Ceritasilat Novel Online

Dunia Yang Sempurna 5

Dunia Yang Sempurna Karya Carienne Bagian 5


Di malam hari, gw merasa ga bisa memejamkan mata sedikitpun. Dengan gelisah gw berbalik kesana-kemari, namun pikiran itu tetap menghantui gw. Entah apa yang mendorong, gw meraih sebuah kunci yang gw simpan di sebuah wadah kaleng diatas meja. Gw keluar kamar, dan membuka pintu di samping kamar gw dengan kunci tersebut. Gw buka perlahan, dan seketika
menyeruak bau khas kamar yang telah lama tidak dihuni. Namun bagi gw, bau itu adalah bau kenangan. Mengingatkan gw akan segala hal tentang dirinya yang gw tahu.
Gw melangkah masuk, memandangi tumpukan buku berdebu yang ada di mejanya. Gw mengambil satu buku, membukanya perlahanlahan. Gw ingat bagaimana dia selalu antusias mengikuti perkuliahan itu, karena dosennya ganteng. Gw hanya bisa tersenyum tipis, dan menggelengkan kepala perlahan ketika kenangan itu kembali di kepala gw, hingga gw letakkan kembali buku itu.
Gw mengambil buku lain, dan otak gw langsung memutar kenangan yang lain juga. Setiap buku-buku ini memberikan kenangan tersendiri bagi gw. Ditengah-tengah gw membolak balik buku itu, sebuah kertas terjatuh dan mendarat di lantai. Rupanya kertas itu dipergunakan untuk pembatas buku. Gw mengambil kertas itu, ternyata kertas itu dilipat menjadi dua bagian sama besar. Secara naluriah gw membuka lipatan itu. Dan ternyata kertas itu bertuliskan nama gw, yang ditulis dengan indah, dalam bentuk tiga dimensi.
Gw memegang kertas itu dengan gemetar, dan tanpa sadar air mata gw mengalir pelan. Segala kenangan dan kerinduan itu terlalu besar untuk ditahan. Gw membaca nama gw di kertas itu, yang ditulis olehnya entah kapan. Yang jelas, nama gw itu ditulis olehnya, dengan tangannya sendiri. Gw mencium tulisan itu perlahan, kemudian gw lipat mengikuti bentuk lipatan awal, dan gw kembalikan ke dalam buku seperti semula. Gw mematikan lampu kamarnya, menutup pintu, dan gw berdiri di balkon tempat dimana biasanya dia berdiri menikmati malam, dengan sebuah keyakinan di dalam hati gw.
Malam itu gw telah memutuskan sebuah langkah penting di hidup gw. Sebuah keputusan yang akan membuktikan seberapa besar cinta gw kepada Ara dan seberapa penting arti dirinya bagi gw.
PART 68 lo beneran udah yakin" sebuah suara berkata ke gw ditengah gemuruh suasana peron stasiun. Gw menoleh ke sumber suara.
iya lah, gw udah yakin. Gw udah sampe sini juga. Tinggal berangkat doang ini. gw berkata dengan agak keras karena suara gw tertelan oleh bisingnya suara pengumuman. dia tertawa. oke oke...
lo gakpapa beneran nih nemenin gw"
udah sekian ratus kali lo tanya itu, dan sekian ratus kali juga gw jawab. Males ah jawabnya...
giliran gw tertawa. iya iyaa, gitu aja ngambek...
abisnya lo bawel si. Bener yak kata Ara, lo tuh kebanyakan bawelnya! sungutnya sebal.
ya maap neng... Ketika hari telah gelap, gw dan Jihan telah sampai di tujuan. Gw memanggil taksi, dan menyebutkan tujuan akhir kami ke sopir. Dia mengangguk, dan mengantarkan kami ke tempat yang dimaksud. Sesampainya disana, gw bergegas mencari pintu masuknya di area seluas itu. Untunglah kami masih diperbolehkan masuk karena masih termasuk jam kunjungan.
Gw melihat papan penunjuk arah, dan bergegas menuju tempat yang gw tuju setelah mengetahui arahnya. Sesampai disana gw
celingukan, mencari wajah-wajah yang gw kenal, namun ga satupun yang gw temukan. Jihan mengajak gw duduk sebentar, menunggu, barangkali beberapa saat lagi ada orang yang gw kenal. Gw menuruti sarannya itu, namun bagi gw satu menit menunggu rasanya seperti satu jam. Dengan ga sabaran gw bangkit, kemudian memakai pakaian khusus yang memang diperuntukkan bagi penjenguk, dan melangkah masuk ke dalam ruangan besar. Kesan pertama gw adalah ruangan itu dingin, dan serba putih dengan cahaya lampu yang amat terang.
Gw berjalan perlahan menyusuri deretan tempat tidur yang berisi pasien-pasien. Sebagian besar dari mereka sedang tidur, atau tertutup tirai. Dan suara tit tit tit dari alat-alat yang dipergunakan membuat gw merasa ga nyaman. Bagi gw suasana itu menakutkan. Gw celingukan ke kanan-kiri, hingga sampai ke ujung ruangan, namun gw tetap ga menemukan sosok yang gw cari. Gw berbalik, dan mengulang lagi menyusuri deretan tempat tidur, barangkali ada yang terlewat, pikir gw menenangkan diri.
Hingga sampai di ujung satunya lagi, gw tetap ga bisa menemukan orang yang gw cari. Pikiran gw mulai aneh-aneh. Kenapa dia ga ada disini" Jangan-jangan....
Gw memberanikan diri bertanya kepada beberapa perawat yang berjaga di meja di sudut ruangan, yang sedari tadi memandangi gw dengan curiga karena gw hanya berkeliling.
maaf, pasien dengan nama Soraya Amanda ada di nomor berapa ya" tanya gw pelan.
salah satu perawat itu kemudian membuka buku di hadapannya, dan menelusuri data di dalamnya dengan jari telunjuk.
oh, tadi pagi sudah dipindah ke kamar biasa, Pak. sang perawat itu kemudian mengkonfirmasi ruangan yang dimaksud. Gw menghembuskan napas lega karena pikiran buruk gw ternyata salah. Setelah memastikan, gw dan Jihan bergegas menuju ke kamar itu.
Di depan kamar, langkah gw terhenti. Ingin rasanya gw mengetuk pintu kayu itu, namun seperti ada yang menghambat tangan gw. Gw belum siap melihat Ara dengan kondisinya itu. Gw terdiam beberapa saat di hadapan pintu.
Lang, ayo... suara Jihan mengingatkan gw dari belakang punggung.
gw menarik napas dan mengumpulkan keberanian, kemudian mengetuk pintu perlahan. Tanpa menunggu dibukakan, gw membuka pintu itu sendiri dan melangkah masuk.
di dalam ruangan gw melihat kedua orangtua Ara, dan dua orang lain lagi yang belum gw kenal. Barangkali itu salah satu kerabat Ara. Setelah mencium tangan kedua orang tua Ara tanpa mengucap sepatah katapun, perhatian gw tertuju pada sosok yang terbaring di tempat tidur.
Dada gw terasa sesak melihat kondisinya. Dia begitu berbeda dengan sewaktu terakhir kali gw antarkan ke bandara beberapa bulan yang lalu. Apalagi sewaktu masih sehat dan tinggal disamping kamar gw. Sekarang dia tertidur nyenyak di hadapan gw, dengan badan yang semakin kurus. Rambutnya dipotong agak pendek, agak acak-acakan. Wajahnya pucat, bahkan sangat pucat kalo menurut gw.
Mata gw mulai berlinang ketika gw berdiri terdiam disampingnya, dan menggumamkan lantunan doa untuknya. Barangkali suara hati gw lebih keras daripada suara yang keluar dari bibir gw. Dan akhirnya air mata gw menetes ketika gw menyentuh telapak tangannya dengan lembut. Setelah sekian lama gw terpisah dengannya, akhirnya gw bisa menyentuhnya kembali dengan jemari gw. Tangan yang pada waktu yang lampau bisa gw sentuh setiap saat, kali ini terpisah begitu jauh dan begitu lama. Hingga akhirnya kedua tangan ini saling bertemu kembali, dan seolah saling menceritakan kisah-kisah yang terlewatkan selama mereka terpisah.
Setelah beberapa saat, barulah gw menyadari sesuatu. Di pergelangan tangan Ara yang gw sentuh ini terpasang gelang penanda pasien dari rumah sakit, seperti layaknya rumah sakit dimanapun. Tapi di pergelangan tangan yang satunya lagi lah yang menarik perhatian gw. Di tangan yang satunya memang terpasang infus, tapi di samping selang infus itu ada sebuah gelang berwarna merah coklat terbuat dari kulit yang telah lusuh dimakan usia.
Gelang itu adalah hadiah pemberian gw di ulang tahun pertamanya setelah gw kenal dia tiga tahun lalu. Dan tanpa gw sadari dia selalu memakainya, bahkan setelah apa yang telah dia lalui beberapa bulan belakangan ini. Air mata gw mengalir lagi di pipi, karena tanpa gw bisa menahan, pikiran gw melayang kembali ke kenangan ketika gw dan dia merayakan ulang tahunnya secara sederhana di tengah malam. Masih terekam dengan jelas di ingatan gw senyum dan tawa bahagianya waktu itu. gw menggenggam tangannya erat. Tangan itu menurut gw
semakin mungil, hangat, dan tak bereaksi. Gw hanya bisa memandanginya dengan kelu. Sosok di depan gw sekarang seperti orang lain, karena fisiknya telah berubah. Dalam hati gw mengutuk kekejaman penyakit itu yang merenggut kecantikan orang yang gw cintai. Tapi akhirnya gw menyadari, waktu-waktu ini terlalu berharga untuk gw habiskan dengan mengutuk.
Cha.... panggil gw lirih. Gw tahu kalau dia ga bakal menjawab panggilan gw itu, tapi gw ga peduli.
Cha, ini gw, Gilang, yang tinggal disebelah lo selama tiga tahun....
air mata gw mengalir lagi. Kali ini lebih deras. Gw merasakan ada tangan yang merangkul bahu gw dari belakang, entah tangan siapa itu.
Cha, ini gw... gw kangen lo.... gw terisak.
Tepat setelah itu, gw mengatakan ini adalah keajaiban yang hingga saat ini gw ga habis pikir. Tepat setelah gw mengatakan hal tersebut, Ara membuka matanya, dan berkedip-kedip sayu memandangi gw.
Gilang" katanya parau.
PART 69 Gilang" katanya parau.
ya, Cha, ini gw... kata gw serak menahan tangis. ini gw... lo kenapa disini" tanyanya.
gw disini buat lo, Cha.... dia memejamkan matanya. sekarang jam berapa"
gw celingukan mencari jam, karena gw ga memakai jam tangan.
jam sembilan, Ra... Jihan menjawab sambil mendekatkan diri ke tepian tempat tidur. Dia tersenyum ke Ara.
mba Jihan" tanyanya lirih.
iya, ini gw... Jihan tersenyum, namun matanya berkaca-kaca. Dia mengelus-elus punggung tangan Ara dengan lembut. kok sampe sini juga...
Jihan hanya tersenyum. mama mana" Ara berusaha memalingkan kepalanya dengan perlahan. Mama Ara yang sedari tadi ada di sisi tempat tidur yang lain segera memegang tangan Ara dengan kedua tangannya.
mama disini, nak... beliau mulai meneteskan air mata. mama disini, jagain Acha... sembuh ya nak...
papa mana" papa Ara langsung mendekatkan diri di samping tempat tidur, berdiri bersebelahan dengan mama Ara, kemudian membungkuk, mengecup dahi Ara dengan lembut.
kamu harus sembuh ya, sayang... kata papa Ara dengan suara agak bergetar. Ara hanya berkedip-kedip dengan lemah, kemudian mengangguk perlahan.
Dia kemudian berpaling ke gw dengan perlahan. Dia hanya memandangi gw dengan sayu, namun lama kelamaan gw melihat matanya berkaca-kaca. Entah apa yang ada di pikirannya waktu itu. Dia memejamkan matanya beberapa saat, dan gw melihat setitik air mata jatuh dari sudut-sudut matanya. Hati gw hancur rasanya melihat kondisinya dan melihat kesedihannya itu. Gw sangat merindukan momen-momen dimana Ara masih bisa tertawa bahagia bersama gw, di kos-kosan yang menjadi kenangan tak tergantikan di dalam memori kami. lo kapan sampe" tanyanya lirih.
barusan aja, gw langsung kesini dari stasiun...
lo sampe harus repot-repot kesini karena gw.... dia memandangi Jihan yang berdiri disamping gw. sampe ngerepotin mba Jihan juga...
gw menggeleng. gw ga merasa repot, Cha. Jihan juga ga merasa
repot karena itu. Gw dan Jihan disini buat lo, Cha... Sembuh ya, Cha... kata gw bersungguh-sungguh.
gw... gw... gw merindukan lo disana... gw terbata.
Ara memandangi gw dengan iba. Dia menggelengkan kepalanya perlahan, dan berusaha memegang tangan gw. Dengan segera gw menyambut tangannya, dan gw pegang erat, seolah gw ga akan melepasnya.
gw pun kangen lo, Gil... dia berkata dengan lirih, dan tersenyum pucat. kamar gw apa kabar"
kamar lo baik-baik aja kok, masih sering gw bersihin... air mata mengalir pelan di pipi gw, tanpa gw berusaha menghapusnya. makanya lo cepet sembuh yah, biar lo bisa tidur lagi disana...
dia terdiam, memejamkan mata kemudian membuka matanya kembali dan memandangi gw sambil tersenyum. Gw merasa ada sesuatu yang janggal dibalik senyumannya itu.
mungkin gw ga bakal ngelihat lagi kamar gw itu... katanya lirih. Matanya berkaca-kaca.
Acha! sela gw sambil terisak. lo ga boleh ngomong gitu... lo jangan ngomong gt...
Sementara itu gw melihat kedua orang tua Ara hanya bisa menangis dan memegangi tangan anak tunggalnya itu. Entah betapa hancurnya hati mereka saat itu, gw ga akan pernah tahu. Gil... panggilnya pelan.
ya, Cha" lo masih inget mimpi gw"
gw mengangguk bersungguh-sungguh. iya, gw masih inget banget, Cha...
gw pengen lulus.... katanya lirih.
gw memegangi tangannya erat, menoleh ke Jihan sesaat. Ternyata Jihan sedari tadi juga menangis. Dia menghapus air mata di pipinya, kemudian memandangi gw, dan mengangguk. Sepertinya dia memahami apa maksud gw.
Cha, mungkin gw ga bisa membantu lo untuk mewujudkan mimpi lo yang itu... kata gw dengan bergetar.
iya, Gil, gapapa kok, gw tahu itu cuma mimpi gw... semoga gw masih bisa ngelihat itu terwujud ya... katanya pelan.
tapi gw bisa mewujudkan mimpi lo yang satunya, Cha... kata gw dengan perlahan-lahan dan bersungguh-sungguh.
yang satunya" yang mana" tanyanya dengan tatapan heran. Dia berkedip-kedip, beberapa saat kemudian meskipun dia ga berkata apapun, tapi gw tahu dia menyadari apa mimpinya yang gw maksud itu. Mimpi yang dia utarakan ke gw berbulan-bulan yang lalu sewaktu di kantin kampus, di hari terakhirnya menjalani hari-hari sebagai mahasiswi.
gw menarik napas panjang, mengumpulkan segala tekad yang ada
di setiap relung hati gw. Secara bersamaan gw mengucapkan Bismillahirrahmanirrahiim di dalam hati gw, dan menggenggam tangannya semakin erat. Gw merasakan segenap hati dan pikiran gw tertuju pada momen ini. Segala kenangan masa kecil gw, masa remaja gw, hingga masa-masa gw disini hidup bersama Ara, semua bermuara pada satu momen ini. Disinilah jalan hidup menuntun gw. Hingga ke titik ini.
gw akan menikahi lo, Cha... kata gw bersungguh-sungguh. Dengan hati dan hidup gw.
gw menarik napas. lo mau nikah sama gw"
PART 70 gw akan menikahi lo, Cha... gw mengulangi. lo mau nikah sama gw"
genggaman tangannya di dalam tangan gw terasa bergerak-gerak, semakin mengerat. Dia menatap gw tanpa berkata apapun, hanya berkedip-kedip. Dari tatapan matanya itu gw menangkap bahwa dia belum bisa mempercayai apa yang barusan didengar oleh telinganya dan diterima oleh kesadarannya yang belum sepenuhnya pulih.
lo... lo mau nikah sama gw" tanyanya dengan lirih. Dia masih ga mempercayai apa yang barusan gw katakan.
gw mengangguk. ya, Cha, gw akan menikahi lo. Lo mau kan nikah sama gw"
Pada saat itu gw sudah ga memikirkan lagi keberadaan orang tua Ara di hadapan gw, apalagi orang tua dan keluarga gw jauh di kampung halaman. Yang gw pikirkan hanyalah Ara yang terbaring lemah di hadapan gw. Dan mimpi gw tentangnya.
Ara terbatuk-batuk. Dengan sigap mamanya Ara meminumkan sedikit air dari gelas di samping tempat tidurnya. Ara mengatur napas, dan memandangi gw lagi. Kali ini gw melihat matanya berlinang.
Gil, lo jangan menyia-nyiakan hidup lo dengan cara seperti ini... lo jangan nikahin gw yang seperti ini... hidup lo masih panjang... ucapnya lirih dan suaranya bergetar.
gw ga merasa hidup gw sia-sia, Cha... Justru gw merasa hidup gw sia-sia kalo gw melewatkan ini. Tiga tahun bersama lo ini sudah cukup membuka mata gw dan memantapkan hati gw, jika suatu hari nanti gw harus menikah dengan seorang wanita yang gw cintai, maka orang itu adalah elo, Cha...
tapi keadaan gw seperti ini, Gil... dan lo pasti tahu apa yang akan terjadi ke gw...
gw memotongnya. apapun yang akan terjadi ke lo, itu juga bakal terjadi ke gw dan semua orang. Cuma soal waktu tentang kapan saat itu tiba. Bagi gw itu bukan penghambat. Gw akan terus bersama lo, menemani lo menghadapi apapun di hidup lo... gw terdiam sejenak, ....seperti yang selama ini gw lakukan...
Dia tersenyum, dengan air mata yang mengalir di kedua pipinya. Bibirnya bergetar. Tangan kami masih saling tergenggam.
lo mau nikah sama gw" tanya gw mengulangi untuk kesekian kalinya.
Dia mengangguk beberapa kali.
ya, gw mau, Gil... dia menarik napas panjang. gw mau jadi istri lo...
gw tersenyum. Kemudian untuk pertama kalinya, di hadapan semua orang yang ada disitu, gw mencium keningnya dalam keadaan sadar. Gw merasakan cinta yang begitu besar di dalam
diri gw untuknya, dan gw berdoa semoga cinta gw ini bisa menjadi penyembuh baginya.
Sejak saat itu, waktu berjalan cepat. Orang tua Ara sudah sangat menyetujui apa yang menjadi pilihan putri semata wayangnya itu. Pembicaraan mengenai kapan waktu peresmiannya pun sudah dilakukan antara gw, kedua orangtua Ara, dan beberapa kerabat Ara yang sengaja dipanggil ke rumah sakit, serta Jihan yang selalu setia menemani gw disana.
Kemudian gw teringat keluarga gw di kampung halaman, yang belum sepatah katapun gw kabari tentang ini. Dengan gemetar gw menelepon bapak di kampung. Pembicaraan gw dengan orangtua gw itu berlangsung sangat lama, hampir satu jam hingga gw terpaksa membeli pulsa lagi karena pulsa gw sudah tersedot habis. Orangtua gw sangat terkejut, tentu saja. Berbulan-bulan anaknya ga pulang kerumah, mendadak menelepon memberi kabar kalau mau menikah, orangtua mana yang ga terkejut mendengarnya.
Ibu gw menangis ketika gw ceritakan tentang Ara, dan menangis lagi ketika gw meyakinkan beliau bahwa gw mau menikahinya. Bukan ga ikhlas, tapi beliau terharu dengan keteguhan hati gw mencintai seorang wanita. Wajar saja, selama gw tinggal di kampung, gw belum pernah pacaran, dan orang tua gw tahu itu. Sekarang sang anak desa yang cupu itu telah menjatuhkan pilihan kepada seorang wanita yang terbaring sakit dan memutuskan untuk menikahinya. Bapak gw berpesan panjang lebar ke gw, beliau mengatakan bahwa apapun keputusan gw ini, harus gw jalani dengan sepenuh hati dan dengan keyakinan. Ibu gw berpesan, untuk menjaga Ara dan memohon kepada Allah SWT semoga kehidupan kami selalu diberi kemudahan dan jalan keluar
dari masalah. Satu hal yang sangat gw syukuri atas kedua orang tua gw, bahwa beliau berdua dengan tulus ikhlas merestui apa yang telah menjadi pilihan gw. Dan karena keterbatasan sarana serta biaya untuk sampai kesini, maka beliau berdua mengikhlaskan jika nantinya pernikahan gw tidak dapat dihadiri oleh beliau berdua. Nanti kita bikin syukuran lagi disini, kata bapak gw waktu itu. Gw hanya bisa mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya, serta memohon doa restu kepada orang tua gw, dengan air mata yang mengalir di pipi gw.
Setelah itu, gw duduk terdiam di selasar rumah sakit, dengan Jihan ada disamping gw. Untuk beberapa lama gw melupakan kehadirannya. Gw lupa bahwa dia juga membutuhkan istirahat, serta makan. Gw sama sekali melewatkan hal-hal manusiawi itu.
terimakasih ya, Jihan, buat semua yang udah lo lakuin disini... ucap gw tulus.
sama-sama... dia tersenyum.
lo pasti capek banget yah, lo belum makan kan" makan dulu yuk... ajak gw.
lo juga gw lihat belum istirahat sama sekali sejak kita sampe sini, Lang... katanya pelan. lo mau makan apa"
ga tahu, seadanya aja yang di deket-deket sini apa gitu...
dia mengangguk, kemudian kami berdua berjalan keluar mencari warung makan seadanya. Selesai makan kami kembali ke tempat
duduk sebelumnya. Gw menghela napas.
gw banyak berjanji ke Ara, dan belum bisa gw tepati sampai sekarang... ujar gw sambil memejamkan mata.
lo janji apa" gw janji mau bawa dia kerumah gw di kampung, gw janji mau antar dia ke panti asuhan, gw janji mau menemani dia nyari temen-temen masa kecilnya, dan gw janji mau membantunya untuk lulus... kata gw getir.
sekarang gw ga tahu lagi dari sekian janji gw itu, mana yang bisa gw tepati...
Jihan berpikir sejenak, kemudian dia menepuk bahu gw pelan.
gw tahu caranya kok. Kenapa ga lo tanya orang tuanya Ara aja tentang temen-temen masa kecilnya, siapa tahu beliau berdua masih tahu kabarnya mereka. Soal anak-anak panti asuhan, kenapa ga minta mereka mendoakan untuk kesembuhan Ara" Mungkin malah bisa diadain doa bersama disana...
iya ya... pikiran gw baru terbuka perlahan-lahan berkat ucapan Jihan barusan. Betapa selama ini gw melupakan solusi-solusi mudah seperti itu karena beban pikiran lain yang menghantui gw.
Gw berpikir beberapa lama, kemudian gw menoleh. Disamping gw lihat Jihan tertidur sambil duduk. Pasti dia kelelahan karena menemani gw sampai kesini. Gw merasa bersalah karena gw ga bisa membantu Jihan lebih banyak agar dia merasa sedikit nyaman beristirahat disini. Satu-satunya yang bisa gw lakukan
adalah dengan tidak mengganggunya. Untuk itu gw juga ikut memejamkan mata, beristirahat.
Entah berapa lama gw jatuh tertidur di sofa empuk di ruang tunggu keluarga pasien itu, gw terbangun karena suara langkah kaki yang tergopoh-gopoh. Dengan kesadaran yang masih belum pulih sepenuhnya, gw melihat beberapa perawat masuk ke kamar Ara, dan kemudian pintu kamar Ara terbuka lebar.
Beberapa detik kemudian gw melihat tempat tidur Ara dibawa keluar dengan terburu-buru, memasuki lift, dan menghilang dari pandangan gw sebelum gw bisa mengejarnya.
PART 71 Gw berlari memasuki kamar Ara, yang sekarang kosong melompong. Ga ada satupun yang bisa gw tanyai kemana Ara dibawa pergi. Dengan tergesa-gesa gw menuju ke sudut tempat meja perawat berada, dan gw bertanya kemana Ara dibawa pergi.
ke ICU, mas. jawab seorang perawat bertubuh gemuk.
setelah mengucapkan terima kasih, secepat kilat gw menuju ke lift. Karena lift itu ga kunjung datang, gw ga sabaran dan langsung menuruni tangga. Lebih cepat, pikir gw. Sesampainya di lantai dasar, gw langsung berlari menuju ke ICU. Gw melambatkan laju lari gw, dan mengubahnya menjadi berjalan setelah sampai di selasar di depan ICU. Diluar ICU gw melihat ayahnya Ara berdiri sambil melipat tangan di dada, dan berbicara serius dengan salah satu kerabatnya. Acha kenapa, Om" tanya gw.
tekanan darahnya drop sekali, mas. jawab ayahnya Ara singkat. mamanya sama tantenya ada di dalem.
gw mengangguk. Gw tahu ada aturan bahwa penunggu pasien di ICU maksimal dua orang, demi kenyamanan dan kesembuhan pasien itu sendiri. Mau ga mau gw menunggu diluar, meskipun di dalam hati gw ingin sekali menyusulnya di dalam.
Gw kemudian duduk di kursi yang diperuntukkan bagi keluarga pasien, dan berharap-harap cemas, menanti giliran gw untuk bisa menengoknya masuk. Ketika itulah gw melihat Jihan dari
kejauhan, celingukan mencari sesuatu. Gw bangkit dan bergegas menghampirinya.
kemana si lo ninggalin gw gitu aja... sungutnya begitu melihat gw.
iya sorry, tadi tau-tau Ara dibawa turun ke ICU... jawab gw. Ara kenapa"
tensinya drop katanya, gw juga belum bisa nengok masuk...
dia menarik gw berjalan ke arah ICU, dan berdiri menempel di tembok, menjauhi lalu lalang orang-orang yang berjalan. abis ini kita masuk ya. katanya tegas.
bapaknya duluan paling, gw setelah itu aja.
yaudah lo sama bapaknya aja, gw nanti. Yang penting itu lo harus segera masuk.
iya... Akhirnya gw mendapatkan kesempatan untuk masuk dan menengok Ara, sekitar setengah jam kemudian. Sendirian. Gw melangkah ke dalam ICU yang sebelumnya sudah sempat gw kunjungi sewaktu gw tiba disini, dan langsung menuju ke sebuah tempat tidur yang tertutup tirai panjang. Gw menatap Ara yang sedang tidur. Kulitnya bersinar, memantulkan cahaya lampu berwarna putih yang menerangi seluruh ruangan. Sebuah selang tampak terpasang di hidungnya.
Gw berdiri disampingnya, dan menyibakkan beberapa helai rambut yang menutupi dahinya dengan lembut. Gw mengecup dahinya pelan, dan merasakan betapa gw mencintainya, sekali lagi. Ini istri gw, pikir gw dengan getir. Memang janji suci itu belum secara resmi gw ikrarkan, tapi di dalam hati gw, dia sudah menjadi istri gw. Belahan jiwa gw. Satu yang selalu gw nantikan di setiap mimpi gw.
Gw menarik sebuah kursi plastik dan kemudian duduk disamping tempat tidurnya. Gw meraih tangannya yang terkulai tak bertenaga, dan merasakan setiap lekuk jemarinya. Bibir gw terus-terusan mengucapkan berbait-bait doa, dan gw seakan berharap doa gw itu tersalurkan melalui setiap sentuhan tangan gw.
Kemudian Ara terbangun. Gw tersenyum melihat dia membuka mata, dan menatap gw dengan sayu. Kedua tatapan kami bertemu, dan bibirnya yang pucat itu menyunggingkan senyum. Sebenarnya entah sudah berapa ribu kali kedua mata ini saling bertatapan, namun bagi gw saat inilah gw menatapnya dengan sepenuh hati, dengan sudut pandang yang berbeda. Bukan lagi sebagai teman sebelah kamar kosan, bukan lagi sebagai teman sekampus. Dia istri gw. hai. ucap gw pelan. Hanya itu yang bisa gw ucapkan. hai. balasnya lirih.
tangannya mencoba menggapai tangan gw, dan langsung gw sambut dengan genggaman erat kedua tangan gw.
maafin aku yah... katanya pelan dengan tersenyum. Dia tak lagi menggunakan gw-lo kepada gw. kondisi aku kaya gini didepan kamu...
gw menggeleng. kamu ga perlu minta maaf, karena memang ga ada yang salah dari kamu. Apapun kondisimu, aku terima. gw menarik napas, dan menelan ludah.
aku cinta kamu apa adanya. bisik gw lembut.
dia tersenyum lagi ke gw, dan mengelus pipi gw pelan. Tangannya terasa dingin di pipi gw.
aku juga cinta kamu apa adanya sejak tiga tahun yang lalu. katanya lirih. Tampak air matanya mulai terbit.
hampir empat tahun yang lalu. gw meralat, dan tersenyum padanya.
oh, udah mau empat tahun ya... dia memejamkan mata, dan tersenyum seakan membayangkan apa yang telah kami lalui selama ini. kamu orang terlama yang spesial di hati aku.
kamu bahkan pacar pertama aku... balas gw. dan langsung jadi calon istri...
dia tertawa pelan. emang kamu pernah nembak aku"
pernah kan, tapi kamu tolak. sahut gw sambil tertawa dan mengelus punggung tangannya pelan.
dia terdiam sesaat, kemudian memandangi gw dengan sayu. aku ga pernah nolak kamu kok...
kali ini gw yang terdiam.
kan selama tiga tahun ini aku ga pernah punya pacar lagi, soalnya sudah ada kamu disamping aku... dia tersenyum dan mengelus pipi gw lagi.
dia menatap langit-langit ruangan. Matanya berkaca-kaca.
ketika ada kamu disamping aku, rasanya aku ga butuh yang lain... katanya lirih. aku ngerasa nyaman banget ada disamping kamu selama ini. Dengan semua perhatian dan sikap kamu ke aku...
tapi... gw memotong. Ara mengangkat tangannya sedikit, memberi isyarat gw untuk menunda pendapat gw itu, dan melanjutkan mendengarkan apa yang dia katakan.
aku tahu memang kita ga pernah resmi saling mengungkapkan perasaan masing-masing, tapi apa yang kamu lakuin ke aku selama ini udah cukup membuktikan bahwa kamu memang mencintai aku...
dia terdiam, dan memejamkan matanya. Sesaat kemudian dia membuka matanya kembali.
terima kasih.... katanya lembut.
PART 72 aku mau pulang... sebuah suara lirih menyadarkan gw dari setengah tidur gw. Beberapa kali mengerjapkan mata, kemudian gw baru menyadari kalau gw masih berada di ICU, disamping Ara. Rupanya tadi gw sedikit jatuh tertidur selama duduk di kursi.
apa, Cha" gw mendekatkan telinga gw ke wajahnya. aku mau pulang... ulangnya.
sekarang" tanya gw bingung. tapi... mana bisa....
aku mau pulang, mau dirumah aja... dia memegang tangan gw dengan mata berkaca-kaca. please...
gw menelan ludah, menatapnya lekat-lekat, dan memikirkan segala kemungkinan dan kesempatan yang masih kami miliki. Akhirnya gw mengangguk setelah beberapa saat.
iya, aku coba bilang ke papa mama dulu ya... kata gw menenangkan seraya mengelus tangannya yang dingin dan mungil. dia mengangguk lemah, kemudian memejamkan matanya.
Beberapa jam kemudian, gw bersama Jihan sudah duduk di bagian belakang mobil ambulance yang membawa Ara pulang kerumah. Kedua orang tuanya meluluskan permintaan putri tunggalnya itu dengan berat hati, dan dokter yang bertanggung jawab atas Ara di rumah sakit itupun terkejut namun tak bisa berbuat banyak. Atas permintaan orang tua pasien, si pasien itupun akhirnya dipulangkan kembali ke rumah.
Sepanjang perjalanan singkat itu gw terus menerus menggenggam tangan Ara yang tertidur karena efek obat. Gw merasakan hangat aliran darahnya, yang menggetarkan hati dan jiwa gw. Dalam benak gw terbayang segala kenangan tentangnya ketika dia masih ceria dan menghiasi hari-hari gw di Jakarta. Gw ingin hari-hari itu kembali lagi.
Sesampainya dirumah, Ara langsung dimasukkan ke kamarnya, beserta infus dan beberapa peralatan medis lainnya yang memang dibawa. Satu perawat yang sengaja ikut dari rumah sakit dengan sigap memasangkan dan menyetel semua alat itu, dan memberikan penjelasan cukup banyak kepada keluarga, termasuk gw. Ketika semuanya selesai, perawat itu kembali ke rumah sakit.
Kemudian kami mengatur jadwal berjaga yang dilakukan bergantian. Gw mengajukan diri berjaga yang pertama, sementara Jihan setelah gw, dan selanjutnya baru beberapa kerabat Ara. Oleh keluarga Ara, Jihan disarankan untuk tidur dulu di kamar yang memang diperuntukkan bagi tamu. Gw mendukung usul itu, karena sejak tiba disini, Jihan belum beristirahat dan membersihkan badan. Di dalam hati gw juga kasihan melihat dirinya yang seperti itu.
Akhirnya gw pun sendirian di kamar Ara, memandangi Ara yang masih tertidur. Hari sudah berganti, waktu itu gw bahkan ga ingat lagi hari itu hari apa, atau tanggal berapa. Yang gw tahu hanyalah gw ingin menghabiskan waktu selama mungkin dengan sosok wanita yang terbaring lemah di hadapan gw ini.
Gw duduk di sebuah sofa kecil empuk yang biasa digunakan Ara ketika dia masih tinggal dirumah ini. Terkadang mata gw terasa berat, tapi ada panggilan di otak gw yang membuatnya tetap terjaga.
Beberapa lama kemudian, gw melihat Ara membuka matanya, dan berkedip-kedip tersadar. Gw mendekatinya, dan memegang tangannya.
mau minum" gw langsung menawarkan. Dia mengangguk. Gw meminumkan segelas air teh hangat dengan sedotan. ini dirumah ya... katanya ketika telah selesai minum.
gw mengangguk. iya ini dirumah, di kamar kamu... jawab gw tersenyum.
kok masih ada selang-selangnya dia menyentuh selang yang terpasang di hidungnya. Dengan sigap gw menahan tangannya. udah jangan dipegang-pegang, biarin aja disitu... kata gw. makan dulu yuk" tawar gw. Dia langsung menggeleng pelan. engga, ga pengen makan aku...
gw menatapnya iba. Rasanya ga tega untuk memaksanya lebih jauh.
kamu udah makan" tanyanya sambil menatap gw.
gw tertawa pelan. Takjub di saat seperti ini dia masih menanyakan gw sudah makan atau belum.
belum, gampang lah nanti aku cari di dapur ada makanan apa...
minta ke mba Ros yah... katanya pelan. Mba Ros adalah pembantu rumah tangga disini.
gw mengangguk. iya, ntar aku minta ke mba Ros...
gw kemudian menarik kursi beroda yang sebelumnya digunakan di meja belajarnya Ara, dan duduk disamping tempat tidurnya. Gw menyandarkan badan ke depan, memegang tangannya dengan kedua tangan gw.
kamu udah dirumah nih... sembuh yah" pinta gw sambil tersenyum lebar.
dia melepaskan tangannya dari genggaman gw, dan mengelus rambut gw. Sesaat kemudian dia juga tersenyum lebar. katanya mau nikah sama aku" tanyanya pelan. gw tertawa dan mengangguk.
iya, tapi kamu sembuh dulu yah...
dia tersenyum dan memegang tangan gw erat. secepatnya bisa"
gw menatapnya, dan merasa bingung. secepatnya apa, Cha" sembuhnya" gw memastikan.
dia menggeleng pelan. bukan. secepatnya nikahin akunya... bisa"
PART 73 Senandung Soraya (bagian 1)
Gw tahu, dan kita semua pun tahu, di dalam hidup pasti akan ada saat-saat dimana kita merasa diatas, atau dibawah. Setiap momen itu akan terpateri di ingatan masing-masing, tergantung dengan seberapa besar keinginan untuk mengenangnya. Dan di setiap momen itu akan ada orang-orang yang hadir di hidup kita, menghiasi di setiap saatnya. Seperti seorang Amanda Soraya, yang telah ada di hidup gw empat tahun terakhir ini, disaat gw ada diatas ataupun terpuruk di dasar.
kamu cakep banget pake baju itu...
gw menoleh, dan memandangi seorang wanita yang mengenakan kebaya berwarna putih, dan berdandan dengan anggunnya, duduk bersandar di sofa. Gw tersenyum.
harus cakep, kalo ga cakep ntar kamu ngomel lagi... sahut gw. kamu ga seneng calon suamimu cakep" goda gw.
dia tertawa lirih. kalo ga cakep aku buang ke selokan depan rumah...
dia kemudian memandangi selang infus yang masih terpasang di tangannya yang telah dihiasi oleh motif henna yang indah.
kapan nih infusnya bisa dicopot" dia mengangkat sedikit tangannya yang masih terpasang selang infus. Sepertinya dia ga sabar lagi. Gw tertawa pelan.
sabar atuh. nanti kalo udah waktunya baru dilepas. Sekarang mah biarin aja dulu, masih lama juga ini... gw duduk
disampingnya, dan menepuk-nepuk pahanya pelan. lama. dia cemberut manja.
lamaan mana sama aku nungguin kamu" sahut gw iseng. dia mengernyitkan dahi. nungguin aku"
empat tahun" gw memberi kode.
empat tahun penuh hal bego ya iya! Huh. dia menoyor kepala gw dengan dongkol. sampe kesel gw nungguinnya...
nungguin apaan" ya nungguin kamu nembak lah! Emang enak dikadalin tiap hari, isinya cuma Cha, bikinin mie dong atau Cha, angkatin jemuran dong . Kan kesel... sungutnya berapi-api. Gw cuma bisa meringis sambil menggaruk-garuk kepala gw yang sebenarnya ga gatal. yang penting sekarang gimanaaa... gw tersenyum jahil.
Dia cuma melirik ke arah gw sambil ikut tersenyum kesal. Barangkali dia dongkol, sekaligus bahagia bahwa cowok ngeselin yang selama ini berseliweran di sekitarnya akhirnya akan menjadi suaminya.
seneng ga akhirnya nikah sama aku" tanyanya.
gw memandanginya sesaat, kemudian menyandarkan tubuh ke belakang dan memejamkan mata. pertanyaan retoris... jawab gw kalem.
dia mencubit perut gw. seneng ga iiih, ditanyain juga...
UADUH! iyaiya seneng iyaaa, seneng bangeeet... gw meringis kesakitan sambil mengelus-elus samping perut gw yang sepertinya ga lama lagi akan memar-memar.
Kemudian handphone gw berdering. Dari orang tua gw dirumah. Dengan semangat gw mengabarkan kepada beliau berdua perkembangan yang ada disini, dan mereka sekali lagi memberikan restu dan doanya, walaupun hanya melalui telepon. Sayang handphone mereka berdua belum canggih, jadi gw ga bisa mengirim foto gw mengenakan baju adat Jawa untuk pernikahan. Air mata gw mendadak terbit ketika mengingat hilanglah sudah kesempatan kedua orang tua gw untuk menyaksikan anak sulungnya menikah. Namun mereka berdua dengan ikhlasnya merestui gw, dan hal itu membuat gw semakin merasa terharu.
Beberapa lama gw mengobrol dengan ibu, mendadak ibu gw ingin berbicara dengan Ara.
coba mana calon istrimu, ibu mau ngomong... begitu kata beliau.
gw kemudian menyerahkan handphone ke Ara, dan dia menerima itu dengan wajah bingung.
apa" katanya tanpa suara ketika menerima handphone gw. ibu, mau ngomong sama kamu... bisik gw.
Dia kemudian berbicara dengan ibu gw. Awalnya gw ingin menguping apa saja yang mereka berdua bicarakan, tapi baru
sedikit gw mencuri dengar, Ara mendorong badan gw menjauh. Dia kemudian menjauhkan handphonenya sesaat.
jauh-jauh dulu sana loh, aku mau ngobrol sama ibu... katanya sambil menutup bagian microphone. Yah, gw diusir.
Gw kemudian berdiri dan melangkah keluar kamar Ara, melihat persiapan akad nikah sederhana yang akan dilaksanakan kira-kira satu jam lagi. Beberapa kerabat keluarga Ara berlalu lalang di rumah yang megah itu, dan beberapa pekerja dekor juga melakukan pekerjaannya. Segalanya dilakukan secara kilat, entah pengaruh apa yang dimiliki oleh orang tua Ara, namun sepertinya sesuatu yang tampak mustahil ternyata bisa dilaksanakan.
Gw merenung mengingat permintaan Ara empat hari yang lalu, untuk menikahinya secepatnya. Kemudian segalanya diputuskan dengan kilat. Apa yang telah menjadi kesepakatan kami semua adalah akad nikah saja yang dilaksanakan hari ini, sementara resepsi dan acara lainnya ditunda sampai waktu yang belum ditentukan.
udah siap lo" tanya sebuah suara disamping gw.
gw menoleh, dan melihat Jihan dalam balutan kebaya yang anggun. Tanpa bermaksud apapun, gw mengakui bahwa dia sangat cantik hari itu.
eh elo.. iya, insya Allah gw siap kok... jawab gw. lo cantik deh pake kebaya hahaha...
enakan pake kaos. dia tertawa sendiri sambil menata rambutnya yang telah disanggul rapi.
masa nikahan gw pake kaos" yang cantik lah...
dia memandang gw dengan tatapan serius namun bibirnya tersenyum.
ga pernah terbayang di pikiran gw bahwa gw bakal jadi salah satu saksi di peristiwa terbesar di hidup lo...
gw menatapnya beberapa saat, dan menyadari sesuatu. Benar juga apa yang dikatakan Jihan. Selama ini dia hanyalah teman satu kos-kosan. Bahkan dulu gw cuma mengenalnya sebagai mbamba yang suka jemurin baju diatas . Tapi sekarang dia bersedia untuk membantu gw, menemani gw sampai sejauh ini, dan menjadi saksi di salah satu peristiwa terbesar dan terpenting di hidup gw. Betapa hidup menjadi sebuah parodi satir bagi gw. temen-temen lo kapan dateng" tanyanya memecah lamunan gw.
hm" oh, Rima sama Maya" Pagi ini landing katanya, cuma kayanya telat dikit kalo ngejar akad. Paling agak siangan mereka sampe sini. jawab gw.
Dia mengangguk-angguk sambil menggigit bibir dan memandangi dekor sekeliling. Jihan memang sudah mengenal beberapa teman kampus gw dan Ara, sejak Ara terpaksa masuk rumah sakit di Jakarta beberapa waktu lalu.
gw mau liat Ara ah, dari pagi belum liat dia gw. Pengen tau dandanannya kaya gimana... dia menepuk lengan gw kemudian berbalik menuju kamar Ara. Gw pun mengikutinya dari belakang.
Dia memasuki kamar, dan kemudian diikuti oleh gw. Betapa terkejutnya gw ketika di dalam kamar gw dan Jihan mendapati Ara memejamkan mata dengan posisi bersandar yang agak ganjil, sementara handphone gw sudah tergeletak di atas sofa disampingnya.
Cha" panggil gw tercekat.
PART 74 Senandung Soraya (bagian 2) Cha" panggil gw tercekat.
Sesaat kemudian Ara membuka matanya, dan gelombang kelegaan menerpa gw, yang langsung menghembuskan napas panjang.
hm" tanyanya dengan raut wajah lemas. kenapa kamu"
ngantuk. jawabnya singkat. bangun kepagian gw....
gw dan Jihan tertawa. Di hari pernikahannya seperti ini dia masih bisa ngedumel. Jihan kemudian duduk disampingnya.
mba cantik banget ih pake kebaya gitu, sering-sering dong mba! ucap Ara senang sambil mencubit lengan Jihan.
kurang kerjaan amat gw di kosan pake kebaya" sahut Jihan sambil tertawa lebar. lo juga cantik banget, Cha, apalagi pake henna gitu.
disuruh mama nih, tangan gw jadi macem-macem yang nempel. Ada infus, ada henna, ntar ada cincin juga... Ara kemudian memandangi gw dengan tatapan nakal. cincinnya ga usah aja apa gimana" Heheh...
dasar dodol. gw menjulurkan lidah.


Dunia Yang Sempurna Karya Carienne di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gw kemudian beringsut duduk di kursi belajar Ara, sementara
Ara dan Jihan mengobrol seputar dandanan mereka hari itu. Beberapa orang kerabat dan perias keluar-masuk kamar Ara, dengan keperluan mereka masing-masing. Dari luar juga sudah terdengar suara check sound untuk acara nanti. Mendadak gw merasa tegang dan deg-degan. Perut gw mulas. Nanti gw akan mengucapkan janji suci, batin gw. Untuk membuang rasa tegang itu gw melihat-lihat sekeliling kamar Ara yang cukup berantakan dengan peralatan rias dan baju-baju.
Cha, udah makan kamu" tanya gw.
udah tadi sebelum dirias, kamu udah makan" gw menggeleng.
kok belum sih iih! gerutunya sebal.
ga nafsu makan gw, mules... jawab gw jujur. Jihan tersenyum geli.
boker dulu sana sebelum acara. Ntar jebol pas akad kan malu... sahut Ara. Mendengar itu Jihan yang tadinya tersenyum menjadi tertawa lebar.
apa pake pampers aja" timpal Jihan.
ga kebelet gw... sahut gw dongkol. Orang mules gara-gara tegang dikira kebelet.
kenapa" tegang" tanya Ara.
gw tersenyum aneh karena tertangkap basah, dan mengangguk.
iya hehe... tenang aja siih, udah ada catetannya juga... emang ada"
lah gimana si" ada lah, coba tanya mama, udah disiapin kok. ooh kalo gitu tenang deh... Hehe... sahut gw bego.
Jihan yang sedari tadi tersenyum-senyum memandangi gw dan Ara bercakap-cakap, akhirnya membuka suara.
ga nyangka gw kalian bakal nikah sebentar lagi... katanya pelan.
gw aja ga nyangka mba... Ara tersenyum penuh makna. cuma, ada satu cowok yang selama ini ada di sekeliling gw, ngebawelin gw, tukang nyuruh-nyuruh gw, ternyata naksir gw... Heheh... sejak kapan si kalian jadian" tanya Jihan.
Gw dan Ara saling berpandangan. Gw yakin Ara juga sama bingungnya dengan gw, karena kami sebenarnya ga ingat kapan resminya kami jadi sepasang kekasih. Tapi bagi gw, ada satu momen yang menurut gw saat itulah gw dan Ara mulai saling menyayangi satu sama lain dengan jujur. Yaitu pada saat gw mengutarakan perasaan gw yang sesungguhnya untuk kedua kalinya, dan Ara menjawabnya dengan kejujuran mengenai penyakitnya.
kapan ya" gw menggaruk rambut. kapan, Cha" tanya gw ke
Ara. emang pernah" Gw melongo menatapnya. Sesaat kemudian gw baru menyadari kalau Ara mengerjai gw.
bingung gw kalo ditanya kapan... gw berbohong ke Jihan. ga pernah secara resmi nembak kaya orang-orang biasanya soalnya...
tau-tau langsung ngajakin nikah yak" haha... Ara mendukung pernyataan gw.
gitu tuh namanya cowo... sahut Jihan.
Kemudian ada kebisuan selama beberapa saat diantara kami bertiga. Dari luar masih terdengar suara-suara persiapan acara yang sebentar lagi akan dihelat.
kalian nyangka ga si waktu awal ketemu dulu kalo bakal ada cerita spesial diantara kalian berdua"
Ara berpikir sejenak, kemudian menggeleng.
gimana mau nyangka mba, hari pertama gw kenal dia nih, bibir gw udah jadi korban...
jadi korban" maksudnya.... ciuman"
Ara tertawa sebal. iya ciuman, tapi gw diciumnya pake jarinya si kampret ini nih... Ara menunjuk gw, sementara gw cuma bisa
cengengesan mengingat awal pertemuan kami dulu.
sesaat kemudian mamanya Ara masuk ke dalam kamar, dan memanggil gw untuk bersiap-siap diluar.
Mas Gilang, ayo... oh iya, tante... gw bergegas berdiri, dan merapikan pakaian yang kusut. Gw menatap Ara lekat-lekat. Dia hanya tersenyum cantik.
doain ya, Cha. kata gw. ga perlu kamu minta lagi. jawab Ara.
Gw tersenyum, dan mengedipkan sebelah mata gw, lalu keluar untuk bersiap-siap.
Sebentar lagi gw bakal memperistrinya, pikir gw. Akhirnya sebagian pencarian hidup gw akan berlabuh disini, di dirinya. Seorang wanita yang tanpa sengaja bertemu dengan gw di lorong kampus, kemudian pulang bersama, dan ternyata tinggal bersebelahan dengan gw. Sebentar lagi gw akan memiliki dia sepenuhnya.
Semoga. PART 75 Senandung Soraya (3)
Belum pernah terlintas di benak ataupun di mimpi tergila gw, bahwa hidup akan membawa gw kepada titik ini. Gw sekali lagi merenungkan kembali apa yang sudah gw lalui selama hidup gw, sejauh yang bisa gw ingat, dimana semua kejadian itu membawa gw kepadanya. Barangkali jika gw memilih untuk bersekolah di Bandung, seperti rencana awal gw, atau jika gw memilih koskosan yang lain, cerita hidup gw akan sama sekali berbeda. Gw ga pernah menyesal akan pilihan gw di setiap saat gw harus memilih.
Gw tahu Tuhan selalu bekerja dengan cara misterius, dan gw percaya rencana-Nya selalu indah, melebihi rencana manusia. Empat tahun lalu, dengan berat hati gw meninggalkan rumah, meninggalkan keluarga, untuk merajut masa depan yang lebih baik. Di dalam bus yang membawa gw ke Jakarta itu gw berdoa, agar cita-cita gw untuk memperoleh masa depan yang lebih baik dikabulkan oleh-Nya. Dan keesokan harinya gw bertemu dengannya, Amanda Soraya. Dan lama kemudian gw menyadari, bahwa bertemu dengannya merupakan jawaban atas doa gw. Sosoknya membawa gw menuju ke arah yang lebih baik.
Gw ga pernah menyangka bahwa gw akan sedemikian mencintai wanita ini, dengan cara dan jalan yang sedemikian panjang. Yang gw tahu hanyalah, dia membuat hari-hari gw menjadi berarti, dan menemani gw di setiap sepi. Dia yang menghiasi setiap mimpi gw, dan menjadi penyemangat gw menuntut ilmu. Bagi gw, dia tak tergantikan, selain orang tua gw. Satu yang terindah.
Saya terima nikah dan k*awinnya, Amanda Soraya P. binti Agus M., untuk diri saya sendiri, dengan mas kimpoi seperangkat alat sholat dibayar tunai.
Dengan terlepasnya genggaman tangan gw dan tangan papanya Ara, diiringi ucapan Alhamdulillah dari beberapa orang, gw merasa segenap beban gw hari itu terangkat. Gw
menghembuskan napas panjang, dan tangan gw masih gemetaran. Gw sendiri belum bisa mempercayai ini, bahwa gw telah memiliki seorang istri, dan gw menjadi seorang suami. Seorang suami dari teman sebelah kamar kos.
Gw melirik ke Ara yang duduk disamping gw, wajahnya berseriseri. Matanya sedikit berkaca-kaca, dan dia beberapa kali memejamkan matanya. Gw menarik napas panjang, dan melanjutkan beberapa prosesi akad nikah lebih lanjut. Setelah menanda tangani buku nikah dan beberapa hal lainnya, tibalah waktunya Ara dan gw saling bertukar cincin. Karena waktu yang mendesak, yang dipakai adalah cincin milik orang tua Ara.
Gw memakaikan cincin ke jari manisnya, sementara dia juga memakaikan cincin ke jari manis gw, kemudian dia mencium tangan gw. Mata gw terasa panas lagi ketika tiba giliran gw untuk mencium dahinya. Disaat bibir gw menyentuh lembut dahinya, gw merasakan betapa besar cinta gw untuknya. Jantung gw berdegup kencang, dan perasaan gw seakan-akan ingin meledak. Gw tahu gw mencintainya dengan seluruh hati gw, dan seumur
hidup gw. Empat tahun untuk selamanya.
terima kasih... ucapnya sambil tersenyum.
buat apa" buat menikahi aku. terima kasih juga untuk jadi istriku...
terima kasih untuk segalanya ya, semua yang sudah kamu lakuin untuk aku, dan yang akan kamu lakuin untuk aku...
sama-sama... Gw memeluknya erat, di hadapan semua orang yang hadir. Segala dinding itu lenyap sudah. Gw dan dia telah mengikrarkan satu janji suci, dan tulus dari hati yang terdalam. Dan hanya dalam kebisuan gw dapat mengungkapkan segala rasa yang ada. Seperti yang telah gw katakan sebelumnya, dia satu yang terindah.
Ya, satu yang terindah. PART 76 Ketika seluruh acara telah usai, gw masih terpaku di pelaminan sederhana, duduk termenung sendiri. Otak gw berusaha mencerna pelan-pelan apa yang barusan telah gw lalui. Gw telah menjadi seorang suami, gw telah memperistri seorang wanita yang gw kenal dengan sangat baik selama empat tahun belakangan. Segalanya terasa terlalu cepat bagi gw. Baru beberapa hari, atau minggu, yang lalu gw masih berkutat di kampus dengan skripsi gw. Sekarang disini gw berada, dengan istri gw.
Ara yang juga masih duduk disamping gw, memandangi gw dengan bertanya-tanya.
kamu kenapa" tanyanya sambil mengelus pipi gw. gw memejamkan mata sejenak, kemudian menatapnya. ah engga papa, cuma bengong. Hehe...
kenapa hayo" engga papa, Cha, serius deh...
bengong-bengong ntar kesurupan gw yang repot... sungutnya jenaka. Gw hanya tertawa menanggapinya.
istirahat gih sana, tiduran lagi... kata gw sambil merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. apa makan dulu" dia menggeleng. ntar aja makannya, belum laper. kamu kalo udah
laper ya makan lah dulu sana gapapa...
Gw hanya tersenyum. Sesaat kemudian kami kembali tepekur, dengan pikiran masing-masing. Gw teringat keluarga dirumah. Betapa gw merindukan mereka, dan betapa gw kesepian disaat terpenting dalam hidup gw tanpa kehadiran satupun dari mereka. Gw kemudian menoleh ke Ara. Dia sedang menunduk, memainkan jemari tangannya. Tapi di dalam hatinya gw tahu banyak pertanyaan yang menunggu jawaban.
kita udah jadi suami-istri yah" tanyanya memecah keheningan.
gw tersenyum, dan mengangguk pelan. susah dipercaya ya" sahut gw.
iyah, umur segini udah nikah, sama lo lagi... dia tersenyum menerawang, kemudian menggelengkan kepala dengan samar.
jangan nyesel yah nikah sama gw... gw mengedipkan sebelah mata.
nyesel gw nikah sama lo... balasnya dengan wajah serius. kok gitu"
kok ga dari dulu-dulu lo ngajak gw nikahnya... Hahaha... dulu belum tentu lo mau...
emang sekarang gw mau" lah"
Ara tertawa terkikih, kemudian menggandeng lengan gw sambil bersandar pada bahu gw. Dikerjain lagi gw.
udah gausah bawel, sekarang lo suami gw. Ga nurut ama gw, ga ada jatah! ancamnya dengan muka datar.
Gw hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala sambil menguruturut kedua pelipis gw. Pusing gw punya istri satu tipe kaya beginian.
eh, kosan kita gimana yak" tanyanya tiba-tiba.
iya ya" gw pun baru teringat tentang kamar kos yang sudah beberapa hari ini kosong. biarin aja dulu apa gimana" biarin aja dulu ya" trus barang-barang gw gimana dong"
gampang ntar gw yang urus. Yang penting mah tetep bayar sewa aja, habis perkara. kata gw sambil menggaruk rambut.
debunya udah kaya apaaa itu... katanya membayangkan keadaan kamarnya.
bersejarah loh itu... gw meringis. buat lo aja kaliii, buat gw engga... tau ah..
hihihi iya iya gitu aja pundung, suamikuuuu.... dia menyentil hidung gw.
apa" coba ulangi yang terakhir"
su-a-mi-kuuuu..... ulangnya dengan nada sok manis. geli gw dengernya tau nggak... kata gw dengan menyeringai.
sama, gw juga geli ngomongnya... balasnya juga dengan menyeringai.
eeet, panci gosong... istri sendiri dikatain panci gosong, dasar ulekan...
Gw hanya bisa tertawa, ketika seorang wanita menaiki pelaminan, kemudian duduk di sela-sela bangku, disamping Ara.
selamat yah, sekali lagi... katanya tulus sambil menggenggam tangan Ara.
terimakasih mba Jihan, terimakasih banget. Maaf udah ngerepotin sampe sejauh ini... Kalo ga ada mba Jihan kayanya acara ini juga ga bakal ada... kata Ara sambil membalas genggaman tangan Jihan.
ah apa si, jasa gw ga segitu besarnya kok... Jihan tersenyum.
kalo ga lo semangatin, mungkin gw ga akan sampe sini... gw menyahut. semua berkat Jihan loh, gw jadi yakin untuk menikahi lo, Cha... kata gw ke Ara.
jadi sebelumnya ga yakin" gituuu" hmm" cecar Ara.
mati lo, Lang... Jihan terkikih.
eh, anu, ya ga gitu sih, eh pokoknya gitulah... gw tergagap, sementara Ara menatap gw dengan tatapan kesal sekaligus geli. nanti gw balik Jakarta ya... kata Jihan kepada kami berdua.
kok nanti" disini dulu lah, mba, jalan-jalan dulu di Surabaya... cegah Ara.
Jihan hanya tersenyum. udah berapa hari gw ninggalin kerjaan, Cha...
oh iyaya... Ara langsung mengkerut mendengar alasan itu. Jihan memang sudah menjadi karyawati di sebuah kantor sekarang. Entah alasan apa yang dia utarakan ke atasannya di kantor tentang ini semua.
kalo nginep semalam lagi gimana" gw menawarkan.
Jihan menggeleng. terima kasih, tapi kayanya engga bisa. Gw besok harus masuk kantor. Apa kata boss gw nanti hahaha...
Gw dan Ara memahami alasan Jihan itu, walaupun dalam hati kami masih sangat ingin menahannya disini, berbagi kebahagiaan. okelah, nanti gw anter lo ke stasiun ya...
ikuuut... rengek Ara. Gw langsung melotot.
engga, lo dirumah aja, istirahat. Lagian cuma ke stasiun nganter
doang kok... iya iya gw dirumah. Huh. rajuk Ara sambil cemberut. Jihan hanya tersenyum gemas memandang kami berdua. kalian berdua itu kesayangan gw. ucapnya pelan.
Gw dan Ara hanya bisa tersenyum mendengar itu. Karena gw tahu, didalam hati kami berdua, Jihan termasuk orang-orang yang paling kami sayangi juga. Dan gw akan selalu bersyukur bisa mengenal sesosok wanita bernama Jihan.
PART 77 Secercah cahaya mentari pagi menghiasi langit keperakan, menandakan sebuah hari baru telah datang bagi gw dan Ara. Satu hari lagi yang akan gw lalui dengan penuh syukur bersamanya. Kemilau sinar mentari itu memiliki arti tersendiri di hati gw. Selain karena keindahannya, di dalamnya juga teriring doa dan harapan agar perjalanan hidup kami dapat seindah pemandangan ini.
dingin ya... ucap Ara disamping gw.
gw menoleh, dan melihat istri gw ini masih berbalutkan mukena. Gw tersenyum dan merangkulnya erat, mendekapnya di tubuh gw.
bagus ya mataharinya... kata gw pelan. rasa-rasanya dulu kita sering ngobrol sampe pagi di kosan, tapi ga pernah menikmati pemandangan kaya gini...
abisnya lo molor sih abis subuhan... Ara menyentil hidung gw pelan. Dia kemudian terbatuk-batuk beberapa kali. daripada molor di kelas" balas gw.
Ara tertawa. kangen gw sama kelas kita... katanya sambil memandangi semburat cahaya di ufuk timur.
masih sama kok, bagian pojok masih banyak yang bocor...
bisa aja... dia mencium pipi gw pelan, kemudian memandangi gw lekat-lekat. I love you.
I love you too... gw mencium bibir istri gw.
Mendengar itu Ara tampak ga bisa menyembunyikan senyumnya. Lama kelamaan senyumnya berubah menjadi tawa pelan. Gw pun ikut tertawa melihatnya. Sepertinya kami berdua menertawakan hal yang sama.
butuh empat tahun ya buat lo untuk ngomong I love you ke gw... katanya jahil.
bayangin dah tuh lamanya gw nahan-nahan. Kaya nahan boker empat tahun coba...
jadi batu dong" jadi cincin. gw mengangkat tangannya yang berhias cincin kimpoi. Dia tertawa lembut.
sejak kapan si lo jadi pinter ngegombal gini, hm" katanya gemas sambil mencubit pipi gw.
sejak jadi suami lo... iya sih dulu lo kakunya ngalahin beha baru... beha lo ga kaku-kaku amat ah...
hahahaha sikampret sekarang bisa ngabsenin beha gw ya lo dasar... dia menoyor kepala gw. Sepertinya bagi dia gw jadi suami atau jadi tetangga kosan sama aja.
jangan berubah ya sama gw... lanjutnya.
berubah gimana maksudnya" tanya gw heran.
ya berubah, gw takut aja lo berubah jadi galak atau gimanagimana gitu sama gw...
gw tersenyum, kemudian mencium pipinya lembut.
gw ada di hidup lo bukan mau marahin lo atau nyalah-nyalahin lo. gw ada disini untuk bikin lo bahagia, oke" sahut gw berbisik di telinganya.
caranya gimana bikin gw bahagia hayo" tantangnya jahil. gw berpikir sejenak. gampang itumah... simpul gw. gimanaaa"
beliin martabak manis aja ntar kan lo anteng sendiri di pojokan...
hehehe bisa aja lo ban bajaj... kami berdua tertawa renyah.
Aktivitas hari itu memang ga terlalu banyak. Disamping karena Ara memang harus beristirahat, gw pun juga sebenarnya ga ada kegiatan yang khusus. Gw teringat kembali skripsi gw yang sudah gw telantarkan beberapa waktu ini. Hampir selesai, sebenarnya, tinggal gw ajukan ke dosen dan ikut sidang akhir. Gw membukabuka email gw lewat laptop Ara, dan membaca ulang beberapa email balasan dari dosen pembimbing gw yang belum sempat gw balas.
Pak Edi nyariin gw nih... kata gw tanpa melepaskan tatapan dari layar laptop.
nyariin kenapa dia" sahut Ara yang berbaring berselimut disamping gw.
dia mau tau lagi progress revisiannya kemaren sampe mana...
lo udah sampe mana sih" udah mau kelar kan" tanyanya dari balik bantal.
ya iya sih... Ara terdiam beberapa waktu. Dari wajahnya terlihat dia sedang berpikir. Pandangannya menerawang jauh.
ya udah lo balik dulu aja kesana, kelarin dulu semuanya, sampe sidang...
lah masa gw ninggalin lo"
siapa yang bilang ninggalin" gw ikut lah.
kok ikut" nanti disana lo dapet perawatannya gimana"
gampang lah itu dipikir nanti. Gw sekalian mau liat kamar bersejarah kita berdua. Hahaha... dia tertawa pelan, sama sekalian pindahin barang-barang gw juga sih...
gw berpikir-pikir beberapa waktu, cukup lama, hingga akhirnya Ara gusar dan menyenggol lengan gw.
gimana" ditanyain bengong aja ish... gw menarik napas dalam-dalam.
ya udah ya udah, lo ikut gw balik Jakarta. Tapi janji, ga boleh bandel ya disana"
Ara tersenyum, bangkit dari tidurnya, dan mencium pipi gw pelan.
menurut lo, kapan gw ga bandel" bisiknya pelan di telinga gw.
PART 78 Sepanjang ingatan gw selama hidup, sudah beratus, bahkan mungkin beribu tempat yang gw singgahi. Satu dan lainnya memberikan kesan dan kenangan tersendiri di memori gw. Terkadang satu tempat hanya berlalu begitu saja, hingga pada akhirnya mereka akan kembali lagi kita singgahi dengan satu atau lain cara. Diantara sekian ratus atau ribu tempat itu, ada beberapa yang menapaki satu tempat spesial di hati gw. Mungkin banyak dari tempat-tempat itu akan berlalu bersama angin seperti daun yang berguguran. Namun tidak dengan yang ini.
Gw berdiri di depan pintu pagar tinggi berwarna gelap yang terbuat dari besi tempa yang telah gw kenal dengan sangat baik beberapa tahun belakangan ini. Dengan menggendong tas di salah satu pundak gw, tangan gw yang lain merangkul sesosok wanita yang berdiri di samping gw. Dia berwajah pucat, namun tersenyum. Gw rasa, ada hal-hal yang kami sama-sama kami rasakan, namun tidak dapat terucap dengan kata.
kita kaya anak ilang ya... ucapnya lirih. anak ilang yang akhirnya pulang... dia tersenyum menatap gw. Gw hanya bisa membalas senyumannya itu dan menghela napas panjang.
ayo... ajak gw. Gw dan dia melintasi jalan setapak yang telah sangat gw kenal setiap sudutnya. Setiap bau tanamannya. Setiap gemerisik suaranya.
sekarang jadi lebih ijo yah tamannya... katanya sambil memandangi sekelilingnya. bagus...
iyalah, lo udah berapa bulan ga balik sini... jawab gw.
Gw melihat sebuah pintu di seberang kami, yang kali itu tertutup rapat. Sepertinya penghuni kamar tersebut memang belum pulang, karena hari masih terang. Ara seperti bisa membaca arah mata dan pikiran gw.
mba Jihan belum pulang kantor yah" tanyanya.
belum kayanya, masih sore juga ini. Biasanya mah dia pulang kalo udah gelap...
dia masih ngekos disini ga sih"
setau gw si masih... gw menatapnya dan tersenyum, semoga masih.
Ara menatap pintu berwarna cokelat yang tertutup itu dengan tersenyum simpul. asik yah udah kerja gitu...
kenapa asik" Dia menarik napas, dan mengedikkan bahunya. yah at least dia punya satu kisah baru di hidupnya, yang bisa dibanggain dan bisa jadi jati dirinya kelak. It s like that she living in her dreams, gitu.
gw merangkulnya. kita semua punya mimpi kok. Dan akan kita wujudkan itu satu-satu. bisik gw.
nah kan gombalnya mulai... dia mencubit perut gw pelan.
Di malam hari, gw berbaring di kasur lama gw, seperti yang selalu gw lakukan selama bertahun-tahun ini. Bau khas kamar yang lama ga ditinggali masih menempel di perabotan. Air galon di dispenser gw pun tinggal berisi setengah, entah itu masih bagus kualitasnya atau sudah harus gw ganti baru. Buku-buku gw pun sudah agak berdebu, meskipun sore tadi sudah gw bersihkan sedikit-sedikit. Yang jelas, seprei dan bantal gw sudah bebas dari debu.
Di sebelah gw terbaring tetangga sebelah kamar gw, yang sekarang berubah statusnya menjadi istri gw. Dia barusan bangun tidur, jadi masih setengah sadar dan belum bisa gw ajak ngobrol. Jadilah gw hanya memandanginya mengumpulkan nyawa yang masih beterbangan dengan geli.
jam berapa sekarang" tanyanya dengan suara serak. gw melihat jam dinding. jam 8.
astaga gw tidur lama banget ya" baru tiga jam...
lo udah makan belum" tanyanya sambil duduk dan bersandar di tembok. Sebagian wajahnya tertutup oleh rambut. gw menggeleng. belum, kan nungguin lo bangun.
nah gitu itu namanya suami. sahutnya dengan tengil walaupun masih ngantuk.
gw tertawa tanpa suara. mau makan apa" tanya gw. Dia menyibakkan rambutnya, namun matanya masih terpejam. apa aja yang penting makan. Laper gw nih...
lo tunggu disini aja, biar gw yang beli, ntar gw bungkus makan disini aja...
eh gw ikuuutt... engga usah ah, lo disini aja istirahat. Lagi gw cuma kedepan doang si, ngapain juga ikut...
Ara cemberut manja dengan mata yang masih mengantuk, dan rambut yang masih menutupi sebagian wajahnya. gausah lama-lama rajuknya.
gw tersenyum geli. iye sayang iyeee...
Setelah makan dan sedikit beres-beres, gw dan Ara kembali beristirahat. Sebenarnya Ara sih yang beristirahat, gw cuma menemaninya, meskipun kadang-kadang gw yang duluan ketiduran daripada dia.
lo besok ngampus" tanyanya disamping gw. kayanya si gitu. Kenapa emang"
Dia hanya terdiam, dan memejamkan mata. kenapa" ulang gw.
gapapa, cuma lagi mikir ajah... mikir apa"
Dia membalikkan tubuhnya, menghadap ke arah gw dengan satu tangan diselipkan ke bagian bawah bantal. Sebagian kecil rambutnya teruntai jatuh di wajahnya.
kenapa gw bisa ketemu lo... dia menaikkan alis dan tersenyum. Mendengar itu, gw juga ikut tersenyum, dan membalikkan tubuh gw menghadap ke arahnya.
menurut lo, kenapa kita dipertemukan" tanya gw pelan. mana gw tau... dia tertawa.
yah, jawab dong. Satu dua tiga... dia berpikir sejenak.
mungkin karena ketika bersama lo, gw jadi diri gw sendiri kali ya... jawabnya pada akhirnya.
itu bukan jawaban dari pertanyaan gw...
terus apa dong" dia menyingkirkan beberapa helai rambut gw yang jatuh menutupi mata gw. kalo menurut lo, kenapa" dia tersenyum.
kalo menurut gw, kita dipertemukan disini, dan akhirnya kita bisa menikah, itu bukan karena lo atau gw adalah yang terbaik...
dia mengerutkan kening. terus"
tapi karena lo dan gw bisa saling menerima satu sama lain di waktu-waktu terbaik dan terburuk.
dia tertawa dan memonyongkan bibir dengan gemas. emang menurut lo, waktu terburuk itu kapan"
gw menggelengkan kepala. pasti lo tahu lah, kayanya ga perlu gw jelasin lagi kan yang mana" Hehe...
iya gw ngerti si... terus, kalo yang terbaik itu yang mana"
gw terdiam beberapa saat, berpikir memilah-milah segala memori yang ada, dan memilih satu yang layak dikatakan yang terbaik.
waktu nikahin gw" tanyanya. gw masih terdiam, dan berpikir.
waktu ngajak gw nikah" tanyanya lagi. Kali ini gw menggeleng. Bukan itu yang paling berkesan di hidup gw.
bukan... jawab gw. terus yang mana dong nih"
gw menarik napas, dan tersenyum memandanginya. Betapa gw mencintai ciptaan Tuhan yang satu ini.
momen terbaik di hidup gw itu di suatu sore waktu gw duduk di selasar kampus, pake baju lusuh gara-gara ospek, dan ada satu cewek dengan rambut dikuncir dua, dipitain, pake tas aneh, dan name tag segede gaban nyapa gw... jawab gw.
dia tertawa. kenapa yang itu"
karena... gw mengelus pipinya pelan, dari situlah keajaiban hidup gw bermula.
PART 79 kalian kapan datengnya" tanya seorang cewek di hadapan kami. Dia duduk bersila sambil memegang martabak telur.
kemarin siang, mba. Kemarin waktu kita dateng mba Jihan belum balik kantor sih, malemnya juga kita ga ketemu. Hehe...
Jihan tertawa pelan sambil menjilat salah satu jarinya yang tertempel martabak. iya sih, gw emang tadi malem lembur di kantor. Pulang baru jam 10-an... katanya. Lo gimana, Ra" Sehatsehat kan"
Alhamdulillah mba, kerasa enak sekarang badannya. Cuma ya emang ga bisa capek-capek dulu sih...
iya, lo mah jangan capek-capek, Ra. Biarin suami lo aja tuh yang beres-beres, lo nya santai-santai aja...
Ara melirik gw dengan tatapan nakal. ish mana bisa dia dibiarin gitu, yang ada malah ngomel-ngomel dianya...
mana pernah si gw ngomel-ngomel, Cha... gw membela diri. Jihan tertawa. eh, lo masih kuliah ga sih, Lang" tanyanya ke gw.
masih gw, tadi siang gw abis dari kampus ngurus sidang. Tinggal sidang doang si gw, skripsi mah udah kelar...
abis itu lo pasti cari kerja kan" ga mungkin lah lo ga cari kerja orang udah punya bini gini. Ya kan"
ya iya sih... kenapa emang" lo kapan sidangnya"
secepatnya lah, gw maunya sih bulan ini. Tapi syarat-syaratnya belum gw kumpulin. Cuma kira-kira nyampe lah bulan ini sidang... Kenapa gitu"
Jihan berpikir sejenak sambil memandangi gw dan Ara bergantian. Dia menggigit bibir bawahnya, tanda sedang berpikir keras. Gw mengambil sepotong lagi martabak telur dari piring di hadapan kami.
lo mau kerja di kantor gw" tanya Jihan akhirnya.
Gw dan Ara terkejut dengan penawaran yang tak disangkasangka itu.
kantor lo" ulang gw.
Jihan menggangguk. iya, di kantor gw. Lo mau"
emang, kantor lo bergerak di bidang apa sih" tanya gw. Sekian lama gw bertemu dengan Jihan yang sekarang sudah bekerja, belum sekalipun gw bertanya kantornya bergerak di bidang apa, atau alamatnya dimana. Frekuensi pertemuan kami memang sedemikian jarangnya.
asuransi gitu sih. Kerjaannya enak kok. Lo berminat" Kebetulan lagi ada lowongan soalnya kita barusan buka cabang di deket sini.
Ara menyenggol kaki gw. tuh, kantornya deket sini. Kurang hoki apa coba lo...
Daaan... kata Jihan lagi, salary nya lumayan... dia tersenyum sambil menjilat jarinya lagi yang belepotan martabak.
nah tuh, gimana" Ara ikutan mencecar gw, dan menanti jawaban gw. Sementara itu gw hanya bisa menarik napas panjang, dan berpikir tentang segala kemungkinan.
pertama-tama... kata gw akhirnya, gw berterima kasih sekali atas tawaran lo ini. Gw sangat menghargainya... gw melihat Ara dan Jihan tersenyum.
yang kedua, gw akan seneng banget kalo gw bisa melakukan kewajiban gw sebagai seorang suami, yaitu memberi nafkah istri gw...
yang artinyaaa.... Ara menimpali.
gw mengangguk. iya, gw akan coba melamar kerja disana, siapa tau memang itu rejeki kita. Ya kan" kata gw tersenyum.
Mendengar jawaban gw itu, Ara dan Jihan tertawa senang. Gw tahu, gw harus melakukan sesuatu untuk Ara, karena dia bukan lagi teman sekosan gw, tapi dia istri gw. Dan setidaknya, gw akan mencoba mewujudkan mimpi-mimpinya dengan cara ini.
Di tengah malam gw berjalan turun, menuju ke warung depan untuk beli rokok. Rokok gw habis, dan sialnya gw ga bisa tidur malam itu. Hujan turun rintik-rintik, dan angin malam berhembus cukup kencang. Ara yang sudah tertidur dari tadi, gw tinggal
sebentar diatas. Gapapa lah, cuma beli rokok sebentar ini, pikir gw. Sekembalinya dari warung gw melihat Jihan masih keluar masuk kamarnya. Agaknya dia lagi bebersih kamar.
bersih-bersih kok malem-malem gini si... sapa gw sambil menyalakan rokok. Jihan terkejut melihat kedatangan gw yang tiba-tiba itu.
eh anjir ngagetin gw aja lo kirain maling... gw tertawa. sorry...
abis dari mana lo" tanyanya setelah melihat gw cuma bercelana pendek dan berkaos oblong.
beli rokok, nih. jawab gw sambil menggoyangkan sebungkus rokok.
jangan kebanyakan ngeroko , kesian bini lo tuh... katanya sambil melanjutkan menyapu bagian depan kamarnya.
iyaa... gw duduk di kursi rotan tak jauh dari situ, dan menghisap rokok gw dalam-dalam. Sesekali gw memandangi kamar gw yang lampunya masih menyala meskipun Ara sudah tertidur.
Ketika Jihan sudah selesai menyapu, dia duduk di samping gw, sambil memandangi langit malam. Dia mencondongkan badannya, kedua lengannya bertumpu ke paha, dan menjalinkan jemarinya. lalu" tanyanya. Seakan dia bisa membaca keresahan di hati gw.
gw menghela napas panjang. gw cuma selalu berharap gw bisa bersama Acha lebih lama dari yang gw bayangkan... gw menunduk, memainkan kaki. barangkali akan lebih menyenangkan bagi gw kalau gw yang pergi duluan...
Jihan melirik ke gw, kemudian dia menghela napas. lo belajar dari mana sih sinis gini" katanya pelan sambil menggelengkan kepala.
Gw cuma bisa terdiam memandangi angkasa. Melihat rangkaian kosmis yang berkerlap-kerlip diatas kepala gw, sesekali tertutup awan mendung.
Entahlah, gw ga tahu apa yang akan terjadi di hidup gw dan hidup Ara di kemudian hari. Yang gw tahu hanyalah gw telah memilihnya untuk gw cintai sepanjang sisa umur gw. Itu saja.
PART 80 Engga, gw salah. ujar gw pelan. Meninggalkan dan ditinggalkan ga akan semudah itu.


Dunia Yang Sempurna Karya Carienne di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jihan menghela napas. Ada kebisuan yang cukup berarti diantara gw dan dia. Dari balik pagar terdengar suara pedagang nasi goreng menjajakan dagangannya.
Gw sih ga menyalahkan apapun pikiran lo, Lang... katanya pelan. Gw cuma mau tanya lagi ke lo, apa sih motivasi lo menikahi Ara secepat ini"
Gw terdiam. Gw bahkan sudah melupakan rokok di jepitan jari gw.
Karena gw menginginkan dia buat jadi istri gw. jawab gw pelan. Berapa lama lo kenal dia"
Gw menoleh. Gw ga menyangka dia akan menanyakan hal sesimpel itu, yang sebenarnya dia pun sudah tahu persis sejak kapan gw mengenal Ara.
Sejak gw tinggal disini lah... Lo yakin sama jawaban lo itu"
Eh... mendadak gw merasa seperti tercekat. Sedikit banyak gw memahami apa yang dimaksud Jihan sebenarnya. Jihan hanya memandangi gw lekat-lekat seakan menunggu gw untuk menyadari apa maksudnya.
engga sih, gw mengenalnya jauh setelah itu... gw mengakui setelah melihat kembali hati dan perasaan gw.
gw mengenalnya jauh melebihi apapun yang gw kenal sebelumnya itu sejak gw mulai jatuh cinta sama dia... gw tertawa tanpa suara.
mungkin sejak gw mulai merindukan dia kalo ga ada di sebelah gw kali ya... gw menoleh ke Jihan sambil tersenyum samar.
Jihan hanya mengangguk-angguk, sambil sedikit mencibirkan bibirnya. Gw tahu dia memahami gw lebih dari gw memahami dia.
lo udah siap kemanapun nanti cerita lo ini bakal berujung" tanyanya setelah beberapa waktu.
Gw menghisap rokok gw dalam-dalam, dan menghembuskan asap putih ke angkasa. Diantara asap putih itu gw seperti melihat senyum Ara yang jahil dan wajahnya yang cantik dan selalu dihati gw.
cepat atau lambat, gw akan sampai disana... gw menoleh menatap Jihan, kita semua. gw tersenyum. terima kasih ya. kata gw tulus.
buat" tanyanya pelan.
buat kehadiran lo di hidup gw, dan Ara. Gw senang bisa mengenal lo.
Jihan tersenyum, dan menggoyang-goyangkan kakinya. Dia kemudian menarik napas panjang, dan menerawang jauh ke kelamnya langit malam. Seakan ada sesuatu yang menjadi pikirannya.
Lang, tawaran gw yang tadi lo pikir bener-bener yah... ujarnya.
Iya, gw konsentrasi lulus dulu yah. Habis itu gw pasti ngelamar kesana kok. gw tersenyum. Thanks yak...
Keburu diisi orang ntar posisinya...
Gw tertawa. Iya-iya, rejeki ga akan kemana kok...
Ya emang ga akan kemana tapi kalo lo ga berusaha sama aja boong itu mah, Tuhan juga males ngasih lo rejeki kalo lo nya ga berusaha... omelnya. Sementara itu gw hanya tertawa pelan menanggapinya.
Gw menghisap rokok yang tinggal sedikit, kemudian menoleh ke Jihan. berarti ntar gw sekantor sama lo dong yak" Kalo lo diterima...
Iyee kalo gw diterima. Doain yah, hehehe....
Jihan hanya tersenyum samar menatap gw. Seperti ada sesuatu di balik tatapannya itu. Ada pancaran rasa sedih.
Kenapa" tanya gw setelah menyadari tatapannya. Diluar dugaan gw, matanya sedikit berlinang. Dia menatap ke
langit malam, dan menghembuskan napas berat. Namun dia tersenyum, seakan sinar kerlip bintang dilangit menghibur hatinya.
Alasan gw menawarkan itu ke lo, disamping karena memang gw mau menawarkan itu ke lo, tapi juga karena gw harap lo menggantikan posisi gw di kantor itu nantinya... ucapnya sambil tersenyum menatap gw. Matanya masih berlinang, sepertinya air matanya akan runtuh.
Maksud lo" Gw harus pindah, Lang... dia menarik napas dalam-dalam, dan gw melihat setetes air mata mengalir di pipinya. Gw diterima di tempat lain, yang berarti gw harus keluar dari kantor itu...
Dia menghapus jejak air mata di pipinya. yang berarti gw harus pindah dari sini, ninggalin kalian berdua...
Gw seperti tak mendengar apa-apa lagi selain hembusan angin malam. Desirannya yang dingin itu menambah penderitaan gw. Sepertinya hidup mulai menunjukkan ketidakadilannya. Ini ga adil, batin gw pilu.
Tapi sejak kapan hidup itu adil" Atau, barangkali gw yang harus membetulkan definisi keadilan itu di otak gw selagi gw dicabikcabik oleh kejamnya dunia.
PART 81 Gw membisu selama beberapa saat, begitu pula Jihan. Ekspresi wajah dan gesture tubuh kami sudah menjelaskan segalanya. Gw
memejamkan mata sejenak, mencoba mendengarkan kidung rindu di hati gw. Segalanya terlalu cepat, caci gw. Untuk kesekian kalinya, gw mengutuk kehidupan fana ini. Gw hanya butuh waktu, pinta gw. Apapun itu yang akan datang di kehidupan gw, setidaknya beri gw waktu. Barangkali hanya soal waktu hingga tiba saat dimana gw mempertanyakan kewarasan gw. kapan lo bakal pindah" tanya gw akhirnya.
paling lambat akhir bulan ini. Bulan lalu gw udah ngajuin surat resign, tapi memang diperpanjang sedikit. dia menatap gw. lo diterima dimana emangnya"
Jihan menyebutkan sebuah perusahaan BUMN yang gw sudah sering mendengar namanya. Dan sejauh yang gw ingat, memang itu yang jadi tempat yang dicita-citakan olehnya. oh, hebat dong. Selamat yah. gw tersenyum simpul. thanks...
udah bertahun-tahun kan lo kepingin kerja disana. Akhirnya sekarang cita-cita lo itu terkabul juga ya...
iya sih, cuma gw ga mengira akan seberat ini... apanya yang berat"
yah, meninggalkan ini semua... dia menyapukan pandangannya ke seluruh bangunan kos-kosan ini, dan berakhir di diri gw. Dan meninggalkan orang-orang yang terlanjur gw sayangi...
Gw menghela napas. pintu gw selalu terbuka untuk lo kok... gw menoleh dan tersenyum kepadanya, dan gw yakin Ara akan seneng banget lihat lo datang lagi...
Ara... Jihan tersenyum, dan tertawa tanpa suara. Sepertinya dia sedang menciptakan sosok istri gw itu di dalam benaknya. kenapa"
istri lo itu orang paling menyenangkan yang pernah gw kenal. Gw tahu kok, di awal-awal kenal dulu dia ga suka sama gw. Barangkali karena cemburu. dia melirik gw dengan jahil, kemudian tertawa pelan.
tapi semakin kesini, semakin gw dan dia saling mengenal dengan lebih baik, rasanya mustahil kalo gw ga sayang sama dia. lanjutnya.
gw hanya bisa tersenyum menanggapinya.
meskipun sebenarnya terasa lucu kalo gw mengingatkan ini, tapi lo jagain Ara ya. Kalian berdua memang sudah ditakdirkan bersama...
iya, pasti... jawab gw. apa rencana lo setelah ini" tanyanya sambil meluruskan kaki.
Gw menghela napas. Gw dan Ara ga mungkin akan selamanya berada di kosan ini. Suatu hari nanti, entah kapan itu, gw dan dia pasti bakal pindah dari sini. Jadi rencana gw ya memastikan
supaya itu bisa terwujud.
beli rumah, maksud lo" Jihan tersenyum. konkretnya begitu, abstraknya bisa macem-macem... gw dan dia sama-sama tertawa.
lo kenapa ga pernah balik ke Padang" Ga kangen rumah" tanya gw.
suatu saat nanti gw bakal pulang kok, tapi mungkin ga sekarang. Untuk sekarang-sekarang ini gw masih ingin menggapai mimpi gw yang tersebar dimana-mana...
kayanya lo memang tercipta untuk jadi perantau ya... canda gw diikuti dengan tawanya yang renyah.
aroma tanah di Padang sama di Jakarta sama aja kok... dia tersenyum. mungkin nanti gw akan pulang kalo kerinduan sudah memanggil gw untuk pulang...
gw bangga sama lo. kata gw bersungguh-sungguh. bangga kenapa"
sejak awal kita kenal, gw selalu melihat lo itu cewek yang ga kenal takut. Apapun lo jalani, sepanjang itu benar. Dan lo itu ga pernah ragu-ragu untuk menolong orang.
Dia memejamkan mata, dan menghela napas panjang. Sesaat kemudian dia menoleh lagi ke gw dengan sebuah senyum
pemahaman di wajahnya. Yang gw lakukan itu cuma berdamai dengan dunia kok. Gw rasa itu juga yang lo lakukan selama ini. Berdamai dengan dunia lo. Gw tertawa pelan.
Dunia gw selalu punya caranya sendiri untuk nunjukin ke gw mana yang benar-benar berarti buat gw... sahut gw.
Ketika gw sudah kembali ke kamar, gw melihat istri gw sedang tidur dengan damainya, dengan wajah cantik yang selalu menawan hati gw. Sedikit bagian tubuhnya ga tertutupi selimut karena gaya tidurnya yang memang agak berantakan, gw akui, istri gw ini kalau tidur kebanyakan gaya. Gw membetulkan selimutnya, dan sedikit mengangkat kepalanya untuk membetulkan posisinya. Rambutnya yang sudah cukup panjang itu menutupi sebagian wajahnya.
Gw sibakkan beberapa helai rambut yang menutupi wajahnya itu, dan tersenyum penuh syukur. Kata-kata yang gw tuliskan disini tidak akan cukup untuk menggambarkan betapa gw mencintainya sepenuh hati. Gw mencium lembut keningnya, dan membiarkan dia sedikit bergerak-gerak karena terganggu tidurnya.
Sejuta pikiran muncul di dalam benak gw, ada yang merisaukan, ada pula yang menenangkan. Semuanya bermuara kepada satu pertanyaan :
apakah gw sudah mencintainya dengan semestinya"
Satu pertanyaan yang terus gw simpan di dalam hati gw malam itu, hingga telinga gw mendengar suara misterius yang bersumber di dekat gw. Setelah beberapa detik barulah gw menyadarinya.
Kampret, gw dikentutin. PART 82 Cha... panggil gw di suatu pagi.
Hm" dia sedang merapikan tumpukan baju-baju yang baru saja selesai dilaundry. apaan"
gw besok lusa sidang nih...
Dia menghentikan kegiatannya, kemudian menatap gw lekatlekat. Untuk beberapa saat wajahnya tak berekspresi, tapi kemudian sebuah senyum lebar mengembang di wajahnya. Dia kemudian menghambur ke gw dan memeluk gw erat.
selamat ya sayaaaang.... ucapnya senang sambil memeluk gw. Sesaat kemudian dia melepaskan pelukannya. Wajahnya berseriseri.
Hehehe... gw hanya bisa tertawa menanggapinya. Belajar gih, biar lancar ntar sidangnya...
gw udah belajar setengah tahun, Cha, buat skripsi ini...
Ya tapi tetep harus belajar ah, minimal dibaca-baca lagi kan lumayan jadi apal terus... katanya setengah mengomel. iya iyaaa... gw menjulurkan lidah. Bawel... tapi sayang ga"
kalo gw bilang ga sayang ntar malem gw disuruh tidur di sebelah
pasti... gw terkekeh. Sayang banget gw sama lo, Cha...
Dia hanya mencibir sambil mengeluarkan suara lucu. Memang itu gayanya dia yang membuat gw jatuh hati. Kadang manja, kadang gengsian. Tak jarang juga dia cemberut di depan gw, tapi dibalik itu dia senyum-senyum secara sembunyi-sembunyi. Hahaha, gw selalu tahu ciri khas lo, Cha, apapun itu. Rasanya mustahil buat gw untuk membenci lo semarah apapun gw sama lo. pake baju item putih" tanyanya. biar gw siapin ntar... gw mengangguk.
pake dasi juga kan" tanyanya lagi. punya dasi"
gw menggeleng. ntar pinjem Rizal aja, ntar gw telepon dia deh... apa beli dulu aja"
yah males gw Cha kalo pergi cuma buat beli dasi. Udah ntar gw pinjem Rizal aja, dia kemaren kapan gitu udah sidang kok, pake dasi juga dia...
Ya udah kalo gitu... dia mengangguk-angguk pelan. ntar gw pake apa dong"
lo mau ikutan ke kampus"
menurut looo" dia melotot sambil berkacak pinggang. Gw tergelak melihat ekspresi mukanya yang langsung berubah itu. kangen juga gw sama anak-anak... katanya pelan sambil kembali
merapikan baju. Raut wajahnya berubah menjadi sendu. kangen kuliah gw...
Gw merangkulnya erat, dan mencium keningnya lembut untuk menenangkan perasaannya. Sungguh iba rasanya gw melihat dia sekarang. Secara fisik dia jauh membaik, bahkan seperti kembali normal lagi. Tapi secara mental dia merasa sudah jauh tertinggal dengan teman-temannya, dan ada ketakutan bahwa dia ga bisa mengimbangi ritme dunia perkuliahan lagi dengan keterbatasannya sekarang.
mau kuliah lagi" tanya gw lembut. Gw tersenyum memandangnya.
ya pengen sih... dia menarik-narik ujung kaos gw. boleh"
Gw terdiam dan berpikir. Perasaan gw antara iba melihat keinginannya untuk bergabung kembali bersama teman-teman dan masa mudanya, tapi juga ketakutan dengan resiko yang mungkin harus dihadapi. Cukup lama gw berpikir.
kalo ga boleh juga gapapa kok... katanya pelan. Nadanya semakin membuat gw iba. Secara refleks gw memeluknya eraterat.
besok pas gw sidang ikut dulu aja yuk, kita lihat ntar lo gimana abis dari kampus. Oke" kata gw lembut. Bagi gw, itulah jalan tengah terbaik yang bisa gw tawarkan kepadanya saat itu.
siap boss... dia melakukan gesture menghormat, kemudian terkikih sendiri. Gw hanya bisa geleng-geleng kepala sambil tersenyum geli melihat kelakuannya ini. Ah, malaikat gw...
Dua hari kemudian. Gw akhirnya bisa melewati masa perkuliahan gw dengan baik, tanpa ada kurang satu apapun. Banyak hal yang gw dapatkan selama kuliah empat tahun ini. Mulai dari ilmu, pengalaman, teman, hingga gw memiliki seorang istri. Gw merasa belum bisa memberikan banyak kontribusi bagi mereka, tapi sepertinya waktu gw telah usai. Banyak pelukan dan jabat tangan yang gw terima setelah gw dinyatakan lulus, bagi gw menandakan akhir dari kehidupan perkuliahan gw, sekaligus awal dari perjuangan gw menjalani dunia nyata.
Segala idealisme, retorika dan ide-ide kritis gw selama berkecimpung di dunia kemahasiswaan, sepertinya harus gw endapkan dulu untuk sementara. Gw tahu, di kehidupan berikutnya gw harus lebih fleksibel, harus lebih luwes untuk menjalani berbagai macam rupa emosi kehidupan. Gw merasa gw harus lebih banyak mendengarkan daripada berucap. Dan sekali lagi adalah Ara yang selalu menyadarkan gw untuk berbuat demikian.
Di malam hari setelah sidang kelulusan gw itu, gw dan Ara tidur berdampingan sambil menatap langit-langit kamar kosan kami yang semakin lapuk dimakan usia. Suasana begitu hening, hanya dihiasi dengan suara detik jam dinding yang selalu setia menemani. Pikiran gw menerawang, begitu pula Ara. Sepertinya kami sedang asyik dengan alam pikiran kami masing-masing. Satusatunya yang menghubungkan kami hanyalah ujung-ujung jemari tangan kami saling terjalin.
udah selesai ya semuanya.... ujarnya lirih memecah kebisuan
panjang. Akhirnya... ya, akhirnya... gumam gw mengamini.
selamat ya... katanya sambil menoleh sedikit ke arah gw. Dia tersenyum tipis. Gw bisa membaca berbagai rupa perasaan ada disana.
perjalanan kita baru dimulai, sayang... sahut gw pelan. Wajah gw tetap serius, dan pikiran gw berkecamuk. Satu persatu lakon kehidupan gw harus gw jalani, bagaikan sebuah skrip sandiwara.
dan karena itulah gw ada disini bersama lo... dia menggenggam tangan gw erat. Gw menatapnya dari sudut mata gw, dan tersenyum.
percayalah bahwa janji yang lo ucapkan dua bulan lalu itu bukan janji kosong. Hidup gw sekarang untuk lo... katanya lagi.
Gw dan dia hanya bisa sama-sama menyunggingkan senyum lemah, kemudian kembali membisu menatap langit-langit kamar untuk entah kesekian kalinya. Yang muncul di benak gw adalah, satu fase hidup gw baru saja berakhir, dan gw harus memulai satu fase yang baru, yang harus gw jalani bersama istri gw. Berulangkali di dalam pikiran gw muncul bayangan-bayangan negatif tentang kegagalan dan kesulitan di masa mendatang. Namun pada akhirnya gw menyadari satu hal, usaha tak akan pernah mengkhianati. Awal yang baik, akan selalu berakhir dengan baik. Dan setiap permulaan selalu diawali dengan satu langkah kedepan, yang akan membawa kita kemanapun menuju. Acha... panggil gw.
Ya" Lo percaya keajaiban" Dia menarik napas panjang.
Setiap pagi gw bangun, membuka mata dan bisa melihat lo disamping gw itu sudah merupakan keajaiban bagi gw. Jadi mana bisa gw ga percaya" jawabnya tersenyum simpul.
PART 83 Farewell Beberapa hari kemudian, di suatu pagi.
Tiga sosok tampak berdiri di depan sebuah kamar yang telah tertutup. Salah satu diantara mereka membawa sebuah ransel yang cukup besar, dengan satu koper dan satu tas di samping kakinya. Gerak-gerik tubuh mereka terasa tertahan oleh perasaan yang tak mungkin tertumpah.
So, this is it... kata seorang wanita yang membawa ransel itu. Dia mengenakan jaket, dan kedua tangannya dimasukkan kedalam kantong jaket.
Seorang wanita lagi, istri gw, tampak berkaca-kaca. Dia membuka tangannya, memeluk wanita berjaket tadi, dan mereka berpelukan cukup lama. Mereka saling menumpahkan emosi dan tangis di bahu masing-masing. Meskipun mereka tidak begitu sering saling berbicara, tapi gw tahu, jauh di dalam hati mereka telah tercipta sebuah ikatan yang sepertinya mustahil untuk dinafikan.
Take care ya mba... istri gw berkata dengan suara tertahan. iya, lo juga ya sayang... jawab Jihan, sosok wanita itu.
Jangan lupain kita yah... ekspresi istri gw tampak bersusah payah menahan tangisnya yang sepertinya akan meledak. Kedua wanita itu saling menggenggam erat tangan mereka.
mana mungkin gw lupain kalian, kalian itu udah jadi bagian hidup gw... Jihan juga tampak berusaha keras menahan air matanya.
lo sehat-sehat yah, Ra. Nurut sama suami lo yah... Semoga kalian selalu berbahagia...
kalo lo kangen sama kita, dateng aja kesini Mba, kita pasti selalu ada kok... kata istri gw. selalu berkabar ya, Mba, kemanapun lo pergi...
Jihan tersenyum dengan air mata berlelehan di pipinya. Dia tahu dia telah menemukan keluarganya yang baru disini. Dan hari ini, dia mengucapkan perpisahannya dengan mereka. Perpisahan yang sementara.
till we meet again ya, sayang... gw senang sekali bisa mengenal lo selama empat tahun ini... katanya diselingi dengan tangis. Maafin gw ya kalo selama ini gw ada salah sama lo...
Istri gw tersenyum juga dengan berlelehan air mata. Bibirnya bergetar.
selama ini, gw ga tahu gimana rasanya punya kakak... tapi setelah gw ketemu lo disini, Mba, gw selalu menganggap lo itu kakak gw.... Gw sayang lo, Mba... dia memeluk Jihan erat-erat. Maafin gw juga ya mba kalo gw banyak salah sama lo...
gw juga menganggap lo itu adik gw, Ra... gw juga sayang sama lo... sayang banget... ucapnya terbata disela-sela isak tangisnya. jaga diri lo yah, Ra, gw akan selalu merindukan lo...
Ara tersenyum walaupun dengan air mata yang masih mengalir. Pagi itu gw menangkap satu hal, bahwa ikatan diantara mereka sangat tulus, dan gw sangat bersyukur karenanya. Akhirnya tibalah saatnya Jihan berpamitan dengan gw. Dia menghapus air
mata di pipinya, dan terbatuk untuk melegakan tenggorokannya. Dia mengulurkan tangannya untuk bersalaman, dan gw menyambutnya.
take care yah, Lang. Jaga diri lo dan istri lo baik-baik. Inget sekarang lo udah jadi suami. Semoga lo selalu sukses kemanapun kalian melangkah... dia tersenyum.
iya, take care juga yah, Mba. Untuk kali ini gapapa yah gw manggil lo mba " Hehehe... Sukses juga buat lo yah, hati-hati kemanapun lo pergi...
masih aja ngelawak... dia tertawa pelan.
gw menarik napas dalam-dalam. Masih ada yang harus gw sampaikan ke Jihan.
Mba, gw dan Ara sekali lagi mengucapkan terima kasih atas segala yang sudah lo lakuin buat kami berdua, terutama buat Ara. Apapun yang sudah lo berikan ke kami, ga akan bisa dibalas apapun. Nanti Allah SWT yang akan membalas segalanya, Mba... kata gw sungguh-sungguh.
Jihan hanya tersenyum sedih, dan mengangguk-angguk mengiyakan.
segala nasihat lo, semangat dari lo, usaha lo, keringat lo dan pengorbanan lo lah yang juga ikut andil membawa gw dan Ara sampai ke titik ini. Sampai kapanpun gw akan selalu berterima kasih untuk itu, Mba.
..... Jihan masih membisu dan mengangguk-angguk
mendengarkan perkataan gw itu.
Percayalah kalo di dalam doa kami selalu ada nama lo, di dalam hati kami selalu ada tempat untuk lo. Dan kemanapun lo pergi, jangan lupain kami berdua yah, Mba...
pasti.... katanya lirih.
Jihan kemudian membuka tangannya, dan kami berdua berpelukan, sesuai dengan batasan yang ada, tentu saja. Sebuah pelukan selamat tinggal. Gw benci ini. Gw benci perpisahan.
Gw dan Ara mengantarnya hingga ke sebuah taksi berwarna biru yang telah menunggu di depan pintu gerbang. Gw membantunya memasukkan koper dan tas-tasnya, dan sekali lagi kami bertiga saling berpelukan. Ketika dia telah memasuki taksi, dia membuka kaca jendelanya, dan melambaikan tangannya sambil tersenyum lebar. Gw dan Ara membalasnya, dengan tersenyum sedih melihat salah seorang yang kami sayangi harus pergi karena kewajibannya.
Mata kami terus mengikuti taksi tersebut, hingga berbelok, hilang dari pandangan kami. Begitulah kami melepas seseorang yang begitu berarti bagi kami berdua, yang telah kami kenal dengan sangat baik empat tahun ini. Hati gw mencelos ketika kami kembali masuk dan harus melewati lagi kamar kosan yang sekarang telah kosong dan menunggu penghuni baru. Sang penghuni lama kamar tersebut akan selalu berada di hati kami.
Ingatan gw kembali berputar ke awal-awal gw mengenalnya di kosan ini. Dia menyapa gw dengan iseng di parkiran motor, sering bertatap muka dengan gw ketika gw sedang mencuci motor,
semakin dekat hingga saling bercerita tentang kehidupan masing-masing. Dan tentu saja, puncaknya adalah kejadian malam itu yang merupakan sebuah kesalahan. Tapi dia memutuskan bersikap dewasa, dan itu membantu gw untuk juga bersikap dewasa menghadapi situasi itu.
Sekarang gw ga akan melihatnya duduk di kursi karet di depan kamarnya. Gw ga akan melihatnya memasak mi instan malammalam di dapur kosan. Dan gw ga akan melihatnya tersenyum ke gw ketika gw menatapnya dari balkon kamar gw. Kamar itu telah kosong sekarang. Tapi tidak dengan kenangan gw tentang kamar itu dan tentangnya.
Selamat tinggal mba Jihan, semoga sukses di setiap langkah hidup lo. Terima kasih untuk segalanya.
PART 84 Di suatu malam yang dingin karena hujan turun sedari sore, gw memasukkan motor ke tempat parkir kosan, dan melepas jas hujan. Setelah menaruhnya diatas motor supaya lumayan kering, gw berlari kecil melintasi taman karena masih gerimis. Sesampai di kamar gw ga menemukan Ara, baik itu di kamar gw ataupun di kamarnya sendiri. Meskipun kami telah menikah, kami tetap menyewa dua kamar seperti dulu. Alasannya karena barangbarang Ara yang cukup banyak itu ga ada tempatnya kalau ditaruh di satu kamar.
Gw melepas jaket dan menaruh tas ransel gw di pojokan kamar, dan keluar berdiri di balkon. Kemana Ara, pikir gw. Mungkin dia sedang di kamar mandi. Gw melipat bagian lengan kemeja gw hingga sesiku, dan menyalakan rokok. Hembusan asap rokok gw itu menyatu dengan rintik hujan malam itu. Entah berapa lama gw termenung memandangi hujan.
hai... sebuah suara wanita dari belakang gw. Gw pun membalikkan badan.
baru pulang" tanyanya lagi. Gw melihat di tangannya ada segelas teh panas yang masih mengepul. Dia tersenyum manis memandangi gw.
udah agak dari tadi sih... gw melirik ke gelas tehnya. dari dapur"
dia mengangguk, kemudian mendekati gw.
nih, buat lo... dia menyerahkan gelas itu dengan manis. Gw
membuang rokok gw ke bawah, dan menerima gelasnya itu sambil tersenyum.
capek yah" tanyanya sambil bersandar di balkon, disamping gw. gw mengangguk pelan. lumayan...
udah makan belum" gw menggeleng. kamu"
Ara juga menggeleng. belum, kan nungguin kamu.
aneh rasanya pake aku-kamu ya" gw tertawa pelan. Dia menanggapi gw dengan ikut tertawa kemudian menyandarkan kepalanya ke bahu gw dengan manja.
daripada papa-mama" hayo pilih mana" tanyanya. gw bergidik. geli gw dengernya... sahut gw pelan.
kan kita udah nikah, ga ada salahnya dong panggil papa-mama... dia melirik gw dengan jahil, kemudian tertawa sendiri. tapi jangan deng, gw juga geli dengernya... dia mengibaskan tangan.
gw bilang juga apa... jawab gw pelan sambil meminum teh di tangan gw. tehnya enak... kata gw.
enak yah" yang bikin siapa dulu dong... dia tersenyum congkak dan menaikkan alisnya berkali-kali.
bikinnya pake cinta"
dia menggeleng. kok ga pake cinta"
ya pake teh sama aer lah, dodol! kepala gw ditoyornya pelan.
eh buset kepala suami ini lo pake mainan... sungut gw sambil mengelus rambut gw.
dia meringis tanpa dosa, dan kembali menyandarkan kepalanya di bahu gw. hehehe, sorry, kebiasaan lama...
gw hanya bisa tertawa menanggapinya. Gw meminum teh gw lagi, dan menerawang jauh. Kali ini pikiran gw melayang ke Ara, istri gw ini. Setelah empat tahun gw hidup bersamanya, sekarang gw menjalani kehidupan yang baru dengan status baru bersamanya, gw merasakan ada satu perubahan yang fundamental. Perubahan itu gw sadari bukan secara fisik, tapi gw rasakan jauh di lubuk hati gw. Caranya menatap gw, intonasi lembut dan meneduhkannya ketika dia berbicara dengan gw, dan hangat hadirnya di samping gw.
Ketika gw bersamanya, gw merasa berada di satu tempat yang paling aman dan nyaman. Tempat yang selalu bisa mengerti apapun keadaan gw. Ketika gw jauh darinya, gw merasakan kerinduan yang belum pernah gw rasakan selama ini. Barangkali itulah keajaiban pernikahan. Tidak, itu keajaiban Ara sendiri. Dialah yang membuat gw merasa seperti ini. Alasan utama dari semua ini.
Beberapa saat kemudian. Gw bersandar di tembok kamar, sambil memakan semangkok mie instan yang sudah hampir habis. Ara juga duduk di samping gw, melakukan hal yang sama. Ketika mie dalam mangkok gw telah licin tandas, gw meletakkan mangkok itu di samping dan bersendawa.
ck, jorok... dia menggerutu sambil memandangi gw dengan sebuah mie masih menggantung dari mulutnya. Gw hanya tertawa pelan melihat ekspresi mukanya.
gimana tadi di jobfair" tanyanya sambil mengunyah. rame"
he-em... jawab gw sambil meminum air. lumayan rame sih, ketemu beberapa anak kampus juga disana...
Ara mengangguk-angguk sambil mengaduk mienya.
cuma yang ga kuat itu panasnya di dalem ruangan. Ga begitu besar tempatnya tapi penuh orang. Sesak rasanya... cerita gw. ada yang bagus perusahaannya"
ada beberapa sih, cuma yang daftar juga bejibun...
dia tertawa sambil menjilati jarinya. yah, namanya juga jobfair...
wisuda kapan sih" tanyanya lagi.
kan gw udah pernah cerita" sebulan lagi... jawab gw.
ya maap gw lupa... rajuknya. Gw hanya menggeleng-gelengkan kepala pelan.
pulang yuk" ke Surabaya"
dia menggangguk. gimana" mau ga" gw berpikir-pikir sejenak. boleh deh...
eh tapi gw ngerasa bersalah belum pernah kerumah lo atau ketemu mertua... sahutnya pelan. Dia menatap gw dengan tatapan memelas.
kerumah gw nanti aja kalo lo udah bener-bener lebih sehat. Lagian besok pas wisuda bapak ibu kan juga ke Jakarta. Ntar lo bisa ketemu deh disana...
emang, transportasinya bener-bener susah ya kalo kesana" tanyanya penasaran.
mmm, ya bisa dibilang gitu sih. Kalo gw sih udah terbiasa, atau kalo lo sehat juga gapapa kesana. Tapi kalo sekarang kayanya jangan dulu deh...
beneran gapapa" tanyanya merajuk.
Gw tertawa dan merangkulnya. iya, bener gapapa, toh nanti juga bakal ketemu mertua kan di wisudaan...
Dia mencubit perut gw pelan. uuu dasar...
eh, Cha... panggil gw setelah beberapa saat membisu.
hm" Ara menoleh ke gw. Di tangannya ada mangkok mie yang telah kosong.
nanti kalo kita punya anak, lo mau anak cewek apa cowok" Ara tertawa, dan berpikir beberapa saat.
cowok aja deh... katanya pada akhirnya. kenapa"
gapapa, rasanya lucu aja liat lo-nya ada dua... dia mencubit lengan gw pelan, satu aja bikin gw jatuh cinta, apalagi ada dua" gw tersenyum lebar dan mengangguk-angguk bersemangat.
kalo lo, mau anak cewek apa cowok" gantian dia yang bertanya ke gw.
mmm, cewek aja deh. kenapa gitu" jangan bilang satu aja bikin gw jatuh cinta, apalagi ada dua , itu jawaban gw! katanya bersemangat kemudian terkikih.
gw mencibir dan berpikir sejenak.
karena, jawab gw pelan. dunia sepertinya membutuhkan lebih banyak orang-orang seperti lo...
dia tersenyum penuh pemahaman. dunia ituuuu.... termasuk dunia lo"
gw mengangguk-angguk. ya, termasuk dunia gw...
PART 85 until the day the ocean doesn't touch the sand now & forever I will be your man... Penggalan lagu itu meluncur dengan indahnya di telinga gw, ketika gw dan Ara sedang termenung berdua di balkon depan kamar. Sepertinya salah satu penghuni kos-kosan itu menyetel radionya terlalu keras, hingga kami berdua bisa mendengarnya di sore hari seperti ini. Ara tertawa pelan, kemudian menggandeng lengan gw dan menyandarkan kepalanya di bahu gw.
kenapa, Cha" tanya gw setelah mendengar lirih tawanya.
dia menatap gw dengan lucu. lagunya lo banget, Gil.
Richard Marx ya itu"
he-em dia mengangguk. anak lawas ya lo ternyata... gw tertawa.
lo juga lah, apaan dengernya Air Supply sama Phil Collins...
lebih cocok di telinga gw soalnya, daripada lagu-lagu jaman sekarang...
Ara hanya tertawa menanggapi gw. Kembali kami berdua membisu mendengarkan lagu-lagu yang sayup-sayup entah darimana asalnya. Gw mengelus rambutnya pelan, dan mencium lembut rambutnya.
Sang Penebus 4 Hong Lui Bun Karya Khu Lung Bunga Dalam Lumpur 2

Cari Blog Ini