Ceritasilat Novel Online

Senja Merindu 3

Senja Merindu Karya Suffynurcahyati Bagian 3


ia tersenyum malu malu. lalu bagaimana dengan Idzar" anggap saja dia satu satunya manusia yang ngontrak di Sina and Dana island. yang isinya hanya mereka
berdua. idzar jadi pemain piano sebagai pengiring adegan romantis mereka.
"lama lama gue bisa muntah ditempat, bang" Idzar mulai merasakan gejala gejala enek ingin muntah menonton Drama yang diperankan kakak dan kakak iparnya.
sungguh miris. apa mereka tidak memikirkan nasib adiknya yang seorang jomblo"
"oke, sorry dzar" Dana berusaha menahan tawa kemudian kembali fokus pada dua kandidat untuk Idzar. "jadi, lu beneran gak ada ketertarikan sama sekali sama
mereka?" Idzar menggeleng mantap. "kenapa" udah mentok sama sepupu gue, ya?" celetuk Sina tepat sasaran. mendengar celetukan itu, alih alih idzar membalasnya, kini ia malah terdiam tak
berdaya. mulutnya langsung terkunci.
siapa lagi kalau bukan Aufa, pikirnya. gadis yang beberapa menit lalu dikabarkan telah dikhitbah seseorang. Sina sengaja langsung memberi tahu kabar itu
pada idzar. karena percuma kalau ditutupi suatu saat idzar pasti akan tahu. bukankah sakit di awal itu lebih baik daripada di akhir"
"gue boleh jujur ke kalian berdua, ga?" nada bicaranya terdengar pesimis. wajah menyebalkannya pun seakan raib berganti sendu.
"selama itu baik, katakanlah"
idzar menunduk sejenak. menimang apakah niatan untuk mengeluarkan uneg uneg nya kepada dua kakaknya itu adalah keputusan yang benar. karena jujur, disinilah
pertahanan seorang Idzar hampir rapuh. jika dulu ia mampu bangkit dari persoalan cintanya kepada Sina yang tak terbalas. kali ini berbeda. ternyata mencintai
dalam diam itu tidak semudah teori yang pernah ada. bahkan untuk mengadu kepada Tuhan pun rasanya masih kurang. setidaknya harus ada satu orang saja yang
memberinya kekuatan terbesar.
"ga jadi deh. gue bisa mengatasinya kok. insya Allah" terpancar senyum palsu milik Idzar. the best fake smile yang tidak mengubah kadar ketampanannya.
Sina dan Dana saling menatap. lalu kembali menatap Idzar. tidak baik juga memaksakan kehendak seseorang untuk menceritakan permasalahnnya. Dana yakin,
Idzar adalah sosok pria tangguh. ia hanya butuh support untuk sementara ini.
"jika ikhlas tidak sanggup membuat lu berserah karena merasa kesakitan yang tak kunjung hilang, biarlah kekuasaanNya yang menunjukan bahwa setiap apa yang
lekas lu ikhlaskan akan segera Allah ganti dengan kebaikan" begitulah pesan dana kepada adiknya. sejak awal tanpa adiknya itu memberi tahu, ia sudah tahu
perasaan apa yang tersimpan darinya untuk Aufa. bertahun tahun ia hidup bersama Idzar. meski dilihat ia sosok yang cuek, masa bodoh, dan dingin. tapi Idzar
tipikal pria tangguh dan perhatian. meskipun ia menunjukan kepeduliannya dengan cara yang berbeda. kurang lebih, karakter Dana dan Idzar ada sedikit kemiripan.
"jumpai Allah. adukan perasaan lu kepadaNya. hanya Dia penentu segala hati. olah perasaan lu itu sebaik mungkin, dzar" Dana memberi tatapan mantap dan
yakin. matanya menyorot tajam seolah mentransfer energi positif kepada Idzar.
"jangan lu buat syeitan menari nari di atas kesusahan lu saat ini. ini celah yang bagus buat mereka mengeraskan hati lu"
Idzar hanya bisa mengangguk. ucapan Dana benar. jika kita terjatuh dalam luka, segeralah bangkit dan rajut kembali asa. karena yang membuat kita hancur
adalah putus asa. jika kita merasa ada yang salah dengan takdir yang tak sesuai harapan, maka perbaikilah niat. mungkin niat kita yang salah. maka Allah
akan memperbaiki keadaan.
idzar memejamkan kedua matanya. menyebut namaNya berulang ulang. pantas saja seharian ini ada yang aneh dengan perasaannya. rupanya firasat tentang Aufa
benar adanya. dan yang lebih mengejutkan adalah, pria yang melamar Aufa adalah Syihab. dokter muda yang belum lama ini mendekripsikan sosok calon istrinya
yang begitu istimewa. ia tersenyum miring mengingat itu semua. dokter itu bisa bisanya berkelit. bilang saja kalau waktu itu dia masih jomblo, sama seperti
dirinya. "jika rentetan mimpi belum jua tercapai, maka berusahalah untuk meraihnya. karena yang membuat kita maju adalah kerja keras" kali ini Sina menambahkan.
"kamu tahu maksud ucapan ku barusan, ga?" tanya Sina terlihat lebih dewasa. melupakan konfliknya tadi. sebenarnya ia memang menyimpan makna lain dari kalimat
motivasi yang baru saja di ucapkan. tanpa menunggu jawaban Idzar, Sina kembali memaparkan.
"entah perasaan aku doang atau apa. yang jelas aku ngerasa yakin banget kalau kamu sama Aufa itu berjodoh" paparnya sok tahu.
"trus hubungannya sama meraih impian dan kerja keras itu apa, neng?" ada yang menjepit hidung bangir gadis itu. Dana yang melakukannya.
"ga usah repot repot menghibur gue" Idzar mulai pesimis.
"hei hei, kalian berdua. dengarkan aku! terutama elo, Abidzar Ahda Prama!" Sina menunjuk hidung Idzar dengan mata menyala.
"ketika kamu punya mimpi, maka kamu akan berjuang sekeras apapun buat mimpi itu, kan" nah bayangkan kalau mimpi itu adalah Aufa. bukan sekedar Aufa. tapi
kehidupan indah yang akan kamu rajut bersamanya kelak. aku yakin kamu ga mungkin semudah itu membiarkan mimpi itu pupus di tengah jalan. terbukti kok,
hampir lima tahun kamu pendem perasaan ke Aufa sampe sekarang, kan" ngaku!"
malam ini, Idzar seperti manusia bodoh tanpa akal. tak mampu berpikir jernih. ini pertama kalinya ia menjadi anak penurut. bahkan tidak membalas apapun
ocehan sina ataupun Dana. pria itu mengangguk malu seraya menggaruk area tengkuknya.
"yaudah. perjuangkan itu semua. selama tidak melanggar ketentuan Allah. jalani dengan hati. aku pernah dengar salah satu ayat yang kalau tidak salah artinya
begini, 'Aku tidak akan mengubah nasib hambaKu sampai ia sendiri mengubahnya'." Sina memberi jeda sejenak. mengatur nafasnya "tapi saran ku, yang pertama
harus kamu lakuin adalah, istikharah. yakinkan hati kalau Aufa adalah pilihan terbaik. karena pilihan yang terbaik adalah ketika kamu melibatkan Tuhan
didalamnya" tidak hanya idzar, Dana pun ikut mengangguk angguk mendengar penuturan Sina yang memang benar. masuk akal sih.
"dengar ya, adik iparku. status khitbah itu belum apa apa. mereka masih belum boleh bersentuhan apalagi berkhalwat yang menimbulkan syahwat. status itu
masih ditangan Allah yang mengatur. terkecuali akad. nah baru deh kamu boleh pesimis. karena mereka sudah sah menjadi suami istri" saking polosnya, idzar
menganggap bahwa Sina sedang menyuruhnya merusak hubungan Aufa dan Syihab. padahal bukan itu yang ia maksud. ketika sebuah do'a dan takdir saling tarik
menarik, sertakan harapan dan keyakinan di tengahnya. tumbuhkan keyakinan itu. keyakinan yang bersemayam akan menimbulkan hati yang besar. jiwa yang kuat.
bukan rapuh lalu terpuruk tak berdaya.
"terus gue harus bagaimana?" tanya Idzar polos.
"jangan tanya aku atau siapapun. karena yang tahu ya cuma kamu. yang tahu kemampuan kamu, ya kamu juga. dan kamu juga yang tahu apa yang membuat kamu bahagia.
karena Allah itu letaknya disini" sina menunjuk dadanya "ada di dalam diri kita, dzar"
kedua kakak beradik itu menganga takjub terpesona dan terkesima dibuatnya. ini rekor kalimat terpanjang yang Sina lontarkan selama mengenalnya sebagai
kakak ipar. dibalik sifat menyebalkan dan bermulut pedas itu, tersembunyi jiwa jiwa mario teguh atau mungkin asma nadia di dalamnya. setiap orasi yang
ia ucapkan layaknya suplemen vitamin penyemangat jiwa. Idzar sampai tidak bisa berkata apa apa karena kegalauannya tenggelam bersama dorongan dorongan
positif darinya. beruntung sekali Dana mempunyai istri sehebat Sina. meski terkadang ceroboh, pelupa akut dan pencemburu handal. tapi itu semua tertutupi oleh cinta yang
diberikan oleh Dana kepadanya.
sebenarnyaa hakikat pernikahan itu simple. hanya ada kata 'saling' di dalamnya. saling berjanji di atas ikatan suci. saling melengkapi. saling mengerti.
saling menerima. saling mencintai karenaNya. saling membuang ego. saling berjuang menuju SurgaNya dan saling membahagiakan satu sama lain. serta saling
saling lainnya yang membuat pernikahan itu menjadi indah dan berkah, pastinya.
*** TBC... 10. semerbak kenyataan baru
akhirnya Ujian Nasional berakhir. seluruh siswa di Indonesia bisa bernafas lega setelah melalui proses tersebut dengan segenap perjuangan dan do'a tentunya.
walaupun masih harus menunggu untuk hasil kelulusan, setidaknya sudah terlewati satu proses penentu yang menurut mereka amatlah berat.
tidak terkecuali empat siswa dan siswi yang kini sedang duduk di teras rumah guru mereka. memasuki hari libur setelah masa ujian, mereka memilih berkunjung
ke rumah Aufa. berkunjung sekaligus membahas soal soal yang di ujikan kemarin. ada Rizki, Rais, Tiana dan Sybil.
"maaf ya, ibu tinggal. Sudah sampai mana?" Aufa tiba membawa 5 gelas minuman dingin dan suguhan lainnya. dua makanan berbahan dasar singkong, yakni Combro
dan misro buatannya. "bu Aufa tahu kandungan dari surat An-nur ayat 26, tidak?" Sybil sibuk membolak balik lembaran buku yang tidak sesuai dengan materi mereka hari ini.
"Kita tidak sedang membahas itu, bil" Rais berceletuk. Pandangannya fokus pada rangkuman yang sedang ia tulis.
"loh, gapapa dong. intinya kan belajar. Sama sama mencari tahu apa yang tidak tahu. Agar tidak timbul kesalah pahaman lalu berlanjut pada amalan yang salah.
Bukan begitu, bu?" Kali ini Aufa membenarkan ucapan gadis berkulit sawo matang itu. Ia mengangguk kecil sembari tersenyum.
"Boleh boleh saja" Aufa memposisikan dirinya dekat dengan sybil. Mengamati buku yang sedang dibacanya.
"jadi, kamu ingin tahu kandungan surat An nur ayat 26?"
"Tunggu, bu! Sebelum ibu kasih tahu, aku mau kasih tahu kandungan surat tersebut, tapi menurut versi aku, boleh ya?" Itu Tiana. Dia selalu tanggap pada
segala topik. otaknya seperti merespon dengan sangat baik.
Aufa mengangguk. "Wanita wanita yang keji adalah untuk laki laki yang keji. Dan laki laki yang keji adalah untuk wanita yang keji (pula). Dan wanita wanita yang baik adalah
untuk laki laki yang baik. Dan laki laki yang baik adalah untuk wanita yang baik pula. Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka
(yang dituduh). Mereka memperoleh ampunan dan rezeki yang mulia. Surat An-nur ayat 26"
"bukankah maksud ayat tersebut mengenai jodoh" Jika kita menginginkan jodoh yang baik
"bukankah maksud ayat tersebut mengenai jodoh" Jika kita menginginkan jodoh yang baik. Maka kita pun harus baik. Jika kita menginginkan jodoh yang sholeh
maka kita pun senantiasa mensholehkan diri. Apa aku benar, bu?"
Aufa belum menjawab. biasanya, disaat seperti ini, ada murid dia yang satunya aktif mengeluarkan pendapat lain.
"Tunggu deh, bu!" Benar. Anak itu Rais. Ia mengangkat tangan memberi instruksi. Aufa menyilahkan dengan anggukan.
"Kalo wanita yang baik diperuntukan dengan laki laki yang baik. Lalu bagaimana dengan manusia yang tidak baik" bisa kita lihat dari contoh istri Nabi Luth
as yang ternyata ia termasuk dari golongan kaum sodom. Lalu Asiyah binti Muhazim yakni istri dari fir'aun yang kafir"
Aufa terdiam dulu. Menunggu tanggapan dari muridnya yang lain. Mungkin rizki. Sedari tadi anak itu masih sibuk mengisi lembar kerja siswa sebagai latihan.
Oh, mungkin ia sedang sibuk. Baiklah, Aufa bersiap untuk menjawab.
"Berarti dalam ayat tersebut, Allah tidak menjanjikan yang baik dibersamakan dengan yang baik, ya bu?" Rupanya Rizki mendengar diskusi tersebut. Akhirnya
semua muridnya terlibat. "Ayat tersebut merupakan janji Allah kepada manusia yang baik akan ditakdirkan dengan pasangan yang baik. Sebaliknya, ayat tersebut merupakan peringatan
agar umat islam memilih manusia yang baik untuk dijadikan pasangan hidup. Karena kenyataannya banyak orang yang baik mendapatkan pasangan hidup yang tidak
baik. Begitu pula sebaliknya. Hingga akhirnya, yang pada saat niat baik ketika mendapatkan pasangan yang tidak baik, keimanannya akan berkurang jika tidak
sanggup menahaan godaan yang mendera, namun keimanan seseorang itu bisa bertambah jika Allah mengkehendakinya. Bahkan pasangan yang tidak baik tersebut
bisa akhirnya bisa menjadi orang baik. dan semua itu kembali pada kehendak Allah" Aufa mengambil nafas panjang seraya menatap empat muridnya bergantian.
"Karena pada dasarnya, hidayah seseorang berasal dari Allah. Dan manusia yang baiklah perantaranya. Itupun tetap kembali pada kehendakNya. Dan benar kata
Rais, kita tahu contohnya Nabi Luth as dan istrinya yang kafir. Nabi Nuh as dengan istrinya yang kafir pula. Lalu fir'aun dengan Asiyah binti Muhazim yang
seorang muslimah. Bagaimana mereka pada akhirnya" Mereka pun meninggal dalam keadaan kafir" Aufa menaruh tiap gelas minuman mereka dihadapannya masing
masing sembari tersenyum.
"Sekarang, siapa yang bisa kasih kesimpulan dari pemaparan ibu tadi?"
"Aku!" Kali ini tebakan Aufa salah. Ia pikir, Tiana yang inisiatif angkat tangan. Rupanya, Sybil sudah lebih dulu angkat tangan ketimbang Tiana.
"Apa kesimpulan kamu, sybil?"
"Kesimpulannya. Tetaplah menjadi baik. Agar kita dibersamakan dengan orang baik. Kalaupun Allah berkehendak kita dibersamakan dengan orang yang tidak baik,
itu artinya Allah memberi kita ladang pahala untuk mengubah mereka jadi manusia yang baik. Wallahualam. Begitu ya, bu?"
"Aku tambahin ya, bu!" Tiana tidak mau kalah. Tangannya terangkat bersemangat sekali.
"Karena tidak ada manusia yang tidak baik. Mereka terlahir baik. Banyak faktor yang membuat manusia menjadi tidak baik. Disitulah peran sesama umat muslim
saling menegakan Islam. Dengan cara yang baik, tentunya"
"Aku pernah membaca kisah di salah satu artikel di internet. Disana menceritakan tentang seorang ustad yang mempunyai istri. Tapi istrinya tersebut tidak
memakai jilbab. Dalam otak kita pasti terlintas bagaimana bisa seorang ustad mempunyai istri yang tidak berjilbab" Dan seseorang memberanikan diri bertanya
pada ustad tersebut. Maka ustad tersebut menjawab, 'ya, aku tahu istriku belum berjilbab. Tapi aku tidak mempermasalahkan itu. Karena semua itu akan kujadikan
ladang pahala.' dan kesimpulanku, baik itu adalah proses. karena kebaikan itu sifatnya tiada batas. Sulit untuk mencapai kebaikan. Karena nilai kebaikan
itu sendiri berada pada prosesnya. Daripada be the best lebih baik do the best"
pemaparan lugas dan cerdas terlontar dari Rizki.
"Aku setuju sama Rizki" Aufa menggeleng ramah ketika Rais hanya bisa memberi persetujuan atas kesimpulan sahabatnya tersebut.
Aufa tak henti menebar senyum kala murid murid terbaiknya itu menyerap pemaparannya dengan sangat baik. Meski kesimpulan mereka berbeda, setidaknya mereka
paham maksud pemaparannya tersebut. mereka mampu menyampaikan apa yang berkumul di otak, lalu menuangnya. Dan bertambahlah ilmu mereka. Aufa mengelus puncak
kepala mereka satu persatu.
"tetap sehat ya kalian. asah ilmu kalian setajam mungkin. serap ilmu ilmu bermanfaat yang kalian dapat. Pahami, lalu amalkan. Tapi jangan lupa untuk bertabbayun
terlebih dahulu, Yaitu mencari kebenaran atas informasi ataupun ilmu tersebut. Karena dunia ini semakin tua. Semakin banyak orang orang yang senantiasa
menukar antara yang haq dengan yang bathil. dan jadikan Al quran sebagai pedoman hidup kalian. Ingat pesan ibu ya, sayang" sederet amanat amanat spiritual
tersampai jelas oleh Aufa. Bersama segenap kasih sayang yang tulus dari palung kalbunya.
"Assalamualaikum, wah ada tamu rupanya, ya" siapapun yang berada disana menoleh menuju si pemilik suara ramah nan renyah seperti kerupuk.
"Waalaikumsalam" jawab mereka serempak. Tsabit masih menjadi objek pengamatan mereka. seperti pertama kali melihat seorang wanita cantik, mungkin pikirnya.
"Akhirnya kamu datang juga" Aufa menghela nafas lega. Menyambut Tsabit dengan hangat.
"Cie, nungguin ya" ejek Tsabit mencolek lengan Aufa genit.
"Bukan aku, tapi ibu" Aufa melihat sebuah koper besar baru saja memijak lantai teras. Tsabit susah payah meletakan koper tersebut. Gadis itu mengusap peluh
di area keningnya. Aufa menatapnya heran.
"fix, nih ya. Kamu jadi menginap disini?" Tebak Aufa meski agak terdengar sangsi dari ucapannya.
"Ya jadilah, cinta. Lalu buat apa aku jadi kuli nenteng nenteng koper gini. Lihat deh keringet aku udah" ngucur di muka" adunya sambil mengatur nafas.
Wajahnya malah terlihat lucu.
"Kasihan.. minum dulu minum dulu" rasa iba membuat Aufa menyodorkan minuman miliknya.
"Akhirnya kamu peka, aku memang haus dari tadi" keluhnya disusul meminum habis segelas air dingin tersebut dalam sekali teguk.
"Ibu Aufa, kakak ini siapa, sih?" Pertanyaan mereka diwakilkan oleh Rizki. Rupanya mereka masih memerhatikan wanita yang sedari tadi menarik perhatiannya.
Tsabit menoleh. "haii semuaa.. kenalin" Tsabit agak berjongkok agar sejajar dengan mereka lalu menatapnya hangat "namaku Tsabita Ilana. Kalian bisa panggil aku, Ka Tsabit"
Mereka terdiam. Hanya menatap aneh wanita dihadapannya itu. entah kagum atau terheran. Awalnya Tsabit canggung, tapi bukan Tsabit namanya kalau tidak bisa
mencairkan suasana. "satu, dua, tiga, empat" ia menghitung jumlah anak anak itu. memasang wajah berpikir keras. Lalu matanya menderang cemerlang "Wah pas sekali. Aku punya
empat cokelat. Kalian mau?" Tawarnya menggoda sambil memamerkan empat batang cokelat ditangannya.
Mereka hanya mengangguk antusias seraya tersenyum lebar.
"1 syarat, berlaku untuk 1 cokelat ya" Masing masing satu. Bagaimana?" Itu tawaran menggiurkan sekali yang pernah terdengar di telinga mereka. Mereka menyimak
betul instruksi Tsabit berikutnya.
"Sebutkan nama, lalu cokelat ini jadi milik kalian. Mudah, kan?" Benar. Bukan Tsabit namanya kalau tidak bisa mengubah citra menyeramkan dirinya dihadapan
mereka menjadi sosok malaikat seperti sosok guru kesayangannya.
"Namaku Rizki Alrasyid" ucapnya lantang. Sebelum memberinya cokelat, Tsabit mengajaknya melakukan tos.
"Namaku Rais Dzulfikri, ka. Panggil aku Rais" akhirnya cokelat nikmat itu berada ditangannya. Anak itu mengepalkan tangannya sambil berseru "yeay!"
"Kalau aku Tianarisa Siregar. Bu Aufa biasa panggil aku, Tiana" senyum gadis itu manis. Tak lupa tangannya terulur bersiap menerima hadiah dari Tsabit.
"aku Zulaikha Sybil" khusus untuk perkenalan sybil. Tsabit menanggapi dengan respon kagum. Mengagumi kecantikan Sybil.
"Kamu cantik sekali. Sesuai dengan namanya"
"terimakasih ya ka Tsabit" ucapan terkompak dari mereka mengalahkan pasukan paduan suara. Tsabit tersenyum sumringah menatapnya satu persatu.
Ia jadi teringat dengan masa kecilnya dulu. setiap kebaikan yang ia lakukan kala itu, selalu mendapat imbalan cokelat dari papanya. Berbeda dengan mamanya,
setiap gadis itu melakukan kebaikan, ia membuatkan lasagna kesukaannya. tiba tiba saja Tsabit merindukan mereka. mungkin sepulang ia menginap di rumah
tante Diana, pikirnya. *** Jam antik berukuran lemari itu berdenting kencang. Waktu menunjukan tepat jam 2 siang. Suaranya menggema kencang mengisi sebuah kamar besar dimana Diana
sedang duduk di kursi roda. Mata dan tangannya dibuat sibuk pada satu objek. Ia tengah menyulam sapu tangan berwarna putih. Disulamnya sapu tangan polos
tersebut dengan hiasan benang membentuk garis garis indah di tepinya. garis perpaduan warna pink dan hijau tosca itu dibuat selang seling. Dan bagian tengah,
dibuat hiasan bunga yang indah.
Sesekali ia membenarkan posisi kacamata presbiopinya. Menyulam dengan sangat hati hati. Sudah hampir dua jam wanita itu berkutat dengan hobby barunya tersebut.
Semenjak kepulangannya ke rumah, ia menjadi sosok yang kesepian. Aufa menemuinya hanya dua hari sekali karena gadis itu tidak mungkin juga membiarkan Cokro
sendirian. Sedang biyung Sundari sudah sangat sibuk mengurus rumah dan kebutuhannya sehari hari. Tidak ada tempat untuk ia bercerita. Sempat terlintas
di benak Diana untuk kembali rujuk dengan Cokro. Tapi ia buru buru menepis pikiran konyol tersebut. Sangat mustahil Cokro mau menerimanya kembali.
Sampai akhirnya kegiatan mengasyikan itu terhenti karena Diana dikejutkan dengan sentuhan tangan mengenai pundaknya dari belakang. Wanita itu menoleh.
"Assalamualaikum, tante Cantik"
Wajah seriusnya berubah lentur. Ia menarik sudut bibirnya lebar lebar. Tersenyum merekah menyambut kedatangan gadis yang dinantinya sedari tadi.
"Waalaikumsalam, Tsabit. Akhirnya kamu datang juga" sambut Diana girang. Ia menghentikan kegiatan menyulamnya hendak memutar kursi roda. Tsabit membantu
lalu mensejajarkan dirinya, hingga mereka kini saling berhadapan.
"Jadi kedatanganku kesini sangat dinanti nanti, ya. Aku tersanjung sekali" Tsabit menaruh tangannya dalam genggaman diana. Membinarkan kedua mata cokelatnya.
"Tentu saja. Kamu kan sudah berjanji. Maka kamu harus membayarnya. Ohya, apa Aufa sudah menunjukan kamar untukmu?" Tsabit mengangguk lembut.
"Tapi aku tidak biasa tidur sendiri, tante. Jadi boleh kan kalau aku tidur bersama Aufa?" Pinta Tsabit layaknya anak kecil yang memohon minta dibelikan
mainan. Awalnya memasang wajah memelas, lalu berubah drastis. Alisnya saling naik turun. Senyumnya mencekung lebar menampakan deretan gigi putih nan rapi
disana. "Boleh saja. Asal kamu bisa menjamin keselamatan Aufa ya saat tidur. Tante khawatir, tidur kamu tidak bisa anteng" ledek Diana sembari tertawa kecil. Tsabit
langsung mengerucutkan bibirnya.
"Maksud tante aku kalau tidur ga bisa diem, gitu?" Tsabit masih mempertahankan wajah masam nya. "Aku jamin Aufa pasti selamat kok, tan. Paling paling paginya,
kita udah berubah posisi. Kaki ku dikepala Aufa, atau sebaliknya"
"Weh,Tak pites kowe" Diana memeragakan gaya mencubit. Lalu keduanya tertawa geli.
"Bagaimana kabar keluargamu, nak" Sehat?" Tanya Diana menoleh ke belakang dimana Tsabit sedang mendorong kursi rodanya menuju tempat tidur.
"Alhamdulillah sehat. Papa masih sibuk dengan pekerjaannya. Dan mama selalu sibuk dengan bisnis guci nya. Sedang aku, sibuk menemani tante disini" ungkap
Tsabit diakhiri candaannya.
"Kamu tidak punya adik atau kakak?"
"Aku anak tunggal. Sewaktu umurku 10 tahun, aku sempat akan punya adik. Tapi mama mengalami keguguran" ungkap gadis itu menampakan wajah sedihnya. Diana
merasa bersalah atas pertanyaan itu. Ia mengelus lembut puncak khimar yang dikenakannya.
"Maafkan tante ya"
"Tak ada yang perlu dimaafkan. Kejadian itu sudah sangat lama, tante. Aku baik baik saja, kok. Lihat deh senyumku!" Selalu ada saja ulah gadis itu. Kali
ini ia memberi cengiran aneh yang dipaksakan. Menunjukan bahwa dirinya memang baik baik saja.
"Eh, tapi papa pernah bilang kalau aku punya kakak, loh tante. Tapi pas aku tanya lagi, papa malah mengalihkan pembicaraan"
"Ohya?" Tsabit mengangguk polos. Sedang Diana berusaha memflasback kembali ingatan ingatan terdahulu. Meski terkadang kepalanya pusing karena harus mengingat
sesuatu dimasa lalunya itu. "Kapan dia mengatakannya?" Lanjutnya.
"Sebulan setelah mamaku keguguran. Pada saat itu papa juga mengatakan kalau jarak umur kami hanya berkisar satu tahun" jawab Tsabit sambil menatap langit
langit. Menerawang pikirannya di masa itu.
Diana menunduk sejenak. Mempertegas perasaan yang timbul didalam dirinya. Perasaan apa ini" Ini terasa aneh. Ada gelanyar gelanyar abstrak memporak porandakan
daya pikirnya. Seperti memutar ulang kejadian yang pernah dialaminya. Wanita itu sempat mendesis kesakitan. Hingga Tsabit merasakan perubahan dalam diri
Diana. "Tante?" Ia memiringkan wajahnya hanya untuk memastikan kondisi Diana. Wanita itu masih menunduk. Kini kedua tangannya memegangi kepala.
"Tante, kenapa" Aku salah bicara ya?" Nadanya terdengar panik. Begitu juga raut wajahnya. Tsabit menggenggam erat tangan Diana.
"Tante, baik baik saja, kan. Jawab aku tante!"
Diana tidak menjawab. Ia masih saja memegangi kepalanya. Semuanya nampak abu-abu. Kepalanya terasa berat. Seperti ada ribuan ton besi menimpa dirinya.
Tsabit semakin panik. Ia mulai gusar. Tidak tahu harus berbuat apa. Ia Menengok ke kanan ke kiri. Entah apa yang ia cari. Yang jelas, saat ini Diana sedang
tidak baik baik saja. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk memanggil Aufa yang sedang berada di dapur. Ketika ia bangkit. Gadis yang akan dipanggilnya sudah
berada di ambang pintu. Tanpa perlu diberi tahu, Aufa sudah menangkap sinyal bahaya. Ia segera berlari menghampiri keduanya lalu bertindak sesuatu.
"Apa yang terjadi dengan ibu"!" Aufa mulai panik sambil dibantu Tsabit menggotong Diana lalu memindahkanya ke tempat tidur.
"Aku tidak tahu. Tiba tiba saja tante memegangi kepalanya seperti kesakitan" jawab Tsabit ketakutan. Disisi lain, ia merasa bersalah. Di sisi lain juga
ia takut terjadi sesuatu pada Diana.
Diana memang tidak mengerang kesakitan. Dia hanya mendesis berulang ulang seperti menahan rasa sakit yang mendera.
"Ibu, minum dulu ya. Istighfar ya bu" Aufa memberinya segelas air mineral lalu Diana meminumnya pelan pelan. Ada perkembangan. Diana sudah tidak lagi meringis
kesakitan. Perlahan kedua tangannya turun dari kepala.
Aufa memberinya instruksi sesuai yang di ajarkan dokter Syihab padanya sewaktu ia sempat pamit berdinas ke luar kota. Agar ketika Diana merasa kesakitan
dikepalanya, segera beri air putih sebagai pertolongan pertama. Jika sedikit merasa lebih baik. Tuntun dia untuk beristighfar sambil mengatur nafas perlahan.
Tunggu sampai keadaannya benar benar membaik. Setelah itu, rebahkan ia ditempat tidur. Buat nyaman tubuhnya menjadi rileks.
"Sepertinya tante sudah membaik, fa" tebak Tsabit sambil memijit mijit kaki Diana. Suaranya agak pelan.
"Kalau ibu kambuh seperti ini, biasanya ada sesuatu yang sedang ia pikirkan" Aufa masih menuntun Diana berucap istighfar. Suaranya terdengar pelan namun
lembut seolah memberi ketenangan terhadap Diana.
"Aufa..." panggil Diana lirih. Nadanya berat sekali. Matanya sanyu. Bibirnya nampak pucat.
"Iya, ibu" jawab Aufa sambil mengelus ngelus rambut Diana dengan lembut. Menyeka keringat di keningnya. Bibirnya bergerak gerak tak henti membacakan lantunan
surat al fatihah berulang ulang.
"Dimana Tsabit?"
"Aku disini, tante" sahut Tsabit pelan. Dalam hatinya berpikir, apa tante Diana akan memarahinya" Jika iya, tentu ia akan langsung meminta maaf.
Diana mengangkat tubuhnya. Memposisikan dirinya setengah tiduran. Kepalanya bersandar pada kepala ranjang. Kakinya diluruskan kedepan. Aufa dan Tsabit
sempat khawatir. Tapi wajah Diana membuktikan bahwa ia sudah baik baik saja.
"Tsabit.." Diana menatap Tsabit. Dipertemukannya dua pasang mata itu dalam satu garis lurus. Ia menatap mata coklat indah dihadapanya. Menelurusi sebuah
kisah didalam sana. Di dalam sorot mata gadis bernama Tsabita Ilana.
"Boleh tante tahu siapa nama papamu, nak?"
Awalnya Tsabit ragu mengatakannya. Tapi setelah menatap Aufa terlebih dahulu dan gadis itu mengangguk, keraguannya pun pupus. Tsabit menghela nafas panjang.
"James Frank" Hening. Tak ada suara lagi setelah jawaban itu terucap kaku dari mulut Tsabit. Aufa dan Diana menunduk sejenak. Mereka tahu sekali satu nama yang terucap
itu. Nama yang mereka kenal. Meski memiliki peran berbeda dikehidupan masing masing.
Diana sudah menduga pertemuan pertamanya dengan Tsabit kala itu. Ada yang berbeda dari sorot matanya. Mata cokelat nan indah itu pernah dilihatnya. Dan
rupanya, benar. Si pemilik mata cokelat itu adalah anak dari pria di masa lalunya. Pria berkebangsaan Amerika yang menikahinya kala itu. Meski berbeda
agama dan dirinya berstatus janda, pernikahan itu terjalin harmonis. Sayangnya itu tidak berlangsung lama. Ternyata James tidak menginginkan seorang anak
dalam kehidupan rumah tangga mereka. Dan ketika Diana memberi kabar baik bahwasanya dirinya hamil, esoknya James melayangkan surat cerai. Dan James pergi
meninggalkan Diana berdua bersama bayi yang dikandungnya. Merawatnya seorang diri hingga lahirlah Sarah.
Diana mengamati wajah Tsabit dihadapannya. Gadis itu nampak bingung. Matanya nampak sedang mencerna kondisi saat ini. Berulang kali hatinya mencoba menebak
namun sangat sulit. Ketika mulutnya hendak mengatakan sesuatu, Diana keburu menimpanya.
"Papamu benar. Kamu memang mempunyai seorang kakak perempuan. Dia adalah saudara seayahmu" hanya itu yang bisa Diana katakan. Karena akan semakin menyakitkan
jika ia menceritakan kronologi kehidupannya bersama James. Dan tentu akan lebih menyakitkan hati Tsabit, pastinya.
"Sayangnya, dia sudah tiada" lanjutnya lagi. Kali ini terdengar dingin. Ada titik perih yang menyakitkan. Sebagaimana perihnya sebuah luka menganga yang
menjorok didalam hati. Tsabit belum menunjukan respon apapun. Ia masih sibuk mencerna keadaan ini. Mulutnya menganga sambil matanya bergerak abstrak. Sel sel otaknya mendadak


Senja Merindu Karya Suffynurcahyati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mati rasa. Ia butuh seseorang menepuk punggungnya agar kekosongan ini segera enyah.
"Tante mengenal papaku" Dan tante tahu siapa kakakku" Dan,.." Tsabit tertahan. Menahan nafasnya. Tercekat, seolah pasokan oksigen di tubuhnya mulai menyusut.
Segala macam rasa bercampur dalam satu media.
"siapa tante sebenarnya?" Pertanyaan terakhir yang telontar itu yang sangat tidak diinginkan Diana. Wanita itu bungkam. Diam seribu bahasa. Ia malah memalingkan
wajah. Menyembunyikan linangan air bening yang mulai berkubang di kedua matanya.
"Tolong jawab pertanyaanku, tante" Tsabit memohon sambil mengguncangkan genggaman tangan Diana padanya. Sedang wanita itu sibuk berusaha menahan diri dari
asupan pertanyaan menyakitkan tersebut. Haruskah ia mengatakannya"
"Sebelum menikah dengan mamamu, James menikah denganku. Dan Sarah adalah buah cinta kami,--sekaligus..."
Aufa buru buru merebahkan tubuh Diana, ketika wanita itu terkulai lemas tak berdaya. Menaruh kepalanya tepat di atas bantal. Kedua matanya terpejam namun
menitikan air mata yang sempat dibendungnya. Tapi setidaknya Tsabit tahu apa yang akan Diana jelaskan selanjutnya. Otaknya terlanjur peka dengan semua
itu. Lalu" Apa yang harus ia lakukan sekarang" Apakah ia harus sedih karena papanya. Satu satunya pria yang begitu dicintai Tsabit, tega membohonginya. Atau
ia harus melonjak bahagia, karena telah mengetahui siapa kakak tirinya" Meskipun hanya kaka tiri sekalipun. Meskipun ia telah tiada. Tapi dia terlahir
dari benih yang ditanam oleh orang yang sama.
Mengapa hidup selucu itu"
Mengapa Dunia dibuatnya begitu sempit"
Ini bukan kebetulan. Ini hanya secuil dari rahasia yang Allah jaga skenarioNya. Allah simpan rapat rapat skenario kehidupan tersebut. Sampai takdir membawa
mereka dengan mengendarai sang waktu. Begitulah hidup.
Tak usah berpeluh peluh menebak akan bagaimana rencanaNya. Tak usah mencari tahu akan seperti apa kehidupan selanjutnya yang dialami. Cukup ikuti skenarioNya.
jadilah pemain terbaikNya. Di atas dunia yang tak diubahnya seperti panggung sandiwara kehidupan.
*** Seekor cacing menggeliatkan tubuhnya di atas permukaan tanah. Tubuh lonjong nan panjang itu meliuk liuk tak tentu. Belum lagi ketika ada sentuhan tangan
manusia mengenai tubuhnya, semakin bergerak lentur kemanapun sesukanya. Dan tangan manusia itu kembali menggodanya dengan menyentuh ujung tubuh si cacing
tersebut. "Hei, cacingnya jangan digangguin. Kasihan, kan" beruntungnya si cacing karena si tangan usil itu tak lagi menganggunya.
"Tapi dia lucu, om. Badannya bergelak gelak. Dia sakit ya, om?" Pria yang yang disebut om itu, tertawa kecil. "Cacingnya tidak sakit. Cacingnya sedang
bekerja. tapi kalau biya gangguin terus, cacingnya terganggu dan ga bisa cari makan buat anak anaknya, gimana?" Idzar menatap hangat keponakan menggemaskanya
itu. Tak bosan ia memandang bola mata gadis itu. Nampak berbinar. Seperti mata orang yang sedang menangis. Biya mengangguk mengerti dan mendapat usapan
lembut di puncak kepalanya.
"Sekarang biya bantuin om ijal siram bunga aja, yuk!" Tangan Idzar sudah stand by di sebelah kanan menunggu Biya menerima ajakannya. Tentu saja Biya menerima.
Selama itu menyenangkan dan dilakukan bersama om kesayangannya yang bernama Idzar.
Di seberang aktifitas mereka, sudah ada Dana, Sina, Prama dan juga istrinya Andita, sedang duduk santai di kursi lebar nan panjang berbahan bambu. Menikmati
suasana sore di halaman belakang rumahnya. Setelah melakukan aktifitas berkebun seharian ini. Terlebih kedatangan Dana beserta istri dan anaknya itu menambah
kehangatan keluarga tersebut. Semua berkat kerinduan Dana terhadap keluarganya. Akhirnya mereka memutuskan menginap beberapa hari di rumah Prama. Menuang
kerinduan anak terhadap orangtuanya Dan menumpahkan kerinduan seorang kakek terhadap cucunya. Lihat saja Prama, sedari tadi ia tak henti mengamati Biya
bersama Idzar dari kejauhan. Tak ingin cucunya kenapa kenapa. Padahal Biya sudah pasti aman jika bersama Idzar.
"Dzar!" Teriak Dana menyuap kue cubit ke dalam mulut. Idzar yang sedang asyik menuntun Biya memegangi alat penyiram tanaman itu, menoleh.
"Udah cocok! Cepetan nyusul gue" Dana mengacungkan ibu jarinya ke atas agar idzar melihatnya. Usahanya membully Idzar berhasil. Pria itu mendesis sebal.
Wajahnya ditekuk ribuan lapis.
"Rese' lu, bang!" Sahut Idzar kesal. Setelah itu ia merapatkan bibirnya. Takut takut Biya mendengar umpatannya barusan. Karena anak seusia Biya masih sangat
aktif menerapkan prinsip children see, children do atau children hear, children do. Idzar harus berhati hati lain kali.
"Jangan diledek terus adikmu. Kasihan. Biar jomblo gitu kan, juga brondongnya mama" bela Andita sambil menuang cairan gula jawa di atas kue lopis.
"Aih, mama.. bisa aja ngebela nya. Kalau idzar denger makin besar kepala aja tuh, dia" canda Dana menimpali. Sesekali ia mengamati Idzar dan Biya dari
kejauhan. "Terus mama mau jodohin Idzar sama siapa lagi?" Tambah Dana.
"Ga tahu, deh. Mama juga bingung. Sudah banyak calon yang mama tunjukin fotonya. Engga ada yang cocok, katanya" Andita menarik nafas frustasi. "Beda sama
kamu dulu. Mama tunjukin foto Sina, langsung kesemsem kamunya" ia menyikut lengan menantunya tersebut sambil mengerling genit. Sina tersenyum malu malu
bersama rona merah menyertai wajahnya.
"Eh, ada yang merona pipinya. Lihat deh, ma" Dana mengarahkan pandangan Andita ke arah Sina. Gadis itu mulai salah tingkah. Ia mencubit perut Dana gemas.
Pria itu meringis kesakitan.
"Anak mama yang satu ini emang hobby banget bikin aku malu deh, ma" adu Sina agak merengek sambil memegangi pipinya yang memanas.
"Tapi suka, kan?" Alih alih mendapat pembelaan. Andita malah semakin menggoda dirinya. Sina langsung menggembungkan pipinya kesal.
"Jangan ngambek, ah. Udah tua malu sama anak" celetuk Dana kali ini benar benar memancing minta dicincang halus olehnya. Tapi bukan Sina namanya kalau
tidak bisa menaklukan Dana. Bahkan dihadapan mertuanya sekalipun. Ia merapatkan duduknya disebelah Dana. Melingkarkan kedua tangannya tepat diperut Dana.
Bergelayut manja seolah tak ada Prama dan Andita disana tengah memerhatikannya.
"Mas.. hari kamu kok nyebelin banget" Sina melancarkan aksi gerilyanya. Sambil berbisik Diam diam salah satu jemari yang berada di atas perut Dana menelusup
masuk ke balik kemeja melalui celah kancing. Jari telunjuknya menari nari disana. Berputar putar di atas perut rata Dana. "Padahal aku sudah memantapkan
keinginanku untuk memberi adik buat biya, loh" nadanya mendayu dayu manja. Cukup untuk membuat Dana tidak berdaya. Ia menelan ludah.
"PMS ku juga sudah selesai. Mungkin nanti malam sudah bersih" wajah Sina menghimpit di dada. Jangan tanya bagaimana kondisi Dana sekarang. Diam tak berkutik
menahan gejolak yang disebabkan aksi menggoda istrinya. Kali ini apa lagi yang ia perbuat terhadap suaminya. Tidak tahukah bahwa Dana juga menahan malu
dari tatapan aneh papa dan mamanya"
"Niatku sih, sepulang dari rumah papa, aku mau,--"
"Sayang" tangan Dana mendarat di tangan usil Sina yang berada diperutnya seraya berbicara pelan. dengan wajah seolah tidak terjadi apa apa. "Kamu menang
ya hari ini. Aku harap kamu tidak menyesal membuatku seperti ini" ancamnya pelan. Kalau Dana tidak buru buru menahan kenakalan istrinya itu. Akan berbahaya.
Sudut bibir Sina berkedut menahan tawa.
"Seperti ini bagaimana, mas Dana ku sayang?"" Tantang gadis itu. Dengan wajah sok menggemaskan. Oke Sina, aku akan bertepuk tangan atas kemenangan kamu.
Aku ikuti permainanmu, sayang. Umpat Dana dalam hati. Ia tahu itu hanya aksi balas dendam Sina karena ejekannya barusan. Padahal sina bukan wanita yang
mudah memamerkan kemesraan seextrim ini. Baiklah, kita lihat saja nanti.
*** "Kata abangmu, kamu sedang menyukai seorang gadis. Boleh papa tahu, siapa?" Tanya Prama di sela obrolan santainya bersama Idzar. Tinggal hanya mereka berdua
di halaman belakang. Dana dan yang lainnya menuju ruang tengah.
"Dia hamba Allah, pa" jawab idzar enteng. Tangannya mengusap peluh yang memenuhi area kening.
"Papa serius, dzar"
"Idzar juga serius, pa" ia duduk bersila. Menghadap penuh terhadap Prama. "Idzar ingin merahasiakan dia sampai Allah membawa takdirNya bersama gadis yang
Idzar cintai itu" tambahnya mantap.
"Bagaimana jika bukan gadis itu yang Dia bawa?"
"Tentu saja Idzar akan menerimanya dengan lapang hati. Idzar sudah siap jika gadis itu ditakdirkan bersama pria lain. yang Idzar tahu, Cinta adalah buah
dari keikhlasan" Prama mengangguk angguk. Jagoannya satu ini memang agak berbeda dengan kakaknya--Dana. ketangguhan dan keberanian Idzar menurun dari dirinya.
Baginya, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Selama hati dan seluruh jiwa berpegang teguh pada tali agama Allah. Selama Allah selalu berada disini,
Di dalam dirinya. Maka percayalah, kehendak yang Dia berikan adalah yang terbaik dari yang terbaik.
"Dengarkan papa, nak?" tangan kekar itu menepuk nepuk punggung idzar "Allah tidak akan meninggalkan kita hidup sendiri. Meskipun dalam keadaaan sehina
hinanya raga, meskipun dalam keterpurukan paling bawah, meskipun dalam kesakitan yang paling parah, meskipun dalam kekecewaan yang paling menyesakan dada,
meskipun tidak ada satu orang pun yang percaya. Maka dari itu, ketika Allah meyakinkanmu terhadap suatu hal, maka merenunglah. Kembalikan keyakinan itu
pada Si pemberi keyakinan yang Abadi. Karena itu yang akan menyelamatkanmu dari jerat cinta yang semu"
Idzar mengerti. Mengangguk angguk tanpa memberi tanggapan. Tak ada yang menyangka bahwa ia terlibat perasaan yang begitu rumit. Apakah salah mencintai
seseorang yang statusnya akan menjadi milik orang lain" Ia pikir, ini hanya perasaan semu yang bersifat sementara. Rupanya, perasaan itu bukan hanya sekedar
jeda iklan. Tapi bagian dari tokoh utama kehidupannya. Lantas, bagaimana ia bisa menghindar dari perasaan yang suatu saat bisa membahayakan dirinya jika
ia tidak mampu memfilter perasaan tersebut. Takut takut, rasa itu semakin menumpuk hingga rasa cintanya kepada Sang Maha Abadi, tenggelam dalam lautan
cinta semu. "Selagi kamu yakin, lakukan yang menurutmu terbaik. Tunjukan ketangguhan seorang Idzar. Tunjukan ketangguhan Ummar bin Khatab yang begitu kamu idolakan"
pesan Prama seperti amunisi berharga ditelinganya. Seperti air sejuk di tengah gurun pasir yang gersang. Menyejukan hati yang panas. Mengirim kesejukan
cuaca pagi hari. Saat mata Senja berlinang jingga, engkau hanya terlalu bahagia mengenang luka.
Seperti pergi yang lupa jalan pulangnya..
*** TBC.... 11. kehilangan tak berupa
"Ya, assalamualaikum, ma" pria itu menghimpitkan ponselnya diantara telinga dan bahu kanan yang dinaikan.
"Waalaikumsalam. Bagaimana kabarmu, nak?"
"Selama mama dan papa sehat, Syihab selalu baik baik saja disini" kedua tangannya sibuk berkutat pada tumpukan kertas dan laptop yang berdiri kokoh di
atas meja. Wajahnya nampak serius.
"Bagaimana suasana disana" Andai mama bisa ikut kamu" Syihab tersenyum.
"Insya Allah Syihab akan ajak mama dan sekeluarga berlibur kesini. Disini menyenangkan. Suasananya begitu damai. Jauh dari polusi polusi membunuh. Warga
nya pun juga ramah ramah. Mereka amat bersahabat" ungkap Syihab tersenyum jujur. Jarinya asyik bermain main di atas papan keyboard.
"Tunggu sampai kamu menikah dengan Aufa ya. Berlibur bersama anggota keluarga baru pasti akan lebih menyenangkan" Sang mama yang bernama Rosa itu tersenyum
merekah sembari sibuk merangkai macam macam bunga. Syihab malah tak berpikir sampai sana. Tak terasa sudah 10 hari berlalu ia lewati aktifitasnya di daerah
yang menyenangkan ini. Setelah itu, ia akan menghadapai moment terindahnya yang ia nantikan sejak lama.
"Mama benar. Syihab malah ga kepikiran sampai sana. Mungkin karena terlalu sibuk bekerja" sekilas matanya menatap pemandangan diluar jendela. Andai pemandangan
disana menampakan sosok wanita pembajak labirin hatinya, Aufa. Tentu ia akan segera keluar dari ruang kerjanya tersebut. Tapi khayalan itu segera buyar
karena sahutan wanita di ponselnya.
"Kamu itu persis papamu. Workholic sejati. Tidak kenal waktu kalau urusan pekerjaan. Pikirkan kondisi kamu, nak. Mama tidak mau ya, di acara pertemuan
keluarga nanti, kamu dalam keadaan sakit" Rosa mulai sibuk dengan kicauan terhadap putranya tersebut. Kegiatan merangkai bunga--atau dalam bahasa jepang
disebut ikebana--itu terhenti sejenak. Tangannya menunjukan pergerakan khas seorang ibu yang sedang menceramahi anaknya. Untung Syihab sedang tidak berada
disana. Pria itu malah menipiskan bibirnya sembari mengangguk paham. Meski pesan itu adalah pesan yang sama setiap Rosa meneleponnya.
"Jangan tidur larut malam. Mama tahu kamu bakal bebas begadang mengurus pasien selama 24 jam"
"Itu kan sudah kewajiban Syihab sebagai seorang dokter, ma. Melayani kesehatan masyarakat kapanpun mereka membutuhkan" Syihab menyandarkan tubuhnya di
kursi putar nan empuk. "Dokter bukan hanya kamu saja, nak. Mereka juga punya tugas yang sama. Dan jam bekerja yang sama. Bukankah ada jadwal bertugas masing masing" Kerjakan
menurut porsi jadwal yang kamu terima, Sayang. Jangan terlalu divorsir" Idzar mengangguk lagi. Menarik nafas panjang seolah mendengar nasehat mamanya membutuhkan
tenaga ekstra. Ia mengendurkan dasi motif garis yang bertengger di leher kemeja putihnya.
"Lagipula, status kamu disana kan hanya medis bantuan, kan" Jadi, akan ada banyak waktu untuk istirahat" harus bagaimana lagi syihab menjelaskan kepada
mamanya, bahwa pengabdian seorang dokter bukan sekedar menjalankan kewajiban sesuai aturan. Tapi juga menyisipkan rasa kebijaksanaan juga tanggung jawab
yang berlandaskan amanah. Apalagi di lingkungan yang minim fasilitas klinik yang terbatas seperti disini. Pengabdianya sebagai manusia yang diberi tanggung
jawab menyehatkan masyarakat tentu di pertaruhkan. Itulah salah satu alasan Syihab mengambil jurusan kedokteran. Sewaktu berumur 7 tahun, neneknya meninggal
karena penyakit kanker. Kemudian belum ada setahun neneknya meninggal, sang kakek turut pergi meninggalkannya karena penyakit yang sama. Dari sanalah ia
bertekad untuk menyelamatkan nyawa manusia dari penyakit tersebut. Di pertengahan, ia melanjutkan sekolah di perguruan tinggi lain dengan memilih fakultas
yang menjurus tentang ilmu kejiwaan. Dan akhirnya setelah menyelesaikan kuliah, ia ditugaskan di salah satu rumah sakit jiwa. Sebagai tempat pertama ia
bekerja. "Dan jangan kebanyakan bengong!" Kicauan terakhir Rosa sedikit meninggikan intonasi bicaranya. Syihab terkesiap beberapa detik. Tersadar dari lamunan kecilnya,
lagi. "Syihab ga bengong. Syihab cuma sedang membayangkan wajah cantik mama kalau sedang cerewet seperti ini" ia merapikan berkas berkas lalu menumpuknya. Ditaruhnya
berkas itu di pojok meja.
"Mama sudah kebal di gombali kamu" timpal Rosa "Kodrat, nak. Cerewetnya seorang ibu adalah bentuk perhatian yang tidak berwujud, tapi bisa dirasakan. Kelak,
calon istri kamu juga akan seperti mama"
Syihab menimang sejenak "Tapi Sepertinya Aufa beda. Dia tidak seperti gadis lain kebanyakan. Menurut Syihab, Aufa adalah gadis sederhana namun mempunyai
kemewahan dihatinya" lagi lagi Syihab mendongakan kepalanya menatap langit langit atap. Tepatnya pada lampu neon yang menempel kokoh pada plafon. Bibirnya
selalu menyunggingkan senyum bahagia. Senyum yang menurutnya tidak dimiliki setiap pria. Dia menyebutnya senyuman mematikan. Lihatlah betapa narsisnya
seorang Syihabuddin Akmal.
"Dia mandiri. Kuat seperti pohon kelapa yang tak usai tertiup angin kencang. Jika ia terjatuh, hal pertama yang ia lakukan bukanlah bangkit. Tapi tersenyum
terlebih dahulu. Tujuannya agar pada saat ia bangkit, semua orang disekeliling tidak merasa khawatir. Dan mereka akan beranggapan bahwa dirinya baik baik
saja. Anggap saja itu sugesti untuk dirinya sendiri. Bahwa manusia akan baik baik saja dalam ujianNya ketika menjadikan Allah sebagai tujuan hidup"
"Kamu mencintainya?"
"Apa berdosa kalau Syihab mengatakan 'sangat'" Sangat mencintainya" jawabnya dari palung kalbu terdalam yang mengalir melewati aliran darah dan urat nadi
menuju tutur kata yang lembut. Seiring tatapan berfondasi keyakinan yang kokoh.
"Bahkan Syihab sempat khawatir perasaan ini melebihi cinta Syihab pada Tuhan, ma. Tapi untungnya, Syihab ditugaskan di Banjarnegara. Setidaknya ini menjauhkan
Syihab dari zina mata" pria itu tersenyum lagi menunduk dalam malu.
"Kalau begitu, cepat selesaikan pekerjaanmu lalu bawa kami menemui keluarganya" ucap Rosa terdengar mantap dan tegas. Bak perintah yang terlontar dari
seorang kapten kepada anak buahnya. "Tidak terasa ya, bujang mama sudah besar. Seingat mama, dulu kamu adalah pria pemalu yang enggan dekat terhadap gadis.
Sekalipun dekat, hanya sekedar sahabat. Sekarang, mama mendengar langsung bagaimana cinta mampu mengubah seseorang. Kata katamu menunjukan bahwa cinta
yang sedang bergumul di dalam dirimu itu berbahaya sekali jika tidak secepatnya kalian mengikat janji suci" Syihab membenarkan pernyataan tersebut. Berbicara
mengenai sahabat. Syihab teringat sahabat seprofesinya yang sudah lama mereka tidak saling berkomunikasi. Namanya Zee. Terakhir mereka bertemu pada saat
pelantikan di jakarta. Berdasarkan informasi dari teman temannya, kini Zee ditugaskan di kota Serambi Mekkah, Aceh. Kira kira bagaimana kabar si gadis
tomboy itu, ya" "Bujang mama ini sudah besar, ma. Kelak Syihab akan memberi mama bujang baru. Syihab junior, misalnya?"
Rosa tertawa renyah "yasudah lanjutkan kesibukan kamu. Mama tunggu Syihab juniornya, ya?" Mereka menyudahi perbincangan hangat tersebut.
*** Sisa sisa hujan masih terasa begitu menyentuh kulit. Alirannya berjalan pelan menyusuri hidung lalu berujung ke bibir hingga berubah menjadi tetesan seperti
embun. Begitulah seterusnya sampai wajah itu terbasahi oleh air suci pemberian Tuhan melalui tangan langit.
Gadis itu segera mengusap kasar wajahnya. Menghempas air yang membuat basah disana. Bukan hanya karena rintikan hujan yang membasahi, tapi juga cuaca dari
kedua matanya yang sedari tadi membendung kesedihan yang terwakilkan oleh air mata.
Tangan kanannya tak henti mengelus nisan yang telah terlapisi keramik berwarna hitam. Pandangnnya enggan berpaling dari tulisan ukiran yang menambah kesan
luka didalam hati. Siti Dandeliana Sarah binti James Frank.
deretan kata itu seperti suara yang diteriakan di atas tebing yang tinggi. Menggema tanpa henti dan berulang. Layaknya kaset kusut yang terus saja memutar
kenangan pedih yang merajam.
"Aku mencintaimu, ka" gadis itu tersenyum. Matanya berpendar lewat binarannya.
"Mengapa Tuhan tidak mempertemukan kita sejak dulu ya" Setidaknya sebelum Dia memanggilmu" Tsabit mengambil jeda. Menarik nafas panjang.
" Ya, aku tahu Tuhan sangat menyayangimu. tapi seharusnya Dia memberi aku kesempatan untuk bisa menikmati pahitnya kehidupan bersama kakakku" lanjutnya
protes. Entah protes kepada siapa. Tapi tentu saja ia mengutuk keadaannya sekarang.
Tangannya berpindah ke tengah pusaran yang terlapisi rumput. Menyiramnya dengan air mawar. Lalu berhenti dan menatap lagi tempat tinggal terakhir Sarah.
"Baik baik disana, ya. Aku akan menjaga tante Diana. Dan atas nama papa, aku minta maaf. Maaf sudah membuat ka Sarah menderita" kalimat penyesalan itu
berakhir dengan usapan lembut mengenai punggung gadis itu. Ia menoleh dan mendongak. Seseorang memayunginya.
"Sarah juga akan menderita kalau adiknya sakit karena kehujanan" ucapan itu malah membuat Tsabit kembali menangis. Aufa meniup kasar jilbabnya ke atas.
Sudah hampir satu jam mereka berada disini. Sejak Tsabit merengek minta diantar ke makam Sarah, yang tak lain adalah kakak seayahnya.
"Tapi kasihan ka Sarah sendirian disini. Aku ingin menemaninya, fa" nadanya merengek seperti anak kecil. Bukanlah peringai seorang Tsabit. Sejak mengetahui
kenyataan sebenarnya, Tsabit ngotot sekali ingin segera menemui makam Sarah. Sikapnya menjadi manja terhadap Diana. Bahkan ia menambah dua hari menginap
di kediaman wanita itu. "Kamu percaya Allah, kan" Percayakan Dia yang akan menemani Sarah" Tsabit memejamkan mata, tanda mengerti. "Yuk! Kita pulang!"
"Tunggu!" Aufa terhenti dan menoleh.
"Besok kamu antar aku kesini lagi ya?" Pintanya memasang wajah kasihan ala Tsabit. Mau tidak mau Aufa mengangguk. Setidaknya agar mereka bisa segera pulang
hari ini. Bukan apa apa, sejam yang lalu sepupunya, Sina sudah menelepon sejak tadi. Kemudian memintanya untuk segera ke kediaman ibu muda tersebut.
"Terimakasih, my little Aufa. Aku janji setelah besok kamu mengantarku, aku bakal langsung hafal letak makam ka Sarah. Dan aku tidak akan merepotkanmu
lagi, pastinya" Aufa tersenyum kecil. Ia mengerti sekali bagaimana perasaan Tsabit kali ini. Meskipun hanya seorang adik tiri, sosok kehadiran seorang
kakak amatlah berarti untuknya. Tak peduli bagaimana kejamnya masa lalu mengelupas kebahagiaan keduanya.
"Selagi aku bisa, aku akan mengantar kamu. Asal jangan seperti ini ya. Aku tidak mau orangtua mu khawatir kalau kamu hujan hujanan. Lihat tubuh kamu sekarang!
Basah karena hujan" gaya bicara Aufa sudah seperti ibu ibu yang tengah memarahi anaknya. Tsabit meringis geli.
"Siaapp calon Nyonya Syihab!"
*** "Ini rumah sepupu kamu?" Tsabit menutup pintu mobil. Kepalanya mendongak menatap jauh rumah di depannya. Besar namun sederhana. Matanya menyipit karena
tajamnya sang raja fajar.
"Iya. Masuk yuk!"
Tsabit diam berdiri saja sambil menimang sesuatu.
"Kenapa?" Aufa yang tadinya sudah berjalan lebih dulu, harus kembali mundur menghampiri Tsabit.
"Aku tidak mampir ya" ucapnya halus "aku mau langsung pulang saja. Aku harus menyelesaikan beberapa masalahku. Bagaimanapun juga, papaku belum mengetahui
bahwa aku.." Tsabit memalingkan wajah sejenak "aku sudah menemui kakakku. Meski dalam wujud sebuah pusaran makam" lanjutnya sedih. Ia menunduk.
"Baiklah" Aufa menatapnya maklum. Ia usap lagi punggung Tsabit. Memberi asupan kekuatan mental untuknya. " aku mohon jangan bersedih lagi. Seseorang yang
pergi bukan untuk ditangisi. Tapi diberikan senyuman. Siapa yang tahu, ketika kamu tersenyum" dunia seakan enggan untuk menimpamu. Bahkan Sarah akan merasa
lebih baik disana ketika adiknya tersenyum"
jika dibandingkan, nasib Tsabit masih terbilang beruntung ketimbang nasib yang dialami wanita berwajah teduh itu. Siapa yang tahu, bahwa Cokro yakni sosok
Ayah yang begitu menyayanginya adalah bukan ayah kandungnya" Sedang ayah yang menabur benih dalam rahim Diana adalah pria yang entah ia tidak tahu siapa.
Seharusnya pria itu yang menjadi Ayahnya. Seharusnya pria itu yang menikahi Diana. Bukan Cokro.
Tapi, begitulah kekuatan Cinta. Dan yang terpenting menurut Aufa, tidak ada solusi yang lebih baik mengatasi masalah selain sebuah senyuman.
"Kenapa sih, kamu selalu berhasil menjadi moodboster ku" Mungkin ini yang dirasakan Idzar sampai sampai dia begitu menyukai kamu"
Hei. Kenapa jadi membahas itu.
"Kamu salah. Idzar tidak menyukaiku. Dan salahnya lagi, pembicaraan kita sudah diluar jalur" dengan gerakan tangan agar pembicaraan yang sudah melenceng
itu tersudahi. Ia lupa bahwa kebiasaan Tsabit belum juga hilang. Pandai mengubah jalur topik pembicaraan.
"Untuk pernyataan kamu yang pertama, justru kamu yang salah. Idzar sangat menyukaimu, tahu" dan Tsabit memaksa agar jalur pembicaraan yang sudah melenceng
itu dibiarkan saja melaju. "Sebagai gadis yang masih menaruh hati padanya, aku sudah khatam bagaimana cara dia jatuh cinta. Bagaimana dia merasakan sensasi
galau layaknya anak muda zaman sekarang. Meski cara Idzar galau itu lebih elegan, sih" ia menarik kedua bahunya sambil memutar bola mata.
"aku hanya bisa mengatakan,.." Aufa berusaha menelan ludah. Dua sisi dirinya saling bermusyawarah. Apakah ia akan mengatakannya atau tidak. Matanya menoleh
ke kanan ke kiri. Seolah meminta pendapat pada tanaman tanaman hias disekitarnya bagaimana seharusnya ia mengatakan.
"Tidak ada yang mampu menjadi peramal ulung perkara jodoh. Perkara yang amat rahasia. Terjaga ketat pemerannya. Sekalipun Idzar menyukaiku sebesar gunung
kilimanjaro, jika yang ia lakukan hanya berdiam dan meratap. Maka jangan salahkan siapapun jika sang jodoh yang ia yakinkan, perlahan mundur lalu menjauh"
Ucapan itu diakhiri kilatan mata teduh yang tersimpan dalam diri Aufa. Setiap katanya mengandung makna yang sejak lama mengurung diri di dalam labirin
hatinya. Terdiam lalu membusuk sampai terhiasi sarang laba laba karena saking lamanya. Hingga akhirnya kata kata itu terucap lantang dan cepat. Diiringi
senandung emosi yang sedang berusaha ia tahan.
Memang benar, kan" Menyimpan cinta dalam diam itu memang baik. Tapi, jika diam tanpa melakukan apapun, sama saja seperti menabur garam di air laut.
"Aku mengerti sekali maksudmu. Idzar itu memang pria pengecut. Pria lemah. Lihat saja! Sampai kamu di pinang pria lain, ia masih saja ungkang ungkang kaki
bercumbu dengan pekerjaannya" cibiran halus tapi menusuk terlontar dari mulut Tsabit.
"Seharusnya manusia macam dia itu, membutuhkan gadis seperti aku. Jika perbedaan dalam kehidupan artinya saling melengkapi, bukankah antara aku dan Idzar
bisa saling mengisi satu sama lain?" Aufa mencium bau bau gagal move on yang tersirat dari perkataan gadis dihadapannya saat ini.
"Kamu bayangkan, idzar si manusia kaku. Manusia penyuka diam dan tertutup, Disatukan dengan aku, Tsabita ilana si gadis ceria, banyak bicara dan terbuka.
Bukankah itu perpaduan yang indah?"
Entah apa maksud Tsabit mengatakan itu semua. Entah memang berasal dari hatinya. Atau hanya sekedar memanasi Aufa. Yang jelas, setiap ucapannya memberi
efek perih yang menyakitkan.
"Kamu benar juga. Lalu kenapa kamu tidak mencoba melamar idzar lagi saja?" Itu saran konyol dan berbahaya yang terucap dari bibir Aufa. "Tapi kusarankan,
pakailah perantara seseorang. Jangan jatuhkan kehormatan kamu sebagai wanita. Mengerti?" Setelah ini Aufa berdoa agar diampuni dari dosa yang baru saja
ia lakukan. Berbohong. "Aku akan memikirkan itu. Sebaiknya aku akan meminta papa sebagai perantaraku. Bagaimana menurutmu?"
Dan kamu meminta pendapatku" Batin Aufa bergejolak tidak percaya.
"Ide yang bagus" ungkapan bahwa jika seseorang sekali berbohong, maka akan seterusnya berbohong guna menutupi kebohongan yang lain. Itu yang terjadi pada
Aufa saat ini. "Baiklah. Sampaikan salamku pada sepupu dan juga keponakanmu ya. Maaf aku tidak bisa ikut mampir"
Tinggalah Aufa berdiri dihalaman rumah Sina. Kakinya belum siap untuk melangkah maju. Pikiran pikiran aneh seolah menahan tubuhnya untuk bergerak. Otaknya
mereplay lagi semua perkataan Tsabit yang belum lama ini mencubit cubit kecil bagian dari hatinya. Bagaimana bisa ia merasakan titik perih yang aneh" Ingatlah
ada pria yang telah lebih dulu, mengambil jalan yang lebih suci untuknya.
*** Suara mendesis kecil yang berirama mengiringi beredarnya mimpi seorang gadis kecil yang sedang terlelap dalam pelukan. Tubuhnya meringkuk dalam dekapan
seorang gadis. Gadis itu menepuk nepuk lembut bagian pahanya. Sesekali gadis itu mengusap lembut anak rambut si gadis kecil yang nampak berantakan.
Sekarang lantunan shalawat terdengar merdu dari bibirnya. Semakin menambah lelap malaikat kecil tersebut. Ditatapnya wajah malaikat kecil tersebut. Amat
menggemaskan setelah sebelumnya ia mengajaknya bercanda sambil tertawa. Karena kelelahan mungkin, tanpa sadar gadis kecil itu ingin dipeluk lalu akhirnya
ia tertidur. "Mau berangkat jam berapa, na?" Tanya Aufa masih mengelus ngelus tubuh Biya dalam pelukannya. Ia membenarkan posisi duduknya sejenak karena mulai merasakan
kesemutan di bagian kaki.
"Nunggu mas Dana pulang dari masjid. Kamu ga pegal ngelonin biya begitu" Tidurin di kamar aja" saran Sina telah rapi bersiap untuk pergi menghadiri acara
pernikahan kerabat Dana. Ia sengaja meminta Aufa untuk menemani Biya di rumah. Karena tidak mungkin ia mengajak Biya. Lagipula acaranya tidak akan lama,
pikirnya. "Ga usah. Aku lebih nyaman begini. Iya kan, biya sayang?"" Ditatapnya hangat keponakan tersayangnya itu. Dalam keadaan tertidur tetap saja menggemaskan.
"Yauda. Susunya biya udah aku siapkan di meja ya. Dia suka sekali roti gandum. Rotinya aku simpan di kulkas. Kalau kamu mau makan, ambil aja. Aku masak


Senja Merindu Karya Suffynurcahyati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

banyak hari ini. Kalau perlu nanti bawa aja buat tante Diana" Aufa mengangguk kecil.
"Kamu ga lama, kan?" Tanyanya saat melihat Sina bolak balik melintas dihadapannya. Wajahnya gelisah menunggu Dana pulang dari sholat dzuhur berjamaah.
"Engga kok. Ohya, Pintu jangan ditutup ya." Kalau pagar boleh ditutup. Insya Allah kalian bertiga aman, kok"
Aufa menyipitkan matanya seraya menelaah penjelasan Sina barusan. "Bertiga?"
"Assalamualaikum"
Belum sempat kebingungannya terjawab, kedatangan dua pria berhasil mengurungkan niat Aufa untuk mencari tahu. Dua sosok pria yang sepertinya sudah mewakili
jawaban atas kebingungannya. Jangan bilang, mereka juga meminta idzar menemani Biya disini bersama Aufa" Oh tidak! Ini mimpi buruk
"Waalaikumsalam"
"Eh, kesayangan ayah tertidur" Dana menghampiri Biya dalam pelukan Aufa. Mengelus pipi anaknya itu. "Sudah lama, fa?"
"Lumayan ka. Sekitar lima belas menit yang lalu" jawabnya singkat. Ia melihat Idzar dibelakang Dana sedang menatapnya. Sempat tertangkap basah hingga pria
itu memalingkan wajah. "Sudah siap, ay" Ayo berangkat" ajak Dana tangannya terulur menyambut istrinya yang telah siap berangkat.
"Kami berangkat dulu, ya. Jaga Biya ya, fa. Dzar.." pesan terakhir sina sebelum akhirnya mereka pergi meninggalkan rumah beserta tiga penghuni disana.
Sepeninggal mereka, dua manusia disana hanya melakukan aksi diam. Keduanya terjerat dalam atmosfer keheningan semu. Terjebak dalam kebisuan semata. Hanya
gerakan gerakan aneh yang mereka ciptakan untuk mengisi setiap keheningan mereka.
Aufa mulai merasakan pegal pegal terlalu lama karena pahanya menjadi tumpuan Shabiya. Berkali kali ia merubah posisi duduknya agar pegal tersebut setidaknya
berpindah. Ia melirik pria disebelahnya sejenak. Pria itu sedang duduk membelakanginya. Asyik mengoperasikan handphone. Entah sedang berkomunikasi dengan
siapa, tapi cukup membuat Aufa penasaran.
Idzar nampak serius dan fokus terhadap benda canggih miliknya itu. Tidak ada yang tahu apa yang sedang ia rasakan kali ini. Perasaan aneh yang berkecamuk.
Ada rasa serba salah juga yang bermukim. Ingin sekali sekedar menanyakan kabar gadis yang kini resmi dilamar pria lain itu. Setidaknya mengobrol santai
seperti dulu dimana mereka pernah dekat sekali. Tapi semua itu perlahan pergi. Kini keduanya seperti dua titik yang tidak bisa dipersatukan.
"Eughh...." Shabiya mengerang sambil menggeliat kecil. Matanya masih terpejam, tapi kedua tangannya direntangkan ke atas seolah sedang mengulet. Aufa buru
buru menambah kecepatan tepukan ditubuh gadis kecil itu sambil mendesis kecil. Idzar sempat menoleh kebelakang, mengkhawatirkan keadaan Biya, tentunya.
Tapi itu tidak lama. Merasa Aufa sudah menanganinya dengan sangat baik, ia pun kembali fokus pada handphonennya.
"Tidurkan saja Biya di sofa. Jangan dipaksakan. Tidak bagus untuk pertumbuhan tulangmu" saran Idzar. Nadanya dingin. Badannya belum mau berbalik. Meski
ia disibukan dengan handphone pintarnya. Tetap saja perhatian pria itu mulai berpindah ke dua gadis berbeda usia disana.
"Iya. Tunggu sampai Biya terlelap lagi" jawab Aufa seadanya. Lalu tidak ada sahutan lagi dari Idzar. Ia sedang hemat kosa kata, mungkin.
Menuruti saran idzar, setelah Biya benar benar pulas, Aufa pun menidurkannya di atas sofa bermotif bunga teratai. Kini jaraknya dengan Idzar berbatas posisi
Biya yang sedang tertidur. Mau tidak mau pandangan Aufa tertuju pada punggung indah Idzar yang masih membelakanginya. Dan si pria yang membelakangi itu
sama sekali tidak berpengaruh. Tidak ada gerakan sedikit pun yang tercipta. Hanya usapan usap kecil di atas layar touchscreen ponselnya.
"Serius sekali. Sedang bermain game?" Rasa penasaran itu sudah mendominasi pikiran Aufa hingga mau tidak mau ia duluan yang menyapanya langsung. Masa bodoh
dengan jawaban idzar seperti apa.
"Muroja'ah" Aufa mengangguk paham. Pantas saja ia enggan berpaling dari layar ponsel. Rupanya sedang menghafal al quran. Aufa terdiam lagi, merasa kehabisan
perbincangan diantara mereka. Jujur, ia sangat tidak ingin berada di situasi ini. Berada di dekat pria yang beberapa hari ini membuatnya dilemma. Diliriknya
sekali lagi pria itu. Nampak gagah dengan anak rambut yang masih basah karena wudhu. Sisa sisa air wudhu itu masih mengalir sedikit membasahi wajahnya.
Setelahnya Aufa menunduk. Mengontrol kekaguman yang tak biasa ini agar jangan semakin membludak. Dan memang benar, musuh terbesar manusia sebenarnya ialah
diri manusia itu sendiri. Berulang kali Aufa memohon agar dikuatkan hati dan pikirannya. Sejenak ia pun berharap agar Biya segera bangun dari tidurnya.
"Bagaimana kabar dokter muda itu?" Satu pertanyaan ajaib akhirnya terlontar dari bibir idzar. Walapun bukan pertanyaan itu yang Aufa harapkan. Tapi tak
apalah, daripada ia harus berdiam bodoh seperti ini.
"Menurut kabar terakhir, dokter Syihab baik baik saja di Banjarnegara" tangan Aufa memainkan rambut Biya. Memelintirnya dengan abstrak.
"Sedang bertugas, rupanya. Pantas saja aku jarang melihat dia ke rumahmu lagi setelah dia melamar kamu waktu itu" kenapa ucapan Idzar terdengar menyakitkan
ya" Padahal itu hanya kata kata biasa layaknya orang berbincang. Dan satu hal yang Aufa sadari, bahwa Idzar sudah mengetahui tentang lamaran Syihab untuknya.
"Berapa lama dia disana?" Akhirnya setelah berlama lama memunggungi Aufa, Idzar merubah posisi duduknya. Matanya enggan berpaling dari kegiatan menghafal
qur'an selullernya. Siapa yang tahu bahwa pikiran Idzar sedang bercabang menjadi dua. Antara fokus pada ponsel dan fokus pada pembicaraannya dengan Aufa.
"Dua minggu" jawaban singkat padat jelas tanpa embel embel lain yang menyertai.
"Berarti lusa dia sudah di Jakarta. Kalau begitu, sampaikan salam ku padanya, ya" Idzar menoleh sebentar hanya untuk mengetahui raut gadis yang dalam waktu
dekat ini akan menjadi milik orang lain. Ia menunduk kemudian.
"Dan aku turut berbahagia atas semua yang Allah takdirkan padamu" dengan segenap keberanian yang menohok dirinya perlahan seiring kata kata yang terucap.
Mencoba berpura pura menjadi karang yang kokoh. Tapi apa daya, ia hanyalah sebutir debu yang terhempas kasar dipermainkan oleh angin.
"Terimakasih. Kamu juga. Semoga Allah mentakdirkan apa yang kamu inginkan. Dan semoga itu yang terbaik" balasnya. Ingin rasanya Aufa keluar dari rumah
ini. Ralat! Bukan rumah ini. Tapi kondisi ini. Lalu berlari sekuat tenaga meyakinkan hati padaNya bahwa semua yang saat ini terjadi adalah sekumpulan rahasia
terindah untuknya. "Takdir yang aku inginkan sudah ada dihadapanku sekarang" pandangan idzar fokus pada gadis yang memang benar berada dihadapannya. "Dan takdir yang menurutku
terbaik juga sudah berada disini. Tepat duduk di sebelahku" kekuatan mata itu sangat kuat. Sampai sampai Aufa terasa sulit untuk menelan ludah sekalipun.
Matanya hampir membelalak sempurna.
"Tapi Allah merubah pelan pelan takdir itu"
Sekarang apa yang harus Aufa lakukan" Apa ia hanya diam saja dengan wajah bodoh seperti ini" Atau setidaknya mengatakan sesuatu, entah itu ucapan 'ya'
atau semacamnya. Atau dia berpura pura tuli. Sekarang otaknya mulai konslet. Seperti ada sengatan listrik memenuhi sel sel otak tersebut. Andai ia bisa
mencopot kepalanya, mungkin Aufa akan segera memperbaiki fungsi jaringan otaknya itu. Sayangnya itu" hanya imaginasi konyol yang terlintas begitu saja.
"Maaf. Aku permisi ke dapur sebentar" tanpa menunggu izin dari lawan bicara, Aufa berjalan perlahan melewati Biya yang tengah tertidur agar tidak mengganggunya.
"Hey kau awan yang sayu!"
Belum sampai ia ke dapur, langkahnya terhenti bersamaan dengan deruan nafas yang tercekat tiba tiba. Mendengar Idzar mengatakan sesuatu yang akan pria
itu lanjutkan. "Pulanglah cepat jangan kau tunggu. Surya yang congkak berlagu dalam tipis deru bayu.
Sirna segera sajalah dan berlalu.
Bosan rasanya dirundung tipu.
Lekas datang jingga yang merayu.
Pucuk sore yang sudah kurindu"
Aufa masih berdiri diam sempurna. Matanya menatap kosong. Telinganya menjadi sangat sensitif. Otaknya yang semula konslet, perlahan berjalan memproses
kalimat konotasi yang terucap dari mulut Idzar agar menjadi sebuah makna yang sebenarnya.
"Senja menua tak lagi merona jingga. Meninggalkan jejak duka. Mengalirkan air mata.
Aku diam dalam pagutan luka.
Perihnya menelan semua tawa.
Sakitnya menikam semua kata tanpaMu. Dan aku hilang arah.."
Merasa rentetan kalimat itu tak lagi terdengar, Aufa melanjutkan langkahnya menuju tempat yang ia lupa kemana ia akan tuju. Semua puisi Idzar seperti teka
teki kelas atas. Mungkin hanya orang orang tertentu yang bisa mengerti. Dan jangan harap Aufa bisa menelan deretan kalimat indah itu matang matang. Otaknya
terlanjur beku dengan pesona membunuh Abidzar Ahda.
Sedang ditempat yang lain, Idzar menyimpan senyum geli. Ditatapnya Shabiya yang masih terlelap. Meski pikiranya sedang berada di dimensi lain.
*** TBC... 12. langit memecah Tak henti bait bait kata yang terlontar ini tercurah bersama kedua telapak tangan yang menangkup. Menengadah do'a. Meminta belas kasih akan ridhoNya. Merendah
serendah rendahnya seorang hamba yang amat kecil dihadapanMu.
Di sepertiga malam ini, lagi lagi ku tampakan wajahku menemuiMu. Berkhalwat denganMu. Berkasih dengan Sang Maha pemilik segala hati. Memberi hembusan nafas
yang berisi lantunan pujian untukMu. Dengan lancangnya air mata yang sempat tertahan, akhirnya harus turun menyusuri wajah yang memohon ini.
Setetes demi setetes buliran bening itu membasahi permukaan mukena katun putih disana. Menyerap lalu melebar hingga menyisakan basah basah samar. Dan sekali
lagi tetesan cairan bening itu turun perlahan disertai isak tangis yang mengendap di malam yang suci ini.
Aufa menangkup wajahnya dengan kedua tangan. Usai menyelesaikan sholat malamnya. Namun masih belum melepas mukena yang dikenakan. Kenyaman yang tercipta
dari benda kain lembut penutup diri kala ia menghadap Allah itu, terlanjur menempel di sekujur tubuhnya. Hingga rasanya sulit untuk meningglkan cumbuannya
malam ini dengan Sang maha penguasa waktu. Maka ia memutuskan untuk tetap duduk di atas hamparan sajadah sambil meratap, meminta dan memohon.
Entah terdiam antara mimpiEntah bersuara tanpa ada kata terucapEntah akankah dan mungkinkahEntah sebuah kata dalam bisikan pasirTawa dan tangis dalam kesendirianSenyum
dan tetes airmata detik kehidupan TuhanAkankah terang hidupku nanti TuhanAkanka...
Entah terdiam antara mimpi
Entah bersuara tanpa ada kata terucap
Entah akankah dan mungkinkah
Entah sebuah kata dalam bisikan pasir
Tawa dan tangis dalam kesendirian
Senyum dan tetes airmata detik kehidupan Tuhan
Akankah terang hidupku nanti Tuhan
Akankah tersenyum aku nanti
Letih dalam kesendirian hati ini
Menunggu rindu akan Belahan takdir hidupku
Inginku menabur benih penuntunku akhir hidup
Tetesan buih letih dan lelah dalam sujudku
Entah dalam gelap akankah Kau menuntunku
Entah dalam tangis ini akankah Kau menjaga jiwaku
Entah dalam detik hariku akankah Kau ingat padaku Sekeras batu karang selembut belaian,...hanya itu Tuhan
Di langit yang sama, Idzar sujud sekali lagi mengakhiri do'a dan rintihannya di malam ini. Mengusap wajahnya perlahan seolah beban beban itu akan terhempas
pergi oleh usapan lembutnya.
Ia beranjak lalu keluar kamarnya masih dengan balutan kain sarung berkotak hijau putih. Berdiri di halaman depan rumah. Merentangkan kedua tangan seraya
menghirup hembusan menyegarkan yang tercipta dari atmosfer malam menjelang waktu subuh. Menarik nafas lalu menghembuskannya lewat mulut. Memejamkan kedua
mata. Berharap ketika ia membuka mata, keajaiban perlahan menghampiri.
Adzan subuh pun berkumandang bersama gema gema udara sebagai perantara. Diraihnya baju koko yang tergantung di balik pintu kamar. Sebelum melepas langkah
ke masjid, dilihatnya ponsel di atas meja. Ada satu notif yang membuatnya menunda sejenak aktifitas utamanya tersebut. Dibukanya salah satu pesan yang
berasal dari seseorang. Bagaimana jika aku melamarmu lagi"
Reaksi pertama yang didapati idzar ialah berdecak malas seraya mengambil nafas panjang. Ditatapnya rangkaian tulisan pada layar ponsel itu seperti menimang
sesuatu. Antara membalas pesan itu atau tidak. Kalaupun harus membalas, ia harus membalas apa"
Akhirnya Idzar memutuskan untuk tidak membalasnya. Di sentuhnya tombol kunci lalu menaruh benda slim itu ke tempat semula.
*** "Kamu yakin, ibu pantas memakainya" Apa ibu terlihat buruk?"
Yang dimintai pendapat hanya tersenyum. Kedua tangannya merapikan tepian khimar yang menjuntai sebatas pergelangan tangan berhiaskan renda berwarna putih.
"Ibu terlihat cantik dengan khimar itu. Tidak ada yang membuat buruk seorang wanita yang memilih untuk menutup aurat. Karena itu kewajiban yang mutlak"
Aufa menjawab dengan lembut. Di genggamnya kedua tangan Diana. Menyalurkan aliran keyakinan pada wanita itu. Meskipun dirinya sendiri lebih teramat butuh
asupan keyakinan dan ketenangan itu. Dibalik rasa tegang yang menyelimutinya sejak tadi pagi.
"Tanganmu berkeringat. kamu tegang ya?" Tebak Diana khawatir. Kini gantian ia yang menggenggam kedua tangan putrinya. Ditatapnya rona cemas disana. Raut
raut ketegangan muncul pada setiap ia berkedip. Gadis itu mengangguk kecil. "Sedikit"
"Sewaktu ibu menikah dengan ayahmu, ibu juga merasakan hal seperti ini" Diana tersenyum. Matanya berpendar menerawang dibarengi memory yang berpindah menuju
era dimana kenangan bersama Cokro sempat terjalin meski dalam waktu yang tidak lama.
"Nervous itu hal biasa yang sering dialami anak gadis. Apalagi di saat seperti ini. Dan belum lagi kelak kamu menikah nanti. Kecemasan kecemasan itu pasti
ada. Mau ibu kasih tips nya?" Tawaran yang menggiurkan. Aufa mengangguk.
"Cara ini selalu ibu gunakan kala ibu sedang dilanda ketegangan yang luar biasa" ujarnya sambil mengelus ngelus punggung putrinya. "Kamu tahu i'tiraf"
Lantunkanlah syair tersebut di dalam hatimu, nak" awalnya Aufa sangsi akan cara itu. Karena menurut sepengetahuannya i'tiraf merupakan syair yang dibuat
oleh Abu Nawas tentang bagaimana hakikatnya manusia yang tidak pernah luput dari dosa. Lalu memanjatkan ampun dan ridhoNya. Manusia yang merasa dirinya
tidak pantas bermukim di surga tapi mereka juga tidak ingin menjadi penghuni neraka. Kesangsian itu perlahan pudar ketika ia memejamkan mata lalu bibirnya
bergerak kecil melantunkan kalimat kalimat indah tersebut. Seirama dengan ketegangan serta perasaan aneh lain yang seakan menyingkir pergi. Seolah mereka
hendak pamit dari hati seorang gadis yang sebentar lagi akan dikhitbah oleh seorang pria.
"Sekarang ibu yakin, perasaanmu sudah jauh lebih baik" suaranya menyadarkan Aufa. Ia membuka mata dan mendapati sosok yang sama. "Tidak ada yang lebih
membahagiakan dari seorang ibu selain melihat anak yang dicintainya selalu tersenyum. Meski senyum itu akan menjadi senyum terakhir yang bakal jarang ibu
temui. Kelak senyum indah itu akan berpindah menjadi pengiring suka duka pria yang kelak menjadi imammu" Diana menatap dalam gadis berkhimar dan berpakaian
serba putih dihadapannya. Nampak cantik seperti bidadari surga. Di daratkan kedua tangannya untuk menyentuh wajah anaknya itu.
"tersenyumlah, nak. Jadikan itu sebagai senjata ampuh untuk menutupi kerapuhan jiwamu dan Kepahitan hidupmu"
Dalam hitungan detik ketika mandat itu selesai terucap, Aufa menghamburkan dirinya kedalam pelukan wanita paruh baya itu. Memeluknya erat. Menyerap kehangatan
yang tercipta. Menumpahkan segala beban.
"Siapa yang akan merawat ibu nanti kalau fida jauh dari ibu?" Suaranya parau diisi isak tangis kecil. Diana yakin anak itu mulai cengeng. Hal bodoh yang
terlintas dipikirannya dalah make up tipisnya pasti akan luntur. Ia melepas pelukan itu secara perlahan.
"Jangan samakan ibu dengan kamu. Ibu bisa menjaga diri ibu baik baik. Menurutmu, siapa yang memasak makan siang kalau kamu berkunjung?" Tangan Diana aktif
mengusap sisa air mata lalu membenahi make up anak gadisnya. "Tentu saja ibu. Dan siapa membersihkan rumah, memotong rumput, mencuci" Ya pasti ibu lah.
Bisa bisa biyung makan gaji buta" senyum mengembang sempurna dari bibir Aufa.
"Memangnya kamu. Baru segini saja sudah nangis. Kenapa anak ibu jadi cengeng ya sekarang?" Diana menoyor gemas pelipis Aufa.
"Fida ga nangis, bu. Fida kelilipan. Nih lihat!" Aufa menunjukan mata sembabnya dan mendapat hempasan ringan dari Diana.
"Kamu tu emang pinter ngeles, tapi kamu ga pinter bohong"
Dan keduanya tertawa kecil. Hingga datang seseorang melongokan kepalanya diantara daun pintu. Seseorang itu Tsabit.
"Rombongan sudah datang"
*** Satu langkah menapaki tanah setelah turun dari mobil alphard putih mewah disana. Berdiri tegap bersama senyum merekah yang enggan pergi dari bibirnya sejak
tadi pagi. Walaupun begitu, tetap saja tidak bisa menghilangkan kegugupan Syihab di moment yang ia tunggu tunggu ini.
"Kamu yakin ini rumah calon istrimu?" Sandy. Pria tua tapi berjiwa muda itu pun turut keluar dari mobil. Syihab memanggilnya papa. disusul Rosa dan si
kembar Acha Icha turut mengekor sang kepala keluarga tersebut.
"Ini rumah ibunya. Orangtuanya tidak tinggal bersama"
"Eh! Tunggu bang" Icha berjalan cepat menyusul Syihab yang sudah jalan lebih dulu.
"Kemejanya rapiin dulu dong. masa mau melamar anak gadis kusut gini. Rambutnya juga rapiin lagi" dengan cekatan tangan gadis itu merapikan pakaian abangnya
kemudian menyisir rambut Syihab dengan jari. Dengan sentuhan gel rambut membuat Syihab terlihat lebih rapi dan gagah. Bila sehari hari ia selalu memakai
kemeja polos berbalut pakaian dokter. Kini pria itu memakai kemeja batik dengan corak khas pekalongan.
"Kurang ganteng apa coba abang gue ini. Icha yakin ka Aufa bakal klepek klepek deh sama abang" pujinya berlebihan. Direspon senyum lebar seraya mengusap
ngusap puncak kepala adiknya itu.
Sesampainya mereka di sana. Keluarga Raharjo menyambut kedatangan mereka. Ibnu berperan sebagai juru bicara dari pihak Aufa. Sedang dari pihak Syihab,
cukup Sandy yang berbicara langsung. Baginya, ini moment berharga yang tidak boleh dilakukan oleh orang lain. Apalagi untuk kebahagiaan putranya.
Tak menunggu waktu lama, setelah keluarga Syihab menyampaikan maksud dan tujuan kedatangannya. Tentu saja mereka ingin mendengar jawaban langsung dari
gadis yang masih berada di dalam kamar bersama ibunya. Mereka sengaja membiarkan Aufa menunggu di dalam kamar. Hingga akhirnya salah satu anggota keluarga
meminta Aufa keluar kamar untuk memberi jawaban atas lamaran.
Ditemani Sina dan Diana, Aufa berjalan keluar kamar. Dengan kepala menunduk seraya melantunkan i'tiraf dalam hati sesuai nasehat ibunya. Mengumpulkan keberanian.
Membuang kegugupan yang menari nari di tubuhnya. Ia berusaha untuk tetap tenang. Pemandangan pertama yang Aufa lihat setelah ia maju satu langkah dari
pintu adalah deretan orang banyak yang tidak dikenalinya. Itu pasti keluarga Syihab. Aufa memberi senyum tulus ketika wanita paruh baya cantik berjilbab
silver dengan payet memenuhi area kepala, duduk disebelah Syihab menatapnya kagum. Begitu juga duo kembar srikandi yang selalu pecicilan itu, kini terlihat
lebih kalem dan anggun. mereka tersenyum girang bahagia melihat si calon kakak iparnya nampak berbeda. Dan di sebelah kanan Syihab, seorang pria berperawakan
tegas yang ia yakini adalah ayah dari Syihab. Tidak seperti anggota keluarganya yang lain. Pria bertubuh atletis itu nampak tidak suka melihatnya. Sejak
kehadirannya, tidak terpancar senyum sedikitpun.
Apa ia tidak suka jika Syihab berjodoh dengannya" Semoga saja tidak. Tapi ada yang aneh. Bukan Aufa yang pria itu perhatikan. Tapi Diana. Begitu lamanya
Sandy memerhatikan Diana. Rahangnya mengeras. Sesekali pria itu memalingkan wajah untuk sekedar mengingat sesuatu. Kini ketegangan Syihab berpindah ke
dirinya. Tanpa sadar keringat mengucur di sisi kanan leher.
Sedang wanita yang menjadi objek pengamatannya menatapnya kosong. Diana turut menatap Sandy dengan wajah datar dan Aneh.
Ada apa dengan mereka"
"Ada baiknya sebelum kami mempersilakan anak gadis kami, Mufida Aufa untuk menjawab. Saya selaku perwakilan keluarga ingin memperkenalkan satu persatu
anggota keluarga Raharjo" Ibnu membuka suara lagi.
"Disebelah kanan saya merupakan Ayah dari Aufa. Namanya Cokro Raharjo" mata Ibnu mengarah pada Cokro. Pria itu tersenyum hangat.
"Dan disebelahnya adalah ibu dari Aufa, yang bernama Diana" wanita yang bernama Diana itu tersenyum hangat menyapu para tamu keluarga. Lalu senyum itu
berubah tatkala pandangan matanya mendarat pada satu pria, yakni Sandy. bahkan mengubah senyum itu menjadi tatapan membunuh. Tentu saja pria bernama Sandy
itu diam tak berkutik. Berulang kali ia menunduk seolah tengah berhadapan dengan malaikat pencabut nyawa.
"Dan yang terakhir, wanita yang duduk di sebelah Aufa ini adalah sepupunya, Sina. Dia putri semata wayang saya" perkenalan terakhir manjadi tanda bahwa
Aufa bersiap untuk menjawab permintaan lamaran dari keluarga Syihab.
Semua pasang mata tertuju pada satu titik. Yakni titik dimana Aufa sedang duduk berlutut seraya menunduk malu. Tangannya bergerak abstrak memilin ujung
jilbab. "Bismillahirahmannirahim.. insya Allah, saya Mufida Aufa. Me,---"
"Maaf, saya potong"
Sontak perhatian banyak pasang mata berpindah pada seseorang yang dengan cepat memotong pengucapan sakral tersebut. Dan seseorang itu Tak lain dan tak
bukan adalah Sandy. "Ada apa, pa?" Bisik Syihab kepada papanya. Tindakannya yang begitu tiba tiba tentu saja membuat Syihab nampak khawatir. Sandy tidak menggubris pertanyaan
putranya. Ia bersiap melanjutkan ucapannya karena segenap keluarga tuan rumah termasuk keluarganya sendiri menyerbunya dengan tatapan penuh tanya.
"Nak Aufa. Maaf saya memotong ucapan anda" Aufa mengangguk mengerti sembari tersenyum kecil. Senyum yang menyimpan tanda tanya besar didalamnya.
"Atas nama keluarga Syihab, saya meminta maaf yang sebesar besarnya. Karena sepertinya rencana pernikahan ini,.." Sandy menahan nafas. Seperti ada yang
mencekik lehernya. Lidahnya mendadak kelu.
"Tidak bisa dilanjutkan"
Kalimat terakhir yang terucap, bak mantra sihir yang membuat seluruh pasang mata tercengang seketika. Bahkan Sandy yang mengucapkannya pun harus mengusap
peluh di dahinya karena begitu berat ia mengatakan ini semua. Sungguh, ini bukan keinginannya. Tapi nyatanya pernikahan putranya dengan gadis itu tidak
boleh terjadi. "Kenapa, pa" Kenapa papa bicara seperti itu?" Protes Syihab. Menatap tidak percaya. Tersorot rasa ingin tahu yang besar. Sandy tidak menjawab. Hanya memberi
tatapan iba pada putranya. Kemudian kembali menyapu pandangan ke seluruh anggota keluarga Aufa.
"Sekali lagi saya minta maaf. Terutama kepada nak Mufida Aufa. Gadis yang saya tahu, begitu dicintai putra saya satu satunya. Tapi, saya mohon kebesaran
hati anda untuk menerima keputusan ini"
"Pa!" Ini pertama kalinya Syihab menegur papanya dengan nada tinggi. Emosinya perlahan memuncak. Sungguh tidak mengerti dengan jalan pikiran papanya itu.
Mengapa ia tega melakukan ini.
"Jangan membentak papa seperti itu! dan jangan seperti orang yang tidak berpendidikan, syihab!" Peringatan keras terlontar dari pria keras tersebut.
"Justru yang papa lakukan itu, tidak mencermikan seorang ayah yang berpendidikan tinggi" timpal Syihab tak kalah emosi. Tidak terlihat seperti Syihab yang
biasanya. "Apa ada, seorang ayah yang tiba tiba membatalkan rencana pernikahan putranya secara sepihak" Apa itu yang disebut berpendidikan?" Tambahnya.
Wajahnya memerah karena amarah yang tidak terkendali. Hingga tanpa mereka sadari perdebatan tersebut menjadi tontonan memilukan yang pernah terjadi.
"Justru karena papa orang yang berpendidikan dan beragama, papa tidak ingin pernikahan kalian ini terjadi. Itu akan lebih membahayakan kita" mata pria
itu merajam bak pedang yang siap menyobek nyobek musuh dihadapannya. "Terutama papa sebagai pemimpin keluarga yang akan dimintai pertanggungjawabannya
kelak di akhirat" Setelah melewati perdebatan sengit antara Syihab dengan Sandy. Segenap keluarga Raharjo pun berbesar hati menerima keputusan Sandy. Terutama Aufa. Walau
berbekal berat hati yang menggelantung membebani pikirannya. Mengapa ini harus terjadi. Apa rahasia dibalik ini semua. Ini seperti teka teki yang tak berujung.
Mengapa rahasia kehidupan ini begitu rumit"
Dan akhirnya keluarga Syihab pamit untuk pulang meninggalkan kediaman Diana. Sebelum kepergiannya, Sandy memandang Diana sekilas. Seperti ada beban berat
yang tersorot dari sana. Sedangkan Syihab hanya mampu mengucap kata 'maaf' sebelum kepergiannya meninggalkan Aufa beserta keluarga, beserta teka teki dan
luka yang membekas. Diluar sana. Tepatnya di teras. Sudah ada Idzar berdiri tegap. Nampak gagah meski hanya berbalut baju koko sederhana berlengan pendek berwarna merah marun.
Pria itu ternyata sudah hadir dari tadi menyaksikan acara lamaran yang ia ketahui harus gagal karena sesuatu entah itu apa, ia tidak mengerti.
Ditatapnya pria yang kini berpapasan melewatinya. Syihab menghentikan langkahnya sejenak tepat dihadapan Idzar. Mereka saling menatap tajam satu sama lain.
Saling menebak nebak apa yang ada dalam pikiran mereka masing masing. Tanpa mengeluarkan satu kata pun, semua yang nampak dari raut wajah Syihab sudah
cukup mewakili perasaanya. Kekecewaan yang menumpuk dalam satu media bernama rasa bergumul di dalam dirinya. Entah mengapa ada gelanyar benci yang menggelitik
hatinya kepada pria dihadapannya saat ini.
Berbeda dengan Idzar, cukup hanya dengan memasang wajah tenang penuh arti. Bak air sungai yang mengalir tapi menghanyutkan. Sudah mampu meretakan pesona
seorang Syihab. Ia tidak tahu apa yang dipikirkan Syihab padanya. Tapi ia tahu mengapa pria itu berhenti sejenak hanya untuk memberi tatapan peringatan
padanya. Diakhiri senyum miring mematikan, Syihab pun melanjutkan langkahnya pergi meninggalkan Idzar.
*** "Aku tidak mengerti. Kenapa mereka begitu mudahnya memutuskan secara sepihak" Tidakkah mereka tahu kalau keputusannya itu amat menyakiti Aufa?" Tsabit
duduk di salah satu kursi di teras menemani Idzar yang sudah berada disana dari tadi. Pria itu menoleh sejenak.
"Sekarang lihat! Mereka justru merusak acara sakral ini" sungut gadis itu tanpa henti mengomel tidak jelas. Tak peduli salah satu keluarga Aufa yang memerhatikan
ocehannya dari ruang tamu selepas acara itu berakhir. Ia sengaja tidak langsung pulang. Begitu juga Idzar. Dana menahannya untuk tidak pulang lebih dulu.
"Satu satunya moment sakral hanyalah pernikahan. Karena melibatkan Allah didalamnya" sahut Idzar sambil mengoperasikan ponselnya.
"Kamu pikir acara ini tidak sakral" Ini adalah moment yang ditunggu dokter Syihab. Bukankah ini adalah moment dimana seorang pria dipertaruhkan keberaniannya
melamar seorang gadis yang dicintainya. Daripada harus berdiam dan meratap menunggu takdir Tuhan yang berbicara" balas Tsabit tidak mau kalah. Kata katanya
cukup menancap tepat sasaran. Sudah cukup pas untuk menyindir Idzar.
"Kalau memang menurutmu ini adalah moment sakral, mengapa mereka mengambil keputusan tersebut" Bukankah mereka keluarga yang beragama dan berpendidikan
tinggi" bisa jadi mereka lebih tahu dibanding kamu. Berpikilah kesana. Setiap perbuatan pasti ada alasan yang menyertai"
"Aku memang tidak tahu apa alasan mereka mengacaukan moment ini. Tapi aku kasihan dengan Aufa. Perjalanan hidupnya begitu rumit. Ditambah lagi perjalanan
jodohnya" " Tidak ada yang mampu menjadi peramal ulung perkara jodoh. Perkara yang amat rahasia. Terjaga ketat pemerannya" Tsabit menoleh cepat ketika lontaran itu


Senja Merindu Karya Suffynurcahyati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terucap dari bibir Idzar. Kata katanya mengingatkan ia pada sesuatu yang tidak asing ditelinganya. Kata kata itu seperti belum lama ini ia dengar dari
seseorang. "Kata katamu barusan, persis seperti yang diucapkan Aufa padaku" ia tertawa kecil. "Bisa kebetulan gitu ya" Aneh." Cibirnya.
"Kamu yang aneh. Bisa bisanya pagi pagi buta mengirimiku sms konyol" Tsabit mengernyit akan tuduhan itu. Matanya menyipit seraya mengingat ngingat. Dan
oh! Ia lupa bahwa tadi pagi tanpa sadar sehabis bangun tidur tiba tiba saja ia mengambil handphone kemudian mengirim pesan konyol tersebut kepada Idzar.
Astaga Tsabit! "Soal itu. Maaf. Anggap saja aku sedang mengigau. Jangan dianggap serius" kelitnya bersikap sok cool padahal sedang menahan malu yang luar biasa.
"Aku tahu. Makanya aku tidak membalas" jawabnya santai sambil memutar mutar handphonenya ke udara.
"Bagaimana kalau aku sedang tidak mengigau kala itu" Maksudku, jika aku serius dengan pesan itu" apalagi yang akan diperbuat gadis itu. Hobby sekali membuat
pernyataan mengejutkan. "Aku tetap tidak akan membalasnya" pria itu menoleh. Mengiringi jawaban singkatnya.
"Kenapa?" "Pulsaku habis"
Ya ya ya. Pantas saja hari sungguh panas. Pantas saja hujan enggan turun. Pantas saja kepala Tsabit mendadak ingin mendidih. Andai dirinya berada didunia
kartun, mungkin kepulan asap sudah mengudara di atas kepalanya. Dan itu semua karena Idzar mulai sangat menyebalkan. Sungguh menyesal ia menanyakan itu
padanya. Ia berharap diberi kekuatan mengubah sesuatu. Tentu ia akan mengubah Idzar menjadi bulatan bakso kemudian mengunyahnya halus halus.
"Whatever!" Tsabit pun beranjak dari kursi lalu pergi dengan langlah cepat dan mantap meninggalkan Idzar yang sedang menyimpan senyum geli. Gue menang
kali ini. Batinnya bersorak bahagia.
*** TBC.... 13. Bunga yang menguncup Ketika malam berhasil bercumbu bersama rembulan yang indah. Mereka tahu diri lalu pamit membiarkan fajar membebaskan diri dari pingitannya. Menari nari
diiringi hawa hawa sejuk yang mengendap menjadi embun. Embun itu membasahi rumput rumput hijau segar disana.
Usai melaksanakan sholat subuh, Aufa merapikan dirinya bersiap untuk melanjutkan aktifitas mengajarnya. Setelah rapi dengan setelan kemeja lengan panjang
berwarna biru danker dipadu rok A line hitam. Nampak sederhana namun tetap elegant. Jemari lentiknya bergerak aktif memakai hijab segiempat lebar menutupi
mahkota kepalanya. Sentuhan terakhir, terpasangnya bros mini berbentuk pita dengan motif kotak kotak.
Seperti pesan ibu, tersenyumlah agar segalanya menjadi lebih baik. Maka ia menarik sudut bibirnya membentuk cekungan indah bak pelangi setelah hujan. Ditatapnya
sekali lagi wajah itu melalui pantulan dirinya di cermin. Sekedar memastikan bahwa penampilannya telah rapi untuk menyambut hari ini, esok dan seterusnya.
Yang berlalu, biarlah berlalu. Waktu tidak akan pernah mundur perlahan hanya untuk sekedar mampir lalu menawarkan diri membenahi kisah kisah yang telah
dilewati. Tapi waktu akan terus berjalan maju kedepan lebih cepat, menabur kesempatan kesempatan kecil mengiringi perjalanan manusia untuk memperindah
masa depannya. Aufa membuka pintu kamar ibunya. Mendapati Diana sedang duduk di atas kursi roda setianya sambil menatap ke luar jendela. Mengamati pergerakan tanaman
hias yang berjajar rapi di atas undakan keramik yang meninggi. Tatapannya kosong.
"Bu,.. fida berangkat kerja dulu, ya" berhasil membuyarkan lamunan wanita itu, fida meraih tangan Diana agar bisa menciumnya sebagai tanda pamit. Wanita
itu menoleh. Meresponnya dengan iba.
"Kenapa pagi pagi sekali berangkatnya?"
"Menghindari macet. Sekalian ada beberapa pekerjaan yang belum terselesaikan" jawabnya lembut. "Ibu sudah sarapan?"
"Harusnya ibu yang menanyakan itu. Kamu sudah sarapan?"
Aufa menggeleng kecil. "Fida bisa sarapan di kantin. Fida lagi pengen makan siomay buatan mang Udi" ia mengulum senyum membayangkan nikmatnya makanan favouritenya
itu. Terlebih, jika menikmatinya ditemani murid murid kesayangannya. Ah, dan nikmat Tuhan mana lagi yang kamu dustakan.
"Makan pagi adalah Raja. Makan siang, prajurit. Dan makan malam adalah pengemis. Seporsi siomay saja tidak cukup untuk seorang raja" Diana memposisikan
dirinya menghadap Aufa penuh. Otomatis Aufa mensejajarkan diri dengan ibunya. "Minta biyung untuk membuatkanmu jus dan potongan buah, ya. untuk menambah
konsentrasi. Kamu bisa membawanya sebagai bekal"
"Iya. Nanti fida minta buatkan" ditatapnya wanita pemilik Surganya itu dengan hangat. Mengeluarkan ketulusan dan kasih sayang yang tidak akan ia berikan
kepada siapapun kecuali kepada wanita dihadapannya itu dan Cokro, tentunya.
"Kalau gitu, fida pamit ya. Assalamua,--"
"Nak,.." laju tangannya mencium tangan Diana terhenti. Menunggu wanita itu melanjutkan ucapannya. "Ibu minta maaf"
"Untuk?" Sorot matanya menyembul rasa ingin tahu.
Diana tidak langsung menjawab. Keberanian yang ia kumpulkan sejak tadi masih kurang, rupanya. Ia terlalu pengecut kalau harus mengatakannya.
"Minta maaf untuk apa, bu?"
"Untuk masa lalu ibu. Maafkan segala perbuatan zina yang sempat ibu lakukan di masa lalu" pernyataan itu di awali raut menyedihkan. Kedua tangannya mengepal
dalam keadaan bergetar. Aufa belum merespon. Sepertinya, ibunya ingin berbicara banyak.
"Siapa yang ingin punya ibu seorang mantan pelacur seperti ibumu ini" Mustahil jika ada. Kalaupun ada, aku akan menyebutnya manusia berhati malaikat. semoga
itu kamu, nak" ia menoleh. Menghadiahi Aufa seringai haru. Tersirat ingin tahu bagaimana sosok malaikat itu begitu menyayanginya di atas sebuah masa lalu
yang menghancurkan masa depannya.
"Dan satu hal yang harus kamu tahu, nak. Mengapa ayah Syihab membatalkan rencana pernikahan kalian. Itu karena,.." Aufa mendengar isak tangis di sela ucapannya.
Diana menunduk tidak berdaya. tapi itu tidak menyurutkan niatnya untuk menyampaikan kepahitan masa lalunya tersebut. "Karena ayah Syihab tidak akan membiarkan
dua anak kandungnya menikah. Dia adalah ayah kandung kamu"
Aufa hanya bisa bergeming. Memandangi ibunya yang sedang menangis. Tangisnya semakin menjadi jadi. Benarkah yang wanita itu katakan" Gadis itu belum merubah
posisinya. Bola matanya bergerak gerak seolah mencari kebenaran lain yang barangkali masih akan terucap dari bibir ibunya.
"Pria itu pergi dengan alasan akan menikah dengan wanita lain yang dicintainya, yakni wanita yang kamu lihat kemarin datang bersama Syihab. Dan meninggalkanku
bersama kamu yang saat itu masih dalam kandunganku berumur 3 bulan" nafasnya tidak stabil. Betapa sulitnya Diana mengatakan itu semua. Yang ia pikirkan
hanyalah perasaan putrinya menghadapi ujian yang begitu berat. ujian itu berasal dari ibunya sendiri. "Hingga datang manusia berhati malaikat sebelum kamu,
yang rela menikahiku tanpa syarat. Bahkan ketika aku tengah berbadan dua sekalipun"
Ya. Aufa tahu siapa malaikat penolong ibu itu. Siapa lagi kalau bukan pria yang selama 26 tahun ini menemani perjalanan hidupnya. Pria yang ia sebut Ayah.
Meskipun ia tahu bahwa Cokro bukanlah ayah kandungnya. Tapi yang membuat perasaannya berkecemauk ialah, mengapa harus Syihab" Kenapa harus dia yang menjadi
adik tirinya" satu satunya pria yang sempat akan menjadi imam dikehidupan barunya kelak.
"Pria hidung belang mana yang belum pernah menikmati tubuhku" Minuman keras mana yang belum pernah aku cicipi" Dan gadis polos mana yang belum aku jual
untuk kujadikan wanita pemuas nafsu" Bahkan aku sudah membunuh anakku sendiri" suaranya parau. Diiringi jeritan penyesalan terdalam. Mengacak ngacak kerudung
hitam yang dikenakannya. Wajahnya begitu menyedihkan. "Dan aku sudah menghancurkan kehidupanmu, nak! Ibu sudah merusak rencana pernikahanmu. Semua itu
karena masa lalu ibu!" Diana menjerit aneh. Tangis nya tak berdaya. Meratapi masa lalu yang justru berimbas kepada putri yang begitu menyayanginya.
"Bu,...." sebuah tangan terulur mengusap punggung Diana.
"Kenapa kamu masih saja mau merawat ibumu yang brengsek ini" Seharusnya kamu bunuh saja ibu. Atau biarkan ibu membusuk di rumah sakit jiwa" tidak merespon
sapaan lembut anaknya. Diana terus saja berbicara mengutuk dirinya sendiri.
"Ibu,..." "Andai ibu tidak sebrengsek dulu, tentu tidak akan terjadi kejadian memalukan kemarin. Tentu kamu bisa segera menikah dengan pria yang begitu mencintaimu,
nak! Ibumu ini brengsek!"
Linangan air mata menyusuri wajah lalu mendarat di bentangan jilbab hitam yang dikenakan Aufa. Gadis itu menggeleng tak kuasa. Semakin Diana mengumpat
dirinya sendiri. Semakin membesar luka luka yang sempat pulih di dalam hatinya. Tidak ada yang lebih menyakitkan ketika mendengar rekaman masa lalu yang
terus memutar seperti kaset kusut. Dan itu semakin membuatnya seperti dijatuhkan ke dalam jurang api.
"Maafkan ibu nak. Maafkan ibu..." bahu Diana berguncang seirama dengan tangis yang memecah. Perlahan tangannya menarik kerudung yang dikenakan lalu melepasnya
kasar kemudian hendak membuangnya. Tapi sayang, gerakannya kalah cepat. Aufa sudah lebih dulu menahan tindakan ibunya. Digenggamnya pergelangan tangan
Diana agar benda suci yang menjadi penutup auratnya itu tidak terbuang begitu saja. Ditatapnya Diana dengan sorot mata nanar. Mata gadis itu memerah karena
tak kuasa membendung tangis yang sudah lancang membludak begitu saja.
"Yang ibu butuhkan hanya ampunan dari Allah.." nafasnya tercekat. Tertahan sejenak disertai sorot mata yang merajam seolah mampu melumpuhkan tindakan bodoh
ibunya yang sia sia itu. Wanita itu diam. Masih dengan sisa sisa kesedihannya.
"Bukan mengorbankan benda ini" digerakan sedikit tangannya yang masih menggenggam lengan Diana. Kerudung hitam itu masih menggantung ditangannya. "Ataupun
maaf dari fida!" Diana masih diam. Mengusap pipinya yang basah.
"Karena sebelum ibu meminta maaf pun, fida sudah memaafkan ibu. Itupun menurut fida masih sangat kurang untuk membalas perjuangan ibu yang telah melahirkan
fida. Ribuan kali pun fida memaafkan ibu bersama semua perjuangan ibu menghadapi masa lalu tidak sebanding dengan titik darah penghabisan yang ibu korbankan
demi melahirkan fida"
Dan lagi, tangis itu kembali memecah. Meski tidak sepecah di awal. Hanya dengusan kasar yang memenuhi kamar beraroma terapi disana. Diana teringat 26 tahun
silam, tepat di hari senin ketika ia melahirkan Aufa. Kala itu, Cokro--pria yang berstatus suaminya--sangat ingin menemaninya berjuang melawan rasa sakit.
Tapi Diana menolak keras. Hatinya terlalu keras untuk menerima Cokro saat itu. Bahkan ketika Cokro ingin masuk ke ruang bersalin, dalam keadaan merintih
kesakitan, Diana mengusir Cokro sambil berteriak dengan umpatan kasar. Dan dengan segala pengertiannya yang luar biasa, tak peduli pandangan iba dari bidan
juga perawat disekitarnya, pria itu mengalah kemudian memilih menunggu di ruang tunggu. Dari sana pun suara tangis bayi yang dinantinya juga tetap terdengar
jelas kok, begitu mungkin pikirnya. Satu tetes air mata jatuh perlahan menyusuri wajah keriput Diana.
"Ibu pantas memakai ini" perlahan ketegangan tangan mereka menurun. Genggaman itu melemah. Dilepasnya kerudung dari genggaman Diana. Aufa menangkap benda
tersebut dari bawah. "Ini sebagai bukti bahwa Ibu sungguh sungguh ingin memperbaiki hubungan ibu dengan Allah. Ini sebagai bukti bahwa status ibu masih seorang hamba Allah
yang beriman. Dan ini bukti bahwa ibu adalah ibu Fida. Ibu yang Fida cintai" seiring kata kata itu terucap, Aufa memakaikan kerudung pemberiannya kepada
Diana dengan begitu hati hati. Diana menurut. Tidak ada sedikitpun respon penolakan darinya. Setelah tertata rapi, wanita itu mendongak. Memperlihatkan
kecantikannya sambil memberi senyum sederhana. Senyuman yang bisa menular kepada siapapun yang berada disekitarnya, termasuk Aufa. Ditatapnya hangat sosok
ibu yang nampak cantik dengan kerudung bergliter emas dibagian tepi. Tak peduli dengan mata yang sembab atau hidung yang memerah di area wajahnya. Karena
Baginya, Diana adalah wanita tercantik di dunia dan di akhirat bahkan dihati.
"Fida ingin kita terus bersama. Bahkan kematian pun tidak bisa memisahkan kita. Karena yang bisa memisahkan kita hanya surga dan neraka. Ibu ingin masuk
Tusuk Kondai Pusaka 16 Kemarin Hari Ini Dan Esok Karya Risnawati Tambunan Pendekar Wanita Penyebar Bunga 1

Cari Blog Ini