Ceritasilat Novel Online

House Of Hades 6

The Heroes Of Olympus 4 House Of Hades Bagian 6


dari lempeng pelindung dadanya. Celana poliester hijau-kekuningan yang dikenakannya benar-benar
ketat, dan jerawatnya semakin parah saja. Meski semua itu, dia melengkungkan alisnya dan tersenyum
lebar seakan dirinya adalah blasteran perayu ulung. "Aku tahu gadis yang cantik ini akan merindukanku."
Dia herbicara bahasa Prancis ala Quebec, yang Piper terjemahkan tanpa susah-payah. Berkat ibunya,
Aphrodite, bahasa cinta dah tertanam kuat dalam dirinya, walau dia tidak ingin enggunakannya dengan
Zethes. "Apa yang kau lakukan?" desak Piper. Kemudian, dengan harmspeak: "Bebaskan temantemanku." Zethes mengerjapkan mata. "Kita harus membebaskan teman-temanmu." "Ya." Cal setuju.
"Tidak, dasar bodoh!" bentak Khione. "Dia sedang meng-gunakan charmspeak. Gunakan otakmu."
"Otak ...." Cal mengerutkan kening seakan dirinya tidak ya kin apa itu otak. "Muffin lebih enak." Dia
memasukkan seluruh muffin ke dalam mulutnya dan alai mengunyah. Zethes memungut blueberry dari
lapisan atas muffinnya dan m onggigitnya perlahan. "Ah, Piper-ku yang sungguh cantik ',fah lama aku
menanti untuk bertemu denganmu lagi. Sayangnya, .I udariku benar. Kami tidak bisa membebaskan
teman-temanmu. N Ialahan, kami harus membawa mereka ke Quebec, tempat mereka
akan ditertawakan untuk selamanya. Maafkan aku, tapi inilah perintah yang mesti kami laksanakan."
"Perintah ?" Semenjak musim dingin terakhir, Piper sudah berharap Khione akan menunjukkan wajah
dinginnya cepat atau lambat. Saat mereka mengalahkan dirinya di Rumah Serigala di Sonoma, dewi salju
itu telah bersumpah akan membalas dendam. Tapi, mengapa Zethes dan Cal ada di sini" Di Quebec,
Boreads bersaudara itu tampak nyaris bersahabat"setidaknya, dibandingkan dengan saudari esnya.
"Teman-Teman, dengar," ujar Piper. "Saudarimu menentang Boreas. Dia bekerja sama dengan kaum
raksasa, berusaha mem-bangkitkan Gaea. Dia berencana untuk mengambil alih kekuasaan ayah kalian."
Khione tertawa, lembut dan dingin. "Oh, Piper McLean Tersayang. Kau bisa saja mencoba memanipulasi
saudara-saudaraku yang lernah tekadnya dengan daya pikatmu, persis seperti putri sejati dari dewi cinta.
Sungguh penipu yang lihai." "Penipu?"seru Piper lantang. "Kau berusaha membunuh kami! Zethes, dia
bekerja untuk Gaea!" Zethes mengernyit. "Ah, gadis cantik. Kami semua bekerja untuk Gaea sekarang.
Sayangnya, perintah ini datang dari ayah kami, Boreas sendiri." "Apa?" Piper tidak ingin memercayainya,
tetapi senyum puas Khione menunjukkan bahwa itu benar. "Akhirnya ayahku memahami kebijaksanaan
dari pertimbang-anku," ucap Khione lirih, puas, "atau setidaknya dia sempat memahaminya sebelum sisi
Romawi-nya mulai berseteru dengan Yunani-nya. Sayangnya sekarang dia tidak mampu berbuat apa-apa,
tapi dia telah menyerahkan tanggung jawab kepadaku. Dia
t clah memerintahkan agar kekuatan Angin Utara digunakan demi inembantu Raja Porphyrion, dan tentu
saja Ibu Bumi." Piper menelan ludah tegang. "Bagaimana kau bahkan bisa herada di sini?" Dia menunjuk
ke es di seluruh badan kapal. "Sekarang musim panas!" Khione mengangkat bahu. "Kekuatan kami
bertumbuh. Hukum alam telah dijungkir-balikkan. Begitu Ibu Bumi bangkit, kami akan kembali
membangun dunia seperti yang kami inginkan!" "Dengan hoki," ujar Cal, mulutnya masih penuh. "Dan,
piza. Dan, muffin." "Ya, ya," seringai Khione. "Aku harus menjanjikan beberapa hal kepada si dungu
berbadan besar itu. Dan kepada Zethes?" "Oh, kebutuhanku sederhana saja." Zethes melicinkan
ambutnya ke belakang sambil mengedipkan mata pada Piper. "Seharusnya aku mempertahankanmu di
istana kami saat kita itertama bertemu, Piper-ku tersayang. Tapi segera kita akan kembali ke sana lagi,
bersama-sama, dan aku akan menghujanimu dengan penuh romansa." "Terima kasih, tapi tidak usah,"
ujar Piper. "Sekarang, lepaskan Jason." Piper mengerahkan segenap kekuatannya ke dalam kata-katanya,
dan Zethes patuh. Dia menjentikkan jari. Es yang nenyelubungi Jason segera saja mencair. Jason ambruk
ke lantai, terengah-engah dan mengepulkan asap; tapi setidaknya dia hidup. "Dasar idiot!" Khione
menyentakkan tangannya, dan Jason I,embali membeku, sekarang tubuhnya terbujur rata di lantai
lermaga seperti karpet kulit beruang. Khione membalikkan itu badan menghadap Zethes. "Kalau kau
menginginkan gadis u sebagai hadiahmu, kau harus tunjukkan bahwa kau bisa Iitengendalikannya.
Bukan sebaliknya!" "Ya, tentu saja." Zethes tampak kecewa.
"Sementara Jason Grace ...." Mata cokelat Khione berbinar. "Dia dan teman-temanmu lainnya akan
bergabung dalam koleksi patung es di pelataran istana kami di Quebec. Jason akan menghia.,i ruang
singgasanaku." "Hebat," gumam Piper. "Kau menghabiskan satu hari pentuh untuk memikirkan kalimat
itu?" Setidaknya Piper tahu bahwa Jason masih hidup, yang mengurangi kepanikannya. Es yang beku
bisa dibalikkan. artinya teman-temannya yang lain kemungkinan masih hidup di geladak bawah. Dia
hanya membutuhkan sebuah rencana untuk membebaskan mereka. Sayangnya, dia bukanlah Annabeth.
Dia tidak begitu pandai meramu strategi di tempat. Dia butuh waktu untuk berpikir. "Bagaimana dengan
Leo?" cetusnya. "Kau kirim dia ke mana?" Dewi salju melangkah pelan mengitari Jason, mengamatinyil
seolah dia seonggok karya seni di tepi jalan. "Leo Valdez patut menerima huk.uman khusus," ucapnya.
"Aku telah mengirimnya ke sebuah tempat di mana dia takkan pernah bisa kembali." Napas Piper sesak.
Malang bagi Leo. Bayangan tidak pernah melihatnya lagi nyaris menghancurkannya. Khione bisa
melihatnya di wajahnya. "Ah, Piper-ku Sayang!" Dia tersenyum penuh kemenangan. "Tapi itu adalah
yang terbaik. Leo tidak bisa dimaafkan, bahkan sebagai patung es ... tidak setelah dia menghinaku. Si
bodoli itu menolak untuk berkuasa di sisiku! Dan kekuatannya atm api ...." Dia menggelengkan kepala.
"Dia tidak bisa dibiarka n untuk mencapai Gerha Hades. Sayangnya, Tuan Clytius batik;in lebih tidak
menyukai api daripada aku." Piper mencengkeram belatinya.
Api, pikirnya. Terima kasih kau telah mengingatkanku, dasar ivanita penyihir. Dia memindai sekitar
geladak. Bagaimana cara membuat 'pi" Sekotak tabung-tabung kecil api Yunani tersimpan rapat Ii
meriam depan, tapi itu terlalu jauh. Bahkan jika dia berhasil nencapainya tanpa menjadi beku, api
Yunani akan membakar termasuk kapal dan semua temannya. Pasti ada cara lain. Matanya menyimpang
ke haluan kapal. Oh. Festus, si kepala di haluan kapal, bisa mengembuskan api yang L)esar. Sayangnya,
Leo telah mematikannya. Piper sama sekali tidak tahu cara untuk menghidupkannya kembali. Dia takkan
punya waktu untuk mencari tahu kendali yang benar di konsol kapal. Dia hanya punya ingatan samar
scat Leo mengutak-atik bagian dalam tengkorak perunggu sang naga, menggumamkan sesuatu tentang
cakram kendali; tapi seandainya pun Piper bisa mencapai haluan kapal, dia sama sekali tak tahu apa
yang mesti dilakukannya. Tetap saja, nalurinya memberitahunya bahwa Festus adalah peluang
terbaiknya. Seandainya saja dia bisa mencari cara untuk meyakinkan para penawannya untuk
membiarkannya bergerak cukup dekat dengannya "Yah!" Khione menyela pikirannya. "Sayangnya waktu
kita bersama akan segera berakhir. Zethes, sudikah kau?" "Tunggu!" seru Piper. Sebuah perintah
sederhana, dan itu berhasil. Boreads bersaudara dan Khione mengernyit ke arahnya, menanti. Piper
cukup yakin dia bisa mengendalikan kedua saudara laki-luki itu dengan charmspeak, tapi Khione adalah
suatu masalah. Charmspeak kurang mempan jika ditujukan kepada seseorang yang tidak tertarik kepada
kita atau jika ditujukan bagi sosok yang kuat seperti seorang dewa. Dan juga kurang mempan bila korban
kita tahu tentang charmspeak dan secara aktifselalu waspada pend menghadapinya. Semua itu berlaku
bagi Khione. Apa yang akan dilakukan oleh Annabeth" Tunda, pikir Piper. Saat ragu, bicaralah lebih
banyak. "Kau takut terhadap teman-temanku," ujarnya. "Jadi kenapa tidak kau bunuh saja mereka?"
Khione tertawa. "Kau bukanlah dewa, makanya kau tidak mengerti. Kematian itu begitu singkat, begitu
tak memuaskan. Jiwa manusia yang lemah berpindah ke Dunia Bawah, lalu apa yang terjadi kemudian"
Hal terbaik yang bisa kuharapkan adalah kalian pergi ke Lapangan Hukuman atau Asphodel, tapi kalian
para blasteran sungguh terlalu mulia. Kemungkinan besar kalian akan pergi ke Elysium"atau dilahirkan
kembali dalam sebuah kehidupan baru. Buat apa aku menghadiahi teman-temanmu dengan itu" Buat
apa jika aku bisa menghukum mereka secara kekal?" "Dan aku?" Piper tak ingin bertanya. "Mengapa aku
masih hidup dan tidak dibekukan?" Khione menoleh pada saudara-saudaranya dengan jengkel. "Salah
satu alasannya adalah, Zethes telah mengklaim dirimu." "Aku pendamping yang hebat." Zethes berjanji.
"Kau akan tahu sendiri, Cantik." Bayangan itu membuat perut Piper bergolak. "Tapi bukan itu satusatunya alasan," ucap Khione. "Alasan lainnya adalah karena aku membencimu, Piper. Benar-benar
benci. Tanpa kau, Jason tentu akan menetap bersamaku di Quebec." "Kau berkhayal, yah?" Mata Khione
berubah sekeras batu-batu permata di lingkaran hiasan kepalanya. "Kau pengganggu, putri dari seorang
dewi tak berguna. Apa yang bisa kau lakukan sendiri" Tidak ada. Dan ketujuh blasteran, kaulah yang
paling tak ada gunanya, tak punya
kekuatan. Aku ingin kau tinggal di kapal ini, terapung-apung tak berdaya, sementara Gaea bangkit dan
dunia berakhir. Dan sekadar memastikan agar dirimu tak lagi jadi penghalang ...." Dia menunjuk pada
Zethes, yang mencabut sesuatu dari udara"sebuah bola beku seukuran bola sofbol, terselubungi pakupaku es. "Sebuah born." Zethes menjelaskan, "khusus untukmu, Sayang." "Born!" Cal tertawa. "Hari
yang bagus! Born dan muffin!" "Ehm ...." Piper menurunkan belatinya, yang rasanya lebih .aa-sia dari
biasanya. "Bunga saja sebetulnya sudah cukup." "Oh, ini tidak akan mernbunuh sang gadis cantik."
Zethes mengernyit. "Yah aku cukup yakin akan itu. Tapi ketika wadah rapuhnya pecah, dalam waktu yah,
kira-kira tak begitu lama ... is akan melepaskan kekuatan penuh dari angin utara. Kapal ini akan
diempaskan sangat jauh dari jalurnya. Sangat sangat jauh." "Benar." Suara Khione menajam penuh
simpati palsu. "Kami akan membawa teman-temanmu untuk koleksi patung kami, lalu melepaskan angin
itu dan mengucapkan salam perpisahan padamu! Kau bisa menyaksikan akhir dari dunia dari yah, akhir
dunia! Barangkali kau bisa menggunakan charmspeak pada ikan, dan makan dari kornukopia konyolmu
itu. Kau bisa rnondar-mandir di geladak kapal kosong ini dan menyaksikan kemenangan kami di bilah
belatirnu itu. Saat Gaea telah, bangkit dan dunia yang kau tahu sudah punah, maka Zethes bisa kembali
dan mengambilmu sebagai pengantinnya. Apa yang akan kau lakukan untuk menghentikan kami, Piper"
Seorang pahlawan" Ha! Kau sungguh lucu!" Kata-katanya menusuk seperti hujan es, terutama karena
Piper sendiri pernah memiliki hal yang sama. Apa yang bisa
dilakukannya" Bagaimana mungkin dia bisa menyelamatkan teman-temannya dengan kemampuan yang
dimilikinya" Piper sudah nyaris mengamuk"menerjang musuh-musuhnya dengan kemarahan dan
membiarkan dirinya terbunuh. Dia memandangi ekspresi puas Khione dan menyadari memang itu
harapan sang dewi. Dia ingin Piper lepas kendali. Dia menginginkan hiburan. Nyali Piper menguat. Dia
teringat akan gadis-gadis yang biasa mengejeknya di Sekolah Alam Liar. Dia ingat Drew, kepala penasihat
keji yang digantikannya di kabin Aphrodite; dan Medea, yang telah memantrai Jason dan Leo di Chicago;
dan Jessica, mantan asisten ayahnya, yang selalu mernperlakukannya seperti anak nakal tak tahu diri.
Sepanjang hidupnya, Piper selalu diremehkan, dibilang tak ada gunanya. Itu tidak benar, bisik suara
lain"suara yang terdengar seperti milik ibunya. Mereka semua merendahkanmu karena mereka takut
clan iri padamu. Begitu juga Khione. Gunakan itu! Meski merasa kesulitan, tapi Piper berhasil
mengeluarkan tawa. Dia mencobanya lagi, dan tawa itu keluar dengan lebih mudah. Tak lama dia sudah
terpingkal-pingkal sambil membungkuk, menahan geli dan mendengus. Calais ikut bergabung, sampai
Zethes menyikutnya. Senyum Khione memudar. "Apa" Apa yang lucu" Aku sudah menghancurkanmu!"
"Menghancurkanku!" Piper kembali terbahak. "Oh, demi dewa-dewi maaf." Dia mengambil napas
dengan susah dan berusaha menahan geli. "Oh, ampun baiklah. Kau benar-benar mengira aku tak punya
kekuatan" Kau benar-benar mengira aku tak ada gunanya" Demi dewa-dewi Olympus, otakmu pasti
sudah beku oleh es. Kau tidak tahu rahasiaku, yah?" Mata Khione memicing.
[ 352 "Kau tak punya rahasia," ujarnya. "Kau berbohong." "Balk, terserahlah," sahut Piper. "Yeah, silakan bawa
teman-temanku. Tinggalkan aku di sini tanpa guna."Dia mendengus. "Yeah. Gaea pasti akan sangat puas
dengan tindakanmu." Salju berputar-putar di sekeliling sang dewi. Zethes dan Calais bertukar pandang
cemas. "Saudariku." Zethes berkata, "kalau dia benar-benar punya rahasia?" "Pita?" Cal menebak.
"Hoki?" ?"kita hares tahu," lanjut Zethes. Khione jelas tidak termakan. Piper berusaha memasang wajah
datar, tapi dia malah membuat matanya menari dengan kejailan dan humor. Ayolah, tantangnya.
Sambut gertakanku. "Rahasia apa?" Khione menuntut. "Tunjukkan kepada kami!" Piper mengedikkan
bahu. "Baiklah." Dia menunjuk sambil lalu ke arah haluan kapal. "Ikuti aku, orang-orang es."[]
BAB EMPAT PULUH EMPAT PIPER PIPER MENDESAK MELEWATI BOREADS BERSAUDARA,yang rasanya seperti melewati sebuah lemari
pendingin daging. Udara di sekitar mereka begitu dingin hingga serasa membakar wajahnya. Dia merasa
napasnya seakan menghirup salju. Piper berusaha untuk tidak memandang ke bawah pada tubuh beku
Jason saat dia lewat. Dia berusaha untuk tidak memikirkan tentang nasib teman-temannya di geladak
bawah, atau Leo yang ditembakkan ke langit menuju sebuah tempat tanpa jalan kembali. Dia benarbenar berusaha keras untuk tidak memikirkan tentang Boreads bersaudara dan si dewi salju, yang
sedang mengikutinya. Piper memusatkan matanya pada kepala patung itu. Kapal bergoyang di bawah
kakinya. Embusan angin musim panas berhasil menembus hawa dingin, dan Piper langsung
menghirupnya dalam-dalam, menyerapnya sebagai pertanda baik. Di luar sana masih musim panas.
Khione dan saudara-saudaranya tidak sepantasnya berada di sini. Piper tahu dia tidak akan mungkin
memenangkan pertarungan langsung melawan Khione dan kedua pria bersayap dengan
pedang. Dia tidak sepandai Annabeth, atau jago memecahkan masalah seperti Leo. Tapi, dia memang
memiliki kekuatan. Dan dia berniat untuk menggunakannya. Kemarin malam, saat mengobrol dengan
Hazel, Piper telah menyadari bahwa rahasia dari charmspeak hampir sama dengan menggunakan Kabut.
Dulu, Piper selalu mengalami kesulitan membuat charmspeak-nya ampuh, karena dia selalu
memerintahkan musuh-musuhnya melakukan apa yang dia inginkan. Dia akan berteriak jangan bunuh
kami saat keinginan terbesar si monster adalah membunuh mereka. Dia akan mengerahkan seluruh
kekuatannya ke dalam suaranya dan berharap itu cukup untuk menguasai kehendak musuhnya.
Terkadang itu berhasil, tapi juga melelahkan dan tidak bisa diandalkan. Keahlian Aphrodite bukanlah
konfrontasi secara langsung. Ciri Aphrodite adalah kehalusan, tipu daya, dan mantra. Piper memutuskan
seharusnya dia tidak memfokuskan untuk menyuruh orang melakukan apa yang dirinya inginkan. Dia
harus mendorong mereka untuk melakukan hal-hal yang justru mereka inginkan. Teori yang hebat,
seandainya saja dia berhasil melakukannya. Piper berhenti di tiang depan kapal dan menghadap Khione.
"Wow, aku barn sadar kenapa kau sangat membenci kami," ucapnya, mengisi suaranya dengan iba.
"Kami telah sangat mempermalukanmu di Sonoma." Mata Khione berkilat seperti espresso dingin. Dia
melemparkan pandangan gelisah kepada saudara-saudaranya. Piper tertawa. "Oh, kau tidak memberi
tahu merekar duganya. "Aku tidak menyalahkanmu. Kau memiliki raja raksasa di pihakmu, plus satu
tentara serigala dan Anak Bumi, dan kau masih tidak bisa mengalahkan kami." "Diam!" desis sang dewi.
Udara jadi berkabut. Piper merasa es mengumpul di alisnya dan membekukan lubang-lubang telinganya,
tapi dia berpura-pura tersenyum. "Terserah." Piper mengedipkan mata kepada Zethes. "Tapi, itu
memang lucu." "Gadis cantik ini pasti berbohong," ucap Zethes. "Khione tidak dikalahkan di Rumah
Serigala. Dia bilang itu adalah ah, apa itu sebutannya" Mundur sebagai taktik?" "Taktik?" tanya Cal. "Apa
itu semacam makanan?" Piper menyikut dada pria besar itu dengan bergurau. "Bukan, Cal. Maksud dia
saudarimu kabur." "Aku tidak kabur!" teriak Khione. "Apa sebutanmu dari Hera?" Piper tampak berpikir.
"Oh, ya"dewi di bawah rata-rata!" Tawanya kembali lepas, dan rasa gelinya begitu nyata sampaisampai Zethes dan Cal mulai ikut tertawa. "Itu sungguh tres bon!" seru Zethes. "Devi di bawah rata-rata.
Ha!" "Ha!" timpal Cal. "Saudari kabur! Ha!" Gaun putih Khione mulai menguarkan uap. Es membentuk di
seputar mulut Zethes dan Cal, menyumbat mulut mereka. "Tunjukkan rahasiamu itu, Piper McLean,"
geram Khione. "Lalu berdoalah aku meninggalkanmu di kapal ini dengan utuh. Kalau kau bermain-main
dengan kami, aku akan tunjukkan kepadamu kengerian dari serangan radang dingin. Aku ragu Zethes
akan masih menginginkanmu kalau kau tak punya jari-jari tangan atau kaki ... mungkin juga tak punya
hidung atau telinga." Zethes dan Cal meludahkan sumbatan es dari mulut mereka. "Si gadis cantik akan
berkurang kecantikannya tanpa hidung." Zethes mengakui.
Piper sudah pernah melihat foto-foto dari korban radang dingin. Ancaman itu membuatnya takut, tapi
dia tidak me-unjukkannya. "Ayolah, kalau begitu." Dia memandu jalan menuju haluan kapal, sambil
menyenandungkan salah satu lagu kesukaan ayahnya?"Summertime" (waktu musim panas). Saat tiba
di kepala patung, Piper menaruh tangannya di leher Festus. Sisik perunggunya dingin. Tidak ada
dengung mesin. Mata batu rubinya kusam dan gelap. "Kau ingat naga kami?" tanya Piper. Khione
mengejek. "Ini tentu bukan rahasiamu. Naga itu sudah rusak. Apinya padam." "Yah, benar ...." Piper
mengelus moncong sang naga. Piper tidak memiliki kekuatan Leo untuk menggerakkan roda gigi atau
menghidupkan sirkuit listrik. Dia sama sekali tidak bisa merasakan tentang cara kerja mesin. Yang bisa
dilakukannya hanya hicara dari hatinya dan memberi tahu sang naga apa yang paling ingin didengarnya.
"Tapi Festus lebih dari sekadar mesin. Dia adalah makhluk yang hidup." "Konyol," sembur sang dewi.
"Zethes, Cal"kumpulkan anak-lak blasteran beku dari geladak bawah. Lalu, kita akan ledakkan usaran
angin. "Kalian bisa lakukan itu." Piper menyetujui. "Tapi nanti kalian tidak akan bisa melihat Khione
dipermalukan. Aku tahu kalian Akan sutra itu." Boreads bersaudara tampak ragu. "Hold?" tanya Cal.
"Hampir sama serunya," janji Piper. "Kalian pernah bertarung di pihak Jason dan para Argonaut, bukan"
Di kapal sama seperti ini, Argo 2
"Ya." Zethes menyetujui. "Argo. Mirip seperti ini, tapi kami tidak memiliki naga." "Jangan dengarkan
dia!" bentak Khione. Piper merasa es mengumpul di bibirnya.
"Kau bisa membungkam mulutku," ucap Piper cepat. "Tapi kau ingin tahu kekuatan rahasiaku"
bagaimana cara aku akan menghancurkanmu, Gaea, dan kaum raksasa." Kebencian menggelora di mata
Khione, tapi dia menahan diri dari membekukan Piper. "Kau"tak"punya"kekuatan," desaknya.
"Bicara seperti dewi di bawah rata-rata," ujar Piper. "Dewi yang tak pernah ditanggapi dengan serius,
yang selalu menginginkan kekuatan lebih." Piper berpaling pada Festus lalu menyusurkan tangannya di
belakang kuping logamnya. "Kau kawan yang balk, Festus. Tidak ada yang bisa benar-benar
mematikanmu. Kau lebih dari sebuah mesin. Khione tidak mengerti itu." Piper lantas berpaling kepada
Boreads bersaudara. "Kahan tahu, dia tidak menghargai kalian juga. Menurutnya dia bisa mengatur-atur
kalian karena kalian hanya setengah-dewa, bukan dewa sepenuhnya. Dia tidak mengerti bahwa kalian
adalah satu tim yang kuat." "Satu tim." Cal menggeram. "Seperti tim hold Ca-na-di-en Dengan susah
payah Cal mengucapkannya karena kata itu memiliki lebih dari dua suku kata. Dia kemudian
menyeringai, tampak sangat puas dengan dirinya. "Tepat sekali," sahut Piper. "Persis seperti sebuah tim
hold. Keseluruhan satu kelompok lebih hebat dari perorangannya." "Seperti piza," tambah Cal. Piper
tergelak. "Kau sungguh pintar, Cal! Bahkan aku pun telah meremehkan kemampuanmu."
"Tunggu lulu." Zethes protes. "Aku juga pintar. Dan ganteng." "Sangat pintar." Piper sepakat,
mengabaikan bagian gantengnya. "Jadi taruh born anginnya, dan mari kita saksikan Khione
dipermalukan." Zethes menyeringai. Dia membungkuk lalu menggelindingkan bola es itu sepanjang dek.
"Dasar bodoh!" teriak Khione. Sebelum sang dewi sempat mengejar bola itu, Piper berseru, "Senjata
rahasia kami, Khione! Kami bukan hanya sekumpulan ;mak blasteran. Kami sebuah tim. Sama seperti
Festus yang bukan hanya sebuah koleksi pelengkap. Dia hidup. Dia temanku. Dan bila teman-temannya
sedang berada dalam kesulitan, terutama Leo, dia bisa bangkit menurut kemauannya sendiri." Piper
mengerahkan seluruh kepercayaan dirinya ke dalam suaranya"seluruh rasa sayangnya bagi naga logam
itu dan segala jasanya bagi mereka. Bagian rasional dari dirinya tahu ini sia-sia saja. Bagaimana mungkin
kau bisa menghidupkan sebuah mesin dengan emosi" Tapi Aphrodite tidaklah rasional. Dia berkuasa
lewat emosi. Dia adalah dewi tertua dan paling purba dari dewa-dewi Olympia, terlahir dari darah
Ouranos yang bergolak di lautan. Kekuatannya lebih kuno daripada Hephaestus, atau Athena, bahkan
Zeus. Untuk sesaat yang mengerikan, tak ada apa pun yang terjadi. Khione memelototinya. Boreads
bersaudara mulai tersadar dari kelinglungan mereka, tampak kecewa. "Lupakan saja rencana kita,"
hardik Khione. "Bunch dia!" Saat Boreads bersaudara menghunuskan pedang mereka, kulit logam naga
itu menghangat di bawah tangan Piper. Piper menyingkir dari jalan, menjegal sang dewi salju, selagi
Festus inembelokkan kepalanya seratus delapan puluh derajat dan meledakkan Boreads bersaudara,
langsung mengubah mereka menjadi kepulan uap. Entah mengapa, pedang Zethes tertinggal Pedang itu berdentang menghantam
lantai, masih mengepul uap.
Piper bergegas bangkit. Dilihatnya bola angin berada di dasar tiang depan kapal. Piper berlari ke arahnya,
tapi sebelum dia berhasil mendekat, Khione mewujud di hadapannya dalam pusaran es. Kulitnya
memancarkan cahaya yang silaunya bisa menyebabkan kebutaan akibat salju. "Gadis malang," desisnya.
"Kau pikir kau bisa mengalahkanku seorang dewi?" Di belakang Piper, Festus meraung dan
menyemburkan uap panas, tapi Piper tahu Festus tidak bisa mengembuskan api lagi tanpa melukainya
juga. Sekitar enam meter di belakang sang dewi, bola es itu mt retak dan mendesis. Piper sudah
kehabisan waktu untuk mengambil tindakan secara halus. Dia berteriak dan mengangkat belatinya,
menerj ng sang dewi. Khione mencengkeram pergelangannya. Es menjalari lerq an Piper. Bilah Katoptris
memutih. Wajah sang dewi hanya berjarak lima betas sentimeter d ari wajahnya. Khione tersenyum,
menyadari dia telah menang. "Putri Aphrodite." Dia mencaci. "Kau bukanlah apa-apa.' Festus berderak
lagi. Piper merasa yakin Festus sedang bent& meneriakkan kata-kata penyemangat. Tiba-tiba dada Piper
menghangat"bukan dengan kemaral. an atau rasa takut, tapi dengan rasa cinta pada naga itu; dan
Jason, yang bergantung kepada dirinya; dan teman-temannya yang terperangkap di bawah; dan Leo,
yang tersesat dan bui uh bantuanny
a. Mungkin rasa cinta bukanlah tandingan bagi es ... tapi Piper telah menggunakannya untuk
membangkitkan naga logam itu. Manusia telah melakukan aksi-aksi di luar kemampuan manusia atas
nama cinta sepanjang masa. Ibu mengangkat mobil untuk menyelamatkan anaknya. Dan Piper lebih dari
manusia biasa. Dia adalah manusia setengah dewa. Seorang pejuang. Es mencair di bilah belatinya.


The Heroes Of Olympus 4 House Of Hades di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lengannya mengepulkan uap di bawah cengkeraman tangan Khione. "Masih saja berani menganggap
remeh diriku," ujar Piper pada sang dewi. "Kau benar-benar harus memperbaiki sikapmu itu." Raut
kesombongan Khione memudar selagi Piper menusukkan belatinya. Bilah belati itu menyentuh dada
Khione, dan sang dewi meledak dalam sebuah topan salju mini. Piper terjatuh, linglung akibat hawa
dingin itu. Dia mendengar Festus bekertak-kertak dan menderu. Bel-bel alarm bahaya yang kembali
menyala terdengar berdering. Born itu. Piper berjuang untuk bangkit. Bola itu terletak tiga meter
jauhnya, mendesis dan berputar-putar selagi angin di dalamnya mulai bergolak. Piper menukik
merebutnya. Jemarinya mengatup di seputar born tepat saat es itu pecah kerkeping-keping dan angin di
dalamnya meledak.[] BAB EMPAT PULUH LIMA PERCY PERCY MERASA INGIN KEMBALI KE rawa. Dia tak pernah mengira akan merindukan tidur di atas ranjan
kulit raksasa di gubuk tulang-belulang drakon dalam tangki septi penuh limbah menjijikkan, tapi saat ini
tempat itu terdengar seperti Elysium. Percy, Annabeth, dan Bob berjalan terhuyung menyusuri
kegelapan. Udaranya pekat dan dingin. Tanahnya bergonta-ganti antara petak-petak bebatuan tajam
dan genangan lumpur. Medannya seolah telah dirancang agar Percy tidak akan bisa bersantai sedikit.
Berjalan tiga meter saja sudah begitu melelahkan. Percy mengawali perjalanan dari gubuk raksasa
dengan kembali merasa bugar, kepalanya jernih, perutnya kenyang dengant dendeng drakon dari jatah
perbekalan mereka. Kini kakinya sakit. Setiap otot badannya pegal. Dia tnenarik tunik darurat dari kulit
drakon hingga menutupi kausnya yang koyak, tapi itu tak mempan mengusir dingin yang mendera.
Pandangannya terpusat pada tanah di depannya. Yang lain tidak ada, kecuali itu dan Annabeth di sisinya.
Setiap kali Percy merasa ingin menyerah, menjatuhkan dirinya, dan memilih mati saja (yang terjadi
setiap sepuluh menitnya), dia meraih tangan Annabeth, hanya untuk mengingat bahwa masih ada
kehangatan di dunia. Setelah pembicaraan Annabeth dengan Damasen, Percy mengkhawatirkan dirinya.
Annabeth tidak mudah menyerah pada keputusasaan, tapi selagi mereka berjalan, dia mengusap air
matanya, berusaha tidak membiarkan Percy melihat. Percy tahu betapa bencinya Annabeth bila
rencananya tidak berjalan sesuai keinginannya. Annabeth merasa yakin mereka membutuhkan bantuan
Damasen, tapi raksasa itu menolaknya. Sebagian diri Percy merasa lega. Dia sudah cukup cemas dengan
keberadaan Bob di sisi mereka begitu mereka mencapai Pintu Ajal. Percy tidak yakin dia menginginkan
seorang raksasa sebagai pengawalnya, biarpun raksasa itu bisa memasak semangkuk semur yang lezat.
Percy bertanya-tanya apa yang telah terjadi setelah mereka meninggalkan gubuk Damasen. Sudah
berjam-jam dia tidak mendengar para pengejar mereka, tapi dia bisa merasakan kebencian mereka
terutama dari Polybotes. Raksasa itu pasti berada di belakang mereka, mengekor, mendesak mereka
semakin jauh memasuki Tartarus. Percy berusaha memikirkan hal-hal baik untuk memper-tahankan
semangatnya"danau di Perkemahan Blasteran, saat dia mengecup Annabeth di bawah air. Dia
mencoba membayangkan mereka berdua di Roma Baru bersama-sama, berjalan menyusuri perbukitan
sambil bergandengan tangan. Namun, baik Perkemahan Jupiter maupun Perkemahan Blasteran terasa
bagai mimpi. Percy merasa seakan yang ada sebenarnya hanya Tartarus. Inilah dunia yang sebenarnya"
kematian, kegelapan, dingin, derita. Selama ini dia hanya membayangkan yang lainnya.
Percy bergidik. Tidak. Lubang kegelapanlah yang barusan bicara kepadanya, menguras tekadnya. Dia tak
habis pikir bagaimana Nico bisa bertahan berada di bawah sini sendiri tanpa menjadi gila. Bocah itu
memiliki kekuatan yang lebih dari yang disangka Percy selama ini. Semakin jauh mereka berkelana,
semakin sulit untuk tetap fokus. "Tempat ini lebih buruk daripada Sungai Cocytus," gumam Percy. "Ya,"
seru Bob dengan riang. "Jauh lebih buruk! Itu artinya kita sudah dekat." Dekat dengan apa" Percy tak
habis pikir. Tapi dia tak memiliki tenaga untuk bertanya. Percy memperhatikan Bob Kecil si kucing sudah
kembali menyembunyikan din di bank baju luar Bob, yang semakin menguatkan opininya bahwa kucing
itu adalah yang terpandai di kelompok mereka. Annabeth mengaitkan jemarinya dengan jemari Percy. Di
bawah pantulan pedang perunggunya, wajahnya begitu cantik. "Kita bersama-sama." Annabeth
mengingatkannya. "Kita akan melewati ini." Percy selama ini begitu khawatir untuk mengangkat
semangatnya, tetapi sekarang Annabeth-lah yang menguatkan dirinya. "Yeah." Percy menyetujui. "Ini
mudah." "Tapi lain waktu," ucap Annabeth, "aku ingin pergi ke tempat lain buat kencan." "Paris
menyenangkan." Percy mengingat. Annabeth tersenyum. Berbulan-bulan lalu, sebelum Percy
mengalami amnesia, mereka menikmati makan malam di Paris suatu malam, berkat Hermes. Kejadian
itu rasanya sudah lama sekali.
"Aku ingin di Roma Baru saja." Annabeth mengusulkan. "Asalkan kau bersamaku." Wah, Annabeth
memang hebat. Untuk sesaat, Percy benar-benar teringat bagaimana rasanya bahagia itu. Dia memiliki
kekasih yang luar biasa. Mereka bisa memiliki masa depan bersama. Kemudian kegelapan berpencar
dengan desahan berat, seperti napas terakhir dari seorang dewa sekarat. Di hadapan mereka tampak
lapangan luas"tanah tandus dengan debu dan bebatuan. Di tengah, sekitar dua puluh meter ke depan,
berlutut sesosok wanita mengerikan. Pakaiannya koyak, badannya kurus kering, kulitnya hijau kasar.
Kepalanya tertunduk selagi dia tersedu pelan, dan suara itu menghancur-leburkan seluruh harapan
Percy. Percy sadar bahwa hidup ini tak ada gunanya. Perjuangannya percuma saja. Wanita ini menangis
seakan berkabung atas kematian seluruh dunia. "Kita sudah sampai." Bob mengumumkan. "Akhlys bisa
menolong."[] BAB EMPAT PULUH ENAM PERCY JIKA GHOUL YANG TERISAK ADALAH bantuan yang dimaksud Bob, Percy cukup yakin dia tidak
menginginkannya. Meski begitu, Bob melangkah pelan ke depan. Percy merasa berkewajiban mengikuti.
Setidaknya, area ini sedikit lebih terang tidak sepenuhnya terang, tapi dengan lebih banyak kabut putih.
"Akhlys!" panggil Bob. Makhluk itu mengangkat kepalanya, dan perut Percy menjerit, Tolong aku! Tubuh
sosok itu sudah cukup mengerikan. Dia terlihat seperti korban bencana kelaparan"dengan tangan dan
kaki setipis ranting, lutut dan siku bertonjolan, kain compang-camping sebagai pakaian, kuku tangan dan
kaki patah-patah. Debu tanah menyelimuti kulitnya dan menumpuk di pundaknya seakan-akan dia baru
mandi pancuran di dasar sebuah jam pasir. Wajahnya adalah cermin kesedihan. Ma tanya cekung dan
berair, menumpahkan air mata. Ingus menetes dari hidungnya seperti air terjun. Rambut abu-abu
tipisnya mengumpul kusut ditengkoraknya dalam berkas-berkas berminyak, dan kedua pipinya ter-gores
dan berdarah seolah habis dicakarinya sendiri. Percy tidak sanggup menatap matanya, jadi dia
merendahkan pandangannya. Di depan lutut wanita itu terpampang perisai kuno"sebuah lingkaran dari
kayu dan perunggu yang sudah usang, dengan lukisan serupa Akhlys sendiri sedang memegang tameng
itu, hingga kesan gambaran seakan tak ada habisnya, semakin kecil dan kecil saja. "Perisai itu," gumam
Annabeth. "Itu rniliknya. Kukira itu hanya dongeng belaka." "Oh, tidak." Wanita tua itu menatap. "Perisai
mill Hercules. Dia melukisku di permukaannya agar musuh-musuhnya melihat diriku di saat-saat terakhir
mereka"dewi derita." Dia terbatuk sangat keras hingga membuat dada Percy sakit. "Seolah Hercules
tahu saja arti derita yang sebenarnya. Gambarnya saja tidak mirip!" Percy menelan ludah gugup. Saat
dia dan teman-temannya bertemu dengan Hercules di Selat Gibraltar, peristiwa itu tidak berlangsung
dengan baik. Pertukaran itu melibatkan banyak teriakan, ancaman kematian, dan nanas-nanas
berkecepatan-tinggi. "Kenapa perisainya ada di sini?" tanya Percy. Sang dewi memandangnya dengan
mata putih susunya ang basah. Darah menetes dari kedua pipinya, menciptakan totol-totol merah di
gaunnya yang rombeng. "Dia sudah tidak memerlukannya lagi, bukan" Perisai ini datang kemari scat
tubuh fananya terbakar. Kurasa ini menjadi sebuah pengingat bahwa tak ada satu pun perisai yang
cukup. Pada akhirnya, derita akan menguasai kalian semua. Bahkan Hercules sekalipun." Percy merayap
makin dekat ke Annabeth. Dia mencoba mengingat alasan mereka berada di sini, tetapi rasa
keputusasaan membuatnya sulit untuk berpikir. Mendengar Akhlys bicara, Percy
tak lagi merasa heran mengetahui dia mencakari wajahnya sendiri. Dewi itu memancarkan kepedihan
murni. "Bob," ujar Percy, "kita tidak seharusnya ke sini." Dari suatu tempat di dalam seragam Bob,
kucing kerangka itu mengeong setuju. Sang Titan beringsut dan mengernyit seakan Bob Kecil mencakari
ketiaknya. "Akhlys mengendalikan Kabut Ajal," desak-nya. "Dia bisa menyembunyikan kalian." "
Menyembunyikan mereka?" Akhlys menciptakan suara mendeguk. Entah dia sedang tertawa atau
tercekik setengah-mati. "Kenapa aku mau melakukan itu?" "Mereka harus mencapai Pintu Ajal," kata
Bob. "Untuk kembali ke dunia fana." "Mustahil!" seru Akhlys. "Pasukan Tartarus akan menemukan kalian.
Mereka akan membunuh kalian." Annabeth membalikkan bilah pedang tulang-drakonnya, yang harus
diakui Percy membuatnya tampak mengintimidasi dan seksi dengan gaya seorang "Putri Barbar". "Jadi
rupanya Kabut Ajal-mu itu tak ada gunanya," ucap Annabeth. Sang dewi memamerkan gigi kuning
patahnya. " lak ada gunanya" Siapa kau?" "Putri Athena." Suara Annabeth terdengar berani"walau
bagaimana dia bisa melakukannya, Percy tidak tahu. "Aku tidak menempuh setengah perjalanan
menyusuri Tartarus hanya untuk diberi tahu apa yang mustahil oleh seorang dewi minor." Debu
bergetar di kaki mereka. Kabut berputar di sekitar mereka dengan suara menyerupai rintih kesakitan.
"Dewi minor?" Kuku-kuku jari Akhlys yang bengkok terbenam di perisai Hercules, menggores logamnya.
"Aku sudah tua sebelum bangsa Titan dilahirkan, dasar kau gadis bodoh. Aku sudah tua scat Gaea
bangkit untuk kali pertama. Derita adalah
keabadian. Eksistensi adalah derita. Aku terlahir dari yang tertua"dari Kekacauan dan Malam. Aku
adalah?" "Ya, ya," sahut Annabeth. "Sedih dan derita, bla bla bia. Tapi kau tetap talc punya cukup
kekuatan untuk menyembunyikan dua blasteran dengan Kabut Ajal-mu itu. Persis seperti kataku: tak ada
gunanya." Percy berdeham. "Ehm, Annabeth?" Annabeth melemparinya tatapan peringatan:
Bekerjasamalah denganku. Percy menyadari betapa takutnya Annabeth sebenarnya, api dia tak punya
pilihan. Ini adalah kesempatan terbaik mereka untuk memancing sang dewi agar bertindak. "Maksudku
Annabeth benar!" Percy mencoba. "Bob membawa kami sampai sejauh ini karena dia mengira kau bisa
membantu. Tapi kurasa kau terlalu sibuk memandangi perisai itu dan menangis. Aku talc bisa
menyalahkanmu. Itu memang persis seperti tabiatmu." Akhlys merintih dan memelototi sang Titan.
"Kenapa kau mernbawa anak-anak mengesalkan ini kepadaku?" Bob mengeluarkan suara menyerupai
antara geraman dan rengekan. "Tadinya kukira"kukira?" "Kabut Ajal bukan untuk menolong!" jerit
Akhlys. "Kabut itu rnenyelubungi manusia fana dalam penderitaan begitu jiwa-iiwa mereka berpindah ke
Dunia Bawah. Ia adalah napas Tartarus, kematian, keputusasaan!" "Keren," ujar Percy. "Apa kami bisa
pesan dua itu untuk dibawa pulang?" Akhlys mendesis. "Minta kepadaku hadiah yang lebih masuk akal.
Aku juga dewi racun. Aku bisa memberikan kalian kematian"ribuan cara untuk mati yang lebih tidak
menyakitkan seperti yang telah kalian pilih dengan
Di sekeliling sang dewi, bunga-bunga bermekaran di tanah kering"bunga ungu gelap, jingga, dan merah
yang wanginya memabukkan. Kepala Percy melayang. "Nightshade." Akhlys menawarkan. "Hemlock.
Belladonna, henbane, atau strychnine. Aku bisa menghancurkan isi perutrr iu, mendidihkan darahmu."
"Terima kasih atas tawaranmu," ucap Percy. "Tapi aku sudah cukup menenggak racun di perjalanan ini.
Jadi, kau bisa menyembunyikan kami dalam Kabut Ajal-mu, atau tidak?" "Yeah, ini akan menyenangkan,"
timpal Annabeth. Mata sang dewi menyipit. 'Menyenangkan?" "Tentu," janji Annabeth. "Kalau kita gagal,
pikirkan betapa bagusnya itu bagimu, bisa mengejek puas arwah kami saat kami
mati kesakitan. Kau bisa mengatakan sudah-kubilang untuk
selamanya." "Atau, kalau kami berhasil," tambah Percy, "pikirkan seen yang akan kau berikan kepada
monster-monster bawah sana. Kami berencana untuk menyegel Pintu Ajal. Itu ak menciptakan banyak
ratapan dan erangan." Akhlys mempertimbangkan. "Aku menikmati penderitao Ratapan juga asyik."
"Kalau begitu kita sepakat," ucap Percy. "Jadikan kami t kasat mata." Akhlys berusaha berdiri. Perisai
Hercules itu berguli menjauh dan bergoyang hingga terjatuh di sepetak bunga-bu beracun. "Tidak
sesederhana itu," ucap sang dewi. "Kabut muncul pada saat kalian sudah berada di titik terdekat deng
akhir kehidupan kalian. Penglihatan kalian akan mengabur itu. Dunia akan memudar perlahan." Mulut
Percy terasa kering. "Oke. Tapi kami ak terselubungi dari penglihatan para monster?"
"Oh, ya," ujar Akhlys. "Kalau kalian selamat dari proses itu, kalian akan bisa melewati pasukan Tartarus
tanpa ketahuan. Tentu saja, itu sia-sia, tapi kalau kalian tetap ngotot, ikutlah bersamaku. Akan
kutunjukkan jalannya." "Jalan ke mana, tepatnya?" tanya Annabeth. Sang dewi sudah berjalan tertatih
menuju kegelapan. Percy berpaling pada Bob, tapi sang Titan itu telah meng-hilang. Bagaimana mungkin
seorang pria perak setinggi tiga meter dengan anak kucing yang mendengkur keras bisa menghilang
begitu saja" "Heir Percy memanggil Akhlys lantang. "Di mana teman kami?" "Dia tak bisa menempuh
jalan ini," seru sang dewi. "Dia tidak fana. Ayolah, bocah-bocah bodoh. Mari rasakan Kabut Ajal."
Annabeth mengembuskan napas dan meraih tangannya. "Yah memang bisa seburuk apa, sih?"
Pertanyaan itu begitu konyolnya hingga Percy tertawa, walau-pun itu menyakiti paru-parunya. "Yeah.
Tapi, kencan berikutnya--- makan malam di Roma Baru." Mereka mengikuti jejak kaki berdebu sang dewi
menembus bunga-bunga beracun, semakin jauh memasuki kabut.[]
BAB EMPAT PULUH TUJUH PERCY PERCY MERINDUKAN BOB. Dia sudah terbiasa dengan keberadaan sang Titan di sisir ya, menerangi jalan
mereka dengan rambut peraknya dan sapu perangnya yang menakutkan. Kini satu-satunya pemandu
mereka adalah wanita bertut uh ceking seperti mayat dengan masalah harga diri yang besar. Saat
mereka berjuang menempuh dataran kering, kabut menjadi begitu tebalnya hingga Percy harus
menahan dorongan untuk menepisnya dengan kedua tangan. Satu-satunya alas an dia mampu
mengikuti langkah Akhlys hanyalah karena tanan an beracun bermunculan di tempat mana pun yang
dipijaknya. Jika mereka masih berada di tubuh Tartarus, Percy meng ira mereka pasti sedang berada di
dasar kakinya"bentangan kasar dan kapalan tempat hanya tumbuhan paling menjijikkan bisa hidup.
Akhirnya mereka tiba di ujung sebuah jempol besar. Setidakt ya begitulah yang terlihat bagi Percy. Kabut
menghitung, dan mereka mendapati diri mereka berada di semenanjung yang menjorok ke sebuah
lubang hitam kosong. "Di sini." Akhlys berpaling dan mengerling dengan cemooh kepada mereka. Darah dari kedua pipinya
menetes ke gaunnya. Mata mengerikannya tampak basah dan bengkak tapi entah bagaimana
bersemangat. Bisakah Derita terlihat bersemangat" "Eh ... hebat." Percy bertanya, "Di sini di mana
tepatnya?" "Ujung akhir kematian," ucap Akhlys. "Tempat Malam bertemu kehampaan di bawah
Tartarus." Annabeth merayap maju lalu melirik ke bawah jurang. "Kukira idak ada apa-apa di bawah
Tartarus." "Oh, jelas ada ...." Akhlys terbatuk. "Bahkan Tartarus pun harus bangkit dari suatu tempat. Ini
adalah ujung dari kegelapan paling awal, yang merupakan ibuku. Di bawahnya terdapat bentangan
Kekacauan, ayahku. Di sini, kalian berada di titik terdekat dengan kehampaan dari yang pernah
ditempuh makhluk Tana mana pun. Apa kalian tak bisa merasakannya?" Percy tahu apa yang
dimaksudkannya. Kehampaan itu seperti menarik dirinya, merebut napas dari paru-parunya dan oksigen
dari darahnya. Dia memandang Annabeth dan melihat bibirnya bersemburat biru. "Kita tak bisa
berlama-lama di sini," kata Percy. "Tentu saja tidak!" seru Akhlys. "Apa kalian tidak merasakan Kabut
Ajal! Bahkan sekarang, kalian berada di tengah-tengahnya. Lihatlah!" Asap putih mengumpul di sekitar
kaki Percy. Selagi asap itu melilit naik kakinya, dia menyadari asap itu bukan mengelilinginya. Asap itu
berasal dari dirinya. Sekujur tubuhnya perlahan buyar. Percy mengangkat kedua tangannya dan
mendapatinya samar dan tak jelas. Dia bahkan tidak bisa menghitung berapa banyak jari-jari yang
dimilikinya. Semoga masih sepuluh. Saat berpaling kepada Annabeth, Percy menahan teriakan. "Kau"
eh?" Dia tak sanggup mengatakannya. Annabeth tampak mati. Kulitnya pucat kekuningan, rongga matanya
cekung dan gelap Rambut indahnya mengering menjadi seperti helai jaring laba-laba Annabeth terlihat
seperti sudah bersemayam di makam gelap d. dingin selama berpuluh-puluh tahun, tela.h mengering
perlah. menjadi sekam kering. Saat Annabeth berpaling menghadapny wajahnya sesaat mengabur
dalam kabut. Darah Percy mengalir seperti getah dalam pembuluh nadin) Selama bertahun-tahun, dia
selalu mencemaskan tentai Annabeth sekarat. Saat menjadi blasteran, hal itu sudah nya. jadi suatu
kepastian. Sebagian besar blasteran tidak hidup lam Kau selalu tahu bahwa monster berikutnya yang
kau hadapi bi jadi monster terakhirmu. Namun, melihat Annabeth seperti saat ini terlalu menyakitkan.
Percy lebih memilih berdiri di Sung Phlegethon, atau diserang oleh arai, atau diinjak-injak kau raksasa.
"Oh, demi dewa-dewi." Annabeth terisak. "Percy, kau tc lihat Percy mengamati kedua lengannya. Yang
dilihatnya ham gumpalan-gumpalan kabut putih, tapi mungkin bagi An.nabe dia tampak seperti mayat.
Dia mengambil beberapa langkah, wale sulit. Tubuhnya begitu rapuh, seakan terbuat dari helium ch
gulali. "Penampilanku pernah lebih baik." Percy memutuskan. "AI tidak bisa bergerak dengan leluasa.
Tapi aku baik-baik saja." Akhlys berseru. "Oh, kau jelas tidak baik-baik saja." Percy merengut. "Tapi,
sekarang kami bisa lewat tanpa terliha Kami bisa mencapai Pintu Ajal?" "Yah, kurasa mungkin bisa,"
ucap sang dewi, "kalau kalk masih bertahan hidup selama itu, yang tentu takkan bisa."
Akhlys merentangkan jari-jari bengkoknya. Makin banyak tanaman bermekaran sepanjang tepi lubang-hemlock, nightshade, dan bunga jepun rnenjalari kaki Percy seperti karpet mematikan. ISegini, Kabut
Ajal bukan sekadar sebuah samaran. Kabut Ajal lah suatu kondisi keberadaan. Aku tidak bisa memberi
kalian licrsembahan ini kecuali kematian menyusul--kematian yang ta." "Ini perangkap," seru Annabeth.
Sang dewi terkekeh. "Apa kalian tidak mengira aku akan inengkhianati kalian?" "Ya," ucap Annabeth dan
Percy bersamaan. "Yah, kalau begitu, ini sama sekali bukan perangkap! Lebih cocok disebut tak
terelakkan. Penderitaan adalah suatu kepastian rasa sakit?" "Yeah, yeah," geram Percy. "Ayo kita
bertarung saja." Dia menarik Riptide-nya, tetapi bilah pedang itu terbuat dari asap. Saat Percy
menebaskannya pada Akhlys, pedang itu hanya menembus melewatinya seperti semilir angin. Mulut
hancur sang dewi membelah menjadi seringai. "Apa .tku lupa bilang" Kau sekarang hanyalah kabut"
bayangan sebelum kematian. Barangkali jika kau punya waktu, kau bisa belajar inengendalikan wujudmu
yang baru. Tapi kau tak punya waktu. Karena kau tak bisa menyentuhku, sayangnya pertarungan apa
pun dengan Derita akan menjadi berat sebelah." Kuku-kuku jarinya berubah menjadi cakar. Rahangnya
lepas, dan gigi-gigi kuningnya memanjang menjadi taring.[]
BAB EMPAT PULUH DELAPAN PERCY AKHLYS MENERJANG PERCY, DAN UNTUK sesaat Percy berpikir: Hei, aku `kan coma asap. Dia tak bisa
menyentuhku, `kan" Percy membayangkan Takdir di Olympus sana, menertawakan angan-angan
semunya: LOL, Dasar Amatir! Cakar sang dewi menyapu dadanya dan menyengat seperti air mendidih.
Percy terhuyung ke belakang, tapi dia belum terbiasa menjadi asap. Kakinya bergerak terlalu lambat.
Lengannya serasa kertas tisu. Dengan putus asa, Percy melemparkan tas ranselnya ke arah Akhlys,
berpikir mungkin tasnya akan berubah jadi padat saat terlepas dari tangannya, tapi sia-sia saja. Tas itu
terjatuh dengan. bunyi debum pelan. Akhlys menggeram, merangkak, bersiap melompat. Dia mungkin
sudah akan menggigiti habis wajah Percy seandainya saja Annabeth tidak menerjang dan berteriak,
"Hei!" tepat di kuping sang dewi. Akhlys menjengit, berpaling ke asal suara.
Dia berusaha menyerang Annabeth, tapi Annabeth lebih lihai hrrgerak daripada Percy. Mungkin dia tidak
merasa tubuhnya i.tgai asap seperti yang dirasakan Percy, atau mungkin dia hanya Icbih banyak berlatih
dalam bertarung. Annabeth sudah berada di Perkemahan Blasteran sejak usia tujuh tahun. Mungkin
dia ,ernah mengikuti kelas-kelas yang tak pernah didapat Percy, kcperti Bagaimana Cara Bertarung Saat
Sebagian Tubuh Terbuat Bari Asap. Annabeth menukik tepat ke antara kedua kaki sang dewi lalu
terjungkir-balik hingga berdiri. Akhlys memutar tubuhnya dan nenyerang, tapi Annabeth mengelak lagi,
seperti seorang matador. Percy begitu takjubnya hingga melewatkan beberapa detik ,mg berharga. Dia
memelototi mayat Annabeth, terselubungi .abut tapi bergerak begitu tangkas dan penuh percaya diri
seperti hiasa. Kemudian tercetus dalam benaknya alasan Annabeth melakukan ini: untuk mengulur
waktu bagi mereka. Yang artinya, Percy harus membantu. Dia memutar otak dengan kalut, berusaha
memikirkan cara untuk mengalahkan Derita. Bagaimana Percy bisa bertarung saat dia tak bisa
menyentuh apa pun" Pada serangan ketiga Akhlys, Annabeth tidak begitu beruntung. )ia mencoba untuk
berbelok ke samping, tapi sang dewi meraih pergelangan tangan Annabeth dan menariknya kencang
hingga icalbuatnya jatuh terjengkang. Sebelum Akhlys sempat menerkam, Percy bergerak maju, tmbil
berteriak dan mengayunkan pedangnya. Dia masih merasa ubuhnya sepadat tisu Kleenex, tetapi
kemarahan tampaknya membantu Percy bergerak lebih gesit. "Hei, Senang!" teriaknya. Akhlys berputar,
menjatuhkan lengan Annabeth. "Senang?"
"Yeah!" Percy menunduk selagi Akhlys berusaha mengincar kepalanya. "Kau sangat penuh keceriaan!"
"Aahhh!" Akhlys menerjang lagi, tetapi dia kehilangan keseimbangan. Percy menyingkir ke samping dan
mundur, membawa sang dewi menjauh dari Annabeth. "Ra.mah!" panggil Percy. "Menyenangkan!" Sang
dewi menggeram dan mengernyit. Dia terhuyun mengejar Percy. Setiap pujian seolah memukulnya
seper melempar pasir ke wajahnya. "Aku akan membunuhmu dengan perlahan!" geramnya, m dan
hidungnya berair, darah menetes dari kedua pipinya. akan memotong-motong tubuhmu sebagai
persembahan b Malam!" Annabeth bangkit, berdiri dengan goyah. Dia mulai merog isi tasnya, jelas
mencari sesuatu yang bisa membantu. Percy ingin memberinya lebih banyak waktu. Annabeth adalah
otaknya. Lebih baik Percy yang diserang selagi Annabeth menyiapkan rencana yang brilian. "Enak


The Heroes Of Olympus 4 House Of Hades di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dipeluk!" teriak Percy. "Empuk, hangat, dan enak dipeluk!" Akhlys mengeluarkan bunyi menggeram dan
tercekik, seperti kucing sedang kejang-kejang. "Kematian perlahan!" Akhlys berteriak. "Kematian dari
seribu macam racun!" Di sekelilingnya, tanaman racun bermunculan dan menyeruak di mana-mana
seperti balon-balon yang ditiup terlalu kuat. Getah hijau-dan-putih menetes keluar, mengumpul jadi
genangan, dan mulai mengaliri tanah menuju Percy. Wanginya yang terlalu kuat membuat kepalanya
pusing. "Percy!" Suara Annabeth terdengar begitu jauh. "Eh, hei, Nona Menyenangkan! Ceria! Senyum!
Kemarilah!" Tapi perhatian sang dewi derita kini terpusat pada Percy. Percy berusaha kembali mundur. Sayangnya
nanah beracun itu kini mengalir di sekelilingnya, membuat tanah mengeluarkan asap than udara
terbakar. Percy mendapati dirinya terperangkap di pulau t.mah tak lebih besar dari sebuah perisai.
Beberapa meter jauhnya, tas ranselnya berasap dan hancur menjadi sebuah genangan lengket. tak ada
jalan keluar untuknya. Percy jatuh bersimpuh dengan satu lutut. Dia ingin menyuruh Annabeth untuk
kabur, tapi dia tak bisa bicara. Kerongkongannya sekering dedaunan mati. Seandainya saja ada air di
Tartarus, pikirnya"sebuah kolam segar tempat dia bisa menceburkan diri untuk menyembuhkan dirinya,
atau mungkin sebuah sungai yang bisa dikendalikannya. Sebotol air mineral saja sudah cukup baginya.
"Kau akan menjadi santapan kegelapan yang abadi," ajar Akhlys. "Kau akan mati di tangan Malam!"
Setengah sadar, Percy mendengar Annabeth berteriak sambil melemparkan potongan-potongan
dendeng drakon ke arah sang dewi. Racun hijau-putih terus menggenang, aliran air menetes dari
tanaman-tanaman itu sementara danau mematikan di sekelilingnya terus meluas. Danau, batinnya.
Aliran. Air. Mungkin otaknya hanya sedang terbakar akibat menghirup asap beracun hingga dia
mengeluarkan tawa serak. Racun adalah cairan. Kalau racun itu bergerak seperti air, pasti sebagiannya
air. Percy ingat sebagian pelajaran sains tentang tubuh manusia yang sebagian besar terdiri dari air. Dia
ingat mengeluarkan air dari paru-paru Jason saat di Roma .... Jika dia bisa mengendalikan itu, mengapa
tidak dengan cairan lain" Itu adalah ide sinting. Poseidon adalah dewa lautan, bukan dewa cairan di
segala tempat. Namun, Tartarus memiliki hukumnya sendiri. Api I diminum. Tanahnya adalah tubuh dari dewa gelap.
Udarat asam, dan anak-anak setengah dewa bisa diubah menjadi may mayat berasap. Jadi, mengapa
tidak mencoba" Tak ada kerugian yang ter! baginya. Percy menatap tajam ke arah aliran racun yang
mengepungt dari segala sisi. Dia berkonsentrasi sangat keras bahwa sesuatu dalam dirinya pecah"
seolah sebuah bola kristal hancur berkepit keping di dalam perutnya. Kehangatan menjalarinya. Arus
racun terhenti. Uapnya terbang menjauh darinya"kembali pada sang de' Danau racun itu menggulung
balik ke arah Akhlys dalam om[ kecil dan menganak sungai. Akhlys menjerit. "Apa ini?" "Racun," ucap
Percy. "Itu keahlianmu, bukan?" Percy berdiri, kemarahannya makin memanas di perutn Selagi banjir
racun bergulung menuju sang dewi, uapnya mu membuatnya terbatuk. Matanya berair makin parah. Oh,
bagus, batin Percy. Lebih banyak air. Percy membayangkan hidung dan tenggorokan Akh dipenuhi
dengan air matanya. Akhlys tersedak. "Aku?" Arus racun mencapai kakin] mendesis seperti tetesan air
di besi papas. Dia merintih d terhuyung mundur. "Percy!" panggil Annabeth. Annabeth telah mundur ke
ujung tebing, walaupun racun tidak mengincarnya. Suaranya terdengar ketakutan. Dibutuhk beberapa
saat bagi Percy untuk menyadari Annabeth ketakut terhadap dirinya. "Hentikan ...," pintanya, suaranya
parau. Percy tak ingin berhenti. Dia ingin mencekik dewi ini. Dia ingin menyaksikannya tenggelam dalam
racunnya sendiri. Dia itigin melihat tepatnya seberapa besar penderitaan yang bisa ,lit anggung sang
Derita. "Percy, kumohon ...." wajah .Annabeth masih pucat dan menyerupai mayat, tapi matanya sama
seperti biasa. Kecernasan di matanya membuat amarah Percy mereda. Percy berpaling pada sang dewi.
Dia menggerakkan racun untuk surut, menciptakan jalur kecil untuk mundur sepanjang tepi jurang.
"Pergi!" teriak Percy. Untuk ukuran ghoul kurus kering, Akhlys bisa berlari cepat jika saja dia
menginginkannya. Akhlys berlari sepanjang jalan, terjatuh dengan wajah menghantam tanah, kemudian
kembali bangkit, sambil merintih selagi melesat menuju kegelapan. Begitu sosoknya hilang dari
pandangan mata, genangan racun tnenguap. Tanaman melayu hingga menjadi debu sebelum buyar
diterbangkan angin. Dengan langkah terseok, Annabeth menghampiri Percy. Annabeth terlihat seperti
mayat terselubungi asap, tapi wujudnya terasa cukup padat saat dia mencengkeram kedua lengan Percy.
"Percy, kumohon jangan pernah lagi ...." Suaranya pecah menjadi isakan. "Ada hal-hal yang tidak
semestinya dikendalikan. Kumohon." Kekuatan menggelitik sekujur tubuh Percy, tetapi kemarahan itu
telah mereda. Ujung-ujung pecahan kaca di dalam dirinya mulai menghalus. "Ya," sahut Percy. "Ya,
baiklah." "Kita harus menjauh dari tebing ini," ujar Annabeth. "Kalau Akhlys membawa kita kemari untuk
dijadikan semacam persembahan ...."
Percy berusaha berfikir .dia mulai terbiasa bergerak dengan kabut ajal mengelilingi dirinya .dia merasa
lebih kukuh,lebih seperti dirinya.namun pikiran nya masih terasa seperti di isi kapas
"dia mengatakan sesuatu tentang menjadikan kita santapan bahi malam" ingat percy " apa maksud itu ?"
Suhu udara turun dastis .jurang di hadap mereka terlihat mengembuskan nafas .
Percy meaih annabeth dan bergerak mundurr dari tepi jurang selagi sebuah sososk menyeruak dari
kekosongan " sebuah bentuk yang begitu luas dan berbayang , hingga percy merasa paham akan konsep
gelap untuk pertama kalinya .
"aku rasa " ucap kegelapan , dengan suara mefinim yang sama lembut nya dengan kain lapisan " dalam
peti mati, maksud nya akhlys adalah malam , dengan huruf M besar. Lagi pula aku lah satu satunya.[]
BAB EMPAT PULUH SEMBILAN LEO MENURUT LEO, DIA. SUDAH MENGHABISKAN lebih banyak waktu terjatuh daripada terbang. Seandainya
saja ada penghargaan bagi yang terjatuh paling wring, dia jelas akan meraih dobel-platinum. Leo
memperoleh kesadarannya kembali saat terjatuh-bebas menembus awan-awan. Dia memiliki ingatan
samar saat Khione mengejeknya tepat sebelum dirinya ditembakkan ke langit. Leo tidal( sempat benarbenar melihat sosoknya, tapi dia tak bisa melupakan suara penyihir salju itu. Dia sama sekali tak tahu
sudah berapa lama dirinya menambah ketinggian, tapi di suatu titik dia pasti telah kehilangan kesadaran
akibat dingin dan kurangnya oksigen. Sekarang Leo dalam perjalanan turun, menuju tabrakan terbesar
yang pernah dialaminya. Awan-awan membelah di sekelilingnya. Dia melihat kilatan taut jauh di bawah.
Tak ada tanda-tanda Argo 2. Tak ada tanda-tanda garis pantai, balk yang familier maupun asing, kecuali
sebuah pulau kecil di cakrawala.
Leo tak bisa terbang. Dia hanya memiliki paling lama du menit sebelum jatuh ke air dan mengalami
BYUR besar-besaran. Dia memutuskan tidak suka dengan akhir kisah Balada Epik Leo.
Dia masih menggenggam bola Archimedes, dan hal itu tidak mengejutkannya. Entah sadar atau tidak,
Leo tidak akan pernah melepaskan harta paling berharganya. Dengan sedikit manuver, dia berhasil
menarik lakban dari tas pinggang peralatannya dan merekatkan bola itu ke dadanya. Itu membuatnya
terlihat seperti Iron Man kurang-modal, tapi setidaknya kedua tangannya terbebas. Leo mulai bekerja,
dengan mati-matian mengutak-atik bolanya, meraih apa pun yang dipikirnya akan rnembantu dari tas
perkakas ajaibnya: kain terpal, pengait logam, beberapa tali, dan cincin logam. Bekerja saat terjatuh
nyaris mustahil. Angin menderu di telinganya. Tiupannya terus-menerus melepaskan peralatan, sekrup,
dan terpal dari tangannya, tapi akhirnya dia berhasil membuat sebuah kerangka darurat. Dia membuka
sebuah tingkapan di bolanya, mengurai dua kawat, dan menghubungkannya dengan palangnya. Berapa
lama sampai dia menabrak air" Barangkali semenit" Dia memutar cakram kendali bola, dan is
mendengung nyala. Lebih banyak kawat perunggu dilontarkan dari bola, secara intuisi merasakan yang
diperlukan Leo. Tali-temali merenda kain terpal. Kerangka itu mulai meluas sendiri. Leo mengeluarkan
sebuah kaleng minyak tanah dan selang karet, lalu memasangnya ke mesin baru yang kehausan yang
turut dibentuk oleh bolanya. Akhirnya, Leo berhasil membuat sebuah halter dari tali dan menggesernya
hingga kerangka X-nya menempel ke punggungnya. Lautan semakin dekat saja"sebuah bentangan
tamparan kematian yang berkelap-kelip.
Leo berteriak menantang sambil menekan tombol darurat da. Mesin menggerung nyala. Rotor buatan
itu bergerak. Baling-haling terpal berputar, tapi terlalu pelan. Kepala Leo mengarah I (-pat ke laut"
mungkin 30 detik lagi menuju tabrakan. Setidaknya tak ada siapa pun di sana, pikirnya masam, atau aku
akan menjadi bulan-bulanan demigod seumur hidup. Apa yang terakhir melintas di benak Leo" Laut
Mediterania. Tiba-tiba bola itu menghangat di dadanya. Baling-balingnya berputar lebih cepat. Mesinnya
terbatuk, dan Leo memiringkan tubuhnya, membelah udara. "YES!" teriaknya. Dia telah berhasil
menciptakan helikopter pribadi paling berbahaya di dunia. Leo membidik ke arah pulau di kejauhan, tapi
jatuhnya masih terlampau cepat. Baling-baling itu bergetar. Terpal menjerit. Pantai hanya berjarak
ratusan meter jauhnya saat bola menjadi panas dan helikopter meledak, menembakkan bunga-bunga
api ke segala arah. Jika saja Leo tidak kebal terhadap api, dia sudah menjadi arang. Namun, nyatanya
ledakan di udara itu mungkin telah menyelamatkan nyawanya. Ledakan itu melontarkan Leo ke pinggir
sementara sebagian besar alat ajaibnya yang terbakar menabrak pesisir dalam kecepatan tinggi dengan
bunyi DU-AARRR dahsyat! Leo membuka matanya, terkejut masih hidup. Dia terduduk di lubang kawah
seukuran bak mandi di pasir. Beberapa meter jauhnya, kepulan asap hitarn pekat membubung ke langit
dari kawah yang jauh lebih besar. Pan tai di sekitarnya dibubuhi potongan puing-puing lebih kecil yang
terbakar. "Bolaku." Leo menepuk dadanya. Bola itu tidak ada di sana. Lakban dan halter talinya sudah
hancur. Dia berusaha berdiri. Tak satu pun tulangnya yang tampa patah, syukurlah; tapi dia lebih mencemaskan
bola Archimedes- ' nya. Jika dia menghancurkan artefak tak ternilainya untuk membuat helikopter yang
terbakar selama tiga puluh detik, dia akan mengejar Khione si dewi salju bodoh itu dan memukulinya
dengan kunci inggris. Leo berjalan sempoyongan menyusuri pantai, bertanya-tanya mengapa tidak ada
turis, hotel, atau perahu dalam penglihatannya. Pulau itu tampak sempurna untuk sebuah resor, dengan
lautan biru dan pasir putih halus. Mungkin pulau ini belum dipetakan Apa mereka masih memiliki pulaupulau yang belum dipetakan di dunia ini" Mungkin Khione telah mengempaskannya keluar Mediterania.
Bisa saja dia berada di Bora-Bora saat ini. Lubang yang lebih besar dalamnya kira-kira dua meter. Di
dasar, baling-baling helikopter masih berusaha berputar. Mesinnya mengeluarkan asap. Rotornya
berbunyi parau seperti katak terinjak, tapi wow cukup mengesankan untuk pekerjaan yang diburu-buru.
Helikopternya sepertinya telah menabrak sesuatu. Lubang itu dipenuhi potongan furnitur kayu, pecahan
piring keramik, gelas piala dari timah yang sudah setengah-mencair, dan serbet-serbet linen yang
terbakar. Leo tidak tahu mengapa barang-barang mewah itu berada di pantai, tapi setidaknya itu berarti
tempat ini ternyata ada penghuninya. Akhirnya penglihatannya menemukan bola Archimedes"masih
mengepulkan asap dan gosong tapi masih utuh, menghasilkan bunyi-bunyi klik seakan kesal di tengahtengah puing. "Hei, bola!" teriaknya. "Datanglah ke Papa!" Leo meluncur turun ke dasar lubang dan
meraih bolanya. Dia terjatuh, duduk dengan kaki bersila, sambil menimang alat itu di kedua tangannya.
Permukaan perunggunya panas membakar, tapi
Leo tak peduli. Alat itu masih utuh, yang artinya dia masih bisa inenggunakannya. Sekarang, yang
diperlukannya adalah mencari tahu di mana (ha berada, dan bagaimana cara kembali ke temantemannya Pikirannya sedang mendata alat-alat yang mungkin dibutuhkannya saat sebuah suara
perempuan menyelanya: "Apa yang kau lakukan" Kau meledakkan meja makanku!"
Segera saja Leo membatin: Ups. Leo telah menjumpai banyak dewi, tetapi gadis yang memelototinya
dari tepi lubang benar-benar terlihat seperti ,"orang dewi. Gadis itu mengenakan gaun putih tanpa
lengan bergaya Yunani dengan sabuk emas berlipit. Rambutnya panjang, lurus, dan cokelat keemasan"
hampir sewarna kayu manis panggang seperti rambut Hazel, tapi kemiripannya dengan Hazel hanya
sampai di situ. Wajah sang gadis putih pucat, dengan mata gelap berbentuk buah almond, dan bibir yang
merengut. Umurnya mungkin lima belas, kira-kira seusia Leo, dan, ya, dia memang cantik; tapi dengan
rant marah di wajahnya, gadis itu mengingatkan Leo pada gadis-gadis populer di semua sekolahnya
dulu"gadis-gadis yang suka mengolok-oloknya, banyak bergosip, berpikir mereka begitu superiornya,
dan pada dasarnya melakukan segala hal semampu mereka untuk membuat hidupnya menderita. Saat
itu juga Leo langsung tidak suka dengannya. "Oh, maafkan aku!" ujar Leo. "Aku barn saja jatuh dari langit.
Aku membuat helikopter di udara, terbakar saat separuh-jalan, mendarat dengan menabrak, dan nyaris
saja tak selamat. Tapi, baiklah"mari kita bicarakan tentang meja makanmu!"
Leo mengambil gelas piala setengah-meleleh. "Siapa yg menaruh meja makan di pantai tempat demigod
tak bersalah jatuh menabraknya" Siapa yang melakukan itu?" Si gadis mengepalkan tinjunya. Leo cukup
yakin dia berjalan memasuki lubang dan langsung meninju wajahnya. alih, dia malah mendongak ke
langit. "SERIUS?" Gadis itu berteriak ke bentangan biru hampa. "Kalian ingin aku mengutuk lebih parah
lagi" Zeus! Hephaestus! Hermes! Apa kalian tak punya rasa malu?" "Eh ...." Leo menyadari gadis itu Baru
saja memilih tiga dew:untuk disalahkan, dan salah satunya adalah ayahnya. Menuruti itu bukan
pertanda bagus. "Aku ragu mereka mendengarkan. Kai tahu sendiri, masalah kepribadian ganda itu?"
"Tunjukkan diri kalian!" Si gadis berteriak ke langit, sama sekali tak mengacuhkan Leo. "Apa belum
cukup aku diasingkan" Apa belum cukup kalian merebut segelintir pahlawan baik yang boleh aku temui"
Kalian pikir lucu mengirimiku bocah cebol gosong ini untuk merusak kedamaianku" Ini TIDAK LUCU!
Bawa dia kembali!" "Hei, Nona Manis," ujar Leo. "Aku ada di sini, lho." Gadis itu menggeram seperti
hewan buruan yang terpojok. "Jangan panggil aku Nona Manis! Keluar dari lubang itu dan ikutlah
bersamaku sekarang supaya aku bisa mengeluarkanmu dari pulauku!" "Yah, karena kau meminta
dengan begitu baik ...." Leo tidak tahu apa yang membuat si gadis sinting itu begitu kesalnya, tetapi dia
tak peduli. Kalau gadis itu bisa membantur tya meninggalkan pulau ini, dia sungguh tak keberatan
dengannya. Leo mencengkeram bolanya yang gosong dan memanjat keluar lubang. Saat dia tiba di atas,
gadis itu sudah bergegas pergi menuju garis pantai. Leo berlari menyusulnya.
Gadis itu bersikap muak pada puing-puing yang terbakar.tadinya ini adalah pantai yang murni! Lihatlah
sekarang." "Yeah, salahku," gumam Leo. "Mestinya aku jatuh menabrak Sulau-pulau yang lain. Eh,
tunggu dulu"tidak ada pulau yang tin!" Gadis itu menggerutu kesal dan terus melangkah sepanjang tas
air. Leo mengendus semilir bau kayu manis"mungkin 1..irlumnya" Bukan berarti dia peduli. Rambut
gadis itu berayun lepanjang punggungnya dengan begitu memesona, yang tentu iaja juga tidak dia
pedulikan. Leo memindai lautan. Seperti yang dilihatnya saat terjatuh, Oak tampak daratan atau kapalkapal di sepanjang cakrawala. Memandang ke pedalaman, dia mendapati bukit-bukit hijau dengan
pepohonan. Sebuah jalur setapak berkelak-kelok Trienembus kebun cedar. Leo bertanya-tanya ke mana
jalur setapak tu mengarah: mungkin ke sarang rahasia si gadis, tempat dia inemanggang musuhmusuhnya untuk disantap di meja makan di tengah pantainya. Leo sibuk memikirkan itu sampai-sampai
dia tidak menyadari saat langkah si gadis terhenti. Dia menubruknya. "Argh!" Gadis itu memutar badan
dan meraih lengan Leo untuk mencegahnya tergelincir ke dalam ombak. Kedua tangan gadis itu sangat
kuat seolah-olah dia menghidupi dirinya dengan pekerjaan tangan. Saat di perkemahan dulu, gadis-gadis
di kabin I lephaestus memiliki tangan yang kekar seperti itu, tapi gadis ini tidak terlihat seperti anak
Hephaestus. Dia menatap Leo tajam, mata gelap almond-nya hanya beberapa scntimeter darinya. Bau
kayu manis gadis itu mengingatkan Leo pada apartemen abeula-nya. Wah, sudah bertahun-tahun
lamanya dia tidak memikirkan tentang tempat itu.
Gadis itu mendorongnya menjauh. "Baiklah. Tempat cocok. Sekarang katakan kepadaku kau ingin pergi."
"Apa?" Otak Leo masih agak berantakan akibat tubrukan saat mendarat sebelumnya. Dia tidak yakin
akan pendengarannya "Apa kau ingin pergi?" desak si gadis. "Pasti kau punya su tempat untuk dituju!"
"Eh ... yeah. Teman-temanku sedang berada dalam kesulitan. Aku harus kembali ke kapalku dan?"
"Baiklah," hardiknya. "Katakan saja, Aku ingin pergi meninggalkan Ogygia." "Eh, oke." Leo tidak tahu
mengapa, tapi nada suaranya agak menyakitkan ... yang sebetulnya konyol mengingat diri. nya tidak
peduli akan pikiran gadis itu kepadanya. "Aku ingin pergi meninggalkan"apa pun yang kau bilang tadi."
"Oh-gii-gii-ah." Si gadis melafalkannya dengan perlah seakan Leo bocah berumur lima tahun. "Aku ingin
pergi meninggalkan Oh-gii-gii-ah," ucap Leo.
Gadis itu mengembuskan napas, jelas tampak lega. "bagus
Sesaat lagi, sebuah rakit ajaib akan muncul. Rakit itu akan membawamu ke mana pun kau ingin pergi."
"Siapa kau?" Gadis itu seperti hendak menjawab tetapi mengurungkannya. "Itu tidak penting. Kau akan pergi tak
lama lagi. Kau jelas sebuah kesalahan." Itu menyakitkan, basin Leo.
Leo sudah menghabiskan cukup banyak waktu memikirkan dirinya sebuah kesalahan"sebagai blasteran,
dalam misi ini, dalam kehidupan secara umum. Dia tidak butuh seorang dewi sinting lagi untuk
menegaskan gagasan itu. Secara samar Leo ingat akan legenda Yunani tentang seorang gadis yang
berada di tengah pulau Mungkin salah seorang
temannya pernah menyebutnya" Itu tidak penting. Selama gadis itu menyilakannya pergi. "Sebentar
lagi ...." Gadis itu memandang ke lautan. Tidak ada rakit ajaib yang muncul. "Mungkin rakitnya terjebak
macet," ujar Leo. "Ini salah." Dia memelototi langit. "Ini benar-benar salah!" "Jadi rencana
alternatifnya?" tanya Leo. "Kau punya tclepon, atau?" "Akhr Si gadis membalikkan badannya dan
dengan kesal k'rgegas memasuki daratan. Saat menjejak jalur setapak, dia Imigsung berlari kencang
memasuki petak belukar dan menghilang. "Oke," ujar Leo. "Atau kau bisa saja kabur." Dari kantong
sabuknya, Leo mengeluarkan sebuah tali pengait, kemudian mengikatkan bola Archimedes ke tas
pinggangnya. Dia melemparkan pandangan ke lautan. Masih tak ada rakit liaib. Bisa saja Leo berdiri
menunggu di sini, tapi dia lapar, haus, dan letih. Badannya cukup remuk akibat jatuhnya barusan. Leo
tidak ingin mengikuti gadis gila itu, tak peduli sewangi apa pun parfumnya. Di sisi lain, dia tak punya
tempat lain untuk dituju. Gadis itu punya meja makan, jadi mungkin dia punya makanan. Dan
kelihatannya gadis itu menganggap kehadiran Leo menjengkelkannya. "Membuatnya jengkel boleh
juga." Dia memutuskan. Leo pun menyusul jejaknya menuju perbukitan. []
BAB LIMA PULUH LEO "DEMI HEPHAESTUS," SERU LEO. Jalur setapak itu membuka ke taman terindah yang pernal dilihat Leo.
Tidak berarti dia pernah menghabiskan banyak waktu di taman-taman, tapi wow. Di sisi kiri terdapat
kebun anggur da buah-buahan"pohon-pohon persik dengan buah-buah merah-keemasan yang begitu
harum di tengah hangatnya mentari, dengan sulur-sulur terpangkas rapi yang menyeruak anggur-anggur,
punjung dengan melati bermekaran, dan sekumpulan tanaman lain yang tak dikenali Leo. Di sisi kanan
terdapat petak-petak cantik sayur-mayur dan, tanaman obat, tertata seperti jeruji di sekeliling air
mancur besar berkilauan tempat satir-satir perunggu memuntahkan air ke dalam, mangkuk di tengah. Di
belakang taman, tempat jalur setapak berakhir, tampak gua. membuka di sisi bukit berumput.
Dibandingkan dengan Bunker Sembilan di perkemahan, jalan masuk gua ini kecil tetapi begitu
mengesankan. Di masing-masing sisinya, tampak batu kristal
dipahat menjadi pilar-pilar khas Yunani. Bagian atasnya dipasang tiang perunggu yang menyangga tiraitirai sutra putih. Penciuman Leo digempur oleh bau wewangian"pohon cedar, j titan saru, melati,
persik, dan tanaman herba segar. Aroma yang menyeruak dari gua menarik perhatiannya"seperti
semur daging tengah dimasak. Leo mulai melangkah menuju jalan masuk. Bagaimana mungkin dia tidak
melakukannya" Langkahnya terhenti saat didapatinya sosok sang gadis. Gadis itu sedang bersimpuh di
kebun sayurnya, punggungnya menghadap Leo. Dia menggumam sendiri sambil menggali dengan gusar
menggunakan sekopnya. Leo mendekatinya dari arah samping agar gadis itu bisa melihatnya. Leo tidak
ingin mengagetkannya di saat gadis itu bersenjatakan perkakas berkebun yang tajam. Gadis itu terusmenerus mengutuk dalam bahasa Yunani kuno seraya menikami tanah. Bercak tanah mengotori sekujur
lengan, wajah, dan gaun putihnya, tapi sepertinya dia tak peduli. Leo menyukai itu. Gadis terlihat lebih
baik dengan sedikit lumpur"lebih tidak menyerupai seorang ratu kecantikan dan lebih menyerupai
sewajarnya orang yang tidak takut berkotor-koto r. "Kurasa kau sudah cukup menyiksa tanah itu," ujar
Leo. Gadis itu memandangnya dengan marah, matanya merah dan basah. "Pergilah." "Kau menangis,"
ucap Leo, yang jelas pernyataan bodoh; tapi melihatnya seperti itu bisa dibilang seperti merebut angin
d_ari baling-baling helikopternya. Sulit untuk tetap marah pada seseorang yang sedang menangis.
"Bukan urusanmu," gumamnya. "Ini pulau yang besar. Pergi carilah tempatmu sendiri. Tinggalkan aku
sendiri." Dia asal menunjuk ke arah selatan. "Pergilah ke sana mungkin."
"Jadi, tak ada rakit ajaib," kata Leo. "Tak ada cara lain kelt dari pulau?" "Tampaknya tidak!" "Jadi, apa
yang mesti kulakukan" Duduk di gundukan pa sampai aku mati?" "Itu juga boleh ...." Gadis itu melempar
sekopnya ke tan dan mengutuk ke langit. "Sayangnya, kurasa dia tidak akan b mati di sini, bukan" Zeus!
Ini tidak lucu!" Tidak akan bisa mati di sini" "Tunggu dulu." Kepala Leo berputar seperti engkol mesin.
Dia tidak bisa menerjemahkan sepenuhnya apa yang dikatakan gadis ini"seperti saat dia mendengar
orang asli Spanyol atau Amerika Latin bicara bahasa Spanyol. Yeah, dia bisa memahaminya, sedikit; tapi
is terdengar sangat berbeda hingga nyaris terdengar seperti bahasa yang lain. "Aku perlu informasi lebih
banyak lagi," ujar Leo. "Kau tidak ingin melihatku, tak masalah. Aku juga tidak ingin berada di sini. Tapi
aku tidak akan mati di pojokan. Aku harus pergi dari pulau ini. Pasti ada sebuah jalan. Setiap masalah
ada jawabannya." Gadis itu tertawa getir. "Kau belum hidup cukup lama, kalau kau masih memercayai
itu." Cara dia mengatakannya membuat tubuhnya bergidik. Gad is itu tampak sebaya dengannya, tapi
Leo bertanya-tanya berapa usianya sebenarnya. "Kau tadi mengatakan sesuatu tentang kutukan," ucap
Leo. Gadis itu meregangkan jemarinya seakan sedang teknik mencekik tenggorokannya. "Ya. Aku tidak
bisa pergi meninggalkan Ogygia. Ayahku, Atlas, bertarung melawan para dewa, dan aku
mendukungnya." "Atlas," ucap Leo. "Maksudmu Atlas sang Titan?"
Gadis itu memutar bola matanya. "Ya, dasar kau ...." Apa pun yang hendak dikatakannya, dia
membatalkannya. "Aku ditahan di sini, agar aku tidak bisa mengusik dewa-dewi Olympia lagi. Sekitar
setahun yang lalu, setelah Peperangan Bangsa Titan Kedua, para dewa-dewi bersumpah untuk


The Heroes Of Olympus 4 House Of Hades di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengampuni dan menawarkan amnesti kepada musuh-musuhnya. Sepertinya, Percy membuat mereka
berjanji?" "Percy," sahut Leo. "Percy Jackson?" Dia memejamkan matanya rapat. Air mata menetes
menuruni pipinya. Oh, batin Leo. "Percy datang ke sini." Leo berucap. Gadis itu membenamkan
jernarinya ke dalam tanah. "Aku"aku kira aku akan dilepaskan. Aku telah berani berharap tapi aku
masih tetap di sini." Leo ingat sekarang. Kisah itu semestinya sebuah rahasia, tetapi tentu saja itu berarti
menyebar seperti kebakaran yang melahap seisi perkemahan. Percy telah memberi tahu Annabeth.
Berbulan-hulan kemudian, saat Percy menghilang, Annabeth memberi tahu Piper. Piper memberi tahu
Jason .... Percy pernah bercerita tentang mengunjungi tempat ini. Dia bertemu dengan seorang dewi
yang akhirnya naksir berat kepadanya dan menginginkan agar Percy menetap, tapi pada akhirnya gadis
itu melepasnya pergi. "Kaulah gadis itu," ujar Leo. "Gadis yang dinamai dari musik Karibia." Matanya
berkilat penuh kekejaman. "Musik Karibia." "Yeah. Reggae?" Leo menggeleng. "Merengue" Tunggu,
bukan itu. Leo menjentikkan jemarinya. "Calypso! Tapi Percy bilang kau begitu mengagumkan. Dia bilang kau
begitu manis dan baik hati, bukan, em Dia bangkit berdiri. "Ya?" "Eh, bukan apa-apa," kata Leo.
"Apa kau akan bersikap manis," tuntutnya, "kalau para dewa melupakan janji mereka untuk
melepaskanmu" Apa kau aka bersikap manis kalau mereka mengejekmu dengan mengirimka seorang
pahlawan baru, tapi pahlawan yang tampak seperti"seperti kau?" "Apa itu pertanyaan jebakan?" "Di
Immortales!" Dia berpaling dan bergegas pergi menuj guanya. "Hei"Leo mengejarnya. Saat tiba di dalam,
alur pikirannya terputus. Dinding-dindin gua itu terbuat dari bongkahan bate kristal aneka warna. putih
membagi gua menjadi berbagai macam ruang dengan banta bantal empuk, permadani tenun, dan
piring-piring buah-buaha segar. Matanya menangkap sebuah harpa di satu sudut, alat tenu di sudut lain,
dan kuali masak besar berisi semur menggelegal menyebarkan aroma lezat ke seisi gua. Hal teranehnya"
Pekerjaan rumah berjalan dengan sendiriny Handuk-handuk mengambang di udara, melipat dan
menyusu dalam tumpukan rapi. Sendok-sendok mencuci diri mereka sendii di wastafel berlapis tembaga.
Adegan itu mengingatkan Leo pad roh-roh angin tak kasat mata yang melayani makan siangnya c
Perkemahan Jupiter. Calypso berdiri di dekat wastafel, membersihkan tanah dai lengannya. Dia
memandang Leo marah, tapi tidak mengusirny Tampaknya dia telah kehabisan energi untuk
kemarahannya. Leo berdeham. Kalau ingin mendapatkan bantuan dari gadis Ini, dia harus menjaga sikapnya. "Jadi aku
mengerti alasan kau marah. Kau mungkin tidak ingin lagi bertemu dengan demigod. Kurasa kejadiannya
tidak berjalan sebagaimana seharusnya saat, Percy meninggalkanmu?" "Dia hanya yang pergi terakhir,"
geramnya. "Sebelumnya, ada sang bajak laut Drake. Dan sebelumnya, Odysseus. Mereka semua ma saja!
Para dewa mengirimiku pahlawan-pahlawan terbaik, orang-orang yang tak kuasa membuatku ...." "Kau
jatuh hati pada mereka." Leo menebak. "Tapi kemudian mereka meninggalkanmu." Dagunya bergetar.
"Itulah kutukanku. Aku telah berharap akan terbebas dari kutukan itu saat ini, tapi sekarang di sinilah ku,
masih tertahan di Ogygia setelah tiga ribu tahun." "Tiga ribu." Mulut Leo terasa geli, seperti baru saja
melahap permen Pop Rocks. "Eh, kau terlihat cantik untuk ukuran tiga ribu tahun." "Dan sekarang
penghinaan terburuknya. Para dewa mengejekku dengan mengirimkan dirimu." Amarah membuncah di
perut Leo. Yeah, biasa. Kalau Jason berada di sini, Calypso sudah akan mabuk kepayang padanya. Dia
akan memohon padanya untuk menetap, tapi Jason akan bersikap mulia dengan memaksa kembali
kepada kewajibannya, dan dia akan meninggalkan Calypso dengan hati yang remuk. Rakit ajaib itu jelas
akan muncul untuk dirinya. Tapi Leo" Dia adalah tamu menjengkelkan yang tidak bisa dienyahkannya.
Gadis itu tidak akan pernah jatuh hati kepadanya karena dia jelas terlalu tinggi baginya. Bukan berarti
Leo peduli. gadis itu bukanlah tipenya. Dia terlalu menjengkelkan, terlalu cantik, dan"yah, itu tidaklah
penting. "Baiklah," ujar Leo. "Aku akan meninggalkanmu sendiri. Aku akan membuat sesuatu sendiri dan keluar
dari pulau bodoh tanpa bantuanmu." Dia menggelengkan kepala sedih. "Kau tidak mengerti, yah" Para
dewa menertawakan kita berdua. Kalau rakit itu tak muncul, itu berarti mereka telah menutup Ogygia.
Kau tertahan di sini sama sepertiku. Kau takkan pernah bisa pergi."[]
BAB LIMA PULUH SATU LEO HARI-HARI PERTAMA ADALAH YANG TERBURUK. Leo tidur di luar beralaskan terpal di bawah bintangbintang. Cuaca mendingin saat malam walau berada di pantai pada musim panas, jadi Leo membuat api
unggun dengan sisa puing-puing meja makan Calypso. Hal itu sedikit menghibur hatinya. Pada siang hari,
dia berjalan menyisir lingkar luar pulau tetapi tidak menemukan hal yang menarik"kecuali jika kau
menyukai pantai dan lautan tak berujung di segala arah. Dia mencoba mengirimkan pesan-Iris dengan
pelangi yang terbentuk di buih lautan, tapi tak berhasil. Dia tak memiliki sekeping drachma pun untuk
dipersembahkan, dan tampaknya dewi Iris tidak tertarik dengan mur dan baut. Leo bahkan tidak
bermimpi, yang tidak wajar baginya"atau kagi demigod mana pun"jadi dia sama sekali tidak tahu
dengan kondisi yang terjadi di dunia luar. Apakah teman-temannya telah berhasil mengusir Khione"
Apakah mereka tengah mencarinya, ataukah mereka telah melanjutkan pelayaran menuju Epirus untuk
menuntaskan misi mereka"
Dia bahkan tidak yakin apa yang bisa diharapkannya. Mimpi yang didapatnya di Argo II akhirnya menjadi
masu akal baginya"saat wanita penyihir jahat itu menyuruh ity. untuk melompat dan jurang ke awanawan, atau terjun ke dalam terowongan gelap tempat suara-suara hantu berbisik. Terowongat itu pasti
melambangkan Gerha Hades, yang takkan dilihat oleh Leo sekarang. Dia telah memilih untuk terjun dari
jurang terjatuh dari langit menuju pulau bodoh ini. Namun, dalam mimpi itu Leo diberi sebuah pilihan.
Dalam kehidupan nyata dia tak bisa memilih. Khione menariknya dari kapal begitu saja lalu
menembakkannya keluar orbit. Benar-benar tidak adil. Hal terburuk dari terjebak di tempat ini" Dia
kehilangan jejak waktu. Saat terbangun pada pagi hari Leo tak bisa mengingat apakah dia telah berada di
Ogygia selama tiga atau empat malant. Calypso tidak banyak membantu. Leo sempat bertanya padanya
di taman, tapi dia hanya menggeleng. "Sulit menentukat waktu di sini." Hebat. Bisa saja, seabad telah
berlalu di dunia nyata, da peperangan dengan Gaea telah berakhir entah dengan akhir baik atau buruk.
Atau mungkin dia baru berada di Ogygia selanta lima menit. Seluruh masa kehidupannya di sini mungkin
telah berlalu dengan waktu yang sama seperti yang dibutuhkan teman-temannya untuk menghabiskan
sarapan di Argo II. Apa pun itu, dia harus keluar dari pulau ini. Calypso sepertinya merasa iba kepadanya.
Dia mengirimi Leo pelayan-pelayan tak kasat matanya untuk meninggalkan mangkuk-mangkuk semur
dan cangkir-cangkir sari apel di tepi taman. Dia bahkan mengiriminya beberapa setel pakaian baru"
celana da kaus katun sederhana tanpa celupan warna yang pasti dibuatnya dengan alat tenunnya.
Pakaian itu begitu pas di badannya, hingga Leo bertanya-tanya bagaimana Calypso bisa mengetahui
ukuran tubuhnya. Mungkin dia hanya menggunakan poly generiknya untuk PRIA CEKING. Bagaimanapun, Leo
senang memiliki pakaian baru, mengingat pakaian lamanya sudah bau dan hangus. Biasanya Leo bisa
tencegah pakaiannya menjadi hangus saat dirinya terkena api, tapi Int membutuhkan konsentrasi.
Kadang kala saat di perkemahan, jika sedang tidak memikirkannya, dia akan sibuk mengerjakan proyek
logam di bengkel tempa panasnya, memandang ke bawah, Iglu menyadari pakaiannya telah hangus
terbakar, kecuali bagi tas pinggang ajaibnya dan celana dalam yang berasap. Sungguh ttemalukan. Meski
ada pemberian itu, Calypso jelas tidak ingin bertemu dcngannya. Suatu kali Leo menyembulkan
kepalanya ke dalam gua dan dia ketakutan, menjerit sambil melempari panci ke kepalanya. Yeah,
Calypso jelas berada di Tim Leo. Leo akhirnya memilih sebuah tempat berkemah yang lebih wrmanen di
dekat jalur setapak, tempat pantai bertemu dengan rbukitan. Dengan begitu dia berada cukup dekat
untuk nengambil makanannya, tetapi Calypso tidak perlu melihatnya Ian mengalami amukan lemparpancinya. Leo mendirikan sebuah rangka berteduh dengan ranting dan erpal. Dia menggali lubang api
unggun. Dia bahkan membuat sebuah bangku dan meja kerja dari kayu apung dan ranting-ranting pohon
cedar mati. Dia menghabiskan berjam-jam memperbaiki bola Archimedes, membersihkannya dan
mereparasi sirkuitnya. Leo membuat sebuah kompas, tetapi jarumnya akan berputar-putar tak
terkendali seberapa pun kerasnya dia berusaha memperbaiki. Leo merasa sebuah GPS juga takkan ada
gunanya. Pulau ini dirancang agar mustahil terpetakan, tak mungkin ditinggalkan. Leo teringat pada
astrolab perunggu lama yang diambilnya di Bologna"yang diberi tahu para kurcaci telah dibuat oleh
Odysseus. Dia memiliki kecurigaan Odysseus memikirkan ten talig pulau ini saat membuatnya, tapi
sayangnya Leo meninggalkanity.i di kapal dengan Buford si Meja Ajaib. Lagi pula, para kurcat
memberitahunya bahwa astrolab itu tidak berfungsi. Ada sesu tentang kristal yang hilang Leo berjalan
menyusuri pantai, bertanya-tanya alasan khione mengirimnya ke sini"menduga pendaratannya di sini
bukanlah sebuah kecelakaan. Mengapa tidak langsung membunuhtiya saja" Barangkali Khione
menginginkannya agar luntang-lantu selamanya. Mungkin Khione tahu para dewa sudah tak sanggu
menaruh perhatian pada Ogygia sehingga sihir pulau ini terpatahkan. Bisa jadi itu alasan mengapa
Calypso masih tertahan di sini, dan mengapa rakit ajaib itu tak mau muncul bagi Leo. Atau mungkin juga
sihir di tempat ini bekerja baik-baik saja. Para dewa hanya menghukum Calypso dengan mengiriminya
pria pria pemberani nan gagah perkasa yang langsung pergi begi gadis itu jatuh hati kepada mereka.
Mungkin itu masalahnya. Calypso takkan pernah jatuh hati pada Leo. Dia menginginkannya pergi. Jadi,
mereka tersangkut dalam sebuah lingkaran keji. Jika itu rencana Khione ... wow. Muslihat licik kelas
berat. Lalu suatu pagi Leo mendapatkan sebuah penemuan, dan keadaan pun menjadi kian rumit saja.
Waktu itu, Leo berjalan menyusuri perbukitan, mengikuti aliran anak sungai yang mengalir di antara dua
pohon cedar besar. Leo menyukai area ini"itu satu-satunya tempat di Ogygia tempat dia tak bisa
melihat lautan, jadi dia bisa berpura-pura tidak sedang tertahan di sebuah pulau. Di bawah naungan
pepohonan, Leo merasa nyaris seakan kembali berada di Perkemahan Blasteran, berjalan menembus
hutan menuju Bunker Sembilan.
Dia melompati sebuah sungai kecil. Alih-alih mendarat di tl ah yang lembut, kakinya membentur sesuatu
yang jauh lebih keras. KLANG. Logam. Bersemangat, Leo menggali tanah berlumpur itu sampai dia
melihat kilau sebuah perunggu. "Oh, asyik." Leo mengikik seperti orang sinting selagi menggali sampah
buangan itu. Dia sama sekali tak tahu mengapa barang itu berada di sini. I Iephaestus selalu membuang
onderdil-onderdil rusak dari bengkel keramatnya dan mengotori bumi dengan potongan-potongan
logam, tetapi seberapa besar kemungkinannya sebagian sampah itu akan mendarat di Ogygia" Leo
menemukan segenggam penuh kawat, beberapa roda gigi bengkok, .sebuah piston yang mungkin masih
berfungsi, dan sejumlah lempengan tempa dari perunggu Langit"yang terkecil seukuran tatakan minum,
yang terbesar seukuran perisai perang. Memang tidak banyak"tidak jika dibandingkan dengan bunker
Sembilan, atau bahkan dengan perbekalannya di Argo II. Tapi, ini lebih dari sekadar pasir dan batu. Dia
mendongak pada cahaya matahari yang berkedip melalui ranting-ranting cedar. "Ayah" Kalau kau yang
mengirimkan ini di sini untukku"terima kasih. Kalau bukan yah, tetap saja, terima kasih." Dia
mengumpulkan harta karun terpendamnya dan menyeret-nya kembali ke kemahnya. Setelah itu, harihari berlalu lebih cepat, dan dengan lebih banyak kebisingan. Pertama-tama, Leo membuat tempat
menempa dari batu bata impur, setiap batu dipanggang dengan kedua tangan berapinya.
Leo menemukan sebuah batu besar yang bisa digunakannya sebal landasan paron, lalu mengambil pakupaku dari tas pingga ng peralatannya sampai dia memiliki jumlah yang cukup un melelehkannya menjadi
lempengan untuk permukaan menial Begitu itu tuntas, dia pun mulai merakit ulang sisa-sisa sampah
perunggu Langit. Setiap hari palunya menghantam perun sampai paron batunya patah, atau tangnya
bengkok, atau dia kehabisan kayu bakar. Setiap malam Leo jatuh terkapar, bersimbah peluh clan
dipenuhi jelaga; tapi dia merasa hebat. Setidaknya dia bekerja, berusaha memecahkan masalahnya. Kali
pertama Calypso datang untuk mengecek kondisinya, dia mengeluhkan suara-suara gaduh yang tercipta.
"Asap dan api," ujarnya. "Memukuli logam sepanjang hal Kau menakut-nakuti burung-burung!" "Oh,
tidak, kasihan burung-burung!" gerutu Leo. "Apa yang kau harapkan?" Leo mendongak dan nyaris
memukuli jempolnya dengiu palu. Dia telah memandangi logam dan api begitu lamanya hingga terlupa
betapa cantiknya Calypso. Cantik yang menjengkelkan. Calypso berdiri di sana dengan matahari
menyinari rambutnya, rok putih mengibar di sekitar kakinya, sekeranjang anggur date roti yang baru
dipanggang tersepit di lengannya. Leo berusaha mengabaikan perutnya yang berkeroncongan. "Aku
berharap keluar dari pulau ini," ucap Leo. "Itu yang kau inginkan, bukan?" Calypso merengut. Dia
menaruh keranjangnya di dekat kasu r gulung Leo. "Kau belum makan selama dua hari. BeristirahatIall
dan makan." Dua hari?" Leo bahkan tidak menyadarinya, yang mengaget-dirinya, mengingat dia menyenangi
makanan. Leo lebih kaget mengetahui Calypso ternyata menyadarinya. "Terima kasih," gumam Leo.
"Aku akan, eh, berusaha memalu I tlgan lebih pelan." "Huh." Dia tampak tak terkesan. Setelah itu,
Calypso tidak mengeluhkan tenting kebisingan atau asapnya. Kali berikut Calypso berkunjung, Leo
sedang memberi tuhan akhir pada proyeknya. Leo tidak menyadari kehadirannya nipai Calypso bicara
tepat di belakangnya. "Aku membawakanmu?" Leo terlonjak, menjatuhkan kawatnya. "Demi banteng
runggu! Jangan mengagetkan aku dengan mengendap-endap perti itu!" Calypso mengenakan gaun
serba merah hari ini"warna kcsukaan Leo. Itu sepenuhnya tidak penting. Dia terlihat cantik dengan
warna merah. Juga tidak penting. "Aku tidak mengendap," ujarnya. "Aku datang membawakanmu ini Dia
menunjukkan kepada Leo pakaian yang terlipat di lengannya: sebuah celana jin baru, kaus putih, jaket
tentara tunggu, itu adalah pakaiannya, hanya saja itu tak mungkin. Jaket tentaranya yang asli telah
terbakar berbulan-bulan lalu. Dia tidak rnengenakannya saat mendarat di Ogygia. Namun, pakaian yang
dipegang Calypso terlihat persis seperti pakaian yang dikenakannya saat hari pertama dirinya tiba di
Perkemahan Blasteran"hanya saja yang ini tampak lebih besar, dengan ukuran yang disesuaikan agar
lebih pas dengan tubuhnya. "Bagaimana mungkin?" tanya Leo.
Calypso meletakkan pakaian itu di dekat kakinya, kemudian melangkah mundur seolah Leo adalah
binatang buas. "Asal kau tahu, aku punya sedikit kemampuan sihir. Kau terns-terusan membakar
pakaian yang kuberikan padamu. Jadi, kupikir Aku akan menenun sesuatu yang lebih tak mudah
terbakar." "Pakaian ini takkan terbakar?" Leo mengambil celana jinnya, tapi bahan celana itu seperti
denim biasa. "Pakaian itu benar-benar kedap api." Calypso menjanjik "Mereka akan tetap bersih dan
mengembang sesuai ukur tubuhmu, seandainya kau nanti menggemuk sedikit." "Terima kasih." Leo
bermaksud terdengar sarkastis, tapi ilia benar-benar terkesan. Leo bisa menciptakan banyak hal, tap
pakaian kedap api dan yang bersih-sendiri bukan salah satunya "Jadi kau membuat tiruan persis dari
pakaian kesukaanku. App, kau, eh, meng-Google diriku atau semacamnya?" Calypso mengernyitkan
kening. "Aku tidak mengerti kata itu." "Kau mencari tahu tentangku," ujar Leo. "Hampir seperti kau
menaruh minat terhadapku." Dia mengerutkan hidungnya. "Aku menaruh minat untuk tidak
membuatkanmu sesetel pakaian baru setiap dua hari sekali. Aku menaruh minat agar badanmu tidak
terlalu bau dan berjalan jalan di pulauku dengan pakaian hangus dan rombeng." "Oh, yeah." Leo
menyeringai lebar. "Kau benar-benar sedans; berusaha meraih hatiku." Wajahnya semakin memerah.
"Kau adalah orang paling menjengkelkan yang pernah kutemui! Aku hanya membalas bud i. Kau telah
memperbaiki kolam air mancurku." "Air mancur itu?" Leo tertawa. Masalahnya begitu sederhana hingga
Leo nyaris melupakannya. Salah satu satir perunggunya telah tergeser menyamping dan tekanan airnya
mati sehingga Ia mulai menciptakan suara berdetak menjengkelkan, bergoyang
keturun, dan memuntahkan air ke sepanjang bibir kolarn. Leo pintas mengeluarkan beberapa peralatan
dan memperbaikinya th lam dua menit. "Itu bukan apa-apa. Aku tidak suka kalau wsuatu tidak berfungsi
sebagaimana mestinya." "Dan tirai di sepanjang pintu masuk gua?" "Penyangganya tidak lurus." "Dan
peralatan berkebunku?" "Dengar, aku hanya mengasah gunting rumputnya. Memotong sulur dengan
bilah tumpul berbahaya. Dan pemangkasnya butuh diminyaki engselnya, dan?" "Oh, yeah," ujar
Calypso, meniru suara Leo dengan baik. "Kau benar-benar berusaha meraih hatiku." Untuk pertama
kalinya, Leo kehabisan kata. Mata Calypso berbinar. Leo tahu dia sedang mengoloknya, tetapi entah
mengapa lial itu tidak terasa jahat. Calypso menunjuk pada meja kerja Leo. "Apa yang sedang kau buat?"
"Oh." Leo memandangi cermin perunggunya, yang baru saja selesai dipasangkannya dengan bola
Archimedes. Di lapisan permukaannya yang sudah dipoles, pantulan dirinya rnengagetkannya.
Rambutnya telah tumbuh memanjang dan mengikal. Wajahnya makin kurus dan lebih berahang,
mungkin karena dia jarang makan. Matanya gelap dan agak sangar saat dia tak tersenyum"agak seperti
penampilan Tarzan, seandainya Tarzan hadir dalam bentuk pria Latin mungil. Dia tak bisa menyalahkan
Calypso yang melangkah mundur darinya. "Eh, ini alat untuk menerawang," ucap Leo. " Karni
menemukan alat seperti ini di Roma, di bengkel kerja Archimedes. Kalau aku bisa membuatnya
berfungsi, mungkin aku bisa mencari tahu apa yang terj adi dengan teman-temanku."
Calypso menggelengkan kepala. "Itu mustahil. Pulau inii tersembunyi, terputus dari dunia oleh sihir yang
kuat. Wakt bahkan tidak berjalan dengan semesrinya di sini." "Yah, kau pasti memiliki semacam kontak
dengan dunia luar. Bagaimana kau bisa tahu aku biasa mengenakan jaket tentara?" Calypso memilin
rambutnya seakan pertanyaan itu mem-buatnya tak nyaman. "Melihat masa lalu adalah sihir mudali.
Melihat masa kini atau masa depan"beda lagi." "Yeah, well," ujar Leo. "Saksikanlah sendiri, Gadis Man
is. Aku hanya perlu menghubungkan dua kawat terakhir ini, dan Lempeng perunggu itu berpijar. Asap
membubung dari bola Archimedes. Kembang api merambati lengan Leo. Dia melepas kemejanya,
melemparnya, dan menginjak-injaknya. Dia tahu Calypso berusaha tak tertawa, tapi kesulitan
menahannya. "Jangan ucapkan satu komentar pun." Leo mempering,atkan. Calypso memandangi dada
telanjangnya yang kurus, bersimbah keringat, dan dipenuhi luka-luka lama akibat sejumlab kecelakaan
saat membuat senjata. "Tidak ada yang patut dikomentari." Calypso meyakinkannya, "Kalau kau ingin
alas itu bekerja, mungkin sebaiknya kau mencoba, menghaturkan permohonan musikal." "Betel," sahut
Leo. "Setiap kali sebuah mesin mengalam kerusakan, aku senang menari-nari mengelilinginya. Sella!
ampuh." Calypso menghela napas panjang dan mulai bernyanyi. Suara Calypso rnenamparnya seperti
semilir angin dingin"seperti semburan angin dingin pertama di Texas saat sengatan hawa musim panas
akhirnya mereda dan kita mulai memercayai keadaan akan membaik. Leo tak bisa memahami katakatanya, tetapi lagu itu begitu menyayat hati dan penuh suka duka, seakan Calypso
sedang menjelaskan sebuah kampung halaman tempat dia takkan pernah bisa datangi kembali.
Nyanyiannya sungguh magic, tak diragukan lagi. Tapi itu luikan seperti suara Medea yang membuat
kerasukan, atau bahkan charmspeak Piper. Musik itu tidak menuntut apa pun darinya. Nyanyian itu
hanya mengingatkannya akan kenangan-kenangan tcrindahnya"menciptakan barang dengan ibunya di
bengkelnya; duduk di bawah sinar matahari bersama kawan-kawannya di perkemahan. Nyanyian itu
membuatnya merindukan rumah. Calypso berhenti menyanyi. Leo menyadari matanya mem-belak
seperti idiot. "Berhasil?" tanyanya. "Ehm ...." Leo memaksakan pandangannya kembali pada ermin
perunggu. "Tidak ada perubahan. Tunggu dulu ...." Layar perunggu itu berpendar. Di udara di atasnya,
gambar-gambar hologram berdenyar menjadi nyata.
Leo mengenali tanah lapang di Perkemahan Blasteran. Tidak ada suara, tapi Clarisse LaRue dari Kabin
Ares me-neriakkan instruksi kepada para pekernah, membentuk mereka dalam beberapa barisan.
Saudara-saudara Leo dari Kabin Sembilan sibuk ke sana-kemari, memasangkan baju zirah kepada setiap
orang dan membagi-bagikan senjata. Chiron si centaurus pun tampak sudah siap untuk bertempur. Dia
berderap mengelilingi setiap barisan, helm berbulunya berkilat, kakinya dilengkapi pelindung kaki dari
perunggu. Senyum ramahnya yang biasa telah hilang, digantikan dengan raut suram penuh tekad. Di
kejauhan, kapal-kapal taut kuno Yunani mengambang di Selat Long Island, bersiap untuk perang. Di
sepanjang perbukitan, katapel-katapel disiapkan. Para satir berpatroli di sepanjan medan, dan para penunggang pegasi
berputar-putar di atas uda mewaspadai ancaman serangan udara. "Teman-temanmu?" tanya Calypso.
Leo mengangguk. Wajahnya terasa kebas. "Mereka bersiap slap untuk perang." "Melawan siapa?"
"Lihat," seru Leo. Adegan berganti. Sebuah barisan dalam formasi rapat para. demigod Romawi
berderap menembus kebun anggur yang bermandikan sinar rembulan. Sebuah plang yang diterangi
cahaya di kejauhan bertuliskan: KILANG ANGGUR PANDAI EMAS "Aku pernah melihat plang itu
sebelumnya," ujar Leo. "itu tidak jauh dari Perkemahan Blasteran." Tiba-tiba barisan Romawi itu hancur
berantakan. Pan blasteran kocar-kacir. Tameng-tameng berjatuhan. Tombak. tombak beterbangan liar,
seolah seluruh kesatuan itu bare saja menginjak semut api. Melesat di bawah cahaya rembulan, tampak
dua sosok kecil berambut lebat dengan pakaian tidak serasi dan topi norak. Mereka seperti berada di
mana-mana dalam satu waktu"menggampar kepala para tentara Roma, mencuri senjata mereka,
memutus sabuk mereka sehingga celana mereka merosot ke pergelangan kaki. Leo tak kuasa menahan
sengir. "Para pembuat onar yang kecil dan hebat itu! Mereka menepati janji mereka." Calypso mendekat,
menyaksikan para Kerkopes. "Mereka sepupumu?" "Ha, ha, ha, bukan," ujar Leo. "Dua kurcaci yang
kutemui di Bologna. Aku mengirimkan mereka untuk melambatkan laju tentara Romawi, dan mereka
berhasil melakukannya."
["Tapi untuk berapa lama?" Calypso bertanya. Pertanyaan bagus. Adegan berganti lagi. Leo melihat
Octavian"orang-orangan sawah pirang dan augur yang selalu pmenciptakan masalah. Dia berdiri di
lapangan parkir sebuah pompa bensin, dikelilingi mobil-mobil SUV hitam dan anak-mak setengah dewa
Romawi. Dia mengangkat sebuah tongkat panjang berbungkus kanvas. Saat dia membukanya, seekor
elang emas berkelip di puncak tongkatnya. "Oh, itu tak bagus," ucap Leo. "Standar orang Romawi."
Calypso menambahkan. "Yeah. Dan yang satu ini menembakkan kilat, menurut Percy." Begitu dia
mengucapkan nama Percy, Leo menyesalinya. Dia melirik pada Calypso. Dia bisa melihat dari mata
Calypso betapa kerasnya dia berjuang, berusaha menata emosinya ke dalam barisan yang teratur dan


The Heroes Of Olympus 4 House Of Hades di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rapi seperti helai-helai benang di alat tenunnya. Yang paling mengagetkan bagi Leo adalah terjangan
amarah yang dirasakannya. Itu bukan sekadar kejengkelan atau kecemburuan. I Ma marsh kepada Percy
karena telah melukai gadis ini. Leo memusatkan kembali perhatiannya pada gambar-gambar hologram
itu. Sekarang dia melihat seorang penunggang tunggal"Reyna sang praetor dari Perkemahan Jupiter"
terbang menembus badai di punggung pegasus cokelat muda. Rambut gelap Reyna berkibar diterpa
angin. Mantel ungunya mengibas, menampakkan kilatan baju zirahnya. Luka-luka di lengan dan
wajahnya mengeluarkan darah. Mata pegasusnya begitu liar, mulutnya meneteskan liur akibat derap
laju yang kencang; tapi mata Reyna menyorot tajam ke depan menembus badai yang menghadang.
Selagi Leo menyaksikan, griffin liar melompat keluar dari awan. Ia menyapukan cakarnya ke tulang rusuk
kuda, nyaris mengempaskan Reyna. Dia menghunus pedangnya dan menebas
hing ga monster itu ambruk. Beberapa saat kemudian, tiga ventus muncul"roh-roh udara gelap
berputar seperti angin topan miniatur dengan sambaran petir. Reyna terus menerjang mereka, sambil
berteriak menantang. Kemudian cermin perunggu itu meredup. "Tidak!" teriak Leo. "Tidak, jangan
sekarang. Tunjukkan kepadaku apa yang terjadi!" Dia meninju cermin. "Calypso, bisakah kau bernyanyi
lagi atau semacamnya?" Calypso memelototinya. "Kurasa itu pacarmu" Penelope-mu" Elizabeth-mu"
Annabeth-mu?" "Apa?" Leo tidak mengerti gadis satu ini. Sebagian dari perkataannya tidak masuk di
akal. "Itu Reyna. Dia bukan pacarku! Aku harus melihat lebih banyak! Aku harus?" HARUS, terdengar
The Order Of Phoenix 13 Cintai Gue Kalo Berani ! Love Me If You Dare Karya Ririn Kitab Mudjidjad 14

Cari Blog Ini