Supernova Petir Karya Dee Dewi Lestari Bagian 1
SUPERNOVA Episode : PETIR DEE - Dewi Lestari eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.
nurulkariem@yahoo.com Edit & Convert: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
Cuap-cuap (tentang) Penerbit
Mereka menamakan diri Srudooks.
Mereka gila. Mereka berbakat. Mereka keren. Mereka anak-anak muda
yang berdedikasi penuh pada semangat kreativitas dan inovasi. Mereka
pantang menyerah. Mereka cinta lingkungan. Mereka berwawasan glo-bal, bercitarasa lokal. Mereka humoris. Mereka berselera tinggi. Mereka
ciptaan Tuhan. Mereka ingin menyampaikan rasa terima kasih karena kalian bersabar
menanti seri demi seri Supernova. Mereka berterima kasih pada kalian
yang tidak membeli produk bajakan.
Mereka ingin mengucapkan selamat membaca dan selamat
mengalami Petir. Mereka berharap secepatnya akan menemui kalian lagi.
Mereka menitipkan satu teka-teki demi menyambung ritual tak
beresensi yang mereka lestarikan tanpa alasan jelas: Kenapa ayam berkokok
lihatnya ke atas" Mereka telah membayar saya untuk menuliskan ini semua, dan saya
disumpah untuk tidak pernah mengungkapkan identitas. Karena saya
lagi butuh uang, saya terima.
Mereka barusan menelepon dan memberitahu jawaban teka-teki di
atas: Karena ayamnya sudah hafal lirik.
Tidak usah tertawa. Karena saya juga tidak. Bayaran mereka tidak
cukup untuk itu. iii Meja makan empat kursi, dan ia selalu duduk di kursi yang sama.
Memandang sepetak kecil halaman belakang yang penuh rumput liar
dan tanaman-tanaman tak bernama yang seharusnya tidak di sana. CD
Norah Jones, Noa, Nat King Cole, berputar puluhan kali seperti pekerja
rodi yang tunduk pada mandor keji berbentuk tombol 'repeat'. Dan kenapa
semua berawalan 'N'" Kebetulan indah yang tidak disengaja.
Berbulan-bulan ia melewatkan dini hari dengan lutut kedinginan
karena bersikeras begadang pakai celana pendek. Kebiasaan yang tak bisa
ditawar. Syarat untuk memulai ritual pertemuannya dengan Petir. ia
benar-benar menyukai Elektra. Mereka bersenang-senang, tertawa-tawa,
tanpa peduli malam berganti pagi. Teh Camomile dan Sencha bolak-balik ia seduh hingga bergelas-gelas. Mereka mabuk teh berbulan-bulan.
Kemudian datang jeda panjang. Petir hibernasi. Realitas mengambil
alih. Pernikahan, kehamilan, kelahiran. Roh kreativitas kini tercurah ke
dalam perut yang terus membesar. Sampai pada satu hari di bulan
Agustus, proses tadi mencapai puncaknya. Sebuah buku hidup telah terbit.
Ia beri nama Keenan, seperti nama tokoh dalam ceritanya yang belum
terbit. Roh yang dulu dimampatkan kini bebas terbang lagi, membangunkan
mereka yang tidur pulas. Petir, bangun dan menguap lebar, sebentar lagi
menangis lapar minta makan. Ia juga ingin cepat besar. Ingin melepaskan
diri dari kurungan benak lalu melenggang menjadi makhluk mandiri
yang lupa kulit. Penerbit pun mengintai dari balik semak-semak, cakar
siap merobek, mulut siap mengaum.
Meja makan empat kursi, dan kembali ia duduk di kursi yang sama.
Memandang sepetak halaman yang hijau karena tanaman liar itu sudah
jadi pohon, seolah seseorang sengaja menanamnya di sana padahal tidak.
CD Alison Krauss, Anna Caram, Antonio Carlos Jobim, menggantikan
iv pendahulunya yang sudah uzur karena dieksploitasi. Celana pendek dan
kaos besar harus mau ditawar. Diganti daster berkancing atau piyama
berkancing. Segala sesuatunya sekarang harus berkancing agar tak repot
menyusui. Tehnya sering turun kasta menjadi teh celup karena tak ada
waktu untuk ritual seduh-menyeduh. Jam kerja yang memendek perlu
disiasati. Malam hari, Petir disusui bergantian dengan bayi Keenan. Tempat
tidur itu penuh sesak. Komputer, ia, Keenan, dan sang suami.
Tak cuma magis dan murah hati, roh kreativitas pun rela kerja lembur.
Dalam waktu sebulan, wujud Petir melengkap, mengutuh. Siap berlarian
lucu ke alam bebas. Bukan lagi milik seorang, melainkan milik dunia.
Pergilah kau, Nak. ia berkata pada Petir. Pada Elektra. Bermain-mainlah
dengan pembaca, dengan toko buku, dengan kritikus. Jangan lupa
berterima kasih pada orang-orang yang membantu persalinanmu, dan
yang kelak menuntun tanganmu, bahkan yang menendangmu sekalipun
agar kau tahu nikmatnya tanah saat tersung
kur. Kamu pasti bangkit lagi. Karena kamu nakal, kamu menyenangkan, kamu membuatku
tertawa. Berlarilah. Dan jangan tengok ke belakang. Segala memori biar
aku yang simpan, karena itu tugasku. Tugasmu hanya bermain.
Ia lalu duduk diam, memandangi ruang tengah yang kosong, mulai
membayangkan wajah-wajah itu satu demi satu. Mereka yang ia cinta.
Suaminya, Marcellius Kirana Siahaan, yang terus mendorong selesainya
Petir sekalipun itu berarti menemani sampai pagi. Bayi mungilnya,
Keenan Avalokita Kirana, yang kadang harus puas didekap dengan satu
lengan karena lengan lain dipakai mengetik. Keluarga Simangunsong
yang dengan selera humor, bermusik, dan melawaknya, dapat menjadikan
ruang ini bar koboi yang hidup semalam suntuk. Keluarga Siahaan yang
penuh kasih sayang. Keluarga Bayu Seto, yang bersedia menampungnya
saat hamil muda dan tak boleh naik tangga, terlebih Oom Bayu yang
mau meluangkan waktu untuk membuatkan draft kontrak dengan
penerbit. Lalu datang asistennya, Yeni Sumyati bersama suaminya, Saeful, yang
selalu setia menemani pada saat susah dan senang. Michael Hutagalung
juga ada di sana, sahabat yang tidak hanya cerdas, tapi hati dan suaranya
terbuat dari materi mulia yang sama: emas. Dan keluarga barunya, FT
AKUR, Kafi Kurnia yang begitu suportif dan apresiatif, didukung teman-teman lamanya seperti Aries RP, Diway, Sentot, Adit, dan semua staf.
Jangan lupa juga mengundang Sitok Srengenge yang sudah berhasil
meyakinkannya untuk memuat nukilan Petir dalam Jurnal Prosa. Dan
tentu saja, Richard Oh, sahabat sejati, yang eksistensinya dan juga toko
bukunya, membuat Jakarta layak dikunjungi. Ia juga berencana
meneleponi sahabat-sahabatnya, yang bahkan kenangannya saja sudah
membuat hatinya hangat, apalagi jika ada. Mereka semua akan membakar
ruangan ini dengan cinta.
Ia membereskan komputer, mengemasnya apik dalam tas.
Mengucapkan sekali lagi selamat jalan dan semoga sukses pada bayi
imortalnya. Tiba saatnya ia bermain dan begadang puas-puas bersama
bayi mortalnya, yang kelak tumbuh besar dan belajar membaca. Tak
usah buru-buru, Keenan, ia berkata, karena Petir hidup selamanya dan
kita tidak. Lalu ia masuk ke kamar dan berdoa.
vii ELEKTRA berterima kasih pada:
AKP drg. Henry Setiawan, Mr. Peng Fei, Aldo Agusdian, Benno Ramadian,
Vishalini Lawrence & friends, Andre Dwijaya, Kikis, Irnadi Permana, Mira
A. Soenoto, INSTUPA dan para founder-nya.
Daftar Isi Cuap-cuap (tentang) Penerbit
Daftar Isi Keping 37 - Kado Hari Jadi
Keping 38 - PETIR Keping 39 - Dua Siluet Yang Berangkulan 1
ix Engkaulah kilatan cahaya yang menyapulenyapkan segala jejak dan bayang
Engkaulah bentangan sinar yang menjembatani jurang antar duka mencinta
dan hahagia terdera Engkaulah terang yang kudekap dalam gelap saat Bumi bersiap diri untuk
selamanya lelap Andai kau sadar arti pelitamu.
Andai kau lihat hitamnya sepi di balik punggungmu.
Tak akan kau sayatkan luka demi menggarisi jarakmu dengan aku
Karena kita satu. Andai kau tahu. (catatan dini hari di satu taman yang banyak banci)
KEPING 37 Kado Hari Jadi Mawar. Aster. Krisan. Anggrek.
Pria itu menggeleng. Bank. Kekasihnya hanya tertarik pada bunga bank.
Bukan karena gila harta, tapi semata-mata tak suka tanaman.
Main ski ke Swiss. Cokelat Swiss. Jam tangan Swiss.
Pria itu menggeleng lagi. Pisau. Kekasihnya berpendapat pisau Swiss
termasuk salah satu temuan terjenius sepanjang peradaban manusia,
dan ia sudah punya sedikitnya dua belas. Tak ada gunanya menambahkan
lagi satu. Sepercuma buang garam ke laut. Sesalah buang gula ke teh
hijau. 2 "Tambah ocha-nya. lagi, Pak Dhimas""
Pria itu mendongak. Ada ribuan pilihan tempat untuk makan siang di
kota Jakarta, tapi ia selalu memilih makan sushi di tempat sama, hampir
empat kali seminggu, dan pelayan ini sudah dikenalnya lima tahun lebih
tapi masih memanggilnya dengan sebutan 'Pak'. Tiap kali tanpa jera
Dhimas mengingatkan, panggil 'Mas', jangan 'Pak'. Dan semakin
diingatkan semakin ia melanggar.
"Heru, kalau kamu sudah pacaran dengan orang dua belas tahun,
kamu mau kasih kado apa"" Dhimas bertanya.
Pelayan bernama Heru memandang langit-langit, berusah
a lari dari pertanyaan aneh itu. "Dua belas tahun, Pak""
"Dan jangan panggil saya 'Pak'."
"Saya belum pernah pacaran sampai selama itu, P-maaf."
"Dikira-kira saja."
Heru mengernyitkan kening. Pertanyaan ini terlampau pelik untuk
pukul 12 siang. "Mmm . . . kalau sudah dua belas tahun, harusnya
semuanya sudah dikasih, ya."
"Jadi, nggak perlu kasih apa-apa lagi""
Heru mengangguk kilat. Malas membahas.
"Ocha satu pot lagi."
"Baik, Pak." Dhimas memandangi Heru berlalu sambil berpikir, mungkin sudah
saatnya ia menyerah. Berhenti mengoreksi. Tapi ia belum mau menyerah
untuk yang satu ini. Semestinya ada yang bisa dipersembahkan, atau
dilakukan, sekalipun telah ia kenali Ruben sebaik dirinya sendiri, dan
dirinya tidak butuh apa-apa. Hanya cinta.
Dua belas tahun bukan waktu yang singkat. Tidak untuk pasangan
gay. Akan lebih mudah bagi mereka jika punya cincin emas tanda pengikat,
yang merangkap fungsi sebagai stiker 'Awas Anjing Galak!', karena apabila
ada apa-apa dengan ikatan keduanya, keluarga, negara, bahkan mungkin
3 Tuhan, siap merangsak ngamuk. Namun jendela hidup mereka polos
tanpa stiker. Barangkali cuma Cinta. Dan Cinta tak butuh aksara.
Dhimas meraih telepon genggam. Hanya satu tombol untuk
menghubungkannya dengan Ruben. Hanya satu nada panggil, telepon
itu diangkat: "... ya!" "Halo, Ruben-" ". . . tapi, kan, saya sudah bilang, kalau mau memakai pendekatan
kualitatif, Anda tidak bisa menganalisanya dengan cara begini, dong!"
"Ruben ..." "Bubarkan saja ini penelitian! Ngapain saya ikut susah!"
"Ben ..." "Ya!" "Kamu ngomong sama siapa, sih""
"Silakan Anda bawa pulang ini semua! Buang ke fakultas lain!"
"Aku telepon lag-"
Klik. Atau lebih tepat lagi 'tut'. Terputus. Dhimas menghela napas.
Perlahan meletakkan teleponnya, dan meraih poci ocha sebagai ganti.
Kekasihnya tidak butuh apa-apa. Hanya sedikit terapi jiwa. Mungkin sudah
saatnya ia menyerah. Melewatkan satu lagi hari jadi tanpa cendera mata.
Dengan langkah beringas, Ruben memasuki pelataran rumah Dhimas
di bilangan Menteng yang senyap. Napasnya tersengal-sengal. Pintu yang
diketahuinya tak terkunci langsung diterobos masuk.
"Am I late" Am I late"" seru Ruben panik.
Dhimas menyambutnya dalam kaos oblong dan celana basket. Segelas
susu panas di tangan kanan. Mukanya putih bersih tanda sudah cuci muka.
"Terlambat apa"" Dhimas menatap Ruben tak mengerti.
"Katanya-kamu-bikin dinner . . ."Ruben memelorotkan tubuh
4 besarnya di sofa sambil memegangi dada, berusaha menenangkan
jantungnya yang mau meletus. Bulir keringat bermunculan di dahi,
beberapa bergantung di alisnya yang tebal. "Gila, aku harus olahraga,
nih . . ." "Dan men-defrag otak sekalian," timpal Dhimas ketus, "dinner-nya kan
besok!" Ruben terdiam. Begitu juga Dhimas. Lama keduanya membisu,
menunggu sengalan napas itu reda. Ada segelombang badai bening yang
mereka rasakan. Dan sampai napas Ruben kembali tenang pun,
gelombang itu tak kunjung susut.
Perlahan, Dhimas bangkit berdiri. Tanpa suara.
Ruben mengatupkan mata, frustrasi. Kenapa ia selalu lupa" Kenapa
tidak pernah bisa ingat" Bukan hari ini saja, sudah puluhan janji tak
tertampung oleh memorinya. Dhimas patut diberi medali karena masih
belum meledak ngamuk sampai hari ini. Padahal Dhimas pantas marah.
Amat sangat pantas. Namun, ia selalu memilih diam.
"Dhimas. . . sori." Pelan, Ruben berkata. Ia tahu kalimat itu percuma.
Dhimas akan berjalan masuk ke dalam kamarnya, menutup pintu. Tidak
keluar sampai pagi. Kecuali kalau ada kebakaran.
Begitu pintu itu tertutup, Ruben pun pasrah. Mencopot sepatu dan
menyelonjorkan kaki. Berusaha menyatu dengan sofa yang akan jadi
alas tidurnya sampai esok hari. Namun, tiba-tiba, matanya menemukan
sesuatu. Bantal bulu angsa kesayangan Dhimas, tertinggal di salah satu
kursi. Dan kalau situasi sudah begini, sudah pasti ia tidak akan dijemput
pemiliknya. Ruben beranjak, meraih bantal kesepian itu, lalu
mendekapnya. Aroma yang ia hafal. Campuran bau sampo, keringat, dan
sisa parfum. Kepada sang bantal, Ruben membisikkan rahasia. Bahwa sebulan
belakangan ini, ada satu ide yang konstan mondar-mandir di benaknya.
Ide gila yang se lama dua belas tahun tak pernah hinggap satu kalipun
5 juga. ia . . . ingin . . . mengajak . . . Dhimas . . . tinggal serumah.
Kepada sang bantal, Ruben merutuk-rutuk. Betapa sintingnya dia
bisa berpikir begitu. Dhimas akan tertawa berguling-guling di lantai dan
wibawanya bakal runtuh untuk selama-lamanya di mata dunia. Tapi . . .
tapi, Ruben menghela napas. Barangkali itu ide baik. Mengurangi bebannya
untuk mengingat janji-janji seperti malam ini. Dan, mungkin saja,
memang sudah saatnya. Perlahan, Ruben merapatkan rengkuhan tangannya. Aroma yang ia
hafal. Dua belas tahun memang tidaklah sebentar, walaupun terkadang
terasa sesingkat percik api.
Dinner itu tidak terjadi. Cendera mata itu tidak ada. Pertama kali dalam
dua belas tahun, hari jadi mereka berlalu seperti es batu yang menggelincir
di tangan, terlalu licin dan dingin untuk ditangkap. Biarkan saja, pikir
Dhimas, anggap ini variasi. Ia sadar akan sikap eskapis yang dipilihnya,
Supernova Petir Karya Dee Dewi Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tapi terlalu malas untuk peduli. Tiga kali seminggu seperti orang kursus
bahasa, Ruben pasti datang, melempar tubuhnya ke sofa, kelelahan,
dibikinkan kopi, lalu tertidur. Aneh. Bukannya orang justru minum kopi
agar melek. Namun mekanisme terbalik itu sudah terpelihara baik oleh
waktu, sebagaimana rutinitas yang membelenggu kehidupan mereka
lebih terasa seperti pil melatonin yang membuai.
Dhimas membuka dompet, mengeluarkan sebuah kartu keanggotaan,
dan menyerahkannya pada pelayan di kafe toko buku itu dengan ekspresi
sama selama tiga tahun terakhir. Bibir melengkungkan senyum
disinkronisasi dengan anggukan kepala yang dalam. Sebuah kode,
dimapankan oleh rutinitas juga waktu, yang artinya: satu complimentary ice
tea, es sedikit, dan saya akan memakai fasilitas internet gratis di kafe ini
selama mungkin. Tempat inilah suaka sekaligus surganya. Toko buku internasional di
6 tengah kota dengan kafe mungil yang keanggotaannya berarti dapat
diskon, komplimen teh atau kopi, gratis pemakaian internet. Semua yang
ia butuhkan untuk menciptakan nirwana pribadi. Dan untuk mencapai
itu, Dhimas tidak perlu kembali ke Washington DC, bernasib seperti ayam
potong yang dikurung dan diberi makan selama dua puluhan jam dalam
pesawat. Ia cukup mengemudi tiga menit dari rumah, atau kalau sedang
malas, mencegat bajaj. Bajaj-distance heaven, begitu Ruben mengistilahkan
tempat ini. Spiritualitas bertemu efisiensi. Tubrukan yang sempurna.
Es tehnya datang bersamaan dengan situs free mail-nya terbuka. Dhimas
sudah merogoh kocek ekstra untuk memperbesar volume kotak suratnya.
Bukan cuma untuk berkorespondensi, ia pun mengirimkan semua
dokumen pentingnya ke sana-alternatif back-up di kala CD, disket, zip,
tak bisa lagi membantu. Kehilangan dokumen merupakan mimpi paling
buruk yang bisa dibayangkan Dhimas. Seperti kehilangan kepala rasanya.
Dan kita semua tahu betapa seramnya makhluk tanpa kepala.
Matanya menyapu kilat surat-surat yang masuk. Tangannya bergerak
mengklik mouse dari atas ke bawah, menandai mana-mana yang akan
dihapus. Penawaran viagra. Penawaran hipotek. Info program diskon. junk
mail ini semakin lihai saja, nama pengirimnya semakin manusiawi hingga
terkadang mengelabui seolah kita dapat teman baru. Mike Smith, Lorraine
Andrews, dan ini . . . Gio Alvarado. Nama macho. Cocok untuk sales alat
pembesar penis. Judul email-nya.: Very important. Pls read. Re Diva Anastasia.
Dhimas mendengus, apa itu Diva Anastasia; Sex doll" Tidak tahukah
orang ini kalau sex doll yang menarik baginya justru yang bernama seperti,
ya, Gio Alvarado" Namun arah mouse-nya justru terpeleset ke judul e-mail,
bukan ke boks kecil di depannya. Surat tak diharapkan itu membuka.
To Whom It May Concern. Nama saya Gio, dari Jakarta. Kita belum saling kenal.
Tapi Anda kenal dengan sahabat saya, Diva Anastasia. Saat
ini saya berada di Lima - Peru. Mungkin Anda belum tahu
bahwa Diva dinyatakan hilang saat mengikuti ekspedisi ke
Rio Tambopata. Saya sendiri ikut dalam tim SAR yang
mencarinya. Alamat e-mail Anda tercantum dalam emergency
contact list yang ditinggalkannya terakhir kali di Cuzco.
Kalau Anda ingin mengecek perkembangan usaha pencaria
n Diva atau informasi apapun juga, silakan menghubungi saya
di alamat e-mail ini. Regards, Gio . PS. Diva menuliskan spesifik agar mencantumkan 'Super-nova' di judul e-mail untuk Anda. Tapi saya pikir 'Diva
Anastasia' lebih mudah dikenal. Semoga e-mail ini sampai
dengan sama baiknya. Baru pada bagian akhir Dhimas tersadar, e-mail itu tidak salah kirim.
Buru-buru ia merogoh tas, mencari telepon genggam yang terlalu kecil
sehingga pencarian itu terasa menyulitkan. Akhirnya ia dapatkan alasan
kuat untuk menghubungi Ruben di sela jam kerjanya. Akhirnya ia
dapatkan sebuah stimulus baru yang akan memacu adrenalin dan sejenak
meredam melatonin mereka. Sebuah kado hari jadi yang terlambat datang
sehari. KEPING 38 Petir Maaf, siapa namanya tadi, Kak"
Elektra. Seperti gadis James Bond" ia tersenyum cerdik. Berusaha menarik
simpatiku dan menunjukkan bahwa di balik dasi mencolok dan kemeja
yang tidak serasi, di balik jidatnya yang berkilap karena minyak dan
cucuran keringat pada siang bolong, di balik variasi dagangannya yang
aneh itu, ia masih mengikuti perkembangan film Hollywood. Tak
ketinggalan agen 007. Ya. Aku mengangguk dan kubiarkan salesman itu bahagia dengan
idenya, karena harinya pasti sudah sangat susah.
Elektra-jarang ada yang tahu alasan sebenarnya. Ayahku seorang
tukang listrik, atau-eh-ahli elektronik, bernama Wijaya. Tertuliskan
besar-besar di plang depan rumah kami dulu: Wijaya Elektronik - Servis dan
Reparasi. Tinggal di Bandung membuat namaku tidak indah. Aku berharap
pengucapan 'Elektra' dapat bergulir anggun bagai kaki jenjang pemain
ski di atas sungai beku, dengan huruf '' yang menganga sempurna seperti
kita mengucap 'angsa'. Tapi namaku terucapkan segaring keripik emping
dengan huruf 'k' yang bergantung malu-malu di ujung. Elektra'. Seperti
'kakak'. ... Bisakah kalian tebak siapa nama kakakku"
Kalau namaku Elektra dan ayahku tukang listrik, bisakah kalian tebak
siapa nama kakakku" Watti. Ya, dengan dua 't'.
Tak ada yang lebih membahagiakan seorang tukang listrik ketika
anaknya datang menangis karena mainan elektroniknya rusak. Daddyatau Dedi, begitu kita memanggilnya-musiknya nggak mau jalan,
rengek Watti sembari menyetorkan mainan plastik berbentuk radio
dengan kenop oranye yang apabila diputar akan mendendangkan lagu
11 tunggal Hickory, Dickory, Dock. Maka Dedi akan segera tenggelam dalam
perkakasnya. Timbul lagi seperti tukang sulap yang bangkit dari peti
dibelah dua. Simsalabim! Mainan kami kembali baru.
Begitulah seterusnya, hingga kami sadar bahwa tak pernah ada
mainan baru. Dedi selalu berhasil memperbaiki segalanya. Yang kami
miliki hanyalah manula-manula berjiwa muda. Kabel baru, IC baru,
baterai baru. Gambarnya sendiri sudah pudar. Warna oranye menghilang,
berganti menjadi krem pucat dalam waktu dua puluh tahun, tetapi lagu
itu terus berdendang . . . hickory, dickory, dock, the mouse ran up the clock, the clock
strucked one, the mouse ran down . . . sampai hari ini. Oleh-oleh dari Tante Yu
Lien, kerabat kami yang paling kaya raya, dari Amerika, tahun 1981.
Aku sering kangen Dedi. Masih terbayang gerak-geriknya dalam kaos
singlet putih dan celana tenis, gesekan sandal capitnya pada ubin, dan
masih bisa kubaui aroma solder campur debu yang selalu bertumpuk
akibat diundang medan statik. Wijaya Elektronik sudah tutup sejak
tahunan yang lalu. Semenjak Dedi meninggal dunia karena stroke, tidak
ada yang sanggup atau bahkan berminat meneruskan tempat ini. Kedua
anak perempuannya tak suka listrik, ogah mengatur para karyawan,
apalagi mengurus pembukuan.
Watti lebih suka ikut suaminya yang bertugas jadi staf medis di
Freeport. ia selalu bicara soal Tembagapura. Tembagapura memang
tempat ideal bagi wanita domestik seperti Watti yang masih menunggui
suami pulang sambil merajut baju hangat di sofa ruang keluarga. Kota
Amerika kecil berketinggian 2000-an meter di atas laut itu menyediakan
kegiatan dari mulai kursus bahasa asing sampai fitness club-persembahan
dari perusahaan bagi ibu-ibu rumah tangga supaya mereka tidak
merepotkan suaminya dengan ketidakseimbangan hormon atau waktu
yang terlalu luang. Waktu
adalah uang, tapi waktu yang terlalu luang
merupakan bentuk lain dari kemiskinan. Dan orang miskin dapat
berontak tanpa takut kehilangan apa-apa.
Aku sendiri punya masalah pribadi dengan listrik. Umurku belum
12 genap delapan tahun waktu itu, sedang asyik belajar mengikat tali sepatu.
Bukan berarti aku anak terbelakang, umur delapan baru bisa menalikan
sepatu, tapi itulah saat pertama aku punya sepatu bertali. Hasil jerih payah
bertahun-tahun merengek pada Dedi. Sebelumnya, sepatuku konstan
sama: Big Boss hitam yang dikancing satu. Semua benda yang mirip
benang atau tali kuanggap sarana berlatih, termasuk kabel listrik yang
berjuntai-juntai menghiasi rumahku seperti akar pohon di hutannya
Mowgli. Pada siang yang sial itu, aku memilih kabel yang salah, dan
seketika tubuhku menggelepar.
Tak ada cara untuk menggambarkannya dengan tepat. Tapi coba
bayangkan ada sepuluh ribu ikan piranha yang menyergapmu langsung.
Kau tak mungkin berpikir. Tak mungkin mengucapkan kalimat
perpisahan apalagi membacakan wasiat. Lupakan untuk berpisah dengan
manis dan mesra seperti dalam film-film. Listrik membunuhmu dalam
sensasi. Begitu dahsyatnya, engkau hanya mampu terkulai lemas. Engkau
mati tergoda. Sementara Dedi-o-ho!-Dedi telah menjalin ikatan suci dengan
listrik. Pernah ia menyuruh aku menyentuhkan test-pen ke tubuhnya,
dan percaya atau tidak, test-pen itu menyala! Meski hanya berkelip-kelip
lemah, ada aliran listrik yang menyorot dari tubuhnya.
Perkawinan elektrisnya itu terjadi ketika Dedi sedang mengerjakan
instalasi listrik untuk proyek gedung bank terbesar di Bandung. Dengan
naasnya ia terlibas kabel telanjang yang jatuh mengayun. Kontan Dedi
tersengat listrik tiga fasa yang jauh lebih dahsyat daripada sekadar
kesetrum stop kontak di rumah. Ia kejang-kejang hebat, pingsan, dan
selamat seperti tak pernah terjadi apa-apa! Semenjak itu, dengan wajah
datar sambil bersenandung Di Bawah Sinar Bulan Purnama, ia bahkan
tidak mematikan sakelar saat memindahkan titik listrik di plafon. Seperti
memegang cangkir teh panas, ia menjentikkan jari-jarinya dulu, seolah-olah menyapa 'hai, sayang' atau 'hoi, barudak'. Setelah aliran listrik
menyapanya balik dengan memberikan setruman-setruman kecil,
13 mereka pun mulai bercengkerama, dan tidak ada masalah di antara
keduanya. ... Listrik sudah mengawiniku
Menyaksikan keakraban Dedi dengan listrik sering membuatku
tergoda, tapi ngeri mencoba. Barangkali listrik juga sudah mengawiniku
waktu itu, karena sejak kesetrum satu keanehan muncul: aku jadi senang
menontoni kilatan petir. Kalau langit mulai ditumpuki awan gelap, aku
yang paling dulu berlari keluar. Cras! Dia muncul. Aku gembira. Lalu
langit seperti sendawa gede-gedean. Kaca jendela bergetar dan Watti
memekik ngeri. Cras! Cras! Cras! Bentuknya seperti amuba. Aku makin
bahagia. Angkasa pun terbahak. Geledek yang lebih besar datang dan
Watti menutup kupingnya. Beberapa saat kemudian karyawan Dedi
tergopoh-gopoh keluar menggiringku masuk rumah. Sekujur tubuh ini
sudah basah kuyup. Menonton petir sering bikin aku tidak sadar, air hujan
lewat saja tanpa dirasa. Kejadian itu berulang terus, sampai-sampai mereka berinisiatif
mengurungku dalam kamar kalau musim hujan datang. Aku cuma bisa
berdiri di tepi nako jendela, memejamkan mata nikmat setiap geledek
besar menggetarkan kaca. Sayup-sayup kudengar pekikan kaget kakakku
di ruang tengah. Watti yang senantiasa mendamba drama keluarga mulai mengangkat
isu itu ke permukaan. Satu malam di meja makan-ralat, di setengah
meja ping-pong tanpa kaki kiri yang tidak mau dibuang Dedi hingga
diganjallah oleh dus kulkas dan . . . alakazam! Jadilah meja makan!-Watti
membuka perkara: Ded, Etra kena kuasa gelap.
Aku tak mengerti maksudnya. Tapi kulihat alis Dedi mengangkat
dan mulutnya membentuk bundaran kecil. Kuasa gelap" tanyanya. Apaan
itu" 14 Ya. Aku juga ingin tahu apa itu.
Watti menegakkan tulang belakangnya, berdehem: Ehm. Watti tahu
dari persekutuan doa, Ded. Kuasa gelap itu artinya kuasa iblis. Dedi nggak
tahu aja, si Etra kayak anak kesurupan tiap ada petir, suka ketawa sendiri,
bengong kelamaan, hujan-huja
nan . . . Masa" Dedi menoleh menatapku.
Waktu itu umurku sembilan tahun lebih seminggu. Jangan salahkan
aku kalau tidak mampu membela diri. Jadi harus diapain, dong" Dedi
bertanya lagi pada Watti yang senyam-senyum kecil tanda puas. Kalau
sudah bicara kuasa iblis, mau tidak mau kita harus bicara kuasa Tuhan,
sebuah topik yang membuat Dedi kehilangan rasa percaya dirinya. Sudah
bertahun-tahun, tepatnya setelah Mami meninggal, Dedi berhenti ke
gereja. Cuma dua kali setahun: Paskah dan Natal. Lain dengan Watti
yang aktif mengikuti persekutuan doa, bahkan sudah bisa menginjili dan
mempromosikan kuasa Yesus ke orang-orang tak dikenal.
Etra harus lahir baru. Watti berkata mantap.
Hah" Dedi mengernyit. Matanya lenyap dari pandangan.
Dengan patriotik Watti menjelaskan misi mulianya: Selasa besok,
Watti mau bawa Etra ke persekutuan, nanti dia dibantu sama kakak-kakak di sana. Cuma dengan tangan Tuhan, Ded, Etra bisa sembuh.
Aku menatap Dedi. Berharap akan ada satu argumentasi. Tapi kata
'Tuhan' betul-betul memegang kunci. Dedi menyumpal mulutnya sendiri
dengan suapan telur ceplok, lalu manggut-manggut pasrah.
Pada hari Selasa yang dimaksud, aku dan Watti naik becak ke tempat
persekutuan. Tubuh kami wangi sabun sesudah mandi sore, muka
cemong-cemong putih sebab bedak tak rata, Alkitab di tangan. Watti
membawa yang besar dan komplet, aku bawa yang kecil-yang isinya
hanya Perjanjian Baru. Yang kukejar memang cuma kecilnya, percuma
bawa berat-berat, aku selalu kalah cepat dari semua orang dalam perkara
buka firman. Rasanya seperti lomba lari. Peluit ditiup ketika pemimpin
kebaktian berkata: Mari kita buka firman Tuhan dari . . . priiiiiit! Semua
15 orang pun melesat lari ke garis finish. Entah bagaimana mereka
melakukannya. Sementara aku tersuruk-suruk gontai, jauh di belakang.
Begitu kutemukan ayat yang dimaksud, seluruh jemaat sudah selesai
membaca, ditutup dengan bunyi kresek-kresek kertas yang kuhasilkan.
Kakiku yang terseok-seok.
Hati ini menciut begitu melepas sandal dan memasuki ruangan
bergelar-gelar tikar itu. Aku teringat satu video yang pernah diputar Dedi,
filmnya Ateng dan Iskak. Ceritanya, mereka itu dua tuyul yang tinggal di
dalam teve. Ateng pakai baju putih, Iskak pakai baju hitam. Tapi tentu
keduanya tetap dianggap 'hitam' karena mereka tuyul. Pada akhir film,
riwayat mereka tamat saat siaran adzan magrib berkumandang. Ateng
dan Iskak kepanasan dibakar ayat-ayat suci Al Quran, tidak kuat, lalu
mati gosong. Kalau tidak salah tevenya ikut meledak.
Andai Watti benar, kalau betul-betul ada setan tinggal dalam aku . . .
gawat. Gawat. Dan ketidaknyamanan ini sudah dimulai. Rupanya Watti
sudah menyiarkan berita tentang aku dari jauh-jauh hari. Mereka
menyambut kami seperti bintang tamu istimewa, atau pesakitan kronis.
Tatapan iba dan simpatik kudapati setiap beradu mata dengan para anggota
persekutuan. Bukannya lega, batin ini malah tambah tegang. Bayangan
Ateng dan Iskak dalam baju senam ketat warna putih hitam terus
menyerang. Acara dibuka dengan kebaktian panjang. Satu nyanyian bisa diulang
lima kali, sampai-sampai aku yang tadinya tak tahu lagu bisa jadi hafal.
Kulirik Watti, matanya merem melek, tangan melambai-lambai ke udara.
Untuk menghilangkan rasa tegang, aku putuskan untuk ikut-ikutan.
Tapi tetap tidak bisa menyaingi penjiwaan Watti yang luar biasa. Bukan
cuma berkoreografi, mulutnya juga komat-kamit. Aku mendekatkan
kuping, berusaha nyontek. Betul-betul cuma terdengar was-wes-wos.
Pokoknya banyak huruf 's'. Canggung, aku mencoba: ess ... ess . . . mises
Supernova Petir Karya Dee Dewi Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
. . . yeses . . . peress.. .
Lewat hampir sejam, akhirnya kami bergerak ke puncak acara.
16 Pemimpin kebaktian, Bang Nelson, yang kurus berkacamata rambut tipis
gejala kebotakan dini dengan kemeja kain kotak-kotak yang dimasukkan
ke dalam celana krem kegedean, bangkit berdiri. Suaranya besar
menggelegar dan matanya hampir selalu tertutup. ia tampak sedang
memikul beban dunia. Kening berkerat-kerut seperti mau meledakkan
tangis. Kapan dan di mana saja. Tak ada yang tahu. Tangan kanannya,
yang memegang Alkitab, gemetaran seolah sedang angkat barbel 30 kilo.
Kala u tadi kubilang penjiwaan Watti luar biasa, aku salah. Kakakku
tidak ada apa-apanya dibandingkan yang satu ini. Tekanan tinggi yang
membungkus semua kata-katanya membuat Bang Nelson berlogat aneh.
'Oh, Yesus'-yang menjadi kata pembuka pada ujung dan awal setiap
kalimatnya-terdengar menjadi 'O Yeso'. 'Roh Kudus' menjadi 'Oh
Kodos'. 'Tuhan' menjadi Tuk Han'. Tambahkan lagi getar tenggorokan
macam geraman ninja. Jantung ini seketika mengkeret begitu nama
'Elektra' tahu-tahu disebut. Bang Nelson memintaku bangkit berdiri.
Sebuah nats lantas dibacakan, aku tak ingat apa dan ayat berapa.
Intinya, aku tak bisa lahir baru kalau kuasa gelap itu tidak dibuang terlebih
dahulu. Dan saat-saat penebusan pun dimulai. Bang Nelson
menumpangkan tangannya di atas kepalaku yang terduduk di atas lutut.
ia berteriak dan berteriak. Menyerukan Tuk Han . . . Yeso . . . Oh Kodos.
Yang lain menimpali dengan gumaman cas-cus dan letupan kata 'oh!'.
Keteganganku kian memuncak. Ruangan itu berubah menjadi sarang
lebah. Dengung, desis, dan gumam, menguap naik dan menyesaki
atmosfer. Bang Nelson tiba-tiba merepetkan kata-kata yang sama sekali tidak
dimengerti. Bukan bahasa Indonesia, atau Inggris, atau Sunda, atau Batak.
Bukan bahasa negara manapun. Saking asing dan rumitnya, aku bahkan
tak mampu mengulang satu katapun. Terdengar seperti bebunyian
burung hutan rimba saat musim kawin. Lama. Lamaaa . . . sekali. Kakiku
17 mulai pegal, dan agaknya Bang Nelson tahu. ia pun memberi kejutan,
sebuah teriakan keras: Dalam nama Tuk Han Yeso, segala iblis di tubuh ini . . . KELUAR!!
Suara itu, busyet, keras amat! Badanku tersentak. Tak cuma itu,
kesadaranku ikut terguncang. Semua mendadak gelap. Aku tak sadarkan
diri. Bangun-bangun, aku sudah di rumah. Di tempat tidur Dedi. Badan
ini lemas sekali rasanya, rahangku pegal seperti baru mengunyah segoni
amplang. Pintu kamar terbuka setengah, telingaku yang mulai siaga
perlahan menangkap pembicaraan orang-orang di luar sana. Ada Dedi,
Watti, dan . . . Bang Nelson.
Perlu kalian ketahui bahwa Dedi itu ayah yang pendiam. Kenangan
masa kecilku tentangnya otomatis tidak banyak sekalipun beliau praktis
satu-satunya orang tua yang kupunya. Karena itulah, kejadian ini sangat
melekat di memori. Untuk pertama kalinya aku mendengar Dedi marah-marah. Ayahku, yang seumur hidupnya irit-irit pita suara itu, mendadak
berkata-kata banyak dengan nada relatif tinggi. ia mengomeli Watti: Kamu
gimana, sih! Kenapa malah didiamkan lama, nggak cepetan ditolong"
Watti, dengan suara setengah merengek, membela diri: Yaah . . . abis,
Watti kan lupa . . . Adik sendiri, kok, bisa lupa! sentak Dedi lagi.
Bang Nelson mencoba menengahi: Sebentar dulu, Oom. Pelepasan
kuasa gelap memang bukannya tanpa risiko. Barangkali iblis yang
membuat Etra sakit juga ikut lepas . . .
Dia itu punya epilepsi! potong Dedi keras. Lha, ini, kakaknya yang
tahu, kok, malah nggak cepat nolongin, itu dia yang saya heran! Orang
yang ayannya kambuh itu harus cepat dibantu, untung lidah si Etra
nggak kegigit! Sampai mulutnya berbusa kalian juga masih nggak
melakukan apa-apa! Kalian apain sih dia" Sudah lima tahun dia nggak
18 pernah kena serangan. Kok, bisa tiba-tiba kena lagi . . .
Ya itulah, Oom. Iblis epilepsi yang . . .
Itu penyakit! PENYAKIT! Kalo mau sembuh, ya ke dokter!
Hari itu, Dedi menemukan kembali rasa percaya diri atas perihal
keimanannya. Bukan lagi urusan siapa yang unggul di atas siapa. Dedi
sudah menerima bahwa ia dan Nelson cs. memang berdiri di tataran yang
berbeda. Bagi Dedi, hidup adalah sirkuit listrik yang bisa diurai dan
dirangkai, rusak atau tidak hanyalah masalah teknis tanpa harus
mempersalahkan siapa-siapa. Bagi Bang Nelson, hidup adalah masalah
perimbangan dua kuasa. Gelap dan terang. Semua fenomena positif berarti
Tuhan dan semua yang negatif menjadi kerjaannya Jenderal Lucifer.
Penyakitku, tak terkecuali. Hingga ia ciptakanlah yang namanya 'iblis
epilepsi'. ... Kenapa Dedi jadi tukang listrik"
Dan aku mendapatkan gambaran baru tentang ayahku. Pria di balik
kaos singlet Swan ini memiliki kekuatan dalam kesederhanaan sikapnya.
Pekerjaan yang tak membuatnya kaya-kaya itu melapisi keluarga
kami dengan sebuah tembok pemisah. Sejak kecil aku tahu, keluarga
Wijaya tidak termasuk dalam jajaran favorit keluarga besar Huang. Dedi
melakukan pekerjaan yang sama puluhan tahun tanpa penambahan
keuntungan, paman-pamanku melakukan pekerjaan yang sama puluhan
tahun tapi hasilnya berpuluh kali lipat. Mobil Dedi satu, jelek, dan tak
ganti-ganti, sementara paman-paman kami setiap dua tahun gonta-ganti
mobil dan jumlahnya terus bertambah. Dedi juga dipersalahkan A Pak
karena aku dan Watti tidak memanggil 'cici' dan 'meimei' ke satu sama
lain, tidak memanggil 'shu shu' dan 'ku ku' ke paman dan bibi kami.
Sepupu-sepupu kami masuk ke sekolah swasta Kristen atau dikirim
ke luar negeri, sementara kami dicemplungkan ke sekolah negeri sejak
19 SD. Mereka kerap dihujani ang pau karena kebolehannya menyanyi lagu
Mandarin, dan selama itu aku dan Watti duduk di sudut, ngiler melihat
amplop-amplop kecil di tangan para orang tua tapi tak bisa berbuat apa-apa. Nyanyi Manuk Dadali tentu tak akan menghasilkan uang.
Hidupku dan Watti seolah-olah berada di dua alam. Kami adalah amfibi
yang menjadi aneh di tengah hewan darat, dan dicibiri ikan-ikan kalau
nyemplung ke air. Menjadi Cina di sekolah negeri sama sekali bukan hal
simpel. Masa sekolah merupakan masa perjuanganku menetralkan indra
pendengaran supaya hati ini tak perlu nyelekit ketika anekdot-anekdot
yang menyangkut ras Cina sampai ke kuping.
Seringnya, kami semua lupa soal kami ini Cina atau pribumi. Tapi
ketika temanku di jalan mengumpat 'Cina loleng!' ke segerombolan anak
Cina yang tak dikenalnya, maka aku pun berjuang setengah mati agar
tidak tersinggung. Ketika anak-anak kelas 3 yang nongkrong di warung
bertukar cerita tentang pengalaman mabuk pertama mereka dengan
alkohol murah lalu berkomentar: Gelo siah, rasana! Jiga digebuk Cina teu
ngalawan!(Gila lho, rasanya! Seperti digebuk Cina nggak melawan!)
ketika seseorang nyeletuk iseng sambil menunjuk anak Cina
kecil: Kasihan, ya. Kecil-kecil udah Cina; ketika kami lulus dan corat-coret seragam, mataku terpentok pada sebaris tulisan: 'Bandung Anti
Cina'. Dan di dunia tempatku meleburkan diri, semua itu terdengar nor-mal. Padahal tidak. Tidak ketika kulitmu berwarna kuning dan susah
gosong sekalipun dijemur seharian di lapangan, dan matamu tetap sipit
padahal engkau sedang melotot lebar-lebar. Dan semua usahaku tak
pernah berhasil. Hatiku tetap tertusuk-tusuk.
Sebaliknya, ketika kami pindah dunia, fisik kami yang Cina justru
tidak membantu. Akibat sama-sama berkulit kuning dan bermata sipit,
kami lantas dicap ketinggalan zaman gara-gara nggak ngefans sama Aaron
Kwok, dan aku pun berbisik pada Watti: Siapa sih Aaron Kwok" Hatiku
miris dan bertanya-tanya ketika sepupu-sepupu bergosip dalam bahasa
Mandarin lalu cekikikan melihat kami berdua. Hatiku berontak saat para
orang tua mengkritik pedas Watti yang ketahuan pacaran dengan cowok
pribumi. Jangan salahkan kakakku. Apa yang ia lihat setiap hari, apa yang
ia gunjingkan dengan teman-teman ceweknya di sekolah adalah cowok-cowok berkulit cokelat, bermata besar, dan tak punya dua nama. Dan
ketahuilah, hanya saat acara arisan keluarga, aku dan Watti bisa menjadi
tim kompak yang melindungi satu sama lain.
Untuk semua sikap Dedi dan konsekuensinya atas kami, jarang sekali
aku mensyukuri. Namun ketika melihat Dedi membela pendirian yang
menjadi alas bagi kami tumbuh besar, aku justru mengagumi tembok
yang melapisi kami selama ini. Karenanyalah, kuping Dedi seakan terbuat
dari pinggan anti panas yang tak meleleh oleh semua omongan saudara
kami. Ia juga dengan tegas menentukan sikapnya di depan Bang Nelson
tanpa takut iblis epilepsi.
Apalagi setelah Dedi kena setrum besar-besaran, ia berubah menjadi
ikon pahlawan bagiku. Bolehlah, mobilnya cuma satu dan uang sekolah
anak-anaknya di bawah sepuluh ribu perak, tapi belum tentu oom-oomku
itu kuat disetrum. Sebut aku sinting, tapi rasanya tercipta satu hubungan
transparan antara kami berdua. Bukan bapak-anak, tapi lebih seperti . . .
teman sejawat. Ada Elektra II dalam diriku yang kontak-kontakan dengan
Wijaya II dalam dirinya, lalu mereka berdua bercakap-cakap seperti dua
sahabat seumur. Setelah sekian lama meyakini keberadaan Elektra II dan Wijaya II, aku
memberanikan diri bicara dengan Dedi. Berharap pada tatapan pertama
nanti kami tak perlu berkata-kata, tapi tinggal angguk-angguk kepala
karena kami berdua sudah mengerti. Percakapan tingkat tinggi yang tak
didengar manusia biasa. Ded ... Hmm! Mmm .. . Ded . . . Hmm" Kenapa sih, Dedi jadi tukang listrik"
Aku pun mengamati ayahku lekat-lekat. Mempelajari reaksinya.
Kepalanya yang tadi nyaris menempel pada rangkaian perlahan bergerak
naik. Alisnya mengangkat-angkat, tanda ia sedang mencerna
pertanyaanku. Kepalanya bergerak miring sedikit. Bahunya naik. Lalu
Dedi menghela napas. Aku menanti tegang. Ini dia, pikirku. Jawaban bagi semua misteri.
Katakan saja, Ded. Aku ini memang anak ajaib, kan" Kamu bukan ayahku.
Kita makhluk-makhluk luar angkasa, datang dari salah satu planet
bernama aneh dalam film Star Trek. Kamu itu semacam mentorku.
Kasihan Watti. Ia tak akan sanggup menghadapi kenyataan ini. Oh ya,
Ded, izinkan aku memanggilmu Superwija. Dan kamu boleh memanggil
nama asliku: Superetra. Soalnya . . . Dedi berhenti sebentar, menoleh padaku. Soalnya, Dedi
nggak ngerti mesin mobil. Kalau ngerti, mungkin jadi montir. Usai
menjawab, Dedi kembali bekerja.
Begitulah. Selamat tinggal Superwija, Superetra.
Dalam kehidupan nyata, memang tak ada yang berubah. Aku, si
bungsu pemalas yang jarang punya aksi. Watti, si sulung hiperaktif yang
selalu beraksi. Dan Dedi menatap kami berdua dengan tatapan yang sama.
Baginya, hidup memang bukan siapa yang unggul di atas siapa.
Bagiku, hidup adalah duduk di bangku bioskop yang gelap menontoni
kakakku bergulung dengan ombak zaman.
... Zaman Andresaurus Apabila zaman Dinosaurus ditutup dengan hujan meteor, maka zaman
Persekutuan Doa-atau lebih populer disebut zaman Nelsonsaurus,
ditutup dengan hujan air mata. Watti patah hati gara-gara Bang Nelson
sang pujaan ternyata baik padanya karena menyayangi dalam kasih
22 Kristus, bukan kasihnya Maria dan Yusuf.
Namun tak lama, zaman baru dimulai. Watti menemukan sosok baru
untuk disembah sujud. Lima orang jumlahnya. Dibilang nyata, ya nyata.
Dibilang tidak juga bisa, karena Watti tidak pernah bertemu langsung.
Cuma dari lihat poster dan nonton teve. Namun kalau sedang di puncak
kasmaran, tak jarang Watti bercucuran air mata. Tiada satu hari pun
lewat tanpa menulisi diary tentang persahabatan khayalnya dengan
mereka: Joey McIntyre, Donnie Wahlberg, Jordan Knight. Jonathan
Knight, dan Danny Wood. Waktu lagi kumat-kumatnya, Watti mencuri
pakai piloks punya Dedi dan mencoreti dinding tempat sampah kami di
depan: N K OTB. New Kids on the Block - Watti Knight.
Hidup semakin menghibur. Diberinya aku tontonan Watti sedang
lipsync lagu Please Don't Go, Girl di depan cermin. Kakakku itu, hanya
berhanduk dan berbeha kegedean, menyanyi penuh perasaan sambil
memegang sisir bulat. Menurutku, belum saatnya Watti pakai beha.
Ditutup singlet pun masih tidak apa-apa, belum ada yang perlu ditopang
di sana. Tapi tampaknya Watti mulai memahami modal seksualitas
perempuan. Apalagi untuk persaingan ketat di SMP, saat cowok-cowok
mulai rajin onani dan cewek-cewek mulai mencari-cari perbedaan antara
satu sama lain. Yang bertumbuh paling cepat biasanya jadi ngetop.
Zaman NKOTB-saurus ditutup begitu Watti punya sosok mata untuk
dijadikan pacar pertama. Dia kelas 2 SMA waktu itu, dan aku 2 SMP.
Nama cowoknya Andre. Jadilah ia matahari baru bagi orbit hidup Watti.
Semuanya berporos pada Andre seorang. Andre yang semifinalis cover boy,
Andre yang mobilnya Civic 'setrikaan' ceper, Andre yang suka nongkrong
di Dunkin Donut, Andre yang sudah jago pacaran, blablabla.
Kadang-kadang hidup membikinku khawatir. Diberinya aku tontonan
yang tak diharapkan. Pada satu sore di hari Minggu yang sepi. aku pulang
dan melihat mobil Andre terparkir. Dedi sedang pergi ke rumah Tante Yu
Lien, jadi bisa dipastikan di rumah tidak ada siapa-siapa. Harap maklum,
kami tidak biasa terima tamu, jadi yang ada di kepalaku secara otomatis
adalah mengece k keadaan Watti. Bukannya sok perhatian, tapi begitulah
adat istiadat di sini. Kalau orang yang dicari tidak kelihatan wujudnya di
mana-mana, maka kami akan membuka pintu kamarnya sambil bilang
"hoi' pendek. Lalu ditutup lagi.
Watti tidak kelihatan. Tanpa berpikir, aku membuka pintu kamarnya,
bersiap ngomong: 'h . . .' Tak ada suara yang keluar dari mulutku. Hanya
udara tertahan. Kakakku di atas tempat tidur, bercelana pendek, behanya di lantai.
Catatan: Watti sudah pakai beha betulan karena ada yang harus ditopang.
Andre ada di sebelahnya, telanjang dada, dengan muka sama kaget. Bahkan
ia tak sempat mengangkat mulutnya dari dada kakakku.
Hoi. Kutuntaskan misiku. Aku masuk kamar dan mengunci pintu.
Tidak keluar lagi sampai besok.
Masalah itu tidak pernah kubahas dengan Watti. Tapi semenjak itu ia
memperlakukanku dengan sedikit segan. Begitu juga Andre. Mereka pikir
aku memegang kartu As yang sewaktu-waktu bisa dijadikan senjata
untuk mengakhiri permainan kucing-kucingan mereka dengan Dedi,
dan hilanglah kebebasan berasyik-masyuk-kelyuwar di kamar Watti tanpa
gangguan. Gobloknya, waktu pertengahan kelas 3 SMA mereka bubaran.
Aku melihat Andre menggandeng cewek yang lebih bahenol, anak baru
dari Medan, yang sekalipun berlogat aneh tapi katanya dia anak orang
kaya penguasa hotel dan tempat hiburan di Sumatera Utara sana.
Aku sungguh tak percaya zaman Andresaurus akan memiliki akhir.
Kupikir Andre dan Watti bakalan jadi suami istri betulan. Membentuk
keluarga berencana seperti gambar pada koin sepuluh perak. Terkagum-kagum aku memuji ketabahan Watti. Satu hari ia akan berpapasan dengan
Andre di pasar kek, atau di jalan, ia akan selalu telanjang. Seorang cowok
di luar sana sudah pernah melihatnya tanpa beha. Betul-betul tak
terbayangkan. Dunia sudah tak aman lagi bagi Watti.
Bagi Elektra, dunia senantiasa tempat yang aman serta full hiburan.
Selalu ada tingkah orang yang bisa kutertawakan dalam hati. Selalu ada
sesuatu yang bisa kukomentari. Ayahku yang jarang ngomong dan Watti
yang mulutnya tak bersumpal telah membentukku menjadi seorang
penonton bioskop. Cukup nonton. Dan betapa aku nyaman di kursi
gelapku. ... Dunia tak lagi aman bagi Elektra
Namun kursi itu berguncang hebat pada akhirnya. Ternyata hidup
tidak membiarkan satu orang pun lolos untuk cuma jadi penonton.
Semua harus mencicipi ombak. Zaman keemasanku ditutup ketika Dedi
meninggal. Lalu aku memasuki era baru yang serba asing, tak pasti. Dunia
Supernova Petir Karya Dee Dewi Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tak lagi aman bagi Elektra.
Ketika Dedi rubuh akibat stroke dan lewat seketika, akulah orang yang
paling shock. Bagaimana mungkin seseorang yang selamat dari setruman
beribu-ribu volt, orang yang seharusnya paling tahan guncangan dan
lonjakan tegangan, serta-merta jatuh karena serangan yang kurang dari
sepuluh detik dan tak kelihatan itu" Aku pun berpikir, listrik macam apa
lagi ini. Kalau memang ada jenis lain. Kalau memang ada drakula pengisap
nyawa yang lebih dahsyat lagi.
Bukannya Dedi tidak pernah mengeluh sebelum-sebelumnya. Beliau
sudah cukup tua. Lima puluh sembilan tahun. Mengurus dua anak
perempuan tanpa istri selama dua puluh tahun lebih. Kalau Mami masih
hidup, mungkin Dedi tidak akan sakit-sakitan karena bisa lebih cerewet,
lebih ekspresif. Selama hidupnya, Dedi lebih banyak bicara dengan orang dewasa
daripada kami. Bahkan ketika kami berdua sudah jadi dewasa betulan
sekalipun, ia lebih suka diam. Rupanya tidak mudah mengubah sebuah
pelarian yang sudah jadi kebiasaan. Aku baru tersadar bahwa kata-kata
yang tersimpan dapat membusuk hingga kawanan belatung
25 menggerogotimu dari dalam.
Dedi bilang kadang-kadang ia suka sakit dada. Ada yang nyelekit. Watti
langsung menyuruhnya check-up, tapi sama seperti aku, Dedi overestimate
kekuatannya sendiri. Ditempelin test-pen aja nyala! Penyakit mana yang
mau datang" Itulah slogan favoritnya, dan kami pun tertawa-tawa. Aku
dan Dedi. Watti tidak. Etra, Dedi bisa masuk acara televisi Believe it or not, lho. Nanti kita bisa
kaya. Dedi memandangku dari kedua rongga matanya yang menyipit
jadi satu garis kalau sedang berseri-seri. Watti menimpali, galak: Dedi,
acara itu udah n ggak ada dari aku SMP, tahu! Pembawa acaranya, Jack
Palance, juga udah mati! Sakit jantung, kali.
Kami berdua tahu Watti khawatir, tapi kami diam saja.
Kalau listrik mengirimkan vampir yang menyedot arwahmu, diemut-emut seperti memburu sumsum dalam sop kaki kambing, maka stroke
melakukannya seperti copet di alun-alun. Cepat. Tak tersadari. Dan ketika
kau sadar, kau sudah tidak ada. Meraba-raba kantong celana, kantong
dada . . . nyawamu lenyap. Apa yang terjadi" Halo" Siapa di situ" Hanny
(nama kecil ibuku)" Lho, kok, ada kamu"
Copet rakus tidak menyisakan SIM, atau KTP. Karena kalau hanya
uangnya saja yang direnggut, barangkali ayahku cuma lumpuh sebelah.
Tapi copet yang menyerangnya pastilah copet super rakus. Tak ada yang
disisakan. Mengingatkanku pada kentut bisu. Tak ada jejak suara hingga
sulit menuduh siapa-siapa. Lewat tanpa embusan angin yang terdeteksi
saraf kulit. Kau benar-benar cuma bisa menikmati busuknya.
Tak lupa kuselipkan test-pen ke dalam peti matinya. Dedi, ayo,
menyalalah sekali lagi, aku memohon. Kembalilah seperti robot-robot
yang berhasil kau sulap sampai bergerak. Engkau harusnya bisa bertahan,
seperti mainan-mainan kami yang hidup abadi di tanganmu. Dedi, please,
sekali lagi sa-peti itu ditutup. Beberapa tetes air mataku turut
menyelinap serta. Sejujurnya, aku merasa Dedi lebih beruntung ketimbang kami yang
26 ditinggalkan. Karenanya aku menangis. Kematian bagiku ibarat tiket
terusan bioskop kehidupan. Bayangkan betapa menyenangkannya itu.
Menontoni drama miliaran manusia tanpa harus terlibat konflik apapun.
Lalu, Dedi akan bertemu Mami. Karena itu juga aku menangis. Aku
iri. Bagi anak yang hanya mampu mengingat wajah ibunya samar-samar,
bercampur-campur dengan hidung, mata, dan rambut orang lain,
tersimpanlah rasa penasaran besar di dalam hati. Bisa jadi aku bukannya
kangen karena jejak kehadirannya belum sempat melekat dalam ingatan,
melainkan penasaran tok. Aku kepingin melihat Mami. Live.
Kata pamanku, Mamilah yang paling cantik sekeluarga. Badannya
kecil singset, biarpun hamil dua kali tapi tak jadi melar. Kulitnya seperti
bangsawan Cina, jernih dan licin mirip pualam. Tapi ada yang berpendapat
lain. Si Hanny mati muda, terang aja selalu jadi yang tercantik, kata
saudara-saudaranya yang sirik karena mereka tetap hidup lalu jadi tua
dan jelek. Wajah Mami turun ke Watti, kata mereka lagi. Kalau aku hanya
kebagian kecil singsetnya saja, sementara mukanya condong ke Dedi.
Sialan. Sori, Ded, tapi itu namanya penghinaan. Apalagi kecil singset
untuk zaman sekarang ini sudah tak laku. Orang-orang suka cewek-cewek tinggi 165 cm ke atas. Dan konon, pria manapun akan ngiler lihat
cewek bokong besar karena itu lambang kesuburan. Sementara kalau
kulihat-lihat, lingkar pinggang dan pinggulku tak jauh beda. Dadaku
timbul seada-adanya. Mau bagaimana masa depanku, coba" Watti sudah
bisa tenang karena dia 'cica'. Cina cakep. Aku masih harus tegang karena
statusku cuma 'cia'. Cina aja.
Mami meninggal karena usus buntu. Apendiksnya pecah sebelum
sempat ditangani dokter. Dedilah orang yang paling menyesal dari semua.
ia menebusnya dengan hidup selibat selama sisa hidup. Dalam sunyi.
Aku ingin ketemu Mami karena kupikir hidup kami akan lebih
menyenangkan. Dedi bisa lebih banyak bicara, Watti akan lebih banyak
diam, dan aku . . . aku bisa lebih keluar dari kepalaku yang pengap. Aku
27 juga ingin ketemu Mami agar kami bisa bercermin berdua, mencari
kemiripanku dengan wajah cantiknya. Sungguh. Aku tak merasa buruk-buruk amat, tapi tak terurus. Itulah ungkapan yang tepat.
... Perkawinan terdengar seperti perdagangan
Tercatat semenjak kakakku pacaran dengan Anggatama Subagja, yang
dipanggilnya Kang Atam, dokter lulusan Universitas Pajajaran yang kini
bekerja di Freeport dengan rumah dinas cantik yang berperabot seragam
di kota Tembagapura, Watti pun menasihatiku setiap hari. Pada setiap
kesempatan. Etra, katanya, kita jual saja rumah Dedi.
Rumah kami yang besar tanpa cita rasa itu sudah ditaksir sampai em-em-an. Lokasinya memang strategis, dekat perumahan jenderal. Tidak
banyak orang Cina lama yang tinggal di daerah
ini, kecuali beberapa 'OKB'
yang lantas merombak rumah Belanda mereka jadi miniatur gedung
mall. Kata Dedi, kami turunan Cina pejuang. Ketika Belanda angkat kaki,
dengan percaya diri dan gagah berani mereka ikut mengklaim rumah-rumah yang ditinggalkan. Turun temurun, keluarga kami menempati
rumah ini. Salah satu rumah warisan kumpeni yang punya nama seperti
Vincent, Anthony, Heidi, Leony, dan seterusnya. Misteri yang belum bisa
kupecahkan sampai sekarang. Atas dasar apa rumah-rumah itu dinamai,
lalu nama siapakah yang dipakai" Nama sendiri, ibu, bapak, pacar, anak,
atau siapa" Nama rumah kami: Eleanor. Siapapun dia dulu. Tiga perempat bangunan
masih asli arsitektur Belanda. Sayang beribu sayang, kecantikan Eleanor
tertutup lapuk dan jamur, lalu masih dinodai lagi oleh seperempat bagian
dirinya yang dibangun acak dari bahan tripleks dan asbes. Ruang-ruang
darurat Dedi untuk beragam keperluan: gudang, kamar pegawai, tempat
meja ping-pong. Uang yang ditinggalkan Dedi, kan, nggak banyak, kamu mau pakai
untuk apa" Kalau aku sih, sudah ada Kang Atam, cetus Watti berusaha
untuk tidak terdengar bangga.
Kalau saja aku licik, aku pasti sudah bersorak-sorai. Watti merupakan
wanita produk negeri dongeng yang ketika sudah bertemu sang Pangeran
maka pencariannya usai. ia tak peduli perkara harta, apalagi warisan Dedi
yang lebih banyak lembaran bonnya daripada lembaran uang. Kebetulan,
Atam bukan orang miskin. Tanpa jadi dokter di Freeport pun, mereka
bisa hidup nyaman di rumah keluarga Atam yang notabene orang kaya
lama Bandung. Dengan mobil Mercy Tiger istimewa, Watti bisa duduk di
muka, di samping pak supir yang giat bekerja agar mobil baik jalannya,
berkeliling-keliling kota.
Zaman Atamsaurus memang mengubah total peta hidup kakakku.
Demi pacarnya yang satu ini, Watti rela menjungkirbalikkan segalanya.
Menyeberang dari satu ekstrem ke ekstrem lain. Aku, sebagai penonton,
tentu terhibur. Tiga bulan sesudah resmi jadian dengan Atam, Watti
mendatangi Dedi. Ded, katanya, Watti mau masuk Islam.
Dedi yang sedang menyolder mendongak sedikit. Kenapa" tanyanya.
Atam udah serius sama Watti, Ded. Tapi syarat dari keluarganya, Watti
harus masuk Islam. Boleh ya, Ded" Watti juga pingin serius sama Kang
Atam. Kok, minta izin ke Dedi" Dedi bertanya balik, kembali membungkuk
dan menyolder. Ke Tuhan, dong . . .
Lho, Dedi kok jawabnya gitu, sih! Watti udah berdoa, minta ampun
sama Yesus. Terus, kata Yesus apa"
Ya, nggak tahu! Pokoknya Watti udah berdoa! jawab Watti sedikit kesal.
Tidak siap dengan respons Dedi.
Etra, kalau syarat dari keluarga kita apa, ya" Dedi tahu-tahu bertanya
padaku. Aku tertegun. Juga tidak siap. Hmm, gumamku berpikir-pikir. Versi
superjujur: Bawalah kakakku ini ke ujung dunia. Beri kami uang yang
banyak. Atau jadikan aku salah satu pewaris harta keluarga Subagja. Oh
ya, bikin Watti sungkem ke kakiku yang belum lepas kaos kaki.
Dedi apa-apaan sih, sahut Watti, si Etra ngapain ditanya!
Lha kamu, mau pindah agama izin ke Dedi, ya sekarang Dedi tanya aja
ke Etra . . . Ded, pokoknya untuk pesta kawin segala macem, Dedi jangan keluar
duit apa-apa. Jangan mau repot juga. Tahu beres aja. Datang terus salam-salaman, kataku akhirnya.
Dedi mengangguk-angguk. Bagus, terus, apa lagi, ya" tanyanya.
Aku mulai senang. Terus, mas kawinnya yang mahal-mahal, Ded!
Watti kan cantik, jadi harus dibeli dengan harga mahal, sambungku
sembari cengar-cengir. Kulirik Watti yang agak tersipu. Sejak kapan adikku
memuji, mungkin begitu pikirnya. ia masih belum sadar betapa lucunya
ini semua. Perkawinan ini terdengar seperti perdagangan. Watti sebagai
barang jualan harus ditebus dengan harga setinggi-tingginya. Nanti
sebelum dibawa pergi, ia harus dilap-lap, dibersih-bersihkan,
dicemplungkan ke salon untuk mengambil lulur paket pengantin. Lebih
dari itu, mereka pun harus menyamakan tegangan terlebih dahulu. Watti
harus di-step up dari 110 V ke 220 V. Dari 'hari Minggu' ke 'hari Jumat',
begitu istilah orang-orang. Kalau tidak korslet.
Kamu betul sudah siap, Watt" Dedi bertanya sekali lagi.
Insya Allah, Ded. Aku dan Dedi pandang-pandangan. Watti sungguh-sung
guh siap rupanya. Beberapa hari kemudian, secara teratur Watti dijemput dengan mobil
Mercy Tiger. Sebelum pergi, ia mengenakan kerudung dari kain tipis.
Ngapain" tanyaku. Belajar ngaji, jawab Watti, dikursusin sama Mamanya
Atam. Di atas cermin kamarnya, ditempel selembar kertas fotokopian,
bergambar sketsa seorang pria bersarung dan berpeci haji dalam kotak30 kotak bernomor. Gerakan shalat. Watti menghafalnya seperti melatih
gerak senam. Pakai hitungan: 'satu, dua, tiga, empat... lima. lima, tujuh,
delapan.' Dan aku berpikir, kenapa bukan 'enam', tapi malah 'lima' disebut
dua kali" Gerakan shalat itu yang paling vital, begitu katanya. Kalau doa masih
bisa di-lipsync, tapi kalau salah gerak bakal memalukan. Untuk berwudhu,
Watti pun menciptakan rumus hafalan sendiri yang dibikin dalam format
senandung gembira: bismillah - gosok-gosok tangan - kumuur . . .
hidung isap-isap - muka dicuci - lengan kiri-kanan - rambut-but-but kuping gosok-gosok - tengkuk-kuk-kuk - kaki kiri-kanan . . .
Tak jarang aku ketularan bersenandung. Menjadikannya soundtrack kalau
lagi di kamar mandi. Tapi, pernah satu kali aku menemukan Watti menangis di kamar.
Sambil sesenggukan ia bercerita. Siang tadi bertemulah Watti dengan
Bang Nelson di jalan, yang kini sudah jadi pendeta tingkat tinggi di salah
satu gereja Pantekosta. Setelah tahu Watti mau menikah dengan pria
muslim dan akan masuk Islam, Bang Nelson memberikan satu nats, yang
aku tak ingat apa dan ayat berapa, tapi intinya jalan keselamatan hanya
ada di jalan Kristus seorang. Di luar dari itu . . . bye-bye. Watti stres karena
tak mau masuk neraka. Ia ingin selamat di akhirat nanti, lalu jadi malaikat
Tionghoa yang cantik. Etra . . . aku mesti gimana, dong" rengeknya.
Aku pun menghela napas. Watt, kataku dalam nada bijak, radio dari
Amerika bisa bunyi nggak kalo dipakai di sini"
Watti menatapku bingung. Kulkas dari Indonesia bisa dingin nggak di Amerika"
Eh, bego. Kamu nggak nyambung banget, sih! Watti manyun.
Dengar dulu, potongku. Maksudnya gini, dua barang itu sistemnya
memang beda. Radionya Bang Nelson itu 220 volt, mau katanya sekencang
sound system stadion Siliwangi, bakal bisik-bisik kalo dipakai di tegangan 110
volt. Kulkasnya Atam, mau katanya lebih dingin dari kutub, bakal hangat
31 dan meledak kalo tegangannya 220. Jadi . . .
Alis Watti bertemu. Bibirnya mengerut.
Jadi . . . aku menepuk bahunya. Sejenak berpikir untuk diriku sendiri
dulu. Otakku berputar merangkai kata-kata. Jadi sebenarnya kamu itu
cuma pindah tegangan. Dan yang dulu neraka sekarang jadi surga, yang
dulu surga sekarang jadi neraka. Jadi . . .
Muka Watti tambah ruwet. Jadi sama-sama aja, Watt. Impas.
Lama Watti menatapku, sampai satu-satu kerutan pada wajahnya
mengendur. ia tersenyum kecil. Makasih Tra, katanya pelan. Kamu nggak
apa-apa kan kalo kita nggak seiman" Tapi tiap Natal, aku sama Kang
Atam pasti datang, bawain kue buat kalian.
Aku ikut tersenyum. Kakakku sayang, adikmu ini tidak mungkin
marah. Aku bukan barang elektronik seperti kalian yang bergantung
pada tegangan. Aku ini cuma penonton. Aku ini batu baterai. Netral, satu
setengah volt, kurus, dan cuma diam tak mengapa, yang penting tak
berkonflik. Sementara Watti sibuk menyeka air mata dan membuang ingus, aku
menatap ke luar jendela. Mataku tertumbuk pada pohon asam kurus di
pojok pekarangan. Pohon yang sudah berdiri sejak entah kapan tahu.
Tak ada yang menyadari keberadaannya. Mungkin pohon itu tak pernah
punya ambisi jadi bonsai yang dipamer dan disayang-sayang, atau menjadi
tanaman lain yang bisa ditumpangi ego manusia karena mencerminkan
keahlian pemiliknya. ia cukup dipelihara oleh alam.
Tak pernah kurenungi ini sebelumnya, tapi rasanya aku dan Dedi
memang sama untuk masalah satu itu. Ketidakhadiran kami di gereja
atau persekutuan doa bukan karena kami tak percaya Tuhan ada. Namun
kami menikmatinya dengan cara lain. Seperti pohon asam di pojok
pekarangan. Berdiri di tempat. Bahagia. Cukup.
32 ... Aku tidak berhasil menemukan cilok
Akibat persamaan tadi, aku pun sama tidak ambisiusnya dengan si
pohon asam. Aku enggan meninggalkan kota ini. Dulu
, waktu kecil, Dedi sering mengajak kami ke luar kota. Ke Jakarta, Surabaya, Malang,
Yogyakarta, Madiun, Magelang, dan . . . aku kecewa. Aku tidak berhasil
menemukan cilok di semua tempat itu. Aci dicolok. Bola mungil
bergerendil gajih sapi dengan saus sambal dan kecap tidak jelas keluaran
pabrik mana, yang mungkin nomor izin depkes-nya pun dikarang
sendiri-gabungan tanggal lahir anak-anaknya si pemilik pabrik.
Kecanduan cilok merupakan penyakit yang kuderita sejak kecil. Aku ini
konsumen setia, dari harga 25 perak dua sampai 100 perak satu. Manalah
mungkin kutinggalkan kota dengan cilok terbanyak dan terenak di dunia.
Di dunia! Tidak percaya" Sayang, aku tidak bisa membuktikannya, tapi
aku yakin sekali. Sekarang aku memang jarang makan cilok. Tapi bola aci itu sudah
berhasil mengubur dalam-dalam keinginanku untuk merantau. Aku
terlalu cinta kota ini, rumah eks Wijaya Elektronik ini. Atau mungkin
Supernova Petir Karya Dee Dewi Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aku terlalu takut tempat asing. Bagaimanapun sepi dan lengang rumah
kami, aku bertekad untuk mengurusnya.
Andai Dedi di alam roh sana bisa mengecek ke Bumi, ia pasti surprise.
Mana ia menyangka kalau anak bungsunyalah yang akhirnya mengambil
alih semua tanggung jawab di rumah ini. Jauh di lubuk hati, aku selalu
menganggap kalau Wattilah anak kesayangan Dedi. Barangkali karena
sifat keibuan (baca: cerewet) dan cah kangkung buatannya yang enak.
Sementara aku kebanyakan melamun dan tidur siang. Namun pada hari
ketujuh belas setelah engkau meninggal Ded, Wattilah yang pertama
memutuskan untuk keluar. Bahkan lebih cepat dari semua karyawan
Wijaya Elektronik. Meninggalkan aku dengan setumpuk masalah piutang
dan urusan administrasi yang-sumpah!-tidak kumengerti sama sekali.
Saking ingin keluar dari rumah, Watti dan Atam mempercepat upacara
33 ijab kabul mereka. Keluarga besar Subagja sampai harus merelakan acara
itu berlangsung sederhana di masjid tok. Pembalasan dendam akan
dilakukan sebulan setengah lagi, resepsi mewah di gedung kawin paling
top di Bandung. Begitu pesan mereka pada semua tamu.
Ketidakhadiran Dedi sebagai wali menjadi topik sentral yang
menjadikan acara itu terasa tragis seperti pemakaman. Bahu kami diremas,
badan kami dibekap, dan pipi kami ditempeli air mata. Kasihan Pak Wijaya,
tidak sempat melihat anaknya mantu . . . Kenapa begitu cepat, ya" . . .
Rencana Yang di Atas memang tidak ada yang tahu . . . Padahal Pak
Wijaya sudah sampai rela anaknya ikut agama suami . . . Kalian harus
tabah, ya . . . Etra, sok atuh, cepat-cepat cari salaki, supaya ada yang gantiin
Papah. Kalau yang lain melewati acara ijab kabul dengan linangan air mata,
aku melewatinya dengan berpikir. Memikirkan surat-surat tagihan Wijaya
Elektronik yang usianya bahkan ada yang mencapai dua puluh tahun,
terus . . . bagaimana cara nagihnya, ya" Sementara Watti dan Atam
berbulan madu ke tanah suci sembari menjalankan ibadah umroh, kakiku
diikat urusan Wijaya Elektronik. Usaha yang sesungguhnya telah lama
wafat. Jadi, rasanya seperti berhadapan dengan arwah gentayangan.
Pusing. Tidak jelas. Enam bulan lebih aku membereskan semuanya.
Sebagai sarjana ekonomi yang membenci setiap hari perkuliahan, aku
mati-matian berusaha memecahkan puzzle status keuangan Wijaya
Elektronik berdasarkan dua puluh satu buku tulis tebal bersampul batik
yang isinya semua ditulis tangan-kebanyakan oleh Dedi walau aku dan
Watti kadang-kadang ikut berpartisipasi. Contohnya, dalam buku Untung-Rugi (Dedi memakai istilah 'untung' dan bukan 'laba') tahun 1982-1983,
aku menggambar makhluk yang maunya kambing-yang dulu
merupakan hewan paling kugila-gilai-tapi jadi mirip kucing, kugambar
pakai spidol merah pada setiap halaman. Sementara Watti yang selalu
merasa dirinya bidadari atau malaikat selalu menggambar cewek bersayap
dan berhalo, bersebelahan dengan kambingku supaya ada tokoh
34 antagonis. Pada tahun 1984-1986 (karena volume transaksi menyusut
jadi cukup digabungkan dalam satu buku), aku menghujani setiap
halaman dengan stempel Hello Kitty dengan ekstra tanduk dan ekor
kambing buatan sendiri. Watti dengan stempel Little Twin Stars.
Pada akhir perhitungan, kutemukanlah bahwa hamp
ir 50% dari piutang Wijaya Elektronik tidak tertagih setiap tahunnya. Dan dengan
perhitungan inflasi, devaluasi, plus disimulasi dengan bunga bank, maka
kekayaan Dedi seharusnya mencapai: 8.756.304.005,889 rupiah!
Lama aku tercenung. Lama sekali. Mengingat menu makan kami
sehari-hari yang didominasi telur ceplok selama puluhan tahun, bajuku
yang hampir semua lungsuran dari Watti dan baju Watti kebanyakan
hasil sumbangan dari Tante-tante kami, mobil Kijang buaya pick-up yang
merupakan mobil tunggal kami untuk berbagai acara-dari mulai angkat
barang sampai ke kondangan, uang jajanku yang selalu di bawah rata-rata murid satu sekolahan, dan bagaimana aku telah jadi ekonom sejak
kecil karena harus pintar-pintar membagi sekeping 100 perak untuk dua
kali istirahat: cilok dan limun saat istirahat pertama, bala-bala dan es teh
manis untuk istirahat kedua.
Lama aku termenung. Lama sekali. Sampai akhirnya kututup semua
buku-buku batik tadi dan kurapikan ke dalam dus, membuang semua
perhitunganku ke tempat sampah. Kuputuskan untuk mengubur fantasi
8,7 miliar dan kembali menghadapi zaman baru ini tanpa sesal. Begitu
banyak yang harus dilakukan.
Aku lalu bangkit dari tempat dudukku, berdiri tegak di depan cermin.
Berpikir. Apa yang bisa dilakukan seseorang yang tak punya keahlian, tak
punya modal, tak punya pengalaman" Mataku memicing. Segaris sinar
terang seolah menembus kabut pekat di otak, mencerahkan pikiranku
yang buntu. Aku pun manggut-manggut sendiri. Hmm. Ya . . . ya. Tentu
saja: jual diri! Apa lagi"
35 ... Berhenti berpikir ke luar
Maka kujalankanlah sebuah falsafah sederhana. Berhenti berpikir ke
luar, tapi bereskanlah dulu ke dalam. Lihatlah rumah ini. . . rumah yang
berharga miliaran ini . . . betapa busuknya, bau, pengap, sumpek. Padahal
inilah modal yang bisa kujual sekaligus kubanggakan. Betapa kerennya
konsep ini nanti: Elektra, si gadis sebatang kara, mandiri dan tabah
mengarungi hidup, tinggal di rumah besar dan cantik berlokasi strategis.
Dan karena mempercantik Eleanor lebih mudah ketimbang
mempercantik si Elektra, maka kuputuskan untuk melakukan
pembersihan besar-besaran.
Dari seluruh proses itu, aku paling menikmati ketika menyingkirkan
rongsokan elektronik. Bayangkan apa rasanya hidup bertahun-tahun
dengan tumpukan televisi tahun 70-an yang tidak pernah ditebus. Belum
lagi radio, kulkas, AC . . . aku muak dengan benda elektronik. Ketika
semua sudah terangkat, aku baru sadar bahwa memang tidak ada perabot.
Selama ini aku menduduki televisi atau boks-boks karton yang padat
dipenuhi kabel. Justru kursi-kursilah yang mengalah, tersingkirkan ke
luar berhubung Dedi butuh banyak ruang untuk menyimpan barang-barang kliennya. Di luar sana, benda-benda malang itu dijemur, disembur
hujan, dihuni tungau. Bagai bangun dari amnesia panjang, satu pagi
kepalaku tergetok: hei, Elektra, sadarlah. Selama ini kalian tinggal di
gudang raksasa. Siangnya, aku langsung pergi ke jalan Cikapundung, membeli
majalah-majalah interior bekas, dan mulai menata ulang rumah kami.
Seluruh dinding serta langit-langit kucat ulang. Ubin kami yang
berwarna abu-abu itu kugosok dengan ampas kelapa dicampur bubuk
karbon dari isi baterai bekas sampai kembali gelap dan mengkilap. Membeli
beberapa helai permadani dan satu set sofa rotan sederhana. Belanja ke
Jalan Alkateri lalu mengganti tirai-tirai kusam kami dengan yang baru.
Memborong pot-pot tanaman dan menjajarkannya di halaman sampai
36 rimbun. Mencopoti puluhan kalender beraneka tahun yang tanpa alasan
jelas selalu dipajang Dedi. Membenarkan letak foto-foto keluarga kami
yang tak banyak tapi tak pernah terpasang dengan simetris. Mengganti
lampu-lampu TL yang membuat rumah kami tampak seperti warung
pinggir jalan karena dipasang secara vertikal di dinding. Kini aku
menggunakan bohlam biasa, membeli beberapa lampu duduk, dan untuk
pertama kalinya rumah kami bersinar kuning.
Kulkasku sekarang tinggal satu, tapi tidak rusak. Selain itu, aku hanya
mempertahankan sebuah televisi 21 inci yang kuletakkan di ruang tengah,
kunyalakan sekali-sekali saja karena aku masih muak dengan benda
elektronik. Aku ingi n menikmati kekosongan. Etra, kata Watti lagi, okelah kamu sudah membereskan rumah, tapi
terus apa" Kuliah kamu sudah selesai dari setengah tahun yang lalu, tapi
kamu tidak pernah cari kerja yang bener. Memangnya kamu mau buka
usaha sendiri, apa" Kalimatnya disambut jeda kosong. Pertanda aku sedang memikirkan
sebuah jawaban, atau tipuan.
Buka usaha" Memang mau! Kenapa enggak" Aku membalas mantap.
Itu tipuan. Aku cuma tidak ingin ia menjodohkanku dengan ko-as
temannya Kang Atam yang kemungkinan besar juga bakal direkrut
Freeport, lalu kami semua berbondong-bondong pindah ke Tembagapura,
hanya untuk menemani Watti memilih warna benang dan menghitung
kotak-kotak pola kristik. Maaf-maaf saja. Aku juga tidak ingin ia
menyudutkanku karena aku sarjana pengangguran, tidak punya pacar,
dan tidak pernah kelihatan punya bakat apa-apa selain kemampuanku
untuk tidur dari siang sampai siang lagi.
... Kami hanya Cina 'aspal'
Aku memang tidak pernah merasa punya bakat bisnis, biarpun
37 keluarga kami turunan Tionghoa murni yang konon sudah terdaulat
menjadi pedagang semenjak masih di dalam kandungan.
Watti pernah mengonfirmasi keraguanku. Suatu hari ia membawa
bukti-bukti bahwa kami masih ada darah Sunda-nya. Entah generasi yang
keberapa, tapi ada, cetusnya yakin. Tadinya kupikir dia hanya inferiority
complex berhubung akan menikah dengan Kang Atam yang juga berkulit
kuning seperti orang Cina tapi katanya orang Sunda asli. Dan Watti seolah-olah berusaha membuktikan bahwa mereka tidak terlalu berbeda. Aku
tidak suka itu. Kenapa bukannya Kang Atam yang membuktikan diri
kalau ternyata nenek-moyangnya juga keturunan Tionghoa" Supaya
kulit kuning dan mata sipitnya lebih memiliki sebab musabab yang jelas"
Tapi sudahlah, Watti mungkin saja benar. Kami hanya Cina 'aspal', karena
buktinya karier bisnisku selalu kandas.
Karier pertamaku adalah menjadi kaki-kaki dari seorang tante yang
juga kaki-kaki dari seorang pemuda yang mungkin juga masih seorang
kaki-kaki dari si X, yang sebenarnya tidak terlampau masalah karena kami
semua satu saudara dalam perusahaan multilevel Amway. Namun setelah
gagal menjaring kaki-kaki untuk diriku sendiri, aku memutuskan untuk
mengamputasi karierku di sana.
Karierku berikutnya diawali oleh seorang perempuan seumuranku
yang tiada hujan tiada angin tahu-tahu mengajak ngobrol di supermar-ket. Dengan penuh perhatiannya ia ikut memilihkan mangga harum
manis dari rak buah, sangat ramah, sampai-sampai menawariku pekerjaan
segala. Pergilah aku ke rumahnya, calon sahabat baruku itu. Ruang
tamunya lengang, ada banyak tumpukan dus di sana-sini. Pemandangan
yang biasa bagiku. Mungkin orang tuanya juga membuka usaha rumahan
seperti Dedi. Lama kelamaan nada ramahnya mulai berubah. Ia kelihatan terfokus,
setiap katanya memiliki tujuan. Ia pun mengeluarkan secarik kertas
kosong, kemudian mencoret-coretkan lincah gambar piramida-piramida.
Istilahnya kali ini: downline. Lebih keren, memang. Cukup untuk
38 menyumpal mulut Watti sementara waktu. ia selalu tergila-gila istilah
Inggris. Tak lama kemudian, aku mulai menjajakan produk obat-obatan,
suplemen diet, kadang-kadang kosmetik. Sudah banyak contoh sukses,
dalam satu tahun mungkin aku sudah bisa mendapat KKSM-Kredit
Kepemilikan Sepeda Motor. Tambah empat tahun, siapa tahu aku sudah
bisa mendapat KKMM, dan KKRM. Mobil mewah, rumah mewah. Dan
umurku bahkan masih di bawah tiga puluh! Ha-ha. Watti bisa terkencing-kencing.
Awalnya memang lumayan. Ada dua orang yang bisa kujaring: Yayah
dan Mimin. Yang pertama adalah mantan pembantuku sendiri, yang kedua
mantan pembantu tetangga. Tapi sesudahnya, aku tak bisa berkembang
lagi. Akhirnya kuserahkan piramida mungilku pada mereka. Aku
menyerah. Semenjak itu kucamkan keras-keras: Etra, downline tidak cocok
buatmu. Kaki-kaki juga sama. Dan, tolong, jauh-jauh dari piramida.
Satu hari aku menyadari Yayah dan Mimin hampir tidak pernah
kelihatan. Mereka terus menerus nongkrong di kantor distributor, sibuk
ke sana ke mari, sampai tiba pada satu titik tolak. Mereka menjelma
menjadi wanita-wanita karier sukses, pergi menghadap tuan-tuannya,
lalu memec at diri jadi pembantu. Minggu lalu aku bertemu dengan Yayah,
naik motor Cina yang masih kinclong, bibirnya bersaput gincu merah
darah, melambaikan tangan anggun padaku yang baru turun dari angkot.
Mantan downline-ku itu. Rupanya ia berhasil mendapatkan KKSM.
Seluruh kemampuanku rasa-rasanya sudah habis tergali. Tapi aku
belum putus asa. Selagi Watti sibuk dengan kegilaannya akan
Tembagapura, aku terus menjajaki kemungkinan teori genetika dagang
tadi. Siapa tahu" Cina asli atau Cina palsu, yang jelas Elektra tidak mudah
menyerah. Bukankah itu yang konon jadi rahasia kesuksesan ras kami"
Ulet. Gigih. Tekun. Ayo, Elektra! Maju terus! Aku masih punya jurus
pamungkas. Senjata nuklir. Tenkuken Ball, kalau di film Voltus. Pukulan
Sinar Matahari, kalau di Wiro Sableng. Ini dia jurusku: Eleanor Gempur
39 Nusantara! Ciiiii-aaaat!!
Calon mitraku pertama bernama Ibu Siska, agen baju sisa ekspor yang
langsung jatuh cinta pada rumah kami. Ini lokasi yang sempurna, katanya
berseri-seri. Tampaknya ia sudah melihat uang-uangnya di segala sudut.
Kita akan buka toko baju bayi dan anak, Dik Etra. Itu pilihan yang
paling menguntungkan untuk sekarang ini, lho, tuturnya bersemangat.
Belum apa-apa ia sudah menggunakan kata 'kita'.
Konsumen yang paling enak buat diporotin itu ibu-ibu hamil, belum
lagi kalau belanja sama mami atau mertuanya, wah, bisa segala dibeli.
Matanya mengerjap-ngerjap (uang - uang - uang!).
Aku diam dan membayangkan. Entah kenapa, aku tidak suka idenya.
Aku belum pernah jadi seorang ibu, tapi tidak adil rasanya menyerang
titik lemah naluri keibuan yang bertetangga akrab dengan naluri
pemborosan. Bukankah anaknya lebih butuh ASI dan imunisasi" Ibu Siska
tidak pernah kuhubungi lagi.
Calon berikutnya tampil lebih meyakinkan. Datang dengan mobil
BMW merah, pria itu tidak banyak bicara. Ia ditemani asistennya yang
sibuk menanyaiku macam-macam. Pak Hendrawan namanya. Yang pal-ing mengesankan darinya adalah ia mampu terus bicara dengan mulut
tertawa lebar. Aku mengamatinya hati-hati, takut beliau tersinggung.
Ukuran mulutnya memang ekstra luas. Kalau jadi kolam renang, ini dia
standar Olympiade. Si Bos hanya lirik kiri-kanan, membuka-buka ruangan, lirik atas-bawah. Berjalan dengan tangan terpaut di belakang pinggang, terakhir ia
berbalik, menatap Pak Hendrawan, lalu mengangguk sedikit.
Kami akan memberikan penawaran yang sangat menarik, Pak
Hendrawan dengan cepat berkata. Sementara aku masih mengagumi
bahasa sandi mereka berdua.
Berapa harga kontrak rumah ini setahun"
Kontrak" Aku bertanya heran. Saya nggak berniat mengontrakkan
40 rumah ini, tapi saya kepingin bermitra.
Kami berani bayar 25 juta setahun, mungkin lebih. Seringai mulutnya
melebar di kata 'mungkin lebih'.
Aku tercenung. 25 juta setahun berarti sekitar 2 juta sebulan, aku bisa
cari kos-kosan 100 ribu perak per bulan, mengantongi gaji 1,9 juta tanpa
berbuat apa-apa. Dan mungkin lebih" Hmm. Ini menarik. Memangnya
buat dijadikan tempat usaha apa, Pak" tanyaku.
Kami ini perusahaan baru, importir barang-barang dari luar negeri.
Semacam MLM lah. Mbak sudah pernah dengar" Atau mungkin si Mbak
tertarik jadi downline kami" ia tertawa. Si Bos juga ikut tersenyum kecil.
MLM = downline - kaki-kaki = piramida... aku menyesal telah bertanya.
Maaf Pak, tapi rumah ini tidak dikontrakkan, tandasku tegas.
30 juta" Untuk pertama kalinya si Bos bersuara.
Aku telah berhasil membuat patung hidup itu bicara, tapi aku tetap
menggeleng. 35" 37" 40"
Aku tetap menolak. Piramida dan Elektra bagai minyak dan air. Kami
tidak bisa bersatu. Sesudah itu ada grup pengacara, bakeri, restoran Sunda, salon, dan
kesemuanya gagal. Akulah penyebabnya. Ternyata bermitra tidak sekadar
perkara bagi keuntungan, ada banyak faktor sentimen yang bermain.
Misalnya, restoran dan bakeri hanya indah di depan, tidak di dapur. Rumah
kami pun akan ribut dan berbau-ancaman bagi tidur siangku yang mesti
tenang seperti di dalam gua beruang. Grup pengacara itu malah ingin
Supernova Petir Karya Dee Dewi Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aku hengkang dari rumah. Aku sebal melihat tampang-tampang mereka
yang sok penting, sok banyak urusan.
Ketika Watti selesai pindahan, mulai tenang, dan
kurang kerjaan, ia pun berangsur intensif meneleponku: Kamu mau ngapain" Mau jadi apa
kamu, Etra" Cari kerjalah! Katanya mau usaha" Bergerak, dong. Jangan di
rumah aja. Tidur 'mulu! Belum setengah tahun aku mencoba, tapi rasanya sudah berabad41 abad. Seperti pendekar kehabisan jurus yang akhirnya kembali jadi orang
biasa-biasa, aku pun sudah di ujung tanduk untuk kembali ke Elektra
yang kecanduan tidur siang. Sungguh, aku tidak mau kembali, tapi apa
lagikah yang tersisa" Bahkan rudal terakhirku pun tidak bisa kugunakan.
Bukan rudalnya yang nggak tokcer, aku yang bego. Aku!
Kadang-kadang, kalau sudah letih dengan teror telepon Watti, sempat
terpikir juga untuk menghubungi Pak Hendrawan dan si Bos ber-BMW
merah itu lagi. Gaji butaku. Siapa tahu masih ada kesempatan. Atau Ibu
Siska, si pemeras para calon ibu. Atau para superstar hukum itu. Siapa pun
. . . tolong . . . tolong!
. .. Yohanes 22 ayat 5 Oke, aku akan jujur: aku putus asa. Namun ada satu prinsip yang
kupegang teguh sampai kapanpun, dalilku tertinggi, Elektra's golden rule:
EBOTANG. Enggak Boleh Ngutang.
Sekalipun terpaksa mengumumkan bahwa aku telah resmi
memasuki krisis ekonomi, tetap tak ada secuilpun niat untuk melanggar
prinsip tadi. Watti sudah berkali-kali memancing-mancing: Tra, kamu
kalo butuh uang, ngomong! Aku bisa ngasih, kok. Cukup untuk biaya
kamu sehari-hari. Kalau kalian kenal Watti seperti aku, tentu tahu bahwa niat baiknya
itu seiring sejalan dengan niat pamernya kalau sekarang dia sudah punya
duit-tepatnya, punya akses penuh ke koceknya Kang Atam.
Tegas-tegas aku menolak: Nggak usah, Watt. Saya bisa cari duit sendiri.
Makasih. Terdengar tawa kecil di ujung telepon. Lalu Watti menimpali dengan
suara lembutnya: Oh iya, lupa, kamu kan calon wanita karier. Nggak
kayak aku. Ibu rumah tangga doang.
42 Kupingku panas. Hmm . . . uangnya Dedi sudah habis semua" ia bertanya lagi.
Dalam kepalaku langsung tergambar seringai segede kolamnya Pak
Hendrawan. Akan kukejar kau sampai ke ujung dunia, Pak! Sekalipun
aku naik becak dan kau dalam mobil BMW! Tidak akan kubiarkan
perempuan opera sabun ini tertawa lebih lama lagi!
Watti berkata dalam tawa renyahnya: Aneh, ya. Kamu yang sarjana,
kok, jadi yang paling susah hidupnya. Tahu gitu mendingan Dl aja kayak
aku. Masa mudanya puas, nggak kuper, bisa menikmati hidup, eh, terus
alhamdullilah dapet cowok saleh kayak Kang Atam . . .
Kepalaku panas. Bukan! Bukan saleh! Dia kaya! Kang Atam itu orang
kaya dan punya kerjaan tetap, dan kalian semua membosankaaan!! Mau-maunya dikurung di sangkar emas padahal diperah kayak sapi! Dan jangan
berani-berani menuduh aku tidak menikmati hidup! Hidupku justru
indah karena ada orang-orang seperti kalian!
Udah, deh, Tra. Cari pacar aja yang oke, yang baik, yang bisa
menghidupi kamu. Beres. Dengan ringan Watti berkata.
Dengan dingin aku menimpali: Dan harus seiman. Biar nggak jadi roh
penasaran. Maksudnya apa" Watti dengan cepat bertanya balik.
Seminggu yang lalu saya ketemu Bang Nelson, terus dia nanyain
kamu. Saya bilang kamu sudah nikah terus pindah ke Papua. Bang Nelson
mukanya sedih gitu, soalnya dia mau titip satu ayat untuk kamu. Tapi
sudah telat. Ayat yang mana" Suara Watti langsung tegang.
Yohanes 22 ayat 5: Ketahuilah, barang siapa yang menukar kasih Yesus
demi cinta pada kekasih akan tersesat, dan baginya pintu semua surga
tertutup selama-lamanya. Aku berbicara tanpa diputus napas.
Sejenak tak ada suara. Baru kemudian kudengar Watti terbata-bata:
Ta-tapi, kan, kamu bilang aku bakal impas. Kalo pintu surga yang ini
43 nutup, yang sana bakal kebuka...
Sori, Watt. Ternyata saya salah. Dalam ayat dari Bang Nelson, jelas-jelas ditulis 'semua'. SEMUA pintu surga, jadi... nggak ada yang terkecuali.
Kuhela napas berat. Mengesankan keprihatinan yang dalam.
Lama kembali tak ada suara.
Haluuu" panggilku. Udah dulu, ya, Tra. Nanti aku telepon lagi. Salam buat Bang Nelson
kalo ketemu, ujarnya bergetar.
Tanpa perlu dibayangkan, aku sudah tahu bentuk ekspresi Watti detik
itu. Bibir gemetar. Air mata mengumpul di pelupuk mata, tinggal tunggu
jatuh. Tangan tremor sedikit.
Seminggu ber ikutnya menjadi minggu yang terindah. Terhibur
dengan membayangkan Watti pontang-panting kebakaran jenggot.
Menontonimu bertahun-tahun membuatku tahu persis, Kak. Obsesimu
pada akhiratlah yang membuat 'Tuhan', 'Surga', dan 'Neraka', menjadi
tombol panas yang siap menyulutmu menjadi mercon tak terkendali.
Tepat seminggu, yakni pada hari Minggu malam, Watti meneleponku.
Ngamuk-ngamuk. Lalu memusuhiku sebulan lebih, yang merupakan
sebulan nan lebih indah lagi karena sejenak menghentikan segala teror
teleponnya. Di Tembagapura sana, Watti rupanya panik berat karena sudah tak
pegang Alkitab. Minggu sore, Watti pun diam-diam ke gereja untuk minta
ampun, lalu berkonsultasi dengan pendeta setempat. Bersama-sama
mereka membuka Alkitab demi merenungi ayat yang dimaksud, dan
terkejutlah mereka, ya Watti, ya si pendeta karena sudah terlebih dahulu
acc dengan semua yang kuomongkan. Kitab Yohanes cuma sampai pasal
21. Tidak ada pasal 22. Aku juga tidak tahu itu. Apalagi Bang Nelson yang cuma kupinjam
namanya. 44 ... Tarian memanggil petir dari alam bawah sadar
Sayangnya, otakku tidak bisa sekreatif tadi menghadapi krisis keuangan
ini. Aku menikmati hari-hari malasku dengan rasa bersalah. Sadar bahwa
harus melakukan sesuatu, cuma belum tahu apa. Sekarang masih bisa
makan pakai dua butir telur sehari, entah sampai kapan itu. Kalau begini
terus, aku harus siap membagi satu butir untuk-dua kali makan. Kembali
ke masa-masa sekolah yang serba susah dengan uang jajan tak sesuai
UMR. Selama ini aku bertahan hidup dari tabunganku sendiri. Tapi gara-gara mempercantik rumah, dengan cepat uangku menipis. Uang warisan
Dedi sengaja kudepositokan. Jumlahnya memang tak seberapa, jauhnya
dari 8,7 miliar seperti langit dan sumur, tapi lumayan buat cadangan.
Menabung merupakan satu dari sedikit hal yang kubanggakan. Bicara
masalah persistensi, belum tentu ada yang sesabar aku dalam masalah
menabung. Celengan pertama: ayam jago warna-warni, bahan tanah
liat. Celengan kedua: ayam betina warna oranye, bahan sama. Celengan
ketiga: wadah plastik bekas sabun colek B-29. Celengan keempat: gentong
biru raksasa, bahan plastik. Celengan kelima: sebuah buku bank yang
merupakan gabungan keempat celenganku.
Hari menyetor ke bank pertama kali menjadi hari paling
menegangkan. Untuk memperkecil kemungkinan dijambret, aku diantar
Dedi dan Mang Muslim, pegawai kepercayaannya. Dikawal dua bapak
besar itu aku menjinjing berkresek-kresek uang receh seperti Paman
Gober dengan pundi-pundi uangnya. Setiap orang yang mendekat
kupandangi bengis. Sejak dulu, bagiku tabungan bukan sekadar
penimbunan uang, melainkan tugu prestasi. Bukti bahwa ada potensi
sifat rajin dalam diriku. Tak peduli itu dibuktikan dengan koleksi uang
lima perakan. Hobi menabung ini pun sepertinya sudah digariskan takdir. Pasti bukan
45 kebetulan. Coba kalau Watti bertukar posisi denganku sekarang, lauk
nasinya sudah pasti cuma garam. Anak itu terlampau tak sabaran dan
terlalu banyak mau. Baru terkumpul lima ratus, sudah pingin ke Pasar
Kosambi beli bando baru. Baru terkumpul seribu lima ratus, sudah pingin
borong produk Sanrio di Hoya. Namun, sejak dulu Watti percaya
hidupnya tidak akan pernah susah. Selalu ada manusia lain yang bakal
memenuhi segala impiannya tanpa repot-repot mengotori tangan sendiri.
Dan tampaknya, keyakinan itu membuahkan hasil.
Apakah aku iri" Tidak. Aku bosan. Aku, yang tabah menabung dengan
satuan lima perak, akhirnya bisa berkata: bosan. Bosan nganggur. Bosan
nonton teve. Bosan tidur. Bosan goreng telur. Bahkan badanku sudah
memberikan sinyal-sinyal kemuakannya pada protein. Di pantat kiri mulai
muncul bisul. Yang di sebelah kanan muncul tepat di garis celana dalam.
Sakit sekali. Malam itu, hujan turun sangat dahsyat, yang merupakan puncak
amukan musim hujan tahun itu. Jalan tergenang air. Selokan meluap.
Pohon-pohon mahoni tua yang berjajar di jalanan rumahku sebentar
lagi akan kehilangan beberapa ranting besarnya. Aku pun memandangi
jendela . . . eras! Cras! Cras! Kilat menyambar-nyambar. Aku mengeluh
sedih. Gerakan mereka yang dinamis seperti joget Michael Jackson bikin
aku tam bah mutung. Betapa membosankannya tersekap di rumah ini.
Sekian lama berdiri di tepi jendela, memori masa kecilku merasuk
masuk. Aku teringat betapa senangnya dulu memandangi kilatan petir.
Aku tidak ingat kenapa. Justru itulah yang ingin kucari tahu. Kalau dulu
otakku belum terlalu kritis untuk bertanya, nah, sekarang, dengan
tumpukan protein telur ayam ini, masa sih otak Elektra nggak bisa
berkembang sedikit dan mulai penasaran mencari jawaban" Ke-na-pa -ku su-ka pe-tir"
Maka berlarilah aku keluar, mumpung sekarang tidak ada karyawan
Dedi yang bakal menggiring masuk. Aku ingin hujan-hujanan,
46 menyaksikan langsung bagaimana petir beraksi, dan barangkali
kutemukan jawabnya. Ternyata, ketika kita biarkan air hujan mengalir tanpa dilawan,
rasanya nikmat sekali. Kalau kita biarkan kaki kita telanjang menyentuh
becek tanpa takut cacingan, rasanya sangat membebaskan. Berlarilah
aku mengelilingi pekarangan depan. Kutampari genangan air di rumput
dengan telapak kaki ini. Kecipak-kecipuk. Dunia indah, teman-teman!
Entah berapa lama aku begitu, yang jelas sampai tukang warung di
depan ikut keluar dan menatapku bingung, angkot melambat dan
supirnya melongokkan kepala. Ada cewek cakep pakai kaos panitia gerak
jalan '89 dan celana pendek batik jingkrak-jingkrak berhujan-hujan.
Tiba-tiba, dari langit sana, selarik cahaya perak merobek datang, lebih
cepat dari apapun yang kutahu. Tidak aku, tidak supir angkot, atau tukang
warung yang sanggup mengantisipasi. Aku menjerit kaget ketika petir
itu menyambar pucuk pohon asam di sudut depan kebun, yang jaraknya
hanya lima meter dari tempat aku jingkrak-jingkrak. Pohon kurus kurang
gizi itu kebakaran. Tukang warung di depan langsung lari menyeberang, beberapa or-ang juga muncul berlarian, bahu membahu kami menarik selang lalu
membanjur pohon malang itu. Dibantu hujan dari atas. Tak lama, api
padam berganti asap hitam mengepul. Dada kami semua naik turun.
Ngos-ngosan. Kunaon(Kenapa), Neng" Pak tukang warung bertanya heran. Aku bengong,
kenapa malah aku yang ditanya" Bukan tanya geledek" Satu dari mereka
yang belakangan kuidentifikasi sebagai kenek angkot ikut bertanya: Itu
Neng yang manggil" Aku tambah melongo. Lalu kutatap langit. Apa
yang baru kulakukan" Apakah itu tarian memanggil petir dari alam bawah
sadar" ...STIGAN Besoknya aku sakit flu. Lumayan, nafsu makan menurun, jadi ada
biaya yang bisa dihemat. Stok obat Cina peninggalan Dedi juga masih
banyak. Tidak perlu beli lagi. Dan jangan ungkit-ungkit soal tanggal
kadaluarsanya. Kalau sudah ekonomi susah begini, masih ada obat yang
bisa ditelan juga syukur.
Hidup ini lucu betul. Baru saja mengalami kebosanan akut, sekarang
diberi sakit flu pula. Seolah-olah ada pihak di luar sana yang menginginkan
aku mati. Tentunya bukan gara-gara flu, melainkan mati bosan. Seperti
apa gerangan jenazah yang mati bosan" Bukan membelalak ngeri, yang
pasti. Jangan juga diam biasa-biasa. Orang yang mati bosan sebaiknya
matanya menggantung, seperti setengah tidur. Ujung bibirnya turun
sedikit. Kulit di jidat berkerut. Aku mencoba di depan cermin dan kaget
sendiri. Gila, jelek amat hasilnya.
Namun, kuberitahukan hal ini kepadamu, wahai kawan. Pada saat
engkau mengira telah berhasil menebak logika hidup, pada saat itulah ia
kembali memuntir dirinya ke arah tak terduga dan jadilah kau objek
lawakan semesta. Pada hari yang kupikir akan menjadi Hari Bosan Nasional, aku justru
mengalami hal teraneh seumur-umur. Sama-sama pakai buntut Nasional,
tapi . . . eits! Jangan nyontek ke bawah dulu! Mari kuceritakan
kronologisnya: Pukul 08.30: Bangun tidur. Mengorek belek. Tak ada yang spesial.
Pukul 08.45: Mandi air hangat. Keramas dengan sisa sampo terakhir
yang sudah dicampur air. Masih biasa saja.
Pukul 09.05: Bikin indomie buat sarapan. Standar.
Pukul 09.30: Minum Lo Han Guo campur minyak Se Chiu lima
48 tetes. Pedes, pedes deh. Dan . . . eng-ing-eng!
Saat sedang mengaduk ramuan kreasiku itu, tiba-tiba mata ini
tertumbuk pada selembar amplop putih yang terselip di depan pintu.
Kuhampiri surat itu. Ada namaku tercetak tapi tidak ada nama pengirim.
Betul-betul kejadia n langka. Bukan gara-gara identitas pengirim tak jelas,
tapi seorang Elektra . .. dapat SURAT! Ini luar biasa. Karena tagihan iuran
RT bulan ini pun masih pakai nama Dedi.
Sambil menyedot ingus, aku membuka surat tersebut. Ada empat
lembar. Semuanya pakai kop surat dan diketik komputer. Tertulis besar-besar:
STIGAN Sekolah Tinggi Ilmu Gaib Nasional
Ingusku macet di tengah-tengah. Mataku membesar seperti lensa
kamera di-zoom. Surat itu dimulai dengan embel-embel: No., dan Perihal.
Pada bagian nomor menderetlah segenap simbol-simbol aneh, bukan
angka. Tahun yang dipakai juga tahun Saka, bukan Masehi. Perihal:
Undangan Mengajar. Hangat terasa merembesi lubang hidung. Buru-buru aku menyambar
tisu, membaca lebih lanjut: Salam sejahtera, begitu katanya, kami adalah perguruan
tinggi ilmu gaib pertama bertaraf internasional di Indonesia, dan tahun ini kami membuka
lowongan bagi tenaga pengajar. Berdasarkan 'teropong batin' yang dilakukan saksama oleh tim
rekrutmen STIGAN, nama Anda terpilih sebagai kandidat yang akan diseleksi untuk menjadi
Asisten Dosen. Apabila Anda berminat, lamaran dan CV cukup dikirimkan lewat semadi. Untuk lamaran
dan CV tertulis dapat Anda letakkan di kuburan terdekat bersama kembang tujuh rupa,
kemenyan madu, dan minyak jakfaron. Kurir gaib STIGAN akan mengambil lamaran Anda.
Wawancara jarak jauh lewat semadi akan kami lakukan pada pukul 2 dini hari terhitung 10
49 (sepuluh) hari dari sekarang. Apabila Anda lolos seleksi, akan kami kirim kata sandi lewat
mimpi dan Anda diharapkan untuk datang ke lokasi pada hari yang sudah ditentukan.
Pada baris paling akhir tertulislah nama pengirim: Joko Gosong Sambar
Geledek. Lengkap dengan secarik kain kafan yang ditimpa tanda tangan
seperti materai. Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Pusing. Jariku mulai
gemetaran. Apa-apaan ini" Pasti ada yang salah. Tidak mungkin aku jadi
kandidat mereka. Bisa apa aku" Dan ini sekolah yang sangat mengerikan.
Kirim CV ke kuburan! Gila. Gila. Gila.
Panik, kuselipkan surat itu ke dalam Alkitab lama Watti, yang banyak
garis-garis Stabillo-nya. Berharap semoga kekuatan setan atau kuasa sesat
Supernova Petir Karya Dee Dewi Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
apapun yang dikandung surat itu bisa ditengking pergi oleh ayat-ayat
suci. Terakhir kali aku menyelipkan surat ke Injil adalah waktu kelas 1
SMP. Surat berantai wasiat Dewi Kwan Im yang kalau tidak didistribusikan
ulang ke minimal dua puluh orang, si penerima bakal dimakan buaya,
atau diperkosa terus jadi gila, sementara yang patuh mengirimkan jadi
menang undian, jadi jutawan, dan sebagainya. Pada waktu itu aku cuma
bisa pasrah kena tulah karena tidak punya uang beli perangko. Satu-satunya usahaku adalah menetralkan kutukan dengan menyelipkannya
ke kitab suci, sesuai dengan nasihat Watti. Tapi kasus itu tidak ada apa-apanya dibandingkan ini.
Seharian aku kepingin nangis karena ketakutan. Untuk pertama
kalinya, aku kangen Watti. Ya, nasib. Anak sebatang kara begini, harus
mengadu pada siapa" Baru pada siang hari, akal sehatku kembali. Kepanikan perlahan
berganti menjadi rasa penasaran. Analisa pertama, cara surat itu bisa
sampai ke rumah. Ada perangko dan cap pos. Jadi, benarkah itu gaib"
Tidak tahu. Tapi, kalau sudah punya kurir gaib kenapa masih pakai jasa
Departemen Pos & Giro" Lalu kenapa suratnya tidak mendarat di tempat
yang lebih ajaib" Tahu-tahu muncul di atas bantal, misalnya. Masa cuma
di kolong pintu! Analisa kedua, mistisisme sedang tren. Majalah horor,
50 klenik, dan iklan dukun ada di mana-mana. Orang yang punya ide bikin
STIGAN pasti korban mode doang. Nggak serius.
Namun segalanya tak sama lagi. Timbul perasaan aku sedang diawasi.
Ketika cuci piring, ketika nyapu, ketika pipis--moga-moga mereka punya
kebijakan untuk tidak mengawasi sedetail itu, ketika suara jalan menyepi
dan tinggal hening, aku jengah. Ingin cari ribut. Ketika mau merem,
mataku mencari bentuk-bentuk berwajah dalam remang kamar.
Kesendirian yang tadinya begitu nikmat sekarang menjadi teror sunyi.
... Di balik kutang Ni Asih
Watti bilang dia punya jatah untuk mendatangkan seseorang ke Papua,
asal hubungannya jelas. Belum pernah hubungan darahku dengannya
memiliki keuntu ngan yang jelas, sampai hari itu. Dialah satu-satunya
tiketku keluar dari pulau Jawa. Sekalipun kurir gaib bisa menempuh jarak
Bandung-Cimahi dalam sekedip mata, dan Bandung-Surabaya, yah, tiga
kedip, tapi kalau disuruh menyeberang laut" Belum tentu. Santet bisa
rontok. Apalagi ini pulau Papua, yang tiket pesawatnya sama mahal
dengan terbang ke Belanda. Tembagapura menjadi tempat pelarian yang
sempurna. Ketika sedang mengantre di wartel, tahu-tahu seseorang menowelku
dari belakang. Teh(Kak) Etra! Nelepon kabogoh(Pacar), ya . . .
Suara manja dan gerakan menggelendot itu hanya dimiliki oleh Yayah
seorang. Mantan pembantu, sekaligus mantan kaki kiriku. Tampak kepala
Mimin nongol di balik bahunya. Mantan kaki kananku. Oh, reuni piramida
nan bahagia! Aku pun tersenyum lebar-lebar.
Eeh, Yayah, Mimin, kumaha" Damang"(Bagaimana, Sehat") Aku balas menowel--adaptasi
dengan kode pergaulannya.
Teh Etra, main atuh ke tempat kos! Meuni sombong(Sombong amat ). Yayah menowelku
lagi. Yayah, dong, yang main ke rumah. Kan saya nggak tahu kalian kos di
mana. Aku balik menowel, dan kapankah proses towal-towel ini berakhir"
Hayu, atuh!(Ayo, dong ) Sekarang aja. Tapi kita kontak klayen-klayen dulu sebentar.
Besok ada janji presentasi.
Sungguh aku terharu melihat perkembangan mereka. Begitu fasihnya
mereka menggunakan istilah 'presentasi', 'kontak', 'klien'-pakai
pengucapan Inggris pula. Kita kepaksa kontak dari wartel. Abis henpun kita baru hilang. Mimin
ikut nimbrung. Handphone hilang" Duh, sayang amat. Hilang di mana" tanyaku, prihatin
sungguhan, atas nasib mereka dan atas nasibku sendiri yang masih ngantre
telepon SLJJ di wartel karena tak sanggup bayar tagihan telepon rumah.
Boro-boro mimpi punya ponsel.
Dicopet, Teh. Tapi sekarang kita lagi usaha, mau ditarik balik.
Ditarik balik gimana"
Ke orang pinter. Langganannya yang di kantor. Jagoan pisan(Banget), Teh.
Mmm . . . Bisa apa lagi dia"
Wah, sagala rupa()Segala macam. Ngeramal, masang susuk, nyembuhin . . . apa aja bisa.
Kuputuskan untuk ikut mereka malam itu juga. SLJJ ke Tembagapura
ditunda untuk sementara. Kalau masih ada peluang untuk lolos dari
Joko Gosong tanpa perlu terjerumus ke sarang Watti, sekecil apapun itu,
sudah pasti akan kukejar.
Tempat praktek si orang pintar, yang dipanggil Ni Asih, hanya beda
52 dua gang dari tempat kos Yayah dan Mimin. Berhubung pasien Ni Asih
sedang ramai, kami menunggu dulu di kosan.
Mereka senang sekali aku bisa mampir. Tak henti, keduanya berceloteh
tentang suka-duka menjadi wanita karier di dunia multilevel. Yayah dan
Mimin telah meyakinkanku bahwa manusia dapat bertransformasi total.
Kamar kos mereka dicat dua warna. Satu sisi kuning muda, sisi lain
hijau muda, dengan satu set seprai bercorak ramai yang senada. Aneka
foto terpajang meriah di dinding: duo Yayah-Mimin beserta kaki-kaki
mereka di Jonas Studio, Yayah dan Mimin hasil permak Malibu Studio,
Yayah dan kekasih, Mimin dan kekasih. Teve 14 inci warna kuning merk
Luan Jing lengkap dengan VCD player Sony-Sony-an. Dan di atas meja
rias yang padat oleh alat make-up, tergeletak dua wig sintetis model artis
sinetron (maaf, aku tidak bisa menggambarkannya dengan lebih baik.
Tapi kalian tahu yang mana yang kumaksud, kan" Wig model bulat, pendek
setengkuk, berponi, dan tepat di ubun-ubun melonjak tinggi seperti
ombak pasang"). Yayah kemudian memutar sebuah kaset. Lagu barat. Aku melirik
bungkusnya: Westlife. Lalu kulirik Yayah yang ikut bernyanyi sambil joget-joget kecil.
Teh, mau" Mimin menyodorkan seboks A-Mild Menthol.
Aku menghela napas. Lambat dan berat, kepala ini menggeleng.
Mimin menyalakan sebatang, lalu selonjoran di atas kasur. Meraih
buku yang tersimpan di sebelah bantal: 7 Habits of Highly Effective People.
Tujuh Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif. Stephen R. Covey.
Cukup sudah. Kuambil boks rokok itu, ikut menyalakan sebatang.
Asap rokokku mengepul-ngepul seperti orang bakar sate, pertanda jam
terbang yang kurang. Tapi mana aku peduli. Sesuatu HARUS dilakukan
untuk menyeimbangkan semua ini.
Kabogoh siapa sekarang, Teh" Dengan senyum jahil, Yayah bertanya.
Tak lupa, tangannya men owel kakiku. Mulai lagi. Nggak ada, jawabku sekenanya. Kutowel kakinya balik.
53 Euleuh! Masa nggak ada terus dari dulu! ia menepak kakiku pelan.
Aku cuma nyengir. Masam. Kutepak balik kakinya, pakai tenaga.
Cari, atuh . . . jaman sekarang mah perempuan kudu(Harus) usaha.
Cowok-cowok Cines kan pada jago bisnis, rajin-rajin, nggak kayak orang kita.
Kararedul(Malas-malas), Teh! Yayah mengernyit sambil mengipas-ngipas tangannya
seperti kegerahan. Kamu-kapan kawin" Aku mengalihkan bola panas itu.
Ditanya begitu, Yayah tertawa. ia mencolek Mimin: Min, tuh, ceunah(Katanya), kapan kawin!
Mimin mengangkat wajahnya sedikit dari buku Stephen R. Covey
lalu berujar santai: Ah, kita mah mau karier dulu . . .
Pukul sembilan tepat, aku tinggalkan kerajaan mungil yang penuh
dengan tapak-tapak sukses itu. Kembali bergulat dengan nasib.
Menghadap Ni Asih yang sudah menunggu.
Ni Asih mengingatkanku pada sosok perempuan tua dalam karangan
anak SD yang mengkhayal berlibur ke rumah nenek di desa. Tubuh
mungilnya dibungkus kebaya, bersuara lemah lembut, kerap bercakap
dalam bahasa Sunda halus yang membuatku terbata-bata mengikuti.
Mangga, bade aya peryogi naon, Geulis.(Silakan, ada keperluan apa, Cantik.) Ni Asih dengan halus berkata,
matanya memandang ke sembarang arah.
Begini, Ni. Aku mencoba menangkap arah matanya, tapi tak berhasil.
Saya dapat surat dari sekolahan ilmu gaib, minta saya jadi guru. Saya jadi
takut, Ni. Takut diapa-apain sama mereka, kan mereka mah gaib, saya
enggak. Soalnya, saya nggak mau kerja di sana. Saya nggak ngerti yang
gaib-gaib . . . Neng namina saha"(Namanya siapa") ia memotong.
Elekt-Etra, Ni. Upami bapa namina saha, Bageur"(Kalau bapak namanya siapa, Baik")
Wijaya. Etra binti Wijaya, ia mengulang. Ni Asih diam sejenak, matanya
terpejam. Tiba-tiba tubuh renta itu bergetar, mulutnya komat-kamit
membaca doa, dan dalam waktu kurang dari tiga menit ia hadir sebagai
manusia baru. Posenya yang tadi melipat manis, sekarang bersila. Mukanya
tertarik kencang. Tangannya meraih sesuatu, dan aku terperanjat: Gudang
Garam Merah! Diisapnya gagah bak jawara turun gunung. Dan mata itu
terus terpejam. Hrrgghmm . . . ia menggeram. Suara itu, tak lagi mengingatkanmu
akan kehalusan nenek di desa, melainkan sound system tujuh belas
Agustusan tingkat RT. Suara Ni Asih kini turun satu oktaf, pecah, sember.
Bahaya ieu mah . . . bahaya pisan . . . Ni Asih versi preman itu geleng-geleng kepala.
Dudukku langsung menegak. Bahaya kumaha, Ni"
EH! Ni Asih menyentak . Nepangkeun heula, atuh! Sim kuring teh Aki Jembros!(Kenalan dulu, dong! Saya Aki Jembros!)
Ia mengulurkan tangan, menunggu untuk dijabat.
Untuk kedua kalinya aku percaya bahwa manusia dapat
bertransformasi total, menuju satu bentuk yang tak terduga. Siapa sangka
tubuh imut itu ternyata muat untuk dua orang, 2 in 1. Nenek manis
bernama Ni Asih dan preman gunung bernama Aki Jembros.
Ragu, kusambut tangannya. Jabat tangan kami cocoknya terjadi di
setting terminal. Kencang dan kasar.
Euh, euh, euh . . . ieu mah abot! Abot!(Wah, wah, wah ... ini berat! Berat!)
Aki Jembros garuk-garuk kepala.
Masih parawan(Perawan) Neng teh"
Aku terkejut dengan pertanyaannya. Kalau Ni Asih yang tanya, masih
okelah. Tapi kalau Aki Jembros, nanti-nanti dulu. Apa hubungannya
keperawananku dengan ini semua" Dasar bandot.
Masih, jawabku ketus. Keur diarah Neng teh! Diincar! teriaknya lagi.
Ludahku terasa seret. Sama siapa, Ki"
Anu nyeratan ka Neng teh sakomplot siluman nu ngabutuhkeun darah parawan!(Yang mengincar Neng adalah sekomplot siluman yang membutuhkan darah perawan.)
Cik, Neng teh dititah naon wae ku maranehna"(Coba, Neng disuruh apa saja oleh mereka" )
Mm-saya disuruh kirim surat lamaran ke kuburan, pakai kemenyan,
kembang tujuh rupa, minyak jakusi . . .
Emh! Eta pisan!(Itu banget!)
sela Aki Jembros sambil memukulkan tangannya ke
udara. Gimana, dong, Ki" Biar saya selamat. . . ratapku putus asa.
Cik, ku Aki ditangtang heula silumanna,(Coba, oleh Aki ditantang dulu silumannya) katanya.
Sebagai kuda-kuda, dikepulkannyalah Gudang Garam Merah itu bertubi-tubi, sampai
seluruh mukanya tertutup asap.
Lima menit ke depan adalah proses Aki Jembros bernegosiasi dengan
komplotan siluman yang dimaksud. Proses yang tampaknya melelahkan.
Bolak-balik ia menggeram, bergetar, sesekali meludah ke tempolong.
Sampai akhirnya ia 'kembali' dengan peluh bermunculan di tepi dahi.
Aki tiasa nyalamatkeun Neng, tapi syaratna heurat.(Aki bisa menyelamatkan Neng, tapi syaratnya berat), katanya dengan napas
ngos-ngosan. Dan apa yang lebih berat dari menyumbangkan darah untuk siluman"
Aku pun berkata mantap: Saya siap, Ki.
Syarat itu ternyata ada di balik kutang Ni Asih. Aki Jembros merogoh
dan mengeluarkannya pelan-pelan: sebilah keris mini berwarna hitam
pekat. Panjangnya paling hanya dua ruas jari. Cocok jadi suvenir kawinan.
Tangan kirinya tahu-tahu menjepit daguku, menariknya ke bawah,
hingga mulutku menganga. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Mataku saja
membelalak selebar-lebarnya ketika keris yang bersemayam di lipatan
dada Ni Asih dibawa masuk ke mulutku oleh tangannya yang getar
gemetar. Keris itu lalu dibaringkan sekian detik di atas lidah.
Puih. Puah. Baunya wangi menusuk. Rasanya ajaib. Asin, kecut, dan
hidup! Seperti bawang merah yang ketika sudah habis tertelan pun rohnya
masih menggeliat-geliat di lidah. Kemudian keris hitam itu dicelupkan
ke dalam segelas air putih. Sok, dileueut,(Silakan, diminum ) perintahnya.
Aku minum dengan semangat. Sekalian ingin mengeyahkan rasa
aneh itu jauh-jauh. Aki Jembros kini merokok santai. Tos, ayeuna mah(Sudah, sekarang sih.)
Tos tenang, tos beres. Itu saja" Aku selamat dari siluman pemangsa perawan dengan minum
air putih dan lidah ditempeli keris suvenir"
Sok, aya kabutuh naon deui"(Silakan, ada keperluan apa lagi") Aki Jembros menawarkan.
Mmm . . . pingin punya kerja, Ki. Saya pengangguran, ucapku malu-malu.
Aki Jembros menyalakan batang rokok kedua, lalu memintaku datang
mendekat. Kedua tangannya diletakkan tepat di depan mukaku, dan tiba-tiba ia berteriak: WAH! KACOW!
Kacau-kacau gimana, Ki" Aku langsung resah. Benar, kan!
Kesialanku selama ini pasti akibat guna-guna. Santet menahun. Kutukan
sejak bayi. Neng teh katutupan ku angkara murka. Jeung ku kotoran hate. Jeung ku sipat
males. Malesna . . . iiih, euweuh dua!(Neng tertutupi angkara murka. Dan kotoran hati. Dan sifat malas. Malasnya tidak ada dua! ) Ia bergidik jijik.
Antara tertohok dan tersinggung, mukaku pun memerah. Kalau
cuma menganalisa penyakit malas, tidak usah jauh-jauh aku ke mari.
Cukup bercermin dan mendiagnosa sendiri. Satu dunia pun sudah tahu
aku ini pemalas. Bisa sembuh, nggak" desakku padanya. Itu yang penting.
Jangan cuma bisa menghina.
Tiasa, tiasa. ia mengangguk-angguk. Ngan syaratna heurat, Neng.
Kalau tadi yang keluar keris, sekarang apa lagi, ya, kira-kira! Lebih
karena penasaran dengan barang-barang yang tersembunyi di balik
kutangnya, aku kembali berkata mantap: Siap, Ki.
Aki Jembros meletakkan rokok, bersiap mengguncangkan Bumi lagi.
Dan setelah bergetar-getar sekian lama, tangan kirinya pun mulai
bergerak. Aku mengamati saksama... lho, kok" Tangan itu bukan bergerak
ke arah dada, melainkan menyisip masuk ke bawah perut, merogoh-rogoh sesuatu . . . mampus! Aku terlonjak kaget. Apapun yang keluar
nanti, aku sudah tak mau tahu!
Cepat-cepat, aku berusaha menahan: Ni-eh, Ki, atos we, Ki. Nggak
usah. Nggak jadi. Nggak usah repot-repot . . .
Tapi baik Aki Jembros maupun Ni Asih tidak mendengarkan sama
sekali. Barangkali sedang nanggung.
Suaraku meninggi: Ki! Nggak usah, Ki! HOI!
Tangan itu terus bergerak-gerak di balik kain.
Aku mulai berteriak-teriak: AKI! ATOS, KI! HEUP! STOP!
Pada saat-saat terakhir sebelum tangan itu keluar dari kain, spontan
aku melompat bangkit dan menahan bahunya. Dan terjadilah sebuah
peristiwa tak terlupakan, setidaknya oleh keluarga besar Ni Asih dan
lingkup RW setempat: aku menyetrum Aki Jembros (+Ni Asih).
Suatu muatan listrik telah teralirkan dari/atau melalui tubuhku, ke
tubuhnya. Tak bisa kuukur berapa kekuatannya. Yang jelas, Ni Asih
terkejang-kejang, menggelepar, kemudian pingsan. Bola mata hitamnya
lenyap, tinggal putih-putih doang. Kejadian itu berlangsung sangat cepat.
Tanga nku hanya menempel sekian detik, lalu refleks aku melepaskan
pegangan, dan tubuh itu pun melorot jatuh.
Tak sampai lima menit, ia kembali bangun. Kalau saja aku tidak
berteriak memanggil orang-orang, barangkali kejadiannya tidak seheboh
itu. Hanya jadi rahasia kecilku dengan Ni Asih. Muka keriput itu pucat
pasi menatapku yang memangkunya sambil memercik-mercikkan air.
Yayah, Mimin, dan keluarganya sudah ramai berkerumun. Semua orang
bersuara. Panik. Andai yang jatuh itu manusia biasa, mereka pasti tenang karena ada
Ni Asih si penyembuh. Masalahnya, yang KO justru satu-satunya orang
Supernova Petir Karya Dee Dewi Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang punya kemampuan menyembuhkan. Hingga terjadilah
pertengkaran dalam tubuh keluarga. Apakah etis membawa Ni Asih ke
dokter" Ni Asih yang mampu menyihir lenyap tumor ketika dokter-dokter
di rumah sakit menyerah" Pantaskah Ni Asih vang sakti mandraguna
didiagnosa oleh dokter jaga yang baru keluar sekolah kemarin sore" Namun
ketika Ni Asih menunjukkan tanda-tanda kalau dirinya tidak apa-apa,
pertengkaran pun menyusut. Fokus beralih padaku.
Ni Asih yang bungkam seribu bahasa dan aku yang cuma bisa
ngomong berulang-ulang 'saya cuma megang! cuma megang!', akhirnya
menghasilkan sekian banyak spekulasi yang terus berkembang dari mulut
ke mulut. Padahal kalau mau jujur, kami berdua benar-benar tak tahu
apa yang terjadi. Cuma Yayah dan Mimin yang masih punya sensibilitas cukup sehingga
mereka tetap bersikap biasa. Terima kasihku pada Stephen R. Covey.
Sudah dua kali mereka mampir ke rumah untuk menyampaikan versi
cerita baru yang beredar. Salah satunya, aku adalah turunan ke-13 musuh
bebuyutan nenek moyang Ni Asih yang ingin merebut hak milik atas Aki
Jembros. Diam-diam, aku juga menyiapkan cerita tandingan: Ni Asih sebenarnya
nenek malang yang terkena Split Personality Disorder. Masa kecilnya yang
pahit karena sering disiksa ibu tiri dan korban pelecehan seksual paman
tiri akhirnya membuat Ni Asih menciptakan sewujud Aki Jembros sebagai
teman dalam kesendirian. Seiring bertambahnya usia, Ni Asih pun semakin
lihai mengendalikan tombol on-off antara dirinya dan manusia
59 imajinernya. Lalu bagaimana dengan semua kesaktian itu" Itu semua
hoki. Ceritaku pasti tak akan laku, dan agaknya memang tak perlu.
Sungguh. Aku tak punya niat mendiskreditkan reputasi Ni Asih.
Perasaanku mengatakan, aku dan dia tetap akan menjaga rahasia kecil
kami. Bahwa, semua itu merupakan ketidaksengajaan yang tak bisa
dijelaskan. Bahwa, di tangan kirinya yang menggelepar Ni Asih
menggenggam sejumput rambut kemaluannya. Bahwa, aku telah
melakukan hal yang tepat untuk tidak membiarkannya menyuapiku
dengan . . . permisi, aku mau muntah.
... Dan aku menangis Keadaan tidak menjadi lebih baik. Selain STIGAN, belum ada lagi
prospek karier yang jelas. Dan mengenai teror sunyi yang menyerangku
. . . tambah parah! Kini bukan hanya perasaan diawasi saja, tapi aku curiga semua khasiat
dan kesembuhan yang telah dilakukan Aki Jembros terdiskualifikasi
karena setruman itu, yang berarti aku masih diincar siluman maniak
perawan, dan sifat-sifat burukku tak jadi dicabut. Ditambah lagi
kekhawatiran kalau-kalau beliau atau pengikut fanatiknya menyimpan
dendam, lalu pada satu malam tiba-tiba aku terbangun dengan mulut
penuh . . . lupakan. Namun, dari semua, ketakutanku yang paling parah adalah: diriku
sendiri. Setiap saat aku berpikir, apa itu" Apa 'itu'" Yang keluar dari tubuhku,
atau menumpangi tubuhku, sehingga bisa meng-KO nenek malang itu.
Kalau memang bukan listrik, apakah itu penyakit" Apakah aku telah
menularkan epilepsi padanya" Bisakah epilepsi menular lewat sentuhan"
Sementara itu, fakta dari dunia nyata terus mengejar. Elektra, Upik
60 Abu miskin yang terpenjara dalam kastil besar dengan stok telur yang
terus menipis. Puncaknya, aku menangis. Sudah lama sekali tidak. Padahal
sering aku menyadari betapa mengibakannya nasibku, tapi dasar kurang
sentimental, jadi jarang berair mata. Cuma kalau menguap kebanyakan
atau kelilipan. Jangan terkecoh dengan cara aku mendeskripsikan tangisku, ya. Serius,
aku sangat sedih. Belum pernah sesedih itu. Karena untuk pertama kalinya
aku sadar betul be tapa pahit kenyataan yang kuhadapi. Tak ada yang
lucu di sini. Masih bagus tidak jadi gila. Atau barangkali sudah" Karena
katanya, orang gila tidak pernah ngaku gila.
Di tengah ruang tamu yang lengang dan hening, aku terduduk di
lantai, meringkas kondisi hidupku yang paling aktual: pengangguran,
tabungan di bawah 400 ribu untuk hidup sekarang dan selama-lamanya,
tidak punya pacar, duit warisan Dedi cekak, kakakku menjelma jadi Barbie
di dunia serba ideal, dan seluruh warga RT di sini tetap tidak tahu namaku.
Aku tidak eksis. Yang satu-satunya menganggapku ada barangkali cuma
petir di langit. Tapi gini-gini aku juga kandidat asisten dosen. Pahlawan
tanpa tanda jasa. Pendidik bangsa. Khusus di bidang ilmu tren abad 21:
ilmu gaib. Hebat, kan . . . hebat . . . dan aku menangis.
... Napoleon Bonaparte Empat hari dikungkung rasa takut. Aku pun tak tahan lagi. Daripada
epilepsiku yang justru kambuh gara-gara stres menumpuk, kuputuskan
untuk memakai strategi semua mafia dan jawara di dunia: sebelum
keduluan diserang musuh, kita yang harus menyerang duluan.
Di tempat yang sama, di dasar jurang tempat aku menangisi nasib
yakni di tengah ruang tamu, ke udara kosong aku tantang mereka satu-satu: Hei, Joko Gosong! Jangan cuma di alam gaib doang beraninya! Sini!
61 Kalo butuh saya, datang sendiri! Makan tuh jakfaron, kembang rupa-rupa, beruang madu . . .
KRIIIIING! Telepon rumah tahu-tahu berdering.
Aku terkesiap setengah mampus. Tidak menyangka Joko akan
merespons secepat ini. Ragu-ragu, kuangkat telepon itu: Hola . . . "
Etra, lagi ngapain kamu"
Jantungku berdenyut normal lagi. Watti rupanya. Lagi bengong,
jawabku spontan. Bengong melulu! Sialan, jawaban yang salah. Nggak deng, ralatku, lagi sibuk, nih.
Sibuk ngapain" Ih. Usil sekali orang ini. Sibuk baca, jawabku ketus.
Apaan" Komik lagi"
Ada apa sih nelepon"! potongku tak sabar.
Weekend besok, Leon mau dateng ke Bandung. Aku udah kasih nomor
telepon rumah, nanti dia hubungin kamu . . .
Leon siapa" Nggak kenal!
Napoleon! Hah" Napoleon" tanyaku lebih heran.
Itu Iho! Napoleooon! sahut Watti gemas, seolah Napoleon yang dia
maksud adalah Napoleon Bonaparte yang dikenal seluruh dunia, yang
tidak mungkin datang ke Bandung lalu menghubungiku. Napoleon
temannya Atam, anak Freeport, yang pernah aku ceritain itu lho!
tuturnya bersemangat. Anaknya ganteng, Tra. Lagi cari istri, baik, Kristen
juga... Pasti kontet terus bulet, ya" tudingku.
Fnak aja! Lumayan tinggi, lagi.
Kenapa namanya Napoleon"
Ya nggak ngerti! Tapi panggilannya Leon.
Tetap aja Napoleon. Memang kenapa kalo Napoleon" Kamu, tuh. Lihat juga belum. Kalo
62 udah lihat bentuknya, mau namanya si Subur juga kamu nggak bakalan
protes! Memang mendingan Subur daripada Napoleon.
Ya enggak, dong! Ya iya! Bayangin, entar di undangan kawin tulisannya: Elektra Wijaya,
SE. & Napoleon! Ih, malu!
Apanya yang maluin" Kesannya, orang tuanya tuh maksa banget. Kayak teman persekutuan
kamu dulu itu, yang namanya Superman, kan malu.
Heh, nggak boleh ngejek orang gitu.
Untung nama kamu bukan Voltasia . . . atau Sri Sekring . . .
Pokoknya Leon bakal telepon kamu, dan kamu wajib menemani dia
jalan-jalan! Tapi namanya bukan Napoleon Bonaparte, kan"
Hening sejenak di ujung sana. Firasatku langsung tidak enak. Watt. . .
halo" pancingku curiga.
Ada nama belakangnya lagi, kok! Nggak cuma dua itu aja! Napoleon
Bonaparte Hutajulu. Hening sejenak di ujung sini. Gambar undangan kawin pink dengan
huruf emas berliuk yang mengukirkan identitas seorang Indonesia asli
bernama jenderal perang Perancis mendominasi kepalaku.
Awas, lho, Tra. Jangan bikin aku malu, omel Watti. Aku udah ngejanjiin.
Nggak bisa. Kenapa" Saya . . . ada janji. Kudengar suara dengusan. janji" tanya Watti sangsi. Sama siapa"
Janji wawancara. Kerja" ia terdengar makin meragu.
He-eh. Kerja apa kamu" Ada sekolah tinggi, nawarin saya jadi asisten dosen.
63 Kamu jadi asdos" Sekolah tinggi mana" Ngajar apa kamu" Kok bisa"!
Nada itu. Seperti es campur di restoran Padang. Dari mulai potongan
agar-agar, potongan peuyeum, kacang, sampai tomat, semuanya
nyemplung jadi satu. Antara penasaran, tidak terim
a, tidak percaya, dan berharap kalau aku cuma ngibul.
Sekolah baru, sih. Namaku masuk ke daftar calon yang akan diseleksi.
Wawancaranya Sabtu besok. Saya mesti persiapan.
Agak lama Watti terdiam. Tapi dia kemudian tertawa kecil. Bo'ong,
katanya pendek. Tegas. Serius, Watt! Nih . . . surat panggilannya ada di depan hidung!
Kamu kalo minder gara-gara harus jalan sama cowok oke pilihanku,
terus pingin menghindar, bilang aja. Nggak usah ngarang-ngarang sok
sibuk, gitu. Dengan ringannya Watti berujar.
Dengar, ya! Saya baca suratnya: kami adalah perguruan tinggi-bertaraf
internasional di Indonesia, dan tahun ini kami membuka lowongan bagi tenaga pengajar.
Berdasarkan-pengamatan-yang dilakukan saksama oleh tim rekrutmen-kami, nama Anda
terpilih sebagai kandidat yang akan diseleksi untuk menjadi Asisten Dosen. Aku berkata
lantang. Tersendat sedikit empat kali. Tapi kayaknya nggak ketahuan.
Tra . . . ada salam. Dari" Yohanes 22 ayat 5. Watti pun menutup telepon.
... Revolusi cara gaib Sebagian dari diriku tidak terima dituduh ngibul. Okelah, kalau kasus
Yohanes 22 itu kan sepenuhnya kasus self-defense. Sudah jadi instingku
untuk mempertahankan harga diri di hadapan Watti. Tapi, kali ini, betul-betul ada pihak yang serius menawariku berkarier resmi, tanpa perlu
piramida, kaki-kaki, setoran modal, dan seterusnya, melainkan profesi
terhormat sebagai seorang pendidik (lupakan dulu ilmu gaibnya, oke"
Mari kita fokus pada tawaran menjadi Asisten Dosen).
Hmm. Pikir-pikir, gaya juga.
Mukaku seketika mengernyit. Pertanda aku hendak melakukan satu
hal abnormal. Maafkan aku, Elektra. Dalam hati aku meminta maaf pada
diri sendiri karena tangan-tangan nakal ini merayap perlahan, meraih
Alkitab Watti, mengambil lipatan kertas HVS yang terselip di dalam.
Perlahan dan saksama, aku membaca ulang lembar demi lembar.
Lembar pertama: surat pengantar dari Joko Gosong. Kuambil pulpen dan
secarik kertas kecil, lalu kutulis jadwal wawancara jarak jauh yang akan
dilakukan serempak itu, tak ketinggalan barang-barang persyaratan kalau
harus mengirim CV ke kuburan. Kayaknya belum mampu deh kirim
versi lisan lewat semadi. Berdoa makan yang sepuluh detik saja seringnya
ngelamun. Gimana mau kirim surat . . .
Lembar kedua: visi dan misi STIGAN. Otakku dipaksa untuk berputar
lebih kencang di sini, soalnya istilahnya susah-susah. Pendidikan bangsa
Indonesia dianggap gagal karena selalu pakai pendekatan yangmaterialistik dan inkrementalistik-yang, yaaah . . . pokoknya gagal. Jadi
butuh revolusi, bukan reformasi. Tapi revolusi pun bukan sembarang
revolusi. Revolusi ini dilakukan dengan cara gaib. Untuk itu STIGAN
didukung oleh LPM, Lembaga Penggaiban Masyarakat. Lebih lanjut
STIGAN menuding, sudah ratusan ribu sarjana diwisuda tapi tidak ada
yang mampu membawa bangsa ke arah yang lebih baik. Mereka lantas
bermisi untuk mencetak sarjana berkualitas yang mampu mewujudkan
sesuatu jadi mungkin di tengah kondisi serba tak mungkin. Untuk
memastikannya, beberapa fasilitas sudah siap mendukung, antara lain:
kuburan keramat, kitab-kitab suci kuno, akses langsung tak terbatas ke
arwah leluhur, dan laboratorium Pantai Selatan.
Lembar ketiga: pengenalan kurikulum global STIGAN. Mereka
menyediakan program D1, D3, S1, sementara program magisternya masih
dalam tahap persiapan. Lama masa perkuliahan tidak disebut, tapi untuk
strata S1 jumlah SKS-nya 144. Sama seperti waktu aku kuliah Ekonomi
dulu. Pada lembar keempat, baru dicantumkan semua mata kuliah, kode,
jumlah SKS, dan nama-nama pengajar. Lama aku membaca lembar yang
satu ini. Berusaha mengira-ngira mata kuliah apa yang bakal ditawarkan
padaku nanti, siapa dosen yang akan kuasisteni, bidang apa yang cocok
dengan minatku. Ada mata kuliah Teknik Pelet, Studi Voodoo, Pengantar
Ilmu Sihir, Filsafat Ilmu Gaib, Tafsir Kitab, Statistik Dunia Roh 1 dan 2,
Pemeliharaan Jin dan Tuyul . . . ckckck, pilihan sulit. Aku mengetuk-ngetukkan pulpen. Satupun tidak ada yang kutahu. Dan, coba cek nama-nama dosen ini: Nyi Roro Wetan, Prof. Ronald Kasasi, MiG., Dr. Drabakula,
Semar Gendheng, Jaya Supranatural, Don Jelangkung . . . wah, wah,
wa h. Mana mungkin aku pakai nama Elektra Wijaya, SE." Biasa banget!
Eleketek Palawija. Elektrum Kasetrum. Ah, sudahlah. Kirim saja dulu
CV-nya. Soal nama dan penempatan urusan nanti!
Namun resahku belum hilang. Masih ada yang kurang. Seharusnya
ada lembar kelima. Keterangan gaji. Asisten dosen di kampusku dibayar
25 ribu sejam, dan yang dihadapi adalah mahasiswa-mahasiswa dengan
kaki menjejak tanah, yang kalau punya masalah paling-paling curhat
atau berantem. Nah, dengan medan serba klenik yang kalau salah sebut
sedikit bisa ko'it, harusnya kami dibayar tinggi. Lagian, berapa coba uang
pangkal yang harus dibayar calon mahasiswanya" Untuk jadi sarjana tak
berguna saja harus bayar mahal waktu daftar masuk. Apalagi sarjana
yang bisa bikin tak mungkin jadi mungkin.
Tapi, okelah, itu bisa dibicarakan belakangan. Sekarang, yang penting
CV-ku harus sampai dulu, lalu mengonversikan tanggalan Saka ke Masehi.
Jangan sampai sudah repot-repot melamar tahu-tahu ketinggalan
wawancara karena salah hari. Dan ke mana aku harus cari benda-benda
aneh ini; Otot-otot mukaku berkontraksi lagi. Sekilas kutangkap bayangan
66 mengernyit pada kaca jendela. Elektra, sori ya.
Sekali lagi, aku meminta maaf pada diriku sendiri.
... Melewati gerbang bambu
Sejak dulu, ada satu rumah di daerah Buah Batu yang kucurigai sebagai
rumah nenek sihir. Bentuknya sempit seperti paviliun, terbuat dari kayu.
Gerbangnya jauh lebih depan dari garis sempadan rumah-rumah
tetangga, membuat ia tambah mencolok seolah menantang publik.
Tembok dalamnya ditutupi potongan bambu yang dicat hitam campur
cat merah meluntur yang mengingatkan kita pada darah kering. Aneka
kendi tua ditumpuk mengelilingi bangunan layaknya kerikil hiasan. Tak
cuma di situ, pada akar-akar pohon beringin yang tumbuh persis di
samping rumah, kendi-kendi itu ikut digantung.
Aku bukan orang yang paham seni, tapi siapa yang bisa mengerti
dasar estetika si pemilik rumah ini" Selain kendi, hiasan lain yang
mendominasi adalah ijuk. Gumpalan-gumpalan ijuk ditempel di tembok
depan. Aku membayangkan ada sekian Rahwana en de geng yang terjebak
Supernova Petir Karya Dee Dewi Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepalanya di balik dinding, lalu rambut mereka tumbuh liar tanpa
sentuhan salon, menembusi celah kayu. Ornamen lain yang terlibat adalah
sapu lidi, sebagian dipajang dan sebagian lagi ditempel. Lalu, tumbuhan-tumbuhan kering semacam merang, biji-bijian, dan kawan-kawannya.
Dendam Bidadari Bercadar 3 Pendekar Pulau Neraka 48 Perempuan Bertopeng Emas Kasih Diantara Remaja 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama