Ceritasilat Novel Online

Darah Olympus 5

The Heroes Of Olympus 5 Darah Olympus Blood Of Olympus Bagian 5


"Yang paling tersohor dalam sejarah Puerto Rico. Dia dijuluki Cofresi si Perompak, tapi nama keluarganya adalah Ramirez de Arellano. Rumah kami, vila keluarga kami, dibangun dengan uang dari harta karun yang dia kubur." Sekejap Nico merasa seperti anak-anak lagi. Dia tergoda untuk menyemburkan: Keren deb! Bahkan sebelum menggandrungi Mythomagic, dia sudah terobsesi pada bajak laut. Mungkin itulah sebabnya dia terpesona kepada Percy, putra Dewa Laut. "Hantu-hantu yang lain bagaimana"" tanya Nico. Reyna kembali menggigit pai krim. "Laki-laki berseragam Angkatan Laut Amerika Serikat dia paman buyutku dari zaman Perang Dunia II, komandan kapal selam pertama beretnis Latino. Kau paham, Ian"! Banyak pendekar. Bellona adalah dewi pelindung kami selama bergenerasi-generasi." "Tapi, dia tidak pernah memiliki anak demigod dalam keluarga Ramirez-Arellano sampai kalian." "Sang dewi dia jatuh cinta pada ayahku, Julian. Ayahku menjadi prajurit di Irak. Dia " Suara Reyna pecah. Dilemparkannya buket bunga plastik. "Aku tak bisa melakukan ini. Aku tak bisa membicarakan ayahku." Awan berarak di atas, menyelimuti hutan dengan bayang-bayang. Nico tidak ingin memaksa Reyna. Hak apa yang dia punya" Dia meletakkan pai krim havermutnya dan menyadari bahwa ujung jemarinya berubah menjadi asap. Sinar matahari muncul kembali. Tangannya menjadi padat lagi, tapi Nico tegang benar. Dia merasa seperti baru ditarik ke belakang dari tepi balkon tinggi. Suaramu adalah identitasmu, dia memberi tahu Reyna. Jika kau tak menggunakannya, kau sudah setengah jalan menuju Asphodel.
Nico benci ketika nasihatnya sendiri berlaku bagi dirinya sendiri. "Ayahku pernah memberiku hadiah," kata Nico. "Satu zombie." Reyna menatapnya bengong. "Apo"" "Namanya Jules-Albert. Orang Prancis." "Zombie ... Prancis"" "Hades bukan ayah terhebat, tapi sesekali dia menunjukkan keinginan untuk mengenal-putraku-lebih-dekat. Kuperkirakan dia mengira zombie itu adalah upeti damai. Dia bilang Jules-Albert bisa menjadi sopirku." Sudut mulut Reyna berkedut-kedut. "Sopir zombie Prancis." Nico menyadari betapa ceritanya kedengaran konyol. Dia tidak pernah memberi tahu siapa-siapa tentang Jules-Albert bahkan Hazel juga tidak. Tapi, dia terus bicara. "Hades berpikir bahwa aku harus, tahu berusaha bertingkah laku layaknya remaja modern. Berteman. Mengakrabkan diri dengan abad ke-21. Dia samar-samar memahami bahwa orangtua fana menyopiri anak mereka ke mana-mana. Dia tidak bisa melakukan itu. Jadi, solusinya adalah si zombie." "Untuk mengantarmu ke pusat perbelanjaan," kata Reyna. "Atau beli makanan di Burger Masuk-Keluar." "Kurasa begitu." Ketegangan Nico mulai menyusut. "Karena tiada yang lebih ampuh membantu kita mendapat kawan baru daripada mayat membusuk berlogat Prancis." Reyna tertawa. "Maafkan aku aku seharusnya tidak menertawakan." "Tidak apa-apa. Intinya aku juga tidak suka membicarakan ayahku. Tapi, kadang-kadang," katanya sambil menatap mata Reyna, "memang harus."
Ekspresi Reyna berubah menjadi serius. "Aku tidak pernah mengenal ayahku sewaktu kondisinya masih baik. Hylla bilang ayahku dulu lebih lembut ketika dia kecil sekali, sebelum aku lahir. Ayahku prajurit yang baik tak kenal takut, berdisiplin, tenang di bawah tekanan. Dia tampan. Dia bisa bersikap sangat menawan. Bellona merestuinya, sebagaimana Bellona merestui banyak sekal leluhurku, tapi itu tidak cukup bagi ayahku. Ayahku ingin Bellona menjadi istrinya." Di hutan, Pak Pelatih Hedge berkomat-kamit sendiri selagi menulis. Tiga pesawat terbang kertas sudah berputar-putar ke atas terbawa angin, menuju e
ntah ke mana. "Ayahku mendedikasikan diri sepenuhnya kepada Bellona," lanjut Reyna. "Menghormati kekuatan perang barangkali wajar, tapi jatuh cinta padanya, itu lain perkara. Aku tidak tahu bagaimana ayahku melakukannya, tapi dia berhasil memenangi hati Bellona. Kakakku lahir tepat sebelum ayahku berangkat ke Irak untuk masa tugasnya yang terakhir. Dia dibebastugaskan dengan hormat, pulang sebagai pahlawan. Kalau kalau dia mampu menyesuaikan diri terhadap kehidupan warga sipil, segalanya mungkin akan baik-baik saj a." "Tapi, dia tak mampu," terka Nico. Reyna mengangguk. "Tidak lama sekembalinya, ayahku bertemu sekali lagi dengan sang dewi itulah, anu, sebabnya aku dilahirkan. Bellona menunjuki ayahku sekilas masa depan. Ibuku menjelaskan kenapa keluarga kami begitu penting baginya. Dia mengatakan warisan Roma takkan runtuh selama garis keturunan keluarga kami masih ada, berjuang untuk mempertahankan kampung halaman kami. Kata-kata itu menurutku Bellona bermaksud memberikan penghiburan, tapi ayahku menjadi terobsesi karenanya."
. "Perang kerap kali susah dilupakan," kata Nico, teringat kepada Pietro, salah seorang tetangganya semasa kanak-kanak di Italia. Pietro pulang dengan selamat dari penyerbuan Mussolini ke Afrika, tapi setelah menimpuki orang-orang Ethiopia dengan gas mustard, jiwanya tidak sama lagi. Walaupun udara sedang panas, Reyna merapatkan jubah ke tubuhnya. "Sebagian dari masalahnya adalah stres pasca-trauma. Ayahku tidak bisa berhenti memikirkan peperangan. Belum lagi rasa nyeri terus-menerus bom pinggir jalan menyisakan pecahan mortir di pundak dan dadanya. Tapi, masalah ayahku lebih dari itu. Tahun demi tahun, selagi aku tumbuh besar, dia dia berubah." Nico tidak menanggapi. Dia tidak pernah mendengar siapa pun berbicara seterbuka ini kepadanya sebelum ini, kecuali mungkin Hazel. Dia merasa sedang menyaksikan sekawanan burung yang bertengger di ladang. Satu suara gaduh bisa serta-merta mengusir mereka. "Dia menjadi paranoid," kata Reyna. "Dia pikir kata-kata Bellona adalah peringatan bahwa garis keturunan keluarga kami akan binasa dan warisan Roma akan runtuh. Dia melihat musuh di mana-mana. Dia menghimpun senjata. Dia menjadikan rumah kami sebagai benteng. Pada malam hari, ayahku mengunci Hylla dan aku dalam kamar kami. Kalau kami menyelinap ke luar, ayahku akan membentak-bentak kami dan melemparkan furnitur dan pokoknya, dia menakuti kami. Ada kalanya, dia bahkan mengira kamilah musuhnya. Dia menjadi yakin bahwa kami memata-matainya, berusaha merendahkan kewibawaannya. Kemudian hantu-hantu mulai muncul. Kuperkirakan mereka sudah berada di sana sejak awal, tapi mereka menangkap kegelisahan ayahku dan mulai mewujud. Mereka berbisik-bisik kepadanya, mengompori kecurigaannya. Akhirnya suatu hari aku tidak tahu kapan
. persisnya, aku menyadari bahwa dia bukan lagi ayahku. Dia telah menjadi salah satu dari hantu." Hawa dingin menyesakkan dada Nico. "Mania," dia berspekulasi. "Aku pernah melihat yang seperti itu sebelumnya. Manusia yang mengisut hingga hilang kemanusiaannya. Hanya sifat-sifat terburuknyalah yang tertinggal. Kegilaannya ..." Kentara sekali dari ekspresi Reyna bahwa penjelasan Nico tidak menenangkan. "Apa pun dia," kata Reyna, "menjadi mustahil untuk tinggal bersamanya. Hylla dan aku kabur dari rumah sesering mungkin, tapi ujung-ujungnya kami selalu kembali dan menghadapi amukannya. Kami tidak tahu mesti berbuat apa lagi. Dialah satu-satunya keluarga kami. Kali terakhir kami kembali, dia dia teramat marah sehingga praktis menyala-nyala. Dia tidak bisa menyentuh benda-benda fisik lagi, tapi dia bisa menggerakkan benda-benda itu seperti arwah penasaran di film-film. Dia mencabuti ubin di lantai. Dia merobek-robek sofa hingga isinya terburai. Akhirnya dia melemparkan kursi, yang menghantam Hylla. Kakakku ambruk. Dia hanya jatuh tak sadarkan diri, tapi aku sempat mengira dia meninggal. Hylla melewatkan bertahun-tahun dengan melindungiku pokoknya, aku tak tahan lagi. Aku menyambar senjata terdekat yang bisa kutemukan pusaka keluarga, pedang Confresi si Perompak. Aku aku tidak tahu bilahnya terbuat
dari emas Imperial. Aku lari menyongsong roh ayahku dan ..." "Kau memunahkannya," terka Nico. Mata Reyna berkaca-kaca. "Aku membunuh ayahku sendiri." "Tidak. Tidak, Reyna. Itu bukan ayahmu. Dia itu hantu. Lebih parah lagi: seorang mania. Kau melindungi kakakmu."
Reyna memutar-mutar cincin perak di jarinya. "Kau tidak rnengerti. Membunuh orangtua adalah kejahatan paling berat dalam hukum Romawi. Kejahatan itu tak terampuni." "Kau tidak membunuh ayahmu. Pria itu sudah mati," Nico bersikeras. "Kau semata-mata mengusir hantu." "Tidak jadi soar Reyna terisak-isak. "Kalau kabar ini sampai tersebar ke Perkemahan Jupiter " "Kau akan dieksekusi," kata sebuah suara baru. Di tepi hutan, berdirilah seorang legiunari Romawi berbaju tempur lengkap yang memegang pilum. Rambut cokelat lebat menjuntai ke depan matanya. Hidungnya jelas-jelas pernah patah sekali, alhasil membuat senyumnya semakin seram. "Terima kasih atas pengakuanmu, Mantan Praetor. Kau menjadikan pekerjaanku jauh lebih mudah."[]
BAB TIGA PULUH NICO PAK PELATIH HEDGE MEMILIH MOMEN itu untuk merangse ke bukaan, melambai-lambaikan pesawat, kertas dan berteriat "Kabar bagus, Semuanya!" Dia mematung ketika melihat si orang Romawi. "Oh sudahlah." Sang satir cepat-cepat menggumpalkan pesawat-pesawatat dan memakannya. Reyna dan Nico berdiri. Aurum dan Argentum bergegas k( nisi Reyna dan menggeram-geram kepada si penyusup. Bagaimana sampai cowok tersebut sedekat ini tanpa disadari satu pun dari mereka, Nico tidak paham. "Bryce Lawrence," kata Reyna. "Anjing penyerang Octavian yang terbaru." Si orang Romawi menelengkan kepala. Matanya hijau, tapi bukan hijau laut seperti Percy ... lebih mirip hijau lendir rawa-rawa. "Augur memiliki banyak anjing penyerang," kata Bryce. "Aku hanya si mujur yang menemukanmu. Teman Graecus-mu ini" dia mengedikkan dagu ke arah Nico "dia mudah dilacak. Dia berbau Dunia Bawah." Nico mencabut pedangnya. "Kau tahu Dunia Bawah" Mau kuaturkan pelanconganmu ke sana"" Bryce tertawa. Gigi depannya kekuningan. "Menurutmu kau bisa menakutiku" Aku ini keturunan Orkus, dewa dari sumpah yang dilanggar dan hukuman abadi. Aku pernah mendengar sendiri jeritan-jeritan di Padang Hukuman. Suara itu bagaikan musik di telingaku. Tidak lama berselang, akan kutambahkan satu lagi jiwa terkutuk ke dalam paduan suara itu." Dia menyeringai kepada Reyna. "Membunuh ayah sendiri, ya" Octavian akan sangat menyukai kabar ini. Kau ditahan karena melanggar berbagai hukum Romawi." "Keberadaanmu di sini melanggar hukum Romawi," kata Reyna. "Bangsa Romawi tidak menjalani misi seorang diri. Misi harus dipimpin oleh seseorang berpangkat centurion atau lebih tinggi. Kau masih in probatio, sedangkan memberimu kedudukan itu saja sudah suatu kekeliruan. Kau tidak berhak menahanku." Bryce mengangkat bahu. "Pada masa Fierang, sebagian peraturan mesti fleksibel. Tapi, jangan cemas. Begitu aku membawamu untuk diadili, aku akan dihadiahi keanggotaan penuh di legiun. Kubayangkan aku akan dipromosikan sebagai centurion juga. Tak diragukan bakal ada lowongan setelah pertempuran mendatang. Beberapa perwira takkan bertahan hidup, terutama jika kesetiaan mereka tidak tertuju ke pihak yang tepat." Pak Pelatih Hedge mengangkat tongkatnya. "Aku tidak tahu tentang tata krama Romawi, tapi boleh kugetok anak ini sekarang"" "Faun," kata Bryce. "Menarik. Kudengar bangsa Yunani betul-betul memercayai manusia kambing mereka."
Hedge mengembik. "Aku ini satir. Dan kau boleh percaya bahwa aku akan melesakkan kepalamu dengan tongkat ini, dasar berandal kecil." Sang pelatih maju, tapi begitu kakinya menyentuh punden, batu-batu menggemuruh seperti hendak mendidih. Dari dalam makam, pendekar-pendekar kerangka merekah ke luar spartoi berseragam merah tentara Britania yang sudah compang-camping. Hedge buru-buru menjauh, tapi dua kerangka pertama menyambar lengannya dan mengangkatnya ke udara. Sang pelatih menjatuhkan tongkat bisbol dan menendang-nendangkan kaki belahnya. "Lepaskan aku, dasar tengkorak bodoh!" raungnya. Nico memperhatikan, lumpuh, sementara makam itu me-muntahkan semakin banyak prajurit Britania lima,
sepuluh, dua puluh, berlipat ganda demikian cepat sampai-sampai Reyna dan kedua anjing logamnya terkepung sebelum Nico sempat berpikir untuk mengangkat pedangnya. Bagaimana mungkin dia tidak merasakan sekian banyak orang mati, di jarak yang begitu dekat" "Aku lupa menyinggung-nyinggung," kata Bryce, "aku sebenarnya tidak sendirian dalam misi ini. Sebagaimana yang bisa kalian lihat, aku didampingi bala bantuan. Para tentara ini menjanjikan tempat tinggal bagi para kolonis. Kemudian mereka membantai orang-orang itu. Secara pribadi, aku suka pembantaian, tapi karena mereka melanggar sumpah, roh mereka terkutuk dan mereka senantiasa di bawah kekuasaan Orkus. Artinya, mereka juga berada di bawah kendaliku." Dia menunjuk Reyna. "Tangkap gadis itu." Spartoi menghambur ke depan. Aurum dan Argentum menjatuhkan beberapa yang pertama, tapi mereka segera saja ditahan ke tanah, tangan kerangka membekap moncong mereka.
Para tentara berbaju merah memegangi lengan Reyna. Untuk ukuran mayat hidup, kegesitan mereka mengejutkan. Akhirnya, Nico tersadar. Dia menebas-nebas spartoi, tapi pedangnya menembus tanpa melukai mereka. Dia mengerahkan kekuatan tekadnya, memerintahkan kerangka agar terbuyarkan. Mereka berlaku seolah Nico tidak eksis. 'Ada apa, Putra Hades"" Suara Bryce dipenuhi rasa simpati palsu. "Kehilangan pegangan"" Nico berusaha memaksa lewat ke tengah-tengah para kerangka. Jumlah mereka terlalu banyak. Bryce, Reyna, dan Pak Pelatih Hedge tak ubahnya berada di balik dinding logam. "Nico menyingkir dari sini!" kata Reyna. "Ambil patung dan pergilah." "Ya, silakan pergi!" Bryce sepakat. "Tentu kau menyadari bahwa perjalanan bayanganmu yang berikutnya akan menjadi yang terakhir. Kau tahu kau tidak memiliki kekuatan untuk bertah an dari lompatan berikutnya. Tapi silakan, ambillah Athena Parthenos." Nico melirik ke bawah. Dia masih memegang pedang Stygian-nya, tapi tangannya gelap transparan seperti kaca keruh. Di bawah sinar matahari langsung sekalipun, dia terbuyarkan. "Hentikan ini!" katanya. "Oh, aku tak melakukan apa-apa," tukas Bryce. "Tapi, aku penasaran menyaksikan apa yang akan terjadi. Jika kau bawa patung itu, kau akan menghilang bersama Athena Parthenos untuk selamanya. Jika kau tidak membawanya nah, aku diperintahkan membawa Reyna hidup-hidup untuk diadili atas tuduhan makar. Aku tidak diperintahkan untuk membawamu, atau si faun, hidup-hidup."
"Satir!" teriak sang pelatih. Dia menendang selangkangan kerangka, tindakan yang tampaknya lebih menyakiti Hedge ketimbang si tentara. "Aw! Mayat Inggris bodoh!" Bryce menurunkan lembingnya dan menyenggol perut sang pelatih. "Aku bertanya-tanya ambang sakit makhluk ini seperti apa. Aku pernah bereksperimen terhadap segala jenis hewan. Aku bahkan pernah membunuh centurionku sendiri suatu ketika. Aku tidak pernah mencobai faun ... maafkan aku, satin. Kalian bereinkarnasi, bukan" Berapa banyak rasa sakit yang bisa kau tanggung sebelum berubah menjadi sepetak bunga aster"" Amarah Nico berubah menjadi sedingin dan sekelam bilah pedangnya. Dia sendiri pernah diubah menjadi tumbuhan dan dia tidak suka. Dia benci orang-orang seperti Bryce Lawrence, yang menyakiti hanya untuk bersenang-senang. "Jangan ganggu dia," Nico memperingatkan. Bryce mengangkat alis. "Kalau tidak, lalu apa" Jangan sungkan-sungkan, cobalah sesuatu yang khas Dunia Bawah. Aku ingin sekali melihatnya. Aku punya firasat upaya apa pun yang menguras banyak energi bakal membuatmu memudar secara permanen. Silakan." Reyna meronta. "Bryce, lupakan mereka. Kalau kau meng-inginkan aku sebagai tawanan, ya sudah. Aku akan ikut secara sukarela dan menghadapi pengadilan bodoh si Octavian." "Tawaran bagus." Bryce memutar lembingnya, membiarkan ujung benda itu terombang-ambing beberapa inci dari mata Reyna. "Kau sungguh tidak tahu apa yang Octavian rencanakan, ya" Dia sibuk minta bantuan dari sana-sini, membelanjakan uang legiun." Reyna mengepalkan tinju. "Octavian tidak punya hak " "Dia punya hak atas kekuasaan," kata Bryce. "Kau kehilangan wewenangmu ketika kau lari ke negeri kuno. Pada 1 Agustus, teman-teman Yunani-mu di Perkemah
an Blasteran akan mengetahui betapa Octavian adalah musuh yang perkasa. Aku sudah melihat desain-desain mesinnya Aku sekalipun terkesan." Tulang-tulang Nico serasa berubah menjadi helium, seperti ketika Dewa Favonius mengubahnya menjadi angin. Kemudian dia bertatapan dengan Reyna. Kekuatan gadis itu menularinya gelombang keberanian dan keuletan yang menjadikan Nico kembali merasa substansial, tertambat ke dunia Tana. Sekalipun dikepung orang-orang mati dan menghadapi eksekusi, Reyna Ramirez-Arellano ternyata memiliki cadangan keberanian untuk dibagikan. "Nico," kata Reyna, "lakukan yang mesti kau lakukan. Akan kulindungi kau." Bryce terkekeh, jelas-jelas kesenangan. "Oh, Reyna. Kau akan melindunginya" Pasti asyik sekali menyeretmu ke hadapan tribunal, memaksamu mengakui bahwa kau membunuh ayahmu. Kuharap kau bakal dieksekusi dengan cara lama dimasukkan ke dalam karung yang dijahit bersama anjing gila, lalu dibuang ke sungai. Aku ingin menyaksikan itu sedari dulu. Aku tak sabar menunggu sampai rahasia kecilmu terbongkar." Sampai rahasia kecilmu terbongkar. Bryce menggesekkan ujung pilum-nya ke wajah Reyna, meninggalkan segaris darah. Meledaklah amarah Nico[]
BAB TIGA PULUH SATU NICO BELAKANGAN, MEREKA MEMBERITAHUNYA APA YANG terjadi. Yang dia ingat cuma teriakan. Menurut Reyna, suhu udara di sekeliling Nico anjlok ke titik beku. Tanah menghitam. Sambil mengeluarkan teriakan mencekam, Nico melepaskan banjir duka dan amarah kepada semua orang di bukaan. Reyna dan sang pelatih mengalami perjalanan Nico mengarungi Tartarus, penangkapannya oleh para raksasa, hari-hari ketika dia sekarat dalam jambangan perunggu. Mereka merasakan derita Nico pada hari-hari di atas Argo II dan pada perjumpaannya dengan Cupid di reruntuhan Salona. Mereka mendengar tantangan tak terucap yang Nico lontarkan kepada Bryce Lawrence, dengan nyaring dan jernih: Kau menginginkan rahasia" Nih. Spartoi remuk menjadi debu. Batu-batu di punden memutih karena dilapisi bunga es. Bryce Lawrence sempoyongan sambil memegangi kepala, lubang hidungnya berdarah. Nico berderap menghampiri anak lelaki itu. Nico menyambar kepingprobatio Bryce dan mencabut benda tersebut dari lehernya.
"Kau tidak layak menerima ini," geram Nico. Bumi terbelah di bawah kaki Bryce. Dia terbenam sampai ke pinggang. "Stop!" Bryce mencakar-cakar tanah dan buket-buket plastik, namun tubuhnya terus tenggelam. "Kau telah bersumpah kepada legiun." Napas Nico berembun di hawa dingin. "Kau melanggar aturan-aturan 15iun. Kau menyakiti. Kau membunuh centurionmu sendiri." "Aku aku tidak melakukannya! Aku " "Untuk kejahatanmu, kau seharusnya mati," lanjut Nico. "Itulah hukuman yang setimpal. Namun demikian, kau hanya diusir. Kau seharusnya tetap jauh-jauh. Ayahmu Orkus mungkin tidak setuju akan sumpah yang dilanggar. Tapi ayahku Hades benar-benar tidak menyukai orang-orang yang kabur dari hukuman." "Tolong kasihani aku!" Kata itu tidak masuk akal bagi Nico. Dunia Bawah tak kenal kasihan. Dunia Bawah hanya mengenal keadilan. "Kau sudah mati," kata Nico. "Kau hantu tanpa lidah, tanpa ingatan. Kau takkan berbagi rahasia kepada siapa-siapa." "Jangan!" Tubuh Bryce menjadi gelap dan sekabur asap. Dia melesak ke dalam bumi, hingga ke dadanya. "Bukan, aku Bryce Lawrence! Aku masih hidup!" "Siapa kau"" tanya Nico. Suara berikutnya yang keluar dari mulut Bryce berupa bisik-bisik belaka. Wajahnya menjadi tidak jelas. Dia tidak ada bedanya dengan berjuta-juta roh tanpa nama. "Pergi," kata Nico. Roh itu terbuyarkan. Retakan bumi tertutup kembali. Nico menengok ke belakang dan melihat bahwa teman-temannya selamat. Reyna dan sang pelatih menatap Nico dengan ngeri. Wajah Reyna berdarah. Aurum dan Argentum berputar-putar, seakan otak mekanis mereka telah korslet.
Nico pun ambruk. Mimpi Nico tidak masuk akal, hampir-hampir membuatnya lega. Kawanan gagak berputar-putar di langit_ gelap. Kemudian gagak-gagak itu berubah menjadi kuda yang berderap di antara ombak. Dia melihat kakaknya, Bianca, duduk di paviliun makan Perkemahan Blasteran bersama para Pemburu Artemis. Bianca tersenyum dan tertawa dengan kelompok tema
n barunya. Kemudian Bianca berubah menjadi Hazel, yang mengecup pi Nico dan berkata, "Aku ingin melihat kau menjadi perkecualian." Nico melihat Ella si harpy dengan rambut merah panjang dan bulu merahnya, matanya segelap kopi. Ella hinggap di sofa ruang duduk Rumah Besar. Di sebelahnya, bertenggerlah Seymour si kepala macan tutul ajaib isi kapuk. Ella bergoyang ke depa belakang, menyuapi si macan tutul dengan Cheetos. "Keju tidak bagus buat harpy," gumamnya. Kemudian dia mengernyitkan wajah dan merapalkan salah satu larik ramalan yang dia hafal: "Jatuhnya matahari, bait pamungkas." Disuapinya Seymour Cheetos lagi. "Keju bagus buat kepala macan tutul." Seymour mengaum setuju. Ella berubah menjadi peri awan berambut gelap yang sudah hamil besar, menggeliut kesakitan di tempat tidur perkemahan. Clarisse La Rue duduk di sebelahnya, mengompres kepala sang peri awan dengan kain adem. "Mellie, kau akan baik-baik saja,)5 kata Clarisse, walaupun dia kedengarannya khawatir. "Tidak, tiada yang baik-baik saja!" Mellie meraung. "Gaea tengah bangkit!" Adegan berubah. Nico berdiri bersama Hades di Perbukitan Berkeley pada hari ketika Hades pertama kali membimbingnya ke Perkemahan Jupiter. "Datangi mereka," kata sang dewa.
"Perkenalkan dirimu sebagai anak Pluto. Penting agar kau merajut hubungan ini"" "Kenapa"" tanya Nico. Hades terbuyarkan. Nico mendapati dirinya kembali ke Tartarus, berdiri di hadapan Akhlys, Dewi Penderitaan. Darah cemong-cemong di pipinya. Air mata mengucur di wajahnya, menetes-netes ke tameng Hercules di pangkuannya. "Anak Hades, apa lagi yang bisa kutimpakan padamu" Kau sempurna! Begitu banyak duka dan kepedihan!" Nico terkesiap. Matanya serta-merta terbuka. Dia sedang telentang, menatap sinar matahari di antara dahan-dahan pohon. "Puji syukur kepada dewa-dewi." Reyna mencondongkan badan ke arah Nico, tangan gadis itu terasa sejuk di keningnya. Darah pada luka iris di wajah Reyna sudah hilang total. Di samping Reyna, Pak Pelatih Hedge merengut. Sayangnya, !Tito dapat melihat lubang hidung sang pelatih dengan sangat jelas. "Bagus," kata sang pelatih. "Tambah sedikit lagi saja." Dia mengulurkan perban besar segi empat berlumur gundukan cokelat lengket dan menempelkan benda itu ke hidung Nico. "Apa ini " Ih." Gundukan cokelat berbau seperti tanah gembur, potongan kayu cemara, jus anggur, dan secercah pupuk. Nico tidak punya kekuatan untuk memindahkannya. Indra Nico mulai berfungsi kembali. Dia menyadari sedang berbaring di kantong tidur di luar tenda. Dia tidak mengenakan apa-apa selain celana pendek dan ribuan perban kecokelatan menjijikkan di sekujur tubuh. Lengan, tungkai, dan dadanya gatal karena lumpur yang mengering. "Apa apa Bapak hendak menanamiku"" gumamnya.
"Ini obat cedera olahraga dengan sejumput sihir alam," kata sang pelatih. "Semacam hobiku." Nico mencoba memfokuskan perhatian pada wajah Reyna. "Kau setuju akan ini"" Gadis itu kelihatannya hendak pingsan karena letih, tapi dia mampu tersenyum. "Pak Pelatih Hedge membawamu kembali dari ambang maut. Jamu unicorn, ambrosia, nektar kita tidak bisa menggunakan satu pun bahan itu. Kau sudah mengabur hingga tipis sekali." "Mengabur "" "Jangan khawatirkan itu sekarang, Nak." Hedge memosisikan sedotan ke samping mulut Nico. "Nih, minum cairan isotonik." "Aku aku tidak mau " "Kau harus minum cairan isotonik," sang pelatih bersikeras. Nico meminum cairan isotonik. Dia kaget akan betapa haus dirinya. "Apo yang terjadi padaku"" tanyanya. "Pada Bryce ... pada kerangka-kerangka itu "" Reyna dan sang pelatih bertukar pandang resah. "Ada kabar baik dan kabar buruk," ujar Reyna. "Tapi pertama-tama, makanlah sesuatu. Kekuatanmu mesti pulih dulu sebelum kau boleh mendengar kabar buruk."[]
BAB TIGA PULUH DUA NICO "TIGA HARI"" Dua belas kali mendengar itu, Nico masih tidak yakin dia tak salah dengar. "Kami tak bisa memindahkanmu," kata Rena. "Maksudku, kau tidak bisa dipindahkan secara harfiah. Kau hampir tidak memiliki substansi. Kalau bukan berkat Pak Pelatih Hedge " "Bukan perkara besar," sang pelatih meyakinkan Nico. "Suatu kali di tengah-tengah pertandingan play-o
ff aku harus menyangga kaki pemain futbol yang patah dengan peralatan seadanya, cuma batang pohon dan selotip." Walaupun lagaknya cuek, mata sang satir berkantong. Pipinya cekung. Penampilan Pak Pelatih Hedge hampir seloyo yang Nico rasakan sendiri. Nico tidak percaya dirinya tak sadarkan diri selama itu. Dia mengisahkan mimpi-mimpinya yang aneh celotehan Ella sang harpy, sekilas pandang akan Mellie sang peri awan (alhasil membuat sang pelatih cemas) tapi Nico merasa seolah visi-visi itu hanya berlangsung beberapa detik. Menurut Reyna, hari itu
adalah siang 30 Juli. Nico telah mengalami koma bayangan selama beberapa hari. "Bangsa Romawi akan menyerang Perkemahan Blasteran lusa." Nico menyesap minuman isotonik lagi, yang dingin menyegarkan, tapi tanpa rasa. Indra pengecap Nico seolah telah melebur ke dunia bayang-bayang secara permanen. "Kita harus bergegas. Aku harus bersiap-siap." "Tidak." Reyna menekankan tangannya ke lengan bawah Nico, membuat perban berkerut. "Kalau kau melakukan perjalanan bayangan lagi, bisa-bisa kau tewas." Nico mengertakkan gigi. "Kalau aku tewas, ya sudah. Kita harus mengantarkan patung ke Perkemahan Blasteran." "Hei, Bocah," kata sang pelatih, "kuhargai dedikasimu, tapi kalau kau meneleportasikan kami semua ke kegelapan abadi bersama Athena Parthenos, takkan ada yang terbantu. Bryce Lawrence benar soal itu." Saat mendengar nama Bryce disebut-sebut, kedua anjing logam Reyna menegakkan kuping dan menggeram. Reyna menatap punden batu, matanya penuh derita, seakan roh-roh tak diundang bakal muncul kembali dari dalam kubur. Nico menarik napas, menghirup bau tajam racikan obat rumahan buatan Hedge. "Reyna, aku aku tidak berpikir. Yang kulakukan pada Bryce " "Kau menghabisinya," kata Reyna. "Kau mengubahnya jadi hantu. Betul, kejadian itu mengingatkanku pada peristiwa yang menimpa ayahku." "Aku tidak bermaksud menakutimu," ujar Nico getir. "Aku tidak bermaksud meracuni persahabatan kita. Maafkan aku Reyna mengamati wajahnya. "Nico, harus kuakui, hari pertama kau tak sadarkan diri, aku tidak tahu harus berpikir atau merasakan apa. Yang kau lakukan sukar disaksikan sukar diproses."
Pak Pelatih Hedge mengunyah ranting. "Aku mesti setuju dengan anak perempuan ini, Bocah. Menghajar kepala seseorang dengan tongkat bisbol, itu wajar. Tapi mengubah si berandal menyebalkan jadi hantu, itu lain perkara. Itu sihir ge/ap namanya." Nico menduga bakal merasa marah membentak-bentak mereka karena sudah coba-coba menghakiminya. Itulah yang lazimnya Nico lakukan. Tapi, amarah tidak kunjung datang. Dia masih merasa gusar pada Bryce Lawrence, pada Gaea, dan pada para raksasa. Dia ingin menemukan Octavian si augur dan mencekiknya dengan sabuk rantai. Tapi, Nico tak marah pada Reyna ataupun sang pelatih. "Kenapa kalian membawaku kembali"" tanyanya. "Kalian tahu aku tidak bisa membantu kalian lagi. Kalian semestinya mencari cara lain untuk melanjutkan perjalanan dengan patung. Tapi, kalian menghabiskan tiga hari untuk merawatku. Kenapa"" Pak Pelatih Hedge mendengus. "Kau bagian dari tim, Bodoh. Kami takkan meninggalkanmu." "Lebih dari itu." Reyna memegangi tangan Nico. "Selagi kau tidur, aku berpikir baik-baik. Yang kukatakan padamu tentang ayahku aku tidak pernah membaginya dengan siapa pun. Kurasa aku tahu kaulah orang yang tepat untuk mendengar rahasiaku. Kau mengangkat sebagian bebanku. Aku percaya padamu, Nico." Nico menatap Reyna, kebingungan. "Bagaimana bisa kau memercayaiku" Kalian berdua merasakan amarahku, melihat perasaanku yang terburuk ..." "Hei, Nak," kata Pak Pelatih Hedge, nadanya lebih lunak. "Kita semua bisa marah. Bahkan satir berhati lembut sepertiku." Reyna menyeringai. Diremasnya. tangan Nico. "Pak Pelatih benar, Nico. Bukan cuma kau yang membiarkan kegelapan keluar sesekali. Aku memberitahumu kejadian yang menimpa ayahku dan
kau mendukungku. Kau berbagi pengalamanmu yang menyakitk bagaimana mungkin kami tidak mendukungmu" Kita berteman. Nico tidak yakin mesti berkata apa. Mereka telah melil rahasianya yang terdalam. Mereka tahu siapa dirinya, seperti a dirinya. Tapi, mereka sepertinya tidak pedul
i. Bukan mereka semakin peduli. Mereka tidak menghakiminya. Mereka prihatin. Reaksi ini tidak masuk akal baginya. "Tapi Bryce. Aku ..." Nico tak bisa melanjutkan. "Kau melakukan yang mesti dilakukan. Aku sekarang maklum," kata Reyna. "Asalkan, berjanjilah padaku, jangan lagi mengubah orang menjadi hantu jika tidak terpaksa sekali." "Iya," kata Pak Pelatih. "Kecuali kau membiarkanku menghajar mereka dulu. Lagi pula, masih ada setitik sinar terang." Reyna mengangguk. "Kami tidak melihat tanda-tanda kehadiran orang Romawi lainnya, jadi kelihatannya Bryce tidak mengabari siapa pun mengenai di mana dia berada. Selain itu, tidak ada tanda-tanda Orion. Mudah-mudahan artinya dia telah ditaklukkan oleh para Pemburu." "Hylla bagaimana"" tanya Nico. "Thalia"" Garis-garis di seputar mulut Reyna menegang. "Belum ada kabar. Tapi, aku harus meyakini bahwa mereka masih hidup." "Kau tidak memberitahunya kabar yang terbaik," pancing sang pelatih. Reyna mengerutkan kening. "Mungkin karena susah sekali dipercaya. Menurut Pak Pelatih Hedge, dia menemukan cara untuk mengantarkan patung. Cuma itu yang dia bicarakan tiga hari terakhir ini. Tapi sejauh ini, kami tak melihat tanda-tanda-tanda "Hei, pasti bisa!" Pak Pelatih menyeringai kepada Nico. "Kau ingat pesawat kertas yang kuterbangkan tepat sebelum si Lawrence
Menjijikkan muncul" Itu pesan dari salah satu koneksi Mellie di istana Aeolus. Harpy yang bernama Nuggets dia dan Mellie Leman lama. Pokoknya dia mengenal seseorang yang mengenal seseorang yang mengenal kuda yang mengenal kambing yang mengenal kuda lainnya " "Pak Pelatih," tegur Reyna, "nanti Nico menyesal dirinya sadar dari koma." "Ya sudah," dengus sang satin "Singkat cerita, aku minta tolong dari sana-sini. Aku mengabarkan kepada roh angin baik-baik bahwa kita butuh bantuan. Surat yang kumakan" Konfirmasi bahwa kavaleri sedang dalam perjalanan. Mereka bilang akan butuh waktu untuk mengorganisasi diri, tapi dia semestinya sampai di sini segera sebentar lagi, malah." "Dia itu siapa"" tanya Nico. "Kavaleri apa"" Reyna berdiri mendadak. Dia menatap ke utara, wajahnya melongo kagum. "Kavaleri itu ." Nico mengikuti arah tatapannya. Sekawanan burung tengah mendekat burung-burung besar. Mereka 'clan dekat dan tersadarlah Nico bahwa mereka adalah kuda bersayap berjumlah setidaknya setengah lusin, membentuk formasi V, tanpa penunggang. Yang terbang di ujung adalah kuda mahabesar berbulu keemasan dan berjambul warna-warni seperti elang, rentang sayapnya dua kali lebih lebar daripada kuda-kuda lain. "Pegasus," kata Nico. "Bapak memanggil cukup banyak pegasus untuk membawa patung." Pak Pelatih tertawa girang. "Bukan sembarang pegasus, Bocah. Yang kau saksikan ini kelas satu." "Kuda di depan ..." Reyna menggeleng-gelengkan kepala talc percaya. "Dia Pegasus yang itu, penguasa kuda nan kekal."[]
BAB TIGA PULUH TIGA LEO SELALU SEPERTI ITU. Tepat saat Leo rnenyelesaikan modifikasi, Dewi Badai dahs, datang dan mencopot ring-ring dari kapalnya. Setelah perjumpaan dengan si Kymopo-siapalah, Argo menyeberangi Laut Aegea dengan tersendat-sendat, rusakn terlalu parah sehingga tidak bisa terbang, terlalu lambat sehing tidak bisa mendahului monster. Mereka bertarung melawan u] laut lapar tiap sejam sekali. Mereka menarik sekawanan ikan yai penasaran. Satu ketika, mereka malah tersangkut di batu, alha Percy dan Jason harus keluar dan mendorong. Bunyi mesin yang mirip suara orang bengek membu Leo ingin menangis. Setelah tiga hari nan panjang, dia berha membetulkan kapal seadanya, tepat saat mereka berlabuh di Pub Mykonos. Dengan kata lain, mungkin tiba pulalah saatnya ba mereka untuk dihajar hingga berkeping-keping lagi. Percy dan Annabeth turun ke darat untuk menginta sedangkan Leo berdiam di anjungan untuk mengeset papa kendali. Saking berkonsentrasinya menyambungkan kabel, Leo tidak menyadari bahwa regu pendaratan sudah kembali sampai Percy berkata, "Hei, Bung. Gelato." Serta-merta, hari itu membaik bagi Leo. Seluruh kru duduk di dek, tanpa perlu mengkhawatirkan badai atau serangan monster untuk kali pertama dalam waktu berhari-hari, dan menyantap es kr
im. Kecuali Frank, yang tidak bisa mencerna laktosa. Dia makan apel saja. Hari itu papas dan berangin. Laut cemerlang dan berombak, tapi Leo telah memperbaiki penstabil sehingga mabuk laut Hazel kelihatannya tidak berat. Di sebelah kanan kapal mereka, terbentanglah kota Mykonos kumpulan bangunan stuko putih beratap biru, berjendela biru, dan berpintu biru. "Kami melihat pelikan jalan-jalan di kota," Percy melaporkan. "Santai banget, masuk ke toko, mampir di bar." Hazel mengerutkan kening. "Monster yang menyamar"" "Bukan," kata Annabeth sambil tertawa, "cuma pelikan normal. Burung itu adalah maskot kota ini atau semacamnya. Di kota ini ada `Kampung Italia. Itulah sebabnya gelato ini enak sekali." "Eropa memang aneh." Leo geleng-geleng kepala. "Pertama, di Roma ada tangga Spanyol. Kemudian, di Yunani ada es krim Italia." Tapi, dia tidak bisa protes soal gelato. Leo memakan hidangan cokelat sedap porsi dobel dan mencoba membayangkan bahwa dirinya serta teman-temannya semata-mata berlibur santai. Alhasil, Leo jadi berharap semoga Calypso bersamanya. Alhasil dia berharap perang sudah usai dan semua orang hidup alhasil dia menjadi sedih. Hari itu 30 Juli. Hari G kurang dari 48 jam lagi, hari ketika Gaea sang Putri Limbah Toilet akan terbangun bersimbah tanah, dalam kejayaan.
Yang janggal adalah, kian dekat tanggal 1 Agustus, sikap teman-temannya semakin penuh semangat. Atau mungkinpenuh semangat bukan istilah yang tepat. Mereka sepertinya sedang menguatkan hati untuk rintangan pamungkas menyadari bahwa dua hari ke depan akan menentukan hidup-mati mereka. Tiada gunanya bermuram durja ketika maut sudah di depan mata. Kiamat menjadikan gelato terasa jauh lebih lezat. Tentu saja, awak yang lain tidak ikut turun ke istal bersama Leo, berbicara dengan Nike, sang Dewi Kemenangan, tiga ha ri terakhir ini . Piper meletakkan contong es krimnya. "Nah, Pulau Delos terletak tepat di seberang pelabuhan. Wilayah asal Artemis dan Apollo. Siapa yang mau ke sana"" "Aku," kata Leo seketika. Semua orang menatapnya. "Apa"" sergah Leo. "Aku Akan diplomatis. Frank dan Hazel mengajukan diri untuk mendampingiku." "Masa"" Frank menurunkan apelnya yang baru dimakan separuh. "Maksudku benar." Mata Hazel yang keemasan berkilat-kilat di bawah cahay a matahari. "Leo, apa kau memimpikan ini atau semacamnya"" "Ya," tukas Leo. "Eh ... tidak. Bukan begitu tepatnya. Tapi kalian harus memercayaiku dalam hal ini, Teman-Teman. Aku harus bicara pada Apollo dan Artemis. Aku punya gagasan yang perlu kulemparkan pada mereka." Annabeth mengerutkan kening. Dia kelihatannya bakal berkeberatan, tapi Jason keburu angkat bicara. "Kalau Leo punya gagasan," katanya, "kita harus percay padanya."
Leo merasa bersalah gara-gara pernyataan itu, terutama mengingat seperti apa gagasannya, tapi dia menyunggingkan senyum. "Makasih, Bung.), Percy mengangkat bahu. "Oke. Tapi, nasihat dariku: sewaktu kalian bertemu Apollo, jangan sebut-sebut haiku." Hazel mengernyitkan alis. "Kenapa tidak" Bukankah dia dewa puisi"" "Pokoknya percaya saja padaku." "Paham." Leo pun bangkit. "Oh iya, Teman-teman, kalau di Delos ada toko oleh-oleh, pasti akan kubelikan kalian boneka kepala bergoyang berbentuk Apollo dan Artemis!" Apollo tampaknya tidak sedang ingin menggubah haiku. Dia juga tidak menjual boneka kepala bergoyang. Frank berubah menjadi elang raksasa untuk terbang ke Delos, tapi Leo menumpang ke punggung Arion bersama Hazel. Tanpa bermaksud menyinggung Frank, Leo sepenuh hati keberatan menunggangi elang raksasa sejak insiden di Benteng Sumter. Tingkat keberhasilannya dalam membawa penumpang sejauh ini adalah nol persen. Mereka mendapati bahwa pulau itu lengang, barangkali karena Taut terlalu berombak untuk diarungi kapal wisatawan. Perbukitan yang diterpa angin tampak gersang, hanya disemarakkan oleh bebatuan, rumput, serta bunga liar dan, tentu saja, puing-puing kuil. Reruntuhan itu barangkali sangat mengesankan, tapi sejak bertandang ke Olympia, Leo sudah kenyang melihat reruntuhan kuno. Dia sudah bosan melihat pilar marmer putih. Dia ingin kembali ke Amerika Serikat, yang bangunan tertuany
a cuma berupa sekolah negeri dan restoran McDonald's. Mereka menyusuri adimarga berpagarkan singa-singa batu putih, wajah mereka aus dimakan cuaca.
"Seram, ya," kata Hazel. "Kau merasakan adanya hantu"" tanya Frank. Hazel menggelengkan kepala. "Ketiadaan hantu justru seram. Pada zaman kuno, Delos adalah tanah keramat. Manusia fan tidak boleh dilahirkan atau mati di sini. Praktis tidak ada arwal manusia fana di seluruh pulau ini." "Aku sih senang-senang Baja,"kata Leo. "Bukankah berart tak seorang pun boleh membunuh kita di sini"" "Aku tidak berkata begitu." Hazel berhenti di puncak sebuah bukit rendah. "Lihat. Di bawah sana." Di bawah mereka, lereng bukit telah diukir sehingga membentuk amfiteater. Belukar menyembul di antara deretan bangku batu, menjadikan tempat itu mirip lokasi konser berpenonton semak berduri. Di dasar, menduduki balok batu di tengah-tengah panggung, Dewa Apollo memegangi ukulele samba membungkuk, memetik irama memilukan. Setidaknya, Leo mengasumsikan itu Apollo. Cowok di bawah bertampang layaknya anak umur tujuh belas, berambut pirang keriting dan berkulit cokelat terpanggang matahari. Dia mengenakan jins robek-robek, kaus hitam, dan jaket linen berhiaskan batu-batuan kaca berkilat di bagian kerah, seperti mencoba memadukan gaya Elvis/Ramones/Beach Boys. Leo biasanya tidak menganggap ukulele sebagai alat musik yang menyedihkan. (Norak, memang. Tapi tidak menyedihkan.) Namun demikian, irama yang Apollo petik demikian melankolis sampai-sampai hati Leo jadi perih. Di baris depan, duduklah seorang gadis berumur sekitar tiga belas tahun, mengenakan legging hitam dan tunik perak, rambut gelapnya diekor kuda. Dia sedang menyerut ranting panjang membuat busur.
"Mereka itu dewa-dewi"" tanya Frank. "Mereka tidak seperti kembaran." "Coba pikirkan," kata Hazel. "Jika kau dewa, kau bisa ber-penampilan sebagaimana yang kau inginkan. Jika kau memiliki kembaran " "Aku akan memilih penampilan apa saja anal tidak mirip saudaraku," Frank sepakat. "Jadi, rencana kita apa"" "Jangan tembak!" teriak Leo. Seruan ini sepertinya merupakan kalimat pembuka yang bagus untuk menghadapi dua dewa panahan. Dia mengangkat tangan dan turun ke panggung. Kedua dewa sama-sama tidak tampak terkejut melihat mereka. Apollo mendesah dan kembali memainkan ukulele. Sesampainya mereka di baris depan, Artemis bergumam, "Kalian datang juga. Kami sudah mulai bertanya-tanya." Tekanan batin Leo langsung mengendur. Dia mulanya sudah siap memperkenalkan diri, menjelaskan bahwa mereka datang dengan damai, mungkin menyampaikan beberapa lelucon, dan menawarkan permen penyegar napas. "Jadi, Anda memang mengharapkan kedatangan kami," kata Leo. "Aku bisa tahu, soalnya Anda berdua tampak sangat antusias." Apollo memainkan lagu rakyat yang semestinya kocak, tapi kali ini terdengar bak lagu pemakaman. "Kami sudah mengharapkan bakal ditemukan, diusik, dan disiksa. Kami tidak tahu oleh siapa. Bisakah kalian tinggalkan kami dalam nestapa"" "Kau tahu mereka tidak bisa, Saudaraku," tegur Artemis. "Mereka membutuhkan pertolongan kita dalam misi mereka, sekalipun peluangnya tampak kecil sekali." "Anda berdua optimistis sekali," kata Leo. "Kenapa pula Anda bersembunyi di sini" Bukankah Anda semestinya apa ya, bertarung melawan raksasa misalnya""
Mata Artemis yang berwarna pucat membuat Leo merasa bagaikan bangkai rusa yang hendak dikeluarkan jeroannya. "Delos adalah tempat lahir kami," kata sang dewi. "Di sini, kami tak terpengaruh perpecahan Yunani-Romawi. Percayalah padaku, Leo Valdez, jika bisa, aku akan menyertai para Pem-buruku, menghadapi musuh lama kami Orion. Sayangnya, apabila meninggalkan pulau ini, aku menjadi lumpuh karena kesakitan. Yang bisa kulakukan hanyalah menonton tanpa daya sementara Orion membantai para pengikutku. Banyak yang telah mengorbankan jiwa demi melindungi teman-temanmu dan patung Athena yang terkutuk itu." Hazel mengeluarkan suara tercekik. "Maksud Dewi, Nico" Apa dia baik-baik saja"" "Baik-baik saja"" Apollo memekik sambil masih memegangi ukulelenya. " Tiada yang baik-baik saja, Non! Gaea tengah ber-gejolak!" Artemis memelototi A
pollo. "Hazel Levesque, saudaramu masih hidup. Dia petarung yang pemberani, sama sepertimu. Kuharap aku bisa mengatakan hal yang sama mengenai saudaraku." "Kau menyakitiku!" Apollo melolong. "Aku disesatkan oleh Gaea dan bocah Romawi jahat itu!" Frank berdeham. "Anu, Dewa Apollo, Octavian-kah yang Dewa maksud"" "Jangan rebut namanya!" Apollo memetik nada minor. "Oh, Frank Zhang, andai kau anakku. Aku mendengar doa-doamu, kau tahu, berminggu-minggu itu ketika kau ingin diklaim. Tapi, sayang nian! Mars mendapatkan yang baik-baik. Aku mendapatkan makhluk itu sebagai keturunanku. Dia mencekoki kepalaku dengan pujian. Dia memberitahuku tentang kuil-kuil megah yang akan dia bangun untuk menghormatiku." Artemis mendengus. "Kau gampang tersanjung, Saudaraku."
"Karena aku memiliki banyak sekali sifat menakjubkan yang pantas dipuji-puji! Octavian mengatakan dia ingin menjadikan bangsa Romawi kembali kuat. Kubilang, boleh! Kuberi dia restuku." "Seingatku," ujar Artemis, "dia juga berjanji akan menjadikan-mu dewa terpenting legiun, bahkan di atas Zeus." "Waduh, memangnya siapa aku, berani-berani mendebat tawaran semacam itu" Apakah Zeus memiliki kulit cokelat tembaga nan sempurna" Bisakah dia bermain ukulele" Setahuku tidak! Tapi, tidak pernah kusangka Octavian hendak menyulut perang! Gaea pasti mengeruhkan pikiranku, berbisik-bisik ke telingaku." Leo teringat Aeolus si Dewa Angin sinting, yang menjadi bernafsu membunuh setelah mendengar suara Gaea. "Kalau begitu, perbaikilah keadaan," kata Leo. "Suruh Octavian mundur. Atau, tahu tembak dia dengan panah. Itu juga boleh." "Aku tak bisa!" Apollo melolong. "Lihat!" Ukulelenya berubah menjadi busur. Dia membidik ke angkasa dan menembak. Panah keemasan meluncur sejauh kira-kira enam puluh meter, kemudian terbuyarkan menjadi asap. "Untuk menembakkan busurku, aku harus meninggalkan Delos," tangis Apollo. "Kemudian aku akan lumpuh, atau Zeus akan menyambarku dengan petit Ayahanda tidak pernah menyukaiku. Sudah bermilenium-milenium dia tidak memercayaiku!" "Wajar saja," kata Artemis, "sebab kau pernah berkomplot dengan Hera untuk menurunkan Zeus." "Itu kesalahpahaman!" "Kau juga membunuh sejumlah Cyclops anak buah Zeus." "Aku punya alasan bagus untuk itu! Singkat kata, sekarang Zeus menyalahkanku atas segalanya siasat Octavian, kejatuhan Delphi "
"Tunggu." Hazel mengacungkan tangan. "Kejatuhan Delphi"" Busur Apollo berubah kembali menjadi ukulele. Dia memetik akor dramatis. "Ketika perpecahan mulai timbul antara Yunani dan Romawi, selagi aku berjuang melawan kebingungan, Gaea mengambil keuntungan! Dia membangkitkan musuh lamaku Python, sang ular agung, untuk merasuki Oracle Delphi. Makhluk mengerikan itu kini bergelung dalam gua kuno, merintangi keluarnya sihir ramalan. Aku terjebak di sini, jadi aku bahkan tidak bisa melawannya." "Sial," kata Leo, walaupun diam-diam dia berpikir bahwa ketiadaan ramalan barangkali bagus juga. Daftar tugasnya sudah lumayan padat. "Betul, memang sial!" Apollo mendesah. "Zeus sudah marah padaku karena menunjuk gadis baru itu, Rachel Dare, sebagai Oracle-ku. Zeus tampaknya mengira tindakan itu menyegerakan perang dengan Gaea, sebab Rachel serta-merta mengutarakan Ramalan Tujuh begitu aku memberkatinya. Tapi, bukan begitu cara ramalan bekerja! Ayahanda semata-mata ingin mempersalahkan seseorang. Jadi, tentu saja dia memilih dewa tertampan, paling berbakat, dan yang kerennya minta ampun." Artemis mengeluarkan suara seperti mau muntah. "Oh, sudahlah, Saudariku!" kata Apollo. "Kau mendapat masalah juga!" "Cuma karena aku terus menjalin kontak dengan para Pemburuku, alhasil menentang keinginan Zeus," kata Artemis. "Tapi, aku selalu bisa membujuk Ayahanda agar memaafkanku. Dia tidak pernah marah lama-lama padaku. Kaulah yang aku khawatirkan." "Aku mengkhawatirkan aku juga!" Apollo setuju. "Kita harus berbuat sesuatu. Kita tidak bisa membunuh Octavian. Hmm. Mungkin sebaiknya kita bunuh para demigod ini."
"Hei, tunggu dulu, Dewa Musik." Leo menahan dorongan hati untuk bersembunyi di belakang Frank dan berteriak, Ambil si Kanada gede ini saja! "Kami di pihak Anda, in
gat" Untuk apa Anda ingin membunuh kami"" "Mungkin perasaanku bisa menjadi baikan karenanya!" kata Apollo. "Aku harus berbuat sesuatu!" "Atau," tukas Leo cepat-cepat, "Anda bisa menolong kami. Jadi begini, kami punya rencana ." Dia memberi tahu mereka bahwa Hera telah mengarahkan mereka ke Delos dan paparan Nike mengenai bahan-bahan obat dari tabib. "Obat dari tabib"" Apollo berdiri dan memukulkan ukulele ke bebatuan sampai hancur. "Itu rencana kalian"" Leo angkat tangan. "Eh, anu, biasanya aku menyetujui penghancuran ukulele, tapi " "Aku talc bisa menolong kalian!" seru Apollo. "Jika aku memberi tahu kalian rahasia mengenai obat dari tabib, Zeus takkan pernah memaafkanku!" "Anda sudah terjerumus dalam masalah," Leo mengingatkan. "Mana mungkin bertambah parah"" Apollo memelototinya. "Andai kau tahu apa yang mampu ayahku perbuat, wahai Manusia Fana, kau takkan bertanya. Lebih sederhana apabila kulibas saja kalian semua. Itu mungkin akan menyenangkan Zeus " "Saudaraku ..." kata Artemis. Si kembar bertatapan dan bertengkar tanpa suara. Rupanya Artemis yang menang. Apollo mendesah dan menendang ukulelenya yang rusak ke seberang panggung. Artemis berdiri. "Hazel Levesque, Frank Zhang, ikut aku. Ada hal-hal yang mesti kalian ketahui mengenai Legiun 12. Sedangkan kau, Leo Valdez " Sang dewi memalingkan pandangan mata
keperakannya yang dingin kepada Leo. "Apollo akan mendengar penjelasanmu. Cobalah membuat kesepakatan. Saudaraku selalu menggemari tawaran bagus." Frank dan Hazel sama-sama melirik Leo, seolah-olah mengatakan Tolong jangan mati. Lalu mereka mengikuti Artemis menaiki tangga amfiteater dan menanjak ke punggung bukit. "Nah, bagaimana, Leo Valdez"" Apollo bersedekap. Matanya berbinar-binar keemasan. "Mari kita tawar-menawar, kalau begitu. Apa yang dapat kau tawarkan, yang akan meyakinkanku untuk menolong alih-alih membunuhmu""[]
BAB TIGA PULUH EMPAT LEO PENAWARAN." JEMARI LEO BERKEDUT-KEDUT. "WA. Oke." Tangannya bekerja sebelum benaknya tahu apa yang dia lakukan. Dia mulai mengeluarkan macam-macam dari saku sabuk perkakas ajaibnya kawat perunggu, mur, corong kuningan. Berbulan-bulan Leo mengumpulkan berbagai komponen mesin, sebab dia tidak tahu apa kiranya yang bakal dia butuhkan. Semakin lama menggunakan sabuk perkakas, semakin sabuk itu menjadi intuitif. Leo merogoh ke dalam dan benda-benda yang tepat akan muncul begitu saja. "Jadi," kata Leo sementara tangannya memuntir kawat, "Zeus sudah kesal pada Anda, Ian" Kalau Anda membantu kami mengalahkan Gaea, Anda bisa menebus kesalahan." Apollo mengernyitkan hidung. "Kurasa mungkin saja. Tapi, lebih mudah melibas kalian saja." "Yang seperti itu mana seru dijadikan balada"" Tangan Leo bekerja gila-gilaan, menghubungkan tuas, mengencangkan corong logam ke kotak gigi lama. "Anda Dewa Musik, Ian" Maukah Anda mendengarkan lagu berjudul Melibas Demigod Kecil
Ceking'" Aku tidak mau. Tapi 'Apollo Mengalahkan Ibu Pertim dan Menyelamatkan Alam Semesta itu baru cocok untuk memuncaki tangga lagu Billboard!" Apollo menerawang ke udara, seakan-akan membayangkan namanya di baliho konser. "Apa persisnya yang kau inginkan" Dan apa imbalanku"" "Yang pertama-tama kubutuhkan: saran." Leo merentangkan kawat ke mulut corong. "Aku ingin tahu apakah rencanaku bakal berhasil." Leo menjelaskan gagasannya. Dia sudah merenungkan ide itu berhari-hari, sejak Jason kembali dari dasar laut dan Leo mulai mengobrol dengan Nike. Dewa primordial sudah pernah dikalahkan sebelumnya, Kymopoleia memberi tahu Jason. Kau tahu siapa yang aku maksud. Percakapan Leo dengan Nike membantunya merumuskan rencana secara mendetail, tapi dia tetap menginginkan pendapat dari dewa lainnya. Karena sekali Leo mencurahkan diri, dia takkan bisa mundur lagi. Dia setengah berharap bahwa Apollo bakal tertawa dan menyuruhnya melupakan rencana tersebut. Namun demikian, sang dewa justru mengangguk-angguk serius. "Akan kuberi kau nasihat ini secara cuma-cuma. Kau mungkin bisa mengalahkan Gaea dengan cara yang kau jabarkan, mirip seperti cara Ouranos dikalahkan dahulu kala. Walau begitu, manusia fana di dekat sana niscaya akan ...
" Suara Apollo melirih. "Apa itu yang kau buat"" Leo memandangi kreasi di tangannya. Berlapis-lapis kawat tembaga, seperti sekian banyak set dawai gitar, saling silang di dalam corong. Deretan pelat berpegas dikontrol oleh tuas di sebelah luar corong, yang ditancapkan ke landasan logam segi empat dengan beberapa engkol.
"Oh, ini "" Benak Leo berpacu secepat kilat. Benda itu mirip kotak musik yang dikawinkan dengan fonograf gaya lama, tapi apa sebenarnya itu" Alat tawar-menawar. Artemis memberi tahu Leo bahwa dia harus meyakinkan Apollo untuk menjalin kesepakatan. Leo teringat cerita yang kerap dibangga-banggakan anak-anak l'ondok Sebelas: bagaimana ayah mereka Hermes menghindari hukuman karena sudah mencuri sapi keramat Apollo. Ketika Hermes tertangkap, dia membuat alat musik lira pertama dan menyerahkannya kepada Apollo, yang serta-merta memaafkannya. Beberapa hari lalu, Piper menyinggung-nyinggung bahwa dia melihat gua di Pylos tempat Hermes menyembunyikan sapi-sapi tersebut. Itulah yang tampaknya memicu inspirasi dalam alam bawah radar Leo. Tanpa bermaksud untuk itu, dia telah merakit sebuah alat musik, alhasil agak mengagetkan dirinya, sebab dia tidak tahu apa-apa soal musik. "Anu," kata Leo, "ini alat musik terhebat sepanjang masa!" "Cara kerjanya bagaimana"" tanya sang dewa. Pertanyaan bagus, pikir Leo. Leo memutar engkol, berharap semoga benda itu takkan meledak di mukanya. Nada-nada jernih mengalun menyerupai dentang logam tapi merdu. Leo mengutak-atik tuas dan gigi roda lagi. Dia mengenali lagu yang berkumandang melodi penuh nostalgia yang Calypso nyanyikan untuknya di Ogygia mengenai rasa rindu dan mendamba akan rumah. Tapi dari sela-sela dawai di corong kuningan, melodi itu malah kedengaran semakin sedih, seperti mesin yang patah hati. Andai Festus bisa bernyanyi, barangkali seperti itulah suaranya. Leo lupa Apollo berada di sana. Dia memainkan lagu tersebut sampai selesai. Ketika lagu itu usai, matanya perih. Dia hampir bisa
mencium aroma roti yang baru dipanggang dari dapur Calypso. Dia bisa mengecap satu-satunya kecupan yang pernah Calypso berikan kepadanya. Apollo menatap alat musik itu dengan takjub. "Aku harus memilikinya. Apa namanya" Kau menginginkannya dituL tr dengan apa"" Leo mendadak berhasrat menyembunyikan instrumen itu dan menyimpannya sendiri. Tapi, Leo menelan perasaan melankolisnya. Dia punya tugas yang mesti dituntaskan. Calypso ... Calypso perlu agar Leo berhasil. "Ini Valdezinator, tentu saja!" Leo membusungkan dada. "Ala t ini bekerja dengan, anu, menerjemahkan perasaan kita menjadi musik sementara kita mengutak-atik gigi roda. Tapi, alat ini khusus diperuntukkan bagiku, anak Hephaestus. Aku tidak tahu apakah Anda bisa " "Aku ini Dewa Musik!" pekik Apollo. "Aku pasti bisa bermain Valdezinator dengan lihai. Aku harus bisa! Aku berkewajiban untuk itu!" "Kalau begitu, mari menandatangani kesepakatan, Dewa Musik," kata Leo. "Aku benAnda ini; Anda beri aku obat dari tabib." "Oh ..." Apollo menggigit bibir dewatanya. "Wah, aku sebenarnya tidak memiliki obat dari tabib itu." "Kukira Anda ini dewa pengobatan." "Ya, tapi aku adalah dewa dari banyak hal! Puisi, musik. Oracle Delphi " Dia tersedu-sedu dan menutupi mulut dengan kepalan. "Maaf. Aku baik-baik saja, aku baik-baik saja. Seperti yang kukatakan, ranah pengaruhku demikian luas. Selain itu, aku pun menyambi dalam urusan cmatahari-mataharian', yang kuwarisi dari Helios. Intinya adalah, aku ini seperti dokter umum. Untuk mendapatkan obat dari tabib, kau harus menemui spesialis satu-satunya yang pernah sukses menyembuhkan kematian: putraku Asclepius, Dewa Tabib." Hati Leo mencelus sampai ke kaus kaki. Hal terakhir yang mereka butuhkan saat ini adalah mini anyar untuk menemukan dewa lain yang barangkali akan menuntut imbalan berupa kaus sablonan atau Valdezinator. "Sayang sekali, Apollo. Aku berharap kita bisa membuat kesepakatan." Leo menarik tuas Valdezinator, alhasil mengeluarkan rama yang malah lebih memilukan. "Stop!" Apollo melolong. "Terlalu indah! Akan kuberi kau petunjuk jalan ke tempat Asclepius. Dia sungguh sangat dekat!" "Bagaiman
a kami tahu dia akan menolong kami" Waktu kami terbatas, sebab Gaea akan bangun dua hari lagi." "Asclepius pasti membantu!" janji Apollo. "Putraku sangat ringan tangan. Mintalah permohonan kepadanya sambil menyebut namaku. Kahan akan menemukannya di kuil lamanya di Epidaurus." "Tantangannya di mana"" "Ah tidak ada. Terkecuali bahwa dia dijaga, tentu saja." "Dijaga oleh apa"" "Aku tak tahu!" Apollo merentangkan tangan tanpa daya. "Aku hanya tahu bahwa Zeus menempatkan Asclepius di bawah penjagaan supaya dia tidak keliling dunia sembari membangkitkan orang mati. Kali pertama Asclepius membangkitkan yang mati dia menyebabkan kehebohan besar, singkat kata. Cerita selengkapnya panjang. Tapi, akuyakin kalian bisa meyakinkannya untuk membantu." "Cuma begitu" Kesepakatan macam apa ini"!" tukas Leo. "Bagaimana dengan bahan terakhir kutukan Delos. Apa itu"" Apollo memandangi Valdezinator dengan serakah. Leo khawatir sang dewa bakal merebutnya begitu saja. Jika itu terjadi,
bagaimana bisa Leo menghentikannya" Menyemburkan api kepa dewa matahari mungkin takkan berguna. "Aku bisa memberimu bahan terakhir," kata Apollo. "Kemudian kau akan memiliki semua bahan yang Asclepi butuhkan untuk menjerang ramuan." Leo memainkan satu larik lagi. "Entahlah. Menuk Valdezinator nan cantik ini dengan kutukan Delos " "Itu sebenarnya bukan kutukan! Lihat ..." Apollo berlari cepat ke petak bunga liar terdekat dan memetik kembang kuning dari antara retakan pada batu. "Inilah kutukan Delos." Leo menatap bunga tersebut. "Aster terkutuk"" Apollo mendesah jengkel. "Itu cuma nama sebutan. Sewaktu ibuku, Leto, hendak melahirkan Artemis dan aku, Hera marah karena Zeus lagi-lagi mengkhianatinya. Jadi, Hera mendatangi tiap jengkal tanah di bumi. Hera memaksa roh-roh alam di tiap tempat berjanji untuk menolak ibuku supaya dia tidak bisa bersalin di mana pun." "Kedengarannya Hera memang bakal berbuat seperti itu." "Iya, betul. Pokoknya, Hera mendapatkan janji dari tiap jengkal tanah yang tertambat ke bumi tapi tidak dari Delos, sebab ketika itu Delos adalah pulau terapung. Roh-roh alam di Delos menyambut baik ibuku. Dia melahirkan saudariku dan aku, dan saking bahagianya karena menjadi rumah baru kami yang keramat, pulau ini menyelimuti diri dengan bunga-bunga kuning mungil ini. Bunga-bunga ini merupakan perwujudan restu mereka, sebab kami keren. Tapi bunga-bunga ini juga menyimbolkan kutukan, sebab begitu kami lahir, Delos menjadi tertambat ke satu tempat dan tidak bisa terapung-apung di lautan lagi. Itulah sebabnya aste kuning ini disebut kutukan Delos." "Jadi, aku bisa saja memetik aster sendiri dan melenggang pergi."
"Tidak, tidak! Tidak untuk ramuan yang kau inginkan itu. Bunga itu harus dipetik oleh aku atau saudariku. Jadi, bagaimana menurutmu, Demigod" Petunjuk arah ke tempat Asclepius dan bahan magis terakhir yang kaubutuhkan untuk ditukar dengan slat musik baru itu apa kita sepakat"" Leo benci menukarkan Valdezinator bagus dengan bunga liar, 1.1pi dia tidak melihat pilihan lain. "Tawaran Anda susah ditolak, Dewa Musik." Mereka pun bertukar. "Luar biasa!" Apollo mengungkit tuas-tuas Valdezinator, mengeluarkan bunyi mirip mesin mobil di pagi yang dingin. "Hmm mungkin perlu latihan, tapi aku pasti bisa! Nah, mari kita cari teman-temanmu. Semakin cepat kalian pergi, semakin baik!"
Hazel dan Frank menunggu di dermaga Delos. Artemis tidak kelihatan. Ketika Leo berpaling untuk mengucapkan salam perpisahan kepada Apollo, sang dewa sudah lenyap juga. "Wah," gumam Leo, "dia pasti sudah sangat tak sabar untuk berlatih memainkan Valdezinator." "Apanya"" tanya Hazel. Leo memberi tahu mereka tentang hobi anyarnya sebagai penemu genius yang menciptakan corong musikal. Frank garuk-garuk kepala. "Dan sebagai gantinya, kau mendapat aster"" "Ini bahan terakhir untuk menyembuhkan kematian, Zhang. Ini aster super! Kahan bagaimana" Dapat informasi dari Artemis"" "Sayangnya, ya." Hazel menerawang ke perairan, di tempat Argo 2 yang dijangkarkan tengah terangguk-angguk. "Artemis tahu banyak tentang senjata pelontar misil. Dia memberi tahu kami
bahwa Octavian telah memesan
kejutan untuk Perkemahan Blasteran. Dia menggunakan sebagian besar harta legiun unt ill( membeli onager buatan Cyclops." "Aduh, celaka, jangan onager!" kata Leo. "Omong-omong, onager itu apa"" Frank merengut. "Kau merakit mesin. Masa kau tidak rain' onager itu apa" Itu katapel tempur terbesar, terhebat yang pernah digunakan oleh pasukan Romawi." "Baiklah," kata Leo. "Tapi, onager itu nama yang tolol. Benda itu seharusnya dinamai Valdezapel." Hazel memutar-mutar bola mata. "Leo, ini series. Jika Artemis benar, enam mesin tersebut akan meluncur ke Long Island besok malam. Itulah yang Octavian tunggu-tunggu. Tanggal 1 Agustus fajar, dia akan memiliki amunisi yang cukup untuk meluluhlantakkan Perkemahan Blasteran tanpa satu pun korban jiwa di pihak Romawi. Menurutnya, itu akan menjadikan dia pahlawan." Frank menggumamkan umpatan dalam bahasa Latin. "Hanya saja, dia juga memanggil banyak sekali `sekutu' brutal sehingga legiun sepenuhnya dikepung oleh centaurus liar, suku cynocephalus berkepala anjing, dan entah apa lagi. Begitu legiun menghancurleburkan Perkemahan Blasteran, monster-monster itu akan menyerang Octavian dan membinasakan legiun." "Kemudian bangkitlah Gaea," kata Leo. "Dan yang jelek-jelek pun terjadilah." Leo memutar otak sementara informasi baru masuk ke kepalanya. "Baiklah situasi ini justru menjadikan rencanaku semakin penting. Begitu kita mendapatkan obat dari tabib, aku akan memerlukan bantuan kalian. Kalian berdua." Frank melirik aster kuning terkutuk dengan gugup. "Bantuan macam apa""
Leo memberitahukan rencananya kepada mereka. Semakin 1 la bicara, semakin mereka tampak terguncang, tapi ketika Leo tak seorang pun mengatakan bahwa dia gila. Air mata I wrkilau di pipi Hazel. "Harus begitu caranya," kata Leo. "Nike mengonfirmasinya. Apollo mengonfirmasinya. Yang lain takkan setuju, tapi kalian kalian orang Romawi. Itulah sebabnya aku ingin kalian ikut ke Delos bersamaku. Kalian Pahatn soal pengorbanan menunaikan tanggung jawab, berani hidup..matc Frank menyedot ingus. "kurasa maksudmu berani mati." "Terserah," kata Leo. "Kalian tahu pasti inilah jawabannya." "Leo ..." Frank tercekat is4kan. Leo sendiri ingin menangis seperti Valdezinator, tapi dia mempertahankan ketenangahnya. "Hei, Sobat Besar, aku mengandalkanmu. Ingat yang kau katakan padaku tentang percakapan dengan Mars" Ayahmu bilang kau harus tampil ke depan, Ian" Kau harus menibuat keputusan yang tidak mau diambil siapa pun." "Kalau tidak, perang Bakal berat sebelah," Frank mengenang. "Tapi tetap saja " "Dan Hazel," kata Leo. "Hazel Ahli Sihir Kabut, kau harus menyokongku. Hanya kau seorang yang bisa. Kakek buyutku Sammy melihat betapa istimeWanya dirimu. Dia memberkatiku sewaktu aku bayi karena, menurutku, entah bagaimana dia tabu kau akan kembali dan membantuku. Seluruh perjalanan hidup kita, mi amiga, ujung-ujungnYa bermuara ke sini." "Oh, Leo ... Hazel latlias menangis sesenggukan. Dia memegangi dan memeluk Leo, Manis sekali rasanya, sampai Frank mulai menangis juga dan mendekap mereka berdua. Rasanya agak aneh.
"Oke, jadi ..." Leo pelan-pelan melepaskan diri. "Jadi, kita sepakat"" "Aku tidak suka rencana itu," kata Frank. "Aku membencinya," ujar Hazel. "Pikirkan bagaimana perasaanku," kata Leo. "Tapi, kalian tahu di sanalah letak peluang terbaik kita." Tak satu pun dari mereka membantah. Leo sesungguhnya berharap kalau saja mereka membantah. "Ayo kembali ke kapal," katanya. "Kita harus mencari Dewa Tabib."[]
BAB TIGA PULUH LIMA LEO LEO SERTA-MERTA MELIHAT JALAN MASUK rahasia. "Oh, indahnya." Leo mengarahkan kapal ke atas reruntuhan Ticlaurus. Kondisi Argo II semula tidak bisa terbang karena rusak, tapi I co berhasil membuatnya mengudara setelah bekerja semalaman aja. Karena dunia terancam kiamat besok pagi, motivasinya tcramat tinggi. Dia memperbaiki kelepak dayung. Dia menyuntikkan air Styx ke dalam samophlange. Leo menyuguhi Festus sang kepala naga ramuan favoritnya oli mesin 30 W dan saus Tabasco. Bahkan Buford sang Meja Ajaib juga turut serta, berkelotakan di bawah dek sementara Hedge Mini holografis yang dipancarkannya meneriakkan, "
AYO PUSH-UP TIGA PULUH KALE" untuk menyemangati mesin. Kini akhirnya mereka membubung di atas kompleks kuil kuno Dewa Tabib Asclepius. Mudah-mudahan di tempat itu mereka dapat menemukan obat sang tabib dan mungkin tambahan
ambrosia, nektar, dan Fonzies, soalnya persediaan Leo sudah semakin menipis. Di sebelahnya di anjungan, Percy menengok ke balik langkan. "Kelihatannya puing-puing lagi," dia berkomentar. Wajahnya masih hijau gara-gara keracunan di bawah laut, tapi setidaknya dia sudah semakin jarang lari ke kamar mandi untuk muntah-muntah. Gara-gara efek samping keracunan yang diderita Percy dan mabuk laut Hazel, mustahil mendapati toilet kosong d i atas kapal selama beberapa hari terakhir ini. Annabeth menunjuk struktur berbentuk piringan berjarak kurang dari lima puluh meter di sebelah kiri kapal mereka. Leo tersenyum. "Tepat. Itu barn arsitek." Awak yang lain ikut berkerumun. "Apa yang sedang kita lihat"" tanya Frank. "Ah, Senor Zhang," kata Leo, "kau tahu betapa kau selalu mengatakan, 'Leo, kaulah satu-satunya genius sejati di antara para demigod"''' "Aku lumayan yakin tidak pernah mengatakan itu." "Nah, ternyata di luar sana ada genius-genius lain! Soalnya, yang menciptakan karya seni di bawah sana pasti orang genius." "Itu lingkaran batu," ujar Frank. "Barangkali fondasi kuil lama." Piper menggelengkan kepala. "Bukan, lebih dari itu. Lihatl gigi-gigi dan lekukan yang terukir di seputar tepinya." "Seperti gigi roda," tukas Jason. "Lalu cincin-cincin konsentris itu." Hazel menunjuk bagian tengah struktur tersebut. Di sana, terdapat batu-batu melengkung berbentuk seperti sasaran tembak. "Pola itu mengingatkanku pada bandul kalung Pasiphae: simbol Labirin."
"Huh." Leo merengut. "Wah, tidak terpikirkan olehku. Tapi, coba pikirkan objek mekanis saja deh. Frank, Hazel ... di mana kita pernah melihat lingkaran konsentris seperti itu sebelumnya"" "Laboratorium di bawah tanah Roma," kata Frank. "Gembok Archimedes di pintu," Hazel mengingat. "Bentuknya berupa lingkaran di dalam lingkaran." Percy mendengus. "Maksud kalian, itu gembok batu raksasa" Diameternya lima belas meter, tahu." "Leo mungkin benar," timpal Annabeth. "Pada zaman kuno, kuil Asclepius tak ubahnya Rumah Sakit Umum Yunani. Semua orang datang ke sini untuk mendapat pengobatan terbaik. Di atas tanah, ukurannya sebesar kota, tapi yang penting-penting konon justru di bawah tanah. Di sanalah para pendeta agung memberikan perawatan intensif, menggunakan sihir supersakti. Bangsal tersebut diakses lewat lorong rahasia." Percy menggaruk telinganya. "Jadi, kalau benda bulat benar itu adalah gembok, kuncinya dari mana"" "Cara berpikirmu jauh sekali ke depan, Tirtawan." "Oke deh, tapi jangan panggil aku Tirtawan. Itu malah lebih jelek daripada bocah air." Leo menoleh kepada Jason dan Piper. "Kahan ingat aku mengatakan sedang merakit capit raksasa Archimedes"" Jason mengangkat alis. "Kukira kau bercanda." "Oh, Kawan, aku tidak pernah bercanda soal capit raksasa!" Leo menggosok-gosok kedua belah tangannya dengan antusias. "Waktunya kita memancing hadiah!"
Dibandingkan dengan modifikasi lain yang pernah Leo garap untuk kapalnya, capit sejatinya enteng. Archimedes aslinya merancang capit untuk mengambili kapal musuh dari air. Sekarang Leo menemukan kegunaan lain untuk benda itu.
Dia membuka lubang ventilasi depan pada lambung kapal (Jail mengulurkan capit tersebut, dipandu oleh monitor konsol serta Jason, yang terbang ke luar sambil meneriakkan arah. "Kiri!" seru Jason. "Beberapa inci lagi iya! Oke, turunkan. Terus. Bagus." Menggunakan bantalan sentuh dan turntable pengendal Leo pun membuka capit. Ujungnya mendarat di luar ceruk-ceruk pada batu bundar di bawah. Leo mengecek penstabil aerial dan pantauan video pada monitor konsol. "Oke, Sobat." Leo menepuk-nepuk bola Archimedes yang terpasang pada panel kendali. "Sekarang giliranmu." Diaktifkannya bola itu. Capit mulai berputar seperti pernbuka botol. Benda itu merotasi lingkaran batu terluar, yang bergeser dan menggemuruh namun untungnya tidak pecah. Kemudian capit melepaskan memosisikan did di pinggir lingkaran batu
kedua, dan memutarnya ke arah berlawanan. Berdiri di samping Leo di balik kemudi, Piper mengecu pipinya. "Berhasil. Leo, kau mengagumkan." Leo menyeringai. Dia hendak mengomentari kehebatann sendiri, lalu dia teringat akan rencana yang dimatangkanny bersama Hazel dan Frank dan fakta bahwa dirinya barangkali takkan pernah bertemu Piper lagi selepas besok. Lelucon sontak pupus di tenggorokannya. "Iya makasih, Ratu Kecantikan." Di bawah mereka, lingkaran batu terakhir berputar dan terhenti disertai desisan. Seluruh landasan berdiameter lima belas meter menyurut ke bawah, membentuk tangga spiral. Hazel mengembuskan napas. "Leo, bahkan dari atas sini, aku merasakan yang jelek-jelek di kaki tangga itu. Sesuatu yang ... besar dan berbahaya. Kau yakin tidak ingin aku ikut""
"Makasih, Hazel, tapi kami akan baik-baik saja." Dia menepuk punggung Piper. Aku, Piper, dan Jason kami ini pro dalam menghadapi yang besar-besar dan berbahaya." Frank mengulurkan vial berisi mint Pylosian. "Jangan dipecahkan." Leo mengangguk khidmat. "Jangan pecahkan vial berisi racun mematikan. Bung, aku bersyukur kau mengatakan itu. Takkan terpikirkan olehku." "Tutup mulutmu, Valdez." Frank memeluknya erat-erat. "Dan berhati-hatilah." "Igaku," cicit Leo. "Sod." Annabeth dan Percy mendoakan mereka semoga berhasil. Lalu Percy mohon did untuk muntah. Jason memanggil angin dan menerbangkan Piper serta Leo ke permukaan tanah.
Tangga itu berpuntir ke bawah sekitar delapan belas meter sebelum terbuka ke sebuah ruangan sebesar Bungker Sembilan dengan kata lain, lapang sekali. Tegel-tegel putih mengilap di dinding dan lantai memantulkan cahaya pedang Jason demikian terang sehingga Leo tidak perlu membuat api. Barisan bangku batu memenuhi seluruh ruangan, mengingatkan Leo akan gereja mahabesar yang banyak iklannya di Houston. Di ujung jauh ruangan, posisi yang semestinya ditempati altar andai itu gereja, berdirilah patung dari pualam putih bersih setinggi tiga meter wanita muda berjubah putih, senyum damai di wajahnya. Satu tangannya yang terangkat menopang cangkir, lengannya dililiti ular keemasan, kepala si ular menclok ke bibir cangkir seolah siap untuk minum. "Besar dan berbahaya," tebak Jason.
Piper menelaah ruangan. "Ini pasti area tidur." Suaranya bergema sedikit terlalu nyaring, alhasil membuat Leo tidak tenang. "Pasien-pasien menginap di sini. Dewa Asclepius konon akan mengirimi mereka mimpi, memberitahukan obat penyembuh yang mereka cari." "Dari mana kau tahu"" tanya Leo. "Annabeth memberitahumu"" Piper tampak tersinggung. "Aku tabu banyak hal. Patung di sana itu adalah Hygeia, anak perempuan Asclepius. Dia Dewi Kesehatan. Dari namanyalah kata higiene berasal." Jason mengamat-amati patung tersebut dengan waswa s "Kenapa dia membawa ular dan cangkir"" "Eh, entahlah," Piper mengakui. "Tapi dahulu kala, tempat ini Asclepeion adalah rumah sakit sekaligus sekoli h pengobatan. Semua tabib-pendeta terbaik dididik di sini. Merel a memuja Asclepius dan Hygeia." Leo ingin berkata, Oke, tur yang menarik. Mari pergi. Keheningan, tegel putih cemerlang, senyum seram di wajah Hygeia semua itu membuat Leo merinding. Tapi karena Jason dan Piper beranjak menghampiri patung, Leo berpikir sebaikn: a dia mengikuti. Di atas bangku-bangku, bertebaranlah majalah lama: Pengobatan Pilihan untuk Anak-anak, Musim Gugur, 20 SM; Mingguan TV Hephaestus Aphrodite Hamil Lagi; Majak h Asclepius Sepuluh Kiat Praktis untuk Terapi Lintah Efektif! "Ini ruang tunggu," gerutu Leo. "Aku benci ruang tunggu." Di sana-sini, gundukan debu dan tulang terserak di lantai, menyiratkan waktu tunggu rata-rata yang lama. "Lihat." Jason menunjuk. "Apa panel itu sudah di sini sewak u kita masuk" Pintu itu bagaimana""
Menurut Leo tidak. Pada dinding di kanan patung, di atas pintu logam tertutup, terdapat dua panel elektronik. Yang di atas bertuliskan: DOKTER: DITAHAN. Panel di bawah bertuliskan: PASIEN NO.: 0000000 Jason memicingkan mata. "Aku tidak bisa membaca dari jarak sejauh ini. Dokter di ..." "Ditahan," kata Leo. "Apollo mewanti-wantiku bahwa Asclepius dikurung di bawah penjagaan. Zeus tidak ingin
dia berbagi rahasia medis atau apalah." "Taruhan dua puluh dolar dan sekotak sereal rasa buah bahwa patung itulah penjaganya," kata Piper. "Aku tidak mau bertaruh." Leo melirik gundukan debu terdekat di ruang duduk itu. "Jadi kutebak kita mesti mengambil nomor antrean." Patung raksasa punya gagasan lain. Ketika jarak mereka dengannya sudah kurang dari satu setengah meter, patung tersebut memalingkan kepala dan memandang mereka. Ekspresinya tetap beku. Mulutnya tidak bergerak. Tapi keluarlah sebuah suara dari atas, bergema di sepenjuru ruangan. "Apa kalian sudah membuat janji temu"" Piper tidak terbengong-bengong sama sekali. "Halo, Hygeia! Apollo mengutus kami. Kami perlu bertemu Asclepius." Patung pualam turun dari landasannya. Dia mungkin saja berupa mesin, tapi Leo tidak mendengar komponen bergerak. Untuk memastikan, Leo harus menyentuh patung itu, padahal dia tidak ingin dekat-dekat. "Begitu." Patung tersebut terus tersenyum, meski dia kedengarannya tidak senang. "Boleh kukopi kartu asuransi kalian""
"Ah, anu ..." Piper terbata. "Kami tidak membawa kartu asuransi, tapi " "Tidak bawa kartu asuransi""Patung itu geleng-geleng kepala. Desah kesal bergema di dalam ruangan. "Kuperkirakan kalian juga tidak mempersiapkan kunjungan ini. Sudahkah kalian membersihkan tangan secara menyeluruh"" "Eh ... sudah"" ujar Piper. Leo memandangi tangannya yang, seperti biasa, cemong-cemong terkena oli dan kotoran. Disembunyikannya tangan di belakang punggung. "Apa kalian mengenakan pakaian dalam bersih"" tanya si patung. "Hei, Bu," kata Leo, "pertanyaan barusan terlalu pribadi." "Kalian harus selalu mengenakan pakaian dalam bersih ketika mendatangi kantor dokter," tegur Hygeia. "Mu khawatir kalian tergolong sebagai bahaya kesehatan. Kalian harus melalui proses sanitasi sebelum proses ini boleh dilanjutkan." Ular keemasan meliuk dan turun dari lengan patung. Ia ' mengangkat kepala dan mendesis, memamerkan taring setajam pedang. "Eh, begini," kata Jason, "proses sanitasi oleh ular besar tidak tercakup dalam polis kesehatan kami. Sayangnya." "Oh, tidak apa-apa," Hygeia meyakinkannya. "Proses sanitasi termasuk dalam layanan publik. Tidak usah bayar!" Ular itu menerjang. Leo sering berlatih mengelak dari monster-monster mekanis. Untung saja, soalnya ular keemasan itu gesit. Leo melompat ke samping dan si ular meleset seinci dari kepalanya. Leo berguling, kemudian berdiri lagi dengan tangan membara. Selagi si ular menyerang, Leo menyemburkan api ke matanya, menyebabkan ular itu terpental ke kiri dan menabrak bangku.
Piper dan Jason beranjak untuk membereskan Hygeia. Mereka menebas lutut patung, menjatuhkannya seperti pohon Natal pualam. Kepalanya menumbuk bangku. Cawannya memercikkan cairan asam ke lantai, menghasilkan asap. Jason dan Piper bergerak untuk melancarkan jurus pamungkas, tapi sebelum mereka sempat menyerang, tungkai Hygeia menempel kembali seperti ditarik magnet. Sang dewi bangkit sambil tetap tersenyum. "Tidak bisa diterima," katanya. "Dokter takkan menemui kalian sampai kalian sudah melalui proses sanitasi memadai." Dia menumpahkan isi cangkirnya ke arah Piper, yang melompat menyingkir saat cairan asam lagi-lagi memercik ke bangku terdekat, meleburkan batu disertai kepulan asap dan bunyi mendesis. Sementara itu, si ular telah kembali pulih. Mata logamnya yang leleh entah bagaimana memperbaiki diri sendiri. Wajahnya kembali ke bentuk semula seperti kap mobil anti-penyok. Si ular menyerang Leo, yang menunduk dan berusaha mencengkeram leher hewan itu, tapi rasanya seperti mencoba mencengkeram ampelas yang melaju dengan kecepatan mendekati seratus kilometer per jam. Si ular melesat lewat, kulit logamnya yang kasar membuat tangan Leo tergores dan berdarah. Namun demikian, kontak sekilas memunculkan pencerahan dalam benak Leo. Ular itu memangsebuah mesin. Leo merasakan mekanismenya dan, jika patung Hygeia beroperasi dengan mekanisme serupa, Leo mungkin punya kesempatan Di seberang ruangan, Jason membubung ke angkasa dan memenggal kepala sang dewi. Sialnya, kepala itu melejit kembali ke tempatnya semula. "Tidak bisa diterima," kata H
ygeia kalem. "Pemenggalan bukan bagian dari gaya hidup sehat."
"Jason, ke sini!" teriak Leo. "Piper, ulur-ulur waktu unt kami!" Piper meliriknya seperti hendak berkata, Bicara lebih gampan dari pada praktik. "Hygeia!" teriak Piper. "Aku punya asuransi!" Pernyataan itu menarik perhatian si patung. Bahkan si ular" menoleh ke arah Piper, seakan-akan asuransi adalah semacam hewan pengerat sedap. "Asuransi"" kata patung itu penuh semangat. "Siapa penyedia layananan asuransimu"" "Anu Kilat Biru," kata Piper. "Aku punya kartunya. Tunggu sebentar." Dia menepuk-nepuk saku dengan heboh. Si ular melata menghampiri Piper untuk menonton. Jason lari ke sisi Leo sambil tersengal-sengal. "Rencanamu apa"" "Kita tidak bisa menghancurkan mereka," kata Leo. "Mereka dirancang untuk memperbaiki diri sendiri. Mereka kebal terhadap, praktis segala jenis kerusakan." "Hebat," kata Jason. "Jadi "" "Kau ingat video game lama milik Chiron"" tanya Leo. Mata Jason membelalak. "Leo ini bukan Mario Party Six.' "Tapi, prinsipnya sama." "Level idiot"" Leo menyeringai. "Aku ingin kau dan Piper menjadi pengalih perhatian. Akan kuprogram ulang si ular, kemudian si Suster Rese.' "Hygeia." "Apalah. Siap"" "Tidak." Leo dan Jason lari menuju si ular.
Hygeia mencecar Piper dengan pertanyaan mengenai layanan kesehatan. "Apa Petir Biru telah mendapat pengesahan dari pemerintah" Berapa premi yang kau bayarkan" Siapa dewa penyedia layanan kesehatan primermu"" Sementara Piper melontarkan jawaban spontan, Leo melompat ke punggung si ular. Kali ini dia tahu apa yang dia cari dan, sesaat, ular itu sepertinya bahkan tidak menyadari kehadiran Leo. Leo mengumpil penutup di dekat kepala si ular. Dia bertumpu dengan kakinya, mengutak-atik sambungan kabel sambil berusaha mengabaikan rasa sakit dan darah lengket di tangannya. Jason berdiri di dekat Leo, siap menyerang, tapi si ular tampaknya terpukau menyaksikan Piper yang cakupan polis Petir Biru-nya dipermasalahkan. "Kemudian suster penasihat mengatakan aku harus menelepon layanan pelanggan," lapor Piper. "Dan obat-obatan itu ternyata tidak tercakup dalam polisku! Kemudian " Si ular mengempas saat Leo menghubungkan dua kabel terakhir. Leo melompat turun dan ular keemasan pun mulai berguncang-guncang tak terkendali. Hygeia berputar untuk menghadap mereka. "Apa yang kalian lakukan" Ularku membutuhkan tindakan medis!" "Apa ular itu punya asuransi"" tanya Piper. "APA"" Si patung menoleh kembali ke arahnya dan melompatlah Leo. Jason mendatangkan embusan angin, yang melontarkan Leo ke atas pundak patung seperti anak kecil yang hendak nonton parade. Leo membuka bagian belakang kepala patung sementara Hygeia terhuyung-huyung, menumpahkan cairan asam. "Turun!" teriaknya. "Ini tidak higienis!" "Heir teriak Jason sambil terbang berputar-putar di sekeliling sang dewi. "Aku punya pertanyaan tentang iuran kesehatanku!"
`Apa"" seru si patung. "Hygeia!" teriak Piper. "Aku harus minta talangan dari perusahaan asuransi milik pemerintah!" "Tidak, jangan!" Leo menemukan chip regulator patung. Dia memutar beberapa kenop dan menarik sejumlah kabel, berusaha berpura-pura bahwa Hygeia cuma konsol Nintendo besar yang berbahaya. Dia menyambungkan sirkuit patung dan Hygeia pun mulai berputar, meraung-raung, serta mengepakkan tangan. Leo melompat turun, nyaris kena banjur cairan asam. Leo dan teman-temannya mundur sementara Hygeia dan ularnya kejang-kejang bak sedang mendapat firman ilahi. "Apa yang kau lakukan"" Piper menuntut penjelasan. "Level idiot," kata Leo. "Maaf"" "Sewaktu di perkemahan," Jason menerangkan, "Chiron menyimpan video game jadul di ruang rekreasi. Leo dan aku terkadang memainkannya. Kita bertarung melawan musuh yang diprogram komputer " " dan tingkat kesulitannya ada kata Leo. "Mudah, sedang, dan sukar." "Aku pernah main video game," tukas Piper. "Jadi, apa yang kau lakukan"" "Jadi ... aku bosan dengan ketiga setelan itu." Leo mengangkat bahu. "Maka kuciptakan tingkat kesulitan keempat: level idiot. Kubuat musuh yang diprogram komputer jadi bodoh sekali sampai-sampai terkesan lucu. Musuh selalu memilih tindakan yang keliru, mis
alnya saja." Piper menatap patung dan ular, kedua-duanya menggeliut dan mulai berasap. "Apa kau yakin sudah mengeset mereka ke level idiot""
. "Kita akan tahu sebentar lagi." "Bagaimana kalau kau mengeset mereka ke level sukar sekali"" "Kalau begitu, kita akan mengetahuinya sebentar lagi juga." Ular berhenti kejang-kejang. Ia mengangkat kepala dan menoleh ke sana-sini seperti kebingungan. Hygeia bergeming. Asap mengepul dari telinga kanannya. Dipandanginya Leo. "Kau harus mati! Halo! Kau harus mati!" Patung itu mengangkat cangkirnya dan menuangkan cairan asam ke wajahnya. Lalu dia berbalik dan menabrakkan wajah ke dinding terdekat. Si ular ambil ancang-ancang, kemudian menggetokkan kepalanya ke lantai berulang-ulang. "Oke," kata Jason. "Menurutku kita berhasil mencapai level idiot." "Halo! Mati!" Hygeia mundur dari dinding dan membenturkan kepalanya lagi. "Ayo pergi." Leo lari ke pintu logam di samping landasan. Dipegangnya gagang pintu. Pintu tersebut masih terkunci, tapi Leo merasakan mekanisme di dalamnya kabel-kabel yang menjajari kosen, terhubung ke Ditatapnya dua panel kelip-kelip di atas pintu. "Jason," katanya, "naikkan aku." Embusan angin kembali membubungkannya. Leo bekerja dengan tangannya, memprogram ulang panel sampai yang sebelah atas menampakkan: DOKTER: HADIR, NIH! Panel bawah berubah sehingga bertuliskan: PASIEN NO. : SATU CINTA LEO! Pintu logam terayun hingga terbuka dan Leo pun turun ke lantai. "Tuh menunggu ternyata tidak jelek-jelek amat!" Leo menyeringai kepada teman-temannya. "Sekarang giliran kita bertemu dokter."[]
BAB TIGA PULUH ENAM LEO PADA PENGUJUNG KORIDOR, BERDIRILAH PINTU kayu walnu yang memajang plakat perunggu: ASCLEPIUS
DR, DRG, DME, DC, BT, EGP, OMG, STFT, TTYL, IDSY, GW, OTW OD, OT, SPFK, TOPGBT, SKEP, PHD, TBK., LOL Mungkin akronim dalam daftar tersebut masih banyak lagi, tapi pada saat itu kepala Leo sudah serasa mau pecah. Piper mengetuk pintu. "Dr. Asclepius"" Pintu pun terbuka. Pria di dalam memiliki senyum ramah, kerut-kerut di seputar matanya, rambut pendek kelabu, dan janggut yang dipotong rapi. Dia mengenakan jas lab putih di atas setelan jas resmi dan stetoskop dikalungkan ke lehernya busana dokter yang biasa, terkecuali satu hal: Asclepius memegang tongkat hitam mengilap yang dililiti ular piton hijau hidup. Leo tidak bahagia melihat ular lagi. Si piton memperhatikannya dengan mata kuning pucat dan Leo mendapat firasat bahwa hewan itu tidak diset ke level idiot. "Halo!" kata Asclepius.
"Dokter." Saking hangatnya, senyum Piper niscaya mampu melelehkan Boread. "Kami akan sangat berterima kasih atas hantuan Dokter. Kami membutuhkan obat dari tabib." Leo bahkan bukan targetnya, tapi charmspeak Piper menerpanya demikian kuat. Leo bakalan rela berbuat apa saja untuk membantu Piper memperoleh obat tersebut. Dia bakal rela masuk sekolah kedokteran, meraih dua belas gelar doktor, dan tnembeli ular piton hijau besar yang membelit tongkat. Asclepius menempelkan tangan ke dada kirinya. "Waduh, tentu, Anak Manis, aku senang jika bisa membantu." Senyum Piper memudar. "Sungguh" Maksud saya, tentu saja Dokter bersedia." "Mari! Silakan masuk!" Asclepius menggiring mereka ke dalam kantornya. Saking baiknya lelaki itu, Leo curiga kantornya penuh dengan alat penyiksaan, tapi ternyata semata-mata seperti kantor dokter: meja besar dari kayu maple, rak berisi buku-buku kedokteran dan model organ plastik yang gemar Leo mainkan semasa dia kanak-kanak. Dia teringat pernah mendapat masalah suatu ketika karena mengubah penampang melintang ginjal dan tulang kaki menjadi monster ginjal dan menakut-nakuti perawat. Hidup lebih sederhana ketika itu. Asclepius menduduki kursi dokter besar nan nyaman dan meletakkan tongkat serta ular di mejanya. "Silakan duduk!" Jason dan Piper menempati dua kursi di sisi pasien. Leo harus tetap berdiri. Dia tak keberatan, sebab dia tidak ingin matanya sejajar dengan mata si ular. "Jadi." Asclepius menyandarkan diri. "Aku tidak bisa mengungkapkan betapa menyenangkannya mengobrol dengan pasien. Beberapa ribu tahun terakhir, administrasi sudah semakin merepotkan. Selalu d
iburu-buru. Isi formulir ini-itu. Birokrasi
berbelit-belit. Belum lagi penjaga pualam raksasa yang mencoba membunuh semua orang di ruang tunggu. Dunia pengobatan menjadi tidak menyenangkan!" "Iya," kata Leo. "Hygeia memang mengecewakan." Asclepius menyeringai. "Hygeia putriku yang asli tidak seperti itu, kuyakinkan kalian. Dia lumayan ramah. Singkat kata, kerjamu bagus, mampu memprogram ulang patung itu. Tanganmu selihai tangan dokter bedah." Jason bergidik. "Leo memegang pilau bedah" Jangan didukung." Sang dewa dokter terkekeh-kekeh. "Nah, apa persoalan kalian"" Dia mencondongkan badan ke depan dan memperhatikan Jason. "Hmm luka tusukan pedang Imperial, tapi sudah sembuh. Tidak kena kanker, tidak ada masalah jantung. Awasi tahi lalat di kaki kirimu, tapi aku yakin itu jinak." Jason memucat. "Bagaimana Dewa " "Oh, tentu saja!" kata Asclepius. "Kau agak rabun jauh! Solusinya mudah." Dia membuka laci, mengeluarkan notes resep dan kotak kacamata. Dia mengguratkan sesuatu di notes, lalu menyerahkan kacamata dan resep kepada Jason. "Simpan resep ini untuk acuan di masa mendatang, tapi lensa ini semestinya manjur. Cobalah." "Tunggu," kata Leo. "Jason rabun jauh"" Jason membuka kotak. "Aku aku memang kesulitan melihat benda-benda dari jarak jauh akhir-akhir ini," dia mengakui. "Kukira aku cuma capek." Dia mencoba kacamata, yang bergagang tipis dari emas Imperial. "Wow. Iya. Begini mendingan." Piper tersenyum. "Kau kelihatan berwibawa sekali." "Entahlah, Bung," kata Leo. "Kalau jadi kau, aku akan memilih lensa kontak yang warnanya jingga berpendar dengan pupil mata kucing. Itu keren."
"Kacamata tidak apa-apa," Jason memutuskan. "Makasih, anu, Dr. Asclepius, tapi bukan itu sebabnya kami datang." "Bukan"" Asclepius mengatupkan jari-jemarinya. "Baiklah, mari kita lihat ..." Dia berpaling kepada Piper. "Kau sepertinya baik-baik saja, Anak Manis. Lenganmu patah waktu usia enam tahun. Jatuh dari kuda"" Rahang Piper menganga. "Dokter tahu dari mana"" "Diet vegetarian," sang dewa melanjutkan. "Tidak masalah, asalkan kau mengonsumsi besi dan protein yang mencukupi. Hmm bahu kiri agak lemah. Kuduga pundakmu terpukul benda berat sekitar sebulan lalu"" "Karung pasir di Roma," ujar Piper. "Menakjubkan." "Kompres dengan es dan air panas secara bergantian jika nyeri," Asclepius menyarankan. "Dan kau ..." Dia menghadap Leo. "Waduh." Ekspresi sang dokter menjadi muram. Binar-binar ramah menghilang dari matanya. "Oh, begitu ..." Mimik sang dokter seolah mengatakan Aku sungguh turut prihatin. Hati Leo mencelus, seperti diisi semen. Jika dia masih menyimpan harapan untuk menghindari nasib yang sudah di depan mata, harapan itu kini kandas. "Apa"" Kacamata baru Jason berkilat-kilat. "Ada apa dengan Leo"" "Eh, Dok." Leo melemparkan pandang bermakna jangan dibahas. Mudah-mudahan dokter di zaman Yunani Kuno mengenal konsep kerahasiaan pasien. "Kami datang untuk meminta obat dari tabib. Bisakah Dokter membantu kami" Saya membawa mint Pylosian dan aster kuning yang sangat indah." Dia meletakkan kedua bahan di meja, dengan hati-hati menghindari mulut si ular. "Tunggu dulu," tukas Piper. "Adakah yang tidak beres pada diri Leo""
Asclepius berdeham. "Aku sudahlah. Lupakan yang kukatakan. Nah, jadi kalian menginginkan obat dari tabib." Piper mengerutkan keing. "Tapi " "Serius nih, Teman-teman," kata Leo. "Aku baik-baik saja. Satu-satunya masalah cuma Gaea yang besok bakal menghancurkan dunia. Mari kita fokus." Mereka tidak kelihatan senang, tapi Asclepius maju terus. "Jadi, aster ini dipetik oleh ayahku, Apollo"" "Iya," kata Leo. "Dia kirim salam." Asclepius mengambil bunga itu dan mengendusnya. "Aku sungguh berharap semoga Ayah baik-baik saja selepas perang ini. Zeus terkadang keterlaluan. Nah, satu-satunya bahan yang kurang adalah detak jantung dewa yang dirantai." "Saya punya," kata Piper. "Paling tidak saya bisa memanggil makhai." "Bagus sekali. Tunggu sebentar, Anak Manis." Sang dewa memandang pitonnya. "Spike, apa kau siap"" Leo menahan tawa. "Ular Dokter bernama Spike"" Spike memandang Leo dengan garang. Dia mendesis sambil membentangkan cucuk-cucu
k di seputar lehernya seperti basilisk. Tawa Leo tertelan kembali ke dalam tenggorokannya. "Maaf," katanya. "Tentu saja namamu Spike." "Dia agak pemarah," kata Asclepius. "Orang-orang selalu mengelirukan tongkatku dengan tongkat Hermes, yang dilengkapi dua ular, sudah jelas. Sepanjang berabad-abad ini, orang-orang menyebut tongkat Hermes sebagai simbol kedokteran, padahal seharusnya tongkatku yang menjadi simbol itu. Spike merasa diabaikan. George dan Martha mendapatkan seluruh perhatian. Pokoknya ..." Asclepius meletakkan aster dan racun di depan Spike. "Mint Pylosian maut nan pasti. Kutukan Delos menambatkan yang
tidak bisa ditambatkan. Bahan terakhir: detak jantung dewa yang dirantai kekacauan, kekerasan, dan rasa takut mati." Dia berpaling kepada Piper. "Anak Manis, silakan lepaskan makhai." Piper memejamkan mata. Angin berpusing di ruangan. Suara-suara marah melolong. Leo merasakan hasrat aneh untuk menghajar Spike dengan palu. Dia ingin mencekik sang dokter baik hati dengan tangan kosong. Kemudian Spike membuka rahangnya dan menelan angin marah itu. Leher si ular menggembung sementara roh-roh pertempuran meluncur di kerongkongannya. Dicaploknya aster dan vial berisi mint Pylosian untuk hidangan penutup. "Tidakkah racun itu menyakitinya"" tanya Jason. "Tidak, tidak," kata Asclepius. "Tunggu dan saksikanlah." Sesaat berselang, Spike memuntahkan vial baru tube kaca bersumbat yang tidak lebih besar daripada jari Leo. Cairan merah tua berpendar di dalamnya. "Obat dari tabib." Asclepius memungut vial itu dan memutar-mutarnya di bawah cahaya lampu. Ekspresinya menjadi serius, lalu bingung. "Tunggu dulu kenapa aku setuju untuk membuat ini"" Piper menempelkan telapak tangannya yang tengadah ke atas meja. "Karena kami membutuhkannya untuk menyelamatkan dunia. Obat itu sangat penting. Hanya Dokter yang dapat menolong kami." Charmspeak Piper begitu ampuh sehingga bahkan Spike si ular menjadi rileks. Dia membelit tongkat semakin erat dan jatuh tertidur. Mimik muka Asclepius melembut, seperti sedang masuk pelan-pelan ke bak mandi air panas. "Tentu saja," ujar sang dewa. "Aku lupa. Tapi, kalian harus berhati-hati. Hades benci ketika aku membangkitkan orang dari kematian. Kali terakhir aku memberi seseorang ramuan
ini, Penguasa Dunia Bawah protes kepada Zeus, dan aku mati tersambar petir. DUAR!" Leo berjengit. "Dokter kelihatannya baik-baik saja untuk ukuran orang mati." "Oh, kondisiku sudah membaik. Itulah bagian dari kompromi. Jadi begini, ketika Zeus membunuhku, ayahku, Apollo, gusar sekali. Dia tidak bisa balas dendam langsung pada Zeus; raja dewa-dewa terlalu perkasa. Jadi, Apollo justru membalas dendam pada si pembuat petir. Dia membunuh sejumlah Cyclops Tetua. Atas perbuatan itu, Zeus menjatuhi Apollo hukuman ... yang cukup berat. Akhirnya, untuk berdamai, Zeus setuju menjadikanku Dewa Kedokteran, asalkan aku takkan lagi menghidupkan orang dari kematian." Mata Asclepius tampak bimbang. "Tapi, justru inilah yang kulakukan memberi kalian obat itu." "Karena Dokter menyadari betapa pentingnya ini," kata Piper, "Dokter bersedia membuat perkecualian." "Ya ..." dengan enggan, Asclepius menyerahkan vial kepada Piper. "Yang jelas, ramuan itu harus diberikan sesegera mungkin setelah korban mati. Obat dapat disuntikkan atau dituangkan ke mulut. Jumlahnya hanya cukup untuk satu orang. Apa kalian mengerti"" Dia menatap lurus ke arah Leo. "Kami mengerti," Piper berjanji. "Apa Dr. Asclepius yakin tidak ingin ikut dengan kami" Penjaga Dokter sedang tidak bisa bertugas. Dokter pasti akan sangat membantu di atas Argo II." Asclepius tersenyum melankolis. "Argo ... ketika aku masih seorang demigod, aku berlayar dengan Argo yang asli, kalian tahu. Ah, andai aku bisa kembali menjadi petualang nan bebas!" "Iya ..." gerutu Jason. "Bebas." "Tapi, sayangnya tidak bisa. Zeus pasti marah karena aku sudah membantu kalian. Lagi pula, si penjaga akan memprogram kembali dirinya tidak lama lagi. Kalian sebaiknya pergi." Asclepius
berdiri. "Semoga berhasil, Demigod. Jika kalian bertemu ayahku lagi, tolong sampaikan penyesalanku." Leo tidak yakin apa yan
g dia maksud, tapi mereka pun pamit.
Sekembalinya ke Argo II, mereka berkumpul di mes dan menceritakan kejadian tersebut kepada awak yang lain. "Aku tidak suka," kata Jason, "cara Asclepius memandang Leo " "Aduh, dia cuma merasakan penyakit hatiku yang merindu." Leo mencoba tersenyum. "Kalian tahu, aku setengah mati ingin bertemu Calypso." "Manisnya," kata Piper. "Tapi, tidak usah sebut-sebut kata mati." Percy memandangi vial merah berpendar yang diletakkan di tengah-tengah meja, keningnya berkerut. "Salah satu dari kita mungkin bakal mati, ya" Jadi, yang penting kita bawa-bawa terus saja ramuan ini." "Dengan asumsi hanya satu dari kita yang mati," Jason mengingatkan. "Dosisnya cuma cukup untuk satu orang." Hazel dan Frank menatap Leo. Dia memelototi mereka, seperti hendak mengatakan Hentikan. Bersikaplah biasa. Yang lain tidak memiliki gambaran utuh. Karena badai atau api dunia akan terjungkal Jason atau Leo. Di Olympia, Nike telah memperingatkan bahwa satu dari keempat demigod yang hadir akan mati: Percy, Hazel, Frank, atau Leo. Dari kedua daftar itu, hanya satu nama yang sama: Leo. Dan jika rencana Leo berhasil, dia takkan didampingi siapa-siapa ketika mengeksekusi rencana itu. Teman-teman Leo takkan menerima keputusannya. Mereka akan menyanggahnya. Mereka akan mencoba menyelamatkannya. Mereka akan bersikeras untuk mencari cara lain.
Tapi kali ini, Leo yakin tidak ada cara lain. Seperti yang selalu Annabeth katakan kepada mereka, ramalan percuma raja dilawan. Jika kita coba-coba, masalah yang timbul niscaya kian bertambah. Leo harus memastikan agar perang ini berakhir, untuk sekali ini dan selamanya. "Kita siapkan lebih dari satu opsi," Piper mengusulkan. "Kita harus menugasi salah seorang sebagai paramedis untuk membawa racun seseorang yang bisa bereaksi sigap dan menyembuhkan siapa pun yang tewas." "Ide bagus, Ratu Kecantikan," Leo berdusta. "Kunominasikan kau." Piper mengerjapkan mata. "Tapi Annabeth lebih bijaksana. Hazel bisa bergerak lebih cepat apabila menunggangi Arion. Frank bisa berubah jadi hewan " "Tapi, kau punya hati dan nyali." Annabeth meremas tangan temannya. "Leo benar. Ketika saatnya tiba, kau pasti tahu harus berbuat apa." "Iya," Jason sepakat. "Aku punya firasat kaulah pilihan terbaik, Piper. Kau akan mendampingi kami sampai akhir, apa pun yang terjadi, badai atau api." Leo memungut vial. "Apa semuanya setuju"" Tiada yang keberatan Leo menatap mata Hazel lekat-lekat. Kau tahu apa yang harus terjadi. Dia mengambil kain chamois dari sabuk perkakas dan membungkus obat dari tabib dengan lagak heboh. Kemudian dia menyerahkan bungkusan tersebut kepada Piper. "Oke, kalau begitu," kata Leo. "Athena besok pagi, Kawan-kawan. Bersiaplah untuk bertarung melawan raksasa." "Iya ..." gumam Frank. "Aku tahu aku bakal tidur nyenyak."
. Seusai makan malam, Jason dan Piper berusaha mencegat Leo. Mereka ingin membicarakan reaksi Asclepius tadi, tapi Leo menghindari mereka. "Aku harus menggarap mesin," katanya, yang memang benar. Begitu berada dalam ruang mesin, hanya ditemani Buford si Meja Ajaib, Leo menarik napas dalam-dalam. Dia merogoh sabuk perkakas dan mengeluarkan vial berisi obat dari tabib yang sesungguhnya bukan versi tipuan Kabut yang dia serahkan kepada Piper. Buford mengembuskan uap kepadanya. "Hei, Bung, aku harus melakukannya," kata Leo. Buford mengaktifkan hologram Hedge. "PAKAI BAJUMU!" "Harus begini. Kalau tidak, kita semua akan mati." Buford mengeluarkan pekikan merana, lalu berkelotakan ke pojok sambil mengambek. Leo menatap mesin. Dia sudah menghabiskan begitu banyak waktu untuk merakit semua jadi satu. Dia telah mengorbankan berbulan-bulan yang penuh keringat, kepedihan, dan kesepian. Sekarang Argo II tengah mendekati akhir pelayarannya. Seluruh hidup Leo masa kanak-kanaknya bersama Tia Callida; kebakaran bengkel yang menyebabkan ibunya meninggal; tahun-tahun sebagai anal( asuh; bulan-bulan di Perkemahan Blasteran bersama Jason Piper semua akan berkulminasi besok pagi dalam satu pertarungan final. Leo membuka panel akses. Suara Festus berderak-derak lewat interkom. "Iya, Sobat," Leo setuju.
"Sudah waktunya." Bunyi berderak-derak lagi. "Aku tahu," kata Leo. "Bersama-sama sampai akhir"" Festus berderit mengiyakan.
Leo mengecek astrolab perunggu kuno, yang kini dipasangi kristal dari Ogygia. Leo hanya bisa berharap semoga astrolab i berfungsi.
"Aku akan kembali padamu, Calypso gumamnya. "Alm
bersumpah demi Sungai Styx." Leo menggeser kenop dan menyambungkan alat navigasi itu ke jaringan internet. Dia mengeset pengatur waktu ke durasi dna puluh empat jam. Akhirnya dia membuka tingkap ventilator mesin dan me-masukkan vial berisi obat dari tabib ke sana. Benda itu menghilang ke dalam pembuluh nadi kapal disertai bunyi kelotak. "Sekarang sudah terlambat untuk mengurungkan niat," ujar Leo. Dia bergelung di lantai dan memejamkan mata, bertekad untuk menikmati dengung mesin yang tak asing lagi untuk kali terakhir malam ini.[]
BAB TIGA PULUH TUJUH REYNA PUTAR BALIK!" Reyna enggan memberi perintah kepada Pegasus, Penguasa Kuda Terbang, tapi dia malah lebih enggan terlempar dari langit. Selagi mereka mendekati Perkemahan Blasteran menjelang fajar 1 Agustus, Reyna melihat enam onager Romawi. Di kegelapan sekalipun, lapisan luarnya yang terbuat dari emas Imperial berkilat-kilat. Lengan pelontar mahabesarnya condong ke belakang seperti tiang layar kapal yang miring diterjang badai. Personel artileri mondar-mandir di seputar mesin-mesin tersebut, mengisi katapel dengan misil, mengecek torsi tambang. "Apo itu"" seru Nico. Dia terbang kira-kira enam meter di kiri Reyna, menunggangi Blackjack si pegasus hitam. "Senjata pengepungan," kata Reyna. "Kalau kita lebih dekat lagi daripada sekarang, mereka bisa menembak kita hingga jatuh dari langit." "Dari tempat setinggi ini""
Di kanan Reyna, Pak Pelatih Hedge berteriak dari punggung tunggangannya, Guido, "Itu onager, Bocah! Kemampuannya menghajar lebih dahsyat daripada Bruce Lee!" "Dewa Pegasus," kata Reyna sambil memegangi leher kuda itu, "kami butuh tempat aman untuk mendarat." Pegasus sepertinya mengerti. Dia menikung ke kiri. Kuda-kuda terbang yang lain mengikuti Blackjack, Guido, dan enam kuda lain yang menghela Athena Parthenos dengan kabel-kabel pengikat. Selagi mereka mengitari tepi barat perkemahan, Reyna mencermati pemandangan. Legiun memagari kaki perbukitan timur, siap menyerang saat fajar. Onager-onager tertata di belakang para legiunari, membentuk setengah lingkaran renggang berjarak tiga ratus meter kurang sedikit antara satu sama lain. Dinilai dari ukuran senjata tersebut, Reyna mengalkulasi bahwa Octavian memiliki daya, gempur memadai untuk menghancurkan semua makhluk hidup di lembah itu. Tapi, itu hanya sebagian dari ancaman. Di belakang legiun, berkemahlah ratusan bala tentara auxilia. Reyna tidak bisa melihat jelas di kegelapan, tapi dia menangkap setidaknya satu suku centaurus liar dan sepasukan cynocephalus, manusia berkepala anjing yang mengadakan gencatan senjata tentatif dengan legiun berabad-abad silam. Bangsa Romawi kalah jumlah, dikepung oleh sekutu-sekutu yang sangat tidak bisa diandalkan. "Itu." Nico menunjuk Selat Long Island. Di sana, lampu-lampu sebuah kapal layar gemerlapan tidak sampai setengah kilometer di lepas pantai. "Kita bisa mendarat di dek kapal itu. Bangsa Yunani mengontrol perairan." Reyna tidak yakin bangsa Yunani bakal lebih ramah ketimbang bangsa Romawi, tapi Pegasus sepertinya menyukai ide tersebut. Dia menukik ke perairan gelap Selat Long Island.
Kapal tersebut merupakan kendaraan pelesir putih sepanjang tiga puluh meter, bertubuh mulus aerodinamis dan berpintu-pintu hitam dari kaca gelap. Pada lambung kapal, huruf-huruf bercat merah membentuk nama MIAMOR. Pada geladak depan, terdapat helipad yang cukup besar untuk didarati Athena Parthenos. Reyna tidak melihat satu pun awak kapal. Dia menebak kapal itu adalah kendaraan biasa milik manusia biasa yang dijangkarkan karena sudah malam, tapi jika dia keliru dan kapal itu ternyata perangkap "Inilah peluang terbaik kita," kata Nico. "Kuda-kuda sudah lelah. Kita harus turun." Reyna mengangguk enggan. "Mari kita lakukan." Pegasus mendarat di dek depan bersama Guido dan Blackjack.
Keenam kuda lainnya meletakkan Athena Parthenos dengan lembut di helipad dan kemudian mendarat di sekeliling patung itu. Dengan kabel-kabel dan tali-temali, kuda-kuda itu menyerupai hewan komidi putar. Reyna turun dari Pegasus. Seperti dua hari lalu, ketika pertama kali berjumpa Pegasus, dia berlutut di hadapan sang kuda. "Terima kasih, Yang Mahahebat." Pegasus merentangkan sayap dan menganggukkan kepala. Saat ini sekalipun, setelah terbang melintasi Pesisir Timur bersama-sama, Reyna nyaris tidak bisa memercayai bahwa kuda kekal itu memperkenankan Reyna menungganginya. Selama ini, Reyna membayangkan Pegasus sebagai kuda putih bersih bersayap bagai merpati, tapi bulu Pegasus berwarna cokelat mengilap, bebercak merah dan emas di seputar moncong yang menurut Hedge adalah tanda lahir, sebab kuda itu tercipta dari darah dan ichor ibunya, Medusa, yang terpancung. Sayap Pegasus berwarna seperti bulu elang keemasan, cokelat, dan merah karat alhasil menjadikan penampilannya jauh lebih tampan dan
anggun daripada jika dia putih polos. Pegasus berwarna layaknT, semua kuda, merepresentasikan seluruh keturunannya. Dewa Pegasus meringkik. Hedge menghampiri untuk menerjemahkan "Pegasw mengatakan dia harus pergi sebelum tembak-menembak dimulai. Daya hidupnya terhubung dengan semua pegasus, jadi jika dia terluka, semua kuda bersayap akan merasakan sakit. Itulah sebabnya dia jarang keluyuran. Dia kekal, tapi keturunannya tidak. Dia tidak ingin mereka menderita gara-gara dirinya. Dia meminto kuda-kuda yang lain agar tinggal bersama kita, untuk membantu kita menuntaskan misi." "Aku mengerti," kata Reyna. "Terima kasih." Pegasus meringkik. Mata Hedge membelalak. Sang satir menahan isakan, kemudian mengeluarkan saputangan dari ransel dan mencocolkannya ke mata. "Pak Pelatih"" Nico mengerutkan kening karena cemas. "Apo kata Pegasus"" "Dia dia mengatakan dia tidak datang secara pribadi karena pesanku." Hedge menoleh kepada Reyna. "Pegasus mengatakan kaulah sebabnya. Dia mencerap perasaan semua kuda bersayap. Dia memantau persahabatanmu dengan Scipio. Pegasus mengatakan dia tidak pernah lebih tersentuh akan kasih sayang seorang demigod terhadap kuda bersayap. Dia memberimu gelar Kawan Kaum Kuda. Ini kehormatan besar." Mata Reyna pedih. Dia membungkukkan kepada. "Terima kasih, Dewa." Pegasus menggaruk-garuk dek. Kuda-kuda lain meringkik hormat. Kemudian kakek moyang mereka melontarkan diri ke udara dan berputar-putar menyongsong malam.
Hedge menatap awan-awan dengan takjub. "Pegasus sudah ratusan tahun tidak menampakkan diri." Ditepuknya punggung Reyna. "Kerja bagus, Orang Romawi." Reyna tidak merasa berhak dipuji karena sudah menjerumuskan Scipio ke dalam kesengsaraan tak terperi, tapi dia menekan rasa bersalah itu. "Nico, sebaiknya kita cek kapal ini," katanya. "Kalau-kalau ada orang di atas kapal " "Ada." Nico mengelus-elus moncong Blackjack. "Aku merasakan kehadiran dua manusia biasa yang sedang tidur di kabin utama. Cuma itu. Aku bukan anak Hypnos, tapi aku sudah mengirimi mereka mimpi. Semestinya cukup untuk menidurkan mereka sampai jauh sesudah matahari terbit." Reyna berusaha untuk tidak menatap Nico sambil melongo. Beberapa hari terakhir ini anak lelaki itu sudah semakin kuat. Sihir alam Hedge telah mengembalikannya dari jurang kematian. Reyna pernah melihat Nico melakukan hal-hal mengesankan, tapi memanipulasi mimpi apa dia sudah punya kemampuan itu sedari dulu" Pak Pelatih Hedge menggosok-gosokkan kedua belah tangan-nya penuh semangat. "Jadi, kapan kita bisa turun ke darat" Istriku sudah menunggu!" Reyna menelaah kaki langit. Trireme Yunani berpatroli tidak jauh dari pesisir, tapi kapal tersebut sepertinya tidak menyadari kedatangan mereka. Tiada alarm yang berbunyi. Tiada tanda-tanda pergerakan di sepanjang pantai. Dia menangkap sekilas warna perak di bawah sinar rembulan, kurang dari satu kilometer di sebelah barat. Perahu motor hitam melaju ke arah mereka tanpa menyalakan lampu. Reyna berharap itu kendaraan manusia biasa. Kemudian perahu itu semakin dekat, dan semakin eratlah cengkeraman Reyna pada gagang pedangnya.
Pada haluan p erahu, tampak desain daun dafnah dengan huruf-huruf SPQR yang mengilap. "Legiun mengirimkan panitia penyambutan." Nico mengikuti arch tatapan Reyna. "Kukira bangsa Romawi tidak punya angkatan laut." "Memang tidak punya," kata Reyna. "Rupanya Octavian lebih sibuk daripada yang kukira." "Kalau begitu, kita serang saja!" kata Hedge. "Soalnya, aku tidak sudi dihalang-halangi siapa pun ketika sudah sedekat ini." Reyna menghitung ada tiga orang di perahu motor itu. Dua di belakang mengenakan helm, tapi Reyna mengenali wajah si pengemudi yang berbentuk segitiga gempal dan bahunya yang bidang: Michael Kahale. "Mari kita coba berunding," Reyna memutuskan. "Dia itu salah satu tangan kanan Octavian, tapi dia legiunari yang balk. Aku barangkali bisa membujuknya dengan argumentasi." Angin meniup rambut gelap Nico ke wajahnya. "Tapi, kalau kau keliru ..." Perahu hitam memelan dan menepi. Michel berseru: "Reyna! Aku diperintahkan menangkapmu dan menyita patung itu. Aku akan naik bersama dua centurion lain. Aku tidak ingin sampai terjadi pertumpahan darah." Reyna berusaha mengontrol tungkainya yang gemetaran. "Naiklah, Michael!" Dia menoleh kepada Nico dan Pak Pelatih Hedge. "Kalau aku keliru, bersiaplah. Michael Kahale bukan lawan tanding yang enteng."
Michael tidak berpakaian tempur. Dia hanya mengenakan kaus perkemahan warna ungu, celana jins, dan sepatu lari. Dia kelihatannya tidak membawa senjata, tapi bukan berarti Reyna
lantas merasa baikan. Lengan Michael sebesar kabel penyangga jembatan, ekspresinya seramah tembok bata. Tato merpati di lengan bawahnya lebih mirip burung pemangsa. Mata pemuda itu berkilat-kilat kelam sementara dia mengamati pemandangan di hadapannya Athena Parthenos yang dicancangkan ke regu pegasus, Nico yang pedang Stygiannya terhunus, Pak Pelatih Hedge yang membawa tongkat bisbol. Centurion yang mendampingi Michael adalah Leila dari Kohort IV dan Dakota dari Kohort V. Pilihan yang janggal ... Leila, putri Ceres, bukan orang yang agresif. Dia biasanya berkepala dingin; sedangkan Dakota ... Reyna tidak percaya bahwa putra Bacchus, perwira berwatak paling baik hati, bakal berpihak kepada Octavian. "Reyna Ramirez-Arellano," kata Michael, seperti membaca perkamen, "mantan praetor " "Aku masih menjabat sebagai praetor," Reyna mengoreksi. "Terkecuali aku telah diturunkan dari jabatan melalui pemungutan suara seluruh anggota senat. Begitukah kasusnya"" Michael mendesah dengan berat. Dia sepertinya tidak sepenuh hati menjalankan tugas saat ini. "Aku diperintahkan menangkap dan menahanmu untuk disidangkan." "Atas wewenang siapa"" "Kau tahu wewenang si " "Atas tuduhan apa"" "Dengar, Reyna" Michael mengurut-urut dahi dengan punggung tangan, seolah hendak mengusir pusing "aku tidak menyukai ini, sama sepertimu. Tapi, aku diberi perintah." "Perintah ilegal." "Terlambat untuk berdebat. Octavian mengemban kekuasaan dalam keadaan darurat. Legiun mendukungnya di belakang."
Senopati Pamungkas I 19 Suling Naga Karya Kho Ping Hoo Pedang Medali Naga 19

Cari Blog Ini