Ceritasilat Novel Online

Solandra 1

Solandra Karya Mira W Bagian 1


Tanamkan benihmu ditubuhku Mas pintanya dengan suar memelas yang tak mungkin ditolaK Biarkan aku mengandung anakmu. Beri aku kesempatan untuk mengandung dan men" besarkan buah hati kita."
"Aku juga menginginkannya'. Andra," balas Paskal lembut. Dikecupnya rambut Solandra yang harum semerbak. Tapi seandainya tak hadir buah cinta kasih kita sekalipun, aku tetap mencintaimu."
"Akan kuberikan cinta dan seluruh hidupku untukmu, Mas. Seandainya jantungku tidak berdenyut lagi sekalipun, cintaku padamu takkan pernah mati."
"Cintamu segala-galanya untukku, Solandra. Biarkan jantung kita berdenyut dalam satu denyutan sampai kematian datang menjemput kita."
Cinta mereka begitu murni. Begitu indah. Begitu abadi. Adakah yang mampu mengoyakkannya"
buku ketujuh puluh Mira W. setelah-, 30 tahun menulis.
Mm W SOLANDRA SOLANDRA oleh Mira W GM 401 05.013 " Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama JI. Palmerah Barat 33-37, Jakarta 10270 Foto sampul: Marcel A. W Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, anggota IKAPI, Jakarta, Agustus 2005
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Mira W Solandra/Mira W -Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005.
368 him.; 18 cm. ISBN 979 - 22 - 1511 - 5 I. Judul
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab percetakan
Pernahkah engkau merasa hidup begitu
hampanya, kosong melompong seperti selembar kertas putih yang belum ditulisi"
Pernahkah engkau bangun pagi dan merasa tidak tahu apa yang harus engkau kerjakan hari ini"
Pernahkah engkau demikian segannya pulang ke rumah karena tidak ada siapa-siapa
di sana" Pernahkah engkau begitu malasnya membuka kelopak matamu karena tidak ada lagi yang ingin kaulihat"
Bab I mulai turun di Las Vegas. Panas yang menyengat di ambang empat puluh dua derajat Celcius mulai mereda. Lampu-lampu yang menjadikan kota yang tak pernah tidur itu tampil semarak setiap saat, mulai berkilauan menghiasi setiap sudut jalan.
Tiba-tiba saja seluruh kota menjadi benderang oleh kelap-kelip lampu warna-warni. Iklan pertunjukan yang fantastis bertebaran di depan deretan hotel-hotel dari yang standar sampai yang eksklusif. Lobi-lobi hotel di sepanjang Sunset Strip dipenuhi penjudi profesional dan amatir yang berlomba mengadu untung. Turis mancanegara lalu-lalang di sepanjang kaki lima. Kamera mereka tidak henti-hentinya menjepret objek-objek yang memikat.
Sementara di sudut-sudut jalan, beberapa
orang anak muda menawarkan foto gadis-gadis ranum menawan yang dapat dipesan untuk menyejukkan malam. Pose mereka begitu memikat. Membuat yang ditawari jadi sulit! menolak.
Las Vegas memang kota yang menarik. Unik. Tidak membosankan.
Hampir setiap tabun kota itu menyajikan sesuatu yang baru. Entah pertunjukan yang fantastis atau hotel baru yang eksklusif.
Tetapi Paskal tidak tertarik untuk keluar! menelusuri jalan yang panas terik seperti di gurun pasir itu. Dia memilih tinggal di lobi hotelnya yang luas dan sejuk. Setelah bosan menyusuri setiap sudut hotelnya yang sangat luas itu, dia minum segelas ice coffee sambil menikmati serombongan pemain musik yang sedang mengalunkan Come Back to Sorrento.
Dan ketika lagu yang syahdu itu membelai lembut relung-relung hatinya, tiba-tiba saja Paskal merasa rindu pada istrinya. Kerinduan yang begitu saja menitis. Seperti rasa haus yang sekonyong-konyong menyentak.
Lambat-lambat Paskal melangkah menuju ke kamarnya. Membiarkan matanya menikmati apa saja yang dapat dinikmati di sekelilingnya.
Mesin-mesin judi yang gemerincing memuntahkan uang logam di lobi hotel yang sangat luas. Para penjudi yang memelototi tarian dadu di meja roulet. Kartu-kartu yang dihamparkan
di meja bakarat. Dan gadis-gadis cantik berpakaian seronok yang lalu-lalang memamerkan
diri. Tetapi Paskal tidak tergugah untuk berhenti. Keinginannya saat itu hanya satu. Pulang ke kamar untuk menemui istrinya. Meskipun dia tidak yakin Solandra ada di kamar.
Di hotel yang memiliki deretan toko eksklusif yang menawarkan demikian banyak barang bermerek yang menggoda mata dan dompet, rasanya mustahil menemukan seorang wanita menganggur di kamar. Solandra past
i masih memanjakan matanya di luar. Percuma mengajaknya pulang ke kamar kalau dia masih meninggalkan hatinya di toko.
Jadi sambil menyimpan senyumnya, Paskal menuju ke lift yang akan membawanya ke kamar. Menunjukkan kunci kamar berbentuk sehelai kartu kepada penjaga yang selalu siaga di sana. Dan masuk ke dalam lift. j
Paskal membuka pintu kamarnya tanpa mengharapkan sambutan. Dia mengira akan
mengendus udara kamarnya yang sejuk tapi kosong.
Tetapi begitu pintu terbuka, yang membelai hidungnya justru aroma parfum yang sudah sangat dikenalnya. Aroma yang selalu membuatnya mabuk kepayang. Campuran harum melati yang lembut dan aroma sitrus yang menggoda.
Dan Paskal belum sempat menutup pintu, ketika makhluk yang amat memesona itu muncul begitu saja entah dari mana.
"Hai," sapanya lembut mendayu bagai angin berembus.
Solandra tegak di hadapannya bagai bidadari yang turun dari kahyangan. Rambutnya yang hitam lurus tergerai bebas sedikit melewati j bahunya yang terbuka. Gaunnya yang berwarna hijau melon dengan keyhole front dan halter neck memamerkan bahunya yang putih mulusi mengundang belaian. Sementara sabuk hitam yang meliliti pinggangnya yang ramping semakin membius Paskal, Membuatnya sampai ) lupa menutup pintu.
Solandra menyunggingkan seuntai senyum j manis yang memabukkan. Dia memutar tubuh- j nya-di depan suaminya. Membuat gairah Paskal semakin menggelegak tak tertahankan.
"Bagaimana"" Senyum Solandra begitu menggoda. "Bagus nggak bajunya""
"Bukan bajunya," sahut Paskal sambil melepaskan pegangannya pada daun pintu. Membiarkan pintu itu menutup dengan sendirinya.
Diraihnya istrinya dengan penuh kerinduan ke dalam pelukannya. Dikecupnya bahunya yang terbuka dengan mesra. Ketika bibirnya mulai merambah ke leher dan tangannya mulai melepaskan gaun istrinya, Solandra menggeliat manja sambil tertawa lembut.
"Percuma beli baju hampir tiga ratus dolar! Dilihat saja enggak!"
"Siapa bilang percuma"" desah Paskal terengah-engah meredam gairahnya. "Baju ini membuat malam kita datang lebih cepat!"
"Betul"" Solandra membelai wajah suaminya sambil menyuguhkan seuntai senyum manis yang menggoda. Senyum yang membuat Paskal tak mampu lagi menahan berahinya,. "Boleh permisi ke kamar mandi sebentar""
"Tidak," sahut Paskal sambil tergesa-gesa melepaskan pakaiannya. "Sudah terlambat!"
Paskal membawa istrinya ke tempat tidur. Membaringkannya dengan lembut. Mencumbunya dengan penuh kerinduan seolah-olah mereka baru saja berpisah selama berbulan-bulan.
"Aku mencintaimu, Andra," bisiknya sambil mengecup telinga istrinya dengan mesra. Menghirup aroma parfum yang membuat berahinya meledak-ledak tak tertahankan.
Kecupan itu membuat Solandra menggeliat geli sambil menahan gairah yang meronta di dada. Embusan napas suaminya menggelitik telinganya, merangsang bulu romanya yang langsung meremang.
Solandra tidak ingin semuanya berlangsung terlalu cepat. Dia ingin menahannya. Supaya kenikmatan ini tidak segera berakhir. Supaya kemesraan ini tidak segera berlalu.
Tetapi ketika tangan suaminya yang membelai rambutnya, pipinya, lehernya, kemudian mulai turun ke bawah, dia tidak tahan lagi. Lebih-lebih ketika bukan hanya jari-jemari Paskal yang melimpahkan kemesraan itu. Mulutnya juga. *w
Solandra tidak mampu bertahan. Dia menyerah. Dan mendesah penuh permohonan sambil membiarkan gairahnya meluncur lepas dari kungkungannya. "Please," pintanya sementara tangannya meremas rambut Paskal dengan penuh kerinduan.
Dan Paskal tidak menunggu sampai gairah mereka yang sudah sampai ke puncaknya itu mengendur kembali. Dia memberikan apa yang diminta istrinya dengan segera.
Disatukannya tubuhnya dengan tubuh wanita yang sangat dicintainya. Dan, tatkala tubuh mereka berayun dalam alunan simfoni cinta yang sangat indah, Paskal merasakan kepuasan yang tak terperi.
Sementara Solandra yang masih, melekat rapat ke tubuh suaminya juga merasakan kenikmatan yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Kenikmatan yang hanya dapat diberikan oleh suaminya. Kenikmatan yang begitu sempurna karena dianyam bukan hanya oleh tali-temali gairah dan nafsu. Tetapi karena dibuhul oleh simpu
l cinta yang amat kuat. Lama ketika kemesraan itu telah berlalu, ketika mereka sudah sama-sama terkulai dalam keletihan dan kepuasan,. Paskal belum terlelap juga. Dia masih mengawasi istrinya yang ter-golek di sampingnya dengan penuh kasih sayang.
Wajah yang cantik itu terkulai di at
nya yang terbuka. Sementara matanya yang indah, mata yang selalu dikaguminya, terpejam rapat dalam buaian kantuk.
Rambutnya yang hitam lurus, rambut yang selalu dikaguminya, rambut yang selalu memancing keinginan Paskal untuk membelainya, tergerai di dada Paskal seraya menebarkan keharuman yang merangsang.
Paskal begitu mengasihi istrinya. Dia begitu memuja Solandra. Mengagumi semua yang adai dalam dirinya.
Kadang-kadang kalau sedang memandangi istrinya tidur seperti ini, Paskal sering bertanya sendiri, apa jadinya kalau dia kehilangan Solandra. Kalau dia harus hidup tanpa wanitai
yang dicintainya dengan sepenuh hati. Semoga hari itu tidak pernah datang dalam
hidupku, pinta Paskal pahit. Semoga kami j
tidak pernah berpisah. Semoga aku tidak akan "!
pernah kehilangan dia! Bab II tENALIN, cowok gue," Sania meraih lengan pria ganteng yang datang bersamanya ke reuni SMA mereka. "Keren nggak""
Solandra hanya membalas canda temannya dengan seuntai senyum. Senyum manis yang membuat serangga pun rasanya ingin ikut tersenyum.
Dia memang tidak pernah berubah, pikir Sania kagum. Lima tahun tidak mengubah penampilan dan sifatnya. Dia masih tetap Solandra yang dikenalnya di SMA. Ketua kelas yang sabar. Murid yang paling patuh. Dan siswi yang paling pintar.
Sania masih ingat sekali kejadian di SMA mereka saat itu. Bapak Fisika mendadak berhalangan datang. Ah, sebenarnya bukan mendadak. Bapak Fisika memang sering bolos. Menimbulkan persepsi jelek mengenai dirinya.
Ngobjek, biasa," komentar si nyinyir Sally, seperti biasa, sok tahu.
"Bininya ngajak ke Pasar Baru," sambung Utin sambil tertawa mengikik. Tawa yang kalau malam, apalagi kalau dia tertawa dekan kuburan, pasti membuat orang merinding.
"Kabur, yuk," usul Sania, kreatif seperti biasa.
Dia memang paling sering mengajukan usul yang secara aklamasi diterima oleh seluruh kelas, kecuali tentu saja, si ketua.
Solandra menjadi belingsatan sendirian ketika; ditinggalkan oleh semua temannya. Soalnya dialah yang harus mempertanggungjawabkan perbuatan teman sekelasnya, meskipun dia tidak bersalah.
Dan Bapak Kepala Sekolah tidak peduli apa alasannya. Tidak peduli yang salah bukan sang ketua kelas.
Itu tanggung jawab seorang pemimpin. Harus menerima hukuman akibat kesalahan anak buahnya.
Memang bagus kalau prinsip itu diterapkan j sesudah mereka terjun ke masyarakat nanti. Karena biasanya kalau sudah jadi pemimpin, mereka lebih sering cuci tangan.
Solandra dihukum untuk kesalahan yang dilakukan teman-temannya. Ketika Bapak Kepsek tahu kelasnya kosong melompong, Solandra dimarahi habis-habisan. Tentu saja dia harus memarahi Solandra kalau tidak mau memarahi bangku dan dinding kelas. Nanti dikira edan.
Dan Solandra menerima hukumannya dengan sabar. Menyalin tugas fisika yang harus dikerjakan hari ini. Membersihkan kelas. Dan menunggu sampai jam pulang sekolah di kantor Kepala Sekolah.
Dia tidak melawan. Tidak membantah. Tidak menyalahkan siapa-siapa. Wajahnya tetap jernih meskipun lelah. Perangainya tetap selembut biasa. Dan dia masih bisa tersenyum tipis ketika pamit hendak pulang.
Ketika keesokan harinya teman-temannya tahu apa yang terjadi, mereka menyorakinya. Tetapi Solandra tidak marah. Dia hanya menyampaikan apa yang dikatakan Bapak Kepala Sekolah. Dan menyuruh teman-temannya menyalin tugas fisika. Selesai. Tidak ada gerutuan. Tidak ada keluhan.
"Lu diomelin Kepsek, ya"" tanya Titin penasaran.
"Iya," sahut Solandra singkat.
"Dmukum juga"" U>
"Ngapain sih nanya lagi"" potong Sally gemas. "Udah tau masih nanya!"
"Hati lu terbikin dari apa sih, Dra"" gerutu Sania heran campur kesal. "Lu marah dong! Mencak-mencak dikir! Lu kan nggak salah. Masa lu yang dihukum""
"Kan itu emang tanggung jawab ketua kelas," sahut Solandra lunak seperti biasa. "Gun gagal mimpin kalian."
Solandra memang seperti itu. Sampai sekarang
. Tak ada yang bisa mengubahnya. Solandra masih tetap secantik dan selembut ketika pertama kali Sania mengenalnya. Tiga tahun menjadi sahabatnya di SMA, Sania sudah kenal sekali sifat-sifat Solandra.
Dia gadis yang alim. Teman yang setia. Pendengar yang sabar. Seseorang seperti Sania sangat membutuhkan teman seperti Solandra untuk tempat mencurahkan perasaan. Karena itu persahabatan mereka berlangsung mulus sampai sekarang meskipun mereka kuliah di dua kota yang berbeda.
Sania masuk fakultas kedokteran di Jakarta, sementara Solandra memilih fakultas kedokteran
gigi di Surabaya, karena ibunya pindah ke
sana. Solandra sudah sering mendengar cerita Sania tentang teman-teman kuliahnya termasuk Paskal Prakoso, pria yang dibawanya malam ini. Selama berpisah Sania memang sering mencurahkan isi hatinya melalui surat-surat yang dikirimnya.
Tetapi Solandra belum pernah melihat Paskal.
Dan ketika pertama kali Solandra melihat pemuda itu, dia merasakan sebuah perasaan aneh menjalari hatinya. Perasaan yang belum pernah
dicicipinya. Ketika mata mereka bertemu untuk pertama kalinya, hatinya terasa bergetar seperti dawai. Sebuah lagu bagai mengalun lembut menyapa sisi paling dalam di lubuk hatinya. Ketika itu rasanya sekujur sarafnya ikut bernyanyi.
Inikah cinta" pikir Solandra resah. Cinta pada pandangan pertama" Ya Tuhan, jangan! Lelaki ini milik Sania. Milik sahabatku! Tetapi Paskal memang tipe pria yang sangat menarik. Sulit ditolak. Sukar dijauhi. Bukan hanya tubuhnya saja yang melukiskan kelaki-lakian yang sempurna. Wajahnya pun mengguratkan ketampanan yang prima.
Rahang yang kokoh. Sepasang mata yang melekuk dalam di rongga mata yang mengapif tulang hidung yang tinggi. Dan bibir tipis yang dilatarbelakangi sederet gigi yang putih rata. Wow!
Solandra sangat mengaguminya. Lebih-lebih kalau dia sedang tersenyum." Karena- setiap kali tersenyum, bukan hanya bibirnya saja yang merekah. Pipinya pun ikut melesung pipi. Dan senyum itu seolah-olah bukan hanya berhenti di bibir. Senyumnya seakan merambah ke se-.j kujur parasnya, membuat wajahnya ikut berlumur senyum.
Tubuhnya yang menjulang gagah, pasti tak kurang dari seratus delapan puluh, dibalut, oleh kulit kecokelatan yang bersih. adanya | yang bidang melengkapi postur atletis yang ditampilkannya. Tanpa bertanya pun, Solandra yakin, kalau bukan atlet, dia pasti gemar berolahraga.
"Gimana"" desak Sania ketika mereka saling mengucapkan salam perpisahan malam itu.
"Gimana apanya"" Solandra berusaha menyembunyikan perasaannya. Ya Tuhan, jangan! Jangan sampai dia tahu!
"Heran!" Sania memukul bahu temannya
dengan gemas. "Kalo di kelas lu jago banget.
Kenapa kalo di luar jadi telmi sih"" "Nggak ngerti ah lu ngomong apa!"
"Apa lagi" Ya cowok gue!" "Kenapa cowok lu"" "Keren nggak"" "Keren."
Datarnya nada suara Solandra membuat
Sania semakin penasaran. "Lu cewek apa bukan sih"" "Kok nanya gitu""
"Seingat gue, lu nggak pernah naksir
cowok." "Nggak perlu lapor sama elu, kan""
"Gue taii, lu cewek superalim, religius, inosen, dan lain-lain. Tapi pacaran tuh nggak dosa! Lu boleh aja naksir cowok. Percaya deh, Tuhan nggak marah!"
"Udah deh, San, lu jangan ngaco terus!" Susah payah Solandra berusaha menyembunyikan parasnya yang tiba-tiba saja terasa panas. "Tuh, udah ditungguin cowok lu di depan! Ntar dia ngamuk, lagi!"
"Paskal" Ngamuk"" Sania tertawa lebar. "Nggak pernahlah! Dia cowok yang paling sabar!"
"Kalo jadi cowok lu emang mesti sabar tujuh turunan!"
"Ayo, lagi pada ngegosipin siapa lagi nih"" sambar Ria, yang dua kali terpilih jadi pemimpin tim pemandu sorak SMA mereka, tapi tidak pandai memilih suami.
Teman-temannya termasuk Sania, kecewa sekali ketika melihat pria yang digandengnya malam ini. Benar-benar sudah hampir kedaluwarsa. Sudah perutnya gendut, rambutnya hampir botak, lagi. Dahinya yang lebar, licin dan mengilap seperti helm. Kalau ada semut iseng-iseng jalan di sana, pasti sudah dua kali tergelincir.
Heran. Dilihat dari sudut mana pun, lelaki j ini bakal tidak masuk hitungan. Nah, mengapa Ria justru memilihnya" Mengapa dia begitu tidak selektif, memilih pria yang hampir masuk museum
" "Orangnya baik banget," sahut Ria santai ketika teman-temannya penasaran mengorek rahasianya. "Sabar. Jujur. Kebapakan. Kayak bokap gue."
"Tapi lu mau cari suami kan, Ria" Bukan nyari babe," sindir Delon yang sejak dulu naksir Ria. Penasaran sekali dia melihat seperti apa tampang lelaki yang akhirnya memiliki gadis yang didambakannya. Sudah sakit kali mata si Ria! "Atawa lu ngincer duitnya,
ya"" "Sembarangan ngomong!" Ria memukul bahu Delon dengan gemas. Persis seperti dulu waktu SMA. Sampai lupa dia sudah punya
suami. "Jahat banget sih mulut lu!"
Justru saat itu suaminya muncul mengajak pulang. Tetapi sampai di depan pintu aula pun Ria masih mencari-cari teman-temannya.
Rasanya dia belum ingin berpisah.
"Ayo, lagi ngegosipin siapa lagi nih"" tanya Ria begitu dia melihat Sania sedang tertawa
lebar. "Mau tau aja," sahut Sania seenaknya.
"Jangan percaya aja sama omongan dia, Dra!" sergah Sally, si nyinyir. "Dari dulu sampe besok, omongannya cuma setengah persen yang betul! Sisanya gombal! Ngibul!" "Jangan pada godain Solandra aja kenapa sih lu!" Seperti biasa Dicky selalu tampil sebagai pahlawan kesiangan. Seperti dulu juga teman-temannya tahu, Dicky sudah lama naksir Solandra. "Bilang sama aku kalo ada yang godain kamu ya, Dra!"
3f2 Solandra hanya tersenyum tipis. Sementara, teman-temannya tertawa gelak-gelak.
"Dari dulu juga dagangan lu nggak laku!" ejek Sania geli. "Nggak pernah insaf juga!"
"Lu punya cermin nggak sih, Ky"" sambar Sally menahan tawa. "Ngaca dong lu! Selama! muka lu masih jerawatan gitu, mana ada cewek yang naksir" Boro-boro Solandra, gue aja' ogah!"
"Menghina banget sih"" belalak Dicky purad pura gusar. "Ntar gue culik lu!"
Sambil menahan tawa, Sania menyeret Solandra menjauhi teman-temannya. Selama] masih berkumpul bersama mereka, gurauan mereka memang tidak ada habis-habisnya. Rasanya waktu berlalu begitu cepat. Begitu banyak kenangan indah yang mereka ingat kembali Begitu banyak peristiwa lucu yang membangkitkan tawa.
Memang masa di SMA merupakan masa yang paling indah. Tidak heran kalau mereka enggan melupakannya.
"Besok kita ngumpul lagi, ya"" tukas Sania kepada Solandra ketika malam itu mereka berpisah. "Awas lu kalo nggak nongol!"
Sania memang masih ingin melepas kangen.
Sudah lima tahun mereka tidak pernah berjumpa. Wajar saja kalau dia masih ingin mengobrol dengan sahabatnya. Curhat lewat surat kan tidak sama dengan kasak-kusuk begini.
Lebih asyik. Yang tidak wajar justru Paskal. Di luar dugaan, ketika Solandra datang ke rumah Sania untuk menepati janjinya, Paskal ikut muncul
di sana. "Tumben," cetus Sania tanpa menyembunyikan keheranannya. "Ngapain kemari siang-siang begini""
"Emangnya nggak boleh nongol siang-siang"" jawab Paskal seenaknya setelah dia menyapa Solandra. Tentu saja tanpa melupakan senyum patennya. Senyum yang dia tahu selalu membuat gadis-gadis sulit tidur seperti minum secangkir espresso.
"Elu kan kalong. Biasa terbang malam."
"Udah bagus bukan vampir! Bisa abis tuh darah lu!"
Mereka tertawa geli. Solandra ikut tersenyum meskipun dia sedang repot berusaha menenteramkan hatinya.
Jangan, Tuhan, jangan, pintanya antara khusyuk dan cemas. Jangan sampai saya mengkhianati reman saya sendiri! Mengambil milik orang lain....
"Ngomong-ngomong ngapain sih lu kemarir^j tanya Sania penasaran ketika sudah hampir satu jam Paskal mengobrol dengan Solandra; dia belum mengatakan juga apa tujuannya ke rumah Sania. "Emang nggak boleh"" "Ya boleh sih. Cuma heran aja. Biasanya kalo nggak ada perlunya kan elu nggak nongol jj siang-siang begini. Jangan-jangan gara-gara Solandra, ya" Lu naksir dia, ya""
"Kalo gara-gara dia emang kenapa" Nggak cemburu, kan""
"Kenapa mesti cemburu" Pacar bukan, laki bukan!"
Lagi-lagi mereka tertawa geli. Membuata Solandra terenyak bingung.
"Jadi dia bukan cowok lu, San"" cetus Solandra tak sabar ketika Paskal permisi pulang. Itu pun setelah tiga kali digebah Sania. Sania tertawa renyah. "Banyak yang bilang dia cowok gue." "Kenyataannya bukan"" "Emang kenapa kalo bukan"" "Nggak kenapa-napa. Cuma aneh aja. Luj
ngenalin dia cowok elu. Tapi kenyataannya
bukan. Apa nggak a neh"" "Kita cuma temenan doang."
Belum pernah Solandra merasa hatinya demikian lega. Tapi begitu perasaan lega itu terlukis di wajahnya, Sania langsung melihatnya.
"Kenapa" Naksir"" desaknya tajam.
"Ah, nggak." Solandra menyembunyikan wajahnya yang kemerah-merahan. "Kalo gue naksir sama semua cowok yang "lewat, udah berapa kali gue kawin""
Tapi pria yang satu ini memang berbeda. Paskal bukan sembarang pria lewat. Dia pria istimewa. Dan untuk pria yang satu ini, Solandra tidak dapat mengelak semudah biasa. Karena dia sudah jatuh cinta.
Dan Sania terlambat menyadari, bukan hanya Solandra yang mencintai Paskal.
Bab III ANIA dan Paskal berteman sejak tingkat persiapan fakultas kedokteran. Mereka berada dalam satu kelompok kerja dalam praktikum biologi maupun kimia anorganik. Mereka sudah merasa cocok sejak pertama kali berkenalan.
Paskal tipe pria yang gampang bergaul. Humoris. Dan punya penampilan yang prima. Tidak heran kalau dia menjadi salah satu mahasiswa favorit di kampusnya.
Sebaliknya Sania gadis yang menarik. Lincah. Selalu tampil apa adanya.
Tidak heran kalau dalam waktu singkat mereka menjadi pasangan yang cocok. Di dalam maupun*di luar kampus. Apalagi mereka punya hobi yang sama. Basket, renang, dan karate. Mereka selalu mengisi waktu luang bersama- j sama.
Tetapi selama lima tahun berteman, hub
an mereka tidak pernah lebih dari itu. Teman
kuliah. Teman main basket. Teman nyontek.
Pokoknya mereka saling membutuhkan. Saling mengisi. Saling membantu.
Kalau mobil Sania rusak, dia tinggal menelepon Paskal. Sebaliknya kalau Paskal perlu catatan kuliah, dia tinggal menghubungi Sania:
Dulu teman-teman Sania mengira mereka pacaran. Tapi lama-kelamaan mereka tahu, Sania hanya menganggap Paskal sahabatnya.
"Kayak abang gue deh," sahut Sania seenak perutnya seperti biasa. "Kebetulan gue nggak punya abang. Mudah-mudahan aja adik-adiknya nggak pada komplen."
Selama lima tahun, Sania memang tidak merasa terusik dengan hubungan mereka. Karena selama itu, Paskal memang tidak pernah jatuh cinta. Dia sering bergaul intim dengan gadis-gadis. Tapi tidak ada yang serius.
Teman-teman kuliahnya menjulukinya playboy kampus. Soalnya dia sudah memacari hampir semua gadis cantik di kampusnya. Tetapi tidak ada yang bertahan lebih dari enam bulan.
"Kalo ada yang mecahin rekor, tahan tuj bulan aja ama elu, Pas, pasti udah masuk 'Berita Kampus'," gurau Sama setiap kali Paskal
putus dengan teman gadisnya. "Heran. Mau nyari yang kayak apa lagi sih lu""
"Yang cakep kayak bintang film, tapi bawel kayak elu," sahut Paskal sambil menyeringai pahit.
"Bohongi Lu emang nggak pernah serius! Gue sumpahin lu jatuh cinta setengah gila sama nenek-nenek bongkok! Biar tau rasa lu! Disumpahin mantan-mantan lu!"
Sania tahu pasti, Paskal memang tidak pernah serius. Dia selalu menceritakan sudah sejauh mana hubungannya dengan gadis-gadisnya Menceritakan sambil tertawa geli mengenai teman gadisnya sampai Sania tahu rahasia-rahasia kecil dari mantan-mantan pacar Paskal. Hal-hal yang seharusnya tidak boleh diceritakan pada orang lain. Keterlaluan!
Tetapi namanya saja Paskal. Dia memang brengsek! Dia tidak pernah serius pacaran. -i Dia tidak pernah merasa bersalah menceritakan apa yang tidak boleh diceritakan kepada sahabatnya. Tidak heran Sania jadi sering senyum-senyum sendiri kalau bertemu muka dengan teman gadis Paskal.
Aku tahu semua rahasiamu, celoteh Sania dalam hati. termasuk ukuran BH-mu sampai i model CD-mu! Hihihi....
j Tetapi kali ini, ada yang berbeda. Kali ini,
sesuatu yang tidak biasa terjadi. Kali ini, Paskal
jatuh cinta. Dan kali ini, dia serius.
Kali ini, dia jadi pelit memberi info. Dia malah terkesan menutup-nutupi. Terpaksa Sania yang mendesak. Mengorek. Memancing. Karena
dia penasaran sekali. "Siapa sih cewek lu yang baru ini, Pas" Gue
kenal orangnya""
"Bukan orang jauh, San."
"Gue tau bukan orang dari bulan! Tapi
siapa dong"" "Temen lu, San."
"Temen gue"" Sania mengerutkan dahinya. "Lu tau nggak sih berapa ribu temen gue""
"Solandra." Sania terenyak diam. Tidak menyangka Solandra-lah orangnya! Jadi...
Melihat sahabatnya tertegun diam, Paskal ja
di penasaran. "Dia belum punya pacar kan, San""
"Mana gue tau!" sergah Sania sengit. Sesudah menyemprot dia baru menyesal. Mengapa dia jadi sekasar itu" Mengapa dia marah"
"Lu kan sahabatnya. Masa nggak tau dia udah punya cowok atau belon""
"Mana gue tau" Dia kan jauh di Surabaya. Emang gue satpamnya!"
"Dia nggak pernah cerita""
"Lu kan tau kayak apa orangnya si Solandra."
"Nggak pernah ngadu sama elu""
"Jarang." Tentu saja Sania bohong. Dan dia sendiri jadi bingung. Mengapa harus berbohong"
" "Gue nggak peduli," cetus Paskal tegas. "Pokoknya sebelum dia jadi istri orang, dia
masih bebas diperebutkan! Iya, kan, San" Lu setuju kan, fren" Lu nyokong gue, kan" Selalu di belakang gue kayak gerobak""
Paskal memukul bahu Sania separo bercanda seperti biasa. Tapi kali ini Sania tidak biasa, j Kali ini dia tidak menyambut canda temannya. Wajahnya mendung seperti langit mau hujan.
"Lu kenapa sih"" desak Paskal heran. Menyadari ada yang berubah pada temannya. "Lu nggak setuju gue pacaran sama Solandra" Ada yang gue nggak tau tentang dia" Dia lesbi" Nggak doyan cowok" Drakula" Suka ngisep "Jangan ngaco lu ah!" berungut Sania kesal, ggak lucu!"
"Gue serius, San! Lu kan temen gue. Makanya gue nanya. Sebelon kejeblos!"
"Lu nggak bakalan bisa dapat Solandra!"
"Kenapa" Tampang gue kurang komersil""
"Dia bukan cewek buat elu!"
"Abis cewek buat siapa dong""
"Solandra tuh alim abis, tau nggak" Religius! Nggak doyan cowok model elu!"
"Nggak peduli! Pokoknya sekali punya target, bakal gue kejar sampai dapat!"
Dan Paskal tidak main-main. Dia benar-benar mengejar Solandra. Semenjak saat itu, tidak ada akhir minggu yang terlewatkan. Setiap hari Sabtu, Paskal selalu ke Surabaya untuk menemui gadis idamannya. Tetapi menaklukkan gadis sekaliber Solandra memang tidak mudah. Diperlukan kerja keras dan sedikit kenekatan.
Tentu saja Solandra tahu siapa yang datang. Dia tahu siapa yang memenuhi rumahnya dengan setiap jenis makanan yang ada di Jakarta. Paskal memang brengsek. Bukannya membawa bunga, dia malah bawa makanan.
"Bunga kan nggak bisa dimakan, buangbuang uang aja," katanya seenak perutnya kev
tika- Solandra tertegun melihat aneka makan-, an sebanyak itu. "Kalo makanan kan lain. Bikin kenyang perut."
"Tapi makanan sebanyak ini bukan bikin kenyang," sahut Solandra bingung. "Bikin muntah."
"Jangan dimakan semua dong. Pilih aja yang kamu doyan. Aku kan nggak tau kamu suka makanan apa. Jadi kubeli aja semua. Beres, ; kan""
Pria yang satu ini memang sangat menarik. Ya penampilannya. Ya tingkah lakunya. Ya cara bicaranya. Pokoknya komplet.
Sejak pertama kali melihatnya Solandra sudah merasa tertarik. Tetapi berkencan" Nanti " dulu. Kata Sania, Paskal bukan pemuda baik-baik. Pacarnya banyak. Solandra tidak mau menjadi salah satu koleksinya.
Apalagi ibunya juga bilang begitu. Ketika Mama pulang, dia kaget melihat makanan sebanyak itu. Dikiranya ada pesta.
"Pesta apa"" - tanyanya antara bingung dan tersinggung. "Kok Mama tidak diberitahu""
"Bukan pesta, Ma," sahut Solandra tersendat. "Ini oleh-oleh."
"Oleh-oleh"" Berkerut dahi ibunya. "Dari
mana" Pemilik foodcourtl"
"Teman Andra. Dari Jakarta." "Dia punya resto""
"Bukan, Ma. Cuma dia nggak tau Andra


Solandra Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

doyan makanan apa." "Jadi dibelinya makanan sebanyak ini" Edan!"
Bukan edan. Paskal memang nyentrik. Tetapi apa pun pendapat ibunya, seperti apa pun kelakuan Paskal, dia tetap menarik.
"Hati-hati dengan pria seperti itu," entah sudah berapa kali ibunya memperingatkan. "Yang berlebihan biasanya cepat bosan."
Tapi Paskal tidak ada bosan-bosannya. Setiap akhir minggu dia muncul. Tentu saja bersama aneka hidangan yang berbeda.
"Please, jangan bawa makanan lagi," pinta Solandra kewalahan. Anjingnya saja sampai sudah tidak mau makan karena bosan dijejali makanan dari Paskal tiap hari. "Beratku sudah naik dua kilo."
"Masa"" Paskal tersenyum santai. "Nggak apa-apa. Pinggangmu masih ramping kok."
"Tapi dua bulan lagi pasti aku sudah mirip guling."
"Guling malah enak dipeluk, kan""
Pipi Sol an d ra memerah. Membuat Paskal tambah ketagihan ingin menjailinya terus.
"Oke, minggu depan aku janji nggak bawa makan
an. Tapi kamu mesti janji dulu."
"Janji apa"" sergah Solandra hati-hati. Matanya menatap Paskal dengan ragu-ragu.
Membuat yang ditatap semakin ingin membelai pipinya. Dan membisikkan lembut di telinganya, Jangan takut, Manis. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Tapi menghadapi gadis alim macam Solandra perlu taktik. Perlu, pendekatan yang halus. Terlalu berani dia malah kabur. Terlalu lancang jangan-jangan dia tidak, mau ketemu lagi.
Jadi Paskal juga harus menjaga baik-baik tingkahnya. Menjaga baik-baik tangannya. Jangan sampai kelepasan nyelonong ke pipi Solandra. Wah. Bisa runyam. "Kamu mesti mau pergi bersamaku." "Ke mana""
"Ke mana aja. Jalan-jalan. Makan malam. Nonton."
"Berdua"" Ya ampun. Mana ada orang pacaran bertiga" "Kamu mau bawa satpam" Oke, asal dia dek!"
"Aku mesti minta izin Mama dulu." Astaga, Solandra! Umurmu sudah dua tiga! Masa pacaran aja mesti minta izin Mama"
Kalah anak SMA! Tetapi Solandra tetap Solandra. Dia memang unik. Baginya pergi berdua dengan seorang pria tetap hal istimewa. Perlu exit permit. Dari siapa lagi kalau bukan dari ibunya. Karena ayahnya sudah meninggal.
"Sama anak lelaki yang suka bawa makanan itu"" suara ibunya di telepon terdengar dingin. Ibunya memang belum pulang. Masih di salah satu tokonya yang baru saja dibuka.
"Bukan anak lelaki, Ma," sahut Solandra sabar. "Paskal sudah berumur dua puluh tiga tahun."
"Lebih bahaya lagi. Kamu harus hati-hati..." Dan bla, bla, bla, sederet wejangan yang baru dan sudah basi mengalir keluar bagai air sungai dari mulut ibunya. Kalau dibukukan, pasti sudah tujuh kali cetak ulang.
"Iya, Ma," sahut Solandra sabar. Patuh. "Saya tahu." mfitm
Bukan main, Paskal menghela napas lega setelah setengah jam jantungnya berdebar-debar menunggu keputusan ibu Solandra. Kalau tamsetengah jam lagi, jantungku pasti sudah benar-benar permisi!
Solandra mau diajak makan malam. Tapi dia menolak ke bioskop. Menolak naik becak. Dia memilih berjalan kaki pulang ke rumahnya.
Yang satu ini memang luar biasa, pikir Paskal yang semakin mengagumi gadis yang sedang dikejarnya. Antik.
"Serius kamu mau jalan kaki"" desak Paskal bingung. "Rumahmu kan lumayan jauh."
"Jalan kaki habis makan bagus, kan"" Solandra tersenyum manis. "Membakar kalori."
Oke deh. Terserah kamu saja. Kalau kamu mau jalan kaki ke Jakarta juga boleh. Dengan kamu, ke mana pun kuikuti!
Dan ternyata Solandra benar. Berjalan kaki berdua ternyata memang menyenangkan. Mereka mengobrol sepanjang jalan. Jarak yang cukup jauh jadi terasa dekat.
Tentu saja topik obrolan mereka hanya yang ringan-ringan. Kalau terlalu berat, Paskal takut dianggap tabu. Nanti Solandra tidak mau diajak kencan lagi. Kalau kebersamaan mereka , malam ini dapat dianggap kencan. Memegang tangannya saja Paskal tidak berani. "Terima kasih buat makan malamnya," kata
Solandra sopan ketika mereka berpisah di depan
rumahnya. Terima kasih" Paskal sampai berjengit. Astaga. Ini kencan atau makan malam bisnis"
"Aku boleh ngajak pergi lagi minggu depan""
"Makan malam lagi""
"Takut jinsmu nggak muat""
Solandra tersenyum. Begitu manisnya senyum itu merekah di bibirnya sampai Paskal harus menahan diri mati-matian supaya tidak menerkam Solandra, memagut bibirnya, dan mengulumnya dengan mesra. Astaga! Bisa pingsan dia.
Paskal harus menunggu sampai dua bulan sebelum dia berani memeluk gadis itu. Tetapi ketika dia hendak mencium bibirnya, Solandra mengelak.
"Jangan," pintanya jengah. Parasnya memerah. Matanya menghindari tatapan Paskal.
"Kenapa"" desak Paskal penasaran. "Kamu gadisku. Kenapa nggak boleh dicium""
"Ciuman di bibir cuma boleh dilakukan oleh suami-istri," sahut Solandra kemalu-maluan. "Kita belum boleh melakukannya."
Kata siapa" Paskal sudah hampir menyemburkan pertanyaan itu dengan gemas. Tetapi melihat sikap Solandra, ditahannya lidahnya.
"Oke," katanya sambil menelan kejengkelannya. "Gum pipi boleh""*
Solandra tidak menyahut. Tidak mengangguk. Tidak juga menggeleng.
Jadi dengan hati-hati Paskal meraih bahu Solandra dan mengecup pipinya. Begitu lembut. Begitu halus. Khawatir dia terpekik kalau ciuman Paskal terlalu bernafsu.
Tetapi heran. Solan dra tidak terpekik. Dia malah seperti menikmati ciuman kilat itu. Padahal mestinya ciuman itu tidak berarti apa-apa. Kurang panas. Kurang berani. Kurang gereget. Apalagi cuma di pipi. Bah! Ciuman anak-anak!
Tetapi jika itu ciuman pertama untuk Solandra, efeknya pasti berbeda. Dan memang ku yang dirasakan Solandra. Dia begitu baha- I gia sampai jantungnya tidak bisa berdebar normal meskipun dua jam sudah berlalu.
"Tebak gue pacaran sama siapa, San," suara i
Solandra di ujung telepon terdengar demikian
cerah. "Siapa," Sania menghela napas berat. Tentu-saja dia cuma pura-pura. Dia malah sudah tahu sebelum Solandra mengetahuinya! Laporan Paskal sudah lengkap!
"Temen lu, San. Bukan orang jauh deh."
"Siapa"" desah Sania malas.
"Paskal." "Lu serius, Dra"" tanya Sania datar.
"Kayaknya sih iya, San. Gue belum pernah ngerasa kayak begini. Rasanya kali ini gue betul-betul jatuh cinta."
Kalau bukan Solandra yang berkata demikian, barangkah Sania tidak terlalu menggubrisnya. Berapa banyak gadis yang pernah berkata demikian"
Rasanya, kali ini gue betul-betul jatuh cinta, i
Tetapi karena yang berkata demikian Solandra, Sania percaya sekali gadis itu serius.
Solandra tidak pernah main-main. Dia selalu serius. Dan selama ini dia belum pernah jatuh tinta.
Tentu saja tidak ada yang salah dengannya. Tidak ada salahnya dia jatuh cinta, bukan" Solandra belum punya pacar. Dan dia sudah
berumur dua puluh tiga tahun. Salahnya... dia jatuh cinta pada Paskal!
Tetapi... apa pula salahnya" Apa salahnya jatuh cinta pada Paskal" Mengapa dia tidak boleh jatuh cinta pada Paskal"
Karena mereka teman-temannya" Sahabatr sahabatnya"
Atau... karena... Sania tidak rela" Tidak5 rela Paskal menjadi milik Solandra" Mengapa" Karena... Karena.... Tiba-tiba saja Sania terkesiap. Tiba-tiba saja dia menyadari sesuatu yang selama ini tidak pernah disadarinya. Dia sendiri mencintai Paskal! Karena itu dia tidak rela Paskal mencintai j gadis lain, siapa pun gadis itu!
Solandra memang sahabatnya. Tetapi dia juga tidak berhak memiliki Paskal! Karena Paskal miliknya! Hanya dia yang berhak memiliki Paskal! Hanya dia!
Selama ini Sania tidak pernah menyadari dia mencintai Paskal. Dia mengira mereka hanya teman baik. Teman yang saling membutuhkan. Saling mengisi. Saling membantu. Tidak lebih dari itu. Tidak lebih. Sekarang ketika miliknya hampir diambil
orang, Sania baru sadar, dia menginginkan
Paskal. Dia menginginkan pemuda itu untuknya sendiri!
Tetapi sekarang semuanya sudah terlambat. Paskal sudah jatuh cinta pada Solandra. Tak mungkin diubah lagi.
Sania menyadari dia tidak dapat dibandingkan dengan Solandra. Sebagai wanita, Solandra begitu sempurna. Tubuhnya tinggi ramping. Tetapi tidak terlampau tinggi seperti pemain basket profesional. Tidak seperti... Sania.
Karena gemar berolahraga sejak kecil, Sania memang agak terlalu tinggi sebagai wanita. Karena itukah Paskal tidak pernah tertarik kepadanya" Paskal hanya menganggapnya teman. Bukan pacar. Paskal tidak pernah tertarik kepadanya sebagai wanita.
Padahal Sania sadar, dia bukannya tidak menarik. Wajahnya cukup cantik. Tentu saja kalau pandai berhias, dia dapat tampil lebih cantik lagi. Mungkin tidak dapat melebihi kecantikan Solandra. Dia memang nyaris sempurna. Cantik. Lembut. Feminin, Semua aspek yang disukai laki-laki ada padanya. Tetapi paling tidak, Sania merasa dia mampu menyainginya.
Kalau giginya diortodonsi, mungkin giginya akan kelihatan lebih rata. Tidak berantakan
begini. Mungkin dia perlu memakai kawat gigi untuk beberapa lama, tapi apa salahnya kalau dia dapat tampil lebih menawan" Kalau dia tidak dekat-dekat jaringan listrik tegangan tinggi, dia kan tidak bakal kesetrum!
Bukan itu saja. Kalau rambutnya dicat, di-rebonding, barangkah rambutnya bisa tampak seindah rambut Solandra. Hitam. Lurus. Licin. Sampai semut pun rasanya bakal tergelincir kalau melata di sana!
Kalau... ah. Ahh.... Rasanya semua sudah terlambat. Terlambat!
Tak mungkin merebut Paskal kembali. Dia sudah menjadi milik Solandra!
Seandainya pun Sania mampu, dia tidak tega. Tidak sampai hati menghancurkan hu- , bungan mereka.
Sania tahu betap a dalamnya cinta mereka. Karena baik Solandra maupun Paskal selalu menceritakan hubungan mereka. Seperti dulu. Mereka selalu melaporkan segalanya pada Sania, lak ada yang dirahasiakan. Dia jadi seperti buku harian mereka. Bedanya dia bernyawa! Bukan kertas mati yang tidak punya perasaan.
Juga ketika mereka memutuskan untuk menikah dua tahun kemudian, Sania-lah orang pertama yang mereka beritahu. Ketika mereka
merancang kartu undangan, Sania jugalah yang mereka mintai pertimbangan. Bahkan menentukan tempat dan waktu pernikahan pun Sania ikut dilibatkan.
Tentu saja baik Solandra maupun Paskal tidak tahu betapa sakitnya hati Sania. Karena Sania memang menyimpan baik-baik perasaannya.
Sania tidak ingin mereka tahu betapa hancur hatinya melihat pernikahan sahabat karibnya dengan pria yang diam-diam dicintainya. Lebih-lebih melihat betapa bahagianya mereka.
"Tuhan baik banget sama gue, San," gumam Solandra ketika dia menelepon dari hotelnya di Las Vegas. Saat itu dia dan Paskal sedang berbulan madu ke Amerika. "Selama ini nggak ada yang kurang dalam hidup gue. Berkat Tuhan buat gue begitu banyak. Sekarang Dia masih ngasih gue bonus. Suami yang luar biasa baiknya."
Sania tidak berkata apa-apa. Karena ketika mendengar kebahagiaan sahabatnya, hatinya terasa begitu sakitnya sampai air mata menggenangi matanya.
Diam-diam dia membayangkan kebahagiaan Solandra. Diam-diam dia membayangkan apa yang sekarang sedang mereka lakukan. Diam-diam dia berandai-andai. Ya, seandainya dialah yang berada di tempat Solandra... Seandainya dia yang menjadi Solandra... Seandainya dia yang memiliki Paskal! Bukankah dia yang menemukan pemuda ku"
"Dia bukan cuma cantik," pujian Paskal ketika mereka bertemu sepulangnya dia dari Amerika, mengiris pedih hati Sania. "Dia istri yang sempurna. Gue tengltiu banget sama elu, San."
"Ah, buat apa," dengus Sania datar. "Bukan gue kok yang bikin dia sempurna. Tuh, terima" kasih sama Yang di Atas!"
"Ya, Solandra juga bilang begitu. Gue mesti berubah. Mesti ngucap syukur. Mesti balas kebaikan Tuhan dengan berbuat baik sama orang lain."
"Makanya, dengerin tuh khotbah bini lu! Siapa tau lu ikut jadi alim kayak dia."
"Boro-boro jadi alim, San. Sembahyang aja gue nggak pernah. Rasanya susah ngomong sama yang nggak kelihatan. Makanya kata Solandra, Tuhan ngirim dia ke alamat gue.
Supaya gue ketularan jadi alim. Padahal yang ngirim dia kan elu ya, San. Makanya gue
terima kasih sama elu."
Kalau saja hidup ini punya cetakan kedua, pikir Sania antara sedih dan kesal. Kalau saja jam waktu bisa diputar kembali____Masih maukah dia membawa Paskal untuk menemui Solandra" Masih maukah dia memperkenalkan mereka"
Karena kalau mereka tidak pernah bertemu, mereka pasti tidak bisa jatuh cinta! Dan Paskal masih tetap jadi miliknya!
Tetapi... benarkah Paskal sudah jadi miliknya" Bukankah dia bukan milik siapa-siapa" Bertemu Solandra atau tidak, Paskal tetap tear-, bang bebas seperti layang-layang. Liar seperti burung di udara. Hinggap di mana saja yang dia suka.
Kalau kemudian dia nyangkut di pohon, jatuh melayang ke setangkai bunga dan bunga itu kebetulan bernama Solandra, siapa yang nyangka" Siapa yang harus disalahkan"
Bab IV SEBENARNYA awal kisah cinta Paskal-Solandra tidak semulus itu. Perlu waktu hampir* dua tahun sebelum ibu Solandra dapat menerima Paskal sebagai pacar anaknya.
"Prakoso"" Ibu Solandra mengernyitkan keningnya ketika pertama kali berkenalan dengan pacar anaknya. "Siapa nama ayahmu" Apa pekerjaannya""
"Mama," keluh Solandra, sabar seperti biasa. Gadis lain pasti sudah meledak kalau ibunya menanyai pacarnya dalam nada seperti itu. "Kok kayak interogasi sih."
Sekarang aku tahu dari mana Solandra memperoleh kecantikan yang demikian memikat, pikir Paskal sambil mengawasi perempuan berpenampilan anggun yang duduk dengan sangat berwibawa di hadapannya. Tentu saja dengan tatapan mata yang se- "
sopan-sopannya. Dia kan tidak mau diusir ke-luar pada hari pertama dia bertemu dengan calon mertuanya. Kalau Paskal menatapnya dengan tatapan nyalang menilai, seperti biasa
kalau dia menatap cewek, nilainya pasti langsung anjlok.
"Diam ," tukas ibu Solandra datar. "Bukan
kamu yang Mama tanya."
"Tapi masa baru ketemu langsung nanya siapa bapaknya sih, Ma. Nggak sopan, kan""
"Nggak apa-apa," Paskal melontarkan seuntai senyum santai ke arah Solandra. Memang tidak apa-apa. Ayahnya bukan koruptor yang namanya sudah demikian beken karena merugikan negara sekian triliun. Jadi apa salahnya kalau ibu Solandra menanyakannya" Paskal tidak malu kok mengakuinya. Malah kalau dia mau tahu lebih banyak lagi, Paskal tidak keberatan membawanya ikut meninjau pabrik tekstil ayahnya.
Kata Solandra, ibunya juga wanita karier yang hebat. Busana anak-anak rancangannya bukan hanya sudah merebut pasaran dalam negeri, tapi sudah diekspor juga ke mancanegara. Siapa tahu kalau sudah berkenalan, mereka bisa menjadi mitra bisnis yang cocok.
Jadi tanpa menyembunyikan nada bangga dalam suaranya, Paskal menyebutkan nama. ayahnya. Siapa yang belum kenal ayahnya" Apalagi mereka yang berkecimpung dalam bisnis pakaian.
Tetapi begitu mendengar nama ayahnya, ibu Solandra bukannya menaruh respek. Dia malah membeliak marah.
"Agusti Prakoso!" desisnya dengan gigi-geligi terkatup rapat menahan geram.
Apakah Papa pernah menipunya" pikir Paskal kecewa. Sial betul! Begitu banyak korban yang bisa ditipunya. Kenapa mesti perempuan ini" Hhh.
Sesudah itu ibu Solandra tidak mau bicara lagi. Dia langsung bangkit dari kursinya. Dan I meninggalkan mereka tanpa permisi.
Sesaat Paskal dan Solandra saling pandang dengan bingung.
"Kayaknya ibumu kenal ayahku," cetus" Paskal resah.
"Dan kayaknya bukan perkenalan yang manis," sambung Solandra cemas.
"Masalah bisnis"" gumam Paskal bimbang. "Atau... pribadi"" Solandra mengangkat bahu.
50 "Mama nggak pernah cerita soal bisnisnya padaku. Dia sibuk sendiri. Dari pagi sampai malam. Repot terus dilibat pekerjaan."
"Papamu"" "Aku nggak pernah lihat Papa. Mama nggak pernah mau cerita. Katanya Papa sudah meninggal sebelum aku lahir."
Tiba-tiba saja Paskal merasa dingin. Sebuah pertanyaan sekonyong-konyong merasuki pikirannya. Membuat dia belingsatan seperti kucing yang ekornya tersulut api.
Mungkinkah... mungkinkah mereka..."
Tidak, bantah Solandra ketakutan, ketika Paskal mengemukakan kemungkinan" itu. Tidak! Jangan!
*** Paskal hampir tidak sabar menunggu ayahnya kembali dari New York. Begitu ayahnya pulang, dia langsung minta penjelasan.
"Perempuan siapa"" tanya ayahnya letih. "Kamu ini bagaimana sih. Papa baru pulang sudah ditanya-tanya begini!"
"Papa kenal sama Elena Mandagie" Itu tuh, pemilik Bintang Kecil."
Tidak ada perubahan di paras ayahnya. Paras
ku menampilkan kelelahan. Tapi tidak keterkejutan. Apalagi kecemasan. Untuk suatu alasan yang sudah sekian lama tersimpan di hatinya, Paskal sedikit lega. Kalau Papa tidak kaget, tidak takut, ku artinya dia tidak punya dosa, . kari" Kalau benar menitipkan benih itu dosa.
"Namanya cukup beken," sahut ayahnya acuh tak acuh. "Kenapa kamu menanyakan dia" Jangan bilang kamu naksir cewek seumur dia. Keterlaluan kamu!"
"Kira-kira dong, Pa! Emang udah abis cewek yang masih produktif!""Ya siapa tahu. Kamu kan sudah lama kehilangan figur ibu. "Tidak heran kan kalau mencari wanita yang lebih tua." "Papa, jangan sok jadi psikolog!" "Cuma nerka. Kenapa kamu menanyakan dia" Punya utang""
"Kenapa sih Papa selalu berpikiran negatif"" "Kamu tidak pernah menyodorkan yang positif!"
"Jadi saban tahun Paskal naik tingkat, tidak pernah menghamili teman apalagi dosen, tidak, pernah tertangkap bawa bowat, itu bukan hal-hal positif""
"Oke, kamu menang," ayahnya tertawa letih.
"Ini soal apa, Boy""
"Pertanyaannya belum dijawab."
"Pertanyaan apa""
"Pikun atau pura-pura lupa sih""
"Papa masih jetlagl"
"Papa kenal Elena Mandagie""
"Tahu namanya saja."
"Belum pernah ketemu orangnya""
"Kenapa memangnya""
"Kok dia kenal Papa""
Sekarang ayahnya tersenyum lebar. Ada keangkuhan tersirat di bibirnya yang merekah gagah. Harus diakui, dalam usianya yang sudah merambah ke setengah abad, ayahnya masih tampil menawan. Tua. Tapi gagah. Ibarat mangga, matang pohon. Dan belum busuk.
"Siapa yang nggak kenal Papa" Kamu terlalu memandang rendah ayahmu, Boy."
"Tapi di a bukan mengagumi Papa! Dia malah terkesan benci! Siapa dia, Pa" Saingan bisnis" Atau... bekas pacar Papa""
"Mana Papa tahu""
"Jangan bohong, Pa! Jujur aja! Supaya Paskal tau siapa Solandra!"
"Solandra"" Seuntai senyum tipis bermain di
dia cewekmu sekarang"
Solandra. Bukan main. Dia pasti cantik seperti bunga yang jadi namanya. Kamu memang jagoan!"
"Yang Paskal tanya ibunya, Pa. Elena Mandagie. Dia bukan salah satu koleksi Papa""
"Enak saja kamu ngomong! Papa bukan playboy macam kamu!"
"Tapi kenapa begitu Paskal nyebut nama Papa, dia sewot""
"Kenapa tanya Papa" Tanya dia!"
*** "Ayahku nggak mau ngaku," kata Paskal begitu dia bertemu kembali dengan Solandra* satu minggu kemudian. "Katanya dia nggak punya hubungan apa-apa sama ibumu."
"Ayahmu nggak bohong"" tanya Solandra bimbang.
"Buat apa""
"Menutupi sesuatu di masa lalunya." "Affair maksudmu" Sama ibumu"" "Rasanya ini bukan masalah bisnis." papa bilang nggak kenal sama ibumu."
"Tapi ibuku kenal ayahmu. Kenal baik. Cuma
Mama nggak mau cerita apa-apa."
"Pelan-pelan mesti kamu selidiki."
"Gawat. Ngomong ke situ aja Mama udah meledak-ledak kayak petasan."
Dan yang lebih gawat lagi, ketika hubungan mereka sudah semakin erat, ibu Solandra mencegah anaknya melanjutkan hubungan mereka.
Sebelum telanjur. Sebelum nasi menjadi bubur.
"Mama lihat dia semakin sering mengunjungimu," cetus ibunya dingin.
"Ya, namanya aja pacaran, Ma," sahut Solandra, sabar seperti biasa.
"Mama tidak mau kamu pacaran dengan dia."
"Tapi kenapa, Ma"" protes Solandra kecewa. "Paskal baik kok. Dan saya menyukainya."
"Karena dia putra Agusti Prakoso. Mama tidak mau berhubungan lagi dengan dia."
"Mama punya masalah apa sih sama ayah Paskal" Kenapa kami yang harus menanggung akibatnya""
"Pokoknya Mama tidak mau kamu berhubungan lagi dengan pemuda itu. Titik!"
"Harus ada alasannya kan, Ma! Dan kami berhak tahu!" "Ayahnya bajingan!"
"Dia pernah menipu Mama""
"Lebih dari itu."
"Dia bekas pacar Mama""
"Ngomong apa kamu!" Dengan sengit ibu Solandra bangkit dari kursinya. Dan percuma menanyainya lagi Dia tidak mau lagi membuka mulutnya. Bungkam seribu bahasa. Meninggalkan Solandra dalam kesedihan dan kekecewaan.
Sebenarnya ibu Solandra tidak ingin menyakit hati putri tunggalnya. Dia tidak tega.
Solandra gadis yang baik. Alim. Sabar. Tida pernah mengecewakan orangtua. Biasanya di juga tidak pernah membangkang.
Solandra anak yang patuh. Taat pad orangtua. Tidak pernah kurang ajar.
Sejak kecil, mereka memang hanya tinggal berdua. Ibu Solandra bertindak selaku orang tua tunggal bagi anaknya. Tetapi dia berhasi Dia berhasil mendidik putrinya menjadi anak yang baik. Alim. Tidak mengecewakan.
Prestasinya di sekolah selalu memuaskan. Tidak pernah ada laporan mengenai kenakalannya. Yang datang selalu pujian dan kekaguman. Padahal ibu Solandra hampir tak punya
waktu untuk mendampingi anaknya belajar. Dia sibuk terus dilibat pekerjaan.
Bagaimana ibu Solandra sampai hati mengecewakan anak yang seperti itu"
Tetapi kalau sudah menyangkut Agusti Prakoso, dia tidak punya pilihan lain. Tidak bisa ditawar lagi. Keputusannya sudah bulat. Tidak ada hubungan lagi dengan lelaki itu. Titik! Tidak ada koma lagi. Titik. Titik! .
Solandra tidak boleh berhubungan lagi dengan Paskal. Betapapun baiknya dia. Betapapun tampannya pemuda itu.
Tetapi kali ini, ada yang berbeda. Kali ini, pendirian Solandra sangat teguh. Dia berani membantah perintah ibunya. Tampaknya dia benar-benar menyukai pemuda itu. Dan dia tidak mau berpisah lagi.
"Maafkan saya, Ma," desahnya dengan air mata berlinang. Sedih karena mengecewakan ibunya. Untuk pertama kalinya dia berani membangkang. Untuk pertama kalinya dia menyakiti hati Mama. "Saya mencintai Paskal.
Kami sudah berjanji, hanya maut yang dapat memisahkan kami."
Ibu Solandra sangat terharu mendengar kata-kata putrinya.
"Mama takut dia sebejat ayahnya, Andra," gumamnya lirih. "Mama tidak mau ada lelaki yang menyakiti hatimu. Lebih-lebih kalau dia sudah menjadi suamimu."
Solandra merangkul ibunya dengan hangat. Dikecupnya pipinya dengan penuh kasih sayang.
"Paskal nggak sejahat itu, Ma. Dia sayang sama Andra."
"P ermulaannya memang selalu begitu, Andra. Kelihatannya dia sayang. Tapi sesudah jadi istrinya, dia bisa berubah seratus delapan puluh derajat! Dia bisa menjelma menjadi suami yang kejam. Saat itu sudah terlambat untuk menyesal."
"Ma," desis Solandra hati-hati. "Maaf kalau Andra nyakitin hati Mama. Boleh saya nanya, Ma" Jangan jawab kalau nggak mau."
"Punya hubungan apa Mama dengan ayahnya"" Ibunya memalingkan wajahnya untuk menutupi perasaannya. Tetapi tanpa melihat pun, Solandra dapat merasakan sakitnya hati
"Ma..." Solandra menyentuh lengan ibunya
dengan bimbang. "Dia bukan... ayah saya,
kan"" "Dia pernah jadi suami Mama," sahut ibunya
getir. "Tapi kamu bukan anaknya. Mama sudah memilikimu ketika menikah dengannya." "Dan... Paskal""
"Suatu hari seorang wanita datang menemui Mama. Dia membawa anaknya ke rumah kita,"
Solandra terenyak di kursinya. Tidak menyangka sejarah masa lalu ibunya begitu pahit. Dan selama ini Mama menyimpannya untuk dirinya sendiri. Tidak seorang pun yang diajaknya berbagi duka.
Sambil menahan tangis Solandra merangkul ibunya sekali lagi.
"Ceritain semuanya, Ma," bisiknya lirih. "Supaya Mama punya tempat buat berbagi kesedihan."
Ibunya menggeleng sambil menggigit bibirnya menahan tangis.
"Semuanya sudah lewat. Tidak perlu diceritakan lagi. Mama cuma tidak mau kamu menerima nasib seperti Mama. Dikelabui lelaki yang menjadi suamimu."
"Dia ninggalin Mama begitu aja""
"Perempuan itu istrinya yang sah. Belakang. an baru Mama tahu, surat nikah kami PalSll. Sebulan kemudian, mereka menghilang. Pergj
ke Amerika." "Dan dia nggak pernah ngontak Mama
lagi"" "Buat apa" Mama sudah jadi sampah. Mama harus berjuang mati-matian untuk mengangkat kepala ini lagi. Tapi Mama tidak sudi mengemis belas kasihannya."
Solandra menatap ibunya dengan air mata berlinang. Sebersit perasaan bangga bercampur ham merambah ke hatinya.
Ternyata Mama memang perempuan yang mengagumkan. Dari kubangan derita, dia tidak melata untuk pasrah saja menerima hinaan orang. Dia berjuang untuk bangkit dan tegak kembali.
Pantas saja Mama menolak hubungannya dengan Paskal. Bertemu dengan ayah Paskal saja sudah menyakiti hatinya. Membangkitkan kenangan masa lalunya yang teramat pahit. Bagaimana dia dapat menerima pemuda itu sebagi calon menantunya"
Yang paling penting bukj* itu, bantah ib"' nya ketika Solan^ r
uqra minta maaf dan mc nyatakan pengertiannya. Yang paling Mama takuti, dia mewarisi kebobrokan bapaknya. Mama tidak mau kamu disakiti. Sudah cukup Mama saja yang merasakan kepahitan itu!
Ketika malam itu Solandra berbaring di tempat tidurnya, air matanya tidak henti-hentinya mengalir ke pipi dan menetes ke bantalnya.
Kalau dia bukan lelaki yang Engkau sediakan untukku, Tuhan, bisiknya pedih, mengapa
kami harus dipertemukan"
Tetapi... benarkah Paskal bukan lelaki untuknya" Bukan Tuhan-kah yang membuka jalan untuk mempertemukan mereka" Supaya mereka dapat mendamaikan kembali ayah Paskal dan ibunya"
Bab V y/l/ETIKA Paskal mendengar apa yang
telah dilakukan ayahnya pada ibu Solandra, dia begitu marahnya sampai tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Seharusnya dia lega karena Solandra bukan adiknya. Tetapi j keputusan Solandra untuk mengakhiri hubungan mereka, membuat Paskal tambah frustrasi^!
"Kenapa aku yang harus dihukum untuk kesalahan yang dibuat ayahku"" geramnya se-f telah mulutnya dapat dibuka kembali.
Solandra memalingkan wajahnya untuk menyembunyikan air matanya" Sekaligus supaya j' pemuda itu tidak melihat betapa hancur hatinya.
Tetapi Paskal malah meraih dagunya. Dan memaksanya bertatap muka.
"Lihat aku, Andra!" sergahnya gemetar menahan perasaannya. "Coba bilang kamu tidak v mencintaiku lagi!"
Sekarang Solandra terpaksa membalas tatapan Paskal. Dan di balik tirai air mata yang mengaburkan pandangannya, dia menemukan sebongkah cinta yang begitu besar di mata pemuda itu. Sanggupkah dia menyingkirkan cinta yang demikian tulus"
"Aku sangat mencintaimu," bisik Solandra getir.
Paskal meraih gadis itu ke dalam pelukannya. Didekapnya Solandra erat-erat seolah-olah tidak ingin melepaskannya lagi.
"Kalau begitu, jangan pergi, Andra," pintan
ya lirih. Diletakkannya dagunya di puncak kepala gadis itu. Rambutnya yang lembut dan memancarkan aroma yang bernuansa cemara, membelai hati Paskal. Membenamkan keyakinan yang lebih besar untuk memiliki gadis ini, apa pun tantangannya.


Solandra Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tidak bisa menyalahkan Mama, Pas," desah Solandra dalam pelukan pemuda itu. "Berat baginya untuk bertemu lagi dengan ayahmu. Apalagi menerimanya sebagai keluarga."
"Aku akan menemui ayahku. Minta dia datang minta maaf pada ibumu dan menyelesaikan persoalan mereka."
Tetapi masalahnya tidak semudah itu. Ayal Paskai tidak sudi menemui ibu SoJandra. Apalagi untuk meminta maaf..
"Papa tidak kenal," bantahnya sengit. "Buat apa minta maaf" Memang Papa salah apa"" 1
"Papa masih mungkir"" geram Paskal jengkel. "Papa pernah menyimpan dia selama dua tahun! Yzag Papa berikan selama itu cuma selembar surat nikah palsu!"
"Omong kosong! Percaya saja kamu dengan segala cerita murahan begitu!"
"Elena Mandagie bukan perempuan murahan, Pa! Dia tidak bakal merendahkan dirinya dengan mengarang cerita palsu hidup bersama seorang lelaki selama dua tahun!"
"Ah, perempuan di mana-mana sama saja! Yang ada di kepala mereka cuma duit dan shopping!"
"Papa begitu merendahkan perempuan!"
"Mereka memang dilahirkan untuk berada di bawah kita, Boy. Kamu jangan bodoh, i Mereka tidak pernah bisa menyejajarkan diri f-dengan laki-laki. Karena kodrat mereka me- M mang di bawah kita!"
"Papa kelewatan!"
"Karena itu ayahmu ini tetap kuat dan di-jl
hormati, Boy. Karena prinsip yang kupegang dari dulu sampai sekarang. Karena aku selalu ingin di atas, maka aku selalu berada di atas. Jelas" Kamu harus banyak belajar dari ayahmu kalau ingin jadi laki-laki sejati!"
"Kalau maksud Papa jadi laki-laki sejati itu berarti menipu wanita dengan surat nikah palsu, saya tidak mau, Pa. Menurut pendapat Paskal, membohongi cewek itu perbuatan banci, bukan jantan!"
"Perempuan memang dilahirkan untuk dibohongi, Boy!" Ayahnya tertawa sinis. "Karena mereka diciptakan untuk menggoda dan merayu laki-laki!"
"Papa! Papa lupa ya, Papa punya dua anak perempuan" Papa rela mereka kena karma, dihina dan ditipu lelaki karena dosa Papa""
"Sudah zaman nuklir begini masih percaya karma!" ejek ayahnya pedas. "Percuma disekolahkan sampai ke universitas! Pikiranmu masih seperti orang kampung!"
Papa benar-benar jahat. Benar-benar busuk! Dia kejam bukan hanya terhadap saingan bisnisnya. Tapi juga terhadap perempuan!
Karena itu Paskal nekat meninggalkan ayahnya. Padahal saat itu kuliahnya belum selesai.
"Bukan hanya karena kamu, Andra," cetus
Paskal pahit. "Tapi juga karena aku tidak bisa lagi menghargai ayahku sendiri."
"Bodoh," komentar ayahnya ketika Paskal nekat meninggalkan rumah. "Rela melepas warisan miliaran rupiah buat seorang wanita!"
"Berikan saja pada Prita dan Paulin. Mereka juga anak Papa."
"Tapi kamu anak sulung! Anak lelaki satu-satunya. Seharusnya perusahaan tekstil Papa jadi milikmu! Kalau kamu tidak sebodoh ini. Memilih perempuan daripada harta!"
*** Bahkan sesudah Paskal meninggalkan rumah ayahnya, ibu Solandra masih belum dapat menerimanya.
"Tidak menjamin dia tidak berubah kalau [ sudah menjadi suamimu nanti," katanya t a- 'M war.
"Lalu dia mesti bagaimana lagi, Ma"" keluh I Solandra lirih. "Dia sudah memutuskan hu- i bungan dengan ayahnya demi saya. Sudah j meninggalkan rumah. Mengorbankan semua , miliknya. Kehilangan harta warisannya. Apa i
lagi yang harus dikorbankannya "upaya Mama percaya dia sungguh-sungguh mencintai saya""
Akhirnya ibu Solandra memang melunak. Melihat kekerasan hati dan kesungguhan pemuda itu, dia mengalah. Membiarkan hubungan mereka berlanjut. Tetapi dia tetap belum dapat bersikap manis pada Paskal. Hatinya masih diliputi kecurigaan.
Buah tidak jatuh jauh dari pohonnya, kan" Like father, like son.
Tetapi Paskal tidak peduli. Begitu lulus, dia langsung melamar Solandra.
Dan lamarannya langsung ditolak. Ibu Solandra belum yakin akan keseriusannya. Dan yang lebih penting lagi, belum percaya pada kejujurannya.
Solandra harus _ memohon agar diizinkan menjadi istri Paskal. Kalau tidak, dia akan tetap menikah, dengan atau tanpa
restu ibunya. Kali ini, anak yang tidak pernah membangkang itu rupanya sudah berubah. Tekadnya sekeras baja. Tidak dapat dilumerkan lagi. Biarpun dengan air mata ibunya.
"Jika dia seperti kata Mama, menipu dan mengkhianati saya, mungkin Andra akan hancur seperti Mama dulu," kata Solandra
Tapi kalau Mama melarang Andra menikah dengannya, Mama membunuh saya."
Akhirnya dengan berat hati ibu Solandra merestui pernikahan putrinya.
"Mama tidak mau melihat ayahnya," tukasnya dingin. "Jika dia datang, Mama yang pergi."
"Paskal tidak mengundang ayahnya," sahut Solandra pahit. "Tapi kedua adiknya bakal datang. Mama tidak bend pada mereka, kan" i Mereka nggak tahu apa-apa, Ma."
"Asal bukan lelaki durjana itu," desis ibunya datar.
Ayah Paskal memang tidak hadir. Tetapi melalui adik Paskal, dia menitipkan selembar cek Paskal merobek cek itu dan mengembalikannya kepada ayahnya.
Ketika Solandra ingin mengembalikan juga hadiah perkawinan dari ibunya berupa dua lembar tiket perjalanan ke Amerika, Paskal mencegahnya.
"Ibumu tidak bersalah," katanya lirih. "Kalau m kita kembalikan hadiahnya,, dia pasti tersing-J gung. Dan dia tidak bisa memaafkanku lagi." |
Bab VI Z/ EKMULAANNYA sangat sederhana. Mereka sedang merayakan ulang tahun perkawinan mereka yang kesepuluh. Paskal membawa istrinya menelusuri kembali perjalanan bulan madu mereka yang pertama. Dia membawa Solandra berwisata ke Pantai Barat Amerika. "
Dari San Francisco mereka menuju ke Las Vegas. Mereka bermalam di hotel baru yang sepuluh tahun lalu belum dibangun. Mereka sangat menikmati malam-malam yang indah di Las Vegas. Menyaksikan cabaret yang fantastis sampai, pertunjukan sirkus yang spektakuler. Bagi Solandra, masih ditambah dengan shopping yang amat mengesankan. Karena sepuluh tahun yang lalu, dia belum mampu membeli baju-baju yang begitu didambakannya.
Saat itu dia belum praktik. Dan dia tidak mau menghamburkan uang ibunya. Tetapi sekarang, semuanya berbeda. Sekarang dia me.
miliki uang sendiri. SoJandra bahkan tidak mau memakai uang suaminya. Untuk shopping dia lebih bebas kalau memakai uangnya sendiri. Tentu saja Paskal tidak tahu. Dua dari tiga barang belanjaan istrinya dibeli dengan uangnya sendiri. Kalau Paskal tahu, dia pasti tersinggung. Karena dia tahu, pendapatan Solandra sebagai dokter gigi sudah lebih besar daripada gajinya sebagai dokter umum di rumah sakit plus penghasilannya buka praktik I pribadi.
Bagi Paskal, Las Vegas juga sangat menarik. Karena di kota judi itu dia bisa memuaskan E gairah berjudinya.
Mula-mula Solandra memang selalu melarangnya berjudi
"Nanti Tuhan marah," katanya sepuluh tahun yang lalu, ketika untuk pertama kalinya dia I melihat betapa mahirnya suaminya main i bakarat. Paskal bisa menerka dengan tepat j kapan banker yang menang. Kapan harus me- j masang player. Dan kapan harus meletakkan I cMps-nya di tie. Delapan dari sepuluh tebakannya tepat. Dan Solandra merasa ngeri melihat gaya main judi suaminya.
Kalau menang, Paskal akan memasang modal dan kemenangannya sebagai taruhan. Kalau dia menang lagi, dia akan menggandakan
taruhannya. Tidak heran sekalinya kalah, seluruh kemenangan berikut modalnya ikut amblas.
"Duitmu bakal ludes, Mas," keluh Solandra
ngeri. Tidak tahan menonton suaminya main bakarat. Rasanya terlalu tegang untuk jantungnya.
"Namanya juga judi," sahut Paskal tenang seperti biasa. "Mana ada yang menang" Yang
menang ya kasinonya." "Sudah tahu begitu kok diteruskan"" "Senang saja." "Nanti ketagihan."
"Ah, aku kan cuma main kalau lagi liburan begini," sahut Paskal menghibur. "Di Jakarta buktinya aku nggak pernah main." "Pokoknya jangan berjudi, Mas. Dosa." . Repot amat malaikat yang mencatat daftar dosa kalau main judi saja dosa, pikir Paskal setengah mengejek. Tentu saja hanya dalam hati. Mereka kan sedang berbulan madu. Masa sudah mengajak bertengkar" "Tidak ada orang yang menjadi kaya dari
berjudi, Mas," sambung Solandra seperti ibu guru yang sedang menasihati muridnya yang ketahuan nyontek. "Buktinya kemenangan Mas akhirnya habis semua, kan""
Karena aku" tidak hati-hati, sahut Paskal dalam had. Kupertaruhkan semua hasil
kemenanganku. Dan kebetulan tebakanku salah! Hah, orang berjudi memang begitu, kan" Harus berani menyambar bahaya! Namanya saja berjudi!
"Kasino begini ada setannya, Mas. Nanti semua uang Mas Pas ikut amblas. Kita nggak
bisa ke LA. Terpaksa mudik sebelum waktu- i hya:-"
Setannya bukan di dalam kasino, Manis, m Paskal menahan tawanya. Tapi di dalam hati si penjudi itu sendiri. Karena dia serakah! Tapi itu memang sifat manusia, kan" Serakah! Makanya tidak ada penjudi yang menang!
Saat itu memang Paskal tidak sampai kalah habis-habisan. Karena dia mengikuti petuah j istrinya. Berhenti sebelum seluruh isi koceknya j amblas. Tapi minatnya main judi tak pernah ] luntur. Sungguhpun Paskal hanya berjudi kalau j sedang berwisata. Sekarang pun Solandra masih tidak suka <4tf
suaminya main judi. Tetapi pencegahannya tidak seperti dulu lagi. Lebih lunak. Mungkin sekarang dia sudah percaya, suaminya bukan penjudi. Di Jakarta Paskal tidak pernah berjudi. Taruhan saja tidak: Dia hanya berjudi kalau iseng. Seperti sekarang. Habis dia harus ke mana" Shopping kan dia tidak suka.
"Jangan main banyak-banyak, Mas," kata Solandra sebelum dia meninggalkan suaminya di lobi hotel. "Nanti aku nggak bisa beli baju."
"Jangan khawatir," Paskal tersenyum lebar. "Kalau menang, bukan cuma bajunya, tokonya pun kubelikan untukmu."
"Nggak mau ah," Solandra tersenyum manis membalas kelakar suaminya. "Kalau punya toko di sini, siapa yang akan menemani Mas pulang ke Jakarta""
"Gampang," Paskal melirik seorang wanita cantik yang lewat di sisinya. "Yang itu boleh juga, kan""
"Betul"" Solandra mengulum senyumnya. "Mas mau menukarku dengan dia"'
"Tersanjung""
"Terhina!" "Masa"" Paskal pura-pura mengangkat alisnya dengan kaget. Diputarnya kepalanya meng.
ikuti wanita yang baru saja melewatinya. "Apa
kurangnya dia" Memang rasanya bukan gres
baru. Tapi biar secondhand, bodinya belum penyak-penyok. Mukanya belum didempul. Tarikannya kayaknya juga masih sip! Turbo!"
"Mas nggak ingat dia, ya"" Solandra menahan tawanya.
"Ingat siapa"" Sekali lagi Paskal memutar kepalanya. Diawasinya wanita itu dari belakang. I Hm, lenggak-lenggoknya begitu profesional, j "Bukan salah satu tantemu, kan""
"Ingat show yang kita lihat tadi malam""
"Show dua dunia"" sergah Paskal hampir j berteriak saking kagetnya. Solandra tertawa geli.
"Jadi dia..."" Paskal menggagap tidak percaya.
"Nggak nyangka, kari"" Solandra mencubit -M lengan suaminya yang masih terpukau heran.
"Benar-benar salah cetak!" cetus Paskal antara kagum dan jijik.
"Jangan begitu, Mas," Solandra meraih lengan suaminya dan mengajaknya, pergi. "Mereka harus dikasihani. Tidak gampang hidup seperti itu."
"Kenapa Tuhan salah menempatkan onderdil
mereka"" "Tuhan tidak pernah salah, Mas. Mereka yang keliru memilih." "Memilih antara jadi lelaki atau banci"" ^ "Tuhan memberi manusia kebebasan untuk
memilih." "Kalau begitu mereka tidak perlu dikasihani. Sudah menjadi pilihan mereka sendiri untuk hidup seperti itu, kan""
"Yang harus dikasihani bukan pilihannya, Mas. Tapi hidupnya. Karena hidup yang mereka pilih itu bukan hidup yang gampang."
"Memang susah berdebat dengan hamba Tuhan," gurau Paskal sambil mencubit ujung hidung istrinya. "Aku bukan hamba Tuhan, Mas. Belum." "Memang. Kamu masih istriku." Paskal meraih istrinya ke dalam pelukannya dan mengecup bibirnya dengan mesra. "Dan kamu akan tetap menjadi istriku. Sampai selama-lamanya. Takkan kuizinkan siapa pun mengambilmu. Tidak juga Tuhan."
"Jangan ngomong begitu, Mas. Kita semua milik Tuhan. Jika Tuhan menginginkan, siapa pun dapat diambil-Nya. Tak ada yang dapat menghalangi."
"Tapi Tuhan tidak sekejam itu, Jcan" Katamu Tuhan itu baik dan penyayang. Mustahil Tuhan yang begitu baik tega memutuskan cinta kita dan merampasmu dari pelukan suami yang begini menyayangimu."
"Kadang-kadang* jalan Tuhan tidak terduga, Mas. Kadang-kadang kita tidak tahu di mana ujungnya dan mengapa kita harus melaluinya."
Ketika Solandra mengucapkan kata-kata itu, Paskal tidak terlalu memerhatikannya. Sudah biasa istrinya mengucapkan kata-kata seperti itu.
Selama ini jalan hidup mereka memang lurus-lurus
saja. Dia tidak menduga, saat itu mereka sudah dekat ke sebuah kelokan yang amat tajam.
*** Malam itu mereka menikmati malam yang j sangat indah. Seakan-akan malam bulan madu mereka sepuluh tahun yang lalu kembali menjelang.
Gaun hijau melon seharga tiga ratus dolar itu menjadi saksi bisu tetes-tetes cinta yang
menitik ke hamparan awan kebahagiaan yang melayang ke nirwana.
"Aku sangat mencintaimu, Andra," bisik Paskal sambil memeluk istrinya erat-erat, seakan-akan ingin membenamkan tubuh istrinya " ke dalam tubuhnya sendiri. Seakan-akan dengan begitu dia tidak mungkin lagi kehilangan wanita yang sangat dikasihinya. Seakan-akan dengan begitu mereka tidak mungkin berpisah. Tidak mungkin dipisahkan lagi oleh kekuatan apa pun.
Solandra membalas pelukan suaminya dengan sama eratnya. Didekapkannya kepalanya ke dada suaminya. Begitu eratnya sampai telinganya mampu menangkap denyut jantung suaminya yang bergemuruh dilanda gelombang cinta yang menderu dahsyat sepetti ombak yang menerkam pantai.
Tiba-tiba saja secercah keinginan yang amat dalam menggurat sanubari Solandra. Membuat sekujur tubuhnya bergetar menahan perasaan yang bergejolak.
''' ""Tanamkan benihmu di tubuhku, Mas," pintanya dengan suara memelas yang tak mungkin ditolak. "Biarkan aku mengandung anakmu. Beri aku kesempatan untuk mengandung dan membesarkan buah hati kita."
"Aku juga menginginkannya, Andra," balas
Paskal lembut. Dikecupnya rambut istrinya yang harum semerbak. "Tapi seandainya tak hadir buah cinta kasih kita sekalipun, aku tetap mencintaimu."
"Akan kuberikan cinta dan seluruh hidupku untukmu, Mas. Seandainya jantungku tidak berdenyut lagi sekalipun, cintaku padamu takkan pernah mari."
"Cintamu segala-galanya untukku, Solandra. Biarkan jantung kita berdenyut dalam satu denyutan sampai kematian datang menjemput kita."
Tak terasa air mata Solandra menitik ketika mendengar bisikan mesia suaminya. Cinta -Paskal terasa begitu luhur. Begitu indah. Begitu j abadi. Cinta yang dinyatakannya dalam getaran j suaranya yang begitu membuai. Yang membuat ! Solandra seperti melayang ke langit bertabur j bintang-bintang yang mengedip mesra ke arah- " nya.
Cinta! Betapa indahnya tajuk yang terpasang di kepalamu! Betapa moleknya permata yang bersinar di hatimu!
Ketika dua insan saling berbagi rasa, ketika J belahan jiwa menemukan lekuk tempat cinta 1
berlabuh, ketika hati bagai tak henti bernyanyi, siapa mampu mengusir kebahagiaan
-yang demikian berseri"
Cinta Paskal kepada istrinya bukan hanya terpaku pada kemolekan tubuhnya dan kejelitaan parasnya. Setelah sepuluh tahun tubuh dan jiwa mereka bersatu dalam ikatan yang begitu kuat, rasanya hampir tak ada kekuatan yang mampu mengoyakkannya. Tak ada wanita yang mampu mengalihkan cinta dan kekaguman Paskal pada Solandra.
Sebaliknya cinta Solandra kepada suaminya begitu tulus. Begitu murni. Begitu abadi. Laksana bongkah-bongkah es di kutub selatan, bahkan panasnya sinar matahari pun tak mampu mencairkannya.
Dan dalam sebelanga adonan cinta yang begitu putih bersih, muncul setitik derita yang tak mungkin lagi dienyahkan. Karena hidup ini bukan seuntai lagu tanpa akhir.
Bab VII *q/ (j/aaa, kok mens lagi ya, Mas." Suara Solandra begitu kecewa. Seolah-olah kedatangan tamu tak diundang di tengah-tengah kemesraan bulan madu kedua mereka itu melenyapkan sebagian kebahagiaan yang tengah mereka reguk.
"Nggak apa-apa," sahut Paskal santai. Meskipun dalam hati dia juga agak kecewa. Masih terbayang jelas kemesraan yang telah mereka j nikmati dalam dua malam terakhir ini. Rasanya " masih belum puas. Masih ingin menikmati malam-malam selanjutnya. Tapi dia tidak ingin menambah kekecewaan istrinya. "Masih un- j tung bukan kemarin, kan."
"Betul Mas nggak kecewa"" desak Solandra dari dalam kamar mandi di kamar hotel mereka di Las Vegas. "Nggak," Paskal melemparkan koran pagi
yang sedang dibacanya di ruang duduk. "Yang penting kan kita selalu bersama. Tiap jam. Tiap menit. Tiap detik. Kecuali..." senyum mengembang di bibirnya, "kalau kamu lagi shopping."
"Atau Mas sedang berjudi." Solandra menyeringai masam.
Paskal menghampiri istrinya di kamar
mandi. Tepat pada saat Solandra sedang melepaskan bajunya hendak mandi. Dan melihat kemolekan tubuh istrinya, gairah Paskal meledak lagi. Diraihnya tubuh Solandra ke dalam pelukannya. Diciuminya lehernya dari belakang. Dan dalam sekejap mereka sama-sama terbakar api yang panas menggelegak.
"Tuh, katanya nggak apa-apa," keluh Solandra penuh penyesalan.
Menyesal karena tidak dapat menikmati kebersamaan yang begitu mereka dambakan. Tapi lebih menyesal lagi karena tidak dapat memuaskan suaminya.
"Memang nggak apa-apa," Paskal memutar tubuh istrinya dalam pelukannya. Lalu mengecup dan mengulum bibirnya dengan mesra. "Begini juga boleh kok."
"Sudah ah," Solandra berusaha melepaskan dirinya. "Nanti nggak selesai nggak enak."
bilang nggak enak"" PaskaJ mencium istrinya sekali lagi. "Berani bilang yang ini nggak enak""
"Enak," Solandra membalas ciuman suaminya j dengan hangat. "Tapi jangan kebanyakan. Sam- i pai smi dulu ah. Aku mau mandi." "Aku juga mau mandi." "Nggak ah, aku mau keramas/" "Kebetulan."
Paskal membawa istrinya ke bawah pancuran. I Dibukanya keran air sebesar-besarnya tanpa f menghiraukan protes-protes Solandra. Sesudah t basah kuyup Paskal baru ingat, dia masih me- I makai baju.
"Kg, *** Paskal sudah biasa mengeramasi rambut istrinya. Tetapi entah mengapa, kali ini rasanya, dia tidak ingin menyudahinya. Sampai Solandra j yang memintanya.
"Sudah ya, Mas" Rasanya sebentar lagi aku bersin."
"Kedinginan"" Paskal tertawa geli, "Atau takut semua rambutmu rontok di tanganku""
kuyup. Meremas-remasnya dengan penuh kekaguman.
"Rambutmu indah sekali, Sayang," bisiknya sambil mengecup leher istrinya. Tidak peduli busa shampoo bercampur air yang membasahi leher Solandra melekat di bibirnya. "Rasanya aku begitu mencintai rambutmu. Mahkotamu."
"Cuma rambutku"" Solandra pura-pura merajuk. "Kalau aku botak, kasih sayang Mas Pas ikut luntur""
"Aku mencintai setiap inci tubuhmu, Andra," Paskal memeluk istrinya dengan mesra. "Setiap inci tubuhmu adalah milikku."
Ketika Paskal semakin bergairah mencumbunya, Solandra mengelak sambil tertawa lembut. "Mas, aku boleh minta time-out"" Tiba-tiba saja Paskal sadar. Mereka sedang di kamar mandi. Bukan di kamar tidur. "Dingin"" bisiknya lembut. Solandra mengangguk. Karena dia tidak mampu lagi membuka mulutnya. Bibir Paskal telah melekat erat di bibirnya. Sementara air masih mengucur deras ke atas kepala mereka.
*#* Selesai keramas, PaskaJ juga yang mengering.
kan rambut Solandra. Bahkan menyisirinya. Dan menggunting beberapa heiai rambut yang mencelat kekar.
Sudah sepuluh tahun mereka melakukannya. Dan mereka sangat menikmatinya. Tetapi pada , saat-saat bulan madu seperti ini, saat-saat itu i terasa lebih indah.
"Katanya kalau lagi mens nggak boleh ke- I raraas ya, Mas"" cetus Solandra ketika suaminya sedang menyisiri rambutnya dengan penuh J perasaan, seperti pelukis yang sedang menggoreskan kuasnya di atas kanvas. "Ah, siapa bilang"" "Nenekku."
"Ngaco!" Paskal tertawa geli. "Dokter gigi j masih percaya yang begituan! Belajar fisiologi nggak""
"Dulu aku paling benci faal, Mas." "Kenapa" Dosennya killer" Ngomongnya cadel jadi kuliahnya tidak jelas""
"Aku paling ngeri disuruh motong kodok. Kelinci. Kera." Paskal tertawa geU.
"Mestinya dari dulu kamu kenal aku! Biar aku yang-jadi tukang jagalnya!"
"Tapi belum terlambat mengenalmu sekarang juga, kan"" Solandra memutar kepalanya dan menengadah. Matanya yang bersinar-sinar
memancarkan kebahagiaan menatap suaminya dengan penuh kasih sayang.
"Tidak ada kata terlambat," Paskal menunduk dan mengecup bibir istrinya. "Karena waktu sekarang milik kita."
Ketika Solandra merasa kecupan suaminya makin kerap dan panas, disingkirkannya bibirnya sambil tertawa lembut.
Teruskan nyisirnya saja ya, Mas," pintanya separo bergurau. "Atau aku mesti cari kapster lain. Habis yang ini ganas banget sih!"
*** Ketika tegak di antara bumi dan langit di tepi tebing terjal Grand Canyon of Colorado, Solandra kelihatan begitu terbius oleh kemegahan alam yang tengah disaksikannya. Meskipun bukan baru pertama kali berada di sana, dia Selalu terpesona menikmati panorama yang demi
kian menggetarkan sukma. " "Mahabesar Tuhan yang menciptakan suguhan alam yang sedahsyat ini ya. Mas," bisiknya dalam balutan kekaguman yang khidmat.
Paskal tidak menanggapi cetusan kekaguman istrinya Tidak menyangkal. Tidak juga meng-iyakan.
Meskipun dalam had dia berujar sendiri, Yang mengikis tebing sampai terbentuk jurang yang begini mengagumkan adalah Sungai Colorado yang mengalir di bawah sana, Andra! Kepada sungai itulah kekagumanmu harus kamu tumpahkan! Dialah ahli pahat yang mengagumkan itu. Yang selama jutaan tahun memahat dinding jurang ini.
Tetapi Paskal memang tidak pernah membantah kepercayaan Solandra yang demikian dalam kepada Tuhan-nya. Sejak sebelum menikah pun dia sudah tahu, Solandra teramat religius.
"Dia bukan cewek yang cocok buat elu!" kata Sania dulu. "Dia alim. Religius. Tempatnya bukan di tong sampah dunia kayak lu, Pas!"
Tentu saja Sania kenal sekali akhlak sahabatnya. Dibesarkan dalam keluarga yang beran-takan, ibunya kabur dengan lelaki lain, ayahnya seperti menikah lagi dengan pekerjaannya,
Paskal tumbuh menjadi pemuda yang liar. Dia mengecap kebebasan seperti mengecap rokoknya yang pertama, yang diisapnya waktu berumur dua belas tahun.
Seperti ayahnya yang tidak pernah awet dengan seorang wanita pun, Paskal juga tidak betah dengan seorang gadis saja. Seperti kumbang, dia terbang dari satu kelopak bunga ke kelopak yang lain.
Bedanya, Paskal mendadak jadi jinak setelah bertemu dengan Solandra. Sementara ayahnya masih sibuk keluar-masuk hutan. Tidak peduli usianya sudah merambah ke kepala lima. Dia masih tetap seliar tiga puluh tahun yang lalu. Memangsa semua yang lewat di depannya. Dan meninggalkannya untuk memburu yang kin.
Tidak heran kalau Paskal tidak percaya pada apa yang disebut Solandra "Tuhan". Semenjak kecil tidak ada yang mengajarinya agama. Tidak ada yang menyuruhnya berdoa.
Buat apa ngomong sama sesuatu yang tidak kelihatan, katanya waktu itu. Waktu Solandra mengajarinya berdoa.
Sepuluh tahun menikah, Solandra selalu berusaha mendidik suaminya untuk lebih mengenal Tuhan. Tetapi meskipun tidak pernah membantah, Paskal tahu, dia belum berubah.
Jauh di dalam hatinya, masih bertengger sebaris tanya, benarkah Tuhan ada" Benarkah Dia bukan cuma ilusi manusia yang selalu mencari jawab atas semua misteri yang belum diketahuinya" Benarkah Tuhan bukan sekadar kotak ajaib tempat semua surat permohonan diposkan"
"Suatu hari nanti aku ingin melayang seperti 1 burung, Mas," desah Solandra sambil menatap jauh ke dasar jurang. "Terbang di antara celah- j celah tebing yang curam, melayang menyusun 1 sungai yang mengalir berkelok-kelok..."
"Tidak usah menunggu lama-lama," potong Paskal. Entah mengapa secercah perasaan tidak-1 enak mendadak menerpa hatinya. Rasanya dia j tidak ingin mendengar lagi kelanjutan kata-kata Solandra "Sekarang juga kubawa kamu terbang."
Hari ku Paskal memang membawa istrinya terbang dengan pesawat kecil yang melayang-layang bagai burung di atas Grand Canyon of Colorado. Dia juga membawa Solandra menonton film tiga dimensi yang menyuguhkan kemegahan alam yang demikian memesona.
Menonton film itu seperti membiarkan diri
mereka ikut merasakan ganasnya Sungai Colorado tatkala rafting dalam sebuah sampan. Ikut melayang seperti burung ketika pesawat mereka berkelok-kelok tajam terbang menyusuri lekuk sempit di antara tetjalnya tebing. Bahkan turut mencicipi nuansa menegangkan ketika mereka serasa ikut mendaki jalan setapak yang licin dan curam menuju ke bibir jurang.
Beberapa kali karena ngerinya Solandra mendesah sambil memeluk suaminya. Paskal merangkul bahu istrinya sambil sekali-sekali mengelus dan meremas punggungnya. Sementara tangannya yang lain menggenggam tangan Solandra. Tangan itu terasa dingin dan basah berkeringat.
"Ngeri, kan"" ejek Paskal setengah bergurau ketika mereka keluar dari teater yang menyuguhkan film itu. "Siapa suruh mau jadi burung!"
Hari yang melelahkan itu menjadi hari yang sangat berkesan bagi mereka. Begitu banyak kenangan indah yang melekat di sanubari.
Duduk-duduk di tepi tebing sambil menunggu matahari terbenam. Bercanda sambil saling colek. Be
rpelukan sambil melangkah.
Kadang-kadang berhenti untuk saling melekat, kan bibir.
"Sekalian minta hpgios-mu supaya bibirku tidak kering," gurau Paskal setiap kali dia mencium istrinya.
"Dasari" Solandra pura-pura mengeluh. "Disuruh pakai sendiri nggak mau!"
"Buat apa"" Paskal tersenyum lebar. "Aku tahu cara yang lebih asyik!"
Ketika sedang melangkah sambil bergan- I dengan tangan di jalan setapak di bibir tebing, I tiba-tiba Solandra membungkuk. Memungut j sebuah batu hitam sebesar kelereng. Dibersih-' 1 kannya batu itu dengan bajunya. Digosoknya i sampai mengilat.
"Lihat, Mas," cetusnya gembira. Seperti anak kecil menemukan mainan baru. "Batu ini bagus I ya Mungkin umurnya sudah ribuan tahun." (j "Aku tahu batu yang lebih bagus," sahur Paskal sambil tersenyum, "Umurnya juga sudah A ribuan tahun." j
Keesokan harinya di Las Vegas, Paskal mem- | belikan istrinya seuntai kalung emas dengan bandul berlian. Dikenakannya kalung itu di leher istrinya. Kemudian dikecupnya lehernya dengan penuh kasih sayang..
"Benar kan kataku," gurau Paskal di telinga istrinya. "Aku bisa memberimu batu yang jauh lebih bagus""
"Terima kasih, Mas." Solandra menggeliat sambil memutar tubuhnya. Dan membalas ciuman suaminya yang tegak di belakangnya. "Kalung ini sangat bagus. Tapi aku boleh menyimpan batu hitam itu, ya" Kenang-kenangan kalau salah seorang dari kita sudah tidak ada."
"Kamu ngomong apa sih!" tukas Paskal sambil mencubit pipi istrinya dengan gemas. "Awas kalau berani ngomong begitu lagi! Ku-cubit pantatmu!"
Solandra tertawa geli menyambuti kelakar suaminya. I^H
"Sori, aku kelepasan, Mas! Kayak ada yang menggoyangkan lidahku! Kata-katanya meluncur begitu saja!"
"Bohong! Kamu cari alasan saja supaya boleh menyimpan batu kali itu!"
Mereka masih bergurau terus. Tetapi sampai mereka masuk ke kamar pun, perasaan tidak "nak itu masih juga tersisa di sudut hati Paskal.
Dari Las Vegas Paskal membawa istrinya ke Los Angeles. Mereka bisa naik pesawat terbang. Tetapi Paskal memilih naik bus umum. Karena alat transportasi itulah yang mereka pilih sepuluh tahun yang lalu.
Mereka begitu gembira ketika setelah berpanas-panas menunggu bus di halaman sebuah hotel, mereka dapat duduk berduaan di j dalam bus yang sejuk ber-AC. Hampir lima j jam terguncang-guncang di jalanan membuat perjalanan mereka semakin mengasyikkan.-A
Lebih-lebih ketika bus itu berhenti di kedai j cepat saji dan Paskal membeli sebuah hotdog j yang mereka santap berdua. Persis seperti dulu. Nikmat. Hangat. Mesra.
"Aku ingin menikmati saat-saat seperti ini sepuluh tahun lagi, Mas," desah Solandra ketika , Paskal menyeka sisa-sisa mustard yang menodai sudut bibirnya,
"Oke," Paskal menyeringai lebar sambil men-jilati sisa mustard di ujung jarinya. "Begitu ;, pulang aku pesan tiket perjalanan untuk selunas. Siapa tahu sepuluh tahun lagi sudah
tidak ada orang sakit!" |
"Mas janji kita akan ke sini lagi pada ulang
tahun perkawinan kita yang kedua puluh"" "Aku janji kita akan kemari setiap tahun!" " "Betul"" Solandra menatap suaminya sambil
tersenyum. Paskal membalas tatapan istrinya dengan hangat. Bukan main indahnya mata wanita yang sudah sepuluh tahun menjadi belahan jiwanya ini. Setiap kali menatap mata itu, PaskaJ begitu mengaguminya seperti menatap indahnya bintang-bintang di langit. Mata itu bening dan teduh menyejukkan seperti air kolam yang baru dikuras.
Memang. Dalam usia tiga puluh lima tahun, Solandra masih menyuguhkan kecantikan yang luar biasa. Kecantikan yang terasa abadi biarpun dua belas tahun telah berlalu sejak Paskal pertama kali melihatnya.
Hidungnya masih sebagus dulu. Pipinya masih semulus bayi. Bahkan bibirnya yang melekuk manis masih membangkitkan keinginan Paskal untuk memagutnya setiap ada kesempatan.
Aku mencintaimu, Sayang," bisik Paskal
sambil memeluk dan mencium bibir istrinya, '^Rasanya tambah mencintaimu setiap detik. Setiap menit. Setiap jam. Setiap hari...." Dan mereka hampir ketinggalan bus.
*** Universal Studio sudah jauh berubah dibandingkan ketika mereka pertama kali ke sana sepuluh tahun yang lalu. Hampir tak ada tempat yang membangkitkan nostalgia. Se
muanya sudah berubah. Tempat-tempatnya. Atraksi-atraksinya.
Mula-mula tentu saja mereka kecewa. Tetapi j makin siang, kekecewaan itu semakin pupus. Begitu banyak atraksi baru yang lucu dan menegangkan. Rasanya tidak bosan-bosannya j mereka keluar-masuk studio. Bahkan ketika j sore itu mereka basah kuyup disemprot slang air tatkala menikmati pertunjukan air, semua -kekecewaan itu lenyap seketika.
Paskal dan Solandra dapat menikmati wisata ' yang sangat berkesan sehari penuh walaupun mereka terpaksa membeli T-shirt karena baju mereka basah kuyup. "Mas, yang basah bukan cuma bajuku
saja..." keluh Solandra setelah mengenakan Tshirt barunya. "Basahnya sampai ke dalam...."
"Buka saja," sahut Paskal seenaknya. "Di sini tidak ada yang peduli kamu pakai BH atau tidak." "Mas rela orang-orang melihat..." "Nggak apa," potong Paskal sambil menyeringai bangga. "Masih ranum kok. Nggak malu-maluin yang punya."
"Idih!" Solandra memukul bahu suaminya dengan gemas. "Porno!"
"Siapa yang porno"" Paskal tertawa geli. "Siapa yang..." "Sudah ah! Jangan mengejek terus!" "Duh, tambah cakep kalau ngambek!" Paskal mencolek pipi istrinya. "Sering-sering ngambek ya" Biar suamimu tambah sayang!"
Solandra pura-pura menampar pipi suaminya sambil tersenyum manis. "Kalau aku tahu Mas Pas begini jahatnya..." "Kamu mau cari gantinya"" "Boleh""
"Pernah lihat rahang patah"*
"Mas lupa aku dokter gigi""
"Kamu lupa aku karateka ban hitam""
Mereka sama-sama tertawa renyah. Udara
yang panas menyengat tak terasa menyi]^ Lebih-lebih ketika perakan air membasahi mereka di sana-sini.
"Rasanya aku ingin semuanya ini tidak pernah berakhir, Mas," desah Solandra manja. I "Aku janji cinta kita tidak pernah berakhir, Andra," sahut Paskal mantap. "Dia hadir di setiap helaan napas kita."
Bab VIII %y ULANG ke Jakarta melahirkan rutinitas sehari-hari yang membuat Paskal selalu sibuk dari pagi sampai malam. Pagi bertugas di rumah sakit. Sore buka praktik dokter umum. Malam pun Paskal masih memenuhi panggilan beberapa keluarga pasiennya yang sudah menganggapnya dokter keluarga.
Kesibukannya membuat Paskal selalu tiba di rumah dengan sisa-sisa kelelahannya. Sementara sebagai dokter gigi yang andal dan dermawan, Solandra pun tidak kalah sibuknya. Pasiennya selalu antre sampai malam.
"Rasanya kita harus sudah mulai mengurangi kesibukan kita kalau ingin punya anak," Paskal menyeringai pahit ketika mereka tiba di ranjang dengan sisa-sisa keletihan mereka
Di sisinya, Solandra tergoiek sama lelahnya. "Mas capek, ya""
"Masih ada generator cadangan kaJau kaom mau."
"Bukan yang itu. Aku cuma minta dipijat kok. Tadi hampir setengah jam ekstraksi M3. Rasanya pegal sekali." "Oke. Ada bonusnya"" "Bonus apa" Sudah ioyo begitu.'" "Kan aku sudah bilang, ada generator cadangan." "Nggak ah."
"Ingat baju tidur yang kubelikan di Frisko"" Solandra tidak menjawab. Dia hanya tersenyum simpul.
Senyumnya tambah lebar ketika jari-jemari suaminya mulai meraba dan mempermainkan payudaranya
"Kaku sekarang kamu pakai baju itu, ku-jamin tidak sampai setengah menit..."
"Nggak bisa, Mas." Solandra menggeliat geli sambil mendesah.
Tapi erangan itu justru tambah membakar gairah Paskal. Dia menggulingkan tubuhnya ke atas tubuh istrinya. Dikecupnya ujung hidungnya dengan mesra. Ditatapnya mata- ' nya dalam-dalam.
ak sedekat itu, dia seperti dapat
\ melihat dirinya dalam bola mata istrinya yang
sebening gletser. "Kenapa" Sudah tidak tertarik pada suamimu"" Paskal membiarkan tangannya membelai dan meremas dengan mesra. "Ada pasien cakep di kamar praktikmu tadi" Lebih keren dari aku""
"Sudah ah," Solandra menyingkirkan tangan suaminya. "Iseng banget sih."
"Isengin istri sendiri apa salahnya" Nggak dosa, kan" Malaikatmu pasti nggak repot mencatat."
"Nggak salah kalau selesai. Tapi kalau kepalang tanggung kan malah nggak enak!"
"Siapa bilang tidak selesai" Apa aku mesti minum jamu dulu" Atau..." Paskal menyebut
merek sebuah obat kuat. Solandra tersenyum geli. "Nggak usah."
"Putar VCD yang baru kubeli, ya" Kata yang jual, pemainnya aktris terkenal." "Apa bedanya kalau pemainnya bukan artis"" "Nggak mau lihat"" "Nggak usah.
", "Ada apa sih"" "Neeak ada apa-apa."


Solandra Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

PaskaJ menggulingkan tubuhnya. Menelungkup di sisi tubuh istrinya. Ditatapnya mata Solandra dengan cermat. "Serius kamu nggak mau"* "Bukan nggak mau," Solandra membalas tatapan suaminya dengan lembut. "Nggak bisa." "Nggak bisa"* sergah Paskal bingung. "Masih mens."
Sekarang Paskal tersentak kaget. Matanya ( mengawasi istrinya dengan cemas. "Sejak di Vegas, kan"" Solandra mengangguk. "Sudah lebih dari dua rninggu dong." "Hampir tiga minggu." "Dan kamu belum ke dokter"" "Kupikir bakal berhenti sendiri." "Besok kamu mesti ke obgyn. Jangan-jangan I miom."
"Ada obgyn perempuan di rumah sakit Mas""
"Yang penting bukan jenis kelaminnya. Tapi I otaknya!"
"Tapi aku tidak mau ada lelaki lain yang melihatnya kecuali suamiku,"
"Aku akan mendampingimu. Kalau dia berani kurang
"Rahangnya bakal retak"" Solandra tersenyum masam. Paskal menatap istrinya sesaat. Lalu dikecupnya bibirnya dengan penuh kasih sayang.
Karena tidak ada ahli kandungan wanita di rumah sakit tempat Paskal bekerja, mereka mencarinya di rumah sakit lain. Teman sejawat Paskal merekomendasikan seorang ahli kandungan wanita yang mengambil spesialisasi di Australia.
"Bukan orang lain, Andra," Paskal tersenyum lega ketika mengetahui siapa ahli kandungan yang direkomendasikan sejawatnya. "Kamu pasti menyukainya." "Mas kenal dia"" "Bukan kenal lagi." "Bekas pacar di kampus dulu"" "Bekas sahabatmu di SMA." "Dia"" Mata Solandra terbuka lebar. Ditatapnya suaminya dengan tatapan tidak percaya. Dia sudah menjadi ginekolog"" "Yang terbaik di rumah sakitnya!" Paskal
menyeringai bangga, "Heran. Padahal waktu kuliah dulu, dia tidak pintar-pintar amat!"
"Kata dosenku, dokter yang sukses belum tentu mahasiswa yang paling pintar!"
Hampir setengah menit Solandra dan Sania berpelukan. Seakan-akan mereka ingin menumpahkan seluruh kerinduan yang telah lama menggumpal di dada.
"Kalau aku tahu kamu ptaktik di sini, Sah," sergah Solandra terharu, "aku pasti sering ke sini!"
"Terus terang sih aku juga belum lama kembali dari Melbourne. Bam beberapa bulan tugas di sini sekalian adaptasi."
"Kok kamu nggak cari kita sih""
"Behim sempat." Cuma itu alasan Sania. . Alasan lain, hanya dia yang tahu.
"Kamu sudah menikah" Mana suamimu, San" Kok nggak dikenalin""
"Kami sedang pisah sementara."
"Lho, kok gitu""
"Biasalah. Pasangan yang sama-sama sibuk." "Kamu pikir aku dan Mas Pas tidak
sama sibuk" Tapi semakin lama kami tidak bertemu, malah semakin kangen rasanya."
"Kamu beruntung." Sania membalikkan tubuhnya untuk menyembunyikan wajahnya. Kamu memang selalu beruntung!
"Suamimu dokter juga, kan""
"Ginekolog." "Wah, selevel dong!"
"Levelnya lebih tinggi. Dia dosenku. Sudah profesor."
"Bukan main! Pintar juga kamu cari suami, San!"
Tidak sepintar kamu. Karena dia tidak bisa
dibandingkan dengan Paskal! "Cakep, San"" "Siapa""
"Ya suamimu! Jahat kamu. Tidak pernah ditunjukkan pada kita. Fotonya saja tidak pernah!"
"Kamu pasti nggak suka."
"Bohong! Dia pasti kayak Robert Redford. Kalau tidak, masa sih kamu mau""
"Lebih mirip Bob Hope."
"Hah"" Solandra menutup mulutnya menahan tawa. "Yang betul, San!"
"Tidak oercava ya sudah."
"Onfa pada pandangan pertama"" Cinta memang buta. Kadang-kadang ^ sekalian.
"Lebih karena faktor kesepian. Dia duda I Aku lajang." "Karena itu kalian akhirnya menikah"" "Tidak juga. Cuma hidup bersama." Suara j Sania terdengar datar. Dia tidak berusaha menyembunyikan nada bosan dalam suaranya.
"Kamu sudah berubah, San," keluh Solandra pahit. Kamu kan tahu, hidup bersama tanpa nikah tidak indah di mata Tuhan.
"Kata Paskal kamu menorrhagia, Dra," iania I berusaha mengalihkan topik pembicaraan. "Dia I khawatir ada mioma di uterusmu."
"Ah, dia memang selalu khawatir. Sakit se- [ dikit saja pikirannya sudah yang bukan-bukan.'" I "Tidak ada salahnya diperiksa, kan"" "Kalau tahu ginekolognya kamu, aku sudah datang dari dulu!"
*** "Mioma uteri," Sania memperlihatkan hasil foto USG yang baru saja diambilnya kepada Paskal. "Hampir empat senti."
"Tidak bahaya kan, San"" tanya Paskal sambil mengamat-amati foto yang ditunjukkan Sania. "Miom delapan puluh persen
jinak, kan"" "Lebih baik kita laparoskopi," sahut Sania hati-hati.
Paskal tidak suka mendengar nada suara Sania. Dia seperti mengkhawatirkan sesuatu. Apa yang dilihatnya" Sesuatu yang mencurigakan" Sesuatu yang... ah, berdasarkan pengalamannya... kurang baik"
"Lihat saja hasil PA-nya sehabis laparoskopi nanti," Sania selalu mengelak setiap kali didesak Paskal. "Mudah-mudahan jinak."
Tegangnya paras suaminya membuat Solandra cemas. Lebih-lebih ketika mendengar anjuran Sania.
Operasi" Mengapa sampai sedrastis itu" "Tidak bisa diberi obat'dulu, Mas"" tanyanya
khawatir. "Sania bilang lebih cepat diketahui jenis -miom-nya, lebih baik."
"Maksud Mas, dia takut miom ini ganas""
"Bukan begitu. Kamu kan tahu kebanyakan mioma uteri itu jinak. Masa dokter gigi tidak tahu" Kamu dulu lulusnya nggak nyogok dosen, kan""
Tetapi kali ini Solandra tidak menanggapi kelakar suaminya. Dia juga merasa, PaskaJ hanya pura-pura tidak khawatir. Sebenarnya dia sendui tengah berusaha menutupi kegelisahannya.
Apa yang dikatakan Sania" Sesuatu yang : mengkhawatirkan"
"Aku .tidak mau dioperasi, Mas," desah Solandra menahan tangis. "Aku masih ingin [ punya anak...."
"Siapa bilang ini operasi histerektomi" Rahimmu tidak diangkat, Sayang. Kamu masih i bisa memberi suamimu tercinta ini selusin anak! Sania cuma ingin mengambil sedikit 1 jaringan tumormu...."
"Untuk dikirim ke PA, kan" Diperiksa ganas atau tidak""
"Eh, pintar juga dokter gigi ini ya," Paskal memeluk istrinya sambil pura-pura tertawa. Tetapi karena dia tidak pandai menyembunyikan perasaan yang sebenarnya, tawanya menjadi sumbang. Dan Solandra semakin mencurigai kecemasan suaminya.
"Aku tidak mau dioperasi, Mas," gumamnya sedih.
"Ini bukan operasi, Andra!"
"Apa namanya kalau bukan operasi" Aku
dibawa ke kamar operasi, dibius, perutku dibuka...."
"Cuma diintip sedikit. Diambil jaringan
tumormu untuk diperiksa...."
"Aku tidak mau, Mas...."
"Harus. Kalau tidak, Sania tidak dapat menentukan jenis miom-mu."
"Kalau Mas bilang sebagian besar miom itu jinak, buat apa lagi diperiksa""
"Tapi ada yang tidak, kan""
"Kalau tidak, apa gunanya lagi diopetasi""
"Astaga, pandirnya dokter gigi iml*^
"Kalau ganas, terapinya histerektomi, kan" Tidak, Mas! Aku tidak mau rarumku diangkat! Kalau memang aku hams meninggal, aku mau tubuhku kembali ke pangkuan Tuhan dengan utuh!"
"Ya ampun! Kamu seperti bukan dokter saja!"
Tetapi kali ini pun gurau Paskal tidak mempan. Tidak dapat menenangkan perasaan istrinya. Dan tidak dapat menggiringnya ke meja operasi.
Solandra tetap menolak dioperasi, apa pun alasan Paskal, bagaimana pun dia mendesak istrinya.
Kegigihannya membuat PaskaJ semakin bingung. Apalagi semaJcin hari perdarahannya bukannya berhenti, malah semakin banyak. Obat-obatan yang diberikan Sania seperti tidak mempan menghentikan perdarahan itu.
Suatu malam darah yang keluar begitu banyaknya sampai Paskal demikian paniknya, j Dia menelepon Sania pada jam satu malam.
"Tidak ada obat lagi yang dapat kuberikan, Pas," kata Sania murung di tengah-tengah I kantuknya "Solandra belum menyerah juga" f Dia belum mau juga dioperasi""
"Dia masih percaya Tuhan akan menyembuhkannya," sahut Paskal sama muramnya. "Setiap , j hari dia menunggu datangnya mukjizat." Sania menghela napas panjang. "Aku tahu bagaimana religiusnya Solandra, j Pas. Tapi sebagai dokter gigi, mestinya dia lebih realistis. Tidak ada doa tanpa usaha. Tuhan juga tidak mau kita diam saja menunggu datangnya mukjizat. Kita harus berusaha!"
"Tolong katakan pada Solandra, San. Kamu bisa kemari""
"Tengah malam begini" Rasanya percuma saja, Pas. Bawa saja dia ke rumah sakit besok. J '.
Mudah-mudahan aku bisa mengubah pendapatnya."
Semalaman itu Paskal tidak mampu memicingkan mata sekejap pun. Entah berapa belas kali malam itu Solandta bolak-balik ke kamar mandi mengganti pembalut wanitanya
yang sudah penuh darah. Bukan hanya Solandra yang ketakutan melihat darah sebanyak itu. Paskal juga. Padahal sebagai dokter, darah sudah menjadi santapannya sehari-hari.
Darah sebanyak apa pun tidak pernah lagi membuatnya takut. Tapi lain kalau yang mengeluarkan perdarahan sebany
ak itu istrinya sendiri! Paskal bukan hanya takut. Dia panik. Putus asa. Tidak tahu harus berbuat apa lagi untuk menghentikan perdarahan sebanyak itu. Untuk pertama kali dalam hidupnya, dia merasa sia-sia menjadi dokter. Karena menolong istrinya sendiri saja dia tidak mampu!
"Besok kita ke rumah sakit ya, Sayang," pinta Paskal ketika dia sedang memapah Solandra yang tengah melangkah tertatih-tatih ke kamarnya dari kamar mandi. "Biarkan Sania menolongmu."
"Apa masih ada gunanya, Mas"" desai, Solandra sedih. "Rasanya rahimku hampi, jebol.**""
"Tidak, Andra. Aku yakin kamu akan sem. bah."
"Cuma mukjizat yang bisa menyembuhkan, ku, Mas."
"Kita harus berusaha, Andra. Tidak dapat pasrah saja menunggu mukjizat."
"Mas percaya mukjizat"" tanya SoJandra lirih j ketika Paskal membaringkannya dengan hati- j hati di tempat tidur.
"Percaya," sahut Paskal asal saja. Padahal se- | benarnya dia tidak percaya pada segala macam mukjizat. "Tapi aku juga percaya pada ilmu kedokteran. Biarkan Sania menolongmu, Andra."
"Tolong ambilkan sarung yang merah itu, Mas."
"Buat apa"" - "Takut darahku tembus ke seprai."
"Persetan. Akan kubelikan seratus seprai lagi kalau darahmu mengotorinya."
"Tapi aku sangat menyukai seprai ini, Mas. Kubeli waktu ulang tahun perkawinan kita kesembilan.
"Ingat. Tapi aku tidak peduli jika seprai ini jadi belang-belang kena darahmu sekalipun, Andra. Aku mau kamu sembuh! Demi aku, Andra, biarkan Sania menolongmu!"
"Mas yakin perdarahan ini berhenti kalau Sania melakukan laparoskopi""
"Tidak. Tapi dia jadi tahu jenis tumormu. Dan kita dapat melakukan terapi yang lebih adekuat."
"Terapi apa, Mas" Histerektomi" Radiasi" Kemoterapi"" sergah Solandra menahan tangis.
"Jangan berpikir sejauh itu, Andra. Untuk apa" Yang penting kita mengetahui diagnosis penyakitmu dengan cepat dan tepat."
"Lalu"" "Lalu kita memilih terapi yang tepat!" "Ada terapi yang tepat untuk kanker, Mas"" rintih Solandra setengah putus asa.
"Dalam stadium dini kanker dapat disembuhkan, Andra! Lagi pula, siapa yang bilang kanker" Di-PA saja belum!" "Aku punya firasat jelek, Mas...." "Please, Andra. Tolong kabulkan permintaanku sekali ini saja!"
irnya Solandra menyerah juga. Demi
injra, dia rela menyerahkan dirinya kt atas meja operasi. Dia membiarkan Sania melakukan laparoskopi. Mengambil sedikit jaring" an tumornya dan memeriksakannya di laborato- : rium Patologi Anatomi.
Ketika istrinya sedang menjalani operasi, j Paskal tidak berani mendampinginya di mang I bedah. Dia memilih menunggu di luar. Tidak j sampai hari melihat perut istrinya dibuka. 1 Betapa kedinya pun luka operasi yang dibuat j Sania.
Belum pernah ada lelaki yang melihat milik- J ku, Mas, rintih Solandra sesaat sebelum didorong di atas brankar memasuki ruang operasi. Selain kamu! Sekarang, berapa orang yang j! melihatnya"
Cuma Sania, jawab 'Paskal menghibur di tengah-tengah kegelisahannya sendiri. Dan dia I perempuan! Suster OK-nya juga perempuan ' semua! Ymg cowok cuma penata anestesinya. Dan yang dilihatnya cuma monitor dan kepalamu1.
Tentu saja Paskal tidak mengatakan, asisten Sania seorang pria. Tapi peduli apa" Siapa yang memerhatikan hal-hal kecil begitu dalam
Paskal tahu, Solandra memang puritan. Tetapi mereka tidak punya pilihan lain.
Kalau boleh memilih, Paskal juga tidak mau istrinya dioperasi. Kalau bisa, biar dia saja yang menggantikan. Tetapi kalau sudah tidak ada pilihan lain, mau apa lagi"
*** Paskal baru berani menemui Solandra setelah dia dibawa ke ruang pemulihan. Saat Paskal melihatnya, Solandra belum sadar. Wajahnya pucat pasi. Tetapi bagaimana pun kondisinya saat itu, dia masih belum kehilangan kecantikannya. Dan ketika melihat istrinya dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba saja Paskal merasa cintanya kepada Solandra semakin bertambah.
Jangan pernah meninggalkanku, Sayang, bisiknya dalam hati. Jangan biarkan aku sendirian hidup di dunia ini.... Karena tanpa kamu, hidup ini tidak ada artinya lagi!
Tatkala Solandra sadar dari efek pembiusan, tatkala untuk pertama kalinya dia membuka matanya, Paskal merasa hatinya sangat lega.
Diciumnya dahi istrinya dengan lembut dan hati-ha
ti. Seolah-olah dia begitu takut melukainya. Begitu khawatir ciumannya akan menya kid Solandra.
"Semua sudah selesaiy Sayang," bisiknya halus. "Sania sendiri yang akan mengawasi pemeriksaan PA-mu di lab. Dia janji akan mengabari kita secepatnya."
Tetapi ketika hasil itu keluar, bukan hasil menggembirakan yang mereka peroleh. Kabar itu datang seperti guntur di siang hari bolong.
Ketika melihat paras Sania, sebenarnya baik Paskal maupun Solandra sudah dapat menerkanya Tetapi tidak ada yang berani menanyakan* nya. Sampai Sania sendiri yang terpaksa menyampaikannya. "Leiomiosarkoma," cetusnya pahit. Lab dia menunduk. Tidak berani menatap sahabat-sahabatnya.
; Sarkoma! Itu berani rumor ganasi Kanker! Paskal sering mendengar diagnosis itu. Tetapi selama ini orang lain yang mengidapnya. Pasiennya. Temannya. Kenalannya. Bukan Solandra! Bukan istri yang sangat dicintainya.'
Tak sadar tangannya mencari dan" meraih tangan Solandra. Dalam genggamannya tangan istrinya terasa dingin. Tapi barangkali bukan hanya tangan Solandra yang dingin. Tangannya
juga. Karena saat itu dia sangat ketakutan. Begitu takutnya seperti mendengar langkah-langkah Malaikat Maut....
Ya Tuhan, bisik Solandra dalam hati. Kuatkan diriku menerima apa pun keinginan-Mu!
Dia berusaha tampil tabah. Berusaha menahan air matanya. Karena tidak ingin menambah kesedihan suaminya.
Memang pada saat menerima kabar buruk itu, bukan dirinyalah yang pertama kali dipikirkannya. Tetapi Paskal! Dia pasti sangat sedih. Ketakutan. Dan Solandra tidak ingin menambah derita suaminya dengan melihat air matanya.
Padahal sesungguhnya dia sendiri merasa sangat ketakutan tatkala mendengar diagnosis penyakitnya. Solandra merasa seperti tiba-tiba saja dicemplungkan ke lubang gelap yang sangat dalam tanpa dasar.... Dinding lubang itu seperti bergerak menjepitnya. Makin lama makin rapat sampai dia sulit bernapas....
"Aku menganjurkan total histerektomi, Pas," sambung Sania sambil tetap menghindari menatap wajah sahabat-sahabatnya. Tidak tega melihat pucatnya paras mereka. Dia pura-pura meneliti kertas hasil lab di hadapannya. "Lebih
cepat lebih baik. Karena dalam sebulan sajs miom Solandra sudah bertambah besar du senti. Artinya pertumbuhannya termasuk ce. pat."
"Artinya rahimku harus diangkat, San"" tanya Solandra sambil berusaha menekan perasaannya.
"Rahim dan kedua ovariummu, Dra. Kalau periu aku akan membersihkan pula isi pelvismu. Mudah-mudahan belum menjalar ke kelenjar getah bening dan vesica urinaria."
Solandra menggigit bibir untuk menahan tangisnya. Dirasanya genggaman suaminya se-makin erat.
"Kalau aku menolak dioperasi, berapa lama lagi umurku, San""
"Andra!" cetus Paskal antara marah dan sedih. "Pertanyaan apa itu! Kamu lupa, kamu tidak bakal pergi sendiri" Jika kamu mati, aku juga tidak ingin hidup lagi.'"
Sania mengangkat wajahnya dan menatap sahabatnya dengan sedih.
"Kenapa jadi berpikir sepandir itu"" keluh Sania sambil berusaha menyembunyikan perasaannya. Betapa dalamnya cinta kasih mereka! Mengapa tidak pernah ditemukannya cinta
kasih semurni itu" "Kita di sini sedang merundingkan terapimu, Dra! Bukan kematian kalian!"
"Aku tidak mau dioperasi, San," desah Solandra dengan air mata berlinang. "Kalau aku hams mati, aku ingin pergi dengan tubuh utuh. Bukan tubuh kurus kering, kepala botak, dan perut morat-marit bekas luka operasi!" " "Andra!" sergah Paskal dengan mata berkaca-kaca. "Apa pun jadinya dengan tubuhmu, aku tetap mencintaimu! Di mataku, 'kamu tetap secantik seperti pertama kali aku melihatmu!"
Sekali lagi Sania merundukkan kepalanya. Tidak tega melihat kesedihan kedua sahabatnya Tetapi terlebih lagi tidak mampu menyaksikan "cinta kasih yang begitu mumi yang terlukis di depan matanya.
Bahkan ketika maut sudah menghadang, mereka masih mampu menampilkan kasih yang begitu tulus. Begitu dalam. Begitu murni.
*## Paskal menghantam tembok kamar mandinya berkali-kali. Sesudah tangannya terasa sakit, dia baru berhenti memukul. Dan dia menangis.
Di atas kepalanya air dari pancuran mengucur deras. Airnya berbaur dengan air matanya.
Biasanya tempat ini adalah tempat yang paling d
isukainya. Tempat membersihkan j tubuh. Sekaligus tempat bermesraan. Tapi saat ini, membayangkan hal yang biasa mereka j lakukan berdua di sini malah menambah pedih 1 luka di hatinya
Mengapa hidup sekejam ini" Mengapa alam ( sejahat ini" Solandra begitu baik. Begitu sabit, j Begitu suci. Begitu sempurna! Apa salahnya j sampai dia dihukum seberat ini"
Kanker. Mengapa Solandra yang harus mengidap kanker" Mengapa bukan orang lain" Yang jahat. Yang culas. Yang dengki. Mengapa mereka justru sehat-sehat saja"
Kanker rahim! Mengapa penyakit jahanam ku justru memilih Solandra" Dia yang tidak pernah menodai genitalianya dengan perbuatan tercela! Dia yang selalu menjaga kesucian tubuhnya. Dia yang begitu menjauhi kemak- j siatan. Mengapa justru dia yang dihukum"
Atau... penyakit memang bukan hukuman dosa"
Itu yang selalu diucapkan Solandra. Dengan penuh keyakinan. Karena seganas apa pun
M |^118 penyakit yang dideritanya, itu tidak dapat
melunturkan kepercayaannya.
Padahal Paskal tidak dapat membayangkan apa yang terjadi jika penyakit jahanam itu sudah menggerogoti tubuh istrinya. Dia tidak dapat membayangkan jika Solandra harus pergi lebih dulu. Mampukah dia menanggung beban seberat ini"
Paskal ingin berteriak. Ingin menjerit untuk menumpahkan beban berat yang menindihi hatinya. Tapi dia tidak ingin Solandra mendengarnya. Dia tidak ingin istrinya tahu betapa sedih hatinya. Betapa takutnya dia!
Ketika keluar dari kamar mandi, dia melihar Solandra sedang berdoa di sisi tempat tidurnya. Dia tampak begitu khusyuk. Begitu khidmat.
Sering Paskal melihat istrinya berada dalam situasi seperti itu. Kalau sedang berdoa, Solandra memang pantang diganggu. Seperti sudah tidak ada siapa-siapa lagi di sana kecuali dia dan Tuhan-nya. Dia bisa berada dalam kesunyian selama berjam-jam. Entah apa yang dibicarakannya. Apa yang dipin tanya. "
Tetapi belum pernah Paskal melihat istrinya dalam keadaan seperti ini. Kali ini, dia tampak lebih serius. Lebih khusyuk. Lebih khidmat.
119 Sampai rasanya Paskal seperti melihat asap ^ luar dari ubun-ubun kepalanya.
Barangkali cuma halusinasi, pikir Paskal sambil mengendap-endap keluar dari kamarnya. Karena pikiranku yang sedang kacau.
Paskal memang sedang sedih. Takut. Sekaligus marah. Entah harus marah kepada siapa. Tapi dia merasa diperlakukan tidak adil. Oleh siapa" Alam" Dunia" Tuhan"
"Jangan marah pada Tuhan, Mas," pinta Solandra ketika mereka pulang ke rumah tadi. Suaranya begitu lembut. Begitu sabar. Dia seperti mengerti perasaan suaminya. "Tuhan tidak pernah salah."
Memberimu penyakit seperti ini juga tidak salah" Mengapa Tuhan salah alamat" Mengapa tidak dadrimnya penyakit ini kepada orang " Koruptor. Rampok. Pembunuh. Pelacur, ^^i pada orang sebaik Solandra,
Tetapi tidak seorang Dun A . h
"*" " langit tetap JJ.* ,dapat men'aWab'
Paskal-tegakdisebuS ^ malam ^
an Jakarta Sambil tanah lapang di pinggir
seribu tanya.timbunan samPah di sebelah sana juga tetap bergeming. tak ada malaikat
yang turun menjawab pertanyaanya.tak ada suara yang membalas kegalaunya.tak ada semuanya sepi.semuanya bisu dimanakah engkau tuhan" Masihkah Engkau
Di atas sana" Mengapa Engkau tetap membisu"sungguh kah engakau ada"atau engkau cuma
ilusiusi semata-mata"
Bab IX halaman belakang rumah mereka yam; mungil, ada tiga tangga batu yang menghubungkan taman dengan teras rumah. Paskal dan Solandra biasa duduk-duduk di sana sambil mengobrol memandangi bintang.
Biasanya Paskal duduk bersandar ke tiang kayu yang menyangga atap teras. Sementara Solandra duduk di depannya. Menyandarkan punggungnya ke tubuh suaminya.
Malam ini mereka melakukan hal yang sama. Paskal membelai-belai rambut istrinya. Kadang-kadang mengelus dan memijat punggungnya.
Bedanya, malam ini mereka melakukannya sambil menangis.
Tak ada lagi seloroh yang memancing senyum. Tak ada kata-kata manis yang bernada mesra. Malam ini, semuanya lenyap ditelan j kesedihan.
Di langit, bintang masih bersinar. Tapi sinarnya tidak lagi secetah hari-hari kemarin. Malam ini, semuanya berkabut. Bahkan bulan tampak begitu muram seperti mengerti kesedihan mereka.
"Aku ingin memberimu anak, Ma
s," rintih Solandra lirih. Air mata mengalir perlahan ke pipinya.
Paskal merangkul pinggang istrinya dengan kedua belah lengannya. Diciumnya lehernya sambil menelan air mata yang tersekat di tenggorokannya. Dia tidak menjawab. Karena begitu membuka mulutnya, dia khawatir tak .dapat lagi menahan tangisnya.
Kesedihannya memang sudah tidak terkata-kan lagi. Tetapi dia tidak ingin air matanya menambah kesedihan Solandra.
"Kalau aku pergi, aku ingin ada anak-anak yang mendampingimu."
Lupakan anak, Andra, tangis Paskal dalam hati. Siapa pun yang kamu tinggalkan di sampingku, tidak sama dengan kamu! Dan aku tetap merasa kehilangan!
"Aku tidak takut mati, Mas," desah Solandra sambil membelai-belai lengan suaminya. "Kematian bukan akhir segala-galanya. Kemarian adalah awal perjumpaan dengan Tuhan. Tapi aku tidak tega meninggalkanmu sendiri, an...." "" "".-""
"Kamu tidak akan pergi, Andra," bisik Paskal di telinga istrinya. "Aku tidak akan mengizinkan kamu pergi.'"
"Bolehkah aku mengajukan satu permintaan, Mas"" Solandra meletakkan kepalanya di bahu suaminya. Ditatapnya mata Paskal dalam-dalam.
Paskal menunduk dan mengecup bibir istri- j nya sebelum menjawab.
"Mintalah apa saja, Sayang," bisik Paskal j penuh ham. "Seandainya kamu minta bintang di langit sekalipun, akan kugapai untukmu."
Solandra membelai-belai pipi suaminya dengan lembut.
"Aku ingin punya anak, Mas...." desahnya Mi.
"Oke," gumam PaskaJ setelah tercenung sejenak. "Sesudah kamu sembuh, kita akan mengadopsi seorang anak.,.."
"Aku menginginkan anakmu, Mas. Benihmu."
"Andra...." "Apakah permintaanku keterlaluan""
"Tidak. Tapi rasanya..'. "Jika ovariumku masih baik, dapatkah kita menyatukan ovumnya dengan spermamu"" "Andra...."
"Aku tahu. Uterus dan kedua ovariumku akan diangkat. Mereka akan melakukan total histerektomi. Tapi kita bisa melakukan sebelumnya, kan" Maksudku melakukan pembuahan in vitro""
"Lalu di mana kamu hendak menanam hasil konsepsinya"" "Di rahim seorang ibu pengganti." " " Lama Paskal terenyak sebelum mampu membuka mulutnya lagi.
"Aku tidak yakin kita dapat melakukannya di sini/s.."
"Kita cari tempat yang mampu melakukannya, Mas. Mungkin sangat sulit. Tapi bukan tidak mungkin, kan" Mas mau mengabulkan permintaanku" Walaupun kedengarannya amat
sukar"" "Kamu sudah punya calon""
"Sampai saat ini belum. Tapi aku akan mencarinya, Mas."
"Rasanya terlalu naif, Andra," gumam Paskal murung setelah menghela napas panjang. "Pada
saat kita harus berkonsentrasi untuk menyem buhkan penyakitmu...."
"Aku tidak ingin meninggalkanmu sendirian, Mas."
"Kata siapa kamu akan meninggalkanku"" "Mas mau mengabulkan permintaanku"" Paskal menatap istrinya dengan sedih. 0, Andra! Andra! Seandainya aku mampu! Seandainya aku dapat! Apa yang tidak mau kuberikan padamu" Nyawaku sekalipun jika kamu minta akan kuberikan! _ "Maaf kalau permintaanku membuatmu tambah sedih, Mas...." desah Solandra pilu ketika melihat kesedihan yang melumuri tatapan suaminya "Tapi kehadiran seorang anak akan membuatku semakin tabah, Mas. Semakin menambah semangat hidupku."
"Sesudah itu kamu mau dioperasi, kan"" sergah Paskal getir. "Please, Andra, aku tidak mau kehilangan kamu!"
Sebenarnya Sania sedang sangat sibuk. Tetapi begitu Paskal meneleponnya ingin bertemu, dia langsung meluangkan waktu. Dia meninggalkan pasien-pasiennya untuk menemui Paskal.
"Solandra sudah mau dioperasi"" tanyanya begitu mereka bertatap muka.
Terus terang dia tidak menyangka melihat pembahan yang begitu besat pada diri Paskal. Dia seperti sudah tujuh malam tidak tidur wajahnya muram dan pucat. Matanya redup. Senyum menghilang dari bibirnya. Tubuhnya juga langsung susut. Dia jadi kelihatan lebih tinggi dari sebelumnya.
Tetapi seperti apa pun perubahannya, Sania tidak dapat menghilangkan perasaan yang sudah lama dipendamnya. Bertambah tersiksa Paskal, Sania malah merasa daya tariknya semakin menyengat.
"Belum," sahut Paskal lesu. Dia seperti tanaman yang sudah sebulan tidak disiram.
"Rasanya dia harus dibujuk, Pas. Kita tahu apa yang kita hadapi. Kita sedang berlomba dengan waktu." "Dia mau dioperasi dengan satu syarat." "Syarat"" Sa
nia mengangkat alisnya dengan heran. "Syarat apa""
Paskal menceritakan keinginan terakhir Solandra. Dan untuk beberapa saat Sama tos j tegun bengong. "Kamu mau menolongku, San""
"Apa yang bisa kuban""*
Tolong buatkan rujukan pada suamia" Katanya dia profesor terkenal di bidang obstetri ginekologi"
Sesaat Paskal melihat air muka Sama berubah. Sesaat dia tertegun. Tidak tahu harus menjawab apa.
Ketika dia mampu membuka mulutnya kembali, suaranya terdengar agak dingin.
"Maksudmu, kamu ingin membawa Solandra operasi di Melbourne""
"Bukan nggak percaya sama kamu, San," desah Paskal lirih. "Tapi kalau Solandra harus dioperasi, aku ingin yang paling baik buat dia."
"Dan kamu menganggap aku kurang baik""
"Bukan begitu, San. Tolong jangan tambah beban pikiranku. Aku tidak bermaksud menyinggung perasaanmu..."
"Aku tahu," potong Sania datar. "Nanti malam aku telepon dia."
"Terima kasih, San. Kapan kira-kira suamimu bisa menerima kami" Aku ingin berkonsultasi juga tentang keinginan Solandra yang ter- [ akhir."
Kebakaran The Burning 3 Pendekar Naga Putih 73 Rase Perak Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 3

Cari Blog Ini