Ceritasilat Novel Online

Adat Muda Menanggung 1

Adat Muda Menanggung Rindu Karya Bagindo Saleh Bagian 1


Adat Muda Menanggung Rindu
Penulis: Bagindo Saleh Desain Kover : Muhammad Ali
Editor : Tim Editor Balai Pustaka
Layout Isi : M. Hartono Hak pengarang dilindungi undang-undang
Cetakan pertama -1955 Cetakan keenam - 2011 dicetak oleh: PT Temprina Media Grafika
Diterbitkan oleh Penerbitan dan Percetakan
PT Balai Pustaka (Persero)
Jalan Pulokambing Kav. J. 15
Kawasan Industri Pulogadung, Jakarta Timur
Tel. 021-4613519, 4613520
Saleh, Bagindo Adat muda menanggung Rindu / Bagindo Saleh,
cet.ke-6 Jakarta : Balai Pustaka, 2011.
vi, 114 hlm.; 14.8 x 21 cm. - (Seri BP No. 1940).
1. Fiksi. I. Judul. II. Seri.
ISBN 979-666-300-7 Kata Pengantar Adat Muda Menanggung Rindu adalah hal yang biasa dialami oleh anak-anak muda yang sedang jatuh cinta.
Bagindo Saleh menyalin tema cinta itu dalam kisah yang menarik dan menegangkan.
Buku ini adalah salah satu dari sekian banyak judul buku sastra yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Semoga terbitnya kembali buku ini dapat mengobati kerinduan masyarakat Indonesia pada umumnya akan karya sastra Balai Pustaka dan membantu masyarakat sastra khususnya dalam melakukan kajian.
Balai Pustaka Sepatah Kata Buku ini mengenangkan kejadian-kejadian di Jakarta pada zaman lampau masa perkisaran Pemerintah Belanda di
Indonesia yang telah berabad dan bersejarah gemilang yang meninggikan derajat bangsa Belanda. Dalam peperangan dunia II Pemerintah Belanda terpaksa menyerahkan Indonesia kepada tentara Jepang, karena tidak kuat berperang dengan Jepang. Mula-mula rakyat Indonesia menyangka di bawah pemerintah tentara Jepang itu, akan lebih baik daripada pemerintah kolonial Belanda. Akan tetapi sangkaan itu meleset sekali, kenyataannya setali tiga uang, malah rakyat lebih sengsara dalam pemerintah tentara Jepang. Bermacam-macam penanggungan dan penderitaan rakyat ketika itu. Alangkah hebat suasana, kesulitan-kesulitan, kekejaman kekejaman tentara Jepang! Bagaimana pula sukar susahnya penghidupan di bawah pemerintahan tentarajepang itu, terasa benar pahit getirnya dalam hati rakyat yang tidak mungkin hilang selama-lamanya.
Dalam suasana demikian diceritakan seorang gadis yang tak luput dari susah dan kecewa, karena bapaknya ditahan Jepang. Tetapi di samping itu, seorang anak muda, bekerja untuknya dan berikhtiar mengeluarkan bapak gadis itu dari tawanan.
Apakah yang memaksa anak muda itu, mengerjakan pekerjaan yang berat itu"
Kesan yang mengandung sejarah itulah yang mendorong hati menulis cerita ini, akan jadi kenang-kenangan, sekalipun suasana yang digambarkan sebagian kecil saja, jauh daripada cukup. Tetapi banyak yang tepat dan benar.
Mudah-mudahan bagi anak-anak muda menjadi suatu bacaan yang memuaskan.
Penulis Jakarta, 30 Oktober 1952 Bab 1 Dalam Suasana Perang Dunia Kedua
Menurut kabar radio di Jakarta, Singapura sudah jatuh ke tangan tentara Jepang setelah mengadakan peperangan yang hebat dahsyat melawan tentara Inggris. Singapura itulah pertahanan Inggris yang terkuat di Asia Tenggara dan diperkuat lagi oleh tentara sekutunya: Australia dan Belanda, Tetapi bagi tentara Jepang tak ada yang kuat. Singapura diserangnya akan menaklukkan Inggris, musuhnya yang utama dalam Perang Dunia ke-II. Tetapi Inggris tak menyerah begitu saja. Segala serangan Jepang ditangkisnya. Terjadi peperangan yang seru dan hebat antara Sekutu (Inggris, Australia, Belanda) melawan tentara jepang. Konon kabarnya peperangan Singapura itu suatu peperangan yang terbesar di Asia Timur Raya. Kedua pihak serang-menyerang. Berkecamuk tikaman senjata; sedang di angkasa menderu bunyi kapal udara; menjatuhkan bom yang membahayakan jiwa manusia. Darah perwira gagah perkasa, tumpah ke bumi; mayat bergelimpangan di medan peperangan. Rusak binasa kedua pihak. Tetapi dalam peperangan itu pasukan Jepang selalu bertambah, tak putus-putusnya datang bergugus- gugus. Menambah semangat yang sedang bertempur. Menyerang dengan gagah perkasa tak kenal mati. Maju terus! Terbelintang patah terbujur lalu. Sehingga tak tertahan- tahan lagi oleh Inggris dan konconya. Ikatan perang Sekutu pecah kacau-balau. Inggris dan sekutunya mundur teratur lari berpencaran; setengah menyerang ke Jawa dan setengah lagi ke Sumatera. Serdadu-serdadu Hindia Belanda membuang pakaian dan menjelma jadi penduduk asli. Oleh karena tentarajepang menyangka mereka anak negeri juga, mereka lepas dari tangkapan dan tawanan. Singapura jatuh, setelah dipertahankan mati-matian oleh Sekutu. Nama Singapura segera diganti oleh Jepang dengan Shonanto.
Kemenangan jepang yang gilang-gemilang itu, kehilangan ke mana-mana. Berkumandang ke dunia luar. Belanda cemas karena Singapura jatuh. Hindia Belanda-nya terancam. Sebab, Hindia Belanda kini jadi garis peperangan yang paling depan. Dialah sekarang akan jadi sasaran tentara Jepang. Pemimpin- pemimpin serdadu Belanda di Jakarta yang selalu bersiap- siap hendak berperang dengan Jepang menjadi gelisah, cemas; dan berpendapat: sedangkan Singapura yang begitu kuat, runtuh oleh tentara Jepang, apalagi Jakarta! Seluruh Semenanjung sudah takluk, konon pula Hindia Belanda. Sia-sia melawan. Semangat Belanda berperang berkurang; apalagi setelah mendengar pemimpin-pemimpin Belanda yang tertinggi seperti Letnan Gobnor Jenderal van Mook yang dibanggakan Belanda, telah menyingkir dengan kapal terbang ke Australia di saat yang genting itu. Hanya Gobnor Jenderal Hindia Belanda Carda van Starkenborgh yang bertahan. Orang-orang simpati kepadanya, sebab amat setia pada pekerjaan, tak meninggalkan kewajiban sekalipun bahaya mengancam. Demikian pula kepala panglima perang tentara Belanda Ter Porten masih tetap memimpin tentaranya. Tapi apa akan dikata, di mana-mana pertahanan Belanda lemah. Kabar datang berturut-turut mengatakan, bahwa Jepang sudah mendarat di Tarakan, Makasar, Ambon, Palembang dan yang dekat sekali di Banten. Masyarakat Belanda bertambah kalang-kabut mendengar kabar itu. Tetapi dalam masyarakat Indonesia orang tak tampak gugup atau gelisah. Malahan sebaliknya banyak yang gembira Jepang masuk. Katanya kita lepas dari jajahan Belanda! Karena kesan yang ditinggalkan Belanda kepada Indonesia jelek, tak tertanam rasa persahabatan. Yang terasa, pandangan Belanda yang rendah kepada orang-orang Indonesia, orang jajahan yang hina, yang boleh menjadi hambanya saja. Karena itulah, Indonesia tak kecewa; malah girang tentara Jepang datang.
Di Banten, tentara Jepang tertahan. Di situ pun terjadi per-tempuran yang seru. Tidak sedikit Jepang yang mati ketika mendarat, sebab tentara Hindia Belanda dan Australia menghujani mereka dengan tembakan-tembakan dari atas bukit ketika mendarat. Tapi tentara Jepang berpantang mundur. Satu mati, dua gantinya! Perahunya mendarat bertubi-tubi; dibantu pula oleh serangan kapal terbang di udara yang menghantam kubu-kubu Belanda dengan bom. Hari itu juga peperangan selesai. Serdadu Belanda lari cerai- berai banyak juga yang ganti pakaian dengan pakaian orang- orang kampung, untuk menyelamatkan diri. Beberapa hari kemudian terdengar suara di Jakarta, bahwa tentara Jepang sudah ada di Tangerang dalam perjalanan ke ibu kota Hindia Belanda, Jakarta, yang ketika itu bernama Batavia. Jepang masuk dengan semboyan: "Asia buat Asia. Jepang-Indonesia sama-sama."
Dalam keadaan suasana kacau itu, Sitti Nurlela, seorang gadis Menado mendengar tentara jepang itu seram romannya. Ia mengerti beberapa jam lagi tentara jepang yang kejam itu akan sampai ke Jakarta. Busuh hati dan kusut pikirannya, karena bapaknya ketika itu belum pulang juga. Sudah berjam- jam ditunggunya belum juga tampak. Dengan gelisah dan tak sabar lagi, berkatalah ia kepada ibunya "Aduh Bu, ke mana Bapak begini hari belum pulang Bu?"Lalu menangis tersedu- sedu.
Ibunya yang termenung dari tadi memikirkan suaminya itu, tiba-tiba terkejut mendengar kata anaknya, menoleh serta menjawab:
"Diamlah anakku, mengapa engkau cemas benar. Sabarlah; jangan menangis. Orang yang sebesar engkau tak pantas menangis lagi. Diamlah," kata ibunya lunak-lembut sambil menggosok-gosok kepala anaknya yang tertungkup di ribaannya.
"Ah, Bu," kata Nurlela sambil mencedungkan kepalanya. "Tidakkah Ibu, kasihan kepada Bapak" Aduh Bu! Sejak Bapak berangkat semalam hatiku berdebar-debar saja; rasa- rasa ada bahaya menimpa Bapak. Ah, Bu, mengapa Bapak belum pulang" Biasanya ia pagi-pagi sudah ada di rumah. Jangan-jangan Bapak....aduh Bapakku, Bu." Nurlela bersedu- sedu menangis dengan sedihnya.
"Tenang, tenang anakku. Melihat anakku susah, Ibu juga bingung. Ibu sendiri tak tahu apa-apa. Bersusah-hati dan menangis, lain tidak menambah kesusahan kita jua hasilnya. Karena itu anakku, tenangkanlah hatimu! Sabar; pergilah mandi dulu. Basahi kepalamu yang panas itu supaya dingin."
Nurlela diam mendengar kata ibunya. Agak tenang sedikit hatinya. Perlahan-lahan ia bangkit menurut suruhan ibunya. Di kamar mandi masih terngiang-ngiang di telinganya kata- kata ibunya yang diucapkan dengan sabar dan tenang itu. Perbuatan ibunya demikian, jadi pikiran Nurlela; menambah kekhawatirannya. Tapi nyata terlihat Ibu menaruh susah dan khawatir juga tentang Bapak.
Untuk menghindarkan peperangan dijakarta, pemerintah Belanda akan menjemput tentarajepang di Pesing Tangerang, atas nama Resident van Batavia dengan membawa bendera putih, tanda tunduk. Pekerjaan itu segera diselenggarakan sebelum tentara Jepang terdorong memasuki Jakarta. Tak lama sesudah itu tampaklah tentara Jepang masuk kota dengan megahnya dari jurusan Tangerang kira-kira pukul 11 pagi.
Perlawanan dari pihak Belanda tak ada. Kantor residen, haminte (Kotapraja) dan beberapa kantor yang penting-penting diduduki tentara Jepang. Orang-orang Belanda yang berpangkat ditawan. Mana-mana yang belum dapat, dicari, melawan ditembak.
Kempetai, semacam polisi Jepang, baru pertama kali dikenal orang di Jakarta, luar biasa ganasnya, luar biasa siksaamiya kepada tangkapannya. Belanda yang tertangkap jangan diharap selamat pulang; diinjak ditendang dengan sepatu, pendeknya tusuk-menusuk dengan bayonet, dianggapnya soal biasa. Apalagi kalau orang itu mata-mata Belanda, tanpa berkata ba dan bu, tentu mesti mati, sekalipun ia minta ampun sampai ke langit.
Kabar keganasan Jepang tersiarlah. Perasaan anak negeri segera berubah; jadi takut pada Jepang. Jepang yang tadinya disangka akan menolong Indonesia, kiranya meleset. Kata- kata serdadu Jepang itu pendek-pendek, kaku, kasar, dan menakutkan rakyat. Momok kempetai selalu mengancam; segala tindakan mesti hati-hati, salah kata, salah jawab, sebab tak tahu bahasanya mengancam jiwa.
Serdadu Jepang itu badannya tegap-tegap, rupanya bengis dan adatnya kasar. Gampang marah, menghardik dengan mata terbelalak. Siapa yang takkan ngeri berhadapan dengan orang bersenjata macam itu" Bengis dan kejam sudah jadi sifat tentara Jepang. Tindakannya mengerikan.
Bab 2 Kabar Yang Tak Memuaskan Beberapa jam saja tentara Jepang memasuki Jakarta, terasa keadaan suasana panas. Jepang menangkap dan menahan orang-orang yang dicurigai, secara kejam. Di mana-mana sekitar kota, orang mengeluh, kena siksaan tentara Jepang. Ratap tangis dibalas dengan hardik, belalak mata dan tak kurang- kurang tempeleng di bawah ancaman bayonet. Gelak ketawa hampir tak ada kedengaran lagi, bertukar dengan kata-kata yang kaku tajam dan mengancam. Di Jakarta kekejaman dan keganasan meruncing, mengecutkan hati.
Petang hari itu, Nurlela dan ibunya duduk-duduk di ruang tengah rumahnya. Mereka sangat ketakutan mendengar keganasan tentara Jepang. Yang lebih mengacau hatinya, ialah bapaknya yang tak kunjung pulang. Hari sudah hampir malam ayam sudah masuk ke kandangnya. Lampu-lampu sudah dipasang orang.
Melihat hari makin malam itu, bertambah kacau hati Nurlela memikirkan bapaknya. Dipandangnya muka ibunya, sambil berkata: "Bu, hari sudah malam pula; ke mana Bapak agaknya Bu; ditawan tentara Jepangkah Bapak, Bu" Kalau tidak, tentu ia sudah pulang."
"Ah Nurlela, jangan anakku memikirkan yang bukan-bukan. Bapakmu bukan berperang, hanya sebagai stadswacht(Penjaga keamanan kota) menjaga kota. Tapi kewajibannya sebenarnya menjaga kantor tempat dia bekerja," jawab ibunya, meredakan perasaan Nurlela.
Nurlela diam saja. Tak dipedulikannya kesusahan hatinya, sekalipun pikirannya selalu melekat kepada bapaknya. Untuk pelengah hati, dihidupkannya pesawat radio akan mendengarkan siaran warta-berita. Barangkali ada kabar penting yang berhubungan dengan bapaknya.
Tapi tiba-tiba ia terheran mendengar nyanyian "Kimi- gayo" lagu kebangsaan Jepang. Ganjil benar kedengarannya. Ia tertawa mendengar lagu yang aneh bagi telinganya itu. Apalagi suara orang yang menyanyikannya parau; tak merdu, tapi tekan-tekuknya suara, kena benar.
"Eh, lagu apa itu, Nak?" tanya ibunya.
"Ah Bu, kita sudah mulai dibawa Jepang ke dalam dunianya. Lagu ini tentu lagu Jepang asli," kata Nurlela.
"Kok seperti lagu Tionghoa".
"Hampir sama, sebab kebudayaan Jepang hampir sama dengan kebudayaan Tionghoa.
"Masa," kata ibunya.
"Betul Bu, malah menurut sejarah, orangjepang itu orang Tionghoa juga asalnya," kata Nurlela.
Radio itu segera dimatikannya, karena hati Nurlela tak luput daripada memikirkan bapaknya. Hal itu menekan perasaan dan menutup hatinya untuk bergirang. Sementara itu hari sudah gelap. Pintu dan jendela rumah sudah ditutup. Mereka seolah-olah bersembunyi dalam rumah; menjauhi bahaya dalam suasana yang ngeri itu. Ibu dan anak itu duduk diam berdekatan dan seorang pun tidak berkata. Hari gelap, dan dari jauh terdengar bunyi tembakan berkali-kali tanda keadaan tak aman.
Sedang mereka diliputi ketakutan itu, tiba-tiba terdengar suara dari jurusan pintu, yang menambah takutnya.
Tok, tok, tok. Pintu diketuk orang dari luar. Darah mereka berdebar dan liati cemas. Kedua beranak sangat terkejut dan berpandang-pandangan.
"Ada orang, Bu," kata Nurlela berbisik. Kemudian kedengaran lagi bunyi tok-tok; makin keras dan cepat.
Mereka diam saja, tak berani membuka pintu. Hati mereka bertambah kecut, serasa ada bahaya yang mengancam. Sementara mereka ketakutan itu terdengar pula tok-tok lebih keras lagi. Sungguh pun Nurlela gemetar ketakutan, ia memberanikan diri berjalan ke pintu dan bertanya dengan gugup.
"Siapa itu di luar?" tanyanya dengan suara gemetar.
"Saya, Ahmad," terdengar jawab orang dari luar.
"Ahmad" Kami di sini tak kenal Ahmad," sahut Nurlela dengan pendek.
"Tak tahu kepada saya, tak berguna dipersoalkan dalam keadaan seperti ini. Saya kemari hanya hendak bertemu dengan Nurlela," kata Ahmad.
"Eh, dengan Nurlela" Nurlela, saya sendiri. Tapi saya belum pernah berkenalan dengan orang yang bernama Ahmad. Saya tak berani membukakan pintu malam-malam begini, karena saya tak kenal kepada Tuan. Negeri sekarang tak aman, orang dalam kecemasan. Karena itu besok saja datang," jawab Nurlela.
"Ah, bukalah pintu sebentar, besok saya tak ada tempo. Saya membawa kabar tentang Pak Mohambing!" kata Ahmad.
Mendengar nama bapaknya disebut-sebut, Nurlela segera membukakan pintu dan mempersilakan dengan hormat tamu itu masuk.
Demi Ahmad melihat gadis itu, berdebarlah hatinya. Gadis yang hormat mempersilakan masuk itu tampan, manis;
matanya bersinar. Dalam keadaan terpesona itu ia berkata:
"Adikkah yang bernama Nurlela, anak gadis Pak Mohambing?" tanya tamu itu bata-bata.
"Ya, itulah nama saya," kata Nurlela. "Tapi silakanlah Tuan masuk dulu."
"Masuk" Saya mengucapkan terima kasih, saya perlu menyampaikan kabar tentang Pak Mohambing kepada Dik Nurlela dan Ibu. Bukankah Pak Mohambing dari kemarin malam tak pulang?" kata tamu itu.
"Sesungguhnya Nak, itulah yang kami rusuhkan dua beranak. Apakah kabar yang Anak bawa?" sela Ibu Nurlela dengan perasaan tak sabar. "Tapi masuklah dulu, di sini gelap, tak baik bicara di tempat gelap."
"Tak usah saya menyusahkan Ibu pula. Saya hanya disuruh Pak Mohambing kemari mengabarkan dia ditahan tentara Jepang bersama kawan-kawannya," kata Ahmad.
"Ditahan tentara Jepang" Saya tak mau menerima kabar dalam gelap ini, apalagi buat kami. Silakan Tuan duduk kemari," kata Nurlela sambil mengunjukkan kursi. Mendengar kata Nurlela itu, Ahmad menurut dengan patuh. Duduklah ia di ruang berhadap-hadapan dengan Nurlela dan ibunya. Nurlela segera bertanya pula:
"Apa sebab bapakku ditahan?"
"Sebab disangka serdadu Belanda," kata Ahmad.
"Apakah Bapak dapat celaka?" tanya Nurlela.
"Tidak." "Di mana Tuan ketemu dengan dia?" tanya Nurlela.
"Tadi saya lihat Pak Mohambing di atas oto gerobak ber-sama-sama kawannya. Ia berteriak memanggil saya. Saya datang mendekati dia. Tapi belum selesai Pak Mohambing berbicara, serdadu panjaga datang. Pak Mohambing dimaki, digocohnya dengan mata terbelalak, sedang dari mulut serdadu itu keluar perkataan tak terang kepada saya dalam bahasa Jepang. Sebab bersalahan tampaknya, buru-buru saya menghilang dari situ. Tapi mata saya tak luput memandang oto gerobak yang membawa Bapak ke arah Harmoni," kata Ahmad.
"Aduh, Bu, nasib Bapakku...aduh Bu," ratap Nurlela.
Lemah sendi lulang ibunya mendengar kabar itu. Ia terdiam dengan sedih hatinya.
Ahmad terpesona memandang tingkah laku Nurlela bersusah hati itu. Tampak olehnya air mata Nurlela meleleh di pipinya. Bertambah cantik molek tampaknya. Dalam bersedih itu, Nurlela tambah manis jelita dalam pandangan Ahmad.
Nurlela mengerti akan tajam pandangan Ahmad padanya. Dia yakin Ahmad memperhatikannya, tapi hal itu tak diindahkannya. Ia berkata dengan bebasnya.
"Tidakkah Tuan ikuti oto itu?" tanya Nurlela lagi.
"Tidak," jawab Ahmad.
"Tidak?" kata Nurlela tercengang. 'Jadi, Tuan hanya membawa kabar begitu saja" Sayang benar kabar yang Tuan bawa, belum berarti bagi kami, hanya menambali sedih kami."
Mendengar penyesalan Nurlela itu, Ahmad tercengang. Tak disangka-sangka dia akan menerima sesalan yang demikian. Merah kupingnya seperti dibakar; serasa hitamlah mukanya.
Mula-mula ia diam saja. Tapi masih memandang Nurlela dengan tajam. Ia bekerja! Bukan minta dipuji! Tapi tak juga mengharapkan celaan yang tak menyenangkan.
Panas hatinya mendengar perkataan Nurlela yang menyindir terus terang itu. Karena itu ia berkata:
"Adik Nurlela menyesali saya atau mencela perbuatan saya. Saya semata-mata membawa kabar tentang Bapakmu," kata Ahmad setengah mengejek.
"Tuan janganlah gusar mendengar perkataan saya yang terus terang itu. Saya tak biasa mengandung sesuatu dalam hati.
Dengan sesungguhnya saya katakan perasaan saya. Bagi saya kabar yang Tuan bawa kepalang tanggung! Tak memuaskan hati! Malah menjadi penyakit, bagai bisul yang mengandung nanah dan selalu sakit mendenyut-denyut hendak memecah."
"Salah benar sangkamu," kata Ahmad tercengang.
"Tuan membawa kabar yang tidak cukup, sehingga menjadi penyakit bagi kami. Hati saya bertambah susah mendengar kabar yang Tuan bawa. Coba kalau Tuan jujur, oto gerobak yang membawa Bapakku Tuan turutkan hingga nyata di mana Bapakku ditahan. Kami yang dalam susah ini, tentulah merasa puas. Sekarang kabar yang begitu Tuan katakan kepada kami. Apa guna" Lain tidak menyusahkan kami saja," kata Nurlela dengan sedih sedang air matanya meleleh.
Terpekur Ahmad mendengar kata Nurlela. Terasa kebenaran kata-kata Nurlela. Hatinya yang panas itu menjadi dingin karena disiram kata-kata yang diucapkan Nurlela dalam bersedih hati itu. Nyata kepadanya, Nurlela seorang gadis berpikiran tajam; mempunyai timbangan yang tak dapat disalahi. Dengan tenang dan sabar ia berkata lemah- lembut. "Maaflah saya Dik Nurlela. Kata-kata Adik itu sebenarnya membuka mata saya. Tak sedikit juga saya berhati gusar setelah saya mendengar buah pikiran Adik Nurlela. Saya berjanji akan mencari Pak Mohambing.
"O, Tuan yang terhormat. Saya tak menyuruh dan minta tolong Tuan bekerja begitu. Itu berbahaya. Itu pekerjaan orang berani. Saya tak senang seseorang mendapat celaka karena saya."
Makin termenung Ahmad mendengar makna perkataan gadis yang mengandung maksud-maksud yang lahirnya melarang, tapi mengikat itu. Kemudian ia berkata:
"Saya akan bekerja atas kesukaan saya sendiri. Saya akan menolong Adik Nurlela, dimana dapat memberi pertolongan. Kini hari sudah malam, saya minta permisi pulang."
Nurlela diam saja dengan sedih hatinya, tak tentu lagi apa yang akan dikatakan.
"Tunggu dulu, duduklah kembali Nak Ahmad," kala ibu Nurlela seolah-olah membujuk Ahmad, dan dia pergi ke belakang.
Ahmad duduk kembali. Ia tetap memandang Nurlela. Terasa dalam hati, kecantikan Nurlela menarik hatinya benar- benar. Sebaliknya gadis itu tak mengindahkannya. Melihat itu Ahmad menggerutu, seolah-olah ia tak berharga di mata Nurlela.
Kemudian datang ibu Nurlela membawa baki berisi tiga mangkok teh dan penganannya.
Setelah diaturnya di atas meja, dipersilakannya Ahmad minum. Ahmad masih memandang Nurlela juga. Amat jelita tampak padanya. Tiba-tiba ia terkejut mendengar ibu Nurlela bertanya:
"Anak Ahmad orang mana?"
"O, saya Bu, asal dari Medan. Ibu-bapak saya orang sana," kata Ahmad.
"O, orang Medan?" kata ibu Nurlela tercengang.
"Ya, Bu," jawab Ahmad.
"Orang Medan asli?"
"Ya, Bu, lahir pun di Medan."
"O, kalau begitu barangkali Anak tahu Tengku Mahmud," tanya ibu Nurlela.
"Itulah bapak saya, Bu, kata Ahmad.
"Tengku Mahmud bapakmu?"
"Ya, Bu," kata Ahmad.
"Masya Allah. Kalau begitu tentu engkau tahu juga Tengku Mansyur, Tengku Daud, Sitti Hamidah, Sitti Chadidjali, bukan?" "Ya tahu, Bu. Tengku Mansyur kakak Bapak, Tengku Daud adik Bapak. Hamidah adik Bapak nomor dua dari bawah. Sitti Chadidjah adik Bapak yang bungsu, kini tak ada di Medan.
"Di mana Sitti Chadidjah?" tanya ibu Nurlela.
"Tak tahu saya Bu. Tapi apa sebab Ibu tahu segala famili bapak saya?"
"Ibu dulu lama di Medan. Bersama bapakmukah engkau di sini?"
"Tidak Bu, saya menumpang dan bayar makan di Pasar Baru," kata Ahmad.
Setelah selesai minum-minum, kemudian Ahmad minta diri. Ibu Nurlela berkata: "Sering-sering kemari ya, Nak Ahmad!"
"Insya Allah, Bu," sahut Ahmad tersenyum.
Setelah Ahmad pergi, dengan merengut dan mengerutkan kening, berkata ibu Nurlela kepada anaknya.
"Nurlela, engkau benar-benar seorang gadis yang amat kasar, dengan mengatai dan menyesali orang demikian!
Mengapa adatmu demikian benar kepada Ahmad, seorang anak muda yang begitu cakap, terpelajar pula lagi" Heran aku melihat tingkahmu. "
Nurlela tersenyum sedih memandang kepada ibunya, sambil mengira-ngira pikiran ibunya yang memuji-muji Ahmad itu.
"Apanya yang cakap, Bu," katanya tersenyum. "Aku merasa tak bersalah Bu. Apalagi ketika itu hatiku sangat terharu, tapi apa-apa yang kukatakan benar belaka."
"Ya pendapatmu demikian, tapi karena itu Ahmad berkecil hati. Tentu ia tak lagi datang kemari, membawa kabar tentang bapakmu, sedang kabar itu penting buat kita," kata ibunya.
Timbanganku sebaliknya, dia akan lekas datang, kalau ada kabar yang penting untuk kita. Karena Ahmad orang yang berakal dan arif tampaknya. Lain perkara kalau ia dungu; kalau hanya dapat membaca yang tersurat saja, tak pandai membaca yang tersirat."
"Ibu berasa sayang kepada anak muda itu. Ia dapat akan teman kita dalam kesusahan ini, kalau engkau tak mengecilkan hatinya," kata ibunya.
"Tetapi ia pemuda penakut, Bu. Melihat bapakku digocoh Jepang saja, dia lari ketakutan. Rupanya saja dia gagah," kata Nurlela tertawa gelak-gelak mengganggu ibunya.
"Bagaimana hendaknya orang yang engkau sukai?" kata ibunya merengut. "Ingin pula Ibu mendengar pendapatmu tentang ini."
Nurlela tak menjawab. Ia hanya tertawa saja lalu bangkit dan ditariknya tangan ibunya diajak ke kamar makan.
Setelah Ahmad meninggalkan rumah Nurlela, sepanjang jalan tak hilang-hilang dalam hatinya kata-kata Nurlela yang mengatakan berterang-terang sesalan kepadanya, malah mencela kelakuannya. Panas hatinya kepada gadis yang berkata semaunya saja itu, sebagai pepatah: lidah tak bertulang tak tertahan-tahan. Tahulah ia, bahwa pandangan gadis itu amat rendah kepadanya. Karena itu ia berjanji dalam hatinya: "Sebelum gadis garang itu tunduk kepadaku, belum senang hatiku."
Tetapi ditimbang-timbangnya juga inti kata-kata Nurlela yang diucapkan terus terang itu. Ia tak dapat membantah. Terasa ada benarnya: "Ia lebih benar daripadaku. Sungguh aku ini ibarat pepatah: Tungau di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak. Tak salah Nurlela, hanyalah salahku sendiri. Keadaanku sekarang tak ubah seperti cerita Abu Nawas: seorang perempuan mendapat lumpang emas. Ia melarang ibunya mempersembahkan lumpang itu kepada raja. Tapi ibunya pergi juga. Akhirnya raja minta alu emas itu. Perempuan itu jadi susah, di mana dapat dicarinya alu emas itu"
Demikian pula aku. Aku kabarkan kepada Nurlela, bahwa bapaknya ditahan. Tapi dia menyuruh aku mencari tempat bapaknya itu. Jikalau pekerjaan ini dihentikan saja, tidak kucari Pak Mohambing, pandangan Nurlela kepadaku benar- benar rendah. Tapi dapatkah aku memenuhi kehendaknya mengingat akan keganasan Jepang" Ia sebenarnya tak menyuruh aku bekerja untuk dia; malah melarang. Tapi dalam larangannya itu terselip suruhan yang tak mungkin diabaikan. Betul-betul gadis bijaksana! Ia memaksa aku bekerja untuk dia dengan cara yang luar biasa halusnya.
Masih teringat oleh Ahmad perkataan Nurlela: "Saya tak menyuruh dan minta tolong Tuan bekerja begitu. Itu berbahaya. Itu pekerjaan orang berani."
Ahmad berpikir sepanjang jalan: "Betulkah aku tak berani?"
Bab 3 Keadaan Dalam Penjara Pak Mohambing menyangka ia tak akan lama ditahan. Tentu segera disuruh pulang, karena ia tak bersalah. Demikian harapamiya hari-hari. Tapi tiba-tiba dipindahkan ke tangsi Glodok, suatu tanda perkaranya bukan perkara enteng. Terpekur dan gelisah hatinya, terkenang anak dan istri yang dicintainya. Harapannya akan pulang dengan segera hilang lenyap. Akan lari dari sana" Penjagaan sangat kuat dan keras. Hal makanan dalam penjara menyedihkan. Makin lama makin jelek; tak ubahnya seperti makanan anjing. Tapi dimakan juga supaya jangan kelaparan. Seorang sahabatnya, Van der Heyde, seorang Belanda tawanan telah berumur, setelah memakan yang kurang baik itu terasa perutnya sakit. Sebentar-sebentar ia buang air. Ketika itu Van der Heyde sangat memerlukan pertolongan dokter. Tetapi ke mana dicari" Siapa dapat mencari dokter dalam penjara Jepang yang amat sengsara. Penyakitnya makin lama makin berat; badannya menjadi kurus. Ia mengeluh tidur di ubin yang tak beralaskan apa-apa. Sedih dan kasihan benar-benar Pak Mohambing melihat. Tapi apa akan dikata, selain menekan- nekan perut si sakit akan meredakan pen-deritaannya, tak ada lagi yang dapat dilakukannya.
Suatu hari ia ada pula di sisi si sakit itu. Van der Pleyde berkata dengan sayu: "Saudara, badan saya makin lama makin lemah. Sekalipun Saudara bersungguh-sungguh menolong saya dalam hal ini, tapi penyakit saya bertambah juga. Kini terasa berlainan perasaan saya dari biasa, mungkin saya ...."
"Jangan Saudara berkata demikian, jangan kita putus harapan," kata Pak Mohambing.
"Sesungguhnya Saudara, apa-apa yang terasa di hati, saya kabarkan kepada Saudara, karena Saudaralah sahabat atau Saudara saya dalam penjara ini. Saudaralah yang tahu saya. Saudara selalu menolong saya, lebih-lebih dalam sakit ini. Anak istri saya entah ada di mana sekarang. Sebelum saya ditangkap, mereka pergi ke Australia; sampai kini tak ada kabarnya. Karena itu, dan karena saya tak mungkin sembuh lagi, ada sedikit pesan saya pada Saudara. Barangkali ada juga gunanya di belakang hari, kalau Saudara sudah bebas. Di Menteng, di belakang rumah saya, ada saya kuburkan sedikit harta di dalam peti logam kecil; saya rasa banyak juga harganya. Kiranya Saudara nanti lepas dari tawanan, ambillah barang itu dan pakailah sesuka hati Saudara; saya serahkan semuanya."
Lalu diambilnya dari saku celananya sehelai kertas bergambar denah rumah dan pekarangan dan diserahkannya pada Pak Mohambing.
"Inilah gambar denah rumah saya dan pekarangannya dan di sinilah barang itu saya kuburkan," katanya sambil menunjukkan sebuah titik kepada Pak Mohambing.
"Bagi saya barang-barang yang Saudara katakan itu taklah menjadi pikiran, hanya yang saya harap, Saudara sehat afiat juga hendaknya. Teguhkanlah hati Saudara; moga-moga kita dapat bergaul seterusnya," kata Pak Mohambing dengan hati terharu.
"Ya, boleh kita berharap selamanya, tapi ... dalam keadaan begini ...," keluhnya dengan sayu.
"Dalam penjara Jepang ini memang penderitaan tak habis-habisnya, tapi kalau jadi kita dipindahkan, barangkali di situ lebih baik dari di sini.
"Ke mana kita akan dipindahkan?" tanya Van der Heyde tercengang.
"Kabarnya ke kamp (Tangsi)."
"Ke kamp, saya tak tahu kamp di Jakarta sini, di mana letaknya?"
"Saya juga tak tahu, tapi banyak kamp dibuat Pemerintah Jepang, akan tempat segala tahanan," kata Pak Mohambing.
Pembicaraan terputus karena seorang serdadu Jepang datang dengan bengis dan berkata dengan kasar.
"Bagero, tawanan tak boleh banyak omong, ya!" katanya sambil memukul Pak Mohambing.
Pak Mohambing pusing dan jatuh. Serdadu itu memukul lagi. Tapi celaka! Pukulannya tertumbuk penjara. Karena kuatnya memukul, senapannya rusak dan tangannya patah. Serdadu itu jatuh pula dengan kesakitan. Melihat itu Mohambing menjadi cemas dan takut. Ia menyangka; bahaya pasti mengancam!
Sebentar itu sampailah kabar kepada kepala komandan penjagaan bahwa ada orang berkelahi. Dengan segera ia datang dengan seorang mata-mata, akan memeriksa.
"Inikah dia orang yang memukul?" tanyanya sambil mem-belalak dan menunjuk kepada Pak Mohambing.
"Ya," kata penjaga.
"Tentara yang patah itu di mana?"
"Sudah dibawa ke rumah sakit."
"Bawa tawanan ini ke kantor saya," katanya dengan pendek sambil menunjuk kepada Pak Mohambing.
Pak Mohambing dibawa penjaga ke dalam sebuah kamar. Komandan itu sudah duduk menunggu. Di sampingnya duduk pula seorang Indonesia sebagai juru bahasa. Di belakangnya berdiri dua orang serdadu Jepang menyandang bedil berbayonet, sedang di pinggangnya tergantung pedang pendek. Di dinding belakang komandan sebelah atas, tergantung gambar jenderal tentara Jepang.
Setelah komandan itu memandang dengan tajam kepada Pak Mohambing, mulailah ia bertanya:
"Siapa nama?" "Mohambing." "Umur berapa tahun?"
"Enam puluh tahun."
"Asal dari mana?"
"Dari Menado." "Apa sebab kamu ditawan?" tanya komandan.
"Saya tak tahu sebabnya," jawab Pak Mohambing.
"Tidak tahu sebabnya?" tanya komandan membelalak.
"Tidak," jawab Pak Mohambing lambat-lambat.
"Bagero, bukankah kamu tentara Belanda?"
"Bukan," jawab Pak Mohambing.
"Awas he, kalau bohong nanti disuruh potong. Katakan dengan benar, jangan dusta, bukankah kamu tentara Belanda?" kata komandan mengancam.
"Tidak," kata Pak Mohambing sekali lagi.
"Puk-pak," bunyi tampar komandan. Pak Mohambing jatuh tersungkur. Komandan itu merentak dengan bengis sambil memukul-mukul meja dengan marahnya dan menghardik. "Bukankah pakaianmu menunjukkan kamu serdadu Belanda" Kurang ajar berani membohong!"
"Pakaian begini bukan pakaian serdadu Belanda, tapi pakaian stadswacht, yaitu semacam penjaga," kata Pak Mohambing dengan mendongkol menahan hati.
Mendengar itu dipalingkannya mukanya kepada juru bahasa. Ia minta keterangan tentang arti stadswacht itu. Dari juru bahasa ia mendapat keterangan, bahwa stadswacht tidak sama betul dengan serdadu Belanda.
Komandan itu agak reda marahnya dan berkata lagi kepada Pak Mohambing:
"Kamu bangsa apa?"
"Indonesia." Apa sebab kamu berani memukul tentara Jepang?"
"Saya tak pernah memukul tentara Jepang, tapi saya yang dipukul"'
"Apa sebab serdadu itu patah tangannya."
"Dia tidak kena memukul saya. Tangannya yang memukul itu beradu dengan tembok. Karena itu senapannya rusak, tangannya patah," kata Pak Mohambing.
Komandan Jepang itu menganggukkan kepala dan berpikir-pikir.
Tiba-tiba Pak Mohambing berkata: "Tuan komandan bolehkah saya pulang, sebab saya bukan serdadu Belanda. Penahanan saya ini nyata kekeliruan saja, saya tak berdosa apa-apa."
Komandan itu termenung dan kemudian bertanya kepada juru bahasa dalam bahasa Jepang. "Betul-betulkah orang ini bukan serdadu Belanda?"
Juru bahasa penjilat itu menerangkan dalam bahasa Jepang pula, lebih baik orang ini ditahan saja dulu, nanti diperiksa lebih lanjut.
Komandan itu berkata pula kepada Pak Mohambing: "Perkara melepaskan engkau, saya tak berkuasa!"
Kemudian Pak Mohambing dibawa kembali ke tempat tahanannya di penjara.
Bab 4 Berkelahi Membela Dia Masuknya tentara Jepang ke Jakarta, keamanan dalam kota terancam. Saat itu polisi seolah-olah tak berkuasa. Suasana kacau balau. Pembongkaran-pembongkaran bersimaharajalela. Gudang-gudang dan toko-toko, dibongkar orang terang-terangan saja. Gudang Geowehry, Deli-Aceh dan lain-lain maskapai dirampas, licin tandas barang-barangnya diperebutkan orang. Berduyun-duyun orang yang mengambil mengangkut isinya. Orang merdeka mengambil sesuka- sukanya. Demikian pula gudang-gudang barang di Priuk dibongkar orang. Berebut orang-orang merampok barang-barang itu. Sepanjang jalan dari Priuk, Sungai Bambu, Bendungan Dempet dan Cempaka Putih, sampai Senen amat ramai perdagangan barang-barang rampasan itu. Serba macam bahan kain, serba aneka warna, boleh pilih mana yang disukai. Harganya murah luar biasa, 1 kayu wol Rp5; kepar, dril; paris Rp2,50 ~ Rp3. Pendeknya asal mau mengeluarkan uang sedikit, mendapat barang bagus. Di mana sekitar Jakarta Raya, di Kota, Senen, Tanah Abang sampai ke Jatinegara amat ramai perdagangan barang rampasan itu. Orang yang tak biasa berjualan, jadi saudagar besar. Orang-orang yang biasa memikul buah-buahan di kampung-kampung, jadi pedagang kain yang mentereng. Di Priuk, pada rumah-rumah gubuk, diganggang, banyak kedapatan kain kasur, wol, sebal mudah didapat. Mesin jahit yang semula berharga beratus- ratus rupiah itu, dapat dibeli dengan uang Rp5. Benang, jarum hampir tak ada harganya. Pedagang dan pembeli amat ramai, terutama berpusat di Senen. Di situlah tempat pangkalan tengkulak-lengkulak yang terbesar. Ada yang dibeber di pinggir jalan, ada yang di alas sadel kereta angin. Pendeknya cara orang berdagang luar biasa. Di mana saja asalkan ada lempal terluang di pingggir jalan, tentu diisi dengan barang dagangan yang beraneka macam.
Pada suatu hari, Ahmad berjalan-jalan ke Senen. Ia tercengang melihat barang yang luar biasa murahnya itu. Bahan-bahan baju bertumpuk-lumpuk di pinggir jalan. Ke mana saja ia memandang, tampaklah barang-barang demikian. Ia berjalan mondar-mandir melihat-lihat. Sehelai mantel gabar- din yang bagus dibelinya karena murah harganya. Setelah puas berjalan-jalan ia masuk dan pulang; lapi waktu ia lewat di kedai kopi di samping gedung bioskop, darahnya tersirap melihat dua orang gadis Menado, ditemani seorang anak muda yang tampan duduk mengelilingi sebuah meja.
"Heh kenapa darahku tersirap melihat gadis ini" Ia tak ada sangkut paut dengan aku," tanyanya kepada dirinya. "Tapi siapa anak muda yang dekatnya itu, tunangannya" Sudah bertunangan dia, ... ah sayang, aku .... Tetapi aku belum percaya dia sudah bertunangan. Cita-citaku .... Aku sudah berjanji akan menaklukkan dia. Pasti aku akan berjuang keras untuk memenuhi hasrat hatiku. Aku takkan mundur sebelum dia jadi milikku. Bagaimana juga bahaya yang mengancam, akan kuhadapi. Daripada berputih mata, lebih baik berjuang. Bagi anak muda-muda berjuang karena si dia, sudah biasa."
Sedang berpikir itu ia masuk ke dalam rumah kopi itu. Diurungkannya maksudnya pulang, sebab ia ingin hendak mengetahui lebih lanjut, gadis yang mendaya sukmanya itu.
Dengan diam-diam ia masuk, dengan tak diketahui gadis itu. Ia berasa malu, kalau tampak oleh gadis yang pernah memandangnya rendah itu. Tapi hatinya sebenarnya ingin hendak ikut bersama-sama duduk. Tapi keinginan itu ditahannya saja karena malu. Tak mau ia mendapatkan
Nurlela hingga gadis itu seolah-olah terpaksa mengajaknya duduk bersama-sama.
Pekerjaan itu dipandangnya sangat rendah, lak pantas, ia tahan harga. Tapi duduknya tak jauh dari tempat mereka, hanya berantara dua buah meja. Baiknya gadis itu duduk membelakangi Ahmad. Dipesannya kopi susu, lalu duduk melamun sambil mendengarkan kata-kata teman Nurlela itu.
Sebentar-sebentar kedengaran kata-kata teman Nurlela itu. Sebentar-sebentar kedengaran mereka tertawa girang; sebentar-sebentar mereka berbisik-bisik, garah-kucandan mereka bermacam-macam. Segala fiil perangai gadis itu membuat cemburu, menambah angus hati Ahmad. Ia menyangka, mereka sengaja menyindir-nyindir dan mengejek, padahal...Ahmad menyesali dirinya.
Mengapa ia memusingkan kepala dengan orang lain, sedang Nurlela tak ada sangkut pautnya dengan dia. Malahan pernah ia mencela kelakuannya. Terasa padanya; dia orang tinggi, awak orang rendah; tak mungkin duduk bersama. Tapi apa daya, kasih beramuk dalam hati, mencintai orang yang tak mengindahkan.
Jelas kepadanya, Nurlela seorang gadis yang sombong, lampai perawakan tubuhnya, mempunyai mata jelita bersinar, berpipi penuh pauh dilayang, kulitnya kuning langsat. Pada mata Ahmad, Nurlela ialah gadis yang seindah-indahnya. Kecantikan gadis itu mendaya dia, tak dapat dilupakannya. Segala tingkah laku gadis itu sedap dipandangnya.
Sedang mereka asyik bergirang-girang itu, tiba-tiba orang terkejut dan semuanya berdiri. Seorang serdadu Jepang yang segar bugar masuk dengan gagah, matanya melotot memandang dua orang gadis ladi. Anak muda kawan gadis itu memberi isyarat kepada gadis-gadis itu. supaya menyingkir. Tapi serdadu itu entah mabuk, entah karena hawa nafsunya. Waktu Nurlela bangun hendak pergi, dipegangnya tangan Nurlela dengan tertawa. "Ha...ha...ha, Nipon-Indonesia sama-sama ya. Ha...ha..." katanya sambil tertawa-tawa. Sangkanya dengan siasat begitu, gadis itu akan suka saja padanya. Nurlela berontak hendak melepaskan diri dari genggaman Jepang itu, lapi sia-sia. Anak muda kawannya tadi, melompat hendak menolong Nurlela. Tapi sangat susah melepaskan tangan gadis yang seorang lagi yang bergantung kepadanya, sebab ketakutan pula. Sedang Nurlela berontak cemas ketakulan itu, tiba-tiba melompat seorang pemuda ke tengah, direnggutkannya Nurlela dari tangan Jepang itu sambil berkala: Kurang ajar, tak tahu adat.
Serdadu Jepang itu terpaksa melepaskan mangsanya. Dengan belalak mala dan mulut terkalup, tak tempo lagi Ahmad dipukulnya. Tapi pukulan datang, Ahmad membungkuk, menyorongkan kepalanya kepada serdadu itu. Pukulannya yang keras itu mengenai angin, sedang dia terdorong ke belakang karena tumbukan kepala Ahmad itu. Serdadu itu mengayunkan tangannya lagi ke muka Ahmad. Pukulan Ahmad dengan tangannya. Jepang yang marah itu, berlambah marah, karena itu ia menyerbu tak teratur lagi dan sembrono. Perkelahian bertambah hebat dan seru.
Orang yang menonton hening dengan hati berdebar-debar melihat pergumulan itu. Serdadu Jepang itu tak terkira-kira marahnya seperti cacing kepanasan. Napasnya sudah senen- kemis kepayahan. Panas hatinya karena orang Indonesia berani melawan Jepang. Dia akan menyudahi perkelahian itu. Dicabutnya pistol, ditujukannya kepada Ahmad. Dengan cemat Ahmad mengambil kursi. Dipukulkannya kepada picu pistol itu. Tapi ketika itu pistol meletus. Ahmad jatuh.
Nurlela terpekik, orang banyak berteriak. "Wah dia kena! Sayang benar, kasihan," kata setengah orang. Sungguhpun Ahmad sudah terguling, tapi serdadu Jepang itu akan menghabiskan nyawa musuhnya. Dibidiknya sekali lagi. Ahmad yang sengaja menjatuhkan diri supaya jangan kena tembak, tiba-tiba melompat merebut pistol musuhnya. Tapi tak mudah, karena Jepang itu bukan orang sembarangan. Karena itu lerjadi perkelahian yang hebat. Bergulat berguling-guling seperti harimau berlaga. Dengan sekuat tenaga Ahmad mempertahankan nyawanya; sedikit demi sedikit, tangannya mencapai pistol itu dari tangan Jepang, yang sudah membengkok menuju kepala Ahmad. Sedikit lagi, ya sudah hampir mengenai muka Ahmad. Di saat mati- hidup itulah, Ahmad mengumpulkan segala tenaga. Tiba- tiba dapat ia mencapai jari musuhnya yang menggenggam pistol itu. Dipatahkannya sekuat-kuatnya. Jepang itu merasa sakit, pistol terlepas. Ahmad bangun seperti lembu jantan; dipukulnya muka Jepang itu sekuat-kuatnya. Jepang doyong, gelap pandangannya. Ia berdiri terhoyong-hoyong. Di saat itu Ahmad meloloskan diri ke dalam orang banyak dan menghilang dengan cepat, sebab tak perlu berkelahi terus, sebab gadis yang dibelanya sudah menyingkir.
Setelah terlepas dari tangan Jepang, Nurlela mengambil mantel anak muda yang jatuh dalam perkelahian itu. Disaksikannya bagaimana sigap tangkas anak muda itu, mengelakkan pukulan-pukulan Jepang yang murka itu. Heran ia melihat anak muda itu mengadu nyawa lantaran dia. Cemas dan kembang kempis dadanya, tatkala picu pistol mengancam muka Ahmad. Tapi alangkah beruntungnya, setelah mara bahaya itu tersingkir. Setelah dilihatnya Ahmad tiba-tiba sudah menghilang, sambil mengudut rokoknya dan memandang, barulah ia mendapatkan kawannya, yang masih tercengang heran akan kejadian yang tak disangka-sangka itu.
Untung besar, kata Corrie gadis kawan Nurlela itu, "Kalau tak ada anak muda itu, entahlah bagaimana jadinya engkau dengan serdadu Jepang itu. Hai Lela, dia berkelahi mati- matian membela buah hatinya! Kalau tidak tertarik benar hatinya padamu, tak mungkin menyabung nyawa untukmu."
"Entahlah, tapi marilah kita menyingkir buru-buru, supaya jangan tampak pula oleh serdadu yang tak senonoh itu," jawab Nurlela sambil menarik tangan kawannya.
"Mari kita cari pemuda penolong itu," kata Nurlela.
Tetapi di mana-mana dicarinya, Ahmad tak bertemu.
Bab 5 Pikiran Ibu Dan Anak Hari rintik-rintik sudah pukul dua. Guruh di udara mendayu-dayu tanda hari akan hujan lebat. Ibu Nurlela sedang gelisah di rumah, menunggu-nunggu anaknya yang belum juga pulang. Nurlela berjanji hanya sebentar saja pergi dan pukul satu paling telat, dia akan ada di rumah. Tapi sampai sekarang ia belum juga pulang. Cemas ibunya
"Nah sudah pukul dua, lewat pula lagi, belum jua dia pulang, ah ke mana anak itu," katanya bersungut-sungut. Sebentar keluar, sebentar masuk, sebentar berdiri, resah tak sabar. Tiba-tiba tampak dari jauh ada seorang berjalan. Mungkin dia itu kata hatinya, tapi astaga ... bukan dia. Tambah gelisah hatinya. "Ah dapat bahayakah anakku, kalau tidak tentu dia sudah pulang ....! Ah, ... aku juga yang salah. Mengapa gadis yang sudah besar, aku izinkan berjalan sendiri. Negeri tak aman, serdadu-serdadu Jepang banyak yang nakal; ganas selalu mencari mangsanya," katanya menyesali dirinya.
Sedang otaknya berputar memikirkan anak itu, sebuah becak masuk pekarangan rumah. Seorang gadis memakai mantel indah turun dengan cepat. Ibu Nurlela melihat girang. Tapi kegirangan itu tak diperlihatkan. Mukanya tampak merengut saja, seolah-olah ia marah. Baru saja Nurlela naik tangga, ia berkata dengan tajam: "Baru pulang" Betul-betul engkau ini membuat susah orang tua, berjalan tak sedang selangkah. Engkau yang lambat pulang, aku yang bersusah hati. Memang susah merasakan perasaan Ibu, kepadamu. Anak orang ada memikirkan orang tua. tapi engkau ....!!!
Sambil duduk di hadapan ibunya, Nurlela berkala dengan lemah-lembut suaranya: "Ibu jangan marah dulu. Aku tadi- tadi hendak pulang, tapi ada halangan Bu. Aku hampir dapat celaka, Bu!"
"Celaka bagaimana?" tanya ibunya tercengang.
"Seorang serdadu Jepang Bu; ditariknya tanganku dan dibawanya aku dengan paksa. Ah, Bu...."
"Yah Allah, habis" tanya ibunya dengan mata terbelalak.
"Aku berontak, tapi dia makin keras memegang aku. Mano-po tak dapat menolong, karena tangannya dipegang keras oleh Corrie yang sedang ketakutan pula. Wah Bu, hilang akalku! Orang lain pun tiada yang berani berhadapan dengan serdadu Jepang itu."
"Ceritakan terus sampai sudah," kata ibunya setengah gemas.
"Sudahnya Bu!" "Ya kau katakanlah cepat," kata ibunya dengan gemas.
"Dapat pertolongan, Bu."
"Pertolongan bagaimana" Katakanlah! Mengapa engkau bicara sepotong-sepotong!" desak ibunya tak sabar lagi.
"Seorang anak muda tiba-tibamelompat. Direnggutkannya aku dari tangan Jepang. Terus anak muda itu bergumul dengan hebat dan seru melawan serdadu Jepang itu. Wah, Bu, hebat benar perkelahian itu! Benar-benar hebat! Nyaris dia jatuh kena tembakan Jepang. Tapi ia sigap! Ia menjatuhkan diri supaya jangan kena tembakan itu. Tapi akhirnya Jepang itu pusing dipukul anak muda itu dan anak muda itu menghilang
"Oooo Allah, untung benar! Begitu gerangan sebabnya engkau lambat pulang?" kata ibunya. Lega rasa hatinya.
"Ya Bu." "Syukur benar engkau tak mendapat celaka."
"Sebab ditolong anak muda itu. Ini mantelnya yang jatuh. Aku tak sempat memulangkan kepadanya, sebab tak bertemu sesudah kami cari."
Tahukah engkau siapa anak muda itu?"
"Tahu, Bu." "Sudah lama engkau kenal kepadanya"
"Baru saja beberapa hari."


Adat Muda Menanggung Rindu Karya Bagindo Saleh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Namanya siapa?"
"Ahmad anak Medan itu, Bu."
"Astaga, kata ibunya dengan mata terbelalak keheranan. Ahmad yang engkau katakan penakut itu?"
Nurlela diam saja. "Syukur Alhamdulillah, untuuuung anakku. Lain kali jangan anakku pergi-pergi juga,"
"Kenapa Bu?" tanya Nurlela.
"Karena engkau anak gadis rupawan," kata ibunya sungguh- sungguh. "Ibu takut kalau engkau ...."
"Ibu juga yang berkata begitu, orang lain tak sama pandangannya dengan Ibu. Tak heran tiap-tiap ibu memuji anaknya," kata Nurlela tersenyum.
"Ahmad sudah berkelahi karena engkau. Tiap-tiap sesuatu tentu ada sebab. Terka Ibu, tentu dia ada minat kepadamu. Kalau tidak, masa dia mau mengadu tenaga sehebat itu," kata ibu Nurlela memandang anaknya.
"Ah, Bu," kata Nurlela tertawa, apa pula minatnya kepadaku, orang miskin ini, apa yang akan dipandang orang?"
"Bukan kaya yang dipandang seorang pemuda pada gadis, tapi tingkah laku yang menarik hati. Demikian juga Ahmad. Barangkali engkau sudah bersarang di hatinya, maka ia berani berkelahi mati-matian karena engkau." Nurlela makin keras tertawa karena geli hatinya mendengar kata ibunya itu. Sambil tertawa ia berkata: Bukankah dia pernah saya ejekkan keberaniannya?"
"Rupanya ejekan engkau itu menambah semangatnya."
"Semua pembicaraan Ibu umumnya tak lain maksudnya hanya memuji-muji Ahmad saja. Bicara Ibu yang dulu pun begitu juga. Agak heran aku pikirkan Ibu, tertarik benar pada Ahmad. Banyak anak-anak muda kawanku yang lebih baik, lebih gagah, lebih tinggi sekolahnya, seorang pun tiada Ibu puji seperti Ahmad itu. Apa yang menarik Ibu kepadanya?" tanya Nurlela tersenyum.
"Banyak sekali anakku. Engkau tak tahu, apa yang terpateri dalam hati Ibu sekarang. Dengarlah olehmu baik- baik. Engkau sudah besar Nurlela. Serdadu Jepang amat berbahaya bagi anak-anak gadis. Jadi, kalau engkau menarik hati Ahmad, Ibu girang sekali. Harapan itu terus terang Ibu katakan: Ibu ingin bermenantukan Ahmad."
Nurlela tertawa mendengar kata ibunya.
"Bagaimana kalau aku tak suka kepadanya," tanya Nurlela tersenyum sambil memandang ibunya.
"Kalau engkau tak suka kepadanya, Ibu takkan mendorong-dorong anakku supaya menurut bicara Ibu. Dalam soal perkawinan, Ibu hanya menunjukkan jalan saja, menunjukkan orang yang Ibu setujui. Hanya kalau engkau kawin dengan Ahmad dapat juga nanti engkau pulang ke Medan, tempat lahir Ibu. Rumah tangga, tanah pusaka Ibu, masih banyak di sana, supaya jangan hilang lenyap saja."
Tahukah Ibu kepada ibu bapaknya di Medan?" tanya Nurlela.
"Bukan tahu lagi, tetapi bapak Ahmad, Tengku Mahmud, kakak Ibu seibu sebapak. Tapi Ahmad belum tahu seluk beluknya itu."
"O begitu Bu," kata Nurlela tercengang, "berfamili juga kita dengan dia"'
"Terang anakku, itulah sebabnya aku suka benar bermenantukan dia. Harta yang di Medan itu boleh engkau urus dengan dia. Tapi amat sayang hatimu tak tertarik kepadanya. "
"Ibu memandang soal ini seperti mudah saja. Seperti orang-orang dulu kala. Mana yang kuning dipandang emas saja. Padahal tembaga dan loyang kuning pula. Bagaimana Ibu dapat mengajukan Ahmad jadi menantu Ibu, sebelum Ibu periksa betul-betul tingkah lakunya. Entah dia buaya darat entah buaya laut, kita tak tahu. Tiba-tiba orang yang tak dikenal, dipungut menantu saja. Bukankah pikiran cara begitu yang amat merusak perkawinan. Dia siapa, kita siapa, tiba-tiba ... saja," kata Nurlela tersenyum.
"Ah, kau belum banyak pengalaman dan pemandangan. Permata yang tulen, sekalipun dalam pelimpahan, cahayanya tetap gemilang. Bibit yang baik menghasilkan buah yang baik pula. Demikian Ahmad, turunan orang baik-baik, tentu dia akan jadi orang yang baik pula. Anak harimau takkan jadi anak kambing. Demikian kata pepatah. Semua ini jadi pemandangan, jadi pedoman, jangan lekas membuang sesuatu sebelum kita selidiki dan pikir buruk baiknya, sebab pikir itu pelita hati," kata ibunya.
Tetapi Bu, jangan hal ini kita pikirkan dulu. Kita bicarakan nanti, sebab Bapak belum tentu hilir mudiknya, hitam putihnya, hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya. Hal Bapak ini tak menyenangkan hati, pekerjaan apa pun kita kerjakan, kalau Bapak tak ada, mana enak!" kata Nurlela.
"Itu betul anakku, tapi hatiku pun sudah pula memikirkan engkau, sebab di rumah kita tak ada laki-laki. Bagaimana halmu kalau peristiwa seperti engkau alami di Senen itu, terjadi sekali lagi atas dirimu?"
Nurlela diam saja mendengar kata ibunya.
Bab 6 Aku Anti Perempuan Pedansa
Sesudah Ahmad mengenal Nurlela, hatinya sangat tergoda pada gadis itu. Tak hilang-hilang dalam ingatannya. Rupa Nurlela selalu terbayang. Pandangan matanya, kata-katanya menarik dan menerbitkan asmara yang berkobar-kobar, menyalakan api rindu. Karena itu ia berusaha merendahkan atau menghilangkan perasaannya dengan membaca surat suci. Demikianlah sesudah sembahyang subuh, Ahmad mengaji Quran. Dibacanya surat Yasin, Syahtu'lkafi. Sudah itu surat Yusuf. Sudah habis waktu subuh sampai waktu duha, ia masih mengaji terus sedang ingatannya terus kepada Tuhan dengan hakikat-Nya. Ketika itu hari Jumat pula, suatu hari yang amat mulia antara hari yang tujuh; memang sudah kebiasaannya mengaji tiap-tiap pagi Jumat. Tapi mengaji sekali itu dengan yakin pada Allah supaya hatinya yang kacau-balau memikirkan ini dan itu, hilang lenyap dan jangan mengganggunya juga.
Dengan jalan berzikir, ia menyesali dirinya yang selalu ber-putar kepada Nurlela sampai-sampai ia mengadu tenaga dengan serdadu Jepang, hampir...padahal gadis itu sendiri tak mengindahkan dia! Itulah sebabnya maka ia mendekatkan diri kepada Tuhan, agar lenyap pikiran-pikiran yang mengganggu hati, agar tersingkir godaan-godaan setan-iblis.
Tetapi setelah ia berhenti mengaji-ngaji itu, rindunya kepada Nurlela tak berkurang. Cintanya masih berkobar kepada gadis itu. Tak didapatnya ketenangan pikiran dan ketenteraman hatinya. Pikirannya melayang pula kepada perkelahian dengan Jepang, gara-gara cintakan Nurlela.
Heran ia akan dirinya. Kecantikan gadis itu tak hilang-hilang juga dalam hatinya. Usahanya sia-sia belaka. Karena itu akan meredakan hati yang tergoda itu diputuskannya akan mengunjungi Nurlela. Itulah jalan yang sebaik-baiknya untuk mengurangkan gelora hatinya itu. Segera ia berdandan. Diambilnya sepeda lalu berangkat sekali. Ketika ia sampai ke rumah yang dituju, dilihatnya jendela-jendela rumah sudah terbuka. Tapi pintu besar tertutup, orang tak tampak; dibunyikannya bel sepedanya berturut-turut seolah-olah memberitahukan, tapi tak ada yang mengindahkan. Kesal hatinya! Sangkanya orang benar-benar tak mau menerima kedatangannya. Dibunyikannya lagi bel keras-keras. Barulah tampak pintu dibuka orang. Seorang gadis keluar melayangkan pandang ke pekarangan.
"O, Tuan Ahmad, mengapa tidak masuk saja. Jangan lama-lama berdiri di halaman, silakan naik!" kata Nurlela dengan suara riang merdu tersenyum.
Sejuk hati Ahmad mendengar tutur bahasa yang diucapkan Nurlela dengan manis dan merdu itu. Tahulah ia kedatangannya itu, tak mengganggu. Disandarkamiya sepedanya, dia pun masuk dan duduk di mangan tengah tempat duduknya dulu juga.
Nurlela memandang Ahmad tersenyum riang. "Kebetulan benar Tuan datang kemari," katanya.
Apa sebabnya?" kata Ahmad.
"Ibu minta terima kasih kepada Tuan. Karena saya dapat pertolongan Tuan. Tuan telah berkelahi mati-matian karena saya. Tuan telah menyabung nyawa karena saya, orang yang kasar-adat ini. Karena itu kedatangan Tuan menggirangkan hati saya dan Ibu," kata Nurlela.
"Janganlah hal itu Adik pandang pekerjaan luar biasa.
Keadilan itu sudah jamak. Sudah sepantasnya membela seseorang dalam bahaya, apalagi yang dibela itu wanita. Patut benar seorang laki-laki membelanya. Itu adat laki-laki," kata Ahmad.
"Tetapi ketika itu Tuan...."
'Jangan memakai perkataan Tuan," kata Ahmad, "tak enak bunyinya.
"Kalau begitu berengkau-aku saja" Tetapi ketika itu engkau hampir kena tembak."
"Aku tak menyesal karena aku menjalankan kewajiban, asal sabut terapung asal batu terbenam. Tetapi sebagai engkau lihat, sebelum ajal berpantang mati. Tuhan memelihara hamba-Nya," jawab Ahmad sambil mengudut rokoknya dan memandang kepada Nurlela dengan tenang.
"Sesudah perkelahian itu, kami cari engkau ke sana kemari hendak memulangkan mantelmu, tapi engkau tak bertemu."
"O, betul aku membeli sehelai mantel. Tak aku ingat lagi ketika itu di mana tinggalnya. Tetapi siapa kawan-kawamnu itu?" kata Ahmad.
"Yang perempuan Comelie namanya. Tapi biasa disebut Corrie saja. Yang laki-laki Manopo, pemuda Menado,"
"Anak muda itu tunanganmu?" tanya Ahmad sambil tertawa.
"Kok pertanyaanmu sampai ke situ?"
"Itu pertanyaan terus terang saja, apa-apa yang terasa di hatiku, boleh toh dikeluarkan," kata Ahmad tersenyum.
"Memang tak ada salahnya; orang merdeka bertanya. Tapi Manopo tunangan si Corrie!"
Perasaan Ahmad lega. "Hendak ke mana engkau dengan mereka?" tanyanya.
"Maksud kami ke rumah Mariah akan menghadiri pesta perkawinan."
"Jadi?" "Jadi engkau diantarkan Manopo pulang ke rumah" tanya Ahmad sambil acuh tak acuh.
Mendengar itu, Nurlela memandang Ahmad dengan tajam sambil menduga hatinya.
"Apa sebab engkau memandang kepadaku," kata Ahmad tersenyum.
"Pertanyaanmu ganjil benar. Ia tidak sampai ke rumah. Setelah aku dapat becak, kami berpisah. Tapi apa sebab engkau bertanya begitu?"
"Tidak apa-apa. Hanya gadis-gadis lebih baik jangan bersahabat dengan laki-laki. Sudah banyak contoh dilihat, buruk akibatnya. Apa lagi zaman sekarang, zaman pancaroba bukan main-main. Kurang iman pasiklah diri," kata Ahmad tersenyum.
"Ah, hal itu bergantung kepada orangnya. Pada pikiran orang boleh bergaul dengan siapa juga, asal mengingat batas- batasnya. Tahu di buruk, tahu di baik bukan tahu di mulut saja, tapi tahu mempraktikkan. Yang buruk jangan dibuat, yang baik boleh dikerjakan."
"Kebanyakan gadis-gadis tak banyak mengetahui hal ini; pula hijau dalam pengalaman; lekas percaya, lekas tersenyum simpul mendengar puji-pujian yang ditujukan kepadanya. Pemuda berkata: wahai gadis juwita yang manis; aku selalu rindu kepadamu, siang menjadi angan-angan, malam menjadi buah mimpi; rupamu yang cantik selalu terbayang-bayang
dalam hatiku, remuk redam karena cintakan juwitaku."
"Si gadis yang tak berpengalaman lemah semangatnya mendengar rayuan demikian. Sangkanya benar kata pujian pemuda, padahal kata-kata itu diucapkan dengan maksud yang lain," kata Ahmad tersenyum.
"Kami suku Menado bergaul sedikit bebas dari suku yang lain-lain. Bagiku, pergaulan begitu sudah biasa saja, tidak asing lagi, tidak malu-malu kucing. Kami berdansa berpegang pegangan tangan dengan laki-laki. Kami menari melenggok-lenggok dalam gerak yang sama. Sama-sama pula ayun langkah. Sesuai pula mundur-majunya gerakan dengan pasangan. Sama-sama bergerak, berputar-putar, sesak- menyesakkan badan, dengan riang gembira dan sepadan pula dengan irama musik. Ah, betul-betul senang gembira. Suatu permainan yang menyenangkan gadis-gadis dan pemuda. Dalam pergaulan kami suku Menado, hal yang begitu sudah menjadi adat," kata Sitti Nurlela.
Kecewa sekali hati Ahmad mendengar ucapan Nurlela begitu. Bagi dia pantang benar perempuan berdansa.
Tetapi, gadis yang menarik hatinya itu, gadis pedansa, yang amat berlawanan dengan kemauannya. Secara diam- diam sudah lama terasa Nurlela menarik hatinya. Malah kecantikan dan senyum simpul gadis itu sudah bersarang dalam hatinya. Tapi cara Nurlela bergaul itu berlawanan dengan kemauannya; berperanglah kasih sayang dengan tingkah laku yang tak setuju. Pikirannya menerawang, mulutnya diam, matanya tajam memandang Nurlela laksana panah menancap.
"Takut aku melihat matamu Ahmad!" kata Nurlela.
"Kenapa?" "Rasa menikam aku! Jangan memandangku dengan mata
begitu," jawab Nurlela.
"Aku termenung mendengar katamu, karena aku anti gadis pedansa," kata Ahmad.
"Anti perempuan pedansa" Tapi apa sebab hal itu jadi pikiran padamu. Bukankah dansa itu dimainkan orang yang suka tarian itu" Bagimu tak ada sangkut-pautnya. Jadi, tak tepat kalau itu menjadi renunganmu!" kata Nurlela.
"Tak ada sangkut-paut dengan aku" Oleh sesuatu keadaan memaksa aku berpikir begitu. Perasaan hatiku tak mudah dihilangkan," jawab Ahmad.
Adakah engkau mempunyai kawan wanita yang suka dansa?"
"Adakah engkau cinta padanya?"
"Apakah maksudmu?"
"Boleh jadi gadis kenalanmu itu, buah hatimu," kata Nurlela tertawa.
"Engkau memang arif benar," kata Ahmad.
"Kalau memang gadis itu tempat hatimu, atau buah hatimu, turut saja kemauamiya."
"Tak mungkin!" kata Ahmad.
"Kalau tak mungkin tinggalkan dia, jangan dipikirkan juga," jawab Nurlela.
"Tak mungkin pula," kata Ahmad.
"Eh, ini tak mungkin, itu tak mungkin nyata telah terlihat dalam percintaan dengan dia. Engkau cinta padanya. Tapi di samping itu nyata pula, engkau seorang pemuda kuno. Orang kuno itu orang dahulu kala, bukan orang zaman sekarang. Mestinya engkau mengerti dan suka mengikuti peredaran zaman. Gadis pedansa saja jadi penyakit bagimu, sedang rupa, tingkah laku gadis itu, engkau setujui. Bukankah itu pendirian orang zaman purba" Rupamu gagah, cakap, pemuda modem, tapi tak tahu aliran zaman. Padahal dansa menambah seri keramaian dalam peralatan," kata Nurlela mencemooh.
Ahmad bagai disengat kalajengking mendengar kata Nurlela yang tepat-tepat itu menyindir dirinya. Tak dapat ia menemukan kata-kata akan jawab serangan Nurlela.
"Engkau yang berpendapat begitu," kata Ahmad sambil memandang dan tertawa.
"Ya, sebab pahamku tak begitu. Sukamu perempuan penjaga rumah saja, tukang masak, dan mengasuh anak. Engkau tak tahu, sekarang keadaan sudah berubah. Engkau boleh bergaul dengan orang kuno. Kuno sama kuno. Pada gadis-gadis terpelajar engkau takkan laku."
"Engkau salah paham. Aku bukan tak suka akan kemajuan kaum wanita, malah sebaliknya. Tapi jika aku tak suka kepada wanita pedansa itu, bukan suatu tanda aku tak suka pula kepada kemajuan kaum wanita. Bukan hal itu saja, lapi tak suka pula kepada kaum wanita yang bercat bibir, memerahkan pipi, menghitamkan alis dan lain-lain. Sebab semua itu aku pandang, bukan menambah bagus, tapi mengurangkan derajatnya, membuat cacat dirinya. Bosan aku melihat wanita bercat bibir tebal; tak enak benar dipandang sekalipun ia bermaksud hendak memaniskan diri," kata Ahmad sambil tertawa keras dibuat-buat dengan mengejek.
"Eh, benar-benar engkau kuno," kata Nurlela tersenyum simpul karena geli hatinya mendengar lagu-lagu, cara Ahmad bercerita.
"Ya, ya, tingkah wanita-wanita zaman sekarang: yang bagus mau lebih bagus lagi, yang manis hendak melebihi manis gula;
belum merasa cukup dengan keindahan, kemurnian yang diberi Tuhan," kata Ahmad sengaja mengganggu Nurlela.
Sambil tertawa Nurlela berkata: "Pembicaraan kita sudah melantur ke mana-mana! Aku tak tahu tujuan bicara kita lagi."
'Jangan susah-susah memikirkan itu Dik Nurlela. Tujuan bicarakan kepadamulah, tak ada orang lain yang kumaksud. Hanya engkau seorang. Masa engkau tak tahu apa maksudku yang sebenarnya kepadamu," kata Ahmad sungguh- sungguh.
"Ya, tapi apa tujuannya?" kata Nurlela sambil menduga.
"Kehendakku kautanyakan?" jawab Ahmad sambil memandang Nurlela tertawa. "Kehendakku kepadamu, Nurlela?"
"Ya katakanlah," kata Nurlela dengan ragu-ragu.
Pembicaraan Nurlela berhenti sampai di situ, sebab tiba- tiba mendengar suara ibunya: "O, Anak Ahmad. sudah lama dalang" Ibu tak tahu; asyik di dapur saja."
"Sudah lama juga Ibu, jawab Ahmad hormat.
"Aku mengucapkan terima kasih karena engkau telah menolong Adikmu Nurlela dari malapetaka Jepang. Untung benar ketika itu engkau ada di Senen; kalau tidak tentu adikmu Nurlela.... Bersyukur aku pada Allah dan terima kasih padamu."
"Hal itu sudah semestinya, Bu; kesal benar hatiku melihat Adik Nurlela dipegang Jepang. Entah karena apa aku berani mati bergulat dengan serdadu itu; tak takut pistol, tak takut apa-apa, Bu. Tapi untung dengan pertolongan Allah, aku menang," kata Ahmad seperti berolok-olok.
Nurlela tertawa mengejek dengan bibirnya dan memandang pada ibunya.
Ibu Nurlela hanya tertawa saja melihat laku anaknya yang lucu. Kemudian ibunya ikut duduk dan menambah ramai perdebatan itu.
Bab 7 Zaman Jepang Seluruh wilayah Hindia Belanda sudah diserahkan Gubernur Jenderal Carda van Starkenborgh dan panglima perang Porten, kepada Imamura, kepala bala tentara Jepang yang tertinggi di Asia Tenggara pada tanggal 9 Maret 1942, dalam suatu perundingan di Kalijati. Imamura-lah ketika itu yang mendiami istana negara, sebagai kepala pemerintahan tentara Jepang di Indonesia.
Sangka Nurlela sesudah penyerahan itu negeri akan aman seperti sediakala. Tetapi sangkaan itu tetap tinggal sangkaan saja. Sebaliknya tentara Jepang mengganas dan mengerikan hati. Salah mengambil jalan ketika berselisih dengan mereka dan salah menjawab pertanyaan, sebab tak tahu bahasanya, dipukul, digocoh dan ditendanglah kita. Kehidupan rakyat lak luput dari tekanan perasaan takut sepanjang hari. Lewat dan melintas di hadapan serdadu Jepang saja, seramlah roma. Masa itu banyak pula sampah masyarakat jadi mata-mata Jepang. Orang yang demikian amat jahat dan menambali bahaya pula. Tak sedikit orang yang tak bersalah menjadi korban kempetai. Sebab mata-mata itu menggunakan kesempatan untuk membalas sakit hati, mengadukan ini dan itu kepada Jepang. Perasaan rakyat sehari- hari makin ditekan; dirundung momok kekejaman Jepang.
Sebelum Jepang dalang ke Indonesia, rakyal menyangka, Jepang akan lebih baik daripada Belanda, itulah sebabnya banyak orang-orang yang pro kepada Jepang. Tetapi pendapat- pendapat itu meleset benar-benar, nyata sangkaan itu salah. Sebab belum berapa lama tentara Jepang memerintah, sudah terasa kelalimannya. Kejam dan ganas! Perdagangan mati, pengangguran banyak, mata pencaharian yang halal tak ada, hanya jual-beli catutan, barang gelap, yang ramai di mana- mana. Makanan makin lama makin susah didapat. Di pasar- pasar lak ada orang menjual beras. Beras cianjur, bogor, krawang, dan lain-lain tak tampak. Segala macam bahan makanan sukar diperoleh. Ada sekali-sekali pembagian beras, rokok di warung-warung, tapi harus diambil dengan berdesak-desak, dulu- mendahului, sedang dapatnya hanya 1 liter beras atau sebungkus rokok Koa (nama semacam rokok masa Jepang). Kadang-kadang habis tak dapat apa-apa, payah antri saja.
Karena kurang makan rakyat sembab-sembab badannya, sebab hanya makan singkong saja. Makanan itu selalu meninggi pula harganya. Roti zaman Jepang dibuat dari tepung singkong, rasanya pahit dan warnanya kumal.
Ikan besar, telur bebek dan ayam, tak ada di pasar-pasar. Segala makanan diborong Jepang untuk tentara. Tapi buat gantinya, Jepang menganjurkan orang makan keong, sebal, binatang itu amat banyak di kampung-kampung ketika itu. Diadakan demonstrasi memasak keong, kodok dan lain-lain di Gambir. Berbagai-bagai ragam masakan yang dipertunjukkan: sate keong, kari kodok dan sebagainya. Maksudnya supaya terdorong hati orang memakannya. Dan karena lapar orang berduyun-duyun juga mengunjungi. Siapa suka boleh makan dengan gratis, tak usah bayar apa-apa. Karena lapar dimakan juga terutama oleh yang sangat miskin. Tapi kebanyakan orang tak suka. Sebab tak pernah memakan makanan demikian, sekalipun katanya makanan itu mengandung zat- zat vitamin yang baik buat tubuh.
Bahan-bahan kain yang tadinya amal banyak bertumpuk- tumpuk, tiba-tiba hilang lenyap di pasaran. Toko-toko segala macam barang bahan, semua kosong. Ada yang karena dirampas, ada yang sengaja menyembunyikan barangnya, takut kalau-kalau dilihat tentara Jepang. Karena itu dengan sendirinya bahan itu sukar benar didapat rakyat. Itu pula sebabnya tukang catut amat ramai mencatutkan barang- barang gelap serba macam. Sudah banyak orang berpakaian compang-camping. Tampak di mana-mana orang berbaju karung goni.
Penghidupan makin lama makin susah. Banyak orang yang tak makan nasi. Orang gemuk menjadi kurus, apalagi yang kurus makin bertambah kurusnya zaman itu. Di los-los pasar, banyak kedapatan orang mati kelaparan. Kadang- kadang berhari-hari mayat itu tak diurus.
Nurlela yang selalu sedih memikiri bapaknya, bertambah lipat ganda susah hatinya. Persediaan yang ditinggalkan bapaknya sudah habis. Biasanya ia tahu ada saja. Belum pernah mengalami kekurangan makan, biasa diberi bapaknya apa-apa yang diinginkan. Tapi kini, berlainan keadaannya. Sadar ia akan malang nasibnya. Karena itu tak mungkin ia berpangku tangan saja. Sudah terniat dalam hatinya akan berusaha apa saja yang dapat dikerjakan untuk nafkahnya sehari-hari. Ia berpendapat: "Kesusahan tak dapat dipikir-pikir dan direnungkan saja. Kami harus berikhtiar dan berusaha menolak kesusahan itu. Tak dapat dibawa melamun dan bermenung saja. Harus disingkirkan kesusahan itu dan berjuang mencari rezeki yang halal, untuk aku dan ibuku yang tercinta. Kalau tidak, pasti keadaan lebih buruk lagi," kata hatinya.
Mula-mula Ibu melarang Nurlela keluar, tetapi setelah diterangkan maksudnya yang penting, mau tak mau diizinkannya juga. Karena itu pada suatu hari, keluarlah
Nurlela meninggalkan rumah. Hatinya sayu terharu dan iba- iba memikiri untungnya. Hari masih pagi, matahari sebelah timur sedang naik cakrawala, cahayanya sudah menerangi keempat penjuru alam dunia. Burung-burung sudah keluar mencari mangsa, terbang dan hinggap dari ranting ke dahan, mengintip ulat-ulat yang bersembunyi di balik daun asam pelindung jalan. Suaranya merdu riang, seolah-olah membujuk Nurlela yang berjalan berhati sayu itu. Jauh di tengah Tanah Lapang Gambir, tampak pasukan tentara Jepang sedang berlatih dengan gagahnya. Keindahan alam pagi itu tak memalingkan hati Nurlela dari tujuannya. Sambil berpikir terus ia berjalan dengan tenang. Tapi ketika ia sampai dan melewati kantor Walikota, ia berhenti melihat pegawai- pegawai kantor itu berdiri dekat tiang bendera Hinomaru(Nama bendera Jepang) sedang mengheningkan cipta. Menghadap ke Tokyo arah istana Teno Heika kaisar Jepang, minta rahmat dan berkahnya. Bersamaan dengan itu bergema lagu kebangsaan Jepang, menggaya-gaya tinggi rendah sejalan dengan naiknya bendera Hinomaru yang ditarik perlahan menyisi tiang bendera. Sehabis nyanyian itu, Hinomaru berkibar di puncak tiang. Sesudah upacara itu Nurlela belum pergi karena hatinya tertarik pula melihat orang ber-taiso, suatu gerak badan model Jepang. Dengan satu komando, orang bersama-sama melakukannya dengan gerak yang sama, menurut irama suara pemimpinnya.
Heran Nurlela melihat gerak badan ala Jepang itu. Segala yang dilihatnya itu baru dan ganjil. Suatu pemandangan lucu dan menggelikan hati. Sambil tersenyum ia berjalan, tapi pikirannya belum sunyi dari memikirkan apakah gerangan pekerjaan yang akan dikerjakannya kelak. Akan jadi babu Jepangkah" Memang pekerjaan jadi babu enak; makan terjamin dan banyak dapat persen. Apalagi Jepang lemah lembut adatnya terhadap perempuan-perempuan muda. Keadaan itu sudah diketahuinya, tapi ia sangat ngeri. Sedang ia berpikir itu sampailah ia ke Tanah Abang Barat. Seorang perempuan muda keluar dari sebuah rumah yang berkurung(Ketika itu banyak rumah-rumah dikurung pagar tinggi, di dalamnya banyak perempuan-perempuan piaraan Jepang). Pakaiannya rapi dan istimewa, memakai selop tinggi tumit model Jakarta. Tampan dan molek, sedang tas kulit yang mahal harganya tergantung di bahunya, menambah gayanya.
Perempuan itu berjalan sejalan dengan Nurlela. Boleh dikatakan seiring. Sebentar-sebentar perempuan itu melirik Nurlela. Rupanya menarik hatinya. Tiba-tiba perempuan itu berkata dengan senyum kepada Nurlela. "Hendak ke mana, Dik?"
Nurlela menoleh dan menjawab: "Saya hendak mengunjungi kawan saya di Sawah Besar."
"Tampaknya Adik lemas saja, kurang gembira. Maaf Kakak bertanya demikian, jangan kiranya menggusarkan Adik," kata perempuan itu pula.
"O tidak, masakan saya marah kepada orang yang bertanya dengan baik," jawab Nurlela.
"Syukurlah kalau demikian. Apakah maksud Adik mengunjungi teman itu?"
"Maksud saya mencari pekerjaan."
"Pekerjaan apakah yang Adik cari?"
"Pekerjaan apa saja yang dapat mendatangkan hasil kepada saya dan Ibu."
"Pekerjaan menjahit timbangan saya kurang baik untuk
Adik, demikian pula pekerjaan kantor. Kerjanya berat, gajinya kecil-kecil. Tapi kalau Adik suka, saya tahu pekerjaan yang baik; pekerjaan mudah, gajinya besar.
Pekerjaan apakah itu" Kalau cocok untuk saya, hawalah saya ke sana.
"Pekerjaan itu akan mendatangkan untung besar dan kesenangan. Yaitu bekerja di rumah opsir Jepang."
"Bekerja di rumah opsir Jepang?" tanya Nurlela tercengang.
"Ya, opsir-opsir Jepang itu penyayang; bicaranya lunak lembut. Apa-apa yang kita minta selalu diberinya."
"Kalau begitu tak salah kiranya dugaan saya barangkali, jadi Nyaijepang, bukan?"
"Ya," kata perempuan itu.
"Maaflah saya seribu kali. Pekerjaan itu saya tak suka."
"Bukankah senang, apa yang dicita apa dapat! Makan- minum dan kain baju tanggung beres! Tak ada yang akan disusahkan. Kita hanya berbedak dan menghiasi badan saja, supaya selamanya tampak cantik. Lihatlah saya, apa yang tak ada" Gelang dan kerabu berlian ini, pengasi dari salah seorang opsir Jepang itu. Adik kalau mau, akan mendapat lebih dari ini," kata perempuan itu menarik hati Nurlela.
"Sudahlah, jangan Kakak bicara lagi. Sekalipun saya diberi emas sebesar apa sekalipun dan berlian yang gilang gemilang cahayanya, saya takkan suka pekerjaan itu. Biar saya mati kelaparan daripada bekerja demikian. Pekerjaan itu pekerjaan hina," kata Nurlela dengan panas hatinya.
"Hai Dik, jangan mulut terdorong-dorong amat! Ingatlah kata pepatah; mulutmu harimaumu akan merekah kepalamu. Sekarang zaman Jepang, sedikit saja bersalah cukup sudah alasan mereka untuk menyeret kita kepada Kempetai. Kalau saya suka, sekarang juga Adik bisa saya suruh tangkap kepada opsir yang mengasihi saya. Adik akan celaka.
Mendengar itu, Nurlela terkejut. Ia ingat akan kata-katanya kepada Nyai Jepang itu. Karena itu ia berkata dengan lemah lembut: "Kakak, saya berani bicara di depan Kakak, karena saya tahu Kakak baik kepada saya. Mana saya berani bicara begitu kepada orang lain. Saya percaya, Kakak seorang yang baik hati, takkan mau mencelakakan saya," kata Nurlela.
Mendengar kata-kata Nurlela demikian, hati perempuan itu senang sekali dan dengan senyum ia berkata: "Boleh jadi percaya, saya sendiri takkan berbuat apa-apa kepada Adik. Saya berkata tadi itu tanpa maksud jahat, hanya ingin menolong Adik; menyingkirkan kesusahan-kesusahan dalam suasana sekarang; menunjukkan suatu jalan yang baik. Adik dan ibu Adik akan tertolong, kalau menurut perkataan saya. Sekarang boleh Adik terima uang secukupnya, kalau Adik suka. Tapi Adik menolak. Saya heran, padahal Adik dalam susah. Nyata kepada saya Adik tak suka menyingkirkan kesusahan itu. Sungguh saya merasa aneh, tak kasihan akan diri sendiri dan ibu Adik yang sudah tua. Pikir-pikir dulu nanti kita boleh bertemu lagi, datang saja ke tempat saya keluar tadi, saya selamanya ada di situ. Sekarang saya akan pergi ke Petojo." Dipanggilnya becak, lalu naik sambil tertawa memandang Nurlela.
Nurlela terpekur melihat perempuan itu. Sangkanya perempuan itu sudah tak tahu membedakan buruk dan baik lagi. Sudah rusak akhlaknya, halal dan haram dipandangnya sama saja. Sementara ia menggeleng-gelengkan kepala memikirkan keadaan perempuan durjana itu, tiba-tiba ia terkejut mendengar orang memanggil namanya dan melihat sebuah oto berhenti. Dilihatnya Manopo ada di atasnya.
"O, engkau Manopo, untung benar engkau bertemu saya di sini," kata Nurlela.
"Apa sebab begitu, hendak ke mana engkau?" jawab Manopo.
"Saya hendak pergi ke stasiun Kota, mendapatkanmu," kata Nurlela.
"Apa maksudmu mendapatkan saya," tanya Manopo sambil turun dari oto, lalu mendekati Nurlela.
"Besar benar maksud saya kepadamu, tapi apakah kita berunding di sini saja?"
"Kalau tak penting' benar apa salahnya! Di sini pun tak ada orang akan mendengar," jawab Manopo.
"Saya sekarang dalam kebingungan benar. Penghidupan makin lama makin sulit. Ibu dan saya toh mesti makan! Apa daya saya orang perempuan. Persediaan yang ditinggalkan Bapak sudah habis. Ibu saya sudah tua, tak sampai hati saya melihat dia kelaparan. Jadi sudah tetap dalam hati saya mendapatkanmu akan minta pertolonganmu."
Manopo termenung mendengar kata-kata Nurlela itu, dan maklum dia akan kesulitan zaman sekarang.
"Apakah pertolongan yang kauharapkan daripadaku itu?" katanya sambil memandang Nurlela.
"Rasanya tak susah, buat minta, atau meminjam uang, hanya karena engkau penjual karcis kereta api, saya ingin jadi tukang catut karcis. Sebab penumpang-penumpang yang pergi ke Jawa Tengah banyak benar dan susah mendapat karcis. Engkau tolong saya memberi beberapa karcis itu, akan saya catutkan. Nanti uang seharga karcis-karcis itu akan kusetorkan padamu semua!"
"Pekerjaan itu amat berat bagimu," kata Manopo.
"Bukan berat saja, malah malu dan berbahaya juga. Tapi mengingat ibu saya yang tua itu, aku mesti bekerja keras," kata Nurlela dengan tetap hati.
"Kalau begitu kehendakmu tentu saja saya suka. Sebab, susahmu susah saya juga. Hari ini boleh engkau mulai. Ayo, mari naik!" kata Manopo. Manopo menolong Nurlela naik oto dan terus membawanya ke stasiun Kota. Serta sampai, Manopo masuk loket tempat menjual karcis. Kemudian keluar pula dan diserahkannya beberapa karcis yang akan dicatutkan kepada Nurlela yang amat girang menerimanya. Menjual karcis itu tak susah, sebab orang amat banyak yang akan pergi ke Jawa Tengah. Tapi harus ingat-ingat kalau-kalau ketahuan oleh tentara Jepang.
Setelah karcis itu habis terjual, uangnya disetorkan Nurlela kepada Manopo, dan dari keuntungannya itulah Nurlela hidup berdua dengan ibunya. Demikian kerja Nurlela tiap-tiap hari. Berjuang untuk penghidupan dan meredakan kesusahan yang ditanggung dua beribu.
Bab 8 Berjumpa Pula Pada suatu hari, Nurlela tak pergi ke mana-mana. Hatinya kacau karena terkenang akan bapaknya. Untuk melengahkan hati yang sedih itu, ia pergi ke pekarangan belakang. Di situ ada kebun kecil, ditumbuhi bermacam-macam bunga: bunga matahari, melati, ros dan macam-macam puding berwarna, kuning merah, hitam dan lain-lain. Tiap-tiap pagi kalau tak ada pekerjaan Nurlela duduk di situ di kursi kebun bercat hijau. Tetapi sejak Jepang masuk, tak pernah Nurlela memperhatikan kebunnya atau duduk-duduk di situ, karena susah hatinya tak kunjung hilang. Sejak Jepang berkuasa, baru itulah dia pergi ke situ. Ia duduk merenung di kebunnya yang tidak diselenggarakan itu.
Pedang Golok Yang Menggetarkan 3 Pendekar Rajawali Sakti 194 Utusan Dari Andalas Pendekar Binal 5

Cari Blog Ini