Sapta Siaga 10 Misteri Biola Kuno Bagian 1
SAPTA SIAGA - MISTERI BIOLA KUNO
Download Ebook Jar Lainnya Di
http://mobiku.tk http://inzomnia.wapka.mobi
Bab 1 Ke Pekan Raya "PETER sedang sibuk bekerja di kebun, bersama Janet. Tiba-tiba terdengar suara orang memanggil dari balik tembok.
"Hai!" Peter dan Janet menoleh ke arah suara itu, sementara Skippy langsung menjawab dengan gonggongannya.
"Ah - kau rupanya yang datang, Jack!" kata Peter senang. "Sudahlah Skip, jangan ribut terus. Mendengar gonggonganmu, seolah-olah sudah sebulan tak bertemu dengan Jack. Ayo masuk, Jack! Apa kabar""
"Ada kabar baik," jawab. Jack. Anak itu masuk ke dalam kebun, sambil menuntun sepedanya lewat gerbang depan. "Aku tadi diberi ibuku uang satu pound. Katanya, aku boleh mengajak para anggota Sapta Siaga ke pekan raya hari, ini. Kalian tahu juga kan, di desa Hilly-Down ada pekan raya! Bagaimana - bisakah kalian ikut""
"Wah, ibumu memang baik hati," kata Peter. Wajah Janet berseri-seri. Ia ingin sekali pergi ke pekan raya itu. Tapi ia sedang rajin menabung bersama Peter. Mereka ingin membeli hadiah ulang tahun untuk ayah mereka.
""Tapi" ada satu hal yang kurang enak," kata Jack. "Aku juga harus mengajak adikku, Susi. Pada saat ini ada seorang temannya menginap di rumah kami. Namanya Binki. Anak perempuan itu konyol, sama saja seperti Susi. Tapi kata ibuku, uang yang diberikan itu sekaligus juga untuk mereka berdua."
Sudahlah - kan tidak ada salahnya kita sekali-sekali mengajak Susi," kata Peter bermurah hati. "Kita kan bukan sedang berusaha menyelidiki suatu kejadian misterius - atau sedang bertualang! Tolong katakan pada ibumu, kami berdua mengucapkan terima kasih karena diajak. Pukul berapa kita berkumpul nanti""
"Sebaiknya kita berangkat setelah minum teh," kata Jack. "Saat itu pekan raya sedang ramai-ramainya. Dan kita tinggal di sana sampai hari sudah gelap. Aku paling senang melihat lampu-lampu yang gemerlapan di pekan raya. Begini sajalah! Kita berkumpul pukul lima sore. Tempatnya di perhentian bis High Street. Dan jangan acuhkan Susi dan Binki, jika mereka mulai cekikikan lagi!"
"Pokoknya tahu beres," kata Peter. "Jadi kita nanti berkumpul pukul lima. Kawan-kawan yang lain juga ikut""
"Terang dong! Aku sudah mendatangi mereka semua," jawab Jack sambil naik ke sadel sepedanya lagi. "Sampai nanti sore, pukul lima!"
Setelah itu ia pergi, sambil mendering-deringkan bel sepedanya.
"Kita minta izin saja sekarang pada Ibu," kata Janet. "Tapi aku merasa yakin pasti akan diizinkan - apalagi karena kita sudah berjanji akan membersihkan kebun hari ini!"
Dugaan Janet tepat. Ibu memberi izin, dan bahkan mengatakan akan memberi uang pula untuk tambahan bekal. Skippy mengikuti pembicaraan sambil mengibas-ngibaskan ekor. Anjing itu memandang Peter sambil melolong pelan.
"Skippy bertanya apakah ia juga boleh ikut," kata Peter sambil tertawa. "Tentu saja boleh, Skip - asal kau mampu mengikuti kecepatan sepeda kami. Maklumlah, kau kelihatannya agak gendut sekarang."
Skippy menggonggong-gonggong dengan gembira. Anjing itu memang paling senang diajak melancong bersama Sapta Siaga.
"Rasanya belakangan ini kalian sudah jarang mengadakan rapat dalam gudang belakang," kata Ibu, "Atau mungkin Sapta Siaga sudah bubar!"
"Wah! Mana mungkin, Bu!" seru Peter dan Janet serempak. Ibu tertawa saja.
"Soalnya, liburan Paskah sudah satu minggu. Tapi selama itu kalian belum pernah minta kue dan limun untuk disajikan dalam rapat rahasia,kalian," katanya. "Padahal aku sudah membeli biskuit satu kaleng besar. Maksudku untuk disumbangkan sebagai hidangan rapat Sapta Siaga!"
""Selama ini belum ada kejadian yang perlu dirapatkan, kata Janet menjelaskan. "Tapi liburan kan masih dua minggu lagi.
Skippy menggonggong, untuk menyatakan persetujuannya. .
"Ah - kalau kau kan terus-menerus libur Skip," kata Peter. "Sama sekali tak usah bekerja! Kau tak perlu mengaku-ngaku membantu kami bekerja menggali tanah kebun pagi ini! Kau kan cuma menggali, untuk mengambil tulang yang kausembunyikan di situ."
"Pukul lima tepat, anak-anak sudah bergerombol dengan sepeda masing-masing, di perhentian bis High Street.
Yang paling dulu datang, Peter dan Janet. Seperti biasa, keduanya tiba tepat pada waktunya. Menurut Peter, pemimpin harus memberi teladan baik.
Colin tiba tak lama setelah mereka. Ia memacu sepedanya, karena khawatir datang terlambat. Setelah itu Pam muncul bersama Barbara, disusul oleh George yang datang sambil berteriak-teriak.
"Sudah enam yang datang," kata Janet.
"Sekarang tinggal Jack, Susi dan Binki. Binki - kocak sekali nama itu! Kami dulu pernah punya kelinci, namanya juga Binki. Kau masih ingat, Peter;" Binki si kelinci hidungnya lucu sekali - kecil dan selalu bergerak-gerak. Dan gigi atasnya tersembul ke depan."
Saat itu dari balik tikungan jalan muncul tiga orang anak naik sepeda.
"Itu mereka datang," kata George. "Hai, Jack!"
"Sayang kami agak terlambat," kata Jack, "tapi maklumlah si Susi! Mana dompetnya entah ke mana, lalu sepedanya yang salah taruh ..."
"Aduhhh, kau ini memang pembohong besar," tukas Susi. "Padahal kamilah yang terpaksa menunggu lama, karena kau masih harus memompa ban depanmu dulu. Nah, Binki - inilah yang namanya Serikat Sapta Siaga, yang kuceritakan itu. Jack salah satu anggotanya!" .
Binki berseri-seri menyapa anak-anak yang sudah lebih dulu tiba. Janet geli melihat anak itu, lalu menyikut abangnya.
"Tampangnya persis kelinci kita," kata Janet pelan-pelan. "Benar-benar persis!"
Peter nyaris saja tertawa. Kata Janet tepat sekali. Hidung Binki itu juga kecil, dan selalu bergerak-gerak. Giginya seperti gigi kelinci, agak tersembul ke luar. Tinggal sepasang kuping panjang berbulu saja yang masih kurang. Anak itu pengoceh, bahkan melebihi Susi.
"Aduuuh, senang sekali rasanya bisa berkenalan dengan kalian," katanya bergairah. "Susi sering bercerita tentang kalian. Dan ini si Skippy, tentunya! Wah, bagus sekali bulunya. Aku juga memelihara anjing. Tapi bukan spanil, tapi anjing terier. Wah, kalau dia sudah memburu ..."
""Jangan banyak omong!" sela Jack dengan ketus. "Dan kalau bersepeda bersama kami, jangan melencong ke sana-sini seperti itu. Belum pernah kulihat ada anak naik sepeda sekonyol itu!"
"Soalnya, aku ini selalu ..." Binki sudah mau mengoceh lagi, tapi tak ada yang memperhatikan. Anak-anak berangkat sambil mengobrol dan tertawa-tawa, diiringi Skippy yang berlari-lari di samping mereka.
Mereka bersepeda, melintasi daerah berbukit-bukit. Ketika sampai di puncak bukit yang kesekian, nampak di bawah mereka tenda-tenda yang berwarna-warni. Banyak sekali jumlahnya, meriah sekali rupanya. Tenda-tenda itu terpasang di tengah lapangan yang sangat luas. Itulah pekan raya Hilly-Down, tujuan perjalanan mereka.
"Wah, bukan main!" seru Jack gembira, sambil 'menuruni lereng bukit terakhir. "Begitu banyak tenda dan kios, dengan bendera yang berkibar-kibar! Meriah!"
"Dan korsel - terdengar musiknya sampai ke sini," sambung Janet. "Aduh, Binki! Kalau naik sepeda jangan oleng - hampir saja aku terjatuh!"
Anak-anak masuk ke lapangan pekan raya. Sepeda mereka dijejerkan dengan rapi di salah satu pojok lapangan itu. Peter lantas memanggil Skippy.' .
"Jaga sepeda, Skip!" kata Peter sambil menunjuk sepeda yang berjumlah sembilan buah. "Jaga baik-baik, ya!"
"Sebetulnya Skippy ingin ikut masuk ke pekan raya. Tapi ia bangga, karena diberi tugas menjaga sepeda. Dikibas-kibaskannya ekornya, lalu ia berbaring dekat sepeda-sepeda itu. Peter menepuk-nepuk kepala anjing itu, lalu kembali ke tempat kawan-kawannya.
"Sekarang kita masuk ke pekan raya," ajak Peter.
" Bab2 Bersenang-senang "PEKAN raya itu ternyata sangat asyik. Terutama korselnya! Anak-anak sangat menyukainya.
"Aku belum pernah naik korsel yang secepat ini putarannya," kata George menilai, setelah mereka turun lagi. "Aku tadi sampai harus berpegang kuat-kuat ke leher jerapah tungganganku. Kalau tidak, pasti terlempar ke luar! Masih cukupkah uang kita untuk naik sekali lagi""
"Aku tidak mau lagi," kata Pam, sambil berusaha berjalan lurus. "Sekarang pun rasanya seperti masih berputar-putar terus di atas singaku. Wah, maaf Colin - aku tak sengaja menabrakmu! Sulit sekali rasanya berjalan dengan benar." .
Binki sama seperti Pam k eadaannya. Anak-anak menertawakan kedua anak perempuan itu, karena mereka berjalan seperti orang mabuk. .
"Yuk, sekarang kita ke arena permainan lempar gelang," kata Jack. "Tapi Pam dan Binki tak usah ikut melempar! Keduanya masih pusing - jadi tak mungkin bisa baik lemparannya!"
Mendengar ucapan Jack itu, Pam dan Binki cepat-cepat berjalan seperti biasa lagi. Pam bahkan paling baik lemparannya kemudian. Ia berhasil melemparkan gelang dengan tepat ke sebuah kotak permen Tentu saja hadiah itu dibagi-bagikannya secara adil.
Setelah itu mereka pindah ke arena permainan lempar kelapa. Di situ Peter yang paling jago. Peter memang mahir sekali melempar. Tiga butir kelapa terguling, sebagai hasil bidikannya. Penjaga arena itu ternyata sama sekali tidak ikut senang! Ia menyerahkan hadiah pada Peter dengan sikap tidak enak.
Bagaimana caramu melempar, Peter"" tanya Jack dengan iri. "Kalau kita ke pekan raya, kau selalu menang dalam permainan lempar kelapa. Hari ini kau bahkan berhasil mengenai tigs butir!" .
"Kuanggap saja aku sedang main cricket," kata Peter menjelaskan, "dan tiang-tiang kelapa itu kujadikan tonggak sasaran! Dengan jalan begitu, lemparan menjadi sangat mudah!"
Penjelasan itu bisa diterima kawan-kawannya. Anak Inggris sangat menggemari permainan cricket. Boleh dibilang setiap hari mereka melakukannya. Jadi tidak mengherankan, jika Peter tergolong jago dalam permainan itu.
Anak-anak ingin menguji kemahiran mereka sekali lagi. Tapi George menggeleng.
"Tidak bisa! Uang kita tidak cukup lagi - biar ditambah dengan uang yang disumbangkan oleh Peter dari ibunya," kata George.
" Atau bisa juga, yaitu jika kalian tak mau mencoba permainan lain.
Tapi anak-anak masih ingin naik ayunan. Penjaga arena lempar kelapa merasa lega, ketika akhirnya kesembilan anak itu pergi dari tempatnya.
Kita taruh dulu kelapa hadiah ini di dekat sepeda, kata Peter. Tak enak rasanya harus menenteng-nenteng terus ke mana-mana. Jika ditaruh dekat sepeda, kan bisa dijaga Skippy.
Skippy gembira melihat anak-anak datang. Selama mereka pergi, ia berbaring terus dekat tumpukan sepeda. Setiap orang yang lewat diperhatikannya dengan curiga. Kalau ada yang dianggapnya berjalan terlalu dekat, ia langsung bangkit dan menggeram-geram.
Dekat Skippy, ada dua ekor anjing lagi. Keduanya kelihatan kagum terhadap kegalakannya. Skippy merasa dirinya penting.
Peter melempar kelapa hadiahnya ke tanah, di de kat tumpukan sepeda.
"Jaga, Skip!" katanya. Skippy menggonggong dengan gagah, seperti hendak mengatakan, "Baik, Pak! Siap!" Kemudian dihampirinya kelapa yang tergeletak di tanah. Setelah diendus-endusnya sebentar, ia lantas berbaring kembali. Tapi matanya terus melirik kedua ekor anjing tadi.
Anak-anak itu bersenang-senang dalam pekan raya, sampai uang bekal habis sama sekali. Sayang - karena kemudian mereka mencium bau roti jahe yang enak sekali! Kue itu dijual oleh seorang wanita gemuk pendek. Kelihatannya orang kaum kelana. Ia memanggang kue-kue itu dalam sebuah panggangan kecil. Hmm- baunya enak! Anak-anak memandang dengan kepingin.
"Mau beli"" tanya wanita itu pada Peter.
"Sebetulnya kepingin - tapi uang kami sudah habis," jawab Peter. Wanita itu tertawa, lalu menyodorkan setumpuk roti yang agak kehitam-hitaman ke arah anak-anak.
"Ini, ambillah, katanya. "Tadi agak terlalu lama dipanggang, jadinya sedikit hangus. Aku tak bisa menjualnya." .
"Wah, terima kasih!" kata Peter gembira. Tanpa disuruh dua kali; ia bersama kawan-kawannya menyerbu tumpukan roti itu.
Dekat tempat penjualan itu ada sebuah kereta bayi. Di dalamnya duduk seorang bayi yang sedang tertawa-tawa. Bayi itu agak kotor kelihatannya. Keretanya sudah usang dan juga kotor. Tapi walau begitu, bayi yang duduk di dalamnya kelihatan tetap riang. Anak-anak memperhatikan kelakuannya yang kocak, sementara mereka sibuk mengunyah-ngunyah roti jahe. Bayi itu anak wanita penjual roti.
Janet menghampirinya, dan mengajak bermain-main sebentar. Bayi itu mengulurkan tangan ke arah Janet, sambil melonjak-lonjak senang.
"Apakah ia selalu ikut dibawa ke mana-mana"" tanya Janet pada ibu
bayi itu. Ia tahu orang-orang pekan raya biasa berpindah-pindah dengan membawa seluruh keluarga. Tapi dugaannya kali ini keliru.
"Wah, tidak! Kami tinggal di lereng bukit sana," jawab wanita itu, "dalam sebuah pondok. Suamiku yang selalu ikut berkeliling dengan pekan raya sebagai tenaga pembantu. Lalu jika pekan raya kebetulan mampir di dekat-dekat sini, aku ikut berjualan roti jahe."
Saat itu lewat segerombolan pengunjung. Wanita itu lantas mulai berseru-seru, menawarkan rotinya.
"Roti jahe enak panas - baru saja selesai dipanggang. Siapa mau beli roti jahe" Roti enak panas!" .
"Yuk, sudah waktunya kita pulang," kata Peter sambil memandang arlojinya. "Kita berkeliling pekan raya sekali lagi, karena lampu-lampu sudah mulai dinyalakan!"
"Aku lebih senang jika sudah benar-benar gelap dan lampu sorot yang besar-besar sudah menyala," kata Janet. "Sayang kita sudah harus pulang sekarang."
"Aku masih ingin tinggal agak lama di sini bersama Binki," kata Susi. "Binki, kau kan juga paling suka di pekan raya, jika hari sudah malam""
"Q ya!" kata Binki cepat, sementara cuping hidungnya bergerak-gerak. "Pada saat begitu, suasananya - yah, bagaimana ya" - anu, syahdu! Kalau sudah begitu, lantas timbul keinginanku mengarang sajak. Yuk, kita tinggal dulu di sini, Susi! Yang lain, kalau mau pulang, biar pulang saja lebih dulu. Mungkin aku nanti bisa mengarang sajak mengenai pekan raya ini."."
"Binki pintar mengarang sajak," kata Susi bangga. "Di sekolah, ia pernah memenangkan hadiah untuk itu. Kalian harus mendengar Binki membacakan sajaknya."
Anak-anak sama sekali tak ingin mendengar Binki membaca sajak. Mereka menatapnya dengan kaget, karena dari gelagatnya kelihatan jelas bahwa Sinki sudah siap berdeklamasi.
"Aku tadi bilang, sudah waktunya kita pulang," kata Peter dengan tegas. "Dan kalian berdua harus ikut pulang, Susi. Kalian tidak bisa tinggal berdua saja di sini."
"Siapa bilang tidak bisa!" sambut Susi ketus. "Kami bukan anggota Sapta Siaga kalian yang konyol itu. Aku tak perlu mematuhi perintahmu, Peter!"
"Tapi kataku wajib kaudengar," sela Jack ketus. "Kau tahu apa kata Ibu tadi - kau harus pulang bersamaku. Dan kita pulang sekarang'"
Susi tidak menjawab lagi. Tapi tampangnya cemberut.
"Dia pasti mendendam sekarang," kata Jack pada Peter. "Untung kita tidak merencanakan rapat dalam waktu dekat. Sebab Susi dan Binki pasti akan berusaha mengacau! Ayo, Susi kita pulang!"
Anak-anak pergi ke tempat penyimpanan sepeda, yang dijaga dengan setia oleh Skippy. Anjing itu gembira melihat mereka datang. "Tanpa menunggu lama-lama lagi, anak-anak lantas berangkat pulang.
Tapi sewaktu mereka sedang mendaki lereng bukit yang paling dekat letaknya dengan lapangan pekan raya, tiba-tiba George kaget. la melihat sinar terang di lereng bukit, tidak jauh dari jalan.
"Apa itu"" serunya. Ia berhenti, menunggu kawan-kawannya menyusul. "lihatlah! Ada nyala api - dan asap berkepul! Ada rumah terbakar!"
"Astaga! Betul - yuk, kita ke sana! Barangkali saja bisa membantu!" kata Peter. Saat itu ia melihat bilik telepon umum, di seberang jalan. "George",' itu ada telepon! Sebaiknya aku menelepon kantor pemadam kebakaran, sementara kau bersama yang lain-lainnya menuju ke tempat itu untuk melihat apa yang terjadi. Cepatlah sedikit!" .
Peter bergegas-gegas masuk ke bilik telepon umum. Sementara itu kawan-kawannya membuka pintu pagar lapangan, lalu bersepeda secepat-cepatnya melintasi jalan sempit yang menuju ke tempat api menyala. Ternyata memang ada sebuah rumah terbakar. Api berkobar-kobar. Kelihatannya tak banyak yang masih bisa diselamatkan!
Peter sibuk dalam bilik- telepon umum. Ia minta disambungkan dengan kantor pemadam kebakaran, lalu cepat-cepat menyampaikan laporan.
"Halo! Di situ barisan pemadam kebakaran" Ada kebakaran di lereng bukit Hilly-Down, dekat tempat pekan-raya. Kelihatannya kebakaran besar. Ya - kami akan menunggu di sini, ,sampai Anda datang!'"
" Bab 3 Kebakaran di Hilly-Down
SEHABIS menelepon, Peter bergegas menyusul kawan-kawannya. Sesampai di tempat kebakaran, ia cuma bisa seperti yang lain-lainnya. Semua cum
a bisa menatap dengan ngeri. Nyala api besarseka1i! Mangsanya sudah hampir habis terbakar.
"Apa yang terbakar" Rumah"'"'tanya Peter. Ia menudungi matanya terhadap kesilauan nyala api. "Mudah-mudahan tidak ada orang di dalam!"
"Kami tadi cuma melihat seekor kucing yang kuning kemerah-merahan bulunya," kata George. Tampangnya serius. "Binatang itu lari di depan kami, ketika kami tiba di sini. Rumah yang terbakar ini rupanya cuma sebuah pondok, Peter., Kau tadi berhasil menghubungi barisan pemadam kebakaran""
"Ya - sebentar lagi mereka akan datang. Tapi pasti sudah terlambat," kata Peter. "Jangan menangis, Janet. Kurasa tak ada orang di dalamnya."
"Bukan main!" kata Colin. "Rumah ini pasti sudah tua dan bobrok, sehingga begitu gampang terbakar. Dengarlah, bunyinya menggeretak di makan api yang menderu-deru. Hati-hati, Barbara! Jangan terlalu mendekat. nanti kena bara beterbangan,"
Peter mengajak Jack mengelilingi rumah yang sedang terbakar itu. Mereka berjalan dengan cemas. Melihat-lihat barangkali masih ada yang bisa dilakukan. Tapi yang kelihatan cuma nyala api, yang sementara itu sudah agak mengecil. Di sana sini berjatuhan balok-balok yang hangus berasap. Pantas kucing tadi lari ketakutan! .
Kemudian terdengar bunyi lonceng berdentang-dentang, makin lama makin mendekat. Colin berseru dengan bersemangat,
"Mobil pemadam kebakaran datang! Wah, cepat sekali mereka datang! Dan dengan segera bisa melihat di mana ada kebakaran, karena api masih menyala besar!" .
"Tadi pintu pagar kan dibiarkan terbuka"" tanya George.
"Ya -" jawab Peter sambil mengangguk. "Nah, lihatlah - mobil pemadam api sekarang masih ke lapangan ini. Wah, pasti asyik menyetir mobil seperti itu!"
Mobil pemadam kebakaran menyusur jalan tanah, yang sempit dengan berhati-hati
"Ada yang tahu apakah di sini ada sumur"" seru seorang petugas sambil meloncat turun lalu mulai membuka gulungan pipa air yang panjang.
"Di sebelah sana ada parit!" jawab Jack sambil menuding. Dengan segera beberapa petugas ke tempat yang ditunjuk. Tak sampai semenit kemudian, air sudah disemburkan ke arah api. Terdengar bunyi mendesis-desis.
"Bunyinya seperti ada daging digoreng " dalam kuali raksasa," kata Janet kagum.
Katanya tepat - karena kedengarannya memang persis seperti ada sejuta potong dendeng yang sedang digoreng dalam minyak mendidih!
"Kalian melihat ada orang di dalam"" tanya seorang petugas pemadam kebakaran, ketika api sudah tidak berkobar lagi kena semburan air.
"Tidak - kami tidak melihat siapa-siapa tadi," jawab Peter. "Tapi ketika kami tiba, api sudah berkobar di mana-mana! Kalau di dalam ada orang, tak mungkin bisa diselamatkan, lagi. Tapi kan bisa lari, sewaktu tahu rumah terbakar""
"Bisa saja ada anak-anak yang sedang tidur di dalam," kata petugas itu. "Ini rumah siapa""
Tentu saja anak-anak tidak tahu. Tapi tiba-tiba Peter melihat ada orang datang bergegas-gegas. Orang itu mendorong sesuatu, yang terlambung-lambung melewati jalan tanah yang tidak rata.
"Itu kan wanita baik hati tadi - yang berjualan roti jahe di pekan raya!" seru Janet. "Aduh, katanya tadi ia tinggal dalam sebuah pondok di bukit. Mestinya ini rumahnya! Kasihan!"
Ternyata yang datang itu memang wanita yang tadi, Ia bergegas-gegas dengan napas terengah-engah. Matanya menatap ngeri. Kereta yang didorongnya terlambung-lambung, sehingga nyaris saja bayi yang ada di dalamnya terlempar ke luar.
"Benny!" seru wanita itu bingung. "Mana Benny" Ia kutinggal sendiri di sini."
"Kami tidak melihat siapa-siapa di sini, Bu," kata kepala barisan pemadam kebakaran. Anak-anak merinding, karena seram. Tidak! Tak bisa ada siapa-siapa dalam pondok yang sudah terbakar habis itu!
"Benny!" seru wanita itu berulang-ulang. "Di mana kau, Benny-ku manis"" Wanita itu semakin panik. Dengan tiba-tiba terdengar suara menjawab panggilan itu. Suara seorang anak yang gemetar ketakutan, datang dari salah satu tempat di lereng.
"Ibu! Ibu! Ibu!" ......"
"Aduh, syukurlah - dia selamat," kata wanita penjual roti dengan air mata berlinang-linang membasahi pipi. "Aku akan mencarinya sendiri, Pak. Benny takkan mau ke
luar, selama di sini masih banyak orang menonton. Ia pasti bersembunyi dalam semak di sekitar sini. Benny-ku yang malang!"
Ia lantas mengeluarkan bayi dari kereta. Sambil menggendong bayi itu, ia bergegas menuju sekelompok semak yang terdapat agak di bawah pondok yang masih berasap.
""Benny!" serunya sambil berlari-lari. "Benny! Ibu sudah datang - kau tak perlu takut lagi, anakku!"
Tiba-tiba sudah banyak orang berkerumun, menatap api yang sudah hampir padam. Orang-orang yang pulang dari pekan raya, melihat ada api di tengah lapangan, lalu datang beramai-ramai lewat pintu pagar yang terbuka. Anak-anak mengharapkan, semoga di antara orang-orang yang berdatangan itu ada pula suami wanita itu. Dengan begitu akan ada yang menghiburnya. .
"Bagaimana mereka malam ini"" kata Janet bertanya-tanya. '"Di mana mereka harus tidur""
"Ah, pasti akan ada orang menyediakan tempat untuk malam ini," kata salah seorang petugas pemadam kebakaran, sambil sibuk menggulung pipa air yang sudah tak diperlukan lagi. "Untung saja tak ada yang mengalami cedera: Kalian pulang saja sekarang. Terima kasih atas laporan tadi!"
"Sayang uang kita sudah habis," kata Jack menyesal. Menurut pendapatnya, jika uang yang diberi ibunya tadi masih ada, pasti akan besar sekali gunanya bagi wanita penjual roti yang malang itu.
Sementara itu datang pula dua petugas polisi. Sementara yang satu mulai mencatat berbagai keterangan, rekannya meminta pada orang-orang yang berkerumun agar bubar.
""Api sudah padam, kita tidak bisa berbuat apa-apa lagi," kata polisi itu. "Jadi harap bubar. Pak, silakan pergi - dan Ibu juga." Polisi itu sampai di dekat anak-anak yang masih berkerumun dengan tampang sedih.
"Kaliankah yang melaporkan kebakaran ke kantor pemadam api"" katanya ramah. "Kalian berjasa besar! Tapi sekarang harap pulang. Kalian tak bisa berbuat apa-apa lagi di sini."
"Apakah yang akan terjadi sekarang dengan wanita itu serta anak-anaknya"" tanya Peter gelisah. "Maksudku - pasti barang-barangnya habis semua dimakan api."
"Kami akan mengurus mereka," jawab polisi tenang. "Dia takkan apa-apa. Tempat tinggal mereka yang terbakar ini cuma pondok tua, bukan rumah! Harta milik mereka juga tidak banyak. Kalian pulang saja sekarang - biar kami yang mengurus nasib mereka sebisa-bisa kami."
Mobil pemadam kebakaran pergi lagi, dengan lonceng berdentang-dentang untuk membuka jalan di antara orang-orang yang masih tetap berkerumun. Anak-anak mengambil sepeda mereka, lalu menuju ke pintu pagar. Skippy membuntut dari belakang. Anjing itu agak bingung. Akan pulangkah mereka sekarang"
Anak-anak menaiki sepeda masing-masing, lalu mendayungnya sambil membisu. Bahkan Susi pun, sekali itu tidak tahu apa yang harus dikatakan. Binki yang paling dulu memecah kesunyian. Dan kalau Binki sudah mulai bicara, kata-kata langsung mengalir dari mulutnya seperti banjir.
"Aku belum pernah melihat kebakaran, aku belum pernah melihat mobil pemadam kebakaran dari dekat sekali! Aduh, benar-benar mengasyikkan tadi! Aku belum pernah ..."
"Diam!" bentak Peter. "Kau ini bersikap, seakan-akan kejadian tadi suatu tontonan menarik. Ingat dong wanita yang malang itu!"
"Betul! Aku juga teringat terus padanya," kata George. "He, Peter - kurasa kita perlu mengadakan rapat Sapta Siaga, untuk merembukkan salah satu rencana menolong wanita itu. Bagaimana kalau besok pagi, pukul sepuluh""
"Ide bagus!" seru Peter senang. "Aku tadi juga berniat seperti itu. Sapta Siaga ini untuk kalian - harap berkumpul dalam gudang kami di belakang rumah, besok pukul sepuluh pagi!"
"Aku dan Susi juga"" tanya Binki bersemangat.
"Tidak," kata Peter. "Ini hanya berlaku untuk para anggota Sapta Siaga! Susi - kaudengar kataku itu" Ini hanya untuk Sapta Siaga!"
" Bab 4 Rapat Sapta Siaga "KEESOKAN paginya, pukul sepuluh kurang lima menit Peter dan Janet sudah menunggu di dalam gudang. Di pintunya tertera dua huruf: S.S. Di dalam, segala-galanya sudah dipersiapkan. Kotak-kotak untuk tempat duduk, kue-kue dalam piring serta limun. Rapat sudah bisa dimulai!
"Mudah-mudahan semua masih ingat pada kata semboyan kita," kata Pet
er sambil menunggu. "Dan tidak lupa memakai lencana! Memang sudah agak lama kita tidak berapat."
"Guk!" Tiba-tiba Skippy menggonggong, sambil mengibas-ngibaskan ekor. Janet tertawa gelak.
"Nah, Skippy saja ternyata masih ingat! Ya, memang itulah kata semboyan kita."
Saat itu terdengar langkah orang datang. Skippy menggonggong pelan, sebagai ucapan selamat datang. Ia tahu, yang datang itu George. Saat berikutnya, pintu diketuk dari luar, diikuti suara pelan yang mengatakan,
"Guk!" "Masuk!" seru Peter dari dalam. George muncul sambil nyengir. Di jasnya terpampang lencana anggota S.S. Sapta Siaga!
"Hampir saja aku melupakan kata semboyan kita!" katanya. "Tapi untung kucatat dalam buku harianku. Nah - itu ada lagi yang datang!"
Terdengar bunyi pintu diketuk. Dengan segera Peter berseru,"Kata semboyan!"
"Peter, kami kurang ingat, mana yang benar - Guk atau Gak," kata anak yang di luar agak cemas. Itu suara Pam. Dan Pam selalu datang bersama Barbara.
"Guk," Skippy menggonggong.
"Skippy!" kata Janet kaget. "Kau tidak boleh membuka rahasia." Di luar, Pam dan Barbara terkikik tertawa.
"Terima kasih, Skip. Peter, Guk!"
"Masuk," kata Peter. "Tapi nyaris saja kalian kularang. Nah, siapa lagi yang datang sekarang!"
"Jack dan Colin," kata Pam yang masih sempat menoleh, sebelum pintu ditutup cepat-cepat oleh Peter. "Aduh, enak rasanya bisa berkumpul lagi di sini." .
Tok tok tok! "Kata semboyan!" kata Peter. "Tapi jangan teriak keras-keras, nanti ketahuan orang lain."
"Wah, Peter - kami lupa," kata Colin dengan suara sangat menyesal. "Maklumlah - kita sudah lama tidak berapat, dan ..."
"Kalau begitu, kalian tidak boleh masuk!" kata Peter berkeras.
"Jangan begitu dong, Peter!" kata Jack marah. "Kau kan tahu sendiri, aku tidak bisa mencatatnya - karena nanti bisa ditemukan Susi! Tapi mengingatnya di luar kepala sulit sekali, karena semboyan kita berganti-ganti terus! Aku cuma ingat, kata itu ada hubungannya dengan anjing. Atau - nanti dulu! - Barangkali buntut!" Skippy menggonggong-gonggong, seperti hendak memberitahukan. Pam tertawa gelak-gelak, karena geli. Saat itu terdengar seseorang berseru dari balik semak dalam kebun.
"Jack! Semboyan kalian 'Guk'!". Setelah itu terdengar dua orang tertawa keras-keras.
"Susi! Binki! Kan sudah kukatakan tadi, kalian tidak boleh membuntuti aku!" ujar Jack marah. "Dan dari mana kau mengetahui kata semboyan kami!"
"Ah, sudahlah! Masuk sajalah," kata Peter, sambil membukakan pintu. Jack dan Colin masuk sambil, marah-marah terus. Peter menghampiri semak, lalu memarahi kedua anak perempuan yang masih cekikikan terus di situ.
"Pengacau!" tukas Peter. "Kalau mau cekikikan, jangan di sini. Jika dalam waktu dua menit kalian belum pergi juga, akan kuambil setang penyemprot dan kusembur semak-semak ini sampai basah kuyup. Aku tidak main-main!"
Terdengar bunyi berkeresek di balik semak. Kedua anak perempuan itu cepat-cepat lari dari situ, sambil tertawa-tawa. Susi tahu, Peter tidak cuma hendak menggertak saja. "Dan Susi tidak kepingin basah kuyup disiram air! Setelah mereka pergi, Peter kembali ke gudang dan menutup pintu keras-keras. "
Ia tidak menyinggung-nyinggung soal kata semboyan lagi. Anak-anak yang tadi lupa, merasa lega karenanya.
"Mengenai perkara kebakaran itu," kata Peter, sambil duduk di atas kotak tempatnya semula, "aku sudah ..."
Peter berhenti berbicara, karena terganggu oleh Skippy. Anjing itu tiba-tiba saja menggonggong ribut, lalu lari ke pintu dan menggaruk-garuk daun pintu "ambil menggonggong terus.
"Skippy!" bentak Peter jengkel. "Kenapa kau ribut-ribut" Jika kedua anak perempuan itu datang lagi, kau harus mengusir mereka. Mengerti""
Peter membukakan pintu. Seketika itu juga Skippy lari ke luar. Para anggota Sapta Siaga memandang ke luar. Mereka ingin melihat, benarkah Susi dan Binki datang lagi". Kalau benar, pasti Skippy akan mengusir mereka. Tapi ternyata yang datang bukan kedua anak itu. Skippy melonjak-lonjak dengan gembira, mengelilingi seorang laki-laki setengah umur.
"Ah, rupanya gembala kami yang datang," kata Peter, lalu menyapa orang yang berdiri di
jalan kebun. "Hai, Matt! Anda ingin bertemu dengan Ayah" Sayang, ia sedang ke pasar."
"Wah - itulah yang kukhawatirkan tadi," kata Matt. Ia membuka pecinya, lalu menggaruk-garuk kepalanya yang sudah beruban.
"Bisakah kau menyampaikan pesanku padanya, Peter""
"Tentu saja bisa," jawab Peter. "Pesan apa""
"Yah - soalnya begini - kau tentunya juga tahu, tadi malam di Hilly-Down ada kebakaran," kata Matt. "Yang terbakar pondok Luke Bolan beserta anak istrinya. Kini mereka tidak punya tempat tinggal ..."
"Ya, kami semua melihat kebakaran itu," kata Peter. "Dan aku yang menelepon kantor pemadam kebakaran."
"0 ya" Kau anak pintar, Peter," kata Matt memuji. "Nah, sekarang aku punya gagasan, yang ingin kusampaikan pada Majikan. Tapi katamu tadi, ia sedang ke pasar""
"Betul, dan setelah waktu makan siang nanti baru pulang," kata Peter. "Apa gagasan Anda, Matt""
"Begini - dekat pondokku ada sebuah caravan tua," kata Matt memulai penjelasannya. "Dulu aku tinggal di situ, sebelum ayahmu membangunkan pondok untukku. Sekarang caravan itu cuma kupergunakan sebagai tempat menyimpan barang. Barangnya memang sudah tua dan banyak bagiannya yang rusak. Tapi untuk .sementara, bisa dipakai menampung Luke Bolan beserta anak istrinya. Itu jika diizinkan Majikan! Saat ini mereka sama sekali tak tahu harus ke mana."
"Ah, kurasa Ayah pasti akan mengizinkan mereka memakainya," kata Peter. Janet mengangguk, tanda sependapat. "Begini sajalah! Sebaiknya kita tanyakan pada Ibu. Ia pasti tahu, apakah Ayah akan mengizinkan atau tidak."
Keduanya lantas menuju ke rumah, diikuti oleh seluruh anggota Sapta Siaga. Saat itu Ibu sedang menyiangi kebun selada yang terdapat di belakang rumah. Ibu kaget melihat anak-anak datang berbondong-bondong. Apalagi melihat Matt, gembala biri-biri ikut bersama mereka.
"Loh, Matt! Ada apa"" tanya Ibu.
Matt lantas mengulangi penjelasannya. Ibu mendengarkan dengari penuh minat.
"Tentu saja keluarga Bolan boleh memakai caravan itu, sampai mereka sudah berhasil mendapat tempat tinggal lain," kata Ibu, setelah Matt selesai menjelaskan. "Pasti ayah kalian akan berkata begitu, Peter dan Janet. Malang sekali nasib mereka semua milik yang ada terbakar habis. Dengan sendirinya kita harus berbuat sesuatu untuk ikut menolong. Kaudatangi saja keluarga Bolan, Matt! Bilang pada mereka, caravan itu boleh langsung mereka tempati sekarang juga. Untuk sementara, barang-barangmu kan bisa kausimpan dalam pondokmu, Matt""
"Tentu saja, Bu," jawab gembala tua itu. "Saya juga bisa meminjamkan selimut tebal, serta sebuah meja yang sudah tua."
"Kami juga akan mengusahakan bantuan," kata Ibu, lalu bertanya- pada Sapta Siaga, "bolehkah sekali ini aku ikut rapat" Soalnya, menurut pendapatku kita semua bisa ikut membantu. Dalam rapat, aku akan bisa membantu kalian menyusun rencana baik. Urusan ini harus kita lakukan bersama-sama."
"Setuju, Bu!" seru Peter gembira. "Yuk, sekarang saja kita berapat! Tentu saja kami senang jika Ibu hadir."
" Bab 5 Menyusun Rencana "PARA anggota Sapta Siaga memasuki gudang, di belakang ibu Peter dan Janet. Setelah masuk semua, dengan segera Peter menutup pintu kembali.
"Untung kau tak menanyakan kata semboyan kalian, Peter," kata Ibu sambil tersenyum. "Wah, bangga juga rasanya menghadiri rapat kalian. Kalian baik hati, mau mengizinkan aku hadir."
"Kami senang sekali, Bu," kata Janet. Seluruh anggota mengangguk, tanda setuju. Semuanya suka pada ibu Peter dan Janet yang pemurah itu.
Kemudian mereka mulai berbicara tentang kebakaran, serta keluarga Bolan yang kini tidak punya tempat tinggal lagi.
"Pak Luke Bolan, kerjanya selalu ikut ke mana-mana dengan pekan raya," kata Peter menjelaskan. "Sedang Bu Bolan, kalau ada pekan raya di, dekat-dekat sini, biasanya ikut berjualan roti jahe buatannya sendiri di situ. Kemarin kami mampir di tempatnya berjualan. Kami sebetulnya ingin membeli roti jahe yang masih hangat. Tapi sayang, kehabisan uang lalu Bu Bolan memberi kami beberapa potong! "
""Baik hati sekali wanita itu," kata Ibu.
"Ya, dan ia punya anak yang masih bayi," kata Pam. "Kelihatannya agak kotor, tapi s
angat manis. Tertawa-tawa terus!"
"Lalu ada pula anaknya yang laki-laki," sambung Janet. "Namanya Benny. Tapi kami belum melihatnya, Bu, Ketika pondok mereka terbakar, ia ada di dalam. Tapi sempat lari ke luar, lalu bersembunyi dalam semak. Kasihan Bu Bolan! la sudah cemas saja, jangan-jangan Benny terjebak dalam pondok yang terbakar habis."
"Ya, kau sudah menceritakannya kemarin malam," kata Ibu. - "Nah, sekarang kita memikirkan rencana bantuan kita. Kusarankan agar kalian pulang ke rumah dulu. Ceritakan pada ibu kalian kejadian itu - lalu katakan bahwa kami akan meminjamkan caravan tua kami pada keluarga Bolan. Tapi karena semua milik mereka habis terbakar, kami ingin mengusahakan pengumpulan barang-barang keperluan sehari-hari bagi mereka
"Maksud Anda ceret, panci dan barang-barang semacam itu"" tanya Pam.
"Ya - dan barangkali juga kasur untuk tidur," sambung ibu Peter. "Kalau tempat tidur tentu saja tidak bisa, karena caravan itu sempit sekati ruangannya. Sedang kursi lipat kurasa besar gunanya - dan barangkali kasur kecil untuk kedua anak mereka. Mereka tentunya juga memerlukan bahan makanan."
""Aku senang, akhirnya ada lagi tugas bagi Sapta Siaga," kata Peter. '''Dengan begini kami sekarang lebih mirip perkumpulan sejati. Ibu sendiri hendak menyumbangkan apa"" ,
"Di atas loteng masih ada sebuah kasur tua," kata ibunya. "Dan bisa pula kuberikan sebuah, panci, lalu selembar selimut tua " dan ...
"Wah, jika ibu-ibu kita semua bisa menyumbangkan barang sesuatu, kurasa akan nyaman juga hidup dalam caravan itu," kata Janet. Ia bersemangat, menghadapi tugas itu. "Kusarankan, sehabis rapat kita pulang semua ke rumah masing-masing, dan memeriksa apa saja yang bisa kita sumbang kan. Setelah itu kita kembali untuk berapat lagi di sini. Sebaiknya langsung saja sehabis makan siang ..."
"Dan kita menyusun daftar barang-barang yang mungkin diperlukan Bu Bolan!" kata Peter. "Ibu pasti bisa membantu kami dengannya - ya Bu""
"Tentu saja bisa!" jawab Ibu sambil tersenyum. "Lalu jika sudah diputuskan apa-apa saja yang diperlukan, semuanya lantas kita angkut ke sana dengan truk kami. Sebaiknya kita bawa pula alat-alat pembersih, karena kurasa caravan tua itu perlu dibersihkan dulu!"
"Wah, asyik!" seru Barbara gembira. "Kalau disuruh menggosok lantai, aku paling jago. Mudah-mudahan saja Bu Bolan belum ada di sana. Aku ingin melihat mukanya jika ia kemudian datang, dan melihat caravan tua itu sudah bersih dan lengkap perabotnya - sehingga tinggal didiami saja!"
"Yaaa - kita bereskan tempat itu dulu, sampai seberes-beresnya," kata Pam. "Bagaimana jika kita pulang sekarang""
"Setuju!" kata Peter. "Lebih cepat, lebih baik! Jangan lupa sampaikan kata-kata ibuku tadi pada ibu kalian. Pasti mereka nanti akan sibuk mencari barang-barang yang masih bisa dipakai."
Seluruh anggota Sapta Siaga bangkit dari tempat duduk masing-masing. Semuanya bersemangat, ingin ikut membantu. Skippy mengibas-ngibaskan ekor, sambil melompat-1ompat di depan Peter.
"Kau juga ingin membantu, Skip"" kata Peter. "Baiklah, kau boleh ikut dengan kami. Ingat, Sapta Siaga - kita berkumpul lagi di sini sesudah makan siang! Begitulah, sedapat mungkin sekitar pukul setengah tiga! Dan jangan lupa semboyan kita!"
"GUK!" seru anak-anak serempak. Bahkan Skippy pun ikut-ikut menggonggong dengan gembira.
"Bu - terima kasih, karena mau hadir dalam rapat kami, kata Janet, sambil memeluk ibunya. "Kami akan menyiapkan daftar barang kami sore ini juga. Nanti Ibu yang mengatakan, barang-barang mana saja sebaiknya yang perlu dibawa ke caravan.. Matt pasti akan .tercengang melihat kami nanti!"
""Pasti," kata ibunya. "Matt memang orang yang baik hati!"
Anak-anak bergegas pulang. Semua ingin cepat-cepat menceritakan hasil rapat pada ibu mereka. Peter dan Janet naik ke atas loteng, untuk mencari kasur yang disebut ibu mereka tadi. Ternyata barang itu masih ada di situ, tergulung dalam kertas pembungkus berwarna coklat, dan diikat dengan tali. Mereka menyeret bungkusan besar itu ke lubang tingkap, lalu meluncurkannya ke bawah lewat tangga. Bungkusan kasur itu terbanting ke
lantai tingkat bawah. Bunyinya keras sekali, sehingga Skippy lari pontang-panting ketakutan ke tingkat dasar.
Sementara itu Ibu membongkar lemari tempat menyimpan seprai dan selimut. Ia menemukan dua lembar seprai tua, serta selembar selimut yang hangat. Setelah itu ia ke dapur. Diambilnya sebuah panci, sebuah teko teh dan sebuah kendi. Di samping itu dikeluarkannya pula sebuah tungku minyak yang sudah tua, tapi masih bisa dipakai untuk menghangatkan ruangan dalam caravan.
Barang-barang itu semuanya dibawa oleh Peter dan Janet ke serambi. Semuanya ditaruh dulu di situ, menunggu jemputan truk pertanian yang akan mampir sore harinya. Ibu yang mengurus soal jemputan itu.
Beberapa menit sebelum pukul setengah tiga, para anggota Sapta Siaga sudah berkumpul lagi dalam gudang. Masing-masing membaca selembar kertas daftar barang, atau catatan dalam buku notes. Tak ada yang lupa menyebutkan kata semboyan sekali itu. Skippy kocak sekali - setiap kali ada anak datang, ia sudah menggonggong terlebih dulu, sebelum anak-- anak sempat menyebutkan kata semboyan, Peter mengumpulkan kertas-kertas catatan, lalu memperhatikan isinya.
"Wah - ibu-ibu kalian benar-benar pemurah!" katanya senang. "Semua menawarkan selimut - dan ibu kami juga! Yuk, kita tunjukkan daftar-daftar ini padanya, supaya ia bisa memilih mana saja yang sebaiknya kita antarkan ke caravan; Isi daftar ini semuanya, bisa dipakai untuk memperlengkapi satu lusin caravan!"
Anak-anak lantas mengantarkan daftar barang-barang itu ke ibu Peter dan Janet, Ibu mengecek isinya, dan mencoret barang-barang yang berlebihan. ..
"Bagus!" kata Ibu. "Dan kalian sudah menyiapkan semuanya untuk diangkut nanti""
"0 ya," seru anak-anak serempak.
"Baiklah! Nah, itu truknya sudah datang," kata ibu, ketika terdengar deru mesin mobil di luar. "Kita masukkan saja barang-barang yang di sini ke dalam truk, dan setelah itu kita jemput barang-barang lain yang masih diperlukan dari rumah kalian. Yuk!"
Asyik rasanya berkeliling-keliling naik truk, sambil mengumpulkan barang-barang yang akan disumbangkan pada keluarga Bolan. Ibu anak-anak semuanya bersikap ramah. Mereka menyatakan kesenangan mereka melihat para anggota Sapta Siaga melakukan pekerjaan yang berguna.
"Dan sekarang kita pergi ke caravan," kata ibu Peter kemudian. "Di sana kita bekerja!"
Bab 6 Kerja Bakti ""JACK - ketika kau tadi menanyakan pada ibumu barang-barang apa saja yang tidak diperlukan lagi, apakah Susi dan Binki tidak lantas ingin tahu"" tanya Janet.
"Tentu saja! Mereka marah sekali, ketika kukatakan itu urusan Sapta Siaga," jawab Jack. "Kukatakan pada Susi, tak ada yang melarangnya menabung dan membeli sendiri barang sesuatu. Tapi ia selalu ingin mencampuri urusan Sapta Siaga!"
"Menurut pendapatku, tidak ada salahnya jika ia sekali-sekali diperbolehkan," sela ibu Peter.
"Ibu tidak mengerti sih," sambut Peter dengan segera. "Susi, kalau diizinkan satu kali ikut, pasti tidak mau pergi lagi. Lagipula kami tidak memerlukan delapan anggota. Kami kan Sapta Siaga! Sedang Sapta, artinya tujuh - bukan delapan!"
Sementara itu truk berhenti di depan pintu pagar . sebuah lapangan. Peter meloncat turun, untuk membukanya. Sebuah jalan berumput menuju ke bukit, di mana Matt menggembalakan biri-biri. Di atas bukit itu pula terdapat pondoknya.
Truk itu berjalan terayun-ayun di atas jalan yang tidak rata. Ceret dan panci-panci berkelontongan terantuk-antuk. Anak-anak tidak merasakan buruknya jalan, karena mereka duduk di atas dua buah kasur serta selimut yang bertumpuk-tumpuk. Mereka malah merasa senang, karena seperti dibuai dalam ayunan.
Akhirnya truk berhenti dengan mendadak. Sopirnya menoleh ke belakang, lalu berseru, Saya sudah berusaha sedekat mungkin ke caravan, Bu. Dan itu Matt datang!"
Sapta Siaga 10 Misteri Biola Kuno di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Penggembala tua itu membuka pintu truk yang tertutup. Ia tersenyum lebar ketika melihat begitu banyak orang ada di dalam.
"Wah, Ibu juga datang rupanya," kata Matt. "Ibu baik hati benar! Dan bukan main banyaknya barang-barang ini. Pasti caravan tua itu akan semarak nantinya. Saya sudah berusaha membersihkan, tapi masih tetap kotor. "
"Ka mi akan membersihkannya sampai berkilat!" kata Janet, sambil meloncat turun dari dalam truk. "Yuk, Bu!"
Sibuk sekali mereka bekerja siang itu! Mencuci, mengepel dan menyapu. Peter membetulkan dua buah rak, untuk dijadikan tempat menaruh perabot masak. George memasukkan kasur-kasur yang tergulung rapi ke dalam caravan.
"Biar Bu Bolan saja yang membuka ikatannya nanti malam," katanya. "Toh tidak sulit!"
Dua jam kemudian, Matt muncul lagi. Ia baru saja selesai mengumpulkan biri-biri, dibantu anjing gembalanya. Skippy berlari-lari menghampiri. Maksudnya hendak mengajak main. Tapi anjing gembala itu malah merebahkan diri, lalu memejamkan mata.
"Ia tidak mau diganggu Skip!" kata Peter sambil tertawa, melihat Skippy bersikap heran. "Sudahlah, biarkan dia tidur! Dia tadi pasti banyak sekali berlari, menggiring biri-biri - dan sekarang sudah capek. Matt, Anda sudah memberi kabar pada keluarga Bolan tentang caravan ini""
"Sudah," jawab Matt. "Mereka sangat gembira! Bu Bolan bahkan pada mulanya tidak mau percaya. Tapi aku tak bercerita bahwa kalian membenahinya. Biar saja mereka tercengang nanti! Sebentar lagi Bu Bolan akan ke sini."
"Yah - kami pun sudah hampir selesai," kata Peter. "Lihat saja sebentar, Matt."
Sesampai di dalam, Matt melongo. Laki-laki tua itu kagum melihat caravan itu sudah begitu bersih dan nyaman.
"Astaga -bukan main!" katanya. "Padahal Majikan sudah berniat hendak membongkar caravan ini menjelang musim dingin nanti, dijadikan kayu bakar!"
"Itu Bu Bolan datang - mendorong kereta bayi!" kata Janet. "Anak laki-lakinya juga ikut." Saat itu ia melihat bahwa dalam kereta bayi ada beberapa bungkusan, serta dua batang roti. "Aduh, kasihan - rupanya makanan mereka juga ikut terbakar. Kita sama sekali tak teringat untuk membawakan bekal! "
"Tidak, kita tidak lupa," bantah George. "Ibuku menyumbangkan beberapa kaleng makanan, dan sudah kutaruh di atas rak yang tadi dibetulkan oleh Peter. Kurasa, kalau susu untuk bayi mereka, pasti sudah dibawa sendiri oleh Bu Bolan."
"Kita bisa meminta pada penggembala, agar setiap pagi mengantarkan susu ke sini," kata Peter. "Bisa kan, Bu""
Bu Bolan menghampiri mereka. Ia kelihatannya agak heran dan takut-takut, melihat begitu banyak orang berada di luar caravan. Bu Bolan tersenyum malu. Matt datang mendekati dengan langkah lambat, lalu mengajak wanita itu bercakap-cakap dengan ramah.
"Mari, Bu Bolan, Anda tak perlu takut-takut," kata Matt dengan lembut, "mereka semuanya teman. Kata Majikan, Anda boleh memakai caravan ini. Mereka bahkan telah membenahinya. Lihat saja sendiri ke dalam!"
Kemudian ibu Peter datang menghampiri.
"Kami ikut prihatin," katanya. "Aduh, manisnya bayi ini! Dan anak ini, namanya siapa""
Ibu Peter menyentuh kepala anak laki-laki Bu Bolan. Tapi Benny, begitu merasa ada yang menyentuh kepalanya, langsung berpaling lalu lari menjauh. Geraknya agak aneh! Ia lari tersandung-sandung, sedang tangannya "terentang ke depan. Janet hendak mengejar, tapi dilarang Bu Bolan.
"Biarkan saja," seru Bu Bolan. "Benny masih ketakutan setelah kebakaran kemarin malam!"
Janet tertegun. Anak laki-laki itu, umurnya sekitar delapan tahun. Tapi ukuran tubuhnya kecil, tak sebanding dengan umurnya. Mata nya besar dan hitam, tapi caranya memandang agak aneh. Menatap, namun seperti tak melihat. Rambutnya hitam ikal, tumbuh lebat menghias mukanya yang berkulit agak coklat.
Benny berjalan menuju semak belukar, lalu merunduk di situ. Kelihatannya seperti binatang kecil yang ketakutan, memasang telinga dan mendengar percakapan yang sedang berlangsung.
Bu Bolan mengagumi caravan. Wah, semua yang kami perlukan, ternyata sudah lengkap," katanya. Ia memandang berkeliling dengan gembira. "Dan di atas rak sudah ada makanan dalam kaleng. Semuanya sudah bersih! Wah, terima kasih, Bu - karena sudah repot-repot melakukannya untukku. Kemarin malam aku menangis ketika pondok kami terbakar habis. Memang, tempat itu tidak enak, dingin dan berangin. Tapi bagai mana pun, itu tempat tinggal kami!"
"Kapan suami Anda ke sini"" tanya Peter. Ia ingin melihat Luke juga bergembira.
"Aduh, Luke bing ung sekali," kata Bu Bolan dengan wajah cemas. "Soalnya, beberapa barang kami yang berharga ikut terbakar kemarin. Aku kehilangan mesin jahit Luke terbakar banyonya, dan . . . !"
"Wah! Luke bisa main banyo"" tanya Colin. "Pamanku juga bisa. Sayang ya, banyo Luke terbakar."
Saat itu terdengar tangisan bayi. Bu Bolan membungkuk di atas kereta bayinya.
"Aku masuk saja dulu, karena bayiku ini harus minum susu," katanya. "Wah, nasib kami memang mujur. Nanti kalau sudah sempat akan kusuruh Luke mengucapkan terima kasih, Bu."
"Bagaimana - kita pergi sekarang!" tanya Peter. Ibunya mengangguk.
"Matt - bisakah Anda mengantar susu setiap hari ke sini untuk bayi ini"" pinta Ibu.
Matt mengangguk saja. "Kalau begitu kami permisi dulu, Bu Bolan," kata Peter, disusul dengan ucapan sama oleh kawan-kawannya. "Mudah-mudahan saja Anda senang dalam caravan ini. Dan kalau masih ada lagi yang diperlukan, sampaikan saja pada kami."
Kemudian Peter menghampiri semak, tempat Benny bersembunyi. Ia mengucapkan selamat tinggal. Tapi anak kecil itu tidak menjawab. Hanya matanya yang besar saja yang bergerak, menatap ke arah muka Peter. Tapi Peter merasa seolah-olah anak itu tidak memandangnya. Anak aneh!
" Bab 7 Susi dan Binki Mengganggu
ANAK-ANAK lantas naik ke atas truk. Mereka merasa puas, karena telah melakukan perbuatan baik. Ketika truk sedang menuruni bukit, tiba-tiba di kejauhan nampak seorang laki-laki. Orang yang berjalan lambat-lambat menuju ke tempat caravan.
"Pasti itu Luke Bolan," kat a Janet. "Mudah-mudahan ia senang, apabila nanti melihat -hasil pekerjaan kita."
"Tentu saja ia akan senang," jawab ibunya. "Tapi harus kauingat pula, walau sekarang sudah ada lagi tempat tinggal untuk keluarganya, tapi mereka kehilangan semua barang yang dulu dimiliki. Hanya kereta bayi' yang sudah tua itu saja yang masih ada! Menyedihkan sekali, jika kehilangan barang yang sudah dimiliki selama bertahun-tahun - seperti banyo kepunyaan Luke!"
"Mahalkah alat musik itu"" tanya Jack.
"Ya dong!" sela Colin. "Pamanku waktu membeli kepunyaannya dulu, membayar mahal sekali!" lalu Colin pura-pura bermain banyo. Sementara tangannya bergerak-gerak, mulutnya menirukan bunyi berdencing-dencing. Semua tertawa melihat kelakuannya.
""Apakah kita akan mengadakan rapat lagi dalam waktu dekat"" tanya Barbara. "Aku kepingin lagi - karena kedua rapat yang baru lewat menyenangkan sekali."
"Baiklah," kata Peter. "Walau sebetulnya tak ada persoalan yang perlu dirapatkan! Tapi tak ada salahnya jika kita cuma mengobrol saja, sambil bersenang-senang. Bu, bolehkah kami turun dari truk" Kami ingin berjalan kaki pulang. Cuaca sore ini baik sekali."
""Boleh saja!" jawab ibunya. "Dan kalau mau, kalian semua n,anti datang saja ke rumah untuk minum teh. Kalian tadi sudah bekerja keras, jadi tentunya merasa lapar sekarang. Aku nanti akan menelepon ibu-ibu kalian, untuk memberitahukan bahwa kalian minum teh di rumah kami."
Tentu saja anak-anak bergembira atas undangan itu. Janet langsung menanyakan, apa saja yang akan dihidangkan.
" "lihat saja nanti," kata ibunya, sambil tertawa. "Sekarang turunlah! Aku akan pulang sendiri ke rumah. Sampai nanti, kira-kira satu atau dua jam lagi!"
Para anggota Sapta Siaga bergegas turun dari truk, diikuti oleh Skippy. Mereka lantas berjalan kaki, merintis lapangan rumput. Cuaca musim semi itu cerah sekali. Burung-burung berkicau merdu, di mana-mana nampak mawar liar sudah mekar dan bunga-bunga lainnya. .
Tiba-tiba mereka berhenti, karena terdengar suara memanggil-manggil mereka.
"Hoooi! Tunggu kami!"
"Sial - itu Susi dan Binki," ujar Jack dengan jengkel. Dan benarlah - kedua anak perempuan itu bergegas-gegas lari menuruni bukit, mengejar mereka.
"He! Ada apa tadi di caravan"" seru Susi. Anak-anak lantas bercerita. Susi dan Binki mendengarkan dengan penuh minat.
"Mestinya kalian harus memberi kesempatan pada kami untuk ikut membantu," kata Susi kemudian. Ia agak jengkel kedengarannya. "Biarpun kami memang bukan anggota Sapta Siaga!"
"Kami kan sudah bilang, jika mau boleh saja membelikan sesuatu untuk keluarga Bolan," kata Janet.
"Kenapa tidak kaulakukan" Kau kan bisa pergi sendiri, mengantarkannya ke caravan!"
"Kami akan melakukannya," kata Susi. "Tapi sekarang bolehkah kami ikut dengan kalian" Atau mungkin kalian saat ini sedang beraksi- sebagai Sapta Siaga jempolan, yang maunya selalu bertindak sendiri""
"Jangan konyol," tukas Peter. "Kau kan bisa melihat sendiri, saat ini kami tidak sedang rapat. Jadi tentu saja kalian bisa berjalan dengan kami."
"Binki mengarang syair," kata Susi tiba-tiba, sambil tertawa terkikik. "Isinya tentang Sapta Siaga."
"Kami tidak kepingin mendengarnya," tukas George. Ia merasa pasti, syair itu tentu menyinggung perasaan mereka.
"Syair itu ada bagian ulangannya," kata Susi lagi, tanpa mempedulikan George. "Ya kan, Binki" Biarkan Binki mengucapkan syairnya, Peter! Sudah itu kita bersama-sama menyanyikan bagian ulangannya."
"Jangan boleh, Peter," kata Jack mencegah. "Kau belum tahu, Susi dan Sinki suka jahil !"
Tapi Susi ternyata tidak bisa dilarang. Dan Binki sama saja. Binki mulai mengucapkan syair karangannya, sambil menandak-nandak di depan para anggota Sapta Siaga.
"Hai! Sapta Siaga, selalu megah
Menganggap diri, yang nomor satu,
Kalau berjalan sikapnya gagah,
Awas! - Nanti tersandung batu!
Mereka mengira pintar sekali,
Tapi kami tidak setuju Sapta Siaga, kalian bagi kami
Setolol kodok - di bawah batu!"
""Yak - sekarang kita ulangi ..." kata Susi menyambung, lalu menyanyikan dengan suara lantang, "Setolol kodok, setolol kodak di bawah ..." ,
Ejekan itu sudah keterlaluan bagi para anggota Sapta Siaga. Serempak mereka mengejar Binki dan Susi, sambil berteriak-teriak marah.
"Berani-beraninya kalian mengarang syair itu! Diam! Anak jahat! Diam! Nanti kami ..."
Tapi tentu saja Susi dan Binki tidak mau diam. Kedua anak perempuan bandel itu cepat-cepat lari, sambil menertawakan ketujuh anak yang sedang marah itu.
"Itu dia pembalasan kami, karena tidak diperbolehkan ikut membantu tadi!" seru Susi dari jauh, sambil berhenti lari sebentar.
"Jaga-jaga sajalah! Pembalasan kami akan datang lagi!"
"Lagu itu bohong, dan menyakitkan hati," kata Barbara. Ia paling tidak senang diejek-ejek.
"Tapi sebetulnya ada juga lucunya," kata George. Tapi tak ada yang sependapat dengannya. Saat itu mereka berjalan di tepi sebuah ladang. Di tengah ladang terpancang orang-orangan, untuk mengusir burung.
Anak-anak berhenti sebentar, memperhatikan orang-orangan itu. Seekor burung gagak hinggap di atas topi hitam yang tertengger di kepala orang-orangan itu. Kelihatannya kocak sekali! Nampak seperti hidup, karena jas tua yang dipakaikan bergerak-gerak ditiup angin.
""Orang-orangan itu memakai celana usang Ayah," kata Janet sambil tertawa. "Ibu tak senang pada celana itu, karena warnanya terlalu terang. Kalau kotor sedikit, langsung kelihatan! Dan lehernya terbalut syal. Kurasa syal kotor itu dulunya kepunyaan salah seorang pekerja ayahku, di peternakan sapi. Ya - aku ingat lagi, syalnya merah berbintik-bintik putih!"
Burung gagak yang hinggap di kepala orang-orangan, mematuk-matuk muka yang terbuat dari jerami.
"Husy!': teriak Peter jengkel. "Hai gagak! Kau mestinya takut pada orang-orangan itu. Tapi ternyata tidak - malah mematuk-matuk. Husy! Pergi, gagak!"
Burung itu berkaok-kaok. Kedengarannya seperti tertawa. Setelah itu membentangkan sayap, lalu terbang pergi lambat-lambat sambil berkaok-kaok terus.
"Pasti ia mengejek-ejek kita sekarang,- seperti dilakukan si Binki tadi!" kata George.
"He - tahu-tahu perutku terasa lapar. Bagaimana jika kita cepat-cepat saja ke rumahmu sekarang, Peter" Kita tadi kan diundang minum teh oleh ibumu!"
Anak-anak lantas mempercepat langkah. Semua sudah merasa lapar. Termasuk Skippy.
" Bab 8 Kabar Mengejutkan "HIDANGAN teh sudah siap, ketika para anggota Sapta Siaga berbondong-bondong masuk ke dalam rumah. Walau perut sudah sangat lapar, tapi anak-anak masih ingat mencuci tangan dulu. Kemudian barulah mereka duduk mengelilingi meja. Hm, sedap sekali hidangan yang disediakan oleh ibu Peter dan Janet!
"Nah, mulai sajalah," kata Ibu sambil tersenyum. "Sudah sepantasnya kalian makan ena
k, karena sudah bekerja bakti tadi siang. Jack, sewaktu kembali ke sini tadi aku berpapasan dengan adikmu. Susi sedang berjalan dengan kawannya. Hampir saja aku mengundang mereka untuk ikut minum teh di sini."
""Aduh, Bu!" seru Peter, sementara tangannya sibuk menjangkau makanan. "Untung saja tidak jadi! Kawan Susi, si Binki,mengarang lagu yang mengejek-ejek kami. Kalau Ibu tadi jadi mengundang mereka, pasti keduanya akan nekat dan menyanyikan lagu itu di sini."
""Kalau mereka berani, kulemparkan keju encer ini ke muka mereka," kata Jack galak.
"Aku membikin keju itu bukan untuk dilempar-lemparkan," kata Ibu dengan segera. "Ayo, ambil lagi daging asapnya, Colin!"
"Colin sedang melamun," kata Pam, sambil menyenggol anak itu. "Apa saja yang sedang kaupikirkan"
"Anu - aku sedang sibuk mengarang syair, tentang si Binki," kata Colin sambil mengejap-ngejapkan mata, seperti baru bangun tidur.
"Kau, mengarang syair"" tanya Janet tercengang. "Bagaimana bunyinya""
"Begini awalnya, kata Colin. Ia sudah hendak mengucapkan syair itu, tapi tidak jadi. "Ah, lebih baik jangan!"
Melihat Colin enggan, kawan-kawannya malah bertambah ingin tahu. Mereka mendesak-desak terus. Akhirnya, sambil nyengir Colin mulai bersyair. Tapi tiap sebentar ia melirik ke arah ibu Peter dan Janet. Ia khawatir, kalau ibu kedua temannya itu tidak setuju.
"Jail kebiasaan si Binki
persis seperti kelinci, Cuping hidung gemetar terus ..""
Kalimat berikutnya tak terdengar jelas, karena gelak tertawa meletus dengan riuh. Para anggota Sapta Siaga tertawa terpingkal-pingkal karena geli.
"Aduh, Colin - persis begitulah tampang si Binki! "seru Jack sambil tertawa terus. "Aku akan membalas dengan syair itu, apabila ia dan Susi mulai lagi dengan lagu konyol mereka tentang Sapta Siaga."
"Tapi terusnya bagaimana, Colin"" tanya. Janet. Ia memandang Colin dengan kagum. Ternyata kawan itu pandai bersyair!
"Yah, baru dua baris lagi yang sudah bisa kukarang," kata Colin, lalu meneruskan syairnya.
"Dan di sela bibirnya
Ada gigi mencuat ke muka ...
"Yah, baru sampai di situ saja," katanya. "Baris terakhir belum bisa kubuat bersajak."
"Syair itu agak menyinggung perasaan," kata ibu Peter, yang rupanya ikut mendengarkan. Muka Colin - menjadi merah padam karena malu. Ia lantas membisu tak mau berkata apa-apa lagi.
"Betul - tapi syair Susi dan Binki juga menyakitkan hati kami," bantah Janet. "Yuk - kita bersama-sama memikirkan baris terakhir yang tepat." Janet mengulangi kedua baris yang sudah selesai,
"Dan di sela bibirnya Ada gigi mencuat ke muka ..."
Colin takut, kalau ibu Peter dan Janet akan marah.
"Sudahlah, jangan teruskan lagi," kata Colin sambil menatap Janet dengan kening berkerut. Sementara itu kakinya diayunkan di bawah meja. Maksudnya hendak menendang kaki Janet, untuk memperingatkannya. Tapi
sial, yang tertendang bukan kaki Janet - tapi Skippy! Skippy mendengking, karena kaget.
""Wah, maaf Skip - tidak sengaja!" kata Colin. Ia langsung merosot ke bawah meja, untuk membujuk Skippy- dan supaya pokok pembicaraan beralih cepat-cepat.
Setelah kenyang makan dan minum, anak-anak meninggalkan meja sambil mengucapkan terima kasih pada ibu Peter dan Janet.
"Kami akan membantu mencuci piring dan cangkir, kata Pam menawarkan jasa.
"Wah, terima kasih," kata Janet. "Bolehkah kami beramai-ramai membantu, Bu" Kami akan berhati-hati sekali!"
"Tentu saja boleh! Aku senang sekali jika kalian mau membantu," kata Ibu. Ia lantas melanjutkan pekerjaannya menjahit. Sementara itu para anggota Sapta Siaga sibuk mondar-mandir keluar-masuk dapur membawa piring-piring kotor.
"Kalau semua setuju, kita akan mengadakan rapat lagi besok," kata Peter, sambil mengeringkan piring yang sudah dicuci dengan berhati-hati. "Bisakah kalian datang pukul sepuluh pagi""
"Wah, tidak bisa!" kata Pam. "Aku disuruh ibuku- belanja. Tapi kalau pukul sebelas, bisa!" .
Ternyata semua bisa hadir, kalau rapat diadakan pukul sebelas. Jadi diputuskan bahwa rapat akan dimulai pada saat itu.
"Kita harus mencari kata semboyan baru," kata Peter, "Karena yang terakhir sudah ketahuan oleh Susi dan B
inki." ""Guk!" gonggong Skippy sambil memandang ke arah Peter. "Ya, betul Skip. Kau ini memang sangat pintar!" kata Peter sambil nyengir. "Nah - kau sajalah yang memilih semboyan kita yang berikut. Apa usulmu""
"Plok, plok, plok!" Begitulah bunyi ekor Skippy yang dipukul-pukulkan ke lantai, sementara anjing itu menatap Peter dengan gembira. Skippy paling senang, jika diajak berbicara.
"Terima kasih, Skip! Kata semboyan kita yang baru - 'Plok'!" kata Peter serius.
Anak-anak tertawa semua. Peter meneruskan, "Kalau 'plok', kurasa takkan ada yang akan lupa!"
Dugaan Peter tepat. Keesokan pagi, Peter dan Janet sudah lebih dulu ada dalam gudang, menunggu kedatangan para anggota yang lainnya. Setiap kali ada yang datang dan mengetuk pintu, dengan segera menyusul kata semboyan yang baru.
"PLOK!" Dan setiap kali semboyan itu diucapkan, Skippy lantas menyambut dengan pukulan ekornya ke lantai gudang. Anjing Itu merasa bangga, karena baru sekali itulah ia memilih kata semboyan Sapta Siaga!
Tak lama kemudian ketujuh anggota Sapta Siaga sudah berkumpul dalam gudang di belakang rumah Peter dan Janet. Mereka sibuk bercakap-cakap. Macam-macam yang mereka bicarakan. Mereka ingin tahu, bagaimana keadaan keluarga Bolan dalam caravan, tempat tinggal mereka untuk sementara waktu. Mereka bertanya-tanya, apakah Matt tidak lupa mengantarkan susu tadi pagi untuk bayi Bu Bolan. Lalu George bertanya pada Jack, apakah Susi dan Binki tahu bahwa pagi itu Sapta Siaga akan mengadakan rapat.
"Tidak!" jawab Jack. "Aku tadi menyelinap pergi sewaktu mereka sedang asyik memanjat pohon di kebun kami. Tapi mereka terus-terusan menyanyikan lagu konyol yang mengejek-ejek kita itu. Aku sebetulnya ingin membalas dengan syair yang dikarang oleh Colin mengenai si Binki. Tapi sayang, aku lupa lagi! Bagaimana bunyi syairmu itu, Colin""
Colin tak sempat mengucapkan syair karangannya, karena tiba-tiba pintu gudang diketuk dari luar.
"Siapa di luar"" seru Peter. "Orang yang tak mengenal kata semboyan kami, tidak boleh . masuk. Kami sedang mengadakan rapat."
"Ini aku, Matt - penggembala," jawab orang yang di luar. Dengan segera Peter membukakan pintu. Dilihatnya Matt berdiri sambil memandang dengan agak jengkel.
"Kaliankah yang mengambil pakaian orang-orangan yang kupasang di tengah ladang"" tanyanya. "Sekarang ladang diserang beratus-ratus burung gagak. Burung-burung itu tidak takut melihat kayu-kayu yang dibelit jerami membentuk boneka! Kalau dikenakan pakaian, barulah orang-orangan itu ditakuti mereka."
""Tidak, Matt! Bukan kami yang mengambil," jawab Peter tercengang. "Untuk apa kami berbuat begitu"" . ,'"
"Yah - kalau begitu tolong selidiki, siapa yang mengambilnya!" kata Matt. "Sore ini aku akan melaporkan pada Majikan. Ayahmu pasti marah jika mendengarnya. Kalian ikut menyelidiki, siapa yang mengambilnya - Ya""
Kemudian Matt pergi lagi, meninggalkan Sapta Siaga yang saling berpandang-pandang dengan heran dan bingung.
" Bab 9 Prenggg! "PARA anggota Sapta Siaga tercengang.
"Padahal kemarin kan kita masih melihat orang-orangan itu!" kata Peter. "Waktu ada seekor gagak bertengger di atas kepalanya. Jadi tak mungkin burung-burung itu takut, seperti dikatakan oleh Matt tadi!" .
"Tapi siapa yang mau mengambil pakaian itu"" tanya Jack. "Maksudku - pakaian itu kan sudah usang dan robek-robek""
"Maklumlah, sudah lama dipakaikan pada orang-orangan itu," kata Janet. "Tak bisa kubayangkan, masih ada orang yang mau memakainya."
"Kalau dijual pun, takkan ada yang mau membeli," sambung Peter. "Aku heran, bahwa Matt mengira kita ada sangkut- pautnya dengan urusan itu!"
"Kita kan pernah iseng dengan orang-orangan," kata Janet mengingatkan. "Masakan sudah lupa" Waktu itu kita menanam benih dalam kebun kita sendiri. Ketika ada burung datang mematuk, kita lantas mengambil orang-orangan dari ladang gandum, lalu memasangnya di tengah kebun kita! Ayah marah sekali waktu itu. Tapi Ibu membela - katanya kita tidak bermaksud jahat. Kita dikatakannya masih terlalu kecil, sehingga tidak mengerti bahwa tidak boleh seenaknya saja memindahkan orang-orangan itu!"
Anak- anak tertawa, membayangkan Peter dan Janet menyeret-nyeret orang-orangan yang besar, untuk dipasang di tengah kebun mereka yang kecil.
"Yah, kurasa karena itulah Matt lantas menyangka bahwa kalian lagi yang berbuat iseng," kata Colin.. .
"Nanti dulu - mungkin - mungkinkah Susi dan Binki yang melakukannya"" tanya George.
Teman-temannya berpendapat, hal itu sangat mungkin.
"Pantas, jika mereka yang melakukan perbuatan konyol seperti itu," kata Jack. "Pasti mereka beranggapan bahwa mereka melakukan suatu perbuatan yang sangat lucu! Dan pasti mereka sudah menduga kita akan ditanyai - lalu melongo karena heran!"
"Kalau begitu, tanya saja pada Susi," kata Peter pada Jack. Nanti kalau ia cuma cekikikan saja tanpa memberikan jawaban, bilang saja bahwa kau akan melaporkan pada kami. Katakan, kita kemudian akan mengambil tindakan, karena disuruh mencari pakaian tua itu."
"Ya, dengan begitu mereka pasti akan gentar," kata Jack "Aku benar-benar senang, Colin berhasil menyelesaikan syairnya tentang Binki, dan bahkan mengarang pula tentang Susi. Kedua anak itu memang perlu diberi pelajaran sedikit."
""Sekarang tentang soal lain," kata Peter. "Siapa mau menonton film malam ini" Aku akan menonton bersama Janet. Kalau kalian ada yang bisa ikut, pasti akan lebih asyik."
"Wah, aku pasti tidak bisa," jawab Jack dengan segera. "Kalau aku minta izin, ibuku pasti akan mengatakan bahwa aku harus mengajak Susi dan Binki. Tapi aku tak mau duduk menonton film di samping dua anak perempuan, yang kerjanya cekikikan terus."
Kalau aku, bisa," kata Colin. George mengangguk, tanda bahwa ia pun bisa ikut. "Kalau begitu, kita berempat yang pergi. Kita nanti berkumpul di depan gedung bioskop, lima menit sebelum film dimulai. Tapi bagaimana dengan urusan pakaian orang-orangan itu" Kita mencarinya, atau tidak""
"Kita tunggu saja dulu, sampai Jack sudah menanyakan pada Susi dan Binki mengenainya," Jawab Peter sambil bangkit. "Nah, rapat kita sudah selesai sekarang. Lain kali akan kuberi tahu, kapan kita rapat lagi. Ingin rasanya ada lagi kejadian yang mengasyikkan. Tapi bukan kebakaran!"
Malam itu Janet dan Peter menonton film, bersama Colin dan George. Mereka menonton dengan asyik, karena filmnya bagus. Ketika film sudah selesai, anak-anak pergi ke luar. Malam itu sangat gelap karena di langit tak ada bulan maupun bintang. Peter dan Janet naik sepeda, tapi kedua teman mereka berjalan kaki. Peter dan Janet bersepeda mendahului.
"Colin dan George berjalan lambat-lambat sambil mengobrol. Toko-toko sudah tutup semua. Tapi lampu-lampu di beberapa jendela pajangan masih menyala. Sambil berjalan, kedua anak itu melihat-lihat, menonton barang-barang yang dipajangkan.
Toko sepeda masih menyala lampu-lampunya. Colin dan George berhenti sebentar, mengagumi sepeda balap yang diperagakan di tengah tempat pajangan. Tempat berikutnya toko barang-barang antik. Macam-macam barang menarik dijual di situ. Lukisan kuno, perhiasan rumah, cangkir-cangkir antik, alat-alat musik, kursi jaman dulu serta perabotan lain-lainnya.
Anak-anak memperhatikan sebuah lukisan kuno. Lukisan itu menggambarkan adegan peperangan yang seru". Tiba-tiba Colin berseru kaget.
"Mati aku!" serunya. "Jam tanganku hilang. Wah - pasti kena marah di rumah nanti. Kau kan tidak keberatan, jika kita kembali sebentar sambil mencari, George" Mungkin juga barang itu terjatuh di dalam gedung bioskop."
Kedua anak itu lantas berbalik, lalu melangkah lambat-lambat. George menyorotkan cahaya -senter yang dibawanya ke trotoar, mencari-cari arlojinya yang hilang. Tapi tiba-tiba senter berkelip-kelip, lalu padam. Kedua anak itu berdiri di tempat yang gelap gulita.
""Sial! Kalau sedang diperlukan, tahu-tahu baterainya habis!" keluh Colin. "Kenapa aku tadi tidak membawa senter pula" Yang sudah jelas, kita tak mungkin bisa mencari terus dalam gelap begini
Saat itu ada orang lewat dekat mereka. Orang itu berjalan dengan langkah menyelinap. Kedua anak yang sedang bingung tak dilihat olehnya. Orang itu tahu-tahu saja lewat, sehingga Colin dan George kaget setengah mati.
"Wah, jalannya pelan sekali - sepert
i polisi yang sedang mengintai!" kata George. "He- kita susul saja orang itu! Kalau ternyata memang polisi, kita laporkan saja padanya tentang arlojimu yang hilang. Jadi kalau ada yang menemukan dan mengantarkannya ke kantor polisi, maka pasti akan dikembalikan dengan segera padamu. Lebih baik. begitu, sebelum kau kena marah. di rumah nanti!"
"Baik!" kata Colin. Mereka lantas mengikuti orang yang baru saja lewat itu. Mereka melihat sosok tubuhnya samar-samar, ketika ia lewat di depan sebuah toko yang masih terang. Mereka sudah hampir menyusul, ketika orang itu menghampiri toko barang antik.
Keduanya sudah hendak berseru memanggil. Tapi tiba-tiba orang tak dikenal itu berhenti berjalan. Ia memandang berkeliling, seperti takut ketahuan.
""Ah, dia sama sekali bukan polisi," kata Colin. "He! Apa yang dilakukannya sekarang""
Kejadian sesudah itu berlangsung cepat sekali! Orang tak dikenal itu mengambil sesuatu dari balik jasnya, lalu melempar ke arah jendela pajangan yang masih terang. Orang itu melemparkan sesuatu ke jendela pajangan toko barang antik!
PRENGGG! Kaca pecah berantakan. Colin dan George kaget sekali melihat kejadian tiba-tiba itu. Nampak laki-laki tak dikenal itu mengambil sesuatu benda yang terdapat di tempat pajangan, lalu cepat-cepat lari dari situ. Orang itu lari ke arah Colin dan George.
Colin mengulurkan kaki. Maksudnya hendak membuat orang itu tersandung, sehingga jatuh. Tapi orang tak dikenal itu mengelak dengan cepat, dan meneruskan larinya. Ia lewat di bawah lampu jalan, lalu menghilang dalam gelap.
"Kejar dia!" seru George. Kedua- anak itu lantas lari mengejar ke balik tikungan jalan, di mana orang tadi menghilang. Tapi tempat itu gelap gulita. Mereka tak bisa melihatnya di mana-mana. Langkahnya pun tak mungkin terdengar, karena tadi pun sudah sangat pelan.
Sementara itu, di tempat kejadian sudah ramai. Bunyi kaca pecah sangat mengagetkan. Orang-orang berhamburan ke luar, sambil berteriak dan berseru-seru. Tahu-tahu "sudah muncul seorang polisi. Dari dalam toko barang antik muncul seseorang bergegas-gegas, lalu ikut ribut-ribut. Bukan main hiruk pikuk suasana saat itu!
" Bab 10 Biola Antik "COLIN dan George lari bergegas-gegas, kembali ke toko barang antik. Mereka melihat seorang laki-:laki bertubuh kecil berdiri sambil meremas-remas tangan. Ternyata orang itu pemilik toko. Dengan perasaan bingung ditatapnya kaca jendela pajangan yang pecah berantakan.
"Ada apa di sini"" tanya polisi yang berbadan besar. Ia mengeluarkan buku catatan dari kantongnya.."Siapa pelakunya""
"Seorang laki-laki, Pak," jawab salah seorang di antara penonton yang berkerumun. "Saya sempat melihatnya sekilas tadi, dari seberang jalan. Tapi tampangnya tak jelas, karena ia langsung lari.
"Barang apa saja yang hilang, Pak"" tanya polisi pada pemilik toko.
"Belum bisa saya katakan, sebelum saya periksa," jawab pemilik toko yang masih kelihatan bingung. "Aduh! Lukisan peperangan rusak, robek kena pecahan kaca. Dan batu bata yang dipakai untuk melempar, mengenai pot bunga antik itu. lihatlah pecah berantakan jadinya! Saya tidak tahu pasti, apa-apa saja yang mulanya terdapat dalam jendela pajangan ini, Pak! Harus saya tanyakan dulu pada pembantu saya. Ia yang menghias tempat ini untuk saya kemarin, ketika saya sedang pergi. Aduh, berantakan semua barang-barangku!"
Pemilik toko berkeluh-kesah, sambil meremas-remas tangan. Orang semakin banyak berkerumun di situ. Tak lama kemudian, muncul seorang polisi lagi. Colin dan George agak ragu, apakah mereka harus melaporkan bahwa mereka pun melihat perbuatan orang tak dikenal yang memecah kaca pajangan itu. Ketika akhirnya membulatkan tekat untuk melaporkan, salah seorang polisi melihat bahwa di antara orang banyak yang berkerumun terdapat anak-anak.
"Anak-anak pulang!" kata polisi itu garang. "Ayo cepat, pulang! Kalian takkan bisa membantu kami - paling-paling hanya merecoki saja! Anak-anak pulang!"
Dengan segera Colin dan George menyelinap pergi. Mereka sudah puas menonton, dan mereka merasa yakin takkan bisa banyak memberi bantuan. Lagipula mereka merasa tak enak diperhati
kan orang banyak, jika mereka maju ke depan dan menyampaikan laporan pada polisi. Jangan-jangan nanti ada yang menyangka merekalah yang memecahkan kaca, dan kemudian hendak mengakui kesalahan!
"Kita harus minta pada Peter agar mengadakan rapat besok, supaya kita bisa menceritakan peristiwa ini pada para anggota Sapta Siaga," kata George terengah-engah, sementara kedua anak itu pulang sambil berlari-lari.
"Memang, kita tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi kurasa kita harus menceritakannya pada kawan-kawan, "
Colin setuju. Pasti kawan-kawan akan asyik mendengar cerita mereka. Sayang mereka tadi tak berhasil membuat laki-laki tak dikenal itu tersandung kaki yang dijulurkan oleh Colin. Coba kalau orang itu terjatuh, dan bahkan berhasil mereka ringkus - wah, bisa seru cerita mereka besok!
Keesokan paginya Colin menelepon Peter.
"Halo Peter!" sapanya di telepon. "Kemarin ada kejadian hebat, Peter. Aku dan George melihat seorang pencuri! Ketika kami berjalan kaki pulang dari menonton film bersamamu, kami melihat seorang laki-laki melempar batu ke kaca pajangan sebuah toko barang antik. Begitu kaca pecah, ia lantas mengulurkan tangan ke dalam dan mengambil sesuatu. Ya - kami melihat sendiri orang itu. Bagaimana pendapatmu - apakah tidak sebaiknya kita mengadakan rapat" Ceritanya benar-benar asyik!"
"Astaga - jadi kalian melihat sendiri orang itu"" kata Peter bergairah. "Ayahku mendengar beritanya dari pekerja peternakan sapinya, lalu menceritakannya waktu sarapan tadi pada kami! Aku dan Janet menyesal sekali saat itu. Kami merasa jika kemarin malam kami tidak bergegas-gegas pulang, pasti akan bisa melihatnya sendiri!"
"Yah - kami kebetulan terpaksa kembali sebentar, karena hendak mencari arlojiku yang hilang," kata Colin menjelaskah. "Kalau tidak, kami pun takkan mengalami peristiwa itu Pukul berapa enaknya kita rapat nanti, Peter" Kalau kau setuju, aku dan George bisa pergi sekarang ke tempat kawan-kawan, untuk memberitahukan."
"Baiklah. Ajak mereka datang selekas mungkin," kata Peter. "Aku akan menunggu dalam gudang, bersama Janet."
Tak lama kemudian, ketujuh anggota Sapta Siaga sudah berkumpul di tempat rapat mereka yang biasa. Mereka berbicara dengan ribut. Semuanya sudah mendengar kejadian tentang pencuri yang memecah kaca. Tapi belum ada yang tahu, barang apa sebenarnya yang dicuri - kecuali Pam.
Anak itu ikut mendengarkan dengan penuh perhatian, ketika Colin dan George sedang asyik bercerita. Peter dan Janet menyesali Colin. Kenapa tidak. menyadari arlojinya hilang ketika mereka berempat belum berpisah! Sekarang Peter dan Janet dirugikan - tak ikut melihat sendiri kejadian Itu.
"Sebenarnya arlojiku itu sama sekali tidak hilang," kata Colin, "tapi kurasa salah taruh saja! Ketika aku sampai di rumah, aku melihatnya terletak di atas bupet di kamarku!"
0 ya"" kata George. "Padahal kita sampai setengah mati, mengamat-amati trotoar! Ngomong-ngomong, ada di antara kalian yang tahu apakah pencuri itu sudah tertang- kap""
"Sampai sekarang belum," jawab Pe"ter. "Ayahku tadi pagi pergi ke kantor polisi. Ia hendak melaporkan seekor anjing yang selalu mengganggu biri-biri kami. Di sana seorang polisi bercerita - katanya sama sekali tak diketahui siapa pencuri itu. Juga tak diketahui, untuk apa ia mencuri barang dari toko antik. Sayang tak diceritakan, barang apa yang dicuri itu. Ada di antara kalian yang tahu""
"Ya - aku tahu," sambut Pam dengan segera. "Sebuah biola tua! Barang yang sangat antik dan berharga! Nilainya beratus-ratus pound! Biola itu dipajang paling depan dalam jendela pajangan, disertai sejarahnya yang tertulis pada sepucuk kartu. Pencuri mengambil biola dan kartu itu sekaligus! "
"Ah - kalau begitu pasti ia pemain biola," kata Peter. Teman-temannya juga berpendapat begitu. "Kurasa sekarang semua pemain biola di daerah sini akan diperiksa oleh polisi."
"Mudah-mudahan saja Bu Hilbrun, guru biola sekolah kami tidak ikut diperiksa," kata Pam. "Bu Hilbrun pandai sekali main biola- tapi pasti ia akan jatuh pingsan kalau sampai diperiksa polisi. Ia pernah kaget sampai terpaksa duduk setengah jam ketika sedang
sibuk mengajar - karena ada seorang anak menutup piano keras-keras!"
"Pasti kau yang melakukannya," tuduh Jack.
"Bukan aku - tapi adikmu, si Susi," balas Pam. "Mestinya kau sudah tahu sendiri. Wah - kalau seorang penakut seperti Bu Hilbrun, disangka melempar batu bata ke kaca pajangan karena hendak mencuri biola antik - tak mungkin!"
Kisah Si Bangau Putih 10 Meraba Matahari Karya Sh Mintardja Siluman Muka Kodok 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama