Ali Topan Wartawan Jalanan Karya Teguh Esha Bagian 2
"Ah, becanda lu."
"Eh, jam berape Rag" Gue mau buru-buru nih," kata Ali Topan. Raggie melihat arlojinya. "Jam sepuluh dua puluh lima. Mau buru-buru ke mane
lu"" "Ke kuburan Tanah Kusir. Pak Broto Panggabean barangkali ditanam ini hari."
"Haaa" Yang bener lu! Pak Broto direktur sekolah lu dulu" Kapan meninggalnye" Sakit apa, Paaan""" Raggie bertanya dengan tampang heran.
"Semalem. Katanya sih gara-gara digencet sama bininya," sahut Topan dengan tampang berduka. "Lu kayaknya heran. Masih ada sangkutan utang piutang sama lu"" kata Topan lagi.
71 "Gue heran aja. Rasanya baru tiga ari yang lalu gue ngeliat die, waktu tanding basket di bekas sekolah lu!" kata Raggie. Dua orang teman Raggie datang, nimbrung.
"Ade ape, Rag"" tanya salah seorang di antara mereka.
"Pak Broto udah game semalem, digencet bininya."
"Ah! Yang betul"" kata teman satunya.
Ali Topan menahan ketawa. "Oke eh, Rag. Gue cabut dulu,Ogut ngimpi itu..." kata Topan bergegas pergi. Sambil berjalan ia cengar-cengir sendirian.
Fauzi yang sehari-hari dipanggil Oji, pemilikAnggrek Ungu, salah satu kios kembang di kolam Blok C adalah kenalan Ali Topan. Sebenarnya, hampir semua tukang kembang di seputar kolam itu kenalanAliTopan. Namun Oji, anak Betawi Asli asal Rawa Belong itu lebih enak sikapnya. Ramah, supel dan penuh pengertian. Umurnya sudah 35 tahun, anaknya dua, tapi gayanya masih sok muda-mudi.
Dulu, bersama Dudung, Gevaert dan Bobby, Ali Topan suka jual kembang ke Oji. Jika ada orang yang bikin pesta kawin di Wisma Iskandarsyah atau Bhara Widya Sasana,AliTopan cs ke situ, melihat medan. Kalau situasi dan kondisi sip, sebubar pesta mereka langsung ikut sibuk mengangkuti karangan bunga yang ada, dibawa pakai becak ke kios Oji.
"He, Pan. Baru nongol
lu" Ke mane temen kita yang laen"" sapa Oji ketika Ali Topan muncul.
"Laris dagangan, Ji"" kata Ali Topan, "kawan yang laen udah minggat semua. Gevaert ke Jerman, ngikut neneknya, Dudung ke Bogor, sekolah nanem padi, Bobby... Bobby masih tinggal di Kebayoran sini, cuman dia lagi sakit," sambungnya. Oji menyorongkan sebuah kursi rotan kecil padanya.
"Sakit ape si Bobby" Awaknya kan keker tuh."
72 "Sakit sarap!" kata Ali Topan.
"Dagangan gue lagi pas-pasan aje, Pan. Untung harga anggrek lagi miring. Kalo kagak sih, udah miskin dari kemaren-kemaren gue."
"Berape harga sekarang""
"Dua puluh perak dari bandarnya. Minta-minta sih tetep segitu sampe lebaran sama taon baru. Tapi rasanya ngikut naek juga entarnya, Pan. Yah, emang gitu dah nasib tukang jual kembang. Gue ini udah empat setengah taon dagang kembang, belon kaya juga," keluh Oji.
"Lah, lu ngapain buru-buru kaya. Entar lu lupa lagi sama gue," gurau Ali Topan. Oji ngakak. Beberapa temannya ikut nyengir mendengar celoteh Ali Topan.
"Yaaah, kalo gue kaya, Pan, kagak bakalannya gue lupa sama kawan. Jangan kate rokok sebatang dua batang, tiga bos sehari juga gue kirim ke rumah lu. Heh heh heh."
Ali Topan nyengir. Ujung cengirannya terasa pahit.Gua udah minggat dari rumah bokap gua, Ji. Ini juga gue pengen numpang tidur di belakang kios itu. Ngantuk gue," katanya. Entah kenapa, saat Oji mengatakan " 'gue kirim ke rumah lu" perasaanAli Topan terasa hampa. Kalimat ini makin menyadarkan akan kenyataan yang sedang dijalaninya, sebagai anak yang tak punya rumah.
"Jam berapa sekarang, Ji"" tanya Topan. Oji tak menyahut, karena ada pembeli datang.
"Bagus dah kalo lu udah minggat. Lu bisa bantuin gua disini.," kata Oji enteng.
"Beli kembang, tuan" Boleh pilih. Kembang baru dikirim, segar semua, Tuan," kata Oji sambil berdiri menghadap pembeli yang terdiri dari seorang lelaki muda, seorang perempuan Eropa dan seorang bocah kecil bule.
"Ini anak Tuan" Cakep banget," kata Oji.
73 "Iya," jawab lelaki muda itu. "He Markus, kasih salam sama Oom itu," katanya lagi. Bocah kecil yang dipanggil Markus itu cola-colo sebentar, kemudian dengan berani menghampiri Oji dan mengulurkan tangannya. "Hallo, jack. Apa kabar, jack"" kata bocah kecil itu dengan bahasa Indonesia yang lancar. Aksen asingnya kedengaran lucu. Oji langsung menjabat tangan Markus. Wajahnya tampak heran campur kagum.
"Wah, wah, dia bisa ngomong bahasa kita. Pinter banget. Berani lagi," kata Oji. Mulutnya ber ck ck ck.
Ali Topan mengawasi adegan itu. Sekilas dipandangnya ayah si bocah kecil. Orangnya berusia sekitar 30-an. Wajahnya bersih, profilnya agak aneh. Potongan wajahnya seperti jambu mete. Rambutnya model David Bowie. Kacamata polaorid pas di wajahnya. Yang paling menarik perhatian Ali Topan adalah celana jeans belel dan kaos oblong putih bergambar swastika merah dengan tulisan "Adolf Hitler is alive and now living in Argentina" yang sedap kali dipandang.
"Hallo, jack. Lagi mengagumi saya"" kata lelaki itu pada Ali Topan. "Saya baru datang dari Negeri Jerman. Saya artis top di sana, tau" Ini bukan nyombong, tapi pengumuman. Ha ha ha.," katanya lagi. Ia mengulurkan tangan ke arah Ali Topan.
"Karyadi," kata orang itu memperkenalkan dirinya.
"Dan ini istri saya Angela."
Acuh tak acuh Ali Topan menyambutnya. Dia kurang berminat menanggapi celotehan orang itu. Perasaannya terasa sumpek. Denyut jantungnya lebih cepat, terasa menghantam-hantam dadanya secara tiba-tiba.AliTopan gelisah. Wajah mamanya terbayang-bayang dalam batinnya.
"Ji, gue tiduran dulu ya. Sore-sorean tulung bangunin.
74 Kepala gue rada puyeng nih," kataAli Topan. Dia ngelo-yor pergi masuk ke dalam kios.
"Masih sepagi ini dia mau tidur" Ck ck ck," cetus orang bernama Karyadi itu. Rupanya dia tipe orang yang suka mau tau urusan orang lain. "Baru jam sepuluh lewat lima puluh empat.," gumamnya, sambil melihat secara demonstratif ke arloji Rolex di pergelangan tangannya. Sok aksi sekali.
"Pilih kembang yang mana, Tuan"" Oji bertanya.
"Yang itu!" kata nyonya bule sambil menunjuk bunga-bunga mawar berwarna merah darah yang belum dirancang.
"Saya mau beli bunga saja.
Lima belas tangkai."
"O, yang itu, Nyonya" Boleh, boleh. Bisa juga berbahasa Indonesia"" kata Oji.
"Saya mau pilih sendiri bunganya," kata Angela.
Angela melihat ke Oji. "Berapa rupiah satu tangkainya"" ia bertanya.
"Murah, Nyonya. Seratus rupiah sebatang,"kata Oji.
"Boleh ditawar""
"Buat nyonya saya kurangi lima perak deh sebatangnya."
"Tidak boleh sembilan puluh rupiah sebatang"" Oji nyengir.
Angela melihat ke Karyadi.
"Biasanya saya beli enam puluh rupiah sebatang," kata Karyadi.
Oji menggaruk-garuk kepalanya. "Batangnya doang kali...," Katanya.
Akhirnya Angela memilih mawar-mawar merah itu dengan teliti. Ia seperti menikmati setiap kelopak bunga mawar yang indah.
75 Ali Topan duduk termenung di bawah pohon flamboyan di tepi kolam. Pandangannya bertuju ke permukaan kolam yang ditumbuhi bunga-bunga teratai. Berkas-berkas sinar matahari membuat permukaan kolam, bunga-bunga teratai dan dedaunan berkilauan.
"Hai kamu sedang melihat apa"" terdengar suara seorang bocah dalam bahasa Jerman di belakang Ali To-pan.Ali Topan menengok ke belakang. Markus, si bocah bule anak Karyadi berdiri di pintu belakang kios Oji. Ali Topan melambaikan tangan ke arah Markus. Anak itu balas melambaikan tangannya dan berjalan menghampiri Ali Topan.
"Sedang melihat apa kamu"" tanya Markus lagi, masih dalam bahasa Jerman.
Ali Topan memandangi wajah anak itu. "Saya sedang duduk," jawab Ali Topan juga dalam bahasa Jerman. Ia memang pernah mendapatkan pelajaran bahasa Jerman di kelas dua SMA-nya. Karena itu, ia bisa mengimbangi Markus.
"Sedang duduk"" tanya Markus.
"Ya," kata Ali Topan. Ia mengusap kepala bocah itu. Karyadi muncul di pintu kios, melihat mereka.
"Markuus! Ke sini!" suara Karyadi dalam bahasa Jerman.
Ali Topan menengok ke arah Karyadi yang menghampiri mereka. Ali Topan punya kesan orang itu sombong dan culas.
"Markus, Papa sudah berkata, Markus tidak boleh berbicara dengan orang asing. Banyak orang jahat. Mengerti"" kata Karyadi sambil menarik tangan Markus dan membawanya ke kios lagi. DikiranyaAliTopan tidak mengerti apa yang diucapkannya.
AliTopan melihat ke arah kolam lagi. Batinnya gelisah.
76 Potongan-potongan peristiwa terbayang dalam ruang kenangannya. Di antara potongan-potongan kenangan itu, wajah mamanya terasa paling jelas."Ada apa mama"" bisiknya sendiri.
"Heh Topan ngelamun lu"!" suara Oji terdengar. Ali Topan menengok ke Oji yang berjalan mendekatinya.
AliTopan segera berdiri. Ia tak suka dibilang ngelamun oleh Oji.
Ali Topan menghampiri serumpun pohon pisang di dekatnya, lalu memukuli batang pohon pisang berkalikali.
"Heh, Pan... kenape lu" Ada ape"" tanya Oji.
Bug! Ali Topan menendang batang pohon pisang. Nafasnya ngos-ngosan. Wajahnya tegang mengekspresikan kegelisahan dan berbagai perasaan lain yang menggumpal.
Oji menyentuh lengan Ali Topan. "Lu, latihan karate, Pan"" tegurnya dengan lembut. Ali Topan menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kuat. Rambut gondrongnya diudal-adul dan ditarik-tariknya sendiri.
"Paan! Ngomong dong lu! Ada persoalan apa" Gue bantuin lu kalo ada persoalan sama orang!" kata Oji. Dipegangnya pundak Ali Topan hingga mereka berhadapan wajah.
"Pikiran gue kalut, Ji. Nggak tau kenapa, mendadak aje, perasaan gue gelisah banget. Gue kebayang nyokap gue terus. ah," kata Ali Topan. Oji menyalakan sebatang rokok untuk Ali Topan.
"Lu baca istighfar, Pan... terus lu pulang buru-buru dah. Lu tengokin sebentar nyokap lu," kata Oji. "Kali doi sedih karena lu minggat.. "
"Gue ogah balik lagi ke rumah, Ji. Percuma."
"Ah, lu ade-ade aja, Pan. Pake kagak mau pulang. Mau
77 jadi apaan lu" Udah kalo mau rebahan lu rebahan dulu di pangkeng situ. Gue mau ngatur dagangan dulu, ya" Tenang aje lu, ntar gue bangunin." Oji menepuk Ali Topan, kemudian berjalan ke depan lagi.
Ali Topan merebahkan diri di bale-bale bambu yang terletak di bawah pohon cemara di tepi kolam. Ia mengucapkan astaghfirullah berkali-kali, untuk menenangkan perasaannya yang sangat gelisah. Ada dorongan ingin
pulang, tapi tak diturutinya.
*** Suara banyak mobil di parkir menambah rasa gelisah Ali Topan. Hari sudah sore. Berjam-jam sejak tadi pagi A
li Topan rebahan di pangkeng, berusaha tidur namun sia-sia. Setiap menit kegelisahannya terasa makin memuncak. Ia sendiri bingung, tak mengerti sebabnya. Setengah mati ia berusaha untuk mencari sumber perasaan gelisah yang mengacaubalaukan pikirannya, namun sia-sia. Perasaan aneh yang sangat mengganggu itu datang seperti air bah melanda batinnya.AliTopan tersiksa betul. Ia tak bisa mengusir bayangan wajah mamanya yang mencengkeram sejak pagi.
"Pan! Topaaan! Bangun Paan! Bantuan gue bikin kembang kematian! Ada orang beken mati nih!" teriak Oji dari dalam. Sesaat kemudian kepalanya menyembul di pintu.
Tanpa bicara lagi Ali Topan bangkit dari pangkeng, berjalan ke depan. Daripada melamun tidak keruan, dia pikir lebih baik membantu Oji. Dia cukup pandai membuat karangan bunga, karena pernah diajari Oji.
Ali Topan melihat mobil-mobil diparkir memenuhi jalanan di depan kios kembang. Karangan bunga kematian di setiap kios memberi kesan duka di dalam hati Ali Topan. Para pembeli bunga duka rata-rata mahasiswa
78 dan mahasiswi Universitas Sutopo. Itu terlihat dari badge yang terdapat di jaket warna abu-abu yang mereka kenakan.
"Siapa yang mati, Ji"" tanya Topan.
"Tommy katanya, mahasiswa Universitas Sutopo. Mati tabrakan kemarin," sahut Oji. "Lu bantuin nulisin pita birunya, Pan. Kalo udah lu semprot pakai brons ye," sambungnya, kemudian Oji berbisik di kupingAliTopan, "Nyayur kite ini hari, Pan.. "
Ali Topan sigap dalam melaksanakan "tugasnya" Pita biru besar ditulisi dengan kalimat Turut Berduka Cita pakai tinta bronse yang khusus untuk keperluan itu.
Senja merayap turun. Lampu-lampu jalanan mulai menyala. Ketika adzan terdengar dari radio milik tukang rokok yang berseberangan dengan kios Oji, menghentikan pekerjaannya.
"Maghrib, Pan. Sembahyang dulu!" kata Oji.
"Gue sembahyang laen waktu aje," kataAli Topan. "Ji! Jangan lupa bilang terimakasih sama Tuhan. Dikasih panen hari ini. Kalau tiap hari ada sepuluh orang kaya mampus di Kebayoran sini, lu bisa cepet beli Volvo," teriaknya lagi.
Oji terkekeh-kekeh masuk ke kios untuk mengambil kain sarung, baju koko, dan picinya.
"Pan!" panggil Oji. Ali Topan menghampirinya. "Ini bakal beli rokok. Kapan-kapan lu bantuin gue lagi ya"" bisiknya sambil menyelipkan uang ke telapak tanganAli Topan.
"Terimakasih nih, Ji! Ikhlas lu"" kata Topan sambil tersenyum. Oji tersenyum lebar sambil menyemplak sepedanya.
Go pek, gumamAli Topan, melihat selembar Rp 500 di telapak tangannya.
79 "Banyak banget, Ji."
"Udeh. Masukin kantong buru-buru! Ntar terbang tuh duit!" seru Ismail, tukang kembang tetangga Oji. Ali Topan mengepalkan tinjunya ke arah Ismail, kemudian berjalan menuju kios rokok di seberang jalan sambil senyum-senyum sendiri.
Ali Topan membeli sebungkus rokok Jarum 76 di kios rokok, kemudian berjalan menuju Pasar Melawai menjumpai Munir, untuk bermusyawarah. Dari kios Oji di Blok L ke Blok M yang berjarak sekitar satu kilometer ditempuh dalam waktu limabelas menit oleh Ali Topan.
Kios Munir Pasaribu tetap ramai ketikaAli Topan tiba. Munir berjongkok di bawah, sibuk menghitung kiriman majalah dari agennya, sedangkan Domo, bocah tanggung yang jadi pembantunya sibuk melayani pembeli yang berjubel-jubel lebih dari hari biasa. Ali Topan menowel pundak Munir.
"Nir! Perlu bantuan"" kata Ali Topan. Munir menengok sekejap. "Hei, udah datang lu, Pan" Banyak kiriman, nih. Lu tolong bantu Domo melayani pembeli deh," kata Munir dengan wajah cerah.
Dengan gembiraAli Topan mengambil tempat di sudut kios.
"Mas Topan bagian mbungkus ya," kata Domo.
"Oke! Oke!" sahut Ali Topan. Dengan sigap ia melak-sanakan"tugasnya", menggulung majalah dengan kertas, mengikatnya dengan karet gelang, dan menyerahkan pada pembeli. Sekejap dia tahu kenapa begitu ramai orang membeli majalah kali ini. Mereka berebut membeli majalah-majalah yang memuat cerita dan berita mengenai Bung Karno! Cerita tentang Bung Karno muncul kembali di majalah-majalah sejak penguasa
80 mengumumkan rencana pemugaran makam Bung Karno
di Blitar. Pengumuman tersebut rupanya dimanfaatkan secara lihai oleh beberapa penerbit untuk melariskan dagangan merek
a. Majalah-majalah hiburan yang biasanya menampilkan foto cewek sexy, menggusur kebiasaan itu dengan memajang foto Bung Karno di sampul depan dan poster di dalamnya. Dan cerita tentang Bung Karno, dari tongkat wasiat sampai ke urusan kasur, bini muda dan tetek bengek lainnya diungkapkan dengan sangat menyolok.
"Berita tentang Bung Karno laris, Nir," kata Ali Topan kepada Munir setelah dagangan habis dan mereka bersiap-siap untuk menutup kios.
"Seolah-olah hidup lagi die," sahut Munir Pasaribu dengan wajah cerah.
Sekitarjam setengah sembilan malam mereka menutup kios. Pembeli tak ada lagi dan toko-toko di sekitar situ pun mulai ditutup oleh para pemiliknya.
"Domo, kau pulang duluan. Saya masih ada perlu sama Ali Topan. Tolong bilang sama istri saya di rumah, sebentar lagi saya pulang," kata Munir.
"Ya, bang," sahut Domo dengan patuh. Ia berjalan ke terminal biskota sedangkan Munir danAliTopan berjalan ke arah Pasar Kaget yang terletak di PlazaAli Sadikin, di tepi sebelah Selatan Taman Christina Martha Tiahahu. Pasar Kaget itu adalah pusat penjual makanan dan minuman rakyat di waktu malam hari. Dibangun pada jaman Gubernur Ali Sadikin, untuk menampung pedagang-pedagang kecil yang dulu bergerombol di bagian belakang Pasar Melawai. Tempat itu buka sejak sore sampai dinihari, sedangkan pada siang hari ia berupa lapangan kosong untuk lewat pejalan kaki. Nama Pasar
81 Kaget bermula muncul di kalangan anak-anak sekolah, kemudian tersebar dan dipakai secara populer oleh masyarakat Kebayoran Baru.
Ketika memasuki Pasar Kaget,AliTopan melihat lelaki sipit berbaret RPKAD bersama seorang cewek cakep sedang makan sate Madura di suatu meja. Lelaki itu adalah lelaki yang ia lihat di kios buah si Jaim di Pasar Melawai. Orang itu melihat pula ke arah Ali Topan. Mereka saling memandang.
"Mau makan apa kau, Pan"" tanya Munir.
"Martabak aje," kata Ali Topan. Mereka pun berjalan ke kios martabak di ujung selatan lorong Pasar Kaget. Surman dan Tresno, pengamen Pasar Kaget yang sedang menyanyikan lagu "Groovy Kind of Love " di kios nasi uduk tersenyum melihat Ali Topan. Ali Topan melambaikan tangan ke mereka. Surman main gitar, Tresno main biola.
Sambil makan mereka bicara singkat.
"Ini hari pertama gue melepaskan diri dari orang tua gue," kata Ali Topan. "Gue menanggung beban diri gue sendiri," lanjutnya.
"Jadi sudah pas niat kau"" tanya Munir. Ali Topan mengangguk. Matanya menatap Munir yang bicara serius.
"Kau sudah hitung untung ruginya""
"Sudah!" "Lebih banyak untung apa rugi, kau pikir"" "Wah, belum tau dong!"
"Nah, nah! Kau mesti tau itu! Kau musti hitung setiap langkah yang kau ambil. Harus ada rencana!" kata Munir, "sekarang kau punya rencana apa"" sambungnya.
"Mau kerja!" "Kerja apaan""
82 "Apa saja, asal bisa hidup!" kata Topan, bersemangat. Munir tersenyum, sinis.
"Kau mau jadi maling atau tukang pungut puntung rokok"" kata Munir, tandas. Ali Topan sampai kaget mendengarnya.
"Kok gitu lu nanyanye, Nir""
"Makanye, jangan bilang kerja apa aja!Tukang pungut puntung rokok pun bisa hidup, tau kau" Tapi apa mau begitu" Aku cuma mau kasih pandangan saja sama kau karena aku sejak dulu simpati sama kau. Aku pun dulu minggat dari rumah bapak tiriku di Medan, persoalannya tak usah kau tau. Pokoknya, sekali kau pergi dari rumah orangtua, jangan kembali dengan tangan kosong. Kau musti punya prinsip, harus sukses! Itu baru namanya anak laki-laki, Pan! Makanya kau musti pakai ini nih!" kata Munir sambil menunjuk keningnya sendiri.
"Iya," kata Ali Topan, pelahan.
"Nah! Kau pikir kau punya modal apa sekarang""
Ditanya begitu, Ali Topan blingsatan. Munir tersenyum. "Untuk hidup kan perlu modal," katanya.
"Berangkat dari rumah, gue cuma punya duit seribu seratus. Mbok Yem, pembantu rumah ngasih go ceng. Jadi jumlahnya enem ribu seratus perak. Buat makan dan rokok habis empat ratus perak. Tadi sore gue dapat gopek persenan dari Oji yang dagang kembang kawan gue. Jadi sekarang gue ada modal cash enem ribu dua ratus perak. Pakaian, sepatu, celana dalem, sama kaos kaki yang lengket di badan ini. Itu deh semua modal gue, Nir!" kata Ali Topan. Munir ketawa
mendengar uraian Ali Topan.
"Modal yang lain ada"" tanyanya sembari ngulum senyuman. Ali Topan berpikir sejenak.
"Itu uang dan barang memang termasuk modal."
"Yah, jiwa raga gue deh, Nir... bakal fight!" cetusnya.
83 Munir bersiut ketika mendengar cetusan itu.
"Nah, itu! Itu yang penting! Jiwa dan raga dipakai buat modal untuk fight. Bertempur, Pan! Itu berarti kau siap! Sebab, banyak orang justru tak menyadari modal yang dia miliki itu! Gue seneng dengar omongan kau itu, Pan!" kata Munir. Ia menepuk-nepuk pundak Ali Topan, kemudian berkata lagi: "Kau mau dengar tiga syarat yang aku pakai buat berjuang, Pan!"
"Apa itu""
"Jangan cengeng, jangan gentar dan jangan melanggar hukum! Kau pegang prinsip itu baik-baik, niscaya sukses kau!" kata Munir. Ia berdiri, menatap langit.
"Aku mau pulang sekarang. ng. kau mau ikut"" katanya. Ali Topan menggelengkan kepalanya. "Terima kasih, Nir. Soal tidur gampang buat gue," jawabnya. Munir menjabat tangan Ali Topan. Lalu, dia pergi meninggalkan Ali Topan. Ali Topan masuk ke dalam Taman Christina MarthaTiahahu di samping Pasar Kaget dan duduk di rerumputan.
Beberapa saatAli Topan diam di tempat, merenungkan percakapannya dengan Munir. Dari seluruh pembicaraan itu dia cuma menangkap satu hal, Munir bersimpati padanya. Jangan cengeng, jangan gentar, jangan melanggar hukum, begitu kata Munir tadi. Dalam keadaannya sekarang, Ali Topan tidak menganggap istimewa ucapan itu. Orang idup memang mesti begitu, pikir Ali Topan.
Menjelang jam sebelas malamAli Topan beranjak dari Taman Christina, ia berjalan gontai menuju Gelanggang Remaja. Ia bermaksud menemui Dirty Harry yang diketahuinya sering menginap di salah satu ruang di situ.
"Ada peraturan, anak-anak tidak boleh nginap. Di sini bukan hotel," kata seorang penjaga dengan nada dingin. Ali Topan tak berminat untuk bertanya jawab dengan
84 penjaga yang sok angker itu. Ia hanya mendengus, lalu meninggalkan tempat itu.
Ia pergi ke kios kembang Oji, tidur di pangkeng bambu di tepi kolam. Udara dingin dan nyamuk-nyamuk yang ganas membuat tidurnya kurang nyenyak.
85 DELAPAN Pagi semerbak di sekitar kolam Blok C. Sinar matahari yang hangat dan burung-burung kecil berkicau dan berlompatan di ranting-ranting pepohonan, mengusap-usap perasaanAliTopan. Sudah jam tujuh lewat tapi ia belum mandi. Ia duduk di pangkeng, merokok dan minum kopi yang dipesannya dari warung Bibi Min di seberang kios Oji. Letih dan gelisahnya belum lenyap seluruhnya. Semalaman tak bisa tidur nyenyak. Kulit lengan dan mukanya penuh bintil merah bekas gigitan nyamuk.
Oji muncul di pintu, melempar sekuntum mawar merah ke arahnya. Ali Topan membiarkan bunga itu mengenai kepalanya.
"Kayak Tarzan lu, gini ari belon mandi! Mandi gih Pan!" kata Oji. Ia menghampiri Ali Topan yang anteng menghisap rokok.
"Lu kagak pake racun nyamuk" Liat tuh, kulit lu merah-merah bekas gigitan nyamuk!" kata Oji.
"Biarin aje, Ji! Tidur disini enak. Soal nyamuk sih, entar juga bosen sendiri ngegigitin gue," sahut Topan. Oji duduk di sebelahnya.
"Eh, Pan, gue mau nanya nih..."
"Apaan"" "Lu kagak dicariin sama orang tua lu""
"Orang tua gue nggak sempet nyariin anak-anaknye yang pergi. Kalo sendok di dapur ilang satu baru mereka ribut," sahutAliTopan. DitatapnyaOji sekilas, kemudian pandangannya dilepaskan ke pucuk-pucuk cemara yang
86 bergoyang-goyang dibelai angin pagi. "Bisa aja lu, Pan."
Oji mengulum senyuman. Kemudian ia bangkit dan berjalan masuk ke dalam kiosnya. Sura, kongsiannya, yang sedang jongkok merangkai bunga, merasa heran melihat Oji masuk sambil cengar-cengir.
"Ade ape lu nyengir pagi-pagi"" tanya Sura.
"Eh, Ra," bisik Oji sambil berjongkok di sisi temannya, "feeling gue nih... kalo tiap hari si Topan nongkrong di kios kite, bakal laris dah kembang-kembang yang kite jual," sambungnya.
Dengan heran Sura memandang Oji. "Kenape begitu"" tanyanya.
Oji menowel lengannya, lantas berbisik di kupingnya, "Psst! Lu liat apa kagak kemaren sore. Cewek-cewek kan banyak beli krans di tempat kite gara-gara ada itu anak. Kagak biasanye dagangan kita ngalahin kios si Cucun. Gue perhatiin, cewek-cewek yang mau bel
i kembang ngeliatin dulu si Topan. Kagak salah lagi dah pengamatan gue. Cewek yang sebareg-abreg itu matanya jelalatan ngeliatin Si Topan.. "
"Ah, yang bener"" bisik Sura.
"Masak lu kagak perhatiin cewek-cewek itu ngerubung kayak laler ijo begitu."
Sura tersenyum, dan berkata pelan, "Mata gue sih ngeliat. Cuman gue kirain itu cewek-cewek ngerubung karena ada gue di sini."
"Wayooo! Tampang lu kayak anggrek kering begitu, mana ade cewek naksir." Oji mendorong Sura sampai jatuh. Keduanya tertawa terbahak-bahak.
Di belakang, Ali Topan masih merenung-renung, memikirkan nasibnya. Sudah habis tiga batang rokok kretek diisapnya, tapi masih belum diperolehnya ketetapan hati
87 tentang apa yang akan dibuatnya pada hari-hari mendatang. Ia belum bisa merumuskan secara kongkrit, pekerjaan apa yang paling pas dilakukan. Sesungguhnya ada beberapa alternatif pekerjaan yang dipilihnya, untuk mengatasi keadaan daruratnya. Persenan Rp 500 dari Oji kemarin, dirasakannya sebagai bukti, tak begitu sukar untuk mencari sesuap nasi dan sebungkus rokok buat hidupnya hari per hari. Kegelisahan hari kemarin tak mau hilang dari kalbunya.
Sekuntum bunga mawar yang ditimpukkan oleh Oji diambilnya dari tanah. Ditepuk-tepuknya bunga itu sesaat, kemudian dilemparkannya ke tengah kolam. Beberapa ekor ikan menyerbu bunga itu. Mereka menyentuh kelopak bunga, yang mereka kira makanan, kemudian berenang pergi meninggalkannya.
Ali Topan menggerak-gerakkan badannya untuk mengusir kelesuan, lalu berjalan menghampiri seember plastik berisi air di dekat pintu pondok, mencuci muka dan lehernya, berkumur-kumur dengan air itu, kemudian masuk ke dalam pondok.
Oji dan Sura menyambut kemunculannya dengan senyum.
"Gue cabut dulu, Ji!" kata Ali Topan. "Heh, mau kemane lu pagi-pagi. Udah di sini aja ban-tuin gue kayak kemaren. Daripada ngayab kagak puguh
lu, Pan," kata Oji. "Gampang deh nanti. Gue mau nglemesin dengkul
dulu." "Dengkul lu kopong ye" Kebanyakan sih lu" Makanya kalo ada begituan bagi-bagi kawan dong, jangan dilalap sendiri Pan...," kata Oji sambil senyam-senyum mesum. Ali Topan tersenyum lebar mendengar gurauan Oji.
"Makasih Ji! Makasih Ra! Gua cabut dulu," kata Ali
88 Topan. Ia keluar pondok kembang itu, berjalan ke jurusan jalan Bulungan. "Sering-sering kemari, Paan!" seru Oji.
"Rebes!" balas Topan tanpa menengok lagi.
*** Dirty Harry duduk nyender di pintu Gelanggang, membaca koran Ibu Kota edisi hari ini. Sebuah tustel Canon tergantung di pundak kirinya, dan sebuah tas kulit buatanYogya di pundak kanannya. Perhatiannya terpusat ke berita kecelakaan Tommy dan Nyonya Amir yang sudah ada di koran itu.Wajahnya tegang sekali.AliTopan berjalan santai mendekatinya.
"Hallo Dirty Harry!" sapa Ali Topan.
"Heh! Pan! seru Harry, "yang kecelakaan ini nyak lu apa bukan," katanya lagi dengan sangat serius.
"Ah!" cuma itu yang terlontar dari mulut Ali Topan. Segera ia menjambret koran yang memang disodorkan oleh Harry. Begitu membaca,jantungnya terasa berdegup sangat kencang, dan perasaannya berdebar-debar dengan hebatnya.
"Bener ini! Nyak gue kecelakaan Har! Aaah! Maa!" kata Ali Topan setelah dia baca berita itu. Gue mesti ke rumah sakit, Har!" katanya lagi, sambil berlari membawa koran si Harry.
"Paaan! Gua ngikuuut!" teriak Harry sambil berlari menyusul Ali Topan.
Sebuah President Taxi yang sedang melintas di prapatan jalan di suiti oleh Ali Topan. Ziiit! Taksi itu berhenti. Ali Topan berlari seperti gila menuju taksi, Harry berada lima langkah di belakangnya. "Pan, gue ngikut!" seru Harry.
Ali Topan tak menjawab. Ia langsung membuka pintu taksi dan masuk ke dalamnya. "Rumah Sakit Fatmawati,
89 bang!" kata Ali Topan. Sopir taksi menunggu sampai Harry masuk dan duduk di sebelah Ali Topan, kemudian menancap gas.
"Cepetan, Bang!" kata Ali Topan pada sopir taksi itu. Pikirannya kalut! Ia panik sekali! Dan sopir taksi rupanya memahami keadaan penumpangnya. Ia ngebut, menye-lap-nyelip di antara lalu lintas yang cukup padat di sepanjang jalan. Harry tak bicara apa-apa. Ia cuma memegangi lengan Ali Topan erat-erat untuk menenangkan hatinya.
Begitu taksi berhenti di halaman Ru
mah Sakit Fatma-wati, Ali Topan sudah melompat turun. Uang Rp 700 diberikannya ke sopir taksi, kemudian ia berlari sekencang-kencangnya ke bagian informasi. Dengan napas terengah-engah ia bertanya tentang ibunya kepada petugas bagian informasi.
"NyonyaAmir" Coba di cek di O.D," kata petugas itu.
"O.D."" tanya Ali Topan.
"Dinas Opname. Gedungnya di sana," petugas menunjuk ke sayap kanan rumah sakit. Ali Topan dan Harry mencek ke O.D. bagian khusus pasien darurat.
"Nyonya Amir ada di ruang VIP A. Di belakang sana," kata suster yang bertugas di O.D.
"Bagaimana keadaan ibu saya, suster"" tanya Ali Topan dengan suara gemetar. Suster itu tersenyum ramah. Ali Topan merasa sedikit terhibur oleh senyum yang memberi harapan itu.
"Masa kritisnya sudah lewat, berhasil diatasi tadi malam. Tapi saya kira sekarang masih belum boleh diganggu. Coba saja adik ke sana, di kamar No.5," kata suster ramah.
Di depan kamar No.5 paviliun VIP, Ali Topan amprok dengan ayahnya. Pak Amir berpakaian perlente seperti biasa, tampak tenang-tenang mipa cangklong.
90 "Papa..tegur Ali Topan, spontan. Pak Amir cuma mengernyitkan dahi sedikit, wajahnya sinis, sikapnya seperti orang asing, dingin, kaku, acuh tak acuh. Nyeri perasaan Ali Topan mendapat sambutan seperti itu. Tertusuk perasaannya, nyeri sekali. Ia menyapu si ayah dengan pandangan dingin, dari kaki sampai kepala, menatap tajam muka ayahnya yang tetap sinis, kemudian sebat melangkah ke pintu.
Pintu dikunci dari dalam. Melalui celah gordin di jendela kaca, ia melihat ke dalam kamar. Sesosok tubuh dengan perban di kepala dan dada tergolek di tempat tidur, dikelilingi seorang dokter dan dua perawat. Mata pasien itu terbuka separuh, mulutnya merintih halus.
"Mama! Mama!" seru Ali Topan. Ia mengetuk kaca jendela dengan keras, kemudian memutar-mutar pegangan pintu untuk masuk ke dalam. Dokter dan perawat melihat ke arahnya dengan pandangan tak enak. Salah seorang perawat menyibak gordin jendela. Wajah dramatis Ali Topan terpampang di jendela.
"Buka, suster, buka! Saya mau liat mama saya!" seru Ali Topan. Perawat menoleh ke dokternya, dan sang dokter mengangguk tipis. Kunci pintu pun dibuka. "Pelan-pelan, nanti mamamu terkejut," bisik perawat itu.
Berjalan pelahan dengan perasaan tercekam, Ali Topan menghampiri ibunya. Jari-jari tangannya gemetar, kerongkongannya terasa kering tiba-tiba. Berdiri di samping tempat tidur, ia memandang wajah ibunya dengan mata berkaca-kaca.Wajah itu bengkak. Lembut tangan Ali Topan menyentuh perban yang membalut bahu ibunya. Mata sang ibu bekerjap sesaat, memancarkan rasa sakit. "Mama," bisik Ali Topan. Nyonya Amir berusaha tersenyum, tetapi senyuman itu berubah bentuk seperti seringaian. Tak tertahan lagi, air
91 mata Ali Topan meleleh. Pandangannya kabur. Sekuat tenaga ia menahan diri untuk tidak memeluk ibunya, karena ia masih sadar bahwa sentuhan paling lembut pun akan menyakiti sang ibu. Sesungguhnya, ia sangat menyayangi ibunnya.
"Sudah, Dik. berdoa saja untuk Mama. biar kami yang menjaga di sini," dokter bicara halus. Perawat menarik lengannya, membawanya keluar. "Di luar saja dulu ya, Dik. Mama belum boleh diganggu, nanti infeksi," kata perawat itu sambil memperhatikan pakaian kumel dan wajah dekil Ali Topan.
"Terimakasiiih, Suster,..," bisik Ali Topan, "tolong selamatkan mama sayaa," sambungnya dengan suara bergetar. Sang perawat yang baik hati itu mengangguk dan tersenyum ramah. Ali Topan ke luar dengan airmata berlinang-linang.
Harry memeluk Ali Topan dengan penuh simpati. Sejak tadi ia bengong saja melihat sikap Pak Amir yang acuh tak acuh. "Kita ke sana dulu, ayo," kata Harry. Dagunya digerakkan ke arah lapangan golf yang terletak beberapa meter di sebelah timur paviliun. Pak Amir melengos ketikaAli Topan dan Harry lewat di depannya.
Mereka duduk di rerumputan di bawah pohon trembesi besar dekat lapangan golf. Pohon-pohon trembesi besar dan flamboyan yang teduh dan padang rumput golf yang terhampar luas di depan mereka agak menyegarkan pikiran keduanya. Harry menyalakan sebatang rokok untuk Ali Topan. Terharu sekali Ali Topan atas simpati yang ditunjukkan oleh
Harry. Ali Topan mengenal temannya yang satu ini sebagai anak yang pendiam, tak suka banyak omong dan bercanda. Dulu ia merasa kurang pas, menganggap Harry kurang akrab, anak pasif dan misterius. Dibanding
92 Bobby, Gevaert, dan Dudung yang ceria dan terbuka, Harry memang jauh berbeda. Ali Topan dengan Harry. Tapi kini Ali Topan sadar betapa ia telah keliru menilai seorang kawan. Tanpa banyak omong, Harry telah menunjukkan simpati yang sangat dalam. Sikap dan ucapannya terasa menghibur, menguatkan dirinya. Ali Topan tersentuh dan merasa malu sendiri mengingat sikapnya yang terkadang kasar dan tak bersahabat selama ini.
"Har," bisik Ali Topan, "lu baek hati bener sih. Kenapa Har"" sambungnya. Ekspresi Harry tak berubah menatapnya. Kebego-begoan, seakan-akan tak mendengar bisiknya.
"Har, kenapa lu bersikap baek sama gue," Ali Topan mengulangi ucapannya.
"Ah, lu kan juga baek," sahutnya kalem dalam aksen Jawa yang medok.
"Ah! Kapan gue baek sama lu"" ucap Topan spontan. Harry menyeringai kecil.
"Pokoknya gue tau kalo lu anak baek."
"Lu mau jadi kawan gue, Har"" kataAli Topan dengan sangat lembut.
"Lho, dari dulu kan gue emang temen lu. Heh heh heh," sahut Harry sambil ketawa geli. Dua codet di wajahnya membuat wajahnya tampak aneh dan lucu ketika ia ketawa.
Ketawa Harry terhenti ketika mereka melihat PakAmir berjalan ke mobilnya.
"Tuh, babe lu pulang, Pan," bisik Harry.
"Biarin," sahut Topan dengan nada kesal.
Mobil Pak Amir bergerak dari tempat parkir dan berjalan lambat. Sopirnya menghentikan mobil di dekat Ali Topan. Pak Amir melongok keluar.
93 "Tuan Ali Topan! Ik sudah baca surat jej!" kata Tuan Amir bernada kering dan tandas. Ali Topan menengok. Pandangan matanya redup menatap sepasang mata ayahnya yang bersorot angkuh. "Konci motornya juga sudah Ik terima, tapi kamu lupa belum mengasihkan STNK-nya. Awas jangan kamu gadaikan surat itu, anak buajingan!" ucap Pak Amir. Sambil meludah ke arah Ali
Ali Topan Wartawan Jalanan Karya Teguh Esha di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Topan. "Cuiih!"
Saddiss! Gumam Harry spontan. Ia sampai bengong terlongong-longong mendengar ucapan dahsyat itu. Dipandangnya adegan ganjil antara ayah dan anak. Sepasang mata Ali Topan berkilau sesaat. Iapun kaget. Betapapun kering hubungan mereka, tapi baru kali ini ayahnya menghinanya begitu macam, menunjukkan benci antipatinya. Terguncang batin Ali Topan. Wajahnya pias. Perasaannya nyeri sekali.
PakAmir menutup kaca mobilnya, kemudian mobil itu bergerak diiringi pandangan kosong Ali Topan dan Harry.
Harry membiarkan Ali Topan dalam kegalauan perasaannya sendiri. Ia sungguh merasa heran. Ia banyak mendengar tentang istilah broken home dan generation gap di koran-koran, tapi baru kali ini secara telak disaksikannya dengan mata kepalanya sendiri buktinya.
Sepasang mata Ali Topan berubah-ubah sorotnya. Redup dan garang saling bergantian. Tragik banget. Tapi Harry tak melihat airmata setitik pun lagi di mata Ali Topan. Padahal ia bisa menduga betapa hancur perasaan seorang anak yang dihajar dengan kata-kata begitu sadis oleh ayahnya. Ali Topan kelihatan sangat berduka memang, namun ia tak melelehkan airmata seperti ketika ia menghadapi ibunya di dalam kamar tadi.
Agak lama Ali Topan berdiam diri diamuk gelombang
94 perasaan yang mengharu-biru kalbunya. Sesaat kemudian ia berhasil menguasai diri. Ia menghela napas panjang dan berat, mengusap-usap wajahnya kemudian menengok Harry. Puntung rokok dibuangnya ke selokan di dekat kakinya.
"Masih ada rokok, Har""
"Abis, Pan!" sahut Harry, "gue beli sebentar ya," tambahnya cepat. Tanpa menunggujawaban, Harry pergi mencari tukang rokok.
Duduk sendiri menatap padang golf yang luas, Ali Topan merenungi nasibnya. Kata-kata ayahnya masih terngiang-ngiang di telinganya dan wajah ibunya yang biru bengkak terbayang-bayang di pelupuk matanya. Betapapun sang ibu punya sikap yang tidak disetujuinya, dan ada jurang pemisah di antara mereka, tapi seketika jurang itu lenyap di dalam hatinya. Bagaimanapun ia sangat mencintai ibunya. Dan ayahnya" Dahsyat sekali tadi. Di depan orang lain, sopir dan Harry, terang-terangan ia menghinanya. Mengingat itu, ia hanya bisa memendam duka yang teramat dalam.
Setela h dipikirkannya sejenak, ia pun tak dapat menyalahkan ayahnya. Mungkin papa tersinggung oleh isi suratnya. Ia menyebut Tuan dan Nyonya Amir di situ, jadi pas saja jika ayahnya menyebut dia Tuan Ali Topan seperti tadi. Tapi... soal STNK dan hinaan yang dilontarkan oleh ayahnya adalah soal lain bagiAli Topan. Baru kini dia sadar bahwa ia memang lupa menaruh STNK sepeda motornya bersama-sama dengan kunci motor dan surat di atas meja. Ia ingat STNK itu masih ada di dalam tas sekolahnya.
Harry datang membawa sebungkus Ji Sam Soe, yang ia berikan kepada Ali Topan.
"Banyak duit lu, Har"" tanya Ali Topan, "beli Jarum
95 yang go cap-an udah cukup buat kita. Ini kan rokok mahal." Harry cuma nyengir.
"Sekali-kali ngisep Sam Soe, kebanyakan ngejarum bisa berdarah-darah mulut kita," selorohnya sambil menyalakan korek api. Ali Topan geli juga mendengar selorohan itu.
"Gue pikir lu kagak bisa becanda, Har."
"Sekali-sekali, bakal menghibur lu, Pan."
Ali Topan terharu mendengarnya. Ucapan yang berwarna seloroh itu pas benar-terasa menghibur dirinya.
Harry duduk disamping Ali Topan. Keduanya melepaskan pandangan ke lapangan golf. Beberapa orang sedang bermain, diikuti caddy masing-masing. Burung-burung gereja bercereceh di pohon asem kecil yang ada di dalam lapangan.
"Har," kata Ali Topan, "hubungan lu sama orang tua lu mulus apa kagak""
"Biase-biase aje. Orang tua gue diYogya, jualan gudeg. Gue anak paling gede, adik-adik gue masih kecil, ada tiga biji. Babe gue baek, yah biasa-biasa deh," kata Harry.
"Kok lu ke Jakarta" Mustinya kan lu disono aje, kumpul sama orang tua dan adik-adik lu kan enak."
Harry melirik temannya. Dia paham, Ali Topan ingin tahu tentang dirinya. Untuk menetralisir kekalutan di hati temannya, ia pikir tak ada salahnya memberitahu.
"Sesudah gue lulus SMA, di sana, babe gue bilang nggak kuat ngongkosin lagi. Gue disuruh nyari hidup sendiri," katanya.
"Lu disangonin berape duit sama babe lu""
"Nggak pake sangu duit. Gue dari dulu udah berdikari walaupun kecil-kecilan. Gue bisa menggambar. Sering gue terima order menggambar potret. Duitnya gue tabung. Malah kalo babe perlu, gue kasih die."
96 Ali Topan manggut-manggut. Ia tertarik untuk mengetahui lebih lanjut tentang temannya itu. Dilihatnya tustel Canon yang menggantung di bahu temannya.
"Lu bawa-bawa tustel bakal apaan" Jadi wartawan lu""
"Gue tukang potret keliling. Motretin babu-babu. Soalnya gue sukar nyari order gambar di sini. Lebih gampang motret. Ada sodara sepupu gue yang jadi wartawan Berita Dunia, gue belajar motret dari die. Canon ini gue beli cicil, juga dari die. Masih kurang delapan ribu."
"Kenapa lu kagak jadi wartawan aje""
"Gue suka juga masukin foto ke harian Ibu Kota. Gue kurang bisa nulis berita. Tapi memang gue lagi belajar
nih." "Kenapa ke Ibu Kota" Kenapa nggak ke Berita
Dunia"" "Ibu Kota syaratnya lebih gampang. Obyeknya juga lebih asyik. Bis kota tebalik, motor nubruk becak, warung kebakar, pokoknya yang kayak gitu deh, pasti masuk Ibu Kota. Sedangkan Berita Dunia atau koran lain, beritanya musti berita politik kelas tinggi."
Diam-diam Ali Topan tertarik.
"Honornya berapa lu dapet dari Ibu Kota"''
"Lumayan. Satu foto go pek, berita kecil go pek. Suka lebih juga. Pokoknya sip deh, kalo lu mau gua ajarin motret, Pan."
"Gue mau, Har! Gue mau!" kata Ali Topan, antusias sekali.
Sesaat ia lupa akan kedukaan yang dialaminya. Tawaran Harry terasa sebagai satu jalan keluar yang menyenangkan. Harry melihat mata Ali Topan bersinar kembali.
"Dulu si Gevaert kan juga pinter motret, Pan. Lu nggak
97 belajar dari dia""
"Dulu gue nggak berminat. Gevaert memang jago, Har. Dia hobi banget sih. Sekarang gue mau belajar serius dari lu," kataTopan. Harry tersenyum. Ia merasakan gembira, awan duka mulai melayang dari wajah temannya.
"Mulai besok ya. Gue ke rumah lu deh," kata Harry.
"Gue udah kagak pulang ke rumah lagi, Har! Lu liat sendiri kan, sikap orang tua gue udah asing!" kataTopan. Harry tersirap. Ia sadar telah keceplosan omong.
"Sorry, gue lupa," katanya cepat, "yah, kita belajar di mana kek."
"Disini aje, Har. Gue musti nungguin nyokap gue sampe sembuh.
Gue tidur disini." "Oke deh. Ng. lu udah makan apa belon, Pan" Kita makan dulu yuk di warung depan sana. Kalo pagi nggak sarapan, lemes badan gue," kata Harry. AliTopan berpikir sesaat. Hatinya berat meninggalkan tempat itu. Ia ingin selalu dekat ibunya dalam keadaan parah begitu. Harry bisa meraba pikiran temannya.
"Nyokap lu pasrahin aja pada Tuhan. Lu kan harus berjuang, ayo lu temenin gue." Soalnya gue udah janji sama babu-babu di Kemang untuk nyerahin foto hari Sabtu ini. Gue musti menepati janji, Pan," kata Harry, sambil menepuk tas kulitnya.
"Oke, thanks ya Har. Gue memang kudu berjuang," kata Topan.
"Sama-sama, berjuang friend" kata Harry. Mereka berjalan meninggalkan tempat itu. Mereka berjalan di jalanan setapak di halaman rumah sakit. Semangat Ali Topan mengalir. Hidup penuh keajaiban.
Ia merenung menatap padang rumput luas. Burung-burung gereja makin ramai bercereceh. Mereka terbang berkejaran dari pohon yang satu ke pohon yang lain.
98 Matahari meninggi, langit berwarna biru muda jernih. Disana-sini mega seputih kapas.
Ali Topan mencabut sebatang rumput yang panjang, kemudian menggigit-gigit batangnya. Pikirannya penuh dengan berbagai persoalan yang menimpa dirinya. Ia merasa sedikit pusing memikirkan itu semua, tapi rasa gelisah sudah hilang dari hatinya. Ia paham kegelisahan hari kemarin merupakan tanda terjadinya begitu banyak peristiwa dahsyat hari ini. Dan hari-hari esok menyimpan peristiwa-peristiwa lain lagi.
99 SEMBILAN Ali Topan dan Harry sarapan gado-gado di warung Tegal depan rumah sakit. Sehabis makan ia naik bis Gamadi menuju Blok M, dari situ naik bis mini ke jurusan Ragunan. Mereka turun di Kemang, di dekat rumah pribadi Duta Besar Malaysia. Harry bercerita, situ terdapat rumah besar yang ditempati Miss Carla Visser, seorang noni Indo berusia sekitar 27 tahun. Carla Visser cantik, bodinya kayak Edwige Fennech. Ia bekerja di perusahaan Belanda. Mobilnya Peugeot 504 warna susu sapi.
Harry beberapa kali melihat noni itu, ketika keluar dari rumahnya. Juga dari foto-foto dirinya yang ada di ruang tamu rumahnya. Harry sudah hapal seluk-beluk rumah tersebut, karena ia sering masuk kesitu jika si noni tidak ada di rumah. Harry kenal baik dengan Betty dan Pretty yang bekerja sebagai babu di rumah itu. Betty dan Pretty itu nama samaran. Harry tak tahu dan tak berminat untuk menyelidiki siapa nama asli Betty dan Pretty, babu-babu asal Solo asli itu. Urusan dia cuma memotret mereka dan teman-teman satu korps mereka di rumah itu, sesuai order yang ia terima.
Kemang tumbuh sebagai daerah elite. Orang kaya dan orang asing banyak tinggal di situ. Babu-babu mereka gayanya lain dari mbok-mbok yang masih tradisionil. Mereka rata-rata berusia muda, genit-genit dan mereka seragam rok putih. Buat Harry tak ada problem. Mereka yang penting suka dipotret dan bayarannya pun lancar.
Harry dan Ali Topan nonkrong di pinggir jalan depan
100 rumah Duta Besar Malaysia, menunggu kode dari Betty. Janji pertemuan jam sepuluh kurang seperempat. Kurang tujuh menit lagi. Dua belas foto berwarna sudah ada di dalam tasnya untuk Betty cs. Untuk sebuah potret dia dapat Rp 200.
Tepat pada waktunya, pintu halaman rumah Miss Visser terbuka. Betty keluar, berdiri di depan pintu pakai slack merah. Setelah melihat Harry, Betty masuk lagi dan pintu dibiarkannya terbuka sedikit. Itu kode mereka.
Harry mengajak Ali Topan berjalan santai ke rumah itu. Longak-longok sebentar dan yakin tak ada orang memperhatikan, mereka masuk dan menutup pintu halaman. Di teras rumah sudah menunggu Betty dengan gaya primadona lenong menyambut kekasih.
"Hallo saay, pacarku yang ganteng, apa kabar saay"" seru Betty. Matanya dikerjapkan sebelah dan kedua kakinya dikangkangkan.
"Bawa temen, to... ganteng ya, hi hi"
Harry yang sudah biasa dengan sambutan semacam itu, kalem saja. Betty tidak jelek, malah pembawaannya mirip bintang sex Indonesia. Ali Topan berkenalan dengan Betty.
"Fotonya udah jadi nih," kata Harry. Ia menyodorkan amplop berisi foto Betty dan Pretty.
"Urusan foto nanti saja deh, saay.," sahut Betty. Ia menggeraikan rambutnya, gayanya makin menantan
g. Tangan Harry dipegangnya. Harry mengelak.
"Som som yaa.," kata Betty, wajahnya merengut manja.
Harry tersipu-sipu. Pretty muncul di pintu. "Siah siah, kalo pacaran di kamar dong, jangan di pelataran, lho pacarku dateng juga...," cetus Pretty. Gaya
101 kenesnya tidak di bawah rekan sejawatnya. Pretty langsung ngesun pipi Ali Topan.
"Pacar kita som som, Pret. jual mahal.," kata Betty, "abis kita orang jelek sih..."" sambungnya. "Pacarku ganti Ali Topan aja deh... lebih okey..." katanya.
"Nggak som som... kalo som som kan kita nggak ke sini," kata Harry. Kata-katanya mengikuti keadaan, tapi sikapnya tetap waspada. Soalnya, dua langganannya itu makin menampilkan sikap panas, tanpa tedeng aling-aling. Betty menggaruk-garuk perutnya dan Pretty bersidekap secara demonstratif hingga pangkal buah dadanya membuhul ke atas. Ali Topan bersikap tenang.
"Mau dibayar sekarang atau ngebon dulu"" kata Harry. Betty dan Pretty saling berpandangan. Keduanya saling melempar senyum, seakan-akan memaklumi keengganan Harry.
"Ngebon aja deh, biar bisa ketemu lagi, ya Pret"" kata
Betty. "Tapi aku perlu uang untuk ngirim ke orangtuaku. Bapakku mencret-mencret di desa. Dan sodaraku ini perlu duit juga," kata Harry.
"Duit sih gampang asal mau jadi pacarku hi hi hi ," sahut Pretty, "tapi kasian juga pacar kita. Bayar separo
dulu, Bet." "Gimana saay"" tanya Betty.
"Boleh," sahut Harry."Sisanya minggu depan ya""
Pretty masuk ke dalam untuk mengambil uang. Betty mengamati fotonya satu per satu. Wajahnya kelihatan gembira. Pretty datang, memberikan uang Rp 1.200 kepada Harry.
"Terimakasih," kata Harry, kemudian ia danAli Topan minta diri. Betty dan Pretty mengantarkannya sampai pintu.
102 "Jangan bosen ya saay," kata Betty sambil mencubit pantat Ali Topan.
Ali Topan dan Harry menjawabnya dengan senyuman ramah.
Dari depan rumah itu mereka naik metromini ke Blok M. Dari terminal bis ia berjalan kaki ke Jakarta Foto yang terletak di Plaza, membeli film hitam-putih. Dari situ mereka naik Metro mini ke rumah sakit, Harry ingin segera memberi kursus kilat fotografi kepadaAli Topan. Ia merasa gembira dan bangga bisa menjadi "guru" Ali Topan yang urakan itu. Sejak dulu dia diam-diam mengagumi anak muda yang terkenal di Blok M dan sekitarnya.
Sesampai di rumah sakit lagi, Ali Topan dan Harry duduk di bawah pohon flamboyan, menghadap ke lapangan golf. Harry menimang-nimang tustelnya. "Orang bilang... fotografi adalah menggambar atau melukis dengan cahaya," Harry memulai pengajarannya.
"Siapa orang itu "" tanya Ali Topan.
"Harry tertegun . "Haah, siapa" Hampir semua orang fotografi bilang begitu. Kenapa""
"Lu bilangin orang-orang ahli, lebih tepat memakai kata merekam daripada menggambar atau merekam...," kata Ali Topan. Serius.
"Terserahlah" "Jangan maen terserahlah-terserahlah gitu, dong. Apa-apa kita usahain pakai pengertian yang tepat," kata Ali Topan.
"Lu atau gue yang ngasih kursus "" kata Harry sambil nyengir.
"Gue kursus fotografi ke lu. Lu kursus nyusun kalimat ke gue. Masing-masing dari kite dapet manfaat. Okey "" Harry tersenyum lebar sambil mengangguk103
anggukkan kepalanya. "Okey-okey... Jadi.... menurut lu fotografi adalah merekam dengan cahaya""
"Merekam suatu obyek yang tampak mata dengan suatu alat, yaitu tustel, dengan pertolongan cahaya. Tustel itu, cara kerjanya kayak mata kita," kataAli Topan."Nah, lu lanjutin deh."
"Lho lu udah tau teorinya... "
"Gue pernah baca tapi gue belum sempet mraktekin. Gue lebih suka nulis," kata Ali Topan.
"Oh ya " Kalo gitu elu jadi wartawan aje, Pan."
"Pikiran gue emang kesitu. Tapi sekarang lu ajarin gue motret deh. Entar gue ajarin lu nulis."
Singkat cerita, Harry ngomong tentang lensa, diafragma, kecepatan, komposisi, pemasukan dan pengeluaran film, dan sebagainya. Ali Topan mencatat dengan cepat pelajaran yang disampaikan oleh Harry.
Tak terasa sore telah masuk pada jalur waktu. "Besok kita praktekkan," kata Harry. "Gue mau ke Bulungan. Lu gimana, Pan "" lanjutnya.
"Saya telah mengatakan bahwa saya mau menemani ibu saya yang sedang dirawat di rumah sakit ini. Terima kasih untuk fotografi yang anda telah ajar
kan kepada saya, Harry...," kata Ali Topan.
Harry terperangah. "Kok bahasa lu jadi tertib, Pan ""
"Bukankah saya telah berkata untuk mengajari Anda menyusun kata-kata, lisan dan tulisan "" kata Ali Topan. Ia tersenyum sambil mengulurkan tangan kanannya yang segera dijabat oleh Harry. Ya mereka berjabat tangan erat-erat sebagai ungkapan kegembiraan dan rasa setia kawan dalam perjuangan.
*** Sekitar jam sembilan malam, ketika Ali Topan sedang ngobrol dengan Mbok Yem di ruang VIP, datanglah
104 Ages, Retno dan Qibor. Mereka seniman-seniman muda gelanggang Bulungan yang diberi info Harry tentang musibah yang menimpa mama siAliTopan. Maya, teman SMA-nya datang pula bersama Londri, teman kuliahnya.
"Tabah saja, Pan. Hidup memang penuh ujian. Semoga mamamu lekas sembuh," kata Ages, ketua grup teater Telor Asin.
"Iya, Pan. Musibah itu datangnya tak terduga. Terima aja dengan iklas. Aku ikut berduka," kata Retno, pacar Ages. Retno itu anggota grup teater Telor Asin yang dipacari Ages.
"Kembalikan saja kepada Yang Di Atas, Pan. Semua itu ada hikmahnya," kata Qibor, pelukis yang menjadi kepala bagian artistik grup teater Telor Asin.
Ali Topan pernah beberapa kali ikut berlatih teater dengan mereka, tapi tak ia lanjutkan. Ia merasa tak berbakat di teater. Padahal anak-anak teater itu ingin ia bergabung dengan mereka.
"Kami tak lama-lama, Pan. Kami harus berlatih teater untuk pementasan minggu depan di TIM," kata Ages.
"Terima kasih Ages, Retno, Qibor... untuk simpati kalian. Dan salam pada teman-teman yang lainnya," kata Ali Topan.
"Pan..," kata Maya lembut, ketika anak-anak teater itu telah pergi. "Aku... aku ingin menyampaikan sesuatu...," lanjutnya. Maya melihat ke Londri. Londri cukup tampan, sosoknya sosok anak gedongan yang alus, juga memandang Maya.
"Londri, ada yang mau gue omongin berdua dengan Ali Topan. Lu tunggu di sini ya," kata Maya. Londri mengangguk.
Maya memegang tangan Ali Topan dengan mesra, dan mengajak ia berjalan ke halaman paviliun VIP itu.
105 Mereka berhenti di dekat pohon flamboyan. Maya memandang wajah Ali Topan dengan rasa sayang yang ia pendam sejak SMA. Langit kelabu muda. Beberapa perawat berjalan di lorong-lorong rumah sakit.
"Paan..," kata Maya. "Aku mau nyampein sesuatu..."
"Ya kamu omongin aja, May. Soal cowok lu "" kataAli Topan.
"Bukan! soal itu sih kapan-kapan aja. Aku juga baru menjajaki apa dia cocok sama aku apa nggak... Ini...Anna nelpon aku dari Singapur... Dia pesan ke aku... supaya aku ngejagain kamu..," kata Maya. Ia menunggu reaksi Ali Topan.
"Kamsudnya gimana itu anak orang kaya"" kata Ali Topan. Ia menyalakan sebatang rokok jisokam. "Kamsudnya "" "Maksudnya "
"Ya gitu. Anna pesen wanti-wanti supaya aku njagain kamu. Kasarnya dia nitiplah... nitip kamu ke aku."
"Jelasnya gimana sih, May " Kalo njagain berarti kamu itu satpam. Kalo nitipin berarti gua ini dianggap barang. Nah, ogut bukan barang dan elo bukan satpam... Jadi... yang begituan kagak usah diomongin," kata ali Topan. Ia mengecup kening Maya. Cup! Maya kaget, seperti tak percaya.
"Eh... " Maya melihat ke arah Londri yang berdiri seperti patung melihat ke arahnya. Wajah Maya memerah, hangat, dialiri rasa bahagia. "Apa artinya yang barusan itu "" bisiknya lembut.
"Kalo Anna nilpon lagi aku harus bilang apa"" tanya Maya sebelum pergi bersama Londri.
"Kamu bilang aja bahwa malam ini kening lu gua kecup," Kata Ali Topan sambil mengusap rambut Maya.
106 Esoknya Harry memotret Ali Topan bercakap-cakap dengan seorang caddy di pinggir lapangan golf. Harry menjepret mereka dengan kameranya. Crek! Crek!
"Waduh! Jangan lu masukin Ibu Kota, Har! Ntar dikira residivis gue," kata Ali Topan. Caddy tersipu-sipu, wajahnya senang dipotret Harry.
"Kalo udah jadi bagi, Oom," kata si Caddy.
"Manggil oom lagi, emang tampang gue tua ya," seloroh Harry sambil melompati pagar, masuk ke lapangan.
"Udah beres lu sama babu-babu"" tanya Topan.Wajah-nya nyengir. Harry menafsirkannya sebagai ledekan. "Lu ngeledek ya"" Ali Topan mesem saja.
"Oom, eh, Mas, saya pergi dulu ya. Caddy Master manggil saya," kata si Caddy, "jangan lupa bagi fotonya, Mas," sambungny
a sambil berjalan ke arah caddy master yang memanggilnya. "Sip," kata Harry.
Kemudian ia menarik Topan duduk di rerumputan.
"Ngobrol apa tadi"" tanya Harry.
"Gue nanya soal golf."
"Pingin jadi caddy"" kata Harry, nadanya datar.
"Eh, gimana urusan lu. Beres" Ceritain dong," Ali Topan mengalihkan pembicaraan.
"Beres. Sebagian duit gue beliin film. Lu jadi belajar praktek apa nggak""
"Iya dong!" kata Ali Topan. Matanya bersinar-sinar gembira. Tapi tiba-tiba ia diam, seperti ada sesuatu pikiran. "Eh, Har! Harga filmnya berapa""
"Kenapa"" "Gue bayar ah! Kan gue yang perlu!" "Sama temen jangan gitu cara lu, Pan," sahut Harry. Agak kesal nadanya. Ali Topan cepat memahami
107 perasaan Harry. "Oke, Har!" katanya. Ditepuk-tepuknya pundak Harry dengan haru. "Lu baik banget sih," katanya dengan suara lembut.
"Kita mulai"" tanya Harry. Wajahnya serius.
"Oke!" "Ini kamera udah ada filmnya. Black and white. Isi filmnya 36 jepretan. Udah gue pake 6 jepretan. Isinya masih 30 jepretan lagi. Nah, lujepret apa saja deh sepuluh kali, baru kita ngomong lagi," kata Harry.
Ali Topan mengamati kamera Canon itu. Ditimang-timangnya sambil mengingat cara motret Gevaert. si Harry ini ngetes gue, pikirnya.
Rasa ingin tahunya akan cara Harry memberi pelajaran mendorongnya berbuat serampangan. Dengan tampang serius, ia mulai mengokang, Crek! Ditembaknya matahari! Dikokangnya lagi. Crek! Ditembaknya caddy yang mendorong kereta golf di ujung lapangan. Kemudian berturut-turut ditembaknya Harry, semak-semak, mobil-mobil di tempat parkir, perawat yang sedang berjalan dan burung-burung gereja yang beterbangan sampai jatah yang ditentukan habis.
Ia memberikan tustel pada Harry sambil tersenyum.
"Hebat ya"" katanya.
"Hancur lebur," kata Harry, "dari sepuluh jepretan rusak sebelas," guraunya.
Ali Topan berlagak tersipu-sipu. "Kalo sepuluh jepretan yang jadi sebelas, gimana caranya Har"" katanya.
"Nih! Gini nih!" kata Harry. Lantas dia mulai mengajari praktek memotret Ali Topan memperhatikan dengan seksama.
"Pelajaran berharga ini musti gue catet, Har!" kata
108 Topan, "bagi kertas dong."
Harry suka hati menyobekkan kertas dari buku catatannya.
"Bolpennya juga dong," kata Topan sambil mengambil bolpen Bic dari kantong Harry.
Harry mengulangi pelajarannya, dicatat Ali Topan dengan teliti. Kini ia benar-benar serius, sebab Harry mengajarinya sepenuh hati. Ia tak ingin mengecewakan Harry. Yang lebih penting lagi, ia bermaksud menguasai fotografi sebagai salah satu jalan untuk nyari makan.
"Nanti malem gue cuci, besok pagi kite liat hasilnya," kata Harry.
"Lu nyuci sendiri""
"Iya." "Rupanya lu memang gape, Har. Tapi sebulan lagi sih kita liat, siapa yang lebih profesional di antara kita," kata Topan.
Harry tersenyum kecil sambil menggulung film.
Berhari-hari mereka sibuk dengan acara potret memotret, dengan obyek sekitar rumah sakit. Harry puas dengan kemajuan yang diperoleh Ali Topan. Jika hari pertama hasil 10 jepretan kurang bagus, maka pada hari kelima satu rol jadi semua, meskipun komposisinya masih kacau dan pengaturan cahaya kurang pas.
Pada hari keenam, mereka istirahat, ngobrol di teras paviliun rumah sakit.
"Tinggal mengatur komposisi, terus lu bisa praktek sendiri, Pan. Minggu depan kan ada parade drum band di Thamrin, kita motret wadon-wadon SMA Stella, mack," kata Harry.
"Wadon sih wadon, tapi duit gue udah bures nih bakal beli film, Har. Kita musti nyari puntung dulu bakal
109 makan," seloroh Ali Topan. "Duit gue masih ada, kita bisa pake sama-sama." "Gue ngerepotin lu ya, Har""
"Jangan ngomong gitu lagi, Pan. Kita kan take and give. Lu lagi susah gue tolong, kalo gue susah kan lu yang nolong."
AliTopan merangkul Harry dengan hangat. Kesedihan hatinya akibat peristiwa-peristiwa tak enak telah pergi, berganti dengan semangat baru untuk hidup. Dalam diri Harry ditemukannya benih-benih persahabatan. Benih ini makin hari makin berkembang dengan indah, menghangatkan hatinya yang dingin berkabut duka.
110 SEPULUH Sore hari, 22 Juni 1978. Jalan Mohammad Husni Thamrin penuh sesak oleh rakyat yang sudah berjam-jam menunggu Parade drumb band menyambut Hari Ulan
g Tahun Jakarta. Jalan raya yang diberi nama tokoh rakyat Jakarta itu, bersambung dengan Jalan Jendral Sudirman di sebelah Selatannya, merupakan jalan utama ibukota yang paling penting, terkenal sebagai tempat Malam Pesta Muda Mudi Jakarta sejak tahun 1973 ketika IMADA -Ikatan Mahasiswa Jakarta- mengkoordinir pesta rakyat semalam suntuk guna memberi kesempatan masyarakat berpenghasilan rendah menghibur diri.
Lenong, orkes dangdut, grup band rock, wayang golek, dan beberapa kesenian tradisionil dibuatkan panggung-panggung tersendiri di sepanjang jalan raya itu, sehingga masyarakat kecil -terutama kaum mudanya- dapat menghibur diri sesuai selera masing-masing, pada tahun-tahun yang lewat. Tapi sejak Tjokropranolo naik tahta menjadi Gubernur Jakarta, ada kebijaksanaan untuk menghapus pesta rakyat di Jalan Thamrin itu.
Rakyat kecil yang sangat haus hiburan banyak kecewa atas hal itu, tapi sebagaimana nasib rakyat kecil di mana-mana, mereka tak mampu berbuat apa-apa sekalipun mereka sangat ingin diberi hiburan yang sederhana dan bersifat benar-benar dari rakyat, oleh rakyat untuk rakyat.
AliTopan dan Harry duduk di trotoar di depan Bangkok Bank Building yang berseberangan dengan Bank Indonesia, menunggu parade mulai. Harry sudah mengisi
111 penuh Canon-nya dengan film hitam-putih ASA 200. Lampu blitz yang dia pinjam dari Mas Moel, sodara sepupunya yang jadi wartawan Berita Dunia, berisi 4 buah batu batrei mini, siap untuk dipakai.
Sebuah jam umum di perempatan jalan Thamrin dan jalan Kebon Sirih mati. Ali Topan menowel seorang lelaki setengah baya yang duduk di sebelahnya, menanyakan waktu.
"Kapan mulai bergerak drumb band-nya ya" Saya sudah capek nungguin. Sejak jam setengah tiga tadi saya sudah disini. Kalo bukan untuk nyenengin anak saya, saya ogah banget ke sini. Mendingan nyari obyekan bakal ngasepin dapur," kata orang itu. Ali Topan memperhatikannya. Lelaki itu kurus, tampangnya pun seperti pegawai negeri kelas bawah.
"Kerjanya di mana, Pak"" tanya Topan untuk menyambung pembicaraan.
"Saya kuli Dik...," kata orang itu dengan tekanan suara mengeluh. "Saya cuma pesuruh di Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Susah jadi orang kecil dik, anak saya satu, itu yang sedang berdiri di dekat tukang jual rokok," kata orang itu sambil menunjuk seorang bocah berumur sekitar 6 tahun yang sedang melihat dengan penuh minat seorang bocah kecil lain yang asyik makan permen. Tampak jelas oleh Ali Topan, anak itu menelan ludahnya berkali-kali melihat bocah sebayanya makan permen dengan nikmat.
Tiba-tiba bocah itu berlari ke ayahnya. Dengan manja ia masuk ke pelukan sang ayah. "Paak, Pepen pengen permen Sugus, Paak. Punya duit apa enggak buat beli permen Sugus, Paak," kata si anak yang bernama Pepen itu.Ayahnyamengusap-usap wajah Pepen dengan penuh kasih sayang.
112 "Berapa duit""
"Go cap aja, Paak."
Si ayah merogoh saku celananya, dan mengambil uang logam Rp 50. Uang itu masih diamat-amatinya, seolah-olah berat hati melepaskannya. Akhirnya toh uang itu diberikan pada Pepen yang langsung berlari dengan riang ke tukang rokok untuk membeli permen yang diinginkannya.
"Yaah, namanya anak kecil... segala permen yang nggak bisa bikin kenyang perut dibeli. Sebetulnya uang lima puluh perak kan dapat secangkir beras," gumam ayah Pepen dengan wajar. Ia seperti bicara pada dirinya sendiri.
Trenyuh hati Ali Topan mendengar gumam ayah Pepen. Uang Rp 50 begitu berguna bagi orang ini, pikirnya. Lantas ia teringat beberapa anak di sekolahnya dulu yang uang jajannya paling sedikit Rp 5.000 setiap hari. Bahkan Ito, anak kelas III IPA dulu, pernah bikin sensasi di sekolah ketika pada hari ulang tahunnya mencarter American Hamburger dan mentraktir kawan-kawan sekelasnya di situ. Ali Topan ingat betul, sebab ia bersama Dudung dan Gevaert ikut nimbrung, walaupun tak diundang. Ayah Ito yang kerja di kantor Bea dan Cukai malah sempat hadir dengan pakaian dinas, memberi setiap anak selembar Rp 1.000 yang masih bau bank.
Bergidik tengkuk Ali Topan mengingat peristiwa itu. Ia tidak tega melihat langsung ke arah ayah Pepen yang duduk dengan wajah kosong. Ali T
opan banyak kenal gembel-gembel, tukang becak, tukang-tukang parkir, bocah tukang semir sepatu, kaum gelandangan sejenis itu. Ia tahu, merekajuga kerja sangat keras untuk mencari uang, tapi wajah mereka jarang kelihatan sedih dan
113 muram seperti pesuruh kantor yang sekarang duduk di sebelahnya. Wajahnya melompong seperti ada beban berat mendekam di dalam pikirannya.
"Yaah, pasrah saja, Pak," cetus Ali Topan tiba-tiba. Maksudnya menghibur hati orang yang kelihatannya susah betul itu.Ayah Pepen kaget mendengar ucapan itu. Dengan sorot mata aneh ia menatap anak muda yang tak dikenalnya tapi sudah berani memberi nasehat itu.
"Kalo tidak pasrah mau apa" Mau protes samaTuhan"" cetusnya dengan geram. "Eh, umurmu berapa, Dik"" sambungnya dengan nada lebih kalem.
"Delapan belas, Pak," sahut Ali Topan.
"Umur saya tiga puluh delapan. Jadi dua puluh tahun lebih tua dari kamu. Asem garemnya kehidupan sudah banyak saya rasakan.Tidak perlu saya ceritakan padamu, tapi kalo saya tidak pasrah dan istri saya tidak tabah, barangkali sudah lama saya bunuh diri atau masuk bui! Nasib saya memang nasib orang bodo. Ketiban susah melulu di jaman yang katanya serba membangun ini! Apa yang dibangun" Gedung-gedung mewah dan pabrik-pabrik mobil untuk orang kaya" Tapi nasib rakyat kecil dan bodo kayak saya ini, siapa yang mikirin" Nyekolahkan anak satu saja setengah mati susahnya!" katanya dengan nada keras, seakan-akan melampiaskan beban berat pikirannya kepada Ali Topan.
Beberapa orang yang mendengar kata-kata kerasnya menengok, kemudian acuh tak acuh lagi. Harry pun acuh tak acuh mengusap-usap kameranya.
"Anaknya cuma satu ya, Pak" Masih kecil ya"" kata Ali Topan. Orang itu memandang ke anaknya yang sedang asyik mengunyah permen di dekat tukang rokok. Ia menghela napas panjang.
"Untung anak cuma satu. Kalau saya punya anak lima
114 dengan keadaan super melarat begini, apa nggak mati kapiran mereka," dengusnya, "memang pemerintah sekarang..."' ia tak melanjutkan ucapannya. Wajahnya pucat tiba-tiba karena melihat seorang prajurit polisi muda bawa pentungan berhenti di bawah jembatan penyeberangan tiga langkah dari tempat mereka duduk. Matanya memandang tajam ke arah ayah Pepen dan Ali Topan. Rupanya sejak tadi ia mendengar ucapan ayah Pepen yang bernada protes itu.
Ali Topan dengan tenang memandang pula ke oknum polisi yang umurnya kira-kira sepantaran deng an dirinya. Dengan pakaian seragam yang sangat ketat, bawa pentungan, wajah sinis dan tangannya berkacak pinggang, kentara betul ingin mengesankan sebagai polisi yang berwibawa. Di mata Ali Topan, ia lebih mirip jagoan lenong yang menggelikan.
"Ada apa kamu liat-liat, hah"" oknum polisi itu menegur Ali Topan. Matanya melotot, pentungannya diketuk-ketukkan ke aspal. Sikapnya yang demonstratif dan tegurannya yang keras perhatian publik di sekitar situ. Ayah Pepen gemetar ketakutan. Harry cemas, ia khawatir bakal terjadi sesuatu yang tak enak. Tapi Ali Topan kambuh nekadnya. Sikap oknum yang sok jagoan dan sewenang-wenang menegurnya itu, bikin gerah kalbunya. Ia tak mau digertak begitu macam di depan umum.
"Har, gue pinjam tustel lu," bisiknya. Harry memberikan tustel. Dengan hati kebit-kebit ia menyaksikan Ali Topan berjalan santai menghampiri si oknum yang masih petenteng-petenteng.
Orang banyak yang sudah yakin bakal menonton adegan seorang anak muda digebukin oknum polisi merasa heran tatkala mereka melihat si anak muda
115 membisikkan sesuatu di kuping si oknum. Mereka tak mendengar apa yang dibisikkan itu, kenyataannya sikap kaku dan sok angker si oknum mendadak kempes.Ajaib bagi mereka menyaksikan ekspresi wajah si oknum berubah netral dan sikapnya jadi kikuk. Tanpa ba atau bu lagi, si oknum ngeloyor pergi meninggalkan Ali Topan.
Harry bengong, ayah Pepen melongo sambil mengusap-usap dadanya dan orang-orang lainnya menampilkan pandangan aneh ketika Ali Topan dengan wajah bodo berjalan kembali ke tempatnya semula.
"Lu bisikin apa tadi, Pan"" Harry bertanya. Beberapa orang pasang kuping untuk mendengar jawaban anak muda gondrong berpakaian jeans serampangan yang mampu bikin seorang oknum polis
i ngeloyor pergi hanya dengan sebuah bisikan saja.
"Gue tanya dia, minum berapa botol tadi malam, kok maboknya baru sekarang.," kata Ali Topan. Grrr! Orang-orang ketawa serempak mendengar jawaban sembrono itu.
"Ah, paling bokis ini anak. Plokis dibecandain," cetus seseorang yang berdiri di belakang Harry. Ali Topan menengok ke arah orang yang berbahasa prokem itu. Orang itu kecil, kurus, berwajah tikus, rambutnya gondrong kemerah-merahan memakai topi model Bareta warna coklat muda.
"Kawan, gue teken brani lu, kawan!" kata orang itu sambil menyeringai.
Ali Topan tersenyum kecil saja. Ia lihat si penegur itu cengar-cengir dengan dua orang kawannya yang bertampang kriminil. Iseng-iseng Ali Topan mengarahkan kamera ke arah mereka.
"Jangde! Mau di foto lu!" kawan si penegur berseru kaget. Ia langsung menarik temannya yang dipanggil
116 Jangde tadi, kemudian bergegas mereka cabut dari situ, dengan wajah was-was.
Ali Topan batal memotret mereka. Kamera diserahkan kembali Harry.
"Gue rasa, tiga anak itu pasti tukang copet," kata Ali Topan. Dirty Harry tak menyahut. Ia mengawasi ayah Pepen menggandeng anaknya, menyeberangi jalan dengan tergesa-gesa.
Barisan sepeda motor polisi lalu lintas dan pramuka menderu-deru, menertibkan jalan yang akan dilalui parade drumb band. Orang-orang yang berjubel sampai ke jalan berhamburan ke tepi. Ali Topan menggamit tangan Harry, mengajaknya naik ke jembatan penyeberangan.
"Kita cari posisi strategis, Har," kata Topan. Harry setuju. Mereka ngambil posisi di jembatan penyeberangan, tepat di atas jalan yang akan dilewati parade.
Tak berapa lama kemudian, bunyi deram genderang terdengar. Publik berdesakan ke depan, melongokkan kepala mereka ke arah tikunganAir Mancur. Drumb band Institut Teknologi Bandung yang berseragam jaket-jas biru dan celana putih, muncul di tikungan, mengawali, parade. Publik bersorak gemuruh menyambut tontonan.
Nama ITB sempat top di kalangan anak muda Jakarta ketika rektornya dulu menciptakan istilah "kejutan teknologi." Istilah itu sempat bikin banyak orang latah, ikut-ikutan memakai istilah kejutan hampir di dalam setiap persoalan sepele sekalipun. Kini, profesor yang punya hobi bikin kejutan itu sudah dipecat dengan cara Orde Baru sebagai buntut huru-hara, tentara menduduki kampus ITB beberapa bulan yang lalu.
Anak-anak ITB dengan gaya pahlawan masa depan
117 berbaris tegap lewat di bawah jembatan penyeberangan. Toh mereka melirik ke atas sekejap ketika melihat Harry mengarahkan kameranya.
Ali Topan Wartawan Jalanan Karya Teguh Esha di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketika drumb band SMA Stella muncul, Harry memberikan tustel pada Ali Topan. "Jangan gemetar motret mereka, Pan," seloroh Harry.
Berdiri dengan aksi persis di atasjalan yang akan dilalui cewek-cewek SMA Stella itu, Ali Topan tampak mengagumkan. Rambut gondrongnya hitam melambai digerai angin, kulit wajahnya yang gelap berwarna tembaga dicium sinar matahari. Cewek-cewek Stella itu hampir serempak mendongak ke atas, memandang sosok yang mempesonakan itu, tatkala mereka memasuki kolong jembatan. Bahkan drum majorette mereka sempat grogi memainkan tongkat komando yang bentuknya seperti pentungan petugas Sabhara itu.
Stel yakin, Ali Topan memotret tiga kali, tanpa sadar bahwa tembakannya melawan sinar matahari. Sesudah barisan lewat, Harry menepuk pundaknya. "Gaya sepuluh, hasil nol, Pan. Tembakan lu ngelawan srengenge," kata Harry. Haaa, Ali Topan melongo. Seorang wartawan foto berjaket Femina yang bertugas di dekat mereka tersenyum geli.
"Ntar gue lebih hati-hati, Har," gumam Ali Topan. Di dalam hatinya ia malu, tadi sudah bergaya profesional, ternyata membuat kesalahan fatal. "Cuma orang sakti 'kali yang bisa motret matahari pakek Canon, ye Har," selorohnya untuk menutupi rasa jengahnya.
Tustel diberikannya pada Harry. Ia sendiri duduk di anak tangga menyaksikan barisan demi barisan. Sancta Theresia lewat. Seperti halnya anak-anak SMA Stella tadi, cewek-cewek SMA Theresia melirik sekejap ke arahnya dengan mata kagum. Beberapa di antara mereka
118 menggigit-gigit bibir karena grogi ketika tatapan Ali Topan yang acuh tak acuh amprok dengan lirikan mereka.
Drumb band mini dari murid-murid SD
Organisasi Wanita Deplu menggugah minat Ali Topan. Ia minjam tustel, lalu turun ke jalan memotreti anak-anak kecil yang lucu-lucu itu. Mereka mungil-mungil, berbaris rapi dan penuh semangat.
Selewat drumb band mini itu, Harry turun menghampiri AliTopan. "Kitamusti cari obyekan lain, Pan. Jangan dihabisin filmnya.Yuk, kite jalan," kata Harry. Keduanya berjalan sepanjang trotoar ke jurusan Sarinah.
Di depan Speed Building beberapa cewek pinggiran menggoda mereka."He, cowok keren! Potretin kite dong, bakal KTP!" seru seorang cewek. "Gue juga dong! Kan gue cakep!" kata temannya yang lain.
"Pilemnya abis!" sahut Ali Topan.
"Huuuu," cewek-cewek itu berseru serempak.
"Pedit lu! Nggak jadi gue bilang keren lu! Disetip kerennya! He, cowok jelek!" seru cewek pertama.
Ali Topan dan Harry tersenyum geli. Mereka berjalan terus diiringi sorakan cewek-cewek pinggiran yang menor itu.
"He, cowok yang paketjaket bodol! Stil be'eng lu! Gue mau jadi bini lu! Besok lamar ke babe gue ye!" Gue tungguin di bawah pu'un jamblang!"
Publik yang mendengar seruan itu grrr-grrr-an. Ali Topan merasa dikilik-kilik kupingnya. Langkahnya dipercepat supaya tidak mendengar plas-plosan gawat itu. Tiba di depan Toserba Sarinah mereka melihat seorang bocah berumur sekitar 10 tahun menangis dikerumuni orang banyak. Pakaian dan rupa bocah itu menunjukkan anak orang kaya. Hanya kakinya yang bersandal plastik setengah rusak dan kegedean tampak tak seronok
119 dipandang. "Duit, Pan," bisik Harry yang langsung memotret si bocah dengan latar belakang orang-orang yang menontonnya. Ali Topan mengawasi keadaan sekelilingnya, menganalisa secara singkat. Memang sudah ada pembagian tugas antara dia dan Harry. Ia bikin berita, Harry yang motret, setiap obyek berita untuk Ibu Kota.
"Kenapa anak itu, Pak"" tanya Ali Topan pada seorang penonton.
"Ditodong orang. Arloji, sepatu, dan uangnya dirampas," jawab orang itu.
"Kapan dan di mana peristiwanya""
"Dia bilang tadi, setengah jam yang lalu. Di belakang gedung ini," katanya.
"Dia sendirian""
"Wah saya nggak tau.Tanya saja sama anaknya"" sahut orang itu sambil berjalan ke pinggirjalan untuk menonton drumb band yang sedang beraksi.
Ali Topan diam sejenak. Matanya menyapu orang-orang yang mengitari si bocah.Tak ada yang bertampang preman menurut nalurinya. Satu persatu orang-orang itu mulai meninggalkan si bocah sendiri.
"Makanyajangan pakai barang mahal di tempat rame," kata seorang berambut keriting.
"Kalo belum kapok, laen kali pake arloji yang lebih mahal," orang lain nimbrung.
"Udaah, jangan nangis, minta ganti lagi sama papi di rumah," orang ketiga menimpali.
Ali Topan mengawasi orang-orang tua yang ngoceh itu. Kesal hatinya mendengar ocehan yang tidak bermutu itu.
"Bacot rusak mendingan disimpan di rumah aje, Oom, daripada bikin panas orang. Udah tau ada anak lagi sedih,
120 bukan dihibur malah dicomelin," kata Topan dengan dingin. Orang-orang itu melengak, wajah mereka kelihatan tak senang. Tapi melihat tongkrongan si anak muda yang pas, mereka ngeloyor terus sambil menggerundelkan kata-kata tak jelas.
AliTopan menghampiri si bocah malang. Disentuhnya pundak si bocah dengan lembut.
"Siapa nama kamu, Dik"" tanyanya.
"Ilham," sahut si bocah sambil mengusap-usap matanya. Ia tampak gembira ada orang memperhatikannya.
"Rumah kamu di mana""
"Di gang Madrasah, Cipete."
"Gang Madrasah" Yang masuknya di samping kompleks Deplu Gandaria Udik itu""
Si bocah mengangguk. Ali Topan membawa bocah itu ke sebuah sudut yang lebih lega dan menanyai si bocah lagi.
"Kamu masih inget tampang dan potongan orang yang nodong" Coba kamu cerita semua kejadiannya. Mungkin masih bisa kita cari orangnya," kata Ali Topan. Ilham mengingat-ingat peristiwa yang menimpanya.
"Saya diantar kakak saya pakek Honda Civic ke rumah Alex, teman saya di Jalan Sumbawa. Saya di drop di situ. Kakak saya terus pergi ke rumah ceweknya. Alex sudah berangkat nonton drumb band di Sarinah, kata ibunya. Saya nyusul ke sini, jalan kaki. Waktu masuk Sarinah, saya dicegat oleh dua orang gondrong. Yang satu bajunya kotak-kotak, satunya pakai batik warnanya ijo. Saya dipaksa ngik
ut ke belakang gedung. Di situ sudah ada satu orang nungguin bawa piso belati. Orangnya kurus, tampangnya serem kayak."
"Kayak tikus got" Pakai topi Bareta"" sela Topan.
121 "Iya! Kok tau" Temen kamu ya"" tanya Ilham, pandangannya curiga.
"Bukan!" sahut Topan. "Mungkin mereka yang mau gue potret tadi, Har"" katanya pada Harry.
"Mungkin juga."
"Tadi ada tiga anak yang saya mau potret, terus mereka ngabur. Ciri-cirinya seperti orang yang ngrampok kamu, Dik," kata Ali Topan. Ia menjelaskan hal itu untuk menghapus kecurigaan yang tercermin di mata Ilham. "Terus gimana ceritanya"" tanyanya.
Ilham berpikir sejenak. Ia melihatAliTopan dan Harry.
"Kami wartawan bukan orang jahat, Dik. Terus aja cerita," kata Topan. Suaranya sabar. Kecurigaan Ilham lenyap. Ia percaya.
"Saya ditodong pakai belati, disuruh nyopot sepatu Kickers dan arloji Seiko. Yang baju kotak-kotak merogoh kantong saya, ngambil duit tiga ribu. Sepatu dan arloji saya mereka masukkan ke dalam tas plastik, lalu mereka bawa pergi. Saya disuruh pakai sandal plastik yang butut ini," tutur Ilham.
"Kamu nggak berteriak atau minta tolong sama orang yang lewat"" tanya Ali Topan.
"Saya ditodong di pojokan, nggak ada orang lewat. Saya juga diancam, kalo berteriak mau digorok leher saya. Saya diem aja, saya takut."
"Coba tunjukin tempatnya," kata Topan, "Har, ikutin gue darijarak lima langkah," katanya pada Harry. Mereka pergi ke bagian belakang Toserba Sarinah.
Tempat itu memang sepi, berupa sebuah gang yang dipakai untuk menimbun sampahToserba Sarinah. Ilham menunjuk sebuah sudut tempat ia ditodong. Bau kencing maling dan sampah busuk menyerbu hidung.
"Har, tolong potret tempat ini," kata Topan. Tanpa
122 banyak omong Harry mematuhi order itu. Kemudian mereka bertiga keluar dari tempat itu dan berhenti di pelataran parkir yang terletak di sebelah Selatan gedung.
Agak heran Ali Topan melihat sebuah pos polisi di sudut kanan pelataran. Hanya beberapa belas meter dari pos polisi bisa terjadi penodongan dan tak seorang pun mengetahuinya.Ali Topan mengajak Ilham dan Harry ke pos itu. Kosong. "Mungkinkah para penjaga ketertiban itu sedang asyik nonton parade drumb band hingga mereka lupa akan tugasnya"" pikir Ali Topan. Dengan kesal ia pergi ke pos parkir diikuti Ilham dan Harry yang sudah pasrah menyerahkan semua soal pada Ali Topan.
Seorang petugas parkir tua duduk sendirian, sikapnya waspada mengawasi daerah parkirannya.
"Selamat sore, Pak," tegur Ali Topan dengan sopan, "apakah Bapak melihat tiga orang penjahat menodong adik ini dengan belati dan merampok sepatu Kickers, arloji Seiko dan uang tiga ribu rupiah""
Petugas parkir yang heran melihat kedatangan mereka, makin heran saja mendengar omongan Ali Topan yang nyerocos itu. Pak tua berseragam kuning itu menekap mulutnya menahan geli. Tangan kirinya menuding-nuding ke tiga anak di depannya yang lucu sekali menurut pikirannya.
"Orang gilak, lu pak! Ditanya baik-baik bukannya njawab malah ketawa kayak kuda!" kata Topan dengan geram, kemudian ia menarik Ilham dan Harry meninggalkan tempat itu. Pak tua kaget. Tawanya berhenti seketika.
"Hee! Anak kurang ajaaar! Kau berani ngatain aku gilak! Gue pelintir batang leher lu!" pekik orang tua itu. Matanya melotot.
Ali Topan berhenti dan membalik badan.
123 "Salah bapak sendiri! Ditanya baik-baik kok ketawa-ketawa! Kalo bukan gilak, apa namanya"" kata Ali Topan. Mulutnya tersenyum. Harry dan Ilham pun tersenyum geli.
Pak tua tak beranjak dari posnya. Nyalinya ciut melihat tongkrongan si anak muda yang siap tempur itu.
"Urusan perampokan bukan urusan gue! Mony...," Ia tak meneruskan kata monyet yang hendak dimakikan, karena melihatAli Topan mengepalkan tinju ke arahnya.
Beberapa orang melihat adegan itu. Mereka diam saja.
"Paan, udah ah. Ini bukan daerah kita. Jangan bikin setori...;" bisik Harry. Ali Topan sadar. Ia menuruti kata Harry. Mereka lantas pergi ke luar kompleks toserba.
Di depan Wisma Kosgoro yang tinggi dan berdinding kaca, mereka berhenti. Ilham sudah normal lagi rupanya. Ia merasa mantap bersama Ali Topan yang berani. Mereka berpandangan. Drumb band masih berderam-deram
di jalanan. "Itu Alex temen saya!" tiba-tiba Ilham berkata. Tangannya menunjuk ke seorang anak sebayanya yang berdiri di antara orang banyak.
"Leeex! Aleeex!" teriaknya. Temannya menengok, kemudian berlari menghampiri Ilham.
"Maap, gue duluan ke sini. Soalnya gue tungguin lu kagak dateng. Gue pengen buru-buru nonton sih," kata Alex. Tiba-tiba ia melihat sandal plastik butut yang dipakai temannya.
"Nyentrik amat lu," kataAlex sambil menginjak sandal butut yang dipakai Ilham. Ali Topan dan Dirty Harry tersenyum melihat lagak Alex.
"Kickers gue dirampok orang, Lex!" kata Ilham. Kemudian ia ceritakan secara singkat peristiwa yang dialaminya.
124 Alex mendengarkannya dengan penuh perhatian. Selesai cerita, Ilham menggandeng Alex, memperkenalkannya pada Ali Topan dan Harry.
"Lebih baik kalian cepet pulang deh. Lapor sama orang tua kamu, Ham," kata Ali Topan.
"Ke rumah gue aja dulu, Ham, nanti gue anterin lu ke rumah lu pake motor," kata Alex. Ilham setuju.
"Berani pulang berdua" Atau kami antar"" tanya Ali Topan.
"Anterin sampai ujung jalan saja, mas," kata Ilham.
Ali Topan dan Harry mengantarkan kedua anak itu ke ujung Jalan Sumbawa yang berjarak sekitar seratus meter dari Sarinah.
"Lain kali hati-hati, Ham," pesan Ali Topan.
"Iya, Bang. Terimakasih," kata Ilham. Lantas kedua anak itu berlari ke rumah Alex yang tak jauh dari ujung jalan.
Ali Topan dan Harry menunggu sampai mereka masuk ke rumah, kemudian keduanya berjalan kembali ke Sarinah.
Dari situ mereka berjalan kaki ke terminal bis Tosari, karena sepanjang jalan Thamrin ditutup untuk parade drumb band. Dari Tosari mereka naik bis PPD menuju Kebayoran.
Sepanjang perjalanan mereka bercakap-cakap tentang peristiwa Ilham. Keduanya sama-sama yakin bahwa berita yang akan mereka buat tentang peristiwa itu pasti menggemparkan Jakarta.
Harry mengajak Ali Topan ke rumah Muharjo di kawasan Pal Merah.
Muharjo, sodara sepupu Harry yang jadi wartawan Berita Dunia sedang dimarahi istrinya, ketika Harry dan Ali Topan sampai di rumah mereka. Harry bermaksud
125 mencuci film di kamar gelap Mas Muharjo dan numpang pinjam mesin tik untuk keperluan Ali Topan menulis berita. Harry dan Ali Topan berdiri di rumah itu.
Pintu rumah ditutup dari dalam, hingga mereka bisa mendengar dengan jelas perkara yang diributkan, tanpa setahu suami-istri itu. Tersirap darah kedua anak muda itu ketika nama Harry disebut-sebut oleh istri Muharjo.
"Aku sudah bilang dari dulu, aku tak suka si Harry itu numpang disini. Sudah dulu aku curiga dapat uang darimana dia kok bisa-bisanya beli tustel. E, e, e, kau masih tak percaya dan menutup-nutupi. Sekarang mau bilang apa" Siapa lagi yang mencuri kalung dan giwang emasku kalau bukan anak maling itu, he""
Rrrrp! Tersirap darah Harry mendengar perkataan istri Muharjo. Tangannya gemetaran, wajahnya merah dan sepasang matanya tiba-tiba nyalang. Ali Topan menyaksikan mata Harry hanya memancarkan sinar amarah dan terkejut, sedikitpun tak ada rasa bersalah di dalamnya. Ali Topan percaya Harry bersih. Pelahan ia menyentuh lengan Harry.
"Tenang, Har," bisiknya.
Tapi Harry tak bisa lagi ditenangkan, karena perkataan Mbakyu Tuti, istri Muharjo makin keras berisi umpat caci yang jelas-jelas mendiskreditkan dirinya.
"Tutii... jangan gampang-gampang menuduh orang tanpa bukti dan saksi. Apalagi dik Harry. Dia anak jujur...," terdengar suara Muharjo menasehati istrinya.
"Jujur apa "! Wis ! Sudah ! Pokoknya aku tak mau dia numpang di sini ! Kalau dia masih di sini, aku yang akan keluar dari rumah ini ! Biar aku pulang ke rumah orang tuaku !" suara mbak Tuti masih keras.
Dengan wajah merah padam, Harry membuka pintu dan berdiri tegak menatap Mbakyu Tuti yang tiba-tiba
126 salah tingkah. "Mas Muharjo. saya bukan maling," kata Harry dengan bibir gemetar, "saya terima dicaci-maki karena numpang disini. tapi. saya bukan maling. saya tak pernah nyuri sepotong barangpun di rumah ini, Mas Muharjo."
Ucapan Harry yang terputus-putus sangat mengharukan Ali Topan. Tapi ia tak bisa bikin apa-apa selain bersikap waspada, sebab dia belum kenal dengan orang rumah ini. Ia yakin hati Harry yang bersih,
walaupun baru beberapa hari mereka akrab. Nalurinya mengatakan bahwa istri Muharjo itu bicara hal yang tidak sebenarnya. Ali Topan berdiri di belakang Harry. Ia bisa melihat Mas Muharjo yang kerempeng dan berwajah muram dalam sikap bengong tak berwibawa berdiri loyo di depan istrinya yang gemuk terokmok dan berwajah bengis. Mas Muharjo tak bicara sepatah katapun.
"Mbakyu Tuti, boleh geledah kamar dan koper saya, kalau memang menuduh saya nyuri kalung. Boleh melaporkan saya ke polisi.," kata Harry lagi.
"Sudah! Jangan banyak omong! Kamu angkat kaki saja dari rumahhku sekarang!" Mbakyu Tuti berkata dengan bengis.
Ali Topan menyaksikan bahwa perempuan terokmok itu tidak berani menatap Harry. Suaminya mencoba menyadarkan dia dengan kata-kata lembut. Tapi suami itu kena bentak.
"Sudah! Tak usah banyak omong lagi! Cepat kau ambilkan kopernya! Atau aku yang keluar dari rumah ini!" bentaknya.
Sungguh mati Ali Topan merasa keki melihat tampang Mas Muharjo yang loyo seperti hendak menangis itu. Uuuh kalo gue digituin, udah gue jejelin tai bacot itu
127 perempuan, pikir Ali Topan.
Muharjo memandang Harry seperti minta pengertian.
"Tolong ambilkan deh, Mas. Biar saya pergi saja.," kata Harry. Melas nadanya.
Muharjo berdiri ke belakang. Agak lama kemudian ia keluar membawa sebuah koper tua. Diberikannya koper itu kepada Harry.
"Ini Dik, kopermu.," gumamnya sambil menunduk.
Harry membawa kopernya ke depan Mbakyu Tuti dan membukanya di situ. Semua barang-barangnya yang terdiri dari celana, baju, kaos oblong, ijazah-ijazah, peralatan menggambar dan beberapa barang lain dikeluarkan di lantai. Kemudian kopernya dibalik-balikkan untuk memperlihatkan tak ada barang lagi didalamnya. Mbakyu Tuti melengos, tak mau melihat.
"Tolong diperiksa Mas Muharjo, barangkali ada barang-barang yang bukan punya saya.," kata Harry. Mas Muharjo menggeleng-gelengkan kepalanya sebagai isyarat ia percaya Harry.
Harry memasukkan barang-barangnya ke dalam koper kembali. Sesudah menutup kopernya baik-baik, ia berdiri menghadap Mas Muharjo.
"Mas Muharjo. terimakasih atas kebaikan Mas Muharjo dan Mbakyu kepada saya. Moga-moga saya bisa membalasnya," kata Harry. Ia menjabat tangan Mas Muharjo, kemudian mengulurkan tangannya ke Mbakyu
Tuti. "Sudah! Tak pakai salam-salaman!" kata perempuan itu dengan ketus sambil mengibaskan tangannya menampik tangan Harry.
Ih, gatel tangan Ali Topan melihat kelakuan Nyonya Muharjo. Pengen sekali dia menggampari mulut perempuan itu sampai rompal giginya.
128 "Mbakyu Muharjo.," kata Harry, suaranya parau, "jika benar saya mencuri barang Anda, saya rela mati ketubruk mobil di jalan. Tapi.jika tuduhan itu fitnah terhadap diri saya, mudah-mudahan.," Harry tak melanjutkan ucapannya.
"Mudah-mudahan perempuan yang potongannya kayak babi ini dimasukin ke neraka olehTuhan," kataAli Topan, membela Harry.
"Pergiii! "Mbakyu Tuti berteriak. Kedua tangannya ditutupkan ke kupingnya, tak mau mendengar ucapan Ali Topan dan Harry lebih lanjut. Wajahnya tampak ketakutan.
"Cabut, Har!" Ali Topan memanggil Harry. Kepalanya digerakkan sebagai isyarat mengajak keluar. Harry menurut. Ia berjalan mendekati Ali Topan. Sampai di pintu Harry berhenti.
"Mas Muharjo," katanya, "secepat saya dapat uang, saya lunasi cicilan saya," sambungnya. Lantas ia berjalan lagi. Di halaman ia melihat dua anak kecil, anak Mas Muharjo memandangnya dengan mata yang bundar. Dua anak itu saling berpelukan. Harry mengusap kepala mereka, kemudian bergegas menyusul Ali Topan.
Ali Topan mengulurkan tangan kirinya, mengambil koper yang dibawa Harry. Tangan kanannya menepuk pundak Harry.
"Orang miskin emang gampang dihina orang lain. Gue percaya lu bukan maling. Kalo ngeliat romannya sih, perempuan tadi itu potongan doyan ngesex. Bisa aje dia miara gendak. Doi jokul sendokir perhiasannye buat bayar gendaknye." Ali Topan coba menebak-nebak kelakuan istri Muharjo.
"Kok tajem perasaan lu, Pan. MbakyuTuti itu beberapa kali ngajak aku ngesek kalo suaminya nggak di rumah.
129 Tapi gue nggak mau. Belakangan gue denger dia pacaran sama seorang tukang becak...," kata Harry.
"Kenape nggak lu aduin
ke lakinye "" tanya Ali Topan.
"Mas Muharjo itu takut sama bininya," kata Harry. "Tapi itu urusan dialah. Gue sakit ati dituduh nyuri," lanjutnya.
"Kita bangkit Har. Bangkit ! Biar nggak gampang dihina orang !," kataAli Topan sambil mengepalkan tinju di depan muka Harry, "jangan cengeng dan jangan gentar!" sambungnya menirukan ucapan Munir kepadanya tempo hari. Sepasang matanya memancarkan semangat maju terus pantang mundur yang sangat membesarkan hati. Harry merasakan semangatAliTopan itu menghantam kemelut di dalam kalbunya. Sesuatu yang hangat terasa memenuhi dadanya, menguatkan hati.
"Terimakasih, Paan.," bisik Harry.
Ali Topan menjawabnya dengan senyuman yang menyejukkan hati. Tanpa berkata apa-apa lagi, Harry mengikuti langkah gagah teman yang dikaguminya itu.
"Kita ngaso di tempat si Oji, teman gua yangjual bunga di kolam Blok C," kata Ali Topan, "sesudah itu baru kita bikin strategi untuk menaklukkan Jakarta ini! Kita akan kasih tunjuk pada setiap orang bahwa kita bukan bernyali kintel! Kita ini bernyali Rajawali, Har." sambungnya dengan penuh semangat.
Kata rajawali dan auman itu benar-benar diteriakkan Ali Topan dengan suara sekeras-kerasnya, hingga mengejutkan orang-orang yang ada di sekitar mereka. Seorang tua yang sedang menyetir Corolla sampai menengok keAliTopan. Kepalanyamenggeleng-geleng, dan jari telunjuknya disetripkan ke dahinya. Seorang gadis berwajah bulat telur yang teramat manis dengan rambut panjang dikepang dua, duduk di sebelah orang
130 tua itu. Matanya yang jernih bercahaya dan mulutnya yang apik sedikit terbuka. Matanya terpesona memandang wajah Ali Topan.
Yang dipandang melirik sekejap dan berjalan terus, tak peduli, diikuti Harry.
*** Tengah malam. Duduk di pangkeng menggadangi langit dan bintang-bintang. Hawa dingin. Nyamuk banyak. Dua gelas kopi tinggal separuh. Puntung-puntung rokok bertebaran di atas tanah. Suasana hening. Terdengar dentingan mangkuk yang dipukul dengan sendok. Dentingan itu menjauh.
"Tukang sekoteng..."' gumam Ali Topan, "tukang sekoteng mencari uang setiap malam, sepanjang jalan."
Harry berkedip-kedip matanya -seperti bintang di langit- memandang wajah Ali Topan. Seperti mimpi rasanya. Duduk di pinggir kolam, merenungi kenyataan diri.
"Jakarta ketambahan dua orang gelandangan lagi hari ini," kata Harry.
"Gelandangan kolong langit," kata Ali Topan.
"Aku sakit hati sekali dituduh maling," kata Harry.
"Padahal banyak maling yang berkedok orang baek-baek malah disanjung-sanjung banyak orang lainnya," kata Ali Topan.
"Gue harus nyusun rencana," kata Harry.
"Gue atau kite ""
Harry memandang Ali Topan. Ia menyalakan rokok. "Ya. Kita. Kita harus menyusun rencana, supaya nggak mati kelaperan," katanya.
Ali Topan melempar batu ke kolam. "Gue nggak pernah takut mati kelaperan di negeri lautan dan tumbuh131
tumbuhan ini. Gue hanya nggak mau hidup tanpa jawaban," kata Ali Topan. "Jawaban apa ""
"Pertanyaannya panjang. Ada di batin." "Lu orang kebatinan ya "" "Kebatinan dan kelahiran." "Aliran apaan tuh ""
"Aliran komplit, ha ha hah ha." Ali Topan tertawa terbahak-bahak. Harry juga. O, gampang sekali mengusap duka.
Mereka sudah sama-sama lelah. Bercakap-cakap. Mengatur rencana. Menyusun strategi. Dan berkhayal. Kesepakatan telah kental, diramu dari hati mereka yang cair oleh pengalaman hidup sampai hari ini.
"Kita sudah punya rencana. Jadi wartawan. Mas Muharjo yang letoy, yang kalah sama bokinnye aje bisa jadi wartawan, kenape kita yang orang-orang gagah gara bokis "" kata Ali Topan.
"Sip," kata Harry. "Sekarang gue mau tidur dulu."
"Gue mau nulis," kata Ali Topan.
AliTopan membeli buku tulis dan bolpeni&'cdi warung rokok Andri yang terletak di depan Gedung Pertemuan "Puri Eka Warna" di jalan Barito II, sekitar dua ratus meter dari kios Oji. Ia pun membeli dua gelas kopi di warteg Mas Wongso di pertigaan jalan Mendawai, dekat rumah yang pernah ditempati Koes Bersaudara.
Kemudian Ali Topan kembali ke kios Oji, dan mulai menulis berita tentang penodongan dan perampasan yang dialami Ilham siang tadi.
Itulah berita yang dibuatnya pertama kali, menghabiskan 7 halaman buku tulis. Berit
a itu dibuatnya mirip cerita pendek yang acak-acakan. Judulnya: Perampokan Kickers di Sarinah, 20 langkah dari Pos
132 Polisi." Dia puas dengan judul dramatis itu, dan yakin Ibu Kotamemuatnya. Fotonya" Belum dicuci oleh Harry. Mereka bermaksud esok pagi ke kantor Ibu Kota dan minta tolong redaksi koran itu untuk mencuci dan mencetak fotonya.
Ali Topan dan Harry memang sudah membulatkan tekad untuk nyari makan di koran Ibu Kota. Mereka tahu, peristiwa paling kecil pun di satu RT bisa masuk koran rakyat itu. Peristiwa-peristiwa kejahatan dan kecelakaan lalu lintas, ibarat tinggal mungut di jalanan. Mereka cukup optimis, tidak akan mati kelaparan di Jakarta yang padat peristiwa ini.
Persoalan kejahatan itulah yang direnungkan oleh Ali Topan saat ini. Sehari tadi, ada kasus yang menyentuh perasaannya dan mengg anjal pikirannya. P eristiwa Ilham dan tuduhan perempuan terokmok istri Muharjo terhadap Harry. Kasus Ilham cukup jelas baginya, itu kejahatan biasa. Tapi tuduhan nyonya Muharjo terhadap Harry" Fitnah.
Walaupun baru akrab beberapa hari, Ali Topan yakin Harry bukan potongan maling. Harry memang dekil, rambutnya bau karena jarang dicuci, tampangnya tak pernah segar, tapi dia yakin Harry cuma dekil di badan tak dekil di hati. Sedangkan Nyonya Muharjo" Sekali lihat saja dan mendengar omongannya yang judes tandes, Ali Topan mengambil kesimpulan bahwa perempuan yang tampangnya ciut, hidungnya melengkung seperti nenek penyihir dalam buku kanak-kanak, dan matanya melihat ke bawah tak mau memandang lawan bicaranya itu, meyakinkan sebagai orang berjiwa gombal, berani menipu orang lain. Dan doyan nyeleweng.
Ali Topan bisa membaca perasaan Harry. Ia bersedih hati. Sejak tadi tak banyak bicara. Ia melamun saja,
133 memikirkan tuduhan MbakyuTuti yang sadis itu. 'Bapak gue juga bilang lebih baik jadi tukang becak daripada jadi maling. Kalau orangtua gue denger gue dituduh maling, kan kasihan mereka,' demikian kata Harry tadi. O, betapa susah hati teman ini, pikir Ali Topan. Tiba-tiba Harry bangun.
"Gue nggak bisa tidur. Mikirin terus dituduh nyolong perhiasan Mbakyu Tuti,"kata Harry.
"Ngopi tuh," kata Ali Topan. Ali Topan menggeser duduknya, menghadapi Harry. Harry pun memandangnya. Ali Topan menepuk pundak temannya. Harry merasakan simpati mengalir dari telapak tangan Topan.
"Lu lagi susah, jack. Gue ikut prihatin, Har!" kata Ali Topan. Kata-kata yang tulus itu terdengar seperti gita malam yang indah di telinga Harry.
"Dengan adanya lu sebagai temen gue, itu udah lebih dari cukup, Pan. Lu orangnya mantep, penuh semangat. Lu membangkitkan semangat gue. Kalo gue sedih saat ini, soalnya gue masih teringat tuduhan yang sadis itu," kata Harry.
"Gue yakin lu bukan maling, Har. Jangan khawatir." "Terimakasih, Pan."
"Nah, sekarang kokit gintur dulu dah. Sebok nyetor berita ke Ibu Kokot," kata Ali Topan sambil mengulum senyum. Harry pun tersenyum mendengar kata-kata preman yang diucapkan Ali Topan.
Mereka merebahkan diri di pangkeng. Langit luas yang mereka pandang lewat celah cemara memberikan ketenangan dalam jiwa. Tak lama kemudian, dua anak jalanan itu lelap di kios penjual kembang. Bintang-bintang yang berkedip menemani mereka.
Esok harinya, sekitarjam 9, AliTopan dan Harry sudah
134 sampai di kantor redaksi Ibu Kota yang terletak di Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat.
Harry memperkenalkan Ali Topan kepada Heni, Sekretaris Redaksi, seorang perempuan ramah berusia sekitar 26. Harry menyerahkan negatif film kepada perempuan itu dan meminjam mesin tik untukAli Topan.
Ali Topan dengan penuh semangat mengetik berita pertamanya, di sebuah meja redaksi yang kosong. Ia hampir tak peduli beberapa orang wartawan memperhatikannya. Bahkan Redaktur Pelaksana yang baru tiba sempat menanyakan hal dirinya kepada Sekretaris Redaksi.
"Anak Kebayoran, kawan si Harry. Namanya Ali Topan. Dia dapat berita bagus," kata Sekretaris Redaksi. Redaktur Pelaksana yang biasanya acuh tak acuh itu menyempatkan diri datang ke Ali Topan.
"Bikin apa, Dik"" tanyanya.
Ali Topan menghentikan kerjanya, memandang ke lelaki separuh baya yang roman mukanya berwibawa itu.
"Nyoba bi kin berita, Pak," jawab Ali Topan. "Apa ini meja Bapak" Maaf, saya pinjam sebentar."
Lelaki itu menggerakkan tangannya dan berkata simpatik.
"Oh, tidak. Teruskan saja bekerja. Nanti kalau sudah selesai berikan saja pada mbak itu ya." Ia menunjuk Sekretaris Redaksi yang sedang omong-omong dengan Harry.
"Iya, Pak. Terimakasih," kata Topan. "Kenalan dulu, Pak. Saya Ali Topan!" "Ali Topan" Keren sekali namamu! Saya - panggil saja Pak Gun, Mas Gun." "Mm... fotonya ada 'kan"" "Ada Pak. Kawan saya itu yang bikin."
Dear Dylan 2 Fear Street - Confession Sang Penghancur 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama