Yaxley memasukkan tongkat sihirnya dibalik jubah sambil mendengus.
Rumah bangsawan yang menawan itu terlihat dalam kegelapan di ujung jalan, cahaya berkilau dari jendela berpanel silang di lantai bawah. Di bagian kebun yang gelap, air mancur bergemericik. Kerikil berbunyi di bawah kaki mereka ketika Snape dan Yaxley mempercepat langkah mereka menuju pintu depan yang mengayun terbuka kedalam ketika mereka mendekat, meskipun tak ada yang membukanya.
Koridor yang mereka lewati berukuran lebar, cahayanya redup, dan dihiasi dengan indah, permadani mewah menutupi sebagian besar lantai batu. Mata
beberapa lukisan berwajah pucat yang tergantung di dinding mengikuti Snape dan Yaxley selagi mereka lewat. Langkah dua pria tersebut terhenti di depan pintu kayu besar yang menuju ruang berikutnya, dan berhenti sejenak untuk mengatur napas, lalu Snape memutar gagang pintu perunggu.
Ruang tamu dipenuhi orang-orang yang duduk membisu mengelilingi meja hias.
Perabotan yang biasanya menghias ruangan itu telah disingkirkan hingga merapat ke dinding. Penerangan ruangan itu berasal dari perapian pualam indah yang disepuh kaca. Snape dan Yaxley berdiri di ambang pintu. Setelah mata mereka terbiasa dengan cahaya yang redup, mereka melihat pemandangan yang sangat aneh: sosok manusia yang tak sadarkan diri tergantung aneh; terbalik; jauh diatas meja, sesuatu berputar pelan seperti digerakkan suatu benang yang tidak terlihat, dan bayangannya terpantul cermin di atas permukaan meja yang mengilat. Tidak seorang pun yang melihat ke atas, kecuali pemuda berparas pucat yang duduk hampir tepat di bawahnya. Sepertinya dia tidak mampu menahan diri untuk melihat ke atas tiap menit.
"Yaxley. Snape," terdengar suara jelas bernada tinggi dari ujung meja. "Kalian hampir terlambat."
Sosok yang berbicara duduk tepat di depan perapian, membuat kedua orang itu hanya bisa melihat siluetnya. Saat mereka mendekat, terlihat wajah bersinar dalam kegelapan, tidak memiliki rambut, seperti ular, dengan celah lubang hidung, dan pupil matanya berwarna merah vertikal. Wajahnya pucat seolah-olah memancarkan cahaya seputih mutiara.
"Severus, kemari," Voldemort menunjuk tempat duduk yang berada tepat disebelah kanannya. "Yaxley- kau disamping Dolohov."
Dua laki- laki itu mengamb
il tempat yang disediakan untuk mereka. Setiap mata disekitar meja memandang Snape, dan kepadanyalah Voldemort memulai pembicaraan.
'Jadi" "Tuanku, Orde Phoenix berniat memindahkan Harry Potter dari tempat perlindungan yang selama ini ditempatinya, sabtu depan, menjelang malam."
Ketertarikan di sekitar meja memuncak: Beberapa terdiam, yang lain gelisah, semua menatap ke arah Snape dan Voldemort.
"Sabtu... menjelang malam," ulang Voldemort. Mata merahnya menatap mata Snape yang hitam dan mampu membuat beberapa orang memalingkan wajah, mereka terlihat ketakutan seakan-akan mereka akan dibakar oleh keganasan
tatapan itu. Snape, meskipun begitu, balas menatap Voldemort dengan santai, dan beberapa saat kemudian, mulut tanpa bibir Voldemort melekuk membentuk senyuman.
"Bagus. Bagus sekali. Dan informasi ini datangnya - "
" - dari sumber yang pernah kita bicarakan," kata Snape.
"Tuanku." Yaxley memajukan tubuhnya ke depan meja, sehingga dia dapat melihat Voldemort dan Snape. Semua wajah mengarah padanya.
"Tuanku, berita yang kudengar berbeda."
Yaxley menunggu, tetapi Voldemort tidak berbicara, lalu dia melanjutkan,
"Dawlish, salah satu Auror, mengatakan bahwa Potter tidak akan dipindahkan sampai tanggal tiga puluh, malam sebelum dia berusia tujuh belas."
Snape tersenyum. "Sumberku mengatakan ada rencana palsu untuk menipu kita, rencana itulah yang pasti palsu. Tidak diragukan lagi, Dawlish terkena Mantra Confundus. Ini bukan pertama kalinya; dia dikenal karena kepekaannya."
"Aku jamin, Tuanku. Dawlish tampak sangat yakin," kata Yaxley.
"Jika dia berada dalam kutukan Confundus, tentu saja dia terlihat sangat yakin," kata Snape. "Kuberitahukan padamu, Yaxley, kantor Auror tidak lagi ikut campur masalah perlindungan Harry Potter. Orde tahuu bahwa kita telah menyusup ke dalam Kementerian."
"Akhirnya Orde benar kali ini, eh"" kata pria bungkuk yang duduk tidak jauh dari Yaxley; dia mengeluarkan tawa aneh yang diikuti tawa lain di sekitar meja.
Tetapi Voldemort tidak tertawa. Tatapannya terarah ke atas pada tubuh yang berputar pelan, dan dia terlihat tenggelam dalam pikirannya.
"Tuanku," Yaxley meneruskan, "Dawlish yakin sekelompok Auror akan dipakai dalam pemindahan anak itu -"
Voldemort mengangkat tangannya putihnya yang panjang, dan Yaxley terdiam, menatap kecewa ketika Voldemort berpaling lagi pada Snape.
"Dimana anak itu akan disembunyikan nantinya""
"Disalah satu rumah milik anggota Orde," kata Snape. "Tempatnya, menurut sumber, telah dilindungi dengan semua perlindungan yang dapat diberikan Orde dan Kementerian. Kurasa hanya ada sedikit kemungkinan bagi kita untuk membawanya dari sana, Tuanku, kecuali Kementerian berhasil kita kuasai sebelum sabtu depan, memberikan kita kesempatan untuk menemukan dan menghapus semua mantra yang ada di tempat itu."
"Baiklah, Yaxley"" Voldemort menatap ke arah meja, nyala api berkilat aneh di matanya, "Akankah Kementerian kita kuasai Sabtu depan""
Sekali lagi, semua kepala beralih, Yaxley mencondongkan bahunya.
"Tuanku, aku mempunyai berita bagus mengenai hal itu. Aku berhasil - dengan beberapa kesulitan rupanya, dan usaha yang maksimal - memantrai Pius Thickneese dengan kutukan Imperius."
Beberapa orang yang duduk di sekitar Yaxley tampak terkesan, seseorang di sampingnya, Dolohov, pria berwajah panjang dan berkerut, menepuk punggung Yaxley.
"Awal yang bagus," kata Voldemort. "Tapi Thicknesse seorang tidaklah cukup.
Scrimgeour harus dikelilingi oleh orang orang kita sebelum kita beraksi. Satu kesalahan dalam pengambilan nyawa Kementerian akan membuatku kembali menempuh jalan yang panjang."
"Ya - Tuanku, itu benar - tetapi kau tahu, sebagai Kepala Departemen Pelaksanaan Hukum Sihir, Thicknesse tidak hanya memiliki kontak dengan Menteri Sihir, tetapi juga dengan semua kepala departemen di Kementerian. Hal itu, kupikir, akan menjadi mudah karena pejabat tinggi berada di bawah kendali kita, dan mereka akan mempengaruhi yang lain, mereka akan bekerja sama untuk menjatuhkan Scrimgeour."
"Selama teman kita Thicknesse tidak ketahuan sebelum dia mempengaruhi yang lain," kata Voldemort. "Bagaimanapun jug
a, Kementerian akan menjadi milikku sebelum sabtu depan. Jika kita tidak bisa menyentuh anak itu di tempat tujuannya, maka kita harus melakukannya saat dia sedang dalam perjalanannya."
"Kita memiliki keuntungan, Tuanku," kata Yaxley, yang tampak meminta dukungan. "Sekarang kita memiliki beberapa orang di Departemen Transportasi Sihir. Jika Potter ber-Apparate atau menggunakan jaringan Floo, kita akan segera tahu di mana dia berada."
"Dia tidak akan melakukannya," kata Snape. "Orde tidak akan menggunakan segala bentuk transportasi yang dikontrol dan diatur oleh Kementerian;
mereka tidak mempercayai apapun yang dikerjakan Kementerian."
"Akan lebih baik," kata Voldemort. "Dia akan dipindahkan secara terbuka. Lebih mudah untuk ditangkap, pasti!"
Sekali lagi Voldemort mendongak dan melihat tubuh yang terus berputar pelan selagi dia bicara. "Aku akan mengurus anak itu sendirian. Terlalu banyak kesalahan yang melibatkan Harry Potter. Sebagian kesalahan tersebut akulah yang membuatnya. Potter selamat akibat kesalahanku dan bukan karena keberhasilannya."
Sekelompok penyihir di sekitar meja memperhatikan Voldemort dengan penuh kekhawatiran, beberapa dari mereka, terlihat dari ekspresi mereka, merasa takut mereka bisa saja disalahkan karena keberadaan Harry Potter yang masih ada sampai saat ini. Bagaimanapun, ucapan Voldemort sepertinya lebih ditujukan untuk dirinya sendiri daripada kepada sekelompok orang di ruangan itu, pandangannya masih tertuju pada sosok yang tak sadarkan diri di atasnya.
"Aku telah ceroboh, dan tentu saja dihalangi oleh kesempatan dan keberuntungan, semua rencana yang kulakukan hanya menghasilkan rencana kosong yang tidak tercapai. Tapi sekarang aku tahu sesuatu yang lebih baik.
Aku mengerti beberapa hal yang tidak kumengerti sebelumnya. Jika ada orang yang harus membunuh Harry Potter, orang itu adalah aku."
Ketika Voldemort mengucapkan kata-kata tersebut, terdengar sesuatu seperti tanggapan atas perkataan itu, terdengar suara ratapan, dan berlanjut suara tangisan kesengsaraan dan kesakitan. Beberapa orang melihat terkejut sambil melihat ke bawah meja, karena suara tersebut seakan-akan berasal dari kaki mereka sendiri.
"Wormtail," kata Voldemort, tanpa perubahan dalam ketenangan suaranya, dan tanpa mengalihkan pandangan dari sosok tubuh yang berputar diatasnya,
"Bukankah aku sudah menyuruhmu untuk membuat tawanan kita tetap diam""
"Ya, T- Tuanku," sahut penyihir kecil yang duduk begitu rendah di kursinya, orang-orang meliriknya, dan kemudian mengabaikannya. Dia bangkit dari tempat duduknya lalu berlalu cepat dari ruangan itu tanpa meninggalkan apapun kecuali kilauan benda perak.
"Seperti yang telah kusampaikan," lanjut Voldemort, sambil melihat wajah tegang para pengikutnya, "Aku lebih mengerti kali ini. Saat ini juga aku harus meminjam tongkat salah satu dari kalian sebelum aku membunuh Potter."
Semua wajah menunjukkan keterkejutan yang luar biasa; seakan Voldemort
memberitahu mereka bahwa dia ingin meminjam salah satu lengan mereka.
"Tidak ada sukarelawan"" kata Voldemort. "Kalau begitu... Lucius, aku tidak melihat alasan bahwa kau masih memerlukan tongkatmu."
Lucius Malfoy mengangkat kepalanya. Kulitnya terlihat kekuningan dan seperti lilin dalam cahaya api, dan matanya cekung serta berbayang. Saat dia berbicara, suaranya terdengar parau.
"Tuan"" "Tongkatmu, Lucius. Aku ingin tongkatmu." "Aku..."
Malfoy melirik istrinya yang duduk di sampingnya. Istrinya menatap ke depan, wajahnya sama pucatnya seperti suaminya, rambut pirangnya yang panjang tergerai di bahunya, namun tersembunyi di bawah meja, jari-jari kurusnya memegang erat tangan Lucius. Dengan sentuhannya, Malfoy menarik tongkat yang terselip dijubahnya dan menyerahkannya pada Voldemort yang mengangkat tongkat itu, mata merahnya memperhatikan tongkat itu dengan seksama.
"Apa jenis kayunya""
"Elm, Tuanku," bisik Malfoy.
"Dan intinya""
"Naga - Serabut hati naga."
"Bagus," kata Voldemort. Dia menarik tongkatnya sendiri dan membandingkan ukuran panjangnya. Lucius Malfoy membuat gerakan tak disengaja; sekejap kemudian, dia tampak berharap menerima tongkat
milik Voldemort untuk ditukar dengan miliknya. Gerakan itu terlihat oleh Voldemort, matanya melebar penuh kedengkian.
"Kau pikir aku akan memberikan tongkatku, Lucius" Tongkatku""
Beberapa orang terkikik. "Aku telah memberikan kau kebebasan, Lucius, apa itu tidak cukup untukmu"
Dan dari apa yang kuperhatikan, kau dan keluargamu tampak tidak bahagia akhir-akhir ini. Apakah kehadiranku di rumahmu sangat mengganggumu, Lucius""
"Tidak - Tidak sama sekali, Tuanku!"
"Kau berbohong Lucius ..."
Terdengar suara mendesis yang bahkan membuat mulut kejam tersebut berhenti bergerak. Satu atau dua penyihir menunjukkan rasa takut saat desisan tersebut terdengar lebih keras; sesuatu yang berat terdengar sedang berjalan di bawah meja.
Seekor ular besar muncul dan memanjat perlahan menuju kursi Voldemort. Ular itu terus berjalan naik dan melingkar pada bahu Voldemort. Tebal leher ular itu sama dengan paha manusia, matanya dengan pupil celah vertikal, tidak bekedip.
Voldemort menyentuh pelan makhluk tersebut dengan jarinya yang kurus dan panjang, matanya masih menatap Lucius Malfoy.
"Menapa keluarga Malfoy terlihat tidak bahagia dengan keadaan mereka saat ini" Apakah dengan kembalinya aku, kebangkitanku untuk menguasai dunia bukan hal yang mereka inginkan beberapa tahun terakhir ini""
"Tentu, Tuanku," kata Lucius Malfoy. Tangannya bergetar saat dia menghapus keringat di atas bibirnya. "Kami menginginkannya - Sangat."
Di sisi kiri Malfoy, istrinya bergerak aneh, mengangguk kaku, matanya teralih dari Voldemort ke ularnya. Di kanannya, anaknya Draco, yang tengah menatap tubuh yang tidak berdaya di atas, melirik sekilas pada Voldemort dan langsung berpaling, dia terlalu takut melakukan kontak mata dengan Voldemort.
"Tuanku," kata seorang wanita berkulit gelap di pinggir meja barisan tengah, suaranya penuh dengan emosi, "Suatu kehormatan Anda berada di sini, di keluarga kami. Tidak ada kehormatan yang lebih baik daripada ini semua."
Dia duduk di sebelah saudarinya, dan tidak memiliki kemiripan dengan saudarinya, rambutnya gelap dan pelupuk matanya tebal, dia terlihat sangat tegas dan rendah diri di hadapan Voldemort, sedangkan Narcissa duduk diam dan kaku. Bellatrix memajukan dirinya ke depan meja, tidak ada yang bisa menjelaskan kerinduannya untuk lebih mendekat.
"Tidak ada kehormatan yang melebihi ini," ulang Voldemort, kepalanya dimiringkan ke arah lain seolah dia menilai Bellatrix. "Aku menganggapnya sebuah persetujuan, Bellatrix, darimu."
Wajahnya seketika berwarna; air mata kebahagiaan mengalir dari matanya.
"Tuanku tahu aku mengatakan kebenaran."
"Tidak ada kehormatan yang melebihi ini... bahkan jika dibandingkan dengan pesta besar, yang kudengar berlangsung di kediaman keluargamu minggu ini"" Mata Bellatrix terbelalak, bibirnya membuka, dan dia terlihat kebingungan. "Saya tidak mengerti maksud anda, Tuanku."
"Aku membicarakan keponakanmu, Bellatrix. Dan tentunya keponakan kalian juga, Lucius dan Narcissa. Dia baru menikah dengan si manusia serigala, Remus Lupin.
Kalian pasti merasa bangga."
Terdengar tawa mencemooh di sekitar meja. Beberapa wajah maju ke depan untuk memperlihatkan sirat kegembiraan; yang lain memukul meja dengan tinju mereka. Ular besar, yang membenci keributan, membuka mulutnya lebar dan mendesis marah, tetapi para Pelahap Maut tidak mendengarnya, mereka menikmati penghinaan yang ditujukan pada Bellatrix dan keluarga Malfoy.
Wajah Bellatrix, yang berseri gembira, seketika berubah seakan-akan ditumbuhi bisul jelek dan merah.
"Dia bukan keponakan kami, Tuanku," dia menangis saat yang lain terlihat gembira. "Kami - Narcissa dan aku - tidak pernah berhubungan dengan saudara kami sejak dia menikah dengan si darah lumpur. Anak itu tidak punya hubungan apapun dengan kami berdua, begitu juga binatang buas yang dia nikahi."
"Bagaimana denganmu, Draco"" tanya Voldemort, suara pelannya mampu menyaingi ledekan dan cemohoohan. "Apakah kau akan merawat anaknya itu""
Kegembiraan memuncak, Draco Malfoy menatap ngeri pada ayahnya, yang hanya menunduk melihat kakinya sendiri, lalu beralih menatap ibunya, dia menggelengkan kepalanya nyar
is tak terlihat, dan kembali menatap lurus ke arah dinding yang berlawanan.
"Cukup," kata Voldemort, menepuk ular yang marah. "Cukup." Dan tawapun langsung berhenti.
"Kebanyakan generasi sejak generasi tertua kita semakin lama semakin terinfeksi," dia berbicara saat Bellatrix menatapnya, sambil menahan napas dan memohon, "Kau harus menjaga generasi keluargamu, tetap menjaganya sehat dengan memotong komponen yang mengancam kemakmurannya."
"Ya Tuanku," bisik Bellatrix, dan sekali lagi matanya dipenuhi air mata terimakasih. "Dikesempatan pertama!" "Kau harus melakukannya," kata Voldemort. "Di keluarga kalian, juga didunia...
kita akan membuang penyakit yang menginfeksi kita sampai hanya mereka yang berdarah murni yang tersisa..."
Voldemort mengangkat tongkat Lucius Malfoy, mengarahkannya langsung pada sosok yang berputar pelan yang terikat terbalik di atas meja, dan memberinya sedikit jentikkan. Sosok itu mulai sadar dengan rintihan dan mulai berusaha melepaskan ikatan tak terlihat yang mengikatnya.
"Apa kau mengenali tamu kita, Severus"" tanya Voldemort.
Snape mendongak dan melihat pada wajah kacau balau yang terikat terbalik itu. Semua Pelahap Maut menatap tawanan itu, seolah mereka diberi izin untuk memperlihatkan keingintahuan mereka. Saat wanita itu berputar menghadap perapian, wanita itu mengeluarkan suara ketakutan dan gemetar, "Severus!
Tolong aku!" "Ah, ya," kata Snape ketika tawanan itu berputar pelan sekali lagi.
"Dan kau, Draco"" tanya Voldemort, menepuk pelan moncong ular itu dengan tongkatnya. Draco menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Saat wanita itu kembali terbangun, Draco tidak mampu melihatnya lagi.
"Kau tidak perlu mengambil kelasnya," kata Voldemort. "Bagi kalian yang belum tahu, kita kedatangan seseorang untuk bergabung dengan kita malam ini, Charity Burbage yang, sampai beberapa waktu yang lalu, mengajar di sekolah Sihir Hogwarts."
Terdengar bisikan kecil yang penuh dengan pemahaman. Di atasnya, gigi wanita tersebut bergemelutuk.
"Ya ... Professor Burbage mengajar para penyihir muda tentang Muggle... bahwa mereka tidak berbeda dari kita... "
Salah satu Pelahap Maut meludah ke lantai. Charity Burbage berputar menatap Snape sekali lagi.
"Severus... kumohon... tolong..."
"Diam," kata Voldemort, menjentikkan tongkat Malfoy, dan Charity langsung terdiam. "Merasa kurang dengan mengotori dan merusak pikiran para penyihir muda, minggu lalu Profesor Burbage menulis ketertarikan pada Darah Lumpur di Daily Prophet. Dia berkata, penyihir harus menerima pengetahuan dan sihir dari para pencuri tersebut. Berkurangnya darah murni, Profesor Burbage berkata, adalah keadaan yang sangat penting... Dia ingin kita semua berteman dengan
Muggle... atau, tidak diragukan lagi, manusia serigala..."
Tak ada seorangpun yang tertawa kali ini. Ada kemarahan dan penghinaan dalam suara Voldemort. Untuk ketiga kalinya, Charity Burbage berputar menatap wajah Snape. Air mata mengalir dari matanya dan membasahi rambutnya. Snape balas menatapnya, terlihat tenang, setenang putaran Charity yang menjauh dari pandangannya.
" Avada Kedavra!"
Kilatan sinar hijau menerangi setiap sudut ruangan. Charity jatuh, bedebam keras, jatuh ke atas meja, yang bergetar dan retak. Beberapa Pelahap Maut terlonjak dari kursi mereka. Draco jatuh ke lantai.
"Makan malam, Nagini," kata Voldemort dengan dingin, dan ular besar itu berjalan turun dari bahunya ke lantai yang mengkilap.
Bab 2 DALAM KENANGAN Harry terluka. Ia menggenggam tangan kanannya dengan tangan kirinya, menyumpahnyumpah dalam bisikan. Ia membuka pintu kamar dengan bahunya.
Terdengar suara pecahan perabot porselen, dan sebuah pecahan cangkir berisi teh dingin tergeletak di lantai depan pintu kamarnya.
"Apa-apaan...""
Ia melihat sekelilingnya, rumah nomor empat, Privet Drive yang sepi. Sepertinya ide cangkir teh ini adalah salah satu ide jebakan terbaik dari Dudley. Menjaga agar tangannya yang terluka tetap terangkat, Harry mengambil semua pecahan cangkir itu dengan tangannya yang lain, dan membuangnya ke tempat sampah di dekat pintu kamarnya. Lalu ia langsung ke kamar mandi untuk mencuci lukanya.
Sungguh benar-benar bodoh dan membosankan, bahwa ia harus menghabiskan empat minggu menahan diri untuk tidak menggunakan sihir... tapi ia merasa bahwa luka di jarinya dapat memaksanya untuk melakukan sihir. Sayangnya ia tak pernah belajar bagaimana mengobati luka, dan sekarang ia mulai berpikir bagaimana cara melakukannya. Ia berencana untuk menanyakan caranya pada Hermione, Sekarang ia menggunakan banyak tisu untuk membersihkan tumpahan tehnya sebelum ia kembali ke kamar dan membanting pintu kamarnya.
Harry menghabiskan pagi ini untuk mengosongkan koper yang selalu ia gunakan selama enam tahun terakhir. Pada tahun pertamanya, ia memenuhi kurang lebih tiga perempatnya lalu kadang mengganti atau menambahkan isinya tiap tahun, dan meninggalkan sisa-sisa di dasar koper - pena bulu lama, mata kumbang yang
telah mengering, dan kaus kaki yang sudah tidak cukup lagi. Beberapa menit sebelumnya, Harry memasukkan tangannya ke dalam tumpukan itu, dan menghasilkan rasa sakit yang luar biasa dan pendarahan di keempat jari tangan kanannya.
Kini ia lebih berhati-hati. Ia berlutut di sebelah kopernya, ia meraba-raba dasar kopernya dan menemukan sebuah lencana tua yang berkedip-kedip antara DUKUNG CEDRIG DIGGORY dan POTTER BAU, Teropong Musuh rusak yang sudah tak bisa dipakai lagi, sebuah liontin emas dengan sebuah catatan dari R.A.B. di dalamnya, dan akhirnya ia menemukan apa yang melukai jarinya. Ia langsung mengenalinya. Sebuah pecahan cermin sepanjang lima senti pemberian bapak baptisnya, Sirius. Harry meletakkannya dan melanjutkan mencari peninggalan lain dari bapak baptisnya. Tapi yang tersisa hanya sisa pecahan cermin yang tersebar di dasar kopernya.
Harry duduk dan memerhatikan cermin yang telah melukai jarinya, yang dilihatnya hanyalah bayangan dari mata hijau cerahnya. Lalu ia meletakkan pecahan cermin itu di atas Daily Prophet terbitan hari ini, yang tergeletak begitu saja di atas tempat tidur.
Butuh empat jam penuh untuk mengosongkan koper, membuang yang tidak perlu, memilih barang-barang apa yang akan kembali masuk ke dalam koper dan akan ia bawa. Jubah sekolah, jubah Quidditich, kuali, perkamen, pena bulu, buku sekolahnya, jelas ia akan meninggalkannya. Ia membayangkan apa yang akan dilakukan oleh paman dan bibinya, mungkin mereka akan membakarnya, menganggapnya seperti barang bukti kejahatan. Baju Muggle, Jubah Gaib, bahan membuat ramuan, beberapa buku, album foto yang Hagrid berikan padanya, setumpuk surat, dan tongkatnya, dipaksa masuk ke dalam ransel tuanya. Di kantung depan, tersimpan Peta Perompak dan liontin dengan catatan dari R.A.B.
di dalamnya. Liontin itu begitu penting karena begitu banyak hal terjadi dalam usaha untuk mendapatkannya.
Setumpuk koran tergeletak di meja sebelah burung hantu peliharaannya, Hedwig, yang datang setiap hari selama Harry menghabiskan liburan musim panasnya di Privet Drive.
Harry berdiri, meregangkan otot-ototnya, dan berjalan menuju meja. Hedwig diam saja saat Harry mulai membuang koran-koran itu ke dalam tempat sampah. Burung hantu itu sedang tidur, atau berpura-pura tidur. Ia sedang marah pada Harry karena begitu jarang mengizinkannya keluar dari kandang.
Begitu tumpukan koran mulai menipis, Harry mencari satu edisi koran yang terbit saat ia baru tiba di Privet Drive. Ia ingat bahwa di halaman depan
tercetak berita kecil tentang pengunduran diri Charity Burbage, guru Telaah Muggle di Hogwarts. Dan ia menemukannya. Ia membuka halaman sepuluh, ia duduk di kursinya dan mulai membaca ulang berita duka yang dicarinya.
MENGENANG ALBUS DUMBLEDORE oleh Elphias Doge
Pertama kali aku bertemu dengan Albus Dumbledore adalah saat aku berusia sebelas tahun, di hari pertama kami di Hogwarts. Ketertarikan kami berawal saat kami diacuhkan oleh orang-orang. Aku baru saja terkena cacar naga sesaat
sebelum masuk sekolah, walaupun sudah tak lagi menular, bekas cacar kehijauan itu membuat hanya sedikit orang berani mendekatiku. Sedangkan Albus, datang ke sekolah membawa nama buruk. Beberapa tahun sebelumnya, ayahnya, Percival, ditangkap karena telah menyerang tiga Muggle muda dengan kejam.
Albus tidak per nah mengelak bahwa ayahnya (yang meninggal di penjara Azkaban) telah berbuat kesalahan. Sebaliknya, saat aku memberanikan diri untuk bertanya, dia malah meyakinkanku bahwa ayahnya benar-benar bersalah.
Lalu, Dumbledore tidak akan melanjutkan ceritanya, tidak ingin membicarakan hal-hal sedih, katanya. Walaupun banyak orang yang mengungkit-ungkit hal tersebut. Beberapa di antaranya, memuji tindakan ayahnya, dan menganggap bahwa Albus juga seorang pembenci Muggle. Tapi mereka benar-benar keliru.
Karena semua orang tahu bahwa Albus tidak pernah tertarik dengan gerakan anti-Muggle. Malahan dia sangat mendukung hak-hak Muggle, yang membuatnya memiliki banyak musuh dalam beberapa tahun terakhir.
Dalam beberapa bulan, nama Albus mulai lebih dikenal daripada nama ayahnya. Di akhir tahun pertamanya, dia tak lagi dikenal sebagai anak dari seorang pembenci Muggle, namun lebih dikenal sebagai siswa paling cemerlang yang pernah ada di sekolah. Dan teman-temannya mendapatkan banyak keuntungan darinya, termasuk pertolongan dan dorongan semangat yang tulus darinya. Dan dia mengaku padaku bahwa dia menemukan kesenangan tersendiri saat mengajar.
Dia tidak hanya memenangkan semua hadiah yang sekolah pernah tawarkan, dia juga secara rutin berkoresponden dengan para penyihir hebat pada masanya, termasuk Nicolas Flamel, alkemis kenamaan, Bathilda Bagshot, sejarahwati terkemuka, dan Adalbert Waffling, ahli teori sihir. Beberapa esainya tiba-tiba dipublikasikan di Transfiguration Today, Challenges in Charming, dan Practical Potioneer. Karir masa depan Dumbledore sepertinya sudah terukir. Dan pertanyaan yang tersisa hanyalah kapan kira-kira dia akan menjadi Menteri
Sihir. Walau sudah diprediksikan pekerjaan apa yang akan dia lakukan, dia tidak pernah berkeinginan untuk bekerja di Kementrian.
Tiga tahun setelah dia memulai sekolahnya, saudara Albus, Aberforth, tiba di sekolah. Mereka benar-benar tidak mirip. Aberforth bukanlah seorang kutu buku seperti Albus. Dia lebih memilih untuk menyelesaikan masalah dengan berduel daripada beradu argumen. Namun adalah kesalahan besar bila menganggap kakak beradik ini tidak saling bersahabat. Mereka berteman layaknya dua orang anak yang berbeda satu sama lain. Bagi Aberforth, tentu sulit terus hidup di bawah bayang-bayang Albus. Berusaha terus-menerus untuk menjadi lebih cemerlang, baik sebagai teman ataupun saudara. Saat Albus dan aku lulus dari Hogwarts, kami berencana untuk berkeliling dunia bersama, mengunjungi dan belajar dari penyihir lain, sebelum memulai karir masingmasing. Akan tetapi, sebuah tragedi terjadi. Pada malam keberangkatan kami, ibu Albus, Kendra, meninggal, meninggalkan Albus sebagai kepala keluarga. Aku menunda keberangkatanku cukup lama untuk dapat menghadiri penguburan Kendra, dan melanjutkan perjalananku sendirian. Dengan adik-adik yang butuh diurus, dan hanya sedikit emas yang tersisa, tidak mungkin Albus bisa menemaniku.
Dan itu adalah suatu masa di mana kami jarang saling menghubungi. Aku menulis pada Albus, keseluruhan perjalananku. Mulai dari bagaimanan aku berhasil lolos dari Chimaera di Yunani, hingga bereksperimen dengan alkemis dari Mesir.
Suratnya kepadaku berisi tentang kesehariannya, yang menurutku tentu sangat membosankan untuk seorang penyihir sehebat dirinya. Terbenam sendiri dalam perjalananku, di tahun terakhir perjalananku, aku mendengar sebuah berita duka, yang menyatakan bahwa Dumbledore mengalami tragedi lain, kematian saudarinya, Ariana.
Walau Ariana memang sudah sakit-sakitan, kematiannya setelah kematian sang ibu, sungguh mempengaruhi kedua saudaranya. Semua orang yang dekat dengan Albus - dan aku menganggap diriku salah satu di antaranya - yakin bahwa Albus merasa bertanggung jawab atas kematian Ariana, walaupun tentu saja, dia tidak bersalah.
Saat aku kembali, aku telah menemui seorang pria muda yang sudah mengalami banyak pengalaman layaknya pria berumur. Albus menjadi lebih berhati-hati dan periang dari sebelumnya. Dan sebagai tambahan untuk kesengsaraannya, hubungan dengan saudaranya Aberforth, mulai merenggang. Kemudian, dia mulai jarang membicarakan kelua
rganya, dan teman-temannya belajar untuk tidak mengungkitnya.
Cerita lain akan mengungkapkan keberhasilannya di tahun-tahun berikutnya.
Kontribusi Dumbledore yang tak terhitung untuk pengetahuan, termasuk penemuannya atas dua belas fungsi dari darah naga yang memberi banyak keuntungan untuk generasi selanjutnya. Begitu pula kearifan yang ditunjukkannya dalam pengadilan saat dia menjadi Chief Warlock of Wizengamot. Banyak yang berkata bahwa tidak ada pertarungan yang dapat menandingi duel antara Dumbledore dengan Grindelwald di tahun 1945. Mereka yang menjadi saksi mata, menggambarkan bagaimana kedua penyihir luar biasa itu bertarung. Dan kemenangan Dumbledore, yang memengaruhi dunia sihir dan menjadi titik balik sejarah sihir, atas kejatuhan Dia-yang-Namanya-Tak-Boleh-Disebut.
Albus Dumbledore tidak pernah membanggakan diri atau menjadi sombong. Dia selalu menghargai tiap orang yang dia kenal, dan aku percaya bahwa semua tragedi yang pernah dia alami membuatnya menjadi lebih memiliki rasa
kemanusiaan dan lebih mudah bersimpati. Aku akan sangat merindukan persahabatan ini lebih dari yang bisa aku ungkapkan, namun rasa kehilangan ini tidak akan memengaruhi dunia sihir. Dia telah menjadi inspirasi dan merupakan Kepala Sekolah Hogwarts yang paling dicintai. Dia meninggal seperti saat ia hidup, bekerja dengan kemampuannya yang terbaik hingga saat-saat terakhirnya, sama seperti saat dia mengulurkan tangannya pada seorang anak yang terkena cacar naga, saat pertama aku pertama kali bertemu dengannya.
Harry selesai membaca, namun terus menatap gambar yang terpampang di sana. Dumbledore yang sedang tersenyum ramah, namun tatapan dari balik kacamata bulan separonya memberikan kesan, walau dalam koran, seakan menembus Harry dan merasakan kesedihan dan rasa malunya.
Harry merasa sudah sangat mengenal Dumbledore, namun sejak ia membaca berita ini, ia menyadari bahwa ia hampir tidak mengenal Dumbledore sama sekali, tak pernah sekali pun ia pernah membayangkan masa muda Dumbledore.
Rasanya ia hanya muncul begitu saja seperti saat Harry mengenalnya - tua, berambut keperakan, dan baik hati. Gagasan atas Dumbledore saat remaja sungguh aneh, seperti membayangkan bagaimana bodohnya Hermione, atau seberapa ramah Skrewt-Ujung-Meletup. Harry tidak pernah berpikir untuk menanyakan masa lalu Dumbledore. Ia yakin akan aneh dan kurang sopan. Namun, merupakan pengetahuan yang umum tentang pertarungan luar biasa antara Dumbledore dan Grindelwald, dan Harry tidak pernah bertanya bagaimana kejadiannya, atau semua pencapaiannya yang membuatnya terkenal. Tidak, mereka selalu berbicara tentang Harry - masa lalu Harry, masa depan Harry, rencana Harry, dan bagaimana Harry saat ini - memberitahu bahwa masa depan Harry begitu berbahaya dan tidak pasti. Namun ia melepaskan semua kesempatan untuk bertanya tentang Dumbledore. Bahkan pertanyaan pribadi
yang pernah ia tanyakan pada kepala sekolahnya, mungkin tidak dijawab sungguh-sungguh oleh Dumbledore.
"Apa yang Anda lihat saat Anda melihat ke cermin""
"Aku" Aku melihat diriku memegang sepasang kaus kaki wol tebal."
Setelah beberapa menit berpikir, Harry merobek berita itu, melipatnya hatihati dan menyelipkannya ke dalam buku Pertahanan Sihir dan Penggunaannya untuk Melawan Ilmu Hitam. Lalu ia membuang sisa koran itu ke tempat sampah dan melihat kamarnya.
Kamarnya jauh lebih rapi. Yang tersisa hanyalah Daily Prophet edisi hari ini, masih tergeletak di atas tempat tidur, yang di atasnya ada pecahan cermin.
Harry berjalan menuju tempat tidurnya, menggeser pecahan cermin dan membuka koran. Ia telah melihat tajuknya saat gulungan koran itu baru diantar oleh burung hantu, namun tidak ada berita tentang Voldemort. Harry yakin bahwa Kementrian telah menekan Prophet untuk tidak memberitakan Voldemort.
Tapi sepertinya ada sesuatu yang ia lewatkan.
Di bagian tengah di halaman pertama, tajuk yang lebih kecil dengan potret Dumbledore berjalan gelisah. DUMBLEDORE - KEBENARAN"
Minggu depan, cerita yang mengejutkan tentang penyihir jenius yang dianggap sebagai penyihir terhebat pada masanya. Mematahkan imej seorang penyihir be
rjanggut keperakan yang tenang dan bijaksana. Rita Skeeter mengungkapkan masa kanakkanaknya yang kurang menyenangkan, masa muda yang tidak mengenal hukum, dan masa hidup yang penuh perseteruan, dan rahasia yang Dumbledore bawa hingga ke liang kuburnya. MENGAPA seseorang yang dapat menjadi seorang Menteri Sihir hanya menjadi kepala sekolah" APA tujuan sebenarnya dari organisasi rahasia yang diketahui sebagai Orde Phoenix"
BAGAIMANA Dumbledore meninggal"
Jawaban dari pertanyaan di atas dan banyak pertanyaan lain akan dibahas dalam biografi 'Kehidupan dan Kebohongan Albus Dumbledore', yang ditulis oleh Rita Skeeter, wawancara eksklusif bersama Betty Braithwaite, halaman 13.
Harry membuka korannya dan menemukan halaman tiga belas. Artikel itu
berada di bagian atas halaman dengan potret wajah yang sudah Harry kenal.
Seorang wanita dengan kacamata hias dan rambut pirang ikal, dengan senyum kemenangan yang menunjukkan giginya yang berjajar rapi, menggelungkan jari-jarinya ke arahnya. Berusaha untuk tidak peduli pada potret yang memuakkan itu, Harry mulai membaca.
Sebenarnya Rita Skeeter adalah pribadi yang hangat dan lembut bila dibandingkan dengan artikelnya yang ganas. Menyambutku di rumahnya yang nyaman. Dia langsung mengajakku ke dapur, menyeduhkanku secangkir teh, dan memberikan sepotong kue, dan pembicaraan tentang gosip terhangat pun mulai mengalir.
"Ya, tentu saja, Dumbledore adalah sebuah mimpi bagi penulis biografi," kata Skeeter. "Hidupnya yang panjang. Aku yakin bukuku adalah yang pertama karena akan banyak pula yang lain."
Skeeter bekerja cukup cepat. Buku setebal sembilan ratus halaman ini hanya ditulis dalam jangka waktu empat minggu setelah kematian misterius Dumbledore di bulan Juni. Aku bertanya padanya bagaimana dia bisa menyelesaikannya begitu cepat.
"Oh, bila engkau telah menjadi jurnalis seperti aku, bekerja dengan tenggat waktu yang pendek akan menjadi kebiasaan. Aku mengerti bahwa dunia sihir sangat menanti untuk mengetahui cerita selengkapnya, dan aku ingin menjadi orang pertama yang memenuhi keinginan mereka."
Aku mengatakan padanya tentang komentar Elphias Doge, Special Advisor to the Wizengamot, yang merupakan teman lama Albus Dumbledore yang menyatakan bahwa "Fakta-fakta yang ditulis Skeeter, tidak lebih dari fakta yang tertulis di kartu Cokelat Kodok."
Skeeter berpaling dan tertawa.
"Dodgy sayang! Aku ingat saat aku mewawancarai dia beberapa tahun lalu tentang hakhak para duyung, terberkatilah dia. Benar-benar konyol, sepertinya kami hanya dudukduduk di dasar danau Windermere, dan dia terus mengingatkanku untuk berhati-hati dengan ikan trout."
Belum lagi tuduhan Elphias Doge atas ketidak-akuratan yang tersebar di mana-mana. Apakah Skeeter benar-benar merasa bahwa empat minggu merupakan waktu yang cukup untuk mengumpulkan data atas kehidupan Dumbledore yang panjang dan tidak biasa"
"Oh, sayang," kata Skeeter, mengingatkanku dengan penuh kasih, "kau sama
tahunya dengan diriku, sebanyak apa informasi yang dapat kita kumpulkan dengan sekantung penuh Galleon, berkeras menolak kata 'tidak', dan sebuah Pena Bulu Kutip Kilat! Orang-orang mengantri untuk mendapat remah-remah dari Dumbledore. Tidak semua orang berpikir bahwa dia begitu hebat, kau tahu - dia suka cari masalah dengan banyak orang penting. Tapi si Dodge tua itu tidak bisa menyangkal karena aku telah mendapatkan sumber yang membuat tiap jurnalis mau menukarnya bahkan dengan tongkat mereka. Seseorang yang tidak pernah berbicara di depan publik sebelumnya dan begitu dekat dengan Dumbledore pada masa mudanya."
Biografi yang Skeeter tulis tentunya akan mengejutkan setiap orang yang percaya bahwa Dumbledore memiliki hidup bersih tanpa kesalahan. Apa rahasia yang paling mengejutkan yang engkau temukan, tanyaku.
"Cukup, Betty, aku tidak akan memberitahukan berita terhebat sebelum orang-orang membeli bukuku!" tawa Skeeter. "Tapi aku meyakinkanmu bahwa setiap orang yang percaya bahwa hidup Dumbledore seputih janggutnya akan sadar! Anggap saja orang-orang tidak tahu semarah apa dia, saat Kau-Tahu-Siapa tahu bahwa dia pernah menganut Ilmu Hitam pada masa m
udanya! Ya, Albus Dumbledore memiliki masa lalu yang begitu kelam, belum lagi keluarganya yang mencurigakan, dimana dia selalu berusaha untuk menyembunyikannya."
Aku bertanya apakah yang Skeeter maksud adalah saudara Dumbledore, Aberforth, yang dinyatakan bersalah oleh Wizengamot atas skandal lima belas tahun lalu.
"Oh, Aberforth hanyalah bagian kecil," tawa Skeeter. "Tidak, tidak, aku berbicara tentang sesuatu yang lebih buruk dari kegemaran saudaranya yang suka bermain-main dengan kambing, lebih buruk ayahnya yang pembenci Muggle
- Dumbledore tidak dapat meredamnya tentu saja, keduanya dianggap bersalah oleh Wizengamot. Bukan juga ibu dan saudarinya yang menggugah rasa ingin tahuku. Kalian harus membaca bab sembilan hingga dua belas agar tahu lebih lengkap. Dan tidak heran pula mengapa Dumbledore tidak pernah bercerita bagaimana hhidungnya patah."
Walaupun begitu, apakah Skeeter mengelak dari kecemerlangan Dumbledore yang membuatnya menghasilkan banyak penemuan"
"Dia memang pintar," akunya, "walaupun banyak pertanyaan yang muncul apakah hanya dia sendiri yang berhak atas segala penemuannya, seperti yang aku ungkapkan di bab enam belas. Ivor Dillonsby telah menyatakan bahwa dia telah menemukan delapan fungsi darah naga sebelum Dumbledore mempublikasikan esainya."
Tapi beberapa hal penting yang dilakukan Dumbledore tidak dapat dapat disangkal, kataku. Bagaimana dengan pertarungannya dengan Grindelwald"
"Oh, aku benar-benar senang akhirnya kau menanyakan hal itu," kata Skeeter dengan senyumnya yang menggoda. "Sepertinya kemenangan spektakuler Dumbledore pun tak lebih dari sekadar omong kosong. Jangan begitu yakin bahwa telah terjadi sebuah pertarungan hebat yang melegenda. Setelah engkau membaca bukuku, engkau akan tahu bahwa sebenarnya Grindelwald telah mengibarkan saputangan putihnya dan menyerah begiru saja."
Skeeter menolak untuk memberi penjelasan lebih lanjut pada subjek yang menarik ini. Lalu kami melanjutkan pada sevuah hubungan yang akan membuat pembaca terkagumkagum.
"Oh, ya," kata Skeeter, mengangguk dengan tenang, "aku mencurahkan satu bab penuh untuk membahas hubungan Potter-Dumbledore. Yang ternyata merupakan hubungan yang tidak sehat, menakutkan bahkan. Sekali lagi, para pembaca harus membeli bukuku untuk mengetahui cerita lengkapnya. Walau Dumbledore tidak mengambil
keuntungan dari hubungan yang aneh ini, malah si bocah yang mendapat semua keuntungannya. Dan ini juga membuktikan bahwa Potter memiliki masa remaja yang penuh masalah."
Aku bertanya apakah Skeeter masih berhubungan dengan Harry Potter, yang telah membuatnya begitu terkenal karena wawancara tahun lalu. Sebuah wawancara eksklusif dengan Potter tentang kembalinya Kau-Tahu-Siapa.
"Oh, ya, kami menjadi sangat dekat," kata Skeeter. "Potter yang malang hanya memiliki sedikit teman baik, dan kami bertemu pada saat terberat dalam masa hidupnya - Turnamen Triwizard. Mungkin aku satu-satunya orang yang masih hidup yang tahu siapa Harry Potter sebenarnya."
Hal ini membuat kami membicarakan tentang rumor yang beredar tentang detik-detik terakhir Dumbledore. Apakah Skeeter percaya bahwa Potter ada di dekat Dumbledore saat kematiannya"
"Wah, aku tidak bisa berkata banyak - semuanya ada di buku - tapi saksi mata yang ada di Hogwarts melihat Potter berlari dari tempat kejadian sesaat setelah Dumbledore jatuh, melompat, atau didorong. Potter kemudian memberi keterangan melawan Severus Snape, seorang pria yang tentunya akan mendendam karenanya. Apakah semua yang kita lihat benar-benar seperti yang kita lihat" Itu yang harus ditentukan oleh para komunitas sihir - setelah mereka membaca bukuku."
Aku mencatat dengan rasa ingin tahu yang mulai tumbuh. Dan tidak diragukan lagi bahwa buku Skeeter akan menjadi bestseller. Sementara para pengagum Dumbledore akan gemetar mengetahui siapa sebenarnya pahlawan mereka.
Harry telah membaca habis artikel itu, namun terus menatap kosong pada halaman itu. Rasa marahnya tiba-tiba memuncak dan membuatnya muak. Ia menutup koran itu dan melemparnya ke dinding, yang lalu terjatuh di sekitar tempat sampah bersama sampah lain yang tak
kebagian tempat karena tempat sampah yang terlalu penuh.
Harry mencoba menyibukkan diri, membuka laci kosong dan memasukkan buku-buku yang seharusnya berada di sana, lalu kata-kata Rita bermunculan di kepalanya satu bab penuh tentang hubungan Potter-Dumbledore... yang bisa dibilang tidak sehat, menakutkan bahkan... ia menganut Ilmu Hitam di masa mudanya... aku telah mendapatkan sumber yang dapat membuat setiap jurnalis mau menukarnya dengan tongkat mereka...
"Pembohong!" teriak Harry, dari jendela terlihat tetangganya yang berhenti memotong rumput karena kaget, dan melihatnya dengan gugup.
Harry duduk di tempat tidurnya. Pecahan cermin itu meluncur menjauh darinya, ia mengambilnya dan memainkannya dalam jari-jarinya. Ia berpikir, memikirkan Dumbledore dan semua kebohongan yang Rita Skeeter karang...
Sekilas terlihat biru terang. Harry membeku, jari-jarinya yang terluka memegangi ujung cermin yang tadi melukainya. Ia tidak berkhayal, hal itu benar-benar terjadi. Ia menoleh,namun yang terlihat hanya dinding berwarna krem pucat pilihan bibi Petunia, dan tidak ada yang berwarna biru yang bisa dipantulkan cermin itu. Ia melihat ke dalam cermin itu, tapi yang bisa ia lihat hanya bayangan mata hijaunya yang cerah. Ia hanya berkhayal, hanya itu penjelasannya. Berkhayal, karena ia tengah memikirkankematian kepala sekolahnya. Tapi bila itu benar terjadi, tadi adalah warna biru terang dari mata Albus Dumbledore.
Bab 3 KEBERANGKATAN KELUARGA DURSLEY
Suara pintu dibanting hingga bergema sampai terdengar ke lantai atas, dan terdengar suara teriakan, "Hei! Boy!"
Sudah enam belas tahun ia terbiasa dipanggil seperti itu, sehingga Harry tahu siapa yang dipanggil. Tapi, ia tidak bergegas untuk menjawab. Ia masih tertegun melihat pecahan cermin, yang dalam beberapa detik yang lalu, ia berpikir telah melihat mata Dumbledore. Hingga pamannya berteriak, 'BOY!' yang membuat Harry berdiri dan berjalan menuju pintu kamarnya perlahan. Ia berhenti sebentar dan memasukkan pecahan cermin itu ke dalam ransel yang penuh dengan berbagai barang yang akan dibawanya.
"Nikmati waktumu selagi bisa!" teriak Vernon Dursley saat melihat Harry muncul di puncak tangga. "Turun kemari. Aku ingin sebuah penjelasan!"
Harry berjalan menuruni tangga, tangannya berada dalam saku celana jeansnya. Saat ia masuk ke ruang tamu, ia melihat keluarga Dursley sudah memakai pakaian bepergian mereka. Paman Vernon memakai jaket kulit rusanya, bibi Petuna memakai mantel berwarna salmonnya, dan Dudley, sepupu Harry yang besar, pirang, dan berotot, memakai jaket kulitnya.
"Ya"" tanya Harry.
"Duduk!" kata paman Vernon. Harry menaikkan alisnya. "Tolong!" tambah paman Vernon, sambil mengernyit, seakan kata yang ia ucapkan melukai tenggorokannya.
Harry duduk. Sepertinya ia tahu apa yang akan terjadi. Pamannya mulai memutari ruangan, Bibi Petunia dan Dudley memperhatikannya dengan cemas.
Akhirnya, dengan wajahnya yang besar dan ungu yang tengah berkonsentrasi, paman Vernon berhenti tepat di depan Harry dan ia mulai berbicara.
"Aku berubah pikiran," katanya.
"Mengejutkan sekali," kata Harry.
"Jangan sekali-kali kau..." Bibi Petunia memulai pembicaraan dengan suaranya yang melengking, tapi Vernon Dursley mengangkat tangannya, menyuruhnya diam.
"Semua ini omong kosong," kata paman Vernon sambil menatap Harry dengan matanya yang kecil. "Aku telah memutuskan untuk tidak mempercayainya. Kami akan tetap di sini dan tidak akan pergi ke mana-mana."
Harry melihat pamannya dan merasakan campuran antara rasa jengkel dan kagum. Vernon Dursley telah mengubah pikirannya setiap dua puluh empat jam selama empat minggu terakhir. Berkemas, membongkarnya, dan berkemas lagi tergantung suasana hatinya. Momen kesukaan Harry adalah saat paman Vernon, tidak menyadari bahwa Dudley memasukkan samsak tinju ke dalam tas, ia berusaha mengangkatnya tapi gagal dan membuatnya terjatuh bersamaan dengan rasa sakit dan sumpah serapahnya.
"Seperti yang kau katakan," kata paman Vernon, melanjutkan kegiatan berjalan berputarnya, "kami, Petunia, Dudley, dan aku, sedang dalam bahaya.
Yang disebabkan oleh... oleh..."
"Oleh 'kau mku', kan"" kata Harry.
"Oh, aku tak percaya ini," kata paman Vernon, yang berdiri di depan Harry lagi. "Aku terjaga semalaman memikirkan segalanya, dan menurutku kau berencana untuk mengambil alih rumah ini."
"Rumah"" ulang Harry. "Rumah apa""
"Rumah ini!" teriak paman Vernon, pembuluh darah di kepalanya mulai berdenyut.
"Rumah kami! Rumah yang harganya terus meroket! Kau ingin kami pergi dan kau akan melakukan hocus pocus-mu dan tiba-tiba tanpa sepengetahuan kami, rumah ini sudah jadi atas namamu dan..."
"Apa kalian sudah gila"" tuntut Harry. "Rencana untuk mengambil alih rumah" Apa kalian sebodoh tampang kalian"" "Berani-beraninya kau..." cicit Bibi Petunia, tapi lagi-lagi Vernon membuatnya diam.
"Apa kalian lupa," kata Harry, "aku sudah punya, bapak baptisku memberikannya untukku. Jadi mengapa aku menginginkan rumah ini" Karena kenangannya yang indah""
Semua terdiam. Harry mengira pamannya kagum dengan argumennya.
"Katamu," kata paman Vernon, mulai berjalan memutar lagi, "masalah Lord itu..."
"Voldemort," kata Harry tak sabar, "dan kita sudah membahasnya ratusan kali. Dan ini bukan kataku, ini kenyataan, Dumbledore sudah mengatakannya pada kalian, juga Kingsley, dan Tuan Weasley..."
Vernon melengkungkan bahunya dengan marah, dan Harry menebak bahwa pamannya sedang mengingat-ingat kunjungan mendadak, saat liburan musim panas Harry, dua orang penyihir dewasa. Kedatangan Kingsley Shacklebolt dan Arthur Weasley ke depan pintu rumah keluarga Dursley membuatnya tidak senang. Harry tahu, kedatangan Tuan Weasley yang terakhir menyebabkan setengah dari ruang tamunya hancur, dan kedatangannya kembali tidak mungkin disambut hangat oleh paman Vernon.
"... Kingsley dan tuan Weasley juga sudah menjelaskannya padamu," kata Harry tanpa penyesalan. "Saat aku berusia tujuh belas, mantra perlindungan yang menjagaku akan hilang dan tak lagi melindungi aku ataupun kalian. Anggota Orde yakin bahwa Voldemort akan menggunakanmu untuk menemukanku, atau mungkin bila dia menjadikanmu tawanan, aku akan datang dan mencoba untuk menyelamatkanmu."
Mata paman Vernon dan Harry beradu. Harry yakin bahwa mereka memikirkan hal yang sama. Lalu paman Vernon melanjutkan langkahnya dan Harry berkata,
"Kalian harus pergi untuk bersembunyi, dan anggota Orde ingin membantu. Kalian telah ditawari perlindungan terbaik."
Harry Potter Dan Relikui Kematian Deathly Hallows Karya Jk Rowling di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Paman Vernon tidak berkata apa-apa dan tetap berjalan. Di luar, matahari mulai turun menuju garis cakrawala. Tetangga sebelah telah selesai memangkas rumput halamannya.
"Aku kira kalian memiliki Kementrian Sihir"" tanya paman Vernon tiba-tiba.
"Memang ada," kata Harry, terkejut.
"Kalau begitu, mengapa mereka tidak melindungi kami" Menurutku, sebagai korban yang tak bersalah, kami seharusnya mendapat perlindungan dari pemerintah!"
Harry tertawa, ia tak bisa menahan dirinya sendiri. Pamannya mengharapkan adanya peraturan, walaupun dalam dunia yang ia benci.
"Kau dengar apa yang tuan Weasley dan Kingsley katakan," Harry mengingatkan. "Kami pikir Kementriran telah disusupi."
Paman Vernon berhenti di depan perapian dan menarik nafas dalam-dalam membuat kumis hitam besarnya bergerak-gerak, dan wajahnya tetap ungu karena berkonsentrasi.
"Baiklah," katanya, kini ia berdiri lagi di depan Harry. "Baiklah, karena segala alasan yang ada, kami menerima perlindungan itu. Tapi aku masih tidak mengerti
mengapa kami tidak dilindungi oleh Kingsley""
Harry tidak dapat mencegah dirinya untuk tidak memutar matanya.
Pertanyaan ini pun sudah ditanyakan berkali-kali.
"Aku kan sudah katakan," katanya dengan gigi terkatup, "Kingsley menjaga Perdana Menteri Mug... maksudku, Perdana Menteri kalian."
"Benar sekali, dia yang terbaik!" kata paman Vernon, menunjuk layar TV yang kosong. Dursley menyadari keberadaan Kingsley di berita TV, berjalan di belakang Perdana Menteri Muggle saat melakukan kunjungan ke rumah sakit.
Dan fakta bahwa Kingsley mahir berpakaian seperti Muggle, tidak termasuk suaranya yang pelan, dalam, dan mampu meyakinkan keluarga Dursley, menyebabkan keluarga Dursley tidak ingin diurus oleh penyihir lain, walaupun mereka belum pernah melihat Kingsley saat ia
memakai antingnya. "Yah, dia sudah menjaga yang lain." Kata Harry. "Tapi Hestia Jones dan Dedalus Diggle mampu menjaga kalian..."
"Walau kami sudah pernah lihat CVnya..." mulai paman Vernon, tapi Harry kehilangan kesabaran. Ia berdiri, menantang pamannya, dan menunjuk layar TV.
"Kecelakaan itu bukan kecelakaan biasa - tabrakan, ledakan, hal-hal aneh, atau apapun yang terjadi yang kita lihat di TV. Banyak orang hilang dan meninggal, dan dia ada di belakang semua ini - Voldemort. Aku telah mengatakan hal ini padamu berulang kali, dia membunuh Muggle hanya untuk bersenang-senang.
Bahkan beberapa di antaranya disebabkan oleh Dementor, dan bila kau tidak ingat apa itu, tanyakan pada anakmu!"
Dudley tersentak, tangannya menutupi mulutnya. Seluruh mata di ruangan itu tertuju padanya, perlahan ia menurunkan tangannya dan bertanya, "Apa mereka... ada begitu banyak""
"Banyak"" Harry tertawa. "Lebih dari dua yang menyerang kita, maksudmu"
Tentu saja, jumlah mereka beratus-ratus banyaknya, mungkin sudah menjadi beribu-ribu sekarang ini, melihat banyaknya hal yang menakutkan yang terjadi..."
"Baiklah, baiklah," potong Vernon Dursley. "Kami mengerti maksudmu..."
"Aku harap begitu," kata Harry, "karena begitu aku berumur tujuh belas, semuanya - Pelahap Maut, Dementor, bahkan Inferi, yang merupakan mayat yang disihir oleh Sihir Hitam - dapat menemukanmu dan menyerangmu. Dan
bila kau ingat saat terakhir kali engkau mencoba lari dari penyihir, aku yakin kau akan membutuhkan bantuan."
Semuanya terdiam saat mereka mengingat suara dentuman saat Hagrid menghancurkan pintu kayu beberapa tahun lalu. Bibi Petunia melihat paman Vernon dan Dudley menatap Harry. Akhirnya paman Vernon berbicara, "Tapi bagaimana dengan pekerjaanku" Bagaimana dengan sekolah Dudley" Sepertinya hal itu tidak terpikirkan oleh penyihir seperti kalian..."
"Apa kalian tidak mengerti juga"" teriak Harry. "Mereka akan menyiksa dan membunuh kalian seperti mereka melakukannya pada orang tuaku!"
"Ayah," kata Dudley dengan suara keras, "Ayah - aku akan ikut dengan orang-orang Orde." "Dudley," kata Harry, "untuk pertama kalinya dalam hidupmu, kau mengatakan hal yang masuk akal."
Harry tahu bahwa ia telah memenangkan pertarungan. Bila Dudley cukup ketakutan hingga ia menerima tawaran anggota Orde, orang tuanya akan menemaninya. Tidak mungkin mereka mau berpisah dengan Diddykins. Harry memerhatikan jam yang berada di atas perapian.
"Mereka akan tiba dalam lima menit," katanya, dan saat tak seorang pun membalas ucapannya, ia meninggalkan ruangan. Kemungkinan untuk berpisah dari bibi, paman, dan sepupunya untuk selamanya, satu-satunya hal yang dapat membuatnya senang. Tapi tetap saja ada kemungkinan lain. Apa yang akan kau katakan pada orang yang kau benci selama enam belas tahun"
Di kamarnya, Harry menyeret ranselnya, lalu memasukkan kacang ke sangkar Hedwig. Kacang itu jatuh begitu saja ke dasar sangkar, tanpa dipedulikan Hedwig.
"Kita akan segera berangkat, sebentar lagi," Harry berkata padanya. "Dan kau dapat terbang."
Bel pintu berbunyi. Harry ragu, namun ia tetap keluar dari kamar dan turun. Tidak mungkin Hestia dan Dedalus dapat menghadapi keluarga Dursley sendirian.
"Harry Potter!" seru suara yang terdengar bersemangat, begitu Harry membuka pintu. Seorang pria kecil dengan topi ungunya langsung membungkukkan badannya. "Sebuah kehormatan!"
"Terima kasih, Dedalus," kata Harry, ia tersenyum malu-malu pada Hestia.
"Baik sekali kalian mau melakukan hal ini... Mereka orang-orang yang keras, bibi, paman, dan sepupuku..."
"Selamat sore, keluarga Harry Potter!" kata Dedalus riang, ia langsung berjalan masuk ke dalam ruang tamu. Keluarga Dursley tidak tampak gembira saat menemui mereka.
Harry mengira pamannya akan mengubah pikirannya lagi. Dudley langsung menempel pada ibunya begitu melihat para penyihir itu.
"Aku melihat kalian sudah siap. Bagus! Rencananya seperti yang telah Harry katakan pada kalian," kata Dedalus sambil memeriksa saku mantelnya. "Kita akan berangkat sebelum Harry. Karena Harry masih di bawah umur dan belum diizinkan untuk menggunakan sihir, hal ini akan memudahkan
Kementrian untuk menangkapnya. Kita akan berkendara sejauh kurang lebih enam belas kilo sebelum kita bisa ber-Disapparate menuju tempat perlindungan. Kau tahu bagaimana cara mengemudi" Atau aku yang harus melakukannya"" ia bertanya dengan sopan pada paman Vernon.
"Tahu bagaimana cara..." Tentu saja aku tahu bagaimana cara mengemudi!" kata paman Vernon tersinggung.
"Pintar sekali Anda, sangat pintar, aku sendiri akan kebingungan dengan semua tombol dan kenop itu," kata Dedalus. Jelas sekali Dedalus sedang mencoba menyanjung Vernon Dursley.
"Tidak bisa mengemudi," gumamnya marah membuat kumisnya bergerak-gerak.
Untung saja Dedalus dan Hestia tidak memperhatikannya.
"Sedangkan Harry," lanjut Dedalus, "akan menunggu para pengawal. Ada sedikit perubahan rencana..." "Apa maksudmu"" kata Harry. "Bukankah Mad-Eye akan datang dan membawaku ber-Apparate"" "Tidak bisa," jawab Hestia. "Mad-Eye akan menjelaskannya nanti."
Keluarga Dursley, yang mendengarkan pembicaraan yang tidak mereka mengerti, terkejut begitu mendengar suara yang berteriak keras "Cepat!"
Harry menoleh mencari sumber suara itu sebelum akhirnya sadar bahwa suara itu berasal dari jam saku Dedalus. "Benar juga, kita terburu waktu," kata Dedalus, melihat jam sakunya dan
memasukkanya lagi ke dalam saku mantelnya. "Kami usahakan agar engkau berangkat pada waktu yang bersamaan saat keluargamu ber-Apparate, karena perlindungan akan hilang begitu kau berangkat menuju tempat perlindungan."
Lalu ia berbicara pada keluarga Dursley, "Sudah siap""
Tidak seorang pun menjawab. Bahkan paman Vernon masih menatap saku mantel Dedalus.
"Mungkin kita harus menunggu di luar, Dedalus," bisik Hestia, yang mengira akan terjadi perpisahan penuh cinta dan air mata.
"Tidak perlu," gumam Harry, dan paman Vernon juga tidak memberi penjelasan, dan langsung berkata, "Baiklah, saat untuk berpisah."
Ia menyodorkan tangan kanannya untuk menjabat tangan Harry, tapi ia berubah pikiran di detik-detik terakhir, dan langsung mengepalkan tangannya dan menggerakkannya maju mundur seperti metronome.
"Siap, Diddy"" tanya Bibi Petunia, sambil memeriksa tasnya sekaligus menghindar untuk menatap Harry.
Dudley tidak menjawab, tapi berdiri dengan mulut yang mulai membuka, mengingatkan Harry akan Grawp.
"Baiklah kalau begitu," kata paman Vernon.
Ia telah membuka pintu saat Dudley tiba-tiba bergumam, "Aku tidak mengerti." "Apa yang tidak kamu mengerti, Popkin"" tanya Bibi Petunia, melihat anaknya. Dudley mengangkat tangannya yang besar dan menunjuk Harry, "Mengapa dia tidak pergi bersama kita""
Paman Vernon dan Bibi Petunia berdiri membeku, memandangi Dudley heran, seakan
mereka mendengar kalau Dudley ingin menjadi balerina.
"Apa"" kata paman Vernon.
"Mengapa dia tidak ikut"" tanya Dudley.
"Dia... dia tidak ingin," kata paman Vernon, menatap Harry lalu menambahkan, "Kau tidak ingin, kan"" "Tidak sedikit pun," kata Harry.
"Baiklah kalau begitu," paman Vernon berkata pada Dudley. "Sekarang, ayo berangkat." Ia berjalan keluar dari ruangan. Mereka mendengar pintu depan membuka, tapi Dudley tidak bergerak bahkan Bibi Petunia ikut berhenti setelah mulai melangkah. "Sekarang apa lagi"" teriak paman Vernon, muncul dari pintu depan. Sepertinya Dudley sedang berpikir dalam gagasannya yang nampaknya tidak mudah diuraikan dalam kata-kata. Setelah beberapa saat kemudian, ia berkata, "Tapi, ke mana dia akan pergi""
Bibi Petunia dan paman Vernon saling berpandangan. Jelas sekali Dudley telah membuat mereka takut. Hestia Jones memecah kesunyian.
"Tapi... kau tahu ke mana keponakanmu akan pergi, kan"" tanyanya, nampak kebingungan.
"Tentu saja kami tahu," kata Vernon Dursley. "Dia akan pergi ke rumah salah satu temanmu, kan" Ayo, Dudley, masuk ke mobil, kau dengar dia tadi, kita terburu-buru."
Lalu, Vernon Dursley berjalan keluar, tapi Dudley tidak mengikutinya.
Hestia tampak marah. Harry pernah mengalami hal ini, penyihir yang terpaku melihat bahwa keluarga terdekatnya tidak memiliki ketertarikan atas Harry Potter yang begitu terkenal.
"Tidak apa-apa," Harry meyakinkan Hestia. "Bukan masalah besar."
"Tidak apa-apa"" ulang Hestia, na
da suaranya meninggi. "Apakah orang-orang itu tidak tahu apa saja yang telah kau alami" Apakah mereka tahu bahwa engkau sedang dalam bahaya" Apakah mereka tahu posisimu sebagai jantung dari gerakan anti-Voldemort""
"Er... tidak, mereka tidak tahu," kata Harry. "Mereka pikir aku hanya buang-buang waktu, tapi aku sudah terbiasa..." "Kau tidak sedang buang-buang waktu."
Bila Harry tidak melihat bibir Dudley yang bergerak, mungkin ia tak akan percaya. Ia menatap Dudley selama beberapa detik sebelum sadar bahwa sepupunya baru saja berbicara. Tiba-tiba muka Dudley berubah merah. Tibatiba Harry merasa malu dan terpesona.
"Yah... er... terimakasih, Dudley."
Lalu, Dudley nampak sibuk sendiri dengan pikirannya, lalu tiba-tiba menggumam, "Kau telah menyelamatkan nyawaku."
"Tidak juga," kata Harry. "Dementor mencoba menyedot jiwamu..."
Harry menatap sepupunya penuh dengan rasa ingin tahu. Selama musim panas ini dan musim panas lalu mereka tidak sekali pun saling berbicara, karena Harry memang selalu berada di kamarnya. Ini merupakan awal bagi Harry. Mungkin, cangkir teh tadi pagi bukan sekadar jebakan belaka. Walau merasa sedikit tersentuh, ia tetap saja merasa senang saat melihat Dudley berusaha setengah mati saat mengungkapkan perasaannya. Setelah membuka mulutnya satu dua kali, Dudley memutuskan untuk tetap diam.
Bibi Petunia tiba-tiba menangis. Hestia Jones yang awalnya tersentuh kembali marah saat Bibi Petunia datang dan memeluk Dudley, bukannya pada Harry.
"Ma-manis sekali, Dudders..." isaknya di dada Duddley, "Su-sungguh anak baik... memengucapkan terima kasih..."
"Tapi dia tidak mengucapkan terima kasih sama sekali!" kata Hestia marah. "Dia hanya bilang bahwa Harry tidak buang-buang waktu!"
"Yah, tapi bila itu berasal dari Dudley, itu bisa saja berarti "aku cinta padamu"," kata Harry membuat Bibi Petunia antara merasa terganggu dan ingin tertawa. Bibi Petunia memeluk Dudley seakan ia baru saja menyelamatkan Harry dari gedung yang terbakar.
"Kita berangkat tidak"" teriak paman Vernon yang sudah muncul lagi di ruang tamu. "Aku kira kita punya sedang diburu waktu!"
"Ya, ya, tentu saja," kata Dedalus Diggle yang sedang terkagum-kagum melihat apa yang terjadi. Tapi ia memaksakan diri, "Kami harus berangkat, Harry..."
Dedalus melangkah maju dan menjabat tangan Harry dengan kedua tangannya.
"... semoga beruntung. Semoga kita berjumpa lagi. Nasib dunia sihir berada di pundakmu."
"Oh," kata Harry "iya. Terima kasih."
"Hati-hati Harry," kata Hestia, yang juga menjabat tangannya. "Kami selalu bersamamu."
"Semoga semuanya akan baik-baik saja," kata Harry sambil memandang ke arah Bibi Petunia dan Dudley.
"Oh, aku yakin kami akan baik-baik saja," kata Diggle riang, melambaikan topinya saat meninggalkan ruangan. Hestia mengikutinya.
Perlahan Dudley melepaskan diri dari pelukan ibunya dan berjalan mendekati Harry, lalu menyodorkan tangannya yang besar.
"Ya ampun, Dudley," kata Harry, "apakah Dementor mengubah kepribadianmu"" "Entahlah," kata Dudley. "Sampai jumpa, Harry."
"Yah..." kata Harry, yang kemudian menyambut tangan Dudley dan menjabatnya. "Mungkin. Hati-hati, Big D."
Dudley tersenyum tipis, lalu berlalu meninggalkan ruangan. Harry dapat mendengar langkah beratnya menuju mobil, dan terdengar suara pintu ditutup.
Bibi Petunia yang menutupi wajahnya dengan saputangan, tidak menyangka hanya ia yang tertinggal sendiri bersama Harry. Ia langsung memasukkan saputangannya yang basah ke dalam tas dan berkata, "Baiklah, sampai jumpa," dan ia berjalan keluar tanpa mau melihat Harry.
"Sampai jumpa," kata Harry.
Ia berhenti dan menoleh. Untuk beberapa saat Harry merasakan perasaan teraneh saat melihat bibinya menatap dirinya, wajah bibinya tampak aneh dan gemetar, dan tampaknya ia akan mengatakan sesuatu, tapi ia menggelengkan kepalanya dan segera meninggalkan ruangan mengikuti suami dan anaknya.
Bab 4 TUJUH ORANG POTTER Harry berlari kembali ke kamarnya, melihat mobil keluarga Dursley melalui jendela kamarnya. Ia dapat melihat ujung topi Dedalus di antara kepala bibi Petunia dan Dudley di kursi belakang. Mobil itu berbelok ke kanan di ujung j
alan Privet Drive, jendelanya memantulkan cahaya kemerahan dari matahari yang mulai terbenam, lalu mobil itu tak tampak lagi.
Harry mengambil sangkar Hedwig, Firebolt, dan ranselnya. Untuk terakhir kali ia melihat kamarnya yang, tidak seperti biasanya, terlihat rapi dan kembali ke ruang tamu dengan rasa enggan. Lalu ia meletakkan sangkar, sapu, dan tasnya di ujung tangga. Cahaya matahari di luar mulai menghilang membuat ruang tamu dipenuhi engan bayangan di bawah terangnya malam. Rasanya aneh berdiri di sana dalam diam dan tahu bahwa ia akan meninggalkan rumah itu untuk selamanya. Dulu, ia sangat menikmati saat ditinggal keluarga Dursley sendirian di rumah, suatu hal yang jarang terjadi. Mengenang saat mengambil sesuatu yang enak di kulkas dan menikmatinya sambil memainkan komputer Dudley, atau menonton televisi dan mengubah saluran sesuka hati. Hal ini membuatnya merasakan suatu hal yang aneh saat ia mengingat saatsaat itu, seperti mengenang saudara yang sudah tiada.
"Tidak inginkah kau melihat tempat ini untuk terakhir kalinya"" tanya Harry pada Hedwig, yang masih menyembunyikan kepalanya di bawah sayap. "Kita tak akan pernah kembali ke sini lagi. Apakah kau tak ingin mengenang masa lalu"
Maksudku, lihatlah keset itu. Dudley muntah di sana sesaat setelah aku menyelamatkannya dari Dementor, dan dia berterima kasih padaku, percayakah kau" Dan, musim panas lalu, Dumbledore datang kemari..."
Namun Harry tidak dapat mengingat kelanjutannya dan Hedwig tidak membantunya, ia tetap diam dengan kepala di bawah sayap. Harry berjalan di lorong.
"Dan di bawah sini, Hedwig," Harry membuka pintu ruang bawah tangga, "dulu aku tidur di sini! Kau belum bertemu denganku saat itu... Ya Tuhan, kecil sekali, aku tak ingat..."
Harry melihat setumpuk sepatu dan payung di sana, mengingat bagaimana dulu ia terbangun di pagi hari dan langsung melihat bagian dalam dari tangga, yang biasanya dihiasi oleh sarang laba-laba. Hari-hari di saat sebelum ia tahu siapa dirinya sebenarnya, sebelum ia benar-benar tahu bagaimana orang tuanya meninggal, atau sebelum ia mengerti mengapa banyak kejadian aneh terjadi di sekitarnya. Namun Harry masih bisa mengingat jelas mimpi yang selalu menghantuinya, bahkan hingga saat ini. Mimpi yang membingungkan tentang kilatan cahaya berwarna hijau, dan mimpi - yang membuat paman Vernon hampir menabrakkan mobilnya saat Harry bercerita - tentang sepeda motor terbang...
Tiba-tiba terdengar deru suara yang memekakkan telinga. Harry langsung mengangkat kepalanya dan membuatnya terantuk kusen pintu yang rendah. Ia menahan suara saat ia hampir memakai sumpah serapah yang biasa paman Vernon katakan. Ia berjalan sempoyongan ke arah dapur. Sambil memegangi kepalanya ia melihat melalui jendela ke arah halaman belakang.
Kegelapan sepertinya dapat bersuara, bahkan udara pun bergetar. Lalu, satu persatu sosok muncul. Terlihat Hagrid dengan helm dan kacamatanya, ia duduk di atas sepeda motor yang sangat besar, di sebelahnya tampak gandengan motor hitam berkilat. Diikuti oleh orang-orang yang turun dari sapu mereka, juga dua ekor kuda tengkorak berwarna hitam. Harry membuka pintu belakang dan bergegas mendatangi mereka. Terdengar isakan Hermione yang langsung mengalungkan tangannya pada Harry, dan Ron menepuk punggungnya, dan Hagrid berkata, "Smua baik, Harry" Siap tuk brangkat""
"Tentu saja," kata Harry, sambil melihat semua orang yang ada di sana. "Tapi aku tidak tahu akan begitu banyak orang yang akan datang!"
"Perubahan rencana," geram Mad-Eye, yang sedang memegangi dua buah kantung yang sangat besar, dan mata sihirnya berputar sangat cepat saat melihat langit gelap, rumah, lalu kebun. "Ayo masuk supaya aku bisa menjelaskannya padamu."
Harry mengajak mereka masuk ke dapur di mana mereka langsung mengobrol dan bercanda, duduk di kursi atau di atas meja masak bibi Petunia yang berkilau atau bersandar di lemari yang tanpa noda. Ron yang tinggi kurus. Hermione dengan rambut panjang dan tebalnya yang dijalin rapi. Fred dan George yang sama-sama nyengir. Bill dengan luka parut dan rambut panjangnya. Tuan Weasley yang botak dengan wajahnya
yang ramah dan kacamatanya yang agak miring. Mad-Eye yang siap tempur dengan satu kaki dan mata sihir biru cerahnya yang tak berhenti berdesing. Tonks dengan rambut pendek berwarna merah muda. Lupin yang tampak lebih tua dan lebih kurus. Fleur yang cantik dan
ramping dengan rambut panjangnya yang berwarna pirang keperakan. Kingsley yang hitam, botak, dan berbahu bidang. Hagrid dengan rambut dan janggutnya yang awut-awutan, berdiri membungkuk agar kepalanya tidak menyentuh langitlangit. Dan, Mundungus Fletcher yang kecil dan dekil, dengan matanya yang mengantuk dan rambutnya yang lepek. Jantung Harry berdetak kencang, ia merasa sangat senang saat melihat mereka semua. Bahkan Mundungus, yang ingin ia cekik saat terakhir kali bertemu.
"Kingsley, aku kira kau menjaga Perdana Menteri Muggle"" tanya Harry.
"Ia akan baik-baik saja walau aku tinggal satu malam," kata Kingsley. "Kau yang lebih penting."
"Harry, coba tebak," kata Tonks yang duduk di atas mesin cuci, ia menunjukkan tangan kirinya, sebuah cincin berkilauan.
"Kalian sudah menikah"" jerit Harry, memelototi Tonks dan Lupin. "Sayang sekali kau tidak bisa hadir, Harry." "Luar biasa! Sela..."
"Baiklah, kita akan punya waktu untuk mengobrol nanti!" teriak Moody di antara keriuhan, dan langsung membuat semua terdiam. Moody menjatuhkan dua kantung besar yang dibawanya dan berbicara pada Harry. "Seperti yang telah Dedalus katakan padamu, kami tidak memakai rencana A. Pius Thicknesse bereaksi berlebihan dan memberi kita masalah besar. Dia telah memberi izin khusus untuk menyambungkan rumah ini ke jaringan Floo, menggunakan Portkey, bahkan untuk ber-Apparate. Dan semua itu ditujukan untuk menjagamu untuk mencegah Kau-Tahu-Siapa untuk mendapatkanmu. Yang tentu saja, tidak ada gunanya karena masih ada perlindungan yang telah ibumu buat. Yang telah dia lakukan hanya mencegahmu keluar dari sini hidup-hidup.
"Masalah kedua adalah, kau masih di bawah umur. Berarti kau masih dilacak."
"Aku tidak..." "Pelacak!" kata Mad-Eye tidak sabar. "Mantra yang dapat mendeteksi kegiatan sihir di sekitar anak yang berusia di bawah tujuh belas tahun! Bila kau, atau siapa pun yang ada di dekatmu mengeluarkan mantra, Thicknesse akan tahu dan begitu pula para Pelahap Maut."
"Kita tidak dapat menunggu sampai Pelacak itu hilang, karena begitu kau berusia tujuh belas tahun, kau akan kehilangan perlindungan dari ibumu. Pendek kata,
Pius Thicknesse telah berhasil memojokkan kita."
Harry sependapat walaupun ia tidak tahu siapa Thicknesse itu. "Jadi, apa yang akan kita lakukan""
"Kita akan menggunakan satu-satunya alat transportasi yang tersisa. Yang tidak akan meninggalkan Jejak. Karena kita tidak perlu mengeluarkan mantra untuk menggunakannya. Sapu, Thestral, dan sepeda motor Hagrid."
Harry dapat melihat cacat dalam rencana ini, tapi ia tetap diam dan membiarkan Mad-Eye untuk melanjutkan.
"Perlindungan dari ibumu akan hilang karena dua hal, yaitu saat kau berumur tujuh belas, atau..." Moody berputar di tengah dapur yang sangat bersih, "kau tak lagi menganggap tempat ini sebagai rumah. Kau dan paman bibimu berpisah malam ini, yang artinya kalian tidak akan tinggal bersama lagi, kan""
Harry mengangguk. "Jadi, saat kau meninggalkan rumah ini, kau tidak akan kembali, dan perlindungan itu akan hilang saat kau keluar dari daerah ini. Pilihan kita saat ini adalah menghilangkan perlindungan itu lebih awal, atau membiarkan Kau-Tahu-Siapa datang dan langsung menangkapmu saat kau berusia tujuh belas."
"Untung saja Kau-Tahu-Siapa tidak tahu kalau kita akan melakukannya malam ini. Kita akan membuat jejak palsu untuk Kementrian, karena mereka pikir kau tidak akan pergi sebelum tanggal tiga puluh. Tapi, karena kita sedang berhadapan dengan Kau-Tahu-Siapa, kita tidak tahu apakah dia akan termakan rencana tanggal tiga puluh. Dia memerintahkan Pelahap Maut untuk berpatroli di atas daerah ini, untuk berjaga-jaga. Jadi, kami telah memberi banyak perlindungan pada selusin rumah. Dan semuanya dapat menjadi tempat perlindunganmu. Dan semuanya juga adalah milik anggota Orde: rumahku, rumah Kingsley, rumah bibi Molly, Muriel... - k
au mengerti"" "Ya," kata Harry, tak sepenuhnya jujur, karena ia hanya mengerti sedikit dari rencana yang telah dijelaskan tadi.
"Kau akan ke rumah orang tua Tonks. Saat kau sudah berada dalam perlindungan yang kami buat, kau dapat menggunakan Portkey ke the Burrow.
Ada pertanyaan""
"Er... ada," kata Harry. "Sepertinya mereka akan tahu ke mana kita akan pergi, kan jelas sekali kalau ada," Harry langsung menghitung cepat, "empat belas orang yang terbang bersamaan ke rumah orang tua Tonks."
"Ah," kata Moody, "aku lupa menjelaskan rencana utamanya, tentu, tidak semuanya akan pergi ke rumah orang tua Tonks. Akan ada tujuh orang Harry Potter yang ditemani seorang pengawal yang akan terbang ke tujuh tempat perlindungan yang berbeda."
Moody mengeluarkan botol dari dalam jubahnya yang berisi sesuatu yang nampak seperti lumpur. Dan tidak perlu lagi menjelaskan, karena Harry langsung mengerti keseluruhan rencana itu.
"Tidak!" teriak Harry, suaranya bergema di dapur. "Tidak akan!"
"Sudah kukira akan begini," kata Hermione penuh rasa puas.
"Kau kira aku akan membiarkan enam orang membahayakan hidup mereka!"
"Kau pikir ini yang pertama kalinya..." kata Ron.
"Tapi ini berbeda, saat kalian berpura-pura menjadi aku..."
"Yah, sebenarnya kami tidak ingin, Harry," kata Fred bersungguh-sungguh.
"Bayangkan bila terjadi sesuatu dan kami akan terperangkap dalam tubuh dan wajahmu dengan bekas luka itu untuk selamanya."
Harry bahkan tidak tersenyum.
"Kalian tidak akan melakukannya bila aku tidak bekerja sama, kalian butuh rambutku."
"Wah, tampaknya rencana kami berantakan," kata George. "Jelas tidak mungkin mendapatkan rambutmu bila kau tidak mau bekerja sama."
"Tiga belas lawan satu, yang bahkan belum diizinkan menggunakan sihir.
Kami pasti gagal," kata Fred.
"Lucu," kata Harry sebal. "Benar-benar lucu."
"Bila kami harus memaksamu, maka itulah yang akan kami lakukan," kata Moody geram, mata sihirnya berdesing saat akhirnya memandangi Harry. "Tiap orang yang ada di sini sudah cukup umur, Potter, dan mereka siap dengan resiko yang mereka hadapi."
Mundungus mengangkat bahu dan menampakkan wajah tidak senang. Mata sihir Mad-Eye berputar dan memandangi Mundungus menembus kepala Moody.
"Cukup untuk berdebat. Waktu kita tidak banyak. Aku minta beberapa helai rambutmu, sekarang!" "Tapi ini gila, tidak perlu..."
"Tidak perlu!" hardik Moody. "Dengan Kau-Tahu-Siapa di luar sana dan separuh Kementrian mendukungnya" Potter, kita beruntung bila dia menelan mentah-mentah rencana palsu pada tanggal tiga puluh. Tapi, dia menyuruh para Pelahap Maut untuk berjaga-jaga, dan ini yang kita lakukan. Mereka tidak akan bisa kemari karena perlindungan ibumu, tapi begitu kau pergi nanti, perlindungan itu akan langsung hilang. Satu-satunya kesempatan yang kita miliki adalah bila kita mengalihkan perhatian mereka. Karena tidak mungkin, bahkan Kau-Tahu-Siapa, dapat membagi dirinya menjadi tujuh."
Harry bertatapan sesaat dengan Hermione yang langsung membuang muka. "Sekarang!" bentak Moody.
Semua mata tertuju pada Harry saat ia mencabut beberapa helai rambutnya dengan enggan.
"Bagus," kata Moody, berjalan timpang sambil membuka tutup botol ramuan itu. "Langsung masukkan ke sini."
Harry menjatuhkan rambutnya ke dalam ramuan yang nampak seperti lumpur itu. Sesaat kemudian, ramuan menggelegak dan berasap. Dan langsung berubah menjadi cairan bening berwarna keemasan.
"Wah, kau kelihatan lebih enak daripada ramuan Crabbe dan Goyle,Harry,"
kata Hermione, sebelum melihat Ron yang mengangkat alisnya. "Kau tahu sendiri kan - ramuan Goyle tampak seperti ingus."
"Baiklah, para Potter palsu, ayo antre di sebelah sini," kata Moody.
Ron, Hermione, Fred, George, dan Fleur langsung berjajar di depan wastafel bibi Petunia yang berkilauan. "Kurang satu," kata Lupin.
"Ini," kata Hagrid sambil menjumput kerah baju Mundungus kasar, dan menjatuhkannya di sebelah Fleur yang langsung mengernyitkan hidungnya dan maju ke barisan selanjutnya. Berdiri di antara Fred dan George.
"Dah kubilang, mending aku jadi pengawal," kata Mundungus.
"Diam," geram Moody. "Dasar kau cacing tak berguna, para Pelahap Mau
t tidak akan membunuh Potter, mereka hanya akan menangkapnya. Dumbledore selalu berkata bahwa Kau-Tahu-Siapa akan menghabisi Potter dengan tangannya
sendiri. Para Pelahap Maut akan berusaha membunuh para pengawal."
Mundungus tampak tidak yakin dan Moddy langsung mengeluarkan setengah lusin gelas yang langsung diisinya dengan ramuan dan menyodorkannya ke para Potter palsu.
"Bersama-sama..."
Ron, Hermione, Fred, George, Fleur, dan Mundungus meminumnya bersamaan. Mereka langsung merasa mual saat ramuan itu menyentuh tenggorokan mereka.
Lalu, tampak tubuh mereka mulai meleleh seperti lilin panas. Hermione dan Mundungus menjadi lebih tinggi. Ron, Fred, dan George mengecil dan rambut mereka menjadi lebih gelap. Tengkorak Hermione dan Fleur berubah bentuk.
Moody langsung berjongkok dan melonggarkan ikatan kantung yang tadi ia bawa.
Saat ia berdiri sudah ada enam orang Harry Potter yang terengah-engah di depannya.
Fred dan George langsung berdiri berhadapan dan bersamaan mereka berkata,
"Wah, kita mirip!"
"Entahlah, tapi sepertinya aku tetap lebih tampan," kata Fred sambil berkaca di ketel.
"Bah," kata Fleur yang sedang berkaca di kaca microwave, "Bill, jangan li'at aku. Aku tampak mengerikan." "Yang pakaiannya kebesaran, aku membawa pakaian yang lebih kecil di sini," kata Moody sambil menunjuk salah satu kantung, "dan begitu pula sebaliknya.
Dan jangan lupa kacamata kalian. Setelah kalian selesai, ambil barang masingmasing di kantung yang lain."
Harry yang asli saat ini sedang melihat hal paling aneh yang pernah ia lihat. Ia melihat keenam tiruannya berdesakan di sekitar kantung, mengambil baju, kacamata, dan barangbarang lain. Harry sebal saat mereka langsung berganti baju begitu saja dengan tubuhnya, merasa privasinya dilanggar.
"Aku tahu Ginny berbohong tentang tato itu," kata Ron sambil memandangi dadanya yang telanjang.
"Harry, penglihatamu jelek sekali," kata Hermione sambil memakai kacamatanya. Setelah mereka berganti pakaian, Harry palsu mengambil ransel dan sangkar burung hantu yang berisi boneka burung hantu salju dari kantung kedua. "Bagus," kata Moddy saat melihat tujuh orang Harry yang berkacamata dan telah siap berangkat. "Kita akan pergi berpasangan. Mundungus bersamaku naik sapu..." "K'napa aku bareng kamu"" kata Harry yang di dekat pintu.
"Karena kau memang harus diawasi," kata Moody, dan mata sihirnya memang terus memandang ke arah Mundungus. "Arthur dan Fred..."
"Aku George," kata Harry yang Moody tunjuk. "Apa kalian masih tidak bisa membedakan kami""
"Maaf, George..."
"Aku bercanda, aku Fred..."
"Cukup bercandanya!" bentak Moody. "Pokoknya, salah satu dari kalian bersama Arthur, dan yang lainnya bersama Remus. Nona Delacour..."
"Aku bersama Fleur naik Thestral," kata Bill. "Dia tidak begitu mahir di atas sapu." Fleur berdiri di samping Bill sambil memandanginya penuh rasa kagum dan patuh. Dan
Harry yakin bahwa raut muka itu tidak pernah muncul di wajahnya.
"Nona Granger bersama Kingsley naik Thestral..." Hermione tampak tenang saat membalas senyum Kingsley, karena ia pun tidak begitu mahir di atas sapu.
"Berarti tinggal kau dan aku, Ron," kata Tonks riang yang kemudian menyenggol sebuah mug saat melambaikan tangannya. Ron tampak tidak sesenang Hermione. "Dan kau bersamaku, Harry. Tak apa, 'kan"" kata Hagrid, terlihat sedikit khawatir. "Kita naik motor. Kau tau kan, sapu dan Thestral tidak dapat tahan berat badanku.
Nanti kau akan duduk di gandengannya.""Bagus," kata Harry tak sepenuhnyajujur."Kami pikir Pelahap Maut akan mengira kau akan naik sapu," kata Moody yang
sepertinya tahu apa yang sedang Harry pikirkan. "Snape punya banyak waktu untuk menceritakan segala hal tentangmu di depan Pelahap Maut.
Dan mungkin saja para Pelahap Maut akan mengejar Harry yang memang ahli dan terbiasa di atas sapu.
Baiklah," kata Moody yang langsung memimpin mereka keluar. Tiga menit lagi kita berangkat. Ayo..."
Harry bergegas ke tangga mengambil ransel, Firebolt, dan sangkar Hedwig, lalu bergabung dengan yang lain di halaman belakang. Semua sudah siap di samping sapu. Hermione sedang dibantu Kingsley untuk menaiki Thestral, d
an Fleur dan Bill sudah siap di atas Thestral yang lain. Hagrid berdiri di samping sepeda motor dengan helm dan kacamata terpasang.
"Apakah... apakah ini sepeda motor Sirius""
"Benar," kata Hagrid, menatap Harry. "Dan trakhir kali kau di sana, aku bisa menggendongmu dengan hanya satu tangan!"
Harry merasa malu saat duduk di gandengan motor. Membuatnya berpuluh-puluh senti lebih pendek dari yang lain, bahkan Ron menyeringai saat melihatnya, seperti melihat anak kecil yang sedang duduk di bom-bom-car.
Harry memaksa meletakkan ransel dan sapunya di bawah tempat duduknya dan menaruh sangkar Hedwig di antara lututnya. Benar-benar tidak nyaman.
"Arthur menyihirnya sdikit," kata Hagrid yang menyadari ketidaknyamanan Harry. Hagrid sendiri langsung menduduki sepeda motor yang langsung melesak ke tanah sedalam beberapa senti. "Aku tambahi beberapa hal di setangnya. Ideku sendiri."
Hagrid menunjuk sebuah tombol ungu dekat speedometer.
"Hati-hati, Hagrid," kata tuan Weasley yang berdiri di sebelah sepeda motor sambil memegang sapunya. "Aku tidak tahu apa akan baik-baik saja nantinya, dan gunakan hanya saat mendesak."
"Baiklah," kata Moody. "Semua bersiap-siap. Aku ingin kita berangkat pada waktu yang bersamaan atau rencana kita akan gagal."
Semua menaiki sapu masing-masing.
"Pegangan, Ron," kata Tonks, dan Harry melihat Ron yang secara sembunyi-sembunyi melihat Lupin dengan pandangan penuh rasa bersalah karena telah berani melingkarkan tangannya pada pinggang Tonks. Hagrid menstater sepeda motor yang langsung meraung seperti naga dan gandengannya mulai bergetar.
"Semoga beruntung," teriak Moody. "Kita akan bertemu satu jam lagi di the Burrow. Dalam hitungan ketiga. Satu... dua... TIGA."
Sepeda motor itu meraung hebat dan Harry merasa gandengannya menghentak mengejutkan. Harry menembus udara dengan cepat, matanya mulai berair, rambutnya berkibar. Di sekitarnya pun terlihat sapu yang melesat naik, juga kibasan ekor Thestral.
Kakinya terasa sakit dan mulai kebas karena berdesakan dengan sangkar Hedwig dan ransel. Rasa tidak nyaman yang luar biasa bahkan membuatnya lupa untuk melihat sekilas rumah nomor empat, Privet Drive, untuk terakhir kalinya. Saat ia menoleh ke bawah, ia sudah tak bisa mengenalinya. Harry terbang semakin tinggi dan semakin tinggi.
Tiba-tiba ia dikelilingi oleh minimal tiga puluh orang bertudung, melayang di udara. Mereka membentuk formasi mengelilingi anggota Orde yang ada.
Teriakan dan kilatan sinar hijau di mana-mana. Hagrid berteriak dan membuat sepeda motornya berjungkir bailk. Sejenak Harry kehilangan kendali, kebingungan, melihat cahaya lampu jalanan ada di atas kepalanya, mendengar teriakan-teriakan, dan ia berpegangan erat agar tidak jatuh. Sangkar Hedwig, Firebolt, dan ranselnya mulai menggelincir dari kedua lututnya.
"Tidak-HEDWIG!"
Sapunya jatuh terjungkal, namun ia berhasil meraih pegangan ransel dan sangkar burung hantu di saat-saat terakhir, dan akhirnya sepeda motor itu kembali ke posisi semula. Lalu, kilatan sinar hijau lain. Hedwig mencicit dan terguling begitu saja ke dasar sangkar.
"Tidak-TIDAK!" Sepeda motor itu melaju lebih cepat. Harry sempat melihat sekilas seorang Pelahap Maut mencoba menghalangi saat Hagrid mempercepat laju sepeda motornya.
"Hedwig - Hedwig!"
Tapi burung hantu itu tidak bergerak, diam saja seperti boneka di dasar sangkar. Ia tak percaya dan mulai mengkhawatirkan nasib yang lain. Ia menoleh dan melihat ada banyak orang, kilatan-kilatan sinar hijau, dan dua pasang orang pergi menjauh di atas sapu mereka, tapi Harry tidak tahu siapa itu.
"Hagrid, kita harus kembali! Kita harus kembali!" ia berteriak mencoba menandingi berisiknya suara mesin, mempersiapkan tongkatnya, meletakkan sangkar Hedwig di bawah kakinya dan tetap tidak percaya bahwa Hedwig telah mati. "Hagrid, KEMBALI!"
"Tugasku adalah membawamu pergi, Harry!" teriak Hagrid. "Berhenti BERHENTI!" teriak Harry. Dan dua kilatan sinar hijau baru saja melesat di sebelah telinga kiri Harry. Empat Pelahap Maut terbang mengikuti mereka.
Mencoba menyerang Hagrid. Hagrid mengelak tapi mereka terus mengejar.
Semakin banyak kutuka n yang diluncurkan ke arah mereka. Dan Harry harus meringkuk dalam-dalam di gandengan untuk menghindarinya. Ia mengangkat tongkatnya dan berteriak, "Stupefy!" dan kilatan sinar merah melesat dari tongkatnya dan membuat jarak antara empat Pelahap Maut yang mencoba untuk menghindar.
"Tunggu, Harry, akan kucoba yang ini!" teriak Hagrid, dan Harry melihat Hagrid menekan tombol hijau di dekat pengukur bahan bakar. Sebuah dinding batu bata yang padat muncul dari knalpot. Sambil menjulurkan leher, Harry melihat dinding itu membesar. Tiga Pelahap Maut berhasil menghindar namun satu tidak.
Salah satu yang hilang dari pandangan jatuh begitu saja saat sapunya hancur.
Satu di antaranya mencoba menyelamatkannya. Tapi keduanya hilang dari di kegelapan saat Hagrid mempercepat laju sepeda motornya.
Lebih banyak lagi kutukan yang melesat di atas kepala Harry yang berasal dari tongkat dua Pelahap Maut yang tersisa. Mereka masih mencoba menyerang Hagrid. Harry melawan dengan Mantra Bius. Kilatan cahaya merah dan hijau melesat di udara seperti kembang api. Dan para Muggle di bawah sana tidak tahu apa yang terjadi.
"Kita coba yang lain, Harry, pegangan!" teriak Hagrid yang langsung menekan tombol kedua. Kali ini muncul sebuah jaring yang sangat besar dari knalpot.
Tapi para Pelahap Maut sudah siap dan berhasil menghindar. Bahkan datang seorang lagi yang tiba-tiba muncul dari kegelapan. Kini ada tiga Pelahap Maut yang mengejar mereka dan terus menerus melemparkan kutukan ke arah mereka.
"Siap-siap, Harry, pegangan yang kuat!" teriak Hagrid, dan Harry melihat Hagrid menekan tombol ungu di sebelah speedometer.
Dengan suara raungan yang sangat keras, semburan api naga berwarna putih biru keluar dari knalpot, dan sepeda motor itu langsung melesat secepat peluru dengan suara getaran logam. Harry melihat para Pelahap Maut mencoba menghindari semburan api yang mematikan itu. Pada saat yang sama, terasa gandengan motor mulai bergetar kencang. Sambungannya mulai mengendur bersamaan dengan bertambahnya kecepatan sepeda motor.
"Tak apa, Harry!" teriak Hagrid yang membungkuk dalam-dalam. Tidak seorang pun yang mengejar mereka. Dan gandengan itu perlahan mulai terlepas.
"Kuusahakan, Harry, jangan khawatir!" teriak Hagrid sambil mengeluarkan payung merah jambu dari saku mantelnya. "Hagrid! Jangan! Aku saja!"
"REPARO!" Terdengar letusan yang memekakan telinga dan gandengan motor itu benarbenar lepas. Gandengan motor itu langsung jatuh dari ketinggian.
Di tengah keputusasaannya, Harry mengarahkan tongkatnya pada gandengan motor dan berteriak " Wingardium leviosa!"
Gandengan motor itu mulai melayang walaupun tidak banyak bergerak, paling tidak ia masih melayang. Tiba-tiba terdengar kutukan-kutukan yang dilesatkan. Tiga Pelahap Maut tadi berhasil mengejarnya.
"Aku datang, Harry!" teriak Hagrid dari kegelapan, tapi Harry bisa merasakan kalau sisi motor mulai kehilangan keseimbangan lagi. Meringkuk sedalam yang ia bisa, ia mengarahkan tongkatnya pada seseorang yang sedang menuju ke arahnya dan berteriak,
"Impedimenta!" Mantra itu tepat mengenai dada Pelahap Maut. Untuk sesaat Pelahap Maut itu berhenti mendadak seakan ada penghalang yang tidak nampak baru saja menabraknya, dan nyaris saja Pelahap Maut lain menabraknya.
Lalu gandengan motor itu mulai jatuh dan satu Pelahap Maut yang tersisa menembakkan kutukan pada Harry dari jarak yang begitu dekat sehingga ia harus menunduk dan masuk ke dalam gandengan dan membuat giginya patah karena terantuk pinggiran tempat duduk.
"Aku datang, Harry, aku datang!" teriak Hagrid. Sebuah tangan besar
mengangkat bagian belakang jubah Harry dan menariknya keluar dari gandengan motor. Harry berhasil membawa ranselnya saat akhirnya didudukkan di kursi sepeda motor, dan ia sadar bahwa ia sedang beradu punggung dengan Hagrid.
Saat mereka melesat menjauh meninggalkan dua Pelahap Maut, Harry meludahkan darah yang membanjiri mulutnya, mengarahkan tongkatnya pada gandengan motor yang jatuh dan berteriak, "Confringo!"
Rasanya sungguh menakutkan dan seakan perutnya terpilin saat melihat Hedwig ikut meledak di dalamnya. Dua Pelahap Maut yang
tersisa terlempar jatuh dari sapunya.
"Harry, maaf, maaf!" erang Hagrid, "tak seharusnya aku mencoba membetulkannya, kau tidak..."
"Tidak apa-apa. Tetaplah terbang," balas Harry. Lalu dari kegelapan muncul dua Pelahap Maut lain yang berhasil mengejar mereka.
Kutukan mulai mengarah lagi pada mereka, Hagrid mencoba mengelak dan melakukan gerakan zigza. Harry tahu bahwa Hagrid tidak akan mencoba untuk menekan tombol api naga itu lagi. Apalagi saat ini Harry duduk di tempat yang tidak aman. Harry melepaskan Mantra Bius ke arah para pengejar mereka, walaupun gagal. Lalu ia melemparkan Matra Penghalang. Salah satu dari Pelahap Maut itu menghindar dan membuat tudungnya terbuka, dan saat cahaya merah dari Mantra Bius melesat di sebelah wajahnya, tampak Stan Shunpike menatap kosong - Stan "Expelliarmus!" teriak Harry.
Harry Potter Dan Relikui Kematian Deathly Hallows Karya Jk Rowling di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Itu! Itu dia, itu yang asli!"
Teriakan Pelahap Maut itu terdengar oleh Harry walaupun dalam deru suara mesin sepeda motor. Tiba-tiba kedua pengejarnya mundur dan menghilang.
"Harry, ada apa"" teriak Hagrid. "Ke mana mereka pergi""
"Entahlah!" Tapi Harry ketakutan. Pelahap Maut itu berkata, "Itu dia, itu yang asli!" Tapi bagaimana mereka tahu" Ia memandangi kegelapan kosong dan merasakan ada hal yang aneh. Ke mana mereka pergi"
Harry berputar dan menghadap ke depan agar ia bisa memegang jaket Hagrid.
"Hagrid, tekan tombol api naga itu lagi, kita harus cepat pergi dari sini!"
"Pegangan yang erat, Harry!"
Lalu terdengar suara deruman yang memekakkan telinga lagi, dan terlihat semburan api putih biru keluar dari knalpot. Harry merasa ia mulai merosot dari tempat duduknya. Lalu Hagrid memeganginya dengan satu tangan, sementara tangan yang lain berusaha mengendalikan stang motor.
"Rasanya kita telah meninggalkan mereka, Harry! Kita berhasil!" teriak Hagrid.
Tapi Harry tidak seyakin itu. Ia merasa ketakutan bila tiba-tiba mereka kembali terkejar. Mengapa mereka mundur" Salah satu dari mereka masih memegang tongkat... itu yang asli... mereka mengatakannya saat ia menyerang Stan dengan Mantra Pelucutan Senjata...
"Kita hampir sampai, Harry!" teriak Hagrid.
Harry dapat merasakan kecepatan sepeda motor berkurang. Walau lampu-lampu di bawah masih tampak seperti bintang.
Tiba-tiba bekas lukanya terasa terbakar, saat seorang Pelahap Maut muncul di samping sepeda motornya. Dua Kutukan Kematian lewat hanya berjarak beberapa milimeter dari Harry, dan arahnya datang dari belakang.
Lalu Harry melihatnya. Voldemort terbang seperti asap di atas angin, tanpa sapu atau Thestral. Wajahnya yang seperti ular bercahaya di tengah kegelapan. Dan jari-jarinya yang putih, mengangkat tongkat lagi.
Hagrid memberanikan diri untuk membawa sepeda motornya terjun vertikal.
Berpegangan erat pada jaket Hagrid, Harry mulai menembakkan Mantra Bius ke segala arah. Ia melihat tubuh seseorang terbang jatuh melewatinya dan ia tahu mantranya telah mengenai sseorang. Namun terdengar suara ledakan dan terlihat percikan api dari mesin.
Sepeda motor itu jatuh berputar di udara, benar-benar lepas kendali.
Kilatan sinar hijau ditembakkan lagi ke arah mereka. Harry tidak tahu bagaimana keadaan mereka, lukanya masih terasa terbakar. Rasanya ia ingin mati seketika. Seseorang bertudung di atas sapu hanya berjarak beberapa meter darinya dan mulai mengangkat tangannya.
"Tidak!" Tiba-tiba Hagrid meninggalkan sepeda motor dan meloncat ke arah Pelahap Maut. Lalu Harry melihat mereka berdua jatuh dan menghilang dari pandangan.
Berat tubuh mereka tidak mampu ditahan oleh sapu itu. Lutut Harry menjepit dudukan sepeda motor, berusaha agar tidak melepasnya. Dan Harry mendengar Voldemort berteriak "Milikku!"
Namun kini ia tidak lagi bisa melihat atau mendengar Voldemort. Tapi kini ia melihat seorang Pelahap Maut lain mendekat dan terdengar "Avada..."
Rasa sakit di keningnya membuat Harry menutup matanya, tongkatnya bergerak sesuai keinginannya sendiri. Ia merasa tangannya ditarik oleh sebuah magnet yang sangat kuat, dan terlihat pancaran api keemasan. Kemudian terdengar suara retakan dan teriakan kemarahan. Para Pelahap Maut yang tersisa berteriak, tapi Voldemort menjerit "Tida
k!" Tiba-tiba Harry melihat tombol api naga tepat di bawah hidungnya. Ia menekannya dan sepeda motor itu menyemburkan lebih banyak api ke udara dan meluncur langsung ke tanah.
"Hagrid!" panggil Harry, mencoba untuk tetap berpegangan pada sepeda motor itu. "Hagrid - accio Hagrid!"
Sepeda motor itu melaju langsung menuju tanah. Sambil memegangi setang sepeda motor, Harry hanya bisa melihat lampu-lampu yang mendekat. Ia akan menabrak dan ia tidak bisa melakukan apa-apa. Di kejauhan terdengar teriakan...
"Tongkatmu, Selwyn, berikan tongkatmu!"
Ia dapat merasakan Voldemort sebelum ia melihatnya. Saat menoleh, ia melihat ke dalam mata merahnya dan merasa yakin itulah yang akan terakhir di lihatnya.
Voldemort akan segera membunuhnya.
Namun Voldemort menghilang. Harry melihat ke bawah dan melihat Hagrid yang terjatuh tergeletak di tanah. Ia berusaha untuk mengendalikan setang sepeda motor itu agar tidak menabrak Hagrid. Lalu ia mencoba untuk menggengam rem sebelum akhirnya ia menabrak sebuah kolam berlumpur.
Bab 5 PEJUANG YANG GUGUR "Hagrid"" Harry memaksa dirinya untuk bangun dan melepaskan diri dari reruntuhan logam dan kulit yang menutupinya. Tangannya terendam beberapa senti di dalam air berlumpur saat ia mencoba untuk berdiri. Ia tidak mengerti mengapa tiba-tiba
Voldemort menghilang dan berharap kegelapan ini segera hilang. Sesuatu yang panas dan basah mengalir dari dahi ke pelipisnya. Ia merangkak keluar dari kolam dan berusaha untuk mendekati Hagrid yang tampak seperti gundukan hitam besar di atas tanah.
"Hagrid" Hagrid, bicaralah padaku..."
Tapi gundukan itu diam saja.
"Siapa di sana" Apakah itu kau, Potter" Kaukah Harry Potter""
Harry tidak mengenali suara pria itu. Lalu terdengar suara teriakan seorang wanita, "Mereka menabrak, Ted! Mereka di kebun!"
Kepala Harry basah. "Hagrid," ulang Harry, lututnya tersangkut.
Hal selanjutnya yang ia ingat adalah ia sedang tertidur di atas sesuatu yang empuk. Dada dan tangan kanannya terasa terbakar. Giginya yang patah sudah tumbuh kembali. Bekas lukanya masih terasa menyakitkan.
"Hagrid"" Ia membuka mata dan melihat dirinya sedang berbaring sofa di sebuah ruang duduk yang tidak ia kenal. Ranselnya tergeletak di lantai tak, basah dan penuh lumpur. Seorang pria berperut tambun sedang melihat Harry penuh rasa khawatir.
"Hagrid baik-baik saja, nak," kata pria itu, "istriku sedang merawatnya.
Bagaimana keadaanmu" Ada yang patah" Aku telah menyembuhkan tulang iga, tangan, dan gigimu. Aku Ted, Ted Tonks, ayah Dora."
Harry duduk terlalu mendadak membuat matanya berkunang-kunang dan membuatnya merasa pusing. "Voldemort..."
"Tenang," kata Ted Tonks, sambil menyuruh Harry kembali untuk berbaring.
"Kau baru saja mengalami tabrakan hebat tadi. Apa yang terjadi" Apa ada yang salah dengan sepeda motornya" Apa Arthur Weasley terlalu memaksa dirinya dengan alat-alat Muggle itu""
"Tidak," kata Harry, bekas lukanya mulai berdenyut lagi. "Pelahap Maut, begitu banyak, mereka mengejar kami..."
"Pelahap Maut"" tanya Ted tajam. "Apa maksudmu" Aku pikir mereka tidak tahu bahwa kau akan dipindahkan malam ini."
"Mereka tahu," kata Harry.
Ted Tonks melihat langit-langit seakan-akan ia bisa langsung melihat langit.
"Kalau begitu, perlindungan kami telah berhasil mencegah mereka, kan"
Mereka tidak bisa mendekati rumah ini dalam jarak ratusan meter dari berbagai arah."
Sekarang Harry tahu mengapa Voldemort tiba-tiba menghilang. Ia telah berhasil masuk ke dalam area perlindungan. Sekarang ia hanya berharap kalau mantra perlindungan itu cukup kuat. Karena saat ini ia bisa membayangkan Voldemort, beratus-ratus meter jauhnya, sedang mencari cara untuk masuk ke dalam sesuatu yang Harry bayangkan seperti sebuah gelembung transparan yang sangat besar.
Harry mencoba untuk berdiri. Ia harus melihat Hagrid dengan mata kepalanya sendiri sebelum ia percaya kalau Hagrid masih hidup. Saat ia hampir berdiri, pintu tiba-tiba membuka dan Hagrid mencoba melewatinya. Wajahnya penuh lumpur dan darah, sedikit terpincang, tapi tetap hidup.
"Harry!" Hanya butuh dua langkah besar bagi Hagrid untuk menyebrangi ruangan dan menarik Harr
y ke dalam pelukannya dan hampir mematahkan tulang iganya yang baru saja di sembuhkan. "Ya ampun, Harry, bagaimana kau bisa menghadapi mereka semua" Aku pikir kita akan mati."
"Aku juga. Aku tak bisa percaya..."
Harry terdiam. Ia baru mengenali seorang wanita yang ada di belakang Hagrid. "Kau!" teriak Harry sambil mencoba meraih sesuatu di kantungnya tapi tidak ada.
"Tongkatmu ada di sini, nak," kata Ted, menyerahkan tongkat Harry. "Tadi terjatuh, dan aku memungutnya. Dan kau baru saja berteriak pada istriku."
"Oh, aku, aku minta maaf."
Saat wanita itu mendekati mereka, terlihat kemiripan Mrs. Tonks dengan saudarinya Bellatrix. Namun rambutnya berwarna coklat lembut, matanya lebih lebar, dan tampak lebih ramah. Tapi ia terlihat sedikit terkejut setelah
diteriaki Harry. "Apa yang terjadi dengan putri kami"" tanyanya. "Hagrid bilang tadi kalian diserang. Di mana Nymphadora""
"Aku tidak tahu," kata Harry. "Kami tidak tahu bagaimana keadaan yang lain." Ted dan istrinya bertukar pandang. Rasa takut dan bersalah bercampur dalam dada Harry. Bila ada yang meninggal, itu adalah kesalahannya, semua adalah salahnya. Ia telah menyetujui rencana itu dan memberikan rambutnya...
"Portkey," tiba-tiba Harry teringat. "Kami harus ke the Burrow dan mencari tahu. Nanti akan langsung kami kabari begitu Dora..."
"Dora akan baik-baik saja. Dia tahu apa yang dia kerjakan. Dia sudah sering melakukan ini bersama para Auror. Kemarilah," tambah Ted. "Kalian akan berangkat dalam waktu tiga menit."
"Baiklah," kata Harry. Ia mengambil ranselnya dan menyandangnya di pundak. "Aku..."
Ia melihat Mrs. Tonks ingin meminta maaf atas segala hal yang terjadi, ia merasa bertanggung jawab. Tapi tidak satu kata pun keluar. "Aku akan beritahu Tonks - Dora - untuk mengabari kalian, saat dia... terima kasih
sudah menolong kami, terima kasih untuk segalanya. Aku..."
Harry merasa lega saat ia meninggalkan ruangan itu dan mengikuti Ted Tonks menuju
kamar tidur. Hagrid berada di belakangnya, menunduk dalam-dalam agar tidak
terantuk kusen pintu. "Itu Portkey-nya, nak."
Mr. Tonks menunjuk sebuah sisir kecil berwarna keperakan yang ada di atas meja rias. "Terima kasih," kata Harry, yang langsung menyentuhkan jarinya, siap untuk berangkat. "Dia... dia kena," kata Harry.
Teringat sesaat ledakan itu membuatnya merasa bersalah dan setitik air mata ada di ujung
matanya. Hedwig telah menjadi kawannya, ia adalah penghubungnya dengan dunia sihir
saat ia kembali ke rumah keluarga Dursley.
Hagrid menepuk-tepuk tangannya yang besar ke pundak Harry.
"Tidak apa-apa," katanya muram. "Tidak apa-apa. Dia telah hidup cukup lama..."
"Hagrid!" Ted Tonks mengingatkan. Sisirnya mulai bercahaya biru terang dan Hagrid
langsung menyentuhkan jarinya.
Sentakan dari belakang mengangkat mereka seperti kaitan yang tak terlihat, membuat Harry berputar tak terkendali. Jarinya menempel di Portkey saat ia meninggalkan rumah keluarga Tonks. Sedetik kemudian ia terlempar ke tanah yang keras dengan tangan dan lutut menyentuh halaman the Burrow terlebih dulu. Ia mendengar teriakan. Harry berdiri dan berjalan perlahan, dan melihat Mrs. Weasley dan Ginny yang berlari keluar dari pintu belakang. Hagrid yang juga terjatuh saat mendarat, berusaha berdiri di atas kakinya.
"Harry" Apakah kau benar-benar Harry" Apa yang terjadi" Mana yang lain""
teriak Mrs. Weasley. "Apa maksudmu" Apa belum ada yang kembali"" kata Harry. Jawabannya sudah jelas saat ia melihat wajah pucat Mrs. Weasley.
"Pelahap Maut sudah menunggui kami," Harry menceritakan. "Kami langsung dikelilingi sesaat setelah kami berangkat - mereka tahu tentang malam ini - aku tidak tahu apa yang terjadi pada yang lain. Empat di antaranya mengejar kami saat kami berhasil menjauhkan diri, dan Voldemort berhasil menemukan kami..."
Harry dapat mendengar jelas nada pembelaan dalam ceritanya, sebuah alasan
mengapa ia tidak tahu bagaimana keadaan yang lain.
"Syukurlah kau baik-baik saja," Mrs. Weasley langsung memberikan pelukan yang Harry anggap ia tidak pantas dapatkan.
"Punya sdikit brandy, Molly"" tanya Hagrid yang gemetaran. "Tuk tujuan pengobatan""
Ia bisa sa ja mengambilnya dengan shir, tapi ia berlari masuk ke rumah. Harry tahu kalau Mrs. Weasley ingin menyembunyikan perasaannya. Harry melihat Ginny yang langsung memberinya berita.
"Ron dan Tonks harusnya kembali pertama, tapi mereka terlambat mencapai Portkey," katanya sambil menunjuk kaleng berkarat tak jauh dari sana. "Dan itu," ia menunjuk sepatu tua, "harusnya ayah dan Fred menjadi yang kedua.
Kau dan Hagrid yang ketiga, dan" Ginny melihat jamnya, "jika mereka berhasil, George dan Lupin akan kembali semenit lagi."
Mrs. Weasley muncul sambil membawa sebotol brandy yang langsung diserahkannya ke Hagrid. Hagrid membuka tutupnya dan langsung menghabiskannya dalam sekali minum.
"Mum!" teriak Ginny sambil menunjuk sebuah titik.
Cahaya kebiruan muncul dari kegelapan yang makin besar dan makin terang.
Lupin dan George muncul, berputar lalu terjatuh. Harry melihat sesuatu yang tidak baik. Lupin membopong George yang tidak sadarkan diri dan darah menutupi wajahnya.
Harry berlari dan membantu mengangkat kaki George. lupin dan Harry membawa George masuk ke dalam rumah melalui dapur dan meletakkannya di sofa di ruang duduk. Saat cahaya lampu menerangi George, Ginny terperangah dan perut Harry terasa terpelintir. George kehilangan satu telinganya. Kepala dan lehernya basah, dibanjiri darah segar.
Mrs. Weasley langsung berlutut di sebelah putranya saat Lupin memegang tangan Harry dan menariknya kasar, membawanya kembali ke dapur, di mana Hagrid masih terjebak di pintu.
"Oi!" kata Hagrid marah. "Lepaskan Harry! Lepaskan dia!"
Lupin tidak peduli. "Makhluk apa yang ada di pojok ruangan saat Harry Potter masuk ke dalam kantorku di Hogwarts"" tanyanya sambil menggoncang Harry. "Jawab!"
"Grind-grindylow dalam tank."
Lupin melepaskan cengkeramannya dan jatuh bersandar di lemari dapur. "Apa itu tadi"" teriak Hagrid.
"Maaf Harry, tapi aku harus memastikan," kata Lupin. "Ada pengkhianat di antara kita. Voldemort tahu kau dipindahkan malam ini dan orang yang bisa membocorkannya adalah orang yang menjemputmu. Bisa saja kaulah penipu itu."
Bayangan Berdarah 21 Dewa Arak 75 Racun Kelabang Merah Memanah Burung Rajawali 37
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama