Ceritasilat Novel Online

The Jungle Book 3

The Jungle Book Karya Rudyard Kipling Bagian 3


tewas di Magdala. Ia kemudian naik kapal laut kembali dengan
sebuah kapal yang kata para prajurit diberi anugerah Medali Perang Abyssinia. Ia menyaksikan rekan-rekan sesama gajahnya mati
karena kedinginan, ayan, kelaparan, atau kena sengatan matahari
di sebuah tempat bernama Ali Musjid, sepuluh tahun kemudian.
Setelah itu ia dikirim ribuan kilometer ke selatan, untuk mengangkut batang-batang kayu besar di sebuah tempat pengolahan kayu
166 di Moulmein. Di sana ia hampir membunuh seekor gajah muda
yang tak mengikuti perintah dan menghindari tugasnya.
Setelah itu ia meninggalkan pekerjaan mengangkut kayu. Dengan beberapa ekor gajah lainnya ia dilatih untuk suatu pekerjaan
yaitu menangkap gajah-gajah liar di bukit-bukit Garo. Gajah adalah hewan yang sangat diutamakan oleh pemerintah India. Ada
sebuah kementerian yang kerjanya hanya memburu gajah liar, menangkap mereka, melatih mereka dan menyebarkannya ke seluruh
negeri untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu.
Kala Nag tingginya tiga meter diukur dari punggungnya. Gadingnya dipotong pendek, hingga hanya sepanjang satu setengah
meter. Ujungnya diikat gelang tembaga agar tidak retak. Walaupun
pendek dan tumpul, Kala Nag bisa melakukan banyak hal yang
tidak bisa dilakukan oleh gajah dengan gading runcing. Saat setelah berminggu-minggu dengan hati-hati gajah-gajah liar digiring
ke tempat penampungan terakhir, sebuah tempat yang dipagari
rapat oleh balok-balok kayu besar, dan pintu yang terbuat dari
beberapa batang kayu diikat menjadi satu dijatuhkan menutup,
Kala Nag diperintahkan masuk ke gerombolan gajah liar yang ribut mengamuk itu"biasanya di malam hari saat kobaran oborobor menyulitkan gajah untuk memperkirakan jarak). Ia kemudian
mencari gajah yang terbesar dan tergalak, menubruknya dan menghantamnya berkali-kali hingga tidak ribut lagi sementara orangorang dengan menaiki gajah-gajah lain mengikat gajah-gajah yang
lebih muda dan lebih kecil.
Tak ada cara berkelahi yang tidak diketahui Kala Nag, si cerdas
Ular Hitam itu. Lebih dari sekali ia menahan serangan harimau
yang terluka, menggulung belalai lembutnya menjauhi bahaya,
menyambut terjangan binatang ganas dengan guncangan kepalanya"suatu gaya yang diciptakannya sendiri"menghantam si ha167
rimau terjatuh dan berlutut dengan kedua lutut raksasanya itu di
tubuh harimau yang tergeletak di tanah. Dengan teriakan dan
raungan, harimau itu tinggal sesuatu benda loreng tak bernyawa
saat Kala Nag mengangkatnya pada ekornya.
"Ya," kata Toomai Besar, pawangnya, putra Toomai Hitam yang
membawa Kala Nag ke Abyssinia, cucu dari Toomai Pasukan Gajah yang dahulu menyaksikan penangkapan Kala Nag, "tak ada
yang ditakuti Ular Hitam kecuali aku. Ia telah mengalami dikuasai
oleh tiga keturunan keluarga kita, yang merawat dan memberinya
makan. Ia pasti akan lanjut ke keturunan keluarga kita yang keempat."
"Ia juga takut padaku," kata Toomai Kecil, yang tingginya belum sampai satu setengah meter, dan hanya memakai secarik kain.
Umurnya sepuluh tahun, anak tertua Toomai Besar. Sesuai adat
kebiasaan yang berlaku, dia yang kelak akan menggantikan tempat
ayahnya di leher Kala Nag kelak kalau ia dewasa. Dia yang akan
memegang anku, batang pemicu terbuat dari besi untuk mengendalikan gajah, yang telah turun temurun dipegang menjadi halus
dari mulai kakek buyutnya, kakeknya dan ayahnya.
Ia tahu benar apa yang dikatakannya. Ia lahir di bawah bayangbayang Kala Nag. Ia bermain-main dengan belalai gajah itu sebelum ia bisa berjalan. Walaupun masih kecil, Kala Nag sudah
belajar untuik mengikuti semua perintahnya. Ketika baru lahir,
Toomai Besar membawa bayi yang kecokelatan itu ke gading Kala
Nag dan menyuruhnya memberi hormat kepada calon majikannya
itu. "Ya, ia takut padaku," kata Toomai Kecil, memanjat Kala Nag
dan memanggilnya babi tua gemuk serta menyuruhnya mengangkat
kakinya bergantian satu per satu.
"Wah, kau sungguh-sungguh gajah besar!" katanya, dan dige168
lengkannya kepalanya, menirukan kata-kata ayahnya. "Pemerintah
memang yang membayar gajah-gajah ini. Tetapi sesungguhnya
mereka milik para mahout, para pawang seperti kita. Kalau kelak
kau tua, Kala Nag, akan datang beberapa raja kaya yang akan
membelimu dari pemerintah. Mereka pasti memilihmu karena
besarmu dan tingkahmu. Dan kalau sudah jadi milik mereka, kerjamu hanyalah memakai giwang emas di telingamu, tempat duduk
emas di punggungmu, dan kain merah berhias perhiasan emas
menutupi tubuhmu. Dan kau akan berada di ujung iring-iringan
sang Raja. Aku akan duduk di lehermu, Kala Nag, membawa
anku perak, lalu di depan kita orang-orang membawa tongkat keemasan akan berlari sambil berseru, "Beri jalan untuk gajah Raja!"
Itu semua pasti menyenangkan, Kala Nag, walaupun tidak seseru
berburu di hutan ini."
"Humm," kata Toomai Besar. "Kau masih anak-anak, dan seliar
anak kerbau. Lari naik-turun bukit ini bukanlah pekerjaan terbaik
dari Pemerintah. Aku memang semakin tua, dan aku tak suka gajah liar. Aku sangat merindukan gajah jinak, tenang di kandang,
terikat dengan aman, dan jalan-jalan yang datar untuk berlatih"bukannya perkemahan yang setiap hari harus berpindah ini. Barak
di Cawnpura itu baru bagus! Dekat pasar, kerja hanya tiga jam
sehari." Si Toomai Kecil ingat barak penampungan gajah di Cawnpura
itu. Ia tidak berkata apa pun. Ia lebih suka kehidupan berpindahpindah ini. Ia tak suka jalan-jalan lebar dan datar, dengan persediaan rumput di tempat makan gajah. Dan berjam-jam ia tak melakukan apa pun kecuali memperhatikan Kala Nag di tambatannya.
Yang disukai Toomai Kecil adalah mendaki jalan setapak di
tebing yang hanya bisa dilakukan oleh seekor gajah. Kemudian
menuruni turunan yang tajam ke dasar lembah, melihat gerom169
bolan gajah liar jauh di bawah sana. Menyaksikan babi-babi hutan
dan merak berlarian bertemperasan di bawah langkah-langkah besar Kala Nag. Dinikmatinya juga hujan deras yang seakan menutup semua bukit dan lembah dengan tirai kelabu, juga pagi-pagi
berkabut yang membuat orang-orang mengira-ngirakan di mana
mereka semalam berhenti dan berkemah. Ia suka merasakan ketegangan saat menggiring gajah-hajah liar, amukan mereka yang
bagai gila saat memasuki penampungan berpahar tinggi dan tidak
bisa ke luar walaupun mereka menubruk pagar balok-balok kayu
itu dengan kekuatan tanah longsor, amukan mereka ditambah dengan teriakan dan tembakan tanpa peluru dari para pawang yang
melambai-lambaikan obor. Bahkan seorang anak kecil diperlukan tenaganya di sini.
Toomai Kecil sangat tangkas dan bisa melakukan pekerjaan tiga
orang anak sekaligus. Ia memegang obornya, melambai-lambaikannya dan menjerit-jerit sekuat-kuatnya. Tetapi saat yang paling
menyenangkannya adalah jika penggiringan gajah liar memasuki
penampungan, yang disebut Keddah, dimulai. Keddah itu bagaikan
sebuah lukisan di ujung dunia. Orang-orang saling berhubungan
dengan bahasa isyarat, sebab mereka tak bisa mendengar pembicaraan apa pun. Pada saat seperti itu Toomai Kecil memanjat salah
satu tiang Keddah. Tiang itu bergoyang-goyang oleh benturan
gajah-gajah liar, tetapi Toomai Kecil bertahan di puncaknya, rambutnya yang panjang bergerai, dan ia tampak bagaikan hantu kecil
di sinar obor-obor. Saat keadaan mulai agak tenang, suaranya yang
melengking terdengar memberi perintah pada Kala Nag, di atas
suara-suara lengkingan gajah, benturan, putusnya tali dan teriakan
gajah-gajah yang dibelenggu. "Mael, mael, Kala Nag (Ayo, ayo,
Ular Hitam!) Dant do! (Tusuk dia dengan gading!) Somalo, somalo! (Hati-hati, hati-hati!) Maro! Mar! (Hantam dia! Hantam dia!)
170 Awas, tiang pagar itu! Arre! Arre! Hai! Yai! Kya-a-ah!" teriaknya
memberi semangat pada Kala Nag yang berusaha menaklukkan
gajah-gajah liar itu dalam pertarungan yang maju-mundur ke kiri
dan ke kanan di dalam arena Keddah itu. Para pemburu gajah
yang tua-tua mengusap keringat di wajah mereka dan mengangguk
berteerima kasih kepada Toomai Kecil yang berjingkrakan senang
di atas tiang pagar. Ia tidak hanya berjingkrak-jingkrak di atas tiang itu. Suatu malam ia meluncur turun dari tiang itu dan menyelinap di antara
gajah-gajah, mengambil ujung tali yang terjatuh, melemparkannya
kepada seorang pemburu yang mencoba menjerat kaki seekor
gajah muda (gajah muda selalu lebih menyulitkan daripada gajah
dewasa). Kala Nag melihat si Toomai Kecil, langsung menangkap
anak itu dengan belalainya dan menyerahkannya kepada Toomai
Besar. Toomai Besar menampar anaknya beberapa kali dan menyuruhnya kembali bertengger di tiang pagar.
Pagi harinya Toomai Besar memarahinya habis-habisan. "Tidak
cukupkah bagimu mengurus gajah pengangkut dan mengangkut
tendamu hingga kau ikut campur mencoba menangkap gajah liar"
Lihat, pemburu-pemburu tolol itu, yang upahnya lebih kecil dari
aku, telah mengadu pada Peterson Sahib tentang kamu!" Si
Toomai Kecil sangat ketakutan. Ia tak tahu banyak tentang orangorang kulit putih, tetapi baginya Petersen Sahib adalah orang kulit
putih teragung di dunia. Petersen Sahib adalah kepala dari semua
penangkapan gajah liar di India"dia yang menangkap semua gajah yang dimiliki pemerintah India dan tahu benar tata cara kehidupan gajah itu lebih daripada siapa pun juga.
"Apa"apa yang akan terjadi?" tanya Toomai Kecil.
"Yang akan terjadi" Yang terburuk! Petersen Sahib itu orang
gila. Kalau tidak gila, masak ia memburu dan menangkapi setan171
setan liar ini. Mungkin saja tiba-tiba ia akan minta kamu jadi
penangkap gajah, tidur di mana saja di hutan penuh penyakit ini
dan akhirnya mati terinjak-injak di dalam Keddah. Untunglah
kejadian malam, tadi berakhir aman. Minggu depan penangkapan
gajah akan selesai. Kita orang dataran rendah akan pulang ke
pangkalan masing-masing. Kita akan berbaris di jalan-jalan yang
rata, melupakan segala keributan ini. Anakku, aku marah padamu
karena kau ikut campur pada pekerjaan orang-orang hutan Assam
ini. Kala Nag hanya mau mematuhi perintahku, maka aku harus
ikut dengannya masuk ke Keddah. Tetapi ia hanyalah gajah petarung, ia tidak membantu menjerat gajah-gajah liar itu. Karenanya
aku duduk santai saja sebagai layaknya seorang pawang"bukannya pemburu"seorang pawang, ingat itu, yang akan menerima
pensiun jika ia sudah tidak bekerja lagi. Apakah anggota keluarga
Toomai dari Pasukan Gajah harus berakhir diinjak-injak di dalam
Keddah" Bodoh sekali. Tolol sekali! Anak tak berguna! Pergi mandikan Kala Nag, perhatikan daun teloinganya dan jaga jangan
sampai ada duri di kakinya. Awas, kalau tidak Petersen Sahib
akan menangkapmu dan menjadikanmu pemburu gajah liar"pencari jejak gajah seperti beruang hutan! Bah! Memalukan. Pergi!"
Toomai Kecil pergi tanpa berkata-kata lagi. Tetapi semuanya
diceritakannya pada Kala Nag, saat ia memeriksa kakinya. "Biarlah," kata Toomai Kecil akhirnya, meneriksa pinggiran daun telinga Kala Nag yang besar itu. "Mereka telah mengatakan namaku
ke Petersen Sahib, dan mungkin"mungkin"mungkin"siapa
tahu" Hai! Ini duri besar yang aku cabut!"
Hari-hari berikutnya diperuntukkan mengumpulkan gajah-gajah
yang baru ditangkap. Gajah-gajah liar itu disuruh berjalan di antara dua gajah yang jinak agar tidak membuat keributan sewaktu
mereka berbaris menuruni perbukitan. Juga dihitung kembali
172 selimut-selimut gajah yang mungkin rusak atau hilang di dalam
hutan. Petersen Sahib datang dengan menaiki Pudmini, seekor gajah
betina yang sangat pintar. Ia baru saja mengunjungi dan membayar
kelompok-kelompok berburu di berbagai tempat di perbukitan itu.
Musim berburu sudah berakhir. Seorang juru tulis pribumi duduk
di meja di bawah sebatang pohon, memberi bayaran pada para
pemburu gajah itu. Setiap orang maju, menerima upahnya dan
kembali ke gajahnya yang telah berbaris siap untuk berangkat.
Kelompok penangkap, pemburu, penggiring, orang-orang yang
biasa mengurus Keddah, yang tahun ke tahun tinggal di hutan,
duduk di gajah-gajah milik pasukan tetap Petersen Sahib, atau
bersandar pada batang-batang pohon dengan senjata melintang di
dada mereka. Orang-orang ini menertawakan para pekerja tidak
tetap yang harus pergi, menertawakan saat gajah-gajah yang baru
ditangkap berontak ke luar dari barisan.
Toomai Besar pergi ke juru tulis diikuti Toomai Kecil di belakangnya. Machua Appa, kepala para pencari jejak, berkata pelahan
pada temannya, "Itu dia bakat terbaik dalam soal gajah. Sayang
sekali jago muda berbakat itu harus berlumut di dataran rendah."
Petersen Sahib kebetulan adalah orang yang sangat tajam telinganya, seperti layaknya orang yang biasa mendengarkan makhluk
hidup yang paling sunyi"gajah liar. Dari tempatnya berbaring di
punggung Pudmini ia berpaling dan bertanya, "Apa itu" Aku tak
pernah tahu ada orang dari dataran rendah yang cukup cerdas
untuk mampu menjerat seekor gajah"walaupun itu gajah mati."
"Bukannya orang, tetapi anak-anak. Di penangkapan terakhir ia
masuk ke dalam Keddah dan melemparkan tali pada Barmao di
sana itu, saat kami mencoba memisahkan anak gajah yang belang
punggungnya dari induknya."
173 Machua Appa menunjuk pada Toomai Kecil. Petersen Sahib
menoleh padanya, Toomai Kecil membungkukkan badan dalamdalam.
"Ia melemparkan tali" Ia lebih kecil dari tonggak pengikat.
Anak kecil, siapa namamu?" tanya Petersen Sahib.
Toomai Kecil begitu ketakutan hingga tak berani berbicara sepatah pun. Tetapi Kala Nag ada di belakangnya. Toomai memberi
isyarat dengan tangannya. Kala Nag menangkap Toomai Kecil
dengan belalainya dan mengangkatnya hingga sejajar dengan
tinggi dahi Pudmini, berhadapan langsung dengan Petersen Sahib
yang agung itu. Toomai Kecil menutupi mukanya dengan tangannya. Berhadapan dengan gajah mungkin ia berani, tetapi ia hanyalah anak kecil yang malu bila berhadapan dengan orang asing.
"Oho!" kata Petersen Sahib, tersenyum di bawah kumis tebalnya. "Mengapa kauajari gajahmu seperti itu" Apakah agar kau
bisa mencuri jagung-jagung hijau yang dijemur di atap-atap rumah
yang kau lalui?" "Bukan jagung hijau, Pelindung orang Miskin," melon," jawab
Toomai Kecil, membuat orang-orang yang duduk di sekitar tempat
itu tertawa terbahak-bahak. Kebanyakan mereka pernah mengajari
gajah-gajah mereka kepandaian seperti yang dilakukan Kala Nag.
Toomai Kecil seakan tergantung tiga meter di atas tanah, ingin
rasanya ia berada tiga meter di bawah tanah.
"Ia Toomai, anak hamba, Sahib," kata Toomai Besar dengan
nada gusar. "Ia sangat nakal. Pastilah kelak ia berakhir di penjara,
Sahib." "Itu aku ragukan," kata Petersen Sahib. "Seorang anak yang
berani menghadapi Keddah yang penuh pada usianya, tak akan
berakhir di penjara. Anak kecil, ini empat anna, belilah gula-gula,
karena agaknya kepala kecil di bawah rambut berantakanmu itu
174 cukup cerdas. Suatu saat nanti mungkin kau bisa jadi pemburu."
Toomai Besar tampak makin gusar mendengar ini. "Hanya harus
kau ingat, Keddah bukanlah tempat anak-anak bermain," kata
Petersen Sahib lagi. "Apakah aku tak boleh ke sana, Sahib?" tanya Toomai Kecil
tergagap. "Boleh saja," kata Petersen Sahib tersenyum. "Hanya kalau kau
sudah melihat gajah menari. Itulah saat yang tepat. Datanglah
padaku jika kau telah melihat gajah menari, dan akan kuijinkan
kau masuk di semua Keddah."
Kembali orang orang itu tertawa terbahak-bahak. Ini adalah
lelucon di antara para penangkap gajah, lelucon yang artinya: tak
akan pernah. Ada beberapa bidang tanah yang sangat tersembunyi
di hutan. Orang-orang menamakannya "tempat menari gajah". Tetapi tempat-tempat semacam itu, yang datar dan tak ditumbuhi apaapa, sangat jarang ditemukan orang. Dan tak ada orang yang pernah melihat gajah menari. Jika ada seorang pemburu gajah yang
membualkan keahliannya dan keberaniannya, maka kawan-kawannya akan berkata, "Dan kapan kau melihat gajah menari?"
Kala Nag meletakkan Toomai Kecil kembali ke tanah. Anak itu
membungkuk memberi hormat sekali lagi dan pergi bersama ayahnya. Toomai Kecil memberikan empat anna perak pemberian
Petersen Sahib kepada ibunya yang sedang menyusui adik bayinya. Sekeluarga kemudian naik ke punggung Kala Nag. Barisan
gajah itu ribut sekali menuruni bukit, gajah-gajah yang baru ditangkap terus berulah sepanjang jalan, harus terus diatur atau dipukuli
setiap saat. Toomai besar agaknya masih gusar. Ia mengendalikan Kala Nag
dengan kasar. Tetapi Toomai kecil begitu bahagia hingga tak bisa
berkata-kata. Petersen Sahib telah memperhatikannya, dan mem175
berinya uang! Ia merasa bagaikan prajurit rendahan yang dipanggil
ke luar dari barisan dan dipuji oleh panglima tertingginya.
"Apa maksud Petersen Sahib dengan gajah menari?" akhirnya
ia berbisik pada ibunya. Toomai Besar mendengar ini dan menggeram. "Kamu tak akan
bisa jadi seperti kerbau-kerbau desa yang jadi pelacak ini. Itulah
arti kata-katanya. Hei, kamu yang di depan. Kenapa berhenti?"
Seorang orang Assam, salah seorang penggiring gajah liar, yang
berada dua atau tiga gajah di depan Toomai Besar, berpaling marah,
berseru, "Bawa Kala Nag ke depan, suruh dia menghajar gajahgajahku ini. Mengapa Petersen Sahib menyuruhku turun dengan
keledai-kekedai sawah seperti kalian" Majukan gajahmu, Toomai,
biar dia menggunakan gadingnya. Demi semua Dewa di Bukit ini,
gajah-gajah baru ini agaknya kerasukan. Atau mungkin mereka
mencium kawan-kawan mereka yang masih bebas di hutan."
Kala Nag maju dan menghantam gajah baru itu di rusuknya
hingga sesaat tak bisa bernapas. Toomai Besar berkata, "Kita sudah menyisir seluruh perbukitan ini. Tak ada lagi gajah bebas. Ini
hanya karena kau sembarangan menggiring mereka. Haruskah aku
maju dan merapikan semua barisanmu?"
"Dengar dia, dengar dia!" seorang penggiring lainnya berseru.
"Menyisir seluruh perbukitan! Ho, ho! Kau terlalu pintar, orang
dataran rendah! Semua orang, kecuali yang berkepala lumpur yang
tak pernah masuk hutan pasti tahu bahwa penggiringan gajah telah
selesai musim ini. Karenanya semua gajah liar malam ini akan"
tapi untuk apa aku menyia-nyiakan pengetahuanku pada seekor
penyu sungai?" "Mereka akan apa?" Toomai Kecil berteriak.


The Jungle Book Karya Rudyard Kipling di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ohe, anak kecil. Kau di sana" Yah, aku akan katakan padamu,
karena kau agaknya punya kepala yang cerdas. Gajah-gajah itu
176 akan menari. Dan lebih baik bila ayahmu, yang telah menyisir
seluruh perbukitan mengejar gajah liar, lebih baik ayahmu mengikat gajahnya dengan rantai ganda malam ini."
"Apa apan ini?" kata Toomai Besar. " Selama empat puluh tahun kami, ayah dan anak, mengurus gajah. Kami tidak pernah
mendengar omong kosong tentang gajah menari!"
"Ya, tetapi orang dataran rendah yang tinggal di gubuk hanya
tahu tentang empat dinding gubuknya. Yah. Coba saja jangan belenggu gajahmu malam ini dan lihat apa yang terjadi. Tentang
mereka menari, aku pernah melihat tempat"Bapree"bap! Berapa
banyakkah kelokan Sungai Dihang ini" Kita harus menyeberang
lagi, kita harus membuat gajah-gajah muda ini berenang lagi. Hei
yang di belakang, berhenti dulu!"
Demikianlah, sambil terus berbicara dan menjaga barisan gajahgajah itu serta menyeberangi beberapa sungai, akhirnya mereka
sampai ke tempat penampungan gajah-gajah baru. Sepanjang perjalanan itu mereka telah habis kesabarannya.
Gajah-gajah itu dirantai kaki-kaki belakangnya pada pancangpancang kayu besar. Tali-tali tambahan diikatkan pada gajah-gajah
baru. Di depan semua gajah ditumpukkan makanan mereka.
Orang-orang bukit penggiring gajah itu kemudian pergi kembali
ke Petersen Sahib setelah berkata pada orang-orang dataran rendah
untuk lebih berhati-hati malam itu. Mereka hanya tertawa saat
ditanya kenapa. Toomai Kecil menyiapkan makan malam Kala Nag. Saat malam
tiba, ia berjalan-jalan di permukiman itu, dengan hati senang, mencari gendang kecil. Jika seorang anak India hatinya senang, ia tidak berlarian dan membuat ribut di luar kebiasaannya. Ia akan
duduk dan menikmati kegembiraan itu di hatinya sendiri. Si
Toomai Kecil telah diajak bicara oleh Petersen Sahib! Kalau saja
177 ia tidak menemukan apa yang diinginkannya pastilah ia akan patah hati. Tetapi pedagang gula-gula di permukiman itu meminjaminya sebuah gendang kecil. Maka ia duduk bersila di depan Kala
Nag dengan gendang kecil itu di pangkuannya. Saat bintang-bintang mulai muncul, ia mulai memukul gendangnya. Semakin bangga ia merasa pada kehormatan yang diperolehnya, semakin bersemangat ia memukul gendang itu, sendirian di antara makanan
gajahnya. Ia tak menyanyikan sepatah kata pun, bahkan tak ada
lagu tertentu pada pukulan gendang itu"tetapi bunyi gendangnya
membuat dirinya semakin bahagia.
Gajah-gajah baru itu gelisah, menarik-narik talinya, menjerit
dan melengking tak pernah berhenti. Toomai Kecil bisa mendengar
suara ibunya, jauh di gubuk istirahat, sedang menidurkan adiknya
dengan nyanyian tua tentang Dewa Shiva yang Agung"yang pada
suatu waktu mengatakan pada semua hewan apa makanan mereka.
Nyanyian itu begitu lembut terdengar, membuat mengantuk, bait
pertamanya berbunyi: Shiva melimpahkan panen membuat angin berlalu
Duduk di depan pintu suatu hari di zaman dahulu
Membagikan jatah, makan, pekerjaan, takdir pada semua
Untuk raja di singgasana sampai pengemis di gapura
Semua dibuatnya"dia, Shiva sang Pemelihara
Mahadewa! Mahadewa! Ia membuat semua!
Semak untuk onta, rumput untuk ternak
Dan anak kecilku yang mengantuk ini, tidurlah nyenyak
Toomai Kecil memberi pukulan "tung-tung" gembira di akhir setiap bait sampai akhirnya ia merasa mengantuk dan membaringkan
178 dirinya di tumpukan rumput makanan Kala Nag. Gajah-gajah pun
satu per satu mulai rebah tidur seperti kebiasaan mereka. Akhirnya
tinggal Kala Nag yang berdiri di kanan barisan. Dia pun bergoyang pelahan ke kiri dan ke kanan, telinganya seolah menangkup
ke depan untuk menangkap suara apa pun yang dibawa angin sangat pelahan menyeberangi perbukitan. Udara penuh dengan suara-suara malam yang, kalau disatukan, menjelma menjadi suatu
kesunyian yang sangat besar"gemertak batang bambu saling bersentuhan, sesuatu bergerak di rerumputan, gemersik dan teriakan
lemah burung yang setengah bangun (burung sering terbangun di
malam hari), tetesan air jauh entah di mana.
Toomai Kecil tertidur beberapa saat. Ketika ia terbangun, bulan
bersinar sangat terang. Kala Nag berdiri diam dengan telinga melengkung. Toomai Kecil berbalik, membuat suara gemersik di
tumpukan makanan Kala Nag yang ditidurinya. Diperhatikannya
pungguh gajah itu melengkung menutupi hampir separuh langit.
Saat ia memperhatikan itu, didengarnya dari tempat yang sangat
jauh, sayup-sayup, lengkingan seekor gajah liar.
Semua gajah yang berbaring tiba-tiba bangkit berdiri, seolah
tertembak. Suara geram mereka membangunkan para pawang yang
berlarian datang. Dengan palu besar mereka memperkuat pancang
tempat mengikat gajah-gajah itu, memperkuat ikatan tali hingga
semua tenang kembali. Seekor gajah baru hampir mencabut pancang tempat rantainya. Toomai Besar melepaaskan rantai di kaki
Kala Nag dan memasangkannya di kaki depan dan belakang gajah
yang gelisah itu. Diambilnya seutas tali dari anyaman rumput,
dijadikan seperti gelang di kaki Kala Nag dan berkata pada gajah
itu bahwa tali rumput itu rantai besi yang menahannya kuat-kuat.
Hal ini pernah dilakukan oleh ayahnya, kakeknya, dan kakek
buyutnya ratusan kali sebelum itu. Kala Nag tidak menjawab. Ha179
nya menggeram pendek seperti biasa. Ia berdiri diam. Melihat
jauh ke perbukitan Garo, kepalanya sedikit diangkat dan daun telinganya berkembang, kepalanya memandang ke arah lipatan
jurang-jurang di perbukitan Garo.
"Bujuk dia jika ia gelisah malam nanti," kata Toomai Besar
pada Toomai Kecil, dan ia pergi ke gubuk untuk tidur. Toomai
Kecil juga akan kembali tidur, ketika didengarnya tambang putus
dengan bunyi "tang", dilihatnya Kala Nag tanpa suara melangkah
meninggalkan tonggak tambatannya, bagaikan awan bergulung ke
arah mulut lembah. Toomai Kecil berlari mengejarnya, dengan
telanjang kaki, di jalan sepi yang diterangi cahaya rembulan itu.
Ia berseru pelahan, "Kala Nag! Kala Nag! Bawa aku, o, Kala
Nag!" Gajah besar itu berhenti dan berpaling, berjalan tiga langkah ke anak, menjulurkan belalainya dan mengangkat Toomai
Kecil ke lehernya. Sebelum Toomai Kecil mantap duduknya, mereka telah menyelinap masuk ke hutan.
Saat itu terdengar lengkingan suara-suara gajah yang masih terbelenggu, serentak dan ribut sekali. Tetapi kemudian sunyi. Kala
Nag terus melangkah pergi.
Terkadang mereka melalui rerumputan tinggi, yang menggesek
sisi Kala Nag seperti air menggesek dinding perahu. Terkadang
segerombolan tumbuh-tumbuhan merambat harus ditembusnya.
Dan pokok-pokok bambu berderak-derak saat bahu besarnya lewat.
Tapi di luar itu semua Kala Nag bergerak tanpa suara, menembus
rapatnya hutan Garo seolah menembus gumpalan asap. Toomai
Kecil sekali-sekali bisa melihat bintang-bintang di antara dedahanan pohon, tetapi ia tak tahu mereka pergi ke arah mana.
Kemudian Kala Nag mencapai sebuah puncak, dan berhenti
sejenak. Toomai Kecil bisa melihat puncak pepohonan bagaikan
bintik-bintik luas dan berkilauan sejauh mata memandang di caha180
ya rembulan, juga kabut putih di atas sungai jauh di bawah sana.
Toomai mencondongkan badannya ke depan dan melihat itu semua. Ia merasa bahwa semua isi hutan kini terbangun di bawahnya"terbangun, hidup dan berdesak-desakan. Seekor kalong besar
melintas dekat sekali ke telinganya, seekor landak berderik-derik
di semak-semak, dan di kegelapan di antara pepohonan terdengar
babi hutan mendengus-dengus menggali tanah yang lembap.
Kemudian dedahanan menutup kembali di atas kepalanya. Kala
Nag mulai menuruni tebing ke lembah di depannya. Kini ia tidak
mencoba menyembunyikan keributannya. Ia menghambur bagaikan
meriam lepas di lereng yang sangat curam itu. Kaki-kakinya yang
besar bergerak cepat dan mantap bagaikan dijalankan mesin, sekali
langkah tiga meter jauhnya, membuat kulit kulit keriput disikusiku berisik. Semak belukar yang dilewatinya bagaikan terkuak
dengan suara seperti kain kanvas dirobek, pepohonan muda yang
tadinya dilanggarnya melecut balik mengenai tubuhnya. Tanaman
sulur-suluran menyangkut tebal di gadingnya saat ia menggoyangkan kepala membuka jalan. Toomai Kecil terpaksa berbaring
merapat di lehernya, takut kalau-kalau dahan-dahan menyapunya
terjatuh. Ia mulai menyesal telah meninggalkan penampungan.
Rumput di kaki Kala Nag mulai bercampur lumpur. Kaki-kaki
besar itu terdengar menancap masuk dan mendesah ketika diangkat. Kabut di dasar lembah itu membuat Toomai Kecil kedinginan.
Terdengar suara mencebur dan deras air mengalir. Kala Nag
menyeberangi sungai, setiap langkahnya berhati-hati. Di atas bunyi
deras air di kaki gajahnya, Toomai Kecil mendengar suara-suara
ceburan lainnya, dan suara lengkingan gajah"di arah hulu dan
hilir darinya. Terdengar geraman dan dengusan marah, dan di kabut yang mengelilinginya mulai terlihat bayangan-bayangan besar
bergerak bagaikan ombak. 181 "Aiii," ia berseru dengan gigi gemeletuk kedinginan. "Para gajah ke luar malam ini. Mungkin mereka akan menari!"
Kala Nag berdebur ke luar dari air, menyemburkan air dari
belalainya dan mulai mendaki. Tapi kali ini ia tidak sendiri. Ia tak
harus membuka jalan sendiri. Di depannya sudah terbuka jalan
selebar dua meter. Rerumputan hutan berusaha bangkit kembali
sehabis roboh terinjak. Agaknya sebelum dia sudah banyak gajah
yang lewat. Toomai Kecil menoleh ke belakang. Dilihatnya seekor
gajah dengan gading sangat besar dan mata yang membara sedang
bangkit ke luar dari dalam sungai yang diselimuti kabut. Kemudian pepohonan mulai menutup lagi. Tetapi mereka terus mendaki,
dengan teriakan melengking serta rontoknya dahan-dahan di kirikanan mereka.
Akhirnya Kala Nag berhenti, berdiri diam di antara dua batang
pohon tepat di puncak sebuah bukit. Ada beberapa pohon yang
tumbuh melingkari tempat seluas hampir dua kali lapangan sepak
bola. Tempat seluas itu tanahnya terbuka dan agaknya sering diinjak-injak hingga datar dan sekeras lantai bata. Ada beberapa
batang pohon yang tumbuh di tengah-tengahnya, tetapi pohon-pohon itu kulitnya sudah terkelupas, menunjukkan batang putih
mengkilap dalam cahaya bulan. Di dahan-dahan atasnya bergantungan berbagai tanaman merambat yang semua tergantung lemas
seperti tidur. Tetapi di tempat yang luas terbuka itu tak ada sebilah
rumput pun muncul"yang ada hanya tanah yang rata dan keras.
Cahaya rembulan menunjukkan tempat terbuka itu berwarna
kelabu besi, kecuali di tempat di mana gajah-gajah berdiri. Di situ
terlihat bayangan mereka hitam pekat. Toomai Kecil melihat itu
semua, menahan napas dan matanya melotot. Makin banyak gajah
muncul dari hutan dan masuk ke tempat terbuka itu dari balik
pepohonan yang mengitarinya. Toomai Kecil hanya bisa menghi182
tung sampai sepuluh. Diulanginya terus menghitung sampai sepuluh berkali-kali dan ia kemudian lupa sudah berapa kali sepuluh
jumlah gajah-gajah yang datang. Kepalanya jadi pusing melihat
mereka itu. Di luar batas tempat terbuka masih terdengar keributan
gajah-gajah yang mendaki ke puncak itu. Tetapi begitu mereka
memasuki daerah terbuka, mereka bergerak tanpa suara bagaikan
hantu. Penampilan mereka bermacam-macam. Gajah liar dewasa dengan gading panjang dan leher serta punggung dipenuhi daun,
buah, ranting yang menjatuhi mereka. Ada juga gajah-gajah betina
yang bergerak lebih lamban, dengan gajah-gajah kecil setinggi
sekitar satu meter berlarian di bawah perut mereka. Ada gajah-gajah muda yang gadingnya baru tumbuh dan membuat mereka
bangga. Ada gajah-gajah betina tua yang kebanyakan kurus dengan wajah-wajah khawatir serta kaki seperti pohon kering. Ada
gajah-gajah jantan tua yang tampak buas, dengan bekas-bekas luka
di tubuhnya, serta lumpur kering di punggung bekas berkubang.
Seekor gajah tampak gadingnya patah serta di badannya terlihat
goresan bekas cakar harimau.
Mereka berdiri rapat, atau berjalan mondar-mandir berdua-dua
di lapangan itu, bergoyang dan melenggang sendiri-sendiri"banyak, dan sangat banyak gajah.
Toomai tahu bahwa selama ia berbaring diam di leher Kala
Nag, tak akan ada yang menggangunya. Bahkan saat gajah-gajah
ribut di Keddah, gajah liar tak akan mau mengulurkan belalai dan
merenggut seseorang yang duduk di leher gajah liar. Dan gajahgajah ini sama sekali tak memikirkan manusia malam itu. Sekali
mereka tertegun, memasang telinga. Terdengar dencingan belenggu
logam di kaki seekor gajah yang mendatangi dari dalam hutan.
Tetapi ternyata yang muncul Pudmini, gajah kesayangan Petersen
183 Sahib. Agaknya ia telah memutuskan rantai di kakinya dan
meninggalkan perkemahan Petersen Sahib. Toomai melihat seekor
gajah lain yang tidak dikenalnya, dengan punggung dan dada
penuh luka lecet karena tali. Pastilah ia juga melarikan diri dari
suatu penampungan yang tersebar di perbukitan ini.
Akhirnya tak ada suara gajah bergerak lagi di dalam hutan.
Kala Nag meninggalkan tempatnya di antara dua batang pohon
dan melangkah maju bergabung dengan gerombolan gajah di tengah lapangan. Mereka agaknya berbicara ramai sekali, membuat
suara berdecak, menggeram, berbicara asyik dengan bahasa mereka serta terus berkeliling.
Masih berbaring diam, Toomai Kecil melihat ke bawah. Tak
terhitung banyaknya punggung-punggung lebar, telinga-telinga mengibas-kibas, dan mata-mata kecil berputar-putar. Didengarnya
derak derik gading yang bersinggungan tak sengaja, derik kering
belalai-belalai saling membelit, beradunya punggung dan gesekan
perut dan juga lecutan dan desis ekor-ekor yang terus bergerak.
Awan bergerak menutupi bulan. Toomai duduk dalam kegelapan.
Tetapi dorong-dorongan, gesekan kulit perut, geraman geraman
terus terdengar. Toomai tahu banyak gajah mengelilingi Kala Nag,
dan takkan bisa ia menyuruh gajahnya mundur ke luar dari pertemuan itu. Maka Toomai hanya bisa diam dan giginya gemertak
kedinginan. Di Keddah, paling tidak akan ada obor dan orang
berteriak-teriak di sekitarnya. Di sini dia sendirian dalam kegelapan. Sekali sebuah belalai terjulur dan menyentuh lututnya.
Kemudian seekor gajah melenguh nyaring bagaikan terompet.
Serentak ratusan yang lainnya mengikuti selama lima atau sepuluh
detik, memekakkan telinga. Embun di dedaunan rontok bagaikan
hujan membasahi punggung-punggung yang tak terlihat. Kemudian
terdengar suara seperti dentuman, tak terlalu keras awalnya.
184 Toomai Kecil tadinya tak tahu suara apa itu. Makin lama makin
keras dan makin banyak. Kala Nag mengangkat salah satu kaki
depannya dan mengentakkannya ke tanah. Bergantian dengan kaki
lainnya"satu"dua"satu"dua, mantap dan teratur bagaikan
mesin palu bumi. Semua gajah itu kini mengentakkan kaki, suaranya bagaikan genderang perang dibunyikan di depan mulut gua.
Embun rontok dari pepohonan hingga habis tuntas, tetapi suara
berdentum itu terus saja membuat bumi seakan terguncang dan
bergetar. Toomai Kecil menekap telinganya, tetapi getaran dahsyat
itu terus mengentak tubuhnya, getaran ratusan kaki besar dihantamkan ke bumi itu. Sekali-sekali dirasakannya Kala Nag dan yang
lain maju beberapa langkah, dan suara dentaman digantikan suara
seolah benda-benda hijau berair digerus. Tapi kemudian suara
entakan di bumi yang keras itu mulai lagi. Sebatang pohon terdengar berderak dan mengeluh di suatu tempat di dekatnya. Toomai
Kecil mengulurkan tangan untuk menyentuh kulit pohon yang
terkelupas. Tetapi Kala Nag telah bergerak maju lagi, masih dengan mengentakkan kaki. Ia tak tahu di mana dirinya persisnya di
tanah lapang itu. Gajah-gajah itu tidak bersuara, kecuali sekali-sekali saat beberapa anak gajah menjerit kesakitan. Tapi suara itu
langsung tertutup oleh suara dentuman entakan dan geseran, suara
yang terus membahana. Gemuruh itu terus menerus berlangsung
hingga dua jam. Toomai Kecil merasa kesakitan di setiap tempat
di tubuhnya. Tetapi ia merasa, dari bau udara malam, bahwa fajar
akan segera tiba. Fajar akhirnya benar-benar menyingsing, bagaikan selembar
kabut tipis kuning pucat di balik bukit-bukit hijau. Dengan datangnya sinar pertama, suara berdentum-dentum tadi berhenti, seolah
sinar matahari itu adalah sebuah perintah. Sebelum Toomai Kecil
bisa menghilangkan denging di telinganya, bahkan sebelum ia bisa
185 menggerakkan satu pun bagian tubuhnya, dilihatnya tak ada gajah
tampak di situ, kecuali Kala Nag, Pudmini, dan gajah dengan bekas-bekas luka ikatan. Tak ada gajah lainnya. Tak ada suara, tak
ada gemersik, tak ada bisikan suara gerakan menuruni hutan di
lereng bukit itu. Semua lenyap.
Toomai Kecil membelalakkan mata tak percaya, melihat ke kiri
dan ke kanan. Tanah lapang yang dilihatnya semalam telah berubah. Pepohonan muncul di tengah-tengahnya, tetapi semak-semak
dan rerumputan hutan didesak minggir. Kini ia mengerti mengapa
gajah-gajah itu tadi mengentak-entakkan kaki"mereka agaknya
ingin memperluas ruang gerak mereka, menginjak-injak rerumputan dan tebu-tebu hingga lumat, yang lumat tadi menjadi kepingan,
kepingan jadi benang-benang lembut dan benang-benang lembut
menjadi tanah yang keras.
"Wah," kata Toomai kecil dengan mata sangat berat. "Kala
Nag, tuanku, jangan berpisah dari Pudmini, mari kita pergi ke
perkemahan Petersen Sahib. Kalau tidak, aku akan turun dari lehermu."
Gajah ketiga melihat kedua gajah itu pergi dan mencdengus. Ia
berpaling dan pergi ke arah lain. Mungkin ia berasal dari gajahgajah milik salah satu raja kecil sekitar seratus kilometer dari
tempat itu. Dua jam kemudian, saat Petersen Sahib sedang menghadapi
makan pagi yang lebih awal, terdengar suara lenguhan keras gajah
kesayangannya. Pudmini yang malam sebelumnya dibelenggu dengan rantai ganda masuk ke perkemahan itu, dengan badan penuh
lumpur. Ia diikuti Kala Nag yang agak terpincang-pincang. Di
leher Kala Nag tengkurap Toomai Kecil, wajahnya pucat pasi,
rambut penuh daun dan basah kuyup oleh embun. Tetapi anak itu
segera memberi hormat pada Petersen Sahib, dan berseru lemah,
186 "Tarian itu"tarian gajah"aku sudah melihatnya"mati aku!" Kala
Nag menekuk lutut, dan Toomai Kecil meluncur dari lehernya,
pingsan.

The Jungle Book Karya Rudyard Kipling di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi harus diingat bahwa anak-anak pribumi biasanya tak mengenal takut, maka dalam dua jam Toomai Kecil sudah berbaring
bersenang-senang di tempat tidur gantung Petersen Sahib. Mantel
berburu tuan besar itu dilipat dijadikan bantalnya, ia diberi segelas
susu hangat, sedikit brendi dan sebutir pil kina. Ia berbaring seenaknya, sementara di sekelilingnya duduk berjejer hingga tiga
baris, para pemburu dengan wajah-wajah seram, penuh rambut dan
memandang padanya seolah-olah ia seorang dewa. Mereka sangat
terpukau oleh ceritanya yang diceritakan dengan gaya bocah"
singkat, sederhana. Dan ceritanya itu diakhirinya dengan berkata,
"Aku tidak berdusta sepatah kata pun. Kirim orang mengikuti jejak kami. Akan diketemukan tempat kaum gajah itu menginjakinjak bumi untuk memperluas tempat mereka menari. Mereka telah memperluasnya dengan kaki mereka. Aku telah melihatnya.
Kala Nag yang membawaku, dan aku melihat. Kaki Kala Nag
sangat lelah karena perjalanan malam tadi."
Si Toomai Kecil dibiarkan tidur nyenyak sampai senja. Sementara itu Petersen Sahib dan Machua Appa benar-benar mengikuti
jejak Kala Nag dan Pudmini sampai dua puluh lima kilometer
menyeberangi perbukitan. Petersen Sahib telah delapan belas tahun
berburu gajah, dan ia baru sekali menemukan tempat gajah menari. Machua Appa tak usah melihat dua kali untuk yakin apa yang
telah terjadi di tempat terbuka itu. Ia juga tak usah mencoba menggores tanah yang telah padat rata.
"Anak itu berkata sebenarnya," kata Machua Appa. "Semua ini
terjadi malam tadi. Aku menghitung ada tujuh puluh baris jejak
yang menyeberangi sungai. Lihat, Sahib, di sini belenggu besi di
187 kaki Pudmini menggores batang pohon. Benar, dia juga ada di
sini." Mereka berdua saling pandang dengan penuh rasa kagum. Tata
cara bangsa gajah ini benar-benar di luar pemikiran manusia"
putih ataupun berwarna. "Empat puluh dan lima tahun," kata Machua Appa. "Empat
puluh lima tahun aku telah mengikuti tuanku, gajah-gajah itu. Tapi
belum pernah kudengar ada anak manusia yang melihat apa yang
dilihat anak ini. Demi semua Dewa di Perbukitan"apa yang harus
kita katakan?" ia menggeleng.
Ketika mereka kembali ke perkemahan, waktu makan malam
telah tiba. Petersen Sahib makan sendirian di tendanya, tetapi ia
telah memerintahkan agar disiapkan dua ekor domba dan beberapa
unggas, juga tambahan jatah tepung, beras dan garam, karena ia
tahu pasti orang akan mengadakan pesta.
Toomai Besar datang tergesa-gesa dari perkemahannya di dataran
rendah untuk mencari anak dan gajahnya. Tetapi kini setelah ia menemui mereka, ia terlihat seolah ketakutan menghadapi Toomai
Kecil dan Kala Nag. Pesta diadakan di api unggun terbuka di depan
barisan gajah-gajah. Toomai Kecil jadi pahlawan, semua orang
menghormatinya. Para pemburu gajah yang besar-besar dan berkulit
gelap, para pencari jejak dan penggiring serta penjerat, dan semua
orang yang tahu rahasia menjinakkan gajah yang paling liar, bergantian memegangnya"memberi tanda di dahinya dengan darah ayam
hutan untuk menunjukkan bahwa dia sekarang dianggap sebagai
keluarga hutan yang diakui dan dihormati semua isi hutan.
Akhirnya api unggun pun padam. Cahaya merah dari bara api
membuat gajah-gajah yang ada memerah, seperti dicelup darah.
Machua Appa, kepala semua penangkap gajah di semua Keddah"
tangan kanan Petersen Sahib yang sangat dipercaya, yang tak
188 pernah melihat jalan datar selama empat puluh tahun, yang begitu
terkenal hingga tak punya nama lain selain Machua Appa"meloncat berdiri sambil memegang si Toomai Kecil di atas kepalanya
dan berseru, "Dengar, saudara-saudaraku. Dengar juga, wahai
tuan-tuanku yang berbaris di sana, aku, Machua Appa, akan berbicara. Si kecil ini tak akan lagi dipanggil Toomai Kecil. Tetapi
Toomai Bangsa Gajah, seperti kakek moyangnya sebelum dia dipanggil. Apa yang belum pernah dilihat manusia, ia telah
melihatnya di suatu malam yang panjang, dengan perkenanan
kaum gajah dan para Dewa di Hutan. Ia akan menjadi pelacak
gajah yang agung. Ia bahkan akan menjadi lebih besar dari aku
sendiri, Machua Appa. Ia akan mengikuti jejak yang baru, jejak
yang lama, jejak campuran dengan mata yang jernih. Ia tak akan
mendapat kecelakaan di Keddah saat ia berlari di bawah perut
gajah untuk menjerat gading yang liar. Ia akan aman berlari di
depan kaki gajah jantan yang mengamuk. Semua gajah akan kenal
padanya dan tak akan menyakitinya. Aha. Tuan-tuan yang dirantai,?"ia berpaling menghadap ke barisan gajah, "inilah si kecil
yang telah melihat tuan-tuan menari di tempat yang begitu tersembunyi. Ia melihat apa yang tak pernah dilihat manusia! Hormati dia, tuan-tuanku. Salam karo, anak-anakku. Beri hormat pada
Toomai, Bangsa Gajah! Gunga Pershad, aha! Hira Guj, Birchi
Guj, Kuttar Guj, ahaa! Pudmini"kau telah melihatnya di tempat
menari dan kau juga, Kala Nag, permataku dari semua gajah"
ahaa! Semuanya! Sambutlah Toomai Bangsa Gajah! Barrao!"
Dan di teriakan terakhir itu semua gajah mengangkat belalai
mereka hingga ujungnya menyentuh dahi masing-masing, semua
melenguhkan kehormatan penuh"lengkingan gemuruh terompet
gajah yang hanya biasa terdengar untuk menyambut Raja Muda
India, ucapan salam dari semua Keddah.
189 Itu semua demi Toomai Kecil, yang telah melihat apa yang belum pernah dilihat manusia"tarian gajah di malam hari, disaksikannya sendiri di jantung perbukitan Garo.
190 12. Shiva dan Belalang (NYANYIAN yang dinyanyikan ibu Toomai untuk
bayinya). Shiva melimpahkan panen membuat angin berlalu
Duduk di depan pintu suatu hari di zaman dahulu
Membagikan jatah, makan, pekerjaan , takdir pada semua
Untuk raja di singgasana sampai pengemis di gapura
Semua dibuatnya"dia, Shiva sang Pemelihara
Mahadewa! Mahadewa! Ia membuat semua!
Semak untuk unta, rumput untuk ternak
Dan hati ibu untuk anak mengantuk ini, tidurlah nyenyak
Gandum untuk si kaya, jawawut untuk yang tak berpunya
Sisa makanan untuk orang suci yang meminta-minta
Mangsa hidup untuk harimau, untuk elang bangkai tak
191 bernyawa Tulang dan sisa daging untuk si jahat serigala
Tiada yang terlalu tinggi tiada terlalu rendah
Parwati menjaga agar semua adil dan berkah
Ia ingin menipu suaminya, mengajak Shiva bercanda
Mengambil seekor belalang disembunyikan di dadanya
Parwati menipunya, Shiva sang Pemelihara
Mahadewa! Mahadewa! Berpaling dan lihatlah
Tingginya unta, beratnya ternak
Tapi Makhluk Sekecil itu, wahai permataku, anak"
Ketika pembagian usai, Parwati tertawa berkata,
"Tuanku, dari jutaan mulut, adakah yang tak kebagian?"
Tertawa Shiva berkata, "Semua dapat bagiannya.
Bahkan si kecil, yang di dadamu kau sembunyikan."
Dari dadanya Parwati si pencuri mengeluarkan segera
Si Makhluk Kecil itu, sedang makan selembar daun muda!
Parwati melihat, takut, kagum segera berdoa
Pada Shiva yang memberi makan kepada semua
Semua dibuatnya"dia, Shiva sang Pemelihara
Mahadewa! Mahadewa! Ia membuat semua!
Semak untuk unta, rumput untuk ternak
Dan hati ibu untuk anak mengantuk ini, tidurlah nyenyak
192 13. Para Abdi yang Mulia Raja
Bisa dengan cara pembagian, bisa dihitung tiga-tiga
Tetapi cara Tweedle-dum bukan cara Tweedle-dee
Boleh kau puntir, kau putar, kau pintal, apa pun caranya
Tapi cara Winkie Pop tak sama dengan cara Pilly Winky
HUJAN terus sebulan penuh. Hujan di perkemahan berisi tiga
puluh ribu orang, ribuan unta, gajah, kuda, sapi dan bagal. Semua
berkumpul di suatu tempat bernama Rawal Pindi untuk ditinjau
oleh Raja Muda India. Sang Raja Muda akan menyambut kunjungan Amir dari Afghanistan"seorang raja liar dari negara yang
sangat liar. Sang Amir akan membawa pasukan pengawal terdiri
dari delapan ratus orang dan kuda"dan mereka belum pernah
melihat suatu perkemahan besar ataupun sebuah lokomotif kereta
api seumur hidup. Benar-benar manusia dan kuda liar dari suatu
daerah terpencil di belakang Asia Tengah. Setiap malam segerom193
bolan kuda-kuda ini berontak lepas dari ikatan mereka, lari berhamburan tanpa tujuan di daerah perekemahan menembus lumpur
dan kegelapan. Atau unta-unta mereka lepas dan lari tunggang
langgang jatuh bangun di tali-tali tenda. Bisa dibayangkan niikmatnya tidur di perkemahan seperti itu. Tendaku berada jauh dari
tempat tambatan unta-unta, damn kupikir itu cukup aman. Tetapi
suatu malam seseorang muncul masuk di tendaku dan berteriak,
"Cepat ke luar! Mereka datang! Tendaku sudah lenyap!"
Aku tahu siapa "mereka" itu. Aku cepat memakai sepatu, jas
hujan dan berlari ke luar ke tanah berlumpur. Vixen Kecil, anjing
fox-terrierku, ke luar dari pintu tenda satunya. Terdengar suara
raungan, geraman dan berbagai suara bercampur aduk saat kulihat
tenda runtuh, tiangnya patah, terombang-ambing bagaikan tarian
hantu. Seekor unta telah melabrak masuk, dan walaupun aku basah kuyup serta marah, aku tak tahan untuk tidak tertawa. Kemudian aku lari. Aku tak tahu berapa ekor unta lagi yang mungkin
telah lepas. Tak berapa lama aku telah jauh dari kawasan perkemahan, berusaha berlari di tanah yang berlumpur.
Akhirnya aku roboh tersandung pangkal meriam. Hal itu menunjukkan bahwa aku sudah sampai ke daerah artileri, di mana meriam-meriam biasa dikumpulkan. Aku tak ingin terus gentayangan
di hujan dan gelap itu. Kugantungkan jas hujan di ujung laras
sepucuk meriam. Dengan bantuan beberapa tongkat mesiu jadilah
semacam tenda dan aku bisa berbaring di pangkal meriam sebelahnya. Entah Vixen ada di mana saat itu.
Hampir saja aku tertidur saat kudengar gemerincing abah-abah
dan dengus seekor bagal. Bagal itu berjalan dekat denganku dan
mengibaskan telinganya yang basah. Ia adalah bagal penarik meriam sekrup"dinamakan demikian karena meriam kecil itu terdiri
dari dua bagian, kalau akan digunakan baru disambungkan seolah
194 disekrup, meriam ini dibawa ke daerah ketinggian di gunung, ke
mana pun yang bisa dilalui seekor bagal, sangat berguna pada
pertempuran di daerah berbatu-batu. Agaknya abah-abah bagal itu
masih lengkap"kudengar dencingan rantai, gelang-gelang serta
gesper pengikatnya. Di belakang bagal itu berjalan seekor unta, kakinya yang lembut dan besar berkecoprak saat melangkah dan terpeleset di lumpur, lehernya terjulur ke sana kemari seperti ayam kebingungan.
Untunglah aku cukup tahu bahasa hewan"bukan hewan liar, tetapi hewan yang ada di perkemahan, tentunya"belajar dari penduduk asli.
Agaknya unta itu yang tadi merusak tendaku, sebab ia berseru
pada si bagal, "Hei, aku harus berbuat apa" Aku harus ke mana"
Aku tadi berkelahi dengan benda yang berkibar-kibar, kemudian
dia mengambil tongkat dan memukulku di leher." (Itu pasti tiang
pancang tendaku, aku senang ternyata si kurang ajar itu dapat
hadiahnya.) "Apakah kita lari terus saja?"
"Oh, itu tadi kamu?" tanya si bagal. "Kamu dan kawan-kawanmu yang mengacaukan perkemahan" Baiklah. Besok kau pasti
akan mendapat hukuman. Tetapi lebih baik aku memberimu sedikit
hukuman sekarang." Kudengar abah-abah bagal itu gemerincing saat si bagal mundur
dan menendang dada si unta hingga berbunyi seperti gendang.
"Lain kali," kata si bagal, "jangan lagi kau berani lari ke tempat
bagal di malam hari sambil berteriak-teriak "Maling dan api!" Duduklah dan hentikan gerakan tolol lehermu itu!"
Si unta jatuh terduduk, seperti terlipat. Ia merengek-rengek.
Terdengar suara derap kaki kuda di kegelapan. Seekor kuda perang besar dan gagah melangkah gagah seolah sedang berparade,
melompati ekor meriam dan berhenti di dekat si bagal.
195 "Sungguh menyebalkan," kata si kuda, mendengus-dengus marah. "Unta-unta itu kembali mengobrak-abrik tambatan kami"sudah ketiga kalinya minggu ini! Bagaimana seekor kuda bisa tetap
siap siaga kalau tidak bisa tidur. Siapa ini?"
"Aku bagal pembawa bagian belakang meriam sekrup nomor
dua dari Kesatuan Meriam Sekrup," kata si bagal. "Yang satu ini
salah satu temanmu. Ia juga membuatku terbangun. Siapa kau?"
"Nomor Lima belas, Regu E, Pasukan Berkuda ke Sembilan"
kuda Dick Cunliffe. Tolong agak ke sana."
"Oh, maaf. Terlalu gelap, tak bisa melihat apa pun," kata si
bagal. "Kaum unta ini memang menyebalkan, bukan" Aku terpaksa lari dari tambatanku untuk memoperoleh sedikit ketenangan di
sini." "Tuan-tuan," kata si unta memelas. "Kami selalu bermimpi buruk, karenanya kami sangat ketakutan. Aku hanya unta pembawa
barang dari pasukan Infanteri Pribumi ke-39. Aku tidak seberani
tuan-tuan." "Kenapa kamu tidak tinggal bersama pasukan Infanteri Pribumi
ke-39 saja dan bukannya berlarian tak keruan ke sana kemari?"
"Mimpi kami sangat buruk," kata si unta. "Maaf. Dengar. Apa
itu" Haruskah kita lari lagi?"
"Duduk saja," kata si bagal. "Bisa-bisa kaki panjangmu itu patah terjepit meriam-meriam ini." Ia memiringkan kepala untuk
bisa mendengar lebih baik. "Lembu-lembu penarik meriam!" katanya kemudian. "Benar-benar kau dan kawan-kawanmu telah membangunkan semua isi perkemahan! Sangat sulit untuk membangunkan lembu penarik meriam."
Kudengar suara rantai diseret di tanah, dan sepasang lembu putih penarik meriam mendatangi, menarik palang pemasang mereka.
Mereka ini bertugas menarik meriam-meriam besar jika para gajah
196 tidak berani mendekati tempat tembakan. Di ujung rantai yang
mereka tarik datang seekor bagal lagi yang kebingungan memanggil-manggil "Billy."
"Itu anggota baru kami," kata si bagal kepada kuda pasukan
berkuda. "Ia mencari-cari aku. Hei, anak muda, berhenti menjeritjerit. Kegelapan takkan melukai siapa pun."
Kedua lembu penarik meriam itu langsung berbaring bersamaan,
dan mulai memamah biak. Si bagal muda langsung merapat ke
"Billy". "Sungguh ngeri, seram, menakutkan, Billy," katanya. "Mereka
datang masuk ke tempat tambatan kami saat kami tidur. Apakah
mereka akan membunuh kami?"
"Kamu ini mestinya aku beri tendanganku yang nomor satu,"
kata Billy geram. "Bagal satu setengah meter dan terlatih sepertimu sungguh memalukan pasukan kita, di hadapan tuan-tuan ini."
"Sabar, sabar," kata si kuda perang. "Ingat pada awalnya mereka memang seperti ini. Pertama kali aku melihat manusia (waktu
itu di Australia, dan aku berumur tiga tahun) aku berlari tanpa
henti sampai separuh hari. Kalau aku melihat unta saat itu, mungkin aku juga lari ketakutan."
Hampir semua kuda pasukan berkuda Inggris dibawa ke India
dari Australia dan dilatih oleh penunggangnya sendiri.
"Memang benar," kata Billy. "Berhentilah gemetar, anak muda.
Pertama kali aku diberi abah-abah dan semua rantainya di punggungku, aku berdiri di kaki depan dan kutendang kalang kabut ke
belakang. Tapi waktu itu aku belum menguasai cara menendang
yang baik. Hanya semua mengatakan tendanganku waktu itu sungguh luar biasa."
"Tetapi ini bukan abah-abah atau rantai yang berdencing-dencing," kata si bagal muda. "Kau tahu aku takkan memedulikan
197 kedua hal itu, Billy. Tetapi ini Sesuatu yang mirip pohon, roboh
dan naik lagi, menyembur-nyembur, sampai tali pengikat kepalaku
putus. Aku tak bisa mencari pawangku, aku tak bisa menemukan
kamu, Billy, jadi aku lari dengan"dengan kedua tuan ini."
"Hm," kata Billy. "Segera setelah kudengar unta-unta lepas, aku
lari atas kemauanku sendiri. Kalau sampai anak buah regu meriam
sekrup memanggil lembu penarik meriam "tuan", pastilah dia sangat ketakutan. Hei, kalian yang berbaring itu, siapa kalian?"
Kedua lembu itu menelan apa yang dimamahnya, kemudian
menjawab bersama-sama, "Kami pasangan ketujuh meriam pertama dari Pasukan Meriam Besar. Kami sedang tidur sewaktu untaunta itu datang. Kami terinjak mereka, terpaksa bangun dan menjauh. Lebih baik tidur tenang di lumpur daripada tidur dengan alas
rumput kering tetapi diganggu terus. Kami telah berkata pada
temanmu ini bahwa tak ada yang harus ditakuti. Tetapi agaknya
ia merasa lebih tahu dan karenanya lari tunggang langgang.
Wah!" Mereka melanjutkan memamah biak.
"Gara-gara penakut itu, kau ditertawakan oleh lembu penarik
meriam!" kata Billy. "Tidak malukah kau?"
Gigi bagal muda itu gemertak. Kudengar ia mengatakan sesuatu
tentang sesungguhnya ia tidak takut pada lembu tua mana pun di
dunia. Tetapi kedua lembu itu tak memperhatikannya. Mereka
mengadu tanduk sesaat kemudian kembali mengunyah.
"Jangan marah setelah ketakutan. Itu suatu bentuk kepenakutan
yang terburuk," kata si kuda perang. "Semua bisa dimaafkan bila
ketakutan di malam hari, kupikir, kalau mereka melihat sesuatu
yang tidak bisa mereka mengerti. Kami juga telah melarikan diri
dari tambatan, berkali-kali, empat ratus lima puluh ekor semuanya,
ketika seekor anggota baru menceritakan adanya ular cambuk
198 sewaktu kami di Australia. Kami begitu ketakutan hingga tali
pengikat kepala kami putus."


The Jungle Book Karya Rudyard Kipling di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Itu tak apa jika terjadi di permukiman," kata Billy. "Bukannya
aku tidak setuju berlarian menghambur demi kesenangan semata,
saat aku tak pernah ke luar selama sehari atau dua. Tapi apa yang
lakukan saat sedang bertugas?"
"Oh, itu sesuatu yang sangat berbeda," kata si kuda. "Dengan
Dick Cunliffe di punggungku dan kedua kakinya menjepit aku,
aku tinggal mencari tempat untuk melangkah, menjaga agar kaki
belakangku tetap tegak dan harus peka-kekang."
"Peka-kekang, apakah itu?" tanya si bagal muda.
"Ya ampun, kau tidak diajari tentang peka-kekang dalam tugasmu?" kuda perang itu heran. "Apa yang bisa kaulakukan kalau
kau tak bisa langsung berputar saat kekangmu ditekankan di leher" Itu bisa berarti nyawa penunggangmu dan juga hidup dan
matinya dirimu sendiri. Berputar pada kaki belakang saat ada isyarat kekang di leher. Kalau tak ada ruang untuk berputar, harus
mundur sedikit dan baru berputar. Itulah peka-kekang."
"Kami tidak diajari seperti itu," kata Billy, kaku. "Kami diajari
untuk mengikuti kata orang yang memimpin kami. Maju kalau dia
bilang maju, mundur kalau dia bilang mundur. Mungkin maksudnya sama dengan gerakanmu. Dengan gerakanmu yang sulit dan
mendadak itu yang pasti sangat menyakitkan sendi kaki belakangmu, apa ada kegunaannya?"
"Tergantung," kata si kuda. "Umumnya aku berada di antara
banyak sekali orang-orang berambut lebat membawa pisau"pisau
panjang mengilap, lebih seram dari pisau pandai besi"aku harus
menjaga agar sepatu bot Dick hanya bersinggungan dengan sepatu
bot orang di sebelahnya tanpa menempelnya. Kalau kulihat tombak Dick di kanan mata kananku, itu artinya aku aman. Aku tak
199 peduli pada orang atau kuda yang menghalangi Dick dan aku saat
kami sedang tergesa-gesa."
"Apakah pisau panjang itu menyakitkan?" tanya si bagal
muda. "Yah, pernah sekali aku tertebas dadaku. Tapi itu bukan salah
Dick." "Kalau rasanya sakit, aku takkan peduli salah siapa," kata si
bagal muda. "Harus. Kamu harus peduli pada orang yang menunggangimu.
Kamu harus percaya padanya. Kalau tidak, lebih baik lari saja.
Banyak kuda yang melakukan itu, dan aku tak menyalahkan mereka. Tadi kubilang aku tak menyalahkan Dick. Orang itu tergeletak
di tanah, aku memanjangkan langkahku agar tak menginjak dia.
Eh, dia malah menabaskan pisaunya padaku. Lain kali, kalau ada
orang seperti itu, aku akan menginjaknya. Keras-keras."
"Hm." Kata Billy. "Kedengarannya sungguh tolol. Pisau adalah
sesuatu yang buruk, kapan saja. Tindakan paling benar adalah
mendaki gunung dengan pelana yang seimbang, menggantung dengan empat kaki dan telingamu, merayap atau merangkak atau
blusukan sampai sekitar tiga puluh meter di atas yang lain, berdiri
di suatu pinggiran yang hanya cukup untuk kakimu. Kemudian,
diam tak bergerak"jangan minta orangmu untuk memegang kepalamu, anak muda"diam tak bergerak sementara kedua bagian
meriam disambungkan. Habis itu tinggal menonton peluru-peluru
ditembakkan ke arah pepohonan di bawah kita."
"Apakah kau pernah tersandung dan jatuh?" tanya si kuda.
"Ada peribahasa, kalau sampai ada bagal tersandung dan jatuh,
maka telinga ayam akan tumbuh," kata Billy. "Kadang-kadang
beban yang ditumpangkan ke punggung kami letaknya memang
tidak bagus, hingga mengacaukan si bagal. Tetapi itu sangat ja200
rang. Ingin aku menunjukkan bagaimana kami bekerja. Indah
sekali. Aku saja perlu waktu tiga tahun untuk bisa benar-benar
mengerti tujuan tugas kami. Intinya adalah, jangan sampai muncul
dengan latar belakang langit. Sebab itu akan memudahkan kau
ditembak. Ingat itu, anak muda. Kamu harus berusaha untuk terus
tersembunyi, walaupun untuk itu kamu harus beralih tempat satu
kilometer jauhnya. Aku biasa memimpin reguku dalam hal mendaki gunung seperti itu."
"Ditembaki tanpa kesempatan untuk melabrak penembakmu?"
si kuda perang berpikir, sangat heran. "Aku takkan sanggup berbuat seperti itu. Aku akan balas menyerbu"dengan Dick."
"Oh, tidak, tak mungkin, tidak bisa," kata Billy. "Begitu meriam-meriam itu menempati kedudukannya, merekalah yang menyerbu, menghujani dengan tembakan. Itu serbuan yang sangat
ilmiah dan bersih. Pakai pedang"pah!"
Si unta pembawa beban dari tadi menggerakkan kepalanya ke
sana kemari, agaknya ingin ikut berbicara tetapi tak pernah sempat. Tetapi akhirnya ia memberanikan diri berdeham dan berkata
agak gugup, "Aku"aku"aku juga pernah bertempur"sedikit"
tetapi bukan jurusan memanjat gunung atau berlari menyerbu?"
"Ya, memang" kelihatan sekali," kata Billy. "Kamu memang
tidak akan cocok untuk memanjat atau lari"lalu, apa yang kaulakukan, si tua Ikatan Jerami?"
"Yang seharusnya," kata si unta, "kami duduk?"
"Ya ampun! Ya ampun!" desah si kuda perang. "Hanya duduk!"
"Kami duduk"seratus jumlahnya," lanjut si unta. "Membentuk
segi empat besar. Kemudian"orang-orang menumpuk semua barang bawaan kami, kantong-kantong, pelana, di luar segi empat
itu. Terus" mereka terus menerus menembak dari atas punggung
kami, berlindung di dalam segi empat tadi."
201 "Orang-orang macam apa" Segala jenis orang boleh ikut?"
tanya si kuda. "Di sekolah berkuda kami diajari untuk berbaring
sementara tuan-tuan kami menembak dari atas punggung kami.
Tapi hanya Dick Cunliffe yang aku percaya untuk melakukannya
di atas punggungku. Geli rasanya, lagi pula aku tak bisa melihat
apa pun dengan kepalaku di tanah."
"Masalah buatmu, soal siapa yang menembak di atasmu?" tanya
si unta. "Banyak sekali orang, dan banyak unta di kiri-kanan kita.
Dan banyak sekali asap. Saat-saat seperti itu aku tidak takut. Aku
duduk saja diam dan menunggu."
"Tetapi," sela Billy, "kau selalu bermimpi dan ketakutan sehingga memporak porandakan perkemahan! Sebelum aku berbaring di
tanah, atau duduk, dan membiarkan orang menembak di atas
punggungku, kaki belakangku dan kepalanya harus berkenalan
lebih dahulu. Pernahkah kau dengar berperang seperti itu?"
Beberapa saat sunyi. Kemudian salah seekor lembu penarik meriam itu mengangkat kepalanya yang besar dan berkata, "Memang
cara yang tolol. Hanya ada satu cara berperang yang bagus."
"Ayo, katakanlah," kata Billy. "Jangan sungkan-sungkan. Bagaimana kalian berperang" Berdiri pada ekor kalian?"
"Hanya satu cara," kata mereka berdua bersama-sama. (Mungkin mereka ini kembar)." Begini. Menaruh dua puluh pasang di
antara kami ke meriam besar segera setelah si Dua Ekor melenguh
melengking keras, terompet mereka. "("Dua Ekor" adalah julukan
untuk gajah). "Untuk apa si Dua Ekor melengkingkan terompet mereka?"
tanya si bagal muda. "Untuk menunjukkan bahwa mereka tak maju lebih dekat lagi ke
sumber asap si pihak lawan. Dua Ekor memang penakut. Maka kami
pun memajukan meriam besarnya"heya"hulla"heyya "hulla!
202 Kami tidak memanjat gunung seperti kucing, atau berlarian seperti
anak sapi. Kami menyeberangi dataran, dua puluh pasang, sampai
kami berhenti dan dilepaskan dari pasangan kami. Kami tinggal
menunggu, merumput sementara meriam meriam besar berbicara ke
seberang padang pertempuran, ke kota-kota yang dilindungi dinding
tebal. Dinding-dindinbg itu pun hancur, debunya mengepul tinggi
seolah-olah ada sekelompok ternak berlari pulang."
"Oh, kau pilih waktu itu untuk merumput?" tanya si bagal
muda. "Waktu itu, ataupun waktu lainnya. Makan selalu baik untuk
kita. Kami makan terus sampai mereka kembali memasang kami
dan menarik meriamnya ke tempat Dua Ekor menunggu. Kadangkadang ada meriam besar di kota lawan yang balas berbicara. Ini
membuat beberapa di antara kami tewas. Tapi tak apa, itu berarti
lebih banyak rumput untuk yang masih hidup. Itulah takdir. Tidak
kurang dan tidakl lebih. Dua Ekor itu penakut. Itulah cara yang
benar untuk bertempur. Kami bersaudara dari Hapur. Ayah kami
adalah lembu sakti milik Shiva. Demikianlah kata-kata kami."
"Wah, aku belajar banyak malam ini," kata si kuda. "Apakah
kalian, tuan-tuan pembawa meriam sekrup, merasa ingin makan
sewaktu ditembaki dengan meriam besar dan si Dua Ekor di
belakang kalian?" "Mungkin sama inginnya untuk duduk dan membiarkan orangorang tiarap di atas kami, atau berlari menyerang dengan membawa pedang. Aku tak pernah mendengar yang seperti ini. Sebuah
tebing di gunung, beban yang seimbang, seorang pawang yang
membiarkan kau memilih jalanmu"itulah kehidupan nyaman bagi
seekor bagal. Lainnya"tidaklah ya," kata Billy mengentakkan
kakinya. 203 "Tentu, tidak semua makhluk diciptakan sama," kata si kuda.
"Aku bisa mengerti bahwa keluargamu, di pihak ayahmu, akan
tidak bisa menerima dan mengerti banyak perkara."
"Jangan singgung-singgung keluargaku dari pihak ayahku," kata
Billy marah. Setiap bagal benci bila diingatkan bahwa ayahnya
adalah keledai (bagal adalah hasil perkawinan keledai dan
kuda,"penerjemah). "Ayahku adalah seekor tuan dari Selatan, ia
mampu merobohkan, menggigit dan menendang kuda mana pun
hingga hancur lebur. Ingat itu selalu, Brumby besar cokelat!"
Brumby berarti kuda liar yang tak karuan keturunannya. Bayangkan perasaan seekor kuda balab jika seekor kuda kereta memanggilnya "kuda tua". Bayangkan perasaan seekor kuda Australia.
Aku melihat putih matanya berkilau di kegelapan.
"Lihat ke sini, anak keledai impor Malaga!" katanya dengan
gigi terkatup. "Ketahuilah dari pihak ibuku aku ada hubungan darah dengan Carbine, pemenang Piala Melbourne. Dan kami tidak
biasa dinaiki oleh bagal berkepala babi, bermulut bocor, penembak
senapan angin. Kau siap?"
"Siapkan kaki belakangmu!" teriak Billy. Mereka berdua berhadapan dan kukira suatu perkelahian dahsyat akan terjadi. Tetapi
kemudian terdengar sebuah suara menggeram, bergema di kegelapan malam, "Anak-anak, kalian bertengkar soal apa. Jangan ramairamai!"
Si kuda dan Billy langsung menurunkan kaki, mendengus kesal.
Keduanya sangat tidak suka mendengar suara gajah.
"Dua Ekor!" kata si kuda. "Aku tak suka padanya. Ekor di kedua ujung badannya sungguh tidak adil."
"Setuju!" Billy merapatkan diri ke si kuda mencari teman.
"Kita berdua satu perasaan dalam beberapa hal."
204 "Mungkin itu kita warisi dari ibu kita," kata si kuda. "Tak ada
harganya untuk dipertengkarkan. Hai, Dua Ekor. Kamu terikat?"
"Ya," kata Dua Ekor, dengan tawa merambat ke atas di
belalainya. "Aku sudah diikat untuk malam ini. Aku mendengar
apa yang kalian bicarakan. Tak usah takut. Aku tidak akan ke
sana." Kedua lembu dan unta berkata, setengah keras, "Takut pada
Dua Ekor" Ha. Lucu sekali." Kedua lembu melanjutkan, "Sayang
kau ikut mendengar, Dua Ekor. Tapi betulkah, kau takut saat meriam ditembakkan?"
"Yah," Dua Ekor menggosokkan kedua kaki belakangnya seperti saat seorang anak akan membaca sajak. "Rasanya tak mungkin kau bisa mengerti."
"Kami tak mengerti, tetapi kami jadinya yang harus menghadapi
meriam musuh," kata kedua lembu itu.
"Aku tahu. Dan aku tahu kalian jauh lebih berani daripada
yang kalian kira. Tetapi ada bedanya denganku. Kapten reguku
pernah memanggilku Pachydermatous Anachronism (hewan besar
yang di luar zamannya,"penerjemah)."
"Itu cara baru untuk berperang?" tanya Billy, yang mulai kembali semangatnya.
"Kau pasti tak tahu artinya. Tapi aku tahu. Itu artinya aku
sesungguhnya bukan di sini, bukan di sana. Aku bisa melihat di
kepalaku apa yang terjadi jika peluru meriam meledak. Kalian
lembu-lembu penarik pasti tidak tahu."
"Aku juga bisa," kata si kuda. "Paling tidak, sedikit. Aku mencoba untuk tidak memikirkannya."
"Aku bisa melihat lebih darimu, dan aku juga memikirkannya.
Aku tahu aku harus menjaga diriku. Aku tahu tak ada yang tahu
cara menyembuhkanku jika aku sakit. Kalau itu terjadi, mereka
205 akan menghentikan gaji pawangku sampai aku sembuh. Dan aku
tak bisa memercayai pawangku."
"Ah, aku mengerti sekarang," kata si kuda. "Aku hanya percaya pada Dick."
"Satu resimen penuh Dick di punggungku tidak akan membuat
aku merasa nyaman. Aku tahu apa yang cukup agar aku merasa
tidak nyaman, dan apa yang tidak cukup agar aku bisa terus bertugas."
"Kami tidak mengerti," kata sepasang lembu itu.
"Aku tahu kau tak mengerti. Aku tidak berbicara pada kalian.
Kalian tidak tahu apa itu darah."
"Kami tahu," kata lembu-lembu itu. "Darah adalah cairan yang
meresap ke dalam tanah dan bau."
Si kuda melonjak dan mendengus.
"Jangan bicara tentang itu," katanya. "Aku dapat menciumnya
sekarang, hanya dengan memikirkannya. Ini membuatku ingin
lari"kalau Dick tidak di punggungku."
"Tetapi kan tidak ada di sini, darah itu," kata unta dan kedua
lembu penarik. "Mengapa kau begitu bodoh?"
"Pokoknya itu sesuatu yang kotor," kata Billy. "Aku tak ingin
lari, tetapi aku juga tak ingin membicarakannya."
"Nah, itu dia," kata Dua Ekor, mengibaskan ekornya untuk
memberi tekanan kata-katanya.
"Ya sudah. Lagian kita sudah di sini hampir semalam penuh,"
kata kedua lembu. Dua Ekor mengentakkan kakinya hingga gelang logam di kaki
itu berdencing. "Oh, aku tidak bicara padamu. Kau tidak bisa
melihat apa yang ada di kepalamu."
"Tidak. Kami melihat ke luar kepala. Dengan mata kami," kata
lembu-lembu itu. "Kami melihat langsung di hadapan kami."
206 "Kalau aku bisa melakukan itu dan bukannya hal-hal lainnya,
kau mungkin tidak diperlukan untuk menarik meriam-meriam
besar itu sama sekali. Seperti kaptenku"ia bisa melihat di dalam
kepalanya sebelum penembakan dimulai. Dan ia gemetaran. Tetapi
ia tahu banyak sehingga tidak lari. Kalau aku seperti dia, aku bisa
menarik meriamnya. Tetapi kalau aku secerdas itu, maka aku tak
akan ada di sini. Aku akan jadi raja di dalam hutan, seperti dahulu. Bisa tidur separuh hari, mandi jika aku ingin mandi. Di sini,
aku belum mandi selama sebulan."
"Bagus," kata Billy. "Tetapi memberi nama yang panjang pada
sesuatu tidak bisa mempermudah persoalan."
"Sssh," kata si kuda. "Kukira aku mengerti apa yang dimaksud
Dua Ekor." "Kau akan bisa lebih mengerti lagi, sebentar lagi," kata Dua
Ekor, marah. "Sekarang terangkan padaku mengapa kau tak menyukai ini." Ia mengangkat belalainya kemudian melenguh dengan
keras, melengking meninggi bagaikan suara terompet.
"Hentikan!" teriak Billy dan si kuda bersama-sama. Aku bisa
mendengar mereka mengentakkan kaki dan gemetar. Lenguhan
mirip terompet seekor gajah selalu sangat mengganggu, terutama
di malam gelap. "Tidak! Terangkan tentang perasaanmu!" dan Dua Ekor terus
melenguh keras berkepanjangan. Tetapi tiba-tiba ia berhenti, kudengar ia mendengus-dengus ketakutan di kegelapan. Aku segera
tahu bahwa itu berarti Vixen, anjingku, telah menemukan aku.
Vixen tahu, seperti juga aku, bahwa kalau ada satu hal yang sangat ditakuti oleh seekor gajah adalah seekor anjing kecil yang
menyalak-nyalak. Itulah Vixen, menakut-nakuti Dua Ekor di tambatannya, berlarian menyalak memutari kaki besar gajah itu. Dua
Ekor gelisah menggeser-geserkan kakinya dan menjerit-jerit, "Per207
gi, anjing kecil! Jangan dekat kakiku, kutendang kamu. Anjing
kecil yang baik"anjing yang baik! Pulanglah, binatang kecil berisik! Oh, seseorang, ambil anjing ini, dia bisa menggigitku sekarang juga!"
"Agaknya, sobat kita Dua Ekor ini takut pada semua hal!" kata
Billy pada si kuda. "Kalau saja setiap kali aku menendang anjing
di lapangan parade aku diberi hadiah satu kali makan, pastilah aku
sudah segendut Dua Ekor!"
Aku bersiul, Vixen berlari menemuiku. Badannya terbungkus
lumpur. Dia menjilati hidungku dan bercerita bahwa ia telah mencari ke semua penjuru perkemahan untuk mencari aku. Aku tak
pernah berkata padanya bahwa aku mengerti bahasa hewan, kalau
tidak pasti permintaannya padaku tak akan habis-habisnya. Kumasukkan dia ke dalam jas hujanku, dan Dua Ekor mengentakkan
kaki dan menggerutu sendirian.
Kudengar ia meraba-raba dengan belalainya.
"Kita semua agaknya terpengaruh dengan berbagai cara," katanya kemudian, mendengus keras. "Nah, tuan-tuan agaknya ketakutan, ketika aku melenguh membunyikan suara terompetku."
"Sesungguhnya bukan ketakutan," kata si kuda. "Tetapi aku jadi
merasa seolah-olah di bawah pelanaku ada kumbang. Jangan mulai
lagi." "Aku takut pada anjing kecil, dan unta ini takut karena mimpi
buruk." "Untungnya kita tidak harus berperang dalam satu kesatuan,"


The Jungle Book Karya Rudyard Kipling di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kata si kuda. "Yang ingin kuketahui adalah," kata bagal muda, "yang ingin
kuketahui adalah mengapa kita harus berperang."
"Karena kita diperintah," kata si kuda dengan dengus mengejek.
208 "Perintah!" kata Billy, mengertakkan gigi.
"Hukum hai!" (Itu perintah!), kata si unta, menggeram. Kedua
lembu penarik menirukannya, "Hukum hai!"
"Ya, tapi siapa yang memberi perintah," tanya si bagal muda.
"Orang yang berjalan dekat kepalamu"atau duduk di punggungmu"atau memegang tali kendali hidungmu"atau memuntir
ekormu," kata Billy, si kuda, si unta, dan kedua lembu bergantian.
"Tapi siapa yang memberi mereka perintah?"
"Kau ingin tahu terlalu banyak, anak muda," kata Billy. "dan
itu cara yang mudah untuk mendapat tendangan. Kau tinggal
mengikuti perintah orang yang ada di dekat kepalamu. Tak usah
bertanya-tanya lagi."
"Ia benar," kata Dua Ekor. "Aku tidak selalu bisa mengikuti
perintah, karena aku tidak sepenuhnya di sini atau di sana. Tetapi
Billy benar. Ikuti perintah orang terdekat denganmu yang suka
memberi perintah. Kalau tidak, regumu akan terpaksa berhenti, di
samping kau akan mendapat hukuman."
Kedua lembu itu berdiri, bersiap pergi. "Pagi tiba," mereka
berkata. "Kami akan kembali ke tempat tambatan kami. Memang
benar kami hanya ke luar kepala dengan mata kami, dan bahwa
kami tidak pintar. Tetapi yang jelas, hanya kami yang tidak ketakutan malam ini. Selamat malam, para pemberani."
Tak ada yang menjawab. Si kuda berkata, mencoba mengubah
pembicaraan, "Di mana anjing kecil itu" Ada anjing, pastilah ada
manusia di dekat sini."
"Aku di sini!" seru Vixen. "Di bawah ekor meriam dengan
tuanku. Kau unta tidak tahu aturan, kau merusak tenda kami. Tuanku sangat marah!"
"Phew!" kata kedua lembu. "Pasti tuanmu berkulit putih."
209 "Tentu," kata Vixen. "Kau pikir aku dipelihara oleh seorang
kusir berkulit hitam?"
"Huah! Uakh! Ugh!" seru kedua lembu. "Ayo cepat-cepat pergi."
Mereka langsung bergerak, bagaikan melompat, maju di dalam
lumpur. Mereka berhasil menarik balok pasangan mereka sampai
kemudian tersendat tersangkut pada tiang gerobak amunisi. Mereka langsung macet.
"Rasakan!" kata Billy, tenang. "Jangan berontak, kau akan makin terjepit. Bisa sampai siang nanti. Kenapa sih sebenarnya?"
Kedua lembu itu tidak menjawab. Tetapi terus memaksa diri
untuk lepas dari tersangkutnya mereka. Mengerahkan seluruh tenaga, mendorong-dorong dan terpeleset-peleset di lumpur, menggeram-geram marah.
"Tenang, bisa putus lehermu nanti," kata si kuda. "Sepertinya
kau takut sekali pada orang kulit putih. Aku hidup dengan mereka."
"Mereka"memakan"kami! Tarik!" seru lembu sebelah kanan.
Dengan suara berdentang balok pasangan mereka patah dan mereka terhuyung-huyung pergi.
Aku tak tahu mengapa sapi-sapi India takut sekali pada orang
Inggris. Kami memang makan daging sapi"sesuatu yang tak pernah disentuh oleh penduduk pribumi"mungkin itu yang membuat
ternak itu takut. "Biar aku dicambuk dengan rantai besi, aku ingin tahu, kenapa
dua makhluk besar itu jadi seperti gila?" tanya Billy.
"Biar sajalah. Aku akan melihat siapa orang kulit putih ini.
Hampir semua orang kulit putih yang kukenal punya sesuatu untukku di kantong baju mereka," kata si kuda.
"Ya sudah, aku pergi saja. Aku bukannya tidak suka pada mere210
ka. Tetapi orang kulit putih yang tak punya tempat untuk tidur
bisa saja adalah pencuri. Dan aku membawa banyak barang milik
pemerintah di punggungku. Ayo, anak muda, kembali ke tempat
tambatan kita. Selamat malam, Australia. Sampai ketemu besok di
lapangan parade. Selamat malam, Ikatan Jerami"cobalah mengendalikan perasaanmu. Selamat malam, Dua Ekor. Kalau kau melewati kami besok di parade, jangan melengking keras begitu ya.
Bisa merusak barisan kami."
Billy si Bagal berlalu dengan langkah cuek seekor yang sangat
berpengalaman dalam perang. Kuda dari pasukan berkuda itu mendekatiku dan kepalanya dimasukkan ke "tenda"ku, memeriksa
saku-saku di dada. Aku memberinya biskuit. Vixen, si kecil yang
sombong itu, bercerita pada si kuda tentang begitu banyak kuda
yang menjadi sahabat dirinya"dan aku.
"Aku akan ikut parade besok, dengan naik kereta anjingku,"
kata Vixen. "Kau akan ada di mana?"
"Di sebelah kiri skuadron kedua. Aku yang mengatur waktu
gerakan seluruh pasukan, nyonya kecil," si kuda menjawab sopan.
"Sekarang aku harus pulang ke Dick. Ekorku penuh lumpur. Ia
hanya punya waktu dua jam meriasku untuk parade nanti."
Sore itu memang digelar sebuah parade sangat besar. Tiga puluh ribu orang terlibat. Vixen dan aku mendapat tempat yang bagus, dekat dengan tempat Raja Muda dan Amir dari Afghanistan
itu. Amir dari Afghanistan itu memakai topi hitam dari wol
astrakhan, dengan sebutir berlian besar di tengahnya. Separuh dari
parade itu terjadi saat matahari bersinar cerah dan terang. Resimen
demi resimen berbaris tegap rapi, seakan di laut yang terdiri atas
kaki-kaki melangkah bagaikan ombak, senapan-senapan rapi berjajar, membuat mata kita pusing melihatnya. Kemudian pasukan
berkuda menyusul, diiringi musik "Bonnie Dundee". Vixen yang
211 duduk di kereta anjingnya menggerakkan telinganya, memperhatikan. Skuadron kedua pasukan tombak berkuda maju. Dan si kuda
kenalan kami semalam tampak memimpin! Kepalanya ditarik hingga rapat ke dada, sebelah telinganya maju, yang sebelah mundur,
bergerak-gerak menurut irama musik, sementara kakinya melangkah mantap dan tetap sesuai irama musik waltz pengiringnya. Di
belakang pasukan ini muncul pasukan meriam. Aku melihat si
Dua Ekor dan dua ekor gajah lagi menarik sepucuk meriam penyerang besar dengan peluru delapan belas kilogram. Di belakang
mereka berbaris dua puluh pasangan lembu. Pasangan ketujuh
agaknya mempunya balok pasangan baru, dan mereka tampak
agak kaku dan lelah. Terakhir muncul pasukan meriam sekrup.
Billy Bagal berjalan gagah dan bersikap seolah dialah yang memimpin seluruh pasukan, abah-abahnya dibersihkan, diminyaki dan
dipoles hingga mengilap. Aku bersorak untuk Billy si Bagal, tetapi
ia tidak menoleh sedikit pun.
Hujan pun turun. Untuk beberapa lama cuaca berkabut hingga
sulit melihat apa yang dilakukan oleh pasukan-pasukan itu. Mereka telah membentuk setengah lingkaran besar di padang parade
yang luas itu, dan mulai mengubah bentuk menjadi barisan lurus.
Barisan itu makin lama makin panjang sampai hampir satu kilometer panjangnya dari sisi ke sisi"suatu tembok kokoh dan padat
terdiri dari manusia, kuda dan meriam. Dan tiba-tiba seluruh
pasukan itu bergerak maju, berderap dengan langkah tegap yang
membuat tanah bergetar seperti geladak sebuah kapal saat mempercepat lajunya.
Gerak maju yang penuh kekuatan itu menimbulkan rasa takut
pada para penonton yang seakan akan mau ditabrak itu"walaupun
mereka pastilah tahu bahwa ini hanyalah pertunjukan semata. Aku
memperhatikan Amir dari Afghanistan itu. Sampai saat itu ia tak
212 memperlihatkan perasaan apa pun, apakah itu kagum atau apa
pun. Tetapi kini matanya menjadi makin besar dan makin besar,
tangannya meraba-raba kekang kudanya serta sekali-sekali menoleh ke belakang. Sesaat aku berpikir kemungkinan ia akan mencabut pedangnya dan menebas orang-orang Inggris yang bergerombol
di belakangnya. Tetapi kemudian pasukan yang bergerak maju itu
mendadak berhenti dengan serentak, bumi berhenti bergetar, dan
seluruh pasukan memberi hormat. Saat itu juga serentak tiga puluh
resimen musik memainkan musiknya. Itulah akhir dari parade itu.
Seluruh resimen berbaris meninggalkan lapangan parade dalam
hujan deras. Korps musik pasukan infanteri memainkan lagu:
Pasukan hewan maju dua dua
Hurrah! Pasukan hewan maju dua dua
Gajah dan bagal penarik meriam
Maju masuk ke dalam, Bahtera
Untuk menghindari hujan! Kemudian kudengar seorang kepala suku dari Asia Tengah, yang
tua, keriput, berrambut panjang yang datang bersama Amir-nya,
bertanya pada seorang perwira pribumi, "Bagaimana semua yang
mengagumkan ini diatur?"
"Perintah diberikan, dan mereka mematuhinya," jawan si perwira.
"Tapi apakah hewan-hewan itu secerdas para manusianya?" tanya kepala suku itu lagi.
"Mereka mematuhi perintah. Seperti para manusianya. Bagal,
kuda, gajah, lembu, semua patuh pada kusirnya. Semua kusir pa213
tuh pada sersannya. Semua sersan patuh pada letnan. Letnan pada
kapten. Kapten pada mayor. Mayor pada kolonel. Dan semua kolonel patuh pada komandan tiga resimen serta brigadir jenderal yang
patuh pada Raja Muda. Dan Raja Muda adalah abdi dari Sri Ratu.
Begitulah caranya." "Alangkah baiknya kalau itu terjadi di Afghanistan," kata kepala suku itu. "Di sana kami cuma patuh pada keinginan kami sendiri."
"Karena itulah," kata perwira pribumi itu, memelintir kumisnya.
"Amir yang tidak kamu patuhi itu, mestinya datang kemari dan
menerima perintah dari Raja Muda kami."
214 14. Lagu Parade Korps Hewan KORPS MERIAM GAJAH Kami beri Iskandar keperkasaan Herkules
Kepala yang cerdas, kaki kuat yang luwes
Kami tundukkan kepala melayani, tak pernah lepas lagi
Minggir, beri jalan, buat regu sepuluh kaki
Pembawa meriam pamungkas!
LEMBU PENARIK MERIAM Para pahlawan pemakai abah-abah hindari peluru
Apa yang mereka tahu tentang mesiu membuat guncang
Lalu kami datang beraksi membawa meriam maju
Minggir, beri jalan, buat dua puluh pasang
Pembawa meriam pamungkas!
215 PASUKAN BERKUDA. Untuk kami mainkan lagu pengiring beruntun
Untuk pasukan Lancer, Hussar dan Dragoon
Lebih merdu dari "Stables" atau "Water" tiada lagi
Langkah kavaleri dengan irama "Bonnie Dundee"
Makan, latihan, perhatian dan perawatan
Membuat kami dan penunggang kami jempolan
Biarkan kami berbaris dan semua mengagumi
Langkah kuda perang berirama "Bonnie Dundee".
BAGAL PENGANGKUT MERIAM SEKRUP.
Aku dan rekanku mendaki bukit terjal
Jalanan tidak ada kami maju terus, dasar bagal
Kami bisa memeluntir, memanjat, muncul di mana pun
Kami suka ketinggian, walau tak bisa berpijak sekali pun
Selamat pada setiap sersan yang membiarkan kami
Mengangkut beban memilih jalan maju sesuka hati
Kami bisa memeluntir, memanjat, muncul di mana pun
Kami suka ketinggian, walau tak bisa berpijak sekali pun
UNTA PEMBAWA BEBAN Kami tak punya lagi unta sendiri
Yang mengiringi barisan kami
Tapi tiap leher bisa jadi trombon
(Rtt"ta"ta"ta! Bisa jadi trombon!)
Dan ini lagu berbaris kami:
Tidak ini, tidak itu, tidak!
Teruskan ke belakang dengan teriak.
216 Ada yang bebannya jatuh Senangnya kalau itu punyaku
Ada yang bebannya tumpah di jalan
Horee, hentikan barisan! Urrr! Yarrh! Grrr! Arrh! Siapa mau dapat hukuman! SEMUA HEWAN BERSAMA-SAMA.
Kami ini semua anak pangkalan
Bertugas sesuai kemampuan
Kami berpasangan dan dikendali
Dengan abah-abah dimuati Lihat barisan kami menyeberang
Tiada putusnya melingkar memanjang
Maju terus, berhenti pantang
Bergelombang melaju menuju perang
Sementara para pengiring kami
Lesu, berdebu tak kuat lagi
Tak tahu sama sekali mengapa
Kami dan mereka tiap hari maju tersiksa
Kami ini semua anak pangkalan
Bertugas sesuai kemampuan
Kami berpasangan dan dikendali
Dengan abah-abah dimuati.
217 Kawanan serigala menyelamatkan Mowgli kecil dari harimau pemangsa, Shere Khan.
Ia kemudian diangkat anak oleh
kawanan serigala dan diajari hukum
rimba. Selanjutnya bersama sahabatsahabatnya, Baloo, si beruang dan Bhagreera, si
macan kumbang, Mowgli berpetualang di hutan dan
melawan musuh terbesarnya, Shere Khan.
Tidak hanya cerita Mowgli, kita juga akan membaca
fabel tentang Kotick si singa laut putih, Rikki-Tivvi-Tavi,
si garangan pemberani, dan Toomai kecil, si pawang gajah.
The Jungle Book adalah kisah klasik abadi yang menggabungkan
mitos, petualangan, dan moral dalam cerita persahabatan
antara anak manusia dengan hewan.
RUDYARD KIPLING lahir di Mumbai, India tahun 1856 kemudian
melanjutkan sekolah di Inggris. Pada tahun 1882, dia kembali
ke India dan bekerja di surat kabar berbahasa Inggris
di sana. Kecintaannya pada India digambarkan melalui
cerpen-cerpen yang sering ditulisnya untuk surat kabar.
Atas jasa-jasanya pada sastra dunia, Kipling mendapat
penghargaan Nobel Sastra pada tahun 1907.
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Kompas Gramedia Building Blok I, Lantai 5 Jl. Palmerah Barat 29-37 Jakarta 10270 www.gramediapustakautama.com
NOVEL KLASIK Hantu Wanita Berambut Putih 7 Pendekar Slebor 18 Warisan Ratu Mesir Sepasang Pedang Pusaka Matahari Dan Rembulan 1

Cari Blog Ini