Trio Detektif 01 Misteri Puri Setan Bagian 1
MISTERI PURI SETAN Alfred Hitchcock Download Ebook Jar Lainnya Di
http://mobiku.tk http://inzomnia.wapka.mobi
CATATAN BAGI PEMBACA: Kalian tidak diharuskan membaca sepatah kata pun dari kata pengantar ini.
Alfred J. Hitchcock "Kata Pengantar Kelihatannya selalu ada saja yang harus saya beri kata pengantar. Saya sudah bertahun-tahun memberi kata pengantar pada programa televisi saya di Amerika Serikat. Berbagai film, yang menghidangkannya juga saya, Saya pun telah memperkenalkan bermacam'-macam buku kisah misteri, cerita hantu dan kisah tegang, yang menegakkan bulu roma orang yang membacanya.
Kini lagi-lagi saya harus menghidangkan kata pengantar. Saya akan memperkenalkan tiga sekawan remaja, Mereka ini menamakan diri mereka Trio Detektif. Kerja mereka keluyuran naik mobil Rolls-Royce mewah bersepuh emas, menyelidiki misteri, teka-teki, pokoknya kejadian-kejadian yang serba membingungkan. Dasar gila-gilaan!
Terus terang saja, saya sebetulnya lebih senang apabila tidak ada urusan dengan ketiga remaja itu. "Tapi sudah terlanjur berjanji akan memperkenalkan mereka. Sedang saya ini selalu menepati janji walau janji itu mereka peroleh dengan jalan licik. Nanti kalian akan tahu sendiri bagaimana cara mereka memperolehnya,
Saya perkenalkan saja mereka sekarang. Ketiga remaja yang menamakan diri mereka Trio Detektif terdiri dari Bob Andrews, Pete Crenshaw dan Jupiter Jones. Ketiga-tiganya tinggal di Rocky Beach, sebuah kota kecil di tepi Samudra Pasifik, tidak jauh dari Hollywood.
Bob Andrews bertubuh kecil tapi ulet. Potongan ilmuwan. tapi dengan semangat petualangan, Sedang Pete Crenshaw, bertubuh jangkung dan kekar. Lalu Jupiter Jones - Ah, lebih baik tidak saya katakan saja pendapat pribadi saya tentang remaja ini. Kalian sendiri sajalah yang nanti menarik kesimpulan mengenai dirinya, apabila telah selesai dengan buku ini. Sedang saya hanya akan mengemukakan fakta-fakta yang ada.
Karena itu, walau saya cenderung mengatakan Jupiter Jones itu gendut, tapi di sini saya mengatakan bahwa ia bertubuh gempal. Kawan-kawannya berpendapat begitu. Ketika masih kecil, Jupiter Jones pernah ikut dalam suatu serial televisi. mengenai segerombolan anak-anak yang kocak. Untung saja saya tidak pernah melihat serial itu. Tapi ketika masih bayi ia begitu gemuk dan lucu, sehingga dijuluki Baby Fatso - Bayi Gendut. Berjuta-juta pirsawan terpingkal-pingkal melihat dia saban kali tersandung pada apa saja yang ada di dekatnya.
Ini menyebabkan Jupiter kemudian benci sekali kalau ditertawakan. la lantas belajar dengan kerajinan luar biasa, supaya jangan sampai dianggap remeh oleh orang-orang. Mulai saat bisa membaca, segala macam bacaan ditelannya, Sains, ilmu jiwa, kriminologi - jadi ilmu pengetahuan tentang kejahatan - dan masih banyak lagi pengetahuan lainnya. Daya ingatnya sangat baik. Hal-hal yang pernah dibaca, sebagian besar diingat olehnya. Karena itu para guru di sekolah berpendapat, lebih baik menghindarkan perdebatan dengan dia mengenai persoalan yang menyangkut fakta. Soalnya, mereka sudah terlalu sering akhirnya harus mengaku salah.
Jika sampai di sini kalian menarik kesimpulan bahwa Jupiter Jones agak sok aksi - saya setuju dengan kalian. Tapi saya dengar, dia punya banyak kawan yang setia. Yah, begitulah anak muda selera mereka aneh!
"Sebetulnya masih banyak lagi yang bisa saya ceritakan mengenai dirinya, serta mengenai kedua remaja temannya. Saya bisa menceritakan bagaimana Jupiter memenangkan hak memakai mobil bersepuh emas dalam suatu sayembara. Saya juga bisa bercerita bagaimana ia menjadi terkenal di tempat kediamannya karena berhasil menemukan barang-barang hilang, termasuk binatang kesayangan yang minggat. Saya bisa
Tapi saya rasa, saya sudah memenuhi kewajiban. Saya telah lebih dari sekedar memenuhi janji. Jika kata pengantar ini tidak kalian lampaui saja, kalian sekarang pasti lebih senang daripada saya bahwa kata pengantar ini selesai.
"Salam, Alfred Hitchcock "Bab 1 TRIO DETEKTIF
"Bob Andrews masuk ke rumah, setelah menyandarkan sepedanya di luar. Begitu ia menutup pintu, terdengar suara ibunya memanggil
dari dapur. "Kaukah itu, Robert""
"Ya, Bu." Bob pergi ke pintu dapur. Ibunya, seorang wanita bertubuh langsing dan berambut coklat, sedang sibuk membuat kue donat.
"Bagaimana di perpustakaan tadi"" tanya Mrs. Andrews.
Baik-baik saja," jawab Bob. Jawabannya selalu begitu, karena suasana di perpustakaan tidak pernah berubah. Selalu tenang. Bob di samping bersekolah, menyambi bekerja di situ. Tugasnya menyortir kembali buku-buku yang dikembalikan dan membantu penyusunan daftar buku.
Tadi temanmu, Jupiter, menelepon," kata ibunya lagi, sambil terus menggiling adonan kue.
"Ia meninggalkan pesan untukmu."
"Apa katanya"" seru Bob bersemangat.
"Aku tadi mencatatnya. Ada dalam kantongku. Nanti sebentar, kuselesaikan dulu adonan ini.
"Masa tidak ingat apa yang dikatakannya! Mungkin ia memerlukan aku dengan segera.''
""Kalau pesan biasa, bisa kuingat," jawab ibunya, "tapi Jupiter tadi tidak meninggalkan pesan yang biasa, Membingungkan!"
"Jupiter memang suka pada kata yang aneh-aneh," kata Bob, ia berusaha menekan rasa tidak sabarnya, "Ia banyak sekali membaca, dan kadang-kadang pembicaraannya agak sulit dimengerti."
"Huh! Bukan cuma kadang-kadang saja!" tukas ibunya. "Anak itu sangat luar biasa. Sampai sekarang aku masih belum bisa mengerti, bagaimana ia bisa menemukan cincin kawinku."
Mrs, Andrews menyinggung kejadian musim gugur sebelum itu, yaitu ketika cincin kawinnya hilang. Kebetulan Jupiter Jones datang. Pada Mrs. Andrews dimintanya agar menceritakan segala hal yang diperbuat pada hari cincin itu hilang. Setelah Mrs. Andrews selesai bercerita, Jupiter langsung pergi ke sepen, yaitu bilik tempat menyimpan bahan makanan. Ia meraihkan tangannya ke atas rak, meraba-raba di belakang sederet botol berisi acar tomat. Dan ketika tangannya itu ditarik kembali, ia sudah memegang cincin kawin yang hilang. Ternyata ibu Bob melepaskannya dan menaruh di situ, ketika mencuci botol-botol itu sebelum dipakai.
"Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana ia bisa menebak cincinku ada di tempat itu, " kata Mrs. Andrews.
"Kurasa ia tidak bisa menebak, tapi menarik kesimpulan," kata Bob menjelaskan. "Begitulah cara otaknya bekerja,.. Bu, tidak bisa sekarang juga Ibu mengambil pesannya""
"Sebentar lagi," jawab ibunya, sambil menggiling terus adonan supaya semakin tipis, "0 ya - bagaimana persisnya kabar yang dimuat pada halaman depan koran kemarin, mengenai Jupiter memenangkan hak pemakaian sedan Rolls-Royce selama tiga puluh hari""
"Ah - itu suatu sayembara yang diadakan sebuah perusahaan penyewaan mobil, yaitu Rent" n-Ride Auto Rental Company, kata Bob menjelaskan. "Perusahaan itu meletakkan sebuah bejana besar yang penuh berisi kacang buncis di jendela etalase mereka. Mereka menjanjikan hadiah pemakaian Rolls-Royce lengkap dengan supir bagi siapa yang berhasil paling dekat menerka jumlah tepat kacang buncis dalam bejana itu, dan ternyata Jupiter menang....Aduh, Bu - tidak bisa sekarang saja catatan pesan itu ibu ambil dari kantong""
"Baiklah," kata ibunya, lalu membersihkan tepung yang melekat di tangannya, "Tapi sekarang mau apa Jupiter dengan sedan Roll-Royce yang lengkap dengan supir, biarpun cuma untuk tiga puluh hari""
"Begini, Bu. Kami berniat -"
Bob sebenarnya hendak menjelaskan, tapi Ibunya sama sekali tidak memperhatikan ia menyerocos sendiri.
"Sekarang ini segala macam barang bisa dimenangkan," katanya. "Aku bahkan membaca "berita tentang seorang wanita yang memenangkan hadiah dalam suatu acara televisi, Hadiahnya rumah perahu, Padahal ia tinggal di gunung. Jelas saja wanita itu bingung, tidak tahu mau diapakan hadiah itu." Sambil bicara, Mrs. Andrews mengeluarkan secarik kertas dari kantongnya. .
"Ini dia pesannya," katanya. "Di sini kutulis: "Gerbang Hijau Satu, Mesin cetak sudah mulai bekerja. "
"Wah! Terima kasih, Bu," seru Bob sambil bergegas pergi. Di ambang pintu ia tertegun sesaat, karena dipanggil ibunya. .
"Robert! Apa lagi arti pesan itu" Jupiter memakai bahasa sandi, ya""
"Ah, tidak. Itu bahasa Inggris yang biasa, Bu. Aku harus cepat-cepat pergi. Bu!"
Bob bergegas ke luar, menyambar sepedanya lal
u cepat-cepat menuju ke Jones Salvage Yard .
Kalau sedang naik sepeda, penopang kakinya nyaris tak terasa mengganggu sama sekali. Alat itu dipasang ke kakinya oleh Dr. Alvarez sebagai akibat kecelakaan yang dialami olehnya ketika sedang mencoba seorang diri mendaki salah satu bukit dekat Rocky Beach. Kota itu sendiri terletak di daerah yang datar, diapit Samudra Pasifik pada satu sisi, dan Pegunungan Santa Monica pada sisi yang satu lagi.
Kalau dibilang gunung, mungkin ada yang menilai agak rendah. Tapi sebagai bukit, tinggi sekali! Ketika terjadi kecelakaan itu, Bob jatuh terguling-guling di lereng yang tingginya sekitar seratus lima puluh meter. Kakinya patah di berbagai tempat. Rekor baru dalam kasus patah kaki, kata orang di rumah sakit. Tapi walau begitu Dr. Alvarez mengatakan bahwa penopang kakinya tidak akan dipakai untuk selama-lamanya, apabila kakinya sudah sembuh sama sekali. Sekarang pun penopang itu pada umumnya tidak dirasakan terlalu mengganggu. Cuma kadang-kadang saja menjengkelkan.
Bob sampai di 'Jones Salvage Yard', yang letaknya sedikit di luar pusat kota. Tempat itu dulunya bernama 'Jones's Junkyard', sampai akhirnya Jupiter berhasil membujuk pamannya agar menukar nama itu. Lebih gengsi, katanya, Kalau Junkyard berarti 'Tempat Rombengan', 'Salvage Yard' artinya lebih mentereng, Bisa ditafsirkan sebagai Tempat Barang Bekas dan Antik'! Dan kini yang diperjualbelikan di situ bermacam-macam barang unik di samping barang bekas yang biasa. Orang biasa berdatangan ke situ, kalau memerlukan sesuatu yang tidak bisa diperoleh di tempat jauh. Kadang-kadang bahkan ada yang sengaja datang dari jauh untuk pergi ke situ.
Tempat itu mengasyikkan bagi setiap anak laki-laki, dan mungkin juga anak perempuan. Coraknya yang luar biasa sudah kelihatan dari jauh, yaitu dengan melihat pagar papan yang mengelilingi. Untuk mengecatnya, paman Jupiter memakai cat dengan bermacam-macam warna, yang diborongnya sebagai barang bekas yang tidak "terpakai lagi. Beberapa seniman setempat membantu Mr. Jones mengecat pagar itu, karena paman Jupiter itu selalu menghadiahkan barang-barang bekas yang mereka perlukan, tanpa meminta bayaran.
Sebagai hasilnya, pagar papan itu nampak luar biasa sekali. Seluruh bagian depannya merupakan gambar pemandangan, Ada pepohonan dan bunga, danau yang hijau dengan angsa berenang-renang di situ. Ada pula pemandangan laut dengan ombak yang biru. Sedang sisi-sisi lainnya, dihiasi dengan gambar-gambar lainnya lagi. Rasanya tidak ada pagar tempat jual-beli barang rombengan yang kelihatannya begitu meriah seperti pagar itu.
"Bob melewati gerbang depan. yang dilengkapi dengan sepasang pintu besar dari besi, yang didapat dari pekarangan gedung yang terbakar habis. Bob bersepeda hampir seratus meter lebih jauh, lalu berhenti dekat pojok pekarangan. Pagar di situ dihiasi dengan gambar laut berombak hijau, serta kapal layar bertiang dua yang terombang-ambing dilanda badai. Bob turun dari sepedanya, tepat di depan dua lembar papan pagar yang dicat hijau. Tempat itulah yang dijadikan pintu masuk pribadi oleh Jupiter, dengan penamaan Gerbang Hijau Satu, Bob mencocok mata seekor ikan yang muncul dari air memandang perahu layar yang nyaris tenggelam. Kedua papan hijau langsung terangkat ke atas.
"Bob mendorong sepedanya melewati celah sempit di pagar. Setelah itu kedua papan diturunkannya kembali. Ia sudah berada dalam pekarangan tempat penjualan barang bekas, di sudut yang oleh Jupiter dijadikan bengkel. Tempat itu terbuka, kecuali atap selebar kira-kira dua meter yang terpasang sepanjang sisi dalam pagar, Mr. Jones menaruh barang-barang yang masih baik di bawah atap itu.
Ketika Bob masuk ke bengkel, Jupiter Jones sedang duduk di sebuah kursi putar yang sudah tua. Ia menggigit-gigit bibir, tanda otaknya sedang bekerja keras, Pete Crenshaw sibuk dengan sebuah mesin cetak kecil. Alat itu dulunya dibeli Mr. Jones dalam keadaan rusak. Jupiter kemudian mengutak-utiknya, sampai akhirnya bisa dipakai lagi.
Mesin cetak itu bergerak mundur-maju, berdentang-dentang. Pete yang jangkung dan berambut coklat sibuk meletakkan
kartu-kartu berwarna putih, lalu mengambilnya lagi. Itulah arti pesan Jupiter yang disampaikan lewat Mrs. Andrews. Mesin cetak sudah mulai bekerja, dan ia memanggil Bob agar datang lewat Gerbang Hijau Satu.
Ketiga anak itu tidak bisa dilihat dari kantor perusahaan yang terletak di dekat gerbang utama. Bibi Mathilda juga tidak. Ia bibi Jupiter, istri Mr. Jones, Wanita itu bertubuh besar. Ialah yang sebenarnya menjalankan perusahaan itu. Orangnya baik hati dan peramah, Tapi begitu melihat ada anak di dekatnya, pikirannya selalu cuma satu. Suruh anak itu bekerja!
Dalam usahanya membela diri dari rongrongan bibinya, dari saat ke saat Jupiter mengatur tumpukan barang bekas, sehingga akhirnya tumpukan itu menutupi bengkelnya. Kini ia serta kedua kawannya bisa merasa aman, apabila tidak memang sedang benar-benar diperlukan untuk membantu bibi atau pamannya.
Sementara Bob menaruh sepeda, Pete menghentikan mesin cetak. Disodorkannya selembar kartu yang baru selesai dicetak pada Bob.
"Coba lihat ini!" katanya,
Kartu yang disodorkannya itu kartu nama perusahaan. Di atasnya tertera:
"TRIO DETEKTIF "Kami menyelidiki segala-galanya"
" " " Penyelidik Pertama - Jupiter Jones
Penyelidik Kedua - Peter Crenshaw
Catatan dan Riset - Bob Andrews
""Wah - gaya mek!" kata Bob kagum, "Jadi kau sudah memutuskan untuk memulainya, Jupe"
"Kita kan sudah lama ngomong ingin membuka biro penyelidikan," kata Jupiter. "Sekarang setelah aku memenangkan hak memakai mobil Rolls-Royce siang-malam selama tiga puluh hari, kita bisa bebas pergi ke mana saja mencari kejadian-kejadian misterius. Karena itu kuputuskan untuk mulai saja. Sekarang kita resmi menjadi Trio Detektif.
"Selaku Penyelidik Pertama, aku yang berwenang di bidang perencanaan. Lalu Peter sebagai Penyelidik Kedua, memimpin semua aktivitas yang memerlukan tenaga jasmani. Kau, Bob, karena "saat ini agak terhalang kemampuanmu untuk mengikuti orang yang dicurigai atau memanjat pagar - pokoknya segala jenis pekerjaan yang memerlukan kelincahan - maka kau menangani tugas penelitian yang mungkin diperlukan dalam menghadapi kasus-kasus nanti. Kau juga bertugas mencatat segala-galanya yang kita lakukan."
"Aku sih setuju saja," kata Bob. "Pengalamanku di perpustakaan akan sangat membantu dalam tugasku itu,"
"Penyelidikan gaya modern memang banyak memerlukan kegiatan riset," kata Jupiter. ''Tapi kau kulihat memandang kartu perusahaan kita dengan cara yang begitu aneh. Kalau aku boleh bertanya, kenapa""
"Ah, tidak apa-apa! Cuma ini - ketiga tanda tanya ini," kata Bob, "maunya untuk apa""
"Sudah kutunggu pertanyaanmu itu," kata Pete, "Kata Jupe, kau pasti akan bertanya, Semua orang akan menanyakannya,"
"Tanda tanya merupakan tanda yang dikenal di mana-mana dan melambangkan sesuatu yang tidak diketahui," kata Jupiter dengan lagak sok tahu, "Kita siap-siaga menyelidiki dan memecahkan setiap teka-teki, misteri atau hal-hal membingungkan, yang diajukan siapa saja pada kita. Karenanya tanda tanya menjadi lambang usaha kita. Tiga tanda tanya yang bergabung, akan selalu berarti Trio Detektif."
Bob menyangka Jupiter sudah selesai dengan penjelasannya. Sesaat ia lupa macam apa temannya itu. Jupiter sebenarnya baru mulai.
"Tambahan pula, tanda tanya akan merangsang minat," sambungnya. "Ketiga tanda tanya itu akan menyebabkan orang bertanya apa artinya. Persis seperti yang baru saja kaulakukan! Dengan bantuan tanda tanya itu, orang akan ingat pada kita. Itu berarti publisitas! Setiap usaha memerlukan publisitas, supaya bisa menarik calon langganan."
"Hebat," kata Bob. Dikembalikannya kartu yang dipegangnya ke tumpukan kartu yang telah selesai dicetak oleh Pete. "Sekarang kita sudah punya perusahaan. Tinggal kasusnya saja yang harus datang, untuk diselidiki:'
Pete menatap Bob dengan sikap gagah,
"Bob," katanya, "kasus itu sudah ada!"
"Maaf, perlu kubetulkan," sela Jupiter, ia meluruskan sikap sambil merapatkan geraham. Kalau ia sudah begitu, tampangnya yang biasanya seperti bulan purnama karena bundarnya, langsung nampak lebih lonjong. Ia langsung kelihatan lebih dewasa. Jupiter bisa menimbulka
n kesan agak gendut, apabila sikapnya tidak ditegakkan.
"Sayangnya, masih ada satu rintangan kecil," sambungnya. "Memang sudah ada satu kasus, yang rasanya bisa kita pecahkan dengan mudah. Tapi kita belum menerima order untuk menanganinya."
"Kasus apa itu"" tanya Bob bersemangat.
"Kau tahu kan, siapa Mr. Hitchcock"" tanya Pete. Nah, Mr. Alfred Hitchcock saat ini sedang mencari sebuah rumah, yang benar-benar ada hantunya. Ayahku yang mendengar kabar itu, di studio." Ayah
Pete, Mr. Crenshaw, ahli 'special-effects'. Ini istilah film, televisi dan radio, Seorang ahli 'special-effects', tugasnya membuat tiruan kejadian-kejadian alam dan fantasi dalam studio, Misalnya saja membuat hujan, kilat, derap kaki kuda dan lain-lainnya. Tentu juga menciptakan bayangan hantu! Mr. Crenshaw bekerja di salah satu studio film di Hollywood, beberapa mil dari Rocky Beach.
"Rumah berhantu"" tanya Bob dengan kening berkerut. "Bagaimana. caranya memecahkan rumah berhantu""
"Bukan rumahnya yang kita pecahkan," kata Jupiter dengan nada agak kesal. "Rumah itu kita selidiki, apakah benar-benar berhantu atau tidak. Publisitas kasus itu akan menyebabkan nama kita dikenal orang, sehingga Trio Detektif setelah itu bisa mulai berkembang:'
"Cuma Mr. Hitchcock tidak menyuruh kita menyelidiki rumah berhantu untuk keperluannya itu," kata Bob. "Dan itu yang kausebut rintangan kecil""
"Kita harus mendesaknya agar menugaskan kita," kata Jupiter, "Itu langkah berikut."
""Ya, tentu saja," kata Bob dengan nada menyindir. "Kurasa menurutmu kita langsung saja memasuki ruangan kantor salah seorang sutradara yang paling termasyhur, lalu mengatakan padanya, 'Anda memanggil kami, Sir"'"
"Perinciannya agak meleset, tapi gagasannya kurang lebih begitulah," kata Jupiter. "Aku sudah menelepon Mr. Hitchcock, untuk bertemu dengan dia."
"Kau meneleponnya"" tanya Pete. Ia melongo, persis seperti Bob, "Dan dia bilang mau ketemu dengan kita""
"Tidak, kata Jupiter mengaku. "Sekretarisnya tidak memberi kesempatan padaku untuk bicara sendiri dengan dia,"
"Bisa kubayangkan," kata Pete.
"Sekretaris itu bahkan mengatakan, jika kita berani mendekati Mr. Hitchcock, ia akan memanggil polisi supaya kita ditahan," sambung Jupiter.
"Ternyata musim panas ini sekretaris Mr. Hitchcock sedang cuti. Penggantinya untuk sementara seorang gadis yang pernah bersekolah di Rocky Beach sini. Ia beberapa kelas lebih tinggi dari kita. Tapi kalian pasti masih ingat pada dia, Namanya Henrietta Laron."
"Henrietta yang sok mengatur itu!" seru Pete. "Tentu .saja aku ingat padanya!"
Ya, ya - aku juga ingat, ia dulu suka membantu-bantu guru, dan menyuruh-nyuruh anak-anak yang lebih kecil dari dia," kata Bob.
"Wah, kalau Henrietta Larson sekarang menjadi sekretaris Mr. Hitchcock, sudahlah - kita lupakan saja rencana itu! Biar tiga harimau pun, takkan mampu lewat kalau Henrietta yang menghalangi."
"Justru rintangan yang membuat hidup ini menarik," kata Jupiter. "Besok pagi kita semua berangkat dengan mobil baru kita ke Hollywood, untuk mengunjungi Mr. Hitchcock."
"Dan memberi kesempatan pada Henrietta untuk memanggil polisi supaya kita ditahan"" teriak Bob, "Aku tidak mau! Lagi pula, aku besok sibuk sehari penuh di perpustakaan."
"Kalau begitu aku dan Pete saja yang pergi. Nanti akan kutelepon perusahaan penyewaan mobil, untuk mengatakan bahwa mobil yang kumenangkan akan mulai kupakai besok pagi, jam sepuluh. Dan kau, Bob," kata Jupiter menambahkan, "karena kau toh akan terus berada di perpustakaan besok, coba kaucari keterangan mengenai ini dalam kumpulan surat kabar dan majalah-majalah tua."
Jupiter menuliskan dua patah kata di balik salah satu kartu nama perusahaan mereka, lalu menyodorkan kartu itu pada Bob. Bob membacanya, lalu menelan ludah beberapa kali. Matanya menatap kedua patah kata itu. Terror Castle', Puri Kengerian, atau lebih enak kalau dikatakan: Puri Setan!
"Baiklah, Jupe - kalau kau menugaskan begitu," katanya.
Trio Detektif mulai beraksi," kata Jupiter. Tampangnya kelihatan puas. "Jangan lupa, kalian harus selalu mengantongi beberapa lembar kartu perusahaan kita, se
bagai tanda pengenal. Dan besok semua harus menunaikan tugas, biar apa pun tugas itu!"
Bab 2 WAWANCARA PENTING "Keesokan paginya, Jupiter dan Pete sudah menunggu-nunggu di depan gerbang besi yang besar dari tempat pengumpulan barang-barang bekas, jauh sebelum. saat mobil Rolls-Royce direncanakan akan tiba di situ, Keduanya memakai pakaian mereka yang terbaik. Setelan necis dengan kemeja putih serta dasi. Rambut dibasahi dan disisir rapi. Muka mereka yang coklat terbakar sinar matahari, pagi itu nampak bersih berkilat-kilat karena digosok bersih-bersih dengan sabun. Bahkan kuku tangan mereka pun berkilauan karena disikat.
Tapi ketika mobil besar yang ditunggu-tunggu akhirnya datang, ternyata kilauannya mengalahkan mereka. Mobil itu Rolls-Royce model antik, dengan lampu sorot depan sebesar gendang serta kap yang panjang sekali. Karoserinya berbentuk persegi empat, mirip kotak Tapi semua bagian tambahan - termasuk pegangan pintu dan bumper - berlapis emas, berkilau-kilauan kena cahaya matahari. Karoseri yang dicat hitam nampak begitu mengkilat, mirip cermin licinnya.
"Astaga," bisik Pete dengan kagum, ketika mobil itu meluncur ke arah mereka. "Kelihatannya kayak mobil yang biasa dipakai miliarder berumur seratus sepuluh tahun!"
"Rolls-Royce itu mobil termahal di Dunia," kata Jupiter. Dan yang ini spesial dibuat atas pesanan seorang Arab raja minyak yang tinggi seleranya. Sekarang dipakai oleh perusahaan penyewaan mobil untuk keperluan reklame.
Mobil itu berhenti di dekat mereka. Dengan tangkas pengemudinya keluar. Orang itu langsing dan jangkung, Tingginya lebih dari satu meter delapan puluh.. Mukanya lonjong, nampaknya ramah. Ia membuka topi seragamnya, lalu menyapa Jupiter.
"Master Jones"" katanya dengan logat Inggris yang kentara sekali. "Saya Worthington, supir Anda."
"Ah - eh, apa kabar. Mr. Worthington," kata Jupiter agak tergagap. "Harap panggil saya Jupiter saja, seperti biasa,"
"Wah, Sir - Anda harus menyapa saya dengan Worthington saja," kata laki-laki jangkung itu dengan paras agak kikuk. "Kebiasaannya begitu. Dan menurut kebiasaan pula, saya harus menyapa majikan dengan cara agak resmi. Anda sekarang majikan saya, dan saya ingin mempertahankan adat kebiasaan."
"Baiklah - kalau kebiasaannya memang begitu, Worthington," kata Jupiter.
"Terima kasih, Sir. Mulai sekarang saya serta mobil ini tersedia untuk Anda selama tiga puluh hari."
""Tiga puluh hari, yang masing-masing terdiri dari dua puluh empat jam," kata Jupiter. "Begitulah perumusan hadiah sayembara:'
"Tepat, Sir," Worthington membukakan pintu belakang. "Silakan masuk, Sir
"Terima kasih." kata Jupiter sambil masuk ke dalam mobil bersama Pete. "Tapi Anda tidak perlu membukakan pintu - kami kan masih muda, jadi bisa membuka pintu sendiri."
"Kalau Anda tidak keberatan, Sir," jawab Worthington, "saya ingin memberikan segala pelayanan seperti yang seharusnya saya lakukan. Sebab kalau tidak, saya khawatir saya akan teledor di masa depan."
"O, begitu." Jupiter merenung sesaat, sementara Worthington mengambil tempat di belakang setir. Lalu Jupiter berkata lagi. Tapi adakalanya kami harus cepat-cepat masuk atau keluar, Worthington. Mungkin kami tidak sempat menunggu Anda membukakan pintu dulu. Bagaimana jika keluar-masuk sendiri, kecuali pada awal dan akhir perjalanan""
''Baiklah, Sir." Lewat kaca spion kelihatan bahwa supir orang Inggris itu tersenyum. "Itu penyelesaian yang sangat baik."
"Eh, kami mungkin tidak sebegitu anggun seperti orang-orang yang pernah Anda supiri," kata Jupiter berterus terang. "Dan ada kemungkinan pula kapan-kapan kami harus pergi ke tempat-tempat yang agak aneh .... Barangkali ini bisa membantu menjelaskan maksudku. Jupiter menyodorkan kartu usaha Trio Detektif pada Worthington. Orang itu mempelajari kartu itu dengan serius.
"Saya rasa saya mengerti sekarang, Sir," katanya kemudian, "Dan saya merasa senang menghadapi tugas ini. Asyik, sekali-sekali menjadi supir anak muda yang berjiwa petualang. Tapi petualangan dalam arti kata baik, Sir," katanya buru-buru menambahkan, "Penumpang saya belakangan ini kebanyakan su
dah agak tua, dan sangat hati-hati. Ke mana kita sekarang, Sir""
Pete dan Jupiter senang sekali bergaul dengan supir yang ramah itu.
"Kami ingin pergi ke World Studios, di Hollywood," kata Jupiter. "Kami hendak mengunjungi Mr. Alfred Hitchcock. Saya - anu - saya kemarin sudah meneleponnya.
"Baik, Master Jones."
Sesaat kemudian mobil mewah itu sudah meluncur di jalan yang melintas bukit-bukit, menuju ke Hollywood. Worthington menoleh sebentar, untuk mengatakan, "Masih perlu saya katakan, di mobil ini tersedia pesawat telepon serta minuman untuk keperluan Anda."
''Terima kasih," kata Jupiter. Sikapnya sudah berubah, Bergaya, sesuai dengan sikap penumpang mobil yang begitu. Ia membuka sebuah kotak kecil yang ada di depannya, dan meraih pesawat telepon yang ada di situ. Alat komunikasi itu juga berlapis emas. Tapi tidak diperlengkapi dengan cakram nomor. Yang ada cuma tombol tekan.
Ini telepon mobil," kata Jupiter pada Pete. Kalau mau bicara, tombol ini harus ditekan lalu minta pada operator agar disambungkan dengan nomor yang hendak kita hubungi. Tapi sekarang kita belum memerlukannya. Dengan agak menyesal, Jupiter mengembalikan pesawat telepon ke tempatnya, lalu duduk dengan santai. Kelihatan bahwa ia sebenarnya kepingin sekali bergaya, menelepon dari mobil.
Perjalanan itu menyenangkan, tapi tanpa ada kejadian apa-apa. Tidak lama kemudian sudah sampai di daerah perkantoran kota Hollywood. Ketika sudah hampir sampai ke tujuan, Pete mulai nampak gelisah.
"Jupe," katanya, "coba kauceritakan, bagaimana kita nanti bisa melewati gerbang studio. Kau kan tahu betul, studio-studio semuanya bertembok tinggi dengan penjaga, yang gunanya untuk mencegah supaya orang-orang seperti kita ini tidak bisa masuk. Kita takkan mungkin bisa menerobos ke dalam."
"Aku sudah punya siasat," kata Jupiter. "Mudah-mudahan saja bisa jalan, karena kelihatannya kita sudah sampai.
Rolls-Royce mewah itu meluncur di jalan yang dipagari tembok tinggi. Tembok itu sangat panjang, tempat dua blok disita semua dengannya. Di atas tembok terpasang papan nama dengan tulisan besar-besar. WORLD STUDIOS. Nampak jelas tembok itu ada di situ untuk satu tujuan saja. Untuk mencegah sembarang orang bisa masuk, seperti kata Pete.
Di bagian tengah tembok ada gerbang besi yang tinggi. Gerbang itu terbuka pintunya, Seorang laki-laki berpakaian seragam duduk dalam sebuah rumah kecil di sampingnya, Worthington membelokkan Rolls-Royce, masuk ke gerbang. Seketika itu juga penjaga yang di situ meloncat bangun.
"He, nanti dulu!" teriak orang itu. Mau ke mana""
Worthington menginjak rem.
"Anda punya kartu pas"" tanya penjaga.
"Kami tidak memerlukannya, karena Master Jones sudah menelepon Mr. Hitchcock," jawab Worthington.
Itu memang benar, Jupiter sudah menelepon Mr. Hitchcock, walau tidak dijawab.
"Oh." "Penjaga gerbang menggaruk-garuk kepala dengan sikap sangsi. Saat itu Jupiter membuka jendela, lalu menjulurkan kepala ke luar.
" My good man," katanya menyapa penjaga gerbang. Pete menoleh dengan kaget, karena tahu-tahu Jupiter berbicara dengan logat asli Inggris. Pete belum pernah mendengar Jupiter berbicara dengan logat yang begitu. Rupanya selama itu ia berlatih secara sembunyi-sembunyi, la mengulangi sapaannya, My good man, kenapa kita tertahan di sini""
""Astaga!" bisik Pete pada dirinya. Ia tahu, semasa kecilnya dulu Jupiter pernah menjadi aktor televisi. Ia pun tahu, Jupiter sangat berbakat dalam meniru gaya orang. Tapi yang ini belum pernah dipamerkannya.
Jupiter menggembungkan pipinya. Bibirnya dikerucutkan sedikit ke depan, sementara ia memandang penjaga itu dengan hidung agak terangkat. Saat itu Jupiter mirip sekali tampangnya dengan Alfred Hitchcock. Tentu saja Hitchcock yang masih muda dan agak kurang ajar, tapi walau begitu kemiripannya sangat menyolok.
"Anu - saya perlu tahu, siapa yang hendak mengunjungi Mr. Hitchcock," kata penjaga dengan gugup,
"Begitu, Sekali lagi Jupiter menatap dengan sikap angkuh, "Kurasa aku perlu menelepon pamanku."
Diambilnya pesawat telepon yang berlapis emas. Tombol penghubung ditekan, lalu ia meminta agar dis
ambungkan pada nomor yang disebutkan olehnya. Jupiter menyebutkan nomor telepon di "Jones Salvage Yard". Ia memang benar-benar menelepon pamannya.
Penjaga gerbang melihat sekali lagi mobil mewah itu, Dilihatnya Jupiter memegang gagang telepon berlapis emas.
"Ah - tuan masuk sajalah," katanya dengan cepat. "Nanti saya teleponkan bahwa Anda dalam perjalanan,"
" Terima kasih," kata Jupiter. "Kita terus, Worthington.
Mobil bergerak lagi. Jupiter duduk lagi dengan santai, sementara kendaraan yang ditumpangi membelok masuk ke suatu jalan kecil. Di kiri kanan jalan terbentang halaman rumput hijau dipagari pohon palem. Nampak rumah kecil-kecil tapi indah berjejer-jejer di situ. Lebih jauh lagi nampak atap melengkung dari studio-studio besar tempat membuat film dan rekaman televisi. Sejumlah pemain dengan kostum beraneka ragam berduyun-duyun ke arah salah satu studio itu.
Walau mereka kini sudah berada di dalam kompleks studio, Pete masih tetap belum membayangkan bagaimana rencana kawannya agar bisa ketemu dengan Mr. Hitchcock. Tapi ia tidak sempat lama gelisah, karena Worthington sudah menghentikan mobil di depan sebuah rumah besar. Seperti kebiasaannya di berbagai studio film, masing-masing sutradara diberi tempat tersendiri, di mana mereka bisa bekerja tanpa diganggu orang lain. Di depan rumah itu terpasang papan dengan tulisan rapi: ALFRED HITCHCOCK.
"Tunggu kami di sini, Worthington," kata Jupiter pada supir itu, yang bergegas membukakan pintu, "Aku belum tahu akan berapa lama kami di sini."
"Baik, Sir." Jupiter berjalan mendului, menaiki jenjang yang cuma satu, melewati pintu dan masuk ke ruang penerimaan tamu yang sejuk karena ada alat pengatur hawa di situ. Seorang gadis berambut pirang duduk di belakang meja. Ia baru saja meletakkan gagang telepon kembali ke tempatnya. Pete semula tidak mengenali Henrietta Larson yang sudah dewasa. Tapi ia langsung ingat lagi, begitu gadis itu membuka mulut.
"Jadi ternyata kau berhasil juga masuk!" tukas Henrietta, ia menatap Jupiter Jones, sambil bercekak pinggang. "Kau pura-pura keponakan Mr. Hitchcock, ya! Nah, kita lihat saja sekarang, betapa cepatnya polisi studio menyingkirkan dirimu dari sini!"
Pete sudah lesu saja melihat gadis itu meraih gagang telepon lagi. Tapi Jupiter tidak secepat itu gentar.
''Tunggu!'' katanya. "Tunggu apa lagi"" tanya Henrietta sambil mencibir. "Kau masuk ke mari karena menipu penjaga gerbang, mengaku keponakan Mr. Hitchcock -"
"Itu tidak benar," Pete merasa perlu membela teman, "Penjaga itu yang keliru menarik kesimpulan."
"Kau jangan ikut campur:" kata Henrietta memperingatkan Pete. "Jupiter Jones ini pengganggu ketenteraman umum, dan aku bermaksud menyingkirkannya dari sini."
Sekali lagi Henrietta siap untuk berbicara lewat telepon, Dan sekali lagi Jupiter Jones membuka mulut.
" Tidak baik jika tergesa-gesa bertindak, Miss Larson," katanya. Pete kaget, karena Jupiter kembali berbicara dengan logat Inggris yang tadi. Dan sesaat tampangnya juga berubah, nampak seperti yang tadi menyebabkan penjaga gerbang terkesan, ia nampak mirip Alfred Hitchcock yang masih muda belia.
"Saya rasa Mr. Hitchcock pasti berminat untuk melihat peragaan bakat akting saya," kata Jupiter. Gagang telepon terlepas dari pegangan Henrietta, gadis itu mendongak dengan cepat.
"Kau -" katanya terbata-bata, seakan-akan kehabisan perkataan, Tampangnya nampak berrtambah galak. "Ya, Jupiter Jones, aku yakin Mr. Hitchcock ingin melihat peragaanmu itu.
"Ehem! Miss Larson -"
Jupiter dan Pete berpaling dengan cepat, mendengar suara itu yang datangnya dari belakang mereka. Bahkan Henrietta pun kelihatan kaget. Mereka menatap Alfred Hitchcock yang berdiri di ambang pintu kantor.
"Ada apa, Miss Larson"" tanya Mr. Hitchcock, "Dari tadi saya menekan bel, memanggil Anda."
"Ini - pemuda ini punya sesuatu, yang menurutnya pasti menarik minat Anda, kata Henrietta Larson.
"Maaf, hari ini saya tidak bisa. menerima siapa-siapa," jawab Mr. Hitchcock. "Suruh dia pergi."
Saya yakin Anda pasti mau melihat ini, Mr. Hitchcock." kata Henrietta mendesak. Ada sesuatu
dalam nada suara gadis itu yang menimbulkan perasaan tidak enak, pada diri Pete. Dan Mr. Hitchcock juga menangkap nada itu rupanya, karena ia memandang Pete dan Jupiter dengan heran, Kemudian ia mengangkat bahu.
Baiklah. Kalian ikut aku.
Sambil berkata begitu ia berpaling, lalu menuju ke sebuah meja kerja yang lebar sekali. Kalau dibilang sebesar lapangan tenis, rasanya tidak terlalu berlebih-lebihan! Sesampai di situ, ia lantas duduk di sebuah kursi putar. Jupiter dan Pete tegak di depannya, sementara Henrietta menutup pintu.
"Nah - sekarang apa yang harus kulihat" Aku cuma bisa memberikan waktu lima menit," kata Mr. Hitchcock,
Ini yang hendak saya perlihatkan pada Anda. Sir," kata Jupiter dengan sopan, sambil menyodorkan selembar kartu nama Trio Detektif.
Saat itu Pete baru sadar bahwa Jupiter sedang melaksanakan rencana aksi yang sudah disiapkan olehnya. Dan kelihatannya siasat itu kena. ,Mr. Hitchcock menerima kartu yang disodorkan, lalu mengamat-amatinya,
Hmm, jadi kalian ini penyelidik rupanya," kata sutradara tenar itu, "Kalau aku boleh bertanya, apa artinya ketiga tanda tanya ini" Apakah artinya kalian menyangsikan kemampuan kalian sendiri""
"Bukan begitu, Sir," jawab Jupiter. "Itu tanda pengenal kami, dan merupakan lambang pertanyaan yang perlu dijawab, serta misteri yang harus dipecahkan. Kecuali itu juga untuk menimbulkan keinginan tahu, sehingga orang-orang ingat pada kami."
"Ah, begitu." Mr. Hitchcock mendehem. "Kalian gemar publisitas."
"Usaha takkan bisa maju, jika tidak dikenal orang," kata Jupiter menerangkan pertimbangannya.
Ucapan yang tidak bisa dibantah," kata Mr. Hitchcock sependapat. Tapi bicara tentang usaha, kau belum menyebutkan kalian mau apa kemari."
"Kami ingin mencarikan rumah berhantu bagi Anda, Sir.
Rumah hantu"" Alis Alfred Hitchcock terangkat ke atas, menunjukkan keheranannya. "Apa yang menyebabkan kau mengira aku mencari rumah hantu""
"Kalau tidak salah, Anda memerlukan sebuah rumah yang benar-benar ada hantunya, untuk dipakai sebagai lokasi dalam film tegang yang hendak Anda buat, Sir," kata Jupiter. "Dan Trio Detektif ingin membantu mencarikannya untuk Anda."
"Alfred Hitchcock terkekeh pelan.
"Saat ini dua orangku sedang mencari-cari tempat yang cocok untuk keperluan itu," katanya kemudian, "Seorang mencari di timur, tepatnya di kota Salem, Massachusetts, Dan seorang lagi di Charleston, South Carolina. Kedua tempat itu banyak tempat angkernya. Besok kedua orang itu akan pergi ke Boston dan New Orleans. Aku yakin salah seorang dari mereka pasti akan berhasil mencarikan lokasi yang cocok bagiku."
"Tapi jika kami bisa menemukan rumah yang cocok di sini, Sir, di California, bagi Anda akan lebih mudah," kata Jupiter,
"Wah, sayang, tapi aku tidak bisa menerima tawaran itu, Nak," kata Mr. Hitchcock.
"Kami tidak meminta pembayaran untuk itu, Sir," kata Jupiter lagi. "Tapi detektif-detektif yang kenamaan, semuanya ada orang yang menuliskan kisah pengalaman mereka. Sherlock Holmes, Ellery Queen, Hercule Poirot - semuanya, Sir! Saya menarik kesimpulan, itulah sebabnya mereka bisa menjadi terkenal. Jadi agar para calon nasabah bisa tahu tentang Trio Detektif, semua kasus kami akan dijadikan cerita oleh ayah patner kami yang satu lagi, Bob Andrews. Ia bekerja di salah satu surat kabar."
"Lalu"" Alfred Hitchcock melirik arlojinya,
"Begini, Mr. Hitchcock - menurut saya, jika Anda bersedia menulis kata pengantar untuk kisah kasus kami yang pertama -"
"Tidak bisa! Nanti pada saat kalian ke luar, tolong katakan pada Miss Larson agar datang."
"Baik, Sir." Dengan tampang lesu, Jupiter berpaling lalu menuju ke pintu, diikuti oleh Pete.
Tapi sebelum sampai di pintu, Alfred Hitchcock memanggil.
"Nanti dulu." "Ya, Sir""
Keduanya berpaling, Mr. Hitchcock menatap keduanya dengan kening berkerut.
""Tiba-tiba aku teringat lagi, kalian belum lengkap menjelaskan keperluan kalian kemari. Apa tepatnya yang kata Miss Larson tadi pasti perlu kulihat" Sudah jelas bukan kartu nama perusahaan kalian."
"Begini, Sir," kata Jupiter segan-segan, "saya bisa menirukan bermacam-macam orang dan ia berpendapat
Anda tentu ingin melihat saya menirukan Anda sebagai remaja."
"Menirukan diriku semasa remaja dulu"" Suara sutradara tenar itu memberat. Air mukanya menjadi suram, Apa tepatnya yang kaumaksudkan""
"Ini, Sir. Sekali lagi muka Jupiter seakan-akan berubah. Suaranya memberat dan bicaranya berlogat Inggris,ia sudah menjelma menjadi orang lain.
''Terpikir olehku," katanya dengan nada suara yang sudah berubah itu, "pada suatu ketika nanti Anda mungkin memerlukan seseorang yang memainkan diri Anda semasa remaja untuk salah satu film, dan jika begitu -"
Kening Mr. Hitchcock berkerut. Tampangnya masam,
"Jelek! Hentikan dengan segera!" tukasnya,
Tampang Jupiter kembali ke aslinya lagi, "Menurut Anda, tidak mirip"" tanyanya. "Maksud saya, mirip Anda sewaktu remaja dulu""
"Sudah jelas tidak! Aku dulu remaja biasa yang baik-baik, sama sekali tidak seperti karikatur kasar yang baru saja kautampilkan!"
""Kalau begitu saya harus lebih banyak berlatih lagi," kata Jupiter sambil mengeluh. "Menurut kawan-kawan, yang tadi itu bagus sekali."
"Aku tidak mau kau meniru-nirukan diriku! bentak Alfred Hitchcock, "Aku sama sekali tidak mau kautirukan! Jika kau berjanji takkan pernah melakukannya lagi, aku...hhh, sialan, sialan!...aku akan menuliskan kata pengantar kisah apa pun yang ditulis mengenai kasus kalian!"
"Terima kasih, Mr. Hitchcock!" kata Jupiter "Jadi Anda mengehendaki kami menyelidiki rumah-rumah hantu untuk Anda""
"Ya, ya, ya, - carilah, kalau kalian begitu kepingin! Tapi aku tidak berjanji akan memakainya, juga apabila kalian nanti berhasil. Sekarang keluar, sebelum aku kehilangan kesabaranku, Aku tidak senang melihat remaja seperti dirimu. Kau ini terlalu banyak akal, Anak muda!"
Jupiter dan Pete bergegas ke luar meninggalkan Alfred Hitchcock yang tetap duduk sambil merenung.
Bab 3 DATA TENTANG TERROR CASTLE
"Bob Andrews mendorong sepedanya menghampiri Gerbang Hijau Satu. Napasnya terengah-engah. Saat itu sudah agak sore. Sialan, kenapa harus pada saat begitu bannya bocor, umpatnya dalam hati.
Bob mendorong sepedanya masuk ke dalam pekarangan tempat penimbunan barang bekas itu. Di kejauhan terdengar suara Mrs. Jones berbicara dengan lantang. Rupanya ia sedang mengawasi pekerjaan Hans dan Konrad, kedua pembantu suaminya,
Jupiter dan Pete tidak ada di bengkel. Tapi itu udah diduga oleh Bob. Ia pergi ke belakang mesin cetak. Di situ digeserkannya oleh sepotong kisi-kisi besi yang sudah tua, yang kelihatannya seperti kebetulan saja disandarkan pada kaki sebuah meja bubut. Di belakang kisi-kisi itu ada pipa seng yang besar dan panjang, Bob menyusup masuk ke dalam pipa itu, lalu mengembalikan kisi-kisi tadi ke tempat semula, Setelah itu ia merangkak-rangkak secepat dimungkinkan kakinya yang cedera menyusur dalam pipa. Jalan yang dilaluinya itu "Terowongan Dua", salah satu jalan rahasia untuk masuk ke "Markas Besar". Jalan itu berujung pada sebuah panel dari kayu. Bob mendorong panel itu ke atas. Ia sudah sampai dalam Markas Besar.
Yang disebut Markas Besar itu sebetulnya sebuah karavan yang panjangnya sepuluh meter. Titus Jones membelinya tahun sebelumnya dalam keadaan rusak berat karena kecelakaan. Kemudian ternyata karavan itu tidak bisa dijual olehnya, karena karoserinya penyok-penyok. Karenanya ia mengizinkan Jupiter memakainya, untuk dijadikan kantor.
Sejak itu sudah banyak sekali berbagai jenis barang bekas yang ditumpukkan oleh ketiga remaja itu di luarnya, dengan bantuan Hans dan Konrad. Kini karavan itu sudah tidak kelihatan lagi, karena tersembunyi di balik tumpukan batang baja, sepotong tangga besi begitu pula kayu dan bahan lain yang bertumpuk-tumpuk.
Mr. Jones rupa-rupanya sudah tidak ingat lagi pada karavan itu. Dan hanya Jupiter, Pete dan Bob saja yang tahu bahwa karavan yang tersembunyi dengan baik itu kini sudah menjadi sebuah kantor yang serba lengkap, dengan laboratorium kecil serta kamar gelap, begitu pula berbagai jalan masuk yang tersembunyi.
Ketika Bob muncul dari pipa seng, Jupiter sedang duduk di sebuah kursi putar bekas yang sudah diperbaiki, di belakang meja yang ujungnya hangus karena ter
bakar. Semua peralatan yang ada di Markas Besar merupakan barang bekas yang telah diperbaiki sehingga bisa dipakai kembali. Pete Crenshaw duduk menghadapi Jupiter di seberang meja.
Kau agak lambat datang," kata Jupiter, seolah-olah Bob sendiri tidak menyadarinya.
Banku tiba-tiba kempes." Napas Bob masih terengah-engah. Tertusuk paku besar, ketika baru saja keluar dari perpustakaan."
"Ada yang berhasil kautemukan""
"Tentu saja! Aku bahkan terlalu banyak menemukan data tentang rumah berhantu itu. Namanya Terror Castle!"
Terror Castle!" seru Pete, la bergidik, "Tak enak rasanya mendengar namanya."
Tunggu dulu," potong Bob, "kau sama sekali belum mendengar tentang keluarga yang terdiri dari lima orang, yang pernah mencoba tidur di sana semalam, Sejak saat itu mereka tidak -"
"Mulai dari awal," pinta Jupiter. "Sebutkan fakta-faktanya secara berurutan."
"Oke". "Bob membuka sebuah sampul besar berwarna coklat yang dibawanya. "Tapi sebelumnya perlu kuceritakan, Skinny Morris sepanjang pagi tadi tidak bosan-bosannya mondar-mandir di belakangku, berusaha mengintip apa yang sedang kulakukan waktu itu."
"Mudah-mudahan kau tidak memberi kesempatan pada si konyol itu untuk mengetahui apa pun juga," tukas Pete. "Dia itu, selalu saja mau tahu apa yang kita lakukan."
""Sudah jelas aku tak mengatakan apa-apa padanya. Tapi anak itu ngototnya ampunan! Ketika aku tiba di perpustakaan, ia mencegat aku karena ingin menanyakan tentang mobil yang dimenangkan hak pemakaiannya selama tiga puluh hari oleh Jupe. Ia menanyakan pendapatku, apa yang hendak kaulakukan dengannya, Jupe."
"Ah, Skinny kan cuma kesal, karena ingin menjadi satu-satunya di sekolah yang punya mobil." kata Jupiter. "Coba ayahnya tidak terdaftar sebagai penduduk negara bagian yang sudah mau memberikan surat izin mengemudi pada anak-anak yang masih ingusan, Skinny takkan bisa menyupir mobilnya sendiri - jadi sama saja kayak kita semua! Mulai sekarang ia tidak bisa sok aksi lagi terhadap kita.
"Pokoknya selama aku tadi sibuk di perpustakaan, ia terus saja memperhatikan aku mengambil segala majalah dan koran tua yang kuperlukan guna mengumpulkan informasi bagimu, Jupe," kata Bob dengan kening berkerut. "aku tidak memberi kesempatan padanya untuk ikut melihat apa yang sedang kubaca, tapi -"
"Ya"" desak Jupiter, Penyelidik Pertama.
"Kau masih ingat kan, kartu perusahaan kita yang kautulisi perkataan 'Terror Castle', ketika kau menyuruhku menyelidiki segala-galanya yang bisa kuketahui tentang tempat itu""
"Lalu kau menggeletakkan kartu itu sementara kau sedang sibuk meneliti daftar majalah dan koran, dan kemudian tidak bisa menemukannya kembali," kata Jupiter.
Mata Bob terkejap beberapa kali,
Trio Detektif 01 Misteri Puri Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dari mana kau tahu"" tanyanya heran,
"Kalau kartu itu tidak hilang, kau takkan menyinggung-nyinggungnya," kata Jupiter. "Dan tempat paling wajar di mana kau bisa kehilangan kartu itu, tentunya di perpustakaan, sewaktu kau sedang menilik kartu daftar majalah."
"Ya, memang begitulah kejadiannya," kata Bob. Kurasa aku pasti meninggalkannya di atas meja waktu itu. Aku tidak yakin apakah Skinny Norris yang mengambil, tapi sewaktu ia pergi kemudian, cengirannya mencurigakan!"
"Saat ini kita tidak punya waktu dengan Skinny Norris, karena ada urusan lain yang penting," kata Jupiter, Ceritakan apa saja yang berhasil kauselidiki."
"Beres." Bob mengeluarkan sejumlah kertas dari sampul yang dibawanya.
"Pertama-tama, Terror Castle terletak dalam sebuah ngarai kecil yang sempit di atas Hollywood, di Black Canyon," katanya, "Nama sebenarnya Terrill's Castle, karena yang membangun seorang bintang film bernama Stephen Terrill. Semasa film bisu, ia bintang yang terkenal sekali. Ia biasa main dalam film-film seram, tentang hantu pengisap darah, jadi-jadian dan sebangsanya, Rumahnya dibangun seperti puri angker yang pernah dibangun sebagai lokasi salah satu filmnya. Puri itu diisinya penuh dengan pakaian zirah kuno, peti-peti mumi dari Mesir serta macam-macam lagi barang menyeramkan yang pernah dipakai dalam berbagai film di mana ia main sebagal peran utama. "
"Hmm, menarik, sela Jup
iter. Tergantung dari apa yang menarik," kata Pete, "Lalu apa yang kemudian terjadi dengan Stephen Terrill""
"Aku justru hendak menceritakannya sekarang," kata Bob. "Stephen Terrill dulu tersohor dengan julukan 'Manusia dengan Sejuta Wajah'. Tapi kemudian film bicara tercipta. Dan ketahuan, Terrill suaranya tinggi dan cempreng. Kecuali itu lidahnya juga pelat.
"Hebat!" sela Pete. Tokoh hantu yang mendesis-desis kalau bicara dengan suara tinggi. Para penonton pasti setengah mati, bukan karena takut - tapi geli!"
"Persis itulah yang terjadi," kata Bob Andrews. "Akhirnya Stephen Terrill patah semangatnya. la berhenti main film. Semua pelayannya diberhentikan. Bahkan sahabat karibnya, seseorang bernama Jonathan Rex, yang juga merangkap sebagai managernya, disuruhnya pergi, Stephen Terrill mengasingkan diri. Surat-surat dan telepon dari teman-teman dibiarkannya tak terbalas. Ia bertapa seorang diri dalam purinya. Lambat laun ia dilupakan orang.
"Nah! Pada suatu hari ditemukan rongsokan mobil di suatu tempat, sekitar dua puluh lima mil di sebelah utara Hollywood. Mobil itu rupanya jatuh dari jalan raya, terbanting ke dasar tebing. Nyaris masuk ke laut."
"Tapi apa hubungannya dengan Stephen Terrill"" sela Pete.
"Berdasarkan penyelidikan polisi terhadap nomor mobil yang mengalami kecelakaan itu, ternyata pemiliknya Terrill," kata Bob menjelaskan. Mereka tidak berhasil menemukan tubuhnya, tapi itu tidak mengherankan. Mungkin terseret ombak pada saat pasang naik."
"Aduh!" Tampang Pete nampak serius. "Apakah ia sengaja menjatuhkan diri dengan mobilnya ke bawah""
"Itu tidak bisa diketahui dengan pasti," kata Bob. Tapi ketika polisi pergi ke Black Canyon untuk memeriksa di sekitar puri, mereka menemukan pintunya terpentang lebar. Tapi tidak ada siapa-siapa di situ. Ketika mereka memeriksa tempat itu, ditemukan surat tertancap di meja di perpustakaan. Pada surat itu tertulis -" Bob melihat catatannya sebentar, "'Walau dunia takkan melihat diriku lagi dalam keadaan hidup, tapi arwahku akan tetap berada di tempat ini. Tempat ini terkutuk untuk selama-lamanya'. Dan surat itu bertanda tangan 'Stephen Terrill'."
"Huhh!" desah Pete, Keringat dingin mulai membasahi keningnya. "Semakin banyak kudengar tentang tempat itu, semakin tidak enak "aja - perasaanku terhadapnya."
"Malah sebaliknya, makin lama semakin menarik," tukas Jupiter. "Teruskan, Bob."
""Yah, polisi memeriksa sampai ke segala sudut puri, tapi dari Terrill sama sekali tidak ditemukan jejak selain surat itu. Tapi kemudian ternyata orang itu banyak sekali utangnya pada bank, dengan jaminan rumah. Kemudian bank mengirimkan beberapa orang untuk mengumpulkan milik Terrill yang ada di rumah itu. Tapi entah kenapa - orang-orang itu sendiri juga tidak mengerti - mereka makin lama semakin gelisah, Akhirnya mereka menolak menyelesaikan tugas itu. Kata mereka, mereka mendengar dan melihat beberapa hal yang sangat aneh. Tapi mereka tidak bisa melukiskannya dengan kata-kata. Akhirnya bank berusaha menjual puri dalam keadaannya saat itu beserta seluruh isinya. Tapi tidak bisa ditemukan orang yang mau tinggal di tempat itu, Apalagi membelinya! Semua yang masuk ke situ, setelah beberapa saat menjadi sangat gelisah.
"Seorang agen penjual rumah pernah mencoba menginap di situ semalam, Maksudnya hendak membuktikan bahwa semuanya hanya khayalan semata-mata. Tapi tengah malam ia lari pontang-panting meninggalkan tempat itu. Ia begitu ketakutan, dan lari terus sepanjang ngarai."
Jupiter mendengarkan dengan asyik. Mukanya yang bundar nampak berseri-seri. Tapi Pete berkali-kali meneguk ludah,
"Teruskan laporanmu," kata Jupiter pada Bob, "Ini malah lebih baik dari sangkaanku semula.
"Setelah itu masih ada beberapa orang lagi yang mencoba menginap dalam puri itu," kata Bob. seorang orang gadis yang ingin menjadi bintang film pernah mencobanya, sebagai reklame untuk dirinya sendiri. Tapi belum lagi tengah malam ia sudah minggat lagi. Giginya gemeletuk ketakutan, sampai nyaris tidak bisa bicara. Ia hanya bisa terputus-putus mengatakan ada bayangan biru dan kabut kengerian."
Bayangan biru" Kabut kengerian"" Pete menjilat bibirnya yang terasa kering. "Cuma itu saja" Tidak ada penunggang kuda tanpa kepala, atau hantu dengan rantai kemerincing, atau -"
"Kalau kaubiarkan Bob menyelesaikan laporannya, kerja kita akan bisa lebih lancar. tukas Jupiter.
"Kalau untukku, ia sudah selesai," gumam Pete. "Aku tidak mau mendengar kelanjutannya."
Jupiter tidak mengacuhkan kawan yang gagah berani itu,
""Masih ada lagi, Bob"" tanyanya.
''Yah,'' kata Bob, cuma kejadian-kejadian sejenis. Misalnya saja keluarga terdiri dari lima orang yang baru datang dari Timur. Bank menawarkan, mereka boleh tinggal di situ selama setahun tanpa membayar sewa, apabila berhasil menyingkirkan hal yang menyeramkan itu. Tapi keluarga itu tak pernah terdengar lagi kabar beritanya. Mereka ,.. yah ,.. mereka langsung lenyap tidak berbekas, pada malam pertama."
"Ada penjelmaan yang terjadi atau tidak"" tanya Jupiter. "Barangkali suara mengerang, berkeluh-kesah, bayangan menakutkan atau sebangsanya""
""Tidak, pada mulanya," jawab Bob, "Tapi kemudian banyak! Suara mengerang di kejauhan, kadang-kadang nampak sosok tubuh samar menaiki tangga, dan sekali-sekali suara mendesah. Dari waktu ke waktu terdengar teriakan yang tidak jelas, kedengarannya kayak datang dari bawah puri. Banyak orang yang menceritakan bahwa mereka mendengar bunyi musik aneh dari sebuah orgel yang sudah rusak, di kamar musik, Lalu ada sejumlah orang yang berani bersumpah, mereka melihat sesosok tubuh menyeramkan bermain orgel. Mereka menamakannya Hantu Biru, karena menyerupai gumpalan kabut biru yang bersinar pendar."
"Tentunya segala penjelmaan aneh itu sudah diselidiki," kata Jupiter.
"Memang ada beberapa profesor datang ke situ untuk mengadakan penelitian," kata Bob, setelah memeriksa catatannya sebentar, Tapi mereka tidak mendengar atau melihat apa-apa. Cuma selama ada di tempat itu, mereka terus-menerus merasa gelisah. Cemas, Lalu setelah para profesor itu pergi, bank putus asa, Menurut pendapat mereka, puri itu takkan bisa dijual. Karenanya jalan ke situ ditutup, dan puri dibiarkan begitu saja,
"Selama lebih dari dua puluh tahun, tak tercatat seorang pun yang tahan berada di tempat itu sepanjang malam. Ada artikel dalam majalah yang menceritakan, dulu kaum gelandangan pernah hendak memanfaatkan puri itu menjadi tempat penginapan, Tapi mereka pun tidak tahan lama-lama di situ. Cerita mereka macam-macam mengenainya, sehingga kini tak ada gelandangan yang berani mendekati tempat itu.
Tahun-tahun belakangan ini sama sekali tidak ada berita tentang Terror Castle, baik dalam majalah maupun surat kabar," kata Bob Andrews. Tempat itu tetap kosong sampai sekarang. Bank tidak bisa menjualnya, dan tak ada yang pernah ke sana - karena untuk apa""
"Memang betul," kata Pete, "Aku biar dibayar pun, tidak mau datang ke tempat seram itu."
"Walau begitu, kita akan ke sana - malam ini juga," kata Jupiter. "Kita berdua akan mendatangi Terror Castle dengan membawa kamera dan tape recorder, untuk melihat apakah tempat itu masih ada hantunya atau tidak. Hasil penelitian kita akan kita jadikan dasar penyelidikan yang lebih lengkap. Tapi besar harapanku tempat itu masih tetap ada hantunya. Kalau benar begitu, tempat itu benar-benar cocok bagi Mr. Hitchcock untuk dijadikan lokasi pembuatan film seramnya yang berikut!"
Bab 4 MASUK KE PURI SET AN
"Masih banyak lagi catatan Bob Andrews tentang Terror Castle. Semua dibaca Jupiter dengan teliti. Pete berulang kali mengatakan, biar dipaksa setengah mati pun ia tetap tidak mau pergi ke tempat seram itu. Tapi kenyataannya, ia sudah siap ketika tiba saatnya berangkat ke sana. Ia memakai pakaian yang sudah usang, Di bahunya tersandang alat perekam suara, yang diperolehnya dari seorang teman sekolah, ditukar dengan kumpulan prangkonya.
Bob membawa buku catatan, lengkap dengan pensil, Jupiter menyandang kamera lengkap dengan lampunya. Pete dan Bob mengatakan pada orang tua masing-masing bahwa mereka hendak pesiar ikut Jupiter dengan Rolls-Royce yang dimenangkannya untuk tiga puluh hari Orang tua kedua remaja itu kelihatannya berpendapa
t, asal Jupiter ada bersama anak mereka pasti semua beres. Kecuali itu mereka juga tahu bahwa di samping itu masih ada pula Worthington, supir mobil mewah itu.
Begitu hari sudah gelap, mobil Rolls-Royce yang besar datang menjemput mereka. Jupiter membawa peta lokasi Black Canyon. Worthington melihat peta itu sebentar.
"Baiklah, Master Jones," katanya singkat, dan mobil itu meluncur pergi. Sementara kendaraan menyusur jalan yang berkelok-kelok di perbukitan. Jupiter memberikan instruksi terakhir pada kedua rekannya.
"Kunjungan ini gunanya untuk mendapat kesan pertama," katanya, "Tapi apabila nanti ada sesuatu yang luar biasa, aku akan memotretnya. Dan kalau terdengar bunyi apa saja, kau harus langsung merekamnya, Pete,"
"Paling-paling yang kedengaran nanti cuma suara gigi gemeletuk ketakutan," kata Pete, sementara Worthington membelokkan mobil, memasuki jalan sempit yang diapit tebing bukit yang curam,
"Kau, Bob," kata Jupiter melanjutkan, "kau menunggu dalam mobil sampai kami kembali."
"Nah - tugas begitu yang kusenangi," kata Bob lega. "Aduh, gelap sekali jalan ini!"
mobil terus menyusur jalan sempit berkelok-kelok, makin lama makin tinggi. Satu rumah pun tidak kelihatan di situ.
"Nama Black Canyon memang cocok untuk tempat ini," kata Pete. "Gelapnya bukan main!"
"Di depan ada halangan rupanya," kata Jupiter.
Jalan sempit itu terhalang tumpukan batu besar dan kecil. Bukit-bukit di daerah situ tidak banyak ditumbuhi rumput. Yang ada cuma semak belukar. Jadi gampang sekali terjadi tanah longsor. Dan
batu-batu yang berjatuhan ke jalan, menimpa palang yang rupanya dipasang di situ sebagai penghalang supaya jangan ada orang lewat.
Worthington menghentikan mobil di tepi jalan.
"Saya rasa kita tidak bisa terus," katanya, "Tapi melihat peta tadi, rasanya ngarai ini sudah hampir berakhir, Cuma beberapa ratus meter lagi di balik tikungan itu,"
Terima kasih, Worthington. Yuk, Pete - dari sini kita jalan kaki,"
Kedua remaja itu turun dari mobil.
"Sejam lagi kami kembali!" seru Jupiter pada Worthington, yang sementara itu sudah sibuk memutar Rolls-Royce yang besar itu dengan hati-hati,
"*** ""Huh, tempat ini menyeramkan," kata Pete Crenshaw, Suaranya terdengar agak gugup.
Jupiter diam saja. Sambil merunduk di samping Pete, ia mengamat-amati keadaan di depan. Di ujung ngarai gelap dan sempit itu nampak samar bentuk suatu bangunan yang luar biasa, Bentuk menara beratap lancip nampak jelas, dengan latar belakang langit penuh bintang, Tapi yang kelihatan cuma itu saja. Selebihnya, puri yang katanya berhantu itu sama sekali tidak nampak. Bangunan itu terletak di ujung ngarai sempit, dibangun menempel pada tebing.
" Sebetulnya lebih baik jika kita siang-siang saja ke sini," kata Pete dengan tiba-tiba, "Supaya bisa melihat jalan dengan lebih jelas."
Jupiter menggeleng. "Kalau siang, di sini tidak pernah terjadi apa-apa," katanya. "Hanya kalau malam saja tempat ini menyeramkan. Orang-orang yang datang ke sini, selalu kalau sudah malam rasanya seperti gila karena ketakutan."
"Kau lupa orang-orang dari bank itu," kata Pete mengingatkan. "Lagipula, aku tidak kepingin menjadi gila karena ketakutan. Sekarang pun rasanya sudah setengah gila."
"Perasaanku juga begitu," kata Jupiter berterus terang, "Rasanya perutku seperti ada yang mengaduk-aduk.
"Kalau begitu lebih baik kita kembali saja, kata Pete dengan perasaan lega. "Untuk malam ini udah cukup banyak yang kita lakukan. Kita harus kembali ke Markas Besar, menyusun rencana selanjutnya."
"Itu sudah kulakukan," kata temannya sambil bangkit. "Rencanaku, malam ini kita tinggal selama sejam dalam Puri Setan."
Sambil berkata begitu ia melangkah maju. Sorotan senternya membantu menerangi jalan di sela-sela batu besar kecil yang berserakan jatuh dari tebing ngarai terjal. Alas jalanan dari beton yang sudah retak-retak penuh dengan batu-batu. Setelah sangsi sesaat, Pete bergegas menyusul.
" Kalau dari semula aku tahu akan begini jadinya, aku tidak mau menjadi penyelidik," gerutunya,
Perasaanmu pasti akan lebih senang nanti, jika misteri ini sudah selesai kita selidiki," k
ata Jupiter padanya, "Bayangkan, betapa hebat reklame ini ini biro penyelidik kita'"
Tapi bagaimana jika nanti benar-benar berjumpa dengan hantu yang gentayangan di tempat ini - ketemu Hantu Biru, Setan Edan atau entah apa namanya yang menghantui tempat ini""
"Justru itu yang kuingini," kata Jupiter. Ditepuknya kamera yang tergantung pada bahunya. "Jika berhasil memotretnya, pasti nama kita akan termasyhur!"
"Tapi bagaimana jika kita tertangkap olehnya"" tukas Pete,
"Sssst!'" desis Jupiter. Anak itu berhenti berjalan. Senter pun dipadamkannya dengan segera. Pete tidak berani berkutik sedikit pun. Kini kegelapan menyelubungi kedua remaja itu.
Mereka melihat seseorang - atau sesuatu! menuruni lereng bukit, menuju ke arah mereka,
Pete cepat-cepat membungkuk. Sementara itu Jupiter bergegas menyiapkan kamera.
Bunyi batu-batu menggelinding tertendang kaki yang melangkah sudah dekat sekali, ketika tiba-tiba kegelapan dipecahkan pancaran lampu kamera yang dipegang Jupiter, Diterangi cahaya silau yang hanya sekejap itu. Pete melihat sepasang mata besar dan merah bergerak dengan cepat - meloncat ke arah mereka. Disusul angin sesuatu yang lewat, jatuh di atas beton jalanan lalu melesat pergi sambil meloncat-loncat. Batu-batu kecil bergulingan, menyentuh kaki kedua remaja itu.
"Aduh! Rupanya cuma kelinci!" kata Jupiter. Dari nada suaranya terdengar bahwa ia kecewa. "Ia takut karena kita!"
"Ia takut"" tukas Pete. "Kaukira perasaanku sekarang ini bagaimana""
"Itu wajar - apabila syaraf yang sudah tegang menghadapi bunyi misterius dan gerakan mengejut dalam gelap," kata Jupiter. "Yuk, kita terus!" Ditariknya tangan Pete, supaya ikut dengan dia. "Kita tidak perlu berhati-hati lagi sekarang. Nyala lampu kameraku tadi pasti telah membuat hantu waspada - kalau di sini memang benar ada hantu."
"Bagaimana jika kita nyanyi sambil berjalan"" kata Pete, sementara ia berjalan dengan segan-segan di samping temannya. "Kalau nyanyian kita cukup lantang, pasti takkan terdengar hantu itu mengerang dan berkeluh-kesah."
"Kita tidak usah bertindak keterlaluan," kata Jupiter tegas. "Kita ke sini karena memang hendak mendengar segala bunyi, yang katanya selalu mengiringi kemunculan makhluk gaib. Misalnya saja, hantu!"
Pete sebetulnya hendak mengatakan, ia tidak kepingin mendengar segala bunyi itu, Tapi ia diam saja, karena tahu bahwa takkan ada gunanya. Jika Jupiter sudah menghendaki sesuatu, tekatnya pasti sudah bulat. Mencoba membujuknya supaya mengubah pikiran, sulitnya sama seperti mencoba menggeser batu sebesar rumah!
Semakin dekat mereka menghampiri rumah besar yang sudah tua itu, semakin tidak enak saja perasaan melihatnya. Nampak semakin besar, suram. Pokoknya menyeramkan. Pete berusaha mengusir ingatan pada laporan Bob tentang rumah tua itu.
"Setelah agak lama menyusur tembok tinggi yang terbuat dari batu dan di sana-sini sudah runtuh, akhirnya kedua remaja itu memasuki pekarangan sebenarnya dari Terror Castle,
"Kita sudah sampai. kata Jupiter, ia berhenti, lalu mendongak.
Sebuah menara menjulang tinggi. Satu lagi, agak lebih pendek dari yang pertama, kelihatan seakan menatap mereka dengan pandangan masam. Jendela-jendela memberi kesan seolah-olah mata yang buta, menatap langit dan mencerminkan kelipan bintang.
Tiba-tiba ada sesuatu melayang, menyambar dekat kepala mereka. Dengan cepat Pete menunduk.
"Hii - kelelawar!" teriaknya kaget.
"Kelelawar tidak makan manusia," kata Jupitermengingatkan. "Makanannya hanya serangga."
''Tapi siapa tahu, yang ini ingin mencicipi makanan lain" Kenapa kita harus mengambil resiko""
"Jupiter menuding ke arah gerbang besar dengan daun pintu penuh ukiran yang berada tepat di depan mereka.
"Itu pintunya," katanya. "Sekarang kita tinggal masuk, lewat situ."
"Coba aku bisa membujuk kakiku untuk melakukannya," kata Pete, "Soalnya kakiku ingin kembali ke bawah.
"Kakiku juga begitu," kata Jupiter mengaku. "Tapi kakiku mematuhi perintah otakku, Yuk!"
Jupiter langsung melangkah maju. Pete ikut, karena ia tidak mau membiarkan temannya itu masuk ke Puri Setan seorang diri. Mereka menaiki jenjang
yang terbuat dari batu pualam,lalu berjalan di atas teras. Tapi ketika Jupiter sudah mengulurkan tangan untuk meraih tombol pintu, tiba-tiba Pete menyambar lengannya.
"Tunggu!" desisnya. "Kau dengar tidak" Itu - ada suara, seperti musik seram!"
"Keduanya memasang telinga. Sesaat mereka mendapat kesan seperti mendengar beberapa nada aneh. Kedengarannya seperti datang dari tempat yang sangat jauh, Tapi hanya sekejap saja terdengar. Kemudian telinga mereka hanya menangkap suara-suara jangkrik, serta bunyi batu-batu yang sekali-kali jatuh ke ngarai,
"Ah - mungkin cuma ada dalam khayalan kita," kata Jupiter. Padahal, dalam hati ia sama sekali tidak yakin, "Atau mungkin yang kita dengar itu berasal dari pesawat televisi dalam rumah yang mungkin ada di ngarai berikut. Bunyi itu sampai di sini karena terbawa angin, Barangkali begitu!"
Angin, katamu"" gerutu Pete dengan suara pelan. "Bagaimana kalau tadi itu bunyi orgel, dimainkan Hantu Biru""
Kalau benar begitu, kita perlu mendengarnya lebih jelas," kata Jupiter. "Yuk, kita masuk!"
Diraihnya tombol pintu, lalu ditariknya. Pintu terbuka, teriring bunyi berdecit memanjang. Darah Pete terasa seperti membeku dalam jantung, mendengar bunyi itu. Tanpa menunggu sampai seluruh keberanian mereka lenyap sama sekali, kedua remaja itu langsung menuju ke lorong dalam yang panjang dan gelap, sambil menyorotkan cahaya senter ke depan,
Mereka melewati jajaran pintu yang terbuka, melewati berbagai ruangan gelap yang seakan-akan menghembuskan udara pengap ke arah mereka. Akhirnya sampai di sebuah serambi luas, yang langit-langitnya tinggi. Setinggi dua tingkat rumah biasa. Jupiter berhenti.
"Kita sudah sampai," katanya. "Ini serambi utama puri. Kita satu jam di sini, lalu sesudah itu pergi.
"Pergi!" Telinga mereka menangkap bisikan pelan dan menyeramkan, Bulu tengkuk mereka meremang.
Bab 5 GEMA GAIB ""Kaudengar itu"" kata Pete sambil meremas lengan Jupiter. "Kita disuruh pergi! Yuk, aku tidak mau menunggu sampai disuruh untuk kedua kalinya." Ia sudah mulai melangkah. hendak lari.
"Tunggu!" kata Jupiter sambil menahan.
"Tunggu!" kata suara gaib itu. Kini terdengar agak nyaring.
"Ya - seperti sudah kukira, itu cuma gema," kata Jupiter, "Kau lihat sendiri, langit-langit ruangan ini tinggi. Dan bentuknya melingkar. Dinding melingkar memantulkan gema dengan sangat baik. Pembangunnya, Mr. Terrill, memang sengaja membangun ruangan ini begini. Ia memberinya nama Serambi atau Bilik Gema,"
"Benar juga, kata-kata Jupiter langsung terpantul dengan cara yang menyeramkan di situ, Tapi untuk apa takut pada gema"
"Ah, aku tadi kan cuma main-main saja," kata Pete pura-pura tak acuh. "Dari semula aku sudah tahu, itu cuma gema. Ia lantas tertawa keras, untuk membuktikan bahwa ia tidak takut. Seketika itu juga suara tertawanya terpantul, seakan-akan dinding tinggi itu sendiri yang tertawa geli. Makin "lama makin pelan, diakhiri kekehan seperti berbisik, Pete menelan ludah beberapa kali.
"Itu tertawaku"" bisiknya seram.
"Ya, itu suaramu," balas temannya dengan berbisik pula. Jangan kau ulangi lagi!"
"Jangan khawatir, biar diupah berapa pun takkan kulakukan," bisik Pete.
Coba ke sini sebentar," kata Jupiter, sambil menariknya agak ke samping. "Sekarang kita bisa bicara dengan aman! Gema hanya terjadi, apabila kita berada di tengah ruangan. Aku tadi hendak menguji, barangkali itu salah satu sumber penjelmaan seram yang diceritakan beberapa orang di masa silam."
"Kenapa kau tidak bilang tadi"" keluh Pete.
"Serambi Gema jelas tertulis dalam catatan laporan Bob," kata Jupiter. "Cuma kau yang kurang teliti membacanya.
Perhatianku lebih terarah pada cerita tentang keluarga yang datang dari Timur dan menginap di sini semalam, lalu setelah itu tidak pernah lagi terdengar kabar beritanya," kata Pete.
"Bisa saja mereka kembali lagi ke Timur," kata Jupiter, "Tapi memang benar, nampaknya selama paling sedikit dua puluh tahun belakangan ini tidak ada seorang pun yang sanggup bertahan menginap di sini sepanjang malam. Tugas kita sekarang, menyelidiki apa yang menyebabkan orang-orang itu takut. K
alau ternyata memang benar-benar hantu - arwah Stephen Terrill, pemiliknya yang dulu - itu berarti kita berhasil membuat penemuan ilmiah yang sangat penting."
"Kalau bukan hantu, apa lagi"" tukas Pete. Ia menyorotkan senternya berkeliling, menerangi dinding ruangan yang melingkar sekeliling mereka. Di situ ada tangga putar, menuju ke tingkat atas. Tapi Pete sama sekali tidak bermaksud menginjakkan kaki di tangga itu. Di dinding permadani hiasan dinding yang sudah rapuh, dengan bangku-bangku kayu yang berukir di bawahnya. Di beberapa relung yang tidak begitu dalam, dipajang pakaian zirah,
Di dinding tergantung pula sejumlah lukisan berukuran besar. Pete memainkan cahaya senternya, berpindah-pindah dari lukisan yang satu ke lukisan yang berikut. Semua lukisan itu menggambarkan orang yang sama, tapi mengenakan pakaian yang berlainan. Pada satu lukisan ia tampil sebagai bangsawan Inggris. Pada lukisan lain menjelma sebagai laki-laki berpunggung bongkok, Ada pula yang menggambarkannya sebagai manusia aneh dari sirkus, Begitu pula bajak laut bermata satu.
Pete menarik kesimpulan, lukisan-lukisan itu semua menggambarkan Stephen Terrill, bekas pemilik puri itu, dalam berbagai peranannya yang termasyhur semasa film bisu jaman dulu.
"Aku baru saja menilik perasaanku saat ini," kata Jupiter, memotong kesibukan Pete memperhatikan ruangan itu, "ternyata aku tidak merasa takut. Cuma agak tegang."
""Aku pun begitu juga," kata Pete. "Sejak gema tadi lenyap, tempat ini rasanya seperti rumah tua yang biasa saja."
Biasanya pengaruh seram Terror Castle mulai terasa beberapa waktu setelah orang masuk ke sini," kata Jupiter sambil merenung. "Pada mulanya. hanya terasa kegelisahan sedikit, tanpa mengetahui penyebabnya, Kegelisahan itu semakin bertambah, makin lama makin menjelma menjadi rasa ngeri yang luar biasa."
Perkataannya hanya setengah-setengah saja terdengar Pete, karena saat itu ia sudah kembali mengarah kan sorotan senternya ke lukisan-lukisan yang terpajang di dinding. Tiba-tiba remaja itu melihat sesuatu yang menggelisahkan, langsung disusul rasa gugup yang luar biasa,
Mata bajak laut yang cuma satu, nampak menatap langsung pada dirinya. Mata bajak laut itu, yang satu tertutup kain hitam. Tapi yang satu lagi - nampak jelas, mata yang satu itu menatap ke arahnya! Mata itu kemerah-merahan. Sementara Pete membalas tatapannya tanpa berkedip, dilihatnya mata itu terkejap sekali.
"Jupe!" Suara Pete serak, nyaris tak terdengar. "Gambar itu - ia memandang kita!" .
"Gambar apa""
"Itu - yang itu!" Pete menyorotkan senternya ke gambar bajak laut. "Ia memandang kita. Aku melihatnya tadi."
"Ah, cuma kelihatannya saja begitu. kata lemannya, "Lukisan, kalau dibuat dengan mata menatap ke depan, kelihatannya seperti langsung menatap, di mana pun kita sedang berada di depannya,
Tapi itu bukan mata yang dilukis!" bantah Pete. "Mata sungguhan! Itu gambar yang dilukis, tapi matanya mata asli!"
"Kurasa kau salah lihat," kata Jupiter. "Sudah jelas itu lukisan. Tapi kita periksa saja lebih dekat."
Jupiter menghampiri lukisan itu. Setelah ragu sejenak, Pete membuntuti. Kini keduanya menyorotkan senter mereka ke lukisan itu. Pete melihat sekarang bahwa memang Jupiter yang benar. Mata yang dilihatnya tadi memang lukisan. Kelihatannya seperti hidup - tapi tidak berkilat seperti mata sebenarnya,
"Kurasa aku tadi salah lihat," katanya, "Tapi aku benar-benar merasa seperti melihat mata itu terkedip ... He!" Napasnya tersentak. "Kau Juga merasakannya""
"Aku tiba-tiba merasa dingin," kata Jupiter heran, "Kita memasuki daerah berhawa dingin. Dalam rumah yang ada hantunya, sering terdapat tempat-tempat begini,"
"Kalau begitu, di sini pasti ada hantu," kata Pete Crenshaw. Giginya mulai gemeletuk. "Aku merasakan hembusan angin dingin, seolah-olah ada barisan hantu melintas di depanku. Lihatlah, bulu romaku merinding, Aku takut! Ya, betul- aku takut!"
Ia masih tegak di situ sesaat, sambil berusaha menahan agar giginya berhenti gemeletuk. Entah dari arah mana, ada hembusan angin dingin ke arahnya, Kemudian dilihatnya kabut tipis mulai bergerak-ge
rak di udara, seolah-olah ada hantu yang akan menjelma di depannya. Saat itu juga perasaan tidak enak berubah menjadi kegugupan yang luar biasa, dan berlarut menjadi rasa ngeri yang tidak bisa ditahan lagi,
Pete berpaling. Ia sama sekali tidak bermaksud lari. Tapi kakinya sudah melakukannya, tanpa menunggu diperintah lagi. Kedua kakinya membawa dirinya ke luar lewat gerbang besar Terror Castle, menuruni jalan masuk, Pete lari segesit kijang,
Dan Jupiter ikut lari di sampingnya. Baru sekali itu Pete melihat temannya itu begitu cepat melarikan diri.
"Kusangka kakimu hanya menuruti perintah otakmu," seru Pete,
"Memang begitu!" jawab Jupiter. "Dan otakku memerintahkan untuk melarikan diri."
Keduanya terus lari dengan langkah panjang-panjang, Cahaya senter mereka terayun-ayun menerangi jalanan di depan, sementara keduanya meninggalkan Terror Castle yang sunyi dan seram, Meninggalkan rasa ngeri yang serasa melumpuhkan syaraf.
Bab 6 HANTU MENELEPON "Walau kakinya lebih panjang, tapi Pete merasa sulit mengikuti kecepatan temannya berlari. Jantungnya yang sudah bekerja keras, tiba-tiba seperti berhenti berdetak. Ia mendengar langkah orang lain di belakang mereka!
"Ada orang ...." katanya tersengal-sengal, "ada orang...mengejar...kita!"
Sambil lari, Jupiter masih sempat menggeleng.
"Itu cuma..,gema...langkah kita...pada tembok, katanya terputus-putus,
Tapi menurut Pete, bunyi langkah itu tidak kedengaran seperti gema " bahkan sama sekali tidak seperti langkah manusia! Tapi begitu mereka sudah melewati tembok, langkah itu juga lenyap. Ternyata sekali lagi Jupiter benar. Tadi itu cuma bunyi gema.
Tapi sama sekali bukan gema yang menyebabkan Pete tercengkam rasa ngeri yang luar biasa, ketika masih berada dalam serambi bundar di Terror Castle. Itu diketahuinya dengan pasti!
Langkah lari mereka mulai diperlambat, untuk melewati batu-batu besar yang menyebabkan jalar yang dilalui menyempit. Tapi mereka tetap lari "karena tidak ada alasan untuk berhenti di tempat ini.
"Kini mereka melewati tikungan jalan, Bangunan seram yang besar sudah tidak kelihatan lagi di belakang mereka. Jauh di depan, dalam lembah nampak kelap kelip cahaya lampu-lampu kota Los Angeles, Dan tak sampai seratus meter di depan mereka, masih menunggu mobil Rolls-Royce, dengan Worthington dan Bob di dalamnya.
Pete dan Jupiter berlari-lari kecil, menghampiri mobil. Tahu-tahu terdengar jeritan melengking, jauh di belakang mereka. Bunyinya aneh, diakhiri dengan suara tercekik, seakan-akan yang menjerit pilu - Pete tidak mau membayangkan apa yang terjadi pada yang berteriak itu, sehingga akhirnya kedengaran begitu aneh.
Mereka sampai di samping Rolls-Royce, yang lapisan emasnya berkilauan kena sinar bintang. Pintu dibukakan dari dalam, dan Pete menjatuhkan diri ke jok belakang, di mana Bob sudah duduk. Bob meluruskan sikap Pete, sementara Jupiter bergegas ikut masuk.
"Worthington!" seru Jupiter. "Kita pulang!"
"Baiklah, Master Jones," kata supir jangkung yang selalu sopan itu, lalu menghidupkan mesin mobil. Sesaat kemudian mobil itu sudah meluncur, makin lama makin cepat menyusur tikungan demi tikungan, menuju lembah yang di bawah.
"Apa yang terjadi tadi"" tanya Bob, sementara kedua temannya menghenyakkan diri ke sandaran dengan napas masih tersengal-sengal. "Teriakan apa itu""
"Kami tidak tahu," jawab Jupiter.
"Aku tidak mau tahu," kata Pete menegaskan. "Dan kalau ada yang tahu, kuharap dia tak mengatakannya padaku, "
"Tapi apa sebetulnya yang terjadi"" tanya Bob lagi. "Kalian berhasil melihat Hantu Biru""
Jupiter menggeleng, "Kami sama sekali tidak melihat apa-apa. Tapi walau begitu, ada sesuatu yang menyebabkan kami takut setengah mati."
"Sorry - kalau takut setengah mati, dari semula aku sudah begitu," kata Pete. "Ada sesuatu yang membuat kami takut lebih setengah mati lagi."
"Jadi kalau begitu puri itu betul-betul ada hantunya"" tanya Bob bergairah. "Jadi kisah-kisah selama ini memang benar""
"Kalau buat aku, itu markas besar perserikatan hantu, momok, dan jadi-jadian dari seluruh Amerika Serikat," kata Pete. Napasnya mulai tenang kembal
i, sementara mobil besar itu membawa mereka semakin menjauhi tempo menyeramkan itu. "Ke situ kita pasti takkan kembali. Ya, kan""
Ia menoleh pada Jupiter. Temannya itu duduk menyandar, sambil menekan-nekan bibir bawahnya dengan ibu jari dan telunjuk. Itu merupakan tanda bahwa ia sedang berpikir.
"Kita kan tidak kembali lagi ke situ"" ulang Pete, dengan penuh harap. Tapi Jupiter Jones seolah-olah tidak mendengarnya. Ia diam saja. Matanya menatap ke luar, sementara bibirnya ditekan-tekan terus.
Sesampai mereka di "Jones Salvage Yard", Jupiter mengucapkan terima kasih pada Worthington, sambil mengatakan bahwa lain kali ia akan menelepon lagi apabila memerlukan kendaraan.
Mudah-mudahan lain kali lebih berhasil Master Jones," kata Worthington. "Saya senang mendapat tugas begini. Lumayan, sebagai selingan tugas biasanya, mengantarkan direktur bank berperut gendut, atau nyonya-nyonya tua yang kaya raya.
Setelah Rolls-Royce itu pergi, Jupiter mengajak kedua temannya masuk. Paman Titus dan Bibi Mathilda sudah kembali ke rumah mereka yang kecil, di sebelah tempat perusahaan. Keduanya nampak dari balik jendela, sedang menonton televisi.
"Sekarang belum begitu malam," kata Jupiter, ternyata kita lebih cepat kembali daripada rencanaku semula.
"Tapi bagiku masih kurang cepat," kata Pete.
Mukanya masih agak pucat. Muka Jupiter juga pucat. Tapi anak itu kadang-kadang keras kepalanya luar biasa. Dan salah satu yang bisa membuatnya sangat keras kepala, ialah tidak mau mengaku takut.
"Mudah-mudahan kau sempat merekam suara jeritan tadi," katanya sekarang. "Dengan begitu kita bisa mendengarkannya kembali untuk mengenal suara apa itu."
"Kau mengharapkan aku sempat merekamnya"" teriak Pete. "Aku tadi lari! Mana sempat merekam. Atau kau tidak melihat aku lari""
"Instruksiku, semua bunyi aneh harus direkam," kata Jupiter. "Tapi dalam hal ini, kurasa kau tidak bisa dipersalahkan."
Jupiter mendului masuk lewat Tiga Gampang" nama Sandi untuk jalan termudah memasuk Markas Besar. Wujudnya pintu besar terbuat dari kayu yang kokoh. Pintu itu masih berbingkai, dan tampaknya seperti tersandar begitu saja pada setumpuk batu granit yang berasal dari sebuah bangunan yang dirobohkan.
Jupiter mengambil sebuah anak kunci yang besar dan sudah berkarat dari peti yang penuh berisi barang tua. Peti itu sama sekali tidak menarik perhatian. Dengan anak kunci itu dibukanya pintu dan sambil merunduk mereka masuk ke dalam.
Kini mereka sampai dalam sebuah ketel tua yang berasal dari mesin uap yang sangat besar. Sambil membungkuk sedikit mereka menuju ke sisi belakang ketel. Di situ mereka menyusup ke dalam sebuah lubang, dan langsung masuk ke Markas Besar. Jupiter langsung menyalakan lampu, lalu duduk di belakang meja.
"Nah - sekarang kita perlu mengusut kembali segala kejadian tadi," katanya. "Pete, apa yang menyebabkan kau tadi lari meninggalkan tempat itu""
" Tidak ada," kata Pete, "Aku lari karena kemauanku sendiri."
"Baiklah, kuajukan pertanyaan itu dengan cara lain. Apa yang menyebabkan timbulnya keinginanmu untuk lari "ari sana""
"Begini," kata Pete, "Sewaktu masih dalam serambi Gema, aku mula-mula merasa gelisah. Cuma gelisah saja, Tapi setelah beberapa saat di situ, kegelisahanku semakin bertambah. Tiba-tiba perasaanku itu berubah menjadi kengerian yang luar biasa. Dan saat itulah aku lantas merasa ingin lari."
"Hmm." Jupiter memijit-mijit bibir bawahnya. Pengalamanku persis begitu pula. Mula-mula gelisah. Lalu gugup, yang makin lama makin meenjadi-jadi. Disusul kengerian yang luar biasa, padahal, apalah yang sebetulnya terjadi" Kita mendengar gema lalu terasa hembusan angin dingin -"
"Sedingin es!" kata Pete menambahkan. "Lalu bagaimana dengan lukisan yang menatapku dengan matanya yang berkilat-kilat""
Itu mungkin cuma perasaanmu saja, kata Jupiter, "Sebenarnya tidak ada satu pun yang kita mendengar atau lihat di sana, yang benar-benar menakutkan. Walau begitu kita ketakutan pertanyaannya sekarang - apa sebabnya""
"Apa maksudmu, apa sebabnya"" tanya Pete heran. "Setiap rumah tua yang kosong selalu agak menyeramkan kelihatannya, d
an puri itu begitu menyeramkan - hantu pun mungkin takut tinggal di situ!"
"Mungkin itu jawabnya," kata Jupiter. "Kita perlu mendatangi Terror Castle sekali lagi, lalu-"
Lalu telepon berdering. Ketiga remaja itu menatap benda tersebut tanpa berkutik. Selama itu, pesawat telepon itu belum sekali pun pernah berdering. Baru sekitar satu minggu yang lalu Jupiter memasangnya, ketika mereka mengambil keputusan untuk membuka usaha berupa biro detektif. Menurut rencana mereka, sewanya akan dibayar dengan uang pembayaran yang diterima dari Paman Titus, upah pekerjaan membetulkan barang-barang bekas yang rusak. Telepon itu terdaftar atas nama Jupiter tapi tentu saja namanya belum tertera dalam buku telepon. Selama itu hanya mereka bertiga saja yang tahu bahwa mereka sudah punya telepon.
Tapi, kenyataannya kini pesawat itu berdering-dering!
Dan berdering lagi. Pete meneguk ludah, untuk melenyapkan rasa kagetnya. .
"Jawab dong," katanya serak.
"Memang begitu maksudku," jawab Jupiter, lalu meraih gagang pesawat. "Halo" Halo""
Didekatkannya pesawat itu ke loudspeaker yang dibuatnya dari bekas-bekas sebuah radio yang tak terpakai lagi. Dengan begitu semua bisa mengikuti pembicaraan. Tapi yang terdengar hanya bunyi mendengung pelan.
""Halo!" kata Jupiter sekali lagi. Tapi tetap tak ada yang menjawab. Karena itu dikembalikannya gagang pesawat telepon ke tempatnya,
"Mungkin salah sambung," katanya, "Apa yang hendak kukatakan tadi"" O ya -"
Dan telepon berdering lagi.
Tiga pasang mata menatap benda itu, Jupiter meraihnya dengan lambat dan berat, seolah-olah ada yang menahan lengannya.
"Ha-halo"" katanya terbata,
Terdengar lagi dengungan yang tadi. Kedengarannya seperti jauh sekali, di tempat yang sunyi. Kemudian menyusul suara seperti tergagap, seolah-olah yang sedang berbicara itu sudah lama tidak biasa berbicara lagi - tapi ingin sekali mengatakan sesuatu,
"Jangan -" kata suara itu, lalu setelah terdiam sebentar, seperti mengumpulkan tenaga, disambung dengan sepatah kata lagi.
"'- datang," kata suara itu. "Jangan... datang!"
Kalimat itu berakhir dengan desahan panjang. Terdengar lagi dengungan aneh yang tadi,
"Jangan datang ke mana"" tanya Jupiter pada suara itu,
Tapi pesawat telepon tetap membisu. Hanya dengungan saja yang terdengar.
Jupiter mengembalikan pesawat itu ke tempat semula. Lama sekali, tidak seorang pun membuka mulut. Akhirnya Pete bangkit.
""Aku harus pulang," katanya, "Baru ingat aku sekarang, masih ada tugas yang perlu diselesaikan di rumah."
"Aku juga," kata Bob sambil melompat bangun. Kita sama-sama pergi."
"Mungkin Bibi Mathilda memerlukan tenagaku," kata,Jupiter. Ia pun ikut berdiri. Ketiga remaja itu nyaris bertubrukan, begitu tergesa-gesa mereka hendak meninggalkan ruangan itu,
Suara yang berbicara tadi belum menyelesaikan kalimatnya, Tapi begitupun mereka sudah bisa menebak, apa sebetulnya yang dimaksudkan.
Jangan datang ke Terror Castle!
Bab 7 TERPERANGKAP ""Ada suatu problem yang kita hadapi saat ini," kata Jupiter keesokan sorenya. Ia sedang duduk-duduk di Markas Besar, Pete. Saat itu Bob masih sibuk di perpustakaan. Jupiter menghadapi selembar kertas dengan kening berkerut.
"Bukan cuma satu, tapi dua problem yang kita hadapi," tambahnya setelah beberapa saat.
"Bisa kukatakan bagaimana problem kita itu bisa diselesaikan," kata Pete, "Telepon saja Mr. Hitchcock dan katakan padanya, kita berubah pikiran. Kita tidak jadi mencarikan rumah berhantu untuknya. Bilang padanya, setiap kali kita menghampiri rumah itu, bulu roma kita langsung meremang. Kaki kita goyah, lalu lari tanpa menunggu diperintah lagi."
Jupiter berlagak tidak mendengarnya.
"Problem kita yang pertama, katanya. menyelidiki siapa yang menelepon kemarin malam."
"Bukan siapa," kata Pete, "Apa yang menelepon! Mungkin hantu, momok, setan, jadi-jadian, atau barangkali arwah gentayangan yang biasa saja"
""Arwah tidak mungkin bisa menelepon," tukas temannya, "begitu pula hantu, momok, atau jadi-jadian!"
Itu kan jaman dulu!" kata Pete nekat. "Kenapa mereka tidak mungkin bisa mengikuti perkembangan jaman pula" Pokokn
ya, suara yang kita dengar kemarin malam itu, rasanya bukan suara manusia bagiku."
Kening Jupiter berkerut, Air mukanya menunjukkan keheranan,
"Memang betul." katanya. "Problem ini menjadi semakin rumit, karena di samping kita sendiri serta Worthington, tidak ada lagi yang tahu bahwa kita sebelumnya mendatangi Terror Castle."
Kalau manusia memang tidak ada - tapi bagaimana dengan makhluk halus"" tanya Pete,
"Jika Puri Setan itu benar-benar ada hantunya, kita harus berusaha membuktikannya," kata Jupiter. "Kalau kita berhasil, kan nama kita akan menjadi tenar! Kita perlu lebih banyak melakukan penyelidikan tentang diri Stephen Terrill Jika ia yang mengutuk puri itu, maka kemungkinannya arwah dirinyalah yang menghantui tempat itu sekarang. "
"Yah - itu memang masuk akal," kata Pete,
"Jadi tindakan kita yang pertama-tama, mencari seseorang yang mengenal Stephen Terrill ketika ia masih bintang film bisu. Orang itu pasti bisa bercerita lebih banyak mengenai dia."
"Tapi itu kan sudah lama berlalu," kata Pete. "Siapa yang masih bisa kita temukan sekarang""
""Kita merasa seperti sudah lama berselang, karena kita masih muda Tapi pasti masih banyak orang di Hollywood yang mengenal Mr. Terrill."
"Ah, masa! Coba sebutkan dua orang."
"Orang yang paling tahu, tentunya manajer Mr. Terrill," kata Jupiter. "Pembisik!"
"Pembisik"" seru Pete kaget. "Nama macam apa itu""
"Itu julukannya, Nama sebenarnya Jonathan Rex, ini dia fotonya."
Jupiter menyodorkan fotokopi berita koran yang ada fotonya. Bob Andrews yang membuat fotokopi itu, di perpustakaan. Pada foto yang difotokopi nampak seorang laki-laki yang lumayan tingginya, dengan kepala botak serta bekas luka yang menyeramkan di lehernya. Orang itu bersalaman dengan seorang laki-laki yang sedikit lebih pendek, bertampang ramah, berambut coklat serta dengan senyuman yang agak murung kelihatannya. Sedang laki-laki yang lebih tinggi matanya terpicing, Potongannya galak!
"Huh!" seru Pete. Jadi beginilah aslinya tampang Stephen Terrill! Ia tidak perlu menyamar lagi, begini saja pun tampangnya sudah menakutkan, Siapa tidak ngeri, melihat bekas luka serta tatapan mata kejam itu!"
"Kau keliru Mr. Terrill yang lebih kecil, yang kelihatannya begitu ramah dan lemah lembut."
"Dia itu Mr. Terrill"" tanya Pete kaget. "Dia yang memainkan peran hantu-hantu seram" Laki-laki bertampang ramah itu""
""Tampang aslinya biasa saja, tapi ia sanggup menarik air muka yang macam-macam, sesuai dengan peran jahat yang kayak apa pun," kata Jupiter menjelaskan. Dalam berita itu tertulis apa bila kau belum membacanya -"
Trio Detektif 01 Misteri Puri Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Maut Bermata Satu 1 Pedang Pusaka Naga Putih Karya Kho Ping Hoo Si Tangan Sakti 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama