Duka Lara Karya Bois Bagian 2
98 Kini pemuda itu menatap kekasihnya dengan penuh kebanggaan, saat itu dia menduga kepedulian Lara pada alam merupakan cerminan hatinya yang luhur. "Sayang... aku sangat mencintaimu," ucapnya seraya mencium gadis itu dengan penuh kasih sayang.
Pada saat itu Lara merasakan ciuman itu lain dari biasanya, sebuah ciuman yang didasari oleh perasaan cinta yang sangat mendalam. Sungguh terasa hangat dan menggetarkan kalbu, juga begitu membahagiakan bagai melayang di atas hamparan bunga warna-warni yang senantiasa harum semerbak.
Sepulang dari tempat itu, Lara masih saja terbayang dengan ciuman yang tak kan pernah dilupakannya. Bahkan ketika mau tidur, gadis itu pun masih terus membayangkannya. Maklumlah, setiap kali dia teringat dengan ciuman itu, maka setiap kali itu pula dia merasakan hatinya terasa begitu berbunga-bunga. Rupanya saat ini dia benar-benar sudah terjerat oleh tali-tali asmara yang membawanya menuju kebahagiaan semu, yang mana jika jerat itu
99 putus maka kebahagiaan itu bisa berbalik menjadi sangat menyakitkan.
Esok paginya, seusai sarapan nasi gudeg yang lezat, Lara dan bibinya langsung pergi ke pasar. Sementara itu di teras, Bobby tampak asyik berbincang-bincang dengan sang Paman yang mempunyai hobi memelihara burung perkutut dan ikan hias. Lama juga mereka berbincang-bincang, hingga akhirnya Bobby bisa lebih memahami kedua hal itu.
Puas membicarakan tentang hobi, mereka lantas mengganti topik yang agak lebih berat, yaitu mengenai politik dan agama. Dalam perbincangan itu, Bobby banyak sekali mendapat masukan yang sangat berharga. Saat itu, sang Paman pun terlihat senang lantaran mengetahui lawan bicaranya sangat berminat.
100 "Nak, Bobby. Tunggu sebentar ya! Paman punya sesuatu untukmu," kata sang Paman seraya melangkah ke kamar.
Tak lama kemudian, sang Paman sudah kembali dengan membawa sebuah benda bulat sebesar bola kasti yang terbuat dari kuningan. "Ini, Nak. Terimalah!"
Bobby segera menanggapi benda itu dan memperhatikannya dengan penuh seksama. Di sekeliling permukaan benda itu terdapat lubang-lubang yang berdiameter kurang lebih 5 inci.
"Mmm... benda apa ini, Paman"" tanyanya kemudian.
"Itu adalah bola teka-teki. Coba kau perhatikan lubang-lubang yang ada di sekelilingnya!"
Bobby pun kembali memperhatikan lubang-lubang
itu. "Sekarang, coba kau tiup lubang yang mana saja!"
Bobby lantas menurut dengan meniup sebuah lubang, dan disaat yang sama terdengarlah bunyi sebuah nada.
101 "Sekarang, coba kau tiup dan sedot lubang yang di sebelahnya."
Lagi-lagi Bobby menurut dengan meniup lubang yang dimaksud, namun kali ini bunyinya berbeda dengan nada yang tadi. Bobby pun mencoba menyedot lubang yang sama, dan ternyata bunyinya berbeda lagi dengan kedua nada yang didengarnya barusan.
"Nah, Nak Bobby... aku rasa sekarang kau sudah mengerti kalau setiap lubang itu mempunyai nada yang berbeda-beda. Dan jika kau bisa meniup dan menyedotnya sesuai dengan urutan yang benar, maka kau akan mendapatkan sebuah irama yang sangat indah dan sekaligus membuat benda itu bisa terbelah dua.
Dan kata orang yang dulu memberikannya kepadaku, di dalamnya terdapat pesan yang bisa membuat hidup ini menjadi lebih berarti. Benda ini sengaja kuberikan padamu karena aku sudah putus asa menemukan urutan nada yang benar."
102 "Tapi, Paman. Apakah aku bisa menemukan urutan nada yang benar itu""
"Mungkin saja. Karena ketika kita berbincang-bincang tad
i, aku bisa menduga kalau kau ini mempunyai perasaan yang peka dan juga kemampuan menganalisa yang cukup baik. Karenanyalah aku merasa benda ini memang pantas diberikan padamu."
"Kalau begitu terima kasih, Paman. Dan aku akan berusaha keras untuk bisa membukanya."
Ketika mereka akan melanjutkan perbincangan, Lara dan bibinya sudah kembali. Pada saat itu sang Paman langsung mengajak istrinya ke dalam untuk membicarakan sesuatu yang penting. Sementara itu, Bobby dan Lara tampak berbincang-bincang mengenai rencana mereka hari ini.
"Baiklah, usai makan siang nanti kita pergi membuat kerajinan perak," kata Lara menyetujui usul Bobby yang mau mengabadikan ungkapan perasaannya pada sebuah cincin perak yang akan
103 dibuatnya sendiri, yaitu di tempat kursus pembuatan kerajinan perak secara singkat yang ada di kota itu.
Sepulang dari Yogyakarta, cinta Bobby dan Lara semakin dalam dan sudah begitu lekat bagaikan sticker yang menempel di kaca mobil. Keduanya terus menjalin cinta hingga akhirnya Bobby menyadari kalau persahabatannya dengan Randy terasa kian merenggang. Kini pemuda itu sedang berbicara dengan sahabatnya yang kini mulai menjaga jarak. "Ran, katakanlah! Kalau sesungguhnya kau masih mencintai Lara."
"Sudahlah, Bob! Aku sadar kok kalau Lara itu memang bukan jodohku. Kan aku sudah bilang kalau dunia ini tidaklah selebar daun kelor, karena memang masih banyak gadis lain yang bisa aku pacari."
"Tapi, Ran. Aku tahu betul, kau tidak semudah itu bisa pindah ke lain hati. Buktinya, berapa tahun kau bisa melepaskan Indah dari kehidupanmu hingga
104 akhirnya bisa mencintai Lara. Dan kau mencintai Lara karena dia itu mirip dengan Indah, iya kan""
"Kau itu sok tahu, Bob. Siapa bilang aku seperti itu. Aku percaya, jodoh, takdir, dan maut adalah sudah ditentukan Tuhan. Jadi, jika ternyata Lara memang bukan jodohku, aku rela dia jadi milik siapa saja."
Mendengar itu Bobby langsung membatin, "Randy... mulutmu berkata begitu. Namun aku bisa menduga apa yang ada di hatimu, sesungguhnya kau sangat mencintainya dan berharap dia bisa menjadi milikmu. Buktinya selama ini kau sudah menjadi begitu berubah, kau lebih sering menyendiri dan jarang menemuiku. Ran... aku benar-benar merasa tidak enak karena harus berbahagia di atas penderitaanmu. Selama ini kau sudah begitu baik padaku, dan tidak sepantasnya aku membalas semua itu dengan menyakitimu. Aku berjanji, mulai detik ini aku akan melupakan Lara. Biarlah aku hidup dalam kesendirian demi kebahagiaanmu. Aku yakin, biarpun saat ini Lara tidak mencintaimu, namun suatu saat dia pasti akan bisa mencintaimu. Bukankah cinta itu bisa
105 pergi dan datang tanpa diduga-duga, dan semua itu dipicu oleh suatu kondisi. Jika kata hati sudah seirama, dan perbedaan bukanlah masalah. Maka tidak ada makhluk yang bisa menghalangi cinta. Karena cinta adalah dua hati yang menyatu dalam keselarasan yang harmonis, saling membutuhkan dan selalu berbagi dalam menjalani kehidupan-bagai kumbang dan bunga yang bersimbiosis mutualisme."
"Bob, apa yang kau pikirkan"" tanya Randy membuyarkan renungan Bobby.
"Eng, Ti-tidak ada, Ran...." Kata Bobby terbata. Saat itu dia langsung menarik nafas panjang dan segera kembali berkata-kata," Ran, maafkan aku yang sudah terlalu egois! Seharusnya aku tidak memacari Lara yang dicintai oleh sahabatku sendiri. Kalau kau mau tahu, sesungguhnya hingga saat ini aku masih mencintai Nina. Percayalah, Ran! Lara itu hanya kujadikan sebagai pelarian, tidak lebih dari itu."
"Benarkah yang kaukatakan itu, Bob""
Bobby mengangguk. 106 "Kau memang keterlaluan, Bob. Tega sekali kau memperlakukan Lara seperti itu."
"Iya, Ran. Dan aku pun sangat menyesal telah berbuat begitu. Sekali lagi aku minta maaf karena sudah terlalu egois, sampai-sampai tidak mempedulikan sahabatku sendiri!"
"Sudahlah, Bob. Aku memahami kenapa kau bisa sampai melakukan itu. Jika kau memang betul-betul menyesal, rasanya tidak sepantasnya aku mempermasalahkannya lagi. Kau memang sahabat yang baik, buktinya kau mau mengakui semua itu lantaran sudah menyesalinya."
"Terima kasih atas pengertianmu, Ran. O ya, aku... "
Saat itu Bobby la ngsung menceritakan rencananya untuk pergi ke luar negeri. Alasannya adalah agar ia bisa mengubur kenangan masa lalunya, yaitu dengan mencari kesibukan di negeri orang.
107 Sebulan kemudian, di restoran yang sama disaat Bobby menyatakan cintanya kepada Nina, terlihat sepasang muda-mudi yang sedang menikmati santap malam. Mereka adalah Bobby dan Lara yang sedang merayakan hari valentine. Sebuah hari kasih sayang yang pada malam ini akan mereka rasakan sebagai sebuah hari yang sangat menyedihkan.
"Ra, maafkan kalau perkataanku ini bisa membuatmu sakit!"
"Katakanlah, Kak! Apa pun itu aku akan mencoba untuk mengerti"
"Se-sebenarnya. A-aku tak mencintaimu, Ra. Aku mau menerimamu waktu itu karena aku kasihan padamu. Karenanyalah, sebelum cintamu semakin dalam aku terpaksa memutuskanmu. Sebetulnya, hingga saat ini aku masih mencintai Nina-tidak ada seorang pun yang bisa menggantikannya."
"Be-benarkah yang kau katakan itu, Kak"" tanya Lara dengan air mata yang tiba-tiba saja meleleh.
108 Bobby mengangguk. "Maaf, Ra! Aku terpaksa mengambil tindakan ini sebelum semuanya menjadi semakin sulit."
"Tapi, Kak... kenapa ketika di Yogya kau sepertinya sangat mencintaiku. Apa sebenarnya maksud goresan kata-kata yang kau tulis di pohon itu, apa maksud ciuman mesramu yang hingga kini tidak pernah bisa kulupakan, dan apa pula maksud ukiran nama kita pada cincin perak yang kau buatkan untukku."
"Itu kulakukan semata-mata karena aku kasihan padamu, Ra. Sungguh, tidak lebih dari itu. Maafkan aku, Ra! Bukankah sebaiknya kita bersahabat saja, sebab aku merasa kalau bersahabat akan lebih baik ketimbang kita harus menjalin cinta dengan bertepuk sebelah tangan."
"Baiklah, Kak. Kalau itu memang sudah menjadi keputusanmu, aku tidak akan memaksa. Aku memahami kalau cinta memang tidak bisa dipaksakan."
"Terima kasih atas pengertianmu, Ra."
109 Saat itu Lara sudah tidak berkata-kata lagi, dia hanya menangis dan menangis. Melihat itu, Bobby pun tidak berkata-kata lagi-dia hanya bisa meyakinkan dirinya kalau suatu saat Lara pasti akan hidup bahagia bersama sahabatnya.
Seminggu kemudian, di malam yang cerah. Seorang gadis terlihat duduk sendiri di kursi beranda, saat itu dia sedang menangis sedih. Ketika dia mendengar suara langkah kaki mendekat, tiba-tiba gadis itu buru-buru menghapus air matanya. Kini kedua matanya yang indah tampak menatap kepada seorang pemuda yang kini berdiri di dekatnya. Dan tak lama kemudian, pemuda itu sudah duduk di sebelahnya seraya meletakkan koper besar yang dijinjingnya.
"Kau menangis, Ra"" tanya pemuda itu ketika melihat mata gadis itu.
"Kak Bobby, sepertinya a-aku.... "
110 "Sudahlah! Lupakan saja semua kenangan itu! Lebih baik kau jalani saja kehidupanmu sekarang. Aku sarankan berbaik-baiklah dengan Randy, dan jika kau sudah betul-betul mengenalnya, kau pasti akan sangat mencintainya."
"Kak, ke-kenapa kau begitu yakin""
"Sebab, aku sudah lama sekali bersahabat dengannya. Dan jika kau menuruti apa yang sudah kukatakan mengenai wataknya, aku yakin kalian pasti akan menjadi pasangan yang saling mencintai."
Saat itu Lara kembali teringat dengan perkataan Bobby waktu itu, yaitu ketika Bobby berusaha membujuknya agar mau berdamai dengan Randy setelah ribut saat sarapan pagi. Dalam hati, dia membenarkan ucapan Bobby waktu itu. Karena setelah perselisihannya dengan Randy di depan gallery, akhirnya dia mau menuruti kata-kata Bobby. Dan terbukti, setelah itu dia memang sudah jarang berselisih dengan Randy. Namun, sebagai gantinya dia lebih sering menderita karena harus sering mengalah.
111 "Kak, apa aku harus sering mengalah padanya. Jika terus demikian, apa aku sanggup"" tanya Lara
ragu. "Dengarkan aku, Ra... ! Kau tidak harus terus mengalah. Namun, sebagai gantinya kau harus berterus terang padanya. Sebab, sebenarnya dia itu orang yang sangat pengertian. Jika kau mau mengatakan isi hatimu yang sebenarnya, aku yakin dia akan bisa menerima. Menurutku, selama ini pertengkaran kalian disebabkan karena kau selalu menutup diri padanya. Dan karenanyalah, dia menjadi salah mengerti. Andai kau sudah pandai memilah mana yang patut kau utarak
an dan yang tidak, aku yakin dia akan menjadi pria yang sangat menyenangkan buatmu."
Saat itu Lara langsung merenungi kata-kata Bobby barusan. Dalam hati, dia membenarkan apa yang dikatakannya, sebab selama ini dia memang masih sulit untuk terbuka dikarenakan dia masih menganggap Randy itu bukan siapa-siapa. Namun sekarang, Randy itu sudah menjadi pacarnya. Dan
112 jika dia mau lebih terbuka, tentu Randy akan mau mengerti dan menjadi pemuda yang sesuai dengan harapannya. Ketika Lara akan bicara lagi, tiba-tiba dia melihat sebuah taksi yang berhenti di depan gerbang. Tak lama kemudian, seorang pemuda tampak keluar dan bergegas menghampiri mereka. "Ini Bob," kata pemuda itu seraya memberikan tiket pesawat yang baru dibelinya.
"Terima kasih, Ran! Kalau begitu, sebaiknya aku berangkat sekarang," pamitnya seraya memeluk sahabatnya itu erat-erat.
"Hati-hati ya, Bob. Semoga kau mendapat apa yang kau cari!" ucap Randy seraya melepaskan pelukannya. Kemudian dia mencoba tersenyum dan menjabat tangan sahabatnya dengan erat. "Semoga sukses! " katanya seraya kembali tersenyum.
Kini Bobby melangkah mendekati Lara. "Ra, aku berangkat sekarang," pamitnya kepada gadis yang sebenarnya sangat dia cintai.
113 Saat itu juga Lara segera memeluknya erat, "Selamat jalan, Kak...!" ucapnya lirih dengan kedua mata yang berkaca-kaca.
"Baik-baiklah kalian!" pesan Bobby seraya melepaskan pelukannya dan menghapus derai air mata Lara yang baru saja menetes.
Lara mengangguk dan mencoba tersenyum, kemudian tanpa ragu dia merapikan kerah baju Bobby yang dilihatnya agak miring. Bobby pun tampak tersenyum sebagai ungkapan terima kasihnya, dan tak lama kemudian dia sudah bergerak menuju taksi yang sejak tadi sudah menunggunya. Pada saat itu pandangan Lara tampak tak bergeming-terus memperhatikan Bobby yang kini dilihatnya sudah do dalam taksi. Tak lama kemudian, dia melihat pemuda itu tampak melambaikan tangan kepadanya dan juga kepada Randy. Hingga akhirnya, taksi yang ditumpangi Bobby berangkat dan menghilang di kegelapan malam.
"Duhai Laraku sayang... berbahagialah bersama sahabatku. Hari ini aku akan pergi jauh bersama cita114 citaku untuk bisa melupakanmu. Dan aku tidak tahu, apakah aku bisa melupakanmu yang sudah begitu lekat di hatiku. Biarlah semua itu kuserahkan kepada waktu yang akan menjawabnya."
Kini Bobby memandang ke luar jendela, memperhatikan lampu reklame yang berkelap-kelip ceria. Sungguh bertolak jauh dengan nuansa hatinya yang begitu sedih, karena terpaksa harus berpisah dengan sang pujaan hati.
115 EMPAT Setahun kemudian, di negeri nan jauh di sana, di atas dermaga kayu yang berdiri di tepian sebuah danau. Seorang pemuda tampak duduk melamun. Matanya yang bening menatap ke tengah danau yang begitu indah, sedang kedua tangannya tampak saling meremas. Tiba-tiba pemuda itu tertunduk, merasakan keresahan hati yang teramat sangat, yaitu kepada gadis yang begitu dicintainya, yang mana selama ini sudah begitu dirindukannya. "Sayang... ternyata aku tidak bisa melupakanmu. Sudah lama juga kita berpisah, namun dirimu masih terus saja terbayang. Ingin rasanya aku menemuimu dan mencurahkan rasa rinduku ini. Namun, aku tak mempunyai daya upaya untuk bisa melawan bisikan nuraniku akan arti persahabatan."
"Hi, Bob! Sedang apa kau di situ"" tanya seseorang tiba-tiba.
116 Seketika Bobby menoleh, memperhatikan seorang pemuda yang kini melangkah ke arahnya. "Maaf, Riz! Aku belum punya uang."
"Hahaha... ! Kau pikir aku kemari mau menagih hutang. Tidak, Bob. Sebenarnya aku kemari mau mengajakmu bekerja."
"Mmm... bekerja" Kerja apa Riz""
"Sudahlah...! Nanti kau juga akan tahu."
"Kau tidak akan mengajakku kerja yang illegal kan""
"Kenapa kau berpikiran begitu"" "Eng... Bukankah kau pernah ditahan lantaran menipu."
"Itu kan dulu, Bob. Sekarang aku sudah insyaf dan tidak mau berbuat seperti itu."
"Kalau begitu, katakanlah apa pekerjaan yang akan kita lakukan itu!"
"Kita akan bekerja sebagai kurir, Bob."
"Kurir"" "Ya, sebagai kurir yang mengantar barang."
117 "O, kalau itu sih aku mau. Terus terang, aku bosan juga jika harus terus-menerus mencari uang dengan m
engumpulkan dedaunan itu," kata Bobby yang kini memang sudah tidak berminat lagi mencari dedaunan yang dijual untuk keperluan rangkaian bunga. Walaupun pada mulanya dia menganggap pengerjaan itu menyenangkan dan bisa menggantikan karirnya sebagai arsitek yang kini tak mau dilakoninya lagi karena suatu sebab. "O ya, ngomong-ngomong barang apa"" lanjut pemuda itu kemudian.
"Ya, namanya juga kurir, Bob. Yang diantar itu bisa barang apa saja, dan kita tidak mungkin membongkar dan melihat isinya dulu.
Kedua orang itu terus berbincang-bincang mengenai pekerjaan itu. Sementara itu di tempat lain, di sebuah negeri yang jaraknya bermil-mil jauhnya. Sepasang muda-mudi tampak sedang berbincang-bincang, duduk di dalam sebuah mobil yang berhenti di bawah rindangnya sebuah pohon besar. "Kau merindukannya, Ra"" tanya Randy kepada kekasihnya.
118 "Betul, Kak. Entah kenapa belakangan ini aku ingin sekali berjumpa dengannya."
"Ra, sebenarnya bukan kau saja yang rindu. Aku pun sudah rindu sekali padanya."
"Andai dia mau mengirim surat atau menghubungi kita lewat telepon tentu rindu kita bisa sedikit terlepaskan."
"Aku tahu benar sifat Bobby, walaupun dia begitu rindu denganmu dia tidak akan mengirim surat, apa lagi sampai menelepon. Kau tahu kenapa dia pergi keluar negeri""
"Untuk bekerja kan""
"Kau salah, Ra. Sebenarnya dia pergi karena ingin mengubur semua masa lalunya."
"Hmm... kalau begitu, pantas saja dia tidak pernah menghubungi kita."
"Dan karenanyalah, selama ini aku pun tidak pernah mencoba menghubunginya. Aku yakin sekali, jika hatinya sudah betul-betul tenang dia pasti akan datang menemui kita."
119 Kedua muda-mudi itu berbincang-bincang, hingga akhirnya mobil yang mereka tumpangi tampak melaju meninggalkan tempat itu.
Pada suatu hari, di sore yang cerah, Bobby dan Rizky tampak sedang berbincang-bincang di dalam sebuah rumah yang ada di pinggiran kota kecil. Sejenak Bobby memperhatikan isi ruangan yang ada di rumah itu, semuanya didominasi warna putih yang tampak kusam. Dan di ruangan itu tak ada perabotan yang bisa dilihatnya dengan jelas. Dalam hati, pemuda itu menduga kalau ruangan itu sudah lama tidak digunakan, terbukti dengan semua perabotan yang kini tampak tertutup oleh kain putih yang berdebu.
"Kok lama sekali, Riz"" tanya Bobby yang saat itu sedang menunggu barang yang akan mereka antar.
"Entahlah... tidak biasanya seperti ini."
"O ya, Riz. Ngomong-ngomong... " belum sempat Bobby menyelesaikan kalimatnya. Tiba tiba,
120 "Perhatian!!! Kami polisi, rumah ini sudah kami kepung, menyerahlah kalian semua!!!" saat itu dari luar rumah terdengar perintah yang menggunakan pengeras suara, dan orang itu berbicara dengan menggunakan Bahasa Inggris Amerika yang sangat kental.
Betapa terkejutnya Bobby dan Rizky saat itu, namun keterkejutan Bobby berbeda dengan temannya yang kini dilihatnya sudah mengeluarkan senjata api. "Bob, cepat kau berlindung!" seru Rizky seraya berlari ke arah jendela.
"Riz, apa-apaan ini"" tanya Bobby heran.
Belum sempat Bobby mendapat jawaban, berapa orang yang semula berada di dalam kamar tampak keluar dengan membawa senjata lengkap. Mereka juga tampak bersiaga di dekat jendela seperti yang dilakukan Rizky. Kemudian dengan tiba-tiba salah satu dari mereka berteriak dan seketika itu juga orang yang bersiaga di dekat jendela tadi segera memecahkan kaca jendela dan langsung melepaskan tembakan. Tak ayal, baku tembak pun terjadi dengan
121 serunya. Bobby yang saat itu tidak mengerti apa-apa langsung tiarap berlindung. Baku tembak itu terus berlangsung hampir selama satu jam.
Tiba-tiba, dari luar rumah kembali terdengar peringatan," Perhatian! Jika kalian masih tidak mau menyerah, kami terpaksa akan meratakan rumah itu dengan tanah!"
Mendengar itu, salah seorang yang menjadi pimpinan kelompok itu tiba-tiba menghentikan tembakan. "Ayo cepat kita tinggalkan tempat ini!" perintah orang itu
"Ayo, Bob! Ikuti aku!" Ajak Rizky seraya merayap menuju ke sebuah kamar.
Saat itu Bobby langsung menurut, dia tampak merayap mengikuti Rizky.
"Riz, sebenarnya siapa mereka ini" Kenapa tiba-tiba polisi mengepung tempat ini""
"Bob, sebenarnya kami ini para pejuang keadilan."
"Apa maksudmu dengan para pejuang keadilan"" tanya Bobby tidak mengerti.
122 "Kami ini yang dibilang 'teroris', Bob," jelas Rizki mempermudah pemahaman pemuda itu.
"A-apa! Ja-jadi kalian ini 'teroris'"" Bobby tampak terkejut. Pada saat itu, jantungnya pun langsung berdegup kencang.
"Sudahlah, Bob! Ayo cepat kita masuk ke dalam lubang itu!" perintah Rizky sambil memasuki lubang yang ternyata sebuah jalan rahasia.
Bobby pun segera masuk ke jalan rahasia itu, dan dalam waktu singkat mereka sudah berada di sebuah rumah yang letaknya jauh di seberang rumah yang sedang di kepung itu. Lantas dengan tergesa-gesa, mereka segera menaiki sebuah van yang diparkir di dalam garasi. Tak lama kemudian, van itu pun melaju kencang menerjang pintu garasi yang terbuat dari kayu. Sambil terus melaju bersama van yang mereka tumpangi, para 'teroris' itu tak henti-hentinya melepas tembakan ke arah polisi-polisi yang sama sekali tidak menduga kalau buruan mereka keluar dari rumah yang berada di belakang mereka. Hingga akhirnya, van itu berhasil meloloskan diri.
123 Kini van itu tengah melaju kencang menembus gelapnya malam, melewati jalan berliku yang membelah hutan pinus. Pada saat itu, perasaan Bobby sungguh tak karuan-ketakutannya akan keselamatan jiwa membuatnya betul-betul cemas. Sungguh dia tidak menyangka kalau nasibnya akan menjadi seburuk itu, yaitu terlibat dengan orang-orang yang memperjuangkan keadilan dengan cara yang menurutnya salah. Ketika van itu melewati jalan di lereng perbukitan, tiba-tiba. "Lihat! Apa itu""
"Celaka...! Kita dikejar helikopter."
"Lebih cepat lagi, Frank!"
"Iya, ini juga sudah paling cepat."
Kejar-kejaran antara van dan helikopter itu pun tak terelakkan. Kedua jenis kendaraan itu terus berpacu di dalam gelapnya malam, pada saat itu yang terlihat hanya lampu-lampu dari kedua kendaraan itu, namun terkadang sesekali juga terlihat van yang melaju kencang tersorot lampu tembak dari helikopter yang mengejarnya. Tiba-tiba dari helikopter itu terdengar kembali peringatan yang kali ini menyatakan kalau
124 mereka akan menembak jika van itu tidak mau berhenti. Benar saja, ketika melewati tepian jurang, helikopter itu langsung melepaskan missile-nya yang kini meluncur cepat menuju van yang masih terus melaju dengan kencang. Dan dalam waktu singkat, misil itu pun menghantam van yang di tumpangi oleh para 'teroris' dan menciptakan ledakan yang begitu dasyat. Tak ayal, van itu pun langsung hancur berkeping-keping.
Bobby yang berhasil melompat sebelum missile mengenai sasaran sempat terkena serpihan yang beterbangan itu. Seketika Bobby meringis merasakan panas dan nyeri yang bukan main sakitnya, kemudian dia tidak sadarkan diri. Tubuhnya yang saat itu sedang berada di tepian jurang langsung meluncur jatuh ditelan jurang yang begitu dalam. Berkali-kali tubuh pemuda itu menghantam batang pohon yang ada di bawahnya, hingga akhirnya tubuh itu jatuh di atas sungai yang mengalir deras.
125 Esok harinya, di sebuah bilik yang terbuat dari kayu, seorang pemuda tampak terbaring tak sadarkan diri. Di beberapa bagian tubuhnya tampak terbalut kain putih yang bernoda hijau kecokelatan. Pada saat yang sama, tak jauh dari orang yang terbaring itu terlihat seorang kakek yang sedang menumbuk ramuan obat. Sesekali mata kakek itu tampak memperhatikan keadaan pemuda yang terbaring itu dengan penuh iba.
"Agh...!!! Di-di mana aku"" tanya Bobby tiba-tiba sambil meringis dan berusaha bangun.
Mengetahui itu, orang tua yang berada di sisinya serta-merta meletakkan alat penumbuk obat dan berusaha menenangkannya. "Tenanglah anak muda, kau jangan bangun dulu!" larang orang tua itu lembut dengan menggunakan Bahasa Inggris yang berdialek asia.
"Si-siapa kau" Dan di-di mana aku"" tanya Bobby lagi, juga dengan bahasa yang sama.
"Aku Changyi. Kini kau sedang berada di pondokku. Ketahuilah kalau aku sedang berusaha
126 untuk memulihkan kesehatanmu. Karenanyalah, aku mohon kau jangan banyak bergerak!"
Mengetahui itu, Bobby kembali merebahkan diri. Dalam hati, pemuda itu sangat bersyukur ketika menyadari dirinya masih
hidup. Sungguh dia tidak menyangka kalau kuasa Tuhan begitu besar sehingga membuatnya tetap hidup.
"Bagaimana, Kek" Apa dia sudah sadarkan diri"" tanya seorang gadis tiba-tiba seraya duduk di sebelah sang Kakek.
"Sudah, Li," jawab sang Kakek singkat. "O ya, apa dedaunan itu sudah kau dapat"" tanyanya kemudian.
"Sudah, Kek. Ini..." jawab gadis itu seraya menyerahkan beberapa dedaunan obat yang baru diambilnya dari hutan.
Tak lama kemudian, sang Kakek sudah menambah dedaunan yang baru didapat itu dengan ramuan yang sedang ditumbuknya. Pada saat yang sama, Bobby tampak sedang memperhatikan wajah manis milik gadis yang kini sedang mengajaknya bicara.
127 "Apa yang kau rasakan"" tanya gadis itu kepadanya.
"Eng... dadaku terasa agak sesak, dan aku juga merasakan nyeri di beberapa bagian."
"Emm... kalau begitu, sebaiknya kau jangan terlalu banyak bergerak dulu! Istirahatlah hingga lukamu itu betul-betul sembuh!"
"Iya, tadi kakekmu juga sudah bilang begitu."
"Benarkah" O ya, Kak. Ngomong-ngomong apakah kau... ""
"Ehem!" ucap sang kakek tiba-tiba memotong perkataan cucunya. "Li... tolong kau persiapkan tungku untuk memasak ramuan ini!" pintanya kepada Sang Cucu.
Mendengar itu, Sang Cucu segera menuruti perkataan kakeknya. Sementara itu, Bobby tampak memperhatikan kepergiannya dengan harapan agar gadis itu cepat kembali. Pada saat yang sama, di tempat yang jauh sekali dari tempat Bobby berada, sepasang muda-mudi tampak sedang berbincang-bincang dengan emosi yang kian memuncak.
128 Sungguh perasaan mereka itu sangat bertolak belakang dengan suasana ruang tamu yang terlihat begitu nyaman-yang mana dipenuhi oleh benda-benda seni yang indah dan menentramkan.
"Kau egois sekali, Kak." kata Lara ketus.
"Kau yang egois. Sekarang ini kan aku sudah menjadi pacarmu. Tapi, kenapa kau masih saja memperlakukanku seperti dulu" Sepertinya kau ini memang tidak pernah mau mengerti perasaanku, kau hanya mementingkan perasaanmu sendiri saja," tuduh Randy dengan raut wajah yang begitu kesal.
"Kau yang tidak mau mengerti perasaanku, kau yang selalu memikirkan perasaanmu sendiri," Lara balik menuduh.
"Grrr... kau ini memang wanita yang keras kepala." Randy kian bertambah geram.
"Kau yang keras kepala. Kau pemuda yang picik dan selalu mau menang sendiri," balas Lara.
"Huh, andai saja kau bukan wanita yang kucintai sudah kutampar mulutmu yang lancang itu." Randy mengancam.
129 "Ayo! Tampar saja aku. Memang setelah kau tampar, aku akan menurut padamu," tantang Lara. Tiba-tiba saja gadis itu menangis.
"Lho, kenapa sekarang malah menangis" Dasar perempuan, kalau sudah buntu bisanya cuma menangis."
"Kau sudah membuat hatiku sakit, Kak. Kupikir kau pria yang mencintaiku, tapi ternyata... " "Ternyata apa""
"Sudahlah, aku tidak perlu menjelaskannya padamu. Pikir saja sendiri, kau kan punya otak!"
Mendengar itu, Randy tampak menarik nafas panjang. "Kau dari dulu selalu begitu. Bagaimana mungkin aku bisa mengerti kalau disuruh mikir sendiri. Kenapa sih kau selalu menyembunyikan perasaanmu, kenapa tidak langsung bilang saja biar semua jadi jelas."
Lara tidak menjawab, dia cuma bisa memalingkan wajahnya sambil terus menangis.
130 "Baiklah... kalau kau masih seperti ini sebaiknya aku pergi saja. Tidak ada gunanya aku berlama-lama di sini."
Setelah berkata begitu, Randy langsung melangkah pergi entah ke mana. Sementara itu Lara tampak merenung memikirkan perihal kekasihnya. "Kak Randy... kenapa sih kau selalu keras kepala, kenapa kau tidak mau mengalah walau sedikit saja. Andai kau mengalah, tentu aku tidak akan bersikap seperti itu. Kau benar, aku memang egois. Aku memang selalu mau menang sendiri. Namun jika kau menyuruhku untuk mengakuinya tentu aku tidak akan mau, tidak akan pernah!"
Lara terus memikirkan kekasihnya. Sementara itu di tepian sebuah telaga yang sepi, Randy tampak sedang duduk termenung di bawah sebuah pohon besar yang begitu rindang. Kedua matanya tampak memandang ke liuk-liuk air telaga yang kehijauan dan berkilat memantulkan sinar mentari. "Ra, maafkan aku! Tidak seharusnya aku bersikap kasar padamu. Terus terang, aku betul-betul menyesal karena
telah 131 membuatmu menangis. Aku ini memang pemuda bodoh yang tak mengerti akan perasaan wanita, aku ini memang pemuda keras kepala yang tak pernah mau mengalah. Andai saja kau mau mengalah, tentu aku akan bersikap baik padamu, dan aku akan sangat sayang padamu, sehingga apapun yang kau pinta pasti akan kuturuti." Setelah merenung agak lama, akhirnya Randy kembali ke mobil dan pergi meninggalkan tempat itu. Kini sedan mewah yang dikendarainya tampak melaju menyusuri jalan yang menuju ke tengah kota.
Tiga hari kemudian, Randy datang menemui Lara. Saat ini kedua muda-mudi itu sedang duduk berdua di ruang tamu, membicarakan perihal kejadian tempo hari yang membuat mereka jadi marahan.
"Maafkan aku ya, Ra. Saat itu aku betul-betul emosi."
132 "Aku juga, Kak. Aku minta maaf karena aku sudah begitu emosi."
"O ya, sebagai pelengkap ucapan maafku, aku pun membawakan ini untukmu," kata Randy seraya memberikan kado kecil yang dibungkus kertas bermotif hati dan diikat dengan pita berwarna merah muda.
"Apa ini, Kak""
"Bukalah Sayang...! Nanti kau juga akan tahu."
Lantas Lara pun segera membuka kado itu, dan ketika mengetahui isinya mata gadis tampak berkaca-kaca.
"Kenapa, Ra" Apa kau tidak menyukainya."
"Bukan begitu, Kak. Justru aku merasa terharu, ternyata kau memang begitu menyayangiku. Sungguh liontin ini indah sekali, Kak. Eng... Maukah kau memakaikannya untukku!"
"Tentu saja, Sayang... " jawab Randy seraya mengambil benda itu dan memakaikan di leher kekasihnya.
133 "Bagaimana, Kak" Pantas tidak"" tanya Lara seraya tersenyum.
"Tentu saja sangat pantas. Dan kau pun tambah cantik dengan liontin itu," komentar Randy. "O ya, jika kau kangen denganku, bukalah liontin itu!"
Mengetahui itu, Lara segera membuka liontin itu dan memperhatikan foto Randy yang tampan, kemudian dia melihat bagian sebelah yang dipasangi fotonya sendiri. "Kau dapat dari mana fotoku ini, Kak" Pantas saja waktu itu kucari-cari tidak ada. Rupanya kau yang mencurinya ya"" tanya Lara kemudian.
"Maaf, Ra. Aku terpaksa, foto itu kuambil ketika Nina memperlihatkan foto-fotomu padaku. Karena saat itu aku suka sekali dengan fotomu itu, aku jadi terpaksa mengambilnya. Tapi kan sekarang sudah kukembalikan, jadi kau tidak perlu marah karenanya!"
"Bukan apa-apa, Kak. Kau mengambil foto ini kan sebelum aku mencintaimu. Ja-jangan-jangan, aku mencintaimu karena... "
"Karena aku memeletmu, begitu" Kau ini masih saja selalu berprasangka buruk, Ra. Dengar ya! Aku
134 ini betul-betul mencintaimu dari lubuk hatiku yang terdalam, dan aku tidak pernah mau melibatkan orang yang kucintai dengan hal-hal semacam itu. Terus terang, aku hanya ingin dicintai oleh sebab cinta yang tulus. Apa rasanya jika aku dicintai oleh gadis yang dipengaruhi oleh hal yang menyesatkan semacam itu. Jangan kan oleh hal semacam itu. Bila kau mencintaiku karena sebab kasihan, aku pun berat untuk bisa menerimanya. Karena cinta yang didasari oleh rasa kasihan bisa membuatmu bertindak semena-mena, dan kau pun bisa menderita karena harus melayani orang yang tak kau cintai. Lain halnya dengan pasangan yang saling mencintai, keduanya saling berbagi dan melayani atas dasar cinta. Karenanyalah, berbagai hal yang tidak menyenangkan bisa saja menjadi sangat menyenangkan. Setiap ada kesempatan keduanya berusaha untuk bisa saling menyenangkan dan tidak ada sedikitpun rasa keterpaksaan, dan demi untuk orang yang dicintainya keduanya rela mengorbankan kepentingannya sendiri,
135 bahkan jika harus mengorbankan nyawa sekalipun," ungkap Randy panjang lebar.
"Maafkan aku, Kak! Entah kenapa aku begitu mudah berprasangka begitu," ucap Lara menyesal.
"Ra, aku mau tanya padamu. Apakah selama ini kau mencintaiku atas dasar kasihan""
"Entahlah, Kak. Aku juga tidak tahu. Mungkin begitu, mungkin juga tidak. Aku ini kan belum begitu mengenalmu, Kak. Bagaimana mungkin aku bisa mencintaimu dengan sepenuh hatiku."
"Aku mengerti. Selama perasaan dan pola pikir kita belum harmonis, yang mana selama ini sering tak berterus terang dan saling tidak percaya. Aku rasa kita memang akan sulit untuk bisa saling bisa mengenal lebih jauh. Karenanyal
ah mulai sekarang kau jangan terlalu main perasaan, sampaikanlah isi hatimu yang sebenarnya, sekalipun itu akan sangat menyakitkanku. Percayalah kalau aku akan senantiasa berusaha untuk menerima kenyataan itu, dan mencoba mencari jalan yang terbaik dan bijaksana dalam menentukan sikap."
136 "Sungguh kau bisa melakukan itu""
Randy mengangguk, "Asal hal itu betul-betul suatu kebenaran yang memang perlu disampaikan demi untuk kebaikan kita. Sebab, jika kita masih takut menyampaikan kebenaran dikarenakan perasaan tidak enak justru bisa merugikan orang lain. Karenanyalah sekarang aku sudah membuang perasaan tidak enak itu demi untuk menyampaikan kebenaran, walaupun aku tahu mungkin akibatnya akan sangat menyakitkan. Namun begitu, aku akan berusaha untuk menyampaikannya dengan cara yang lebih santun. Karena itulah, hingga saat ini aku pun masih terus belajar dan belajar untuk bisa menyampaikan kebenaran dengan cara yang demikian agar perkataanku tidak menyinggung perasaan orang yang mendengarnya."
Akhirnya sepasang muda-mudi itu sepakat untuk saling terbuka dan saling percaya. Dengan harapan mereka tidak lagi berselisih karena sebab salah pengertian. Kini kedua muda-mudi itu kembali berbincang-bincang, hingga akhirnya Lara bangkit dari
137 duduknya dan melangkah ke dapur. Tak lama kemudian, dia sudah kembali dengan segelas kopi di tangannya.
"Ini Cappuccino-nya, Kak," kata Lara seraya memberikan kopi itu kepada kekasihnya.
Pada saat itu Randy langsung menanggapi kopi itu dan memperhatikannya sejenak. "Kok tidak pakai es, Ra"" tanyanya kemudian.
"Es nya lagi habis, Kak."
"Habis" Kenapa bisa sampai habis"" tanya Randy dengan wajah kecewa.
Saat itu Lara sedikit jengkel dengan pertanyaan Randy yang seperti itu. Dalam hati dia pun jadi menggerutu sendiri, "Dasar pria tidak tahu diuntung, sudah baik aku mau membuatkannya kopi. Eh, dia malah memprotes."
"Ra, kenapa diam" Apa kau tidak mendengar pertanyaanku tadi""
"Aku dengar, Kak. Baiklah, aku akan jawab pertanyaanmu itu. Emm... sebenarnya es itu habis karena pembantuku lupa mengisinya."
138 "Aduh, Ra. Kalau begitu kau harus tegas pada pembantumu itu, bahwa sebetulnya cetakan es itu harus senantiasa terisi."
"Kakak ini bagaimana sih" Kan sudah kubilang kalau pembantuku itu lupa. Kalau dia ingat, pasti dia akan mengisinya. Lagi pula, jarang kok dia lupa seperti sekarang."
"Benarkah""
Lara mengangguk. Dalam hati gadis itu merasa kesal karena lagi-lagi dia harus terpaksa berbohong demi untuk kebaikannya. Maklumlah, Lara memang tidak mungkin menceritakan hal yang sebenarnya, kalau es itu habis lantaran bukan karena pembantunya lupa, namun karena dia menggunakannya untuk hal yang tidak penting. Jika dia sampai menceritakannya, Randy pasti akan menceramahinya kalau perbuatan itu tak sepantasnya dilakukan. Begitulah Lara, selama ini dia tidak senang akan segala nasihat Randy yang sebetulnya baik. Dalam hati, gadis itu masih merasa berat jika dia menjadi baik lantaran Randy telah memberinya
139 nasihat. Dan dia tidak mau jika Randy sampai berjasa di dalam kehidupannya. Di dalam benaknya, gadis itu merasa justru dialah yang patut menjadi berjasa di dalam kehidupan Randy. Andai saja Lara sudah memahami arti saling menasehati tentu dia tidak akan merasa seperti itu. Sementara itu di tempat lain, di tengah hutan yang letaknya sangat jauh. Seorang gadis tampak sedang merawat seorang pemuda.
Duka Lara Karya Bois di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mmm... bagaimana dengan keadaanmu, Kak"" tanya gadis itu kepada Bobby.
"Setelah meminum obat yang kau berikan itu, kini tubuhku terasa lebih bertenaga dan rasa sakit di sekujur tubuhku pun mulai menghilang."
"Baguslah kalau begitu. Jika kau rajin meminumnya, aku yakin dalam satu dua minggu ini kesehatanmu akan pulih kembali. O ya, Kak. Ngomong-ngomong, apa sebenarnya yang telah menimpamu""
"Eng... ini semua karena aku berada di tempat dan waktu yang salah."
"Maksudmu""
140 "Begini... UHUK-UHUK!!!"
"Sudahlah, Kak! Sebaiknya kau jangan bicara dulu. Maaf kalau aku sudah mengganggu ketenanganmu."
"Ti-tidak apa-apa, aku cuma batuk sedikit."
"Sudahlah...! Sebaiknya Kakak istirahat saja, aku mau melanjutkan pekerja
anku dulu." Bobby memperhatikan kepergian gadis itu, betapa hatinya saat itu betul-betul merasa tentram karena perhatian dan kelembutan gadis yang baru dikenalnya itu. Sepeninggal gadis itu, sang Kakek datang menemuinya.
"Bagaimana keadaanmu, anak muda"" tanya Sang Kakek ingin mengetahui keadaannya.
"Sudah lebih baikan, Kek."
"Syukurlah kalau begitu. O ya, agar kau cepat sembuh aku akan menyalurkan tenaga dalamku lagi. Nah, sekarang bersiaplah!"
Mendengar itu, Bobby segera mengambil posisi seperti yang dilakukannya selama tiga hari ini. Setelah dia siap, sang Kakek segera duduk dihadapannya.
141 Kini tangan kirinya sudah menempel di perut Bobby, sedangkan tangan yang sebelah kanan tampak menempel di telapak tangan kiri Bobby. Dan tak lama kemudian, sang kakek pun sudah menyalurkan tanaga dalamnya. Sang Kakek terus melakukan itu hingga akhirnya Bobby mengeluarkan darah kotor dari mulutnya. Dan setelah itu, sang Kakek memintanya untuk beristirahat.
142 LIMA Setelah sekian lama membina hubungan, tampaknya Lara kian mencintai Randy. Bagaimana tidak, ternyata pemuda itu memang sangat perhatian dan begitu menyayanginya. Kini gadis itu tengah duduk bersama kekasihnya di teras villa sambil memandang keindahan bukit yang dipenuhi perkebunan teh. Saat itu di benaknya terlintas kembali peristiwa yang telah lewat, ketika waktu itu Bobby pernah memberinya pengertian mengenai tabiat Randy yang perlu dipahami. Dan karena itulah, hingga akhirnya gadis itu kini bisa memahami Randy dan mencoba untuk senantiasa menyelaraskannya. Begitupun dengan Randy, selama ini pemuda itu senantiasa berusaha untuk menyelaraskan tabiat Lara yang sensitif.
"Lara!" tegur Randy ketika mengetahui gadis itu tampak melamun.
143 "Randy! Kau mengagetkanku saja,"
"Apa yang kau pikirkan, Sayang...""
"Ah, tidak. Bukan sesuatu hal yang penting."
"Emm... bukan sesuatu hal penting... ngomong-ngomong, apa aku boleh tahu hal tidak penting itu""
"Kau itu, dari dulu tidak pernah berubah,
Sayang.... Kau selalu mau tahu saja urusan orang,
bahkan hal yang tidak penting sekalipun."
"Mungkin bagimu tidak penting. Tapi, mungkin saja buatku sangat penting."
"Baiklah, kalau kau memang mau tahu. Sebenarnya hal itu menyangkut dirimu."
"Benarkah" Kalau begitu katakanlah!"
"Begini, Sayang... aku heran, kenapa kau mau tahu saja urusan orang""
Mendengar itu Randy langsung terdiam, kemudian keduanya matanya tampak memandang Lara dengan dalam.
Karena dipandang seperti itu, Lara menjadi heran dibuatnya. "Sayang... kenapa kau memandangku seperti itu"" tanyanya kemudian.
144 "Katakanlah padaku, Ra...! Apakah keingintahuanku itu telah membuatmu merasa tidak nyaman""
Lara mengangguk. "Kau senantiasa membuatku terpaksa berdusta, Sayang.... " katanya kemudian.
Randy mengerutkan keningnya, saat itu dia betul-betul sedang memikirkan perkataan kekasihnya yang baginya mengandung makna yang sangat dalam. "Emm... kini aku mengerti. Rupanya kau sudah begitu khawatir dikarenakan kodratmu yang selalu menggunakan perasaan, yang mana tidak semua hal bisa kau kemukakan dengan gamblang. Kalau begitu, maafkanlah aku yang tidak mengerti karena ketidakterusteranganmu! Mulai hari ini aku akan berusaha untuk tidak seperti itu lagi."
"Oh, Sayang... aku benar-benar bahagia karena kau mau mengerti aku."
Lantas kedua muda-mudi itu saling berpandangan dan berpegangan tangan, kedua pasang mata itu saling menatap hangat-mengungkapkan isi hati dengan tanpa kata-kata.
145 "Randy... aku menyayangimu," ungkap Lara seraya memeluknya dan menyandarkan kepalanya di bahu pemuda itu.
"Lara... kau sungguh telah mengajarkan aku akan makna cinta yang sesungguhnya," ungkap Randy sambil terus mendekap Lara dan membelai dengan penuh kasih sayang.
"Aku pun begitu, Kak. Maaf kalau selama ini aku sudah menganggapmu sebagai pemuda yang tidak mau mengerti akan perasaan wanita. Tapi sekarang aku mengerti, semua itu karena aku yang masih belum pandai memilah perasaan, yaitu mengenai mana yang patut kuungkapkan dan yang tidak," ungkap Lara seraya kembali memandang pemuda itu.
Kemudian mereka tampak berciuman dengan begitu mesra dan kembali be
rpelukan erat. Kesucian cinta dan kerendahan hati yang tulus terus berpadu dengan hasrat primitif yang menghilangkan derajat kemanusiaan keduanya, laksana sepasang merpati yang berbagi kasih dengan tanpa ikatan suci yang semestinya. Pada saat yang sama, di negeri nan jauh
146 di sana. Seorang pemuda tampak sedang memperhatikan seorang gadis yang selama ini sudah membuatnya jatuh hati. Siapa lagi kalau bukan cucu gurunya sendiri, yang mana selama ini sering bersamanya berburu di tengah hutan.
"Kena!" teriak gadis itu ketika anak panahnya tepat mengenai sasaran.
Bobby yang sejak tadi memperhatikan gadis yang semula begitu berkonsentrasi membidik sasaran, tiba-tiba tersentak dan langsung memandang ke arah bidikan. Saat itu dilihatnya seekor rusa tampak sudah menggelepar sekarat. Mengetahui itu, Bobby buru-buru menghampiri rusa itu dan menyembelihnya dengan menyebut nama Tuhan. Hingga akhirnya rusa itu mati dengan darah yang terus mengalir dari pembuluh darah besarnya.
"Kak, Bobby. Aku betul-betul heran... kenapa selama ini kau selalu menyembelih rusa yang kupanah," tanya Li Qin terus terang.
"Aku melakukan ini agar rusa itu cepat mati sehingga dia tidak terlalu lama merasakan sakit. Lagi
147 pula, aku melakukan itu agar dagingnya halal kumakan."
"Halal" Apa maksud perkataanmu itu""
"Halal itu berarti Tuhan sudah meridhai aku untuk memakan daging hewan yang sudah kusembelih dengan menyebut nama-Nya, karena di dalam ajaran agamaku tidak diperbolehkan memakan daging hewan yang dibunuh dengan tidak menyebut namaNya. Kau kan tidak seiman denganku, dan secara otomatis ketika memanah tadi kau tidak mungkin menyebut nama Tuhan-ku. Karenanyalah aku harus menyembelih hewan itu agar dagingnya menjadi halal kumakan, sebab jika tidak hewan itu tidak layak aku makan karena dianggap bangkai. Lagi pula, bukankah keyakinanmu tidak mempersoalkan hal itu, dan dengan demikian kau pun masih tetap bisa memakannya."
"O, jadi begitu. Kini aku mengerti, Kak."
Bobby tersenyum melihat Li Qin yang katanya mengerti, namun ekspresinya tubuhnya sama sekali tidak menunjukkan hal itu-dahinya tampak masih
148 berkerut dengan sebelah tangan yang mengusap-usap kepalanya. Tak lama kemudian, Bobby sudah memanggul hewan buruan itu dan melangkah bersama menuju ke pondok yang mereka tinggali. Suasana hutan yang mulai gelap membuat keduanya semakin mempercepat langkah hingga akhirnya mereka tiba di pondok dengan selamat.
Malam harinya, Bobby, Li Qin dan gurunya tampak menikmati hasil buruan yang didapat petang tadi. Daging rusa panggang yang gurih terus mengisi perut dengan perlahan, hingga akhirnya ketiganya merasa kenyang. Seusai makan mereka tampak berbincang-bincang dengan akrabnya, hingga akhirnya. "Huaaahhh...!" sang kakek menguap. "Nak Bobby, Li Qin cucuku, rasanya aku sudah mengantuk sekali, dan sepertinya aku sudah tidak kuat untuk berlama-lama di tempat ini. Teruskan saja perbincangan kalian, aku mau pergi istirahat."
149 Setelah berkata begitu, sang kakek tampak melangkah pergi. Sepeninggal orang tua itu, Bobby dan Li Qin kembali berbincang-bincang. Namun kali ini perbincangan mereka tampak menjurus ke hal-hal yang sifatnya sangat pribadi.
"Li... apakah kau merasakan perasaan yang seperti aku rasakan""
Li Qin tampak mengerutkan keningnya, "perasan seperti apa yang kakak maksudkan"" tanya gadis itu tidak mengerti.
"Perasan ingin selalu berdua seperti ini. Apakah kau merasakannya juga""
Li Qin mengangguk. "Li... terus terang, setelah sekian lama bersamamu aku merasa betul-betul bahagia. Sepertinya... A-aku mencintaimu, Li... "
Mendengar itu Li Qin tersentak gembira, setelah sekian lama menunggu pernyataan itu akhirnya dia mendengarnya juga.
"Li, kenapa kau diam" Apakah kau tidak mencintaiku""
150 "Kak... " Li Qin menatap mata Bobby dalam-dalam "A-aku juga mencintaimu, Kak." Ungkapnya kemudian.
Kini kedua muda-mudi itu sudah saling berpelukan, kemudian dilanjutkan dengan saling berciuman. Prilaku yang selama ini mereka jaga karena saling menghormati, namun sekarang sudah mereka langgar atas nama cinta. Cinta suci yang kini sudah dinodai oleh hasrat primitif
yang tak ada bedanya dengan yang dilakukan oleh makhluk tak berakal.
Esok harinya, di sebuah tanah lapang. Bobby dan gurunya berlatih silat seperti biasa. Kini keduanya sudah berdiri saling berhadapan untuk berlatih tanding. Setelah saling membungkuk, sang guru lantas menyuruhnya bersiap-siap.
"Baik guru," ucap Bobby seraya memasang kuda-kudanya.
151 "Terimalah seranganku ini, anak muda!" kata sang guru dengan serta-merta menyerang.
Bobby tersentak dengan serangan yang begitu tiba-tiba. Namun karena refleksnya sudah terlatih, dia pun bisa menghindarinya dengan mudah. Kini dia balik menyerang, sebuah pukulan dasyat tampak diarahkan pada wajah gurunya. Sayangnya serangan itu luput dikarenakan sang guru yang berkelit ke samping. Pada saat bersamaan, sebuah pukulan siku sang guru telak mengenai rahang Bobby, kemudian disusul dengan lutut sang guru yang bersarang di ulu hatinya. Tak ayal, pemuda itu pun tersungkur sambil meringis kesakitan. Belum sempat Bobby bangkit, tiba-tiba sebuah tendangan sudah mengarah ke pinggangnya. Mengetahui itu, serta-merta Bobby berguling berapa meter, kemudian segera bangkit dan memasang kuda-kudanya. Tak lama kemudian, pertarungan kembali berlanjut. Keduanya saling serang dan menangkis dengan jurus-jurus mematikan, hingga akhirnya Bobby berhasil menyusupkan pukulan dan telak mengenai dada
152 gurunya. Pada saat itu, sang guru terlihat mundur beberapa langkah. Mengetahui itu, Bobby tidak menyiakan kesempatan. Namun ketika Bobby hendak melancarkan serangan, tiba-tiba "Cukup, Nak!" teriak sang guru yang tak menghendaki Bobby celaka, sebab saat itu sang guru sudah memproteksi diri dengan tenaga dalamnya. Mendengar itu, serta-merta Bobby membatalkan serangannya. Kemudian dia segera melangkah dan menghormat pada sang guru.
"Perkembanganmu sungguh pesat, Nak. Terus-terang aku bangga sekali," komentar sang guru bangga.
"Terima kasih, guru. Ini semua berkat tempaan guru yang begitu keras padaku."
"Hehehe...! Akhirnya kau mau mengakui juga kalau perlakuanku yang keras itu telah membuatmu berhasil mengusai jurus-jurus yang kuajarkan."
Tak lama kemudian, sang guru sudah memberikan jurus baru padanya. Pada saat itu Bobby tampak serius memperhatikan gerakan-gerakan yang indah namun sangat mematikan. Dan tak lama
153 kemudian, dia sudah mulai mengikuti gerakan gurunya hingga akhirnya dia hafal dan bisa melakukan gerakan itu sendiri. Sementara itu di tempat berbeda, Randy dan Lara tampak sedang membicarakan rencana Randy untuk pergi keluar negeri. Saat itu mereka duduk berdampingan di atas sofa empuk yang ada di ruang tengah rumah Lara.
"Tapi, Kak. Bagaimana mungkin kau bisa meninggalkan perusahaanmu""
"Mungkin saja. Perusahaanku itu kan sudah bersistem, jadi bisa tetap operasional walaupun tanpa kehadiranku. Karenanyalah aku memutuskan untuk pergi keluar negeri, sebab usaha baruku di sana justru tidak mungkin berjalan tanpa kehadiranku."
"O ya, Kak. Ngomong-ngomong, berapa lama kau akan berada di sana""
"Ya, sampai usahaku di sana juga sudah bersistem. Namun, kau jangan khawatir! Sewaktu-waktu aku pasti pulang untuk menemuimu" Lagi pula, sekali-sekali aku perlu juga memantau langsung perusahaanku di sini."
154 Kedua muda-mudi itu terus berbincang-bincang, hingga akhirnya Lara bangkit dari duduknya dan melangkah ke dapur. Tak beberapa lama kemudian, dia sudah kembali dengan segelas kopi di tangannya.
"Ini Cappuccino-nya, Kak," kata Lara seraya memberikan kopi itu kepada kekasihnya.
Pada saat itu Randy langsung menanggapi kopi itu dan memperhatikannya sejenak. "Kok pakai es, Ra" Apa kau tidak tahu kalau aku lagi batuk"" tanyanya kemudian.
"Maaf, Kak. Aku pikir biarpun lagi batuk, kau mau tetap pakai es. Kau sih tadi tidak bilang kalau tidak mau pakai es."
"Uhuk Uhuk! Aduh, Lara. Mana perhatianmu padaku, masa aku lagi batuk malah diberi es. Kau ini seharusnya tahu kalau orang yang lagi batuk itu tidak boleh minum es."
Saat itu Lara sedikit jengkel dengan sikap Randy yang seperti itu. Dalam hati dia pun jadi menggerutu sendiri, "Dasar pria tidak tahu terima kasih. Sudah untung aku mau membuatkannya kopi. Eh, dia
malah 155 protes. Malah akulah disangka tidak perhatian. Mana aku tahu kalau dia peduli dengan sakitnya, bukankah banyak orang yang memang tidak peduli dengan sakitnya. Biarpun lagi batuk tetap saja mau minum es."
"Ra, kenapa diam" Apa kau tidak mendengar pertanyaanku tadi""
"Baiklah, sini kopinya. Biar aku ganti dengan yang tidak pakai es."
"Maaf ya, Ra! Aku tadi tidak bilang karena kupikir kau itu wanita yang penuh perhatian, tapi ternyata memang belum sepenuhnya. Aku janji, lain kali aku pasti akan bilang."
"Iya aku mengerti. Soalnya tadi aku menduga kau tidak mungkin bisa menghilangkan kebiasaanmu minum cappuccino pakai es. Dan aku takut jika aku membuatkanmu kopi tanpa es, nanti kau bilang aku ini tidak pengertian," jelas Lara seraya melangkah ke dapur.
Pada saat yang sama, Randy tampak merenungkan perkataan Lara barusan. Keinginannya
156 untuk selalu diperhatikan ternyata tidak pada tempatnya, sehingga terjadilah ketidakselarasan antara perhatian dan pengertian. Tak lama kemudian Lara sudah kembali dengan membawa cappuccino tanpa es. Saat itu Randy langsung menjelaskan perihal renungannya tadi, hingga akhirnya Lara pun mengerti dan menganggap hal itu hanyalah sebagai miss communication. Kini kedua muda-mudi itu sudah kembali berbincang-bincang dengan penuh keceriaan. Saat ini mereka sudah lebih mengerti kalau berbagai hal sepele juga bisa menjadi besar jika keduanya tidak mau saling terbuka. Dan karenanyalah, setiap saat mereka selalu berusaha untuk meningkatkan kualitas keterbukaan itu agar segala bentuk miss communication bisa dieliminasi hingga sekecil mungkin. Dan karenanyalah, Lara pun berniat untuk mengungkapkan isi hati yang sebenarnya.
"Kak, sesungguhnya aku... " Lara tidak melanjutkan kata-katanya
"Sesungguhnya apa, Sayang... Ayolah, katakan saja jangan sungkan-sungkan!"
157 "Kak, sebetulnya a-aku tidak mau kau pergi ke luar negeri. Sesungguhnya aku ini wanita yang egois dan sama sekali tidak peduli dengan karirmu."
"Aku bisa mengerti, Sayang... Sebetulnya keegoisanmu itu sangat manusiawi. Kalau kau mau tahu, sebetulnya aku pun sangat berat meninggalkanmu, namun karena semua sangat penting, aku terpaksa harus melakukannya. Karenanyalah, aku meminta kepadamu untuk bisa mengorbankan keinginanmu itu demi untuk masa depan kita, dan masa depan anak-anak kita kelak."
"Tapi, Kak. Apakah dengan perusahaan yang sekarang tidak cukup""
"Sayang... ketahuilah. Aku tidak bisa menjamin kalau perusahaanku itu tidak akan collapse. Karenanyalah aku perlu membangun usaha lain yang jika perusahaanku itu collapse aku masih mempunyai perusahaan lain sebagai cadangannya. Bukankah mempunyai dua keranjang telur lebih baik ketimbang hanya mempunyai satu keranjang. Dan andai satu
158 keranjang telur itu jatuh, kita masih mempunyai keranjang yang lain."
"Benarkah itu keinginanmu yang sesungguhnya, yaitu untuk masa depan kita dan bukan karena demi karirmu semata."
Randy mengangguk. "Maafkan aku, Kak. Semula aku sudah berburuk sangka kalau keinginanmu itu hanyalah karena keegoisanmu yang lebih mementingkan karir ketimbang diriku."
"Sudahlah, Sayang... aku bisa mengerti kenapa kau bisa berpikiran seperti itu."
Lantas kedua muda-mudi itu saling berpandangan dengan sangat dalam, kemudian mereka pun saling berciuman dengan mesranya. Sungguh indah dan membahagiakan sekali andai hal itu mereka lakukan di dalam sebuah ikatan yang sakral.
159 Keesokan harinya, di negeri yang ada di sebelah Barat sana. Mentari tampak bersinar dengan teriknya. Pada saat itu, di atas hamparan hutan pinus yang lebat, seekor elang tampak berputar-putar mencari mangsa. Ketika melihat seekor kelinci, tiba-tiba si penakluk angkasa itu menukik tajam dengan sangat cepatnya menuju mangsa yang sama-sekali tak menyadari kalau bahaya sedang mengancam. Sementara itu, tak jauh dari pondok kayu yang ada di tengah hutan yang sama. Seorang pemuda tampak sibuk membelah kayu bakar di bawah rindangnya sebuah pohon besar. Dan setelah di rasa cukup, pemuda itu tampak beristirahat di beranda kayu sambil mengelap peluh di tubuhnya.
"Ini minumannya, Kak," kata Li Qin memberikan segelas
air putih yang langsung ditenggak Bobby sampai habis.
"Eng, mau kuambilkan lagi, Kak""
"Terima kasih, Li. Sudah cukup."
"O ya, Kak. Kata kakek, belum lama ini beliau melihat beberapa polisi menyisir wilayah ini dengan
160 membawa anjing pelacak. Mereka itu sedang mencari seseorang yang diduga selamat dari ledakan, sebab mereka menemukan jejak darah yang mengarah ke hutan ini."
"Jejak darah" Aneh... bagaimana mungkin aku bisa meninggalkan jejak darah, sedang saat ditemukan aku tengah mengapung di aliran sungai. Hmm... apa mungkin ada orang lain yang selamat""
"Mungkin saja, Kak. Sebab kau saja bisa selamat kenapa yang lain tidak."
Bobby dan Li Qin terus berbincang-bincang mengenai orang yang sedang dicari itu. Sementara itu di tempat berbeda, Lara tampak sedang menangis. Rupanya gadis itu masih merasa berat untuk melepaskan kepergian Randy keluar negeri. Ingin rasanya dia menahan pemuda itu untuk tidak meninggalkannya, namun di sisi lain dia tidak mau menghambat karir orang yang begitu dicintainya, yang katanya demi untuk masa depan mereka dan anak-anak mereka kelak.
161 "Sudahlah, Ra. Kau jangan sedih begitu, nanti bisa-bisa aku tidak jadi berangkat."
Mendengar itu, Lara langsung menghapus air matanya. Kemudian dia menatap kekasihnya itu sambil mencoba tersenyum. "Kau harus berangkat, Kak! Lihatlah, kini aku sudah tidak sedih lagi!"
"Nah, begitu dong. Sekarang kan aku jadi lega untuk berangkat. Sudah ya, Sayang... Jika ada umur, suatu hari nanti kita pasti akan bertemu."
Setelah saling berciuman dan berpelukan mesra, Lara tampak memperhatikan Randy yang kini melangkah menuju ruang tunggu. Pada saat itu Lara benar-benar sedih, di hatinya ada kekhawatiran yang amat sangat. Seketika itu juga di benaknya terbayang perasaan pilu, dimana pada saat itu dia tak bisa bertemu lagi dengan sang kekasih tercinta. Kini gadis itu tampak duduk termenung memikirkan berbagai hal yang sangat mengkhawatirkan dirinya. Saat itu dia sempat membayangkan kalau pesawat yang ditumpangi suaminya terjatuh di tengah lautan dan tak ada seorang pun penumpangnya bisa selamat, namun
162 pada akhirnya kekhawatirannya itu pun lenyap karena dia kembali teringat akan doa yang akan dikabulkan Tuhan. Saat itu juga dia pun langsung berdoa memohon keselamatan atas kekasihnya tercinta.
163 ENAM Setelah keberangkatan Randy, Lara memutuskan untuk menetap di Yogyakarta. Dia memang sudah berniat untuk memulai hidup baru di kampung halamannya. Sambil menunggu Randy kembali, dia akan mengembangkan keahliannya sebagai seorang penari. Saat ini dia sedang duduk di tengah-tengah pendopo, menunggu teman-temannya yang akan berlatih tari bersama. Tak lama kemudian, tempat itu sudah dipenuhi oleh gadis-gadis cantik yang akan menari. Setelah semuanya berkumpul, mereka pun mulai latihan. Suara gamelan terdengar merdu mengiringi gadis-gadis itu. Lenggak-lenggok tubuh indah semampai tampak begitu gemulai, membawakan sebuah cerita Ramayana.
Lara yang berada di tengah-tengah tampak begitu riang. Senyumnya yang menawan mengembang bersamaan dengan gerakannya yang begitu indah.
164 Sementara itu, dari balik pepohonan sepasang mata tampak terus mengawasinya. "Hmm... Indah sekali. Gadis itu memang pandai menari," kata orang itu kagum.
Setelah puas mengawasi, akhirnya orang itu pergi meninggalkan tempat persembunyiannya. Sementara itu di tempat lain yang begitu jauh jaraknya, seorang pemuda tampak sedang meniup bola teka-tekinya-mencari irama yang sesuai agar bola itu bisa terbelah. "Hmm... seperti apa bunyi irama yang harus kubuat itu, apakah harus sedih atau riang"" tanya Bobby sambil terus berpikir mengenai Bola teka-tekinya. Bahkan saking seriusnya, sampai-sampai dia tidak menyadari kalau Li Qin sudah berada di sisinya.
"Alat musik apa itu, Kak"" tanya gadis itu heran.
Seketika Bobby menoleh, memperhatikan wajah manis yang kini menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. "Ini bukan alat musik, Sayang. Namun sebuah bola teka-teki," jawab Bobby seraya menjelaskan perihal bola teka-teki itu lebih jauh.
"Kalau begitu, boleh aku mencobanya""
165 "Silakan saja," kata Bobby seraya menyerahkan
bola itu pada kekasihnya.
Tak lama kemudian, Li Qin sudah meniup bola itu. Kini dia tampak mengenali nada-nada yang dihasilkan dari setiap lubang. Dan setelah agak lama, akhirnya dia bisa menciptakan irama yang terdengar indah. Namun karena yang dihasilkan bukan irama yang sesuai, maka bola itu pun tetap tak bisa terbelah. Karena sesungguhnya urutan nada itu adalah kunci kombinasi yang secara mekanik bisa membuka pengunci yang ada di dalamnya.
"Indah sekali kedengarannya, Sayang... " komentar Bobby kagum.
"Itu terjadi karena aku memainkannya dengan penuh perasaan, Kak."
Mengetahui itu Bobby langsung berpikir. "Emm... jadi harus dengan perasaan. Tapi... perasaan seperti apa, perasaan senang atau sedih"" tanyanya masih belum mengerti. "Sayang... coba kau memainkannya dengan perasaan sedih!" pintanya kemudian.
166 Li Qin pun menurut, dia segera memainkannya dengan perasan sedih, sehingga irama yang dihasilkan pun terdengar begitu memilukan.
"Cukup, Sayang.... sekarang coba dengan perasan senang."
Lagi-lagi Li Qin menurut. Kini dia memainkannya dengan perasaan senang sehingga terdengarlah irama yang terdengar begitu riang.
"Cukup, Sayang!" pinta Bobby. Kemudian pemuda itu kembali berpikir, "Emm... keduanya terdengar sangat indah. Hanya saja iramanya belum sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh pembuatnya. Kalau begitu, mau tidak mau bola itu harus dimainkan setiap saat dan dengan irama yang berbeda-beda."
"Kak, apa yang kau pikirkan"" tanya Li Qin.
Mendapat pertanyaan itu, Bobby langsung memberitahu. Hingga akhirnya, Li Qin pun bisa memahami.
"Emm... Kalau begitu, bolehkah aku meminjam bola ini agar setiap saat aku bisa memainkannya!"
167 "Tentu saja, Sayang... mainkanlah bola itu sesukamu. Terus terang, kau lebih mahir memainkannya ketimbang diriku."
Betapa senangnya Li Qin saat itu, dan tak lama kemudian terdengarlah irama riang yang sangat sesuai dengan perasaannya saat itu. Sementara itu di tempat lain, Lara sedang memperhatikan foto Randy yang ada di liontinnya, saat itu dia tampak tersenyum sendiri, teringat dengan ciuman Randy. "Oh Randy... bagaimana mungkin aku bisa melupakanmu, kenangan indah kita tak mungkin kulupakan."
Kini dia kembali memandang foto Randy yang terpasang di liontinnya, kemudian melekatkannya di bibir dan menciumnya mesra. Sejenak kembali ditatapnya foto itu, lalu segera didekapnya erat. "Kak... kapan kau akan kembali" Sesungguhnya aku sudah begitu merindukanmu. Hmm... Aku heran, kenapa belakangan ini kau jarang memberi kabar padaku. Bahkan sekarang, sudah dua bulan lebih kau belum juga memberi kabar apa-apa. Terus terang, aku begitu tersiksa, siang dan malam aku selalu
168 merindukanmu. Apakah kau memang terlalu sibuk dengan pekerjaanmu, atau... "
Tiba-tiba di benak gadis itu sudah terbayang sebuah peristiwa yang sangat mengkhawatirkan dirinya. Dalam bayangannya itu, Lara melihat Randy tampak sedang asyik berbincang-bincang dengan seorang sekretarisnya yang cantik. Dan karena gadis itu juga sangat memikat hati, lantas Randy pun tergoda. Apa lagi saat itu Randy sedang jauh darinya, tentulah ia merasa rindu dan kesepian. Sungguh tidak mustahil jika seorang pria yang mengalami kondisi demikian menjadi khilaf dan akhirnya menjadikan wanita itu sebagai pelampiasannya. Kini Lara sudah membayangkan bagaimana kekasihnya itu sudah berbuat melebihi batas, dia melakukan hubungan intim di ruang kantornya setiap ada kesempatan. Sungguh saat itu Lara sangat kecewa dengan sikap Randy yang berada di fantasinya.
Seketika Lara menarik nafas panjang dan mengelus dadanya, "Itu tidak mustahil dilakukannya. Bukankah selama kami berduaan dia memang
169 terkadang suka tak terkendali dan mengajakku berbuat begitu, namun karena aku masih bisa menjaga diri maka perbuatan itu tak pernah terjadi. Andai waktu itu aku menurutinya, mungkin sekarang aku sudah tidak suci lagi. Tapi, jika kejadian serupa terjadi di sana dan gadis sekretarisnya itu mau saja, tentu mereka akan melakukannya."
Lagi-lagi Lara menarik nafas panjang dan mengelus dada karena membayangkan orang yang dicintainya melakukan hal yang tak sepatutnya. Belum red
a kecemasan gadis itu akibat fantasinya sendiri, tiba-tiba saja dia mendengar suara ketukan di pintu kamar. "Siapa"" tanyanya kepada orang mengetuk pintu.
"Ini aku, Ra. Winda..."
"O, kau!" kata Lara seraya bergegas membukakan pintu. "Ada apa"" tanyanya kemudian." "Ini, pesananmu."
"O, jadi sudah selesai. Kok tumben bisa secepat ini""
170 "Kau jangan meremehkan aku, Ra. Jelek-jelek begini aku bisa juga profesional loh."
"Kau jangan marah dong, aku kan cuma bercanda."
Gadis yang bernama Winda itu tampak tersenyum, sebuah pertanda kalau ia sama sekali tidak marah. "Sudah ya, Ra. Aku pergi dulu karena masih banyak kerjaan lain," pamit gadis itu kemudian.
"Iya, Win. Terima kasih ya!"
"Sama-sama," ucap Winda seraya bergegas pergi.
Kini Lara mencoba gaun yang dipesannya itu, dan dia tampak begitu cantik ketika mengenakannya. "Winda memang hebat, gaun ini pas sekali di tubuhku."
Lara tampak berputar di depan cermin, dan dia bangga sekali memakainya. Tubuhnya yang semampai begitu serasi dengan gaun biru yang dikenakannya. "Apa ya komentar teman-teman jika melihat gaun ini, apakah mereka akan memujiku. Hmm.. aku rasa memang begitu."
171 Lara terus bergaya di depan cermin, dan dia tak henti-hentinya mengagumi diri sendiri. Terbayang sudah bagaimana para pria nanti akan terkagum-kagum melihat keindahan tubuhnya yang semampai dengan gaun yang juga indah. Bagaimana mata mereka akan terbelalak dan memuji dirinya sebagai gadis yang paling cantik. Sungguh saat itu dia sama sekali tidak memikirkan perasan Randy, yang bila saja tahu mengenai isi hatinya itu tentu akan membuatnya cemburu. Bagaimana mungkin dia bisa rela jika keindahan tubuh kekasihnya dibagi-bagi dengan pria lain, walaupun cuma sebatas pandangan. Idealnya sebagai pria yang merasa terhormat, tentu menginginkan gadis pujaannya itu seutuhnya hanya untuk dirinya. Layaknya putri raja yang terhormat, yang tak sembarang pria boleh melihatnya.
Malam harinya, di tempat pesta. Lara tampil bagaikan seorang putri yang begitu cantik. Pada saat
172 itu, hampir semua mata pria terpana dengan kecantikannya. "Selamat, ya! Semoga panjang umur. O ya, aku minta maaf karena datang terlambat sehingga tak menyaksikanmu meniup lilin," ucap Lara kepada teman satu sanggarnya yang berulang tahun.
"Terima kasih, Ra. Tidak apa-apa kok. O ya, ngomong-ngomong ada yang mau berkenalan denganmu."
"Siapa"" tanya Lara penasaran.
"Tunggu sebentar, ya!" pinta teman Lara seraya melangkah pergi.
Tak lama kemudian, teman Lara sudah kembali bersama dua orang pria tampan. "Kenalkan, Ra. Ini Pak Sasongko, beliau ketua sanggar tari yang terkenal itu. Dan yang ini seorang choreographer, namanya Rahman."
"Saya Lara, senang berkenalan dengan kalian."
"O ya, maaf! Aku harus menemui tamu-tamu yang baru datang itu. Silakan kalian berbincang-bincang dan nikmatilah suasana pesta ini dengan penuh suka cita."
173 Kini Lara dan kedua pemuda yang baru dikenalnya itu tampak berbincang-bincang mengenai tari tradisional yang menjadi dunia mereka, hingga akhirnya mereka mulai akrab dan perbincangan pun semakin jauh berkembang.
"Begitulah, Dik Lara," jelas Pak Sasongko mengakhiri ceritanya mengenai kesibukannya sehari-hari sebagai pimpinan sanggar. "O ya, Dik. Kebetulan hari ini aku ada pertemuan penting dengan seseorang, dan karenanyalah aku tidak bisa berlama-lama di tempat ini. Nah, sebaiknya sekarang aku mohon diri. O ya, di lain waktu aku harap kita bisa berbincang-bincang lagi mengenai dunia kita ini!"
"Tentu saja, Pak. Dengan senang hati," kata Lara seraya tersenyum.
"O ya, Rahman. Jangan lupa untuk mempresentasikan tarian barumu besok pagi."
"Baik, Pak," jawab Rahman.
"Sudah ya, aku mohon diri sekarang."
Setelah pamit dengan Lara dan Rahman, Pak Sasongko segera melangkah menemui teman Lara
174 yang sedang berulang tahun, dan setelah itu dia pun bergegas meninggalkan ruang pesta. Pada saat yang sama, Lara dan Rahman tampak sedang membicarakan sesuatu yang menarik.
"Hmm... Jadi gerakan tari modern yang kau ciptakan itu semuanya terinspirasi dari tari tradisional"" tanya Lara perihal tarian baru yang diciptakan Rahman.
"Betul, Ra . Karenanyalah aku sangat suka berkecimpung di dunia tari tradisional ini, yang mana dari setiap gerakan yang sudah bagus itu bisa aku modifikasi sehingga menjadi gerakan baru yang lebih modern. Terus-terang, aku melakukan ini karena merasa terpanggil untuk membuat tarian modern yang indah namun tidak membuat yang melihatnya menjadi berpikiran macam-macam."
"Eng... maksud Kakak dengan berpikiran macam-macam itu apa""
"Begini, Ra. Setiap orang mempunyai sudut pandang berbeda terhadap sesuatu yang dilihatnya, dan itu tergantung dari pengetahuan yang didapatnya.
175 Misalkan aku sendiri yang selama ini sudah mempelajari seni tari dengan sangat mendalam, sehingga aku bisa memandang gerakan tari itu sebagai suatu hasil kreasi seni yang patut dilestarikan. Sebab setiap kali aku menyaksikan tari, aku betul-betul mendapatkan pesan yang positif yang membuatku menjadi lebih baik. Dan semua itu dikarenakan pesan yang ingin disampaikan oleh pencipta tarian itu bisa aku tangkap dengan baik. Namun tidak demikian halnya dengan orang-orang yang tidak mengerti seni tari, mereka tentu hanya melihat dari sudut pandang yang dangkal, yaitu hanya sebatas gerakan indah yang menghibur. Dan gerakan indah yang menghibur itu pun bisa dimaknai berbeda tergantung dari persepsi orang yang melihatnya. Jika persepsi itu positif tentu tidak menjadi masalah, namun jika itu negatif tentu akan menjadi sebuah masalah. Karena itulah sebagai seorang choreographer aku merasa berkewajiban menciptakan kreasi seni yang betul-betul bisa dinikmati secara positif oleh orang yang tidak mengerti seni sekalipun.
176 Intinya adalah aku tidak mau orang menjadi menyalahgunakan seni untuk hal-hal yang tidak baik. Sebab lahirnya seni itu bertujuan untuk menumbuhkan kebaikan, bukan justru malah sebaliknya."
"O, jadi begitu. Aku kira cuma narkoba saja yang bisa disalahgunakan, tapi ternyata seni juga bisa disalahgunakan ya."
"Ya begitulah kehidupan di dunia. Selama orang masih belum bisa mendapatkan informasi yang baik dan benar tentu penyalahgunaan terhadap hal apapun tentu masih akan terus terjadi. Dan karenanyalah, sebagai orang yang mengetahui informasi itu aku merasa berkewajiban menyampaikan apa yang kutahu itu kepada mereka yang belum mengetahuinya. Dengan harapan, suatu hari kelak mereka bisa menikmati seni sebagaimanamestinya. Dan selama ini pun, aku terus berusaha keras untuk bisa menciptakan kreasi seni yang juga dibarengi dengan informasi yang baik dan benar."
"Kau betul, Kak. Tanpa itu semua bagai mana mungkin orang yang tak mengerti seni akan bisa
177 memahami sebuah karya seni sebagai seni. Contohnya ketika aku menyaksikan pagelaran tari modern, aku sama sekali tidak mengerti maksud dari semua gerakan itu. Choreographer-nya cuma bilang itu adalah kreasi seni, namun sayangnya dia sama-sekali tidak menjelaskan seninya itu bagaimana. Tidak seperti tari tradisional yang kugeluti selama ini, kalau sesungguhnya setiap gerakan di dalamnya punya makna yang mendalam. Sehingga aku pun bisa merasakan gerakan itu adalah sebuah seni, seninya adalah kepiwaian penciptanya dalam menyampaikan sebuah pesan melalui gerakan yang indah." Kedua muda-mudi kini tampak terdiam, sepertinya mereka benar-benar sedang merenungkan apa yang baru mereka bicarakan itu. Hingga akhirnya, mereka pun kembali bercakap-cakap dengan perbincangan yang kali ini jauh lebih berbobot.
178 Esok harinya, di negeri Paman Sam, di tengah hutan di salah satu negara bagian. Sepasang muda-mudi tampak sedang menjelajahi lereng bukit yang terjal, keduanya tampak bergandengan tangan sambil menikmati aroma pohon pinus yang tumbuh di sepanjang jalan. Panorama lembah yang terlihat dari jalan setapak yang mereka lalui tampak begitu indah, birunya danau kecil yang dikelilingi lebatnya pepohonan pinus dan berlatar belakang bukit kecil yang menghijau sungguh menyejukkan mata. Apalagi ditambah dengan kicauan burung yang bernyanyi riang, suara dengung serangga yang menggetarkan sayap, gemercik air terjun kecil yang menentramkan, dan juga nyanyian katak yang riang bermain di aliran selokan yang jernih sungguh menciptakan simf
oni alam yang menentramkan.
"Kita istirahat di tempat ini saja, Kak! Lihatlah! Pemandangan dari tempat ini sungguh indah," kata Li Qin seraya duduk atas sebuah batu yang tak begitu jauh dari terjun kecil itu.
179 "Kau benar, Sayang... betapa damai hati ini bila setiap saat bisa menikmati keindahan seperti ini."
"O ya, Kak. Ngomong-ngomong, kapan kita bisa membina hubungan cinta kita ini ke arah yang lebih jauh. Terus terang, aku mendambakan seorang bayi yang nantinya akan melengkapi kebahagiaan kita."
"Hmm... benarkah yang kau katakan itu" Apakah kau memang sudah siap untuk itu""
Li Qin menganggukkan kepalanya.
"Kalau begitu, aku akan segera bilang pada kakek untuk menikahimu. Tapi..." Tiba-tiba Bobby teringat dengan sesuatu hal yang penting, dan karenanyalah dia pun menjadi begitu berat untuk mengungkap hal yang sebenarnya.
"Tapi apa, Kak""
"Li Qin... maaf kalau aku belum bisa mengatakannya sekarang," katanya terus terang. "O ya, Sayang... bagaimana kalau kita melanjutkan perjalanan!" ajaknya kemudian.
Li Qin mengangguk, kemudian gadis itu segera berdiri dan kembali melangkah bersama kekasihnya.
180 Kedua anak manusia itu terus melangkah hingga akhirnya mereka tiba atas bukit.
"Lihat itu, Kak!" Seru Li Qin gembira ketika melihat sebuah pohon bunga yang tumbuh di dekat bebatuan. Lalu dengan segera gadis itu berlari menghapiri pohon itu dan memetik bunganya yang berwarna biru.
Saat itu Bobby tampak memperhatikan bunga itu dengan penuh seksama, "Hmm... itukah bunga yang dikatakan kakek bisa membuka simpul-simpul energi tersembunyi dalam diriku"" tanya Bobby heran.
Li Qin mengangguk, saat itu di wajahnya tersungging sebuah senyum yang membahagiakan.
"Hmm... aku sungguh tidak menyangka kalau bunga sekecil ini telah diciptakan Tuhan untuk membuat manusia menjadi lebih kuat," kata Bobby kagum.
"Ini adalah bunga Nafas Dewa, yang mana leluhurku mempercayai kalau bunga ini dulunya tumbuh di sorga, dan ketika di bawa turun ke bumi bunga itu akhirnya mati. Lalu untuk menghidupkan bunga itu kembali, Dewa pun memberikan nafasnya
181 hingga akhirnya membuat bunga itu hidup dan terus berkembang sampai hari ini. Leluhurku percaya karena nafas Dewa yang ada di bunga itulah yang bisa membuat manusia menjadi kuat. Bunga ini tumbuh hampir di semua dataran tinggi, namun sangat sulit ditemukan karena hanya berbunga di saat hari Peh-cun bulan Cia-gwee, dan disaat hawa bumi dan langit (Im-yang) sedang bertemu. Hawa itu pun hanya berlangsung beberapa menit saja."
Bobby tersenyum saja mendengar penjelasan Li Qin, dalam hati dia sama sekali tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh kekasihnya. Menurutnya, bunga itu menjadi istimewa bukanlah karena nafas Dewa, namun dikarenakan Tuhan memang telah menciptakan berbagai zat yang secara hukum alam bisa membuka simpul-simpul energi sehingga membuat manusia menjadi lebih kuat. Bunga itu termasuk bunga langka yang regenerasinya sangat lambat, ia membutuhkan berbagai faktor alam demi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.
182
Duka Lara Karya Bois di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah mendapat apa yang mereka cari, akhirnya kedua muda-mudi itu kembali pulang. Dalam perjalanan, mereka terus bercakap-cakap sambil sesekali menikmati panorama senja yang tampak begitu indah. Pada saat yang sama, di kota pelajar negeri zambrut katulistiwa. Beberapa penari tampak gemulai membawakan cerita Ramayana, gerakannya yang lemah lembut tampak begitu harmonis dengan bunyi gamelan yang mengiringinya. Salah satu dari penari itu adalah Lara, yang kini sudah semakin mahir dengan berbagai gerakan yang mengikuti pakemnya. Usai menari, gadis itu tampak berganti pakaian, kemudian melangkah ke sebuah restoran yang tak begitu jauh dari sanggar tarinya.
"Maaf ya kalau lama menunggu!" ucap gadis itu kepada seorang pria yang dikenalnya di saat pesta ulang tahun waktu itu.
"Tidak apa-apa, yang penting sekarang kan kita sudah bertemu," kata pria itu seraya bangkit dari duduknya. "Dik Lara, bagaimana kau kita ngobrol di sana saja!" ajak pria itu seraya melangkah bersama
183 menuju meja yang ada di sudut ruangan. Kini keduanya sudah duduk di tempat itu dan segera memesan makanan dan
minuman. Tak lama kemudian, keduanya sudah menikmati pesanan itu sambil berbincang-bincang dengan penuh keakraban. "Dik Lara... ternyata dugaanku benar kalau kau adalah gadis yang sangat berbakat. Dulu ketika pertama kali melihatmu menari, aku sudah yakin kalau kau akan menjadi menari yang hebat. Karena itulah kini aku memutuskan untuk mengajakmu bergabung dalam sanggar tari yang kupimpin, yaitu sebuah sanggar tari yang selama ini sudah melanglang buana hingga keluar negeri. Nah, Dik Lara... maukah kau ikut bergabung bersama kami""
"Tentu saja aku mau, Pak. Sebetulnya hal inilah yang selama ini begitu kuidam-idamkan, yaitu menjadi seorang penari profesional."
Lara dan orang yang baru dikenalnya itu terus berbincang-bincang dengan penuh antusias.
184 Esok harinya di tengah hutan di sebuah negara bagian Amerika Serikat, Bobby dan Li Qin sedang duduk berdua di bawah rindangnya pohon besar yang tumbuh di samping pondok. Pada saat itu di wajah Bobby terlihat ekspresi kesedihan yang mendalam.
"Kak, sebenarnya apa yang ingin kau bicarakan"" tanya Li Qin.
"Li Qin... ternyata hubungan cinta kita ini telah membuatku sedih."
"Aku sungguh tidak mengerti, Kak. Bukankah selama ini kita selalu berbahagia""
"Ya, kita selama ini kita memang senantiasa bahagia, namun setelah kemarin kau mengungkapkan keinginanmu. Aku pun jadi berpikir, dan akhirnya... " Bobby terdiam. Pemuda itu kembali memikirkan perihal yang telah membebani hatinya. Bagaimana mungkin dia bisa menikahi gadis yang tak seiman dengannya.
Padahal selama ini dia sudah begitu mencintainya dan menganggap Li Qin sebagai embun pagi yang senantiasa memberikan kehidupan bagi rumput yang
185 kekeringan. Sungguh selama ini Li Qin sudah membuatnya hidup kembali dan memaknai kehidupan ini dengan penuh arti.
"Kak! Sebenarnya apa yang kau pikirkan"" tanya Li Qin tiba-tiba.
Bobby tidak segera menjawab, dia menatap Li Qin dengan mata yang berkaca-kaca. "Sayang... aku berharap kau bisa menerima ini!" ucapnya kemudian.
"Menerima apa, Kak""
"Kenyataan pahit yang akan membuat hidup kita bagai tanah tandus yang di atasnya tak mungkin lagi tumbuh rumput hijau yang menyejukkan, indahnya warna-warni bunga yang penuh keindahan, juga keceriaan kumbang dan kupu-kupu yang senantiasa menikmati manisnya sari bunga yang mekar."
"Maksudmu""
"Kita harus berpisah... "
Seketika air mata Li Qin meleleh, bola matanya menatap dalam penuh makna. Seolah mengatakan kalau ia begitu berat berpisah dan tak mungkin bisa hidup bahagia tanpanya. Melihat itu Bobby tampak tak
186 kuasa, kemudian pemuda itu beranjak dari duduknya dan memandang ke arah bukit.
"Kak... kenapa kita harus berpisah"" tanya Li Qin terisak seraya ikut bangkit dan berdiri di samping kekasihnya.
"Keyakinan kita. Nafas kehidupan yang tak mudah untuk dikalahkan hanya oleh sebab hasrat dua hati yang saling mencintai.
Li Qin... apakah kau rela menukar keyakinanmu demi untuk keutuhan cinta kita"" tanya Bobby seraya memandang mata gadis itu dalam-dalam.
"Tidak... itu tidak mungkin, Kak. Sebab, keyakinanku itu adalah anugerah yang membuatku tetap hidup, tanpanya aku bagai orang tersesat yang tak tahu arah tujuan.
Terus terang, aku tidak yakin kalau keyakinanmu itu bisa memberi petunjuk kepadaku untuk menentukan arah hidupku."
"Demikian juga aku, Li. Karenanyalah aku memutuskan untuk berpisah denganmu. Lagi pula, bukankah cinta itu tidak berarti harus memiliki, namun
187 sebenarnya ketulusan mencintai itulah yang terpenting. Biarpun kau tidak menjadi milikmu, namun aku akan senantiasa menyayangimu. Biarlah keyakinan kita berbeda, namun kasih sayang kita tak akan pernah luntur oleh hanya sebab perbedaan itu."
Seketika Li Qin memeluk Bobby erat, dia menangis tanpa berkata sepatah kata pun. Pada saat yang sama Bobby tampak membelainya dengan penuh kasih sayang, membesarkan hatinya agar senantiasa kuat menerima kenyataan pahit yang mereka hadapi. Tak lama kemudian Li Qin sudah melepaskan pelukannya, kemudian menatap Bobby dengan air mata yang terus berlinang.
"Kak... maafkan aku karena tidak bisa mengikuti keyakinanmu!"
"Aku juga, Li. Maafkan aku karena telah
melibatkanmu dengan cinta yang tak seharusnya kita jalani. Andai dari awal aku menyadari kalau akan sesulit ini jadinya, tentu aku tidak akan melibatkanmu."
Lagi-lagi Li Qin memeluk Bobby erat, dia kembali menumpahkan kesedihannya yang mendalam dengan
188 terus menangis di bahu orang yang begitu dicintainya. Pada saat itu Bobby tidak lagi mampu berkata-kata, dia hanya bisa membelai sayang dengan mata berlinang.
Kedua anak manusia itu terus larut dalam duka, buah dari ikatan yang tak semestinya mereka jalani, yang sebenarnya bisa dihindari jika dari awal mereka mau mengamalkan jiwa kemanusiaan mereka yang berakal.
Esok paginya, Bobby sudah siap pergi dengan membawa bekal seadanya. Kini dia tampak berpamitan dengan gurunya yang kini duduk di beranda. Saat itu sang guru tampak sedih, namun sebagai kakek yang bijaksana dia rela melepaskan kepergian sang Murid yang kini baru mengusai sebagian ilmunya.
Setelah berpamitan, Bobby tampak melangkah bersama kekasihnya yang mengantar hingga ke
189 pekarangan. Tak lama kemudian, kedua anak manusia itu saling berpelukan, lalu dari mata keduanya tampak mengalir air mata perpisahan.
"Selamat tinggal, Sayang...!" ucap Bobby seraya melepaskan pelukannya.
"O ya, Kak. Ini bola teka-tekimu."
"Li, sebelum aku pergi, maukah kau mainkanlah sebuah lagu untukku!"
"Tentu saja, Kak."
Li Qin pun segera merangkai nada-nada yang keluar dari bola teka-teki itu dengan baik sekali, sehingga saat itu terdengarlah irama yang begitu indah dan membahagiakan. Irama itu terdengar tidak sedih namun juga tidak riang, irama yang saat itu menggambarkan nuansa hatinya yang kini sudah bisa merelakan kepergian kekasihnya.
Tiba-tiba TREK! TEK! Bola teka-teki itu terbelah dua, dan di dalamnya terdapat selembar kulit hewan yang bertuliskan sebuah pesan yang bisa membahagiakan orang yang membacanya dengan penuh penghayatan.
190 "Kau bisa membukanya, Li!" seru Bobby gembira.
"Ini pesan itu, Kak," kata Li Qin seraya menyerahkan pesan yang baru dibacanya.
Bobby lantas segera menanggapi dan membacanya dengan penuh penghayatan. \
"Hmm... kini aku mengerti. Itulah makna cinta yang sesungguhnya."
"Kak, bisakah kau menjelaskannya padaku""
"Tentu saja, Sayang... "
Bobby pun segera menjelaskan makna yang terkandung di dalam pesan itu, hingga akhirnya Li Qin bisa memahami dan membuat hatinya benar-benar bahagia.
"Ternyata kita memang harus berpisah, Kak," kata gadis itu mengerti.
"Kau betul, Sayang... " "O ya, Ini bolanya, Kak."
"Simpan saja untukmu! Bukankah kau sangat menyukainya. Lagi pula, aku kan sudah tahu isinya, dan bola itu memang sangat pantas kau miliki karena kau pandai memainkannya."
191 "Terima kasih, Kak." ucap Li Qin.
Bobby mengangguk. "Selamat tinggal Li... " ucapnya seraya tersenyum.
"Selamat jalan, Kak..." balas Li Qin ikut tersenyum. Sebuah ekspresi yang menandakan kalau dia pun benar-benar sudah siap berpisah.
Pada saat itu, batin Bobby betul-betul terasa ringan karena melihat Li Qin yang juga bisa tersenyum-pertanda kalau dia sudah betul-betul bisa menerima perpisahan itu dengan tanpa beban sedikitpun. Hingga akhirnya pemuda itu melangkah meninggalkan orang yang begitu dicintainya. Bobby terus melangkah dan melangkah. Dalam hati, pemuda itu berdoa kepada Tuhan agar orang yang dicintainya itu diberikan hidayah sehingga bisa meninggalkan keyakinannya.
Sementara itu, Li Qin yang masih terus memperhatikan kepergian orang yang dicintainya itu juga berdoa kepada Tuhannya agar Bobby mau meninggalkan keyakinannya. Begitulah cinta, yang dengan kekuatannya telah membuat kedua anak
192 manusia itu mau saling mendoakan karena rasa saling menyayangi.
193 TUJUH Seminggu kemudian, Bobby sudah kembali ke Jakarta-sebuah tempat di mana pertama kalinya dia mengenal cinta. Sebuah perasaan yang penuh misteri dan telah membuatnya hanyut di dalam aliran cinta yang begitu dasyat. Terkadang membuatnya bahagia, dan terkadang pula membuatnya menderita. Pemuda itu menyesal karena selama ini telah salah memperlakukan cinta sehingga membuatnya sakit dan menderita.
Sesungguhnya cinta itu bagaikan candu yang bila salah memperlakukannya bisa
menghancurkan orang yang memilikinya. Jika ia diperlakukan tanpa tanggung jawab memang akan terasa nikmatnya, bahkan sangat membahagiakan-terasa melayang di atas indahnya negeri impian. Namun sayangnya semua itu hanya sementara, bahkan berbalik menjadi sangat menyakitkan. Dan jika ia diperlakukan dengan
194 penuh tanggung jawab akan membawa kepada manfaat yang akan menjadikan seseorang bisa terus bertahan dalam menjalani kehidupan. Karena itulah, Bobby pun bertekad untuk memperlakukan cinta dengan penuh bijaksana demi untuk kebaikannya. Jangan sampai dia salah dalam menangani cinta yang bisa menyebabkan penderitaan, bahkan mungkin kematian.
Cinta yang di dalamnya terdapat 1001 macam teka-teki adalah sumber segala petaka dan kebahagiaan di muka bumi ini. Oleh sebab itu cinta bisa menimbulkan berbagai macam perasaan dan prilaku yang baik maupun buruk, yaitu kedamaian, kebahagiaan, kerinduan kegelisahan, kebencian, pengkhianatan, kesetiaan, dan masih banyak lagi. Lantas seketika Bobby kembali teringat dengan pesan yang terdapat di dalam bola teka-teki.
Dari serpihan yang bertebaran, terangkai sudah teka-teki kehidupan. Petunjuk Tuhan pada setiap insan, untuk mengenal arti kehidupan. Hati yang bersih membuka hati, menyangka Tuhan bermurah
Bara Naga 15 Raja Naga 12 Muslihat Dewi Berlian Kaki Tiga Menjangan 16
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama