Cowok Manja Merantau Karya Karnaufal Bagian 8
Kemudian kami berjalan ke dalam ruang tengah dan gue langsung diberi sebuah pemandangan yang tidak kalah menyakitkannya. Gue melihat bokap kini sudah terbaring, diam tak bergerak di atas karpet merah dengan terbalutkan kain kafan. Di samping kepala beliau tersimpan beberapa Al- Quran yang tertumpuk dan beliau dikelilingi oleh sanak saudara yang sedang membaca surat Yasin.
Kedua lutut gue lemas, kedua kaki ini tidak kuasa untuk menopang tubuh gue. Gue langsung berlutut dan seketika air mata mengalir di kedua pipi. Bibir gue bergetar, diam dan terkunci. Tenggorokkan gue tercekat dan tidak bisa berkata-apa lagi. Air mata gue mengalir deras tetapi bibir gue tetap terkatup rapat. Gue menangis dalam diam.
Diam di mulut bukan berarti diam di dalam hati. Saat ini hati gue sedang berteriak sekencangkencangnya. Mencaci, memaki ketololan, kebodohan dan ke-goblok-an gue yang menyembunyikan kenyataan sehingga gue membuat sebuah keputusan yang sangat salah, sebuah keputusan yang membuat gue tidak bisa bertegur sapa secara langsung untuk yang terakhir kalinya bersama bokap,
Sebuah keputusan yang kembali memberikan sebuah penyesalan, Sebuah penyesalan yang akan gue bawa,
Hingga gue menutup usia...
Part 94 Yes It s A New Beginning Awalnya gue hanya membaca selintas-selintas saja, namun lama kelamaan gue malah menjadi asyik sendiri membaca buku ini dan melupakan tujuan utama gue disini. Lalu kemudian gue menemukan sebuah quote yang membuat gue tersadar, bunyi dari kutipan tersebut adalah:
Ayah adalah yang teristimewa di dunia. Sebab dari keringatnya, ia memberi tapak untuk melangkah.
Abdurahman Faiz Gue menyimpan buku tersebut di atas meja dalam keadaan terbuka dan kemudian bersandar kepada kursi, lalu gue termenung...
*** Matahari kini sedang berada dibawah horizon namun sinarnya sudah dibelokkan oleh atmosfer bumi sehingga tercipta guratan-guratan indah berwarna oranye yang terpampang di kaki langit. Suasana indah ini sangat berbeda sekali dengan keadaan gue yang sekarang. Lemah dan rapuh, tak berdaya untuk melawan sesuatu yang bernama 'takdir', hanya bisa terdiam dan menerima keputusan apapun yang dibuat oleh 'takdir' tersebut.
Gue masuk ke dalam mobil ambulans, duduk di samping keranda yang berisikan jenazah almarhum bokap. Tidak lama kemudian, mobil yang gue tumpangi menyalakan sirine-nya dan mulai berjalan meninggalkan rumah dikuti oleh kendaraan para pelayat yang mengekor di belakang.
Gue duduk termenung sambil menatap kosong ke arah keranda. Sebuah tatapan yang kosong, hampa dan tidak menyisakan apapun kecuali sebuah rasa penyesalan yang amat sangat dalam. Gue menjulurkan tangan, memegang kain berwarna hijau yang menutupi keranda seolah-olah gue sedang memegang bokap.
Kemudian gue kembali teringat akan mimpi yang gue alami beberapa waktu yang lalu, tentang kedatangan seseorang yang tiba-tiba berada di depan rumah. Ya, gue sudah mengerti apa arti dari mimpi tersebut.
Orang yang datang di depan rumah tidak lain dan tidak bukan adalah adalah bokap sendiri. Dia datang membawa koper dan menemui gue dengan satu buah tujuan. Beliau ingin berpamitan dan menemui gue untuk yang terakhir kalinya, sebelum dipanggil Yang Maha Kuasa. Namun gue bodoh. Gue tidak menyadari 'tanda-tanda' tersebut, dan kini gue menyesalinya.
Setelah beberapa lama perjalanan, ambulans yang gue tumpangi kini berhenti di depan komplek
pemakaman milik keluarga. Lalu ada beberapa orang yang membuka pintu dan menarik keranda secara perlahan. Gue membantu prosesi tersebut dari dalam ambulans. Gue menjadi salah satu orang yang mengangkat keranda jenazah almarhum dan dibantu oleh beberapa sanak saudara yang lainnya.
Gue tidak ingin melewati prosesi pemakaman ini, sekecil apapun bentuknya. Gue ingin memberikan bakti gue untuk yang terakhir kalinya kepada almarhum.
Beberapa saat sebelum adzan maghrib berkumandang, gue dan para pelayat lainnya sudah sampai di tempat peristirahatan terakhir almarhum sambil tetap melantunkan lafadz 'La illa ha illallah' secara terus menerus. Di depan gue terlihat sebuah lubang makam yang sudah digali dan dikelilingi oleh tiga orang penggali makam. Gue menurunkan keranda dan membuka tutupnya. Masyaallah...
Jantung gue mencelos dan air mata gue hampir keluar kembali setelah melihat wajah bokap yang bibirnya sudah menjadi pucat, persis seperti dengan apa yang gue lihat di dalam mimpi. Dibalik wajahnya yang sudah memucat, gue melihat sebuah ekspresi damai yang terpancar dari wajahnya. Hal ini sedikit banyak membuat gue menjadi bahagia.
Gue mencoba menguatkan diri dan melompat turun lalu disusul oleh kakek dan om yang kemudian masuk ke dalam makam.
"Angkat pelan-pelan, satu... dua... tiga... Angkat!" Ujar salah seorang pemuka agama yang mengikuti prosesi pemakaman ini. Tali surban berwarna merah yang melingkar di lehernya sesekali jatuh dan menjuntai ke bawah.
"Yang di bawah ambil pelan-pelan." "Tolong kerandanya tarik ke sana!" Lanjutnya.
Kemudian salah seorang penggali kubur menarik keranda hingga memudahkan kami untuk mengoper jenazah. Dengan sigap gue mengambil dan memeluk bagian pundak hingga kepala bokap. Seketika lutut kembali lemas dan hampir saja menjatuhkan kepalanya, dengan sigap om gue menahan tubuh almarhum sehingga hal tersebut tidak terjadi.
Perlahan tapi pasti, jenazah almarhum kami turunkan dan masuk ke dalam perut bumi. Gue melepaskan tali kafan yang mengikat di atas kepalanya dengan dibantu oleh om.
"Mau nge-adzan-in"" Tanya om gue.
"..." Gue mengangguk.
Kakek dan om berdiri lalu mengambil kayu-kayu untuk menutupi badan bokap sementara gue menundukkan kepala dan mendekatkan bibir kepada telinganya, memasang posisi sebagai muadzin yang akan mengumandangkan adzan.
Suara gue sedikit bergetar saat mengadzani beliau dan air mata gue kembali menetes di hadapannya. Sambil mengadzani almarhum, gue membuat sebuah janji kepada diri sendiri. Sebuah janji yang tulus muncul dari dalam hati gue yang paling dalam.
Gue ingin bisa lebih berbakti kepada orang tua gue, gue ingin menjadi seseorang yang sukses dan bisa mengamalkan wasiat almarhum yang terakhir gue terima pada saat gue menelponnya dulu: "Jangan jadi orang bodoh, nanti jalan kakinya lama."
Sebenarnya gue masih belum 'ngeh' apa arti dari kalimat beliau. Namun satu hal yang pasti, gue ga ingin menjadi orang yang bodoh dan bisa mengambil arti dari apa yang telah diwasiatkan almarhum kepada gue.
Once again, Yes... I promise! *** Siang itu gue sedang berada di lantai 3 Bapuspida Jawa Barat, mencari beberapa buku sumber untuk dijadikan referensi bagi skiripsi gue. Setelah sekian lama mencari, gue merasakan penat yang hebat dan kemudian gue berjalan-jalan sedikit diantara rak-rak buku untuk mengurangi rasa penat tersebut.
Beberapa saat kemudian gue sudah kembali duduk sambil membaca sebuah buku yang gue temukan di sudut rak yang agak sedikit tidak terlihat dari pandangan, sebuah buku yang memiliki judul 'Nadya: Kisah dari Negeri yang Menggigil'. Sebuah judul yang menggelitik sehingga menarik perhatian gue diantara judul-judul buku lainnya.
Awalnya gue hanya membaca selintas-selintas saja, namun lama kelamaan gue malah menjadi asyik sendiri membaca buku tersebut dan melupakan tujuan utama gue disini. Lalu kemudian gue menemukan sebuah quote yang membuat gue tersadar, bunyi dari kutipan tersebut adalah:
Ayah adalah yang teristimewa di dunia. Sebab dari keringatnya, ia memberi tapak untuk melangkah.
Gue menyimpan buku tersebut di atas meja dalam keadaan terbuka dan kemudian bersandar kepada kursi, lalu gue termenung. Gue baru saja menyadari apa arti dari kutipan itu. Tanpa usaha dan perjuangan bokap selama beliau masih berada di dunia ini, rasanya tidak mungkin bagi gue untuk mengikuti langkah yang telah ditapakinya walaupun gue menggunakan alas kaki yang berbeda dengannya.
*** Hi, Dad! How are you" I hope you are doing fine...
Dad, Even though i do remember your smile,
But still, I miss your smile, Your own smile...
Pap, Terima kasih untuk semua yang telah engkau berikan. Tanpamu, kakak tidak akan pernah bisa menjadi seperti ini.
Pap, Terima kasih, Untuk semuanya.
Part 95 Ucapan Do a Selama satu minggu penuh gue menjadi seseorang yang super sibuk. Dari mulai hari pertama hingga hari ke-7 setelah kepergian bokap, gue tetap stay disini dan membantu nyokap untuk mempersiapkan acara tahlilan. Mulai dari penyebaran undangan yang acaranya akan diadakan selepas maghrib, membuat makanan dan segala urusan lainnya.
Lalu pada hari ke-8 dan setelah seluruh acara selesai, gue masih ingat, hari itu merupakan hari Kamis pagi dimana nanti malamnya gue akan kembali pulang ke Bandung dan meneruskan segala kegiatan gue disana.
Gue masih ingat dengan jelas tentang apa yang terjadi pada hari itu.
Gue menghampiri nyokap yang sedang merapikan isi dari lemari almarhum, mengeluarkan sebagian pakaian yang masih layak pakai untuk disumbangkan kepada yang lebih membutuhkan. Dan syukur alhamdulillah, beliau kini sudah mulai bisa merelakan kepergian almarhum dan gue telah melihat semangat hidup nyokap yang berangsur-angsur pulih seperti sedia kala.
"Mam..." "Iya kak"" Nyokap membalikkan badan dan gue langsung memeluknya.
Beliau mengelus-elus punggung gue dengan penuh kasih sayang dan gue pun melakukan hal yang sama terhadapnya. Gue melepaskan pelukan dan menuntunnya untuk duduk di atas tempat tidur.
"Bentar mam..."
Gue berjalan keluar kamar, menuruni tangga dan pergi ke dapur untuk mengambil sebaskom air serta handuk kering. Setelah mendapatkan kedua hal tersebut, gue kembali menaikki tangga menuju kamar beliau sambil memegang baskom dengan kedua tangan dan dengan handuk yang melingkar di leher.
"Lho, buat apa kak"" Tanya nyokap dengan ekspresi bingung.
Gue menjawabnya dengan sebuah senyuman dan kemudian menyimpan baskom di lantai serta
handuk di sampingnya. "Kaki mamah mana" Sini mam turunin..."
Kemudian beliau memasang sebuah ekspresi tidak percaya dan dengan perlahan beliau menurunkan kakinya dari atas tempat tidur. Gue berjongkok dan meraih kaki kanannya lalu memasukkannya ke dalam baskom. Dengan perlahan gue membasuh kaki beliau. Mulai dari telapak kaki, sela-sela jari, hingga ke mata kakinya. Gue membersihkan kaki beliau yang sudah mulai keriput karena dimakan usia, membersihkan kaki yang sudah berjalan sedemikian jauh untuk merawat dan membesarkan gue dengan segenap hati.
Gue mengambil handuk dan mengelapnya. Setelah dirasa kering, gue mengambil kaki sebelah kirinya dan kembali melakukan hal yang sama. Kemudian gue menyimpan handuk bekas mengeringkan kedua kaki beliau di atas lantai dan melebarkannya, lalu gue memposisikan kedua kaki beliau di atas handuk tersebut.
Gue sedikit memundurkan posisi dan berjongkok di dalam garis lurus serta sejajar dengan kedua kaki beliau. Gue menyimpan kedua tangan di atas lantai, mengambil ancang-ancang dan kemudian bersujud di depan kaki beliau.
"Mam, kakak mau minta maaf sama mamah kalo kakak selama ini belum bisa menjadi anak yang berbakti sama mamah sama papah..."
"...kakak juga mau minta maaf atas semua kesalahan kakak yang pernah buat..."
Omongan gue terhenti. Tanpa bisa gue tahan, bibir gue bergetar dan kedua air mata gue kembali keluar hingga menetes di atas lantai, sebuah tetesan yang berisi sebuah penyesalan dan juga berisi sebuah permintaan yang sangat tulus, sebuah permintaan yang datang dari dalam lubuk hati gue yang paling dalam. Gue menarik nafas dengan sedikit sesegukan dan kembali melanjutkan perkataan yang sempat terhenti.
"Kakak mohon doa dan restu dari mamah, doakan kakak biar menjadi orang yang sukses dunia dan akhirat..."
"...doakan kakak biar bisa ngegantiin peran papah dan bisa berbakti kepada mamah sama papah..." "...kakak minta doa sama restunya ya mam..."
Dengan bahu yang bergetar, gue memajukan kepala lalu mencium kaki sebelah kanan nyokap dan memeluk kedua kaki beliau. Gue menciumnya sambil memejamkan mata, mencoba meresapi tentang apa yang sedang terjadi saat ini.
Setiap detiknya, Setiap momennya,
Gue ingin meresapi semuanya.
Kemudian gue merasakan ada sentuhan halus milik tangan nyokap pada pundak dan kemudian beliau mengangkat pundak gue, lalu beliau kembali memeluk gue dengan sesegukan.
Masih dalam keadaan berpelukan, gue mendengar kalimat yang paling indah dan paling tulus yang pernah gue dengar di dunia ini, kalimat yang berisikan doa serta restu yang diberikan secara langsung oleh orang tua satu-satunya yang gue miliki dan paling gue sayangi.
"Iya kak, mamah maafin dan mamah pasti doain kakak terus."
"Mamah doain semoga kakak jadi orang yang sukses dunia dan akhirat, jadi orang yang bisa berbakti kepada kedua orang tua, bisa menjadi pemimpin bagi diri sendiri maupun bagi keluarga kakak nanti..."
"...mamah restuin kakak..."
Waktu di sekeliling gue serasa berhenti setelah mendengar ucapan beliau. Sang Waktu seakan-akan tidak ingin melewati sedetik pun dan ingin menjadi saksi bagi sebuah momen yang haru seperti ini.
Gue mempererat pelukan dan tangisan yang sedari tadi gue tahan-tahan pun pecah. Gue mengeluarkan sebuah tangisan bahagia setelah mendengar doa yang terucap secara tulus dan ikhlas dari bibir suci milik seorang ibu, seorang ibu yang telah membesarkan anaknya dengan seluruh jiwa dan raga yang telah dimilikinya, mengorbankan jiwa dan raga demi seorang anak yang paling dicintainya.
I Love You, Mom! *** "Setidaknya sekarang ini ada ibu yang mendukungku penuh. Kerelaan dan ridhanya lebih penting dari apapun."
Dian Nafi Matahari Mata Hati
Part 96 I Feel It "Hati-hati ya kak, jaga diri baik-baik." Ujar nyokap sambil tersenyum. "Rajin belajar disana, jangan males-malesan terus." Lanjutnya.
"Iya mam." "Inget..." "..." "Mamah sama papah ga mau mewariskan harta. Mamah sama papah cuman mau mewariskan ilmu."
"Karena dengan ilmu, kakak bisa membeli dunia." "Dan karena dengan ilmu juga, kakak bisa membeli akhirat."
"..." Gue tersenyum setelah mendapatkan nasihat beliau. "Iya mam, makasih ya mam."
Gue mendekat dan kemudian memeluk nyokap sebelum naik ke atas kereta. Setelah berpelukan dan cipika-cipiki dengannya, gue mengambil barang bawaan dan kemudian masuk ke dalam kereta.
"Gue uda di kereta ya, bsk nyampe jam 6-an."
Gue mengirim sms kepada Aya. Beberapa hari yang lalu dia menawarkan, atau lebih tepatnya memaksa untuk bisa menjemput gue di stasiun dan kesempatan itu tidak gue sia-siakan karena gue juga membawa sedikit 'oleh-oleh', yaitu makanan-makanan mentah sisa dari acara tahlilan. Gue sengaja meminta untuk dibungkus dan dibawa agar bisa dimasak di sana. Gue mengambil earphone lalu memasangkannya kepada telinga.
Sambil menatap kepada kaca kereta yang gelap, gue kembali merenungkan tentang apa yang baru saja gue lakukan tadi pagi kepada nyokap. Lalu gue teringat bahwa ada sedikit kesalahan tentang apa yang telah gue lakukan.
Dulu, guru agama gue pernah bilang bahwa surga berada di telapak kaki ibu. Namun gue sendiri
tidak mencium telapak kaki nyokap. Gue sedikit terkekeh dan kemudian menutup gorden lalu menyandarkan kepala kepada kursi sambil mendengarkan lagu yang dimainkan secara acak. ***
Jam di tangan kanan gue kini menunjukkan pukul 2 dini hari ketika gue terbangun karena kereta mengalami sedikit goncangan. Gue juga melihat bahwa ada beberapa penumpang yang bangun dari tidurnya. Namun hal tersebut tidak berlaku kepada seorang ibu muda yang sedang tertidur sambil memangku bayi kecil miliknya. Sepertinya ibu ini memang kelelahan sehingga tidurnya sangat nyenyak.
Dengan hati-hati gue bangkit dan berjinjit untuk keluar dari kursi lalu berjalan ke arah kereta makan. Sesampainya di kereta makan, gue tertegun dan merasa deja vu. Gue kembali teringat akan Vanny ketika kami berdua sedang makan siang di sini. Gue tersenyum. Hal tersebut kini hanya dapat menjadi sebuah kenangan tersendiri yang akan selalu teringat selamanya.
Ada beberapa orang prami dan kru-kru yang juga sedang terlelap. Tadinya gue ingin memesan makanan untuk mengisi perut yang sudah lapar. Namun karena melihat mereka sedang tidur, gue mengurungkan niat tersebut dan hanya duduk-duduk sambil bernostalgia tentang Vanny. ***
Sekitar pukul setengah tujuh pagi kereta yang gue tumpangi memasuki stasiun Kiaracondong. Berarti hanya tinggal beberapa menit lagi sebelum gue tiba di stasiun tujuan. Gue mengirim Aya sebuah sms yang berisi tentang lokasi gue saat ini.
Gue mengusap wajah dan merasakan bahwa kantong mata gue sudah semakin menebal. Satu minggu kemarin gue menjadi kurang tidur karena sibuk di rumah dan tadi pun gue tidak dapat tidur dengan nyenyak. Tapi, ya sudahlah...
Beberapa lama kemudian kereta masuk dan berhenti pada jalur satu stasiun ini. Sementara para penumpang yang lain sudah berdesak-desakan untuk turun pada bordes kereta termasuk si ibu muda, gue masih terduduk disini dan menunggu lengang agar tidak terlalu berdesak-desakan.
Gue mengambil barang bawaan yang disimpan di bagasi atas lalu berjalan keluar dari kereta. Suasana khas tempat ini kembali terasa. Udara pagi hari yang sejuk, para porter yang berlarian kesana kemari sambil menawarkan jasanya, dan tentu saja para penumpang yang jumlahnya sangat banyak yang sedang berjalan ke arah pintu keluar bagian utara. Dengan menenteng barang bawaan di tangan kiri, gue mengekor di belakang mereka semua.
"Fal!" Aya berteriak sambil melambaikan tangannya.
Hari ini Aya memakai baju terusan sepaha berwarna biru tua dengan obi berwarna merah yang melingkar pada pinggangnya sehingga menampilkan lekuk tubuh dan kaki jenjangnya yang putih mulus. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai di depan dada dan gue melihat bahwa ujung rambutnya sedikit menjadi curly.
Waw. Dengan menenteng dompet dan handphone pada tangan kirinya, Aya berjalan menghampiri gue.
"Apa kabar"" Tanya-nya sambil tersenyum.
"Baru juga satu minggu lebih ga ketemu udah nanyain kabar aja."
"Kalo udah ga ketemu sepuluh taun, baru nanya kabar." Jawab gue sambil menyimpan barang bawaan di atas lantai.
"Yeee!" Aya mencubit lengan gue dengan manja. "Mending gue tanyain!"
"Haha iya-iya, gue baik-baik aja kok."
"Eeeh, baik-baik aja tapi muka lo kusut gitu"" Aya menunjuk wajah gue.
"Ya terus ngapain nanya kabar kalo lo sendiri udah tau keadaan gue kayak gimana""
"Hehehe biarin ah."
"Ke minimarket dulu yuk, gue haus nih."
"Ayo." Kami berdua berjalan ke sebuah minimarket yang terdapat di dalam stasiun. Setelah membeli minuman, gue dan Aya berjalan ke arah mobilnya yang diparkir tidak jauh dari pintu masuk stasiun.
"Masukin tuh barang bawaan lo ke bagasi." Aya menunjuk barang bawaan gue sambil membuka bagasi mobil sedan keluaran Honda miliknya.
Sementara Aya berjalan ke arah pintu kemudi, gue menata barang-barang bawaan gue di bagasi lalu menutupnya. Kemudian gue bersandar pada bagasi lalu meminum air mineral yang gue beli barusan sambil berpikir.
What should i do now"
Gue bingung sekarang gue harus ngapain. Sebenarnya gue tau harus bagaimana, namun yang sekarang menjadi tantangan tersendiri bagi gue adalah bagaimana cara melaksanakan 'first step' dari apa yang harus gue lakukan. Kenapa" Karena menurut gue, 'first step' merupakan sebuah dinding besar yang menghalangi setiap orang untuk melakukan sesuatu. Namun setelah kita melewati 'first step' tersebut, gue yakin, semuanya akan menjadi lebih mudah dan tidak akan terasa sulit untuk mengerjakan hal-hal berikutnya.
Tiiin...tiiin... Aya membunyikan klakson mobilnya. Gue kemudian berjalan ke samping, masuk ke dalam mobil dan duduk pada kursi penumpang. Sesaat setelah pintu tertutup, tiba-tiba Aya memeluk gue dengan erat..
"Loh, kenapa Ay"" Tanya gue yang masih kebingungan.
"..." Aya hanya menggeleng pada bahu gue dan kemudian terdengar isakan. "Gue turut berduka ya atas meninggalnya bokap lo..."
"..." Gue merasakan bahwa pelukan Aya semakin erat pada punggung gue.
"Jangan sedih ya, Fal." "Gue ada disini."
"Buat lo..." "..." Gue hanya bisa bengong saat mendengar perkataannya. Kemudian gue mengirup oksigen yang kini sudah bercampur dengan wangi rambut serta aroma parfum yang digunakan oleh Aya, aroma yang sangat menggelitik indera penciuman gue. Gue menghirup udara dalam-dalam hingga mengisi penuh seluruh volume paru-paru dan menikmati setiap aroma yang terhirup. Lalu dengan perlahan gue menyimpan kedua tangan pada punggung Aya, membalas pelukannya dan mengelus punggung Aya dengan lembut.
"Iya, makasih ya Ay."
Untuk pertama kalinya, gue bisa membalas pelukan Aya dengan tulus dan dengan jelas gue dapat merasakan perasaan Aya yang selama ini dimilikinya,
Untuk gue... Part 97 Study Hard, Play Hard Jam pemantapan berakhir pada pukul 8 pagi. Sudah dua jam gue duduk di dalam kelas untuk mencatat, memperhatikan, dan bertanya tentang apa yang tidak gue mengerti kepada guru yang sedang menerangkan di depan. Setelah membereskan buku, gue membawa pulpen serta transkrip nilai dan menyimpannya di saku baju lalu berjalan ke arah ruang guru.
Kemarin gue sudah bertanya ke wali kelas perihal nilai-nilai yang harus diperbaiki. Katanya, gue hanya tinggal menemui guru mata pelajaran yang bersangkutan dan mereka yang akan menentukan gue harus bagaimana.
"Permisi..." Gue membuka ruang guru yang hanya terisi separuhnya. Jam-jam segini para guru memang sedang berada di dalam kelas, kecuali guru yang sedang tidak mendapatkan jadwal mengajar. Leher gue memanjang, pandangan gue menyapu seisi ruangan untuk mencari guru mata pelajaran Biologi. Kemudian gue menemukan sesosok bapak-bapak paruh baya yang pada kepala bagian depannya sudah botak mengkilap. Beliau sepertinya sedang mengkoreksi tugas yang berada di atas mejanya. Dengan perlahan gue mendekati guru tersebut.
"Maaf Pak..." "..." Guru tersebut menoleh. "Oh, Naufal ya""
"Iya pak." "Ada apa nak""
"Ini pak, saya mau minta remedial buat naikin nilai saya yang kurang." Gue mengeluarkan transkrip nilai dan memperlihatkannya kepada guru tersebut.
"Nilainya riskan juga ya, kamu sekarang ke perpustakaan. Nanti saya susul kesana."
"Baik pak." Gue balik kanan dari ruang guru dan masuk ke dalam perpustakaan. Gue menarik bangku dan duduk dengan perasaan yang tidak sabar, ingin cepat-cepat mengerjakan soal-soal ujian. Beberapa saat kemudian, guru yang barusan gue datangi masuk ke sini dengan membawa beberapa lembar kertas.
"Ini, kamu kerjain lagi ulangan sama UAS kemarin. Setelah ini selesai..." Omongannya terhenti, beliau mengambil kertas lain yang dibawanya.
"Kamu bikin makalah tentang Metabolisme, dan dua hari lagi baru dikumpulkan."
"Oh, baik pak."
"Nanti hasil ulangan ini simpan langsung di meja saya ya." Ujarnya.
Pak guru langsung pergi meninggalkan perpustakaan setelah memberi tugas-tugas tersebut kepada gue. Pandangan gue kini terfokus kepada soal-soal Biologi yang tertera pada kertas soal. Setelah mencoba mengingat hasil pembelajaran gue tadi malam, gue pun mulai mengisi satu persatu soal yang diujikan.
Okay, now I've done my first step. The next one is about to begin.
"Gimana ulangannya" Lancar ga"" Tanya Ojan ketika gue kembali ke kelas.
"Yah, lumayan lancar. Tapi gila nih, gue lupa-lupa inget sama bab Substansi Genetika, Reproduksi Sel, sama Pola-Pola Hereditas." Gue menghela nafas panjang sambil memegang kening.
"Ya emang susah kali, Pola-Pola Hereditas aja ada banyak gen yang harus dihafalin."
"Apaan aja sih""
"Pautan Gen, Pindah Silang, Gagal Berpisah, Gen Lethal, ah banyak deh." Ojan menggoyangkan tangannya di udara sementara gue bengong saat mendengar beberapa hal tersebut. ***
Malam harinya, gue sedang berada di warnet untuk 'ngebut' dalam mengerjakan tugas makalah yang baru gue terima tadi pagi. Gue mencari-cari materi tentang Metabolisme seperti Enzim, Katabolisme, Anabolisme, dan segala tetek bengek tentang materi Metabolisme lainnya.
Sudah hampir dua jam gue duduk di atas bangku plastik sambil mengedit dan menyusun semuanya menjadi satu buah makalah. Makalah yang gue kerjakan juga harus lengkap dengan cover, kata pengantar, daftar isi, dan daftar pustaka. Setelah selesai mengedit, gue bangkit berdiri dan berjalan menuju meja operator.
"Mas, bisa nge-print ga disini""
"Wah, ga bisa dek. Coba aja adek jalan ke tukang fotokopian di sana." Si mas-mas operator menunjuk ke luar, ke arah tempat fotokopian yang gue ragukan masih buka pada jam segini.
"Oh, makasih ya mas."
Gue kembali ke komputer, menyimpan data-data hasil kerjaan gue di dalam flashdisk lalu membayar harga sewa komputer dan berjalan ke tempat fotokopian yang barusan ditunjuk oleh si mas-mas operator.
Angin malam berhembus dengan kencang. Gue menaikkan resleting jaket hingga menutupi leher dan memasukkan tangan ke dalam saku jaket untuk menghalau dinginnya udara. Dan bisa ditebak, gue menjadi bersin-bersin karena hal ini. Alamat sakit lagi deh, batin gue dalam hati. Namun gue tidak peduli dan terus berjalan.
Ketakutan gue pun terbukti. Tempat fotokopi yang gue tuju ternyata sudah tutup. Gue celingukan ke kanan dan ke kiri, bingung. Akhirnya gue melanjutkan jalan kaki lebih jauh lagi untuk mencari tempat untuk mencetak makalah.
Pencarian pun berakhir ketika gue menemukan satu buah warnet yang multi fungsi: warnet untuk bermain game online serta untuk browsing biasa. Dengan langkah yang sedikit ragu, gue memasuki tempat tersebut.
"Mas, bisa nge-print"" Gue bertanya sambil mengangkat flashdisk yang gue bawa.
"Oh bisa." "..." Gue menyerahkan flashdisk kepada mas-mas tersebut.
"Yang mana filenya""
"Biologi Metabolisme."
Sambil menunggu hasil print, gue berjalan-jalan sedikit dan memperhatikan mereka yang sedang bermain. Ada rasa 'gatel' pada tangan ketika melihatnya. Ingin sekali rasanya untuk kembali bermain dan menaikkan level karakter. Gue pun mendekat ke salah satu orang yang sedang bermain, hanya sekedar untuk melihat permainannya.
"Ini dek." "Eh..." Gue sedikit kaget ketika si mas-mas operator mendekati gue yang sedang melihat ke arah layar monitor. Gue pun merogoh uang receh dan memberikannya kepada operator tersebut sambil menerima hasil pekerjaan gue.
Di dalam perjalanan pulang, gue kembali memikirkan tentang cara bermain orang tersebut dan menjadi kesel sendiri karena cara permainannya sangat berbeda jauh dengan gue. Ingin rasanya gue duduk di samping dia dan juga memainkan permainan yang sama hanya untuk sekedar show off tentang kemampuan dan karakter yang gue miliki. Tapi sekali lagi, ya sudahlah... ***
Sesampainya di rumah, gue tidak langsung tidur walaupun jam sudah menunjukkan angka 11 malam. Gue mengecek handphone, ada beberapa buah sms dari Aya. Gue membalasnya dengan singkat lalu berjalan ke dapur untuk mengambil camilan serta air putih. Mereka semua akan menemani gue malam ini untuk belajar tentang mata pelajaran yang rencananya, akan gue ulang pada hari esok.
Saat melewati ruang tengah dan melihat ps serta tv yang menganggur, ada perasaan ingin menyentuh dan memainkannya. Gue mematung di depan pintu kamar sambil membawa segelas air serta makanan. Bimbang. Antara masuk ke dalam kamar lalu belajar atau kembali ke ruang tengah, duduk manis di depan tv dan memainkan sang playstation yang seolah-olah sedang berteriak, meminta untuk dimainkan dimainkan.
Setelah gue berpikir-pikir, gue mendapatkan sebuah keputusan yang sudah mutlak. Gue rasa, gue harus mendapatkan sedikit hiburan setelah menjalani kegiatan belajar selama seharian penuh di sekolah. Study hard, play hard. Akhirnya gue memutuskan untuk kembali ke ruang tengah dan menyalakan ps.
Part 98 Looking for a Dream Pagi-pagi sekali sebelum pemantapan dimulai, gue sudah berada di sekolah dan stand by di depan ruang guru yang masih dalam keadaan sepi. Suasana disini agak gelap, temaram, karena lampu penerangan yang sudah mulai dimatikan. Matahari baru menampakkan sinarnya beberapa menit yang lalu, menampakkan sinar yang menghangatkan seluruh permukaan kerak bumi yang dingin dengan perlahan.
Gue menyimpan tas di atas kursi yang berada di depan ruang guru lalu mondar-mandir sambil menggesekkan kedua telapak tangan, mencoba mengusir dingin yang datang menyapa di pagi hari. Beberapa saat kemudian, guru Biologi yang gue tunggu-tunggu pun datang. Gue mengambil makalah pada tas lalu menghampirinya.
"Pagi pak." Sapa gue ketika beliau sudah berada di depan mejanya.
"Selamat pagi juga, nak Naufal." Jawabnya sambil tersenyum lalu melepas jaket kulit hitam yang dikenakannya.
"Ini pak, saya mau menyerahkan tugas makalah yang kemarin bapak berikan." Gue menyimpan makalah di atas mejanya.
"Wah, cepet juga ya kamu ngerjainnya."
"..." Gue hanya tersenyum saat mendengar pujian dari beliau.
"Mana coba, sini bapak lihat nilai rapor kamu." Gue merogoh saku baju dan mengeluarkan transkrip nilai Biologi.
"Ini pak." "Nanti siang kamu ambil lagi transkrip nilainya, bapak belum mengoreksi pekerjaan kamu yang kemarin."
"Baik pak, kalo begitu saya permisi dulu."
Gue menyalimi beliau dan kemudian keluar ruang guru dan mengambil tas lalu berjalan ke kelas. Gue mengeluarkan kertas yang berisikan to do list yang sudah gue buat semalam lalu mencoret mata pelajaran Biologi dari list tersebut. Ada 5 mata pelajaran lagi yang harus diulang, yaitu Matematika, Fisika, Kimia, Bahasa Inggris, dan Bahasa Sunda.
Untuk yang terakhir ini, gue sepertinya harus benar-benar belajar yang namanya Bahasa Sunda karena selama dua tahun lebih gue tinggal disini, gue belum bisa mengerti sepenuhnya tentang bahasa tersebut.
*** "Kantin yu Jan, laper nih."
"Kalem-kalem, nanggung lagi ngitung dulu bentar."
"Gue di depan ya."
"..." Ojan mengangguk dan kemudian gue berjalan ke luar kelas.
Matahari siang ini bersinar cukup terang dan panasnya menyengat permukaan kulit. Udara yang gue hirup pun terasa kering dan bercampur dengan debu yang berterbangan. Gue menggosokgosok hidung karena sedikit gatal. Namun hidung gue terasa geli, dan pada akhirnya gue bersin hingga berkali-kali.
Gue memang rentan dengan cuaca seperti ini: cuaca yang panas menyengat serta cuaca yang dingin. Badan gue memang lemah dan sulit untuk beradaptasi. Badan gue hanya bisa bertahan pada suhu yang normal, tidak panas ataupun dingin. Ketika gue mengelap hidung dengan sapu tangan, Ojan datang dan menepuk bahu gue.
"Yuk." Kami berdua berjalan menuju kantin dan melewati ruang guru, tiba-tiba gue teringat akan transkrip nilai yang harus gue ambil. Gue menyuruh Ojan untuk menunggu di depan lalu gue masuk dan berjalan ke arah meja guru Biologi.
"Pak, saya mau ambil transkrip nilai."
"Oh, iya. Tunggu sebentar ya."
Bapak tersebut membuka laci meja dan mengambil transkrip yang tadi pagi gue berikan. Saat menerimanya, gue melihat bahwa nilai gue kini sudah berubah menjadi sangat jauh lebih baik dari sebelumnya, yakni 86. Plus tanda tangan dari si guru yang bersangkutan sebagai bukti bahwa nilai tersebut tidak dipalsukan. Gue berterima kasih kepadanya dan langsung pamit.
"Yesss!" Gue mengepalkan tangan kanan di udara sementara tangan kiri gue memegang transkrip nilai.
"Kenapa lo""
"Liat nih..." Gue memperlihatkan nilai yang gue peroleh.
"Anjir, lebih gede dari nilai gue tuh!" Ujan menyentil kertas tersebut dan memasang wajah sirik.
"Hahaha!" Gue tertawa puas.
Entah bagaimana cara gue untuk mengungkapkannya, perasaan gue sangat senang sekali walaupun baru satu nilai saja yang sudah berubah. Tapi setidaknya ini dapat memacu semangat gue untuk membetulkan nilai-nilai yang lainnya.
*** Hari ini merupakan hari Minggu. Jadwal yang sudah gue setting untuk refreshing. Pagi-pagi sekitar pukul 7, gue sudah berdandan rapi a'la seorang pelari dengan menggunakan running shoes, celana training pendek serta jersey dari tim bola kesayangan gue: Manchester City. Pagi ini gue akan berolah raga di kawasan Car Free Dayyang berada di pusat kota dan pergi dengan menggunakan angkot, sendirian, tanpa mengajak Aya. Kenapa"
Rempong. Karena baru pertama kali, ekspektasi gue tentang CFD adalah jalanan kosong dan lengang sehingga mudah untuk dipakai berlari. Namun, yah, namanya juga ekspektasi. Kadang sangat berbeda jauh dengan fakta di lapangan.
Di sana sudah dipenuhi oleh berbagai macam jenis manusia. Ada yang sekedar jalan-jalan pagi bareng gebetan atau pacar, berjualan makanan, dan bahkan yang 'nge-ganteng' atau yang ber-4L@y ria pun ada.
Cowok-cowok yang memakai jeans pada pantat dengan rambut Kangen Band-nya, cewek-cewek yang memakai bando bertelinga kelinci dengan BlackBerry Gemini yang ditenteng pada tangannya serta dempul yang sudah sangat tebal sekali dan berjalan secara bergerombol.
Anak-anak gaul on the move.
Gue berdiri di depan sculpture yang bertuliskan 'Dago', bengong, sambil memperhatikan mereka semua. Lalu setelah menarik nafas panjang, gue berjalan diantara kerumunan manusia yang tak terhitung jumlahnya.
Semakin berjalan ke atas, ternyata suasana semakin ramai dibanding dengan di bawah tadi. Di sini banyak sekali orang-orang yang sedang senam pagi sambil diiringi oleh seorang, apa ya namanya" Sebut saja leader dance mereka. Bukan hanya satu, namun gue melihat ada beberapa grup yang melaksanakan senam pagi di depan factory outlet yang masih tutup.
Niat gue untuk lari pagi disini pun gagal total. Akhirnya gue berbelok ke kiri dan berjalan dengan santai di bawah pohon-pohon yang rimbun. Semakin jauh berjalan, gue menemukan satu buah kampus yang namanya sudah cukup terkenal di kota ini. Gue berdiri mematung sambil melihat logo yang bertuliskan nama dari institut tersebut, logo yang sangat jelas terpampang di depan mata, dan gue merasa penasaran dengan 'daleman' dari kampus tersebut.
Setelah tengok kanan dan kiri, gue menyeberang jalan dan masuk ke dalam kampus. First impression yang gue dapat dari kampus ini adalah satu: nyaman. Dari pintu masuk, gue sudah disuguhi oleh udara yang super sejuk karena banyak sekali pohon-pohon besar yang menjulang tinggi dengan daun yang rimbun. Hal ini membuat gue ingin terus berlama-lama dan menikmati suasana ini.
Karena didorong rasa penasaran yang semakin tinggi, gue memutuskan untuk berjalan semakin dalam. Gue mengagumi bangunan yang ada di dalam areal kampus ini. Unik, dan memiliki ciri khas tersendiri. Semakin gue melangkah jauh ke dalam untuk menyusuri wilayah sekitar, entah kenapa, muncul sebuah keinginan untuk menjadi salah seorang mahasiswa di kampus ini setelah lulus sekolah nanti.
Kini takdir memberikan gue sebuah tantangan yang baru.
Gue tersenyum dan membusungkan dada untuk menerima tantangan tersebut.
Kali ini, gue tidak mau kalah. I'm NOT gonna be a loser anymore!
Part 99 il Dolce Hanif Singkat cerita, gue sudah menuntaskan seluruh mata pelajaran yang harus diulang dengan hasil yang memuaskan. Nilai mata pelajaran Biologi, Fisika, Kimia, Matematika, Bahasa Inggris, dan Bahasa Sunda pun sudah meningkat dan di atas rata-rata. Untungnya dalam pelajaran bahasa Sunda, gue hanya perlu membuat sebuah makalah tentang bagaimana cara melestarikan budaya sunda. Dibantu dengan Ojan dan Humam tentunya.
Kini gue menghabiskan separuh kegiatan sehari-hari gue di sekolah. Maksud gue, benar-benar di dalam sekolah. Dari pukul 6 pagi hingga 2 siang, gue pasti berada di kelas untuk mengikuti kegiatan pemantapan serta belajar mengajar normal. Lalu setelah jam pelajaran usai, gue langsung ngacir ke perpustakaan untuk mengerjakan soal-soal dari buku tentang UN yang gue pinjam dari Aya.
Siang itu kegiatan belajar-mengajar baru saja usai. Gue membereskan barang bawaan dan memasukkannya ke dalam tas untuk pergi ke basecamp baru gue.
"Ikut ke perpus ga Jan"" Gue bertanya kepada Ojan yang sedang bermain game pada handphone.
"Enggak deh, gue ada les nanti jam 3." Jawabnya.
"Yaudah kalo gitu gue duluan ya."
"Sip!" Gue memasang earphone pada telinga dan berjalan keluar kelas sambil bernyanyi-nyanyi kecil, menyenandungkan lirik lagu The Man Who Can't Be Moved-nya The Script. Baru beberapa langkah setelah melewati kelas XII IPA-1, ada seseorang yang mencolek lengan gue dan secara reflek gue menoleh ke arah orang tersebut.
"Eh, Nif." Gue melepas sebelah earphone dan menyimpannya di pundak.
"Hallo, Fal."
Cowok Manja Merantau Karya Karnaufal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"..." Gue membalas senyumnya.
"Mau pulang""
"..." Gue menggeleng. "Perpus."
"Oh kalo gitu bareng ya."
"Mau kesana juga""
"Iya, nih aku udah bawa buku-bukunya." Hanif mengangkat sedikit buku yang dipegang di depan dadanya.
"Ayo deh." Kemudian kami berdua berjalan dalam diam. Gue kembali memasang sebelah earphone sambil memegang strap tas selendang yang gue pakai. Lalu tiba-tiba gue teringat akan Rizal. Sudah lama gue tidak bertemu atau berpapasan dengannya setelah kejadian di kantin beberapa waktu yang lalu.
"Nif"" "Hmmm"" "Rizal kemana""
"Oh, dia udah pulang duluan. Hari ini dia ada jadwal les soalnya."
"..." Gue membulatkan bibir sambil mengangguk.
Hanif seperti tidak bersemangat ketika gue membuka topik obrolan tentang Rizal. Jadi gue tidak meneruskannya. Beberapa saat kemudian kami berdua sudah sampai di perpustakaan. Sementara gue menyimpan tas pada loker penitipan, Hanif menulis namanya pada buku absen pengunjung perpustakaan. Setelah gue mengambil buku-buku yang akan gue pelajari, gue langsung mendekati Hanif dan berdiri di sampingya.
"Nih." Hanif memberikan gue pulpen yang ia gunakan barusan. Gue mengambil pulpen dari tangannya dan langsung menulis nama dalam absen. Setelah gue selesai menulis nama, gue menthumbspin lalu men-twirl pulpen tersebut like a pro drummer.
Dulu om gue merupakan seorang drummer. Setiap gue ke rumahnya, gue sering berlatih drum dan diajarkan langsung oleh om. Gue diajarkan dengan tempo yang pelan agar seluruh otot tangan dan kaki dapat terbiasa dalam bermain drum. Dulu, gue cuman belajar menggebuk drum pada hi-hat + snare sama hi-hat + bass secara konstan. Semakin lama gue bermain, otot-otot pada kaki dan tangan gue sudah bisa gue kontrol dengan baik dan pada akhirnya gue sudah bisa memainkan beberapa lagu pop yang tenar pada masa itu.
Gue menyimpan pulpen lalu berjalan ke arah meja dan duduk di samping Hanif.
"Kamu mau belajar apa, Fal""
"Fisika." Jawab gue sambil membuka lembar demi lembar halaman buku yang gue bawa. "Lo sendiri""
"Aku sih mau belajar Matematika. Aku masih ada yang kurang ngerti di bagian Invers sama Komposisi."
"Oh, itu mah ga susah kok. Gini nih caranya."
Gue tidak jadi membuka halaman soal-soal Fisika dan langsung lari ke bab Matematika. Gue merubah posisi duduk agar lebih dekat dengannya dan mengajari Hanif tentang materi tersebut dengan cara yang menurut gue paling mudah dimengerti olehnya. Setelah beberapa kali bertanya dan berlatih soal, akhirnya Hanif mengerti tentang apa yang gue ajarkan kepadanya.
"Yeeee! Aku bisa!" Hanif terlihat girang setelah selesai mengerjakan soal yang gue berikan.
"Siiip deh!" Gue mengacungkan jempol lalu merubah posisi duduk.
"Fisikanya tentang apa, Fal""
"Oh, ini, Optik sama Fisika Modern."
Gue langsung mengambil earphone dan memasangkannya pada telinga. Metode belajar seperti ini,
belajar sambil mendengarkan lagu yang singable, dapat membantu gue untuk lebih mengerti tentang materi yang sedang dipelajari.
Saat sedang sing along tanpa suara dan menggerak-gerakkan kepala sambil mengotret, Hanif mencolek lengan gue dengan pulpennya. Gue menoleh lalu melepaskan earphone.
"..." Gue menggembungkan mulut dan mengangkat alis.
"..." Hanif menggeleng lalu tersenyum. "Kamu udah banyak berubah, Fal."
"Berubah gimana"" Gue mengkerutkan kening.
"Dulu, kamu itu orangnya males belajar. Belajar tuh kalo mau ada ulangan sama pas ada tugas doang."
"Sekarang aku liat kalo kamu udah keliatan lebih rajin belajar, buktinya kamu bisa ngajarin aku tadi."
"Yah..."Gue tersenyum lalu menggaruk-garuk kepala. "Semua orang bisa berubah, Nif. Hahaha..."
"..." "..." "Kamu mau ambil jurusan apa nanti""
"Belum tau sih masuk jurusan apa-apanya mah."
"Kalo kampusnya""
"..." Gue memain-mainkan bibir.
"Kayaknya gue mau masuk ke situ." Gue menyebutkan satu buah nama universitas.
"Waaah, semoga kamu bisa masuk situ ya Fal."
"Amiiin, kalo lo sendiri""
"Planologi." "Di mana""
"Belum tau dimana, tapi aku ingin masuk ke Planologi pokoknya."
"Yaudah deh, semoga kita masuk ke tempat yang diinginkan masing-masing ya." Jawab gue sambil tersenyum.
"Amin." Akhirnya gue menghabiskan waktu untuk belajar bersama Hanif di dalam perpustakaan.
Aneh. Seluruh rasa sakit yang dulu pernah ditimbulkannya, kini gue tidak lagi merasakannya kembali. Kenapa" Entahlah, gue merasa bahwa kedekatan gue dengan Hanif kini bisa dibilang sudah benar-benar menjadi teman tanpa adanya embel-embel 'mantan' yang mengikuti di belakangnya.
Dan ya, Gue senang akan hal itu. Part 100 Membakar Semangat Terdengar bunyi mesin motor yang dimatikan lalu beberapa saat kemudian suara bel menggema di dalam rumah. Gue menyimpan pulpen di atas meja belajar yang setiap sudutnya sudah dipenuhi oleh buku serta kotretan yang sudah lecek sana-sini. Setelah meminum setengah gelas air putih, gue berjalan ke gerbang rumah dan membukanya.
"Masuk Ay." Gue memberi isyarat jempol kepadanya.
Aya langsung memasukkan motor lalu melepaskan helm dan menyimpannya di atas spion. Dengan perlahan Aya menurunkan resleting jaket yang dikenakannya lalu merapikan rambut yang sepertinya sengaja ia simpan di balik jaketnya. Sambil menguncir rambut panjangnya, Aya memanggil gue yang sedang menggembok pagar.
"Tolong dong bawain tas gue. Berat nih."
"Iya, bentar." Gue menghampiri Aya dan mengambil tas yang disimpan di antara kedua kakinya. "Buset, berat banget Ay"!"
"Itu buku-buku mata kuliah gue."
"Hari ini jadwal gue tuh harusnya penuh sampe sore, cuman ya biasa lah. Dosennya ga dateng." Aya mengeluh sambil turun dari motornya.
"Sabtu juga masih ngampus ya""
"Kelas tambahan doang." Ujar Aya yang langsung ngeloyor masuk.
Wangi parfum Aya sempat tercium oleh hidung ketika dia berjalan melintasi gue. Gue sedikit menghirupnya dalam-dalam dan menikmatinya lalu masuk ke dalam. Aya sudah duduk manis di atas sofa, terlihat bahwa jaket yang ia kenakan sudah terlepas dan disimpan di sampingnya. Dia bersandar sambil mengibaskan tangan pada lehernya yang sedikit berkeringat.
"Kalo lo mau minum, lo udah tau harus nyari dimana." Ujar gue sambil menyimpan tas Aya di ruang tengah lalu kembali masuk ke dalam kamar.
Baru beberapa saat setelah gue duduk dan kembali belajar, suara nyaring dari televisi di ruang tengah terdengar hingga ke dalam kamar. Gue mengambil earphone dan memasangkannya pada telinga lalu menaikkan volumenya sedikit.
Mungkin sekitar setengah jam kemudian, ada seseorang yang tiba-tiba memegang kedua pundak gue dan orang tersebut menyimpan dagunya di atas kepala gue.
"Woi, jangan ganggu dulu laaah." Gue sedikit berontak.
"Jangan terlalu serius napa Fal, istirahat dulu kek." Aya melepaskan earphone yang gue kenakan.
"Iya-iya, entar gue istirahat. Tanggung."
"Kalo gitu gue mau tidur-tiduran dulu ya."
"Di kamer sebelah aja tidur-tidurannya."
Gue kembali memfokuskan pikiran pada soal-soal yang sedang gue pelajari tanpa menghiraukan Aya yang sepertinya sudah pergi dari kamar gue.
*** Penat pun menjalar di kepala. Gue menyimpan pulpen lalu mengangkat kedua tangan ke atas, meregangkan seluruh persendian dan mendesah sambil menikmati hal yang sedang gue lakukan. Gue bangkit dari kursi, membalikkan badan namun gue sedikit terhentak kaget ketika melihat Aya sedang pulas di atas kasur.
Posisi tidurnya tidak rapi, badannya berada di pinggir kasur serta sebelah kakinya sedikit menggantung. Gue berjalan mendekati Aya dan merapikan sedikit posisi tidurnya. Dengan perlahan gue mengangkat kaki Aya sehingga kedua kakinya berada di atas kasur dan kemudian menggeser badannya agak lebih ke tengah.
Gue duduk di sampingnya, menyibak poni yang menutupi keningnya dengan lembut dan memperhatikan raut wajah Aya yang sedang tertidur. Dia tertidur dengan pulas dan menyiratkan kedamaian pada wajahnya yang manis. Bibirnya tersenyum simpul dan nafasnya teratur sehingga membuat dadanya naik turun dengan seirama, hal ini membuat nafsu gue sedikit meningkat setelah melihat pemandangan tersebut.
Gue buru-buru bangkit berdiri dan menyelimuti Aya hingga ke leher dengan bed cover dan keluar kamar sebelum gue berbuat hal-hal yang tidak pantas gue lakukan terhadapnya. ***
Setelah shalat ashar, gue duduk di bangku teras rumah sambil mengayun-ayunkan kaki dan menikmati sinar matahari sore yang berwarna kuning keemasan sambil mendengarkan gemericik air mancur. Suara burung yang dipelihara oleh tetangga sebelah pun menjadi pelengkap suasana tenang pada sore hari ini.
Lalu terdengar pintu yang terbuka dan gue menoleh ke arah sumber suara tersebut. Aya muncul dari balik pintu dengan wajah khas orang baru bangun tidur. Menggemaskan.
"Puas tidurnya""
"..." Aya duduk di sebelah gue, bengong dan tidak menjawab. Sepertinya dia sedang mengumpulkan nyawanya yang masih berterbangan di alam mimpi.
"Eh, gue pinjem motor dong Ay."
"..." Tiba-tiba ekspresi wajah Aya berubah dan menatap gue. "Buat apa""
"Gue pengen muter-muter."
"Bentar, gue ikut." Aya langsung masuk ngeloyor ke dalam. ***
Anget-anget tai ayam. Pada saat pertama kali keluar, tai tersebut masih terasa hangat. Namun lama kelamaan tai tersebut menjadi dingin dan sama sekali tidak menyisakan rasa hangat, tidak seperti saat pertama kalinya tai tersebut dikeluarkan. Mungkin hal ini merupakan filosofi yang tepat dengan apa yang sedang gue alami sekarang.
Awal memasuki semester baru, gue belajar dengan semangat yang menggebu-gebu dan ditambah dengan sedikit gambaran mengenai universitas yang (semoga) akan menjadi universitas gue kelak. Namun, yah, semakin mendekati hari Ujian Nasional, gue menjadi tidak bersemangat untuk belajar.
Gue butuh sesuatu yang dapat menghangatkan 'tai ayam' tersebut.
"Lo mau kemana sih"" Tanya Aya yang suaranya tersamarkan oleh deru mesin motor dan mobil yang melintas di samping kami.
"Haaah"" "Mau kemanaaa""
"Ga tauuu..." Gue memang tidak memiliki arah dan tujuan, saat ini gue hanya ingin berkeliling untuk melepas penat yang datang melanda. Sudah berkilo-kilo meter jalan yang kami berdua tempuh, namun sepertinya gue malah nyasar di tempat antah berantah dan masuk ke dalam sebuah komplek perumahan. 'Setra Duta', itulah nama yang terpampang pada pintu masuk komplek tersebut.
"Ngapain kesini""
"Ga tau, gue nyasar kayaknya Ay."
"Euh..." Gue memperlambat laju motor dan melihat-lihat rumah yang berada di sini. Di sepanjang jalan yang kami lalui, banyak sekali rumah besar dan mewah yang memiliki tampilan depan yang sangat menarik.
Ada rumah bergaya modern minimalis dengan pagar dan tembok yang diberi cat berwarna abu-abu, ada rumah yang bergaya klasik namun terlihat megah dengan diberi cat berwarna kuning, dan masih banyak lagi rumah-rumah keren lainnya.
Gue menepikan motor dan mengeluarkan handphone lalu mengarahkannya kepada satu buah rumah di seberang jalan.
Ckrek! "Rumah orang kenapa difoto""
"Biarin, bagus rumahnya. Gue suka modelnya."
"Terus itu fotonya mau diapain""
"Gue cetak." "Terus"" "Disimpen di meja belajar."
"Buat"" "Biar gue punya gambaran 'Oh, ini loh rumah gue di masa depan.' Ngerti gak""
"Ngerti kok..."
Gue menarik tuas gas dan kembali berjalan. Sesekali gue juga memberhentikan motor ketika melihat sebuah rumah yang menarik perhatian, dan tentunya gue mengambil foto dari rumah tersebut.
"Ay..." Gue memanggil Aya sambil melihat ke arah layar handphone.
"Hmmm"" "Pulang yuk." "Ya ayo deh, kita pulang."
"Ay..." "Hmmm"" "Ay..." "Apa"" Aya meninggikan suaranya.
"Gue..." "..." "Ga tau jalan pulang..."
Gue membalikkan badan dan nyengir kuda kepada Aya.
Part 101 The Second and The Beginning
Setelah kejadian dimana gue yang tersesat dan tak tahu arah jalan pulang seperti butiran debu, Aya menjadi bersemangat untuk mengajak gue jalan-jalan mengelilingi kota ini agar gue menjadi tidak buta jalan.
Minggu pagi itu, dimana besoknya adalah hari tenang menuju Ujian Nasional, Aya kembali datang ke rumah. Gue menebak-nebak bahwa Aya akan mengajak gue untuk jalan-jalan (atau lebih tepatnya menghapalkan jalan).
"Siap-siaaaap, cepetan sana ganti baju!" Aya mengobrak-abrik selimut yang gue kenakan.
"Ah bawel lo ah gue masih pengen tidur!"
"Ini udah jam berapa Naufaaaal, udah jam 11 tauuu udah siang ini. Ayo ah buruan ah." Aya menggenjot-genjot kasur sambil mendesah manja.
"Suara lo kayak lagi gue apain aja deh."
"Cepet bangun makanyaaa."
"Iya-iya, gue bangun nih. Ngumpulin nyawa dulu."
"Gue tunggu di depan ya."
"..." Gue mengangguk dan bangun lalu kemudian duduk di pinggiran kasur.
Setelah merasa bahwa gue sudah meraih kesadaran penuh, gue beranjak dan pergi ke halaman belakang untuk mengambil handuk. Saat melewati meja makan, gue mencomot sedikit ikan mas bakar buatan bibi dan kemudian mencocolnya pada sambel kecap lalu memakannya. Nikmat.
"Cepeeet!" Aya berteriak dari ruang tamu.
"Iya bawel!" Gue juga berteriak dan kemudian mengambil handuk untuk mandi sambil menyempatkan diri untuk kembali mencomot ikan mas yang rasanya super maknyus tersebut.
*** Kami berdua berputar-putar mengelilingi kota selama hampir dua jam lebih hingga langit yang pada awalnya berwarna biru cerah, kini sudah berubah warna menjadi abu-abu, abu-abu pekat yang menandakan bahwa sebentar lagi hujan akan turun.
"Ay, balik aja lah yuk. Mau ujan nih."
"Iya deh, jangan ngebut-ngebut tapi ya."
"Ok." Gue mengangguk dan mengarahkan motor menuju rumah.
Angin bertiup dengan kencang hingga membuat daun-daun kering berterbangan dan disertai oleh suara gemuruh yang bersahut-sahutan di langit, tanda-tanda yang menunjukkan bahwa sebentar lagi hujan akan turun dengan lebat. Dan sialnya, gue terjebak macet di lampu merah.
Gue berdoa dalam hati agar Tuhan menunda turunnya hujan sebelum gue datang ke rumah. Tanpa basa-basi lagi, gue langsung menarik tuas gas ketika kemacetan sudah agak lengang. Aya mengencangkan pegangan pada jaket gue seiring dengan bertambahnya kecepatan motor.
Untuk tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Hujan turun dengan perlahan dan kemudian menjadi sangat besar. Lebat. Dan kesialan lainnya adalah, Aya tidak membawa jas hujan. Gue menambah laju kecepatan motor di atas jalanan yang basah lalu menggerutu kepada Aya.
"Lo kenapa ga bawa jas hujan siiih"!" Gue berteriak dari balik helm yang sudah 'jibrug' oleh air hujan.
"Gue juga lupaaa, gue kira ga akan hujan kayak giniii!" Suara Aya samar-samar terdengar.
"Hah"!" "Lupaaa!" Gue menggelengkan kepala dan mencoba untuk berkonsentrasi penuh dalam berkendara karena kaca helm yang gue kenakan ini lumayan gelap serta ditambah dengan jarak pandang yang sangat pendek.
*** Adzan Ashar berkumandang ketika kami berdua sampai di depan gerbang rumah. Gue buru-buru memarkirkan motor di depan pagar dan membuka kuncinya sementara Aya berteduh di bawah kanopi sambil mengelap wajahnya. Setelah pagar terbuka, gue memberi kunci rumah kepada Aya dan dia ngeloyor masuk ke dalam sementara gue memasukkan motor.
Setelah menutup pagar, gue menghentak-hentakkan tangan dan mencoba untuk mengurangi jumlah air yang berada di jaket lalu masuk ke dalam. Di dalam ternyata Aya sudah berada di halaman belakang sambil mengeringkan rambut panjangnya yang sudah basah kuyup dengan menggunakan handuk gue.
"Mandi gih sekalian. Gue ambilin bajunya dulu."
"..." Aya mengangguk sambil menggelung rambutnya dengan handuk.
Setelah memberikan baju training gue kepada Aya, dia langsung ngeloyor masuk ke dalam kamar gue dan berbelok ke kamar mandi. Gue mendengus lalu mengambil handuk kering lainnya dan baju untuk gue kenakan. Setelah berganti baju, gue tidur-tiduran di atas kasur sambil menunggu Aya selesai berurusan dengan kamar mandi.
Baru beberapa saat setelah gue merebahkan badan, tiba-tiba kepala gue serasa berat dan berputar. Gue mengernyitkan dahi dan mengurut kening diantara kedua alis sambil memejamkan mata eraterat. Lalu beberapa saat kemudian, gue pun terlelap.
*** Gue terbangun dengan kepala yang berat ketika gue merasakan ada sesuatu yang hangat yang menempel di kening. Perlahan gue menggerakkan tangan dan merabanya. Ada handuk basah yang tertempel disitu. Gue hendak mengambil handuk tersebut namun tangan gue ditepis dengan lembut oleh seseorang dan dia langsung mengambilnya.
"Duuuh, sorry ya gara-gara gue elo jadi sakit panas gini Fal." Ternyata Aya sedang duduk di samping gue, di atas kasur yang sama.
"Kok lo ga pulang"" Gue berkata lirih. "Ini jam berapa""
"Engga, gue ga pulang Fal."
"Udah jam setengah dua belas malem sekarang." "Mau makan ga" Makan dulu ya"" Tawar Aya.
"..." Gue memejamkan mata dengan erat sambil menyimpan lengan di atas kening lalu mengangguk.
Perlahan Aya turun dari kasur dan pergi keluar kamar. Gue sama sekali tidak memikirkan tentang alasan kenapa Aya tidak pulang ke rumahnya. Otak gue sedang tidak bisa untuk diajak berpikir dengan jernih. Lalu tidak lama kemudian Aya kembali ke kamar sambil membawa sebuah mangkuk.
"Ayo, bangun dulu. Gue suapin." Aya membantu gue untuk duduk bersandar pada kasur. "Mana mulutnya" Aaaa..."
Bubur, Aya menyuapi bubur tersebut dengan perlahan dan gue juga mengunyahnya dengan sangat pelan. Aya sama sekali tidak protes ketika gue meminta yang macam-macam seperti meminta teh manis hangat, meminta untuk menambah gula-nya sedikit karena kurang manis, meminta air putih, walaupun itu semua membuat Aya bolak-balik dari kamar ke dapur. Namun Aya sama sekali tidak mengeluh dan tetap menuruti gue dengan sabar.
"Udah Ay, kenyang."
"Minum obat dulu ya""
"..." Gue menggeleng.
"Minum obat dulu ya Fal" Biar cepet sembuh."
"..." Gue tetap menggeleng.
"Yaudah gih, tidur aja lagi."
"..." Kali ini gue mengangguk.
Aya membantu gue membaringkan badan di atas kasur. Setelah menyelimuti gue, Aya meyarap naik dan kembali duduk di samping gue yang sedang berbaring. Lalu tiba-tiba Aya memijat pelan kening gue dengan jemarinya yang halus sambil menyanyikan sebuah lagu dengan suara yang lembut dan sangat meneduhkan hati.
Baby, baby blue eyes Stay with me by my side 'Til the mornin', through the night
Pijatan Aya dan suaranya yang lembut ini sukses membuat mata gue perlahan-lahan terpejam, mengantarkan gue menuju gerbang alam mimpi dengan perasaan yang damai...
*** Gue lupa hari ke berapa gue sakit, tapi gue ingat tenang apa yang terjadi pada hari itu.
Sebuah kejadian yang sangat gue ingat sekali.
Gue yang sedang tidur, terbangun ketika gue merasakan ada seseorang yang duduk di atas kasur. Gue tidak menghiraukan hal tersebut karena gue tahu bahwa seseorang tersebut adalah Aya dan gue tetap memejamkan mata.
"Fal..." Aya berkata dengan lembut sambil menyisir pelan rambut gue. "Kenapa ya aku suka sama kamu""
Deg! Aya menggunakan panggilan 'aku-kamu'!
Gue mencoba untuk tetap tenang dan terus menutup kedua mata.
"Aku bukan suka lagi sama kamu, aku sayang sama kamu..." "Sayaaang banget..."
"Kamu cepet sembuh, minggu depan soalnya kamu udah UN." "Semoga nanti ngerjainnya lancar ya..."
Rambut Aya yang panjang menjuntai dan mengenai pipi gue.
Geli. Lalu kemudian gue merasakan bahwa Aya mengecup lembut kening gue. Tidak lama, hanya sebentar saja. Kemudian gue merasakan hembusan nafasnya pada wajah gue dan Aya kembali mengelus rambut gue dengan pelan.
Dan... Ya. Bibir mungil nan halus milik Aya menyentuh bibir gue dengan perlahan, lembut sekali. Aya mengecup bibir gue. Berbeda dengan yang pertama, kali ini ada sebuah sensasi aneh yang gue rasakan, sebuah sensasi yang bergejolak di dalam dada dan gue dapat merasakan kasih sayang tulus milik seorang Aya, kasih sayang yang tersalurkan melalui pertemuan dari kedua bibir kami yang saling bertautan.
Gue... Gue ga bisa menjelaskan perasaan yang gue rasakan kepada Aya sekarang.
Tapi satu yang gue tau, gue ga mau salah dalam mengambil langkah lagi.
Gue langsung memegang dagu Aya dan membalas kecupannya. Aya terlihat kaget dan berusaha untuk memundurkan kepala, namun gue menahannya dengan tetap memegang dagu Aya.
Perlahan gue melepaskan bibir dari bibir Aya dan sedikit mengangkat kepala sehingga kening kami berdua saling bersentuhan. Hidung kami berdua juga bersentuhan dengan lembut dan gue melihat mata Aya terpejam. Gue menaikkan kepala dan mengecup lembut kening Aya sambil memegang kedua pipinya.
Lalu kedua mata kami berdua saling beradu.
Gue tersenyum kepadanya, dan gue berkata dengan pelan.
"Kamu mau kan jadi pacar aku""
Aya tidak menjawab namun gue melihat ada sebuah aura kebahagiaan yang terpancar dari matanya. Bibirnya bergetar dengan pelan, namun Aya tetap mencoba untuk tersenyum di depan gue.
"Amalia, kamu mau kan jadi pacar aku""
"..." Aya masih membisu.
Senyumannya semakin merekah, lalu gue melihat bahwa Aya menganggukkan kepalanya.
Gue mengucap syukur di dalam hati dan menarik badan Aya agar berada di dalam pelukan gue...
Part 102 Helianthus Gue masih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi, dan satu buah hal yang paling tidak pernah gue sangka dan hanya bisa gue impi-impikan sebelumnya adalah: gue punya pacar lagi! Cihuy!
Tapi... What if i say, if this was just a dream" But, hey, I'm not dreaming!
This is real! Oh well, Sudahlah, Lupakan saja... It was just a day dreamer's imagination. But now he's not a day dreamer anymore...
*** Tangan kiri gue mengelus lembut kepala Aya yang sedang tidur-tiduran pada pundak sebelah kiri gue sementara tangan kirinya melintasi perut gue dan memainkan jari-jemari tangan sebelah kanan gue dengan manja. Kami berdua masih saling mengunci mulut rapat-rapat, mencoba meresapi momen yang baru saja terjadi beberapa saat yang lalu dan juga menikmati momen kebersamaan seperti ini. Lalu beberapa saat kemudian, Aya membuka pembicaraan.
"Fal"" "Hmmm"" Gue melirikkan ujung mata ke arahnya.
"..." Aya menggeleng lalu mencolek hidung gue sambil tersenyum manis.
Gue tertawa kecil lalu menaikkan bahu sebelah kiri gue sehingga kepala Aya mendekat dan gue mencium lembut ubun-ubunnya. Indera penciuman gue pun merasa tergelitik ketika menghirup aroma rambut Aya.
"Duuuh dari tadi cium-cium terus deh..." Ujar Aya dengan manja sambil menyisipkan jemari tangan kirinya pada tangan kanan gue dan memegangnya dengan erat. Gue pun membalas genggamannya tanpa canggung lagi.
"Aku ga pernah nyangka loh kalo sekarang kita bisa jadi kayak gini."
"..." "Masih inget kan waktu pertama kita kenalan dulu""
"..." Aya mengangguk. "Banget."
"Duh, itu yang namanya tatib. Ngeselinnyaaa minta ampun." Gue menggelengkan kepala. "Pengen banget rasanya ngebejek-bejek si tatib itu."
"..." Aya tertawa lalu semakin mendusel dengan manja. "Dulu juga kamu itu ngeselin tau."
"Ngasih surat cinta yang isinya nyindir banget." "Bikin aku pengen maraaah terus sama kamu." "Eeeh taunya sekarang jadi pacar aku deeeh."
"..." Gue tertawa kecil. "Ay..."
"Hmmm"" "Tangan kiri aku, kesemutan..."
"Terus"" "Ya bangun dulu lah Aya." Gue mencubit sebelah pipinya.
"Iiih kamu mah, aku lagi enak-enakan gini malah disuruh bangun. Ish nyebelin." Dengan wajah cemberut, Aya mencubit perut gue lalu bangun dari tidurnya.
"Manja-manjaannya nanti lagiii." Gue mengedipkan mata secara bergantian.
"& " Aya menggeleng lalu merentangkan kedua tangannya lebar-lebar sambil memiringkan kepalanya.
"Peyuuuuk..." "Ga mauuu, manja banget sih!" Gue bangun dari tidur lalu mencubit hidungnya.
"Ish& " Aya memasang wajah cemberut yang dibuat-buat, sebuah ekspresi yang manis manja dan sangat menggemaskan!
"Eh, kita bikin makanan yuk! Aku laper nih."
"Emang ada bahan makanannya""
"Ada kok, di kulkas ada banyak kalo ga salah."
Aya langsung turun dari kasur dan pergi ke arah dapur sementara gue kembali tidur-tiduran. Gue menyimpan lengan di atas kening lalu berterima kasih kepada Tuhan yang telah 'membuka' mata gue yang sudah terbuka lebar, sangat lebar. Dulu, gue selalu mengeluh tentang daya tahan tubuh gue yang lemah sehingga mudah terserang penyakit.
Gue sangat sering merasa bahwa imunitas di dalam tubuh gue ini merupakan sebuah kekurangan yang fatal, tetapi gue baru saja menemukan sebuah hikmah dibalik kekurangan yang gue miliki ini. Dan ya, gue sangat bersyukur akan hal tersebut.
Satu buah kenikmatan yang diberikan oleh Tuhan dengan cara yang berbeda, dan gue akui bahwa hal ini memang sedikit sulit untuk gue pahami. Sesuatu yang terlihat negatif di mata kita ternyata belum tentu negatif di mata Tuhan. Ya contohnya seperti gue ini. Jika gue tidak hujan-hujanan dan tidak terserang penyakit, gue yakin, saat ini gue tidak akan merasa se-bahagia seperti ini.
Tapi... What if i say, if this was just a dream" But
Cowok Manja Merantau Karya Karnaufal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Umm, Oh well, Okay, Once, I was a day dreamer. But I'm not anymore.
'Cause now I believe in this surreal thing.
This is the most surreal thing that ever happened to me! Feels like I am dreaming,
But I'm not dreaming. I'm awake,
And I've found a dream in my consciousness. A brand-new dream,
And the dream's blossom when I grab it, Like a Helianthus Sunflower,
Oh, under the blue sky. Part 103 Final Countdown Setelah beberapa jam berkutat dengan buku-buku pelajaran dan soal-soal yang membuat kepala gue serasa ingin pecah, gue memutuskan untuk beristirahat dulu sebentar lalu mengambil handphone dan mengecek notifikasinya.
Tidak ada notifikasi apapun, termasuk dari Aya.
'Gila nih, Aya beneran ternyata.' Batin gue dalam hati.
Baru saja satu hari, gue sudah merasakan sebuah rasa kangen, rasa kangen yang bener-bener kangen. Ada niatan untuk menghubungi Aya, namun gue mengurungkan niatan tersebut. Kemudian gue mengetikkan sebuah nomor telepon dan langsung menelpon nyokap.
"Hallo, assalamualaikum."
"Waalaikum salam, mam, doain kakak ya. Besok kakak udah masuk UN hari pertama."
"Iya kak, mamah selalu doain kakak terus."
"Besok ngerjain soalnya jangan ceroboh, jangan buru-buru, yang teliti."
"Iya mam." "Nanti tidurnya jangan kemaleman juga, biar nanti bisa bangun subuh buat belajar lagi."
"Iya mam." "Yaudah, sana kakak belajar lagi."
"Oke deh mam." "Eh mam!"
"Iya kak""
"Engga jadi deh, hehehe." "Assalamualaikum."
"Waalaikum salam."
Gue menutup telepon lalu bersandar pada kursi meja belajar sambil memutar-mutar handphone yang sedang dipegang. Bengong.
Mungkin karena didorong oleh rasa kangen yang sudah memuncak, tiba-tiba otak gue memutar kembali sebuah memori yang baru saja terjadi di hari kemarin, sebuah memori tentang momen di antara gue dengan Aya,
Sebuah momen tentang kami berdua.
*** Sosok Aya muncul dari eskalator lalu dia berjalan sambil menenteng dompet serta handphone di tangan kirinya. Setelah menemukan keberadaan gue, Aya sedikit berlari menghampiri gue dengan wajah yang sumringah dan tanpa ragu lagi dia langsung melingkarkan tangannya pada lengan gue sambil tersenyum manis.
Outfit of the day Aya kali ini adalah kaos (atau bisa disebut juga sebagai sweater gombrong, gue ga tau apa namanya) berwarna putih panjang hingga selutut. Pakaian yang dikenakan oleh Aya ini menampilkan kedua kakinya yang putih mulus tanpa ada defect sedikit pun. Lengan panjang dari baju yang dikenakan oleh Aya juga tidak digulung sehingga menutupi jemari di kedua tangannya. Rambut panjang Aya yang mempesona itu, sekarang dikuncir kuda dan poninya dibiarkan tergerai indah di depan keningnya. Rambut Aya bergoyang ke kanan dan ke kiri seiring dengan derap langkah yang diambilnya.
Aya. Gue ga bisa menggambarkan penampilannya dengan kata-kata. I swear, there are no words that can describe it.
Namun hanya ada satu buah kata untuknya: Perfect.
"Uuuh, cantiknya pacar aku ini." Gue menggoda Aya.
"Ih apaan sih." Aya tersipu sambil mencubit pelan perut gue.
"Hahaha..." Gue terkekeh lalu kami berdua berjalan menuju salah satu teater bioskop yang (katanya) memiliki layar terbesar se-Indonesia.
Bergandengan tangan, Sebagai sepasang kekasih.
Di sepanjang perjalanan menuju teater, tidak jarang gue mendapati mata para laki-laki yang memperhatikan kami berdua. Entah karena sirik akan kegantengan gue yang super ini atau memperhatikan bidadari yang sedang melingkarkan tangannya pada lengan gue. Entahlah...
"Kamu beneran pake baju ini"" Tanya gue ketika sudah duduk di dalam teater.
"..." Aya mengangguk.
"Tapi kamu pake legging atau short juga kan""
"Aku pake legging pendek kok."
"Ga takut kedinginan""
"..." Aya menggeleng.
"Kalo dingin, aku tinggal pinjem jaket kamu."
"Emang aku mau minjemin""
"Harus mau!" "Terus aku gimana dong kalo nanti kedinginan""
"Emang gue pikirin! Weeek!"
Ketika lampu mulai diredupkan, kami berdua langsung merapatkan posisi duduk dan gue
mengambil tangan Aya yang sedang menganggur lalu menggenggamnya dengan erat. Gue dapat merasakan kehangatan yang menjalar pada jemari gue ketika menggenggamnya dan film yang diputar pun menjadi semakin menarik untuk ditonton.
"Fal... Fal..."
"Hmmm"" Gue menoleh kepada Aya.
"Mana mulutnya""
"..." Gue membuka mulut dan Aya langsung memasukkan popcorn pada mulut gue.
Gue mengunyah sambil senyam-senyum sendiri dan terus menatap wajah Aya yang samar-samar disinari oleh pantulan cahaya redup yang berasal dari layar. Gue menghiraukan setiap adegan yang ditampilkan dan tetap mengagumi kecantikan yang dimiliki oleh seorang Aya.
Mungkin karena merasa diperhatikan, Aya menoleh ke arah gue dan langsung mencubit lengan gue.
"Ish, jangan liatin aku terus."
Gue tertawa kecil saat mendapat perlakuannya yang seperti itu lalu gue menarik lembut kepala Aya agar bersandar di bahu gue.
*** Setelah film selesai, kami berdua langsung keluar dari teater dan pergi menuju salah satu restoran yang memiliki ciri khas dekorasi yang dominan berwarna ungu untuk mengisi perut yang sedari tadi sudah meronta, meminta jatahnya untuk diisi.
"Mau pesen apa"" Tanya gue kepada Aya yang juga sedang membolak-balikkan buku menu.
"Ini aja deh." Aya menunjuk salah satu menu.
"Minumnya""
"Hmmm..." Aya menyimpan telunjuknya pada dagu. "Orange Juice!"
"Oke." "Saya pesan yang ini ya mas..."
Gue menyebutkan pesanan kami berdua kepada pelayan. Setelah menyebutkan pesanan, pelayan tersebut meninggalkan meja kami berdua sambil membawa catatan dari pesanan kami.
"Kamu kan lusa udah UN tuh, sekarang aku mau tantang kamu. Berani gak"!" Aya membuka pembicaraan.
"..." Gue tertegun. "Mau nantang apaan""
"Mulai besok..." Aya membenarkan posisi duduknya. "Kita ga kontakan dulu sampe kamu selesai UN."
"Laaah..." "Mau gak""
"Buat apaan sih"" Gue protes.
"Biar kamu fokus belajar sama nanti ngerjainnya lancar."
"..." Gue sedikit menundukkan kepala lalu menggaruk tengkuk. "Perlu banget ya pake nantang-nantang segala""
"Nanti ada hadiahnya kok!"
"Apa hadiahnya""
"..." Aya melipat kedua tangannya di atas meja lalu tersenyum manis sambil memiringkan kepalanya.
"Rahasia dong, Naufalku sayang."
"..." Gue meraih sebelah tangannya lalu menggenggamnya sambil tersenyum ragu.
Ada sebuah perasaan ragu di hati gue akan hal ini. Apa bisa gue tidak berkomunikasi dengan Aya
selama hampir satu minggu penuh" Kalo dulu, ya, gue yakin gue bisa tidak berkomunikasi dengannya walaupun hingga satu bulan lamanya. Tapi sekarang, sepertinya gue tidak akan mampu jika tidak mendapatkan kabar dari Aya walaupun hanya dalam satu jam saja.
"Mau atau enggak, sayang"" Ujarnya lembut sambil menatap kedua mata gue.
"..." "Faaal"" "Hadiahnya apaan" Jangan buat aku penasaran deh."
"..." Kini Aya menggenggam tangan gue dengan kedua tangannya. "Pokoknya, hadiah ini special buat kamu."
"Hmmm..." "Jadi"" "..." "Tapi inget, sampe UN selesai doang lho ya, jangan lebih." Ancam gue kepada Aya.
"Kenapa" Takut kangen ya" Cieee..."
"..." Gue memalingkan wajah lalu mengangguk pelan.
Anggukkan tersebut langsung disambut oleh tawa renyah milik Aya. Kemudian dia mengelus lembut punggung tangan gue, seolah-olah menjawab setiap keraguan yang muncul pada diri gue seraya berkata:
"Aku ga akan kemana-mana, aku pasti dan akan selalu ada." "..."
"Di dalam hati kamu..."
*** Sekarang gue menjadi senyam-senyum sendiri setelah mengingatnya. Memang benar, Aya selalu berada di dalam hati gue. Dia tidak akan pernah hilang.
Lalu sambil memasang sebuah senyuman yang tak henti-hentinya merekah, gue kembali mempersiapkan diri untuk menghadapi Ujian Nasional yang akan diselenggarakan esok hari.
Thank you, my darl. And now,
It's time to pump up the jam!
Part 104 For Real" Dulu, gue pernah iseng baca-baca kutipan tentang seseorang yang sedang merindukan kekasihnya. Dan apa reaksi pertama gue setelah membaca sederet kutipan tersebut" Well, they're talking about shit and that shit's full of crap. Tapi sekarang, sepertinya gue menjilat ludah sendiri.
Dulu, gue selalu tidak mau mengakui eksistensi dan kebenaran tentang kutipan tersebut karena (pada saat itu) gue tidak merasakan tentang apa yang tertulis di dalam kutipan-kutipan tersebut. Namun ketika gue sudah kembali memiliki seorang pacar dan gue kembali merasakan apa itu yang namanya kangen, mau tidak mau, gue harus mengakui hal tersebut.
Miris, memang. But that's the truth.
*** Hari pertama Ujian Nasional telah gue lewati dengan mulus, walaupun tidak terlalu mulus seperti yang pernah gue bayangkan sebelumnya karena sedikit (banyak) dari pikiran gue, masih melayang dengan bebas kepada sosok sang pujaan hati yang kini tak tentu rimbanya. Gue hanya bisa memendam perasaan rindu yang meletup-letup tersebut dalam diam.
Siang itu gue sedang berada di dalam perpustakaan bersama Ojan, Humam, dan beberapa rekanrekan yang lainnya. Kami semua sedang mempersiapkan diri untuk menghadapi pelajaran yang akan diujikan esok hari. Ketika teman-teman gue sedang tekun belajar, gue hanya bisa menatap kosong buku yang tersaji sambil memutar-mutar handphone di atas meja.
Beberapa saat gue dapat tersenyum, beberapa saat kemudian gue kembali bengong, lalu melamun. Ini semua diakibatkan oleh seseorang yang telah sukses membuat hati gue menjadi tidak karuan, seseorang yang sangat gue sayangi dan sangat gue rindukan, dan seseorang tersebut adalah Aya. Damn you Aya! You drive me crazy!
Gue mengacak-acak rambut dengan kasar dan hal tersebut menarik perhatian Ojan.
"Cageur bray""
"..." Gue hanya tertawa ke arahnya sambil menggeleng kecil. "Kalo kangen sama orang itu wajar gak sih""
"Ya wajar aja lah, yang ga wajar itu kalo lo kangen sama gue."
"Najis bener gue kangen sama lo!"
"Emangnya lo kangen sama siapa sih""
"Yang pasti, gue kangen sama cewek."
"Siapa" Hanif""
"..." Gue menggeleng.
"Vanny"" "..." Gue tersenyum kecil, lalu kembali menggeleng.
"Terus sama siapa" Setau gue, cewek yang deket sama lo itu ya cuman dua orang itu."
"..." Gue mengangkat alis.
"Tapi tunggu..."
"Ya"" "Lo..." Ojan memasang ekspresi tidak percaya. "Lo bukan kangen sama dia kan""
"Siapa"" "Si ituuu..." "Iya, si itu tuh siapa""
"Masa harus gue sebutin sih nama orangnya""
"Ssebutin aja."
"Si tatib gila itu."
"..." Gue terkekeh.
"Jangan bilang kalo lo kangen sama dia."
"..." Tawa gue semakin keras.
"Anjir lo!" Ojan memukul lengan gue.
"Aduh! Ga usah pukul-pukul juga setan!" Gue mengelus lengan sambil tertawa.
"Sejak kapan lo jadi suka sama dia"!"
"..." Gue hanya tertawa sambil menggeleng.
"Bener kan apa kata gue dulu."
"Kalo lo bareng-bareng terus sama dia, lama-lama lo bakalan suka sama dia." "Kebukti kan sekarang""
"Iya deh terserah lo hahaha..." Gue menjawabnya sambil tertawa.
"Lo beneran suka sama dia""
"Suka sama siapa siiih""
"Ya sama Aya lah, goblok!"
"..." Gue tertawa.
"Lo ga akan percaya hal ini, Jan." Gue memegang bahunya. "Kadang-kadang gue sendiri aja ga percaya kok."
"Percaya apaan" Lo suka sama dia""
"Bukan, bukan." Gue menggeleng.
"Sini deh ikut gue." Gue mengambil handphone di atas meja lalu berjalan keluar dari perpustakaan. "Nih, lo liat sendiri deh."
Gue menyerahkan handphone kepada Ojan. Ketika screenlock terbuka, Ojan kembali memasang sebuah ekspresi tidak percaya sambil menggelengkan kepala ketika melihat foto gue dan Aya yang terpampang pada wallpaper.
"Anjrit! Seriusan lo"!
"..." Gue mengangguk.
"Lo sama dia..." "Udah..."
"..." Gue tersenyum. "Menurut lo""
"HAHAHAHAHA!" "MENURUT GUE, SEKARANG KITA HARUS MAKAN-MAKAN DI LUAR DAN ELO YANG BAYARIN!"
"Anjir, tai lo! Hahahaha..." "Ayok dah!"
"Nah! Itu baru sahabat gue!"
Sambil tertawa, kami berdua kembali masuk ke dalam perpustakaan dan mengambil tas masingmasing lalu pergi meninggalkan ruangan tersebut dan pergi menuju salah satu restoran cepat saji pilihan Ojan.
*** Hari ini merupakan hari Ujian Nasional yang terakhir, sebuah hari yang selama ini gue tunggutunggu dengan sabar. Bukan, gue bukan ingin buru-buru selesai melewati masa-masa ujian tersebut. Namun gue ingin buru-buru melewati masa-masa dimana gue tidak berkomunikasi dengan Aya.
Tidak berkomunikasi dengan Aya membuat batin gue tersiksa, sangat tersiksa sekali.
Dan sekarang, siksaan tersebut akan segera berakhir. Seisi sekolah langsung bergemuruh ketika bel berbunyi. Para siswa dan siswi berhamburan keluar kelas sambil memasang wajah bahagia. Banyak diantara mereka yang berteriak kegirangan sambil berangkulan, seolah-olah mereka semua telah melepaskan sebuah beban berat yang selama ini disimpan pada pundak mereka.
"Jadi gimana bray" Udah dapet kejutannya"" Tiba-tiba Ojan datang dan melingkarkan lengannya pada pundak gue yang sedang memperhatikan siswa-siswi dari lantai dua.
"Eh, belom nih." Gue menggeleng.
"Gue belom kontakan lagi sama dia."
"Ya buruan lah!"
"Iya kalem." Gue mengeluarkan handphone dari dalam tas dan melihat notifikasinya, hal ini merupakan sesuatu yang telah menjadi kebiasaan gue ketika memegang handphone. Dan tanpa gue sangka sebelumnya, ternyata Aya sudah mengirimi gue sebuah pesan singkat.
'Hallo sayang, cieee ternyata kamu bisa ya ga kontak-kontakan sama aku! Mentang-mentang kamu mau dapet hadiah ya" tapi kamu emangnya ga kangen sama aku" Aku kan kangen sama kamu '
Gue tertawa geli ketika selesai membaca kalimat tersebut. Ternyata, bukan hanya gue saja yang merasakan rasa kangen yang selama ini hanya bisa gue pendam. Aya juga merasakan hal yang sama dengan gue. Lalu kemudian gue kembali melanjutkan membaca pesan singkat darinya.
'Sesuai dengan janji aku, sekarang aku mau ngasih kamu hadiah specialnya. Kamu cepetan pulang ke rumah ya, nanti kita ketemu di rumah kamu. Jangan lupa, dandan yang ganteng! Dadaaah! Loveyou Naufal...'
"Gue balik dulu, Jan."
"Lah kok balik""
"Ini..." "Sang pujaan hati akan datang ke rumah." Gue mengedipkan sebelah mata kepada Ojan sambil memegang bahunya.
"Sukses sob!" Ojan tertawa cekikikan.
Entah karena sudah gue traktir atau bukan, sepertinya Ojan sudah tidak lagi membenci seorang Aya, dan gue senang akan hal tersebut. Sambil memasang earphone pada telinga, gue berjalan ke arah pintu gerbang sekolah dengan langkah kaki yang besar.
*** Sesampainya di rumah, gue hanya bisa mondar-mandir sambil meremas handphone yang gue pegang. Sudah berkali-kali gue mencoba menghubungi Aya, namun puluhan sms serta telpon gue tidak direspon olehnya. Sepertinya Aya sangat senang sekali membuat hati gue gelisah tak karuan.
Entah sudah berapa lama gue menunggu, akhirnya kegelisahan gue pun terjawab. Dan hal tersebut membuat jantung gue berdegup dengan kencang.
Terdengar deru mesin mobil yang berhenti di luar rumah. Gue langsung melangkahkan kaki ke luar lalu membuka gerbangnya. Di depan gerbang rumah terparkir dengan rapi sebuah sedan hitam yang selama ini gue kenali, sebuah sedan hitam dengan window tint yang gelap. Gue langsung memasang senyuman termanis yang pernah gue miliki ketika pintu kemudi terbuka.
Beberapa saat kemudian, seseorang keluar dari balik pintu kemudi.
Dan seseorang tersebut membuat jantung gue mencelos seketika.
Part 105 Gotta Love The Gift Berpacaran dengan seseorang yang lebih tua itu sering kali membuat gue tidak habis pikir. Ada-ada saja kelakuan yang dilakukan olehnya yang membuat gue geleng-geleng kepala. Kadang-kadang, Aya menjadi seseorang yang super manja dengan penampilan yang super imut sekali seperti seorang anak kecil. Hal tersebut selalu sukses membuat gue ingin mencubit gemas kedua pipinya.
Dan kadang-kadang juga, Aya menjadi seseorang yang (terlihat) super dewasa dengan penampilan yang (terlihat) super dewasa. Seperti sekarang ini. Penampilannya terlihat sangat dewasa sekali sehingga membuat jantung gue mencelos dan membuat gue ingin segera memeluk erat tubuhnya.
Aya keluar dari balik pintu kemudi lalu tersenyum manis. Atau lebih tepatnya, tersipu malu sambil menyimpan beberapa helai rambutnya di balik telinganya lalu menatap ke arah lain, tidak menatap ke arah gue.
Dulu seseorang pernah berkata bahwa perempuan adalah sebuah simbol tertinggi akan keindahan. Dan sekarang, gue setuju dengan pendapat seseorang tersebut. Malahan gue sangat setuju sekali dengan pendapatnya. Penampilan Aya kali ini dapat dikatakan sangatlah stunning dan memukau. Penampilannya sudah 100% berbeda dengan apa yang terakhir kali gue liat.
Ada sebuah gejolak aneh di dalam dada yang tidak dapat gue jelaskan. Antara senang, bahagia, dan tidak percaya, semuanya bercampur menjadi sebuah kesatuan yang menggelora di dalam dada. Gue berjalan ke arahnya dengan jantung yang berdegup kencang. Semakin gue mendekati Aya, jantung gue pun semakin berdebar-debar tak karuan.
Gue menarik halus tangan kiri Aya dan menggenggamnya dengan erat. Aya membuang muka sambil menggigit bibir bawahnya sehingga rambutnya yang kini telah berwarna merah kecokelatan, terjatuh dan menutupi pipinya.
Gue menyibak rambut Aya dan menyimpan di balik telinganya. Gue menarik lembut dagu agar Aya menatap ke arah gue sehingga wajah kami berdua sekarang bertatapan. Walaupun wajah kami berdua bertatapan, namun kedua mata Aya yang kini telah dihiasi oleh kaca mata ber-frame hitam tebal masih tidak mau menatap ke arah gue.
"Kamu..." "..." "Cantik..." Hanya itu yang dapat gue katakan kepadanya. Hari ini Aya memanglah cantik. Sangat cantik sekali. Ternyata perkataan gue tersebut menarik perhatian Aya. Matanya melihat ke arah mata gue. Namun sedetik kemudian, matanya kembali melihat ke arah lain. Gue tersenyum lalu menarik lembut tangan Aya dan mengajaknya masuk ke dalam rumah.
Sesaat setelah kami berdua berada di ruang tengah, Aya menghentikan langkahnya dan menarik tangan gue sehingga membuat gue membalikkan badan. Tanpa gue sangka-sangka sebelumnya, Aya mendekat dan langsung memeluk erat tubuh gue lalu menyandarkan kepalanya pada bahu sebelah kanan gue.
"Aku kangen sama kamu..."
"Aku juga kangen sama kamu, Ay..."
Aya mengencangkan pelukannya dan seperti tidak ingin melepasnya. Gue mengelus-elus punggung serta rambut merah kecokelatan milik Aya yang tergerai indah pada punggungnya. Helai-helai rambut Aya yang telah dicatok tersebut gue sentuh dengan perasaan yang sangat bahagia dan damai. Aroma rambut Aya yang telah tercampur dengan wangi parfum yang dikenakannya pun sangatlah memanjakan indera penciuman gue.
"Kamu suka kan sama hadiahnya""
"Aku suka sama hadiahnya, banget."
"Ada satu lagi hadiah buat kamu."
"Apa"" "..." Aya melepaskan pelukannya lalu melingkarkan lengannya pada leher gue. Kami berdua saling bertatapan dan jarak antara kedua mata gue dengan mata Aya hanyalah beberapa cm saja. Kedua bola matanya yang putih itu terlihat sangat indah sekali dan kacamata yang digunakannya pun menambah kesan anggun yang tersemat pada dirinya.
Gue memegang kedua pipi Aya dan mengelusnya lembut dengan menggunakan ibu jari dan Aya memejamkan kedua matanya seolah-olah menikmati momen yang tercipta seperti ini. Perlahan, gue menarik kepalanya dengan lembut agar mendekat.
Kebahagiaan kami berdua pada hari itu pun terasa lengkap ketika bibir kami berdua saling bersentuhan, bersentuhan dengan mesra, dan bersentuhan dengan penuh rasa kasih sayang pada setiap detik yang kami berdua lewati bersama. Soft and gentle. Kemudian gue memeluknya dengan erat serta berkata dengan lembut di samping telinganya.
"Terima kasih buat hadiahnya, aku seneng banget bisa dikasih hadiah yang special kayak gini. Terima kasih kamu udah mau capek-capek make over cuman buat aku, aku ga bisa ngomong apaapa lagi selain terima kasih, hari ini aku bahagia banget."
"..." "Ay..." "..."
"Aku sayang sama kamu..."
"Aku juga sayang sama kamu, Fal..."
*** "Karena itulah sekarang aku memelukmu. Aku bisa mengisi ulang tenagaku."
Seasons to Remember Ilana Tan
Part 106 Mama Rock n Roll Status gue kini sedang mengambang di atas permukaan air. Gue tidak dapat menyelam ke dalam ataupun keluar dari air tersebut dan gue hanya bisa terombang-ambing, mengikuti setiap ombak kehidupan yang datang menerpa. Bagaimana tidak" Status gue kini bukanlah seorang siswa SMA ataupun seorang mahasiswa. Apa status gue sekarang" Hanya satu, yaitu pengangguran.
Oiya hampir lupa, satu lagi, status gue adalah pacar yang paling disayangi oleh Aya.
Sekali lagi dan gue garis bawahi, status gue adalah pacar yang paling disayangi oleh Aya.
Simple sekali, bukan"
*** Entah sekarang gue dianggap apa oleh pihak sekolah, tetapi gue dan kawan-kawan yang lain masih sering datang ke sekolah hanya untuk nongkrong-nongkrong di kantin, mengobrol sambil memperhatikan dedek-dedek gemes calon bibit unggul yang bersliweran di sini.
"Fal..." Humam memanggil gue yang sedang menyeruput minuman kemasan.
"Hmm"" Gue menggumam tanpa menoleh ke arahnya.
"Liat noh disana." Tangan Humam melintasi kepala gue dan menunjuk ke sebuah arah. "Ajib mameeeen!" Humam menggeleng sambil ber-'ck...ck...' ria.
"..." Gue pun yang penasaran akhirnya melihat ke arah yang ditunjuk oleh Humam.
Seketika gue pun menahan tawa ketika melihatnya. Di ujung kantin sana, Ojan sedang duduk berhadapan dengan seorang cewek yang belakangan gue ketahui adalah adik kelas kami yang masih duduk di bangku kelas XI. Dari gesture tubuh yang diperlihatkan oleh Ojan, dia terlihat sangat grogi sekali dan sering membetulkan letak kacamatanya ketika mengobrol dengan cewek tersebut.
Memang Ojan pernah bercerita kepada gue dan Humam bahwa dia sedang naksir kepada seorang adik kelas. Namun anehnya, dia sering meminta saran kepada gue tentang hal tersebut. Dia sering bertanya tentang bagaimana cara untuk pedekate, cara mencari topik obrolan, dan blah...blah...blah... Gue pun memberi saran kepadanya agar gercep alias gerak cepat.
Memang betul gue memberi saran seperti itu, tetapi Ojan benar-benar bergerak dengan cepat dan bergerak tanpa menggunakan otak. Dan seperti itulah hasilnya. Hasil yang membuat gue dan Humam tertawa cengengesan saat melihatnya.
"Fal, Mam..." Nama kami berdua dipanggil oleh seseorang dan secara reflek kami berdua menoleh ke arah sumber suara tersebut.
"Yo, ada apa"" Ujar Humam sekaligus mewakilkan gue.
"Ke kelas dulu, kita rapat buat acara perpisahan nanti." Keke menimpali.
"Oke, ntar kita nyusul kesana."
Keke pun berlalu dari kantin dan entah menuju kemana. lagi Setelah gue menghabiskan minuman, gue bangkit berdiri dan disusul oleh Humam lalu memanggil Ojan.
"Woi! Lover Boy! Pedekatenya nanti lagi! Kita ke kelas!" Gue berteriak sambil cengengesan.
Dengan memasang wajah kesal, Ojan berdiri lalu mengobrol sedikit dengan cewek tersebut dan kemudian menyusul kami berdua yang sudah berjalan di koridor sambil tertawa cekikikan. Asli, gue ga bohong, cengin orang yang lagi pedekate itu memang beneran asik!
*** Teman-teman gue sudah berkumpul di dalam kelas. Hanya ada beberapa orang anak saja yang tidak ada di sini dikarenakan mereka tidak datang ke sekolah. Lalu beberapa saat kemudian, Keke dan para antek-anteknya maju ke depan dan memulai rapat kelas.
Entah Keke sedang berbicara tentang hal apa, Ojan tiba-tiba mengajak gue ngobrol.
"Fal..." "Oit"" Gue menengokkan kepala.
"Gue sukses men! Sukses!" Ojan mengepalkan tangannya sambil memasang ekspresi bahagia.
"Sukses apaan""
Cowok Manja Merantau Karya Karnaufal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Entar sore gue bakal keluar sama dia dong!" Ujarnya semangat.
"Wuanjir! Kalo lo berdua jadi, lo tau lah harus ngapain." Gue memainkan alis sambil mengelus-elus perut.
"Gampaaang, tinggal tunggu tanggal mainnya aja sob, traktiran sih cetek!" Ojan menjentikkan jarinya lalu kami berdua tertawa.
"Gimana" Mau, Fal"" Ujar sebuah suara.
"..." Gue yang sedang tidak memperhatikan pun akhirnya hanya bisa menoleh dan bengong. "Sori, sori... Tadi gue ga denger."
"Nah, makanya dengerin kita dong!" Keke ngedumel di depan.
"Iya, sori..." "Kita kan mau perpisahan terus setiap kelas wajib nampilin kreasi. Kamu sama Humam mau akustikan ga""
"..." Gue menoleh ke arah Humam.
"..." Humam menaikkan dua buah jempolnya.
"..." Gue mengalihkan pandangan ke arah Keke. "Kenapa ga langsung nge-band aja" Akustikan sih tanggung."
"..." Keke terlihat bingung dan melihat ke arah gue dan Humam secara bergantian. "Anggotanya""
"..." Gue menggaruk pelipis.
"Ada Humam di gitar, ada Ojan di bass." Gue menoleh ke arah Ojan dan bahu gue langsung dibogem olehnya.
"Kalo vokalis, cewek aja yang suaranya bagus disini siapa""
"Rianti aja tuh, suaranya keren!" Timpal seseorang dan seisi kelas pun menolehkan kepalanya kepada Rianti.
Sedikit tentang Rianti, dia merupakan seorang cewek yang memiliki kepribadian seperempat dan tiga perempat. Seperempat kepribadian cewek, tiga perempat kepribadian cowok, dan memiliki banyak sekali teman akrab cowok dibandingkan teman ceweknya. Rambut Rianti selalu pendek dan hampir tidak pernah melebihi telinganya. Dia selalu memakai gelang-gelangan yang jumlahnya tidak sedikit pada kedua tangannya. Walaupun setelannya sangar, namun dia memiliki suara yang cukup bagus, halus, bisa bermain gitar, dan cocok untuk menjadi vokalis band dadakan kelas ini.
"Oke, tapi yang main drum siapa"" Rianti membuka suara.
"..." Seisi kelas terdiam lalu celinguk kanan dan kiri.
"..." "..." "Gue aja deh!" Gue mengacungkan tangan dan kali ini perhatian seluruh kelas tertuju kepada gue.
"Bisa"" Tanya Rianti.
"..." Gue mengangguk.
"Yaudah, kita tinggal latihan sekarang."
*** Sore itu, gue, Ojan, Humam, dan Rianti sedang berada di satu buah studio musik di bilangan Buah Batu. Walaupun kami sudah sering berlatih menjelang hari H, belum ada satu buah lagu yang dijadikan andalan untuk penampilan kami nanti.
"Mau bawain lagu apa nih" Masa mau gini-gini aja" Ngabisin duit doang lah!" Gue protes.
"Tema-nya apa dulu nih" Mau pop" Rock" Metal" Mellow"" Tanya Humam.
"Tau lah, yang gampang aja terus entar anak-anak bisa ikut nyanyi bareng kita." Timpal Rianti.
"..." Ojan hanya duduk di atas karpet berwarna merah sambil bermain bass yang dipegangnya dan mengiringi kami bertiga yang sedang beradu argumen.
Lalu entah kenapa, tiba-tiba Ojan memainkan bass dari lagu yang samar-samar gue kenali di telinga.
Akhirnya gue menyuruh anak-anak yang lain untuk diam.
"Diem... Diem..." Gue mengangkat kedua stick drum dengan dua tangan. "Jan, mainin lagu itu lagi, Jan!"
"Ngapain""
"Udah, mainin aja cepet!"
Ojan pun memainkan lagu tersebut. Setelah beberapa kali diulang-ulang, akhirnya gue ingat tentang judul lagu tersebut dan gue mulai mengikuti permainan Ojan melalui drum yang berada di depan gue.
"Papa Rock n' Roll, men! Papa Rock n' Roll!" Gue berteriak kepada anak-anak yang lain lalu memukul snare dan mengakhiri permainan.
"Cakep! Bisa ga Ti bawain lagunya"" Ujar Humam.
"..." Rianti kembali mengalungkan strap gitar pada lehernya dan mengulik lagu tersebut sambil bernyanyi di depan mikrofon.
Mama memang harus begini Sering bikin sakit hati Mama ga pulang beibeh Mama ga bawa uang beibeh
Seisi ruangan pun tertawa saat mendengar Rianti menyanyikan lagu tersebut karena lirik yang diubah seenak jidatnya. Lalu kemudian, Humam mulai mengiringi permainan gitar Rianti, disusul oleh gue dan Ojan pada drum dan bass.
"Bentar, kita nambah satu jam lagi!" Rianti berbicara dengan semangat di depan mikrofon lalu menyimpan gitar dan keluar dari ruangan.
Beberapa saat kemudian, Rianti kembali masuk ke dalam dan mengambil gitar yang sebelumnya ia mainkan dan memberi aba-aba kepada kami bertiga.
"Ayo, Mama Rock n' Roll!"
Part 107 We Meet Again Hari ini adalah hari Sabtu pagi, tanggal 30 Mei 2015. Sebuah pagi hari yang cerah dan cuacanya sangat mendukung sekali untuk mengawali trip yang akan gue jalani selama beberapa waktu kedepan. Oh iya, sekitar tiga minggu yang lalu, gue telah mendapatkan perizinan tentang cuti yang akan gue ambil selama beberapa hari kedepan.
Dan sekarang, gue sudah berada di dalam lounge Hobart International Airport, duduk manis sambil memegang novel pada tangan kanan dan menunggu pesawat Virgin Australia yang akan membawa gue mengudara dalam beberapa jam lagi. Rencana kedepannya adalah gue akan menginap selama satu hari di Melbourne sebelum melanjutkan perjalanan menuju tanah air tercinta.
Lalu pada keesokan harinya, gue telah duduk bersandar di samping jendela pesawat sambil menyumpal telinga dengan earphone yang terhubung kepada iPod Nano kesayangan dan memandangi awan yang terlihat menggumpal dari atas sini. Dengan diiringi oleh musik instrumen klasik milik Dexter Britain, gue memejamkan mata dan membayangkan wajah cantiknya yang sebentar lagi akan gue jumpai.
Jam di tangan kanan gue menunjukkan pukul lima sore ketika pesawat milik maskapai penerbangan kebanggaan Indonesia ini telah landing dengan mulus di bandara Cengkareng. Gue langsung terkekeh. Gue lupa kalo jam pemberian dari seseorang ini masih menggunakan zona waktu Australia. Sambil berjalan menuju pintu keluar terminal bandara, gue mengatur ulang jam yang gue pakai lalu mencocokkannya dengan zona waktu Indonesia.
Gue memegang strap ransel yang gue kenakan lalu celinguk kanan dan kiri, mencoba untuk menemukan sosoknya yang berjanji akan menjemput gue hari ini. Lalu beberapa saat kemudian, senyuman gue merekah saat melihat dirinya yang sedang berdiri tidak jauh dari tempat gue berada. Dia pun tersenyum saat melihat gue. Dia memberikan sebuah senyuman yang selama ini gue rindurindukan dan hanya bisa gue jumpai lewat video call Skype ataupun fotonya.
Hari itu, dia menggunakan celana denim ketat berwarna biru langit dan dipadukan dengan kemeja berwarna putih cerah yang lengannya ditarik hingga ke sikut, tidak dilipat. Di kepalanya terpasang dengan rapi sebuah kupluk berwarna abu-abu muda dan sedikit memperlihatkan poni dari rambut indah miliknya, rambut yang juga paling gue rindukan keberadaannya.
Dengan sedikit berlari, gue menghampirinya dan langsung memeluk erat tubuhnya, menumpahkan segala kerinduan yang selama ini kami berdua tahan-tahan sekuat tenaga. Bahunya bergetar pelan, dan kemudian dia terisak.
"Kangen..." Bisiknya lembut di telinga gue.
Gue tersenyum lalu membalasnya dengan mempererat pelukan dan mengelus punggung serta memainkan rambutnya dengan lembut. Wangi parfum yang dikenakannya, seperti biasa, memanjakan indera penciuman gue. Sebuah wangi yang gue rindukan dan sangat menyenangkan sekali untuk dihirup sepanjang waktu.
Di belakang kami berdua, gue melihat bahwa ada dua buah sosok wanita paruh baya yang sangat gue kenali sekali. Mereka sedang tersenyum kepada kami, dan mereka berangkulan layaknya dua orang sahabat baik yang telah saling mengenal satu sama lain.
Dan dua buah sosok wanita paruh baya itu adalah orang tua kami berdua. ***
"Coba kamu pake kemeja yang ini sayang." Aya mengeluarkan satu stel kemeja lalu menyimpannya di atas tempat tidur gue, lengkap dengan jas serta celananya.
"Cari warna lain kemejanya, jangan yang putih polos. Udah umum dipake soalnya." Gue berkacak pinggang di depan lemari dan memindai seluruh isinya.
"Nah, coba aja yang ini." Gue mengeluarkan sebuah kemeja berwarna biru laut dan dasi berwarna merah.
"Dipake dong, aku mau liat kamu pake suit kayak gini."
Gue mengambil set pakaian tersebut lalu menggunakannya di dalam kamar mandi. Gila aja kalo gue ganti baju di depan Aya, yang ada entar dia makin klepek-klepek, kesengsem sama badan gue yang pas-pasan seperti ini. Tidak membutuhkan waktu yang lama, gue sudah selsai dan keluar dari kamar mandi.
"Gimana"" "Baaaguuuuus..." Aya menjawab dengan senyuman manja yang mengembang pada bibir mungilnya.
Aya menghampiri gue lalu membenarkan sedikit letak dari dasi, kemeja dan jas yang gue kenakan. Sambil membenarkan posisi pakaian gue, Aya memberi sebuah ultimatum.
"Nanti kamu jangan genit disana ya, awas aja kalo kamu genit!" Ujarnya dengan bersungut-sungut.
Gue terkekeh kemudian mencubit pelan kedua pipinya yang menggemaskan tersebut. Cubitan gue membuat Aya menjadi cemberut-cemberut manja yang selalu membuat gue kangen. ***
Subuh-subuh sekali, gue dan seluruh siswa kelas XII lainnya sudah berada di sekolah. Setelah semuanya berkumpul, panitia perpisahan memberikan arahan-arahan serta nomor bus yang akan kami tumpangi. Gue dan anak-anak kelas XII IPA-5 mendapatkan bus dengan nomor urut 6. Spoiler: Foto Bus 6
Sekitar pukul satu siang, gue dan kawan-kawan yang lain telah sampai di hotel yang terletak di Pangandaran, hotel yang menjadi tempat dimana akan dilangsungkannya perpisahan sekolah. Pembagian jatah kamar ternyata seluruhnya dibebaskan oleh pihak panitia. Akhirnya gue, Ojan, Humam, dan Fadli memutuskan untuk berada di dalam satu kamar.
Kamar gue ternyata cukup untuk dihuni oleh empat, atau lima orang. Terdapat dua buah kasur ukuran sedang di dalam sini. Gue dan Ojan memilih kasur yang dekat dengan pintu yang mengarah ke balkoni sementara Humam dan Fadli dengan sangat terpaksa harus menggunakan kasur yang dekat dengan toilet dikarenakan mereka berdua telat masuk ke dalam kamar.
Setelah menyimpan barang bawaan di sudut ruangan, gue menyalakan AC dan berjalan menuju balkoni lalu mengambil beberapa foto. Balkoni kamar yang gue tumpangi ini ternyata langsung menghadap ke arah pantai Pangandaran. Deburan ombak samar-samar terdengar dari ujung sana walaupun pemandangan pantai secara langsung agak sedikit terhalangi oleh pohon. Spoiler: Foto Pantai Terhalang Pohon
Spoiler: Foto Balkoni Kamar Sebelah
Setelah puas mengambil beberapa gambar, gue kembali masuk ke dalam dan menutup pintu balkoni.
"Mau renang gak"!" Humam bertanya sambil membuka baju dan menurunkan celana jeans yang ia kenakan.
"Entaran aja lah, gue ngantuk nih." Ujar Ojan seraya menjatuhkan badannya pada kasur.
"Lo renang gak, Fal""
"..." Gue menggeleng.
"Gue mah entar sore, sekarang gue pengen hunting foto dulu."
"Elo, Dli""
"Ogah, mau bobo ganteng dulu bareng si Ojan."
"Anjir, maho lo berdua!" Lalu kami semua tertawa.
Humam langsung berlari keluar kamar dan menuju lantai dasar dimana kolam renang berada. Kebetulan kamar yang kami gunakan ini berada tepat di lantai tiga. Maka dari itu, gue dapat dengan leluasa mengambil foto anak-anak yang sedang berenang di bawah.
Spoiler: Foto Kolam Renang
Spoiler: Foto Kamar Seberang
Karena terdapat banyak sekali 'batangan' yang sedang berenang dan tidak cocok untuk dijadikan objek foto pada kamera digital gue, akhirnya gue memutuskan untuk berjalan-jalan di pantai sambil menikmati suasana alami tempat ini.
"Jan, mau keluar gak""
"..." Ojan membalasnya dengan suara mendengkur yang terdengar mirip dengan kuda.
Gue mendengus dan melempar sendal hotel ke arah badannya lalu berjalan keluar dari kamar dan turun menuju lobby. Di luar hotel, terdapat beberapa orang siswi yang sedang berfoto-foto dengan menggunakan pakaian santai. Gue mengambil beberapa foto dari mereka dan kembali berjalan menuju pantai.
Di pantai ternyata gue mendapatkan banyak sekali objek yang bagus untuk difoto. Mulai dari kapalkapal yang sedang nganggur di tepi pantai, orang-orang yang sedang asyik bermain pasir, dan masih banyak lagi objek foto lainnya yang tidak dapat gue sebutkan satu persatu. Sambil ditemani oleh angin pantai serta deburan ombak yang terdengar menyejukkan hati, gue mengeksplorasi garis pantai hingga matahari hampir terbenam.
Spoiler: Foto Kapal-Kapal
Spoiler: Foto Sunset **** Acara puncak perpisahan akan dimulai pada pukul 7 malam. Setelah kami berempat selesai menunaikan shalat maghrib secara berjamaah, kami langsung berebutan cermin untuk berdandan. Gue mengenakan setelan jas yang kemarin sudah dibawa dari rumah dan berdandan se-rapi mungkin, se-necis mungkin dan se-klimis mungkin karena nanti gue akan perform di atas panggung.
Sekitar pukul 18:40, gue, Ojan, Humam, dan Rianti telah berada di dalam ruangan yang akan digunakan untuk perpisahan. Kami berempat sedang melakukan check sound sebelum memulai aksi panggung yang dijadwalkan akan manggung pada pukul 8 nanti.
Saat sedang memeriksa kit drum sambil berjongkok, ujung mata gue menangkap seseorang yang memasuki ruangan ini bersama beberapa orang teman perempuannya.
Seseorang tersebut menggunakan kebaya berwarna merah marun dengan model punggung yang terbuka sedikit, dibalut dengan kain batik berwarna cokelat tua dan rambut hitam mengkilapnya disanggul dengan model sederhana. Balutan make up tipis pada wajahnya pun sangat pas sekali dengan dandanannya.
Dia masuk sambil menenteng handphone serta dompet pada tangannya. Sebuah kebiasaan yang mengingatkan gue akan seseorang yang gue cintai disana. Namun tidak dapat gue pungkiri lagi bahwa wanita tersebut terlihat sangat anggun, menawan, dan...
Cantik... Nama dari wanita cantik berkebaya merah marun tersebut adalah:
Hanif Putri Annisa. Part 108 Pop It! "Cek... Satu..." Suara mikrofon yang dipegang oleh Rianti membangunkan gue dari lamunan.
Gue bangkit berdiri, menyimpan stick drum di atas salah satu snare dan pergi meninggalkan stage seiring dengan berkumpulnya teman-teman kelas XII yang lain di dalam ballroom kecil ini, lalu gue berjalan menuju bangku dimana teman sekelas gue berada. Secara kebetulan, meja bundar yang dikelilingi oleh teman-teman gue yang lain ternyata berada di dalam satu barisan dengan meja dimana Hanif dan teman-temannya duduk.
Gue memperlambat langkah kaki ketika gue merasakan ada seseorang yang memperhatikan gue. Secara naluriah, gue menolehkan kepala dengan perlahan ke tempat dimana Hanif duduk. Benar saja. Hanif sedang duduk di ujung meja yang lain sambil menyimpan kedua tangan di atas pahanya. Hanif menatap gue sambil sedikit memiringkan kepalanya, dan dia tersenyum.
Hanif sedang menatap gue dengan tatapannya yang teduh, tatapannya yang menentramkan, tatapannya yang...Damn, tatapan yang memberikan sebuah aura positif kepada siapapun yang melihatnya. Termasuk gue. Ada sebuah perasaan aneh saat melihatnya. Entah setelah karena sudah sekian lama gue tidak bertemu dan bertatapan secara langsung dengan Hanif ataupun karena faktor yang lain, gue tidak dapat menjelaskannya.
Gue menyunggingkan sebuah senyuman kepada Hanif, lalu mempercepat langkah kaki menuju sebuah meja bundar yang telah diisi oleh teman-teman gue yang lain.
*** Rundown acara perpisahan ternyata mengalami perubahan. Gue dan kawan-kawan yang tadinya akan perform pada pukul 8 tepat, kini harus diundur dan gue belum mendapatkan informasi tambahan mengenai perubahan jadwal tersebut.
Well, ya sudahlah. I don't give a crap about it.
Lalu beberapa saat kemudian, seluruh lampu di dalam ruangan ini diredupkan dan hanya menyisakan lampu yang menyala terang di atas panggung.
Satu pasang MC maju ke depan dan memulai chit-chat yang penuh dengan topik yang tidak menarik untuk disimak. Kemudian mereka memanggil kepala sekolah dan para staf guru terkait untuk memberikan sambutan kepada kami semua.
Gue menghela nafas panjang lalu menyandarkan punggung dengan malas pada kursi yang telah dilapisi kain satin berwarna cokelat tua. Kain tersebut membuat gue sedikit tidak nyaman karena teksturnya yang agak licin.
Gue mengeluarkan handphone lalu ber-sms ria bersama Aya. Gue mulai curhat tentang pengalaman gue selama berada disini. Mulai dari pertama kalinya gue menginjakkan kaki setelah turun dari bus, hingga kepada saat dimana gue sedang duduk dan mengetikkan sms tersebut kepada Aya. Dan tentunya, gue tidak menceritakan perihal Hanif kepada Aya.
Ketika sedang asyik ber-sms-an, Humam yang kebetulan duduk di samping gue, menepuk pelan bahu gue lalu memberi aba-aba untuk mengikutinya dari belakang. Ojan dan Rianti yang berada di seberang meja pun diajak olehnya. Lalu kami berempat berjalan menuju backstage dan mulai mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk perform.
Pendekar Patung Emas 26 Pendekar Gila 30 Dewi Ratu Maksiat Walet Emas Perak 13
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama