Ketika Barongsai Menari Karya V. Lestari Bagian 2
Hiruk-pikuk terjadi. Henry melompat dan berlari ke rumah Adam untuk mengecek apakah Adam sudah pulang. Ternyata belum. Telepon genggamnya
85 pun tak dibawanya. Apa sebaiknya menyusul Adam ke halte bus" Bagaimana kalau Adam tidak ada di sana" Itu berarti membuang waktu saja. Padahal Kristin sudah meringis-ringis kesakitan. Maka Bi Iyah cuma dititipi pesan saja, supaya Adam segera menyusul ke rumah sakit. Untunglah Kristin sudah menyiapkan segala keperluannya di dalam tas besar, termasuk surat dokter dan rumah sakit. Tinggal mengangkatnya saja. Henry dan Maria akan mengantarkan Kristin ke rumah sakit.
Adam merasa lega setelah mengetahui bahwa tujuan Harun berkunjung cuma untuk mempromosikan usaha percetakan putranya. Lagi pula bukan cuma dirinya yang dikunjungi, melainkan beberapa orang lain yang dikenal Harun. Tapi tentu saja ia tidak mengutarakan kelegaannya itu. "Aku cepat-cepat menyusul ke sini karena kangen sama Bapak," katanya memberi alasan.
Harun merasa tersanjung oleh ucapan itu. Begitu berartikah dirinya di mata Adam" Kalau begitu Adam sungguh orang yang rendah hati dan menghargai persahabatan. Jarang ada orang seperti itu. Biasanya orang yang sudah kaya cepat melupakan temannya semasa miskin. Biasanya orang yang seperti itu gampang menjadi arogan dan cepat berprasangka negatif bila dikunjungi. Sangkanya akan minta bantuan atau meminjam uang.
Tetapi kemudian muncul rasa ingin tahunya kenapa Adam justru memilih rumah Sonny padahal tersedia begitu banyak pilihan. Toh semua yang ditawarkan itu sama murah dan rusak kondisinya.
"Itu yang paling mu rah, Pak," sahut Adam.
86 "Oh ya" Saya baru tahu."
"Soalnya rumah itu kan bukan sekadar hangus atau tinggal reruntuhan saja. Dia tak sama dengan yang lain. Tahu sendiri kan, Pak""
Tentu Harun paham. "Pak Adam nggak takut""
Adam tertawa. "Kalau takut saya tidak memilihnya, Pak! Istri saya tidak tahu apa-apa. Nyatanya dia tidak merasa aneh atau takut. Berarti memang tak perlu ditakutkan. Orang yang tahu tapi merasa macam-macam pasti cuma karena dihantui perasaannya saja. Ya kan, Pak""
Harun setuju. "Syukurlah kalau begitu. Kita memang tidak perlu percaya begituan. Barusan saya juga membicarakannya dengan Pak Henry dan Bu Maria. Mereka mengingatkan saya, hati-hati kalau bertandang ke rumah Pak Adam. Jangan sampai keceplosan bicara tentang Sonny di depan istri Pak Adam."
Adam tertawa. "Ya, saya memang meminta mereka dan juga tetangga lain untuk tetap merahasiakan peristiwa itu dari istri saya."
"Tapi sampai kapan, Pak" Suatu saat bisa saja dia tahu dari orang lain."
"Memang betul. Saya ingin menunggu sampai dia melahirkan. Dia bukan orang yang penakut. Jadi bila saatnya tiba dia akan tahu bahwa sesungguhnya tak perlu takut karena dia sudah membuktikan sendiri."
"Dan Pak Adam sendiri pun sudah membuktikan."
"Oh ya. Rumah itu nyaman saja. Dan terus terang sebelum menempatinya saya sudah minta orang pintar untuk membersihkan rumah itu dari apa pun yang kemungkinan menghuninya."
Harun terkejut. "Orang pintar" Dukun""
87 "Iya. Bukannya saya percaya takhayul, tapi sekadar menenangkan perasaan saja."
"Kalau Pak Adam memilih rumah yang lain, kan nggak perlu susah payah begitu."
"Entahlah. Memang saya bisa saja memilih yang lain, toh perbedaan harganya juga nggak terlalu banyak, tapi saya sudah telanjur menyukai lokasinya."
Topik perbincangan itu sudah tidak menyenangkan lagi bagi Adam. Ia berpikir untuk pulang saja. Tapi yang masih ingin bicara sekarang adalah Harun. Dia terangsang oleh keingintahuan lebih lanjut. Sebelum Adam menyatakan niatnya, Harun sudah keburu bertanya, "Apakah dulu Pak Adam sudah tertarik pada rumah itu" Maksud saya, sebelum terjadinya tragedi Mei sembilan delapan""
"Ah...," Adam tak segera menjawab. Keningnya berkerut. Terlalu jelas ekspresi ketidaksukaannya hingga Harun menyesali pertanyaannya. Ia bertanya begitu karena seingatnya dulu Adam tak pernah menunjuk secara jelas rumah yang jadi impiannya. Ia mungkin terdorong oleh perasaan takjub bahwa ternyata orang bisa juga memperoleh apa yang diimpikannya. Apakah dulu Adam juga memimpikan rumah yang dulu dimiliki keluarga Lie dan sekarang jadi miliknya itu"
"Maksud saya tentu bukan rumah itu, tapi lokasinya," buru-buru ia memperbaiki pertanyaannya.
"Ya, memang betul, Pak. Dan sesungguhnya rumah itu adalah salah satu rumah yang modelnya paling jelek. Bukan cuma luarnya, tapi juga dalamnya. Selalu muncul keinginan untuk merombak dan mengubahnya."
88 Ketika itu bus yang ditunggu-tunggu Harun berhenti. Ia melihatnya juga tapi membiarkan. Ucapan Adam lagi-lagi menggelitik perasaannya. "Kalau begitu Pak Adam sering juga ke situ, ya" Kenal baik""
"Ah, sering ke situ sih tidak. Cuma pernah saja. Saya kenal Sonny. Dia mengajak saya bekerja sama untuk suatu proyek."
"Kasihan, ya. Malang betul nasibnya. Tadi saya juga keceplosan bicara di depan Ibu Maria. Wah, seru deh."
"Keceplosan apa, Pak""
"Ibu Maria seperti menggugat kenapa saya tidak menggedor pintu rumah Sonny. Saya bilang, tak ada orang menyahut. Mungkin pergi. Tapi aneh juga sih. Kalau memang pergi kok dia ada dan terbunuh."
"Artinya dia tidak pergi."
"Saya melihatnya pergi naik motor."
Adam tertegun. "Bapak melihatnya""
"Ah, saya juga tidak yakin apa itu dia atau bukan. Saya lihat belakangnya dan dia pakai helm."
"Aneh juga, ya."
"Ya. Saya jadi penasaran."
"Apa yang mau Bapak lakukan""
"Entahlah. Tadi saya dan suami-istri Tan juga membicarakannya. Saya bilang, mungkin waktu itu Sonny kembali lagi untuk menyelamatkan barangnya. Lalu dia malah tak keburu menyelamatkan diri."
"Ya. Pasti itulah yang terjadi."
"Tapi..." "Tapi apa, Pak""
"Wah, itu bus saya sudah datang, Pak Adam.
89 Tadi sudah lewat satu. Saya pulang
dulu saja, ya" Besok masih bisa ketemu kok."
"Baru jam delapan lewat, Pak. Bagaimana kalau kita makan mie rebus di warteg sambil mengobrol" Kayak masa lalu""
Harun tak sampai hati menolak. Sesungguhnya ia memang sudah lapar. Sudah lewat jam makan malam, tapi tak satu pun di antara warga yang dikunjunginya tadi yang mengajaknya makan.
Adam menggandeng lengan Harun. Ia tak punya firasat tentang Kristin.
Kristin sudah aman berada di dalam kamar bersalin. Henry dan Maria menunggu di ruang tunggu. Setiap lima menit Maria menjenguk Kristin di kamarnya, tetapi Kristin selalu menanyakan Adam hingga Maria jadi gelisah lalu keluar lagi untuk menyuruh Henry menelepon. Entah sudah berapa kali hal itu berlangsung, tetapi setiap kali di seberang sana Bi Iyah menjawab sama. Adam belum pulang!
"Dia bilang mau mendampingi saya, Tante," keluh Kristin.
"Sabarlah, Kris. Kan ada Tante. Dia tentu nggak nyangka secepat ini. Belum waktunya, kan" Sudah, jangan mikirin yang bukan-bukan. Konsentrasi saja pada satu hal. Anakmu!" hibur Maria gundah.
Setengah jam setelah kedatangan mereka Kristin melahirkan seorang bayi lelaki yang sehat dengan cara normal. Tak ada kelainan atau kesulitan apa-apa. Bahkan dokter yang menangani sempat takjub karena persalinan bisa berlangsung cepat dan mulus. Padahal itu merupakan kelahiran yang pertama bagi Kristin.
90 Pada saat itu Adam baru meluncur dari rumahnya. Henry sempat menghubunginya lewat telepon. "Selamat, Dam! Kristin sudah melahirkan seorang anak lelaki. Mereka sehat dan baik-baik saja. Tenang. Tak usah ngebut dan gelisah."
Pemberitahuan itu menenangkan perasaan Adam. Karena itu ia bisa konsentrasi pada pemikiran, alasan apa yang paling masuk akal yang bisa dikemukakan-nya kepada Kristin nanti hingga ia terpaksa tak bisa cepat pulang.
Tetapi Kristin sedang diliputi kebahagiaan. Alasan apa pun yang diberikan Adam diterimanya tanpa pikir panjang. Tak ada keluhan apa-apa. Ia terlampau takjub melihat bayinya. Tampan sekali. Jadi makhluk cantik inilah yang selama ini menghuni perutnya dan menyepak-nyepaknya. Ia teringat pada saat-saat ketika ia tak merasakan gerakannya. Betapa takut dan sedihnya. Kemudian gerakan yang terasa kembali itu benar-benar bagai keajaiban. Ah, kecil-kecil sudah bisa bercanda! Nanti bila kau sudah lebih besar, kau akan jadi teman bermainku!
Adam merasa lega karena Kristin tak memarahinya. Tetapi perhatian Kristin kepada si bayi membuat ia merasa terlupakan. Walaupun ia juga merasa bahagia, tapi ada perasaan bahwa kebahagiaannya tidak sebesar kebahagiaan Kristin. Tentu ia sadar, yang namanya kebahagiaan itu tak bisa diukur apalagi dibedakan antara yang seorang dengan yang lain. Tetapi ia menganggap sikap Kristin berlebihan. Lihat wajahnya yang berbinar dan matanya yang bercahaya. Tatapannya terus-menerus kepada si bayi. Dan mulutnya mengocehkan kata-kata sayang bagai tak mau ber91 henti. Seingatnya ia tak pernah mendapatkan perhatian seperti itu.
Ia sadar, itulah sebabnya kenapa Kristin tidak mempersoalkan ketidakhadirannya saat melahirkan. Kristin seolah tidak peduli ke mana saja ia pergi dan apa saja yang dilakukannya. Padahal biasanya Kristin manja dan jengkel kalau ditinggalkan sering-sering. "Aku ingin kau mendampingiku kalau melahirkan, Mas," begitu rengeknya selalu kalau ia mau meninggalkan rumah. Sekarang sama sekali tak ada penyesalan atau komplain. Padahal kata Maria, saat berada di kamar bersalin Kristin terus-menerus menanyakan dirinya. Pada awalnya ia memang merasa lega karena tidak dimarahi, tapi sekarang ia jengkel. Bukankah lebih menyenangkan bila Kristin memarahi dan menyesalinya" Itu berarti Kristin ingat dan peduli padanya.
"Aku mendapatkan nama yang bagus untuknya, Mas!" seru Kristin.
"Nama" Bukankah kita sudah sepakat untuk menamakannya Sigit kalau lelaki""
"Nggak, ah. Itu kok kayak nama konglomerat. Ada nama lain yang bagus. Jason!"
"Apa"" Adam terkejut. 92 IV New York City, awal bulan Juni.
Thomas lie atau Thomas Lee, biasa dipanggil Tom oleh teman dan rekan-rekannya. Atau Dokter Lee oleh pasien-pasiennya. Dia kelahiran Indonesia dan telah menjadi warga nega
ra Amerika. Tetapi ke-pindahan kewarganegaraan itu bukan karena dia tidak nasionalis atau dorongan emosional. Baginya itu merupakan pilihan pribadi yang didasari kekaguman pribadi pula pada sesuatu yang bernama demokrasi.
Motivasi pilihannya itu jelas berbeda dengan motivasi sebagian orang lain yang dia ketahui. Mereka terdorong oleh dendam. Terutama sesudah tragedi Mei 1998 yang menimpa Indonesia, ketika terjadi kerusuhan rasial terhadap etnis Cina, banyak orang Tionghoa atau warga negara Indonesia keturunan Cina pergi ke negara lain dan pindah kewarganegaraan. Lalu mereka dituding tidak patriot atau tidak nasionalis. Ia sendiri menganggap tudingan semacam itu sama sekali tidak tepat dan tidak patut. Ketika orang-orang itu diinjak dan disakiti, mereka tidak melawan. Mereka hanya pergi.
93 Di antara orang-orang yang dendam itu terdapat Susan, kekasih Sonny. Justru karena terjadi pada orang yang dekat dan dikenal baik, maka ia merasa lebih bisa memahami. Tapi bukan berarti ia setuju. Ia memang tidak berhak untuk menyatakan setuju atau tidak.
Ketika kedua orangtuanya menyatakan ingin pulang ke Indonesia, ia tidak bisa melarang. Ia juga tidak mau melarang. Mereka tidak betah di Amerika meskipun keduanya sama-sama lancar berbahasa Inggris dan ahli di bidang komputer. Mereka mengaku sulit beradaptasi secara sosial dengan lingkungan. Ada perbedaan besar antara menetap sementara dan menetap seterusnya. Di Indonesia mereka memiliki banyak teman dari berbagai kalangan, dan segudang sanak keluarga. Bukan itu saja. Bukan cuma orang, suasana, adat kebiasaan, budaya, makanan, atau apa saja yang khas. Masih banyak yang lain. Kesemuanya sudah tertanam di dalam diri mereka. Menjadi bagian dari mereka. Tak mungkin bisa dicabut atau dihilangkan begitu saja dengan memberi sesuatu yang baru.
Padahal kedua orangtuanya juga termasuk mereka yang dendam. Seperti Susan. Sonny itu bukan cuma kekasih Susan, tapi juga anak orangtuanya. "Tetapi yang jahat itu kan cuma sebagian kecil. Bukan semuanya." Demikian keyakinan mereka. Seperti keyakinannya sendiri juga. Bagaimanapun penderitaan dan sengsara yang dialami pada suatu ketika, masih ada jangka waktu lain yang jauh lebih panjang dan sangat manis untuk dikenang. Penderitaan itu mungkin kecil bila dibandingkan dengan derita etnis Albania di Kosovo, ketika mereka diteror dan dibantai
94 lalu terusir dari tanah air oleh kelompok etnis Serbia. Bahkan di Amerika sendiri yang warganya begitu heterogen masih saja dihantui oleh teror rasial. Di negara yang super ini hantu rasialis malah tak ubahnya seperti psikopat. Bila sedang sial, bisa saja dirinya yang jadi sasaran.
Kedua orangtuanya berkunjung pada bulan April 1998, sekitar sebulan sebelum pecahnya kerusuhan rasial di Jakarta. Pada saat itu pun Indonesia, terutama Jakarta sudah dilanda demonstrasi demi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa. Mereka mengajukan berbagai tuntutan. Puncak dari semua tuntutan adalah turunnya Soeharto dari kursi presiden. Tetapi di samping peristiwa demonstrasi itu, terjadi pula beberapa kerusuhan rasial di berbagai daerah meskipun dalam skala terbilang kecil. Maka ketika akhirnya kerusuhan meledak pula di Ibukota, sesuatu yang tak pernah terbayangkan bisa terjadi, ada rasa syukur bahwa orangtuanya tak perlu mengalami teror itu meskipun mereka harus kehilangan Sonny.
Sejak saat itu orangtuanya menetap bersamanya. Selama itu pula mereka tetap menjalin hubungan dengan sanak keluarga di Jakarta dan kota-kota lain. Kedua orangtuanya sama-sama berasal dari keluarga besar. Hubungan dijalin lewat e-mail. Mereka juga bisa memantau perkembangan lewat media televisi seperti CNN.
Lalu berdatangan berita menggembirakan. Setelah Soeharto turun, liong dan barongsai pun keluar dari kandang setelah puluhan tahun dikurung! Mereka menari-nari di jalan dengan gerakan seadanya karena
95 pelakunya adalah orang-orang yang baru belajar. Maklumlah, para penari profesional yang benar-benar menguasai tarian liong dan barongsai sudah pada uzur, bahkan sebagian sudah almarhum. Padahal seharusnya tarian itu dilakukan oleh orang-orang yang pintar kungfu d
an gerakan akrobatik. Bukan cuma sekadar meloncat-loncat. Tetapi tidak apalah. Pertunjukan itu bukan dinilai dari segi keseniannya, melainkan sebagai pembebasan dari kungkungan dan pengakuan atas hak dan martabat. Sangat mengharukan. Ibunya sampai menangis sesenggukan dan ayahnya berlinang air mata.
Masih ada lagi berita menggembirakan dan juga mengharukan. Sekarang mereka dipanggil dengan sebutan "orang Tionghoa" dan bukan lagi "orang Cina". Sudah begitu lama sebutan yang disebut belakangan itu mengakar, hingga generasi muda Tionghoa sendiri merasa kikuk dengan sebutan "baru" itu, dan generasi yang lebih tua perlu menjelaskannya. Dulu, setelah peristiwa G30S-PKI dengan terbunuhnya enam jenderal, disebutkan adanya keterlibatan atau campur tangannya Republik Rakyat Cina. Maka kemarahan ditimpakan kepada warga negara Indonesia keturunan Cina yang sebenarnya tidak tahu-menahu. Ketika itu seorang pejabat mempermaklumkan, bahwa mulai saat itu para warganegara keturunan Cina itu harus disebut sebagai "orang Cina". Suatu sebutan yang bila dilihat latar belakangnya sebenarnya mengandung penghinaan. Padahal selayaknya setiap warga negara Indonesia, tak peduli keturunan atau suku apa, haruslah disebut sebagai orang Indonesia. Sangatlah berbeda bila menyebut orang Jawa atau
96 orang Sunda karena sebutan itu cuma menandakan suku, bukan kebangsaan. Sedang definisi "orang Cina" mestinya adalah orang asing dari negeri Cina. Tetapi selama bertahun-tahun orang menjadi terbiasa. Kehidupan berjalan terus dan mau tak mau orang harus beradaptasi.
Berita menggembirakan itulah yang membuat suami-istri Lie, kedua orangtua Tom, menjadi gelisah seperti cacing kena abu. Mereka ingin pulang! Keinginan itu tak bisa ditahan lagi. Mereka pulang setelah kerabat di Jakarta mencarikan rumah untuk dikontrak, karena rumah yang semula mereka tempati di Pantai Nyiur Melambai sudah bukan milik mereka lagi.
Walaupun di atas kertas Tom sudah menjadi orang Amerika, tapi sebagian dirinya tetap merasa Indonesia. Ia tetap memiliki keterikatan batin dengan negara di mana ia dilahirkan dan dibesarkan. Kenangan dari masa itu memang paling membekas dalam diri seseorang. Tak mungkin hilang. Pada saat-saat itulah seseorang mulai terbentuk sebelum menjadi benar-benar matang secara emosional dan intelektual.
Jadi bukan karena kedua orangtua dan adiknya, Sonny, masih berada di Indonesia dan masih jadi orang Indonesia. Sonny memang berbeda. Misalnya dia tak mau bersekolah di Amerika mengikuti dirinya. Padahal dari segi kecerdasan adiknya itu tidak kalah. Mereka berdua mewarisi kecerdasan yang tinggi dari kedua orangtua mereka. Tetapi Sonny tidak mau menjadi ilmuwan. Dia ingin jadi pengusaha!
Dengan Susan ia pun menjalin komunikasi lewat
97 e-mail. Paling sering adalah hari-hari setelah tragedi itu terjadi. Mereka saling menghibur. Orangtuanya pun ikut dalam komunikasi itu. Bagi mereka, Susan sudah seperti anak sendiri. Sayang mereka tak bisa saling mengunjungi. Dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya, sedang Susan berusaha hemat dengan segala pengeluarannya karena dia harus mandiri. Tapi ia berjanji bila mendapat cuti ia akan mengunjungi Susan.
Belakangan Susan tak begitu rajin lagi mengirimi atau membalas e-mail-nya. Ia memaklumi kesibukan Susan. Apalagi belakangan orangtuanya memintanya datang ke Jakarta bila mendapat cuti. Itu berarti ia tak bisa memenuhi janjinya kepada Susan. Mungkin Susan pun sudah melupakan janji itu, pikirnya. Atau Susan sudah punya teman dekat baru"
Ayah dan ibunya menulis dengan penuh semangat. Kau harus melihat dan merasakan suasana baru di Indonesia, khususnya di Jakarta, kata ayahnya. Dan ibunya bercerita mengenai suami-istri Tan yang mempunyai tetangga baru di rumah miliknya dulu. Ada yang aneh dengan tetangga baru itu. Mereka pasangan suami-istri muda. Sang istri sedang hamil ketika menempati rumah itu. Tahukah kau apa nama yang diberikannya kepada si bayi setelah lahir" Namanya Jason! Kenapa tidak Sonny saja, ya"
Tetapi bukan cerita-cerita itu yang membangkitkan keinginannya untuk pergi ke Jakarta, melainkan semangat yang tergambar dari cerita
itu. Ia ingin menjenguk orangtuanya dan melihat semangat itu pada diri mereka. Mereka pasti lebih berbahagia daripada saat berada bersamanya. Bukan karena me98 reka merasa kesempitan tinggal bersamanya di apartemen kecil, tetapi karena mereka lebih merasa sebagai pengungsi!
Di Jakarta mereka bertandang ke sana kemari, mengunjungi kerabat dan kenalan. Mengobrol panjang-lebar, berbagi cerita dan melepas kerinduan. Mereka merasa bebas dan lepas, terbiasa dengan segala sesuatu. Sementara di New York hal-hal seperti itu tidak diperoleh. Tentunya ada perbedaan besar antara perasaan sebagai turis dan sebagai "pengungsi"!
Jadi menurut rencana ia akan ke Jakarta dalam waktu dekat. Mungkin awal bulan depan. Rencana itu sudah disampaikannya kepada Susan lewat e-mail. Apakah Susan mau ikut serta" Bila Susan mau, ia akan menjemputnya di Wellington, ibu kota Selandia Baru, kota tempat Susan tinggal. Mengenai ongkos perjalanan tak usah dipikirkan. Ia akan mengaturnya. Kerepotannya tidak jadi masalah bila dibandingkan dengan kebahagiaan orangtua Susan bisa bertemu dengan putrinya. Lagi pula ia belum pernah berkunjung ke Selandia Baru dan sangat ingin ke sana. Tetapi seperti diduganya, Susan menolak meskipun berterima kasih. Belum saatnya, Tom!
Tom tidak bisa memahami kekerasan hati Susan. Kepada siapakah sebenarnya dendam dan kemarahan Susan itu ditujukan" Kepada para perusuh atau negara" Logikanya, Sonny telah menjadi korban secara acak. Jadi bisa siapa saja, tergantung situasi. Apalagi bukan cuma Sonny yang menjadi korban, melainkan juga banyak orang lain. Apakah Susan akan bersikap seperti itu juga bila Sonny tidak apa-apa"
99 Tetapi ia menyimpan pertanyaan itu. Ia tidak sampai hati mengajukannya. Itu terlalu peka. Susan terlalu mencintai Sonny. Pasti itu sebabnya. Ia merasa sayang kalau orang secerdas Susan bisa keras kepala seperti itu. Sedalam apa pun cinta kepada orang yang sudah meninggal, seharusnya tidak sampai mengorbankan diri sendiri atau orang lain yang juga dicintai dan mencintai. Susan harus ingat juga kepada orangtua-nya.
Bagi Tom, cinta tak ubahnya sampah. Itu cuma emosi kepentingan. Dia sudah merasakan dan mengalaminya juga. Lalu mengubah cara pandangnya. Tentu dia masih seorang lelaki normal dengan ketertarikan yang wajar kepada lawan jenis. Tetapi dia tidak akan segampang dulu lagi untuk jatuh cinta. Pendeknya dia tidak akan "jatuh"!
Tom menyandang status duda cerai. Dalam usia menjelang empat puluh, karier mapan dan cemerlang sebagai ahli bedah di rumah sakit terkemuka negara super, cerdas, dan berwawasan, serta memiliki fisik yang sehat, tidak jelek, ia bisa memperoleh pasangan hidup baru dengan gampang. Tetapi ia sudah bertekad untuk tidak "jatuh" untuk kedua kalinya.
Cinta pertamanya adalah Vivian, gadis Tionghoa warga negara Indonesia yang juga bersekolah di Amerika. Mereka sudah berpacaran sejak ia masih menjadi mahasiswa di Columbia University. Vivian sendiri kuliah di sebuah perguruan yang tergolong "gurem" untuk mencari gelar MBA. Ketika itu gelar MBA dari luar negeri khususnya Amerika, tak peduli status perguruan tingginya, sedang populer di Indo100 nesia. Vivian disuruh orangtuanya yang kaya untuk memperoleh gelar itu demi gengsi. Hal itu diakuinya sendiri kepada Tom.
Mereka berkenalan dalam pertemuan yang dilakukan secara berkala antara para mahasiswa Indonesia di Amerika. Berada jauh dari negeri sendiri, mereka memang harus kompak bila ingin punya kekuatan. Selanjurnya perkenalan itu berkembang lebih jauh. Keduanya merasa cocok. Tak ada pula hambatan latar belakang, agama, maupun budaya. Orangtua kedua belah pihak sama-sama setuju. Maka setelah Tom lulus sebagai dokter, mereka menikah. Tom merasa berbahagia. Kehidupan telah dijalaninya dengan mulus. Apalagi setahun kemudian Vivian melahirkan. Mestinya ia tambah berbahagia. Tapi ternyata tidak demikian.
Syok berat dialaminya. Kengerian tak terhingga menerpanya. Bukan cuma dia yang mengalami seperti itu, tapi juga orangtuanya dan orangtua Vivian yang ikut mendampingi Vivian saat melahirkan. Bagi mereka si bayi adalah cucu pertama, jadi ditunggu kehadi
rannya dengan penuh perhatian dan ketegangan. Tapi yang didapat bukanlah klimaks menyenangkan dari penantian panjang. Perasaan mencekam muncul. Tidak disebabkan karena si bayi berwujud monster. Sebaliknya, bayi itu sangat cantik dengan fisik yang sehat sempurna. Tapi dia berkulit putih, berambut lebat dan pirang! Tiga hari kemudian matanya yang semula terpejam terbuka lebar. Tampak indah sekali, besar dan berwarna biru! Sebegitu cantiknya bayi itu hingga dia menangis tersedu-sedu. Untuk pertama kali dalam hidupnya.
101 Ternyata kehidupannya tidaklah mulus. Ada juga kerikil tajamnya. Ada juga jatuhnya.
Ia tidak bisa memaafkan pengkhianatan. Apalagi ia menganggap Vivian curang dengan sikap spekulatifnya. Untung-untungan dengan kehamilannya. Mudah-mudahan si bayi berwajah Asia. Tapi kalau tidak, ya sudah risiko. Jadi ia merasa dipermainkan.
Tom tidak pernah tahu atau diberitahu siapa lelaki yang menjadi ayah anak itu. Vivian membiarkannya menduga-duga sendiri, berprasangka dalam kemarahan. Apakah lelaki itu salah satu dari teman-temannya yang suka datang berkunjung ke apartemen mereka" Ataukah dia teman Vivian yang tidak dikenalnya" Vivian tutup mulut.
Yang pasti ayah si bayi berkulit putih, berambut pirang, dan bermata biru. Apakah itu John Rowe, Danny Martin, atau Peter Rogers" Tapi, di samping ketiga orang itu, yang punya ciri fisik sama, tentunya masih ada teman-teman Viv sendiri. Jadi, yang mana"
Anak itu menyandang namanya. Deborah Lee. Panggilannya Debbie. Kelak dia akan menjadi gadis yang cantik. Tom yakin akan hal itu. Di Indonesia gadis Indo yang cantik laris sebagai fotomodel atau bintang film. Tom berharap tidak akan bertemu lagi dengannya. Mungkin Vivian sendiri punya harapan yang sama. Apakah kelak Debbie akan menanyakan perihal ayahnya" Atau menyatakan kerinduan untuk bertemu" Bila suatu saat nasib mempertemukan mereka, pasti Viv tidak akan mengenalkan dirinya sebagai si ayah. Entah kapan Viv akan berterus terang. Bila tidak kepadanya, tentu kepada Debbie. Viv punya tanggung jawab itu.
102 Tetapi seiring berjalannya waktu, lima tahun kemudian, ia tidak peduli lagi. Yang tersisa dan mengendap mungkin cuma sekadar rasa ingin tahu saja.
*** Rumah sakit itu bernama Columbia Presbyterian Medical Center, salah satu dari rumah sakit yang tertua, terbesar dan terbaik di Amerika. Luasnya lebih dari sembilan hektar, berdiri di sepanjang tepian Sungai Hudson. Di situ bekerja ribuan dokter, paramedis, dan karyawan dalam berbagai bidang. Mereka melayani puluhan ribu pasien. Masih ada lagi para mahasiswa kedokteran dari Columbia University. Sebuah institusi yang luar biasa dan membuat Tom takjub. Di situ dia tidak perlu merasa minder karena di tempat itu bercampur baur berbagai ras dan warna kulit, baik yang sehat maupun yang sakit. Setiap hari terdengar bahasa Inggris dalam berbagai aksen. Yang penting bisa dipahami dan memahami. Pendeknya, Tom tidak pernah merasa dirinya minoritas bila berada di dalamnya. Tetapi bukan cuma segi kebesaran itu yang membuatnya takjub. Ada sesuatu yang lain yang membuatnya amat terkesan.
Di atas pintu masuk, terukir pada lapisan semen, kata-kata sebagai berikut, "For the Poor of New York without Regard to Race, Creed, or Color." Kata-kata itu jelas mengungkapkan prinsip fundamental rumah sakit tersebut, yaitu bertujuan menolong kaum miskin di New York tanpa memandang ras, kepercayaan, atau warna kulit.
103 Pada kenyataannya memang demikian. Banyak kaum gelandangan yang berpura-pura sakit, terkapar di jalanan supaya diangkut polisi ke sana, tempat mereka bisa mendapat makanan, tempat berteduh yang nyaman dan perlakuan yang ramah. Tak ada orang sakit yang ditolak karena dia tak bisa membayar uang muka atau tak punya asuransi. Betapapun dekil dan kumuh penampilannya, dia tetap ditolong dan diperlakukan sama seperti halnya yang berpenampilan mewah.
Di sana ada rasa kemanusiaan yang tinggi.
Tetapi tak selamanya Tom mendapat perlakuan yang wajar. Dalam perjalanan kariernya, sebelum atau sesudah menjadi dokter, beberapa kali ia menerima perlakuan rasialis. Bukan dari sesama mahasiswa atau rekan sek
erja, melainkan dari pasien berkulit putih. Yang paling sering adalah sikap memandang rendah. Tak perlu dengan kata-kata, melainkan cukup jelas dari tatapan mata. Oh, jadi dia itu dokter" Bukan paramedis atau bagian kebersihan"
Pada awalnya memang terasa menyakitkan. Tetapi ia menyadari, bahwa yang mengalami hal itu bukan cuma dirinya, melainkan juga rekan-rekannya sesama ras bukan kulit putih. Jadi banyak teman senasib. Dan mereka suka berkumpul secara berkala membicarakan hal itu. Masing-masing menceritakan pengalamannya. Ternyata rasanya meringankan. Bahkan mereka bisa menertawakan dan membuatnya sebagai lelucon. Kasihan orang-orang rasialis itu. Apa bagusnya putih di luar tapi hitam di dalam"
Pengalaman cukup ekstrem adalah penolakan orang yang sedang sekarat. Pernah seorang pasien lelaki
104 bertubuh besar tambun dengan kulit putih pucat bagai tak pernah kena sinar matahari didorong masuk ruang emergency sebagai korban kecelakaan lalu lintas. Perdarahannya serius hingga kulitnya menjadi super pucat.
Ketika itu Tom sedang bertugas di sana. Bersama perawat dia cepat mendekati untuk memberikan pertolongan. Anehnya, pasien gembrot yang sudah lemah itu masih bisa marah-marah. "Nooo! No Chinese!" teriaknya. Tom sadar dengan siapa ia berhadapan. Ia tak bisa memaksa.
Perawat mencari dokter lain. Di ruangan yang sibuk itu ia menemukan Ronald Brown. Tetapi begitu melihat Ronald pasien itu berteriak lagi, "Nooo! No Nigger! No Nigger!" Ronald mundur. Ia berkulit hitam.
"Tapi, Sir," kata perawat bingung, "dokter lain sibuk. Anda perlu cepat ditolong."
"Nooo! No Chinese! No Nigger! I want white doctor! White! Do you hear me"" teriak pasien gembrot keras kepala. Tapi suaranya tambah lemah.
"Darah Anda banyak sekali keluar, Sir," kata Ronald dengan sinis. "Anda seperti karung kempes."
Pasien itu kolaps. Entah dia mendengar atau tidak. Baru saat itu Tom dan Ronald bisa menolongnya tanpa tentangan. Pasien itu berhasil diselamatkan. Mereka berdua tak pernah bertemu lagi dengannya karena dia dipindahkan ke ruangan lain. Tetapi mereka tidak sakit hati. Mereka justru menertawakan. Ada lelucon baru.
*** 105 Tom sedang makan siang sendirian di kantin. Ia bukannya tak mau bergabung dengan rekan lain. Ruang itu cukup penuh. Tetapi ia memang ingin sendirian. Ada yang ingin direnungkannya sambil makan. Semalam ia membaca e-mail dari Susan.
"Aku mendapat surat panjang dari Mama, Tom. Dan juga e-mail dari Tante, ibumu. Jadi Tante dan Oom sudah kembali ke Jakarta. Katanya mereka sudah bertemu dengan Mama dan Papa dan melepas kangen. Waktu Mama menulis surat pertemuan itu belum terjadi. Mungkin Tante atau Oom sudah mengirimimu e-mail untuk menceritakan hal itu, ya. Apakah mereka cerita juga tentang tetangga baru Mama yang menempati rumah kalian dulu" Ada yang aneh pada mereka itu. Pasti kau sudah tahu dari Tante, ya" Aku tak perlu cerita lagi. Tapi Mama menambahkan hal yang penting di bawah suratnya. Mengenai pertemuannya dengan Pak Harun, dulu satpam di sana. Mungkin Tante nggak tahu karena nggak diceritai. Mama cuma bercerita padaku. Itu pun dengan pesan supaya aku jangan ngomong dengan orang lain. Juga dengan Papa. Karena Papa bilang, soal itu nggak perlu disampaikan padaku. Maksudnya baik. Supaya aku jangan lagi mikir yang bukan-bukan. Tapi aku juga mikir wajar saja. Kata Pak Harun..."
Tom terkejut oleh tepukan di bahunya. Seorang rekan menyapa sambil lewat. Ia menyahut sapaan itu dengan ramah. Dan merasa senang karena rekan tadi terus pergi. ia bisa melanjutkan renungannya tentang surat Susan.
106 *** "...jadi aku mau minta tolong, Tom. Bila kau sudah berada di Jakarta, temuilah Pak Harun dan bicara lebih serius dengannya. Minta dia merenungkan lagi, betulkah orang yang dilihatnya keluar itu Sonny" Ada ciri-ciri yang diingatnya" Tinggi badan, postur, atau apa saja. Mama punya teori mengejutkan. Tapi dia minta aku tidak berpikir yang muluk-muluk. Tentu saja nggak. Sekarang dan dulu kan lain. Oh ya, kau tentunya belum kenal sama Pak Harun. Mintalah alamatnya sama Mama.
Satu hal lagi, Tom. Carilah alasan supaya bisa mengunjungi tetangga baru Mam
a itu. Kenapa mereka berlaku aneh" Terutama sang istri, Kristin namanya. Kenapa anaknya diberinya nama Jason" Kok sama-sama ada kata 'Son' di situ. Padahal sebelumnya ia sudah menyiapkan selusin nama yang lain. Kebetulan"
Tolong ya, Tom. Terima kasih banyak. Dari adikmu, Susan."
Tom tersenyum. Susan selalu menganggapnya sebagai kakak.
"Hei, kok senyum sendirian!"
Tom mengangkat kepala, melihat tubuh jangkung berdiri di depannya. Lalu tampak wajah Ronald Brown yang hitam tersenyum ceria. Tangannya memegang baki tempat makan siang. Tom tersenyum, menunjuk kursi di depannya. "Biasa, Ron! Lagi melamun!" katanya.
"Siapa yang kaupikirkan"" tanya Ronald simpati.
107 "Aku sedang mengatur rencana. Apa saja yang mau kukerjakan di Jakarta nanti."
"Sudah aman di sana"" tanya Ronald sambil mengunyah.
"Oh, sudah." "Apakah kau berencana menemui dia""
"Dia"" "Viv." Tom tertegun sejenak. Dia tak menyangka Ron bertanya begitu. Selama ini nama Vivian tak pernah disebut. "Kenapa kautanyakan itu"" tanyanya.
Ron memandang selidik. "Kuharap tidak menyinggung perasaanmu, Tom," katanya hati-hati. "Sori, ya. Tak usahlah dijawab kalau kau tak mau."
"Oh, tidak apa-apa, Ron. Terus terang aku sama sekali tidak berpikir ke sana. Ingat dia pun tidak. Tentu saja aku tidak punya rencana menemuinya. Kami tak pernah berhubungan lagi, Ron."
Ronald mengangguk-angguk. "Jadi kau sudah bisa melupakan hal itu. Senang kau sudah sembuh."
Giliran Tom mengamati Ron dengan selidik. Sepertinya bukan tanpa alasan Ron menyinggung soal itu lagi.
"Ya. Sebenarnya memang ada sesuatu, Tom," Ron mengakui.
Tom mengerutkan kening. Kalau saja si Ron ini berkulit putih, berambut pirang, dan bermata biru, pastilah dia yang menjadi ayah Debbie. "Ayolah, Ron. Katakan saja."
Ron meneguk minumannya. "Begini, Tom. Viv mengirimiku e-mail. Dia ingin bertemu denganmu. Ingin bicara, katanya. Jadi kalau kau ke Jakarta..."
108 "Bagaimana dia tahu aku mau ke Jakarta"" potong Tom.
"Sebenarnya sudah beberapa bulan belakangan aku dan Viv menjalin hubungan e-mail. Dia duluan yang mengirim. Aku yang bilang kau mau cuti ke Jakarta tak lama lagi. Boleh, kan""
"Boleh-boleh saja, Ron. Tapi... dia yang bertanya atau kau yang bercerita""
"Dia yang bertanya. Dia selalu ingin tahu tentang dirimu. Apa kau baik-baik saja. Sudah punya pasangan baru atau belum."
"Oh!" Ron mengamati wajah Tom. "Cuma oh"" tanyanya tidak puas.
"Lantas aku mesti bilang apa, Ron" Semuanya sudah berakhir."
"Tidak ada lagi yang tersisa"" "Tidak."
Ron menarik napas. "Tapi tak ada salahnya kau menemuinya."
"Apakah itu penting, Ron""
"Kalau tidak penting tentu dia tidak berpesan begitu kepadaku."
"Kau pasti tahu. Kau tentu ingin tahu. Tidak kautanyakan""
"Ingin sih menanyakan, tapi aku harus tahu diri. Itu urusan pribadi."
"Kok dia minta tolong sama kamu""
"Dia kan tahu hubungan kita cukup akrab."
"Jadi kau tidak tahu apa yang dia kehendaki dariku""
"Ayolah. Jangan cerewet."
109 "Aneh juga. Setelah lima tahun..." "Oh, sudah lima tahun, ya"" potong Ron. "Cepat sekali waktu berlalu." "Kau punya saran, Ron""
"Menurutku, tak ada salahnya kautemui dia. Kan dia cuma mau bicara."
"Bicara itu berarti ada sesuatu yang dia kehendaki. Kalau cuma say hello kenapa dia tidak kirimi aku e-mail saja""
"Ya terserah kau. Aku cuma memberi saran."
"Baik kalau begitu. Aku akan temui dia."
Ron tersenyum. "Kalau begitu dia akan kuberitahu. Kapan tepatnya kau mau berangkat""
Tom terkejut oleh antusiasme Ron. "Ah, tak usahlah diberitahu, Ron. Setibanya di Jakarta aku akan telepon dia dulu."
"Bukankah kau tidak tahu di mana dia tinggal dan berapa nomor teleponnya""
Tom tertegun. "Dia sudah pindah""
Ron merogoh sakunya, lalu mengeluarkan secarik kertas. "Ini alamat baru dan nomor teleponnya."
Tom mengamati sekilas lalu memasukkan kertas itu ke dalam sakunya.
"Kalau kau menghilangkannya, kau bisa tanya lagi padaku." Ron tersenyum.
Lama setelah itu Tom masih saja bertanya-tanya sejauh mana sebenarnya hubungan Ron dengan Vivian. Apakah Ron cuma sekadar perantara" Ia terpaksa mengingat kembali masa lalu.
Meskipun Viv sudah mengantungi ijazah MBA, tapi setelah menika
h ia tidak berminat untuk bekerja.
110 Tom memang tidak menganjurkan karena gajinya lebih dari cukup untuk hidup mereka. Ia sudah terbiasa dengan kehidupan yang sederhana meskipun tinggal di kota besar yang menawarkan segala jenis hiburan mahal. Ia justru merasa senang bila pulang kerja disambut istri dan ia tidak perlu lagi mengerjakan segala urusan rumah tangga seperti dulu ketika masih bujangan. Ia cuma khawatir kalau-kalau Viv kesal sendirian di rumah tanpa kesibukan. Tapi Viv mengatakan ia lebih suka begitu karena bisa bebas mengerjakan apa saja yang dikehendakinya. Bisa nonton teve, baca buku, atau jalan-jalan.
Viv senang bersosialisasi. Dengan cepat ia bisa bergaul akrab dengan semua teman Tom. Bila pada awalnya mereka agak segan berkunjung dan main ke tempatnya karena khawatir Viv tidak suka, lama-kelamaan mereka kembali lagi pada kebiasaan lama ketika Tom masih bujangan. Mereka bukan saja tidak canggung dengan kehadiran Viv, tapi malah jadi tambah bersemangat. Hal itu membuat Viv tidak kesepian bila lama ditinggalkan sendiri. Teman Tom adalah teman Viv juga.
Itulah salah satu sebab kenapa kemudian Tom mencurigai salah satu di antara teman-temannya yang kulit putih telah menjalin hubungan intim dengan Viv. Ada tiga orang yang paling memenuhi syarat, yaitu Danny Martin, John Rowe, dan Peter Rogers. Masih ada lagi yang kurang begitu memenuhi syarat, yaitu dua-tiga orang, yang biarpun berkulit putih tapi tidak berambut pirang atau bermata biru, tapi tidak tertutup kemungkinan mereka jadi tersangka. Bisa jadi orangtua atau kakek-neneknya yang
111 berambut pirang dan bermata biru yang mewariskan ciri itu kepada Debbie. Teman-temannya itu punya kesempatan menyelinap masuk ke apartemennya pada saat ia tak ada karena tahu betul kapan, saja jam kerjanya, misalnya saat ia dinas malam. Lagi pula mereka semua tinggal di kompleks bangunan apartemen yang sama, yang memang dikhususkan bagi mereka yang punya hubungan dengan rumah sakit Columbia Presbyterian.
Tetapi ia tidak bisa menanyai mereka satu per satu. Siapa di antara kalian yang pernah bercinta dengan Viv" Alangkah konyolnya. Menanyai bisa berarti menuduh. Bahkan memelototi saja punya makna sama. Toh mereka punya naluri dicurigai. Lalu menjaga jarak biarpun tetap dekat. Mereka seperti sepakat berbuat begitu. Hati-hati menjaga sikap meskipun tetap simpatik dan bersahabat. Karena kesamaan sikap itulah ia jadi tambah sulit mendeteksi. Mustahil juga mengharapkan satu per satu dari mereka mengatakan kepadanya, "I didn't do it!" Seharusnya Viv yang mengatakan.
Sebelumnya ia tidak pernah punya prasangka buruk. Ia percaya sepenuhnya kepada Viv dan teman-temannya. Ia percaya, teman-temannya bukan jenis orang yang tega mengkhianati teman sendiri. Mereka justru sayang dan melindungi Viv. Lagi pula Viv sendiri mencintainya dan mereka masih dalam masa mesra bulan madu. Mustahil ada yang namanya perselingkuhan. Tom menganggap, pasangan suami-istri yang suka berselingkuh adalah mereka yang sudah lama kawin dan karenanya menjadi bosan satu sama lain.
112 Di Amerika, perilaku seks itu bebas sepanjang mau sama mau dan sudah cukup umur. Tetapi sebebas-bebasnya, pasti ada batasan juga. Kalau tak ada, maka tak ubahnya hewan. Batasan itu terletak pada hati nurani. Tegakah mereka mengkhianatinya" Kalau mereka melakukannya, berarti mereka tega. Mereka tak menghormatinya atau mereka menganggapnya tak punya harga diri. Itu yang paling menyakitkan.
Setelah Viv pulang dari rumah sakit, ibu Viv masih menemani. Ayahnya menginap di hotel. Orangtuanya sendiri sudah pulang ke Jakarta setelah memberinya petuah ketabahan dan tahan diri, juga memintanya berjanji untuk tidak bertindak sembarangan, seperti mengamuk tanpa kendali hingga mencederai Viv dan bayinya. Ia memberikan janjinya. Puncak emosi sudah berlalu. Tapi ia lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sakit. Ia tidur di ruang istirahat dokter atau menginap di apartemen teman yang mau ditumpanginya, lalu bekerja lagi. Ia hanya pulang kalau harus mengambil baju atau ada keperluan lain. Ia tahu orangtua Viv belum mau pulang karena khawatir putrinya d
iapa-apakan olehnya. Mereka sangat malu dan marah besar kepada Viv, tapi melindunginya dari kemungkinan diamuk suami yang dendam.
Akhirnya mereka bermusyawarah karena sadar hal itu tak bisa dibiarkan berlarut-larut. Kesepakatan dicapai. Jelas sulit sekali baginya untuk serumah dengan si bayi, yang akan terus mengingatkannya pada perselingkuhan Viv. Padahal bayi itu tak bersalah. Maka Viv ikut dengan kedua orangtuanya pulang ke
113 Jakarta dengan membawa bayinya. Maksudnya untuk sementara. Biar suasana mendingin kalau kalau ada pemikiran lain. Tapi yang maksudnya sementara itu jadi keterusan. Mereka bercerai.
Karena itulah ia tidak punya waktu dan kesempatan untuk mendesak Viv supaya berterus terang siapa sebenarnya kekasih gelapnya. Pada saat itu Viv selalu dikawal oleh ibunya. Tak ada pengakuan dari Viv. Mungkin Viv juga ingin melindungi kekasihnya dari amukannya. Yang satu ingin melindungi yang lain. Pastilah dia menakutkan sekali. Seperti menyimpan bom amarah yang siap meledak. Kemudian ledakannya akan menghancurkan Viv, pacarnya, dan bayi mereka. Terpikirkah oleh mereka bahwa ledakan itu, andaikan bomnya memang ada, mungkin cuma akan menghancurkan dirinya sendiri"
Untunglah dia masih punya teman yang memperhatikan, yang tidak cuma merasa iba dan memberi simpati. Merekalah yang memberinya kekuatan dan tak bosan-bosan menyadarkannya bahwa dia tidak sendirian. Masih ada teman yang tidak cuma bisa diajak hura-hura. Dan mungkin juga lingkungan kerjanya ikut membantu pemulihan dirinya. Di sana banyak orang yang mendambakan hidup dan berjuang untuk hidup. Mustahil dia merusak diri sendiri bila profesinya adalah memulihkan orang lain dari kerusakan. Dia menghargai hidup orang lain dan juga hidupnya sendiri.
Kalimat terakhir yang diucapkan Viv ketika mereka berpisah hanyalah, "I'm' sorry!" Tak ada ucapan, "Forgive me!" atau "Maafkan aku!"
114 Yang melakukannya justru mertuanya. "Maafkan Viv ya, Tom"" kata ibu mertuanya berulang kali sambil menangis. Perempuan yang biasanya tampil arogan itu tampak luluh oleh kesedihannya. Tetapi Tom tidak menjawab permintaan itu. Mana mungkin minta maaf itu diwakilkan"
Ia pernah mencecar Ron dan teman-teman lain, yang bukan kulit putih, kalau-kalau mereka tahu siapa lelaki itu. Bila dia tak tahu karena tak sempat melihat, tentu ada di antara mereka yang kebetulan melihat. Mungkin ada yang secara tak sengaja menangkap tatapan atau sentuhan mesra. Tetapi mereka semua tidak tahu!
"Aku pikir, kau sebenarnya tahu, Ron," kata Tom pada pertemuan berikutnya dengan Ronald Brown.
"Tahu apa""
"Siapa ayah Debbie""
"Oh itu. Katanya sudah tak peduli lagi."
"Tak peduli bukan berarti tak ingin tahu. Kau yang membangkitkan keingintahuanku."
"Jadi selama ini sebenarnya kau menyimpan keingintahuanmu itu di sini." Ron menunjuk kepalanya.
"Kalau sudah tahu, aku jadi punya bahan untuk menghadapinya."
"Kautanyakan sendiri kepadanya. Mungkin itu yang mau dia katakan."
"Kenapa dia harus menunggu begitu lama" Ayolah, Ron. Katakan siapa dia."
"Aku sungguh tidak tahu, Tom. Swear!" Ron mengangkat jarinya.
115 Tom sadar, tak bisa memaksa. Ron tampak tulus. Ia tidak ingin menyudutkan seorang sahabat.
Sore itu Tom berjalan pulang sendirian menuju apartemennya yang jaraknya cuma beberapa ratus meter. Kadang-kadang ia jalan bersama teman yang kebetulan pulang bersamaan dan tinggal di kompleks apartemen yang sama. Ron juga tinggal di sana. Apartemen itu memang khusus dihuni oleh mereka yang berkepentingan dengan Presbyterian Hospital. Bukan cuma para dokter, tapi juga karyawan lain dan mahasiswa.
Dulu ketika akan menikahi Vivian, ia ragu-ragu apakah Viv bisa betah tinggal bersamanya di situ. Sebenarnya suasananya cukup menyenangkan. Cukup nyaman dan tenang. Cuma yang terasa mengganggu adalah bunyi sirene ambulans yang tidak kenal waktu. Bunyi yang maknanya sama. Ada manusia menghadapi maut. Tetapi Viv mengatakan tak ada masalah. Ia akan dan bisa beradaptasi. Padahal jika Viv keberatan ia bersedia mencari tempat tinggal yang agak jauh, di mana hiruk-pikuk kegiatan rumah sakit tak terasa dan tak terdengar. Tetapi Viv tegas denga
n tekadnya. "Nanti sajalah, Tom. Kucoba dulu, ya" Kalau benar-benar tidak betah, aku bilang terus terang!"
Ia mengagumi kemampuan Viv beradaptasi. Ia tahu teman-temannya juga punya andil untuk membuat Viv merasa betah. Mereka berusaha menyenangkan Viv dan menyertakannya dalam kelompok mereka. Viv adalah salah satu dari mereka. Suatu keuntungan untuk dirinya sendiri. Dengan demikian ia
116 tidak perlu mengubah kebiasaan dan rutinitas hidupnya. Tapi siapa sangka bahwa yang dianggap sebagai keuntungan itu bisa jadi malapetaka!
Ia menghirup udara segar dari taman rimbun yang dilewatinya. Taman itu dipelihara baik. Di musim panas seperti saat itu bunga-bunga bermekaran indah sekali dan menjadi kebanggaan Joe si tukang kebun. Hidung Joe selalu kembang-kempis bila ada yang memuji. Dia memang bekerja dengan penuh dedikasi. Para dokter berurusan dengan manusia. Aku dengan tanaman, katanya. Jadi aku dokter juga. Dokter tanaman!
Ketika hatinya masih sakit karena ulah Viv, Tom banyak menghabiskan waktunya di situ. Bahkan di musim dingin pun dia berkerebong dengan mantel tebalnya yang berpenutup kepala. Lalu diseret paksa oleh teman-temannya. Kalau tidak, tentu dia akan menjadi patung beku yang duduk di bangku taman.
Tetapi kecenderungannya menelantarkan diri itu tidak berlaku sama kepada para pasiennya. Ia tetap teliti dan cermat. Tidak melakukan kesalahan sedikit, pun. Padahal banyak rekannya yang khawatir kalau-kalau emosinya bisa mempengaruhi kecermatannya. Seluruh departemen bedah sudah mengetahui kisahnya. Direkturnya memintanya cuti sambil menjalani terapi kejiwaan. Tapi ia menolak. Justru dalam keadaan seperti itu ia harus mengisi waktunya dengan bekerja. Konsentrasinya menajam dan empatinya kepada pasien lebih mendalam. Dengan cara demikian ia bisa melupakan kepailitannya
Tahun demi tahun berlalu, ia berangsur menjadi "normal" kembali. Ia tidak lagi memelototi teman117
Ketika Barongsai Menari Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
temannya yang kulit putih. Ia sudah pasrah. Gaya hidupnya sudah kembali seperti dulu. Mereka yang semula menghindarinya karena takut dicurigai atau ditanyai mendekat kembali. Kehidupan memang harus berjalan.
Apartemennya berada di lantai tujuh, memiliki dua kamar. Ketika masih bujangan, ia menempati lantai dasar yang ruangannya lebih kecil dengan hanya satu kamar. Ia memang tidak memerlukan kamar ekstra. Bila sekali waktu ibu atau ayahnya datang berkunjung, ia bisa tidur di sofa. Sejak masih mahasiswa ia di situ. Setelah menikah ia harus pindah ke tempat yang lebih luas. Tapi sekarang ia belum berpikir untuk pindah lagi. Ia sudah terbiasa dengan ruangan yang lebih luas.
Ia tidak menggunakan lift melainkan tangga. Ia bisa sekalian berolahraga. Itu sehat untuk jantung, walaupun cukup melelahkan. Napasnya sudah bertambah cepat ketika akhirnya ia mencapai lantai tujuh. Tetapi kemudian langkahnya terhenti dengan mendadak. Matanya membelalak kalau kalau salah lihat.
Seorang perempuan muda sedang duduk di lantai di depan pintu apartemennya dengan beralaskan trav-elling bag di pantatnya. Ia bersandar ke dinding dan sedang asyik membaca buku dengan mulut komat-kamit. Rambutnya panjang mencapai punggung, diikat satu dengan jepitan. Kulitnya kekuningan. Hidungnya kecil mancung. Cantik. Dia Susan!
Tom memekik senang. "Hai! Suuus!" panggilnya. Benar-benar kejutan yang luar biasa.
118 Susan melompat bangun. Tubuhnya tampak ringan. Dia lumayan jangkung. Semampai dibalut T-shirt dan celana jins. Sekitar seratus tujuh puluh. Tom lebih tinggi sepuluh senti.
Mereka berpelukan. Lalu saling mencium pipi. Setelah kematian Sonny dan perceraian Tom, mereka jadi lebih dekat meskipun cuma sebatas kakak dan adik. Keduanya merasa patut memberikan perhatian satu sama lain sebagai orang-orang yang sama-sama mengalami musibah.
"Sudah lama kau di sini, Sus""
"Ada sejam, Tom."
"Kenapa tak meneleponku di rumah sakit" Kenapa tak memberi kabar kalau mau ke sini" Aduh, kasihan sekali kau. Sampai sejam menungguku."
Tom mengeluarkan kunci, membuka pintu, lalu mengajak Susan masuk. Ia membawakan tas Susan yang gembung.
"Aku tak mau menyusahkan kau, Tom. Menunggu di sini kan sama saja. Di sana juga
menunggu. Bagaimana kalau ke sana tahu-tahu kau sudah pulang" Kalau nunggu di sini kan sudah pasti," sahut Susan sambil melangkah masuk. Ia memandang berkeliling sementara Tom terus masuk dan meletakkan tasnya.
"Wow! Enak ya apartemenmu" Punyaku cuma setengahnya," kata Susan.
"Punyaku yang dulu juga kecil, Sus. Kau pernah ke situ, kan" Begitulah kalau bujangan. Tapi sekarang ada untungnya aku mempertahankan yang ini. Ada ruang buatmu. Eh, kau menginap, kan" Kamarnya dua kok."
119 "Ya, Tom. Tapi cuma semalam saja."
"Berapa malam juga tidak masalah."
Susan menuju jendela lalu membukanya. Mulutnya terbuka. Kagum. Ia melihat pemandangan Sungai Hudson dan jauh di sana jembatan George Washington. Tampak sorot lampu kendaraan berderet memanjang sepanjang jembatan. "Wow! Hebat sekali, Tom!" serunya.
Tom mendekat di belakangnya lalu menyodorkan minuman kaleng. Root Beer. Mereka bersama-sama duduk di sofa sambil menyeruput minuman masing-masing.
"Ceritakan, Sus. Pasti ada tujuannya ke sini. Bukan sekadar kunjungan sosial, kan" Biar kutebak. Kau memutuskan jadi ikut denganku ke Jakarta, kan"" kata Tom bersemangat. Ia membayangkan betapa gembiranya ibu Susan bisa bertemu dengan putrinya ini.
"Ah, bukan begitu, Tom. Aku ditugasi bosku ke New Jersey. Aku tak sempat mengabarimu lebih dulu. Besok aku ke sana. Sekarang sekalian mampir di sini."
"New Jersey"" Tom heran. "Ada apa di sana" Tugas apa""
"Ada yang mesti kuliput." Susan tertawa melihat wajah Tom mengerut keheranan. "Ah ya, aku memang belum cerita. Aku sudah kerja jadi wartawan, Tom!"
"Wah, selamat dong! Kau benar-benar sudah mandiri, Sus. Akan kuceritakan kepada ibumu."
"Oh ya!" Susan melompat. "Aku titip barang untuk Mama. Dan Papa juga." Ia mengeluarkan
120 sebuah bungkusan berwarna cokelat lalu meletakkannya di atas meja.
"Ya. Nanti kusampaikan. Mereka pasti senang sekali. Sayang cuma titipan. Bukan orangnya sekalian."
"Ah, sudahlah, Tom. Nanti juga tiba saatnya." "Oke. Ngomong-ngomong, kau sudah jadi warga negara Selandia Baru"" "Belum." "Akan jadi""
"Ya." Susan tampak segan membicarakan soal itu. Dia kelihatan lelah.
"Istirahat dulu, Sus. Itu kamarmu." Tom menunjuk. "Mau mandi""
"Ya. Supaya segar." Susan bangkit, mengambil tasnya, lalu menuju kamar yang ditunjuk.
Tom mengamati Susan dari tempat duduknya. Masih terpesona. Serasa mimpi bisa bertemu dengan Susan. Gadis itu tampak jauh berbeda dibanding saat terakhir ia melihatnya. Ketika itu Susan datang mengunjunginya bersama Sonny. Dulu gadis itu lembut dan manja. Suaranya pun halus dan kadang-kadang ada nada rengekan dalam pembicaraannya. Sekarang semua sudah berubah jadi kebalikannya. Kalau saja Sonny bisa melihatnya sekarang. Ia sendiri lebih menyukai Susan yang sekarang dibanding yang dulu, meskipun baru melihat sebentar.
"Nanti kita makan malam di luar ya, Sus!" teriaknya.
"Memangnya kau tidak punya bahan makanan"" Susan berteriak juga dari dalam kamar yang tampak terbuka pintunya.
121 "Ah, ngapain repot-repot. Kita sekalian jalan-jalan!" "Oke!"
Tom masih saja duduk dengan kaleng minuman di tangannya. Tiba-tiba ia baru menyadari sesuatu.
Susan keluar lagi dengan handuk tersampir di pundak dan sudah berganti pakaian dengan daster. "Aku mandi dulu, Tom," katanya. Kemudian ia berhenti dan memandang Tom. "Kau kelihatan aneh. Masih merasa surprise""
"Tidakkah kau menyadari sesuatu, Sus"" tanya Tom sambil menatap Susan.
"Sesuatu apa"" Susan keheranan. Ia mengamati diri sendiri sejenak kalau-kalau ada yang tak beres.
"Sejak bertemu tadi kita langsung bicara bahasa Indonesia. Bukan bahasa Inggris yang jadi bahasa kita sehari-hari," Tom menjelaskan.
Susan tertegun. Tak menyangka. "Apakah itu aneh" Wajar saja, kan" Bila dua orang yang berasal dari negara yang sama bertemu di negeri asing, maka dia akan berdialog dengan bahasa ibu."
"Tapi kita tidak asing lagi di sini."
Susan geleng-geleng kepala. "Ah, sudahlah. Itu cuma spontanitas. Kalau kau menganggapnya aneh, kita ngomong Inggris saja, ya""
"Jangan, Sus. Aku cuma mikir betapa asal-usul itu sangat kuat mengakar dalam diri seseorang."
Susan mengerutkan kening. "Apakah kau meny
esal pindah warga negara""
"Oh, tentu saja tidak. Aku cuma bingung perihal istilah. Di Indonesia kita disebut sebagai orang Indonesia keturunan Cina. Lalu di sini aku disebut sebagai
122 orang Amerika keturunan apa" Keturunan Indonesia" Mana bisa begitu kalau di Indonesia kita disebut sebagai keturunan Cina. Tapi kalau disebut sebagai Amerika keturunan Cina juga tidak tepat karena aku jelas tidak sama dengan Felix Wong misalnya, yang benar-benar keturunan Cina karena lahir dan besar di Taiwan."
"Itu gampang. Sebut saja dirimu sebagai orang Amerika asal Indonesia," kata Susan cuek. "Begitu""
"Ya. Jangan terlalu rumitlah, Tom. Pusing. Aku sudah benci dan bosan dengan istilah seperti itu. Koran-koran di Indonesia saja bingung menyebut kita. Bila mereka senang dan bangga, mereka tidak menyinggung soal keturunan. Tapi kalau benci mereka menyebut si warga keturunan, atau nonpri, atau si kulit kuning dan mata sipit!" kata Susan dengan nada emosi.
Tom merasa telah menyentuh bagian yang peka.
"Sori, Sus. Sudahlah. Mandi, ya""
Susan tersenyum. Wajahnya ramah kembali. Ia menepuk pundak Tom, lalu berjalan. Tapi baru beberapa langkah ia berhenti. "Oh ya, Tom. Tadi sewaktu menunggumu di depan pintu, aku berkenalan dengan bule temanmu yang cakep banget. Wajahnya kayak Kevin Costner. Siapa pula namanya aku lupa. Dia menyilakan aku menunggu di apartemennya saja. Tapi mana aku berani" Bagaimana kalau dia itu psikopat" Tahu-tahu aku dipotong-potongnya lalu dimasukkan dalam kulkas untuk disantap," celotehnya.
Tom tertawa. "Di sini tidak ada psikopat, Sus! Aku tahu siapa yang kaumaksud. Pasti dia Danny
123 Martin. Dia memang suka memotong-motong orang. Seperti aku. Tapi bukan untuk disantap!"
Susan tertawa keras kemudian pergi.
Tom merasa senang sekali. Tawa Susan membuat apartemennya menjadi hangat dan ceria.
Setelah mandi Susan berubah pikiran. "Kita makan di rumah saja, Tom. Kulihat ada cukup bahan di kulkas. Nanti kusiapkan saat kau mandi."
"Makan di luar kan lebih enak, Sus. Oh, aku ngerti. Kau capek, ya""
"Bukan soal capek, Tom. Aku ingin ngobrol banyak denganmu. Pergi keluar cuma buang waktu saja. Nantilah lain kali kalau waktuku lebih banyak. Aku juga kepengin jalan-jalan. Ke pusat kota, misalnya. Manhattan. Wow! Asyik banget!"
Tom tertawa. "Untuk itu kau perlu menyediakan waktu ekstra supaya leluasa. Jangan diburu-buru pekerjaan. Kau harus menghibur diri sendiri juga."
Susan tersenyum. "Ya. Aku janji. Tapi kau juga harus membalas kunjunganku ini ke tempatku. Dulu kau sudah janji."
"Oke. Aku masih ingat janji itu."
Mereka menyiapkan makanan bersama-sama dari bahan yang tersedia. Omelet, daging goreng, kentang goreng, dan salad. "Aku belanja seminggu sekali. Baru dua hari yang lalu belanjanya. Untung, ya" Jadi masih banyak," jelas Tom.
Susan terkejut. "Wah, aku membuat persediaanmu menipis!"
"Tidak apa-apa. Aku kan masih bisa belanja lagi. Sudah, jangan dipikirkan soal itu. Coba kau telepon dulu tadi. Aku akan membeli champagne."
124 Susan menggelengkan kepala. "Jangan. Aku tidak suka minuman keras. Jangan dibiasakan, Tom."
"Ah, aku juga tidak suka minum. Cuma sesekali saja. Ini kan saat yang luar biasa, Sus. Serasa mimpi."
Susan tertawa. "Jangan ngomong begitu. Bagaimana kalau benar-benar cuma mimpi""
"Cubitlah aku."
Susan mencubit lengan Tom yang mengaduh keras. Pura-pura. Lalu mereka tertawa.
Tetapi Tom tetap saja merasa seolah bermimpi. Bukan Susan yang hadir di dekatnya, melainkan Vivian! Nostalgia mengusik pikirannya. Beberapa kali hampir saja ia memanggil Susan dengan "Viv!" Untung masih terkendali. Betapa malunya dia kepada Susan kalau hal itu terjadi.
Sambil menikmati makan malam yang terasa sedap mereka berbincang-bincang. Banyak sekali yang dibicarakan. Susan menyampaikan lagi pesan-pesannya yang sebenarnya sudah diutarakannya lewat e-mail. Ia juga bercerita mengenai pengalaman jatuh-bangun-nya di negeri orang dan terutama saat-saat sulit di bulan Mei 1998. Lalu tiba giliran Tom untuk bercerita perihal dirinya dan Vivian. Sebenarnya kisahnya itu sudah diketahui oleh Susan, tapi tidak selengkap bila diceritakan sendiri oleh
yang mengalami. Obrolan seperti itu tergolong "berat", apalagi sambil makan. Namun nyatanya mengalir ringan saja. Malah terasa seperti penyedap. Mungkin karena kandungan emosinya tinggal sedikit. Keduanya pun merasa menemukan orang yang cocok untuk diajak berbagi.
"Semua pesanmu itu sudah kucatat, Sus. Jadi
125 kalau aku ke Jakarta tidak ada yang terlewatkan," Tom menegaskan.
Susan tersenyum. "Kau memang orang yang cermat. Cocok dengan profesi."
"Bukan cuma itu. Kalau sampai ada yang kelupaan, sayang sekali."
"Kau bermaksud menemui Viv""
"Sebenarnya aku sudah berjanji, tapi aku masih ragu-ragu."
"Kenapa"" "Sebenarnya bagiku tak ada masalah untuk menemui Viv, tapi aku..." Tom diam sejenak, menatap piringnya dan memutar-mutar sendoknya. Lalu meneruskan, "Aku segan melihat Debbie."
"Kenapa"" "Umurnya sekarang sudah sekitar lima tahun. Cukup besar, ya" Wajahnya tentu sudah terbentuk. Sampai sekarang aku belum tahu siapa ayahnya. Jadi aku takut akan melihat secara gamblang dan jelas di wajah Debbie siapa sebenarnya ayahnya itu. Seandainya aku sudah tahu, tentu aku tidak perlu merasa segan."
Sekarang keluarlah unek-unek itu! Padahal ia tak pernah mengatakannya kepada Ron.
Susan mengamati wajah Tom saat berbicara. Wajah Tom perlu diperhatikan agak lama kalau ingin menemukan kemiripannya dengan Sonny. Tentu saja Tom jauh lebih tua. Rambut di pelipisnya sudah ditumbuhi uban. Kerut di dahinya pun sudah banyak. Mungkin karena dia orang yang serius. Atau karena stres berat akibat pengalaman hidupnya yang pahit bersama Vivian. Karena hal-hal itulah Susan sangat
126 respek kepada Tom. Kagum karena lelaki itu bisa mengatasi stresnya dengan baik. Ia senang sekali bisa memiliki Tom sebagai kakak.
Tetapi ia tak menyangka bahwa orang seperti Tom bisa merasa takut seperti yang dikatakannya itu.
"Bukankah dulu kau sangat ingin tahu" Saat pertemuan itulah yang paling baik. Amati anak itu. Bila kurang jelas, kau bisa tanya Viv. Mungkin itu yang mau dikatakannya."
"Dia tidak perlu bertemu denganku hanya untuk mengatakan itu. Kirimi aku e-mail atau surat. Telepon juga bisa. Aku tak harus bertemu atau melihat Debbie sebelumnya."
"Aku tak mengerti."
"Aku tidak ingin membenci anak kecil, Sus."
Susan tertegun. Tentunya Tom terlalu cerdas untuk mengarahkan sakit hatinya kepada orang yang tidak bersalah. Tapi sulit juga untuk menyalahkan Tom. Dalam diri Debbie ia melihat kegagalannya sebagai seorang suami dan ayah. Seharusnya Debbie memperlihatkan kesamaan fisik dengannya sebagai ayah kandung. Bukan dengan orang lain yang identitasnya masih misteri.
Tiba-tiba Susan menyadari, bahwa penderitaannya sendiri terbilang kecil bila dibandingkan dengan pengalaman Tom. Ia marah sekali kepada Vivian. Istri macam apakah sebenarnya perempuan itu"
"Untuk mendapat kepastian, kukira kau harus menghadapi Debbie, Tom. Aku yakin kau tidak akan membencinya."
"Kau yakin""
127 Sebelum Susan menjawab, terdengar pintu diketuk. Mereka berdiri. Tom menggoyangkan tangannya. "Biar aku saja yang ke depan," katanya.
Di depan pintu berdiri Ronald Brown dan Danny Martin. Keduanya tersenyum-senyum menggoda dan mata mereka mengarah ke dalam, mencari-cari.
"Ada apa"" tanya Tom, merasa terganggu.
"Kami tidak diizinkan masuk"" tanya Ron dengan nada menggoda.
Sebelum Tom menyahut, ia melihat keduanya mengarahkan tatapan ke belakangnya kemudian membungkuk dan mengangguk hormat. Ia menoleh dan melihat Susan di belakangnya. Terpaksa ia menyisih.
"Ini adik iparku," katanya, dengan penekanan pada kata-katanya.
Susan bersalaman dengan Ron. Kepada Danny ia mengatakan, "Aku sudah berkenalan denganmu tadi, kan"" katanya tanpa menyambut uluran tangan Danny, yang segera menarik kembali tangannya. Danny cuma bergurau.
Tom tidak segera menyilakan masuk, sementara kedua tamunya masih saja berdiri dengan wajah penuh senyum. Lalu Susan mengambil inisiatif. "Silakan, Tom. Kalian tentu ada perlu, kan" Maaf, kukira sebaiknya aku tidur siang-siang. Besok pagi sekali mau berangkat ke New Jersey. Ada janji di sana. Nice to meet you." Ia mengangguk kepada Ron dan Danny bergantian, kemudian cepat menghilang ke
kamarnya. Ron dan Danny terperangah. Dan Tom tak menyilakan mereka untuk masuk. Ia berdiri sambil memegangi daun pintu.
128 "Tadi juga dia bilang mau ke New Jersey besok. Wartawan, ya"" kata Danny.
"Ya," sahut Tom singkat. Berpanjang-panjang cuma menghabiskan waktu.
"Sama kau perginya"" tanya Ron.
"Tidak. Lupa, ya" Besok aku ada jadwal operasi."
Lalu Ron menarik tangan Danny. "Ayolah, kita pergi, Dan. Sampai nanti, Tom!"
Tom segera menutup pintu dan menguncinya.
"Betulkah itu adik iparnya"" tanya Danny kepada Ron.
"Kalau dia bilang begitu, ya begitu."
"Setahuku adik Tom satu-satunya sudah meninggal."
"Memang." "Jadi itu jandanya""
"Entahlah. Kok tanya sama aku""
"Barangkali kau tahu. Kau kan sahabatnya."
"Seorang sahabat tidak harus tahu semua, Dan."
"Tapi kau kepengin tahu juga."
"Ya. Untuk membuktikan bahwa Tom sudah pulih. Kita harus bergembira untuknya."
Danny menggeleng tidak percaya. "Itu adik ipar. Bukan pacar!" sungutnya.
Di apartemennya, Tom dan Susan sudah kembali duduk di depan meja makan.
"Aku sudah khawatir kau akan menyilakan mereka masuk dan mengajak makan," kata Tom senang.
129 "Ah, ngapain ngajak orang asing. Mereka temanmu tapi bukan temanku. Lagi pula makanan ini takkan cukup buat mereka."
Ya, Susan memang bukan Vivian, pikir Tom.
"Aku punya usul, Sus. Teleponlah orangtuamu."
Susan tertegun. "Mereka sangat ingin mendengar suaramu. Tentunya kau juga, bukan""
"Dari sini" Kan mahal, Tom."
"Jangan menilai kebahagiaan dengan uang, Sus!"
Susan tersenyum. "Terima kasih, Tom!"
130 V Jakarta, awal bulan Juni.
Maria menunggu kepulangan suaminya dengan rasa tak sabar. Begitu Henry muncul ia langsung memberi tahu dengan penuh emosi kegembiraan, "Paaa! Tebak, siapa yang tadi menelepon""
Henry mengamati sejenak wajah istrinya. Ia tak susah menebak. "Susan!" serunya.
"Papa pinterrr! Betul sekali. Dan tebak, dia menelepon dari mana""
Kembali Henry mengamati wajah Maria. Sekarang lebih susah menebaknya. Istrinya tampak begitu gembira. Mungkinkah terjadi sesuatu yang mustahil" Ia perlu mengatur suaranya. "Dari bandara"" tanyanya tegang.
Maria menggeleng. "Ah, bukan. Ayo tebak!"
"Nggak, ah. Menyerah saja." Henry tak sabar.
"Dari apartemen si Tom. Dia menginap di sana."
Henry ternganga sejenak. Itu adalah salah satu kemungkinan yang tak terpikir olehnya. "Tom"" tegasnya kemudian. "Ngapain dia di sana" Kok nginap" Apa mau sama-sama Tom ke Jakarta"" tanya Henry penuh harap.
131 "Begini, Pa. Katanya, dia mau ke New Jersey besok pagi. Ah ya, tentunya pagi-pagi waktu sana. Dia kerja sebagai wartawan lalu ditugaskan ke sana. Karena dekat ke tempat Tom, maka dia mampir untuk menitipkan sesuatu buat kita pada Tom."
"Ah, kenapa tidak ditugaskan ke Jakarta saja ya, Ma"" kata Henry dengan sesal.
"Aku juga bilang begitu kepadanya. Katanya, siapa tahu nanti, Ma. Suaranya sudah ceria lagi, Pa. Kayaknya ada harapan baru."
"Harapan apa, Ma" Bahwa Susan akan membatalkan sumpahnya""
"Bukan. Tentang dia dan Tom."
"Dia dan Tom bagaimana""
"Bukankah mereka bisa jadi pasangan yang cocok, Pa" Yang satu menggantikan yang lain. Kalau Susan nggak respek dan percaya sama Tom, mana mungkin dia mau menginap di apartemennya."
Henry termenung sejenak. Maria terlalu antusias hingga Henry jadi takut kalau-kalau tidak kesampaian. Maria terlalu khawatir kalau-kalau Susan memilih orang asing sebagai jodohnya.
"Kukira dia menginap di tempat Tom karena mau menitipkan barang buat kita."
"Biarpun begitu Tom kan lelaki. Masa anak gadis menginap di apartemen lelaki yang sendirian""
"Di sana sudah biasa begitu."
"Tapi buat orang kita itu tidak biasa. Apa kau menyangka Susan begitu gampang""
"Eh, kok jadi sewot, Ma" Bukan begitu maksudku. Aku cuma mau mengingatkan supaya kau jangan berharap terlalu muluk."
132 "Apa kau tidak senang kalau mereka jadi akrab""
"Oh, tentu aku senang. Tapi sebaiknya jangan senang duluan kalau belum tercapai."
"Aku juga bicara dengan Tom. Katanya dia jadi datang akhir bulan. Dia tanya mau pesan apa dari sana" Aku bilang, maunya sih dia bawa Susan ke sini. Katanya, dia juga ingin begitu. Tapi sekarang harus sabar dulu. Kudengar Susan be
rtanya keras dari sisinya. Sabar apaan" Kedengaran Tom menyampaikan ucapanku kepada Susan. Mereka ketawa-ke-tawa, Pa. Kedengaran akrab. Sama sekali tak ada nada emosi dalam suara Susan. Jadi aku bilang sama Tom, aku nggak mau pesan barang apa-apa, tapi kabar baik saja."
"Wah, senang ya, Ma. Anak kita sudah pulih. Kita memang mesti bersabar, seperti kata Tom. Oh, nggak sabar rasanya menunggu dia datang."
"Aku akan menelepon Ci Lien dan Koh Bun, ya"" kata Maria bersemangat.
Kedua orang yang disebutkannya itu adalah ibu dan ayah Toni, suami-istri Lie, Lien Nio dan Bun Liong. Mereka lebih tua sekitar sepuluh tahun daripada Henry dan Maria.
Henry tidak ingin memadamkan semangat istrinya. Dia sendiri juga bersemangat. "Ya. Telepon saja. Tapi yang tenang ngomongnya, Ma. Kalem saja."
Maria tertawa saat meraih telepon. Dia senang kalau didukung Henry. Biasanya Henry suka mengkritik dirinya terlalu ribut dan terburu nafsu. Tapi dalam hal Susan, mereka berdua sepakat dan kompak.
Tak lama kemudian Maria sudah terlibat dalam percakapan telepon yang tampak mengasyikkan.
133 Henry mengawasi dan mendengarkan di sampingnya. Ia melihat kebahagiaan di wajah istrinya.
Maria meletakkan telepon, lalu memandang suaminya dengan wajah ceria. "Ci Lien senang sekali, Pa. Tom tidak menelepon mereka. Mungkin belum. Atau merasa tidak perlu menelepon karena orangtuanya toh sudah tahu perihal kepulangannya nanti. Dan berita yang kusampaikan itu jadi kejutan besar buat Ci Lien. Senang sekali karena Susan bisa akrab sama Tom, katanya."
"Syukurlah kalau begitu. Kau tidak menelepon Ike juga""
Maria tidak begitu bersemangat. "Mau juga sih. Tapi tidak perlu sekarang."
Henry tersenyum. Ike memang agak jengkel kepada Susan yang dinilainya keras kepala dan tidak ingat sama orangtua. Jadi Maria tentu merasa percuma bila kegembiraan yang dirasakannya sekarang tidak bisa ikut dirasakan oleh yang dikabari. Berbeda dengan suami-istri Lie. Mereka adalah orang-orang yang sepenanggungan.
"Pa, Ci Lien juga cerita tentang mantan besannya. Orangtuanya Vivian, Budiman dan istrinya," sambung Maria.
"Kenapa mereka"" Pikiran Henry beralih kepada Budiman, konglomerat terkenal di era Orde Baru. Berita terakhir yang didengarnya, harta Budiman disita karena ia tak mampu melunasi utangnya yang besar kepada negara.
"Sekarang mereka tinggal di Singapura."
"Sama Viv""
"Viv masih di Jakarta bersama anaknya yang bule
134 itu. Katanya, Viv bekerja di suatu perusahaan asing dengan posisi yang bagus. Ci Lien bilang, ia bertemu dengan Viv secara kebetulan di pasar swalayan bersama anaknya. Viv bersikap hormat tapi canggung. Mungkin karena selama ini mereka tak ada hubungan."
"Tak mengherankan. Ia tentunya masih malu."
"Tapi Ci Lien sudah tak dendam dan marah. Semua sudah berlalu, katanya. Ia terpesona melihat anak Viv. Cantik banget, katanya. Kayak boneka Barbie. Heran ya, Pa""
"Heran kenapa""
"Kok hasil selingkuh bisa bagus, ya"" Henry cuma tertawa.
Kebersamaan mereka terusik oleh tangis bayi yang nyaring. Arahnya dari rumah sebelah, rumah Kristin.
"Itu si Jason nangis. Nyaring sekali tangisnya ya, Pa" Punya bakat jadi penyanyi rupanya."
Mereka diam mendengarkan.
"Kok lama amat nangisnya. Cobalah tengok, Ma. Barangkali Kristin butuh bantuan."
Maria tampak segan. "Ada Adam di rumah, Pa. Nggak enak sama dia. Nanti disangkanya mau ikut campur urusan mereka."
Henry memaklumi. Sejak Kristin tahu mengenai kasus kematian Sonny di rumah yang ditempatinya dan kemudian mengonfirmasikannya kepada Adam, sikap Adam kepada dirinya dan Maria jadi dingin. Adam mengira merekalah yang menceritakan hal itu kepada Kristin. Tetapi karena Adam tidak pernah bertanya, maka mereka pun tidak bisa menjelaskan. Kurang enak juga bercerita kepada Adam perihal
135 keanehan yang diperlihatkan Kristin saat ia mengamati foto Sonny. Sedang Kristin sendiri tidak pernah mengungkit peristiwa itu. Mungkin Kristin sudah melupakannya atau memang tak ingin membicarakannya. Tapi Kristin tetap bersikap akrab pada mereka dan sering meminta tolong ini-itu bila ia menemui kesulitan saat merawat Jason.
Selama seminggu ibu Kristin dari
Semarang menemani dan membantu Kristin merawat Jason. Kristin tidak mau menggunakan perawat bayi dan bertekad mengurusnya sendiri. Tetapi ibunya tidak bisa lama-lama menemani karena ayah Kristin yang sedang sakit memerlukan bantuannya. Maka Kristin kembali berpaling kepada Maria yang dengan senang hati selalu bersedia membantunya. Tapi bila ada Adam di rumah Kristin berusaha mandiri. Kristin berterus terang bahwa Adam melarangnya minta bantuan tetangga terus-terusan.
"Maafkan sikap Adam, Tante," kata Kristin dengan malu.
"Nggak apa-apa, Kris. Nanti juga dia biasa lagi," hibur Maria.
Sesungguhnya Henry dan Maria merasa kesal atas sikap Adam itu. Seharusnya Adam berterima kasih kepada mereka. Bukan sebaliknya. Terima kasih Adam hanya terucap pada saat awal, setelah Kristin melahirkan dengan selamat.
"Mestinya dia senang bahwa Kristin tidak mengajaknya pindah rumah setelah tahu sejarah rumah mereka," gerutu Henry.
"Ya. Dia juga mesti bersyukur bukan dia yang memberitahu."
136 "Apa Kristin tidak menjelaskan dari mana dia tahu, Ma""
"Tidak. Mana aku berani tanya-tanya"! Sudahlah."
Sementara itu tangis Jason terus terdengar.
"Barangkali dia sakit," Henry menduga.
"Heran, kalau sore-sore begini dia sering nangis, ya" Pagi dan siang dia manis sekali."
"Ssst...." Henry menempelkan telunjuknya ke bibirnya. "Tuh, dengar."
Kedengaran Adam berteriak keras, "He, diam! Diaaaam! Diaaaam!"
Keduanya berpandangan. Bila suara dari rumah sebelah berhasil menembus tembok tebal hingga sampai ke telinga mereka, pastilah diucapkan dengan keras sekali. Mereka menjadi cemas. Patutkah mereka ikut campur"
Kemudian tangis Jason berhenti. Suara Adam pun tak kedengaran lagi. Keduanya menjadi tegang. Kecemasan meningkat. Apa yang telah dilakukan Adam" Suara Kristin tidak kedengaran karena ia bersuara lembut.
Maria menghambur ke depan rumah. Henry mengikuti di belakangnya. Ia khawatir kalau-kalau Maria lupa diri lalu menerobos ke rumah Adam. Tetapi setelah berada di halaman keduanya tertegun. Dari celah pagar mereka melihat Kristin sedang mendorong kereta bayi, berjalan pelan di trotoar, melewati rumah mereka lalu berbalik lagi. Kristin sedang membawa bayinya berjalan-jalan.
Maria bergegas membuka pintu pagar lalu turun ke trotoar, menyusul Kristin. Henry tidak ikut. Ia hanya memandangi dari balik pintu.
137 Kristin menoleh dan tersenyum kepada Maria. "Sore, Tante," ia menyapa.
"Sore, Kris." Maria menatap tajam sejenak. Tak tampak emosi di wajah Kristin. Ia mengalihkan tatapan kepada si bayi. "Hai, Jason!" sapanya sambil membungkuk.
Jason yang terbungkus selimut linen tampak tenang. Matanya terbuka tapi tidak memperlihatkan kegelisahan. Anak itu masih terlalu kecil untuk bisa bereaksi terhadap sapaan orang. Tapi ketenangannya mengherankan Maria. Salahkah pendengarannya barusan"
Maria menegakkan tubuhnya. "Tadi kudengar dia menangis, Kris. Cukup lama. Apa dia sakit perut""
Kristin menarik pelan lengan Maria dengan tangannya yang satu, sementara tangan yang lain mendorong kereta. Mereka berjalan pelan-pelan. "Mas Adam lagi ngeliatin, Tante," bisik Kristin.
"Memangnya kenapa, Kris""
"Entahlah, Tante. Dia lagi marah-marah. Habis Jason nangis melulu kalau dia dekati. Saya jadi bingung."
"Jadi nangisnya tadi karena didekati""
"Iya, Tante. Adam bertahan di dekatnya, ingin menyentuhnya. Tapi Jason menolaknya dengan tangisan. Kenapa, ya"" keluh Kristin.
Maria juga tak mengerti. Baru sekarang Kristin mengatakannya. Jadi itukah sebabnya Jason menangis berkepanjangan"
"Apa sejak semula Jason begitu""
"Tiga hari pertama nggak, Tante. Adam bisa menggendongnya dengan leluasa. Jason tenang-tenang saja.
138 Tapi setelah matanya terbuka..." Kristin tidak meneruskan ucapannya.
"Apa maksudmu setelah matanya terbuka"" tegas Maria.
Mereka berbalik lagi kembali ke arah semula. Lalu Kristin berhenti melangkah. "Setelah mata Jason terbuka, ia sepertinya mulai mengenali orang-orang yang berada di dekatnya. Lalu memilih siapa yang disukainya dan siapa yang tidak disukainya. Sama Mama dia tidak ada masalah. Tapi sama Adam..." Kristin mengeluh panjang.
Mereka berjalan lagi. Pelan-pe
lan. "Sama aku dan Oom juga dia nggak masalah. Ya kan, Son"" Maria mengarahkan tatapannya kepada Jason. Tampak mata bayi itu berkedip-kedip. Sayang dia belum bisa diajak tertawa, pikir Maria.
Tiba-tiba Kristin tersentak. Ia berhenti melangkah. Tatapannya kepada Maria terasa aneh. "Oom dan Tante selalu memanggilnya 'Son', kan" Mama juga. Demikian pula saya dan Bi Iyah. Tapi Adam memanggilnya 'Jeis'. Apa karena itu, ya"" Ia termenung sesudahnya.
"Kalau begitu, cobalah suruh dia mengubah panggilannya, Kris."
Sebelum Kristin menjawab mereka melihat Adam di depan rumahnya, tangannya melambai kepada mereka. Isyarat memanggil. Mereka mempercepat langkah. Sebelum memasuki halaman rumahnya, Maria melambai kepada Adam tapi Adam tidak membalasnya, ia malah memalingkan muka. Henry menyambut istrinya.
"Daaag, Tante! Oom!" sapa Kristin tanpa menghentikan langkahnya.
Ketika Barongsai Menari Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
139 Maria dan Henry tak segera masuk ke rumah. Mereka mendengar gerutuan Adam, "Ini kan sudah magrib, Kris. Masa bayi dibawa jalan-jalan. Mana mau hujan lagi!"
Henry menarik tangan Maria, membawanya masuk.
"Jangan begitu sama mereka, Mas!" protes Kristin. "Mereka tetangga yang baik. Kalau tak ada mereka..."
Ucapan Kristin terhenti karena Jason menangis. Kristin mengangkatnya. Ketika Adam mendekat, Jason menangis makin keras. Kristin cepat berlari masuk sambil membawa Jason dalam gendongannya. Tak terdengar lagi tangis Jason.
Adam tidak mengikuti. Ia hanya memandang ke dalam dengan ekspresi geram. Urat-urat di kening dan lehernya bertonjolan. Kepalanya serasa mau meledak oleh kemarahan. Bayangkan, ditolak oleh anak sendiri!
Ia berjalan hilir-mudik, mencoba menenangkan emosinya. Setelah capek ia menjatuhkan diri di sofa lalu termangu-mangu. Perasaannya benar-benar tertekan. Anak itu menerima semua orang, tapi menolak dirinya. Cuma dirinya! Kenapa" Apakah dia tampak mengerikan" Atau dia mengeluarkan aroma tak sedap"
Terdorong oleh rasa penasarannya ia sudah melakukan semacam penelitian. Kalau Jason didekati pada saat sedang tidur, ia tenang-tenang saja. Tapi begitu disentuh lalu matanya terbuka dan beradu pandang dengannya, melengkinglah tangisnya! Tangis Jason begitu mengejutkan dirinya sampai jantungnya serasa mau berhenti. Rasanya konyol sekali. Masakan dia sebagai si ayah mesti mengendap-endap seperti maling.
140 Yang membuat ia sangat marah adalah ketika Kristin, ibu Kristin, dan Bi Iyah menerobos masuk kamar bayi dan semua memandangnya dengan penuh kecurigaan. Apa yang telah kaulakukan kepada Jason" Apa dia kaupukul atau kaucubit" Mustahil dirinya sudah segila itu!
Ia sangat menyesal telah menyetujui pemberian nama Jason oleh Kristin. Tetapi waktu itu ia sedang merasa bersalah karena tidak bisa mendampingi Kristin pada saat melahirkan, hingga ingin menyenangkan hatinya. Anggaplah sebagai imbalan dari kesalahan yang telah dilakukannya. Tetapi dalam perkembangan kemudian, ia jadi merasa tersiksa oleh panggilan orang-orang kepada si bayi. Son! Son! Sooon! Begitu celoteh mereka.
Panggilan itu jadi mengingatkannya kepada seseorang. Sonny! Sepertinya panggilan itu bisa membangkitkan si mati dari liang kuburnya. Jadinya terbalik. Bukan Kristin yang merasa terganggu oleh riwayat rumah itu, tapi dirinya! Bukan Kristin yang patut dicemaskan, tapi dirinya sendiri!
Dari sofa tempatnya duduk Adam bisa melihat di mana dulu Sonny terkapar. Di sudut dinding, di situ sekarang berdiri sebuah lemari antik. Di sanalah ia telah meninggalkan Sonny dalam keadaan tak berkutik. Entah masih hidup atau sudah mati. Kepalanya berdarah. Di sampingnya tergeletak sebuah guci kuno dari tembaga berlapis emas yang bernoda darah. Guci itulah yang digunakan untuk menghantam kepala Sonny.
Ia bisa mengenang kembali kejadiannya dengan
141 jelas. Memang belum terlalu lama. Pertengahan Mei 1998. Ketika itu mereka sedang membicarakan rencana kerja. Sonny memenangkan tender proyek pembangunan kompleks perumahan bagi karyawan staf sebuah perusahaan besar BUMN, ia lalu mengajaknya bekerja sama.
Mereka hanya berdua di rumah itu. Suasana antara mereka baik-baik saja. Lalu Sonny mengatakan dengan nada gurau, "Kemarin
aku mengambil uang, Dam. Deg-degan juga, takut dirampok. Habis lumayan gede jumlahnya. Setengah juta!" Ia menunjuk laci meja di sampingnya.
Adam tertawa. Apakah uang setengah juta itu bisa dibilang lumayan gede"
Tampaknya Sonny memahami tawa Adam. "Bukan rupiah lho, Dam! Tapi dolar!"
Adam tertegun. Tentu saja, kalau dolar itu lain lagi.
Sonny menarik laci meja yang tadi ditunjuknya. Mata Adam terbelalak. Tampak tumpukan uang kertas bergambar George Washington. Cuma sebentar saja. Sonny cepat-cepat mendorong lagi laci itu sambil tertawa bangga.
"Untuk apa uang sebanyak itu, Pak"" Adam heran tapi jantungnya berdebar. Ia juga bertanya-tanya kenapa Sonny membanggakan uang sebanyak itu kepadanya. Begitu percayakah Sonny kepadanya" Atau ingin menyombong saja"
"Untuk bisnis dong, Dam! Sekarang rupiah lagi merosot nilainya. Mending simpan dolar."
"Kok simpannya di rumah""
"Sebagian mau kukirim untuk Susan. Aku mau investasi di sana. Jadi peternak domba!"
142 "Lho, katanya mau bisnis di sini."
"Yang di sana buat Susan. Jadi kalau di sini tidak jalan, masih ada yang lain."
Adam tertegun. Tiba-tiba saja rasa iri menguasainya. Tampaknya mudah saja bagi orang kaya untuk merencanakan ini-itu. Tidak seperti dirinya yang selalu susah. Bila dia yang memiliki uang sebanyak itu mungkin ia akan mendepositokannya saja lalu hidup dari bunga tanpa susah-payah bekerja. Dengan demikian uangnya akan aman tanpa risiko habis bila dia jatuh bangkrut. Enak amat si Sonny ini. Dari mana duitnya itu" Pasti dari orangtuanya. Ah, enak sekali punya orangtua kaya. Tidak seperti dirinya, sudah yatim-piatu dan tak pula mendapatkan warisan berharga.
Lalu tatapan Adam tertuju ke arah guci antik sebesar kepala orang dewasa yang terletak di atas meja kecil di sebelahnya. Guci itu berwarna kuning di sebelah luar, tapi dalamnya kehitaman. Beberapa sisinya dihiasi relief yang tak jelas bentuknya. Ia mengangkatnya. Ternyata berat.
"Itu kepunyaan Papa," Sonny menjelaskan. "Warisan turun-temurun. Entah dari abad keberapa. Tapi kalau tak salah dengar, dulu pernah digunakan sebagai tempat menyimpan abu jenazah nenek moyangku."
Adam cepat-cepat meletakkannya lagi. Ngeri. "Kok sekarang kosong" Ke mana abunya"" ia ingin tahu.
"Oh, katanya itu disebar di laut setelah keturunannya mendapat mimpi."
Kemudian Sonny berdiri. "Kita pelajari lagi gambar yang kaubuat itu, Dam," katanya, lalu membelakangi
143 Adam. Tangannya menarik laci yang bersebelahan dengan laci tempat tumpukan dolarnya. Tatapan Adam tertuju ke laci yang kedua itu. Ia membayangkan tumpukan uang yang sangat menggoda. Tiba-tiba ia tak bisa menguasai diri. Ia menyambar guci tadi, melompat ke belakang Sonny lalu memukulkan guci itu sekuat-kuatnya ke belakang kepala Sonny. Begitu cepat gerakannya dan begitu keras pukulannya hingga Sonny cuma berteriak sekali, lalu terkapar tanpa bergerak lagi. Kemudian guci yang dijadikan pemukul dilemparkannya ke sudut.
Sesudah itu ia bergegas mencari kantung plastik. Ke dalamnya ia masukkan bundelan uang dolar dari dalam laci tadi. Sesekali ia melirik Sonny yang terkapar. Sonny tetap diam.
Tiba-tiba telepon berdering mengejutkannya. Ia terpaku sejenak. Ragu-ragu apakah akan membiarkannya saja atau mengangkatnya. Akhirnya diangkatnya juga.
"Halo"" "Sonny"" sapa suara lelaki.
"Ya. Ini Sonny," sahut Adam. "Dari mana""
"Son, ini David. Kau sudah tahu tentang kerusuhan yang sedang terjadi di Jakarta" Toko-toko dijarah. Beberapa kantor cabang bank BCA dibakari. Mobil dan motor dibakari. Ada yang dibunuh juga."
"Oh, begitu"" Adam terkejut juga. Dia sama sekali tidak mengikuti perkembangan di luar. Sonny juga tidak menyinggung soal itu sebelumnya.
"Hati-hati saja. Waspada. Kabarnya, perusuh mengincar pemukiman mayoritas Tionghoa. Amankan barang-barang berharga!"
"Oke. Terima kasih!"
144 Adam mempercepat kerjanya. Ia tentu tak ingin harta yang barusan diperolehnya dirampas perusuh. Ia mengenakan jaket milik Sonny, menjejalkan kantung berisi uang dolar itu ke balik dadanya. Gembungnya tak begitu kentara. Sebelum pergi ia menatap Sonny lagi. Tak ada waktu untuk memeriksa apakah Sonny sudah ma
ti atau belum. Kemudian muncul ide dari informasi lewat telepon tadi. Ia bergerak cepat mengobrak-abrik ruangan itu. Beberapa barang dipecahkannya. Meja-kursi dibalikkan. Isi laci-laci ia tumpahkan ke lantai. Tumpukan kertas ia sebarkan di sekitar tubuh Sonny. Tapi ia tak punya waktu banyak untuk melakukan hal yang sama di ruangan lain.
Kemudian ia mendorong motor Sonny ke halaman dan mengenakan helm yang tergantung di setangnya. Pintu dikuncinya dari luar, lalu kuncinya ia lemparkan ke dalam lewat lubang angin. Pintu pagar ia rapatkan.
Begitu turun ke jalan ia tak lagi menengok kiri-kanan apalagi ke belakang. Ia tak berpapasan dengan siapa-siapa. Jalanan sepi. Ia meluncur dengan kencang. Dengan membawa motor Sonny, mengenakan jaket dan helmnya, orang akan mengira dia adalah Sonny, bila kebetulan orang tersebut mengenali nomor motornya.
Ia melihat kerusuhan-kerusuhan kecil di beberapa tempat yang dilaluinya. Asap hitam membubung di sana-sini. Ia sangat ketakutan. Ia juga bingung memilih jalan mana yang aman. Akhirnya ia terjebak di jalan yang dipenuhi massa. Ia dicegat dan disuruh berhenti.
"Buka helmnya! Bukaaa!" bentak orang-orang itu.
145 Ia terpaksa membuka helmnya. Orang-orang mengerumuninya. Mereka mengamatinya.
"Eh, kamu Cina atau bukan""
"Bukan!" serunya dengan gemetar.
Ada suara-suara tidak percaya. Lalu seseorang menyeruak dari kerumunan dan mendekati Adam. Ia berkata, "Aku kenal Pak Adam Jaka! Dia bukan Cina!"
Adam mengenali Angga, remaja yang suka berkeliaran dekat proyek perumahan Pantai Nyiur Melambai. Untunglah ia selalu berlaku baik kepadanya. Angga suka minta uang rokok. Kadang-kadang ia berikan, kadang-kadang tidak. Sekarang ia menyesal karena dulu tidak memberinya uang lebih banyak.
"Kalau bukan, pergilah!" bentak seseorang.
"Pergilah, Pak!" tegas Angga.
"Tinggalkan motornya! Bakar!"
Tanpa disuruh dua kali Adam mematuhi perintah itu. Ada yang mendorong tubuhnya dari belakang. Ia berlari. Ketika merasa berada pada jarak yang cukup aman, ia berhenti lalu menoleh ke belakang. Ia melihat motor milik Sonny itu sudah dijilat api. Ia kembali berlari. Pada saat itu orang-orang berlarian di mana-mana. Takkan ada orang yang mencurigainya sebagai maling. Apalagi pembunuh.
Belakangan ia mendengar musibah yang menimpa kawasan Pantai Nyiur Melambai, dan apa yang terjadi pada rumah Sonny dan rumah-rumah lainnya. Sonny juga ditemukan telah hangus. Tetapi orang mengira Sonny dibunuh perusuh. Jejaknya di sana sudah lenyap sama sekali. Ia merasa bersyukur. Ia telah diselamatkan perusuh! Meskipun Angga punya andil
146 dalam menolongnya, tapi ia juga diselamatkan bentuk wajahnya yang tidak mewarisi gen keturunan Cina dari neneknya di pihak ibu! Seandainya ia punya kemiripan fisik dengan neneknya, pastilah nyawanya sudah melayang. Demikian pula dolarnya!
Dalam banyak situasi di masa lalu ia memang kerap mensyukuri hal itu. Untung ia punya wajah pribumi. Untung garis keturunan itu dari pihak ibu. Seandainya dari pihak ayah, pastilah ia punya kerepotan lain, yaitu masalah surat kewarganegaraan. Ia juga sering terselamatkan bila berada dalam situasi diskriminasi rasial. Dia selalu digolongkan sebagai asli atau pri. Karena itu kalau ia mendengar orang meributkan masalah ras dan etnis, terutama masalah asli dan tidak asli, atau pri dan nonpri, ia merasa geli dalam hati. Sesungguhnya, orang yang suka ribut atau menyatakan dirinya asli itu, benarkah asli tanpa ada campuran apa-apa di dalam darahnya" Apakah dia bisa menelusuri dengan pasti siapa saja nenek moyangnya"
Sebagian uang rampokan itu digunakannya untuk membeli rumah yang ditempatinya sekarang dan kemudian dibangunnya kembali. Jadi ia merasa berjasa pada rumah itu, hingga pantaslah jika ia menempatinya tanpa perasaan bersalah apalagi takut. Lihatlah rumah-rumah lain di seputar kawasan itu. Bagaikan peninggalan perang. Padahal ia bisa saja memilih rumah lain dan kemudian merenovasi atau membangunnya. Tetapi ia memilih yang itu!
Ia yakin, orang tak bisa pasif saja menjalani hidup seperti apa adanya bila menginginkan kemajuan. Nasib tak bisa mengubah orang kalau orang itu
147 sendiri tak berbuat apa-apa. Jadi sikap dan perilaku radikal perlu. Ternyata ia bisa hidup aman dan nyaman. Sampai ia bertemu dengan Harun!
Muncul pertanyaan yang terus mengganggu. Apakah Harun benar-benar tidak mengenalinya dari belakang" Harun menganggap dirinya adalah Sonny yang pergi dan kemudian kembali lagi. Apakah pendapatnya itu tidak berubah sampai sekarang" Kata Harun, sesudah perbincangannya dengan Maria ia mulai memikirkan soal itu lagi. Ia bertanya-tanya, kenapa Sonny kembali lagi padahal sudah tahu ada kerusuhan. Apa iya Sonny lebih mementingkan harta daripada nyawa dan keselamatannya sendiri"
Maria yang telah mempermasalahkan hal itu kepada Harun. Seandainya Maria tidak bawel, pastilah soal itu terkubur terus untuk selamanya. Adam sangat jengkel kepada Maria. Akibatnya sekarang ia terus-menerus merasa penasaran mengenai apa dan bagaimana kelanjutan pemikiran Harun. Apalagi lalu Harun punya gagasan untuk berkunjung ke perkampungan yang terletak di belakang kawasan Pantai Nyiur Melambai, yang biasa disebut Kampung Belakang. Menurut Harun, ada informasi bahwa sebagian besar penjarah datang dari perkampungan itu. Harun ingin menyelidiki, apakah mereka tahu siapa yang telah memasuki rumah Sonny dan membunuhnya" Adam melarangnya melakukan hal itu karena berbahaya bagi keselamatannya. Siapa yang rela dituduh menjarah, apalagi membunuh"
Tetapi Harun tidak memberi kepastian apakah dia memang akan melaksanakan niatnya atau tidak. Jadikah Harun melakukan penyelidikannya" Dan kalau
148 jadi, apa hasilnya" Karena penasaran itulah ia jadi sering menghubungi Harun seolah ia masih merasa akrab dan dekat dengannya. Padahal sesungguhnya ia ingin sekali menjauh dan tak pernah berhubungan dengannya lagi. Orang seperti Harun adalah bagian dari masa lalunya yang kelam, yang tak ingin diingat-ingatnya lagi. Tapi rasa ingin tahu memaksanya mendekat. Dan itu cukup menyiksa perasaannya.
Sekarang anaknya sendiri pun ikut menyiksanya. Ia tak mengerti. Tak ada yang mengerti. Kristin dan ibunya menganjurkan agar ia mendekati Jason dengan lembut dan hati-hati. Saran itu sudah diikutinya. Tetapi tak ada gunanya. Anak itu melihat dirinya seolah dia adalah monster yang mengerikan. Tapi mana mungkin anak sekecil itu sudah merasa takut" Kadang-kadang nalurinya mengatakan anak itu bukan takut kepadanya, melainkan tidak suka!
Ia juga tahu, Kristin merasa khawatir kalau-kalau suatu saat ia sampai lupa diri dan saking marahnya lalu mencederai Jason. Memang Kristin tak mengungkapkannya dengan kata-kata, tapi ia bisa merasakannya. Itu membuatnya semakin marah. Sungguh kekhawatiran yang tidak masuk akal. Mana mungkin ia mencederai seorang bayi lemah yang cuma bisa menangis. Anaknya sendiri, lagi!
"Mas...,", tegur Kristin lirih. Ia mendekat lalu duduk di sisi Adam.
Adam tidak menoleh. "Dia sudah tidur"" tanyanya.
"Sudah. Apa yang sedang kaupikirkan"" tanya Kristin hati-hati.
"Apa lagi..."!"
149 "Sabar saja, Mas. Mungkin dia sedang menguji kasih sayangmu."
Adam tertawa sinis. "Anak sekecil itu" Kalau dia sudah lebih besar aku bisa memahami. Tapi ini""
"Siapa tahu, Mas. Dia punya kepekaan yang tidak kita pahami."
"Ah, kau sok tahu saja!"
Kristin diam sejenak, mengamati wajah Adam dari samping. Ia tidak merasa jengkel karena dibentak. Ia justru merasa iba. Bayangkan kalau dirinya yang "ditolak" anak sendiri tanpa alasan. Justru sikap Adam yang kesal seperti itu menandakan bahwa ia sayang kepada Jason dan karenanya ingin diterima.
"Mari kita bicarakan dan cari pemecahannya, Mas," katanya lembut.
Adam menoleh. Ekspresi Kristin yang mengandung simpati ternyata malah membuatnya semakin jengkel. Sepertinya dia adalah orang yang malang dan patut dikasihani.
"Pemecahan apa"" tanyanya sinis.
"Aku punya pemikiran. Pertama, sikapnya itu mungkin disebabkan karena kau menyalahi janji..."
"Janji apa"" potong Adam dengan suara tinggi.
"Dulu kau pernah berjanji untuk mendampingi aku saat melahirkan. Janji itu tidak kautepati. Ia tidak melihatmu begitu lahir. Mungkin dia kecewa...."
Adam tertegun. Baru sekarang soal itu dikemuka-kan Kristin. Sebelumnya Kristin tak pe
rnah menyesali atau menyatakan kekecewaannya. Ia mengira hal itu disebabkan karena Kristin memang tidak memerlukan kehadirannya saat itu.
"Mana mungkin, Kris," ia memotong ucapan
150 Kristin yang belum selesai. "Anak itu kan belum bisa melihat pada saat lahir. Jangan-jangan kamulah yang kecewa."
"Ya. Aku memang kecewa saat itu, Mas. Tapi aku bisa mengatasinya. Orang kan tak selalu mendapatkan apa yang diinginkannya. Mengenai Jason, dia memang tak bisa melihat pada saat itu. Tapi siapa tahu dia punya sense yang tinggi: Dia merasakan ketidakhadiranmu."
Adam membelalakkan matanya. "Nonsense!" serunya. "Teori apaan itu""
Kristin tak segera bicara. Sikap Adam mulai membangkitkan kejengkelannya.
Melihat Kristin cemberut, Adam buru-buru mengubah sikapnya. "Sori, Kris. Sebaiknya kaulanjutkan saja, ya"" katanya ramah.
"Baiklah. Apa yang kukatakan ini memang cuma teori, Mas. Semuanya belum tentu. Tapi tak ada salahnya kita kaji, kan" Nah, yang tadi itu yang pertama. Lalu yang kedua, soal namanya. Semua orang memanggilnya 'Son'. Tapi kau lain sendiri. Kau memanggilnya 'Jeis'. Memang sih, itu sama saja. Tapi siapa tahu dia lebih suka dengan panggilan pertama. Dia tidak suka dengan panggilanmu. Jadi, cobalah dengan panggilan 'Son'. Mungkin dia akan senang."
Adam tertawa sinis. Tapi melihat ekspresi Kristin ia cepat menghentikan tawanya. "Bagaimana, Mas" Mau mencoba"" Adam termangu.
"Tak ada salahnya, kan" Apa sih artinya nama"" desak Kristin.
151 "Oke. Nanti kucoba," sahut Adam akhirnya. Tak ada gunanya berdebat soal itu, pikirnya.
Kristin tersenyum senang. "Memang kedengarannya konyol ya, Mas. Tapi kita kan harus mencari solusi. Masa diam saja."
Mana kau tahu pemikiranku, pikir Adam kesal. "Baiklah, Kris. Kau benar. Kita harus berbuat sesuatu sebelum sarafku rusak. Tapi aku mau tanya. Kenapa sih kau tiba-tiba memberinya nama 'Jason', padahal sebelumnya kau sudah menyediakan puluhan nama untuknya""
"Oh, itu. Entahlah. Mungkin karena namanya ide, bisa tiba-tiba datangnya."
"Aneh. Yang datang tiba-tiba malah kauambil."
Kristin tersenyum, tak memahami apa yang berkecamuk dalam pikiran Adam. "Tapi semua orang bilang, nama itu bagus! Juga Oom dan Tante di sebelah!" Adam melotot.
Malam itu suasana tenang. Jason yang berada di kamar bayi yang bersebelahan dengan kamar tidur Adam dan Kristin tidak terusik. Pintu yang menghubungkan kedua kamar terpentang lebar untuk memudahkan Kristin bila ingin menjenguk Jason.
Tetapi ketenangan suasana tidak membuat Adam tidur nyenyak. Padahal Kristin di sampingnya sudah mendengkur halus. Adam masih saja memikirkan teori yang dikemukakan Kristin sebelumnya. Lalu perasaannya tergelitik. Ada baiknya mencoba, lalu melihat hasilnya. Tapi ia ingin secepatnya. Bagaimana kalau sekarang" Mumpung Kristin. sedang tidur. Apa pun hasilnya Kristin tidak bisa mengomentari.
152 Sebenarnya ada rasa enggan mengikuti anjuran Kristin tadi. Bukan karena ia tak menginginkan perubahan yang positif, tetapi karena itu ide Kristin. Kristin akan bertepuk dada bila ternyata idenya itu berhasil. Dia akan tampak sebagai suami yang kalah cerdas daripada istri. Lalu Kristin akan selalu menggunakan isu itu untuk membenarkan pendapatnya mengenai segala sesuatu. Dengan ngeri ia membayangkan bagaimana kelak bila Jason sudah besar, kedua ibu dan anak itu akan bersatu melawan dirinya. Bila dua melawan satu, maka sudah jelas siapa yang akan kalah.
Perlahan-lahan Adam bangkit. Hati-hati, supaya Kristin tidak terbangun. Setelah Jason hadir, Kristin cepat sekali terbangun bila mendengar bunyi apa pun. Padahal dulu sulit membangunkannya.
Seperti langkah maling ia berindap-indap menuju kamar bayi. Di sana lampunya selalu dibiarkan menyala. Ia melihat Jason sedang tidur dalam boksnya yang berkelambu. Beberapa saat lamanya ia berdiri memandangi. Ah, seharusnya ia bangga. Anak itu sehat dan tampan. Mungkin setelah lebih besar baru tampak kemiripan dengan dirinya. Kulitnya putih seperti Kristin. Pipinya yang montok kemerah-merahan. Sungguh menggemaskan. Orang lain, seperti para tetangga, bisa seenaknya mencolek-colek, menggendong dan menciumi. Tapi dia,
si ayah kandung, kenapa tak bisa" Bukankah anak itu miliknya" Dia yang paling berhak!
Ada dorongan tak tertahankan. Ia menguak kelambu. Masih dengan perhatian terfokus kepada wajah Jason, ia memanggil dengan suara gemetar, pelan
153 tapi jelas, "Son! Sooon...!" Nada suaranya diiramakan. Lembut dan merayu.
Jason membuka matanya. Tampak jernih dan bening.
Adam tersenyum. "Son! Son! Ini Papa!" panggilnya dengan jantung berdebar. Apakah Jason akan membuka mulutnya lebar-lebar lalu melancarkan tangisnya yang melengking" "Sekarang Papa memanggilmu Son! Dengar"" ia menegaskan dengan perasaan seperti orang bodoh.
Tiba-tiba Adam terkejut tak kepalang. Jason tidak menangis. Ia cuma balas menatap. Tetapi kemudian Adam melihat wajah Jason bukan wajah bayi lagi, melainkan wajah Sonny! Itu adalah ekspresi Sonny dengan mata terbelalak, seperti yang dilihatnya terakhir kali!
Adam melompat ke belakang lalu jatuh terduduk ketika terdengar bunyi melengking. Itu bukanlah tangis Jason, melainkan jerit kesakitan Sonny! Jeritan itu begitu keras dan menyayat!
Adam berlari ke luar lalu bertubrukan dengan Kristin. Wajah Kristin pucat dan matanya menampakkan ketakutan. "Kenapa, Mas" Ada apa dengan Jason"" Lalu tanpa memedulikan Adam atau menunggu jawaban, Kristin menghambur menuju boks Jason.
Adam tak menjawab. Ia terus berlari ke kamarnya sendiri lalu melompat ke atas tempat tidur. Ia merebahkan tubuhnya dengan posisi miring, dan menutupi wajah dan telinganya dengan bantal. Biarpun telinganya sudah ditekan dengan bantal, ia masih bisa mendengar suara Kristin yang tengah membujuk Jason.
154 "Ceeep... ceeep... Sayang. Sudah, ya" Bobo lagi, ya""
Tangisan Jason sudah berubah menjadi isakan. Kedengaran sedih dan manja.
Setelah kagetnya mereda, rasa marah melanda Adam. Ia marah kepada Kristin, kepada Jason, dan kepada dirinya sendiri. Kenapa ia mau saja mengikuti saran Kristin dan memperbodoh dirinya sendiri" Mulai saat ini ia tidak akan lagi memanggil anak itu dengan sebutan "Son". Ia akan mencari nama lain. Dan kalau masih juga tak mau, ya sudah, tak perlu dipanggil. Apa pedulinya" Ia tidak takut.
Kristin masuk. "Jason sudah tidur, Mas," katanya pelan.
Adam tidak menyahut. Kristin duduk di tepi tempat tidur, di sisi Adam.
"Memangnya kau ngapain tadi, Mas""
Tiba-tiba Adam melempar bantalnya ke pinggir, lalu melompat duduk. Kristin tersentak kaget.
"Kaupikir aku ngapain" Menganiaya dia"" bentaknya.
Kristin terperangah, tak menyangka. "Bukan begitu, Mas. Tapi... nangisnya kok gitu, ya"" katanya pelan.
"Kalau mau tahu kenapa, tanya dia dong! Jangan nanya aku!"
"Ah, mana bisa dia ditanyai" Kau yang mendekatinya, kan" Ngapain kau di situ, Mas"" Kristin mulai jengkel.
"Memangnya aku tidak boleh ke situ" Apa aku tidak boleh menjenguknya""
"Oh, kau menjenguknya"" Suara Kristin melembut. Simpati.
155 "Ya. Tapi aku tidak akan melakukannya lagi. Tidak akan!"
Kristin terkejut. "Jangan begitu, Mas. Dia kan anakmu. Kau harus bersabar."
"Gantilah namanya!" seru Adam. Seperti ultimatum.
"Mana mungkin" Sudah terdaftar begitu." "Yang sudah terdaftar, ya sudah. Tapi ganti panggilannya. Apa saja. Asal jangan yang itu!" "Kenapa""
"Jangan tanya kenapa. Pendeknya aku tidak suka!" "Dulu kau terima saja."
"Waktu itu lain. Nyatanya sekarang dia selalu menangis."
"Besok panggillah dia 'Son', Mas. Kita lihat reaksinya, ya"" bujuk Kristin. "Pendeknya, ganti namanya!" "Tidak, Mas!"
"Apa susahnya sih" Mumpung dia masih kecil." "Aku suka nama itu!" "Keras kepala!" "Biar!"
Sesaat keduanya terdiam. Lalu Kristin bangkit, memutari tempat tidur untuk naik ke sisi yang satunya. Ia merebahkan diri dengan memunggungi Adam. Ia berusaha keras agar tidak menangis.
Adam masih dalam posisi setengah duduk., Ia melonjorkan kakinya. Wajahnya masih menampakkan kemarahan. Tatapannya berpindah-pindah, dari Kristin di sebelahnya ke arah kamar bayi. Berganti-ganti beberapa kali. Lalu ia berkata dengan suara yang
156 dingin, "Anak itu tidak suka kepadaku, kan" Dia benci aku, kan""
Kristin tidak menjawab. Ia juga tidak menoleh.
"Kira-kira aku tahu sebabnya!" Adam melanjutkan.
Kristin berbalik. Sekarang t
ubuhnya telentang dan matanya menatap Adam. "Apa"" tanyanya pelan.
"Aku bukan ayahnya!" Adam meledakkan unek-uneknya.
"Apa"!" teriak Kristin sambil melompat bangun. Wajahnya mengekspresikan kemarahan. "Kau menuduh aku"" serunya.
Adam menatap Kristin. Tatapan dan ekspresinya dingin sekali hingga Kristin tak sanggup beradu pandang lama-lama. Ia merasa ngilu dan pedih. "Bagaimana mungkin kau menuduhku sekejam itu, Mas""
"Aku tidak menuduh. Tapi menyimpulkan."
"Sama saja." "Kau bilang, anak itu mungkin punya kepekaan. Nah, cuma itu satu-satunya penyebab yang paling mungkin. Dia tahu aku bukan ayahnya!"
"Jadi kau mengambil kesimpulan dari situ" Gampang amat!"
"Itu yang paling masuk akal!"
"Itu sih akal orang idiot!"
"Apa" Kau menyebutku idiot"" Adam melotot. Mukanya merah. Napasnya sesak. Kedua tangannya dikepalkan.
Kristin bersikap siaga. Ia sudah bertekad, kalau sampai dipukul, ia akan melawan. Orang yang berada di pihak yang benar tidak perlu merasa takut.
Tetapi emosi Adam cepat surut. Ia merebahkan tubuhnya sambil membelakangi Kristin, lalu menarik
157 selimut sampai menutupi setengah mukanya. Sikapnya menandakan ia tak mau lagi memasalahkan hal itu.
Kristin masih penasaran, tetapi sadar tak ada gunanya melanjutkan pertengkaran itu. Ia tak ingin berada di samping Adam. Maka ia ke kamar bayi. Di sana ada dipan yang biasa digunakannya untuk tidur-tiduran di siang hari, sebelum dan usai menyusui Jason.
Kristin mengamati Jason yang tidur lelap. Matanya menjadi basah. Kasihan anakku. Apa jadinya kau bila tak diakui ayahmu sendiri" Tak disayang masih lebih baik daripada tak diakui!
Ia merebahkan tubuhnya di atas dipan. Terasa lelah sekali. Tak berapa lama kemudian ia tertidur.
Di dalam boksnya Jason membuka mata. Tampak bulat dan jernih. Sepasang mata di wajah mungil tak berdosa. Biji matanya bergerak-gerak pelan.
*** Maria memeluk Kristin. Wajahnya penuh simpati. Ia juga mengusap kepala Jason yang terbaring di keretanya.
"Jangan langsung menganggapnya serius, Kris," hibur Maria. "Ingat. Dia lagi stres. Bayangkan saja. Dia sangat ingin menggendong dan mencium anaknya, tapi tak bisa. Maka saking frustrasinya, dia ngomong macam-macam."
"Tapi kok begitu ngomongnya, Tante" Itu kan kelewatan."
"Orang stres memang suka begitu. Jangan pandang
158 enteng, Kris. Hati-hati. Ada yang sampai bunuh diri lho."
Kristin tertegun dengan ekspresi cemas. Maria adalah orang yang paling dekat dan sudah memahami persoalannya, hingga ia bisa mengadu tanpa merasa risi. Ketakutan kalau kalau dirinya atau Jason sampai diapa apakan oleh Adam menimbulkan rasa kebutuhan akan bantuan orang lain. Padahal sebelum pergi tadi pagi Adam sudah mengingatkan, "Jangan ceritakan masalah kita kepada tetangga! Aku tak mau mereka ikut campur! Aku tak mau jadi bahan tertawaan orang!"
"Mereka sudah banyak membantu kita, Mas! Ingat budi mereka dong!"
"Tapi kau juga harus ingat aku, Kris! Aku tak mau terlihat tolol di mata mereka. Masalah kita harus kita selesaikan sendiri."
"Dengan kesimpulanmu yang semalam itu""
"Jangan mulai lagi! Pendeknya aku tak suka dicampuri tetangga!"
Tetapi peringatan Adam itu justru membuat kebutuhannya akan bantuan orang lain semakin besar. Kalau sampai terjadi sesuatu, entah apa, akan ada orang lain yang tahu.
"Kalau begitu, tetaplah berhati-hati, Kris. Jangan datang ke sini atau mengobrol dengan kami bila Adam ada di rumah," Maria menasihati.
"Ya. Saya pikir juga begitu."
"Untuk sementara ini jauhkan Jason dari Adam, Kris."
"Oh ya, pagi-pagi dia sudah bilang begitu, Tante.
159 Katanya kalau dia di rumah, Jason harus tetap di kamar bayi."
"Mungkin untuk sementara itu yang terbaik. Biar stresnya mereda."
Kristin merenung sedih. "Orang bilang, kehadiran anak bisa menambah kebahagiaan dan keharmonisan. Tapi kami kok malah jadi begini," keluhnya.
"Apa kau sendiri tidak bahagia dengan kehadiran Jason"" tanya Maria sambil menarik kereta bayi lebih mendekat dan mengamati Jason dengan takjub. Ia saja jatuh hati kepada bayi manis itu. Apalagi ayahnya sendiri"! Susah juga menyalahkan Adam.
"Tentu saja saya bahagia, Tante. Adam sendiri mendambakan anak."
"Begini saja, Kris. Setiap hari kau bujuk si Jason. Ajak ngomong. Bilang padanya supaya dia jangan nangis kalau didekati papanya." "Apa dia ngerti, Tante""
"Siapa tahu." "Ya, akan saya coba, Tante." "Jadi dia belum mengubah panggilannya kepada Jason""
"Kayaknya belum. Saya baru mengusulkan kemarin sore."
"Menurutmu, kenapa dia tidak mau memanggil 'Son' saja seperti yang lain""
"Katanya soal itu terserah dia. Bagaimana maunya saja. Dia toh tidak harus ikut-ikutan orang lain."
Senja Di Himalaya 5 Sherlock Holmes - Rumah Beratap Tiga Kemelut Blambangan 10
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama