Cahaya Bertasbih Karya Suffynurcahyati Bagian 2
Dana mengakhiri bacaannya pada sebuah artikel. disana menampilkan kutipan dari salah satu penulis berbakat.
berbicara pernikahan, sejujurnya dalam segi financial, Dana menyanggupi. namun ia masih sangsi dengan ikatan sakral tersebut. hatinya masih egois untuk ingin memiliki gadis yang ia cintai. masih ada secuil keraguan dengan gadis pilihan orangtuanya. bisa saja gadis itu tidak satu prinsip dengannya. atau saling tolak belakang dalam bersikap. bukankah inti dari pernikahan itu adalah penyatuan menuju kesempurnaan" bersatunya dua insan. bersatunya dua keluarga. bersatunya dua hati. bersatunya dua pola pikir. lalu akan menjadi kesempurnaan dalam ibadah.
lantas bagaimana ia bisa bersatu bahkan dengan gadis yang belum ia kenal sebelumnya" apa yang menjadi dasar kuat pernikahan itu akan bertahan lama"
"Allah.." Dana berulang ulang menyerukan nama itu seraya memejamkan mata. Dana memiliki kebiasaan sejak kecil.
ketika hatinya sedang gelisah, bimbang ataupun penat. ia selalu menjadikan Allah bagian pengobat hatinya. cukup dengan menyebut nyebut namanya melalui hatinya yang paling dalam.
aktifitas itu berakhir seiring berbunyinya dering handphone Dana di atas meja. ada sebuah pesan whatsapp dari mama. Dana bisa menebak bahwa mama akan segera mengirimkan foto gadis yang akan dijodohkan dengan dirinya. sebelum mama mengirimkan foto tersebut, Dana membaca pesan yang berbunyi,
baca bismillah dulu sebelum melihatnya.
Dana mengernyit. apa maksudnya" apa gadis itu terlihat menyeramkan" apa ia terlalu buruk dalam segi fisik" Dana menurut. ia mengucap bismillah secara pelan. dan sebuah pesan lagi masuk. kini ia yakin itu adalah foto si gadis yang dimaksud.
terpampanglah dua foto disana. foto gadis dalam versi close up dan full body. apa reaksi Dana setelah melihatnya" ya, wajahnya datar sedatar datarnya. seperti sebuah papan yang flat.
itu ekspresi yang pertama. ekspresi kedua setelah itu ialah menganga bak goa. wajar saja mamanya menyarankan agar membaca bismillah terlebih dahulu. karena gadis itu memang cantik. sangat cantik. ya, memang cantik sebelum akhirnya Dana menyadari bahwa gadis itu adalah gadis yang dikenalnya. ia melihat gadis yang dikenalinya itu dalam versi berbeda. tidak seperti yang biasa ia lihat setiap hari.
tiba tiba saja, ada sesuatu yang memompa cepat jantungnya. degupannya terasa hingga ke kulit. aliran darahnya mendesir hebat. reaksi apa ini" ini hanya selembar foto. bukan apa apa. Dana menarik nafas panjang lalu menatap foto itu lagi.
"Dunia tak diubahnya menjadi sempit bahkan sampai saat ini" lirihnya tersenyum miring seraya menaruh ponsel di atas meja. tak lama, ada pesan lagi masuk. Dana membukanya lalu membaca isi pesan tersebut.
panggil saja dia 'Aya' itu nama panggilan yang bagus untuk kamu memanggilnya. sudah cukup terpesonanya ya, nak" :*
Dana mendesis sebal. terpesona yang seperti apa dulu" mungkin lebih tepatnya teranganga. setelah ini ia berpikir harus bagaimana bersikap pada gadis itu. menjadi sosok yang menyebalkan atau apa adanya.
entah tiba tiba saja ada sesuatu yang mendorongnya untuk mengamati kembali dua foto tersebut. kemudian ia menarik bibirnya membentuk cekungan manis.
*** (*) The perfect muslimah karya Ahmad Rifa'i Rif'an
09. es Yang Menghangat Sina terlihat menata meja kerjanya sedari tadi. tanganya begitu aktif bekerja pada meja persegi beralaskan kaca tebal. ia menata segala benda yang ada disana agar lebih terlihat sedap dipandang. ia menaruh pigura mini berwarna soft pink, sedetik ia tersenyum menatap wajah wajah dalam pigura tersebut. ayah, ibu juga dirinya. foto itu diambil saat dimana Sina melaksanakan Wisuda. kegiatannya pun beralih menata peralatan ATK. segala alat tulis ia taruh pada benda berbentuk tabung berukuran kecil. benda itu ia letakan dekat pigura. tak lupa Sina menyempatkan diri untuk membeli pajangan sekedar mempercantik mejanya. pajangan berbentuk alquran berwarna pink metalic.
semua ini ia lakukan karena pagi tadi beberapa staff kantor ramai membicarakan bahwa siang ini Presiden Direktur Prams Coorporation akan melakukan kunjungan. Sina pikir, jabatan pak Dana adalah jabatan tertinggi di perusahaan ini. rupanya di atas langit masih ada langit.
tepat setelah Sina membuang sampah berupa sobekan kertas pada tempatnya. saat itu juga semua pegawai yang mengisi ruang HRD spontan berdiri hormat. pandangan mereka mengarah pada tiga orang yang kini memasuki wilayah bagian HRD. tubuh Sina bereaksi secara spontan turut bergabung bersama mereka untuk berdiri melakukan penyambutan.
tiga orang itu terdiri dari Presiden Direktur--yang bernama Arga Prama. dibelakangnya, ada Dana yang mengikuti. dan disebelahnya ada Maudy sebagai assisten manager. mereka berjalan santai namun pasti. disambut sapaan selamat siang serta senyum dari para pegawai.
"apa ada perkembangan dari divisi ini?" suara berat Arga itu mengisi keheningan juga ketegangan yang tercipta disana. ia memberhentikan langkahnya tak jauh dari posisi Sina berdiri. sebisa mungkin gadis itu tidak menunjukan kegugupannya. jujur, sekarang ini kakinya mengalami gempa. getaran getaran kecil begitu terasa menguasai daerah lutut. sina sempat memberi pukulan pada lutut kanannya agar berhenti berulah.
"tentu ada pak. setiap tahunnya kami mengadakan seleksi ulang atau semacam test bagi seluruh pegawai. seleksi itu bertujuan agar perusahaan kami mampu menciptakan sumber daya manusia yang kompeten. dan melalui seleksi ulang tersebut, akan terasah lagi kemampuan kemampuan bekerja mereka sesuai dengan tata tertib yang harus di taati, prosedur yang harus dijalani dan visi misi perusahaan. karena kami memiliki prinsip seperti pisau yang akan semakin tajam jika terus di asah. begitu juga hal nya dengan manusia, pak" penjelasan Dana begitu lugas. tegas dan berwibawa. tidak ada cacat sedikitpun. semuanya terucap spontan namun pasti. Sina hampir takjub dibuatnya. sungguh berbeda dari kesan pertama Sina melihat Pria itu. baginya, ia seperti bongkahan gunung es besar yang tumpah di lautan es. bayangkan betapa dinginya. juga sosok yang kaku. bahkan ia sempat menganggap pria itu sulit bersosialisasi. terbukti sekali sewaktu Dana menolongnya pada tragedi toilet pria seminggu yang lalu. bahkan Dana pun membuang muka saat Sina mengucapkan terimakasih. alih alih mendapat respon yang baik, pria itu malah pergi begitu saja. mungkin ia malu. tapi bukankah yang seharusnya lebih malu adalah Sina" ya, urat malu Sina memang sudah hampir berkarat lalu putus.
"lalu usaha apa yang dilakukan untuk mendapat bibit bibit baru yang berkompeten" tidak mungkin hanya dengan mengadakan seleksi setiap tahun. karena setiap pegawai memiliki masa kerja tertentu bukan?" Arga berbalik. pandangannya menyapu seluruh ruangan. mengamati setiap penjuru. wajahnya sangat tegas namun hangat. tidak ada sisi angkuh sedikitpun. semua itu tersimpan dibalik umurnya yang kurang lebih hampir menuju 50 serta tubuhnya yang besar dan tinggi. berbeda sekali dengan Dana.
"kami melakukan seleksi ketat dalam memilih calon calon pegawai. tidak hanya melalui test tertulis, psikotest, ataupun wawancara. tapi kami juga melakukan training dalam kurun waktu beberapa hari. training tersebut berguna agar pegawai mampu beradaptasi dengan baik dengan lingkungan kerja dan tentunya dengan pekerjaan mereka nantinya, pak" penjelasan Dana berikutnya mendapat respon baik dari Arga. Arga mengangguk paham. sepertinya ia mendapat jawaban yang sangat memuaskan dari pria berwujud Es tersebut.
kemudian Arga pun berjalan menuju pintu keluar diiringi Dana dan Maudy.
ketiganya berjalan melewati dimana Sina berdiri. sejenak, ia merasakan aura berbeda ketika Arga juga Dana melewati dirinya. jantungnya terasa aktif dalam bekerja. lidahnya kaku. bahkan untuk tersenyum pun terasa sulit. ia merasa Arga dan Dana tengah memperhatikan dirinya. mencoba memberanikan diri, Sina pun mendongakan wajahnya. dugaannya hampir tidak meleset. bukan Arga yang menatapnya. melainkan Dana. walau hanya dalam beberapa detik. ia bisa merasakan aura berbeda dari tatapan pria itu. sorot matanya bak sihir yang memiliki kekuatan es yang bisa membekukan siapapun. jika diibaratkan, Dana itu seperti ratu Elsa versi pria. dan rupanya imaginasi Sina mulai kebablasan. semua ini gara gara Dana si Manusia Es..
*** Sina membuka dua kotak makan yang disusun menumpuk lalu dikaitkan pada pengapit dengan warna serupa. kotak pertama berisi nasi dan beberapa ayam yang dipotong dadu. kotak kedua berisi sop yang dibungkus plastik. dan tak lupa potongan buah apel menyertai hidangan tersebut.
Sina menatap makan siangnya itu dengan wajah sumringah. baginya bekal makan siang yang disiapkan ibu untuknya bagaikan sebuah kotak misterius yang menyimpan kejutan didalamnya. setiap pagi ibu tidak pernah lupa menaruh bekal makan siang ke dalam tas nya. Sina tak pernah menanyakan apa menu makan siang hari ini. karena berhubung Sina tergolong manusia pemakan segala, dalam arti, ia menyukai semua jenis makanan. maka dari itu, ia tidak pernah protes pada apa yang disiapkan ibu untuknya.
"na, kayaknya ayam kamu enak. cobain yah?" maudy mencodongkan tubuhnya mendekat dengan Sina.
"ambil aja mba, aku bawa banyak kok" Sina mempersilakan. dilanjut maudy menyendok makanan miliknya kemudian keduanya menikmati makan siang mereka.
"enak juga, na" puji Maudy.
"ibu aku yang buat mba. masakan ibu memang enak banget. ibu jago masak mba. apalagi sayur lodehnya, beuhh..." Sina memberi jempol lewat tangan kirinya " lezaattt banget. aku aja kalau makan, ga pernah ga nambah" ia memasukan satu suap ke mulutnya.
"beneran" boleh dong kapan kapan nyobain" sebagai anak kos, aku bosen makan makanan instan terus. kalau ga mie instan ya makanan siap saji. paling paling delivery order. itupun kalau abis gajian. kalau udah tanggal tua, mie instan aja terus" ungkap maudy sekaligus curhat pertamanya.
"boleh kok mba, lagian terus terusan makan mie instan itu ga baik buat kesehatan. boleh saja sih, asal berkala. minimal sekali dalam tiga hari lah. jangan kebalik ya. itu kata dokter pribadiku, mba " lagi lagi Sina berlagak seperti dokter Raisa Brotoasmoro.
selagi dirinya memberi penyuluhan dadakan. seseorang tiba tiba saja datang menghampiri mereka lalu memilih duduk disebelah Sina. kedua gadis itupun melongo takjub.
"selamat siang. boleh saya bergabung?" sapa ramah pria yang diketahui adalah Dana. ya, Azka Syandana Prama. sepertinya ada yang salah dari pria itu. buktinya saja, Sampai detik ini, Sina dan maudy masih terpaku tak berdaya. jangankan menjawab sapaan Dana, untuk berkedip pun membutuhkan usaha extra.
"selamat siaangg..."Dana mengulang, kali ini disertai senyum yang lebih memanjang. kedua sudut bibir pria itu tertarik menipis. menimbulkan cekungan yang disinyalir mengandung zat gula dalam jumlah banyak.
"siang, pak. silakan" Maudy tersadar lebih dulu. nada bicaranya terdengar kikuk.
"terimakasih" Dana menaruh nampan yang berisi sepiring roti isi daging dan sebotol air mineral. tanpa sadar Sina memperhatikan pergerakan pria itu tiap incinya. andai ada kesempurnaan kedua setelah Tuhan, Sina yakin pria disebelahnya itu menjadi kandidat pertama.
"wah, sedang makan siang juga rupanya"Dana membuka obrolan. seraya memandang maudy dan sina secara bergantian.
"iya pak" jawab Sina sekedarnya.
"bapak tumben sekali makan siang di cafetaria. tidak seperti biasanya makan diluar" Maudy memang pandai menetralkan keadaan. dalam waktu singkat, ia sudah bisa bersikap tenang dan santai. wajar saja, jabatannya sebagai asissten menjadikan dirinya sebagai sosok yang kuat menghadapi Dana.
"sedang ingin mencari suasana baru saja. dan ternyata makan siang di sini lebih nyaman" jawabnya tenang. lagi lagi ia tersenyum. Dana mungkin tidak sadar sedari tadi menjadi objek curi curi pandang yang dilakukan Sina. memanfaatkan kelengahan Dana lalu menatap pria itu walau hanya dalam sedetik melalui sudut mata.
"dan setelah itu bapak akan ketagihan makan disini. selain menunya lezat dan sehat, tapi juga higienis" Maudy menambahkan.
"bukan hanya itu. saya juga ingin menikmati makan siang bersama kamu" matanya intens menatap Maudy. "dan juga Aya" lalu beralih kepada Sina. Sina pun terkesiap. fisiknya belum siap mendapat serangan mata itu. mata sayu itu bisa menyebabkan ia tak sadarkan diri dalam waktu lama.
"maaf?" sina merasa ada yang janggal dengan panggilan tersebut. aya siapa maksudnya" apa panggilan itu untuknya"
"saya lebih suka memanggil nama kamu dengan sebutan itu" Dana membenarkan posisi duduknya. suaranya terdengar renyah sekali. Sina yang mendengarnya pun hanya bisa berkedip kedip bodoh dengan mulut sedikit menganga.
"sabriana Cahaya.. bukankah sangat indah jika saya menyebutnya Aya?" demi rumah nanas spongebob, Sina tidak percaya pria Es disebelahnya itu sekarang sudah hampir membuatnya mati kepanasan. apa karena cuaca siang ini, yang membuat bongkahan es itu menghangat perlahan lalu memanas" bisa ia rasakan gumpalan hangat memenuhi wajahnya. ini memalukan sekali.
"terserah bapak saja" Sina tersenyum kaku sambil melanjutkan aktifitas makannya. sejenak ia merasa selera makannya hilang. keberadaan Dana disini sudah membuatnya kenyang. kemungkinan ia juga akan terserang diabetes akut. tunggu" apa itu sebuah kalimat pujian" ah, jangan ngawur Sina. batin gadis itu berceloteh.
"saya suka sekali dengan warna merah" Dana tersenyum miring misterius. Sina terbengong seraya menautkan kedua alis. otaknya mencerna perkalimat pria itu. ia bisa melihat Dana berusaha menahan tawa. andai saja gadis itu tahu bahwa warna merah yang dimaksud adalah rona rona merah diwajahnya. tiba tiba saja ia ingin mengubah panggilan 'Aya' menjadi 'Humaira' tak butuh waktu lama, Sina menutup kotak makan siangnya dengan rapi.
"loh, kenapa tidak dihabiskan makan siangnya?" rupanya Dana memerhatikan. ia mulai tertular virus Kepo is Care milik Aufa.
"saya mendadak kenyang, pak. saya juga bingung. tidak biasanya saya seperti ini" ungkap Sina, jujur ia hanya tak ingin berlama lama dengan manusia Es itu. ia merasa ruang geraknya terbatasi oleh dinding besar berbahan es.
"tidak baik menyisakan makanan. kamu tahu mubazir, kan" ayo dihabiskan makanannya" Dana berinisiatif membuka kembali kotak makan siang tersebut kemudian menyodorkannya kepada Sina. otomatis Sina pun terheran. ini bukan Dana yang ia kenal. atau apa ini sifat asli pria yang selama ini ia anggap seperti ratu elsa versi Pria" kalimatnya terdengar dibuat buat walau sejujurnya Sina menyukainya.
"bapak kenapa sih, pak?" tanya Sina memberanikan diri dan mencoba membuang kekakuannya. daripada ia terus bertanya tanya dalam hati lalu mengumpat pria itu" malah akan timbul penyakit hati, pikirnya.
"saya" memangnya saya kenapa?" Dana menunjuk dirinya.
"iya, kenapa tiba tiba bapak mau makan dengan kita" kenapa bapak berubah jadi..." sina menggantung kalimatnya seraya menggigit bibir bawahnya. Dana menatapnya berusaha ingin tahu kalimat selanjutnya yang diucapkan Sina.
"jadi apa?" Dana menaikan satu alisnya.
"jadi...hangat.." jawabnya cuek. namun itu tak berlangsung lama. seperti mendapat teguran dari otaknya, Sina pun tersadar sesuatu. dengan gerak cepat ia menutup mulutnya dengan kedua tangan. sepertinya otaknya sudah mulai ngawur. kenapa justru jawaban itu yang terlontar. alih alih ingin membuat Dana tersudut, malah dirinya yang terkena imbas. sejenak ia ingin menceburkan diri saja ke perairan sungai ciliwung lalu bercumbu dengan limbah limbah serta ekosistem disana.
"Sina, kamu ngomong apa sih?" tegur Maudy setelah melihat ekspresi Dana yang sulit dijelaskan. ia menduga Dana tersinggung dengan perkataan Sina barusan. Dana memang tidak menanggapi komplain tersebut. hanya saja, Dana menunjukan mimik yang sulit ditebak. dengan raut seperti itupun ia bahkan tidak terlihat jelek. apa itu pujian lagi"
"saya permisi, pak" Sina beranjak dari kursi. tangannya mengapit lengan Maudy. sebelum pergi, Sina memposisikan dirinya berdiri tepat dihadapan Dana
"tolong bapak lupakan ucapan saya tadi. anggap saja saya lupa minum obat atau...saya mulai gila" sederet kalimat terlontar secara terbata bata diakhiri langkah mantap Sina dan Maudy bersamaan.
jika rasa malu dapat membuatnya miskin. maka sina akan jadi orang termiskin di dunia. jika harga diri diibaratkan Api, maka Sina sudah menjadi abu karena hangus terbakar. berulang kali gadis itu mengutuk dirinya sendiri karena ulah otak dan bibirnya sedang tidak bersahabat. mereka saling menghianati satu sama lain. dan akhirnya sina yang menjadi korban. teori macam apa ini" ah, masa bodoh dengan teori. yang jelas saat ini Sina butuh baja untuk menjadi penutup wajahnya.
*** ?"10. Mutiara Terluka
Aufa berjalan hati hati melintasi pekarangan rumah. setiap langkah disertai sapuan matanya menatap sekitar. mengamati pohon pohon yang berdiri kokoh seperti menyambut kehadirannya. deretan bunga mawar bergoyang goyang mengikuti instruksi angin. angin di seperempat pagi yang cerah. secerah hatinya saat ini.
semakin dekat dengan rumah yang ia tuju, semakin cepat langkahnya menuju sebuah Rumah sederhana bercat putih. memiliki dua jendela pada sisi kanan dan pintu yang berhiaskan kertas sederhana dengan lafadz assalamualaikum berada di sisi kiri. Aufa tersenyum sekilas. ia ingat sekali, kertas lusuh itu adalah buatannya. sewaktu SD, ibu mengajarkannya cara menulis lafadz Assalamualaikum dalam tulisan arab. kertas itu masih merekat kuat disana. hanya saja sedikit berdebu.
"assalamualaikum, ayah" Aufa membuka pintu lalu dihadapkan pada ruang tamu. namun tidak ada siapa siapapun. hanya dua sofa lusuh dan satu meja kayu. Aufa berjalan menuju kamar. dan hasilnya sama saja. hanya kekosongan belaka.
"ayah..." panggil Aufa lagi memastikan keadaan penghuni rumah.
"Ayah disini, nak. kemarilah" suara itu berasal dari arah dapur. jaraknya hanya sekitar 10 langkah dari kamar. disana Aufa menemukan Ayahnya sedang sibuk didapur dengan segala atributnya.
"assalamualaikum ayah" Aufa menggapai punggung pria bertubuh kurus itu kemudian menunjukan senyum terbaiknya pada pria bernama Cokro itu.
"waalaikumsalam" Cokro tersenyum hangat "tidak kuliah kamu, nak"" Cokro nampak sibuk mencari cari sesuatu di rak bumbu.
"hari ini aku libur kuliah, yah. aku juga izin tidak bekerja dulu hari ini" tangan aktif cokro terhenti lalu menatap putrinya "kamu, bekerja""
ops! Aufa lupa kalau Ayahnya belum tahu tentang aktifitas barunya tersebut. dan harusnya ia juga tidak boleh tahu tentang ini. mulut ini memang sulit di kontrol rupanya. Aufa mengatupkan bibir dan membiarkan otaknya bekerja mencari alasan.
"aduh ayah, kan sudah Fida pesan. kalau membuat kopi, gulanya cukup satu sendok aja. seperti ini" Aufa mengambil alih aktifitas Cokro berusaha memegang kendali penuh. tanganya begitu terampil menakar jumlah gula dan kopi dalam cangkir. Cokro yang melihatnya hanya bisa menggeleng pasrah seraya tersenyum.
"pikirkan diabetes ayah. Fida tidak mau ayah sakit karena terlalu banyak mengkonsumsi gula. kalau ayah suka manis, sebaiknya perbanyak konsumsi pisang. pisang itu bagus untuk kesehatan, salah satunya Mengurangi kadar gula darah dalam tubuh" celoteh Aufa menakar jumlah gula dan kopi dalam cangkir. Cokro yang melihatnya hanya bisa menggeleng pasrah seraya tersenyum.
"pikirkan diabetes ayah. Fida tidak mau ayah sakit karena terlalu banyak mengkonsumsi gula. kalau ayah suka manis, sebaiknya perbanyak konsumsi pisang. pisang itu bagus untuk kesehatan, salah satunya Mengurangi kadar gula darah dalam tubuh" celoteh Aufa seraya mengaduk kopi.
"kamu itu mirip sekali dengan ibumu, pandai mengalihkan pembicaraan" Cokro menerima kopi racikan putrinya lalu berjalan menuju ruang tamu diikuti Aufa. Cokro tahu sekali kelihaian putrinya dalam mengalihkan pembicaraan. itu semua karena Aufa tidak pandai berbohong. sejak kecil ia mengajarkan Aufa agar menjadi pribadi yang jujur. baginya Kejujuran adalah mata uang paling berharga di seluruh dunia. berlaku bagi siapapun. kejujuran akan mengantarkan manusia pada tingkat hidup yang lebih baik.
dari sana Cokro menyimpulkan bahwa Aufa memang kuliah sambil bekerja. namun ia tidak ingin menanyakan banyak perihal itu. selama fisik dan jiwanya masih kuat, ia biarkan putri kesayangannya itu menikmati suka duka berjihad. bukankah menuntut ilmu dan bekerja merupakan jihad"
"bagaimana kabar pakde Ibnu dan keluarga"" Cokro menyeruput kopi miliknya.
"alhamdulillah mereka dalam keadaan sehat" jawab Aufa. tak lama Cokro mengamati tubuh Aufa dari bawah hingga atas.
"sepertinya kamu gemukan, nak" pernyataan tabu yang selalu dihindari hampir seluruh gadis didunia itu terlontar dari mulut Cokro. Aufa sontak menatap tubuhnya yang dibalut gamis pink dengan motif polkadot yang nampak samar.
"ayah jangan bikin fida parno, deh. masa segini dibilang gemuk. ini ideal, ayah" Aufa berusaha membela diri sekaligus menghibur diri.
"loh ayah tidak bercanda. kamu terlihat lebih besar"
dan sekarang kalimat gemuk yang menyeramkan itu berubah menjadi besar. Cokro tidak main main dengan ucapannya, disisi lain dia senang. itu berarti Ibnu sudah merawat Aufa dengan baik.
"ayah ih gitu. apa perlu aku diet"" sungut Aufa agak merengek. gadis itu menjadi sosok yang manja jika sudah berada disamping Cokro.
"kok anak ayah jadi baper ya sekarang"" Aufa terperangah seketika. mendengar kosa kata yang baru saja diucapkan.
"emang ayah tahu artinya Baper" mau sok sok'an gaul" ledeknya. Cokro berlagak menarik kerah kaos oblongnya dengan sombong. "tahu dong.. "
"apa emang""
"bawa perasaan, kan"" jawab Cokro takut takut. jujur ia sering mendengar kosa kata itu dari mantan istrinya yang kerap kali mengatakan bahwa ia adalah sosok pria yang Baper. ck! bahasa zaman sekarang. batin Cokro mengumpat.
"ciee, ayah Fida gaul sekarang" Aufa menghamburkan dirinya kedalam pelukan hangat Cokro. sungguh ia merindukan dada hangat ini. dada kokoh yang selalu menjadi sandarannya kala hati ini tergores. kala ia merasa dirinya seperti Mutiara yang terluka. terkubur dalam kerang kokoh tersembunyi di tengah lautan. jika tergores, memang tidak nampak kasat mata. hanya kilauan dan keindahan mutiara tersebut yang terlihat jelas. juga hembusan nafas ini, walau tercium samar aroma rokok dari sana.
"apa kamu sedang jatuh cinta"" Aufa menarik diri seraya menatap Cokro. tak lama kemudian ia tersenyum kecil hanya dalam satu detik kemudian ia kembali bergelayut manja pada Cokro
"memangnya terlihat sekali ya, yah"" Aufa tersenyum sendiri jadinya.
"tidak biasanya kamu seperti ini. kamu tahu" ini pelukan pertama kamu yang sangat erat. Ayah hampir tidak bisa bernafas" Aufa menarik diri lagi dengan cepat. kali ini disertai ekspresi terkejut.
"tidak seperti itu ayah. Fida hanya sedang rindu dengan Ayah. hanya itu" jawaban itu tak mempengaruhi feeling Cokro pada Aufa. ia mengusap puncak kepala gadis itu. seperti ingin menyampaikan pesan bertuah.
"jikalau kamu jatuh cinta pada seseorang, kamu harus siap untuk bangun. disaat kamu terjebak karena cinta seseorang, kamu harus ingat untuk melarikan diri. disaat kamu gila karena cinta seseorang, kamu harus siap untuk kehilangan. namun ketika kamu memutuskan untuk mencintai, cintailah yang cintanya abadi. cinta yang begitu indah tatkala hembusan nafasmu hanya untukNya. setiap aliran darahmu mengalir namaNya. dan kamu akan hidup bersamaNya kelak. itulah Cinta" Aufa memahami deretan kata penuh makna tersebut. dalam lubuk hatinya ia tahu betul kepada siapa Cinta yang seharusnya ia berikan.
*** jika pada umumnya kebanyakan orang mengisi waktu libur dengan rekreasi atau berkunjung ke suatu tempat, itu tidak berlaku bagi Sina. walaupun ia memohon mohon dengan menangis darah sekalipun. Ibnu--sang Ayah-- tidak mengizinkan Sina pergi sendiri. berhubung Aufa juga tidak di rumah, keluarga kecil itu memilih memanfaatkan waktu dengan berkebun di pekarangan rumah.
"ayah ayah" Sina memanggil ayahnya yang sibuk menyemprotkan air pada tanaman hiasnya. Ibnu menjawabnya dengan berdehem sekali tanpa menoleh.
"calon suami sina itu umurnya berapa, yah" dia gak seumuran ayah kan"" Sina asyik memberi makan dua kelinci peliharaannya.
"tidak juga" "apa dia berkumis juga seperti ayah""
"tidak juga" "lebih tinggi dari Ayah""
"hampir" Sina menoleh kepada Ayah yang berada tak jauh darinya. keningnya mengerut mencari celah agar ayah memberi sedikit bocoran perihal pria yang akan dijodohkan dengannya.
"pekerjaan dia saat ini apa ya, yah"" gadis itu menyeringai jail. mustahil ayah menjawabnya dengan dua kosa kata yang sering ia lihat di televisi. ya, ya,ya. bisa jadi, bisa jadi. tidak, tidak. otak Sina mulai konslet.
tapi Sina tidak mendengar jawaban apapun. apa ayah sedang memikirkan jawaban yang pas" ide lain melintas di pikiran Sina.
"Sina kan perlu tahu pekerjaan dia, yah. agar nanti Sina tahu pendapatannya kemudian sina akan belajar dari sekarang cara mengatur keuangan rumah tangga" Sina sengaja memanas manasi agar ayah merasa terpojok kemudian keceplosan. ide yang brillian, sina!
"tak perlu repot repot mengerjai Ayah. ayah sudah tahu akal bulus kamu" rencana Sina gagal. ia menaikan bibir atas kanannya dengan wajah sebal. sampai saat ini ia masih penasaran dengan sosok calon pendampingnya. andai saja ayah tahu kalau sejak semalam ia kerap susah tidur karena memikirkan jodoh misterius yang dijanjikan ayah. tapi setidaknya ada secuil bocoran bahwa pria pilihan ayah itu tidak berkumis dan umurnya tidak sepantar dengan ayah. kenapa ia bisa berpikir sejauh itu" ia yakin ayah tidak akan memberikan putri kesayangannya pada seorang om om.
"lalu kapan ayah akan mempertemukan sina dengan dia"" Sina menghentikan aktifitasnya lalu menghampiri Ayah.
"saat akad nikah" Ayah duduk di kursi kayu memanjang juga lebar. tempat itu dikhususkan untuk bersantai keluarga.
"persiapkan diri kamu ya, ndhuk, " ibu datang membawa sepiring jagung dan singkong rebus di lengkapi dengan segelas teh hangat. ayah dan sina menatap makanan alami itu dengan berbinar. keduanya memiliki panganan favourite yang sama--yakni singkong rebus--apalagi jika ditambah taburan gula pasir. akan terasa lebih nikmat.
" tapi sina masih penasaran, bu sama dia" ujar Sina dalam keadaan mulut penuh makanan. lalu mendapat tepukan ringan di lengan "telan dulu makananmu. tidak sopan itu namanya" tegur ibu.
"ayah kasih bocoran sedikiitt.. aja buat sina. pleasee 3 Titik " Sina memohon dengan wajah memelas yang sangat tidak alami. justru malah terlihat lucu. sungguh gadis itu tidak layak menjadi seorang aktris. setelah sebelumnya ayah menahan tawa, pria berkharisma itu nampak menimang sesuatu.
"cukup satu petunjuk saja, ya" pesan Ayah menyeringai jail. dibalas anggukan semangat 45 dan senyum yang melebar dari Sina.
"dia itu seorang...." Ayah menggoda sina lalu melirik aneh membuat gadis itu semakin penasaran. benar benar ayah yang tidak berprikeBapak'an. eh" istilah apa lagi itu"
"laki laki" jawaban terakhir diiringi tawa lepas khas Ayah yang kini sudah kabur karena takut akan amukan putrinya. Sina menarik nafas emosi seperti seekor banteng ngamuk yang hendak menyerang sang Matador
"ayah ga lucuuu!!! *** Raja cahaya hampir menuju pusat bumi. panas teriknya sudah separuh menghangat. menyebar memenuhi kulit bumi beserta penghuninya. saling bersatu memberi cahaya kehidupan pada makhluk makhluk yang sibuk dengan dunia mereka.
sama hal nya dengan penghuni rumah mewah bernuansa kayu di salah satu perumahan elit di Jakarta. rumah yang di design seunik mungkin. jika dilihat dari luar rumah tersebut menyerupai bangun datar trapesium. pada dua sisi pendek dijadikan sebagai pintu utama. terasnya dibuat seperti rumah rumah coboi zaman dahulu. nuansa kayu tetap mendominasi. dan pada bangunan tinggi sebagai sisi yang panjang, digunakan sebagai kamar kamar dan juga ruang ruang tertentu. halamannya yang luas terdapat rumput dibuat berpetak hanya dalam beberapa meter. sisanya dipenuhi kerikil kerikil kecil. disana juga terdapat dua pasang kursi melingkari bangunan seperti sumur namun pendek. itu dipergunakan itu membuat api unggun. cocok sekali untuk bersantai keluarga disana.
dihalaman belakang rumah terdapat kolam renang yang tidak begitu luas. di sudut halaman dibuat sebuah gazebo kecil. dan disanalah seorang pria nampak sibuk bermain dengan kekasih canggihnya. sejak menyelesaikan sholat subuh berjamaah, pria itu tak berkutik sedikitpun dari benda canggih layar datar tersebut.
"libur woy, kerja mulu!" teriak pria satunya seraya melepas baju handuk miliknya bersiap untuk meluncur pada genangan air segar dihadapannya.
"berisik!" Dana mendesis acuh
"kerja mulu kapan cari pacarnya, bang" pria itu melakukan pemanasan terlebih dahulu. berlari lari kecil mengelilingi kolam sambil merentangkan kedua tangan kemudian menggerakannya ke kanan dan ke kiri.
"gue ga pacaran. emangnya elo" Dana enggan menoleh pada cibiran adik laki lakinya.
"dih, gue juga ga pacaran. gue ga mau dicincang papa, bang" pria itu sudah berlari tiga putaran.
"yauda sesama jones dilarang saling beragument. intinya alasan kita jadi jomblo itu sama,kan""Dana berkelit. kali ini perhatiannya tertuju pada adik satu satunya tersebut.
"tapi kalau lo masih jomblo juga, kesempatan gue buat melamar gadis keburu di tikung pria lain, bang" Dana mengernyit. memandang adiknya yang sudah menceburkan diri ke dalam kolam renang. apa maksud ucapannya tadi" Dana mencium aroma jatuh cinta disana.
"jadi, bilang ke papa biar lo cepet cepet dinikahin sama gadis pilihannya. dengan begitu, gue bisa langsung lamar gebetan gue, bang. kan seru kalau kita nikah dihari yang sama" Dana menyipitkan matanya dengan aneh. sepertinya salah satu sel sel otak adiknya itu agak bergeser.
"ya Tuhan.. Idzar.. lo abis makan apa barusan" omongan lo kaya jam keabisan baterai. ngaco!" Dana menghampiri Idzar lalu duduk ditepi kolam renang.
"selesain dulu kuliah lo, baru lamar anak orang" tambahnya lagi.
"teori darimana tuh, kayak gitu"" Idzar menampakan kepalanya dari permukaan air. "gak ada dalam islam rukun nikah harus selesai kuliah, selesai S1 S2. abang udah terkontaminasi sama pemikiran yang membuat pria betah membujang berlama lama atau terikat pada status menye menye"
Dana menaikan satu alisnya. "apalagi tuh status menye menye""
"pacaran bang, status yang--orang bilang--adalah status pendekatan. status mengenal pribadi pasangan masing masing. tujuannya sih biar bisa saling menerima kekurangan satu sama lain kelak mereka menikah. padahal dalam penerapannya, mereka berusaha terlihat lebih baik di hadapan pasangan mereka. memberi penampilan terbaik mereka. selalu terlihat cantik atau tampan agar mendapat pujian dari pasangannya. lalu" dimana letak menerima kekurangannya"" Idzar turut duduk menepi bersama Dana. ia mengusap wajahnya.
"jika mampu menikah, maka segerakanlah. agar hati dan syahwatmu terlindungi. agar kelak ada yang menjaga kehormatan dan hartamu, bang" Idzar terlihat lebih mendominasi pembicaraan. dalam hal ini, Idzar seperti punya pengalaman banyak. ironisnya ia sendiri masih berstatus jomblo mulia--katanya. gaya berbicaranya itu menurun dari papanya. berbeda dengan Dana yang cenderung lebih intim pada mamanya.
"pantesan ga kawin kawin lo bang, mikirin bisnis mulu, sih" cibir Idzar mendapat pukulan kecil di lengannya.
"lo salah minum obat" tumben bener" Dana memberi cipratan air ke wajah idzar.
gue mah udah bener dari dulu, lo nya aja gak tahu"
Dana tersenyum sendiri. adik satu satunya ini rupanya sudah dewasa. bahkan sudah mengerti tentang bagaimana menjaga diri. ah, kesibukannya bekerja telah menyita moment dimana seharusnya ia menjadi saksi pertumbuhan Idzar. ia menepuk nepuk punggung Idzar.
" gue bahkan ga pandai dalam bersikap ketika berhadapan dengan lawan jenis" tutur dana. ada tanda pesimis disana. perkataanya barusan mengingatkan Idzar tentang curhat abangnya semalam. tanpa memberi aba aba, idzar tertawa terbahak bahak.
"apanya yang lucu""
"gue ingat curhat lo semalem bang. bukan elo banget itu sok sok manis depan perempuan. dari cerita lo aja gue bisa bayangin bagaimana kakunya lo waktu menawarkan diri makan siang bareng" Idzar memegangi perutnya "gimana tuh perempuan ga takut. image lo udah es banget, bang"
Dana dikuliti habis habisan oleh adiknya sendiri. kesalahan terbesar adalah ia tidak seharusnya curhat pada adiknya--yang pada dasarnya--sesama pria. iya, memang rahasia akan terjamin. tapi rahasia itu akan berguna sebagai bahan bully'an di kemudian hari. kesalahan kedua adalah ia sudah salah langkah bersikap sok manis didepan Sina kemarin. padahal ia sudah berusaha mati matian untuk menarik perhatian gadis itu. bersusah payah mempertahankan senyum mahalnya tersebut. dan hasilnya mengecewakan.
"gak usah rese' deh" Dana mendengus kasar.
"bersikap apa adanya aja, bang" Idzar kembali dalam wujud sebenarnya. "emang siapa sih perempuan pilihan papa itu" satu kantor sama lo, bang"" Dana mengangguk.
"kok gue gak pernah lihat" gue tahu gak"" Idzar mulai penasaran.
" kepo, lu! nanti juga tahu" jawab dana sok misterius. dilanjut menceburkan Idzar ke dalam kolam renang. merasa tidak terima, sebelum dana berlari, idzar sudah lebih cepat menahan pergelangan kaki Dana dan memaksanya untuk masuk ke kolam renang. hingga mereka memutuskan untuk melakukan balap renang. konsekuensinya bagi yang menang harus menikah duluan. perjanjian macam apa itu"
*** ?"11. Awal Yang Berakhir
lantunan surat Ar rum terdengar indah di salah satu frekuensi radio swasta. Dana memperbesar volume tape mobilnya. setiap ayatnya seolah mengabsen saluran indra pendengaran Dana menuju bagian bagian tubuh. tubuhnya bergetar namun masih mampu dikendalikan. sejenak ia memejamkan kedua matanya, tangannya aktif berada pada stir mobil. menyusuri jalanan kota yang selalu menyuguhkan kemacetan. menyuguhkan nyanyian abstrak yang berasal dari klakson kendaraan. menyuguhkan umpatan umpatan kasar ulah para pelaku pengendara yang merasa waktunya lebih berharga jika hanya untuk bermacet seperti ini. sebaiknya renungkan saja diri mereka sendiri. mereka bisa menghindari permasalahan lalu lintas ini, jika mereka mau berangkat lebih awal. itu juga yang seharusnya dilakukan Dana. namun nyatanya, Dana menjadi bagian dari pengendara di jalanan sana yang harus meratapi nasibnya bersama kemacetan ini.
surat Ar rum itu masih mengalun mengisi seisi ruang dalam mobil. cukup menjadi penenangnya kala hati ingin sekali meneriaki jalanan kota atau mungkin lampu lalu lintas di ujung sana dan mengumpatnya. Dana mengeluarkan kepalanya melewati jendela mobil. ia menghela nafas frustasi ketika mendapati deretan mobil memanjang jauh hingga jarak sekitar 5km. kalau tahu akan seperti ini, ia memilih untuk ikut bersama Idzar menaiki motor saja. menghemat waktu dan bahan bakar, pikirnya.
selagi menikmati kemacetan, pandangan Dana tertuju pada seseorang yang menarik perhatiannya. seorang gadis berjalan tergesa gesa menyusuri trotoar jalan. tanpa menegaskan lagi, Dana mengetahui siapa gadis di seberang sana. ia hafal betul dari cara ia berjalan.
tiba tiba saja dua sisi dirinya berdebat. apakah ia harus menemui gadis itu lalu memberinya tumpangan, atau ia biarkan saja berpura pura tidak melihat" tapi ia sudah terlanjur melihat. mana mungkin ia membiarkan gadis itu berjalan sendirian. dimana letak kemanusiaanmu" sisi lain dana menyudutkan dirinya. Dana melongokan lagi kepalanya keluar jendela. kondisi tidak berubah, mobilnya tidak jalan sejengkal pun. waktunya pun tidak banyak. sepertinya kemacetan belum berakhir sampai ia bisa mengajak gadis itu ikut bersamanya. semoga saja.
"aya" gadis itu mencari sumber suara yang memanggil namanya. dari cara ia memanggil, ia tahu betul siapa orang yang memiliki kuasa penuh atas nama itu. dan dugaannya benar. ia melihat Dana berjalan tergesa gesa menyebrang jalanan di tengah kemacetan lalu menghampirinya.
"pak Dana"" Sina menyipitkan matanya karena pagi ini matahari sepertinya tiba lebih dulu memberi sinar yang menusuk. "bapak sedang apa disini" bapak jalan kaki juga"" pertanyaan bodoh macam apa itu" bisakah ia berpikir bahwasanya seorang Dana, berjalan kaki" tunggu sampai maroon5 mengeluarkan album religi.
"saya ingin memberi kamu tumpangan. mobil saya ada disana terjebak macet"
tunggu! Sina memutar otaknya sejenak. sepertinya itu bukan tawaran yang logis ataupun menguntungkan. coba saja pikir, ingin memberi tumpangan disaat kendaraan terjebak macet. dimana sisi menguntungkannya" bukankah itu malah membuatnya semakin telat lebih lama"
"bagaimana kalau bapak ikut saya saja, kita berjalan kaki" Sina berusaha memberi solusi--yang setidaknya--lebih baik. ngomong ngomong, mendengar ungkapan 'kita' dari gadis itu, ada perasaan aneh dalam diri Dana. seperti ada seseorang yang menaburi bunga bunga dalam hatinya. bolehkah ia tersenyum hari ini" sebaiknya jangan dulu.
"tidak bisa. saya tidak terbiasa berjalan kaki" Sina baru tersadar bahwa sosok Dana kembali seperti semula. Es tetap saja Es. tidak bisa menghangat karena takut mencair.
"yasudah kalau begitu saya berjalan kaki saja" Dana terkesiap dengan keputusan itu "kamu menolak tawaran saya"" tanyanya disertai sorot mata sayu namun tajam. Sina butuh seseorang untuk menyadarkan dirinya dari pesona pria dihadapannya saat ini.
"maaf pak. tapi terimakasih sekali atas tawarannya" Sina tersenyum lalu melangkah pergi.
"saya tidak suka ditolak" baru dua langkah, Sina berbalik mendapati Dana tengah bersedekap angkuh memandangnya.
"maaf pak, tapi coba bapak pikir. jika saya ikut bersama bapak, bukankah saya akan lebih terlambat" bapak ingin saya terlambat bekerja"" Sina memberi penjelasan logis. seraya membalas tatapan pria itu. itu pun setelah mengumpulkan sedikit keberaniannya.
"atau jangan jangan bapak memang berniat memecat saya dengan modus seperti ini" karena saya pernah terlambat bekerja sebelumnya"" Sina mulai berpikir buruk tentang atasannya tersebut. gadis itu kalau sudah terdesak, menjadi sangat sensitif.
"terserah kamu saja mau berkata apa. tapi bisa kamu lihat sekarang" Dana merentangkan tangannya ke arah jalan kemudian tangannya mengarah pada sebrang jalan disana, membiarkan Sina mengamati jalanan. suara klason mobil semakin banyak jumlahnya. teriakan pengendara pun semakin kacau. itu dikarenakan ada sebuah mobil xenia yang tidak berjalan sama sekali ketika kemacetan hampir membaik. Sina memicing. otaknya memberi sinyal bahwa itu mobil Dana yang ia tinggalkan. "kekacauan ini akan berakhir di tanganmu"
Sina tersontak kaget. terlebih salah satu pengendara mobil angkutam umum berteriak mengeluarkan umpatan kasar. ia sempat mendengar pengendara itu meneriakan nama hewan penghuni kebun binatang. sejenak Sina beristighfar dalam hati. bagaimana bisa Dana bersikap tenang dalam keadaan seperti ini"
"saya mulai berpikir dua kali tentang kejiwaan bapak. bagaimana kalau saya tetap menolak"" Sina tidak mau terbawa suasana. ia menantang balik atasan terhormatnya itu. ia yakin sekali Dana tidak akan membiarkan kekacauan ini terus berlangsung lama. ia harus memikirkan nama baiknya juga bukan" Batin Sina membela.
"kamu berhutang budi kepada saya perihal baju yang saya berikan tempo hari" satu satunya amunisi ancaman terakhir yang ia punya. Sina tercekat beberapa saat hingga perdebatan mereka berakhir dengan skor 1-0. Dana memimpin.
Di dalam mobil, keduanya terjebak dalam atmosfer kebisuan. sejak Sina menginjakan kakinya masuk kesana, tak ada lagi kata kata ataupun kalimat basa basi yang seharusnya bisa menetralkan keadaan. keduanya melakukan aktifitas yang sama. diam.
dalam diamnya, Sina berharap kendaraan ini cepat sampai tujuan. berbeda dengan Dana, dalam kemudinya ia berpikir keras bagaimana memulai sebuah pembicaraan. semoga saja ia terlindung dari godaan 'orang ketiga' yang kerap berada diantara dua orang lawan jenis seperti keadaannya saat ini.
"saya akan mengembalikan baju itu secepatnya" Sina membuka obrolan sesaat ketika Dana hendak memulai duluan. Dana segera mengatupkan bibirnya.
"simpan saja. kamu sudah membalasnya dengan menerima tawaran ini" pandangan Dana fokus pada jalan yang kondisinya sudah sedikit lebih baik. walau macet, mobilnya tetap bisa melaju sedikit sedikit.
"tawaran ini membuat saya terlambat, pak. ini membuang waktu saya" Sina agak ngotot. harus dijelaskan berapa kali lagi" batin Sina hampir berteriak.
"jangan egois. jangan merasa kamu adalah pihak yang terdzolimi karena saya. lihatlah dari sisi yang lain" Dana memutar stirnya ketika berada ditikungan. Sina bergeming. haruskah ia menoleh pada pria itu, untuk menuntut penjelasan atas ucapannya barusan"
"kamu pikir jabatan saya bisa membebaskan saya dari aturan" saya harap pikiran itu tidak terlintas di otakmu" Dana melirik Sina sebentar lalu kembali memandang lurus "bagi saya jabatan adalah sebuah tanggung jawab yang tidak berwujud. di dalamnya terdapat sesuatu yang disebut sebagai panutan. jabatan itu saya jadikan perantara untuk memberi panutan yang baik kepada seluruh pegawai. jika sedikit saja saya melakukan kesalahan, maka bisa kamu bayangkan bagaimana tanggung jawab itu menipis perlahan. hanya karena satu kesalahan" Dana melirik Sina lagi. memastikan gadis itu paham akan penjelasannya. justru sina semakin tidak paham. terlihat sekali dari tatapan bodohnya yang memberi bocoran bahwa gadis itu tengah bersusah payah mencerna penjelasan tersebut. mengapa papa memilih gadis yang seperti ini untukknya" Dana hampir gila
"intinya, kamu dan saya" Dana menggeleng kecil "kita. berada dalam situasi yang sama. terlambat" tegas Dana lewat sorot matanya. Sina hampir kehabisan stock oksigen untuk bernafas. bisakah ia meminta turun lebih dulu ke jalan lalu membiarkan dirinya tertabrak truck besar untuk membuyarkan kharismanya yang luar biasa itu" stop berimaginasi diluat batas, sina! dirinya mengingatkan.
*** "wah, bagus banget, dzar" kedua mata Maudy berbinar mengamati benda kecil berbentuk lingkaran ditangannya. sebuah cincin bermata satu terselip pada kotak beludru berwarna merah.
"kamu serius sama niat kamu, dzar"" Maudy memainkan cincin itu di udara. melihatnya dari segala sisi.
"serius dong, mba. namanya juga niat. kalau gak disertai dengan niat, bukan serius namanya" Idzar menyeruput jus jeruk ditangannya.
"hebat juga kamu" Maudy menyerahkan kembali cincin itu pada pemiliknya.
"ngomong ngomong, aku boleh kepo, gak sama perempuan yang bakal kamu lamar itu""
"rahasia, mba" Idzar nyengir seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "status khitbah aja belum boleh di publikasi, gimana status saya yang bukan siapa siapa" Maudy meng-Oh jawaban itu. ucapan Idzar ada benarnya juga. ia lanjut menikmati makan siang. tak lama Sina datang terburu buru membawa kotak makan siang miliknya. dari kejauhan ia nampak ngos ngosan seperti habis lari marathon. dengan sigap Idzar menyimpan benda berharga ditangannya itu ke dalam saku celana
"masih ada waktu makan siang ga" aku kesiangan nih" Sina duduk di salah satu kursi diantara idzar dan maudy. ia mulai mengatur nafas.
"gara gara kesiangan, jatah jam istirahat aku dikurangin untuk menuntaskan laporan yang seharusnya diserahkan minggu depan" ungkap Sina membuka kotak makan lalu menikmati makan siangnya dengan wajah yang ditekuk dalam ratusan lapis.
"masih ada setengah jam kok. jangan terburu buru, na" Maudy menenangkan. Sina bernafas lega. ia menyedok satu suapan nasi beserta sambel goreng ati racikan ibunya.
"aku panik mba, aku takut engga bisa makan siang trus sholat trus duduk,---"
"eh! telen dulu itu makanan" potong idzar sebal dengan kebiasaan buruk gadis itu. "jaga image lo kek sebagai wanita. lagian lo ga tengsin apa, ada gue disinii" Idzar mulai gemas. sebagai pria, ia punya standard tersendiri dalam menilai gadis. salah satunya ia menginginkan gadis yang pandai menjaga imagenya. dengan begitu kelak ia mampu menjaga image suami dan keluarganya. namun untuk Sina, ia masuk pengecualian.
"dih, emang lo siapa"" Sina berjengit mengidikan bahunya. "terus gue harus jaim gitu didepan lo"" Sina menaikan bibir atas kanannya.
"iyalah. gue kan laki laki, lo ga tengsin""
"bilang aja lo ilfil sama gue" Sina tersenyum meledek. kini Idzar yang berjengit mengamati Sina yang sibuk dengan santapannya.
" iya gue ilfil. ilfill kuadrat, eh! ralat. ilfil kubik" Idzar melotot sebal lalu membuang wajahnya.
"udah udah. berantem mulu. hobby ya"" Maudy menengahi. ia memang selalu jadi malaikat penyelamat. Sina ingat ketika peristiwa menyakitkan tentang abbas waktu itu, Maudy satu satunya orang pertama yang memberikan bahunya untuk bersandar.
"tahu nih, udah sana sana! gue mau makan. nanti lo tambah ilfil lagi. soalnya gue kalau makan sambil berdiri terus garuk garuk terus jalan jalan terus lari lari terus,---"
"sakarepmu!" Idzar memotong lagi lalu beranjak dari kursi meninggalkan Sina dan Maudy yang sedang terkekeh geli. kebahagiaan seperti berada dipihak mereka ketika berhasil membuat Idzar kesal.
*** sebuah rumah mewah yang memiliki dua lantai itu. menjulang kokoh. dengan gaya menyerupai rumah adat joglo, seolah tak mau menghilangkan sisi budaya penghuni nya.
terasnya begitu luas. dilengkapi dua pasang kursi dan meja yang memanjang. disanalah dua orang wanita tengah terlibat dalam pembicaraan serius.
" apa tidak bisa dipercepat pernikahanmu dengan Abbas"" wanita yang bernama Diana itu menghisap rokoknya yang hampir memendek. ia menghembuskan kepulan asap dari bibir merah meronanya.
"tidak, ma. Abbas menginginkan pernikahan setelah bayi ini lahir" wanita yang satunya yang tak lain adalah sarah sedang duduk sambil memotong motong buah apel menjadi potongan kecil kecil.
"apa alasannya" kamu harus tahu bayi dalam kandunganmu adalah Aib"
"entahlah. ia bersih keras menginginkan itu" jawab Sarah pasrah lalu menyuap potongan apel tersebut dari garpu.
"kamu itu bodoh, Sarah! seharusnya kamu bisa memanfaatkan Dana. harusnya dana yang menghamilimu! bukan laki laki sok alim itu!" nadanya meninggi setelah Diana menoleh pada sarah dan memberinya tatapan membunuh. Sarah menarik nafas seraya memejamkan mata.
"cukup ma" Sarah berusaha tetap tenang "jangan pernah bermimpi atau berharap soal itu. Dana tidak salah"
"heii.." Diana mencengkram pipi Sarah tiba tiba. menatapnya bak iblis yang menemukan mangsa lalu akan menelannya hidup hidup. ia menyeringai lebar. menyeramkan.
"Dana tetap kekasihmu. dan jangan pernah meragukan keinginanku, sayang" kali ini tatapan diana berubah menjadi menyedihkan yang tidak normal.
"lalu apa yang akan mama lakukan" ku mohon jangan libatkan Dana, ma" Sarah berkedip mengeluarkan bendungan di matanya. cengkraman di pipinya itu membuatnya pegal. hampir sulit bernafas.
"apa yang akan mama lakukan"" Diana mengulang pertanyaan sarah seraya melepas kasar cengkraman itu lalu mengernyit "bukan mama, nak. tapi kita" Diana berbalik memandang luas halaman rumahnya. ia hisap lagi rokoknya.
"sebaiknya kita pikirkan--apa yang seharusnya kita lakukan"
"Sarah tidak ingin melakukan rencana apapun, ma"
"Harus!" Diana berbalik cepat lalu menunjuk wajah Sarah dalam jarak dekat. matanya intens menatap Sarah. Sarah tertunduk tak berdaya.
"kamu harus ikut andil" Diana mendelik. menampakam eyeliner tebal di matanya.
"atau mama ambil tindakan terakhir" Sarah mendongak. menuntut penjelasan berikutnya.
"gugurkan!" satu kalimat ajaib membuat seketika tubuh Sarah merinding hebat. tubuhnya meremang. baginya itu bukan penawaran, tapi pilihan sepihak. bagaimanapun juga, bayi ini tidak berdosa. bayi ini masih terlalu suci jika dilahirkan dari rahim ibu yang kejam seperti dirinya. bahkan bayi ini tidak pantas mendapat ibu yang jahat seperti dirinya. batin Sarah ingin berteriak.
*** ?"12. Awal Yang Berakhir A
tepat dihadapan Sina adalah jendela besar mengarah pada pemandangan kota di selimuti langit yang masih dalam biru segar. gumpalan awan berarak seperti kapas. ia duduk di kursi dekat meja besar beralas kaca. tubuhnya terduduk kaku dikursi empuk yang seharusnya membuatnya nyaman. suhu Ac di ruangan tersebut menjalar mengabsen bulu bulu halus ditangannya hingga membuatnya merinding.
sosok yang ia tunggu belum menampakan diri juga. setelah setengah jam sebelumnya, Dana meminta dirinya segera ke ruangannya. tapi yang didapat hanya kekosongan. Sina tidak melihat tanda tanda keberadaan Dana disana. akhirnya ia memutuskan untuk menunggu.
selagi menunggu, Sina menyapu ruangan kerja milik manusia Es tersebut. ruangan yang besar dan sangat rapi. Sina memandang pigura pigura yang menghiasi dinding kokoh disana. ada beberapa kaligrafi bertuliskan lafadz Allah dan Muhammad. pandangannya berjalan pelan menyusuri, hingga mendarat pada meja dihadapannya. ada pigura berukuran kecil membelakanginya. Sina mencoba membalikan posisi pigura itu. kedua matanya memicing seraya mencermati 4 sosok yang ada dalam foto tersebut. belum sempat otaknya meloading, Sina dikagetkan dengan suara dentuman pintu. ia buru buru meletakan pigura itu pada posisi awal. walau tidak serapi sebelumnya.
sepertinya dalam foto tadi ada satu sosok yang begitu familiar.. ah! hanya perasaan saja.
"maaf membuatmu menunggu lama" Dana berjalan mantap menuju kursi kebesarannya. Sina mengangguk.
"ada perlu apa bapak meminta saya kesini"" bersama keberanian yang sudah ia siapkan sebelum pria itu tiba, Sina berhasil menatap Dana. dalam waktu sekejap, ia mengabsen setiap inci keindahan makhluk dihadapannya saat ini. wajahnya nampak bercahaya karena effek sinar tajam yang timbul dari balik jendela. semakin menguatkan kharismanya. wajah cekung yang unik itu membuat Sina ingin berlama lama bermukim disana. ingin menjadikan hidung bangirnya sebagai perosotan yang dijadikan mainan anak anak. itu bukan pujian, ingat! hanya mendikte kenyataan yang ada. ya keindahan yang nyata di dunia yang fana. buktinya, ia hampir di mabuk kepayang dibuatnya. pesona itu Dana seperti arak yang memabukan.
"saya ingin mengatakan sesuatu. mohon maaf sebelumnya jika nanti ucapan saya ada yang menyinggung perasaan kamu" Dana sudah mewanti wanti. jujur ia ragu untuk mengatakan hal ini. andai gadis itu tahu bahwa sedari tadi selama ia menunggu, Dana hanya berdiri dibalik dinding seraya mengatur nafas mempersiapkan mental dan keberaniannya.
"insya Allah, pak. katakan saja" Sina menjawab tenang. tapi siapa yang tahu bahwa perasaannya sedang tidak karuan. terlihat dari jemari gadis itu bermain abstrak di atas meja. apa yang hendak dikatakannya"
"kamu yakin""
Sina ingin protes pada Dana, agar segera mengatakan maksud dan tujuannya, tanpa harus bertele tele. jika ditanya yakin atau tidak, jujur ia tidak yakin. pria misterius seperti Dana jika diumpamakan seperti bom waktu yang bisa meledak kapan saja. dan entah mengapa keberadaan Dana dihadapannya selalu memberi reaksi tubuh yang aneh. seperti reaksi kimia yang mengejutkan.
" sebaiknya bapak katakan sekarang. pekerjaan saya sudah menunggu" Sina berhasil menutupi kegugupannya. merasa didesak, Dana menghela nafas panjang.
"mana berkas data lengkap seluruh karyawan yang saya minta"" ujarnya santai.
detik berikutnya setelah kalimat itu berakhir, Sina hanya bisa menunjukan raut bodoh. matanya berkedip seraya menganga kecil. apa itu yang ingin ia katakan" semoga saja bukan.
"hanya itu"" Sina mengernyitkan dahi "bapak hanya ingin menanyakan itu"" Sina meramal isi kepala pria dihadapannya sekarang.
"iya. memang kamu pikir apa"" dengan wajah tanpa dosa Dana membenarkan posisi duduknya. ia menyandarkan diri pada kursi empuk disana. membiarkan Sina terbengong bodoh. menebak nebak bahkan mengumpat dalam hati seraya mengutuk Dana agar segera musnah dari bumi ini. manusia Es itu harus segera musnah. atau tidak,akan semakin banyak korban atas sikap menyebalkannya itu. jika hanya untuk menanyakan hal itu, untuk apa ia menunggu hampir setengah jam disini. berlama lama dengan kegugupannya. belum lagi kalimat kalimat pembuka yang ia lontarkan secara sok misterius. bukankah itu menyebalkan" ralat! sangat menyebalkan.
"tunggu. biar saya perjelas" Sina mengambil alih keadaan. "jadi bapak membiarkan saya berdiam disini, lalu meminta maaf sebelumnya-- hanya untuk menanyakan--berkas data lengkap karyawan"" Sina mendengus pendek.
"tentu saja, aya" nada bicaranya terdengar lembut. "memang kamu pikir saya akan mengatakan apa" atau kamu menginginkan sesuatu yang lebih dari saya"" Dana menyeringai tipis. tersirat ide busuk di dalamnya. dan ide itu berjalan sukses. sukses membuat Sina frustasi menghadapi atasan menyebalkannya itu. Sina menggeretakan giginya menahan sebuah luapan yang hampir keluar begitu saja. andai ini adalah dunia kartun, mungkin kepulan asap dan api sudah mencuat keluar dari kepalanya disertai wajah memerah. bisa bisanya dia berkata seperti itu. dan apa maksud dari 'sesuatu yang lebih' itu" Sina tak henti hentinya berjengit bergidik ngeri pada Dana.
tak sampai 5 menit, Setelah kembali ke meja kerjanya lalu mengambil berkas yang memang sudah disiapkan. Sina kembali menempati kursi panas yang membunuh itu.
Dana mencermati deretan nama di setiap baris berkas tersebut. wajahnya yang serius terlihat menyebalkan di mata Sina yang sedari tadi mengamati pria itu. sepertinya Dana memang sengaja mengerjainya. tunggu pembalasanku manusia Es. batin Sina mulai mendengki.
"apa ada kesulitan"" tanyannya tanpa menoleh.
"sejauh ini tidak ada, pak"
Dana mengangkat satu alisnya "artinya, akan""
"selama hidup, manusia tidak lepas dari kesulitan. kehidupan kita tidak pernah berjalan mulus" jawabannya malah terdengar seperti kalimat motivasi mario teguh. lagi lagi Dana merasakan aliran aneh ketika mendengar ungkapan 'kita' dari bibir Sina.
"pesimis sekali" Dana bergumam remeh. walau tidak menatap langsung, Sina paham maksud gumamannya.
"jika mempersiapkan diri pada kesulitan saja dibilang pesimis bagaimana dengan manusia yang enggan menghadapi kesulitan" seperti enggan berjalan kaki--misalnya" skak mat! Sina berhasil membalas Dana hingga pria itu mendongak. Dana mengernyit sinis.
"apa itu sebuah sindiran untuk saya"" Dana menatap Sina dengan intens. menerawang pikirannya. seolah ingin sekali merobek isi kepala Sina lalu mencuci otaknya. Sina tidak menjawab. hanya memberi senyum tipis. "kamu benar. saya enggan menghadapi kesulitan itu. itulah mengapa saya memberimu tumpangan. karena saya tidak ingin berlari dari kesulitan itu sendirian" tiba tiba saja Sina ingin memuntahkan isi perutnya. perkataan Dana seperti rayuan yang memuakan. ia harap Dana ingat dengan usianya yang sudah tidak lagi ABG.
"setidaknya ada kamu yang menemani saya berlari dari sana"
Cahaya Bertasbih Karya Suffynurcahyati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"apa itu sebuah rayuan" saya harap bukan" Sina tersenyum miring. Dana beranjak lalu berdiri bersandar pada sisi meja. menatap Sina seperti seorang buronan penjaha kelas kakap.
"bagaimana jika iya" apa rayuan saya sudah membuatmu berbunga bunga""
Sina menarik kecil wajahnya dari tatapan intimidasi Dana. ia hampir menyerah. sungguh. sejenak ia berharap diberi kekuatan lebih untuk melakukan perlawanan.
"sepertinya pembicaraan kita sudah melenceng dari pokok pembahasan" Sina pun turut beranjak hingga kedua mata mereka bertemu dalam satu garis lurus. "sebaiknya saya permisi" Sina berbalik berniat meninggalkan Dana. tapi baru dua langkah, kaki itu terhenti seperti memberi sinyal bahwa ada sesuatu yang terlupakan olehnya "jika anda berpikir untuk mendekati saya. urungkan saja niat itu. saya sudah dijodohkan dengan seseorang" Sina mengingatkan sambil menaikan bahu berlagak jual mahal. Dana mengulum senyum tersembunyi.
"begitu rupanya" Dana berjalan mendekat "dan kamu menyetujui perjodohan itu""
"tentu saja. menurut saya, pilihan yang terbaik itu tidak hanya melibatkan Tuhan, tapi juga orangtua" dana mengambil makna yang tersirat disana. sepertinya sina memang terlahir dari zaman siti nurbaya. malah tidak ada beban dalam perjodohan tersebut. sejenak ia ingin tahu, apa yang membuat Sina yakin tentang jodoh dari orangtuanya--yang menurut informasi--Sina sendiri tidak mengetahui bahwa Dana adalah pria yang dijodohkan dengan gadis itu.
"bagaimana soal cinta" kamu bahkan tidak bisa menumbuhkan cinta dari orang yang baru kamu kenal" sejujurnya ini yang hendak ia katakan sejak awal. hanya saja Dana bingung harus memulai darimana. beruntung Sina tergolong gadis yang peka.
"hanya sulit, bukan tidak bisa" jawaban singkat yang menandakan bahwa Sina yakin menumbuhkan cinta diantara dua insan itu bukan hal yang mustahil. apa salahnya dengan membangun cinta" daripada harus jatuh. bukankah membangun cinta dalam ikatan halal seperti membangun sebuah istana di surga"
Dana hendak mengatakan sesuatu, namun Sina lebih cepat tanggap hingga Dana mengurungkan niatnya.
"jika keberadaan saya sudah tidak dibutuhkan. saya permisi" Sina berbalik kemudian berjalan meninggalkan Dana berdiri terpaku menatap kepergian gadis itu.
bolehkah ia memuji gadis itu sekarang"
ia yakin tidak akan ada yang mendengar kecuali Tuhan.
sederet kalimat pujian rasanya tidak cukup untuk menyempurnakan gadis keras kepala itu. sikapnya yang frontal dan blak blakan disertai ekspresif. sangat mudah menunjukan bagaimana perasaannya. tidak banyak menutupi. tidak pandai menjaga image. tidak gengsi untuk melakukan hal yang menurut orang hanya akan menurunkan harga diri. jangan bicarakan soal harga diri pada sina. karena harga dirinya dihadapan Dana sudah habis terkelupas seperti cangkang telur.
tapi ia memiliki prinsip. prinsip yang menurutnya akan membawanya pada kebaikan.
bolehkah ia mengatakan bahwa sesuatu yang mengatas namakan dirinya cinta telah hadir mengisi labirn labirin hatinya" cinta yang terkadang juga bisa menjadi ancaman untuknya. ancaman agar manusia terlalu mencintai makhlukNya ketimbang penciptaNya. naudzubillah..
*** waktu menunjukan pukul delapan malam. Sina baru saja tiba di rumahnya. ini pertama kalinya ia lembur. bekerja di kantor rupanya tidak sesantai yang ia kira sejak awal. semakin berjalannya waktu, semakin banyak tanggung jawab yang harus ia kerjakan sebagai wujud pengabdiannya pada perusahaan. untung saja ia sudah melaksanakan sholat isya di masjid tak jauh dari kantor.
setelah membuka gerbang, ia dikejutkan dengan terparkirnya sebuah mobil avanza, hitam. siapa yang bertamu malam malam seperti ini" mungkin tamu ayah. merasa tidak ingin mengganggu, Sina memutuskan untuk masuk lewat pintu belakang yang menembus ke dapur.
"assalamualaikum" Sina mendapati ibu sedang membuatkan dua cangkir teh. itu pasti untuk tamu ayah. pikirnya.
"waalaikumsalam"
"ada tamu ayah, bu"" Sina mencium tangan ibu. lalu duduk di meja makan. disana ada dua piring kue basah dan setoples nastar buatan ibu.
"iya" jawab ibu singkat "lembur kamu, nak""
"iya nih, bu. lembur pertama" Sina merentangkan kedua tangannya melakukan gerakan ngulet.
"jangan mandi ya, udah malem. di basuh pake washlap aja pakai air hangat" tidak terlalu menyimak saran ibu, Sina menemukan sesuatu yang menarik perhatiannya.
dari balik dinding yang memisahkan antara dapur dan ruang tamu, ada ruang keluarga. ia melihat Aufa sedang menempelkan tubuhnya pada dinding pemisah tersebut. kepalanya sedikit miring. apa ia sedang mengintip"
"hei, ngintipin siapa kamu"" Sina menepuk pundak Aufa hingga gadis itu melonjak kaget. Aufa tidak menjawab. ia kembali mengintip aktifitas yang membuat sina penasaran. ia pun terjerumus melakukan yang Aufa lakukan.
rupanya Aufa mengintip tamu ayah disana. dan itu bukan hanya tamu ayah. tapi tamu Aufa juga Sina. benarkah yang ia lihat sekarang ini" Sina mengucek matanya untuk memastikan. dan matanya masih berfungsi dengan sangat baik. ia tidak salah lihat. tamu ayah disana adalah seorang pria bernama..
"Idzar"" ulang Sina mempertegas dugaanya. pria yang sedang bersama ayah adalah Idzar. ada urusan apa ayah dengan Idzar"
"fa, itu Idzar kan" ngapain dia kesini"" Sina berbisik dengan posisi sama dengan Aufa. keduanya menempel pada tembok. Aufa tetap tidak menjawab. Sina menoleh sebentar. ia melihat raut sedih dari wajah Aufa. walau tidak terlalu mencolok, ia hafal betul perubahan wajah gadis itu. matanya sendu. bibir bawahnya digigit kecil.
"tapi saya bersungguh sungguh ingin menikahi anak bapak"
apa" menikahi" menikahi siapa"
Sina melanjutkan aksi gerilyanya.
"Sina sudah kami jodohkan dengan pria lain, nak" Ibnu memberi usapan lembut di bahu kokoh Idzar. pria itu menunduk sopan. "akan semakin menyakitkan jika kami menerima lamaranmu"
dari balik dinding, Sina tercekat hebat. tenggorokannya mendadak kering. lututnya melumer seperti jelly. ia merasa menjadi manusia tanpa tulang hari ini dan detik ini juga. semoga tidak ada hal buruk yang menimpa pendengarannya. semoga ia baik baik saja. semoga ia masih bisa bernafas setelah ini.
"baiklah kalau begitu. saya mengerti sekali keputusan bapak. mohon maaf atas kehadiran saya disini" Sina melihat Idzar dari celah kecil. Ia dapat melihat ketegaran yang mantap dari wajah pria itu. "Saya hanya ingin berikhtiar dengan gadis yang saya cintai. Selebihnya saya serahkan pada Allah mengenai keputusan bapak" Sina menutup mulut dengan kedua tangannya.
"Kalau boleh saya tahu, dengan siapa Sina dijodohkan, pak""
Setelah itu, Sina tidak mendengar apa apa lagi. Kepalanya tiba tiba sangat berat. Seperti ada besi besi tajam menusuk nusuk kepalanya.
Idzar begitu lihai menutupi rencana melamar Sina. Bahkan tidak nampak sedikitpun Idzar menunjukan rasa tertarik dirinya pada Sina. Karena sejak kemarin pun mereka saling bertengkar walau karena alasan sepele. Di balik canda dan cibiran maupun ejekan itu, rupanya Idzar menyimpan rapat rapat gejolak cinta dalam dirinya. Menutupi sebuah rasa yang suatu saat bisa menjadi boomerang yang berbahaya. Itulah mengapa ia memilih untuk bersikap silent. Cukup Tuhan yang menjadi saksi pengorbanan Idzar. Mencintai lewat bisu yang mengejutkan.
Dari situlah Sina menyimpan kecurigaan pada Aufa. Mengapa Aufa nampak murung" Mengapa garis wajahnya menampakan kesedihan yang mendalam" Apa ia juga menerapkan prinsip mencintai lewat bisu seperti Idzar" Apa ia merasa tersakiti ketika tahu Idzar melamar dirinya"
Andai saja Tuhan mau memberi sedikit bocoran rahasia kehidupan pada hambaNya. Mungkin tidak akan serumit ini. Semua peristiwa ini ada Tuhan yang menjadi sutradara sekaligus penulis skenarioNya. Tuhan berada dibalik layar, tapi tak ayal ada juga yang menjadikan Tuhan sebagai pemeran utama.
*** ?"13. Awal Yang Berakhir B
... Bolehlah aku bermunajat kala sebuah jiwa tak ubahnya seperti batu karang,
Bolehlah aku berkasih denganNya kala sebuah hati masih berkhianat,
Bolehlah aku berkhalwat padaNya kala tutur ini tak henti memuja makhlukNya,
dan bolehlah aku tak henti meminta agar dilabuhkan sebuah hati ini pada daratan terindah.
tak apa bila mereka menyebutku lupa daratan. asal mereka tak menggunjing daratanku,
aku penat.. penat terombang ambing dalam genangan biru meluas,
aku muak.. muak berdiam saja kala ombak menimpaku dengan kejam,
tapi aku diam.. aku diam, ketika sang ombak pergi dengan tahu diri aku diam, ketika aku merindukan terjangannya,
aku diam, ketika aku menyesal tatkala rindu itu berubah wujud bak pisau belati. menusuk.
dan berjanjilah aku, kelak ombak itu datang lagi menemuiku. tak ada harap untuk ia bisa menerjangku kembali.
karena saat itu, Sang Agung maha Besar telah membawa ku bersama arus menuju daratan terindah.
Dan berjanjilah aku, untuk menancapkan kaki kokoh ini pada hamparan pasir meluas tanpa batas. menikmati atmosfernya yang indah.
bercumbu dengannya di atas naungan Sang Illahi,
Abidzar Ahda Prama- Idzar menutup buku tebal berwarna hitam dengan bahan kulit pada bagian cover. buku itu pemberian Aufa sewaktu mereka bertemu menghadiri seminar ilmu alam dari salah satu event di perguruan tinggi ternama. karena terlalu lama disimpan, buku berukuran 19x12 itu hampir berdebu.
disaat seperti ini, tiba tiba saja idzar ingin mencoret coret sesuatu. dan terpampanglah dalam otaknya buku itu. rangkaian kata kata ia susun menjadi sebuah puisi yang menurutnya hanya dirinya dan Tuhan lah yang tahu.
tangannya hendak menulis rangkaian lagi pada halaman berikutnya.
kau tahu apa yang lebih pahit selain kejujuran"
... kenyataan..pernah mendengar seseorang yang ingin berlari dari kenyataan"
... tiba tiba tangan itu berhenti. bolpoint ditangannya menancap pada lembaran seolah tak ingin menari lagi di atasnya.
sama seperti jiwanya yang berdiam statis pada satu objek.
selagi diam, beberapa inti otaknya berpetualang menemui kembali peristiwa yang baru baru ini dilewatinya bersama luka menganga. Idzar mengingat sebuah wajah indah menatapnya lewat celah dinding. ia menyempatkan diri menatap mata indah itu ketika pandangannya sedang terunduk. kala itu ia rapuh. ia masih ingin mengelarkan lontaran lontaran teguh untuk meyakinkan ayahnya bahwa niat yang tumbuh dalam dirinya tertanam oleh tanah subur bernama ketulusan. dan tatapan singkat itu seperti menyadarkannya dari lamunan omong kosong. seolah mereka berkata 'sudahlah.. berhenti mengharapkanku'
dan saat itu juga Idzar mengawali sesuatu yang seharusnya belum berakhir namun pupus di tengah jalan. apa ini yang disebut kalah sebelum berperang"
Tuhan sedang menjalankan skenarioNya. maka dari itu ia cukup menjadi pemain terbaikNya saja. ikuti saja alur cerita yang dibuat. maka akan mengarah pada kebaikan yang abadi. yang abadi itu selalu indah, kan"
Idzar memutar mutar cincin emas ditangannya. memandangi dari berbagai sudut. nyatanya benda itu memang tidak memiliki sudut. hanya gerakan abstrak untuk menyibukan diri saja. hingga ia menemukan selembar kertas putih mencuat keluar dari celah pintu kamar. sejak kapan kertas itu berada disana" Idzar menarik kertas tersebut lalu membaca dua baris kalimat tertulis disana
Jangan terlalu lama terpuruk. ingat kehidupan disana yang menunggu,
Idzar mendengus pendek. ia tahu sekali pesan itu berasal dari Dana. sedari tadi kakaknya itu mengajaknya berbicara tapi ditolak olehnya. terlebih setelah Idzar mengetahui bahwa pria yang dijodohkan Sina adalah kakaknya sendiri. Dana hanya ingin memberi sedikit penjelasan. tapi sekali lagi idzar menolak. Dana pun baru mengetahui perihal lamaran adiknya kepada Sina dari Ibnu--Ayah Sina. walau pada akhirnya Idzar harus memaksa menelan pil pahit, lantas tak membuat pria itu membenci Dana. sungguh, bukan naif. tapi memang dalam lubuk hati Idzar sudah menyiapkan sedikit ruang kosong untuk menyimpan sebuah keikhlasan. kala hati mencintai seseorang, maka siapkanlah beberapa ruang keikhlasan untuknya. karena akan ada dua pilihan ketika kita memilih mencintai makhlukNya. ditinggalkan atau meninggalkan.
pintu kamar itu terketuk. rupanya keberadaan Dana masih disana. sedari tadi Dana berdiri menunggu Idzar keluar kamar. Idzar pun menghampiri pintu kemudian berdiri membelakangi pintu. ia enggan membukanya.
"gue baik baik saja, bang. gue hanya butuh waktu berdua sama Tuhan. setelah itu lo bisa lihat perubahan gue yang bakal lebih baik dari sekarang" mendengar itu Dana bernafas lega. kini ia yakin adiknya tersebut sudah merasa lebih baik. meskipun ada secuil rasa bersalah yang muncul dari hatinya. dua kakak beradik mencintai gadis yang sama.
*** waktu menunjukan pukul 12 siang. dimana itu adalah waktu untuk makan siang. seluruh pegawai berjalan keluar untuk makan siang ataupun sholat juga istirahat melepas lelah.
"saya ingin mengajak kamu makan siang bersama" tiba tiba saja Dana sudah berdiri di tepi meja kerja Maudy. entah sejak kapan ia datang tapi cukup membuat Maudy terkejut.
"makan siang dengan saya"" Maudy tersenyum kecil. tawaran yang menggiurkan sekali pikirnya. pria impiannya mengajak makan siang bersama itu anugerah terindah dalam sejarah kehidupan asmaranya.
"iya. saya tunggu di cafetaria meja nomor 3" tanpa ba bi bu Dana berlalu begitu saja meninggalkan pesan singkat itu pada Maudy.
setibanya dicafetaria, Maudy memilih duduk berhadapan dengan Dana. ia hanya ingin menyelam sambil minum air.
menikmati makan siang disuguhi wajah pujaan hatinya.
"tumben sekali bapak membawa bekal makan siang" tanya maudy di sela sela aktifitas makan mereka.
"belajar hidup sehat" jawabnya singkat lalu menyuap sesendok nasi dilengkapi potongan tumis cumi yang lezat. sepertinya gaya hidup Sina menular pada Dana.
"ternyata membawa makan siang itu lebih nikmat ya. saya adalah orang yang mudah bosan pada menu makanan tertentu. jujur, menu di cafe ini sangat monoton. maka dari itu saya memilih membawa makan siang sendiri saja. selain menunya sehat, juga bervariasi. saya bisa setiap hari menikmati cumi kesukaan saya" curhat Dana. apa tumis cumi itu juga membuat Dana menjadi agak berbeda hari ini" ia lebih terlihat ramah sekali.
"benar sekali, pak" Maudy mengangguk paham seraya tersenyum
ditengah aktifitas mereka rupanya ada Sina yang secara tidak langsung mendengar percakapan mereka. ya, sejak awal Sina berada tak jauh dari sana. ketika tahu ada Dana disana, Sina memilih duduk di salah satu kursi lain. ia tidak mau mengambil resiko berbahaya jika bersama manusia es batu itu.
"loh, kamu dari tadi disitu"" Sina mengumpat dalam hati. kenapa Maudy sadar keberadaannya disini" harusnya ia mengambil tempat yang lebih jauh.
"iya, mba aku daritadi disini" Sina berusaha tidak menoleh. karena kalau menoleh, secara tidak langsung bayangan Dana berada dalam satu pandangan.
"ayo sini gabung, na" Maudy menunjukan satu kursi kosong disebelahnya. "ga enak tahu makan sendirian kayak gitu" Sina melihat sebentar ke arah mereka. jika ia menempati kursi kosong di sebelah Maudy, itu sama saja ia duduk bersebelahan dengan Dana. bentuk meja itu bundar, sedang Maudy duduk berhadapan dengan Dana. bisa disimpulkan Sina malah bersebelahan dengan Dana jika mengambil kursi dari sisi kanan maupun kiri.
"ga apa apa kok, mba. aku lebih nyaman disini. udah pewe, " Sina tersenyum hambar. beberapa detik ia melihat Dana sibuk dengan santapannya, tapi detik berikutnya pria itu tertangkap basah memandang Sina lewat sudut mata.
tidak menerima penolakan, Maudy beranjak lalu menghampiri Sina seraya menarik pergelangan tangannya.
"ayo ikut!" ajak Maudy lembut
"aku disini aja deh, mba. kalau disana yang ada selera makan ku hilang tanpa sisa" Sina melirik Dana sebal. Maudy agak membungkuk mensejajarkan tubuhnya pada Sina seraya berbisik "kamu ga mau kan, ada 'orang ketiga' yang duduk ditengah tengah kita" setidaknya kamu menyelamatkan kami" Sina pikir hanya dirinya yang risih dengan keberadaan Dana. rupanya Maudy juga. manusia es itu memang seperti hama pengganggu.
"tapi aku males mba sebelahan sama dia. pak Dana itu genit" sontak maudy menarik wajahnya. "jangan ngaco ah! udah ayo ikut. jangan sampai aku paksa ya" Maudy memberi peringatan terakhir. Sina bergeming menimang nimang.
"setidaknya demi aku" permohonan terakhir itu manjur. dengan segala keberatan hati, kini Sina sudah duduk manis diantara Dana dan Maudy.
benar, kan" selera makannya hilang. itulah salah satu reaksi aneh yang dirasakan Sina ketika berada di dekat Dana.
"bawa menu apa hari ini, na"" Maudy memecah suasana.
"nasi sama cumi saus tiram. buahnya ada strawberry, mba" Dana mendelik siaga "mba mau coba"" Sina menyodorkan kotak makan siangnya mendekat ke arahnya. tidak ada yang tahu semenjak Sina mendikte menu makan siangnya, kotak makan itu menjadi terlihat lebih menarik di mata Dana.
"enak banget, na. ini ibu kamu yang buat"" ungkap maudy setelah mencicipi satu sendok nasi dipadu potongan cumi. Sina mengangguk antusias. ada kesenangan tersendiri jika ibu menjadi sosok yang paling hebat dalam segala hal.
"eh, pak dana katanya juga suka cumi loh, na" Maudy peka sekali dengan keinginan terselubung Dana. jiwa addict nya terhadap makanan bernama cumi membuat Dana enggan berpaling dari cumi saus tiram yang terlihat lebih lezat ketimbang tumis cumi miliknya. bukan membandingkan. hanya saja, menu makanan Sina itu seolah memanggil manggil namanya lalu berkata 'makan aku.. makan aku'
kendalikan dirimu, Dana! sisi lain dirinya memberi tamparan halus.
"pak Dana mau coba"" Sina berjengit. tindakan Maudy kali ini harus ditanggulangi. dengan sigap kedua tangan Sina mengepung kotak makan siangnya lalu menarik ke arahnya kemudian ia membekap makanan tersebut dalam pelukannya. pergerakan tersebut begitu cepat, secepat kecepatan cahaya.
"engga boleh!" Sina memperingatkan sambil memandang Maudy dan dana bergantian. tingkahnya sudah seperti anak kecil yang tidak ingin kehilangan mainan kesayangannya.
"aku ga mau makan siangku dicicipi sama dia" Sina memberi tatapan membunuh kepada pria disebelahnya. jujur, Dana sempat malu ketika tangannya hampir meraih makan siang milik sina tapi sina keburu menarik target itu. pupus sudah peluang mencicipi cumi saus tiram terlezat itu.
"kamu pikir saya tergiur dengan makanan yang--bahkan bukan hasil buatanmu sendiri" Dana berbohong.
"oh ya"" nada Sina terdengar mengejek "jangan ragukan penglihatan saya barusan ya pak. tangan anda tadi berusaha mengambil makanan saya" Dana berpikir keras. rahangnya mengeras mendengar pernyataan gadis itu. jangankan Sina, Maudy pun juga pasti melihat pergerakan tangan Dana yang begitu aktif tadi.
"saya hanya menghormati tawaran Maudy" Dana menoleh ke sembarang arah seraya mendengus pendek. apakah keadaan menjadi berbalik" kini harga diri Dana perlahan menipis.
"anda pikir saya percaya"" Sina menyendok satu suapan ke mulutnya dengan gaya berlebihan layaknya iklan makanan. tujuannya agar Dana semakin tergiur sekaligus malu pastinya.
wajah Dana memerah samar. rencananya hari ini gagal total. niat awal ingin mempermalukan gadis itu, malah kemalangan berbalik menimpanya. semua itu gara gara cumi saus tiram. makanan itu adalah biang masalahnya. lihat saja, kelak hari itu tiba. ia bisa bebas merasakan cumi saus tiram menggiurkan itu langsung dari tangan wanita--yang ia sebut--Ibu mertua. batinnya tertawa jahat.
Dana menarik nafas. membuang energi negatif lalu tersenyum manis pada Sina.
"kamu terlihat menggemaskan jika sedang seperti itu"
tanggapan macam apa itu" apa katanya tadi" menggemaskan" Sina mendengus kasar. jangan tanya perubahan wajahnya sekarang.
"habiskan saja makananmu. agar tubuh kamu..." Dana memandang sedikit menjauh dari posisi sina duduk lewat kacamata minusnya "terlihat lebih berisi" kemudian ia beranjak dari kursi. Sina ingin sekali mencabik mulut kotornya itu
"Maudy. saya permisi" pamit Dana kemudian ia menatap Sina intens "Aya, saya permisi ya" manusia es itu pun berjalan meninggalkan Sina dan Maudy. meninggalkan ampas memalukan yang masih tertinggal.
Sina bermunajat agar Jantung nya mau di ajak bersahabat. karena sejak tadi jantungnya hampir keluar dari peredaran karena memompa terlalu cepat.
"tuh, kan mba! pak Dana itu genit"
*** semenjak pulang dari kantor, Sina menjadi manusia aktif tidak bisa diam. ia tak henti hentinya mondar mandir di kamar. wajahnya cemas. dahinya mendadak mempunyai ratusan lapis kerutan. kebiasaan jeleknya mulai kumat. menggigit kuku. untung tak ada ibu yang melihatnya.
ia duduk di ranjang. kakinya bergerak gerak aneh. tangannya sesekali menepuk nepuk paha yang masih terbungkus mukena.
bagaimana tidak, selepas sholat maghrib, Ayah memberi kabar yang mengejutkan. mengejutkan sekali. Sina bahkan enggan mengingatnya.
"pernikahannya di percepat, yah" jadi tinggal seminggu lagi""" Sina memekik pelan. Ayah mengangguk mantap dan pasti.
"kenapa dipercepat, yah" Sina kan belum siap" Sina menarik narik sarung kotak kotak perpaduan biru hitam ayahnya itu.
"loh, bukannya kamu ingin sekali melihat calon suamimu itu" kenapa tiba tiba berubah pesimis"" Sina menunduk seraya menggigit bibirnya
"Sina belum siap, yah. Sina malu"
"kan masih ada waktu seminggu untuk mempersiapkan mental kamu, na" Aufa turut serta dalam perbincangan mengejutkan itu.
"bener tuh, kata Aufa" Ibu pun sama saja. jadi, tidak ada yang berpihak dengan dirinya"
"memangnya ada apa sih, kok tiba tiba ayah ingin mempercepat pernikahan Sina"" Sina melepas mukena atasnya.
"semenjak Idzar melamar kamu itu. ayah jadi khawatir akan ada pria lain lagi yang berniat melamarmu" jawaban yang cukup masuk akal. tapi kalau dipikir pikir, memangnya siapa lagi pria yang mau melamarnya setelah Idzar" ayah terlalu parno sepertinya. atau mungkin karena ia begitu cantik" Sina memuji dirinya berlebihan.
"iya juga sih, Sina kan cantik. pasti beruntung deh yang dapetin aku" gadis itu tersenyum sok imut yang dibuat buat. lalu mendapat cubitan kecil dari Aufa.
"ish! sakit ,fa" Sina meringis
"kurang kurangin deh narsisnya. kalau dapet calon suami yang cemburuan, bahaya nih" sina tersenyum kecut.
"cemburu itu tanda sayang"
"tapi cemburu buta itu juga ga baik" kedua gadis itu saling beradu mulut satu sama lain. ayah mulai pusing mendengarnya berniat melerai.
"kalau masih mau bertengkar, ayah pergi dulu" ayah hendak mengangkat tubuhnya tapi kalah cepat. dua gadis manis dihadapannya kompak menahan tubuh ayah agar jangan pergi.
"oiya yah, kali ini Sina nanya serius ya. dan please banget jangan kasih jawaban yang kelewat pinter seperti waktu itu" Sina menggenggam erat tangan ayah. pria hangat itu memasang wajah menyimak dengan seksama. tersimpan kenyamanan disana.
"calon suami Sina itu orangnya bagaimana, yah""
kini wajah ayah serius. rautnya nampak menimang sesuatu.
"dia bertanggung jawab.. pintar...dan,-"ganteng" kali ini ibu yang memotong sambil tersenyum sendiri. otomatis Sina sumringah.
"yang bener, bu" ibu udah pernah ketemu orangnya"" kini Sina menggunjangkan kedua tangan ibu.
"belum" dan semangat itu menurun. Sina mengeluarkan wajah datar.
"loh bener kan ganteng. masa cantik" Ibu malah geli sendiri dengan ucapannya.
"ibu lucu banget siiii...." Sina tuangkan kekesalan itu dengan memeluk tubuh gempal ibu dengan erat. itu cara alternatif dirinya agar sebisa mungkin tidak mengeluarkan kata 'ah' ataupun kesal pada ibunya.
"intinya.. persiapkan dirimu menuju pintu pernikahan. kendalikan emosi dan sifat kenakanmu ya, ndhuk" ayah melanjutkan perbincangannya.
"bagaimana pun juga. surgamu akan berpindah ke suamimu kelak. taatlah padanya. jangan tinggalkan sholat dan puasa mu baik yang wajib maupun yang sunnah. tumbuhkan cinta kasih diantara kalian. bangun istana megah di surga dan kamu bersama keluarga kecilmu abadi disana"
Sina hampir ingin menangis. begitu juga Aufa. suasana mendadak haru dan hening. ayah tetap terlihat tegar namun memelihara kesedihan yang sama. ibu tetap mempertahankan pelukan erat putrinya. seolah itu adalah pelukan terakhir.
bisakah ia menikmati masa masa indah ini lebih lama lagi"
seminggu itu bukan waktu yang banyak.
*** ?"14. Setengah Menuju Sempurna
Sina berjalan terburu buru menyusuri area produksi menuju ruang kepala HRD. ini kedua kalinya ia melewati area produksi, setelah sebelumnya ia melakukan kegiatan training di area ini. areanya sangat besar. terdapat banyak line. kurang lebih ada 20 line berjajar rapi. setiap stasiunnya diisi satu hingga dua orang karyawan. tentunya dengan bagian yang berbeda. berhubung area produksi ini adalah departemen Audio. ada stasiun kerja yang mengerjakan bagian speaker. stasiun kedua mengerjakan proses penyolderan komponen. stasiun lain mengerjakan bagian packing.
satu yang menarik perhatian sina selagi berjalan melewati para pekerja disana adalah stasiun yang mengerjakan tali temali. tali putih menyerupai benang tersebut dibuat simpul yang begitu rumit lalu dikaitkan pada spring yang amat kecil. setelah itu simpulan tali tersebut masih harus dililitkan pada part bernama casis. rupanya lilitan pada casis itu digunakan sebagai penggerak tuning pada radio. tuning adalah jarum penunjuk frekuensi yang terdapat pada bagian depan radio pada umumnya. Sina terkagum pada kinerja mereka. gerak tangannya begitu cepat. seolah berlomba melawan waktu.
sina melanjutkan perjalanannya menuju ruang kepala HRD sambil membawa selembar kertas. ketika melewati ruang gudang finish good, Sina melihat sosok yang sudah dua hari ini tidak masuk bekerja. seseorang yang dua hari yang lalu pula menemui ayahnya untuk melamarnya.
"idzar" Sina menghampiri Idzar yang tengah sibuk menulis nulis lembaran surat jalan yang akan diinput. karena ruang finish good tidak terlalu besar, terlebih ruang tersebut hanya berbatas sekat tembok tanpa atap. seperti labirin. jadi memungkinkan siapa saja masuk tanpa harus mengetuk pintu.
"eh, elo ngapain disini"" Idzar menengok kanan kiri memastikan tidak ada atasan atau kepala gudang yang melihat.
"lo kemana dua hari ga masuk kerja"" sina tak menjawab pertanyaan Idzar. ia berdiri di tepi meja.
"sibuk kuliah. mau ujian gue" Idzar berkelit seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"kata mba Maudy lo sakit. yang bener yang mana"" Sina bersendekap menuntut kejujuran dari idzar.
"iya, sama sakit juga" Sina mengernyit. menaruh curiga pada pria beralis tebal itu "sakit apa""
"masuk angin" jawabnya disertai senyum lebar menampakan gigi putih nan rapi. sejenak Sina merasakan ada sesuatu yang berbeda dari Idzar. apa karena penolakan dari ayah waktu itu"
"bukan gara gara gue, kan"" tebak sina aneh. direspon tawa hambar oleh pria itu. "pede sekali anda" jawabnya dengan nada mengejek "pasti lo pikir gara gara lamaran gue ditolak waktu itu ya"" sina mengangguk polos.
"bukanlah" Idzar masih tertawa menyebalkan "gue kan punya Tuhan. ya kali karena itu doang galau, terus ga mau ketemu lo lagi. lo kan ngangenin" Idzar mengedipkan satu matanya genit sambil tersenyum manis. jika ia tersenyum kedua matanya membentuk satu garis lurus.
"baru tahu ya kalau gue itu ngangenin" cibir Sina mengangkat bahu "gue juga kangen. kangen pengen berantem sama lo lagi kangen pengen maki maki lo lagi" selanjutnya ia tertawa puas. Idzar menampakan wajah sebal.
"hah! lucu!" balas Idzar sinis. "lo mau kemana sih"" lanjutnya. Sina pun berhenti menertawakan lelucon garingnya lalu menunjukan selembar kertas ditangannya.
"mau ke ruang kepala HRD, minta tanda tangan ini" idzar mengamati selembar kertas berukuran A4.
"lo mau cuti""
"iya" idzar membaca lebih lanjut "cuti menikah"" Idzar menganga terkejut.
belum sempat Sina menjawab, seseorang berjalan menghampiri mereka lalu berdiri tepat diantara mereka. sontak keduanya refleks terdiam kaku.
"sudah selesai bercakap cakapnya"" kalimat dengan nada dingin itu terlontar dari mulut Dana. ia berdiri angkuh sambil berkacak pinggang. Sina dan Idzar menunduk tak menjawab. aura dingin Dana sudah mendominasi sekitar. bahkan ini pertama kalinya Sina melihat Idzar menjadi pria pendiam tidak banyak omong. seorang Dana mampu mengubah karakter seseorang dalam waktu singkat.
"kenapa diam"" tanya Dana lagi. pandangannya mengarah pada Sina. gadis itu belum mau menjawab. "saya tanya, apa sudah selesai bercakap cakapnya"" ulang Dana. kali ini dengan intonasi melembut. namun masih tak ada respon. Dana mendesah.
"baiklah. diam menandakan iya" Dana mendengus lagi. ia tidak mau berbohong. ada guliran guliran aneh dalam dirinya ketika melihat Sina bersama pria lain. sisi egoisnya memberi mandat agar segera menjauhi Sina dari pria manapun. walau termasuk adiknya sendirikah" entahlah, ia hanya tidak suka sesuatu yang akan menjadi miliknya bersama pria selain dirinya.
"selesaikan pekerjaan kalian" Dana berbalik lalu meninggalkan dua manusia disana terpaku menatap kepergiannya. Idzar terdiam tak berdaya. berbeda dengan Sina, gadis itu terdiam mengumpat cacian dalam hatinya.
*** "saya ingin mengajukan ini pak. mohon ditanda tangani" Sina menyodorkan selembar kertas cuti kepada Dana. setelah lelah meminta tanda tangan dari kepala HRD lalu berlanjut ke assisten manager. dan selanjutnya disinilah Sina harus berjuang meminta tanda tangan terakhir yang harus diisi kepala manager perusahaan.
"cuti menikah"" Dana melirik gadis dihadapannya seraya mengangkat satu alisnya dengan sinis.
"i..iya pak" "rasa rasanya baru kemarin kamu bilang sedang dijodohkan. sekarang sudah ingin menikah saja" Dana kembali fokus pada lembaran ditangannya "sudah ngebet, rupanya" tambahnya lagi lalu tersenyum miring.
alih alih berharap Sina akan meledak, gadis itu malah diam tak memberinya respon. Sina tahu sekali manusia es itu sedang memancing emosinya. khusus hari ini, ia harus mengumpulkan segenap emosi serta amarahnya dihadapan Dana. karena sebentar lagi statusnya akan berubah menjadi seorang istri, otomatis pada hari ia masuk bekerja lagi, tentu saja Dana pasti segan menggoda gadis yang sudah bersuami. pikirnya.
"berapa lama kamu cuti"" bodohnya kenapa Dana menanyakan itu. bukankah sudah tertera disana berapa hari cuti yang diajukan.
"sudah tertera di kolom kanan pak" jawab Sina tenang. sejauh ini belum ada kalimat kalimat pedas lagi dari dana.
"lumayan lama, ya" Dana mengetuk ngetuk dagunya. "bagaimana jika dikurangi beberapa hari" maksimal cuti yang diberikan perusahaan dalam setahun adalah 12 hari. dan itu sudah jatah bagi semua karyawan setiap tahunnya. sedangkan kamu disini mengajukan cuti selama 14 hari" Dana mengangkat wajahnya untuk menatap lurus gadis--yang akan menjadi istrinya--itu.
"kamu sedang tidak berniat untuk korupsi kan aya"" penjelasannya diakhiri seringai aneh namun mempesona. tunggu! mempesona" ya, anggaplah begitu.
"maaf, pak saya belum tahu peraturan itu. sebaiknya saya ganti terlebih dulu" sina hendak meraih kertas cutinya dari tangan dana. tapi Dana lebih cepat menarik kertas tersebut.
"biar saya yang menggantinya" Dana mencoret beberapa kolom angka disana lalu menggantinya. setelah itu ia menunjukan hasil kerjanya pada Sina.
"ini" Sina membaca angka angka pada kolom tersebut. ekspresinya seketika berubah aneh.
"7 hari, pak"" Sina membulatkan matanya tak percaya. "bapak memberi saya cuti hanya 7 hari""
"iya. kamu keberatan"" jawab dana enteng tanpa merasa dosa sedikitpun. Sina menarik nafas seraya berdoa agar kali ini tidak terpancing. walau jujur, saat ini ia ingin sekali mengunyah manusia es itu atau mungkin menelannya hidup hidup lalu dimuntahkan ke dasar laut. biar menjadi santapan ikan hiu disana.
"jelas keberatan, pak. pernikahan saya saja dilangsungkan 3 hari kedepan. hari sebelumnya kami menyiapkan persiapan pernikahan. lalu setelah akad, kami menyiapkan untuk walimah" ungkap Sina mempertahankan nada bicaranya sekaligus berusaha mengontrol emosinya.
"wow, kenapa kamu jadi curhat ke saya"" disisi lain Dana mengagumi sina. rupanya gadis itu sudah mempersiapkan secara matang untuk pernikahannya. apakah ia juga sudah mempersiapkan mentalnya tatkala bertemu calon suaminya nanti" sungguh, kali ini Dana berusaha menahan tawa. ia berjanji, setelah gadis itu pergi dari ruangannya, ia luapkan tawa itu dengan puas.
"saya hanya menjelaskan bahwa mempersiapkan sebuah pernikahan itu membutuhkan waktu melebihi tujuh hari, pak" Sina memicing. terbesit ide untuk menskak mat lagi pria itu seperti tempo hari.
"tapi saya hanya mengizinkan tujuh hari. kalau kamu keberatan, kamu bisa membuat permohonan izin saja. bukan cuti. bagaimana"" tidak mungkin Sina mengambil izin. karena itu akan mengurangi pendapatan insentif dari perusahaan.
"baiklah kalau begitu. saya terima keputusan sepihak bapak" Sina menunduk pasrah. tapi tak ada yang tahu di dalam otaknya telah mempersiapkan amunisi berharga untuk membuat Dana diam tak berkutik.
"lagipula saya mengerti sekali. seorang eksekutif muda nan jomblo seperti anda ini belum paham betul mengenai seluk beluk pernikahan"
apakah sudah ada tanda tanda sebuah gunung es akan meletus"
"atau mungkin anda memang masih ingin membujang lebih lama" Sina merapatkan bibirnya lalu memutar bola matanya seolah menunggu reaksi dari Dana.
"kamu bilang saya jomblo"" Dana mendekatkan wajahnya ke hadapannya sina. Sina mengangguk enteng.
"sayang sekali anda salah besar, nona manis" Dana bersandar pada kursi empuknya seraya tertawa hambar. sungguh, mendengar penyataan itu membuat dana ingin cepat cepat segera menuju hari H. gadis ini tak hanya menarik, tapi juga menggemaskan. dibalik rasa percaya dirinya yang meragukan, justru terselip kekaguman tersendiri, pikirnya.
"bagaimana kalau kamu berkenan mengundang saya ke pernikahan kamu" setelah itu kamu akan tahu kalau saya ini tidak jomblo--seperti yang kamu pikir" Dana menipiskan bibirnya menunggu jawaban Sina.
"dengan senang hati sekali, bapak Dana yang terhormat" Sina mengangkat dagunya sombong "bahkan nama anda akan saya cantumkan sebagai tamu terhormat di acara saya nanti" Sina menyunggingkan senyum seolah itu adalah tawaran yang menggiurkan. tentu saja ia tidak akan melewatkan tawaran itu.
"benarkah" waw.. saya tersanjung sekali" gerak tubuh Dana mulai berlebihan. seperti menangkup tangan di dada layaknya seorang yang benar benar tersanjung lalu memasang mata yang berbinar. semua itu nampak palsu.
"kalau begitu tunggu kehadiran saya disana ya, aya"
"baiklah. saya menunggu" Sina beranjak seraya menarik kasar lembaran dari tangan Dana.
"permisi" akhirnya Sina meninggalkan ruangan disertai kumpulan emosi yang menggebu gebu karena ulah Dana.
sedang Dana menepati janjinya sendiri. kini ia tertawa terpingkal pingkal, memikirkan tiga hari kedepan akan seperti apa.
walau di sisi lain ia kasihan pada calon istrinya itu. tapi sungguh, itu hanya secuil dari cara dirinya mencintai seorang gadis yang berbeda. justru harus dengan cara yang berbeda pula untuk menghadapi gadis luar biasa seperti Sina.
inilah caraku mencintainya..
*** sudah dua hari berlalu sejak Sina mengajukan Cuti. ia mulai disibukan dengan segala aktifitas seorang wanita pada umumnya. mulai dari melakukan perawatan diri hingga rutin meminum jamu yang sama sekali ia tidak sukai. itu semua atas paksaan ibu. ibu termasuk wanita yang masih meyakini mitos mitos zaman dulu. Sina pernah melarangnya untuk mempercayai hal hal itu. tapi bukan ibu namanya kalau tidak punya bermacam macam alasan logis. dilanjut melakukan pengajian selama dua hari berturut turut.
khusus untuk hari ini, Sina enggan melakukan perawatan di salon. dikarenakan ia canggung dan malu. alasan sebenarnya adalah ia risih sekali jika tubuhnya di lulur atau dipijit dengan orang yang bukan sanak saudara ataupun keluarganya. walaupun mereka melakukannya dengan sangat baik dan profesional. tapi entahlah. dan setelah mencari ribuan alasan agar ibu mengizinkan, akhirnya ibu luluh kemudian mengizinkan Sina melakukan perawatan diri dirumah.
"fa, kita tebak tebakan yuk!"
"tebak tebakan apa"" Aufa enggan menoleh selagi asyik dengan novel favouritenya. ia duduk bersantai di atas sofa dekat ranjang dimana Sina tengah dilulur dan dipijit oleh lek mira. dia adik bungsu ibu. lek mira pandai sekali memijit. sewaktu kecil, Sina pernah dipijitnya hingga terlelap.
"menurut kamu, calon suami aku kayak apa" kasih tiga kata. kalau tebakan kamu ada yang mendekati, kamu menang. nanti aku traktir mie ramen atau mujigae, " jelas Sina dengan kondisi mulut merapat pada bantal dengan posisi tengkurap.
"ih itu mah taruhan namanya. ga mau ah. sama aja kayak berjudi" Sina meniup kasar poninya. ia lupa kalau Aufa tidak bisa berkompromi tentang sesuatu yang bersifat taruhan.
"yauda kamu tebak aja, deh. aku ga kasih imbalan apa apa. ayo dong tebak! biar aku ga penasaran" Sina bergerak gerak menimbulkan guncangan kecil di ranjangnya. Aufa memutar bola mata lalu menatap langit langit.
"kalau menurut aku,.. calon suami kamu itu orangnya...sabar. pengertian. dan tegas" tebakan itu diakhiri senyum lebar khas milik Aufa.
"alasannya"" Sina menoleh
"alasannya. pertama, kamu itu orangnya suka emosi ga jelas. jadi butuh suami yang punya extra kesabaran. kedua, kamu itu kadang manja dan kekanakan. jadi suami kamu harus pengertian. terakhir, kamu itu labil. jadi suami kamu pasti tegas" penjelasan yang cukup memuaskan. walau lebih ke menyebut sifat jelek Sina daripada memberi masukan. tapi setidaknya Sina memiliki gambaran bagaimana sosok pria yang kelak menjadi imamnya.
"kalau menurut kamu"" Aufa balik bertanya. butuh waktu lama untuk Sina menjawab pertanyaan tersebut.
"aku hanya ingin menikah dengan pria yang bila aku bersamanya, Allah dan surgaNya terasa lebih dekat" Sina memejamkan mata "aku ingin menikah dengan pria yang selalu membuatku jatuh cinta padanya setiap hari" Sina teringat serangkai kata kata indah itu. lalu berharap agar segala untaian kalimat itu menjadi kenyataan yang indah. ia membuka mata hendak mengatakan sesuatu
"dan aku ingin menyatukan tali kasih cinta diantara kami. bersatu menuju kesempurnaan. berjuang menerjang lika liku kehidupan bersama hingga ajal menjemput lalu kembali menyatukan kami di SurgaNya. dan menempati istana yang telah kita bangun" semua percakapan itu didengar oleh lek mirah yang sudah senyum senyum sendiri mendengarnya.
"intinya. segala keinginan dan harapan kamu harus dilandasi dengan adanya Tuhan. niatkan semua itu karena Allah. libatkan Allah didalamnya" lek mira turut serta dalam obrolan mereka. sambil memijit lembut pelipis Sina. "lek cuma bisa saran, hormati suamimu seperti kamu menghormati orang tuamu. jangan buat dia bersedih. jaga kehormatannya seperti kamu menjaga kehormatanmu. muliakanlah dia. maka kelak dia akan senantiasa menjagamu. melindungimu lalu membimbingmu melangkah menuju surgaNya, ya ndhuk, "
"iya, bu'lek' Sina mengangguk paham. memaknai setiap pesan yang terucap lek mirah. ia persis seperti ibu. tubuhnya, gaya bicaranya, sifatnya. yang membedakan hanya warna kulit saja. ibu berkulit kuning langsat sama seperti eyang kakung. sementara lek mirah berkulit putih sama seperti eyang putri.
*** 15. Gerbang Rahasia-Nya Gadis itu memandang bayangan dirinya pada cermin besar dihadapannya. ditatapnya sekali lagi setiap inci perubahan dalam dirinya tersebut.
wajah yang jarang tersentuh kosmetik, dan kini benda itu menyulap wajahnya menjadi seperti sosok yang bahkan tak dikenalinya. ia mengabsen satu persatu. hidung paruh burung elang itu, semakin terlihat memanjang. kedua pipinya yang sering ia keluhkan karena terlalu chubby, , kini nampak agak tirus namun tetap berisi. bibir sensualnya yang biasanya hanya diberi jatah olesan madu, kini nampak lebih memerah ranum karena sentuhan lipstick. mata yang biasanya nampak sepi karena hanya terisi goresan celak milik ibu, kini nampak ramai dihuni pasukan kosmetik yang semakin mempercantik wilayah tersebut. hanya saja, untuk bagian alis. ia menolak untuk di kerik. ibu pun juga menyarankan agar sebaiknya tidak di kerik. cukup dirapikan dengan pensil alis.
Balada Padang Pasir 7 Jodoh Rajawali 17 Tengkorak Hitam Kesatria Berandalan 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama