Bekisar Merah Karya Ahmad Tohari Bagian 2
Lasi jadi janda""
"Nanti dulu," kata Wiryaji sabar.
"Tidak! Kemenakanmu memang kurang ajar. Menyesal, mengapa dulu aku menjodohkan dia dengan anakku. Menyesal!"
Mbok Wiryaji megap-megap karena kehabisan kata-kata. Lasi yang duduk di balai-balai masih membisu. Keheningan yang sesaat kemudian diisi oleh suara terompah mendekat. Eyang Mus masuk dan berdiri sejenak di pintu. Lelaki dan perempuan tetangga juga berdatangan.
"Ada apa, Wiryaji" Dari rumah aku mendengar orang berteriak-teriak""
"Darsa, Yang. Kemenakan saya itu nakal. Dia sedang menghadapi tuntutan Sipah, anak Bunek. Sipah menuntut Darsa mengawininya. Darsa memang ingin membuat malu orangtuanya," jawab Wiryaji lesu.
"Nah, Eyang Mus!" Tiba-tiba Mbok Wiryaji menyambar. "Dulu saya menyuruh Lasi minta cerai, tetapi sampeyan t
idak setuju. Sekarang malah begini jadinya. Sampeyan harus ikut menanggung semua ini. Sekarang sampeyan harus ikut menyuruh Lasi minta cerai."
"Sabar. Dari dulu aku selalu ikut menanggung kesulitan yang kalian hadapi. Sekarang aku juga ikut menyalahkan Darsa. Memang, wong lanang punya wenang. Tapi sekali-kali tak boleh sewenang-wenang. Jelas Darsa salah. Namun aku minta jangan dulu bicara soal perceraian."
"Tunggu apa lagi, Eyang Mus" Apa karena hanya lelaki yang punya talak""
"Sabar. Aku tak bermaksud sejauh itu. Yang harus kalian tunggu adalah suasana hati yang tenang. Tidak baik mengambil keputusan besar dalam keadaan panas seperti ini. Juga, apa pun sikap yang akan diambil terhadap Darsa, Lasi-lah yang punya hak. Percayalah akan adanya hak di tangan anakmu. Karena, istri yang setia hanya untuk suami yang setia, begitu aturannya."
Beberapa tetangga, lelaki dan perempuan, ikut bicara. Mereka bersama-sama berusaha menenangkan Mbok Wiryaji. Seseorang mengingatkan Mbok Wiryaji akan keyakinan orang Karangsoga bahwa segala hal sudah ada yang mengatur, "Manusia mung saderma nglakoni," katanya. Lasi, meski terkesan seperti petasan siap meledak, tetap diam. Lengang, meski kaku dan tegang. Eyang Mus yang semula bermaksud memanggil Darsa mengurungkan niatnya. Mempertemukan Darsa dengan Lasi dan Mbok Wiryaji ketika suasana masih panas sama dengan mengumpankan kucing ke depan anjing yang sedang amok.
"Nah, aku mau pulang. Aku minta kalian bisa bersabar menghadapi cobaan berat ini. Dan kamu, Las, ayo ikut ke rumahku untuk menenangkan diri di sana. Mau""
Di luar dugaan semua orang Lasi bangkit lalu berjalan mengikuti Eyang Mus. Orang-orang memandangnya dengan rasa kasihan. Dari rumah Wiryaji orang melihat tubuh Lasi dan Eyang Mus sedikit demi sedikit tenggelam di balik pagar hidup ketika mereka mulai menapak jalan menurun. Dan lenyap sama sekali setelah keduanya melewati kelokan ke selatan.
*** Karangsoga sibuk lagi dengan pergunjingan. Cerita berkembang ke segala arah menuruti kemauan mulut setiap orang yang punya kisah. Tetapi kebanyakan orang percaya bahwa semua kesontoloyoan Darsa bermula dari akal-akalan
Bunek. Sipah yang cacat dan sangat pemalu kurang layak dianggap punya keberanian menggoda Darsa. Seorang petutur dengan gaya sangat meyakinkan berkata, orang pertama yang tahu akan kesembuhan Darsa tentulah Bunek sendiri. Kata petutur ini, kesembuhan Darsa tidak boleh dibuktikan langsung kepada istrinya, melainkan harus kepada orang lain lebih dahulu. Kata petutur itu pula, yang demikian adalah syarat yang biasa dilakukan oleh seorang dukun lemah pucuk seperti Bunek.
"Boleh jadi," kata petutur tadi, "Bunek ingin menyediakan diri menjadi ajang pengujian kesembuhan Darsa. Siapa tahu. Namun malu karena sudah bercucu dan beruban, Darsa dilimpahkannya kepada Sipah."
Mengakhiri ceritanya, si petutur tersenyum puas dan disambut gelak tawa orang-orang yang mendengarkannya.
Petutur lain membawa cerita yang tak kalah seru, seakan dia tahu betul apa yang terjadi antara Darsa, Bunek, dan anak gadisnya. Menurut petutur yang satu ini, pada awalnya Sipah menolak ketika suatu malam emaknya menyuruh menggantikannya mengurut Darsa. Hanya karena takut akan kemarahan emaknya, Sipah menurut dan Bunek pergi meninggalkan Sipah hanya berdua dengan Darsa.
"Nah, meski pincang, Sipah tetap perempuan, bukan"" Tawa mereka pun meledak lagi.
Keluar dari tikungan terakhir Pardi merasa lepas dari ketegangan. Lampu truknya menyorot jauh karena jalan di depan sudah terbentang lurus meskipun menurun dan terus menurun. Pardi menyalakan rokok dan Sapon duduk lebih tenang. Seekor keklawar tertangkap sorot lampu. Binatang itu terbang berkelok-kelok mengejar serangga.
Jauh di depan seekor kucing liar atau musang bulan termangu di pinggir jalan. Sinar biru yang terpantul dari kedua matanya terlihat jelas sebelum binatang itu menyingkir ke balik belukar.
Menjelang masuk jalan besar Pardi mengangkat pedal rem karena jalan kampung itu mulai datar. Tetapi Pardi tiba-tiba menginjaknya lagi untuk memperlambat truknya karena ia melihat sesosok tubuh mendadak muncul dari balik
sebuah pohon. Sopir mana saja tahu itulah cara peremputan jalanan menarik perhatian orang, terutama para pengemudi kendaraan. Dan Pardi menggenjot rem kuat-kuat karena orang di depan sana bukan sekadar berusaha menarik perhatian melainkan sengaja merintang jalan. Truk berhenti terhuyung karena berat muatan. Mesinnya mati selagi gigi penggeraknya belum bebas. Pardi dan Sapon sama-sama mengumpat kesal. Namun keduanya kemudian sama-sama berseru,
"Lho, Lasi" Mau apa dia""
Sopir dan kernet turun bersama-sama. Dan jauh di luar dugian mereka, Lasi menyerobot masuk kabin dan duduk membeku. "Mas Pardi, aku ikut," ujar Lasi dingin dan kaku. Tatapan matanya lurus ke depan. Wajahnya keras dan beku seperti dinding batu menyiratkan suatu tekad yang tak tergoyahkan.
"Ikut" Kami mau ke Jakarta dan kamu mau ikut""
Tak ada jawaban. Dan Lasi tak bergeming. Matanya yang nyalang terus menatap tanpa kedip ke depan.
"Lho, jangan, Las. Kami tahu kamu sedang punya masalah. Nanti orang bilang aku mencampuri urusanmu. Jangan, Las," cegah Pardi.
"Ya, lagi pula kami merasa tak enak terhadap suami dan orangtuamu. Juga Eyang Mus. Salah-salah mereka mengira kami melarikan kamu. Wah, bisa repot," tambah Sapon.
Lasi masih membatu di tempatnya. Pardi membuang rokok dan menggilasnya dengan sandal. Sapon berjalan berputar-putar. Suasana terasa canggung dan buntu. Mesin truk menderum-derum.
"Las, sesungguhnya kamu mau ke mana"" tanya Pardi.
"Truk ini mau ke mana""
"Sudah kubilang, ke Jakarta."
"Ke Jakarta atau ke mana saja, aku ikut."
Pardi menggaruk kepala. Sapon malah menjauh lalu duduk menyelonjor di pinggir jalan. Ia bimbang.
"Bagaimana, Pon""
"Terserah Mas Pardi. Bagiku, asal kita tidak dituduh macam-macam."
"Mas Pardi," kata Lasi tiba-tiba. "Bumi-langit jadi saksi bahwa aku pergi atas kemauanku sendiri. Ayolah. Atau bila kalian keberatan aku akan turun dan duduk di depan roda. Bagaimana""
Sekali lagi Pardi menggaruk kepala. Namun akhirnya sopir itu naik. Sapon pun naik. Lasi duduk di antara keduanya. Mesin truk menggeram dan roda-rodanya kembali bergulir makin lama makin cepat. Sambil menukar gigi penggerak, Pardi bergumam,
"Baiklah, bila kamu sudah bersaksi kepada langit, kepada bumi. Aku pun bersumpah bahwa aku tak punya urusan dengan pelarianmu ini."
Dekat mulut jalan besar Pardi kembali menghentikan truknya. "Aku mau beli rokok dulu," katanya sambil melompat turun. Pardi memang membeli rokok. Tetapi kesempatan itu digunakannya juga untuk titip pesan bagi orangtua Lasi kepada pemilik warung. Bagaimana juga Pardi ingin membersihkan diri sebab sebentar lagi pasti ada geger; Lasi raib dari Karangsoga.
Memasuki jalan besar truk membelok ke barat dan meluncur beriringan dengan kendaraan lain yang datang dari timur. Di atas jalan kelas tiga yang berlapis aspal truk dari Karangsoga itu berjalan lebih tenang dan dikemudikan dalam kecepatan tetap. Suara mesin menderu datar. Pardi kembali menyalakan rokok. Kabin truk terang sejenak. Sapon menengok ke kanan dan sekejap terlihat olehnya mata Lasi berkaca-kaca.
Lasi memang menangis. Kini ia mulai sadar akan apa yang sedang dilakukannya; lari meninggalkan Karangsoga, bumi yang melahirkan dan ditinggalinya selama dua puluh empat tahun usianya. Lari dari rumah; rumah lahir, rumah batin tempat dirinya hadir, punya peran dan punya makna. Lari meninggalkan tungku dan kawah pengolah nira dan wangi tengguli mendidih. Dan semuanya berarti lari dari yang nyata menuju ketidakpastian, menuju dunia baru yang harus diraba-raba, dunia yang belum dikenal atau mengenalnya.
Lasi kadang merasa ragu dan takut. Namun rasa sakit karena perbuatan Darsa dan lebih-lebih sakit karena merasa dirinya tidak lagi berharga untuk seorang suami, membuat tekadnya lebih pekat. Lari dan mbalelo adalah satu-satunya cara untuk lampiaskan perlawanan sekaligus membela keberadaannya. Lari dan lari meski Lasi sadar tak punya tempat untuk dituju.
Hampir satu jam sejak memasuki jalan besar tak seorang pun dalam kabin truk itu bersuara. Pardi sering menggaruk-garuk kepala dan segera menyalakan
rokok baru bila yang lama habis. Sapon mencoba bernyanyi. Teta
pi suaranya terdengar sember, tertekan, dan parau. Ganti bersiul, namun bunyinya pun tak enak didengar. Kebisuan terus bertahan sampai Pardi menghentikan truknya di depan sebuah warung makan. Sapon turun lebih dulu untuk mengganjal roda supaya aman.
"Las, aku lapar. Warung makan ini langgananku. Kamu juga belum makan, bukan""
"Ya, tetapi aku tak lapar."
"Lapar atau tidak kamu harus makan. Kita mau berjalan jauh, tak baik membiarkan perut kosong. Bisa masuk angin."
"Betul, Las," sela Sapon. "Kita makan dulu."
"Aku tak pernah makan di luar rumah. Malu."
"Kalau begitu sekarang kamu coba. Lagi pula kamu sudah ikut kami, maka kamu harus ikuti aturan kami. Jangan sampai bikin repot gara-gara kamu sakit karena perut kaubiarkan kosong."
"Apa kita sudah jauh dari Karangsoga""
"Sudah. Di tempat ini kukira tak ada orang yang mengenalmu. Ayolah turun."
"Aku tak punya uang. Pinjami aku dulu, ya."
"Jangan bilang begitu. Kamu ikut kami, maka soal makan kamilah yang tanggung. Kecuali kamu mau bikin malu kami."
Akhirnya Lasi mau turun dan masuk ke warung mengikuti Pardi dan Sapon. Lasi dan Sapon langsung duduk tetapi Pardi terus ke belakang. Seorang perempuan muda melayani Pardi dengan memberikan sabun dan handuk. Pardi tampak sudah sangat akrab dengan perempuan itu. Mereka sekilas tampak seperti suami-istri. "Biasa, Las," kata Sapon yang melihat Lasi terheran-heran. "Sopir, kata orang, bila ingin ngaso, ya mampir. Jadi pacarnya banyak." Lasi tak memberi tanggapan apa pun. Ia sedang mencatat dalam hati sesuatu yang baru diketahuinya karena sesuatu itu belum pernah dilihatnya di Karangsoga.
Sinar putih lampu petromaks membuat sosok Lasi tampak jelas. Kain kebaya yang dikenakannya sudah lusuh. Rambutnya disanggul sembarangan seperti perempuan hendak pergi ke sawah. Wajahnya berminyak pertanda sudah lama Lasi tidak mandi. Juga ternyata Lasi tak memakai alas kaki. Dan bibirnya pucat. Beberapa kali Sapon mendengar suara keruyuk dari perut Lasi.
Meski pada awalnya kelihatan canggung, Lasi makan dengan sangat lahap. Segelas besar teh manis pun ditenggak habis. Kalau bukan karena rasa lapar yang sudah lama tertahan, tak mungkin Lasi makan selahap itu. Keadaan Lasi mengingatkan Sapon akan cerita orang bahwa sejak mendengar suaminya berkhianat Lasi tak mau makan, juga tak bisa tidur. Bila cerita itu betul, boleh jadi sudah dua hari perut Lasi tak terisi makanan dan mungkin juga tidak tidur.
Sapon menggeleng-gelengkan kepala. Dan tersenyum; karena dalam keadaan demikian pun Sapon melihat Lasi tetap dalam kekhasannya: kontras antara hitam pekat rambutnya dan putih kulitnya begitu mengesankan. Alis dan matanya tdk ada duanya, membuat Lasi sangat mudah menarik perhatian. Apalagi tinggi badan Lasi seperti emaknya, Mbok Wiryaji, lebih tinggi dari kebanyakan perempuan Karangsoga. Sapon tersenyum lagi. Kini dia teringat Darsa. Betul, sumpah serapah Mbok Wiryaji, pikir Sapon. Darsa lelaki tak tahu diuntung, tak berhati-hati dengan kemujurannya mendapat istri secantik Lasi yang memang sudah dibilang orang lebih pantas menjadi ibu lurah.
Pardi keluar dari ruang dalam dan sudah berganti baju. Lasi heran lagi. Tetapi Pardi hanya menanggapinya dengan senyum, lalu minta dilayani makan. Lagi-lagi perempuan muda itu meladeninya seperti seorang istri. Lasi teringat pada istri Pardi di Karangsoga. Kalau begitu, pikir Lasi, benar kata orang, wis sakjege wong lanang gedhe gorohe, memang demikian adanya, semua lelaki tukang ngibul. Dan perempuan yang berambut keriting dan beranting berbentuk cincin itu melirik Lasi. Lasi tersinggung dan hatinya berkata bahwa perempuan itu cemburu terhadapnya. Jantung Lasi berdebar. Lasi ingin sekali menerangkan bahwa dirinya adalah perempuan somahan yang punya harga diri dan tidak ingin merebut lelaki mana pun. Dirinya sekadar menumpang truk untuk lari dan kebetulan Pardi yang menjadi sopir. Tetapi kata-kata yang sudah hampir tumpah itu hanya berputar-putar kemudian bergaung dalam dada. Pada kenyataannya Lasi hanya bisa menelan ludah dan menelan ludah lagi.
Setelah membisikkan sesuatu kepada pacarnya, Pardi mengajak Sapon dan Lasi bera
ngkat. Jam dinding tua di warung itu menunjuk angka delapan. Udara malam benar-benar dingin. Mesin truk kembali menderum dan perjalanan sepanjang malam yang akan menempuh jarak empat ratus kilometer dilanjutkan. Pardi terus-menerus merokok dan setiap kali korek api menyala, Sapon melirik ke kanan. Wajah Lasi kelihaLan lebih tenang bahkan pada kesempatan melirik kali ketiga, Sapon melihat mata Lasi terpejam. Jiwa yang letih setelah diguncang keras oleh kesontoloyoan suami, perut yang terisi penuh, serta ayunan pegas jok yang didudukinya membuat Lasi cepat ngantuk. Lasi benar-benar tertidur, kepalanya mulai terkulai ke kiri dan menindih pundak Sapon. Napasnya terdengar lembut dan teratur.
"Mas Pardi," kata Sapon pelan.
"Apa"" "Lasi tidur." "Biarlah dia tidur. Apa aku harus berhenti""
"Bukan begitu. Aku kasihan."
"Bukan hanya kamu. Aku juga. Malah aku masih bingung, apa sebenarnya yang ingin dilakukan Lasi. Minggat dan tak balik lagi ke Karangsoga atau bagaimana" Atau besok Lasi ikut pulang bersama kita""
"Kukira begitu."
"Bila ternyata tidak""
"Aku tidak berpikir apakah Lasi akan kembali atau tidak."
"Lalu"" "Yang kupikir, dalam truk ini sekarang ada perempuan cantik, lebih cantik dari sennua pacarmu, Mas Pardi. Apa kamu tidak..."
"Hus! Monyet, kamu. Jangan macam-macam. Kami para sopir memang rata-rata bajingan. Tetapi kami punya aturan. Kami pantang main-main dengan perempuan bersuami. Itu pemali, tabu besar jika kami tidak ingin mampus dalam perjalanan."
"Ya, Mas. Namun aku juga sedang berpikir bagaimana nanti bila Lasi benar-benar jadi janda. Karangsoga bakal ramai."
"Ramai atau tidak, akulah yang akan pertama melamarnya. Tak percaya""
"Lasi tidak akan mau karena dia tahu kamu sudah punya istri dan pacarmu sepanjang jalan. Dia akan memilih aku yang masih perjaka."
"Monyet kamu. Demi Lasi aku mau kehilangan apa saja. Tahu""
Tawa hampir pecah apabila Sapon dan Pardi tidak ingat di dekat mereka Lasi sedang nyenyak tidur. Namun demikian tak urung Lasi terusik. Ia menggeliat sejenak dan kepalanya lebih menyandar ke bahu Sapon, lalu pulas lagi.
Jam sebelas malam truk pengangkut gula itu masuk Tegal dan berhenti mengisi bahan bakar. Pardi menyuruh Sapon naik ke bak truk dan tidur di bawah terpal karena sopir itu ingin memberikan tempat yang lebih longgar kepada Lasi. Dengan melipat kedua kakinya Lasi dapat tidur lebih nyenyak karena bisa merebahkan diri di samping Pardi. Lasi lelap sepanjang jalan. Dia tidak tahu bahwa truk yang ditumpanginya berhenti lagi di Indramayu dan Pamanukan. Di Indramayu Pardi bahkan tidur dua jam dalam kamar sebuah warung makan. Sapon hafal di warung ini pun Pardi punya pacar.
Menjelang fajar truk sampai ke pinggiran kota Jakarta. Pardi menghentikan kendaraannya, lagi-lagi di sebuah warung makan yang masih benderang oleh dua lampu pompa. Pardi membangunkan Sapon untuk berjaga karena dia sendiri akan beristirahat sampai jam delapan pagi saat tauke siap menerima gula yang dibawanya. Segelas kopi dihidangkan oleh seorang perempuan dengan rokok di tangan. Dandanannya yang warna-warni seperti melawan suasana serba lembut ketika hari hampir pagi. Lasi masih lelap dalam kabin truk, dan Pardi merebahkan diri di atas dipan kayu di emper warung. Nyenyak, meski segelas kopi panas terletak hanya beberapa jari dari kepalanya.
Lasi terbangun oleh deru lalu lintas yang makin ramai. Ketika bangkit dan menengok ke luar Lasi terkejut karena matahari sudah muncul. Linglung. Lasi tak tahu di mana dia berada sekarang. Dan mana Pardi serta Sapon" Dalam kebimbangannya, untung, Lasi dapat menemukan Pardi masih tergeletak di emper warung. Lasi ingin turun dari kabin truk tetapi tak dapat membuka pintu.
"Sudah bangun, Las"" Sapon tiba-tiba muncul dari samping truk.
"Di mana kita sekarang berada, Pon""
"Ya ini, Jakarta."
Lasi terpana sejenak dan turun setelah Sapon membukakan pintu.
"Aku ingin ke belakang. Kamu tahu ada sumur""
"Mari kuantar."
Sapon membawa Lasi masuk ke warung makan yang cukup besar itu dan langsung ke bagian belakang. Lampu pompa belum dipadamkan, padahal hari sudah benderang. Lasi melihat tiga perempuan tid
ur berdempetan di sebuah bangku panjang. Sisa rias mereka masih tampak jelas. Warna pakaian mereka mencolok. Dua perempuan lain sedang duduk bercakap-cakap sambil merokok. Keduanya mengangkat muka ketika melihat Lasi dan Sapon masuk. Dan seorang di antaranya menyambar tangan Sapon setelah Lasi menghilang di balik pintu kamar mandi.
"Baru"" tanya perempuan yang beranting besar.
"Bawaan Pardi, ya" Pardi membawa barang baru"" susul yang berbetis kering.
"Kalian tanya apa, sih"" dengus Sapon.
"Hus, aku cuma mau tanya, kalian bawa barang baru""
"Jangan seenaknya. Dia tetanggaku di kampung, perempuan baik-baik dan punya suami."
"Aku tidak tanya dia bersuami atau tidak," ujar si Anting Besar. "Ini, teman kita ini, juga punya suami," lanjutnya sambil menuding si Betis Kering. "Yang kutanyakan, dia barang baru""
"Bukan!" "Kalau bukan, mengapa ikut kalian"" Si Anting Bcsar dan si Betis Kering tertawa bersama.
Sapon tak berniat berbicara lagi. Lasi keluar dan terus bergabung dengan Pardi yang sudah bangun dan sedang bercakap-cakap dengan Bu Koneng, pemilik warung. Perempuan bersanggul besar ini menatap Lasi lekat-lekat, menyelidik seperti pedagang ternak mengamati seekor sapi yang montok.
"Duduklah, Las," ujar Pardi setelah memperkenalkan Lasi kepada Bu Koneng. "Sebentar lagi aku dan Sapon berangkat untuk membongkar muatan. Kamu tinggal di sini dulu bersama Bu Koneng. Mandi dan beristirahatlah. Siang atau sore nanti kami kembali."
Wajah Lasi menyiratkan kebimbangan. Namun akhirnya Lasi mengangguk pelan.
"Ya, tak pantas seorang perempuan ikut mengantar barang sampai ke gudang," sambung Bu Koneng ramah. "Tinggallah sebentar bersama saya. Di sini banyak teman, kok. Ah, nanti dulu, siapa namamu tadi""
"Lasi, Bu." "Lasiyah," sela Pardi.
Bu Koneng mengangguk. Dan kembali menatap Lasi.
"Maaf, ya. Aku mau tanya, apakah ayah atau ibumu Cina""
Lasi tertunduk malu. Dia menoleh ke Pardi. Sopir itu mengerti. Maka dialah yang kemudian menjawab pertanyaan Bu Koneng dengan keterangan yang agak panjang. Dikatakannya juga Lasi sedang punya masalah sehingga perlu menghibur diri barang sebentar ke kota.
Selama mendengarkan penjelasan Pardi, Bu Koneng terus menatap Lasi dengan mata berkilat dan penuh minat.
"Oh, jadi begitu"" tanya Bu Koneng kepada Lasi.
Lasi mengangguk lagi dan tersenyum tawar. Dan tiba-tiba hatinya terasa buntu karena Lasi sadar bahwa dirinya sudah keluar jauh dari Karangsoga dan di tangannya tak ada uang sedikit pun. Bahkan ia juga tidak membawa pakaian pengganti barang selembar. Lasi bahkan baru sepenuhnya sadar bahwa dia tak punya jawaban untuk dirinya sendiri, "Mau apa sebenarnya aku berada di tempat yang ramai dan asing ini"" Mata Lasi berkaca-kaca.
Sebelum naik ke belakang kemudi Pardi mendekati Lasi dan mengulurkan tangan dengan beberapa lembar uang. Tetapi Lasi terpaku. Lasi belum pernah menerima uang kecuali dari suami atau dari penjualan gula. Bagi Lasi, berat menerima uang dari orang lain karena dia tahu uang tak pernah punya arti lain kecuali alat tukar-menukar. Siapa menerima uang harus mau kehilangan sesuatu sebagai penukarnya.
"Untuk sekadar pegangan, Las. Barangkali kamu membutuhkannya untuk beli minuman selama aku pergi," kata Pardi.
"Terima kasih, Mas Pardi. Aku memang tidak memegang uang. Dan uang ini kuterima sebagai pinjaman. Kapan-kapan aku akan mengembalikannya kepadamu."
"Jangan begitu, Las. Kita sama-sama di rantau, jauh dari kampung. Kita harus saling tolong."
"Kamu betul, Mas Pardi. Tetapi aku tak ingin menjadi beban. Jadi uang ini tetap kuanggap sebagai pinjaman."
"Terserahlah, kalau kamu ngotot. Yang pasti aku tidak merasa punya urusan utang-piutang dengan kamu."
Truk dari Karangsoga bergerak lagi setelah berhenti selama lima jam di depan warung Bu Koneng. Lasi memandang kepergian truk yang telah membawanya kabur sangat jauh dari rumah. Keterasingan tiba-tiba menggigit dirinya setelah truk bersama sopir dan kernetnya lenyap dari pandangan mata. Kosong dan buntu. Lasi berbalik dan ingin duduk di atas dipan kayu di emper warung. Bu Koneng masih di sana.
"Pardi bilang kamu tak membawa pakaian pengganti""
Las i mengangguk dan tersipu.
"Kalau begitu pakailah ini. Tak apa-apa buat sementara. Tetapi apa tidak baik kamu mandi dulu""
Lasi mengangguk lagi. Bu Koneng memanggil seseorang untuk membawakan handuk. Muncul si Betis Kering dengan barang yang diminta induk semangnya dan memberikannya kepada Lasi dengan keramahan yang kelihatan dipaksakan.
Selesai mandi Lasi keluar dengan kain sarung dan kebaya biru terang. Kesan lusuh berubah menjadi segar. Kulitnya menjadi lebih terang karena warna baju yang dipakainya. Rambut disisir dan dikonde seadanya, asal rapi. Bu Koneng mengajaknya makan pagi, bukan di ruang warung melainkan di ruang dalam. Lasi tak enak karena merasa terlalu diperhatikan, tetapi tak mampu menampik kebaikan Bu Koneng. Si Betis Kering dan si Anting Besar selalu mencuri-curi pandang. Tiga perempuan muda yang tergolek berimpitan pun sudah lama terbangun. Mereka juga selalu menatap Lasi dengan pandangan mata seorang pesaing.
Lasi dapat mengira-ngira siapa si Anting Besar, si Betis Kering, serta ketiga temannya; tentu perempuan jajanan semacam pacar Pardi yang ada pada setiap warung yang disinggahinya. Sepanjang pengetahuannya perempuan seperti itu tak ada di Karangsoga. Tetapi Lasi sering mendengar ceritanya dan kini Lasi melihat sendiri sosok mereka, bahkan berada di antara mereka. "Dan, apakah Bu
Koneng seperti sering dibilang orang, adalah mucikari dan menyamar sebagai pengusaba warung makan""
"Las, Pardi bilang kamu sedang punya masalah"" tanya Bu Koneng tanpa melihat Lasi. Samar, Lasi mengangguk.
"Katakan, soal uang, soal mertua, atau soal suami""
"Suami, Bu," jawab Lasi lirih.
"Katakan lagi, suami pelit, suami kelewat doyan, atau suami menyeleweng""
"Nyeleweng." Bu Koneng mengangguk-angguk dan terlihat tak ada kejutan tersirat pada wajahnya.
"Ya. Itu biasa. Tetapi suami semacam itu panus diberi pelajaran. Dia akan tahu rasa apabila kamu membalasnya dengan cara menyeleweng pula."
Lasi mengangkat muka dan membelalakkan mata.
"Oh, tidak. Maksudku, banyak istri membalas perlakuan suami dengan perbuatan yang sama. Kamu tidak begitu, bukan""
"Bu Koneng, saya hanya seorang perempuan dusun. Melihat suami bertindak begitu, paling saya bisa purik seperti ini."
"Hanya purik" Tidak minta cerai sekalian""
"Entahlah, Bu. Tetapi di kampungku sebutan janda tak enak disandang. Terlalu banyak mata menyorot, terlalu banyak telinga nguping. Berjalan selangkah atau berucap sepatah serba dinilai orang."
"Ya, betul. Tentang urusan seperti itu aku lebih berpengalaman. Tetapi lalu apa rencanamu berikut""
"Saya tidak tahu." jawab Lasi sambil menggeleng.
"Tetapi aku tahu."
Lasi mengangkat muka, ingin mengerti apa yang dimaksud Bu Koneng.
"Tinggallah bersamaku di sini barang satu atau dua minggu sampai hatimu dingin. Kemudian kamu lihat nanti apa yang sebaiknya kamu lakukan."
"Merepotkan Bu Koneng"" kata Lasi setelah agak lama terdiam.
"Tak apa-apa, kok. Aku sering disinggahi istri-istri sopir dan mereka biasa menginap di sini."
"Istri-istri sopir""
"Ya. Istri sebenarnya atau pacar, maksudku. Dan kamu lihat sendiri di warungku ini banyak perempuan."
Lasi mengerutkan kening. Hatinya risi. Mengapa Bu Koneng menyebut-nyebut perempuan yang ditampungnya. "Ingin menyamakan aku dengan si Anting Besar atau si Betis Kering"" Lasi menelan ludah. Bu Koneng menangkap perasaan Lasi yang tersinggung.
"Di warungku memang banyak perempuan. Yah, kamu mengerti apa yang kira-kira mereka lakukan. Dan kamu, Las, tak perlu ikut-ikut mereka. Aku tahu kamu bersih dan tidak seperti mereka. Kamu bisa menjadi penjaga warung. Atau kalau mau, mengurus pekerjaan dapur."
"Entahlah, Bu. Saya masih bimbang. Yang jelas saya malu bila harus menjaga warung. Tetapi pekerjaan dapur, barangkali saya bisa membantu ibu."
Bu Koneng tersenyum. "Andaikan kamu mau bekerja di dapur, Las, bukan maksudku menjadikan kamu pembantu di sini. Sekadar memberi kamu peluang untuk melupakan sakit hatimu. Aku sangat kasihan kepadamu. Kamu mengerti""
Lasi mengangguk. Seorang teman yang mau mengerti dan bisa menjadi bejana tempat menuangkan perasaan telah ditemukan Lasi. Dengan anggukan kepala dan s
enyum penuh pengertian Bu Koneng, dengan cara yang sangat diperhitungkan, menjadikan dirinya sandaran bagi hati Lasi yang sedang kena badai. Lasi mendapat seorang sahabat ketika dirinya merasa tercabut dari bumi dan terpencil dari dunianya. Ketika harus mengembara di tengah padang kerontang yang sangat terik, seseorang memberinya payung dan segayung air sejuk. Hati Lasi tertambat.
Tertambat, maka Lasi menurut ketika Bu Koneng mengajaknya ikut ke pasar. Naik becak, Lasi dan Bu Koneng menyusur jalan yang riuh dan semrawut, sangat
berbeda dengan lorong-lorong kampung yang lengang di Karangsoga. Bu Koneng mengerti Lasi gagap karena tak biasa dengan keadaan seramai itu tetapi Bu Koneng pura-pura tidak tahu. Turun dari becak Bu Koneng membimbing Lasi menyeberang jalan. Lasi gagap lagi, kali ini oleh keadaan pasar yang kumuh, sumpek, dan luar biasa becek. Lasi yang tak asing dengan lumpur sawah, entah mengapa, merasa jijik dengan lumpur pasar. Hanya karena tak ingin menyinggung hati Bu Koneng, Lasi ikut ke mana saja induk semangnya yang baru itu pergi. Dengan keranjang besar Lasi menampung sayuran, tahu, ikan, atau telur yang sudah dibayar Bu Koneng.
Jam dua siang ketika Lasi sedang bercakap-cakap dengan Bu Koneng di emper depan, Sapon datang seorang diri. Ada muatan untuk dibawa sampai ke Tegal dan Pardi sedang mengaturnya, jawab Sapon ketika Lasi bertanya.
"Las, aku disuruh Mas Pardi memberitahu kamu agar segera bersiap. Sebentar lagi Mas Pardi datang dan kita langsung berangkat."
"Berangkat ke mana"" potong Bu Koneng.
"Ke mana" Ke mana lagi kalau bukan pulang ke rumah."
"Ya, aku tahu. Tetapi Lasi tidak ikut kalian. Lasi akan tinggal di sini sampai hatinya tenang. Bila tak percaya, tanyalah sendiri."
Lasi ternganga. Pandangannya berpindah-pindah dari mata Sapon ke mata Bu Koneng. Kelihatan mulutnya hendak mengatakan sesuatu, tetapi suaranya tak kunjung terdengar.
"Jangan, Las. Kamu jangan merepotkan kami. Kamu harus pulang. Bila tidak, aku dan Mas Pardi bisa mendapat kesulitan. Kami bisa menjadi sasaran segala macam pertanyaan."
"Pon, kamu jangan menekan Lasi yang sedang sakit hati. Biarlah dia pada pilihannya, tinggal bersama kami sampai hatinya kembali tenang."
"Sungguh, Las!" kata Sapon tak peduli. "Kamu harus pulang. Soal nanti kamu kembali kemari, itu urusanmu. Tetapi kali ini, karena kamu berangkat bersama kami, kamu harus pulang bersama kami pula. Kamu bisa marah kepada suami; tetapi emak" Dan kamu pergi tanpa memberitahu siapa pun, bukan""
Lasi tergagap. Dalam kebimbangannya sekilas Lasi melihat rumahnya, melihat tiap jengkal bagian rumah kecil yang sudah tiga tahun dihuninya. Dadanya bergetar ketika di matanya muncul bilik tidur dengan balai-balai bambu beralas tikar pandan yang sudah mengkilat. Lasi juga teringat setiap potong jalan setapak yang selalu dilewatinya bila ia pergi menjual gula ke rumah Pak Tir. Titian pinang sebatang. Suara pongkor saling beradu. Bunyi letupan tengguli panas yang sedang diaduk. Dan malam hari yang lengang dengan suara gambang yang ditabuh Eyang Mus. Juga emaknya. Lasi sadar dirinya adalah anak tunggal. Emak pasti merasa sangat kehilangan dirinya.
Lasi hampir mengiyakan ajakan Sapon. Tetapi urung karena tiba-tiba di matanya muncul Bunek, Sipah, lalu Darsa, lalu semua orang Karangsoga yang ramai-ramai mencibirinya. Telinganya berdenging karena Lasi mendengar orang sekampung menggunjingkannya. Lasi malah mendengar tangis bayi yang masih berada dalam perut Sipah. Ada kembang api pecah dalam kelopak matanya. Ada suara denting yang kering dan menusuk telinga. Lasi megap-megap. Beberapa kali ia mencoba menelan ludah yang terasa amat pekat.
"Las, kamu jangan linglung," ujar Sapon memecah kebisuan. "Kamu mau pulang, bukan""
Lasi terperanjat. Entah sadar atau tidak Lasi menoleh kepada Bu Koneng. Yang ditoleh tersenyum dan berusaha menampilkan wajah yang teduh.
"Begini," kata Bu Koneng tenang. Kamu biasa mengangkut gula kemari seminggu sekali, bukan""
Sapon mengangguk. "Kali ini tinggalkan Lasi bersamaku di sini. Minggu depan kamu boleh membawa Lasi pulang. Itu pun kalau Lasi mau. Kalau tidak, ya
jangan memaksa. Begitu, Las"" "Ya," kata Lasi dengan suara serak. "Sekarang aku ingat, minggu depan kalian akan mengangkut gula lagi. Jadi aku bisa pulang seminggu lagi bila aku mau."
Sapon diam dan tertunduk. Bimbang, tak ada lagi yang bisa dikatakannya untuk mendesak Lasi pulang.
"Percayakan Lasi kepadaku," ujar Bu Koneng.
Sapon menatap Bu Koneng dengan alis berkerut.
"Ya! Aku mengerti apa yang kamu khawatirkan akan terjadi terhadap Lasi. Tidak. Kalian jangan cemas. Aku menyadari Lasi tidak sama dengan perempuan-perempuan yang kutampung di sini. Jadi aku tidak akan menyamakannya dengan mereka."
Terdengar klakson ditekan berulang-ulang. Sipon berlari ke jalan untuk menemui Pardi yang enggan turun dari truknya. Sopir dan kernet berbicara serius. Karena merasa kurang puas, Pardi turun dan berjalan mendekati Lasi yang masih berdiri bersama Bu Koneng. Seperti Sapon, Pardi pun membujuk Lasi hingga kehabisan kata-kata. Tetapi Lasi tidak goyah. Lasi bahkan mengulangi kata-kata yang diucapkannya kemarin; bumi dan langit menjadi
saksi bahwa Pardi dan Sapon bersih dari kesalahan karena pelarian Lasi adalah tanggung jawab pribadi sepenuhnya.
"Kami percayakan Lasi kepadamu, Bu Koneng," ujar Pardi tanda menyerah. Atau tanda minta jaminan.
"Baik. Aku tidak akan menyia-nyiakan kepercayaan orang yang sudah lama kukenal. Percayalah, Lasi akan aman bersamaku di sini."
Pardi dan Sapon berjalan lesu menuju truk mereka. Beberapa kali keduanya menggelengkan kepala pertanda kecewa. Ketika roda-roda kembali bergulir mereka melambaikan tangan. Lasi, tak urung, merasa ada yang menjauh dari hatinya. Ada yang menusuk dada, ada yang menikam jiwa. Mata Lasi basah. Truk milik Pak Tir itu tampak makin baur dalam pandangannya, lama-kelamaan kabur dan hilang dalam iring-iringan kendarann yang melaju ke timur.
BAGIAN KETIGA Kalirong adalah sebuah suagai kecil yang bermula dari jaringan parit-parit alam di lereng gunung sebelah utara Karangsoga. Pada wilayah yang tinggi Kalirong lebih menyerupai jurang panjang dengan aliran air jernih di dasarnya namun tak tampak dari atas karena tertutup semak paku-pakuan. Hanya pada tempat-tempat tertentu terdengar gemerciknya. Namun pada wilayah yang lebih rendah Kalirong adalah nadi yang mencukupi air bagi sawah dan tegalan di kiri dan kanannya. Batu-batu besar, beberapa diantaranya sangat besar, teronggok diam seperti pengawal abadi yang merendam diri sepanjang masa dalam air jernih Kalirong. Di tempat ini air mengalir gemercik, buihnya yang putih hilang-tampak di antara bebatuan yang hitam mengkilat. Anggang-anggang berlari kian-kemari pada permukaan air. Serangga berkaki panjang ini bagai tak punya berat dan mereka menggunakan permukaan air sebagai tempat
bersiluncur, menangkap mangsa, dan kawin.
Sepanjang tepian Kalirong tumbuh berbagai jenis pohonan. Cangkring yang penuh duri serta bakung yang muncul dari sela-sela batu besar. Logondang yang untaian buahnya muncul langsung dari batang, menjulurkan cabang-cabangnya jauh ke atas permukaan sungai agar mudah menyebarkan keturunannya lewat aliran air. Jambe rowe dengan batangnya yang langsung tumbuh tegak lurus dan berbaris mengikuti alur Kalirong. Lengkung-lengkung daunnya yang lentur mengikuti pola yang rapi dan buahnya yang bulat kekuningan membuat tumbuhan palma itu kelihatan sebagai jenis tanaman purba yang masih tersisa. Rumpun pandan yang juga hampir tak putus mengikuti garis tepian Kalirong memberi tempat bersembunyi yang aman bagi cerpelai. Bila keadaan sepi binatang pemangsa ikan itu keluar dari persembunyian dan bercengkerama di atas batu besar dan segera menghilang bila terlihat oleh manusia.
Pada sebuah kelokan Kalirong, sebatang beringin yang amat besar tumbuh di tepiannya. Buahnya yang kecil dan bulat sering jatuh ke air oleh gerakan berbagai jenis burung yang sedang berpesta dalam kerimbunan daun pohon besar itu. Plang-plung suara buah beringin menimpa air, memecah sunyi. Dan suara itu segera berubah menjadi rentetan bunyi yang lembut tetapi aneh ketika lebih banyak buah beringin runtuh oleh tiupan angin. Seekor burung merah yang sangat mungil terba
ng-hinggap pada ranting beringin yang menjulur, menggantung hampir menyentuh air, menggoyang tangkai-tangkai benalu yang tumbuh di sana. Beberapa butir buah jatuh dan lagi-lagi plang-plung. Ada daun kering ikut luruh menerpa permukaan air, berkisar sejenak lalu hanyut dan hilang di balik bongkah cadas hitam. Ada sehelai daun ilalang yang terus bergerak berirama karena ujungnya menyentuh aliran air. Seekor kodok tiba-tiba terjun dan mencoba menyelam untuk menyelamatkan diri. Tetapi penyerangnya, seekor ular ubi, tak kalah cepat. Ceot-ceot, suara kodok yang sedang mempertahankan diri dalam mulut ular. Ceot-ceot, makin lama makin lemah. Dan akhirnya hilang setelah kodok itu perlahan-lahan masuk ke dalam tubuh ular.
Darsa mendesah panjang. Diperhatikannya ular ubi itu yang kemudian bergerak lamban karena ada beban seekor kodok dalam perutnya. Sekilas orang tak mudah melihat Darsa yang sedang duduk di atas batu berlumut agak tersembunyi di bawah pohon beringin itu. Selama beberapa hari terakhir Darsa mengundurkan diri dari pergaulan. Ia lebih suka menyendiri. Dan tepian Kalirong di bawah lindungan kerimbunan beringin adalah tempat sepi yang man menerima kegelisahan hatinya. Di sana pula, dekat Darsa kini duduk
menyendiri, ada sebuah batu besar dan berpunggung rata. Batu yang terbaring di tengah kali itu kelihatan lebih kelimis karena sering tersentuh tangan manusia. Beberapa penyadap suka mandi di dekatnya dan kemudian naik untuk sembahyang setelah mereka membungkus tubuh hanya dengan kain sarung. Di sana sering terlihat pemandangan yang mengesankan; seorang lelaki dalam pakaian sangat sahaja bersujud di atas batu besar di tengah kali. Sepi, kecuali gemercik air atau cicit burung madu merah yang amat mungil. Atau derai plang-plung suara buah beringin yang jatuh menimpa air ketika angin bertiup.
Matahari yang hampir tenggelam hanya menyisakan mega kuning kemerahan di langit barat. Sepi makin sepi karena burung-burung tak lagi mencicit. Angin pun mati. Darsa bangkit dan mendesah. Geraknya tanpa semangat ketika dia melangkah, merendam diri setinggi betis dalam air, dan bersuci. Dengan melompat-lompat ke atas batu sampailah Darsa ke punggung batu besar itu. Darsa sujud dan alam diam menyaksikannya. Darsa sujud demi pertemuan dengan Sang Kesadaran Tertinggi untuk mencoba memahami gonjang-ganjing yang sedang melanda jiwanya. Darsa ingin memahami apa yang benar-benar telah dilakukannya dan menyebabkan ia harus berhadapan dengan kenyataan paling getir yang pernah dialaminya; Lasi minggat dan seisi kampung geger. Tak cukup dengan kenyataan pahit yang sulit diterimanya itu Darsa juga harus mengawini Sipah, perempuan yang tak pernah sekali pun dibayangkan akan menjadi istrinya.
Darsa merasa berdiri di depan dinding cadas yang terjal ketika tahu bahwa tidak mudah memahami perbuatan sendiri yang benar-benar telah dilakukannya. Memang, Darsa bisa mengingat dengan jelas urut-urutan kejadian di suatu malam di rumah Bunek. Seperti malam-malam sebelumnya, Darsa dipijat oleh Bunek dalam sebuah bilik. Sudah beberapa hari Darsa merasa mendapat kemajuan. Dan malam itu Darsa percaya tak ada lagi masalah pada dirinya. Tubuhnya bereaksi secara normal ketika dengan caranya sendiri Bunek memberinya stimulasi berahi, baik dengan pijatan maupun dengan kata-katanya. Bunek tertawa. "Apa kataku dulu, ular apa saja akan menggeliat bangun bila mendapat kehangatan."
Bunek menyuruh Darsa tetap berbaring sementara dia sendiri keluar. Dari dalam bilik itu Darsa mendengar Bunck berbicara dengan Sipah. Tidak jelas benar apa yang mereka bicarakan. Tetapi telinga Darsa menangkap ucapan Sipah yang menolak permintaan emaknya.
"Kamu jangan bodoh. Apa yang kuminta kamu lakukan hanya untuk membuang sebel yang melekat pada dirimu, sebel yang menyebabkan kamu jadi perawan tua."
"Apa bukan karena kaki saya pincang, Mak"" kata Sipah. Darsa mendengar anak perawan Bunek itu mengisak.
"Bukan. Ada beberapa perempuan lebih pincang daripada kamu, tetapi mereka mendapat jodoh karena mereka tak menyandang sebel."
"Bagaimana nanti bila aku hamil""
"Dasar bodoh. Jika kamu hamil, malah
kebetulan. Akan saya minta Darsa mengawinimu. Syukur bisa langgeng. Bila tidak, tak mengapa. Yang penting sebel-mu hilang dan kamu jadi janda, sebutan yang jauh lebih baik daripada perawan tua. Tahu""
Darsa masih ingat, setelah mendesak Sipah, Bunek masuk kembali ke dalam bilik. Ketika itu Darsa masih terbaring dan memberi kesan demikian rupa seakan dia tak mendengar apa-apa. Bunek memintanya duduk lalu mcngungkapkan keinginannya dengan terus terang dalam kata-kata yang sangat cair dan ringan, bahkan diselingi tawa dan latah.
Ya. Darsa masih ingat. Ketika itu pikirannya terbelah-belah. Ada kesadaran tidak ingin menyakiti Lasi. Pada kesadaran ini Lasi terlalu baik untuk dikhianati. Atau Lasi adalah cermin tempat Darsa memperoleh pantulan gambar tentang dirinya sendiri. Adalah bodoh bila Darsa ingin memecah cermin berharga itu. Tetapi ada juga keinginin untuk tidak mengecewakan Bunek yang sudah sekian lama dengan sabar merawatnya sampai terasa berhasil. Dan ada berahi. Tetapi bahkan untuk soal berahi ini pun Darsa sudah dapat mengira-ngira beban akibat yang mungkin harus dipikulnya kelak.
Darsa juga menyadari waktu itu ada cukup peluang untuk mempertimbangkan dengan baik pilihan mana yang akan diambilnya; tidak menyikiti Lasi di satu pihak atau menyenangkan Bunek sekaligus melampiaskan berahi di pihak lain. Namun pada saat yang sama Darsa juga merasa ada dorongan kuat untuk meninggalkan peluang itu, untuk meninggalkan segala macam pertimbangan. Pada detik genting yang tiba-tiba terasa menyergapnya itu Darsa hanyut, lebur, dan mungkin sirna. Hilang. Tiada lagi Darsa karena yang ada ketika itu adalah Darsa yang lain, Darsa yang lupa pada Lasi, Darsa sing ora eling, Darsa yang lupa akan Sang Kesadaran Tertinggi.
Ya, diri yang hilang, dan Darsa tergagap ketika mencoba meraih kembali sosok diri sebenarnya yang lenyap itu. Gagap, bahkan Darsa merasa menjadi manusia asing bagi dirinya sendiri. Darsa mengeluh dan mendesah untuk mengusir kebimbangan. Namun hasilnya malah sebaliknya. Darsa makin, makin kusut.
Beduk magrib telah terdengar bergema dari surau Eyang Mus. Hari mulai gelap, namun Darsa tidak beranjak dari atas batu besar itu, malah sujud lagi dan sujud lagi. Tak dipedulikannya puluhan nyamuk yang berputar-putar kemudian hinggap untuk mengisap darah dari tubuhnya. Suara bangkong yang menggema dari balik batu-batu besar di tepi Kalirong. Suara keluang yang berkelahi berebut nira yang mereka tumpahkan dari pongkor yang masih terpasang di atas pohon kelapa. Atau kecipak suara cerpelai yang sedang berburu ikan di malam hari.
Malam benar-benar telah hadir. Dan Darsa masih termenung di atas batu, tak tahu apa yang hendak dilakukannya. Kembali ke rumah yang sudah kosong dan mati karena sudah ditinggal Lasi" Tak ingin. Atau Darsa tak berani menghadapi kekosongan rumah sendiri, kehampaan hati, dan ketiadaan Lasi. Dan pada puncak kerisauannya Darsa membayangkan dirinya tergantung tanpa nyawa pada dahan logondang yang menjulur datar di atas Kalirong. Dengan cara itu Lasi mungkin akan percaya bahwa Darsa benar-benar menyesal. Ah, tidak. Darsa merasa tak berani mengundang kematian untuk dirinya sendiri. Minggat, menghilang dari Karangsoga mungkin lebih baik. Ya. Dan Darsa bangkit. Termangu. Angin bertiup perlahan membuat desah halus pada kelebatan dedaunan. Buah beringin berjatuhan menimpa permukaan air. Dan telinga Darsa mendengar sesuatu yang lembut berirama dari arah rumah Eyang Mus. Suara gambang kayu keling tiba-tiba mengingatkan Darsa akan penabuhnya.
Eyang Mus. Selama ini Darsa enggan berbicara kepada siapa pun. Tetapi Eyang Mus" Orang tua itu mungkin mau memberi pencerahan, atau setidaknya mau mendengarkan keluhannya. Bahkan siapa tahu Eyang Mus man memberi jalan, jalan apa saja, yang mungkin bisa membawa Lasi kembali kepadanya.
Dan tepi Kalirong, Darsa menempuh lorong yang biasa dilalui para penyadap sampai ke rumahnya yang masih gulita. Derit pintu terdengar bagai suara hantu dalam kegelapan. Darsa menyalakan lampu tempel yang seketika memperlihatkan sosok kehampaan dalam rumahnya. Sunyi dan kosong. Ngawang-uwung. Rumah kecil
itu telah kehilangan rohnya. Darsa tertegun dan tiba-tiba rasa sakit menusuk dadanya. Dengan mata kosong dipandanginya tungku dan kawah yang biasa dipakai Lasi mengolah nira. Dan denyut yang menyakitkan jantung kembali menusuk ketika Darsa melihat kebaya Lasi masih tergantung pada tali sampiran.
Darsa tercenung sejenak, menelan ludah, dan mendesah sebelum menutup pintu dari luar lalu melangkah menuju rumah Eyang Mus. Bunyi gambang masih terdengar. Setelah dekat Darsa juga mendengar suara tembang Eyang Mus sendiri yang mengiringi alunan gambangnya. Meskipun serak, suara lelaki tua itu terdengar serasi dengan irima gambang yang mengalir dari tangannya. Karena tak ingin memutus keasyikan Eyang Mus, Darsa tidak segera masuk. Darsa berhenti di emper depan sambil menunggu Eyang Mus selesai dengan pengembaraan batin melalui suara gambangnya.
Mengakhiri sebuah bait dhandhanggula Eyang Mus menghentikan kedua tangannya yang kemudian terkulai lemas di atas deretan bilah gambang. Kepalanya tertunduk karena dalam hati masih tersisa kemesraan berdekat-dekat dengan Yang Mahadamai. Kemudian dengan tertatih-tatih Eyang Mus bangkit meninggalkan gambangnya dan pada saat yang sama Darsa terbatuk.
"Siapa di luar""
"Saya, Yang. Darsa."
"Oh, kamu" Mari masuk."
Pintu berderit dan Darsa masuk. Eyang Mus menyilakan Darsa duduk di kursi kayu di seberang meja. Darsa tersenyum namun kegelisahan hati tak bisa disembunyikan dari wajahnya. Lain dengan Eyang Mus. Kakek itu tersenyum lebar dan wajahnya tetap jernih.
"Nah, kamu kelihatan kurus dan lusuh. Susah""
Darsa tersenyum getir. Tetapi Eyang Mus malah tertawa.
"Iya, ya. Aku tahu, semua orang tahu, kamu sedang kanggonan luput, sedang menanggung salah. Dan itu tak mudah memikulnya."
"Eyang Mus, saya bingung," ucap Darsa sambil menunduk lesu.
"Iya, ya. Semua orang tahu kamu tengah gagap menghadapi akibat perbuatanmu sendiri. Malah mungkin kamu sendiri juga bertanya, apa sebenarnya yang telah terjadi kok tiba-tiba hidupmu gonjang-ganjing, limbung, sehingga badanmu jadi kurus seperti itu. Iya, kan""
"Itulah sebabnya saya datang, Yang. Saya minta Eyang Mus mau memberi saya pepadhang, jalan keluar. Eyang Mus, saya amat bingung."
Eyang Mus terbatuk lalu tersenyum. Mengangguk-angguk.
"Nanti dulu. Kamu sudah makan""
Darsa tersipu. "Belum" Kalau begitu sana masuk."
"Terima kasih, Yang. Saya tak ingin makan."
"Kalau begitu, kopi""
Darsa mengangguk dan Eyang Mus menyuruh istrinya membuat minuman yang diminta. Darsa gelisah di kursinya. Matanya yang redup memandang sekeliling tanpa maksud tertentu. Beberapa kali terdengar desah napasnya yang berat dan panjang.
"Eyang Mus... "
"Ya"" "Saya merasa telah membuat kesalahan yang besar. Saya menyesal. Tetapi saya tak tahu apakah penyesalan saya bisa diterimn Lasi""
"Benar, katamu. Kukira kamu memang salah. Kamu telah menyakiti istrimu. Kamu juga telah mengabaikan angger-angger, aturan Gusti dalam tata krama kehidupan. Tetapi jangan terlalu sedih sebab kesalahan terhadap Gusti Allah mudah diselesaikan. Gusti Allah jembar pangapurane, sangat luas ampunanNya. Kamu akan segera mendapat ampunan bila kamu sungguh-sungguh memintanya. Gusti Allah terlalu luhur untuk dihadapkan kepada kesalahan manusia, sebesar apa pun kesalahan itu."
Darsa mengangguk. Dan terbersit cahaya harapan pada wajahnya.
"Yang lebih sulit," sambung Eyang Mus, "adalah memperoleh ampunan istrimu, Lasi. Kesalahanmu kepadanya sangat besar. Padahal Lasi adalah manusia seperti kita. Dia bukan sumber ampunan seperti Tuhan."
"Saya mengerti. Tetapi, Yang, bagaimana juga saya tidak ingin rumah tangga saya bubrah. Saya tak ingin berpisah dengan Lasi."
"Ya, semua orang tahu, mempunyai istri secantik Lasi adalah keberuntungan yang nyata. Maka kehilangan dia bisa berarti penderitaan yang dalam. Aku tahu, semua orang tahu. Namun masalahnya tergantung Lasi. Bagaimana bila dia menolak kembali kepadamu" Memang, orang bilang talak adalah kewenangan lelaki sehingga lelaki boleh berkata wong lanang wenang. Tetapi jangan lupa, seorang istri seperti Lasi pun bisa minggat. Dan hal itu sudah terbukti, bukan""
Darsa menunduk. Te rlihat gambaran penderitaan pada matanya yang cekung dan tanpa cahaya.
"Jadi apa yang harus saya lakukan sekarang, Yang""
Eyang Mus diam. Tangannya mulai menggulung tembakau, pelan tetapi mekanis. Kemudian terdengar bunyi pemantik api dan cahayanya menerangi wajah lelaki tua itu yang segera terkurung oleh kepulan asap.
"Darsa," ujar Eyang Mus dengan suara dalam.
"Apa, Yang""
"Kukira, hal pertama yang pantas kamu lakukan adalah berani menerima dirimu sendiri, termasuk menerima kenyataan bahwa kamu telah melakukan kesalahan. Tanpa keberanian demikian kamu akan lebih susah."
Darsa mengangguk-angguk dan kelihatan sangat berat mengangkat wajah.
Bekisar Merah Karya Ahmad Tohari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Eyang Mus tersenyum. "Ketika ngulahi Sipah dulu, sudahkah kamu merasa akan ada akibatnya""
"Ya, Eyang Mus. Rasanya saya sendiri sudah bisa menduga apa yang mungkin akan terjadi."
"Nah, dengan demikian purba-wisesa ada pada dirimu. Awalnya kamu sadar akan apa yang kamu lakukan, maka akhirnya kamu harus berani menanggung akibatnya. Terimalah kenyataan ini sebagai sesuatu yang memang harus kamu terima. Kamu tak bisa menghindar. Kamu harus ngundhuh wohing pakarti, harus memetik buah perbuatan sendiri; suatu hal yang niscaya bagi siapa pun."
Darsa menelan ludah. "Eyang Mus," kata Darsa sesudah lama membeku di kursinya.
"Ya"" "Sejak semula saya tidak ingin melakukan kesalahan ini. Sungguh, karena seperti yang sudah saya katakan, saya juga sudah bisa menduga apa akibatnya. Tetapi kesalahan itu benar-benar telah saya lakukan. Eyang Mus, saya bertanya mengapa hal seperti ini bisa terjadi""
"Terjadi""
"Ya. Mengapa orang bisa melakukan sesuatu yang sesungguhnya tidak ingin dilakukannya""
"Maksudmu""
"Maksud saya, apakah memang betul manungsa mung sakdrema nglakoni, manusia sekadar menjalankan apa yang sudah menjadi suratan""
Eyang Mus menegakkan punggung, terkesan oleh pertanyaan Darsa. Diembuskannya asap rokok dan kedua matanya memejam. Sekilas terbersit dalam ingatan Eyang Mus satu bait suluk ajaran seorang wali, Sunan Bonang.
Pan karsa manira iki Sampurnane ing Pangeran Kaliputan salawase Tan ana ing solahira Pan ora darbe sedya Wuta tuli bisu suwung Solah tingkah saking Allah
Menurutku, kesempumaan Tuhan meliputi segalanya. Manusia tak punya tingkah atau maksud. Manusia tuli, bisu, dan hampa. Segala tingkah berasal dari Allah.
Eyang Mus menelan ludah. Kepalanya mengangguk-angguk. Dan setelah lama merenung Eyang Mus merasa apa yang sekejap melintas dalam ingatannya tak mungkin dikemukakannya kepada Darsa. Lelaki muda yang sedang kusut itu bukan orang yang tepat dan takkan sanggup mencerna pikiran Sunan Bonang tentang suatu sisi ajaran sangkan paraning dumadi. Maka Eyang Mus hanya ingin menyampaikan pengertian yang lebih sahaja.
Darsa terbatuk. "Oh, aku belum menjawab pertanyaanmu" Dengarlah anak muda, orang sebenarnya diberi kekuatan oleh Gusti Allah untuk menepis semua hasrat atau dorongan yang sudah diketahui akibat buruknya. Orang juga sudah diberi ati wening, kebeningan hati yang selalu mengajak eling. Ketika kamu melanggar suara kebeningan hatimu sendiri, kamu dibilang orang ora eling, lupa akan kesejatian yang selalu menganjurkan kebaikan bagi dirimu sendiri. Karena lupa akan kebaikan, kamu mendapat kebalikannya, keburukan. Mudah dinalar""
Darsa mengerutkan kening.
"Maksud Eyang Mus, tidak benar manusia mung sakdrema nglakoni"" tanya Darsa dengan sorot mata bersungguh-sungguh. Eyang Mus terkekeh.
"Tadi kamu bilang bahwa kamu sendiri tahu apa yang mungkin akan terjadi sebagai akibat perbuatanmu terhadap Sipah. Kesadaran seperti itu menjadikan kamu mempunyai peluang untuk memilih. Artinya, kamu akan berbuat sesuatu terhadap Sipah atau tidak, kamu bisa memutuskannya sendiri."
Lagi, Darsa mengerutkan kening. Ia merasa tak sanggup mencerna kata-kata Eyang Mus.
"Tetapi jangan terlalu bersedih hati, karena kamu tidak sendiri. Lebih banyak orang yang seperti kamu, melakukan kesalahan yang sesungguhnya tak ingin dilakukan karena kebeningan hati sendiri melarangnya. Sebaliknya, hanya sedikit orang yang setia menuruti suara kesejatian dalam hatinya."
"Jadi sebaiknya apa yang saya lakukan sekarang""
tanya Darsa setelah lama termenung.
Eyang Mus tidak segera menjawab karena sibuk menggulung rokok baru. Sementara itu Mbok Mus keluar membawa dua gelas kopi panas.
"Andaikan aku jadi kamu, aku akan mengambil sikap nrima salah, bersikap taat asas sebagai orang bersalah. Inilah cara yang paling baik untuk mengurangi beban jiwa dan mempermudah penentuan jalan keluar. Bagimu, hal ini berarti menjadikan Lasi sebagai pemegang kata putus atas kelanjutan rumah tanggamu."
Kalimat terakhir yang diucapkan Eyang Mus membuat dada Darsa merasa tprtusuk dan wajahnya tiba-tiba tampak sengsara. Beberapa kali Darsa berdecap sambil menggelengkan kepala untuk mencoba mengelak dari keniscayaan sangat pahit yang sudah menjelang di depan mata.
"Aku juga harus mengawini Sipah meskipun aku tak menghendakinya""
"Ya. Kamu tak mungkin menghindar dari keputusan para pamong desa dan itu juga wohing pakarti, buah perbuatan yang harus kamu petik. Lagi pula, suweng ireng digadhekna, wis kadhung meteng dikapakna. Kamu tahu""
Darsa menggeleng. "Subang keling digadaikan, telanjur bunting mau diapakan. Tahu""
Kini Darsa nyengir pahit, sangat pahit.
"Dan penting kamu pahami, makin sungkan kamu menerima akibat perbuatan sendiri, makin berat beban batin yang akan menindih hati. Jadi andaikan aku jadi kamu, lebih baik semuanya kuterima dengan perasaan ringan dan carilah pertobatan. Mencoba mengelak, meski hanya dalam hati, hanya akan membuat beban menjadi jauh lebih berat dan membuat kamu lebih menderita."
Darsa makin menunduk. Matanya menatap dataran meja. Tetapi pada dataran yang kusam itu Darsa melihat Lasi datang dari sumur hanya berpinjung kain batik. Rambutnya yang basah jatuh di tengkuk, melingkar ke samping, dan terjumbai pada belahan dada. Darsa juga mendengar langkah-langkah Lasi bahkan merasakan bau rambutnya. Tetapi ketika Darsa sadar bahwa kehadiran Lasi hanya sebuah angan-angan, mendadak rasa sakit menyengat jantung dan menyebar ke seluruh tubuh bersama edaran darahnya. Dan tak peduli sedang berada yang di depan Eyang Mus, air mata Darsa jatuh.
"Yang... " "Apa." "Sudah saya bilang, sangat berat bagi saya ditinggal Lasi meskipun saya mengaku salah. Sekarang apa kira-kira usaha saya agar Lasi mau kembali""
Eyang Mus tertawa. "Begitu kok tanya. Gampang sekali; susul Lasi ke Jakarta dan bawa dia pulang."
"Maksud saya, usaha batin. Menyusul Lasi ke Jakarta bagi saya tak mungkin."
"Oh!" Eyang Mus tertawa lagi. Tetapi Darsa tetap menunduk.
"Bila kamu percaya segala kebaikan datang dari Gusti dan yang sulit-sulit datang dari dirimu sendiri, hanya kepada Gusti pula kamu harus meminta pertolongan untuk mendapat jalan keluar. Jadi, lakukan pertobatan lalu berdoa dan berdoa. Bila masih ada jodoh, takkan Lasi lepas dari tanganmu.
Percayalah." Darsa mendesah panjang. Senyumnya muncul dari wajahnya yang kusam. Betapa juga kata-kata terakhir Eyang Mus adalah setitik harapan meski samar dan terasa sangat, sangat jauh.
Seekor burung malam melintas di atas rumah Eyang Mus sambil mencecet ketika Darsa membuka pintu lalu turun ke halaman. Masih di bawah tatapan Eyang Mus, Darsa berhenti dan termangu dalam keremangan sinar gemintang. Darsa tidak merasa pasti ke arah manakah dia akan melangkah. Pulang ke rumah untuk mendapatkan kehampaan yang amat menyakitkan hati atau kembali ke batu datar di tengah Kalirong untuk bersujud" Entahlah. Dan mungkin Darsa tak sepenuhnya sadar ketika langkahnya berbelok ke samping rumah Eyang Mus. Darsa membasuh kaki di kolam yang berdinding batu-batu kali lalu naik ke surau. Dalam surau kecil itulah dulu Darsa menghabiskan setiap malam masa kanak-kanaknya. Kini ia kembali bukan untuk ngaji seperti dulu melainkan untuk mencoba bercakap-cakap dengan kenyataan pahit yang sedang
menghadang hidupnya. Dari bunyi kecipak air, lalu suara pintu terbuka, Eyang Mus mengerti Darsa memasuki suraunya dan mungkin akan tidur di sana. Eyang Mus menggelengkan kepala dan menarik napas dalam untuk keprihatinan bagi seorang lelaki muda yang sedang memikul kesulitan yang sangat berat.
ft** Ketika memutuskan memilih kehidupan para pembuat gula kelapa sebagai ob
jek penulisan skripsinya, Kanjat hanya berpikir masalah praktis. Masyarakat penyadap kelapa adalah dunia yang mengelilinginya. Dunia itu bukan hanya dialami dan dipahaminya melainkan sekaligus juga dihayatinya. Sejak masa kanak-kanak Kanjat hidup di tengah para penyadap itu. Bahkan karena ayahnya, Pak Tir, adalah tengkulak gula, Kanjat akrab dengan hampir semua keluarga penyadap di Karangsoga; akrab dengan keluh kesah atau tawa mereka, akrab dengan mimpi-mimpi dan kegetiran mereka.
Masa kecil Kanjat dinikmati bersama anak-anak para penyadap. Bersama mereka Kanjat sering minum nira langsung dari pongkor. Bersama mereka pula Kanjat selalu bermain berkejaran di bawah pepohonan yang rimbun atau menangkap capung dengan getah nangka. Pada malam terang bulan Karangsoga riuh oleh suara anak-anak penyadap yang mengejar kunang-kunang atau main kucing-kucingan dan sekali pun Kanjat tak pernah terpisah dari mereka. Jadi Kanjat sungguh jujur kepada dirinya sendiri ketika dia mengaku kenal, akrab, bahkan menghayati sepenuhnya kehidupan masyarakat penyadap, dari tangis sampai gelak tawa mereka.
Anehnya, setelah skripsi untuk derajat sarjana teknik pertanian Universitas Jenderal Sudirman, Purwokerto, itu mulai digarap, Kanjat terkejut menghadapi kenyataan yang mengusik jiwanya. Pilihan objek penditian yang jatuh pada kehidupan para penyadap, ternyata, bukan semata-mata masalah praktis.
Rasanya ada kesadaran laten dalam alam bawah sadar yang muncul tak terasa dan menuntut keprihatinan Kanjat. Atau sesungguhnya justru keterpihakan dan keprihatinan terhadap kehidupan masyarakat penyadap itulah yang mengusik alam bawah sadarnya dan kemudian menuntun Kanjat menentukan objek penelitian untuk menyusun skripsinya. Kehidupan para penyadap dalam kenyataannya bukan sekadar kenangan indah masa kanak-kanak bagi Kanjat. Karena pada sisi lain kehidupan masyarakat penyadap juga memberikan pelajaran kepada Kanjat tentang kepahitan dan kegetiran yang ikut membentuk sejarah pribadinya.
Sejak kecil Kanjat tahu teman-teman lelaki dan perempuan sering terpaksa meninggalkan kegembiraan main gasing atau kelereng karena mereka harus membantu orangtua mencari kayu bakar. Karena sebab yang sama tcman-teman bermain Kanjat kebanyakan putus di jalan sebelum tamat sekolah desa. Dan teman-teman yang kemudian yatim karena ayah mereka meninggal setelah jatuh ketika menyadap nira; Kanjat tak bisa melupakan tangis mereka. Atau teman-teman yang emaknya kena musibah karena tangan terperosok ke dalam kawah yang berisi tengguli mendidih; suara tangis mereka masih terngiang dalam telinga. Atau tentang si Cimeng; ayahnya harus masuk penjara selama lima bulan karena kedapatan membawa cabang-rabang kayu pinus yang dipungut di tepi hutan untuk kayu bakar. Padahal barang yang dibawa itu hanyalah sisa curian sekelompok maling yang direstui mandor hutan sendiri. Dan Kanjat akan kehilangin semua teman bermain ketika harga gula jatuh. Teman-teman itu tak punya tenaga buat main kelereng atau kucing-kucingan karena perut tak cukup terisi makanan.
Keprihatinan Kanjat terhadap kehidupan para penyadap adalah sikap yang tumbuh sangat alami. Dan ia makin berkembang setelah Kanjat duduk di SMA. Pada usia itu Kanjat bisa membaca lebih jelas wajah istri-istri penyadap yang setiap hari menjual gula kepada ayahnya. Kanjat mulai menangkap gambaran beban dalam sorot mata mereka ketika mereka berhadapan dengan timbangan gula; ada ketakberdayaan ketika mendengar harga gula jatuh, ada kegembiraan bercampur ketakutan ketika mendengar harga sedikit naik.
Dan gambar penderitaan masyarakat penyadap berubah menjadi angka serta data setelah Kanjat dalam usaha menulis skripsi itu memulai penelitiannya. Apa yang dulu terasakan hanya sebagai gejala kesenjangan yang menindih kehidupan para penyadap, muncul menjadi bukti yang nyata yang bisa dihitung dan dianalisis. Tentang harga gula misalnya; para penderes terbukti menerima jumlah yang sangat tidak proporsional bila dibandingkan dengan harga terakhir
ying dibayar oleh konsumen, terutama di kota-kota besar.
Dalam penelitiannya Kanjat juga menemukan, dengan harga
yang selalu rendah sesungguhnya jerih payah para penyadap tidak punya nilai ekonomis bagi mereka sendiri. Apa yang mereka lakukan hanya layak disebut sebagai usaha terakhir mempertahankan hidup untuk diri sendiri, istri, dan anak-anak mereka. Sedangkan nilai ekonomis dan keuntungan perdagangan gula kelapa hanya dinikmati oleh tengkulak, pedagang besar, bandar di pasar-pasar kota, serta pedagang pengecer.
Keuntungan yang sama juga dipetik oleh industri makanan, obat-obatan, serta barang konsumsi lain yang menjadikan gula kelapa sebagai salah satu bahan dasarnya. Merekalah yang bersama-sama menciptakan mekanisme pasar dan pengaruh mereka terhadap naik-turunnya harga gula sangat besar, atau bahkan mutlak.
Kanjat selalu, selalu tercenung bila menyadari bahwa dengan demikian para penyadap yang hidup sengsara di sekelilingnya terbukti setiap hari memberikan subsidi nyata kepada mereka yang hidup lebih makmur atau sangat makmur. Para penyadap yang meletakkan nyawa di pucuk-pucuk pohon kelapa dan setiap saat terancam jatuh, nyata terbukti punya kontribusi besar untuk kemakmuran orang lain sementara perut sendiri sering kosong.
Mereka, para penyadap, yang terpaksa percaya bahwa kemiskinan adalah suratan sejarah, akhirnya hanya mampu menggantung harapan yang sangat sederhana; hendaknya keringat dan taruhan nyawa mereka bisa menjadi alat tukar untuk sekilo asin, sekilo beras plus garam. Namun harapan minimal ini pun lebih banyak hampa karena lebih sering terjadi harga sekilo gula lebih rendah daripada harga sekilo beras. Kanjat bahkan menemukan bukti, tidak jarang pada suatu masa harga satu kilo gula hanya bisa untuk membeli setengah kilo beras.
Karena penghasilan yang sangat rendah para penyadap mempunyai masalah berat tentang pengadaan kayu bakar, terutama pada musun hujan. Mereka tak mungkin mengurangi pendapatan mereka untuk membeli kayu bakar secara sah. Kalau harus diambil secara gelap dari hutan tutupan meskipun dengan
risiko berurusan dengan mandor kehutanan, bahkan tidak sedikit yang harus merasakan penjara. Dengan kata lain, karena penerimaan yang tidak proporsional itu, para penyadap terpaksa membebankan faktor bahan bakar kepada daya tahan hutan pinus dan jati di sekitar mereka.
Sementara itu dengan perhitungan apa pun Kanjat mengerti bahwa nilai ekonomi gula kelapa, karena faktor biaya produksi dan risiko, sesungguhnya lebih tinggi daripada nilai ekonomi beras. Tetapi justru dari sisi ini Kanjat melihat ketidakadilan yang sangat nyata; apabila gabah mendapat perlindungan harga dengan adanya patokan harga eceran terendah, mengapa gula kelapa tidak" Karena ketiadaan perlindungan ini, tak ada jaminan penerimaan harga gula yang sepadan atau sekadar layak untuk para penyadap.
Dalam penelitiannya Kanjat menemukan, sesungguhnya pernah ada usaha untuk memperbaiki nasib para penyadap dengan pendirian koperasi-koperasi primer gula kelapa di desa seperti Karangsoga. Semua penyadap diminta membayar andil untuk menjadi anggota koperasi itu. Untuk beberapa bulan para penderes mendapat kemudahan memperoleh kain batik, sabun, beras murah, atau minyak tanah. Mereka bahkan mendapat janji mendapat perawatan gratis bila mendapat musibah jatuh dari ketinggian pohon kelapa.
Namun kepercayaan terhadap koperasi hanya bertahan sementara. Semua kemudahan terputus bahkan sebelum impas dengan nilai andil yang diberikan oleh para penyadap. Koperasi gula kelapa berubah wujud, menjadi pengesah bentuk perdagangan monopoli yang makin memberatkan para anggota. Harga gula makin jatuh karena jalur niaga makin panjang; koperasi tak bisa menjual gula yang terkumpul kecuali lewat para tauke yang secara tradisional memang menjadi penampung sekaligus menguasai distribusi dan pemasaran gula kelapa. Apalagi para pengurus koperasi, yang semuanya adalah priyayi-priyayi tingkat kampung, harus mendapat honorarium dan mencari untung. Maka koperasi gula pun ambruk karena tiadanya kepercayaan para anggota. Bahkan sebagai dampaknya, orang Karangsoga kehilangan kepercayaan terhadap segala bentuk yang bernama koperasi.
Semua kenyataan yang ditemukan Kanjat dalam penelit
ian mengangkat laten keprihatinan terhadap kehidupan para penyadap ke permukaan kesadarannya. Keprihatinan, bahkan keterpihakan. Dengan demikian Kanjat sesungguhnya menyadari penyusunan skripsi yang dilakukannya mempunyai kadar
subjektiyitas, setidaknya pada tingkat motivasinya. Mungkin kelak ada orang berkata bahwa skripsi Kanjat lebih bermotif politis daripada ilmiah. Maka, karena merasa ragu suatu kali Kanjat minta pendapat Doktor Jirem, dosen pembimbing sebelum skripsinya diajukan ke depan dewan penguji.
"Lho, saya sudah membaca usulan skripsimu dan saya setuju. Kenapa kamu malah ragu"" tanya Pak Jirem.
"Saya khawatir akan ditertawakan orang."
"Apa"" "Akan ada orang mengatakan keterpihakan yang muncul dalam skripsi saya nanti adalah sikap sok moralis. Sementara saya sadar sikap seperti itu, setidaknya untuk saat ini, dibilang orang tak ada sangkut pautnya dengan dunia ilmiah."
Pak Jirem tertawa sambil menepuk pundak Kanjat.
"Saya malah berpendapat sebaliknya. Keterpihakanmu kepada objek yang sedang kamu garap justru menambah bobot skripsimu. Ah, kamu tahu, saya adalah orang yang tidak percaya bahwa dunia ilmiah harus steril. Saya sudah bosan membaca skripsi-skripsi yang bisu dan mandul terhadap permasalahan nyata yang ada di sekeliling kita. Saya melihat skripsimu punya semangat keprihatinan terhadap masyarakat pinggir yang sekian lama tersisih. Maka kamu harus jalan terus!"
"Apakah nanti tidak akan dikatakan skripsi saya mirip slogan sosial" Bahkan politik""
"Mungkin ya. Tetapi saya bilang jalan terus. Saya akan membelamu sekuat tenaga karena saya senang akan semangat yang ada di otakmu. Keterpihakanmu kepada masyarakat penyadap, saya kira, merupakan manifestasi perasaan utang budi dan terima kasihmu kepada mereka yang telah sekian lama memberikan subsidi kepadamu. Ini bukan sebuah dosa ilmiah. Jat, kamu tahu, sudah terlalu banyak kaum sarjana seperti kita yang telah kehilangan rasa terima kasih kepada 'ibu' yang membesarkan kita. Mungkin karena, ya itu, mereka seperti kamu, takut dibilang sok moralis. Mereka lebih suka memilih hanyut dalam arus kecenderungan pragmatis. Agaknya mereka lupa bahwa dari segi-segi tertentu pragmatisme menjadi benar-benar amoral. Jadi mereka jadi amoral karena takut dibilang moralis.
Maka banyak sarjana seperti kita lupa, atau pura-pura lupa bahwa misalnya, guru yang mendidik mereka dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi digaji oleh masyarakat; bahwa sarana pendidikan yang mereka pakai dari gedung sekolah sampai laboratorium juga dibiayai dengan pajak orang banyak. Mereka lupakan ini semua sehingga status yang mereka peroleh dari kesarjanaan mereka hampir tak punya fungsi sosial. Mereka seakan merasa bahwa status kesarjanaan yang mereka peroleh semata-mata merupakan prestasi pribadi dan karenanya hanya punya fungsi individual.
Jat, dengan demikian amat banyak sarjana seperti kita yang kehilangan keanggunan di mata masyarakat yang telah membesarkan kita. Mereka tak bisa berterima kasih dan membalas budi. Maka jangan heran bila masyarakat telah kehilangan banyak kepercayaan dan harapan atas diri orang-orang seperti kita."
Kanjat menggaruk-garuk kepala.
"Kamu pernah mendengar ungkapan orang bodoh makanan orang pandai""
Kanjat makin menggaruk-garuk kepalanya.
"Asal kamu tahu, ungkapan itu adalah keluhan masyarakat luas yang merasa diri mereka bodoh. Juga asal kamu tahu yang mereka maksud dengan orang
pandai, sedikit atau banyak adalah kaum sarjana seperti kita. Sekarang, andaikan ada orang bilang bahwa banyak sarjana makan 'ibu' mereka sendiri, bagaimana kita harus membantahnya"
"Nah, anak muda," sambung Doktor Jirem, "saya melihat dalam skripsimu semangat yang berlawanan dengan kecenderungan yang saya sebut tadi. Maka saya bilang, jalan terus. Bravo!"
Dan Doktor Jirem sekali lagi menepuk pundak Kanjat.
Boleh jadi Doktor Jirem sendiri tidak begitu peduli dengan tepukan yang dijatuhkan di pundak mahasiswanya itu. Namun lain bagi Kanjat. Tepukan lirih itu punya makna dalam dan melecut semangatnya. Keraguannya hilang. Pergulatan hati sekitar masalah subjektivitas skripsinya tak perlu diperp
anjang. Celakanya pada saat yang sama Kanjat merasa jiwanya tiba-tiba terkepung dari segenap arah oleh rasa malu dan rasa bersalah: Bukankah kehidupan keluarganya termasuk dirinya sejak dulu dibiayai oleh keuntungan perdagangan gula kelapa yang diyakininya tidak adil itu"
Seperti menemukan sebuah granat yang siap meledak, Kanjat terkejut ketika menyadari dirinya sudah sejak semula menjadi bagian dari mereka yang diberi subsidi oleh para penyadap yang hidup miskin itu. Sindiran yang sangat tajam tiba-tiba menusuk jiwanya, menusuk kesadarannya, dan menggoyahkan martabat dirinya yang tak pernah bercita-cita menjalani hidup atas kerugian orang lain, apalagi atas mereka yang menderita.
Kanjat jadi lebih sering mengerutkan kening. Kesadaran bahwa biaya sekolahnya sejak tingkat dasar sampai tingkat tinggi juga berasal dari keuntungan perdagangan gula kelapa, tak mungkin ditepis. Kesadaran itu bahkan melebar ke segala arah. Dalam renungannya Kanjat sering melihat rumus-rumus kimia pada tatar-tatar batang kelapa, atau grafik-grafik pada pelepah nyiur yang digoyang angin. Vespa baru pemberian ayahnya juga sering terlihat sebagai timbangan gula sehingga Kanjat kadang malas mengendarainya.
Timbangan itu! Kanjat sangat menyadari perkakas metrologi yang terbuat dari kuningan itu adalah momok besar bagi para penyadap. Dan siapa yang mengendalikannya dibilang orang sahabat hantu yang suka makan cecek, yakni setrip-setrip batang timbangan. Satu setrip yang termakan adalah satu ons gula yang termanipulasi untuk keuntungan tetap seorang tengkulak. Dan Pak Tir, ayah kandung Kanjat, adalah salah seorang tengkulak itu. Kanjat menelan ludah.
Untuk menguringi tekanan rasa bersalah yang terus menindih hati Kanjat sering termenung sendiri di bawah pohon dalam kompleks kampusnya. Kanjat juga pernah mencoba membagi rasa bersalah dengan sesama mahasiswa: bukankah di antara sekian banyak mahasiswa yang tiap hari muncul di kampus sangat mungkin ada yang sama dengan dirinya" Dia mungkin anak pedagang yang mengambil keuntungan dari kelemahan mitra niaga seperti yang dilakukan Pak Tir, ayahnya sendiri. Atau, boleh jadi dia adalah anak pejabat yang rata-rata punya penghasilan jauh di atas jumlah gaji resmi. Mungkin juga dia adalah anak seorang pemborong bangunan sekolah desa yang ternyata hanya mampu tegak selama tiga tahun karena pemborong itu memanipulasi mutu dan volume bahan bangunan.
Apabila kemungkinan itu mengandung kebenaran, apakah mahasiswa tersebut juga punya rasa bersalah seperti dirinya" Atau sebaliknya: apakah pertanyaan seperti ini hanya pantas keluar dari mulut orang sinting sehingga tak perlu diajukan" Jawabnya sering terdengar sebagai keletak-keletik langkah kaki kuda penarik andong yang biasa lewat dekat kampus: datar dan terasa mengandung rahasia.
Meskipun demikian bagi Kanjat pribadi rasa berutang kepada masyarakat penyadap adalah sebuah kejujuran yang mungkin unik tetapi terus mengepung jiwa. Utang itu makin disadari mengalir sampai ke pembuluh darah yang terhalus dan terus berbisik minta diperhitungkan setidaknya secara moral. Kanjat merasa dirinya selalu diburu.
Pernah, untuk mencoba melawan perasaan itu Kanjat mencari pembenaran pada asas dunia perdagangan; bahwa keuntungan adalah tujuan pokok, maka hal-hal lain menjadi kurang atau tidak penting untuk dipertimbangkan. Dengan demikian sebagai tengkulak gula kelapa ayahnya tidak bisa dipersalahkan dan keuntungan yang didapat adalah sah dan wajar. Ayahnya, Pak Tir, hanyalah
ujung tangan sebuah jaringan yang bukan hanya perkasa, melainkan juga mampu menciptakan ketergantungan yang sangat niscaya sehingga para penyadap sendiri dipaksa membutuhkan mereka. Tanpa jaringan perdagangan yang tidak disukai itu kehidupan para penyadap bahkan akan lebih parah. Namun pembenaran seperti itu malah kian menyiksa Kanjat. Rasa bersalah, meski dia sadari sendiri sebagai naif yang nyata, terus mengurung jiwanya.
Dan ketika berada dalam kepungan tuntutan moral seperti itu Kanjat pulang ke Karangsoga. Anehnya, Kanjat sendiri tidak pasti untuk apa dia pulang. Boleh jadi karena Kanjat memang mempunyai libu
r beberapa hari. Mungkin juga demi uang saku yang sudah menipis atau demi emaknya yang selalu meminta Kanjat, si bungsu, tidak terlalu lama meninggalkannya.
Atau demi meredam kegelisahan yang kian hari terasa kian menekan. Namun sampai di Karangsoga kegelisahannya malah merebak. Begitu menginjak kampung, cerita pertama yang didengarnya adalah ihwal derita seorang istri penyadap, Lasi, yang sudah satu bulan minggat ke Jakarta. Pada awalnya Kanjat tak begitu terkesan oleh kabar seperti itu. Juga oleh cerita tentang kesontoloyoan Darsa yang menyebabkan Lasi kabur. Tetapi setelah mengendap sejenak Kanjat merasa ada sesuatu yang menggeliat dari khazanah masa lalunya.
Oh ya, Lasi! Boleh jadi tak seorang pun tahu bahwa nama itu pernah punya makna khas di hati Kanjat meski anak Pak Tir itu jarang kembali ke Karangsoga. Bahkan bagi Kanjat, nama itu tidak juga hilang setelah Lasi menjadi istri Darsa. Dalam kenangan Kanjat, Lasi adalah anak kelinci putih yang cantik dan dulu sering digoda oleh anak-anak lelaki. Kanjat kecil selalu ingin membelanya meskipun tak pernah berdaya. Lasi juga teman bermain petak umpet waktu malam terang bulan. Kanjat tak pernah lupa, bila hom-pim-pah tangan Lasi paling putih. Ketika harus bersembunyi bersama dalam permainan kucing-kucingan Kanjat kecil suka merapat ke tubuh Lasi yang lebih besar. Bau rambut Lasi tak pernah terlupakan. Dalam setiap permainan Kanjat merasa bahwa Lasi ingin bertindak sebagai kakak. "Jat, aku kan tidak punya adik," demikian sering dikatakannya. Dan Lasi senang mencubit lengan Kanjat yang gemuk.
Setelah masuk SMP Kanjat tidak lagi bermain bersama Lasi. Bahkan jarang bertemu karena Kanjat indekos di kota. Namun pada tiap kesempatan berada di rumah, Kanjat senang menunggu Lasi datang menjual gula emaknya. Kanjat
puas bila sudah mengajak Lasi sekadar bercakap-cakap, atau malu-malu bertukar senyum. Dan lekuk di pipi kiri itu! Mengapa urusan kulit pipi yang sedikit terlipat itu punya daya tarik kuat dan Kanjat amat menyukainya" Apakah karena lesung di pipi Lasi selalu muncul bersama mata yang amat spesifik dan alis yang kuat" Atau karena rambutnya yang lurus dan amat legam" Kanjat tak pernah tahu jawabnya. Kanjat hanya mengerti sejak bocah bahwa Lasi lain. Lasi putih, matanya spesifik, dan lekuk pipinya sangat bagus.
Mungkin Kanjat ingin tetap akrab dengan Lasi ketika anak tengkulak itu mulai menginjak usia remaja. Sayang, Kanjat merasa Lasi mulai menghindarinya. Memang, di Karangsoga tidak ada gadis dan perjaka berani akrab di depan orang banyak. Namun Kanjat percaya bukan masalah itu yang menyebabkan Lasi menjauh. Dan jawaban yang jelas diperoleh Kanjat dari orang ketiga: Lasi malu berakrab-akrab dengan anak orang kaya sementara dia anak orang miskin. Apalagi setelah tamat SMA Kanjat memang lain; bongsor, gagah, terpelajar, dan dimanjakan Emak dengan sebuah sepeda motor. Pokoknya, Kanjat tak pantas lagi diaku sebagai adik oleh Lasi seperti ketika mereka masih kanak-kanak dan suka bermain petak umpet.
Dari luar tampak semua angan manis berakhir setelah Kanjat menjadi mahasiswa. Tetapi bagi Kanjat, Lasi adalah satu-satunya nama yang tetap mewakili kenangan indah masa bermain petak umpet di malam terang bulan. Anehnya, di sisi lain Kanjat merasa nama Lasi juga selalu mengingatkannya akan kehidupan pahit para tetangga d Karangsoga: para penyadap.
Meskipun jarang bertemu Lasi, Kanjat sering membayangkan kesulitan hidup para penyadap pada wajah teman lamanya itu, bahkan pada lesung pipinya. Bagi Kanjat, Lasi adalah selembar daun. Permukaan atasnya adalah kenangan indah masa kanak-kanak dan lesung pipi yang amat enak dipandang, permukaan sebaliknya adalah kehidupan pahit masyarakat penyadap. Keduanya sama-sama sering mengusik jiwa.
Tetapi sang daun lambang dunia penyadap itu tiba-tiba lenyap. Kanjat merasa ada sesuatu yang mendadak tanggal dan bergerak menjauh. Sesuatu yang selalu ingin sekadar dilihat bila Kanjat pulang libur, kini tak ada lagi di Karangsoga. Sekadar dilihat karena Kanjat tidak bisa berbuat apa-apa buat Lasi sebagai pribadi maupun sebagai wakil dunia pahit yang diwakil
inya. Karena ingin mengetahui lebih jelas berita tentang Lasi, Kanjat mendekati Pardi yang sedang mengutak-atik mesin truk di halaman.
"Ah, Juragan Muda, kapan pulang"" sambut Pardi.
"Tadi pagi. Ada yang rusak""
"Tidak. Hanya saringan udara yang perlu dibersihkan. Saya bisa menanganinya sendiri."
"Selesaikan pekerjaanmu, nanti temui aku dekat kolam ikan belakang rumah."
"Wah, mau memberi hadiah kok pakai mencari tempat sepi."
"Hus!" "Penting""
"Kok nyinyir""
Pardi pergi ke sumur untuk membersihkan tangan lalu berjalan melingkar ke belakang rumah. Kanjat sedang memberi makan ikan gurami dengan daun-daun keladi. Dan tanpa menghentikan tangannya, bahkan tanpa menoleh, pertanyaan pertamanya meluncur ringan.
"Kudengar Lasi ikut kamu ke Jakarta. Sudah berapa lama""
Pardi tertegun, karena sama sekali tidak menyangka akan ditanyai soal Lasi oleh anak majikan. Tangannya tergagap mencari rokok dalam saku, menyalakannya, dan kepulan asap segera mengepung kepalanya.
"Kira-kira satu bulan, Mas."
"Tahu keadaannya sekarang""
"Saya kan baru pulang kemarin malam dari Jakarta. Setelah membongkar muatan saya memang sengaja menemui Lasi untuk... "
"Nanti dulu! Di mana Lasi tinggal" Bersama siapa""
"Mas Kanjat pernah ikut saya mengirim gula ke Jakarta, bukan""
"Ya." "Mas Kanjat ingat pernah saya ajak mampir makan di warung nasi Bu Koneng di daerah Klender""
"Ya. Dan Lasi di sana" Lasi kamu taruh di tempat seperti itu"" tanya Kanjat dengan tekanan tinggi. Matanya serius.
"Kemauan Lasi sendiri, Mas. Saya dan Sapon sudah berusaha keras, bahkan memaksa Lasi ikut kembali pada hari yang sama kami datang di Jakarta. Tetapi Lasi bertahan. Malah kemarin saya pun menemuinya lagi untuk membujuk Lasi putang. Mas Kanjat, dia bilang tak ingin kembali."
"Apa karena tahu suaminya sudah mengawaini Sipah""
"Saya kira bukan. Lasi belum tahu dirinya dimadu. Kemarin saya ingin mengatakannya tetapi tak tega."
Kanjat diam. Tangannya meremas daun keladi yang masih tersisa dalam genggaman. Pandangannya jatuh ke permukaan kolam tetapi Kanjat tidak melihat ikan-ikan yang ramai berebut makanan. Jongkok menghadap kolam. Dan Kanjat tidak tahu perlahan-lahan Pardi menyingkir karena merasa anak majikannya tiba-tiba seperti terputus lidahnya. Pardi mengangkat pundak dan berlalu. Kanjat tetap memandang air kolam meskipun angannya terbang kembali ke masa kanak-kanak ketika bersama Lasi berlarian menyeberang titian pada malam musim kemarau yang berhias bulan.
*** Sebuah Chevrolet berhenti di halaman warung nasi Bu Koneng. Bu Lanting turun, berjalan seperti bebek manila karena kelewat gemuk. Si Kacamata, sopir atau pacar Bu Lanting, menyusul di belakang. Bila Bu Lanting mungkin berusia di atas lima puluh, si Kacamata yang tak pernah melepas kacamata hitamnya mungkin dua puluh tahun lebih muda. Pasangan ini sering muncul di warung Bu Koneng dan kelihatan sangat akrab dengan pemiliknya.
"Maaf, aku baru bisa datang sekarang," ujar Bu Lanting ketika melihat Bu Koneng muncul di pintu.
"Wah, sudah beberapa hari aku menunggu. Kukira kamu sudah tidak mau mendapat untung besar."
Mereka masuk ke ruang dalam. Si Kacamata menyambar bir dan minta gelas dengan es dan duduk di samping Bu Lanting. Si Betis Kering melayani pesanan Si Kacamata.
"Yang ini istimewa," kata Bu Koneng setelah menoleh kiri-kanan. "Kamu akan dapat untung besar. Tetapi kamu pun harus berjanji memberi bagian kepadaku dalam jumlah besar pula."
"Koneng, nanti dulu. Aku kamu minta datang kemari karena katamu, kamu punya barang. Katakan dulu barangmu; lampu antik, besi kuning, keris langka, atau... "
Bu Koneng tertawa latah. Dia lupa bahwa niaga Bu Lanting memang banyak, dari segala macam benda antik, batu berharga sampai keris dan jejimatan. Dan perempuan muda. Terakhir Bu Lanting giat menjalankan niaga istimewa untuk melayani pasar istimewa yang sangat terbatas di kalangan tinggi. Orang bilang pasar itu diilhami oleh masuknya seorang gadis geisha ke istana negara pada awal dasawarsa 60-an dan kemudian bahkan menjadi ibu negara beberapa tahun kemudian.
Kecantikan gadis Jepang itu, yang sering muncul mendampingi Pemimpin Bes
ar dengan kain kebaya gaya Jawa, konon mampu membikin oleng hati banyak orang. Dan karena Pemimpin Besar adalah patron, dari kalangan yang sangat terbatas pula muncul beberapa pemimpin kecil mengikuti langkahnya, mencari istri baru dari Jepang atau yang mirip dengan itu, Cina. Apabila mereka tidak berhasil menjadikan gadis-gadis Jepang itu istri sah, apa salahnya sekadar gundik. Yang penting, meniru langkah Pemimpin Besar dijamin tidak mungkin keluar dari rel revolusi, suatu ungkapan dan slogan politis yang sangat dipopulerkan oleh Pemimpin Besar sendiri.
Bagi pemimpin yang lebih kecil lagi memperoleh seorang gadis Jepang bukan hal yang mudah. Namun hasrat untuk mengikuti langkah Pemimpin Besar sebagai bagian dari semangat revolusi yang jor-joran, habis-habisan, tidak bisa surut. Maka apabila pemimpin yang lebih kecil lagi merasa tak mungkin memperoleh gadis Jepang asli, apa salahnya mencari yang setengah asli. Dan mereka bukan tidak tahu bahwa banyak tentara Jepang meninggalkan keturunan di beberapa daerah, misalnya di Kuningan, Jawa Barat.
Maka pencarian gadis-gadis peninggalan tentara Jepang, dalam beberapa kasus tak peduli dia sudah bersuami, pun dimulai. Bidang usaha bagi para calo bertambah. Apabila sebelumnya mereka menjelajah pelosok daerah untuk mencari lampu kuno, jimat-jimat untuk menciptakan rasa aman bagi pejabat, politisi, atau tokoh masyarakat, kini mereka juga mencari gadis-gadis tinggalan tentara Nippon. Dan Bu Lanting adalah salah satu mata rantai niaga gadis semacam itu dan sudah beberapa kali berhasil memenuhi permintaan pasar.
"Ayahnya Jepang asli. Bukan Cina seperti yang kamu pernah kena tipu," sambung Bu Koneng.
"Oh, jadi barang yang kamu maksud seorang gadis keturunan Jepang""
"Jangan keras-keras. Dia di dapur. Memang bukan gadis lagi. Tetapi kamu akan lihat sendiri. Dipoles sedikit saja dia akan tampak seperti gadis Jepang yang sebenarnya. Nah, tunggu sebentar, akan kusuruh dia membawa teh untuk kamu berdua."
Bu Koneng bangkit dan menghilang di balik gorden pintu. Terdengar dia menyuruh Lasi menyiapkan minuman dan makanan kecil dan kembali ke meja tamu.
"Sengaja aku belum apa-apakan dia. Sebab aku tidak perlu menyembunyikan sesuatu. Nanti kamu akan percaya betapa repot aku menolak laki-laki yang mau
jajan dan menghendaki rambon Jepang itu. Mereka baru surut bila kukatakan bahwa dia bukan orang jajanan. Dia kuakui sebagai sepupuku dan punya suami seorang tentara."
Mungkin Bu Koneng masih ingin bicara lebih banyak. Tetapi Lasi muncul membawa nampan berisi tiga gelas teh dan piring berisi kue-kue. Bu Lanting memperhatikan Lasi dengan cara yang tidak kentara. Tetapi si Kacamata malah melepas kacamatanya, suatu hal yang jarang ia lakukan. Bu Koneng tersenyum karena melihat mata Bu Lanting berbinar.
Selesai meletakkan gelas dan piring, Lasi membalikkan badan. Tetapi Bu Lanting menghentikannya.
"Nanti dulu, Neng. Siapa namamu""
"Lasi, Bu, Lasiyah," jawab Lasi malu-malu. Senyumnya, meski sedikit canggung, menampilkan ciri khasnya, lekuk manis di pipi kiri. Mata Bu Lanting tambah berbinar.
"Kamu senang tinggal di sini""
Lasi tersenyum lagi. Pertanyaan Bu Lanting sulit dijawab. Tetapi Lasi tidak bisa lain kecuali berbasa-basi mengiyakannya.
"Betul. Kamu harus senang tinggal di kota. Secantik kamu tak pantas bergelut dengan lumpur sawah di desa. Pokoknya segala yang terbaik akan atau harus terkumpul di kota."
Dan Bu Lanting tersenyum dengan mimik seorang ibu kandung. Lasi pun tersenyum dengan lekuk pipi makin jelas. Si Kacamata nyengir sehingga giginya
yang kuning kehitaman terbuka lebar.
"Boleh juga," ujar Bu Lanting setengah berbisik setelah Lasi berlalu. "Hebat juga kamu. Di mana kamu menemukannya""
"Untuk mendapat seorang seperti dia, kamu pasti harus mengerahkan puluhan calo dan menunggu berbulan-bulan sebelum berhasil. Atau malah gagal. Tetapi aku mujur. Aku tidak mencarinya ke mana pun karena dia sendiri datang kepadaku," jawab Bu Koneng dengan senyum penuh kebanggaan. Kemudian segala cerita tentang Lasi meluncur lancar. Bu Lanting hanya mengangguk-angguk. Kegembiraan hati karena menemukan mata dagan
gan bagus disembunyikannya baik-baik. Perempuan gemuk itu khawatir antusias yang muncul ke permukaan bisa membuat Bu Koneng jual mahal.
"Ya. Lasi kini menjadi urusanku," kata Bu Lanting sambil membuka tas tangannya. "Tetapi aku titip dia di sini dulu sampai aku siap. Ini uang untuk kamu."
"Nanti dulu. Kali ini aku tak perlu uang."
"Tak perlu""
Bu Koneng tersenyum penuh percaya diri. "Coba lihat cincinmu. Nah, itu aku suka."
"Kamu jangan bertingkah."
"Aku tidak main-main."
Bu Lanting tertegun. Kemudian dipandangnya cincin berlian di jari manisnya. "Koneng menghendaki cincin yang sangat mahal ini""
"Berikanlah," tiba-tiba si Kacamata memberi perintah. Bu Lanting menegakkan kepala dan menatap si Kacamata. Tatapan protes. Anehnya Bu Lanting menurut. Cincin itu dilepas dan dengan gerak yang berat diulurkannya kepada Bu Koneng. Cahaya kemilau membersit dari mata cincin itu ketika Bu Koneng memasukkannya ke jari manisnya sendiri. Senyumnya merekah.
Bu Koneng mendekati Lasi di dapur setelah kedua tamunya pergi. Dipamerkannya cincin baru yang melingkar di jarinya. Wajahnya meriah seperti gadis kecil mendapat sepatu baru.
"Las, lihat ini. Bagus, ya""
"Bagus sekali. Di kampung saya hanya istri lurah atau istri Pak Tir yang bisa punya cincin seperti itu." Lasi memandang dengan kagum. "Berapa harganya,
Bu"" "Kukira bisa ratusan ribu. Mungkin malah jutaan. Tetapi aku tidak membeli kok, Las. Bu Lanting memberikan ini kepadaku sebagai hadiah. Dia memang kaya dan baik."
Mata Lasi membulat. "Ibu yang tadi""
"Ya." "Dia juga mau menyapa saya ya, Bu" Tentu dia baik""
"Memang. Maka aku percaya besok atau lusa kamu pun akan mendapat hadiah dari dia. Atau mengajakmu jalan-jalan. Kukira, bagi Bu Lanting harta tak begitu penting. Keempat anaknya sudah mapan."
"Laki-laki di samping tadi anaknya juga""
"Hus. Itu suaminya."
Lasi kaget. Rasa menyesal tergambar jelas pada wajahnya.
"Bu Lanting memang begitu. Dia selalu mendapat suami yang pantas jadi anaknya. Hebat ya, Las""
"Selalu"" "Ya. Bu Lanting memang sering ganti suami atau gandengan atau semacam itu dan selalu mendapat lelaki muda."
Lasi tersenyum. Dan terus tersenyum meski ia tahu induk semangnya sudah masuk ke kamar pribadinya.
Keesokan harinya pasangan Lanting dan si Kacamata muncul lagi di warung Bu Koneng. Selain menjinjing tas tangan kali ini Bu Lanting mengepit bungkusan di ketiaknya. Si Kacamata berjalan di belakangnya sambil mengunyah makanan.
Tangan kanannya memegang sebuah majalah. Mereka masuk tanpa menunggu si empunya warung keluar. Si Kacamata menyambar bir dan minta gelas dengan es. Bila kemarin si Betis Kering, kini si Anting Besar yang melayaninya. Mereka langsung duduk di ruang tengah dan berseru memanggil Bu Koneng. Yang dipanggil, masih di tempat tidur, langsung bangkit karena sangat mengenal si empunya suara.
"Sesiang ini masih ngorok""
"Maaf, tadi malam ngobrol sampai larut bersama Lasi. Kamu juga salah, pagi-pagi sudah datang. Tak tahu warungku memang buka malam" Maka jangan datang kemari terlalu pagi."
"Pagi" Dasar pemalas. Jam sepuluh masih kau bilang pagi" Pantas, warung ini tak maju-maju karena pemiliknya doyan ngorok. Ah, sudahlah. Mana Lasi""
"Pasti ada. Mau ke mana, karena dia tak pernah berani keluar seorang diri."
"Baguslah. Nah, aku ingin melihat Lasi tidak pakai kain kebaya. Cobalah suruh dia memakai baju ini."
Bu Koneng mengambil bungkusan yang disodorkan Bu Lanting dan membukanya. Isinya ternyata bukan hanya baju melainkan juga pakaian-pakaian dalam. Semuanya dari mutu yang bagus.
"Karena terlalu bagus, jangan-jangan Lasi malah tak mau memakainya."
"Ah, jangan terlalu merendahkan Lasi. Meski datang dari kampung, Lasi sama seperti kita, perempuan. Pernah mendengar perempuan menampik pakaian
bagus"" Lasi sedang mencuci perabotan dapur ketika Bu Koneng memanggilnya masuk. Cepat dikeringkannya kedua tangannya lalu bergegas memenuhi panggilan induk semangnya itu.
"Nah, benar, kan, Las, Bu Lanting memang baik" Kini giliran kamu mendapat hadiah. Cobalah pakai baju ini."
Sejenak Lasi terpana menatap baju yang disodorkan Bu Koneng.
"Bu, saya tak biasa memakai baju se
perti itu. Saya biasa pakai kain kebaya."
"Bila kamu tinggal di kampung, kamu memang pantas pakai kain kebaya. Tetapi, Las, di sini Jakarta. Lihat sekelilingmu. Tak ada perempuan semuda kamu pakai kain kebaya, bukan""
Lasi kelihatan ragu. Tetapi matanya berbinar ketika sekali lagi dia menatap baju bagus itu. Ragu-ragu. Dan akhirnya tangan Lasi bergerak.
"Sudahlah, jangan banyak pertimbangan. Sana, masuk dan ganti kain kebaya lusuh itu."
Lasi menurut dan tertawa ringan. Bu Koneng tersenyum. Dalam hati Bu Koneng memuji Bu Lanting; pernah kamu lihat perempuan menampik pakaian bagus" Tetapi dalam kamarnya yang sempit Lasi berdiri termangu. Baju baru yang hendak dipakainya masih terlipat di tangan. Lasi ragu karena mendadak teringat Emak pernah mengatakan, tak ada pemberian yang tidak menuntut imbalan. Ya. Lasi masih ingat betul emaknya beberapa kali menekankan, tak ada pemberian tanpa menuntut imbalan. Bahkan Emak waktu itu bilang, dia sendiri merasa berhak menuntut imbalan kepatuhan Lasi karena dia telah
melahirkan dan menyusuinya.
Lasi sering menjumpai kebenaran ucapan Emak bahwa memang tak ada pemberian cuma-cuma. Dulu, Lasi tiap hari menerima uang dari Pak Tir karena tiap hari pula Lasi menyerahkan gula kepada tengkulak itu. Tak pernah terbayangkan Pak Tir mau memberikan uang kepadanya tanpa imbalan gula secukupnya. Lasi juga sering menerima sayur bening atau lodeh dari tetangga dan untuk itu pada lain waktu Lasi akan berbuat sebaliknya sebagai imbalan. Dan kata Eyang Mus, "Hanya pemberian Gusti Allah yang sepenuhnya cuma-cuma karena Gusti Allah alkiyamu binafsihi, tak memerlukan apa pun dari luar diri-Nya, bahkan puji-pujian dan pengakuan manusia sekalipun."
Lasi bertambah ragu. Dia percaya apa yang Emak bilang. Tetapi di tangannya kini ada baju pemberian Bu Lanting yang baru dikenalnya. Untuk kebaikan Bu Koneng yang telah memberinya tempat berteduh, Lasi sudah memberikan tenaga sebagai imbalan. Tetapi untuk orang yang telah memberinya baju yang kini ada di tangan, apa yang akan diserahkannya"
Tiba-tiba pintu terbuka, Bu Koneng masuk. Dan heran ketika mendapati Lasi berdiri beku dan belum berganti pakaian.
"Oh, kamu tidak bisa memakainya" Mari kubantu," ujarnya penuh semangat.
Lasi tergagap, tetapi menurut. Bu Koneng menggelengkan kepala, kagum ketika melihat dari balik kain kebaya yang usang muncul tubuh Lasi yang membuatnya iri. Kemudaannya memancar sangat mengesankan. Kulitnya yang putih makin putih setelah punggung Lasi sejenak terbuka. Rambutnya terlihat makin pekat karena tersaing oleh warna kulit yang begitu terang. Bagaimana nanti bila rambut itu sudah terkena shampoo" Bagaimana nanti bila Lasi sudah rajin menyikat gigi dan memakai cat bibir"
'Wah, pantas betul. Dasar baju bagus," ujar Bu Koneng. "Las, ayo keluar, biar Bu Lanting tahu bagaimana kamu sekarang."
Dibimbing Bu Koneng, Lasi melangkah keluar dengan canggung. Dan makin canggung setelah Lasi berada dalam jarak tatap Bu Lanting dan si Kacamata.
"Rasanya, rasanya, rok ini terlalu pendek," kata Lasi terbata dan salah tingkah.
"Ah, siapa bilang. Lagi pula betismu bagus, tak perlu ditutup-tutupi."
Bu Lanting tersenyum. Matanya menyapu sekujur tubuh Lasi. Sambil menyuruh Lasi duduk, Bu Lanting malah bangkit. Meminta sisir kepada Bu Koneng, perempuan tambun itu kemudian berdiri di belakang Lasi. Tangannya bergerak mengurai rambut Lasi yang tersanggul lalu menyisirnya pelan-pelan. Lasi kikuk tetapi senang karena merasa diakrabi demikian rupa, bahkan dimanjakan. Lasi menyukai bau parfum yang dipakai Bu Lanting.
"Las," kata Bu Lanting yang terus menyisir rambut Lasi.
"Ya, Bu." "Koneng bilang, kamu lari ke sini untuk mencari ketenangan hati, bukan""
"Ya." "Apa kamu bisa tenang tinggal di warung yang penuh orang" Apa kamu senang tinggal bersama perempuan-perempuan jajanan" Lho, salah-salah kamu disangka orang sama seperti mereka."
Lasi diam, hanya menelan ludah dan menunduk.
"Las." "Ya, Bu." "Sebaiknya kamu tidak tinggal di sini. Kamu boleh ikut aku. Rumahku cukup besar dan ada kamar kosong. Bagaimana""
Lasi termenung. Tiba-tiba Lasi teringat pada rumahnya sendiri
di Karangsoga. Telinganya mendengar gelegak nira mendidih. Hidungnya mencium wangi tengguli yang hampir kental. Bayangan Darsa berkelebat. Jantung Lasi berdetak keras. Rasa marah dan muak menyesakkan dada. Dalam rongga matanya, Lasi melihat Mbok Wiryaji, emaknya, memanggil pulang. Mata Lasi basah. Lasi terisak. Bingung. Tinggal di warung Bu Koneng memang risi, kadang gerah. Pokoknya tidak enak tinggal seatap dengan si Anting Besar dan si Betis Kering. Mereka memajang diri di warung Bu Koneng lalu berangkat bersama lelaki yang membelinya. Malah Lasi mengerti, kadang-kadang mereka melayani lelaki di kamar belakang. Tetapi untuk menerima tawaran Bu Lanting, Lasi ragu. Lasi belum tahu siapa perempuan yang kini sedang menyisiri rambutnya itu.
"Lho, kok malah menangis. Aku tidak memaksa kamu, Las. Kalau kamu suka tinggal di kamar sempit dan sumpek di sini, ya terserah."
"Bukan begitu, Bu."
"Lalu"" "Bagaimana nanti dengan Bu Koneng" Apa dia tidak keberatan" Nanti siapa yang membantunya masak dan cuci piring""
"Aku" Jangan repot memikirkan aku. Bila kamu senang ikut Bu Lanting, ikutlah. Aku bisa cari orang lain untuk membantuku. Atau begini, Las. Kamu memang pantas ikut Bu Lanting. Percayalah. Kamu tidak layak tinggal di tempat ini. Kamu ingat ketika ada lelaki mau nakal kepadamu, bukan""
Lasi mengangguk. "Nah. Jadi terimalah tawaran Bu Lanting. Kamu akan senang tinggal bersama dia."
Lasi masih terdiam. "Lho, bagaimana""
"Bu Koneng, bila esok atau lusa Pardi datang kemari, bagaimana""
"Itu gampang. Akan kukatakan kamu ikut Bu Lanting. Bila Pardi meminta, dia akan kuantar menemuimu. Itu gampang sekali."
Lasi menyeka air mata dengan punggung tangannya. Rambutnya selesai disisir dan tidak disanggul kembali. Rambut itu dilipat dua oleh Bu Lanting lalu diikat model ekor kuda. Bu Lanting tersenyum puas, tak peduli Lasi sendiri masih sibuk dengan air matanya.
"Nah, benar. Kamu memang cantik. Kamu akan dibilang orang mirip Haruko, eh, Haruko siapa"" kata Bu Lanting sambil menoleh kepada si Kacamata.
"Haruko Wanibuchi," jawab si Kacamata.
"Ya, betul, Haruko Wanibuchi. Hanya sayang, gigimu tak gingsul. Nah, kalau sudah cantik demikian, kamu masih mau tinggal di warung ini apa mau ikut aku""
Sekali lagi Lasi tercenung. Ia ingin menggelengkan kepala tetapi tiba-tiba Lasi sadar dirinya sudah mengenakan baju bagus pemberian Bu Lanting. Karena alam pikirannya yang sahaja, Lasi merasa wajib memberi sesuatu karena dia telah menerima sesuatu. Dan sesuatu itu setidaknya berupa kesediaan menerima tawaran Bu Lanting.
"Las, aku ingin jawabanmu, lho."
"Ya, Bu. Saya mau ikut. Saya bisa cuci piring."
"Jangan pikirkan itu. Aku tahu yang kamu perlukan adalah ketenangan untuk melupakan sakit hati karena dikhianati suami. Pokoknya kamu ikut aku dan istirahatlah di rumahku. Tempat ini tidak baik buat kamu. Itu saja."
Bekisar Merah Karya Ahmad Tohari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya, Bu." Dan air mata Lasi kembali meleleh.
*** Bu Lanting tidak bohong ketika dia bilang bahwa rumahnya besar. Juga tidak bohong tentang sebuah kamar kosong yang tersedia bagi Lasi. Kamar itu ada dan pada hari-hari pertama Lasi ikut menjadi penghuni rumah besar itu kecanggungan hampir membuatnya memutuskan kembali ke warung Bu Koneng. Kamar besar dan terang dengan dipan kayu jati dan kasur tebal membuat Lasi merasa sangat asing. Apalagi ada lemari, ada meja rias yang merupakan perabot yang buat kali pertama disediakan untuk dirinya.
Pada malam-malam pertama menghuni kamar itu Lasi tak bisa tidur. Ia teringat biliknya di kampung dengan balai-balai bambu, berpelupuh, beralas tikar pandan. Pelupuh bambu dan tikar telah begitu akrab dengan kulitnya sehingga kasur busa, meski sangat empuk, terasa kurang nyaman. Panas. Keterasingan juga sangat menggelisahkan Lasi. Dia merasa terdampar ke suatu dunia lain.
Karena sulit memejamkan mata seorang diri di tengah malam Lasi sering merenung dan bertanya tentang lakon yang sedang dialaminya. Mengapa Karangsoga, tanah kelahirannya, sejak Lasi masih bocah tak pernah ramah kepadanya" Apa kesalahannya sehingga rumah tangganya tiba-tiba berubah menjadi sepanas tungku dan Lasi tak mungkin bisa bertahan" Mengapa di
a kini tinggal dalam sebuah rumah gedung bersama seorang yang bukan sanak, bukan pula saudara. Dan apa yang akan dilakukan selanjutnya di tempat yang asing ini"
"Nah, apa kubilang. Kamu sangat cantik, bukan" Kamu bukan anak kampung lagi. Dasar ayahmu Jepang, nah, kamu sekarang kelihatan aslinya, gadis Jepang yang cantik," kata Bu Lanting.
Lasi tertawa ringan. Matanya berkaca-kaca. Hatinya melambung, seperti dalam mimpi.
"Las." "Ya, Bu." "Enak lho, jadi orang cantik."
"Enak bagaimana, Bu""
"Dengan modal kecantikan, perempuan muda seperti kamu bisa memperoleh apa saja."
"Saya tidak mengerti, Bu. Dan apa betul saya cantik""
"Lho, lihat sendiri potret itu. Sekarang kamu jauh lebih pantas dibilang gadis Jepang daripada gadis... eh, mana kampungmu""
"Karangsoga, Bu."
"Ya. Karangsoga. Dan sekarang aku mau tanya kepadamu, Las, bila kamu sudah begini, apakah kamu tak menyesal pernah menjadi istri seorang penyadap" Mending penyadap yang setia; suamimu malah berkhianat dan menyakitimu, bukan""
Lasi mengangkat muka sejenak lalu menunduk. Senyumnya kaku, bahkan kemudian Lasi mendesah panjang.
"Las, maksudku begini. Karena masih muda dan menarik, bagaimana bila suatu
saat kelak ada lelaki menginginkan kamu" Atau, apakah kamu masih ingin kembali kepada suamimu""
Lasi cepat menggeleng. Dan air matanya cepat mengambang.
"Kamu betul. Buat apa kembali kepada suami yang brengsek. Kalau kamu tak ingin kembali, namanya kamu bisa menyayangi dirimu sendiri. Dan percayalah, kamu akan cepat mendapat suami baru. Siapa tahu suami yang baru nanti adalah lelaki kaya. Tidak aneh, Las, soalnya kamu layak punya suami berduit."
"Tetapi, Bu, saya tidak memikirkin masalah suami... "
"Ya, aku mengerti, mungkin hatimu masih gonjang-ganjing. Maksudku, entah kapan nanti kamu toh membutuhkan seorang pendamping. Iya, kan" Dan aku percaya, pendampingmu nanti bukan seorang penyadap. Kamu sudah menjadi terlalu cantik bagi setiap lelaki Karangsoga."
"Apa iya, Bu""
"Betul." Lasi sering tak percaya mengapa dirinya bisa kelihatan sangat berbeda. Bahkan dalam keadaan tanpa rias pun Lasi merasa dirinya sudah berubah. Mungkin karena sudah lebih dari dua bulan kulitnya tak terjerang api tungku pengolah nira. Jemarinya lembut karena tak lagi memegang-megang kapak pembelah kayu api. Selalu memakai alas kaki. Dan Bu Lanting sudah mengajarinya duduk di depan kaca rias sambil memoles-moles segala cairan dan bedak kecantikan. Bibirnya kadang menyala dengan warna merah.
Bayang Bayang Maut 3 Wiro Sableng 092 Asmara Darah Tua Gila Anting Mustika Ratu 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama