Keberanian Manusia Karya Motinggo Busye Bagian 1
Amini Dari Kumpulan Cerpen "Keberanian Manusia"
Setelah diketahui, dia itu janda, haruslah diketahui pula bahwa dia seorang janda baik-baik. Sebenarnya tiap-tiap orang boleh senang padanya, atau, kalau ada waktu, tiap-tiap orang boleh merelakan dirinya untuk menghiburnya setiap hari atau barang sejam dalam sehari. Celakanya, tak seorang pun mau menghiburnya. Juga kebanyakan dari mereka membencinya. Tapi sebaliknya, janda itu tidak marah pada mereka atau menyimpan dendam kesumat pun tidak.
Tiap-tiap orang sebenarnya sangat senang menceritakan perihal orang lain kalau tidak perihal diri sendiri. Tapi janda itu tidak punya kecakapan demikian, jadi, dia tidak punya kedua bakat- bakat itu.
Memang tak ada seseorang yang jadi tukang hiburnya, atau setidak-tidaknya bisa mengisi kesepiannya yang mendalam, Anehnya, janda itu sendiri memang tidak membutuhkan seorang tukang hibur atau seorang yang akan mengisi kesepiannya.
Janda itu janda baik-baik dan belum pernah ternoda sedetik pun oleh kejahatan yang dinamakan oleh orang-orang beradab adalah dosa. Suatu dosa yang dikhususkan dan ditujukan kepada janda-janda. sehingga dengan mudah saja diduga, bahwa sebenarnya janda-janda itu bagi mereka adalah berbahaya. Dan mereka itu, anak-anak muda yang bayar makan di rumah janda itu, dan juga orang-orang yang tinggal di luar pekarangan rumah itu, sering-sering melintaskan pikirannya dengan sangkaan biasa yang diwariskan nenek moyangnya terhadap janda.
Perempuan-perempuan di sebelah menyebelah rumah itu saban pagi kalau menjemur pakaian suaminya atau popok-popok anaknya atau celananya atau kain-kain pakaiannya sendiri, setidak- tidaknya memerlukan sedetik pagi-pagi dan sedetik sore hari untuk memperhatikan perut janda itu, kalau-kalau ada perubahan.
Atau, diperhatikan mereka pada pagi hari, apakah janda itu mengeramas rambutnya basah-basah. Atau, memperhatikan sinar muka anak-anak lelaki yang bayar makan itu, kalau-kalau ada sinar kelainan dari hari kemarinnya. Apakah ini gunanya Tuhan menciptakan mata bagi manusia, aku sebagai pengarang yang belum banyak pengalaman, tidak perlu menerangkannya, dan kukira tidak banyak keperluannya bagi perkembangan kesusastraan abad ini.
Pagi ini pun, perempuan yang sedang menjemur popok-popok anaknya itu memakai matanya sekejap untuk melihat perut janda itu. Kemudian, entah kenapa, ia
merasa kecewa. Ketika itu janda itu sedang berdiri dan menyandarkan punggungnya yang empuk di tiang seperti biasanya tiap pagi. Dia menunggu seorang yang bersepeda.
Sebuah sepeda lewat. Hatinya cemas, dan kemudian kecewa bila dilihatnya sepeda itu dikendarai oleh polisi atau seorang berkopiah atau seorang gadis remaja. Yang ditunggunya adalah sepeda yang dikendarai oleh seorang lelaki baya bertopi bambu, warna topinya coklat, dengan sepedanya berwarna abu-abu dan pada batang sepedanya ada kantong surat yang terbuat dari terpal yang warnanya coklat juga. Tapi coklatnya sudah agak luntur, mungkin sering digeser oleh dengkul tukang pos itu ketika mengayuh sepedanya.
Oh, ini dia. Laki-laki itu bersepeda, warna sepedanya hijau. Lelaki itu bertopi bambu juga, warnanya coklat juga, tapi tidak aksi kelihatannya, sebab topi bambu itu dibenamnya sampai ke kupingnya. Jadi lelaki ini bukan orang yang dinantikannya. Ia kecewa lagi. Tapi, sekarang sudah jam setengah sepuluh lewat lima. Seharusnya orang itu sudah lewat. Benar, itu, lelaki yang berkumis itulah orangnya. Sepedanya masuk ke pekarangannya. Orang itu tukang pos.
"Ada surat"" tanyanya. Seperti biasanya saban pagi ia bertanya dengan kalimat itu, walau, anehnya, tukang pos itu tidak selalu masuk pekarangannya dan hanya lewat saja. Tukang pos itu tidak menjawabnya. Memang ia tak menjawab. Sebab, pertanyaan itu harus diladeninya saban pagi, kecuali pada hari Minggu, 17 Agustus, atau hari-hari besar umum lainnya. Pagi itu ia memberikan enam buah surat, kemudian janda itu melepaskan senyum.
Lalu tukang pos itu pergi. Senyum yang dilepaskannya adalah senyum baik-baik dan bukan senyum yang luar biasa atau mengandung hasrat yang bukan-bukan.
Tapi bagi tukang pos itu, baru pada pagi itulah
ia berpikir, kenapa janda itu melepaskan senyum padanya. Dan terus bertanya dengan kalimat sama, ada surat" Walaupun ia pasti bahwa surat-surat yang diantarkannya tidak dialamatkan untuk janda itu, Tidak sebuah pun! Dan tiap-tiap pagi dia bersandar di siang beranda rumahnya. Dan waktunya adalah jam setengah sepuluh kurang lebih.
Tukang pos itu hampir hafal nama-nama yang biasa dapat surat di rumah itu. Dan bahkan ia tahu, Kamalsyah adalah seorang penghuni rumah itu yang paling banyak menerima pos wesel yang datang dari Jambi, tiap-tiap bulan 900 rupiah, dan poswesel
itu selalu diantarkannya sebelum tanggal sepuluh. Tukang pos itu belum kenal siapa Kamalsyah itu, tapi heran, ia tahu tiap-tiap anak lelaki yang tinggal di rumah itu, kenal namanya, kenal rupanya, tapi tidak dapat memastikan satu per satu siapa yang bernama Kamalsyah, siapa yang bernama Salaman. Di alamat-alamat lain memang ia pernah mengantarkan sejumlah pos wesel dan ada yang poswesel ditutup, tanda jumlahnya seribu rupiah atau lebih.
Kamalsyah sendiri tidak luar biasa sebenarnya. Bahkan sebenarnya, dengan menerima 900 rupiah, jumlah itu tidak terlalu banyak. Ia tinggal bayar makan di rumah janda itu. Ia punya seorang gadis. Gadis itu sering-sering datang ke rumahnya, untuk menengoknya, tapi sebetulnya masih ada kebutuhan lain yang lebih dari menengok saja. Anak-anak muda mempunyai siasat yang dikiranya mengagumkan, padahal itu cuma ulangan dari pengalaman orang-orang tua kita di masa mudanya.
Kamalsyah, seperti juga anak-anak muda yang bayar makan di situ, selalu memperhatikan kelakuan janda itu dan kemudian mempercakapkannya. Janda itu biasanya meneliti surat-surat yang datang, sebenarnya tidak ada maksud apa-apa selain meneliti dan dia pun tidak pernah sekali dalam hidupnya membuka-buka surat orang lain, untuk mengetahui rahasianya.
Salaman pagi itu menduga dia pasti mendapat surat. Ia mau meloncat ke luar kamarnya, tapi dia ditahan oleh Kamalsyah.
"Biarkan saja pesuruh kita itu memanggil," kata Kamalsyah, dan memang betul, sebentar kemudian Salaman jelas mendengar suara dari dalam rumah, "Rukmiati". Dengan sebutan itu berarti Salamanlah yang wajib datang.
Salaman masuk rumah, mengambil suratnya, kemudian masuk ke kamarnya, dan sambil memeluk bantal guling dibacanya surat itu. Ia tertawa-tawa sendiri tersenyum-senyum sendiri, kemudian masuk lagi ke dalam rumah, Ia bercerita bahwa Rukmiati sangat kangen dengan dia, kangen dengan ciuman mesra ketika mereka berpisah enam bulan yang lalu. Sambil memperhatikan perubahan-perubahan pada muka janda itu, ia berkata, "Memang enak punya kekasih. Mbak." Kemudian ia kembali masuk ke kamarnya dan melepaskan kecewanya di hadapan dua kawan-kawannya.
"Aku membohongi dia. Dia sedih rupanya dan mungkin sekarang sedang menangis," kata Salaman.
"Mahmud Syarnubi," suara dari dalam rumah kedengaran oleh Kamalsyah dan ia melompat masuk rumah. Diterima surat itu, dan dibukanya sekali, ia tersenyum-senyum
di muka janda itu, kemudian pura-pura heran dan kemudian berkata, "Ibuku melahirkan lagi," sebenarnya ibunya tidak melahirkan. "Dan ayahku naik pangkat," sebenarnya tidak ada hal itu dituliskan di surat.
Setelah diperhatikannya muka janda itu sebentar, ia cepat-cepat pergi mendapatkan kawan-kawannya dan dibagi-bagikannya surat-surat yang lain yang diberikan janda induk semang tadi. Dan ia kemudian menceritakan pada Salaman bahwa janda itu mengeluarkan air mata. lari ke kamar dan menghempaskan tubuhnya di tempat tidur.
Memang perempuan itu kini berada di kamar, tapi tidak menghempaskan tubuhnya. Dibaringkannya badannya di tempat tidurnya yang putih rapi dan berenda itu, diperbaikinya rambutnya. Rambutnya tebal ikal dan bagus berurai menyesuaikan diri dengan keadaan kamar yang bersih selalu itu.
"Alangkah bahagianya mereka," pikirnya dalam hati dan sekaligus dapat dibayangkannya ibu Kamalsyah saat itu sedang menyusui bayinya. Dan bulan depan, gaji yang diterima suami dan istri yang menyusui itu lebih banyak dari bulan sekarang. Dan tentang Salaman, ia tentu semalaman nanti akan bermimpi dengan Rukmiati. Alangkah bahagianya mereka,
pikirnya. Dan ketika ia memikir itu sama sekali tidak bersedih hati, tapi malah dengan segala senang hati. Ia merasa ikut berbahagia dengan orang lain yang mengecap bahagia dan tidak lebih dari itu.
Siang hari sebelum jam dua ditaruhnya makanan untuk makan siang anak-anak yang bayar makan itu dan ia berada di kamar.
Anak-anak itu kalau makan bercakap-cakap atau tertawa-tawa dan kali ini mereka agaknya jauh luar biasa bahagianya. Percakapan-percakapan mereka yang keras, gurau mereka yang menyenangkan dan ketawa-ketawa mereka adalah pertanda dari bahagia-bahagia yang sedang dialami. Itu didengarnya karena ia mempunyai telinga belaka.
Ketika ia duduk-duduk merenda sore hari, seorang gadis masuk pekarangan rumahnya dan ia tahu, gadis itu adalah gadisnya Kamalsyah. "Kamal ada di belakang," kata janda itu.
Gadis itu pergi ke belakang menemui Kamalsyah dan ketika makan malam hari Kamalsyah tidak dilihatnya di meja, mungkin mereka berdua masih membicarakan sesuatu. Ia masuk ke kamarnya untuk menghidupkan lampu dan ketika ia ke luar untuk ke dapur dilihatnya di gang yang agak gelap Kamalsyah dan gadisnya berada di situ.
Kepala Kamalsyah dekat benar dengan leher gadis itu sehingga ia membungkuk. Ketika ia keluar dari dapur untuk masuk ke ruang tengah, dilihatnya Kamalsyah sedang menjurai rambut gadis itu.
Dan malam pun tiba. Dan pagi pun tiba. Kembali ia berdiri menyandarkan punggungnya yang empuk di tiang beranda, menunggu, kalau-katau ada surat.
Kali ini sudah lewat jam sepuluh dan betapa heran ia, tukang pos bertopi coklat bsrsepeda abu-abu belum kelihatan. Memang tukang pos itu belum datang. Ketika itu tukang pos sedang menuntun sepedanya, sebab ban sepedanya meletus. Tapi lebih dari itu pikirannya kacau, geli, menyesal atau apa saja namanya.
Ia lebih gugup dari biasanya, mukanya lebih pucat dari biasanya. Ketika ia memasuki pekarangan rumah janda itu, janda itu cepat-cepat mendekatinya, bertanya seperti biasa, "Ada surat""
"Ada," jawab tukang pos itu.
Dan diberikannyalah sebuah surat, kemudian dengan tak sadar dinaikinya sepedanya, dan, ketika ia sadar bahwa sepedanya kempis, masih dinaikinya sepedanya yang abu-abu itu untuk beberapa puluh meter.
Ketika itu, janda itu tak habis-habis herannya, sebab surat itu tertuju kepadanya. Ia heran. Sangat heran sekali ia. Tapi, betapa, surat itu belum dibukanya. Ia tidak kenal pada seseorang yang bernama Bakri, si pengirim surat itu. Aku tak punya kawan semasa sekolah yang bemama Bakri. Aku tak punya seorang sanak famili bernama Bakri. Juga aku tak punya seorang lelaki yang jadi sahabat tetangga yang bernama Bakri. Kalau begitu, siapakah lelaki ini. Apakah ia tidak salah alamat, atau, ia hanya seorang yang iseng. Tapi tidak, kita tidak boleh berprasangka.
Kemudian, dibukanya surat itu. Dan betapa heran hatinya.
Surat itu sederhana, menanyakan apakah ia ada dalam sehat-sehat saja. Pada baris lain surat itu menanyakan kenapa saban pagi ia menunggu surat, sedangkan satu pun surat tak bakal diterimanya.
"Kenapa pada tiap-tiap jam setengah sepuluh nyonya sudah berdiri di beranda, menanyakan apakah ada surat untuk nyonya, padahal nyonya pasti, tidak ada sepucuk surat pun untuk nyonya,"
Dibacanya kalimat itu sekali lagi, sekali lagi, dan entah bagaimana, air matanya titik. Ia tidak merasa air matanya itu titik, dan air mata itu menggelinding dari pelupuknya melalui pipinya dan singgah di tepi-tepi bibirnya.
"Tapi hari ini nyonya telah menerima surat dari saya. Ini adalah satu-satunya surat yang nyonya terima. Tujuan saya menulis surat ini adalah karena simpati saya yang mendalam pada sikap nyonya yang setia menunggu tukang pos. Semoga simpati yang saya sisipkan ini dapat nyonya terima dengan simpati yang mendalam pula," begitu surat itu berakhir.
Aku tidak memerlukan simpati siapa pun, pikirnya. Tapi siapakah Bakri ini. Mesti ia lelaki yang iseng. Tiba-tiba ketika air mata itu kering, hatinya merasa dihina. Hati yang baik tidak selamanya akan selalu baik. Dirobeknya surat itu empat kali sobekan dan ia menangis tersedu-sedu.
Ketika itu Salaman dan Kamalsyah datang dan didengar mereka ada tangi
san di kamar. Kamalsyah berkata pada Salaman, "Nah, betul nggak kataku. Ia mati kesepian," dan mereka tertawa mendengar tangisan itu.
Tukang pos yang mengantarkan surat itu telah melewati jalan terakhir menuju ke rumahnya. Sebenarnya ia harus kembali ke kantor, tapi kali ini ia terus saja menuju ke rumahnya. Ia memanggil-manggil nama seseorang. Dan seorang itu adalah seorang lelaki tetangga di sebelah rumahnya.
"Telah saya sampaikan," kata tukang pos itu.
"Bagaimana. Tidak kau tunggu dulu"" tanya lelaki itu.
"Badan saya panas-dingin ketika menyampaikannya," kata tukang pos itu. Lelaki tetangganya itu ketawa, tapi tukang pos itu pucat.
"Saya takut dia jangan-jangan marah," kata tukang pos itu.
"Jangan khawatir. Saya telah menulisnya dengan kata-kata bermutu," kata lelaki sahabatnya, tapi heran, tukang pos itu tetap merasa khawatir. Ia masuk ke dalam kamarnya. Duduk ia di meja.
Diisapnya rokok sebatang, kecemasan itu belum juga terbunuh.
Betapa tidak. Memang, tiap-tiap hari ia mengantar surat ke tiap-tiap alamat. Mungkin di antara surat-surat yang diantarkannya ada juga berupa surat-surat asmara. Tapi, ia, ia sendiri, belum pernah sekali dalam hidupnya menulis surat. Sungguh belum pernah. Juga dalam hidupnya belum pernah mengalami percintaan seperti yang pernah ditontonnya di film-film, yang pernah dibacanya dalam buku-buku yang dipinjamkan
oleh sahabat tetangganya. Adakah, dengan cara ini, sahabatnya itu akan menjerumuskan dia kepada malapetaka. Dan perempuan itu kemudian mengadukan hal itu kepada polisi, dan ia ditangkap, dibawa ke pengadilan, dihukum dan kemudian dipecat dari jabatan sebagai pengantar surat" Aku jadi malu, betapa maluku pada kawan-kawan sekantor, pada tukang-tukang telegram, pada tukang cap.
Tiba-tiba ia ke luar dan menemui sahabatnya.
"Aku takut, Ting," katanya.
"Kenapa"" tanya kawannya itu dengan geli melihat perubahan-perubahan pada wajah tukang pos. Tapi, setelah dilihatnya tukang pos itu sungguh-sungguh takut, dihiburnya, "Aku jamin dia mau menerimanya. Aku seorang pengarang, Pengarang-pengarang adalah ahli dalam percintaan. Tapi kau harus bersungguh-sungguh. Kau sudah mau, to, kawin dengan janda"" kata sahabatnya itu.
"Mau. Biarpun ia janda. Aku sudah bosan hidup sendiri."
"Makanya, tunggu besok," kata sahabatnya itu.
"Dia amat manis, Ting," kata tukang pos itu.
"Nah, apalagi," kata sahabatnya itu gembira dan ditepuknya punggung tukang pos itu. Lalu, nasihat terakhir dari sahabatnya itu adalah, "Kri! Besok, lihat perubahan mukanya. Dia pasti bertanya padamu, apakah kau mengenal siapa Bakri. Dan kaujawablah: 'Saya Bakri'.
Sampai jauh malam tukang pos itu tidak tidur.
Tapi sebetulnya juga janda itu sampai jauh malam tidak bisa tidur. Ketika jam tangsi kedengaran berbunyi sebelas, tiba-tiba janda itu tersentak, dipungutnya kembali surat yang disobeknya itu, disusunnya, dilimnya baik-baik, dibacanya. Dibacanya sekali lagi. Dua kali. Tiga dan empat. Tapi ia tertarik pada kalimat terakhir, "Semoga, simpati yang saya sisipkan ini, dapat nyonya terima dengan simpati yang mendalam pula". Kalimat itu diulang-ulangnya membacanya, sampai kemudian, ia merasa seolah-olah ditengkuknya ada suatu rabaan yang menyenangkannya. Ia merasa bahagia, tapi ia tidak tahu kenapa ia merasa begitu bahagia. Dadanya juga dirasanya sejuk, kepalanya dingin, dan air mata dingin menggeliat dari pelupuk, menggelinding ke pipi, meresap ke bantal. Siapakah orang ini, lelaki yang bersimpati kepadaku" Siapakah" Siapakah"
Tiba-tiba ia terkejut. Pintu kamarnya tersingkap dan lelaki itu datang. O, bukan, lelaki itu. Seekor kucing hitam kesayangannya. Juga kucing hitam kesayangan
suaminya yang meninggal. Kucing itu dipeluknya, diciumnya dan ia tertidur. Kucing itu ikut tertidur di sampingnya.
Pagi sekali ia bangun. Ia menyapu kamar. Ia menyanyi "Kalau bunga anggrek mulai timbul". Ia pergi mandi. Ia menyanyi di kamar mandi, kalau bunga anggrek mulai timbul. Ia memasak, ia menyanyi di dapur, kalau bunga anggrek mulai timbul. Dan ditambahnya. Aku cinta padamu. Kalau bunga anggrek mulai timbul, aku cinta padamu. Dan anak-anak itu makan. Ia bera
da di kamarnya, dan bernyanyi kalau bunga anggrek mulai timbul.
"Ia sudah gila," kata Kamalsyah sambil menyeka mulutnya, kemudian pergi ke gudang dan mengacak bromfietsnya. Dan kemudian, kemudian sekali, rumah itu telah sunyi sesunyinya, anak-anak telah pergi sekolah dan kuliah, tinggal ia sendiri. la di beranda. Ia menyanyi, kalau bunga anggrek mulai timbul. Nyanyi itu didengar tetangga yang menjemur popok, dan mata tetangga itu memperhatikan perut janda itu. Ketika janda itu berdiri, dilihatnya perut janda itu kempis, ia kecewa. Tapi kesangsian masih ada, sebab rambut janda itu basah berjurai.
Janda itu tidak tahu ada seseorang memperhatikannya. Ia masuk. Direbahkannya tubuhnya di tempat tidur.
Jam sepuluh lewat lima, tukang pos itu masuk pekarangan. Dilihatnya janda itu tidak ada. Hatinya kecut. Dibunyikannya bel sepedanya. Janda itu tidak ke luar. Hatinya kecut. Dan ia berteriak, "Surat. Surat," juga tak kedengaran sahutan. Hatinya kecut. Tapi betapa lega hatinya, dilihatnya janda itu muncul di jendela, memperbaiki rambutnya. Betapa manisnya dia. Betapa bagusnya rambut yang hitam itu.
"Adakah surat buat saya"" tanya janda itu. Hati tukang pos itu kecut. Dia terpaksa menggelengkan kepala. Tapi diberikannya surat yang lain kepada janda itu. Muka janda itu dilihatnya jadi kecewa. Hatinya kecut, ia akan pergi.
"Kemarin saya terima surat," kata janda itu. Tukang pos itu terdiam.
"Dari seorang bernama Bakri." kata janda itu. Hati tukang pos itu tambah kecut, tapi kesenangan bergendang di sana.
"Tapi orang itu, orang yang bernama Bakri itu, tidak menyebut alamatnya," kata janda itu, dan tiba-tiba hati tukang pos itu jadi kerdil.
"Kenalkah, ya, kenalkah kira-kira Pak Pos dengan orang yang bernama Bakri," tanya janda itu.
Tukang pos itu diam sebentar. Kakinya pada pedal sepeda. Dan kemudian dijawabnya dengan gugup, "Tidak. Tidak. Saya tidak kenal sama Bakri." Kata tukang pos itu dengan gugup sekali. Cepat-cepat sepeda dinaikinya. Bakri. tukang pos itu, merasa lepas dari siksaan yang menyiksanya sehari semalam, ketika ia sudah menaiki sadel sepedanya. Sepedanya warna abu-abu tua. Kemudian memasuki rumah-rumah lain, mengantarkan surat-surat ke alamat- alamat yang harus disampaikannya. Tiap-tiap hari ia harus melakukan tugas itu, kecuali pada hari Minggu, 17 Agustus dan hari-hari besar umum lainnya, tanpa melanggar sumpah jabatan. Sebenarnya, tukang-tukang pos di dunia macam Bakri ini, sebagian besar bisa tergolong orang yang jujur di dunia.
Janda itu masih tetap janda baik-baik. Memang seorang janda senantiasa jadi sasaran curiga, atau, impian jelek bagi orang lain.
Jandaku ini janda baik-baik. Janganlah dicurigai. Ia bernama Amini.
TAMAT Dua Tengkorak Kepala Ada dua tengkorak kepala yang sampai saat ini masih membuat aku harus menghela napas dalam-dalam. Dua tengkorak kepala manusia yang paling memberikan arti bagi hidupku. Aku harus berurusan dengan dua tengkorak kepala itu. Ini bermula dan telepon interlokal Umi - ibuku: aku harus segera berangkat ke Lhok Soumawe, Aceh.
Umi telah dua kali menginterlokalku. Kata beliau, aku telah diangkat menjadi Ketua Panitia pemindahan kuburan kakekku. Aku sudah paham benar, Umi jangan sampai menginterlokal yang ketiga kali. Aku tentu tak mau menjadi anak durhaka.
Kali ini aku memilih pulang kampung lewat jalan darat. Dalam perjalanan dan Lampung hingga ke Aceh Selatan, banyak sekali jalan raya yang buruk. Lagi pula, kota-kota yang kulewati tak memberikan suasana batin bagiku.
Tapi, menjelang tiba di kota kecil Sidikalang, secara tak sengaja aku buka kaca mobil. Hidungku langsung menyerap aroma wanginya nilam.Kota ini mengingatkan sejemput keharuan tentang diri si Ali, sahabat karibku. Kecepatan mobil kuperlahankan. Mataku menikmati pemandangan pohon-pohon nilam yng merimbuni pelosok kota kecil ini. Tinggi tanaman ini cuma setinggi pepohonan bayam. Sekiranya Ali mengikuti pikiran logis Mak Toha-ibunya-ia sekarang ini sudah jadi saudagar kaya karena berdagang minyak nilam itu. Sebelum meninggalkan kota kecil ini, aku dah. Pikirku, Ali kini sudah terkubur menjadi tulang-tulang tengkorak kar
ena pembantaian itu. Seketika itu juga akan menyadari kewajiban mampir ke rumah Mak Toha. Benar-benar wajib! Dia adalah wanita baik hati yang kukenal sejak remaja di Lhok Seumawe. Keluarganya sudah kuanggap famili. Salah seorang anaknya Ali adalah teman sekelasku sejak di SMP. Ali tidak suka, dan tak pernah suka memakai gelar kebangsawanannya. Kami sepaham. Ini yang membuat aku dan Ali jadi akrab.
Dan senja itu aku mampir kerumah Mak Toha. Beliau sangat terkejut. Aku berdiri di depan pintu mengucap Assalamu'alaikum. Separuh menjerit beliau menyebut namaku.
"Kamu membuat Mak merasa Ali hidup kembali," katanya.
"Jadi benarlah cerita Ali telah wafat," kataku.
"Ya kata Mak Toha. "Tapi kami lillahi ta'ala. Kami sudah punya pundi-pundi surga jihad. Al-hamdulillah.
Aku dipersilakannya duduk menunggu dia membawa teh. "Dimana kamu dengar Ali telah mendahului kita ""
"Dari Ja'far," kataku tenang. Namun dalam jiwaku muncul pergolakan batin: mengapa si Ali, temanku penari Seudati yang piawai, pemain drama dan pendeklamasi yang handal sampai gugur dengan sangat mengenaskan"
Tiba-tiba kuingat, sepucuk surat Ali yang dia kirim dari Tripoli, ibukota Lybia. Ketika kubaca suratnya, aku punya kesan fanatisme Ali pada diktator itu. Di akhir suratnya dia menulis: "dari putra Khadafi". Lalu tanda-tangannya. Namun kesan itu berubah lagi. Sebab, sepulang dia dan Lybia itu, Ali menulis surat kepadaku lagi. KaIi ini tidak ada fanatisme "putra Khadafi". Bahkan surat itu datang dari Medan: "Sekarang aku mengajar privat Bahasa Inggris di Medan. Walaupun Mak kami kaya, aku musti belajar mandiri. Mak mengajak aku berkebun nilam bila kita rajin bertanam nilam, harga minyak nilam bisa membuat kita kaya. Tapi menjadi kaya bukan tujuanku," tulis Ali dalam surat itu. Kalimat terakhir inilah yang terpenting.
Sejak itu aku tidak pernah menerima surat lagi dari Ali. Dan ternyata, tidak akan pernah lagi, selama-lamanya. Dia telah dibantai bersama teman-temannya tanpa diadili. Dia sudah menjadi Tengkorak bersama tengkorak-tengkorak lain yang dikubur secara masal.
Dan kini, diruang tamu Mak Toha si Ali tinggal kenangan. Bahasa Inggrisnya yang bagus, sampai-sampai dia menguasai serta Inggris tingkat Bahasa William Shakespeare. Kalau aku ingat semasa SMA dengan segala kelebihannya, Ali tak pantas dituduh memegang senjata, dan dibunuh. Harusnya mereka tak membunuh Ali melainkan mengagumi membaca puisi.
Ali hafal hampir semua karya Shakespeare. Suatu sore dia kerumah ku, hanya untuk memberi berita ini:" Hai, ternyata Shakespeare punya puisi-puisi khusus dia bukan hanya sutradara dan pengarang drama, dan juga bukan hanya seorang yang suka melucu. Dia ternyata seorang penyair yang bagus. Pamanku baru saja mengirim buku ini dari Singapura. Kamu bacalah salah satu puisinya:
So shalf thou feed on Death,
That feeds on men, And death once dead, There's no more dying then
Yang mengejutkanku, dia terjemahkan karya besar itu dalam bahasa Aceh yang sempurna. Di Aceh Puisi memang sudah menjadi biasa, dan jadi bahasa sehari-hari, karena negeri ini kaya dengan para penyair lisan. Puisi Shakespear yang dibaca lisan oleh Ali dalam Bahasa Aceh - apalagi tentang maut-menanamkan ketenangan batin khusus bagi banyak orang sudawh menjadi karakter orang Aceh, kalau maut sudah sekali menjemput, tidak ada lagi kematian berikutnya. Mati hanya datang satu kali.
Pernah aku sangat sibuk mencari naskah drama "Tanda Silang," karya penulis asing yang sudah disadur oleh W.S. Rendra. Kami pernah membaca resensi pementasannya.
"Kita perlu menanamkan keberanian pada orang Indonesia. Ada yang bilang pada saya, satu kalimat terhebat dalam drama 'Tanda Silang' itu. Mengenai kematian dan pahlawan. Tapi saya sangsi kalimat itu orisinil. Tolong kamu carilah naskah itu. Liburan kwartal kamu cari ke Medan. Kita pentaskan untuk perpisahan sekolah," desak
Ali. Aku tentu dengan mudah menemukan naskah itu di Medan. Medan kota paling gila drama. Herannya tertera di naskah itu, penerjemahnya adalah Sitor Situmorang, bukan W.S. Rendra. Tidak penting bagiku meneliti soal siapa penerjemahnya. Kami akan mementaskan dra
ma ini di Lhok Seumawe. Sudah banyak sekolah SMA di Medan mementaskan drama ini. Tapi begitu naskah stensilan itu dibaca Ali, dia berteriak marah:"Wah, ini ada kalimat jiplakan dari drama Julius Caesar karya Shakespeare."
"Jiplakan"" tanyaku
"Ya! Kalimat ini ada dalam drama Julius Caesar."
Ali mengeluarkan buku dari lacinya. Dia menunjukkan dua kalimat itu sebagaimana tertera di buku aslinya:
Cowards die many times before their deaths, The Valiant never taste of death but
once. Hampir saja Ali membatalkan rencana pementasan itu. Untung ada Ustadz Tengku Muhamad Diah- guru agama kami - menyarankan agar si Ali tidak emosional. "Bukankah kalimat itu agung, Ali"" ucap Ustadz.
"Ya. Terlepas dari orisinalnya, memang agung Pak Ustadz: Para pengecut mati berkali-kali sebelum ajalnya tiba. Pahlawan tidak merasakan ajal kecuali satu kali."
Setelah dua puluh lima kali latihan selama tiga bulan, ketika dipentaskan benar-benar sukses. Terutama karena hebatnya permainan Ali. Tapi di balik tepuk tangan riuh itu, Ali tak gembira. Gadis yang dicintainya, Cut Nur'aini, akan menikah dengan Tengku Faisal seorang saudagar Aceh yang bermukim di Malaysia.
Mak Toha sempat tahu persis kejadian yang menimpa Ali itu. Beliau bercerita: "Waktu Mak mengajak Ali pindah ke Sidikalang ini, dia memutuskan melanjutkan sekolah di Singapura."
Lalu beliau menawarkan suguhan ubi rebusnya:"Ini ubi rebus sebesar paha kamu. Nah, kembali kepada cerita si Ali tadi," lanjut Mak Toha, "Dia katakan pada Mak, bahwa dia ada menulis surat pada kamu. Kata almarhum kepada Mak lagi, kamu melanjutkan sekolah di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada Yogya. Katanya kamu kepingin mengisi ilmu untuk bersiap diri jadi saudagar."
Aku hanya bisa tersenyum.
Aku menambahi cerita Mak Toha: "Saya ada sekali menerima suratnya, Mak, justru cap pos dari Sidikalang ini."
"Itu benar. Katanya dia tak betah di Singapura. Katanya lagi, malas awak di Singapura 'ndak nambah ilmu. Itulah dia, teman kamu: akhirnya mau merantau ke Mesir. Mumpung uang ada, Mak dorong dia merantau. Niat baik jangan ditunda'kan" Tapi dasar si Ali. Hatinya diperturutkannya berbelok merantau ke Lybia itu. Tapi demi Allah, dia ke Lybia tidak di sekolah militer. ABRI bikin isyu, ketika akan menangkap Ali, dikatannya si Ali latihan militer di Lybia. Itu fitnah. Disana dia malahan jadi pembantu guru Bahasa Inggris. Muamar Khadafy itu orangnya angkuh, pandai sekali berbahasa Perancis dan Inggris. Dia suka merendahkan orang bodoh. Si Ali dulu pernah bercerita, Khadafy sekolah militernya di Inggris, dibiayai oleh Sultan Idris. Bahkan ketika dia merebut kekuasaan, usianya masih Dua puluh sembilan tahun."
Mak mulai menyeka airmatanya. Aku sudah mulai gelisah ingin segera meneruskan perjalanan ke Lhok Seumawe. Kulihat tambah banyak cerita Mak, tambah berlinang airmatanya. Sementara otakku membayangkan, temanku itu sudah jadi tengkorak sekarang. Maka segera kujelaskan pada Mak Toha, bahwa aku perlu cepat ke Lhok Seumawe karena harus menjadi Ketua Panitia pemindahan kuburan kakekku.
Namun wanita tua itu merengek-rengek: "Menginaplah di sini semalam, Nak. Supaya lepas rindu Mak pada almarhum putraku."
Aku wajib pula mengabulkan bujukan itu. Mujur pula, sore itu juga, Ibrahim adik lelaki Ali, muncul. Dia keren. Bahkan lebih keren dari Ali. Dia memakai jas. Aku memulai dengan gurau:
"Pakai jas siang-siang apa tidak panas, Brahim""
"Jika pakai jas, awak tak dituduh orang ekstrem. Tapi jas ini penting, karena awak sekarang 'kan pedagang minyak nilam."
"Oh, hebat kau," ucapku gembira. Hadirnya Ibrahim, yang ternyata tukang ngobrol, membuat aku tak usah mendengar cerita sedih Mak Toha lagi.
Kemudian, Ibrahim memberitahuku: "Kami akan ke Dayah Baureuh. Di sana kami akan membongkar kuburan orang-orang yang dituduh ikut GAM.1 Kami akan mencari identitas mayat korban. Lalu kami akan menguburkannya. Dulu di sana mereka ditembak ABRI secara massal dan dikuburkan juga secara massal."
Aku terhenyak kaget. Kematian Ali yang kudengar dari Yakub tidaklah sekeji seperti yang diceritakan Ibrahim. Ibrahim lalu menceritakan kapan ancang-ancang kubur
an massal itu akan dibongkar.
"Kalau sudah pasti tanggalnya, saya akan ikut kalian. Teleponlah aku ke Lhok Seumawe. Kamu punya nomor telepon kami 'kan"" kataku.
"Mari awak catat," ujar Ibrahim gembira. Semula dia kira aku tak menganggap penting peristiwa pembongkaran kuburan itu. Karena hal ini jauh lebih penting dari rencana pemindahan kuburan Kakekku, aku punya alasan minta izin pada Mak Toha dan Ibrahim untuk malam itu juga pulang ke Lhok Seumawe. Malam itu juga Mak Toha ikhlas melepasku. Beliau sangat bahagia karena aku akan melibatkan diri pada pembongkaran kuburan si Ali ini.
Dini hari itu juga, Umi kaget melihat aku muncul di depan rumah, lebih cepat dari dugaannya.
"Saya sengaja datang lebih awal. Kita perlu mengadakan rapat keluarga untuk menunda pemindahan kuburan Inyik," kataku pada ibuku. Inyik adalah cara paling manis yang diajarkan Umi untuk menyebutkan kakekku. Padahal aku belum pernah bertemu dengan beliau, sebab beliau telah wafat di tahun zaman penjajahan Jepang, 1942. Cerita Umi mengenai kematian Inyik, selalu menyentuh batinku, membuat almarhum kakekku itu menjadi legenda bagiku. Padahal kelak, aku cuma bertemu tengkorak kepalanya saja. Dan tengkorak kepala itu pula yang sering membuatku
menghela napas dalam-dalam sebagaimana jika aku membayangkan tengkorak kepala temanku Ali.
Sebelum aku umumkan pembongkaran kuburan kakek harus ditunda, aku sudah tahu persis sifat Umi. Ibuku ini orangnya keras. Namun aku yakin, betapa pun kerasnya Umi, jika dia disuruh memilih mana yang lebih penting, mengikuti upacara pembongkaran kuburan korban DOM2, atau membongkar kuburan kakek, pastilah Umi akan memilih lebih penting mendahulukan korban DOM. Aku tahu persis itu.
Lalu aku bercerita mengenai sambutan Mak Toha. Kuceritakan betapa Mak Toha memaksa aku menginap. Betapa bersemangatnya beliau jika menceritakan si Ali. Tampak Umi menghapus airmatanya dengan pinggiran kerudung. Tiba-tiba, Umi membuat aku kaget sewaktu beliau berkata: "Seharusnya kamu yang mati syahid itu. Jadi kami punya pundi-pundi untuk menyejukkan kami di Padang Mahsyar."
Umi memuji kelemah-lembutan Ali. Bahkan beliau sempat mengingat, suatu kali pernah diundang Ali untuk hadir pada pembacaan syair dalam bahasa Aceh, di Langsa. Beliau hadir.
"Kapan itu, Umi"" tanyaku.
"Ketika dia mengajar privat di Medan, sepulangnya dari Tripoli. Bahasa Acehnya terpuji, bahasa Arabnya fasih, bahasa Inggrisnya cantik, bahasa Indonesianya terpuji. Bayangkan, dia membaca syair itu dalam empat bahasa. Orang konsulat asing saja terheran-heran. Sayang kamu tak turut menyaksikannya. Tahu kamu, awak pun menangis terharu."
Aku tak memberi komentar, karena perempuan-perempuan kami di Aceh, jika sudah bicara soal mati syahid, tangisnya dilumuri ruh jihad. Aku cuma berkata dalam hati: "Bagi Ali, mati seakan-akan sudah merupakan kerinduan dan janji."
Di rumahku di Lhok Seumawe, keesokan harinya tamu-tamu banyak datang. Tamu dari Jakarta dirasakan begitu istimewa. Mereka menanyakan kepadaku, bagaimana sikap orang Jakarta mengenai DOM. Apa benar DOM akan dihapus. Apa benar pula Kodam Iskandar Muda akan dihidupkan kembali.
Dalam hal ini, aku harus tidak bersikap netral. Bagi mereka, jika aku netral, aku akan dianggap munafik. Munafik lebih dibenci dibanding kafir.
Lalu, menjelang lohor, kami sudah sependapat untuk ikut menggali kuburan korban DOM di dekat desa Dayah Baureuh. Kami sepakat untuk menyenangkan Mak
Toha. Dan tiga hari setelah rapat keluarga itu, sangat gembira aku menerima telepon dari Sidikalang. Kata Ibrahim:
"Kami akan tiba di desa Dayah Baureuh tanggal 14 hari Rabu. Datanglah hari Rabu itu. Jumpai kami di sana. Di sana ada Meunasah.3 Kalian kami tunggu di situ. Kami akan bawa banyak sekali nasi bungkus dan kue-kue."
Aku sangat menguasai peta Aceh Timur. Karena itu, setiba di Meunasah, aku langsung memeluk satu demi satu rombongan dari Sidikalang, termasuk juga penduduk desa Dayah Baureuh yang siap membantu membongkar pekuburan massal yang tak jauh dari desa itu sendiri.
Kami menggali mayat-mayat itu secara hati-hati. Ada pakaian korban yang masih utuh. Dari KTP yang
di laminating dari tiga tengkorak, ada pula beberapa orang bahkan teman sekelasku di SMP dan SMA. Banyak tengkorak yang sulit dikenali, karena tanpa KTP. Kami masih terus membolakbalik beberapa tengkorak, tinggal tiga tengkorak yang masih keliru identitasnya. Ada pula yang keliru karena ditemukan cincin tembaga yang mengikat batu akik darah.
"ini pasti si Amir," kata ibu Amir.
Seorang ibu mengaku pula: "ini jari tulang anakku. Ini cincin batu pirus Persia si Buyung."
Mak Toha yang masih merahasiakan kecemasannya.
"Kabarnya Ali melawan waktu itu," ujar Udin, seorang saksi mata, yang seusiaku.
"Lalu" Setelah dia melawan"" tanyaku.
"Dia ditembak langsung oleh Kapiten," kata Udin.
Inilah yang memberi inspirasi padaku bertanya seorang tentara yang mengawasi penggalian itu: "Jika komandan, dia menggunakan senjata genggam atau Senjata laras panjang, Mas""
"Biasanya pistol," jawabnya.
Langsung kuambil satu tengkorak kepala. Kening batok kepala itu berlubang.
"Kalau cerita Udin tadi betul, ini pasti tengkorak si Ali," kataku.
Kening tengkorak kepala itu berlubang. Lalu aku bersihkan tanah yang mengisi bagian dalamnya. Dan kutemukan pula sebutir peluru. Kuambil peluru itu, aku tunjukkan kepada tentara tadi dan bertanya: "ini peluru senjata genggam""
"Betul. Ini peluru pistol Vickers."
"Mak Toha sudah puas"" tanyaku.
"Alhamdulillah. Tapi itu! Itu giginya coba bersihkan, Nak! Itu gigi platina si Ali," kata wanita tua itu gembira. Kucabut gigi palsu platina itu, lalu kuberikan pada Mak Toha. Beliau mencium gigi palsu putranya, lalu memasukkannya ke dalam dompet. Sedangkan peluru Vickers tadi kumasukkan ke kantong bajuku. Penemuan gigi palsu ini memberi indikasi bagi seorang pemuda yang berseru:
"Jika ini tengkorak kepala Ali, tentu ini kepala Rozak Harimau," ujar Tengku Jalal. "Gigi Rozak gingsulnya yang mirip taring harimau."
Mata Mak Toha berpijar-pijar ketika aku bersama semua karib kerabat mulai mencuci setiap tengkorak sebagaimana upacara pemandian jenazah. Setelah bersih dan dikafankan, semua tengkorak korban DOM itu dijajar, lalu kami melaksanakan shalat jenazah. Kemudian satu demi satu dimasukkan ke liang kubur.
Kadangkala aku bertanya, peluru Vickers yang kukantongi inikah yang membuat aku Sering teringat Ali dan selalu menghela napas dalam-dalam"
Berbeda pula suasana yang aku rasakan seminggu kemudian, sewaktu aku membongkar kuburan kakekku. Tapi cerita yang sama terjadi. Tengkorak kepala kakekku juga berlubang tepat di tengah keningnya sebagaimana lubang di kening tengkorak kepala Ali. Lubang itu cukup besar. Dan dalam batok kepala Inyik tidak kutemukan butir peluru. Yang ada justru di belakang batok kepala Inyik ada lubang yang lebih besar lagi. Agaknya, peluru itu menembus bagian batok kepala kakekku. Kalau begitu, batok belakang kepala Ali lebih kuat sehingga peluru tentara itu tak bisa menembusnya. Padahal yang menembak kepala kakekku juga tentara. Tapi tentara fasis Jepang. Di zaman penjajahan Jepang, fasisme militer Jepang sangat kejam.
Pada malam tahlilan selesai penguburan Inyik, muncul usul dalam rapat keluarga di Lhok Seumawe. Mereka menugaskan aku untuk meminta kepada Pemerintah R.I., supaya kakekku diberi penghargaan sebagai Pahlawan Nasional.
"Tak ada perlunya," kataku.
"Tapi kakekmu korban kekejaman tentara penjajah," kata pamanku. "Lalu teman saya Ali, bagaimana" Dia malah bukan korban kekejaman tentara penjajah, melainkan korban kekejaman tentara bangsa sendiri," ujarku. Semua yang hadir di malam tahlilan itu terdiam. Diam itu lebih baik, agar mereka bisa merenung.
Catatan: 1. GAM = Gerakan Aceh Merdeka.
2. DOM = Daerah Operasi Militer.
3. Meunasah = balai desa di Aceh.
Jakarta, 1999 Dari Kumpulan Cerpen "Keberanian Manusia" Keberanian Manusia
Dari sebanyak itu peninggalan Jepang di kota kami, hanya sedikit sekali yang bisa kuingat. Ketika Jepang datang di situ, aku masih berusia tujuh tahun dan masih pakai celana monyet. Tapi sampai kini aku masih hafal lagu Kimigayo sebagai suatu kenang-kenangan masa kecil, seperti aku juga masih bisa mengenang bagaimana tentara-tentara Jepang itu sama-sama mandi telanjan
g di kali kota kami. Untukku sendiri ada peristiwa lucu, ketika seorang Jepang bertamu ke rumah kami untuk pertama kali. Dia menaiki sepedaku yang kecil, dan tiba-tiba sepedaku patah. Aku jadi geram dan menjerit dan mengambil batu dan melemparkan batu itu ke kepala Jepang itu. Batu itu batu kecil, sebesar genggaman telapak tanganku yang kecil, dan menimbulkan satu benjolan kecil di kepala Jepang itu. Tapi Jepang itu tersenyum saja dan sore harinya ia membawa sebuah mesin ketik yang diberikannya kepada ayah. Beberapa hari aku menangis kecil dan memaki-makinya dengan makian kecil.
Tapi dendamku yang kecil tidak berurat berakar begitu lama, sehingga kemudian Jepang itu menjadi sahabat rumah kami. Aku ingat, namanya Dei-san. Satu hal yang aku tetap kagum padanya, karena berlain dengan tentara-tentara Jepang yang lain-lain, ia tidak mandi telanjang. Pernah kutanyakan padanya, kenapa ia tak mandi telanjang beramai-ramai di kali, dan ia menjawab pertanyaanku dengan memberikan sebuah kue moci yang enak sekali. Pernah pula kutanyakan kepadanya, kenapa ia tak punya pedang, dan dia menjawab bahwa pedangnya ketinggalan di Osaka, kampungnya, dan pedang hanya dipakai untuk bunuh diri atau membunuh musuh, Dan aku bertanya pula, kenapa orang saling membunuh. Dan Dei-san tidak menjawab apa-apa.
Baru kemudian kuketahui, Dei-san hanya seorang koki. Tapi, biarpun aku tahu kemudian bahwa dia hanya seorang koki, namun persahabatanku dengan Dei-san tidak putus tapi semakin erat. Daripadanyalah aku tahu cerita-cerita Momotaro, dan daripadanyalah aku banyak belajar beberapa lagu.
Daripadanyalah pula kemudian kuketahui, setelah persahabatan kami berlangsung tiga tahun lamanya, kenapa orang-orang di kota kami disuruh membuat gua di bukit-bukit kampungku dan mengapa perempuan-perempuan disuruh mengumpulkan batu-batu kali, dan mengapa tiap-tiap rumah menanam pohon jarak dan kapas, dan mengapa tiap-tiap rumah di sampingnya atau di burinya dibikin lubang perlindungan.
Dei-san tidak memanggil namaku. Ia memanggilku dengan sebutan "kaibodan".
"Kaibodan" kata Dei-san suatu kali kepadaku.
"Apa"" "Kamu berani naik kapal terbang"" "Berani, berani," sahutku.
Lalu Dei-san menunjuk ke sebuah bukit. Dari bukit itu sampai kerendahan lembah ada sebuah kawat yang besar, dan pada besoknya kulihat sebuah kapal terbang tidak melayang-layang di udara, tapi turun dari bukit itu meluncur ke lembah.
"Untuk apa kapal terbang itu, Dei-san"" tanyaku.
"Untuk berperang."
"Berperang dengan siapa, Dei-san"" tanyaku.
"Berperang dengan Inggris dan Amerika,"
"Kenapa kita berperang dengan Inggris dan Amerika, Dei-san""
"Karena kita berani."
"Kenapa kita berani, Dei-san""
Dei-san tidak menjawab. "Kenapa kita berani, Dei-san""
"Karena Amerika dan Inggris tidak boleh tembak kita."
"Kenapa Amerika dan Inggris tembak kita, Dei-san""
"Karena Amerika dan Inggris adalah musuh kita."
"Kalau orang tembak kita, Dei-san, itu artinya musuh kita""
"Ya, ya, kalau orang tembak kita itu artinya musuh kita dan kita musti tembak dia," kata Dei-san dan kemudian dipusar-pusarnya rambutku.
Percakapan itu sangat mengesan kepadaku. Kuceritakan pada ibu dan abang dan adik-adikku dan ayahku dan pamanku. Ayah,ibu, dan paman dan nenekku terdiam saja mendengar ceritaku.
"Jangan dia disuruh ke rumah koki itu lagi kata ibu.
"Ya, ya. Dia bijak dan pinter ngoceh," kata nenekku.
"He, kau tidak boleh datang-datang lagi ke rumah koki itu," kata ayah, kali ini dipelototkannya matanya kepadaku. Aku heran kenapa ayah dan ibu dan nenek tidak membolehkan aku datang ke rumah Dei-san, sahabatku itu.
"Dia kawanku. Dia baik," kataku bersungut-sungut.
"Dia musuh kita," kata abangku.
"Jangan kau omong begitu, Karel," kata ibu sambil menjiwir telinga abangku.
Waktu mau tidur kutanyakan kepada abangku, kenapa Dei-san tiba-tiba jadi musuh kita, sedangkan dia sahabatku dan Inggris dan Amerikalah yang jadi musuh kita. Abangku mau menceritakan sebab-sebabnya, asal aku mau lebih memberikan telingaku untuk dijiwir. Aku memberikan telingaku yang kanan untuk dijiwir.
"Sekarang ceritakanlah," kataku.
"Paman Oni ditembak Jepang," kata aban
gku berbisik. "Paman Oni ditembak Jepang""
"Ya, Paman Oni ditembak Jepang."
"Tidak mungkin. Paman Oni musti ditembak Inggris dan Amerika dan bukan ditembak Jepang. Kau telah membohongiku dan aku musti ganti menjiwir telingamu," kataku. Dan kujiwir telinga abangku.
"Kujiwir lagi telingamu sekali lagi. Dan nanti kuceritakan apa sebab Paman Oni ditembak Jepang."
Kuberikan telingaku yang kiri sekarang, dan abangku menjiwirnya.
"Ceritakanlah," kataku.
Abangku bercerita, bahwa tadi sore ayah baru saja menguburkan Paman Oni. Paman Oni telah ditembak oleh Jepang sebab mencuri makanan.
"Uu salah Paman Oni. Kenapa dia mencuri. Bukankah kita dulu dimasukkan mami sama-sama di dalam kakus satu hari sebab mencuri uang di bawah bantal"" kucungirkan telunjukku ke hidung untuk membikin abangku malu.
"Itu sebab Paman Oni lapar."
"Kenapa dia tidak makan"" tanyaku.
"Karena Jepang itu cuma menyuruh Paman Oni kerja keras, tapi memberi makannya cuma secemil saja. Itu sebab Paman Oni lapar." Aku berpikir sejenak.
"Ya, memang. Itu sebab Paman Oni lapar dan mencuri," kataku. "Karena Paman Oni mencuri, Jepang menembak dia," kata abangku Karel. "Kenapa Paman Oni ditembak cuma sebab mencuri saja, dan kenapa kita dulu mencuri rambutan tidak ditembak Papa"" tanyaku.
"Karena Paman Oni berkelahi melawan Jepang," kata abangku. "Kenapa Paman Oni berkelahi melawan Jepang"" tanyaku. "Karena dia lapar. Karena dia berani," kata abangku.
"Karena dia lapar, Karena dia berani," kataku mengulangi. Aku berpikir sejenak.
"Kalau begitu memang betul-betul Dei-san musuh kita. Aku mau menembaknya," kataku, menambahi lagi.
"Kau berani menembak si Dei-san koki itu"" tanya abang.
Aku terdiam. Aku lalu ingat Dei-san yang keringatnya busuk itu dan tubuhnya besar itu dan tiba-tiba aku takut padanya. Aku ingat, sedangkan sama temanku Dulhak saja aku tak berani, apalagi pada Dei-san, yang lebih besar.
Tapi sejak itulah Dei-san kuanggap musuhku. Aku tak pernah lagi datang masuk ke dapurnya untuk mengharapkan bubur kacang hijau atau kue moci atau ingin belajar lagu Jepang.
Esoknya, semalaman aku tak bisa tidur mengenang paman kami yang sudah mati itu. Paman Oni adalah pamanku yang baik dan tidak patut mati ditembak. Paman Oni penghabisan kali mengajak aku ke pasar malam dan melihat bioskop di tanah lapang. Aku ingat kembali lagu itu, dan di layar putih kelihatan pohon-pohon beruntuhan. Kuingat kalimat lagu itu: "Pohon ditebang dari hutan".
Dan kemudian pohon-pohon yang runtuh ditebang itu, hanyut dibawa air sungai. Kuingat lagu itu lagi;
"Hanyut berkumpul di muara".
"Mari kerjakan jadi kapal", kulihat kapal, dan kudengar lagi lagu dan bendera berkibar:
"Untuk Asia Timur Raya".
Ingatanku mati di situ karena tiba-tiba kuingat lagi wajah paman Oni. Paman Oni mengatakan akan pergi ke hutan menebang kayu untuk bikin kapal pengawal laut, menunggu kedatangan musuh.
Kenangan pada Paman Oni makin hari semakin kabur dan hilang, kenangan itu timbul kembali ketika beberapa waktu kemudian ada lagi pasar malam. Ketika itu aku duduk-duduk termenung di beranda dan ingat pada Paman Oni yang melarang aku menghembus-hembus karet pelembungan yang kudapat banyak sekali hanyut di air kali. Paman Oni marah-marah dan Paman Oni pun membelikan pelembungan berwarna di pasar malam.
Kawan-kawanku mengajak pergi ke pasar malam. Aku menolak. "Kita dapat makanan roti keju. Dibagi-bagi," kata kawanku.
Kutolak. "Kami kemarin malam dapat limun. Tidak dibayar." Kutolak.
Tiba-tiba kulihat sepatu sepasang di dekat kakiku. Ketika kepalaku kuangkat, kulihat Dei-san berdiri di depanku, membawa sebungkusan besar entah apa isinya, bersenyum kepadaku, dan mengajak aku ke pasar malam. Kutolak.
"Saya tidak mau," kataku.
Ketika ditariknya tanganku, aku berteriak, "Bagero!"
"Nanda omaya!" katanya dan dipicitnya tanganku dengan gemas.
"Nanda omay lu!" teriakku.
Tiba-tiba kudengar suara ibuku memanggil namaku dan cepat-cepat aku lari ke dalam. Aku dicubit ibu dengan kukunya yang tajam dan aku menangis dan tiba-tiba tangisku berhenti sebab mendengar deru kapal terbang.
Keberanian Manusia Karya Motinggo Busye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba kami dengar bunyi sirene. Dan kemudian abangku yan
g baru pulang dari pasar malam membawa sebuah kertas. Dia mengatakan bahwa Amerika dan Inggris akan membom kota kami.
Semalaman aku tak puas-puasnya bertanya kepada abangku.
"Kau ceritalah kembali Karel," bujukku.
"Kita harus masuk lubang perlindungan di belakang."
"Kenapa"" "Kita musti nyumput. Nanti kita bisa mati." "Mati seperti Paman Oni""
Abangku tiba-tiba menarik selimutnya sebab ibu kami masuk ke kamar kami. Aku pun menarik selimutku dan ketika ibuku ke luar, kubuka lagi selimut dan bertanya, "Karel, Karel. Kau sudah tidur""
"Aku sudah tidur."
"Kenapa kau bisa ngomong kalau sudah tidur"" "Aku mimpi," kata Karel.
Besoknya ibu dan ayahku dan nenekku melarang kami pergi ke pasar malam, Dua hari kemudian kami mendengar lagi pesawat terbang, dan tidak lama kemudian mendentumlah dentuman yang menggegar, masuk ke dalam telingaku yang kecil. Malam itu adalah malam pertama kota menjadi gelap dan untuk pertama kami masuk lubang perlindungan. Tapi besok paginya, beberapa buah mobil dengan pengeras suara berkeliling pula di keliling kota kami dan berteriak-teriak mengatakan musuh sudah
kalah dan mengundang orang-orang pergi ke pasar malam. Besok sorenya lagi mobil-mobil pakai pengeras suara itu berputar seputar kota lagi memanggil orang melihat pasar malam. Dan ketika abangku membawa lagi kertas yang katanya dijatuhkan dari pesawat udara, panggilan untuk datang ke pasar malam semakin riuh dan esok berikutnya sudah lebih sepuluh mobil memanggil-manggil.
Ibu tetap melarang kami ke luar. Ibu mengatakan, dua hari lagi "Sekutu" akan membom kota. Dan memang, pada malam yang dikatakan ibu itu, menggelegarlah kota. Dan telingaku yang kecil mendengar bunyi yang sebesar itu kusumbat cepat-cepat dengan kapas dan gigiku cepat-cepat menggigit karet yang menyantol dengan tali dileherku.
Tiba-tiba ayah masuk lubang perlindungan kami. "Sekutu membom pasar malam."
Kemudian ayah ke luar lagi. Dan ketika aku meminta ikut, ibu menjitak kepalaku. Datang lagi ayah. Ayah cuma berkata pada ibu, "Bukit Guha merah semua dimakan api."
"Bukit Guha"" tanya ibu.
"Ya, Bukit Guha."
Lalu ibu memekik dan menangis, "Adikku ada di sana disuruh membikin terowongan."
"Bukan yang di selatan. Yang di utara," kata ayah.
Ibu menggenggam jarinya dan memelukku.
"Syukur, syukurlah. Coba Pak ke luar melihat yang di selatan."
"Yang di selatan tidak dibom," kata ayah.
"Tapi cobalah lihat," kata ibu. Ibu tampaknya agak marah.
Kenapa ibu tampaknya marah pada ayah, dan kenapa yang di utara, dan kenapa ibu menangis, dan kenapa ibu masih memelukku dan berkata syukurlah dua kali. Aku tak tahu. Tapi kenapa ibu masih menangis kelika ayah ke luar lubang perlindungan dan kami mendengar bunyi dentuman lagi.
Ayah masuk lagi ke lubang perlindungan.
"Bukit di utara dibakarnya semua. Kota juga terbakar dekat gudang Sindenbu." "Bukit selatan tidak." "Guha selatan tidak." "Syukur, syukurlah," kata ibu.
Sejak kejadian itu memang selama lebih satu minggu kota menjadi ramai kembali. Kami telah kembali pergi ke sekolah seperti dahulu. Dan kami melihat toapekong hancur, gudang Sindenbu hancur, rumah Haji Munap hancur. Di tiap-tiap rubuhan kehancuran itu aku dan kawanku berdebat dan tiap-tiap kami mempunyai cerita yang berlain-lain.
Suatu sore, ketika aku minta izin untuk main tali ke rumah Wati, ibu melarang. Ibu berkata, sore itu seluruh isi rumah tidak boleh pergi kecuali ayah. Kami duduk-duduk di beranda ketika itu.
Karel yang paling dulu melihat. Karel menjerit. Ia melihat ke jalan bengkel di belah utara, sambil menunjuk-nunjuk.
Aku masih ingat dengan ingatanku yang kecil, serombongan beruk berbaris. Ibu menarik kami semuanya ke dalam rumah. Tapi kami diizinkan ibu mengintip.
Kami tak bisa menghitungnya. Kami cuma bisa melihat berpuluh-puluh ekor beruk berbaris. Yang di depan besar sekali tubuhnya, dan kukira adalah kakek dari beruk itu. Ia berjenggot. Ia sebesar kakek dan seperti kakekku.
Kemudian ia berdiri dan berhenti di depan rumah Somad. Lalu kami lihat berombongan mereka berbaris dan masuk ke pekarangan rumah Somad. Seorang Jepang memakai senapan tiba-tiba berhenti. Jepang itu berdir
i seperti tentara bersiap. Seorang Jepang lain lagi sedang mengayuhkan sepeda lalu turun, dan berhenti, berhenti seperti orang bersiap.
Kemudian kami melihat tentara-tentara Jepang yang bersenjata itu berdiri seperti patung.
"Kenapa mereka tak menembaknya"" kata abang tiba-tiba.
"Apa yang kau katakan, Karel"' tanyaku.
"Mereka tak menembak," kata Karel.
"Menembak siapa"" tanyaku.
"Menembak binatang-binatang itu," kata abangku.
"Mereka tak berani melawan binatang-binatang itu" Kenapa berani menembak Paman Oni," tanyaku.
Kuperhatikan wajah abangku, ingin tahu apa yang dimaksudkannya.
Lalu abangku mengintip. Lalu aku juga mengintip, kami melihat beruk-beruk itu memanjati pohon pisang, pohon- pohon sawo, pohon-pohon pepaya di kebun Somad.
"Kebun kita juga," kata abang berteriak.
Lalu abangku melompat ke ruang tengah, tapi tiba-tiba ibu menangkap tangannya. Dengan isyarat ibu memanggilku dan dengan isyarat telunjuk ibu menyuruh kami masuk kamar kami.
Semalaman aku terus bertanya kepada abangku kenapa beruk-beruk itu datang sebegitu banyak, tapi abangku bertanya kepadaku kenapa Jepang-jepang itu tak mau menembak. Dan aku menjawab bahwa aku tak tahu. Abangku mengatakan bahwa aku goblok. Dan aku pun lekas-lekas mengaku bahwa aku goblok dalam hal itu, tapi aku bertanya pula, untuk apa beruk-beruk itu datang. Dari mana mereka datang"
Biarpun hampir sampai pagi kami tak tidur, tapi kami tetap bangun pagi-pagi sebelum dibangunkan ibu seperti biasanya.
Ibu menasihatkan agar kami tak ke luar rumah, sebab beruk-beruk itu masih banyak berkeliaran di seluruh kota.
"Kenapa beruk-beruk itu, Mami" Kenapa mereka ke sini berkeliaran Mami""
"Mereka lapar""
Cepat-cepat kuikuti abangku yang mengintip di celah-celah dinding. Tiap-tiap beruk membawa sepelukan buah-buahan. Jalan sepi, tak ada seorang pun yang lewat dan juga tak ada satu kendaraan pun yang terdengar lalu. Juga tak ada seorang Jepang pun kelihatan. Tiba-tiba kuingat ayahku.
"Ke mana ayah kita, Mami""
Pertanyaanku tidak dijawab ibu dan kuintip kembali dan celah-celah dinding sambil mengharap ayahku lewat.
Tiada seorang manusia pun kelihatan. Kecuali binatang-binatang itu, yang kini tampak berkumpul-kumpul, seperti berbisik-bisik.
"Mereka juga berkata-kata, Karel."
"Diam Pak Cerewet!" gerutu Karel.
"Lihatlah, lihatlah mereka mengatur barisan," kata Karel tiba-tiba. Kulihat dengan mataku yang kecil di lubang yang kecil.
Beruk-beruk itu berbaris dan mulai berjalan menuju ke tengah kota, ke arah pinggir laut, ke arah bukit-bukit di selatan.
Binatang-binatang itu kemudian bergerak makin jauh, sambil memeluk buah-buahan, dan ketika mereka semakin jauh, abang menoleh kepada ibu yang juga mengintip, lalu memberi isyarat menunjuk pintu.
Ibu melarang dengan isyarat pula.
Ibu mengintip lagi. Kemudian abang berteriak, "Jepang-jepang sudah ke luar rumah, Mami." "Pak Somad dan Pak Gultom juga," teriaknya.
Ibulah yang membuka pintu rumah pertama kali. Tapi ketika itu kami sudah tak bisa melihat lagi binatang-bmatang itu.
Ketika sore-sore kami melihat kebun kami yang sudah gundul, ayah baru pulang. "Binatang-binatang itu binatang-binatang punya perasaan," kata ayah.
"Kenapa Pa""
"Mereka cuma kelaparan, mengambil buah-buahan, lalu pergi."
"Dari mana mereka Pa"" tanyaku.
"Dari bukit-bukit yang dibom dan terbakar itu."
Ketika makan malam, kami bercakap-cakap lagi tentang beruk-beruk itu. Biasanya selama ini kalau kami makan, terutama aku, dilarang sekali untuk ikut berbicara. Tapi saat itu, seakan-akan aku bebas sekali berbicara. Kutanyakan, dari mana beruk-beruk itu datang. Kutanyakan untuk apa beruk-beruk itu datang dan ke mana mereka itu pergi.
Pada waktu itu, ada percakapan-percakapan ayah dan ibu yang tak bisa kumengerti, misalnya tentang kelaparan, beras, hutan terbakar dan Paman Oni dan tentang Jepang.
Aku tak bisa menangkap dan mengingat keseluruhannya tentang peristiwa itu, karena waktu itu telingaku yang kecil dan pikiranku yang kecil dan aku merasa diriku kecil yang dilarang oleh orang-orang tuaku untuk menanyakan dan mendengarkan dan memikirkan soal-soal orang besar. Aku ingin bertanya banyak
-banyak pada ayah, tapi aku takut akan dimarahi.
Waktu itu aku memang masih kecil.
TAMAT Kota Kami Dahulu Dari Kumpulan Cerpen "Keberanian Manusia"
Kuburan adalah tempat yang paling sunyi, di mana orang-orang mati itu tidak akan bercakap-cakap lagi dengan dia seperti dahulu. Bahkan dan sebuah kuburan di mana di bawahnya terbaring tulang-tulang seseorang yang paling banyak cakapnya semasa hidup pun tidak.
Di bawah tanah itu terpendam ayahnya yang semasa hidupnya, pada malam Minggu suka mengundang kawan-kawannya ke rumahnya untuk bermain kartu, minum bandrek, sampai pagi.
Kubur yang sebuah lagi adalah kuburan ibunya, seorang wanita pendiam yang membikinkan bandrek untuk suaminya dan tamu-tamunya, yang saat itu akan semakin pendiam, terbaring dalam bumi.
Memang enak masih punya ibu-bapak, pikirnya. Ini hanya dapat dirasakan oleh orang-orang yang telah yatim piatu. Semasa ayahnya hidup, ayahnya yang tukang gembira tapi tukang pemarah pula itu, pernah dia doakan agar lekas saja mati disambar geledeg. Tapi tidak pernah ia mendoakan agar ibunya itu mati. Namun ketika kedua-duanya mati, ia menangis untuk kedua-duanya, dengan kesedihan yang sama, tidak berbeda-beda.
Kedua orang tuanya mati ditembak Belanda, ini dikenangnya di kuburan itu. Ia mengenang di kuburan itu, tamparan-tamparan ayahnya pada pipi, bahkan tinju besar ayahnya di suatu kali, bahkan ayahnya pernah mencambuknya dengan gada kecil yang sewaktu kecil dirasanya sangat besar. Tapi ia juga mengenang suatu perkataan ayahnya. Perkataan itu sangat sederhana, "Benci sekali aku pada orang yang lekas putus asa!"
Perkataan itu dulu tidak dipahaminya benar. Suka dikatakan ayahnya kepada ibunya, lebih-lebih di saat-saat dekat hari kematian mereka ketika Belanda akan mendarat di kota kecil itu. Perkataan itu, biarpun kurang dipahaminya dulu, sangat sering didengarnya, bahkan terlalu sering sehingga sekarang ia masih hafal. Dan sekarang barulah dipahaminya, artinya yang sesungguhnya.
Ia datang ke kuburan hari itu sebenarnya dengan perasaan putus asa. Adiknya, satu-satunya adiknya yang perempuan, saat itu sedang mengandung. Ia datang seakan-akan untuk mengadu, mengadu kepada orang-orang mati yang tidak akan mendengar lagi bahasa sehari-hari manusia yang hidup. Tapi ia sejak tadi telah berbisik, terutama di
atas kening kuburan ibunya. Ia memuji ibunya adalah wanita yang paling baik yang pernah dikenalnya di dunia ini. Ia memuji ibunya adalah wanita penyabar, wanita yang paling rajin, wanita yang tidak suka pada kemewahan, wanita yang cantik tanpa berhias, dan tidak ada lagi kata-kata lain. Ibunya adalah wanita sejati. Semasa hidupnya ayahnya ataupun ibunya ataupun neneknya berkata, bahwa adiknya yang sedang mengandung kini itu mempunyai wajah yang serupa dengan ibunya. Orang-orang kampung cemas selalu, bila wajah seorang anak sangat mirip dengan wajah ibunya. suatu pertanda buruk, bahwa ibunya akan meninggalkannya selagi muda atau si anak sendiri yang akan mati selagi kecil.
Makin naik dewasa, adiknya makin mirip dengan ibunya.
"Katakanlah, lelaki mana yang telah menghamilkan engkau. Popong," katanya pagi-pagi sebelum berangkat menuju kuburan.
Adiknya telah mengirim telegram supaya pulang ke kota kelahiran untuk menolongnya. Itulah yang harus ditolongnya. Adiknya menangis siang-malam sejak pertama kali ia masuk pintu, sejak ia dipeluk erat-erat, peluk setahun sekali, tapi pelukan tahun ini memang pelukan yang aneh, yang kemudian diketahuinya, pelukan itu adalah pelukan seorang wanita muda yang diam-diam akan menjadi ibu beberapa bulan
lagi. "Katakanlah, Popong," katanya. Itulah kata-kata bujukan yang diucapkannya saban hari, tapi tidak pernah menjemukan dia. Tapi sampai pagi itu adiknya tidak mau mengatakannya.
Sayang sekali adiknya tidak mau mengatakannya sehingga ia putus asa dan ingin marah, sangat marah. Sampai memuncak marahnya, sehingga hampir saja ditamparnya adiknya itu. Tetapi agama telah melarang seseorang menyakiti orang lain dengan paksa, apalagi menyakiti saudara kandungnya dan perempuan pula.
Di kuburan itu ia tahu, bahwa ia juga ikut bersalah dalam hal itu. Jarang
ia menulis surat kepada adiknya yang terpisah darinya bermil-mil oleh Selat Sunda. Apalagi memberi suatu nasihat yang baik. Apalagi nasihat untuk seorang gadis yang sedang lupa pada harga hari remaja dan perawan. Tidak pernah ia berkata kepada adiknya, "Jagalah dirimu dan masa gadismu," biarpun dalam sepotong surat dan membuang uang tujuh puluh lima sen untuk perangkonya. Itu, sebab ia tahu, adiknya seorang gadis pendiam, pemalu, suka beribadat, pintar di sekolah seperti gurunya menuliskan di ijazah, tidak pernah ke luar rumah. Itu sebab ia kira, abangnya, si Sompi,
sekali seminggu akan datang menjenguk atau mengawasinya. Dan ia pun tahu, surat-surat berisi nasihat biasanya membosankan untuk orang-orang remaja. Orang-orang remaja suka dilepas bebas seperti seekor kuda penuh gairah. Itu sebab ia mengira, di rumahnya ada neneknya yang sayang pada cucu, dan ada seorang lagi adiknya lelaki yang pintar berkelahi.
Kepercayaannya kepada Popong sudah tidak ada lagi. Kepercayaannya kepada abangnya dan adik lelakinya. Tapi juga kepercayaan kepada lelaki-lelaki kota itu yang dulu dikiranya salih semua.
Sejak pertama ia ke luar rumah, belum pernah ia menegur seseorang, juga mengangguk pun tidak, tidak seperti dulu-dulu yang selalu dilakukannya. Tapi orang-orang juga tidak menegurnya. Mulanya ia mengira, karena kini setelah memakai kaca mata, tentu orang-orang itu telah lupa. Kota ini telah jauh berbeda dengan dulu, pikirnya. Tapi, ia keluar dari gerbang kuburan dengan tidak membawa suatu bekal apa, bahkan tidak sempat berdoa, ia makin merasakan suatu sebab lain. Orang-orang itu tidak mau menegur mungkin benci pada keluarganya, sebab apa yang telah dilakukan adiknya itu bagi mereka adalah suatu nista yang memalukan sekali.
Kampung kelahirannya adalah kampung yang paling suci menurut penduduknya. Tidak ada dari kampung itu seorang maling, seorang pemabuk ataupun seorang tukang judi. Ketika Belanda masuk tidak ada kedengaran seorang pun yang jadi mata-mata Belanda yang berasal dari kampung itu.
Dan kini adiknya mengandung diam-diam. Orang-orang itu jika tahu mungkin akan amat marah atau mengusir seisi rumah itu dari sana, termasuk neneknya yang paling mereka hormati sebagai perempuan satu-satunya yang tertua dan tersalih! Ia merasa ngeri melihat ke kiri dan ke kanan. Sambil berjalan ia tahu, di kanan ada toko Cinayang ramah dan telah masuk Islam, ia tahu di kirinya ada sebuah kali yang bernama Kali Wuni yang dalam musim buah-buahan, buah-buah wuni yang merah tua itu berguguran dan hanyut di kali. Ia tahu di kanan lagi itu ada sebuah mesjid yang ramai kalau malam-malam bulan puasa. Ia tahu, di depannya kini itu adaiah rumah kepala kampung, rumah Wak Bek yang sangat pemarah. Ia tahu di kanan jalan berbelok adalah tanah lapang kecil tempat ia main sepakbola dengan Umar dan Pospos. Umar pencetak gol yang paling pintar, dikaguminya, juga paling pintar bercerita, paling pintar berhitung OTT, dikaguminya sebab pintar menggambar. Saban hari Minggu dulu ia bersama-sama Umar pergi mancing ke Panjang, pelabuhan kota itu. Kalau orang-orang
menegur Umar di jalan, yaitu orang-orang yang pernah mereka kalahkan dalam pertandingan sepakbola, ia merasa orang-orang itu juga menegur dia.
Orang-orang itu tentu bertanya, siapa yang seorang lagi" Dan dijawab tentu, kawannya Umar, pemain bola juga. Ia tak tahu di mana Umar sekarang. Tapi ia tahu ia telah sampai kini dekat kebon petai cina tempat ia menggembalakan kambingnya dulu. Di belakang itu ada runtuhan gereja yang di bom Belanda. Waktu kecil ia bersekolah di sebelah gereja itu, Sekolah Xaverius.
Kini ia tahu, rumah-rumah di hadapan itu adalah rumah tetangga-tetangga. Malu ia menengok ke kiri dan ke kanan, takut kalau ditanyakan soal-soal kehamilan adiknya, takut akan dimaki atau disumpahi. Seakan-akan ia akan menutup mukanya dengan sapu tangan.
Kini ia memasuki sebuah pekarangan berpagar batu. Itulah rumahnya. Di dalam rumah itu, di atas ranjang, adiknya pasti sedang menangis dengan mata yang sembab. Di rumah itu pasti neneknya sedang menghitung tasbih sambil menunggu kematian di menara hari tuanya. Di
rumah itu pasti adiknya yang lelaki tidak ada.
Semua yang ia duga memang sedang terjadi. Neneknya yang tuli dengan kaki melunjur berdiang di dapur dengan tasbih digerak-gerakkan dan berbisik-bisik. Neneknya yang tahun ini sudah pikun dan tak mengenal cucunya lagi sekarang.Bila ia masuk ke kamar didapatinya adiknya sedang bangun dari tidurnya dengan mata sembab.
"Aku baru dari kuburan pa dan ma," katanya sambil bersalin pakaian. Lalu dia pandang wajah adiknya. Dalam wajah itu menyelinap wajah ibunya, persis benar seperti ibunya kalau barusan menangis.
"Muka ma seperti engkau, " katanya, tiba-tiba adiknya lantas meloncat dan memeluk erat-erat,
"Kau telah mengatakan ini pada Bang Sompi," tiba-tiba Popong menuduh,
"Belum," katanya menjawab.
"Ya! Pasti Abang telah mengatakan ini pada Bang Sompi."
Lalu sambil menangis Popong menyumpah-nyumpahi Bang Sompi yang sejak kawin setahun yang lalu tidak pernah datang lagi, asyik dengan bini dan tidak mengirimkan uang dan bahkan tidak membuat surat, padahal cuma lima puluh kilometer saja dan naik oto bis cuma membayar lima ringgit.
"Aku tidak mengatakannya," katanya kepada adiknya, berusaha meyakinkan.
"Percayalah," katanya lagi.
Lalu Popong membanding-bandingkan dirinya dengan Abang Sompi. Dia membandingkan, bahwa Sompi sekarang naik pangkat tapi pengiriman uang makin dikurangi, sedangkan orang yang sedang dipeluknya tiap bulan mesti bertambah kalau mengirimkan uang. Adiknya lalu berkata, "Abang Sompi sudah setahun tidak membantu keuangan kami lagi, sedangkan adik kita si Markus telah pacar-pacaran dengan gadis sekarang," dan menangislah ia.
"Bagaimana penghasilan modistemu"" tanyanya tiba-tiba.
"Tidak maju. Hampir semua gadis-gadis membikin rumah mode," jawabnya.
"Sudahlah, berhentilah menangis. Jangan putus asa tentang itu lagi. Kalau kau mau saja mengatakan, siapa lelaki itu, abang akan mengurusnya," katanya pelan-pelan membujuk.
"Katakanlah." Pelan-pelan mata adiknya memandangnya. Tiba-tiba mata itu ditutup, berkata,
"Tidak." "Sekarang katakan saja, kenapa Popong berbuat itu"" tanyanya. "Sebab nenek sakit asal-mulanya."
"Kenapa"" "Waktu itu nenek sakit-sakit. Kutulis surat pada Abang, tidak dibalas. Waktu itu Popong ada kawan lelaki. Dia baik sekali. Dia pertama memberi uang seribu rupiah. Untuk nenek, untuk obat nenek. Tapi kemudian ternyata, seakan-akan uang yang diberinya itu ditagihnya dengan suatu permintaan. Dia memeras!"
"Dia memeras," ulangnya.
"Siapa dia." "Umar."
"Umar"" dan ia terkejut, berulangkali nama itu disebutnya dalam hati. "Ya, Umar kawan Abang dulu." Kini, kepercayaannya semakin punah terhadap kota itu, orang-orangnya, kesalihannya, kawan-kawannya! Dendamnya timbul. "Rumahnya masih rumah yang dulu""
"Bukan. Dia sudah punya toko dan tidak dengan bapaknya lagi. Rumahnya dekat Sekolah Rakyat Abang dulu. Ada sebuah rumah gedung, itulah rumahnya."
Dia lantas ingat, yang dimaksud dengan sekolahnya bukanlah Sekolah Xaverius, tapi Sekolah Rakyat pemerintah setelah pindah.
Di sekolah itu dulu ia dididik oleh guru-gurunya agar berbuat baik, agar menjadi orang yang bertanggung jawab. Umar juga dididik di situ, bahkan sebangku dengan dia. Dia kagum pada kepandaian Umar berhitung OTT. Sedang ia pernah mencontoh. Dan ketika ia dikeroyok oleh orang-orang. Umar telah menolongnya.
Kota kami ini dulu kota yang paling indah dalam angan-anganku, pikirnya. Kini ia membunuh angan-angan itu seperti membunuh seekor lalat yang telah dipeliharanya selama lebih dua puluh tahun.
"Jangan pula berkelahi dengan dia!" tiba-tiba Popong berteriak.
"Tidak," jawabnya pelan-pelan, tapi hatinya sudah terkelucak.
Dia menunggu hari sore dengan gelisah dan sore itulah ia datang ke rumah Umar. Umar hampir lupa padanya. Tapi ia berbuat seakan-akan Umar tetap kawan karibnya dan bukan musuhnya dan ia datang seakan-akan seperti sahabat lama dengan kepercayaan dan kekaguman lama.
Angin laut kini mengendap-endap menyuruk ke hatinya ketika mereka berjalan berdua di pinggir laut, seakan-akan dua sahabat lama. Dulu, di pinggir laut itu mereka mencari keong dan mendirikan rumah-rumahan dari keong-keong yang mere
ka susun, yang seminggu kemudian mereka dapatkan telah punah dihempaskan ombak. Tapi mereka dirikan lagi rumah-rumahan keong itu, seakan-akan mereka tidak peduli apakah seminggu yang akan datang rumah-rumahan mereka akan diruntuhkan. Dia mengingatkan kepada Umar kisah lama itu, seakan-akan mau membujuknya. Lalu ia memuji Umar yang berani, bahkan berani menolongnya.
"Sekarang, setelah kita besar, aku masih mau minta tolong sebuah lagi," katanya pelan-pelan dan menggigil.
"Uang"" tanya Umar.
"Aku tahu nenekmu sakit. Apakah beliau sudah sembuh"" "Biarpun diobati, nenek sudah tak perlu hidup lagi." "Kenapa"" tanya Umar.
"Beliau sudah pikun. Tidak akan banyak merugikan kita yang hidup. Beliau mengharap mati, sebab sudah waktunya harus mati," katanya. "Kenapa kau sampai berpikir begitu"" tanya Umar.
Mendengar pertanyaan itu geramnya timbul. Ia seakan-akan sudah yakin, Umar yang sekarang bukanlah Umar yang dulu. Umar yang dilihatnya adalah tubuh yang sekeping berisi kepalsuan-kepalsuan. Inilah gambaran kota dan dunia kini, pikirnya.
Kepercayaannya semakin berkurang mendengar pertanyaan yang sama sekali kini tak dipercayanya lagi. Digenggamnya tinjunya erat-erat seperti ia menggenggam kota dengan peradabannya itu.
"Aku memikir yang lebih baik. Bukan aku tak cinta pada nenek. Tapi aku jauh lebih cinta pada bayi yang sedang dikandung. Dialah yang memegang hari depan peradaban dan perikemanusiaan ini," katanya.
Tiba-tiba dalam kepalanya terbayang buku-buku yang pernah dibacanya. Sebuah pocket book Amerika pernah menceritakan seorang ibu dengan gampang menggugurkan bayinya dengan sebentar pergi ke seorang dokter. Ia merasa seakan-akan dunia ini sudah sempit tidak perlu kelahiran baru dengan harapan-harapan baru dan kemanusiaan baru. Seakan-akan dunia ini tidak punya hari depan lagi. Buku ini sangat menjijikannya. Tapi seorang sahabat lamanya yang sudah menghilangkan kepercayaannya. Ia jijik melihat Umar.
"Bagaimana dengan adikku, Umar"" tanyanya tiba-tiba.
Tangannya kini digenggamnya makin erat ketika matanya berkilat-kilat memandang mata Umar yang merunduk, seakan-akan padi-padi yang tidak bernas tapi merunduk. Hatinya tiba-tiba terkelocak lagi. Laut dan angin seakan-akan sudah tidak berharga lagi. Tanah-tanah, semua yang ada dan dapat ditangkap matanya dan kenangan tentang kota dahulu yang manis itu sudah punahlah! Perahu-perahu dan pohon kelapa dan rumah-rumah dengan gereja dan mesjid dan langit dan bintang dan awan dan manusia-manusia yang duduk-duduk jongkok di sana yang mungkin masih mengimpikan bahagia, sudah punah oleh satu sentuhan saja. Mereka lebur jadi satu dalam kepalanya.
"Bagaimana Umar! Bagaimana tanggung jawabmu terhadap hari depan perbuatanmu sendiri""
"Itulah yang aku pikirkan!" "Apa"" tanyanya jengkel.
"Bayi yang dikandung Popong, adikmu. Aku tak bisa tidur siang-malam," katanya pelan.
Ia malu untuk meminta pada Umar supaya mengulangi perkataannya, sebab ia kini tak percaya lagi pada telinganya sendiri. Tapi ia merasa memang mendengar suara itu. Tiba-tiba ia membentak,
"Bagaimana" Kau mau mengawininya apa tidak!"
Dipasangnya telinganya baik-baik sebab ia perlu mendengar jawabannya.
"Aku mau mengawininya, Ating. Cuma, berilah kami jalan keluar untuk itu. Bagaimana kami harus kawin, ya, ya, biarpun orang-orang belum tahu, selain kau, aku dan Popong" Tapi percayalah, aku mau mengawininya."
Pelan-pelan ia merasakan kembali kata-kata sahabat lamanya itu. Pelan-pelan jari-jari yang tergenggam itu mekar menjadi sepuluh. Dilihatnya jari-jarinya yang mekar itu, seakan-akan ia membaca pada tiap-tiap jari sebuah perintah Tuhan! Pelan-pelan matanya dapat menangkap cahaya lampu perahu yang berkelip, tercelup dalam teluk kotanya, sedikit demi sedikit ia bisa membedakan langit dan laut dan awan dan gereja dan menara mesjid dan rumah-rumah, rumah-rumah yang tetap miskin dan kotor, tapi sempat juga saat-saat itu penghuninya menyanyikan lagu.
Ia mendengar dengan telinganya lagu itu. Ia benar-benar telah mendengar dengan telinganya sendiri. Kaca matanya dipasangnya. Ia melihat makin terang, orang-orang berbondong-bondong dengan kai
n sarung di leher mengurangi udara laut dingin. Di pojok sana adalah Pasar ikan tempat ia saban sore dulu berbelanja disuruh ibunya. Sebelah ujung toko Cina ada tempat binatu bapaknya dulu. Pohon-pohonan menutupi sebagian pucuk-pucuk rumah, tapi ia tahu benar, pada pucuk gedung bank itu adalah kampungnya, sekilometer dari pantai. Di sana ia dilahirkan. di Kupangkota, sebagai bayi yang tidak tahu dan tidak mau tahu apa-apa. Tapi sekarang ia tahu bahwa di situlah Kupang kota, sedikit di sana itu rumahnya, rumah batu berpagar batu. Dan ia juga tahu, adiknya sekarang sedang menangis. Ia juga tahu, yang ditangiskannya adalah makhluk yang sedang dikandungnya diam-diam ketika remaja. Ia sekarang bukan saja tahu melihat dengan apa yang bisa ditangkap matanya, tapi juga hal-hal yang di luar jangkauan matanya.
Ketika mereka berdua berjalan kaki di antara sebanyak itu manusia dan sebanyak itu kendaraan di antara sebanyak itu lampu-lampu dan sebanyak itu jalan raya dan sebanyak itu rumah-rumah, ia menghisap udara kota itu kembali sebanyak-banyaknya pula dengan nyaman. Mereka telah sampai di dekat teng bensin yang biasanya kalau jam satu mereka pulang sekolah dulu mesti ada tukang sulap orang India dengan ular-ular sepuluh macam. Di situ dulu mereka berpisah kalau pulang sekolah.
Kini mereka sampai di situ. Ia melihat Umar. Kemudian berkata agak gemetar, "Maukah besok kau datang ke rumahku""
"Mau," jawab Umar.
Saat itu dihisapnya lagi dengan hidungnya bau nafas udara kota itu dan merasa seakan-akan nafas kota itu bernafas kembali di paru-parunya. Ia berkata dalam hati, bau kota kami ini masih nyaman. Ia bahkan menambahkan dalam hati, kami masih menyukai engkau.
TAMAT Lima Belas Tahun Tidak Lama
Dari Kumpulan Cerpen "Keberanian Manusia"
Kota kami telah hampir berusia setengah abad, dan hampir saja hanyut karena kecelakaan gunung berapi. Beberapa tahun belakangan ini orang-orang sudah tidak lagi memikirkan apakah bahaya itu akan datang lagi, sehingga orang-orang sudah tidak memikirkan soal waktu. Kota itu terbentang di pinggir pantai, dengan sebuah jalan panjang sembilan kilometer ke arah barat laut, dan tepat di pintu kota ada sebuah kantor bank. Orang-orang pegawai bank tidak memikirkan waktu, mereka banyak berhubungan dengan angka-angka. Di sebelah bank itu ada sebuah restoran Cina dan orang-orang Cina itu juga tidak memikirkan waktu. Belakangan mereka malah kesusahan, karena pemeliharaan babi kurang memuaskan, sebab banyak orang-orang Islam yang jadi tukang gembala babi-babi itu diganggu keamanannya oleh penduduk sekitarnya.
Di sebelah restoran Cina itu ada sebuah toko kecil, toko sepatu, di mana banyak sepatu-sepatu. Sepatu-sepatu itu dikerjakan oleh tukang-tukang sepatu dan mereka berjumlah enam orang. yang termuda dari tukang-tukang sepatu ini berumur dua belas tahun, tidak perlu disebutkan namanya, karena lebih penting apa yang menyebabkan ia menjadi tukang sepatu. Ia menjadi tukang sepatu karena hendak memberi makan lima orang adik-adiknya, hendak membantu penghasilan ibunya yang bekerja sebagai tukang cuci.
Ia adalah yang paling pendiam. Yang tertua dari tukang-tukang sepatu itu adalah seorang lelaki, yang mengabdikan pikirannya dan anggota-anggota badannya untuk membuat sepatu-sepatu yang baik. Dari keenam pekerja itu, dia inilah yang paling banyak ditegur oleh majikannya, karena ia tidak cepat bekerja, karena ia membuat sepatu-sepatu itu sebaik-baiknya. Pemilik toko sepatu itu tidak memikirkan membikin sepatu yang kuat dan baik lebih menguntungkan. Ia lebih banyak memikirkan bagaimana bisa menghasilkan sepatu sebanyak-banyaknya, tidak peduli jahitan atau lim-lim sepatu itu akan berumur tiga bulan saja.
Tukang sepatu yang tertua ini, yang tertua karena dialah yang telah berumur dua puluh lima di antara kelima orang yang lain, juga sangat pendiam, dan sangat tidak penting untuk menyebutkan namanya. Dia memikirkan sepatu dan waktu. Yang juga banyak dipikirkannya adalah wajahnya yang buruk itu, bekas-bekas cacar waktu zaman Jepang. Dia juga merupakan seorang pendiam. Dia pendiam karena panggilan keadaan.
Suatu kali ia berkata , "Kapan kau akan kawin"" "Kawin" Aku tidak memikirkan hal itu." "Apakah selamanya kau tidak akan kawin"" "Barangkali begitu. Aku tidak punya alis mata." "Gila kau!"
"Jangan ganggu aku. Aku sedang melihat sepasang suami-istri yang sedang berbelanja itu."
Dia sedang melihat sepasang suami-istri yang sedang berbelanja, jauh di seberang jalan. Saat itu dia tak mau berkata pada dirinya sendiri lagi. Tapi hatinya mengusik-usiknya lagi dan bertanya,
"Kau tidak ingin kawin seperti mereka""
"Jangan ganggu aku. Aku sedang memperhatikan sepasang suami istri yang sedang berbelanja itu. Mereka sedang berbantah agaknya. Mereka sedang berembuk barangkali. Mereka mempunyai apa yang aku sendiri tidak punya."
Itu bukanlah yang pertama kali tukang sepatu itu berbantah-bantahan dan bersoal-jawab. Dia berbantah-bantah dan bersoal jawab dengan dirinya.
Pandangannya, melewati kaca pajangan toko ke arah sana terganggu karena ada seorang perempuan sedang menggendong anaknya dan seorang anak perempuan kecil dengan rambutnya dikelabang. Antara anak perempuan itu dan ibunya agaknya terjadi percakapan. Kelihatan anak perempuan itu merengek-rengek menunjuk-nunjuk ke sebuah sepatu kecil.
"Bu, belikan yang itu, Bu."
"Sssh, sshh." "Bu, belikan, Bu. Semua anak-anak di kelas pakai sepatu." "Biarkan mereka semua mereka pakai sepatu." "Tapi aku ingin juga seperti mereka."
Aku ingin seperti mereka, barangkali itulah yang dikatakan anak perempuan kecil itu. Tukang sepatu itu sebenarnya tidak mendengar percakapan ibu dan anak itu. Perdebatan mereka berdua antara ibu dan anak itu tidak ada. Tukang sepatu itu hanya melihat mata anak perempuan kecil itu menatapi sepatu kecil, dan sebelah tangannya menarik-narik baju ibunya. Mereka: ibu dan anak, tidak berkata-kata. Kedua mereka tenggelam oleh lautan kata-kata, sehingga keduanya tidak bisa berkata lagi sebab sudah lama tenggelam.
Tapi dia itu, seorang anak perempuan kecil berumur lima tahun, tampak sekali dalam matanya yang hitam bilam itu, menginginkan sepatu. Memang, sepatu yang satu itu kecil dan bagus, dibuat oleh tangan yang mengabdikan dirinya untuk kebagusan.
Sepatu itu dibikin oleh tukang sepatu itu. Anak itu ingin seperti anak-anak yang lain, punya sepatu. Dan tukang sepatu itu ingin seperti orang-orang muda yang lain, punya wajah yang tidak buruk karena cacar, punya keinginan yang besar untuk kawin.
Tukang sepatu itu melihat anak kecil itu meneguk air liurnya. Air liur itu lewat di lehernya yang kecil, masuk di usus-ususnya yang kecil. Tukang sepatu itu tidak bisa melupakan wajah anak kecil itu, karena ia melihatnya dengan teliti. Ia tidak akan lupa dengan mata hitam bilam itu. Lalu tukang sepatu itu berjanji, suatu waktu ia akan memberikan sepasang sepatu untuk anak itu.
Atheis 2 Dear Dylan Karya Stephanie Zen Pukulan Naga Sakti 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama