Aku Sudah Dewasa And Baby Makes Two Karya Dyan Sheldon Bagian 1
Aku Sudah Dewasa! And Baby Makes Two Penulis: Dyan Sheldon Download Ebook Jar Lainnya Di
http://mobiku.tk http://inzomnia.wapka.mobi
DALAM banyak hal, tanggal 25 Oktober sama saja seperti hari-hari
lainnya, dan itu berarti, hari itu dimulai dengan pertengkaranku dengan ibuku,
dan berlanjut dari sana. Pertengkaranku dengan ibu dipicu tidak adanya susu untuk teh. Seperti
biasa, itu salahku. Tidak pernah salah Hillary. Hanya Tuhan yang tahu, siapa
yang dia jadikan bulan-bulanan pelampiasan kekesalannya dulu, waktu belum
ada aku, karena dia selalu saja menimpakan kesalahannya padaku. Gara-gara
pertengkaran itu, lagi-lagi aku terlambat masuk sekolah. Mr. Cox, guruku,
memberiku hukuman. Aku berusaha meminta keringanan darinya.
"Tapi hari ini hari ulang tahunku," aku beralasan. "Anda tidak bisa
memberiku hukuman pada hari ulang tahunku. Itu namanya fasisme."
"Tidak, itu tidak benar," tukas Mr. Cox. "Itu bukan fasisme, melainkan
frustrasi. Tapi kau bisa melaksanakan hukumanmu hari Senin." Dia
menyunggingkan senyum manisnya yang sok bersahabat. "Selamat ulang
tahun." Sesudah itu, aku dimarahi karena mengobrol saat pela-jaran geografi. Lalu ditegur karena mengobrol saat pela-jaran matematika. Lalu ditegur lagi karena tidak menger-jakan PR sejarah.
Kemudian ditegur lagi karena tidak mengerjakan PR bahasa Inggris. Dan
akhirnya, aku ditegur kepala sekolah karena membalas omongan guru geografiku. Semuanya
normal-normal saja. Meski begitu, aku tidak pernah membiarkan hal-hal kayak begitu terlalu
mengangguku. Maksudku, hidup kan memang begitu" Aku tahu bagaimana
kelakuan para peng-khotbah (guru dan orangtua) itu. Rasanya, aku tidak ingat
kapan aku pernah tidak membenci ibuku, kecuali mungkin waktu aku masih
sangat kecil dan tidak tahu apa-apa. Dan aku juga tidak terlalu suka
bersekolah. Jam yang paling kusukai di sekolah adalah jam makan siang. Aku
suka sekali makan siang. Saat itu aku bisa bersikap antusias, penuh
perhatian, mau berusaha, dan tidak pernah membentak wanita yang melayani
kami di kantin. Sean-dainya makan siang ada nilainya, aku pasti menduduki
ranking teratas di kelas. Tapi, standarku untuk mata pelajaran lain tidaklah
setinggi bila sedang makan siang. Di mata pelajaran lain, aku selalu menduduki
urutan paling bawah, kecuali bila disuruh menghadap kepala sekolah dan tidak
ikut dalam pelajaran itu. Tidak pernah ada yang bertanya padaku aku dapat
nilai berapa kecuali mereka merasa hasil yang mereka dapat jelek sekali dan
ingin tahu apakah ada orang lain yang nilainya lebih jelek daripada mereka.
Kalaupun hari-hari lain masalah itu membuatku merasa terganggu, hari ini
tidak. Bukan hanya karena hari ini hari ulang tahunku. Tapi karena hari ini aku
berulang tahun yang lima belas! Umurku bertambah satu tahun lagi.
Selama ini aku hanya ingin menjadi dewasa. Dengan
begitu, tidak ada lagi orang yang bisa seenaknya sendiri
memerintahku dan aku bisa melakukan apa pun juga sesuka hatiku. Tentu
saja, umur yang paling kutunggu-tunggu adalah enam belas tahun, saat
seseorang boleh melakukan perbuatan hukum tanpa perlu meminta izin orang
lain, tapi lima belas pun sudah hampir. Kedewasaan berkilauan di hadapanku
bagaikan sorot lampu mercusuar yang terang benderang, hanya tinggal dua
belas bulan lagi. Biasanya, aku pulang jalan kaki dari sekolah bersama sahabatku, Shanee.
Tapi, berhubung hari ini Shanee tidak ada dan ini hari ulang tahunku, juga
karena hari ini hujan turun, maka aku pun naik bus. Aku memilih kursi di pojpk
belakang, agar tidak terdesak tas belanjaan yang biasa dibawa ibu-ibu tua,
juga supaya terhindar dari pelototannya karena dia menginginkan kursiku.
Aku me-masang headphone dan memandang ke luar jendela. Tanpa
memedulikan pendapat para penumpang lain, sepanjang perjalanan aku
menyanyi menirukan lagu yang mengalun dari discman-ha. Bahagia banget
pokoknya. Mendengarkan lagu melalui discman sambil memandangi jalan-jalan yang
dilewati dari kaca jendela bus merupakan salah satu kegiatan yang paling
kusukai di waktu luang. Rasanya seperti menonton film. Tahu kan, bagian di
antara adegan s aat kamera memperlihatkan aktivitas orang-orang dengan
diiringi lagu. Terkadang, aku ada dalam film itu, tapi kali lain, aku hanya
menonton, mengkhayal-kan berbagai cerita tentang orang-orang yang kulihat.
Karena hari ini aku berulang tahun, aku ada dalam film itu.
Kamera menyorot wajahku saat sedang memerhatikan orang-orang yang
berbelanja bergegas lata menembus hu-jan. Discman-ku mengumandangkan lagu-lagunya Garbage. When I Grow Up
adalah lagu favoritku. Ada banyak sekali wanita dengan kereta bayi ditutupi plastik berdiri di
pinggir jalan. Mereka tampak seperti mendorong gelembung yang penuh berisi
bayi. Bus berhenti di depan McDonald's. Terlihat lebih banyak lagi wanita
dengan kereta bayi duduk-duduk di pinggir etalase restoran, mengobrol
sambil tertawa-tawa sementara anak-anak mereka mengunyah ken tang
goreng dan bermain dengan main an hadiah minggu ini.
Kamera menyoroti wajahku dari dekat saat aku meng-awasi mereka, dan
terus menyorotku saat aku memba-yangkan diriku duduk-duduk bersama para
wanita itu di McDonald's, dengan daftar belanjaan di saku baju, ber-canda
tentang suami masing-masing, tahu persis apa yang akan kulakukan selama
sisa hidupku. Saking asyiknya melamunkan kereta bayi seperti apa yang bakal kubeli
untuk calon anakku kelak, aku sampai lupa berhenti di halte tujuanku, hingga
terpaksa turun di halte berikutnya dan berjalan kaki pulang.
Seandainya aku benar-benar sedang main film, pastilah sesampainya aku di
flat, seluruh ruangan penuh balon dan semua orang yang kukenal menungguku
di sana, } mengenakan topi pesta dan bersembunyi di balik sofa untuk
mengejutkan aku. Tapi aku tidak sedang main film. " Paling tidak, bukan di
film yang ada adegan pestanya. Flatku kosong: tidak ada pesta dan balon. Aku
sudah I buka semua kado dan kartu yang kudapat, dan j u baru beberapa jam
lagi pulang dari kantor. Aku sih
tidak keberatan. Soalnya, yang dilakukan ibuku bila ada di rurnah hanyalah
berteriak-teriak dan mengganggu kete-nanganku. Dari caranya mengomel dan
marah-marah, orang bakal mengira dia terkena sindrom pramenstruasi
permanen atau sebangsanya.
Poko'knya, walaupun tidak ada siapa-siapa di sana, aku tetap tidak peduli,
karena membutuhkan waktu ekstra untuk bersiap-siap. Ibuku dan pacarnya,
Charley, akan mengajakku makan malam di Planet Hollywood. Ini luar biasa,
karena biasanya, Hillary dan Charley sudah meng-anggap makan malam di
Pizza Hut sebagai sesuatu yang sangat mewah.
Sejak pertama kali restoran itu dibuka, aku sudah kepingin sekali makan di
Planet Hollywood. Dalam pi-kiranku, kau takkan bisa mengira siapa saja yang
bakal kautemui di restoran kayak begitu. Anak-anak berotak encer di
sekolahku kepingin masuk universitas top dan menjadi dosen, pengacara, dan
hal-hal lain seperti itu, tapi aku hanya kepingin menikah, tinggal di flat
sendiri, dan puriya banyak anak. Itulah ambisi utamaku. Sejauh menyangkut
diriku, keluarga ibarat pakaian yang kaukena-kan dalam hidup ini sementara
yang lainnya pekerjaan dan hal-hal lain hanya sekadar aksesorisnya. Bahkan
pernah pada suatu masa, waktu masih kecil, aku meng-khayalkan rumah dan
keluarga impianku dengan gambar-gambar yang kugunting dari majalah. Aku
membeli lusinan album foto murah dan mengisinya dengan foto-foto suami
dan.anak-anak. Semuanya masih tersimpan rapi di kolong tempat tidurku.
Tapi aku bukannya goblok. Aku tahu sebelum menikah, aku harus punya
pacar dulu. Pacar sungguhan. Aku memba-yangkan diriku seperti Alicia SUverstone dalam film Che/ess: aku ogah
pacaran dengan anak-anak sekolah. Cowok-cowok sekolah an semuanya
jerawatan dan belum dewasa. Kegiatan mereka paling-paling hanya berlagak
main gitar dan perang makan an, yang membuat mereka tertawa-tawa sementara
orang lain jijik. Tapi, prinsipku tidak berkencan dengan cowok-cowok
sekolahan membuatku terkucil. Se-jauh ini, aku belum pernah benar-benar
berkencan dengan siapa pun.
Itulah sebabnya mengapa aku sangat menunggu-nunggu kesempatan makan
malam di Planet Hollywood. Di tempat-tempat semacam itulah -aku mungkin
akan bertemu orang yang bisa kuajak kencan. Dari beberapa film yang pernah
kutonton, biasanya justru di tempat yang jarang kaudatangi, kau akan
bertemu orang yang bakal mengubah hidupmu. Dan aku jelas kepingin hidupku
berubah. Aku melempar pakaian-pakaian basahku ke atas radiator lalu menyalakan
tape. Ibuku masih belum pulih dari kese-dihan hatinya karena Genesis bubar.
Menurutnya, musik' haruslah diputar pelan-pelan hingga menyerupai bisikan,
dan sayup-sayup seolah berasal dari tempat yang jauh. Tapi, karena sekarang
dia tidak ada, aku bebas me-nyetelnya sekeras mungkin. Mrs. Mugurdy,
wanita yang tinggal persis di atas fiat kami, kontan langsung memukul-mukul
langit-langit flatku. Tapi, seperti biasanya juga, aku berlagak tidak
mendengar protesnya. Sepanjang hari tadi, aku sudah tidak sabar kepingin segera berendam di
bak mandi sambil mencukur bulu kaki dan semacamnya dalam kedamaian dan
ketenangan. Sesuatu yang tidak bisa kulakukan bila si monster ma itu "da di
rumah. Kalau dia ada, kerjaannya hanyalah meng-gedor-gedor pintu kamar mandi setiap waktu, berteriak
menyuruhku cepat, apa aku tidak tahu orang lain juga
perlu menggunakan kamar mandi"
Aku merebus air dalam ketel lalu pergi menyalakan keran untuk mengisi
bak mandi. Butuh waktu cukup lama untuk memilih-milih bola minyak serta
busa mandi mana yang akan kugunakan. Aku ingin memilih wangi yang pas
untuk kesempatan istimewa kali ini. Biasanya aku menggunakan Raspberry
Ripple dari Body Shop, tapi malam ini kan istimewa. Seperti anak dalam lirik
lagu Garbage tadi, aku akan memanfaatkan setiap peluang yang bisa kuraih.
Aku menginginkan sesuata yang memberi kesan dewasa dan seksi, jadi bila
di Planet Hollywood nanti ada cowok yang menarik, aku mau dia memerhatikan
aku. Akhirnya, aku memutaskan untuk mengenakan wangi White Musk Aku
pernah baca bahwa White Musk wangi favorit Sharon Stone. Pikirku, bila itu
cukup bagus untuk Sharon Stone, maka pasti cukup bagus pula untukku.
Kenop otomatis di ketelku tidak berfungsi dengan baik, tentu saja, jadi air
yang kurebus tadi sudah hampir habis waktu aku ingat aku tadi sedang
merebus air. "Terima kasih, Tuhan," kataku sambil menengadah ke langit-langit saat
mengisi ketel itu lagi dengan air. Kalau aku sampai menggosongkan ketel lagi,
ibuku pasti bakal membunuhku.
Sembari menunggu air di ketel yang kedua mendidih, aku menyalakan dupa
(supaya aku bisa lebih merasa rileks) dan memilih CD untuk diputar sembari
berendam di air hangat. Nenek mengirim hadiah ulang tahun untukku berupa
voucher belanja di Tower Records.- Nenekku paling suka musik. Meski
berhenti mendengarkan lagu baru
11 sejak tahun 1948, tapi pada prinsipnya, beliau sangat menggemari musik.
Aku membeli dua CD baru dengan
voucher hadiahnya: CD soundtrack film Titanic, dan CD soundtrack film
The T&odyguard. Kupasang CD Titanic. Titanic adalah film favontku tahun itu.
Aku membaringkan diri dalam bak berisi air dengan lampu kamar mandi
dimatikan dan lilin menyala, melupa-kan sekolah, ibuku, dan kehidupanku yang
muram dan membosankan ini. Kutulis ulang skenario film Titanic dalam
benakku. Berbeda dengan akhir film sesungguhnya ketika Jack tewas di
tengah laut dan Rose berubah menjadi nenek tua uzur yang nyaris tidak bisa
berjalan, dalam skenarioku keduanya terapung-apung di laut dengan
berpegangan pada sekeping pintu, lalu terdampar di pulau terpencil. Air
lautnya biru kehijauan, dengan pohon-pohon palem meliuk-liuk tertiup angin
sepoi-sepoi. Kami bertahan hidup dengan makan kelapa muda dan pisaag$
sementara Jack menangkap ikan dengan tangan kosong. Sungguh bagaikan
surga dunia. Hanya kami berdua saja, tanpa ada orang lain yang mengganggu.
Aku memejamkan mata dan membayangkan diriku bercinta dengan Jack di
hamparan pasir pantai yang berwarna putih, di bawah cahaya bulan. Karena
belum pernah berkencan dengan siapa pun, aku juga belum pernah bercinta,
tapi dari sekian banyak film yang pernah kutonton, secara umum bisa
membayangkannya. Ciuman-ciuman Jack membuat ekujur tubuhku bergetar
seperti dialiri listrik. Dia me-unduk memandangi wajahku yang diterpa cahaya
bulan utih sejuk. Tubuhku mengilat karena pasir. "Kau tidak membutuhkan
b am permata, Rose," bisik k. "Kau sudah cantik apa adanya..."
Bibir yang penuh, lembap, dan selembut bola kapas itu
bergerak mendekati bibirku. Gedoran pintu yang bertubi-tubi
membuyarkan ciuman kami. Aku terpana dengan posisi bibir menempel pada spons bebek di tanganku.
Aku sama sekali tidak mendengar
ibuku pulang. "Lana"" teriak ibuku dari luar sana. "Lana, kau sudah mau keluar, belum"
Aku butuh ke toilet."
Aku menghabiskan semua uang hadiah ulang tahunku untuk membeli baju
baru yang cukup spesial untuk dipa-kai makan di restoran Planet Hollywood.
Modelnya ke-ren banget. Dari sutra hitam yang halus, dengan sepa-sang tali
kecil berhias manik-manik, serta hiasan manik-manik berbentuk jantung hati
di bagian dada kiri. Aku pernah melihat Julia Roberts mengenakan gaun yang
rnirip gaun ini di sebuah acara bincang-bincang. Saking ketatnya gaun ini, kau
takkan bisa mengenakan apa pun di baliknya kecuali celana ketat yang sangat
tipis. Aku sudah membeli celana ketat warna perak di Sock Shop yang sangat
tipis tapi gemerlapan, meski tidak terlalu ge-merlapan. Gemerlapan seperti
yang dipakai Cher, bukan gemerlapan seperti yang dipakai Baby Spice. Dan
aku juga membeli jaket berenda hitam untuk digunakan ber-sama gaun itu.
Tapi, benda termahal yang kubeli adalah sepatu. Luar biasa banget deh,
pokoknya. Warnanya hitam dan perak, dengan hak setinggi lima belas
sentimeter, sol tebal, dari tali-temali melilit tungkai. Model sepatu seperti
yang dike-nakan bin tang-bin tang film ke acara penganugerahan Piala Oscar.
Ibuku yang menyebalkan itu bakal ngamuk bila
~rapa banyak uang yang kuhabiskan untuk membeli sepatu ini.
Aku menggunting beberapa artikel dari majalah menge-nai cara merias diri supaya berpenampilan bak model Kutata guntingan-guntingan artikel itu di meja rias dengan semua peralatan kosmetik baruku.
Alas bedak, pelembap bibir, pemulas mata, maskara, pensil mata pokoknya
komplet, dalam koleksi warna musim gugur yang paling trendi. Aku terpaku
di depan cermin, berusaha merias wa-jah secermat mungkin. Penting bagiku
untuk tampil naturak' tapi lebih sempurna daripada natural. Menurut salah
satu artikel, ada baiknya bila kau menyapukan sedikit bedak ke bulu mata
supaya maskaranya tahan lama, tapi saran itu ternyata tidak seberapa
berhasiL Mataku belepotan bedak dan semua riasanku malah luntur.
Terpaksalah aku kembali ke kamar mandi dan mulai dari awal lagi.
Charley datang langsung dari bengkel tempatoya bekerja " ketika aku
sedang asyik mengoleskan Nivea baru ke kulitku. Ibuku im mulai lagi
menggedor-gedor pintu kamar mandi.
"Lana!" pekiknya. "Lana, Charley mau mandi." Karena tahu bagaimana
Charley, menurutku sebenarnya dia tidak butuh mandi, tapi dry clean
sekalian. Kalau aku pribadi tidak mau pacaran dengan lelaki yang sekujur
badannya selalu belepotan gemuk Aku hanya mau pacaran dengan pekerja
profesional. "Demi Tuhan!" aku balas menjerit. "Bagaimana aku mau siap kalau sedikit-sedikit diganggu"" Aku melempar handukku ke rak dan berjalan terhuyung-^
huyung ke kamar. Aku belum terbiasa berjalan dengan berhak lima belas
sentimeter. Aku baru saja memilm-milih parfum yang hendak
kugunakan waktu ibuku mulai berteriak-teriak lagi. "Demi Tuhan, Lana!
Sebenarnya kita bisa pergi atau
tidak malam ini"" "Ya, sebentar... sebentar..." aku balas berteriak. "Sabar
sedikit kenapa sih"" Aku menyemprotkan sedikit parfum Tommy Girl ke
pergelangan tangan, mengenakan jaket rendaku, dan meng-amati bayangan
diriku dalam cermin. Aku benar-benar memesona. Sangat memesona.
Penampilanku paling tidak terlihat seperti sudah berumur dua puluh tahun.
Model berusia dua puluh tahun, begitulah penampilanku saat ini.
Aku menyunggingkan senyum seksi pada bayanganku yang terpantul dalam
cermin. "Kate Winslet, berhati-hatilah," bisikku. "Mampus dan berhati-hatilah."
Aku Sudah Dewasa And Baby Makes Two Karya Dyan Sheldon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ibuku dan Charley duduk menunggu di dapur sambil menikmati segelas
anggur. Seperti biasa, mereka tidak pernah menawariku minum setetes pun.
Bahkan tidak di hari ulang tahunku. Ibu sahabatku, Shanee, mengizinkannya
minum sedikit pada kesempatan-kesempatan istimewa,
tapi minuman paling keras yang diizinkan Hillary Spiggs untuk kuminum hanyalah Diet Coke.
Aku berjalan lambat-lambat ke ruang depan, berusaha tidak terlalu
melenggang. "Aku datang," seruku begitu sampai di ambang pintu dapur. Kuangkat
kepalaku sambil tersenyum malu-malu. Seperti Cher di film Moonstruck
setelah selesai dipermak dan dia melihat Nicolas Cage menunggunya,
bertanya-tanya dalam hati apakah lelaki itu menyadari perbedaannya. "Aku
sudah siapl" Di film Moonstruck, Nicolas Cage terperangah begitu melihat Cher
berpakaian rapi dengan rambut dikeriting.
Di dapur, ibuku dan Charley terperangah melihatku.
Charley duduk paling dekat dengan pintu.
"Wow," ujar Charley. "Coba lihat kau!" Lalu dia mem-bub mulut lagi,
hendak mengucapkan "Selamat ulang tahun, Lana," tapi dia hanya sempat
mengatakan "Sel " karena sudah keburu dipotong ibuku.
Sejak tadi ibuku hanya memandangiku dengan berdiam did, lebih mirip
kelinci yang terperangah melihat sorot lampu mobil yang melaju kencang
hendak melindasnya^l daripada terperangah diam karena kagum seperti
Nicolas Cage. Detik berikutnya, teriakannya pecah membahana, ' bagaikan
lengkingan sirene. "Kau kira kau mau ke mana, berpakaian seperti itu"" pekiknya. "Kau tidak
boleh pergi bersama kami dengan penampilan seperti itu"
Charley meliriknya. "Hillary," tegurnya. "Hillary, jangan mulai."
"Kembalilah ke kamarmu dan hapus sampah ito dari wajahmu, sekarang
juga!" raungnya. "Dan ganti baju sekalian dengan pakaian lain yang lebih
pantas." "Ini juga pantas kok." Nada suaraku sama kakunya dengan bulu mataku.
Pantas sih pantas, kalau kau pelacur anak," sergahnya judes. "Kita tidak
akan pergi ke mana-mana bila penam-pilanmu mirip cewek murahan seperti
itu." Charley menenggak habis anggurnya. "Kelihatannya kau bakal kedinginan
dengan baju itu," gumamnya. "Kau ya mantel atau tidak""
'Masalahnya bukan punya mantel atau tidak," Hillary
meraung. "Pokoknya dia tidak boleh pergi dari rumah ini
dengan penampilan seperti itu, titik."
Charley menunduk, memandangi gelasnya, siapa tahu gelasnya mendadak
terisi lagi setelah tadi dia menghabis-kannya.
Terkadang, aku tidak habis pikir mengapa ibuku mau berpacaran dengan
Charley. Dia itu tidak menarik, kele-bihan bobot, dan 95% selalu kotor, dan
dia tidak pernah kepingin melakukan hal lain selain pergi ke pub untuk
nongkrong dengan temannya atau nonton televisi. Tapi, ada kalanya justru aku
heran mengapa Charley mau pacaran dengan ibuku, padahal dia uring-uringan
dan marah-marah setiap waktu. Inilah salah satu di antara saat-saat itu.
"Demi Tuhan, Hil," sergah Charley. "Ini kan hari ulang tahun Lana. Biarkan
saja." Ibuku mengalihkan pelototannya dari aku ke Charley. "Sekarang ini hari
ulang tahunnya yang kelima belas, bukan ketiga puluh." Dia melafalkan kata
demi kata dengan jelas. Lalu dia kembali memelototiku. 'Aku ibu-mu," katanya
padaku. Wah, berita besar. "Lantas"" Aku balas berteriak, "Aku bukan anak kecil lagi. Kau tidak bisa
terus-menerus memperlakukan aku seolah aku ini masih bayi."
Ibu memasang Wajah Ibu-nya. Wajah Ibu yang dia perlihatkan tidaklah
menyenangkan, penuh kasih sayang, dan penuh pengertian seperti wanita yang
wajahnya ter-pampang di Man Oxo. Wajah Ibu-nya menunjukkan dengan jelas
bahwa dia tahu segala-galanya, dia bisa mengatakan serta berbuat apa saja,
dan semua itu pasti benar
karena dia mengandung aku dalam perutnya selama bebe-rapa bulan. Huh,
yang benar saja. "Aku ibumu," tegasnya sekali lagi. Untuk jaga-jaga, siapa tahu aku lupa
setelah terakhir kali mcndengarnya dua detik rang lalu.
"Tapi bukan karena kau menginginkannya!" jeritku. "Kaii tidak pernah
menginginkan aku." Aku tahu itu karena pernah mendengarnya mehgatakan hal
ita pada nenek, waktu kami pergi ke Hastings saat liburan musim panas. Aku
ini produk "kecelakaan". Kedua kakak pe-rempuanku sudah besar; dan waktu
ibuku hamil aku, sebenarnya dia sedang berniat kembali ke bangku kuliah. :
"Omong apa kau ini" Tentu saja aku menginginkan-' Tidak, kau tidak menginginkan aku. Kau ingin berse-' nang-senang dan
menikmati hidup, minum gin, dan mem-buang diri ke bawah tangga."
Ibuku m emutar bola matanya dan mendesah. "Kalau kau tidak
membersihkan tata rias itu dari WM jahmu dan mengganti baju dengan
sesuatu yang lebih pantas, aku akan minum gin dan membuang/ww ke bawah
tangga." Sekarang aku sudah lima belas tahun," tukasku dengan a sedingin dan
sedewasa mungkin. "Semua anak se-umurku berpakaian seperti ini." "Semua
anak seumurmu yang tidak tinggal bersama^//." "Tidak ada yang mau tinggal
di sini." Ibuku membanting gelasnya keras-keras ke konter. "Se- . lama kau
tinggal di rumah ini, kau harus menuruti perintahku. Sekarang, kembali ke
kamarmu dan pakai ijaju yang lain."
'Tidak." Bibir bawahku bergetar. "Aku tidak mau ganri
baju, dan kau tidak bisa memaksaku."
Si penyihir tua itu tertawa tergelak-gelak. "Oh, tidak bisa, ya""
"Hil, sudahlah, biarkan saja, oke"" Charley buru-buru menengahi. 'Toh di
sana nanti dia duduk, jadi apa bedanya"" Charley menyunggingkan senyum
lemah padaku. "Kau cantik sekali kok."
Ibuku kelihatannya kepingin sekali menampar Charley.
"Jangan ikut campur, Charley. Ini rumahku dan dia anakku!" Gelas-gelas di
rak cuci piring mulai bergetar saat level desibel mulai naik. "Aku tidak butuh
nasihat apa pun dalam urusan membesarkan anak dunmu."
Charley menatap botol anggur dengan sikap kepingin, tapi botol itu
terletak di balik bahu ibu dan dia tahu dia hanya akan memperkeruh suasana
bila berani-berani meng-ambilnya.
"Hil, demi Tuhan. Kau meributkan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu
diributkan. Ayo kita pakai saja mantel masing-masing dan lekas pergi, oke"
Makan e " "Aku tidak mau pergi ke mana-mana bila dia tetap berpenampilan seperti
ita!" Meski menujukan perkataannya pada Charley, tapi mata ibuku tertuju
padaku. "Apakah sudah jelas, Nona Kecil Sok Kuasa" Apa peduliku bila di hari
ulang tahunmu kau cuma makan roti bakar dengan keju" Masa bodoh."
Aku mengatupkan gigiku keras-keras hingga rasanya seperti mau retak.
"Ya sudah kalau begitu!" aku balas memekik. "Asal tahu saja, aku hanya
mau pergi denganmu bila ita untuk menghadiri pemakamanmu, dasar sapi tua
jahat!" 21 Saat itulah dia memukulku. Menamparku dengan telapak tangannya, tepat
di pipi. "Jangan bicara kurang ajar padaku." Sekujur tubuhnya gemetar karena
amarah. "Aku ibumu."
Aku mendekatkan wajahku ke wajahnya. "Well, sepenuh had aku berharap
kau bukan ibuku. Kau dengar" Lebih baik bila ibuku Cruela De Vil, bukan kau!"
"Bila kelakuanmu begita terus, harapanmu akan terka-bul!" jerit si
Penyihir Jahat Dan aku berlari meninggalkan ruangan itu dan terus meninggalkan rumah,
secepat yang bisa dilakukan sese-orang yang mengenakan sepatu berhak lima
belas senti-meter. SCAN BY DTDY weblog umum http://ebukita.wordpress.com
(privat/best friend) http://Dttoy.wordpress.com
Selamat Ulang Tahun Untukku
KALAU saja bisa pergi ke tempat lain, aku pasti ke sana.
Sayangnya, tidak ada yang bisa kudatangi. Kami tidak pernah bertemu lagi
dengan ayahku sejak dia meninggalkan kami, jadi aku tidak mungkin
mendatanginya. Kedua saudara seibuku, Charlene dan Dara, keduanya tinggal
di seberang selatan sungai, dan nenekku tinggal di Hastings, jadi aku juga
tidak mungkin mendatangi mereka. Begitu juga dengan Shanee, karena meski
rumahnya dekat dengan rumahku, tapi akhir minggu ini dia pergi.
Tanpa berpikir lagi, aku menghambur menyusuri jalan-jalan sebelah barat
daya kota London yang membosankan ini, bergerak seperti robot.
Lagi-lagi aku berkhayal seolah sedang main dalam film Titanic, menerobos
kerumunan orang yang histeris keta-kutan, mencari Jack. Aku mengenakan
jaket kebesaran yang disampirkannya tadi di pundakku. Sekujur tubuhku
masih basah kuyup karena gelombang air laut sedingin es yang menerjang
kapal saat kapal mulai tenggelam ke samudra yang tak berdasar, tapi jiwaku
berkobar, menyala-laksana api. Aku bertekad tidak mau man* sebelum mdihamya sekali lagi.
"Jack!" hatiku menjerit. "Jack! Jack! Jack!"
Sebuah pintu menghalangi jalanku. Kudorong pintu itu hingga terbuka
dengan segenap kekuatan yang tersisa.
Bagian dalam restoran McDonald's terasa hangat dan terang benderang.
Sebenarnya, dengan suasana hati seperti sekarang, lebih cocok bi
la aku nongkrong di pub. Tapi, tentu saja aku masih terlalu muda untuk pergi ke
sana. Yah, lagi-lagi beginilah tidak enaknya jadi anak kecil.
Gaunku menempel dengan ketatnya di badanku, seperti tisu basah.
Rasanya seperti tidak mengenakan apa-apa, tapi sekaligus juga seperti
mengenakan baju senam yang sangat ketat dan tidak nyaman. Belum apa-apa,
kakiku sudah lecet dan berdenyut-denyut. Tapi aku tidak peduli. Aku bahkan
tidak melirik bayangan diriku yang terpantul di kaca pinm saat menghambur
masuk tadi. Sebegitu tidak pedulinya aku.
Saat ita mungkin ada selusin orang di restoran, termasuk-beberapa
pegawai remaja berwajah bosan yang berdiri di balik konter. Aku melenggang
menuju meja-meja kosong dengan sikap seperti orang yang hendak menerima
piala Oscar, tapi bukan piala Oscar yang ada di tanganku, melainkan nampan
berisi hamburger Big Mac, kentang" goreng ukuran besar, dan segelas
milkshake cokelat. Bukan makan an yang bagus untuk kulit, tapi saat itu aku
tidak I begitu peduli pada kesehatan kulit. Apa gunanya punya kulit wajah
mulus, tahu caranya berdandan dan berpakaian, tapi tidak punya kesempatan
menunjukkannya pada orang lain" Tidak ada gunanya, itu jawabannya. Kalau
kemauan ibuku dituruti, sekarang ini aku pasti masih mengenakan baju bayi
merek Babygro dan mengisap empeng.
Aku memilih meja dekat jendela, supaya ada hal lain
yang bisa kulakukan selain menangis sambil makan.
Hari ulang tahun yang benar-benar menyebalkan.
McDonald's sebenarnya lumayan, tapi bagaimanapun, tetap bukan Planet
Hollywood. Tanpa kehadiran para ibu dan anak-anaknya, suasananya senyap
seperti kuburan. Seperti set film di sela-sela pengambilan gambar. Dan
cahaya lampunya terlalu benderang, lebih terang daripada biasanya.
Mengingatkanku pada rumah sakit. Tahu sendi-rilah, dengan dinding-dindingnya yang dicat kuning ceria dan lampu-lampu neon benderang, supaya
tidak ada orang yang sadar sebenarnya pasien yang tergolek di sana
sekarat. Aku memunggungi tanaman gantung dan poster-poster yang mengiklankan
film blockbuster Disney terbaru, dan memandangi hujan yang turun deras di
luar sana Selamat ulang tahun untukku, pikirku sambil menge-luarkan hamburger.
Selamat ulang tahun, Lana sayang, selamat ulang tahun untukku.
Kugigit Bic Mac-ku. Rasanya seperti kardus yang diberi saus tomat dan
acar. Sepasang kekasih berdiri di sisi luar jendela restoran, berteduh dari
hujan sembari menunggu bus. Lengan mereka bertautan, dan si pria
memegangi payung menaungi kepala si wanita. Kelihatannya mereka sangat
bahagia. Aku merasa seperti akan tersedak. Cepat-cepat kuletak-kan burgerku dan
kugigit bibirku keras-keras.
Jangan menangis, kataku dalam hati. Tunggu sampai kau ke luar dari sini.
Meski tidak pernah memikirkannya sebelum ini, tapi sekarang aku
mengerti mengapa orang-orang yang diceri-takan dalam lirik lagu selalu
menangis sambil berjalan di
25 tengah hujan deras. Rupanya, itu supaya orang lain tidak tahu sebenarnya
mereka menangis tersedu-sedu.
Kubuka bungkusan saus tomatku dan kucelupkan ken-tang gorengku ke
sana. Ingatanku melayang pada gadis-gadis lain yang juga merayakan ulang
tahun pada tanggal 25 Oktober. Saat ini mereka semua berpesta bersama
semua teman yang tertawa mengelilingi mereka. Kado-kado menumpuk di
meja, dan semua orang memeluk mereka dan memuji kecantikan mereka. Ibu
mereka sZt. yang pada mereka. Lalu ingatanku melayang pada artikeli yang
pernah kubaca, tentang gadis yang meninggal di, pesta ulang tahunnya sendiri.
Waktu pertama kali mem-; bacanya dulu, aku menganggap hal itu sangat
menyedihkan dan memilukan, tapi sekarang, selagi menangis sendirian di pojok
restoran McDonald's, rasanya aku mau saja. bertukar tempat dengannya.
Maksudku, dia toh sudah matt, lantas kenapa" Paling tidak dia sudah sempat
ber-senang-senang. Im toh jauh lebih baik daripada mati karena pneumonia
dengan napas berbau makanan berle-mak.
Aku mencucukkan sedotanku ke dalam milkshake dan menyedotnya sedikit
Pasangan yang berdiri di luar jendela itu sekarang berciuman. Payung mereka
membentur kaca.I Aku menyerah dan air mataku langsung
bercucuran. Isap... isap... telan... isap... isap... telan... glek... glek....
Aku merasa seperti binatang yang terjerat. Sepertinya, tak peduli apa pun
yang kulakukan, aku tidak akan bisa meloloskan did. Selamanya aku akan selalu
menjadi anak 7 Spiggs, yang selalu dimarabi dan disuruh-suruh enaknya.
Aku begitu heboh menangis sampai tidak menyadari
dia duduk di sana, di meja yang persis bersebelahan
dengan mejaku. Tiba-tiba, aku mendengar suaranya.
Aku menoleh, berusaha mengisap kembali ribuan tetes air mata yang
sudah hendak tumpah. Dia pasti belum lama duduk di sana, karena dia bahkan belum sempat
membuka bungkusan sedotannya. Dia men-condongkan badan ke arahku,
mengulurkan sebungkus tisu. Ekspresinya tampak malu.
"Kau tidak apa-apa"" Dia menggerak-gerakkan tisunya ke arahku. "Kau
Aku " Aku tidak sanggup berkata apa-apa.
Sebagian karena aku berusaha menghentikan tangisku, sebagian lagi
karena dia. Dia memang bukan Leonardo DiCaprio, tapi wajahnya lumayan
ganteng. Tubuhnya tinggi, langsing, dan berkulit gelap. Kulimya bersih dari
jerawat, tidak mengenakan kacamata, dan tidak berpakaian seperti orang
yang baju-bajunya masih dibelikan ibunya. Malah, gaya berpakaiannya lumayan
oke. Aku pernah melihat John Travolta di sebuah acara bincang-bincang
mengenakan kemeja yang warna birunya mirip seperti warna ke-meja yang dia
kenakan, Dan di lengannya melingkar jam Baby G. yang paling mutakhir.
Tambahan lagi, usianya pasti di atas dua puluh tahun. Seperti adegan film
Sleepless in Seattle, waktu Tom Hanks dan Meg Ryan pertama kali
bertatapan. Seperti mimpi menjadi kenyataan.
Cowok im mencondongkan badan lebih dekat lagi, masih melambai-lambaikan bungkusan tisu ita untukku.
"Riasan wajahmu," katanya. "Kupikir kau mungkin membutuhkan ini."
Hatiku begitu tersentuh kebaikan hati dan kepekaannya,
hingga nyaris saja tangisku meledak lagi. Aku mengheM napas dan
tersenyum. Senyum yang selalu kulatih di
depan cermin: ceria tapi seksi. Senyum terbaik yang kumilikL
"Trims." Sambil tetap menyunggingkan senyum, aku berlagak menunduk,
supaya dia tahu aku malu dan merasa tidak enak had, karena tidak biasa
menangis seperti itu di depan umum, "Maafkan aku "
Jari-jari kami bersentuhan saat aku mengambil tisu itu dari tangannya.
Mungkin seandainya jari-jari kami tidak bersentuhan, aku akan menghapus air
Aku Sudah Dewasa And Baby Makes Two Karya Dyan Sheldon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mataku dengan tisunya dan kisahnya akan berakhir sampai di sini saja. Tapi
jari-jari kami bersentuhan. Sekujur tubuhku seperti dialiri listrik. Aku tidak
ingin dia pergi. "Hari ini hari ulang tahunku," isakku. "Tapi aku malah bertengkar dengan
ibuku." "Hari ulang tahunmu" Sungguh"" Dia tersenyum. "Well, selamat ulang
tahun " "Lana." Aku tertawa dan menangis pada saat yang bersamaan. "Lana.
Spiggs." Cowok ita " mengulurkan tangannya. "Les," dia mem-perkenalkan did. "Les
Craft" Kami saling menatap selama sekian detik.
"Ulang tahun yang keberapa""
Sedetik pun aku tidak merasa ragu. Aku tidak kepingin cowok itu
mengurungkan niatnya karena menganggapku masih terlalu muda. "Kedelapan
belas." Les tersenyum. "Well, selamat ulang tahun, Lana Spiggs." Selamat ulang
tahun untukku. Les Craft berumur dua puluh tahun, baik hati, sensitif, dan pintar (dia
punya dua nilai A). Meski tidak luar biasa ganteng, tapi dia cukup tampan dan
menarik. Telinga kirinya dihiasi dua anting-anting emas kecil, dan gaya
berpakaiannya sangat enak dilihat. Tambahan lagi, tangannya tidak belepotan
gemuk. Les bekerja sebagai asisten manajer di toko penyewaan film
Blockbuster yang terletak di pinggir jalan besar.
"Pantas, sepertinya kok wajahmu tidak asing lagi bagiku," dustaku. Aku
ingin dia tahu dia istimewa, bukan cowok sembarangan yang tidak bakal
diperhatikan cewek. "Aku sering ke sana."
Les tersenyum. Aku berpendapat, seandainya Calvin Klein bisa
membotolkan senyuman itu, dia bisa meraup untung jutaan dolar.
"Aku tahu." Jadi dia memerhatikan aku! Tidak percaya rasanya. Padahal aku sama
sekali tidak memerhatikan dia aku jarang melirik cowok-cowok yang bekerja
di Blockbuster karena mereka cenderung jerawatan dan hanya suka me-rekomendasikan film-film action tapi lela
ki yang menarik ini memerhatikan
aku. Aku bercerita padanya tentang perkelahianku yang ter-akhir dengan ibuku
sembari kami menikmati hamburger masing-masing. Les makan kentang
gorengnya dengan saus tomat, persis seperti aku.
Les sangat pengertian. Dia juga masih punya ibu. \y-"Yang namanya ibu memang paling susah melepas anak mereka," Les
menjelaskan. "Ibuku apalagi. Aku
sampai tidak mengizinkan ibuku datang ke flatku, karena begitu
menjejakkan kakinya di rumaHku, dia pasti akan Iangsung berbenah-benah."
Les menyunggingkan senyum-nya yang menawan hati itu. "Dan dia selalu saja menyu-ruhku memotong rambut"
"Oh, jangan." Rambut Les agak panjang hingga menggantung seksi di atas
kerah kemeja, tapi tidak terla-lu gondrong hingga orang bakal salah mengira
dia ce-wek bila melihatnya dari belakang. "Rambutmu bagus kok."
Cahaya matahari menerangi seluruh bagian dalam restoran McDonald's.
"Oke. Akan kubilang pada ibuku, Lana suka bila ram-butku seperti ini."
Aku merasa seperti ada orang yang menyiramkan saus sundae panas ke
seluruh pembuluh darahku. Lana suka
bila rambutku seperti ini____ Kedengarannya seolah kami
sudah lama sekali saling kenal. Itu berarti aku pasti akan bertemu lagi
dengannya. Les memasukkan bungkusan kentang goreng, serbet kertas, serta bungkus
sedotahnya ke kotak burger. Tidak. ada secuil pun remah rod atau tetesan
saus tomat di nampannya. "Aku harus kembali ke toko," katanya. Nadanya terde-ngar enggan, seakan
dia lebih suka di sini saja. "Kau mau ikut denganku dan main-main di sana""
Tanpa berpikir lagi aku Iangsung saja menyahut, "Ya,' tentu saja."
Biar saja ibuku khawatir aku diperkosa, ditabrak mobil atau bagaimana.
Biar tahu rasa dia. Les mengantarkan aku pulang setelah dia selesai bekerja.
Aku tidak memercayai keberuntunganku. Cowok ini bukan
cuma punya pekerjaan dan flat sendiri {well, lebih tepamya, sebuah kamar
di flat), tapi dia juga punya mobil. Memang sih mobilnya bukan Porsche, Jeep,
atau merek-merek keren lainnya, tapi setidaknya juga bukan mobil bobrok seperti mobil
Charley, yang selalu harus diparkir di puncak bukit supaya bisa Iangsung
didorong bila mogok keesokan
harinya. Sudah lewat tengah malam waktu kami sampai di jalan tempat rumahku
berada. Aku memintanya menurunkanku di sudut jalan. Untuk jaga-jaga, siapa
tahu ibuku mengintip dari balik gorden.
"Yakin kau tidak apa-apa"" tanya Les. "Aku bisa meng-antarmu sampai ke
dalam bila kau mau."
Kedengarannya dia benar-benar prihatin.
'Tidak, tidak apa-apa." Kubuka sabuk pengaman dan kupegangi handle
pintu. "Dia bukan orang yang ringan tangan. Dia hanya menyebalkan."
Aku tidak mau dia bertemu Hillary. " Sering kali anak perempuan menjadi
mirip ibunya bila mereka dewasa nanti. Oprah pernah menayangkan topik
seputar hal itu di acara talkshow-nya. Bagaimana nanti bila begitu Les
melihat, dia lantas memutuskan aku akan menjadi seperti dia, lalu tidak
mau bertemu lagi denganku" Apalagi ibuku pasti akan Iangsung memberitahu
dia bahwa aku baru lima belas tahun. Mungkin bahkan sebelum aku sempat
memperkenalkah namanya. "Kau tahu dia baru lima belas tahun," dia akan
Iangsung menyergah. "Me-mangnya kau mau dipenjara""
Kutarik handle pintu. "Lagi pula, sekarang paling-paling dia sudah tidur,"
dustaku. "Jadi tidak apa-apa."
Les menyambar tangan kananku.
Waktu kau masih kecil, kau pasti sering memikirkan apakah sebaiknya kau
Iangsung berciuman dengan seorang cowok pada kencan pertama atau tidak.
Kalau ya, apakah dia akan menganggapmu gampangan" Apakah dia lantas
mengira kau selalu berciuman dengan setiap cowok yang kautemui" Apakah
kau bisa ketularan penyakit karena berciuman"
Tapi, berhubung teknisnya sekarang ini kami belum berkencan, aku pun
tidak mengkhawatirkan hal ita. Begitu merasakan kulit Les menyentah kulitku,
aku Iangsung berpaling dan menghadapinya. Aku sudah sering latihan
berciuman dengan bantal dan benda-benda lain semacamnya (jadi aku tahu
harus melakukan apa) tapi mencium Les sama sekali berbeda dengan mencium
bantal. Bibirnya hangat dan lembut seperti inti krim cokelat. Bagian dalam
diriku seakan meleleh. Aku bahkan tidak
terlonjak kaget atau tersedak mual.
Rasanya sama sekali tidak menjijik-kan.
"Bagaimana kalau kita ketemu hari Minggu"" bisiknya " ketika kami
berhenti berciuman untuk menarik napas. "Aku harus bekerja hari Sabtu dan
Minggu malam, tapi "ta bisa ketemu hari Minggu siang. Sehabis makan siang."
ibelainya rambutku. "Kalau kau tidak sibuk."
Les pasti bercanda. Aku tidak akan pernah sibuk lagi I
panjang hidupku. Dia menungguku, tentu saja. Dia sudah menghancurkan pertama ulang
tahunku, dan sekarang dia bertekad menehancurkan bagian yang terakhir
juga. Dia pasti bisa merasa aku habis bersenang-senang. Kan so
kubilang dia tukang sihir.
Dia Iangsung menarik dirinya dari jendela begitu meli-hatku muncul di
jalan dan melejit keluar dari ruang tamu seperti burung kukuk begitu aku
menjejakkan kaki di ruang depan. "Aku mau bicara denganmu," katanya dengan nada datar. Dia agak mabuk.
Alkohol seharusnya membuat hatimu
gembira, tapi dia justru berubah sangat serius dan sungguh-sungguh
sehabis minum sedikit alkohol.
Aku tidak mau membalas tatapan matanya. Tidak akan kubiarkan dia
merusak hari yang ternyata menjadi malam yang terbaik dalam hidupku. Aku
akan Iangsung tidur dan berkhayal seolah Les ada di sampingku, memelukku
erat-erat, dan membisikkan kata-kata pujian bernada manis di kupingku.
Aku mengunci pintu depan dan menghambur mele-watinya.
"Lana. Kaudengar aku, tidak" Kita harus bicara."
Kubuka pintu kamar. "Bicara saja sendiri," tukasku. "Aku mau tidur."
"Aku ibumu," sergahnya. Orisinil banget si Hillary Spiggs ini. "Kurasa aku
berhak tahu dari mana saja kau semalaman."
"Menjual diri," jawabku asal saja. "Dari mana lagi""
Sebenarnya aku ingin sekali membanting pintu keras-keras di depan
mukanya, tapi dia mendesakkan badannya di ambang pintu.
"Lana, dengar, kuakui bahwa reaksiku tadi berlebihan "
Ibuku menyentah bahuku. Aku terlonjak kaget, seolah ada yang
menusukku. "Jangan sen tub. aku," perintahku.
Ibuku menarik tangannya. Dia pasti lebih mabuk dan-pada yang kukira,
karena dia hampir-hampir seperti mau menangis.
"Maafkan aku, Lana. Aku tidak ingin keadaannya menjadi seperti ini."
Mungkin bila ulang tahunku kali ini bukan yang terbaik yang pernah
kurasakan seumur hidupku, dan mungkin bila aku tidak menyadari aku
ternyata bisa membuatnya menangis, tangisku kontan pecah saat itu juga dan
aku akan Iangsung minta maaf, dan segala sesuatunya menjadi berbeda.
Begitulah yang terpikir olehku sekarang. Tapi,
Ibukan ito yang kupikirkan saat itu. Aku tidak peduli dia menyesaL Aku
malah senang bisa membuatnya menangis. Dan aku tidak peduli pada apa yang
dia ingmkan. Aku seperti Dorothy dalam kisah The Wizard of Oz, berdiri di
jalan bata kuning, memandang Kota Zamrud berki-lauan di hadapanku. Hanya
saja, bukan Kota Zamrud ' kulihat, melainkan masa depanku. Masa depanku
dalam wujud cowok dengan tinggi badan 180 sentimeter, memiliki lidah
seperti lidah kadal, dan mengendarai Ford. Well, memang begitulah
keadaannya," mkasku padanya. idorong dia hingga membentur pinto lalu
kubanting ituku keras-keras.
juku selalu berkata bahwa cinta tidaklah seperti yang kulihat di film, atau
seperti lirik lagu, dan sebangsanya. berarti, dia memang tidak pernah
merasakan cinta seperti ita. Ayah Charlene dan Dara meninggal waktu mereka
masih kecil. Meski sukar dipercaya, tapi si
Spiggs cinta sekali padanya. Dia menikah dengan ayahku karena memang
cuma ayahkulah pria terbaik yang bisa dia dapatkan dengan dua anak, selulit,
dan kepdbadian yang jelek. Ayah Chadene dan Dara bagaikan berkat Tuhan
untuk dunia ini; sementara ayahku seperti meng-ingatkan orang bahwa Tuhan
senang menghukum manusia.
'Tidak mungkin kau bertemu seseorang dan BOOM, kau Iangsung jatah
cinta dengannya," kata ibuku dulu. "Kejadian di kehidupan nyata tidak seperti
di film-film." Waktu umurku dua belas tahun, aku tidak percaya padanya. Sekarang,
setelah umurku lima belas tahun, aku tahu dia bohong. Dia hanya ingin hidupku
merana seperti dia, ita alasannya.
Cinta di dunia nyata persis sama seperti yang di film-film: BOOM.
Satu menit yang lalu kau masih orang biasa, m
enunggu sesuatu yang hebat
terjadi, dan semenit berikutnya BOOM sesuatu yang hebat telah terjadi.
Kau merasa jauh lebih bahagia daripada sebelumnya lebih dari yang kaukira
selama ini. Aku tidak yakin apakah aku jatah cinta pada Les waktu dia menciumku,
atau itu terjadi sebelumnya, ketika kami masih mengobrol di McDonald's.
Tidak penting memang. Pokoknya, yang aku tahu, aku Iangsung yakin dialah
cowok yang kunanti-nantikan sejak aku lahir.
Setelah ibuku berhenti meneriakiku dari balik pintu dan akhirnya
terhuyung-huyung kembali ke kamarnya, aku memasang CD Celine Dion di
discmatkku dan ber-baring di tempat tidur, memandangi hiasan bintang yang
kutempelkan di langit-langit kamar, yang bisa bersinar dalam gelap. Aku
mengenang kembali semua yang dika-takan Les. Aku membayangkan setiap detail wajahnya, caranya tertawa,
makan, dan menyetir mobil. Juga caranya" menatapku serta betapa indah
ciumannya tadi. Jadi inilah cinta, pikirku. C-I-N-T-A: CINTA.
CD berhenti berputar dan sebuah lagu kuno menyusup masuk dalam
benakku. Setelah ayahku kabur ketika aku berumur empat tahun, aku dan
Hillary tinggal bersama nenekku selama beberapa tahun. Karena si Spiggs
sibuk menata kembali hidupnya yang berantakan, aku lebih banyak bersama
nenek. Hampir setiap siang, kami menge-luarkan kotak yang berisi kumpulan
kaset lama milik nenek, lalu kami memutarnya di tape-nya, yang kuno. Ini
salah sam lagu kesukaanku, karena membuatku merasa sangat bahagia. Dulu
aku sering meminta nenek memu-tarkannya untukku setiap waktu. Sekian
tahun kemudian, lagu ini dijadikan lagu pengLring dalam film. Sambil ber-baring di tempat tidurku malam im, rasanya aku bisa mendengar kembali lagu
im, mengalun dari tape kuno nenekku. Suaranya gemeresik dan kuno.
"Hanya lalala dan aku... dan hadirnya si bayi s'makin melengkapi... kami
bahagia di surga biru kami..."
Aku tidak begitu memahami artinya waktu aku masih kecil dulu, tapi
sekarang aku mengerti. Sekarang aku mengerti maksud penyanyi im.
Aku terlena sambil masih menggumamkan lagu nenekku im dengan suara
lirih. Akhirnya aku mengerti apa arti hidup ini.
Cinta Akan Membebaskanmu KATA Les, aku cantik, enak diajak ngobrol, dan bisa membuatnya tertawa.
Rasanya aku tidak percaya men-dengarnya.
"Aku"" begitu tanyaku.
Dan dia menjawab, "Ya, kau"
Sama seperti aku, Les juga mengalami masa-masa sulit di sekolah. Karena
dia orangnya pendiam, para guru dan anak-anak nakal di sekolah senang
mengerjainya. Tam-bahan lagi, meski rasanya sukar dipercaya sekarang, dulu
dia gendut dan tidak populer. Jadi, dia selalu malu bila berhadapan dengan
cewek-cewek. Katanya, dia bahkan tidak pernah memikirkan cewek semasa
duduk di bangku sekolah. Yang ada dalam pikirannya hanyalah bagaimana
secepatnya lulus dari sekolah, mendapat pekerjaan, dan hidup mandiri. Lagi-lagi sama seperti aku. Dia baru keluar dari rumah ibunya dan pindah ke
London pada musim panas lalu, jadi walaupun sudah beberapa kali berkencan,
dia belum pernah punya pacar tetap. Sebelum ini.
"Tapi dari caramu berciuman, sepertinya kok sudah," kataku. _
Les tertawa. "ltd namanya keberuntungan pemula."
Les senang melihat bagaimana cowok-cowok di jalan memandangiku, seolah
berharap diri mereka Les.
"Mata mereka sampai hijau karena iri," katanya waktu kami berjalan
melewati segerombolan cowok. "Hijau karena iri." Lalu dia memelukku. Dia
sangat gembira. Aku membalas pelukannya. Aku juga sangat gembira. Les juga menyukai pembawaanku yang sangat feminin, suka make-up dan
hal-hal semacam im. Sementara dia penggemar berat musik. Menurutnya,
seperti yang digam-barkan dalam lirik sebuah lagu lama, aku menikmati
menjadi wanita. "Sekarang memang begitu," kataku. -Isfcifci
Les tahu banyak hal olahraga, mobil, video, dan siapa yang aslinya
berperan dalam Oklahoma!, pokoknya hal-hal kayak begitu yang tidak banyak
kuketahui. Aku senang mendengarkannya menjelaskan segala sesuam
kepadaku. Dia senang menjelaskan segala sesuam kepadaku.
''Yakin aku tidak membuatmu bosan"" tanyanya.
Aku menjawab, "Tentu saja kau tidak membuatku bosan." KpNi
Dan meskipun kami sering jalan bareng serta selal
u bersikap mesra, berciuman, dan lain sebagainya, tapi Les tidak pernah mengungkapkan
cintanya padaku. Katanya, dia belum siap menjalin hubungan serius, tapi
menurutku im cuma karena dia malu. Maksudku, semua ini kan baru bagi dia.
Karena Les laki-laki, dia tidak menunggu selama bertahun-tahun untuk jatuh
cinta, seperti aku. Dia tidak
siap. Aku tahu butuh wakm yang lebih panjang bagi laki-laki untuk
menyadari bahwa dia jatuh cinta, tidak seperti
wanita. Seperti dalam film When Harry Met Sally____ Wa-laupun aku berharap tidak akan selama im.
Jadi aku juga tidak pernah mengungkapkan cintaku padanya. Lagi pula, im
toh tidak penting Aku bisa merasakannya. Aku menunjukkannya. Dan aku tahu,
Aku Sudah Dewasa And Baby Makes Two Karya Dyan Sheldon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jauh di lubuk hatinya yang terdalam, Les juga merasakannya.
Selain merasa luar biasa bahagia, yang membuat cinta terasa begitu indah
adalah cinta memberiku kuasa yang sesungguhnya, untuk pertama kalinya
dalam hidupku. Karena tidak ada hal lain yang lebih penting. Sesederhana im
pokoknya. Tidak ada yang lebih penting daripada cinta.
Si Penyihir Jahat dari Flat NW6 boleh mengeluh dan mengancamku sesuka
hatinya, atau menolak memberiku uang saku, tapi semua im tidak penting. Aku
tidak peduli. Dia seperti singa ompong tak bercakar yang mengaum-ngaum di
sirkus. Aku memang masih tinggal di flatnya, tapi pikiran dan hatiku sudah
lama hengkang dari sana. Hal yang sama terjadi juga di sekolah. Sekarang, benar-benar tidak ada
alasan mengapa aku mesti memikirkan hal-hal membosankan seperti sains dan
sejarah. Begitu aku menginjak usia enam belas tahun, aku akan berhenti
sekolah, tinggal bersama Les, dan mencari pekerjaan. Saat itu, Les pasti
sudah jadi manajer, jadi dia bisa mencarikan pekerjaan untukku di
Blockbuster sampai kami memutus-kan tiba saamya untuk punya anak. Tak
lama lagi, aku pasti sudah sibuk menata flatku sendiri dan memasakkan makan
malam untuk teman-temanku yang datang berkun-jung, bukannya mengeram di
perpustakaan dengan kepala
Sudah di balik buku, berusaha menghafalkan nama orang yang memicu
terjadinya perang ratusan tahun lalu. Mak-sudku, memangnya aku harus
menunjukkan daftar nama raja dan ratu Inggris sesuai urutan kronologis
untuk bisa berbelanja di Salisbury" Tidak, kan"
Tapi, seperti biasa, para pengkhotbah itu tidak ada yang setuju denganku.
"Sebenarnya kau cukup pintar," Mrs. Mela, guru bahasa Inggris-ku,
berkata pada suatu siang. "Tapi sepertinya kau * tidak mau berusaha
melakukan apa-apa lagi."
Itulah sebabnya mengapa Mrs. Mela sengaja menahanku di kelasnya.
Karena aku tidak mau berusaha melakukan apa-apa lagi. Dia memergokiku
mengjrimkan surat pendek ke temanku, Amie, waktu dia sedang membacakan
Romeo and Juliet. Untuk yang kesekian kalinya.
Sebenarnya, aku memang benar-benar sedang malas melakukan apa-apa.
saat ini. Aku akan bertemu Les untuk minum teh bersama sebelum dia
memulai giliran kerjanya pada sore hari. Memangnya siapa yang- mau repot-repot ; mendiskusikan ketidaktertarikannya pada sastra Inggris bila orang im
akan berkencan" Kupandangi jendela di balik bahu Mrs. Mela, berlagak
mendengarkan dan memi-kirkan baik-baik perkataannya barusan.
Mrs-. Mela mendesah. Mirip banget dengan desahan Hillary Spiggs.
"Lana," kata Mrs. Mela dengan nada bersahabat, "apa yang akan terjadi
nanti bila kau selalu seperti ini" Sudah bermmggu-minggu kau tidak pernah
lagi mengerjakan PR. Kau juga mengganggu konsentrasi belajar teman-teman
sekelasmu yang lain..." Lagi-lagi dia mendesah dengan suara berat. "Aku
sangat prihatin." Aku memamerkan senyumku yang paling manis. "Anda tidak perlu
mengkhawatirkan apa-apa," kataku, meyakinkan
dia. "Saya mengerti maksud Anda, tapi Anda keliru. Saya
baik-baik saja kok." Mrs. Mela berdeham-deham. "Dan bagaimana dengan
masa depanmu"" tanyanya ingin tahu. "Apa yang akan
kaulakukan dengan hidupmu" Kalau melihat prestasi be-lajarmu selama ini,
lulus separo mata pelajaran yang
diujikan saja sudah untung." Sekarang, omongannya benar-benar mirip
ibuku. Jadi aku memberi jawaban sama seperti yang kuberikanpada ibuku dan
semua orang lain, supaya mereka tump mulut d
an berhenti menggangguku. "Saya rasa, saya akan menjadi artis. Saya sangat suka drama."
Sesungguhnya, akting adalah satu-satunya pekerjaan yang kusukai. Punya
banyak uang, pergi ke pesta-pesta, tidak periu memiliki kualinkasi apa-apa,
asal lolos audisi cukuplah sudah. Apa lagi yang lebih gampang daripada im" Kau
bah kan tidak perlu masuk sekolah akting, bila memang tidak mau. Banyak
sekali artis terkenal yang ditemukan saat sedang berjalan-jalan.
"Aku yakin istilah yang tepat sekarang ini adalah 'aktor' untuk semua
jenis kelamin," Mrs. Mela mengoreksi. "Dan bila kau memang suka drama,
Lana, Shakespeare itu kan drama, tapi sepertinya kau tidak terlalu suka
padanya." Itulah yang paling tidak kusukai dari para pengkhotbah, mereka seenaknya
saja memutarbalikkan kata-katamu demi mewujudkan maksud mereka.
"Maksud saya seperti di film," aku menjelaskan. "Anda tahu kan, seperti
Titanic. Atau film musikal." Film musikal
" sangat menarik minatku. Aku sudah menonton setidaknya enam film
musikal sejak berkenalan dengan
Les. "Semua orang bilang suara saya bagus sekali."
"Kau membutuhkan lebih dari sekadar suara yang bagus untuk bisa
bertahan di dunia ini," sergah Mrs. Mela. "Kau perlu bekerja keras dan
mendapatkan pendidikan formal yang baik."
Mrs. Mela mengantongi dua gelar sarjana, ditambah sam sertifikat untuk
jadi guru. Bila aku tipe orang yang tidak punya ambisi, dia justru kelebihart
ambisi. Bayangkan saja, dia tidak keberatan lho bersekolah selama dua puluh
tahun hanya untuk mengajar bahasa Inggris kepada se-gerombolan anak yang
lebih suka berada di rumah nonton "televisL
Aku membenahi letak tas sekolahku yang tersampir di pundak. 'Jadi im
saja"" Aku bersiap-siap kabur. "Saya harus segera pulang. Ibu saya sakit flu."
Dari cara Mrs. Mela mengerutkan keningnya padaku, aktf punya firasat
alasan "ibu saya sakit flu" im sudah pernah dia dengar sebelumnya. Mungkin
malah baru-baru ini saja.
"Berapa umurmu"" tanya Mrs. Mela. "Lima belas""
Tidak butuh gelar sarjana untuk bisa menebaknya, kan" Bukankah aku
sudah kelas sepuluh"
Aku mengangguk. "Lima belas tahun sudah cukup ma untuk mulai bersi-kap penuh tanggung
jawab," kata Mrs. Mela. Dia tersenyum penuh harap. "Asal kau mau sedikit
saja berusaha, kau bisa sedikit lebih dewasa dalam bersikap."
"Akan saya coba," dustaku. "Saya yakin bisa."
Aku tidak bisa membayangkan sikap dewasa yang bagaimana lagi yang
diinginkan Mrs. Mela dariku. Tinggal
satu tahun lagi dan setelah itu, aku akan meninggalkan
bangku sekolah selama-lamanya.
Sahabatku, Shanee Taylor, justru sangat jauh berbeda
dariku, bagaikan bumi dan langit.
Shanee bermbuh mungil, berkulit gelap, pendiam, dan sederhana, pokoknya
polos deh. Bila aku sangat mengge-mari mode, Shanee justru tidak bisa
membedakan DKNY dengan CK. Tambahan lagi, ibunya orangtua tunggal
dengan tiga anak, jadi mereka selalu bangkrut. Hampir setiap saat, Shanee
mengenakan jins tua. Dan, jangankan sepam-sepam "centil" berhak datar atau
tinggi, sepam olahraga yang biasa saja dia tidak punya. Ke mana-mana, dia
selalu mengenakan bot hiking dan bot tentara bekas yang mirip sepam para
pemain film Star Wars. Dan lupakan saja yang namanya make-up. Pernah, satu
kali, dia mengizinkan aku merias wajahnya, tapi hasilnya, dia malah
mengerang-ngerang terus tanpa henti dan tidak mau diam sampai aku nyaris
membuat bola matanya tertusuk. Dan, tidak seperti aku, Shanee orangnya
sopan, tingkah lakunya manis, senang bekerja keras, dan pintar di sekolah.
Pendek kata, dia anak sempurna.
Tapi walaupun kami sangat jauh berbeda, Shanee dan aku sudah
bersahabat sejak SD. Dia sudah menungguku di bagian depan sekolah waktu akhirnya Mrs. Mela
mengizinkan aku pulang. "Aku tadi sempat melihatmu masuk ke sana," kata Shanee. "Kenapa kau
dipanggilnya"" Aku mengangkat bahu dengan sikap cuek. "Yah, kau tahu sendirilah..."
Mana mungkin Shanee tahu. Dia tidak
pernah terlibat masalah apa-apa. "Dia memergokiku mem-erikan surat untuk Amie, dan waktu ditanya, aku tidak tahu drama tolol yang
kami baca sudah sampai di halaman berapa. Lalu, ternyata, aku tidak
membawa PR " "Ternyata"" Shanee tersenyum geli. "Apa maksudmu ternyata kau tidak
membawa PR"" Kupandangi dia dengan sebal. "Aku lupa ada PR." Tawa Shanee
menyembur. "Maksudmu, kau lupa merer* akannya."
Shanee tahu sekali bagaimana aku.
"Kurang-lebih begitulah." Aku menyeringai. "Si tua bangka cerewet im
Iangsung ngamuk. Jadilah aku terpaksa mendengarnya berkhotbah tentang
mau berusaha dan memikirkan masa depan dan semua omong kosong lain
sebangsanya." Shanee membetulkan letak tas sekolahnya yang tergan-tung di pundak.
"Kau pasti mengira seharusnya dia sekarang sudah bosan, memarahimu
terus mengenai hal im," kata Shanee.
Aku tertawa. "Tukang khotbah semuanya robot. Mereka tinggal
mengatakan hal yang sama berulang-ulang."
Shanee menendang kaleng minuman kosong yang meng-halangi langkahnya.
"Justru sebaliknya, menurutku akhir-akhir ini kau semakin menurunkan
standarmu yang sebenarnya sudah rendah im...."
Seandainya yang berkata begim ibuku, aku pasti akan menganggapnya
sebagai kritik, tapi karena Shanee yang mengucapkannya, aku tahu dia hanya
bercanda. "Kau tahu," lanjutnya, "dulu kau sesekali masih me-erjakan PR." Dia
tersenyum padaku. "Atau paling tidak, menyalin PR anak lain."
"Aku tidak mungkin menyalin PR bahasa Inggris anak
lain, karena kami disuruh membuat esai. Tambahan lagi, Amie payah dalam
pelajaran bahasa Inggris, padahal cuma
dia yang memperbolebkan aku menyalin PR-nya." Shanee tertawa. "Kadang-kadang, kau ini memang ke-terlaluan...."
"Sekarang aku punya kehidupan baru, Shanee. Aku tidak mau'tnembuang-buang wakm hanya untuk memikirkan apa yang ditulis orang yang sudah man*
ratusan tahun lalu. Im tidak redolent"
"Maksudmu relevant" Shanee mengoreksi. "Redolent im artinya berbau
harum." Aku mengibaskan tangan dengan sikap acuh. "Terse-rahlah apa katamu."
Shanee berhenti tepat di luar gerbang dan meman-dangiku dengan kepala
ditelengkan ke sam sisi. "Mau ke mana kau"" tuntutnya. "Pusat kebun kan ke kiri."
Saat im aku sudah berbelok ke kanan, ke arah kafe.
"Oh, aku belum bilang padamu, ya" Aku akan minum teh dengan Les,
sebelum dia berangkat kerja."
Mulut Shanee ternganga, membentuk huruf O besar.
"Bagaimana dengan proyek sains kita""
Kami bekerja berpasang-pasangan. Shanee dan aku harus mencari tahu
efek cahaya matahari dan air terhadap tanaman. Hari ini, seharusnya kami
pergi membeli benih. "Kau toh tidak membutuhkan aku untuk membeli sebungkus benih
tanaman." Shanee memang pendiam, tapi bukan berarti dia tidak keras kepala.
"Lantas, menanamnya bagaimana"" kejarnya gigih. "Me-mangnya kau mengharapkan aku mengerjakan semuanya seridiri""
"Aku pcrcaya kok padamu," -jawabku, meyaldnkan dia. "Aku yakin kau pasti
bisa melakukannya dengan sangat bait"
Shanee memutar bola matanya. "Ya sudah," tukasnya. "Siapa yang butuh
fotosintesis bila hidupnya sedang di-penuhi cinta""
Sepanjang siang hingga sore itu, aku lupa sama sekali pada Mrs. Mela dan
Shanee. Pokoknya aku bersenang-senang menikmati kebersamaanku dengan
Les. Usai minum teh, aku mengantar Les ke tokonya dengan berjalan kaki.
Karena pegawai lain yang seharusnya bekerja bersamanya di jam kerja malam
belum datang, maka aku pun membantunya bekerja di balik konter sampai
pegawai im datang. Tugasnya adalah memasukkan nama film yang dipinjam ke
dalam komputer. Nilai pelajaran komputerku cukup baik, jadi aku tidak
mengalami kesulitan apa pun. Les terkesan sekali.
"Aku duhi harus belajar lama sekali baru bisa membuka fikr Les
menghadiahkan ciuman kilat ke bibirku. "Ternyata, kau bukan cuma cantik,
tapi juga pintar." Sebelum ini, belum pernah ada yang menyebutku pintar.
Belakangan, ketika aku sedang mengembalikan beberapa film ke rak
masing-masing, Les muncul di belakangku dan meremas pundakku.
"Dan dia juga pekerja keras," katanya, seolah berbicara pada penonton
yang tidak kelihatan. "Apa lagi yang diharapkan seorang laki-laki""
Aku tertawa. Mrs. Mela dan Hillary Spiggs bisa k serangan jantung bila
mereka mendengar Les mendes-kripsikan aku sebagai "pekerja keras". Tapi, justru di situlah letak inti
persoalannya, bukan" Aku tidak keberatan
bekerja keras bila memang ad
a alasan yang tepat Tam-bahan lagi, aku
senang kok bekerja di toko video. Mem-buatku merasa dewasa dan penting.
Dan bertanggung jawab, persis seperti yang selalu didengung-dengungkan
orang padaku. Aku hampir saja membalas ciuman Les, tapi saat itu, ada orang masuk ke
toko. Les buru-buru mendorongku jauh-jauh.
'Tidak boleh berpacaran saat jam kerja," bisiknya sambil meremas
pundakku lagi. Sekujur tubuhku bergetar. Rasanya seperti menyimpan rahasia yang orang
lain tidak tahu. Dewasa banget, kan"
Pegawai yang lain baru muncul menjelang jam 18.00, jadi setelah
menunggunya mempersiapkan did untuk mulai bekerja, lalu berpamitan dengan
Les, dan berjalan kaki pulang, aku baru sampai di rumah selepas jam 19.00.
Dia sudah menungguku di dapur, minum bir sambil membuat kari.
"Dari mana saja kau""
"Pergi." Tentu saja aku tidak bercerita pada"jw tentang Les. Itu kehidupan
pribadiku yang kusimpan untuk diriku sendiri, tidak ada hubungannya dengan
dia. Soalnya, paling-paling dia nanti hanya akan menghancurkannya. Tambahan
lagi, ibuku mungkin juga ingin bertemu dengan Les. Tahu sendirilah, untuk
memeriksa giginya, maksudnya mendekati aku, dan lain sebagainya. Hal-hal
yang cuma bikin pusing. Walaupun misalnya Les tidak lantas takut aku bakal berubah menjadi'
seperti monster ma yang rambutnya dicat dan sclera berpakaiannya buruk
dan meskipuo ibuku tidak Iangsung memberitahu Les berapa umurku
sebenarnya tapi aku yakin ibuku pasti bakal Iangsung membeberkan semua
kejelekanku hingga mem-buat Les sebal setengah man padaku. Rasanya aku
bisa mendengar suaranya menggema di telingaku. "Tahukah kau, dia itu suka
memotong kuku kaki di karpet ruang tamu" Apa kau sudah lihat keadaan
kamar tidurnya' yang seperti kapal pecah" Dia im kasar, tahu. Dia pernah
melempar remote control ke luar jendela pada musim dingin yang lalu, hanya
karena aku menyuruhnya mengerjakan PR..." Memang begitulah sifat ibuku.
Kerjanya mengomeL mengomeL mengomel terus. Dan, yang lebih parah lagi,
kalau saja dia tahu aku punya pacar yang datang ke rumahku sehabis kerja
malam bila dia kebetulan sedang pergi ke rumah Chariey, dia pasti akan
nongkrong terus di rumah. Aku tahu bagaimana dia. Dia kejam. Rela melakukan
apa saja untuk menghancurkan kesenanganku.
Ibu meletakkan pisau yang sedan tadi digunakannya unmk memotong-motong wortel.
"Pergi ke mana""
Kulempaf tas sekolahku ke atas meja dan kusampirkan jaketku ke kursi.
"Mengerjakan proyek sains dengan Shanee. Makan jam berapa kita""
Ibu menatapku dengan pandangan yang seolah bisa membaca isi benakku.
"Aku tadi ditelepon Mrs. Mela."
Dia mengucapkannya dengan nada mengancam. Kurasa dia memang
bermaksud mengancamku. Aku meraih sebuah apel dari mangkuk buah. "Aku
masih sempat mandi, tidak""
Ibu menyandarkan badannya ke konter, bersedekap, dalam posisi siap
memarahi seperti biasanya.
"Menurut Mrs. Mela, nilai-nilaimu merosot."
Kugigit apelku. "Shakespeare membosankan. Aku tidak mengerti."
Aku bisa melihat ujung lidahnya di antara bibir.
"Karena itulah kau belajar Shakespeare di sekolah. Supaya ada yang
menerangkan artinya padamu."
"Yah, gitu deh...." Lagi-lagi kugigit apelku. "Well, aku sudah melakukannya
kan di sekolah""
"Rupanya tidak," bantah Hillary Spiggs. "Sepertinya, kau malah sibuk
Aku Sudah Dewasa And Baby Makes Two Karya Dyan Sheldon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menulis surat dan bercanda di sekolah."
Aku mulai beranjak meninggalkan dapur. "Aku mau mandi dulu sebelum mak
" "Kau harus tetap di sini dan menjelaskan semua masa-lahnya padaku."
Kutatap matanya dengan wajah tanpa ekspresi. 'Tidak ada masalah apa-apa. Aku cuma tidak suka Shakespeare."
"Kata Mrs. Mela, bukan cuma di kelasnya saja kau bersikap begitu."
"Well, dia salah."
Si muka bam ma itu bergeming.
"Pasti ada sesuatu," katanya gigih. "Sejak hari ulang tahunmu kemarin,
sikapmu aneh sekali." Dia menyipitkan matanya dengan sikap curiga. "Kau
bertemu seseorang kan, Lana" Im kan penyebabnya""
Meski tidak menganggap ibuku sebagai orang paling tolpl di seluruh muka
planet ini, tapi aku memang menganggap dia tolol. Maksudku, dia tidak tahu
apa-apa tentang /in hidup, cinta, atau hal-hal semacam itu. Dan bila dia pernah hidup di bawah
usia tiga puluh tahun, dia meng-hapus segala ingatannya tentang masa im. Tapi, ada
kalanya dia membuatku terkejut Seperti sekarang, misalnya, Bagaimana
dia bisa tahu" 'Tentu saja aku bertemu orang lain." Aku tersenyum manis sekali. Sikapku
yang sok lugu im selalu membuatnya marah sekali. "Aku bertemu lusinan orang
setiap hari. Shanee, Amie, Gerri, MeryL Lisa "
"Sudahlah," sela si interogator ulung. 'Tidak usah repot-repot
menyebutkan daftarnya padaku. Kau mengerti mak-sudku. Apa kau bertemu
secara khusus dengan seseorang" Cowok""
Kulempar biji apelku ke keranjang sampah. "Agak susah juga bila dibilang
aku tidak bertemu cowok. Sekolahku kan sekolah campuran""
Ibuku meraih gelas birnya. "Ya," tukasnya. "Aku ingat benar."
Tidak Persis Seperti Romeo dan Juliet
"BAGAIMANA proyek sains kalian"" tanya Amie saat kami sedang
istirahat makan siang. Shanee menginjak kotak bekas susu sampai gepeng.
"Oke-oke saja. Semua tanaman menunjukkan pertum-buhan sesuai
perlakuan yang diterima. Ngerti kan, hasilnya berbeda-beda, tergantung
berapa banyak cahaya matahari dan air -yang mereka dapatkan.... Sejauh ini
sih belum ada yang mati." Dia memandangiku. "Bagaimana dengan tanamanmu,
Lana"" Aku kontan mengerang. "Ya Tuhan, tanaman-tanam-anku...."
Shanee membeli benih, menanamnya, lalu memisahkan tumbuhan-tumbuhan
im ke dalam pot-pot kecil, lalu memberiku selusin untuk dirawat. Aku diminta
meletakkan tiga pot di tempat yang hanya mendapat sedikit cahaya matahari,
tiga di tempat yang kurang cahaya matahari, tiga lain-nya di tempat yang
sama sekali tidak terkena cahaya matahari. Aku harus memeriksanya setiap
hari dan membuat catatan. Tujuannya adalah melakukan pengamatan ilmiah.
"Aku lupa sama sekali pada tanaman-tanaman im.... Habis, belakangan ini
aku sibuk banget...."
"Yang jelas bukan sibuk mengerjakan PR," sindir Gem; Shanee menahan
senyum. "Memang bukan," timpal Amie dengan suara seperti
anak kecil. "Tapi dengan Les____" Lalu dia melayangkan
pandangan kesal padaku. "Katamu dia punya pekerjaan. Tapi kenapa
sepertinya dia tidak pernah bekerja""
"Kau tahu, bukan cuma kau satu-satunya orang yang punya cowok, Lana,"
tegur Gerri. "Orang lain juga punya pacar dan sesekali masih bisa
menyelesaikan tugas yang diberikan kepada mereka."
Sepertinya ada makhluk lain yang merasuki mereka. Bukan makhluk luar
angkasa, tapi pengkhotbah. Mengapa tiba-tiba semua orang jadi begitu
cerewet" "Aku tidak pernah bilang bahwa aku satu-satunya orang yang punya cowok
di dunia ini," bentakku kesal. "Aku cuma bilang bahwa belakangan ini aku
sibuk." Amie mendengus. "Begitu, ya."
"Memangnya kemarin malam kau ngapain"" tanya Shanee, si juru damai.
"Ada yang menarik""
Dua temanku yang lain terkikik-kikik.
"Tidak ada yang istimewa. Si monster tua pergi ke rumah Chadey, jadi
sepulang kerja Les ke rumahku dan kami ngobroL"
Dua minggu pertama setelah pacaran, Les dan aku memang sering jalan
bareng. Pergi ke taman dan minum teh di kafe; nonton film di bioskop; makan
malam bersama di restoran piigci dekat stasiun; jalan-jalan naik mobil ke
Hendon karena Les senang mengendarai mobil dan berputar-putat sesuka
hatinya. Tapi, seiring dengan
berjalannya wakm, tidak ada lagi hal istimewa yang kami lakukan. Bukannya
aku mengeluh Iho. Aku tidak mengeluh. Disuruh duduk di depan dinding yang
baru dicat. dan menunggu camya kering pun aku mau, asal bersama Les.
Tidak melakukan apa-apa bersama Les masih ratusan kali lebih
menyenangkan daripada melakukan sesuatu dengan orang lain. Aku akan
menemuinya untuk minum teh bersama sepulang sekolah, atau aku mampir ke
tokonya, dan, bila kebetulan Hillary pergi, dia akan datang ke rumahku sekitar
jam 23.30 atau jam 24.00, setelah dia selesai bekerja dan pub-pub tutup.
Paling-paling kami non-ton televisi sebentar, lalu berciuman, dan setelah itu,
dia pulang. Les tidak pernah mengajakku ke rumahnya, karena dia tinggal
bersama empat cowok lain, jadi tidak ada privasi di sana. Padahal, dia ingin
berduaan saja denganku. Gerri melirikku. "Kau sudah tidur dengannya""
Gerri sudah berhubungan seks sejak
sebelum berulang tahun yang
keempat belas. Jadi, praktis sejak dia masih tiga belas tahun. Setidaknya,
begitulah menurut penga-kuannya. Dia tidak pernah mengungkapnya secara
men-detail. "Tidak, belum." Kuremas kertas pembungkus rotiku. "Les im gentleman.
Dia tidak pernah memaksaku."
Memang benar begim, meski tak urung im membuatku sedikit bingung juga.
Padahal, major saja bila cowok me-nyukai seks; wajar bila mereka suka
memaksamu melaku-kannya. Tapi Les tidak pernah. Kami memang sering
berciuman di mobilnya, juga di flatku bila kebetulan Hillary sedang tidak ada,
kami bahkan pernah berciuman beberapa kali di kantor Blockbuster, tapi dia
tidak pernah berusaha melakukan lebih jauh dari ita. Aku memang
jarang memikirkan hal itu, tapi bila kebetulan terpikir olehku, aku tidak
bisa memutuskan apakah ada sesuatu yang tidak beres dengan Les, atau
denganku. Ternyata, bukan cuma aku satu-satunya yang merasa heran.
"Oh, yang benar sofa____" Tawa Amie menyembur. "Apa
kau yakin tidak ada yang tidak beres dengan dia""
"Jangan-jangan dia gay" seloroh Gerri. "Hanya saja dia belum
menyadarinya." Aku juga pernah menonton film itu.. Hanya saja, cowok yang diperankan
oleh Kevin Kline jelas-jelas gay. Maksudku, luar biasa banget bila hal itu sama
sekali tidak terpikir kan olehnya atau orang lain. Sedang Les sama sekali
tidak seperti im Kembali Shanee turun tangan menengahi.
"Mungkin mereka benar-benar berhubungan serius," katanya. "Kita tidak
bisa Iangsung mencap seorang cowok sebagai gay hanya karena dia tertarik
pada hal-hal lain " selain seks."
'Tepat sekali." Aku memang selalu bisa mengandalkan Shanee. 'Tidak
semua cowok gila seks, tahu."
"Ingin berhubungan dengan pacarmu bukan gila seks," Amie menyergah tak
mau kalah. "Im wajar namanya."
Senyum Gerri sama licinnya dengan jejak lintah. "Kau kan sudah
berpacaran dengan Les sekian lama. Paling tidak seharusnya dia pernah
mengajakmu." Aku mengangkat sebelah alia. "Dari mana kau tahu dia belum pernah
mengajakku"" Tawa Amie kontan meledak "Oh, mengerti aku sekarang," sergahnya.
'"Jadi bukan Les yang gay. Tapi kau."
Secara pribadi, menurutku, hidup akan jauh lebih mudah
bila dilengkapi berbagai instruksi. Mengerti kan, seperti yang terdapat
dalam kardus video atau stereo system. Dengan begitu, kau tidak perlu
pusing-pusing memikirkan apa
yang pantas atau tidak pantas dilakukan.
Karena menurutku artikel-artikel dalam majalah selalu bisa membantu,
maka hari im aku Iangsung pulang dan mencari tulisan yang kira-kira sama
dengan masalah yang saat ini kuhadapi. Majalah menggunung bertumpuk-tumpuk di rumahku, karena ibuku selalu berniat membawanya ke tempat daur
ulang tapi selalu batal. Kupikir, di salah satu majalah im pasti ada tulisan yang
mirip dengan persoal-anku. Kalau bukan berupa artikel, ya surat yang dikirim
ke pengasuh rubrik psikologi:
Dear Auntie, Saya sudah berpacaran selama satu tahun, tapi pacar saya
belum pernah mengajak berhubungan seks. Padahal kata orang saya cantik.
Mengapa begitu" Tidak banyak yang bisa kutemukan. Ada banyak artikel tentang pakai an,
rias wajah, olahraga, perbedaan antara pria dan wanita (siapa tahu kau belum
menyadarinya), serta hal-hal lain semacam itu, tapi tidak ada yang persis
sama dengan masalahku. Lalu ada sufat di majalah Cosmo, atau mungkin di majalah Marie Claire,
dari seorang wanita yang suaminya tidak pernah mau berhubungan seks lagi
dengannya. Sudah ldra-kira empat bulan. Pengasuh ensit psikologi menjawab
bahwa sang suami mungkin kelelahan dan ensit karena tekanan di tempat
kerja, Menurutnya, wanita pada umumnya mengira bahwa pria ingin
berhubungan seks setiap wakm, padahal im tidak benar. Pria juga manusia,
sama seperti wanita. Ada kalanya mereka merasa ingin berhubungan seks,
tapi ada kalanya juga tidak. Bila
kau letih sehabis bekerja keras seharian, katanya, kau
tentu tidak ingin bermesraan lagi begitu sampai di rumah. Begitu juga
lelaki. Walau tidak banyak yang ens kudapat dan majalah, tapi aku merasa lega
karena pria ternyata memang tidak
harus bemafsu terus setiap waktu. Kenyataan im sedikit mengu
rangi beban pikiranku. Maksudku, bukan berarti ada yang tidak beres dengan dia
atau aku, kan" Memang begitulah hidup.
Kemudian aku ingat pada sebuah film yang pernah kutonton. Film im
bercerita tentang pria dan wanita yang hidup bersama, tapi hanya sebagai
teman. Mereka berte-man dekat, tapi si pria tidak pernah memancing-mancing atau melakukan pendekatan apa pun. Si wanita heran sekali dan tidak
tahu apa sebabnya. Ternyata, si pria tahu teman wanitanya pernah diperkosa
dan takut berhubungan seks. Itulah sebabnya mengapa si pria memutuskan
mereka lebih baik berteman saja, karena si pria ensit pada si wanita dan
tidak ingin kehilangan dia. Setelah si wanita mengetahui ensiti yang
sebenarnya, dia merayu si pria dan semua akhirnya beres.
Situasinya memang tidak persis sama antara aku dan Les, tapi cukup
mirip. Les tidak tahu aku baru berumur lima belas tahun, tapi dia tahu aku
belum pernah punya cowok sebelumnya. Dia mungkin hanya bersikap ensitive
dan bijaksana. Dia memang orang yang sangat ensitive dan bijaksana. Dia
tidak ingin mengambil kesempatan. I
Dua malam setelah pembicaraanku dengan Amie, Shanee, rerri, aku baru
bertemu lagi dengan Les. Dia mene-leponku pada hari Jumat dan berkata bahwa dia akan ensit, tapi karena
ada teman kerjanya yang hendak menikah, mereka akan pergi minum-minum
untuk mera-yakahnya, jadi dia akan ensit lebih malam daripada biasanya. Aku
yakin sekali dia akan ensit. Hillary selalu pergi ke rumah Charley setiap Jumat
malam. Saat im aku sudah merancang rencana di otakku. Kupi-kir, sekaranglah
saatnya. Maksudku, karena aku toh sudah tahu bakal menikah dengan Les dan
punya anak darinya, aku tidak melihat ensiti mengapa aku harus menahan-nahan. Semakin cepat kami memulai, semakin cepat pula aku meninggalkan
Hillary Spiggs. Tapi aku tidak akan merayu dia. Aku merasa belum ens merayu orang.
Ibaratnya, tidak mungkin bekerja sebagai tukang manikur di salon bila kau
belum pernah dimanikur. Lagi pula, karena Les belum berpengalaman dengan
wanita, kupikir dia mungkin juga tidak mengerti bila dirayu. Mungkin yang dia
butuhkan hanyalah sedikit dorongan. Semua majalah sependapat bahwa tidak
semua pria sangat percaya diri dalam hal seks. Apalagi bila orangnya ensitive
seperti Les. Jadi aku sengaja akan mem-berinya kesempatan merayuku, tanpa
dia harus menebak-nebak apakah akan ditolak atau tidak.
Begim ibuku pergi, aku Iangsung menyiapkan air mandi untuk berendam.
Kumasukkan tiga bola minyak mandi dan memutar album George Michael
untuk menimbulkan perasaan seksi. Aku berbaring di sana, menggunakan jari-jari kakiku untuk memutar keran air panas untuk me-nambah ketinggian air,
sambil membayangkan Les merayuku.
Sini, biar kupijat punggungmu, dia berbisik Biarkan!
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
yang kannya pasti lebih dari satu orang. Di kaMMI banyak hanya ada dua
puluh lilin, tapi dibuwhkan waktt
menyalakan dua-tiga batang, eh yang pertama padam. Atau, setelah
berhasil menyalakan enam batang yang kuletakkan di atas rak berlaci,
separonya Iangsung padam begim aku berjalan mdewatinya. Setelah semuanya
berhasil dinyalakan, seluruh penjuru kamar penuh asap, seolah baru terjadi
tembak-ternbakkan di situ. Beberapa lilin yang pertama disulut sudah mulai
padam lagi. Aku sedang menyemprotkan sedikit parfum Opium ke udara, untuk
menghalau bau belerang yang timbul dari banyaknya korek api yang kusulut,
ketika mendengar bel pintu berdering.
Aku berlari ke ruang depan, menarik napas dalam-dalam, lalu tersenyum.
"Halo, babe." Les mencondongkan badan ke arahku dari ambang pinta. Tatapannya
seperti spons menyerap losion tumpah. "Benarkah yang di balik kemejamu im
bikini"" Sorot matanya nanar dan senyumnya kaku, seperti orang yang melihat
penari telanjang beraksi di bar topless. Aku bisa merasakan wajahku
memerah. Tuhan member-katimu, Ellen Baridnl
'"Begitulah." Setengah dari diriku ingin para tetangga melihatku berciuman dengannya
di depan pintu, tapi setengahnya lagi tahu bila mereka melihat kami
berciuman, cepat atau kmbat, salah seorang di antara mereka pasti bakal
mela-porkannya pada ibuku.
Jadi, kutarik Les ke dalam, da
n dia nyaris terjerembap melewatiku.
Aku melemparkan kepalaku. sedemikian rupa supaya dia elihat anting-antingku. Anting-anting panjang sangat seksi.
"Sepertinya kau habis bersenang-senang," godaku. Les menyandarkan
punggungnya di ambang pinta masuk menuju ruang tamu, menyeringai Tebar
seperti labu Halloween. "Video," gumamnya. "Kami nonton video..." Senyum buah labu im berubah
menjadi seringai menggoda. "Akan jauh lebih menyenangkan bila ada kau
di sana tadi." "Benarkah"" dengkurku. "Kau yakin"'
Les menelan ludah dan mengisap bibirnya. Kepalanya mengangguk-angguk.
"Kau kelihatan cantik." Dia membentangkan kedua lengannya. "Mau cium
aku tidak"" Kubasahi bibir sambil berjalan menghampirinya, lambat-lambat.
"Mungkin..." Kata "mungkin" selalu membuahkan hasil.
Les menerjang maju, mendesakku ke dinding. Dia lebih besar daripadaku.
Aku tidak berdaya di bawah tindihannya. Rasanya sangat menggairahkan. Bau
napasnya seperti bau dapur ibuku setelah pesta usai, tapi kesannya jantan
dan nyaris memabukkan. Kecuali bila sekarang ini aku sedang mabuk karena
keracunan asap. "Aku akan menciummu sampai Peter Pan tumbuh besar...." bisikku.
Kalimat im kucomot dari adegan film, tapi Les tidak mengenalinya.
"Seharusnya kau menjadi penulis." Bibirnya menyentuh bibirku. "Atau
pencium profesional...."
Sukar dipercaya! Kami sudah sata setengah bulan berpacaran tapi aku
bahkan belum pernah melepas braku. Sekarang, tiba-tiba saja Les sudah
Aku Sudah Dewasa And Baby Makes Two Karya Dyan Sheldon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengerayangiku di mana-mana. Lidah, tangan, lutut, bahkan wajah. Dia
menggesek- gesekkan pipinya ke pipiku. Rasanya seperti dijilat kucing yang sangat
besar dan kuat. Aku tak menggubris rasa sakit yang kurasakan dan balas
menggesek-gesek. Orang yang paling tidak ingin kulihat sekarang ini (atau
selama-lamanya) adalah Hillary Spiggs, tapi anehnya, sebenarnya aku ingin
juga dia melihatok* sekarang. Coba lihat gadis kecilmu, Mrs. Spiggs, lihat
baik-baik dan terimalah! "Ayo, ke tempat tidur."
Aku berbicara dengan suara pelan, seperti yang biasa dilakukan artis-artis
di film romantis, dan wajahku me-nempel erat di lehernya, jadi aku tidak
yakin apakah Les mendengarku atau tidak. Kudorong dia.
"Sudah malam... ayo, ke kamarku..."
Tak terpikir sama sekali olehku bahwa semuanya akan semudah ini
"Tempat tidur," ujar Les, dan dia seperti terjerembap ke belakang.
Aku cepat-cepat memegangi badannya dan menggiring-nya ke lorong.
Aku mengulurkan tangan melewati badannya dan mem-buka pinm kamarku.
Kurasa dia tidak sadar, karena dia merangsek maju, menarikku besamanya.
Lalu dia Iangsung menegakkan badan secara tiba-tiba hingga aku menubruk
punggungnya dan terempas kembali ke pinta. -"Ya Tuhan!" Aku tidak pernah mendengar Les berteriak dengan suara
setakut ita. "Kebakaran!"
Sesaat, aku mengira kamarku benar-benar terbakar. Soal-nya, aku sudah
lupa sama sekali pada lilin-lilin im. Bahaya kebakaran memang bisa. saja
terjadi Aku memandang berkeliling, lalu mengembuskan napas
'Tidak apa-apa," kataku meyakinkan dia. Tidak ada benda lain yang
terbakar selain lilin. "Im cuma nyala
lilin." Les mengangguk, lambat-lambat, seolah yang kujelaskan itu sesuatu yang
sangat rumit dan dia sedang berusaha
mencerna semuanya. "Oh, benar. Lilin."
Aku separo mengira dia akan meraupku dalam peluk-annya dan
membopongku, seperti Nicolas Cage meraup Cher di film Moonstruck, tapi
aku merasa harus bersikap adil. Bagaimanapun, Les sudah cukup kepayahan
membawa dirinya sendiri, apalagi kalau mesti membopong aku juga
Les menyambarku, lalu mulai menjilati telingaku. Im sedikit
mengingatkanku pada anjing nenek
"Kau membuat lilinku menyala," gum am Les.
"Sama," gumamku. "Belum pernah aku merasa seperti ini sebelumnya."
Les bersendawa. "Aku juga." Dia mengelus dadaku. "Aku juga belum pernah
merabamu seperti ini."
Keadaan menjadi sedikit panas sesudahnya. Belum pernah aku melihamya
senafsu itu. Dan karena dia begitu bersemangat, aku juga ikut-ikutan
bersemangat Adegan-adegan penuh gairah berkelebat di depan mataku.
Beberapa bahkan berwarna hitam-putih.
Sambil berciuman dan seperti saling memanjad, akhirnya kami sampai juga
di tempat tidur. Aku membantu Les melepas sepam dan celana panjangnya.
Aku harus mening-galkannya sebentar, untuk menyalakan stereo, tapi waktu
aku kembali, dia sudah telentang di tempat tidur dengan senyum menghias
wajah. "Sayang...." erangnya. "Sayang... sayang..."
Aku naik ke sebelahnya. Kedua mata Les terpejam, tapi dia Iangsung merengkuh tubuhku dan
menyurukkan kepala ke badanku. Kalanya menggesek-gesek kakiku.
"Kulit...," gumam Les, menyentakkan braku. "Kulit bertemu kulit..." Kulit
bertemu kulit.... Perkataan paling dewasa yang pernah diucapkan sese-orang kepadaku.
Kucium dia dengan penuh gairah. Dia balas menciumku.
Berkali-kali. Kami berciuman, mengerang-ngerang, dan lain sebagai-nya, kemudian Les
mulai mendesakkan mbuhnya ke tubuhku. Aku bisa merasakannya meraba-raba kian kemari di antara kami.
Dorong... dorong... menggeram... menggeram...
"Tidak ketemu," desah Les.
Aku tidak begitu tahu apa yang dia cari.
Kemudian, sesuam yang menyakitkan menyentakkanku dan bola mata Les
berputar-putar, seolah dia sedang kejang-kejang, dan sejurus kemudian, dia
berguling telen-tang. "Astaga," katanya dengan napas terengah-engah. "Kau juga baru pertama
kali ini melakukannya""
Kedengarannya memang aneh, tapi sebenarnya aku tidak benar-benar tahu
apa yang terjadi hingga detik itu-Pertama sekali, aku tidak ingat melihat Les
memakai pengaman. Aku memang tidak yakin, tapi aku mendapat kesan im
tidak bisa dilakukan jauh sebelumnya. Tambahan lagi, seks ternyata tidak
seperti yang kubayangkan.
Aku bertumpu pada sam siku dan menyandarkan
di dadanya. "Maksudmu, kau juga tidak pernah melaku
kannya sebelum ini"" Les memandangi langit-langit. Dia menggeleng.
"Menu-rutmu bagaimana"" tanyanya. Kukecup sisi kepalanya. "Menuruta*
bagaimana"" Les menyeringai. "Menurutku, tadi asyik sekali." Kubaringkan kepalaku di
bahunya. "Menurutku juga begitu."
Bumi Memanggil Lana Spiggs
KALAU kuingat-ingat lagi sekarang, sepertinya tidur dengan Lies
membuatku seperti selalu dalam keadaan trance. Seperti dalam cerita
dongeng, tapi sebaliknya. Ciuman sang pa-ngeran justru tidak
membangunkanku, tapi membuatku tertidur.
Segala sesuam berputar di sekelilingku seperti kabut Aku bergerak
seperti robot, makan, tidur, nonton televisi," membawa buku-bukuku ke dan
dari sekolah, tapi tidak benar-benar menghubungkan semua kegiatan im
dengan otakku. Yang ada dalam pikiranku hanyalah masa depan. Masa depanku
bersama Les. Kota Zamrud di kisah Oz tidak ada apa-apanya dibandingkan
khayalanku tentang masa depan.
Aku butuh waktu yang lama sekali untuk sampai di suatu tempat, karena
selalu berhenti untuk melihat sesuatu. Aku membaca kertas-kertas
pengumuman yang tertempel "di jendela kantor agen real estate, mencari flat
yang cocok untuk Les dan aku. Aku juga mampir di setiap toko perabot yang
kulewati (kecuali toko barang bekas) untuk,
melihat-lihat barang yang dijual di sana. Aku bahkan pernah nekat pergi
melihat-lihat toko yang menjual kereta bayi dan perlengkapan anak lainnya.
Tidak ketinggalan, aku juga meneliti semua katalog ibuku, terutama yang
dari Argos dan Ikea, berulang kali. Aku memilih wajan, panci, dan handuk
yang bakal dimiliki Les dan aku. Aku juga memilih perabot dan gorden. Aku
membayangkan orang-orang datang ke rumahku dan mengagumi kepan-daianku menata rumah. "Semuanya hasil dekorasi Lana," kata Les bangga.
"Dia istri yang sempurna." Aku bahagia.
Akhirnya aku benar-benar menjadi wanita yang utuh;
jadi tentu saja aku bahagia.
Tidak semuanya indah dan tenang. Seperti kata nenekku, ibarat luka yang
selalu mengundang lalat, begitu juga cinta. Jelas, ada lalat yang mengusik
ketenangan cintaku. "Lalat" yang terbesar adalah ibuku dan pacarnya. Hillary dan Charley
selalu saja bertengkar hebat sebelum NataL kemudian mereka pums
hubungan untuk "selama-lama-nya". Mereka sudah berpacaran selama enam
tahun, dan selama enam tahun berturut-turut, selalu pums untuk "selama-lamanya" menjelang Natal.
"Ini yang terakhir!" begim Hillary akan berteriak. "Aku tidak sudi bertemu
lagi dengannyal" I Berikumya dia aka n mengeluarkan semua hadiah yang pernah diberikan
Charley untuknya (kecuali yang besar-besar seperti televisi dan stereo, tenm
saja) lalu memasukrj kannya ke kardus dan meninggalkannya di ruang depan,
untuk diambil oleh Charley. Tapi Charley tidak pernah
mau mengambilnya. Biasanya, mereka akan berbaikan
sesudah Han Natal, sehingga selalu pergi bareng pada
Malam Tahun Baru. Tahun ini persis sama seperti tahun-tahun sebelumnya.
Tanggal 10 Desember (sedikit lebih cepat daripada biasanya) ibunya
menyatakan bahwa dia dan Charley sudah' pums untuk "selamaJamanya", dan
bertanya apakah aku mau pergi ke bioskop bersamanya malam itu.
Pertengkaran ibuku dengan Charley benar-benar mem-buat kehidupan
cintaku yang baru berantakan. Karena Hillary hampir tidak pernah pergi lagi
kecuali dia bisa menyeretku bersamanya, Les jadi tidak bisa datang lagi ke
rumahku. Dan aku juga tidak bisa lagi pergi seenaknya tanpa mengarang
alasan untuk pergi ke suatu tempat, bersama seseorang yang bukan Les.
Dengan tidak adanya Charley yang menyita perhatiannya, Hillary mengawasiku
seperti dang. Aku baru mulai menyesuaikan diri dengan semua itu ketika Hari Natal
benar-benar tiba. Les harus pergi ke Norwich selama satu. minggu untuk
menengok ibunya. Pada malam menjelang keberangkatannya, dia mengajakku
ke rumahnya untuk pertama kali. Tidak ada orang di rumah, karena semuanya
sudah pergi berlibur. Paling tidak kami punya kesempatan melakukannya lagi.
Rumah Les sama seperti rumah-rumah lain di jalan ita Rumah keluarga
yang nyaman, sedikit mewah. Tidak ada flat atau rumah susun di daerah
tempat tinggal Les. Meski begitu, bagian dalamnya berbeda, karena rumah itu tidak memiliki
ruang tamu, hanya lima buah kamar dan sebuah dapur. Sam-satunya ruangan
yang kulihat selain kamar Les adalah dapur. Dapurnya bersih sekali
padahal lima cowok tinggal sekaligus di situ, tapi Les sendiri orangnya
sangat rapi. Bahkan waktu membuatkan teh, dia Iangsung mencuci sendoknya
dan meletakkannya di rak piring sebelum kami membawa cangkir kami ke
lantai atas. Kamar Les yang paling kecil. Di dalamnya ada pesawat televisi, kasur yang
dihamparkan di lantai, dan seperangkat
komputer. "Bagaimana"" tanya Les. "Apa pendapatmu"" Kamarnya bersih dan rapi,
tapi agak kosong. Menurut pendapatku, kamar im membutuhkan sen tuhan
tangan wanita. "Bagus," jawabku. 'Tapi perlu ditambah beberapa fdto. Kau tahu kan,
supaya kesannya lebih hangat."
Les menyeringai padaku dengan sikap sayang. "Itu tidak pernah
terpikirkan olehku."
Aku menghadiahi Les sweter longgar yang keren banget dari Covent
Garden. Dalam balutan sweter itu, dia jadi mirip Kevin Costner. Mahalnya
minta ampun sampai-sampai aku hanya bisa membelikan hadiah cokelat untuk
yang lain-lain. Les memberiku gelang rantai dari Argos. Ada hiasan bandulnya berbentuk
hamburger kecil,-disepuh emas.
"Mengingatkanku padamu," kata Les. "Kau suka""
Memang bukan bandul berbentuk jantung hati dari emas, tapi jelas aku
sangat menyukainya. "Suka sekali!" pekikku. "Ini hadiah paling indah yang pernah kuterima."
Kupeluk dia erat-erat. Tapi tidak semua seindah im malam ini.
Kami berguling-guling di kasurhya yang kecil, lutut
kami menghantam dinding dan siku kami saling mem-ben tur, tapi tidak
terjadi apa-apa, kecuali cangkir-cangkir teh terguling kena tendang. <
Les meminta maaf. Menurut dia, penyebabnya karena selama ini dia tinggal
dengan banyak orang lain. Dia jadi waswas terus. Walaupun mereka semua
sudah pergi, dia tetap saja khawatir salah seorang dari mereka tahu-tahu
nongol dan masuk ke kamarnya. Karena-memang begitulah sifat teman-teman
serumahnya. Aku berusaha mengerti. Hal semacam im memang selalu terjadi di televisi.
"Tidak apa-apa kok," hihurku, meyakinkan dia. "Hal petti ini biasa terjadi
pada setiap orang." "Kau baik sekali," kata Les. Dia mengecup keningku. Dan
sangat dewasa untuk gadis yang baru berusia delapan las tahun."
Mungkin aku tidak akan bersikap sedewasa im kalau ja aku tahu bahwa im
akan menjadi kebersamaan kami terakhir hingga bermmggu-minggu kemudian.
Sejak dulu aku menyukai Hari Natal, apalagi wakm aku masih kecil,
tapi tahun ini, Natal berjalan dengan sangat lambat dan suasananya sangat
membosankan. Seperti biasa, seluruh anggota keluargaku pergi ke rumah
Charlene, karena dia yang memiliki anak Juga, seperti biasa, nenek-kulah yang
ke bagian jatah memasak semua makanan, sementara anak perempuan dan
cucu-cucu perempuannya (kecuali yang satu ini, tentu saja) asyik mmum-minum. Setiap tahun, Dara memaksa kami duduk dan mende-ngarkan album
Phil Spector sebanyak paling sedikit selusin
kali. Setiap tahun pula, semua orang - memohon-mohori agar dia jangan
memutar album im. Hillary mendekam selama delapan jam penuh di dapur,
menangisi Charley. Setiap kali aku membuka pintu dapur karena disuruh
mengambil sesuam di sana, aku mendengarnya mengatakan hal yang im-im
juga. "Pokoknya sekarang aku tidak main-main... kali ini tidak ada ampun lagi..."
kemudian me-numpahkan air matanya ke gelas anggur. Bedanya hanyalah pada
orang yang dijadikan teman curhat Charlene, Dara, pacar Charlene, Justin,
pacar Dara, Mick, Nenek, bahkan Drew dan Courtney, anak-anak Charlene....
Suatu kali, aku bahkan memergokinya sedang berbicara pada kulkas. Pacar
Charlene dan pacar J)ara bertengkar tentang sepak bola. Charlene dan Dara
bertengkar memperdebatkan benar-tidaknya anak-anak Charlene kebanyakan
nonton televisi. Sementara anak-anak Charlene memang selalu bertengkar.
Aku berusaha tidak memedulikan mereka dengan berpura-pura tidak ada
di sana. Aku berkhayal berada di rumah bersama Les. Dia meninggalkan ibunya
segera setelah makan malam untuk memberi kejutan padaku. Aku pulang
sendirian dari rumah Charlene dan im dia di sana, menungguku. Dia memba-wakan pohon Natal plastik warna perak dan menghiasinya dengan bola-bola
merah dan lampu-lampu kecil warna hijau yang kelihatannya mirip wreath,
hiasan pintu bundar khas Natal, persis seperti yang pernah kulihat di
Paperchase. Di bawahnya bertumpuk banyak sekali kado, semuanya dibungkus
dengan kertas mengilap yang mewah. Bukan kertas kado murahan seperti yang
sering dibeli Hillary, sam pon dapat sepuluh rol, yang separonya bertuliskan
"Selamat Ulang Tahun" atau "Selamat Ulang
Tahun Pernikahan". Kado-kado itu semuanya cantik dan
elegan, dan diikat dengan pita satin sungguhan, bukan pita pkstik tempelan
seperti yang digemari para resepsionis dokter. Aku dan Les membuka kado-kado im. sambil menyesap sampanye. Les sedang mencoba salah satu hadiah
yang kuberikan padanya blazer Armani dari sutra waktu aku menyadari
bahwa nenekku sedang meneriakiku. Agak susah mendengar suaranya karena
di " .sini berisik sekali, suara televisi dan stereo menggelegat, orang-orang
mengobroL dan anak-anak menjerit-jerit, di-tambah Chadene dan Hillary
sekarang berdebat. Aku mengedipkan mata. "Apa"" Nenek menenggak habis
sherry-nya. fiPli "Hari ini kau pendiam sekali. Sedang tidak enak badan, ya""
Seandainya saja begitu. Kalau benar aku sedang sakit, mungkin ada yang
mau mengantarku pulang dan aku benar-benar akan menemukan Les sudah
meninggalkan rumah ibunya dan menungguku di sana. Kalaupun tidak,
setidaknya aku bisa sendirian di rumah, mengkhayalkan dia dalam ketenangan
dan kedamaian. "Im karena aku sudah dewasa," kataku padanya. "Anak perempuan Nenek
mungkin tidak menyadarinya, tapi aku sudah bukan anak kecil lagi."
"Aku .senang mendengarnya," sergah Nenek. "Karena dengan begitu, aku
bisa memberimu tugas mencuci piring."
Namun, boro-boro pulang lebih awaL Les malah jatuh sakit sehari
setelah Natal dan tidak bisa pulang sama sekali. .
"Bercanda kau," mkasku. "Memangnya kau sakit apa\
sakit pes"" "Flu," jawab Les dengan suara serak. "Menurut dokter, bisa jadi dua
minggu lagi aku baru sembuh. Mungkin
malah lebih." "Ya Tuhan..." Bagiku, dua atau tiga minggu tanpa Les sama saja dengan dua
atau tiga minggu tanpa air. Tam-bahan lagi, aku pernah membaca bahwa flu
bisa juga membawa kematian. "Mungkin sebaiknya kau kembali saja ke London.
Aku bisa ke rumahmu dan merawatmu."
Les mendesah karena rasa sakit bercampur demam. Suaranya rendah dan
Aku Sudah Dewasa And Baby Makes Two Karya Dyan Sheldon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tertekan. "Mana mungkin ibuku mengizinkan," katanya. "Lagi pula, aku kan membawa
mobil ke sini. Tidak mu ngkin aku bisa menyetir sendiri ke London dalam
keadaan seperti ini."
Aku meminta nomor telepon rumah ibunya, supaya aku bisa menelepon bila
ibunya sedang keluar rumah.
'Turun dari tempat tidur untuk menelepon saja aku tidak boleh," Les
berdalih. "Kalaupun sekarang aku bisa menelepon, im karena dia sedang
ke kota. Dan kalau dia sampai tahu aku menggunakan teleponnya untuk
menelepon ke luar kota____ Penghasilan ibuku sangat terbatas.
Setiap sen pun dihitungnya dengan cermat."
"Well, kalau begitu berikan alamat rumahnya padaku." Aku akan menulis
untuknya setiap hari. Surat dan kartu pos. Juga mengirim hadiah-hadiah kecil
yang bisa meng-hibur hatinya.
"Oh, tidak," sergah Les. "Ibuku pulang. Aku akan meneleponmu lagi nanti
kalau bisa." Sesudah telepon im, setiap saat aku berbicara dengan
Les dalam pikiranku. Aku mendekam di dalam kamar, memasang telinga
mendengar dering telepon, menulis surat dan pesan pendek yang rencananya
akan kukirim segera setelah Les meneleponku lagi untuk memberitahu-kan
alamat rumah ibunya padaku.
Dear Les, Entab bagaimana aku bisa mengungkapkannya, tapi aku benar-benar cinta padamu. Aku cinta segala sesuatu
dalam dirimu. Bahkan saat kau marah____
Dear La, Hari ini, setelah. sarapan (roti panggang dengan sereal dan dm
cangkir teh) aku pergi berbelanja, tapi-yang
kupikirkan cuma kau____ Dear Les, Kubarap kau benar-benar istirahat dan makan makananyang
sehat. Minum banyak airputih....
Tapi Les "tidak pernah meneleponku lagi. Pasti karena ibunya
mengawasinya dengan sangat ketat. Kalau bukan karena itu, berarti dia sudah
meninggal. Les tidak meninggal, tapi dia juga tidak kembali ke London selama
tiga minggu. Tiga minggu yang terpanjang dalam hidupku. Aku sudah lupa
berapa kosong dan membosankannya hidupku tanpa dia, tapi semua im kembali
dengan cepat Ada kalanya aku merasa sepertinya dia tidak pernah ada. Han-had muram yang membosankan membentang membentuk rangkaian hari muram
yang membosankan. Kerjaku hanya makan, tidur, nonton TV. Aku merasa
seperti hamster yang berputar-putar di roda mainannya. Kegiatan yang sama,
pertengkaran yang sama, kehampaan yang sama.
Bahkan si Spiggs pun sadar kalau aku depresi. "Tumben sikapmu murung
seperti im pada musim huran," dia berkomentar saat kami sedang makan
malam. "Seperti apa"" ranyaku, mengira bahwa dia pasti akan
berkata bahwa aku tampak "sendu", "patah hati' "merana".
"Seperti dihukum kerja paksa seumur hidup," jawab
ibuku. Kupandangi ibuku dengan tatapan menuduh. "Memang iya kok"
Les kembali pada hari Jumat Dia Iangsung meneleponku
begitu sampai di rumah. Hillary dan Charley belum juga berbaikan. Jadi, saat itu-ibuku sedang
berada di dapur, hanya beberapa meter saja dariku, sedang mengutak-atik
ketel, telinganya kontan ter-buka lebar seperti kuping anjing pemburu.
Aku Iangsung memunggunginya.
"Oh, Amie," seruku dengan nada ceria dan biasa saja. "Apa kabar""
"Amie"" tanya Les heran. "Lana, ini aku. Les. Aku baru saja sampai."
"Oh, kasihan kau..." ujarku. "Sekarang kau sudah lebih sehat""
"Oh, aku mengerti," kata Les. "Sekarang kau sedang tidak bisa berbicara.
Yeah, aku masih lemah, tapi sudah jauh lebih sehat." Dia merendahkan
suaranya "Aku me-mikirkanmu terus."
Aliran darah panas menyembur ke segenap pembuluh darahku.
"Aku fuga," sahutku. "Sering sekali...." Aku tersenyum. "Mungkin kita bisa
nonton film bareng atau bagaimana. Mumpung kau sudah sehat."
"Jangan malam ini," teriak ibuku. "Malam ini kau akan pergi berbelanja
bersamaku. Ingat""
Bagaimana mungkin aku lupa pada kegiatan yang sangat mengasyikkan im"
"Lihat-lihat keadaan dulu, ya," kata Les. "Soalnya, aku kan sudah lama
tidak masuk kerja." Saat-saat seperti inilah yang membuatku yakin begku aku berkeluarga
nanti, aku pasti bisa punya karier gemilang sebagai artis. Tak sedikit pun ada
nada kecewa dalam suaraku wakm aku berkata, "Oh, tenm saja. Aku tahu
banyak sekali yang harus kaubereskan terlebih dulu."
"Aku juga ketinggalan pesta-pesta liburan," Les me-nambahkan. 'Jadi, aku
juga harus menemui banyak orang."
Hampir saja aku menyergah, "Memangnya kauanggap aku apa" Roti tawar""
Untung lah im tidak harus kulakukan. Les, seperti biasa, sangat memahami
perasaanku. "Begird saja," kata Les. "Bagaimana kalau besok kau datang ke toko"
Besok aku kerja malam."
"Baiklah," jawabku. "Sampai ketemu besok."
"Jangan lupa, pakai celana pendek yang kaupakai waktu itu," pesan Les. Dia
tertawa. "Supaya aku tahu."
Aku tersenyum, tenggelam dalam perasaan hangat yang memenuhi hatiku.
Ternyata selama ini dia benar-benar memikirkan aku.
Musim dingin merambat pelan, muram dan kelabu. Tidak jauh beda dengan
hidupku, muram dan kelabu juga. 'Hillary biasanya berada di rumah pada
malam haH, sementara Les biasanya bekerja. Karena Shanee tinggal bersama
ibu, dua adik lelaki, satu adik perempuan (yang sekamar dengannya), dua ekor
kucing, seekor anjing, dan sejumlah alia peliharaan lain dan nyaris tidak
memiliki privasi di rumah dia jadi lebih sering datang ke rumahku daripada aku yang pergi
ke rumahnya. Kebiasaan im sudah berlangsung sejak kami duduk di bangku
SD, tapi sekarang semuanya berubah. Karena banyaknya "lalat" yang mengganggu hubungan cintaku, aku jadi
tidak punya tujuan lain. Les begitu sibuk bekerja hingga kami jarang bisa
bertemu, dan Hillary sekarang nongkrong terus di sofa depan televisi. Rumah
keluarga Tyler seperti zona perang dengan semua 'anak kecil -itu, tapi lebih
baik berada di sana daripada dipenjara bersama sipir penjara yang tidak
pernah berhenti menyu-ruhmu mengerjakan PR, atau memarahimu karena
menu-rutoya rias wajahmu terlalu tebal, usil bertanya ke mana kau pergi,
kapan pulang, dengan siapa, dan lain sebagainya.
"Ya Tuhan..." teriakku, mencoba mengalahkan suara televisi, pelrik jerit
adik-adik lelaki Shanee, serta gelegar suara radio dari kamar tidurnya.
"Kadang-kadang aku sangat merindukannya, tahu""
Kupandangi dia. Mata Shanee tertuju pada film yang sedang kami tonton.
Kedua adik lelakinya duduk di lantai di depan kami, berlagak menirukan
serbuan pesawat udara dan lempar-lemparan krayon.
"Kau benar-benar harus mencobanya," lanjutku. ''Asyik banget pokoknya."
Shanee mengangguk "Aku tahu," sahutnya, matanya tetap tidak beralih
dari adegan di layar kaca, Robert De Niro dan Sharon Stone sedang asyik
berciuman dengan penuh gairah. "Aku memang sudah berniat mencobanya.
Pada akhirriya nanti."
Kurangkul diriku sendiri. "Seks...," desahku penuh kerinduan. 'Tidak ada
yang seperti im." " Terus terang saja, kayaknya aku lebih suka bercerita tentang seks
bersama Les daripada melakukannya dengan dia. Maksudku, memang sih seks
itu mengasyikkan dashyat, pokoknya tapi ternyata, rasanya tddaklah sehebat yang
digembar-gemborkan orang selama ini. Ciuman dan belaiannya lumayan
menyenangkan, tapi tidak berlang-sung lama, dan seksnya sendiri langsung
selesai begitu dimulai. Aku pern ah mencuri-curi baca buku tuntunan
berKobungan seks di perpustakaan, jadi aku tahu bahwa hal-hal seperti ini
membutuhkan waktu. Latihan akan menyempurnakan hanya sayang kami tidak
pernah bisa berlatih. Shanee memencet tombol di remote control lalu berdiri.
"Aku mau mengambil minuman," katanya. "Ada yang mau minum""
Ternyata semua mau, termasuk si anjing.
Aku mengikuti Shanee ke dapur sambil terus mendis-kusikan seks, seperti
lazimnya kaum wanita. Dalam banyak hah Shanee pendengar yang baik, karend dia sama sekali
belum pernah berhubungan seks, jadi aku bebas bercerita apa saja tanpa
perlu khawatir dia bakal tahu lebih banyak dariku. Jangankan pacaran,
bersentuhan dengan cowok saja paling-paling hanya terjadi bila Shanee
bertabrakan dengan cowok di jalan.
Shanee membuka kulkas dan rhelongokkan kepala ke dalam.
-'Jadi, kapan kau akan bertemu Les lagi"" tanyanya, menyela omonganku.
"Aku baru ketemu dengannya "kemarin." Aku mengambil lima gelas dari rak
cuci piring. Aku memang mampir ke toko Les kemarin malam, tapi saat itu
pengunjungnya padat sekali, jadi aku tidak bisa lama-lama di sana. "Tt
tidak secara intim, kau mengerti kan""
"Kurang-lebih."
Kekurangannya membicarakan masalah seks dengan Shanee adajah karena
dia tidak berpengalaman dalam hal
itu, dia jadi gampang bosan mendengar ceritaku.
"Akan jauh lebih menyenangkan bila kau ju
ga punya pacar," keluhku.
"Dengan begitu, kau pasti senang meng-obrol tentang seks. Sementara kalau
seperti sekarang, rasanya seperti berusaha " melukiskan Miami kepada orang
yang meninggalkan Hebrides pun tidak pernah."
Shanee mengeluarkan kepala dari dalam kulkas dengan membawa dua
karton jus. "Miami dan Disney World itu tidak sama," katanya
memberitahuku. Kupandangi dia. Aku sama sekali tidak mengerti mak-sudnya.
Shanee mendesah. "Jadi, sudah berapa lama kau terakhir kali
berhubungan"" tanyanya.
Sebenarnya, kami baru satu kali melakukannya, tapi Shanee toh tidak
tahu. Kami sudah mencoba beberapa kali, tapi selalu saja ada yang tidak
beres. Pertama kalinya adalah waktu si Hillary pergi menengok nenekku di
Hastings. Saking girangnya bisa bebas berduaan di flat, kami kebablasan
menghabiskan sebotol anggur Natal di-tambah sebotol sherry milik ibu. Yang
kuingaf dari peris-tiwa itu hanyalah aku muntah-muntah di keranjang sam-pah. pada tengah malam buta. Kali lainnya lagi, kami pernah mencoba
melakukannya di jok belakang mobil Les, dan satu kali lagi di toko setelah
toko tutup. Sayang-nya, hawa di dalam mobil terlalu dingin hingga tidak
mungkin kami membuka baju, mungkin malah untung,
karena tak lama kemudian mobil polisi berhenti di samping mobil kami. Dan
aku tidak sanggup membuka baju di toko, karena begitu banyaknya video yang
mengelilingi kami hingga kami kehilangan minat.
"Serninggu," jawabku berbohong. "Sam minggu yang sangat panjang dan
menyiksa." Shanee mengangguk ke arah rak di atas bak cuci. "Di dalam sana ada
keripik dan biskuit," dia mengarahkan.
Kukeluarkan makanan im dari dalam lemari. "Entah sampai kapan aku bisa
bertahan," aku mengakui. "Aku benar-benar rindu padanya."
"Ibuku tidak pernah punya pacar sejak ayahku mening-galkannya lima tahun lalu," kata Shanee. "Tapi sepertinya dia tenang-tenang
saja, tuh." "Im karena dia sudah ma. Beda kalau kau sedang mekar-mekarnya." a!!"!
*5* Shanee mulai menuangkan jus ke gelas-gelas. "Latihan fisik," dia
memutuskan. "Ada baiknya kau melakukan lari lintas alam atau "
Aku menoleh padanya karena dia mendadak berhenti bicara. Kulihat dia
memandangiku dengan kepala dite-lengkan ke sam sisi, tingkahnya seperti
orang yang baru menyadari bahwa aku punya empat tangan atau bagaimana.
"Apa"" Shanee menggugah dirinya sendiri.' "Tidak ada apa-apa," Dia mengalihkan
perhatian kembali ke gelas-gelasnya. "Aku cuma heran apakah celana jins yang
kaupakai itu celana yang kaubeli di Brent Cross bersamaku bulan September
lalu"" Aku meletakkan keripik dan biskuit di konter. "Yeah. Memangnya kenapa""
Shanee mengangkat bahu. "Entahlah. Kelihatannya kok
berbeda." Kutarik celanaku im di bagian pinggangnya. "Celana ini mengerut," kataku
padanya. "Dia bahkan tidak bisa
mencuci celana dengan benar tanpa merusakkannya." "Pasti im
penyebabnya..." Dia melirikku dan tersenyum
mengejek. "Atau barangkali karena kau kebanyakan makan
yang manis-manis Natal kemarin""
'Ya Tuhan, tidak! Aku malah jarang makan. Wakm im aku kan sedang
kangen-kangennya pada Les!"
Shanee masih mengamatiku dengan tatapan saksama, seolah aku tanaman
proyek sainsnya. "Wajahmu kelihatan lebih gemuk" -Kuangkat bungkusan keripik dan dua gelas sekaligus.
"Ita karena kebanyakan berciuman," kataku, menjawab keheranannya.
"Otot-ototnya mengembang."
Karena enggan duduk-duduk bersama ibuku yang tukang ngomel, aku
menghabiskan sebagian besar waktuku malam itu di dalam kamar, pura-pura
mengerjakan PR, padahal sebenarnya mendengarkan radio dan berkhayal,
memba-yangkan Les dan aku berlibur bersama di musim semi, merayakan
enam bulan masa pacaran kami. Dalam kha-yalanku, kami pergi ke Ibiza, atau
ke Yunani, pokoknya ke suatu tempat yang berhawa panas dan bersuasana
romantis. Di sana kami menemukan teluk tersembunyi yang tidak pernah
didatangi siapa-siapa. Airnya sebiru kolam renang, sedang pasirnya selembut
bulu dan seputih Nivea. Kami menghamparkan tikar dekat air laut. Aku
membuka atasan bildniku dan berbaring telungkup se-mentara Les berjongkok di sebelahku, menggosok
kan krim tabk surya ke punggungku. Tapi aku tidak bisa tidur. Setiap kali aku memejamkan mata dan mencoba
berhenti memikirkan liburan kami, selalu terbayang wajah Shanee yang
memandangiku dengan kepala ditelengkan, berkata bahwa wajahku terlihat.
gemuk. Begitu mendengar Hillary mendengkur di kamar sebelah, aku berjingkat-jingkat ke ruang tamu untuk nonton televisi. Aku tidak suka berbaring
sendMan dalam gelap. Itu membuatku gelisah. Aku tipe orang yang menyukai
cahaya terang dan keramaian.
Ada film yang lucu sekali di Channel Five. Cukup lucu hingga berhasil
mengalihkan pikkan dari wajahku yang gemuk. Biasanya, aku pergi mencari
camilan atau minuman saat sedang jeda iklan, tapi setelah mendengar
perkataan Shanee tadi, aku jadi tidak berani mendekati dapur, takut kalau
dia benar tentang bobotku yang bertambah. Jadi aku pun tetap duduk ditempatku, bergumam menirukan Jingle iklan, saat iklan Tampax muncul di
layar televisi. Gadis dalam iklan itu berlari-lari dengan lincah di bawah cahaya
matahari, dengan-mengenakan pakaian serbaputih.
Yeah, yang benar saja, pikirku. Seolah tidak akan bocor saja walaupun
sedikit.... Dan detik itu barulah aku sadar bahwa bulan itu aku belum mendapat
menstruasi. Aku berusaha menyingkirkan pikkan itu jauh-jauh, tapi tetap saja
pikkan itu kembali. Aku tahu, kedengarannya memang gila bila kubilang aku tidak ingat kapan
terakhir kalinya aku mendapat menstruasi, tapi sebenarnya itu tidak aneh.
Menstruasiku memang tidak selalu teratur. Kadang-kadang telat, atau aku
bisa tidak mendapat menstruasi sama sekali bila
sedang berdiet ketat atau bila dia membuat hidupku sengsara. Selama ini,
aku tidak pernah khawatir bib
menstruasiku tidak datang. Tapi, kemarin-kemarin aku kan tidak perlu
khawatir bahwa aku hamil.
Aku masih duduk terpaku di depan televisi, dengan mata tertuju ke layar
kaca, mencoba mengingat-ingat
kapan terakhk kalinya aku menstruasi, ketika film mulai lagi.
Bulan ini aku belum mendapat menstruasi. Bulan Januari juga tidak. Begitu
juga bulan Desember. Wah, pasti ada yang tidak beres, batinku. Itu berarti sudah tiga bulan.
Tidak mungkin sudah tiga bulan.
Aku berkonsenttasi, mencoba mengingat kembali tanggal 1 Desember.
Biasanya, menstruasi datang menjelang akhk bulan. Tapi pada akhk bulan
Aku Sudah Dewasa And Baby Makes Two Karya Dyan Sheldon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Desember, aku pergi ke rumah Les ketika di rumahnya tidak ada siapa-siapa,
dan waktu itu, aku tidak sedang datang bulan.
Pikkanku beralih ke bulan Januari. Aku pasti baru mendapat menstruasi
pada awal bulan, bukan pada akhk bulan Desember, itulah sebabnya mengapa
aku lupa. Tapi aku tidak lupa. Awal bulan Januari, Shanee dan aku mengajak adik
perempuannya, Mabel, berenang ke kolam luncur sebagai hadiah ulang
tahunnya. Di sana kami berenang. Aku juga tidak mengenakan tampon; tidak
mungkin aku berani nyemplung ke kolam bila aku sedang datang bulan; semua
pengunjung bisa panik karena mengka mereka sedang berada di film Jams.
Aku duduk tak bergerak. Tidak mungkin aku hamil. Tidak mungkin
seseorang bisa hamil hanya setelah satu kali berhubungan, semua orang tahu
itu. Ada kok buktinya. Kakakku Dara mungkin sudah sembilan juta kali berhu-gan tapi sampai sekarang toh dia belum hamil-harnil juga. Tapi- bila
sekarang aku hamil, im pasti terjadi setelah hubungan kami yang pertama,
karena kami memang hanya melakukannya satu kali. Tambahan lagi, aku tidak
mengalami orgasme, padahal aku yakin sekali sese-orang tidak mungkin hamil
bila tanpa orgasme. Selain itu, aku kan tidak muntah-muntah di pagi hari"
Tidak. Aku bahkan merasa sehat-sehat saja. Aku juga tidak ngidam macam-macam. Aku hanya menangis bila bertengkar dengan ibuku. Dan payudaraku
juga tidak bertambah besar. Aku tidak merasa hamil: aku merasa
sebagaimana biasanya aku.
Aku berusaha mengingat sesuam apa saja dari pela-jafan seks di
sekolahku yang bisa memberiku petunjuk apakah aku hamil atau tidak. Tapi
aku hanya bisa mengingat satu hak lebih baik menunda melakukannya.
Pink atau Biru, Aku Cinta Padamu
"AKU tidak mengerti mengapa mesti aku yang membeli-nya," gerutu
Shanee. Dia memasang wajah keras kepala. Itu membuatnya jadi mirip anak
enam t ahun. "Karena tidak ada orang yang bakal curiga kau hamil, itu sebabnya,"
tandasku sekali lagi. "Paling-paling mereka mengira kau membelinya untuk
ibumu." Shanee mengomel panjang-pendek. "Coba waktu im kau sempat berpikir
sebentar saja bahwa im bisa meng-akibatkan kau hamil."
"Well, aku tidak ingat," bentakku. "Aku memang melakukan kesalahan."
Shanee tetap terlihat keras kepala. Dan bagaimana kalau apotekernya, Mr.
Arway, menga-ta^an sesuam pada ibuku"" tuntutnya. "Bagaimana, coba""
"h, demi Tuhan." Penolakan Shanee mulai membuat esabaranku habis.
"Memangnya dia mau bilang apa"" asku- "Halo, Mrs. Tyler. Bagaimana, hasil
tes kehamil-"a positif atau negatif"" Kudorong dia. "Ayolah, Petgl SanaTidak apa-apa kok."Walaupun sudah kudorong, Shanee tetap bergeming.
"Aku malu," katanya. "Bagaimana kalau Mr. Arway tidak berpikiran bahwa
aku membelinya untuk ibuku" Bagaimana kalau dia mengira bahwa itu untuk
aku}" Semua orang menganggap Shanee sangat manis, tapi ada kalanya dia
bisa juga memasang wajah garang. "Berani taruhan deh, dia pasti akan
mengadukannya pada ibuku."
Alasan yang satu itu agak susah didebat, karena memang itu merupakan
alasan mengapa aku tidak mau membeli tes kehamilan sendiri. Aku tidak mau
ibuku .tahu aku hamil sebehim aku merasa siap memberitahukannya pada-nya.
"Tidak, tidak akan," aku mencoba memberi alasan, "Apoteker itu sama
seperti dokter dan pendeta. Mereka tidak boleh seenaknya saja
membeberkan rahasia pribadimu kepada sembarang orang yang datang ke
apoteknya." "Lucy Tyler kan bukan sembarang orang," bantah Shanee keras kepala.
"Dia ibuku." "Begini saja," kataku, berpikir cepat. "Supaya kau merasa fcbih tenang,
ayo kita naik bus saja ke Oxford Street dan kau bisa membelinya di sana."
Tatapan garangnya berubah menjadi tatapan curiga. "Kalau di sana, kau bisa
membelinya sendiri," tukas-sahabat baikku sejak kecil itu.
"Tidak, tidak bisa. Masa kau tidak mengerti" Kalau aku yang membelinya,
mereka pasti akan langsung tahu akulah yang hamiL karena memang begitulah
kenyataannya. Tapi tidak bila kau yang membelinya. Kau lugu. Tidak peduli
apakah orang lain mengira kau hamil atau tidak, karena kau tidak mungkin
hamil." "Lugu tidak sama dengan tolol," tukas Shanee.
Aku bisa merasakan bibir bawahku mulai bergetar. "Kumohon...," pintaku.
"Siapa lagi yang bisa kurnintai tolong" Kau satu-satunya temanku." Bila aku
minta tolong pada Gerri atau Amie, seluruh isi planet ini akan menge-tahui hasilnya
sebelum aku. "Aku tidak sanggup mengha-dapi si apoteker. Tidak dalam
kondisiku yang seperti ini"
Kondisi bingung, maksudnya. Setelah bisa mengatasi rasa shock-ka,
sebagian dari dariku bagian yang harus memberitahu Hillary Spiggs) merasa
benar-benar takut, meski sebagian lagi justru merasa sangat gembira.
Perasa-anku sama seperti anak kecil di Malam Natal tidak sabar menanti saat
membuka semua hadiah. Shanee mendesah. "Aku tidak percaya kau tidak meng-gunakan kondom,"
gerutunya. "Benar-benar tidak. Peme-rintah menghabiskan dana hingga jutaan
pound untuk mengkampanyekan penggunaan kondom, untuk mencegah lahirnya
bayi-bayi yang tidak diinginkan, eh kau malah langsung melompat ke tempat
tidur tanpa berpikir daa kali."
"Mana sempat berpikir bila sedang sangat bergairah. Itu terjadi begitu
saja. Kaulihat saja sendiri, suatu hari nanti."
'Tidak, tidak akan," bantah Shanee. "Aku sudah men-dapat pelajaran darimu."
Sepanjang perjalanan pulang, tidak satu kali pun aku membuka kantong
plastik berisi tes uji kehamilan itu. Mengintip pun tidak. Bungkusan itu
kuletakkan di pang-kuan, sementara di sampingku Shanee ribut mengoceh
terus tentang si apoteker yang menatapnya dengan tatapan
aneh, bagaimana para pembeli lain memandanginya, serta bagaimana
satpam tersenyum padanya waktu dia mening-galkan apotek.
Aku baru membuka kantong plastik itu waktu Shanee dan aku sudah".
berada di dalam kamar mandi rumahku yang terkunci rapat.
"Oh, tidak," pekikku. "Bukan yang ini. Ini warnanya pmM"
"Tidak, tidak salah," bantah Shanee. "Aplikatornya memang berwarna
putih. Indikatornya baru berubah warna menjadi pink bila kau memang hamil."
'Tapi punya Dara warnanya biru." Aku masih bisa mengingamya dengan
jelas. Aku merasa sangat bangga waktu Dara menunjukkannya padaku dan
melakukan tes uji kehamilan waktu aku ada di sini, seolah aku bukan adiknya
tapi temannya. Shanee merebut kotak itu dari tanganku dan menyobek pembungkusnya.
"Demi Tuhan, Lana. Apa bedanya bila indikatornya berubah warna menjadi
pink atau biru" Toh artinya sama saja,"
Kurebut aplikator itu darinya. "Aku tahu. Aku hanya ingin memastikan
bahwa lata mendapatkan yang bagus, itu saja."
"Ini bahkan tes kehamilan yang paling mahal," tukas Shanee.
Shanee membuka kertas yang berisi petunjuk pemakaian dan
membacakannya untukku. Dia membalikkan badan waktu aku kencing. Lalu dia
ikut berdiri bersama di depan wastafeL memandangi aplikator, menunggu
sesuatu terjadi atau tidak terjadi.
Sesuatu terjadi. Indikator itu berubah warna menjadi
pink. "Mungkin tes ini keliru" kata Shanee akhirnya.
Kuacungkan kotak itu padanya. "Di sini disebutkan bahwa hasilnya akurat,
sama seperti tes yang dilakukan dokter."
Shanee mengatupkan bibir rapat-rapat. "Well, tentu saja disebutkan
seperti itu. Mana mungkin mereka menulis, 'Hasilnya sangat tidak akurat'""
Dia merebut kembali aplikator itu dari tanganku dan mengacungkannya tinggi-tinggi ke arah lampu. Benda itu tetap berwarna pink.
"Mungkin alatnya rusak," kata Shanee.
Hal itu tidak terpikirkan sama sekali olehku. Si Spiggs memang selalu
membeli barang yang ternyata tidak ber-fungsi. Benda-benda kecil, seperti
bola lampu dan lain sebagainya. Hal yang sama pasti juga bisa terjadi pada tes
kehamilan. "Kaupikir begitu" Apa menurutmu seharusnya tadi kita membeli dua alat""
Aku tidak mau melakukan kesalahan. Ini sangat penting.
Pasangan Naga Dan Burung Hong 7 Dewa Arak 21 Dendam Tokoh Buangan Pendekar Guntur 11
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama