01 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja Bagian 23
Dan benarlah. Sesaat kemudian dilihatnya seekor kuda muncul dari regol itu, kemudian disusul yang lain, kuda Mahendra. Yang terakhir dengan penuh keragu-raguan adalah kuda Mahisa Agni. Mahisa Agni sendiri telah turun dari punggung kudanya. Dituntunnya kuda itu memasuki halaman. Halaman rumah yang didiaminya sejak kanak-kanak. Tetapi ketika ia melihat beberapa orang prajurit, umbul-umbul dan panji-panji, maka terasa bahwa ia telah terdampar ke suatu daerah yang asing.
Sejenak Mahisa Agni tegak seperti patung. Ketika matanya beredar di sekeliling halaman itu, maka hatinya berguncang. Rumah yang didiaminya sejak kanak-kanak, padepokan gurunya itu, seolah-olah kini telah diduduki oleh orang asing yang tak dikenalnya.
Hampir saja perasaannya meledak melihat keadaan itu, seandainya matanya tidak segera terbentur pada seorang gadis yang duduk di tengah-tengah pendapa, dihadapi oleh Witantra dan Kebo Ijo.
Hati Mahisa Agni berdesir. Gadis itu adalah putri Empu Purwa. Putri satu-satunya dari pemilik padepokan ini, sehingga bagaimanapun juga, Mahisa Agni harus merasa, bahwa Ken Dedes lebih berhak atas padepokan ini daripada dirinya.
Tetapi lebih daripada itu dadanya pun berguncang pula. Dilihatnya Ken Dedes seolah-olah bintang yang bercahaya cemerlang di tengah-tengah langit yang gelap pekat. Seorang gadis dalam pakaian kebesaran di antara para endang yang sederhana, pendapa padepokan yang sederhana pula, di tengah-tengah halaman yang hampir menjadi kering.
Dalam guncangan-guncangan perasaan itu, Mahisa Agni berdiri tegak seperti patung. Kakinya serasa menjadi beku dan seluruh aliran darahnya seolah-olah berhenti. Ia tidak tahu apa yang harus dikerjakan. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa ia akan dihadapkan pada suatu kelompok orang-orang yang berada dalam sikap-sikap resmi. Ia tidak menyangka, bahwa di padepokan itu seolah-olah telah terjadi suatu sidang pasewakan.
Mahendra dan Sidatta melihat perubahan yang terjadi pada wajah Mahisa Agni. Wajah yang mula-mula menjadi tegang, namun kemudian wajah itu telah berubah menjadi beku. Namun mereka berdua pun selalu diliputi oleh kecemasan akan sikap Ken Dedes terhadap kakaknya. Apakah sikap itu akan menyayat hati Mahisa Agni, atau akan meluluhkannya" Kalau Ken Dedes bersikap keras maka Mahendra dan Sidatta yakin, bahwa Mahisa Agni tidak akan dapat ditundukkan. Tetapi kalau Ken Dedes bersikap seperti yang telah dibayangkan kepada Mahisa Agni, maka hati anak muda itu pun akan cair.
Dalam pada itu, Ken Dedes yang duduk di pendapa pun tidak kalah tegangnya ketika ia melihat Mahisa Agni berdiri mematung. Dengan sekuat tenaganya Ken Dedes mencoba mempertahankan perasaannya supaya ia dapat bersikap seperti yang dikehendakinya.
Tetapi yang dilihat adalah Mahisa Agni yang telah berubah dari Mahisa Agni yang dulu Mahisa Agni itu, setelah tidak bertemu beberapa lama, menjadi demikian kurus, dan wajahnya menjadi merah kehitam-hitaman terbakar sinar matahari. Matanya menjadi cekung terlindung di bawah alisnya yang tebal.
Melihat kenyataan itu dada Ken Dedes seperti tertimpa reruntuhan Gunung Kawi. Alangkah mengharukan. Mahisa Agni yang kekar itu tiba-tiba menjadi sangat berubah. Apakah sebenarnya yang telah terjadi padanya" Mungkin Panawijen yang kering ini, mungkin kerja yang dilakukannya tanpa mengenal istirahat untuk membangun bendungan.
Dada Ken Dedes itu serasa menjadi terguncang-guncang. Sejenak ia masih mencoba untuk tetap dalam sikapnya.
"Biarlah ia tahu," katanya di dalam hati, "bahwa ia harus melihat kenyataan. Kenyataan yang ada padaku dan kenyataan bagi dirinya sendiri. Bahwa ia tidak akan dapat mengingkari kewajibannya. Kewajiban untuk memenuhi panggilan Akuwu Tunggul Ametung sebagai penguasa tertinggi di Tumapel dan kewajiban sebagai saudara tua."
Tetapi dalam pada itu, tiba-tiba Ken Dedes itu merasa dirinya menjadi terlampau kecil ketika ia melihat sinar mata Mahisa Agni yang menyorotkan kebesaran pribadinya. Wibawa yang justru menyengsara dirinya. Bukan Mahisa Agni yang jatuh ke dalam pengaruh wibawa yang diangan-angankan. Sorot mata yang cekung itu adalah sorot mata Mahisa Agni yang dahulu juga, meskipun tubuhnya kini menjadi kurus, dan wajahnya telah menjadi hitam kemerah-merahan dibakar oleh terik matahari.
Ken Dedes itu seolah-olah melihat, betapa dirinya sendiri sedang berusaha untuk meluruskan jalan mendaki ke tingkat tertinggi bagi seorang gadis Tumapel. Permaisuri adalah kesempatan yang tidak akan ditemui oleh gadis yang lain. Tetapi apa yang dilakukannya itu adalah untuk dirinya sendiri. Tidak untuk orang lain. Sedang Mahisa Agni yang telah menjemur dirinya sendiri di padang Karautan adalah bekerja keras untuk kepentingan bersama. Kepentingan rakyat Panawijen yang mengalami kekeringan. Terasa betapa rakyat Panawijen telah memeras keringat mereka untuk mengatasi kesulitan yang telah merasa melanda padukuhan itu. Seolah-olah terbayang betapa mereka bekerja, memecah batu, menggulung brunjung-brunjung dan kemudian bersama-sama seperti semut mengangkat brunjung-brunjung raksasa dan menjatuhkannya ke dalam air. Dalam pada itu terik matahari dengan panasnya menyengat punggung-punggung mereka yang telanjang. Sebagian yang lain telah bekerja membuat parit-parit induk, mencangkul tanah terbungkuk-bungkuk sambil bermandikan keringat.
Tiba-tiba Ken Dedes itu tersentak. Ia kini benar-benar telah dicengkam oleh suatu perasaan yang tidak dimengertinya. Ketika sekali lagi terpandang olehnya sorot mata Mahisa Agni, maka dadanya serasa telah meledak. Mahisa Agni yang kurus, yang wajahnya terbakar oleh sinar matahari namun yang sorot matanya masih setajam sorot mata yang dahulu, bahkan sorot mata itu kini menjadi semakin bercahaya, seperti cahaya yang memancar dari tekadnya yang bulat menghadapi kerja.
Ken Dedes kini telah kehilangan segala macam pertimbangan. Ken Dedes sendiri tidak tahu, kenapa tiba-tiba saja ia telah berdiri dan dengan serta-merta berlari turun ke halaman. Terdengar suaranya serak terloncat dari tenggorokannya, "Kakang! Kakang Mahisa Agni!"
Mahisa Agni masih berdiri seperti patung. Tetapi kemudian kedua tangannya pun bergerak, ketika terasa gadis itu mendekapnya sambil menangis sejadi-jadinya.
"Kakang," suara Ken Dedes tenggelam dalam tangisnya.
Halaman padepokan itu kini benar-benar dicengkam oleh kesepian. Justru karena itu, maka suara tangis Ken Dedes pun terdengar semakin keras. Tangis yang seolah-olah sebuah ledakan yang dahsyat dari segenap pergolakan yang terjadi di dalam dadanya.
Mahisa Agni, yang berdiri tegak, seakan-akan terpukau oleh sebuah peristiwa yang tak dapat dimengertinya sendiri. Namun didengarnya suara tangis Ken Dedes, dan dirasakannya kehangatan air matanya menetes di tangannya.
Tiba-tiba mulut Mahisa Agni itu pun bergerak, dan meluncurlah kata-katanya, "Sudahlah Ken Dedes, jangan menangis."
Kata-kata itu benar-benar telah memberi kesejukan pada hati Ken Dedes. Seperti kata-kata yang dahulu selalu didengarnya pada masa kanak-kanak. Kalau Ken Dedes menangis karena bermacam-macam sebab, mungkin karena kakinya terantuk batu, mungkin karena gadis itu terjatuh, mungkin karena ayahnya telah memberinya sekedar peringatan atas kenakalannya, maka selalu didengarnya apabila ia menangis kata-kata Mahisa Agni
"Sudahlah Ken Dedes, jangan menangis."
Kini kata-kata itu didengarnya lagi.
Ken Dedes masih juga mendekap tubuh Mahisa Agni seolah-olah tidak akan dilepaskannya lagi. Bagi Ken Dedes, Mahisa Agni adalah satu-satunya keluarganya. Mahisa Agni kini bukan saja kakaknya, tetapi Mahisa Agni adalah ayahnya, bahkan Mahisa Agni adalah ibunya. Karena itu, maka kini Ken Dedes seakan-akan mendapat naungan dari terik panas yang membakar tubuhnya.
Sekali lagi Ken Dedes mendengar Mahisa Agni berkata, "Jangan menangis, Ken Dedes."
Tangis Ken Dedes itu pun kemudian mereda, perlahan-lahan tangannya terlepas, dan diusapnya air matanya. Tetapi semua rencana yang telah disusunnya telah lenyap dari kepalanya. Urut-urutan pertanyaan yang sudah dianyamnya dengan penuh pertimbangan hampir semalam suntuk, kini telah tidak diingatnya lagi. Ken Dedes sama sekali tidak mampu untuk menanyakan keselamatan Agni, kemudian keadaan padukuhan ini dan bendungan yang dibangunnya. Ken Dedes sudah tidak dapat lagi mengucapkannya, berurutan seperti yang dikehendakinya. Apalagi minta supaya Mahisa Agni pergi ke Tumapel bukan sebagai suatu permintaan, tetapi harus dinyatakannya sebagai suatu perintah.
Yang pertama-tama diucapkan oleh Ken Dedes adalah, "Kakang, kenapa kau menjadi kurus dan kulitmu menjadi merah kehitam-hitaman dibakar oleh terik matahari?"
"Aku tidak apa-apa Ken Dedes. Aku sehat."
"Tetapi kau menjadi kurus."
"Mungkin," sahut Mahisa Agni kemudian, "tetapi bukan karena suatu kesulitan. Tetapi karena kerja yang menyenangkan di padang Karautan."
Ken Dedes terdiam sesaat. Dipandanginya tubuh Mahisa Agni yang semakin lama tampak semakin hitam. Namun sorot matanya masih juga menyala seperti sorot mata Agni dahulu.
Para prajurit yang berdiri di sekitar halaman itu terpaku diam. Mereka menyaksikan pertemuan yang mengharukan dari dua orang kakak beradik. Perpisahan yang terjadi sebenarnya belum terlampau lama. Namun selama ini mereka telah dirisaukan oleh perasaan masing-masing, sehingga ketika mereka mendapat kesempatan untuk bertemu maka meledaklah segala yang tersimpan di dalam hati.
Sidatta dan Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Ternyata apa yang mereka katakan tentang gadis itu benar-benar terjadi. Karena itu maka Sidatta dan Mahendra mengharap, bahwa hati Mahisa Agni akan dapat dicairkan.
Sejenak kemudian Mahisa Agni telah mendapatkan kesadarannya sepenuhnya kembali. Disadarinya bahwa berpasang-pasang mata memandanginya. Karena itu maka katanya kepada Ken Dedes, "Ken Dedes, kembalilah ke pendapa."
Ken Dedes menganggukkan kepalanya. Tetapi para prajurit yang berdiri di sekitar pendapa, Witantra dan Kebo Ijo yang duduk di pendapa serta segala macam umbul-umbul dan panji-panji, kini telah tidak menarik lagi baginya. Ia telah kehilangan segala macam rencananya yang telah direka-rekanya tidak saja semalam suntuk, tetapi sejak ia masih berada di Istana Tumapel.
Mahisa Agni pun kemudian membawa Ken Dedes naik ke pendapa. Dipersilakannya Ken Dedes duduk di tempatnya semula, di antara para endang yang duduk dengan wajah yang aneh. Mereka menjadi bingung apa yang mesti mereka lakukan. Ketika mereka melihat Ken Dedes menangis maka apabila mereka berada dalam keadaan seperti biasa, seperti yang pernah dialaminya dahulu, maka mereka pasti sudah berlari-lari mendatangi. Menghibur dan menggandengnya masuk ke dalam biliknya. Tetapi mereka kini berada dalam keadaan yang tak mereka kenal, sehingga mereka tidak berani beranjak dari tempatnya.
Ketika Ken Dedes telah duduk kembali, maka setiap prajurit di halaman itu menarik nafas dalam-dalam. Witantra dan Kebo Ijo pun menganggukkan kepala mereka, seakan-akan mereka telah terlepas dari cengkaman keadaan yang menegangkan urat syaraf mereka.
Namun dalam pada itu, Ken Dedes menjadi seolah-olah membisu. Ditundukkannya kepalanya dan sekali-sekali jari-jari tangannya mengusap air matanya yang masih menetes satu-satu. Sehingga kembali pendapa itu menjadi sunyi. Beberapa orang duduk dengan kaku, seperti tiang-tiang pendapa itu sendiri.
Witantralah yang kemudian memecah kesunyian itu. Perlahan-lahan ia bertanya kepada Mahisa Agni, "Mahisa Agni. Bukankah kau selamat selama ini?"
Mahisa Agni berpaling. Seakan-akan ia baru bangun dari tidurnya. Tergagap ia menjawab, "Ya Witantra. Aku selamat."
Witantra menarik nafas, katanya, "Syukurlah. Mudah-mudahan padukuhanmu tidak mengalami sesuatu."
"Kita berharap demikian. Tetapi kau telah melihat sendiri apa yang terjadi."
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebenarnya ia memang ingin tahu, apa yang telah terjadi di Panawijen dan di padang Karautan.
Meskipun sebagian daripada apa yang terjadi di Panawijen dan di padang Karautan telah diketahuinya, namun Witantra itu bertanya pula, "Mahisa Agni. Aku hampir tidak dapat mengenal lagi daerah ini. Panawijen dengan cepatnya telah berubah."
"Ya," sahut Agni dengan nada datar, "Panawijen telah berubah. Segalanya berubah."
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kembali ia bertanya, "Panawijen agaknya telah mengalami masa kering yang dahsyat, sehingga tumbuh-tumbuhan cepat kehilangan kesegarannya."
Kembali Mahisa Agni menyahut dengan nada datar, "Ya. Panawijen telah menjadi kering sejak bendungan itu pecah."
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ketika mulutnya bergerak untuk mengucapkan pertanyaan-pertanyaan berikutnya, tiba-tiba ia terkejut. Ken Dedes dengan serta-merta memotongnya, "Cukup, cukup Kakang Witantra."
Sejenak Witantra terpaku, namun kemudian ditundukkannya kepalanya dalam-dalam sambil berkata, "Ampun Tuan Putri, kalau pertanyaan-pertanyaan hamba tidak berkenan di hati."
"Aku tidak mau mendengar, Kakang," jawab Ken Dedes. Tetapi ia tidak dapat meneruskan kata-katanya. Terasa kerongkongannya seolah-olah tersumbat.
Kembali pendapa itu terdampar dalam suatu kesenyapan. Sekali-sekali para prajurit saling berpandangan. Namun kembali mereka menundukkan kepala-kepala mereka. Mereka di hadapan pada suatu keadaan yang sama sekali asing bagi mereka. Bagi para prajurit itu, ujung pedang dan tombak tidak akan menggelisahkan mereka seperti saat itu. Mereka dihadapkan pada suatu keadaan yang tidak dapat dimengerti.
Tetapi Witantra, Sidatta dan Mahendra mempunyai perasaan yang lebih tajam dari para prajurit itu. Mereka mengerti, bahwa Ken Dedes tiba-tiba dilanda oleh suatu ketakutan mendengar jawaban-jawaban Mahisa Agni. Mahisa Agni pada saatnya pasti akan mengatakan bahwa bendungan itu telah pecah. Dan Mahisa Agni pasti akan mengatakan, seperti berita yang telah mereka dengar, dan yang Ken Dedes telah pula mendengarnya, bahwa ayah Ken Dedes, Empu Purwalah yang memecahkan bendungan itu, sebagai suatu kutukan atas padukuhan Panawijen. Panawijen akan menjadi kering, karena penduduknya tidak melindungi anak gadisnya yang dilarikan orang.
Kebo Ijo pun dapat merasakan ketakutan itu pula. Tetapi tanggapannya agak berbeda dengan kedua saudara seperguruannya. Bahkan seluruh isi pendapa itu terkejut ketika tiba-tiba terdengar Kebo Ijo itu tertawa tertahan-tahan, sehingga suaranya mirip dengan ringkik kuda.
"Kebo Ijo," bentak Witantra sambil memandangi wajah anak muda itu dengan tajamnya, "kenapa kau tertawa?"
Dengan susah payah Kebo Ijo menahan tawanya. Jawabnya, "Menurut kata orang-orang tua, Kakang. Kalau pembicaraan tiba-tiba terhenti, maka pada saat itu di sekitar tempat pembicaraan itu ada setan yang sedang lewat."
Witantra menggeram. Hampir saja tangannya bergerak menampar kening Kebo Ijo seandainya tidak segera disadarinya, bahwa di hadapannya duduk seorang gadis yang pasti akan menjadi ngeri melihat perbuatannya. Tetapi karena itu, maka terdengar Witantra itu membentak betapapun ia mencoba menahan-nahan, "Kebo Ijo. Pergi ke halaman belakang. Kawani perwira dan prajurit yang berjaga-jaga di sana."
Kebo Ijo pun kemudian menundukkan wajahnya. Ia menjadi takut juga kepada kakak seperguruannya. Perlahan-lahan ia beringsut mundur. Akhirnya ia pun turun dari pendapa dan berjalan ke halaman belakang. Tetapi Mahisa Agni yang memandangi wajah anak muda itu masih melihat bibir Kebo Ijo tertarik ke sisi. Betapa hati Mahisa Agni menjadi panas melihatnya. Namun ia tidak berbuat sesuatu. Bahkan kembali Mahisa Agni mengagumi, betapa Witantra selalu berbuat dengan tepat, meskipun terhadap adik seperguruannya sendiri.
Ken Dedes pun menjadi tidak senang melihat tingkah laku Kebo Ijo. Namun gadis itu pun tidak mengatakan sesuatu. Bahkan kemudian kembali dadanya dilanda oleh perasaan takut dan cemas. Ia memang tidak mau mendengar lagi cerita tentang pecahnya bendungan Panawijen. Cerita itu merupakan sebuah cerita yang akan dapat selalu menghantuinya. Bagaimana ayahnya menderita, sehingga kehilangan keseimbangan berpikir karena kehilangan dirinya. Namun tiba-tiba ia telah menyerahkan diri kepada orang yang melindungi melarikannya pada saat itu.
"Apakah aku telah mengkhianati ayahku pula?" tiba-tiba terdengar sebuah pertanyaan mengguntur di dalam dadanya.
"Dan apakah karena hal-hal yang demikian ini pula, maka Kakang Mahisa Agni telah melepaskan aku?"
Tiba-tiba dada Ken Dedes menjadi sesak. Ia menjadi semakin ketakutan apabila tiba-tiba saja Mahisa Agni dengan kehendak sendiri, bahkan mungkin dengan sengaja akan menceritakan segala macam peristiwa yang pernah dialami di hadapan para perwira dan prajurit Tumapel.
Karena itu, karena kegelisahan, kecemasan dan perasaan yang lain yang mendesaknya, maka Ken Dedes merasa seolah-olah dikejar-kejar oleh bayangan tentang masa-masa lampau itu, sehingga dengan serta-merta ia berkata lantang, "Kakang Mahisa Agni. Kedatanganku ke Panawijen didorong oleh keinginanku bertemu dengan Kakang Mahisa Agni. Karena itu, biarlah aku berbicara dengan Kakang tanpa orang-orang lain yang mendengarkannya."
Mahisa Agni menggigit bibirnya. Ia sendiri tidak tahu, apa yang sebaiknya dilakukan dalam keadaan serupa itu. Tetapi dengan tiba-tiba ia menjadi sangat iba kepada gadis itu. Sama sekali bukan karena pengaruh kewibawaannya, tetapi karena air mata yang telah membasahi wajah Ken Dedes. Dengan demikian maka tidak ada pilihan lain baginya daripada memenuhi permintaan itu, seperti pada masa kanak-kanak mereka. Mahisa Agni tidak pernah menolak permintaan Ken Dedes apabila ia mampu melakukannya.
Ken Dedes tidak menunggu jawaban Mahisa Agni. Segera ia bangkit sambil berkata, "Marilah, Kakang."
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Tetapi sebelum ia menjawab, Ken Dedes sudah mendahuluinya berjalan memasuki ruang dalam rumahnya.
Mahisa Agni pun kemudian bangkit pula. Kepada Witantra, Mahendra dan Sidatta ia berkata, "Baiklah aku mengikutinya. Mungkin ada persoalan-persoalan penting yang akan dikatakannya."
"Silakan," jawab mereka hampir serentak.
Mahisa Agni pun kemudian berjalan dengan langkah yang berat mengikuti Ken Dedes menghilang dibalik pintu, masuk ke ruang dalam rumah gurunya. Rumah yang sudah didiaminya sejak masa kanak-kanaknya.
Sepeninggal Ken Dedes para emban pun menjadi gelisah. Mereka belum pernah melakukan upacara seperti itu. Karena itu mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan. Mereka sama sekali tidak berani beranjak dari tempatnya. Meskipun mereka menjadi penat dan jemu, namun mereka masih saja duduk di tempatnya. Apalagi mereka ketahui bahwa Witantra, Sidatta, Mahendra dan para prajurit yang lain pun sama sekali tidak berajak dari tempat mereka.
Ketika Mahisa Agni menutup pintu dinding yang memisahkan ruang dalam dan pendapa rumah itu, dadanya kembali bergelora. Ia tidak segera melihat Ken Dedes di ruang itu. Karena itu maka Mahisa Agni pun melangkah lagi, semakin dalam. Telah beratus, bahkan beribu kali ia menginjak lantai yang kini diinjaknya, telah beratus bahkan beribu kali ia lewat ruangan itu, dan berapa ribu kali pula ia melangkahi tlundak dinding penyekat ruang dalam, namun terasa kini semuanya itu asing baginya. Ia tidak segera menemukan Ken Dedes di dalam ruangan-ruangan itu. Kini Mahisa Agni berjalan lagi ke ruang belakang. Ruang itu pun kosong sama sekali.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ketika terpandang olehnya selintru yang menutup bilik Ken Dedes, Mahisa Agni menjadi ragu-ragu. Apakah gadis itu berada di dalam biliknya. Bilik yang telah lama ditinggalkannya. Namun Ken Dedes harus menemuinya. Mungkin gadis itu ingin mengatakan sesuatu yang penting kepadanya.
Perlahan-lahan Mahisa Agni melangkah ke pintu bilik itu, perlahan-lahan tangannya berpegangan pada uger-uger pintu. Namun kembali ia menjadi ragu-ragu. Perasaan yang dahulu tidak pernah dimilikinya apabila ia ingin memasuki ruangan itu, meskipun seandainya Ken Dedes baru tidur sekalipun.
Tetapi sesuatu mendesak dadanya. Ia harus menemui gadis itu. Dengan penuh kebimbangan Mahisa Agni beringsut maju. Perlahan-lahan ia menjengukkan kepalanya lewat pintu bilik yang menganga lebar. Tetapi kembali ia menarik nafas dalam-dalam. Bilik itu pun ternyata kosong.
"Di manakah gadis itu?" desisnya.
Mahisa Agni pun melangkahkan kakinya kembali. Sekarang ia menuju ke serambi belakang. Ruang satu-satunya yang tinggal dari rumah induk itu selain tiga sentong yang hampir tak pernah dipergunakan. Kalau di serambi itu Ken Dedes tidak ada, maka ia pasti berada di dapur atau di bilik di belakang serambi itu. Bilik itu adalah biliknya.
Sekali lagi Mahisa Agni melompati tlundak pintu samping. Lewat serambi gandok Mahisa Agni berjalan ke belakang. Tiba-tiba langkahnya tertegun ketika ia melihat bahwa Ken Dedes memang berada di serambi itu. Serambi yang terbuka ke arah belakang.
"Kakang," desisnya ketika ia melihat Mahisa Agni.
Mahisa Agni tidak menyahut, tetapi ia berjalan mendekati gadis itu. Ketika ia duduk di tikar di depan Ken Dedes, hatinya berdesir. Dibalik dinding inilah, terletak balai-balai bambu. Kalau bulan terang, maka kadang-kadang ia berbaring-baring di tempat itu sambil meniup serulingnya dahulu. Tetapi sekarang seruling itu hampir tak pernah disentuhnya.
"Kakang," ulang Ken Dedes ketika Mahisa Agni telah duduk, "banyak sekali yang sebenarnya ingin aku katakan, tetapi tiba-tiba semuanya itu lenyap dari kepalaku. Meskipun demikian Kakang, aku mengharap Kakang sudah dapat mengetahui maksud kedatanganku. Sebab sebelum aku telah datang pula Bibi emban pemomongku yang bahkan telah datang bersamamu ke Tumapel. Tetapi kau tidak sempat menemui siapa pun sampai kau kembali ke Panawijen."
Terasa kata-kata itu meluncur seperti tanpa dapat dikendalikan. Simpang siur, karena Ken Dedes telah kehilangan ketenangannya, apalagi rencana yang telah disusunnya semalam suntuk.
Mahisa Agni tidak segera menjawab. Ditunggunya Ken Dedes berkata terus, "Kakang, apakah Kakang dapat memenuhi permintaan itu?"
Pertanyaan yang terlalu langsung itu sama sekali tidak disangkanya. Mahisa Agni menduga bahwa Ken Dedes akan mengucapkan berbagai alasan-alasan, baru kemudian minta kepadanya untuk pergi ke Tumapel, sehingga dugaan itu sama sekali bertentangan dengan rencana Ken Dedes sendiri. Untunglah bahwa Ken Dedes menjadi gelisah dan kehilangan ketenangannya, sehingga semua rencana itu tidak dapat dilakukan. Sebab dengan demikian, maka akibatnya pasti akan berlawanan dari yang dikehendakinya. Mahisa Agni sama sekali tidak akan dapat disilaukan oleh sikap dan keadaan Ken Dedes karena goresan-goresan yang telah membekas terlampau dalam pada dinding hatinya.
Tetapi kini Ken Dedes itu berkata terbata-bata tanpa dapat menyusun urutan yang teratur sehingga justru karena itu Mahisa Agni tidak menjadi semakin tersinggung karenanya.
Meskipun demikian, permintaan itu sendiri bukanlah permintaan yang menyenangkan bagi Mahisa Agni. Permintaan itu adalah permintaan yang menjemukan.
Sesaat kemudian mereka saling berdiam diri. Serambi itu seakan-akan dicengkam oleh suasana yang terlampau sepi. Betapa degup jantung Ken Dedes menunggu Mahisa Agni mengucapkan jawaban atas permintaannya itu.
Tetapi Mahisa Agni tidak segera menjawab. Bahkan kemudian anak muda itu seolah-olah membeku. Sorot matanya jauh hinggap pada dedaunan di luar yang bergerak-gerak disentuh angin. Tetapi dedaunan itu sudah tidak sesegar dahulu.
Dan daun-daun yang kekuning-kuningan itu telah mengingatkan Mahisa Agni kepada gurunya, kepada bendungan yang pecah dan kepada kerja yang sedang dilakukan.
Ia berpaling ketika ia mendengar Ken Dedes bertanya mendesak, "Bagaimana Kakang?"
Tetapi Ken Dedes telah menjadi semakin kehilangan ketenangannya. Sekali lagi ia mendesak, "Bagaimana Kakang, bukankah kau akan pergi ke Tumapel?"
Mahisa Agni merasakan kegelisahan yang melonjak-lonjak di dada Ken Dedes. Tetapi ia merasakan gejolak di dalam dadanya sendiri pula. Dalam benturan-benturan perasaan yang terjadi di dalam dirinya. Mahisa Agni menarik nafas berulang kali. Ia mencoba menenangkan hatinya dan mencoba mendapatkan kesimpulan yang sebaik-baiknya.
Akhirnya Mahisa Agni itu berkata, "Ken Dedes. Apakah sebenarnya keperluanku pergi ke Tumapel" Bukankah kita telah bertemu di sini" Tak ada persoalan lagi dengan saat-saat kawinmu nanti. Kalau aku dapat kau anggap sebagai ganti ayahmu, maka aku telah merestuimu."
Mahisa Agni berhenti sesaat. Terasa nafasnya menjadi semakin cepat mengalir seperti katanya yang mengalir semakin cepat pula, seakan-akan sengaja dikatakannya terlampau cepat agar dirinya sendiri tidak mendengarnya. Lalu dilanjutkannya, "Yang penting bagimu, bahwa kau telah mendapat restu itu. Dengan demikian kau tidak meninggalkan adat yang lazim berlaku."
"Tidak, tidak, Kakang," potong Ken Dedes, "itu tidak cukup. Adat kita mengatakan, bahwa perkawinan ditentukan oleh orang-orang tua. Apalagi bagi gadis-gadis. Karena itu, biarlah Kakang menghadap Akuwu Tunggul Ametung untuk menunjukkan bahwa tak ada persoalan apa-apa di dalam keluargaku. Satu-satunya orang yang ada sekarang adalah kau Kakang. Kepadamu aku menangis. Tidak kepada orang lain."
Mahisa Agni kini menundukkan kepalanya dalam-dalam. Ia tidak tahu perasaan apakah sebenarnya yang bergetar di dalam dirinya. Tetapi terasa keringat dinginnya mengalir di seluruh wajah kulitnya.
"Kau harus pergi Kakang. Kau harus pergi."
Ternyata Ken Dedes tidak dapat bersikap lain daripada sikapnya itu. Sikap seperti sikapnya pada masa kanak-kanak apabila ia menginginkan sesuatu dan Mahisa Agni mencoba mencegahnya. Namun apabila demikian, maka biasanya Mahisa Agni tidak akan dapat menolak lagi, meskipun seandainya ia harus memanjat sebatang pohon jambe yang tinggi sekali hanya sekedar mengambil sebutir buahnya yang berwarna jambu.
Tetapi yang dihadapinya kini bukan sekedar sebutir buah jambe yang berwarna jambu. Bukan sekedar seuntai bunga manggar yang sedang mekar di atas pelepah kelapa.
Yang kini harus dipetiknya untuk gadis itu adalah jantungnya sendiri.
Tetapi kembali hati Mahisa Agni luluh apabila ia melihat Ken Dedes menangis. Ia ingin memenuhi permintaan itu, tetapi ia tidak mempunyai keberanian untuk melakukannya. Sehingga dengan demikian, hati Mahisa Agni itu pun terasa seperti diremas-remas oleh suara tangis Ken Dedes.
"Ken Dedes," berkata Mahisa Agni kemudian, "bukankah sudah aku katakan. Kalau kau menganggap aku wakil dari bapa guru, Empu Purwa, maka aku sudah merestuimu. Apakah keuntungannya kalau aku datang ke Tumapel. Bukankah restuku akan sama saja nilainya" Kalau persoalannya adalah persoalan adat yang harus ditempuh, kenapa Akuwu Tunggul Ametung tidak memerintahkan dua atau tiga orang tua-tua untuk datang melamarmu kemari?"
Ken Dedes tersentak mendengar jawab itu, sehingga tangisnya terhenti. Dalam kata-kata itu benar-benar terasa olehnya, menurut tangkapannya, bahwa Mahisa Agni merasa dirinya terlampaui. Harga diri kakaknya itu agaknya telah melampaui segala macam pertimbangan tentang kedudukan Akuwu Tunggul Ametung, tentang kekuasaan yang ada di tangannya.
"Kakang," berkata Ken Dedes masih dalam isak tangisnya yang terputus, "apakah kau menyadari kata-katamu itu?"
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Sambil mengangguk ia menjawab, "Ya. Aku menyadari kata-kataku."
"Apakah Kakang menyadari kedudukan dan kekuasaan Akuwu Tunggul Ametung?"
"Ya, aku menyadari," sahut Agni pula.
"Kenapa Kakang masih menganggap bahwa Akuwu Tunggul Ametunglah yang harus datang melamar kemari" Ke padepokan terpencil yang justru berada di dalam wilayah kekuasaan Akuwu Tunggul Ametung?"
Kini dada Mahisa Agnilah yang berdesir. Ternyata maksudnya untuk membuat alasan supaya ia tidak harus datang ke Tumapel telah menimbulkan salah paham. Namun ia masih mencoba untuk memperbaikinya, "Bukan maksudku demikian Ken Dedes. Aku hanya memperbandingkan adat yang kau sebut-sebut. Kalau disadari atas kekuasaan, kedudukan dan wewenang Akuwu Tunggul Ametung, maka aku kira aku sudah tidak diperlukan lagi. Semua keputusan dapat diambil oleh Akuwu Tunggul Ametung tanpa pertimbangan orang lain. Tanpa pertimbanganku dan bahkan seandainya kau menolak sekalipun, Akuwu akan dapat berbuat di dalam lindungan kekuasaannya. Tetapi maksudku ingin mengatakan, bahwa aku tidak sempat pergi ke Tumapel karena pekerjaanku yang terlampau banyak di padukuhan ini."
Tetapi Mahisa Agni menjadi kecewa karena Ken Dedes justru menangkap kata-katanya semakin jauh dari maksudnya. Ken Dedes yang sejak dari Tumapel sudah dibekali dengan kekecewaan atas sikap Mahisa Agni, kini seakan-akan dengan tiba-tiba mendapatkan saluran untuk meledak.
Sesaat Ken Dedes menatap wajah Mahisa Agni dengan tajam, dan sesaat kemudian terdengar ia berkata, "Pekerjaan apakah yang telah mengikat Kakang di sini?"
"Bendungan itu Ken Dedes?"
"Apakah Kakang tidak dapat meninggalkannya sepekan atau dua pekan?"
"Aku bertanggung jawab atas pembuatan bendungan itu di samping Ki Buyut Panawijen sendiri."
"Jadi kau memberatkan bendungan itu?"
Mahisa Agni terdiam sejenak, seolah-olah memberi kesempatan kepada Ken Dedes untuk menumpahkan segala macam kekecewaan hatinya. Mengalir seperti saat bendungan Panawijen yang pecah karena tangan Empu Purwa, "Kakang, jadi apakah Kakang lebih menaruh perhatian atas bendungan itu daripada perintah Akuwu Tunggul Ametung" Juga lebih mementingkan bendungan itu daripada memenuhi panggilannya" Kakang, bendungan adalah barang mati yang tidak akan dapat menuntut apapun kepadamu, apalagi seandainya pekerjaan itu hanya tertunda seminggu atau dua minggu. Tetapi Akuwu Tunggul Ametung adalah seorang Akuwu. Seorang yang memiliki berbagai macam perasaan. Ia dapat menjadi kecewa, marah dan bahkan dapat menentukan sikap apapun yang dikehendakinya di seluruh daerah Tumapel. Karena itu, Kakang, perhitungkanlah sebaik-baiknya. Bendungan itu, atau Akuwu Tunggul Ametung atas permintaanku."
Mahisa Agni benar-benar tersinggung mendengar kata-kata Ken Dedes yang seperti banjir melanda dinding jantungnya. Tetapi ia masih berusaha untuk berkata setenang-tenangnya, "Ken Dedes, ternyata kau salah mengerti tentang bendungan itu. Memang bendungan adalah benda mati, yang terdiri tidak lebih dari batu-batu, kayu dan tali-tali ijuk serta brunjung-brunjung bambu. Tetapi dibalik benda-benda yang mati itu bernaung kehidupan yang besar. Kehidupan yang meliputi seluruh segi kehidupan di Panawijen. Ken Dedes, benda-benda mati itu adalah perlambang dari hidup matinya penduduk Padukuhan kita ini. Karena bersumber pada benda-benda mati itu kita akan membuat suatu kehidupan baru. Padukuhan baru. Sepekan bagi kami adalah sangat penting artinya. Kalau kami terlambat sepekan, maka keadaan kami akan menjadi terlampau parah. Juga bukan maksudmu mengabaikan Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi aku mengharap Akuwu Tunggul Ametung dapat mengerti keadaanku."
"Kakang," potong Ken Dedes, "Akuwu Tunggul Ametung adalah orang yang paling berkuasa di Tumapel. Kenapa Akuwu yang harus menunggumu" Tidak Kakang, kau harus mendengarkan perintah ini. Akuwu Tunggul Ametung akan dapat berbuat hal-hal di luar dugaanmu. Meskipun bendungan itu telah jadi, tetapi Akuwu akan dapat memerintahkan untuk memecahnya kembali apabila ia menjadi marah."
"Jangankah memecah bendungan itu Ken Dedes," sahut Mahisa Agni yang menjadi semakin kecewa pula kepada adik angkatnya itu, "Akuwu Tumapel dapat memerintahkan membunuh kita sekalian sekaligus tanpa menunggu kita semua di sini mati kelaparan. Adalah lebih baik lagi kami Ken Dedes, sebab kami tidak perlu menderita terlampau lama."
"Kakang," wajah Ken Dedes menjadi merah. Kini ia tidak saja dibakar oleh kekecewaan hatinya yang memuncak, tetapi Ken Dedes itu telah dijalari oleh perasaan marah, "Kau jangan berkata demikian Kakang. Kau menghina Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi ketahuilah, bahwa Akuwu Tunggul Ametung pasti akan tahu, bahwa bendungan itu hanyalah sekedar alasanmu yang tak berarti. Apa kau sangka bahwa kau adalah seorang pahlawan besar di Panawijen yang tak ada duanya" Mungkin kau seorang yang paling pandai berkelahi di Panawijen Kakang, tetapi bukan seorang yang paling mengetahui tentang bendungan. Apa kau sangka bahwa tanpa kau bendungan itu tidak akan jadi" Apakah kau sangka bahwa Ki Buyut Panawijen dan orang-orang tua di sini adalah sedemikian bodohnya, sehingga hanya Mahisa Agnilah yang mampu membuat bendungan itu?"
"Ken Dedes," potong Mahisa Agni.
Tetapi Ken Dedes berkata terus, "Jangan ingkar. Semua itu telah diketahui."
"Tetapi aku bertanggung jawab atas pekerjaan itu. Aku harus mengawasi dan memberikan beberapa petunjuk. Mungkin aku bukan seorang yang paling cakap untuk pekerjaan ini, dan aku memang tidak ingin menjadi seorang pahlawan bagi penduduk Panawijen, Ken Dedes. Tetapi aku tidak dapat melepaskan kepercayaan yang diberikan kepadaku. Itu bukan maksudku sendiri. Bukan kehendakku. Aku tidak pernah berteriak-teriak di perapatan dan mengatakan bahwa akulah satu-satunya orang yang pantas memimpin mereka membuat bendung itu. Tidak. Tetapi mereka percaya kepadaku. Mereka mengharap aku bertanggung jawab. Apakah aku dapat melepaskan kepercayaan ini?"
"Itu pun hanya perasaanmu sendiri Kakang," sahut Ken Dedes, "kalau seseorang telah melakukan pekerjaan, betapapun orang lain tidak menyukainya, maka adalah segan bagi mereka untuk mengatakan langsung kepada yang berkepentingan. itu adalah watak dari tetangga-tetangga kita di sini. Kalau kau telah menjajakan tenagamu, maka tak seorang pun yang akan sampai hati mengatakan bahwa sebenarnya kau tidak diperlukan."
"Ken Dedes," Mahisa Agni pun kemudian kehilangan kesabarannya. Kata-kata Ken Dedes ternyata terlampau tajam baginya, yang seolah-olah langsung menghunjam ke pusat jantungnya. Bahkan kemudian dadanya menjadi gemetar. Dan dengan suara yang gemetar pula ia berkata, "Memang Ken Dedes. Aku telah menjajakan tenagaku. Diterima atau tidak diterima oleh penduduk Panawijen. Aku ingin menebus kesalahan yang telah terjadi, benar atau tidak benar langkah ini. Tetapi hatiku telah didesak oleh suatu keinginan untuk menebus kesalahan yang dilakukan oleh keluarga padepokan ini. Ketahuilah, bahwa yang memecah bendungan itu adalah ayahmu. Guruku. Mungkin ini telah kau dengar. Nah, apa kata rakyat Panawijen tentang Empu Purwa. Tentang penghuni padepokan yang selama ini berlindung di dalam wilayah padukuhan Panawijen" Itulah alasannya kenapa aku menjajakan tenagaku, diterima atau tidak diterima, karena kesetiaanku kepada Guru dan keinginanku membersihkan sekurang-kurangnya memperkecil kesalahan guruku itu."
Jawaban Mahisa Agni itu terdengar seperti petir yang meledak di dalam dada Ken Dedes. Betapa dahsyatnya, serasa dada itu akan menjadi pecah. Jawaban itu adalah jawaban yang telah menghempaskan Ken Dedes ke dalam suatu suasana yang menakutkan. Ia takut mendengar keterangan itu. Namun karena kemarahan yang telah mendidihkan darahnya, maka ia berusaha untuk lari dari ketakutan itu. Ia berusaha untuk tetap bertahan pada pendiriannya.
Karena itu katanya, "Aku tidak peduli siapa yang memecahkan bendungan itu. Meskipun hantu-hantu dari padang Karautan sekalipun. Tetapi kau tidak perlu merasa dirimu pemimpin yang tak papat beranjak dari tempatmu seolah-olah kau adalah seorang yang sangat penting. Seolah-olah bendungan itu tidak akan jadi kalau tidak ada Mahisa Agni. Kakang Mahisa Agni. Jangan kau sangka bahwa aku tidak tahu, apakah alasan sebenarnya yang mencegah kau pergi ke Tumapel."
Kini dada Mahisa Agnilah yang bergelora. Apakah benar Ken Dedes mengetahui dorongan yang paling kuat yang tersimpan di dalam dadanya, kenapa ia menjadi keras hati untuk selalu menghindari permintaan Akuwu Tunggul Ametung itu" Sejenak Mahisa Agni tidak menjawab. Bahkan terasa di dalam hatinya, goresan-goresan yang tajam menyentuh-nyentuhnya.
"Ya, kenapa aku tidak mau pergi ke Tumapel?" pertanyaan itu berkejaran di dalam dirinya, "Kalau aku memenuhi permintaan ini sejak saat itu, maka aku tidak akan dikejar-kejar lagi oleh persoalan yang menjemukan ini."
Mahisa Agni terkejut ketika ia mendengar suara Ken Dedes kembali, "Kakang, bagaimana" Kenapa kau berdiam diri" Jangan kau sangka bahwa aku tidak mengetahui alasanmu. Alasanmu yang sebenarnya kenapa kau tidak mau pergi ke Tumapel."
Kini Mahisa Agnilah yang terdorong dalam suatu suasana yang ditakutinya. Kalau Ken Dedes itu benar mengetahui perasaannya maka alangkah malunya. Alangkah kecilnya nilai hati Mahisa Agni.
Ketika terdengar suara Ken Dedes sekali lagi berkata, "Kau ingin mendengar alasan itu Kakang?"
Maka Mahisa Agni dengan serta-merta memotongnya, "Tidak. Tidak. Jangan kau katakan Ken Dedes."
"Kenapa?" desak Ken Dedes, "kenapa kau takut mendengarnya" Bukankah kau sendiri yang telah menumbuhkan alasan itu di dalam dirimu. Alasan yang sebenarnya terlampau dibuat-buat."
"Jangan, jangan," potong Mahisa Agni pula. Wajahnya yang tenang kini telah dilumuri oleh peluh dingin yang mengalir dari kening. Wajah Ken Dedes yang cantik dalam pakaian yang cemerlang itu, seolah-olah telah berubah menjadi wajah hantu yang mengerikan dari hantu padang Karautan yang pernah dikenalnya.
"Aku akan mengatakannya," berkata Ken Dedes tegas, "aku akan mengatakannya alasan yang telah menahanmu untuk tidak pergi ke Tumapel."
Sebelum Mahisa Agni sempat memotongnya, maka Ken Dedes pun telah berkata pula, "Kakang, ternyata kau memang menilai dirimu terlampau berlebih-lebihan. Mungkin karena kau satu-satunya anak muda di Panawijen yang mampu mengalahkan Kuda Sempana."
"Ken Dedes," potong Mahisa Agni.
Tetapi Ken Dedes sama sekali tidak memedulikan. Dengan lantangnya ia berkata keras, "Dengan demikian kau merasa bahwa dirimu terlampau berharga. Mungkin kau memang sangat berharga dan dikagumi oleh anak-anak muda Panawijen, tetapi jangan menilai Tumapel yang luas ini sepicik kau menilai Panawijen Kakang. Sehingga terhadap Akuwu Tumapel pun kau masih juga menganggap dirimu terlampau berharga. Aku tahu alasanmu, kepada kau tidak mau datang ke Tumapel."
Ken Dedes berhenti sesaat dan peluh yang menetes dari dahi Mahisa Agni menjadi semakin deras. Namun kini justru mulutnya serasa terkunci dan dibiarkannya Ken Dedes berkata terus, "Alasan itu adalah, bahkan kau merasa tersinggung karena aku tidak minta pertimbanganmu pada saat aku menerima lamaran Akuwu Tunggul Ametung. Kau merasa bahwa sepeninggal ayah, kau berhak menentukan jalan hidupku. Kau merasa bahwa kaulah yang harus mengatakan, apakah aku dapat menerima lamaran itu atau tidak. Bahkan mungkin kau berpikir, bahwa kau boleh dan berhak menerima atau menolak lamaran itu. Nah, apa katamu Kakang" Bukankah dengan demikian kau menganggap dirimu terlampau penting, tidak saja dalam persoalan bendungan itu, tetapi juga dalam persoalanku. Ayahku dahulu memberi kesempatan kepadaku untuk memilih. Sekarang ayahku tidak ada, dan kau menjadi wakilnya. Apakah kau dapat berbuat lebih keras dari ayahku terhadap aku?"
Tiba-tiba Mahisa Agni itu menarik nafas dalam-dalam. Ia kini telah mendengar apa yang dikatakan Ken Dedes alasan yang tersimpan di dalam dirinya.
Dada Mahisa Agni itu bahkan kini serasa menjadi lapang. Sangat lapang setelah ia mendengar sendiri betapa Ken Dedes menilai dirinya.
"Syukurlah," desisnya di dalam hati. "Kalau hanya itu yang ditimpakan kepadaku."
Tiba-tiba hati Mahisa Agni pun menjadi dingin. Ia tidak lagi dicengkam oleh kemarahan dan kecemasan. Kini yang dilihatnya duduk di hadapannya bukan lagi wajah hantu betina yang mengerikan, tetapi yang duduk di hadapannya adalah seorang gadis cantik yang sedang dicemaskan oleh keadaan dirinya sendiri, bahkan hampir dibayangi oleh perasaan putus asa.
Selanjutnya Mahisa Agni kini dapat mendengarkan kata-kata Ken Dedes dengan tenang.
"Kakang," berkata Ken Dedes yang masih saja membanjir, "karena kekecewaanmu itu, maka kini kau menolak meneruskan persoalan yang kau anggap dirimu tidak perlu mencampuri karena sejak semula kau tidak dibawa berbincang. Karena persoalan harga dirimu yang berlebih-lebihan itu, kau telah menolak perintah Akuwu Tunggul Ametung. Kakang, apakah yang kau lakukan itu bukan suatu pemberontakan terhadap pimpinan pemerintahan, seperti yang dilakukan oleh Kuda Sempana?"
Betapapun Mahisa Agni telah berhasil menguasai perasaannya, namun ia terkejut juga mendengar tuduhan itu. Sehingga dengan serta-merta ia bertanya, "Ken Dedes, kenapa kau menuduh aku sedemikian jauhnya, sehingga kau telah menganggap aku memberontak terhadap Akuwu Tunggul Ametung?"
"Bukankah yang terjadi demikian Kakang?" berkata Ken Dedes dengan lantangnya, "Kau menolak mematuhi perintahnya. Perintah seorang Akuwu. Apakah itu sebenarnya, bukan suatu pemberontakan" Seperti Kuda Sempana telah menolak mematuhi perintah Akuwu Tunggul Ametung."
Ken Dedes berhenti sejenak. Seakan-akan ia memberi kesempatan kepada Mahisa Agni untuk mencernakan kata-katanya. Sejenak kemudian ia meneruskan, "Tetapi Kakang, aku masih kecil untuk dapat menghormati Kuda Sempana lebih daripadamu. Kuda Sempana memberontak karena ia kehilangan cita-cita. Kehilangan sesuatu yang telah diperjuangkannya dengan gigih. Tiba-tiba yang seakan-akan telah dicapainya itu telah direnggutkan oleh Akuwu Tunggul Ametung dari tangannya. Tegasnya, Kuda Sempana tidak dapat mencapai maksudnya karena Akuwu Tunggul Ametung. Maka ia pun telah meninggalkan istana dan melakukan perlawanan. Tetapi kau, apakah yang kau lakukan" Sama sekali bukan karena suatu cita-cita. Bukan karena kau kehilangan yang telah pernah kau miliki karena dirampas oleh Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi kau memberontak hanya karena kau merasa tersinggung. Tersinggung karena kau mempunyai harga diri yang berlebih-lebihan. Nah apa katamu Kakang?"
Mahisa Agni menundukkan wajahnya. Alangkah sakitnya tuduhan itu menggores dinding jantungnya, seperti tergores sembilu. Namun Mahisa Agni benar-benar telah berhasil menguasai dirinya sejak ia mendengar tuduhan Ken Dedes atas alasan yang dianggapnya bermukim di dalam dadanya. Ia menjadi tenang, ketika ia merasa bahwa Ken Dedes tidak melihat apa yang sebenarnya tersimpan rapat di dalam relung hatinya yang paling dalam.
"Kakang," terdengar suara Ken Dedes, "katakan, katakan bahwa kau tidak memberontak hanya karena alasan yang tidak masuk akal itu?"
Mahisa Agni perlahan-lahan mengangkat wajahnya yang suram. Betapa suram wajah itu. Ia merasa bahwa Ken Dedes kini telah menganggap dirinya sama sekali tidak berharga. Jauh lebih tidak berharga dari Kuda Sempana yang dianggapnya berjuang untuk suatu cita-cita.
Namun Mahisa Agni itu pun menjawab dengan hati-hati, "Ken Dedes. Kenapa kau menganggap bahwa aku telah memberontak" Aku tidak sebodoh itu, Ken Dedes. Bahkan betapa bodohnya aku, anak pedesaan, namun aku masih mempunyai kesadaran bahwa tanah ini adalah tanah yang memberi aku makan dan minum. Tanah ini adalah tanah di mana aku dilahirkan dan dibesarkan. Di mana aku bermain-main dan mengalami masa-masa lampauku. Dan tanah ini adalah tanah Tumapel."
"Ken Dedes. Kau tahu apa yang telah dilakukan oleh ayahmu" Betapa orang tua itu menjadi kecewa dan marah karena kehilangan putri satu-satunya. Putri itu adalah kau Ken Dedes. Tetapi apa yang dilakukan oleh ayahmu" Ayahmu tahu benar, bahwa di antara mereka yang datang ke padepokan ini adalah Akuwu Tunggul Ametung. Ayahmu tahu benar bahwa benar-benar Tunggul Ametung telah melindungi Kuda Sempana mengambil anak satu-satunya. Anak itu adalah miliknya yang paling berharga di dunia ini."
"Tetapi Ken Dedes, ayahmu itu tidak memberontak. Memberontak dalam pengertian yang sebenarnya. Memang ayahmu untuk sejenak kehilangan keseimbangan dengan memecah bendungan itu. Tetapi setelah itu ayahmu tidak berbuat apa-apa lagi. Ia lebih baik membuang dirinya dengan hati yang pedih. Kalau ia mau Ken Dedes, kalau ia ingin merebut kau kembali dengan kekerasan, maka tidak mustahil bahwa itu akan dapat dilakukan. Empu Purwa adalah seorang yang baik hati. Kawan-kawannya tersebar di seluruh Tumapel. Kawan-kawan sebayanya. Kawan-kawannya yang mampu memecah bendungan dengan tangan seperti yang dilakukan oleh ayahmu."
"Tetapi Empu Purwa tidak berbuat demikian. Empu Purwa tidak memberontak, karena ia menyadari keadaannya. Menyadari akibat yang dapat terjadi. Pertumpahan darah dan penderitaan. Mungkin Empu Purwa berhasil mendapatkan anaknya kembali, tetapi ia akan mendapatkannya di atas tumpukan mayat sesama. Bukan itu saja. Kalau terjadi peperangan di Tumapel, perang saudara, maka akan hancurlah peradaban. Akan terinjak-injaklah segala macam ketentuan dan peraturan oleh kekerasan dan kekuatan."
"Karena itu Empu Purwa tidak merebutmu dengan kekerasan meskipun mungkin ia mampu. Tetapi ia tidak sebodoh itu. Orang tua itu pun merasa bahwa tanah ini adalah tanah yang memberinya makan dan minum. Tanah tempat ia bernaung di bawah rimbun tetumbuhannya. Tanah tempat ia hidup dalam lingkungan yang serasi. Tanah ini adalah tanah tumpah darah yang tidak sepantasnya dihancurkannya sendiri, hanya karena kepentingan pribadi, kepentingan seorang saja dari seluruh Tumapel ini."
Mahisa Agni berhenti sejenak untuk menelan ludahnya. Seolah-olah mulutnya telah menjadi kering. Tetapi matanya yang suram masih juga memandangi wajah Ken Dedes yang kini tunduk. Sesaat kemudian Mahisa Agni meneruskan, "Ken Dedes. Empu Purwa adalah guruku. Guruku tidak mau melihat pertentangan terjadi di antara kita di Tumapel. Apa yang sebaiknya dilakukan oleh muridnya?"
"Ken Dedes. Aku bukan seorang pengkhianat yang sampai hati berkhianat terhadap tanah ini. Dan aku pun telah mencoba tidak melenyapkan diri seperti Empu Purwa yang benar-benar telah kehilangan segala-galanya, karena kau hilang. Tetapi aku mencoba berbuat lain. Aku tidak akan berbuat sesuatu karena kau. Baik karena harga diriku maupun karena sebab-sebab lain. Tetapi lebih baik bagiku untuk berbuat sesuatu yang dapat memberikan manfaat bagi rakyat Panawijen, sebagian dari tanah Tumapel. Karena itu, aku bekerja keras membuat bendungan. Tidak ada gunanya bagiku untuk berbuat sebodoh Kuda Sempana, berkhianat karena kepentingan pribadi, dan aku juga tidak ingin menghilang tanpa tujuan, sebab dengan demikian hidupku tidak akan berarti lagi meskipun umurku masih cukup muda. Tidak. Aku membuat jalan sendiri. Bekerja untuk kepentingan sesama, untuk kepentingan tanah ini. Panawijen sebagian dari Tumapel yang besar."
Setiap kata yang diucapkan oleh Mahisa Agni serasa menyusup langsung ke pusat jantung Ken Dedes. Las-lasan. Tak ada satu pun yang terlampaui. Kata-kata yang memberinya kesadaran tentang dirinya, tentang orang yang dihadapinya dan tentang semua peristiwa yang telah terjadi.
Hati Ken Dedes itu pun kemudian bergolak. Belum lagi sepemakan sirih, hatinya digetarkan oleh kenyataan yang tampak pada diri Mahisa Agni. Meskipun Ken Dedes telah merencanakan segala sesuatu untuk menyambut kakak angkatnya, namun ketika ia melihat tubuh Mahisa Agni yang kurus dan kulitnya yang terbakar oleh terik matahari, maka air matanya telah runtuh. Saat itu ia telah menemukan nilai yang wajar atas kerja yang dilakukan oleh Mahisa Agni itu. Tetapi karena kemudian hatinya sendiri dibakar oleh perasaannya yang meluap-luap tentang hubungannya dengan Mahisa Agni, maka seolah-olah penilaiannya yang wajar atas Mahisa Agni itu telah dilupakan.
Kini kembali ia menemukan penilaian itu. Kini kembali ia melihat apa yang dilakukan oleh Mahisa Agni, dan apa yang telah dilakukannya. Bahwa kerja Mahisa Agni mencakup suatu kebutuhan yang luas, yang akan memberi sumber bagi kehidupan rakyat Panawijen di hari kemudian, bahkan sampai pada anak cucu. Sedang yang terjadi pada dirinya adalah, perjuangan untuk diri sendiri.
Tiba-tiba wajah Ken Dedes yang tunduk menjadi semakin dalam menghunjam lantai. Dan tiba-tiba pula Mahisa Agni melihat butiran-butiran air menetes satu-satu. Karena itu Mahisa Agni berhenti berbicara. Tetesan air mata itu telah menyentuh hatinya, dan ia menjadi iba karenanya.
"Maafkan aku Kakang," terdengar suara Ken Dedes sangat perlahan, hampir tidak kedengaran.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
"Kau mengerti Ken Dedes?" bertanya Mahisa Agni.
Ken Dedes mengangguk perlahan-lahan ia menyahut, "Ya aku mengerti."
"Nah, kalau begitu, bagaimana seterusnya?" bertanya Mahisa Agni.
"Kau benar Kakang. Kau telah berbuat untuk orang banyak. Kau telah berjuang untuk sesama. Dalam pada itu aku sedang bekerja keras untuk diriku sendiri, untuk kepentinganku seorang."
Ken Dedes berhenti sejenak. Kemudian kata-katanya telah mengejutkan Mahisa Agni, "Kakang, aku akan berbuat seperti kau. Tak ada gunanya aku kembali ke Tumapel. Aku akan duduk di atas singgasana permaisuri Tumapel, namun kakiku akan beralaskan kebahagiaan ayah, kau dan rakyat Panawijen."
"Ken Dedes," potong Mahisa Agni. Tiba-tiba dadanya menjadi berdebar-debar.
"Aku akan kembali ke padukuhan ini. Bekerja seperti orang lain bekerja. Menderita seperti orang lain menderita."
Mahisa Agni terbungkam untuk sesaat. Terasa dadanya menjadi bergelora. Ia tidak tahu pasti, perasaan apakah yang sedang melanda jantungnya.
Sekilas terbayang gadis itu datang kembali ke padepokan ini. Seperti bunga yang layu, maka padepokan ini akan menemukan kesegarannya kembali karena hujan yang turun semalam. Hati yang kering akan kembali bersemi. Gadis itu akan dapat menumbuhkan gairah yang dahsyat menghadapi kerja. Dan hidupnya sendiri tidak akan menjadi gersang seperti sawah yang terentang di sekitar padukuhan ini. Kehadiran Ken Dedes pasti akan menjadi sumber tenaga yang tak akan kering-keringnya, seperti bendungan yang sedang dibangunnya itu.
Tetapi ketika Mahisa Agni melihat gadis itu, Ken Dedes dalam pakaian yang cemerlang, namun tetesan-tetesan air mata masih juga berjatuhan, hatinya memekik tinggi.
"Tidak!" teriak hatinya, "Tidak! Itu juga semacam kebutuhan pribadi. Aku ternyata juga mementingkan diriku sendiri dari kepentingannya."
Mahisa Agni itu menggelengkan kepalanya. Ia tidak sampai hati membiarkan Ken Dedes melepaskan pakaian kebesaran yang telah pernah dikenakannya, hanya karena kerakusannya.
Terdengar Mahisa Agni berdesah. Namun kemudian ia berkata, "Tidak, Ken Dedes. Kau jangan terlampau banyak mengorbankan dirimu, salah seorang dari kita, dari keluarga ini telah cukup. Aku telah menebus semua hutang yang telah dibuat oleh keluarga kita. Pergunakanlah kesempatanmu baik-baik. Mudah-mudahan kau tidak akan mengalami kepahitan lagi seperti masa-masa lampaumu."
Ken Dedes mengangkat wajahnya. Matanya yang basah berkaca-kaca memandangi wajah Mahisa Agni yang merah kehitam-hitaman oleh terik matahari. Namun dari mata yang cekung itu masih terasa sinar mata yang dahulu, meskipun mata itu kini menjadi suram.
"Kakang, aku adalah sebagian dari padepokan ini."
"Ya," sahut Agni, "tetapi kau berhak menentukan hari depanmu seperti ayahmu pernah mengatakan. Bukankah Empu Purwa pernah membuat sebuah permainan yang disebutnya sayembara pilih meskipun para pengikut sayembara itu tidak hadir?"
Ken Dedes menundukkan wajahnya kembali. Tetapi ia tidak dapat melupakan permintaan Akuwu Tunggul Ametung untuk bertemu dengan Mahisa Agni.
Tiba-tiba Mahisa Agni menangkap kebimbangan di dalam diri Ken Dedes. Kebimbangan yang telah memeras air matanya semakin banyak mengalir.
Kini kembali terjadi pergolakan d:dalam dada Mahisa Agni. Ia tidak dapat melihat kepedihan itu. Seperti pada masa kanak-kanak mereka, Mahisa Agni tidak dapat melihat dan membiarkan Ken Dedes menangis. Karena itu tiba-tiba ia berkata, "Ken Dedes, biarlah aku besok mengantarmu ke Tumapel. Biarlah aku mematuhi perintah Akuwu Tunggul Ametung untuk kepentinganmu. Mudah-mudahan kau akan dapat menemukan kebahagiaan."
Hati Ken Dedes tergetar mendengar kesediaan Mahisa Agni itu. Tetapi tidak seperti pada saat-saat Mahisa Agni bersedia memetik sebuah jambe yang berwarna merah jambu, kali ini Ken Dedes tidak memekik kegirangan. Gadis itu tidak melonjak dan menari-nari. Bahkan Ken Dedes itu masih saja menundukkan wajahnya. Terasa betapa Mahisa Agni mencoba untuk membuatnya berbesar hati, namun terasa pula bahwa Mahisa Agni memenuhi permintaannya dengan hati yang berat.
Ken Dedes kini menganggap bahwa Mahisa Agni telah bersedia melepaskan perasaan harga dirinya, karena perasaan iba dan belas kasihan.
Dalam pada itu terdengar Mahisa Agni berkata, "Sudahlah, Ken Dedes. Jangan risaukan lagi semua peristiwa yang terjadi. Yang pernah terjadi biarlah terjadi. Jadikanlah semuanya sebagai pangilon di mana setiap kali kita dapat becermin. Kemudian marilah kita memandang masa depan kita. Kau dengan masa depanmu yang cemerlang, seperti kecemerlangan pakaianmu itu, dan Panawijen akan menjadi segar dan hijau kembali, meskipun kami terpaksa bergeser beberapa tonggak dari tempat ini."
Perlahan-lahan Ken Dedes menganggukkan kepalanya. Tetapi gadis itu belum mampu mengucapkan sepatah kata pun.
Yang berkata kemudian adalah Mahisa Agni pula, "Ken Dedes, kembalilah ke pendapa. Bukankah kau tidak datang sendiri ke padepokan ini" Para prajurit pasti sudah menunggumu. Mereka pasti bertanya-tanya apa saja yang dipercakapkan oleh Ken Dedes dan Mahisa Agni selama ini."
Ken Dedes mengusap air matanya dengan ujung kainnya. Kemudian gadis itu mengangguk kecil sambil berkata, "Ya, Kakang."
"Kau sekarang bukan Ken Dedes yang dahulu. Bukan lagi putri Empu Purwa, seorang pendeta yang tinggal di padepokan kecil di Panawijen. Tetapi kau sekarang adalah seorang calon permaisuri. Kau harus bersikap lain dan bertingkah laku lain. Sebab ternyata meskipun kau telah berpakaian seindah itu, dikawal oleh sejumlah prajurit, namun kau masih saja suka menangis."
"Ah," desah Ken Dedes.
Tetapi Mahisa Agni berkata terus untuk memecahkan ketegangan yang selama ini menghimpit hatinya, "Kau tidak dapat bersikap demikian terhadap Akuwu Tunggul Ametung nanti. Kau dapat menangis, merengek terhadap kakakmu, tetapi tidak terhadap suamimu. Suamimu akan bersedih melihat kau menangis. Kalau ia sedang dirisaukan oleh pekerjaannya sebagai seorang Akuwu, maka mungkin sekali akalnya akan buntu. Tetapi hatinya akan segar apabila ia selalu melihat kau tertawa. Wajah yang cerah bagi seorang suami jauh lebih berharga dari apapun juga."
"Ah," sekali lagi Ken Dedes berdesah.
"Sekarang kembalilah ke pendapa. Aku akan segera menyusul."
"Apakah kau akan lari lagi, Kakang?" bertanya Ken Dedes tiba-tiba.
Kali ini Mahisa Agni tersenyum. Ia mencoba untuk melenyapkan segala macam perasaan yang sebenarnya masih bersilang tindih di hatinya. Katanya, "Jangan takut, Ken Dedes. Aku tidak akan lari kali ini. Aku hanya akan mempersiapkan hidangan yang pantas untuk tamu-tamu kita."
"Para endang telah melakukannya dengan baik, Kakang."
"Oh, baiklah," sahut Mahisa Agni, "tetapi pergilah dahulu ke pendapa."
Ken Dedes tidak membantah. Perlahan-lahan ia bangkit dan membenahi pakaiannya yang agak kusut. Kemudian ia pun pergi meninggalkan Mahisa Agni ke pendapa.
Mahisa Agni pun kemudian berdiri pula. Sepeninggal Ken Dedes, kembali wajahnya menjadi suram. Tetapi kali ini ia tidak lagi berniat ingkar, "Aku akan segera menyelesaikan saja persoalan ini, supaya aku tidak selalu terganggu. Pekerjaanku masih banyak dan memerlukan waktu yang cukup panjang."
Ketika Mahisa Agni kemudian pergi ke halaman belakang untuk mencuci mukanya yang serasa menjadi panas, tiba-tiba ia mendengar suara tertawa di sudut halamannya. Ketika ia berpaling dilihatnya Kebo Ijo duduk di atas rumput-rumput kering bersama seorang perwira lainnya.
Mahisa Agni menarik nafas panjang. Ternyata kemudian ia melihat beberapa orang prajurit yang lain berdiri berjaga-jaga di sudut-sudut yang lain.
"Hem," desahnya, "rumah ini seperti istana seorang bangsawan yang memerlukan penjagaan demikian kuatnya."
Tetapi kemudian disadarinya, bahwa yang kini berada di dalam rumah itu, justru orang kedua sesudah Akuwu Tunggul Ametung sendiri. Seorang gadis yang bakal menjadi permaisurinya.
Sekali lagi Mahisa Agni berpaling ke arah Kebo Ijo ketika ia masih saja mendengar anak muda itu tertawa. Bahkan kemudian ia bertanya kepada Mahisa Agni, "He Mahisa Agni. Rupa-rupanya nasibmu memang terlampau baik. Untunglah bakal iparmu yang bernama Wiraprana itu mati, sehingga kau akan mendapat ipar seorang Akuwu yang bernama Tunggul Ametung."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ia melihat perwira yang seorang lagi itu pun memandangi wajah Kebo Ijo dengan herannya.
"Bukankah begitu Mahisa Agni?"
Betapa perasaan Mahisa Agni bergetar, namun ia menganggukkan kepalanya sambil menjawab, "Ya, Kebo Ijo."
Kebo Ijo menjadi kecewa mendengar jawaban itu. Ternyata Mahisa Agni menurut tangkapannya tidak menjadi jengkel. Karena itu maka justru ia terdiam. Apalagi ketika Mahisa Agni kemudian berkata, "Kalau tidak terjadi demikian, maka kau tidak akan sudi berkunjung kemari, meskipun kali ini kau datang bukan atas kehendakmu sendiri."
Kebo Ijo menggigit bibinya. Tetapi ia tidak menjawab. Ditatapnya saja Mahisa Agni yang pergi ke pakiwan dengan mata yang merah.
Ketika Mahisa Agni sudah tidak tampak lagi, maka Kebo Ijo itu bergumam, "Anak itu akan menjadi semakin sombong dan besar kepala apabila nanti adiknya menjadi seorang permaisuri."
Perwira yang duduk di samping Kebo Ijo tidak menjawab. Tetapi menurut kesannya, Mahisa Agni sama sekali bukan anak muda yang sombong.
Dalam pada itu, para endang di pendapa telah hampir menjadi pingsan. Mereka duduk kaku tanpa berani menggerakkan ujung jarinya sekalipun. Mereka duduk dalam kebingungan. Hanya sekali hitam matanya saja yang bergerak-gerak.
Ketika mereka melihat Ken Dedes keluar dari pendapa, maka hampir berbareng menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kembali mereka menjadi tegang ketika mereka melihat Witantra, Sidatta dan Mahendra membungkukkan kepalanya dalam-dalam.
Ken Dedes kemudian duduk kembali di tempatnya. Meskipun ia tersenyum, namun setiap orang yang melihatnya, dapat mengetahuinya, bahwa ia baru saja menangis.
"Kakang," berkata Ken Dedes, "Kakang kini dapat beristirahat. Besok kita akan kembali ke Tumapel."
Witantra mengangguk dalam-dalam sambil menjawab, "Hamba Tuan Putri. Tetapi apakah kakanda Tuan Putri akan beserta kita?"
"Ya." Sekali lagi Witantra mengangguk. Kemudian katanya, "Kami mohon diri untuk beristirahat Tuan Putri."
"Silakan Kakang."
Witantra, Sidatta dan Mahendra pun kemudian turun dari pendapa. Mereka berjalan perlahan-lahan ke gandok kanan, tempat yang telah disediakan untuk mereka. Sedang para prajurit yang bertugas, masih juga berdiri dengan senjata di tangan.
Kini para endang pun saling berpandangan. Para perwira itu tampaknya sama sekali tidak menjadi lelah, pening atau pun gelisah selama mereka duduk diam di pendapa. Para endang itu tidak dapat membayangkan, bahwa dalam pasewakan-pasewakan yang sebenarnya di Istana Tumapel, maka para prajurit, para pimpinan pemerintahan harus duduk lebih lama lagi untuk memperbincangkan berbagai masalah yang penting.
Tetapi bagi para endang itu, yang tidak pernah mengalami peristiwa-peristiwa semacam itu, merasa seolah-olah duduk di atas bara api. Kini satu-satunya harapan mereka di dalam hati adalah, meninggalkan pendapa itu secepatnya.
Ketika Ken Dedes tidak juga bangkit, maka salah seorang endang yang tidak lagi dapat menahan diri bertanya terbata-bata, "Ken Dedes, sampai kapan kita akan duduk di sini" Bukankah para prajurit itu telah pergi, dan kau dapat meninggalkan tempatmu pula?"
Ken Dedes berpaling. Tiba-tiba ia tersenyum melihat wajah para endang yang tegang, "Kenapa kalian menjadi seolah-olah kebingungan?"
"Kami hampir pingsan, Ken Dedes," sahut endang yang lain.
Ken Dedes tidak dapat menahan tawanya. Katanya, "Biasakan dirimu duduk tenang. Mungkin akan berguna bagi saat-saat mendatang."
"Apakah kalau kau menjadi seorang permaisuri kami harus duduk sedemikian lamanya?"
"Kalau kalian berada di istana, maka kalian harus duduk bersimpuh lebih lama lagi daripada kali ini."
"Lebih baik aku tinggal di padepokan. Aku tidak akan terikat berbagai peraturan yang mengurangi kebebasanku," gerutu seorang endang yang masih sangat muda.
Ken Dedes tersenyum. Tetapi terasa sesuatu berdesir di dalam dadanya. Endang itu lebih senang tinggal di padepokan. Istana baginya adalah perlambang dari suatu lingkungan yang akan mengikatnya dengan berbagai aturan yang menjemukan.
"Marilah, kita meninggalkan pula tempat ini. Di istana, para prajurit dan para pemimpin pemerintah baru dapat meninggalkan pendapa, apabila Akuwu telah masuk ke dalam istana. Tetapi aku tidak perlu berbuat demikian di istana terhadap para prajurit."
Para endang itu pun kemudian berdiri dengan serta-merta. Mereka tidak menunggu Ken Dedes berdiri lebih dahulu. Bahkan ada di antara mereka yang dengan tanpa segan-segan berdiri di hadapan Ken Dedes sambil mengibas-ngibaskan kakinya yang semutan. Namun Ken Dedes menyadari, bahwa mereka belum mengenal tata cara istana yang sebenarnya harus dilakukan.
Hari itu bagi Ken Dedes terasa terlampau lama. Dengan tegangnya ia menunggu matahari terbenam. Namun malam yang kemudian turun dengan malasnya terasa bertambah-tambah panjang pula. Ketika ia terbangun, maka yang terdengar adalah bunyi kentongan dara muluk.
"Aku merasa telah terlampau lama tidur, tetapi ternyata baru tengah malam," desisnya. Gadis itu seolah-olah tidak sabar lagi menunggu esok. "Jangan-jangan Kakang Mahisa Agni malam ini mengambil keputusan lain dan pergi meninggalkan padepokan."
Tetapi akhirnya fajar pecah di timur. Para prajurit pun segera berkemas-kemas. Pagi itu mereka akan meninggalkan Panawijen kembali ke Tumapel bersama Mahisa Agni.
Orang-orang Panawijen yang meskipun hanya sejenak telah sempat bertemu dengan Ken Dedes, pagi itu berdiri di sepanjang jalan melihat iring-iringan yang mengantarkan Ken Dedes kembali ke Tumapel. Seperti pada saat datang, Ken Dedes kali ini pun mengenakan pakaian kebesarannya. Pakaian dalam warna-warna yang cemerlang, sehingga perempuan-perempuan, gadis-gadis kawannya bermain-main, memandanginya dengan mulut ternganga.
"Gadis itu benar-benar cantik," gumam seorang perempuan tua.
Tetapi seorang gadis yang menjadi iri berkata, "Yang cantik adalah pakaiannya, bukan orangnya."
Iring-iringan itu pun kemudian berjalan perlahan-lahan meninggalkan Panawijen, diantar lambaian tangan orang-orang Panawijen yang menyaksikannya.
Tetapi ketika iring-iringan itu telah sampai di bulak yang kering, maka tanpa mereka sadari, beberapa pasang mata yang tajam, setajam mata burung hantu mengawasi dengan penuh dendam dan benci.
Tetapi orang-orang yang sambil bersembunyi-sembunyi mengintai iring-iringan itu tidak dapat berada di tempat yang terlampau dekat, sehingga mereka tidak dapat melihat dengan jelas, siapa-siapa saja yang berada di dalam iring-iringan itu.
Mereka itu adalah Empu Sada dan kedua muridnya yang terdekat, Kuda Sempana yang pernah menjadi seorang hamba istana dan orang yang menamakan dirinya Bahu Reksa Kali Elo, yang menurut pengakuannya adalah seorang pedagang keliling.
"Kita tidak dapat mengulangi kesalahan kita," gumam Empu Sada.
Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Panji yang kurus itu pasti masih selalu mengawasi mereka," sambungnya.
Kembali kedua muridnya menganggukkan kepalanya.
Kini untuk sejenak mereka berdiam diri. Mereka mencoba untuk mengenal orang-orang di dalam iring-iringan itu. Tetapi jarak mereka terlampau jauh. Karena itu maka mereka tidak melihat bahwa Mahisa Agni berada di dalam barisan itu.
"Guru," berkata Kuda Sempana kemudian, "apakah guru benar-benar ingin berhubungan dengan Paman Kebo Sindet dan Paman Wong Sarimpat?"
01 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Empu Sada tidak segera menjawab. Sebenarnya ia sendiri sampai saat itu masih diliputi oleh keragu-raguan. Ia tahu benar bahwa Kebo Sindet dan Wong Sarimpat adalah orang-orang yang tidak mengenal tata tertib pergaulan. Mereka ingin berbuat apa saja yang dikehendakinya, sehingga mereka sampai saat ini menjadi orang-orang yang sama sekali tidak disukai, baik oleh rakyat Tumapel maupun oleh pimpinan pemerintahan.
"Bagaimana guru?" desak Kuda Sempana.
Empu Sada masih memandangi iring-iringan yang meninggalkan debu yang putih mengepul ke udara.
"Kuda Sempana," terdengar suara Empu Sada tiba-tiba menjadi berat, "apakah kau masih inginkan gadis itu?"
Pertanyaan itu benar-benar menggetarkan dada Kuda Sempana. Terasa nada pertanyaan gurunya seolah-olah tidak lagi mengandung gairah perjuangan. Bahkan seolah-olah nada pertanyaan itu melemahkan semangatnya.
Karena itu, maka Kuda Sempana ingin menunjukkan bahwa tekad di dalam dadanya telah bulat. Katanya, "Tentu guru. Kalau aku tidak berhasil, maka sudah aku katakan, bahwa aku akan menghancurkannya. Semua orang yang menghalang-halangi kehendakku ini akan aku anggap telah berbuat salah dan harus dihancur lumatkan."
Empu Sada menarik nafas dalam-dalam. Kemudian desahnya, "Kau terlalu keras hati. Bukankah kau telah melihat, bahwa di sekitar Ken Dedes berdiri para prajurit pengawal istana."
"Apakah guru dapat digetarkan hanya oleh Witantra."
"Tak ada orang yang dapat menggetarkan hatiku, Kuda Sempana," sahut gurunya, "tetapi marilah kita perhitungkan kekuatan yang ada. Witantra tidak berdiri sendiri. Bukankah kau telah mengenal gurunya, Panji Bojong Santi" Sedang Mahisa Agni pun kini mendapat kawan baru yang katanya adalah pamannya, Empu Gandring, tukang keris itu."
"Karena itu Guru dapat berhubungan dengan Wong Sarimpat dan Kebo Sindet," sahut Kuda Sempana pula.
Gurunya kembali terdiam. Ia melihat kekerasan hati muridnya. Tetapi sebagai seorang yang telah berumur lanjut, maka hatinya jauh lebih mengendap dari Kuda Sempana, sehingga Empu Sada itu mampu melihat kemungkinan-kemungkinan yang dihadapinya. Katanya, "Kuda Sempana, pekerjaan ini terlampau berat."
"Guru, aku tidak akan menyentuh apa saja yang dimiliki oleh Ken Dedes. Perhiasan, pakaian dan kekayaannya. Aku hanya memerlukan orangnya."
Orang yang menamakan dirinya Bahu Reksa Kali Elo itu menelan ludahnya. Kekayaan itu pasti berlimpah-limpah. Tetapi di dalam dirinya tersembunyi pula pengertian bahwa merebut Ken Dedes akan sama sulitnya dengan merebut tahta Akuwu Tunggul Ametung. Karena itu, maka ia sama sekali tidak mengemukakan lagi pendapatnya.
"Kuda Sempana," berkata Empu Sada, "kau tahu bahwa merebut Ken Dedes kini tidak semudah pada saat ia masih berada di Panawijen. Ia kini berada dalam istana yang mempunyai prajurit yang tidak saja cukup banyak, dan mereka adalah prajurit-prajurit yang tangguh."
Kuda Sempana telah mengenal pula keadaan istana Tumapel dengan baik. Ia tahu benar, bahwa ia tidak akan mendapat kemungkinan untuk merebut Ken Dedes dalam keadaannya kini. Karena itu, maka sekali lagi ia berkata, "Guru, sekali lagi aku ingin bertanya bagaimana dengan Paman Kebo Sindet dan Wong Sarimpat?"
"Kau belum mengenal mereka sebaik aku mengenal, Kuda Sempana. Mereka adalah orang-orang yang dapat disebut orang-orang liar. Orang-orang yang berada di luar lingkungan masyarakat yang beradab. Mereka adalah orang-orang buruan."
Empu Sada terkejut ketika ia mendengar jawaban Kuda Sempana yang tidak disangka-sangkanya, "Kita pun orang-orang buruan, Guru."
"He?" "Kita sudah mulai. Apalagi aku. Guru pun telah melakukan perlawanan atas Witantra yang membawa kekuasaan Tunggul Ametung di hutan di dekat padang Karautan."
Wajah Empu Sada menjadi berkerut-kerut. Kata-kata Kuda Sempana itu benar. Ia telah terdorong pula ke dalam suatu keadaan yang sulit. Apabila Witantra nanti sampai di Tumapel, dan Akuwu mendengar laporannya tentang dirinya, maka Empu Sada dan murid-muridnya adalah orang-orang buruan seperti Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.
Sejenak Empu Sada berdiam diri. Direnungkannya dirinya dan apa saja yang telah dilakukannya. Tetapi bagaimanapun juga ia masih melihat perbedaan yang tajam antara dirinya dan kedua orang-orang liar itu. Bahkan apabila ia dapat menarik dirinya kembali, ia masih belum terjerumus terlampau jauh.
Tetapi muridnya yang bernama Kuda Sempana itu agaknya benar-benar telah keras hati. Ketika ia melihat gurunya ragu-ragu maka katanya, "Guru. Kita sudah terjun ke tengah-tengah sungai. Terus atau kembali, kita sudah terlanjur basah kuyup."
Sekali lagi Empu Sada menarik nafas. Katanya masih dalam nada yang rendah, "Kuda Sempana, kau pernah menjadi seorang hamba Tunggul Ametung. Apa kau sangka kita meskipun bersama dengan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, mampu mengalahkannya?"
"Aku sama sekali tidak ingin merebut kedudukan Tunggul Ametung, Guru."
"Menginginkan seorang permaisuri akan sama artinya dengan menginginkan kedudukannya."
"Tidak. Kalau aku sudah mendapatkan Ken Dedes, aku akan pergi jauh sekali keluar Tumapel, bahkan mungkin keluar Kediri."
"Alangkah bodohnya kau," gurunya menggerutu, "kau sendiri pernah menjadi pelayan dalam. Kau sangka bahwa merebut Ken Dedes tidak berarti perang melawan Tunggul Ametung. Meskipun kau tidak menginginkan kedudukannya, tetapi perang itu sudah terjadi."
Kuda Sempana terdiam. Hatinya gelap telah menutup segenap kemauannya untuk berpikir. Tetapi kali ini ia mendengar kata-kata gurunya. Dan kata-kata itu mampu menyelusup ke dalam hatinya yang gelap.
Tetapi meskipun demikian ia menjawab, "Guru, bukan maksudku untuk berbuat demikian. Bagaimana kalau gadis itu diculik?"
"Pekerjaan itu pun bukan pekerjaan yang mudah, Kuda Sempana."
Kembali Kuda Sempana terdiam. Namun gejolak di dalam dadanya sama sekali tidak mereda. Ketika ia mengangkat wajahnya, ia melihat ekor dari iring-iringan itu sudah menjadi semakin jauh, dan hampir lenyap di tikungan. Yang tampak kemudian hanyalah tanaman-tanaman yang kering kekuning-kuningan.
"Persetan dengan bencana yang menimpa Panawijen," tiba-tiba Kuda Sempana menggeram. Dendamnya kepada Panawijen menjadi semakin memuncak. Panawijen tempat ia dilahirkan, tempat ia dibesarkan dan tempat orang tuanya bergelut dengan hidup keluarganya, sama sekali tidak menarik perhatiannya. Bahkan baginya Panawijen adalah mereka yang telah membakarnya selama ini. Apalagi anak muda yang bernama Mahisa Agni, benar-benar telah menyalakan segala macam kebencian di dalam dadanya.
Dalam pada itu, tiba-tiba Kuda Sempana itu bergumam, "Guru, bagaimanapun juga, sebaiknya kita coba. Berhasil atau tidak berhasil, sebaiknya guru menghubungi Wong Sarimpat dan Kebo Sindet. Kalau aku tidak berhasil mendapatkan Ken Dedes, maka aku akan membuat pembalasan dengan caraku. Menghancurkan bendungan yang sedang dibangun, menangkap dan membunuh Mahisa Agni sehingga akibatnya pasti akan menyiksa perasaan Ken Dedes. Biarlah hatinya tersiksa seperti hatiku."
Empu Sada mengangguk-anggukkan kepalanya. Kalau hanya itu yang dikehendaki dan dapat memberinya kepuasan, maka kiranya tidak terlalu sulit untuk dilakukannya. Karena itu maka jawabnya, "Kuda Sempana, mungkin kita akan dapat berbuat demikian. Memecah rencana yang tengah dibuat oleh Mahisa Agni itu, bahkan membinasakan. Tetapi seterusnya, untuk mendapatkan Ken Dedes adalah terlampau sulit bagimu kini."
"Mahisa Agni adalah sumber dari kegagalan itu guru."
Empu Sada mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sejenak kemudian ia menjadi bimbang hati. Kalau ia melakukan perbuatan itu, apakah keuntungan yang didapatkannya, selain diburu dan di kejar-kejar oleh Akuwu Tunggul Ametung" Tetapi dalam pada itu kini menyelusup perasaan lain pula di dalam dadanya, Empu Sada itu sendiri tidak mengetahuinya, kenapa tiba-tiba ia ingin membela muridnya dengan kemauan yang berbeda dari saat-saat lampaunya. Pada masa-masa yang lampau, setiap perbuatannya pasti diperhitungkannya, upah apakah yang akan diterima dari muridnya yang dibantunya. Tetapi setelah ia melihat beberapa perguruan lain, melihat, bagaimana sikap Panji Bojong Santi terhadap muridnya, maka pendirian itu tanpa dikehendakinya sendiri telah bergeser pula karena harga dirinya yang tampil ke depan. Empu Sada tidak mau perguruannya menjadi bahan ejekan dari perguruan-perguruan lain karena setiap usaha dan kemauan murid-muridnya selalu tidak pernah terpenuhi.
Tetapi Empu Sada itu terkejut ketika tiba-tiba muridnya berkata, "Kalau demikian, mengapa tidak malam ini saja kita menghancurkan rencana Mahisa Agni dan menangkapnya?"
"Sudah aku katakan," sahut gurunya, "di samping Mahisa Agni kini ada pamannya Empu Gandring. Karena itu kita tidak boleh terlampau tergesa-gesa."
Namun terasa Kuda Sempana tidak bersabar lagi. Tetapi ketika ia ingin menyatakan perasaannya itu, terdengar orang yang menamakan diri Bahu Reksa Kali Elo berkata, "Aku mempunyai cara yang baik untuk menyiksa perasaan Mahisa Agni."
Kuda Sempana dan Empu Sada itu pun berpaling kepadanya. Hampir bersamaan mereka berkata, "Apakah cara itu?"
"Kita biarkan Mahisa Agni membuat bendungan itu sampai saat hampir selesai. Nah, ketika mereka merasa bahwa mereka pasti akan menikmati hasil usahanya itu, maka bendungan itu kita pecahkan. Kita hanyutkan Mahisa Agni di dalam arusnya yang keras."
Kuda Sempana mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya, "Terlampau lama. Berapa bulan lagi hal itu terjadi?"
"Tetapi peristiwa itu akan menyenangkan sekali. Bukan saja Mahisa Agni, alangkah kecewanya orang-orang Panawijen yang lain. Kalau bendungan itu kau rusakkan sekarang, maka kerugian mereka tidak seberapa banyaknya. Dalam pada itu, Guru masih mempunyai kesempatan untuk bertemu dengan paman Kebo Sindet dan Wong Sarimpat."
Kuda Sempana terdiam sesaat. Tetapi katanya kemudian, "Aku sependapat, tetapi kita tidak perlu menunggu bendungan itu selesai. Aku tidak ingin pembalasan ini datang terlampau lama."
Empu Sada pun mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Pendapat muridnya yang seorang itu memang menyenangkan sekali. Sebagai suatu cara untuk melepaskan sakit hati, maka cara itu pasti akan mencapai maksudnya. Bahkan Empu Sada itu menyambung, "Pendapat itu baik sekali. Kalau Mahisa Agni dapat ditangkap, maka jangan tergesa-gesa dimasukkan ke dalam arus air. Berilah kesempatan kepadanya melihat bendungan yang telah dikerjakannya itu pecah. Beri kesempatan ia menjadi kecewa. Sangat kecewa. Biarlah ia melihat parit-parit yang sudah digalinya menjadi kering kembali. Dengan demikian ia dapat membayangkan, penduduk Panawijen segera akan ditimpa bencana. Bahkan seandainya Mahisa Agni tidak dibunuh sekalipun, maka siksaan yang akan dialaminya akan jauh lebih sakit daripada sakit hatimu, Kuda Sempana."
"Tidak, Guru," sahut Kuda Sempana tiba, "tidak ada sakit hati yang melampaui sakit hatiku."
"Ya, ya," jawab Empu Sada cepat-cepat, "aku tahu. Maksudku, pembalasan itu akan cukup memadai dengan perbuatannya."
Kuda Sempana terdiam sejenak. Kini mereka sudah tidak melihat lagi iringan yang mengantarkan Ken Dedes kembali ke Tumapel.
"Sekarang bagaimana?" bertanya orang yang menyebut dirinya Bahu Reksa Kali Elo.
"Sudah tentu kita tidak akan dapat pulang ke rumah, ke padepokanku. Kalau sakit hati Witantra belum sembuh benar, ia pasti akan datang mencoba menangkapku," berkata Empu Sada, "tetapi aku kira anak itu tidak akan membuat sesuatu kerusakan. Biar sajalah para cantrik menerima kedatangannya. Kini kita akan pergi ke Kemundungan, memberitahukan kepada setiap murid-murid yang ada, supaya mereka menghindari benturan-benturan dengan orang-orang Witantra. Lebih baik mereka menyingkir untuk sementara."
Orang yang menyebut dirinya Bahu Reksa Kali Elo itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Beberapa orang itu memang harus disingkirkan pula. Tetapi dengan demikian, mereka harus membuat tempat penampungan bagi mereka. Namun saudara-saudara seperguruan yang lain pasti akan bersedia membantu mereka.
"Setelah itu," berkata Empu Sada seterusnya, "kita mencari Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Mungkin kita akan dapat menemaninya di Sampadan. Setidak-tidaknya salah seorang dari mereka."
"Apakah kita tidak melihat bendungan itu guru" Supaya kita dapat menentukan kapan kita akan datang kembali?" bertanya Kuda Sempana.
"Kau terlalu bernafsu Kuda Sempana," sahut gurunya, "kita harus berlomba dengan Witantra. Kita harus lebih dahulu sampai di Kemundungan. Biarlah mereka yang membuat bendungan itu sekarang tidak terganggu, supaya mereka tidak menyiapkan dirinya menghadapi kehadiran kita kelak. Tidak sampai sebulan kita akan kembali membawa orang-orang yang cukup banyak untuk menghancurkan bendungan dan apabila perlu, serta mereka yang mengadakan perlawanan. Adalah lebih baik kalau Empu Gandring sudah meninggalkan tempat itu dan Empu Purwa tidak lagi berkeliaran. Apalagi Panji yang kurus itu."
Kuda Sempana kali ini terpaksa menurut kehendak gurunya. Mereka kemudian meninggalkan telatah Panawijen tanpa berbuat sesuatu untuk dengan tergesa-gesa pergi ke Kemundungan. Namun di sepanjang jalan, kepala Kuda Sempana selalu dipenuhi oleh gambaran-gambaran tentang pembalasan sakit hati yang akan dilakukan. Namun bagaimanapun juga, gambaran tentang Ken Dedes tidak juga dapat lenyap dari kepalanya.
Sementara itu iringan yang membawa Ken Dedes semakin lama menjadi semakin jauh meninggalkan Panawijen. Terasa matahari di langit semakin panas menyengat kulit mereka. Seperti pada saat mereka berangkat, maka mereka memilih jalan di sepanjang hutan daripada menyeberang padang rumput Karautan untuk menghindari panas yang tak tertahankan di padang itu. Lebih-lebih bagi seorang gadis seperti Ken Dedes.
Apabila mereka berkuda cepat-cepat, maka masih juga terasa silirnya angin karena kecepatan perjalanannya. Tetapi berjalan kaki di padang itu, adalah pekerjaan yang tidak menyenangkan.
Berdasarkan pengalaman mereka, pada saat mereka berangkat, maka dalam perjalanan kembali itu mereka selalu diliputi oleh kewaspadaan yang setinggi-tingginya. Bahaya setiap saat dapat mengancam, bahkan mungkin menjadi lebih berat daripada saat mereka berangkat.
Tetapi seandainya mereka tahu, bahwa dalam saat yang bersamaan Kuda Sempana dan gurunya sedang berjalan menuju ke Kemundungan, maka mereka pasti tidak akan setegang itu. Bahkan mungkin mereka sempat berkelakar di sepanjang jalan. Namun kali ini perjalanan itu seolah-olah diselubungi oleh kecemasan dan kekhawatiran sehingga hampir tidak terdengar suara mereka bercakap-cakap. Kecuali sekali dua kali terdengar suara tawa Kebo Ijo yang berjalan agak di muka tandu.
Tidak seperti pada saat mereka berangkat, maka dalam perjalanan kembali ini, mereka tidak memerlukan bermalam di perjalanan. Seakan-akan mereka demikian ingin melihat kota Tumapel kembali. Meskipun hari telah malam, namun mereka meneruskan perjalanan. Mereka tidak takut kalau mereka akan jatuh terjerumus karena kaki-kaki mereka terantuk batang-batang yang roboh atau tersangkut sulur-sulur pepohonan, sebab ketika itu, mereka telah meninggalkan hutan di sepanjang tepi padang Karautan yang panas.
Kehadiran mereka di kota, hampir di tengah malam buta, mengejutkan para peronda. Tetapi Witantra yang berjalan di muka, selalu mencoba mencegah mereka membuat keributan.
"Jangan ribut. Biarlah mereka yang tidur tidak terganggu. Mereka tidak perlu melihat iring-iringan ini, sebab mereka telah melihat pada saat kami berangkat," berkata Witantra kepada para peronda.
Meskipun demikian, ada juga di antara mereka yang sempat membangunkan anak istrinya, dan membawa mereka ke tepi jalan raya untuk menyambut iringkan bakal permaisuri. Bahkan iring-iringan itu tampak lebih megah lagi di bawah cahaya beberapa buah obor yang menyala berkobar-kobar.
Tetapi para prajurit Tumapel yang lelah itu sama sekali tidak lagi sempat memperhatikan orang-orang yang berdiri di pinggir jalan. terkantuk-kantuk mereka berjalan dengan langkah yang panjang-panjang supaya mereka segera dapat beristirahat. Di dalam tandu, Ken Dedes sekali-sekali tersandar dengan mata terpejam. Kadang-kadang ia kehilangan kesadaran karena kantuknya yang mencengkam. Tetapi apabila tandunya tergoyang karena para pemanggulnya bergantian, Ken Dedes itu kembali mencoba membelalakkan matanya. Terasa pula bahwa badannya menjadi semakin penat.
"Hem," desahnya di dalam hati, "apalagi mereka yang berjalan kaki. Lebih-lebih yang harus memanggul tandu ini."
Di belakang ada pula prajurit yang berjalan tersuruk-suruk. Hampir tidak lagi ia kuat menarik kakinya. Tombaknya terayun-ayun bukan karena lawan berdiri di hadapannya. Tetapi tangannya telah terlampau letih memegang senjata itu. Keringat di telapak tangannya telah membuat landean tombaknya menjadi licin.
Ternyata bahwa rasa kantuk mereka jauh lebih mengganggu dari perasaan lelah, meskipun keduanya saling mempengaruhi. Mereka menjadi sangat kantuk karena lelah.
Ketika iring-iringan itu kemudian memasuki alun-alun, dan kemudian terpaksa berhenti di muka regol untuk menanti sejenak para penjaga membuka palang pintu yang besar, maka beberapa orang di antara mereka dengan serta menjatuhkan dirinya duduk bersandar pada dinding halaman istana.
"He," terdengar suara Kebo Ijo perlahan-lahan, "apakah kalian tidak lagi mampu berdiri?"
Seorang prajurit yang bertubuh tinggi, berdada bidang dan berkumis tebal menjawab, "Lebih baik aku pergi bertempur malam ini, daripada disiksa oleh perasaan lelah dan kantuk."
Kebo Ijo tertawa. Katanya, "Kalau kau bertempur saat ini, maka perutmu pasti akan segera berlubang karena kau tidak lagi dapat melihat ujung senjata lawanmu."
Prajurit yang berkumis itu tidak menjawab. Bahkan dipejamkannya matanya sambil menguap. Katanya, "Hem, alangkah segarnya duduk sambil terkantuk-kantuk di bawah pohon beringin setelah hampir sehari penuh berjalan menyusur daerah yang kering kerontang."
"Apakah kau mimpi?" bertanya Kebo Ijo, "bukankah kita baru saja meninggalkan daerah yang hijau segar. Bukankah Panawijen daerah yang paling subur daripada daerah Tumapel?"
"Hu," prajurit itu mencibirkan bibirnya. Tetapi matanya masih terpejam, "daerah itu adalah daerah mati. Aku heran, kenapa di daerah itu masih juga ada penghuninya?"
Mahisa Agni yang mendengar percakapan itu mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling dilihatnya Kebo Ijo memandanginya pula sambil tersenyum. Bahkan kemudian ia berkata kepada prajurit yang terkantuk-kantuk itu, "Kini baru dibuat sebuah bendungan untuk mengairi padukuhan itu supaya menjadi bertambah subur."
"Alangkah bodohnya," sahut prajurit itu antara sadar dan tiada, "lebih baik menjadi pekatik di kota daripada membuat bendungan."
Terdengar Kebo Ijo tertawa terbahak-bahak sambil memandangi wajah Mahisa Agni yang berkerut-kerut, sehingga beberapa orang berpaling ke arahnya. Witantra yang berdiri di muka regol. untuk menunggu para penjaga membuka palang pintu pun berpaling pula.
Namun tiba-tiba suara tertawa Kebo Ijo itu terputus. Semula memang ada maksud Mahisa Agni untuk menjawab kata-kata itu, sebab ia merasa benar bahwa kelakar itu sengaja dilontarkan oleh Kebo Ijo untuk menyindirnya. Tetapi ia menjadi ragu-ragu. Karena itu, maka Mahisa Agni itu pun menggigit bibirnya, seolah-olah ia ingin menahan agar mulutnya tidak melontarkan kata-kata.
Tetapi yang terdengar kemudian adalah suara halus dari dalam tandu, "Kau benar Kebo Ijo. Karena itu aku pun mengungsi ke kota."
Bukan saja Kebo Ijo. Bahkan prajurit yang terkantuk-kantuk itu pun tersentak seperti disengat lebah. Sejenak ia mencoba menyadari apa yang terjadi. Tetapi ketika ia yakin bahwa kata-katanya telah terdorong terlampau jauh, dan bahwa yang didengarnya adalah suara putri calon permaisuri itu, maka dengan serta-merta ia meloncat. Tandu itu memang tidak terlampau jauh daripadanya. Dengan tubuh gemetar ia duduk bersimpuh di tanah sambil berkata, "Ampun Tuan Putri. Bukan maksud hamba mengatakan demikian, tetapi hamba seakan-akan terbius oleh pertanyaan-pertanyaan Kebo Ijo, sehingga jawaban hamba pun tidak lagi dapat hamba kendalikan."
Ken Dedes tidak menjawab. Bahkan memandang wajah prajurit itu pun tidak. Dengan jarinya ia menunjuk gerbang yang telah terbuka sambil berkata kepada para pengusung tandunya, "Gerbang telah terbuka. Marilah."
Tandu itu pun kemudian bergerak. Beberapa orang prajurit yang semula sama sekali tidak memperhatikan percakapan itu, percakapan antara Kebo Ijo dan prajurit berkumis itu pun terpaksa bertanya-tanya, apakah yang sudah dikatakannya. Tetapi para pengusung dan satu dua orang prajurit yang mendengarnya berkata di dalam hatinya, "Salahmu, mulutmu terlampau lancang."
Tetapi Ken Dedes tidak meletakkan kesalahan pada prajurit itu. Prajurit itu hanya sekedar ingin melepaskan perasaannya yang diganggu oleh lelah dan kantuk. Tetapi kejengkelannya ditumpahkannya kepada Kebo Ijo. Sejak di Panawijen sikap anak muda itu tidak menyenangkan hatinya. Tetapi ia tahu bahwa Kebo Ijo adalah orang terdekat dari Witantra di samping Mahendra yang sampai saat ini tidak juga mau menjadi seorang prajurit.
Ketika tandu itu kemudian berjalan, Witantra, Mahendra dan para perwira berdiri tegak di sisi pintu gerbang itu. Ketika tandu itu telah melampauinya, maka barulah mereka melangkah memasuki halaman. Namun sekali-sekali Witantra memalingkan wajahnya mencari Kebo Ijo. Ia ingin tahu, apa saja yang dipercakapkannya dengan prajurit yang duduk bersimpuh di samping tandu Ken Dedes.
Kesan Ken Dedes dan Mahisa Agni atas Kebo Ijo menjadi semakin kurang sedap. Anak itu benar-benar anak yang bengal dan bahkan kurang dapat mengendalikan dan menempatkan diri dalam suatu keadaan tertentu.
Tunggul Ametung yang telah tidur nyenyak di dalam biliknya terkejut ketika ia mendengar suara ribut di luar. Ia mendengar beberapa orang berjalan hilir mudik. Ia mendengar langkah mendekati pintu biliknya, tetapi kemudian berhenti dan kembali langkah itu menjauh.
"Bagaimana?" terdengar seseorang berbisik.
"Aku kira Akuwu tidak perlu dibangunkan," sahut yang lain.
"Apa begitu?" berkata suara yang pertama.
"Bukankah tidak ada soal yang perlu diselesaikan malam ini," terdengar suara kedua, "sebenarnya aku takut membangunkan Akuwu."
Suara-suara itu pun kemudian terdiam. Namun kedua orang itu seakan-akan terlonjak ketika tiba-tiba saja mereka melihat Akuwu Tunggul Ametung sudah berdiri di muka pintu biliknya.
"Apakah yang kalian lakukan di sini?" bertanya Akuwu Tunggul Ametung itu.
Kedua prajurit itu dengan serta-merta menjatuhkan dirinya dan seorang pelayan istana hampir terperosok di tangga ketika dengan tergesa-gesa ia bersimpuh.
"Ampun Tuanku," sahut pelayan juru penebah itu, "hamba takut membangunkan Tuanku ketika kedua prajurit ini memintanya."
Dipandanginya wajah kedua prajurit yang tunduk itu. Yang seorang dari mereka adalah Sidatta.
"Apa perlunya kau menghadap malam-malam, Sidatta?"
"Ampun Tuanku," sahut Sidatta sambil membungkuk dalam-dalam, "hamba ingin menyampaikan berita kehadiran kembali Tuan Putri Ken Dedes setelah Tuan Putri mengunjungi Panawijen."
"He," wajah Tunggul Ametung yang gelap itu tiba-tiba menjadi cerah, "Ken Dedes datang kembali?"
"Hamba Tuanku."
"Bagus," berkata Tunggul Ametung itu, "suruh ia menghadap."
"Baik Tuanku," jawab Sidatta, "tetapi Tuan Putri lelah sekali. Sekarang Tuan Putri sedang membersihkan diri di pakiwan dilayani oleh beberapa emban."
Tunggul Ametung mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya kemudian, "Baik, baik. Biarlah ia beristirahat. Besok pagi-pagi kalian harus menghadap bersama-sama. Apakah kalian datang bersama Mahisa Agni?"
"Hamba Tuanku," jawab Sidatta.
"Baik-baik," Tunggul Ametung itu mengangguk-angguk pula, "sekarang kalian boleh beristirahat. Ken Dedes boleh beristirahat pula. Besok pagi-pagi kalian harus datang menghadap. Tempatkan Mahisa Agni sebaik-baiknya. Biarkanlah tempat yang pantas. Ia adalah Kakang Ken Dedes itu."
"Hamba Tuanku," sahut Sidatta.
Setelah mengangguk dalam-dalam, Sidatta itu pun kemudian mengundurkan dirinya membawa pesan Akuwu Tunggul Ametung kepada Ken Dedes, Mahisa Agni dan para prajurit. Mereka diperkenankan beristirahat, sedang para perwira besok pagi-pagi harus menghadap Akuwu Tunggul Ametung bersama dengan Ken Dedes.
Sepeninggal Sidatta kembali Tunggul Ametung membaringkan dirinya. Tetapi kini matanya sudah tidak dapat dipejamkannya lagi. Terata malam terlampau lamban baginya seakan-akan waktu berhenti beredar.
Namun akhirnya Akuwu Tunggul Ametung itu pun mendengar ayam jantan berkokok untuk ketiga kalinya. Perlahan-lahan ia bangkit dari pembaringannya, menggeliat dan kemudian melangkah keluar dari biliknya. Ia masih melihat pelita yang menyala di segala penjuru istananya. Ia masih melihat seorang pelayan duduk terkantuk-kantuk di tangga serambi belakang.
"He, siapa yang duduk di situ?" panggil Akuwu Tunggul Ametung.
Pelayan itu berjingkat. Dan dengan tergesa-gesa ia menyuruk merangkak-rangkak mendekati Akuwu Tunggul Ametung.
"Aku akan mandi," berkata Tunggul Ametung itu.
Pelayan itu heran. Hari masih terlampau pagi. Tetapi ia tidak berani bertanya. Terdengar jawabnya, "Hamba Tuanku. Akan hamba sediakan untuk keperluan itu."
Ketika kembali pelayan itu berjalan jongkok meninggalkan Akuwu Tunggul Ametung, terdengar Tunggul Ametung membentaknya, "Cepat, jangan bekerja seperti siput sakit-sakitan."
Orang itu pun kemudian mempercepat geraknya, kemudian meloncat turun ke halaman dan berlari-lari ke belakang mengambil air hangat. Tetapi air itu baru saja diletakkan di atas api.
Ketika matahari muncul dari balik punggung-punggung bukit, maka para perwira telah siap di paseban dalam. Sebentar kemudian Ken Dedes pun telah hadir pula. Mereka menundukkan kepala-kepala mereka ketika Akuwu memasuki ruangan itu.
Ternyata Akuwu Tunggul Ametung hampir tidak sabar untuk berbicara tentang dirinya sendiri ketika dilihatnya Mahisa Agni pun berada di dalam ruangan itu. Hampir tak ada yang dipersoalkannya dengan para perwira. Akuwu hanya bertanya tentang keselamatan mereka, perjalanan mereka dan sekedar berterima kasih. Kemudian katanya, "Kalian pasti sangat lelah. Karena itu kalian tidak perlu terlampau lama duduk di sini. Kalian aku perbolehkan segera meninggalkan tempat ini untuk beristirahat."
Witantra menganggukkan kepalanya dalam-dalam. Sambil tersenyum ia berkata, "Terima kasih Tuanku. Lain kali hamba akan menyampaikan cerita tentang perjalanan ini lebih banyak lagi."
"Baik. Baik," berkata Tunggul Ametung, "sampaikan lain kali."
Witantra yang melihat kegembiraan yang membayang di wajah Akuwu Tunggul Ametung tidak sampai hati untuk mengganggunya dengan laporan-laporan yang dapat menggelisahkannya tentang Empu Sada dan Kuda Sempana. Karena itu disimpannya laporan itu untuk disampaikannya pada kesempatan yang lain.
Sepeninggal mereka, maka kini Akuwu tinggal duduk bersama Ken Dedes, Mahisa Agni dan beberapa emban. Di antaranya adalah emban tua pemomong Ken Dedes yang dibawanya dari Panawijen.
Namun, menghadapi persoalan yang selama ini tersimpan di dalam dirinya, Akuwu Tunggul Ametung merasa canggung. Ia tidak tahu bagaimana ia harus memulainya.
Sejenak mereka yang berada di dalam ruangan itu saling berdiam diri, sehingga ruangan itu menjadi sepi. Hanya tarikan nafas merekalah yang terdengar berkejar-kejaran. Sekali-sekali Akuwu mengedarkan pandangan matanya berkeliling. Dilihatnya Ken Dedes duduk bersimpuh sambil menekurkan kepalanya, emban tua di belakang dan kemudian Mahisa Agni dengan wajah menungkul.
Tunggul Ametung itu menarik nafas dalam-dalam. Semua kemarahan kejengkelan dan hukuman yang pernah diberikannya kepada Mahisa Agni kini telah dilupakannya sama sekali. Yang berjejal-jejal di dalam dadanya kini adalah persoalannya sendiri.
Akuwu Tunggul Ametung itu ingin mendapat kesan, setidak-tidaknya untuk meringankan perasaan sendiri, bahwa ia telah mengambil Ken Dedes menurut adat yang seharusnya. Meminang kepada keluarganya untuk mengambil anak gadisnya. Dan mendengar keluarganya atau salah seorang daripadanya dengan ikhlas memberikannya.
Tetapi bukan saja Akuwu Tunggul Ametung yang menjadi gelisah. Ken Dedes pun sebenarnya sejak menghadap selalu diliputi oleh kegelisahan pula. Ia ragu-ragu akan kakaknya. Apakah nanti yang akan dikatakan oleh Mahisa Agni" Apakah kakak angkatnya itu akan menjawab pertanyaan dan pernyataan Akuwu Tunggul Ametung seperti yang diharapkannya.
Sekali-sekali Ken Dedes mencoba memandang wajah Mahisa Agni dengan sudut matanya. Namun ia sama sekali tidak mendapat kesan apapun dari wajah yang tertunduk itu.
Dalam pada itu Tunggul Ametung yang perkasa, rajawali dalam setiap peperangan, yang selama ini selalu menuruti perasaan sendiri yang kadang-kadang meledak-ledak, tiba-tiba merasa bahwa seolah-olah mulutnya menjadi terbungkam.
Namun setelah berjuang beberapa lama, setelah tubuhnya basah oleh keringat dingin yang mengalir dari segenap lubang kulitnya, barulah Akuwu yang perkasa itu berkata, "Mahisa Agni. Apakah kau sudah tahu, apakah sebabnya aku memanggilmu?"
Jantung Mahisa Agni berdesir. Apakah yang harus dikatakannya" Kalau Akuwu itu akan melamar Ken Dedes, maka ialah yang harus datang kepadanya, bukan memanggilnya. Tetapi ketika ia sudah berhadapan dengan Tunggul Ametung di muka Ken Dedes itu sendiri, ia tidak sampai hati untuk mengatakannya. Ia tahu, hati Ken Dedes pasti akan hancur. Karena itu maka ia menjawab, "Hamba Tuanku. Hamba dapat mengira-ngirakan, apakah sebabnya maka Tuanku memanggil hamba menghadap."
"Bagus," sahut Tunggul Ametung, "nah, sekarang katakan, apakah keperluan itu?"
Kening Mahisa Agni menjadi berkerut-kerut. Ken Dedes pun terkejut mendengar kata-kata Tunggul Ametung itu. Bahkan kegelisahannya pun menjadi semakin mencengkam hatinya.
Ketika sesaat Mahisa Agni belum menjawab, maka Akuwu itu pun berkata pula, "Bukankah kau sudah tahu, apa sebabnya aku memanggilmu?"
Kini Mahisa Agnilah yang menarik nafas. Sambil membungkukkan kepalanya dalam-dalam ia menjawab, "Ampun Tuanku. Hamba hanya dapat mengira-ngirakan. Tetapi kepastian dari persoalan ini ada pada Tuanku. Karena itu, maka hamba tiada berani mendahului titah Tuanku."
Ken Dedes pun menarik nafas pula mendengar jawaban Mahisa Agni. Ternyata sampai sekian Mahisa Agni telah menunjukkan sikap dan kata-kata yang baik. Meskipun demikian, kegelisahan gadis itu masih saja mencengkamnya.
Sejenak kembali mereka berdiam diri. Ken Dedes sekali masih berusaha untuk mendapat kesan dari wajah kakaknya, namun Mahisa Agni kini menjadi semakin tertunduk.
Pertanyaan Akuwu Tunggul Ametung itu benar-benar tidak menyenangkan Mahisa Agni. Ia merasa bahwa dalam hubungan ini ia sama sekali berada dalam keadaan yang sulit. Sulit karena perasaan sendiri yang bergolak, sulit karena kedudukan yang tidak seimbang dari pihak-pihak keduanya, sulit karena sikap Akuwu itu. Bahkan seandainya Ken Dedes itu adiknya sendiri, yang tanpa membekali persoalan-persoalan di dalam hatinya pun, ia merasa kecewa mendengar pertanyaan Tunggul Ametung itu. Seolah-olah menurut tanggapan Mahisa Agni, ia harus datang menawarkan gadis itu kepada Akuwu Tunggul Ametung.
Namun ketika kemudian sekilas Mahisa Agni melihat Tunggul Ametung itu mengusap keringat di wajahnya, serta duduknya yang tidak tenang, timbullah dugaannya yang lain. Mungkin Akuwu Tunggul Ametung menyimpan sesuatu di dalam hatinya sebelum ia dengan berterus terang ingin menyampaikan maksudnya.
Tetapi Akuwu itu tidak segera berkata apapun. Ketika ia mendengar jawaban Mahisa Agni, maka keringatnya menjadi semakin deras mengucur. Sebenarnya Akuwu Tunggul Ametung itu tidak menyimpan apapun di dalam dadanya. Bahkan ia ingin segera sampai kepada persoalan dirinya sendiri. Tetapi ia kurang mampu untuk mengatakannya. Ia mengharap Mahisa Agni dapat membuka jalan dari pembicaraan itu. Tetapi ketika Mahisa mengembalikan persoalannya kepadanya, maka ia menjadi semakin gelisah.
Karena kesenyapan dan kegelisahan yang menyelubungi ruangan itu, maka suasana pun menjadi tegang. Akuwu Tunggul Ametung masih belum menemukan cara untuk menyatakan maksudnya, sedang Mahisa Agni menjadi jemu untuk duduk menunggu dalam ketegangan. Baginya apapun yang akan dihadapinya, lebih baik segera didengarnya. Apakah Akuwu lebih dahulu akan memarahinya karena sikapnya di saat-saat lampau, atau bahkan akan menghukumnya. Namun baginya, duduk berdiam diri sambil menundukkan wajahnya terlampau lama adalah menjemukan sekali. Lebih baik baginya duduk di terik panas matahari yang membakar punggungnya di padang Karautan.
Ken Dedes dan emban pemomongnya yang duduk di belakang, merasakan pula ketegangan itu. Mereka melihat dengan hati yang berdebar-debar kegelisahan yang semakin mencemaskan pada Akuwu Tunggul Ametung dan pada Mahisa Agni. kegelisahan itu telah menambah-nambah pula kecemasan dan kegelisahan Ken Dedes sendiri. Serasa tangannya ingin mendorong Akuwu untuk segera mengatakan maksudnya sebelum ketegangan itu meledak tanpa terkendali.
Jilid 19 AKUWU YANG GELISAH ITU PUN sebenarnya ingin pula lekas-lekas dapat mengatakan persoalannya. Tetapi kata-kata itu seakan-akan tersangkut di kerongkongannya.
Sedang Mahisa Agni telah bertekad untuk tidak akan mengatakan lebih dahulu apakah sebabnya ia menghadap. Kalau Akuwu itu sekali lagi bertanya maka ia sudah menyediakan jawabnya, bahwa ia hanyalah sekedar dipanggil.
Namun akhirnya Akuwu Tunggul Ametung itu pun menyadari bahwa lambat atau cepat ia harus mengatakannya. Ia menyesal bahwa ia tidak memanggil beberapa orang tua untuk menghadap dan dapat menyampaikan maksudnya tanpa kesulitan apa-apa. Tetapi semalam pikirannya tak sempat meloncat sampai sejauh itu. Ia demikian tergesa-gesa dan berdebar-debar.
Lambat laun maka Akuwu Tunggul Ametung itu mampu menguasai perasaannya. Lambat laun hatinya menjadi tenang. Sehingga akhirnya, meskipun tidak teratur dan hampir tak terdengar ia berkata, "Agni. Aku kira kau sudah tahu maksudku, kenapa aku keras memanggilmu. Kalau aku bukan Akuwu Agni, mungkin aku tidak berkeberatan untuk datang kepadamu sebagai lazimnya laki-laki menginginkan seorang istri. Sayang aku adalah seorang Akuwu yang terikat oleh ketentuan-ketentuan yang tak kalah erat seperti ikatan adat itu sendiri."
Tunggul Ametung berhenti sejenak untuk menelan ludahnya. Terasa kerongkongannya menjadi kering. Dan tiba-tiba Akuwu Tunggul Ametung menjadi haus sekali. Namun ia kemudian berkata pula, "Sekarang kau sudah datang memenuhi panggilanku meskipun harus dilakukan berulang kali. Tetapi tak apalah. Yang penting kau dapat mendengar dari mulutku, bahwa aku ingin mengambil Ken Dedes, adikmu untuk menjadi permaisuriku."
Mahisa Agni mendengar kata demi kata yang diucapkan oleh Akuwu Tunggul Ametung itu seperti ia mendengarkan keputusan hukuman gantung untuk dirinya. Betapa ia berusaha menekan perasaannya, bahkan betapa ia berjuang untuk menindasnya, namun detak jantungnya menjadi semakin keras. Tak dapat lagi ia kini memungkiri perasaannya itu. Ia harus melepaskan dan menyerahkan kepada orang lain, apa yang diinginkannya untuk dirinya sendiri.
Sesaat Mahisa Agni duduk mematung. Kepalanya dalam-dalam terhunjam seakan-akan ingin dilihatnya pusar bumi. Nafasnya menjadi semakin cepat mengalir seperti saling berebutan ingin meloncat keluar dari rongga dadanya yang panas.
Akuwu Tunggul Ametung, Ken Dedes dan pemomongnya melihat perubahan yang terjadi dalam diri Mahisa Agni itu. Tetapi tanggapan mereka berbeda-beda.
Tunggul Ametung sudah merasa melepaskan semua yang menyumbat dadanya dengan cara yang dianggapnya sebaik-baiknya. Karena itu ia mengharap bahwa gejolak di dalam dada Mahisa Agni adalah gejolak perasaan seorang kakak yang berbahagia karena adiknya menemukan kebahagiaannya. Meskipun Tunggul Ametung menduga pula bahwa pasti ada sesuatu perasaan yang masih belum dapat diatasi oleh Mahisa Agni. Pasti ada sesuatu yang kurang menyenangkan kakak gadis itu, ternyata dengan beberapa kali ia menolak panggilannya. Tetapi kini Tunggul Ametung itu merasa telah menyampaikan dengan sebaik yang dapat dilakukannya.
"Mudah-mudahan perasaan anak muda itu sedang berkisar ke arah yang aku harapkan," desis Akuwu Tunggul Ametung di dalam hatinya. Namun kadang-kadang timbul pula sifat-sifatnya yang sekeras batu, katanya di dalam hati itu pula, "supaya aku tidak perlu mempergunakan kekuasaanku atasnya."
Sedang Ken Dedes sendiri terkejut mendengar kata-kata Akuwu yang sama sekali tidak diduganya. Ternyata Akuwu yang terlalu menuruti perasaan sendiri itu, mampu menguasai diri sehingga kali ini ia telah bersedia merendahkan dirinya dalam batas kemungkinan yang dapat dilakukan. Karena itu, ketika Ken Dedes mendengar cara Akuwu Tunggul Ametung menyampaikan maksudnya, meskipun katanya tidak tersusun sebaik-baiknya, namun isi dari kata-kata itu telah membuatnya terharu.
Tetapi dalam pada itu, kegelisahannya tiba-tiba memuncak ketika ia melihat bagaimana Mahisa Agni sama sekali masih belum menjawab permintaan Akuwu Tunggul Ametung itu. Ia melihat Mahisa Agni menundukkan kepalanya dalam-dalam, tetapi beberapa kali Mahisa Agni menggeser diri seolah-olah ia duduk di atas bara api. Yang mula-mula terungkit di dalam perasaan Ken Dedes adalah kejengkelannya kepada kakaknya itu. Ia menganggap bahwa Mahisa Agni masih belum dapat melepaskan harga dirinya yang berlebih-lebihan. Sikap akuwu yang lunak dan merendahkan diri itu, pasti dianggapnya suatu kekalahan dari Akuwu Tunggul Ametung yang akan mendorong Mahisa Agni untuk menjadi lebih membanggakan diri. Mahisa Agni pasti menganggap bahwa akhirnya akuwu itu harus datang untuk menyembahnya memohon agar ia diperkenankan memperistri adiknya.
Rahasia Anak Neraka 1 Goosebumps - Saat-saat Seram Api Di Bukit Menoreh 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama