Ceritasilat Novel Online

Senja Merindu 1

Senja Merindu Karya Suffynurcahyati Bagian 1


Senja Merindu Oleh Suffynurcahyati Senja menua tak lagi merona jingga. Meninggalkan jejak duka. Mengalirkan air mata.
Aku diam dalam pagutan luka.
Perihnya menelan semua tawa.
Sakitnya menikam semua kata tanpaMu.
Dan aku hilang arah.. kau.. Senja yang kurindukan..
-Senja Merindu- 01. Lima tahun kemudian gadis itu menyingsingkan sedikit ujung jilbab panjangnya. namun tetap menutupi wilayah auratnya. kali ini tangan satunya meraih piring berisi nasi dan
sayur. ia menyendok lalu membawa satu sendok yang telah terisi itu kepada mulut seorang wanita paruh baya dihadapannya. gerakannya lembut penuh kasih sayang.
meski sempat beberapa kali makanan itu terhambur keluar dari mulut wanita tersebut, tak membuat si gadis yang menyuapi nya putus asa. dengan kesabarannya
yang luar biasa. ia terus menyuapi Ibunya seraya membujuk atau merayu rayu hangat.
suapan kali ini berhasil. satu suapan masuk ke mulut tanpa sisa dan tanpa dihamburkan lagi.
"sampai kapan aku berada disini fa, aku bosan" ucap wanita bernama Diana. pandangannya lurus kedepan menghadap keluar jendela rumah sakit. Aufa mengambil
segelas air putih lalu diminumkannya kepada Diana dengan hati hati.
"nanti ya bu. tunggu ibu sembuh dulu" Aufa menaruh lagi gelasnya di atas meja. sekarang ia duduk di tepi ranjang dimana Diana berduduk sila di atas ranjang.
kantung matanya mulai terlihat jelas. kerut kerut di wajahnya semakin terlihat jika tanpa polesan make up. bibirnya pun tak semerah dulu.
"tapi aku sudah sembuh. buktinya kamu sudah bisa berkomunikasi denganku bukan?" Diana berkelit. beralih memandang Aufa sinis. bahkan sudah lima tahun berlalu
pun, Diana masih bersikap dingin terhadapnya. selama lima tahun Aufa merawat Diana penuh kesabaran. tapi sampai sekarang, wanita itu tetap menganggap Sarah
adalah putri satu satunya.
"apa ibu kenal, siapa aku dan namaku?" Aufa mengetes. ia menipiskan bibirnya lalu menatapnya sungguh sungguh.
Diana memerhatikan wajah Aufa agak lama. menelusuri wajah anggun itu lewat bola matanya yang bergerak.
"nama kamu Aufa. dan kamu adalah perawat di rumah sakit ini, kan?" jawab Diana menimbulkan reaksi teramat pedih yang dirasakan Aufa. bahkan Diana lupa
dengan panggilan fida kesayangannya. sampai lima tahun berjalan Diana masih menganggap dirinya adalah seorang perawat. betapa itu seperti luka yang ditaburi
garam. tak hanya perih tapi juga menyakitkan.
"hei, benar kan jawabanku?" Aufa mengangguk tersenyum. senyum yang mungkin orang sering menyebutnya the best fake smile.
"kalau begitu keluarkan aku dari penjara menyedihkan ini. aku ingin bertemu anakku Sarah" Aufa mengelus punggung Diana lembut. menatap hangat wanita pemilik
surga untuknya itu. "sabar ya bu, kata dokter Syihab. ibu belum boleh pulang. ibu masih harus disini" Diana membuang wajah angkuh lalu berdecih.
"kamu dibayar berapa oleh dokter itu" bukankah kamu bekerja untuk merawatku. bukan untuk dia. sadarlah nona" tak apa kata kata menyakitkan itu terlontar
dari mulut Diana. setidaknya itu sudah suatu perkembangan yang signifikan. ketimbang tiga tahun yang lalu, Diana hanya bisa mengamuk..mengamuk dan mengamuk.
makanan sehari harinya hanya obat penenang. tapi sekarang, meskipun sedikit, dia sudah mau makan seperti layaknya manusia normal.
"aku juga heran. mengapa Sarah tidak juga menjemputku. apa dia tidak tahu ibunya tersiksa disini" Diana terus saja menggerutu. seolah ia tidak tahu bahwa
Sarah sudah tenang di alam lain. mungkin Sarah juga akan menangis melihat kondisi Diana seperti ini. sejenak Aufa ingin bertukar posisi dengan Sarah--kakak
tirinya. "selamat siang nyonya Diana"
sapaan itu menolehkan kepala Aufa menghadap dokter muda nan tampan bernama Syihab. dokter yang menangani Diana selama lima tahun terakhir ini.
"nah ini dia dokter pengacau itu" Diana membuang muka ke arah lain "hei, katakan kepada doktermu itu. aku ingin pulang. cepat!" Diana menepuk pundak Aufa
sebagai tanda perintah. Aufa hanya menatap Syihab dengan menyedihkan. untungnya Syihab mengerti maksud dari tatapan itu. ia pun mendekatkan dirinya kepada
Diana. "hallo nyonya.. " Syihab tersenyum merekah. memperlihatkan deretan giginya. matanya tidak nampak jika sedang tersenyum seperti itu.
"aku tidak butuh mulut manismu, anak muda. aku hanya ingin pulang" Diana menepis tangan Syihab yang hendak menyentuh tangannya.
"nyonya akan pulang kok. tenang saja" mata Diana berbinar "benarkah itu anak muda?"
"tentu saja. asalkan..." Aufa sedari tadi memerhatikan cara Syihab menangani ibunya. Aufa merasa dia selalu memiliki stock cara cara terbaik bagaimana
menghadapi Diana. bahkan sejauh ini ia tidak menemukan Syihab merasa kesulitan. Aufa masih penasaran dengan kalimat menggantung yang hendak dikatakan Syihab.
bukannya segera diucapkan, Syihab malah melanjutkan ucapannya dengan membisikan sesuatu kepada Diana.
"benarkah?" tentu saja aku mau. baiklah aku akan tidur. dan aku akan jadi wanita penurut"
Aufa melongo takjub. kira kira mantra apa yang diucapkan Syihab sehingga ibunya bisa berubah 180 derajat seperti itu. Diana berubah menjadi wanita penurut
jika berhadapan dengan Syihab. patut diacungi jempol profesinya itu. sangat tidak mudah pasti. tapi ditangan Syihab. segalanya terlihat sangat mudah.
"hei dokter muda. apa sih yang kamu ucapkan ke ibu ku sampai sampai dia jadi wanita manis dan penurut seperti tadi?" Aufa memberanikan diri menanyakan
sesuatu yang sedari tadi mengganjal otaknya. sembari berjalan beriringan menyusuri koridor rumah sakit.
"kenapa kamu jadi seperti ibumu" ya, aku tahu. aku ini dokter paling muda dirumah sakit ini. tapi hargailah orangtua ku yang memberiku nama Syihabuddin
Akmal" protes Syihab disertai pemaparan yang menurut Aufa tidak begitu penting. aufa menurut.
"baiklah. dokter Syihab yang terhormat" nadanya terdengar dipaksakan. senyumnya juga terlihat aneh "lalu apa jawaban dari pertanyaanku tadi?"
"jawaban apa?" "jawaban tentang apa yang kamu bisikan ke telinga ibu sehingga dia jadi menurut kepadamu?" Aufa hampir memuncak. tapi ia selalu punya cara mengontrol emosinya.
"oh itu. aku tidak mengatakan apa apa" Aufa mengernyit mendengar jawaban itu.
"lantas?" "aku bohong. aku memang mengatakan sesuatu kepada ibumu" Aufa terhenti sejenak menghadap penuh terhadap dokter muda dihadapannya seraya bersendekap. sorot
matanya menaruh curiga. "sesuatu apa" kuharap kamu segera mengatakannya karena aku harus segera mengajar" Aufa membenarkan posisi kacamata minusnya.
"baiklah. lain waktu saja aku mengatakannya. kamu bisa pergi" Syihab menaruh kedua tangannya ke dalam saku celana lalu berjalan santai meninggalkan Aufa.
untung saja Aufa memintanya buru buru. jadi ada alasan Syihab untuk tidak membocorkan kalimat mantra yang dibisikannya kepada Diana.
"hei! aku belum selesai berbicara. dokter belum mengatakannya kepadaku" Aufa bersungut kesal. Syihab semakin menjauh.
"dokter syihab yang terhormat. kamu berhutang kepada ku" tak peduli siapapun yang menatap dirinya aneh. yang penting pesan barusan sampai ke telinga Syihab.
terbukti. Syihab sempat menoleh dari kejauhan lalu memberi acungan jempol. tanda bahwa hutang itu akan ia bayar suatu hari nanti.
"kenapa ada dokter senyebelin dia ya" tapi keren juga sih. bisa naklukin ibu" Aufa bergumam sendiri berjalan menuju parkiran.
*** untung saja kelas mengajar belum dimulai. Aufa berjalan agak santai menuju ruang kantor terlebih dahulu setelah itu baru ia menuju kelas.
"menjenguk ibu dulu, fa?" tanya bu nancy selaku guru matematika ia duduk di pojok ruang guru. tengah menikmati secangkir teh manis hangat sebelum apel
dimulai. "iya bu. seperti biasa" Aufa sibuk menulis nulis rangkuman yang akan diajarkan hari ini. sesekali ia melihat jadwal.
" Bu Aufa...." dari arah pintu terdengar suara memanggil namanya. Aufa menuju pintu keluar lalu bertemu Hanum. siswi kelas 7a
"rizki dan rais berdebat lagi bu" adunya. Aufa menggeleng kewalahan. kali ini apa lagi yang mereka debatkan. ya memang, perdebatan yang dilakukan dua muridnya
itu perdebatan tentang ilmu agama yang pernah di ajarkan. tapi pernah suatu hari, rizki dan rais saling berdebat tentang apa hukumnya menahan buang gas
ketika sholat. dan sekarang, pembahasan apa yang mereka debatkan kali ini.
"ada apa ini" masih pagi sudah berdebat. coba ceritakan kepada ibu?" Aufa duduk ditengah rizki dan rais. rizki menampakan wajah kesal. sedang rais tetap
bersikap tenang. "rizki, ceritakan apa yang kalian debatkan kali ini?" Aufa menatap tegas keduanya. menatap rizki dan rais bergantian. Rizki mengangguk mantap.
"bu, bukankah kakak atau adik ipar merupakan mahram muabbad yang berdasarkan mahram pernikahan" tapi Rais mengatakan bahwa ipar termasuk golongan mahram
muaqqot" "aku benar kan bu" ipar itu termasuk mahram muaqqot. bukan mahram muabbad" Rais melanjutkan membela diri.
"aku yang benar, rais!"
"aku!" "cukup" Aufa mengangkat kedua tangan ke udara. menghentikan perdebatan tersebut. menarik nafas sejenak. "ibu akan memaparkan kembali tentang mahram secara
singkat. maka kalian ambil kesimpulan sendiri. bagaimana?" tawaran yang bijak. tentu saja rizki dan rais menerima tawaran itu. keduanya mengangguk antusias.
"mahram terbagi menjadi dua, ada mahram muabbad dan mahram muaqqot. mahram muabbad ialah golongan mahram yang tidak boleh dinikahi selamanya. sedangkan
mahram muaqqot ialah golongan mahram yang tidak boleh dinikahi pada kondisi tertentu. artinya bersifat sementara"
kedua anak itu masih menyimak dengan serius. Aufa menatap mereka bergantian lagi. lalu melanjutkan pemaparannya.
"golongan mahram muabbad terbagi menjadi 3. karena keturunan, pernikahan, dan sepesusuan. dan karena kalian memperdebatkan tentang status ipar. maka ibu
akan memberi golongan mahram berdasarkan pernikahan, yakni diantaranya Mertua laki laki atau perempuan. menantu laki laki atau perempuan. ibu atau bapak
tiri. dan anak tiri laki laki atau perempuan" pandangan Aufa beralih ke Rizki. anak itu masih mencerna pemaparan Aufa. berbeda dengan Rais. merasa jawabanya benar, ia tetap bersikap cool.
"dan golongan yang termasuk mahram muaqqot ialah diantaranya kakak atau adik Ipar" Aufa menatap tajam Rais. anak itu tersenyum penuh kemenangan. "bibi
dari istri. istri yang telah bersuami. istri orang kafir jika ia masuk islam. wanita musyrik sampai ia masuk islam. dan wanita yang dijadikan istri kelima
sedangkan masih memiliki istri keempat"
pemaparan yang cukup jelas dan menimbulkan reaksi yang berbeda dari keduanya. Rais tersenyum penuh kemenangan karena perdebatan kali ini dimenangkan olehnya.
sedang Rizki menekuk wajahnya kesal sambil melipat tangan di dada.
"ibu senang kalian berdiskusi tentang hal hal positif yang membuat ilmu kalian semakin bertambah. berbeda dengan berdebat ya. karena berdebat bisa membuat
sesuatu yang benar menjadi salah dan sesuatu yang salah menjadi benar. karena yang menjadi pemenang debat adalah mereka yang mampu memutar balikan kata-kata,
bukti, bahasa sehingga suatu yang salah seakan bisa jadi benar. sedangkan yang namanya kebenaran itu tidak perlu untuk diperdebatkan karena tidak akan
berubah kedudukannya dimata Allah. secerdik apapun kita mengelak, karena semua yang kamu perbuat akan kamu pertanggung jawabkan kelak di hari pembalasan"
"berarti besok besok, lebih baik kita berdiskusi saja ya rizki, agar tidak terjadi perselisihan seperti ini" Rais berpindah duduk di sebelah rizki lalu
merangkulnya. "iya. aku juga malu kalah berdebat dengan kamu. kira kira besok bahan diskusi kita apa ya?" Aufa menyimpan senyum geli melihat keduanya. mereka dua murid
kesayangan Aufa yang sangat cerewet. mereka sama sama kritis. sama sama tidak mau kalah. tapi sama sama mudah diluluhkan.
"tapi kamu jangan lupa perjanjian kita kalau kamu kalah, kamu harus membantu ku menyelesaikan tugas matematika" Aufa langsung melotot kepada Rais.
"jadi kalian taruhan lagi?"" Aufa bertolak pinggang dengan ekspresi marah. seolah akan menikam kedua anak itu. Rais mendapat sinyal kuat bahwa gurunya
akan marah. dengan gerakan cepat ia menarik tangan rizki dan mengajaknya berlari meninggalkan Aufa
"larii......." "hei... tunggu! ibu marah sama kalian ya. ayo berhenti"
umpatan itu tak didengar mereka. justru keduanya terus berlari kecil sambil terkekeh geli menyempatkan menoleh kebelakang. puas membuat Aufa kesal.
"nyebelin banget sih mereka" Aufa mengumpat sambil tetap pada posisinya. kedua alisnya bertaut mencuat ke atas.
"kenapa hari ini orang orang hobby sekali meninggalkanku tiba tiba ya" oh, mungkin rizki rais memilki gen yang sama dengan Syihab. mereka sama sama hobby
mengerjaiku" Aufa memutar bola matanya sambil mengangkat bahu.
*** disebuah aula yang digunakan sebagai ruang serba guna. pada langit langit terdapat lampu lampu kecil dipasangkan dalam jumlah banyak. langit langit dibentuk
seperti kubah masjid. dinding besar yang menyelimuti dibuat kedap suara. beberapa alat peraga safety berjejer mengelilingi area tersebut guna sebagai pelatihan
peserta calon karyawan untuk orientasi di hari berikutnya. layar proyektor besar terpampang dihadapan hampir lima puluh audience. mereka nampak serius
menyimak penyuluhan orientasi yang diberikan nara sumber yang sekaligus menjabat sebagai kepala HRD.
lima puluh orang tersebut adalah calon karyawan yang sedang di orientasi dalam jangka waktu tiga hari. setelah melakukan test seleksi dalam seminggu, kini
perusahaan besar yang bergerak dibidang industri elektronik tersebut berhasil menyaring hampir dua ratus pelamar menjadi lima puluh calon karyawan yang
terdiri dari lima belas peserta laki laki dan tiga puluh lima sisanya perempuan.
pandangan mereka fokus pada layar proyektor menyimak sambil mencatat bagian bagian pokok dari penyuluhan yang diberikan narasumber. beberapa diantaranya
peserta perempuan bukannya sibuk mencatat atau menyimak, mereka malah tersenyum senyum sendiri memandang narasumber dihadapan mereka. bahkan ada dua orang
yang sibuk menyisir rambutnya. dengan gaya centil mereka keluarkan senyum terbaik mereka ketika sang nara sumber menatapnya dalam beberapa detik.
"yang sudah bosan dengan materi saya. silakan keluar" nada dingin tak bersahabat itu menggema seisi aula. para audience terdiam. ada yang menunduk. ada
yang saling menyalahkan teman sebelahnya. ada yang terkesiap karena tersindir. bahkan ada yang pura pura tidak tahu. golongan perempuan tebar pesona barusan
termasuk dari audience yang pura pura tidak tahu. wajahnya nampak santai. padahal sindiran itu di ucapkan untuknya. manusia tembok sekali. batin si narasumber.
"dan yang ingin bersolek. toilet ada di sebelah sana" narasumber mengulurkan tangan menunjuk arah toilet yang berada di ujung aula. matanya melirik tajam
perempuan yang sedari tadi mengganggu konsentrasinya dalam memberi penyuluhan. dan perempuan itu pun membulatkan matanya lalu menunduk malu. sindirannya
tepat sasaran. ia meletakan sisir di atas meja.
"kembali ke pembahasan" narasumber fokus pada layar "dalam bekerja. ada dasar dasar yang harus diterapkan. dasar tersebut disebut 5S. dalam bahasa jepang
kepanjangan dari; Seiri, Seiton, Seisou, Seiketsu, dan shitsuke. dan apa arti itu semua?" narasumber mengetik enter dari keyboard. ia berjalan menyusuri
audience. "Seiri artinya memilih. yakni memilah barang yang tidak perlu dan perlu. Seiton artinya menyusun. yakni menyusun atau merapikan barang yang siap pakai
saat akan digunakan. yang ketiga adalah Seisou yang artinya membersihkan. yakni membersihkan tempat kerja agar bebas dari kotoran dan debu. serta menjaga
kebersihan. keempat adalah seiketsu yang artinya melaksanakan dengan tuntas seiri, seiton dan seisou serta melestarikannya. dan terakhir adalah shitsukes
yang artinya membiasakan bekerja sesuai aturan yang diterapkan"
"ada pertanyaan?" narasumber berjalan menghadap audience. matanya berkeliling menyapu para manusia berkompeten dihadapannya. sekaligus mencoba kemampuannya
dalam menilai karakter seseorang sesuai yang diajarkan oleh kakaknya.
"pak Idzar, saya ingin bertanya" salah satu audience mengacungkan tangan ke atas. narasumber yang bernama Idzar itu mengangguk menyilahkan.
"apa ada penjelasan lebih spesifik lagi untuk dasar 5S tersebut?"
"pertanyaan yang bagus" Idzar mengamati sejenak si penanya tersebut. garis wajahnya tegas. nampak berwibawa.
" disebut 3fix dalam seiton. yang pertama location. yakni tentukan tempat dan lokasi barang yang akan dipergunakan. kedua, identity yaitu indikasi dari
barang tersebut. bila mengandung unsur yang berbahaya, taruh pada tempat tertentu. yang ketiga adalah quantity yakni berapa banyak jumlah barang yang akan
dipakai. usahakan sesuai produksi"
si penanya mengangguk "sudah jelas?"
"sudah pak" si penanya itu langsung menuliskan apa apa yang baru saja dipaparkan Idzar.
sudah dua jam berlalu. orientasi hari ini selesai. semua peserta berjalan berhamburan keluar aula. hanya Idzar dan Dana saja yang baru saja tiba berbarengan
keluarnya peserta. "gimana" sukses?" Dana memerhatikan kesibukan idzar membereskan peralatan. ia duduk di salah satu kursi
"alhamdulillah. cuma ada kendalanya satu bang"
"apa?" Dana mengangkat kaki satunya lalu di lipat di atas kaki satunya sebagai penopang.
"cara biar fokus menilai kemampuan seseorang itu gimana ya bang. kok gue masih ga bisa fokus. padahal step step yang lo ajarin udah gue praktekin. eh malah
konsentrasi buyar gara gara peserta centil tadi" sungut Idzar beralih duduk di sebelah Dana. Dana tertawa kecil mendengarnya.
"baru di angkat jadi kepala HRD, fans nya udah banyak aja lo" Dana menepuk nepuk punggung adiknya. "begitulah resiko orang ganteng, bang" Idzar menyeka
rambut hitamnya ke belakang dengan gaya sok cool.
"nanti gue kasih tahu di rumah aja. lo kerumah lah.. tengokin anak gue. nanyain om nya terus" Idzar melonjak bahagia. mendekatkan posisi duduknya ke Dana.
"serius bang" si krucil shabiya nanyain gue" emang dia udah bisa nyebut nyebut nama gue?"
"udahlah. anak gue mah pinter. nyebut nama lo itu lucu. oijal ijal. ga sekalian aja Oija tuh film horror" Dana tertawa sendiri menyeritakannya. tiba tiba
dia ingin cepat cepat pulang saja ke rumah menemui malaikat kecilnya yang sedang dijaga bidadari tercantiknya.
"nurun dari Om nya itu bang" celetuk Idzar mendapat pukulan ringan di lengannya. mereka tertawa terbahak bahak lalu meninggalkan Aula.
*** TBC... 2. hafizah talking doll tidak biasanya Idzar mampir ke toko mainan anak seperti ini. ini pertama kalinya. kalau bukan karena si kecil Shabiya Pradana biasa dipanggil biya, keponakan
kesayangannya yang baru berusia 4 tahun yang minta dibelikan mainan katanya. idzar curiga itu request terselubung yang dilakukan Dana atau Sina. paling
bisa bisanya mereka saja.
dan setelah berkeliling mencari toko mainan yang menjual lengkap segala jenis mainan. idzar menemukan sebuah toko yang lokasinya tidak jauh dari kantor.
toko tersebut menjual berbagai macam mainan anak. sesampainya disana, Idzar disambut dua pegawai toko tersenyum ramah kepadanya. pria itu hanya mengangguk.
idzar menelusuri isi toko sambil mencari mainan yang cocok untuk biya. ia menginginkan mainan yang ada unsur edukasi di dalamnya. jadi bukan hanya sekedar
mainan. akan ada kebanggan tersendiri jika ia mempunyai keponakan yang pintar seperti om nya.
tak butuh butuh waktu lama, akhirnya idzar menetapkan pilihan pada sepasang mainan yang bernama hafiz hafizah talking doll. sepasang boneka robot yang
bisa mengaji tak hanya mengaji. tapi juga dilengkapi kajian lain seperti Alphabet Story, Animals story, Cerita Nabi, Fun Fact, Kisah Teladan Nabi Muhammad, Vocab Arabic-Indonesia,
Games, Asmaul Husna, Doa-Doa Harian, Murattal 30 Juz, dan Lagu-Lagu Al-Qolam.
dari semua yang tersaji sudah cukup untuk mewakili kesempurnaan mainan tersebut. Idzar hendak mengambil mainan itu dari rak untuk dibawa ke kasir. tapi
ia baru tersadar ada tangan lain yang hendak mengambil mainan tersebut. Idzar menuntun pandangannya ke arah tangan lain itu menuju si pemiliknya.
"Idzar?" "aufa?" mata mereka tertuju pada benda incarannya. "maaf ya aku udah incer mainan ini udah lama. jadi, kamu harus ngalah. okey?"
Aufa menarik mainan itu dari rak tapi tangan idzar menahan benda tersebut diiringi tatapan tajam. Aufa merindukan tatapan itu walau hanya dalam hitungan
detik. "tapi orang pertama yang nyentuh mainan ini aku, fa. jadi, maaf sekali. kalau untuk hal lain, its oke lah aku mau ngalah sama kamu. tapi untuk mainan ini,
kayaknya kamu yang harus ngalah deh"
kedua tangan mereka saling menahan mainan berharga itu. seperti dua anak kecil yang merebut mainan kesayangannya.
"udah deh fa, ngalah aja. aku buru buru nih. keponakan aku udah nungguin. kalau aku ga bawa mainan ini. yang ada nanti om nya di unyeng unyeng" Idzar agak
mengerang frustasi sambil mencoba menarik mainan itu tapi tenaga Aufa lumayan kuat untuk menahan. bagaimanapun juga, mainan ini harus berakhir ditangannya.
"jadi kita sama dong. mainan itu sama sama buat biya. aku juga beli ini buat biya. kalau gitu, kamu aja yang ngalah. atau beli mainan yang lain. masa biya
punya dua pasang mainan yang sama. nanti kan jadi mubazir"
Idzar menggeleng pelan namun tegas. "tapi aku udah suka sama mainan ini. kenapa ga kamu aja yang beli mainan lain?"
"kan udah aku bilang, aku incer mainan ini udah lama. udahlah dzar, ngalah aja demi biya"
"justru aku ga mau ngalah karena ini semua demi biya"
Idzar menghela nafas seraya memutar bola matanya. sampai kapan ia bertahan dalam posisi seperti ini. posisi berdiri menghadap Aufa sedang tangan kanannya
menahan mainan incarannya. jika ia melepas sedikit saja posisi itu, gadis dihadapannya akan mengambil kesempatan untuk membawa mainan itu ke kasir.
begitu juga dengan Aufa. ia harus mempertahankan mainan incaran itu. karena setelah menunggu hampir dua minggu ia baru bisa membeli mainan tersebut setelah
upah mengajarnya turun. "oke. daripada kita terus terusan kaya gini entah sampai kapan. mending aku panggil pegawai tokonya" usul Idzar yang kemudian memanggil petugas toko yang
sedari tadi memerhatikan perdebatan dua pembelinya.
"mba, mainan ini masih ada stock satu lagi ga?"
"maaf mas, itu stock terakhir. peminatnya banyak banget mas" jelas wanita pegawai toko dengan senyum ramahnya. dan kedua pelanggannya tertunduk pasrah
mendengar kenyataan tersebut.
"coba mba check lagi deh di gudang. kita butuh satu pasang lagi mainan ini" Aufa berubah jadi sosok tidak sabaran sekarang. ia malah lebih ngotot bicara
dengan pegawai toko itu. "maaf sekali mba. mungkin mba atau mas bisa membeli mainan kami yang lain" ada banyak loh yang,--"
"engga bisa!" pegawai toko itu dibuat kaget karena ucapannya terpotong secara bersamaan oleh dua pelanggan keras kepalanya. wanita itu terdiam lalu menunduk. sedang
Aufa dan Idzar kini saling memandang satu sama lain. saling menebak nebak siapa yang akan mengalah. meski ada sorot lain yang mereka simpan disana. sorot
yang begitu mereka rindukan sejak keduanya menyelesaikan kuliah dan disibukan dengan pekerjaan mereka. Idzar sibuk dengan jabatan baru sebagai kepala HRD
menggantikan pak sastra yang pensiun. dan Aufa mencoba menjadi guru honorer di salah satu SMP di jakarta.
"jadi" siapa yang mau mengalah?" tantang Aufa setelah menunggu cukup lama terlebih ia mulai merasakan pegal di area lengan kirinya karena terlalu lama
berada di posisi yang tidak mengenakan.
"ya kamu lah. aku sih masih kuat megangin ini. seharian juga aku sanggup" jawab idzar nampak santai tanpa beban padahal nasibnya juga sama seperti aufa.
tangan kanannya sudah kesemutan daritadi.
"aku juga masih kuat. yauda kita tunggu aja sampe tangan kamu kesemutan atau pegel pegel trus nyerah deh" cibir Aufa dalam kesiksaannya menahan rasa pegal
yang sudah menggerogoti tangannya daritadi. sesekali gadis itu tersenyum aneh seolah dirinya baik baik saja.
"kalau boleh saya usul, bagaimana kalau mba sama mas beli mainannya masing masing satu. kan jumlahnya sepasang tuh. mba beli hafizahnya. dan mas beli hafiz
nya" ada pegawai toko yang lain mengambil tindakan hingga keduanya menatap wanita itu sambil menimang nimang usulnya.
"walau agak mahal sih harganya. tapi daripada mas sama mba terus terusan seperti ini?" tambah pegawai itu lagi. semoga saja usulnya diterima dengan baik.
karena jujur ia tidak tega melihat dua pelanggan keras kepalanya itu berdiri disana sambil menahan mainan incarannya.
"aku setuju sama mba. kamu setuju ga dzar?" Aufa sudah lebih dulu menimang usul itu lalu menyetujuinya.
"ya mau ga mau harus mau. daripada ga dapet sama sekali" jawabnya terdengar pasrah sambil mengindikan bahu.
akhirnya pertarungan sengit itu berakhir juga. kini keduanya melepas posisi mereka. Idzar langsung mengibas ngibas tangannya menghilangkan rasa kesemutan
yang menjalar ditangannya. sedangkan Aufa memijit mijit tangan kirinya.
"sekalian dibungkus ya. terus jangan disatuin sama punya dia" Aufa melirik pria disebelahnya. sisa sisa pertarungan sengit tadi masih berbekas dihatinya.
lagipula tidak biasanya Idzar seperti ini. sejak kapan ia menjadi manusia keras kepala"
waktu lima tahun itu sudah membuatnya sedikit berubah. atau mungkin hanya perasaanya saja" anggap saja karena effek rindu.
*** "oijal.. kalau yang ini cara nyalainnya gimana?" gadis cantik kecil bernama Shabiya itu sedari tadi sibuk mengutak ngatik mainan barunya. wajahnya sok
serius. terlihat sangat lucu ketika sedang seperti itu.
"kalau ini hafizahnya sama seperti biya. sama sama pakai jilbab kan" dinyalainnya disini" Idzar mengklik tombol On lalu menaruhnya dihadapan Biya. boneka
hafizah itu memperdengarkan lantunan huruh hijaiyyah diiringi musik yang membuat Biya menggoyangkan kepalanya sambil mengikuti apa yang boneka itu ucapkan.
meski belum begitu jelas, malah terlihat menggemaskan.
"udah bilang terimakasih belum ke om idzar?" Biya menggeleng kecil malu malu sambil memeluk kaki ayahnya.
"sini ayah ajarin" Dana mensejajarkan dirinya dengan biya "ikutin ayah ya, Om idzar terimakasih ya" ucap Dana lembut. alih alih Biya mengikuti ucapannya,
gadis kecil itu malah menarik diri dari genggaman ayahnya menuju Idzar lalu mencium singkat pipi om nya itu.
idzar yang mendapat perlakuan itu tersenyum malu malu sambil menatap biya berlari ke pelukan ayahnya.
"sama sama biya cantik" Idzar mengulum senyum lalu tertawa sendiri.
"bang, anak lo lebih tahu cara berterimakasih yang baik dan menyenangkan"
"menyenangkan apanya?" gumam Aufa dari balik tembok dapur dimana dia dan Sina sedang menyelesaikan donat buatan sepupunya itu "yang ada pegel pegel tangan
aku. kenapa sih dia ga mau ngalah" kan dia bisa beli mainan lain" gerutu Aufa sedari tadi. tangannya sibuk mengoleskan mentega di atas donat. "kalau dia
mau ngalah sediikiitt.. aja, aku udah dapet mainan itu sepasang na" Sina yang mendengarnya hanya menggeleng geleng sambil tersenyum. sosok keibuannya mulai
terpancar. tetap terlihat cantik.
"terakhir kamu kesini pas Biya lahir. mungkin karena kesibukan kamu kali ya. soalnya, aku heran. sejak kapan Aufa yang aku kenal penyabar jadi emosian
gini?" Sina menatap Aufa lembut. membiarkan Aufa mengkoreksi sikapnya sejenak. gadis itu terdiam seraya mengucap istighfar berulang kali dalam hati. ia
akui memang sejak perdebatan itu rasa kesalnya masih belum pergi.


Senja Merindu Karya Suffynurcahyati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"maaf na. aku khilaf. aku kebawa emosi" Aufa tertunduk lemas. matanya sendu bibirnya ditekuk ratusan lapis. "aku kecewa aja, sudah dua minggu nunggu mainan
itu, eh hasilnya tidak sesuai sama rencana aku"
"kamu dulu pernah ngajarin aku, manusia itu si perencana yang baik. tapi Allah lah si penentu terbaik. mau kamu rencanain sebagus apapun kalau Allah berkehendak
lain, bagaimana?" Aufa mengerjap sekali. membenarkan kalimat itu. kalimat yang belum lama ini pernah ia lontarkan kepada Sina ketika Sina mengharapkan
anak laki laki tapi Allah memberinya anak perempuan. satu nasehat itu saling menguntungkan satu sama lain.
"aku pikir pikir, usul mba pegawai toko itu ada benarnya loh, coba deh kamu bayangin kalau akhirnya mainan itu gak cuma ada satu. trus kalian beli masing
masing sepasang. yang ada, biya ga mau tidur siang, ga mau makan, gara gara sibuk sama mainan kalian itu. justru adil kalau kamu beli hafizahnya. idzar
beli hafiz nya" Aufa mengangguk paham akan nasehat itu. sejenak ia memflasback ulang kejadian tadi. ketika keadaan membawanya pada satu kondisi yang sulit. yang tak kunjung
menemukan titik dari masalah tersebut. tapi justru, permasalahan itulah yang menjadi jalan keluarnya. sama seperti kejadian yang di alaminya dengan idzar.
ketika mereka dihadapkan dengan keadaan dimana target barang yang cuma hanya satu disana. menguji bagaimana lihainya idzar meracik suatu masalah. atau
menguji kesabaran Aufa menanggapi masalah tersebut. namun karena mereka saling mementingkan egoisme semata, wajar jika akhirnya wanita pegawai toko yang
Allah hadirkan untuk mereka memilih angkat tangan.
"na, donatnya taruh di meja makan semua?" Aufa mengalihkan pembicaraan. tapi Sina mengerti, meski mengalihkan pembicaraan, Aufa tetap meresapi nasehatnya
barusan. ia hanya malu karena sikapnya.
"jangan. sebagian kamu taruh di meja. sebagian kamu bawa ke mas Dana sama Idzar di depan"
*** selepas Isya, akhirnya Aufa pulang dari kediaman Sina dan Dana. meski harus berdebat lagi sebelumnya saling memperebutkan menggendong biya. hingga akhirnya
biya memilih digendong oleh om nya. ya, naluri wanita biasanya sudah terlihat sejak kecil. jelas saja, Biya memilih om nya ketimbang Aufa. om nya lebih
pandai menarik perhatian wanita. termasuk perhatiannya.
tidak ada yang berubah memang dari pria itu. dia tetap seperti senja yang ia rindukan. seperti senja yang ia nantikan waktunya. senja yang menampak perpaduan
warna indah di langit semesta. gradasi warna ungu dan jingga menyatukan keduanya.
"tumben pulang telat, ndhuk" Cokro menghampiri dirinya yang baru saja selesai sholat isya di kamar.
"maaf yah, fida lupa ngabarin. sepulang ngajar, fida mampir ke rumah Sina. fida kangen sama Biya, yah" Aufa melepas mukenanya. lalu tersenyum kepada pria
hebatnya itu. "yah. coba kamu kabarin ayah. ayah pasti ikut kamu. ayah kan juga mau lihat cucu ayah. pasti sudah besar ya dia?" tatapan Cokro kali ini lebih antusias.
ia bersemangat sekali membahas cucu dari keponakannya itu. siapa yang tidak menyukai gadis kecil menggemaskan seperti biya"
"sudah besar. sudah pintar seperti ayahnya. centil seperti ibunya. kadang nyebelin seperti om nya" ada nada berbeda di pernyataan terakhir. Cokro membuat
kerutan bertumpuk di dahinya.
"idzar maksud kamu?" Aufa mengangguk kecil sambil menaruh mukena dan al qur'an pada satu tempat di atas meja.
"menyebalkan bagaimana" sepertinya dia anak yang baik. bukankah terakhir ayah bertemu dia itu sewaktu insiden penculikan Sina bukan" memang sih, ayah belum
sempat mengobrol dengan dia. tapi dari cara dia menolong almarhum Sarah kala itu, ayah tahu dia anak yang bertanggung jawab"
"panjang ceritanya yah" Aufa malas menjelaskan. sebab jika ayahnya sudah memuji seseorang. mau segigih apapun Aufa menyebutkan keburukannya, Ayah lebih
gigih membela dengan ribuan kebaikan untuk orang itu. itulah cokro.
"oh iya. ayah kapan mau jenguk ibu?" Aufa menggunakan jurus maut mengalihkan pembicaraannya. Cokro menghembuskan nafas berat lalu menatap langit langit
kamar. "memang ibumu sudah sembuh" sudah menanyakan kabar ayah?"
Aufa menggeleng lembut lalu tersenyum hangat
"kalau ayah menunggu sampai ibu sembuh. atau menunggu sampai ibu menanyakan kabar ayah, itu membutuhkan waktu lama. karena...."
Aufa terdiam sejenak. untung saja kalimatnya terhenti. kalau tidak, Cokro akan tahu bahwa sampai sekarang Diana belum mengenali status dirinya sebagai
anak. bahkan menganggapnya sebagai perawat rumah sakit. dan itu akan lebih menyakitkan hati Cokro. dan kemungkinan Cokro akan semakin membenci Diana.
"karena apa ndhuk?"
"karena setidaknya, kehadiran ayah pasti akan mempercepat proses kesembuhan ibu. dan kata dokter Syihab, kehadiran keluarga itu mendukung kesembuhan pasien
juga daya ingatnya" ungkap Aufa lancar berhasil meloloskan diri dari jerat pertanyaan cokro.
"benarkah begitu?"
"tentu saja ayah. kalau ayah ga percaya. ayah tanya saja dokter Syihab" Cokro mengelus puncak kepala Aufa. tersenyum matang. membawanya dalam dekapan.
meski kenyataan pahit mengatakan bahwa Aufa bukanlah anak kandungnya, melainkan anak dari pria lain. tapi ia tetap anak dari Diana, istrinya. tapi mengapa
Diana sendiri begitu membencinya" malah sempat ingin menjual putri hebatnya itu. memorinya mengingat peristiwa lima tahun lalu.
tapi semoga saja kondisi diana saat ini bisa membuatnya kembali menjadi Diana yang dulu Cokro kenal pertama kali. sebelum dia mengenal dunia malam yang
menyesatkan. *** TBC... 3. si gadis ceroboh Abidzar berdiri tegap sempurna di loby bawah kantor. pandangannya lurus kedepan menatap luar gedung. sambil melipat tangan didada menatap angkuh segala
penjuru pemandangan pagi. sorot matanya menembus jendela kaca berukuran besar.
tubuh proporsional itu tak membuat kesempurnaan pria itu surut. kharisma yang dimiliki memancar kuat dalam dirinya. kemeja putih lengan panjang membalut
kesempurnaan yang tersembunyi. rahang kokoh khasnya tercover rapi oleh lilitan dasi hitam disana. jika tokoh pangeran dalam cerita dongeng benar benar
nyata, sosok Idzar menggambarkan tokoh pangeran eric dari cerita mermaid melody.
sudah hampir setengah jam ia berada dalam posisi tersebut. sejak pukul setengah sembilan, pria itu memutuskan untuk turun menuju loby dan menunggu seseorang
disana. seseorang yang sudah membuang waktu berharganya. harusnya saat ini ia tengah memberi penyuluhan dihari terakhir orientasi karyawan, tapi karena
keterlambatan seseorang itu sampai dirinya harus mendapat mandat dari Dana agar menunggunya dari pintu utama. tapi Idzar punya rencana lain. ia harus segera
mengambil tindakan atas keterlambatan orang tersebut.
Idzar memicingkan kedua matanya menyambut seorang gadis yang berjalan tergesa gesa hendak masuk. ia sempat melihat gadis itu merapikan pashmina orange
dihadapan salah satu kaca jendela yang tak sengaja memantulkan bayangan dirinya. idzar memerhatikan aktifitas gadis itu sampai akhirnya dia berjalan kecil
tanpa menyadari keberadaan idzar di dekatnya.
"sepertinya ketidak disiplinan kamu sudah akut sekali, ya" gadis bernama Tsabita Ilana tersebut tentu saja mendengar siapa yang berkata seperti itu. ia
terhenti dari langkahnya lalu menoleh kepada sumber suara. alisnya menaut tinggi. ini kedua kalinya Tsabit mengalami keterlambatan kerja. jika kemarin
dia masih mendapat kebijaksanaan dari Dana,--bos nya yang super baik ketimbang Idzar--tapi sekarang ia harus menelan pil pahit mengetahui sosok idzar disana.
tak terbayangkan akan seperti apa nanti nasibnya ditangan kepala HRD killer itu. semenjak dirinya bekerja di Prams Coorpiration dan semenjak Idzar juga
dirinya telah menyelesaikan kuliahnya, tidak ada lagi sosok idzar yang menyenangkan. setiap hari ia disuguhkan kearoganan dari pria itu.
"kalau kemarin mungkin pak Dana masih berbaik hati sama kamu. tapi untuk hari ini, toleransi itu tidak berlaku sama sekali" Idzar masih enggan menatap
si pelaku bernama panggilan Tsabit itu. posisinya belum berubah. matanya pun masih betah menatap kondisi luar gedung. kakinya masih kokoh menopang tubuh
tegapnya. namun peringai angkuhnya sudah bisa melumpuhkan siapa saja yang melihatnya tanpa perlu mendapat tatapan balik dari pria itu. setidaknya yang
sudah diajarkan Dana sejak dulu, membuahkan hasil. kini Idzar sudah mampu menguatkan kharismanya.
Tsabit menghela nafas kemudian berjalan menghampiri Idzar.
"jalanan macet parah, dzar. seharusnya aku udah sampe daritadi" kilah Tsabit "tapi macet kali ini super parah. mobil aku sampe ngestuck dan tidak bergerak
selangkahpun. dan kamu tahu" akhirnya aku memutuskan naik ojek online lalu aku suruh sopir aku yang bawa mobil" Tsabit mengulum senyum setelah itu. berharap
Idzar mengerti kondisinya dan juga memberi apresiasi atas usahanya agar tidak terlambat.
"lalu?" Tsabit menarik dahi seraya mengerucutkan bibirnya.
"lalu?" tsabit menggeleng cepat membuang ketulalitannya "itu artinya kalau aku tidak memesan ojek online, aku tidak akan berada disini. dihadapan kamu"
jelas tsabit lagi tanpa merasa berdosa. matanya bergerak gerak mengamati punggung kokoh Idzar berharap pria itu berbalik dan memberinya pemandangan indah
yang terukir dari wajah teduhnya.
"saya butuh alasan yang logis"
Tsabit mendengus. wajahnya berkerut. tidak habis pikir dengan apa yang baru saja ia dengar. kurang logis apa lagi alasannya" mengapa sesuatu kejujuran
selalu di pandang sebelah mata"
"logis bagaimana" alasan aku itu memang benar adanya. aku terjebak macet parah" jawab Tsabit membela diri.
Idzar berbalik. menarik satu alis yang seperti semut beriring.
"setidaknya kamu menghargai usahaku. bagaimanapun juga aku sudah berusaha agar aku tiba disini. bukankah lebih baik terlambat daripada aku tidak hadir
sama sekali, kan?" "apa itu artinya kamu menoleransi ketidak disiplinan" terlambat tetap saja terlambat. tidak ada perbandingannya dengan apapun. jadi menurut kamu, terlambat
itu lebih baik?" Idzar bersendekap menatap tajam gadis dihadapannya. mentidak berdayakan gadis itu dengan serangan tatapan aneh. idzar tahu siapapun akan
merasa kikuk jika mendapat tatapan intimidasi tersebut.
"bukan begitu" Tsabit mengerjap dalam satu detik. otaknya bekerja dengan keras "maksudku, beri aku toleransi sekali lagi. aku janji ini yang terakhir"
maksud hati ini berkelit lagi, tapi tsabit memilih menghindar dari perdebatan itu. karena akan sia sia. Idzar memiliki lebih dari seribu satu cara untuk
menyudutkannya atas kesalahan ini.
Idzar bergeming. ia hobby sekali mengintimidasi seseorang dengan tatapan menyeramkannya itu. mungkin untuk orang lain, itu seperti tatapan membunuh. tapi
tidak bagi Tsabit. ia merasa Idzar cenderung mengamati tubuhnya dari bawah hingga ke atas. seolah mengabsen keindahan seorang wanita. Tsabit tertunduk
kecil. melindungi dirinya dari sorot mata itu.
"kamu meminta dispensasi?" tebak Idzar. tangan kanannya menggenggam dagu. Tsabit mengangguk kecil.
"jangan bermimpi" ketika kalimat itu selesai terlontar, bersamaan dengan dongakan kepala Tsabit. didapatinya sebuah lipatan surat menghadap ke wajahnya.
surat itu berasal dari tangan Idzar. Tsabit memiringkan kepalanya. hatinya was was sekaligus perasaannya mulai tidak enak.
"semoga surat ini bisa membantu mengobati ketidak disiplinan kamu yang sudah akut itu" Idzar berjalan pergi melewati Tsabit dalam keadaan melongo dalam
beberapa detik sambil membaca kop surat yang kini sudah berada ditangannya. surat peringatan pertama ditujukan kepada saudari Tsabita Ilana. gadis itu
meniup kasar lekukan pashmina di kepalanya. menatap sekali lagi surat tersebut seiring ketidak karuan hatinya.
"padahal jabatannya kepala HRD, tapi sok nya udah kayak kepala manager. persis kaya bos mafia kejam" gerutu Tsabit sambil berjalan menghentak hentakan
kaki dengan sebal. *** seorang gadis berusia 14 tahun menaruh seporsi siomay yang telah ia pesan dari mamang mamang yang kini tengah sibuk melayani pembeli lain. pembeli berseragam
yang sama dengan gadis itu. sebelum menyantapnya, ia hitung terlebih dahulu jumlah siomay yang dipesan, apakah sesuai dengan jumlah uang yang diberikannya.
seporsi seharga lima ribu, mendapat lima potongan siomay ukuran cukup besar. tentu saja gadis itu sumringah. ia pun segera memasukan sesuap siomay ke dalam
gua bernama mulut. "eits! baca doa. jangan lupa!" hampir saja suapan itu terjatuh lagi ke piring karena si pemegang sendok dibuat terkejut karena kehadiran teman sebayanya.
"ngingetinnya jangan pake ngagetin bil, hampir aja siomay aku lompat" desis gadis bernama tiana. dia nampak komat kamit membaca salah satu doa lalu segera
menyantap potongan siomaynya yang sempat tertunda.
"dicariin bu Aufa. penting katanya" ucap syibil ditengah kunyahan siomay tiana.
"ada apa ya?" Tiana berbicara sendiri. memikirkan hal apa yang membuat Aufa mencari dirinya. ia mengingat ngingat tugas yang diberikan tadi olehnya. tidak
ada masalah. "assalamualaikum"
kedua gadis itu sontak menoleh ke arah selatan. tepat disebelah mereka seseorang yang memberi salam "waalaikumsalam, bu"
"wah sedang istirahat. boleh ibu mengganggu sebentar?" Aufa menaruh dua buku paket di atas meja kantin.
"tentu bu, dan kata syibil, ibu Aufa mencari saya katanya" Aufa mengangguk dengan senyum mengembang khasnya.
"oh ya bu, ibu sudah makan siang" mari makan dengan kami. kalau ibu mau, aku traktir sepiring siomay" gadis bernama syibil menawari Aufa dengan begitu
antusias. "bil, bu Aufa sedang puasa senin kamis. betul kan, bu?"
Aufa mengangguk "tuh! apa aku bilang" tiana menyenggol sikut sybil sikut kanannya.
"tiana, berhubung selepas istirahat nanti adalah pelajaran ibu, jadi ibu ingin memberi beberapa tugas. karena sepertinya ibu agak terlambat menuju kelas.
bisa kamu bantu ibu?"
"tentu bu" Tiana meminum segelas air mineral kemasannya.
"kerjakan hal 20-25 dibuku fiqih ini. penjelasannya sudah ada disini. kerjakan semampu kalian dulu, nanti ibu akan jelaskan. dan yang kedua tolong ringkas
halaman 76 ini. diringkas ya bukan dipindahkan. artinya kamu ambil pokok dari wacana tersebut. sudah jelas?" Aufa mengakhiri penjelasannya" terhadap dua
sekretaris kelas itu. "jelas bu" nanti saya bantu kerja sama dengan khairul" jawab Tiana
"baiklah kalau begitu. terimakasih ya sudah membantu. silakan dilanjutkan makan siangnya" Aufa beranjak dari kursi panjang hendak meninggalkan mereka.
"bu, ada yang lupa" Aufa menoleh ke belakang. menatap syibil bingung. "ya?"
"aku disuruh menyampaikan salam dari kakak. kata kak Abbas, ibu harus tetap semangat dan jangan lupa untuk bersyukur hari ini" sebuah pesan singkat terucap
dari syibil. salah satu murid terpandai dalam pelajaran bahasa inggris sekaligus adik bungsu dari Abbas. ada sedikit penyesalan dari pesan tersebut. kenapa
bukan Abbas sendiri saja yang mengatakannya" jujur, Aufa malu menerima salam itu dihadapan muridnya. tapi bagaimanapun juga sybil tidak salah. Abbas yang
salah. pria itu selalu saja. gerutu Aufa dalam hati.
"walaalaihisalam" jawab Aufa sekenanya lalu mengulum senyum.
"kalau bu Aufa berjodoh dengan kakak, aku adalah orang pertama yang sangat bahagia. aku selalu punya impian agar bisa dekat dengan bu Aufa. bukankah jika
ibu menikah dengan kak Abbas, tentu saja ibu menjadi kakak ku juga?" Aufa yang mendengarnya tersenyum hambar. ia seperti mendengar pernyataan cinta dari
seseorang. apakah ia harus menjawab yes i do atau no" haha. ini bukan melamar,fida. Aufa tertawa dalam hati.
"ada banyak sesuatu yang memang belum saatnya kita pikirkan. ada yang semestinya kita pikirkan nanti nanti, ada juga yang sebaiknya tidak perlu sama sekali
kita pikirkan" Aufa kembali duduk diantara mereka. mengelus pucuk jilbab putih Sybil. mengamati wajah malaikat yang terpancar dari sana. ada bagian yang
ia suka, bulu mata gadis itu tidak lentik melainkan lurus kedepan.
"seperti kalian belajar membedakan mana yang baik mana yang buruk" pandangannya beralih ke Tiana secara bergantian. "mengerti?"
Tiana mengangguk. tapi tidak, untuk Sybil
"apakah maksud ibu, aku tidak boleh mencampuri urusan kalian?" Sybil memang tergolong murid yang sedikit kritis. mungkin jika dia disatukan dengan dua
murid kesayangannya Rizki dan Rais. akan terjadi perdebatan sengit yang tak berujung. sejenak ia seperti memikirkan perang dunia yang ketiga. dan imaginasi
Aufa perlahan geser. "ibu tidak punya urusan apapun dengan kak Abbas. kami hanya berteman, sayang. nah dari hal ini lah kamu sebaiknya belajar. sekarang ibu bertanya," Aufa
membenarkan posisi duduknya. menghadap penuh terhadap sybil. memegang kedua tangannya. menatapnya hangat seperti sosok ibu yang sempat hilang dari kehidupan
sybil. "baru saja ibu mengatakan, ada sesuatu yang sebaiknya boleh kita pikirkan, ada juga yang sebaiknnya tidak perlu kita pikirkan. tapi ada juga yang belum
saatnya kita pikirkan. dan dalam konteks ini, kamu memilih pilihan yang mana?" Sybil bergeming. matanya menatap langit langit kantin. ada sesuatu yang
Aufa tunggu dari mata itu.
"pilihan terakhir. belum saatnya untuk dipikirkan" jawabnya singkat.
"cerdas!" Aufa mencubit gemas kedua pipi gempal sybil. "lalu kesimpulannya?"
Sybil terdiam lagi dalam beberapa detik. ditatapnya wajah Aufa yang penasaran menunggu umpannya termakan oleh Sybil.
"dia mulai lola, bu. boleh aku kasih kesimpulan?" Tiana memotong kerja berpikir Sybil dengan gemas.
"boleh saja" "kesimpulannya, kamu belum saatnya memikirkan urusan yang memang belum jadi bagian dari hidup kamu. pikirkanlah sesuatu yang berada didepan mata kamu.
yang kelak hadir di masa depan kamu. itu sudah mutlak. dan bukan tidak boleh mencampuri urusan bu Aufa, tapi ibu Aufa sendiripun belum memikirkan hal itu,
Syibil" jawaban cerdas dan memuaskan terpapar jelas dari mulut Tiana. untung saja ada Tiana yang sedikit peka dengan keadaan. dan yang diucapkannya memang
betul sekaligus mewakili hatinya untuk menjawab keraguan Syibil. kalau bukan karena Abbas, pasti dia tidak akan ngotot seperti itu. Abbas memang keterlaluan.
batin Aufa bergumam. "benar seperti itu, bu?" tetap saja Syibil butuh pernyataan khusus dari Aufa. setidaknya untuk menguatkan argumentnya.
"kurang lebih seperti itu. tapi cenderung hampir semuanya benar" Syibil menipiskan bibirnya tersenyum samar. jawaban yang diwakili sahabatnya, Tiana cukup
menjawab keraguan hati. setidaknya ada kebanggaan tersendiri jika guru kesayangannya berteman dekat dengan Kakak yang begitu dicintainya.
*** deret langkah pria itu perlahan namun pasti. setiap langkah diisi dengan sapuan mata pada suatu benda yang ditemuinya. tangannya juga aktif mengamati benda
tersebut. memutar mutarnya lalu membaca ringkasan ataupun sinopsis yang tersaji dalam sebuah buku yang didapati kedua matanya.
pandangannya beralih pada buku setebal sekitar 500 halaman dengan judul Senja karya salah satu penulis kenamaan. awalnya dia tidak tertarik dengan buku
itu. tapi ada dorongan lain yang membuat pria itu membalikan buku itu untuk membaca kata kata yang menarik minat pembaca. entah itu sinopsis atau testimoni
para orang orang ternama.
tidak ada keduanya. hanya deretan puisi tertera disana.
andai Tuhan tiada melaknatku karena suara, maka ku lantangkan suara mendayu dayu sendu untukmu yang belum berada dalam jerat sakralNya.
andai Tuhan tiada menjatuhkan azab karena kilat mata antar dua penghuni, maka tak akan ku bosan mendetail keindahan Tuhan yang seperti candu.
tapi sayang seribu sayang,..
kau laksana fatamorgana yang semu..
kau laksana Senja yang tiada pernah ku temui..
kau laksana tawanan Tuhan yang tak bisa ku sentuh..
dan butuh seribu nyawa untuk mencabutmu dariNya..
tapi aku bodoh, aku bodoh bahwa kau tidak lebih dari seonggok bangkai yang sangat busuk.
kau berlindung dibalik sisiNya. kau menatap mohon padaNya.
sedang aku" aku akan sibuk, berkasih denganNya.
berkhalwat denganNya penuh cinta..
sampai Dia melepasmu dalam naunganNya yang abadi.
..... si penulis berhasil menggiring Idzar membawa buku itu dalam kantung bercap nama toko yang sudah ia persiapkan. ia berjalan menuju kasir, melupakan tujuan
awalnya yakni membeli buku yang berhubungan dengan dunia bisnis.
idzar harus menunggu dua antrian manusia dihadapannya. terlihat seorang wanita cantik bersama anaknya yang sekitar berumur 8 tahun. terlihat dari tempatnya
berdiri, wanita itu membeli beberapa buku pelajaran dalam jumlah banyak. sejauh yang Idzar lihat lagi, ada buku tipis berjudul mengenal english.
antrian sudah maju selangkah. sang kasir sedang melayani pembeli dihadapannya. seorang wanita diperkirakan usianya sekitar 27 tahun. entah kenapa akhir
akhir ini, Idzar senang mengamati orang orang disekitarnya. sambil iseng menebak nebak umur mereka. tindakan yang bisa dibilang kurang kerjaan memang.
tapi, bukankah kemampuan itu juga berguna untuk mengenal karakter seseorang" sebagai seorang kepala HRD, tentu dia membutuhkan kemampuan itu.
"sebentar ya mbak, tadi saya taruh uang saya disini. sungguh" lamunan idzar buyar mendengar seorang wanita berjilbab hitam panjang yang membelakanginya
tengah sibuk merogoh rogoh tas.
suara itu terdengar familiar sekali. Idzar masih berusaha acuh. ia melirik jam tangannya sebentar. belum terlalu lama untuk menunggu insiden yang dialami
gadis itu. "maaf mbak, antriannya sudah menunggu"
"iya mbak, sebentar ya. sebentar lagi saya mohon. soalnya sebelum saya kesini. uang saya masih ada di tas"
keacuhan Idzar runtuh. siapa yang tidak penasaran dengan suara empuk khas wanita yang ia yakini, hanya ada satu didunia.
wanita yang baru saja menjadi objek tebak tebakannya itu semakin panik. Idzar mengulum senyum kecil. ia hafal sekali gerakan gerakan aneh yang tercipta
oleh gadis itu jika sudah panik. entah menggigit bibir lah. menghentak hentakan kaki atau memainkan ujung jilbab dengan absurd.
petugas kasir yang melayani sempat menatap Idzar yang sudah menunggu dibelakang sambil menangkupkan kedua tangan. pertanda maaf atas ketidak nyamanan ini
situasi ini. Idzar hanya mengangguk paham sambil tersenyum kecil. baginya tidak masalah menunggu selama apapun. asal pemandangan dihadapannya ini jangan
cepat berakhir. sungguh ia menyukai kepanikan yang semakin menjadi jadi oleh gadis berjilbab yang membelakanginya itu. pemandangan yang menarik, pikirnya.
"bagaimana mbak" sudah ketemu uangnya?" tanya petugas kasir secara halus. tidak ada jawaban yang terlontar. hanya gelengan lemah yang ia ciptakan.
Idzar yang mulai iba pun, menarik salah satu sudut bibirnya tersenyum miring. kemudian dia maju selangkah mendekati gadis itu lalu merunduk seolah mengambil
sesuatu yang terjatuh. "maaf. sepertinya anda menjatuhkan uang anda" idzar bangkit seraya menyerahkan selembar uang seratus ribu rupiah di tangannya.
gadis itu melongo. matanya mengerjap beberapa kali. yang ada dalam pikirannya saat ini adalah, Dunia serasa begitu sempit jika sudah bertemu pria itu.
"maaf?" merasa tak mendapat respon, Idzar menggerakan tangan ke udara sekaligus menyadarkan gadis itu ke dunianya.
"tapi mas, itu bukan uang say,--"
"saya yakin ini uang anda. karena barusan saya lihat anda menjatuhkannya lalu tercecer disini" Idzar menaruh paksa uang seratus ribu itu ke tangan si gadis
sambil agak melotot. gaya melototnya itu seperti sebuah isyarat. maka ia pun berbisik "cepat terima kalau kamu masih sanggup menahan malu disini"
"ah, iya iya betul ini uang saya. alhamdulillah" seperti mendapat sinyal kuat, gadis itu mengangguk cepat lalu menyambar uang pemberian Idzar. wajahnya
tertunduk karena malu. sejak awal Idzar sudah tahu bahwa gadis panik yang ia ketahui adalah Aufa itu sedang dalam masalah. tapi sisi lain pria itu membiarkan saja sampai dimana
Aufa mampu mengendalikan kondisi tersebut. dan ternyata, ia masih seperti yang dulu. gadis ceroboh dan mudah panik adalah dua kebiasaan buruk Aufa yang
enggan pergi dari hidupnya.
untuk mencegah dia dari rasa malu. Idzar berinisiatif memberikan bantuan pinjaman uangnya melalui cara yang tidak biasa. wanita selalu punya gengsi untuk
menerima tawaran seorang pria. maka dari itu, dengan cara seperti inilah mau tidak mau Aufa menerima uang pemberiannya untuk membayar beberapa buku yang
ia beli. *** TBC.. 4. menyebutmu dalam do'a Aufa tidak habis pikir. ada apa dengan hari ini" mengapa dunia seolah enggan berpihak dengannya" mengapa ketidak beruntungan belum berpihak padanya"
sejak tadi gadis itu hanya bisa diam memandang apa apa yang dihadapannya. walaupun hanya pemandangan jalanan yang tersuguhkan, terasa lebih menarik ketimbang
seseorang di sebelahnya yang sedang sibuk dalam kemudi.
dan mengapa ia berpendapat seperti itu, dikarenakan tepat hari ini takdir sedang tidak bersahabat dengannya. mungkin menahan malu karena insiden di toko
buku barusan, belum cukup menguji kadar malu aufa hari ini. dan kali ini, Si pemilik takdir menguji dirinya lagi. kalau motor kesayangannya tidak mengalami
masalah, mungkin ia tidak akan berada di sini. di dalam mobil ini bersama pria baru yang sudah lama dikenalnya. mengapa disebut pria baru" karena banyak
perubahan yang dialami oleh pria itu hingga ia merasa seperti baru mengenalnya. walau pada dasarnya ia kenal lama pria bernama belakang Prama itu.
"kapan kamu mau ganti uangku?" pertanyaan itu sontak membuat Aufa menoleh cepat. wajahnya berubah masam seolah mengatakan are you crazy"
"secepatnya" Aufa mengatupkan bibirnya kemudian hendak meralat ucapannya "atau mungkin sekarang juga aku ganti" ia merogoh rogoh tasnya dengan gelisah.
sedetik kemudian ia kembali tersadar sesuatu yang membuatnya berhenti melakukan aktifitas tersebut. bukankah ia berada disini karena kesialan dirinya tidak
membawa uang" satu lagi kecerobohan gadis itu terkuak. Aufa mengambil nafas pendek "sepertinya, aku baru bisa menggantinya besok"
Idzar yang hanya bisa menahan tawa fokus pada kemudi, meski sedari tadi kedua matanya merasa tertantang untuk melirik gadis disebelahnya itu. mengapa ia
bisa sepikun itu terhadap hal yang baru saja menimpanya" padahal insiden di toko buku tadi, belum ada satu jam terlewati. pikirnya.
"tolong ingatkan aku untuk menagihnya besok" Idzar melirik sebentar. mendapati gadis itu tengah mengerucutkan bibirnya.
"aku tidak janji. aku kira kamu paham bagaimana kemampuanku dalam mengingat"
"apa itu termasuk alasanmu untuk menghindar dari hutang" memanfaatkan kekurangan hanya untuk selembar uang seratus ribu rupiah" Idzar membelokan stir nya
disertai wajah tanpa dosa. ia tidak tahu sedari tadi Aufa terus menahan geram terhadapnya.
"jangan terlalu cepat menarik kesimpulan bodoh. aku tidak serendah itu. bagiku hutang tetaplah hutang. tak peduli kepada siapa hutang itu diberikan. meski


Senja Merindu Karya Suffynurcahyati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hanya selembar seratus ribu sekalipun"
"lalu apa maksud dari kemampuan mengingat tadi" aku malas mengingat sesuatu yang menurutku tidak begitu penting"
"haa, sepertinya yang memiliki kekurangan dalam mengingat bukan hanya aku. buktinya kamu selalu berkelit jika harus mengingat hutangku. bukankah secara
tidak langsung kamu menghindar untuk menagihku" Aufa menunjuk Idzar sambil memutar mutar telunjuknya. matanya memicing curiga yang justru terlihat lucu.
Idzar menyimpan senyum geli dari dalam.
"terus saja mencari alasan. kalau kamu tidak sanggup membayarnya cukup katakan saja, aku bisa berbaik hati padamu" Aufa refleks menaikan sudut bibirnya.
dalam kasus ini ia merasa berada dipihak yang terdzalimi. Aufa akui, meski banyak perubahan dalam diri Idzar sejak lima tahun lalu, tapi ada hal lain yang
melekat abadi disana. yakni kemampuan berbicara dan berpikirnya patut diberi penghargaan. dan jangan lupakan tentang ingin menang sendiri, itu salah satu
ciri khasnya yang menyebalkan.
"ya ya ya. aku akan berusaha keras mengingat hutangku. dan secepatnya akan ku bayar" dalam perkelahian ini sebaiknya Aufa harus banyak banyak mengalah.
hatinya mengingatkan bahwa dalam hal ini, Idzar selalu menang.
"dan aku berjanji untuk tidak berurusan lagi denganmu. apalagi dalam urusan hutang seperti ini. itu sama saja seperti jatuh ke dalam lubang yang sama.
dan lubang itu mengerikan" Aufa memutar bola matanya malas lalu beralih memandang ke luar jendela.
"biar kutebak. sepertinya kamu sedang berusaha menjauh dari ku. ah tidak! maksudku menghindar dariku. begitu?" tebak Idzar asal. walau dalam kenyataannya,
ia menangkap maksud lain dari apa yang diucapkan Aufa. gadis itu belum merespon. ia masih sibuk mencerna tebakan Idzar.
"jangan memasang wajah bodoh seperti itu. mau sejauh apapun kamu berlari menjauh dari ku, kamu tidak akan bisa melawan takdirNya. insiden di toko buku
dan motormu yang mati tiba tiba, kurasa sudah cukup untuk membuktikan bahwa takdir mampu membantai hasratmu untuk tidak jatuh ke dalam lubang sama seperti
katamu tadi" Aufa merasa pemaparan Idzar tidak jauh dari ungkapan baper yang sering ia dengar dari murid muridnya. tunggu! Idzar baper" izinkan ia tertawa
sejenak. "takdir bisa dikalahkan dengan Do'a. mereka akan saling tarik menarik satu sama lain" Aufa menunggu respon Idzar selanjutnya.
"jadi kamu selalu berdoa agar tidak bertemu denganku lagi?"
sepakat. Idzar menjadi manusia baper sekarang.
"hei, bukan begitu" pekik Aufa protes
"tidak apa. aku mengerti. setidaknya aku mulai tahu bahwa namaku selalu terselip dalam do'amu" sahut Idzar. tersirat sebuah harapan kecil disana. jika
yang dikatakan Aufa benar, Idzar tidak keberatan untuk mengaminkan Do'a itu. tak peduli bagaimana doa yang disampaikan. asalkan namanya terucap lewat tangkupan
kedua tangannya yang membelah.
mobil itu tepat berhenti di depan pagar berwarna coklat mahoni. sejenak Idzar mengamati rumah tersebut. ia juga baru menyadari bahwa semenjak Sina berumah
tangga, Aufa sudah tidak lagi tinggal dengan keluarga Ibnu. dia lebih memilih tinggal berdua dengan ayahnya. Cokro.
"kamu tidak menawariku untuk mampir?" tanya Idzar disela aktifitas Aufa membuka pintu mobil setelah sebelumnya mengucapkan terimakasih.
"haruskah itu?"
"hanya sekedar kalimat basa basi saja. hanya untuk menambah kosa katamu dalam membalas budi bantuan seseorang" Idzar mengangkat bahu sambil merapatkan
bibirnya. Aufa berdecak kecil. apakah berdosa jika ia menolak tamu" bahkan Rasulullah pun sangat memuliakan tamu. tapi bagaimana dengan tamu yang menyebalkan
seperti Idzar" mungkin jika hanya untuk sekedar kalimat basa basi tidak ada salahnya. lagipula sebentar lagi waktu Isya. Idzar pasti menolak tawaran mampirnya. Aufa menarik
nafas kecil. "mampir lah sejenak ke rumahku.. jika kamu tidak sibuk ya atau jika menurutmu ini belum terlalu malam. tapi aku tidak memaksamu untuk,--"
"fix! aku terima tawaranmu. tunggu aku bersiap siap"
Idzar keterlaluan. lalu untuk apa ia mengatakan tentang basa basi tadi" sejenak, Aufa berkeinginan menelan Idzar hidup hidup. dan sekarang ia harus kembali
menyiapkan mentalnya kepada pria yang kini sudah berada di ambang pintu bersamanya. mungkin ia akan membiarkan Idzar berbincang dengan ayah. sementara
dirinya mengurung diri dalam kamar. mungkin sambil mencuri curi pendengaran dari balik tembok kamar"
*** di salah satu sudut kamar besar, duduklah seorang pria sedang sibuk mengoperasikan laptopnya. wajahnya nampak serius membaca deretan tulisan yang ditampilkan
layar datar tersebut. cahaya benda canggih itu memancar memenuhi kulit wajahnya yang putih kemerahan. semakin memperjelas detail detail kesempurnaan yang
terpajang dari wajah innocent itu. ia memiliki rambut hitam pekat namun bertekstur tipis sehingga nampak sedikit. matanya bak garis sketsa pada sebuah
gambar. jika diperhatikan dari dekat, bulu matanya nampak mencuat sedikit. hidungnya terjal bahkan bisa membuat lalat yang hinggap bisa terpeleset dari
sana. tubuhnya tegap berjarak kurang lebih tiga puluh centi dari layar laptop. ia mencegah gangguan pada matanya jika terlalu dekat dan terlalu lama menatap
layar berukuran sepuluh inci tersebut.
selagi asyik berkutat, suara ketukan pintu mengakhiri sejenak tarian jarinya dari atas keyboard kemudian ia menoleh ke arah pintu. seorang wanita berusia
hampir setengah abad berjalan pelan menghampirinya sambil membawa segelas air putih dan potongan buah kiwi di atas nampan bermotif batik.
"hayo, mengetiknya dilanjut nanti. ambu sudah bawain buah sama air putih buat mas Syihab" wanita itu menyebut dirinya dengan sebutan ambu. ambu adalah
sebutan ibu dalam bahasa Sunda. ia menaruh nampan itu di atas meja lain yang ukurannya lebih besar.
"terimakasih, Ambu. nanti syihab makan. Ambu sudah makan?" Syihab tersenyum hangat lalu menarik mundur kursinya. Ambu ratmi--begitu namanya, kini beralih
merapikan buku yang berserakan di atas tempat tidur. ia tahu sekali jika Syihab sudah sibuk dengan pekerjaannya, kamarnya pun terlihat lebih dari kapal
pecah. "sudah tadi di dapur. dimakan dulu mas buahnya. makan malamnya sudah ambu siapkan dibawah"
Syihab menurut. ia meminum segelas air putih terlebih dahulu lalu menikmati potongan buah kiwi yang tersaji. itu merupakan rutinitas yang selalu dilakukan
Syihab setiap akan makan malam. kondisi perut yang sedang kosong akan lebih baik diisi dengan air mineral dan buah. secara kesehatan dianjurkan makan buah
sebelum makan besar, karena lebih memudahkan penyerapan buah dan gizi yang terkandung di dalamnya dan tidak bersaing dengan penyerapan makanan utama serta
bisa juga meningkatkan kadar glukosa darah. Akan tetapi ini efektif jika makan buah 30 menit sampai 2 jam sebelum makan atau 1-2 jam setelah makan.
tak hanya dari segi kesehatan, dalam Alquran yang terdapat dalam surat Al waqiah ayat 20-21 yang berbunyi "Dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih,
dan daging burung dari apa yang mereka inginkan", menguatkan Syihab bahwa ilmu kedokteran dan islam saling berkesinambungan. di antara ulama juga ada yang
berdalil bahwa Allah menyebut buah dahulu baru daging sebagai dalil anjuran dalam islam, makan buah dahulu baru makanan pokok.
"buku buku ini mau ditaruh dimana mas?"
"taruh di atas tempat tidur aja, mbu. Syihab belum selesai" Syihab menaruh segelas air putih yang sudah kosong atas meja. ambu ratmi menaruh buku buku
itu lalu disusul merapikan piring dan gelas bekas makan Syihab untuk dibawanya ke bawah.
"papa sama mama mas Syihab sepertinya sudah menunggu di ruang makan. nanti mas Syihab langsung turun ya ke bawah. ambu masakin sambel goreng ati kesukaan
mas" ambu selalu antusias untuk urusan makanan kesukaan putra sulung majikannya itu. karena kesibukan Syihab sebagai seorang Dokter sehingga ia jarang
pulang ke rumah. mungkin seminggu sekali bahkan pernah sebulan sekali ia pulang. ditambah jarak antara rumahnya dan rumah sakit tempat ia bertugas memakan
waktu yang sangat lama. "iya nanti Syihab nyusul ke bawah. ohya, kok Acha sama Icha belum keliatan" mereka kemana, mbu?" Syihab mulai merindukan dua sosok adik kembarnya.
"sehabis sholat maghrib mereka belum keluar kamar, mas. katanya si sedang tidak mau diganggu. sampai sampai di kamarnya dipajang tulisan, Sedang sibuk!
jangan ganggu dulu. begitu mas" ungkap ambu menggebu gebu menceritakan kelakuan Acha dan Icha yang selalu aneh aneh. Syihab mengulum senyum. setelah makan
mungkin ia akan menemui dua adiknya itu untuk melepas rindu.
"asyik, ada yang kangen sama kita rupanya, cha" gadis bernama Icha muncul dari pintu. disusul adiknya yang bernama Acha. umur mereka terpaut lima menit.
mereka nampak serasi mengenakan kaos lengan panjang belang belang perpaduan warna putih dan hitam. yang membedakan, Icha memakai jilbab hitam, sedang Acha
memakai jilbab putih. "tuh kan, yang lagi di omongin dateng. berarti yang kangen kalian. bukan abang" cibir Syihab kepada dua adiknya sekaligus mencoba membedakan mana Icha
mana Acha. meski bersaudara, Syihab selalu merasa kesulitan membedakan kedua adik kembarnya tersebut.
"dih, pede banget si bang. kita ga kangen sama abang. kita cuma rindu pengen ngerjain abang lagi" Acha terkekeh geli lalu mengajak Icha untuk melakukan
tos ringan. mereka selalu terlihat kompak.
"mau ngerjain abang lagi" jangan mimpi. abang udah bisa bedain mana Icha mana Acha" aku Syihab sombong.
"sok coba bedain" tantang Acha. mereka berdiri dihadapan Syihab dengan gaya yang berbeda. Icha yang sedikit tomboy, bergaya kaku sambil bersandar pada
lemari. sementara Acha yang lebih feminin bergaya simple berdiri dengan kaki agak menyilang.
"kamu Icha. dan kamu Acha" ada beberapa titik yang Syihab pakai untuk membedakan mereka. Icha memiliki pipi yang sedikit berisi. hidungnya mancung namun
besar. bedanya dengan Acha, gadis itu memiliki garis wajah yang mini. hidungnya juga mancung tapi tidak besar, sedikit mirip hidung nenek sihir yang menjorok
ke bawah. kini dua gadis cantik itu saling melirik satu sama lain. mereka seperti sedang memberi kode.
"ah, ga seru bang. kok abang jadi pinter sih sekarang" Icha mendengus kesal tertunduk pasrah merasa misinya mengerjai Syihab gagal. keduanya memasang wajah
murung. "pisau tajam karena di asah" jawab Syihab singkat. Ambu Ratmi yang melihatnya menggeleng geleng kecil seraya tersenyum lalu berjalan meninggalkan kamar.
"jadi abang selama ini tugasnya cuma jadi pandai besi?" celetuk Acha polos. ia mendapat pelototan dari Icha. satu lagi yang membedakan mereka. Acha cenderung
tulalit. Syihab menahan tawa geli sedari tadi.
"kok pandai besi sih, cha?"
"pandai besi bukannya yang bikin pisau itu kan" abang bikin pisau tajam kan?" ketulalitan Acha semakin parah rupanya.
"ish! Achaaa..." Icha mengerang frustasi mengacak ngacak jilbab Acha dengan gemas. "tuh bang, ditinggal sama abang, tulalitnya semakin akut" adu Icha mendegus
sebal. wajahnya dilipat ribuan lapis layaknya wafer. Syihab yang memerhatikan dari tadi sudah tak kuasa menahan tawa. selalu ada saja yang membuat dirinya
tertawa terpingkal pingkal. ini juga salah satu yang dirindukan Syihab setiap hari.
"sini deh, abang mau peluk kalian" keduanya tersenyum sendiri lalu menghamburkan diri mereka cepat di pelukan Syihab. rentangan tangan syihab mampu menangkap
penuh dua adiknya dengan erat. ia memejamkan mata sejenak. menyalurkan bulir bulir rindu yang sempat tertahan. menuang kerinduan yang membunuh tiap malam.
"pasti abang tiap malam tersiksa ya karena merindukan kita" tebak Acha masih dalam dekapan Syihab. dia tidak menjawab.
"itu karena setiap malam, Icha dan Acha selalu menitipkan rindu untuk abang lewat doa. icha selalu berharap, abang selalu sehat disana. dan.... " icha
terhenti seraya menggigit bibirnya.
"dan apa?" tanya Syihab penasaran.
"dan abang segera menikah" jawab keduanya bersamaan diiringi cengiran menggemaskan. Syihab membiarkan icha dan acha menarik diri mereka dari pelukan.
"abang kan masih punya kalian, mama dan papa. abang belum mau memikirkan itu"
"tapi kita butuh anggota keluarga baru bang. dan papa mama butuh cucu" Icha agak ngotot. menggoyang-goyangkan lengan syihab.
"pokoknya mulai besok. abang musti pikirin tentang itu deh. acha yakin. perempuan yang nunggu abang udah ngantri diluar sana"
Syihab tertawa kecil. "siapa" pasien rumah sakit jiwa?" celetuk Syihab remeh. "asal kalian tahu ya. hidup abang 90 persen berkecimpung dengan mereka. selebihnya hanya perawat
perawat yang sebagian besar sudah pada menikah" ungkap Syihab pesimis. dalam hati kecilnya memang sempat memikirkan tentang adanya teman hidup. tapi, anggap
saja syihab menomer sekiankan hal itu dulu. berbicara mengenai teman hidup, mengapa tiba tiba pikirannya memikirkan tentang sosok Aufa" sosoknya yang hampir
mirip dengan salah satu adik kembarnya. Acha.
"gimana kalau kita cariin jodoh buat bang Syihab?"
*** "jadi selama ini, ayah kamu suka nanyain aku ya?" Idzar menyuap satu bulatan onde onde yang sempat dibeli Aufa untuk suguhannya. Aufa enggan menoleh. pandangannya
lebih suka menyapu pekarangan depan rumah yang disinari cahaya rembulan. tidak terlalu gelap tapi juga tidak begitu benderang. setidaknya mampu menerangi
tanaman tanaman yang berbaris rapi didepan sepasang kursi yang berada di teras. disanalah Aufa duduk menemani Idzar. setelah sebelumnya cukup lama berbincang
dengan Cokro. "tidak juga. hanya beberapa kali saja ayah menanyakan kamu. lagipula ku pikir itu juga tidak begitu penting" balas Aufa agak tertunduk.
"menyatukan tali sillaturahim itu penting. mungkin kalau kamu tidak menawarkanku untuk mampir, aku dan pak Cokro tidak akan bertemu seperti ini. dan ayahmu
orang yang sangat bersahabat" apa tidak salah" aufa yang menawarkan katanya" kalau bukan karena Idzar yang meminta, tentu ia tidak akan mengajaknya bertemu
Cokro. "beda sekali dengan putrinya yang satu ini"
akhirnya Aufa menoleh cepat ke arah Idzar. matanya menyorot tanda protes. tapi Idzar malah memasang wajah tanpa dosa. berulang kali hati Aufa mengingatkan
untuk selalu sabar menghadapi pria pemilik alis tebal itu.
"beliau tidak keras kepala. ramah. dan yang aku suka, pak Cokro juga mengidolakan sosok khalifah ummar bin khatab sama seperti aku" Idzar mengingat ngingat
perbincangannya dengan Cokro tadi. yang paling mengesankan adalah ketika Cokro dengan pemaparannya menceritakan kisah kepemimpinan Ummar bin Khatab pada
zaman Rasulullah saw. "ayah memang sangat mengidolakan Ummar bin khatab. ayah mulai mengidolakannya ketika salah satu teman organisasinya menceritakan bagaimana ummar memutuskan
untuk memeluk islam. bagaimana bencinya Ummar kepada Rasulullah dan sempat ingin membunuh rasulullah pada saat itu" ungkap Aufa. sejenak emosi yang sempat
terpendam untuk ia luapkan kepada Idzar, perlahan menurun begitu mendengar pria itu memuji Ayahnya. tak ada yang lebih membanggakan ketika sosok ayah yang
begitu ia sayangi mendapat apresiasi tersendiri. itu artinya, sosok ayah dalam hidupnya tak hanya berarti untuk dirinya, tapi juga orang lain.
"boleh aku menanyakan sesuatu?" tatapan idzar berubah serius. meski aufa kembali melurukan pandangannya ke depan, ia bisa merasakan bagaimana tajamnya
sorot mata Idzar mengintimidasi dirinya. lewat sudut mata sesekali ia melirik Idzar.
"apa?" "kenapa kamu menolak tiga kandidat ta'aruf yang ayahmu ajukan?" pertanyan yang sungguh diluar dugaan Aufa sebelumnya. kini pertanyaan itu seperti menggema
berulang dalam otaknya. mengapa tiba tiba Idzar menanyakan hal itu" oh, mungkin ayah sudah menceritakan banyak hal kepada Idzar. termasuk perihal tiga
kandidat ta'aruf untuknya.
"aku mengikuti saranmu waktu itu. ikuti kata hati. ia tidak pernah berbohong. ia selalu jujur. meski terkadang ia tidak sinkron dengan bagaimana bibir
berkata. tapi hati yang akan memenangkan segalanya. kamu masih mengingatnya,kan?" Aufa menoleh. memberi makna lain dalam bulatan hitam mengkilau di matanya.
Idzar berusaha menangkap apa yang tersirat dari sana. sejenak ia keliru dengan kemampuannya menganalisis seseorang. karena jujur, untuk menganalisis seorang
Aufa amatlah sulit. kejadian yang dialaminya mungkin hampir sama dengan yang di alami seorang shinichi Kudo dalam serial detektiv conan favouritenya. ia
pandai menganalisis berbagai macam kasus. namun untuk menganalisis hati seorang Ran Mouri, butuh perjuangan khusus. bagaimana pun juga ia bukanlah sherlock
holmes. "kamu yakin itu semua karena usulku" bukan karena aku?" entah mendapat dorongan darimana idzar mampu berkata seperti itu. tapi ia segera tersadar dan meralat
ucapannya "maksudku,.. aku harap keputusanmu berasal dari lubuk hatimu yang terdalam. bukan karena paksaan dari siapapun. termasuk aku" semoga Aufa tidak
salah paham. "tentu saja. aku yakin sekali. kamu meragukan hatiku?"
Idzar menangkap maksud lain dari kalimat terakhir Aufa barusan. dan yang idzar sesali dari pertemuan ini adalah, mengapa sempat sempatnya ia menanyakan
hal yang ujungnya malah akan membuat hatinya tidak karuan. seharusnya ia tidak perlu kepo dengan urusan jodoh Aufa. alhasil sekarang, ia dan Aufa seperti
sedang bermain teka teki. saling melempar kode kode absurd yang membingungkan. ini hati. bukan badan inteligent.
"tidak juga. semoga itu keputusanmu yang terbaik" Idzar menarik nafas dalam dalam. memutuskan untuk menjauh sejenak dari situasi ini. dan seharusnya Cokro
ada disini. diantara mereka.
"sebaiknya aku pamit pulang. maaf sudah menganggu waktumu" Idzar beranjak dari kursi. menggulung lengan panjang kemejanya hingga sikut. nampak gagah dan
rupawan. "baiklah. kenapa tidak daritadi saja" gerutu Aufa dalam volume kecil. tapi idzar sudah terlanjur mendengarnya. ia menghadiahkan Aufa sebuah seringai aneh.
"maksudku. tentu saja. hati hati di jalan" Aufa membuang wajahnya sejenak ke lain arah. menetralkan kondisi hatinya.
"sampaikan salamku untuk pak Cokro. mungkin aku akan lebih sering menemuinya" Idzar berjalan menuju pagar diikuti Aufa. gadis itu merasakan titik kebahagiaan
mendengar penyataan itu. "jika kamu ingin menemui ayah lagi. sebaiknya sewaktu tidak ada aku dirumah. kamu bisa lebih leluasa berbicara panjang lebar dengannya" saran Aufa sedikit
ada bumbu kebohongan kecil dari ucapannya. sisi lain ia mengharapkan kedatangan pria itu lalu menyambutnya dengan malu malu.
kini Idzar sudah berdiri di dekat pintu mobil.
"ku pastikan kamu tidak lupa dengan hutangmu, nona. assalamualaikum" tanpa menunggu sahutan, Idzar segera masuk ke dalam mobil kemudian melajukan mobilnya
meninggalkan Aufa. meninggalkan gadis itu juga sisa kegondokan yang ia buat sebelumnya. atau mungkin Idzar memang sengaja membuat Aufa kembali kesal sebelum
meninggalkannya. Aufa mengerucutkan bibirnya seraya berjalan mantap menghentak hentak berulang kali menuju rumah.
*** TBC .. 5. Khitbah terselubung "setelah ini kamu mau kemana?" tanya Idzar memerhatikan Aufa menggiring motornya yang baru saja selesai di perbaiki.
"aku mau menemui teman lama ku. Tsabit" jawab Aufa. kini ia tengah bersiap memakai atribut safety berkendaranya. untungnya hari ini tidak ada kelas mengajar,
jadi Aufa bisa menerima ajakan Tsabit untuk bertemunya sekaligus melepas rindu.
"aku ikut kalau begitu" Idzar juga bersiap memakai jaket kulit berwarna hitamnya. ditambah masker kulit dengan warna senada dengan jaket. jadi lebih terlihat
seperti anggota geng motor jalanan. namun tetap terlihat tampan. terutama mata elang miliknya, satu satunya indera yang tidak tertutupi masker.
"bukankah eksekutif muda seperti kamu, selalu sibuk dengan segala pekerjaan kantor" yang aku tahu, bahkan mereka memanfaatkan hari libur ini dengan terus
bekerja, bekerja dan bekerja" sindir Aufa. ia berkata seperti itu karena hampir setengah hari ini, Idzar selalu mengikutinya. sejak ia menemui idzar untuk
membayar hutang, lalu mengambil motornya dari bengkel. dan sekarang pria itu malah berniat ikut dengannya menemui tsabit. apa Idzar tidak punya kesibukan
lain" pikirnya. "mungkin khusus untuk ku, termasuk pengecualian. aku bukan seorang workholic seperti kebanyakan orang. menurutku Tuhan sudah memberi waktu dengan porsi
masing masing" jawaban yang cukup mengesankan. Aufa mengangguk kecil.
"jadi kita berangkat?"
kini keduanya melajukan motor mereka menuju suatu tempat yang sudah ditentukan Tsabit sebelumnya. mereka hendak bertemu di salah satu usaha cafe milik
Tsabit yang baru baru ini dibukanya. Tsabit beserta ayahnya sedang merintis bisnis kecil kecilan yang bergelut di dunia kuliner. karena mereka pikir, keduanya
sama sama menyukai makan. lalu memutuskan untuk membuka usaha cafe yang sudah berjalan hampir satu minggu. pengunjungnya cukup banyak sejauh ini. karena
lokasinya pun juga cukup strategis.
Aufa dan Idzar memasuki cafe tersebut. tidak begitu sulit mencarinya. karena sebelumnya tempat yang sekarang dijadikan cafe, sebelumnya adalah sebidang
tanah lapang luas yang tidak dipergunakan. dan cukup diketahui banyak orang. mungkin itu salah satu alasan ayah Tsabit membeli tanah itu untuk usahanya.
"kalian pergi bersama?" Tsabit duduk di salah satu kursi bersebelahan dengan Aufa dan menghadap Idzar.
Aufa agak bingung menjawabnya. melihat kebingungan itu, Idzar berniat untuk menjawab
"kami tidak sengaja bertemu, kata Aufa, kamu punya usaha cafe disini. lalu aku memutuskan untuk ikut" jawab Idzar sedikit berbohong. Tsabit yang mendengar
jawaban itu hanya mengulum senyum kecil. kemudian ia memesankan minuman untuk dua tamunya.
Tsabit terlihat begitu ramah kepada para pegawai cafenya. Aufa dan tsabit melihat perbedaan itu sejak mereka tiba disana. mereka disuguhkan pemandangan
dimana Tsabit menyambut hangat pengunjung yang datang. terkadang ia menghampiri salah satu meja untuk meminta testimoni dari salah satu pengunjung. penampilannya
pun agak sedikit berbeda dari biasanya. atau mungkin Aufa saja yang belum menyadari perubahan penampilan tsabit karena sudah lama tidak bertemu dengan
gadis itu. tsabit terlihat lebih feminin dengan memakai rok lebar berbahan satin berwarna merah dipadu dengan baju lengan panjang yang memiliki banyak
renda dibagian tertentu. terutama bagian ujung lengan dan pinggiran baju. semua itu semakin cantik dengan balutan jilbab segi empat rawis berwarna senada
dengan roknya. pada dasarnya Tsabit memang cantik. tak jarang Aufa kerap memuji dalam hati kecantikan gadis itu.
"ga kerasa ya, kamu sudah lima tahun mengabdi di Prams coorporation. aku pikir, kamu ga bakal betah disana. soalnya kan kamu pernah bilang itu hanya untuk
sementara" ujar Aufa sambil sibuk mengaduk ngaduk semangkok bakmie pesanannya.
"rencana awal sih gitu. tapi lama kelamaan aku jadi nyaman bekerja disana. dan menurutku, dalam bekerja bukanlah sekedar mengharap gaji. tapi juga kenyamanan
yang didapat, fa. karena itu berpengaruh dengan kinerja kita. kalau kita sudah nyaman, apapun yang kita kerjakan, tidak akan ada beban" ungkap Tsabit.
"aku setuju. ada pepatah mengatakan cintai apa yang kamu kerjakan, bukan kerjakan apa yang kamu cintai"
"kita udah lama banget ya ga ngobrol cantik kaya gini" beneran deh aku kangen momen ini" ungkap Tsabit antusias seraya menebar senyum terbaiknya.
"mungkin tiap weekend bisa kali ya kita ketemu lagi buat nyambung tali sillaturahim. jujur ya, cafe kamu ini bikin betah loh. makanannya enak. pelayanannya
pun memuaskan. anggap saja itu testimoni khusus dari aku" keduanya pun tertawa kecil menikmati dunia mereka. dunia wanita yang kadang membuat wanita betah
berlama lama disini. berbeda dengan Idzar, sedari tadi pria itu hanya menjadi pemerhati dua gadis dihadapannya. entah karena bosan atau apa. yang jelas, sejak setengah jam
yang lalu sejak mereka memulai obrolannya, ia enggan untuk ikut bergabung dalam obrolan tersebut. baginya tidak ada yang istimewa. hanya saling bertukar
pikiran dan pengalaman lalu tertawa tawa sendiri. tapi ia sendiri juga bingung harus berbuat apa. untuk meninggalkan mereka saja rasanya sulit. seperti
ada sesuatu yang menahan tubuhnya untuk tetap duduk manis disini.
Aufa sempat melihat Idzar menguap karena bosan. harusnya pria itu memang tidak ikut. idzar menguap lagi. ada rasa kasihan dalam dirinya. ada wajah lelah
yang tersirat disana. tapi ia buru buru membuang rasa iba itu. bagaimanapun juga, kebosanan itu karena ia memaksa untuk ikut. batin Aufa membela diri.
rupanya, bukan hanya Aufa yang memerhatikan kebosanan Idzar. tapi Tsabit yang sedari tadi melirik pria itu lewat sudut matanya. setiap kali matanya menatap
Idzar, gadis itu seperti menimang sesuatu. seperti ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
"kalau kalian masih lama, aku ke toilet sebentar"
"tunggu!" cegah Tsabit membatalkan niat Idzar. pria itu berbalik.
"setelah ini, ada yang ingin aku bicarakan denganmu" ucap Tsabit agak terbata. Idzar mengerutkan dahi "tentang?"
"sebaiknya kamu ke toilet saja. aku akan menunggu"
"aku tidak jadi. cepat katakan" Idzar kembali duduk. rasa penasarannya melebihi niat pria itu untuk ke toilet. lagipula ia hanya ingin berwudhu menghilangkan
rasa kantuknya. tapi pesan tsabit barusan, seperti obat penghilang kantuk. satu sisi ia mencium ketidak wajaran dari ucapannya.
"kalau begitu. aku juga tidak jadi. maaf" Tsabit menunduk kaku. wajahnya nampak tegang. seperti ada sesuatu yang ditahannya.
"tsabit kamu baik baik saja?" Aufa menyentuh punggung tsabit. ada yang tidak beres dengan sahabatnya itu. tsabit mengangguk kaku.
"dasar aneh" gumam Idzar sinis yang terlanjur didengar dua gadis itu. seperti mendapat asupan keberanian, Tsabit mendongak. menatap idzar dengan mantap.
"apa termasuk aneh, jika aku mengajakmu menikah denganku?"
sebuah kalimat ajaib terlontar dari bibir Tsabit. sontak membuat Idzar dan aufa menganga tak percaya. mereka berharap Tsabit sedang tidak baik baik saja.
"apa katamu tadi" me,.menikah?" kegugupan Tsabit berpindah ke Idzar.
"iya. menikahlah denganku, dzar!" kalimat itu terdengar lebih mantap dan lantang. tidak ada keraguan disana. sepertinya kecurigaan Idzar tentang apa yang
ditahan tasbit adalah pernyataan ini. pernyataan untuk menikah dengannya.
"tsabit, ada apa dengan kamu?" Aufa tak kalah was was. kekhawatiran Aufa semakin bertambah. tsabit menoleh lalu menggenggam erat tangan Aufa berusaha memberi
keyakinan bahwa dirinya baik baik saja.
"sepertinya ada yang salah dengan sel sel otak kamu. kurasa kamu butuh lebih banyak cairan agar otak kamu kembali normal" tanggapan Idzar terdengar menyakitkan.
tapi tidak berpengaruh sama sekali dengan apa yang diutarakan Tsabit.
"aku tidak butuh cairan apapun. aku hanya butuh jawabanmu" kini Idzar yakin bahwa Tsabit serius dengan ucapannya. wajahnya menegang seketika. sebisa mungkin
ia memberanikan diri untuk menangkap maksud gadis itu lewat sorot matanya. ia kerahkan seluruh kemampuannya menganalisis pikiran gadis itu. menerka nerka
tentang apa yang tsabit pikirkan sampai sampai ia nekat menyampaikan niat konyol seperti itu. idzar merasa seperti berada di dunia yang lain dan ia ingin
cepat cepat kembali ke dunianya. berharap ini hanya mimpi buruk yang singkat.
"kamu tidak mau menjawab?" tanya Tsabit lagi memastikan. nadanya terdengar menantang keberanian Idzar. sampai sejauh mana Idzar berani menjawabnya.
"atas dasar apa kamu mengatakan ini semua" wanita berpendidikan seperti kamu, pasti punya alasan melakukan hal bodoh ini"
Tsabit mendengus pendek. mengusap philtrumnya seraya menarik nafas panjang.
"hal bodoh katamu" lalu bagaimana dengan tindakan Khadijah yang di usianya 40 tahun, melamar Muhammad yang berumur 25 tahun pada saat itu. khadijah tidak
tahu kalau Muhammad ada jodohnya. yang ia tahu, Muhammad adalah jodoh yang diidamkannya. apa itu termasuk tindakan bodoh?" Idzar bergeming. ia yakin Tsabit
akan mengatakan hal yang lebih banyak lagi.
"lalu bagaimana dengan seorang gadis yang menyatakan perasaannya kepada nabi Musa as" kamu masih menyebutnya hal bodoh?" Idzar menelan ludah. menatap kesungguhan
yang tsabit ciptakan bersama pemaparannya.
"semoga aku tidak salah" tsabit hendak menyampaikan pemaparan yang berikutnya "dari tsabit Al Bunani, dia berkata, 'aku pernah berada di dekat Anas bin
malik, dan disampingnya ada anak perempuan dan berkata 'ya Rasulullah, apakah engkau mau kepadaku"' mendengar hal ini putri Anas berkata 'alangkah sedikit
rasa malunya, sungguh memalukan' Anas pun berkata, ia lebih baik dari kamu. ia senang pada rasulullah lalu menawarkan dirinya untuk beliau. Hadist Riwayat
Bukhari" pemaparan itu berakhir sempurna. ada kelegaaan dalam diri tsabit. setidaknya ada satu beban terlepas dari belenggu dirinya. meski kelegaan itu
berlangsung sebentar, karena setelah ini ia masih harus bersih tegang menerima respon Idzar. pria itu masih menatapnya dengan aneh. ia tahu tindakannya
sangat salah. bahkan ia belum memikirkan ini secara matang. masa bodoh dengan semua itu. sekarang dirinya menjadi pusat perhatian idzar dan Aufa. Aufa
pun merasa tidak percaya dengan tindakan Tsabit. hal apa yang mendorong dirinya bertindak sefrontal itu" tidakkah tsabit tahu bahwa ada rasa perih yang


Senja Merindu Karya Suffynurcahyati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyayat hati Aufa ketika lontaran menikah itu terucap"
"memang benar, khadijah ra melamar Rasulullah karena sosok lelaki yang diidamkannya ada pada Beliau. tapi ketahuilah, Khadijah menyampaikan perasaannya
kepada Rasulullah tidak serta merta menyampaikannya secara langsung, melainkan melalui perantara sahabatnya yang bernama Nafisah. ia tetap menjaga kehormatannya
sebagai seorang wanita" jelas Idzar berusaha tetap tenang. melawan gejolak aneh yang bergumul dalam dirinya. menyerbu Tsabit dengan sorot mata elang yang
berbahaya. ia menarik nafas panjang lagi.
"dan tentang seorang gadis yang menaruh hati kepada Nabi Musa As. ia pun meminta ayahnya sendiri sebagai penyambung lidah untuk menyampaikannya kepada
Nabi Musa as" mendengar itu, Tsabit memikirkan sesuatu sekaligus mencerna pemaparan idzar yang ia sadari ilmu agamanya masih belum seberapa. dibalik sosok
arogan dan keangkuhan Idzar, pria itu lebih paham tentang keislaman yang baru lima tahun dijalaninya.
"dan kisah tentang seorang gadis yang menawarkan dirinya kepada rasulullah dihadapan Anas bin Malik dan putrinya, itu memang benar adanya. tapi tidakkah
kau sadar, gadis itu menawarkan dirinya tidak hanya berdua dengan rasulullah. melainkan ada Anas bin Malik dan juga putrinya"
"maksudmu, harus ada perantara diantara kita" atau setidaknya saksi begitu?" tanya tsabit menggebu gebu. tapi bukan itu yang dimaksudkan Idzar. mengapa
tsabit berubah menjadi gadis polos sekarang"
"biar aku perjelas" Tsabit berusaha menenangkan dirinya "kalau mungkin maksudmu, harus ada orang ketiga diantara kita sebagai perantara, maka aku akan
menunjuk sahabatku Aufa sebagai perantara. aku juga bisa meminta nya sebagai saksi"
apa" saksi katanya" mendengar namanya disebut, Aufa menyipitkan matanya seraya membuka mulutnya. entah apa yang ia ucapkan. mulutnya seperti mengucap sesuatu
yang terdengar samar. tubuhnya terduduk kaku seperti disuguhi paksa ratusan bongkahan es yang memenuhi mulutnya. sesekali ia menelan ludah agar lidahnya
tak lagi kelu. "kamu bersedia kan jadi saksi khitbahku untuk Idzar?"
bolehkah Aufa keluar sejenak, menumpahkan isi tubuhnya lalu membiarkan dirinya tergeletak bak seonggok bangkai busuk diluaran sana" andai itu bisa, ia
akan lakukan itu sekarang. daripada harus mendengar tawaran yang baginya lebih menyakitkan dari semburan lemon yang membasahi sebuah luka. lebih dari sekedar
rasa perih. mengapa penantian ini begitu menyakitkan hatinya"
"aku,..." lidah itu masih kelu terhadap apapun. seperti ada pedang yang memotong lidahnya sehingga sulit untuk mengatakan apapun. sejenak ia sempatkan
melempar pandangannya kepada Idzar. rupanya sedari tadi pria itu terus mengamati perubahan demi perubahan raut wajah yang dialami Aufa. kedua mata itu
saling bertemu hanya dalam beberapa detik.
"kamu ingin jawaban apa dariku?" tak sanggup melihat Aufa tersiksa dalam ketakutan yang tak berujung, Idzar bertindak memotong jawaban Aufa atas tawaran
konyol yang diberikan Tsabit.
"jawaban yang diberikan Muhammad kepada khadijah tentunya, sehingga mereka menikah" itu artinya Tsabit membutuhkan jawaban iya dari Idzar.
"sudah kamu bayangkan sebelumnya, akan seperti apa pernikahan kita nanti, jika tidak dilandasi rasa cinta?" Tsabit merasa tertantang dengan pertanyaan
itu. disisi lain, ia menganggap pertanyaan itu hanya bagian dari cara Idzar mengetest perasaan tulus yang ia berikan kepadanya.
"cinta itu bisa kita bangun dengan adanya kita saling mendekatkan diri. saling mengakrabkan diri satu sama lain. dengan begitu, akan timbul perasaan cinta
diantara kita. dan aku percaya itu" sekali lagi setiap lontaran kata yang diucap tsabit terasa begitu menyakitkan. Aufa yang sedari tadi berada diantara
mereka. mencoba menahan emosi. bibirnya terus bergerak gerak seraya beristighfar berulang kali. memohon ampun padaNya atas rasa cemburu ini. cemburu yang
seharusnya tidak ia berikan kepada Idzar ataupun tsabit. karena kecemburuan Tuhan akan lebih menyakitkan hatinya. Dia bisa saja membuang segenap perasaannya
kepada Idzar jika Dia berkehendak. karena tak ada yang lebih berhak atas sebuah hati melainkan Sang Maha pembolak balik hati yang abadi.
"jangan kamu kira cinta datang dari keakraban dan pendekatan yang tekun. Cinta adalah putra dari kecocokan jiwa. dan jikalau itu tiada, cinta takkan pernah
tercipta dalam hitungan tahun bahkan milenia" Idzar memberi jeda sejenak. mengatur pasokan oksigen yang masuk lalu menghembuskannya bersama jawaban selanjutnya
"Cinta itu menerima kekurangan dengan keikhlasan. mendampingi yang dicinta dalam berproses, lalu bersama menikmati kebahagiaan saat sukses"
Tsabit tersenyum pongah. sorot matanya berubah sinis.
"lantas kamu menolak tawaran menikahku?" tsabit tersenyum miring. nadanya terdengar pesimis.
Idzar terdiam sejenak. menatap aufa sebentar, namun gadis itu memilih menunduk. kemudian beralih menatap Tsabit.
"maaf. aku tidak bisa menjawabnya"
kedua gadis itu saling bernafas lega. walaupun kelegaan mereka memiliki arti yang berbeda. setidaknya Tsabit tidak lagi harus memasang wajah tegang karena
menunggu jawaban Idzar. ia pun membuang wajahnya ke arah lain kemudian mendongakan wajahnya mencoba menahan genangan air yang membendung di kedua matanya.
"apa karena aku seorang Muallaf?"
Idzar pun baru menyadari bahwa Tsabit memang seorang muallaf. ia ingat sekali, pertemuan pertamanya kala itu dengan Tsabit melalui insiden mobilnya yang
mogok adalah hari kedua dia sebagai muallaf. ia mengetahui itu dari Dana yang sempat mewawancarai tsabit sewaktu dia interview bekerja diperusahaannya.
jika dihitung hingga sekarang, sudah lima tahun Tsabit memeluk islam. tapi sungguh, bukan karena hal itu Idzar menolak untuk menjawab.
"kamu tenang saja. bukan karena itu. aku punya alasan kuat lain mengapa aku enggan menjawab khitbah terselubungmu" Idzar tersenyum. mencoba menguatkan
Tsabit yang ia yakini akan merasa terpuruk dengan penolakannya.
"aku memang tidak bisa menjawab apa apa. tapi ku harap kamu mau mengizinkan sang waktu yang menjawabnya. dan kepada siapakah nanti hatiku. hatimu ataupun
hati Aufa dilabuhkan olehNya" Tsabit pun tak sanggup menahan bendungan air dalam matanya yang berkaca. satu aliran mengalir sempurna membasahi pipi nya
bermerah karena blush on tersebut.
Idzar mengambil selembar tissue dalam kotak yang berada didepannya. lalu menyerahkannya kepada Aufa. Aufa mengangguk paham, bahwa Idzar meminta dirinya
menghapus air mata Tsabit.
"penantian seorang muslimah adalah dengan senantiasa memperbaiki diri. ketika yang ia damba adalah kekasih yang shaleh, maka tiap saat ia tak henti untuk
menyalehkan diri. karena Tuhan hanya akan menjodohkan seseorang dengan orang yang tepat baginya" Aufa angkat bicara seraya mengusap lembut kedua pipi Tsabit
yang basah. menatap iba pada sahabatnya itu. ia beranggapan, bagaimanapun juga, cinta adalah fitrah yang dihadiahkan Tuhan kepada manusia. tinggal manusia
itu sendiri yang harus memilih bagaimana cinta itu ia olah. karena cinta akan menjadi menyakitkan jika diletakan pada tempat yang salah. begitu juga jika
ia menaruh cinta itu pada Si Pemberi sebaik baiknya cinta. maka Dia akan berbalik mencintaimu dengan segenap Kasih sayangNya
*** Aufa dan Tsabit berjalan kecil saling beriringan menyusuri jalanan besar menuju pintu rumahnya. setelah memasuki pagar, mereka masih harus berjalan beberapa
meter lagi agar bisa sampai mencapai pintu besar bak istana. jalanan itu dikelilingi pepohonan yang rindang. disertai tanaman hias juga berada disana.
jika lihat ke sebelah kanan, akan disuguhi taman kecil yang indah. terdapat kursi kayu untuk mempercantik. di sudut sana pun juga tersedia gazebo kecil
yang diperuntukan untuk tamu maupun keluarga untuk bersantai.
Tsabit menggiring Aufa menuju taman kecil belakang rumahnya. jika diperhatikan, keunikan rumah Tsabit adalah banyaknya taman mengisi setiap penjuru ruangan.
yang lebih mendominasi ialah taman pada halaman depan.
"kok sepi ya, pada kemana, bit?" Aufa meraih bantal kursi lalu ia gunakan untuk menutupi separuh kakinya dari paha.
"mama sedang ke luar kota. sibuk sama bisnis guci nya di semarang. papa ku ada di ruang tengah, biasanya sih jam segini lagi asyik main sama barbie" Tsabit
menaruh dua gelas orange juice di atas gazebo yang mereka tempati. gazebo kali ini terlihat lebih luas. jika dilihat dari jauh seperti rumah adat joglo
khas jawa tengah. didukung dengan ukiran indah pada tiangnya.
"papa kamu main boneka barbie?" Tsabit tertawa kecil atas pertanyaan polos Aufa. sejenak ia melupakan kesedihan yang sempat melandanya.
"barbie itu kucing anggora kesayangan papa. yang namain barbie itu aku. karena aku suka sekali sama boneka barbie, sampe kucing aja aku namain barbie"
jelasnya. "nanti kalau kamu pelihara kucing jantan, namain Ken aja. biar serasi" celetuk Aufa disertai cengiran menggemaskan.
"niatnya sih gitu, tapi papa ku belum mau pelihara kucing lain. padahal aku pengen cariin teman buat barbie. kasihan kan dia kesepian" Tsabit merunduk
menampakan wajah sedih. "nanti kalau udah saatnya juga papa cariin teman buat barbie" suara berat itu berasal dari seseorang yang baru saja tiba dari pintu ruang tengah. seorang
pria paruh baya berwajah indo menghampiri kedua gadis disana.
"kamu sabar saja dulu" kalau Aufa bisa menebak, bisa jadi pria itu adalah papa Tsabit. wajahnya kebule bulean. rambut putih memenuhi kepalanya. kulitnya
putih kemerahan. mungkin Tsabit lebih mirip mamanya. karena struktur wajah Tsabit tidak ada unsur kebulean seperti papanya.
"papa nguping yaaa?" tebak Tsabit curiga sambil memicingkan matanya.
"abisnya kamu bawa bawa nama barbie. telinga papa memberi sinyal kuat loh" papa Tsabit turut bergabung diantara keduanya. menatap Tsabit dan Aufa secara
bergantian. tatapannya hangat.
"oh iya, fa. kenalin ini papa aku" Aufa menangkupkan tangannya memberi salam lalu tersenyum. papa Tsabit--yang sebelumnya ia tahu dari Tsabit--namanya
adalah James turut tersenyum hangat. Aufa melihat kedua bola matanya berwarna kecoklatan.
"aku teman kuliahnya Tsabit, om. salam kenal ya om" sapa Aufa ramah. ia suka sekali dengan senyum hangat om James. seolah mampu melelehkan lelehan ice
cream coklat. "nice to meet you too" balas om James. sejenak Aufa seperti tidak asing mendengar nama itu. tapi, ah sudahlah tidak terlalu penting pikirnya.
"ya sudah. papa tinggal dulu ya. have fun ya kalian" om James menepuk nepuk punggung kedua gadis manis didepannya. lalu berjalan pergi.
"oh iya, papa buat lasagna kesukaan kamu. ajak Aufa makan juga ya" pesan James sebelum akhirnya ia benar benar pergi meninggalkan Aufa dan Tsabit.
Aufa memandang kepergian James sambil ternganga kecil.
"kamu mau makan, fa?"
Aufa belum menjawab. dunianya sedang berpindah memikirkan sosok om james yang sudah hilang dari peredaran matanya.
"fa..?" "Mufida Aufa.."
sontak Aufa tersadar mendengar Tsabit mengucap namanya lebih lengkap. gadis itu berkedip beberapa kali menormalkan dunianya.
"bengong aja" "papa kamu blasteran mana, bit?" Aufa bertanya. melupakan tawaran Tsabit untuk makan tadi.
"Amerika-Sunda. dia juga muallaf sama kayak aku. tadinya aku dan papa nonMuslim. tapi karena sesuatu yang mungkin orang bilang itu Hidayah, maka aku memutuskan
untuk memeluk islam. papaku pun ikut memeluk islam seminggu setelah aku mengucapkan dua kalimat syahadat"
Aufa meng-oh penjelasan Tsabit sekaligus mulai sedikit tahu tentang kehidupan seorang Tsabita Ilana. sejauh ini, ia melihat keluarga Tsabit tergolong keluarga
yang bahagia. terlebih ketika ayah juga dirinya memutuskan memeluk islam. pasti akan banyak keberkahan yang diberikan Tuhan kepadanya setelah itu.
"makan yuk! aku laper. aku harus makan banyak. karena berpura pura bahagia itu butuh tenaga ekstra" Tsabit mengalihkan pembicaraan dengan lelucon garingnya
yang malah terdengar lucu. Aufa yang mendengarnya tertawa tawa.
"sumpah, garing! garing banget" Aufa tertawa sambil memegangi perutnya.
"garing tapi ngakak, dasar!"
Aufa tambah tertawa geli dibuatnya. setidaknya segala beban berat yang menimpa Tsabit tadi hilang bersama tingkah jenakanya.
*** TBC... 6. menjauh agar dekat ... bukankah kehidupan memiliki arti yang begitu sederhana"
sesederhana menyiapkan sesuatu menuju kematian.
ada keindahan fana didalamnya.
tapi juga ada kesedihan yang berhikmah..
seperti kamu berteduh pada sebuah pohon yang rindang ditengah perjalananmu menuju suatu tujuan.
jangan terlalu asyik menikmati sayup sayup angin yang berhembus karenanya
jangan terlalu lama berteduh dibawahnya
jangan tertidur juga ingat tujuanmu.. ingat perjalanmu yang masih jauh..
lanjutkanlah.. maka kamu tidak akan terjebak menuju sana..
karena hidup ialah perjalanan menuju mati..
sederet kalimat yang terpampang setelah Idzar membalik buku dihalaman berikutnya. mata itu enggan menyapu wajah wajah yang sedari tadi menatap kagum padanya.
ia terlalu sibuk pada dunia yang menghipnotisnya. dunia yang berasal dari sebuah buku sederhana ditangannya. setiap kalimat yang tertuang dalam buku tersebut,
mengandung makna tersendiri. mengandung makna lain yang pria itu serap. bahkan segelas capuccino di atas meja merasa iri karena terabaikan oleh si pemilik.
minuman itu tak lagi hangat.
Idzar melirik jam tangannya sebentar. masih ada waktu lima belas menit lagi sampai ia menyelesaikan bab lima buku itu. akhirnya segelas capucino itu bersorak
karena si pemilik menyeruputnya seraya memejamkan mata. ia melanjutkan membaca.
seorang gadis memasuki area cafetaria. matanya beredar mencari sesuatu. diamatinya setiap wajah yang duduk pada tiap kursi. tak butuh waktu lama, bola
mata itu terhenti pada sosok yang menjadi targetnya. ia berjalan cepat sambil tersenyum sumringah. menampakan deretan giginya yang rapi.
The Broker 2 Pendekar Rajawali Sakti 9 Manusia Bertopeng Hitam Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 7

Cari Blog Ini