Ceritasilat Novel Online

Misteri Labah Labah Perak 1

Trio Detektif 08 Misteri Labah Labah Perak Bagian 1


THE MYSTERY OF THE SILVER SPIDER
by Alfred Hitchcock TRIO DETEKTIF MISTERI LABAH-LABAH PERAK
Alihbahasa: Agus Setiadi Penerbit: PT Gramedia 1984
KATA PENDAHULUAN SINGKAT "Kami menyelidiki apa saja!"
Kalimat ini merupakan semboyan Trio Detektif yang beranggotakan tiga orang remaja: Jupiter Jones, Pete Crenshaw, dan Bob Andrews, ketiganya dari Rocky Beach, California-tidak jauh dari Hollywood, kota film yang termasyhur. Dan semboyan itu memang cocok dengan kegiatan yang mereka lakukan. Kalian yang sudah mengenal mereka dari kisah-kisah petualangan ketiga remaja itu sebelum kisah yang ini pasti sudah mengetahuinya.
Kali ini mereka mengadakan petualangan ke suatu tempat yang jauh. Mereka terlibat dalam rencana jahat, yang ada hubungannya dengan Labah-labah Perak yang indah.
Aku sebenarnya bisa saja memancing keinginan kalian untuk cepat-cepat mengikuti kisah petualangan mereka yang ini. Aku bisa saja menyinggung-nyinggung berbagai kejadian aneh yang akan dihadapi-tapi aku tidak mau mengurangi kenikmatan kalian membaca nanti. Cukup apabila di sini kukatakan bahwa selaku agen rahasia, mereka kemudian terlibat dalam suatu rencana jahat yang sangat berbahaya. LaluNah, nah-lebih baik kuhentikan saja kata pendahuluanku sampai di sini, sebelum terlanjur bercerita terlalu banyak. Hanya bagi teman-teman yang baru sekarang berkenalan dengan mereka, mungkin perlu kutambahkan bahwa Jupiter Jones, Penyelidik Pertama Trio Detektif, terkenal karena kecerdasannya yang luar biasa. Pete Crenshaw berperawakan tinggi kekar. Kemampuan jasmaninya hebat. Sedang Bob Andrews yang paling kecil di antara mereka bertiga, bertugas di bidang riset dan dokumentasi. Tapi ketabahannya dalam menghadapi bahaya sudah teruji beberapa kali!
Dan sekarang seperti kata orang film, "Yaa-action!"
Alfred Hitchcock Bab 1 NYARIS CELAKA "Hati-hati!" seru Bob Andrews. Pete Crenshaw ikut terpekik. "Worthington! Awas!"
Worthington, pengemudi Rolls-Royce besar yang disepuh emas itu cepat-cepat menekan rem. Ketiga remaja yang duduk di belakang terdorong maju dan jatuh bergulingan. Mobil mewah itu berhenti dengan mengejut. Kalau masih maju sedikit lagi, pasti akan mencium pintu sebuah mobil mengkilat yang langsing bentuknya.
Seketika itu juga beberapa orang laki-laki berhamburan keluar dari mobil itu. Mereka mengepung Worthington yang juga keluar. Orang-orang itu ribut mengajaknya berdebat. Tapi mereka berbicara dalam bahasa yang bukan Inggris. Worthington bersikap seolah-olah mereka sama sekali tidak ada. Ia mendatangi pengemudi kendaraan itu, yang mengenakan seragam merah yang gilang-gemilang dengan pita bahu keemasan.
"Anda tadi melanggar tanda berhenti," kata Worthington. "Nyaris saja kita sama-sama hancur karenanya. Tadi itu jelas Anda yang salah, karena saya berhak lewat lebih dulu."
"Pangeran Djaro selalu lebih berhak," kata pengemudi lawannya bicara dengan sikap meninggi. "Kalau beliau lewat, semua harus minggir!"
Sementara itu Pete, Bob, dan Jupiter sudah sadar kembali dari kekagetan mereka. Ketiga remaja itu memandang adegan yang sedang berlangsung dengan heran. Gerombolan laki-laki yang tadi keluar dengan cepat dari mobil yang di depan, kelihatan seperti menandak-nandak mengelilingi Worthington yang bertubuh jangkung. Seorang di antara mereka, yang agak lebih tinggi dan nampaknya pemimpin mereka, berbicara dalam bahasa Inggris.
"Goblok!" katanya menghardik Worthington. "Nyaris saja kau menewaskan Pangeran Djaro! Hampir saja kau menimbulkan keributan diplomatik! Kau ini harus dikenakan hukuman!"
"Saya tadi menaati peraturan lalu-lintas, sedang mobil Anda tidak," balas Worthington dengan gigih. "Pengemudi Anda yang salah."
"Siapa sih pangeran yang disebut-sebut itu"" gumam Pete pada Bob sambil menonton.
"Kau tidak membaca koran ya"!" balas Bob sambil berbisik pula. "Ia datang dari Eropa-dari Varania, satu di antara ketujuh negara yang paling kecil di dunia. Saat ini sedang melancong ke Amerika Serikat." "Astaga-dan kita tadi nyaris saja menubruknya menjadi kerupuk!" kata Pete kaget.
"Worthington berada di pihak yang benar," kata Jupiter Jones mencampuri pembica
raan. "Yuk-kita ke luar, untuk memberi dukungan moril padanya."
Ketiga remaja itu turun dari Rolls-Royce. Saat itu juga pintu mobil yang satu lagi terbuka. Seorang remaja muncul. Tubuhnya lebih tinggi sedikit daripada Bob. Rambutnya hitam pekat berpotongan panjang gaya Eropa. Umurnya tidak jauh lebih tua dari para anggota Trio Detektif. Tapi dengan segera ia mengambil alih pimpinan.
"Diam!" hardik pemuda itu. Seketika itu juga semua laki-laki yang semula berceloteh ribut sambil mengepung Worthington terdiam. Pemuda tadi memberi isyarat dengan tangannya, dan orang-orang itu mundur ke belakangnya sementara ia sendiri menghampin Worthington.
"Saya ingin minta maaf," katanya dalam bahasa Inggris yang sempurna. "Supir saya yang salah tadi. Saya tanggung bahwa setelah ini ia akan mematuhi semua peraturan lalu-lintas."
"Tapi-Yang Mulia-" Laki-laki yang paling jangkung dalam kelompok yang mengiringinya hendak mengatakan sesuatu. Tapi Pangeran Djaro menggerakkan tangannya, menyuruh orang itu diam. Dan orang itu terdiam. Sementara itu sang Pangeran memandang dengan penuh minat ke arah Bob, Pete, dan Jupiter yang datang menggabungkan diri.
"Maaf atas kejadian ini," kata sang Pangeran pada mereka. "Untung tidak terjadi kecelakaan berat, berkat ketangkasan supir Anda. Anda bertigakah pemilik mobil anggun ini"" tanyanya sambil menganggukkan kepala ke arah mobil Rolls-Royce.
"Pemilik bukan kata yang tepat-kami memakainya sekali-sekali," jawab Jupiter dengan singkat. Ia merasa saat itu bukan waktu yang tepat untuk membeberkan kisah tentang Rolls-Royce itu, serta sayembara yang dimenangkannya dengan hadiah penggunaan kendaraan bermartabat itu.
Saat itu Jupiter dan kedua temannya baru saja kembali dari Hollywood, di mana mereka menyampaikan laporan tentang pengalaman Trio Detektif yang terbaru pada Alfred Hitchcock, sutradara film yang kenamaan itu. Dan kini mereka dalam perjalanan pulang.
"Nama saya Djaro Montestan, dari Varania," kata pemuda berdarah ningrat itu. "Saat ini saya belum betul-betul pangeran. Gelar itu baru saya sandang secara resmi setelah dinobatkan bulan depan nanti. Tapi orang-orang tidak bisa dicegah memanggil saya dengan sebutan gelar itu. Kalian ini remaja Amerika yang biasa""
Pertanyaan aneh! Jupiter Bob, dan Pete menilai diri mereka pemuda Amerika yang biasa. Tapi mereka tidak tahu pasti apa yang dimaksudkan Pangeran Djaro dengan kata 'biasa' itu.
Jupiter yang menjawab untuk mereka bertiga.
"Bob dan Pete ini pemuda Amerika yang biasa," katanya. "Sedang saya sendiri tidak bisa disebut begitu, karena ada orang yang beranggapan saya ini sombong; kalau berbicara terlalu sering memakai kalimat yang panjang-panjang. Kadang-kadang orang sampai tidak suka pada saya. Tapi memang begitulah saya."
Bob dan Pete saling berpandangan sambil nyengir. Kata-kata Jupiter itu memang benar, walau baru sekali ini mereka mendengar dia mengatakannya sendiri. Karena perawakannya yang gempal dan kecerdasannya yang kadang-kadang ditonjolkan olehnya, Jupiter kadang-kadang dijuluki 'Si Gendut Sok Aksi'. Tapi yang mengatakan begitu anak-anak lain yang merasa iri padanya, atau kaum dewasa yang dikalahkan oleh kemampuan otaknya. Sedang teman-temannya sangat mengandalkan kemampuannya itu. Jika mereka menghadapi salah satu masalah, mereka selalu datang padanya. Mereka yakin sekali bahwa Jupiter Jones pasti akan bisa membantu memecahkan masalah itu.
Jupiter mengeluarkan sepucuk kartu dari kantungnya. Itu kartu nama resmi Trio Detektif yang tidak pernah lupa dibawanya ke mana saja ia pergi.
"Ini nama kami," katanya. "Saya Jupiter Jones, sedang yang ini Pete Crenshaw dan itu Bob Andrews."
Pemuda asing tadi menerima kartu nama yang disodorkan dan memperhatikannya dengan sikap serius. Pada kartu itu tertera tulisan berikut: TRIO DETEKTIF.
Pemuda asing itu menatap ketiga remaja yang ada di depannya sekilas, lalu membaca lagi.
TRIO DETEKTIF "Kami menyelidiki apa saja" " " "
Penyelidik Pertama - Jupiter Jones Penyelidik Kedua - Pete Crenshaw Catatan dan Riset - Bob Andrews
Jupiter beserta kedua temannya bersikap menunggu. Biasanya orang selalu menanyakan a
rti ketiga tanda tanya yang tertera di situ.
"Brojas!" kata Djaro. Ia tersenyum. Senyumnya menarik, menampakkan sederetan gigi rata dan putih. Keputihannya semakin menyolok karena warna kulit pemuda ningrat itu agak coklat-sedikit lebih coklat dari Pete. "Itu artinya hebat-dalam bahasa Varania. Tanda tanya yang tiga buah ini tentunya lambang resmi kalian."
Ketiga remaja itu agak kagum juga karena Djaro ternyata telah berhasil menarik kesimpulan yang tepat. Sementara itu ia mengambil sepucuk kartu pula dari kantung jasnya, lalu menyodorkannya pada Jupiter.
"Dan ini kartuku," katanya.
Bob dan Pete mendekati Jupiter, karena ingin melihat kartu yang disodorkan. Kertas yang dipergunakan sangat putih dan kaku, dengan tulisan yang hanya sebaris. Djaro Montestan. Di atas nama itu ada gambar lambang yang dicetak timbul dengan warna biru dan kuning emas. Lambang itu kelihatannya berwujud labah-labah memegang pedang dengan latar belakang jaring berwarna keemasan. Tapi itu hanya kira-kira saja, karena ukiran lambang itu sangat berbelit-belit.
"Labah-labah itu lambangku," kata Djaro dengan sikap serius. "Atau tepatnya, lambang kebesaran keluarga yang berkuasa di Varania. Kisah asal-usul kenapa labah-labah dijadikan lambang negara kami terlalu panjang untuk dikisahkan saat ini-tapi aku senang sekali bisa berkenalan dengan kalian, Pete, Bob, dan Jupiter."
Putra mahkota negara Varania itu bersalaman dengan Trio Detektif. Saat itu seseorang menerobos maju. Orangnya masih muda. Berperawakan langsing, dengan wajah menyenangkan tapi waspada. Ia muncul dari mobil hitam yang berhenti di belakang mobil yang ditumpangi Djaro.
"Maaf, Yang Mulia," kata laki-laki muda itu. Dari logatnya dapat diketahui bahwa ia orang Amerika. "Kita harus melanjutkan perjalanan, karena kalau tidak, bisa terlambat nanti untuk acara-acara berikutnya. Untung tadi tidak sampai terjadi kecelakaan-tapi kalau acara melihat-lihat kota masih hendak diteruskan, kita harus berangkat sekarang."
"Saya tidak begitu tertarik melihat-lihat kota," kata Djaro pada laki-laki muda itu. "Sudah banyak kota yang saya lihat. Saya kepingin berbincang-bincang agak lebih lama dengan para remaja ini. Baru merekalah remaja Amerika dengan siapa saya bisa berkenalan secara pribadi."
Ia berpaling pada Jupiter serta kedua temannya.
"Disneyland itu asyik atau tidak" Saya kepingin sekali berkunjung ke sana."
Ketiga remaja itu mengatakan bahwa kunjungan ke tempat hiburan itu sangat menyenangkan dan jangan sampai dilewatkan. Djaro kelihatannya senang mendengar jawaban itu. Tapi kemudian ia termenung.
"Tidak mungkin benar-benar asyik, jika dikelilingi terus oleh para pengawal," katanya dengan nada menyesali nasib. "*Duke Stefan-(*footnote: Duke: gelar bangsawan, kira-kira setaraf dengan Adipati) dia itu waliku yang kini memerintah di Varania sampai aku sudah cukup umur untuk dinobatkan secara resmi menjadi pangeran-ia rupanya memberi instruksi agar jangan ada orang luar yang boleh mendekati aku. Rupanya takut kalau aku ketularan pilek, atau hal-hal seperti itu. Konyol kan! Aku ini bukan kepala suatu negara penting yang terancam bahaya pembunuhan. Varania tidak bermusuhan dengan negara mana pun, dan aku sendiri bukan orang penting."
Ia berpikir sebentar. Kemudian berbicara lagi. Rupanya saat itu ia telah mengambil suatu keputusan.
"Maukah kalian ikut dengan aku ke Disneyland"" tanyanya. "Untuk mengantarku melihat-lihat di sana. Aku akan senang sekali jika kalian mau. Aku sekali-sekali ingin berada di tengah-tengah kawan-kawanku sendiri."
Ajakan itu mengejutkan Bob, Pete, dan Jupiter, karena mereka sama sekali tidak menduganya. Tapi karena hari itu mereka tidak punya rencana penting, dengan senang hati mereka mau menemani Pangeran Djaro. Jupiter menelepon bibinya di perusahaan pamannya. Ia memakai pesawat yang ada dalam Rolls-Royce, sementara Djaro memperhatikan dengan penuh minat. Setelah itu para pengawal disuruh masuk ke mobil orang Amerika yang ikut dalam rombongan. Sedang Bob, Pete, dan Jupiter diajaknya naik mobilnya, bersama pengiringnya yang tadi marah-marah pada Worthington.
"Adipati Stefan past
i tak berkenan apabila mengetahui hal ini," kata pengiring berwajah tajam itu. "Beliau telah berpesan bahwa kita tidak boleh mengambil risiko."
"Risiko apa, Adipati Rojas!" potong Djaro dengan nada ketus. "Sudah waktunya Adipati memperhatikan kehendakku. Dua bulan lagi aku akan menjadi penguasa negeriku. Mulai saat itu katakulah yang harus dipatuhi, bukan perintah Adipati Stefan lagi. Sekarang bilang pada Markos, mulai sekarang ia harus mematuhi segala peraturan lalulintas. Ini sudah ketiga kalinya kita nyaris terlibat dalam kecelakaan berat karena ia terus berlagak seolah-olah kita ada di negara kita sendiri-di Varania. Aku tidak mau hal seperti itu terulang lagi!"
Adipati Rojas melontarkan serentetan kata dalam bahasa asing pada pengemudi kendaraan itu yang terangguk-angguk tanda mengerti. Ketika mobil sudah meluncur lagi, nampak bahwa pengemudi itu memang benar-benar mengerti. Segala peraturan lalu-lintas dipatuhi olehnya. Ia mengemudikan kendaraan dengan hati-hati.
Dalam perjalanan ke Disneyland yang memakan waktu tiga perempat jam, ketiga remaja itu sibuk menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang diajukan oleh Pangeran Djaro. Banyak sekali yang ingin diketahuinya tentang Amerika, khususnya mengenai California. Kemudian, setelah sampai di Disneyland, mereka tidak banyak berbicara lagi karena terlalu asyik dengan segala hiburan yang ada di tempat itu.
Satu saat Adipati Rojas agak tertinggal di belakang. Dengan mata berkilat-kilat Jenaka, Pangeran Djaro cepat-cepat mengajak ketiga kawan barunya menyelinap naik ke kereta api mini yang rutenya mengelilingi Disneyland. Bob, Pete dan Jupiter mau saja. Keempat remaja itu cepat-cepat bersembunyi di balik kerumunan orang, lalu bergegas menaiki tangga menuju stasiun kecil dan masuk kereta yang saat itu masuk. Sementara mereka berkereta menyusur tepi taman hiburan, nampak Adipati beserta orang-orangnya sibuk mencari-cari mereka di bawah.
Akhirnya mereka tiba kembali di stasiun tempat mereka tadi berangkat. Adipati Rojas datang berlari-lari, diiringi anak buahnya. Tapi sebelum pengawal itu sempat mengatakan apa-apa, Djaro sudah menghardiknya.
"Anda tadi tidak terus mengawalku. Anda tertinggal! Ini harus dilaporkan pada Adipati Stefan."
Adipati Rojas terbata-bata, hendak membela diri. Tapi Djaro lagi-lagi tidak memberi kesempatan.
"Cukup! Kita pergi sekarang. Sayang jadwal acara tidak memungkinkan aku datang lagi kemari."
Ketika hendak berangkat, Djaro menyuruh Adipati Rojas pindah ke mobil yang mengiringi, bersama para pengawal. Dengan begitu dalam perjalanan ke Rocky Beach, keempat remaja itu bisa mengobrol dengan leluasa.
Pangeran Djaro bertanya pada ketiga teman barunya mengenai diri mereka. Jupiter, Bob, dan Pete secara bergilir menceritakan kisah didirikannya perusahaan penyelidik Trio Detektif, kemudian disambung dengan bagaimana mereka menjadi sahabat Alfred Hitchcock, begitu pula tentang beberapa petualangan yang pernah mereka alami.
"Brojas!" seru pemuda bangsawan dari Eropa itu. "Wah, aku iri pada kalian. Anak-anak Amerika bisa begitu bebas. Rasanya ingin aku ini bukan pangeran-tapi aku berkewajiban untuk memimpin negaraku, walau Varania hanya negara kecil saja. Aku belum pernah masuk sekolah, karena sedari kecil aku selalu mendapat pelajaran dari guru-guru pribadi. Jadi temanku tidak banyak. Belum pernah aku melakukan sesuatu yang menarik sebelum perlawatan ke Amerika ini. Dan hari ini yang paling asyik dalam hidupku." Ia berhenti sebentar, lalu bertanya, "Maukah kalian menjadi kawanku" Aku ingin sekali bersahabat dengan kalian."
"Tentu saja kami mau," kata Pete.
"Terima kasih." Pangeran Djaro tertawa nyengir. "Hari ini baru untuk pertama kalinya aku membangkang terhadap Adipati Rojas. Ia terkejut sekali tadi. Adipati Stefan pasti akan terkejut pula apabila kejadian itu dilaporkan padanya. Tapi mereka masih akan berulang kali terkejut lagi. Bagaimanapun, kan aku yang pangeran! Aku bermaksud hendak- eh, bagaimana istilahnya dalam bahasa kalian""
"Menandaskan kewibawaan"" tebak Jupiter dengan bahasanya yang meninggi. Tapi Bob menemukan istilah yang lebih cocok.
"Unjuk gigi!" katanya. "Ya, itu dia! Unjuk gigi," kata Djaro sambil tertawa senang. "Biar Adipati Stefan kaget!"
Sementara itu mereka sudah sampai di Rocky Beach. Jupiter menunjukkan jalan ke 'Jones Salvage Yard'. Dan beberapa saat kemudian mobil mewah itu sudah masuk lewat gerbang depan yang besar.
Jupiter dan kedua kawannya turun. Djaro diajak melihat-lihat markas mereka sebentar. Tapi pangeran itu menggeleng.
"Sayang tidak ada waktu lagi," katanya. "Malam ini aku harus menghadiri jamuan makan, sedang besok kami terbang kembali ke Varania. Ibu kota negaraku Denzo. Aku tinggal di sana, di istana yang dibangun di atas reruntuhan sebuah puri kuno. Kamar di istanaku ada sekitar tiga ratus jumlahnya. Tapi semuanya tidak enak didiami karena terlalu banyak angin. Itu salah satu hal yang tidak enak kalau jadi pangeran. Yah-sayang aku tidak bisa lebih lama bersama kalian, walau sebenarnya kepingin sekali. Aku harus kembali, karena harus mempersiapkan diri menjadi penguasa negeriku. Tapi aku takkan lupa pada kalian. Kapan-kapan kita pasti bertemu lagi."
Ia masuk lagi ke dalam mobilnya. Kendaraan itu berangkat, diikuti mobil yang penuh sesak dengan pengawal. Jupiter, Bob, dan Pete memperhatikan teman baru mereka tadi pergi.
"Walau pangeran, anak itu kelihatannya baik," kata Pete mengomentari. "He-Jupe, apa yang sedang kaupikirkan sekarang" Aku kenal tampangmu, kalau sudah begitu pasti ada apa-apa!"
Jupiter sadar dan lamunannya.
"Aku sedang memikirkan kejadian tadi pagi," katanya. "Ketika kita nyaris menubruk mobil Djaro, tidakkah kalian merasa ada sesuatu yang aneh""
"Aneh"" Bob tercengang. "Bukan aneh, tapi mujur-mujur bahwa kita tidak sampai mengalami kecelakaan." "Apa sebetulnya yang hendak kaukatakan, Jupe"" tanya Pete. "Apanya yang aneh""
"Itu-tentang Markos, yang mengemudikan mobil Djaro," kata Jupiter. "Ia keluar dari jalan samping yang di ujungnya ada tanda berhenti. Saat itu ia pasti melihat kita. Dan ia masih sempat memperlaju jalan mobilnya sebelum kita sampai di persimpangan. Tapi tidak, ia malah mengerem! Coba Worthington bukan supir jempolan, pasti mobil kita sudah menubruk sisi mobil itu-tepat di mana Djaro duduk. Kalau itu sampai terjadi, kemungkinan besar Djaro akan menemui ajalnya tadi."
"Markos tadi mungkin karena gugupnya lalu keliru memijak pedal," kata Pete.
Jupiter menggumam sambil berpikir-pikir.
"Ah-kurasa itu tidak penting," katanya kemudian. "Pokoknya, asyik juga berkenalan dengan Djaro tadi. Kurasa kita takkan pernah lagi berjumpa dengan dia."
Tapi sekali itu Jupiter salah duga.
Bab 2 UNDANGAN TAK TERSANGKA Beberapa hari setelah itu Trio Detektif mengadakan rapat di Markas Besar, sebuah trailer yang letaknya tersembunyi di balik tumpukan kayu dan besi bekas di pekarangan perusahaan jual beli barang bekas milik paman Jupiter Jones. Bob baru saja selesai membacakan sepucuk surat yang datang pagi itu. Pengirimnya seorang wanita yang bertempat tinggal di Malibu Beach. Ia meminta bantuan Trio Detektif untuk mencari anjingnya yang hilang. Tiba-tiba telepon berdering.
Pesawat itu jarang berbunyi. Tapi kalau berbunyi, besar sekali kemungkinannya membawa kabar yang mengasyikkan. Jupiter buru-buru mengangkatnya.
"Halo-Trio Detektif! Di sini Jupiter Jones," katanya dengan gaya lugas seperti orang bisnis kawakan.
"Selamat pagi, Jupiter." Suara Alfred Hitchcock yang mantap menggema dalam ruangan sempit itu, keluar dari alat pengeras suara yang disambungkan Jupiter pada pesawat telepon. "Kebetulan sekali kau ada! Aku hendak memberi kabar bahwa sebentar lagi kalian kedatangan seorang tamu."
"Tamu, Sir"" kata Jupiter. "Ada kasus baru barangkali""
"Aku tidak bisa mengatakan apa-apa, karena sudah berjanji begitu," jawab Alfred Hitchcock, sutradara kenamaan itu. "Tapi aku sempat berbicara panjang lebar dengan orang yang akan mendatangi kalian dan pada kesempatan itu telah menegaskan kemampuan kalian padanya. Kalian nanti akan menerima undangan yang sama sekali tak terduga. Cuma itu saja yang bisa kukatakan saat ini. Jadi kalian bersiap-siap sajalah. Sampai lain kali!"
Pembicaraan selesai. Ketiga anggota Trio Detektif berpanda
ng-pandangan setelah Jupiter menaruh gagang pesawat.
"Mungkinkah orang itu datang dengan tugas untuk kita"" tanya Bob. Ketiga remaja itu tidak sempat menduga-duga lebih jauh, karena saat itu suara Bibi Mathilda yang berkumandang masuk lewat tingkap atap trailer yang terbuka.
"Jupiter! Datanglah ke depan-ada tamu!"
Sesaat kemudian ketiga remaja itu sudah merangkak keluar lewat Lorong Dua, yaitu pipa besar yang mengarah dari bawah trailer ke lubang masuk rahasia yang terdapat di bengkel Jupiter. Dari situ dengan cepat mereka sudah sampai di kantor perusahaan, lewat di sela-sela tumpukan barang bekas yang bertimbunan di mana-mana.
Sebuah mobil kecil diparkir di depan kantor. Seorang laki-laki yang masih muda tegak di sampingnya. Anak-anak dengan segera mengenalinya kembali. Ialah orang Amerika yang termasuk rombongan Djaro, ketika kendaraan pangeran itu nyaris bertubrukan dengan Rolls-Royce yang dikemudikan Worthington.
"Hallo," sapa laki-laki itu. "Tentu kalian tak menduga akan berjumpa lagi dengan aku. Kali ini lebih baik aku memperkenalkan diri dulu. Namaku Bert Young. Ini kartu tanda pengenalku."
Diperlihatkannya selembar kartu yang kelihatannya merupakan tanda pengenal resmi. Kemudian dimasukkannya lagi ke dalam dompet.
"Aku datang atas tugas resmi pemerintah," katanya. "Di mana kita bisa berbicara tanpa didengar orang lain""
"Di belakang sana," kata Jupiter. Ia agak kaget. Ada petugas pemerintah hendak berbicara secara pribadi dengan mereka! Dan sebelumnya petugas itu sudah menghubungi Alfred Hitchcock, untuk meminta keterangan mengenai diri mereka. Ada apa ini"
Jupiter berjalan mendului menuju ke bengkel. Tamu dari pemerintah itu dipersilakannya duduk di kursi, sedang ia sendiri duduk di kursi satu lagi yang ada di situ. Pete dan Bob menongkrong di atas peti.
"Mungkin kalian sudah bisa menduga kenapa aku kemari," kata Bert Young. Anak-anak sama sekali tidak mengetahui alasannya-tapi mereka diam saja. "Aku datang ini sehubungan dengan Pangeran Djaro dari Varania."
"Pangeran Djaro!" seru Bob. "Bagaimana kabarnya""
"Baik-baik saja! Ia kirim salam," kata Bert Young. "Dua hari yang lalu aku masih sempat berbincang-bincang dengan dia. Soalnya begini. Ia mengundang kalian untuk ikut menghadiri penobatannya menjadi penguasa Varania- dua minggu lagi."
"Wah!" kata Pete bergairah. "Pergi ke Eropa" Anda tahu pasti kami yang diundang olehnya""
"Ya! Kalian, dan bukan orang lain," kata Bert Young lagi. "Rupanya sejak kalian ikut mengantarnya ke Disneyland waktu itu, ia merasa kalian bertiga sudah menjadi sahabatnya yang sejati. Ia tidak banyak mempunyai kawan. Di antara kaum remaja di negerinya, ia tidak tahu mana yang benar-benar bersahabat dengannya dan mana yang hanya mendekati dirinya karena ia pangeran. Tapi mengenai kalian, ia merasa yakin. Pangeran Djaro ingin ada teman yang hadir saat penobatannya, dan kalian yang dipilih olehnya. Terus terang saja-ide ini datang dari pihakku."
"Dari Anda"" tanya Bob. "Kenapa begitu""
"Soalnya begini," kata Bert Young menjelaskan. "Varania itu negara yang cinta damai. Sikapnya netral-seperti Swiss. Kita-maksudku pemerintah Amerika Serikat-ingin sikap itu tetap dipertahankan. Itu berarti kita tidak menghendaki Varania membantu negara yang tidak bersahabat dengan kita."
"Bantuan macam apa yang bisa diberikan negara kecil seperti Varania"" tanya Jupiter yang akhirnya membuka mulut.
"Wah, banyak sekali! Misalnya saja untuk dijadikan pangkalan kegiatan mata-mata. Tapi soal itu terlalu rumit untuk dibicarakan saat ini. Persoalannya yang penting sekarang-maukah kalian pergi""
Ketiga remaja itu bersikap sangsi. Mereka sendiri tentu saja mau. Tapi ada beberapa kesulitan. Misalnya saja, apakah diijinkan oleh keluarga masing-masing. Belum lagi soal biaya ke sana. Namun Bert Young dengan cepat menenangkan.
"Nanti aku bicara dengan keluarga kalian," katanya. "Kurasa aku pasti bisa meyakinkan bahwa keamanan kalian akan benar-benar terjamin. Aku juga akan hadir di sana, dan aku yang akan menjaga keselamatan kalian selama itu. Kalian akan menjadi tamu resmi Pangeran. Mengenai biaya, ongkos tiket kami yang
menanggung. Di samping itu kalian juga akan mendapat uang saku, karena kami menghendaki kalian bertindak sebagai remaja Amerika yang khas
-setidak-tidaknya, sesuai dengan gambaran orang di Varania tentang remaja Amerika. Itu berarti membeli cendera mata dan sibuk memotret kian kemari."
Bob dan Pete gembira sekali mendengar kabar itu, sehingga tidak sempat merasa heran. Tapi Jupiter lain sikapnya. Keningnya berkerut.
"Apa sebabnya pemerintah Amerika mau melakukan semuanya ini"" tanyanya. "Pasti bukan karena kemurahan hati saja. Pemerintah tidak biasa bermurah hati seperti itu."
"Alfred Hitchcock sudah mengatakan bahwa kau cerdas." Bert Young tertawa nyengir. "Dan aku senang melihat bahwa ucapannya ternyata benar. Soal yang sebetulnya begini. Pemerintah kita menghendaki kalian bertindak selaku agen rahasia selama berada di Varania."
"Maksud Anda untuk memata-matai Pangeran Djaro"" tukas Pete dengan nada tersinggung. Bert Young menggeleng.
"Tentu saja tidak. Kalian di sana harus membuka mata-dan langsung melapor kalau mendengar atau melihat sesuatu yang mencurigakan. Saat ini di Varania sedang ada perkembangan yang belum diketahui gelagatnya. Menurut perkiraan kami, mungkin kalian bisa membantu menyelidiki."
"Aneh," kata Jupiter. Keningnya masih tetap berkerut. "Kusangka pemerintah mempunyai berbagai sumber informasi-"
"Kami pun manusia biasa," kata Bert Young. "Sedang di Varania sulit sekali bisa dikorek keterangan. Orang sana sangat bangga sikapnya. Mereka tidak menghendaki bantuan dari luar negeri. Kalau ditawari, malah merasa terhina. Mereka sangat menjunjung tinggi kebebasan."
"Walau begitu kami mendengar desas-desus bahwa di sana akan terjadi sesuatu," kata Bert Young melanjutkan penjelasannya. "Menurut perasaan kami, Adipati Stefan saat ini dengan diam-diam sedang merencanakan aksi rahasia. Sampai saat Djaro dinobatkan, ialah yang memegang tampuk pemerintahan negara kecil itu, dan kemungkinan ia tidak ingin Djaro diangkat menjadi penguasa. Adipati Stefan, perdana menteri dan seluruh Dewan Agung-yang ini kurang lebih sama dengan DPR kedudukannya-mereka semua merupakan suatu kelompok kecil yang sangat ketat. Menurut kami, ada kemungkinan kelompok itu akan melancarkan salah satu tindakan untuk mencegah berlangsungnya penobatan Djaro menjadi pangeran penguasa negara.
"Dalam keadaan biasa hal itu merupakan persoalan politik, dan kita takkan campur tangan di dalamnya. Tapi menurut desas-desus saat ini, Adipati Stefan sedang merencanakan sesuatu yang lebih besar lagi. Kita perlu mengetahui apa yang direncanakan olehnya. Mungkin saja kalian nanti bisa menyelidikinya untuk kami, jika kalian diajak menginap di istana. Pihak kami sendiri tidak bisa cukup mendekati orang Varania, sehingga apa yang sebenarnya sedang berjalan saat ini tidak mungkin kami ketahui. Bisa saja Djaro mengetahui sesuatu, tapi rasa bangga menyebabkan ia tidak bisa minta tolong. Tapi mungkin pada kalian ia nanti mau bercerita. Atau pihak lainnya bersikap ceroboh karena menganggap kalian remaja yang biasa saja, lalu secara tidak sadar membuka rahasia sendiri. Yang menjadi persoalan utama sekarang, maukah kalian menerima tugas itu""
Bob dan Pete menunggu Jupiter yang menjawab, karena ialah pemimpin Trio Detektif. Jupiter masih berpikir sejenak. Kemudian ia mengangguk.
"Jika yang Anda kehendaki dari kami adalah berusaha membantu Pangeran Djaro, kami mau melakukannya," katanya. "Itu jika keluarga kami masing-masing mau mengijinkan kami berangkat. Tapi kami tidak mau jika disuruh melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kepentingannya, karena kami sudah mengikat tali persahabatan dengan dia."
"Itulah yang ingin kudengar dari kalian!" kata Bert Young dengan gembira. "Tapi perlu kuperingatkan sekarang- jangan katakan pada Djaro, bahwa kalian tahu ada sesuatu yang tidak beres. Sedapat mungkin biar dia yang mengatakan begitu pada kalian. Begitu pula jangan sampai ada orang tahu apa yang sebenarnya menyebabkan kalian ada di sana. Warga Varania hampir semuanya setia pada Djaro. Ayahnya sangat dicintai rakyatnya. Ia meninggal dunia karena kecelakaan saat sedang berb
uru delapan tahun yang lalu. Kalau Adipati Stefan, ia tidak disukai. Walau begitu penduduk di sana pasti akan ribut jika sampai tahu bahwa kalian bertindak sebagai agen rahasia-meski untuk tujuan baik. Jadi ingat, buka mata dan telinga, tapi tutup mulut!" Bert Young memandang mereka. "Kalian sudah mengerti" Baiklah-kita mulai beraksi sekarang!"
Bab 3 LABAH LABAH PERAK Varania! Bob berdiri di balkon istana. Pandangannya lepas, menyusur atap-atap di kota Denzo yang kuno. Nampak puncak-puncak pepohonan rimbun melambai-lambai, diselingi di sana-sini oleh atap genting serta menara-menara tinggi dari gedung-gedung perkantoran. Begitu cerah kelihatannya, diterangi sinar matahari pagi. Kubah sebuah gereja besar yang kemilau keemasan menjulang di atas sebuah bukit kecil, sekitar setengah mil dari tempatnya berdiri. Di halaman istana berlantai batu yang terbentang di bawah, serombongan pekerja wanita membawa ember dan sikat, sibuk menggosok batu-batu itu sampai mengkilat.
Di belakang istana batu bertingkat lima itu mengalir Sungai Denzo yang lebar dan deras, berliku-liku menelusuri kota. Kapal pesiar yang kecil-kecil nampak hilir-mudik dengan lamban. Pemandangan yang terbentang di depan mata itu sangat indah dan menarik. Dari balkon kamar mereka yang terletak di sudut lantai tiga, Bob bisa melihat segala-galanya dengan jelas.
"Berbeda sekali dengan California," kata Pete, yang saat itu ikut ke luar. "Dilihat begini saja sudah ketahuan bahwa kota ini sudah tua."
"Didirikan tahun 1335," kata Bob. Selama hari-hari sibuk sebelum ketiga remaja itu mengadakan perjalanan yang mengasyikkan itu, ia sempat membaca untuk memperoleh keterangan mengenai Varania serta sejarahnya. "Beberapa kali diserbu musuh dan diporakporandakan-tapi kemudian selalu dibangun kembali. Hidup damai sejak tahun 1675, saat mana Pangeran Paul menundukkan pemberontakan. Ia merupakan pahlawan nasional yang agung, seperti George Washington untuk negara kita. Semua yang nampak di depan kita ini umurnya sudah sekitar tiga abad. Kota ini ada juga bagian modernnya, tapi letaknya di sebelah sana. Dari sini tidak nampak."
"Aku senang melihatnya," kata Pete dengan nada kagum. "Kalau negaranya-berapa luas wilayahnya""
"Cuma sekitar lima puluh mil persegi," kata Bob. "Varania memang kecil sekali. Kaulihat bukit-bukit yang di kejauhan itu" Nah-di puncak perbukitan itu letak tapal batas Varania! Sedang menyusur Sungai Denzo ke hulu, tapal batas letaknya kurang lebih tujuh mil dari kota. Perekonomiannya terutama ditunjang oleh industri minuman anggur, tekstil halus dan pariwisata. Banyak wisatawan datang kemari karena tertarik pada keindahannya. Untuk menarik para wisatawan, orang toko kebanyakan masih memakai pakaian adat, supaya nampak lebih asli suasananya."
Jupiter muncul dari kamar sambil mengancingkan kemeja sport berwarna merah cerah. Ia pun memperhatikan pemandangan yang terbentang dengan perasaan kagum.
"Kelihatannya seperti dekor film," katanya. "Bedanya, ini asli! Gereja apa yang kelihatan di sana itu, Bob""
"Mestinya St. Dominic," kata Bob menduga. "St. Dominic adalah gereja terbesar di Varania dan satu-satunya yang berkubah keemasan dan memiliki sepasang menara lonceng. Kalian lihat sepasang puncak menara yang menjulang tinggi" Nah-di dalamnya ada lonceng-lonceng. Di menara sebelah kiri ada delapan buah yang dibunyikan kalau ada kebaktian atau hari besar nasional. Sedang dalam menara sebelah kanan terdapat sebuah lonceng yang besar sekali. Lonceng itu diberi nama Lonceng Pangeran Paul. Ketika Pangeran Paul menumpas pemberontakan yang terjadi tahun 1675, ia membunyikan lonceng itu untuk memberi tahu pada para pengikutnya, bahwa ia masih hidup dan memerlukan bantuan. Dengan segera mereka datang berduyun-duyun, lalu mengusir para pemberontak. Sejak saat itu lonceng besar hanya dibunyikan untuk keluarga kepala negara saja.
"Saat penobatan pangeran, Lonceng Pangeran Paul didentangkan seratus kali-lambat-lambat. Kalau ada putra pangeran lahir, bunyinya lima puluh kali. Sedang kalau yang lahir putri, dua puluh lima kali. Pernikahan keluarga kepala negara disambut dengan de
ntangan tujuh puluh lima kali. Bunyinya sangat mantap, lain sekali dengan lonceng mana pun di kota ini-dan dari jarak tiga mil masih terdengar jelas."
"Hebat-ahli dokumentasi kita ini!" kata Pete sambil nyengir.
"Kita harus bersiap-siap untuk menghadap Djaro," kata Jupiter menyela. "Menurut kepala rumah tangga istana, Djaro menanti kita untuk sarapan bersama."
"Ngomong-ngomong tentang sarapan, aku sudah lapar," kata Pete. "Sarapan apa kita nanti, ya""
"Kita lihat saja nanti," jawab Jupiter. "Sekarang kita periksa dulu perlengkapan kita, apakah semuanya beres. Kita di sini kan untuk bisnis."
Ia mendului kembali ke kamar yang terletak di belakang balkon dengan dibatasi pintu-pintu kaca. Ruangan di mana mereka ditempatkan berlangit-langit tinggi. Dindingnya berlapis kayu yang kemilau lembut seperti beludru. Tempat tidur di situ lebar sekali, cukup lapang untuk ditempati mereka bertiga. Di atas tempat tidur ada lambang keluarga Djaro, terbuat berukir-ukir.
Koper-koper mereka masih terletak di tempat semula. Kemarin malam hanya dibuka sebentar, untuk mengambil piyama serta sikat gigi saja. Mereka berangkat dari Los Angeles naik pesawat jet. Tujuan pertama New York. Lalu dari sana terus ke Paris. Tapi ketiga remaja itu sama sekali tidak sempat melihat kedua kota besar itu, karena hanya mampir sebentar di pelabuhan udara. Di Paris mereka pindah naik helikopter yang kemudian membawa mereka ke pelabuhan udara Denzo yang tidak bisa dibilang besar.
Dari pelabuhan udara mereka dibawa dengan mobil ke istana di mana mereka disambut kepala rumah tangga istana. Saat itu Djaro sedang menghadiri rapat khusus, jadi tidak bisa menyambut. Tapi menurut kepala rumah tangga istana, pangeran itu mengharapkan mereka ikut sarapan dengannya besok pagi. Setelah itu pejabat istana itu mengajak masuk, menyusur gang demi gang yang seperti tidak habis-habis. Akhirnya sampai di kamar tidur yang kini mereka tempati. Jupiter dan kedua temannya langsung tidur, tanpa sempat membongkar koper-koper lagi.
Pekerjaan itu baru mereka lakukan keesokan paginya. Pakaian dimasukkan ke dalam sebuah lemari pakaian yang kelihatannya sudah sekitar lima ratus tahun umurnya. Kemudian perhatian mereka beralih pada ketiga benda yang tidak ikut dibereskan.
Tiga kamera foto. Setidak-tidaknya nampak seperti kamera. Dan kenyataannya memang begitu. Tiga buah kamera yang agak besar dan kelihatan mahal, dengan bermacam-macam perlengkapan. Tapi kamera-kamera itu juga bisa
dipakai sebagai radio. Di bagian belakang masing-masing pesawat dipasang perlengkapan walkie-talkie khusus berkemampuan besar. Alat cahaya sekaligus merupakan antena pemancar dan penerima. Dengan alat komunikasi rahasia itu bisa dilakukan hubungan jarak jauh. Sampai sepuluh mil. Bahkan dari dalam bangunan pun bisa diadakan hubungan dengan radio sampai arak dua mil.
Walkie talkie itu diperlengkapi dengan dua channel saja yang tidak bisa ikut didengar radio atau walkie-talkie lain, kecuali jika memang disetel pada channel tersebut. Radio yang bisa menangkap pembicaraan ketiga walki-talkie rahasia yang saat itu terletak di tempat tidur, terdapat di Kedutaan Besar Amerika setempat di mana Bert Young sudah berada.
Petugas dinas rahasia itu terbang bersama anak-anak dari Los Angeles sampai New York. Selama penerbangan itu ia berbicara serius dengan mereka. Antara lain dikatakannya bahwa selama di Varania ia akan selalu tidak jauh dari mereka. Ia berpesan agar ia setiap malam dihubungi lewat walkie-talkie. Tapi apabila terjadi sesuatu yang penting, mereka harus sesegera mungkin mengadakan kontak dengannya.
"Camkan baik-baik," katanya mengakhiri petunjuk-petunjuknya. "Mungkin saja segala-galanya berjalan dengan lancar dan Pangeran Djaro dinobatkan sesuai dengan rencana. Tapi kurasa akan terjadi keributan di sana dan kuharapkan kalian bisa membantu kami menyelidiki kemungkinan itu.
"Janganlah bertanya ke sana-sini-karena seperti sudah kujelaskan, orang-orang Varania tidak menginginkan ada pihak luar mencampuri urusan mereka. Kalian cukup keluyuran saja sambil memotret pemandangan. Tapi sementara itu buka mata dan telinga. Hu
bungi aku secara teratur dengan kamera radio kalian. Aku akan selalu siap-siaga menunggu kabar dari kalian. Mungkin tempatku akan di gedung kedutaan besar.
"Kurasa cukup sekian untuk sekarang. Nanti mulai saat kalian naik ke pesawat yang akan membawa kalian ke Paris, hubungan kita tinggal lewat radio saja. Aku ke Varania naik pesawat lain, dan saat kalian tiba, aku sudah akan ada di sana. Rencana selanjutnya kita atur sesuai dengan perkembangan yang terjadi. Sebagai tanda sandi sewaktu melapor, kalian memakai nama panggilan Satu, Dua, dan Data. Beres""
Sambil berkata begitu, Bert Young mengusap keningnya yang berkeringat. Ketiga remaja itu merasa seolah-olah tubuh mereka juga diguyur keringat dingin. Tugas yang dihadapi agak mengerikan juga. Mulai saat itu mereka menjadi petugas rahasia, bekerja untuk pemerintah Amerika Serikat.
Ketiga-tiganya tidak banyak bicara, sambil mengingat-ingat segala petunjuk yang diberikan Bert Young. Pete yang kemudian memecah kesunyian. Ia mengeluarkan pesawat kameranya dari tempatnya yang terbuat dan kulit. Di dasar tempat itu masih ada suatu peralatan lain. Sebuah alat perekam suara ukuran mini yang bisa merekam suara orang berbicara di kamar sebelah.
"Sebelum mendatangi Djaro, apakah tidak sebaiknya kita menghubungi Mr. Young dulu"" katanya. "Untuk memeriksa apakah segala-galanya bekerja sebagaimana mestinya""
"Itu gagasan bagus, Dua," kata Jupiter menyetujui. "Aku ke balkon saja sekarang, untuk memotret pemandangan dari situ."
Sambil menenteng kameranya ia melangkah ke luar. Kotak kamera dibuka, lalu pesawat itu diarahkan olehnya ke kubah gereja St. Dominic yang nampak berkilau keemasan.
Dengan gerakan yang tidak menyolok, ditekannya kenop yang menghidupkan walkie-talkie.
"Satu melapor," kata Jupiter dengan suara lirih. Ia menunduk, pura-pura meneliti bayangan yang nampak pada alat pembidik. "Satu melapor. Apa bisa di-copy""
"Roger. " Suara Bert Young terdengar jelas. "Ada yang perlu dilaporkan""
"Tidak-cuma mau menguji peralatan saja dulu. Kami belum berjumpa dengan Pangeran Djaro. Kami diundangnya untuk sarapan bersama-sama."
"Aku tetap siaga. Buka mata dan telinga. Over and out!" "Roger!"
Jupiter kembali ke dalam kamar. Saat itu ada orang datang dan mengetuk pintu. Pete membukakan. Dilihatnya Pangeran Djaro berdiri dengan wajah berseri-seri di depannya.
"Sahabat-sahabatku! Pete! Bob! Jupiter!" seru Djaro sambil merangkul mereka. Rupanya begitu sambutan gaya Eropa. "Senang sekali rasanya melihat kalian lagi! Bagaimana pendapat kalian tentang kota dan negeriku" Tapi kalian tentunya belum sempat melihat-lihat! Nantilah-kalau kita sudah sarapan pagi!"
Djaro berpaling, lalu memberi isyarat dengan tangannya.
"Masuk," katanya. "Taruh meja itu dekat jendela."
Delapan pelayan berpakaian seragam istana berwarna merah dadu dengan hiasan emas masuk sambil membawa meja dan kursi serta beberapa baki bertutup perak. Pangeran Djaro bercerita dengan riang, sementara para pelayan sibuk menutup meja dengan taplak linen yang putih bersih, mengatur piring dan sendok garpu yang terbuat dari perak murni, lalu membuka tutup piring-piring besar berisi telur mata sapi dengan daging asap serta susis, roti panggang serta susu dalam gelas.
"Hmm-sedap!" seru Pete. "Aku sudah lapar sekali."
"Tentu saja," kata Djaro. "Yuk, kita makan. Ayo, Bob-apa yang sedang kauperhatikan di situ""
Bob sedang menatap sarang labah-labah yang besar sekali, membentang dari ujung kepala tempat tidur ke sudut kamar yang jauhnya sekitar setengah meter. Seekor labah-labah besar memandang ke arahnya dari suatu celah yang terdapat antara lantai dan papan kaki dinding. Menurut perasaan Bob saat itu Djaro memang banyak pelayannya, tapi yang bertugas membersihkan kamar itu bukan orang yang terlalu rajin.
"Aku baru melihat ada sarang labah-labah di situ," katanya. "Kusingkirkan saja sebentar."
Sambil berkata begitu ia melangkah maju. Ia kaget setengah mati ketika tiba-tiba Djaro menerpa kakinya sehingga ia terbanting ke lantai sebelum sempat menyingkirkan sarang labah-labah tadi.
Pete dan Jupiter hanya bisa melongo saja, sementara Djaro membant
u Bob bangun sambil memberi penjelasan.
"Aku tidak sempat memberi tahu tadi," kata Djaro cepat-cepat. "Untung masih bisa mencegahmu merusak sarang labah-labah itu. Kalau tidak, sekarang aku pasti terpaksa menyuruh kalian pulang dengan segera. Aku malah senang melihat sarang labah-labah itu karena merupakan pertanda baik. Itu berarti bahwa kalian akan bisa menolongku."
Suaranya dipelankan, seakan-akan merasa ada orang lain ikut mendengar. Dengan cepat ia menghampiri pintu lalu membukanya. Seorang laki-laki berjas seragam merah berdiri dengan sikap tegak di balik pintu. Tampangnya sangat mengesankan, berambut dan berkumis hitam lebat yang ujung-ujungnya dipuntir ke atas.
"Ada apa Bilkis"" tanya Djaro pada orang itu.
"Saya hanya siap di sini, apabila Yang Mulia menghendaki sesuatu," kata orang itu.
"Pergilah, karena aku tidak memerlukan apa-apa saat ini. Kembalilah setengah jam lagi, untuk membereskan meja," kata Djaro ketus. Laki-laki itu membungkuk, berpaling lalu pergi dengan langkah mantap. Djaro menutup pintu kembali. Ia mendekati anak-anak lalu berbicara dengan suara pelan.
"Dia itu orang suruhan Adipati Stefan. Mungkin ia memata-matai kita. Ada hal penting yang perlu kubicarakan dengan kalian. Aku memerlukan pertolongan kalian. Labah-labah Perak lambang Varania hilang dicuri orang!"
Bab 4 PENJELASAN DJARO "Banyak yang perlu kuceritakan pada kalian," kata Djaro. "Karena itu lebih baik kita makan dulu. Lebih gampang berbicara sesudah itu."
Keempat remaja itu sarapan sekenyang-kekenyangnya. Kemudian para pelayan datang lagi untuk membereskan meja. Setelah meyakinkan diri terlebih dulu bahwa Bilkis tidak ada dalam gang di luar kamar, Djaro menarik kursi-kursi ke depan jendela, lalu mulai dengan penjelasannya.
"Mula-mula aku perlu memaparkan sedikit sejarah Varania dulu," katanya. "Tahun 1675, ketika moyangku Pangeran Paul akan dinobatkan menjadi penguasa negeri ini, terjadilah pemberontakan dan moyangku itu terpaksa melarikan diri. Ia bersembunyi di rumah keluarga pengamen. Waktu itu di Eropa masih banyak pengamen yang mengembara ke mana-mana untuk mencari nafkah.
"Tanpa mempedulikan keselamatan jiwa mereka sendiri, keluarga pengamen itu menyembunyikan Pangeran Paul di loteng rumah mereka. Musuh yang mencarinya ke mana-mana pasti berhasil menemukannya waktu itu, apabila seekor labah-labah tidak membuat jaring menutupi lubang tingkap loteng, segera setelah ia masuk ke atas. Dengan adanya jaring labah-labah itu, timbul kesan seakan-akan sudah berhari-hari tidak ada yang naik ke loteng. Melihat keadaan itu para pemberontak yang menggeledah rumah pengamen tidak jadi memeriksa ke atas.
"Tiga hari lamanya Pangeran Paul bersembunyi di loteng, tanpa makan dan minum. Keluarga pengamen tidak bisa memberi makan tanpa merusak jaring labah-labah yang menyelamatkan jiwanya. Tapi kemudian Pangeran Paul nekat ke luar, lalu membunyikan lonceng-yang sekarang diberi nama Lonceng Pangeran Paul-untuk mengumpulkan pengikut-pengikutnya dan mengusir para pemberontak dari kota.
"Ketika moyangku itu naik tahta, di lehernya tergantung medali yang diciptakan untuknya oleh pandai perak yang paling ahli-berwujud labah-labah perak di ujung rantai yang terbuat dari perak pula. Pangeran mengumumkan bahwa mulai saat itu labah-labah merupakan lambang nasional serta tanda kebesaran keluarga kepala negara. Ia juga memaklumatkan bahwa calon pangeran yang akan dinobatkan harus memakai kalung Labah-labah Pangeran Paul. Tanpa kalung, penobatan dinyatakan tidak sah!
"Mulai saat itu labah-labah menjadi lambang kemujuran di Varania. Sarang labah-labah yang ada di rumah-rumah penduduk tidak pernah dirusak dan tidak ada yang mau secara sengaja membunuh labah-labah."
"Ibuku sudah jelas takkan setuju!" kata Pete. "Ia paling tidak suka pada labah-labah. Menurut dia, labah-labah itu binatang yang kotor dan beracun."
"Itu pandangan yang keliru," bantah Jupiter. "Labah-labah malah sangat menyukai kebersihan. Kalau soal beracun -labah-labah yang di tempat kita dikenal dengan nama Janda Hitam memang bisa dibilang beracun. Tapi binatang itu baru menyerang kalau benar-benar
terpaksa. Labah-labah besar seperti Tarantula pun sebenarnya tidak seberbahaya seperti sangkaan orang banyak. Pernah diadakan penelitian mengenainya. Ternyata tarantula harus diganggu dulu sebelum mau menyengat. Tapi kebanyakan labah-labah sebenarnya tidak berbahaya. Malah bisa dibilang berguna karena menangkap serangga-serangga lain."
"Itu memang benar," kata Djaro. "Di Varania sini tidak ada labah-labah yang berbahaya. Jenis yang diberi nama Pangeran Paul merupakan jenis yang paling besar dan biasanya indah sekali rupanya. Hitam dengan bintik-bintik berwarna keemasan. Biasanya membuat sarang atau jaring di luar rumah. Tapi kadang-kadang ada juga yang membuatnya dalam rumah. Sarang yang tadi hampir saja kaurusak itu sarang Labah-labah Pangeran Paul, Bob! Adanya dalam kamar ini merupakan pertanda bahwa kalian datang untuk menolongku mengatasi kesulitan."
"Wah, kalau begitu untung kau tadi sempat mencegahku merusaknya," kata Bob. "Tapi kesulitan apa yang sedang kauhadapi""
Djaro nampak ragu-ragu. Kemudian ia menggeleng.
"Yang tahu cuma aku sendiri," katanya. "Kecuali jika Adipati Stefan juga mengetahuinya. Dan aku yakin ia juga tahu! Seperti kukatakan tadi, pangeran yang baru pada saat penobatannya harus memakai kalung perak dengan lambang Labah-labah Pangeran Paul. Jadi aku juga harus memakainya, saat dinobatkan dua minggu lagi. Tapi aku tidak bisa."
"Kenapa begitu"" tanya Pete.
"Maksud Djaro karena kalung itu hilang, dicuri orang," sela Jupiter. "Begitu kan maksudmu, Djaro"" Djaro mengangguk.
"Kalung yang asli hilang, ditukar dengan kalung lain. Tapi kalung palsu itu tidak sesuai dengan persyaratan. Jadi apabila aku tidak berhasil menemukan kembali kalung yang asli, aku tidak bisa dinobatkan pada waktu yang sudah ditetapkan. Pasti akan ada kegemparan sebagai akibatnya. Dan kalau itu sampai terjadi-ah, lebih baik aku tidak berbicara mengenainya!
"Aku tahu, kalian pasti heran kenapa perhiasan sepele begitu saja diributkan. Tapi bagi kami di Varania sini, Labah-labah Perak itu sama maknanya seperti mahkota kerajaan bagi orang Inggris. Ah, malah lebih dari itu-karena kalung itu merupakan lambang keluarga kepala negara, dan di Varania orang tidak diperbolehkan membuat atau memiliki kalung labah-labah yang serupa wujudnya. Kekecualiannya ada, yaitu Bintang Labah-labah Perak, yang dianugerahkan pada warga Varania yang dinilai berjasa besar bagi negaranya.
"Negara kami memang kecil saja. Tapi memiliki tradisi yang sudah tua sekali. Kami sangat berpegang teguh padanya dalam jaman modern yang cepat sekali berubah-ubah sekarang ini. Mungkin justru karena perubahan yang serba cepat itu kami malah semakin teguh berpegang pada tradisi.
"Tentang kalian-kalian kan penyelidik. Kalian juga sahabat-sahabatku. Bagaimana-kiranya bisakah kalian menemukan kembali Labah-labah Perak yang asli untukku""
Jupiter mencubiti bibir bawahnya sambil merenung.
"Aku belum tahu, Djaro," katanya setelah itu. "Berapa besarnya Labah-labah lencana itu" Sama dengan labah-labah yang sebenarnya"" Djaro mengangguk.
"Kira-kira sebesar mata uang kalian yang bernilai dua puluh lima sen."
"Dengan perkataan lain, kecil sekali! Bisa dengan mudah disembunyikan di mana saja. Bahkan mungkin pula sudah dimusnahkan."
"Kalau itu kurasa tidak mungkin," bantah Djaro. "Tidak-aku bahkan yakin lambang itu mustahil dimusnahkan orang yang mengambilnya, karena maknanya terlalu besar! Kalau mengenai mudahnya disembunyikan, itu memang tepat. Tapi yang menyembunyikannya harus berhati-hati agar jangan sampai ketahuan, karena itu bisa berarti ia akan dijatuhi hukuman mati. Bahkan Adipati Stefan pun tidak bebas dari risiko itu."
Pangeran Djaro menarik napas panjang.
"Yah-sekarang sudah kupaparkan duduk perkaranya pada kalian," katanya. "Aku tidak tahu dengan cara bagaimana kalian bisa menolong aku. Tapi aku sangat mengharapkan kalian bisa berhasil-entah dengan cara bagaimana! Itulah sebabnya ketika ada orang menyarankan barangkali aku menginginkan kawan-kawanku dari Amerika datang mengunjungiku untuk menghadiri upacara penobatan, aku langsung setuju. Dan kini kalian sudah ada di sini. Ti
dak ada yang tahu bahwa kalian sebenarnya penyelidik. Itu harus tetap dirahasiakan. Segala yang kalian perbuat harus kelihatan seperti dilakukan oleh-yah, oleh remaja Amerika yang biasa saja." Djaro meneliti air muka ketiga kawannya. "Bagaimana-kemungkinannya bisakah kalian menolongku""
"Aku tidak bisa berjanji," kata Jupiter berterus terang. "Menemukan Labah-labah Perak kecil yang bisa disembunyikan di mana saja bukan pekerjaan gampang! Tapi bisa saja kami mencobanya. Pertama-tama kita harus melihat dulu dari mana barang itu dicuri, serta bagaimana wujudnya. Katamu Labah-labah itu diganti dengan tiruannya""
"Ya, betul! Buatannya rapi sekali, tapi tetap saja tiruan. Mari kutunjukkan sekarang juga! Kita ke ruang barang pusaka."
Ketiga remaja dari Amerika itu menyambar kamera masing-masing, lalu mengikuti Djaro yang sudah berjalan lebih dulu. Mereka melalui suatu gang panjang berlantai batu. Setelah itu menuruni tangga yang memutar seperti ulir rumah siput menuju ke gang lain yang lebih lebar di tingkat sebelah bawah. Dinding, lantai, dan langit-langit gang itu semuanya terbuat dari batu.
"Istana ini dibangun hampir tiga abad yang lampau," kata Djaro. "Dasar dan beberapa bagian dindingnya berasal dari puri kuno yang dulu pernah tegak di tempat ini. Banyak kamar yang dibiarkan kosong. Kedua tingkat paling atas bahkan tidak pernah dimasuki orang lagi. Varania bukan negara kaya. Kami tidak mampu menggaji pelayan sebanyak yang diperlukan untuk membersihkan seluruh ruangan. Kecuali itu masih ada pula masalah pemanasan. Hanya kamar-kamar yang dipermodern saja yang diperlengkapi dengan alat penghangat ruangan. Tidak banyak yang bisa dipugar. Bayangkan, tinggal di istana ini tanpa pemanas ruangan!"
Jupiter serta kedua temannya bisa membayangkannya dengan jelas. Saat itu bulan Agustus, jadi di tengah-tengah musim panas. Tapi keadaannya sejuk sekali dalam istana itu.
"Di sini ada sel-sel serta ruangan-ruangan bawah tanah, sisa puri yang lama," kata Djaro melanjutkan sementara mereka kembali menuruni tangga lain, "dengan jalan-jalan masuk tersembunyi yang sudah tidak diingat lagi tempatnya dan tangga-tangga rahasia yang berakhir buntu. Bahkan aku pun bisa tersesat kalau memasuki tempat-tempat yang tidak biasa kudatangi."
Kini ia tertawa. "Tempat ini cocok sekali untuk membuat film horor," katanya, "dengan hantu-hantu gentayangan keluar masuk pintu-pintu rahasia. Untungnya di sini tidak ada hantu. Wah," katanya menyambung, "itu Adipati Stefan."
Seorang laki-laki bertubuh jangkung nampak datang dari arah depan, sementara mereka sampai dalam gang yang lebih bawah lagi. Laki-laki itu berhenti, lalu menganggukkan kepala ke arah Djaro.
"Selamat pagi, Djaro," sapa orang itu. "Mereka inikah kawan-kawanmu yang dari Amerika itu""
Suaranya resmi dan bernada dingin. Sikap tegaknya sangat lurus seperti tombak. Di bawah hidungnya yang melengkung seperti paruh betet nampak kumis hitam menggantung.
"Selamat pagi, Adipati Stefan," balas Djaro. "Betul, mereka inilah kawan-kawanku itu. Perkenalkan sebentar-ini Jupiter Jones, Pete Crenshaw, dan Bob Andrews. Ketiga-tiganya dari California, Amerika Serikat."
Laki-laki jangkung itu menganggukkan kepalanya sedikit setiap kali Djaro menyebutkan nama. Matanya yang tajam meneliti ketiga anggota Trio Detektif.
"Selamat datang di Varania," ucap Adipati Stefan dengan nada yang sama sopan tapi dingin seperti tadi. "Kau sedang memperlihatkan istana pada kawan-kawanmu""
"Aku mengajak mereka ke kamar barang pusaka," kata Djaro. "Mereka menaruh minat pada sejarah negeri kita." Ia berpaling pada ketiga kawannya. "Adipati Stefan saat ini wali negara Varania. Ia yang memegang tampuk kekuasaan sejak ayahku mangkat sebagai akibat kecelakaan sewaktu sedang berburu."
"Aku memerintah mewakili dirimu, Pangeran," sela Adipati Stefan dengan cepat, "dan mudah-mudahan sesuai dengan pendirianmu. Aku akan menemani kalian, karena sudah selayaknya jika aku menghormati tamu-tamumu."
"Baiklah," kata Djaro. Tapi nada suaranya terasa bahwa ia sebenarnya tidak setuju. "Tapi kami tidak boleh terlalu lama menyita waktu Anda. Kalau tidak sala
h, pagi ini Anda kan hendak mengadakan rapat Dewan, Adipati""
"Betul," jawab laki-laki jangkung itu sambil berjalan mengiringi mereka. "Untuk membicarakan urusan penobatanmu yang akan dilangsungkan dua minggu lagi. Tapi aku masih punya waktu sedikit sekarang."
Djaro tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia berjalan di depan, menyusur gang. Akhirnya mereka tiba di sebuah ruangan yang lapang. Ruangan itu sangat tinggi. Kurang lebih delapan meter, jadi setinggi langit-langit lantai dua pada bangunan biasa. Di dinding bergantungan lukisan. Di mana-mana terdapat lemari kaca berisi panji-panji kuno, tameng-tameng, medali-medali, buku-buku serta barang-barang pusaka lainnya. Setiap benda dilengkapi dengan keterangan
yang tertulis pada kartu putih berukuran kecil yang terletak di samping masing-masing benda itu. Jupiter, Bob dan Pete memandang ke dalam sebuah lemari kaca yang berisi pedang yang patah. Kartu keterangan yang terdapat di sebelah pedang itu menjelaskan bahwa pedang itulah senjata Pangeran Paul ketika berhasil menumpas pemberontakan pada tahun 1675.


Trio Detektif 08 Misteri Labah Labah Perak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dalam ruangan ini terdapat sari sejarah negara kami," kata Adipati Stefan. "Varania bukan negara besar, sedang sejarahnya juga tidak terlalu mengasyikkan. Kalian yang datang dari negara besar pasti menganggap kami agak aneh dan kolot."
"Tidak, Sir, " kata Jupiter dengan sopan. "Kami sangat tertarik melihat negeri ini, berdasarkan pada apa yang sudah bisa kami lihat sampai sekarang."
"Orang dari negara kalian kebanyakan menganggap kami sangat lamban dan terbelakang," kata Adipati Stefan lagi. "Aku hanya bisa berharap, mudah-mudahan kalian tidak bosan dengan irama kehidupan kami yang lambat. Tapi maafkan aku sekarang-aku harus menghadiri rapat Dewan."
Adipati Stefan berbalik lalu melangkah pergi.
Bob menarik napas lega. "Ia tidak suka pada kita. Itu sudah jelas," katanya lirih.
"Itu karena kalian kawanku," kata Djaro. "Ia tidak ingin aku punya teman. Ia tidak mau aku membuka mulut dan membantahnya seperti kulakukan sejak akhir-akhir ini-apalagi sekembaliku dari Amerika. Tapi sudahlah, kita lupakan saja Adipati Stefan untuk sementara. Lihatlah! Lukisan ini menggambarkan Pangeran Paul."
Djaro mengajak teman-temannya menghampiri sebuah lukisan yang menampakkan seorang laki-laki. Ukurannya sama dengan aslinya. Laki-laki dalam lukisan itu memakai pakaian kebesaran berwarna merah nyala berkancing emas. Tangannya yang satu ditopangkan pada sebilah pedang yang ujungnya menyentuh lantai. Laki-laki itu berwajah anggun. Tatapan matanya tajam. Tangannya yang satu lagi terjulur ke depan. Di telapak tangan itu nampak gambar seekor labah-labah. Jupiter, Bob, dan Pete mengamat-amati gambar itu dengan seksama. Binatang itu memang bagus sekali wujudnya. Tubuhnya hitam mulus seperti beludru, dengan bintik-bintik berwarna keemasan.
"Moyangku," kata Djaro dengan bangga. "Pangeran Paul, Sang Penakluk. Dan labah-labah itu yang menyelamatkan jiwanya."
Sementara mereka sedang meneliti lukisan itu, di belakang mereka terdengar suara ramai berbicara dalam berbagai bahasa termasuk bahasa Inggris. Itu tidak aneh, karena saat itu banyak orang berada dalam ruangan itu. Kebanyakan dari mereka kentara merupakan wisatawan, karena membawa kamera atau buku petunjuk perjalanan, atau kedua-duanya. Ruangan itu dijaga oleh dua pengawal istana. Mereka bersenjatakan tombak, berdiri sigap di samping pintu masuk.
Sepasang suami istri orang Amerika datang, lalu berdiri di belakang Djaro serta ketiga kawannya. "Hii!" terdengar suara turis yang wanita. "Lihatlah-labah-labah yang menjijikkan itu!"
"Ssst!" desis suaminya yang bertubuh agak gendut. "Jangan sampai kata-katamu itu terdengar orang sini. Labah-labah itu kan jimat tanda keberuntungan bagi mereka. Kecuali itu labah-labah sebenarnya tidak jahat. Orang saja yang memburuk-burukkan namanya."
"Masa bodoh," jawab istrinya. "Kalau aku melihat ada labah-labah, akan kupijak sampai gepeng."
Pete dan Bob tertawa nyengir, sementara mata Djaro berkilat Jenaka. Ia geli mendengar kesengitan kata-kata wanita itu. Kemudian mereka beranjak dari tempat itu, sambil melihat-lihat berbagai
benda pusaka yang dipamerkan. Akhirnya mereka sampai di sebuah pintu yang dijaga seorang pengawal lagi.
"Aku hendak masuk, Sersan," kata Djaro. Prajurit pengawal itu memberi hormat.
"Baik, Yang Mulia," katanya, lalu bergerak satu langkah ke samping.
Djaro membuka pintu yang kelihatannya berat itu dengan anak kunci yang ada padanya. Ternyata di balik pintu itu terdapat sebuah serambi yang tidak panjang. Di ujungnya nampak sebuah pintu lagi yang diperlengkapi dengan kunci kombinasi. Djaro membuka pintu itu. Di belakangnya ada satu pintu lagi. Pintu ini berterali besi. Setelah pintu yang ketiga itu dibuka, mereka masuk ke dalam sebuah ruangan. Ukurannya tidak besar. Kelihatannya seperti tempat penyimpanan benda-benda berharga di bank.
Di depan salah satu dinding ruangan itu ada lemari-lemari kaca berisi mahkota, tongkat kebesaran, sejumlah kalung dan cincin.
"Untuk permaisuri Pangeran-kalau ia beristri," kata Djaro sambil menunjuk ke arah perhiasan yang dipajang di situ. "Benda-benda permata kami tidak banyak-karena kami bukan penguasa yang kaya. Tapi apa yang kami miliki, kami jaga sebaik mungkin. Tapi kita kemari kan untuk melihat yang ini."
Sambil berkata begitu ia menghampiri sebuah lemari rendah yang terletak di tengah ruangan. Di atas alas khusus terletak kalung berupa labah-labah dengan rantai dari perak. Jupiter dan kedua temannya tercengang, karena benda itu persis sekali wujudnya seperti labah-labah yang hidup.
"Perak diberi lapisan halus," kata Djaro menjelaskan. "Kalian menyangka akan melihat labah-labah yang seluruhnya dari perak" Tidak, peraknya dilapisi glasir hitam yang ditaburi emas. Matanya dari batu delima. Tapi yang kalian lihat ini bukan Labah-labah Perak lambang Varania yang asli. Ini tiruan! Yang asli jauh lebih indah."
Menurut Bob, Pete, dan Jupiter, labah-labah permata itu sudah hebat sekali buatannya. Tapi mereka percaya saja apabila Djaro mengatakan bahwa yang asli masih jauh lebih indah. Labah-labah tiruan itu mereka perhatikan dari berbagai sudut, agar bisa mengenali yang asli apabila mereka mujur dan berhasil menemukannya nanti.
"Kalung yang asli diambil orang minggu lalu dan diganti dengan yang ini," kata Djaro. Nada suaranya getir. "Aku mencurigai satu-satunya orang yang bisa melakukannya-yaitu Adipati Stefan. Tapi aku tidak bisa menuduh begitu saja, tanpa bukti sama sekali. Situasi politik di Varania saat ini sangat rawan. Para anggota Dewan Agung, semuanya merupakan kaki tangan Stefan. Selama belum dinobatkan, aku boleh dibilang tidak memiliki kekuasaan apa-apa-dan mereka tidak ingin melihat aku dinobatkan. Pencurian Labah-labah Kepangeranan merupakan langkah pertama untuk mencegah jangan sampai aku menjabat kedudukanku selaku penguasa."
Djaro menoleh ke arah teman-temannya.
"Tapi untuk apa kalian kubosankan dengan pemaparan segala perincian ini. Di samping itu aku juga harus menghadiri suatu rapat. Yuk-kuantar kalian ke luar! Setelah itu kita berpisah dulu. Sebuah mobil lengkap dengan pengemudinya sudah siap menunggu-jadi kalian bisa melancong melihat-lihat kota. Sehabis makan malam, kita bertemu lagi. Saat itu kita akan melanjutkan pembicaraan tadi."
Djaro mengunci pintu satu demi satu. Setelah berada di luar, ia minta diri sambil mengatakan di mana mobil menunggu.
"Pengemudinya bernama Rudi," katanya. "Ia setia padaku. Aku sebenarnya ingin ikut dengan kalian," sambung Djaro dengan sikap agak menyesal. "Hidup sebagai pangeran sering membosankan. Tapi aku tidak bisa mengingkari takdirku. Sekarang bersenang-senanglah kalian! Nanti malam pembicaraan kita teruskan."
Setelah itu Djaro pergi bergegas-gegas.
Bob menggaruk-garuk kepalanya.
"Bagaimana pendapatmu, Jupe"" katanya. "Mampukah kita menemukan kembali Labah-labah Kepangeranan itu"" Jupiter membalas dengan desahan.
"Aku tidak melihat adanya kemungkinan itu," katanya. "Kecuali jika kita benar-benar bernasib mujur."
Bab 5 PERCAKAPAN YANG MENCURIGAKAN
Jupiter, Bob dan Pete menikmati acara pelancongan berkeliling ibu kota Varania. Bagi mereka yang biasa hidup di tengah masyarakat yang serba modern, segala-gala yang mereka lihat saat itu sa
ngat asing dan kuno sekali. Mereka kagum melihat bangunan-bangunan tempat tinggal yang seluruhnya terbuat dari batu alam. Ada pula yang dari batu bata berwarna kuning. Atap-atap genting pun menarik perhatian mereka. Di mana-mana nampak lapangan dengan air mancur. Burung merpati berkeliaran dengan bebas. Yang paling banyak di depan gereja besar St. Dominic.
Mobil yang mereka naiki model kuno dengan tutup yang saat itu dibuka. Pengemudinya masih muda. Ia mengenakan pakaian seragam yang pantas baginya. Bahasa Inggrisnya baik. Ia bernama Rudi. Dengan suara pelan dikatakannya bahwa mereka bisa mempercayainya karena ia setia pada Pangeran Djaro.
Sehabis melihat-lihat kota, mobil diarahkan ke bukit-bukit di luar Denzo untuk melihat pemandangan sungai dari atas. Jupiter dan kedua temannya asyik memotret. Ketika kembali lagi ke mobil setelah itu, tahu-tahu Rudi berbisik-bisik.
"Ada yang mengikuti kita," katanya. "Sejak meninggalkan istana, kita sudah dibuntuti orang. Sekarang kalian akan kuantar ke taman hiburan. Kalian nanti berjalan-jalan di sana sambil menonton berbagai pertunjukan yang ada. Tapi jangan sekali-kali menoleh ke belakang. Jangan sampai mereka yang membuntuti sadar bahwa mereka sudah ketahuan!"
Jangan menoleh ke belakang" Rasanya sulit sekali menuruti permintaan itu. Siapakah yang membuntuti" Dan untuk apa"
"Aku ingin kita lebih banyak tahu saat ini," kata Pete menggerutu, sementara mobil meluncur melalui jalan-jalan dalam kota yang sempit dan semarak. "Kenapa sampai ada orang membuntuti kita" Kita kan tidak tahu apa-apa!" "Mungkin ada yang mengira kita mengetahui sesuatu," tebak Jupiter. "Ada yang berkeinginan begitu," kata Bob. "Siapa"" tanya Pete heran. "Aku," jawab Bob singkat.
Mobil direm oleh Rudi. Mereka sudah sampai di sebuah lapangan yang luas dan rimbun dengan pepohonan. Banyak orang yang berjalan-jalan dengan santai. Samar-samar terdengar bunyi musik.
"Ini taman utama," kata Rudi sambil bergegas membukakan pintu. "Berjalanlah dengan santai ke arah tengah, lewat dekat tempat orkes yang sedang bermain musik. Nanti kalau sudah sampai di tempat hiburan, kalian memotret artis-artis dan badut yang mengadakan pertunjukan. Setelah itu dekatilah gadis penjual balon di situ. Katakan padanya kalian ingin memotretnya. Ia adikku. Namanya Elena. Aku menunggu di sini sampai kalian kembali lagi nanti. Tapi ingat-jangan sekali-kali menoleh ke belakang! Mungkin kalian akan terus dibuntuti-tapi kalian tidak perlu khawatir. Atau tepatnya-belum perlu!"
"Belum perlu, katanya!" ujar Pete sementara ia bersama kedua temannya berjalan dengan sikap santai di bawah pepohonan menuju ke arah datangnya musik. "Wah-asyik juga perkembangan yang dihadapi, kalau begitu!"
"Bagaimana kita bisa menolong Djaro"" kata Bob ingin tahu. "Saat ini kita seperti memburu bayangan. Kita tidak bisa berbuat apa-apa!"
"Kita harus menunggu perkembangan selanjutnya," kata Jupiter. "Menurut dugaanku, kita diikuti karena hendak dilihat apakah kita akan mengadakan hubungan dengan seseorang. Misalnya saja dengan Bert Young."
Ketiga remaja itu melanjutkan langkah sampai di suatu bagian yang terbuka. Di situ banyak orang duduk-duduk di rumput. Suatu orkes yang terdiri dari delapan pemain musik berseragam meriah nampak beraksi di atas panggung kecil. Musik alat tiup berkumandang nyaring. Orang-orang di sekeliling ramai bertepuk tangan ketika musik selesai. Tapi dengan segera para pemusik menyusulkan lagu berikut dengan lebih nyaring lagi, seakan-akan tepuk tangan tadi membakar semangat mereka.
Jupiter mengajak kedua temannya berjalan mengelilingi tempat orkes. Tapi mereka tidak bisa mengetahui apakah masih ada yang membuntuti. Soalnya banyak yang berjalan-jalan di sekitar situ. Kemudian mereka sampai di suatu lapangan luas berlapis semen.
Di situlah tempat hiburan yang dikatakan oleh Rudi tadi. Dua orang artis berjumpalitan dengan cekatan di atas trampolin. Sepasang badut berjungkir-balik di sela orang-orang yang lalu-lalang. Mereka melakukannya sambil mengacungkan keranjang-keranjang kecil. Orang-orang yang lewat kebanyakan memasukkan uang receh ke dalamnya.
Se orang gadis berparas sangat menarik berdiri dekat tempat itu sambil memegang tali-tali pengikat sekumpulan besar balon. Gadis itu mengenakan pakaian wanita petani daerah Varania. Caranya menawarkan balon-balon itu dengan jalan menyanyikan lagu dalam bahasa Inggris, tentang membeli balon untuk kemudian melepaskannya ke angkasa agar segala idaman terbawa serta. Banyak juga orang yang membeli lalu melepaskan balonnya ke udara, sehingga memeriahkan suasana dengan warna warna merah, kuning, dan biru yang melayang semakin tinggi dan akhirnya lenyap dari pandangan.
"Kau memotret badut-badut itu, Pete," kata Jupiter. "Aku memotret para akrobat. Coba kaucari kalau-kalau ada pemandangan yang menarik pula, Bob."
"Beres, Satu." Pete bergerak mendekati seorang badut yang sedang jungkir-balik.
Jupiter yang masih didampingi Bob mengarahkan lensa kameranya pada kedua akrobat yang masih melompat-lompat di atas trampolin. Ia sibuk sebentar dengan pesawat perekam gambarnya, seakan-akan ada kesulitan sedikit. Padahal sebenarnya ia secara sembunyi-sembunyi menekan tuas yang menghidupkan walkie-talkie.
"Di sini Satu," katanya dengan suara dipelankan. "Anda bisa meng-copy""
"Jelas sekali." Suara Bert Young terdengar lirih keluar dari dalam kamera. "Bagaimana situasinya""
"Kami saat ini sedang pesiar di kota," jawab Jupiter. "Pangeran Djaro meminta tolong pada kami untuk menemukan kembali Labah-labah Kepangeranan Varania. Lambang kebesaran itu hilang dicuri orang dan ditukar dengan imitasinya."
"Wah-kalau begitu keadaannya lebih gawat dari yang kuduga," kata Bert Young. Kedengarannya ia kaget. "Bisakah kalian menolongnya""
"Aku tidak melihat kemungkinan itu," kata Jupiter berterus terang.
"Aku juga tidak," kata Bert Young sependapat. "Tapi bertahanlah terus sambil tetap siaga. Masih ada lagi yang lain""
"Saat ini kami berada di taman hiburan. Ada kemungkinan kami dibuntuti orang. Tapi tidak tahu siapa."
"Usahakan agar bisa melihat siapa orangnya. Nanti lapor lagi padaku-tapi tunggu sampai kalian sudah sendiri. Kalau bicara terus sekarang, ada kemungkinan akan menimbulkan kecurigaan."
Setelah itu Bert Young memutuskan hubungan. Kini Jupiter benar-benar memotret, sementara Bob memandang berkeliling. Karena tidak melihat apa-apa-artinya, tidak melihat orang yang gerak-geriknya seperti sedang membuntuti-ia memasukkan beberapa keping mata uang Amerika ke dalam keranjang yang diacungkan seorang badut ke arahnya.
Sekarang para badut menyuruh seekor anjing pudel beraksi. Anjing itu berjungkir balik lalu berdiri sambil bertumpu pada kedua kaki depannya. Orang-orang langsung berkerumun menonton. Sesaat gadis penjual balon ditinggal sendiri.
"Sekarang kita memotret gadis itu," gumam Jupiter. Disertai kedua temannya ia menghampiri gadis penjual balon sambil mengatur ketajaman lensa kameranya. Gadis itu melihatnya, lalu berpose sambil tersenyum. Jupiter menjepretkan kameranya.
"Mau beli balon, Pemuda-pemuda Amerika"" kata gadis itu sambil datang mendekati. "Layangkan balon ke udara, membawa harapan jauh tinggi ke angkasa."
Pete merogoh kantung. Diambilnya sejumlah uang Amerika lalu diserahkannya pada gadis itu. Bob, Pete, dan Jupiter masing-masing diberi sebuah balon. Kemudian gadis itu menghitung-hitung uang pengembalian. Sambil menghitung ia berbisik-bisik.
"Ada yang mengikuti kalian-seorang laki-laki dan seorang wanita. Melihat tampang mereka, keduanya tidak berbahaya. Kurasa mereka ingin berbicara dengan kalian. Duduklah di meja sebelah sana itu, lalu pesan eskrim pada pelayan. Beri kesempatan pada mereka untuk mengajak kalian berbicara."
Ketiga remaja itu melepaskan balon masing-masing setelah mengatakan harapan yang ingin dikabulkan. Mereka mengikuti gerak balon-balon yang melayang sehingga akhirnya tinggal berupa bintik kecil di angkasa. Setelah itu mereka berjalan dengan santai menuju ke suatu tempat di mana terdapat sejumlah meja yang ditutupi taplak berkotak-kotak merah dan putih. Mereka memilih salah satu meja lalu duduk mengelilinginya. Tidak lama kemudian seorang pelayan dengan kumis melintang datang sambil menanyakan, "Eskrim" Atau mungkin cok
lat panas" Roti sandwich""
Pelayan itu pergi lagi, setelah Jupiter mengatakan apa yang dikehendaki. Kemudian ketiga remaja itu memandang berkeliling. Mereka melihat seorang laki-laki dan seorang wanita sedang membeli balon. Bob mengenali mereka. Kedua orang itulah suami-istri yang berdiri di belakang mereka tadi pagi ketika mereka sedang memperhatikan lukisan Pangeran Paul. Ia merasa yakin, mereka berdualah yang membuntuti selama itu.
Suami-istri itu dengan sikap santai datang mendekat lalu memilih meja di sebelah tempat anak-anak duduk. Mereka memesan eskrim serta kopi. Kemudian keduanya duduk bersandar. Mereka memandang Jupiter serta kedua temannya sambil tersenyum.
"Kalian ini anak-anak Amerika, kan"" tanya yang wanita. Suaranya agak berat. "Betul," jawab Jupiter. "Anda berdua juga orang Amerika"" "Jelas," kata yang wanita lagi. "Dari California, seperti kalian juga."
Jupiter langsung timbul kecurigaannya. Dari mana kedua orang itu tahu mereka dari California" Sementara itu yang laki-laki dengan cepat menyambung, "Kalian memang dari California, kan" Soalnya, kalian memakai baju santai gaya California."
"Ya, kami memang dari California," kata Jupiter. "Baru kemarin malam kami tiba di sini."
"Tadi pagi kami sudah melihat kalian, di ruang benda-benda pusaka di istana Pangeran," kata yang wanita. "Tadi yang bersama kalian itu, bukankah itu Pangeran Djaro"" Jupiter mengangguk.
"Betul, ia mengantar kami melihat-lihat." Kini Jupiter berbicara pada Bob dan Pete. "Yuk, kita cuci tangan dulu, sebelum pelayan datang membawakan pesanan kita," katanya. "Aku tadi melihat ada tanda penunjuk tempat kamar kecil. Di sana-di belakang para akrobat itu."
Ia berpaling pada laki-laki dan wanita yang duduk di meja sebelah.
"Kami hendak ke kamar kecil sebentar," katanya. "Saya ingin minta tolong sedikit-menjagakan kamera-kamera kami sementara kami pergi."
"O ya, bisa saja, Nak," kata yang laki-laki sambil tersenyum lebar. "Jangan khawatir, takkan ada yang bisa mencurinya."
"Terima kasih." Jupiter cepat-cepat berdiri, tanpa memberi kesempatan pada Bob maupun Pete untuk mengatakan sesuatu lalu bergegas ke arah kamar kecil. Kedua temannya cepat-cepat menyusul.
"Ada apa, Jupe"" bisik Pete setelah berhasil menyusul Jupiter. "Kenapa kita pergi tanpa kamera-kamera itu"" "Ssst!" desis Jupiter. "Aku mendapat akal. Sekarang ikut saja dulu!"
Mereka lewat dekat gadis penjual balon. Tanpa memperlambat langkah, Jupiter berbisik pada gadis itu, "Coba perhatikan laki-laki dan wanita itu. Jika mereka menyentuh kamera-kamera kami, tolong beritahukan pada kami nanti. Sebentar lagi kami kembali lagi."
Sementara gadis itu menganggukkan kepala dengan gerakan tak kentara, ketiga anggota Trio Detektif terus berjalan dengan santai. Sikap mereka seperti wisatawan biasa.
Kamar kecil yang dituju merupakan sebuah bangunan dari batu alam yang letaknya agak tersembunyi di tengah kerumunan pepohonan. Ketika Jupiter dan kedua temannya masuk, tempat itu kebetulan sedang kosong. Pete rupanya sudah tidak bisa lagi menahan diri.
"Kau mendapat akal apa, Jupe"" desaknya.
"Laki-laki dan perempuan tadi," kata Jupiter sambil membuka kran, "mungkin mereka akan bercakap-cakap sementara kita tidak ada di sana. Siapa tahu-mungkin akan ada kalimat yang terlepas."
"Tapi apa gunanya bagi kita" Kita kan tidak ada di sana," kata Bob yang ikut mencuci tangan di bawah kran.
"Tadi aku sempat menghidupkan alat perekam dalam kameraku," kata Jupiter menjelaskan. "Alat itu peka sekali. Kata-kata mereka pasti terekam. Sekarang kita jangan bicara lagi. Siapa tahu, mungkin ada orang lain ikut mendengarkan."
Ketiga remaja itu mencuci tangan tanpa berbicara lagi. Kemudian kembali tanpa buru-buru ke meja mereka. Gadis penjual balon menggelengkan kepalanya sekali ketika mereka lewat di depannya. Rupanya tidak terjadi apa-apa selama ketiga remaja itu pergi. Kamera-kamera mereka masih tetap ada di atas meja, sedang suami istri yang mengaku dari California nampak sedang minum kopi.
"Tidak ada orang yang menyentuh kamera-kamera kalian," kata yang laki-laki dengan ramah. "Orang-orang sini ternyata sangat jujur.
Tadi pelayan datang untuk mengantarkan pesanan kalian. Kami katakan padanya bahwa kalian pergi sebentar. Nah-itu dia datang lagi."
Pelayan yang tadi datang membawa baki, lalu meletakkan roti sandwich, minuman coklat panas, serta eskrim ke meja. Ketiga remaja itu makan dengan lahap. Hanya itu saja makan siang mereka hari itu. Beberapa menit kemudian laki-laki dan wanita yang duduk di meja sebelah berdiri. Keduanya pergi setelah mengucapkan selamat berpisah pada Jupiter serta kedua temannya.
"Jika mereka tadi berniat untuk berbicara dengan kita, rupanya niat itu dibatalkan," kata Pete.
"Aku tadi mengharapkan akan terjadi percakapan antara mereka berdua," kata Jupiter. Ia menyentuh sebuah kenop yang sangat kecil pada kameranya. Pita rekaman diputar balik. Kini ia menyentuh kenop lain. Mula-mula hanya terdengar bunyi desis pelan. Tapi sesaat kemudian ada suara orang berbicara. Suara laki-laki yang tadi.
"Berhasil!" seru Bob sambil melonjak gembira. "Tepat seperti kaurencanakan, Jupe."
Jupiter mendesis menyuruh Bob diam.
"Kita dengar saja dulu percakapan mereka," katanya. "Tapi jangan memandang ke kamera. Terus saja makan!" Kenop pengatur kekerasan suara disetelnya sehingga suara-suara yang terekam tidak bisa didengar dari meja sebelah.
Percakapan inilah yang didengar Jupiter, Bob, dan Pete lewat rekaman itu.
Suara laki-laki: "Kurasa Freddie terlalu lekas curiga. Kita disuruhnya membuntuti tanpa alasan. Aku berani bertaruh, ketiga remaja itu pasti bukan penyelidik."
Suara wanita: "Freddie jarang keliru. Menurut dia, ketiga remaja itu sangat pintar. Ia sudah melakukan pengecekan terhadap mereka. Mereka menamakan diri 'Trio Detektif."
Laki-laki: "Ahh-itu kan cuma keisengan anak-anak yang biasa! Aku tak percaya mereka pernah berhasil menyelidiki sesuatu-kecuali secara kebetulan! Anak yang gendut itu-melihat tampangnya saja aku langsung tahu bahwa ia goblok."
Dengan susah-payah Pete dan Bob menahan diri agar tidak tertawa mendengar kata-kata yang terakhir. Jupiter tadi memang sengaja membuat air mukanya kelihatan tolol. Tapi walau begitu ia tetap saja tidak senang mendengar dirinya dikatakan goblok.
Percakapan yang terekam masih berlanjut.
Wanita: "Walau begitu Freddie berpesan agar kita terus membuntuti mereka, untuk melihat apakah mereka menghubungi seseorang. Menurut dugaannya, mereka bertiga itu bekerja sama dengan Dinas Rahasia Amerika."
Laki-laki: "Mereka itu tahu apa sih" Dari tadi cuma berkeliaran saja, seperti anak-anak biasa. Biar orang lain saja membuntuti mereka."
Wanita: "Apakah tidak lebih baik kau berbicara saja dengan mereka untuk berusaha membujuk Pangeran agar mau menyetujui rencana Adipati Stefan""
Laki-laki: "Jangan-kurasa itu bukan ide yang baik. Menurutku, satu-satunya kemungkinan adalah seperti yang sudah direncanakan oleh Freddie. Pangeran diusir, lalu Adipati Stefan dikukuhkan menjadi wali yang tetap. Dengan begitu sindikat kita dan Roberto-lah yang sebenarnya menguasai negara ini, karena Stefan kan orang kita."
Wanita: "Ssst-pelankan sedikit suaramu. Jangan sampai ada orang lain ikut mendengar."
Laki-laki: "Meja-meja sekitar kita kan kosong. Tapi sungguh, Mabel-rencana kita yang sekarang ini benar-benar sempurna. Begitu kita mengambil alih dengan Adipati Stefan sebagai boneka, kita bisa berbuat semau kita. Sudah pernahkah kaubayangkan apa saja yang bisa dilakukan, jika suatu negara berada dalam kekuasaan kita""
Wanita: "Perjudian, katamu waktu itu. Varania akan kita jadikan surga bagi para penjudi, yang jauh lebih besar daripada Monte Carlo."
Laki-laki: "Betul! Di samping itu masih ada pula bisnis perbankan. Kita tawarkan peluang menyimpan uang dengan rahasia terjamin pada orang-orang di Amerika Serikat yang ingin menyembunyikan kekayaan mereka. Tapi itu baru permulaan saja. Semua perjanjian ekstradisi yang pernah ditandatangani, kita batalkan lagi. Itu berarti para penjahat dari negara-negara lain bisa bersembunyi di sini dengan aman, karena negara-negara di mana mereka melakukan kejahatan tidak bisa menuntut agar penjahat-penjahat itu diusir dari sini. Siapa pun juga yang dicari oleh pihak hukum di ma
na saja akan bisa aman di sini-selama ia mau dan sanggup membayar uang perlindungan yang akan kita tentukan nanti. Varania akan menjadi surga bagi kaum penjahat yang dicari-cari polisi."
Wanita: "Tapi bagaimana jika Adipati Stefan tidak setuju dengan rencana kita""
Laki-laki: "Ia harus mau, jika ingin tetap berkuasa. Ia kan tidak bisa apa-apa lagi sekarang. Ia benar-benar ada dalam tangan kita! Sungguh-Varania ini seperti buah per yang ranum-tinggal kita petik saja!" Wanita: "Ssst! Itu-mereka kembali."
Tidak terdengar apa-apa lagi dari alat perekam. Jupiter mematikannya, sambil pura-pura memeriksa kameranya. "Astaga!" kata Pete mengomentari. "Ternyata memang separah dugaan Bert Young. Bahkan lebih gawat lagi- mereka berniat mengubah seluruh negeri ini menjadi surga bagi kaum penjahat!" "Bert Young harus segera kita beritahu!" kata Bob.
"Pendapatku juga begitu," kata Jupiter sambil mengerutkan kening. "Aku sebenarnya ingin memperdengarkan seluruh rekaman ini padanya. Tapi itu terlalu makan waktu-siapa tahu, nanti malah ketahuan orang. Kita sampaikan saja ringkasan pembicaraan tadi padanya."
Sambil berkata begitu ia mengangkat kameranya, pura-pura hendak menukar film. Tapi dengan sembunyi-sembunyi ditekannya tuas yang menghidupkan pemancar. Setelah itu ia mulai berbicara dengan suara lirih.
"Satu melapor," katanya ke arah kamera. "Anda meng-copy""
"Jelas sekali," terdengar suara Bert Young menjawab. "Bagaimana-ada perkembangan baru""
Secara ringkas Jupiter melaporkan inti percakapan laki-laki dan wanita yang berhasil direkam olehnya.
"Wah-gawat!" kata Bert Young mengomentari ketika Jupiter selesai melaporkan. "Berdasarkan keteranganmu mengenai ciri-ciri mereka, laki-laki dan wanita itu kurasa pasti Max Grogan, seorang oknum perjudian dari Nevada, beserta istrinya. Mereka itu anggota suatu sindikat kriminal yang besar di negara kita. Sedang Freddie dan Roberto yang mereka sebutkan itu pasti Freddie 'Fingers' McGraw dan Roberto Roulette-kedua-duanya oknum penjudi kelas kakap. Rupanya yang kita hadapi jauh lebih besar dari dugaan kami semula-karena merupakan rencana penjahat untuk menguasai negara Varania."
Suara Bert Young terhenti sebentar. Rupanya ia benar-benar kaget mendengar kabar itu. Kemudian ia berbicara lagi.
"Begitu ada kesempatan, Pangeran Djaro harus diberi tahu! Lalu besok pagi kalian datang ke Kedutaan Besar Amerika. Kemungkinannya istana sudah tidak aman lagi bagi kalian. Kita akan berusaha membantu Djaro kalau ia mau. Tapi kita harus menunggu sampai ada permintaan dari pihaknya. Kalian sampai saat ini sudah bekerja dengan baik sekali-jauh lebih baik dari dugaan kami semula. Tapi mulai saat ini kalian harus berjaga-jaga!"
Bab 6 PENEMUAN YANG TAK TERDUGA
Waktu yang masih tersisa siang itu diisi oleh Trio Detektif dengan melancong. Mereka melihat-lihat beberapa toko yang penampilannya kuno, serta sebuah museum yang menarik. Setelah itu mereka pesiar di sungai, naik sebuah kapal uap berukuran kecil.
Menurut Rudi yang terus mengantar ke mana-mana, mereka masih saja dibuntuti. Tapi kini oleh orang-orang dari Dinas Rahasia Varania, yang merupakan kaki tangan Adipati Stefan.
"Barangkali mereka ditugaskan menjaga keselamatan kalian," kata Rudi, "tapi aku menyangsikan kemungkinan itu. Mereka menaruh minat pada kalian. Aku ingin tahu kenapa!"
Anak-anak juga ingin tahu. Mereka agak penasaran, karena sama sekali tidak bisa menduga kenapa ada orang menaruh minat pada mereka. Mereka kan belum berbuat apa-apa. Dan yang jelas, sampai saat itu mereka belum bisa membantu Pangeran Djaro.
Beberapa kali mobil mereka melewati kelompok-kelompok kecil yang sedang bermain musik di sudut-sudut jalan.
"Mereka pengamen," kata Rudi menjelaskan. "Semuanya keturunan keluarga yang dulu melindungi Pangeran Paul. Aku pun keturunan keluarga itu-walau ayahku dulu perdana menteri, sebelum dipecat Adipati Stefan. Golongan kami merupakan rakyat yang paling setia pada Pangeran Djaro, karena berdasarkan keputusan Pangeran Paul, kami tidak usah membayar pajak sama sekali. Kami telah membentuk suatu kelompok rahasia yang menentang Adipati Stefan. Kam
i menamakan diri kami Partai Pengamen atau Pengamen saja secara singkat. Rakyat Varania tidak menyukai Adipati Stefan."
Rudi memperlambat jalan mobil setiap kali melewati kelompok pengamen. Kemudian menekan pedal gas lagi, setelah salah seorang di antara para pemusik itu memberi isyarat dengan anggukan kepala yang tidak kentara.
"Bukan mereka saja yang bisa melakukan permainan ini," gumamnya. "Kami mengawasi mereka yang memata-matai kalian. Kami akan selalu menjaga keselamatan kalian. Di istana pun ada orang-orang kami-bahkan sampai dalam barisan Pengawal Kepangeranan pun ada! Banyak yang kami ketahui. Tapi kami belum berhasil mengetahui apa sebabnya kalian jadi begitu penting sekarang bagi mereka. Menurut dugaanku, pasti saat ini sedang ada semacam rencana rahasia-dan rencana rencana Adipati Stefan umumnya busuk."
Perjalanan pesiar dilanjutkan. Setelah beberapa waktu, mereka sudah melupakan kenyataan bahwa mereka dimata-matai. Ketiga remaja itu naik komidi putar di taman hiburan, lalu makan malam di sebuah restoran terbuka yang khusus menghidangkan santapan ikan yang berasal dari Sungai Denzo.
Akhirnya mereka kembali ke istana. Mereka merasa capek, tapi puas.
Kepala rumah tangga istana, seorang laki-laki berperawakan pendek gemuk datang menyongsong sambil bergegas-gegas.
"Selamat malam, Tuan-tuan muda," katanya. "Pangeran Djaro menyampaikan penyesalannya karena malam ini tidak bisa menemui Tuan-tuan. Tapi ia mengundang sarapan bersama lagi besok pagi. Tuan-tuan saya antarkan sekarang ke kamar Tuan-tuan, karena saya khawatir Tuan-tuan kalau sendiri takkan bisa menemukannya."
Petugas istana itu mendului berjalan ke kamar mereka melalui tangga dan gang yang banyak sekali, melewati pelayan demi pelayan. Begitu ketiga remaja yang diantar masuk ke kamar mereka, petugas itu bergegas-gegas pergi lagi, seakan-akan ada urusan penting yang perlu diselesaikan dengan segera.
Pintu kamar yang kokoh ditutup anak-anak, lalu mereka memandang berkeliling. Kamar mereka nampak rapi, termasuk tempat tidur. Tapi koper-koper masih tetap berada di tempat semula. Bob melihat bahwa sarang labah-labah besar masih ada di pojok ruangan, dekat bagian kepala tempat tidur. Seekor labah-labah besar berwarna hitam dengan bintik-bintik emas cepat-cepat lari ketika anak-anak masuk. Binatang itu bersembunyi dalam celah sempit antara lantai dan papan kaki dinding.
Bob tertawa nyengir. Saat itu ia sudah bisa menerima kenyataan bahwa labah-labah seakan dianggap keramat di Varania.
"Kurasa sebaiknya kita mengadakan hubungan lagi dengan Mr. Young-walau tidak ada perkembangan baru yang perlu dilaporkan," kata Jupiter. "Siapa tahu, mungkin ada pengarahan yang hendak disampaikannya untuk kita. Pete, coba kaukunci pintu dulu-untuk berjaga-jaga."
Sementara Pete mengunci pintu, Jupiter menghidupkan walkie-talkie.
"Satu melapor," katanya dengan suara pelan. "Anda meng-copy""
"Jelas sekali," terdengar suara Bert Young menjawab. "Ada perkembangan baru lagi""
"Tidak ada yang istimewa," kata Jupiter. "Kami tadi pesiar. Tapi sepanjang hari kami dibuntuti Dinas Rahasia Adipati Stefan."
"Ia merasa gelisah karena kalian," kata Bert Young dengan nada merenung. "Kalian sudah berbicara dengan Djaro tentang soal itu tadi" Bagaimana reaksinya""
"Kami belum berjumpa lagi dengan dia. Menurut kepala rumah tangga istana tadi, baru besok pagi ia sempat."
"Hmm." Sesaat tidak terdengar apa-apa. Rupanya Bert Young sedang berpikir sejenak. "Mungkin mereka dengan sengaja berusaha menjauhkan dia dari kalian. Tapi kalian besok pagi harus berusaha sedapat-dapatnya untuk bertemu dengan Djaro, untuk menyampaikan kabar itu. Sekarang keluarkan pita rekaman yang tadi dari kameramu lalu kaukantungi. Kaubawa besok pagi ke kedutaan kita lalu serahkan padaku. Dari istana kau berangkat seolah-olah hendak pesiar lagi. Kemudian minta pada supir untuk mengantarmu kemari. Mulai saat ini perkembangan akan bertambah hangat. Mengerti""
"Ya, Sir, "jawab Jupiter.
"Saat ini kami sedang mencari-cari jalan untuk membantu Pangeran Djaro. Pengawasan Adipati Stefan terhadap radio, media surat kabar, dan televisi ketat
sekali. Jadi rakyat tidak bisa dicapai melalui sarana itu. Tapi kami pasti bisa menemukan salah satu jalan. Mulai besok, kalian dibebaskan dari tugas."
"Baik, Sir, " kata Jupiter sependapat. "Over and out. "
Ia mematikan walkie-talkie. Dibukanya dasar kamera lalu diambilnya segulungan pita perekam suara yang kecil sekali dari situ.
"Ini, Pete-kau saja yang mengantunginya," katanya. "Jangan sampai diambil orang." "Beres!" kata Pete sambil memasukkan pita itu ke kantung jasnya sebelah dalam.
Sementara Jupiter sedang mengadakan hubungan dengan Bert Young, Bob sibuk mengacak-acak laci lemari pakaian yang besar. Ia tadi hendak mengambil sapu tangan. Saat menarik selembar ke luar, ia mendengar bunyi pelan seperti logam terantuk pada sesuatu. Ia ingin melihat benda apa yang menimbulkan bunyi itu, lalu merogoh ke bawah tumpukan sapu tangan. Jari-jarinya menyentuh sesuatu yang terasa dingin seperti logam. Diambilnya benda itu. Ia menatapnya sesaat, lalu berteriak.
"Jupe! Pete! Lihat!"
Kedua temannya cepat-cepat menoleh ke arahnya. "Cepat-lepaskan!" seru Pete ngeri. "Itu labah-labah!"
"Labah-labah Pangeran Paul," kata Jupiter tenang. "Tidak berbahaya! Taruh saja ke lantai, Bob!" "Kalian tidak mengerti!" kata Bob bergairah. "Ini bukan labah-labah biasa, tapi yang itu!" "Labah-labah yang itu"" kata Pete dengan nada bingung. "Apa maksudmu""
"Labah-labah Perak lambang Varania," kata Bob menjelaskan, "yang hilang dari ruang penyimpanan perhiasan istana. Pasti ini Labah-labah itu. Bikinannya begitu sempurna, sehingga nampak seperti labah-labah hidup. Tapi bukan karena terbuat dari logam. Mirip yang kita lihat waktu itu, tapi lebih indah buatannya."
Jupiter datang menghampiri, lalu menyentuh Labah-labah permata itu.
"Kau benar," katanya, "ini memang karya agung. Pasti inilah Labah-labah Perak yang asli. Di mana kau menemukannya tadi""
"Di bawah tumpukan sapu tanganku. Rupanya ada yang sengaja menyembunyikannya di situ, karena tadi pagi belum ada. Aku tahu pasti."
Kening Jupiter berkerut, tanda bahwa ia sedang memeras otak.
"Dengan tujuan apa Labah-labah Perak ini disembunyikan dalam kamar yang kita tempati"" gumamnya setengah pada diri sendiri. "Aneh! Atau-memang sengaja dilakukan dengan tujuan untuk kemudian menuduh kita sebagai pencurinya. Kalau itu alasannya-"
"Kalau begitu bagaimana kita, Jupe"" tanya Pete cemas. "Ketahuan Labah-labah ini ada pada kita saja sudah bisa dijatuhi hukuman mati!"
"Kurasa-" Tapi Jupiter tidak sempat lagi menyatakan pikirannya, karena saat itu juga terdengar derap langkah mantap dalam gang di luar kamar. Pintu digedor dengan keras. Pegangan nampak bergerak-gerak. Tapi pintu tadi sudah dikunci dari dalam oleh Pete.
"Atas nama Wali Negara-buka pintu!" seru seseorang dengan nada membentak. "Demi hukum-buka pintu!"
Anak-anak hanya sekejap saja terpaku di tempat masing-masing. Detik berikutnya, Jupiter dan Pete cepat-cepat berlari ke pintu lalu menarik gerendel besi yang besar. Pintu terkunci semakin kokoh. Bob masih tetap berdiri dengan Labah-labah Perak di tangan. Ia bingung-hendak dikemanakan benda pusaka itu.
Bab 7 LARI! Pintu digedor-gedor lagi dari luar.
"Buka pintu, atas nama Wali Negara! Jangan membangkang terhadap penegak hukum!" seru orang tadi sekali lagi.
Pete dan Jupiter menyandarkan punggung mereka ke daun pintu, seolah-olah berat tubuh mereka bisa membantu pintu tetap tertutup. Sedang Bob masih saja menatap Labah-labah Perak yang berlapis glasir hitam indah di tangannya dengan pandangan nanar. Pikirannya kacau. Benda itu harus cepat-cepat disembunyikan! Tapi di mana"
Ia lari kian kemari, gugup mencari-cari tempat penyembunyian tanpa hasil. Di bawah permadani" Jangan! Bagaimana kalau di bawah kasur" Sama saja! Kalau begitu di mana" Di mana tempat yang aman"
Bunyi gedoran di pintu semakin bertubi-tubi. Para pengawal rupanya hendak mendobraknya. Setelah itu keadaan menjadi semakin membingungkan. Tirai-tirai jendela tersingkap dengan tiba-tiba. Dengan cepat Pete dan Jupiter bersiap menghadapi serangan dari arah itu, sementara seorang pemuda melangkah masuk.
"Ini aku-Rudi!" desis orang yang baru da
tang itu. "Aku bersama adikku, Elena."
Elena muncul dari balik tirai, berpakaian seperti pria.
"Cepat-kalian harus lari dari sini!" desak gadis itu. "Mereka hendak menangkap kalian dengan tuduhan melakukan kejahatan berat terhadap negara!"
Pukulan berirama terdengar menghantam daun pintu. Bunyinya seperti ada yang memakai kapak. Tapi daun pintu terbuat dari kayu keras yang tebalnya hampir sepuluh senti, jadi masih bisa tahan selama beberapa menit lagi.
Suasana saat itu seperti adegan dalam film saja. Segala-galanya berjalan begitu cepat sehingga ketiga remaja itu tidak mungkin bisa bereaksi dengan tenang. Satu-satunya yang terpikir saat itu ialah bahwa mereka harus cepat-cepat pergi dari situ!
"Ayo Pete!" seru Jupiter. "Bob, bawa Labah-labah itu!"
Bob masih nampak tertegun sesaat. Kemudian lari menyusul yang lain lain, sementara Elena sudah lebih dulu menuju ke balkon.
Mereka berkerumun dalam kegelapan yang sejuk di situ, sementara di bawah nampak cahaya lampu-lampu di kota. "Dari balkon ini ada langkan sepanjang dinding sampai ke sisi belakang istana," kata Elena. "Ukurannya cukup lebar. Jadi tidak mungkin jatuh, asal kalian tetap tenang. Aku yang di depan."
Gadis itu melangkahi sandaran balkon, lalu berdiri di langkan yang terbuat dari batu. Jupiter agak ragu sejenak. "Kameraku!" katanya. "Aku lupa membawanya!"
"Tidak ada waktu lagi!" kata Rudi dengan nada mendesak. "Pintu itu masih tahan dua tiga menit saja lagi. Kita tidak boleh membuang waktu satu detik pun!"
Jupiter merasa tidak enak karena harus meninggalkan kameranya yang sekaligus juga merupakan pesawat walkie-talkie. Tapi apa boleh buat! Ia menyusul Pete. Mereka beringsut-ingsut dengan muka dan tubuh dirapatkan ke dinding batu yang kasar, mengikuti Elena yang berjalan dengan langkah cepat dan pasti.
Tidak ada waktu bagi mereka saat itu untuk merasa takut. Di belakang mereka terdengar bunyi gedoran bertubi-tubi pada daun pintu yang rupanya belum juga bisa didobrak. Ketika mereka sampai di pojok bangunan, sesaat Bob terhuyung. Pegangannya terlepas disentakkan angin malam yang menghembus agak kencang. Sungai Denzo yang deras dan gelap menunggu jauh di bawah. Tapi dengan cepat Rudi mencengkeram bahu anak itu. Bob berhasil memulihkan keseimbangannya, lalu mulai beringsut-ingsut maju lagi.
"Cepat sedikit!" desis Rudi dekat telinganya.
Sepasang merpati yang tidur di langkan merasa terganggu oleh kemunculan mereka. Burung-burung itu terbang menggelepar di sekitar kepala. Bob sudah hendak menunduk supaya jangan terbentur merpati. Tapi untung masih bisa menahan diri. Coba kalau tidak-pasti ia langsung jatuh! Ia menyusul teman-temannya yang sementara itu sudah sampai di sebuah balkon setelah melangkahi sandarannya. Di tempat itu mereka berhenti sebentar.
"Sekarang kita harus memanjat!" bisik Elena. "Mudah-mudahan kalian trampil memanjat, karena itu satu-satunya jalan bagi kita. Ini talinya. Sudah diberi simpul-simpul untuk memudahkan panjatan. Masih ada satu tali lagi yang tergantung ke balkon sebelah bawah. Tapi itu untuk memperdayai mereka, supaya mengira kita lari lewat situ."
Elena mulai memanjat tali yang terulur dari atas. Pete menyusulnya dengan gerakan tangkas. Jupiter tidak mampu secepat itu. Ia memanjat dengan napas mendengus-dengus. Bob menunggu sampai Jupiter sudah agak tinggi memanjat. Kemudian baru menyusul.
Sementara itu dengan berani Rudi kembali sebentar ke sudut bangunan untuk mengintip ke arah balkon yang mereka tinggalkan.
"Mereka masih belum berhasil mendobrak pintu," serunya lirih. "Tapi kita harus cepat-cepat pergi dari sini!" "Apa katamu"" Bob berhenti memanjat ketika mendengar suara Rudi. Ia menoleh ke bawah.
Malang baginya-pegangannya mengendur sedikit. Simpul tali yang digenggam terlepas dan ia pun langsung jatuh. Ia menubruk Rudi yang ada di bawahnya. Keduanya terguling ke lantai. Kepala Bob membentur batu. Matanya berkunang-kunang.
"Bob!" Rudi membungkuk mendekatinya. "Bob! Kau cedera""
Bob mengejap-ngejapkan mata. Penglihatannya yang semula berkunang-kunang menjadi normal kembali. Dilihatnya wajah Rudi dekat sekali ke mukanya. Baru saat itu d
isadarinya bahwa ia terkapar di lantai balkon. Kepalanya terasa nyeri.
"Bagaimana, Bob"" tanya Rudi sekali lagi dengan cemas.
"Kepalaku terasa nyeri," jawab Bob, "tapi kelihatannya aku tidak apa-apa." Dengan gerakan pelan ia duduk lalu memandang berkeliling. Ia berada di sebuah balkon. Di sisinya nampak dinding istana yang gelap dan menjulang tinggi ke atas. Sungai Denzo ada di bawah, sedang di kejauhan nampak cahaya lampu-lampu di kota.
"Kenapa aku ada di sini"" tanya Bob pada Rudi. "Tadi aku melihatmu masuk lewat jendela sambil berteriak menyuruh kami keluar-sekarang tahu-tahu aku duduk di balkon, sedang kepalaku benjol. Apa sebetulnya yang terjadi""
"Semoga Pangeran Paul melindungi kita," keluh Rudi. "Kau tadi jatuh dan sekarang rupanya ingatanmu agak terganggu. Tapi kita tidak punya waktu untuk berbicara lagi saat ini. Masih mampukah kau memanjat" Ini-memanjat tali ini! Bisa atau tidak""
Rudi menyodorkan tali ke tangan Bob. Bob memegang tali itu. Ia merasa belum pernah melihatnya. Tubuhnya terasa lunglai. Kepalanya pusing.
"Aku tidak tahu-tapi bisa saja kucoba," katanya.
"Lebih baik jangan kalau begitu." Rudi mengambil keputusan cepat. "Kita tarik kau ke atas. Sekarang jangan bergerak. Kukalungkan tali ini ke dadamu, di bawah ketiak."
"Nah!" katanya setelah tali selesai diikatkan ke dada Bob. "Sekarang aku memanjat ke atas. Setelah itu kau kami tarik. Permukaan dinding ini kasar dan banyak celahnya. Mungkin kau bisa membantu dengan jalan menumpukan kaki dan tangan. Tapi kalau tidak, lemaskan saja tubuhmu. Jangan khawatir, kau takkan kami lepaskan." Rudi menengadah, lalu berseru ke atas, "Aku naik sekarang! Ada sesuatu yang terjadi di bawah sini!"
Dengan gerakan sigap pemuda itu memanjat tali ke atas, sementara Bob masih tetap berdiri di balkon. Anak itu meraba-raba belakang kepalanya yang benjol, sambil berpikir-pikir kenapa ia tahu-tahu ada di situ. Mestinya ia bersama Jupe dan Pete mengikuti Rudi. Tapi kejadiannya sendiri tidak diingat olehnya. Ingatannya yang terakhir ialah melihat Rudi masuk lewat jendela, sementara orang-orang di luar berusaha mendobrak pintu dengan kapak.
Sementara itu Rudi sudah sampai di ujung tali sebelah atas. Ia memasuki sebuah jendela, di mana yang lain-lain menunggu dengan perasaan gelisah.
"Bob tadi terjatuh," katanya menjelaskan. "Kita harus menariknya ke atas, karena saat ini ia masih lemas. Kita pasti cukup kuat karena berempat. Ayo-kita tarik bersama-sama!"
Tali yang masih kendur dikencangkan dulu. Kemudian mereka mulai mengerahkan tenaga, menarik Bob ke atas. Simpul-simpul pada tali ternyata malah mengganggu sekarang, karena setiap kali harus diangkat sedikit agar bisa melewati ambang jendela. Tapi tubuh Bob tidak terlalu berat. Beberapa saat kemudian kepala dan bahunya sudah kelihatan di luar jendela. Ia menggapaikan tangan untuk mencari pegangan lalu menjunjung tubuhnya ke dalam. Kemudian dilepaskannya tali yang mengikat dada.
"Aku sampai juga akhirnya," katanya lega. "Aku tidak apa-apa. Kepalaku memang masih terasa agak sakit, tapi aku bisa berjalan sendiri. Cuma aku tidak ingat lagi kenapa tahu-tahu sudah ada di balkon sebelah bawah itu."
"Itu jangan kaupikirkan sekarang," kata Elena. "Pokoknya kau sudah tidak pusing lagi."
"Aku tidak apa-apa," kata Bob mengulangi.
Mereka berada dalam sebuah kamar tidur. Tapi kamar itu lembab dan berdebu. Di dalamnya tidak ada perabot sama sekali. Rudi dan Elena berjingkat-jingkat ke pintu, membukanya sedikit lalu mengintip ke luar.
"Kelihatannya aman," kata Rudi pada Bob, Pete, dan Jupe. "Sekarang kita harus mencarikan tempat persembunyian bagi kalian. Bagaimana pendapatmu, Elena" Kita bawa mereka ke bawah, ke gudang dalam tanah""
"Ke sel bawah tanah, maksudmu!" kata Elena. "Jangan! Tali yang kita biarkan terjulur ke bawah dari balkon tadi pasti akan menyebabkan para penjaga memeriksa istana bagian sebelah bawah, karena menyangka mereka ini pasti mencoba lari lewat sana. Lihatlah!"
Elena menunjuk ke bawah. Nampak cahaya bergerak-gerak di sebagian kecil halaman istana yang bisa dilihat dari atas.
"Halaman sudah dijaga ketat," kata Elena. "Maksu
dku membawa mereka ini ke atas, naik ke atap. Kemudian- mungkin besok malam-kita berusaha menyelundupkan mereka ke ruangan bawah tanah, dan dari situ lewat terowongan air limbah ke kota. Dengan begitu mereka akan bisa menuju ke gedung Kedutaan Besar Amerika dan meminta perlindungan di sana."
"Setuju," kata Rudi. Ia berpaling pada Bob, Pete, dan Jupiter. "Kita naik ke atas," katanya. "Bagian istana ini tidak dipakai. Para penjaga takkan mencari kemari apabila kita bisa memperkuat sangkaan mereka bahwa kalian lari ke bawah." Ia merogoh kantung jas Jupiter, mengambil sapu tangan putih yang terlipat di situ. Sapu tangan itu dihiasi dengan huruf-huruf 'J.J.' yang disulam.
"Nanti sapu tangan ini sengaja kami cecerkan, supaya para penjaga salah sangka," kata Rudi menjelaskan. "Sekarang ikut aku. Elena, kau paling belakang, untuk menjaga segala kemungkinan."
Tali yang dipakai untuk memanjat tadi dilibatkan oleh Rudi ke pinggangnya. Kemudian ia mendului ke luar, masuk ke dalam gang. Dengan cepat tapi tanpa menimbulkan bunyi kelima remaja itu bergerak menyusur gang yang gelap. Kemudian naik tangga ke sebuah gang lain yang letaknya setingkat lebih tinggi. Gang itu gelap-gulita.
Rudi menyalakan senter yang sengaja dibawa. Dengan bantuan cahayanya ia menemukan sebuah pintu yang hampir-hampir tidak nampak di tengah dinding gelap. Anak-anak kaget ketika pintu itu dibuka, karena engselnya berdecit. Mereka menahan napas sejenak. Tapi kekhawatiran mereka tidak beralasan. Ternyata di bagian istana sebelah atas memang sama sekali tidak ada orang yang bisa mendengar bunyi tadi.
Anak-anak menyelinap masuk lewat pintu yang terbuka, lalu mendaki tangga batu yang sangat sempit menuju ke atas. Mereka sampai di sebuah pintu lagi. Setelah dibuka, ternyata mereka tiba di bagian atap istana. Tempat itu lapang. Di atas kepala nampak bintang-bintang kemerlip di langit Bagian atap itu dikelilingi tembok batu yang bercelah-celah pada jarak-jarak tertentu.
"Celah-celah itu dulu gunanya sebagai tempat bagi para pemanah, atau untuk menuangkan minyak mendidih menyirami penyerang yang hendak menyerbu naik," kata Rudi menjelaskan sambil menuding celah-celah itu. "Tapi sudah sejak lama negara kami tidak pernah diserang musuh. Jadi atap istana ini sudah tidak dipakai lagi sebagai tempat pengintaian. Tapi di masing-masing sudut masih ada tempat-tempat penjaga. Itu-di sana."
Ia berjalan melintasi bagian yang terbuka menuju sebuah bangunan kecil dari batu yang terdapat di salah satu sudut, lalu membuka pintunya yang terbuat dari kayu. Agak sukar juga melakukannya-rupanya karena sudah lama tidak dipergunakan. Diterangi cahaya senter yang dipegang Rudi, nampak ruangan sempit berdebu dengan empat buah bangku terbuat dari kayu. Bangku-bangku itu lumayan lebarnya, bisa dijadikan tempat berbaring. Di dinding terdapat jendela-jendela sempit tanpa kaca.
"Dulu prajurit-prajurit bergiliran menjaga di rumah-rumah penjagaan ini," kata Rudi. "Tapi itu jaman dulu! Kalian aman di tempat ini sampai kami datang lagi untuk menjemput-mungkin besok malam."
Jupiter merebahkan diri ke salah satu bangku.
"Untung hawa saat ini tidak dingin," katanya. "Tapi apa sebetulnya yang menyebabkan terjadinya keributan ini""
"Ada rencana gelap untuk menangkap kalian dengan tuduhan mencuri Labah-labah Perak lambang Varania," kata Elena. "Lalu kejadian itu kemudian akan dijadikan alasan untuk memaksa Pangeran Djaro melepaskan haknya untuk dinobatkan menjadi penguasa. Cuma itu saja yang berhasil kami ketahui. Tentu saja penangkapan kalian berdasarkan tuduhan palsu-karena kalaupun kalian mau mencuri lambang kepangeranan itu, kalian takkan mungkin bisa berhasil!"
"Memang-kami memang tidak mungkin mencurinya," kata Jupiter lambat-lambat. "Tapi walau begitu, Labah-labah keramat itu ada pada kami sekarang. Tunjukkan barang itu pada mereka, Bob."
Bob merogoh kantungnya. Mencari-cari. Lalu pindah memeriksa kantung yang lain. Tampangnya nampak mulai panik. Tangannya sibuk bergerak, mencari-cari dalam semua kantung yang ada. Akhirnya sambil meneguk ludah ia berkata, "Wah-maaf, Jupe, barang itu tidak ada lagi. R
upanya tercecer tadi sewaktu sedang repot melarikan diri."
Bab 8 BOB TIDAK INGAT LAGI "Labah-labah Perak itu sudah ada padamu lalu kemudian hilang lagi"" Rudi menatap Bob dengan bingung. "Gawat," kata Elena. "Kenapa sampai bisa terjadi begitu""
Jupiter menjelaskan duduk perkaranya. Dituturkannya bahwa Djaro mengatakan Labah-labah keramat itu hilang, dan kemudian meminta bantuan Trio Detektif untuk menemukannya kembali. Diceritakan pula bahwa Djaro mengajak mereka ke ruang penyimpanan harta kepangeranan untuk menunjukkan Labah-labah imitasi yang ditaruh sebagai pengganti, lalu menyatakan kecurigaan bahwa Adipati Stefan yang mengambil yang asli dengan tujuan tertentu-yaitu mencegah Pangeran Djaro naik tahta. Kemudian giliran Bob menceritakan bagaimana ia menemukan Labah-labah Perak asli yang disembunyikan di bawah tumpukan sapu tangannya.
"Sekarang mulai kupahami rencana jahat itu," kata Rudi menggumam. "Adipati menyuruh agar Labah-labah Perak disembunyikan dalam kamar kalian. Kemudian ia mengirim orang-orangnya untuk menangkap kalian. Menurut rencananya, kalian akan ketahuan dengan Labah-labah itu di tempat kalian. Adipati Stefan akan menuduh bahwa kalian mencuri lambang kepangeranan itu, sedang Djaro karena kecerobohannya memberi peluang bagi kalian untuk melakukan pencurian itu. Nama baik Pangeran akan tercemar karenanya. Kalian bertiga diusir keluar dari Varania, sementara semua hubungan dengan Amerika Serikat diputuskan. Adipati Stefan akan tetap berkuasa sebagai wali negara. Kemudian dengan alasan yang dicari-cari, ia akan memperkuat kedudukannya sebagai penguasa tetap di negara ini."
Rudi merenung. "Sekarang pun ia masih bisa meneruskan rencana itu, walau Labah-labah yang asli benar-benar hilang. Ia akan tetap mendakwa kalian mencuri lalu menyembunyikannya, walau kami nanti berhasil membawa kalian dengan selamat ke gedung Kedutaan Amerika Serikat."
"Aku masih tetap belum mengerti," kata Pete sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Apa sebabnya Labah-labah Perak itu begitu penting artinya bagi kalian" Umpamanya saja benda itu musnah karena ada kebakaran atau karena sebab lain-kalau begitu lantas bagaimana""
"Seluruh negeri akan berkabung," kata Elena menyela. "Tapi kesalahan tidak akan ditimpakan pada Pangeran Djaro. Memang sukar sekali menjelaskan arti Labah-labah Perak Pangeran Paul bagi kami-orang Varania. Benda itu merupakan lambang segala-galanya yang sangat kami cintai: kebebasan, kemerdekaan, dan nasib baik kami."
"Mungkin saja kami ini terlalu percaya pada takhyul," kata Rudi menambahkan, "tapi ada legenda yang menjadi dasar kepercayaan kami itu. Menurut kisah lama, Pangeran Paul sewaktu dinobatkan bertitah, bahwa seperti halnya seekor labah-labah menyelamatkan jiwanya serta mendatangkan kemerdekaan bagi rakyatnya, maka kebebasan dan nasib baik akan selalu terjamin selama Labah-labah Perak berada dalam keadaan selamat. Bisa saja ia tidak benar-benar mengatakan begitu-tapi setiap orang Varania percaya bahwa begitulah yang pernah diucapkan oleh Pangeran Paul. Lenyapnya Labah-labah Perak akan merupakan bencana nasional. Memikulkan tanggung jawab pada Pangeran Djaro atas kejadian itu-biarpun tidak secara langsung-akan menyebabkan rakyat negara kami yang sekarang sangat mencintainya kemudian berbalik dan memperoleh kesan bahwa ia tidak layak menjadi pangeran."
"Tidak," sambungnya setelah agak lama termenung, "Adipati Stefan akan keluar sebagai pemenang, apabila kita tidak berhasil mengembalikan Labah-labah Perak yang hilang itu pada Pangeran Djaro."
"Wah-gawat!" kata Bob cemas. "Coba tolong aku mencarinya sekali lagi. Mungkin tadi aku kurang teliti."
Kini Pete dan Jupiter menggeledah kantung-kantung teman mereka itu. Bahkan lipatan celana pun ikut diperiksa. Tapi dalam hati mereka sudah tahu bahwa itu sia-sia belaka. Labah-labah Perak itu tidak mungkin masih ada pada Bob.
"Coba kauingat-ingat, Bob!" desak Jupiter. "Tadi kan masih ada di tanganmu. Kauapakan kemudian"" Bob berusaha mengingat sambil mengerutkan kening.
"Aku tidak tahu lagi," katanya. "Paling akhir yang kuingat adalah bunyi pintu digedor-gedor dari lua


Trio Detektif 08 Misteri Labah Labah Perak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

r, lalu Rudi masuk lewat jendela. Setelah itu segala-galanya lenyap dari ingatan, sampai tahu-tahu aku tergeletak di lantai balkon dan Rudi membungkuk memperhatikan diriku."
Sambil mencubiti bibir bawahnya, Jupiter menyebutkan suatu istilah dari bidang kedokteran.
"Jika seseorang mengalami benturan pada kepala, bisa saja terjadi bahwa orang itu melupakan hal-hal yang terjadi beberapa saat sebelum kejadian itu," katanya menjelaskan. "Kadang-kadang yang dilupakan segala hal yang berlangsung beberapa hari atau bahkan berminggu-minggu sebelumnya, tapi bisa juga hanya beberapa menit yang terakhir. Ingatan pada hal-hal yang dilupakan itu biasanya lambat-laun datang lagi-tapi tidak selalu begitu! Rupanya itulah yang terjadi dengan Bob. Ketika kepalanya tadi membentur lantai balkon, ingatannya pada peristiwa beberapa menit sebelumnya hilang."
"Kurasa memang itulah yang terjadi," desah Bob sambil meraba-raba kepalanya yang benjol. "Samar-samar kuingat lari kian kemari dalam kamar tadi, mencari tempat yang baik untuk menyembunyikan Labah-labah keramat itu. Tentu saja saat itu perasaanku sedang gugup sekali! Tapi aku masih ingat bahwa aku tidak jadi menyembunyikannya di bawah kasur, di bawah permadani, atau di belakang lemari-karena kalau di situ pasti akan ditemukan dengan cepat."
"Tindakan yang wajar pada saat begitu ialah memasukkannya ke dalam kantung ketika kau melihat aku tiba-tiba muncul," kata Rudi membantu Bob mengingat-ingat. "Mungkin kemudian terjatuh, ketika kau terpeleset dari tali dan terbanting ke balkon."
First Love Never Die 3 Rajawali Emas 21 Trisula Mata Empat Suramnya Bayang Bayang 15

Cari Blog Ini