Ceritasilat Novel Online

Arus Balik 8

Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer Bagian 8


Betapa senang melihat segala apa yang dipegang jadi. Diri akan tinggal duduk-duduk membacai cerita-cerita Arab semasa kekuasaan Muawiah di semenanjung Iberia, mengagumi orang-orang besar dalamberbagai bidang keilmuan: perbintangan, pengobatan, kedokteran, kimia, filsafat, tauhid, matematika. Dan ia akan mengulangi tafsir atas Platon dari Al Kindi, Al Farabi, Ibn Sina&
Jatuhnya Tuban nampaknya jauh lebih mudah daripada Malaka, tanpa pukulan perang berarti dari luar. Tak bisa lain, Malaka bandar yang sedang kembang-kembangnya, Tuban sedang dalam keadaan runtuh.
Pagi itu cangkir tembikar sudah berisi dengan air kahwa mengepul. Antara sebentar ia mencicip, dan setiap cicipan dihembuskannya nafas berat, ditujukan di gandok sana. Uh, manusia-manusia tanpa harga itu. Congkaknya seperti merak, kau Idayu! Apalah artinya kau! Ia tindas kegagalannya. Lima puluh orang sebagus kau, lebih bagus daripada kau, bisa kudapatkan sekaligus di Ispanya sana. Huh! Dan kalau Tuban runtuh seperti pedati masuk jurang, kaulah yang paling dulu akan merayap pada kakiku minta penghidupan. Maka kembali pikirannya ia susun untuk dapat menggerayangkan tangan buat ke sekian kalinya ke dalam keputrian. Ia sudah dengar Sang Adipati mendapat selir kesayangan baru, seorang gadis Tionghoa persembahan penduduk Lao Sam, Nyi Ayu Campa namaharemnya.
Dari percakapan dengan Paman Marta ia mengetahui, orang Tua-tua Tuban sudah mulai membicarakan tandatanda kejatuhan Tuban, sama dengan tanda-tanda kejatuhan Majapahit, yakni apabila seorang raja mulai menyelir gadis Tionghoa. Bukankah Bre Wijaya Purnawisesa jatuh setelah menyelir Ratna Subanci anak saudagar Gresik, Tan Go Hwat, yang lebih terkenal dengan sebutan Babah Ba tong itu"
Melihat Nyi Gede Kati sedang datang membawa nampan berisi penganan segera ia menegur: Ai, Nyi Gede
Wanita itu meletakkan nampan di atas meja dan bersiapsiap hendak pergi lagi. Suaminya mencegahnya, maka ia tinggal berdiri di hadapannya.
Ada kau dengar tentang Nyi Ayu Campa, Nyi Gede" Tidak, Tuan, tiada pernah sahaya dengar nama itu. Orang-orang sudah membicarakannya, Nyi Gede. Orang bilang dia adalah titisan Ratna Subanci. Siapa dia, Kati"
Ratna Subanci semua orang tahu, Tuan, Nyi Ayu Campa sahaya tidak tahu.
Ah, kau, Kati, Kati, apakah kau sudah mulai menyembunyikan sesuatu daripadaku"
Tidak, Tuan, demi Allah. Baik, demi Allah. Sekarang sudah seminggu berlalu, Kati. Bagaimana jawabanmu sekarang"
Bukankah sahaya telah menjawab, Tuan Sayid" Belum, belum kau jawab sebagaimana aku kehendaki. Sahaya telah menjawab, Tuan, sahaya tiada lagi akan menghubungi keputrian. Sekali salah sahaya ini bersalah. Tidak untuk kedua kalinya.
Itu salah benar, Kati, Nyi Gede. Hubungan lama jangan dilupakan. Hubungan harus dipelihara. Apa beratnya tidak melupakan hubungan lama" Tidak ada beratnya. Hanya berusaha datang dan bicara-bicara. Kalau tak bisa banyak, sedikit pun jadi. Bukankah begitu"
Betul, Tuan Sayid, sahaya tidak bersedia.
Kau lupa, Kati, apa yang kukatakan ini bukan permintaan, tapi perintah.
Betul, Tuan, perintah. Kau kuperistri atas perintah Sang Adipati. Seorang istri tidak patut menolak perintah suami. Orang harus melakukannya. Bukan, Kati"
Benar, Tuan, tapi menghubungi keputrian sahaya tidak sedia.
Kau membangkang, Kati, kata Syahbandar itu tak bersenanghati dan nadanya tinggi memaksa.
Sahaya telah berjanji untuk tidak bersalah untuk kedua kalinya pada Gusti Adipati. Sahaya akan tetap di Tuban, Tuan, sampai mati. Tuan setiap waktu dapat meninggalkan tempat ini entah ke mana-mana.
Akan kubawa ke mana pun aku pergi kau, Kati. Jangan kuatir, Tholib Sungkar menghibur istrinya dan dirinya sendiri.
Tidak, Tuan, ini adalah negeri sahaya. Tapi kau istriku! Syahbandar menekan. Sahaya istri Tuan Sayid.
Lakukan perintah suamimu, perintahnya keras. Hubungi keputrian, kataku, matanya melotot.
Sahaya telah dan akan lakukan perintah Tuan, suami sahaya, kecuali khianat untuk kedua kalinya.
Apakah aku bilang kau harus berkhianat" Kau hanya berusaha ke keputrian dan bertemu dengan kenalan-kenalan lama, Tholib Sungkar menurunkan kembali nada suaranya.
Itulah sudah semua jawaban sahaya. Di samping itu besok sahaya akan pergi ke desa Awis Krambil, mengantarkan Idayu untuk melahirkan.
Binatang, desis Syahbandar Tuban dan berdiri dari tempat duduknya. Ia berdiri di hadapan istrinya.
Moga-moga Tuan, anaknya yang kedua ini, katanya tenang, tidak lagi seperti Tuan.
Kurangajar kau! makinya dan dicengkamnya rambut Nyi Gede Kati dengan tangan kiri, digulungnya sampai hampir lepas kulit kepala dari tengkorak. Dengan telunjuk kanan ia menuding-nuding wanita yang meringis kesakitan itu seperti hendak menotok biji matanya.
Lepaskan sahaya, Tuan, pohon Nyi Gede. Tamparan bertubi datang pada pipi wanita itu dan cengkaman pada rambut tak juga dilepaskannya. Ampun, Tuan, lepaskan sahaya.
Syahbandar itu menghentakkan cengkamannya ke belakang. Wanita itu jatuh terbalik ke lantai. Suaminya nampak sudah kalap dalam menundukkan istrinya. Sekarang ditariknya tongkat dari atas meja, diayunkan ke atas untuk dilandaskan pada tubuh Nyi Gede.
Melihat ayunan tongkat yang mengancam, bekas pengurus harem itu mengisarkan badan sambil mengait sebelah kaki Tholib Sungkar. Kemudian ia berguling berputar.
Syahbandar yang jangkung itu kehilangan keseimbangan dan terjerembab ke lantai. Tongkatnya berdetak terpelanting. Tarbusnya berguling-guling dengan segala kehormatan, kemudian berhenti mendarat pada kaki meja. Dan belum ia mendapatkan keseimbangannya dan kesedaran apa yang sesungguhnya terjadi atas dirinya, istrinya telah melompat dan membikinnya jadi tertelungkup. Ke dua belah tangannya terpulir ke balakang dan wanita itu telah duduk di atas tengkuknya. Akan sahaya patahkan tangan lancang ini, Tuan. Dan Tholib Sungkar Az-Zubaid mengerang kesakitan. Tak ada kesempatan lagi baginya untuk memperhatikan tarbusnya yang terhormat. Tak diingatnya lagi sang tongkat yang angker, yang telah sempat menohok iganya sendiri sebelum terpental.
Jangan, Nyi Gede, jangan.
Dan kalau tangan ini sudah patah, Tuan, kepala Tuan yang mulia ini akan sahaya remukkan dengan tongkat Tuan sendiri.
Kaki Tholib Sungkar meronta-ronta, tapi tak berdaya menyelamatkan seluruh tubuhnya. Kepalanya meneleng ke samping, pipih pada lantai dan mulutnya terbuka mengucurkan liur. Di bawah tindihan tubuh montok Nyi Gede kepala yang pipih itu nampak jadi lebih tipis, seperti terbuat dari ketan hitam.
Lepaskan aku, rintihnya. Mintalah ampun, Tuan. Dan lelaki itu pantang meminta ampun. Nyi Gede Kati menambahi pulirannya pada tangan suaminya. Dan lelaki itu mengaduh, mengerang dan merintih.
Ya-ya, ampun, Nyi Gede. Wanita itu melepaskan pulirannya, dan tangan lelaki itu jatuh terkulai di samping. Ia tinggalkan juga tengkuk suaminya, berdiri, kemudian dengan tangan sendiri menolong mengangkat kepala Syahbandar Tuban, menyosor-nyosorkan pada lantai, seperti biasa dilakukan orang terhadap anak-anak anjing yang nakal.
Ampun, ampun, ampun, Nyi Gede! rintih Syahbandar dengan kata-kata yang tak terdengar jelas.
Nah, Tuan, inilah ampun ia berdiri lagi dan menolong suaminya berdiri.
Bibir lelaki itu berdarah-darah. Dan wanita itu menyekanya dengan ujung kemban yang dicopotnya dari lipatan. Tholib Sungkar mengebas-ngebaskan debu dari pakaiannya, meraba-raba pipi dan muka, rambut, dan: Mana tarbusku" Tarbus mulia buat kepala mulia"
Nyi Gede Kati mengait topi itu dengan kaki, mengambilnya dengan tangan kiri dan menenggelamkan kepala suaminya di dalamnya.
Apa saja kau lakukan ini, Kati" tanya lelaki jangkung itu sambil memperbaiki letak tarbusnya.
Hanya satu pelajaran, Tuan, bahwa perbuatan Tuan sungguh tidak patut.
Tak ada istri berbuat begitu pada suaminya, protesnya. Memang tak ada, Tuan. Di sini pun, di negeri ini, juga tidak ada. Sungguh luarbiasa, kecuali, Tuan, kecuali kalau suami itu sudah begitu kurangajarnya& .
Aku& . " Siapa lagi, Tuan, Nyi Gede berjalan beberapa langkah dan mengambil tongkat yang terpental. Maukah Tuan mendengarkan sahaya" melihat lelaki itu mengangguk lesu ia meneruskan: Di sini, Tuan, petani yang sebodohbodohnya tidaklah akan menganiaya bininya kecuali kalau dia memang sudah gila. Jangan bicara dulu. Di sini, Tuan, seorang istri bukan hanya dianggap istri, juga sebagai ibunya sendiri, dihormati dan didudukkan di tempat yang dimuliakan. Hanya orang gila menganiayanya. Sebaliknya seorang istri Tuan, menganggap suaminya bukan hanya sebagai suami saja, juga sebagai gurunya dan sebagai dewanya sekaligus. Tuan orang asing di sini. Sahaya sampaikan ini agar Tuan mengerti, karena semua itu mungkin tak ada dalam ajaran Tuan.
Tholib Sungkar duduk lagi di kursinya untuk melupakan ceramah yang bodoh itu.
Kau wajib minta ampun pada suamimu.
Tentu, Tuan, jawab wanita itu dan mengembalikan tongkat pada pemiliknya. Sahaya minta ampun. Sekiranya terulang kembali penganiayaan terhadap sahaya, janganlah tuan ragu-ragu untuk tertelungkup lagi.
Perempuan haibat! Tak pernah aku temui, ia menggeleng-geleng pusing.
Nyi Gede Kati pergi ke belakang tanpa bicara lagi dan tanpa menghormatinya.
Syahbandar membenahi kitab-kitabnya, beberapa kali menyapu muka dan bibir yang masih juga mengeluarkan rasa asin, menarik-narik hidungnya yang pipih dan bengkung merajawali, kemudian mengenangkan dengan tenang-tenang peristiwa tak menyenangkan yang baru lalu.
Ia masih juga heran betapa mudah ia bisa ditumbangkan seorang wanita yang selalu penurut itu. Dan berjanji ia dalam hati untuk selalu berhati-hati terhadapnya.
Sekali ini tidak berhasil, malah aku yang celaka, pikirnya, besok atau lusa toh akan berhasil. Seribu betina seperti dia, tantangnya, dan seribu kali seribu jantan seperti dia, tak bakal bisa gagalkan usahaku. Semua akan lengkung dan lelah di dalam tanganku. Pribumi bodoh ini takkan sanggup membendung kekuatan Portugis, kekuatan yang sedang jaya.
Tiba-tiba ia merasa sangat malu tersipu teringat pada kekalahannya terhadap Idayu. Di mana harus kusangkutkan mukaku kalau dia menyaksikan peristiwa itu tadi" Tidakkah Nyi Gede akan menyampaikan gempa bumi ini padanya" Kurangajar! Tak pernah aku semalu ini. Biar, bagaimanapun mereka takkan sanggup membendung kekuatan Portugis. Dua perempuan Pribumi ini sudah membikin aku bongkar-bangkir. Tapi tunggu!
0o-dw-o0 Selesai sembahyang asar waktu itu. Sunan Rajeg memperkenalkan Mahmud Barjah pada Manan, dulu Esteban, dan Rois, dulu Rodriguez.
Teman-temanmu ini, katanya lagi Adalah penembakpenembak meriam. Nanti akan kau lihat senjata-senjata kita itu.
Meriam" seru Mahmud Barjah. Meriam betul" Meriam Peranggi"
Sunan Rajeg hanya mengangguk-angguk membenarkan.
Dan kau akan lihat sendiri bagaimana mereka melatih anak-anak berperang cara Eropa, cara Peranggi. Mahmud Barjah mengernyitkan kening.
Mengetahui sinar cemburu memancar pada mata Mahmud, Sunan Rajeg buru-buru menambahkan: Dan perwira Tuban ini, Mahmud Barjah, adalah panglimaku. Memang Manan dan Rois mualaf, mereka berada di bawah perintahmu, Mahmud. Dan kau harus mengerti, Mahmud, perang secara Pribumi takkan mungkin dapat menghadapi Peranggi. Cara baru harus dipergunakan, biarpun asalnya dari Peranggi.
Bagaimanakah kiranya berperang cara Peranggi" Barjah mengangkat dagu meremehkan. Belum pernah aku dengar atau lihat.
Kau harus lihat mereka berlatih. Hari ini kita tidak bicara tentang perang. Hari ini kita berpesta. Ayoh, bersalam-salaman kalian.
Mereka bersalam-salaman. Dan segera setelah itu Mahmud Barjah pergi dengan alasan hendak melihat anakbuahnya.
Sunan Rajeg menggeleng-geleng tak memahami cemburu hati panglimanya. Panglima Rajeg itu muncul lagi menjelang magrib untuk berjemaah di mesjid. Ia bergabung dengan semua makmum sampai isya. Kemudian semua orang turun dari mesjid untuk mengikuti Sunan Rajeg menyampaikan wejangannya pada seluruh penduduk yang sudah duduk berjajar-jajar di pelataran pendopo membawa tikar masing-masing.
Malam itu langit bermendung tapi tidak hujan. Orang duduk diam-diam dengan mata gelisah dan pandang ke mana-mana seperti biasa. Damarsewu terpasang di mana-mana dengan apinya yang gelisah. Sunan Rajeg duduk di atas selembar permadani di dalam pendopo. Di belakangnya duduk Mahmud Barjah dan para tetua. Dengan semangat tinggi ia memperkenalkan panglima baru, kemudian diteruskan dengan wejangan yang biasa itu, seluruhnya dalam Jawa: Sudah pernah kukatakan pada kalian, ada kerajaan Islam di Jawa ini, Demak. Katanya saja kerajaan Islam. Yang Islam hanyalah Dewan atau Majelis kerajaan, beberapa Kiai yang dianggap wali Islam, digelari Sunan, dan para pembesarnya. Kawulanya tidak tahu sesuatu tentang Islam, kafir-kufur jahil. Dan rajanya" Tidak beda, sama dengan yang selebihnya. Betapa tidak malunya mereka menamainya kerajaan Islam yang pertama-tama.
Ia memperdengarkan tawa yang pahit menggigit. Siapa yang menamakan itu" Pasti bukan Sunan Rajeg, ia meneruskan. Juga bukan kalian. Tapi: Majelis kerajaan dan musafir Demak yang gentayangan ke mana-mana itu.
Mahmud Barjah terlongok-longok tidak mengerti. Dan karena itu Sunan Rajeg mengulangi wejangannya yang penduduk sudah hafal di luar kepala: Kalian tahu benar siapa musafir-musafsir Demak itu ratusan orang yang dikirimkan oleh Demak ke semua mata-angin untuk bercerita sebaik dan seindah-indahnya tentang Demak, rajanya, pembesar-pembesarnya. Majelis kerajaan dan anggota-anggotanya, ia menengok pada Mahmud Barjah.
Sunan Rajeg dan kalian, pengikut-pengikutnya, ia meneruskan, tidak bisa ditipu begitu mudah. Kerajaan Islam pertama-tama di Jawa tidak di Demak, tapi di sini! dan ditudingnya lantai pendopo sedang matanya menyalanyala pada para hadirin di depannya.
Hadirin diam tiada bersuara sebagai biasa bila tidak ditanyai. Para tetua dan Mahmud Barjah, yang duduk di belakang Sunan Rajeg, tiada mengangkat kepala, seakan patung-patung tembaga pada sebuah candi.
Pekerjaan musafir-musafir celaka itu hanya membedaki dan merias muka Sultan Al-Fatah dan memajang-majang Demak, karena muka
Sultan itu bopeng dan karena Demak itu busuk. Ingatingat kalian, anak-anakku, Islam tidak boleh disekutukan dengan kebohongan dan dusta macam apa pun. Maka juga tidak ada hak Demak menamakan kerajaan Islam pertamatama di Jawa
Dengan pandang menantang seakan Demak ada di depannya ia angkat telunjuk yang mengancam. Katakatanya curah dari mulut diberani-kan oleh kedatangan panglimanya.
Hei, kau, Sultan Demak. Dari manakah hakmu mengangkat diri jadi khalifah" Kau orang ayan" Siapa gurumu" Bagaimana Majelismu sampai begitu gegabah dengan pengangkatan begitu" Berani kau dan kalian menyamakan Al-Fattah dengan Ali dan Umar" Apa dasarmu dan dasar kalian"
Waktu perasaannya meluap, penyakit lamanya menyerang. Ia terbatuk-batuk, badannya membungkuk dan kedua belah bahunya tersengal-sengal tanpa daya.
Mahmud Baijah dan para tetua gelisah ingin memijati bahu dan punggung pemimpinnya, tetapi tak berani. Para hadirin memanjangkan leher untuk dapat melihat bagaimana Sunan Rajeg bertahan terhadap serangan batuk, apakah dia punya kekuatan gaib untuk menundukkan sang gatal yang meruyaki tenggorokan dan pedalamannya. Dan untuk ke sekian kalinya kekuatan gaib itu tidak menyatakan dirinya.
Sunan Rajeg menggapai-gapaikan tangan meminta bantuan. Mahmud Barjah mendekat dan menangkap tangan itu. Ia membantunya berdiri dan membawa tubuh pemimpin yang terbongkok-bongkok karena batuknya masuk ke dalam.
Dan hadirin menarik nafas lagi. Mereka tak juga bubar karena sebelum ada tengara untuk itu. Waktu dilihatnya Mahmud Barjah muncul kembali, ternyata bukanlah untuk memberikan perintah bubar.
Perwira muda yang tampan itu duduk di atas permadani bekas Sunan Rajeg. Ia berdiri membelakangi para tetua. Ia dengar hadirin mulai bergumam menyatakan keheranan dan kecurigaan dan tak senang hatinya. Tapi ia tidak memaklumi.
Setelah mengucapkan salam, yang disambut menggelora, ia mulai berpidato tentang dirinya sendiri, tentang pengalamannya, tentang ketidaksenangannya terhadap Sang Adipati, tentang maksiat pembesar-pembesar Tuban, tentang harem Sang Adipati yang penuh dengan wanita bukan muhrim, namun tanpa malu adipati itu menamai diri Islam, tak pernah bersembahyang pula. Ia sama sekali tidak pernah menyebut Demak.
Dan pidatonya makin lama makin melarut membeberkan perasaan pribadinya. Ia bicara dan bicara, bersemangat berapi-api, kaya dengan ungkapan, pribahasa, kebohongan dan khayalan, bertele, meliuk ke sana dan ke mari.
Pelita damarsewu dipadamkan satu per satu. Ia masih terus bicara. Dan tengara bubar tak kunjung datang juga. Damarsewu padam sama sekali. Ia masih juga bicara. Para tetua di belakangnya sudah pada loyo terbatuk-batuk. Ia tetap bicara. Hujan jatuh dengan lebatnya. Hadirin lintangpukang melarikan diri, bukan dari kebasahan, tapi dari pembicara ulung: panglima Rajeg Mahmud Barjah.
Pendopo itu sudah penuh-sesak dengan para pembesar negeri. Sang Adipati telah duduk di atas singgasanagadingya. Tholib Sungkar Az-Zubaid berdiri seorang diri di pinggiran, sejajar dengan barisan penghadap yang kedua, para pemimpin pasukan: Braja, kepala pasukan pengawal kadipaten, Banteng Wareng, kepala pasukan kuda, Kala Cuwil, kepala pasukan gajah, Rangkum, kepala pasukan kaki.
Wajah baru dalam barisan pemimpin pasukan adalah Wiranggaleng. Ia telah mengenakan gelang baja tiga susun. Ia duduk sebagai kepala pasukan laut.
Tempat Sang Patih masih juga kosong.
Sang Adipati nampai gelisah tak bersenanghati. Berkalikali dipandangnya tempat yang kosong itu. Dan tetap kosong. Karena tak dapat menahan kesabarannya, keluar suara tuanya yang meledak seperti gerutu macan betina: Di manakah kakang Patih"
Tiada berjawab. Semua menunduk.
Tulikah kalian maka tiada yang bersembah" Tiada berjawab. Kegelisahan mulai menguasai seluruh penghadap.
Tiadakah diketahui keadaan gawat" Kalian para kuwu dan demang, benarkah pagardesa kewalahan menghadap perusuh"
Ampun, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik, salah seorang yang tertua di antara mereka bersembah, demikianlah adanya.
Dan kesatuan kecil pasukan kuda hilang"
Ampun, Gusti, sembah Banteng Wareng, demikianlah adanya.
Dan sembilan puluh prajurit kaki Tuban hilang tanpa bekas"
Ampun, Gusti, sesembahan, demikianlah adanya, sembah Rangkum.
Dan dua ratus pasukan kaki Tuban dengan dua orang peratus, di bawah pimpinan perwira pengawal Mahmud Barjah juga lenyap tanpa bangkai"
Demikianlah adanya, sembah Rangkum.
Dan perusuh itu mendesak terus ke arah Tuban seakan Tuban hanya segumpal daging tanpa tulang di hadapan sekawanan anjing. Apakah orang sudah lupa, dua ratus tahun lamanya Tuban tak pernah diganggu musuh karena balatentaranya" Apakah Kakang Patih lupa, pasukanpasukan Tuban tiada mungkin terkalahkan" Dalam dua ratus tahun balatentara Tuban telah ikut menegakkan Majapahit di banyak daratan dan di banyak pulau, di laut maupun di hutan" Braja! Katakan sesuatu biar orang tahu, apa dan siapa Gustimu!
Ampun, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik. Patik, kepala pasukan pengawal Gusti Adipati tiada rela Tuban dijamah oleh musuh dari mana pun datangnya, siapa pun orangnya, apa pun dalih dan kapan pun makarnya. Seluruh pasukan pengawal adalah kulit Gusti Adipati. Barang siapa menyentuh kulit itu, dia akan robek di bawah injakan pasukan pengawal, karena Braja yang akan menjawab.
Kesetiaanmu adalah kesetiaan lama dari perwira Majapahit. Kau, Banteng Wareng, bersembah. Ampun, Gusti Adipati sesembahan patik, ada pun pasukan kuda Tuban setiap saat siap untuk menyerang segala yang bergerak menuju ke Tuban dengan kejahatan di dalam hatinya. Malam bisa dijadikan siang, siang bisa dijadikan malam, sebagaimana Gusti Adipati titahkan. Telapak kudanya akan capai semua jarak dan cambukcambuknya akan menggeletari udara dan hati musuh durjana. Tombaknya akan beterbangan seperti camar menepis puncak-puncak ombak. Musuh akan diporakporandakan sebelum mencapai luar kota Tuban, Banteng Wareng adalah dada Gusti Adipati.
Kau sungguh melegakan dada hati kami, Banteng Wareng. Darah tersirap mendengar persembahanmu, darah Majapahit, bukan darah kecoak. Ah, Kala Cuwil, kaulah yang bersembah.
Ampun, Gusti Adipati. Pasukan gajah selamanya jantung hati Tuban dan Gusti Adipati. Tanpa kesudian Gusti, tiadalah pasukan gajah. Pasukan gajah mendegupkan darah pertahanan Tuban. Gajah-gajah yang lincah dan berat, tanpa dipotong gadingnya, gajah tentara sejati, adalah bukit-bukit otot di tangan pawang tentara yang ulung. Punahlah musuh Tuban terlindas oleh kakinya, terburai terbanting oleh belalai dan ludas tertikam gadingnya. Bila musuh ingin mencoba, pasukan gajah Gusti Adipati akan memberikan pada mereka apa yang mereka kehendaki. Gusti Adipati sesembahan patik, kesetiaan pasukan gajah sepenuhnya berada di dalam tangan Gusti,
Kami tak meragukan, Kala Cuwil. Kau tetap perwiraku andalan Tuban. Kau Rangkum. Betapa kau kelihatan gelisah. Sudah berapa prajuritmu yang hilang"
Ampun, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik. Ada dua ratus sembilan puluh tidak termasuk perwira Mahmud Barjah.
Bagaimana bisa maka kau sampai kehilangan orang sebanyak itu" Dan mengapa kau sendiri tidak pernah persembahkan"
Ampun, Gusti, patik persembahkan jumlah yang hilang tersebut kepada Gusti Patih berdasarkan titah.
Apakah kau sudah bikin pasukan kaki Tuban jadi tape yang bisa dikeping-keping dan ditelan" Dua ratus sembilan puluh tanpa bekas tanpa dibangkai. Hadapkan sini Kakang Patih, hidup atau mati, sakit atau sehat. Jalan kau, Rangkum, dan segera.
Setelah menyembah Rangkum tergopoh-gopoh mengundurkan diri.
Penghadapan itu dikuasai oleh suasana ketegangan luarbiasa. Jangankan senyum, keramahan sedikit pun tak nampak pada airmuka Sang Adipati. Bibir yang biasa tersenyum itu keunguan karena murka. Keriput pada wajahnya nampak semakin dalam.
Mendadak Sang Adipati menengok pada Syahbandar Tuban: Tuan Syahbandar Tuban Sayid Habibullah Al- Masawa, katanya dalam Melayu. Dalam bulan ini hanya ada tiga kapal Atas Angin masuk. Sebelum Tuan menjabat, jauh lebih banyak. Selama Tuan, merosot dan merosot. Sekarang tinggal tiga.
Ampun, Gusti Adipati Tuban, Allah s.w.t. telah membikin lautan dan daratan untuk manusia. Manusia membikin kapal untuk melayari lautan dan menyinggahi daratan. Itulah usaha manusia, Gusti. Tetapi semua ditentukan oleh hukum, adakah kapal berlayar atau tidak, singgah atau tidak. Dan hukum itu hanya berasal dan milik Tuhan.
Sang Adipati mengisyaratkan biti-biti perwara di bawahnya, dan wanita-wanita itu mempersembahkan nampan sirih. Dengan cepat Sang Adipati mengambil dan bercepat-cepat pula mengunyahnya. Seorang biti lain dengan gopoh-gapah mempersembahkan tempolong ludah, dan lelaki itu meludah ke dalamnya.
Tak pernah orang melihat penguasa Tuban itu makan sirih secepat itu, tanpa menikmatinya.
Tuhanlah yang telah menentukan bandar-besar dan makmur dan sejahtera; yang tidak disinggahi merana. Lenyap dalam kemerosotan. Allahlah yang membagi-bagi rejeki di antara ummatNya!
Sekali lagi Sang Adipati meludah cepat-cepat. Sebentar satu bandar dimakmurkan-Nya, sebentar pula dilupakan-Nya. Sama sekali bukanlah pekerjaan seorang Syahbandar untuk memanggil kapal-kapal itu, Gusti.
Sampai di mana usahamu untuk mengembalikan semarak bandar Tuban"
Ampun, Gusti, kejayaan juga berpindah-pindah karena bandarnya. Kerajaan jatuh dan jaya karena bandarnya. Itu sama sekali bukan usaha manusia. Manusia tanpa daya, hanya bisa memohon pada Tuhan. Kapal bisa berpindahpindah, Gusti, tetapi bandar tidak. Tak ada kekuasaan di bawah kolong langit dapat memerintah: hei, kau, kapalkapal dagang, jangan singgah di sana, di sini saja. Hanya Nabi Musa a.s. dapat membuka jalan laut hanya dengan tongkatnya dan menyelamatkan ummat-Nya.
Bukankah yang kami tanyakan sampai di mana usahamu" Dahulu orang memerlukan datang ke Tuban untuk melihat pesta. Pesta laut yang belakangan sepi dan susut. Tak ada sebuah pun kapal Atas Angin berlabuh. Segala usaha telah patik tempuh, Gusti, akhirnya Tuhan jua yang menentukan. Hamba tak mampu memaksa kapal-kapal berlayar dari Maluku ke Malaka singgah di Tuban. Bahkan kapal-kapal dagang Tuban sendiri mulai dilabuhkan di bandar-bandar lain: Jepara, Banten, Pasai. Tinggal benderanya saja yang masih Tuban.
Diam! bentak Sang Adipati.
Wiranggaleng yang duduk sejajar dengan para kepala pasukan berdebar-debar. Ia belum lagi tahu sepenuhnya tentang pasukan laut Tuban, belum mengerti sampai di mana kesetiaan mereka. Ia sibuk menyusun kalimat yang harus dapat mengukuhkan sikap pasukan laut pada Sang Adipati.
Justru pada saat itu muncul Sang Patih. Mukanya pucat dan pakaiannya nampak kusut tak terawat. Tanda-tanda pangkat dan jabatan, yang biasanya rapi di tempat yang sepatutnya, kini kacau, bahkan destarnya pun agak miring, tidak segaris dengan batang hidungnya. Kerisnya agak terdalam terselitkan. Dan matanya merah seperti tidak tidur selama seminggu atau seperti habis menangis sepanjang hari.
Ia jatuhkan diri di hadapan Sang Adipati, bersimpuh dan menyembah, kemudian dengan tak acuh menempati tempatnya di depan para kepala pasukan dan menunduk dalam.
Mengapakah kau, Kakang Patih, tiada menghadap pada waktunya" Adakah kau sudah bosan pada adipatimu maka demikian tingkahmu"
Sang Patih menyembah tiga kali berturut-turut tetapi tak berkata sesuatu dan terjatuh pada sikap duduk semula.
Tiada kami lihat kau sakit. Hanya kau pucat dan matamu merah. Kau masih kuat membawa badan sendiri. Apakah kurang kami terhadapmu"
Sekali lagi Sang Patih mengangkat sembah tiga kali. Ia tetap tak bersembah barang sepatah.
Sang Adipati mengernyitkan kening dan membentak: Tiadakah sesuatu yang kau rasakan patut untuk dipersembahkan lagi"
Pelahan Sang Patih mengangkat kepala dan menyembah lagi, tetapi kepala itu tunduk lagi. Bibirnya bergerak beberapa kali, namun suara tak keluar dari mulurnya. Adakah kami yang tuli, ataukah kau yang bisu" Gusti Adipati Tuban sesembahan patik, kata Sang Patih parau.
Apalah lagi yang mesti patik persembahkan" Dalam satu minggu belakangan ini semua telah patik persembahkan dan Gusti Adipati Tuban, sesembahan patik tiada berkenan mendengarkan bahkan patik mendapat murka Gusti Adipati.
Berapa kalikah harus kami katakan, balatentara Tuban tidak boleh dikerahkan dan engkau juga yang terus mendesak seakan tidak ada pikiran lain yang boleh tinggal kecuali perang" Perusuh tak perlu dihadapi dengan perang. Dan kau Kang Patih, telah kirimkan dua ratus sembilan puluh prajurit untuk hilang tanpa bekas tanpa bangkai. Bukankah demikian"
Patik, Gusti Adipati. Dan kau masih berusaha mendesak dikirimkan lebih banyak, lebih banyak dan lebih banyak, sampai balatentara Tuban akan terkuras habis.
Sang Patih tidak bersembah.
Rangkum, persembahkan tentang pasukanmu. Ampun, Gusti Adipati, dua ratus sembilan puluh adalah kehilangan besar. Tetapi pasukan kaki Tuban belumlah bergerak dalam bentuknya yang semestinya. Kalau dua ratus sembilan puluh prajurit patik hilang, pasti bukan perang, Gusti. Yang demikian tidak mungkin terjadi. Ampunilah patik bila akan mempersembahkan sesuatu yang mendahului-Gusti Patih Tuban. Ialah bahwa hilangnya prajurit-prajurit patik besar kemungkinan adalah karena pengkhianatan.
Semua penghadap melihat ke arah Rangkum. Sementara sunyi-senyap.
Kakang Patih, adakah benar terjadi yang demikian" Dan bila benar, bagaimana jalannya pengkhianatan"
Ampun, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik, kiranya benar persembahan Rangkum, kepala pasukan kaki. Mahmud Barjah, perwira peranakan Koja itu, telah bergabung dengan perusuh. Kaum perusuh telah mendapat tambahan kekuatan sedang Tuban kehilangan.
Tak pernah diingat orang adalah pengkhianatan terjadi dalam tubuh balatentara Tuban. Coba, siapakah yang pernah dengar adalah prajurit Tuban berkhianat" Kesenyapan menyusul lagi.
Kakang Patih, bukankah kau sendiri yang melakukan pilihan atas mereka yang harus berangkat itu" Demikianlah adanya, Gusti.
Dan tanpa sepengetahuan kami" Demikianlah adanya, Gusti. Tentu tidak ada sesuatu maksud untuk melawan gustimu"
Sama sekali tidak keliru, Gusti. Maka jatuhkanlah hukuman pada patik karena kekeliruan ini.
Sang Adipati nampak menghela nafas panjang. Airmukanya mulai nampak terang seperti biasa. Ditariknya tangan kanannya dari atas paha kanan dan dipergunakan untuk menyangga kepala. Ia titahkan Sang Patih untuk meneruskan persembahannya.
Kalau permohonan patik untuk mengerahkan balatentara agar dapat menumpas perusuh secepatcepatnya, Gusti, Gusti timbang sebagai kekeliruan juga, memang hanya hukuman yang patik tunggu, dan tiada sesuatu yang patut patik persembahkan lagi, ia mengangkat sembah dan berdiam diri.
Kami mengerti kesulitanmu, Kakang Patih, dan itulah tanggungjawab sebagai Patih Tuban. Kami tahu kesetiaanmu. Tetapi melakukan sesuatu yang bertentangan dengan titah& , ia tak meneruskan kata-ka-tanya. Baik, demikianlah hatimu. Sekarang kami perkenankan kau mengeluarkan lima ratus prajurit, dapat kau ambil dari berbagai pasukan. Juga kau boleh ambil dari pasukan laut, Wiranggaleng, ayoh, persembahkan sesuatu tentang pasukanmu.
Wiranggaleng mengangkat sembah. Selama itu ia telah susun kata-katanya. Begitu mendapat kesempatan, meluncur mereka seperti air pada saluran sawah.
Ampun, Gusti, sesungguhnya belum lagi lama patik memegang pasukan laut. Beberapa kali kapal-kapal asing tidak dikenal berkeliaran jauh di tengah laut, di malam hari, dengan lampu-lampu dipadamkan. Tetapi kilat di musim hujan tak urung dapat menerangi dunia. Penjaga menara tidak melihat, dan kapal-kapal pengawal pantai nampaknya juga segan mempersembahkan. Boleh jadi takut menghadapi Peranggi. Ampun, Gusti, pada waktu itu patik belum memegang pasukan laut. Adanya kapal-kapal yang mencurigakan itu, Gusti Adipati sesembahan patik, pertanda akan adanya bahaya dari laut. Dan bahaya dari laut tidak kalah buruknya daripada darat. Jatuhnya Malaka, Gusti, jadi peringatan& .
Kau betul, Wira, maka kami menolak pengerahan besar-besaran balatentara. Tapi kau pun harus ingat juga, penyerangan laut Adipati Unus Jepara, dengan dua puluh ribu orang atas Malaka, tidak berhasil. Serangan laut selamanya tidak mesti berhasil. Walau demikian kalau pertahanan dalam kosong, seperti Malaka dulu, jatuh juga yang diserang. Bukankah begitu, Tuan Syahbandar Tuban"
Semua orang menengok ke arah Syahbandar. Orang jangkung agak bongkok itu nampak lebih bongkok. Tangannya tergantung dan jari-jarinya menggapai-gapai mencari kata. Dan waktu kata-katanya keluar, terdengar agak ragu-ragu: Ampun, Gusti, tentang Malaka itu sahaya kurang periksa, malahan tidak pernah mendengarnya.
Setiap Syahbandar mengetahui segala sesuatu tentang tepian laut. Aneh bahwa Syahbandarku, Syahbandar Tuban bisa tidak mengetahui barang sesuatu tentang Malaka
Orang masih juga melihat pada Syahbandar yang jarijarinya bergerak-gerak, tapi tak ada kata keluar lagi dari mulutnya.
Sang Adipati tersenyum dan meneruskan: Dengarkan semua penghadap: Tuban bukan Malaka. Adipati Tuban Arya Teja Tumenggung Wilwatikta bukan Sultan Mahmud Syah. Malaka jatuh karena usaha manusia untuk memiliki bandar itu, sedang pemiliknya sendiri lengah. Gajahgajahnya mati termakan racun. Habislah andal-andal Malaka. Maka itu, ingat-ingat Kala Cuwil, akan gajahgajahmu.
Peringatan Gusti Adipati jadilah ajimat untuk patik. Tak seekor pun gajah Tuban dapat didekati orang, siang dan malam, Gusti, kecuali oleh pawang masing-masing, sejak jatuhnya Malaka.
Wiranggaleng gelisah di tempatnya karena persembahannya belum lagi selesai.
Apa persembahanmu lagi, Kakang Patih"
Patih Tuban itu menyembah tiga kali tapi tak berkata sesuatupun.
Sikapnya itu membikin gelisah para penghadap. Dan Wiranggaleng sendiri merasa jengkel karenanya. Mengapakah orang yang terkenal bijaksana itu tak ada semangat untuk mempertahankan pendapatnya dan kebijaksanaannya" Ia pun merasa tidak puas terhadap Sang Adipati yang terus-menerus memojokkan Sang Patih. Apakah jadinya kalau dua-duanya hanya bisa bermain katakata, sedang Syahbandar tenang-tenang menempa rencananya" Baik Sang Patih mau pun Sang Adipati tahu tentang rencananya itu. Dan mengapa tak juga ada sesuatu tindakan diambil terhadapnya" Dari kenyataan itu ia menarik kesimpulan Sang Adipati masih tetap melindunginya.
Ia membenarkan perbuatan Sang Patih. Tetapi pasukan yang dikirimkannya tumpas. Pasukan yang lebih besar harus dikerahkan untuk melakukan penumpasan cepat sebelum lebih banyak kapal asing tak dikenal berkeliaran. Prajurit sejumlah lima ratus orang yang diperkenankan memang terlalu kecil. Tapi mengapa Sang Patih tidak mempersembahkan pendapatnya" Malah semestinya meyakinkan Sang Adipati, bahwa lima ratus orang itu tidak mempunyai sesuatu arti dalam menghadapi Mahmud Barjah dan pasukannya" Mengapa dia hanya menyembah dan membisu"
Ketahuilah, Kakang Patih, apa pun yang terjadi, jangan harapkan balatentara kami dititahkan bergerak. Jangan coba-coba lagi persembahkan itu. Kami ampuni kau tentang hilangnya dua ratus sembilan puluh prajurit kaki. Pergunakan lima ratus! Wiranggaleng, bagaimana cetbangmu"
Dalam keadaan siap dan menunggu titah, Gusti" Jangan ada cetbang dipergunakan dalam pertempuran darat, karena itulah aturan Majapahit. Tarik semua yang di darat ke pelabuhan dan yang di pelabuhan ke kapal.
Wiranggeleng hampir saja menyangkal titah yang dianggapnya tidak tepat itu. Tak jadi. Dan semakin terheran-heran ia mengapa Sang Adipati tak juga ingin mengetahui tentang kapal asing yang mencurigakan itu.
Bila cetbang sudah dimulai dipergunakan di darat, kerusakan akan datang lebih cepat dari kebaikannya. Patik laksanakan titah Gusti.
Kakang Patih, ada kau dengarkan kami"
Kembali Sang Patih hanya menyembah tapi tak berkata sesuatu pun.
Jadi kau tidak membenarkan kami" suara Sang Adipati meledak dengan suara parau.
Semua orang di penghadapan menekur dalam. Dan semua perhatian terpusat pada ledakan-ledakan selanjutnya. Ketegangan membenam mereka semua dalam kewaspadaan yang makin lama makin meruncing. Sunyi. Dan di sela-sela kewaspadaan itu juga masih terdengar oleh mereka ledakan lain, dari kejauhan, sayup-sayup, dengan gemanya yang berguling-guling seperti guruh yang sedang malas.
Beberapa bentar kemudian kewaspadaan itu buyar. Satu ledakan lain di belakang para penghadap: beberapa cabang pohon beringin kurung di alun-alun patah dan jatuh gemerasak ke tanah.
Sang Adipati berdiri dan meninjau ke arah alun-alun, pada pohon beringin kurung. Para penghadap terbujuk untuk menoleh ke belakang, tapi tak dibenarkan oleh ketentuan.
Tak ada seorang pun bicara.
Tiada antara lama terdengar dentuman lagi di kejauhan untuk ke dua kalinya. Dan beberapa bentar kemudian gapura balok-balok kayu kadipaten terbongkar dengan bunyi riuh dan rubuh tanpa daya di tanah.
Meriam! seru Syahbandar Tuban. Masyaallah, meriam, Gusti, meriam!
Meriam! gumam Sang Adipati. Meriam Peranggi! seru Syahbandar.
Diam! bentak Wiranggaleng pada Tholib Sungkar Az- Zubaid. Tak ada canang dari menara pelabuhan.
Betul, tidak dari pelabuhan, Gusti, baru Sang Patih bersembah, meriam Peranggi. Perusuh sudah punya meriam Peranggi, Gusti. Laut dan darat mengancam.
Betul. Laut dan darat mengancam, Sang Adipati mengulangi. Tuban bukan Malaka. Tuban tetap jaya! ia berteriak: Tuban tetap jaya. Gusti Adipati tetap jaya! semua penghadap bersorak menyambut.
Sebutir peluru besi jatuh berdebug antara gapura rebah dan pohon beringin kurung yang somplak. Sebutir lagi jatuh antara gapura roboh dengan pendopo.
Para penghadap mulai gelisah di tempat duduknya. Terasa seakan satu butir lagi akan jatuh pada punggung mereka masing-masing. Dan orang mulai membayangbayangkan dalam ingat bagian-bagian dari sebentar tubuh para penghadap jadi penyok kejatuhan. Persembahkan sesuatu, Kakang Patih, kata Sang Adipati dengan masih tetap berdiri dan matanya tertuju ke luar pendopo.
Sang Patih mengulangi sembahnya yang tiga kali kemudian membisu lagi.
Kau Wiranggaleng, pelantang dan pelancang, persembahkan sesuatu.
Menurut dugaan patik, Gusti, para perusuh sudah sangat dekat dengan kota Tuban. Perkenankanlah, ya Gusti sesembahan, perkenankan patik memohon agar Gusti menitahkan balatentara Tuban bergerak& tiada kan lama, dan perusuh itu&
Diam, kau, pelancang! Perhatian para penghadap berubah-ubah dari Sang Adipati pada peluru yang mungkin akan segera jatuh lagi.
Kembali penghadapan itu sunyi-senyap. Dan dalam kesenyapan itu terdengar keruyuk seekor jago, disambut oleh jago lain dari tempat yang lain pula. Walaupun tubuh para penghadap sudah gelisah, tapi kepala mereka tetap pada lehernya, tak ada yang bergerak. Kemudian terdengar derap kuda berpacu di jalan depan kadipaten, melompati gapura balok yang roboh, melalui pengawal-pengawal pendopo. Penunggangnya berpakaian serba putih, dan bertopi putih yang kekecilan di atas kepalanya yang tak berambut. Pada tangannya ia membawa tombak teramang.
Para penghadap tak berani menengok. Hanya Sang Adipati yang melihat penunggang itu mendekati.
Pada waktu itu juga muncul rombongan penunggang kuda dari pasukan Tuban yang memburunya.
Terima ini! pekik penunggang kuda serba putih itu dan melemparkan tombaknya ke arah pendopo.
Tombak itu melayang dan berhenti menancap pada salah sebuah tiang pendopo.
Prajurit-prajurit pengawal mulai pada berhamburan memburu penunggang kuda itu tak menggubris mereka yang tercecer jauh di belakangnya. Dengan kudanya ia melompati pagar samping kadipaten, masuk ke alun-alun, membelok ke sebelah timur dan hilang dari pemandangan.
Rombongan pasukan kuda tak jadi masuk ke kadipaten dan pemburu penunggang kuda itu di alun-alun, kemudian pun hilang ke arah timur.
Seorang perwira berlarian datang, mempersembahkan, bahwa ada serangan meriam dari arah selatan. Sebelum ia menyembah untuk mengundurkan diri masuk ke dalam kadipaten seorang dari pasukan pengawal datang bersembah: Seorang perusuh, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik, dengan berkuda telah memasuki Tuban Kota, memasuki kadipaten dan melemparkan tombak ke pendopo. Satu regu pasukan kuda sedang memburunya. Dia akan tertangkap dalam beberapa bentar ini, ia menyembah dan mengundurkan diri.
Kakang Patih! Bawa prajurit yang lima ratus itu. Kau sendiri yang kami angkat jadi senapati. Dengarkan semua: hari ini Kakang Patih kami angkat jadi Senapati Tuban.
Selamatlah kau, sejahteralah kalian. Kepala-kepala pasukan, ikuti senapatimu. Pergi!
Ampun, Gusti Adipati& , Sang Patih mencoba menyela.
Penguasa Tuban itu tak dapat lagi mengendalikan amarah yang telah dicobanya ditindasnya selama ini. Dalam keadaan masih berdiri dan siap untuk menyemburkannya ia berkomat-kamit. Seorang prajurit pengawal datang menghadap, bersimpuh dan menyembah, kemudian dengan terburu-buru mempersembahkan: Ampun, Gusti Adipati Tuban sesembahan, telah patik cabut tombak perusuh dari tiang pendopo. Padanya disertakan lontar ini, Gusti, dan dipersembahkannya surat tertulis dalam basa dan huruf Jawa.
Baca, biar semua dengar, titah Sang Adipati. Prajurit itu membawa lontar itu di depan matanya, dan mulai membacanya dengan suara lantang sehingga terdengar ke seluruh pendopo: Adipati Tuban kafir-kufur Rangga Demang Tumenggung Wilwatikta,
Telah kau dengar sendiri gelegar meriamku yang menggetarkan Tuban Kota dan hatimu,
Kalau kau belum tuli dan belum buta, mengertilah kau, itulah suara Sunan Rajeg, aku, yang menguasai negeri Tuban selatan.
Menyingkir kau sebelum aku datang mengambil setiap jengkal tanah dari tangan dan hati munafik, karena tak akan ada ampun bagimu, dunia mau pun akhirat.
Sekiranya kau tak suka pada surat ini, saksikan bagaimana pasukan gajah kebanggaanmu akan musnah di medan perang.
Sunan Rajeg tak membutuhkan jawaban dari mulut atau hati si kafir-kufur tanpa harga.
Prajurit itu menyembah dan mempersembahkan lontarlontar yang habis dibacanya. Sang Adipati menentang lontar itu sehingga jatuh ter-tabur di lantai. Dan prajurit itu pun mengundurkan diri tanpa mengambilnya.
Berangkat kau, Senapati Tuban, dengan restu kami. Dengan jumlah yang telah kami tentukan untukmu.
Melihat Sang Patih masih juga akan mempersembahkan keberatannya Sang Adipati menyambar tempolong kuningan tempat ludah sirih dari nampan yang dibayang oleh seorang biti perwara. Benda itu dilemparkannya dan melayang mengenai muka Sang Patih. Tanpa melihat pada siapa pun, dengan dagu tertarik ke depan ia tinggalkan pendopo dan hilang dari pemandangan.
Semua penghadap menurunkan sembah, kemudian bubar meninggalkan kepala pasukan yang membantunya membersihkan ludah sirih dari muka, dada dan pakaiannya. Balatentara Tuban mulai bergerak.
0o-dw-o0 18. Dan Pertempuran Meletus
Sunan Rajeg tak dapat menahan kesabarannya setelah menyaksikan sendiri betapa dua pucuk meriam itu ternyata dapat dipergunakan dengan baik. Ia melihat bagaimana meriam itu yang ditujukan ke arah bukit itu menyemburkan peluru dengan iringan halilintar. Peluru-peluru menyeberangi langit di atas padang rumput, kemudian di kejauhan nampak suara gerak pada kehijauan hutan.
Dengan semangat tinggi ia hadiahkan satu regu dari prajuritnya untuk melayani meriam, dan satu regu khusus untuk menjaga keselamatan senjata ampuh dan para pelayannya.
Ia pun sudah saksikan sendiri latihan perang secara Peranggi, yang diajarkannya oleh Manan dan Rois, dua orang mualaf Portugis itu. Dan ia berbesar hati dan yakin, kemenangan pasti akan jatuh ke tangannya.
Panglima Rajeg, Mahmud Barjah, belum dapat menghargai cara perang Peranggi, bahkan melihat latihanlatihan itu pun ia segan. Dua ratus orang yang berada di bawah kekuasaannya tak diperkenankannya ikut menyertai. Ia membikin latihan-latihan sendiri, Sunan Rajeg tak mampu mengendalikannya. Akhirnya ia tidak memaksanya.
Manan dan Rois sudah berusaha keras menyabarkan Sunan Rajeg: balatentara Rajeg belum cukup masak untuk dipergunakan.Dan Sunan Rajeg sudah melihat sendiri bagaimana balatentara Tuban dan kemampuannya, memastikan, tentaranya jauh lebih unggul daripada Tuban.
Mereka ini belum pernah diuji oleh perang, Kanjeng Sunan, kata Esteban. Lain halnya dengan yang langsung dipimpin oleh panglima Rajeg.
Dengan keyakinannya Sunan Rajeg tak dapat diajak bicara lagi.
Esteban memperingatkan, dalam setiap orang, kesabaran diperlukan. Perang bukanlah perkelahian. Perang adalah untuk memenangkan tujuan. Tetapi Sunan Rajeg membantahnya, sekaranglah waktunya yang setepattepatnya untuk memukul Tuban: Ia jatuhkan perintah untuk segera menyerang.
Mahmud Barjah, yang mendapat perintah, dengan segala dalih juga mencoba menunda pelaksanaan perintah. Ia melihat persiapan untuk itu belum lagi memenuhi syarat. Ia tidak membantah, hanya menunda-nundanya tanpa bicara.
Sunan Rajeg melihat tentaranya belum juga bergerak tidak lagi bertanya pada Panglimanya, juga tidak pada kepala pasukan Melayu pelarian dari Malaka itu. Ia turun sendiri dari rumah joglonya dan mengadakan pemeriksaan. Perintah harus dijalankan, perintahnya.
Bersama Manan dan Rois dan Jabal, kepala pasukan Melayu, dan Panglima Rajeg, Sunan Rajeg ikut serta menyaksikan rencana penyerangan.
Mahmud Barjah menggariskan, penyerangan akan dilakukan seperti biasa dilakukan di Jawa dan di manamana: kesatuan-kesatuan bersorak-sorai menyerbu ke perkubuan musuh atau menyerbu ke kota bila tidak dilindungi oleh pasukan. Bila musuh bersedia melawan dan punya persiapan di luar kota, kesatuan-kesatuan harus juga berhenti di luar kota, bersorak-sorai menantang, memanaskan hati musuh agar keluar ke medan pertempuran atas paksaan sorak-sorai. Maka akan terjadi pertarungan penentuan pertama. Sementara itu meriammeriam harus menembaki barisan belakang musuh sewaktu mereka turun ke gelanggang.
Manan dan Rois menyangkal cara yang dianggapnya kuno itu. Itu bukan perang cara Peranggi, katanya, itu hanya adu kekuatan. Tak ada yang tahu apakah yang dikatakannya itu benar atau khayalannya semata. Dengan adu kekuatan saja, katanya selanjutnya, Tuban mesti menang, menang jumlah, menang kekuatan dan menang pengalaman. Tuban punya balatantara yang kuat, belum lagi pagardesa, belum lagi kawula biasa, sedang Kiai Benggala Sunan Rajeg hanya punya pagardesa dan sedikit prajurit. Latihan-latihan belum dapat mengubah seseorang jadi prajurit. Seorang yang dapat melemparkan tombak dengan baik, dapat memanah dengan baik, dan dapat berbaris cara Peranggi dengan baik, belum tentu bisa jadi prajurit yang baik.
Sunan Rajeg tak dapat mendengarkan alasan itu. Mahmud Barjah diam saja mendengarkan keterangan Manan alias Esteban.
Rangga Iskak merasa tak patut menarik kembali perintahnya.
Kalau begitu, kata Esteban alias Manan. Seluruh tentara Kanjeng Sunan harus dipecah-pecah dalam beberapa laskar dan tidak diajukan sekaligus, juga tidak semua harus menuju ke satu medan perang. Satu laskar dengan pimpinan yang baik, dengan prajurit yang baik dan dengan cara Peranggi, dengan bantuan meriam mungkin bisa menghancurkan seluruh kekuatan Tuban.
Bukan dengan bantuan meriam, bantah Sunan Rajeg, meriam yang harus dibantu oleh semuanya.
Kalau pasukan meriam itu terdiri atas kekuatan dua ratus pucuk mungkin bisa terjadi, kata Manan.
Mahmud Barjah yang tidak mempunyai sesuatu pengalaman dengan meriam masih tetap berdiam diri: Dan dalam hati ia mengherani cara berpikir mualaf itu tentang perang. Bahkan dalam hati-kecilnya ia latihan-latihan cara Peranggi itu dapat membikin para prajurit jadi jari-jari pada lengan seorang panglima. Ia sangat setuju. Tetapi dalam menggariskan soal perang ia tidak setuju, semua harus tunduk padanya sebagai panglima dengan pasukan inti. Semua harus menerima garisnya.
Ia membantah Manan, ia pun membantah Sunan Rajeg. Pertikaian mulai terjadi.
Sunan Rajeg hampir-hampir tak dapat mengendalikan kesabarannya. Melepaskan diri ia pun tidak bisa, karena dirinya sendiri yang memulai. Selama ini perintahnya dan saran-sarannya selalu didengarkan oleh penguasa tertinggi Tuban. Seorang mualaf dan seorang perwira pengawal saja sekarang berani membantahnya. Ia mengalami krisis emosi.
Dan tak ada seorang pun di antara dua orang mualaf dan panglimanya mengetahui sesuatu tentang krisis emosi. Mereka hanya melihat Sunan Rajeg terengah-engah, terpaksa dipapah ke tempat tidurnya. Sebelum Khaidar selesai mengurapinya dengan jahe pada seluruh tubuhnya, ia masih sempat berpesan agar penyerangan segera dilakukan.
Sekarang Manan dan Rois berhadap-hadapan dengan panglima Mahmud Barjah. Panglima Rajeg terus-menerus terdesak dalam pertikaian pendapat tentang perang. Dua orang Peranggi itu tidak dapat ditundukkannya. Mereka berdua hanya bicara atas pengalaman perangnya di laut dan darat, di Eropa, di Asia dan Afrika. Mahmud Barjah hanya mengenal cara perang di Jawa. Akhirnya ia mengalah dan itu berarti menerima pemecahan balatentara jadi laskarlaskar.
Kalian tahu, pasukanku akan kupimpin sendiri. Dan siapa yang memimpin laskar-laskar itu"
Tuan Panglima yang menentukan, bukan kami. Kami hanya mengurus soal meriam dan pasukan pengawalnya. Apakah meriam juga mendengarkan perintahku" Tentu saja, Tuan Panglima, hanya garis perang harus diselesaikan dulu. Pertikaian dengan demikian mereda.
Kesimpulannya : dalam penyerangan pertama tidak dipergunakan centara perang Jawa. Tuban harus dikejuti sedemikian rupa sehingga tak punya kesempatan untuk mengerahkan balatentara, apalagi pagardesa, harus dikirimkan surat tantangan yang dapat memuntahkan kemarahan, sehingga musuh dengan terburu-buru akan langsung turun ke medan pertempuran tanpa cukup persiapan.
Tak pernah terjadi surat tantangan dikirimkan, bantah Mahmud Barjah, perang adalah perang.
Dan untuk ke sekian kalinya Panglima Rajeg terdesak dalam pertikaian tentang makna perang.
Jauh tengah malam semua pikiran Manan dan Rois tak dapat lagi dihindari oleh Panglima.
Dan dengan demikian terjadilah apa yang harus terjadi. Orang-orang berhenti bekerja menyingkirkan gapura yang roboh untuk mengangkat sembah pada para pembesar yang sedang meninggalkan kadipaten.
Rombongan penghadap itu berjalan diam-diam dan lambat-lambat penuh pikiran. Mereka berjalan ke tengahtengah alun-alun untuk dapat meneruskan perundingan tanpa didengar oleh yang dianggap tidak berhak. Mereka mendapatkan sebutir peluru besi sebesar tinju menggeletak tak berdaya agak jauh dari cabang-cabang yang somplak, melotot di atas tanah.
Sang Patih, sekarang Senapati Tuban, yang berjalan paling depan, berhenti, mengambil peluru dan mengamatinya sebentar, kemudian menyerahkannya pada yang lain.
Berjalan pada buntut rombongan adalah Syahbandar Tuban Sayid Habibullah Almasawa. Langsung di belakang Sang Patih adalah kepala-kepala pasukan, termasuk Wiranggaleng.
Selama berjalan kepala pasukan laut itu mencoba memahami mengapa Sang Patih kehilangan semua kemauannya dan ragu-ragu mempertahankan pendiriannya sendiri. Sekarang ia hanya mendapat lima ratus orang prajurit dan musuh punya meriam.
Masih ingat" tanya Sang Patih padanya waktu mendapat giliran memegang peluru itu.
Wiranggaleng menyerahkan peluru itu pada Kala Cuwil dan menjawab: Tidak, Gusti, dan ia lihat kepucatan sudah agak berkurang pada wajah Senapati Tuban itu.
Sama sekali tidak menakutkan sebagaimana didongengkan orang, kata Kala Cuwil memberikan pendapatnya. Tapi bagaimana mereka bisa sudah memiliki meriam" tanyanya kemudian sambil menyerahkan peluru itu pada yang lain.
Jangan terpengaruh oleh sebutir besi, Patih Tuban merangkap Senapati mulai membuka pidatonya di bawah pohon beringin kurung. Kemudian kata-katanya keluar sebagai air bah dari mulutnya yang tua, mendesis melalui giginya yang sudah banyak ompong: Keadaan sungguh sangat sulit. Sang Adipati tak berkenan berkisar sedikit pun dari pendiriannya. Ini adalah masa tergenting dalam hidup kita. Juga Sang Adipati maklum. Dunia kita sudah mulai berubah. Kita harus hadapi perubahan ini dengan cara-cara yang baru. Kita belum lagi mengenal sebenar-benarnya perubahan ini. Sang Adipati juga maklum. Maka timbul banyak dugaan, pandangan, untuk menentukan pendirian. Sang Adipati menghendaki keadaan tetap seperti yang lama sementara menghadapi yang baru, ia melangkah pelahan mengitari beringin kurung. Sang Adipati menghendaki dasar-dasar yang lama tidak berubah, ragu-ragu terhadap yang baru, sedangkan yang baru terus-menerus mendesak. Yang lama dengan segala keuntungan dan keamanannya tidak bisa dipertahankan sambil menerima keuntungan tambahan dari yang baru, dan itu yang Gusti Adipati tidak bisa terima. Kita masih dapat mengingat betapa Tuban mengirimkan gugusan pasukan laut ke Jepara dengan waktu yang sengaja ditidaktepatkan. Penyerangan atas Malaka gagal, hancur, kalah. Kita semua mendapatkan malu. Apa pun yang telah diperbuat oleh Demak terhadap Tuban, Adipati Unus Jepara benar. Sang Adipati melepaskan gugusan Tuban untuk memberikan pukulan berlipat atas Demak, tetapi Tuban sendiri yang rugi. Malaka tidak jatuh, Peranggi tetap berdiri, dan bandar Tuban seperti bandarbandar lain di seluruh Jawa.
Dan Wiranggaleng tak bisa mengerti mengapa Sang Patih masih juga berpidato. Tak nampak tanda-tanda ia hendak bertindak menghalau perusuh. Dengan maksud menghentikan pidatonya ia menyambar sengit: Lima ratus prajurit laut Tuban telah diberangkatkan ke Malaka, Gusti Patih, dengan lima buah kapal dan cetbang-cetbang Trantang. Gugusan Tuban telah siap bertempur .
Kau betul, Wira, bahkan kau sendiri ikut serta. Apa sudah kau perbuat di Malaka" Tiada sesuatu, kecuali melihat apa yang telah terjadi dari kejauhan. Lima hari Tuban terlambat berangkat, untuk membuktikan keraguraguan Sang Adipati dalam menghadapi yang baru ini.
Wiranggaleng semakin tak mengerti melihat Sang Patih masih juga berpidato. Ia menelan ludah untuk menyabarkan diri.
Malaka hampir jatuh seluruhnya, baik dari darat mau pun laut. Armada Peranggi datang. Kalau bukan karena keterlambatan Tuban, Malaka telah beberapa hari jatuh.


Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan yakinlah, Peranggi takkan mampu tandingi tentara gabungan sebanyak itu dan di daratan pula. Penyerangan tidak pernah selesai. Tentara gabungan Aceh-Jepara tertinggal di Malaka. Tuban pulang membawa malu dan sesal. Tapi Gusti Adipati berhasil menyelamatkan lima kapal dan lima ratus prajurit. Malaka tetap dikuasai Peranggi. Semua perhitungan Adipati meleset, sekarang kehilangan segala-galanya. Bahkan putranya sendiri, tak mampu menderitakan malu, bersumpah takkan menginjakkan kaki di bumi Tuban.
Ampun, Gusti Patih dan Senapati Tuban, Wiranggaleng menyela. Kaum perusuh sudah dekat, Gusti.
Tetapi Sang Patih tak peduli dan meneruskan: Ternyata baik di Jepara maupun di Demak Raden Kusnan tidak pernah tertemukan lagi, menghilang entah ke mana. Sang Adipati masih juga ragu-ragu, tetap hendak mengikuti yang lama sambil mendapatkan keuntungan dari yang baru. Lihat itu! ia menuding pada Syahbandar Tuban yang berdiri menjauh-jauh di buntut rombongan. Semua orang tahu siapa sesungguhnya dia: begundal Peranggi.
Tidak benar, Gusti Patih dan Senapati Tuban, bantah Tholib Sungkar Az-Zubaid, tak pernah Gusti Adipati mendakwa patik seperti itu. Itu hanya fitnah dari seorang yang enggan berperang menghalau perusuh negeri. Maka patiklah yang disalahkan.
Tiada satria enggan berperang, Sayid. Tuan menghendaki perang di dalam negeri agar Peranggi masuk dengan berlenggang. Bukan" Mana dua orang Peranggi yang kami minta itu"
Tholib Sungkar Az-Zubaid mendekati rombongan. Ia gantungkan tongkatnya pada lengan dan angkat bicara dengan gerak-gerik tangan ramai, mata bersinar-sinar dan senyum terbuka melecehkan: Ah, Gusti Patih dan Senapati Tuban, tak pernah leluhur patik membenarkan fitnah, apalagi karena hukuman seberat-beratnya dijatuhkan pada pemfitnah. Demi Allah, bukankah telah patik persembahkan mereka telah lari meninggalkan Tuban" Mereka bukan Pribumi yang takluk di bawah Sang Adipati. Mereka telah larikan badan mereka sendiri, bukan badan Pribumi kawula Tuban.
Wiranggaleng meremas-remas tangan. Ia merasa telah kehilangan waktu yang sangat berharga untuk bertindak. Dan ia tak dapat bertindak.
Bagus, Sang Patih meneruskan. Perlukah diingatkan padamu, hai, Syahbandar Tuban, tidak lain dari engkau sendiri yang melarikan mereka ke kapal Peranggi" Gusti Patih Senapati Tuban, Wiranggaleng menyela. Perlukah disebutkan saksi-saksi" Hei, Syahbandar Tuban, sekarang kau masih dilindungi oleh Gusti Adipati Tuban. Tetapi akan tiba masanya& .
Mereka sedang mendesak Tuban, Gusti Senapati, sekali lagi Wiranggaleng mencoba memutuskan perbantahan dan mengembalikan Sang Patih pada tugasnya sebagai Senapati.
Tetapi Sang Patih lebih sibuk membela kebijaksanaannya sendiri: Yang penting sekarang ini sama sekali bukan perang. Dengarkan yang baik, Wira, biar kau mengerti. Tapi menyadarkan Gusti Adipati dari kekeliruannya. Tanpa itu perang, bagaimana pun besar dan hebatnya, akan sia-sia. Ayoh, Wira, kau sanggup menyedarkan"
Kepala-kepala pasukan lain nampak juga telah mulai kehilangan kesabaran. Mereka mengawasi Wiranggaleng yang sedang bergulat dalam dirinya untuk menyedarkan Sang Patih Senapati dari keasyikan membela kebijaksanaan sendiri.
Perusuh sedang mengancam, Gusti Senapati, sekali lagi kepala pasukan laut itu memperingatkan.
Ancaman itu tidak berasal dari kaum perusuh. Dengarkan kalian semua kepala pasukan. Semua kerusuhan berasal dari kekeliruan Gusti Adipati sendiri. Selama Sang Adipati tak juga menyedari dan berubah pendirian, perusuh-perusuh lain akan berdatangan.
Sekarang ini perusuh sudah menyerang, Gusti. Wira! bentak Sang Patih. Pernahkah kau merasai penghinaan sebagai karunia pengabdian yang tulus" Apa yang bisa diharapkan dari orang yang tidak dihargai dan dihina"
Apakah Gusti Patih lupa telah dititahkan jadi Senapati"
Sang Patih menatap Wiranggaleng tenang-tenang, mencibir, kemudian mengalihkan tatanannya pada para kepala pasukan seorang demi seorang. Dan ia lihat mereka dengan pandangnya membenarkan kepala pasukan laut itu.
Juara gulat itu telah bertekad untuk memperingatkan Senapati akan kewajibannya.
Kau, Wira, anak baru kemarin!
Adakah Gusti Patih Senapati ragu-ragu, takut, ataukah sedang membangkang"
Rombongan penghadap itu mulai bergerak melingkungi Sang Patih Senapati untuk melindunginya dan menjauhkan Wiranggaleng daripadanya. Tapi yang dijauhkan mendesak terus untuk mendekat.
Dengarkan! Sang Patih meneruskan dari tengahtengah lingkaran dan tak acuh terhadap keadaan. Apakah yang harus diperbuat oleh seseorang yang lain yang menghinanya sebagai balas jasa dari semua pengabdiannya sementara membiarkan musuh berjingkrak di atas kepalanya"
Musuh tidak berjingkrak di atas kepala kita, Gusti Senapati, dia sedang mendatangi hendak menerkam! sambar Wiranggaleng yang menjadi galak.
Ah, priyayi baru dari desa! Siapa musuh itu" Kiai Benggala Sunan Rajeg atau Peranggi" Atau kedua-duanya" Bukankah tidak lain dari kau sendiri yang tahu tadi. Rangga Iskak telah melepaskan peluru Peranggi" Rangga Iskak adalah Peranggi, dan Peranggi adalah Peranggi. Dan itu Sayid Habibullah Almasawa adalah kumis-kumisnya. Mana dia si kumis-kumis Peranggi itu" Biar aku tunjukkan pada kalian semua.
Percuma, Gusti. Yang datang bukan Peranggi, tapi Rangga Iskak. Dia datang dari selatan, bukan dari laut.
Aduh, kau priyayi baru, Patih itu tertawa menghinakan. Apa artinya itu Ishak Indrajit tanpa Peranggi" Kalau dengan kekuatan kecil tentara Tuban bergerak ke selatan, perang akan berlangsung lama, lama sekali, dan Peranggi akan datang dari utara dengan penuh kekuatan. Itu semua orang tahu kecuali si bangau dan si trenggiling. Dan tidak lain dari kau sendiri yang tahu: Sayid keparat itu perencananya. Peranggi membutuhkan pangkalan di Jawa. kalau tidak Tuban, bandar lain jadilah. Selama kumis-kumis Peranggi ada di sini, Tubanlah yang jadi incaran!
Kepala-kepala pasukan tetap membisu, juga tetap melindungi mereka.
Gusti benar. Tak perlu semua itu diulang-ulang, bantah Wiranggaleng. Perintahkan saja apa yang kami harus perbuat sekarang ini.
Dahulu ada seorang anak desa seperti kau, Galeng, Gajah Mada namanya. Tentu kau sudah tahu. Tapi biar Gajah Mada pun tak bakal tahu, bila Rangga Iskak terkutuk itu bisa menang atas Tuban, Peranggi takkan memasuki Tuban. Kalau Tuban dan Kiai Benggala Sunan Rajeg terus berkelahi, Peranggi masuk. Kalau Tuban menang, kita akan hadapi Peranggi dan sunan-sunan yang lain yang akan muncul, dan yang sekarang ini kita belum tahu.
Melihat Sang Patih mulai bermain teka-teki tidak menentu dan perintah tidak juga dijatuhkan, tahulah Wiranggaleng, Senapati Tuban memang tidak mempunyai niat untuk bertindak. Di samping Peranggi dan Sunan Rajeg, Senapati Tuban sendiri kini berdiri di hadapannya sebagai musuh Tuban. Ia kebaskan apitan, melompat menerjang lingkaran, mencabut keris dan menikam Sang Patih pada pinggangnya.
Orang-orang itu terpekik.
Sang Patih terhuyung ke depan dan tertahan oleh keris dengan seluruh mata masuk ke dalam tubuhnya. Dan hulu keris itu masih tetap dipegangi oleh kepala pasukan laut Wiranggaleng.
Ampuni patik, Gusti Patih Senapati Tuban! pekik juara gulat itu dengan suara lantang.
Baik. Aku ampuni kau, Galeng. Berangkatlah ke medan perang. Kau Gajah Mada baru. Hanya kau dapat kerahkan seluruh balatentara. Aku ampuni kau! Tapi semua akan percuma selama raja-raja adalah seperti Gusti Adipati, gustiku.
Ia tak mengedipkan mata pada orang yang menikamnya. Tubuhnya mulai meliuk, jatuh ke tanah.
Aku ampuni, kau. Sang Patih Senapati Tuban mati di tempat.
Dengan keris berlumuran darah di tangan Wiranggaleng memindahkan pandang dari mayat itu dan mengangkat matanya menatap semua kepala pasukan seorang demi seorang. Mata itu membeliak siaga Siapa tidak suka" Maju!
Orang-orang masih terkejut, terpaku pada tanah, tak bergerak. Kalian saksikan, Wiranggaleng telah bunuh Gusti Patih Senapati Tuban. Katakan, kalian saksi pembunuhan ini.
Beberapa orang menyebut ragu-ragu: Kami saksi, Wiranggaleng telah bunuh Sang Patih Senapati Tuban.
Semua! bentaknya sambil berkeliling memutari lingkaran. Mereka menyebut berbareng. Suaranya agak keras tetapi masih tetap ragu-ragu.
Siapa ragu-ragu" Dia menantang aku. Sebutkan sekali lagi, lebih keras, tanpa ragu-ragu.
Mereka menyebut lagi, dengan suara lebih keras, terang, mengumandang ke seluruh alun-alun.
Sebutkan: Tuban dan Gusti Adipati harus diselamatkan. & Dengan suara menggelora kepala-kepala pasukan mengulangi. Sekarang Wilanggaleng Senapati Tuban, Senapati kalian. Sebutkan lebih keras. Wiranggaleng Senapati kami!
Wiranggaleng Senapatiku! Wiranggaleng membetulkan. Wiranggaleng Senapatiku!
Kepala-kepala pasukan mengulangi dan mengulang dengan suara keras, akan terdengar ke seluruh alun-alun sekitarnya. Keadaan tidak sunyi sehabis jatuhnya pelurupeluru Peranggi. Suara itu bergaung-gaung bolak-balik dari alun-alun ke pedalamannya, juga masuk ke bilik-bilik dalam kadipaten.
Kepala-kepala pasukan tinggal di sini, perintahnya. Perintahku harus dijalankan oleh semua dan akan segera kuberikan. Pergi kalian yang bukan kepala pasukan!
Yang lain-lain pun pergi dengan ragu-ragu, tak mengerti adalah harus menyembah pada Senapati baru atau tidak.
Tak perlu kalian sembah aku, katanya memperingatkan. Mereka pergi bercepat-cepat.
Katakan sekarang juga, siapa tidak setuju Wiranggaleng Senapati Tuban" Tak berjawab.
Tak ada yang tidak setuju"
Kami menyetujui, jawab Kala Cuwil, kepala pasukan gajah.
Ambil tanda-tanda Sang Patih, kenakan pada diriku, Senapati Tuban! perintahnya.
Dan keris berlumuran darah itu masih tetap di tangannya. Empat orang pemimpin pasukan itu mengerjakan perintahnya. Ia memperhatikan mereka menyembah pada mayat itu kemudian melolosi tanda-tanda jabatan dan pangkat: gelang, baja empat susun, kalung, keris, permata pada destar dan ikat pinggang.
Semua itu dikenakan pada diri Senapati baru.
Kau, Braja, tarik semua pasukan pengawal dan pasang semua di balik semak-semak di sekitar bandar. Kalau ada kapal Peranggi datang, atau sebangsanya, jangan biarkan berkesempatan menembak: Tahan mereka. Berlaku bijaksana, jangan sampai terjadi bentrokan. Usahakan agar kapal-kapal mereka tetap berada dalam jarak tembak cetbang. Hindari setiap kemungkinan berkelahi dengan mereka. Bila tak dapat dihindarkan bakar layar-layarnya dengan tembakanmu. Hati-hati, karena semua kapal perang dan pasukan laut akan ditarik seluruhnya dari Tuban, ke suatu tempat yang akan kutunjuk. Lepaskan semua pakaian dan tanda keprajuritan. Pelabuhan kuserahkan padamu. Gusti!
Panggil aku Senapatiku. Senapatiku, ulangnya rikuh. Jalankan perintah itu dan pergi kau. Adakah kadipaten tidak dikawal, Senapatiku" Kosongkan dari pengawalan.
Braja pergi untuk menjalankan perintah.
Dan kalian, kepala-kepala pasukan yang lain, ikuti aku. Siapkan seluruh pasukan kalian. Kita langsung turun ke medan pertempuran, kalian dan aku.
Senapatiku! mereka menyahut. Tidak ada pembangkangan! perintahnya. Senapatiku, tidak ada pembangkangan. Berangkat!
Senapatiku, berangkat! Dengan langkah cepat mereka meninggalkan alun-alun. Meninggalkan mayat Sang Patih terkapar sendirian di bawah langit bermendung. Meninggalkan kota Tuban yang sunyi senyap.
Sayup-sayup terdengar guruh, tetapi tak ada peluru meriam datang menyambar. Tuban Kota semakin senyap.
Setelah melepaskan berturut-turut empat butir peluru pengaget, Manan dan Rois memerintahkan agar meriammeriam segera ditarik kembali jauh ke pedalaman.
Regu meriam itu sedang mendorong-dorong gerobak obat dan peluru dan meriam melalui jalan desa yang lebar diapit oleh deretan pohon turi waktu terdengar derap kuda datang mendekati dari tikungan jalan. Regu pengawal meriam telah menyiapkan tombak.
Manan memerintah semua berhenti dan bersiaga. Meriam, obat dan peluru di atas gerobak disingkirkan ke pinggir jalan, dan semua yang bersenjata telah bersiap untuk berkelahi.
Dari tikungan jalan muncul Mahmud Barjah tanpa pengawal. Ia telah menarik cambuk perang, siap hendak menyobek siapa pun yang dilecutnya dengan talinya yang berduri-duri baja. Kalian sudah lari sebelum berperang! ejeknya pada Manan dan Rois. Ia meludah ke tanah menghinakan.
Tidak ada Peranggi lari sebelum berperang! Jawab Manan. Panglima belum lagi berpengalaman perang darat dengan meriam.
Kalian sudah tinggalkan gelanggang!
Meriam, Panglima, tidak bisa berperang sendiri atau bergabung dengan pasukan yang hanya berpedang dan bertombak. Musket yang harus melindungi. Kalau tidak, dalam sebentar waktu biar kena serbu pasukan kuda musuh. Dan kita tak punya pasukan kuda.
Pertikaian itu terjadi di selereng sebuah bukit kecil yang hanya beberapa meter tingginya.
Mahmud Barjah masih tetap marah, namun cambuk perang itu diselitkannya kembali pada pinggangnya.
Waktu Manan memerintahkan meneruskan perjalanan, Mahmud tak membantah.
Laskar tombak tentara Sunan Rajeg berbaris dalam serba putih melewati mereka. Tombak yang terpanggul berdiri pada bahu mereka menggermang ke atas. Dari kejauhan nampak seperti ulat putih berbulu tombak sedang merangkaki jalanan.
Regu pengawal meriam dan regu pelayannya sendiri diam-diam di kaki bukit kecil itu memperhatikan tiga orang itu bertikai dalam Melayu.
Begitu laskar itu lewat Mahmud dari atas kudanya menetakkan kata-katanya: Bukankah telah disetujui dan diputuskan, meriam-meriam harus menembaki musuh sebelum mereka turun ke gelanggang"
Benar sekali, Panglima. Tetapi juga menurut keputusan tentara kita harus mesanggrah menunggu kedatangan musuh. Panglima sendiri ragu-ragu menentukan tempat mesanggrah dan memerintahkan langsung masuk ke Tuban. Kalau mengikuti Panglima, meriam-meriam kita bisa jadi takkan menembaki musuh, sebaliknya menembaki kita sendiri di tangan mereka.
Aku Panglima. Benar sekali, tapi yang mengetahui tentang meriam adalah kami. Panglima bisa menghukum kami, tapi meriam-meriam ini takkan berguna.
Mahmud Barjah menuruni bukit kecil itu dan pergi tanpa meninggalkan kata. Ia berpacu ke jurusan dari mana arah datangnya laskar, mencari kesatuannya.
Belum lagi ia sampai di tempat, dari sebuah pertigaan jalanan desa dilihatnya seorang petani penunggang kuda sedang menunggu di bawah sebatang pohon sengon di tengah-tengah pertigaan.
Panglima Rajeg berpacu menghampirinya. Orang itu turun dari atas kudanya. Tombaknya ditancapkannya ke tanah dan menunggu kedatangan Mahmud Barjah.
Gusti Panglima, ia memulai. Adapun pembawa surat tantangan telah tewas bersama dengan kudanya di dekat pasar Tuban Kota. Dia tak dapat menghindari orang-orang yang berlarian mengungsi turun ke laut. Ia tersusul oleh pasukan kuda. Hujan tombak telah membikin dia terjungkal bersama kudanya. Mati, Gusti Panglima.
Surat itu sudah sampai"
Sampai dengan pasti. Baik. Bagaimana hasil meriam"
Peluru-peluru meriam jatuh di alun-alun dan di depan kadipaten seperti disengaja, Gusti. Waktu itu sudah terjadi perselisihan antara para penghadap. Puncaknya adalah matinya Patih Tuban, sedang mayatnya dibiarkan tergeletak di alun-alun, sampai sahaya berangkat dan sampai di sini ini.
Siapa Senapati Tuban" Tidak bersenapati, Gusti Panglima, sejauh sahaya dengar. Belum tahu sekarang ini.
Tidakkah balatentara Tuban bergerak" Belum nampak ada tanda-tanda, Gusti. Teruskan pada Kanjeng Sunan Rajeg. Gusti.
Pelapor itu memacu kudanya memasuki jalanan lain. Mahmud Barjah memacu kudanya. Pada suatu pinggiran hutan ia bertemu dengan laskar yang kesekian. Ia perintahkan pada peratusnya untuk melonjak-lonjakkan panji-panji.
Panji-panji dilonjak-lonjakkan. Barisan itu mempercepat jalan.
Lebih cepat! perintahnya lagi.
Panji-panji makin cepat turun-naik. Barisan itu maju setengah lari.
Ia berpacu terus, dan setiap laskar yang dipapasinya mendapat perintah yang sama. Ia berpacu dan berpacu dan hilang di balik kepulan debu. Lima laskar Sunan Rajeg telah hampir sampai di perbatasan Tuban Kota.
Di mana-mana seakan Mahmud Barjah ada. Ia di belakang di depan, mengenal medan di lambung, kadang mendahului sangat di depan. Ia balik lagi. Dengan isyarat ia perintahkan semua panji-panji dari semua laskar digelenggelengkan. Pada saat itu juga pecah sorak-sorai gemuruh seperti hendak membelah langit. Dan debu pun seakan ikut bersorak, mengepul tanpa hentinya jadi kabut tipis ke udara kemudian jatuh menaburi bumi.
Sekarang Mahmud Barjah mengitari barisannya. Destarnya yang putih, seperti yang lain-lain, berkibar-kibar pada ujungnya. Kaki binatang tunggangannya menari-nari rampak, kelihatan hampir-hampir tak menyentuh tanah.
Laskar paling depan adalah para pemanah. Dan seorang pembawa panji berada paling depan di tengah-tengah barisan. Panji-panjinya berwarna hitam dengan sirip putih.
Di belakangnya adalah laskar tombak berperisai. Setiap orang membawa empat batang tombak yang langsing. Tangkainya dari kayu coklat tua berat. Juga mata tombaknya langsing. Laskar terakhir adalah berpedang dan berperisai. Di antara laskar yang satu dengan yang lain terdapat regu gendang dan gong. Makin cepat panji dilonjakkan, makin menderu gong dan gendang, dan makin cepat langkah para prajurit.
Sorak-sorai, ancaman, ejekan, raungan, berpadu jadi satu guruh, kadang terdengar mencakar dan menggaruk, kadang menggonggong dan melolong, kadang melenguh dan menghiba-hiba.
Tiba-tiba satu barisan tipis pasukan kuda Tuban muncul di depan mereka dengan debu berkepulan tertinggal di belakang. Barisan tipis itu semakin lama nampak semakin nyata. Tentara Sunan Rajeg bersorak dengan sekuat paruparu mereka. Melihat barisan kuda itu tidak menghadapi mereka dari depan mereka mengejek, memaki, menghina dengan kata-kata sekotor mungkin.
Pasukan kuda yang tipis itu semakin menjauhi laskar panah dan tombak, menyingkir barang tiga ratus depa, mendepis-depis ke pinggiran padang, tak menghiraukan ejekan dan cacian.
Dan tentara Sunan Rajeg terus juga maju ke jurusan Tuban Kota. Tak menggubris musuh yang mendepis-depis.
Panji-panjinya melonjak dan menggeleng, menggeleng dan melonjak.
Barisan kuda yang tipis itu tiba-tiba meninggalkan tepian tanah lapang seperti sekawanan elang menyambar barisan pedang sambil bersorak-sorai: Kambing gembel dari gunung: Mau cari apa ke Tuban" dan menggeletarkan cambuk perang mereka, mengatasi sorak-sorai lawannya.
Kirik Tuban! Anjing Peranggi! balas lawannya. Ayoh mendekat, lebih mendekat, biar kubelah kepala kalian!
Pasukan kuda kecil itu dipimpin langsung oleh Banteng Wareng, terdiri dari seratus orang. Mereka hanya meledekledek, mendekat dan menjauh pada laskar pedang Sunan Rajeg, menggeletarkan cambuk, mendekat dan menjauh lagi dengan terus-menerus memaki, bahkan meludahi. Tanah lapang yang sangat luas di luar kota itu mendengung karena caci-maki dan geletar cambuk.
Panglima Mahmud Barjah berteriak-teriak mengelilingi tentaranya, memperingatkan dengan suara yang sudah jadi parau: Jangan layani! Jangan tinggalkan barisan. Jangan menyerang tanpa perintah: Langsung masuk kota!
Suaranya terbenam dalam keriuhan caci-maki dan soraksorai dan gendang dan gong, dan geletar cambuk perang.
Mengetahui perintahnya tidak lagi kedengaran ia hampiri laskar-laskar dan memerintah tidak lagi menggelengkan panji-panji. Seluruh laskar Rajeg diam dan terus mempercepat langkahnya untuk dapat memasuki Tuban sebelum matari tenggelam.
Melihat musuhnya tak terpengaruh oleh ledekan dan cacian. Banteng Wareng memerintahkan melemparkan batu-batu bawaan mereka pada barisan pedang. Dan batubatu pun beterbangan ke tengah-tengah barisan pedang. Tak sebuah pun melayang sia-sia. Semua mengenai orang-orang yang berbaris rapat itu. Pekik kesakitan dan marah menjawabi setiap batu. Beberapa orang nampak telah jatuh dan terinjak-injak oleh barisan sendiri.
Barisan Banteng Wareng terus menerus mengganggu sambil mengintip ke mana-mana untuk mencari tempat meriam. Tetapi yang dicari-cari tidak nampak. Mereka lepaskan tugas pokoknya dan memperhebat gangguan. Batu-batuan terus beterbangan. Pekik kesakitan dan geram amarah semakin riuh. Gong dan gendang dan sorak kembali membelah udara.
Mendung tipis menaungi bumi dan angin kecil memuputi dunia. Tak ada seorang pun di antara mereka yang sedang kejangkitan semangat perang itu memperhatikan.
Mahmud Barjah menghentikan lagi sorak-sorai. Suaranya yang parau terdengar memerintah langsung masuk ke Tuban Kota.
Barisan kuda yang kecil itu mulai menyambarnyambarkan cambuk perang pada tubuh para prajurit Rajeg. Setiap cambuk jatuh kulit pun belah dan darah mengucur. Perintah-perintah Mahmud sudah tidak didengarkan oleh barisan pedang lagi. Dan cambuk itu tak dapat dilawan dengan perisai dan pedang. Juga tak dapat ditangkap tangan karena tajamnya gerigi baja. Tangan yang tercambuk akan melepaskan senjatanya. Kulit dan nadi teriris dalam. Muka yang terkena bersilang-silang darah. Dan ujung cambuk yang dihantamkan pada mata akan merenggut keluar biji dari rongganya.
Tak tahan menderitakan gangguan dari barisan kuda musuhnya, pinggiran barisan pedang mulai buyar, tak dapat membela diri dan mulai menyerang.
Dengarkan gustimu, dengar Panglima Rajeg! pekik Mahmud Barjah parau, jangan tinggalkan barisan!
Barisan pedang semakin banyak meninggalkan laskarnya, digerakkan oleh geram mereka mulai menyerbu musuhnya yang berkaki empat, cepat dan gesit itu. Dengan pedang dan perisai mereka tak dapat mencapai, laskar pedang itu bubar. Pimpinannya tak dapat mengendalikan lagi.
Melihat bencana sedang mendatangi Mahmud Barjah berpacu ke depan, memerintahkan barisan pemanah untuk membinasakan barisan kuda yang terlalu sedikit jumlahnya.
Melihat laskar pemanah berbalik ke belakang dan mulai memburu, Banteng Wareng memerintahkan untuk memencarkan diri dan kembali mendepis-depis di tepian tanah lapang sambil bergerak melingkar, seorang-seorang, dan lama-kelamaan menjadi lingkaran besar mengepung barisan yang telah membubarkan diri.
Para pemedang semakin lama semakin jauh satu sama lain. Laskar tombak yang masih utuh itu maju terus ke depan: Pada suatu titik mereka terhenti untuk menghindari tubrukan dengan laskar pemanah yang berbalik ke belakang.
Manan keparat! Rois laknat! sumpah Mahmud Barjah. Senang-senang dia di belakang dengan meriamnya. Dibelah-belah barisan begini rupa. Awas kau!
Ia sendiri mulai kehilangan kendali atas tentaranya. Tergoda oleh laskar panah yang berbalik dan memburu barisan Banteng Wareng, juga laskar tombak dengan sendirinya terseret oleh arus sungsang. Dalam waktu yang sangat pendek semua tentara Mahmud Baijah telah bergubal jadi satu kebalauan yang mengejar barisan kuda Tuban.
Dan itulah justru yang dikehendaki Banteng Wareng. Ia perintahkan membikin gerakan pengepungan semu, semakin lama semakin tipis dan melebar. Anak panah dan tombak mulai beterbangan di udara.
Barisan kuda Tuban yang kecil itu semakin melebarkan dan merenggangkan kepungan semunya. Dan pada gilirannya juga tentara Rajeg menjadi semakin melebar mengisi kekosongan medan, seperti air yang tercurah di atas dataran.
Pada waktu tentara Rajeg sudah tak dapat dikendalikan lagi, semakin lama semakin memecah dan memencarkan diri mencari sasaran masing-masing, muncul lima belas ekor gajah dari kejauhan. Belalainya terangkat naik, memekik berbareng terdengar seperti seribu serunai. Setiap ekor diikuti oleh lima belas pemanah dari pasukan kaki. Di bawah pengendalian pawang-pawangnya, binatangbinatang yang melihat pertempuran itu lari ke depan dengan belalai tetap terangkat dan bersuling. Juga pasukan kaki di belakangnya ikut lari mengikuti.
Tumpas! Tumpas! mereka bersorak dan bersorak. Dan di atas setiap ekor terikat kotak bentengan dari kayu keras, tak tertembusi oleh panah ataupun tombak. Di situ terdapat enam orang pelempar tombak dan pemanah sekaligus, mahir dan terlatih. Tubuh dan kepala gajah yang dilindungi oleh berlapis-lapis kulit kerbau nampak seperti jubah kebesaran, melambai-lambai, juga tak tertembusi oleh anak panah dan tombak. Pada setiap langkah kaki belakang binatang-binatang itu berdencing oleh krenyak atau sirah baja yang melindungi tumitnya.
Tentara putihhhhhhh! Mahmud Barjah memekik. Gajah! Awas gajah datang!
Gajahhhh! terdengar seruan dari mana-mana. Perhatian tentara Rajeg terpecah-pecah antara kuda dan gajah dan dari gajah ke kuda.
Dan bukit-bukit hidup yang menyemburkan anak panah dari atasnya itu semakin mendekati juga. Anak panah itu keluar berbareng seperti petir yang sedang menyambar, melesit tanpa ampun menembusi tubuh yang dikenainya. Gajah-gajah itu terus juga maju memasuki medan pertempuran.
Tentara Rajeg kacau-berlarian kehilangan posisi. Keadaan itu tak dibiarkan oleh Banteng Wareng. Ia perintahkan barisannya menyerbu ke dalam kekacauan itu.
Dengan suara parau Mahmud Barjah berseru-seru dari atas kudanya dengan di tangan melambai-lambaikan pedang: Goblok! Otak binatang! Mundur. Munduuuuuur! Terobos itu kepungan kuda!
Ayoh, Mahmud! Jangan hanya teriak-teriak! tantang Banteng Wareng. Perlihatkan moncongmu yang besar itu.
Tetapi Mahmud tak dengar tantangan itu. Ia sibuk untuk mengundurkan tentaranya, dengan punggung pedang ia hantami prajuritnya yang tak mau dengarkan perintah.
Barisan kuda tak membiarkan mereka menerobos. Seakan terbang kuda-kuda itu menyambari para penerobos, menggeletarkan cambuk perang, menyobeki daging.
Matari hilang di balik mendung. Hujan lebat pun mengancam dari langit. Kilat seakan menyoraki mereka yang sedang berbunuh-bunuhan.
Dan gajah-gajah maju terus tak mempedulikan barangsiapa terinjak dan terdesak. Anak panah yang bersemburan dari pasukan kaki di belakang dan bawahnya merebahkan siapa saja yang terkenai. Korban-kor-ban jatuh bergelimpangan dan darah merah mewarnai baju putih mereka dan bumi negerinya sendiri.
Trobos kuda sambil memekik kencaaaang! perintah Mahmud. Suaranya semakin parau.
Juga di sana-sini prajurit kuda Tuban menggelimpang jatuh untuk kemudian dihujani dengan tombak dan pedang. Laskar panah Rajeg tak dapat berbuat sesuatu pun dalam kegalauan medang perang.
Kepungan semu kemudian bobol. Dan tak bisa lain. Gajah-gajah itu telah memasuki tengah-tengah medan pertempuran, mendesak ke segala jurusan. Belalainya menyambar-nyambar seperti naga. Barang siapa tertangkap akan melayang ke udara tanpa semau sendiri untuk kemudian jatuh ke bumi dan tak bangun untuk selamalamanya. Dan barang siapa kejatuhan korban kedua akan ringsek tanpa sempat mengaduh. Kakinya melangkah tanpa peduli siapa kena terjang, adalah laksana empat batang pengganda yang menggerincing karena krenyaknya. Barang siapa tersenggol akan terbalik dan terinjak penyek. Dari belakangnya arus anak panah pasukan kaki Tuban, gelombang demi gelombang, beraturan, melayang seperti jari-jari Batara Kala. Manusia dan hewan akan tumpas terkena olehnya. Anak panah yang meniup dari atasnya dari tangan-tangan termahir adalah laksana hembusan Batara Yamadipati. Tak ada bisa meluputkan diri.
Seperti air membuyar dari dataran tinggi tentara Rajeg menerobosi kepungan semu barisan kuda Banteng Wareng, membuyar lari ke segala jurusan.
Dan Banteng Wareng memerintahkan anakbuahnya untuk mengundurkan diri ke belakang pasukan gajah yang dipimpin oleh Kala Cuwil. Dengan susah-payah mereka menarik diri, melindungkan diri ke belakang hewan-hewan raksasa, yang pada kulit kerbau perisainya telah bergelantangan anak panah lawannya.
Dilihat dari belakang bekas jalan gajah-gajah itu bumi telah menjadi merah karena darah dan daging menganga. Sedang gajah yang terluka mengamuk maju terus sambil bersuling, menerjang, menangkap, membanting, menginjak dan mencaling dengan belai seperti baling-baling berputar.
Tentara Rajeg terdesak terus dalam keadaan parah dan kocar-kacir.
Di atas salah seekor gajah, di dalam benteng kayu keras, duduk Wiranggaleng dan Kala Cuwil. Dengan tanda-tanda pangkat dan jabatan, tangan kiri Senapati Tuban diletakkan di atas pundak Kala Cuwil. Pada tangan kanannya tergenggam tombak. Dengan tangan kiri itu juga ia menuding ke bawah, pada pertempuran yang sedang berlangsung.
Tudingan itu terarah pada seorang penunggang kuda berpakaian serba putih di tengah-tengah tentara putih yang kacau-balau. Ia lihat pengendara kuda itu melambailambaikan pedang dengan tangan kanan. Pada tangan kirinya ia memegangi cambuk perang. Kendali sama sekali tak digubrisnya.
Hanya prajurit pengawal Tuban bisa begitu, katanya. Itulah Mahmud Barjah, Senapatiku, peranakan Koja. Pantas. Perhatikan bagaimana dia berusaha mengundurkan tentaranya dalam keselamatan.
Waktu mengatakan itu ia teringat pada kata-kata Rama Cluring sebelum meninggal: Darah ningrat Jawa sudah kehilangan kekuatannya. Hati dan keberaniannya sudah habis di dalam keputrian.
Pantas, ia mengulangi; Peranakan Koja. Apanya yang dikagumi, Senapatiku"
Kalau dia ningrat Jawa, dia akan lari selamatkan dirinya sendiri. Sekarang aku mengerti mengapa Malaka dapat jatuh begitu mudah.
Kala Cuwil menatap Senapati dari samping, tak mengerti.
Lihat! Wiranggaleng berseru, dia telah kehilangan kepemimpinannya dalam kekacauan itu. Dia tetap berusaha. Lihat!
Kala Cuwil nampaknya tak senang mendengarkan pujipujian untuk musuh dan pengkhianat itu.
Senapatiku, digusur ke mana tentara perusuh ini" Sorong terus ke depan sampai matari tenggelam. Sorong terus sampai matari tenggelam, Kala Cuwil mengulang. Mereka akan jadi remah-remah. Ia angkat panji-panji dengan menuding ke depan.
Banteng Wareng yang melihat senapatinya menuding ke arah Mahmud Barjah menghentakkan kendali. Kudanya melesit seperti binatang beralih menembusi awan coklat dan putih di depannya, langsung menuju ke arah Panglima Rajeg. Pedangnya berayun ke kiri dan kanan. Anakbuahnya pun segera menyusul untuk melindungi pemimpinnya. Porak-poranda prajurit-prajurit putih yang sedang kacau itu terkena terjang pasukan kuda seperti permukaan sawah terkena garu, licin dan rata.
Banteng Wareng! Senapati Tuban berteriak dengan tangan dicorongkan pada mulut. Kembali! Tarik pasukanmu!
Pemimpin pasukan kuda itu tidak mendengar.
Dia akan tangkap Mahmud, Senapatiku, Kala Cuwil mencoba menerangkan. Musuh sudah kacau dan lelah, jera dan kehabisan senjata.
Tepat! Tapi dia tak boleh lakukan itu.
Dia akan mudah ditangkap, Kala Cuwil mencoba menerangkan untuk ke sekian kalinya.
Tepat! Siapa pun tahu. Tapi dia tak boleh lakukan itu. Kita harus lihat sampai di mana Mahmud bisa urus anakbuahnya. Kemudian menjerit: Banteng Wareng! Kembali!
Seorang prajurit kuda yang terkebelakang meneruskan teriakan itu, Juga suaranya tenggelam dalam keriuhan pertempuran& .
Dari atas gajah Senapati Tuban melihat Mahmud menyedari akan datangnya pasukan kuda Tuban. Ia kelihatan berteriak-teriak memperingatkan anakbuah di selingkungannya, dan mereka berbalik menghadapi Banteng Wareng.
Kala Cuwil! Larikan gajah. Dekatkan pada mereka! Didekatkan pada mereka, Senapatiku!
Dan gajah pimpinan yang sejak tadi berjalan tenang itu sekarang mengangkat belalai tinggi-tinggi, lari sambil bersuling.
Biar dia mendapat kesempatan selamatkan dan undurkan anakbuah-nya, kataku. Beri dia kesempatan bertempur yang baik. Sekarang ia hanya tikus dalam perangkap. Lepaskan dia!
Perkelahian dengan pedang telah terjadi antara pembelapembela Mahmud Barjah dengan prajurit-prajurit kuda. Logam beradu logam berdentangan memainkan lagu maut.
Prajurit-prajurit Rajeg yang membela panglimanya tak dapat bertahan terhadap desakan kuda. Mereka terdesak semakin rapat mengepung panglimanya sendiri. Terkurung oleh anakbuah sendiri Mahmud dan kudanya tak dapat bergerak sebagaimana harusnya.
Mahmud menggeletarkan cambuk perang, tapi cambuk itu terlepas dari tangan dan jatuh di sela-sela bahu anakbuahnya, ke tanah. Dan di sekelilingnya adalah mata pedang anakbuah sendiri.
Banteng Wareng, lepaskan dia! teriak Wiranggaleng. Dan gajah itu semakin mendekati juga, melalui bekas jalanan pasukan kuda. Di atasnya Senapati Tuban melambai-lambaikan tangan. Tetapi pasukan kuda tak mengerti maksud isyaratnya dan terus mendesak.
Mahmud Barjah dengan para pengawalnya telah berada dalam kepungan pasukan kuda. Makin lama makin rapat. Pengawal-pengawal Panglima Rajeg berjatuhan seorang demi seorang.
Matari hampir tenggelam, Senapatiku! Matari sudah lama hilang ditelan mendung. Hentikan pengejaran! perintah Senapati.
Pengejaran dihentikan, Senapatiku, Kala Cuwil mengangkat panji-panji datar dengan dua belah tangannya.
Gajah itu berhenti. Tak ada tanda-tanda matari di barat. Hanya mendung, perbukitan dan hutan hitam.
Mahmud Barjah tertinggal seorang diri dalam kepungan. Semua pedang terarah padanya. Ia menangkis ke segala penjuru. Waktu akhirnya pedangnya patah ia berdiri di atas punggung kuda.
Berhenti! teriak Wiranggaleng dari atas gajahnya.
Pedang Banteng Wareng melayang menyambar kaki Mahmud.
Dari atas gajah Senapati melemparkan tombak. Dan tombak itu melayang cepat di atas kepala orang dan kuda. Bunyi berdentang menyusul. Mata tombak itu menerjang mata pedang Banteng Wareng, patah dua-duanya. Kaki Mahmud tak jadi tertebang tatas.
Semua orang menengok ke arah datangnya tombak. Dan mereka melihat panji-panji terpegangi datar oleh Kala Cuwil dan Senapati melambai-lambaikan tangan menyuruh semua kembali. Baru orang mendengar teriakan senopati mereka: Lepaskan dia! Lepaskan dia dengan damai! Pergi kau, Mahmud! Pergi kau dengan damai!
Prajurit-prajurit kuda menurunkan pedang masingmasing. Mahmud duduk kembali di atas kudanya. Ia jalankan kendaraannya dua langkah maju. Tangannya dilambaikannya ke atas, berteriak: Selamat untukmu, Wiranggaleng, anak desa yang perwira! Lain kali berjumpa lagi!
Kuda diputarnya lambat-lambat, berjalan melangkahi bangkai yang bertebaran di tanah, kemudian memacu tanpa menengok lagi ke belakang, hilang di balik rimbunan hutan yang diselaputi rembang senja.
Dua kekuatan yang bermusuhan telah dilerai oleh malam. Tentara Rajeg menarik diri ke arah kedatangan mereka. Tentara Tuban berhenti di tempat dan mesanggrah.
Senapati Tuban berdiri di atas gajah, masih juga melambai-lambai tangan. Dan semua mata terarah padanya. Suaranya keras dan nyaring, keluar dari paruparunya yang penuh: Dengarkan semua! Dengarkan, bahwa perang adalah perang. Perang bukanlah keinginan untuk membunuh sesama, dia adalah bentrokan dari dua keinginan. Jangan jadi pembunuh! Dan kalian prajuritprajurit Tuban yang perwira dan satria, hargailah juga keperwiraan dan kesatriaan, sekalipun itu ada pada musuhmu. Kalian lihat sendiri, dalam keadaan sulit Mahmud Barjah tidak meninggalkan gelanggang. Dia tidak lari sendirian dan membiarkan anakbuahnya tumpas. Dia undurkan anakbuahnya pada keselamatan. Dia punya kesetiaan pada anakbuahnya.
Dia hanya pengkhianat! pekik Banteng Wareng membantah tanpa pikir panjang.
Sebagai pengkhianat negeri dan terhadap Gusti Adipati dia akan mendapat hukumannya. Sebagai setiawan anakbuah dia harus dihargai. Bergerak! Berkampung kalian ke pesanggrahan. Matari telah tenggelam. Dan hujan akan turun.
Seluruh prajurit berbalik menuju ke pesanggrahan yang telah dibangun oleh kesatuan-kesatuan di belakang.
Malam jatuh dengan cepatnya. Dan pesanggrahan di luar kota itu memberikan mereka perlindungan dari hujan yang mulai mengancam.
Dan sebelum mereka melepaskan lelah dalam tidur nyenyak, suatu bunyi ledakan terdengar di kejauhan. Dua butir peluru besi telah terbang beriringan menerjang langit bermendung melewati perbatasan kota.
Gajah-gajah pun bergidik dan bersuling pelan. Kudakuda meringkik lemah.
Kemudian sunyi senyap. 0o-dw-o0 19. Kesepian di Tuban
Pelabuhan itu sepi. Hanya kadang saja terdengar seseorang menohok-nohok memperbaiki sesuatu. Pasar pelabuhan kosong. Bangsal-bangsal pelabuhan yang selalu kedatangan rempah-rempah baru dari Maluku sekarang melompong dengan pintu semua terbuka.
Rejeki telah segan datang dari laut. Dari darat pun tiada sesuatu datang ke tempat ini. Dengan gerobak tidak, dengan pikulan pun tidak. Bahkan wanita-wanita gelandangan pada meninggalkan pondok daun kelapanya, mengungsi entah ke mana: Perkampungan orang-orang Islam di sebelah timur sana tertinggal lengang. Tinggal kucing dan ayamnya tidak dibawa mengungsi ke pedalaman masih berkeliaran tanpa pemilik.
Di pantai barang dua puluh atau dua puluh lima perahu tercancang pada patok. Air hujan mulai mengisinya. Mereka berayun tidak menentu, hanya menunggu datangnya hujan deras untuk kemudian tenggelam.
Warung Yakub pun sudah lama tutup. Ada terdengar berita dari seseorang yang telah bertemu dengannya di Gresik, ia telah membuka warung tuak di sana. Berita lain menyebutkan orang pernah memapasi-nya di Pasuruan. Berita ketiga mengabarkan ia telah masuk jadi prajurit pada balatentara Demak. Tak ada berita yang pasti. Yang jelas warungnya tinggal tutup.
Kapal peronda pantai Tuban tiada lagi nampak sebuah pun. Semua telah diungsikan ke Gresik atas perintah Senapati Tuban. Kapal-kapal itu takkan dapat membela diri terhadap serangan Peranggi, percuma mondar-mandir sepanjang pantai untuk menunggu peluru besi. Harus bisa membikin meriam sendiri maka kapal-kapal itu bisa berguna kembali.
Tholib Sungkar Az-Zubaid tak mempunyai kegiatan harian. Ia kelihatan lebih kurus daripada biasanya. Jarang ia nampak di rumah. Ia lebih sering kelihatan di dalam kadipaten, baik dipanggil atau tidak oleh Sang Adipati. Tak sering lagi orang melihatnya berjalan memeriksai bagianbagian pelabuhan yang membutuhkan perbaikan. Dana untuk itu sudah tak ada lagi dalam perbendaharaan kesyahbandaran. Dan setiap berada di dermaga orang dapat melihat ia sedang gelisah meninjau ke jurusan timur.
Menara pelabuhan tiada berpenjagaan lagi. Tinggal canangnya tergantung tanpa disentuh orang lagi. Pemukulnya menggeletak di pojokan geladak.
Kesyahbandaran lebih sunyi daripada di mana pun. Gandok kiri dan kanan tiada berpenghuni. Gedung utama pun kosong. Gedung batu kedua di seluruh negeri Tuban itu kehilangan serinya, nampak seperti candi besar yang telah ditinggalkan oleh pemeluk agamanya. Syahbandar sendiri jarang nampak. Dan tiada terdengar gelaktawa atau tangis Gelar. Ia dibawa oleh Idayu ke Awis Krambil. Nyi Gede Kati ikut pula ke sana. Hanya Paman Marta yang setiap hari kelihatan mengurus taman.
Di luar kesepian ini terdapat kesibukan yang tak dapat difahami oleh penduduk. Ratusan lelaki berjalan kuat dan tegap selalu kelihatan berjalan tersebar ke sana ke mari tanpa pekerjaan. Karena tiada keris pada pinggang dan tiada tombak pada tangan, orang yang tak mengenalnya menduga mereka prajurit-prajurit yang sedang melepaskan diri dari kesatuan. Dan mereka selalu berada di luar daerah pelabuhan.
Orang-orang yang mengenal salah seorang di antara mereka segera tahu, mereka tidak lain daripada anggotaanggota pasukan pengawal kadipaten yang tidak berpakaian prajurit. Gerak-gerik menarik perhatian. Dan orang-orang tak pernah dapat mendapat keterangan apa sedang mereka kerjakan. Karena di balik semak-semak hutan yang membatasi daerah pelabuhan dengan daerah tak berpenghuni ditempatkan cetbang-cetbang yang semua diarahkan ke laut. Orang hanya menduga-duga mereka disiapkan untuk menanggulangi kemungkinan masuknya Peranggi atau sebangsanya dari laut, sementara pertempuran sedang terjadi di pedalaman.
Perkampungan non-Nusantara juga sepi karena setelah terjadi kerusuhan sebagian besar penduduknya telah meninggalkan Tuban belayar entah ke mana. Hanya penduduk Pecinan tidak susut, karena hukum Tuban melindungi mereka di waktu perang. Artinya, semua prajurit dari dua belah tentara yang bermusuhan tidak diperkenankan menginjak daerah itu baik untuk kepentingan penyerangan ataupun pertahanan. Penduduk biasa pun tidak diperkenankan memasuki di waktu perang, sekalipun untuk menyelamatkan diri. Belum jelas benar dari mana asalnya hak perlindungan yang seakan berjalan dengan sendirinya ini. Boleh jadi sudah sejak Majapahit atau lebih tua lagi. Sedang perjanjian antara Ceng He dengan Adipati Tuban memperkokoh perjanjian itu untuk ganti pengakuan armada Tiongkok itu. Pada monopoli Tuban atas sumber rempah-rempah Maluku Pecinan malah mendapat hak bertahan dan hak kepolisian demi keselamatan warganya.
Sunyi pula alun-alun yang biasanya jadi pusat keramaian dan daerah pusat praja. Tak ada orang menginjakkan kaki di sini, apalagi kanak-kanak. Kalau orang tua melewatinya, ia berjalan tanpa semau sendiri. Peristiwa pembunuhan atas diri Sang Patih didekat pohon beringin kurung, telah membikin tempat ini jadi sangar. Bahkan mereka yang tinggal di sekitar situ lebih suka mengambil jalan belakang dan menerjang-nerjang pelataran tetangga.
Mayat Sang Patih masih juga tergeletak, berpindah dari tempat semula karena serbuan anjing. Lalat dan gagak ikut pula menyerangnya. Bau busuk dibawa angin ke seluruh penjuru mata-angin. Tak ada orang memeliharanya. Keluarga Sang Patih sendiri pun tak berani turun tangan.
Di dalam kadipaten Sang Adipati kelihatan selalu murung dan gusar. Tak ada seorang pun prajurit pengawal menjaga kadipaten. Mesin praja lumpuh sama sekali. Arus bahan makanan ke dalam kadipaten terputus, dan bahaya kelaparan akan segera mengancam bila keadaan tidak berubah.
Sang Adipati tak dapat berbuat sesuatu apa tanpa pengawal dan tanpa punggawa. Dan para punggawa telah diperintahkan keluar dari kadipaten oleh pasukan pengawal atas perintah Wiranggaleng.
Untuk pertama kali dalam hidupnya ia baru mengerti, tanpa kawula yang dengan sukarela melayani dan menjalankan perintahnya, ternyata ia tidak berarti sesuatu pun. Anggapan, bahwa seorang raja dimungkinkan oleh para dewa, dan oleh para dewa saja, kini ternyata menghadapi ujian. Dan justru karena pengetahuan baru itu ia menjadi murung dan gusar setiap hari, tak tahu apa harus diperbuatnya.
Dari ajaran-ajaran istana leluhur ia tahu dan yakin, kekuasaan seorang raja tidak berasal dari dunia manusia, untuk mengatur kawula, untuk mengatur perang dan damai, perjanjian dan pembatalannya. Semuanya berasal dari Dia yang membikin hidup. Maka sudah menjadi patokan, barangsiapa melanggar ketentuan praja, membangkangnya, adalah juga melanggar dan membangkang terhadap Dia. Bagaimana sekarang"
Sang Patih jelas telah membangkang terhadap dirinya. Dia layak menerima hukumannya. Kematiannya adalah sudah sepatutnya sebagai satria mendapat tikaman keris sekali. Dalam hal ini para dewa benar. Dia yang membikin hidup telah mengawal aturanNya sendiri. Bila dia tidak mati karena Wiranggaleng, pasti karena perintahnya. Dan itu pasti terjadi. Biarlah itu jadi peringatan pada setiap kawula. Karena itu setiap permohonan untuk memelihara dan merawat mayatnya ia tolak tanpa alasan.
Tetapi Wiranggaleng! Apakah yang diperbuatnya" Dia telah menarik dan mengerahkan semua balatentara Tuban. Ia telah bunuh Sang Patih tanpa perintahnya. Ia telah seret Tuban seluruhnya dalam perang, memberi kelonggaran pada bupati-bupati tetangga untuk datang menyerbu. Ia membiarkan Tuban terbuka terhadap Demak! Dia telah kosongkan kadipaten dari pengawalan dan punggawa. Tanpa kawula, tanpa balatentara, tanpa punggawa, tanpa saksi dunia yang mengagumi, tanpa kebesaran, terutama tanpa kawula yang menghinakan dan merendahkan diri dengan sukarela terhadapnya, tanpa kekecilan di sekitar diri seorang raja tidak mempunyai sesuatu arti. Dia sama dengan seorang desa tak berpendidikan. Bahkan gamelan tiada keindahannya lagi. Tarian tiada daya penarik lagi bagi mata dan hati. Makanan hilang rasa: Tetapi jantung terus juga berdenyut.
Hiburan batin yang ada padanya adalah: balas dendam. Ya, kelak bila semua telah kembali dalam genggaman tangan, tumpaslah mereka yang lancang mengurangi kebesaran dan kekuasaan ini. Tumpaslah semua mereka. Ia akan jatuhkan hukuman yang sekejam-kejamnya. Dan untuk mengisi waktu menunggu datangnya waktu itu ia lewatkan hari-harinya yang sunyi, murung dan gusar di dalam keputrian. Maka harem yang mengisap daya kekuatan tuanya itu menyusutkan diri dan pribadinya. Dendam dalam hati, keriaan yang meriah dan kesenangan badani di luarnya. Ia sudah tidak mengingat lagi musuh dari darat ataupun laut. Negeri dan praja tak punya sesuatu arti lagi baginya.
Terhadap keamanan jiwanya pribadi ia tak pernah punya waswas. Leluhurnya, dari penguasa yang satu pada penguasa yang lain telah membangunkan sikap batin satria: hanya ada satu macam maut dengan tiga nilai, tidak kurang dan tidak lebih. Nilai pertama dan terpuji adalah maut karena lanjut usia. Nilai kedua yang patut adalah karena kehormatan sebagai satria, di medan perang dan di mana saja. Nilai ketiga yang dianggapnya hina adalah karena hukuman dan tidak dengan keris. Dan seorang satria hanya boleh mengambil dua nilai yang sebelum terakhir. Setiap saat ia bersedia mati baik karena usia mau pun karena kehormatan. Ia tak pernah punya keraguan.
Bila ternyata Wiranggaleng kelak melakukan pengkhianatan terhadap dirinya, ia akan mengambil nilai kedua. Dan pengkhianatan itu bisa datang dari setiap sudut, dan ia selalu waspada terhadap setiap kemungkinan. Ia yakin dirinya sendiri, ia akan menghembuskan nafas penghabisan sebagai satria dengan kehormatan. Dan apalah salahnya selama ia tetap satria" Putra-putranya akan mendengar berita kematiannya itu, dan mereka akan mengerti dan menghormatinya.
Dan setiap ia ingat pada putra-putranya, ia mengebaskan mereka semua dari pikirannya. Tak ada perlunya mengingat mereka. Mereka akan dihadapi oleh jamannya, atau jaman itu sendiri akan membunuh-nya bila ia melawannya, karena jaman adalah tidak lebih dan tidak kurang daripada Batara Kala itu sendiri, tak peduli mereka Islam atau Hindu, atau Buddha atau Peranggi sekalipun. Semua sudah mendapat tempatnya.
Tetapi yang satu ini: kekosongan dari kekuasaan. Kesepian dari kebesaran. Tak ada orang-orang kecil di selingkungan yang melaksanakan segala apa yang diri kehendaki. Semua sudah terasa ingkar terhadapnya. Tanpa kekuasaan dan kebesaran segala-galanya menjadi berubah. Dan semua bersumber hanya pada seorang anak desa yang tak tahu adat. Seorang anak desa telah membunuh saudara sepupunya, kemudian mengangkat diri sendiri menjadi Patih Senapati Tuban! Siapakah dewa sembahannya maka dia berbuat tanpa titahku"
Terngiang-ngiang ajaran praja itu: seorang raja tidak akan berbuat sesuatu berdasarkan belas kasihan, ia berbuat hanya demi keselamatan praja. Seseorang raja tidak akan berbuat sesuatu berdasarkan terimakasih, ia berbuat hanya demi keselamatan praja. Dan beberapa kalimat lagi sebangsanya.
Dan praja sekarang lumpuh. Dan praja adalah raja.
Bagaimana pun dan ke mana pun pikirannya ia kerahkan, datangnya pada satu nama itu juga: Wiranggaleng, seorang anak desa tanpa makna yang telah berani membunuh seorang dari darah Majapahit, darah tertinggi dalam kehidupan yang dikenalnya. Anak desa lancang itu begitu bodohnya, dia tidak mengerti, bahwa setiap orang yang dialiri darah Majapahit mempunyai hak untuk menjadi raja.
Pengetahuannya tentang sejarah praja, bahwa Majapahit bisa berdiri hanya karena bantuan orang-orang kebanyakan, dan orang-orang itu kemudian diangkat oleh Sri Baginda Kertarajasa menjadi gubernur terper-caya tak juga mampu melenyapkan dendamnya pada Wiranggaleng. Ia harus membunuhnya, dengan jalan dan cara apa pun sebagaimana o-rang-orang lain telah juga dibunuhnya. Hanya ada kesulitan pelaksanaan terhadap orang yang satu ini: ia dicintai dan dihormati oleh kawula Tuban. Bagaimana menghukum dia kalau semua orang mencintai dan menghormatinya" Tidakkah kawula Tuban akan melindunginya, dan itu berarti menentangnya" Hukuman padanya akan berarti kebencian yang tertujukan kepada raja. Dan bagaimana kalau seluruh kawula karenanya ingkar dan membangkang terhadap dirinya"
Bila demikian maka dewa-dewa tidak lagi membenarkan kekuasaannya, mencabut kembali kebesarannya. Ternyata dewa-dewa juga berpihak pada manusia& .
Dan bila pikiran itu sampai di situ ia menjadi pusing. Dalam kepusingan itu satu-satunya tempat yang baik hanya haremnya.
Sang Adipati mendengar peristiwa di dekat pohon beringin itu dari persembahan Syahbandar Tuban. Nampaknya orang lain tak ada yang berani menghadap. Persembahan yang cukup teliti itu telah menyorong Wiranggaleng ke pojokan sebagai biangkeladi segala keonaran yang tak patut mendapat sedikit pun pengampunan daripadanya.
Wira, si anak desa itu, Gusti, telah berani melanggar titah setelah dia mengangkat diri jadi Patih Senapati Tuban, Tholib Sungkar As-Zubaid mengadu, bukan hanya menggerakkan lima ratus prajurit. Dia telah perintahkan semua kepala pasukan untuk mengikuti dan menjalankan perintahnya. Dialah yang pertama-tama menguasakan kepala pasukan pengawal. Dia telah membikin-bikin alasan untuk bertengkar dengan Sang Patih dan membunuhnya, membunuh atasannya, ya Gusti, seperti membunuh anak kambing.
Sang Adipati hanya mengajukan satu pertanyaan: Bagaimana bisa kepala-kepala pasukan mendengarkan dia"
Takut, Gusti. Setan telah merasuki dirinya. Sang Adipati mengerti, bukan karena takut mereka mendengarkannya. Juga bukan karena kerasukan setan. Memang ada sesuatu yang hidup dalam jiwa si anak desa itu. Dan semua itu takkan terjadi tanpa perkenan dewadewa. Dan tidak mungkin kalau hanya karena kepalakepala pasukan itu bukan berdarah ningrat. Sekiranya mereka berdarah ningrat pun, kalau dewa-dewa telah berkenan, mereka akan mendengarkannya juga.
Yang teringat olehnya adalah pemberontakanpemberontakan besar yang berkali-kali meletus dalam masa kejayaan Majapahit, hanya karena pembagian kekuasaan antara ningrat dan tidak ningrat. Ini jugakah akan jadi akhir kadipaten Tuban"
Bila pikirannya sampai di situ ia pun menjadi pusing. Syahbandar Tuban tak membiarkan kesempatan berlalu tanpa membakar-bakar Sang Adipati untuk bertindak terhadap anak desa itu bila keadaan sudah reda.
Tidak bisa dibiarkan anak desa itu mengangkat diri jadi Patih dan Senapati sekaligus, Gusti, itu adalah menyalahi darah, menyalahi takdir, melawan ketentuan kodrat, dan ia merenungkan makna dari darah, takdir dan kodrat.
Tetapi Sang Adipati lebih cenderung untuk mengingatingat akan mendesaknya Gajah Mada, si anak desa itu, ke atas sehingga jadi Mahapatih Majapahit. Ia teringat juga pada anak desa lain, juga mendesak naik terus, bukan saja jadi Patih, malah jadi raja. Dan anak desa itu adalah Ken Arok, orang yang darahnya hidup dalam tubuh raja-raja di Jawa kemudian. Tetapi Wiranggaleng takkan jadi Patih Tuban, juga takkan jadi raja Tuban, selama Adipati Tuban Arya Teja Tumenggung Wilwantikta belum lenyap dari muka bumi.
Dan sejak mempersembahkan peristiwa di alun-alun Tholib Sungkar Az-Zubaid selain berkitar-kitar di sekeliling kadipaten, tak peduli pada bau mayat yang mengembara ke mana-mana. Ia merasa lebih aman di dekat Sang Adipati. Sebaliknya keputrian yang kadang membosankan itu membikin Sang Adipati merindukan Syahbandar Tuban satu-satu orang yang kini dapat diajaknya bicara.
Pada kesempatan-kesempatan seperti itu Tholib Sungkar suka mencoba-coba bicara tentang jalannya pertempuran di pedalaman. Tetapi Sang Adipati tidak pernah melayaninya. Ia percaya pada balatentara Tuban. Biar pun musuh itu menggunakan meriam, balatantaranya takkan mungkin dapat dikalahkan. Dengan atau tanpa Wiranggaleng ataupun Sang Patih, balatentara Tuban pasti akan menang. Tidak percuma selama dua ratus tahun jadi andal-andal Majapahit.
Bila Syahbandar Tuban mulai bicara tentang Wiranggaleng makin jelas gambaran anak desa itu di hadapannya untuk waktu dekat mendatang. Anak desa itu akan menghadap padanya dan mempersembahkan, musuh telah dikalahkan. Dia akan menganggap kemenangan balatentara Tuban sebagai kemenangannya sendiri. Pada waktu itu dia akan tahu, sekiranya ada seekor anjing dapat diangkat jadi Senapati, balatentara Tuban akan tetap menang. Dia akan menghadap seperti seekor anak kambing yang mengembik-ngembik memohon pengesahan. Dan dia akan menunggu datangnya karunia dari tanganku.
Kampung Setan 15 Wiro Sableng 046 Serikat Setan Merah Pukulan Naga Sakti 3

Cari Blog Ini