Jingga Dalam Elegi Karya Esti Kinasih Bagian 3
"Gue gak yakin bisa bawa kalian ke tempat begitu." Tari langsung merasa menyesal.
Ata tersenyum. "Lo gak tau. Sama seperti kami." Dalam sedetik jeda kedua matanya lalu mengerjap letih. "Jadi jangan pergi... " Dia menoleh. "Tolong," bisiknya.
Tari menatap pandang memohon itu. Digigitnya bibir bawahnya tanpa sadar. Perlahan dia mengangguk. Dengan ancaman Ata tadi dan dengan semua yang dilakukan Ari selama ini, dirinya toh memang tak mungkin bisa pergi.
Ata terlihat lega. Bibirnya mengucapkan terima kasij tanpa suara. Kemudian kembali dia memalingkan muka. Memandang wanita batu berkebaya di tengah kolam. Cowok itu menarik napas panjang lalu mengembuskannya kuat-kuat. Suara yang menyertainya menorehkan pedih untuk Tari. Karena Tari tahu, suara tarikan dan embusan napas itu adalah sakit yang t
ak terucap. Aliran darah yang tak terlihat. Cengkeraman "kematian" dalam hidup yang masih berjalan. Dan harapan yang mungkin telah sampai di ambang penyerahan.
Tiba-tiba ponsel Ata menjeritkan ringtone tanda ada SMS masuk. Cowok itu mengeluarkannya dari saku depan celana jinsnya. Seketika ekspresi mukanya jadi kaku.
"Ari," ucapnya pendek sambil memperlihatnya layar ponselnya ke Tari. Dengan terkejut Tari mendekatkan mukanya.
Di layar ponsel Ata, di bawah tulisan "My Twin" yang diikuti sederet angka dan tiga angka lambang kegelapan terselip di antaranya. Terpampang sebuah kalimat pendek yang semuanya tertulis dengan huruf kapital.
UDAH NGAKU BLOM LO!" JGN GAK YA!!!
Sambil menarik napas lalu mengembuskannya dengan kesal, Ata menekan sebuah tombol lalu mendekatkan ponsel itu ke telinga.
"Gue udah ngaku!" tegasnya dengan nada tajam. "Puas lo sekarang" ... Dia biasa-biasa aja ... Kenapa" Lo kecewa" Lo berharap dia marah terus dengan histeris ngatai gue tukang tipu, gitu" Belagak sok baik padahal sebenernya gue mirip lo. Maaf kalo bikin lo kecewa. Tapi tadi gue udah bilang ke dia, kalo gue dan lo itu hampir sama." Ata tersenyum untu saudara kembarnya di ujung lain sambungan.
Dengan cemas Tari mengikuti percakapan di deepannya. Meskipun tidak bisa menangkap apa yang diucapkan Ari, nada-nada tajam dan tinggii di ujung sana itu bisa didengarnya dengan cukup jelas. "Gak. Dia sama sekali gak keberatan. Lo gak percaya" Anaknya ada di depan gue nih sekarang. Mau ngomong""
Ata tersenyum. Kali ini untuk Tari.
"Sekarang apa lagi yang lo mau gue akuin di depan Tari" Hmm" Mumpung kami lagi sama-sama nih. Halo" Halo""
Sepertinya Ari mengakhiri pembicaraan itu dengan tiba-tiba, karena beberapa saat Ata masih memanggil nama saudar kembarnya itu. Ata tersenyum sambil menjauhkan ponsel itu dari telinga.
"Kayaknya dia kecewa. Perkembangnnya gak seperti yang dia harapkan. Dia pikir kita bakalan ribut dan hubungan kita akan berakhit sama kayak hubungan lo sama dia." Dimasukannya ponselnya itu ke saku depan celana.
Tari geleng-geleng kepala. "Tu orang ya, hobi banget bikin huru hara." Ata tertawa pelan.
"Lega sekarang." Cowok itu menarik napas panjang lalu mengembuskannya dengan suara ringan. "Jalan yuk"" ajaknya kemudian denganm suara pelan.
"Ke mana""
"Dekat-dekat sini aja. Gue baru pertama kali ke sini. Lewat sih beberapa kali, tapi gal pernah berenti."
"Ayo." Tari mengangguk setelah sesaat melirij jam tangannya. Sudah terlanjur pulang telat, mending sekalian aja.
Pembicaraan tadi sepertinya menguras energi Ata, karena cowok itu berjalan di sebelah kanan Tari dalam diam. Kedua tangannya terbenam dalam saku celana. Tari tak ingin mengusik, karena pengakuan Ata tadi juga menguras emosinya.
Keduanya berjalan bersisian tanpa membuika mulut sama sekali. Menyusuri sebuah jalan aspal yang tak terlalu lebar, yang berawal dari salah satu sisi taman tadi.
Kira-kira tiga ratus meter jauhnya, langkah-langkah dalam diam itu membawa mereka ke tempat penjualan barang-barang bekas atau sering disebut pasar loak.
Tidak seperti pasar loak pada umumnya yang cenderung kumuh, berantakan dan rawan, pasar loak ini terlihat bersih dan rapi. Kios-kiosnya berjajar teratur. Barang-barang dagangan di setiap kios juga diatur dengan rapi dan terlihat jelas selalu dibersihkan.
Tidak mengherankan. Pasar loak tersebuk memang bukan pasar loak sembarangan. Itu pasar loak yang masuk dalam daftar tempat-tempat wisata yang ditawarkan kota Jakarta untuk turis-turis mancanegara.
Seketika keheningan itu mencair. Tari menoleh ke Ata dengan kedua mata penuh binar ketertarikan. Hal yang sama ternyata juga ditemukan dalam sepasang mata Ata. Segera keduanya bergegas menghampiri deretan kios barang bekas itu.
Mereka melangkah menyusuri trotoar lebar di depan kios-kios itu dengan penuh minat dan langkah-langkah yang jadi superlambat. Tetap tanpa bicara, tapi kali ini bukan karena beban pikiran, namun karena ada begitu banyak benda yang menarik, aneh, lucu, dan unik. Banyak dari benda-benda itu bahkan mereka tidak tahu kegun
aannya dan baru pertama kali ini melihatnya.
Bahkan di dalam satu kios. Mendadak Tari berhenti. Tubuhnya menghadap ke dalam kios lurus-lurus. "Eh, Ta. Liat deh! Liat!" serunya penuh semangat. "Apa"" tanya Ata bingung.
"Itu tuh. Mesin jahit yang dipojokan." Satu tangan Tari terangkat dan menunjuk lurus-lurus ke sudut ruangan, ke sebuah mesin jahit tua yang diletakkan di antara dua mesin jahit lain yang berbeda model namun terlihat sama tuanya.
"Mirip banget kayak punya nyokap gue. Nyokap kan buka usaha jahit di rumah. Daster-daster kodian gitu she. Udah lama. Mesin jahit pertamanya persisi kayak gitu. Hadiah dari Mbah Putri waktu Nyokap merit."
Tari langsung bercoloteh dengan sangat bersemangat. Dengan senyum merekah dan kedua mata yang berbinar. Mesin jahit itu memang memberikan banyak kenangan manis pada masa kanak-kanaknya. Tentang mbah putri dan mbah kakungnya yang tinggal jauh di desa sana. Tentang desa itu sendiri. Pedesaan indah khas Jawa. Dengan gunung, sungai, sawah, dan kebun-kebun palawija.
Mesin jahit itu menyimpan timbunan kenangan yang benar-benar berharga. Sekarang benda itu tersimpan di ruang jahit mamanya. Dalam semua lemari kaca. Bak benda pusaka.
Begitu asyik dan bersenangatnya Tari bercerita, begitu tenggelamnya dia dlam lautan kenangan manis itu, hingga tak menyadari wajah Ata pucat pasi. Cowok itu terguncang hebat.
Ata bahkan sampai terhuyung mundur. Tubuhnya nyaris kehilangan seluruh tenaga. Saat ini dia masih sanggup berdiri tegak karena tiang lampu jalan menopang punggungnya.
Tari baru menghentikan celotehnya saat menyadari dia bicara sendiri. Tidak ada pendengar. Cewek itu lalu menoleh, mencari-cari. Seketika dia tertegun.
Bertumpu sepenuhnya pada tiang lampu jalan dengan seluruh tulang punggungnya, Ata telah menjadi seperti mayat yang diletakkan berdiri. Cowok itu terlihat seperti tanpa aliran darah di tubuh. Mukanya benar-benar pucat. Dan dia membeku sempurna.
"Ta, lo kenapa"" Dengan cemas Tari bergegas menghampiri. "Ata, lo kenapa"" tanyanya lagi begitu sampai di depan cowok itu.
Tak ada jawaban. Sepertinya Ata juga telah kehilangan fungsi indra pendengarannya. Dalam kebekuannya yanh benar-benar total, kedua matanya menatap lurus-lurus pada satu titik. Tari menoleh ke arah tatapan kedua manik hitam itu tertuju, mencari-cari. Ada terlalu banyak barang bekas di dalam kios itu. Beberapa barang malah bisa dikategorikan sebagai barang antik. Cewek itu tidak bisa memastikan benda mana yang sedang terkunci dalam fokus tatapan Ata. Yang telah "mematikan" cowok itu. Alhirnya Tari mengguncang-guncang lengan Ata sambil berseru pelan.
"Ata!" Ata tersadar. Kedua matanya mengerjap kaget. Tubuhnya bergerak.
"Lo kenapa sih"" Tari menatapnya lekat-lekat, benar-benar kuatir. Ata tak menjawab. Dia terlihat seperti linglung.
"Kita pukang, Tar," desisnya kemudian dengan suara tercekik.
"Lo tuj kenapaaa"" Kembali Tari mengguncang-guncang lengan Ata. Gemas karena cowok itu tak juga menjawab, sementara jantungnya nyaris berhenti berdetak melihat kondidi cowok itu tadi. "Kita pukang!" Ata tetap tak ingin menjawab. Dia meraih satu tangan Tari lalu menarik cewek itu pergi dari tempat itu.
Meskipun lini telah bergerak, Ata tetap pucat pasi. Dia tetap terlihat seperti mayat atau orang yang sakit dan kehilangan banyak darah. Dia juga kembali mendadak bisu. Tari berhenti bertanya. Terpaksa menelan seluruh kebingungannya untuk dirinya sendiri. Setidaknya untuk saat ini. Karena dia sadar, kedua telinga Ata kini juga mendadak kembali tuli.
Terpontang-panting Tari mengikuti langkah Ata yang panjang dan tergesa. Tari bahkan nyaris setengah berlari karena Ata terus menggandengnya. Kelima jari cowok itu menggenggam seperti cakar-cakar es. Dingin menggigitkan.
Ketika Everest hitam itu tampak di kejauhan, langkah-langkah Ata justru semakin cepat, seperti tak sabar ingin secepatnya pergi. Dan itulah yang dilakukannya begitu sudah berada di belakang kemudi dan Tari duduk di sisinya.
Everest hitam itu segera meninggalkan tempatnya diparkir dan bergabung dengan kendaraan-kendar
aan lain di jalan raya. Langsung terlihat mencolok karena Ata "memangsa" setiap ruang kosong yang ada. Dia bahkan beberapa kali membuat gerak zig-zag tajam, memaksa beberapa kendaraan mengalah dan melambatkan laju mereka.
Cowok itu masih bisu. Dia juga masih tuli. Mobil melaju cepat dengan keheningan di dalamnya. Dan Tari memilih untuk mengikuti. Dia duduk diam dengan pandangan lurus ke depan. Kedua tangannya mencengkeram tepi jok kuat-kuat. Ditelannya ketakutannya tiap kali mobil membuat manuver tajam. Dia juga sama sekali tak berusaha bahkan untuk sekedar mencuri lihat dengan lirikan cepat. Sepuluh menit kemudian Ata menepikan mobil. Dia menoleh dan menatap Tari dengan permintaan maaf.
"Sori, Tar. Gue gak bisa nganter sampai rumah," ucapnya pelan. Kemudian cowok itu membuka pintu di sebelahnya turun. "Yuk, gue cegatin taksi." Dia mengangguk kecil lalu menutup pintu. Dengan kebingungan yang makin memuncak, Tari membuka pintu di sebelahnya dan turun. Tapi dia sudah bertekad akan menggunakan kesempatan menunggu taksi kosong itu untuk berusaha mendapatkan jawaban penyebab perubahan Ata ini. Yang begitu mendadak dan drastis. Sayangnya arus lalu lintas di depan mereka cukup ramai. Tak sampai setengah menit taksi kosong muncul di kejauhan. Ata langsung mengulurkan tangan kirinya untuk menghentikan. Dibukanya pintu belakang. Tari terpaksa menekan lekecewaannya, tapi yang terutama, kecemasannya. Dia masuk ke dalam taksi.
Tidak seperti biasanya, setelah meletakkan selembar uang di pangkuan Tari dan memberi tahu sopir ke mana sang penumpang itu diantar, Ata langsung menutup pintu. Dia tidak mengucapkan pesan-pesan perpisahan yang selalu diucapkannya selama oni. Hati-hati di jalan, telepon atau SMS kalo sudah sampai rumah, bilang kalau ongkosnya kurang.
Begitu pintu penumpang di belakangnya menutup, sopir taksi langsung menginjak gas, seperti perintah terakhir Ata. Sekali lagi Tari melihat kejanggalan. Biasanya Ata selalu menunggu sampai taksi yang ditumpanginya menghilang di ujung jalan atau tikungan, baru dia pergi. Tapi lewat kaca spion, Tari melihat cowok itu langsung melangkah menuju mobilnya begitu telah menutup pintu taksi.
Dan tak lama, dengan cara mencondongkan moncong mobilnya ke tengah jalan untuk memaksa kendaraan-kendaraan lain berhenti, Everest hitam itu berputar arah seratus delapan puluh derajat, kembali ke arah semula.
Tari tercengang. Sebyah dugaan langsung berkelabat di benaknya. Seketika, nyaris di luar kesadaran, ditepuk-tepuknya punggung sandaran jok supir kuat-kuat.
"Pak! Pak! Berhenti, Pak!"
Bapak sopir menghentikan mobilnya dengan kaget. "Ada ap...""
"Putar balik, Pak! Ikutin mobil item yang tadi!" Seruan bernada genting Tari memotong pertanyaan heran pak sopir.
Melihat bapak sopir taksi itu cuma menatapnya dengan bingung, kembali Tari menepuk-nepuk punggung jok yang diduduki si sopir. Kali ini lebih keras.
"Cepetan, Paaak! Gawat banget urusannya niiih!" serunya tak sabar.
"Gak jadi dianter ke tempat yang dibilang anak tadi""
"Gak! Gak! Tolong cepet kejer moboil item yang tadi, Pak!"
Melihat Tari yang seperti akan menangis, bapak sopir taksi itu buru-buru memutar kemudi. Taksi itu berbalik arah. Tapi Everest hitam Ata sudah tak terlihat.
"Saya tau dia pergi ke mana. Bapak lurus aja. Nanti ada perempatan, belok kanan," Tari langsung memberikan pengarahan.
Dugaannya tepat. Everest hitam itu terlihat di area parkir kecil tak jauh dari deretan kios barang-barang bekas itu. Melihat posisinya, terlihat jelas mobil itu diparkir terburu-buru. "Sto sin aja, Pak!" seru Tari tertahan.
Taksi itu berhenti. Masih dua ratus meter jauhnya dari area parkir itu. Tari menyerahkan selembar lima puluh ribuan dari dua lembar yang tadi diletakkan Ata di pangkuannya. Tanpa menunggu kembalian, dia membuka pintu dan bergegas turun.
Mengambil tempat di seberang jalan, Tari berlari dari perlindungan satu pohon pelindung jalan ke pohon berikutnya dengan cepat. Saat jarak yang tersisa tinggal sekitar lima puluh meter, baru Tari berhenti. Dia melekatkan diri rapat-rapat pada batang p
ohon di sebelahnya. Perlahan dan hati-hati, kemudian diintipnya ke seberang jalan.
Ata berdiri beku di depan kios barang bekas yang belum lama mereka tinggalkan itu. Tubuhnya terlihat menegang. Sama seperti tadi, kedua matanya menatap lurus-lurus ke dalam kio. Ke sebuah benda yang tidak dapat ditemukan Tari.
Ketika sepuluh menit kemudian kios itu juga kios-kios yang lain tutup-karena waktu telah menunjukkan tepat pukul lima sore-Ata tetap bergeming. Tetao berdiri membeku di tengah trotoar yang kini kosong dan lengang. Tetap memandang ke benda itu meskipun kini benda itu tak lagi terlihat dalam fokus oandangan. Terhalang sebuah kerai besi yang sepuluh menit lalu diturunkan oleh sang pemilik dagangan.
Lunglai, Ata bergerak mundur perlahan. Tetap dengan kedua mata yang tertancap ke benda itu yang kini terhalang dari pandangan. Punggungnya lalu membentur tiang lampu penerang jalan, menghentikan langkah-langkah lunglai itu.
Tari melihat pemandangan yang membuat hatinya nelangsa sekaligus makin dililit tanda tanya. Ata meluruh di sana. Jatuh terduduk. Dengan kedua kaki yang terlipat dan punggung yang kini sepenuhnya disangga oleh tiang lampu jalan, cowok itu kembali membeku. Sambil menggigit bibir Tari bergegas mengeluarkan ponsel dari dalam kantong luar tasnya. Dia benar-benar tidak mengerti apa yang sebenarnya sudah terjadi. Tapi kalau tidak bertanya, dirinya tidak akan pernah tahu jawabannya.
Dengan ceopat diketiknya sebuah SMS pendek. Bertanya ada apa dan bahwa dia benar-benar kuatir dengan perubahan Ata yang tiba-tiba. Langsung dikirimnya SMS itu begitu selesai. Sayup, Tari bisa mendengar ponsel Ata meneriakkan ringtone. Cukup keras untuk ukuran situasi di jalan kecil yang lengang itu. SMS-nya telah sampai di tujuan. Tari tercengang ketika ternyata ringtone itu tak mampu menghancurkan beku yang membelenggu Ata. Cowok itu tetap terjerat kuat di dalamnya.
Tari menyaksikan kenyataan itu dengan mulut ternganga. Berati sesuatu yang serius telah terjadi. Sayangnya dia tidak bisa menunggu lebih lama lagi, apalagi terus menemani meskipun hanya dari jauh dan tak tersadari begini, karena hari telah beranjak gelap dan dia tidak tahu sampai kapan Ata terpuruk di depan kios itu.
Dengan perasaan yang benar-benar berat, terpaksa Tari meninggalkan tempat itu.
*** Situasi sekarang berbalik.
Tari duduk bersila di atas tempat tidurnya dengan bibir tergigit dan kedua mata menatap layar ponselnya lurus-lurus. Entah sudah berapa lama waktu yang dilewatinya dengan cara begitu. Kecemasan makin mengimpit, nyaris membuatnya tidak mampu melakukan apa-apa. Dua belas panggilan telepon dan tujuh buah SMS. Darinya untuk Ata. Namun, tak satu pun mendapat tanggapan. Ata membisu di seberang sana. Entah dia telah berada di rumah ataukah masih terpuruk di depan kios di jalan kecil yang lengang itu.
Malam itu Tari nyaris tidak bisa memejamkan mata. Bayangan Ata yang pucat pasi dan berdiri membeku di depan kios barang bekas itu benar-benar menyiksa Tari.
Keesokan paginya, Tari berangkat sekolah dengan mata yang masih setengah mengantuk dan hati yang semakin disesaki kecemasan serta tanda tanya. Hal yang pertama langsung dilakukannya begitu membuka mata setengah jam sebelum subuh tadi adalah mengecek ponsel. Dan layarnya tetap kosong. Ata masih membisu.
"Menurut lo apa yang dia liat"" tanya Fio pelan.
Tari menggeleng muram. "Gak tau. Di situ tuh ada banyak banget barang bekas. Banyak yang udah kuno banget malah. Ada benda aneh yang gue gak tau itu apa atau buat apa." Cewek itu menggeleng lemah. "Gue sama sekali gak punya dugaan apa yang diliat Ata kemaren, sampe dia berubah jadi drastis begitu."
"Hp-nya aktif""
"Aktif. Tapi dia gak mau ngangkat. SMS-SMS gue juga gak ada yang dia bales." "Kenapa ya dia"" gumam Fio.
Keduanya lalu terdiam. Menatap jalan raya yang sibuk di kejauhan. Tenggelam dalam lautan tanda tanya yang sama. Sekali lagi dinding-dinding di sekitar koridor depan gudang menjadi saksi diam rahasia-rahasia tentang Ari dan semua hal yang berhubungan dengan cowok yang paling berkuasa di sekolah itu.
Bel masuk berbunyi. Tari dan Fio balik badan dengan gerakan lambat lalu berjalan menuju kelas. Kembali Tari mengirimkan sebuah SMS untuk Ata. Berharap saat jam istirahat pertama nanti akan terjadi keajaiban.
*** Berkilo-kilo meter dari langkah Tari yang lunglai, di trotoar seberang deretan kios barang bekas itu, Ari duduk di atas jok motornya bahkan sejak hari masih gelap. Sejak kepingan masa lalu itu mendadak dihadirkan, cowok itu nyaris tak sanggup melakukan apa pun. Keseluruhan dirinya seketika tersedot ke masa-masa sebelum perpisahan yang tiba-tiba itu. Pikiran, energi, emosi, hati. Hingga yang dilakukannya adalah benar-benar terjaga menunggu pagi.
Sejak malam Ari merenung di teras kamarnya. Dan ketika waktu menunjukkan pukul lima pagi, cowok itu langsung berdiri dari duduk diam seopanjang malamnya. Dan di sinilah dia sekarang sejak pukul setengah enam tadi. Duduk di atas jok motornya juga dalam diam.
Kedua matanya terus menatap ke seberang jalan. Pada salah satu kios dari banyak kios berjajar di sana yang masih tertutup rapat.
Berbatang-batang rokok habis terisap ketika kios itu akhirnya buka, sesaat menjelang pukul sembilan. Seketika Ari bangkit dari duduknya yang sudah berpindah dari atas jok motor ke bata trotoar.
Cowok itu berdiri tegang saat bapak pemilik kios tempat kedua matanya tak pernah teralihkan mulai mengangkat kerai kiosnya. Logam berlipat yang mulai berkarat itu meneriakkan derit tajam saat dipaksa untuk bergerak naik. Memantik detak jantung Ari. Menciptakn rentetan dentam yang menggetarkan rongga dadanya.
Ketika akhirnya kerai itu sepenuhnya terbuka, dia membekukan cowok itu seutuhnya. Tidak hanya tubuh, tapi nyaris seluruh kesadarannya.
Di sanalah benda itu. Benda kecil. Berusia tua. Kusam. Tak berharga. Teronggok di sudut. Terlupakan, namun sangat ingin diraih dan dipeluknya.
Diseberanginya jalan raya dengan langkah setengah berlari. Dihampirinya toko itu lalu berdir tepat di depannya. Di tengah-tengah trotoar. Kini jarak Ari dengan benda itu tak lebih dari tiga meter. Namun tiga meter itu kemudian merentaskan masa lalu ke hadapan. Mengenyahkan masa kini. Sakit sehitam jelaga seketika mencengkeramnya erat. Sama sekali tak diduganya, banyak kenangan ternyata masih tersimpan rapi dalam salah satu sudut benak dan alam bawah sadarnya. Dan semua itu kini menyeruak keluar seperti putaran cepat sebuah jentera.
Banyak rasa yang selama ini dipaksanya untuk tertidur, kini juga terjaga. Menggeliat dan menggila. Nyaris menggilas kesadarannya.
Ari mendekati bapak pemilik kios dengan langkah gamang.
"Pak...," ucapnya dengan suara lirih dan serak. "Mesin jahit yang itu harganya berapa""
Bapak sang pemilik kios menghentikan kesibukannya membersihkan barang-barang dagangannya dengan kemoceng.
"Yang mana"" tanyanya, menjahit ketiga mesin jahit dagangannya satu per satu.
"Yang di tengah."
"Wah, kalau itu gak dijual, Nak. Sudah dibayar orang."
Ari merasa sesuatu dalam dirinya dicabut paksa. Dan dia tahu apa sesuatu itu. Harapan. Detik ini juga alam bawah sadarnya meneriakkan perlawanan.
"Saya bayar dua kali lipat, Pak."
Bapak itu menggeleng, tersenyum minta maaf.
"Gak bisa, Nak. Ini bukan soal uang. Mesin jahit ini sudah milik orang. Bukan milik Bapak lagi." Ari tidak mau menyerah.
"Saya bawa pulang sebentar ya, Pak. Nanti Bapak saya kasih alamat rumah saya. Nomor telepon juga. Kalo orang yang beli mesin jahit ini dateng, Bapak telepon saya. Nanti kangsung saya anter ke sini. Kalo saya gak datang, Bapak ambil paksa aja ke rumah." "Maaf, Nak. Gak bisa. Soalnya itu udah bener-bener dibayar lunas."
"Saya betul-betul janji, Pak. Nanti kalau orang yang beli itu dateng, langsung saya anter ke sini lagi. Kalo orang itu marah, nanti saya jelasin." Ari nyaris saja akan berlutut saat mengucapkan kata-kata itu.
Dengan ekspresi muka menyesal, Bapak itu kembali menggeleng.
"Maaf, Nak. Bapak betul-betul minta maaf. Mesin jahit itu sudah dilunasi dan orangnya bila titip dulu di sini. Nanti mau diambil, begitu katanya. Dia juga bilang, titipnya gak lama. Orang
yang beli itu datangnya juga belum lama kok. Kamu cuma telat sedikit aja." Harapan meredup di kejauhan.
"Saya bayar tiga kali lipat, Pak! Saya bayar sekarang!" Ari berseru tanpa sadar. Getaran hebat menyertai seruan itu.
Bapak pemilik kios itu tertegun. Pada dua manik hitam pekat di hadapannya, dia melihat bukan hanya permohonan yang amat sangat. Mata tuanya tahu, anak laki-laki ini telah melalui banyak hal menyedihkan. Dan mesin jahit tua itu sepertinya benda yang punya arti sangat penting untuknya. Sayangnya dia tidak bisa membantu. Perlahan kepalanya menggeleng. Ari melunglai.
"Saya boleh lihat"" pintanya kemudian dengan suara lirihn setelah beberapoa saat terdiam dengan kepala menunduk.
"Kalau cuma liat, boleh. Sebentar ya, Bapak ambil." Bapak itu beranjak ke dalam. Diambilnya mesin jahit itu lalu dibawanya ke hadapan Ari. Bapak itu meletakkan mesin jahit itu di atas sebuah meja kuno di depoan Ari.
Kedua mata Ari mengerjap pelan. Perlahan dia duduk bersimpuh di depan mesin jahit itu. Menatapnya namun dengan fokus yang terbentang teramat jauh ke waktu-waktu yang hilang. Disentuhnya mesin jahit itu dengan gerakan yang benar-benar perlahan. Seperti takut benda itu adalah khayalan. Disentuhnya setiap detainya dengan jari-jari gemetar.
Setiap detailnya adalah nyanyian. Namun setiap detailnya juga tangisan. Setiap detail juga seribu tanya dalam kepanikan dan keputusasaan. Setiap detail juga hardikan ayahnya dalam putus asa karena ketidakmampuan memberikan jawaban.
Setiap detail adalah tawa, canda, tangis, dan pertengkaran.
Setiap detail adalah pelukan dan rangkulan.
Setiap detail adalah bahagia dan cinta.
Setiap detail adalah usaha pencarian yang tak kenal letih.
Setiap detail sebenarnya adalah harapan yang tal kenal habis.
Namun, setiap detail adalah pertahanan yang jatuh bangun dan makin menipis.
Entah berapa lama waktu yang sudah terlewat. Dengan penuh pengertian sang bapak pemilik kios membiarkan Ari duduk membeku di depan kiosnya, dengan pandangan tak sedetik pun terlepas dari mesin jahit itu.
Beberapoa saat kemudian Ari berdiri. Setelah sekali lagi menatap mesin jahit itu, dihampirinya bapak pemilik kios.
"Terima kasih, Pak," ucapnya dengan suara yang benar-benar tidak terdengar. Kalau saja gerak bibirnya tidak terbaca, bapak pemilik kios bitu tidak akan tahu apa yang diucapkannya. Dia mengangguk dengan menyesal. "Maaf ya, Nak."
"Iya, Pak. Gak papa. Terima kasih."
Sekali lagi Ari mengangguk. Kemudian dia balik badan dan meninggalkan kios itu dengan langkah cepat menuju motornya yang diparkir di seberang jalan. Dan langsung ditinggalkannya tempat itu. Sesak cekikikan masa lalu yang ditahannya mati-matian kimi tumpah. Mewujud dalam bening air mata yang tak sanggup lagi ditahan.
"Sialan!" desis Ari. Cepat-cepat diusapnya kedua matanya dengan salah satu lengan baju. Dirutukinya kebodohannya. Tak sadar dia tidak menggunakan helm saat pagi tadi bergegas meninggalkan rumah demi benda tua itu.
Ari kemudian menggas motornya gila-gilaan. Menuju sebuah danau, sejauh yang bisa diingatnya, terletak tidak begitu jauh. Sampai di tujuan, motor hitam itu berhenti di tepinya dengan suara decitan karena tali rem yang ditarik mendadak.
Ari turun. Dengan gerakan sangat cepat, cowok itu melepaskan kausnya dan meletakannya di atas jok, bersamaan dengan kedua kakinya melepaskan sepatu kets yang dipakainya, bergantian. Kemudian dia berlari menuju danau dan menceburkan diri ke dalamnya. Orang-orang menoleh kaget. Beberapa refleks berlari ke arah suara mencebur keras itu, yang menimbulkan cipratan air yang cukup tinggi juga gelombang dan riak. Mengira sesuatu yang buruk telah terjadi.
Tapi tak lama mereka berhenti, karena melihat Ari berenang hilir-mudik dengan berbagai gaya. Suatu saat dia menukik ke dalam beningnya danau, kali lain dia telentang dengan tenang dan berenang lambat.
Orang-orang itu lalu pergi sambil menggerutu, meneruskan aktivitas masing-masing yang sempat tertunda. Mereka dongkol dan mengira Ari cari sensasi. Mereka tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi.
Ari sedang meminta pada danau kecil itu untuk menerima air matanya. Sebagaimana danau itu juga telah selalu menerima air mata langit yang kini beriak dalam peluknya.
Lima belas menit kemudian Ari menepi. Kedua matanya memerah, tapi dia terlihat sedikit lebih tenang. Dikenakannya kausnya kembali. Tak peduli dengan celana jins yang basah kuyup dan terus
meneteskan air, cowok itu menaiki motornya. Dan langsung meninggalkan tempat itu.
*** Rumahnya selalu sunyi dan mesin jahit itu membuat kesunyian rumah ini semakin berat untuk dihadapi.
Ari memasuki rumah dengan langkah cepat. Jinsnya yanhg basah kuyup meninggalkan jejak berupa titik-titik air. Cowok itu langsung berjalan menuju kamarnya. Tidak menoleh ke kiri atau kanan, karena memang tidak ada yang perlu diliat apalagi disapa.
Dengan cepat dilepaskannya seluruh pakaiannya lalu dilemparkannya begitu saja ke sudut kamar. Sambil berjalan ke arah lemari, diliriknya jam di dinding. Jam pelajaran bahas Jepang sedang berlangsung. Bu Miyati pasti sedang sibuk mengoceh di depan kelas.
Ari tersenyum sendiri. Dadanya sedang sesak dan dirinya harus melakukan sesuatu agar sesak ini berkurang. Akan dibantunya Bu Miyati mengoceh dalam bahasa negeri matahari terbit itu. Bedanya, Bu Miyati mengoceh dalam bahasa Jepang yang baik dan sudah pasti benar, sedangkan dirinya akan mengoceh dalam bahasa Jepang yang setahunya benar.
Dua puluh lima menit kemudian, kelas 12 IPA 3 hening senyap. Bu Miyati sedang me-review tata bahasa Jepoang yang diberikannya pada minggu pertama siswa-siswi di sepannya ini duduk di kelas dua belas, dalam bentuk percakapan perorangan. Satu orang kebagian jatah menjawab dua pertanyaan. Dan kegitan itu stuck pada siswa yang baru saja datang pada lima meniy menjelang jam pertama mengajarnya selesai!
Bu Miyati sampai mengajukan lima pertanyaan dan Ari menjawabnya dengan kalimat yang tata bahasanya bisa membuat murka Menteri Pendidikan Jepang.
Meskipun niatnya memang membuat kacau, Ari bukan sengaja. Kelemahannya memang pada bahas aksaranya yang berbasis simbol! Bukan latin. Karena suasana hatinya sedang sangat buruk, ditambah tuduhan Bu Miyati bahwa dirinya sengaja mengacaukan jalannya pelajaran, akhirnya cowok itu mempersilahkan sang ibi guru yang sedang cemberut berat itu untuk mengajukan pertanyaan berikut. Dan dia berjanji akan menjawabnya dengan baik dan benar secara tata bahasa. Permintaannya dituruti. Seisi kelas langsung menyimak dengan konsentrasi supertinggi, karena seriusnya wajah Ari biasanya menandakan sesuatu akan terjadi.
Bu Miyati mengajukan sebuah pertanyaan, tentu saja dalam bahasa Jepang. Ari mejawabnya dengan benar, secara arti dan tata bahasa, tapi dalam bahasa Jawa!
Gak tanggung-tanggung. Karena dilihatnya Bu Miyati tercengang, Ari sampai menjelaskannya di whiteboard, lengkap dengan aksara Jawa yang dia latinkan!
Ho no co ro ko - do to so wo lo - po do jo yo nyo - mo go bo to ngo. Dua puluh aksara Jawa itu terpampang besar-besar di whiteboard, dalam bentuk huruf asli dan Latin!
Seisi kelas kontan terpukau. Mereka menatap tulisan asing di whiteboard itu, yang bahkan baru pertama kali ini mereka lihat, dengan mulut ternganga. Terlebih lagi karena Ari yang menuliskan.
Sama sekali mereka tak menyangka, cowok tukang bikin onar itu ternyata menguasai bahasa yang bagi mereka seasing bahasa Elf-nya The Lord of the Rings.
"Itu bukan huruf India ya, Ri"" tanya Rina.
"Bukan," tandas Ari. "Gimana sih lo" Lo kan juga orang Jawa."
Selama lebih dari lima menit kemudian, memanfaatkan ketercengangan Bu Miryati, Ari memberikan sesi pelajaran bahasa Jawa kepada teman-teman sekelasnya plus ibu gurunya yang notabene juga orang Jawa tapi buta bahasa daerahnya sendiri.
"Buat saya, Bu," ucap Ari sambil meletakkan spidol di meja guru, "bahasa nasional itu pertama. Kedua, bahasa yang jadi akar identitas diri, maksud saya suku atau etnis. Baru deh abis itu kita pelajari bahasa orang. Negara kita lagi krisis identitas nih, jadi perlu kembali ke akar. Untuk mencegah disintegrasi. Jadi Ibu gak perlu marah-marah cuma karena s
aya gak bisa bahasa Jepang.
Harusnya Ibu malu. Bisa bahasa Jepang, tapi gak bisa bahasa Jawa."
Seisi kelas kontan bertepuk tangan riuh dan gegap gempita, membuat kesadaran Bu Miyati kembali. Segera ibu guru itu berusaha membuat kontrol kembali.
Ditegurnya Ari dengan keras. Dengan segera Ari menegur balik karena memang ini yang sedang dia butuhkan. Seorang lawan untuk melepaskan sesak di dadanya. Sebenarnya yang paling dia butuhkan saa ini adalah lawan baku hantam. Berhubung sekarang masih jam belajar, terpaksa dia harus menunggu sampai nanti siang, selesai jam belajar. Jadi saat ini lawan tarik urat cukuplah. Menit berikutnya seisi kelas Ari menyimak dengan senang hati perdebatan seru yang terjadi di antara dua kubu, Ari dan Bu Miyati. Berawal tentang bahasa, kemudian merembet ke masalah nasionalisme, dan segera berpindah ke topik-topik lain. Debat itu menghabiskan waktu dan ketika akhirnya Bu Miyati terdiam dalam kekalahan, dengan muka merah padam, waktu mengajarnya tinggal tersisa sepuluh menit. Ibu guru yang terobsesi dengan segala sesuatu yang berbau Jepang itu kemudian melangkah ke luar kelas dengan marah.
Bel istirahat berbunyi. Penghuni kelas Ari nyaris utuh. Semuanya mendadak jadi tertari belajar bahasa Jawa. Lima menit kemudian, Alma, cewek kelas sebelah datang lalu berteriak keras di pintu.
"Ari, lo dipanggil kepala sekolah. SEKARANG!!!"
**** Bel istirahat pertama berbunyi. Tari langsung mneyambar ponselnya dari dalam laci. Seketika kedua bahunya melunglai saat didapatinya layar ponselnya tetap kosong. Masih tidak ada reaksi dari Ata. Masih tidak ada kabar apa pun. Sesuatu yang seharusnya diketahui cewek itu dengan baik, karena sejak ponsel itu diletakkan dalam laci tiga jam lalu, benda itu tidak pernah mengeluarkan getaran. Sama sekali!
Jam istirahat kedua, hal yang sama terjadi. Tercenung, Tari memendangi layar ponselnya yang tak juga memunculkan nama Ata. Dihelanya napas panjang. Dengan lesu cewek itu bangkit berdiri lalu berjalan keluar kelas dengan langkah lambat menuju koridor depan gudang.
Di sana, dengan kedua mata menerawang ke kejauhan, akhirnya cewek itu sampai pada satu kesimpulan. Dia akan berhenti mencecar Ata dengan tanya, meskipun itu murni karena dirinya kuatir. Dia akan berhenti bertanya kenapa Ata mendadak diam dan menghilang di luar sana. Dia juga tidak akan lagi ingin tahu apa yang menyebabkan Ata pucat pasi waktu itu.
Sesuatu telah terjadi dan mungkin itu memang tidak bisa dibagi. Hanya milik cowok itu sendiri.
*** Dua menit setelah bel pulang berbunyi, Tari dan Fio membaur dalam kepadatan arus siswa yang berjalan menuruni tangga menuju koridor utama. Begitu melewati mulut koridor utama, Tari melihat terjadi kemacetan total di ruas jalan di sebelah lapangan basket. Semua orang berhenti dan berdiri berdesakan di sepanjang tepi lapangan basket.
Tari dan Fio saling pandang sesaat lalu bergegas menghampiri kerumunan itu. Dengan paksa mereka menyeruak sampai mendekati tepi lapangan, penasaran ingin tahu apa yang sedang terjadi sampai semua orang batal pulang.
Seketika Tari ternganga dengan ngeri. Di depannya sedang berlangsung permainan basket paling brutal yang pernah dia lihat.
Three on three. Dengan dua siswa kelas sebelas dan satu siswa kelas sepuluh-ketiganya berbadan besar-yang tadi terpilih oleh jari telunjuknya untuk jadi tim lawan, Ari mengubah lapangan basket jadi ajang olahraga setengah gladiator.
Bukannya basket three on three, yang terjadi di lapangan basket itu lebih tepat diebut rugbi one on three, karena Ari yang menguasai lapangan dan seluruh jalannya permainan. Jika Tari baru menyaksikan kekacauan Ari siang ini, Ridho dan Aji telah menyaksikannya sejak tadi pagi. Bermula pada pelajaran bahsa Jepang dan berlanjut ke jam-jam pelajaran berikutnya. Bukan cuma terhadap Bu Miyati, Ari membuat marah hampir semua guru pada jam-jam pelajaran berikutnya. Sampai-sampai dia dua kali dipanggil ke kantor kepsek. Dua-duanya terjadi pada jam istirahat, karena itu Ridho dan Oji terus membayangi Ari.
Termasuk siang ini. Ridho dan Oji lebih memf
ungsikan diri sebagai pengawas dan pelindung dibandingkan teman satu tim. Pengawas untuk setiap tindak tak terkendali Ari dan pelindung untuk ketiga junior yang dipaksa masuk lapangan itu. Karena selain mengubah gaya permainan basket menjadi cenderung rugbi dan gladiator, beberapa kali juga Ari membuatnya jadi terlihat seperti gulat bebas bahkan smackdown.
Kalau begitu, Ridho terpaksa turun tangan. Menarik junior yang jadi sasaran Ari ke belakang punggungnya, dan gantinya dia mengumpankan dirinya sendiri.
Akibatnya siang itu area depan sekolah jadi ramai, karena banyak yang jadi menghentikan langkah untuk menyaksikan olahraga aneh itu. Termasuk Tari. Bersama Fio, cewek itu mengikuti setiap adegan yang terjadi di lapangan basket dengan kebingungan dan tanda tanya yang semakin ruwet di kepalanya.
Akhirnya Tarui menggamit lengan Fio. Tak tahan melihat adegan yang terjadi di depannya. "Pulang yuk!" bisiknya. Fio langsung mengangguk. Belum jauh keduanya pergi, tiga guru laki-laki muncul dan mengakhiri dengan paksa pertandingan basket paling aneh itu. Keenamnya lalu digelandang menuju ruang guru.
"Gila!" desah Tari. "Itu basket paling sadis yang pernah gue liat." "Iya." Fio mengangguk setuju. "Kak Ari kenapa ya""
"Itu dia. Gue juga bingung. Ata jadi aneh. Kak Ari juga jadi aneh." Tari menghela napas. "Oo OoO oO, iya!" Tari tersentak. "Gue mau kasih tau Ata ah." Buru-buru dikeluarkannya ponselnya dari saku kemeja.
Konsiten dengan keputusan yang telah diambilnya, Tari mengirimi Ata SMS yang isinya hanya berisi tentang Ari. Dia tidak lagi bertanya tentang cowok itu sendiri. Isi SMS itu benar-benar hanya tentang Ari. Tentang permainan basket yang brutal. Tentang dugaannya bahwa Ari sedang dalam masalah. Tentang kecemasannya karena sepertinya kali ini masalah yang di hadapi Ari cukup berat. Baru pada akhir SMS Tari menyinggung tentang Ata. Itu pun berupa doa semoga cowok itu baik-baik saja.
*** Jam delapan malam, Tari nyaris melejit dari tempat tidur, tempat dia sedang mengerjakan tugas-tugas sekolah dengan posisi tengkurap. Ata menelepon!
"Ta, lo... " Cewek itu lkangsung menghentikan awal dari berondongan pertanyaannya. Dia teringat komitmennya untuk tidak lagu mencecar Ata dengan pertanyaan-pertanyaannya. "Kok diem"" tanya Ata lunak. "Mau nanya apa""
"Mm.. Lo kenapa"" tanya Tari kemudian dengan nada rendah dan hati-hati. Tak lama redaksi kalimatnya tadi langsung dia ganti, karena sadar itu terlalu ingin tahu. "Lo baik-baik aja, kan"" "Kalo yang lo maksud dengan baik itu gue gak sakit, gue baik." "Syukur deh kalo gitu. Mmm... Ta, sebenarnya ada apa sih""
Tari mendengar Ata menarik napas panjang. "Kayaknya gue udah ngasih hantaman yang terlalu keras buat Ari. Meskipun maksud gue sama sekali bukan begitu."
"Maksudnya"" tanya Tari tak mengerti. Kembali Ata menarik napas panjang.
"Mesin jahit yang lo tunjuk waktu itu, yang lo bilang mesin jahit pertama nyokap lo...," Ata terdiam sesaat, "sama persis dengan mesin jahit nyokap kami. Mesin jahit dia yang pertama juga. Hadiah perkawinan dari Mbah Putri juga."
Tari ternganga. "Ya ampun. Kok bisa samaan gitu ya""
"Makanya gue juga kaget. Syok malah ngeliatnya."
Kening Tari mengerut. Ada yang aneh.
"Tapi kan lo tinggal sama nyokap lo"" Keheranan Tari terlontar juga. Karena menurutnya, aneh kalau Ata sampai kaget melihat benda milik ibunya sementara sang ibu tinggal bersamanya.
"Emang. Tapi tu mesin jahit gak kebawa. Yang ninggalin rumah kan Nyokap dan gue. Bukan Bokap sama Ari. Gak tau kenapa begitu deh. Hasil perjanjian kali, ya. Yang harus keluar dari rumah tuh
malah Nyokap. Bukan Bokap."
"Oooh." Kini Tari paham.
"Jadi gue telepon Ari, ngasih tau dia. Gue tanya, tu mesin jahit masih ada gak" Kalo gak, masin jahit yang waktu itu kita liat, mau gue beli." "Terus, apa kata Kak Ari""
"Entah di mana, katanya. Mereka kan udah lama banget ninggalin rumah yang lama. Rumah kami waktu kecil dulu. Katanya waktu masuk rumah yang baru, yang sekarang mereka tempatin itu, masing-masing dari mereka cuma bawa dua travel bag. Cuma barang-b
arang pribadi. Barang-barang yang lain, maksudnya kayak perabotan, gak tahu sama Bokap dikemanain." "Ooooh." Tari mengucapkan "oh" dengan suara sangat lemah. Nada sedih yang tertangkap jelas dalam suara Ata membuatnya tanpa sadar ikut merasa sedih juga. "Mungkin Kak Ari ngeliatnya tadi pagi, ya"" "Mungkin. Gue ngasih tau dia semalem."
"Pantes aja Kak Ari tadi keliatan kacau banget. Cara dia main basket sadis banget, Ta."
"Udah gue duga."
"Iyalah. Lo aja... " Serentak Tari menutup mulutnya dengan satu tangan. Hampir aja! Bego banget sih gue!" makinya dalam hati. "Gue kenapa"" tanya Ata.
"Yaaah... " Tari menggigit bibir sesaat. "Kemaren lo pucat banget. Mendadak, lagi. Gue sampe takut banget. Makanya gue cuma nelepon lo sampe berkali-kali. SMS-SMS berkali-kali juga." "Sori, Tar," ucap Ata dengan nada menyesal.
"Eh, tapi ada yang gue gak ngerti nih. Kenapa Kak Ari kacaunya sampe parah banget gitu sih"" Tak sadar pertanyaannya goblok dan gak berperasaan. Apalagi setelah didengarnya Ata menghela napas. Tapi ada yang tidak dia mengerti. Toh ibu kedua kembar itu masih hidup. Masih bisa ditemui kalau Ari mau. Jarak Jakarta-Bogor juga gak jauh-jauh amat.
Dan dari cerita-cerita Ata selama ini Ata sdelama ini, dirinya menarik kesimpulan ibu mereka belum menikah lagi sampai sekarang. Begitu juga dari kabar yang santer beredar di sekolah, Ari cuma hidup berdua dengan sang Ayah. Jadi meskipun terpisah, formasi mereka masih tetap sama. Tetap berempat. Belum ada orang baru yang masuk. Jadi belum ada orang asing yang kehadirannya mau gak mau harus mereka terima sebagai anggota keluarganya.
Sikap Tari itu bisa dibilang wajar. Anak-anak dari keluarga yang utuh memang cenderung sulit memahami apa yang duirasakan oleh anak-anak dari keluarga yang berantakan.
"Buat gue maupun Ari, mesin jahit itu nyimpen banyak kenangan waktu kami masih tinggal sama-sama, Tar. Masa-masa kami kecil. Waktu keluarga kami masih utuh, kayak keluarga-keluarga yang lain. Waktu anggotanya masih lengkap. Belum ada kemarahan yang kami gak ngerti. Belum ada kebencian yang kami gak pahami juga."
"Tapi kalian kan masih bisa saling ketemu. Iya, kan""
"Emang. Masih. Tapi walaupun keluarga kandung, Tar, kalo udah pisah rumah, rasanya udah dak sepenuhnya kayak keluarga kandung lagi. Rasanya jadi kayak setengah keluarga gitu deh. Karena ada hal-hal tentang mereka yang kita gak tau lagi. Waktu masih satu rumah kita kan selalu tau orangtua kita atau adik-kakak kita ngerjain apa saja, sehat atau gak. Kalo udah pisah, apalagi lumayan jauh, yang kita tau tinggal garis-garis besarnya aja. Padahal yang bikin keluarga jadi deket itu kan justru hal-hal yang kecil, yang sepele, yang gak penting banget, yang gak keliatan dari luar. Yang hanya jadi milik orang-orang di dalam keluarga itu sendiri."
"Iya sih," Tari mengangguk dan berucap pelan. Jadi merasa bersalah. "Maaf ya, Ta..," ucapnya lirih. "Maaf untuk apa"" tanya Ata heran.
"Yah, coba waktu itu gue gak nunjukin mesin jahit itu ke lo. Gak akan ada kejadian kayak gini. Gue gak akan bikin lo jadi sedih, gue juga gak akan bikin Kak Ari jadi kacau banget gitu." Dari cara Ata menarik napas, Tari tahu cowok itu tersenyum.
"Bukan salah lo," ucap Ata kemudian dengan nada lembut. "Lo juga gak tau, kan" Ini bukan kemauan lo, bukan kemauan gue juga, apalagi kemauan Ari. Emang harus begini. Mungkin mesin jahit itu memang ada di sana untuk diliat sama kita." "Iya sih. Tapi tetep aja gue ngerasa bersalah."
"Udahlah. Gak papa. Gak usah dipikirin. Ini takdir, Tar. Bukan salah siapa-siapa." "Iya sih." Tari menarik napas. "Eh, nyokap lo sekarang masih jahit""
"Masih. Kenapa""
"Pasti udah sukses banget ya. Sampe bisa beli mobil bagus buat lo. Kalo nyokap gue sih usahanya masih gitu-gitu aja dari gue masih kecil. Tapi itu karena dia emang pinginnya cuma sekedar nambah-nambah uang belanja. Gak pingin jadu usahawan yang sampe gimana gitu."
Sesaat senyap di seberang, sebelum kemudian Ata menjawab dengan nada yang seperti tidak ingin membahas.
"Mungkin karena tak ada lagi yang ngasih dia nafkah. Dan ada
anak yang harus dia hidupin, kan""
"Iya sih." "Eh, udah dulu ya, Tar. Gue bentar lagi mau... "
"Bimbel"" potong Tari.
"Tepat!" Ata tertawa pelan.
"Pasti deh. Oke. Makasih ya udah nelepon."
"Gue makasih juga karena lo udah selalu care. Sama gue, sama sodara kembar gue." Ata menutup telepon.
*** Keesokan harinya, jam istirahat pertama, Tari dan Fio berjalan keluar kelas menuju kantin, tapi tidak ada niat sama sekali untuk makan. Kekacauan Ari dan penjelasan Ata semalam membebani pikiran Tari dan membuat selera makannya hilang. Fio terpaksa melupakan keinginannya untuk melahap makanan berat. Dibelinya sepotong roti untuk sekedar menggajal perut.
Tari langsung berjalan ke arah koridor yang menghadap ke area depan sekolah. Fio sudah tahu, pasti Tari ingin membahas lagi soal kekacauan Ari dan telepon Ata. Karena sejak pagi cuma itu yang dibicarakan Tari.
Tari yang sedang menatap lurus ke area depan sekolah-sambil melupakan minuman di tangannya-membuat Fio bergegas menghampiri. Segera dia tahu apa yang tengah ditatap Tari dengan begitu serius. Ari.
Berdiri bersandar di pagar sekolah yang terlindung di panas matahari, pentolan sekolah yang kemarin siang membuat orang banyak jadi bingung, heran, dan ngeri itu sekarang terlihat amat sangat berbeda.
Berdiri dengan kedua tangan terlipat di depan dada, pandangannya terarah lurus ke depan. Ke arah teman-teman sekelasnya yang sedang mengisi waktu istirahat dengan bermain futsal. Tapi dari jauh pun Tari bisa melihat, fokus tatapan Ari tidak tertuju pada kesepuluh orang yang sedang berada di laopangan itu.
Ari berdiri diam. Diam yang beku. Diam yang tidak lagi menyadari sekelilingnya. Bahkan ketika tendangan bola salah satu temannya melenceng ke luar lapangan dan menghantam pagar tidak jauh di sebelahnya, Ari tetap tak tersentak apalagi terlontar dari belenggu lamunannya. Dia tetap terkunci di dalamnya. Tetap membeku sempurna. Kesepuluh temannya jadi terheran-heran melihat itu, tapi kemudian memutuskan untuk membiarkannya begitu.
"Beda banget sama kemarin, ya"" desah Tari. "Kemaren tuh gue ngeri banget. Sampe gue kira tiga cowok yang jadi lawannya bakalan mati begitu tu pertandingan basket brutal selesai." Buru-buru Tari mengeluarkan ponselnya dari saku kemeja lalu mengirimi Ata sebuah SMS. Menceritakan keanehan itu.
Tidak ada respons dari Ata. Tapi sejak pembicaraan semalam, Tari mengerti. Dua hari belakangan ini adalah hari-hari yang berat bagi kedua kembar itu, karena itu sejak awal Tari tidak berharap Ata akan merespons SMS-nya. Yang penting cowok itu tahu perkembangan terakhir yang terjadi pada saudara kembarnya.
Istirahat kedua, Ata menelepon.
"Kenapa dia"" tanya Ata langsung. Suaranya masih sama seperti semalam, tak lagi bersemangat seperti sebelum kejadian mesin jahit itu.
"Hari ini dia aneh, tapi gak kayak kemaren. Tadi gue liat dia diem gitu. Bener-bener diem kayak patung. Gak bergerak sama sekali." Tari lkalu menceritakan apa yang dilihatnya saat jam istirahat pertama tadi.
"Gak apa-apa kalo cuma begitu. Bagus malah. Dia gak bikin celaka orang," ucap Ata setelah cerita Tari selesai.
"Iya sih." Tari mengangguk. "Tapi gue malah kuatir kalo Kak Ari kacaunya diem begitu. Mending kayak kemaren deh. Emang sih serem banget ngeliatnya. Tapi masih mending begitu. Ketauan. Kalo diem gitu kan jadi gak ketauan. Ntar tau-tau dia mabok-mabikan, lagi. Atau bawa motornya ngebut, atau trek-trekan. Malah bahaya, kan""
Ata tertawa pelan. Tawa yang bagi Tari tidak jelas maksudnya. "Lo kuatirin gue juga dong. Jangan Ari melulu. Gue juga kacau nih."
"Kalo lo sih gue gak begitu worry. Gak kacau-kacau amat. Cuma kacau sedikit. Apalagi ada nyokap lo. Nyokap lo tiap hari di rumah, kan" Cuma keluar sesekali doang. Kak Ari tu yang kasian. Dari info yang gue denger nih, bokapnya tuh sering tugass keluar kota sama keluar pulau. Keluar negeri juga malah. Bisa sampe berhari-hari. Berati dia di rumah sama siapa ya" Terus makannya gimana" Emang sih duitnya banyak. Bisa makan di mana aja. Tapi tetep, makan di rumah tuh paling enak. Bareng sama ke
luarga." Kata-katanya membuatnya terenyuh sendiri. Tari menghela napas.
"Bokapnya Kak Ari tuh mikirin anaknya gak sih" Sering ditinggalin gitu kan kasihan. Pantes aja tuh anak jadi badung banget."
Ata tertawa lagi. Meskipun tetap pelan, kali ini terdengar geli.
"Lo pake kata 'bokapnya', udah kayak bokapnya Ari tuh bukan bokap gue aja."
"Eh"" Tari teradar. "Oh, iya, ya"" Tari tertawa malu. Ata menghela napas.
"Mau Ari kacaunya kayak apa, biarin aja, Tar. Dia harus ngelewatin ini. Sama kayak gue harus ngelewatin ini juga."
"Iya sih," desah Tari berat. "Lagian gue juga gak bisa bantu apa-apa kok."
"Dengan lo sebentar-sebentar lapor ke gue, itu udah amat sangat membantu. Gue terima kasih banget."
Tari terdiam. "Ta, maaf, ya," ucapnya kemudian lambat-lambat. "Kalo waktu itu gue galk nunjukin mesin jahit itu, pasti gak ada kejadian kayak gini." "Kayaknya semalem gue udah ngomong deh." "Iya. Tapi gue feeling guilty banget nih. Beneran."
Jingga Dalam Elegi Karya Esti Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Saran gue, mending lo makan aja deh. Lo pasti belom makan, kan"" Ata mengucapkan sarannya itu dengan suara lembut.
"Kok lo tau"" Kedua mata Tari melebar.
"Taulah. Tadi jam istirahat pertama kan lo abisin buat ngawasin sodara gue." "Iya emang." Cewek itu tersenyum.
"Makanya. Ya udah, sana makan dulu. Ntar keburu jam istirahatnya abis."
"Oke deh." Ata menutup telepon. Tlercenung, Tari menatap ponselnya yang kini bisu. Perhatian Ata sampai ke soal makan tadi, yang bahkan dirinya sendiri tidak menyadari, makin membuatnya merasa bersalah.
*** Hari ini Ari aneh lagi.Tapi kali ini keanehannya bikin heboh.Bikin histeris,terutama cewek-cewek. Begitu memasuki halaman sekolah,Tari melihat cowok itu sedang berdiri di pinggir lapangan bersama Ridho dan Oji.Ari tampak serius dengan ponsel yg menempel disatu telinganya.Tiba-tiba kedua mata Ari menatap Tari.Lurus,dan terus mengikutinya.Refleks.Tari langsung bersikap waspada.Sambil terus berjalan,dia balas menatap Ari lurus-lurus.
Tiba-tiba cowok itu menyerahkan ponselnya ke Oji dan segera berlari ke arah Tari.Cewek itu terkesiap.Seketika dia berhenti melangkah.Dia tak tahu apa tujuan Ari.Yang jelas,itu pasti jelek.karenanya otak Tari juga langsung gerak cepat.memutuskan tindakan apa yg akan diambilnya begitu cowok itu sampai di depannya nanti.
Ternyata tujuan Ari sama sekali bukan Tari,melainkan cewek yg berjalan di depan Tari.Di sisa jarak,Ari melompat.Dia rentangkan tangan kirinya,tepat saat tubuh cewek di depan Tari itu terhuyung lalu luruh terjatuh.
Sesaat sebelum tubuh cewek tak dikenal yg melunglai itu membentur aspal,Ari menangkapnya.Secara otomatis tubuhnya menysuaikan diri dengan gerak meluruh itu.Dan secara naluriah dipeluknya tubuh lemah itu,menjaganya dari kemungkinan terjatuh lalu membentur kerasnya aspal.
Semua sontak terpana.Sesaat hening tercipta sebelum kemudian gemuruh suara memenuhinya.Sorak dan seruan riuh,tepukan tangan keras-keras dan jerit histeris cewek-cewek yg pingsan itu langsung membahana,menggetarkan area depan SMA Airlangga pagi ini. Berbeda dengan reaksi hampir seluruh siswa yg menyaksikan peristiwa itu,Tari justru tertegun menatap pemandangan itu.
Ari yang tengah berlutut dengan satu kaki menyentuh tanah.Dengan seorang cewek pingsan dalam pelukan yg direngkuhnya dengan kedua lengan.
Sejak tadi Tari memang sudah heran dengan cewek yg berjalan tidak jauh di depannya itu.Lambat dan terlihat agak sempoyongan.Tapi sama sekali tak diduganya,dari begitu banyak manusia yg memenuhi area depan sekolah,justru Ari-lah satu-satunya yg bereaksi.Sang pentolan sekolah.Cowok yg menyandang begitu banyak predikat buruk.
"Elo berdua,"Ridho menunjuk dua cowok yg berdiri di kerumunan penonton terdepan."Bawa dia ke ruang UKS."
Kedua siswa yg pasti bukan kelas dua belas itu segera mematuhi.Mareka menghampiri Ari lalu dengan hati-hati mengambil alih cewek yg sedang pingsan itu.
Ari berdiri.Dia bersihkan kedua kaki celana panjangnya.Kerumunan pun bubar.
Tanpa sadar Tari masih berdiri di tempatnya. Masih menatap Ari. Masih tertegun. Ada torehan yg tercipta saat itu jg.Terl
alu tiba-tiba,hingga Tari sendiri tak langsung menyadarinya.
*** Tiba-tiba Ari menoleh.Tatapan tajam kedua bola mata hitam itu kini terarah lurus pada Tari.Cewek itu tersentak.Seketika dia tersadar dari ketertegunannya yg cukup lama.Sambil menelan ludah,buru-buru dipalingkannya muka dan ditinggalkannya tempat itu dengan langkah-langkah cepat yg sudah bisa dikategorikan sebagai berlari.
Dengan kedua matanya,Ari terus mengikuti setiap langkah cepat Tari.Sampai cewek itu hilang ditelan karidor utama.
Tari berlari menuju kelas.Setelah melempar tasnya ke meja dari jarak yg lumayan jauh,segera dia berlari kembali ke luar kelas,menuju karidor depan gudang.Sambil berlari ke sana,dikeluarkannya ponsel dari saku kemeja.Dan begitu sampai di sana,Ata sudah ada di ujung telepon.
"Ya,Tar"" "Ta,masa pagi ini..."Laporan Tari terputus karena dia sibuk mengatur napas. "Aneh lagi""Ata menyelesaikan kalimat itu.
"Iya." "Bikin apa dia sekarang""
"Itu..."Tari terdiam.Mendadak dia menyadari,yg akan dia laporkan kali ini adalah keresahan hatinya sendiri!
"Kok diem"" tanya Ata.
"Nggak jadi deh,"ucap Tari dan langsung menutup telepon.
Cewek itu tercenung.Baru disadarinya dadanya berdetak dengan yg tidak wajar,keras,cepat.Tapi bukan karena habis berlari.Peristiwa tadi ternyata telah mengguncangnya.Pemandangan tadi ternyata telah menusuknya.
Tiba-tiba ponselnya menjeritkan ringtone.Tari terlonjak.Kini ganti Ata yg menelepon. "Ada apa"" Cowok itu langsung bertanya begitu Tari mengangkat telepon. "Oh,nggak ada apaa-apa kok.Itu,Kak Ari..."" "Bukan Ari.Elo!" potong Ata seketika.
"Eeeh...gue"" tanya Tari dengan nada bingung."Emang gue kenapa"" "Justru itu yg tadi gue tanya,kan"Elo kenapa"" "Gue nggak apa-apa"" "He-eh.Emang kenapa""
"Nah,itu berarti lo tau.Ari kan emang harus nangkep tu cewek karena tu cewek pingsan. Daripada kepalanya kebentur aspal,bisa geger otak.Kasian,kan""
Tari sontak terperangah. "KOK ELO TAUUUUUU!!!"" jeritnya langsung.
"Ya ampun! Bisa pecah nih gendang kuping gue!" desis Ata.
"Kok elo bisa tau sih!"" seru Tari.
"Tadi gue lagi nelepon Ari.Lagi ngomong sama dia.Tiba-tiba jadi ganti suaranya Oji.Oji yg cerita.Laporan langsung dari lokasi peristiwa.Dan kata Oji,ada satu lagi cewek yg mukanya pucat.Kabur dari situ.Elo,kan""
"Apa!"" Tari tergagap."Nggak! Bukan!"Seketika dia menyangkal,dengan intonasi yg tidak disadarinya...terlalu penuh penekanan.
Hening di seberang. Tari ingin memulai pembicaraan,tapi kalimat terakhir Ata menghantamnya tepat di sasaran.
"Tar," ucap Ata kemudian dengan suara lunak,"mulai sekarang tolong lo pikirin ya." "Apanya"" tanya Tari.
Tak ada jawaban karena Ata telah menutup telepon.
*** Ari melihat jam tangannya. Dua menit menjelang bel.
"Gue cabut, Dho," ucapnya sambil meraih ransel dan jaket hitamnya.
"Bercanda lo!" Ridho terbelalak. "Kita mau ulangan matematika."
Ari tak peduli. Setelah menepuk pelan bahu Ridho, dia melangkah keluar kelas. Tak jauh dari tangga turun dia berpapasan dengan Oji.
"Mau ke mana lo"" Oji langsung bertanya dengan nada heran.
"Kalo gue udah begini menurut lo mau ke mana" Hmm"" Ari sedikit merentangkan kedua lengannya. Ditatapnya Oji dengan kedua alis terangkat tinggi. "Cabut"" Oji menjawab dengan bego.
"Bener. Pinter..." Ari tersenyum. Ditepuk-tepuknya puncak kepala Oji. "Belajar yang rajin ya, biar tambah pinter." Ucapnya langsung balik badan menuruni anak tangga tiga-tiga sekaligus.
"Apaan sih tu orang" Nggak jelas banget,"Oji menggumam sambil geleng-geleng kepala.
Menyusuri koridor utama dengan langkahlangkah cepat. Ari bisa merasakan hatinya terbelah dua.
Masing-masing berjalan kearah berlawanan. Ke kematian dan ke kehidupan.
Tidak ada yang bisa di lakukannya dengan hatinya yang tengah berjalan ke kematian. Hanya yang tengah berjalan ke kehidupan, akan dia perjuangkan dengan segala cara. Jikalau nanti pada akhirnya bagian hatinya ini juga berjalan ke arah kematian, dia sudah tidak bisa apa-apa lagi.
"ARI!!!" sebuah suara yang sudah amat sangat di kenalnya terdengar di be
lakang punggungnya. Sambil mempercepat langkah, Ari balik badan.
"Mau ke mana kamu"!" tanya bu Sam galak. Ari Cuma tersenyum. Tak menjawab. Langkahnya yang kini mundur, bergerak semakin cepat.
"Pagi, Bu." Dia anggukan kepala dan langsung balik badan. Dengan sekali lompat dihabisinya undukan tangga pendek di mulut koridor dan langsung berjalan ke arah motor hitamnya. Bu Sam hanya bisa geleng-geleng kepala.
Ari berdiri diam di depan pintu pagar rumah Tari sejak lima belas menit yang lalu. Suara pertama yang menyambut kedatangannya dan masih terdengar saat ini, yang membuatnya nyaris terjatuh dari motor tadi lalu mematung seperti ini, adalah suara yang mendominasi hari-hari masa kecilnya. Di tariknya napas dalam-dalam. Mempersiapkan hati, baru saja akan di bukanya mulut untuk mengucapkan salam, sebuah gerobak sayur mendekat lalu berhenti tidak jauh di sebelah kanannya. "BUU...! SAYUUUUUURRRR!!!" sang penjual teriak keras-keras, sambil melirik Ari dengan pandangan curiga. Ari menelan ludah. Bersamaan dengan kedua matanya yang perlahan terpejam. Ini juga suara yng hilang Sembilan tahun yang lalu.
Suara mesin jahit itu berhenti. Tak lama pintu di ruangan kecil di sebelah ruang tamu terbuka. "ARI"!" Mama Tari terlihat kaget, melihat yang berdiri di depan pagar rumahnya pagi ini bukan hanya tukang sayur langganannya. Ari menganggukkan kepala.
Nyaris terlontar dari mulut mama Tari pertanyaan kenapa pada jam sekolah Ari keluyuran, namun beliau mengurungkannya begitu melihat wajah Ari yang keruh.
"Kok nggak masuk"" tanya mama Tari sambil membuka pintu pagar. "Ayo masuk. Sebentar ya, Tante belanja dulu."
"Iya, Tan." Ari mengangguk sambil tersenyum lalu melangkah memasuki halaman kecil di depan rumah Tari. Dengan sabar, di tunggunya mama Tari di teras. Sepuluh menit kemudian wanita itu sudah selesai dengan rutinitas paginya. "Ayo," ajaknya.
Ari mengira mama Tari akan membawanya keruang tamu. Tapi ternyata wanita itu mengajaknya ke ruangan kecil di sebelah ruang tamu itu, tempat tadi dia keluar. Saat pintu itu terbuka, seketika itu pula Ari terlempar ke masa lalu. Tanpa peringatan. Tanpa persiapan.
Kalau mesin jahit tua itu adalah alat yang telah melemarnya ke masa lalu, maka ruangan ini adalah masa lalu itu.
Tumpukan baju dan daster menggunung di salah satu sudut ruangan. Guntinganguntingan kain bertebaran di lantai. Di atas meja, sebuah mesin jahit yang terletak tidak jauh di depannya, menahan sehelai daster batik pada jarum jahitnya. Sementara mesin jahit itu, mesin jahit yang sangat mirip dengan punya mamanya, terletak di dalam lemari kaca.
Pemandangan itu seperti pukulan telak yang datang beruntun dan menghantam tepat pada pusat penyangga kekuatannya. Tubuh Ari menegang langkahnya seketika terhenti di ambang pintu. Mama Tari yang tidak menyadari perubahan it uterus berjalan ke ruangan dalam dan berbicara tanpa menoleh.
"Maaf ya, Ri, tempatnya berantakan."
Ari tidak mendengar. Nanar kedua matanya menatap ke seisi ruangan. Dan tetep di situ sampai mama Tari muncul beberapa saat kemudian, dengan segelas the manis hangat dan sepiring kue. Wanita itu terkejut mandapati wajah Ari yang pucat.
"Kamu kenapa"" tanyanya cemas. "Sakit""
"Eh" Oh, nggak kok, Tan. Nggak pa-pa." seketika Ari tersadar dari keterpanaan. Cepat-cepat dia menggeleng sambil memaksaakan diri tersenyum.
"Ayo masuk!" mama Tari meletekkan piring dan teeh manis itu di depan meja.
"Iya, Tan. Terima kasih." Ari melangkah menuju sebuah sofa panjang. Satu-satunya tempat duduk yang ada di ruangan itu. "Tante nerima jahitan"" suaranya mulai di warnai dengan getaran. Karena tanya yang kinoi dia lontarkan langsung bersentuhan dengan masa kanak-kanaknya.
"Iya. Lumayan untuk nambah-nambah uang belanja," mama Tari menjawab pertanyaan itu sambil meraih setumpuk daster. Wanita itu kemudian duduk di lantai di depannya. Melihat itu refleks Ari bangkit berdiri.
"Udah, nggap apa-apa. Nggak usah ikutan duduk di lantai. Tante udah biasa begini." "Nggak ah, Tan. Nggak sopan." Ari bersikeras duduk di lantai. Tidak jauh dari mama Tari.
"Di makan kuenya, itu tante yang bikin lho."
"Iya, Tan. Terima kasih." Ari mengangguk dan berucap dengan suara lirih.
Tidak ada percakapan setelah itu. Mama Tari begitu sibuk dengan perkerjaan yang memang sudah menumpuk. Hingga tidak menyadari tamu yang tadi di undangnya masuk saat ini sedang terperangkap dalam badai emosi paling hebat yang pernah dia alami.
Ari menundukkan kepalanya dalam-dalam. Di telannya ludah susah payah. Di basahinya tenggorokannya yang terasa sakit. Tapi dia kangen suara-suara ini. Suara-suara yang telah lama hilang.
Suara mesin jahit yang sedang bekerja, suara gunting yang membelah kain, dan suara-suara lain yang begitu serupa. Bagitu familier dan begitu membuatnya merasa seperti telah kembali pulang. Yang dilakukan mamanya dulu. Menerima jahitan untuk menambah penghasilan. Dan rutinitas masa kecilnya, yang baginya kemudian menjadi kenangan yang paling berharga, adalah menemani mamanya menjahit. Seperti yang di lakukannya saat ini. Kadang dengan sebuah buku cerita di pangkuan, kadang dengan sebuah buku gambar dan sekotak krayon, kadang dengan satu set permainan puzzle atau permainan-permainan lainnya, atau dengan sepiring cemilan. Sementara mama sibuk menjahit, memotong kain, memasang kancing dan menyusun daster-daster batik yang sudah selesai dalam susunan kodian.
Tanpa sadar kepala Ari menunduk semakin dalam. Kabut bening perlahan muncul dan menghilangkan nfokus kedua matanya dalam temaram. Teramat tipis namun setelah bertahun-tahun berhasil menekannya sampai kesudut yang gelap, ini adalah luapan emosi pertama yang tidak sanggup di redamnya.
Sebagian dari jiwanya yang tertahan pada usianya delapan tahun, yang selama ini dipaksanya untuk tidur, kini berontak hebat. Bangkit dari mati surinya yang panjang dan memaksa keluar.
Ari merasa harus pergi secepatnya, karena tidak yakin akan sanggup menangangi dirinya sendiri jika jiwanya yang tertahan pada usia delapan tahun berhasil keluar. Dia tidak tahu apa yang akan dilakukannya terhadap mama Tari. Tanpa sadar meringkuk dengan kepala di pangkuan seperti saat-saat kecil dulu, atau-lagi-lagi tanpa sadar- merengek meminta wanita itu mengusap-ngusap kepalanya. Seperti yang dulu dilakukan mamanya jika dirinya mulai mengantuk.
Ari mengangkat kepala. Diletakkannya gelas teeh manisnya ke meja, sementara kue yang sedari tadi hanya di pegangnya, utuh, di kembalikannya lagi ke piring. Kemudian dia bangkit berdiri.
"Tante, saya pamit."
Mama Tari sedang sibuk di depan mesin jahitnya menoleh kaget. "Kok buru-buru""
"Lain kali saya mampir lagi, Tan. Terima kasih kue dan minumannya."
Karena tidak mampu lagi menyembunyikan kelamnya kepedihan yang panjang, Ari menganggukan kepala lalu cepat-cepat melangkah keluar. Sesaat kedua matanya sempat terpejam. Jika saja bisa, jika saja dimungkinkan, dia tidak ingin pergi.
Tapi rumah ini bukan rumahnya. Dan wanita yang ada di dalam sana juga bukan ibunya. Tidak ada alas an untuk tetap tinggal, meskipun dia merasa seperti pulang.
Hanya lima belas menit Ari sanggup bertahan. Namun lima belas menit kebersamaan itu nyaris menghancurkan pertahanan diri yang susah payah dibangunnya selama bertahun-tahun, dan akhirnya menyakinkan Ari bahwa dia memang harus mengambil tindakan tegas terhadap saudara kembarnya.
*** Halte yang terletak tidak jauh dari jalan menuju rumahnya telah terlihat di kejauhan. Tari berdiri lalu melangkah menuju pintu depan bus. Begitu busa berhenti, cewek itu bergegas turun, karena sopir angkutan umum sudah terkenal tidak sabaran. Baru saja dia akan melangkah pergi, sudut matanya menangkap sosok seseorang.
"Ata"" serunya tertahan. Tidak percaya medapati cowok itu berdiri di halte yang saat itu kosong dan lengang.
Ata tersenyum. Dia terlihat letih.
"Ngapain lo di sini"" Tari bergegas menghampirinya.
"Nungguin elo,"
"Kok nggak kasih tau""
Ata tidak menjawab. Dia hanya tersenyum. Dengan heran Tari mengamati penampilan cowok itu. "Lecek amat sih lo" Tumben""
"Hard times," Ata menjawab pelan. Kembali sebuah senyuman muncul di bibirnya.
"Ada apa, Ta" Ada apa"" Tari langsung cemas. "Lo berantem lagi sama kak Ari""
"Banyaklah. Lo kan tau hidup gue emang banyak masalah. Tapi gue kesini bukan mau ngomongin itu."
"Terus, lo mau ngapain""
"Ngeliat elo," Seketika kedua alis Tari menyatu. "Nggak paham." Cewek itu menggeleng. "Nggak perlu." Ata ikut menggeleng.
Tari mengerutkan kening, bingung. Lebih bingung lagi saat kemudian Ata, sambil melipat kedua tangannya di depan dada, menatap lurus-lurus padanya. Tatapan yang tidak dia mnegerti. Lembut namun membentangkan jarak. Sedih, namun sarat terima kasih. Penuh percik dan gejolak, namun dia juga diam. Dan ada keinginan memeluk sekaligus tidak ingin pelukan itu nantinya akan mendekatkan.
"Ada apa sih, Ta""
Ata tidak menjawab. Hanya diam. Hanya menatap.
"Ata, lo kenapa siiiiiiih"" akhirnya Tari bertanya dengan kesal. "Lo kesambet, ya" Apa kebanyakan bimbel"" mendadak dia teringat kalimat terakhir Ata di telepon tadi. "Oh, iya. Tadi pagi apa tuh maksudnya" Apa yang harus mulai gue pikirin" Kalo ngom..."
Namun, jawaban yang di berikan Ata benar-benar di luat dugaan. Cowok itu mengulurkan kedua tangannya lalu memeluk Tari. Pelukan yang benarbenar erat. Pelukan dengan keseluruhan rentang kedua tangan. Pelukan yang memutuskan pertanyaan itu. Pelukan yang benar-benar menenggelamkan Tari di kedalam emosi.
Hanya sesaat. Dan sebelum Tari menyadari apa yang terjadi sebenarnya, cowok itu telah menguraikan pelukannya. Menatapnya dengan tatapan yang tak terpahami itu, balik badan lalu melangkah menuju Everest hitamnya diparkir.
"A.." Everest hitam itu sudah meluncur pergi. Membiarkan tari ternganga dengan sisa ucapan yang tersangkut di pita suara.
*** Mendadak Ata menghilang. Ponselnya sudah tidak aktif lagi. Berkali-kali Tari mencoba menghubungi, tapi selalu berakhir dengan suara monoton operator yang memintanya meninggalkan pesan. Selama ini Ata selalu ada, selalu menghubunginya, selalu mengangkat panggilan teleponnya-pengecualian dalam kasus kemarin, itu pun tak lama dan Ata kembali menghubunginya- jadi Tari tidak sama sekali terpikir untuk menanyakan alamat rumah cowok itu. Ata muncul dari antah-berantah dan menghilang di antah-berantah juga.
Tari benar-benar tidak mengrti apa yang sebenarnya terjadi. Yang menyebabkan Ata melakukan tindakan ini. Tapi selama cowok itu tidak mengaktifkan ponselnya, tidak akan pernah ada jawaban untuk pertanyaannya. Tidak ada cara lain bagi Tari untuk menunggu.
Untuk menjaga agar dirinya tidak melemah, Tari terus mengirimi Ata SMS. Yang semakin lama menggunung. Menanyakan kabar cowok itu lalu menceritakan hari-harinya sendiri. Dari cerita nggak penting seperti terlambat berangkat kesekolah gara-gara keasyikan baca komik sampai lewat tengah malam, keisengan yang dilakukannya dan teman-temannya, sampai kabar tentang Ari. Hasil dari pengamatan selintas saat dilihatnya cowok itu di mana pun di area sekolah. Karena, hanya itulah yang selalu di tanyakan Ata. SMS-SMS itu selalu ditutup dengan permohonan Tari agar Ata mengaktifkan kembali ponselnya.
Butir-butir kata yang masih kasatmata itu mengembara di udara. Entah kapan sampai di tujuan dan terbaca.
*** Hari kelima Ata menghilang.
Tari memasuki gerbang sekolah dengan wajah muram dan langkah lunglai. Dari balik tanaman hias di koridor lantai dua gedung selatan, Ari berdiri diam. Kedua matanya mengikuti Tari di antara celah helai-helai daun.
Tak perlu berdiri dari jarak dekat, kesedihan itu terlihat jelas bahkan dari cara cewek itu berjalan. Kepala Tari menunduk dan pernak-perniknya yang tidak lagi didominasi warna oranye. Warna kuning lembut dan putihlah yang kini menggantikannya.
Ari menarik napas dalam-dalam. Pemandangan yang selama lima hari terakhir telah memberinya guratan rasa sakit. Sama seperti dienyahkannya Angga dulu, kali ini pun dirinya yang telah melenyapkan Ata. Meskipun untuk alas an yang sama sekali berbeda.
Melihat kondisi Tari, Fio mengajukan usul yang menyeramkan, tapi sayangnya hanya itu satu-satunya jalan.
"Tanya dia"" kedua mata Tari membelalak lebar. "Iya. Habis mau tan
ya siapa lagi""
"Ogah ah! Kan gue udah cerita sama elo, masih syok nih kak Ari datang ke rumah dan ketemu Nyokap minggu lalu." Tari menatap Fio dengan ekspresi yang membuat Fio terenyuh. "Gue yakin dia nggak bakalan mau ngasih tau. Itu juga kalo dia tau. Yang ada malah kesempatan banget, dia bisa gangguin gue."
Fio menghela napas. Terpaksa membenarkan. Masalahnya sekarang, tinggal itu satu-satunya jalan. "Paling nggak kita udah nyoba, Tar. Siapa tau ada info yang bisa lo dapet. Kalo nggak, baru kita cari cara lain."
Ganti Tari yang menghela napas. Setelah sesaat terpekur diam, akhirnya dia mengangguk. "Ntar aja ya neleponnya, istirahat kedua. Gue nyiapin mental dulu. Berurusan sama kak Ari, buntutnya tuh pasti bakalan runyam banget. Bisa jadi huru-hara malah." Fio mengangguk. Sangat paham.
**** Jam istirahat kedua. Tari dan Fio mengurung diri di dalam gudang. Tari menekan tombol - tombol ponselnya, mencari nama Ari di daftar kontak. Setelah bertemu, selama beberapa saat cewek itu menatap satu nama di layar ponselnya. Setelah menarik napas yang sangat amat panjang, dengan bibir tergigit dan sepasang mata yang tanpa sadarjadi menyipit. Tari menekan tombol bergambar garis hijau dengan sangat perlahan. Caravansary, satu lagu lembut milik Kitaro, ring backtone yang sangat aneh untuk sifat Ari yang cenderung tempera mental, kemudian terdengar dari ujung sana, seketika melejitkan ritme jantung Tari pada detak maksimal. Fio yang menyaksikan itu kontan ikutan tegang. Di koridor depan kelasnya, Ari menatap nama yang muncul di layar ponselnya. Kemudian didekatnya ponsel itu ke telinga.
"Tumben lo nelpon gue"" tanyanya langsung, tanpa rasa perlu mengucapkan sapa pembuka
"Mmm....itu...Kak Ari tau nggak ... Ata ke mana"" Akhirnya terucap juga meskipun dengan susah payah. "Ternyata!" Suara Ari langsung menajam "Lo nelpon gue cuma untuk nanyain dia"" Tari langsung mendapat firasat usaha ini hanya akan sia-sia
"Mmm... Iya." jawabnya lirih "Gue nggak tau," Ari menjawab dengan nada datar. "Ng..." Tari menggigit bibir. Tidak tahu mesti bicara apa lagi.
"Ya udah kalo gitu. Terima kasih ya,Kak." Akhirnya cuma itu yang terucap dari bibir Tari.
"Sori nggak bisa bantu elo," ucap Ari, dan langsung ditutupnya telpon. Tangan Tari menggengam ponsel terjatuh lunglai ke pangkuan.
"Dia bilang dia nggak tau,". Desahnya putus asa.
"Dia bohong!" cetus Fio langsung. Tari mengangguk.
"Gue juga tau dia bohong. Masalahnya, kita nggak bisa maksa dia untuk ngomong." Bel tanda istirahat telah berakhir berbunyi. Tapi Tari dan Fio bergeming. Tetap diam di tempat masing-masing, sampai kemudian Tari mengangkat kepala, menatap Fio
"Sekarang gimana"" Belum sempat menjawab, tiba-tiba pintu gudang diketuk dari luar. Keduanta saling tatap
"Itu pasti Nyoman. Pasti dia mau ngasih tau kalo Pak Yakop udah datang." Fio beranjak menuju pintu dan membukanya. Detik itu juga Fio mematung. Ari berdiri didepannya! Cowok itu kemudian melangkah masuk, membuat Fio reflek menepi, memberinya jalan. Terkesima, Tari mengandahkan wajah. Menatap tubuh menjulang yang kini berhenti tepat dihadapannya. "Pak Yakop udah datang Fi," ucap Ari tanpa menoleh. Fio langsung mengeri. Dengan bingung dia menatap Tari.
"Nanti gue nganter dia ke kelas," sahut Ari.
"Oh..." Fio mengangguk. "Ya udah kalo gitu. Saya duluan ya Kak. Yuk Tar." Dengan cemas tapi tidak bisa bernuat apa-apa, sesaat Fio menatap Tari sebelum kemudian dia menghilang di luar. Begitu Fio pergi, dengan mata pada terarah pada Tari. Ari menutup pintu gudang. Diraihnya sebuah kursi lalu diletakkannya tepat di depan cewek itu. Kemudian dia duduk dan melipat kedua tangannya di depan dada. Ditatapnya wajah kehilangan di depannya. Yang bahkan bisa tetap terlihat jelas meskipun dipejamkannya mata. Diam-diam Ari menghela napas panjang. Ada perasaan hangat,namun terselip juga rasa bersalah
"Lo kuatir karena Ata ngilang tanpa berita"" tanyanya lunak Tari menunduk lalu menggelengkan kepala.
"Sebenernya gak gitu. Cuma aneh aja. Soalnya selama ini dia tuh nggak pernah matiin ponsel. Apalagi sampa
i-sampai berhari hari gitu." jawabnya jujur. Tari memang tidak terlalu menghawatirkan Ata. Hidup bersama sang mama sepertinya membuat cowok itu punya emosi yang lebih stabil dibanding saudara kembarnya ini.
"Emang sih terakhir kali kami ketemu dia kelihatan agak kacau. Penampilannya juga agak berantakan. Ngomongnya juga agak aneh. Tapi so fair dia baik-baik aja sih. Malah masih lebih kacau Kak Ari ke mana-mana." Detik berikutnya Tari langsung tersentak. Bibirnya sontak ternganga. Serentak tangan kananya bergetar dan menutup mulutnya yang ternganga itu, bersamaan dengan kepalanya bergerak menunduk. Ya ampun! Gue ngomong apa sih" Desisnya dalam hati. Rona merah segera menjalari mukanya. Tak sanggup dicegahnya. Tari bahkan bisa merasakan mukanya juga memanas.
Ya ampuuuuuuun! Kok goblok banget sih guee!" Bisa kelepasan ngomong gini. Di depan orangnya lagi! Kembali Tari memaki dirinya sendiri di dalam hati. Ari menataoa mata merah itu. Pada seribupencarian yang dilakukannya dengam melibatkan seluruh emosi, yang sedikit dari begitu banyak barisan tanda tanya akhirnya gugur dan tumbang,dirinya mendapati justru sakitlah yang ada di barisan depan. Darinya.....Dan untuk gadis ini. Cowok itu menelan ludah, dengan susah payah karena tersa sangat menyakitkan. Sementara itu, dengar gerakan yang benar- benar sangat perlahan,Tari mengangkat kepala. Dilepaskannya telapak tangannya yang membekap mulutnya yang sudah kelepasan bicara itu. "Kak Ari tau nggak, Ata kenapa"" Malu dan tak bisa berlalri pergi atau sembunyi, dia bertanya dengan suara sehalus embusan angin. Ari tidak menjawab pertanyaan itu. Dia justru mengucapkan sesuatu yang sangat mengejutkan.
"Gue akan jadi Ata. Untu elo. Tapi cuma untuk hari ini," ucapnya lirih Sontak Tari terperangah. Ditatapnya Ari dengan mulut ternganga, Ari tidak mengacuhkan kekagetan Tari itu. Dia berdiri, mengulurkan tangan kanannya dengan lembut menarik Tari sampai berdiri. "Udah bel dari tadi. Gue antar lo ke kelas."
*** Sedetik setelah bel berbunyi,ponsel Tari bergetar.
"Mau gue jemput di kelas atau gue tunggu di bawah aja"" tanya Ari langsung. Sejak Ari mengetahui keberadaanya di gudang jam istirahat tadi dan pembicaraan singkat mereka, Tari tahu percuma berlari. "Mmm... Dibawah aja deh." jawabnya pelan
"Oke... Gue tunggu lo dikoridor ya," begitu Tari muncul di ujung tangga bersama Fio Ari langsung meninggalkan dinding tempat disandarkannya punggung sejak lebih dari sepeuluh menit yang lalu.
Cowok itu memaklumi lamanya waktu yang diperlukan Tari untuk jarak yang sebenrnya bisa ditempuh dalam waktu hanya satu menit. Ketiganya berjalan dalam diam,sampai kemudian Tari dan Fio harus berpisah didepan mulut koridor utama. Fio lurus ke pintu gerbang, sementara Tari ke kiri, ke area parkir. "Gue duluan ya,Tar," suara pelan Fio sarat kecemasan. Tari mengangguk. Fio mengalihkan tatapannya ke Ari.
"Saya duluan,Kak Ari." pamitnya, Ari mengangguk. Setelah sesaat menatap teman semejanya itu, Fio balik badan dan berjalan ke arah gedung. Diikuti tatapan heran dari siswa-siswa SMA Airlangga yang memenuhi area depan sekolah. Tari mengikuti langkah Ari menuju tempat parkir. Keningnya berkerut bingung saat Ari menuju area parkir untuk mobil dan langsung menghampiri sebuah sedan putih.
"Punya Ridho," Ari menjawab keheranan tak terucap Tari itu. "Ata nggak pernah bawa motor, kan" Makanya gue pinjem mobil Ridho." Dibukanya pintu kiri depan dan langsung ditutupnya kembali begitu Tari sudah berada di dalamnya. Sedan putih itu kemudian meninggalkan gerbang sekolah dan melaju dalam keheningan. Tari terus-menerus menggigit bibir. Tak sanggup menghalau perasaan tegang, karena ini untuk pertama kalinya dia pergi berdua Ari atas kemauannya sendiri. Sampai kemudian sedan putih itu berhenti di tepi hutan kota.
Ari membuka pintu di sebelahnya lalu turun. Tari mengikuti. Cewek itu mentap berkeliling. Tempat ini memang nyaris seperti hutan. Penuh dengan pepohonan tinggi. Ribuan helai daun membentuk kenopi di atas mereka, menghalau teriknya matahari. Kesejukan yang tercipta sangat mendamaikan, setelah me
nyusuri jalan-jalan kta Jakarta yang semakin gersang. Kesejukan itu juga sngat melegakan setelah keheningan konstan di dalam mobil yang benar-benar menyesakkan. Ari sama sekali tidak membuka mulutnya, membuat Tari juga jadi menguncirapat-rapat bibirnya. Tari tidak tau, Ari membutuhkan keheningan itu untuk menenangkan dirinya sendiri. Sekaligus menyiapkan mental dan hati. "Udah makan"" tanya Ari tiba-tiba.
Tari tertegun. Bukan saja karena ini adalah suara pertama sejak mereka meninggalkan tempat parkir sekolah, tapi juga karena kalimat itu adalah kalimat yang sering di ucapkan Ata pada setiap awal pertemuan mereka. Ari mengerti apa yang berputar di kepala Tari. "Tadi istirahat kedua lo ngurung diri di gudang. Sementara istirahat pertama di kantin biasanya penuh banget."
"Oh," Tari bergumam pelan. Argument yang masuk akal. Tapi bukan itu penyebab dirinya belum makan. Saran Fio untuk menelpon cowok inilah yang membuat nafsu makannya hilang.
"Pasti belom," ucap Ari lunak. Sambil tersenyum tipis, diliriknya Tari sekilas.
Tiba-tiba segerombolan anak kecil muncul dari tikungan jalan tak jauh di belakang mereka. Melaju cepat di atas sepeda masing-masing, saling berlomba untuk jadi yang terdepan. Refleks, Ari meraih Tari dan mundur ke belakang. Tapat sebelum salah satu di antara mereka menabraknya. "Hei! Ati-ati dong!" seru Ari. Nyaris di warnai bentakkan.
"MAAF, KAKAAAAK! KAMI LAGI BALAPAN NIH!" mereka berseru bersamaan. Beberapa anak sambil menoleh ke belakang. Beberapa lagi dengan tatapan tetap lurus ke depan. "Nggak apa-apa"" Ari menundukkan kepala. Dengan cemas di tatapnya TAri yang tanpa sadar di peluknya dari belakang dengan kedua tangan.
"Nggak. Nggak pa-pa." Tari menggeleng. Menjawab dengan suara yang benar-benar hanya dirinya sendiri yang bisa mendengarnya.
Kedua lengan yang melingkari bahunya dari belakang ini, dan tubuh di belakangnya yang jadi rapat tak bercelah akibat tarikan kuat kedua lengan tadi, bukan saja membuat detak jantungnya jadi berantakkan, tapi juga menyebabkan pita suaranya tidak berfungsi sepenuhnya.
Tak berapa lama dari arah tikungan itu muncul seorang anak laki-laki kecil. Sendirian. Sepertinya dia tertinggal. Dia mengayuh sepeda kecillnya sekuat tenaga. Ari melepaskan pelukannya pada Tari. Di tariknya cewek itu mundur lebih ke belakang lagi. Sepertinya takut kejadian tadi terulang. Kemudian disapanya pengemudi sepeda itu. "Kenapa nih" Kok ketinggalan""
"Tadi rantainya lepas," di sela-sela napasnya tersenggal, anak kecil itu menjawab. Mukanya cemberut. Walau di kayuh sekuat tenaga, sepedanya melaju lambat karena rantainya memang tidak terpasang dengan benar.
"Berenti. Berenti!" Ari menghentikan sepeda kecil itu dengan menyambar setang kemudinya. "Kakak, lepas dong! Saya sudah ketinggalan jauh banget nih!" anak itu kontan protes keras. Dia menolak berhenti.
"Kalo rantainya nggak di benerin, kamu semakin ketinggalan. Sini, di benerin dulu." "Lama nggak""
"Nggak." Anak itu menurut. Dia berhenti lalu turun dari sadel. Ari membawa sepeda itu ke tepi lalu mulai membetulkan rantainya yang longgar. Anak kecil itu mengikuti Ari lalu berjongkok di sebelahnya. "Di mana finish-nya"" "Di depan,"
"Deket gerbang yang ada tulisan nama hutan kota itu""
"Iya.. " "Lumayan jauh dong."
"Makanya.. " anak kecil itu seperti ingin menangis. "Hadiahnya apa sih" Kayaknya ngotot banget pengen menang." "CD PS. Bagus, kak. Banyak permainan serunya."
"Beli kan bisa""
"Nggak boleh sama mama. Tapi kalo dapet hadiah menang balapan sepeda kan mama nggak bisa marah."
"Balapan sepedanya dalam rangka apa" Bukan hari libur begini." "Nggak dalam rangka apa-apa."
"Lho"" sesaat Ari menoleh ke anak kecil itu. "Terus hadiahnya siapa yang ngasih"" "Kakak tadi ngeliat anak yang pake baju biru" Yang badannya gede""
"He-eh." "Namanya Rudi. Dia punya CD PS banyak banget, kak. Kalo udah bosan suka di kasih-kasih gitu. Tapi ngasihnya nggak gratis. Kayak gini. Balap-balapan naik sepeda. Waktu itu yang dapet CD yang paling banyak ngumpulin biji saga."
"Buat apa biji saga"" kembali
Ari menoleh. Kali ini di tatapnya anak kecil yang berusia sekitar tujuh tahun itu dengan heran.
"Mamanya Rudi kan suka bikin bunga. Buat dijual gitu. Ada yang dari plastic, ada juga yang dari kain,
macem-macem. Unganya suka di kasih hiasan biji saga."
"Oh, gitu." Ari mengangguk-anguk. "Nah, selesai!" serunya kemudian.
Ari bangkit berdiri. Dia gerakkan sepeda itu maju-mundur untuk mengetes rantai tersebut.
"Sip. Nggak bakal lepas lagi. Yuk!"
Dengan cepat di tuntunnya sepeda itu keluar dari jalan hutan kota yang terbuat dari sususan bata, menyusuri rerumputan.
"Lho" Kok!"" anak kecil itu berseru heran. Serentak dia bangkit berdiri.
"Udah kejauhan. Nggak bakal kekejar. Harus pake strategi!" Ari balik berseru. Sambil menuntun sepeda di tangan kanan, dia berlari ke tempat diparkirnya mobil Ridho tadi. Dibukanya bagasi lalu dimasukkannya sepeda itu ke salamnya. Kemudian dibukanya salah satu pintu di belakang. "Ayo cepet!" serunya.
Anak laki-laki kecil itu sekarang mengerti maksud Ari. Seketika dia bersorak gembira. Dia menoleh ke arah Tari lalu menghampirinya.
"Kakak Cakep kok bengong aja sih" Ayo!"
Tari- yang sejak wajah lain Ari tersibak seketika terperangkap dalam ketersimaan- kaget saat mendadak tangan kirinya disambar. Dia tersadar. Dilihatnya Ari berjalan cepat ke arahnya. "Cepetan!" cowok itu berseru tak sabar.
"Ini nih, kakak Cakep bengong aja. Di tarik-tarik nggak mau jalan."
"Biar dia sama Kakak aja. Kamu duluan ke mobil. Sana, cepet!"
Anak laki-laki kecil itu melepaskan genggaman tangannya lalu berlari ke mobil.
"Kok bengong sih, Tar" Ayo cepet!" Ari merangkulnya. Tari tersentak. Lagi-lagi seperti kejadian tadi, rangkulan itu datang begitu tiba-tiba dan tak terduga. Untuk yang kedua kalinya, detak jantungnya berdetak tak beraturan. Diikutinya langkah-langkah cepat Ari lebih karena lengan yang merangkulnya itu memaksanya berjalan, bukan karena kemauannya sendiri.
"Cepet! Cepet! Cepet!" anak laki-laki itu menepuk-nepuk kaca jendela dengan kedua telapak tangannya.
Ari membuka pintu kiri depan. Di dorongnya Tari hingga jatuh terduduk di jok- jenis dorongan lembut tapi tak bisa di lawan- dan langsung ditutupnya pintu. Sedan putih itu kemudian meleset, memutari hutan kota itu di lingkaran terluar dan berhenti di belakang bangunan rumah yang sepertinya pemilik pengurus hutan kota itu. Ari langsung membuka pintu di sebelahnya dan turun. Anak laki-laki itu bergegas mengikuti. Atmosfer ketegangan bercampur semangat itu kini juga menghiggapi Tari. Dia langsung ikut turun. Sekali lagi Ari memeriksa kondisi rantai sepeda.
"Oke, aman!" Di serahkannya setang kemudi. Anak laki-laki kecil itu menerimanya dengan semangat meluap. "Terima kasih, Kakak!" ucapnya sambil naik sepeda. Setelah beberapa saat mengayuh sepedanya dengan posisi kepala menengok ke belakang -nyengir lebar ke arah dua orang penolong sambil melambaikan satu tangan- anak laki-laki kecil itu memalingkan mukanya ke depan. Kayuhan sepedanya mendadak jadi cepat. Tatapannya terfokus ke titi finish.
Di depan batu hitam besar bertuliskan nama hutan kota itu, dia lalu menghentikan laju sepedanya dengan tarikan rem mendadak. Sepedanya berhenti saat itu juga, dengan roda belakang sempat terangkat.
Dengan penuh gaya anak laki-laki kecil itu lalu berdiri di sebelah sepedanya. Tangan yang satu bertolak pinggang, sementara yang lain memegang setang. Di angkatnya kaki kanan lalu di jejekkannya di atas roda belakang. Ari tertawa geli melihatnya.
"Keren kan gayanya"" Ari menoleh dan mentaap Tari. Tiba-tiba cowok itu mengulurkan tangan kirinya lalu mengacak-acak rambut di puncak kepala Tari. Tubuh cewek itu seketika menegang. Di lirinya cowok di sebelahnya dengan perasaan kikuk. Tapi sepertinya Ari tidak menyadari telah melakukan tindakan itu, kareena perhatiannya sudah kembali ke anak laki-laki kecil itu lagi. Tak lama dari salah satu jalan area dalam hutan kota, muncul serombongan anak kecil bersepeda yang di kayuh kencang-kencang. Rombongan yang sama yang nyaris menyerempet Tari tadi. Melihat satu teman mereka yang
tertinggal sangat jauh di belakang sudah ada di titik finish, semuanya berseru kaget.
"KOK UDAH DI SINIIII!!!""
"YES! YES! MENAAANG!!!" anak laki-laki kecil itu melompat-lompat girang. Tak peduli sepedanya jadi terbanting ke aspal karena mendadak kehilangan penyangga. Sudah sejak tadi kegembirannya itu terpaksa ditahannya karena menunggu datangnya para pecundang ini. Dia lalu menghampiri Rudi dan menadahkan kedua tangannya. "Mana CD PS-nya""
"Nggak. Pasti kamu curang deh," Rudi menolak. "Pasti tadi lewat jalan yang deket."
"Kan bilangnya tadi Cuma dulu-duluan sampe depan. Aku malah udah lewat jalanan yang paling jauh. Tuh, lewat jalanan aspal yang untuk dilewatin mobil. Tanya aja sama kakak-kakak itu."
Rudi menoleh. Ditatapnya Ari, yang saat itu tengah melangkah menghampiri kerumunan anak kecil itu sambil menggandeng Tari.
"Betul. Tadi dia lewat jalan aspal." Ari langsung mengangguk membenarkan.
Terlihat keraguan di wajah Rudi dan semua anak lain. Tapi posisi mobil yang terhalang bangunan membuat mereka tidak bisa menemukan keganjilan.
"Tuh kaaan"" anak laki-laki itu tersenyum puas. "Mana sini CD PS-nya""
Rudi meraih tas plastic yang tergantung di setang sepedanya lalu menyerahkannya dengan wajah cemberut. Anak laki-laki kecil itu menerimanya dan langsung melompat-lompat girang. "Asyiiiik! Asyiiikk!" serunya. Senyum lebar membuat wajahnya terbelah dua. Ari tertawa, pelan tapi geli.
Kelompok anak kecil berusian tujuh tahun sampai sepuluh tahun itu kemudian bubar. Bersama-sama dalam bentuk konvoi sepeda, mereka meninggalkan hutan kota.
"KAKAK NANTI KE RUMAH AKU YA! KITA TANDING PS! DAAAAH!!!" anak laiki-laki kecil itu berseru keras pada Ari. Dilambaikannya satu tangan tinggi-tinggi.
"OKEEE!!!" sambil tersenyu lebar, Ari mengacungkan kedua ibu jarinya. Juga tinggi-tinggi. Di tunggunya sampai anak itu menghilang baru dia turunkan kedua tangannya.
"Emangnya kita tau rumahnya di mana"" Ari menoleh. Ditatpnya Tari dengan mimic lucu. "Namanya siapa aja kita nggak tau. Baru inget tadi nggak sempet kenalan sama dia." Cowok itu memalingkan kembali wajahnya ke tempat anak-anak kecil tadi menghilang. "Bego jug ague!" dia menggelengkan kepala sambil tertawa.
Tari menatapnya. Ari terlihat rileks. Seperti terlepas dari semua beban. Berkalikali pada hari ini, cowok yang berada di sebelahnya ini membuatnya terpengarah.
"Oh, iya. Kita belom makan ya. Sekarang bukan hari libur sih. Jadinya sepi begini. Nggak ada orang jualan. Coba kita lihat kesebelah sana."
Ari menoleh sekilas. Dia mengulurkan tangan kirinya dan meraih tangan kanan Tari, lalu menggandengnya. Satu tindakan yang lagi-lagi Tari yakin tak sepenuhnya Ari sadari. "Kalo hari libur, pedagang makanan biasa ngumpul di sana," Ari menunjuk ke arah kanannya. "Coba kita lihat ke sana."
Ditariknya Tari ke arah yang tadi ditunjuknya. Sepertinya dia tidak menyadari, sejak tadi Tari lebih banyak diam. Tidak sanggup membuka mulut. Terpukau dalam kekagetan, juga pesona. Segalanya seperti mengabur. Ari dan Ata. Ata dan Ari. Keduanya seperti menyatu. Timbul-tenggelam. Datang dan hilang.
Tari menggelengkan kepala. Pening. Kalau Ari benar-benar ingin menjadi Ata, meski hanya untuk hari ini, cowok itu melakukannya dengan sempurna. Nanar, ditatapnya punggung lebar di depannya. Ari adalah hati yang penuh retakan. Dia adalah senyum yang di baliknya tangis telah menunggu begitu lama untuk bisa keluar. Dia adalah punggung tegak yang bisa runtuh dengan hanya satu sentuhan pelan. Dan dia adalah pemain drama yang hebat, karena hidup telah membentuknya dengan bertubi-tubi tekanan.
Perlahan, baying-bayang Ata memudar. Tiba-tiba saja muncul ketenangan dan Tari tidak lagi ingin bertanya apa-apa. Karena hati kecilnya telah mengenali. Ini adalah Ari yang sesungguhnya. Kini di ikutinya tangan yang terus menggandengnya itu dengan keikhlasan. Sesampainya di tempat yang di maksud, ternyata tidak ada siapa-siapa.
"Iya, bener. Ramenya kalo libur aja," Ari mendesah kecewa. "Ya udah. Kita cari makan di tempat lain aja deh. Ni hutan kalo hari kerja suasananya t
ernyata beneran kayak di hutan."
Mereka kembali ke arah semula. Mendadak tari tersadar. Pergi dari hutan kota ini ada kemungkinan Ari kembali mengenakan "topeng dan jubah"-nya. Bertahun-tahun mengenakannya membuat 'topeng dan jubah' itu seperti berjiwa. Secara otomatis akan di lindungi sosok itu begitu kerapuhannya sedikit saja terbuka.
"Kak Ari kalo capek istirahat aja."
Ari menoleh dan menatap Tari dengan tanya. Tari menyambutnya dengan senyuman.
"Saya nggak laper kok. Nggak usah nyari makan. Kita di sini aja. Kalo kak Ari capek, istirahat aja. Kita udah jauh dari sekolah. Nggak aka nada yang ngeliat."
Seketika tubuh Ari membeku. Genggaman tangannya pada kelima jari Tari terlepas. Ada jeda beberapa saat sebelum kemudian perlahan cowok itu membalikkan tubuhnya menghadap Tari.
"Istirahat..." ucap Tari. Lirih, namun sarat pengertian.
"Lo tau apa yang baru aja lo bilang!"" desis Ari dengan suara bergetar.
Tari mengangguk. Ari memandangnya dengan pandangan nanar. Detik itu juga "topeng dan jubahnya" segera melindunginya. Sayangnya, sudah terlambat. Dia telah terguncang, karena dia sangat amat mengerti apa yang di maksud Tari dengan "capek" dan "istirahat". Sesuatu yang jauh lebih dalam daripada makna harfiahnya.
"Sialan!" maki Ari pelan dan langsung balik badan. Dadanya bergolak hebat. Kedua kakinya melangkah menjauh dengan cepat. Tari menatapnya. Cemas, karena sadar dia telah menyentuh titik terawan.
Sejak mengucapkan kedua kata itu, yang tidak di sadari Tari adalah bahwa dia telah juah menembus benteng pertahanan Ari. Akibatnya, cowok itu sontak limbung. Kepanikan dan seketika itu juga Ari berusaha keras membangun kembali reruntuhan benteng itu.
Namun sia-sia, karena Tari telah sampai pada tahap memahami. Kalaupun reruntuhan itu berhasil tegak kembali dan dirinya kembali bersembunyi di baliknya seperti selama ini, tidak ada gunanya lagi di depan gadis ini.
Kesadaran itu menampar. Kembali Ari terguncang. Kali ini lebih hebat, karena setengah dari kesadarannya telah menghilang!
Ari balik badan. Tertegun, Tari menatap wajah cowok itu yang kini benar-benar pucat. Semua keceriaan dan sikap lepasnya tadi lenyap. Lebih cepat dari gerak tercepat kesadaran Tari mampu mencerna, Ari menghampirinya. Di raihnya Tari dengan seluruh jangkaun kedua lengan dan ditenggelamkannya gadis itu di kedalaman pelukanya.
Tari terkesip. Satu-satunya reaksi yang mampu di keluarkannya, karena dia segera terkurung. Tubuh dan kesadaran.
Pelukan tiba-tiba dan tak terduga itu segetika membuat Tari kehilangan keseimbangan. Tari terhuyung limbung ke arah pelukan itu datang. Tak ayal tubuh Ari terdorong mundur dan membentur sebatang pohon yang tegak tidak jauh di belakngnya. Keduanya luruh di sana.
Ari mengabaikan kasarnya permukaan batang pohon yang menggurat dan merobek baju seragamnya lalu memberikan perih di punggung telanjangnya. Lembut rerumputan kemudian menyambut keduanya dengan lengan-lengan mereka.
Tidak ada satu katapun yang keluar dalam pelukan membingungkan itu. Hanya ada lingkaran dekapan kuat kedua lengan Ari pada gadis yang menyandang nama yang sama dengan dirinya dan seseorang yang pernah berbagi rahim sang mama dengannya. Dan hanya ada gemuruh detak jantung yang menembus jauh ke dalam telinga. Membekukan Tari seutuhnya. Karena bisa dirasakannya dengan jelas. Ari melakukan pelukan ini dengan hati.
Pasca pemelukan itu Tari sebenarnya benar-benar malu. Rasanya dia nggak ingin ketemu Ari lagi. Namun, pelukan tanpa kata itu juga telah membuatnya merasa seperti mengenal cowok itu lebih dari sekedar "Ari tuh sebenarnya baik".
Karenanya, dilawannya rasa malu itu. Mungkin kalau mereka bisa lebih dekat lagi, aka nada akhir gangguan-gangguan Ari padanya. Akan ada jawaban menghilangnya Ata. Akan ada jalan keluar permasalahan dua orang kembar itu. Dan yang paling penting di atas segalanya, aka nada ujung untuk perpisahan mereka.
Tapi ternyata setelah peristiwa itu, bukan Cuma Ata yang tetep menghilang, Ari juga ikut lenyap. Tari melihat motor hitam Ari terparkir di tempat parkir, tapi sama s
Jingga Dalam Elegi Karya Esti Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ekali tidak dilihatnya cowok itu dimanapun di area sekolah yang bisa di datanginya. Walaupun telah di tajamkannya fokus mata bahkan sampai ke sudut-sudut yang paling tersembunyi.
Bahkan pada ketika jam tengah pelajaran Tari meminta izin pada guru untuk ke kamar kecil, karena dia ingat hari itu kelas Ari ada jadwal olahraga yang dilakukannya adalah langsung berlari lewat tangga di depan kantin begitu izin di berikan. Tidak ditemukannya cowok itu di antara teman-teman sekelasnya yang memenuhi empat lapangan olahraga di area depan sekolah. Ari ada di sekolah, namun Tari merasa sekolah ini sengaja menyembunyikannya cowok itu di kelas atau di tempat-tempat lain yang tidak bisa dijangkaunya.
*** Pasca hari ketika dia memutuskan untuk menjadi saudara kembarnya demi seraut wajah murung dan kehilangan itu, kembali Ari jadi kacau, karena kenyataan yang tak terduganya, juga keputusan yang harus dengan cepat diambilnya.
Keputusan yang sama sekali tidak bisa dipastikannya pada ujungnya. Kehilangan dan pintu itu tertutup selamanya. Atau memang gadis itu ternyata adalah jawaban atas doa-doa panjangnya yang sarat teriak kemarahan dan rasa putuh asa.
Berbeda dengan sebelumnya, ketika kekacauan Ari tertangkap jelas di semua mata. Kali ini hanya Oji dan Ridho yang hanya bisa melihatnya, karena tampak luar kekacauan itu hanya berupa Ari yang jadi sangat mencintai ruang kelasnya dan terus mendekam di dalamnya. Dia hanya keluar saat alam memanggil. Ke kantin atau ke kamar kecil.
Suatu hari saat jam istirahat pertama, setelah menunggu sampai kelas benar-benar sepi di tinggal para penghuninya, Ridho menghampiri Ari. Ari sedang serius dengan game di ponselnya. Ridho kuatir. Karena untuknya, kekacauan dalam diam lebih berbahaya daripada kekacauan yang dimanifestasikan dalam bentuk tindak kekerasan atau kemarahan. Oji langsung mengikuti. Keduanya mengambil tempat duduk di depan Ari. Ari langsung
menghentikan permainannya karena tahu gangguan ini akan menghilangkan keasyikannya. Setelah sesaat menatap Ari dalam diam, tanpa kedua matanya beralih dari kedua manik hitam di depannya itu, Ridho langsung ke inti permasalahan.
"Lo kenapa""
"Nggak apa-apa." Ari menolak bicara. Tapi Ridho, benar-benar karena merasa cemas, memaksanya untuk bicara. Akhirnya Ari menjawab desakan itu. Di tatapnya kedua kawan karibnya itu bergantian. Juga tepat di kedua manik mata mereka. "Sebentar lagi gue harus matiin orang."
Sontak, Ridho dan Oji terperangah. Ari bangkit berdiri dan meninggalkan kedua temannya yang masih terperangkap syok hebat akibat ucapannya tadi. Seperti tersengat, Ridho dan Oji melompat dari kursi masing-masing dan segera mengejar Ari yang sudah berada di koridor. Ari menghentikan langkahnya dan balik badan, membuat Ridho dan Oji juga menghentikan lari mereka. Kini mereka menghampiri Ari dengan langkah cepat.
"Pembunuhannya bukan di sekolah. Tenang aja. Dan dia juga bukan orang yang lo bedua kenal." "Ri..., lo serius!"" ucapan Ridho sampai berjeda saking syoknya. "Nggak ada pilihan. Dia yang mati... atau gue!" "Mmm.. ini."" Ridho kehabisan kata.
Ari tersenyum tipis. Ditepuk-tepuknya satu bahu temannya itu. "Nggak sehoror yang lo berdua kira. Jadi nggak usah panik."
Ari balik badan dan pergi. Kali ini Ridho dan Oji tidak berusaha mengejarnya lagi. Percuma. Karena tidak akan menjawab kebingungan mereka.
Tari sedang berjalan menuju ke kelas bersama teman-temannya, saat Ari menyeruak kerumunan itu.
Kerumunan itu tercerai-berai dalam kekagetan dan memisahkan Tari dari semuanya.
Ari langsung mendesak cewek itu ke arah dinding kemudian mengurungnya dalam rentangan kedua tangan. Bingung, tidak mengerti, juga takut, Tari menatap wajah di depannya. Wajah yang berhari-hari hilang dan tidak bisa dia temukan. Wajah Ari, sang pentolan sekolah, tanpa sisa-sisa dari wajah sesungguhnya yang tersibak di hutan kota itu.
"Ata harus pergi. Tapi gue izinin dia pamit sama elo," bisik Ari.
Tari makin tak mengerti. "Pergi ke mana""
"Mati!" Tari ternganga seketika. "Maksud kak Ari apa sih""tanya itu lirih namun getaran h
ebat menyertainya. Ari menatapnya. Keterkejutan itu mungkin sama pekatnya dengan kepedihan di hatinya saat ini. "Gue gantiin tempatnya. Lo lupain dia."
Di saksikan oleh seluruh mata yang ada, terbelalak dari ujung koridor yang satu sampai ujung koridor yang lain, Ari lepaskan kurungan tangannya. Di peluknya Tari dalam sekejap waktu yang dia butuhkan untuk sekali lagi mengulangi permohonanya.
Permohonan sungguh-sungguh dan harus, namun sayangnya dia tak ingin menjelaskan. Karena realisasi dari permohonan itu nantinya akan teramat sarat dengan luka. Menjalaninya tanpa di dahului kata mungkin akan jauh lebih baik. Karena tak ada apa pun yang akan sanggup meringankan sakit dari luka itu nantinya.
"Lupain dia!" bisiknya. Darinya dan hanya untuk gadis yang saat ini di peluknya.
Ari melepaskan pelukannya, menatap Tari dengan kabut tipis di kedua matanya. Kemudian cowok itu balik badan dan pergi. Diringi tatap-tatap penuh tanda tanya, yang tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi tadi. Para siswa yang berkerumunan itu hanya tahu, dia yang pergi dan dia yang ditinggalkan sama-sama pucat pasi.
*** Halte sudah sepi sejak setengah jam yang lalu, tapi Tari dan Fio masih duduk terpekur di salah satu bangku besi di sana.
"Nggak bakalan mati yang bener-bener mati, Tar. Lo nggak usah terlalu cemas deh."
"Iya, gue juga tau. Tapi tetep aja gue kepikiran banget nih. Yang dimaksud Kak Ari mati tuh apa. Pasti sesuatu yang parah deh. Nggak mungkin dia Cuma mau bikin Ata lecet-lecet."
"Gue nggak ada bayangan." Fio geleng kepala.
"Sama." Tari mendesah berat.
"Udah deh. Pikirinnya besok lagi. Udah mau jam tiga nih."
Keduanya bangkit berdiri dengan lambat. Bus Tari lebih dulu datang. Dia lambaikan tangan dengan gerakan lemah pada Fio kemudian naik.
Belum sempat bus bergerak, satu sosok berkelebat. Menyambar pinggang Tari lalu menurunkannya dengan cepat.
"Nggak jadi, Bang. Maaf," sosok itu meminta maaf pada kondektur yang terlongo-longo menyaksikan peristiwa itu. Bus kembali bergerak. Tari berbalik cepat dan sontak terbelalak.
"Ata!"" pekiknya. Ata menyambut keterkejutan itu dengan senyuman. "Lo ke mana aja sih""
Ata tidak menjawab. Dia menoleh ke arah Fio yang juga masih terlongo-longo. Mulai dari Everest hitam itu mendadak muncul lalu berhenti rapat di belakang bus, di susul Ata melompat turun sampai cowok itu memeluk Tari dari belakang lalu menurunkannya dari pintu bus, mungkin hanya memakan waktu tiga puluh detik.
Adegan yang -sumpah!- heroik banget!
"Cari taksi di jalan aja, Fi. Danger area nih." Ucap Ata sambil menuntun Tari ke mobilnya. Fio tersadar. Buru-buru di hampirinya mobil Ata.
"Lo ke mana aja sih, Ta" Gue cemas banget, tau. Lo juga lecek banget gini sih. Berantakan. Ada apa"" tanya Tari beruntun. Meskipun pembawaanya tenang, Ata memang terlihat lelah. Seperti sedang menghadapi persoalan yang lumayan berat.
"Mana dulu yang harus gue jawab nih"" Ata tersenyum tanpa menoleh. Tari menghela napas. "Kak Ari ngomongnya ngeri banget deh, Ta." "Oh ya" Ngomong apa dia""
"Katanya dia mau matiin elo. Tapi dia kasih izin elo untuk pamit sama gue." "Gitu ya"" Ata tersenyum lagi. "Kapan dia ngomong gitu"" "Dua hari yang lalu. Apa sih maksud tu orang"" "Ya matiin gue."
"Lo jangan becanda deh. Lo tau nggak sih, gue sampe stress banget mikirinnya"" "Ya jangan dipikirin. Daripada dipikirin, mending lo ikut gue aja." "Ikut ke mana""
"Yak e mana Ari mau gue pergi."
Tari, yang posisi duduknya menyamping, sekarang benar-benar menghadap ke Ata.
"Bisa nggak sih lo ngomong yang jelas" Nggak kak Ari, nggak elo, seneng banget ngomong muter-muter. Jauh lagi, muternya."
Ata tertawa pelan. Tapi baik Tari maupun Fio bisa merasakan ada beban berat dalam tawa itu. Ata
tidak menjawab. Dia tepikan mobilnya. Sementara tangan kanannya membuka pintu di sebelahnya, tangan kirinya terulur. Diusap-usapnya puncak kepala Tari.
Tari tertegun. Juga Fio, yang menyaksikan itu dalam diam. Karena bersama dengan tindakannya itu, wajah Ata mengelam.
"Fio...," Ata yang sudah turun dari mobil meman
ggil pelan. "Sori."
"Oh." Fio tersadar. Buru-buru dibukanya pintu. "Gue duluan, Tar." Ucapnya lalu turun. Tari mengangguk. Sebuah taksi kosong menepi dan Fio segera menghilang di dalamnya. Ata kembali ke mobil. Ditatapnya Tari sambil menutup pintu. "Ada yang mau gue omongin, Tar."
*** "Cepat atau lambat kalian emang harus ketemu untuk ngomong sih," Tari mengangguk. Dia lalu menghela hapas. "Tapi lo udah bilang ke Kak Ari""
"Udah," "Terus.""
"Kata dia, 'dateng aja... kalo lo mau mati.'"
"Ha!"" Tari terperangah. Seketika teringat lagi ucapan Ari yang aneh itu.
"Mati tuh nggak harus jadi arwah, lagi, Tar. Eh, tapi bisa juga sih kalo Ari yang ngomong."
"Lo jangan nakut-nakutin gue dong!" seru Tari kesal.
Ata tertawa pelan. "Makanya, temenin gue ke sana, ya"" "Terus kita mati berdua, gitu""
"Iya lah. Keren, kan" Ntar lo gue peluk deh. Biar mirip ending Romeo-juliet."
"Hehehe." Tari tertawa dengan nada memaksa. "Kayaknya lebih keren kalo kalian berdua aja yang mati peluk-pelukan deh. Lebih dramatis dan mengharukan. Apalagi kalo pake diceritain kisah hidup kalian berdua. Wah, bakalan banyak yang nangis terharu tuh. Percaya deh."
Tawa Ata meledak. Tari manatapnya. Bukan hanya pada saat tersenyum, bahkan saat tertawa seperti ini pun, kelam di wajah dan kedua matanya tidak terusir sedikit pun.
Ketika tawanya habis, Ata menarik napas panjang.
"Ada yang mau gue omongin ke dia, Tar. Penting banget. Dan nggak bisa lewat telepon. Soalnya gue Cuma di kasih waktu paling lama lima menit. Biarpun gue lagi ngomong, kalo udah lima menit, langsung dimatiin sama dia."
"Emang kalo lo ngajak gue, dia jadi mau ngomong" Bukannya malah ngamuk tu orang ntar""
"Itu maksud gue. Orang ngamuk masih bisa di ajak ngomong daripada orang yang nggak mau buka pintu."
"Mmm. gimana ya"" Tari menggigit bibir. Ini benar-benar ajakan yang mengerikan.
"Please, Tar. Soalnya penting banget. Dan gue pikir, masalah ini harus diselesaikan secepetnya."
"Iya sih. Emang kapan rencana lo mau ke sana""
"Jumat. Sabtu-minggu kan libur. Jadi kalo jumat gue kenapa-kenapa, bonyok taruhlah, gue punya dua hari buat recovery."
"Jumat itu kan tiga hari lagi!"" seru Tari kaget.
"Kalo kelamaan, semangat juang keburu ilang. Lagi pula kalo ditunda-tunda juga nggak bikin situasinya jadi tambah baik kok."
"Iya sih." Tari berdecak pelan. Lalu dia menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat.
"Kenapa mesti sama gue sih"" "Emang ada kandidat lain""
"Kenapa nggak kalian berdua aja, gitu" Ini kan masalah intern keluarga."
Ata tak langsung menjawab. Ditatapnya Tari tepat di manik mata. "Pintu rumahnya akan terbuka kalo dia ngeliat elo," jawabnya lunak. Ganti Tari yang terdiam. Cukup lama.
"Oke deh," ucapnya kemudian dengan nada berat. Kesediaannya itu sempat membuat Ata mematung.
"Thanks banget, Tar." Ata terlihat benar-benar lega. "Balik yuk. Udah sore."
Tari mengangguk. Mereka tinggalkan coffee shop kecil itu. Ketika Ata menepikan mobil di mulut jalan kecil yang menuju rumahnya, Tari tidak langsung turun.
"Gue boleh tau nggak kenapa lo ngilang hampir seminggu ini"" Tari menatap Ata tepat di manik mata.
"Boleh." Ata mengangguk.
"Kenapa"" Ata tak langsung menjawab. Dia mengulurkan tangan kirinya dan mengusap-usap kepala Tari sesaat. "Untuk ini." Dia tersenyum. Senyum yang kelam.
*** Sejak pembicaraan itu, Tari dicekam kecemasan. Hari-harinya jadi tak tenang. Jauh tidak tenang dibandingkan saat Ari jadi kacau atau saat Ata menghilang.
Tari lagi-lagi kehilangan selera makan. Cewek itu melahap makanan kalau perutnya sudah melilit kelaparan.
Fio pun terpaksa membatalkan makan makanan berat. Gantinya, dia membeli empat potong pastel dan dua gelas air mineral. Kemudian disusulnya Tari yang sedang termenung di koridor dapan gudang, manatap arus lalu lintas jalan raya di kejauhan,. Tapi lagi-lagi temen semejanya ini menolak makan.
"Makan deh, Tar. Dikit aja. Ntar sakit lho." "Lagi males gue. Minumnya aja sini."
Sambil menghela napas, Fio menyerahkan salah satu air mineral gelas
yang tadi dibelinya. "Masalah yang sebenarnya tuh apa sih"" tanyanya lagi.
"Ng." Tari mendesah, panjang dan berat. "Ada sesuatu , Cuma gue nggak tau apa. Dan nggak bisa nebak juga. Cuma gue udah ngerasain lama. Ada something yang Ata nggak mau cerita ke gue. Apalagi kak Ari, nggak mungkin banget dia mau ngasih tau gue. Dan mereka berdua sama-sama tau. Emang sih waktu dia jemput kita it uterus kami ngomong berdua, dia tetep kelihatan santai. Tapi gue tau, masalah yang mau dia omongin ke Kak Ari serius banget."
"Terus, apa hubungannya sama elo" Besok elo juga kudu ada di antara mereka, gitu""
"Yah, itu juga yang gue nggak tau. Kan tadi gue udah bilang sama elo, ada sesuatu, Cuma gue nggak tau apa."
"Ah, jangan-jangan dugaan gue waktu itu bener!" Seru Fio tertahan. "Inget kan lo" Gue pernah bilang, tujuan kak Ata itu mau ngedeketin elo ke kak Ari. Kalo gagal, karena dia liat lo sama kak Ari udah kayak anjing sama kucing, ya sementara.. " "Iya , gue inget," potong Tari. "Tapi masa iya sih, Ata kejem gitu""
"Kejem kan standar elo. Standar dia sih itu tindakan wajar, lagi. Walaupun mereka musuhan, tetep aja mereka sodara kandung. Kembar pula."
Tari menoleh lalu menatap Fio dengan kedua alis menyatu rapat.
"Terserah deh, lo mau bilang gue ngarang, ngasal, atau ngaco." Fio langsung memasang tampang siap dicela. "Tapi feeling gue ngomong gitu."
Tari terdiam. Kalau mau jujur, meskipun Ata memperlakukannya dengan manis, selalu perhatian, selalu ada di ujung telepon, selalu hadir setiap kali dibutuhkan, kecuali dua kasus dia mneghilang itu, Tari memang merasa cowok itu membentangkan pembatas. Tipis, tapi bisa dia rasakan dengan jelas. Ata hadir dan menempatkan diri sebagai teman, atau penyeimbang untuk semua tindakkan Ari, atau pelindung Tari dari ulah-ulah Ari meskipun lebih sering perlindungan Ata itu tidak memberikan efek apa pun, atau hanya sekedar tempat Tari curhat. Tidak pernah lebih daripada itu. Kalaupun ada pernyataan, pernyataan-pernyataan Ata selalu buram dan bisa diartikan dalam banyak kata dan tujuan. Semntara pernyataan-pernyataan Ari selalu gamblang. "Ah, tau deh. Pusing!" Tari menggelangkan kepala kuat-kuat. "Besok kak Ata jemput lo di mana""
"Gue yang jemput dia. Besok dia nggak bawa kendaraan. Jadi gue disuruh langsung naik taksi. Dia nunggu di depan mal yang sering kita datengin itu. Kalo ke rumah kak Ari kan lewat situ. Eh, besok gue titip buku sebagian ya. Biar kalo ada apa-apa larinya gampang." "Besok, ya"" Fio menggumam. "He-eh." Tari mengangguk.
Dengan kedua tangan terlipat di atas besi pagar koridor, keduanya sama-sama memandang jalan raya di kejauhan lalu menghela napas bersamaan.
"Udah serasa kayak mau berangkat perang nih gue," desah Tari.
"Gue doain lo pulang selamat deh," ucap Fio sungguh-sungguh.
Keduanya saling pandang lalu tertawa bersamaan. Tawa ketidakpastian.
*** Jumat Sejak dibukanya mata dari tidur malamnya yg tak tenang, kegelisahan Tari sudah memuncak. Membuatnya kehilangan konsentrasi terhadap apa pun. Jam pertama sampai jam terakhir pelajaran sukses dilewatinya dengan melamun, bengong, atau berpikir keras, tapi tentu saja sama sekali bukan tentang pelajaran.
Son Of Neptune 4 Pendekar Rajawali Sakti 155 Misteri Mayat Darah Si Bayangan Iblis 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama