Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli Bagian 4
"Sediakanlah sepiring untuk Engkumu di muka dan sepiring
lagi untuk Engku Baginda Sulaiman! Barangkali ada nafsunya
memakan buah-buahan. Telah bebe rapa hari ia tidak makan,"
kata Sitti Maryam. "Baiklah," jawab sais Ali.
Tiada berapa l ama kemudian daripada itu, keluarlah Samsu
dari rumah orang tuanya, diiringkan oleh Kusir Ali, pergi ke
rumah Baginda Sulaiman. Setelah masuklah mereka ke pekarangan rumah ini, ber-debarlah hati Samsu memanda ng bangku tempat ia duduk
bersama-sama Nurbaya pada malam ia akan berangkat ke
Jakarta, setahun yang telah lalu. Teringat kembali olehnya
sekalian kelakuan dan perkataan ser ta janjinya kepada Nurbaya,
pada malam itu dan apabila tak ma lu ia kepada sais Ali, tentu
keluarlah air matanya, karena sedih.
"Adakah Nurbaya dalam rumah ini atau tiadakah""
Demikianlah pikiran Samsu dalam hatinya. Kalau ada bagaimana
ia bertemu dengan kekasihnya yang telah meninggalkannya ini"
Setelah masuklah ia ke da lam rumah Nurbaya, tiadalah
kelihatan olehnya seorang juga, lalu ia berjalan perlahan-lahan,
masuk ke bilik Baginda Sulaiman. Di sana tampaklah olehnya
saudagar ini sedang berbaring di atas tempat tidurnya,
berselimutkan kain panas. Sangat terperanjat Samsu serta sedih
hatinya melihat perubahan ayah Nurbaya ini. Apabila di tempat
yang lain ia bertemu dengan Ba ginda Sulaiman, tentulah tiada
percaya ia yang berbaring itu memang mamanda angkatnya.
Rambutnya mulai putih, mukanya pucat, badannya kurus,
mata dan pipinya serta napasnya sekali-sekali, karena sangat
letih rupanya. "Engkau Nurbaya" Hampirlah kemari!"
"Hamba bukan Nurbaya," sa hut Samsu dengan gemetar
bibirnya, karena menahan sedih hatinya. "Hamba Samsulbahri,
baru datang dari Jakarta. Tatkal a hamba dengar Mamanda sakit,
segeralah hamba kemari."
Setelah mendengar perkataan ini, menoleh si sakit kepada
Samsu dengan membesarkan matanya, sebagai hendak me-nerangkan penglihatannya. "Samsulbahri"" tanyanya dengan
lemah suaranya. "Hamba, Mamanda," jawab Samsu.
"Marilah dekat kemari, Samsu!" kata Baginda Sulaiman pula.
Samsu hampirlah dengan membawa buah tangannya dari
Jakarta sambil berkata, "Inila h hamba bawa buah-buahan sedikit;
kalau-kalau Mamanda dapat memakannya."
"Buah apa itu"" tanya si sakit, "sesungguhnya aku telah
beberapa hari tak enak makan."
"Ada buah sauh Manila, ada buah mangga, buah salak dan
nenas. Buah anggur dan apel pun ada pula hamba beli di kedai.
Barangkali dapat menimbulkan na fsu Mamanda," sahut Samsu.
"Cobalah beri aku buah sauh itu sebuah; pilih yang lembut!"
kata Baginda Sulaiman. Dipilihnya oleh Samsu sebuah sauh Manila yang masak
benar, dibersihkannya dan diberikannya kepada mamandanya
itu, lalu dimakanlah oleh Bagi nda Sulaiman perlahan-lahan.
Rupanya nafsu makannya datang sedikit, entah sebab segar buah
itu, entah sebab Samsu, yang membawanya, wallahualam;
karena buah itu dimakannya beberapa butir.
Sementara Baginda Sulaiman makan itu, Samsu tiada putus-putusnya memandang mukanya dan sangatlah besar hatinya
tatkala dilihatnya buah tangannya itu dapat menimbulkan nafsu
si sakit, yang telah beberapa hari tiada makan. `
"Sungguh nyaman buah yang telah engkau bawa ini, Sam;
segar badanku rasanya memakannya," kata si sakit. "Aku banyak
minta terima kasih kepadamu, Samsu, apalagi karena rupanya
hatimu tiada berubah kepada ku, di dalam aku ditimpa
kesengsaraan ini. Tadi aku sangka engkau Nurbaya, karena ialah
yang kusuruh datang. Akan tetapi bertambah-tambah besar
hatiku, tatkala kuketahui, engkau pun telah ada di sini. Rupanya
petmintaanku dikabulkan Tuhan; karena pertemuan ini telah
beberapa lama aku pohonkan. Sangat ingin hatiku hendak ber-jumpa dengan engkau, sebab adalah sesuatu yang hendak ku-minta kepadamu."
"Permintaan apakah itu Mamanda, katakanlah! Jika ada pada
hamba, tentulah hamba berikan," jawab Samsu.
"Pada sangkaku tiadalah berapa lama lagi aku hidup di atas
dunia ini. Sekalian gerak dan tanda-tanda telah datang kepadaku,
memberi tahu, bahwa aku segera akan berpulang ke
rahmatullah." "Mamanda, janganlah berpik ir sedemikian! Ingatlah
Nurbaya!" kata Samsu dengan berlinang-linang air matanya.
"Itulah yang menjadi alangan padaku; itulah yang menggoda
pikiranku. Bila aku tak ada dalam dunia ini, menjadilah Nurbaya
seorang anak yatim piatu, yang tidak beribu-bapa dan sunyi pula
daripada segala sanak saudara kaum keluarga. Bagai
manakah halnya kelak, sepeninggalku; sebatangkara di atas dunia ini"
Siapakah yang akin menolongnya dalam segala kesusahannya,
dan siapakah yang akan menunjuk mengajarnya dalam
kesalahannya" Karena maklumlah engkau, umurnya baru
setahun jagung belum tahu hidup sen diri, belum tahu kejahatan
dunia dan belum merasai azab sengsara yang sebenar-benarnya.
Ketahuilah olehmu, Samsu, walaupun di dalam dunia ini
dapat kita memperoleh kesenangan, kesukaan, kekayaan, dan
kemuliaan, akan tetapi dunia ini adalah mengandung pula segala
kesusahan, kesengsaraan, kemi skinan, dan kehinaan yang
bermacam-macam rupa dan bangunnya, tersembunyi pada segala
tempat mengintip kurbannya setiap waktu, siap akan menerkam,
barang yang dekat kepadanya.
Lain daripada itu, dunia ini penuh pula dengan ranjau
godaan, kelaliman, tipu daya, hasud khasumat, sombong angkuh
dan dengki khianat. Apabila tiada berhati-hati dan tak dapat
menghindarkan diri daripada sekalian kejahatan itu, niscaya
terperosoklah kita ke dalamnya dan binasalah badan. Pada
sebilang waktu, dalam segala tempat, dapat kita bertemu dengan
bahaya ini. Di daratan, di lautan , di udara, di dalam tanah, di
dalam rumah, di tengah jalan, di dalam hutan, di tengah padang,
tidaklah luput kita daripada ma ra bahaya itu. Sementara duduk,
sementara berjalan, tidur, minum dan makan, berkata-kata,
melihat, mendengar, mencium dan lain-lain sebagainya, dapat
bertemu dengan dia. Sesungguhnya, Samsu, tak mudah hidup di
dunia ini. Itulah jembatan siratalmustakim yang halusnya lebih
daripada rambut dibelah tujuh.
Tak mudah minitinya. Kebanyak an orang jatuh, masuk ke
dalam api neraka yang menyala di bawahnya. Hanya mereka
yang berhati-hati dalam segala pekerjaannya dengan memper-gunakan pikiran yang sempurna, mereka yang berhati suci dan
lurus, serta sabar dan tawakal, itulah yang acap kali selamat
sampai ke seberang. Demikianlah susahnya, jika hendak hidup
dengan baik di atas dunia ini, ap alagi bagi orang sebatangkara.
Telah kurasa sendiri, Samsu, tatkala aku masih kecil. Itulah
sebabnya pada kebanyakan orang, dunia neraka jahanam, per-hubungan seribu-ribu tali kesukaan dan kesaktian, yang tidak
berkeputusan: patah tumbuh, hilang berganti, dari awal sampai
akhir. Yang agak mujur sedikit pun, bertukar-tukar pula
untungnya, sekali ke bawah sekali ke atas; berputar sebagai roda
yang berpusing. Hanya beberapa orang, saja yang mendapat
surganya di atas dunia ini.
Berilah aku beberapa buah anggur lagi! Karena lemah
rasanya badanku, berkata-kata ini."
Dengan segera Samsu memberikan buah anggur kepada ayah
Nurbaya. Setelah buah itu dimakannya beberapa butir, di-sambungnya perkataannya tadi. "Oleh sebab kuketahui dan
kurasai sendiri sekaliannya itu, bertambah-tambah khawatirlah
hatiku meninggalkan Nurbaya. Sedangkan bagi laki-laki, telah
sekian susahnya, istimewa pula bagi perempuan yang bersifat:
lemah dan yang dipandang oleh bangsa kita rendah derajatnya
daripada derajat laki-laki; sed ang bagi kebanyakan kaum
Muslimin hampir tiada berharga, hampir sama dengan sahaya.
Bagaimanakah untungnya kelak" Bingung hatiku memikirkan
hal itu. Akan tetapi, apa yang hendak kukatakan, karena ajal,
untung, dan pertemuan itu tak dapat ditentukan.
Oleh sebab di atas dunia ini tak ada yang lain, melainkan
engkaulah anakku yang kedua, engkaulah saudara Nurbaya,
kupintalah kepadamu, dengan sebesar-besar pinta, supaya sudi-lah kiranya engkau menolong dan membantu saudaramu yang
piatu ini kelak, di dalam segala halnya. Janganlah kausia-siakan
dan kaubuang-buang ia dan s udilah engkau menjadi ibu-bapanya! Janganlah engkau menaruh dendam dan sakit hati
sebab ia telah menjadi istri Datuk Meringgih! Engkau maklum,
Samsu, perkawinannya itu tiada dengan sesuka hatinya dan tidak
dengan sesuka hatiku, melainka n semata-mata karena takdir
daripada Tuhan Yang Masa Esa juga, tak dapat diubah lagi.
Walaupun aku dan ia lebih suka mati daripada berbuat
sedemikian, akan tetapi apalah kuasa kami, akan membantah
kehendak Tuhan ini! Bukan kesalahan Nurbaya, bukan
kesalahanku dan bukan kesalahan siapa pun maka terjadi hal ini,
melain kan semata-mata telah nasib Nurbaya yang sedemikian
itu." Ketika itu berhentilah Baginda Sulaiman sejurus berkata-kata
sebagai hendak menantikan jawaba n dari Samsu, tetapi karena
Samsu berdiam diri, lalu diulangnya pertanyaannya, "Sudikah
engkau mengabulkan permintaanku itu""
"Masakan hamba tak sudi," jawab Samsu. "Perkara itu
janganlah Mamanda khawatirkan; walau bagaimana sekalipun,
Nurbaya tinggal adik hamba, dunia dan akhirat; tak boleli hamba
buang atau hamba hilangkan dari dalam hati hamba. Berjanjilah
hamba dengan bersaksikan Tuhan dan rasul-Nya, selagi hamba
hidup, tiadalah akan hamba sia-siakan Nurbaya."
Maka dipeganglah tangan Samsu oleh Baginda Sulaiman
dengan kedua belah tangannya, lalu diletakkannya di atas dada-nya dan dipejamkannya matanya sejurus, sambil berkata dengan
lapang bunyi suaranya, "Terima kasih!"
Tatkala itu tiba-tiba masuklah Nurbaya ke dalam bilik itu.
Sesungguhnya Nurbaya telah lama datang, karena dipanggil
oleh ayahnya. Akan tetapi ketika didengarnya suara Samsulbahri
dalam bilik ayahnya, tiadalah tahu apa yang hendak dibuatnya.
Walaupun hatinya sangat ingin hendak masuk melihat ayahnya,
tetapi malu dan takut rasanya ia akan bertemu dengan Samsul-bahri. Dalam hal yang demikian bingunglah ia, lalu berdiri
seketika, di luar bilik ayahnya, dengan hati yang berdebar-debar.
Setelah didengarnya janji Samsu kepada ayahnya, barulah
hilang bingungnya, bertukar dengan sukacita yang sangat, karena
sekarang diketahuinyalah bahwa hati kekasih dan saudaranya ini;
tiada berubah kepadanya. Itulah sebabnya, maka berani.ia
masuk, menemui ayahnya dan Samsu.
Ketika Samsu memandang muka Nurbaya, dengan se-konyong-konyong terbukalah mulutnya , tiada berkata-kata. Hati-nya suka bercampur duka. Suka karena bertemu dengan kekasih-nya ini, duka. karena mengenangkan pengharapannya yang telah
putus.... Dilihatnya rupa Nurbaya sungguh sangat berubah dari
dahulu, tatkala ditinggalkannya. Badannya yang tinggi lampai
dan lemah gcmulai itu menjadi kurus, mukanya yang putih
kuning sertaa kemerah-merahan, bila kepanasan, menjadi pucat;
matanya yang jernih itu menjadi pudar, dikelilingi oleh suatu
lingkaran hitam yang dalam; pipinya seakan-akan cekung,
rambutnya kusut, sebagaia tiada diindahkannya benar-benar.
Sekaliannya rnenyatakan kedukaan dan kesakitan hati yang tiada
terhingga. Sangatlah sedih hati Sa msu melihat hal kekasihnya
sedemikian itu; sehingga tiada dapat ia berkata-kata, untuk
pengeluarkan perasaan hatinya.
Tatkala terpandang oleh Nurbaya Samsu, pura-pura
terperanjatlah ia, lalu, berkata dengann riang rupanya, "Engkau
ada di sini, Sam! Apa kabar" Bila datang"." lalu didekatinya
kekasihnya dan dijabatnya tangannya.
"Tadi, dengan kapal yang baru masuk," sahut Samsu, sambil
menjabat tangan Nurbaya. "Tatkala aku sampai ke rumah, aku
dengar mamanda sakit; itulah sebabnya segera aku datang
kemari. Apa kabar dirimu sendiri""
"Sebagai engkau lihat," jawab Nurbaya. "Sekaliannya bukan
menyatakan kesenangan. Akan tetapi nantilah kuceritakan lebih
panjang tentang hal ini."
Kemudian didekati Nurbaya ayahnya, lalu berkata, "Ayah,
apa kabar" Bagaimana perasaan Ayah sekarang" Dan apakah
aral, maka di suruh datang ananda ini""
"Hampir padaku dan duduklah engkau di sini! Ada suatu
yang penting, yang hendak kuceritakan kepadamu."
Setelah hampirlah Nurbaya kepada ayahnya, berkata Baginda
Sulaiman. "Anakku Nurbaya! Ketahuilah olehmu, aku ini sesungguhnya
telah lama sakit, tetapi tiada kuperlihatkan kepadamu, melainkan
kutahan seboleh-bolehnya, supaya kesakitanku ini jangan pula
sampai menambahkan kedukaan hatimu. Aku ini telah tua,
perjalananku dalam dunia ini tiada mendaki lagi, melainkan
menurunlah, ke tempatku yang kekal, tempat aku akan
beristirahat selama-lamanya. Dari yang tak ada aku akan
diadakan, dari kecil menjadi besar, setelah besar menjadi tua dan
bila telah tua, berbaliklah aku kembali kepada asalku.
Demikianlah perjalanan segala yang bernyawa di atas dunia ini;
tak ada simpang yang lain dan tak dipat pula diubah. Segala yang
hidup akan matilah juga pada akhirnya, dan segala yang ada
akan bertukar-t ukar juga romannya. Walaupun hal itu biasanya tiada diingat orang atau tiada
sempat dipikirkan, karena dirintang kesukaan atau kedukaan dan
karena pikiran yang sedemikian pada kebanyakan orang
mendatangkan ngeri dan takut, sebab kematian adalah sesuatu
yang gaib, akan tetapi sekaliannya itu tiadalah akan mengubah
perjalanan alarn ini. Sesunggu hpun ingatan kepada mati men-datangkan dahsyat di dalam hati, tetapi janganlah dihilangkan
benar-benar pikiran ini, melai nkan harulah diinsyafkan juga,
bahwa maut itu, pada suatu ketika akan datang juga, supaya
janganlah kita bersangka, akan hidup selama-lamanya dan dapat
kekal bercampur gaul dengan sekalian yang ada ini. Dengan
demikian, bila datang waktunya kelak, kita akan menlnggalkan
dunia ini pula, bercerai daripada segala yang dikasihi dan
disayangi, tiadalah kita akan sangat terkejut dan hilang akal;
karena inilah yang acap kali menyesatkan perjalanan yang pergi
dan merusakkan badan dan pikiran yang tinggal; sebab menyesal
dan merindu, serta bersedih bers usah hati dengan amat sangat.
Aku maklum, bercerai dengan segala yang telah mengikat
hati, tak mudah; istimewa pula bila perceraian itu perpisahan
yang akhir, bercerai tiada akan bertemu lagi, pada sangka
setengah orang. Tetapi janganl ah lupa, bahwa sekaliannya itu
memanglah seharusnya demikian. Walaupun suka atau tak suka,
riang ataupun duka, takut atau berani, menyerah atau mem-bantah, bila ajal itu telah datang, tak akan dapat dihindarkan lagi,
melainkan harus diterima dengan menyerah, tulus dan ikhlas.
Apakah kekuasaan kita, insan yang hina dan daif ini" Tak ada.
Sungguhpun ada di antara orang yang sombong dan angkuh,
yang membesarkan dirinya atas kepandaian, kekayaan, bangsa
atau pangkatnya yang tinggi, ak an tetapi berapakah kekuasaan
mereka, jika dibandingkan dengan kekuasaan alam ini" Adalah
sebagai setitik air dengan lautan sedunia ini; barangkali tak
sampai pula sedemikian. Tentang kepandaian, aku akui, banyak yang telah diketahui
Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang, agaknya berjuta-juta kali lipat ganda daripada itu.
Barangkali engkau tiada percaya akan perkataanku ini, oleh
sebab itu marilah tanyakan kepadamu suatu hal yang mudah
saja: manakah yang terlebih dahulu ada, ayamkah atau telurkah"
Tanyakanlah kepada orang pa ndai-pandai, siapakah dapat
memberi keterangan itu"
Tentang kekayaan yang besar dan pangkat yang tinggi itu,
janganlah aku ceritakan lagi; banyak contoh yang telah kaulihat
dan kaudengar sendiri. Walau sebagaimana pun kekayaan dan
tinggi pangkat, manusia itu, jik a dengan kehendak Tuhan, dalam
sekejap mata hilanglah ia. Bangsa yang tinggi, tak boleh menjadi
alasan kesombongan, karena ketinggian itu sebab ditinggikan
dan kerendahan itu sebab direndahkan orang. Jika tak ada yang
meninggikan dan mcrendahkan, tent ulah sama rata sekaliannya.
Dan siapakah yang meninggi dan merendahkan itu" Hanya
manusia jua. Bukankah sekalian manusia itu asalnya dari nabi
Adam dan Sitti Hawa" Bagaimana boleh bertinggi berendah dan
berlain-lain, apabila asalnya sama" Bukannya hendak kusama-kan saja sekalian rnanusia itu, tidak. Ada juga perbedaannya;
tetapi bukan kebangsawanannya, melainkan derajatnyalah yang
tiada sama. Sungguhpun demikian derajat itu pun karunia Tuhan
jua. Apa gunanya menyombongkan dengan pemberian orang"
Kelebihan yang diperoleh sendiri pun, sebagai ilmu kepandaian,
tak boleh juga disombongkan, sebab sekalian orang dapat mem-peroleh ilmu dan kcpandaian, asal ada untung nasibnya akan
beroleh anugerah itu. Ya, Nur! Jika aku tiada letih, tentulah akan kuuraikan
sekaliannya, karena banyak la gi yang harus kauketahui. Akan
tetapi, supaya jangan terlalu panjang ceritaku ini, baiklah aku
kembali kepada maksudku tadi."
Setelah berhenti beberapa lamanya, berkata pula Baginda
Sulaiman perlahan-lahan. "Oleh sebab itu, bukankah lebih baik
dalam hal yang telah kuceritakan tadi, jangan terlalu berawan
hati melainkan diperbanyak juga sabar dan tawakal kepada
Tuhan Yang Maha Esa, dengan menyerah dan berdoa, supaya
yang berjalan dan yang tinggal pun dipelihara juga. Aku
ceritakan hal itu kepadamu, karena penyakitku ini rupan
ya kian hari kian bertambah. Siapa tahu, kalau-kalau besok lusa harus
meninggalkan engkau."
Mendengar perkataan ini, menjeritlah Nurbaya, menangis
tersedu-sedu, memeluk dan menc ium ayahnya, sambil berkata,
"Ayah, janganlah pergi, tinggalla h bersama-sama ananda! Bila
Ayahanda akan pergi juga, bawalah ananda sekali; jangan
ditinggalkan seorang diri di atas dunia ini! Siapakah kelak yang
akan sudi menolong ananda, sebagai Ayahanda" Ke manakah
tempat bertanya dan siapakah tempat meminta" Jika sakit,
siapakah yang mengobat dan menjaga" Jika susah, siapakah
yang akan melipur hati ananda ini" Aduh, menjadilah yatim
piatu, sebatang kara, ananda di atas dunia ini! Tiada beribu, tiada
berbapa, dan tiada bersaudara pul a. Ya Allah, bagaimanakah hal
hamba Mu kelak, bila Ayah hamba tak ada lagi""
Demikian bunyi tangis Nurbaya di dada ayahnya.
"Jangan menangis, Nur!" kata Baginda Sulaiman membujuk
anaknya. "Sekalian itu belum te ntu. Harapan dan ucapanku siang
dan malam, lamalah juga hendaknya kita dapat bercampur gaul.
Kukatakan hal itu kepadamu; supaya engkau ingat dan jangan
terlalu terperanjat, bila da tang waktunya; karena walau
bagaimana sekalipun, waktu itu niscaya akan datang juga; tidak
sekarang, tentulah nanti. Akan hidup selama-lainanya, tentu tak
dapat. Nyawa itu dalam tangan A llah; jika dikehendakinya, bila
saja, niscaya melayanglah ia dalam sekejap mata. Selagi aku
dapat betkata-kata, wajib bagiku, untuk memberi ingat engkau,
supaya jangan menjadi sesalan bagiku kelak.
Memang sedih hatiku mengenangkan halku. sekarang ini.
Bila aku berpulang dewasa ini, tak adalah apa-apa yang dapat
kutinggalkan padamu, lain daripada cinta dan doaku; karena
sekalian hartaku tak ada lagi. Te tapi janganlah engkau khawatir
dan putus asa! Serahkanlah untungmu kepada Rabbul-alamin!
Dialah yang akan memelihara engkau. Dialah yang akan
menolong dan mengasihani engkau, lebih daripada aku.
Jangankan manusia, sedangkan ulat dalam lubang batu sekali-pun, dipeliharakan dan diberinya rezeki. Oleh sebab itu, jangan-lah hilang akal, melainkan pint alah siang dan malam kepada
Yang Maha Kuasa, supaya engkau dipeliharakan-Nya juga, di
dalam segala halmu. Kemudian janganlah pula lupa akan Samsu
ini! Walaupun ia bukan saudaramu sej ati, tetapi ia lebih daripada
saudara kandungmu. Lagi pula ia telah berjanji kepadaku akan
setia kepadamu; di dunia dan akhirat."
"Sungguhkah demikian, Sam"" tanya Nurbaya dengan
segera, seraya memegang kedua belah tangan anak muda ini
sambil menentang mukanya. "Tak dapat kukatakan, betapa
besarnya hatiku mendengar perkataan ayahku tadi. Sungguhkah
tiada berubah ha timu kepadaku""
"Sungguh, Nur," jawab Samsu. "Apa sebabnya hatiku akan
berubah kepadamu" Atas halmu pa da waktu ini, tak boleh aku
berkecil hati, karena sekaliannya itu bukan kesalahanmu, melain-kan gerak daripada Tuhan juga. Seharusnya, karena engkau telah
ditimpa bahaya sedemikian itu, bertambah-tambah kasih
sayangku kepadamu, karena pertolongan dan belaku atas dirimu
pada waktu engkau dalam kesusahan ini, gkan amat berharga.
Janganlah engkau syak wasangka kepadaku! Walau bagaimana
sekalipun, engkau tinggal adi kku, tak dapat dan tak boleh
kubuang-buang. Tali yang tela h memperhubungkan aku dengan
engkau, telah tersimpul mati, ta k dapat diungkai lagi. Dagingmu
telah menjadi dagingku, darahm u telah menjadi darahku; siapa
dapat menceraikan kita""
"Aku banyak meminta terima kasih kepadamu, Samsu!
Hanya Allah yang mengetahui betapa sanangnya hatiku, men-dengar perkataanmu dan Dialah juga yang dapat membalas
kebaikanmu itu." Tatkala ia berkata-kita sedemikian itu, tak dapatlah ditahan
oleh Nurbaya air matanya, yang telah berlinang-linang, jatuh
berderai ke tikar, sebagai manik putus talinya.
"Apabila aku tak ada lagi," kata Baginda Sulaiman pula,
"lebih berhati-hatilah engkau menjaga diri, pandai-pandai
memeliharakan badan; berkata di bawah-bawah*), mandi di
hilir-hilir, sebagai kata peribahasa. Karena sesungguhnya, bahasa
itulah yang menunjukkan bangsa, is timewa pula, karena sekalian
manusia yang baik, lebih suka ke pada budi bahasa yang manis,
perkat aan yang lemah-lembut daripada tingkah laku yang kasar,
perkataan yang tiada senonoh. Dengan kelakuan yang baik, lebih
banyak kita akan beroleh maksud kita dan lebih banyak pula kita
mendapat pertolongan, daripada dengan paksaari dan kekerasan.
Jika hendak mulia, hinakan diri. Sebab kemuliaan dan kehinaan
itu bukan datang dari kita sendi ri, melainkan dari orang lain.
Apakah salahnya merendahkan diri" Tak hilang pangkat dan
bangsa; karena hati dan perkataan yang rendah. Tak mati ular
menyusup akar, kata pepatah k ita. Perkataan yang rendah, budi
bahasa yang manis, tidak menjadi salah, bahkan acap kali mem-bawa kita ke tempat yang tinggi. Kebalikannya, perkataan yang
tinggi, sifat yang gaduk, mendatangka n kebencian. Jika pergi ke
negeri orang, haruslah air orang disauk**) dan ranting orang
dipatah, artinya jangan membawa aturan sendiri, melainkan adat
*) Merendah diri **) Ditimba kebiasaan orang dan negeri itula h yang dipakai dan dijalanan,
supaya disukai orang dan lekas mendapat sahabat kenalan yang
baik, yang sudi menolong kita dalam segala kesusahan kita.
Sahabat kesukaan, janganlah dipe rbanyak, sebab biasanya tiada
memberi faedah, bahkan acap kali menyedihkan hati. Sahabat
kedukaan, itulah yang baik dirapa ti. Sahabat musuh, yaitu orang
yang mengail dalam belanga dan menggunting dalam lipatan,
yang pura-pura bersahabat de ngan kita, karena hendak men-celakakan kita, haruslah berhati- hati benar, karena ialah yang
rupanya terlalu karib kepada k ita dengan manis budi bahasanya.
Oleh sebab itu, janganlah lupa pula akan pepatah kita: Buah
yang manis itu acap kali berulat.
Yang tua harus dihormati, yang muda dikasihi, sama besar
mulia-memuliakan. Walaupun yang tua itu rupanya kurang
daripada kita, tentang pengetahua n, kekayaan, pangkat, bangsa,
ataupun yang lain-lain sebagainya , tetapi ia terlebih dahulu
makan garam daripada kita dan terlebih banyak merasai
kehidupan yang baik dan jahat. Ingatlah, lama hidup banyak
dirasai, jauh berjalan banyak dilihat. Oleh sebab itu pada orang
yang sedemikian, tak dapat tiada adalah juga pengetahuan atau
penglihatan atau penanggungan yang belum ada pada kita, atau
belum kita rasai. Itulah sebabny a orang ini harus dihormati.
Yang muda harus dikasihi; sebab mereka adik kita, yang
kurang kekuatan dan pengetahuann ya daripada kita. Tak patut
kita mempergunakan kelebihan k ita, akan menganiaya mereka.
Demikian pula segala mahluk yang ada, terlebih-lebih yang
lemah dan lata, haruslah disay angi. Jangan disakiti, karena
sekalian itu hamba Allah sebagai kita juga. Dengan sesama
manusia, haruslah berkasih-k asihan, beramah-ramahan dan
bertolong-tolongan, dalam segal a pekerjaan, suka dan duka.
Terlebih-lebih yang sengsara dan kesusahan itulah, yang ter-utama harus ditolong. Yang mulia dan kaya pun tak perlu
dihindarkan, karena yang miskin dapat membantu dengan
kekuatan dan nasehat dan yang kaya dapat menolong dengan
uang. Janganlah angkuh dan so mbong; istimewa pula karena
pada kita sekarang ini, tak ada yang dapat disombongkan; uang
tidak, bangsa pun kurang. Walaupun ada berharta, berbangsa dan
berpangkat sekalipun, tak perlu disombongkan, karena sebagai
telah kukatakan, sekalian itu barang pinjaman belaka dan
hanyalah dalam dunia ini saja ada harganya. Bila yang empunya
kelak meminta kembali hartanya itu, tak dapat tiada haruslah
dipulangkan. Jangan suka berbuat kejahata n dan kelaliman, melainkan
kebaikan itulah yang akan kaucinta i. Itulah, pepatah: Raja adil
raja disembah, raja lalim raja disanggah. Sedangkan raja lagi
diperbuat demikian, apalagi kita. Pikiranmu pun haruslah suci
dan bersih, jangan suka berniat yang salah kepada dirimu atau
diri orang lain, karena segala perbuatan dan pikiran itu tak
hilang; ada awal tentu ada pula a khirnya. Segala perbuatan atau
pikiran yang jahat, tak kan tiada jahat jugalah jadinya kepada
dirimu sendiri atau diri sesamamu manusia. Kebalikannya,
segala perbuatan dan niat yang ba ik itu, tak dapat tiada akan
mendatangkan kebaikan juga atas dirimu atau diri orang lain.
Walaupun terkadang-kadang akibat perbuatan dan niatmu itu
berla inan rupanya daripada ma ksudmu, janganlah engkau syak;
sekalian itu takkan salah. Jika tak sekarang, kemudian tentulah
akan membalas juga kebaikan atau kejahatan itu. Yang baik itu,
tak dapat menimbulkan yang jahat itu, yang jahat tak dapat pula
mendatangkan yang baik. Bila permintaanmu tiada kabul dan maksudmu tiada sampai,
dan jika engkau beroleh sesuatu kesusahan atau mara bahaya,
janganlah lekas putus asa, serta menyesal akan untungmu dan
murka akan Tuhanntu, karena segala sesuatu itu memanglah
karunia juga daripada Tuha nmu dan Tuhan itu sesungguhnya
bersifat adil serta pengasih penyayang kepada hamba-Nya;
sekali-kali tiadalah la berkehendak membinasakan hamba-Nya,
dalam waktu yang bagaimana sekalipun. Oleh sebab itu segala
yang dikurniakan-Nya kepada hamba-Nya, meskipun rupanya
jahat bagi mereka yang tiada mengerti, tetapi sesungguhnya
hakekatnya baik juga: Jika e ngkau pikirkan dan perhatikan
benar-benar akan nyatalah kepadamu, bahwa segala yang jahat
rupanya yang telah jatuh ke atas dirimu itu, ada juga
mengandung kebaikan, yaitu pelajaran, yang dapat membawa
engkau ke padang kemajuan yang sebenar-benarnya. Oleh
karena kesusahan dan kesengsaraan itulah, maka jadi bertambah-tambah pengetahuanmu dan ilmumu, tentang rahasia-rahasia
alam ini, dan kehidupan di atas dunia ini. Kesenangan dan
kesukaan jarang mendatangkan pelajaran, bahkan acap kali me-lupakan manusia itu akan dirinya dan Tuhannya; terkadang-kadang menjadikan mereka itu sombong, angkuh serta tekebur.
Akan menerangkan, bahwa kecelakaan itu tak lain daripada
pelajaran, dengarlah misal ini! Seorang kanak-kanak, belum tahu
akan bahaya api. Bagaimana dapat diterangkan kepadanya,
supaya mengerti benar ia, akan kebesaran bahaya itu sehingga
dapat ia menghindarkan dirinya daripada api itu" Susah sangat
bukan'" Hampir tak dapat, ka rena bahaya itu tak dapat
diperlihatkan, atau dimisalkan kepada kanak-kanak yang kecil
itu dengan sebenar-benarnya, sebelum dirasainya sendiri. Pada
suatu hari, tatkala ia bermain- main api, dengan takdir Allah,
terbakarlah tangannya. Pada wa ktu itu, baharulah dirasainya
bahaya api itu. Mereka yang tiada tahu atau yang tiada hendak
berpikir lebih panjang, menga takan kanak-kanak itu mendapat
hukuman daripada Tuhan, tetapi sesungguhnya mendapat kurnia,
yaitu suatu pengetahuan dan pelajaran yang tak dapat diperoleh-nya, jika tiada dirasainya sendiri. Oleh karena kecelakaan itu,
bertambahlah pengetahuan kanak-kanak tadi dan dapatlah ia
menghindarkan dirinya daripada bahaya api, yang boleh berlipat
ganda besarnya daripada yang telah dirasainya itu. Bukankah ini
kurnia" Demikianlah juga segala kesusahan dan kecelakaan yang
lain-lain, tak dapat tiada, ada juga baiknya. Bila kaupikirkan
segala mara bahaya yang menimpa dirimu, niscaya terjatuhlah
engkau daripada was-was dan penyesalan hati serta beberapa
penyakit yang asalnya dari itu.
Pikiran yang masgul, sedih dan susah, tidak mendatangkan
kebaikan kepada dirimu, semata-mata kejahatan juga; melainkan
sabar dan tawakal, serta pikiran yang suci itulah juga, yang
menambah kesehatan badan. Bukankah telah dikatakan: sabar itu
anak kunci pintu surga. Bukankah sabar itu tanda faham yang
dalam, iman yang tetap, yaitu sifat-sifat yang mulia. Sabar itulah
yang acap kali memberi jalan ke surga dunia dan surga akhirat,
sedang tiada sabar, pemarah, pengumpat, dengki, khianat, loba
dan tamak dan sifat yang lain-lain, yang sebagai ini, acap kali
menuntun kita ke dalam neraka. Jika dapat engkau sabarkan
hatimu daripada segala kesedihan, kesusahan dan amarah, tentu-lah dapat pula engkau tahan seg ala nafsumu yang tiada baik.
Sifat yang dengki khianat loba dan tamak itu, harus dilawan
dengan sekeras-kerasnya, supaya nyahlah sekaliannya dari
hatimu. Kekayaan yang besar, pangkat yang tinggi, bangsa yang
mulia, tiada selamanya membawa kesenangan; karena
kebanyakan manusia bersifat tamak, tiada menerima yang telah
dikurniakan Tuhan kepadanya, melainkan hendak bertambah-tambah dan berlebih-lebihan juga. Dan jika dapat pun
dipenuhinya segala kehendak dan maksudnya itu bukan puas
hatinya, bahkan ber tambah-tambah pulalah tamak dan lobanya,
dan semakin lupalah ia akan dirinya dan Tuhannya, karena asyik
hendak memuaskan hawa nafsunya yang tak dapat dipenuhi itu.
Dan jika tak dapat disampaikannya segala maksudnya itu,
menyesallah ia akan untungnya dan mengumpatlah ia kepada
Allah. Ke sini ke sana, tiadalah orang yang sedemikian itu akan
mendapat kesenangan dan kesejahteraan.
Oleh sebab itu terimalah segala yang telah dikurniakan
Tuhan itu dengan sabar. Jika hendak menambah yang telah ada
itu, boleh tetapi hendaklah minta kepada-Nya dan. dengan jalan
yang baik. Jika tiada dikabulkan permintaan itu sekarang,
sabarlah dahulu barangkali kemudian dapat juga, karena barang
Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sesuatu yang dikehendaki itu, niscaya akan diperoleh juga akhir
kelaknya, asal dengan yakin dan bersungguh-sungguh hati
meminta. Sebagai telah kukatakan, Tuhan itu bersifat pengasih
dan penyayang. Orang yang pada lahirnya hina , miskin dan daif, terkadang-kadang hatinya terlebih senang daripada yang kaya, mulia atau
berpangkat tinggi. Misalnya, seorang anak, yang tinggal ter-sembunyi di hutan atau di gunung, jauh dari"pada segala
keindahan, kesukaan, kekayaan dan kepintaran dunia, acap kali
terlebih senang daripada orang kota, yang selalu diselimuti oleh
sekalian kebesaran dan kemuliaan; sebab keperluan untuk
kehidupan anak hutan itu, tiada seberapa, sehingga keinginan
hatinya hampir tak ada dan nafs unya pun kurang. Keinginan dan
nafsu itulah penggoda yang teramat besar
Setelah berhenti sejurus memakan buah-buahan bawaan
Samsu disambunglah pula oleh Baginda Sulaiman nasihat
kepada anaknya itu, "Janganl ah engkau bersangka, kemajuan
dunia itu selamanya mendatangkan manfaat kepada manusia,
tidak. Misal yang mudah, yaitu ini: Apakah sebabnya maka
orang tua-tua dahulu kala umurny a lebih panjang dan badannya,
lebih sehat daripada orang sek arang ini" Padahal kehidupan
mereka itu tidak sernpurna dan keperluan mereka itu pun tiada
sebanyak orang sekarang ini" Pakaiannya terkadang-kadang
hanya sehelai kain kulit kayu, makanannya tiada dimasak dan
tiada diberi bumbu atau rempah-rempah, rumah tangganya, di
pokok kayu atau dalam gua batu.
Bukan umur dan kesehatan badannya saja yang lebih
daripada orang sekarang, tetapi ilmunya pun terlebih dalam pula;
misalnya ilmu bertanam padi, yang asalnya daripada orang
Hindu, zaman dahulu kala, sampai kepada waktu ini, belum
dapat diperbaiki orang. Candi-candi, yang diperbuat orang Hindu
itu, belum dapat ditiru oleh insinyur-insinyur.yang pandai,
tentang kekuatannya. Ilmu orang Mesir membungkus mayat
rajanya, sampai dapat disimpan beribu-ribu tahun lamanya pun,
tiada diketahui orang sekarang. Sampai dewasa ini masih ada
juga bekas-bekas orang dahulu itu, walaupun tiada sebagai di
masa mereka itu mesih hidup.
Ingatlah pula akan orang-orang gunung, di negeri kita ini
yang tinggal tersisih, jauh dari kota, di tempat yang sunyi!
Bukankah badan mereka itu terl ebih sehat dan kuat daripada
orang kota" Hati dan pikirannya te rlebih baik dan lebih bersih
pula" Apakah makanan mereka itu" Nasi dengan asam-asam dan
sayur-sayuran, yang tiada dimasak dengan sempurna. Sungguh-pun demikian, badannya sebagai gajah dan kekuatannya bukan
sedikit. Hujan dan panas tiada diindahkannya, bahkan seakan-akan menambahkan kesehatan badannya. Pakaiannya hanya
secarik kain, rumah tangganya dimasuki hujan dan angin, tetapi
jarang mereka itu sakit. Akan orang kota yang telah maju itu, berbagai-bagai akal dan
obat yang dipakainya, supaya jangan sakit. Rumah tangganya
haruslah baik, menurut ilmu dokt er, pakaiannya cukup daripada
kain yang baik-baik, makanannya haruslah dijaga benar-benar;
jangan sampai kekurangan dan kotor. Pada sangkaku kehidupan
yang serupa itulah, yang meracun manusia, menjadikan pendek
umurnya dan lemah badannya.
Kebaikan mereka, orang yang dikatakan setengah biadab itu,
aku sendiri telah acap kali merasainya; suka tolong-menolong,
beramah-ramahan, berkasih-kasihan, lurus hati, boleh dipercayai,
setia, hormat, tertib, sopan, santun, adil dan lain-lain;
sekaliannya, sifat-sifat yang tela h dilupakan oleh kebanyakan
orang k ota. Sayang orang yang sedemikian, makin lama makin
berkurang-kurang, bertukar dengan orang yang dinamakan
dirinya cerdik pandai dan berada b, tetapi yang sebenarnya,
makin pandai makin ganas dan makin buas, serta menukar sifat-sifat nenek moyangnya, yang mulia-mulia itu dengan dengki,
khianat, loba, tamak, hidup sendi ri-sendiri, tiada hendak tolong-menolong, tiada hendak beramah-ramahan dan berkasih-kasihan;
sombong, angkuh, kikir, tekebur, tak boleh dipercayai, tiada
setia, lalim dan sebagainya. Ah, bagaimanakah akhirnya dunia
ini, apabila kemajuan, yang sa ngat dicintai kaum sekarang,
membawa manusia ke jalan yang seperti itu"
Lagi pula, haruslah engkau keta hui, kemajuan itu, ialah suatu
perkakas, yang boleh ditujukan ke tempat yang baik dan ke
tempat yang jahat. Bila ke tempat yang baik di kemudian, baik
pulalah hasilnya tetapi bila ditujukan tempat yang jahat, tentu
jahatlah jadinya. Orang sek arang, rupa-rupanya hendak
menunjukkan perahu kemajuannya itu, ke pulau kejahatan, jadi
bukan akan menyempurnakan manusia, bahkan akan memusnah-kan segala yang hidup.
Bedil itu apakah gunanya, jika tak untuk menghabiskannya"
Meriam itu apakah faedahnya, jika tidak untuk meleburkan
dunia" Dan apakah sebabnya, maka jadi begini" Tak lain karena
orang sekarang, yang mengaku dirinya terlebih pandai dan
beradab daripada orang dahulu, yang dikatakannya biadab itu,
sesungguhnya bertambah ganas dan buas, sebagai telah
kukatakan tadi. Makin bertambah maju manusia itu, makin bertambah besar
kebaikan dan kejahatannya. Ilmu dokter, yaitu suatu hasil
daripada kemajuan.itu, walaupun dapat dipergunakan, untuk
menyembuhkan penyakit, tetapi dapat pula dipakai akan
pembunuh yang hidup. Oleh sebab orang yang tiada beriman,
memang terlebih mudah digoda oleh kejahatan dari dipimpin
oleh kebaikan, menjadilah kemajuannya suatu bisa, yang
meracun dunia. Itulah sebabnya orang yang sedemikian, tak baik
diberi senjata kemajuan. Bukankah penjahat yang terpelajar itu,
terlebih berbahaya daripada pe njahat yang bodoh" Bila seorang
yang bodoh, hendak mencuri, ditunggunya dahulu sampai yang
empunya tak ada atau sampai ia tidur. Jika mereka masih ada,
atau masih jaga, tak dapatlah disampaikannya maksudnya.
Tetapi penjahat yang terpelajar, di dalam hal itu, tentulah akan
mempergunakan segala ilmunya, yang terkadang-kadang boleh
sangat memberi bahaya, untuk menyampaikan niatnya. Oleh
sebab itu, segala ilmu yang jatuh kepada mereka yang tiada
berhati baik, akan menjadi senjata yang berbisalah, di tangan
mereka. Sebelum menuntut ilmu, haruslah dibersihkan dahulu
hati. Alangkah besar faedahnya, bila di sekolah diajarkan juga
ilmu suci hati!" Hingga itu berhentilah Baginda Sulaiman berkata-kata, lalu
meminta pula buah apel sebuah. Kemudian barulah berkata pula
ia, "Bila engkau beruntung baik, pakailah kelebihan hartamu itu,
untuk menolong yang susah dan miskin, kepandaianmu, untuk
menunjuk mengajari yang belum tahu dan pangkatmu, untuk
membawa sesamamu manusia ke tempat yang sejahtera. Jika itu
kau lakukan, tak dapat tiada, sel amatlah dan terpeliharalah
engkau dunia dan akhirat. Dan apabila telah datanglah pula
waktunya engkau akan meninggalkan dunia ini, niscaya takkan
adalah lagi sesuatu yang menjadi alangan bagi perjalananmu dan
berpulanglah engkau, dengan perasaan yang tulus, karena
kauketahui bahwa engkau, semasa hidupmu, tiada berbuat salah.
Hatimu pun suci dan cinta kepada kebaikan.
Suatu lagi yang hendak kukata kan kepadamu, yaitu pepatah
kita: pikir itu pelita hati. Peribahasa ini sangat benar, baik lahir
ataupun batin. Barang sesuaiu yang hendak diperbuat atau
dikatakan, hendaklah dipikir le bih dahulu dengan sehabis-habis
pikiran. Janganlah terburu dan jangan pula memakai ilmu katak,
telah melompat sebelum diketahui, apa yang akan terjadi atas
diri! Itulah sebabnya, acap kali salah lompatnya, yang men-datangkan celaka kepadanya. Bila telah binasa, datanglah sesal
yang tiada berkeputusan. Tetapi apa gunanya lagi sesalan itu"
Perkataan yang telah keluar dari mulut dan sesuatu yang telah
terjadi, tak dapat ditarik kemlia li. Sesal dahulu pend
apatan, sesal kemudian tak berguna, kata orang kita. Kesusahan yang
menimpa, karena kesalahan itu, harus ditanggung. Kaki
terdorong, ini padahannya, mulut terlanjur, emas padahannya*).
Oleh sebab itu, haruslah perlahan-lahan dan berhati-hati
bekerja: biar lambat asal selamat, tak lari gunung dikejar. Bila
telah ditimbang buruk haiknya, laba ruginya dan bila telah
dibolak-balikkan, dan nyata benar kebaikan pekerjaan itu,
kerjakanlah! Insya Allah, selamat. Lagi pula jangan suka
*) Alamatnya mendengar hasut fitnah dan ajaran yang tiada baik: nasihat yang
baik itulah yang akan ditaruh dalam hati dan dipakai selama
hidup. Jika terlalu suka mendengar perkataan orang, menjadi
kacau balau pikiranmu dan acap kali meu"datangkan sesalan
kepada yang salah, teperbuat sebagai cerita peladang dengan
keledainya." "Bagaimana ceritanya itu"" tanya Nurbaya.
"Samsu tentu tahu cerita ini. Biarlah ia menceritakannya,
supaya aku dapat berhenti sejurus, melepaskan lelahku, karena
berkata-kata ini." "Bagaimana cerita itu, Samsu"" tanya Nurbaya kepada
Samsulbahri. "Begitu," jawab Samsu. "K eledai bukankah kendaraan
manusia" Tetapi karena yang empunya, sangat suka mendengar
perkataan orang, dengan tiada memikirkan perkataan itu lebih
jauh, menjadilah ia kendaraan keledainya."
"Ajaib," jawab Nurbaya.
"Memang, demikianlah jadinya, bila kita terlalu suka
mendengar perkataan orang. Karena orang itu, tiada semuanya
baik kepada kita dan wala upun baik maksudnya, terkadang-kadang boleh jahat juga jadinya kepada kita; sebab hal manusia
itu tiada sama; yang baik pada seorang, boleh jahat pada yang
lain. Jika diturut dengan tiada dipikirkan baik-baik lebih dahulu,
terjerumuslah kita ke dalam lubang.
Cerita keledai itu demikian bunyinya: Seorang peladang
mempunyai seekor keledai. Pada suatu hari, pergilah ia bersama-sama anaknya ke pasar, akan membeli-beli. Si peladang ini
menunggang keledai itu, dan anaknya disuruhnya berjalan di
sisinya. Tiada berapa lama mereka berjalan, bertemulah seorang
perempuan. Tatkala dilihat oleh perempuan itu hal yang
sedemikian, berkatalah ia, "Sesungguhnya orang tua ini tiada
berpikiran! Anaknya yang kecil, yang belum kuat berjalan,
dibiarkannya berjalan kaki, sed ang ia duduk bersenang-senang di
atas keledainya." Perkataan perempuan itu terdengar oleh si peladang, lalu
dinaikkannya anaknya ke atas kele dainya dan berjalanlah ia di
sisi binatang ini. Kemudian bertemulah pula seorang pendeta. Tatkala dilihat
oleh pendeta itu akan hal ya ng sedemikian, menggeleng-geleng-lah ia, seraya berkata, "Anak ini tiada berbudi. Adakah patut
orang tuanya disuruhnya berjalan kaki sedang ia duduk keenak-enakan di atas kendaraan""
Perkataan ini termakan pula oleh si peladang, lalu katanya,
"Baiklah kita berdua menunggang keledai ini."
Tiada berapa lamanya berkendaraan berdua, bertemulah pula
seorang pegawai negeri, yang berkata dengan amarahnya, tatkala
melihat si peladang dengan anaknya berdua, menunggang
keledai itu, "Anak dan bapa ini tiada sekali-kali berpikiran dan
tak menaruh kasih sayang! Adakah patut binatang yang sekecil
itu dikendarai oleh dua orang" Apabila kamu tiada turun dari
keledaimu, niscaya kuadukan kamu kepada hakim, sebab
mendera binatang. Maka turunlah si peladang itu dengan anaknya, lalu berjalan
kaki sebelah menyebelah keledainya. Sejurus kemudian, ber-jumpa pula mereka dengan sorang sahabatnya, lalu berkata
sahabat ini, "Alangkah bodoh,kamu kedua ini! Apakah gunanya
kamu memelihara keledai, jika tak dapat ditunggang, sampai
kamu berjalan kaki, dengan susah payah""
Setelah mendengar perkataan yang akhir ini, tiadalah terkata-kata anak dan bapa.
"Aku sendiri naik keledai ini, salah, engkau sendiri menaiki
pun salah, berdua kita naik, salah pula dan tiada ditunggangi, tak
benar juga. Bagaimanakah yang betul"" Demikianlah keluh si
peladang, sambil membantingkan kopiahnya ke tanah, lalu
duduk di atas sebuah batu, karena ta k berani berjalan lagi. "Jika
demikian marilah kita pikul keledai ini! Barangkali begitu yang
baik, karena cara lain tak ada lagi," kata si peladang kepada
anaknya, seraya menc ari sebatang kayu. Kemudian diikatnyalah
keempat kaki keledainya, di pikulnya berdua, masuk pasar.
Sekalian isi pasar yang melihat perbuatan yang ganjil ini,
tercengang, lalu berkata, "Seumur hidupku belum pernah aku
melihat orang menjadi kendaraan keledai; baru sekarang inilah.
Gilakah si peladang itu"" lalu mereka tertawa gelak-gelak,
menertawakan si peladang dengan anaknya itu.
"Ini pun masih salah juga," ka ta peladang, lalu menjatuhkan
keledainya ke tanah, karena bingung.
"Memang bagus benar cerita itu," kata Nurbaya.
"Sehingga inilah dahulu, Nur! Besok lusa aku akan bercerita
pula. Sekarang aku sangat letih hendak tidur. Bila engkau
pulang"" kata Baginda Sulaiman.
"Hamba telah minta izin kepa da Engku Datuk, tinggal dua
tiga hari," jawab Nurbaya.
"Jika demikian baiklah."
Setelah diselimuti oleh Nurbaya ayahnya, tidurlah si sakit mi.
Kemudian daripada itu, Samsu minta dirilah, hendak pulang ke
rumahnya. "Nanti, aku katakan, bila aku akan menceritakan halku
kepadamu, Sam," kata Nurbaya, tatkala Samsu hendak keluar
dari bilik itu. "Baiklah," jawab Samsu, lalu pulang ke rumah orang tuanya.
Pada keesokan malamnya, kelihatan Nurbaya duduk di
serambi muka rumahnya. Hari waktu itu kira-kira pukul
sembilan, bulan yang sebesar sisir itu, baru terbenam, hingga
malam hanya diterangi oleh bintang yang gemerlapan cahanya di
langit biru. Tetapi dalam peka rangan dan serambi muka rumah
Nurbaya, gelap, karena tak ada lampu dipasang. Hanya sinar
lentera, pada jalan besarlah, yang masuk mencrangi beberapa
tempat dalam pekarangan itu. Nu rbaya yang duduk di beranda
muka, rupanya sebagai gelisah di tempat yang gelap itu, karena
sebentar-sebentar ia Menoleh ke rumah Samsu, sebagai ada
sesuatu yang ditunggunya dari sana.
Tidak berapa lamanya ia duduk sedemikian, kelihatanlah
sebagai bayang-bayang, orang berj alan, keluar dari pekarangan
rumah Sutan Mahmud, menuju ke rumah Nurbaya. Setelah
melihat bayang-bayang ini, berdirilah Nurbaya, lalu berjalan
perlahan-lahan, masuk ke dalam bilik ayahnya; kemudian keluar
pula dan turun ke pekarangan, menuju bangku, yang ada di
bawah pohon tanjung, seraya menoleh ke sana kemari, sebagai
takut, kalau-kalau ada orang ya ng melihat perbuatannya ini.
Setelah sampai ke bangku itu, duduklah ia bernanti. Tiada berapa
lama antaranya, tiba-tiba terdengarlah olehnya suara orang
berkata perlahan-lahan, "Engkaukah ini, Nur""
"Ya, akulah," jawab Nurbaya.
"Tidakkah ada orang di sini, yang dapat mengintip kita dan
mendengar percakapan kita"" tanya orang itu pula.
"Pada sangkaku, tak ada," jawab Nurbaya, sambil menoleh
sekali lagi ke segenap pihak. Tetapi suatu pun tiada yang
kelihatan atau kedengaran olehnya. "Duduklah di sisiku ini,"
kata Nurbaya pula. Orang itu duduklah di sisi Nurbaya, lalu berkata, "Bagai-mana ayahmu""
"Rupanya ada bertambah baik, sebab makan pun mulai suka;
Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tetapi masih terlalu lemah dan kata doktet tadi, tak boleh ia
terlalu bergerak-gerak dan terk ejut-kejut. Bila engkau telah
menjadi dokter, Samsu, alangka h baiknya! Tentulah engkau
sendiri dapat mengobatinya."
"Ya, Nur," jawab orang itu, yang sesungguhnya Samsu,
"tetapi waktu itu masih lama. Masih enam tahun lagi aku harus
belajar, barulah dapat menjadi dokter. Itu pun belum tentu pula;
entahlah jadi, entah tidak sebab waktu yang enam tahun itu
bukan sedikit lamanya, banyak yang, boleh terjadi, dalam waktu
yang selama itu." "Mengapakah tiada menjadi"" tanya Nurbaya.
"Bagaimana boleh menjadi, jika penggodaan sebagai ini"
Penanggunganku, dalam setahun ini, hanya Allah yang
mengetahui. Berapa kali aku be rasa kehabisan tenaga, untuk
melawan segala penggodaan itu; berapa kali aku bersangka; akan
kalah berperang dengan hawa nafsuku dan akan jatuhlah aku ke
dalam tangan setan iblis. Hanya dengan pertolongan Allah saja,
dapat kulayari lautan yang beranjau-ranjau ini, men-capai tanah
tepi. Sedang luka hatiku, kare na bercerai dengan engkau belum
lagi sembuh, telah datang pula kejatuhan ayahmu Belum habis
aku memikirkan hal ini, datang pula suratmu, membawa kabar
yang meluluhlantakkan hati jantungku, memutuskan segala
pengharapanku. Walaupun keduanya yang bermula itu masih dapat kulipur,
tapi kecelakaan yang akhir ini, memutuskan tali tempat aku ber-gantung, merebahkan tiang tempat aku bersandar dan mematah-kan dahan tempat aku berpijak. Ketika itulah jatuh hukumanku
dan hilang pengharapanku, akan penghidupanku di kemudian
hari. Beberapa hari lamanya aku tak dapat belajar, karena sakit.
Tak tahu aku, apa sebabnya maka aku dapat juga naik ke kelas
dua. Pada sangkaku, tentulah aku akan tinggal di kelas satu,
sebab pelajaran tak keruan."
"Memang telah kusangka, tentulah engkau takkan senang
mendengar kabar ini. Tetapi apa boleh buat! Terpaksa aku
menulis surat itu. Jika tak kukabarkan hal itu kepadamu, takut
aku, kalau-kalau kaupersalahkan aku. Bagaimanakah halku, bila
engkau pun berpaling pula dari padaku""
"Tentang hatiku, janganlah ka u syak wasangka. Bukanlah
telah kukatakan dahulu kepadamu dan kujanjikan tadi kepada
ayahmu" Bagaimana aku akan berubah kata pula""
"Sesungguhnyakah tiada beruba h hatimu kepadaku, Sam"
Sesungguhnyalah hatimu itu masih suci dan bersih kepadaku,
sebab dahulu, sebelum terjadi perkara ini" Dan sesungguhnyakah
dapat kauberi ampun dan maaf aku, atas kesalahanku" Ataukah,
sebab engkau malu kepada ay ahku dan karena hendak mem-besarkan hatiku saja, engkau berjanji sedemikian" Katakanlah
yang sebenar-benarnya kepadaku, supaya tahulah aku, apa yang
akan kuperbuat sekarang ini," kata Nurbaya pula, simbil
memegang tangan Samsu dan memandang mukanya.
"Nurbaya, mengapakah engkau kurang percaya kepadaku"
Sudahkah aku berbuat dusta kepa damu" Dan bagaimanakah aku
boleh berkecil hati, dalam halm u ini" Sebab bukan kehendakmu
sendiri, melainkan karena tera niaya, engkau terpaksa berbuat
sedemikian. Janganlah kau syak lagi akan daku; lihatlah ke atas
langit. Bintang yang beribu-ribu, yang menabur langit itu saksi-ku, bahwa aku waktu ini berkata benar."
"Jangan engkau marah kepadaku, Sam, sebab aku sebagai
tiada percaya lagi kepadamu. B ukan begitu hatiku: hanya sebab
otakku,yang sejak aku ditimpa timpa mara bahaya ini, telah
menjadi sakit, selalu pikiranku tiada keruan. Acap kali datang
niat yang jahat menggoda hatiku, yaitu hendak membunuh diri,
supaya lekas terlepas daripada siksaan ini. Akan tetapi, jika
datang ingatan kepadamu dan ke pada ayahku, undurlah niatku
itu; takut aku akan duka-cita yang akan menimpa dirimu dan
ayahku, karena perbuatanku itu."
"Nur, janganlah ada pikiranmu yang sedemikian! Perbanyak-lah sabarmu dan tawakallah kepada Allah! Ingatlah akan pen
ajaran ayahmu! Engkau masih muda, masih lama akan hidup dan
masih banyak menaruh pengharapan. Janganlah putus asa!" kata
Samsu, akan membujuk Nurbaya.
"Sekalian itu memang benar, Sam. Tetapi apa dayaku, tak
dapat kutanggung rasanya azab yang sedemikian ini. Tak ada
perkataan, yang dapat menyatakan perasaan hatiku; bagaikan
putus rangkai jantungku, bagaikan lulus tempat berdiri, ter-gantung di awang-awang, antara langit dengan bumi, antara
hidup dengan mati. Bagaimana tiada begitu" Cobalah kaupikir! Aku harus duduk
dengan orang, yang bukannya tiada kusukai saja, tetapi orang
yang memutuskan pengharapan yang kuamalkan siang dan
malam, yang menceraikan aku dengan kekasihku, yang meng-aniaya dan menjatuhkan ayahku, sampai sengsara serupa ini,
musuh ayahku dan musuhku yang sebesar-besarnya dan akhirnya
menjadi algojoku. Tambahan pula, orang yang umur, kepandai-an, kesukaan, tabiat dan kelakuannya, sekali-kali tiada sepadan
dengan aku. Sekali-kali ia tiada cinta kepadaku; hanya suka,
karena hendak memuaskan nafsunya yang keji itu saja. Bila telah
puas hatinya, tentulah akan dibuangnya aku, sebagai melempar-kan sampah ke pelimbahan; barangkali terus dibunuhnya aku,
jahanam itu! Bagaimanakah dapat kusabarkan hatiku, bagaimanakah dapat
kusenangkan pikiranku, dan bagaimana pula dapat aku hidup
manis dengan orang yang sedemikian" Makin hari, makin kusut
pikiranku, makin bertambah dukacita dan sedih hatiku, dan
makin bertambah-tambah pula benci hatiku melihat rupanya. Tak
ada yang baik pada pemandanganku, tak ada yang enak pada
perasaanku. Makan tak sedap, tidur tak ny
enyak, bangun pun bertambah-tambah bingung. Rumah tangga, makanan dan
minuman, pakaian dan permainan, pendeknya sekalian yang
miliknya atau yang berasal dari padanya, bukannya dapat
melipur hatiku, hanya mendatangkan marah, sedih dan duka.
Betapa aku hidup, dengan orang yang sedemikian itu"
Jika hari telah malam, aku in gin, supaya lekas siang dan
apabila telah siang, kuharap pula, supaya lekas malam. Aku
minta, biar yang setahun ini menjadi sehari, dan yang sebulan
menjadi sejam; karena tak tahu, apa yang akan diperbuat dan tak
dapat melipur hati. Waktu yang sejam, sebagai sebulan rasanya
dan yang sehari serasa setahun. Sesungguhnya itulah neraka
dunia, yang sebenar-benarnya.
Maka berhentilah Nurbaya sebentar bertutur, karena hendak
menyapu air matanya, yang keluar dengan tiada dirasainya.
Samsu tiadalah dapat berkata-ka ta, sebab sedih mendengarkan
nasib adiknya ini. "Oleh sebab itu, kupinta kepadamu, Sam," kata Nurbaya
pula, "bila engkau kelak beranak perempuan, janganlah sekali-kali kaupaksa kawin dengan laki-laki yang tiada disukainya.
Karena telah kurasai sendiri sekarang ini, bagaimana sakitnya,
susahnya dan tak enaknya, duduk dengan suami yang tiada
disukai. Tak heran aku, bila perempuan, yang bernasib sebagai
aku ini menjalankan pekerjaan ya ng tak baik, karena putus asa.
Aku ini, sudahlah; sebab terpaksa akan menolong ayahku. Tetapi
perempuan yang tiada semalang aku, janganlah dipaksa, menurut
kehendak hati ibu-bapa, sanak saudara sahaja, tentang per-kawinannya, dengan tiada mengi ndahkan kehendak, kesukaan,
umur, kepandaian, tabiat dan ke lakuan anaknya. Karena tiada
siapa yang akan menanggung kesusahan kelak, jika tak baik
jadinya; melainkan yang kawin itu sendiri. Ibu-bapa atau kaum
keluarga sekedar akan melihat dari jauh. Bukankah sepatutnya
ditanyakan dahulu pikirannya, tentang perkawinan itu" Bukan-kah anak perempuan itu mempunyai pikiran, perasaan, peng-lihatan dan kesukaan juga sebagai perempuan yang lain"
Sungguhpun ibu-bapa tahu dan kenal akan anaknya, tetapi
yang terlebih mengetahui akan dirinya, tentulah anak itu sendiri
juga. Banyak ibu-bapa yang bersangka, bahwa ialah yang ter-lebih mengetahui akan hal anakny a. Oleh sebab itu, pada sangka-nya haruslah anak itu menurut sekalian kemauan orang tuanya.
Ibu-bapa yang sedemikian, ialah ibu-bapa yang tiada meng-hargakan anaknya. Dan apabila ia sendiri tak menghargakan
anaknya, janganlah ia berharap, menantunya atau orang lain,
akan mengindahkan anaknya. Dan janganlah pula ia berkecil
hati, bila laki-laki, memandang perempuan masih jauh di bawah
telapaknya, karena sesungguhnya belum dapat ia bertanding
dengan laki-laki, bila belum tahu ia akan harga dirinya sendiri.
Lagi pula, kalau benar anak dan menantu itu dapat turut-menurut kelak, sehingga dapa t kekal perkawinannya selama-lamanya! Jika tidak, bercerailah pula; padahal belanja entah
beberapa ribu telah habis, sampai setengahnya menggadai dan
menjual harta berhabis-habisan, untuk mengawinkan anak.
Bukankah sayang uang yang sebanyak itu, dibuang cuma-cuma"
Pada pikiranku, kewajiban ibu-bapa dalam hal perkawinan
anaknya pertama mengingat umur anaknya itu; sebab jika terlalu
muda dikawinkan, niscaya merusakkan badan anak itu dan
sekalian keturunannya. Di Indonesia ini, pada sangkaku anak
perempuan janganlah lebih muda dikawinkan daripada berumur
dua puluh tahun. Jangan seperti aku, baru berumur enam belas
tahun, telah terpaksa kawin. Makin tua, makin baik."
"Ya, tetapi pada sangka perempuan di sini, suatu keaiban,
kalau tak kawin muda-muda, sebagai tak laku," kata Samsu
dengan tiba-tiba. "Persangkaan yang sedemikian, timbulnya daripada kebiasa-an yang tak baik. Bila nyata kepada kita, sesuatu adat salah,
mengapakah tak hendak dibuang, tetapi diturut saja, membuta
tuli" Lihatlah bangsa Barat! Terk adang-kadang, setelah berumur
tiga puluh tahun, baru kawin; ta k ada orang yang menghinakan
mereka. Dan sesungguhnya, tatkala perempuan itu berumur tiga
puluh lima atau empat puluh tahun sekalipun, rupanya masih
muda, badannya masih tetap dan kukuh. Bila beranak umur
sekian, sempurnalah anak itu
; menjadi orang yang sehat badan
dan pikirannya; tubuhnya besar dan umurnya pun panjang. Akan
tetapi perempuan di sini, umur tigapuluh tahun, terkadang-kadang telah bercucu. Itulah sebabnya maka dirinya sendiri dan
anaknya pun tiada sempurna dan akhirnya tentu bangsanyalah
yang menjadi kurang baik, sebab sekaliannya keturunan
perempuan muda, yang belum cukup umurnya.
Kedua, haruslah orang tua itu bertanya kepada anaknya,
sudahkah ada niatnya hendak kawin" Kalau belum, janganlah
dipaksa, supaya jangan menjadi huru-hara kemudian. Ada
perempuan yang belum mau mengikat dirinya dengan tali
perkawinan; sebab misalnya, masih suka bebas, sebagai anak-anak, atau sebabnya ada sesuatu maksudnya, yang menjadi
alangan kepada perkawinannya.
Ketiga, haruslah ditanyakan, sukakah ia kepada jodohnya itu
atau tiada. Yang sebaik-baiknya, tentulah anak itu sendiri
mencari jodohnya. Bukannya aku berkehendak, supaya
perempuan bangsa kita, dibebaskan seperti perempuan Barat,
siang malam bercampur gaul dengan laki-laki. Tidak, karena
adat Barat itu kurang baik bagi bangsa kita. Tetapi kedua mereka
yang dikawinkan itu, baiklah berkenal-kenalan dahulu; biar yang
seorang tahu benar akan yang seorang. Jika khawatir akan
sesuatu bahaya, jagalah anak pe rempuan itu baik-baik, jangan
terlalu banyak diberi be rcampur dengan tunangannya.
Cukuplah sekadar belajar kenal saja. Dan jika tak suka atau
khawatir anak itu akan salah mencari jodohnya sendiri,
pilihkanlah dahulu yang baik pada pikiran orang tuanya. Akan
tetapi sesudah itu haruslah ditanyakan juga kepada anak itu,
sukakah ia kepada pilihan orang tuanya ini. Tetapi sebaik-baiknya pertemukanlah keduanya, supaya jangan tatkala
dikawinkan itu saja masing-masing baru dapat melihat rupa
jodohnya." "Kata orang tua-tua, cinta itu akan datang juga kelak bila
telah kawin," kata Sa msu dengan tersenyum.
"Tiada selamanya," jawab Nurbaya. "Bagaimana dapat aku
mencintai orang, yang sebagai batuk Meringgih ini" Apakah
yang akan dapat menarik hatiku" Tak ada suatu pun yang
berpadanan dan bersamaan dengan daku.
Keempat haruslah umumya berpadanan; tua laki-laki sedikit.
telah lazim; sama tua baik juga; tua pun yang perempuan sedikit,
tak mengapa, asal jangan terlalu amat besar perbedaan mereka.
Laki-laki yang berumur lima puluh tahun dengan perempuan
yang berumur enam belas atau nenek-nenek yang berumur
limapuluh tahun dengan laki-laki ya ng berumur dua puluh tahun,
tentu saja tak sepadan. Itulah yang menjadi duri dalam daging,
yang selalu terasa-rasa oleh yang muda. Oleh sebab itu acap kali
ia tiada setia; berpaling hatinya kepada yang lain yang sebaya
dengan dia. Yang tua itu pun, terkadang-kadang tak senang pula
hatinya; malu kepada orang, sebab jodoh yang sangat besar
perbedaannya itu, tentulah menjadi buah tutur orang segenap
negeri. Lagi pula, orang yang telah tua itu, berlainan pikiran,
kemauan, kesukaan, kelakuan, tabiat adat dan kepandaiannya
dengan yang muda. Kemauan yang tua misalnya jangan terlalu
banyak berjalan, karena kekuatannya tiada seberapa lagi, tetapi
yang muda, itulah yang dikehendakinya, karena tak betah selalu
di rumah. Kesukaan yang muda misalnya, makanan yang keras-keras; tetapi si tua tak da pat memakan makanan itu, walaupun
masih ingin, karena giginya tak ada lagi. Yang tua, biasanya tua
pula fahamnya, tetapi yang muda, masih suka beriang-riang,
bermain-main dan bersenda gurau . Tabiat dan adat pun acap kali
berubah, bila umur telah tua. Aku masih menghargai segala
keelokan dan kesenangan, tetapi Datuk Meringgih ini, ingatan
dan pikirannya tiada lain melainkan kepada uang dan
pemiagaannya. Apa gunanya itu bagiku, bila tiada dapat kupakai
untuk memenuhi segala keinginan hatiku" Sekalian itu harus
diingat pula oleh ibu-bapa, yang hendak mengawinkan anaknya,
karena sangatlah susahnya akan menyamakan sifat dan kelakuan
yang berbeda-beda itu. Kepandaian harus pula sama, supaya dapat berunding dan
bercakap-cakap dalam segala hal. Jika yang seorang pandai dan
yang seorang bodoh, terkadang-kadang yang pandai menjadi
sombong dan yang bodoh bersedih hati. Demikian pula tentang
kekayaa n dan bangsa. Jika si laki-laki berbangsa tinggi dan si
perempuan orang biasa saja, rendahlah dipandangnya istrinya,
dan bila si laki-laki kaya, tetapi istrinya seorang yang miskin,
mudah disia-siakannya perempuannya itu.
Rupanya janganlah berbeda sebagai malam dengan siang;
karena itu pun boleh pula mendatangkan hal-hal yang kurang
baik. Akhirnya, harus diingat akan besar dan tinggi badan.
Adakah tampan pada pernandangan mata bila gajah yang besar
tinggi, dipersandingkan dengan tikus yang kecil kerdil" Ingatlah,
kedua mereka itu harus menjadi satu, pasangan yang baik dari
badan yang dua. Sebagai kaulihat, tak mudah da pat mencari jodoh yang sejoli.
Itulah sebabnya perkawinan itu suatu hal yang penting; tak baik
dipermudah, sebagai dilakukan oleh bangsa kita. Karena
kesenangan dan keselamatan orang berlaki-istri dan berumah
tangga, hanya dapat diperoleh, bila si laki-laki dan si perempuan
dalam segala hal dapat bersetujuan. Dalam hal yang demikian,
menjadilah rumah tangganya surga dunia, yang mendatangkan
kesukaan, kesenangan, cinta kasih sayang, selama-lamanya. Dan
bila telah beranak, bertambah-tambahlah kesenangan dan
kesukaan itu. Tetapi jika tiada begitu, menjadilah rumah tangga
itu neraka jahanain, yang selalu menimbulkan perselisihan,
perkelahian, benci, amarah, sedih, susah. terkadang-kadang
bencana dan bahaya yang disudahi dengan perceraian."
"Terlebih-lebih bagi laki-laki yang harus membanting tulang
untuk memperoleh kehidupannya," kata Samsu, "sangat berharga
kesenangan dalam rumah itu, karena bila ia pulang dari
pekerjaannya dengan lelah payah, dan didapatinya di dalam
rumahnya penglipur hatinya, ni scaya berobatlah lelahnya dan
dengan riang hatilah ia pada keesokan harinya menjalankan
pekerjaannya yang berat itu. Dengan dernikian, tiadalah akan
Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dirasainya keberatan pekerjaannya itu dan tetaplah sehat
badannya serta panjanglah umurnya. .
Bila tak ada yang seperti ini sengsaralah kehidupannya.
Sesudah ia menderita kelelehan dalarn pekerjaannya, tatkala
sampai ke rumah, kusut dan keruh pula yang dihidangkan oleh
anak-istrinya. Tiada heran, jika laki-laki yang serupa itu, tiada
betah di rumahnya; sebagai takut ia kepada tempat kediamannya
yang tetap itu. Oleh sebab itu larilah ia ke luar, mencari
penglipur hatinya di mana-mana. lnilah yang acap kali
menjadikan laki-laki itu jahat dan bengis kelakuannya, suka
berbuat yang tidak senonoh."
"Memang tugas perempuan tiada mudah," jawab Nurbaya,
"harus pandai menarik dan meli pur hati suaminya; bukan dengan
wajah yang cantik saja, tetapi j uga dengan kelakuan yang baik,
peraturan yang sempurna dan kepandaian yang cukup."
"Laki-laki, begitu pula," kata Samsu, "harus pandai mem-bimbing anak-istrinya, supaya betah dalam rumahnya dan
dengan riang dan suka hati, menjalankan kewajibannya. Sekalian
yang dapat menghiburkan hati, harus diadakan; sebab, apabila
perempuan tak betah lagi dalam rumahnya, bertambah-tambahlah celakanya, karena ta k ada tempat lain, yang dapat
menyenangkan hatinya..."
"Sesungguhnya hal ini kurang diperhatikan oleh bangsa kita,"
kata Samsu pula, setelah berhenti sejurus. "Itulah sebabnya agak-nya, acap kali terjadi perceraian dalam negeri kita, sehingga laki-laki atau perempuan samp ai beberapa kali kawin."
"Bukan itu saja, tetapi selagi talak dipegang laki-laki saja dan
laki-laki boleh beristri sampai beberapa orang, susahlah akan
mengubah hal itu." kata Nurbaya.
"Memang, itu pun tak adil pula," sahut Samsu.
"Jika perempuan yang memegang ta lak, dan aku tiada terikat
oleh ayahku, niscaya tiada kupanjangkan jodoh ini. Tetapi, apa
hendak kuperbuat" Aku terikat pada tangan dan kaki... Tiadakah
kasihan engkau kepadaku, Sam" Ta k adakah akal, supaya lepas
aku dari ikatan ini" Dengarlah olehmu pantun nasibku ini:
"Di sawah jangan memukat ikan,
ikan bersarang dalam padi.
Susah tak dapat dikatakan,
ditanggung saja dalam hati.
Gantungan dua tergantung,
tergantung di atas peti. Ditanggung tidak tertanggung,
sakit memutus rangkai hati.
Buah pinang di dalam puan,
tumpul kacip asah di batu.
Tidaklah iba gerangan tuan,
kepada adik yatim piatu"
L abuk baik kuala dalam, pasir sepanjang muaraqya,
Buruk baik minta digenggam,
badanlah banyak sengsaranya.
Ikatkan mati pisang berjantung,
hunus keris letakkan dia.
Niat hati hendak bergantung,
putus tali apakan daya."
"Nur sabarlah dahulu! Bukan aku tak kasihan kepadamu,
hanya pada waktu ini belum dapat kita berbuat apa-apa, karena
ikatannya sangat keras. Sena ngkanlah dahulu hatimu! Kelak
akan kucari muslihat yang baik. Sekarang hanya bersama-sama
kita berdoa kepada Allah, supaya lekas engkau terlepas dari
ikatan ini. Sst, diam! Apakah itu! Sebagai ada bunyi apa-apa di
luar pagar itu"" kata Samsu tiba-tiba, serta menoleh ke tempat
bunyi itu. Akan tetapi tiada suatu apa pun yang kelihatan
olehnya. "Barangkali katak atau binata ng kecil-kecil yang mencari
makanannya," jawab Nurbaya, lalu menyambung percakapannya
dengan Samsu. "Siapakah yang me nyangka, Sam, tatkala kita
setahun yang telah lalu, duduk di atas bangku ini, dengan
pengharapan yang besar, akan jadi sebagai sekarang ini hal kita"
Apakah jadinya cita-cira kita itu dan adakah akan dapat
disampaikan pula" Dengarlah pantun ini:
"Dari Perak ke negeri Rum,
berlayar lalu ke kuala. Jangan diharap untung yang belum,
sudah tergenggam terlepas pula.
Orang Pagai mencari lokan,
kembanglah bunga serikaya.
Aku sebagai anak ikan, kering pasang apakan daya.
Singapura kersik berderai,
tempat ketam lari berlari.
Air mata jatuh berderai, sedihkan untung badan sendiri.
Berbunyi kerbau Rangkas Betung,
berbunyi memanggil kawan.
Menangis aku menyadar untung,
untungku jauh dari awan. Berlayar dari Teluk Betung,
Anak Bogor mencari tiram.
Apa kuharap kepada untung,
perahu bocor menanti karam.
Tikar pandan dua berlapis,
dilipat digulung anak Bangka.
Sesal di badan tidak habis,
karena untung yang celaka."
Disabarkanlah Nurbaya oleh Samsu dengan pantun yang di
bawah ini: "Jangan disesal pada tudung,
tudung saji teredak Bantan.
Jangan disesal kepada untung,
sudah nasib permintaan badan. '
Ke rimba berburu kera, dapatlah anak kambing jantan.
Sudah nasib apakan daya, demikian sudah permintaan badan.
Sudah begitu tarah papan,
bersudut empat persegi. Sudah begitu permintaan badan,
sudah tersurat pada dahi.
Dikerat rotan belah tiga,
Nakoda belayar dekat Jawa.
Jangan diturut hati yang luka,
binasa badan dengan nyawa."
Dijawab oleh Nurbaya: "Berkota kampung Padang Besi,
Tempat orang duduk berjaga.
Cintamu jangan dihabisi, Sehelai rambut tinggalkan juga."
Dibalas pula oleh Samsu: "Jika menjahit duduk di pintu
jarumnya jangan dipatahkan.
Cintaku suci sudahlah tentu,
sedikit belum diubahkan. Bang dahulu maka kamat, takbir baru orang sembahyang.
Bercerai Allah dengan Muhammad,
baru bercerai kasih sayang.
Berbunyi meriam Tanah Jawa,
orang Belanda mati berperang.
Haram kakanda berhati dua
cinta kepada Adik seorang."
Mendengar pantun ini, tiadalah tertahan oleh Nurbaya
hatinya lagi, lalu dipeluknya Samsu dan diciumnya pipinya.
Dibalas oleh Samsu cium kekasihnya ini dengan pelukan yang
hasrat. Di dalam berpeluk dan bercium-ciuman itu, tiba-tiba ter-dengar di belakang mereka, su ara Datuk Meringgih berkata
demikian, "Itulah sebabnya, maka keras benar hatimu akan
pulang, dan tiada hendak berba lik kepadaku. Bukannya hendak
menjaga ayahmu, sebagai katamu, hanya akan bersenang-senangkan diri ddngan kekasihmu. Inilah perbuatan kaum muda,
kaum yang terpelajar, yang beradat sopan santun, tetapi memper-dayakan suami, supaya dapat bersenda gurau dengan laki-laki, di
tempat yang gelap, sedang ayah sendiri, sakit keras. Inilah
rupanya kelebihan kaum muda da ripada kami kaum kuno. Inilah
yang dipelajari di sekolah tinggi, dengan belanja dan susah
payah yang tida sedikit. Jika serupa ini, benar juga pikiran kami
kaum kuno: kemajuan kaum m uda itu, bukan akan meninggikan
derajatnya, bahkan akan membawanya dari tempat yang mulia
ke tempat yang hina; membusukkan nama yang harum,
menghilangkan derajat dan kemulia an perempuan, sedang adat
dan kepandaian lama, yang berf aedah bagi perempuan disia-siakan. Tak harus perempuan yang sedemikian dimajukan."
Ketika itu terperanjatlah Samsu dan Nu
rbaya, lalu berdirilah Samsu di muka Nurbaya akan melindunginya. Oleh sebab benci-nya Samsu kepada Datuk Meringgi h ini, karena teringat akan
sumpahnya di Jakarta, tiadalah dapa t ditahannya hatinya lagi lalu
menjawab, "Tak perlu engkau berkata begitu! Bercerminlah
engkau kepada badanmu sendiri! Adakah engkau sendiri berlaku
sopan santun berhati lurus dan bena r, tahu adat istiadat" Jika ada
iblis yang sejahat jahatnya di atas dunia ini, tentu engkaulah iblis
itu." Mendengar maki nista ini, merah padamlah muka Datuk
Meringgih, lalu diangkatnya tongkatnya dan dipalukannya
kepada Samsu. Tetapi tatkala itu juga Samsu melompat ke kiri,
seraya menarik Nurbaya, sehingga palu Datuk Meringgih itu
jatuh mengenai bangku, tempat mereka duduk tadi dan dengan
segera Samsu melompat ke hadapan, meninju muka Datuk
Meringgih dengan kedua belah tangannya berturut-turut, serta
kakinya pun menendang perut lawa nnya ini, sehingga jatuhlah
Datuk Meringgih, terbanting ke tanah, lalu berteriak minta
tolong, "Pendekar Lima, tolong aku!'
Seketika itu juga, datanglah seorang-orang yang berpakaian
serba hitam, dari tempat yang gelap, memburu Samsu dengan
sebilah keris terhunus di tangannya. Melihat bahaya yang akan
menimpa Samsu ini, menjeritlah Nurbaya sekuat-kuatnya, minta
tolong, sehingga bergemparanlah orang sebelah menyebelah,
terperanjat, berlari-lari ke luar.
Tatkala dilihat Samsu keris Pendekat Lima ditikamkan
kepadanya, melompatlah ia ke sisi dengan merendahkan dirinya,
lalu menyepak tangan Pendekar Lima, sehingga terpelantinglah
senjata itu ke udara. Pendekar Lima tak dapat menyerang Samsu
lagi, karena dilihatnya orang berl ari-lari datang ke sana, lalu
larilah ia menyembunyikan dirinya.
Sekalian orang yang datang yang di antaranya ada ayah
Samsu bertanya, apakah sebabnya maka berteriak minta tolong"
Akan tetapi seorang pun tiada menyahut. Oleh sebab itu,
bertanyalah Sutan Mahmud kepa da Datuk Meringgih, apakah
yang telah terjadi. "Tanyakanlah kepada anak Tuanku! Setelah diperdayakan
hamba bersama-sarna istri hamba, dipukulnya pula hamba,"
jawab Datuk Meringgih. Sutan Mahmud maklum, apa maksud pekataan Datuk
Meringgih ini dan ia sangatlah malu akan kelakuan anaknya.
Oleh sebab itu berkatalah ia, "Percayalah Engku, perkara ini
akan hamba periksa benar-benar. Siapa yang bersalah, tentulah
tiada akan luput dari hukuman, walaupun anak hamba
sekalipun." Lalu pulanglah ia membawa Samsu ke rumahnya.
Setelah berangkat Sutan Mahmud, kelihatan Baginda
Sulaiman keluar dari biliknya, karena ia sangat terperanjat, men-dengar suara anaknya minta tolong, sehingga ia bangun dari
tempat tidumya. Walaupun badann ya sangat lemah, sehingga ia
dilarang dokter bergerak-gerak, tetapi karena ia takut anaknya
akan mendapat kecelakaan, lupalah ia akan dirinya. Tatkala ia
hendak turun di tangga yang gela p itu, jatuhlah ia terguling-guling ke bawah. Melihat hal ayahnya ini, berlari-larilah
Nurbaya dengan beberapa orang, akan menolong Baginda
Sulaiman. Akan tetapi, ketika diangkat, nyatalah orang tua itu,
telah berpulang ke rahmatullah. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun!
Maka menjeritlah Nurbaya menangis tersedu-sedu dengan
mengempas-empaskan dirinya, tak dapat disabarkan lagi, lalu
jatuh pingsan. Mayat Baginda Sulaiman dan Nurbaya yang
pingsan, diangkat oranglah ke dalam rumahnya, dibaringkan di
ruang tengah dan Nurbaya dibawa masuk ke dalam biliknya.
Setelah dibasahi orang kepala Nurbaya dan diciumkan minyak
kelonyo ke hidungnya, barulah ia sadarkan dirinya pula, lalu
meratap amat sedih. "Tak perlu engkau menangis," kata Datuk Meringgih,
"karena salahmu sendiri. Engkaulah yang membunuh ayahmu."
Mendengar tempelak ini, berdirilah Nurbaya sekonyong-konyong. Air mukanya yang sedih itu hilang sekaliannya, ber-tukar dengan marah yang amat sangat. Air matanya kering,
matanya yang telah merah, karena menangis, bertambah-tambah
merah, bibir dan sekujur badannya gemetar. Sangatlah dahsyat
rupanya pada waktu itu, seakan-akan singa yang kelaparan,
hendak menerkam musuhnya.
"Apa katamu"" kata Nurbaya. "Aku membunuh ayahku,
celaka" Engkau yang membunuhnya! Pada s
angkamu aku tiada tahu, perbuatanmu yang keji itu ke pada ayahku" Engkaulah yang
menjatuhkan dia, karena dengki khianatmu dan busuk hatimu.
Perbuatanmulah, maka toko ayahku terbakar, perahunya
tenggelam kelapanya mati, seka lian langganannya tak hendak
mengambil barang-barang dari padanya lagi, serta mungkir
membayar utangnya dan segala orangnya lari, merribawa uang
ayahku. Tatkala ayahku telah jatuh miskin, pura-pura kautolong
ia dengan meminjamkan uang kepadanya, tetapi maksudmu yang
sebenarnya, hendak menjerumuskannya ke jurang yang terlebih
dalam, karena hatimu yang terlebih bengis daripada setan itu,
belum puas lagi. Aku pun kauseret pula ke dalam kekejian, untuk
memuaskan kan hawa nafsumu, yang terlebih hina pada hawa
nafsu hewan. Sekarang ayahku telah mati; barulah senang
hatimu, bukan" Akan tetapi pada waktu inilah pula, aku terlepas
dari tanganmu, hai bangsat! A ku dahulu menurut kehendakmu,
karena hendak membela ayahku, supaya jangan sampai engkau
penjarakan dia. Sekarang ayahku tak ada lagi, putus pula
sekalian tali yang mengikatkan aku kepadamu. Janganlah engkau
harap, aku akan kembali ke padamu. Manusia yang sebagai
engkau, tiada layak bagiku. R upamu sebagai hantu pemburu,
tuamu sama dengan nenekku, tabiatmu terlebih jahat dari tabiat
binatang yang buas. Apa yang dapat kupandang padamu"
Uangmu yang engkau peroleh dengan tipu daya, darah keringat
mereka yang telah engkau aniaya itu" Apa gunanya uang itu
bagiku" Karena kikirmu, engka u sendiri pun tak dapat memakai
uang itu. Siapa tahu barangkali hartamu itu kau peroleh dengan
jalan mencuri dan menyamun. Se ram badanku, jika kuingat akan
hal itu. Daripada bersuamikan engkau, terlebih suka aku
bersuamikan anjing. Nyah engkau dari sini! Tiada sudi aku
memandang engkau sebelah mata pun, terlebih daripada aku
melihat najis. Cis! Ceraikan aku sekarang ini juga! Jika tiada,
bukanlah laki-laki."
"Jangan engkau lupa, ayahmu berutang kepadaku. Oleh sebab
Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu rumah ini, akulah yang punya dan berkuasa atasnya. Jadi
bukan engkau yang dapat mengusir a ku, tetapi akulah yang harus
mengusir engkau dari sini. Jika banyak juga mulutmu, tentu
malam ini juga kukeluarkan engkau dengan ayahmu sekali, dari
rumah ini," jawab Datuk Meringgih, yang pucat mukanya karena
menahan marahnya. "Apa katamu" Rumah dan sekalian barang ini, bukan harta
ayahku, melainkan milikku sendiri, karena tertulis di atas
namaku. Tiada siapa berkuasa atasnya, melainkan aku seorang.
Kalau benar engkau laki-laki dan berkuasa atas rumah ini,
cobalah kaukeluarkan aku dari si ni!" lalu Nurbaya mengambil
palang pintu, sambil berkata, "Tandanya aku berkuasa atas
rumah ini, kuusir engkau seperti an jing dari sini. Bila lama juga
engkau di sini, takkan tiada maka nlah palang pintu ini kepalamu
yang besar, sulah dan beruban itu," lalu Nurbaya menghampiri
Datuk Meringgih, sambil mengayunkan palang pintu ke kepala-nya; tetapi lekaslah ia dipegang orang, disabarkan dengan per-kataan yang lemah-lembut.
Datuk Meringgih turun dari rumah Nurbaya, seraya berkata,
"Nanti!" lalu pulang ke rumahnya.
Sepanjang jalan tiada lain yang dipikirkan, melainkan jalan
akan membinasakan Nurbaya.
Tatkala Datuk Meringgih diusir oleh Nurbaya dari rumahnya,
ketika itu pula Samsu diusir oleh ayahnya dari rumahnya.
Demikian kata Sutan Mahmud kepada anaknya, "Perbuatanmu
ini sangat memberi malu aku, sebab tak patut sekali-kali. Ke
manakah akan kusembunyikan mukaku" Bagaimanakah aku
akan menghapus arang yang tela h kaucorengkan pada mukaku
ini" Perbuatan yang sedemikian, bukanlah perbuatan orang yang
berbangsa, anak orang yang berpangkat tinggi, orang yang
terpelajar, melainkan pekerjaan orang yang hina, yang tak tahu
adat dan kelakuan yang baik . Pada sangkaku, engkau bukan
masuk bangsa yang kedua itu.
Namaku yang baik selama ini, yang dimuliakan dan
dihormati orang, bangsaku yang tinggi dan belum bercacat,
sekarang kau kotorkan dengan noda yang tak dapat dihapus lagi.
Inikah balas usahaku memajukan engkau, sampai ke mana-mana.
Inikah buah pelajaran yang engkau peroleh di sekolahmu"
Sayang aku, akan uangku yang sekian banya
knya, yang telah kukeluarkan, untuk mendidik dan memandaikan engkau. Inikah
yang engkau pelajari di Jakarta " Pelajaranmu belum tentu lagi,
pekerjaan yang sedemikian telah kauperbuat."
Setelah berhenti sejurus, berkata pula Sutan Mahmud,
"Kesalahanmu ini tak dapat kuampuni, karena sangat memberi
aib. Pergilah engkau dari sini! Sebab aku tak hendak mengakui
engkau lagi. Yang berbuat demikian, bukan anakku."
Samsulbahri tiada menyahut sepatah pun perkataan ayahnya
ini, melainkan tunduk berdukacita. Hanya ibunyalah yang
menangis tatkala mendengar anaknya diusir oleh suaminya.
"Jika engkau pun hendak mengikuti anakmu, pergilah
bersama-sama! Aku tak hendak melihatnya lagi," kata Sutan
Mahmud pula kepada istrinya, lalu turun dari rumahnya, pergi ke
rumah saudaranya di Alang Lawas:
Setelah berangkat Sutan Mahmud, dibujuklah Samsulbahri
oleh ibunya dengan beberapa perkataan yang manis-manis,
supaya jangan dimasukkannya ke dalam hatinya, amarah
ayahnya itu. Akan tetapi Samsulbahri tiada menyahut pula
melainkan minta masuk ke biliknya, karena sangat mengantuk,
hendak tidur katanya. Mendengar permintaan anaknya ini hilanglah kuatir Sitti
Maryam. Pada sangkanya, tiada diindahkan Samsu amarah
ayahnya tadi. Tetapi sebenarnya Samsu semalam-malaman itu
tiada dapat memejamkan matanya, barang sekejap pun; melain-kan menangislah ia dengan am at sedih mengenangkan nasibnya
dan nasib Nurbaya kekasihnya yang malang itu. Tatkala hari
telah pukul tiga malam, bangunlah ia perlahan-lahan dari tempat
tidurnya, lalu dimasukkannya sekalian pakaiannya ke dalam
petinya dan keluarlah ia dari jendela biliknya. Setelah sampai ke
pintu pekarangan rumah orang tuanya, menolehlah ia ke
belakang, ke rumah itu dan rumah Nurbaya, lalu berhenti sejurus
lamanya dan berkata perlahan-lahan, "Selamat tinggal Ibu dan
kekasihku! Aku hendak berjalan, barang ke mana dibawa nasib-ku yang malang ini. Jika ada umurku panjang, mungkin akan
bertemu juga kita dalam dunia ini; jika tidak, bernanti-nantilah
kita di akhirat. Di sanalah k ita dapat bertemu pula, bercampur
selama-lamanya, tiada bercerai lagi.
Tatkala ia berkata-kata sedemi kian, bercucuranlah air mata-nya, karena hatinya sangat sedih . Terlebih-lebih, sebab sebagai
adalah suatu perasaan yang timbul dalam hatinya, yang
mengatakan, ia tiada akan dapat bertemu lagi dengan kedua
perempuan yang sangat dicintainya ini. Kemudian berjalanlah ia
menuju pelabuhanTeluk Bayur. Walaupun hari amat gelap dan
jalan amat sunyi tetapi tiadalah ia merasa takut, sebab pikirannya
masih terikat kepada hal yang baru terjadi itu. Kira-kira pukul
lima pagi, sampailah ia ke pela buhan Teluk Bayur, lalu naik
kapal yang akan berlayar hari itu ke Jakarta. Karena takut akan
diketahui orang, yang barangkali mengikutinya dari belakang,
bersembunyilah ia dalam sebuah kamar kelasi kapal yang di-kenalnya.
Pukul tujuh pagi diangkatlah jangkar dan berlayarlah kapal
itu menuju pelabuhan Tanjung Periuk.
Ketika diketahui oleh ibunya pada keesokan harinya, bahwa
anaknya tak ada lagi, ributlah ia menyuruh cari ke sana kemari,
tetapi tiadalah bertemu, dan seorang pun tiada tahu ke mana
perginya. Sebab sedih hatinya , berangkatlah ia tiga hari
kemudian ke Padang Panjang, ke rumah saudaranya. Di sanapun
rupanya tak dapat dilipurnya hatinya, sehingga badannya makin
lama makin kurus dan akhirnya jatuhlah ia sakit, karena
bercintakan anaknya. X. KENANG-KENANGAN KEPADA SAMSULBAHRI
Hari kira-kira pukul setengah tujuh, petang berebut dengan senja,
siang hampir akan hilang, malam hampir akan datang. Matahari
yang telah menjalankan kewajibannya, yakni memberi cahaya
dan panas kepada muka bumi yang sebelah timur, telah setengah
jam lamanya terbenam ke bawah ujung langit, yang sebelah
barat. Hanya bekas jejakn yalah yang masih kelihatan,
mengembang dari tempat silamnya, ke atas, sebagai kipas besar,
yang memancarkan bermacam-macam sinar yang permai warna-nya. Bintang kejora, mulai bercahaya, sebagai suatu mustika,
yang bersinar di tempat gelap. Bin-, tang yang lain pun, mulai
pula gemerlapan cahayanya, sebagai berlian pada peniti, yang
selalu digoya ng oleh pegas. Burung-burung yang melayang di
udara, sekaliannya telah mencari sarangnya masing-masing, akan
melepaskan lelahnya, sebab bekerja berat sehari-hari itu mencari
rezeki, untuk kehidupannya, sehingga perlulah ia beristirahat,
akan mengumpulkan tenaganya untuk keesokan harinya. Hanya
burung murailah yang masih ke dengaran kicau mengicau di
puncak kayu, sebagai hendak mengucapkan selamat tidur kepada
kawan-kawannya. Demikian pula ayam jantan, masih ada di luar
kandangnya, menoleh ke segenap tempat, seolah-olah hendak
mengetahui, sudahkah masuk seka lian anak dan bininya ke
dalam kandangnya. Tetapi induk ayam, telah lama ada di tempat-nya, mengeram akan memanaskan anak-anaknya yang masih
kecil. Kelelawar telah meningga lkan tempatnya pula, terbang
kian kemari dengan tiada kede ngaran bunyi kelepaknya, mem-buru kelekatu yang melayang di segala tempat. Di bawah pohon
kayu, kedengaran kumbang, terbang mencari mangsanya. Kupu-kupu malam kelihatan mengembangkan sayapnya yang berukir-ukiran itu, melayang ke atas dan ke bawah, terbang dipikat
bunga sedap malam. Cengkerik pun mulai pula mengerit,
seakan-akan orang yang sedang asyik mengaji dan berzikir di
surau. Sekonyong-konyong timbullah di sebelah timur, dari puncak
gunung yang tinggi, perlahan-lahan dengan tiada berasa
jalannya, putri malam yang cantik molek itu, sebagai bidadari
baru turun dari kayangan. Datangnya itu adalah diiringkan oleh
dayang pengasuhnya, yakni bi ntang-bintang yang mengelilingi-nya dan diwakili oleh beberapa pahlawan hulubalangnya, yaitu
awan dan mega yang memagarinya. Maksudnya menjelma itu,
ialah akan menunjukkan wajahnya yang gilang-gemilang,
kepada bumi, yang disinarinya dengan sinar yang lembut dan
segar. Alangkah senang dan sentosanya hati dan perasaan sekalian
mahluk di muka bumi, menyambut kedatangan putri kamariah
ini, sehingga terlipur rasanya duka nestapa mereka, karena di-tinggalkan kekasihnya, raja sia ng itu. Amat indah paras mukanya
yang bundar jemih itu, sebagai emas bam disepuh, melimpahkan
cahayanya yang hening dan bening, sampai ke bawah-bawah
pohon kayu dan ke celah-celah batu. Sekalian hamba Allah, tua
muda, besar kecil, yang mula-m ulanya hendak mencari tilam dan
kasurnya, akan melepaskan lelahnya, karena peperangan di
padang penghidupan yang baru dilakukannya, tertariklah
kembali ke luar, sebab he ndak merasai kesenangan dan
kesedapan yang dikaruniakan oleh putri malam ini. Anak-anak
yang biasanya telah mendekur di tempat tidur, keluarlah ber-main-main, berkejar-kejaran da n bernyanyi di malam sunyi dan
piatu itu. Di muka rumah, banyak orang duduk bercakap-cakap
dengan anak dan istrinya atau sahabat kenalannya, membicara-kan hal-ihwal yang telah lalu atau sesuatu yang akan datang.
Di tepi laut kota Padang, terbayang-bayang di atas beberapa
bangku sebagai orang duduk berdekatan, bercakap perlahan-lahan. Siapakah mereka, yang tela h sengaja mencari tempat yang
sunyi-senyap ini, sebagai takut akan diganggu orang" Itulah
asyik dan masyuknya, yang sedang melepaskan dahaga cinta
berahinya. Mereka tiada ingat lagi akan dirinya dan tiada meng-indahkan sekalian yang mengelilinginya; sebagai tak adalah
baginya makhluk di atas dunia ini, lain daripadanya berdua. Dan
sesungguhnya, mereka itulah orang sesenang-senang dan
semujur-mujur manusia waktu itu. Disuluhi oleh cahaya yang
permai, dinyanyikan oleh geloinbang yang menderu-deru
memecah di tepi pantai, tersembunyi di tempat yang lengang,
bebas daripada segala keramaian, penglihatan dan pendengaran,
memang dapatlah mereka merasai kenikmatan asmara sepenuh-penuhnya.
Di jalan raya, kelihatan kereta;kereta ditarik oleh kuda yang
besar-besar, bersiar-siar perlahan -lahan kian kemari. Di pinggir
jalan yang dilindungi pohon yang rindang-rindang, kelihatan
beberapa orang bangsa Barat, berjalan berpegang-pegangan
tangan dengan istrinya, akan mengambil hawa yang sedap.
Akan tetapi, bila kedua asyik dan masyuk itu berjauh jauhan,
seorang dengan yang lain, hila nglah segala kesenangan dan
kesukaan tadi, berganti dengan duka dan sedih, yang meng-hancurkan hati. Segala yang pada wa
ktu itu menambahkan kesukaan dan kesenangan, seperti tempat yang sunyi senyap,
cahaya bulan yang permai, gelombang yang memecah di pasir
pantai, angin yang bertiup sepoi-sepoi, sekalian itu akan terbalik
menambahkan rindu dendam, yang disertai oleh sedih dan pilu
yang amat sangat. Demikian pula bagi dagang yang jauh di rantau orang,
sekalian itu acap kali mendatangkan kesedihan hati serta rindu
dendam yang tiada terkira-kira; karena teringat akan tanah air,
rumah tangga, kampung halaman, ibu-bapa, sanak saudara, kaum
keluarga, handai dan tolan, yang telah lama luput dari mata,
tetapi tiada kunjung hilang dari hati. Terlebih-lebih jika teringat
bahwa Allah sajalah yang mengetahui akan untung manusia itu,
entahkan terjejak kembali tanah tepi, entahkan tersangkut di
rantau orang, sebagai kata pantun:
Bergetah tangan kena cempedak,
digosok dengan bunga karang.
Entah berbalik entah tidak,
entah hilang di rantau orang.
Jarang berbunga tapak leman,
orang Padang mandi ke pulau.
Orang berkampung bersalaman,
dagang membilang teluk rantau.
Makin lama, makin malam, dan bulan pun mengambang kian
bertambah-tambah tinggi. Anak-anak yang bermain-main ber-sorak-sorak tadi, tiadalah kedengara n lagi suaranya, karena telah
lama berselimut di tempat tidurnya. Orang yang duduk bercakapcakap di muka rumahnya tiada pula kelihatan lagi; masing-masing telah masuk ke dalam rumahnya. Di jalan besar, bendi-bendi telah mulai kurang, dan orang pun hampir tak ada lagi.
Tiada lama kemudian daripada itu sunyi senyaplah jalan raya
yang ramai tadi. Hanya sekawan orang jaga, yang memakai
serba hitam, masih kelihatan berjalan perlahan-lahan dengan
tiada bercakap-cakap, supaya k eadaan mereka jangan diketahui
penjahat. Kota yang ramai tadi menjadi sunyi senyaplah, sebagai
negeri yang telah ditinggalkan orang. Sekaliannya tidur. Hanya
di puncak kayu yang tinggi, masih kedengaran sejurus-sejurus
bunyi burung pungguk, yang sedang merindukan bulan, men-dayu-dayu antara ada dengan tiada, seakan-akan ratap tangis
yang sedih, tersedu-sedu dengan putus-putus suaranya.
Hai Pungguk! Mengapakah engkau merindu sedemikian itu,
seraya memandang dengan tiada berkeputusan kepada bulan
yang tinggi itu" Apakah yang menjadikan sedih hatimu, dan
apakah maksud perbuatanmu itu"
"Aduh bulan, aduh jiwaku, jantung hatiku, cahaya mataku!
Bilakah engkau turun ke dunia ini, melihat aku, yang telah
sekian lama mengandung rindu dendam kepadamu" Bilakah
engkau jatuh ke bumi, ke atas pangkuanku untuk mengobati luka
hatiku, yang telah tembus kena panah berahi, yang telah kaulepaskan daripada busurnya menuju dadaku" Tiadakah belas dan
kasihan hatimu, melihat aku selalu merayu di puncak kayu ini,
merindukan engkau dengan tiada mengindahkan jerih dan lelah,
hujan dan basah" Sampai hati ge rangan engkau, melihat halku
sebagai orang mabuk cendawan.
Adapun maksudku hendak terbang mendapatkan engkau,
akan memperhambakan diriku yang hina ini kepadamu kalau-kalau beroleh kasihan daripadamu, tetapi apatah dayaku"
Sayapku yang lemah ini, tiada dapat membawa aku terbang lebih
tinggi, dari pohon ini: Putih berkembang bunga kecubung,
mati tiram di tepi pantai.
Maksud hendak memeluk gunung,
apa daya tangan tak sampai.
Aduh, aduh! Bilakah dapat kusampaikan hasrat hatiku ini"
Karena apabila telah sianglah ha ri kelak, bila telah datanglah
suamimu raja Samsu, memancarkan sinarnya yang tajam ke
segenap penjuru alam ini, haru slah aku lari bersembunyi ke
tempat yang gelap, supaya jangan buta mataku ditembus panah
suamimu." Sebagai burung Pungguk ini meratap, menangis, merayu di
puncak kayu, merindukan bulan yang tinggi di atas langit yang
biru, demikian pulalah duduk seorang perempuan muda, ter-menung berawan hati, di jendela sebuah rumah di kampung
Belantung di kota Padang; adalah sebagai seorang yang sedang
merindukan kekasihnya, yang jauh dari matanya.
Jika ditilik pada rupanya, adalah perempuan ini seorang janda
yang masih remaja kira-kira berumur tujuh atau delapan belas
tahun. Rupanya cantik, badannya lemah semampai dan kulitnya
kuning langsat. Rambutnya yang hitam lagi ikal itu, jatu
h berlingkar-lingkaran di keningnya , sebagai rambut gadis bangun
tidur. Sanggulnya yang besar itu tergantung bagaikan terurai
pada kuduknya. Matanya yang lembut pemandangannya itu
merenung dengan tiada berkeputusan, bulan, yang hampir
diselimuti mega, di atas langit. Pada air mukanya nyata
kelihatan, ia sangat berdukacita , karena dari matanya yang
merah, jatuhlah berderai ke tanah, air matanya yang telah
berlinang-linang di pipinya, sebagai mutiara putus pengarang.
Tangannya yang putih kuning, dihiasi gelang emas ular-ularan,
Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang nyata kelihatan, tatkala lengan baju sutera jepunnya surut
ke bawah, tiadalah lelah menopang dagunya, yang sebagai lebah
bergantung. Siapakah perempuan muda itu" Apakah sebabnya maka ia
berdukacita sedemikian itu dan mengapakah pula maka selalu ia
memandang kepada bulan yang tinggi di atas langit, sebagai di
sanalah tempat yang menjadikan dukacita hatinya"
"Aduh kekasihku yang sangat kucin tai! Betapakah akhirnya
aku ini" Karena semenjak aku kautinggalkan, adalah halku ini
sebagai orang yang tiada bemyawa lagi dan adalah dunia ini
rasanya telah menjadi sangat sempit, tiada lebih besar daripada
engkau berdiri seorang diri, tempat aku bergantung:
Jika begini condongnya padi,
tentu ke barat jatuh buahnya.
Jika begini bimbangnya hati,
tentu melarat badan akhirnya.
Jika begini naga-naganya,
kayu hidup dimakan api. Jika begini rasa-rasanya,
badan hidup rasakan mati.
Lurus jalan ke Payakumbuh,
kayu jati bertimbal jalan.
Hati siapa tidakkan rusuh,
ayah mati kekasih berjalan.
Anak Judah duduk mengarang,
syair dikarang petang pagi:
Alangkah susah hidup seorang,
bagi menentang langit tinggi.
Jika 'ndak tahu di Tanjung Raja,
bermalam semalam di kampung Pulai,
mudik berkayuh ke Merangin,
Cerana Nanggung di Supayang.
Jika 'ndak tahu diuntung saya,
lihat kelopak bunga bulai,
kalau pecah ditimpa angin,
entah ke mana terbang melayang.
Wahai jantung hatiku, cahaya mataku! Betapakah sampai
hatimu meninggalkan aku ini seorang diri dengan nasibku yang
malang ini" Jika siang tiadalah lain yang kupikirkan, melainkan
engkau dan untungku yang celaka ini. Bekerja yang lain tiada
dapat, karena pikiranku selal u melayang. Walaupun badanku ada
di sini, tetapi nyawaku tiadalah jauh daripadamu. Wajah muka-mu senantiasa terbayang-bayang di mataku. Jangankan bekerja,
sedangkan makan dan minum tiada ingin, karena nasi dimakan
rasa sekam, air diminum rasa duri.
Tiadalah lain yang kukerjakan sehari-hari, melainkan duduk
termenung bertopang dagu, me mandang dengan tiada ber-keputusan kepada benda yang tiada kulihat. Ini, lihatlah! Telah
berapa lamanya aku duduk sedemikian ini, tiadalah kuketahui.
Selalu kupandang bulan yang jauh di atas langit, karena ialah
yang dapat memperhubungkan pemandangan kita berdua. Jika
engkau pun melihat pula kepada bulan itu, niscaya bertemulah
pemandangan kita di sana. Aduha i! Betapakah baiknya, bila
bulan itu dapat pula menyambung perkataan dan perasaan kita!
Apabila hari telah malam, tia dalah dapat kupejamkan mataku
barang sekejap pun, karena bayang-bayangmu berdiri di muka-ku. Suaramu terdengar di telingaku, ciunvnu terasa di pipiku.
Walaupun aku telah tertidur, sebab lelah pikiran dan badanku,
acap kali aku terbangun kembali, karena bermimpikan engkau.
Wahai! Sebagai sungguhkah rasanya engkau datang kepadaku,
akan menghibur hatiku yang kecewa ini dengan perkataan yang
lemah-lembut, serta memeluk dan menciumku, akan memper-lihatkan hatimu yang belas kasi han kepadaku. Maka hilanglah
segala kesusahan dan duka nestapa yang menggoda pikiranku.
Akan tetapi, ya Allah! Bila tersadar pula aku dan teringat, bahwa
sekalian itu hanya permainan kalbuku saja dan nyata pula
olehku, bahwa aku masih ada di dalam tempat tidurku, terbaring
seorang diri, hanya ditemani oleh guling dan bantalku,
bertarnbah-tarnbahlah sedih hatiku dan hancur luluh rasa
jantungku. Air mataku bercucuran membasahi bantal dan kasur-ku dan mataku tiada dapat kututupkan lagi.
Tatkala berkokoklah ayam bersahut-sahutan di segala tempat,
barulah terperanjat aku, kare na bunyi itu kudengar sebagai
suaramu, mernanggil aku dari jauh. Bunyi ombak yang menderu-deru memecah di tepi pantai, sebagai mengingatkan aku, bahwa
kekasihku jauh di seberang lautan yang dalam, di balik gunung
yang tinggi. Dadaku rasakan bela h, tali jantungku rasakan putus.
Maka menelungkuplah aku, menekankan dadaku ke bantal, akan
menahan sakit yang mengiris hatiku, sehingga terkadang-kadang
pingsanlah aku, tiada khabarkan diri. Waktu yang dua belas jam,
menjadi dua belas tahun lamanya, karena lama menanti siang.
Bila menyingsinglah fajar di sebelah timur dan bersuitlah
burung di dahan kayu, alamat hari akan siang, bangunlah aku
seorang diri, keluar perlahan-lahan, supaya jangan menyusahkan
orang. Walaupun had masih gelap dan dingin, aku basuh
mukaku, karena malu, kalau diketahui orang halku, melihat
mataku yang bengkak dan merah: Tetapi hawa yang sejuk dan
embun yang mengabut itu pun tiada juga dapat menyegarkan
badanku dan menenangkan pikira nku, melainkan bertambah-tambahlah sedih hatiku, sebab di sana nyata benar olehku buruk
untungku, sunyi daripada scgal a makhluk yang dapat mengobati
penyakitku. Sungguhpun pada siang hari banyak pekerjaan yang boleh
dikerjakan, tetapi luka hatiku tak dapat ditawari dengan
pekerjaan. Dan bila malamlah pul a hari, penyakit yang hebat ini
datang kembali berlipat ga nda kerasnya, menggoda aku.
Wahai nasib yang malang, bilakah engkau lepaskan aku dari
kungkunganmu" Ketika itu berlinang-linanglah pula air mata perempuan ini,
mengalir ke pipinya, yang dihiasi oleh sebuah tahi lalat yang
hitam. "Bagimu, kekasihku, karena engkau ada di negeri besar,
tentulah kesusahanmu tiada seberapa, sebab banyak yang dapat
mclipur hatimu. Tetapi aku yang ada di negeri Padang ini,
terkurung dalam rumah yang kecil, tempat aku menumpangkan
diriku yang malang ini, tiada beribu-bapa, tiada bersanak
saudara, atau sahabat kenalan, siapakah 'kan dapat melipur
hatiku ini" Seorang pun tiada.
Ya Allah, ya Tuhanku! Apakah sebabnya hamba-Mu disiksa
sedemikian ini" Apakah kesalahanku, maka tiada boleh men-dapat ampun dan maaf, supaya terlepas dari azab dunia ini,
karena tiadalah sanggup rasanya hamba-Mu menanggung
siksaan ini. Jika tiada lekas aku terlepas dari sengsara ini,
niscaya luputlah badan dan nyawaku dari negeri yang fana ini.
Akan tetapi, bila sesungguhnya aku tiada akan mendapat ampun
lagi, sebaik-baiknyalah dengan lekas diceraikan nyawaku dari
tubuhku, karena tiadalah terderita lagi olehku azab yang
sedemikian ini: Ya Allah, ya Rabbana, Tiadakah kasih hamba yang hina"
Menanggung siksa apalah guna,
Biarlah hanyut ke mana-mana.
Tiada sanggup menahan sengsara,
Sebilang waktu mendapat cedera,
Dari bencana tidak terpiara,
Seorang pun tiada berhati mesra.
Mengapakah untung jadi melarat"
Bagai dipukul gelombang barat,
Suatu tak sampai cinta dan hasrat,
Kekasih ke mana hilang mengirat"
Apakah dosa salahku ini"
Maka mendapat siksa begini,
Badan yang hidup berasa fani,
Seorang pun tiada mengasihani.
Semenjak ayahku telah berpulang,
Godaan datang berulang-ulang,
Sebilang waktu berhati walang,
Untung yang mujur menjadi malang.
Ditinggal ibu ditinggal bapa,
Kekasih berjalan bagaikan lupa,
Sudahlah malang menjadi papa,
Penuh segala duka nestapa.
Mengapa nasib hamba begini"
Azab siksaan tidak tertahani,
Jika tak sampai hayatku ini,
Biarlah badan hancur dan fani.
Aduhai bunda, aduh ayahda!
Mengapa pergi tinggalkan ananda"
Tiada kasihan di dalam dada,
Melihat yatim berhati gunda.
Mengapa ditinggalkan anak sendiri"
Biasa dijaga sehari-hari,
Sakit sebagai inengandung duri,
Ke mana obat hendak dicari""
Maka bercucuranlah pula air mata perempuan ini, jatuh ber-derai tiada berasa. Tatkala ke dengaran kokok ayam bersahut-sahutan, karena hari telah pukul dua malam, bertambahlah pilu
Misteri Kereta Api Biru 1 Pedang Dewa Naga Sastra Bun Liong Sian Kiam Karya Rajakelana Misteri Pedang Naga Suci 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama