01 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja Bagian 28
Tetapi Mahisa Agni itupun tidak segera menemukan kata-kata jang tepat untuk mengungkapkan keketjewaan hatinja. De ngan demikian maka suasana mendjadi sepi lengang. Tetapi hati mereka ditjengkam oleh ketegangan. Beberapa orang Pa nawidjen mendjadi bingung menghadapi keadaan itu. Ada diantara mereka jang mendjadi takut dan berdebar-debar, kalau-kalau Mahisa Agni tiba-tiba mengamuk dan membunuh mereka. Tetapi ada jang menjesal bukan karena ketakutan. Menjesali sikapnja sendiri. Mereka mendjadi heran sendiri, kenapa tiba-tiba mereka, hanjut dalam suasana kema asan. Tetapi ada pula jajig-jajig mengerutu didalam batinja, mengumpati Mahisa Agni tak habis " habisnja, namun mereka tidak berani mengutjapkannja.
Sesaat kemudian barulah terdengar suara Mahisa Agni kembali "Apakah maksud kalian sebenarnja"
Tak seorangpun jang berani mendjawab pertanjaan itu. Tetapi ber-bagai2 tanggapan bergelora disetiap dada.
"Apakah kalian telah benar-benar djemu meneruskan peker djaan itu"
Orang-orang Panawidjen itu masih terdiam.
"Bagaimana" "desak Mahisa Agni semakin keras. Ketika masih djuga tidak ada djawaban, maka kembali Ma bisa Agni berkata "Aku ingin mendengar pendapat kalian. Mumpung kita kali ini berhadapan. Djangan mengambil sikap sendiri-sendiri. Kita datang bersama-sama dan membawa tekad bersama-sama untuk membuat bendungan itu. Karena itu, marilah kita tentukan sikap kita ber sama-sama. Aku ingin mendengar, apakah kalian memang telah djemu melakukan pekerdjaan ini.
Sedjenak kembali kesepian menguasai padang itu. Jang terdengar adalah angin pagi jang silir menggerakkan dedaunan. Daun ilalang dan daun-daun gerumbul perdu disana-sini, gemerisik seperti suara orang ber-bisik-bisik.
Di-sela-sela kesepian orang-orang Panawidjen seorang berdesis per-lahan-lahan "Tidak Agni, Kami sama sekali tidak djemu mela kukan pekerdjaan ini. Kami hanja ingin sekedar beristirahat.
Mahisa Agni memandangi orang jang sedang berbitjaia itu. Dan orang itupun menundukkan kepalanja.
"Bagus " sahut Mahisa Agni "kalau demikian aku masih mempunjai harapan.
Tak ada jang menjahut sepatah katapun.
"Tetapi kalian telah beristirahat sehari kemarin.
Kembali orang-orang Panawidjen itu terdiam.
Jang terdengar adalah suara Mahisa Agni kembali "Tak ada alasan lagi untuk memperpandjang waktu beristirahat. Bendungan kita harus segera djadi.
Mahisa Agni melihat beberapa diantara mereka saling berpandangan. Tetapi Mahisa Agni tidak mendengar seorangpun dari mereka jang mendjawab.
"Marilah "berkata Mahisa Agni "kita berangkat bekerdja.
Meskipun tak seorangpun jang membantah, namun Mahisa Agni tidak segera melihat mereka berdiri dan dengan gairah berangkat ketempat kerdja mereka. Sedjenak orang-orang Paria widjen itu masih sadja duduk sambil saling berpandangan. Bahkan sebagian dari mereka mendjadi ketjewa karena istirahat hari itu jang bahkan kalau mungkin diperpandjang lagi tidak terpenuhi.
Karena itu maka sekali lagi Mahisa Agni berkata lebih keras lagi "Apakah jang kita tunggu lagi" Apakah kalian masih akan memaksaku untuk membuat obat bagi sakit Bitung" Kalian telah mendengar, pamanku telah menjanggupinja. Sekarang apa lagi" Ajo berdirilah. Berangkatlah sekarang, selagi matahari belum tinggi, kita akan meletakkan brundjung-brundjung disisi seberang hari ini.
Beberapa orangpun kemudian berdiri sambil menggeliat. Alangkah berat rasanja untuk mulai lagi pekerdjaan jang berat itu. Ternjata lebih senang menikmati istirahat kemarin dari pada bekerdja keras dibawah terik matahari.
Mahisa Agni jang tidak telaten berteriak "Kenapa kalian tidak segera berangkat. Apakah kalian telah benar-benar djemu he" Baik. Kalau demikian aku tidak akan memaksa.
Kata-kata Mahisa Agni itu benar-benar menarik perhatihan mereka. Beberapa orang tertegun sambil memandangi wadjah Agni jang tegang. Tetapi mereka tidak segera menangkap maksud kata-katanja. Apakah dengan demikian Mahisa Agni akan memberi mereka kesempatan untuk beristirahat lagi.
Terdengar suara Mahisa Agni pula "Kalau kalian memang sudah djemu, marilah kita berdjandji untuk menghentikan sadja pekerdjaan ini. Kita tidak usah berpikir apakah jang akan terdjadi atas kita masing-masing. Biarlah daun-daun pepohonan di Panawidjen satu-satu menguning dan gugur ditanah. Biarlah ladang dan sawah jang kering itu mendjadi keras. Kita tidak menghiraukannja lagi. Apalagi aku. Aku tidak mempunjai ke luarga seorangpun. Aku tidak akan bertanggung djawab terhadap anak tjutju seandaianja mereka kelak hidup sengsara. Aku djuga tidak berkeberatan seandainja kita pergi sadja bertjerai berai. Aku, seorang diri, akan lebih tjepat menjesuaikan diriku dengan tempat jang baru dimanapun aku berada. Aku akan pergi ke Tumapel, menerima tawaran Akuwu untuk mendjadi seorang Pradjurit. Kalau demikian, maka aku me njesal bahwa aku dahulu tidak sadja segera menerima tawaran itu karena aku lebih mementingkan bendungan ini. Nah, sekarang pilihlah. Kita pergi berpentjaran mentjari hidup masing-masing dengan menggantungkan belas kasian orang, atau tetap berada di Panawidjen, tempat kita bermain dan dibesar kan, tetapi kita akan mati kelaparan Atau kita membuat daerah baru dengan memeras keringat kita, tetapi dengan de mikian kita telah berbuat sesuatu untuk kita sendiri dan anak tjutju kita.
Mahisa Agni berhenti sedjenak Dipandanginja setiap wadjah orang-orang jang berdiri disekitarnja. Tampaklah wadjah-wadjah itu mendjadi tegang. Ternjata bahwa kata-kata Mahisa Agni itu bergolek didalam dada mereka. Meskipun demikian, tak se orangpun jang mendjawab. Mulut-mulut mereka jang ternganga itu seakan-akan terbungkam untuk mengutjapkan kata-kata.
Sedjenak Mahisa Agni memberikan kata-katanja mengendap kedasar hati orang-orang Panawidjen. Dibiarkannja orang-orang Pana widjen itu menjadari keadaannja. Menilik perubahan pada wadjah-wadjah mereka, serta sikap mereka, jang satu demi satu ber diri dan menggenggam alat-alat mereka kembali, maka timbullah harapan didalam dada Mahisa Agni.
Dengan suara jang menggeletar ia bertanja "Djadi apakah jang akan kita lakukan kini" Bekerdja dengan nafsu sepeiti sediakala atau tidak sama sekali"
Mahisa Agni melihat kebimbangan pada wadjah orang-orang Panawidjen itu. Maka katauja "Aku tidak mau bekeidja dengan separo hati. Hanja ada satu sjarat untuk bekerdja. Bekerdja dengan gairah dan sepenuh hati. Mereka jang meninggalkan tugas ini karena mereka tidak kuat lagi, atau djemu atau sakit2an, aku persilahkan. Hanja jang berkemauan keras sadjalah jang akan dapat bekerdja terus.
Orang-orang Panawidjen masih terdiam. Tetapi tangan mereka telah mulai menggenggam alat-alat mereka dengan eratnja.
"Aku ingin djawaban supaja aku tidak mendjadi ketjewa kembali.
Tiba-tiba meledaklah djawaban orang-orang Panawidjen itu " Baik Agni. Kami akan bekerdja kembali seperti sediakala.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Terasa dadanja berdesir, dan seluruh permukaan kulitnja meremang. Dengan penuh harapan ia berkata "Kalau demikian, marilah kita berangkat. Matahari bulum sepenggalah. Marilah kita susul keterlambatan kita. Satu hari lebih seudjung pagi.
Mahisa Agni tidak perlu mengatakannja lagi. Orang-orang Panawidjen itupun kemudian seakan menggelepar dan berdjalan kearah masing-masing jang sudah ditentukan. Namun sebagian besar dari mereka berdjalan kebendungan untuk menurunkan brundjung-brundjung disisi seberang. Sebagian ketjil pergi keudjung susukan jang sedang mereka kerdjakan untuk rr.erggalinja lebih pandjang lagi. Keinginan orarg2 Parawidjen adalah, susukan itu akan mampu membelah Padang Karautan, dan mendjadikannja tanah persawahan jang subur.
Beberapa pedatipun segera berdjalan untuk mengambil batu-batu jang telah dipetjah untuk kemudian dimasukkannja ke dalam brundjung-brundjung bambu.
Ketika kemudian Mahisa Agni berpaling dilihatnja pamannja serta Ki Buyut Panawidjen tersenjum kepadarja. Tetapi didalam hati Empu Gandring berkata "Belum merupakan persoalan jang terakhir Agni. Tetapi mudah-mudahan kerdjamu akan berhasil.
Sehari itu Mahisa Agni melihat orang-orang Panawidjen be kerclja dengan nafsu jang me-njala2. Mereka serasa telah me meras tenaga memenuhi pemerintean Mahisa Agni, menebus jang telah hilang. Kemarin dan udjung pagi ini.
Matahari dilangit berdjalan dalam iramanja jang tetap.
Tetapi terasa hari ini berdjalan terlampau tjepat bagi Mahisa Agni. Kegembiraaimja melihat nafsu bekerdja orang-orang Pana widjen telah membuat lupa waktu. Betapa ia telah memeras sgenap tenaganja melampauhi waktu jang sudah2. Kekuatan tubuhnja benar-benar mengherankan. Dan kerdjanja ternjata telah mempengaruhi, terutama anak-anak mudanja jang merasa malu mendengar Mahisa Agni menantangnja untuk menghentikan sama sekali pembuatan bendugan itu.
Sampai matahari turun rendah ditangit Barat, maka seakan-akan kerjaa itu berlangsung tanpa beristirahat. Betapa terik matahari telah membakar kulit mereka, tetapi mereka sama sekali tidak melepaskan pekerdjaan mereka, seperti pada saat mereka baru mulahi, satu dua hari.
Ketika malam kemudian turun menjelubungi padang Karautan, maka orang-orang Panawidjen itu telali berkerumun di dalam gubug masing-masing. Bitung kini telah dapat duduk ber sama dengan beDerapa kawannja meskipun wadjahnja masih putjat. Pagi-pagi siang serta sore hari, Empu Gandring telah merawatnja dan memberinja obat sekadarnja.
Namun dalam pada itu, ketika orang-orang Panawidjen itu mendapat kesempatan untuk beristirahat, mulailah terasa betapa tubuh tubuh mereka didjalari penat dan lelah. Betapa kaki-kaki mereka serasa mendjadi hangus dan punggung-punggung mereka hampir patah.
Seorang dua orang duduk mendjeludjurkan kaki-kaki mereka sambil me-midjit-midjitnja. Orang-orang lain saling memidjit punggung ber-ganti-gantian. Mahisa Agni sendiri telah ber-baring dipembaringannja dengan bati jang lapang. Ia puas melibat kerdja jang telah meieka lakukan hari ini. Karena itu, maka hati njapun mcdjadi gembira. Dalam kegembiraan itulah, anak muda itu djatah tertidur, meskipun malam belum begitu dalam. Tetapi kerdja jang keras, angin jang silir sedjuk dan hati jang puas, telah membelai dan menidurkannja terlampau tjepat.
Tetapi jang terdjadi digubug-gubug jang lain adalah djauh berbeda. Anak-anak muda, orang-orang separo baja dan orang-orang tua, terdengar mengeluh tak berkeputusan. Kerdja hari ini ternjata agak berlebihan bagi mereka. Setelah beristirahat satu hari, mereka telah bekerdja melampaui kemampuan wadjar mereka. Dengan demikian maka tubuh-tubuh mereka mendjadi sakit dan penat, sehingga mereka itu mendjadi agak sukar untuk segera dapat menikmati mimpi.
Dalam malam jang semakin dalam itu terdengar seseorang mengeluh "Betapa sakit lenganku. Siang tadi aku terlampau banjak mengangkat batu-batu. Batu-batu besar jang biasanja tidak te rangkat, siang tadi aku angkat djuga seorang diri.
"Kenapa kau paksakan djuga temanmu"
Orang itu menggeleng "Aku tidak tahu. Tetapi nafsuku bekerdja ternjata me-londjak-londjak. Mahisa Agni seakan telah men dorongku dengan kemauan jang segar. Tetapi akibatnja, tubuhku hampir remuk dan lapuk.
Kawannja tidak menjahut. Orang itu pulalah jang berkata Hem. Apakah besok kita masih akan mengulagi lagi kerdja sematjam ini.
Tak ada jang menjahut. Dengan demikian maka orang itupun berhenti berbitjara.
Semetara itu malam mendjadi bertambah malam. Angin jang dingin berhembus menjentuh atap-atap ilalang jang berpen tjaran disudut ketjil padang Karautan jang luas itu. Disana-sini tampak berkerdipan pelita-pelita minjak dan api-api perapian jang tinggal membara.
Akhirnja perkemahan itu pun terlempar dalam kesenjapan Orang-orang Panawidjen itupun kemudian tertidur pula dengan njenjaknja, meskipun ada pula jang mendjadi gelisah karena .Kelelahan: Bitung malahan kini telah mendjadi agak baik. Tubuhnja masih djuga kadang-kadang mendjadi panas, tetapi ia su dah tidak lagi mengigau dan ber-teriak-teriak. Meskipun hanja se suap, namun anak itu telah mau menelan makanan. Tetapi orang jang kakinja bengkak, masih sadja me-rintih-rintih, djuga da am tidurnja. Serasa mimpinjapun bertjeritera tentang kakinja jang sakit.
Namun malam tidak djuga berkepandjangan. Pada saat nja, maka membajanglah bajangan fadjar. Bajangan jang memberi Mahisa Agni berbagai matjam harapan. Anak muda itu terbangun seperti biasa ia bangun. Jang pertama-tama dita tapnja adalah langit jang ke-merah-merahan. Didalam hatinja ia berkata "Kalau kau datang, aku menjambutmu dengan gai rah. Sebab kau adalah pertanda bahwa saatnja telah tiba untuk melakukan kerja.
Sedjenak kemudian seluruh perkernahan itupun telah terbangun. Mahisa Agni dengan gembira melihat orang-orang Pana widjen mempers:apkan alat-alat mereka Seperti kemarin Mahisa Agni melihat gairah jang besar dari orang-orang Panawidjen itu. Tetapi diantara mereka, beberapa orang telah mulai mengeluh pula didalam hatinja.
Ketika rombongan orang-orang Panawidjen itu mulai berang k.at ketempat kerdja masing-masing, maka dikedjauhan berpatju se rkor kuda jang tegar. Dipunggungnja bertengger seorang jang bertubuh kasar, sekasar tebing pegunungan padas. Dengan meng-umpat-umpat orang itu mematju kudanja mendjauhi perkemahan orang-orang Panawidjen. Meskipun kuda itu tidak ber pelana, namun agaknja penunggangnja sama sekali tidak iri pengaruh olehnja.
"Kapan aku mendapat kesempatan itu lagi "gerutu penunggang kuda itu, wadjahnja jang kasar mendjadi seria kin kasar dan keras "kakang Kebo Sindet hampir-hampir tidak sabar lagi menunggu. "orang itu berhenti sedjenak.
Ketika ia berpaling maka perkemahan crang2 Panawidjenpun sudah tidak tampak lagi. Penunggang kuda itu adalah Wong Sarim pat. Ia datang kembali kepadang Karautan itu untuk melihat-kemungkinan, apakah mereka akan mendapat kesempatan ba ru untuk menangkap Mahisa Agni. Tetapi agaknja kesempat an itu masih belum diketemukan oleh Wong Sarimpat. se hingga kakaknja selalu marah sadja kepadanja. Kebo Sindet menganggap bahwa kcbodohannjalah jang telah menjebabkan rentjana itu selalu tertunda. Bahkan Wong Sarimpat memaksa dirinja malam merajap mendekati perkemahan itu. Namun ia masih belum melibat tjara jang se-baik-baikrja untuk berbuat sesuatu. Kali inipun ia akan datang kepada kakaknja dengan laporan jang masih akan membuat kakaknja mengumpatinja.
"Besok aku akan datang lagi "gumamnja "setiap kali aku akan datang. Suatu saat pasti akan aku ketemukan tjara untuk menangkapnja. Bahkan aku pasti mampu menebus kegagalanku. Aku akan menangkap Mahisa Agni seorang diri. Tanpa kakang Kebo Sindet. Aku jakin, bahwa Empu Gandring suatu ketika akan terpisah dari Mahisa Agni.
Wong Sarimpat itupun mematju kudanja lebih tjepat lagi. Ia ingin segera sampai dirumah untuk beristirahat. Baru ke marin lusa ia gagal menangkap Mahisa Agni, semalam ia sudah harus berada dipadang Karautan itu kembali. Meskipun Wong Sarimpat bukan orang jang mudah mendjadi lelah, tetapi ia mendjadi djemu mengintai sadja dipadang jangdingin itu. Lebih baik ia menjerbu sadja keperkemahan orang-orang Panawidjen itu, dari pada duduk memeluk lutut sambil me:lihat2 apabila ada orang jang hilir mudik keluar perkemahan. Tetapi pesan kakaknja lebih mendjemukan lagi baginja. Ia hanja boleh me lihat kebiasaan Mahisa Agni. Bagaimana anak muda itu hidup diperkemahannja. Apakah kadang-kadang ia ber-djalan-jalan keluar ling kungannja atau kebiasaann2 lain jang memungkinkan untuk mengambilnja tanpa diketahui oleh orang lain. Apabila ia melihat Mahisa Agni pergi ke Panawidjen, ia harus segera berpatju pulang. Ia akan datang kembali bersama kakaknja untuk mentjegah Mahisa Agni kembali ke Perkemahannja.
"Itu adalah pekerdjaan gila "gerutunja sambil mematju kuda diantara gerumbul-gerumbul dipadang Karautan "
Perdjalanan ke Kemundungan tidak lebih dekat daripada Pana widjen. "Namun kemudian dibantahnja sendiri "tetapi kakang Kebo Sindet memperhitungkan bahwa Mahisa Agni pasti berbuat sesuatu jang memerlukan waktu di Panawidjen.
Kuda itupun kemudian berpatju lebih tjcpat.
Sementara itu orang-orang Panawidjenpun telah mulai sibuk dengan kerdja masing-masing. Bahkan kali ini Empu Gandringpun turut pula berada diantara orang-orang jang sedang bekerdja itu. Namun pikirnja selalu diganggu oleh gumpalan debu jang lamat2 sekali dapat dilihatnja pagi tadi djauhdari perkemahan.
"Debu itu seakan-akan dilemparkan oleh kaki-kaki kuda "gu mamnja didalam hati. Tetapi ia tidak sempat melihat kuda berlari meninggalkan padang Karautan pergi ke Kemundungan.
Tanpa disengadja, maka Empu Gandring itu mentjari ke manakannja. Ketika dilihatnja anak muda itu bekerdja dengan sepenuh tenaga, maka kembali ia bergumam didalam hatinja
"Kasian anak itu. Ia menghadapi rintangan dari luar dan dari lingkungannja sendiri. Mudah-mudahan ia tabah dan bendungan ini akan dapat berwudjut. Dengan demikian, maka Mahisa Agni akan mendapat kepuasan sebagai imbalan kerdjanja. Hanja kepuasan itulah jang diharapkannja dalam perdjua ngannja. Ia akan puas melihat hari depan Panawidjen telah mendapat alas jang kuat. Sedang ia sendiri sampai saat ini masih seorang diri. "Dan hati orang tua itupun mendjadi semakin iba ketika ia melihat beberapa orang telah mendjadi kendor dan segan mengangkat alat-alat ditangannja.
Tetapi Mahisa Agni sendiri, jang tenggelam kedalam kerdja jang mantap, hampir-hampir tak dapat melihat keadaan itu. Anak-anak muda disekitarnjapun bekerdja dengan giatnja, hampir seperti dirinja sendiri. Meskipun demikian, namun Mahisa Agni merasakan pu2a, bahwa kerdja hari ini sudah mulai ber kurang dari pada kerdja jang kemarin. Tetapi dalam tanggapan Mahisa Agni, hal itu adalah karena tenaga mereka jang memang tidak setahan dirinja sendiri.
Hari itu Mahisa Agni masih dapat tersenjum. Ketika matahari kemudian turun kebarat, maka orang-orang Panawidjen itupun segera meninggalkan kerdja mereka. Mahisa Agni memandangi iring-iringan itu dengan hati jang mantap. Bahkan ia begumam "Kalau mereka tetap bekerdja seperti ini, maka aku jakin, orang-orang Panawidjen akan segera dapat menikmati basil kerdjanja.
Mahisa Agni itu berpaling ketika ia mendengar pamannja berkata disampingnja "Marilah, kita pulang Agni.
" Oh " desis Agni "Marilah paman. Mereka berduapun kemudian berdjalan membelakangi iring-iringan orang Panawidjen jang dengan lelah kembali keperkemahannja.
Tetapi hari-hari berikutnja, Mahisa Agni tidak lagi melihat gairah kerdja jang membesarkan hatinja itu. Ia tidak lagi tersenjum didalam tidurnja. Kerdja orang-orang Panawidjen itupun mulai mengendor lagi. Bahkan beberapa orang kemudian ber kata kepadanja "Besok aku tidak dapat ikut serta Agni. Punggungku sakit. "Jang lain berkata "Kakiku hampir patah Agni. Kelak apabila sudah sembuh aku akan bekerdja kembali. "Dan jang lain lagi berkata "Kepalaku pening Agni. Ternjata aku tidak tahan terik matahari jang memanasi rambutku, sehingga setiap kali kepalaku mendjadi sakit seperti di-tusuk-tusuk dipelipisku.
Alangkah ketjewanja anak muda itu. Hampir-hampir ia kehilangan kesabaran. Tetapi pamannja selalu menasehatinja. Kerdja itu harus didasari oleh kerelaan hati. Kerdja itu bukan kerdja paksa. Karena itu maka pekerdjaan Mahisa Agni adalah memberi mereka kesadaran untuk bekerdja, bukan memaksa mereka dengan mengantjam dan menakuti.
Mahisa Agni mengerti nasehat itu. Tetapi ia sudah ke habisan tjara untuk memberi pengertian jang wadjar kepada orang Panawidjen itu. Bahkan satu dua, orang diantara mereka telah mulai lagi mengumpati Empu Purwa jang merusak bendungan lama di Panawidjen. Meskipun bendungan itu di buatnja sendiri, tetapi bendungan itu kemudian telah men djadi milik rakjat Panawidjen, bendungan itu telah mendjadi sumber penghidupan mereka..
"Apakah kita tjukup dengan menjesali petjahnja ben dungan jang lama " siatu ketika Mahisa Agni mencjoba memberi pendjelasan "dengan menjesal dan mengumpat kita tidak akan mendapat bendungan jang baru.
Tetapi hatinja mendjadi pedih ketika ia mendengar seorang bertanja " Kapan kita berhenti bekerdja Agni"
"Tidak ada batas jang dapat kita lampaui. Selama kita masih merasa bahwa kita bertanggung jawab terhadap keadaan kita sendiri, keadaan masjaiakat kita dan anak tju tju kita dimasa jang akan datang.. Kerdja adalah isi dari hi dup kita. Karena itu kerdja akan berlangsung sepandjang umur kita masing-masing.
Hati Mahisa Agni itu mendjadi semakin pedih ketika la mendengar djawaban "Teiapi aku sudah djemu Agni. Aku sudah djemu berdjtmur diterik matahari, sedang apab la ma lam dilanda oleh udara dingin dipadang jang sepi ini. Aku ingin segera berada kembali diantara keluargaku. Isteriku dan anak-anakku.
"Apakah kau tjukup berada sadja didekat isteri dan anak-anakmu tanpa suatu kepastian buat masa datang" Buat anak-anakmu itu" apakah kau pasti bahwa anak-anakmu itu akan dapat makan dari tanah jang kering di Panawidjen"
Orang itu terdiam. Tetani wadjahnja sama sekali tidak membajangkan pengertiannja akan kata-kata Mahisa Agni, sehingga Mahisa Agni berkata terus " Tidak saudaraku-saudaraku. Tanah jang kering itu tidak akan dapat memberi kita harapan.
"Tetapi bendungan inipun akan merusak tubuh kita.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam untuk menahan perasaannja. Katanja "Itu terlampau berlebih-lebihan. Kerdja pasti mengeluarkan tenaga. Mungkin satu dua diantara kita tidak tahan melawan udara jang panas dan dingin. Tetapi sebagian besar dari kita harus mampu mengatasinja.
Dada Mahisa Agni bergelora ketika ia melihat beberapa kepala menggeleng lemah.
Mahisa Agni masih mentjoba mengulangi kata-katanja jang beberapa saat jang lampau dapat membangkitkan gairah ker dja kembali. Katanja "Kerdja ini adalah kerdja kalian. Aku adalah seorang disini. Kalau kerdja ini terhenti, akupun tidak akan mengalami kesulitan apa-apa. Aku akan de ngan mudahnja dapat mentjari penghidupan di Tumapel. Tetapi bagaimana dengan kalian" Apalagi jang mempunjai keluarga jang besar.
Djawaban jang didengar oleh Mahisa Agni kali ini berbeda dengan djawaban jang terdahulu. Bahkan djawaban itu seakan-akan telah menghentikan arus darah di-urat2 nadi anak muda itu "Agni, djangan kau merasa dirimu djauh lebih baik daripada kami.
Meskipun kami tidak mampu berkelahi tidak mampu mendjadi pradjurit, tetapi segi kehidupan seseorang bukanlah hanja berkelahi sadja. Akupun akan dapat mentjari penghidupan di-tempat-tempat lain. Mungkin mendjadi undagi, mungkin mendjadi pekatik atau bertani ditempat baru jang sudah terbuka.
"Oh "tanpa disengadja Mahisa Agni tiba-tiba memegangi kepalalja dengan kedua tangannja, seakan-akan kepalanja itu akan terlepas dari lehernja. Dadanja jang bergelora tera sa mendjadi sesak, dan dengan demikian Mahisa Agni djus tru terbungkam. Ia tidak mampu lagi berkata apapun kepa da orang-orang Panawidjen itu. Ketika orang-orang itu kemudian satu-satu meninggalkannja, maka Mahisa Agni se-akan-akan sama sekali tidak lagi mampu mengucapkan kata-kata. Jang didengarnja ke rmudian adalah "Sudahlah Agni. Lepaskanlah keinginanmu membuat bendungan itu dengan mengumpankan kami. Biar kanlah kami mentjari djalan sendiri-sendiri.
Kepala Mahisa Agni mendjadi pening karenanja. Sama sekali tidak disangkanja bahwa ada diantara orang-orang Panawi djenjang menganggap bahwa apa jang dilakukannja itu adalah suatu perbuatan jang sangat merugikan orang-orang lain di Panawidjen. Bahkan ada orang jang merasa dirinja mendja di alat untuk kepentingan Mahisa Agni.
Hati anak muda itu menggelegak. Berdesak-desakan kata-kata didalam hatinja untuk membantah anggapan itu. Ingin ia berteriak, tetapi mulutnja se-akan-akan terbungkam. Seribu kali ia mendjelaskan apa jang sedang dilakukannja kini. Setiap kali orang-orang Panawidjen itu pada saat-saat jang lampau mendja di gairah kembali atas kerdja mereka apabila mereka men dengar keterangan Mahisa Agni tentang bendungan itu. Te tapi kali ini ka2.a2nja sama sekali tidak berarti bagi mereka, bahkan mereka menganggap, se akan-akan umpan sadja untuk ke senangannja.
"Tidak. Aku sama sekali tidak bekerdja untuk kemashuran namaku. Aku tidak ingin diatas bendungan ini kelak dipahatkan namaku. Mahisa Agni. Tidak. Aku membuat bendungan bersama dengan kalian karena aku ingin melihat ka lian mendapat sesuatu. Kalia.i tidak akan kehilangan lingkung an kehidupan Aku bekerdja bukan untuk kepentinganku sen diri. "Tetapi kata-kata itu hanja bergumul sadja didalam dada nja. Sehingga dengan demikian nafasnja djustru mendjadi semakin sesak..
Sekali-sekali terdengar Mahisa Agni. "Inikah tanggapan orang-orang Paiawidjen atas djerih pajahku. "katanja didalam hati.
Ketika Mahisa Agni kemudian mengangkat wadjahnja, dilibatnja udara telah disaput oleh malam jang turun per-lahan-lahan. Bintang" berhamburan mementjar dari udjung keu djung langit jang lain Gemerlapan. Tetapi hati Mahisa Ag ni sendiri kini mendjadi betapa suramnja. Ditatapnja padang jang luas terbentang dihadapannja, se-akan-akan tidak bertepi, mendjorok masuk kedalam kegelapan malam dikedjauhan.
Kini ia duduk seorang diri disisi perkemahannja. Orang3 Panawidjen telah masuk kedalam gubug masing-masing. Satu dua dilihatnja anak-anak muda duduk disekitar perapian jang menjala.
Per-lahan-lahan Mahisa Agni bangkit. Dengan langkah jang berat ia berdjalan kegubugnja. Perasaannja dibebani oleh ke pedihan hati dan hampir keputus-asaan. Ia tidak tahu lagi, bagaimana ia harus berkata untuk mejakinkan maksudnja jang baik djustru untuk kepentingan orang-orang Panawidjen itu sendiri.
Dari tjelah-tjelah dinding anjaman bambu jang djarang ia me lihat bebrerap telah berbaring didalm gubugnja. Te tapi tiba-tibalangkah Mahisa Agni tertegun ketika ia melihat beberapa orang membenahi bungkusan. Dengan ser ta merta Mahisa Agni berbelok masuk kedalamnja.
Orang-orang itupun terkedjut. Tetapi sedjenak kemudian mereka se-akan-akan mendjadi atjuh tidak atjuh. Diteiuskaunja kerdjanja ber-benah-benah. Ketika Mahisa Agni melihat apa jang sedang dibenahi itu, hatinja berdesir. Tanpa disadarinja terlontjat kata-kata dari bibirnja "Apakah artinja ini"
Orang itu berpaling. Hanja sedjenak. Kembali mereka mindjadi atjuh tak atjuh. Meskipun demikian salah seorang dari mereka mendjawab "Aku membenahi pakaian Agni
"Kenapa" "bertanja Agni.
"Aku besok akan kembali ke Panawidjen.
Darah Mahisa Agni serasa membeku mendengar djawaban itu. Sedjenak ia diam mematung. Ditatapnja sadja orang itu membungkus beberapa potong pakaiannja dan beberapa matjam peralatan ketjil. Di sudut gubug itu Mahisa Agni melihat se ikat alat-alat jang lebih besar. Tjangkul, kelewang pemotong kaju dan sebuah kapak.
Baru sedjenak kemudian ia mampu bertanja "Kenapa kalian akan kembali ke Panawidjen"
"Aku sudah djemu berdjemur diterik matahari Beberapa orang mendjadi sakit. Ada jang bengkak kakinja, ada jang sakit panas dingin, ada jang punggungnja patah. Mungkin kau tidak melihatnja Agni.
"Bakankiah Bitung telah sembuh "bertanja Agni.
"Ja, Bitung telah sembuh. Tetapi ada tiga anak jang sakit seperti gedjala2 sakit Bitung ketika baru mulai.
- Oh. Aku memang belum tahu. Kenapa tidak ada jang mcmberiahukannja kepadaku" Paman telah menanam beberapa batang kates grandel disini. Mungkin satu dua dapat diambil untuk mengobatinja.
Orang itu menggeleng "Tidak banjak manfaatnja. Kalau ketiganja nanti sembuh, maka jang sepuluh akaa menderita sakit serupa. Karena itu sebelum aku menderita pula seperti mereka lebih baik aku kembali ke Panawidjen. Apabila benar-benar mendjadi kering, aku akau mengungsi ketempat lain. Mungkin aku dapat mentjari kemanakanku ke Gangsa atau mentjari pamanku ke Sambitan.
"Apa jang kalian lakukan akan mempunjai pengaruh jang sangat djelek bagi orang-orang lain.
Orang itu mengangkat bahunja. Sedjenak mereka saling berpandangan. Kemudian salah seorang dari mereka men jawab. "Terserah kepada mereka masing-masing Agni. Karena itu nasehatku kepadamu ngger, tinggalkan sadja keinginanmu untuk membangun bendungan ini. Memang, kelak namamu akan tetap dikenal oleh anak tjutju apabila bendunganmu mu berwudjud tetapi djangan membiarkan korban terlampau banjak untuk kepentingan itu.
Sekali lagi dada Mahisa Agni serasa terhantam reruntuhan Gunung Kawi. Hampir-hampir ia kehilangan kesabaran. Bahkan hampir-hampir ia berbuat sesuatu untuk melepaskan kemarahannja. Tetapi tiba-tibaia tertegun ketika terdengar suara diluar gubug itu "Ja, Agni berada didalam.
Mahisa Agni berpaling. Dilihatnja seorang anak muda jang putjat berdiri dimuka pintu. Ketika dilihatnja Mahisa Agni, maka katanja "Agni, aku memerlukan kau.
"Kenapa" "Wadjahku mendjadi panas, tetapi tubuhku terasa dingin.
Orang-orang jang sedang berbenah itu menjahut "Itu adalah gedjala2 seperti penjakit Bitung.
Wadjah jang putjat itu mendjadi semakin putjat. Selangkah ia madju masuk kedalam gubug. Dengan suara gemetar ia berkata "Apakah aku akan sakit seperti Bitung"
Jang mendjawab adalah salah seorang jang berada di dalam gubug dan sedang membenahi pakaiannja "Ja, kau akan sakit seperti Bitung. Bukan hanja kau, telah ada tiga orang lagi jang akan sakit seperti kau.
Anak muda itu mendjadi semakin tjemas. Tiba-tibaia ber kata "Agni, aku takut.
Dada Mahisa Agni jang bergelora itu mendjadi kian ber golak. Dengan suara bergetar ia bertanja "Kenapa kau takut"
"Aku tidak mau sakit.
"Kami telah menjimpan obatnja. Bukankah Bitung kini telah berangsur sembuh."
Anak muda itu terdiam sesaat. Tetapi kemudian ia" berkata "Tetapi siapakah jang akan mengurus aku selama aku sakit"
"Selagi kau belum sakit, besok aku akan membuat obat untukmu. Aku masih ada persediaan obat itu, bahkan telah ditanam pula beberapa batang oleh paman Empu Gandring disini, dan kini telah mulai tumbuh subur".
"Tetapi aku takut Agni. Kalau aku sakit, aku akan kembali kepada ibuku.
"He "Mahisa Agni menahan nafasnja "kau masih djuga bijung-bijungan.
Anak itu terdiam. Tetapi jang mendjawab adalah orang lain jang sedjak semula telah berada ditempat itu "Biarlah ia kembali keibunja Agni. "Kepada anak muda itu ia berkata "Benahilah pakaianmu. Besok kembali bersama aku ke Panawidjen.
"Apakah paman akan kembali ke Panawidjen"
"Ja, besok aku akan kembali,
"Baik, baik paman. "wadjah anak muda jang putjat itu tiba-tibamendjadi tjerah. Tanpa kerkata sepatah katapun lagi ia berlari meninggalkan gubug itu.
Mahisa Agni hanja dapat menarik nafas dalam-dalam. Perasa annja bergedjolak semakin djahsat, tetapi ia tidak dapat
berbuat sesuatu. Karena itu, maka dadanja sendirilah jang terasa mendjadi pepat.
Maafkan kami Agni "terdengar salah seorang itu berkata "Aku tidak dapat mengikuti djalan pikiranmu. Bendungan itu bagi kami hanjalah tinggal suatu mimpi jang mengagumkan.
Tidak "terdengar suara Mahisa Agni bergetar "aku aku akan mewujutkan bendungan itu. Kalian akan melihat kelak tanah ini mendjadi subur. Tanaman akan mendjadi hidjau segar seperti beberapa batang kates grandel jang ditanam oleh paman Empu Gandring. Baru beberapa hari sadja, pohon karena itu telah mendjadi tiga kali lipat tingginja dari pada alat batang itu ditantjapkan ditanah.
Orang itu itu meng-angguk-anggukkan kepalanja. Katanja "Mu dah-mudahan Agni. Tetapi aku tidak akan turut serta.
Wadjah Mahisa Agni mendjadi merah karena perasaan jang bertjaMpur baur didalam dadanja. Tanpa sesadarnja tiba-tibaia berkata "Terserah kepada kalian. Kami disini tidak tergantung kepada satu dua tiga orang jangs ama sekali tidak mempunjai tanggung djawab buat masa mendatang. Pergilah kalau kalian akan pergi. Orang-orang sematjam kalian pasti hanja akan memperlambat pekerdjaan dan mengendorkan nafsu bekerja.
Agni "potong orang-orang itu, dan salah seorang dianta mereka meneruskan "kata-kata itu terlampau kasar buat kami.
Hatiku terlampau sakit melihat sikap kalian dan alasan kalian jang tidak masuk akal bagiku.
Orang-orang itu tidak mendjawab lagi. Tetapi mereka kini membenahi pakaian mereka dengan ter-gesa-gesa. "Aku akan segera pergi.
Pergilah. Mudah-mudahan hantu Karautan menjadap darahmu desis Mahisa Agni hampir-hampir tidak dapat mengendalikan diri.
Tiba-tibaorang-orang itu mcndjadi putjat. Mereka takut mendengar Agni meujebut hantu Karautan, Sedjenak mereka saling berpandangan. Kemudian berkatalah salah seorang dari mereka "Kami akan pergi pagi-pagi besok.
"Kalian akan kemalaman didjalan.
"Terpaksa kami akan membawa kuda-kuda kami, seekor buat dua orang.
"He "kembali Mahisa Agni terkedjut. Kuda jang ada dipadang itu diantaranja memang milik orang-orang itu. Dua di antara mereka. Teiapi apa boleh buat. Dengan marahnja Agni berkata "Bawalah. Kau sangka hantu Karautan tidak dapat mengedjarmu lebih tjepat ddari lari seekor kuda. Dan kudamu akan mati kelelahan.
Tetapi Mahisa Agni tidak mau mendengar djawaban mereka lagi supaja hatinja tidak bertambah panas Segera ia melangkah meninggalkan gubug itu. Hatinja mcndjadi kian risau dan gelisah. Pasti bukan hanja oranng-orang itulah jang berperasaan demikian. Apabila seorang mulai dengan jang me njaknkan hatinja itu, maka orang-orang lain pasti akan mengikut inja.
Langkah Mahisa Agni ter-sendat2 diantara |gubug2 jang berserakan. Tetapi tiba-tibaia mereka takut untuk melihat ke adaan didalam gubug2 itu. Takut bahwa ia akan melihat orang-orang jang lain berbenah lagi seperti jang haru sadja dilihat nja Atau orang-orang jang sedang terkena penjakit seperti sakit Bitung. Atau jarg kakinja bengkak dan punggungnja terkilir.
Tiba-tiba Mahisa mempertjepat langkahnja. Tanpa dikehen dakinja sendiri ia berdjalan tjepat2 meninggalkan perkemahan nja, masuk kedalam gelapnja malam.
Anak muda itu sadar, ketika ia sudah berdiri disisi bendungan jang sedang dikerdjakannja. Dengan hati jang pedih ia berdjalan menjelusuri brundjung-brundjung jang sudah dan belum terisi batu. Di-sentuhnja benda- itu dengan tangannja seperti ia sedang membelai anak-anak kesajangaunja. Di sana-sini, ter onggok patok-patok bambu jang sudah siap diruntjingkan. Besok benda-benda itu akan diturunkan kekali. Tetapi, siapakah jang akan melakukannya, apabila orang-orang Panawidjen itu satu-satu meninggalkannja" Apakah ia sendiri, bersama Ki Buyut dan Empu Gandring mampu melakukanja"
Alangkah gelisahnja hati Mahisa Agni. Terbajang didalam angan-angannja, benda-benda itu akan terbengkelai. Brunjungbrudjungdan segala matjam perlengkapan. Semuanja itu akan teronggok untuk seterusnja. Tak akan ada lagi tangan jang menjentuhnja. Tak ada lagi jang menaruh perhatian atasnja. Kalau kelak beberapa tahun lagi ia sempat datang ketempat itu pula. Sama sekali tidak berubah seperti saat ditinggalkannja. Hanja apabila kerangka2 bambu itu menjadi lapuk, batu-batu itupun akan berserakan disekitarnja, untuk seterusnja tergolek sadja disitu. Bertahun-tahun, bahkan ber-puluh2 tahun.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Per-lahan-lahan ia mele takkan tubuhnja duduk diatas sebuah brundjung jang sudah berada disisi dasar bendungan. Dari tempat duduknja Mahisa Agni dapat m:lihat air jang mengalir hampir dibawah kakinja. Air itu sebenarnja sudah tampak naik dan tergenang beberapa tjengkang dari dasarnja.
"Apakah pekerdjaan ini akan terhenti" "gumamnja seorang diri. Ia akan dapat membajangkan, seandainja satu dua orang sadja jarg meninggalkan kerdja itu, maka sehari dua hari lagi, hal itu pasti akan mendjalar kepada orang-orang lain. Merekapun akan segera meninggalkan padang ini, untuk seterusnja berpentjaran mentjari tempat2 baru di-Padukuhan2 jang telah terbuka. Mungkin sekedar mendjadi pekerdja, atau pentjari kaju,atau pekerdjaan2 lain jang dapat mereka lakukan, sekedar untuk mendapatkan upah.
"Kenapa mereka tidak mempertahankan harga diri mes kipun pada permilaannja semuania dilakukan dengan prihatin "gumamnja seorang diri. "Meskipun kini mereka harus membanting tulang, tetapi mereka tidak perlu mentjari belas kasian orang lain. Mereka kelak akan menikmati hasil tangan sendiri.
Tetapi orang-orang Panawidjen berpendirian lain. Mereka tidak setabah Mahisa Agni menghadapi kesulitan. Setelah berpuluh tahun msreka hidup dengan senang, setiap tjengkang tanah memberi mereka makan, setiap dahan jang ditantjapkan akan berbuah, maka mereka benar-benar mendjadi pekerdja2 jang kurang bak.
Dengan hati jang risau Mahisa Agni duduk tepekur. Di pandanginja arus sungai jang gemeritjik membawakan lagu jang rawan, seperti lagu jang bergema didalam hati Mahisa Agni itu sendiri.
Dalam pada itu Mahisa Agni sama sekali tidak merasakan, bahwa sepasang mata selalu sadja memperhatikannja. Djarak mereka mrmang belum terlampau dekat. Tetapi ketadjaman mata itu dapat melihat bahwa seseorang duduk termenung disisi bendungan jang sedang dibangun.
"Pasti Mahisa Agni "gumam orang itu "tak ada orang lain jang berani keluar seorang diri dari perkemahannja.
Orang itu berwadjah beku seperti wadjah sosok majat.
Kebo Sindet. Selama ini ia tidak sabar lagi menunggu adiknja setiap kali kembali dengan laporan jang sama. Belum ada kesempatan. Karena itu, maka kini ia ingin melihat sendiri, apakah jang dikatakan adiknja itu benar.
Karena itu, ketika dilihatnja seorang anak muda duduk saorang diri disisi bendungan jang sedang dikerdjakan itu, Kebo Sindet mengumpat didalam hatinja "Wong Sarimpat benar-benar anak jang malas. Mungkin ia tidak telaten menunggu kesempatan2 seperti ini. Bukankah mudah sekali untuk mener kamnja, memidjit tengkuknja dan membawanja ke Ke mundungan" "tetapi kemudian didjawabnja sendiri "Ah, agaknja pesanku jang telah mengekangnja. Aku mengharap ia tidak berbuat sendiri, supaja tidak mengalami kegagalan seperti jang pernah terdjadi. Tetapi orang itu benar-benar bodoh. Sebenarnja ia dapat mempergunakan kebidjaksanaan. Kesem patan serupa ini tidak boleh lewat.
Kebo Sindet tersenjum didalam hati. namun wadjahnja jang beku masih sadja membeku. Dikepalanja telah berputar
berbagai rentjana dengan anak muda jang bernama Mahisa Agni itu. Dari Kuda Scmpana ia akan menerima hadiah jang tjukup. Seterusnja ia akan dapat melontarkan kesalahan kepada Empu Sada.
Kebo Sindet itu meng-angguk-anggukkan kepalanja. Tiba-tibaia mengumpat per-lahan-lahan " Wong Sarimpat benar-benar bodoh. Empu Gandring pasti akan memperhitungkannja pula, apabila Mahisa Agni hilang.
Orang jang berwadjah beku itu tertegun sedjenak. Na mun katanja didalam hati " Hem, kami harus mengakui lebih dahulu, bahwa kami mendapat permintaan dan kemudi an bekerdja bersama dengan Empu Sada. Seterusnja, aku da pat mengatakan kepada permaisuri itu, bahwa kami terpaksa membunuh Empu Sada, karena ternjata maksudnja terlampau djabat. Sedang anak muda jang bernama Mahisa Agni ter njaia tidak bersalah, apalagi ia adalah adik tuan puteri Ken Dedes. Dan kami akan merebut Mahisa Agni. Namun sajang, anak muda itu telah mendjadi tjatjat karena perlakuan Empu Sada dan Kuda-Sempana. Buta, tuli dan bisu. " Kebo Sin det meng-angguk-anggukkan kepalanja. " Meskipun Mahisa Agni telah tjatjat, namun adiknja jang terlampau mengasihinja dan kini mendjadi seorang permaisuri itu pasti akan membe ri kami hadiah. Apalagi kalau kami sempat menjerahkan Kuda-Sempana pula. Mungkin Kuda-Sempana harus mendja di bisu pula supaja tidak dapat mengatakan apapun lagi. Te tapi seandainja tidak, maka kata-katanja pasti tidak akan diper tjaja, sebab selama ini Kuda-Sempanalah jang selalu me-nge djar2 Mahisa Agni. Namun Kebo Sindet itu berguman " Ten tu sadja tidak terlampau sederhana seperti itu, tetapi gam baran jang demikian bukan berarti terlampau djauh.
Kembali Kebo Sindet memandangi bajangan jang duduk termenung itu. Per-lahan-lahan ia merajapi tebing supaja Mahisa Agni tidak melihatnja. Ia akan muntjul dengan tiba-tibadan menerkamnja, langsung menekan urat2 lehernja dan membu at anak itu pingsan.
Tetapi Kebo Sindet itu terkedjut. Agak djauh ia men dengar suara batuk2. Tetapi semakin lama semakin dekat.
Dan ia mengumpat habis2an didalam hatinja ketika ia men dengar anak muda itu menjapa " Siapa.
Bajangan jang mendatang itu tidak segera mendjawab. Perlahan-lahan ia melangkah semakin dekat.
Kebo Sindet jang bersembunji disisi tebing dibalik ruMpun2 perdu scgtra melihat pula bajangan itu. Remang-remang didalam gelap malam berdjalan mendekati Mahisa Agni.
"Siapa" "sekali lagi Mahisa Agni menjapanja. Tiba-tibaia menjadari, bahwa bahaja masih sadja selalu mengeru muninja. Karena itu maka segeia ia berdiri tegak dan siap menghadapi setiap kemungkinan.
Tetapi djawaban jang didengarnja telah mengendorkan ketegangan uratnja "Aku Agni.
Namun Kebo Sindetlah jang kemudian mendjadi tegang ketika ia mendengar Agni menjahut "Paman Empu Gandring"
"Ja Agni. Mahisa Agnipun kemudian duduk kembali diatas brun djung2 jang sudah penuh berdiri batu, sedang pamannja duduk pula ditampingnja. Tetapi mereka sama sekali tidak menjadari bahwa sepasang mata sedang mengintai mereka.
Alangkah ketjewanja Kebo Sindet melihat kehadiran Empu Gandring. Kembali ia meng-umpat-umpat didalam hatinja. "Setan belang. Apakah jang ditjarinja setan tua itu" "Namun tiba-tiba timbullah pertanjaan didalam hatinja "Apakah orang itu mengetahui bahwa aku berada disini"
Kebo Sindet mengatupkan giginja rapat, tetapi sorot matanja se-akan-akan memantjarkan api kemarahannja. "Hem "ia menggeram di dalam hati "Ternjata benar djuga kata Wong Sarimpat Orang tua itu se-olah-olah tidak pernah terpisah dari kemanakannja. Tetapi ini akibat dari kelalaian Wong Sarimpat pula, sehingga Empu Gandring mendjadi semakin ber-hati-hati. Setiap kali ia tidak melibat kemanakannja, maka pasti ia akan mentjarinja.
Terasa dada orang itu bergelora, meskipun wadjahnja masih sadja membeku. Namun Kebo Sindet ternjata lebih mampu mengendalikan perasaannja dari pada adiknja. Sean dainja jang ada di tebing itu Worg Sarimpat, maka pasti ia akan melepaskan kemarahannja. Mungkin ia akan melompat meskipun ia ia tahu bahwa itu tidak akan ada gunanja.
Tetapi Kebo Sindet tidak berbuat demikian. Per-lahan-lahan ia malangkah surut semua tindakannja atas anak muda itu saat ini pasti tidak akan berhasil. Karena itu, lebih baik menjingkir untuk sementara sampai disaat lain ada kesempatan jang terbuka.
"Aku harus bersabar "katanja didalam hati "aku harus menunggu keduanja mendjadi lengah sehingga mereka melupakan bahaja jang dapat mengantjam anak muda itu.
Mpu Gandring dan Mahisa Agni sama sekali tidak tahu bahwa seseorang sedang meninggalkan tepian itu sambil meng-umpat-umpat tak putus-putusnja. Mereka tidak menjadari bahwa hampir-hampir saija Mahisa Agni diterkam oleh bahaja jang selalu membajanginja. Seperti semula ia tidak tahu, bahwa orang-orang Panawidjen sendirilah jang akan menggagalkan rentjana pem buatan bendungan itu.
Ternjata Kebo Sindet tjukup ber-hati", sehingga ia tidak menimbulkan kegaduhan. Kudanja jang ditambatkannja agak djauh, tidak segera dipatjunja. Tetapi dibiarkannja kuda itu berdjalan per-lahan-lahan mendjauh. Meskipun demikian, hatinja benar-benar mendjadi ketjewa. Anak muda jang diijarinja itu se"akan-akan telah ada didalam genggamannja. Tetapi tiba-tibalepas kembali.
"Hem " gumamnja " Wong Sarimpat pernah berkata demikian pula beberapa saat jang lalu.
Diatas bendungan jang sedang dikerdjakan itu, Mahisa Agni dan Empu Gandring masih sadja duduk sambil berdiam diri. Mereka masih sadja memandangi arus air jang berge djolak menggelepar melanda dasar bendungan jang sudah di letakkan didasar sungai itu.
Angin malam jang scdjuk berhembus per-lahan-lahan mengu sap tubuh mereka. Dikedjauhan terdengar lamat2 burung-burung malam ber-sahut2an, diantara derik suara bilalang.
Jang sedjenak kemudian berkata memetjah sepinja ma lam adalah Empu Gandring. Dengan nada jang rendah ia ber tanja "Mahisa Agni, apa kerdjamu malam2 disini"
Mahisa Agni mengangkat wadjahnja. Tetapi kembali wa djah itu menunduk memandangi air dibawah kakinja. Per-Iahan2 ia mcndjawab "Tidak apa-apa paman.
Pamannja menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginja wadjah kcmanakannja jang tunduk. Iba batinja terhadap anak itu mendjadi semakin dalam. Ia tahu apa jang telah terdjadi diperkemahan. Ia tahu bahwa beberapa orang telah membe nahi diri dan besok akan meninggalkan padang itu kembali ke Panawidjen.
Karena itu maka katanja "Agni, apakah kau sedang memikirkan bendungan itu"
Kembali Mahisa Agni mengangkat wadjahnja. Tetapi ia tidak mendjawab.
"Apakah kau sedang dibingungkan oleh beberapa orang jang besok akan kembali ke Panawidjen"
Mahisa Agni masih berdiam diri.
"Dan kau tidak dapat mentjegahnja lagi"
Akhirnja Mahisa Agni menganggukkan kepalanja sambil berkata "Ja paman. Beberapa orang besok akan kembali ke Panawidjen. Kalau itu benar-benar terdjadi, maka orang-orang jang lainpun akan pergi djuga dari padang ini, sehingga akhirnja aku akan kehabisan kawan. Pasti tidak mungkin aku akan melakukannja sendiri.
Pamannja meng-angguk-anggukkan kepalanja, katanja "Ja, kau tidak akan dapat melakukannja sendiri. Tetapi bukan kah kau masih dapat mengharap beberapa orang akan tetap berada dipadang ini dan bekerdja bersamamu"
" Pekerdjaan ini adalah pekerdjaan jang besar dan berat paman. Aku memerlukan teman se-banjak2nja jang dapat mengerti arti perdjuangan ini. Tetapi ternjata mereka sama sekali tidak dapat membajangkan arti dari perdjuangannja itu, sehingga sebagian dari m;reka mcndjadi djemu karena nja. Besok sebagian dari mereka akan kembali. Lusa jang lain menjusul. Esok kemudian jang lain lagi, sehingga akhir nja aku akan tinggal disini seorang diri.
Mpu Gandring meng-aagguk2kan kepalanja mendengar keluhan Mahisa Agni itu. Ia dapat mengerti luupa parah luka dihatinja. Meskipun demikian orang tua itu berkata "Agni, kau adalah seorang anak muda. f"sirenaitu djangan me ngeluh dan lekas berputus asa. Lakukan segala usaha, kau pasti akan menemukan rijalan. Bukankah usahamu ini adalah usaha jang baik. Jang Maha Agung pasti akan menjertaimu.
Mahisa Agni tidak segera mendjawab. Ia pertjaja benar kepada kekuasaan tertinggi diluar kemampuan djangkau otak manusia. Ia pertjaja bahwa usahanja itu adalah usaha jang baik. Usaha untuk kesedjahteraan manusia, meskipun hanja dalam lingkungan jang ketjil.
Tetapi kali ini se-akan-akan pekerdjaannja sama sekali tidak dapat berdjalan dengan lantjar. Se-akan-akan Jang Maha Agung tidak memberinja kesempatan untuk berbuat, untuk melaku kan pengabdian jang ketjil ini. Ada sadja rintangan-angan jang harus dihadapinja. Dari dalam tubuh orang-orang Panawidjen sen diri dan dari luar lingkungan mereka.
Karena Mahisa Agni tidak segera mendjawab, maka Empu Gandring itupun berkata pula, djustru langsung menjentuh perasaan Mahisa Agni jang sedang diliputi oleh kerisauan itu "Agni. Mungkin tangan Jang Maha Agung itu tidak segera dapat kau rasakan. Mungkin kau djustru merasa sama sekali tidak mendapat tuntunan-Nja. Tetapi kau barus men tjari kesalahan itu pada dirimu sendiri. Mungkin kau kurang tekun memandjatkan permohonan kepada-Nja. Mungkin kau kurang prihatin. Tetapi mungkir djuga kali ini permohonan mu memang belum selajaknja dipenuhi selurubnja. Setiap kesulitan adalah peladjaran bagimu. Hanja kitalah jang ka dang-kadang tidak dapat menangkap maksud tuntunan itu. Namun seandairja demikian buat kali ini, baiklah kita mentjoba meraba-raba maksud itu. Jang Maha Agung tidak akan memberikan bendungan begitu sadja. Tetapi pasti ada tuntunan bagi kita sekalian. Kita teriijata mendapat latihan untuk bekerdja keras dan berusaha tidak mengenal putus asa.
Mpu Gandring diam sedjenak. Ia ingin tahu, apakah jang dirasakan oleh kemanakannja.
Sesaat kemudian berkatalah Mahisa Agni "Paman bagaimana aku akan dapat melangsungkan kerdja tanpa orang-orang lain. Mungkin aku dan Ki Buyut Panawidjen dapat tinggal disini dengan kesadaran sepenuhnja, bahwa apa jang kita lakukan ini akan berarti tidak sadja buat masa depan jang dekat, tetapi djuga buat masa-masa mendatang. Buat anak tjutju. Namun apakah arti kami berdua, dan mungkin djuga paman untuk beberapa lama, karena mustahil paman akan dapat tinggal bersama kami terus-menerus, karena paman me m punjai padepokan dan beberapa orang tjantrik. Apakah jang dapat kita lakukan untuk melawan alam jang garang dan kasar ini".
"Agni "berkata pamannja "kau hanja melihat ke kua2an lahiriah. Kau melupakan kekuatan jang tidak kasat mata. Ingatkah kau Agni, apa jang pernah dilakukan oleh gurumu" Aku pernah mendengar, dan kau pernah pula mengatakan kepadaku. Bagaimana ia membuat bendungan di Panawidjen"
Mahisa Agni tidak segera mendjawab. Dan pamannja berkata seterusnja "Gurumu, Empu Purwa bekerdja seorang diri. Hanja dengan beberapa orang tjantrik jang setia dan beberapa orang dalam djumlah jang sangat ketjil, ia berhasil membangun bendungan, meskipun sampai berbilang tahun. Apakah kau sangka Empu Purwa mempunjai Adji Bala Srewu jang berwudjud seribu raksasa untuk membantunja memba ngun djembatan itu" Tidak Agni. Bala Srewu milik gurumu adalah ketekunannja berlandaskan pada kepertjajaannja kepa da Jang Maha Tinggi. Gurumu tidak akan mampu membuat apapun tanpa tuntunannja. Tanpa Tangan-Nja jang Agung. Adalah diluar akal, bahwa gurumu dan beberapa orang sa dja mampu membuat bendungan itu, apabila tidak ada ke kuasaan jang melampaui segala kekuasaan ikut membantunja.
Mahisa Agni menggigit bibirnja. Terasa djantungnja berderak2 seperti akan meledak. Kata-kata pamannja serasa menjen tuh batinnja dan mengalir menelusur urat2 darahnja, mema nasi seluruh bagian tubuhnja.
Kata-kata itu bagaikan kekuatan jang tidak ada taranja me njusup kedalam dirinja.
Mahisa Agni itupun tiba-tiba menengadahkan wadjahnja. Kini se-akan-akan ia telah menemukan dirinja dan menemukan gairah serta nafsu jang me-njala2 itu kembali. Ketika ia me lihat langit diatas kepalanja, kini dilihatnja bintang gemin tang berbinar terang bcrgajutan pada tabir jang biru gelap. Terdengar suara derik tjengkerik seperti suara genderang pe rang, serta suara burung-burung malam jang me-mekik2 itu, seperti suara sangkakala jang berbunji dari tjelah-tjelah langit.
Tiba-tibaterdengar anak muda itu menggeram "Ja, paman. Aku menjadari keadaanku. Aku telah terseret oleh arus keputus-asaan. Aku melupakan setiap kemungkinan, jang te raba dan jang tidak teraba oleh pantja-indera. Karena itu, aku berdjandji paman, bahwa aku akan beruiaba sampai ke mungkinan jang terakhir untuk mewudjudkan bendungan ini. Meskipun seandainja aku tinggal seorang diri.
"Bagus "sahut pamannja "se-tidak2nja tjantrik2 guramu akan membantumu seperti gurumu pada saat membu at bendungan itu. Apabila demikian, apabila kau harus bekerdja sendiri, maka jang per-tama-tama harus kau kerdjakan adalah, berusaha mendapatkan perbekalan setjara terus-menerus. Tanamlah macam-macam ubj2an di-tebing2 sungai ini supaja kau dapat menjimpan makanan untuk waktu jang pandjang.
"Baik paman "sahut Mahisa Agni dengan mantap. Ia kini tidak lagi dilanda oleh ke-ragu-raguan dan kebimbangan.
"Tetapi kini kau belum sendiri. Kau masih mempunjai tjukup kawan.
"Mereka besok akan meninggalkan padang ini. Satu demi satu. Tetapi aku sudah tidak mempedulikannja lagi. Biarlah mereka pergi seluruhnja. Biarlah mereka meninggalkan aku seorang diri. Tetapi kini aku menemukan kejakin an didalam diriku, seperti kata paman, bahwa ada jang sela lu bersamaku, djustru Jang Maha Agung.
Terasa sesuatu bergetar didalam dada Empu Gandring mendengar kata-kata kemanakannja, jang agaknja kini benar-benar telah menemukan kembali hubungan jang erat antara dirinja dengan Sumbernja, jang selama ini telah terganggu oleh ke-ragu-raguan, ketjemasan dan ketidak-tentuan.
Karena itu maka orang tua itu berkata "Bagus Agni Dengan bekal itu kau pasti akan dapat menjelesailkan peker djaanmu. Kau tidak perlu ter-gesa-gesa. Kau tidak periu meng harap bendunganmu itu akan siap sebelum musim hudjan jang akan datang. Meskipun dimusim hudjan air akan men djadi lebih besar, tetapi bandjir jang besar jang akan meng hanjutkan brundjung-brundjung jang telah kau letakkan pada dasar sungai itu tidak selalu datang. Mungkin bandjir2 itu akan datang melandanja dan menghanjutkannja, tetapi mungkin pula tidak. Kalau kau pasang dasar bendungan itu dengan perhitungan jang baik, dengan dasar kemungkinan jang pa ling pahit, maka kau akan berhasil mengatasi bandjir jang bagaimanapun besarnja.
Mahisa Agni meng-angguk-anggukkan kepalanja. Kini ia men djadi semakin mantap. Dan kini ia tidak lagi mendjadi tje mas menghadapi setiap antjaman.
Karena itu, maka ketika pamannja mengadjaknja kem bali keperkemahan, Mahisa Agni tidak lagi berdjalan dengan ragu. Ia melangkah dengan dada tengadah.
Ketika mereka sampai dipeikemahannja, maka Empu Gan dringpun segera masuk kedalam gubugnja. Tetapi Mahisa Ag ni tidak berbuat demikian. Ia masih ingin melihat-lihat perke mahan itu sekali lagi dengan tanggapan jang djauh berbeda.
"Kau harus beristirahat Agni.
"Ja paman, tetapi aku ingin meneruskan mc lihat2 perkemahan ini sebentar. Aku tadi terhenti ditengah-tengah ketika hatiku mendjadi bingung melihat orang-orang jang sedang sibuk ber-kemas2. Kini aku akan melihat gubug demi gubug. Apa pun jang akan aku lihat, aku sudah tidak akan terpengaruh lagi. Bahkan aku ingin melihat, siapakah jang kira-kira akan dapat bekerdja bersamaku seterusnja apabila orang-orang lain sa tu demi satu meninggalkan padang jang keras ini.
"Aku kira semua orang telah tidur.
"Biarlah. Kalau ternjata demikian, akupun akan sege ra tidur pula.
Pamannja tidak- menahannja lagi. Per-lahan-lahan Mahisa Ag ni melangkah kembali menjusuri perkemahan itu. Gubug de mi gubug dilihatnja. Beberapa anak-anak muda tidur mendekur berselimut kain pandjang. Ada pula diantara mereka jang ti dur disamping perapian jang masih membara.
Tetapi bagaimanapun djuga, hati anak muda itu men djadi ber-debar-debar ketika sekali lagi ia melihat beberapa orang tidur dengan beberapa bungkusan jang telah siap disamping nja. Sedjenak Mahisa Agni berhenti. Ditatapnja orang-orang i.tu sambil bergumam didalam hatinja "Hem, agaknja kalian tidak menjadari apa jang kalian lakukan.
Kini Mahisa Agni tidak lagi mendjadi tjemas, ketakutan dan berputus-asa, tetapi tibaa ia merasa kasihan kepada orang-orang itu. Kasihan mereka mendjadi berputus-asa dan kehi langan kepertjajaan kepada diri sendiri. Mereka lebih senang melarikan diri dari usaha ini dan menggantungkan diri kepa da kemungkinan2 jang akan didjumpainja. Mungkin karena belas kasihan seseorang, mungkin karena kebetulan.
Tetapi Mahisa Agni mendjadi ketjewa pula. Sikap itu pasti akan mempengaruhi sikap orang-orang lain jang memang sudah dihinggapi oleh perasaan jang serupa.
Meskipun demikian, kini Mahisa Agni sendiri tidak ter pengaruh olehnja. Ia tidak lagi mendjadi bingung dan putus-asa seperti orang-orang itu.
Per-lahan-lahan Mahisa Agni meneruskan iangkahnja. Kini ia mendengar seseorang mengeluh karena kakinja bengkak dan digubug jang lain ia mendengar seseorang menggigil kedingin an meskipun tubuhnja mendjadi panas.
Mahisa Agni menarik nafas pandjang. Ia tidak boleh mundur karena keadaan itu. Tetapi ia harus madju djustru mengatasi keadaan itu.
Jang ada dikepala Mahisa Agni kini adalah angan-angan, ba gaimana ia dapat mentjari djalan keluar dari segala matjam kesulitan. Bagaimana ia dapat mengatasinja dan menemukan suatu keadaan jang mantap, meskipun hanja tinggal bebera pa orang sadja jang bersedia bekerdja bersamanja.
Tanpa diketahuinja Mahisa Agni kini telah berdiri di udjung perkemahannja. Seperti sebatang tonggak ia berdiri dan mengawasi padang jang luas terbentang dihadapannja. Padang jang kelak akan dibelahnja dengan saluran air dan akan di-robek2nja dengan parit-parit jang mengalirkan air jang djernih.
Mahisa Agni berpaling ketika ia melihat seseorang jang tidur disamping perapian menggeliat bangun. Orang itu agak terkedjut ketika dilihatnja sesosok tubuh berdiri membeku disampingnja. Tetapi kemudian orang itu berkata "Htm, kau Agni. Apakah kau tidak tidur"
"Aku tidak mengantuk "djawab Agni.
"Aku lelah sekali "sahut orang itu pula "tangan dan kakiku serasa akan terlepas.
Mahisa Agni jang sedang risau itu tiba-tiba merasa tersinggung. Tanpa memandang kearah orang itu ia berkata "Apakah kau djuga akan kembali ke Panawidjen seperti beberapa orang lain"
Orang itu mendjadi heran. Per-lahan-lahan ia bertanja "Apakah ada orang jang akan kembali ke Panawidjen"
"Ja Orang-orang jang ber-putus-asa. Akakah kau mau ikut supaja kaki dan tanganmu tidak terlepas"
Orang itu diam sedjenak. Dengan heran dipandanginja wadjah Mahisa Agni jang se-olah-olah membeku. Namun tiba-tiba ia berkata "Agni kau salah sangka. Aku sudah bersedia be kerdja dipadang ini. Bukankah kau melihat bahwa aku telah bekerdja dengan sekuat tenagaku" Kenapa kau berkata begitu" Meskipun semua orang akan kembali ke Panawidjen, namun aku akan tetap berada disini selagi masih ada orang jang memimpinku mengerdjakan bendungan itu.
Hati Mahisa Agni bcrgedjolak mendengar djawaban itu. Tiba-tiba ia menjadari kesalahannja. Karena itu dengan serta-merta ia berkata "Maafkan aku. Hatiku sedang diamuk oleh keketjewaan karena aku melihat beberapa orang jang akan meninggalkan padang ini besok pagi.
Orang itu meng-angguk-anggukkan kepalanja. Kembali ia ber tanja "Djadi benarkah bahwa ada orang-orang jarg akan kembali ke Panawidjen besok"
"Ja- Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Per-lahan-lahan ia bergumam "Suatu pertanda bahwa pekerdjaan kita akan mendjadi se makin berat. Pasti bukan hanja orang itu sadjalah jang kemudian akan meninggalkan kita.
"Apakah kau keberatan"
Orang itu menggeleng, dan Mahisa Agnipun mendjadi malu kepada dm sendiri. Apalagi ketika orang itu mendjawab "Bukankah kita tidak akau dapat memaksanja" Kalau orang-orang itu memang telah mendjadi djemu, biarlah mereka pergi. Ditempat ini mereka hanja akan mengganggu dengan berbagai matjam hasutan dan menghabiskan persediaan makan jang sudah menipis itu.
Mahisa Agni menggigit bibirnja. Ia kagum mendengar tekad dan pendapat orang itu. Ternjata diantara orang-orang Pa nawidjen jang malas dan berhati gojah, ada djuga orang-orang se rupa orang ini.
"Bagaimana kalau mereka semuanja pergi meninggalkan padang ini" "Mahisa Agni mentjoba mendjadjagi hatinja.
"Hem " orang itu berdesah " kalau demikian maka kita jang tinggal akan bekerdja untuk dua tiga musim.
"Bagus "sahut Mahisa Agni "ternjata kau adalah seorang jang berhati badja. Se-tidak2nja kita bertiga dan be berapa orang tjantrik akan tinggal disini. Aku, kau, Ki Buyut Panawidjen dan tjantrik2 dari padepokan Empu Purwa itu.
Orang itu tersenjum. Sambil menguap ia bergumam "Aku mengantuk. Aku akan tidur.
Sedjenak kemudian orang itupun telah berbaring kembali disamping perapian sambil menjelimuti seluruh tubuhnja dengan kain pandjang jang lungset.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ternjata hatinja ti dak setenang dan setabah hati orang itu. Orang itu sama se kali tidak mendjadi gelisah dan kctjewa. Bahkan sedjenak ke mudian orang itu telah mendekur pula.
Namun dengan demikian, hati Mahisa Agni kini mendjadi semakin mantap. Ternjata Jang Maha Agung benar-benar besertanja. Lewat pamannja dan orang jang kini telah terti dur kembali itu, ia mendapat tuntunan-Nja, mendapat pe ringatan-Nja sehingga ia mendapatkan kekuatannja kembali.
Kini Mahisa Agni kembali memandangi padang jang lu as dan gelap itu. Padang itu harus ditaklukkannja, sehingga padang itu akan menuruti kemauannja.
Malam jang gelap mendjadi semakin gelap. Angin malam berhembus mengusap tubuh Mahisa Agni jang berdiri tegang. Titik2 embun telah mulai membasahi atap-atap gubug dan re rumputa" jang terbentang dihadapannja.
Tetapi titik embun itu sama sekali tidak mampu menje djukkan hati Mahisa Agni jang ketjewa. Meskipun ia tidak lagi mendjadi gelisah dan bingung, namun sikap beberapa orang itu masih sadja tidak dapat dimengertinja.
Ketika Mahisa Agni mendengar suara batuk2 seseorang jang sedang tidur digubug jang paling udjung, maka tersa darlah bahwa malam telah terlampau dalam, bahkan telah melampaui titik pusatnja. Karena itu, maka per lahan-lahan Mahisa Agni menggeliat dan melangkah kembali ke gubugnja sambil
bergumam "Persetan. Pergilah jang mau pergi. Pendapat orang itu baik sekali. Disini mereka hanja akan mengganggu dan menghabiskan persediaan makanan. Tetapi Mahisa Agni berdesah pula "Kasian. Mereka telah kehilangan segenap kepertjajaan. Kepada diri sendiri dankepada Sumber Hidupnja.
Tiba-tibalangkah Mahisa Agni tertegun. Ia melihat sesuatu bergerak-gerak dikedjauhan. Muia2 samar2, tetapi semakin lama mendjadi semakin djelas.
Djantung Mahisa Agni serasa berdentang karenanja. Ia melihat njala obor. Tidak hanja sebuah, tetapi dua, tiga bahkan lebih.
"Apakah aku bermimpi" "desis Mahisa Agni. Namun obor itu masih sadja dilihatnja semakin lama semakin njata.
01 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Obor itu mendekati perkemahan ini"gumamnja.
Sedjenak Mahisa Agni berdiri mematung. Ia mentjoba untuk menebak apakah kira-kira jang dilihatnja itu. Apakah benar-benar obor, atau jang sering disebut orang kemamang" Se matjam burung jang dapat menjala dan berterbangan dimalam hari"
Tetapi segera Mahisa Agni dapat memastikan bahwa jang dilihatnja itu adalah njala beberapa buah obor.
Untuk mejakinkan penglihatannja, Mahisa Agni melangkah kembali mendekati orang jang sedang mendekur itu. Per-lahan-lahan orang itu dibangunkannja.
Sambil menggeliat orang itu bertanja "Ada apa Agni"
"Bangunlah. Lihatlah. Apakah kau melihat seperti jang aku lihat"
"Apa" "Bangunlah. Wadjah orang itu memdjadi tegang. Per-lahan-lahan ia ber gumam "Apakah kau sedang me-nakut2i aku" Atau apakah kau melihat hantu Karautan"
"Aku tidak takut kepada hantu Karautan. Tetapi jang aku lihat adalah obor.
"O, kemamang kau maksudkan" Hantu api jang menjebarkan balapenjakit.
"Bangunlah dan lihatlah. Menurut pengamatanku jang aku lihat adalah njala obor. Sama sekali bukan kemamang Apalagi jang menjebarkan penjakit.
Dengan ter-gesa2 orang itu bangkit dan segera pula ber diri. Dilatapnja arah jang dituridjuk oleh Mahisa Agni dengan djarinja. Wadjah itupun segera mendjadi semakin tegang. Se peni bergumam kepada diri sendiri orang nu ber kata-Jaja. Obor
"Nah "berkata Mahisa Agni "bukankah benar-benar obor, api obor" Bukan kemamang jang akan menjebarkan penjakit"
"Tetapi siapakah jang membawa obor dimalam begini dipadang Karautan. "Orang itu berhenti sedjenak. Terapi hampir memekik ia berkata "Pasti hantu Karautan. Hantu Karautan bersama kawan-kawannja berbaris. Oh, memang hantu2 sering berbaris pula seperti manusia. Mungkin hari t u 2 itu ter djadi oleh roh2 djahat. Mungkin gerombolan2 perampok jang terbunuh dipadang ini oleh pradjurit Tumapel.
"Hantu2 tidak memerlukan obor "sahut Mahisa Agni "mereka dapat melihat djelas didalam gelap. Djustru se makin gelap, mereka semakin dapat melihat dengan tadjam nja.
Orang itu menarik nafas. "Lalu siapakah mereka"
Mahisa Agni tidak segera dapat mendjawab.
Kembali orang itu berkata dengan serta-merta "Kalau begitu mereka bukan roh perampok2 jang mati dipadang ini, tetapi djustru mereka adalah perampok2 jang masih hidup. Mereka menjangka kita membawa banjak perbekalan disini.
Dada Mahisa Agni berdesir mendengar kata-kata itu. Meski pun angan-angannja tidak sedjalan dengan orang itu, bahwa jang
datang itu gerombolan perampok jang akan merampas harta benda, tetapi ada djuga persamaaanja dengan itu. Angan-angannja segera hinggap kepada Empu Sada, Kuda-Sempana, dan orang jang ditemuinja terakhir dipadang Karautan Wong Sarimpat.
Wadjah Mahisa Agnipun mendjadi semakin tegang. Di kenangnja pula tjcritera Witantra ketika pemimpin pradjurit pengawal Akuwu itu mengantar Ken Dcdes ke Panawidjen. Ternjata Empu Sada mampu membawa segerombol orang-orangnja untuk mentjegat para pengawal.
"Apakah mereka datang kemari pula" "katanja di dalam hati "tetapi apakah mereka memerlukan obor djuga "
Meskipun Mahisa Agni mendjadi bimbang, tetapi kemung kinan itulah jang paling besar dapat terdjadi. Tidak ada ban tu tidak ada kemamang jang menjebarkan penjakit, tetapi apabila jang datang itu Empu Sada dan Wong Sarimpat, ma ka akibatnja lebih dari hantu jang manapun djuga, lebih da ripada kemamang jang menjebarkan penjakit.
Tetapi Mahisa Agni tidak mau menggelisahkan orang-orang Panawidjen. Dengan tenang ia berkata: "Marilah kita lung gu, siapakah jang datang itu. Sebaiknja Ki Buyut Panawidjen siap puta menjambutnja. Mungkin orang-orang jang datang itu se buah rombongan pedagang jang tersesat atau mentjari perlin dungan.
"Apakah mereka tahu, bahwa disini ada perkemahan"
"Api jang menjala diperapian dan lampu-lampu itulah agak nja jang menuntun mereka kemari.
Orang itupun meng-angguk-anggukkan kepalanja. Dari sela-sela bibirnja ia bergumam "Mungkin. Mungkin puja demikian. "Namun terasa bahwa batinja diganggu oleh ke-ragu-raguan dan ketjemasan.
"Awasilah obor-obor itu "berkata Mahisa Agni "aku akan membangunkan Ki Buyut.
"Baiklah "djawab orang itu "tetapi djangan terlampau, lama.
"Kenapa" Orang itu tidak mendjawab, tetapi Mahisa Agni dapat meraba perasaannja. Orang itu agaknja mendjadi takut.
"Djangan takut dan tjemas. Obor-obor itn masih terlalu djauh. Kalau benar mereka itu para pedagang jang tersesat, maka kau pasti akan mendapat hadiah nanti. Tenanglah.
Orang itu hanja meng-angguk-anggukkan kepalanja sadja, tanpa sepatah djawabanpun.
Dengan tenangnja Mahisa Agni berdjalan mcninggalkannja seorang diri. Tetapi ketika Agni telah membelok kebalik sebuah gubug, maka segera ia mempcrtjepat langkahnja. Hatinja sen diri sebenarnja telah dilanda pula oleh kegelisahan dan ber bagai pertanjaan mengenai obor-obor itu.
Ki Buyut jang kemudian dibangunkan dari tidurnja, dengan ter-gesa-gesa pergi keluar gubugnja dan berdjalan kesisi perkemahan. Atas petundjuk Mahisa Agni, segera iapun me lihat beberapa buah obor jang kini mendjadi semakin dekat.
"Apakah menurut dugaanmu ngger"
"Aku tidak tahu Ki Buyut.
Ki Buyut meng-angguk-anggukkan kepalanja. Tetapi iapun men djadi gelisah pula.
"Aku akan membangunkan paman pula Ki Buyut.
"Bagus "sahutnja "aku menunggu disini.
Kembali Mahisa Agni melangkah dengan ter-gesa-gesa. Ber bagai gambaran hilir mudik dikepalanja. Namun jang paling tadjam adalah gambaran tentang Kuda-Sempana, Empu Sada dan orang jang berwadjah kasar, sekasar batu padas, jang mampu mematju kuda tanpa pelana.
Mpu Gandring mengerutkan keningnja ketika ia men dengar tentang obor-obor itu dari Mahisa Agni. Seperti Ki Buyut maka orang tua itupun segera pergi kesisi perkemahan untuk dapat melihat obor-obor itu dengan djelas.
"Apakah dugaan Empu tentang obor-obor itu"
Mpu Gandring menggeleng"Aku belum dapat menduga Ki Buyut.
Namun Mahisa Agnilah jang mendjawab dengan ragu-ragu "Apakah mungkin mereka itu sebuah gerombolan seperti jang ditjeriterakan oleh Witantra itu paman. Bukankah Empu Sada pernah mentjoba mentjegat Ken Dcdes"
Mpu Gandring meng-angguk-anggukkan kepalanja. Tetapi ia ber desis "Apakah mereka akan datang dengan membawa obor"
"Mereka jakin bahwa usahanja akan berhasil kali ini. Bukankah Empu Sada tidak sendiri"
"Ja, Bersama Wong Sarimpat, Kebo Sindet dan beberapa orang muridnja.
Mahisa Agni mendjadi ber-debar-debar mendengar djawaban gurunja, meskipun ia sudah menduga pula. Nama2 itu kcm bali diulanginja didalam hatinja, Empu Sada, Wong Sarimpat dan Kebo Sindet.
"Hem "desahnja.
Ki Buyut Panawidjen jang mendengar pembitjaraan itu pun mendjadi tjemas pula. Ter-bata2 ia bertanja "Siapakah mereka itu Mpu" Apakah mereka itulah jang ingin berbuat djahat atas angger Mahisa Agni"
"Belum pasti Ki Buyut. Kita belum tahu pasti siapa kah jang akan datang itu.
"Tetapi kemungkinan terbesar adalah mereka itu. Si apa lagi" Siapa lagi jang akan datang dilewat tengah malam ini ketjuali orang djahat" Mereka sengadja datang sambil membawa obor untuk memberitahukan kepada kita bahwa mereka datang dengan dada tengadah.
Mpu Gandring masih berusaha menenangkan "Ki Bu yut, Padang Karautan ini adalah padang jang terlampau sepi. Seandainja ada satu dua pendjahat atau penjamun, ma ka mereka pasti berada disisi lain, jang sering dilalui orang.
Merekapun pasti hanja seorang atau dua, tidak dalam djum lah jang besar.
"Mereka dapat memanggil kawan-kawan mereka Mpu.
"Apakah jang akan mereka tjari disini" Bukankah mereka mengetahui bahwa kita sedang bekerdja membuat ben dungan" Seandainja mereka ingin merampok kita, maka mereka pasti akan datang ke Panawidjen djustru disana ham pir tidak ada seorang laki-lakipun.
Ki Buyut memandangi wadjah Empu Gandring dengan gelisahnja. Pcr-lahan-lahan ia mendjawab ragu-ragu sambil berpaling kepada Mahisa Agni "Bukan Mpu, bukan harta benda jang mereka tjari, bukankah mereka mentjari angger Mahisa Agni.
Mpu Gandring menarik nafas dalam-dalam, sedang Mahisa Agni mcnggeretakkan giginja. Sambil mengangguk per-lahan-lahan Empu Gandring berkata "Mungkin. Tetapi itupun baru ke mungkinan. Kita semua tidak tahu, siapakah jang datang itu.
Sedjenak mereka terdiam. Obor-obor itu bergerak-gerak seperti siput jang sedang merajap. Per-lahan-lahan tetapi pasti madju mendekati perkemahan ini.
Mereka terkedjut ketika kemudian tcrdjadi hiruk pikuk disisi perkemahan itu. Ternjata beberapa orang telah bangun.
Oleh orang jang melihat obor itu bersama Mahisa Agni, beberapa kawannja telah dibangunkannja karena perasaan ta kut. Tetapi ternjata ketakutannja itupun telah mendjalar pu la, sehingga kemudian hampir semua orang diperkemahan itu terbangun.
Beberapa orang ber-lari2 mentjari Ki Buyut Panawidjen. Dengan nafas ter-engah2 salah seorang dari mereka bertanja "Apakah jang datang itu Ki Buyut.
Ki Buyut Panawidjen menggelengkan kepalanja sambil mendjawab "Aku belum tahu. Tak seorangpun jang tahu, siapakah jang datang itu.
"Apakah mereka orang-orang djahat atau hantu2 jang akan berbuat djahat atas kita"
Ki Buyut Panawidjcn itu menggeleng pula "Aku tidak tahu.
. Orang-orang itu terdiam sedjenak. Dengan wadjah jang tegang mereka memandangi api2 obor jang bergerak-gerakditengahpadang Kaiautan itu.
Tiba-tibasalah seorang dari mereka berkata "Apakah mereka itu orang-orang jang dibawa oleh Kud^-Sempana mentjari Mahisa Agni. Bukankah menurut pendengaran kami, Kuda-Scmpana selalu berusaha menangkap Mahisa Agni dengan bantuan gurunja atau orang-orang lain jang mereka anggap mampu berbuat demikian"
Sekali lagi Ki Buyut Panawidjcn menggelengkan kepalanja "Aku tidak tahu.
"Kalau demikian tjelakalah kami "desis seseorang.
"Mengapa" "dengan serta-merta terdengar Mahisa Agni bertanja.
"Kami jang tidak tahu menahu sengketa antara kau dan Kuda-Sempana pasti akan mengalami bentjana pula di perkemahan ini. Kalau Kuda-Sempana datang bersama gurunja dan saudara-saudara seperguruannja menjerang kita, maka matilah kita semua. "berkata jang lain.
Dada Mahisa Agni berdesir mendengar kata-kata itu. Apa lagi ketika jang lain menjambung "Hem, ternjata Mahisa Agni semalam ini selalu menjusahkan kita. Mahisa Agni sekeluarga. Empu Purwa dan Ken Dedes itu pula. Merekalah sumber bentjana jang selama ini melanda pedukuhan kita. Bu kankah Kuda-Sempana sebenarnja hanja menghendaki gadis itu. Bukankah bendungan kita hantjur karena Empu Purwa dan apabila kita sekarang binasa adalah karena Mahisa Agni.
Kenapa kita".."kata-kata orang itu tidak dapat disele saikan. Alangkah terperandjatnja, dan kemudian terdengar ia menjerit ketika tiba-tibatangan Mahisa Agni telah menampar mulutnja. Meskipun bagi Mahisa Agni ajunan tanganrja itu hanja sekedar untuk membungkam kata-kata jang menjakitkan hatinja" tetapi bagi orang jang ditamparnja seraba bagaikan tersambar petir.
"Agni "terdengar suara pamannja lantang.
Tetapi orang itu telah terduduk ditanah sambil menutup nulutnja jang berdarah.
Semua orang memandarg Mahisa Agni dengan wadjah jang tegang. Terasa berhagai perasaan bergolak didalam dada mereka. Ketaku2an kctjemasan dan kegelisahan. Mereka takut melihat obor-obor jang merajap semakin dekat. Teiapi merekapun mendjadi takut apabila tiba-tibaMahisa Agni mendjadi marah dan mengamuk.
Mahisa Agni masih berdiri tegang, namun kepalanja tiba-tiba menunduk Ia tidak berani menatap mata pamannja jang me mandanginja dengan tadjam. Per-lahan-lahan sekali pamannja itu berkata "Agni, djagalah perasaanmu. "Namun suara jantj per-lahan-lahan itu serasa djauh lebih keras dari ajunan ta ngannja.
Kini suasana sedjenak ditelan oleh kesepian. Kesepian jang diwarnai oleh berbagai matjam perasaan jang bertjaMpur-aduk. Kesepian jang menjesakkan dada.
Sementara itu obor dipadang Karautan itu masih tadja merajap semakin dekat. Dalam kepekatan malam, maka tam paklah titik2 api itu sedemikian djelasnja, bergerak-gerak silang menjilatng.
Tiba-tiba kestnjapan diperkemahan itu dipetjahkan oteb su ara Mahisa Agni per-lahan-lahan "Paman Empu Gandring, Ki Buyut Panawidjen dan saudara-saudaraku rakjat Panawidjen. Mung kin kalian benar. Akulah jang telah menjeret kalian kedalam bentjana. Tidak sadja aku telah membakar kalian setiap hari dipanas terik matahari, dan membekukan kalian diembun malam jang dingin dipadang Karautan, tetapi apabila benar jang datang itu Kuda-Sempana, maka kalian mungkin akan terpertjik bentjana pula. Karena itu, biarlah aku menjong song bentjana jang akan datang. Biarlah kalian terlepas dari setiap kemungkinan jang tidak kalian kehendaki. "Mahisa Agni berhenti sedjenak. Ditatapnja wadjah-wadjah jang tegang di sekelilingnja. Tetapi wadjah-wadjah itu masih sadja tegang membeku.
Maka sambungnja "Paman, Ki Buyut dan saudara-saudaraku. Aku tidak akan menunggu obor itu sampai diperkemahan. Biarlah aku pergi menjongsongnja. Djangan diharap aku kem bali ke-tengah2 kalian. Kalau kemudian kalian merasa tidak perlu lagi dengan bendungan ini, maka tinggalkanlah.
"Kenapa kau akan pergi angger" "potong Ki Buyut dengan tjemas.
"Kalau jang datang itu Kuda-Sempana Ki Buyut, biarlah mereka akan aku hadapi. Tetapi tidak disini.
"Agni "berkata Ki Buyut ter-bata2 "kalau benar jang datang itu Kuda-Sempana, kenapa angger tidak sadja. berusaha melarikan diri sebelum terlambat.
Terasa dada Mahisa Agni berdesir. Meskipun ia akan dapat berusaba menjingkir, namun akibatnja akan menimpa orang-orang Panawidjen. Kuda-Sempana dan kawan-kawan2nja pasti akan marah. Sasarannja pasti orang-orang Panawidjcn itu. Karena itu maka katanja "Tidak Ki Buyut. Dengan demikian, maka aku telah menjerahkan orang-orang Panawidjen kedalam suatu ke adaan jang sulit. Mereka pasti akan mentjari aku dan me maksa orang-orang Panawidjcn ini menundjukkan dimana aku ber sembunji.
Ki Buyut itupun terdiam. Tetapi beberapa orang men djadi sangat tjemas dan ketakutan.
"Karena itu Ki Buyut "Mahisa Agni melandjutkan "aku akan menjongsong mereka, dengan demikian maka kalian, orang-orang Panawidjcn ini akan terlepas dari bahaja.
Terasa sesuatu bergetar didalam dada Ki Buyut jang tua itu. Mahisa Agni baginja adalah lambang dari masa depan. Kerdja jang tak dapat dilakukan oleh orang lain telah dila kukannja. Kini ketika bahaja mengantjamnja, maka apakah ia akan dapat melepaskannja"
Tetapi sebelum Ki Buyut mengutjapkan sepatah katapun maka Mahisa Agni itu segera melangkah meninggalkannja kembali kegubugnja. Tak seorangpun jang tahu, apa jang akan dilakukannja. Sementara itu pamannjapun mengikuti nja pula dibelakangnja.
"Kau akan pergi Agni" "bertanja pamannja.
"Ja paman. Tak ada djalan lain untuk menjelamatkan orang" Panawidjen. Kalau Kuda-Sempana dan gurunja akan menangkap aku, biarlah mereka membawa majatku.
Dada pamannja berdesir mendengar djawaban itu. Apalagi ketika kemudian ia melihat Mahisa Agni meraih pedangnja dan disangkutkannja dilambungnja. Bukan hanja pedang itu, tetapi dari bawah tikar pembaringannja diambilnja pvsakanja jang djarang-djarang dirabanja. Pusaka itu adalah sebilah keris buatan Empu Gandring sendiri. Meskipun demikian, Ma hisa Agni mula-mula masih menjesal bahwa pusaka peninggalan gurunja tidak dibawa pula. Kalau demikian akan lengkaplah perlawanannja. la akan melawan dengan segenap tenaga ke mampuan jang ada padanja meskipun ia sadar, bahwa Empu Sada, Kebo Sindet dan Wong Sarimpat bukanlah lawannja.
"Mudah-mudahan seorang jang tepat menemukan trisula itu "desisnja didalam hati. Bahkan kemudian ia merasa be runtung bahwa pusaka itu tidak dibawanja. Sebab dengan de mikian trisula itu akan dapat djatuh ketangan musuh2nja.
"Sudahlah paman. Aku akan pergi "Tetapi kata-kata itu terputus ketika melihat pamannja menjelipkan pula kerisnja jang besar itu dipunggungnja.
"Apakah jang akan paman lakukan"
"Djangan pergi sendiri Agni.2 Akupun akan pergi. Aku ingin melihat apa jang sebenarnja akan -terdjadi. Aku masih selalu ditjengkam oleh ke-ragu-raguan. Bukankah semua itu baru dugaan sadja" Tetapi se-akan-akan semua orang telah me mastikan apa jang akan terdjadi.
Terasa mata Mahisa Agni mendjadi panas. Per-lahan-lahan ia bergumam "Paman, aku menjampaikan terima kasih. Te tapi aku kira paman tidak usah pergi bersamaku. Biarlah tjukup aku sadja jang akan mendjadi korban dari dendam jang membara didada Kuda-Sempana. Bukankah paman baruskcm bali ke Padepokan paman. Bukankah masih banjak jang dapat paman kerdjakan"
Pamannja tcrsenjum, tetapi senjum itu terasa terlampau pedih dihati Mahisa Agni.
"Aku adalah pamanmu lagi. Kalau masih ada ajahmu, mungkin aku tidak akan mempedulikan lagi apa jang terdjadi atasmu. Tetapi ajahmu kini sudah tidak ada lagi. Karena itu adalah mendjadi kuwadjibanku untuk melihat apa sadja jang dapat terdjadi atasmu.
Mahisa Agni tidak mendjawab. Tetapi kepalanja tiba-tibaterkulai djatuh pada udjung djari2 kakinja.
"Obor itu pasti sudah semakin dekat. Mari kita be rangkat adjak pamannja.
Mahisa Agni tidak mendjawab. Ketika pamannja me langkah keluar ia mengikutinja sadja dibelakangnja.
Disisi perkrmahan itu, orang-orang Panawidjen sudah mendjadi semak-semakn tegang. Obor itu sudah semakin dekat. Ketika mereka melibat Agni dan pamannja datang menjandang sendjata, maka hati merekapun mendjadi semakin ber-debar-debar.
Sedjenak Mahisa Agoi berdiri mematung. Gelora dida lam dadanja kian berketjamuk. Sekali dipandanginja wadjah-wadjah orang Panawidjen jang tegang, dan sekali ditatapnja api obor jang mendjadi semakin dekat.
Ketika Ki Buyut Panawidjen melihatnja telah bersiap untuk menjongsong obor-obor itu jang mungkin akan dapat men tjelakakannja, maka hatinjapun mendjadi pedih. Pada saa2 terakhir Mahisa Agni telah menjerahkan hampir segenap waktu dan kemampuannja untuk membangunkan sebuah ben dungan bagi kesedjahteraan orang-orang Panawidjen, dan kini bah wa miliknja jang paling berharga, jaitu hidupnja sekali, akan dsirahkannja pula. Meskipun sebenarnja Mahisa Agni masih mempunjai kesempatan untuk lari, namun anak muda itu tidak mempergunakannja, karena ia tidak mau mengor bankan orang-orang lain untuk kepentingannya.
Tiba-tiba, se-akan-akan diluar sadarnja orang tua itu berkata " Agni, tanpa kau, kerdja kami tidak akan berarti. Aku tahu apa jang sebenarnja tersembunji dihampir setiap dada orang-orang Panawidjen. Djemu. Karena itu sepeninggalmu, maka akupun akan tidak berarti apa-apa. Dengan demikian ngger, maka aku kira lebih baik aku pergi djuga bersamamu, melihat apa jang sebenarnja terjadi. Kalau bahaja itu datang menerkammu, biarlah aku mentjoba membantumu meskipun aku tahu, bahwa tenagaku tidak akan berati apa-apa. Tetapi aku sudah berbuat sesuatu. Aku tidak dapat melepaskanmu begitu sadja setelah kau bekerdja se-kuat2 tenagamu untuk kami disini.
Mahisa Agni menggeleng. Katanja "Djangan Ki Buvut. Dengan demikian maka orang-orang Panawidjen akan kehilangan pemimpinnja. Ki Buyut akan dapat berbuat banjak untuk kepentingan merika.
"Tidak "sahut Ki Buyut "aku tidak akan mampu berbuat sesuatu mengatasi kedjemuan mereka.
"Djangan Ki Buyut "potong Mahisa Agni "aku berkeberatan. Tinggallah disini. Kalau Ki Buyut pergi djuga, maka hatiku akan inendjadi semakin pahit. Ternjata Ki Bu yut djuga tidak lagi menghiraukan aku lagi.
Ki Buyut terdiam. Ia mendjadi bingung. Tetapi kata-kata Mahisa Agni itu seperti telah mentjengkamnja diatas tempat nja berdiri. Ketika ia melihat Mahisa Agni itu bergerak, maka kakinja se-akan-akan telah tertantjap dalam-dalam di padang Karautan itu.
"Kalau Ki Buyut masih djuga mau mendengarkan kata-kataku, tinggallah disini. Dengan demikian hatiku masih djuga mengutjap sjukur, bahwa K.i Buyut akan tetap berusaha me neruskan kerdja ini meskipun hanja dengan tiga empat orang seperti jang dilakukan oleli Empu Purwa dahulu. Tiga empat tahun kerdja Ki Buyut itu akan selesai.
Ki Buyut tidak dapat mendjawab. Mulutnja serasa ter bungkam dan tenggorokaanja serasa tersumbat sesuatu.
"Sudahlah Ki Buyut " Mahisa Agni bergumam dengan nada jang rendah datar.
Ki Buyut hanja mampu menganggukkan kepalanja. Te tapi mulutnja tidak dapat mengutjapkan kata-kata.
Betapapun orang-orang Panawidjen itu merasa bahwa Mahisa Agni telah menjebabkan mereka terdorong kedalam suatu kesulitan, betapa mereka menjesali Empu Purwa, namun ketika kemudian mereka melihat anak muda itu berdjalan meni nggalkan mereka menjongsong njala2 obor dikedjauhan, maka hati merekapun mendjadi trenjub. Beberapa anak-anak menge palkan tangannja dan berkata didalam hatinja "Oh, sean dainja aku mampu berkelahi, aku pasti akan mengawaninja. "Apalagi Djinan dan Sinung Sari. Mereka adalah anak-anak muda jang per-t"ma2 mengikuti Mahisa Agni mentjari tempat ini. Tetapi mereka hanja berani menggeretakkan gigi2 mereka. Betapa besar keinginan mereka untuk membantu Mahisa Agni, tetapi mereka tidak memiliki keberanian untuk itu.
Sedangkan orang tua-tua hanja dapat mengusap dada mereka sambil berdoa, semoga Mahisa Agni tidak menemukan sesuatu bentjana, apalagi jang dapat mombahajakan djiwanja.
Berbeda deagan mereka adalah Patalan. la tidak dapat lagi menahan perasaannja melihat Mahisa Agni melangkah meninggalkan mereka naasuk kedalam malam jang gelap. Pedang dilambungnja telah membuat anak muda itu mendjadi semakin ber-debar-debar. Sedangkan jang pergi bersamanja hanjalah seorang jang telah landjut usia dengan sebilah keris raksasa dipu nggungnja.
"Apakah kita sampai hati melepaskannja" "desis Patalan didalam hatinja. Patalan bukanlah seorang pemberani. Tetapi perasaannja ternjata lebih tadjam darf kawan-kawannja. Be tapapun ia dikuasai oleh ketjemasan, tetapi tiba-tibaia berlari masuk keda2am gubugnja. Diraihnja pedang didinding gubug itu, dan tanpa berkata apapun kepada kawan-kawannja, maka segera iapun berlari menjusul Mahisa Agni.
"Patalan "terdengar beberapa orang memanggilnja. Tetapi Patalan sama sekali tidak berpaling. Ia berlari semakin
kentjang. Dan bahkan kemudian terdengar ia berteriak "Agni, tunggu. Tunggu. Aku pergi bersamamu.
Kepergian Patalan telah menggontjangkan dada orang-orang Panawidjen. Tiba-tibamerekapun ingin djuga berlari menjusul ssperti Patalan. Namun mereka telah diikat oleh keijtmasan dan ketakutan. Mereka tidak berani berandjak dari tempatnja.
Tetapi dengan demikian, merajaplah kesadaran didalam hati mereka, bahwa sebrnarnja Mahisa Agni selama ini telah mengorbankan apa sadja jang ada padanja untuk kepentingan mereka. Untuk kepentingan Panawidjen. Sama sekali bukan untuk kepentingan diri sendiri.
Orang-orang Panawidjen jang selama ini telah inenjakiti hatinja mendjadi ketjewa. Ketjewa sekali. Tetapi apakah mcicka masih akan mendapat kesemoatan untuk menjatakan penjesa2annja dan minta maaf kepada anak muda itu." Mahisa Agni telah pergi dan berkata kepada mereka, supaja mereka tidak lagi mengharapkan ia kembali. Beberapa orang merasa, betapa besar kesalahan mereka terhadap anak muda itu. Anak muda jang kini berdjalan menembus gelap malam meninggalkan mereka dengan pedang dilambungnja.
Orang-orang Panawidjen jang tinggal diperkemahan itu kini masih sadja berdiri tegak sepeni patung. Mereka melihat Mahisa Agni dan Empu Gandring menghilang seperti ditelan oleh gelap malam jang menganga dipadang Karautan. Sedjenak mereka masih dapat menjaksikan Patalan berlari menjusul ke duanja.
Kemudian merekapun hilanglah. Hilang, dan terasa betapa kini mereka kehilangan anak muda jang telah banjak berkorban untuk mereka.
Mahisa Agni jang berdjalan meninggalkan orang-orang Pana widjen bersama pamannja terkedjut mendengar:sese2orang me manggilnja. Ketika mereka berpaling, mereka melihat Patalan ber-lari2 menjusul.
"Ada apa Patalan" "bertanja Mahisa Agni.
"Aku akan pergi bersamamu Agni "sahut Patalan dengan nafas ter-engah2.
Mahis.i Agni dan Empu Gandring mendjadi heran.
"Kenapa kau akan ikut kami "bertanja Mahisa Agni.
"Kita pergi ber-sama-sama sedjak kita mentjari tempat ini Agni. Kita telah bekerdja pula ber-sama-sama. Sekarang berilah aku kesempatan mengikutimu, apapun jang akan terdjadi.
"Patalan "dada Agni berdesir tadjam "terima kasih, tetapi kali ini aku akan menghadapi keadaan jang tidak me"nentu. Aku belum tahu apakah kira-kira jang akan terdjadi. Ka rena itu kembalilah.
"Dabulu, ketika kita meninggalkan Panawidjen masuk kedalam padang ini, kita djuga belum tahu apa jang akan terdjadi. Agni, berilah aku kesempatan, Mungkin aku tidak berarti bagimu, tetapi aku tidak dapat kembali. Aku tidak dapat melihat kau seo ang diri menjongsong bahaja tanpa perhatian. Aku tidak akan mampu membelamu dalam kra daan apapun. Tetapi sc-tidak-tidaknja aku sudah menjatakan ke setia-kawananku terhadapmu.
"Terima kasih "sekali lagi Mahfsa Agni menjalakan perasaannja "tetapi kembalilah. Mungkin aku tidak akan sempat berbuat sesuatu atasmu, sebab keadaanku sendiri sama sekali tidak aku ketahui.
"Tidak. "sahut Patalan "kali ini aku tidak akan minta perlindunganmu. Sedjak aku hampir mati ketakutan dipadang Karautan bukankah aku beladjar memegang hulu pedang" Bukankah kau djuga jang mengadjari aku" Mudah-mudahan aku dapat mempergunakannya.
"Oh "Mahisa Agni menarik nafas "apa jang aku berikan itu sama sekali belum berarti apa-apa Patalan.
"Beri aku kesempatan Agni. Bukan terdorong karena kesombonganku, tetapi katakanlah bahwa kau menghadapi bahaja maut, dan akupun bersedia menghadapinja.
"Hem "Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Betapa ia mendjadi heran melihat Patalan tiba-tibasadja tidak takut menentang maut. Karena itu, maka akhirnja ia kembali. Ka tanja "Baiklah Patalan. Kalau kau bersedia ikut bersama kami. Tetapi kau harus sudah dapat membajangkan, bahwa kita kali ini tidak senang bertamasja.
"Aku tahu Agni "sahut Patalan.
"Baiklah "gumam Mahisa Agni.
Ketiganjapun kemudian meneruskan perdjalanan mereka menjongsong api2 obor jang semakin lama mendjadi semakin dekat.
Langkah2 mereka semakin lama mendjadi semakin tje pat. Mahisa Agni berdjalan dipabng depan, kemudian pamannja dan Pataian berdjalan berdjadjar dibelakangnja. Tak sepatah katapun jang mereka utjapkan. Meskipun demikian semakin dekat mereka dengan obor-obor itu, hati merekapun mendjadi semakin ber-debar-debar.
Tanpa srsadarnja, maka tangan Mahisa Agni telah me lekat dihulu pedangnja. Dengan gigi gemeretak ia meman dang lurus kedepan. Memandang pada setiap kemungkinan jang dapat terdjadi atasnja. Sedang Patalanpun benar-benar meng herankan. Ia kini tidak lagi gemetar dan bahkan hampir pingsan ketakutan seperti pada saat a bertemu dengan orang jang menjebut dirinja hantu Karautan dipadang ini bebera pa saat jang lampau. Tetapi kini ia berdjalan dengan lang kah jang tetap seperti Mahisa Agni. Tangannjapun telah melekat pula dihulu pedangnja.
Mpu Gandringlah jang masih djuga memandangi setiap titik njala obor dihadapannja dengan tenang. Kerut2 umur diwadjahnja se-akan-akan mendjadi kian bertambah. Tetapi orang itu masih djuga sempat memperhatikan sikap kemenakannja. Meskipun demikian Empu Gandring tidak berkata.sepatah ka tapun.
Djauh dibelakang mereka, orang-orang Panawidjen masih dju ga berdiri ditempatnja. Mereka se-akan-akan telah membeku.
Mata mereka terhundjam kedalam gelap malam jang terbentang diatas padang Karautan. Tetapi mereka tidak melihat sesuatu ketjuali njala2 obor itu.
Dengan hati jang gelisah, tjemas dan ber-debar-debar mereka memanlangi api itu. Api itu masih sadja merajap mendekat.
Tiba" hati mereka terguntjang ketika mereka melibat obor-obor itu berhenti. Seperti njala2 api itu mengambang diuda ra jang dingin pekat. Tak seorangpun jang dapat membajang kan apa jang terdjadi dikedjauhan itu Mereka benar-benar tidak melihat sesuatu keijuali api itu. Tangan-angan jang menggenggam obor itupun sama sekali tidak mereka libat. Apalagi orang-orang jang berada disekitarnja. i
Mereka tidak akan dapat melihat seandainja disekitar obor-obor Uu kini terdjadi pukelahian jang sengit. Mereka tidak akan dapat melihat seandainja Mahisa Agni terluka atau bah kan terbunuh. Atau mungkin pula Mahisa Agni itu kini tc lah mereka tangkap dan mereka seret dengan kasarnja di"tengahi padang jang gelap itu. Tetapi mungkin pula terdja di sebaliknja. Mungkin pedani; Mahisa Agni dan keris rak sasa pamannja telah berhasil membersihkan lawannja.
Tetapi obor itu masih djuga menjala ditempatnja Tidak bergerak dan tidak mendjauh.
Dada orang-orang Panawidjen itu mendjadi semakin ber-de bar2. Mereka tidak merasa bahwa mereka telah berdiri ter lampau lama di tempatnja. Mereka tersadar ketika tiba-tibamereka melihat obor itu bergerak pula dan darah mereka sera sa berhenti mengalir ketika tiba-tibapula mereka melihat sese orang berlari2 menudju kepada mereka sambil berteriak "Ki Buyut. Ki Buyut "Orang itu adalah Patalan.
Betapa terkedjut Ki Buyut Panawidjen melihat Patalan jang se-akan-akan dimuntahkan dari mulut kegelapan jang pekat itu Ter-hujung2 anak itu mendjadi semakin dekat Beberapa langkah lagi Patahan akan sampai diperkemahan, tetapi se"akan-akan tenaganja telah terperas habis.
-Patalan " Ki Buyut Panawidjen berlari ter-tatih2 menjongsongnja kenapa kau"
Nafas Patalan se-akan-akan telah terputus dikerongkongannja. Kini ia sudah tidak berlari lagi. Anak muda itu berdiri se perti sehelai daun ilalang ditiup badai. Sehingga ketika Ki Buyut Panawidjen dan beberapa orang jang ber-lari2 menju sulnja sampai dihadapannja, maka Patalan itupun terdjatuh.
"Patalan "panggil Ki Buyut sambil berdjongkok di sampingnja. Diangkatnja kepala anak itu sambil bertanja "Ada apa" Ada apa Patalan.
"Ki Buyut "Patalan mentjoba berkata sesuatu. Te tapi nafasnja telah mendjadi terlampau sendat, sehingga akhirnja anak itu djatuh pitgsan kelelahan.
"Pingsan "desis Ki Buyut "ambil air. Tjepat. Ia akan dapat segera sadar dan mengatakan kepada kita, apa jang telah terdjadi.
Beberapa orang berlari-larian mentjari air. Sedang bebera pa orang lain berdiri dengan wadjah putjat gemetar.
"Apakah jang terdjadi" "desis sesama mereka.
"Bentjana. Bcntjana akan menimpa kita sekalian "berkata salah seorang dari mereka.
"Lihat "sabut jang lain "kini obor-obor itu telah men dekat. Mahisa Agnipun pasti telah mereka tangkap. Agaknja mereka tidak puas dengan menangkap Mahisa Agni dan pamannja jang tua itu. Untunglah Patalan tempat melarikan diri.
"Ja, sekarang bagaimana dengan kita"
"Kita harus melarikan diri pula.
"Ja. Kita harus melarikan diri.
Tetapi pertjakapan itu terputus oleh suara Ki Buyut lantang "Kita tetap disini. Apapun jang akan terdjadi.
"Tetapi bagaimana kalau mereka akan membunuh kita semua Ki Buyut".
"Tak ada gunanja melarikan diri. Mereka akan mengedjar dan menangkap kita. Dengan demikian kita hanja akan menambah kemarahan mereka sehingga mereka akan berbuat jauh lebih mengerikan lagi.
Orang-orang Panawidjen itu kini telah benar-benar menggigil. Betapa anak-anak muda se-akan-akan tidak lagi mampu berdiri diatas kaki mereka. Namun dalam pada itu Ki Buyut berkata " Dari pada kita berusaha melarikan diri, bukankah jumlah kita tjukup banjak" He anak-anak muda, kenapa kalian tidak mengambil sendjata2 kalian"
Tak seorangpun jang berandjak dari tempatnja. Bahkan darah mereka se-akan-akan telah benar-benar membeku.
Ketika beberapa orang jang mengambil air telah datang, maka obor dipadang Karautan itupun telah mendjadi semakin dtkat.
"Ki Buyut "tiba-tiba seorang anak muda berkala gemetar "Kenapa kita tidak boleh lari" Bukankah lebih baik rnenjelamatkan diri daripada kita dibinasakanja disini,
"Ambil sendjatamu "teriak Ki Buyut jang tua itu "kalau kau tidak mempunjai pedang, ambillah kapak atau beliung atau apa sadja jang dapat kau pergunakan sebagai s;ndjata. Djangan mendjadi pengeejut sampai akhir hajatmu.
Tetapi teriakan Ki Buyut itu menambahnja mendjadi ke takutan.
Djinan dan Sinung Saripun kini telah berdjongkok di samping Patalan jang pingsan itu pula. Per-lahan-lahan dititikkan nja air kebibir anak itu.
"Setetes demi setetes "Ki Buyut memperingatkan. Kemudian katanja pula "Djaga Patalan baik-baik. Usahakan anak ini segera mendjadi sadar.
Apukah Ki Buyut akan pergi "bertanja Sinung Sari.
Tidak. Aku tetap disini. "sahut Ki Buyut "- tetapi aku tidak akan berdiam diri meskipun aku sudah tua.
Ki Buyut itupun segera menjerahkan Patalan kepada Sinung Sari dan Djinan. Dengan ter-gesa-gesa ia berdiri dan me langkah kegubugnja.
Berpasang-pasang mata mengikutinja dengan pertanjaan dida lam setiap hati. Namun segera mereka mengetahui, apakah jang telah dikerdjakan oleh Ki Buyut itu.
Sedjenak kemudian Ki Buyut itupun telah kembali pula diantara orang-orang Panawidjen. Tetapi kini ia menegang pedang ditangannja. Tangan jang sudah berkeriput, namun genggaman atas pedangnja masih tjukup kuat. Ki Buyut bukanlah sese orang jang sama sekali tidak mampu menggenggam pedang. Meskipun ia bukan seorang jang tjukup baik untuk berkelahi, namun ia mampu pula menggerakkan sendjata.
Jilid 23 Beberapa anak-anak muda menjadi berdebar-debar di dalam hati. Ada pula yang menjadi malu kepada diri mereka sendiri. Tetapi ada yang bahkan menjadi semakin kecut. Wajah-wajah mereka menjadi seputih kapas, dan nafas mereka satu-satu tersangkut di kerongkongan.
Tetapi, Jinan dan Sinung Sari tidak lagi dapat berdiam diri, sambil menggigil ketakutan Patalan telah lebih dahulu mengambil pedangnya. Karena itu maka Jinan berkata ke pada seseorang yang berjongkok pula disampingnya, "Mari, usahakan Patalan menjadi sadar. Aku pun akan mengambil pedangku."
Kini, seseorang yang sudah agak tua memangku kepala Patalan. Setetes-setetes dititikannya air ke mulut anak itu. Ketika kemudian Jinan dan Sinung Sari telah berdiri disampingnya dengan pedang di lambung masing-masing, maka obor-obor itu menjadi sudah sangat dekat.
Tiba-tiba mereka melihat Patalan itu bergerak-gerak. Dengan serta-merta beberapa orang segera berjongkok di sampingnya. Dan mereka pun kemudian mendengar Patalan berdesis perlahan-lahan ketika dilihatnya Jinan dan Sinung Sari, "Hantu Karautan Yang datang itu adalah hantu Karautan."
Suara itu menggelegar bagai guntur yang meledak di setiap telinga. Hantu Karautan.
Segera, ketakutan mencengkam hati orang-orang Panawijen itu. Hantu adalah sebutan yang paling mengerikan bagi mereka. Kalau yang datang itu segerombolan perampok atau Kuda Sempana, maka mereka masih akan dapat menghindar. Melarikan diri atau menangis minta Ampun. Tetapi yang di sebut Patalan adalah Hantu Karautan. Hantu yang bengis dan mengerikan.
Tak seorangpun yang masih mampu mengucapkan pertanyaan-pertanyaan. Ki Buyut Panawijen terdiam membeku. Apakah ia akan dapat melawan hantu meskipun seandainya anak-anak Pa nawijen itu bersama-samamengangkat senjata.
Dalam pada itu kembali terdengar suara Patalan. Kali ini agak lebih keras, "Sinung Sari dan Jinan. Apakah kau masih ingat hantu Karautan itu?"
Sinung Sari dan Jinan mengerutkan keningnya.
"Bukankah kita telah pernah bertemu dengan tiga orang hantu dipadang ini?"
Tiba-tiba Sinung Sari dan Jinan menganggukkan kepalanya,
"Aku akan bangun" desah Patalan.
Perlahan-lahan, ditolong oleh Sinung Sari dan Jinan, Patalan itu bangkit dan duduk bertelekan tangannya "Apakah aku pingsan?"
"Ya kau pingsan" sahut Sinung Sari.
"Lihat obor-obor itu sudah terlampau dekat.
"Ya, siapakah mereka?" bertanya Jinan tidak sabar.
"Sudah aku katakan, Hantu Karautan."
Tetapi orang-orang yang mendengar kata-kata Patalan dan melihat wajahnya menjadi bingung. Wajah itu meskipun pucat te tapi sama sekali tidak menunjukkan kesan-kesan yang mengerikan.
"Hantu yang mana" Katakan cepat " desak Sinung Sari.
"Hantu berkuda."
Orang-orang yang mendengarkannya menjadi semakin bingung.
"Hantu berkuda?" beberapa orang mengulangi di dalam hatinya yang kecut.
"Ada dua hantu berkuda" sahut Jinan.
"Yang datang adalah hantu yang sebenarnya. Hantu yang dikatakan oleh Mahisa Agni, hantu yang mengalahkan segala hantu di padang ini.
Sinung Sari berpikir sejenak. Jinan pun Tiba-tiba bangkit berdiri. "Sinung Sari," katanya, "hantu berkuda yang tampan itu. Bukankah begitu maksudmu Patalan?"
"Ya." "Tetapi kenapa kau berlari ter-birit-birit ketakutan?"
Aku disuruh oleh Mahisa Agni untuk mengabarkan, bahwa hantu itulah yang datang. Bukan orang lain.
"Gila" Tiba-tiba Sinung Saripun tegak pula. Hampir bersamaan maka Sinung Sari dan Jinan berkata "Aku akan pergi menyongsong hantu itu.
"Sinung Sari, Jinan" panggil Ki Buyut.
Tetapi Sinung Sari dan Jinan telah berlari masuk ke dalam gelap malam menyongsong obor-obor yang kini sudah men jadi semakin dekat.
Berbagai perasaan berkecamuk didalam dada orang-orang Panawijen. Kenapa Tiba-tiba Sinung Sari dan Jinan berlari me nyongsong hatu Karautan itu." Apakah Tiba-tiba saja mereka sadar bahwa mereka harus membela Mahisa Agni dari bencana.
Tetapi tak seorangpun yang sempat menemukan jawab nya. Patalan yang lemah itupun kini telah berdiri pula. Di pandanginya nyala obor-obor itu, dan remang-remang mereka telah me lihat serombongan bayangan berjalan perlahan-lahanmendekati permekahan itu.
"Patalan " desis Ki Buyut " kau lihat bayangan-angan itu"
"Ya Ki Buyut. "Aku menjadi ngeri. Bagaimanakah bentuk hantu2 itu.
Patalan Tiba-tiba tersenyum, Dan Ki Buyutpun menjadi semakin tidak mengerti, apakah sebenarnya yang sedang di hadapi. Ketika sekali lagi ia mengamati bayangan-angan itu, dilihat nya bayangan-angan yang besar ber-jalan tersuruk-suruk diantara mereka.
Tetapi Tiba-tiba telinga Ki Buyut menangkap sesuatu. Bunyi yang selama ini se-olah-olah bunyi gemerisik kaki-kaki hantu yang mengerikan. Tetapi ia kenal benar bunyi yang kini dapat didengarkannya dengan lebih seksama.
"Pedati " desisnya " bukankah bunyi-bunyi itu berasal dari roda pedati"
"Ya " sahut Patalan.
"Apakah hubungan antara hantu dan Pedati"
Sekali lagi Patalan tersenyum. " Lihat Ki Buyut. Yang berkuda didepan itulah Hantu Karautan.
Ki Buyut tidak dapat mengerti. Tetapi obor-obor itu kini sudah menjadi terlampau dekat. Dengan hati yang bimbang dan penuh kecemasati Ki Buyut Panawijen beserta orang-orang Panawijen yang gemetar melihat sebuah iring-iringan yang besar mendekati perkemahan mereka. Bukan saja beberapa orang berkuda tetapi pedati-pedati dan beberapa pasang lembu dan kuda.
Dalam kebimbangan dan kebingungan itu terdengar suara Mahisa Agni " Ki Buyut. Ternyata semua dugaan kita keliru. Bukankah Patalan telah mengatakannya?"
"Patalan pingsan " terdengar suara Sinung Sari menyahut,
Mahisa Agni tertegun. Dipalingkannya wajahnya kearah Sinung Sari dan Jiaan yang menjemputnya " Kenapa anak itu pingsan?"
Patalan mendengar pembicaraan itu. Sambil tertawa ke cil ia menyahut " Aku berlari terlampau cepat. Nafasku terputus, dan aku pingsan sabelum aku sempat mengatakannya.
"Oh. " Mahisa Agnipun tertawa pula.
Kini iring-iringan itu telah berhenti. Mahisa Agni dan paman nya bersama Sinung Sari dan Jinan berjalan mendahului menemui Ki Buyut Paaawijen yang berdiri seperi sebatang tonggak. Dengan wajah yang tidak menentu orang tua itu memandangi Mehisa Agni dan iring-iringan itu ber-ganti-ganti.
Perkemahan itu kini ditelan oleh suasana yang aneh. Ki Buyut Panawijen, anak-anak muda dan orang-orang Panawijen yang melihat iring-iringan itu serasa berada didalam mimpi. Pedati-pedati dan berpasang-pasang, lembu kerbau dan kuda.
"Apakah artinya ini Agni?" bertanya Ki Buyut dengan nada yang datar.
"Ki Buyut" berkata Mahisa Agni "bukankah aku pernah mengatakan bahwa Akuwu di Tumapel pernah menjanjikan bantuan kepada kita. Pedati dan alat-alat lain. Bahkan lembu, kerbau dan kuda?"
Ki Buyut Panawijen yang tua itu menarik nafas dalam-dalam sambil mengusap dadanya. Seakan-akan baru saja ia terlempar kedalam sebuah mimpi yang dahsyat. Sekali ia mengamati iring-iringan itu dibawah cahaya obor yang tidak begitu terang. Lamat-lamat dilihatnya pedati yang ditarik oleh kerbau dan lembu berderat-derat, dan beberapa puluh orang prajurit.
"Benar-benar seperti ceritera tentang barang-barang tiban dari langit." gumamnya.
"Inilah orangnya yang mendapat tugas untuk membawa semuanya itu kemari Ki Buyut. Namanya Ken Arok. Seorang Pelayan Dalam istana Tumapel. Ken Arok mengenal padang Karautan ini seperti kita mengenal segenap sudut pedukuhan Panawijen. Itulah sebabnya ia tidak asing lagi berada ditengah-tengah padang ini kembali.
Ki Buyut menganggukkan kepalanya dalam-dalam. Sedang K"n Arok tersenyum sambil berdesah "Ah, ada-ada saja kau Agni.
"Selamat datang ngger." Ki Bayut menyapanya.
"Selamat Ki Buyut. Kami barangkali telah mengejut kan Ki Buyut dan orang-orang Panawijen yang sedang beristirahat. Sebenarnya kami ingin berhenti dan meneruskan perjalanan besok siang supaya tidak menimbulkan kecemasan. Tetapi kami ingin segera sampai. Karena itu, kami telah menyalakan obor-obor supaya tidak mencurigakan. Tegapi agaknya obor-obor kamikah yang malahan menimbulkan kekhawatiran kalian.
Ghost Campus 13 Pedang Siluman Darah 27 Takanata Iblis Nippon Bila Pedang Berbunga Dendam 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama