Ceritasilat Novel Online

Mahabharata 2

Mahabharata Karya Nyoman S. Pendit Bagian 2


depan jenazah gurunya dan mempergunakan ilmu gaib Sanjiwini. Katanya, "Guru yang ikhlas membagi ilmu
kepada muridnya ibarat seorang ayah yang mengasihi putranya. Karena aku keluar dari tubuhmu, maka aku adalah anakmu juga."
Beberapa tahun lamanya Kacha meneruskan hidupnya sebagai murid Resi Sukra, sampai tiba waktunya untuk kembali ke dunia para dewata. Ketika saat itu tiba, ia mohon diri kepada gurunya. Sang Resi merestuinya dan mengijinkannya pergi. Kemudian Kacha minta diri kepada Dewayani.
Putri jelita ini dengan hormat berkata, "Wahai cucu Angiras, kau telah menawan hatiku dengan kesucian hati, hidupmu yang tidak bercacat, kemajuanmu dalam menuntut ilmu, dan asal-usulmu yang agung. Sejak lama aku mencintaimu dengan sepenuh hati, walaupun engkau tetap
teguh menjalankan sumpahmu sebagai brahmacharin.
Tetapi, sudah selayaknya sekarang engkau menerima cintaku dan sudi membuatku bahagia dengan menikahiku."
Kacha menjawab, "Oh, Dewayani yang suci, engkau
adalah putri mahaguruku yang selalu kusegani. Aku hidup kembali setelah keluar dari tubuh ayahmu. Karena itu, aku kini menjadi saudaramu seayah. Sungguh tidak pantas jika engkau memintaku agar sudi mengawinimu."
Dewayani berkata, "Engkau anak Wrihaspati yang patut
kuhormati dan bukan anak ayahku. Aku yang menyebabkan kau bisa hidup kembali, karena aku mencintaimu dan
mengharapkan engkau menjadi suamiku. Tidak pantas
engkau meninggalkan aku yang tidak berdosa ini tanpa memberiku kesempatan untuk mengabdi kepadamu."
Kacha menjawab, "Jangan mencoba membujukku
untuk melakukan hal yang tidak benar. Engkau sungguh jelita, dan semakin jelita dalam keadaan marah seperti sekarang, tetapi aku adalah saudaramu. Abdikanlah hidupmu untuk kebajikan dalam bimbingan ayahmu,
Mahaguru Sukra. Jalani hidupmu seperti dahulu. Berdoalah dan relakan aku pergi." Setelah berkata demikian, dengan lembut Kacha melepaskan diri dari pegangan Dewayani dan kembali ke dunia para dewata.
Sepeninggal Kacha, Dewayani selalu sedih dan murung. Tak ada yang bisa menghiburnya, tidak juga Mahaguru Sukra, ayahnya.
*** 6. Kutukan Mahaguru Sukra Pada suatu sore setelah puas bermain di taman istana, Dewayani dan putri-putri Wrishaparwa, raja para raksasa, pergi mandi ke telaga di tepi hutan yang jernih dan sejuk airnya. Sebelum menceburkan diri ke dalam air yang segar, mereka menanggalkan pakaian dan menyimpan pakaian itu di tepi telaga. Tiba-tiba angin puting beliung berembus kencang, menerbangkan pakaian mereka dan membuatnya menjadi satu tumpukan. Setelah mandi dan berpakaian, ternyata terjadi kekeliruan. Tanpa sengaja Sarmishta, putri Wrishaparwa, mengenakan pakaian Dewayani. Melihat itu Dewayani berkata, "Alangkah tidak pantasnya putri seorang murid mengenakan pakaian milik putri gurunya."
Walaupun kata-kata itu diucapkan dengan lembut,
Sarmishta merasa disindir dan tersinggung. Ia marah dan
dengan angkuh berkata, "Tidakkah engkau sadar bahwa ayahmu setiap hari dengan hinanya berlutut menyembah ayahku" Bukankah ayahmu menggantungkan hidupnya
pada belas kasihan ayahku" Lupakah kau bahwa aku ini
anak raja yang dengan murah hati memberikan tumpangan hidup bagimu dan bagi ayahmu" Hai, Dewayani, sesungguhnya kau hanya keturunan peminta-minta!
Lancang benar kata-katamu kepadaku."
Memang benar apa yang dikatakan Sarmishta. Sebagai resi atau pandeta, Mahaguru Sukra berkasta brahmana. Sesuai adat, ia hidup dari belas kasihan orang lain. Jika
memerlukan sarana hidup, seorang brahmana hanya boleh meminta-minta. Meskipun demikian, sesungguhnya bagi kasta brahmana hal itu dianggap perbuatan yang mulia.
Dewayani tidak menanggapi kata-kata Sarmishta. Sebaliknya, Sarmishta yang terbakar oleh kata-katanya sendiri, menjadi semakin marah. Tak dapat mengendalikan diri, tangannya terayun, menampar pipi Dewayani. Ia bahkan mendorong putri resi itu sampai jatuh ke parit yang dalam. Sarmishta, yang mengira Dewayani sudah mati, segera kembali ke istana.
Sementara itu, Dewayani merasa cemas dan sedih karena tidak bisa keluar dari parit yang dalam itu.
Kebetulan, Maharaja Yayati, seorang keturunan Bharata,
sedang berburu di tepi hutan dan melewati tempat itu. Karena haus, ia mencari air. Dilihatnya ada parit berair jernih di dekat situ. Dia turun dari kudanya, mendekati parit itu, lalu membungkuk hendak mengambil airnya. Ketika itulah ia melihat sesuatu yang bercahaya di dasar parit. Yayati memperhatikan dengan lebih saksama dan terkejut melihat seorang putri jelita terpuruk di dalam parit.
Lalu ia bertanya, "Siapakah engkau ini, hai putri jelita dengan anting-anting berkilau dan kuku bercat merah indah" Siapakah ayahmu" Keturunan siapakah engkau" Bagaimana engkau bisa jatuh ke dalam parit ini""
Dewayani menjawab sambil mengulurkan tangan
kanannya, "Namaku Dewayani. Aku putri Resi Sukra.
Tolonglah aku keluar dari dalam parit ini."
Yayati menyambut tangan yang halus itu lalu menolong Dewayani keluar.
Dewayani tidak ingin kembali ke ibukota kerajaan raksasa. Ia merasa tinggal di sana sudah tidak aman lagi, lebih-lebih jika ia ingat perbuatan Sarmishta. Karena itu, ia berkata kepada Yayati, "Kau telah memegang tangan kanan seorang putri, berarti engkau harus menikahinya. Aku yakin, dalam segala hal kau pantas menjadi suamiku."
Yayati menjawab, "Wahai putri jelita, aku seorang
kesatria dan engkau seorang brahmana.* Bagaimana aku
bisa mengawini engkau" Apa mungkin putri Resi Sukra yang disegani di seluruh dunia menjadi istri seorang kesatria seperti aku" Putri yang agung, kembalilah pulang."
Setelah berkata demikian, Yayati kembali ke ibukota kerajaannya.
Sepeninggal Yayati, Dewayani tetap bertekad untuk tidak pulang ke istana. Ia memilih tinggal d
i hutan, di bawah sebatang pohon.
Sementara itu, Resi Sukra sia-sia menunggu putrinya pulang. Beberapa hari berlalu, tetapi Dewayani tak kunjung pulang. Akhirnya Resi Sukra menyuruh seseorang mencari putri kesayangannya.
Utusan itu mencari ke mana-mana. Setelah menempuh
perjalanan cukup jauh, akhirnya dia menemukan Dewa-yani yang duduk di bawah sebatang pohon di tepi hutan. Putri itu tampak sangat sedih. Matanya merah karena lama menangis. Wajahnya keruh karena marah. Utusan itu lalu bertanya, apa yang telah terjadi.
Dewayani menjawab, "Kembalilah engkau dan sampaikan kepada ayahku bahwa aku tak sudi lagi menginjakkan
kakiku di ibukota kerajaan Wrishaparwa."
Setelah mohon pamit, utusan itu kembali ke istana untuk melaporkan hal itu kepada Resi Sukra.
Mendengar laporan utusannya, Resi Sukra sangat sedih. Ia segera menemui anaknya dan menghiburnya sambil berkata, "Anakku sayang, kebahagiaan dan kesengsaraan seseorang merupakan akibat dari perbuatannya sendiri. Kalau kita bijaksana, kebajikan atau kejahatan
orang lain tidak akan mempengaruhi kita." Demikianlah
Resi Sukra mencoba menghibur anaknya.
* Menurut tradisi kuno yang disebut anuloma, perempuan dari kasta
kesatria boleh menikah dengan laki-laki dari kasta brahmana. Tetapi, perempuan dari kasta brahmana tidak dibenarkan menikah dengan lakilaki dari kasta kesatria. Tradisi kuno yang disebut pratilonia ini untuk
menjaga agar kaum wanita tidak direndahkan derajatnya ke status kasta
yang lebih rendah. Hal ini dinyatakan dalam kitab-kitab suci Sastra.
Tetapi Dewayani menjawab dengan sedih bercampur dengki, "Ayahku, biarkanlah segala kebaikan dan keburu-kanku bersama diriku karena semua itu urusanku sendiri. Tetapi jawablah pertanyaanku ini. Kata Sarmishta, anak
Wrishaparwa, ayahku seorang 'budak penyanyi' yang kerjanya hanya menyanjung-nyanjung tuannya. Benarkah" Katanya, aku ini anak seorang peminta-minta yang hidup dari belas kasihan orang. Benarkah" Sarmishta sungguh kasar. Tidak puas mengata-ngatai aku, ia menampar dan mendorongku ke dalam parit. Aku bersumpah, aku takkan
sudi hidup di wilayah kekuasaan ayahnya." Dewayani
menangis tersedu-sedu. Dengan tenang dan penuh martabat, Mahaguru Sukra berkata, "Wahai anakku Dewayani, engkau bukan anak
'budak penyanyi' raja. Ayahmu tidak hidup dengan
meminta-minta, mengemis belas kasihan orang. Engkau putri seorang resi yang dihormati dan hidup dimanja di seluruh dunia. Batara Indra, raja semua dewa, tahu akan hal ini. Wrishaparwa tidak membutakan mata terhadap hutang budinya kepada ayahmu. Tetapi, orang yang bijaksana tidak pernah mengagung-agungkan kebesarannya sendiri.
"Sudahlah, Ayah tidak akan mengatakan apa-apa lagi tentang jasa-jasa Ayah. Bangkitlah, wahai mutiara nan kemilau. Kaulah yang paling jelita di antara semua wanita. Engkau akan membawa kebahagiaan bagi keluargamu. Bersabarlah dan marilah kita pulang."
Tetapi Dewayani tetap berkeras tidak mau pulang.
Resi Sukra menasihatinya lagi, "Sungguh mulia orang
yang dengan sabar menerima caci maki. Orang yang dapat
menahan amarah ibarat kusir yang mampu menaklukkan dan mengendalikan kuda liar. Orang yang dapat membuang amarah jauh-jauh seperti ular yang mengelupas kulitnya. Orang yang tidak gentar menerima siksaan akan berhasil mencapai cita-citanya. Seperti disebutkan dalam kitab-kitab suci, orang yang tidak pernah marah lebih mulia daripada orang yang taat melakukan upacara
sembahyang selama seratus tahun. Pelayan, teman, saudara, istri, anak-anak, kebajikan dan kebenaran akan meninggalkan orang yang tak mampu mengendalikan amarahnya. Orang yang bijaksana tidak akan memasukkan kata-kata anak muda ke dalam hatinya."
Mendengar itu, Dewayani bersujud menyembah ayahnya, "Ayahanda, aku masih muda. Nasihat-nasihat Ayahanda masih sulit kupahami. Tetapi, sungguh tidak pantas bagiku untuk hidup bersama orang yang tidak mengenal sopan santun. Orang yang bijaksana tidak akan bersahabat dengan orang yang selalu menjelek-jelekkan keluarganya. Orang jahat, walaupun kaya raya, sesungguhnya adalah hina dan tidak berkasta. Orang yang taat beribadah tidak pantas bergaul dengan mereka. Hat
iku sangat marah karena keangkuhan anak Wrishaparwa. Segores luka lambat laun akan sembuh, tetapi luka hati karena kata-kata tajam akan meninggalkan goresan pedih yang seumur hidup takkan hilang."
Setelah gagal membujuk putrinya untuk pulang, Resi Sukra kembali ke istana Wrishaparwa. Sampai di hadapan Raja, dengan mata tajam ia memandangnya sambil berkata, "Walaupun dosa seseorang tidak akan segera mendapat balasan, lambat laun dosa itu pasti akan menghancurkan sumber kekayaannya. Kacha, anak Wrihaspati dan
seorang brahmacharin, telah menaklukkan pancaindranya
dan tidak pernah berbuat dosa. Ia telah melayani aku dengan penuh kepatuhan dan tidak pernah melanggar sumpahnya. Para raksasa rakyatmu beberapa kali berusaha membunuh dia, tetapi aku menghidupkannya lagi. Kini, anakku yang memegang teguh susila dicaci-maki oleh anakmu, Sarmishta. Ia bahkan mendorong anakku sampai jatuh ke parit yang dalam. Ia tidak tahan lagi tinggal dalam lingkungan kerajaanmu. Dan karena aku tidak bisa hidup tanpa dia, aku akan pergi meninggalkan kerajaanmu."
Mendengar itu, Wrishaparwa merasa terancam malapetaka. Ia berkata, "Aku tidak mengerti mengapa engkau melontarkan tuduhan itu. Tetapi, kalau engkau pergi aku
akan terjun ke dalam api."
Resi Sukra menjawab, "Yang kuinginkan hanyalah kebahagiaan anakku. Aku tidak peduli nasibmu dan nasib para raksasa rakyatmu. Dewayani anakku satu-satunya,
anak yang kukasihi melebihi hidupku sendiri. Engkau
kuijinkan mencoba menenangkan dia dan membujuknya
agar mau tetap tinggal di sini. Jika dia mau, aku tidak
akan pergi." Maka pergilah Wrishaparwa diiringkan beberapa pengawal. Mereka hendak menemui Dewayani di tepi hutan. Sesampainya di depan gadis itu, Wrishaparwa menyembah dan memohon agar Dewayani tidak meninggalkan kerajaannya.
Tetapi Dewayani berkata acuh tak acuh, "Sarmishta, yang mengata-ngatai aku anak pengemis harus menjadi dayang-dayang di rumahku dan harus menjadi pengiring-ku waktu aku dinikahkan oleh ayahku."
Wrishaparwa menerima tuntutan itu dan memerintahkan pengiringnya menjemput Sarmishta. Putri raja itu mengakui kesalahannya, lalu menyembah sambil berkata, "Baiklah aku akan menjadi dayang-dayang Dewayani seperti yang dikehendakinya. Tidak seharusnya ayahku kehilangan mahagurunya dan menerima balasan atas kesalahanku."
Dewayani menerima permintaan maaf Sarmishta. Mereka berdamai dan semua kembali ke istana Wrishaparwa.
Pada suatu hari Dewayani bertemu dengan Yayati. Ia mengulangi permintaannya dan berkata bahwa Yayati harus mengawini dia karena pernah memegang tangan kanannya erat-erat. Yayati menolak. Katanya, sebagai kesatria ia tidak dibenarkan mengawini seorang wanita berkasta brahmana. Memang kitab-kitab suci Sastra tidak membenarkan hal itu, tetapi sekali perkawinan seperti itu terjadi, tak ada yang boleh membatalkannya dan perkawinan itu sah.
Akhirnya, setelah mendapat restu dari Resi Sukra, Yayati bersedia menikahi Dewayani. Mereka hidup berbahagia bertahun-tahun lamanya. Sarmishta menepati janjinya. Ia setia melayani Dewayani sebagai dayang-dayangnya, sampai pada suatu malam diam-diam ia menemui
Yayati dan meminta pria itu mengawininya. Yayati tak
kuasa menolaknya. Diam-diam Sarmishta dijadikan istrinya.
Ketika mengetahui hal itu, Dewayani marah sekali. Ia mengadu kepada ayahnya. Resi Sukra berang, lalu mengutuk Yayati menjadi orang tua ubanan sebelum waktunya dan pria itu akan kehilangan masa mudanya.
Mengetahui dirinya dikutuk mertuanya yang sangat sakti, Yayati takut sekali. Ia pergi menghadap Resi Sukra, menyembah dan memohon ampun. Tetapi, Mahaguru Sukra belum lupa akan penghinaan yang pernah diterima anaknya.
Resi Sukra berkata, "Wahai, Tuanku Raja, engkau akan
kehilangan masa mudamu dan kemegahanmu. Kutuk-pastu yang telah kulontarkan tak dapat dibatalkan. Tetapi, engkau bisa minta tolong seseorang yang bersedia menukar ketuaanmu dengan kemudaannya. Hal ini bisa terjadi."
Demikianlah, sejak menerima kutukan mertuanya, Yayati berubah menjadi lelaki tua renta yang kehilangan keperkasaannya.
*** 7. Yayati Tua Ingin Muda Kembali
Maharaja Yayati adalah putra Raja Nahusha dan sala
h seorang nenek moyang Pandawa. Ia tidak pernah
kalah dalam peperangan. Ia selalu mengikuti petunjukpetunjuk kitab suci Sastra, menyembah Tuhan dan
menghormati nenek moyang dengan pengabdian yang tak pernah putus. Ia menjadi masyhur karena pemerintahannya ditujukan untuk kesejahteraan rakyatnya. Sayangnya,
ia cepat menjadi tua karena kutuk-pastu Mahaguru Sukra
yang diterimanya karena ia bersikap tidak adil terhadap Dewayani, istrinya. Yayati menjadi tua renta dengan cepat. Semangat hidupnya hancur, ia merasa malu dan terhina. Ia tak mampu lagi mereguk kenikmatan dunia, padahal gairah nafsunya untuk merasakan madu asmara masih menggebu-gebu.
Pada suatu hari, Yayati memanggil kelima putranya. Setelah mereka menghadap, ia berkata dengan lembut, meminta mereka agar sudi menolong ayah mereka.
Kata Yayati, "Kutuk-pastu telah dijatuhkan oleh kakekmu Mahaguru Sukra, membuatku tiba-tiba menjadi tua. Tahu-tahu aku menjadi tua sebelum waktunya, padahal aku belum puas mengecap kenikmatan duniawi.
"Ketahuilah, hai putra-putraku, sejak muda aku hidup dengan mengekang hawa nafsuku, menolak semua kesenangan duniawi walaupun kesenangan itu wajar dan tidak melanggar aturan kitab-kitab suci. Setelah menikah dengan ibu kalian, belum lama mengecap kebahagiaan, tahutahu aku menjadi tua. Sebab itu, salah seorang dari engkau hendaknya membantuku memikul bebanku, mengambil ketuaanku dan memberikan kemudaanmu padaku. Siapa di antara kamu yang bersedia menolongku akan
kuangkat menjadi raja negeri ini. Aku ingin menikmati hidupku sebagai orang muda yang penuh gairah."
Pertama-tama ia bertanya kepada putra sulungnya.
Putra sulungnya berkata, "Oh, Ayahanda Raja, semua
perempuan dan dayang-dayang akan mencemoohkan aku kalau aku menjadi tua dalam umurku sekarang. Aku tidak
sanggup menolong Ayahanda. Tanyailah adik-adikku saja."
Yayati bertanya kepada putranya yang kedua. Dengan lemah lembut pangeran itu menolak, "Ayahanda, Paduka menyuruhku menjadi tua, itu berarti Paduka menghancurkan seluruh kekuatan dan ketampananku, dan seperti yang kutahu, itu juga kebajikan. Aku tidak mampu menghadapi hal ini."
Selanjutnya, ketika giliran ditanya, putra yang ketiga menjawab, "Seorang lelaki tua tidak akan mampu naik kuda atau naik gajah dan bicaranya gemetar. Apa yang masih bisa kulakukan nanti jika tiba-tiba aku menjadi
renta" Aku tidak sanggup."
Maharaja Yayati marah mendengar penolakan ketiga putranya. Susah payah dia berusaha mengendalikan diri, menahan amarahnya, dan mencoba berharap pada putranya yang keempat. Ia berkata, "Maukah engkau mengambil ketuaanku" Maukah kau menukar kemudaanmu dengan ketuaanku, untuk sementara saja" Tidak lama. Ayah akan segera menukarnya kembali. Ayah akan mengambil kembali ketuaan itu dan itu akan membuatmu menjadi muda lagi."
Tetapi putranya yang keempat meminta maaf karena ia tidak bisa melakukan itu. Putra keempat itu tahu, sebagai lelaki tua renta nanti, hidupnya akan bergantung pada orang lain. Ia akan terpaksa selalu meminta bantuan orang lain karena tak mampu membersihkan badannya sendiri, misalnya. Karena itu, betapapun sangat mencintai ayahnya, dia tak sanggup memenuhi permintaannya.
Perasaan Yayati kacau. Ia sedih, marah, dan kesal mendengar penolakan keempat putranya. Tetapi, masih ada satu harapan, yaitu putranya yang kelima. Putra bungsunya itu belum pernah menolak permintaan atau perintahnya. Katanya, "Engkau harus menolong ayahmu. Aku hidup sengsara karena ketuaanku ini, karena kulitku yang keriput, karena rambutku yang memutih, dan karena ketidakmampuanku. Semua ini gara-gara kutuk-pastu
kakekmu, Mahaguru Sukra. Cobaan ini terlalu berat bagiku! Aku ingin menikmati masa mudaku beberapa waktu
lagi. Maukah engkau mengambil ketuaanku untuk sementara" Setelah cukup puas, aku akan segera mengembalikan kemudaanmu. Aku akan terima ketuaanku lagi dengan senang hati. Janganlah engkau menolak permintaanku seperti kakak-kakakmu."
Puru, putra bungsu Yayati yang sangat menyayangi ayahnya, berkata, "Ayahku, dengan senang hati aku akan memberikan kemudaanku kepadamu agar Ayahanda terlepas dari cengkeraman segala kedukaan dan kes
usahan dalam memerintah kerajaan. Ambillah kemudaanku dan berbahagialah Ayahanda!"
Mendengar jawaban itu, Yayati memeluk Puru. Ajaib!
Begitu menyentuh putranya, seketika itu juga dia menjadi
muda kembali. Sebaliknya, Puru tiba-tiba berubah menjadi tua.
Yayati memenuhi janjinya. Takhta kerajaan ia serahkan kepada Puru yang kemudian termasyhur sebagai raja yang memerintah dengan adil dan bijaksana.
Sementara itu, Yayati hidup lama dan menikmati kehidupan sebagai orang muda. Ia reguk segala kenikmatan duniawi dengan gairah yang tak pernah terpuaskan. Ia pergi ke Taman Kubera dan tinggal di sana selama bertahun-tahun bersama wanita-wanita cantik dan para bidadari. Bertahun-tahun ia melampiaskan hawa nafsunya dan menuruti semua keinginannya, tetapi tak pernah merasa puas. Di balik itu semua, ia merasa hidupnya
hampa dan tak berarti karena hanya mengejar kenikmatan. Akhirnya ia sadar, semua itu sia-sia.
Yayati kembali ke kerajaannya lalu menemui Puru. Kepada putranya itu ia berkata, "Anakku sayang, sekarang
ayahmu sadar. Ternyata nafsu berahi tidak dapat dilawan
dengan melampiaskannya. Ibarat memadamkan api dengan minyak. Padahal aku sudah mendengar dan membaca ajaran itu sejak muda, tetapi tidak menyadarinya. Baru setelah menjalani kehidupan serba bebas tanpa kekangan, Ayah menjadi sadar. Tak satu pun keinginan duniawi, seperti gandum, emas, sapi, perempuan, dan lain-lain, dapat membuat manusia merasa puas. Tak satu pun dapat membuat manusia merasa damai. Kita hanya dapat mencapai kedamaian dengan keseimbangan jiwa yang mengatasi segala kesenangan dan ketidaksenangan. Ketenangan jiwa dan perasaan damai yang sejati adalah karunia mulia dari Yang Maha Kuasa.
"Wahai Puru putraku, ambillah kembali kemudaanmu dan perintahlah kerajaan ini dengan bijaksana dan penuh kebajikan."
Setelah berkata demikian, Yayati memeluk putranya. Seketika itu juga ia berubah menjadi tua renta dan Puru kembali menjadi muda. Puru meneruskan pemerintahannya dengan adil dan bijaksana.
Raja Puru mempunyai putra bernama Dushmanta, yang kelak kawin dengan Syakuntala, putri angkat Resi Kanwa. Anak Syakuntala dan Dushmanta dinamai Bharata. Kelak,
anak keturunan Bharata menjadi wangsa yang termasyhur.
Setelah mendapatkan kembali ketuaannya, Yayati pergi ke hutan. Di sana ia bertapa dan menjalankan ajaran-ajaran suci hingga tiba waktunya ia kembali ke surga.
*** 8. Mahatma Widura Resi Mandawya adalah seorang resi yang telah memperoleh kekuatan jiwa dan menguasai pengetahuan tentang kitab-kitab suci. Ia mengisi hari-harinya dengan bertapa dan melaksanakan kebajikan-kebajikan sesuai ajaran suci. Ia tinggal di sebuah pertapaan di tengah hutan.
Pada suatu hari, ketika ia sedang khusyuk bertapa menyatukan jiwa dan pikirannya di bawah sebatang pohon rindang di luar pondoknya, datang segerombolan penyamun ke pertapaannya. Mereka melarikan diri ke dalam hutan, dikejar-kejar balatentara kerajaan. Mereka mengira akan aman di dalam pertapaan itu. Para penyamun itu bersembunyi di sudut pertapaan dan menyembunyikan harta mereka di sana. Sementara itu, balatentara kerajaan mengikuti jejak mereka sampai ke pertapaan itu.
Pemimpin balatentara kerajaan melihat Resi Mandawya yang sedang khusyuk bertapa, tetapi ia tidak menghormatinya. Dengan suara keras ia berkata kepada pertapa
itu, "He, pertapa, apakah kau melihat perampok lewat di sekitar sini" Ke arah mana mereka pergi" Jawablah segera
agar kami bisa menangkap mereka."
Resi Mandawya yang benar-benar sedang khusyuk beryoga, tidak menjawab apa-apa. Pemimpin itu mengulangi pertanyaannya dengan kasar. Tetapi resi itu tidak mendengar apa-apa karena khusyuk bertapa. Sementara itu, beberapa prajurit memasuki pertapaan dan menggeledah
pondok sang pertapa. Mereka menemukan barang-barang rampokan di sana. Segera saja mereka melaporkan penemuan itu kepada sang pemimpin.
Mendengar itu, sang pemimpin memerintahkan pasukannya untuk menyerbu pertapaan itu. Memang benar, semua barang curian mereka temukan di sana. Bukan hanya itu, mereka juga menemukan para perampok yang bersembunyi di situ.
Pemimpin balatentara kerajaan itu berpikir, "Seka
rang aku tahu mengapa brahmana ini pura-pura diam dan tenggelam dalam samadinya. Sesungguhnya, dialah kepala
para penyamun itu. Dialah yang merencanakan perampokan ini."
Kemudian ia memerintahkan anak buahnya mengurung pertapaan itu sementara ia pergi melapor ke istana bahwa Resi Mandawya telah ditangkap dan semua barang rampokan ditemukan di pertapaannya.
Raja sangat marah mendengar kelancangan kepala perampok yang berani menyamar sebagai seorang resi yang disegani. Tanpa memeriksa laporan itu dengan cermat, Raja langsung memerintahkan agar penjahat licik itu disiksa dengan tombak. Pemimpin balatentara itu segera kembali ke pertapaan dan memerintahkan prajurit-prajuritnya menusuki tubuh resi itu dengan tombak. Setelah puas menusuk-nusuk tubuh resi itu, mereka memancangnya dengan tombak.
Mereka meninggalkan sang resi dalam keadaan terpancang di ujung tombak yang ditegakkan. Kemudian mereka kembali ke istana untuk mempersembahkan semua barang rampokan.
Sebagai orang suci, meskipun tubuhnya hancur ditusuk-tusuk tombak, Resi Mandawya tidak mati. Ia tetap hidup karena kekuatan yoganya. Kabar tentang apa yang menimpa Resi Mandawya tersebar ke seluruh hutan. Para resi yang tinggal di bagian lain hutan itu berdatangan ke pertapaan Resi Mandawya dan menanyakan apa yang menyebabkan sang resi menderita seperti itu.
Resi Mandawya menjawab, "Siapa yang bisa disalahkan" Balatentara raja hanya melaksanakan tugas mereka, yaitu melindungi rakyat dari para penjahat. Dan para penjahat memang harus dihukum."
Raja terkejut dan cemas ketika mendengar bahwa resi yang telah ditusuk-tusuk dan dipancangkan dengan tombak ternyata masih hidup dan sedang dikerumuni resi-resi yang bertapa di hutan. Segera ia memerintahkan balatentaranya mengawalnya pergi ke hutan. Sesampainya di sana, Raja memerintahkan agar resi itu diturunkan dari tombak. Kemudian ia berlutut sambil menyembah dan meminta ampun atas perbuatan keji yang ia perintahkan.
Resi Mandawya sama sekali tidak marah kepada Raja. Setelah memaafkan Raja, ia segera menghadap Bagawan Dharma, pewarta keadilan suci yang sedang duduk di singgasananya. Sampai di sana, ia bertanya kepada Baga-wan Dharma, "Kejahatan apakah yang telah kulakukan hingga aku menerima hukuman seperti ini""
Bagawan Dharma, yang mengetahui kesaktian Resi
Mandawya, menjawab dengan hati-hati, "Wahai, Resi Mandawya, tanpa kausadari engkau sering menyiksa burung dan kumbang. Kebaikan dan kejahatan sekecil apa pun pasti akan mendapat ganjaran yang setimpal."
Resi Mandawya terkejut mendengar jawaban Bagawan
Dharma. Ia bertanya lagi, "Kapankah aku berbuat kesalahan itu""
Bagawan Dharma menjawab, "Ketika engkau masih kanak-kanak."
Resi Mandawya lalu mengucapkan kutuk-pastu pada
Bagawan Dharma, "Hukuman yang engkau putuskan sungguh keterlaluan, jauh melampaui batas kesalahan yang diperbuat oleh kanak-kanak yang tidak tahu apa-apa. Karena itu, lahirlah engkau ke dunia sebagai manusia!"
Bagawan Dharma yang di-kutuk-pastu oleh Resi Mandawya menitis, berinkarnasi dan terlahir ke dunia sebagai
Widura, yaitu pelayan Ratu Ambalika, istri Maharaja Wichitrawirya.
Kelak Widura, yang sesungguhnya adalah inkarnasi Bagawan Dharma, disegani orang-orang sebagai seorang
mahatma yang sakti dan mumpuni dalam ilmu pengetahuan tentang dharma, peradilan, sastra, dan ketatanegaraan. Widura tidak pernah mempunyai ambisi apa pun dan sama sekali tidak pernah marah. Kemudian Bhisma mengangkatnya sebagai penasihat utama Raja Dritarastra ketika Widura baru berumur belasan tahun. Menurut Bagawan Wyasa, tak ada orang yang bisa menandingi Widura di ketiga dunia ini, baik dalam ilmu pengetahuan maupun dalam kebajikan.
Suatu ketika Dritarastra mengijinkan anak-anaknya
berjudi dadu. Widura segera menyembah di kakinya sambil
berkata, "O, Tuanku Raja, hamba tak dapat menyetujui perbuatan itu. Putra-putra Tuanku akan berselisih dan berseteru karena berjudi. Mohon Paduka renungkan kata-kata hamba dan jangan ijinkan mereka berjudi."
Sayang sekali, Maharaja Dritarastra berwatak lemah.
Cintanya yang sangat mendalam kepada putra-putranya
membuatnya tak kuasa menolak permintaa
n mereka. Ia bahkan meminta Yudhistira agar mau menerima undangan
Kaurawa untuk berjudi dadu.
*** 9. Pandu Memenangkan Sayembara Dewi Kunti
Sura, kakek Sri Krishna, berasal dari keturunan baik-baik wangsa Yadawa. Putrinya, Pritha, terkenal karena kecantikan dan kebajikannya. Karena sepupunya yang bernama Kuntibhoja tidak mempunyai anak, maka Sura menyerahkan Pritha untuk diangkat anak oleh Kuntibhoja. Sejak itulah Pritha dikenal dengan nama Dewi Kunti, mengikuti nama ayah angkatnya.
Semasa Dewi Kunti masih gadis kecil, seorang resi mahasakti pernah tinggal lama di rumah ayah angkatnya. Resi itu bernama Durwasa. Dewi Kunti melayani resi tersebut dengan penuh perhatian, dengan sabar dan penuh bakti. Resi Durwasa sangat puas akan sikap bakti putri angkat tuan rumahnya. Karena itu, ia menghadiahkan mantra suci kepada gadis cilik itu. Katanya, "Jika engkau ingin memanggil seorang dewa, siapa saja, mantra suci ini akan membantumu. Dewa yang kaupanggil akan muncul di hadapanmu dan engkau akan mempunyai anak yang keagungannya sama dengan keagungan dewa yang
kaupanggil." Resi Durwasa menghadiahkan mantra itu kepada Dewi Kunti, karena dengan kekuatan yoganya ia bisa meramalkan bahwa kelak gadis itu akan menemui nasib buruk dengan suaminya.
Karena sangat ingin tahu dan tidak dapat menahan kesabarannya, Dewi Kunti mencoba kekuatan mantra itu. Diam-diam ia mengucapkan mantra itu sambil menyebut
nama Batara Surya, Dewa Matahari yang dibayangkannya bercahaya-cahaya di kahyangan. Tiba-tiba langit menjadi gelap gulita, tertutup awan tebal. Kemudian, dari balik awan muncullah Dewa Matahari mendekati Kunti yang cantik jelita. Batara Surya berdiri di dekatnya sambil memandangnya dengan takjub dan penuh gairah.
Dewi Kunti, yang berada dalam pengaruh kekuatan gaib dan keagungan serta kesucian tamunya berkata, "O Dewa,
siapakah engkau""
Batara Surya menjawab, "Wahai putri jelita, akulah
Batara Surya, Dewa Matahari. Aku terseret ke mayapada
oleh kekuatan gaib mantra yang kauucapkan untuk memanggilku."
Dengan perasaan kaget dan gembira Dewi Kunti berkata, "Aku gadis kecil yang masih berada di bawah pengawasan ayahku. Aku belum pantas menjadi ibu dan tidak pernah memimpikannya. Aku hanya ingin mencoba kekuatan mantra pemberian Resi Durwasa. Kembalilah ke
kahyangan dan maafkanlah ketololanku."
Tetapi Batara Surya tak bisa kembali ke kahyangan karena kekuatan gaib mantra itu menahannya. Melihat itu, Kunti sangat cemas kalau-kalau ia hamil padahal belum menikah. Ia takut dihina oleh seluruh dunia.
Batara Surya menghibur dan meyakinkannya, "Tak seorang pun akan menghinamu, karena setelah melahirkan anakku engkau akan kembali menjadi perawan suci."
Maka, karena karunia dan kesaktian Dewa Matahari yang memancarkan cahaya pemberi kehidupan ke seluruh muka bumi, Dewi Kunti pun mengandung. Berkat kesaktian sang Dewa juga, maka begitu mengandung seketika
itu juga ia melahirkan anaknya - tidak seperti umumnya
manusia biasa yang dikandung selama kurang lebih sembilan bulan. Anak itu dinamakan Karna karena dilahirkan
melalui telinga.* Karna terlahir lengkap dengan seperangkat senjata
karna dalam bahasa Sanskerta berarti "telinga".
perang yang suci dan hiasan telinga yang indah berkilau seperti matahari. Kelak Karna menjadi senapati perang yang mahasakti.
Meski kesuciannya tak ternoda, Dewi Kunti merasa bingung, tak tahu apa yang harus dilakukannya dengan
bayinya. Untuk menghindarkan segala kutuk dan malu,
bayi itu dimasukkannya ke dalam sebuah kotak yang tertutup rapat lalu dihanyutkannya di sungai. Seorang sais kereta kuda yang tidak punya anak menemukan kotak itu terapung-apung dihanyutkan arus air. Ia mengambil kotak itu dan membukanya. Alangkah kagetnya dia menemukan seorang bayi tampan di dalamnya.
Ia serahkan bayi itu kepada istrinya yang menerima anak itu dengan kasih ibu yang berlimpah. Demikianlah Karna, putra Batara Surya, diasuh dan dibesarkan oleh keluarga kereta kuda.
Ketika usia Dewi Kunti sudah siap untuk menikah, Raja Kuntibhoja mengundang semua putra mahkota dari kera-jaan-kerajaan tetangga untuk mengikuti sayembara agar dapat dipilih menjad
i calon suami putri angkatnya. Maka, berdatanganlah putra-putra mahkota, ingin memper-sunting Dewi Kunti yang termasyhur kecantikan dan kebajikannya.
Sayembara memperebutkan gelar mahir bela diri dan
menyusun formasi untuk pertempuran perang tanding berlangsung ketat. Para pangeran saling mengadu kesaktian dan menunjukkan kehebatan masing-masing. Setelah beberapa hari berlangsung, akhirnya Raja Pandu keluar sebagai pemenang. Dia mendapat kalungan bunga tanda kemenangan dari Dewi Kunti.
Sungguh pantaslah Raja Pandu keluar sebagai pemenang karena dia terkenal bijaksana dan perkasa dan berasal dari wangsa Bharata yang ternama. Keluhuran pribadinya mengatasi semua putra mahkota yang mengikuti sayembara itu.
Setelah upacara perkawinan yang dilangsungkan dengan khidmat, disusul pesta meriah tiga hari tiga malam,
Dewi Kunti mengikuti suaminya dan tinggal di Hastina-pura.
Atas nasihat Bhisma dan menurut adat istiadat jaman itu, Raja Pandu menikahi Dewi Madri sebagai istri kedua, untuk menjaga kelangsungan keturunannya.
*** 10. Pandawa Lahir di Hutan Pada suatu hari Raja Pandu pergi berburu di hutan. Di dalam hutan itu ada seorang resi yang sedang asyik
bercengkerama dengan istrinya dan menyamar sebagai
sepasang kijang. Pandu yang melihat sepasang kijang itu tidak menyangka bahwa mereka adalah jelmaan seorang resi dan istrinya. Dia mengangkat panahnya, membidik mereka. Dan... meluncurlah anak panah dari tangan Pandu, melesat cepat, tepat menancap pada tubuh si kijang jantan.
Kijang itu jatuh terguling. Luka berdarah-darah. Dalam
keadaan sekarat, kijang jantan itu berubah menjadi resi
dan mengucapkan kutuk-pastu terhadap Pandu, "Hai, lelaki penuh dosa, rasakan kutukanku. Engkau akan
menemui ajalmu sesaat setelah engkau menikmati olah
asmara dengan istrimu." Setelah melontarkan kutukannya,
resi itu menghembuskan napas yang penghabisan.
Pandu sungguh kaget mendengar kutukan sang resi. Dengan perasaan putus asa ia memikirkan akibat kutukan itu. Akhirnya ia memutuskan untuk mengundurkan diri dari kerajaan dan menyerahkan semua urusan kerajaan
kepada Bhisma dan Widura. Pandu memutuskan untuk
hidup mengembara di hutan bersama kedua istrinya untuk menyucikan diri dengan bersamadi dan bertapa.
Dewi Kunti sedih melihat suaminya terkena kutukpastu. Ia tahu, sebenarnya suaminya ingin sekali mempunyai keturunan tetapi tak kuasa mewujudkannya karena
kutukan itu. Sebagai istri yang mencintai dan setia kepada suaminya, ia merasa wajib menolong Pandu. Karena itu ia menceritakan rahasia mantra gaib yang diterimanya dari Resi Durwasa.
Pandu mendesak kedua istrinya untuk menggunakan mantra itu guna memanggil dewa-dewa dari kahyangan. Dewi Kunti dan Dewi Madri menyanggupi permintaan suami mereka. Bersama-sama mereka mengucapkan mantra itu dan memohon agar mereka dikaruniai anak.
Demikianlah yang terjadi. Kedua istri Pandu mengucapkan mantra dan permohonan mereka dikabulkan. Lima dewa turun dari kahyangan menemui kedua wanita itu. Kemudian, dengan cara gaib Dewi Kunti melahirkan tiga putra dan Dewi Madri melahirkan putra kembar. Kelima putra itu dibesarkan di tengah hutan dalam asuhan orangtua mereka, dibantu para resi dan para pertapa di hutan itu.
Putra Dewi Kunti yang tertua diberi nama Yudhistira, artinya 'yang teguh hati dan teguh iman di medan perang'.
Putra ini lahir sebagai titisan Batara Dharma, Dewa Keadilan dan Kematian, dan disegani karena keteguhan hatinya, rasa keadilannya, dan keluhuran wibawanya. Putra kedua diberi nama Bhima atau Bhimasena, terlahir dari Batara Bayu, Dewa Angin. Bhimasena disegani sebagai penjelmaan wujud kekuatan yang luar biasa pada manusia. Ia dilukiskan sebagai orang yang pemberani dan berperilaku kasar, tetapi berhati lurus dan jujur. Putra ketiga diberi nama Arjuna, terlahir dari Batara Indra, Dewa
Guruh dan Halilintar. Arjuna, yang berarti 'cemerlang,
putih bersih bagaikan perak' disegani sebagai penjelmaan sifat-sifat pemberani, budi yang luhur, dermawan, lembut hati dan berwatak kesatria dalam membela kebenaran dan
kehormatan. Putra kembar Dewi Madri diberi nama Nakula
dan Sahadewa dan terlahir dari Dewa Asw
in yang kembar, putra Batara Surya, Dewa Matahari. Putra kembar itu melambangkan keberanian, semangat, kepatuhan, dan persahabatan yang kekal.
Kehidupan di alam bebas di dalam hutan itu memberi pengaruh sangat besar dan mendalam bagi pertumbuhan jiwa dan raga putra-putra Pandu yang disebut Pandawa. Kelak, setelah mereka dewasa, kelima putra itu akan memegang peranan penting dalam sejarah dan membuat seisi dunia kagum.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun. Kehidupan di dalam hutan sangat tenang. Pohon-pohonan dan bermacam-macam binatang hidup damai bersama manusia yang menghuni hutan itu. Mereka bagaikan satu keluarga besar yang hidup selaras dengan alam. Memang demikianlah seharusnya, karena Yang Maha Kuasa telah menciptakan alam semesta seisinya dengan tatanan yang adil bagi setiap makhluk ciptaanNya.
Pada suatu pagi di musim semi yang indah, Pandu dan Dewi Madri duduk termangu memikirkan kutukan yang membuat mereka sengsara. Mereka sedih merasakan gairah asmara yang terpendam dan tak mungkin tersalurkan, padahal alam di sekitar mereka sedang mengenakan busananya yang terindah. Bunga-bunga bermekaran menaburkan keharuman yang semerbak, burung-burung berkicau riang dan aneka margasatwa bercengkerama memuaskan nafsu berahi dalam udara musim semi yang
segar. Pandu memandang sekelilingnya, kemudian menatap Dewi Madri yang jelita. Terpengaruh oleh keindahan alam dan suasana musim semi yang penuh gairah, ia lupa diri. Dengan penuh gairah ia memeluk Dewi Madri dan mencumbunya. Dewi Madri berusaha menolaknya, tapi tak kuasa. Mereka segera tenggelam dalam olah asmara yang
menggebu-gebu. Tetapi... tiba-tiba Pandu roboh dan
seketika itu juga menghembuskan napas yang penghabisan. Kutuk-pastu, yang dilontarkan resi yang menjelma dalam rupa kijang yang mati dipanah oleh Pandu, menunjukkan kesaktiannya.
Dewi Madri sangat sedih, lebih-lebih karena ia merasa berdosa dan bertanggung jawab atas kematian Pandu. Ia


Mahabharata Karya Nyoman S. Pendit di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

segera menghadap Dewi Kunti, memohon agar wanita itu bersedia mengasuh anak-anaknya sebab ia akan menyusul
suaminya dengan melakukan satya. Tak ada yang dapat mencegahnya. Dewi Madri melakukan satya dengan menerjunkan diri ke dalam api pembakar jenazah
suaminya. Para resi dan para pertapa yang iba melihat Dewi Kunti dan anak-anaknya kemudian mengantarkan mereka ke Hastinapura. Ketika itu Yudhistira, sulung di antara para Pandawa, baru berusia belasan tahun. Sampai di Hastina-pura, rombongan itu menghadap Bhisma. Para resi dan pertapa itu mengabarkan mangkatnya Raja Pandu dan menyerahkan Dewi Kunti dan kelima putra Raja Pandu ke dalam asuhan Bhisma. Mendengar kabar itu, seisi kerajaan berkabung. Widura, Bhisma, Wyasa, dan Dritarastra kemudian melaksanakan upacara persembahyangan untuk
mendoakan arwah Raja Pandu yang manunggal paratman
kekal abadi Bagawan Wyasa berkata kepada Satyawati, nenek Raja Pandu, "Masa lampau telah berlalu bersama suka dukanya, tetapi masa depan akan datang membawa kedukaan yang lebih menyakitkan. Dunia ini telah memikul kegairahan orang muda yang terbuai mimpi-mimpi. Sekarang dunia akan memasuki jaman yang penuh dosa, kepahitan, kesedihan, dan penderitaan. Tak ada yang bisa menghindarinya. Waktu terus berjalan, menyusuri garis takdirnya. Engkau tak usah menunggu untuk menyaksikan semua malapetaka yang akan menimpa anak keturunanmu. Akan lebih baik bagimu jika kau meninggalkan Hastinapura dan melewatkan hari-harimu dengan bersamadi dan bertapa di dalam hutan."
Satyawati menerima nasihat Bagawan Wyasa. Bersama Ratu Ambika dan Ratu Ambalika, ia pergi ke hutan. Ketiga ratu yang telah lanjut usia itu melewatkan hari-hari mereka dengan bersamadi dan menyucikan diri serta berdoa agar anak keturunan mereka terhindar dari malapetaka. Itulah yang mereka lakukan, hari demi hari, bulan demi
bulan, sampai mereka mencapai moksha.
*** 11. Bhima Menjadi Sakti karena Racun dan Bisa
Pandawa, kelima putra Pandu, dan Kaurawa, keseratus putra Dritarastra, tumbuh bersama di lingkungan istana di Hastinapura. Mereka bermain bersama. Mereka bersama-sama mempelajari segala macam ilmu pengetahuan dan i
lmu ketatanegaraan yang harus dikuasai oleh para putra raja.
Bhima, Pandawa yang kedua, adalah yang paling kuat badannya di antara mereka semua. Ia mampu mengalahkan Duryodhana dan Kaurawa lainnya dengan menyeret rambut mereka dan menggebuki mereka. Ia juga sangat terampil berenang. Ia suka menyeret tiga-empat orang Kaurawa ke tepi sungai, merangkul mereka erat-erat, lalu membawa mereka menyelam sampai ke dasar sungai. Tak ada Kaurawa yang mampu melawan atau menandinginya. Mereka tak berdaya melawan Bhima.
Pada suatu hari, ketika para Kaurawa sedang asyik bermain-main di atas pohon raksasa, Bhima datang. Putra Pandu itu lalu menggoyang-goyang pohon itu dan menendanginya. Karena kekuatan Bhima yang luar biasa, para Kaurawa terpelanting berjatuhan seperti buah-buah
ranum. Begitulah, tidak jarang anak-anak Dritarastra babak belur gara-gara Bhima. Tidak mengherankan jika kelak di kemudian hari Kaurawa sangat membenci Bhima. Bibit kebencian itu sudah tersemai sejak mereka masih kanak-kanak.
Setelah mereka semua cukup besar, Mahaguru Kripa
mengajari mereka ilmu memanah dan menggunakan berbagai senjata perang serta ilmu-ilmu lain yang harus dikuasai putra-putra raja.
Duryodhana yang iri, dengki, dan sangat membenci Bhima suka berbohong dan melakukan perbuatan jahat terhadap Bhima. Sebenarnya, dalam hati Duryodhana sangat khawatir akan kehilangan haknya atas takhta
Kerajaan Hastina. Sebelumnya, Kerajaan Hastina diperintah oleh Pandu, pamannya, karena ayahnya buta. Setelah Pandu meninggal, kemungkinan besar takhta kerajaan
akan diberikan kepada Yudhistira, setelah putra sulung
Pandu itu dewasa. Karena ayahnya buta dan tidak bisa berbuat apa-apa, Duryodhana berpikir bahwa ia harus menghalang-halangi Yudhistira naik takhta. Ia ingin membunuh Bhima, Pandawa yang paling perkasa. Setelah Bhima mati, kekuatan Pandawa pasti akan hancur.
Demikianlah, Duryodhana membuat persiapan untuk melaksanakan niat jahatnya. Ia dan adik-adiknya mengatur siasat untuk menenggelamkan Bhima ke dasar Sungai
Gangga, kemudian mencederai Arjuna dan Yudhistira, dan
yang terakhir merampas kerajaan.
Bersama adik-adiknya dan Pandawa, Duryodhana pergi ke Sungai Gangga untuk berenang. Setelah puas berenang dan merasa lelah, mereka makan lalu beristirahat di dalam kemah. Di antara mereka, Bhima yang paling lelah karena dialah yang paling jauh dan paling lama berenang.
Bhima merebahkan diri di pinggir sungai. Kepalanya pening sekali. Dia tidak tahu, makanan yang dilahapnya tadi telah diracuni oleh Duryodhana dan adik-adiknya. Melihat Bhima terbaring lemas, Duryodhana segera mengikat sepupunya itu dengan ranting-ranting pohon berduri dan menutupi tubuhnya dengan daun-daun gatal. Kemudian mereka melemparkan Bhima ke papan lebar yang dipasangi paku-paku tajam beracun. Mereka memperkirakan, jika Bhima jatuh di papan itu, ia pasti akan mati tertusuk paku beracun.
Tetapi Bhima tidak jatuh menimpa papan berpaku-paku itu. Dia jatuh ke sungai. Segera sekujur tubuhnya dipatuki oleh ular-ular yang sangat berbisa. Berkat lindungan dewata, bisa ular-ular itu justru melawan racun yang dimasukkan ke dalam makanan Bhima. Racun dan bisa itu saling berlawanan lalu menjadi tawar di dalam tubuh Bhima.
Belum jauh dihanyutkan arus, Bhima dihempaskan oleh pusaran air ke tepian di seberang sungai.
Dengan gembira, Duryodhana yang mengira Bhima mati karena keracunan makanan, tusukan paku-paku tajam beracun, dan gigitan ular-ular berbisa, kembali ke istana bersama adik-adiknya.
Sampai di istana, Yudhistira menanyakan Bhima kepada Duryodhana. Putra Dritarastra itu menjawab bahwa Bhima telah lebih dulu kembali ke istana. Yudhistira percaya pada kata-kata sepupunya itu. Ia pulang ke tempat tinggal Dewi Kunti dan para Pandawa. Sampai di sana, ia bertanya kepada ibunya, apakah Bhima sudah kembali. Ternyata Bhima belum kembali. Yudhistira jadi curiga, jangan-jangan Bhima terkena celaka.
Bersama Arjuna, Yudhistira kembali ke tepi sungai untuk mencari Bhima. Mereka menyusuri sungai, ke hulu dan ke hilir, tetapi tak dapat menemukan Bhima. Hari sudah gelap. Akhirnya mereka pulang dengan perasaan sedih.
Sementara itu, Bhima siuman lalu bangkit. Dia melihat
sekelilingnya. Langit sudah gelap. Untunglah bintang-bintang mulai bermunculan. Setelah mengamati sekelilingnya dengan cermat, Bhima tahu bahwa dirinya terdampar di seberang sungai. Dengan kekuatan baru entah dari mana, Bhima berenang ke seberang lalu berjalan pulang ke istana.
Dewi Kunti dan Yudhistira menyambutnya dengan sukacita. Kekhawatiran mereka berganti gembira karena ternyata racun dan bisa yang merasuki tubuh Bhima tidak
membuatnya mati; sebaliknya, Bhima justru bertambah
kebal, sakti, dan perkasa.
Dewi Kunti menceritakan kejadian itu kepada Widura. Katanya, "Duryodhana memang jahat dan kejam. Ia mencoba membunuh Bhima karena ingin menguasai kerajaan
ini. Aku sungguh cemas."
Widura menjawab, "Apa yang engkau katakan itu benar,
tetapi simpanlah semua itu dalam hatimu. Sebab, jika Duryodhana dipersalahkan, dia akan semakin marah dan benci kepada Bhima. Anak-anakmu telah mendapat restu
untuk hidup lama. Engkau tidak perlu cemas."
Yudhistira menasihati Bhima. Katanya, "Jangan engkau
ceritakan kejadian pahit yang menimpamu. Simpan saja itu dalam hatimu. Tetapi, mulai sekarang kita harus berhati-hati, waspada, dan saling menjaga keselamatan."
Alangkah kagetnya Duryodhana keesokan harinya ketika melihat Bhima masih hidup. Iri dan dengkinya semakin menjadi-jadi. Ia menarik napas dalam-dalam, seakan hendak menanamkan kebenciannya yang menggelegak itu ke dalam lubuk hatinya. Napas dalam dan panjang itu diakhirinya dengan kata-kata, "Bhima harus
dimusnahkan!" Kecuali kepada Resi Kripa, Kaurawa dan Pandawa juga berguru kepada Mahaguru Drona, seorang resi mahasakti,
ahli ilmu perang tanding dan perang brubuh atau perang
habis-habisan. Setelah usaha mereka gagal, Kaurawa minta bantuan Mahaguru Drona untuk membinasakan Bhima.
Mahaguru Drona yang lebih menyayangi Kaurawa menyanggupi permintaan mereka. Segera ia memanggil Bhi-ma. Setelah pangeran perkasa itu menghadap, disuruhnya
Bhima mencari tirtha prawidhi atau air suci kehidupan.
Katanya, "Wahai, muridku Bhima yang perkasa,
pergilah engkau mencari tirtha pramidhi. Carilah sampai
dapat. Jangan kembali jika belum berhasil. Ketahuilah,
barang siapa memiliki tirtha pramidhi, dia akan dapat
memahami hidup ini dan akan mampu mengenal asal, arah dan tujuan hidup manusia, yaitu sangkan paraning dumadi.
"Pergilah anakku. Jangan pernah ragu, karena orang yang ragu takkan pernah berhasil."
Bhima, yang tidak pernah banyak berpikir sebelum bertindak, langsung berangkat. Ia siap menjalankan perintah gurunya, karena yakin tak mungkin guru yang dihormatinya itu akan mencelakakannya. Ia tidak peduli, meskipun ibunya menghalanginya. Sebagai ibu, Dewi Kunti, yang curiga bahwa ada rencana jahat di balik perintah itu, mencemaskan keselamatan putranya.
Bhima bersujud di depan ibunya, memohon restu, lalu dengan cepat berjalan masuk ke hutan rimba. Ia menjelajahi hutan, menyusuri lembah-lembah di kaki gunung, memasuki gua-gua gelap di kaki Gunung Candramukha.
Tetapi, tirtha pramidhi tak juga ditemukannya. Bhima tak
peduli pada binatang buas, raksasa, setan atau jin yang mengganggunya dalam pengembaraannya. Mereka semua berhasil dikalahkannya.
Pada suatu hari ia harus berhadapan dengan dua
raksasa sakti, Rukmukha dan Rukmakhala. Ia menantang
kedua raksasa itu untuk berkelahi. Tantangan diterima. Dengan kekuatan bagaikan letusan gunung berapi, ia menerjang kedua raksasa itu. Keduanya tewas seketika. Begitu terbanting ke tanah, kedua raksasa itu menjelma menjadi Batara Indra dan Batara Bayu, yaitu ayah Bhima sendiri.
Batara Indra memberinya mantra Jalasengara dan Batara Bayu memberinya satu ikat pinggang sakti. Kedua hadiah itu akan menjadi bekal baginya untuk mengarungi samudera paling dalam di mana pun di dunia. Kemudian Batara Bayu memberinya petunjuk bahwa air hidup yang dimaksud terletak di dalam Telaga Gumuling, di tengah rimba Palasara. Di dalam rimba belantara itu Bhima harus menghadapi seekor naga raksasa sebesar Gunung Semeru yang bernama Anantaboga.
Bhima mengucapkan terima kasih, lalu pergi ke rimba Palasara. Sampai di tepi Telaga Gum
uling, Bhima disambut oleh naga raksasa Anantaboga yang langsung menyerangnya. Naga itu mengibas-ibaskan ekornya dan membelit badan kesatria Pandawa itu. Dengan Pancanaka, kuku ibu jarinya yang sakti, Bhima menusuk leher Anantaboga dan memutus tali nyawanya. Anantaboga menggelepar-gelepar sebentar, lalu menggeletak mati, tak bergerak.
Ajaib! Mayat Anantaboga lenyap, menjelma menjadi Dewi Maheswari. Sesungguhnya Dewi Maheswari adalah
bidadari yang di-kutuk-pastu oleh Sang Hyang Guru
Pramesti. Ia terpaksa menjalani hukuman sebagai naga raksasa. Dari Dewi Maheswari, Bhima mendapat petunjuk di mana ia bisa menemukan tirtha prawidhi, yaitu di dasar samudera raya.
Dengan mantra Jalasengara pemberian Batara Indra, Bhima mengarungi Samudera Selatan yang penuh gelombang bergulung-gulung setinggi gunung. Di dalam samu-dera itu ia harus menghadapi naga besar Nawatnawa yang menyemburkan hujan berbisa. Tetapi, berkat apa yang dialaminya di Sungai Gangga, badannya menjadi kebal. Dan berkat ikat pinggang pemberian Batara Bayu, ia bisa mengambang di samudera raya. Dengan tangkas ia menaklukkan Nawatnawa, mencekiknya, dan menusuk lehernya dengan kuku Pancanaka. Seketika itu, matilah Nawatnawa. Tetapi, setelah tiga pertarungan berat itu, Bhima menjadi sangat lelah. Ia membiarkan dirinya diombang-ambingkan gelombang raksasa dan dihempaskan ke sebuah karang emas. Seorang diri, tanpa pertolongan siapa
pun. Ketika itulah muncul Dewa Ruci yang sangat kasihan melihat Bhima. Ia memancarkan sinar cemerlang yang menyebabkan Bhima siuman. Alangkah kagetnya Bhima melihat seorang manusia yang sangat kecil namun sangat mirip dengan dirinya.
Manusia itu berkata, "Aku ini Dewa Ruci yang disebut juga Nawaruci. Aku datang untuk menolongmu Bhima-sena. Wahai kesatria perkasa, masuklah ke dalam telingaku. Di dalam diriku, engkau akan menemukan apa yang kaucari!"
Bhima heran sekali mendengar perintah manusia mungil itu. "Bagaimana mungkin tubuhku yang sebesar ini bisa masuk merasuk ke dalam tubuhnya yang sekecil
itu"", pikirnya terheran-heran.
Ketika Bhima masih ragu-ragu, Dewa Ruci berkata, "Sesungguhnya, tempat ini adalah tempat yang kosong dan sunyi, tak ada apa-apa, tak ada busana atau pakaian, tak ada boga atau makanan. Semua serba sempurna. Ketahuilah, selama ini engkau hanya setia pada ucapan, mengabdi pada gema, yaitu bentuk segala kepalsuan."
Uraian hakikat hidup yang gaib itu membuat Bhima tercengang, tak kuasa berkata-kata.
Dewa Ruci melanjutkan, "Siapakah yang lebih besar,
wahai Panduputra, engkau atau alam semesta yang ada di dalam tubuhku" Aku adalah jagad besar atau makro-kosmos dan engkau adalah jagad kecil atau mikrokosmos
yang ada di dalam aku."
Bhima yang semula ragu, apakah dia akan bisa masuk ke dalam lubang telinga Dewa Ruci, menjadi mantap setelah mendengar uraian ringkas itu. Tanpa ragu ia melaksanakan perintah manusia mungil itu.
Begitu memasuki telinga Dewa Ruci, Bhima merasa seakan-akan berada di alam kosong, berhadapan dengan suatu wujud berbentuk gading yang memancarkan sinar putih, merah, kuning, dan hitam perlambang jiwa manusia
dengan sifat-sifat murninya. Sinar putih melambangkan
kemurnian budi, sinar merah melambangkan watak berangasan dan lekas marah, sinar kuning melambangkan keinginan-keinginan manusiawi, dan sinar hitam melambangkan angkara murka dan keserakahan.
Kemudian Bhima melihat tiga wujud seperti boneka dari emas, gading dan permata. Ketiganya melambangkan tiga dunia. Masing-masing disebut Inyanaloka atau lambang badan jasmani, Guruloka atau lambang alam kesadaran, dan Indraloka atau lambang dunia rohani.
Demikianlah, di dalam tubuh Dewa Ruci, Bhima mendengarkan penjelasan panjang lebar tentang hakikat manusia dengan segala nafsunya dan hakikat alam semesta yang terbagi menjadi tiga tataran.
Kemudian, tanpa disadarinya, Dewa Ruci yang gaib dan agung itu lenyap dari mata batinnya. Bhima tersadar. Tahulah Bhima bahwa dia telah menemukan apa yang harus dicarinya, yaitu tirtha prawidhi, air suci atau air kehidupan, perlambang hakikat dirinya dan hakikat alam semesta.
*** 12. Karna, Anak Sais Kereta Kuda
Putra-putra P andawa dan Kaurawa mempelajari ketram-pilan menggunakan berbagai senjata perang dan berlatih berperang di bawah bimbingan Mahaguru Kripa dan Mahaguru Drona. Setelah cukup lama belajar dan berlatih,
kedua mahaguru itu menentukan hari baik untuk menguji kecakapan mereka di hadapan Raja, para kerabat, para panglima dan rakyat.
Pada hari yang telah ditentukan, semua hadir di sekeliling arena olah senjata di istana untuk menyaksikan para putra raja yang mereka kasihi bertanding memperlihatkan kemahiran masing-masing.
Di antara semua pangeran yang akan diuji kebolehannya, Arjunalah yang memiliki kemampuan melebihi para pangeran lainnya. Ketika memasuki arena, ia disambut tepuk tangan gemuruh dan sorak sorai membahana. Semua yang hadir mengelu-elukannya. Melihat sambutan luar biasa yang diterima sepupunya, Duryodhana mengerutkan alisnya yang hitam tebal. Wajahnya keruh dan
matanya menyorotkan rasa dengki, amarah dan iri hati.
Satu per satu para pangeran dipanggil ke tengah arena untuk menunjukkan kemahiran mereka dengan saling berlaga. Tak satu pun dapat mengalahkan kesaktian dan kemahiran Arjuna. Pagi berganti siang, siang berganti sore, dan sore merambat menjadi senja temaram. Suasana di arena semakin seru. Tak henti-hentinya rakyat bersorak-sorai memberi semangat kepada pangeran pujaan mereka.
Dalam keremangan senja, tiba-tiba terdengar suara gemuruh menderu-deru dari arah gerbang arena, disusul
ledakan menggelegar seperti sambaran halilintar. Itu adalah bunyi ledakan senjata hebat sebagai tanda adanya tantangan kepada sang pemenang ujian laga hari itu.
Semua kepala menoleh ke arah gerbang. Orang-orang
menyibak, memberi jalan bagi seorang pemuda gagah perkasa yang wajahnya bersinar-sinar. Pemuda itu maju ke tengah arena, mendekati Arjuna tanpa mempedulikan Mahaguru Kripa dan Mahaguru Drona.
Para Pandawa, yang tidak mengetahui bahwa pemuda itu adalah Karna, saling berpandangan dengan hati bertanya-tanya. Mereka tidak tahu suratan nasib yang sedang mereka hadapi. Mereka tidak tahu, sesungguhnya Karna adalah saudara mereka satu ibu.
Sampai di depan Arjuna, Karna berkata dengan suara
lantang dan bergema bagai guruh, "Wahai Arjuna, aku
menantangmu adu kemahiran olah senjata. Akan kuperli-hatkan padamu, siapa sesungguhnya yang lebih sakti di antara kita berdua."
Tiba-tiba Mahaguru Drona bangkit berdiri lalu meninggalkan tempat duduknya. Sementara itu, Karna yang sangat ingin menunjukkan kesaktiannya, dengan mudah dan dengan sikap tak peduli dapat menandingi semua kecakapan olah senjata yang ditunjukkan oleh Arjuna.
Melihat itu, Duryodhana merasa senang. Dia maju ke tengah arena, menyalami Karna, lalu memeluknya eraterat sambil berkata, "Selamat datang wahai kesatria sejati.
Senjata Tuan sungguh luar biasa. Kami sungguh beruntung Tuan sudi datang kepada kami. Kami, keturunan wangsa Kuru, siap menunggu perintah Tuan."
Karna menjawab, "Aku, Karna, berterima kasih kepadamu, wahai Pangeran. Hanya dua hal yang aku butuhkan di sini. Pertama, cinta kasihmu. Kedua, kesempatan untuk bertarung melawan Partha alias Arjuna."
Sekali lagi Duryodhana memeluk Karna erat-erat sambil berkata, "Semua harta kekayaanku akan kuserahkan
kepadamu demi kebahagiaanmu, Tuan."
Rasa bangga memenuhi dada Duryodhana. Tingkah
laku dan ucapannya membuat Arjuna tersinggung dan marah sekali. Dengan tajam ia memandang Karna yang berdiri tegak dengan angkuhnya sambil menerima salam dari para Kaurawa. Arjuna berkata, "Hai Karna, akan kubunuh dan kukirim
engkau ke neraka. Berani benar kau masuk ke arena ini
tanpa diundang dan bicara sombong di depan kami semua."
Karna tertawa terbahak-bahak, lalu berkata dengan nada mengejek, "Arena ini terbuka bagi siapa saja, hai
Arjuna! Bukan hanya bagimu. Kekuasaan yang bertuah
adalah kekuasaan yang berdaulat, dan hukum ditata berdasarkan kedaulatan itu. Tetapi, apa gunanya banyak
cakap" Cakap kosong adalah senjata kaum lemah. Bidikkan panahmu, jangan kata-kata!"
Mahaguru Drona memberi isyarat, mengijinkan Arjuna menerima tantangan itu. Segera setelah berpelukan dengan saudara-saudaranya, Arjuna berdiri tegak, siap untuk bertanding.
Sementara itu, Karna yang senang karena sambutan hangat Kaurawa, segera bersiap untuk menghadapi Arjuna.
Hari menjelang malam, namun tiba-tiba langit menjadi terang benderang seakan-akan para dewata dan orangtua para pahlawan datang hendak mengelu-elukan putra-putra mereka dalam olah perang tanding. Memang demikianlah, Batara Indra Dewa guruh dan petir, Batara Bhaskara Dewa sinar abadi, serta Batara Surya Dewa matahari muncul di angkasa. Semua yang hadir di sekeliling arena terpana melihat keajaiban itu.
Sementara itu, begitu melihat Karna yang tampan, Kunti langsung mengenali putra sulungnya. Ia terkejut, sedih dan cemas melihat kedua putranya berhadapan, siap mengadu kesaktian. Tak kuasa menahan kegalauan hatinya, Dewi Kunti jatuh pingsan. Widura menolongnya hingga sadar kembali. Dewi Kunti berdiri terpaku, tak tahu
harus berbuat apa. Ketika Arjuna dan Karna telah siap untuk berperang tanding, Mahaguru Kripa yang menguasai aturan segala jenis pertempuran, turun ke tengah arena lalu berdiri di antara keduanya. Kemudian ia berkata, "Putra raja yang siap bertempur dengan Tuan ini adalah putra Pritha dan Pandu dan berasal dari keturunan wangsa Kuru. Sadarlah, wahai kesatria perkasa, nenek moyang Tuan dan wangsa Tuan telah memberikan contoh mulia tentang asal usul
Tuan. Hanya setelah mengetahui asal usul Tuan, Partha
boleh bertempur melawan Tuan. Menurut aturan perang tanding, putra raja yang bergaris kelahiran mulia tidak boleh bertanding melawan seorang petualang yang tak dikenal."
Mendengar kata-kata mahaguru itu, serta merta Karna tertunduk lunglai bagai sekuntum teratai layu. Tetapi Duryodhana bangkit, berdiri tegak, lalu berkata lantang, "Kalau perang tanding ini tak bisa dilangsungkan hanya karena Karna bukan seorang putra raja, mudah saja. Aku nobatkan Karna sebagai Raja Angga."
Setelah berkata begitu, ia meminta Bhisma dan Drita-rastra untuk mempersiapkan upacara penobatan. Mahkota bertahtakan permata dan semua lambang kebesaran raja segera disiapkan. Dalam waktu singkat, Karna, yang masuk ke arena sebagai anak seorang sais kereta, dinobatkan menjadi raja Kerajaan Angga. Dengan demikian, martabat kedua orang muda itu kini sepadan.
Ketika keduanya siap bertanding, tiba-tiba muncullah Adhirata, ayah angkat Karna. Sambil mengacungkan tongkatnya, ia maju ke depan. Tubuhnya gemetar karena amat cemas. Adhirata terkejut melihat anaknya mengenakan mahkota raja.
Melihat ayahnya, Karna mengunjukkan sembah hormat dengan kepala tunduk. Adhirata memeluknya dengan tangan gemetar dan air mata berlinang-linang. Hatinya terharu, penuh cinta berlimpah-limpah. Wajahnya yang sudah keriput teperciki air suci yang menetes dari mahkota
Karna. Pada saat itulah Bhima tertawa terbahak-bahak sambil berkata, "Oo, ternyata ia anak sais kereta kuda. Tariklah kereta dan paculah kudamu seperti yang dikerjakan
ayahmu! Engkau tak cukup berharga untuk mati di tangan
Arjuna. Kau juga tidak pantas menjadi raja Kerajaan
Angga." Mendengar kata-kata Bhima yang tajam, bibir Karna bergetar karena sangat marah. Begitu marahnya dia, hingga tak kuasa berkata-kata. Ia hanya menatap matahari
yang sedang tenggelam di yojana barat sambil menarik
napas panjang. Tetapi, Duryodhana berteriak memotong kata-kata Bhima yang menghina, "Hai Wrikodara, tak pantas engkau berkata demikian. Hakikat seorang kesatria adalah keberaniannya, bukan asal kelahirannya. Karena itu, tak ada gunanya kau bicara tentang asal usul seorang pahlawan besar atau mata air sungai yang mahaluas. Aku bisa berikan ratusan orang yang berasal dari kelahiran sederhana sebagai contoh bagimu. Aku tahu, sungguh
tidak enak ditanyai mengenai asal usul. Lihatlah kesatria
ini, perawakan dan sikapnya bagai dewata. Senjata dan anting-antingnya yang kemilau! Lihatlah kemahirannya mempergunakan berbagai senjata! Pastilah ada sesuatu yang tersembunyi tentang dirinya. Sebab, bukankah tidak mungkin seekor harimau lahir dari perut seekor biri-biri" Katamu ia tidak pantas menjadi Raja Angga. Sebaliknya, aku menganggap dia sangat berharga dan pantas memerintah seluruh dunia."
Setelah berkata begitu, Duryodhana menya
mbar Karna, menaikkan ke keretanya, lalu memacu kereta itu secepat kilat, meninggalkan arena.
Matahari pun langsung lenyap dari angkasa. Langit gelap gulita. Rakyat bubar dengan ribut. Suasana kacau balau. Orang berkelompok-kelompok membicarakan peristiwa yang baru saja terjadi. Ada yang memuji Arjuna, ada yang memuji Karna, ada pula yang memuji Duryodhana.
Batara Indra tahu, pertarungan sengit antara putranya
dan putra Batara Surya tak mungkin dihindari lagi. Jika
tidak saat ini, pasti akan terjadi kelak di kemudian hari.
Untuk melunturkan kesaktian Karna, Batara Indra menyamar sebagai seorang brahmana. Ia pergi menemui Karna yang terkenal sangat dermawan. Ia memohon agar diberi anting-anting dan senjatanya. Karna tak dapat menolak permintaan seorang brahmana, walaupun Batara Surya telah memperingatkannya dalam mimpi, bahwa Batara Indra akan mencoba mencuri kesaktiannya. Akhirnya, Kar-na memberikan anting-anting dan senjata yang dibawanya sejak lahir kepada brahmana itu.
Batara Indra kaget tetapi senang menerima pemberian itu. Ia memuji Karna yang rela meluluskan permintaan itu. Karena malu melihat ketulusan hati Karna, Batara Indra menawarkan senjata sakti kepada pemuda itu.
Karna menjawab, "Aku ingin memiliki senjatamu yang sakti, agar aku mampu mengalahkan semua musuhku."
Batara Indra mengabulkan permintaan Karna dan memberikan mantra senjatanya yang mahasakti sambil berkata, "Senjata ini hanya akan dapat engkau gunakan satu kali saja. Siapa pun musuhmu, betapa pun saktinya dia, kau pasti dapat memusnahkannya dengan senjata ini. Tetapi, setelah sekali kaugunakan, kau tidak dapat menggunakannya lagi. Dan... ingat, begitu selesai kaugunakan, senjata ini harus kaukembalikan kepadaku." Setelah berkata
demikian, Batara Indra kembali ke kahyangan.
Berbekal senjata pemberian Batara Indra, Karna pergi menemui Parasurama. Ia menyamar sebagai seorang brahmana agar diterima menjadi muridnya. Dari Parasurama ia mempelajari mantra agar dapat mempergunakan senjata terunggul yaitu Brahmastra.
Pada suatu hari, Parasurama meletakkan kepalanya di pangkuan Karna dan jatuh tertidur. Seekor serangga menyelinap ke kaki Karna dan menggigit pahanya sampai berdarah. Walaupun sangat kesakitan, sedikit pun Karna tidak bergerak karena khawatir gurunya akan terganggu
tidurnya. Beberapa waktu kemudian saat Parasurama terbangun dan melihat darah mengalir dari paha Karna, ia berkata, "Muridku terkasih, engkau pasti bukan seorang brahmana. Hanya seorang kesatria sejati yang dapat menahan segala siksa ragawi tanpa bergerak sedikit pun. Katakan padaku, siapa sebenarnya dirimu."
Karna mengaku bahwa ia telah berdusta dengan menyamar sebagai brahmana. Ia berkata bahwa sesungguhnya dirinya hanyalah anak sais kereta kuda.
Mendengar itu, Parasurama menjadi marah dan mengucapkan kutuk-pastu pada Karna, "Hai, anak muda, berani
benar engkau menipu gurumu. Sebagai hukuman, Brah-mastra yang telah engkau pelajari takkan bisa kaugunakan di saat yang menentukan hidup-matimu. Engkau takkan mampu mengingat mantra panggilan itu pada saat engkau memerlukannya."
Kelak, ketika melawan Arjuna di medan perang Kuruk-shetra, Karna tak bisa mengingat mantra pemanggil senjata Brahmastra karena kutuk-pastu Parasurama.
Setelah diusir oleh Parasurama, Karna kembali ke Angga dan kemudian menjadi kawan tepercaya Duryodhana. Sampai saat terakhir hidupnya, Karna selalu setia kepada Kaurawa bersaudara karena merekalah yang telah memberinya kehidupan yang lebih baik dan selalu menghargainya sebagai kesatria yang sederajat. Dalam perang besar Bharatayuda, setelah Bhisma dan Drona mangkat, Karna diangkat menjadi senapati agung yang memimpin balatentara Kaurawa dengan gagah berani.
*** 13. Drona, Seorang Brahmana - Kesatria
Drona adalah putra seorang brahmana bernama Bha-radwaja. Setelah selesai mempelajari berbagai kitab Weda dan Wedangga, Drona memusatkan hati dan pikirannya untuk mempelajari seni dan keahlian mempergunakan senjata dan peralatan perang. Karena bakat dan ketekunannya, ia menjadi mahir dalam olah senjata dan menguasai ilmu perang.
Brahmana Bharadwaja berkawan dengan Raja
Panchala yang mempunyai putra bernama Drupada. Pangeran ini adalah kawan Drona dalam belajar olah senjata dan ilmu perang. Di antara mereka tumbuh rasa persahabatan yang erat dan mereka saling mengasihi. Semasa masih sama-sama belajar itu, Drupada sering berkata kepada Drona, kelak jika ia naik takhta menjadi raja, setengah kerajaannya akan diberikannya kepada Drona.
Setelah tamat belajar, Drona menikah dengan adik Kripa dan dikaruniai seorang putra yang diberi nama Aswatthama. Ia sangat mencintai istri dan anaknya dan demi mereka ia berusaha keras untuk memperoleh kekayaan yang sebelumnya tak pernah terpikirkan olehnya.
Pada suatu hari, ia mendengar bahwa Parasurama sedang membagi-bagikan kekayaannya kepada para brahmana. Ia lalu pergi menemui Parasurama. Tetapi sayang, ia datang sangat terlambat. Parasurama telah membagikan semua kekayaannya kepada para brahmana dan telah bersiap hendak pergi ke hutan untuk bertapa. Karena ingin
memberikan sesuatu kepada Drona, Parasurama menawarkan untuk mengajarkan ilmu olah senjata berat kepada Drona karena itulah keahliannya.
Drona menyambut tawaran itu dengan gembira, lebih-lebih karena ia sendiri sudah mahir berolah senjata. Setelah menyerap ilmu yang diberikan Parasurama, ia menjadi ahli dalam olah segala macam senjata dan ahli siasat perang yang tiada tandingnya. Keahliannya itu membuatnya mampu menjadi guru di istana raja mana pun.
Sementara itu, Raja Panchala wafat dan Drupada dinobatkan sebagai raja menggantikan ayahnya. Ingat akan persahabatannya dan janji Drupada untuk memberinya setengah dari kerajaannya setelah ia naik takhta, pergilah Drona menemui sahabatnya itu. Ia yakin, Drupada pasti akan menyambutnya dengan gembira dan memenuhi janjinya.
Tetapi, sampai di istana Panchala, Drona kecewa karena sambutan Drupada sangat dingin. Raja baru itu tidak peduli padanya dan tampak tidak senang melihatnya. Drupada bahkan berpura-pura tidak kenal, meskipun Drona sudah memperkenalkan diri dan mengingatkannya akan persahabatan mereka.
Drupada yang haus kekayaan dan kekuasaan berkata, "Hai brahmana, betapa lancangnya engkau, mengatakan aku ini temanmu. Persahabatan seperti apakah yang ada
antara seorang raja dan seorang pengemis pengembara"
Kau pasti gila, mengatakan ada persahabatan di masa lalu antara aku, raja kerajaan ini, dengan kau, pengemis miskin. Tak mungkin aku yang kaya raya dan terpelajar bersahabat dengan pengemis miskin yang tak jelas asal usulnya. Persahabatan hanya bisa terjalin di antara mereka yang sederajat."
Setelah berkata demikian, Drupada menyuruh hulubalangnya mengusir Drona.
Dengan perasaan malu dan amarah yang terpendam, Drona meninggalkan istana sahabatnya. Hatinya panas oleh kebencian dan dendam yang membara. Ia bersumpah
akan membalas dendam dan menghukum Drupada yang angkuh dengan penghinaan seperti yang telah diterimanya. Dari Panchala, Drona pergi ke Hastinapura untuk mencari pekerjaan sebagai guru. Di sana untuk sementara ia tinggal di rumah kakak iparnya, yaitu Mahaguru Kripa.
Pada suatu hari, para putra raja bermain di luar gerbang istana. Ketika sedang asyik bermain, bola dan cincin
Yudhistira jatuh ke dalam sumur. Mereka menghentikan
permainan dan berdiri mengelilingi sumur itu. Mereka hanya bisa memandangi bola dan cincin yang tampak
berkilau di dasar sumur. Tak seorang pun tahu bagaimana
cara mengambilnya. Ketika itulah, tahu-tahu datang seorang brahmana berkulit hitam. Brahmana itu memandang mereka sambil tersenyum.
"Wahai, para Pangeran, Tuan-Tuan adalah keturunan
wangsa Bharata yang perkasa," kata brahmana itu mengejutkan mereka. "Mengapa Tuan-Tuan tidak bisa mengambil bola itu dari dalam sumur" Bukankah siapa pun yang mahir berolah senjata perang mengetahui cara
mengambil bola itu" Atau ... bolehkah aku menolong
kalian"" Yudhistira berkata sambil tertawa, "Wahai, Brahmana, kalau kau memang bisa mengambil bola itu, kami akan menjamu engkau dengan makanan enak di rumah Mahaguru Kripa."
Brahmana berkulit hitam itu mengambil sehelai rumput, mengucapkan mantra, lalu membidikkan rumput itu ke arah bola di dalam sumur. Seperti anak panah lepas da
n busurnya, rumput itu melesat ke bawah lalu menancap pada sasaran. Brahmana itu membidikkan beberapa helai rumput lagi. Rumput-rumput itu menancap sambung-menyambung menjadi semacam tali panjang. Setelah tali itu cukup panjang, brahmana itu menariknya dan bola itu berhasil dikeluarkan dan dalam sumur.
Para pangeran takjub melihat kepandaian brahmana itu. Kemudian mereka memintanya mengambilkan cincin Yudhistira. Brahmana itu menyanggupi. Ia meminjam
sebatang anak panah lalu membidikkan anak panah itu ke arah cincin di dasar sumur. Sekali lagi ia berhasil mengenai sasaran. Kemudian ia menarik anak panah itu dari dalam sumur, bersama cincin yang kemudian diserahkannya kepada Yudhistira sambil tersenyum.
Menyaksikan semua itu, para putra raja itu semakin takjub. Salah seorang dari mereka berkata sambil membungkuk memberi hormat, "Selamat untukmu, wahai Brahmana. Siapakah sebenarnya engkau ini" Apa yang dapat kami perbuat untukmu""
Brahmana itu berkata, "Putra-putra raja yang belia, pergilah bertanya kepada Bhisma. Dialah yang tahu, siapa sebenarnya aku ini."
Dari gambaran yang dilukiskan oleh putra-putra raja itu, Bhisma menyimpulkan bahwa brahmana itu tak lain dan tak bukan adalah Drona, kesatria sakti yang termasyhur. Bhisma memutuskan bahwa Drona adalah orang yang paling tepat untuk memberikan pendidikan lanjutan kepada Pandawa dan Kaurawa. Ia menyuruh Yudhistira memanggil brahmana itu untuk menghadap di istana.
Demikianlah, Bhisma menerima Drona dengan penghormatan istimewa dan mengangkatnya sebagai guru Pandawa dan Kaurawa dengan tugas mengajarkan keterampilan olah senjata, berat maupun ringan, dan mengajarkan berbagai ilmu perang.
Setelah Pandawa dan Kaurawa cukup menguasai olah senjata dan siasat perang, Drona mengutus Karna dan Duryodhana menangkap Drupada hidup-hidup. Dia berkata bahwa itu adalah tugas dan kewajiban yang harus dijalani seorang siswa sebelum ia dinyatakan berhasil menamatkan pelajarannya. Kedua orang itu pergi menjalankan perintah guru mereka. Sayang, mereka gagal melaksanakannnya. Kemudian Drona mengutus Arjuna dengan tugas yang sama. Arjuna berhasil mengalahkan Drupada dan menangkapnya hidup-hidup. Ia kembali ke Hastinapura bersama tawanannya yang kemudian diserahkannya kepada Drona.
Sambil tersenyum Drona berkata kepada Drupada, "Paduka Tuanku Raja Yang Agung, jangan khawatir akan keselamatan jiwamu. Di masa muda kita pernah bersahabat. Tetapi, dengan sengaja engkau melupakan persahabatan kita. Engkau bahkan menghina dan mengusir aku dari istanamu. Engkau pernah berkata, bahwa seorang raja
hanya bersahabat dengan sesama raja, bahwa persahabatan hanya bisa terjalin di antara orang-orang yang sederajat. Sekarang aku telah menjadi raja dan muridku telah menaklukkan kerajaanmu. Meskipun begitu, aku ingin memulihkan persahabatan kita. Karena itu, kuberikan padamu setengah dari kerajaanmu yang telah menjadi
milikku." Setelah berkata begitu, Drona menyuruh Arjuna membebaskan Drupada, mengawalnya kembali ke Kerajaan Panchala, dan memperlakukannya dengan penuh penghormatan. Drupada yang menerima perlakuan itu justru merasa sangat terhina. Seandainya Drona memperlakukannya dengan kasar dan kejam, dia lebih bisa menerima. Tetapi ... penghinaan halus yang dibungkus penghormatan justru terasa lebih kejam dan lebih menyakitkan hati.
Drona puas, dendamnya telah terbalas. Sementara Dru-pada merasakan akar-akar dendam dan kebencian kepada Drona mulai menancap dalam-dalam di hatinya. Dalam hidup ini hanya sedikit sekali yang dapat diderita oleh hati melebihi luka yang ditancapkan untuk merusak kehormatan seseorang.
Dengan hati gelap penuh dendam, Drupada melaksanakan upacara-upacara keagamaan untuk memohon kepada para dewata agar dianugerahi seorang anak laki-laki yang kelak bisa membalaskan dendamnya dengan membunuh Drona dan seorang anak perempuan yang kelak akan
menikah dengan Arjuna. Usaha Drupada berhasil. Istrinya
melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Dristadyumna dan seorang anak perempuan yang diberi nama Draupadi. Kelak Dristadyumna menjadi senapati agung yang memimpin balatentara Pandawa da
lam perang besar di padang Kurukshetra dan Draupadi menjadi istri Arjuna.
*** 14. Istana dari Papan Kayu Seiring dengan bertambahnya usia dan semakin dalamnya ilmu olah senjata serta siasat perang yang dipelajari oleh Kaurawa dan Pandawa, Duryodhana semakin iri melihat keperkasaan Bhima dan kesaktian Arjuna dalam segala hal. Duryodhana kemudian mengangkat Karna dan Sakuni sebagai penasihatnya dan menugaskan mereka untuk merencanakan siasat-siasat licik untuk mengalahkan Pandawa.
Dritarastra, ayah Kaurawa, sebenarnya bijaksana dan sangat mencintai Pandawa, putra-putra adiknya. Sayangnya, ia berwatak lemah. Dalam menentukan segala sesuatu, ia terlalu memihak putra-putranya sendiri. Semua keinginan putra-putranya, terutama keinginan Duryodha-na, selalu dikabulkannya. Tidak jarang, dengan sadar ia menuruti mereka meskipun tahu bahwa mereka salah.
Bagi Duryodhana, yang lebih menyakitkan hati adalah
kenyataan bahwa rakyat Hastina, terutama yang tinggal di ibukota Hastinapura, selalu memuji-muji Pandawa secara
terang-terangan. Mereka senantiasa menyerukan bahwa Yudhistiralah yang paling tepat dinobatkan sebagai raja, menggantikan Dritarastra. Rakyat bergerombol di jalan-jalan, memperdebatkan siapa yang paling pantas menjadi raja mereka. Sering terdengar percakapan seperti ini.
"Dritarastra tidak pantas menjadi raja karena ia buta. Ia tidak mampu memerintah kerajaan dengan baik karena kekurangannya itu. Bhisma juga tidak mungkin menjadi
raja, karena ia telah bersumpah akan mengabdikan seluruh hidupnya pada kebenaran, keadilan dan kesucian. Kecuali itu, ia memang tidak ingin menjadi raja dan sudah bersumpah takkan pernah menikah. Karena itu, Yudhis-tiralah yang paling pantas dinobatkan menjadi raja. Hanya dialah yang akan dapat memerintah wangsa Kuru dan
kerajaan ini dengan adil."
Demikianlah rakyat berbicara di mana-mana. Mendengar semua itu, telinga Duryodhana terasa panas. Hatinya sakit didera rasa iri dan kebencian. Ia menghadap ayahnya, mengadukan hal itu. Katanya, "Ayahanda, rakyat kerajaan ini telah menghina kita. Mereka sama sekali tidak punya rasa hormat kepada orang-orang yang patut dimuliakan seperti Bhisma dan Ayahanda sendiri. Menurut
mereka, kerajaan ini seharusnya diperintah oleh Yudhistira karena dialah yang paling pantas menjadi raja.
"Mereka berkata bahwa karena buta, sebenarnya Ayahanda tidak pantas menjadi raja. Jika mereka bersikeras
meminta penobatan Yudhistira, itu berarti kehancuran bagi kita. Ayahanda telah mengalah kepada Paman Pandu. Kalau tidak karena Paman Pandu mengundurkan diri, Ayahanda takkan pernah menjadi raja. Sekarang, jika Yudhis-tira menuntut haknya untuk menggantikan ayahnya, ke manakah kita akan pergi" Tak ada lagi kesempatan bagi keturunan kita untuk menjadi raja, karena hanya keturunan Yudhistira atau Pandawa yang berhak menjadi raja. Keturunan kita akan menjadi orang-orang miskin yang menggantungkan hidupnya pada belas kasihan keturunan Pandawa."
Dritarastra merenung mendengar kata-kata anaknya. Beberapa lama kemudian dia berkata, "Anakku, apa yang
engkau katakan itu benar. Namun, Ayah percaya, Yudhistira pasti takkan menyimpang dari jalan yang benar dan penuh kebajikan. Ia mengasihi kita semua. Ia mewarisi semua sifat mulia ayahnya. Rakyat mengagumi dia dan mereka pasti mendukung dia. Semua menteri dan senapati juga mencintai Pandu dan mereka pasti akan mengabdi
padanya dengan sepenuh hati. Rakyat memang memuja
Pandawa. Kita tak dapat menentang mereka atau menunggu kesempatan baik untuk mengalahkan Pandawa. Seandainya kita berbuat tidak adil dan tidak benar, rakyat akan berontak melawan kita. Mereka akan mengusir kita dan kita akan terjerumus dalam kubangan kutuk dan cemooh."
Duryodhana menjawab, "Rasa cemas Ayahanda tidak beralasan. Dalam keadaan paling buruk pun Bhisma tetap tidak akan memihak, sedangkan Aswattama pasti akan patuh padaku. Dan itu berarti bahwa ayahnya, Mahaguru Drona, dan Mahaguru Kripa ada di pihak kita. Widura tak mungkin menentang kita secara terang-terangan, kecuali jika dia punya alasan lain, sebab ia tidak punya pengikut atau kekuatan apa pun. Kirimlah Pandawa
ke Waranawata secepatnya.
"Ayahanda, sejujurnya hatiku terasa sesak, penuh dendam dan iri hati. Aku tak tahan lagi memendam semua perasaan ini. Aku selalu gelisah, tak enak makan dan tak enak tidur. Semua ini seakan-akan merobek-robek dadaku. Hidupku terasa penuh siksa dan derita.
"Ayahanda, segera kirimlah Pandawa ke Waranawata. Setelah itu, kita akan menghimpun kekuatan kita."
Setelah Duryodhana berkata demikian, para penasihat raja datang dan bergantian memberikan nasihat kepada Dritarastra. Mereka semua mendukung rencana Duryodha-na. Kanika, tangan kanan Sakuni dan pemimpin kelompok ini, mengusulkan kepada Dritarastra, "Paduka, hamba mohon Paduka berhati-hati dan waspada terhadap anak-anak Pandu, sebab kebaikan dan pengaruh mereka merupakan ancaman bagi kewibawaan Paduka. Ketahuilah, semakin dekat hubungan keluarga, semakin dekat dan semakin mengerikan pula bahaya itu. Mereka sangat kuat."
Dritarastra diam, mendengarkannya sungguh-sungguh.
Kemudian Kanika melanjutkan, "Jangan Paduka gusar kepada hamba jika hamba katakan bahwa seorang raja harus berkuasa dalam nama, di atas takhta dan tindakannya, sebab tak seorang pun akan percaya pada kekuatan yang tidak pernah diperlihatkan. Hal-hal yang berkaitan dengan tata kerajaan memang harus dirahasiakan.
Tetapi, bukti nyata suatu rencana bijak bagi rakyat adalah
pelaksanaannya. Bodoh sekali kalau menunjukkan kemesraan terhadap mereka.
"Demikianlah, keburukan harus dilenyapkan sama
sekali. Ibarat duri dalam daging, jika dibiarkan akan menyebabkan luka membisul. Musuh yang perkasa harus dihancurkan, namun musuh yang kecil dan lemah jangan dilalaikan. Ibarat bara, jika tidak segera dipadamkan bisa berkobar menyala membakar hutan. Jika tak bisa menghancurkan musuh perkasa dengan kekuatan senjata, kita gunakan tipu muslihat."
Duryodhana meyakinkan ayahnya bahwa ia telah berhasil menghimpun sekutu dan pengikut yang setia. Katanya, "Ananda telah menghadiahkan harta benda, pangkat
dan kehormatan kepada semua pengawal kerajaan Has-tina. Ananda telah membuat mereka bersumpah untuk setia kepada kita. Begitu Ayahanda mengirim Pandawa ke
Waranawata, seisi ibukota dan kerajaan ini akan memihak
kita. Tak ada lagi sekutu Pandawa di kerajaan ini. Begitu kerajaan ini ada di tangan kita, mereka akan kehilangan kekuasaan. Setelah itu, barulah kita pikirkan bagaimana caranya melenyapkan mereka."
Jika seseorang banyak mendengar tentang apa yang sebenarnya ingin ia yakini, maka ia akan merasa bahwa keyakinannya itu benar. Demikianlah, pikiran Dritarastra goyah oleh desakan anaknya dan anjuran para penasihatnya. Tanpa mampu berpikir jernih, ia merestui rencana Duryodhana.
Sejak itu, para senapati Hastina sengaja memuji-muji keindahan Waranawata di hadapan Pandawa. Mereka membisikkan, bahwa di sana akan diadakan upacara pemujaan Batara Shiwa secara besar-besaran. Pandawa
sama sekali tidak curiga mendengar semua itu. Lebih-lebih
setelah Dritarastra menyuruh mereka mengikuti upacara itu. Dritarastra menambahkan, bahwa bukan saja upacara


Mahabharata Karya Nyoman S. Pendit di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu sangat penting, tetapi rakyat di Waranawata sudah lama merindukan kunjungan Pandawa.
Demikianlah, Pandawa memutuskan untuk pergi ke Waranawata setelah mendapat restu dari Bhisma dan para tetua lainnya.
Duryodhana senang karena rencana pertamanya berhasil. Bersama Karna dan Sakuni, ia menyusun rencana untuk membunuh Dewi Kunti dan Pandawa di Warana-wata. Pertama-tama mereka mengirimkan Purochana dengan perintah rahasia yang harus dilaksanakan dengan taat dan hati-hati.
Jauh sebelum Pandawa berangkat ke Waranawata, Purochana sudah mendahului pergi ke sana dengan tugas
membangun istana peristirahatan untuk Pandawa. Istana
itu dibangun dari papan-papan kayu yang diukir indah. Di sudut-sudut tersembunyi disisipkan bahan-bahan yang mudah terbakar, seperti lak, minyak kental, dan karung kering. Semua perabotannya juga terbuat dari bahan-bahan yang mudah terbakar.
Penjagaan diatur secara ketat dan rahasia agar Pandawa tidak curiga. Sebelum upacara dilaksanakan, di Waranawata diadakan pesta meriah, lengkap dengan bermacam-macam hiburan dan pertunjukan kesenian.
Rencananya, lewat tengah malam, ketika Pandawa tidur pulas kecapekan setelah berpesta, istana itu akan dibakar. Kaurawa akan menyambut Pandawa dengan ramah dan penuh hormat. Jika istana terbakar, rakyat tidak curiga dan mereka menyimpulkan bahwa kebakaran itu terjadi tanpa sengaja dan tidak akan melemparkan tuduhan kepada mereka. Tak seorang pun akan menyalahkan Kaurawa, sementara Duryodhana akan puas karena berhasil memusnahkan Pandawa.
Demikianlah dengan berbagai cara Duryodhana berusaha memusnahkan Pandawa. Hanya Widura yang ingin menyelamatkan wangsa Kuru dari malapetaka itu.
*** 15. Pandawa Terhindar dari Maut
Setelah mohon diri kepada Bhisma dan para tetua, Pandawa berangkat ke Waranawata. Rakyat mengelu-elukan dan mengiringkan mereka sampai ke batas kerajaan. Tidak sedikit yang enggan kembali karena ingin mengikuti Pandawa sampai Waranawata.
Widura membisikkan pesan dalam bahasa rahasia yang hanya dapat dimengerti oleh Yudhistira. Katanya, "Hanya
orang yang mampu menghindari bahaya yang sanggup
melindungi diri dari musuh-musuh yang licik. Banyak senjata yang lebih tajam dari keris, tetapi orang yang bijaksana dapat terhindar dari kehancuran karena tahu cara menangkis segala macam serangan. Api raksasa yang memusnahkan hutan belantara tidak dapat membakar tikus yang bersembunyi di dalam lubang atau seekor
landak yang menggali liang di dalam tanah. Orang yang
pandai dan bijaksana mampu membaca peruntungannya dengan melihat bintang-bintang di langit."
Yudhistira mengerti. Pesan Widura itu berarti: ia harus
mencari jalan untuk melarikan diri agar terhindar dari rencana jahat Duryodhana. Yudhistira mengisyaratkan bahwa ia memahami apa yang dikatakan Widura.
Setelah itu, Pandawa berangkat meninggalkan Hastina-pura. Perjalanan mereka dimulai dalam suasana penuh kegembiraan. Matahari bersinar cerah, bunga-bunga bermekaran, burung-burung berkicau dan angin pagi berhembus segar. Tetapi, semakin jauh mereka berjalan, cuaca
berubah. Langit mendung, matahari tertutup gumpalan awan gelap.
Yudhistira berkata kepada ibunya bahwa sesungguhnya ia sedih dan cemas menghadapi perjalanan itu.
Setelah berjalan beberapa hari, mereka tiba di Warana-wata. Rakyat mengelu-elukan kedatangan Pandawa. Kau-rawa, yang telah lebih dahulu ada di Waranawata, menyambut sepupu mereka dengan hangat dan penuh hormat. Kemudian Purochana mempersilakan Pandawa beristirahat di istana yang telah disediakan untuk mereka.
Istana peristirahatan itu diberi nama Siwam, artinya 'kesejahteraan'. Sungguh licik, karena sebenarnya istana
itu dibangun sebagai perangkap maut.
Yudhistira bersama ibu dan adik-adiknya yang letih setelah melakukan perjalanan jauh, segera masuk ke istana itu. Tetapi, ingat akan pesan Widura, sebelum beristirahat Yudhistira memeriksa setiap sudut istana dengan cermat dan teliti. Segera saja ia tahu bahwa istana itu dan semua perabotannya terbuat dari bahan-bahan yang mudah terbakar.
Yudhistira memanggil Bhima dan berkata, "Sekalipun kita sudah tahu bahwa istana ini adalah perangkap maut, kita harus pura-pura tidak tahu. Jika Purochana sampai curiga dan mengira kita sudah tahu rencana liciknya, akan sulit bagi kita untuk menyelamatkan diri. Kita harus dapat meloloskan diri pada saat yang tepat."
Selama perayaan dan pelaksanaan upacara penyembahan Batara Shiwa yang berlangsung beberapa hari, Pandawa tinggal di istana peristirahatan itu. Mereka melakukan kegiatan sehari-hari dengan wajar, bahkan dengan gembira dan penuh semangat. Sementara itu, Widura mengirim orang yang mahir menggali terowongan. Orang itu menemui Pandawa secara rahasia dan berkata, "Saya datang ke sini membawa pesan rahasia dari Widura. Dia ingin membantu kalian. Saya akan menyampaikan pesannya hanya
kepada Yudhistira." Kemudian dia membisikkan rencana
Widura kepada Yudhistira.
Ahli penggali terowongan itu bekerja siang malam secara rahasia tanpa diketahui Purochana yang tinggal di pondok di samping pintu gerbang istana. Ia membuat terowongan dari bawah ruang tidur istana kayu itu, lewat di bawah pagar, di bawah parit yang mengelilingi istana, terus menjauh sampai ke tengah hutan belant
ara. Setiap malam Pandawa bergantian berjaga, tetapi di siang hari mereka mengikuti semua acara dengan gembira
dan penuh semangat. Seolah-olah tak terjadi apa-apa. Ketika dilangsungkan acara berburu ke hutan, mereka semua ikut. Sambil berburu, sebenarnya mereka mencermati keadaan hutan agar jika tiba waktunya meloloskan diri, mereka tidak akan mengalami kesulitan.
Sementara itu, Purochana dengan sabar menunggu saat yang tepat untuk melaksanakan rencana jahat tuannya. Dia menunggu Pandawa lengah karena terbuai oleh kesenangan dan hiburan yang meriah. Dia harus melaksanakan tugasnya sedemikian, hingga orang akan mengira itu sebuah kecelakaan, bukan kesengajaan.
Pada suatu senja, setelah melihat Pandawa masuk ke istana dalam keadaan letih, Purochana memutuskan bahwa waktunya sudah tiba. Diam-diam dia menyuruh kaki tangannya untuk melaksanakan rencana tuannya setelah lewat tengah malam. Tetapi, Yudhistira yang sebenarnya selalu waspada, mengetahui sikap Purochana yang mencurigakan. Segera ia mengumpulkan adik-adiknya dan mengatakan bahwa malam nanti mereka harus meloloskan diri.
Selewat senja, Dewi Kunti mengadakan pesta meriah di istana kayu itu. Seluruh penjaga dan pelayan diundang
dan dijamu dengan makanan lezat, minuman arak dan tuak. Mereka menikmati semua itu sepuas-puasnya dan
tak sedikit yang mabuk hingga tak sadarkan diri.
Demikianlah, setelah para penjaga dan pelayan istana terlena karena kekenyangan dan mabuk, tepat tengah malam Bhima membakar istana itu. Ketika itu Dewi Kunti dan para Pandawa lainnya sudah meloloskan diri lewat
terowongan rahasia. Mereka merunduk-runduk dan merayap menyusuri terowongan yang gelap, sementara di atas mereka api menyala berkobar-kobar. Dalam sekejap mata, istana dan isinya yang terbuat dari bahan yang mudah terbakar itu habis dilalap api.
Ledakan-ledakan menggelegar. Penduduk Waranawata terbangun, berteriak-teriak kaget dan berlarian tak tentu arah. Ada yang hendak mencari selamat, ada yang hendak menolong memadamkan api. Semua cemas dan ngeri memikirkan nasib Pandawa. Mereka yakin, Pandawa tak sempat menyelamatkan diri dan mati terbakar.
Kalang kabut mereka berusaha memadamkan api, tetapi sia-sia. Dengan sedih dan kesal mereka berteriak,
"Ya, Hyang Widhi, ini pasti perbuatan Duryodhana. Pasti
dia yang memerintahkan pembunuhan atas Pandawa yang tidak berdosa."
Api mengamuk dahsyat. Dalam sekejap istana habis menjadi abu, begitu pula pondok yang ditempati Puro-chana. Orang kepercayaan Duryodhana itu juga ikut terbakar. Ia dan para pengawalnya sedang tidur pulas ketika kebakaran itu terjadi. Mereka tak sempat menyelamatkan diri. Purochana gagal melaksanakan tugasnya. Dia bahkan menemui ajalnya dalam kobaran api.
Rakyat Waranawata segera mengirimkan kabar ke
Hastinapura: "Istana peristirahatan Pandawa musnah terbakar. Semua yang ada di dalamnya tewas. Tak seorang pun selamat."
Mendengar berita itu, hati Dritarastra gundah. Perasaannya campur aduk. Ibarat kolam yang dalam, dingin
dasarnya tapi hangat permukaannya; dingin karena sedih,
hangat karena gembira. Dritarastra sedih karena kematian para kemenakannya, tetapi juga lega dan gembira karena rencana putranya berhasil. Dia memanggil putra-putranya dan menyuruh mereka mengenakan pakaian berkabung untuk menghormati Pandawa yang telah meninggal.
Sesuai adat dan ajaran agama, bersama-sama mereka pergi ke tepi sungai untuk melakukan persembahyangan
bagi arwah Pandawa. Tak ada jenazah untuk dikuburkan
atau diperabukan. Kaurawa mengikuti upacara dengan wajah sedih. Mereka tampak sangat sedih dan kehilangan karena tewasnya para sepupu mereka.
Hanya sedikit yang melihat bahwa Widura tidak tampak sedih. Meskipun begitu, kecil kemungkinannya ia dicurigai karena ia terkenal sebagai orang yang selalu mengutamakan ketenangan dan menghindari emosi yang meluap-luap. Ia tampak tenang karena yakin bahwa Pandawa berhasil meloloskan diri. Widura justru mengkhawatirkan Pandawa yang kini terpaksa mengembara di hutan.
Ketika melihat Bhisma bersedih, Widura menghiburnya dengan membisikkan apa yang sesungguhnya terjadi.
Sementara itu, di hutan belantara Bhima
melihat ibu dan saudara-saudaranya kehabisan tenaga setelah beberapa hari merangkak menyusuri terowongan dan berjalan menembus hutan lebat, tanpa beristirahat dan tanpa makanan cukup. Kemudian Bhima menggendong ibunya di
punggungnya, merangkul Nakula dan Sahadewa di dadanya, dan menuntun Yudhistira serta Arjuna di kanankirinya. Membawa beban seberat itu, Bhima melangkah menembus hutan.
Sampai di tepi Sungai Gangga, mereka menemukan
seorang tukang perahu bersama sampannya. Sebenarnya, secara rahasia Widura telah menyuruh tukang perahu itu menunggu di tepian sungai untuk menyeberangkan Pandawa.
Pandawa menunggu hari gelap sebelum menyeberang. Mereka bersembunyi di tepi hutan. Setelah malam benar-benar gelap, mereka naik sampan itu ke seberang sungai. Sampai di seberang, Pandawa segera masuk lagi ke dalam hutan dan terus berjalan sepanjang malam. Dengan langkah terseok-seok dan perut kelaparan, mereka menembus hutan yang gelap dan sunyi. Tak ada suara apa pun kecuali suara-suara binatang malam.
Lewat tengah malam, mereka tak mampu lagi melangkah karena kelelahan, lapar dan dahaga luar biasa. Dewi
Kunti berkata, "Aku tak sanggup lagi. Aku tidak peduli. Biarlah anak-anak Dritarastra datang menyergap kita. Aku
ingin beristirahat sejenak." Setelah berkata begitu, Dewi
Kunti merebahkan diri di tanah dan jatuh tertidur.
Dalam kegelapan Bhima berusaha mencari air. Setelah cukup lama mencari-cari, akhirnya ia sampai ke tepi sebuah telaga kecil. Ia menunduk, mencedok air dengan tangannya, lalu membasuh wajahnya. Alangkah segarnya. Setelah itu ia mencari daun-daun yang lebar untuk membuat wadah air. Dengan itu ia mengambil air telaga segar itu untuk ibu dan saudara-saudaranya yang kehausan.
Sementara ibu dan saudara-saudaranya tidur, Bhima tetap duduk berjaga-jaga. Pikirannya melayang-layang menembus lebatnya pepohonan dan hatinya berbisik, "Alangkah tenteram dan damainya kehidupan pohon-pohon dan binatang-binatang di hutan ini. Mereka pasti sudah lama sekali hidup di hutan ini, dan masih akan terus hidup di sini berlaksa-laksa tahun lagi. Lain dengan
manusia! Ada manusia yang tak mau hidup damai
berdampingan. Ada manusia yang ingin melenyapkan manusia lain. Apa sebabnya Paman Dritarastra dan
Duryodhana tega berbuat begini terhadap kami""
Bhima tidak bisa mengerti mengapa ada orang yang begitu membenci Pandawa dan ingin memusnahkan mereka. Sedih hatinya memikirkan semua itu.
Demikianlah Pandawa mengembara di hutan belantara, penuh derita dan harus menghadapi bermacam marabaha-ya. Mereka bergantian menggendong ibu mereka agar perjalanan bisa lebih cepat. Bhima selalu berusaha mencarikan buah-buahan dan daun-daunan yang bisa dimakan untuk saudara-saudaranya.
Berhari-hari mereka mengembara sampai akhirnya bertemu dengan Bagawan Wyasa. Mereka memberi salam hormat kepada Mahaguru itu. Sang Resi memberi nasihat dan dorongan yang membesarkan hati mereka. Katanya, "Tak ada orang bijak yang kuat untuk selalu berbuat kebajikan seumur hidupnya. Tak ada orang durhaka yang
selamanya hidup berkubang dosa. Hidup ini ibarat jaring labah-labah. Di dunia ini, tak ada orang yang sama sekali tak pernah berbuat kebajikan; tak ada pula yang sama sekali tak pernah berbuat kejahatan. Setiap orang harus
memikul akibat perbuatannya sendiri. Janganlah engkau
memberi jalan untuk kedukaan."
Atas nasihat dan petuah Bagawan Wyasa, Pandawa
mengenakan pakaian brahmana. Kemudian mereka melanjjutkan perjalanan menuju kota Ekacakra. Sampai di sana,
mereka tinggal menumpang di rumah seorang brahmana.
*** 16. Bakasura Terbunuh Dengan menyamar sebagai brahmana, Pandawa tinggal di Ekacakra. Mereka menyambung hidup dengan meminta-minta di jalan-jalan yang telah ditetapkan untuk para brahmana. Setelah seharian meminta-minta, mereka pulang sambil membawa makanan pemberian untuk ibu mereka. Jika mereka terlambat pulang, Dewi Kunti menjadi cemas, takut kalau-kalau malapetaka menimpa mereka.
Semua makanan yang diperoleh dari hasil meminta-minta oleh Dewi Kunti dibagi dua, satu bagian untuk Bhima dan satu bagian lainnya dibagi berlima di antara keempat Pandawa lainnya dan sang
ibu. Bhima, putra Dewa Bayu atau Dewa Angin, mempunyai nafsu makan
yang sangat besar, sesuai dengan tubuhnya yang tinggi,
gagah dan perkasa. Itu sebabnya kecuali disebut Bhimasena, ia juga dijuluki Wrikodara, artinya "perut serigala". Maksudnya, berapa pun banyaknya makanan yang dimakannya, perutnya selalu merasa lapar. Karena makanan yang mereka peroleh tak pernah cukup, badan Bhima menjadi kurus. Melihat itu, ibu dan saudara-saudaranya menjadi cemas.
Suatu hari Bhima berkenalan dengan seorang pembuat kendi. Bhima menyukai orang itu dan suka menolongnya menggali dan mengangkut tanah liat. Sebagai ungkapan terima kasih, tukang kendi itu memberinya sebuah periuk besar untuk meminta-minta. Gara-gara periuk itu, Bhima menjadi sasaran ejekan dan cemoohan orang-orang.
Pada suatu hari, ketika saudara-saudaranya pergi meminta-minta, Bhimasena tinggal di rumah bersama ibunya. Tiba-tiba mereka mendengar tangis pilu dari kamar pemilik rumah. Sesuatu yang menyedihkan telah menimpa keluarga itu, pikir Dewi Kunti. Ia lalu memberanikan diri menyelinap masuk, ingin mengetahui apa yang terjadi dan jika perlu memberikan pertolongan. Di dalam ia melihat brahmana pemilik rumah itu sedang berbicara dengan istrinya
Brahmana itu berkata kepada istrinya, "Wahai perempuan malang dan dungu, sudah berulang kali kukatakan bahwa kita harus pergi dari kota ini selama-lamanya. Tetapi engkau tidak setuju. Engkau selalu berkata bahwa engkau lahir dan dibesarkan di sini. Di sini pula orang-tuamu hidup dan mati, dan di sini pula engkau ingin tinggal. Aku tak sanggup berpisah darimu, wahai istriku, teman hidupku dan ibu anak-anakku tercinta. Kau segalanya bagiku Aku tak mungkin membiarkan engkau pergi menjemput maut, sementara aku hidup sendirian di sini.
"Wahai, istriku, lihatlah anak perempuan kita. Pada waktunya dia akan kita serahkan kepada lelaki yang pantas menerimanya. Jangan jadikan dia sebagai korban, karena dia adalah pemberian Hyang Widhi untuk melanjutkan keturunan kita. Kita juga tak mungkin mengorbankan anak laki-laki kita. Bagaimana kita bisa hidup setelah mengorbankan anak-anak kita" Siapa yang kelak akan melakukan upacara kematian bagi kita dan melanjutkan keturunan kita"
"Engkau tidak mau mendengarkan kata-kataku, dan inilah buah perbuatanmu yang mengerikan. Kalau aku serahkan hidupku, anak-anak kita pasti akan segera mau karena tak punya gantungan hidup. Apa yang bisa kita perbuat" Satu-satunya jalan terbaik adalah kita mati
bersama." Demikianlah kata brahmana itu sambil menangis.
Istrinya menjawab, "Aku telah melakukan kewajibanku sebagai istrimu dan ibu anak-anakmu Aku tidak bisa melindungi mereka, tetapi engkau bisa. Ibarat sisa
makanan yang dibuang dan disambar burung gagak rakus,
demikian pula nasib seorang janda; dengan mudah dia
menjadi mangsa lelaki hidung belang. Ibarat sepotong tulang yang diperebutkan anjing, demikian pula nasib seorang janda, dia akan menjadi permainan lelaki-lelaki jahat, diseret-seret dari satu tangan ke tangan yang lain. Aku tak sanggup melindungi mereka tanpa ayah mereka.
Mereka akan mati kelaparan seperti ikan di kolam kering.
Sebaiknya, kita serahkan saja anak-anak kita kepada raksasa itu.
"Bagi wanita yang suaminya masih hidup, mati lebih
dulu akan membuahkan keagungan. Begitu tertulis di
dalam kitab-kitab suci. Ucapkan selamat jalan kepadaku.
Jagalah anak-anak kita. Aku bahagia hidup bersamamu dan mengabdikan diriku kepadamu dengan setia. Aku yakin, aku pasti akan diterima di surga. Bagi seorang wanita yang telah menjadi istri yang baik, kematian bukan sesuatu yang mengerikan. Kalau aku mati, carilah istri
lagi. Teguhkan hatiku dengan senyum ikhlasmu. Restui
aku dan kirim aku kepada raksasa itu."
Mendengar kata-kata itu, sang brahmana memeluk istrinya dengan penuh kasih. Ia terharu melihat keberanian istrinya. Ia menangis tersedu-sedu seperti anak kecil
dan dengan susah payah berkata, "Wahai istriku tercinta
dan teragung, aku tak sanggup hidup tanpa engkau. Tugas pertama seorang laki-laki yang telah beristri adalah melindungi istrinya. Aku akan dianggap lelaki durhaka yang paling hina kalau menyerahk
an engkau menjadi mangsa raksasa itu."
Mendengar percakapan orangtuanya, sambil tersedu-sedu si anak perempuan berkata perlahan, "Wahai, Ibu dan Ayah, dengarkan kata-kataku walau aku ini hanya anak kecil. Lakukanlah apa yang seharusnya dilakukan.
Hanya aku yang pantas diberikan kepada raksasa itu.
Dengan mengorbankan satu jiwa, jiwaku, Ayah dan Ibu bisa menolong yang lain. Jadikan aku perahu untuk membawa Ayah dan Ibu menyeberangi sungai malapetaka
ini. Kalau Ayah dan Ibu meninggal, kami berdua akan cepat mati karena hidup sebatang kara di dunia. Jika karena pengorbanan jiwaku keluargaku dapat diselamatkan, aku pasti bahagia. Ayah dan Ibu, sekarang juga, berikan aku kepada raksasa itu."
Naga Naga Kecil 13 Pengemis Binal 17 Misteri Pusaka Pedang Gaib Warisan Berdarah 2

Cari Blog Ini