Ceritasilat Novel Online

The White Castel 1

The White Castel Karya Orhan Pamuk Bagian 1


ORHAN PAMUK sebuah novel Sebuah buku eksotis yang mengasyikkan tentang sakitnya melakukan introspeksi diri.
NEW YORK TIMES The White Castle sangat cemerlang, penggambaran periode itu amatlah jelas. Penggalian mitos para tokohnya begitu mendalam. Pamuk juga berhasil menyajikan berbagai konflik menjadi sebuah cerita yang sederhana.
GUARDIAN Cerita ini berkisah tentang kehidupan seorang asal Venesia yang konon menjalani kehidupan sebagai seorang budak di Istanbul .Turki, pada
sekitar abad ke-I 7. Karena pengetahuannya yang luas, sang tuan yang sangat mirip dengannya berusaha dengan segala cara menggali semua pengetahuan sekaligus menguras semua pengalaman hidup si budak. Tuan dan budak harus mengarang banyak cerita ajaib dan menafsirkan mimpi sultan yang mereka abdi. termasuk merancang sebuah senjata pamungkas yang hebat. Ketika senjata aneh
yang dianggap pembawa sial itu gagal menaklukkan Istana Putih, kehidupan mereka pun terancam, terutama si budak kafir itu. Pertukaran jati diri di antara keduanya, yang terjadi di sepanjang kisah, diungkapkan dengan cara unik dan membuat pembaca bertanya-tanya apakah menjalani kehidupan orang lain memang bisa membuat kita bahagia.
THE WHITE CASTLE " Can Yayin Lari, Ltd, 1979
Diterjemahkan dari The White Castle, karangan Orhan Pamuk, terbitan Faber and Faber, Manchester,1991
Hak terjemahan Indonesia pada Serambi Dilarang mereproduksi atau memperbanyak seluruh maupun sebagian dari buku ini dalam bentuk atau cara apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit
Penerjemah: Fahmy Yamani Penyerasi: Sofia Mansoor Pewajah Isi: Tim Artistik Serambi PT SERAMBI ILMU SEMESTA Anggota IKAPI Jin. Kemang Timur Raya No. 16, Jakarta 12730 www.serambi.co.id; www.cerita-utama.serambi.co.id; info@serambi .co .id TXI/PRC INI DI BUAT KARENA KECINTAAN SAYA MEMBACA NOVEL DI HP/PDA (ottoys@yahoo.com)
Cetakan I: April 2007 ISBN: 979-1112-75-4 UNTUK NILGUN DARVINOGLU Saudara perempuanku tercinta (1961-1980)
Untuk membayangkan bahwa orang yang sangat menarik perhatian kita bisa menjalani kehidupan dengan cara yang tidak lazim dan yang semakin menarik karena aroma misterinya, serta untuk percaya bahwa kita baru bisa memulai kehidupan ini hanya melalui cinta orang tersebut bukankah ini yang disebut sebagai kelahiran kasih sayang yang luar biasa" Marcel Proust, dari penerjemahan yang salah atas karya Y. K. Karaosmanolu
PENGANTAR Aku menemukan naskah ini pada 19S2 dalam tumpukan "arsip" yang sudah terlupakan di kantor gubernur di Gebze yang biasa kujelajahi selama seminggu pada setiap musim panas. Naskah itu kutemukan di dasar sebuah peti berdebu yang dipenuhi lembaran keputusan gubernur, ak-te, catatan pengadilan, dan surat pajak. Sampulnya yang indah berwarna biru terang, kaligrafinya yang cemerlang, yang bersinar di antara tumpukan dokumen pemerintahan, segera menarik penglihatanku. Berdasarkan perbedaan tulisan tangannya, aku menduga ada orang lain selain penulis asli kaligrafinya yang, seakan-akan sengaja ingin membangkitkan rasa penasaranku lebih jauh lagi, telah menorehkan judul pada halaman pertama buku tersebut: "Anak Tiri Si Pembuat Selimut." Tidak ada judul lainnya. Bagian kosong di tepi halaman dan halaman-halaman kosong dipenuhi gambar orang berkepala kecil yang mengenakan pakaian yang dipenuhi kancing, dan semuanya digambar dengan sentuhan kekanak-kanakan. Aku segera membaca buku itu dengan sungguh asyiknya. Walaupun gembira, tetapi karena terlalu malas menyalin naskah itu, aku mencurinya dari tumpukan "sampah" itu, yang bahkan gubernur muda itu pun tidak mau menyebutnya sebagai "arsip", mengkhianati kepercayaan penjaga yang telah
membiarkan aku sendirian tanpa pengawasan, dan dengan sekejap mata memasukkannya ke dalam tasku.
Mula-mula aku tidak tahu akan kuapakan buku itu, selain membacanya berulang kali. Saat itu keraguanku akan sejarah masih sangat kuat dan aku ingin berkonsentrasi hanya pada cerita itu saja, bukan pada nilai ilmiah, budaya, antropologi, atau "sejarah"nya. Aku tertarik pada penulisnya, Sejak aku dan teman-temanku dipaksa mengundurkan diri dari universitas, aku telah mengambil-alih profesi kakekku sebagai ahli ensiklopedi: saat itulah baru terpikir olehku untuk menyertakan sebuah catatan tentang penulis itu ke dalam bagian sejarah tanggung jawabku dalam ensiklopedi tentang orangorang terkenal.
Aku mencurahkan semua waktu senggangku, yang tersisa setelah mengurus ensiklopedia dan waktu minumku, untuk tugas ini. Saat aku meneliti berbagai literatur tentang periode waktu tersebut, aku segera bisa melihat bahwa berbagai peristiwa yang diceritakan dalam cerita itu sama sekali tidak sama dengan fakta yang ada: misalnya, aku membuktikan bahwa pada suatu waktu semasa pemerintahan Koprulu sebagai Wazir Agung, musibah kebakaran yang dahsyat telah memorak-porandakan Istanbul, namun tidak ada bukti sama sekali tentang merebaknya penyakit, apalagi penyebaran wabah seperti yang disebutkan dalam buku itu. Beberapa nama wazir yang hidup pada periode tersebut ditulis dengan ejaan yang salah, ada yang tertukar satu sama lain, bahkan ada yang namanya berubah. Nama para peramal istana tidak sama dengan catatan istana, namun karena kurasa perbedaan ini memang disengaja dalam cerita ini, aku tidak begitu peduli. Sebaliknya, "pengetahuan" kita tentang sejarah
umumnya diungkapkan dalam berbagai peristiwa yang terdapat dalam buku ini. Kadang aku menyadari "kemiripan" ini bahkan muncul dalam bentuk yang sungguh teperinci: misalnya, ahli sejarah Naima menceritakan eksekusi Peramal Istana Huseyn Efendi dan perburuan kelinci Mehmet IV di Istana Mirahor dengan cara yang persis sama. Menurut dugaanku, sang penulis, yang tampaknya benar-benar senang membaca dan berkhayal, mungkin telah sangat mengenal berbagai sumber seperti ini dan banyak buku lainnya seperti catatan para pengembara Eropa atau para budak yang dibebaskan lalu mendapatkan bahan untuk ceritanya dari berbagai sumber ini. Dia mungkin hanya membaca berbagai jurnal perjalanan Evliya Chelebi, yang menurutnya dikenal baik olehnya. Memikirkan yang sebaliknya juga mungkin ada benarnya, seperti yang ditunjukkan berbagai contoh lainnya, dan aku terus berusaha menyelidiki siapa penulis buku ini. Namun, penelitianku di berbagai perpustakaan di Istanbul telah memupus harapanku. Aku tidak bisa menemukan satu pun naskah perjanjian dan buku yang diberikan kepada Mehmet IV antara tahun 1652 dan 1630, demikian juga di perpustakaan Istana Topkapi atau di berbagai perpustakaan umum maupun perpustakaan pribadi yang kurasa mungkin menyimpan naskah perjanjian dan buku-buku itu. Aku hanya menemukan satu jejak: ada beberapa hasil karya di perpustakaan ini ditulis oleh "ahli kaligrafi kidal" yang disebut-sebut dalam cerita itu. Aku berburu berbagai karya ini untuk beberapa saat lamanya, namun hanya mendapatkan jawaban mengecewakan yang dikirimkan berbagai universitas di Italia yang telah kuhujani dengan sejumlah surat. Penjelajahanku ke berbagai kuburan di Gebze, Jennethisar, dan Uskudar untuk mencari nama
sang penulis (yang diungkapkan di dalam buku itu, walaupun bukan di halaman judul) juga tidak membuahkan hasil dan saat itu rasanya aku sudah putus asa. Aku tidak menindaklanjuti berbagai petunjuk yang kutemukan dan menulis artikel dalam ensiklopedia hanya berdasarkan cerita itu saja. Seperti yang kukhawatirkan, mereka tidak bersedia menerbitkan artikel ini, bukan karena kurangnya bukti ilmiah, namun karena pokok bahasan ini dianggap tidak cukup terkenal.
Ketertarikanku pada cerita itu semakin besar mungkin karena alasan ini. Aku bahkan mempertimbangkan untuk mengundurkan diri sebagai bentuk protes, namun aku mencintai pekerjaanku dan teman-temanku. Untuk beberapa lama, aku menceritakan kisah ini pada semua orang yang kutemui, dengan penuh semangat seakan aku sendirilah yang menulisnya dan bukan sekadar menemukannya. Agar terdengar lebih menarik, aku membicarakan juga berbagai nilai simbolisnya, kaitannya yang mendasar dengan dunia nyata kita saat ini, bagaimana melalui kisah ini aku memahami masa yang tengah kita jalani, dll. Saat aku mengungkapkan kenyataan ini, anak-anak muda yang biasanya lebih tertarik pada berbagai isu seperti politik, doktrin, hubungan Timur-Barat, atau demokrasilah yang pada awalnya merasa tertarik, namun seperti teman-teman yang sering minum denganku, mereka segera melupakan ceritaku ini. Seorang teman yang juga seorang profesor, mengembalikan naskah yang dilihatnya sekilas setelah kupaksa, dan mengatakan bahwa di rumah-rumah kayu tua di sejumlah gang di Istanbul terdapat puluhan ribu naskah yang dipenuhi cerita semacam ini. Bila orang-orang sederhana yang tinggal di rumah-rumah itu tidak mengelirukannya, karena tulisannya bergaya Ottoman
kuno, sebagai Alquran berbahasa Arab dan menyimpannya di tempat mulia di rak tertinggi di lemari mereka, mereka mungkin telah menyobek-nyobeknya dan menggunakannya sebagai bahan bakar untuk tungku.
Jadi, aku memutuskan, dengan dorongan seorang gadis berkacamata yang juga seorang perokok berat, untuk menerbitkan cerita yang telah kukembalikan itu, untuk membacanya berulang kali. Para pembaca akan melihat bahwa aku tidak meniru gaya dalam buku itu sedikit pun saat aku merevisinya ke dalam bahasa Turki modern. Setelah membaca beberapa kalimat dari naskah yang kusimpan di atas sebuah meja, aku beranjak ke meja lain di ruangan lain tempat aku menyimpan berkas-berkasku dan mencoba menuliskannya dalam bahasa zaman sekarang berbagai hal yang masih ada dalam benakku. Bukan aku yang memilih judul buku tersebut, tapi penerbit yang bersedia menerbitkannya. Pembaca yang membaca halaman persembahan pada awal buku mungkin akan bertanya apakah hal itu memiliki nilai tersendiri bagiku. Kurasa kemampuan untuk bisa melihat bahwa segala sesuatu itu berhubungan dengan berbagai hal lainnya adalah candu kehidupan kita saat ini. Karena aku pun telah terbuai oleh penyakit itulah, maka aku menerbitkan kisah ini. TXI/PRC INI DI BUAT KARENA KECINTAAN SAYA MEMBACA NOVEL DI HP/PDA (ottoys@yahoo.com)
FARUK DARVINOGLU SATU KAMI SEDANG berlayar dari Venesia menuju Napoli saat armada Turki muncul. Kami berkekuatan tiga kapal besar, tetapi armada kapal perang mereka yang muncul dari dalam kabut sepertinya tidak ada habisnya. Keberanian kami langsung menguap; rasa takut dan kebingungan segera menjalar di kapal kami, dan para pendayung kapal, kebanyakan dari mereka berkebangsaan Turki dan Moor, berteriak kegirangan. Kapal kami berbelok ke arah pantai, ke barat, seperti dua kapal lainnya, tapi tidak seperti kedua kapal itu, kapal kami tidak bisa melaju dengan kencang. Kapten kapal kami, yang takut mendapatkan hukuman yang akan diterimanya sekiranya tertangkap nanti, tidak kuasa memberikan perintah untuk mencambuk para pendayung. Bertahun-tahun kemudian, KAMI SEDANG berlayar dari Venesia menuju Napoli saat armada Turki muncul. Kami berkekuatan tiga kapal besar, tetapi armada kapal perang mereka yang muncul dari dalam kabut sepertinya tidak ada habisnya. Keberanian kami langsung menguap; rasa takut dan kebingungan segera menjalar di kapal kami, dan para pendayung kapal, kebanyakan dari mereka berkebangsaan Turki dan Moor, berteriak kegirangan. Kapal kami berbelok ke arah pantai, ke barat, seperti dua kapal lainnya, tapi tidak seperti kedua kapal itu,
kapal kami tidak bisa melaju dengan kencang. Kapten kapal kami, yang takut mendapatkan hukuman yang akan diterimanya sekiranya tertangkap nanti, tidak kuasa memberikan perintah untuk mencambuk para pendayung. Bertahun-tahun kemudian, aku sering merenung bahwa saat kepengecutan itulah yang ternyata telah mengubah seluruh hidupku.
Tapi kini aku melihat bahwa tampaknya hidupku dulu itu pasti sudah berubah bila kapten kami tidak secara tiba-tiba disergap rasa takut. Banyak orang meyakini bahwa kehidupan tidak bisa ditentukan sebelumnya, bahwa semua kisah pada intinya adalah serangkaian kebetulan. Namun, bahkan mereka yang meyakini hal itu, saat mereka menengok kembali ke belakang, akhirnya menyimpulkan bahwa berbagai peristiwa yang mereka alami memang benar-benar tidak bisa dihindari. Sekarang aku telah mencapai tahapan itu, saat aku duduk di meja tua ini menulis buku, membayangkan warna-warni kapal laut Turki yang muncul seperti bayangan hantu dalam kabut; ini sepertinya saat terbaik untuk menceritakan sebuah kisah.
Kapten kami merasa putus asa saat melihat kedua kapal lainnya berhasil meloloskan diri dari armada Turki dan menghilang ke dalam kabut, dan akhirnya dia berani memerintahkan untuk mencambuk para pendayung, tapi sudah terlambat; bahkan perihnya cambukan tidak bisa memaksa para budak itu untuk taat setelah mereka mencium aroma kebebasan. Lebih dari sepuluh kapal perang Turki mendekati kami dalam waktu bersamaan, membelah dinding kabut dengan warna-warni kapalnya. Akhirnya, kapten kami memutuskan untuk bertempur, dan aku yakin dia melakukannya bukan untuk mengalahkan musuh, tetapi mengalahkan rasa takut dan malunya. Dia memerintahkan untuk mencambuk para budak dengan sekuat tenaga dan menyiapkan meriam, namun semangat untuk berperang, yang terlambat untuk dikobarkan, juga padam dengan cepatnya. Kami dihantam dengan dahsyatnya kapal kami pasti akan tenggelam bila kami tidak segera menyerah kami memutuskan untuk melambaikan bendera putih.
Saat sedang menunggu di perairan yang tenang sampai kapal-kapal Turki itu merapat di kedua sisi kapal kami, aku beranjak ke dalam kabinku, membereskan semua barang milikku dengan rapi seakanakan bukan sedang menunggu musuh bebuyutan yang akan datang mengubah seluruh hidupku, melainkan beberapa teman lama, lalu membuka koper kecilku dan mengacak-acak koleksi bukuku, merenung. Air mataku berlinang saat aku membuka halaman demi halaman buku yang kubeli dengan cukup mahal di Florence. Ketika kudengar jeritan, langkah kaki yang mondar-mandir, kehebohan di luar, aku pun tahu bahwa buku ini bisa direnggut dariku setiap saat, namun aku tidak ingin memikirkan hal itu, tapi mengkhawatirkan hal-hal yang tertulis di dalamnya. Seakan-akan semua pemikiran, kalimat, perhitungan di dalam buku itu mengandung seluruh kehidupan masa laluku yang tak ingin kulepaskan, sambil kubaca kalimat demi kalimat secara sembarang dengan tergesa-gesa, seakanakan sedang mengucapkan doa. Aku benar-benar ingin menelan seluruh isi buku itu ke dalam ingatanku sehingga saat mereka datang nanti, aku tidak akan memikirkan mereka dan bagaimana mereka akan menyiksaku, namun mengingat masa laluku seakan mengenang kembali kata-kata yang dari sebuah buku yang telah kuhafalkan dengan gembira.
Pada hari-hari itu aku adalah orang yang berbeda,
bahkan ibu, tunangan, dan teman-temanku memanggilku dengan nama yang berbeda. Sesekali aku masih bisa melihat sosok diriku yang dahulu dalam sejumlah mimpi, atau sosok yang sekarang kuyakini sebagai sosok diriku yang dulu, dan aku terbangun bermandikan keringat. Sosok ini, yang sering membayangkan warna-warni yang memudar, bayangan daratan yang tidak pernah ada, binatang yang tidak pernah nyata, senjata hebat yang kami ciptakan tahun demi tahun di kemudian hari, saat itu baru berumur dua puluh tiga tahun, dan dia telah mempelajari "ilmu pengetahuan dan seni" di Florence dan Venesia, yang yakin bahwa dia mengetahui perihal astronomi, matematika, fisika, lukisan. Tentu saja dia bangga: menikmati berbagai hal yang telah diciptakan sebelum waktunya, dia membanggakan diri menghadapi semua itu; dia sangat yakin bahwa dia bisa melakukannya dengan lebih baik; dia tidak memiliki saingan; dia tahu bahwa dia lebih pintar dan kreatif daripada orang lain. Singkatnya, dia adalah anak muda seperti anak muda pada umumnya. Sungguh menyakitkan bagiku saat membayangkan, sewaktu aku harus men-ciptakan masa laluku, bahwa anak muda yang mendiskusikan cita-citanya dengan kekasihnya, berbagai rencananya, dunia dan ilmu pengetahuan, yang menilai kekaguman tunangannya adalah suatu hal yang biasa, adalah diriku sendiri. Tapi, aku menghibur diri dengan pemikiran bahwa kelak akan ada sejumlah orang yang cukup sabar untuk membaca akhir tulisan ini yang memaklumi bahwa aku bukanlah anak muda itu lagi. Dan mungkin salah seorang pembaca yang sabar itu akan merasa, seperti aku saat ini, bahwa cerita tentang anak muda yang menyia-nyiakan hidupnya saat membaca berbagai bukunya yang berharga itu berlanjut kembali, dimulai sejak
kehidupannya itu terhenti secara tiba-tiba.
Ketika para pelaut berkebangsaan Turki itu melemparkan tali-temali dan naik ke atas dek, kumasukkan semua buku ke dalam koper dan mengintip keluar. Kekacauan telah menyebar di atas kapal. Para pelaut itu mengumpulkan semua orang di atas dek dan melucuti pakaian mereka. Untuk sejenak terpikir olehku untuk meloncat ke laut lepas di tengah semua kekacauan ini, namun kurasa mereka pasti akan menembak saat aku berada di tengah laut, atau menangkap lalu langsung membunuhku, dan lagi pula aku tidak tahu seberapa dekat kami ke daratan. Mula-mula tidak ada yang mengacuhkanku. Para budak Muslim, setelah dilepaskan dari rantainya, berteriak-teriak kegirangan, dan beberapa di antara mereka segera mempersiapkan diri untuk membalas dendam kepada orang-orang yang telah mencambuki mereka sebelumnya. Tak lama setelah itu mereka menemukan diriku di dalam kabin, masuk ke dalamnya, mengacak-acak semua barangku, Mereka membongkar koper dengan senapan, berharap menemukan emas, dan setelah mereka mengambil beberapa buku dan semua pakaianku, seseorang menyeretku yang sedang mencoba mengumpulkan beberapa buku yang tertinggal dan membawaku ke salah seorang kapten kapal.
Sang kapten, yang kelak kuketahui adalah seorang lelaki asal Genoa yang berpindah agama, memperlakukan aku dengan baik; dia menanyakan profesiku. Agar tidak ditempatkan di bagian dayung, aku segera mengungkapkan bahwa aku memiliki pengetahuan tentang astronomi dan navigasi di malam hari, tapi hal ini tidak membuatnya terkesan. Kemudian, kukatakan bahwa aku seorang dokter, dengan mengandalkan buku anatomi yang tidak
mereka rampas. Ketika kepadaku ditunjukkan seorang lelaki yang kehilangan lengannya, aku protes dan mengatakan bahwa aku bukan ahli bedah. Hal ini membuat mereka marah dan hampir saja menjebloskanku ke tempat duduk para pendayung saat sang kapten, karena melihat judul buku yang kubawa, bertanya apakah aku tahu soal air seni dan denyut nadi. Saat ku jawab tahu, aku segera diselamatkan dari keharusan mendayung dan bahkan berhasil menyelamatkan beberapa buku yang tersisa. TXI/PRC INI DI BUAT KARENA KECINTAAN SAYA MEMBACA NOVEL DI HP/PDA (ottoys@yahoo.com)
Tapi, keistimewaan ini harus kubayar mahal. Orang-orang Kristen lainnya yang dijadikan pendayung langsung membenciku. Mereka pasti akan membunuhku di ruang tahanan pada malam hari kalau bisa, namun mereka takut melakukannya karena aku dengan cepat telah menjalin hubungan baik dengan orang-orang Turki itu. Kapten kami yang pengecut itu tewas dibunuh di tiang kapal, dan sebagai peringatan untuk yang lain, mereka memotong hidung dan telinga para pelaut yang telah memukuli para budak, lalu membiarkan mereka terapung di atas sebuah rakit. Setelah aku mengobati beberapa orang Turki, dengan menggunakan akal sehat dan bukan pengetahuan tentang anatomi, dan luka mereka sembuh dengan sendirinya, semua orang percaya bahwa aku seorang dokter. Bahkan beberapa orang, yang karena iri, mengatakan pada para pelaut Turki itu bahwa aku bukan dokter, kini menunjukkan luka mereka padaku di dalam ruang tahanan pada malam hari.
Kami berlabuh di Istanbul dengan disambut perayaan yang spektakuler. Konon sultan yang masih kanak-kanak ikut menonton perayaan itu. Merekamenaikkan benderanya di puncak tiang layar, kemudian di bawahnya menggantungkan bendera kami, gambar Perawan Maria dan
salib dipasang terbalik, membiarkan orang-orang kasar dari kota untuk meloncat ke atas dek dan menembaki gambar tersebut. Meriam ditembakkan ke angkasa. Perayaan itu, seperti berbagai perayaan lainnya yang kusaksikan pada tahun-tahun berikutnya dengan perasaan pedih bercampur sebal dan senang, berlangsung cukup lama sehingga banyak penonton jatuh pingsan di bawah teriknya matahari. Saat menjelang sore, kami melempar sauh di Kasimpasha. Sebelum membawa kami menghadap sultan, mereka memborgol kami dengan rantai, memaksa para tentara memasang baju besinya dengan terbalik sebagai bentuk penghinaan, melingkarkan gelang besi di leher paraperwira kami, dan meniup tanduk sapi dan terompet yang mereka rampas dari kapal kami, dengan garangnya, dengan penuh kemenangan, menggiring kami ke istana. Penduduk kota berdiri berjejer di sepanjang jalan, mengamati kami dengan gembira dan penasaran. Sang sultan, yang tidak terlihat dari tempat kami berdiri, memilih beberapa orang untuk dijadikan budaknya, kemudian memisahkan mereka dari yang lainnya. Mereka mengangkut kami menyeberangi Tanduk Emas ke Galata dengan sampan dan menjebloskan kami ke dalam penjara Sadik Pasha.
Penjara itu tempat yang memilukan. Ratusan tahanan membusuk di dalam sel berukuran kecil dan lembap. Banyak penghuninya yang kemudian menjadi lahan profesi baruku, dan aku bahkan mampu menyembuhkan beberapa di antara mereka. Aku menulis resep untuk para sipir penjara yang sakit punggung atau kaki. Jadi, di sini pun mereka memperlakukan diriku berbeda dengan para tahanan lain dan memberiku sel yang lebih baik, yang mendapatkan sinar matahari. Karena telah melihat kondisi sel orang lain, aku mencoba bersyukur atas situasi yang kuperoleh,
tapi suatu pagi mereka membangunkanku dan para tahanan lain dan mengatakan bahwa aku akan keluar penjara untuk bekerja. Ketika aku protes bahwa aku ini dokter, yang menguasai ilmu kedokteran dan sains, mereka hanya tertawa: mereka akan membangun dinding di sekeliling kebun sang pasha, sehingga banyak orang dibutuhkan untuk membangunnya. Kami dirantai bersama-sama setiap pagi setelah matahari terbit dan dibawa keluar kota. Ketika kami dimasukkan kembali ke dalam penjara di malam harinya, sambil masih dirantai satu sama lain setelah mengumpulkan batu sepanjang hari, aku merenung bahwa Istanbul memang sebuah kota yang indah, tapi di sini kita harus menjadi seorang tuan, bukan budak, untuk bisa menikmatinya.
Namun, saat itu aku bukan budak biasa. Orangorang telah mendengar bahwa aku seorang dokter, jadi aku tidak hanya mengurusi para budak yang sekarat di dalam penjara, namun juga merawat orang lain. Aku harus memberikan sebagian besar uang yang kuterima dari para pasien kepada para penjaga yang menyelundupkanku keluar. Dengan uang yang bisa kusembunyikan dari mereka, aku bisa membayar seseorang untuk mengajariku bahasa Turki. Guruku seorang lelaki tua baik hati yang mengurusi berbagai masalah kecil sang pasha. Diasenang sekali melihat kemajuanku dalam mempelajari bahasa Turki dan katanya tak lama lagi aku akan menjadi seorang Muslim. Aku harus memaksanya untuk mau menerima uang dariku setiap selesai pelajaran. Aku juga memberinya uang agar dia membawakan makanan karena aku bertekad untuk mengurus diriku dengan baik.
Pada suatu sore yang berkabut, seorang penjaga datang ke selku, mengatakan bahwa pasha ingin bertemu
denganku. Karena terkejut dan gembira, aku segera mempersiapkan diri. Kukira salah seorang saudaraku yang kaya di negeriku, mungkin ayahku, mungkin calon mertuaku, telah mengirimkan uang untuk membebaskanku. Saat aku berjalan menembus kabut menyusuri jalanan yang berbelok-belok dan sempit, aku merasa seolah aku segera tiba di depan rumahku, atau bertemu dengan orang-orang yang kucintai seakan baru terbangun dari mimpi. Mungkin mereka telah berhasil mengirimkan seseorang untuk merundingkan pembebasanku, mungkin malam ini juga di tengah kabut ini, aku akan dinaikkan ke sebuah kapal dan dikirim pulang ke rumah. Ketika memasuki Istana Pasha, aku baru sadar bahwa tidak mungkin aku bisa diselamatkan dengan sedemikian mudahnya. Orang-orang di sini berjalan sambil berjinjit.
Pertama-tama mereka membawaku menyusuri lorong panjang, dan di situ aku disuruh menunggu sampai diperintahkan masuk ke dalam salah satu ruangan. Seorang lelaki kecil yang ramah, yang berselimut, dibawa masuk ke dalam ruangan di atas sebuah tandu kecil. Tampak seorang lelaki berbadan kekar berdiri di sampingnya. Orang yang terbaring itu adalah pasha, yang kemudian memanggilku untuk mendekat. Kami bercakap-cakap. Dia mengajukan beberapa pertanyaan. Kukatakan bahwa bidang yang kukuasai sebenarnya ilmu astronomi, matematika, dan sedikit banyak ilmu teknik, tapi bahwa aku memiliki pengetahuan tentang kedokteran dan telah merawat beberapa orang pasien. Dia terus mengajukan berbagai pertanyaan dan aku baru saja hendak menceritakan lebih banyak ketika, sambil mengatakan bahwa aku adalah seseorang yang pandai karena bisa mempelajari bahasa Turki dengan cepat, dia menambahkan bahwa kesehatannya
terganggu dan bahwa tidak seorang dokter pun mampu menyembuhkannya dan, setelah mendengar cerita tentang diriku, dia ingin menguji kemampuanku.
Dia mulai menceritakan penyakit yang dideritanya sedemikian rupa sehingga aku terpaksa menyimpulkan bahwa ini adalah penyakit langka yang hanya menyerang pasha di muka bumi ini karena para musuhnya telah memperdayakan Tuhan dengan berbagai tipu daya. Tapi, keluhannya hanyalah sesak napas. Aku mengajukan beberapa pertanyaan secara terperinci kepadanya, mendengarkan batuknya, kemudian pergi ke dapur dan membuatkan tablet hijau rasa mint dengan berbagai racikan yang kudapatkan di ruangan itu. Aku juga membuat sirup obat batuk. Karena pasha takut diracuni, aku menelan sebuah tablet dengan seteguk sirup tersebut sambil dia menyaksikan. Dia kemudian mengatakan bahwa aku harus meninggalkan istananya secara sembunyi-sembunyi, harus menyelinap tanpa terlihat siapa pun, dan kembali ke penjara. Si penjaga kemudian menjelaskan bahwa pasha tidak ingin menimbulkan rasa iri para dokter yang lainnya. Aku kembali keesokan harinya, mendengarkan batuknya, dan memberikan obat yang sama kepadanya. Dia sangat gembira seperti anak kecil saat melihat tablet berwarna-warni yang kuletakkan di telapak tangannya. Ketika aku berjalan kembali ke dalam sel, aku mendoakan kesembuhannya. Hari berikutnya angin utara berembus. Angin berembus dengan lembut, tenang, dan menurutku orang yang sakit pun pasti akan cepat sembuh dalam udara seperti ini, walaupun dia sendiri tidak ingin sembuh, tapi aku tidak mendapatkan kabar apa pun.
Sebulan kemudian, ketika aku dipanggil, lagi-lagi di tengah malam, pasha berdiri dengan penuh semangat.
TXI/PRC INI DI BUAT KARENA KECINTAAN SAYA MEMBACA NOVEL DI HP/PDA (ottoys@yahoo.com)
Aku merasa lega saat mendengar napasnya yang normal saat dia memarahi beberapa orang. Dia senang saat melihatku, mengatakan bahwa penyakitnya sudah sembuh, bahwa aku dokter yang hebat. Hadiah apa yang kuinginkan darinya" Aku tahu bahwa dia tidak akan mungkin langsung membebaskanku dan mengirimkanku pulang. Jadi, aku mengeluhkan selku di penjara; menjelaskan bahwa aku merasa kelelahan karena harus bekerja kasar, padahal aku sebenarnya bisa lebih berguna bila memanfaatkan ilmu astronomi dan kedokteran. Entah seberapa jauh kata-kataku yang disimaknya. Para penjaga merampas sebagian besar uang yang diberikannya kepadaku.
Seminggu kemudian, seorang penjaga masuk ke dalam selku di malam hari dan setelah menyuruhku bersumpah untuk tidak mencoba melarikan diri, dia melepaskan rantaiku. Aku dibawa keluar untuk kembali bekerja, tapi sekarang para pengawas budak memberikan perlakuan yang berbeda. Tiga hari kemudian, penjaga membawakan baju baru untukku dan aku pun sadar bahwa aku sekarang berada dalam lindungan pasha.
Aku masih sering dipanggil di malam hari kesejumlah rumah mewah. Aku memberikan resep kepada para pembajak laut tua yang menderita rematik, dan para tentara muda yang sakit perut. Aku menyembuhkan mereka yang menderita gatalgatal, pucat, atau sakit kepala. Sekali waktu, seminggu setelah aku memberikan sirup kepada anak seorang pelayan yang gagap, anak itu sembuh dan membacakan puisi untukku.
Musim dingin berlalu dengan kegiatan seperti ini. Ketika musim semi tiba, kudengar kabar bahwa pasha, yang sudah berbulan-bulan tidak pernah memanggilku lagi, sedang berada di Mediterania dengan armada perangnya.
Pada hari-hari terik di musim panas, orang-orang yang menyadari kegelisahan dan kekesalanku mengatakan bahwa aku tidak punya alasan untuk mengeluh, karena aku mendapatkan uang yang cukup banyak dengan menjadi dokter, Seorang bekas budak yang sudah masuk Islam bertahun-tahun sebelumnya, menasihatiku untuk tidak mencoba melarikan diri. Mereka selalu memelihara budak yang berguna bagi mereka, seperti mereka menjagaku, tidak pernah mengizinkannya untuk kembali ke negaranya. Bila aku menjadi seorang Muslim seperti yang telah dilakukannya, aku bisa membebaskan diriku, tapi hanya itu. Karena menurutku dia mungkin mengatakan itu hanya untuk mengujiku, kukatakan padanya bahwa aku tidak berniat untuk mencoba melarikan diri. Bukannya aku tidak memiliki keinginan untuk melarikan diri, tetapi karena aku tidak memiliki keberanian. Mereka yang mencoba melarikan diri, semuanya, berhasil ditangkap tak jauh dari tempat ini. Setelah orang-orang ini menerima hukuman, akulah yang mengobati luka mereka pada malam hari di dalam sel.
Ketika musim gugur menjelang, pasha kembali dengan armadanya. Dia menyambut sultan dengan tembakan meriam, berusaha memeriahkan kota seperti yang dilakukannya tahun sebelumnya, namun tampak jelas bahwa mereka tidak sesukses tahun sebelumnya. Mereka hanya membawa beberapa orang budak untuk dijebloskan ke dalam penjara. Belakangan kami tahu bahwa orang-orang Venesia berhasil membakar enam kapal perang. Dengan harapan bisa mendapatkan kabar dari kampung halaman, aku mencari-cari kesempatan untuk berbicara dengan para budak, yang kebanyakan berasal dari Spanyol; tapi mereka tidak mau bicara, tidak peduli, orang-orang kaku
yang tidak ingin bicara kecuali untuk minta pertolongan atau makanan. Hanya seorang yang menarik bagiku: dia kehilangan sebelah lengannya, namun dengan yakin berkata bahwa salah seorang leluhurnya pernah mengalami kejadian yang sama dan berhasil selamat, lalu menulis sebuah kisah romantis dengan lengan yang sebelah lagi. Dia yakin bahwa dia pun akan selamat sehingga bisa mengulang sejarah. Pada tahun-tahun berikutnya, ketika aku menulis beberapa cerita untuk mencari nafkah, aku masih teringat lelaki ini, yang bermimpi untuk hidup dan menceritakan berbagai kisah. Tak lama setelah itu, penyakit menular menyebar di dalam penjara, sebuah epidemi buruk yang menewaskan setengah dari para budak sebelum akhirnya berhenti merebak, dan aku harus menyuap para penjaga agar bisa selamat dari epidemi tersebut.
Mereka yang masih hidup dibawa keluar untuk menyelesaikan berbagai proyek baru. Aku tidak diikutsertakan. Pada malam hari mereka bercerita bahwa mereka dibawa ke ujung Tanduk Emas, dan di situ mereka dipaksa mengerjakan serangkaian tugas di bawah pengawasan tukang kayu, perancang pakaian, pelukis: mereka membuat model dari bubur kertas kapal laut, istana, menara. Belakangan kami baru mengetahui alasan dilaksanakannya proyek itu: anak pasha akan menikah dengan cucu Wazir Agung dan dia sedang menyiapkan sebuah pesta pernikahan yang luar biasa.
Pada suatu pagi, aku dipanggil ke Istana Pasha. Aku pergi dan mengira penyakit sesak napasnya kumat lagi. Saat itu pasha sedang sibuk, dan mereka membawaku ke sebuah ruangan untuk menunggu, jadi aku pun duduk. Tak berapa lama kemudian, sebuah pintu terbuka dan seseorang yang usianya sekitar lima atau enam tahun
lebih tua dariku melangkah masuk. Aku menoleh dan melihat wajahnya dengan sangat terkejut aku langsung merasa ketakutan.*
DUA KEMIRIPAN ANTARA diriku dan lelaki yang baru saja masuk ke dalam ruangan sungguh luar biasa! Akulah yang sedang berdiri di sana ... pada pandangan pertama, itulah hal yang melintas di kepalaku. Seakan-akan seseorang sedang mempermainkanku dan membawaku untuk kedua kalinya melewati sebuah pintu yang berlawanan dengan pintu yang kumasuki sebelumnya, dan mengatakan, lihatlah, kamu seharusnya tampak seperti ini, kamu seharusnya melangkah melewati pintu seperti ini, kamu seharusnya memberi tanda dengan tanganmu seperti ini, lelaki lain yang sedang duduk di dalam ruangan seharusnya memandangmu seperti ini. Saat mata kami bertatapan, kami saling memberi salam. Tapi, dia sepertinya tidak tampak terkejut. Lalu, kutegaskan dalam hati bahwa dia tidaklah terlalu mirip denganku, dia berjanggut; dan aku sepertinya sudah lupa bagaimana wajahku sekarang. Saat dia duduk di hadapanku, aku baru sadar bahwa sudah setahun lamanya aku tidak pernah melihat cermin.
Beberapa saat kemudian, pintu yang kulewati tadi terbuka dan dia dipanggil masuk ke ruangan sebelah. Sementara menunggu, aku merenung bahwa ini pastilah hanya khayalan karena pikiranku yang sedang kusut, dan bukan gurauan yang telah direncanakan. Karena selama
berhari-hari aku selalu membayangkan bahwa aku akan kembali ke rumah, disambut oleh semua orang, bahwa mereka akan segera membebaskanku, bahwa aku sebenarnya masih tidur di dalam kabin di kapal, bahwa semua ini hanyalah mimpi semacam khayalan pelipur lara. Aku baru saja akan menyimpulkan bahwa ini pun hanyalah salah satu dari khayalanku semata, tapi khayalan yang menjadi kenyataan, atau ini adalah tanda bahwa semuanya akan tiba-tiba berubah dan kembali ke asalnya, saat pintu terbuka dan aku dipanggil masuk ke ruangan sebelah.
Pasha sedang berdiri, sedikit di belakang lelaki kem-baranku itu. Dia membiarkan aku mencium ujung pakaiannya, dan aku berniat bahwa jika dia menanyakan keadaanku, aku akan menceritakan penderitaan yang kualami di dalam selku, bahwa aku ingin kembali ke negeriku, tapi dia tidak mau mendengarkannya. Sepertinya pasha masih ingat, aku pernah bercerita bahwa aku menguasai sains, astronomi, teknik nah, apakah aku mengetahui perihal kembang api yang meluncur di angkasa, atau perihal mesiu" Aku segera menjawab bahwa aku mengetahui semua hal itu, tapi begitu mataku berpandangan dengan mata kembaranku, aku segera menduga bahwa mereka sedang menggiringku masuk ke dalam perangkap,
Pasha mengatakan bahwa pernikahan yang sedang dipersiapkannya tidak boleh ada bandingannya dan dia ingin menyaksikan pertunjukan kembang api, tapi pertunjukan itu harus lain dari yang lain. Kembaranku, yang hanya dipanggil "Hoja" oleh pasha yang berarti "guru", pada hari kelahiran sultan pernah menggelar pertunjukan kembang api yang dipersiapkan oleh seorang Malta yang sekarang sudah meninggal. Jadi, kembaranku mengetahui
hal tersebut serba sedikit, tapi menurut pasha aku bisa membantunya kami akan bisa bekerja bahu membahu.
Pasha akan memberi hadiah bila kami dapat menggelar pertunjukan yang bagus. Saat aku berpendapat bahwa waktunya sudah tepat, lalu memberanikan diri untuk mengatakan bahwa yang kuinginkan adalah pulang ke kampung halamanku, pasha bertanya apakah aku pernah mengunjungi rumah bordil sejak tiba di sini, dan setelah mendengarkan jawabanku, dia berkomentar bahwa jika aku tidak memiliki hasrat atas wanita, apa gunanya kebebasan bagiku" Dia menggunakan kata-kata kasar yang biasa dipakai oleh para penjaga dan aku pastilah terlihat sangat kebingungan karena kemudian dia tertawa terbahak-bahak. Lalu, dia menoleh pada lelaki yang dipanggilnya "Hoja" itu: pasha menyerahkan tanggung jawab pertunjukan itu kepadanya. Kami pun beranjak pergi.
Keesokan paginya, ketika aku berjalan ke rumah kembaranku, aku membayangkan tidak ada sedikit pun hal yang bisa kuajarkan padanya. Tetapi, rupanya pengetahuannya tidak melebihi pengetahuanku. Terlebih lagi, kami memiliki masalah yang sama: harus bisa menciptakan campuran mesiu yang tepat. Tugas kami selanjutnya adalah mempersiapkan berbagai macam campuran dengan sangat berhati-hati untuk diuji coba dengan menggunakan berbagai skala dan ukuran, menembakkannya di malam hari dalam bayangan yang menggerayangi dinding kota yang tinggi di Surdibi, dan menarik kesimpulan dari pengamatan kami, Anak-anak menonton para asisten kami dengan kagum ketika mereka menembakkan sejumlah roket yang kami buat, dan kami berdiri di bawah pepohonan yang gelap menunggu hasilnya dengan penuh rasa gelisah, seperti yang kami lakukan bertahun-tahun kemudian
di siang hari saat menguji senjata yang menakjubkan itu. Setelah berbagai eksperimen ini, aku mencoba, kadang dengan diterangi cahaya bulan, kadang di kegelapan yang pekat, untuk mencatat hasil pengamatan kami di sebuah buku tulis kecil. Sebelum malam usai, kami kembali ke rumah Hoja yang menghadap ke Tanduk Emas dan mendiskusikan hasilnya dengan panjang lebar.
Rumahnya kecil, sempit, dan tidak menarik. Jalan masuknya di belokan jalan berlumpur yang dipenuhi genangan air kotor yang mengalir dari sumber yang tidak pernah berhasil kuketahui. Di dalamnya hampir tidak ada perabotan, tapi setiap kali aku masuk ke dalam rumahnya, aku merasa sesak dan diliputi perasaan stres yang aneh. Mungkin hal itu berasal dari lelaki ini yang, karena dia tidak suka diberi nama yang sama dengan nama kakeknya, lebih suka jika kupanggil dengan sebutan "Hoja": dia mengamatiku, seperti ingin mempelajari sesuatu dariku, tapi tidak yakin apa yang ingin dipelajarinya. Karena tidak biasa duduk di bangku rendah yang menempel ke dinding, aku selalu berdiri saat kami mendiskusikan hasil eksperimen kami, kadang berjalan mondar-mandir di dalam ruangan itu. Tampaknya Hoja menikmati hal ini. Dia bisa duduk dan mengamatiku sesuka hatinya, meskipun sinar pelita cukup redup.
Ketika aku merasakan matanya mengikuti ke mana pun aku melangkah, aku semakin merasa tidak enak karena dia tidak menyadari kemiripan di antara kami berdua. Sekali atau dua kali aku mengira dia menyadarinya, namun berpura-pura tidak peduli. Seakan-akan dia sedang bermain-main denganku, sedang menerapkan sebuah eksperimen kecil pada diriku, mengumpulkan informasi yang tidak kupahami, karena selama beberapa hari pertama dia
terus menanyaiku seakan-akan sedang mempelajari sesuatu dan semakin banyak yang dia pelajari, semakin dia penasaran. Tapi, dia sepertinya ragu untuk mengambil langkah lebih jauh lagi untuk menggali arti dari pengetahuan yang aneh ini. Ketidakjelasan inilah yang membuatku merasa tertekan, yang membuat rumah itu terasa sungguh menyesakkan! Memang benar, aku merasa percaya diri melihat keraguannya, namun hal itu tidak membuatku merasa nyaman. Suatu kali, saat kami mendiskusikan eksperimen kami, dan kali lainnya saat dia bertanya mengapa aku masih belum masuk Islam, aku merasa dia diam-diam sedang mencoba menarikku ke dalam sebuah perdebatan sehingga aku memutuskan untuk tidak menjawabnya. Dia merasakan keenggananku; aku menyadari bahwa kemudian dia lebih meremehkanku, dan hal ini membuatku geram. Pada hari-hari itu mungkin dengan cara inilah kami bisa saling memahami: kami saling meremehkan.
TXI/PRC INI DI BUAT KARENA KECINTAAN SAYA MEMBACA NOVEL DI HP/PDA (ottoys@yahoo.com)
Aku terus mengendalikan diri, berpendapat bahwa bila kami berhasil menggelar pertunjukan kembang api yang bagus, mereka akan mengizinkanku pulang ke kampung halamanku.
Pada suatu malam, merasa gembira karena sebuah roket berhasil meluncur sangat tinggi, Hoja mengatakan bahwa suatu hari nanti dia akan mampu membuat roket yang mampu meluncur setinggi bulan; satu-satunya masalah adalah mencari takaran campuran bubuk mesiu yang tepat dan membentuk sebuah wadah yang bisa menampung campuran itu. Aku mengingatkan bahwa bulan sangatlah jauh, tapi dia menyelaku, mengatakan bahwa dia juga sudah tahu hal itu, tapi bukankah bulan itu planet yang terdekat ke bumi" Saat kuakui bahwa dia memang benar, dia tidak melepaskan sedikit pun ketegangan seperti yang kuharapkan, bahkan menjadi semakin gelisah,
tapi tidak berkata apa-apa lagi.
Dua hari kemudian, di tengah malam, dia mengajukan pertanyaan itu lagi, bagaimana aku bisa yakin bahwa bulan adalah planet yang terdekat"Mungkin saja kita telah membiarkan diri ditipu oleh ilusi optik. Saat itulah aku bercerita padanya untuk pertama kalinya bahwa aku menguasai ilmu astronomi dan menjelaskan dengan singkat berbagai prinsip dasar kosmografi Ptolemeus. Kulihat dia mendengarkan dengan penuh perhatian, tapi enggan mengatakan apa pun yang menunjukkan rasa penasarannya. Sejenak kemudian, saat aku berhenti bicara, dia mengatakan bahwa dia juga memiliki pengetahuan tentang Ptolemeus, namun hal ini tidak mengubah kecurigaannya bahwa ada planet lain yang lebih dekat dibandingkan dengan bulan. Sampai pagi dia membicarakan planet itu seakan-akan sudah mendapatkan bukti tentang kebe-radaaannya.
Hari berikutnya, dia menyerahkan sebuah naskah yang telah diterjemahkan dengan kacau. Walaupun pengetahuan bahasa Turkiku masih buruk, aku bisa memahaminya: kurasa naskah itu adalah ringkasan tahap kedua tentang Alrnageist yang ditulis bukan bersumber dari tulisan aslinya, namun dari ringkasan lain; hanya nama Arab berbagai planet itu yang menarik bagiku, sementara suasana hatiku sedang tidak bersemangat untuk mendalami hal tersebut pada waktu itu. Ketika Hoja melihat aku tidak begitu terkesan dan segera mengesampingkan buku itu, dia tampak marah. Dia telah membelanjakan tujuh keping emas untuk membeli buku tersebut sehingga semestinya aku menyingkirkan keangkuhanku, membuka halaman-halamannya, dan melihat-lihat buku itu, Seperti murid yang patuh, aku membuka buku itu kembali dan
saat membuka-buka lembaran halamannya dengan sabar, aku melihat sebuah diagram yang primitif. Diagram itu menunjukkan berbagai planet yang digambar berupa bulatan kasar, disusun dengan posisi masing-masing terhadap Bumi. Walaupun posisi semua bulatan itu sudah benar, penggambarnya tidak tahu jarak sebenarnya antara planet yang satu dengan planet yang lain. Lalu, kulihat ada planet kecil di antara bulan dan Bumi; saat memeriksanya dengan lebih cermat, aku bisa menilai dari segarnya tete-san tinta bahwa planet itu telah ditambahkan ke buku itu belum berapa lama ini. Aku melihat-lihat seluruh buku itu, lalu menyerahkannya kembali kepada Hoja. Dia mengatakan bahwa dia akan menemukan planet itu: dia sepertinya tidak bercanda. Aku tidak berkata apa-apa dan muncullah keheningan yang mengganggunya, sama seperti menggangguku. Karena kami tidak mampu membuat roket lain yang mampu meluncur cukup tinggi sehingga bisa mengarahkan kami kembali ke percakapan tentang astronomi, hal tersebut tidak pernah dibicarakan lagi. Kesuksesan kecil kami tetap menjadi sebuah kebetulan yang masih menjadi misteri yang tidak pernah bisa kami pecahkan.
Namun, kami mendapatkan berbagai hasil yang sangat bagus, yang menghasilkan suara yang nyaring dan cahaya dan nyala api yang cemerlang, dan kami tahu rahasia kesuksesan kami: dalam sebuah toko rempah yang dijelajahi Hoja satu demi satu, dia menemukan bubuk yang bahkan namanya tidak diketahui si pemilik toko. Kami menduga bubuk kekuningan ini, menghasilkan cahaya yang sangat terang, adalah campuran belerang dan tembaga sulfat. Lalu, kami mencampurkan bubuk itu dengan berbagai zat untuk menimbulkan efek gemerlap, tapi kami tidak mampu menghasilkan apa-apa selain warna cokelat
kopi dan hijau pucat yang hampir tidak bisa dibedakan dengan warna lainnya. Menurut Hoja, bahkan hasil ini sudah lebih bagus daripada kembang api yang pernah disaksikan penduduk Istanbul.
Dan memang begitulah pertunjukan kami pada malam kedua perayaan itu, semua orang mengatakan begitu, bahkan juga para pesaing kami yang selalu mengatai kami diam-diam. Aku sangat gugup ketika tahu bahwa sultan datang untuk menonton dari pantai seberang di Tanduk Emas, takut kalaukalau gagal dan membuatku harus menunggu bertahun-tahun sebelum bisa kembali ke negeriku. Saat mereka memerintahkan kami untuk memulainya, aku mengucapkan doa. Pertama-tama, untuk menyambut para tamu dan mengumumkan awal pertunjukan, kami meluncurkan beberapa roket tanpa warna langsung ke angkasa; lalu, langsung kami luncurkan pertunjukan lingkaran yang oleh Hoja dan aku disebut sebagai "Kincir Angin". Dalam sekejap mata langit berubah menjadi merah, kuning, dan hijau, menggelegar dengan suara ledakan yang menakutkan. Pertunjukan itu bahkan jauh lebih cantik daripada yang kami harapkan; saat roketroket itu meluncur, lingkaran itu pun melesat semakin cepat, berputar dan berputar, lalu tiba-tiba, cahaya menerangi daerah itu sehingga seakan-akan siang telah datang, menggantung sejenak, tanpa gerakan. Untuk sejenak aku mengira sedang berada di Venesia lagi, anak berumur delapan tahun yang sedang menonton pertunjukan kembang api untuk pertama kalinya dan merasa sebal karena bukan aku yang memakai baju merah baru, melainkan kakakku yang merobek bajunya sendiri dalam sebuah pertengkaran di hari sebelumnya. Kembang api yang meledak-ledak itu berwarna merah seperti pakaian berkancing cerah yang tidak
pernah bisa kupakai malam itu dan aku bersumpah untuk tidak akan mengenakannya lagi, warna merah yang sama dengan warna kancing di pakaian itu, yang terlalu kecil untuk kakakku.
Lalu, kami meluncurkan pertunjukan yang kami sebut sebagai "Air Mancur"; api dimuntahkan dari mulut sebuah tiang setinggi lima orang orang dewasa. Penonton yang berada di pantai seberang pasti bisa melihat arus cahaya yang cerah itu dengan sempurna; mereka pasti terpesona seperti yang kami rasakan saat sejumlah roket mulai meluncur dari mulut "Air Mancur" tersebut, dan kami tidak berniat untuk memadamkan kegembiraan mereka: sampan di permukaan Tanduk Emas mulai bergerak. Mulamula muncul menara dan benteng dari bubur kertas, meluncurkan roket dari menaranya saat sampansampan itu berlayar, tersulut dan melesat meninggalkan jejak lidah api hal ini mengibaratkan kemenangan di tahun-tahun sebelumnya. Ketika mereka melepaskan beberapa kapal yang mewakili tahun saat aku ditangkap, kapal-kapal lain menyerang kapal kami dengan hujan api roket, sehingga aku terkenang pada hari saat aku menjadi budak. Ketika kapal terbakar dan tenggelam, teriakan "Tuhan, ya Tuhan!" memekik dari kedua tepi pantai. Lalu, satu demi satu, kami melepaskan naga kami; api menyala dari lubang hidungnya yang besar, mulutnya yang menganga dan telinganya yang runcing, Kami membuat semua naga itu saling berkelahi; sesuai rencana, mula-mula tidak ada yang bisa saling mengalahkan. Kami membuat langit semakin merah dengan roket yang ditembakkan dari pantai, dan setelah langit menjadi agak gelap, anak buah kami di atas sampan menyalakan keretan dan perlahanlahan naga-naga kami mulai meluncur ke udara.
Sekarang semua orang menjerit ketakutan dan terpukau; ketika naga-naga itu saling menyerang kembali dengan jeritan yang membahana, semua roket di sampan ditembakkan serentak; sumbu yang kami tempatkan di badan naga-naga itu pasti tersulut pada saat yang tepat karena seluruh pemandangan itu, tepat seperti yang kami inginkan, berubah menjadi pesta api yang berkobar hebat. Aku tahu pertunjukan ini sukses saat mendengar seorang anak kecil menjerit-jerit dan menangis di dekat kami; ayahnya telah melupakan anak itu dan menatap langit yang gemerlapan dengan mulut ternganga. Akhirnya, aku akan diizinkan pulang, begitulah perkiraanku. Saat itu, makhluk yang kunamakan "Si Setan" merayap ke tengah pesta api itu di atas sampan kecil hitam yang tidak bisa terlihat oleh semua orang. Kami mengikatkan sedemikian banyak roket sehingga kami takut sampan itu bisa meledak, bersama anak buah kami, namun semuanya berjalan seperti yang kami rencanakan. Ketika semua naga yang berkelahi itu menghilang di angkasa, sambilmemuntahkan lidah api, "Si Setan" dan semua roketnya terbakar serempak, meluncur ke nirwana; bola api berpencaran dari seluruh tubuhnya, meledak di udara. Aku sungguh bangga saat membayangkan bahwa saat itu kami mampu membuat seluruh masyarakat Istanbul merasa ketakutan. Aku juga merasa takut karena pada akhirnya aku menemukan keberanian untuk melakukan sesuatu yang kudambakan dalam hidup ini. Pada saat itu tidaklah penting aku sedang berada di kota apa; aku ingin si setan terus menggantung di udara, menumpahkan api di atas kerumunan orang sepanjang malam. Setelah terayun-ayun dari satu sisi ke sisi lainnya, Si Setan menggelepar-gelepar di atas Tanduk Emas tanpa melukai siapa pun, ditingkahi jeritan histeris
dari kedua sisi pantai. Si Setan masih terus memuntahkan lidah api dari puncaknya saat menghantam dan tenggelam ke dalam air.
Pagi hari berikutnya, pasha mengirimkan sekantong emas kepada Hoja, persis seperti dalam cerita dongeng. Katanya dia sangat senang dengan pertunjukan itu, namun berkomentar bahwa kemenangan "Si Setan" sungguh aneh. Kami terus melanjutkan pertunjukan kembang api itu selama sepuluh hari lagi. Siang harinya, kami memperbaiki model-model yang telah terbakar, merencanakan berbagai pertunjukan baru, dan meminta bantuan para tahanan dari penjara untuk mengisi roket-roket tersebut. Seorang budak menjadi buta ketika sepuluh bungkus mesiu meledak di wajahnya.
Setelah perayaan pernikahan itu usai, aku tidak melihat Hoja lagi. Aku merasa lebih senang dijauhkan dari mata lelaki yang terus menatapku dengan rasa penasaran, tapi bukan berarti pikiranku tidak melayang kembali ke hari-hari melelahkan yang kami lewati bersama-sama. Jika kelak aku sudah kembali ke kampung halamanku, aku akan menceritakan pada semua orang tentang lelaki yang sungguh mirip denganku itu, namun yang tidak pernah mengomentari kemiripan ini. Aku duduk di dalam sel, mengurusi pasien untuk mengisi waktu. Ketika kudengar pasha memanggilku, aku penuh bersemangat, nyaris merasa gembira, dan berlari ke istananya. Pertama-tama dia memujiku sambil lalu, mengatakan semua orang sangat puas dengan pertunjukan kembang api tersebut, para tamu sangat puas, aku benar-benar berbakat, dst. Tiba-tiba dia mengatakan bahwa bila aku bersedia menjadi seorang Muslim, dia akan segera membebaskanku saat itu juga. Aku benar-benar terkejut, tercengang, kukatakan bahwa
aku ingin pulang ke negeriku, bahkan mengucapkan sepaten dua patah kata tentang ibuku dan tunanganku. Pasha mengulangi perkataannya tadi seakan dia tidak mendengar ucapanku sama sekali. Aku terdiam beberapa saat lamanya. Entah mengapa, aku membayangkan beberapa orang anak laki-laki pemalas yang tidak berguna yang kukenal di masa kecilku dahulu; anak-anak kecil jahat yang suka melawan ayahnya. Ketika kukatakan bahwa aku tidak mau meninggalkan agamaku, pasha benar-benar murka. Aku dijebloskan kembali ke dalam sel.
Tiga hari kemudian, pasha memanggilku lagi. Kali ini suasana hatinya sedang enak. Aku masih belum mampu mengambil keputusan, tidak mampu memutuskan apakah pindah agama bisa membantuku melepaskan diri atau tidak. Pasha ingin tahu pemikiranku dan katanya dia sendiri yang akan mempersiapkan aku untuk menikahi seorang gadis cantik di sini. Tiba-tiba keberanianku muncul, kukatakan bahwa aku tidak akan pindah agama, dan sang pasha, yang terkejut, mengatakan bahwa aku ini orang bodoh. Lagi pula, tidak ada seorang pun di sekelilingku yang akan merasa malu jika aku menjadi seorang Muslim. Lalu, dia berbicara sejenak tentang rukun Islam. Sesudah selesai bicara, dia mengirimku kembali ke penjara.
Pada kunjungan yang ketiga, aku tidak dibawa menemui pasha. Seorang penjaga menanyakan keputusanku. Mungkin saja aku sudah berubah pikiran, namun bukan karena penjaga itu yang memintanya! Kukatakan bahwa aku masih belum siap meninggalkan keyakinanku.
TXI/PRC INI DI BUAT KARENA KECINTAAN SAYA MEMBACA NOVEL DI HP/PDA (ottoys@yahoo.com)
Si penjaga menarik lenganku dan membawaku menuruni tangga, menyerahkanku kepada rekannya. Orang ini tinggi, kurus seperti orang-orang yang sering kulihat dalam mimpiku. Dia juga menarik lenganku dan menuntunku masuk ke
pojok taman, dengan sangat berhati-hati seakan-akan aku seseorang penyandang cacat. Lalu, ada orang lain lagi yang datang mendekati kami. Kalau melihat perawakannya, tidak mungkin orang seperti ini bisa muncul dalam mimpi, tubuhnya sangat besar. Kedua orang itu, salah seorang di antaranya membawa sebuah kapak kecil, berhenti di dekat dinding dan mengikat kedua tanganku: mereka mengatakan bahwa pasha telah memerintahkan untuk memenggal kepalaku bila aku bersikeras tidak mau masuk Islam. Aku tertegun.
Tidak secepat ini, begitu pikirku. Mereka memandangku dengan iba. Aku tidak berkata apaapa. Paling tidak, jangan biarkan mereka menanyaiku lagi, ujarku dalam hati, sewaktu mereka mengulangi pertanyaan itu. Tiba-tiba agamaku menjadi sesuatu yang pantas untuk dibela sampai mati; aku merasa diriku orang penting, tapi di sisi lain aku mengasihani diriku sendiri seperti kedua laki-laki itu mengasihaniku, yang telah membuatku semakin sulit untuk meninggalkan agamaku dengan semakin gencarnya pertanyaan yang mereka ajukan. Ketika aku mencoba memikirkan hal lainnya, pemandangan yang terlihat di luar jendela yang menghadap taman di belakang rumah kami muncul di hadapan mataku: buah peach dan ceri di atas nampan di atas sebuah meja yang bertatahkan mutiara. Di belakang meja itu tampak sebuah dipan dengan penutup tikar dengan bantal dari bulu yang warnanya sama dengan warna kusen jendela yang hijau. Di belakangnya lagi, aku melihat seekor burung pipit hinggap di bibir sumur di antara pohon zaitun dan pohon ceri. Sebuah ayunan bertali panjang digantungkan di dahan pohon kenari yang cukup tinggi berayun-ayun mengikuti embusan angin. Saat mereka mengajukan pertanyaan itu lagi, kukatakan
bahwa aku tidak akan berganti agama. Mereka menunjuk ke sebuah bonggol pohon, menyuruhku berlutut dan meletakkan kepalaku di atas bonggol pohon itu. Kupejamkan kedua mata, namun kemudian membukanya kembali. Salah seorang di antara kedua orang itu mengangkat kapak. Yang lain berkata bahwa mungkin aku menyesali keputusanku; mereka menyuruhku berdiri. Aku diberi kesempatan untuk memikirkannya kembali.
Ketika mereka memberikan kesempatan padaku untuk berpikir, mereka mulai menggali tanah di samping bonggol pohon itu. Aku membayangkan bahwa mereka mungkin akan menguburku di sini sekarang juga, dan setelah muncul rasa takut, aku sekarang mulai merasakan kengerian akan dikubur hidup-hidup. Aku berkata dalam hati untuk mengambil keputusan saat mereka selesai menggali kuburan itu sewaktu mereka berjalan mendekatiku, setelah menggali sebuah lubang yang tidak begitu dalam. Pada saat itu aku berpikir betapa bodohnya untuk mati di sini. Aku merasa bisa saja menjadi seorang Muslim, tetapi aku tidak punya waktu untuk memikirkannya lebih lanjut. Jika aku diizinkan kembali ke penjara, ke sel tercinta yang akhirnya sudah mulai terasa nyaman bagiku, aku bisa duduk sepanjang malam sambil berpikir dan membuat keputusan untuk masuk Islam, namun tidak seperti ini, tidak secepat ini.
Mereka tiba-tiba menangkapku, mendorongku untuk berlutut. Tepat sebelum aku meletakkan kepala di atas bonggol itu, aku tercengang melihat seseorang bergerak di antara pepohonan, seperti terbang. Orang itu adalah aku, berjanggut panjang, berjalan tanpa suara di udara. Aku ingin memanggil jelmaanku yang berada di tengah pepohonan itu, tetapi aku tidak bisa mengeluarkan suara
dengan kepala ditekan ke atas bonggol. Aku membayangkan hal ini sama saja dengan tidur, dan akhirnya aku pasrah, menunggu; aku merasakan bulu kuduk berdiri di punggung dan di tengkuk, aku tidak ingin berpikir, tetapi rasa dingin di leher ini membuatku melanjutkan pikiranku. Mereka menyuruhku berdiri, menggerutu bahwa pasha pasti akan murka. Saat mereka melepaskan ikatan tanganku, mereka bersungut-sungut: aku musuh Allah dan Muhammad. Mereka membawaku kembali ke istana.
Setelah membiarkan aku mencium ujung pakaiannya, pasha memperlakukanku dengan lembut. Katanya dia senang karena aku tidak mau meninggalkan agamaku untuk menyelamatkan nyawaku, tapi sejenak kemudian dia mulai mengomel dan mengoceh, mengatakan bahwa aku benar-benar keras kepala, Islam adalah agama yang hebat, dan sebagainya. Semakin lama dia memarahiku, semakin murka dirinya, dan dia memutuskan untuk menghukumku. Dia mulai menjelaskan bahwa dia telah berjanji pada seseorang. Aku mengerti bahwa janji itu telah menyelamatkanku dari penderitaan yang seharusnya kualami, dan akhirnya menyadari bahwa orang yang padanya dia berjanji, seorang lelaki aneh kalau kita dengar penilaiannya, adalah Hoja. Lalu, pasha dengan cepat mengatakan bahwa dia telah memberikan aku kepada Hoja sebagai hadiah. Aku menatapnya dengan tatapan kosong; pasha menjelaskan bahwa sekarang aku adalah budak Hoja. Dia telah memberikan dokumennya kepada Hoja, kekuasaan untuk membebaskan aku kini telah berpindah dari tangan pasha kepada Hoja. Sejak sekarang, Hoja bisa memperlakukan aku sesuka hatinya. Pasha pun meninggalkan ruangan.
Aku diberi tahu bahwa Hoja juga ada di istana tersebut, menungguku di lantai bawah. Barulah aku sadar
bahwa dialah yang tadi kulihat di antara pepohonan di taman. Kami berjalan ke rumahnya. Dia berkata sudah lama tahu bahwa aku tidak akan meninggalkan agamaku. Dia bahkan telah mempersiapkan sebuah kamar di rumahnya untukku.
Dia bertanya apakah aku lapar. Perasaan takut akan kematian masih hinggap di dalam diriku sehingga aku tidak berselera untuk makan apa pun. Namun, aku masih mampu melahap beberapa potong roti dan yogurt yang diletakkannya di depanku. Hoja mengamati dengan gembira ketika aku mengunyah makanan. Dia menatapku dengan kegembiraan seorang petani yang sedang memberi makan kudanya yang baru saja dibelinya di pasar, sambil membayangkan kuda itu akan bekerja keras untuknya kelak. Sampai di kemudian hari setelah dia melupakanku, tenggelam dalam berbagai rincian tentang teorinya tentang kosmografi dan rancangan jam yang akan diberikannya kepada pasha, aku memiliki banyak kesempatan untuk mengingat kembali tatapan tersebut.
Kemudian, ia mengatakan bahwa aku akan mengajarkan semua yang kuketahui kepadanya; itulah sebabnya dia meminta pasha untuk memberikanku kepadanya, dan barulah setelah aku melakukan hal itu, dia akan membebaskanku. Aku membutuhkanwaktu berbulan-bulan lamanya untuk menyadari apa yang dimaksudkannya dengan "semua" itu. "Semua" berarti segala hal yang kupela-jari di sekolah dasar dan sekolah lanjutan; semua hal tentang astronomi, kedokteran, teknik, semua yang diajarkan di negeriku. "Semua" berarti tulisan yang telah kutuliskan di buku-buku di dalam selku yang telah diambil oleh pelayannya di hari berikutnya, semua yang pernah kudengar dan kulihat, semua pendapatku tentang sungai, jembatan, danau, gua dan awan dan lautan, penyebab terjadinya gempa bumi dan guntur.... Sekitar tengah malam, dia menambahkan bahwa bintang dan planetlah yang paling menarik baginya. Cahaya bulan bersinar melalui jendela, dan dia berkata bahwa setidaknya kami harus menemukan bukti nyata mengenai keberadaan atau tiadanya planet antara bulan dan Bumi. Dengan mata liar orang yang menghabiskan sepanjang hari berdampingan dengan ke-matian, aku menyadari kemiripan di antara kami berdua ketika Hoja akhirnya menanggalkan kata "mengajar": kami akan melakukan penelitian bersama-sama, menemukan bersama-sama, mengembangkan diri bersama-sama.
Jadi, seperti dua orang murid sekolah yang tekun, yang belajar dengan giatnya bahkan ketika tidak ada orang dewasa di rumah untuk mencuri dengar di balik pintu, seperti dua orang kakakberadik yang patuh, kami duduk dan bekerja. Pada awalnya aku merasa seperti seorang kakak yang menyanggupi untuk menelaah hasil ajarannya untuk menolong adiknya yang malas agar bisa memahami semuanya; dan Hoja berperilaku seperti seorang anak laki-laki pintar yang berusaha membuktikan bahwa semua hal yang diketahui kakaknya sebenarnya tidak begitu berarti. Menurutnya, jurang antara pengetahuan yang dimilikinya dan pengetahuanku tidak lebih lebar dari buku-buku yang dibawanya dari dalam selku dan kemudian dijejerkan di atas rak serta berbagai buku yang aku hafal isinya. Dengan ketekunannya yang luar biasa dan kecepatan akalnya, dalam waktu enam bulan dia sudah menguasai dasar-dasar bahasa Italia yang ditingkatkannya lagi di kemudian hari, membaca semua buku milikku, dan ketika dia memintaku mengulangi berbagai hal yang masih tersimpan di dalam ingatanku, tidak ada lagi
perbedaan yang menunjukkan bahwa aku lebih pintar darinya. Namun, dia bertindak seakan-akan dia memiliki pengetahuan yang bisa mengalihkan isi buku dia sendiri sependapat bahwa kebanyakan isi buku itu tidak berguna sebuah pengetahuan yang lebih wajar dan lebih penting jika dibandingkan dengan berbagai hal yang bisa dipelajari. Pada akhir enam bulan tersebut, kami bukan lagi rekan sejawat yang belajar bersama-sama, mengembangkan diri bersama-sama. Dialah yang mencetuskan berbagai macam gagasan dan aku hanya mengingatkannya tentang berbagai rincian untuk membantunya atau menelaah berbagai hal yang sudah diketahuinya.
Dia sering menemukan berbagai "gagasan" itu, yang kebanyakan sudah kulupakan, di malam hari, lama setelah kami menyelesaikan makan malam ala kadarnya yang kami santap di senja hari dan di saat semua pelita di lingkungan perumahan kami telah dipadamkan, membuat sekeliling kami terasa sunyi. Di pagi hari dia pergi mengajar di sekolah dasar di masjid yang terletak tidak jauh dari lingkungan perumahan kami, dan dua hari seminggu dia pergi ke tempat yang cukup jauh yang belum pernah kukunjungi dan mampir ke ruangan yang ada jamnya di dalam masjid, dan di dalam ruangan itulah masuknya waktu salat ditetapkan. Sisa waktu lainnya kami habiskan untuk mempersiapkan diri menyambut berbagai "gagasan" yang muncul di malam hari atau mewujudkan berbagai gagasan tersebut. Saat itu, aku masih memiliki harapan, aku yakin bahwa tak lama lagi aku akan pulang. Dan, karena aku merasa bahwa mendebat isi "gagasan" miliknya, yang selalu kudengarkan tanpa minat, bisa menghambat kepulangan-ku, aku tidak pernah menentang berbagai gagasannya itu secara terbuka di hadapan Hoja.
Jadi, kami melewati tahun pertama, membenamkan diri mempelajari astronomi, bekerja keras untuk menemukan bukti tentang keberadaan atau tiadanya planet khayalan tersebut. Tapi, saat dia bekerja mempersiapkan rancangan teleskop untuk lensa yang diimpornya dari Flanders dengan harga yang sangat mahal, menciptakan berbagai instrumen dan menyusun tabel, Hoja melupakan pertanyaan tentang planet tersebut; dia tenggelam dalam sebuah permasalahan yang lebih penting. Dia akan menentang sistem Ptolemeus, katanya, namun kami tidak terlibat dalam perdebatan; dia berbicara, sementaraaku mendengarkan. Katanya, sungguh bodoh memercayai bahwa semua planet bergelantungan dari bulatan yang transparan; pasti ada sesuatu yang menahan semua planet itu, sebuah kekuatan yang tidak terlihat, mungkin sebuah gaya tarik. Kemudian, dia mengajukan pemikiran bahwa Bumi mungkin, seperti halnya matahari, mengelilingi sesuatu, mungkin semua bintang berputar di sekeliling sebuah pusat yang tidak pernah kita ketahui sebelumnya. Kemudian, dengan menyatakan bahwa pemikirannya lebih komprehensif dibandingkan dengan pemikiran Ptolemeus, dia mengikutsertakan sejumlah planet baru di dalam pengamatannya ke dalam kosmografi yang lebih luas lagi, menghasilkan berbagai teori tentang sebuah sistem baru: mungkin bulan berputar mengelilingi Bumi dan Bumi berputar mengelilingi matahari; mungkin pusatnya adalah Venus.Tetapi, dengan cepat dia merasa bosan pada berbagai teori tersebut. Dia baru saja sampai pada kesimpulan bahwa permasalahannya kini bukanlah untuk menyampaikan berbagai gagasan baru ini, namun berusaha agar bintang dan pergerakannya diketahui oleh masyarakat dan dia akan memulai misi ini dengan Sadik Pasha
ketika dia mendapatkan informasi bahwa pasha telah diusir ke Erzurum. Tampaknya, pasha terlibat dalam persekongkolan untuk menggulingkan kekuasaan.
Selama bertahun-tahun menunggu kembalinya pasha dari pengasingan, kami melakukan penelitian untuk risalah yang akan ditulis Hoja tentang arus Bophorus. Kami menghabiskan waktu berbulanbulan mengamati ombak, mendaki tebing yang terdapat di sepanjang selat,
TXI/PRC INI DI BUAT KARENA KECINTAAN SAYA MEMBACA NOVEL DI HP/PDA (ottoys@yahoo.com)
di saat angin di tempat itu terasa dingin menusuk tulang, dan menuruni berbagai lembah dengan alat yang kami bawa untuk mengukur suhu dan arus sungai yang mengalir ke selat tersebut.
Saat berada di Gebze, sebuah kota yang letaknya tidak jauh dari Istanbul, ketika kami pergi atas permintaan pasha selama tiga bulan untuk menyelesaikan tugas darinya, perbedaan waktu antara jadwal salat antara satu masjid dengan masjid yang lainnya menimbulkan gagasan baru pada Hoja: dia akan membuat sebuah jam yang bisa menunjukkan waktu salat dengan ketepatan yang sangat tinggi. Saat itulah aku mengajarinya tentang kegunaan meja. Ketika aku membawa sebuah mebel yang dibuatkan tukang kayu berdasarkan spesifikasi yang kuminta, Hoja tampak tidak begitu senang. Dia menyamakannya dengan meja berkaki empat untuk upacara pemakaman, mengomentari betapa buruk rupanya, tapi tak lama kemudian akhirnya dia terbiasa oleh meja dan kursi tersebut. Dia menyatakan bisa berpikir dan menulis dengan lebih baik saat menggunakan perabotan tersebut. Kami harus kembali ke Istanbul untuk memastikan bahwa peralatan untuk membuat jam salat itu memiliki bentuk elips yang sejalan dengan perjalanan matahari. Pada perjalanan pulang, meja kami, yang semua kakinya menunjuk ke angkasa,
mengikuti kami dengan menunggang seekor keledai.
Pada bulan-bulan pertama itu, saat kami duduk saling berhadapan di meja itu, Hoja mencoba memecahkan cara menghitung waktu salat dan puasa di negara-negara utara, yang perbedaan antara waktu malam dan siang harinya begitu besar, dan bisabertahun-tahun lamanya orang tidak melihat matahari. Masalah lainnya adalah apakah ada sebuah tempat di dunia ini di mana orang bisa menghadap ke Makkah, tak peduli ke arah mana pun mereka menghadap, Semakin dia menyadari bahwa aku tidak peduli dengan semua permasalahan ini, semakin kesal hatinya, tapi saat itu kupikir dia tidak menyukai "superioritas dan perbedaan" yang kumiliki dan mungkin dia kesal karena dia berpendapat bahwa aku juga menyadari hal tersebut: dia berbicara tentang kecerdasan sesering membicarakan ilmu pengetahuan. Jika nanti pasha kembali, dia akan bisa memetik manfaat dari semua rencana Hoja, berbagai teori Hoja tentang kosmografi yang akan dikembangkan lagi dan kemudian mendemonstrasikan dengan sebuah model, dan dengan jam baru tersebut. Hoja akan menulari kami semua dengan rasa penasaran dan antusiasme yang membara di dalam kalbunya, dia akan menyebar benih-benih kebangkitan baru; kami berdua sedang menunggu.*
TIGA PADA HARI-hari itu, Hoja memikirkan cara mengembangkan mekanisme yang lebih besar giginya untuk sebuah jam yang hanya perlu disesuaikan sebulan sekali dan bukannya seminggu sekali. Setelah berhasil menciptakan mekanisme gigi tersebut, dia berpikir untuk menciptakan sebuah jam yang hanya perlu disesuaikan setahun sekali. Akhirnya, dia menyatakan bahwa kunci untuk memecahkan masalah itu adalah penyediaan tenaga yang memadai untuk menggerakkan gigi jam yang hebat ini, yang berarti menambah ukuran dan berat sesuai dengan jarak waktu antara saat-saat penyesuaian tersebut. Itulah hari ketika dia mendapatkan berita dari temannya di ruangan jam masjid bahwa pasha telah kembali dari Erzurum untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi.
Hoja berkunjung untuk memberi ucapan selamat keesokan paginya. Pasha mengenali dirinya di antara kerumunan pengunjung, menunjukkan ketertarikannya pada semua temuan Hoja, dan bahkan menanyakan kabar tentang diriku. Malam itu kami berulang kali membongkar-pa-sang jam itu, memasang beberapa tambahan di sana-sini pada model alam semesta, mengecat berbagai planet dengan kuas. Hoja membacakan padaku sebagian pidato yang dengan susah payah ditulisnya dan dihafalkannya,
dimaksudkan untuk membuai para pendengarnya dengan bahasa yang anggun dan sentuhan yang puitis. Menjelang pagi, untuk menenangkan dirinya yang tegang, dia mengulangi lagi sepotong retorika tentang logika peredaran planet, namun kali ini dia mengucapkannya dengan terbalik, seperti sebuah mantra. Setelah memasukkan semua peralatan ke dalam kereta kuda yang dipinjamnya, dia pergi menuju istana pasha. Aku tercengang melihat betapa jam dan model itu, yang telah menyesaki rumah selama berbulan-bulan lamanya, kini tampak begitu kecil di bagian belakang kereta kuda tersebut, Hoja baru pulang setelah larut malam,
Setelah mengeluarkan berbagai peralatan di taman istana dan pasha telah selesai memeriksa berbagai barang aneh ini dengan keengganan nyata yang ditunjukkan oleh seorang lelaki tua yang sedang tidak ingin mendengarkan gurauan, Hoja segera mengucapkan pidato yang telah di-hafalkannya. Sang pasha, sambil merujuk padaku, mengajukan pertanyaan, seperti yang kelak diulang oleh sultan bertahun-tahun kemudian: "Diakah yang mengajarkan semua ini padamu?" Mula-mula, inilah satusatunya tanggapan darinya. Jawaban Hoja bahkan semakin mengejutkan pasha: "Siapa?" tanya Hoja, dan kemudian mengerti bahwa yang dimaksudkan pasha adalah aku. Hoja mengatakan padanya bahwa aku tak lebih dari seorang bodoh yang banyak membaca. Saat dia mengucapkan semua itu, Hoja sama sekali tidak memikirkanku, pikirannya masih mengingat apa yang telah terjadi di istana pasha. Hoja bersikeras bahwa semua ini adalah penemuannya sendiri, namun pasha tidak memercayainya. Dia sepertinya sedang mencari orang lain untuk disalahkan dan hatinya tidak mau menyalahkan Hoja yang disayanginya itu.
Inilah yang menyebabkan mereka berbicara tentang aku dan bukan tentang bintang. Aku bisa merasakan bahwa Hoja tidak begitu senang membicarakan diriku. Suasana hening sejenak ketika pasha mengalihkan perhatiannya kepada tamu lain di sekelilingnya. Pada saat makan malam, ketika Hoja sekali lagi mencoba membelokkan arah pembicaraan ke ilmu astronomi dan karya temuannya, pasha mengatakan bahwa dia sedang berusaha mengingat-ingat kembali wajahku, namun wajah Hojalah yang melintas di pikirannya. Ada beberapa orang lain di meja itu, yang bercakap-cakap bahwa manusia diciptakan berpasang-pasangan, contoh ekstrem tentang hal ini kemudian diingat-ingat, anak kembar yang tidak bisa dibedakan, bahkan oleh ibunya sendiri; dua orang yang begitu miripnya sehingga sangat ketakutan saat saling bertemu namun tidak sanggup berpisah karena seakan-akan sudah tersihir; para bandit yang mencuri nama orang yang tidak bersalah dan menjalani kehidupan sebagai orang itu. Ketika makan malam usai dan para tamu meninggalkan istana, pasha meminta Hoja untuk tinggal sejenak.
Ketika Hoja mulai bicara lagi, mula-mula pasha sepertinya tidak begitu tertarik, bahkan tampak kesal karena suasana hatinya terasa memburuk kembali dengan mendengar berbagai informasi yang simpang-siur dan tampaknya tidak bisa dipahami. Tapi kemudian, setelah mendengar pembicaraan Hoja untuk ketiga kalinya, pembicaraan yang sudah dihafal Hoja di luar kepala, dan mengamati Bumi dan bintang pada model yang kami buat, yang berputar-putar di depan matanya, pasha sepertinya mulai tertarik sedikit demi sedikit, setidaknya dia mulai mendengarkan dengan cermat apa yang dikatakan Hoja, menunjukkan sedikit rasa penasaran. Pada saat itu, Hoja
mengulangi dengan bersemangat bahwa bintang bukanlah seperti yang diyakini oleh banyak orang, bahwa beginilah cara bintang itu beredar. "Baiklah," ujar pasha pada akhirnya, "aku mengerti, lagi pula semua ini mungkin saja terjadi." Hoja tidak berkata apa-apa mendengar komentar itu.
Aku membayangkan pastilah terjadi keheningan yang cukup lama. Hoja berbicara sambil melihatkeluar jendela ke kegelapan yang menyelimuti Tanduk Emas. "Kenapa dia berhenti bicara di bagian itu kenapa dia tidak berkomentar lebih jauh lagi?" Bila ini sebuah pertanyaan, aku tidak tahu jawabannya, sama seperti dirinya: aku menduga Hoja punya dugaan tentang apa yang akan dikatakan pasha selanjutnya, tapi dia tidak mengatakan apa-apa. Seakan akan dia marah karena orang lain tidak ingin ikut terlibat dalam mimpinya. Pasha kemudian menjadi sangat tertarik pada jam itu, lalu meminta Hoja membukanya dan menjelaskan kegunaan semua giginya, mekanisme kerjanya, dan alat pemberatnya. Lalu, dengan takut-takut, seakanakan mendekati sebuah lubang sarang ular yang gelap dan menjijikkan, pasha memasukkan jarinya ke dalam instrumen itu dan menariknya kembali. Hoja membicarakan menara jam, memuji kehebatan salat yang dilakukan semua orang pada saat yang sama, ketika tiba-tiba pasha memotong pembicaraannya. "Singkirkan dia!" ujar pasha. "Kalau kau mau, racuni dia, bila kau suka, bebaskan dia. Kau akan merasa lebih tenang." Aku langsung melirik Hoja dengan penuh rasa takut dan harapan. Hoja pernah mengatakan tidak akan membebaskanku sampai "mereka" menyadari.
Aku tidak menanyakan apa yang harus "mereka" sadari. Dan mungkin aku punya dugaan, yang membuatku takut, bahwa Hoja juga tidak mengetahui hal tersebut.
Kemudian, mereka membicarakan berbagai hal lain. Pasha tertegun saat melihat berbagai instrumen di hadapannya dengan sikap meremehkan. Hoja tetap berada di istana sampai larut malam, menunggu dengan penuh harapan semoga ketertarikan pasha muncul kembali, walaupun dia tahu sudah tiba waktunya untuk pulang. Akhirnya, Hoja memasukkan kembali segala instrumen itu ke dalam kereta kudanya. Aku membayangkan seseorang di dalam rumah dekat jalan belakang yang gelap dan sunyi sedang berbaring di tempat tidur, namun tidak bisa tidur: bertanya-tanya saat mendengar suara detik jam besar di tengah gemerisiknya suara roda kereta kuda.
Hoja terus terjaga sampai pagi menjelang. Aku ingin mengganti lilin yang sudah hampir mati, namun dia mencegahku. Karena aku tahu dia ingin aku mengatakan sesuatu, aku pun berkata, "Pasha pasti akan mengerti." Aku mengatakan ini ketika hari masih gelap. Mungkin dia juga tahu, seperti aku, bahwa aku tidak percaya pada ucapanku itu, tapi sesaat kemudian dia berkomentar bahwa permasalahannya adalah membuka misteri yang muncul sewaktu pasha berhenti berbicara.
Untuk memecahkan misteri ini, dia pergi menemui pasha begitu ada kesempatan. Kali ini pasha menyambut Hoja dengan gembira. Dia berkata bahwa dia memahami apa yang telah terjadi, atau apa yang seharusnya terjadi, dan setelah menghibur Hoja, pasha menganjurkannya untuk menciptakan senjata. "Senjata yang bisa membuat dunia menjadi penjara bagi musuh-musuh kita!" Itulah yang dikatakan pasha, tetapi dia tidak mengatakan jenis senjata yang diinginkannya. Bila Hoja mengalihkan rasa cintanya pada ilmu pengetahuan ke arah ini, pasha pasti akan mendukungnya. Tentu saja pasha tidak mengatakan
apa pun tentang dukungan yang kami harapkan. Dia hanya memberi Hoja sekantong penuh uang perak. Kami membukanya di rumah dan menghitung uang tersebut: ternyata semuanya berjumlah tujuh belas keping sebuah angka yang aneh! Barulah setelah memberikan kantong itu, pasha mengatakan bahwa dia telah membujuk sultan cilik untuk mau ditemui Hoja. Pasha menjelaskan bahwa anak ini tertarik pada "hal-hal seperti ini". Baik aku maupun Hoja, yang memiliki semangat yang mudah terpicu, tidak menanggapi janjinya dengan serius, tetapi seminggu kemudian, datanglah kabar tersebut. Pasha akan mengajak kami, ya, aku juga, untuk menemui sultan pada malam hari setelah berbuka puasa.
Sebagai persiapan, Hoja merevisi dan menghafalkan kembali pidato yang telah diucapkan di hadapan pasha, kali ini mengubahnya sedemikian rupa sehingga anak berumur sembilan tahun bisa memahaminya. Tapi, entah mengapa, pikirannya terus melayang pada pasha, bukan pada sultan; dia masih penasaran mengapa pasha tiba-tiba berhenti bicara. Dia pasti akan menemukan jawaban misteri ini kelak. Senjata jenis apakah yang diinginkan pasha untuk kami buat" Aku tidak bisa memberikan kontribusi apa-apa, karena sekarang Hoja bekerja sendiri. Sewaktu dia mengunci dirinya di dalam kamarnya sampai tengah malam, aku duduk di samping jendela kamar, bahkan tidak memikirkan kapan aku akan kembali ke rumah, namun melamun seperti anak kecil yang bodoh: bukan Hoja, melainkan akulah yang sedang bekerja di meja itu, bebas pergi ke mana saja, kapan saja sesuka hatiku!
Lalu, di suatu malam, kami memasukkan semua instrumen ke dalam kereta kuda dan berangkat menuju istana.
TXI/PRC INI DI BUAT KARENA KECINTAAN SAYA MEMBACA NOVEL DI HP/PDA (ottoys@yahoo.com)
Aku senang berjalan menyusuri jalanan di Istanbul,
merasa seperti orang yang tidak terlihat, seperti hantu di antara pepohonan raksasa, pohon kastanye dan erguvan di taman. Kami mempersiapkan berbagai instrumen itu dengan bantuan para pembantu, di tempat yang mereka tunjukkan pada kami di pekarangan kedua.
Yang mulia adalah seorang anak manis berpipi merah dengan tinggi yang proporsional bagi anak seumurnya. Dia mengotak-atik berbagai instrumen itu seakan itu mainannya. Apakah sekarang aku teringat akan saat itu ketika aku ingin menjadi temannya, ataukah teringat akan waktu lain, lima belas tahun kemudian, saat kami bertemu kembali" Entahlah; namun aku segera merasa bahwa aku tidak boleh berbuat salah di hadapannya. Hoja merasa sangat tegang ketika rombongan sultan menunggu, berkerumun dengan penuh rasa penasaran. Akhirnya dia bisa memulai, dia menambahkan halhal baru pada ceritanya; dia membicarakan bintang seakan benda itu makhluk hidup yang cerdas, menyamakannya dengan berbagai makhluk misterius yang menarik hati yang mengenal aritmetika dan geometri, dan yang beredar sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. Hoja semakin bersemangat ketika melihat anak tersebut tampak terbuai dan mendongakkan kepalanya sesekali ke angkasa dengan wajah bertanya-tanya. Lihatlah, berbagai planet yang tergantung pada bulatan transparan diwakili oleh model yang kami buat; ini Venus yang beredar sedemikian rupa dan bola besar yang tergantung itu adalah bulan yang beredar dengan garis edar yang berbeda. Sementara Hoja membuat bintang bintang itu berputar, sebuah bel yang digantungkan di model itu berdenting dengan merdunya dan sultan cilik, yang merasa takut, melangkah mundur, dan kemudian, dengan mengumpulkan keberanian, berusaha
memahami dan mendekati mesin berdenting itu seakan mesin itu sebuah peti harta karun yang menawan hati.
Sekarang, saat aku mencoba mengingat kembali dan mencoba mengulangi masa lalu, aku merasa bahwa ini adalah potret kebahagiaan yang cocok dengan dongeng fabel yang pernah kudengar sewaktu kecil dahulu, persis seperti yang digambarkan para pelukis buku dongeng. Atap merah kota Istanbul yang mirip roti jahe hanya perlu diletakkan di dalam bola kaca yang bertabur hujan salju bila kita mengguncangnya. Anak itu mulai mengajukan berbagai pertanyaan kepada Hoja dan dia harus menemukan jawabannya.
Bagaimana bintang bisa tetap tergantung di udara" Bintang itu menggantung dari bulatan yang transparan! Terbuat dari apakah bulatan itu" Dari bahan yang tidak terlihat, jadi bulatan itu pun tidak terlihat! Apakah semua bulatan tidak saling bertabrakan" Tidak, sebab setiap bulatan itu memiliki zona sendiri, berlapis-lapis seperti dalam model! Bintang itu begitu banyak, tapi kenapa bulatannya tidak sama banyaknya" Karena bulatan itu amat sangat jatuh! Seberapa jauh" Amat sangat jauh! Apakah bintang lainnya juga memiliki bel yang berbunyi saat bintang itu berputar" Tidak, kami menempelkan bel ini untuk memberi tanda pada saat sebuah bintang sudah menyelesaikan peredarannya! Apakah guntur berhubungan dengan hal ini" Tidak! Apakah yang berhubungan dengan guntur" Hujan! Apakah besok akan turun hujan" Pengamatan di angkasa menunjukkan bahwa besok tidak akan turun hujan! Apakah yang ditunjukkan oleh angkasa tentang singa sultan yang sedang sakit" Singa itu akan membaik, tetapi kita harus tetap bersabar, dan seterusnya.
Ketika menyampaikan pendapatnya tentang singa
yang sedang sakit itu, Hoja terus menatap ke angkasa, seperti yang dilakukannya saat membicarakan bintang. Setelah kembali ke rumah, dia menyinggung hal ini, mengatakan bahwa hal itu tidak ada artinya. Yang penting bukanlah apakah anak tersebut bisa membedakan antara ilmu pengetahuan dan ramalan, tetapi dia harus bisa "menyadari" beberapa hal. Dia menggunakan kata itu kembali, seakan aku mengetahui apa yang seharusnya disadari oleh sultan cilik itu, sementara aku berpikir tidak ada bedanya apakah aku menjadi Muslim atautidak. Ada lima keping emas dalam kantong yang mereka berikan kepada kami saat kami meninggalkan istana. Hoja berkata bahwa sultan telah menangkap logika di balik apa yang terjadi pada bintang. Oh sultanku! Baru di kemudian hari aku mengenalnya! Sungguh mencengangkan bahwa bulan yang sama muncul di jendela rumah kami; aku ingin menjadi anak kecil lagi! Hoja, yang tidak mampu menahan diri, kembali ke pokok pembicaraan yang sama: pertanyaan tentang singa itu tidaklah penting, anak itu mencintai binatang, itu saja.
Hari berikutnya Hoja mengurung diri di kamarnya dan mulai bekerja: beberapa hari kemudian, dia memasukkan jam dan bintang-bintang itu ke dalam kereta kembali dan, di bawah tatapan beberapa pasang mata penuh rasa penasaran dari jendela rumah tetangga, kali ini ia pergi ke sekolah dasar. Ketika kembali di senja hari, dia tampak stres, tapi tidak sampai mengunci mulutnya: "Kukira anak-anak akan memahaminya seperti sultan kemarin, tapi ternyata aku salah," ujarnya. Mereka justru ketakutan. Ketika Hoja mengajukan beberapa pertanyaan setelah memberikan pelajaran, salah seorang anak menjawab bahwa Neraka ada di balik langit dan dia mulai menangis.
Hoja menghabiskan waktu seminggu berikutnya membangun kembali rasa percaya dirinya dihadapan kecerdasan sutan: dia mendiskusikan semua hal satu per satu denganku setiap kali kami beradadi pekarangan kedua, mencari dukunganku untuk berbagai tafsirannya: anak itu memang pandai, ya; dia sudah tahu cara berpikir, ya; dia sudah memiliki sifat-sifat yang cukup untuk menahan tekanan yang dibebankan padanya di lingkungan kesultanan, ya! Jadi, lama sebelum sultan memimpikan kami, seperti yang dialaminya di masa mendatang, kami sudah mulai memimpikan dirinya. Hoja pun sedang mengerjakan jam itu, pada waktu itu; aku yakin dia juga sedang memikirkan senjata itu karena itulah yang dikatakannya pada pasha sewaktu dipanggil untuk menemuinya. Tapi, aku bisa merasakan bahwa Hoja sudah putus asa menghadapi pasha. "Dia sudah seperti orang lain," ujarnya. "Dia sudah tidakmau tahu lagi bahwa dia tidak tahu apa-apa." Seminggu kemudian, sultan memanggil Hoja kembali dan dia pun pergi menemuinya.
Sultan menerima Hoja dengan gembira. "Singaku sudah membaik," ujarnya, "seperti yang kau ramalkan." Kemudian, mereka masuk ke halaman sambil diiringi para pengawal. Sang sultan, sambil menunjukkan ikan di kolam, meminta pendapat Hoja tentang ikan-ikan itu. "Warnanya merah," ujar Hoja saat menceritakannya padaku. "Aku tidak bisa memikirkan hal lainnya untuk diucapkan." Lalu, dia menyadari pola pergerakan ikan-ikan itu; seakanakan mereka sedang mendiskusikan sebuah pola di antara mereka sendiri, berusaha menyempurnakannya. Hoja berkomentar bahwa dia merasa ikanikan itu cukup cerdas. Ketika seorang cebol, yang berdiri di samping salah seorang kasim istana yang terus-menerus mengingatkan sultan
akan pesan ibunya, menertawakan hal ini, sultan menghukumnya. Sebagai hukuman, sultan tidak mengizinkan si cebol berambut merah itu duduk di sampingnya saat dia naik ke atas keretanya.
Mereka naik kereta ke kandang singa, Beberapa ekor singa, macan tutul, dan macan kumbang yang ditunjukkan sultan pada Hoja satu demi satudiikat pada tiang sebuah gereja tua. Mereka berhenti di depan singa yang diramalkan Hoja akan segera sembuh. Si anak berbicara dengan singa itu, mengenalkannya pada Hoja. Lalu, mereka mendekati seekor singa lainnya yang berbaring di sudut; binatang ini, yang baunya tidak menyengat seperti bau binatang lainnya, sedang hamil. Sang sultan, dengan mata yang berbinar, bertanya, "Berapa banyak anak singa yang akan dilahirkan singa ini, berapa banyak yang jantan dan berapa banyak betinanya?"
Karena terkejut, Hoja melakukan sesuatu yang belakangan diceritakannya padaku bahwa yang dilakukannya itu "kesalahan besar." Dia berkata pada sultan bahwa dia memiliki pengetahuan astronomi, tapi bukan peramal. "Tapi, pengetahuanmu lebih luas daripada Peramal Istana Hu-seyn Efendi!" ujar anak itu. Hoja tidak menjawab, takut ada yang mendengar dan menyampaikannya kepada Hu-seyn Efendi. Sultan yang tidak sabaran itu terus mendesak: atau barangkali Hoja sebenarnya tidak tahu apa-apa, hanya mengamati bintang di angkasa dengan sia-sia"
Untuk menjawabnya, Hoja terpaksa harus langsung menjelaskan berbagai hal yang sebenarnya hendak diungkapkannya di kemudian hari: dia menjawab bahwa dia sudah mempelajari banyak hal dari bintang yang bertaburan itu dan berhasil mendapatkan kesimpulan yang sangat berguna dari hal-hal yang telah dipelajarinya. Dengan
mengasumsikannya sebagai sesuatu yang positif bahwa sultan berdiam diri, mendengarkan dengan mata semakin terbuka lebar, Hoja mengatakan perlunya membangun sebuah observatorium untuk meneliti bintang; seperti observatorium yang pernah dibangun oleh Murat II, kakek dari Ahmet I, kakek sultan, untuk almarhum Takiyuddin Efendi sembilan puluh tahun yang lalu, yang kemudian hancur karena tidak diurus. Atau, sesuatu yang lebih maju dari observatorium: Rumah Ilmu Pengetahuan, tempat para ilmuwan bukan saja bisa mengamati bintang, tetapi mengamati seluruh dunia, sungai dan lautannya, awan dan pegunungan, bunga dan pepohonan, dan, tentu saja, berbagai satwanya. Kemudian, para ilmuwan itu berkumpul bersama-sama untuk mendiskusikan hasil pengamatan mereka dengan santai dan meningkatkan kemajuan kaum cendekiawan.
Sultan mendengarkan Hoja membicarakan proyek ini, yang aku pun baru kali ini mendengarnya, seakan sedang mendengarkan dongeng fabel yang menyenangkan. Saat mereka kembali ke istana naik kereta kuda, sultan bertanya sekali lagi, "Menurutmu berapa jumlah anak yang akan dilahirkan singa itu?" Hoja sudah memikirkan pertanyaan itu dan kali ini dia menjawab, "Jumlah singa jantan dan betina yang dilahirkan akan sama banyaknya." Di rumah, dia mengatakan padaku bahwa tidak berbahaya menjawab pertanyaan sultan seperti itu. "Aku akan menguasai anak bodoh itu," ujarnya. "Aku lebih cerdas daripada Peramal Istana Huseyn Efendi!" Aku sungguh terkejut mendengarnya menggunakan katakata itu saat membicarakan sultan; entah mengapa, aku sendiri pun bahkan merasa tersinggung. Pada hari-hari itu aku menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah tangga untuk
menghilangkan rasa jemu. Kemudian, dia mulai menggunakan kata itu seakan-akan merupakan kunci ajaib yang bisa membuka setiap pintu: karena mereka itu "bodoh", mereka tidak melihat bintang yang bergerak di atas kepala mereka dan mencoba memahami artinya, karena mereka itu "bodoh", mereka pertama-tama akan mengajukan pertanyaan tentang manfaat berbagai hal yang akan mereka pelajari, karena mereka itu "bodoh", mereka tertarik bukan pada hal-hal rinci, tetapi pada garis besarnya saja, karena mereka itu "bodoh", mereka semua sama saja, dan seterusnya. Walaupun dulu juga aku pernah suka mengecam orang lain dengan cara seperti ini, beberapa tahun yang lampau, saat aku masih tinggal di negeriku, aku tidak menceritakannya pada Hoja. Pada saat itu dia sedang disibukkan oleh orang-orang bodohnya, bukan olehku. Jelas kebodo-hanku adalah kebodohan yang berbeda. Karena keluguan-ku pada masa itu, aku pernah menceritakan sebuah mimpi kepadanya: dia mengunjungi kampung halamanku sebagai penggantiku, menikahi tunanganku. Dalam pesta pernikahan itu, tak ada yang menyadari bahwa dia bukanlah aku, dan selama pesta yang kusaksikan dari sebuah sudut dengan berpakaian seperti orang Turki, aku bertemu dengan ibu dan tunanganku yang sama-sama membuang muka karena mereka tidak mengenaliku, meskipun aku berurai air mata yang akhirnya membuatku terbangun dari mimpi tersebut.
Pada masa itu, dua kali dia mengunjungi istana pasha. Aku yakin pasha tidak senang saat mengetahui bahwa Hoja menjalin hubungan dengan sultan di luar pengawasannya. Pasha pun menginterogasi Hoja; menanyakan tentang aku, menyelidiki diriku, tapi baru di kemudian
harilah, sesudah pasha diusir dari Istanbul, Hoja menceritakan semua itu padaku. Dia takut aku menjalani kehidupanku dengan perasaan takut diracun bila aku mengetahuinya. Namun, aku masih tetap berpendapat bahwa pasha lebih tertarik padaku daripada pada Hoja;
TXI/PRC INI DI BUAT KARENA KECINTAAN SAYA MEMBACA NOVEL DI HP/PDA (ottoys@yahoo.com)
aku merasa tersanjung bahwa kemiripan antara Hoja dan aku telah mengganggu pikiran pasha melebihi pikiranku sendiri. Pada hari-hari itu, kemiripan kami seakan sebuah rahasia yang tidak ingin diketahui Hoja dan kenyataan itu memberiku keberanian yang ganjil: kadang aku merasa bahwa kemiripan ini saja sudah cukup membuatku dibiarkan terus hidup sampai Hoja mati. Mungkin itulah sebabnya mengapa aku mendebat Hoja saat ia mengatakan bahwa pasha pun termasuk dalam kelompok orang bodoh; Hoja sangat kesal oleh pendirianku itu. Dia menyerangku dengan amarah yang tidak biasa kuterima; aku ingin merasakan ketergantungannya padaku dan rasa malunya: dengan tak kenal lelah, aku mengajukan berbagai pertanyaan padanya tentang pasha, tentang apa yang dikatakan tentang kami berdua. Semua pertanyaanku membuat Hoja nyaris murka, yang menurutku tidak jelas penyebabnya, bahkan juga tidak jelas baginya. Lalu, dia bersikeras mengulangi bah- wa mereka juga pasti akan menyingkirkan pasha; tak lama lagi para tentara elite akan melakukan sesuatu, dia merasakan ada persekongkolan di dalam istana. Karena itulah, seandainya dia akan membuat senjata seperti yang disarankan pasha, maka dia akan membuatnya bukan untuk seorang wazir yang akan berkuasa sebentar saja, melainkan untuk sultan.
Untuk beberapa waktu lamanya, aku mengira dia benar-benar disibukkan oleh pemikiran yang tidak masuk akal tentang senjata tersebut; selalu menyusun rencana
yang tidak jelas tujuannya, kataku dalam hati. Sebab jika dia telah membuat kemajuan, aku yakin dia pasti menceritakannya padaku, meskipun mungkin tujuannya hanya untuk mengejekku. Dia pasti akan menceritakan berbagai rancangannya padaku untuk mengetahui pendapatku. Pada suatu malam, kami berjalan pulang dari Aksaray, tempat kami mendengarkan musik dan menikmati waktu bersama para pelacur, yang kami lakukan setiap dua atau tiga minggu sekali. Hoja berkata bahwa dia berencana untuk bekerja sampai pagi, kemudian bertanya tentang wanita kami tidak pernah berbicara tentang wanita sebelumnya dan tiba-tiba berkata, "Menurutku tetapi saat kami masuk ke dalam rumah, dia langsung mengurung diri di kamarnya tanpa mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya. Aku ditinggalkan sendirian dengan sejumlah buku yang saat itu tidak lagi menarik perhatianku sedikit pun, dan memikirkan dirinya: memikirkan rencana atau gagasannya yang aku yakin tidak bisa dikembangkannya, memikirkan dirinya yang mengurung diri dengan duduk di balik meja yang sampai saat itu pun belum terasa nyaman baginya, menatap halaman-halaman kosong di hadapannya, duduk dengan sia-sia di balik meja selama berjam-jam, diliputi rasa malu dan amarah ....
Dia muncul dari dalam kamarnya jauh setelah lewat tengah malam, dan seperti seorang murid malu-malu yang sedang mencari pertolongan untuk menjawab pertanyaan kecil yang telah membuatnya menyerah, memanggilku masuk ke dalam kamarnya. "Tolong aku," sergahnya dengan cepat. "Mari kita pikirkan mereka bersama-sama; aku tidak bisa maju jika berpikir sendirian." Aku terdiam sejenak, mengira ini pasti ada hubungannya dengan wanita. Ketika dia melihatku yang menatapnya dengan
tatapan kosong, dia berkata dengan serius, "Aku sedang memikirkan orang-orang bodoh itu. Kenapa mereka begitu tolol?" Lalu, seakan-akan sudah tahu jawaban yang akan kulontarkan, dia menambahkan, "Baiklah, mereka tidak tolol, tapi ada sesuatu yang hilang dari otak mereka." Aku tidak menanyakan siapa "mereka" yang dimaksudkannya. "Apakah mereka tidak memiliki sebuah sudut di dalam otaknya untuk menyimpan berbagai informasi?" tanyanya, dan melihat ke sekelilingnya seakan sedang mencari kata yang tepat. "Mereka seharusnya punya sebuah tempat di dalam otaknya, sebuah tempat seperti laci dalam lemari ini, sebuah tempat untuk menyimpan berbagai hal, tetapi seakan tempat seperti itu tidak ada. Kamu mengerti tidak?" Aku ingin percaya bahwa aku mengerti satu atau dua hal yang di- katakannya, tapi tetap saja tidak mengerti. Untuk beberapa lama kami duduk berhadapan dalam keheningan. "Lagi pula, siapa yang bisa tahu kenapa seseorang menjadi seperti dirinya?" akhirnya dia berkata. "Ah, kalau saja kamu benar-benar seorang dokter dan bisa mengajarkan hal itu padaku," dia terus bicara, "tentang tubuh kita, tentang apa yang ada di dalam tubuh dan kepala kita." Dia sepertinya merasa agak malu. Dengan Jenaka, yang kurasa dilakukannya dengan secara tersamar karena tidak ingin membuatku takut, dia bersumpah untuk tidak akan menyerah, untuk terus mencari jawabannya, karena penasaran apa yang akan terjadi dan karena tidak ada pekerjaan lain yang harus dilakukan. Aku tidak mengerti sedikit pun yang dikatakannya, tapi aku senang karena dia mempelajari semua ini dariku.
Sayap Sayap Terkembang 16 The Bourne Supremacy Karya Robert Ludlum Taiko 10

Cari Blog Ini