Trio Detektif 02 Misteri Nuri Gagap Bagian 3
"Kusadari bahwa aku harus tetap bersembunyi. Lalu aku menyewa truk tua tadi. Dengannya aku bisa ke mana-mana tanpa ketahuan, sementara isteriku yang mengemudikannya. Kulipatgandakan usahaku mencari burung-burung yang belum ditemukan. Pagi ini, ketika kami sedang berkeliaran lagi di daerah Hollywood yang tadi, secara kebetulan kami melihat Rolls-Royce kalian. Kami lantas membuntutinya. Mobil itu menyolok sekali."
"Ya, memang," kata Bob dengan nada menyesal.
"Kemudian truk kami parkir di salah satu tempat, serta memperhatikan gerak-gerik kalian. Kami melihat kalian berjumpa dengan anak kurus tinggi yang membawa Scarface."
"Skinny Norris!" ujar Pete dengan kesal. "Ia ikut-ikut dalam urusan ini, karena ia merasa iri pada Jupe. Ia selalu berusaha mengalahkannya."
"Scarface dibawanya pergi naik sebuah mobil biru. Bayangkan, betapa bingungnya aku waktu itu! Aku hendak menyusul dia. Tapi aku juga ingin mengikuti kalian. Akhirnya dia kubiarkan pergi, dan aku membuntuti kalian. Menurut perasaanku, kami tidak memerlukan dia lagi. Soalnya ketika dia lewat dekat truk kami yang diparkir di pinggir trotoar, burung itu mengucapkan kalimat yang ingin kuketahui. Apa katanya tadi"" Pertanyaan itu ditujukannya pada isterinya.
Mrs. Claudius mengambil secarik kertas dari kantongnya, lalu membaca tulisan yang ada di situ.
"Burung itu berkata, 'Aku tak pernah memberi kesempatan adil bagi si tolol'," kata Mrs. Claudius.
"Itu peribahasa kuno, petunjuk yang sangat misterius," ujar Mr. Claudius mengomentari. "Tapi pokoknya aku lantas mengikuti kalian. Supir Rolls-Royce kutipu sehingga pergi meninggalkan kalian. Dan - yah, sekarang kita di sini. Padahal semuanya percuma saja. Percuma!"
"Kenapa Anda bilang begitu"" tanya Bob heran.
"Dari ketujuh burung nuri itu, lima sudah ada padaku," kata Mr. Claudius. "Tapi sampai sekarang aku baru mengetahui kalimat-kalimat yang diajarkan Mr. Silver pada Billy Shakespeare serta Sca
rface. Yang lainnya tidak mau bicara. Sepatah kata pun tidak! Dan melihat gelagatnya, mereka akan terus membungkam!"
BAB 12 RENCANA AKSI Bob dan Pete berpaling, memandang kelima nuri yang ada dalam sangkar masing-masing. Kelima-limanya nampak lesu. Tidak kelihatan ada maksud untuk mengoceh.
Mr. Claudius meloncat bangkit. Dihampirinya burung-burung itu, lalu dia berteriak-teriak.
"Ayo bicara!" serunya. "Katakan padaku pesan yang diajarkan John Silver pada kalian! Kalian dengar tidak"! Bicara!"
Burung-burung itu semakin merunduk. Sedikit pun tak kedengaran suara mereka.
"Dia begitu terus, sejak memperoleh nuri yang pertama," kata Mrs. Claudius pada kedua remaja itu. "Kerjanya cuma berteriak-teriak saja."
"Mungkin justru karena itu mereka malah tidak mau bicara, Sir, " kata Bob. "Burung nuri gampang sekali dikagetkan oleh perubahan serta bunyi-bunyi nyaring." Mr. Claudius duduk kembali.
"Aku memang kurang sabar," keluhnya. "Tapi apa lagi yang bisa kuperbuat" Waktu semakin sempit. Aku dikejar-kejar Huganay, orang yang sangat berbahaya. Dan setiap waktu lukisan gadis penggembala itu bisa ditemukan orang lain. Aku sudah kehabisan akal."
Kini berganti Pete yang membuka mulut.
"Kami mengetahui pesan yang diajarkan Mr. Silver pada beberapa ekor dan burung-burung itu," katanya. "Tapi kami tidak memahami maknanya. Mungkin Jupiter Jones sanggup, apabila kisah Anda tadi diceritakan padanya."
"Kenapa tidak kita tuliskan saja kalimat-kalimat yang sudah kita ketahui," usul Bob. "Setelah itu kita lihat, mungkin ada yang bisa kita simpulkan."
"Usul itu baik sekali, Claude," kata Mrs. Claudius. "Dari semula sudah kukatakan, para remaja ini pasti bisa membantu, asal kau tidak lagi memperlakukan mereka sebagai musuh."
"Tapi apa yang bisa kubikin selain begitu selama ini"" keluh Mr. Claudius. "Bukti-bukti - yah, sudahlah! Aku sekarang benar-benar menyesal. Kita coba usul tadi. Kalau ternyata ada gunanya dan kita berhasil menemukan lukisan itu, aku akan memberi hadiah seribu dollar pada kalian."
"Huii!" seru Pete gembira. "Ayo kita mulai saja! Kau membawa buku notesmu, Bob""
"Ya - ini dia." Bob mengambil buku notes serta sebatang pinsil dari kantong.
"Sebelumnya, aku masih bisa menambahkan satu fakta lagi," kata Mr. Claudius. "Dalam suratnya, John Silver tidak cuma mengatakan bahwa pesannya terdiri dari tujuh bagian, tapi juga disebutkan urut-urutannya. Dikatakannya, Little Bo-Peep diajarinya mengucapkan bagian pertama. Billy Shakespeare bagian kedua, lalu Blackbeard bagian ketiga. Robin Hood keempat. Sherlock Holmes yang kelima. Captain Kidd bagian yang keenam, sedang Scarface bagian ketujuh."
"Itu besar gunanya," kata Bob. Sesaat ia sibuk mencatat. Kemudian ditunjukkannya apa-apa saja yang sudah ditulisnya di atas selembar kertas yang disobeknya dari buku catatan. Ia menyusun urut-urutan itu sebagai berikut: PESAN JOHN SILVER (Belum lengkap)
Little Bo-Peep (Bagian 1): Little Bo-Peep kehilangan domba dan tidak tahu ia harus dicari di mana. Hubungi Sherlock Holmes!
Billy Shakespeare (Bagian 2): To-to-to be or not to-to-to be, thatis the question.
Blackbeard (Bagian 3): Aku Blackbeard si Bajak Laut, dan hartaku kupendam di tempat orang mati menjaganya terus! Yo-ho-ho dan tuak satu botol! Robin Hood (Bagian 4): " Sherlock Holes (Bagian 5): " Captain Kidd (Bagian 6): "
Scarface (Bagian 7): Aku tak pernah memberi kesempatan adil bagi si tolol.
"Nah - empat bagian sudah kita ketahui," kata Bob kemudian pada mereka yang berkerumun untuk ikut membaca catatannya itu. "Dan - yah, kebetulan kami tahu apa pesan yang diucapkan Blackbeard." Menurut perasaannya, saat itu sebaiknya tidak dikatakan bahwa Trio Detektif berhasil memperoleh burung beo itu, yang kini ada di Markas Besar.
"Begitu pula kita semua mendengar ucapan Scarface ketika Skinny Norris tadi keluar dari rumah itu sambil menentengnya. Nah, sampai di sinilah usaha penyelidikan kita saat ini." Mr. Claudius nampak bingung.
"Tapi aku tidak mengerti," keluhnya. "Bagiku, semuanya tanpa makna sama sekali!"
"Nanti dulu, Claude," kata isterinya. Mrs. Claude kelihatannya lebih gigih daripada suaminya
. "Kalimat pertama, yang mengatakan Little Bo-Peep kehilangan dombanya, rupa-rupanya menyinggung lukisan itu. Itu sindiran bahwa barang itu hilang, dan kita harus menemukannya kembali."
"Ya, mungkin," kata suaminya. "Tapi aku tak mengerti apa yang dimaksudkan dengan 'hubungi Sherlock Holmes'."
"Aku juga tidak," kata Mrs. Claudius. "Tapi kita teruskan saja dulu dengan bagian kedua. Kalimat yang diucapkan Billy Shakespeare -" wanita itu menoleh pada Bob dan Pete. "Kalian tahu pasti kalimatnya betul begini" Pemiliknya yang terakhir mengatakan pada Claude, bahwa yang diucapkan Billy adalah, To be or not to be, thatis the question'. "
"Mr. Fentriss saat itu mengira Mr. Claudius dari polisi," ujar Pete menjelaskan. "Karenanya ia malu mengatakan bahwa Billy bicara tergagap-gagap."
"Gagap" Aduh, nuri gagap dijadikan petunjuk! Tidak, mustahil pesannya bisa ditemukan," kata Mr. Claudius sambil berkeluh kesah.
"Kita tidak boleh menyerah!" tukas isterinya. "Bagian kedua itu memang sulit ditebak artinya. Tapi bagian ketiga, kalimat yang diucapkan Blackbeard, kemungkinannya merupakan petunjuk mengenai tempat di mana lukisan itu disembunyikan."
"Di tempat orang mati menjaganya terus," kata Mr. Claudius sambil menyeka keringat yang membasahi mukanya. "Kedengarannya seperti yang dimaksudkan suatu pulau perompak. John Silver memang menggemari cerita-cerita tentang bajak laut serta harta karun. Oleh karena itu pula ia memilih nama samaran John Silver."
"Kedengarannya memang seperti pulau perompak," kata Mrs. Claudius sependapat. "Atau mungkin barang lain, yang tafsirannya juga begitu. Itu perlu kita pikirkan benar-benar."
"Tapi coba lihat bagian ketujuh, kalimat yang diucapkan Scarface," kata Mr. Claudius, lalu mengulang kalimat Scarface dalam bahasa Inggris. "Inevergive a sucker on even break. Ini peribahasa Amerika dalam bahasa pergaulan yang kasar. Artinya orang yang berkata begitu tidak mau memberi kesempatan sedikit pun pada orang lain. Yah, itu kan bisa ditafsirkan sebagai pernyataan John, bahwa ia tidak bermaksud memberi kesempatan pada kita untuk berhasil menyibakkan teka-tekinya."
"Jika ketiga kalimat yang belum diketahui bisa kita peroleh, mungkin akan menolong menemukan kejelasan," kata Mrs. Claudius. "Tanpa kalimat-kalimat itu, kurasa kita tidak bisa berbuat apa-apa." "Saya mendapat akal, Sir, " kata Bob dengan tiba-tiba. "Akal apa"" tanya Mr. Claudius.
"Robin Hood, Sherlock Holmes, dan Captain Kidd sekarang kan sudah ada di sini. Jika kita bisa berhasil menyuruh mereka bicara, ketujuh bagian pesan itu akan kita ketahui. Dan setelah itu, mungkin Jupiter Jones bisa menarik kesimpulan daripadanya - walau kita tidak berhasil."
"Tapi burung-burung itu tidak mau bicara!" seru Mr. Claudius. "Lihat saja - mana mau membuka mulut sedikit pun!"
Memang benar. Burung-burung nuri itu merunduk dalam sangkar, tanpa menunjukkan gelagat akan mengoceh.
"Senor Sanchez waktu itu membantu Mr. Silver melatih mereka bicara," kata Pete. "Burung-burung itu sudah biasa dengan dia. Sewaktu ia menjual mereka, semuanya masih bicara. Tanggung dia akan mampu membujuk mereka supaya mau bicara lagi. Dan kalau ketujuh bagian pesan John Silver sudah kita ketahui, akan kita tanyakan pada Jupiter apakah dia bisa menduga makna kalimat-kalimat itu."
"Astaga!" Mr. Claudius tersenyum, lalu mulai tertawa senang. Diambilnya carik kertas yang berisi catatan Bob, lalu dikantonginya. "Tentu saja Mr. Sanchez bisa membujuk mereka supaya mau bicara. Wah, lukisan itu pasti akan sudah ada di tangan kita, sebelum Huganay sempat kaget!"
BAB 13 DIKEJAR SETENGAH jam kemudian mereka berangkat, naik truk. Mr. Claudius yang mengemudikannya. Semua berperasaan riang. Pete dan Bob duduk di jok depan di samping laki-laki gendut itu. Kelima burung nuri juga dibawa. Sangkar-sangkar mereka disangkutkan pada batang yang melintang dalam bak belakang yang tertutup. Mrs. Claudius berada di situ, mengawasi burung-burung.
Agak jauh juga perjalanan yang harus ditempuh dari tempat persembunyian suami-isteri Claudius di daerah perbukitan di belakang Hollywood, menuju tempat tinggal Carlos serta pa
mannya di dataran rendah dekat pantai. Tapi menurut taksiran, paling lambat menjelang sore mereka akan sudah sampai di sana.
Truk sudah beberapa menit menyusur jalan berkelok-kelok dan sunyi menuruni bukit, ketika tiba-tiba terdengar Mrs. Claudius berseru dengan nada cemas dari bak belakang.
"Claude! Baru saja aku memandang ke belakang lewat jendela - ada mobil mengikuti kita!"
"Mengikuti kita"" Laki-laki gendut itu melirik kaca spion. "Aku tidak melihatnya."
"Masih di balik tikungan. Nah - itu dia sekitar seperempat mil di belakang kita."
"Ya!" seru Mr. Claudius. "Sekarang aku melihatnya. Sedan besar berwarna kelabu. Kau yakin mobil itu mengikuti kita""
"Yakin benar sih tidak," jawab isterinya. "Tapi kelihatannya begitu." "Sedan kelabu"" tanya Pete gelisah. "Coba saya lihat!"
Tapi ia tidak bisa melihat lewat kaca spion yang terpasang. Akhirnya ia membuka pintu kabin yang ada di sisinya. Ia menjulurkan tubuh sambil menoleh ke belakang, sementara pinggangnya dipeluk erat-erat oleh Bob.
"Saya tidak melihat -" katanya, tapi buru-buru disambung dengan seruan. "Dia semakin dekat! Dan kelihatannya kayak mobil yang nyaris menubruk kita dijalan pekarangan rumah Mr. Fentriss!"
"Huganay!" seru Mr. Claudius dengan kaget. "Dia membuntuti kita. Apa yang kita lakukan sekarang""
"Jangan sampai tersusul, sampai kita masuk ke sebuah kota!" kata isterinya dengan tegas.
"Tapi yang ada di sini cuma bukit-bukit lengang," kata Mr. Claudius. "Kota terdekat lima mil dan sini. Tapi aku akan berusaha sebisa-bisaku."
Pedal gas dipijak lebih dalam. Truk tua itu semakin laju meluncur menuruni jalan berkelok-kelok di sela bukit.
Ketika melewati suatu tikungan, di sisi jalan menganga jurang yang dalamnya sekitar lima puluh sampai seratus meter, dibatasi oleh pagar pengaman yang kelihatannya tidak kokoh. Truk menyerempet pagar itu lalu terdorong lagi ke tengah jalan. Bob dan Pete meneguk ludah berkali-kali. Jantung mereka berdebar keras.
"Huganay sudah dekat sekali di belakang kita!" teriak Mrs. Claudius. "Dia berusaha menyusul sekarang."
"Aku melihatnya di kaca spion," gumam suaminya. "Aku akan berusaha mencegahnya."
Truk dikemudikannya ke tengah. Di belakang terdengar bunyi tuter disertai suara rem mendecit-decit. Sedan kelabu yang nyaris berhasil menyusul, terpaksa mengalah. Truk terombang-ambing sambil terus meluncur menuruni bukit. Jalannya di tengah terus, sehingga sedan yang di belakang tidak bisa menyusul.
Tapi di lereng berikut, tiba-tiba muncul sebuah truk diesel yang besar. Dan mereka langsung mengarah ke kendaraan itu.
"Awas!" seru Bob. Mr. Claudius membanting setir. Truk mereka minggir ke sisi yang benar, dan truk diesel meluncur dekat sekali di sebelah mereka. Masih sempat nampak pengemudinya yang melongo.
Sedan kelabu juga dibanting ke kiri, untuk mengelakkan tubrukan dengan truk diesel itu. Tapi kemudian dengan tiba-tiba sedan melesat maju. Kini truk dan sedan berjejeran. Bob dan Pete yang berpegangan kuat-kuat di samping Mr. Claudius, melihat ada tiga orang dalam sedan itu. Kecuali itu nampak pula seorang remaja. Pete mengenali tampang orang yang duduknya di sisi yang paling dekat dengan truk. Orang itu melambaikan tangan, menyuruh Mr. Claudius berhenti. Dia itulah Huganay!
Tapi Bob dan Pete juga mengenali tampang pucat yang dirapatkan ke kaca jendela pintu belakang sedan. Tampang seseorang bermuka kurus dan berhidung panjang, yang saat itu mencerminkan perasaan takut bercampur menang. Mereka melihat tampang E. Skinner Norris.
"Skinny Norris!" tukas Pete. "Awas nanti - akan kuhajar dia!"
Tapi pada saat itu kemungkinan tersebut kecil sekali baginya. Mereka sampai pada suatu bagian jalan, di mana sisi tempat mereka dibatasi oleh tebing yang curam. Beratus-ratus meter di kaki tebing itu mengalir sebuah sungai kecil. Dan dengan lambat tapi pasti, sedan kelabu mendesak truk semakin ke pinggir, mendekati jurang.
"Aku terpaksa berhenti. Rupanya Huganay bermaksud hendak mencelakakan kita!" teriak Mr. Claudius sambil menginjak pedal rem kuat-kuat. Truk berhenti beberapa senti saja dari tepi jurang. Sedang sedan juga dihentikan dekat sekali di s
ebelah truk sehingga mereka terjepit. Tidak bisa keluar dari pintu mana pun. Di satu sisi menganga jurang. Sedang di sisi lainnya, ada sedan.
Laki-laki bangsa Perancis yang perlente itu tersenyum ke arah mereka, sambil mengepul-ngepukan asap cerutu.
"Ah, Claude," katanya berpura-pura ramah, "kebetulan kita berjumpa di sini. Ternyata Amerika Serikat toh tidak begitu luas."
"Kau mau apa, Huganay"" tanya Mr. Claudius. Keringat membasahi mukanya yang pucat pasi. "Nyaris saja kami celaka karena perbuatanmu."
"Omong kosong," sahut si Perancis. "Aku tahu, kau pasti berhenti. Kalau tidak salah, kalian sedang mengangkut muatan berupa burung-burung nuri, ya" Aku suka sekali pada burung nuri. Karena itu biar aku saja yang mengangkut mereka. Adams, kau pergi ke bak belakang dan keluarkan burung-burung itu dari sana."
'Tes, Sir!" Dan laki-laki bertubuh kecil yang tadi mengemudikan sedan turun dari mobil itu, lalu melangkah ke bagian belakang truk. Sesaat kemudian terdengar suara Mrs. Claudius memprotes..
"Biarkan dia mengambilnya, Olivia," seru Mr. Claudius pada isterinya. "Kita tidak bisa berbuat apa-apa."
Pete dan Bob melihat isteri laki-laki yang gendut itu menyerahkan lima sangkar berisi burung pada laki-laki kecil yang berdiri di jalan. Mereka juga melihat bagaimana tampang E. Skinner Norris yang berseri-seri setelah bahaya berlalu. Anak ceking itu membuka kaca jendela sedan yang sebelah belakang.
"Hah!" katanya mengejek. "Kayak begitu mau mengaku detektif! Penjahat malah dibantu!"
Bob dan Pete tidak mau mengacuhkannya. Sementara itu Adams sudah menerima kelima sangkar burung, dan diletakkannya dijalan di samping sedan.
"Boss," katanya, "kita perlu tempat untuk kelima sangkar ini. Dan anak itu cuma makan tempat saja." "Yak," kata Huganay, "kau keluar!"
"Keluar"" Skinny Norris melongo. "Tapi aku kan membantu Anda." "Sekarang sudah selesai. Lester, lempar anak ini keluar!"
"Beres, Boss," kata laki-laki ketiga yang ada dalam sedan. Orang itu badannya besar, bertampang jelek. Potongan tukang pukul! Dengan gampang saja Skinny Norris ditolakkannya keluar. Nyaris saja si ceking jatuh tersungkur. Skinny berpaling, menatap Huganay. Kelihatannya kebingungan.
"Tapi Anda kan berjanji akan memberi hadiah lima ratus dollar," katanya, "apabila aku berhasil menemukan jejak penjahat itu, serta membantu Anda menemukan burung-burung nuri."
"Kirim saja tagihan padanya, Nak," kata Adams sambil nyengir. Sementara itu kelima sangkar burung sudah dimasukkannya ke dalam sedan. "He, Boss! Kurang satu! Yang hitam tidak ada."
"O ya"" Huganay menjulurkan tubuh ke luar mobil, sehingga mukanya merapat ke wajah Mr. Claudius yang pucat.
"Claude," katanya dengan suara lirih tapi bernada mengancam, "mana Blackbeard" Ketujuh-tujuhnya harus lengkap, untuk mengetahui pesan itu."
"Jadi kau ternyata memasuki tempat tinggalku dan membaca catatan itu!" Tanpa disangka, ternyata laki-laki gendut itu berani juga. "Dengan begitu kau mengetahui jejakku!"
"Claude," ulang Huganay, "mana Blackbeard" Aku harus memperoleh ketujuh-tujuhnya."
"Aku tidak tahu!" teriak Mr. Claudius. "Aku belum menemukannya."
"Kau tidak - tapi mereka." Orang Perancis itu mengalihkan pandangannya, menatap Bob dan Pete. Mata laki-laki itu berwarna kelabu dingin. Menyeramkan. "Mereka sangat cerdik. Coba katakan padaku, di mana Blackbeard sekarang""
"Tidak ada pada kami," kata Bob dengan sikap menantang. Dia tidak bohong. Beo itu tidak ada pada mereka. Tapi pada Jupiter. Jupiter yang menyimpannya di Markas Besar.
Mata kelabu itu meneliti mereka sesaat. Lalu melihat carik kertas yang terselip di kantong atas jas Mr. Claudius. Pada kertas itu tertulis nama-nama ketujuh burung nuri serta kalimat-kalimat yang sampai saat itu sudah diketahui.
Mr. Huganay menjulurkan tangannya, mengambil carik kertas itu dari kantong Mr. Claudius.
"Kau biasanya sangat rapi dan teliti, Claude," kata Huganay dengan suara halus, "jadi besar kemungkinannya kertas ini penting. Jika - Ah!" Dibacanya tulisan yang tertera di itu dengan gembira. "Empat dari tujuh bagian. Sedang nuri yang tiga lagi sekarang ada pada kami, sehingga kami b
isa menguraikan teka-teki pesan itu yang selengkapnya dengan tenang. Sampai berjumpa lagi, Claude!"
Sedan besar itu mulai bergerak, dan sesaat kemudian sudah lenyap lagi. Mr. Claudius menyandarkan diri ke roda kemudi. Mukanya pucat, seperti mayat. Ia mengerang.
"Ada apa, Claude"" tanya isterinya dengan cemas. "Kau sakit""
"Lambungku lagi," kata laki-laki gemuk itu dengan napas terputus-putus. "Penyakitku kambuh lagi." "Aku sudah mengkhawatirkannya. Kau harus kita bawa ke rumah sakit."
Mrs. Claudius meloncat turun dari bak belakang, bergegas-gegas menuju ke depan lalu duduk di belakang setir. Dengan hati-hati sekali didorongnya suaminya agak ke samping. Bob duduk di atas pangkuan Pete, supaya cukup tempat. Sementara itu Mr. Claudius mengerang-erang terus sambil membungkuk. Tangannya ditekankan ke perut.
"Dia memang penderita penyakit lambung," kata Mrs. Claudius sambil menghidupkan mesin truk. "Kalau keadaannya sedang gelisah, biasa kambuh lagi. Suamiku akan terpaksa berbaring beberapa hari di rumah sakit."
Dipandangnya Pete dan Bob.
"Harap jangan ceritakan kejadian ini pada siapa-siapa," katanya. "Sayangnya Huganay tidak ada urusan dengan polisi di sini! Dan kita tidak bisa mengadukan dia. Kalau perkara ini sampai bocor, maka itu berarti persoalannya akan tersebar luas. Dan ada kemungkinan lukisan itu kemudian ditemukan orang lain, sementara Claude masih terbaring di rumah sakit. Tapi tentu saja jika kalian yang menemukan, tawaran hadiah tadi masih tetap berlaku. Tapi jangan ambil resiko bentrokan dengan Huganay. Dia bisa berbahaya sekali!"
Mereka sudah melupakan E. Skinner Norris. Tapi sebelum truk bergerak meninggalkan tempat itu, remaja bertubuh tinggi kurus itu sudah bergegas-gegas menghampiri, lalu memegang pintu kabin.
"Tunggu!" serunya. "Kalian kan mau membawa aku ke kota""
Mrs. Claudius menatapnya dengan tajam, sehingga anak itu kecut melihatnya.
"Ayo masuk," tukas Mrs. Claudius. "Aku ingin agar kau menceritakan bagaimana kau bisa sampai membantu Huganay. Ayo cepat - ceritakan!"
"Begini," kata Skinny Norris dengan terburu-buru, "aku kebetulan sedang berjalan kaki di Rocky Beach ketika tiba-tiba ada mobil berhenti di sebelahku. Mr. Huganay menyapaku. Ia bertanya apakah aku kenal dengan beberapa remaja yang naik sedan Rolls-Royce antik, yang melihat nomornya berasal dari kota itu. Kukatakan, tentu saja aku kenal mereka -" Skinny tersenyum kikuk ke arah Bob dan Pete. "- mereka mengaku detektif, padahal -"
Dilihatnya kedua remaja itu menatapnya dengan mata melotot. Skinny terbata-bata. Pete membuka mulut.
"Teruskan, Skinny," katanya. "Bilang saja."
"Kukatakan, kalian cuma tiga anak yang berlagak sok jadi detektif. Sedang Rolls-Royce itu bukan milik kalian, tapi cuma boleh memakainya selama beberapa waktu saja ketika memenangkan suatu sayembara," kata Skinny cepat-cepat. "Lalu Mr. Huganay bertanya lagi, apakah ada di antara kalian yang akhir-akhir ini membeli paling sedikit seekor nuri. Khususnya yang berjambul kuning. Kukatakan, bisa saja itu kuselidiki. Mr. Huganay memberikan nomor teleponnya, supaya aku bisa menghubungi dia. Katanya beberapa ekor nuri berjambul kuning yang jarang terdapat, dicuri orang. Dia menjanjikan aku hadiah uang sebanyak seratus lima puluh dollar untuk setiap nuri yang berhasil kutemukan. Kemudian ia pergi."
Skinny menarik napas sebentar. Mungkin terkenang pada hadiah yang kini melayang.
"Malam itu aku kebetulan pergi ke Hollywood. Secara kebetulan aku mendengar bahwa kalian mencari burung-burung nuri berjambul kuning. Kemudian aku memperoleh alamat di mana salah satu nuri itu berada. Setelah aku berjumpa dengan kalian di alamat itu, aku lantas menelepon Mr. Huganay. Ia ramah sekali. Katanya, ia yakin kalian membantu seorang penjahat yang pekerjaannya mencuri burung-burung nuri yang istimewa, tapi kalian mungkin tidak menyadarinya. Aku disuruhnya membuntuti kalian untuk melihat ke mana kalian pergi.
"Aku berkeliling-keliling dengan mobil, sampai nampak Rolls-Royce kalian. Mobilku lantas kuparkir di balik tikungan. Aku mula-mula heran ketika Rolls-Royce pergi tanpa kalian. Tapi tak lama kemudi
an kulihat kalian muncul membawa seekor nuri dan naik ke truk ini. Lantas aku membuntuti kalian, sampai kuketahui tujuan yang didatangi. Aku cepat-cepat pergi ke bilik telepon terdekat dan menelepon Mr. Huganay lagi. Ia mengucapkan selamat padaku. Katanya aku harus menunggu dia dekat bilik telepon. Katanya ia akan menjemput aku, dan setelah itu kami akan bersama-sama meringkus penjahat itu. Aku akan diberinya hadiah lima ratus dollar. Kemudian ketika ia datang, kami masih sempat melihat kalian berangkat lagi naik truk. Kami membuntuti dari belakang, lalu - lalu - yah, aku tak mengira bahwa dia sendiri yang penjahat."
Belum pernah Pete dan Bob melihat tampang Skinny sekonyol saat itu.
"Yah, cuma itulah yang bisa kuceritakan," kata Skinny dengan gelisah.
"Itu sudah cukup bagiku. Sekarang keluar!" bentak Mrs. Claudius. "Dari sini kau boleh jalan kaki." Skinny merosot turun dari truk. Ia gemetar ketakutan.
"Berkat ulahmu, Anak muda, sekarang aku harus mengantar suamiku ke rumah sakit. Karena kau, seorang penjahat berbahaya akan bisa menemukan lukisan yang sangat berharga." Nada suara Mrs. Claudius tajam mengiris. "Pikirkan akibat perbuatanmu itu sambil berjalan kaki pulang."
Truk mulai bergerak meninggalkan Skinny Norris yang berdiri di tengah jalan. Tampangnya sedih sekali. Tapi baik Pete maupun Bob, sama sekali tidak merasa kasihan padanya.
BAB 14 PESAN MISTERIUS JUPITER Jones duduk di belakang meja di Markas Besar, dihadapi Pete dan Bob. Jupiter sibuk berpikir, sementara kedua rekannya itu menunggu dengan sabar. Mereka baru saja selesai melaporkan pengalaman mereka sehari itu.
Ketiga-tiganya sama-sama capek, karena Jupiter juga sibuk sehari penuh mengawasi perusahaan paman dan bibinya. Sedang Bob dan Pete, walau mereka sudah sempat pulang dan makan malam sebelumnya, masih tetap merasa lelah sehabis mengalami kejadian-kejadian menegangkan hari itu.
Akhirnya Jupiter membuka mulut.
"Rolls-Royce kita yang berlapis emas, sudah dua kali menyebabkan jejak kita bisa diketahui orang," katanya. "Itu harus menjadi pelajaran bagi kita. Dalam mengadakan pelacakan, sebaiknya jangan sampai kita menarik perhatian disebabkan oleh sarana pengangkutan, penampilan ataupun tingkah laku kita."
"Cuma itu saja yang hendak kaukatakan"" tukas Pete. "Padahal kami tadi sudah berhasil mengumpulkan semua nuri - kita sudah nyaris berhasil mengetahui seluruh pesan yang ditinggalkan oleh John Silver, mengenai di mana ia menyembunyikan lukisan itu - lalu tiba-tiba - bumm, semuanya lenyap! Kini burung-burung itu ada di tangan Huganay. Segala petunjuk ada padanya. Dan mungkin sekarang lukisan itu juga sudah ditemukannya."
"Burung-burung itu tentunya kaget sekali karena segala kejadian yang mereka alami," kata Jupiter. "Jadi kurasa Mr. Huganay tentunya belum berhasil membujuk mereka supaya mau bicara."
"Tapi pada suatu saat nanti pasti berhasil juga," kata Bob dengan suram. "Dia kelihatannya bukan orang yang gampang menyerah. Biar burung nuri, pasti dia akan berhasil memaksanya membuka mulut."
"Walau begitu, dengannya kita akan mendapat waktu sedikit," sambut Jupiter.
"Tapi untuk apa"" tanya Pete. "Betul kita sudah mengetahui empat bagian dari seluruh pesan yang ditinggalkan oleh Mr. Silver, tapi yang kita perlukan ketujuh-tujuhnya. Sedang burung-burung itu takkan bisa kita peroleh lagi. Pasti tidak, karena sudah ada di tangan laki-laki yang bernama Huganay itu."
"Kau benar," kata Jupiter setelah termenung agak lama. "Apa boleh buat, kita harus menerima kenyataan. Kita tidak berhasil memperoleh kembali nuri milik Mr. Fentriss. Kita juga tidak berhasil memulangkan nuri kepunyaan Miss Waggoner. Kita tidak berhasil dalam membantu Mr. Claudius memperoleh kembali lukisan yang disembunyikan John Silver. Kita gagal! Usaha kita sama sekali tidak berbuah."
"Kita bahkan tidak bisa menonjok Skinny Norris," gerutu Pete. "Anak itu lari! Kata juru masak keluarganya, dia ke luar kota untuk beberapa minggu, mendatangi sanak-keluarga di kota lain. Terus terang saja, dalam segala hal kita macet."
Ketiga remaja itu termenung-menung selama beberapa menit. Kemudian Jupiter me
ngangguk. "Ya," katanya, "kini aku tidak melihat jalan lagi, bagaimana kita bisa menemukan kembali burung-burung nuri yang lenyap, atau mengetahui ketiga bagian dari pesan John Silver yang belum kita dengar. Seperti kau bilang tadi, kita macet. Penyelidikan kita terbukti percuma saja."
Kesunyian yang menyusul setelah itu, hanya dipecahkan oleh Blackbeard yang sedang asyik makan biji bunga matahari. Akhirnya Bob mendesah.
"Sayang kita tidak bisa menyuruh Captain Kidd, Sherlock Holmes, dan Robin Hood bicara ketika semuanya masih terkumpul," katanya. "Coba kalau bisa, kini kita akan sudah mengetahui seluruh pesan."
"Robin Hood." Suara itu terdengar dari arah atas kepala mereka. Nampak Blackbeard menelengkan kepala ke bawah, memandang ketiga remaja itu. Seperti biasa, sikapnya seolah-olah sedang mengikuti pembicaraan mereka. Burung itu mengepak-ngepakkan sayap.
"Aku Robin Hood!" katanya dengan jelas. "Kutembakkan anak panah sebagai perlambang, seratus langkah ke barat ia melayang."
Tiga wajah remaja mendongak dengan serentak. "Kalian dengar katanya itu"" tanya Pete. "Jangan-jangan -" Bob menelan ludah karena gugup.
"Hati-hati, jangan sampai dia kaget!" kata Jupiter. "Coba kita lihat, mungkin dia mau mengulanginya lagi. Robin Hood!" sapanya, Halo, Robin Hood!"
"Aku Robin Hood!" kata burung beo itu dengan suara serak tapi jelas. "Kutembakkan anak panah sebagai perlambang, seratus langkah ke barat ia melayang." Setelah itu ia mengepak-ngepakkan sayap lagi.
Pete Crenshaw menelan ludah. Bahkan Jupiter pun nampak kaget dan kagum.
"Ingat," bisiknya. "Menurut Carlos waktu itu, burung ini biasanya bertengger di atas bahu Mr. Silver, pada saat orang itu melatih burung-burung nuri."
"Ya, sekarang aku ingat lagi!" kata Bob bersemangat. "Ketika kita baru saja memperolehnya, dia kan mengulangi pesan yang seharusnya disebutkan oleh Scarface: 'Aku tak pernah memberi kesempatan adil bagi si tolol'. Cuma waktu itu kita belum tahu, itu kalimat yang sebenarnya merupakan bagian Scarface. Burung beo kadang-kadang memang lebih pintar bicara daripada nuri. Sedang burung beo yang ini, kelihatannya pintar sekali. Mungkin -"
"Kita coba saja," potong Jupiter. Disodorkannya sebiji benih bunga matahari yang besar pada Blackbeard.
"Sherlock Holmes," kata Jupiter lambat-lambat. "Halo, Sherlock Holmes."
Blackbeard menanggapi sebutan nama itu dengan kalimat-kalimat yang sudah pernah didengar olehnya. Ia mengepak-ngepakkan sayap, lalu berbicara dengan logat Inggris yang sangat kentara. "Anda kenal metodeku, Watson. Tiga tujuh menuju ke tiga belas."
"Cepat - catat kata-kata itu, Bob," desis Jupiter. Tapi ia sebenarnya tidak perlu menyuruh lagi, karena Bob sudah sibuk mencatat. Sementara itu Jupiter mencoba lagi.
"Captain Kidd," bujuknya. "Halo, Captain Kidd." Disodorkannya lagi satu biji bunga matahari pada Blackbeard. Burung itu makan dengan lahap, lalu mengatupkan paruh.
"Aku Captain Kidd," katanya. "Lihat di bawah batu di balik tulang untuk menemukan kotak tak berkunci."
"Astaga!" Pete Crenshaw melongo karena kagum. "Burung ini ternyata tape recorder bersayap! Ternyata ketujuh bagian pesan itu diketahui semua olehnya!"
"Sebetulnya aku sudah mengira begitu ketika ia mengucapkan pesan yang merupakan bagian burung lain," kata Jupiter dengan nada jengkel. "Pesan Scarface, seperti kata Bob tadi."
Kini Blackbeard sudah benar-benar timbul semangatnya. Begitu mendengar nama Scarface, ia mengepak-ngepakkan sayap lagi.
"Aku tak pernah memberi kesempatan adil bagi si tolol," jeritnya. "And that's a lead pipe cinch. Ha-ha-ha!" Kalimat terakhir itu merupakan kiasan, artinya 'Dan itu gampang sekali'. Sedang ha-ha-ha tetap berarti ha-ha-ha!
Blackbeard tertawa seolah-olah baru saja menceritakan lelucon yang kocak sekali. Tapi ketiga remaja itu tidak begitu mempedulikannya lagi. Bob sibuk mencatat. Setelah beberapa saat menulis, disodorkanya hasil catatan itu pada Jupiter.
"Nah - sudah kutulis ketujuh bagian pesan John Silver," katanya. Pete menghampiri Jupiter, lalu kedua remaja itu membaca catatan Bob. PESAN JOHN SILVER (Lengkap)
Little Bo-Peep (Bagian 1): Little Bo-Peep
kehilangan domba dan tidak tahu ia harus dicari di mana. Hubungi Sherlock Holmes!
Billy Shakespeare (Bagian 2): To-to-to be or not to-to-to be, thatis the question.
Blackbeard (Bagian 3): Aku Blackbeard si Bajak Laut, dan hartaku kupendam di tempat orang mati menjaganya terus! Yo-ho-ho dan tuak satu botol!
Robin Hood (Bagian 4): Kutembakkan anak panah sebagai perlambang, seratus langkah ke barat ia melayang. Sherlock Holmes (Bagian 5): Anda kenal metodeku, Watson. Tiga tujuh menuju ke tiga belas. Captain Kidd (Bagian 6): Lihat di bawah batu di balik tulang untuk menemukan kotak tak berkunci. Scarface (Bagian 7): Aku tak pernah memberi kesempatan adil bagi si tolol. Dan itu gampang sekali! "Ya, betul," kata Pete. "Kini pesannya sudah lengkap. Cuma masih ada yang kurang. Soal sepele." "Apa itu"" tanya Bob.
"Kita harus menyelidiki makna pesan itu," kata Pete.
BAB 15 CABUT! KEESOKAN harinya ketika sedang sibuk bekerja di perpustakaan, pikiran Bob melayang seperti sedang jauh sekali. Dan kenyataannya memang begitu. Diambilnya sejilid buku yang memuat berbagai kode dan tulisan rahasia. Dipelajarinya isi buku itu. Tapi tak ada yang bisa diperolehnya sebagai hasil. Tapi sementara ia sendiri mencari dengan sia-sia, Bob mengharap mudah-mudahan Pete atau Jupiter bisa menemukan salah satu petunjuk mengenai teka-teki yang mereka hadapi. Dan begitu selesai makan malam, dengan segera Bob pergi ke perusahaan jual-beli barang bekas. Tapi pengharapannya buyar ketika sampai di sana, karena ia disambut oleh wajah-wajah lesu.
Pete mengaku terus-terang, dia memang paling tidak bisa kalau disuruh mencari kunci pesan sandi. Kemudian Jupiter membuka rapat Trio Detektif.
"Aku belum tahu arti pesan Mr. Silver," katanya sambil mencubit-cubit bibir. "Tapi beberapa bagian terasa artinya. Mengenai bagian pertama, yang menyebutkan Bo-Peep kehilangan anak domba - aku sependapat dengan Mr. Claudius. Yang dimaksudkan dengan kalimat itu, lenyapnya lukisan gadis penggembala serta dombanya, karena disembunyikan."
Kedua rekannya mengangguk setuju.
"Tapi bagaimana dengan bagian 'Hubungi Sherlock Holmes'"" tanya Bob.
"Sayang kita tidak bisa melakukannya," seru Pete kesal. "Saat ini kita memerlukan kecerdasan detektif ulung itu."
"Itu belum kuketahui artinya," kata Jupiter mengaku. "Soalnya, pesan Sherlock Holmes yang merupakan bagian kelima, bunyinya, 'Anda kenal metodeku, Watson. Tiga tujuh menuju ke tiga belas'. Bagian pertama dari kalimat itu sering disebutkan oleh detektif itu dalam kisah-kisahnya. Tapi bagian terakhir, sama sekali tak ada artinya."
Blackbeard menelengkan kepala.
"Tiga tujuh menuju ke tiga belas," katanya dengan suara serak. Tentu saja ia mengatakannya dalam bahasa Inggris, dan bunyinya begini, "Three severns lead to thirteen. "
"Rasanya ia menyebut 'severns' - bukan 'sevens', " kata Pete.
"Ah, itu kan cuma pengucapannya saja, karena dia bicara berlogat Inggris," sela Bob. "Teruskan, Jupe."
"Nah - pada bagian kedua kita sampai pada ucapan Billy Shakespeare yang tergagap-gagap," kata Jupiter. "Artinya juga tidak jelas bagiku."
"Bagian ketiga, kalimat yang merupakan bagian Blackbeard sendiri, rasanya seperti menunjuk pada salah satu pulau perompak atau tempat persembunyian," kata Bob. "Kata Mr. Claudius, John Silver suka sekali pada kisah-kisah tentang pulau harta. Jadi kalau ia menemukan sebuah pulau begitu, atau salah satu tempat yang bisa dipandang sebagai pulau harta, mungkin saja tempat itu kemudian dipakainya untuk menyembunyikan lukisan itu."
Jupiter membentangkan sebuah peta ke atas meja.
"Ini Peta California sebelah selatan," katanya. "Dari Carlos kita mengetahui bahwa waktu itu Mr. Silver menghilang pergi selama tiga hari. Kepergiannya itu berjalan kaki, atau mungkin pula membonceng kendaraan lain. Ia menuju ke salah satu tempat, di situ menyembunyikan lukisan yang tersimpan dalam kotak logam, lalu kembali lagi. Dalam waktu tiga hari itu ia bisa pergi ke berbagai tempat. Misalnya saja ke Pulau Catalina. Atau ke Meksiko. Bisa juga menuju ke Death Valley. "
"Ke Lembah Maut"" seru Pete. "Di sana kan banyak berserakan tulang-belulang
orang mati. Kalau menurut pendapatku, Mr. Silver pasti pergi ke sana. Tapi bayangkan - kita mencari-cari di seluruh lembah itu, karena ingin menemukan sebuah kotak" Dalam waktu dua hari saja, kita akan sudah menjelma menjadi tulang-belulang pula!"
"Itu kan cuma kemungkinan saja," kata Jupiter, "walau bukannya mustahil."
"Bagian keempat, 'Kutembakkan anak panah sebagai perlambang, seratus langkah ke barat ia melayang', rasanya merupakan penunjuk arah," kata Bob. "Kita disuruh pergi seratus meter ke barat, dari salah satu tempat." "Betul, tapi dari mana"" tanya Pete. "Dari pojok pekarangan sini ya"!"
"Bagian kelima, ucapan Sherlock Holmes yang sudah kita bicarakan tadi," kata Jupiter melanjutkan. "Dan kita sependapat, kalimat itu tidak bisa dimengerti. Jadi kini kita sampai pada bagian keenam, 'Lihat di bawah batu di balik tulang untuk menemukan kotak tak berkunci'. Itu kedengarannya juga seperti menunjukkan arah. Jelas sekali!"
"Ya - sejelas malam tak berbintang," kata Pete sambil menggerutu. "Batu apa" Tulang yang mana""
"Kedengarannya kayak kembali menuju ke pulau perompak," tambah Bob.
"Aku belum pernah mendengar bahwa di Pulau Catalina pernah ada bajak laut," kata Pete. "Padahal pulau itu boleh dibilang cuma yang satu-satunya di perairan sini."
"Pada jaman orang sedang keranjingan mencari emas di California sini, waktu itu banyak penyamun berkeliaran," kata Jupiter. "Mungkin mereka itu yang dimaksudkan dengan perompak."
"Mungkin juga," kata Bob. "Tapi lalu bagaimana dengan bagian terakhir, 'Aku tak pernah memberi kesempatan adil bagi si tolol'" Dari kalimat itu aku mendapat kesan, seolah-olah Mr. Silver hendak mengatakan bahwa kita berhasil dikelabui olehnya. Apalagi ditambah dengan kalimat berikutnya, 'that's a leadpipe cinch', kiasan kuno yang artinya soal yang jelas dan gampang sekali! Jika digabungkan, John Silver sebenarnya hendak mengatakan, 'Biar kalian berhasil mengetahui teka-teki pesanku, kalian toh pasti takkan bisa menemukan lukisan itu'."
Jupiter merengut. Ia senang menghadapi persoalan rumit. Tapi tidak suka apabila persoalan itu ternyata memusingkan. Dan saat itu ia sungguh-sungguh pusing.
"Yah," katanya kemudian, "aku cuma bisa berharap, mudah-mudahan Mr. Huganay akan sama repotnya kayak kita sekarang ini. Karena walau berkat Blackbeard kita sudah mengetahui seluruh pesan itu, tapi dia pasti lambat laun akan berhasil menyuruh burung-burung yang ada padanya untuk bicara. Dan kita harus menemukan lukisan antik itu mendului dia. Itu demi harga diri kita selaku detektif."
Selama beberapa saat ketiga-tiganya membungkam. Kemudian Jupiter bangkit dari tempat duduknya.
"Aku akan menelepon kalian jika sudah ada kemajuan yang kucapai," katanya. "Sebelum itu, tak ada gunanya kita mengadakan rapat. Atau jika ada di antara kalian yang mendapat salah satu jalan, telepon saja aku."
Keesokan harinya, ketiga remaja itu serba salah. Bob akhirnya bahkan disuruh pulang dari perpustakaan, karena keliru terus dalam menyusun buku-buku yang dipulangkan. Di rumah ia merebahkan diri ke atas bangku panjang dekat jendela di kamar duduk. Ditatapnya awan yang berarak di atas gunung yang berjajar di belakang Santa Monica, seakan-akan di awan itu tertulis jawaban teka-teki yang memusingkan itu.
Seharian ia tidak banyak bicara. Ketika ayahnya pulang, ia heran melihat keadaan Bob seperti begitu. Sewaktu sedang makan, akhirnya Mr. Andrews bertanya dengan prihatin.
"Ada apa"" tanyanya. "Ada sesuatu yang kaupikirkan, Bob""
"Ya, Yah - semacam teka-teki." Akhirnya terlintas pikiran pada Bob, ada kemungkinan orang lain bisa mengajukan saran yang baik. Bagaimana juga, ayahnya dinilai orang berotak cerdas. Bob berpaling padanya. "Jika kita ingin menyembunyikan harta sedemikian rupa, sehingga bisa ditinggalkan pesan yang berbunyi, 'Hartaku kupendam di tempat orang mati menjaganya terus' - di manakah harta itu akan ditaruh""
"Di Pulau Harta," jawab ayahnya, sambil menyalakan pipa. "Maksudku yang dalam kisah karangan Robert Louis Stevenson. Atau kalau tidak, salah satu pulau sarang perompak yang lain."
"Tapi jika tak ada pulau begitu di sekitar
tempat kita"" tanya Bob mendesak terus. '"Kalau begitu, ditaruh di mana""
Mr. Andrews memikirkan pertanyaan itu, sambil menyedot-nyedot pipa yang belum baik nyalanya. "Hmm," katanya setelah beberapa saat. "Ada satu tempat yang cocok dengan petunjuk begitu." "Di mana itu, Yah" Di mana"" Bob langsung meluruskan duduknya. "Di pekuburan," kata ayahnya sambil tertawa geli.
"Wow!" Bob begitu cepat melesat ke pesawat telepon, sehingga pipa nyaris sampai terlepas dari mulut Mr. Andrews, saking kagetnya. Sambil menggeleng-geleng melihat anaknya yang lasak("), Mr. Andrews naik ke tingkat atas. Sementara itu Bob sudah sibuk memutar nomor pesawat telepon Markas Besar. Setelah berdering beberapa kali, terdengar suara Jupiter menjawab dari seberang sana.
"Jupe," kata Bob dengan suara pelan, "kau masih ingat pesan Blackbeard""
"Ya - kenapa"" terdengar nada berharap di seberang sana.
"Bagaimana kalau yang dimaksudkan dengan kalimat itu pekuburan" Jika di situ, yang menjaga harta kan orang mati" Betul, kan""
Agak lama juga Jupiter membisu. Kemudian, dengan suara agak serak ia menjawab, "Jangan pergi-pergi, Bob. Nanti aku menelepon lagi."
Setelah itu Bob gelisah sekali menunggu bunyi dering pesawat telepon. Dan begitu akhirnya yang ditunggu-tunggu datang, dengan segera pesawat itu sudah ditempelkan ke telinganya. "Ya"" katanya dengan suara tertahan.
"Kelana Gerbang Merah!" Suara Jupiter terdengar tegang. "Cabut!" Dan hubungan putus lagi. Wah! Cabut! Itu berarti ia harus secepat mungkin pergi ke Markas Besar lewat jalan belakang - dan tanpa dilihat orang lain.
"Bu - Yah," kata Bob tergesa-gesa, "aku harus pergi. Jupiter memanggil, ada perlu. Sekitar pukul sepuluh aku pulang. Boleh ya" Trims!"
Dan sebelum orang tuanya sempat menjawab, remaja itu sudah menghilang ke luar. "Apa-apaan tadi itu"" kata ayahnya sambil melongo.
"Mereka sedang berusaha menemukan kembali seekor nuri yang hilang," jawab ibunya sambil tersenyum. "Bob pernah bercerita padaku, beberapa hari yang lalu. Kurasa sekarang Jupiter sudah menemukan salah satu petunjuk mengenainya."
"Burung nuri." Mr. Andrews tertawa geli, lalu menghirup kopinya. "Kedengarannya perkara yang tidak mengandung bahaya." Tapi saat berikutnya ia kaget sendiri. "Tapi apa hubungannya dengan pekuburan""
Sementara itu Bob mengayuh sepedanya cepat-cepat menyusur jalan-jalan belakang, menuju ke tempat penimbunan barang bekas di mana Jupiter sudah menunggu.
BAB 16 BOB DIJADIKAN UMPAN BOB sampai di pintu rahasia sebelah belakang kompleks tempat penimbunan barang bekas, hampir pada waktu bersamaan dengan Pete. Tapi keduanya tidak membuang-buang waktu untuk saling menyapa. Keduanya sama-sama tahu, masing-masing tadi menerima pesan serupa. Dengan cepat mereka menuju ke kantor Trio Detektif.
Di situ Jupiter sudah menunggu sambil menghadapi setumpuk buku, peta, dan lembaran-lembaran kertas. Dan gerak-geriknya bisa diduga bahwa ada kabar baru.
"Kita harus bertindak dengan cepat," katanya pada kedua rekannya. "Karena itulah kalian kuminta datang sekarang juga"
"Kau berhasil memecahkan teka-teki itu, Jupe"" tanya Bob.
"Belum semua - tapi setidak-tidaknya bagian awalnya. Kau tadi memberikan petunjuk padaku, Bob, ketika kau menyebutkan bahwa apa pun yang dipendam di pekuburan, dijaga oleh orang mati."
"Yang mendapat gagasan itu sebetulnya ayahku," kata Bob. Tapi Jupiter sudah sibuk lagi dengan beberapa jilid buku dan lembaran-lembaran kertas, sehingga tidak mendengar kata Bob.
"Dengan petunjuk itu, aku lantas bisa melanjutkan penyelidikan," kata Jupiter. "Nah, pesan yang ditinggalkan John Silver terdiri dari tujuh bagian. Tiap-tiap bagian diajarkannya pada nuri yang berlainan. Tapi urusan burung kita lupakan saja. Cukup apabila kita sebutkan bagian pertama, bagian kedua, dan seterusnya."
"Aduh, kalau ngomong jangan suka bertele-tele," keluh Pete. "Katakan sesuatu, tapi yang jelas!"
"Bagian ketiga dari pesan itu mengatakan bahwa Mr. Silver menyembunyikan lukisan itu di salah satu pekuburan. Karenanya aku lantas menarik kesimpulan, bagian pertama dan kedua seharusnya menunjukkan di mana letak pekuburan itu."
"Seharusn ya memang begitu - tapi nyatanya tidak," kata Pete lagi.
"Bagian pertama berbunyi, 'Little Bo-Peep kehilangan domba dan tidak tahu ia harus dicari di mana. Hubungi Sherlock Holmes!'. Kalian merasa ada sesuatu yang aneh pada pesan itu"" "Ya - Sherlock Holmes kan sudah mati," kata Pete.
"Dia belum pernah hidup, tolol," tukas Bob. "Dia kan cuma tokoh karangan belaka. Jadi tidak mungkin bisa dihubungi."
"Itu dia jawaban yang tepat," kata Jupe. "Yang dihubungi bukan dia, tapi alamat tempat tinggalnya. Dalam kisah, disebutkan alamatnya. Dan di mana itu"" "Di London," jawab Pete. "Baker Street, London," kata Bob melengkapi.
"Sherlock Holmes menurut kisah tinggal di Baker Street," kata Jupiter lagi. "Jadi kita harus pergi ke Baker Street. Sekarang kita perhatikan bagian kedua dari pesan itu, yang merupakan kutipan ucapan Hamlet dalam sandiwara karya Shakespeare. Dalam salah satu adegan di mana Hamlet sedang bingung, ia mengucapkan 'To be or not to be, that is the question'. Kalimat ini menjadi pemeo yang populer sekali. Tapi nuri yang disuruh mengucapkannya, diajari untuk bicara tergagap-gagap. Jadi yang disebutkan, berbunyi, 'To-to-to be, or not to-to-to be...' Burung nuri tidak gagap, kecuali kalau sengaja dilatih supaya gagap. Ini berarti perhatian harus kita tujukan pada 'to-to-to be'!"
"Dari semula aku sudah memperhatikannya," kata Pete. "Tapi hasilnya, aku malah tambah bingung."
Jupiter menuliskan sesuatu di atas secarik kertas.
"Coba lihat apa yang terjadi," katanya sambil menulis, "apabila aku menulis Baker Street, disusul dengan to-to-to be dengan cara begini."
Pete dan Bob menatap tulisan Jupiter dengan mata melotot. Mereka melihat tulisan: Baker Street 222 B
"Aduilah!" desah Pete. "Itu kan alamat!"
"Alamat pekuburan"" tanya Bob. Sambil berpikir, betul juga. Angka dua memang ditulis two dalam bahasa Inggris. Tapi kalau menurut bunyinya, tulisannya 'to'. Sedang huruf B kalau ditulis menurut bunyinya pula menjadi 'be.' Logis!
Trio Detektif 02 Misteri Nuri Gagap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sementara itu Jupiter sibuk mengaduk-aduk di sela tumpukan buku. Kemudian disodorkannya sebuah atlas tua dari daerah California Selatan.
"Segala macam buku kuperiksa di perpustakaan yang memuat bahan-bahan keterangan," katanya. "Ternyata di daerah California Selatan terdapat beratus-ratus kota, di antaranya lebih dari satu yang ada Baker Street-nya. Tapi akhirnya kuketahui bahwa di kota Merita Valley yang letaknya sebelah selatan kota Los Angeles, ada sebuah pekuburan tua yang letaknya di pojok jalan Baker Street dan Valley. Dan alamat yang tertera di gerbang yang menuju ke bangunan yang dulunya tempat perawat pekuburan itu" Baker Street 222 B!"
"Huii!" seru Pete. "Dari mana kau mengetahuinya, Jupe""
"Dari buku-buku ini," jawab Jupiter sambil menaruh tangannya di atas tumpukan buku. "Serta buku telepon. Aku bahkan menemukan satu brosur yang isinya mengenai pekuburan itu. Brosur itu diterbitkan untuk turis. Coba dengar apa yang dikatakan di dalamnya."
Jupiter membacakan teks brosur itu.
"Pekuburan kuno di Merita Valley termasuk yang paling tua di California. Sekarang sudah tidak dipakai lagi, dan keadaannya agak terbengkalai. Ada rencana untuk memugarnya untuk dijadikan situs sejarah." Jupiter menutup brosur itu kembali.
"Merita Valley letaknya cuma sekitar tiga puluh mil dari tempat di mana John Silver menumpang di rumah paman si Carlos," katanya. "Dengan segala bukti ini, aku merasa yakin bahwa kita sudah berhasil menemukan tempat yang didatangi Mr. Silver untuk menyembunyikan hartanya."
"Lalu bagaimana dengan pesan yang selebihnya"" tanya Bob. "Kau juga sudah berhasil memecahkannya"" "Belum," jawab Jupiter. "Yang selebihnya itu merupakan petunjuk-petunjuk di mana tempat penyembunyian itu, apabila kita sudah sampai di sana. Dan kita harus ke sana, untuk kemudian mereka-reka jawaban." "Besok pagi ya"" usul Pete. "Kita langsung ke sana besok pagi, naik mobil."
"Saat ini ada kemungkinannya Mr. Huganay juga sudah menemukan jawaban tadi," kata Jupiter. "Jadi kita tidak bisa membuang waktu lagi. Kita ke sana sekarang juga. Masih cukup waktu untuk ke sana, menemukan lukisan itu, lalu kembali lagi sebelum
hari gelap. Sayangnya kita tidak bisa semua pergi ke sana. Dan kita juga tidak bisa naik Rolls-Royce."
"Lho! Kenapa"" tanya Pete tidak mengerti.
"Karena ada kemungkinan Mr. Huganay menugaskan salah seorang anak buahnya mengamat-amati gerak-gerik kita," kata Jupiter. "Dan Rolls-Royce itu kan sangat menyolok, berdasarkan pengalaman selama ini. Jadi rencanaku begini -"
Jupiter menjelaskan dengan serba singkat. Bob mau memprotes, tapi percuma saja. Akhirnya ia mengalah karena menyadari bahwa alasan Jupiter memang tepat. Jadi ketika mobil Rolls-Royce tiba di perusahaan jual-beli barang bekas, beberapa menit kemudian Trio Detektif masuk ke dalamnya dengan santai. Maksudnya supaya nampak jelas, jika memang ada musuh mengintai.
Yang menyetir lagi-lagi Fitch. Ia nyengir pada mereka, memamerkan sederet gigi berwarna kuning.
"Kalian menemukan nuri hilang lagi akhir-akhir ini"" tanya orang itu.
"Ya, beberapa ekor," jawab Jupiter singkat. "Satu di antaranya dicari polisi! Nah - sekarang kita keluar. Kitari kompleks ini lewat jalan memutar. Nanti pada saat melintas dekat pagar belakang, jalankan mobil pelan-pelan. Tapi jangan berhenti!"
Fitch melakukan tugasnya tanpa banyak bertanya lagi. Rolls-Royce meluncur ke luar gerbang, dengan ketiga remaja nampak jelas duduk di dalamnya. Tapi kemudian ketika menikung hendak memasuki jalan sebelah belakang, Pete dan Jupiter bergegas meloncat keluar.
"Tunggu kami di Markas Besar!" seru Jupiter. Kemudian menyusup lewat pintu rahasia yang dikenal dengan sandi 'Kelana Gerbang Merah', diikuti oleh Pete. Bob ditinggal sendiri dalam mobil.
"Nah, Master Andrews," kata Fitch dengan nada mengejek, "ke mana kita sekarang" Masih ada lagi nuri penjahat yang perlu dilacak jejaknya""
"Tidak," jawab Bob. Ia menyembunyikan kekecewaannya. "Kita menyusur pesisir selama kira-kira setengah jam. Lalu menuju ke Timur, dan kembali ke sini lewat bukit. Malam ini kita melancong."
Tapi walau begitu Bob sama sekali tidak merasa senang. Ia dijadikan umpan, untuk mengelabui mata-mata Mr. Huganay yang mungkin mengintip. Sementara itu Pete dan Jupiter bisa asyik bertualang!
BAB 17 BATU DI BALIK TULANG TRUK kecil dari perusahaan Mrs. Jones berjalan terguncang-guncang melewati jalan tanah yang tidak rata. Konrad duduk di belakang setir, sedang Pete dan Jupiter ada di sisinya. Kedua remaja itu memandang keluar.
Tadi, setelah meninggalkan Rolls-Royce dan masuk ke pekarangan kompleks, keduanya langsung menyelinap ke dalam truk itu. Mr. Jones sudah mengijinkan Jupiter memakainya sore itu. Dan begitu Pete dan Jupiter sudah masuk, Konrad yang mengemudikan langsung menjalankan kendaraan itu. Truk itu berangkat meninggalkan kompleks, seolah-olah ada tugas yang biasa. Sementara itu kedua remaja tadi meringkuk di lantai, supaya tidak kelihatan dari luar. Baru setelah truk sudah berjalan sepuluh mil, mereka duduk seperti biasa.
"Tidak ada yang membuntuti, Jupe," kata Konrad. "Dan nampaknya kita sudah sampai di kota yang hendak kaudatangi. Tak ada istimewanya dilihat sepintas lalu."
Mereka memerlukan waktu lebih dari satu jam untuk sampai ke Merita Valley. Dan seperti dikomentari oleh Konrad, kota kecil itu tidak ada istimewanya. Sementara itu daerah pertokoan yang sedikit sudah dilewati. Truk menyusur Baker Street. Di pinggir jalan itu boleh dibilang tak ada rumah sama sekali. Di sisi seberang jalan terbentang tembok batu yang panjang, di belakangnya terjejer beratus-ratus salib dan batu makam yang terbuat dari batu. Mereka sudah sampai di pekuburan Merita Valley.
Pete menuding ke satu arah di tengah tembok. Nampak di Situ semacam gerbang. Pada selembar papan tanda yang sudah tua tertulis: Baker Street 222 B.
"Kita tidak berhenti"" tanya Pete, ketika truk meluncur terus.
Jupiter menggelengkan kepala. "Pada simpangan berikut belok ke kanan, Konrad," katanya. "Beres," kata Konrad.
Pekuburan itu besar, dan kelihatannya sudah sangat tua. Ketika truk sampai di pojok jalan yang merupakan batas tembok, nampak puing-puing reruntuhan sebuah gereja yang terbuat dari batu bercampur tanah liat. Tempat itu lengang dan tak terurus.
Konrad membelokkan truk memasuki jalan ke kanan, terus sejauh beberapa ratus meter. Pekuburan sudah ditinggalkan di belakang. Mereka sampai dekat serumpun pepohonan ekaliptus yang berjejer di pinggir jalan. Dahan-dahannya merunduk. Tersebar bau minyak menusuk hidung.
"Kita berhenti di bawah pohon-pohon itu," kata Jupiter memberi instruksi. Dan Konrad menurut saja. Begitu truk berhenti, Pete dan Jupiter segera meluncur turun.
"Mungkin agak lama kami pergi, Konrad," kata Jupiter. "Tunggu saja di sini."
"Beres," jawab laki-laki bertubuh kekar itu. Dinyalakannya radio yang ada di mobil. "Aku toh tidak terburu-buru."
"Sekarang bagaimana, Jupe"" tanya Pete pada Detektif Pertama yang sudah mendului berjalan. Mereka melintasi suatu lapangan kosong, menyilang ke arah tembok batu yang mengelilingi pekuburan.
"Kita jangan sampai dilihat orang masuk ke pekuburan," kata Jupiter. "Kita tidak bermaksud jahat, tapi di pihak lain, usaha pencarian kita jangan sampai terhambat karena orang-orang yang ingin tahu."
Sesampai dekat tembok, mereka lantas memanjat ke seberang.
"Kalau aku sih tidak keberatan jika saat ini ada orang lain bersama kita," kata Pete, sementara mereka mulai menyusur jalan sempit yang tak terawat. Di sisi kiri-kanan banyak sekali terdapat batu makam besar dan kecil. Ada di antaranya yang sudah sangat miring dan rusak.
"Kau kan hebat kalau disuruh menaksir arah, Pete," kata Jupiter. "Tolong ingat jalan yang kita tempuh, supaya kita nanti bisa kembali ke truk apabila pencarian kita terpaksa sampai gelap. Sayangnya kita tadi tergesa-gesa, sehingga aku lupa membawa senter."
"Sampai gelap"" kata Pete setengah terpekik. "Tapi kurasa tidak akan mungkin bisa," sambungnya, sementara kabut tipis melintas di depan mereka. "Lihatlah - malam ini akan datang kabut dari arah laut."
Jupiter memandang ke barat, ke arah di mana Samudera Pasifik membentang luas. Betul juga - nampak kabut tipis bergulung lambat-lambat ke arah mereka. Di California Selatan, kabut sering datang dari laut, lalu menyelaputi daerah pesisir. Kadang-kadang begitu tebal, sehingga pemandangan terhalang sama sekali.
"Aku tadi tidak memperhitungkan kemungkinan adanya kabut," kata Jupiter sambil merengut. "Ini lebih parah lagi daripada kegelapan. Mudah-mudahan saja kita bisa cepat memecahkan teka-teki pesan Mr. Silver. Nah - itu jalan masuk yang ada alamatnya Baker Street 222 B."
Jupiter mempercepat langkah. Mereka lewat di antara dua batu makam yang besar, dan sampai di suatu persimpangan yang letaknya sedikit di sebelah dalam pintu masuk. Dari situ ada beberapa jalan kecil yang menuju ke segala arah.
"Apa yang kita lakukan sekarang"" tanya Pete dengan gelisah. Jupiter mengambil secarik kertas dari kantongnya.
"Kita sudah sampai di Baker Street 222 B," katanya sambil memandang kertas di tangannya. "Bagian keempat dari pesan Mr. Silver berbunyi, 'Kutembakkan anak panah sebagai perlambang, seratus langkah ke barat ia melayang'. Nah, pintu masuk menghadap ke utara. Karenanya -"
"Apa"" tanya Pete pada Jupiter yang sementara itu memutar tubuh di tengah-tengah persimpangan.
"Seratus langkah bisa kita samakan dengan seratus meter," kata Jupiter. "Pasti Mr. Silver memaksudkan bahwa kita harus berjalan seratus meter ke barat. Titik awal untuk itu pantasnya di sini, di mana seluruh jalan di pekuburan ini bergabung. Jadi, dari sini kita melangkah sejauh seratus meter. Kau saja yang melakukannya, karena kakimu lebih panjang."
Pete mulai melangkah ke arah barat, melalui jalan kecil yang sejajar dengan tembok pekuburan, sekitar lima belas meter dari situ. Pete membuat langkahnya sepanjang mungkin. Setelah menghitung sampai seratus, ia berhenti. "Sudah," katanya. "Sekarang apalagi""
"Sekarang kita sampai pada bagian kelima yang mengatakan, 'Anda kenal metodeku, Watson. Tiga tujuh menuju ke tiga belas.'"
"Selama ini masih gampang. Tapi pesan yang itu, tak ada artinya sama sekali. Maksudku, yang bisa dimengerti." Di tempat itu tak ada sesuatu yang bisa membantu Jupiter mendapat akal. Tapi kemudian ia berpaling. "Kau yakin langkahmu tadi panjangnya satu meter"" tanyanya. "Yah - kurasa begitu. Aku sudah
mengulurnya sepanjang mungkin."
"Tapi lebih baik kita mengukurnya. Selalu lebih baik untuk mencari kepastian. Coba lakukan dua langkah, dan beri tanda awal dan akhirnya."
Pete menuruti permintaan Jupiter, yang sementara itu mengeluarkan pita pengukur dari kantongnya. Dengan alat itu diukurnya langkah Pete.
"Kurang," katanya kemudian. Ia menghitung sebentar, lalu menambahkan, "jalanlah lagi sejauh dua puluh langkah ke barat."
Pete melangkah lagi ke barat. Setelah dua puluh langkah, nampak tembok belakang pekuburan. Tapi walau di tempat itu banyak batu makam mengelilingi, ia tetap belum melihat apa-apa. Tapi Jupiter berseru lirih.
"Lihatlah!" katanya, sambil menuding ke arah tiga batu makam tua yang berjejer di depan mereka. Pada ketiga batu itu tertulis bahwa Josiah Severn, Patience Severn, dan Tommy Severn meninggal tahun 1888 pada hari yang sama karena sakit demam kuning dan kemudian dikebumikan di situ.
"Severn!" seru Pete, ketika akhirnya ia mengerti. "Apa kubilang, kata tujuh yang diucapkan oleh Sherlock Holmes lebih mengarah ke 'severn' daripada 'seven 'l"
"Di sini ada tiga Severn," kata Jupiter mengakui. "Tapi bagaimana bisa menuju ke tiga belas""
"Ikuti garis jajaran batu makam!" kata Pete bergairah. "Kita lihat saja, mungkin menunjuk pada sesuatu. Kita harus buru-buru, karena kabut sudah semakin dekat!"
Pemandangan semakin kabur karena kabut yang bergulung-gulung. Tanpa membuang waktu lagi, Pete cepat-cepat berjongkok di sisi batu makam yang paling dekat padanya. Batu yang dua lagi agak miring. Sambil memandang lewat tepi atas batu-batu yang berjejeran itu, ditariknya garis dengan matanya. Dan ia menatap sebuah batu makam yang tinggi. Jaraknya sekitar lima belas meter dari situ.
"Garis yang kutarik dari sini sampai di batu itu, Jupe," katanya sambil menuding. "Coba lihat, apa yang tertulis di situ."
Jupiter bergegas menuju batu makam yang dimaksudkan. Pete menyusulnya, dan mereka tiba serempak di batu yang menjadi tujuan. Ternyata permukaannya polos. Namun ketika mereka menemukan ke sebaliknya, keduanya tertegun. Di situ ada tulisan, bunyinya:
Di Sini Dikuburkan 13 Pengembara Tak Dikenal
Tewas Dibunuh Orang Indian 17 Juni 1876 "Tiga belas!" desah Pete. "Ternyata tiga severn menuju ke tiga belas. Cepat Jupe, masih apa lagi sisa pesan yang tinggal""
"Bagian enam bunyinya, 'Lihat di bawah batu di balik tulang untuk menemukan kotak tak berkunci'," kata Jupiter sambil membaca.
"Tapi batu yang mana"" tanya Pete bingung. "Di sini begitu banyak batu!"
"Kata pesan itu, 'di balik tulang'," kata Jupiter agak kesal. "Jadi tentunya bukan batu makam, karena batu begitu letaknya kan di atas makam. Bukan di balik!" Jupiter memandang berkeliling. "Aduh, kabut semakin tambah tebal saja! He - lihatlah! Di sana, di balik batu makam ini, dekat tembok itu ada setumpuk batu yang berasal dari tembok yang runtuh. Itu kan batu di balik tulang! Dan di sekitar sini cuma tumpukan batu itu saja yang ada. Jika kita periksa di bawahnya -"
Pete tidak menunggu lagi sampai Jupiter selesai bicara. Ia sudah lari menuju tumpukan batu besar-kecil yang nampak di kaki tembok. Dan begitu ia sampai di sana, ia langsung memindahkan batu-batu itu dan memeriksa apa yang ada di bawahnya.
"Ayo, Jupe, bantu aku," katanya tersengal-sengal. Tak banyak lagi waktu kita. Kabut yang datang nampaknya tebal sekali."
Sesaat kemudian kedua remaja itu sudah sibuk memindahkan batu dari tumpukan itu, membentuk tumpukan lain di tempat yang agak jauh. Makin lama semakin dalam mereka masuk di tengah tumpukan itu. "Aku paling senang melihat anak-anak muda yang tidak segan bekerja."
Tiba-tiba terdengar suara berlogat Perancis di belakang mereka. Pete dan Jupiter mendongak ke belakang. Dari balik kabut yang berputar-putar muncul Mr. Huganay, penjahat yang selalu perlente itu. Diikuti kedua kaki tangannya, Adams dan Lester yang berbadan kekar.
"Tapi kini sudah waktunya bagi kami untuk mengambil alih," kata Mr. Huganay sambil tersenyum memandang kedua remaja itu. "Kalian berdua - ringkus mereka!"
Pete dan Jupiter bergerak serempak, berusaha lari. Tapi sayang, gerak serempak itu ma
lah merugikan. Pete dan Jupiter saling menubruk, sehingga kedua-duanya jatuh terjengkang. Dengan mudah Adams menyambar pergelangan tangan mereka lalu memutarnya ke belakang punggung masing-masing.
"Bagus!" Huganay masih tetap tersenyum. "Tahan keduanya di situ, Adams. Kau, Lester, kau menyingkirkan batu-batu itu sampai kita berhasil menemukan si gadis gembala. Setelah perburuan kita berakhir nanti, kalian akan menerima upah yang kujanjikan sebagai imbalan."
Laki-laki jelek bertubuh kekar itu bekerja dengan bersemangat. Batu-batu disingkirkannya dengan mudah sekali, seperti melempar kerikil saja.
Sedang Pete dan Jupiter hanya bisa memandang tanpa daya. Mereka kecewa sekali. Dan juga sangat marah.
BAB 18 KEJAR-KEJARAN DALAM KABUT
KABUT semakin merapat, sementara Lester sibuk terus menyingkirkan batu. Ia bekerja serajin anjing yang sedang menggali tulang. Berturut-turut dicampakkannya ke belakang batu-batu kecil, potongan-potongan genting, sepotong pipa, ranting patah, serta kerikil bergenggam-genggam. Beberapa di antaranya mengenai Adams, yang langsung menjerit kesakitan.
"Hati-hati dong!" serunya.
"Kurangi semangat dan tambah ketelitian, Lester," kata Mr. Huganay yang berdiri sambil memperhatikan.
Pete dan Jupiter juga cuma bisa memperhatikan, karena tangan mereka masih tetap dicengkeram oleh Adams. Perasaan mereka getir, karena membayangkan nyaris berhasil menemukan harta itu, tapi akhirnya didului oleh seorang pencuri cerdik dari Eropa.
"Jangan sedih Nak," kata Huganay yang rupa-rupanya bisa menebak pikiran keduanya. "Bagaimana juga aku ini sudah pernah mengalahkan para penjaga museum Louvre di Paris, serta British Museum di London. Sedang kalian nyaris saja berhasil menipu aku tadi. Siasat memberangkatkan mobil tua kalian yang menyolok supaya orangku membuntutinya, sedang kalian ke sini naik truk, benar-benar gemilang."
Laki-laki itu tertawa kecil, lalu menyalakan kembali api cerutunya yang padam kena kelembaban kabut yang menyelubungi tubuhnya, dan nyala korek api menerangi mukanya yang kelihatan seram seperti setan.
"Dan memang ada orangku yang memata-matai kalian. Orang itu menelepon aku untuk melaporkan bahwa Rolls-Royce berangkat dengan kalian bertiga, dan bahwa ia akan membuntuti. Tapi dua puluh menit kemudian ia menelepon lagi. Katanya ketika ia menyusul mobil itu, ternyata satu dari kalian saja yang ada di dalamnya. Rupanya kalian berhasil menipunya. Saat itu kusadari bahwa kalian lawan yang setaraf, dan aku perlu bertindak cepat."
Mr. Huganay mengepulkan asap cerutunya. Sementara itu Lester masih menggali terus.
"Tentu saja aku sudah berhasil memecahkan teka-teki bagian pertama pesan John Silver yang cerdik itu," cerita Huganay pada Pete dan Jupiter. "Tapi tempat pekuburan suram ini belum kutemukan. Karena aku terpaksa harus bertindak cepat, aku lantas menelepon biro turis. Kantor itu punya daftar tempat-tempat seperti ini untuk keperluan para turis. Dan mereka ternyata bisa mengatakan padaku, di mana ada pekuburan yang alamatnya Baker Street 222 B. Dengan segera aku kemari. Ternyata tepat pada waktunya!"
Saat itu terdengar Adams mengumpat pelan. Rupanya terkena lagi batu yang dilempar oleh Lester. Huganay berseru pada laki-laki bertubuh kekar itu.
"Coba pindah sedikit ke samping, Lester! Waktu itu Silver sudah sakit. Jadi takkan mungkin mau repot menggali dalam-dalam."
Lester menurut. Dan sesaat kemudian nampak ia merenggut sesuatu dari sebelah bawah sebongkah batu. Benda itu disodorkannya pada Huganay.
"Berhasil!" katanya. "Ini kotaknya, Mr. Huganay!"
"Ah!" kata Huganay dengan puas. Diterimanya kotak pipih yang terbuat dari logam, yang bentuknya empat persegi panjang. Tutupnya terkunci dengan sebuah gembok kecil tapi kokoh. "Ukurannya sesuai," katanya sambil menilik benda itu. "Bagus, Lester!"
"Itu dia kotak yang menurut cerita Carlos selalu disembunyikan Mr. Silver di bawah kasur tempat tidurnya," gumam Jupiter dengan nada suram pada Pete.
Sementara itu Huganay tidak tinggal diam. Ia mengeluarkan tang dari kantongnya. Dengan sekali tekan saja ia sudah berhasil membuka gembok. Tangannya merogoh ke dalam ko
tak. "Kulihat sebentar saja," katanya. "Lukisan tua ini tidak boleh sampai rusak karena pengaruh kelembaban."
Tutup kotak dibuka olehnya. Saat itu juga terdengar ia berseru dengan marah. Lester segera mendekat untuk melihat apa sebabnya Huganay marah. Bahkan Adams pun tidak mau ketinggalan, ia datang sambil mendorong-dorong Pete dan Jupiter di depannya.
"Di sini cuma ada secarik kertas," kata Huganay. Napasnya memburu. "Ada tulisannya, 'Sayang, tapi ternyata Anda kurang teliti mempelajari petunjuk'."
"Siap, Jupe!" bisik Pete, ketika terasa pegangan Adams agak mengendor. Keduanya mengentakkan tangan dengan serentak. Pete yang dicengkeram tangan kiri orang itu, berhasil membebaskan diri. Tapi Jupiter tidak.
Pete jatuh telentang. Adams berpaling, sambil menyentakkan tangan Jupiter dengan kasar. Pete merasa tangannya menyentuh suatu benda keras dan panjang, lalu menggenggamnya. Setelah itu ia meloncat bangkit sambil mengayunkan pipa, yaitu benda yang dicengkeram olehnya. Pipa mengenai pundak Adams. Laki-laki itu terpekik kesakitan. Jupiter terlepas dari cengkeramannya.
Sambil memegang senjatanya, Pete menyambar lengan Jupiter lalu menyeret temannya itu, sementara ia melompat masuk ke tengah kabut. Mereka menuju ke balik sekelompok pohon ekaliptus yang ada di situ.
"Mereka pasti mengejar," bisik Pete di dekat telinga Jupiter. "Truk kita ada di sebelah sana."
Ia menuding ke suatu arah. Tapi Jupiter menggeleng. Baginya, di tengah kabut itu segala arah sama saja.
"Dari mana kau tahu"" tanyanya sangsi.
"Pokoknya aku tahu," jawab Pete. Dan mau tidak mau, Jupiter harus percaya saja. Pete memang harus diakui jago kalau disuruh mencari arah atau mengikuti jejak. Pada waktu malam pun Pete tidak bisa salah arah. Sedang Jupiter, di siang hari pun masih bisa tersesat.
"Sekarang dengar," kata Pete cepat-cepat. "Sepanjang jalan sampai ke tembok di mana kita tadi masuk ke sini, tumbuh pohon-pohon ekaliptus. Kita harus menyelinap dari pohon ke pohon."
"Nanti aku tersesat," kata Jupiter ngeri.
"Aku yang jalan dulu," kata Pete. "Aku bisa saja tinggal bersamamu. Tapi ketiga orang tadi kini kemari, jadi aku harus menyesatkan mereka dulu. Sementara itu kau terus bergerak dari pohon ke pohon. Jika kau sampai ke sebatang pohon, periksa apakah ada tanda rahasia kita. Kalau ada, kaulihat lagi tanda panah. Anak panah itu menunjukkan arah yang harus kautempuh. Dengan begitu kau takkan tersesat. Sekarang pergilah ke arah sana!"
Pete mendorong temannya yang gempal itu ke tengah kabut. Kemudian ia sendiri menuju ke arah lain, sambil berseru-seru. Ia sengaja berbuat begitu, supaya terdengar oleh Huganay beserta kedua anak buahnya.
"Ayo, Jupe, jangan jauh-jauh dari aku. Kita harus ke sini."
Ketiga orang yang menuju ke tempat kedua remaja itu tadi, terdengar mengarah ke tempat lain. Mereka berjalan sambil bicara, membuntuti suara Pete. Sementara itu Jupiter maju tersaruk-saruk. Berulang kali tulang keringnya membentur batu makam yang rendah. Akhirnya ia sampai ke rumpun pohon ekaliptus yang berikut. Ia berhenti di situ, sambil mendengarkan dengan seksama.
Keadaan sekelilingnya remang-remang. Rasanya saat itu seperti sedang di dalam air. Ia tidak bisa melihat lebih jauh dari satu sampai dua meter. Sedang kabut semakin menebal, kelabu dan lembab. Tapi ketika ia mendongak, ternyata di atas kepala kabut tidak begitu tebal. Sekitar sepuluh sampai lima belas meter dari tempatnya, nampak bayangan gelap. Mungkin itu puncak pepohonan. Jupiter tersaruk-saruk menuju ke sana.
Suara ketiga orang tadi kini tersebar. Ada yang datang dari sana dijawab dari sudut yang lain. Rupanya mereka tersesat. Sedang Pete - entah di mana kawan yang satu itu.
Jupiter sampai di kelompok pepohonan yang dilihat olehnya puncaknya tadi. Diperhatikannya batang-batang pohon itu dengan cermat. Pada sebatang di antaranya nampak sebuah tanda tanya yang dibuat dengan kapur tulis berwarna biru. Gambar anak panah yang ada di bawahnya menunjuk ke kiri.
Tanda tanya merupakan lambang Trio Detektif. Ketiga anggotanya masing-masing mengantongi kapur yang berlain-lainan warnanya. Gunanya untuk memberi tand
a, apabila ada yang hendak meninggalkan pesan rahasia pada rekan-rekannya.
Dalam hati saat itu Jupiter merasa senang, karena dialah yang mengilhami gagasan itu. Dengan langkah hati-hati ia menyelinap ke arah yang ditunjukkan anak panah.
Ia tiba di serumpun pohon ekaliptus lagi, di mana nampak gambar tanda tanya serta anak panah. Ternyata Pete ada di depannya. Di belakang Jupiter terdengar seseorang berteriak kesakitan. Rupanya tersandung pada sesuatu. Suara orang-orang itu semakin ketinggalan di belakang.
Tapi kabut semakin bertambah tebal. Segala-galanya nampak aneh dan menyeramkan. Dahan dan ranting seolah-olah menjelma menjadi lengan-lengan yang hendak mencengkeram. Tonggak-tonggak tinggi nampak seperti momok yang hendak menakut-nakuti.
Napas Jupiter sudah memburu, ketika akhirnya nampak bayangan tembok yang rendah di hadapannya. Tapi tiba-tiba dari balik tembok muncul sesosok tubuh yang menjangkau ke arahnya. Jupiter kaget, lalu menyentakkan diri ke belakang.
"Ini aku. Pete!" bisik sosok tubuh itu. "Ayo, pegang tanganku. Cepat!"
Jupiter menurut saja. Sekali ini bukan waktu baginya untuk main gengsi. Ia membiarkan diri dibantu kawannya menyeberangi tembok. Lalu kembali merintis kabut, sampai akhirnya sampai di dekat truk. Lampu kendaraan itu menyala.
"Kalian baik-baik saja"" tanya Konrad, sementara kedua remaja itu bergegas masuk ke dalam kabin.
"Kita pulang sekarang," kata Jupiter dengan napas tersengal-sengal. "Sebaiknya kita ke pedalaman dulu, lalu mencari jalan keluar dari kabut ini."
"Beres," kata Konrad. Truk dijalankannya dengan hati-hati ke arah timur, sampai mereka keluar dari selubung kabut.
BAB 19 BLACKBEARD MEMBUKA RAHASIA
PETE dan Jupiter diam saja, sementara truk meluncur dijalan raya. Setelah agak lama, akhirnya Jupiter membuka mulut.
"Setidak-tidaknya Mr. Huganay akan sulit mengejar kita, karena terhalang kabut." "Untuk apa kita dikejar olehnya"" tanya Pete "Lukisan itu kan tidak ada pada kita."
"Tapi mungkin saja ia mengiranya." Jupiter mencubiti bibir bawahnya. "Sama sekali tak tersangka-sangka, bahwa ketika akhirnya ditemukan, ternyata kotak itu isinya cuma sepucuk surat dari John Silver."
"Jika mereka sekarang mengejar kita," kata Pete, "di sini ada Konrad yang bisa menolong untuk menghadapi mereka." Sambil berkata begitu, diayun-ayunkannya potongan pipa yang masih digenggamnya terus sedari tadi. "Dan aku akan mendapat kesempatan mempergunakan senjata ini sekali lagi. Adams pasti takkan cepat melupakan pukulanku tadi."
"Kau tadi beraksi kayak sudah kuperkirakan," kata Jupiter. "Berani dan dengan perhitungan tepat." Pete diam saja, padahal cuping hidungnya kembang-kempis karena bangga. Jupiter jarang memberi pujian. Jadi kalau ada pujian dari dia, artinya juga besar sekali.
Namun sementara itu Jupiter sudah memikirkan soal lain lagi.
"Kita berhasil memecahkan teka-teki pesan John Silver," katanya. "Buktinya, kotak itu ditemukan. Tapi lukisan yang dicari, tidak ada di dalamnya."
"Satu bagian dari pesan itu berbunyi, 'Aku tak pernah memberi kesempatan adil bagi si tolol'," kata Pete mengingatkan. "Itu tandanya Mr. Silver masih menyuruh kita berpikir lebih lanjut."
"Mungkin juga," kata Jupiter. Setelah itu ia termenung. Dan Pete tidak mau mengganggu kawannya itu berpikir.
Sebelum masuk ke Rocky Beach, truk harus menembus kabut lagi. Tapi di situ kabut tidak setebal yang menyelubungi daerah sebelah selatan. Akhirnya mereka sampai di kompleks perusahaan Paman Jones tanpa mengalami kesulitan sedikit pun.
"Kita langsung saja ke Markas Besar," ajak Jupiter, setelah Konrad pergi untuk menaruh truk. "Kita harus menyampaikan laporan lengkap pada Bob."
Sekali ini keduanya masuk lewat jalan yang diberi nama Tiga Enteng menuju ke Markas, karena saat itu tak ada orang lain yang mungkin bisa melihat. Yang disebut Tiga Enteng itu sebuah pintu besar lengkap dengan bingkainya, yang tersandar ke setumpuk barang rombengan. Tapi ketika pintu sudah dibuka dengan anak kunci berkarat yang disimpan dalam sebuah panci tua yang sama sekali tidak menyolok, ternyata di balik pintu ada rongga. Rongga itu merupakan bagian sebela
h dalam dari sebuah bejana tua yang dulu dipakai untuk memasak air. Dan dari situ mereka memasuki sebuah pintu kecil, yang menuju ke dalam ruangan Markas Besar.
Bob Andrews ada di situ. Ketika kedua rekannya masuk ke dalam, nampak remaja itu sedang duduk sambil membaca. Tapi kesibukannya itu langsung dihentikan, begitu melihat Pete dan Jupiter muncul.
"Bagaimana - ketemu"" katanya setengah berteriak.
Tapi tanpa dijawab pun ia langsung tahu sendiri. Tampang kedua remaja itu yang kusut-masai serta lesu, serta tangan yang kosong kecuali sebatang pipa yang dipegang oleh Pete, sudah merupakan pernyataan jelas, bahwa ada sesuatu yang berjalan tidak semestinya.
"Kami tertangkap oleh Mr. Huganay tadi," kata Jupiter, lalu menjatuhkan diri ke kursinya.
"Tapi dia pun tidak berhasil menemukan lukisan itu," tambah Pete sambil duduk pula. "Kalau kotak itu, memang ditemukan. Tapi isinya cuma secarik kertas, di mana tertulis bahwa dia kurang teliti mempelajari petunjuk."
"Wah - gawat!" kata Bob. "Maksudmu, kita semua cuma dipermainkan saja oleh Mr. Silver" Dia pura-pura menyembunyikan lukisan itu - padahal tidak""
"Entahlah," kata Jupiter dengan murung. "Tapi kurasa tidak. Surat dalam kotak itu mengatakan, 'Sayang, tapi ternyata Anda kurang teliti mempelajari petunjuk'. Artinya ada sesuatu di antara petunjuk-petunjuk itu yang tidak kita perhatikan. Juga tidak oleh Mr. Huganay."
"Kan sudah kukatakan-" kata Bob. Tapi kalimatnya terputus, karena saat itu telepon berdering.
Ketiga remaja itu berpandang-pandangan. Sepanjang ingatan mereka, tak ada yang berjanji akan menelepon saat itu. Karena itu mereka membiarkan dulu.
"Mungkin Mr. Claudius," kata Jupiter kemudian, setelah telepon berdering sampai lima kali. "Lebih baik kuterima saja."
Diangkatnya gagang pesawat, lalu didekatkannya ke alat pengeras suara, supaya yang lain-lainnya juga bisa ikut mendengar.
"Halo," katanya. "Kantor Trio Detektif. Di sini Jupiter Jones."
"Selamat, Pemuda Jones," kata orang yang di seberang. Orang itu tertawa kecil. Ketiga anggota Trio Detektif berpandang-pandangan. Suara itu kentara sekali berlogat Perancis. Mr. Huganay!
"Siapa di situ"" tanya Jupiter. Ia sudah tahu siapa lawan bicaranya. Tapi ia hendak mengulur waktu, supaya bisa bersiap-siap menghadapi kemungkinan ancaman yang datang dan pencuri ulung itu.
"Aku orang yang kalian jumpai beberapa saat yang lalu di tengah kabut yang menyelubungi tempat yang menarik di Merita Valley," kata orang yang menurut suaranya pasti Mr. Huganay. "Aku cuma ingin memberi tahu, aku akhirnya berhasil mengetahui bagaimana aku ditipu oleh John Silver. Kalian benar-benar cerdas, bisa melihat apa yang tak kuperhatikan. Jadi - kini aku menghentikan perburuanku. Aku tahu kapan aku harus menyerah."
Suara itu berhenti sebentar.
"Kini aku berada di pelabuhan udara," sambungnya. "Jika pembicaraan kita selesai, aku akan langsung naik ke pesawat. Jadi kalian tidak bisa mengejar aku lagi. Ini merupakan kata salam terakhir dari seorang pemburu pada rekan-rekannya. Tolong sampaikan pada Claude, aku mengucapkan semoga ia berbahagia dengan gadis gembalanya."
"Terima kasih," kata Jupiter. Padahal ia sama sekali buta, tak tahu-menahu apa sebetulnya yang dimaksud Huganay dengan ucapan selamatnya.
"Kalian berhasil menipu aku," kata Mr. Huganay selanjutnya. "Tidak banyak orang yang bisa melakukannya. Kapan-kapan, jika kalian datang ke Eropa, jangan lupa mengunjungi aku. Kalian akan kuajak melihat-lihat dunia hitam di Perancis. Saat itu kalian mungkin akan mendapat kesempatan untuk beradu cerdik, memecahkan misteri di situ. Aku tidak sakit hati, jika kalian juga tidak mendendam. Setuju""
"Yah - baiklah," kata Jupiter, sambil mengejapkan mata ke arah rekan-rekannya. "Setuju!"
"O ya - masih ada satu hal lagi," sambung Mr. Huganay. "Burung-burung yang ada padaku, kusimpan di Santa Monica. Tepatnya dalam sebuah garasi di Ocean Street nomor 89958. Pasti kalian mau mengurus binatang-binatang itu. Aku sendiri tidak ada waktu lagi untuk kembali ke sana. Karena itu kupasrahkan saja tugas ini pada kalian. Nah - au revoir! Sampai jumpa, dan sekali lagi kuucap
kan selamat!" Pembicaraan selesai. Jupiter mengembalikan gagang pesawat telepon ke tempatnya. Setelah itu ia beserta kedua rekannya saling berpandangan.
"Kaucatat alamat tadi, Bob"" tanya Jupiter kemudian.
"Ya," jawab Bob. "Dengan begitu Billy dan Bo-Peep akan bisa kita kembalikan pada pemilik masing-masing. Tapi apa maksudnya tadi, ketika mengatakan bahwa kita berhasil menipunya""
"Padahal aku tadi cuma memukul Adams, menyambar lenganmu, Jupe, lalu langsung lari," kata Pete. "Kalau itu yang dimaksudkannya dengan menipu, wah -" Ia tertegun. "Ada apa, Jupe"" tanyanya. "Kenapa kau menatap aku dengan mata melotot""
"Bagaimana bunyi bagian keenam dari pesan John Silver"" tanya Jupiter dengan napas agak tertahan. Bob memberi jawaban.
'"Lihat di bawah batu di balik tulang untuk menemukan kotak tak berkunci'," katanya.
"Ya, betul," kata Pete menimbrung. "Dan memang di tempat itu Lester yang tukang pukul itu menemukan kotak Mr. Silver."
"Tapi yang ditemukannya kotak bergembok!" seru Jupiter. "Untuk membukanya, Mr. Huganay terpaksa merusak gembok itu. Sedang pesan itu jelas mengatakan, 'untuk menemukan kotak tak berkunci'."
"Ya, betul!" kata Pete setengah berteriak. "Mestinya ada lagi kotak lain - Tidak," bantahnya sendiri, "tidak mungkin. Kotak tadi besar ukurannya, walaupun pipih. Kalau di sana ada kotak lain, pasti kelihatan oleh Lester."
"Tapi bagaimana kalau kotak itu kecil"" kata Jupiter. "Kotak yang sama sekali tidak kayak kotak bentuknya. Bagaimana bunyi bagian ketujuh dari pesan John Silver""
'"Aku tak pernah memberi kesempatan adil bagi si tolol'," jawab Pete. "Kita sendiri mendengar Scarface mengucapkan kalimat itu. Ya kan, Bob""
"Betul," jawab Bob. "Tapi bukan itu saja yang diucapkan burung itu. Ia masih mengatakan, 'Dan itu gampang sekali'. Tapi ia memakai kiasan kuno. Nih, aku mencatatnya." Bob melirik catatannya sebentar. "Tepatnya Scarface mengatakan, 'And that's a leadpipe cinch'. "
"He -jangan-jangan bagian pertama dari kalimat itu tujuannya cuma untuk mengalihkan perhatian saja," terka Jupiter. "Sedang bagian terakhir mengarahkan perhatian pada satu benda tertentu. Benda yang pasti jelas, jika kita cukup teliti menyimak petunjuk."
Ditatapnya kedua rekannya.
"Apa itu yang tergeletak di atas meja di depanmu, Pete"" tanyanya kemudian. "Sepotong pipa," jawab Pete dengan segera. "Kaudapat di mana""
"Tadi kupungut di pekuburan, untuk memukul Adams dengannya," jawab Pete lagi.
"Dan pipa itu ada di situ, karena Lester menemukannya di bawah batu, lalu mencampakkannya ke dekatmu. Ya kan"" tanya Jupiter lagi.
Pete tidak mampu menjawab dengan kata-kata, karena lehernya serasa tersumbat. Ia mengangguk.
"Ya, ini pipa. Dan terbuat dari timah," kata Jupiter. Mata Bob mulai membesar. Pipa timah, dalam bahasa Inggris 'leadpipe '
"Dewasa ini pipa timah sudah tidak biasa dipakai lagi," sambung Jupiter. "Tapi coba perhatikan. Pada kedua ujungnya terpasang tutup yang disekerupkan rapat-rapat. Tujuannya supaya tidak ada yang bisa masuk ke dalam. Air, misalnya."
"Dan potongan pipa yang kedua ujungnya disumbat, bisa juga disebut kotak," kata Bob dengan suara lirih. "Dan tak berkunci. Tutup bukan kunci," sambut Pete.
"Kotak tak berkunci," kata Jupiter. "Dan tidak bisa berkarat, tidak bisa dimasuki apa saja. Sebuah kotak yang bisa bertahan sampai seabad, kalau perlu. Tempat sempurna untuk menyembunyikan sesuatu yang berharga. Dan kita membawanya kemari, tanpa sadar!"
Sementara itu Pete sudah sibuk. Ia berusaha membuka kedua tutup yang terpasang pada ujung-ujung pipa yang panjangnya sekitar empat puluh senti itu.
"Wah, terlalu keras," katanya setelah mencoba beberapa saat. "Terpaksa kuambil tang dari laboratorium."
Ia masuk ke dalam ruangan laboratorium yang merupakan bagian dari Markas Besar. Sesaat kemudian sudah kembali lagi.
"Kau yang membukanya," kata Jupiter padanya, "karena kau pula yang memungutnya tadi."
Ia dan Bob menahan napas, sementara Pete mulai membuka tutup pipa itu dengan tang. Akhirnya terbuka juga. Dengan segera Pete merogohkan jarinya ke dalam pipa. Ketika ditarik ke luar, jari-jarinya menjepit sesuatu yang kemudian ja
tuh ke atas meja. Selembar kain kanvas yang tergulung kecil.
"Kanvas," kata Jupiter dengan suara seperti tercekik. "Kanvas bisa digulung tanpa rusak. Dan kanvas yang lebar kalau digulung bisa dimasukkan dalam sebuah silinder yang garis tengahnya kecil. Buka gulungan itu, Pete."
Pete membuka kanvas yang tergulung, dan dibentangkannya di atas meja. Detik berikutnya, tiga pasang mata menatap kagum.
Kain kanvas itu berukuran sekitar empat puluh kali enam puluh senti. Pada satu sisinya nampak sesuatu lukisan. Ketiga remaja itu tidak tahu apa-apa tentang seni lukis. Tapi walau begitu mereka langsung sadar, lukisan itu sangat indah. Dan pasti sangat berharga pula! Lukisan gadis remaja berpakaian seperti penggembala, sedang merawat seekor anak domba yang kakinya cedera. Warna-warnanya menyala, indah sekali!
Trio Detektif berhasil menemukan kembali lukisan yang hilang.
"Sepotong ujung pelangi," kata Jupiter. "Begitu kalimat yang dipakai John Silver untuk melukiskannya. Sekarang aku mengerti maksudnya."
Burung beo yang terkantuk-kantuk dalam sangkar di atas kepala mereka terbangun, ketika mendengar kata-kata John Silver. Rupanya kata-kata itu membangkitkan salah satu ingatan. Blackbeard mengepakkan sayap dua kali, lalu bicara.
"John Silver," katanya serak. "Hebat! Hebat!"
Setelah itu dikepitkannya kembali kepalanya ke bawah sayap. Burung beo luar biasa itu tidur lagi. Tapi ketiga remaja yang masih tertegun menghadapi lukisan yang terbentang di atas meja, saat itu merasa seakan-akan baru saja mendengar suara seseorang yang sudah meninggal beberapa saat yang lalu. Mereka seakan-akan mendengar suara seseorang tertawa geli. Padahal Blackbeard sudah pulas lagi.
BAB 20 AKHIR PETUALANGAN DUA hari kemudian Bob, Pete, dan Jupiter masuk ke dalam ruangan kantor Alfred Hitchcock. Sutradara kenamaan itu duduk di belakang meja kerjanya, sambil meneliti beberapa lembar surat kabar. Begitu ketiga remaja itu masuk, mereka dipersilakan duduk olehnya.
"Silakan duduk dulu," kata Alfred Hitchcock. "Sebentar, kuselesaikan dulu membaca koran."
Ketiga remaja itu duduk sambil menunggu. Setelah beberapa saat, Mr. Hitchcock menaruh surat kabar ke atas meja. Lalu ditatapnya ketiga remaja yang duduk di depannya dengan pandangan bertanya.
"Yah!" katanya. "Kalian kuminta tolong mencari burung nuri temanku yang hilang. Tapi ternyata kalian malah menemukan suatu lukisan antik yang hilang, dan tampang kalian dimuat dalam surat kabar."
"Cuma surat kabar kota kami saja, Sir, " kata Jupiter dengan hormat. "Sedang surat kabar yang besar-besar di Los Angeles cuma memuat berita bahwa beberapa remaja menemukan lukisan itu di bawah tumpukan batu di pekuburan Merita Valley."
"Walau begitu, ini pun sudah hebat," kata Mr. Hitchcock, sambil menunjukkan surat kabar Rocky Beach News. "Ini fotomu, Jupiter Jones, serta mobil yang kaumenangkan dalam salah satu sayembara. Lalu foto kalian bertiga memegang lukisan yang kalian temukan. Disertai kepala berita, 'Tiga Penyelidik Remaja Rocky Beach Menemukan Lukisan Hilang'. Pasti nama Trio Detektif sudah cukup terkenal karenanya."
"Betul, Sir, " kata Jupiter sependapat. "Karena berita-berita itu, kini kami sudah beberapa kali menerima tawaran tugas. Apa saja yang kita terima, Bob""
Dengan cekatan Bob Andrews mengambil buku catatannya.
"Kubacakan sebentar," katanya pada Jupiter. "Seekor anak kucing Siam yang hilang. Patung Dewa Pan yang dicuri dari sebuah kebun di Hollywood. Sebuah perahu tua yang kayak hantu hanya muncul pada malam-malam berkabut, dan selalu mendarat di depan satu rumah tertentu di Pantai Malibu. Lalu misteri yang menyangkut seseorang yang kerjanya selalu menukar-nukar nomor tiga buah tertentu di Rocky Beach. Itu yang masuk sampai sekarang."
Mr. Hitchcock cuma bisa menggeleng-geleng saja.
"Aku benar-benar kagum jika membayangkan misteri apa saja yang akan kalian hadapi nanti, jika kalian sudah mulai menangani persoalan sebanyak itu. Tapi coba ceritakan padaku hal-hal yang tidak ikut dimuat dalam koran. Karena aku tahu, awal mula kejadian ini kan ketika kalian mencari burung nuri Mr. Fentriss yang hilang. Tapi soal it
u sendiri tidak dilaporkan dalam surat kabar."
"Soalnya, karena Mr. Claudius tidak menghendakinya," jawab Jupiter. "Kata dia, nanti menimbulkan kesan tak masuk akal. Kecuali itu - Ah, lebih baik saya mulai dari awalnya."
Mr. Hitchcock mendengarkan dengan penuh perhatian, sementara Jupiter menceritakan petualangan mereka bertiga. Ketika selesai, sutradara itu mengangguk.
"Jadi akhirnya kalian berhasil mengembalikan nuri, memecahkan teka-teki pesan misterius, serta menemukan lukisan antik yang kemudian kalian kembalikan pada Mr. Claudius," kata Mr. Hitchcock menarik kesimpulan.
"Betul, Sir, " kata Jupiter. "Tentu saja nasib kami juga sedang beruntung." Pengakuan itu diucapkannya dengan segan-segan. Tapi Jupiter anaknya jujur.
"Nasib untung hanya ada gunanya, apabila kalian tahu memanfaatkannya," kata Mr. Hitchcock menasehati. "Jadi kalian sudah mengembalikan Billy Shakespeare pada kawanku Malcolm Fentriss, dan Little Bo-Peep pada Miss Waggoner""
"Ya, Sir, " kata Jupiter. "Keduanya sangat gembira ketika menerima kesayangan mereka itu dalam keadaan selamat. Mr. Claudius masih sempat menjelaskan duduk perkara sebenarnya, dan ia juga minta maaf atas perbuatannya terhadap mereka. Baik Mr. Fentriss maupun Miss Waggoner mau memaafkannya."
"Yah - kalau begitu lain kali aku bersedia membantu kalian dalam kasus-kasus penyelidikan selanjutnya," kata Mr. Hitchcock. "Asal yang cukup menarik."
"Wah, terima kasih, Sir!" seru Jupiter, disusul oleh ucapan serupa dari mulut Bob dan Pete. Setelah itu Detektif Pertama langsung bangkit. "Yuk, kita harus mulai bekerja lagi."
Tambahan dari Alfred Hitchcock:
Ada beberapa hal dalam kasus ini yang masih perlu dipaparkan. Aku saja yang melakukannya, karena Pete, Bob, dan Jupiter sudah sibuk lagi dengan penyelidikan lain.
Mr. Claudius, laki-laki gendut pencinta lukisan itu, sudah kembali ke Inggris. Ia membawa pulang lukisan antik yang berhasil ditemukan kembali untuknya oleh Trio Detektif. Untuk itu ia sebenarnya hendak menyerahkan uang sebanyak seribu dollar pada mereka, sebagai hadiah seperti yang sudah dijanjikan. Tapi Jupiter menolaknya. Katanya, yang harus mendapat hadiah sebenarnya adalah Carlos serta Paman Ramos.
Dengan uang sebanyak itu, Paman Ramos pulang ke Meksiko. Di sana ia tinggal di kampung asalnya, beristirahat untuk memulihkan kesehatan. Sedang Carlos diperkenalkan oleh Trio Detektif pada Worthington, yang kemudian mengajak remaja itu ke Rent n Ride Auto Rental Agency, perusahaan penyewaan mobil yang memiliki Rolls-Royce yang dipakai oleh Jupiter dan kedua rekannya karena memenangkan sayembara. Di perusahaan itu, Carlos diberi pekerjaan sebagai pencuci mobil. Dalam waktu luangnya, ia belajar untuk menjadi montir mobil. Carlos merasa bahagia karena bisa bekerja mengurus mobil. Ia menumpang di rumah keluarga Jones. Sebagai imbalan, sekali seminggu ia bekerja di tempat penimbunan barang rombengan.
Mr. Huganay, pencuri lukisan yang ulung itu, masih bebas berkeliaran di Benua Eropa. Tapi di beberapa negara, ia dicari-cari polisi. Pasti hidupnya tidak bisa tenang! Sedang Lester dan Adams menerima ganjaran yang sepatutnya. Mereka ditinggal pergi oleh Huganay, tanpa dibayar sepeser pun. Dengan begitu mereka akhirnya sadar, kejahatan bukan pekerjaan baik.
Jupiter masih tetap agak keras kepala dan terlalu percaya pada diri sendiri. Tapi aku yakin ia akan mampu menanggulangi segala kekurangannya itu, berkat kecerdasan serta kebijaksanaannya. Ya - sudah sepantasnya jika aku memilih tugas penyelidikan selanjutnya bagi Trio Detektif. Dan setiap perkembangan menarik pasti akan kuceritakan pada kalian.
Salamku, Alfred Hitchcock tamat Peristiwa Merah Salju 8 Dewa Arak 80 Misteri Gadis Gila Tusuk Kondai Pusaka 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama