Bunga Bunga Indah Berduri Karya Abdullah Harahap Bagian 2
telah mencemarkan nama baik keluarga...!" Air mata
berlinang di pipi Erika tanpa ia sadari. Lanjutnya,
terisak, "Mama benar. Aku telah mencemarkan
nama baik keluarga. Seharusnya aku turuti nasihat
Mama, agar jangan mau didekati Alex...!" Erika
lantas mengeluh berkepanjangan di antara isakannya.
"Sering aku berpikir... Papa masuk penjara karena aku,
dan Mama juga mati karena perbuatanku. Mengapa
107 108 dulu aku tidak terjun saja dengan mobilku ke dalam
jurang itu?" Gadis ini frustrasi, pikir sang dokter muda,
bersimpati. Sifat kemanusiaannya sebenarnya lebih menonjol manakala ia mendampingi Erika baik di sal, maupun di lorong-lorong dan taman serta kantin rumah
sakit begitu gadis itu diperkenankan turun dari tempat tidurnya. Tetapi sifat itu telah menerbitkan kasih
sayang yang semakin berlimpah, tanpa ia sadari.
Matanya baru terbuka setelah para asisten lelaki mulai
menatap dengan mata iri dan para suster bergunjing
di ruang ganti pakaian. Secara halus, perlahan-lahan Ginardi mulai
menjaga jarak dengan Erika, disertai niat suatu hari
akan berkunjung ke rumah gadis itu dan melihat
perkembangan apa seterusnya yang akan terjadi.
Namun diam-diam ia selalu memperhatikan
bagaimana Erika dari hari ke hari tumbuh semakin
sehat, semakin cantik, semakin penuh daya tarik.
Diam-diam pula ia menyimpan rasa cemburu kalau
ada teman sejawatnya yang berbicara terlalu intim
dengan Erika, atau bahkan kalau ada teman-teman
pria satu sekolah Erika yang datang menjenguk, dan
kedatangan mereka disambut Erika dengan senang
hati serta wajah berseri-seri.
Sekali waktu, ia kebetulan memeriksa salah
seorang pasien yang bersebelahan tempat tidur dengan
Erika dan gadis itu sedang menerima seorang tamu
laki-laki yang pasti bukan temannya satu sekolah.
Di antara percakapan mereka, dokter muda itu
mendengar Erika berkata begini, "Mengapa tidak
sekarang?" "Sabar. Masih banyak waktu."
"Tetapi saya takut, Pak."
"Mengapa?" "Saya sudah lama tidak membuka-buka buku,
dan..." "Alaaa, tenanglah. Aku akan membantumu,
Erika. Bukankah sudah pernah kukatakan hal itu
kepadamu dulu?" "Benarkah?" Erika menggenggam hangat tangan lelaki yang baru belakangan diketahui Ginardi
sebagai guru matematika gadis itu di sekolahya, tanpa
kedua orang itu mengetahui dokter muda di dekat
mereka melirik curiga. Betapa menderita batin Ginardi ketika menyaksikan, sang guru yang masih terhitung muda itu
mengusap-usap tangan Erika dengan manja, dan berbisik lebih manja lagi, "Cepatlah sembuh, Erika manis"!"
109 110 "Biarlah gadis itu tetap sakit!" waktu itu, hati
Ginardi menjerit. "Biarlah Erika tetap berbaring di
tempat tidurnya, supaya ia tidak jauh-jauh dari sampingku dan kau tidak berkesempatan memanjakannya
lagi"!". Dengan jiwa yang tersiksa Ginardi menyelesaikan tugasnya, lantas meninggalkan sal kelas tiga itu
dengan langkah-langkah lunglai. Tiba di kantor, ia
berpikir keras. Kalau gurunya Erika bisa tanam andil,
mengapa aku tidak, pikirnya.
Dan sore hari itu juga ia mendatangi Erika dan
menawarkan, "Kau ingin cepat sembuh, bukan?"
"Tentu saja, Dok...," jawab Erika, terheranheran.
"Kalau begitu kau memerlukan perawatan yang
lebih baik. Mulai hari ini kau akan dipindahkan ke
kelas satu!" "Tetapi Dokter..."
"Jangan pikirkan soal biaya. Pikirkanlah kesehatanmu saja, Erika. Kau mau, bukan?"
Polos, gadis itu menyahut dengan terharu.
"Terima kasih, Dok. Kau baik sekali kepadaku"
Mendengar itu, girangnya sang dokter bukan
main. Ia langsung menemui kepala administrasi dan
memberitahu soal pemindahan Erika. Agar tidak
menimbulkan kehebohan, ia berbohong dengan
menjelaskan pemindahan itu atas pemintaan dan
atas tanggungan keluarga pasien mereka. Sebagai
bukti ia tidak ikut terlibat, maka pada waktu Erika
dipindahkan dari kelas tiga yang tidak menyenangkan
ke kelas satu yang ruang dan perawatannya lebih
lumayan memuaskan itu, sang dokter sengaja tidak
bertugas di rumah sakit. Ia tidur nyenyak di rumahnya.
Dan bermimpi, ia duduk di pelaminan bersama
Erika. Tamu-tamu sudah pada pulang, dan tinggal
mereka berdua saja di rumah. Dengan tidak sabar
ia mencium Erika, menyeret gadis itu rebah di kursi
pelaminan yang panjang dan berjok empuk, penuh
ukiran serta hiasan di sana ini. Sehingga gadis itu
memprotes. Tetapi dengan bisikan mesra disertai
remasan-remasan lembut dan menggemaskan, Erika
kemudian menyerah, dan...
Dan esok paginya ia muncul di rumah sakit
dengan berlagak bodoh. Ia pergi menjenguk ke kelas tiga, dan berpurapura heran melihat tempat tidur Erika sudah diisi
pasien lain. "Mana pasien sebelumnya?" ia bertanya kepada
suster juga. Suster yang selama ini mengintip kelakuan atasannya dan suka ikut bergunjing di kamar ganti, me111
112 nyimpan senyum ketika menjawab, "Sudah dipindah,
Dokter" "Lho, kok" Ke mana?"
"Ke tempat yang lebih baik."
"Oleh siapa?" "Kalau tidak salah, atas desakan keluarganya!"
"Oooo!" Dengan perasaan puas atas kemampuannya bersandiwara, dokter itu memasuki kantornya kembali,
memeriksa daftar pasien serta tugas-tugas yang
harus ia lakukan hari itu. Betapa inginnya ia berlarilari waktu itu juga ke kelas satu, tetapi dengan susah
payah ia tekan keinginan itu dalam-dalam. Duduk
di belakang mejanya, ia memikirkan sandiwara lain.
Berpura-pura lewat di depan sel tempat Erika dirawat,
kemudian masuk pada saat ada suster atau asisten di
dalam, memandangi Erika dengan wajah heran, lantas
berkata sewajar mungkin, "Eh, kau di sini, Erika?"
Bukan jam berkunjung untuk umum, ketika
kemudian ia benar-benar masuk ke dalam bangsal
kelas satu di mana Erika dirawat, dan dua orang suster
tengah menghidangkan makan pagi.
Ginardi memang bertanya. "Eh, kau di sini,
Erika?" Tetapi dengan mata kecewa!
Karena seorang pemuda tampak duduk di sisi
pembaringan Erika. Ia berpakaian parlente, sepadan
dengan wajahnya yang kekar tampan meski tampak
sedikit kusut. Erika sendiri tampaknya tengah menyimpan kemarahan, namun jelas pipinya pagi itu lebih segar dari biasa.
Ia menyambut kedatangan dokter muda itu
dengan senyuman manis yang dibuat-buat, lantas
berujar, "Kenalkan, Dokter. Ini Alex..."
Dokter muda itu menerima uluran tangan Alex.
Mereka bertatapan sejenak sampai kemudian pemuda
itu bergumam dengan penuh harap, "Aku sangat
berterima kasih atas bantuanmu, Dokter. Erika sudah
menceritakan semuanya dan..."
"Ah. Aku hanya melaksanakan tugas"!" tukas
Ginardi dengan cepat. Basa-basi, tentu saja. Sekalian
menyembunyikan perasaan tak enak yang entah mengapa tahu-tahu saja mengganggu pikirannya.
"Maukah dokter membantu lagi?" tanya Alex.
"Tentu. Tentu..."
"Sudah kukatakan kepada Erika, betapa aku
menyesal. Aku... aku terpaksa melakukan hal itu...!
Ah, dokter tentunya mengerti apa yang kumaksud.
Aku sudah berobat secara teratur, dan telah menjauhi
perbuatan konyol yang selama ini kulakukan. Namun...
Oh, dokter, katakanlah padanya bahwa aku terpaksa
menganjurkan aborsi itu. Semata-mata karena aku
tidak ingin membahayakan keselamatan dirinya...!"
113 114 "Kau hampir saja membunuh gadis kecil ini!"
teriak Ginardi dalam hati. Sambil betapa inginnya ia
meninju muka menyebalkan di hadapannya itu.
Tetapi di mulut, seraya tersenyum, dokter muda
itu berujar lain, "Apa yang telah kau perbuat Bung
Alex, memang sudah semestinya..."
"Nah. Kau dengar apa kata dokter?" tanya Alex
dengan riang gembira ke arah Erika.
Gadis itu diam. Tidak menyahut.
Namun matanya tidak bisa menyembunyikan
sinar yang sangat cerah, meski bibirnya cemberut.
"Tetapi Bung Alex," Ginardi cepat angkat
suara. "Lain kali, hati-hatilah kalau menyeret gadismu
lainnya ke dokter yang berpraktik liar itu."
"Tidak akan ada lain kali itu, Dokter. Apa lagi
gadis lain!" jawab Alex, tuntas dan tampak bangga.
"Karena mulai saat ini, hanya ada satu Erika dalam
hidupku. Aku akan melakukan apa saja, asal dia
bersedia memaafkan kesalahanku di masa lalu. Lain
kali, kalau Erika beruntung bisa mengandung lagi,
Erika akan kupercayakan sepenuhnya hanya kepada
Anda saja, Dokter"!"
Kembali sendirian di kantornya, Ginardi
terhempas di kursi dengan wajah pucat dan bersimbah
keringat. Hasil operasi yang sukses memang masih memungkinkan Erika untuk mengandung lagi, meski
dengan risiko tinggi. Itu merupakan kebahagiaan
tersendiri bagi Ginardi. Tetapi kebahagiaan itu mendadak lenyap begitu saja, manakala menyadari bahwa
Erika ternyata milik orang lain.
Dokter muda yang malang itu mengerut di
tempat duduknya, dan baru terlonjak ketika telepon
di atas meja kerjanya berdering nyaring. Suster melaporkan ada pasien yang sudah menjalani anestesi dan
kini menunggu di kamar bedah, untuk operasi caesar.
Ketika bergegas menuju ruang bedah, dokter
muda itu masih memikirkan Erika. Dan masih tak
ingin melepaskan hasratnya untuk meninju teman
lelaki Erika yang bernama Alex itu, yang di mata
Ginardi jelas bertampang tidak bisa dipercaya.
Tidak bisa dipercaya"
Astaga, Ginardi. Apa-apaan pula kau ini"!
Tetapi begitu Ginardi menghadapi meja bedah,
saat itu juga ia sudah melupakan dan mempersetankan
orang lain, tak peduli siapa pun juga
Yang ada dalam pikiran Ginardi, hanya satu
manusia saja. Ah ya, dua. Sang ibu, dan manusia berikutnya yang sudah tak sabar untuk melihat betapa
penuh sesak dan menjijikkannya dunia yang akan ia
masuki. Untuk itu, diperlukan pertolongan dan keterampilan tangan-tangan Ginardi![]
115 9 CINTA dapat menimbulkan benci.
Tetapi kebencian itu akan runtuh dengan
sendirinya, selama cinta masih tetap berakar di dalam
hati. Erika pernah membenci Alex ketika pemuda itu
terus terang meminta ia menggugurkan kandungan.
Tetapi toh pada saatnya, kesepian justru semakin
menumbuhkan cintanya, dan ia pun mengabulkan
permintaan Alex. Ia kembali membenci Alex ketika pertengkaran
paman dan bibi Erika telah membuka rahasia pemuda itu. Namun Erika harus mengakui, betapa
ia selama ini hanya berpura-pura riang gembira di
hadapan dokter, suster, paman, bibi, adiknya Luki,
teman-teman satu sekolah, guru matematikanya Pak
Anton dan lain-lainnya. Ia ingin memperlihatkan
kepada mereka bahwa pukulan beruntun yang datang
menimpa dirinya itu memang sangat berat namun ia
sanggup mengatasinya. 117 118 Padahal, jauh di sanubari, Erika sesungguhnya
terus saja digerogoti perasaan sepi yang mengerikan
itu. Tiap ada orang membesuknya di rumah sakit,
tiap kali pula ia sangat berharap Alex ada di antara
mereka. Lantas ketika Alex ternyata tidak muncul,
ia kecewa berat, semakin dicekam rasa sepi, yang
buntut-buntutnya, Erika justru semakin merindukan
Alex. Alex seperti tahu isi hatinya.
Pemuda itu muncul pada waktu yang tepat
pula. Yakni, manakala Erika tengah sibuk membayangkan Alex pacaran dengan gadis lain, sehingga
kecemburuan menggigit ulu hatinya, pemuda itu
tiba-tiba muncul di pintu ruang rawat, sambil dengan
kata-kata manis dapat melunakkan protes suster jaga
karena Alex berkunjung di luar jam besuk. Ingin
rasanya Erika menghambur dari tempat tidur. Lari ke
pelukan Alex. Tetapi sisa-sisa kebencian menyuruhya
tetap diam. Membungkam seribu bahasa, sementara
Alex berkicau panjang lebar.
Erika tak menanggapi, sampai pemuda itu
membujuk dengan kisah lain.
"Tahu kau apa kata tante Sunarti ketika aku
datang ke rumah kalian" Bila Om Paul ada, pastilah
aku sudah babak belur...!" Alex mencoba tertawa
dengan muka kecut. "Ia akan kubiarkan memukuliku,
Erika. Aku pasrah. Karena aku sadar, aku bersalah!"
Bunga Bunga Indah Berduri Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hem!" Erika bersungut. Sekaligus cemberut,
karena sudah bisa menangkap ke mana arah pembicaraan Alex
"Nah. Mau juga suaramu keluar...!" Alex
tertawa. Gembira. Erika mengatupkan mulut lagi rapat-rapat.
Dan berpaling menghadap tembok, dengan dada
berdebar-debar. "Tante Sunarti masih bermurah hati, mau
menerima kedatanganku. Dia..."
"Kau tiduri pula"!" desis Erika. Tajam menusuk.
Sayang, beraninya cuma ke arah tembok.
"Meniduri siapa, Erika?"
Erika bungkam. Dalam hati, menyesal membawa-bawa tantenya
yang tidak berdosa apa-apa.
Alex benar. Tante Sunarti perempuan baik hati
dan bermurah hati. Ia baru mengenal perempuan itu
baru sekitar satu tahun lebih, beberapa bulan setelah
menikah dengan paman Paulnya. Paman yang tidak
begitu ia kenal pula, karena sering berpindah-pindah
kota untuk cari kerja yang lebih mapan, yang selalu
gagal pula sehingga papa Erika memanggilnya untuk
ikut bersama mereka saja.
119 120 Itu sebabnya Erika lebih suka memanggil Paul
dengan sebutan Om ketimbang Paman, apalagi Paul
bukan seorang paman yang baik. Suka keluyuran, dan
sering memotong belanja dapur yang diberikan ibu
Erika kepada tante Sunarti, bahkan dengan berani
seseekali dia juga memotong uang saku Erika dan
Luki. Kalau saja tante Sunati tidak begitu baik hati
untuk berusaha dengan susah payah menjadi ibu
pengganti selama ibu Erika yang seringkali bolakbalik meninggalkan rumah karena urusan organisasi
yang sedemikian sibuk dan sangat menyita waktu
berkumpulnya bersama anak-anak dan suami. Tak
peduli apakah Paul dan Sunarti dapat hidup atau
tidak, atau malah memilih jadi parasit di rumah orang
lain yang kebetulan toh keluarga sendiri pula.
Lalu apa maksud Alex tadi, "Bila Om Paul
ada, pastilah aku sudah babak belur ?"" Diapakan
pula tante Sunartinya oleh Alex" Alex yang banyak
akal untuk meruntuhkan hati orang" Dalam setiap
kesempatan" Lihat saja tadi, dokter muda itu pun tidak
dilewatkan oleh Alex. Alex masih berkicau ketika dokter muda yang
juga sama baik hatinya dengan tante Sunarti itu masuk lalu diperkenalkan Erika dengan kekasihnya. Alex
langsung memanfaatkan kesempatannya. Ia berbicara
blak-blakan dengan dokter itu supaya Erika mendengar dan mau memaafkan Alex. Ketika dokter itu
kemudian pergi, pelan-pelan hati Erika menjadi lunak.
Betapa pun, ia masih mencintai Alex, dan selama satu setengah tahun kencan mereka yang begitu manis
dan hangat, Erika sedikit pun tidak berminat membuka walau cuma sebelah matanya saja untuk melirik
pemuda lain. "Kemana saja kau selama ini?" akhirnya Erika
berbalik punggung juga, lantas bersungut-sungut
Maunya sih marah. Tetapi kok pertanyaan yang ia
lontarkan, malah justru menyiratkan kerinduannya.
Ya, ampun kau ini Erika! "Cari kerja" !" jawab Alex. Serius.
"Ooo. Mulai mengingat masa depan, ya?"
"Demi kau, Erika." Alex tampak makin serius
saja. "Oh...!" Erika pun runtuh, dan membiarkan
saja Alex membelai rambutnya, bahkan ketika suster
tidak ada dan memang satu-satunya tempat tidur lain
di ruangan itu tidak diisi pasien, membiarkan pula
Alex mencium bibirnya. Ia tidak memberikan reaksi
karena masih menyimpan benih-benih kebencian.
Namun, diam-diam ia mulai menikmati ciuman itu
meski tidak dengan sepenuh hati. Bahkan Erika
sudah mulai membuka bibirnya, dengan lidah yang
sudah siap untuk". 121 122 Tetapi Alex tahu-tahu sudah menarik bibirnya
dengan cepat. Lantas mengeluh, "Kau dingin, Erika. Kau
masih marah...!" Erika diam saja. Dan jauh di dalam hatinya, ia menangis bahagia
melihat wajah Alex yang tampak seperti orang
terpukul. Giliranmu sekarang, Erika membatin.
"Baiklah..." Alex bangkit dari sisi tempat tidur.
"Aku memang tidak pantas untuk meminta belas
kasihanmu lagi. Biarlah aku pergi. Dan melupakan,
betapa sebenarnya aku ingin menikahimu sesegera
mungkin...!" Jantung Erika memukul keras. Untuk beberapa
saat lamanya, pukulan balik yang mengejutkan itu
membuat Erika seakan mendadak lumpuh. Dan
ketika ia tersadar lantas berpaling, ia melihat Alex
sudah sampai di pintu. Siap untuk melangkah keluar.
"Alex..."!" cepat Erika memanggil. Tegang.
Pemuda itu memutar tubuhnya.
"Ya?" "Jangan pergi."
"Tidak, Erika. Aku...," wajah Alex terlihat
murung luar biasa. Suaranya gemetar dan parau,
dan semakin melumpuhkan pertahanan Erika yang
sebelumnya memang sudah rapuh.
"Jangan pergi...!" Erika mengulangi per mohonannya.
Alex tampak bimbang. "Duduklah di sini, Alex"!" bisik Erika, menunjuk sisi tempat tidur.
Ragu-ragu, Alex duduk. Tidak memandang Erika, tetapi menekuri lantai.
"Ucapkan sekali lagi, Alex!" Erika kembali
memohon. dengan suara bergemetar.
"Apa?" Alex mengangkat muka.
"Bahwa kau akan".," Erika tak berani meneruskan.
Alex-lah yang meneruskan. Dengan wajah dan
suara yang terdengar takut-takut. "Akan menikahimu...?"
"Kapan, Alex?" Itu bukan lagi permohonan. Melainkan, sebuah
tuntutan tak sabar. "Bila kau menghendaki...," Alex ragu-ragu.
"Oh, Alex. Lupakan saja dulu soal waktu!"
"Apa?" "Ciumlah aku, Alex. Ciumlah. Kumohon "!"
Dan Alex menciumnya. Membawa Erika terbang tinggi di awang-awang,
tanpa sedikit pun menyadari bahwa selagi mata Erika
123 124 terpejam rapat menikmati ciuman bibirnya, sepasang
mata Alex tampak membuka nyalang.
Mata yang menerawang jauh. Benar-benar jauh
dan tak terduga. Yakni ke suatu tempat di mana Erika akan
terbanting kembali ke bumi.
Sebuah bantingan, yang akan teramat kejam
dan tidak mengenal belas kasihan.[]
10 ERIKA memandangi wajahnya di kaca. Pipinya tidak
semontok dulu, tetapi merah segar dengan mata
berseri-seri. Ia hampir tidak percaya, segala sesuatu
telah berubah demikian cepat. Tadi malam ia masih
berharap Paul yang menjemputnya ke rumah sakit.
Atau Sunarti dengan Luki. Tetapi yang datang justru
Alex. "Ommu memberiku izin," kata Alex, begitu ia
muncul di pintu ruang rawat. "Mereka setuju untuk
menunggu kedatanganmu di rumah"
Erika membelalak. Heran. "Om Paul" Kau sudah temui dia?"
"Ya" Erika mengawasi wajah Alex dengan cemas.
Kulitnya bersih dan licin. Malah tampaknya ia telah
bercukur lebih dulu. Alex tertawa.
Katanya, tetawa. "Tenanglah. Pamanmu yang
galak itu agaknya sedang tidak berminat. menghajarku!"
125 126 Benar-benar ajaib, pikir Erika takjub seraya
menyimpan kaca hiasnya ke dalam tas. Ia memperhatikan Alex yang sedang sibuk membenahi pakaian-pakaian Erika ke dalam koper kecil. Kemarin
pemuda itu datang, meminta maaf dan berjanji akan
menikahinya. Hanya dengan sebuah syarat yang kedengarannya sangat sederhana. Terlalu sederhana
malah, selesaikan dulu ujianmu, baru setelah itu kita
kawin! "...Alex?" Pemuda itu menutup koper, dan menguncikannya sekaligus.
"Mmm...?" "Apakah tidak terlalu cepat?"
Alex memungut sepasang sandal Erika, dan
memasukkannya ke dalam kantong plastik bersama
benda-benda kecil lainnya.
"Pulang hari ini?" ia bergumam.
"Bukan..." "Lantas?" "Setelah aku selesai ujian"! Itu berarti, paling
lambat dua minggu di muka!"
Alex menggenggam kedua tangan Erika. Lembut. Dan menatap mata Erika, lembut. Suaranya lebih
lembut lagi. "Kau keberatan?"
"Aku bahagia, Alex."
"Beres, kalau begitu!"
"Belum." "Apalagi?" "Kau harus siap, bukan?"
"Sudah!" "Sudah?" "Lamaranku di perakitan sepeda motor itu
sudah diterima, Erika. Begitu aku menerima gaji
pertamaku, kita kawin!" Alex mengucapkan kalimat
terakhir seraya menyeringai.
Erika membalas genggaman Alex.
Dan bertanya serius. "Berapa gajimu sebulan?"
"Satu juta rupiah per bulan. Sebagai percobaan,
katanya...!" "Satu juta, hem. Dengan jumlah itukah kau
melamarku, Alex?" "Bukan daftar gajiku yang melamarmu, Erika.
Tetapi cintaku" "Ahhh." Alex tertawa. "Siap?"
"Oke!" Dan Erika meloncat dari tempat tidur, demikian keras sehingga lambungnya terasa sakit. Ia
menyeringai, namun dengan cepat ia tertawa. Pasien yang baru malam harinya menempati ranjang
lain di kamar itu, membuka sebelah matanya. Mem127
128 perhatikan. Tetapi segera mengatupkan kembali
manakala Erika mendekati ranjangnya.
Alex bersungut lembut, "Biarkan dia tidur..."
Erika tidak jadi pamit dengan teman sekamarnya
itu. Lalu keluar bersama suster yang sudah menunggu
di pintu, disusul Alex yang menjinjing koper di tangan
kanan dan kantong plastik di tangan kiri. Segala
sesuatu yang berhubungan dengan administrasi telah
diselesaikan Alex di kantor, atas nama Paul. Mereka
masih berpapasan dengan beberapa perawat yang
dikenal baik oleh Erika selama ia dirawat. Berbasabasi sebentar, saling mengucapkan terima kasih,
selamat jalan, selamat tinggal, dan sebagainya.
Alex sudah mendahului belasan langkah di
depan, ketika sebuah pintu terbuka tiba-tiba di sebelah
Erika. Dokter muda yang baik hati itu muncul dengan
wajah berkeringat. Matanya kelihatan liar, namun
segera menjadi tenang begitu melihat Erika.
"Kami akan merasa kehilangan kau, Erika,"
katanya, tersenyum. "Tetapi jangan datang lagi
kemari!" "Apa pula itu?" Erika melongo, sambil menerima
uluran tangan dokter muda itu.
Tangan laki-laki itu hangat, dan Erika merasakan
suatu getaran aneh di dadanya. Ah, bukan di dadanya.
Melainkan, di telapak tangan dokter muda tersebut.
"Untuk berkunjung, silahkan. Tetapi untuk
dirawat, jangan!" jawab dokter itu, bingung oleh
keterangannya yang kacau balau.
Untunglah suster yang berdiri di samping Erika,
cepat menolong. "Yang dimaksud Pak Dokter, Nona.
Diopname di rumah sakit bukanlah istirahat yang
menarik!" "Ooo...," Erika masih berbicara sebentar
dengan dokter itu, untuk mengucapkan terima kasih
atas bantuan dan kebaikan hatinya selama ia dirawat.
Alex sementara itu berhenti, berpaling memperhatikan mereka. Dokter sedang melihat ke
arah lain, lalu melangkah cepat ke tempat itu. Di
atas rerumputan tertulis dalam huruf cetak besar:
"DILARANG MEMETIK BUNGA", tetapi dokter
muda tadi dengan sikap tak acuh memetik setangkai
bunga mawar yang baru mekar, merah menyala.
Lalu menyerahkannya ke tangan Erika seraya
berujar, "Demi kesehatanmu, Erika"
Ginardi masih memperhatikan Erika sampai tiba
di sebuah petigaan koridor, di mana Erika berjabatan
tangan lalu berpisah dengan suster yang berjalan
bersamanya. Sang suster meneruskan langkah ke
kanan, sementara Erika ditemani Alex berbelok ke
kiri, lantas lenyap di balik tembok ruang pemisah
yang seakan tertawa mengejek ke arah Ginardi.
129 130
Bunga Bunga Indah Berduri Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tampak murung, dokter muda itu kemudian
masuk ke ruangan dari mana ia tadi keluar. Ada tiga
orang pasien di kamar itu, yang dua sedang tidur.
Pasien ketiga, lengan bajunya tersingsing. Sebuah
botol kecil terletak di atas meja, dengan jarum suntik
yang ujungnya berkilauan dijilati mentari pagi yang
menerobos lewat jendela, masih menempel pada
katup penutup botol dimaksud.
Dokter muda itu berjalan ke samping jendela,
dan mengintip ke pelataran rumah sakit.
Alex membimbing Erika ke sebuah taksi yang
menunggu di ujung utara pelataran itu. Sopir taksi
membuka bagasi dan memasukkan koper dan kantong plastik ke dalamnya, menutup pintu bagasi
rapat-rapat kemudian duduk di belakang setir. Kunci
kontak diputar. Mesin berdengung, lembut.
"Apa yang kau pegang itu, Erika?" tanya Alex,
dengan dahi berkerut. "Bunga." jawab Erika, polos.
"Buang saja. Lebih banyak bunga menunggumu
di rumah!" "Ini hadiah, Alex."
"Aku tahu. Dari seorang laki-laki!"
"Apa salahnya?" tanya Erika, gelisah, sementara
mobil berputar untuk dapat meluncur mulus melalui
pintu gerbang. "Salahnya" Itu bunga mawar merah!" rungut
Alex. Seketika, Erika maklum. Ia tersenyum, membujuk.
Sebuah mobil tua membelok memasuki pintu
gerbang dua arah. Taksi terpaksa mundur untuk
memberi jalan masuk, dan menunggu mobil tua itu
memperoleh tempat yang leluasa. Sayangnya, sebuah
sepeda motor mau meluncur pula keluar, tidak mau
mundur. Mobil tua itu mengalah. Mundur ke jalan besar, sehingga sepeda motor itu dapat melewati pintu
gerbang yang sempit. Selama semua adegan singkat itu berlangsung,
di jok belakang taksi, Alex menggerutu. "Mengapa
belum kau buang juga?"
"Alex, aku tak sampai hati. Ini "kan..."
"Berapa laki-laki ada di hatimu, Erika?" tanya
Alex. Lunak, namun menusuk tajam.
"Hei. Aku "kan tidak..."
"Berapa?" "... Satu!" "Siapa, Erika?"
Erika mengawasi wajah Alex, semakin gelisah.
Dokter muda itu begitu baik menghadiahkan sekuntum bunga mawar merah untuknya. Ia percaya,
tiada maksud apa-apa. Hanya saja kebetulan itu bu131
132 nga mawar, kebetulan berwarna merah darah, kebetulan...
Tetapi Alex akan menikahinya. Erika tidak
ingin kelak ia selalu berada di bawah perintah suami.
Sebaliknya, ia tidak pula ingin menjadi kepala keluarga
di rumah tangganya. Salah satu harus mengalah.
Baiklah. Hanya sekuntum bunga!
Ia mengecup pipi Alex. Mesra. Lalu melemparkan bunga mawar itu lewat jendela mobil yang
terbuka. Mobil tua tadi sudah meluncur masuk. Taksi
pun bergerak keluar pintu gerbang.
Dan di sebelah dalam jendela salah satu kamar
kelas utama rumah sakit itu, Ginardi masih berdiri
memperhatikan ke arah gerbang keluar masuk dimaksud. Ia menggigit bibir ketika melihat sesuatu dilemparkan keluar jendela taksi. Sesuatu itu kemudian
digilas oleh ban belakang taksi sebelum meluncur ke
jalan raya. Bunga mawar merah. Pemberian sepenuh kasih
dari Ginardi. Tampak lumat seketika. Menyatu dengan aspal yang hitam berdebu...[]
11 ALEX benar. Ada lebih banyak bunga menyambut kepulangan Erika di rumah.
Sebuah buket kecil, justru melulu terdiri dari
bunga mawar. Hanya warnanya saja yang lain. Kuning,
bukan merah namun betapa nyaman dipandang.
Sebuah kartu kecil, tergantung pada buket itu. Atas
nama paman Paul, dengan ucapan, "Selamat datang
di rumah kita". Masih ada buket lain, anggrek susun
tiga. Alex yang mengirim, dengan ucapan, "Demi
masa depan, diiringi kasih sayang"
Hadiah lainnya masih tersedia. Sebuah bungkusan kado besar dari pamannya juga, serta hidangan
di atas meja makan yang khusus dimasak bibinya. Tidak
banyak, tetapi benar-benar mengundang selera. Bistik
lidah, goreng ikan asin, saus tomat, sambal beserta
lalap, lalu minuman bul sebagai penutup. Semuanya
kegemaran Erika, sehingga dengan terharu gadis itu
134 mengutarakan terima kasihnya kepada Sunarti yang
memeluknya dengan penuh kasih sayang.
Luki sudah mengambil tempat lebih dahulu,
dengan mata liar memandangi hidangan di atas meja
makan. Ia agak tersentak ketika Erika mencium
pipinya, dan bertanya setengah berseloro, "Mana
hadiah darimu, Luki?"
Luki melirik sejenak ke bistik lidah, lalu menilik
ke arah Paul. "Ayo. Mana hafalanmu, anak cakep?" sang
paman berkata mendorong. Luki menelan ludah dua kali, tersenyum kaku kepada kakaknya lantas berujar dengan gaya
menghafalkan pelajaran sekolah.
"Untukmu Kak Rika, aku berjanji tidak akan
nakal lagi!" Dan tanpa menunggu reaksi kakaknya, Luki
lantas menyerbu bistik lidah dengan mata kelaparan. Ia lupa mengambil nasi, lupa membasahi kerongkongannya yang kering dengan air. Dan itulah
kemudian yang terjadi, sepotong besar bistik lidah,
ia keluarkan lagi dari mulutnya, dengan mata merah
berair! Yang lain saling berpandangan, menahan ketawa.
Luki bersungut kesal. "Kalian sering bilang,
lidah ketemu lidah enak rasanya...!"
Wah! Makan siang itu, meski tanggung waktunya,
toh berjalan lancar dan menyenangkan. Luki segera
menghambur keluar rumah begitu seorang temannya
bersuit-suit dari seberang pagar. Sunarti menghilang
di belakang, menyibukkan diri bersama pelayan
mencuci piring gelas. Erika sadar bahwa ia juga
harus menyingkir. Maka dengan hati dag-dig-dug ia
bersembunyi di kamar tidurnya yang sudah diatur
bibinya demikian rapi serta disemprot dengan obat
penyegar. Di ruang duduk, Alex menggeliat di kursinya.
Gelisah. Ia satu-satunya orang yang tidak merasakan
kegembiraan di meja tadi. Paul berbicara kepada
setiap orang, kecuali kepadanya. Sunarti yang tidak
ingin mendapat hadiah omelan, berkomplot pula
dengan suaminya. Terpaksa. Sedang Erika terlalu
bahagia pulang ke rumah, sehingga tidak menyadari
ada yang salah. Dan kini, Alex tak ubahnya dengan seorang pesakitan yang sedang menunggu palu hakim diketuk.
Ketukan itu berabad-abad rasanya baru bergema dalam bentuk parau lewat mulut Paul yang
menggurat tajam, "Pikirkanlah lagi, bung Alex. Ini
bukan soal melamar pekerjaan "!"
135 136 Alex membasahi bibirnya yang kering.
Lalu, "Keputusanku sudah tetap, Om"
"Kau beri makan apa keponakanku, dengan
satu juta rupiah sebulan?"
"Itu hanya percobaan, Om. Sesudahnya..."
"Itu dia! Setelahnya!" Paul bertepuk tangan.
"Maksud Om?" Alex tegang seketika.
"Kau punya tempo tiga bulan. Pada bulan
keempat, bung Alex, kita bicarakan kembali. Siapa
tahu, segala sesuatu sudah lebih baik keadaannya.
Dan jangan lupa apa yang mau kukatakan berikut ini
"!" Paul berhenti sejenak dan menatap lurus-lurus
ke mata Alex. Yang ditatap tidak mengelak.
Pertautan mata mereka jelas, saling tidak
menyukai satu sama lain. Paul menyeringai. "Aku tidak bermaksud mencabik-cabikmu,"
katanya, dingin. "Karena kusadari norma yang
berlaku. Gadis yang sudah bukan perawan, akan
sukar menemukan jodoh. Kalau pun mudah, akan
lebih sukar lagi menerangkan mengapa ia sudah tidak
perawan. Kecuali, bila jodohnya itu adalah laki-laki
yang sudah memerawani si gadis!"
Alex terdiam. Pucat. Tetapi, dalam umur belum mencapai dua puluh
lima tahun, ia sudah banyak makan asam garam.
Karena kemanjaan yang berlebihan dari orangtuanya. Karena ia tampan, dan tahu kapan ia harus bermulut manis, kapan ia harus menjauh meski harus
meninggalkan bekas-bekas yang mengerikan. Sehing ga gadis-gadisnya berubah membencinya, dan
orangtua mereka pasti menyesal telah keliru dalam
cara mewujudkan kasih sayang.
Maka, dengan wajah bersungguh-sungguh,
Alex pun menanggapi. Tenang. "Terima kasih. Om
sudah membuka mataku. Kalau aku harus menunggu
sepuluh tahun lagi, aku akan menunggu. Selama itu,
kukira aku dapat menabung. Bila saja Erika..."
"Dia pasti setuju!" tukas Paul, datar.
"Aku juga berharap demikian...," Alex mencoba
tersenyum meski kedua lututnya terasa goyah, dan
dadanya bagai dirobek-robek oleh kemarahan.
"Masih ada yang harus kupikirkan, selama waktu
menunggu?" ia bertanya, setengah menyindir.
"Oh, tentu. Tentu. Lain kali, bung Alex, aku
tidak menghendaki kau yang bicara. Melainkan,
orangtuamu. Jelas?" Alex memerlukan tempo tiga menit berlalu, sebelum ia mengangguk-anggukkan kepala. Tersuruksuruk, kemudian bangkit dengan gontai, dan berjalan
137 138 dengan langkah digagah-gagahkan dan kepala tegak
menuju pintu depan. "Alex?" "Ya Om?" Alex berpaling. Mukanya tegang,
warnanya merah dadu. Paul menyeringai lebar. "Kau melupakan
sesuatu." Alex menatap ke atas meja. Rokoknya tertinggal.
Ia masuk lagi, mendekati meja lalu memungut rokoknya dengan tangan gemetar menahan kemarahan,
memasukkan ke saku kemeja.
"Hem. Rupanya kau tidak mengerti maksudku,"
Paul bergumam dengan mata mencemoohkan, lantas
menggerakkan bahu ke pintu kamar Erika di lantai
atas. Yang tertutup rapat. "Bersikaplah seolah tidak
terjadi apa-apa. Dan, Alex! Hanya untuk pamitan.
Lebih dari itu, sabarlah sampai waktunya tiba. Paham"!"
Alex menggemeratakkan gigi, dan berjalan dengan langkah-langkah mengambang ke lantai atas.
Melangkahi anak tangga demi anak tangga, seakan
bagai merangkaki lereng bukit demi lereng buki.
Hebat, bahwa ia akhinya tiba juga di depan pintu
kamar tidur Erika, tanpa jatuh tersungkur lalu ditertawakan oleh Paul yang terus mengawasi dari lantai bawah.
Baru sekali ketuk, pintu sudah terbuka. Dan
Erika tampak berdiri di hadapannya, menatap diam
dengan air mata berlinang-linang. Alex tertegun. Gugup. Setelah menarik nafas panjang untuk mengisi
paru-parunya dengan gelembung-gelembung udara,
seperti orang kepayahan berlari Alex pun mendengus.
"Aku mau pulang."
Erika mencoba tersenyum. Dan membuka rahasianya, "Aku mendengar. Tetapi Omku kukira
benar....!?" Sial! Ingin rasanya Alex memaki. Tadi di rumah
sakit, Erika tampak begitu mudahnya menyerah!
"Kau akan menunggu?" bisiknya. Tersedak.
"Sampai mati." gadis itu balas berbisik.
Barulah Alex dapat tersenyum.
"Jangan!" ujarnya lebih cerah. "Jangan mati,
sebelum kita naik pelaminan...!"
Lalu mereka berpisah. Tanpa jabat tangan, tanpa lambaian, apalagi
cium mesra. Lidah di dalam mulut Alex sesaat terasa bagai
menggeliat, gatal. Lidah Erika lebih gatal lagi.
Luki jelas tidak memahami apa yang ia omelkan
setelah menyemburkan potongan bistik lidah dari
mulutnya. Kalau anak itu paham, pasti bistik itu ia gasak
habis-habisan.[] 139 12 ERIKA lebih dulu menyempatkan diri mengunjungi
papanya di penjara, sebelum mengikuti ujian susulan.
"Doakan aku, Papa," ia memohon.
Selesai membaca hasil pengumuman sepuluh
hari setelahnya, ia berlari-lari menemui papanya lagi.
"Doamu terkabul, Papa!"
Papanya menangis. Erika menangis. Ia bahagia, sekaligus malu kepada dirinya
sendiri. Goncangan pikiran selama minggu-minggu
terakhir sebelum ujian, benar-benar mengganggu
konsentrasinya. Ia hampir tidak bisa belajar sebelum
maju ke meja ujian susulan itu. Maka, begitu ujian
hari terakhir selesai, ia tidak menolak undangan guru
matematika kencan malam harinya. Hanya makan
malam di sebuah restoran, lalu nonton di bioskop.
Selama film diputar, tidak ada hal-hal menjurus yang
141 142
Bunga Bunga Indah Berduri Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka percakapkan, kecuali remasan-remasan tangan Pak Anton di tangan Erika, sesekali di paha dan
satu kali usapan lembut yang seolah tak disengaja,
pada payudaranya. Guru yang tengah ngebet itu, berani melanggar
kode etik. Tetapi ia tidak cukup berani untuk menyatakan
isi hati sampai ia pamit di pintu rumah muridnya yang
muda belia dan cantik itu.
Ia hanya mampu mengutarakan ini saja, "Malam
yang menyenangkan, Erika."
Erika pun memberi hati. "Sangat menyenangkan, Pak Anton!"
"Bukan yang pertama, kuharap," guru bujangan
itu sedikit lebih berani. Namun toh disertai dengan
nafas sesak, seolah lehernya tercekik.
"Tetapi, Pak Anton. Malam pertama selalu lebih
berkesan!" "Ah, ya. Kau benar." dan guru matematika
yang malang melintang itu, pulang ke rumah kosnya.
Dan Erika yakin betul bahwa si pelanggar kode etik
itu pasti langsung rebah di tempat tidur dan sekejap
kemudian malaikat cinta sudah membawanya terbang
menuju langit ketujuh. Seminggu setelah pengumuman hasil ujian,
Erika berlari-lari mendapatkan tantenya.
"Tante, Tante...," bisiknya, terengah-engah.
"Ada tamu di depan."
Sunarti tercengang. "Untukku?" "Tidak..." "Kau?" "Ya" "Lalu mengapa aku harus..."
"Katakan aku pergi, Tante. Mau, ya" Mau?"
Erika memohon. Pelan-pelan, senyuman nakal bermain di bibir
tantenya. Sunarti geleng-geleng kepala, seakan
menyesalkan, namun dukungan moril tetap ia
sumbangkan dengan sukarela kepada keponakan
yang disayanginya itu. "Kau sempat dilihatnya?" ia bertanya.
"Belum. Aku kebetulan mau membuka jendela
kamar tidurku, ketika aku melihat sepeda motornya
memasuki halaman...!"
"Oke. Masuklah lagi ke kamarmu. Sembunyi di
kolong tempat tidur. Jangan lupa, sprei tarik sampai
rata dengan lantai!"
Lalu sambil menahan ketawa yang ingin
meledak, Sunarti berjalan ke ruang tamu begitu bel
berbunyi. Ia mencubit pahanya keras-keras, sampai
terasa sakit, agar ketawanya tidak keluar dan wajahnya
143 144 tampak serius. Baru setelah itu, pintu ia buka, dan
seraya tersenyum lebar, ia menyapa. "Hai, Pak Anton
kiranya. Silakan... silakan...!"
Guru matematika itu ngobrol sambil minum
teh dengan Sunarti, lebih dari setengah jam. Setelah
ia pergi dengan janji Sunarti "akan memarahi
keponakanku lama benar meninggalkan rumah",
Sunarti mengurut dadanya yang sesak dan kemudian
berjingkat memasuki kamar tidur Erika.
Tempat tidur kosong. Ia memanggil, tak ada
sahutan. Ketika ia lihat tepi bawah sprei rata dengan
lantai, pelan-pelan ia menyikapkannya.
Ternyata Erika rebah di kolong ranjang, rata
dengan lantai. Tidur. Mendengkur, lagi.. Pukul empat sore lebih lima menit, Erika
terbangun. Kepalanya terantuk besi-besi penahan
kasur. Dengan muka meringis, ia mendatangi Sunarti
yang membantu pelayan memasak mempersiapkan
makan malam di dapur. "Tante. Tante...," ia bergumam, linglung.
"Rumah ini berhantu!"
"Apa?" Sunarti terperanjat.
"Rumah ini berhantu!" ulang Erika. Serius.
"Ah, yang benar!"
"Sungguh." "Kau melihat hantunya?"
"Tidak..." "Lantas?" "Aku mengalami peristiwa aneh?"
"Oh ya" Aneh bagaimana?"
"Ketika aku terbangun, aku kaget setengah
mati!" "Hem. Kenapa?" "Aku... aku tidur di kolong ranjang. Padahal
sebelumnya tidak pernah. Bukankah itu pekerjaan
hantu, Tante?" Selama satu detik, Sunarti melongo.
Detik berikutnya, ia tertawa terkekeh-kekeh
sambil memegangi perut. Pelayan memandang bingung. Erika lebih bingung lagi. Dan Sunarti semakin terkekeh. Seluruh tubuhnya terguncang-guncang.
Bahkan sampai terduduk di lantai, dengan air mata
bercucuran saking tidak kuat menahan geli.
Malamnya di meja makan, Sunarti menceritakan
peristiwa itu kepada suaminya. Paul bergelak-gelak,
dan Luki yang ikut nguping, ikut pula tertawa. Tetapi
anak itu rupanya berpikir lebih dewasa dari usianya.
Habis tertawa, ia memandangi kakaknya dan
langsung mengajukan protes. "Kakak tidak jujur..."
"Apa?" Erika melotot.
145 146 "Itu durhaka namanya. Melangkahi guru!"
Diam berpikir sejenak, Erika cepat menangkap
maksud pembicaraan adiknya lantas membela diri.
"Guru matematikaku itu tidak kulangkahi, Luki."
"Tidak" Malah Kakak mengencinginya!"
"E-eee, kapan pula kau melihat aku membuka
celana di depan Pak Anton?"
Luki merah mukanya. Dengan marah ia berkata, "Kalau guru matematikamu itu datang lagi, kakak kulaporkan!"
Erika terkesiap. Sunarti berhenti tertawa, sedang
Paul membungkam tiba-tiba. Diam-diam ia menyesal
telah membicarakan sesuatu yang tidak patut di depan
anak yang masih polos itu.
Cepat Paul memutar otak, lantas berujar halus.
"Siapa yang kau sukai, Luki" Alex atau Pak Anton?"
"Bang Alex, dong, Om. Dia sering membelikan
burger atau pizza, dan berjanji kalau sudah punya
duit segerobak, akan membelikan aku sepeda motor,
dan kemudian mengajari aku ngebut. Dia bilang, aku
akan menjadi pembalap terkenal seperti dia!"
"Begitu. Kau tahu, mengapa guru kakakmu
datang ke sini?" "Mau ketemu kakak. Apa lagi!" dengus Luki.
"Artinya?" "Hem, apa yaaa. Oh, aku tahu!" Luki tiba-tiba
bersemangat. "Dia mau merebut Kakak dari bang
Alex"!" "Akan kau relakan dia berbuat demikian,
Luki?" "Uh! Tidak! Tidak sudi. Dia harus melangkahi
mayatku dulu. Tetapi dia tidak akan berhasil. Karena
aku akan membantingnya. Sampai rata dengan
tanah!" "Duh, galaknya. Membanting guru. Itu tidak
baik." "Jadi, harus bagaimana aku Om?" Luki kebingungan.
"Tutup mulut. Itu saja!"
Luki mengatupkan mulutnya. Rapat-rapat.
Erika, Paul dan Sunarti, tertawa terbahakbahak. Luki ingin ikut tertawa bersama mereka, namu
ia tahan keinginan itu kuat-kuat. Pendiriannya jelas, ia
ingin jadi anak baik, karena itu ia harus tetap menutup
mulut rapat-rapat. Satu jam kemudian, Luki pergi tidur.
Sunarti menekuni pekerjaannya, merajut popok
bayi. Ketika Erika masih di rumah sakit, Sunarti sering
diserang perasaan merasa mual tanpa sebab, muntah
beberapa kali, lalu menyempatkan diri menemui
dokter. Sekarang, ia merajut popok bayi itu dengan
147 148 mata berkilau gemerlapan. Tujuh bulan mendatang,
Sunarti tidak saja menjadi pengganti ibu buat Erika
dan Luki. Ia malah akan menjadi ibu dari anaknya
sendiri. "...Rika?" Erika sedang asyik menonton film akhir pekan
di ruang tengah. Sebuh televisi empat belas inci,
pengganti televisi berwarna ukuran 29 inci yang bulan
sebelumnya telah mereka jual, seketika menghentikan
keasyikannya. "Ya Om?" "Kapan persisnya dilangsungkan pesta perpisahan sekolahmu?"
"Rabu malam, Om, " jawab Erika, dan di dalam
hati ia merasa bahagia. Paman Paul yang selama ini
kurang memperhatikannya, berlaku keras terhadap
setiap kesalahan yang ia perbuat, benar-benar telah
berubah belakangan ini. Ia begitu peramah, begitu
memperhatikan kepentingannya dan kepentingan
Luki. "Hem. Rabu malam ya. Alex sudah tahu?"
Bola mata Erika berkilau cemerlang.
Indahnya mata itu, rungut Paul dalam hati.
Dari mata, ia mencuri pandang ke bagian yang lain
di tubuh Erika. Dan ia bergidik, menyadari betapa
indahnya bagian-bagian yang terpajang di depan
mata. Rok Erika sedikit tersingkap, dan Paul melirik
sekejap ke arah itu setelah mana berpaling dengan gigi
gemeletuk. Nyaris tak mendengar jawaban Erika.
"Belum, Om ?" "Beritahulah dia besok. Dia orang yang cocok
untuk menemanimu, bukan?"
Dada Erika berbunga-bunga. Omku yang
baik, jeritnya dalam hati. Mengapa tidak kupanggil ia
sesekali dengan sebutan paman"
Namun ketika suaranya keluar, tetap saja
lidahnya latah menyebut panggilan yang biasa.
"Terima kasih, Om Paul!"
"Ah, tak perlu berterima kasih. Aku hanya ingin
mengingatkan, pada malam perpisahan itu pilihlah
pakaianmu yang terbaik. Oke?"
Lamunan Erika lantas melayang pindah ke
dalam lemari pakaiannya. Ia bingung. Mana yang terbaik" "Kau tidak menyukai hadiah yang kuberikan
ketika kau pulang dari rumah sakit, ya Erika?"
Di sudut, Sunarti mengangkat muka.
Tetapi merundukkan kepala lagi dengan segera,
pura-pura tidak mendengar. Jari-jemarinya gemetar.
Dan telinganya mendengar Erika menjawab perlahan,
"Oh. Aku sangat menyukainya, Om. Gaun malam
yang benar-benar cantik"!"
149 150 "Kalau begitu, mengapa tidak kau pakai-pakai
juga?" Erika terdiam. Ia berpaling ke televisi. Wajahnya. Tetapi tidak matanya. Matanya melirik ke arah
tantenya yang sibuk merajut popok.
Erika sudah membuka bungkusan kado itu malam pertama ia pulang dari rumah sakit. Ia mengaguminya, dan menyadari betapa mahal harga gaun itu,
dalam keadaan mereka sekarang yang begitu moratmarit, hanya mengandalkan hasil usaha pamannya
jadi calo jual beli mobil.
Pada waktu guru matematikanya mengajak
kencan, Erika sempat mematut-matut diri di depan
kaca dengan gaun malam itu. Sunarti membantunya,
supaya dandanannya benar-benar memikat hati.
Pada saat Sunarti membenahi rambut Erika, secara
kebetulan Erika melihat garis kecokelat-cokelatan
melingkar di jari manis tantenya. Hari terakhir Sunarti
menjenguknya di rumah sakit, jari manis itu masih
dilingkari cincin berlian, hadiah perkawinan dari ibu
Erika. Gaun malam tersebut tidak jadi dipakai Erika
ketika Erika kemudian memenuhi ajakan nonton
sebagai balas budi atas bantuan guru matematikanya
itu menolong kelulusan Erika dalam ujian susulannya.
Disaksikan oleh tantenya yang terheran-heran, Erika
langsung melepas lalu melipat hati-hati gaun tersebut.
Lalu seraya menahan tangis, ia menyimpannya di
dalam lemari. Ia bayangkan buket bunga, bistik lidah,
minuman bul, dan sejumlah besar uang yang atas
nama pamannya oleh Alex dibayarkan di bagian
administrasi rumah sakit. Tahulah Erika, tantenya
telah mengorbankan cincin kawin kesayangan yang
tidak pernah berpisah dengan jari manisnya.
"Apakah kurang pas dengan tubuhmu, Rika?"
Erika terjengah. "Pas, Om. Begitu tepat Om memilih ukurannya,
" Erika mencoba tersenyum.
"Jadi?" Erika menatap sekilas ke arah tantenya, kemudian berpaling kepada sang paman.
Lalu berkata, memutuskan. "Aku pasti akan
tampak cantik sekali mengenakan gaun itu dalam
pesta perpisahan sekolahku Rabu nanti. Benar bukan,
Om?" Wajah Paul memerah, tanpa sebab.
Bunga Bunga Indah Berduri Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau memang cantik," gumamnya, tersendat.
Sunarti mengangkat muka sekali lagi.
Matanya basah.[] 151 13 PESTA perpisahan sekolah untuk murid-murid yang
sudah lulus ujian itu berlangsung dengan meriah.
Kegembiraan berbaur di aula gedung Gelanggang Remaja yang penuh sesak. Merayapi deretanderetan kursi, menyapu wajah-wajah berkeringat,
mengalir sampai ke belakang panggung, dapur yang
ditempati bagian konsumsi, sampai ke kebun di mana
akan berlangsung acara garden party. Musik seperti
tidak mau berhenti. Para pelawak muda dan berbakat
mengocok-ngocok perut, penyanyi yang sebagian
bertelanjang dada berjingkrak-jingkrak tanpa sadar
bahwa pesta sekolah itu seharusnya berjalan sopan.
Kepala sekolah tahu diri.
Pidatonya singkat, dengan suara tersendatsendat melepas kepergian sebagian murid-murid,
berpetuah kepada mereka yang tidak beruntung lulus
dalam ujian akhir. Wakil orangtua murid agak berteletele, tetapi selingan humor serta sindiran-sindirannya
153 154 sering melahirkan tawa membahana dan juga applause
yang riuh rendah. Pemberian piagam-piagam, tanda
kenang-kenangan bercampur baur dengan hiruk
pikuknya ucapan-ucapan selamat serta teriakanteriakan simpang siur. Melanjutkan kemana" Mau jadi
apa" Wah, bahasa Inggrismu jelek, mana kau diterima
di akademi sekretaris! Apa" Mau ke luar negeri" Wah,
kau kependekan, tak bakal diterima masuk TNI!
Langsung buka bengkel" Rudin ya"
Bahkan murid-murid yang tidak lulus, ikut
berkicau. Untuk melampiaskan kesedihan, sebagian mereka menyelusup ke dapur dan mencampur minuman
keras di antara gelas-gelas berisi kopi atau teh yang
diedarkan tanpa henti-hentinya. Malah ada yang nakal
menyelundupkan ekstasi atau sabu-sabu. Tak heran,
meski daftar acara tidak mencantumkan acara melantai, begitu tiba saat istirahat seorang dua hadirin
dengan nekad meloncat ke podium dan mulai menarinari. Beberapa guru yang masih sadar, tertegun. Tetapi guru-guru yang sial kebagian teh yang sudah dicampuri minuman keras dengan kadar alkohol tinggi,
bertepuk tangan memberi semangat. Malah di antara
guru itu ada pula yang latah, ikut berteriak-teriak sambil menggoyang-goyangkan ping gulnya yang tepos.
Salah seorang di antaranya, adalah Pak Anton
guru matematika yang terkenal galak di depan kelas,
ter utama kepada murid lelaki. Ketika mencium gelasnya berbau alkohol, ia bukannya marah, tetapi malah
isinya langsung ditenggak sekaligus dan meminta
tambah, tambah dan tambah lagi. Ia ingin mabuk.
Ia ingin melupakan pemandangan yang mendirikan
bulu roma sebelum pesta dimulai. Erika muncul
dalam gaun cemerlang, digandeng pemuda ganteng
yang banyak dibicarakan karena reputasinya di arena
balap motocross. Ia dengar namanya Alex, yang ketika
melihat Anton mendekati Erika untuk bersalaman,
menyapa setengah menantang:
"Hai, Pak Guru. Enggak punya teman kencan
ya?" Di arena lantai dansa yang semakin melebar
tanpa disadari setiap orang, Anton tidak lagi sendirian.
Setengah memaksa ia menyeret guru perempuan yang
manis dari sisi suaminya. Si suami yang rupanya juga
kerasukan alkohol selundupan, tidak pula membuang
kesempatan. Langsung saja menggaet seorang murid
perempuan berdada montok dan di sekolah terkenal
karena kerlingan nakal mau pun omongan joroknya.
Alex bahagia, meski Erika menolak dansa.
Ia bergendang-gendang sendirian di kursinya.
Tidak sadar, Erika sama tidak bahagianya dengan
guru matematika itu. 155 156 Erika sedang dihinggapi perasaan menyesal. Sangat menyesal datang menghadiri pesta perpisahan,
dengan mengenakan gaun yang membuat Tante Sunartinya kehilangan cincin kawin. Penyesalannya
semakin menjadi-jadi, setelah ia menerima jabatan
tangan yang dingin dari guru Anton, guru matematikanya yang wajah maupun ucapan selamatnya tidak bisa menyembunyikan perasaan kecewanya yang
teramat sangat. "Tak kusangka budi baikku kau balas
dengan bau kentutmu, Erika"!"
Diam-diam Erika memperhatikan guru matematikanya itu tampak berperilaku setengah histeris bersama pasangannya berdansa. Sang guru perempuan, dengan siapa kemudian guru matematika
itu sedang dilanda frustrasi itu tahu-tahu saja
menghilang di balik panggung. Tak lama. Mungkin
tidak lebih dari tiga menit, guru perempuan yang
manis itu telah masuk kembali. Wajahnya merah
padam, dan rambutnya tampak kusut. Ia langsung
menyeret pergi suaminya. Agaknya mengajak pulang.
Pak Anton tidak kelihatan. Baru pada waktu acara
makan santai di kebun, ia lewat di samping Erika
yang sedang memilih makanan apa yang cocok untuk
lidahnya. Pipi kiri Pak Anton, tampak berbarut merah.
Jelas bekas cakaran kuku.
"Hai...," ia menegur Erika, dengan gerak
limbung. Guru matematika itu rupanya sudah mabuk
berat. "Pak Anton. Makan bersama saya, ya?" ajak
Erika hati-hati. "Makan apa?", Anton menyeringai. "Hasil
ujianmu yang berbau busuk?" ia tertawa. Parau.
Lantas berteriak dengan lantang sehingga suasana
meriah di kebun yang diterangi lampu-lampu hias itu,
sepi menyentak seketika. Teriakan yang bergema ke sekeliling, memantul
dengan ganas dari satu telinga ke lain telinga, dengan
nada monoton. "Kalian semua! Tahukah, Erika
mestinya mengulang satu tahun lagi"!"
Alex meletakkan piringnya di atas meja prasmanan, melangkah mendekati guru yang sudah kesurupan itu seraya menggeram seperti harimau luka.
Erika terpekik. Ngeri. Tetapi Anton sudah keburu menjauh.
Lenyap di kegelapan malam di sebelah luar
kebun. Bukan atas kemauan sendiri, melainkan
karena keburu diseret oleh beberapa rekannya.
Dalam kesunyian yang terjadi, masih terdengar
suaranya dari kejauhan yang berteriak-teriak histeris,
menyebut-nyebut nama Erika, menyebut-nyebut
157 158 cinta, menyumpah serapah, tertawa ganjil, yang makin
lama makin sayup. Semua mata tertuju ke arah suara itu akhirnya
melenyap. Lalu, seperti dikomando, semua mata itu
serempak pula berpaling ke satu arah.
Erika pun menggigil seketika.
"Kau, penghianat!" ia merasa semua mata menuduhnya. "Kau perempuan hina dina! Murid durjana! Anak koruptor yang tidak patut dibelas-kasihani!
Enyah! Enyah dari sini! Enyah! Enyaaaaaaahhh...!"
Piring di tangan Erika, jatuh menggelinding ke
bawah. Tiba di rerumputan dengan suara lunak. Tetapi
terdengar bagaikan ledakan bom di kesenyapan rimba
belantara. Seakan dilemparkan ke sebuah mimpi buruk,
Erika merasakan seseorang mencekal tangannya,
menjepitnya dengan kuat sehingga ia kesakitan. Seterusnya, tubuhnya seperti diseret ke tempat gelap,
dijerumuskan ke dasar jurang yang menganga hitam.
Selama itu, matanya tidak berkedip. Menatap hampa,
tanpa sesuatu pun ditangkap sinar matanya yang
pudar dan basah oleh genangan air mata.
Alex melarikan mobil ke dalam mana sebelumnya Erika didorong masuk, dengan mulut Alex terkatup sangat rapat.
Kemarahan membuat Alex sampai lupa bahwa
mobil itu dapat minjam dari salah seorang temannya.
Lupa, suatu goresan kecil saja di mobil itu akan
membuat temannya jatuh pingsan. Sebentar-sebentar
ia melirik ke samping. Dan mengutuk diam-diam,
setelah melihat air mata menganak sungai di pipi
kekasihnya. "Hai. Bicaralah," ia membujuk.
Erika tidak bicara. "Kita singgah di bar, ya. Ada suatu tempat menyenangkan. Mejanya dikelilingi kotak-kotak anyaman bambu, dengan lampu-lampu temaram. Swike-nya
enak. Kau dengar" Swike-nya enak. Dicampur dengan... Hei, hei "!" ia menepuk-nepuk paha Erika.
Lantas membentak. Kesal. "Kau tuli, ya!"
Erika mengerjap. "Uh. Masih hidup!" dengus Alex. Menyerigai.
"Kau mencintainya, ya". Mencintai guru matematikamu itu! Pantas kau sering bicara tentang dia, dan..."
"Diam, Alex!" "Kau mencintai dia. Kau menangisi dia.
Kau..." "Kau memasuki belokan yang salah, Alex"!"
Alex ternganga, tetapi setelah sadar cepat ia
melambatkan lari mobil. 159 160 Lantas tanpa memedulikan apakah pertigaan
di belakang mereka aman atau tidak, dengan pikiran
risau Alex pun memundurkan mobil dengan cepat.
Kembali ke pertigaan yang barusan ia lewati tanpa
sadar. Di mana, masih dalam posisi mundur dan
tanpa mengurangi kecepatan, mobil ia belokkan ke
kiri dengan satu putaran tajam. Versnelling kemudian
ia sentak ke posisi maju. Dengan satu sentakan kasar.
Dan langsung tancap gas sewaktu ia mengambil
belokan ke kanan. Belokan yang benar. Menuju rumah Erika.
Dan mereka langsung disambut oleh suasana
yang tak kurang menyesakkan.
Rumah Erika tampak sangat muram. Gelap di
sekeliling, dan ketika pintu dibuka oleh Paul, nyala
lilin yang ia pegang tampak menari-nari di wajahnya.
Alex lantas menatap bingung ke rumah sebelah
menyebelah. Semuanya terang benderang.
Sebelum Alex sempat bertanya, Paul sudah
meng gerutu. "Sial! Aku lupa membayar sewa listrik.
Belum juga dua bulan! Sialan!"
Itu bukan ucapan selamat datang yang menggembirakan.
Tidak pula ada ajakan, silahkan masuk!
Alex memandangi Erika. Diam-diam gadis
itu menyeka air mata yang masih mengaliri pipinya,
dan kini memandangi Alex seraya tersenyum. Jelas,
dipaksakan. "Terima kasih untuk kebaikanmu, Alex," Erika
merintih. Rintihan mengusir! "Kau tidak menyuruh dia masuk dulu?" protes
Paul heran. Tetapi hanya mulutnya yang keheranan.
Tidak matanya. Mata itu bersinar senang.
"Aku letih," bisik Erika, lalu mengecup pipi Alex
lembut. Tampaknya hanya kecupan cepat, dingin dan
jelas tidak enak dinikmati.
Tetapi ketika melihat acara main kecup itu, toh
Paul meringis. Iri. Alex cukup puas meski sebenarnya ia ingin lebih.
Bukan sekadar kecupan di pipi. "Selamat malam, Om
Paul ",." ia bergumam, nyaris tanpa semangat.
"Malam, Alex." Menunggu sampai mobil Alex mundur sampai
keluar gerbang, Paul kemudian menutup pintu.[]
161 14 BEGITU pintu ditutup, dan Paul lantas bergegas
masuk ke ruang tengah, ia sudah tidak melihat keberadaan Erika. Hanya ada Sunarti. Istrinya tampak
sedang membetulkan lilin yang terjatuh di atas meja.
Sunarti tersinggung begitu melihat Erika menerobos
masuk dan langsung terbang ke lantai atas. Masuk
dengan cepat ke kamar yang pintunya langsung pula
dihempas menutup. Sunarti sebenarnya sangat ingin untuk naik ke
atas dan bertanya apa yang terjadi dengan Erika.
Tetapi yang keluar dari mulutnya, sama sekali
tidak terencana. "Apakah listrik dicabut, Paul?"
"Mungkin." "Itu berarti, kita harus membayar pemasangan
baru." "Lalu kau kira apa" Membangun gardu sendiri,
ya"!" Sunarti mundur ketakutan.
163 164 Ia tahu suaminya telah berkorban demikian
besar. Dapat bersabar dengan hebat, dapat berwajah
manis dengan luar biasa, dapat berbaik hati secara
mengherankan. Paul sudah merencanakan, malam
inilah ia akan bicara dengan Erika. Selagi Erika masih
dalam kebahagiaan, diperkenankan pergi dengan
Alex. Huh! Paul selalu menunggu berita di surat
kabar. Dan Sunarti tahu, yang ditunggu-tunggu oleh
suaminya adalah berita kematian. Tentang seorang jagoan motocross, yang mati karena tabrakan mengerikan
di jalan raya. Paul meletakkan lilin di atas bufet.
"Mana Erika?" ia mendesah. Serak.
"Paul. Jangan sekarang..."
"Aku tanya kau, mana Erika"!" Paul membelalak,
dengan urat-urat wajah bersembulan.
Sunarti langsung menciut.
Sahutnya, "Tidur."
"Apa" Tidur" Setelah aku menunggu sekian
lama?" Ia kemudian bergegas naik menuju kamar Erika.
Langkah kakinya berdebam-debam di sepanjang anak
tangga. Tangan Sunarti sempat terulur ke depan. Ingin
menahan. Tetapi kemudian turun kembali. Lunglai.
Kamar tidur yang kemudian dimasuki Paul tampak gelap.
"Erika?" Paul memanggil lembut. Kesabarannya
telah diperoleh kembali. Tentunya melalui perjuangan
batin yang cukup berat. "Kau di situ, Erika?"
Bunga Bunga Indah Berduri Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lama, baru terdengar sahutan. Lirih, tak
bersemangat. "... Ya, Om?"
"Kuambilkan lilin, ya?"
"Tak usah, Om."
"Gelap di sini."
"Biar..." "Ayo, kumpul-kumpul dengan kami di bawah.
Tantemu akan menghidangkan minuman. Kau mau
apa" Susu" Air jeruk" Teh" Sebut saja!"
Sepi sesaat. Lalu suara terisak-isak. Halus.
"Eh. Kok menangis?" tanya Paul heran sambil
melangkah masuk. Isak Erika makin keras. Paul meraba dalam gelap, dibantu cahaya suram
lilin dari ruang tengah yang menerobos lamat-lamat
ke dalam, sampai akhirnya Paul berhenti sekitar satu
meter dari tempat tidur Erika. Dan terlihatlah samarsamar oleh Paul, gadis itu rebah di tempat tidur.
Menelungkup. Andai saja cahaya lilin masuk lebih
banyak, Paul pasti akan melihat betapa pundak gadis
itu terguncang-guncang. Paul memberanikan diri duduk di pinggir
ranjang. 165 166 "Erika...," bisiknya. Gugup dengan tiba-tiba. Bau
harum dari rambut Erika, menyerang hidungnya. Juga,
bau tubuh Erika, yang seakan melumpuhkan Paul.
"Alex ya?" ia bertanya. Lembut.
Samar-samar, kepala Erika menggeleng.
"Siapa kalau begitu?"
Erika diam. Bagai mengambang, seperti layang-layang putus talinya, telapak tangan Paul bergerak ke depan.
Berhenti sebentar di udara hampa, lalu turun dengan
ragu-ragu ke punggung Erika.
"Siapa, Erika?" suara Paul mulai serak.
Diam lagi. Lalu isak tersendat-sendat.
"Oh," Paul menebak. "Pak Anton ya?"
Erika manggut-manggut. "Diapakannya kau?" Paul mulai membelai.
Kepala Erika bergerak ke kiri ke kanan.
"Tidak diapa-apakan" Lalu, mengapa kau
menangis?" "Aku berdosa, Om. Aku berdosa "!"
Telapak tangan Paul, tertegun sebentar di
punggung Erika. Kemudian, setelah menarik nafas panjang, ia
kembali membelai. Turun ke pinggang, terus ke pinggul. Ah, betapa lunak, padat dan hangat.
Pinggul Sunarti lebih tipis, dan agak keras. Sebelum mereka kawin, Sunarti menjadi sekretaris di
sebuah perusahaan swasta selama dua tahun. Pulang
ke rumah, meneruskan kesenangannya menyulam,
membordir, menjahit apa saja. Ia kebanyakan duduk.
Lalu hilanglah kesegaran pinggulnya.
Hem, bisik Paul di hati. Pinggul ini, persis
pinggul Rosalia. Ingat Rosalia, Paul teringat kepada
peti mati. Di sana terbujur...
Oh ya. Sudah berapa lama ia tidak mencubit
pinggul Rosalia" Sudah berapa lama ia tidak pernah
lagi pura-pura terpeleset dan sambil lalu menjamah
lembutnya gumpalan payudara Rosalia"
Ia bergidik. Tak sadar, telapak tangannya telah naik lebih ke
atas, turun sedikit ke samping, dan menyentuh sisi
payudara Erika yang yang terasa kenyal tapi lunak.
"Erika?" "Aduh, Om. Dosa apa yang telah kuperbuat?"
Bagai terserang arus listrik, Erika tiba-tiba terlonjak
dari rebahnya. Membuat sentuhan jari Paul di
payudaranya dengan cepat sudah menghilang. Paul
yang tangannya keburu ditarik mundur, diam-diam
menghela nafas. Kecewa. Hanya sedetik. Karena
tahu-tahu saja, Erika telah membenamkan wajah di
dada Paul, dan membiarkan payudaranya yang tadinya
sudah sangat ingin diraba Paul, kini justru menempel
rapat di perut Paul. 167 168 Sambil Paul menggagap kaget. "Ngomong
apa... kau tadi, Rika?"
"Dosa, Om Paul. Dosa yang sangat memalukan...!" tangis Erika.
"Dosa apa" Bilang dong. Supaya aku tahu!"
bujuk Paul. Gemetar oleh kelembutan dan kehangatan
payudara Rosalia ah, Erika. Di perutnya.
Membuat bibir Paul mengering tiba-tiba.
Ia menjilatinya. Lalu menunggu. Dengan sabar.
"Dia... dia kuberi hati, Om. Lalu dia... kucampakkan begitu saja. Aduh, Om Paul. Ketika tadi dia
melihatku bersama Alex... Aduh! Dia bertingkah laku
seperti orang gila "! Aku takut dia" Dia pasti dipecat
dari pekerjaannya. Dia..." Lantas, Erika sesenggukan.
Dan terus sesenggukan di dada Paul.
"Tenang, Rika.. Hentikanlah tangismu ..."
"Apa yang harus kulakukan, Om" Apa?" Erika
menengadah. Dengan pipi yang basah. Wajah mereka
demikian rapat satu sama lain. Dengan nafas Erika,
terasa menyapu pipi Paul. Panas, menggigit. Dan
langsung membangkitkan kejantanan Paul.
Paul mencoba tersenyum. Kaku. Teramat
kaku. "Barangkali...," ia berujar dengan pikiran kacaubalau. "Kita datangi saja dia besok. Lalu... yah, yah...
meminta maaf. Uh. Cukup jujur, bukan?" dan Paul
akhirnya dapat tersenyum.
Sambil diam-diam menganalisa, ijazah Erika toh
sudah di tangan. Meminta maaf, apa ruginya" Katakan
saja, Erika sudah dilamar Alex. Kalau guru itu tidak
puas juga, terus terang saja. Jelaskan, Erika masuk
rumah sakit beberapa waktu silam, bukan karena tipus
atau lain sebagainya. Tetapi karena menggugurkan
kandungan. Memalukan, memang. Tetapi..
Sel-sel otak Paul terus berseliweran semakin
kacau. Dan celakanya, kini mengarah ke pikiran lain.
Ah, ya. Erika sudah menggugurkan. Erika pernah
bunting. Lebih ke sana lagi, Erika sudah pernah
merasakan nikmatnya berhubungan badan dengan
lelaki. Bukan mustahil Erika menginginkannya lagi.
Lagi, dan lagi. Dengan dia, mungkin. Dengan Paul,
yang pasti mampu memberikan apa yang sudah
diberikan Alex pada Erika. Malah bisa jadi, lebih
hebat. Lebih dahsyat. Dan"
Dan, isak tangis Erika mendadak reda.
Yang lebih mengecewakan lagi, Erika sekaligus
pula menjauhkan tubuhnya, menjauhkan wajahnya,
menjauhkan payudaranya. Lantas diam sejenak, mengawasi wajah Paul. Tampak serius, sebelum akhirnya
bibir ranum tetapi tampak masih pucat itu akhirnya
menggerimit terbuka.. 169 170 "Oom benar," kata Erika, tersendat. Tapi
terkesan gembira.. "Aku akan menemuinya. Meminta
maaf atas perbuatanku yang sudah melukai hatinya!"
Yah, apa lagi yang bisa diperbuat oleh Paul.
Kecuali menanggapi sambil berlagak sama seriusnya
dengan Erika. "Bagus. Itu keputusan yang bagus!"
"Tapi Om temani aku menemui dia ya?"
"Temani kau?" "Tanpa Oom, aku tak berani!"
"Oh, ya. Ya. Aku akan mendampingimu.
Akan terus mendampingimu, kapan pun kau ingin.
Nah, hapuslah air matamu sekarang. Jangan sampai
Tantemu melihatnya. Oke?"
Erika mangggut-manggut. Tanpa kata dan
masih sambil mengawasi wajah pamannya dengan
pandangan sukacita. Akibatnya, parah. Dengan sepenuh sadar, Paul menurunkan
wajahnya, lalu dengan kelopak mata terpejam, ia
sentuhkan bibirnya ke bibir Erika.
Erika sempat terengah, tegang. Dan sebelum
gadis itu berbuat sesuatu yang dapat membahayakan
posisi Paul di mata semua orang, Paul dengan cepat
sudah menarik mundur wajahnya.
Lantas tertawa. Sumbang, memang. Tetapi cukuplah untuk
sebuah sandiwara murahan dengan akhir cerita yang
bisa diterima semua orang, terutama Erika, cium
sayang seorang Paman. Tak lebih!
"Nah, Rika. Sudah merasa lebih tenang sekarang?" ujar Paul, gembira. Sambil tak lupa menambahkan, " Sesaat tadi, kau sempat membuatku
khawatir"!". Erika mengerjap-ngerjap. Sesaat.
Lalu, "Maaf, Om Paul. Dan terima kasih untuk
saranmu yang cemerlang itu. Aku merasa lebih tenang
sekarang"!" "Betul?" "Betul, Om." Dan untuk menegaskan dirinya memang sudah
merasa lebih enak, Erika lantas merentang-rentangkan
kedua lengan, menggeliat, lalu tertawa. Tawa yang
sumbang, tawa yang membuat telinga Pasul digelitik
perasaan bersalah. Erika menggeliat sekali lagi.
Baru sesudahnya, "Minum apa Om bilang tadi"
Air jeruk?" Paul tersenyum. Kaku. "Kalau mau brendi, aku
punya sedikit persediaan," jawabnya.
"Oke. Tetapi satu sloki kecil saja. Dan kita akan
minum bersama Tante Narti!"
"Tentu. Tentu. Ia pasti akan gembira..."
Setelah itu, boleh dibilang Paul setengah melompat keluar kamar, bernafas sesak, yang membuat
171 172 langkahnya kemudian berubah lunglai dengan kepala
merunduk dalam, dibebani perasaan bersalah yang
kian menjadi-jadi. Lantas mendadak diam tertegun di undakan
atas tangga, manakala matanya menangkap tidak hanya kelap-kelip cahaya lilin yang menyeruak dari lantai bawah.
Tetapi juga, sesosok tubuh, yang dari tempat
Paul berdiri, tampak begitu kecil dan jauh lebih kurus
dari sebelumnya.[] 15 SUNARTI meringkuk di sudut ruang tengah.
Mencoba menekuni sebuah majalah, yang dengan
susah payah ia dekatkan ke cahaya lilin.
Begitu mendengar suaminya mendekat, ia
mengangkat muka. Dalam sinar temaram, wajahnya
tampak datar. Tanpa ekspresi. Diam-diam, ia sempat
menguping apa yang dibicarakan suaminya dengan
Erika, walau tak begitu jelas dan tak pula semuanya.
Ia sedih, Erika tidak dalam keadaan sehat lahir dan
batin, tetapi sekaligus senang sewaktu melihat wajah
suaminya yang bernyala-nyala karena kegembiraan.
Sunarti tidak akan sesenang itu, kalau ia tahu, di antara
suara-suara pembicaraan tadi, ada suara kecupan bibir yang terlalu sangat lemah untuk dapat mencapai
telinga Sunarti. Mereka minum-minum dengan kegembiraan
semu. 173 174 Dari kamarnya, Luki menjeritkan sesuatu. Lalu
diam. "Bermimpi," Paul angkat bahu, mengomentari
jeritan sekilas Luki. "Sudah kau taruh lilin di kamar
tidurnya, Narti?" "Sudah." Anak itu masih nakal. Itu pembicaraan mereka
mula-mula. Pada dasarnya, Luki anak baik. Biarkan saja
ia sesekali sibuk dengan kesukaannya bertengkar dan
berkelahi. Tandanya ia bakal jadi laki-laki pemberani.
Asal dicegah diarahkan pada waktu yang tepat.
Lalu, oh ya. Bulan depan Luki akan menempuh
ujian kenaikan kelas ya" Dan kau, Erika" Apa
rencanamu, selama Alex sibuk menabung" Ooo,
mau kursus modiste" Itu bagus. Supaya kau ada
kesibukan. Dan siapa tahu, keterampilanmu kelak
dapat bermanfaat. Bukankah kita sekarang sudah
mulai berdiri sendiri" Dari nol, lagi!
"... aku sudah bosan jadi calo terus-terusan! "
gerutu Paul, pada waktu yang tepat.
"Maunya Oom?" tanya Erika, tanpa curiga.
"Entahlah. Barangkali, kalau punya mobil sendiri, mau kutaksikan saja, dan aku sendiri yang menyupiri. Hem, sayang, tidak satu pun mobil papamu
yang sempat kita selamatkan ketika... Aaah, sudahlah
itu. Yang lalu telah lalu!"
Erika tercenung. Kemudian, nyala di otaknya tiba-tiba bersinar
lebih terang dari nyala lilin. Ia menghabiskan sloki
ketiga dari brendi yang disodorkan Paul, sehingga
wajahnya semakin merah dan mulai berkeringat.
"Aku tahu," katanya. Tampak bersemangat.
"Kita dapat membeli mobil sendiri!"
"Dengan apa?" Paul memandangi sekeliling
ruangan di sekitar mereka, yang lebar dan megah
tetapi miskin perabotan. "Tak ada apa-apa lagi yang
dapat dijual"!"
"Ada!" seru Erika. Lalu diam, ingin memberi
surprise. "Apa?" Paul mengerutkan dahi. Pura-pura
mencemooh. "Rumah. Rumah ini, kalau dijual bisa laku
sekitar satu setengah em. Atau kalau mau cepat, kita
bisa mengantongi satu seperempat, atau satu em!"
Erika bertepuk tangan.
Bunga Bunga Indah Berduri Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Uang sebanyak itu tidak gampang sekarang
ini," Paul menjadi tegang, dan Sunarti berpaling ke
arah lain. "Akan makan tempo lama, biar pun ada
yang berminat" "Jual di bawah harga saja, Om. Sembilan, atau
kalau terpaksa, delapan ratus lima puluh juta..."
"Hem. Boleh jadi. Tetapi kalau tak salah, ada
yang pernah menawar sekitar enam ratus. Aku mener175
176 tawakan orang itu. Kubilang, rumah ini akan kita
pertahankan sampai kita benar-benar kelaparan. Dia
sangat kecewa. Padahal, dia sedia membayar tunai,
kapan saja kita mau"!"
"Negokan saja lagi, Oom!" Erika mendorongkan
slokinya ke depan. Paul mengangkat botol, tetapi
Sunarti merenggutkannya dengan cepat.
"Ini tak cocok untukmu," katanya pada Erika,
lalu gelas gadis itu ia isi dengan air putih, dingin dan
segar. "Ini. Minumlah!"
Seperti orang kesetanan, Erika meminumnya
sampai habis. Paul menggemeratakkan gigi. Tetapi Sunarti
tidak takut. Matanya bersinar tajam. Jelas dengan
maksud mengingatkan suaminya, bicaralah dengan
ponakanmu dalam keadaan ia sadar sepenuhnya.
Kalau mabuk, ia akan berubah pikiran nanti.
Paul mengeluh, dalam, dan tidak lagi memelototi
Sunarti. Salah sebuah lilin padam.
Sunarti pergi mengambil lilin baru. Erika
terhempas di kursinya, terpejam rapat. Paul mulai
khawatir, kalau-kalau gadis itu jatuh tertidur. Tetapi
ketika Sunarti berseru menanyakan di mana gerangan
Luki tadi menyimpan lilin yang dapat beli di warung,
Erika perlahan-lahan membuka matanya kembali.
Ia tampak sedikit pusing ketika ia kemudian
bertanya, bingung, "Mengapa listrik padam?"
"Dicabut, Rika ..!" jawab Paul, lirih dan pahit.
"Siapa yang mencabut?"
"Ya, PLN. Siapa lagi. Padahal baru terlambat
satu bulan lebih. Biarlah. Besok aku ada objekan.
Barangkali saja berhasil, dan listrik kita nyala lagi!"
Erika terpekur sejenak. Paul diam menunggu.
Dengan pandangan tak sabar. Yang terlihat oleh
Sunarti, dan membuat wajah Sunarti berubah
murung. Erika membuka mulut juga akhinya, "Tanpa
listrik, harga rumah ini pasti jatuh!"
Mata Paul berkilat. Senang.
Ia setengah berseru, waktu mengomentari,
"Kau benar!" "Berapa Om tadi katakan orang itu bersedia
membayar?" "Enam ratus!" jawab Paul bernafsu. "Biar
tanpa listrik yang biaya pemasangan kembalinya toh
tidak seberapa, aku yakin betul dia bersedia membeli
sampai enam ratus lima puluh. Barangkali saja aku
dapat merayunya agar mau membayar lebih tinggi.
Katakanlah tujuh ratus. Pantaskah kiramu harga itu,
Erika?" Erika diam. 177 178 Matanya menatap jauh. Tak bertepi.
Tujuh ratus juta rupiah. Mereka dapat membeli
mobil bekas yang kondisinya masih baik, sekitar
empat atau lima puluh juta. Biarlah pamannya
memiliki pekerjaan tetap. Ia begitu baik belakangan
ini. Lantas yang selebihnya" Membeli rumah yang
lebih kecil. Sedikit di pinggir kota. Berapa ya harganya"
Tiga ratus" Atau, empat. Lantas sisanya untuk beli
perabotan tambahan, juga televisi pengganti dengan
ukuran layar yang lebih lebar.
Tapi, awas. Sebelumnya, sisihkan dulu untuk
membuka warung kecil-kecilan. Kalau perlu,
konfeksi. Bukankah ia akan kursus modiste" Dan
tante Sunartinya telah lama mengenal mesin jahit.
Bagaimana memulainya" Oh ya, menjahitkan pakaian
salah seorang keluarga, atau teman dekat, atau
tetangga sebelah-menyebelah.
Setelah itu... Benar! Ada lagi! Tetangga-tetangga baru mereka, tidak akan
tahu masa lalu mereka yang suram dan penuh nista!
Erika menjadi segar bugar seketika.
"Akan kutanyai Papa!" bisiknya. Mantap.
"Sudah," tukas Paul, sedikit merendahkan suaranya. Sementara Sunarti membawakan lilin baru yang
rupanya telah ia temukan. Ia sulut, letakkan di dekat
lilin yang sudah hampir habis. Genangan lilin mengering di permukaan meja. Sunarti mengorek-ngorek dengan kuku, seraya memperhatikan wajah Erika.
Dan Sunarti seketika merasa lega.
Erika jelas dalam keadaan sadar. Tidak sedang di
bawah pengaruh alkohol. Yang sebelum-sebelumnya,
memang sesekali ada juga diminum Erka. Tetapi dalam
batas-batas yang diperbolehkan Rosalia yang kini
sudah almarhumah. Dan Sunarti akan meneruskan
pembatasan-pembatasan yang pernah diterapkan oleh
Rosalia, sepanjang Erika atau Luki dapat menerima.
"Sudah Om tanyakan?" terdengar suara Erika
menggumamkan tanya, setengah heran. "Kapan?"
"Waktu kau masih di rumah sakit."
"Ooo!" mulut Erika membentuk bundaran, dan
bundaran di kepalanya membentuk bundaran lain.
Bundaran ganjil itu berisi pertanyaan yang aneh. Paul
sudah merencanakan ini jauh sebelumnya" Selagi ia di
rumah sakit" Kapankah itu"
"Bang Lukman bilang, terserah kau!" Paul bicara
cepat, rupanya menyadari ada sesuatu yang salah.
"Apa?" "Dia bilang, terserah kau."
"Mengapa aku?" "Katanya, ibumu sudah meninggal. Rumah ini
atas nama almarhumah. Dan ibumu pernah berpesan,
179 180 bila dia mendahului kita semua, rumah ini jatuh atas
namamu dan Luki. Di bawah pengawasan papamu,
tentu. Di penjara, papamu bicara banyak. dia bilang,
dia tidak pantas menjadi seorang pengawas, katanya.
Oleh karena itu...," Paul menelan ludah. Sunarti
menahan nafas. Dan Paul pun menutup penjelasannya
dengan kalimat tegas yang sekan digaris bawahi. "Aku
dia tunjuk menggantikan dirinya. Jadi pengawas!"
"Aku... aku tak mengerti!" Erika mulai pusing
lagi. "Kau..." Paul belum sempat melanjutkan omongannya,
karena sudah keburu dipotong Sunarti.
Nekad, perempuan itu melangkahi hak
suaminya dengan suara lunak dan penuh kasih pada
Erika, "Kau letih, Rika. Tidurlah. Besok-besok saja
kau temui papamu. Lalu kau nanti akan mengerti.
Ah, Erika. Kau tampak pucat. Sakit?"
"Cuma pusing sedikit," Erika mencoba tersenyum.
"Kubantu kau ke kamar. Kugosokkan dengan
minyak angin. Mau ya?"
Tak berapa lama kemudian, baru beberapa
gosokan saja, Erika sudah tertidur.
Dan di kamar mereka, Paul bertengkar hebat
dengan istrinya. "Goblok! Padahal dia sudah terdesak!"
Sunarti menantang, "Dia keponakanmu, Paul!
Masih terhitung darah dagingmu. Kau sampai hati!"
"Justru karena dia keponakanku. Kau siapa"
Kau hanya orang luar. Kau tak berhak ikut campur
dan..." Sunarti meringis. Lalu tubuhnya meliuk. "Hei, apa..." Paul tersentak.
"Perutku, Paul. Anak kita...!"
Paul membantu istrinya rebah di ranjang dengan
posisi rileks. "Tarik nafas panjang. Ya, ya. Begitu... Ulangi
lagi. Lebih panjang. Sekarang... nah, lepaskan, ya, ya...
bagaimana?" Sunarti terpejam. Wajahnya pucat pasi.
"Aku harus periksa ke dokter," keluhnya.
"Oke. Oke. Anak kita toh tidak..."
Sunarti memegang pergelangan tangan suaminya, tersenyum dengan tabah, lantas berkata menghibur. "Dia baik-baik saja. Hanya, ah... mengapa tadi
aku mau ikut-ikutan minum brendi!"
Di kamar tidurnya, Erika menggeliat resah.
Ia bermimpi buruk. Paul mengangkanginya.
Lalu memperkosanya, di depan biji mata
Sunarti.[] 181 16 MIMPI buruk itu mengagetkan Erika.
Ia menggeliat sebentar, lalu serempak matanya
terbuka lebar. Ia tidak dapat melihat apa pun kecuali
kegelapan yang hitam legam mengurung dirinya seperti hantu mempermainkan mangsa. Endusan-endusan nafas panas menyapu wajahnya, disertai tekanan-tekanan sesosok tubuh yang menyesakkan
pernafasannya. Mendadak ia sadar. Benar-benar sadar.
Ia bukan bermimpi. Namun kenyataan yang ia
hadapi, justru sama buruk dan mengerikan dengan
mimpi itu sendiri. "Ya Tuhan!" ia mendesis, ketakutan. "Siapa...
apa..." "Diamlah, Rika. Kau pasti akan menyukainya,"
terdengar suara bisikan terengah-engah di telinganya.
183 184 "Om Paul!" "He-eh. Karena itu diamlah..."
Sebuah ciuman kasar mendarat dengan kejam
di bibir Erika. Dalam ketakutan, Erika menjadi nekat.
Ia gigit mulut yang menciumnya. Paul memekik
tertahan, menjauhkan wajahnya dari wajah Erika.
Gadis itu membaui uap alkohol di sekelilingnya
untuk sesaat. Pada saat berikutnya, tamparan keras
mendarat di pipinya, disertai cacian brutal.
"Anak sialan!" Erika membalas. Dalam kegelapan ia menjamah
pinggang laki-laki itu, lalu mencakarnya dengan
sekuat tenaga. Paul menjerit lagi, menampar lagi,
bertubi-tubi. Erika menangis. Bukan kesakitan akibat
tamparan-tamparan yang mengucurkan air matanya,
melainkan hatinya yang terluka.
"Om Paul. Tak kusangka kau tega...!" ia mengerang.
"Diam!" Paul mencengkeram kedua pundak
Erika, menekan tubuh gadis itu sampai terbenam
dalam kasur. "Jangan bertingkah! Kau akan menyukainya, dengar" Kau akan menyukainya... Tetapi sekali lagi kau mencakarku, kau akan ku..."
"Om Paul. Kau... kau mabuk!"
"Siapa bilang" Yang mabuk itu, kau!" Paul
berusaha menciumnya lagi.
"Hentikan! Ya Tuhan, ingatlah. Aku ini keponakanmu sendiri, Oom Paul. Kau mabuk. Kau..."
Erika terbungkam ketika mulut Paul berhasil dengan
kasar memagut lalu mengulum bibirnya lebih kasar
lagi. Panik, Erika mencakar, memukul dan menendang. Ia mencari sasaran apa saja yang dapat ia pegang
dan ia tendang. Perlawanan itu justru membuat
Paul semakin lupa diri. Laki-laki itu baru saja akan
mencabik-cabik sisa pakaian yang masih melekat di
tubuh Erika, ketika sebuah tendangan keras mengenai
selangkangannya. Seperti orang tercekik, Paul terlempar dari
tempat tidur. Tanpa ampun tubuh besar Paul pun mendarat
di lantai. Lalu dengan susdah payah, bangkit
berlutut lantas meringkuk dengan hebat seraya
memegangi selangkangannya, sambil mengaduh tak
berkeputusan. Erika masih tidak dapat melihat dalam kegelapan kamarnya. Oleh karena itu, tahu dirinya terlepas
dari laki-laki itu, ia segera menghambur turun. Waktu
akan berlari ke arah pintu yang letaknya ia sudah hafal
benar, lututnya menerpa sesuatu yang keras. Dan Paul
pun terjengkang lagi. Karena tanpa disadari Erika,
ia telah menghantam dagu pamannya yang seketika
terhempas ke belakang.dengan keras.
185 186 Bagai dikejar hantu, Erika menghambur ke luar
pintu. Tiba di lantai bawah ia mencoba berteriak minta
tolong, namun dari kerongkongannya hanya mampu
keluar keluhan-keluhan lirih. Panik ia berlari menuju
sebuah pintu lainnya. Kakinya menyepak sebuah
kursi ketika berlari. Kursi itu terbalik, menghantam
kaki meja sampai meja itu miring, dan tempat lilin
terguling di lantai. Salah satu lilin itu padam seketika, tetapi satunya
lagi malah mengerlip sesaat untuk kemudian menyala
lebih besar. Tanpa melihat, Erika mendorong pintu di
depannya sampai menganga, dan cahaya lilin di kamar
yang ia masuki menerangi sosok tubuh Sunarti yang
duduk seperti orang linglung di pinggir ranjangnya.
Rupanya suara-suara ribut di luar telah membangunkan
perempuan itu dari tidurnya yang nyenyak. Ia masih
setengah sadar waktu Erika menghambur masuk dan
lari dalam pelukannya. "T...ante, Tanteeee. Toloooong!" gadis itu
Bunga Bunga Indah Berduri Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
merintih, dengan sekujur tubuh menggelepargelepar.
"Ada apa, Erika?" Sunarti menggosok-gosok
kelopak mata, lalu menyimak wajah keponakannya
yang pucat serta pakaian Erika yang acak-acakan.
Gadis itu boleh dikatakan nyaris telanjang, dan apa
yang dilihat dan langsung menyentuh nalurinya
dengan seketika menjernihkan pikiran Sunarti.
"Paul?" ia berbisik dengan suara tertekan di
tenggorokan. "Ya, Tante. Dia bagaikan binatang buas. Dia..."
Sebuah pukulan keras seolah-olah menghantam
belakang telinga Sunarti.
Ia terbadai di tempat tidurnya. Tidak mengetahui, pelukan Erika merenggang, kemudian lepas
sama sekali. Gadis itu terkulai dengan tubuh setengah
bersimpuh di lantai, dan kepala terhenyak dalam di
atas kasur. Pingsan. Sunarti baru tersadar dari kejutan yang memalu godam itu manakala di luar kamar ia dengar
suara langkah-langkah kaki dan gerutu Paul yasng
berkepanjangan. Gontai, ia berdiri. Mengurut dadanya yang sesak berulang-ulang.,
seperti orang kesurupan Sunarti kemudian mengangkat tubuh Erika naik ke tempat tidur, membaringkan
gadis itu perlahan-lahan, lalu menyelimutinya dengan
hati-hati. Ketika Sunarti berdiri kembali, pipinya yang
pucat sudah dilelehi butir-butir air bening yang
menganak sungai. 187 188 "Sudah kuduga...", ia bergumam sendirian.
"Jahanam itu...!"
Ia mengamat-amati Erika yang masih pingsan,
kemudian dengan langkah-langkah panjang tetapi
pasti ia berjalan keluar dari kamarnya dan melihat
Paul sedang menenggak minuman keras dari sebuah
botol besar. Tubuhnya yang besar dan kekar terhenyak
dalam di atas sebuah kursi rotan. Tak jauh dari kaki
laki-laki itu, lilin yang terjatuh terus menyala, begitu
dekat dengan taplak meja yang terbuat dari plastik.
Paul rupanya tidak menyadari hal itu.
Sunarti, apa lagi. Perempuan itu sangat bernafsu untuk melabrak
suaminya. Demikian bernafsu, sehingga keinginan
itu justru membuat otot-otot tubuhnya kejang dan
ia hanya tertegak di depan Paul. Dan sang suami,
bukannya malu atau menyesal, malah menyeringai
dalam mabuknya. "Kau... kau apakan si Rika?" desis Sunarti.
Megap-megap. "Belum kuapa-apakan," jawab Paul. Kalem.
"Apa kau ingin menggantikan tempatnya?" lanjutnya
pula. Seraya menyeringai semakin lebar.
"Paul!" Sunarti menjerit. "Berhentilah minum,
lalu dengarkan aku baik-baik!"
"Aku akan terus minum. Tetapi aku juga akan
terus mendengar. Ayo. Mulailah berkicau, batang
pisangku yang dingin!"
"Ya Allah, Paul. Kau..."
"Eh, kok malah terus berkotek. Bukannya
segera menanggalkan kimonomu?"
Kesabaran Sunarti habislah sudah.
Ia menerjang ke depan, menjambak Paul dengan
membabi buta. Paul berteriak marah. Berusaha
memukul dengan botol yang masih setengah berisi
di tangannya. Karena menyerang tanpa perhitungan,
Sunarti terpeleset. Hal itu menguntungkan dirinya. Ia
selamat dari maut. Botol di tangan Paul menimbulkan
angin deras di samping kepalanya kemudian
menghantam permukaan meja dengan suara riuh
rendah. Botol itu pecah berhamburan. Isinya tumpah
menggenangi lantai, dan sebagian membasahi taplak
meja yang paling dekat dengan lilin.
"Lepaskan aku, perempuan sialan!" Paul memaki.
Ujung pecahan botol yang masih tergenggam di
tangannya, ia hujamkan kian kemari dalam usahanya
melepaskan diri dari jambakan dan cakaran istrinya
yang kembali menyerang dengan kalap.
Tak ada suara jeritan. Juga tak ada suara keluhan.
189 190 Sunarti hanya terbelalak sesaat, dengan mulut
ternganga tidak mempercayai apa yang ia rasakan.
Tangannya yang menjambak rambut Paul perlahanlahan merenggang, lalu lepas sama sekali. Tubuhnya
mulai doyong. Dan begitu cengkeramannya yang
merobek kerah kemeja Paul juga terlepas, tubuh
perempuan itu lantas terhempas ke lantai.
Paul tertegun. "Apa... apa itu?" ia memelototi warna merah
yang meronai kimono tidur istrinya di beberapa
tempat. Warna merah itu meleleh, menggenangi
lantai di sekitar tubuh Sunarti yang menggeliat-geliat
kejang. "Itu bukan brendi!" gumam Paul mabuk. Ia
gosok matanya kuat-kuat. "Ah, memang brendi.
Tentunya itu brendi...!" lanjutnya, lantas tertawa.
Tetapi ketika ia melihat bagian mulut botol terhujam
di lambung istrinya, cengkeraman mabuk di kepala
Paul menjauh perlahan-lahan.
Dengan mata mulai mengabur, ia mendelik.
Supaya dapat melihat lebih jelas.
"Tidak...," ia menggerutu. "Tidak. Itu bukan
darah. Itu hanya brendi dan... dan... Narti"!"
Terhuyung-huyung, Paul kemudian berjongkok,
lalu menggoyang-goyang tubuh istrinya yang sudah
berhenti menggeliat dan kini tampak diam membeku.
"Bangun Sunarti. Bangun. Jangan tidur di lantai.
Nanti kau masuk angin "! Ayo, burung daraku.
Bangunlah "!" Ia guncang-guncang terus tubuh Sunarti.
Ia tepuk-tepuk kedua belah pipinya.
Kemudian, bagai disengat kalajengking, Paul
terloncat berdiri. "Mati .."!" bisiknya, tersendat.
Lama ia terpana menatap sosok tubuh istrinya
yang terkapar di lantai, seraya mulutnya bersungutsungut tak berketentuan. Teror melanda matanya
yang bersinar-sinar pucat. Lalu tiba-tiba ia melangkah
mundur, melabrak meja yang sudah miring, lantas
kemudian berlari ketakutan ke pintu depan. Sambil
mencerca seperti orang gila ia menghambur keluar,
menembus malam yang pekat dan berteriak-teriak
menyebut-nyebut kematian serta keinginannya untuk
minum dan minum lebih banyak.
Seorang pejalan kaki yang pulang kemalaman,
memperhatikan dengan heran sampai Paul menghilang
di kegelapan malam. "Orang mabuk!" pikir pejalan kaki itu seraya
meneruskan langkahnya. Ia tidak berpikir sama sekali untuk berpaling ke
sebuah rumah yang pintu depannya terbuka ketika ia
lewat. Kalau pun ia berpaling, ia tidak akan melihat
191 192 salah satu sudut bagian ruang tengah rumah itu mulai
berubah jadi terang benderang.
Ketika Paul melabrak meja, taplaknya terjatuh
semakin mendekati lidah api lilin. Minuman keras
yang mengandung alkohol yang tertumpah sampai
membasahi taplak itu tak ubahnya bensin yang
perlahan-lahan menunjukkan kekuatan daya tariknya
kepada api. Taplak meja itu seketika berubah menjadi
kobaran api yang menggila, menyambar kursi dan
meja, lalu tepian rak berisi buku-buku, majalah,
beberapa barang-barang hias termasuk sisa-sisa
minuman keras yang disimpan Paul.
Dari pintu yang terbuka menganga, angin
malam menerobos masuk ke dalam.
Seolah api mengundangnya. Dan undangan itu
diterima sang angin dengan riang gembira.
Asap hitam tebal yang kemudian menyelinap
masuk ke dalam kamar tidur Sunarti, menyelamatkan
nyawa Erika. Asap itu menggelitik lubang-lubang hidungnya,
merembes ke saluran pernafasan, membuat paruparunya kering. Dalam pingsannya, Erika pun
terbatuk-batuk lalu perlahan-lahan menggeliat dan
kembali lagi terbatuk-batuk. Kali ini lebih keras.
Sesaat, kelopak matanya membuka. Serangan
perih menyentakkan kelopak mata yang kembali
menutup. Namun hanya sejenak. Asap tebal yang
mengepul semakin banyak ke dalam kamar membuat
batuknya kian menghebat. Lalu, panca indera keenam Erika menyentak
hidup. Ia lantas duduk tertegak dengan kaget.
"Di-di mana aku... Apa yang... Hei, kok ada
asap ...!" ia bergumam-gumam bingung.
Dan ketika matanya yang perih menangkap sinar
kuning kemerah-merahan di ruang tengah, Erika pun
bergumam lebih keras, "Api!"
Tanpa berpikir lebih panjang lagi Erika menghambur turun dari ranjang. Secara naluriah ia berlari
menyelamatkan diri keluar dari kamar tidur sambil
berseru-seru memanggil-manggil Paul, memanggilmanggil Sunarti, memanggil-manggil Luki.
Nama yang terakhir dipanggilnya muncul
dengan mata terkantuk-kantuk. Dan nyaris terguling
jatuh ke bawah, ketika bocah tanggung itu menyadari
apa yang sedang terjadi lantas cepat turun dengan
berlari-lari, melompati dua bahkan tiga anak tangga
sekaligus. Dan setiba di bawah, ia harus terlompat
mundur pula. Terjengkang ke belakang waktu lidah api
yang menghanguskan tirai pintu hampir menyambar
wajahnya. 193 194 "Kebakaran!" teriak Luki, sambil bangkit terperanjat, lalu ia pun mejerit-jerit dengan suara
lantang dan liar, "Kebakaran. Tolong... Tolooong...
Kebakaran...!" Anak itu berlari-larian keluar rumah sambil terus
juga menjerit minta tolong. Kemudian ia mendadak
sadar, kakaknya tidak mengikuti perbuatannya. Luki
berlari lagi masuk ke dalam rumah, dan melihat
Erika masih tegak di tempatnya semula dengan mata
memandang lurus ke lantai ruang tengah, di mana
nyala api kian menghebat.
"Tante...!" desis Erika, ngeri. "Dia" dia terbakar...!"
"Biarkan dia!" jerit Luki, seraya menyeret tangan
kakaknya. "Ayo. Lari! Lari!"
Tidak seorang pun dari mereka terpikir untuk
menyelamatkan apa yang dapat diselamatkan. Dan
waktu beberapa orang tetangga berdatangan membantu, api telah menjalar mendekati atap. Beberapa
tetangga malah sibuk menyelamatkan barang-barang
berharga dari rumah mereka sendiri, meski rumah itu
jaraknya cukup jauh dari kobaran api. Baru kemudian
seseorang teringat untuk menelepon dinas pemadam
kebakaran. Di antara suara kerumunan manusia yang
berlari-larian dan berteriak-teriak riuh rendah, Luki
memeluk tubuh kakaknya dengan perasaan yang
bercampur baur. Takut, ngeri, dan sedih.
Erika menggigil dengan hebat. Karena perasaan
yang sama ngeri, sekaligus karena udara dingin yang
merembes menjilati kulit tubuhnya yang setengah
telanjang, meski nyala api berkobar tidak jauh dari
tempat mereka berdiri saling berpelukan.
Seorang perempuan berseru setengah marah
kepada suaminya, "Jangan memelototi dia saja.
Ambilkan dia pakaian! Cepat !"
Yang dimarahi, tersadar dari pesona kelelakiannya melihat tubuh Erika yang sungguh mengundang
mata mau pun selera itu. Nyala api membuat bayangan
tubuh setengah telanjang itu justru tampak semakin
indah. Semakin mempesona.
"E-eee. Dasar mata keranjang!" jerit sang istri.
"Kurojok matamu nanti kalau kau tak segera pergi
mengambilkan pakaian!"
"Ah-ah...?" si lelaki mengeluh panjang pendek,
lalu berlari menuju rumah terdekat.
Tak lama kemudian, Erika terkejut ketika ada
yang menyodorkan selembar gaun ke tangannya.
Bahkan seseorang ia rasakan memasangkan sehelai
jaket ke pundaknya yang telanjang. Barulah saat itu
Erika sadar kalau tubuhnya tidak mengenakan apaapa, kecuali sisa robekan gaun yang setengah terlepas
195 lantas menggantung pada pinggang, dan secarik kain
kecil di bawah perutnya. "Ya Tuhan!" Erika bergegas mengenakan gaun
yang ia terima tanpa melihat siapa yang memberikan,
dengan wajah semakin pucat pasi. Malu. Ingatannya
seketika melayang pada Paul.
Ke mana perginya si jahanam itu" Dan tante
Sunartinya" Erika mengangkat muka, manakala terdengar
raungan sirene mendatangi dari kejauhan.
*** Sekitar satu kilometer dari tempat kejadian itu, Paul
menerobos masuk ke dalam sebuah bar yang dibuka
siang malam. Ia langsung menemui pramusaji,
berteriak minta brendi, atau wisky, atau bir, atau apa
saja yang dapat membasahi kerongkongannya.
Suara ribut Paul yang kasar membuat pramusaji
bar tersinggung. Tetapi kemudian ia berpikir, orang
ini tentunya mabuk. Ia juga tetap menganggap Paul
Bunga Bunga Indah Berduri Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mabuk waktu laki-laki itu menceracau mengatakan
ia telah membunuh istrinya, lantas menangis terisakisak.
Baru ketika si pramusaji mendorongkan sebotol
bir ke depan Paul, ia melihat bercak-bercak darah di
kemeja Paul yang awut-awutan.
Pramusaji bar itu terbelalak.
Kemudian, diam-diam berjalan menuju meja
telepon. Dengan ketakutan ia memutar beberapa
nomor, berpaling ke arah Paul yang masih terisakisak tanpa mengacuhkan botol bir di depannya.
Begitu dapat sambungan, pramusaji bar itu
berbisik takut-takut ke corong telepon. "Halo.
Polisi.."!"[] 197 17 LUKMAN menggenggam tangan anaknya kuatkuat.
Matanya yang cekung tampak menggelap di
atas tulang pipinya yang menonjol nyata. Tadi pagi
temannya satu sel setengah berseloro, mengatakan
hari ini Lukman tak ubahnya mayat berjalan. "Ini di
penjara, Bung. Bukan di restoran...," ujar temannya
itu mengingatkan. "Karena itu, biar pun nasimu
berbulu, kau telan sajalah. Aku tak mau besok aku
bangun dengan sesosok mayat beneran berbaring di
sebelahku!" Tetap saja Lukman tidak dapat menelan sarapan paginya. Bukan karena ia tidak berselera, lagi pula
mana ada hidangan penjara yang menarik selera, melainkan karena sudah tiga hari ini perasaan Lukman
tidak tenteram sama sekali. Dalam tidur pun, matanya
tidak mau terpicing. Sekarang ia tahu mengapa.
199 200 Erika telah bercerita panjang lebar. Meski Erika
berusaha menyembunyikan bagian-bagian tertentu,
namun Lukman yang sudah banyak makan asam
garam tidak dapat dibohongi.
"Paul, bukan?" Erika terpaksa mengaku. "Ia mengganggumu?"
Erika mengangguk, lalu menangis terisak-isak.
"Kurang ajar! Orang kurang ajar itu!" Lukman
memaki-maki. Alex yang duduk tak jauh dari mereka menoleh
kaget. Setelah paham makian itu tidak dialamatkan
kepadanya, Alex kembali duduk diam-diam. Wajahnya
murung, dan beberapa kali ia mengepal-ngepalkan
tangan dengan gelisah. Suara cekikikan narapidana
wanita dari meja paling pojok menarik perhatiannya
sekilas. Narapidana itu cantik juga, pikirnya. Apa
kesalahan perempuan itu sampai masuk penjara"
Dengan kecantikannya itu, perempuan mestinya
dapat... "Perempuan cantik!" Alex bersungut-sungut
halus, seraya mengepalkan tangan lagi. Kakinya
bermain-main dengan gelisah di permukaan lantai yang kasar dan kotor berdebu. "Aku telah mendapatkannya. Tetapi si Paul terkutuk itu...," Alex
menangkupkan wajah di kedua telapak tangan. Ia
berkeringat. Dingin. "Di mana kau bilang dia sekarang?"
Lukman yang bertanya itu. Dengan suara
geram. "Siapa, Papa?" sahut Erika.
"Paul." "Oh. Di rumah sakit, Papa"
"Parah benarkah lukanya?"
"Entahlah, Papa"
"Kau belum menjenguknya di rumah sakit,
Nak?" "Belum," Erika menggigil. "Aku benci padanya,
papa. Ia..." "Ah. Ya. Ya. Papa maklum. Jadi Alex yang
menceritakan kepadamu bahwa si Paul telah
masuk rumah sakit. Hem.. Membunuh Sunarti,
eh" Membiarkan rumah kita terbakar habis" Lalu
melawan polisi ketika ditangkap... Hem, mestinya
terkutuk itu ditembak saja sampai mampus. Biar dia
tahu rasa! Ah " ah... Betapa aku terlalu memanjakan
dia. Memberinya terlalu banyak kepercayaan. Padahal
Sunarti sudah berulang kali menegurku. Belum lagi
Ibumu... Ya Tuhan, si Narti itu lebih kuanggap adik
kandungku, ketimbang si Paul! Dan kini dia sudah...
Kalau tak mau kau bawakan koran yang memuat berita
itu, Nak, aku tak akan percaya kalau tantemu sudah
meninggal. Terbakar hangus pula. Mengerikan!"
201 202 Lukman menggigil. "Papa?" "Ya Nak?" laki-laki tua yang semakin menderita
luar dalam itu, tersentak.
"Aku ingin minta izinmu, Papa"
"Oh. Apa?" "Tanah itu..." "Yang mana?" "Tempat di mana rumah kita tinggal puingpuing, Papa"
"Oh "!" Lukman menggigil lagi.
"Aku telah menjualnya, Papa. Dengan harga
murah..." "Oh" Baik begitu. Uangnya dapat kau dan Luki
pergunakan untuk..."
"Tak ada sisa, Papa"
"Apa" Tak ada sisa?"
"Ya Papa. Ada tiga buah rumah lain yang ikut
terbakar. Memang hanya satu yang rusak berat. Tetapi
mereka meminta ganti rugi yang tidak kepalang
tanggung...!" "Tetangga kita" Sampai hati" Siapa saja mereka
itu, Erika?" Erika menyebut beberapa nama. Dan papanya
seketika mengutuk nama-nama itu, mengatakan
mereka tidak bijaksana, tidak mau merasakan
penderitaan orang lain, kejam, tidak berperasaan dan
macam-macam lagi. Ia baru terdiam waktu Erika mengeluh. "Terlambat untuk mengutuk orang lain, Papa"
Lukman menggigit bibir. Ujarnya, "Kau benar. Terlambat untuk mengutuk orang lain. Tetapi tak pernah ada kata terlambat
untuk mengutuk diriku sendiri... kau tahu apa saja kata
ibumu, Nak" Aku terlalu royal bermain perempuan.
Dan aku terlalu kemaruk mengumpulkan uang.
Tetapi aku lupa diri, Nak. Begitu banyak kesempatan
terbuka di depan mata. Rugi rasanya kubiarkan lewat
begitu saja. Dan perempuan-perempuan hina itu,
dengan tertawa mendorongku masuk... Kaulah kini
jadi korban. Dan Luki!"
"Semua sudah terjadi, Papa"
"Dan apa yang dapat kuberikan kepada
kalian berdua" Selembar baju pun kau dan Luki tak
punya..." "Kami dapat menjaga diri, Papa. Kami akan
mencoba bangkit kembali. Dengan bantuan Alex...,"
wajah Erika bersemu merah seketika. "Dia..."
Kalimatnya terputus oleh bunyi bel yang nyaring
dan panjang. Kunjungan harus diakhiri.
"Papa?" Erika mencium tangan papanya.
203 204 "Ya Nak..." "Kumohon doa restumu."
Lukman tertawa pahit mendengar permintaan
anaknya. Katanya, "Kau menyindirku. Tetapi yaa.., sekali
lagi kau benar. Hanya doa restu yang dapat kuberikan.
Hanya doa restu...!"
Lantas laki-laki tua dan malang itu, mengucurkan
air mata tanpa dapat ditahan-tahan lagi.
Ketika Erika dan Alex pamit, Lukman menatap
kepergian mereka dengan mata berkaca-kaca. Jarijarinya sampai memutih karena mencengkeram jeruji
kawat yang memisahkannya dengan anak gadisnya.
Sekali, Erika berpaling. Tersenyum, memberi
kekuatan. Lukman ingin memanggil anaknya kembali.
Dan ketika Erika dan Alex lenyap di sebelah
lain gardu jaga, Lukman mendaratkan seluruh bobot
tubuhnya ke jeruji kawat yang rapat itu, menangis
tersedu-sedu. Sipir penjara yang kemudian datang
menghibur dan memapahnya kembali ke dalam sel
bertanya heran mengapa ia menangisi kepergian
anaknya, padahal sebelum itu ia tidak pernah
demikian. "A... aku tak sempat mengucapkan selamat
berpisah dengan anakku, Pak..!" jawab Lukman,
lirih. "Hanya itu" Alaaa, anakmu besok-besok "kan
bakal berkunjung kembali.".
"Dia tak akan datang lagi."
"Anakmu mengatakan demikian?"
"Tidak." "Dia akan pergi jauh?"
"Tidak." "Aku tak mengerti..."
"Tidak. Bapak tak akan pernah mengerti"
Tiba di sel, Lukman langsung menghempaskan
pantatnya yang kurus kering ke atas dipan kayu berlapis
kasur yang demikian tipis sehingga hampir rata
dengan papan dipan itu sendiri. Dipan itu berderak
keras, sehingga temannya satu sel berpaling kaget.
"Hai," tegurnya. "Bunyi tulang-tulangmukah,
itu?" Lukman tidak menyahut. Temannya tertawa. Dan terus menggoda, "Tak
apalah. Paling tidak, aku tahu kau masih bernafas!"
*** Tengah malam, orang itu terbangun oleh suarasuara berisik di dalam sel.
Tetapi karena kantuknya demikian berat, ia
segera tertidur lagi, sambil memaki. "Tikus sialan!"
Pagi-pagi benar, orang itu terbangun, dan
menyambut datangnya matahari dengan sebuah
makian pula, "Mayat sialan!"
205 206 Lalu ia berteriak memanggil penjaga yang segera
datang berlari-lari. Sebelum membuka pintu sel, penjaga itu
tertegun kaget. Dengan wajah pucat ia mendelik
menatap sosok tubuh yang terkapar di lantai sel,
meringkuk kaku. Darah kering meronai kepala dan
bahunya, dan bercak-bercak darah kering itu tampak
juga mengotori tembok batu di sebelah dipan.
Penjaga baru tersadar waktu penghuni yang
masih hidup di dalam sel itu bersungut-sungut tak
senang. "Aku minta dipindahkan, Bung!"[]
18 BULIR-BULIR padi merunduk dalam di bawah
ciuman mesra matahari senja yang merangkak enggan,
saat turun ke pembaringannya di ufuk sebelah barat.
Langit yang berwarna kemerah-merahan menambah
molek sepasang betis langsing yang berjalan hati-hati
di atas tegalan kering. Pemilik kaki itu pernah dua
kali terpeleset di tegalan yang sama. Oleh karenanya
tiap langkah kemudian benar-benar ia perhitungkan,
apalagi ketika menuruni jalan setapak yang curam.
Namun seekor unggas mendadak terbang dari
semak belukar di sebelah kanan jalan setapak. Pemilik
kaki langsing itu terperanjat, keliru menepatkan
tumitnya di pinggir tegalan. Maka, tak pelak lagi
sosok tubuhnya yang indah meliuk jatuh disertai suara
pekik halus dari mulut yang mungil kemerahan. Suara
tubuh berdebuk jatuh di tanah menyebabkan seekor
tikus meloncat kaget lantas menyelinap ketakutan di
antara rimbunan batang-batang padi.
207 208 "Astaga...," gadis itu mengeluh. "Rokku kotor
lagi!" Lalu seperti lazimnya orang yang terkena
musibah, gadis itu menambahkan dengan perasaan
lega. "Untung kakiku enggak sampai terkilir"
Sejenak kemudian ia tiba di pancuran tempat
mandi kaum perempuan. Ada seorang gadis lain yang
sudah lebih dulu tiba di sana, dan tampaknya sudah
bersia-siap mau pulang. "Hai, Rika...," ia menyapa. Gembira
"Hai," Erika tersenyum. Manis.
"Kau tambah cantik saja!"
"Oh ya?" pipi Erika bersemu merah. Pipi
yang segar, penuh dan lunak dengan kulit yang licin
berkilauan. Tiga bulan menetap bersama neneknya di
kampung banyak menolong Erika menemukan
kembali gairah hidupnya yang pernah terpukul
habis-habisan. Mula-mula memang terasa seperti
disingkirkan sehingga kesepian kian menambah luka
di hatinya. Akan tetapi lama-kelamaan, keramahan
desa membuka matanya, dan udara pegunungan
menyembuhkan luka-luka hatinya.
"Kudengar kau akan pergi besok, ya?"
Erika memandang gadis temannya. "Dari mana
kau tahu, Nengsih?" "Alex." "Alex" kapan kau bertemu dia?" tanya Erika
Bunga Bunga Indah Berduri Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan cemas, seraya mengawasi wajah Nengsih.
Seorang gadis yang jatuh cinta kepada seorang lakilaki senantiasa menaruh curiga kepada gadis lain yang
membicarakan tentang laki-laki yang sama. Apalagi,
gadis lain itu, tidak kalah cantik dengan dirinya
sendiri. Dan kecantikan Nengsih adalah kecantikan
murni yang dipersembahkan oleh alam dan hawa
pegunungan yang sangat bersahabat.
Dengan polos Nengsih menjawab, "Tadi dari
terminal, aku satu delman dengan tunanganmu"
"Tunang...," Erika cepat-cepat mengatupkan
bibirnya. Ia belum pernah betunangan secara resmi
dengan Alex. tetapi kalau Alex menceritakan kepada
gadis lain bahwa mereka berdua telah bertunangan,
tentu saja Erika tidak akan memprotes. Alangkah
senangnya, kalau Alex membumbui dengan perkataan,
tak lama lagi kami akan menikah!
Seraya menahan senyumnya, Erika bertanya
penasaran, "Apa lagi yang dikatakan Alex?"
"Banyak." "Oh ya?" 209 210 "Terutama tentang hubungan kalian. Kau gadis
yang beruntung, Rika. Kapan kalian akan menikah?"
Pertanyaan itu tiba juga.
Erika belum tahu, tetapi ia tidak mau membuang
kesempatan. Dengan tandas ia menyahuti. "Segera!"
"Kuucapkan selamat!" suara gadis itu terdengar agak sumbang, tetapi Erika tidak memperhatikannya.
Ia tengah melamun, apakah kiranya kedatangan
Alex ini menemuinya di kampung, untuk melamar
Erika kepada neneknya" Selama ia di kampung, ia
hanya dikunjungi Alex dua kali. Ketiga kali dengan
hari ini. Tetapi Alex meneleponnya dua atau tiga
hari sekali. Malu kalau terlalu sering dan hampir tiap
kali nenekmu yang menerima teleponku, katanya
sekali waktu, sambil menambahkan, "Begitu aku
nanti punya uang, kau akan kubelikan ponsel untuk
mengganti punyamu yang kau jual untuk ongkos
pulang kampung ..!" Biarlah, pikir Erika. Bukan janji Alex itu yang
terus memenuhi pikiran Erika selama tinggal bersama
neneknya di kampung kelahirannya ini. Tetapi,
ucapan-ucapan Alex di telepon. Yang menyatakan
sepi hatinya ditinggalkan Erika, mengeluhkan
kerinduannya yang terpendam, dan sekali menceritakan usahanya untuk kembali mendekati orangtuanya yang masih tidak melupakan betapa Alex telah menghambur-hamburkan uang mereka, bahkan
berkali-kali mendatangkan kesulitan sehingga Alex
terpaksa harus menyingkir dari rumah.
"Mungkin kalau kuberi tahu aku segera akan
menikah, Papa dan Mama mau menerimaku kembali,"
begitu Alex berkata dalam pembicaraan telepon
mereka yang terakhir. "Rika..." "Ya?" Erika terjengah. Lamunannya buyar
seketika, Nengsih tampak berpikir sebentar, sebelum ia
kemudian menyebutkan sebuah alamat di kota, disusul
pertanyaan yang tampak sambil lalu. "Benarkah itu
alamat tempat kost Alex?"
Jantung Erika berdebur kencang.
"Dia memberikan alamatnya kepadamu?"
"Ya. Salah?" "Oh tidak. Hanya...," betapa kurang ajarnya si
Alex, pikir Erika, namun di mulut ia bergumam lain,
"Itu memang alamatnya."
"Hem.. Dia juga menawarkan pekerjaan kalau
sekali waktu aku bermaksud pindah ke kota."
"Begitu?" jantung Erika hampir copot. "Kau
mau?" lanjutnya, semakin cemas.
211 212 "Entahlah, ya. Kalau saja anak Pak Lurah belum
melamarku." "Mengapa tidak kawin dengan dia?" tukas Erika
cepat-cepat, seolah ia takut barang kesayangannya
yang paling berharga keburu dirampas orang.
"Kudengar, Pak Lurah itu orang paling kaya di desa
ini. Anaknya mana cakep, mana pernah menduduki
bangku perguruan tinggi. Ada yang bilang, dia bakal
menerima warisan sawah berhektar-hektar. Belum
lagi kebun karet dan?"
"Tetapi dia juga diwarisi dua orang anak dari
istri pertamanya," keluh Nengsih, lirih.
"Oh. Jadi, calonmu itu sudah duda?"
"He-eh." "Ditinggal mati istrinya?"
"Bukan. Istrinya kabur dengan laki-laki lain."
"Masa...!" "Habis, Rika. Calon suamiku itu orangnya
ringan tangan, ringan kaki..."
"Maksudmu, rajin?"
"Benar. Tetapi rajinnya, rajin main pukul dan
tendang, apalagi kalau lagi marah."
"Oooo!" Nengsih menarik nafas panjang.
Kemudian berdiri. "Sudah ya. Aku pulang
dulu. "Tunggu sebentar. Kita pulang sama-sama!"
Erika cepat-cepat menyelesaikan mandinya,
kemudian berjalan beriring-iringan dengan Nengsih
pulang ke rumah. Mereka tidak banyak berkata-kata
sampai mereka berpisah di pengkolan tak jauh dari
rumah nenek Erika. Selagi melangkah sendirian, lamunan Erika
melayang kepada calon suami Nengsih yang sudah
duda, punya dua anak, dan suka main kasar sama
istri. Sebaliknya di arah jalan yang menuju ke rumah
orangtuanya, lamunan Nengsih melayang kepada
Alex yang bertemu dia kemarin di terminal sepulang
Nengsih dari sekolah. Ia sudah pernah diperkenalkan
Erika sebelumnya dengan pemuda itu, sehingga
pertemuan mereka tidak begitu kaku lagi.
Nengsih dan Alex dengan sendirinya menjadi
intim seturun dari angkot, mereka naik delman
berdua saja menuju desa. Nengsih sendiri tidak begitu
akrab dengan Erika, namun semua orang di kampung
itu sangat menghormati nenek Erika sebagai salah
seorang turunan cikal bakal desa mereka. Otomatis
ia harus pula menghormati cucu sang nenek. Maka
ia hanya menyimpan dalam hati sebagian terbesar
percakapannya dengan Alex, ketika tadi ia berbincangbincang dengan Erika.
213 214 Terbayang wajah Alex yang tampan. Lalu
ceritanya yang mengasyikkan tentang dunia balap
motor serta cerita yang tak kalah mengasyikkannya
tentang kehidupan di kota.
Kau tak akan pernah bosan dan kesepian,
demikian Alex berkata. Apa saja yang kau ingini,
mudah kau peroleh, tanpa kerja keras. Cukup kalau
kau punya kemauan, ditambah sedikit keberanian.
Ketika Alex memberikan alamatnya di kota kepada
Nengsih, ia juga menambahkan, berkunjunglah
sesekali. Untuk apa, tanya Nengsih tak acuh, padahal
dalam hati ia mulai tertarik. Untuk ini, jawab Alex
seraya mendesakkan selembar uang seratus ribuan ke
telapak tangan Nengsih. Ambillah untukmu, kata Alex lagi. Dan hanya
karena uang sebesar itu jarang sekali dipegang
Nengsih sebelumnya, ia lantas ketakutan. Tak tahu di
mana ia akan menyimpan uang itu, dan tidak tahu apa
yang akan ia jawab kalau orang lain curiga ia punya
uang banyak. Maka dengan berat hati hadiah yang
menakjubkan itu ia kembalikan kepada Alex.
Tiba di rumahnya sepulang dari pancuran,
Nengsih mengurut dada. Diam-diam ia menyesali, mengapa tadi siang
uang itu ia tolak. "Dengan uang sebanyak itu aku dapat pergi
ke kota...!" pikir Nengsih dengan gundah. "Akan
kutemui Alex, dan menagih janjinya menawari aku
pekerjaan yang menghasilkan uang lebih banyak dari
yang tadi ia berikan...!"
Wajah pemuda itu terbayang lagi.
Matanya yang bersinar tajam, menusuk sampai
ke sumsum. Senyumnya yang menggetarkan, membelai sampai ke jantung.
"Sayang, Neng Rika ketemu dia lebih dulu,"
gumamnya sendirian. Nengsih sama sekali tidak teringat untuk berpikir, andaikata Erika tidak ketemu lebih dulu dengan
Alex, maka Alex tidak akan ke kampung mereka, dan
ia tidak akan pernah pula ketemu Alex.
"Sedang melamuni apa, Nak?" ibunya yang
mendadak telah berada di kamar Nengsih, bertanya
lembut. "Ah. Engga Bu..."
"Dadang, ya?" "Siapa?" "Dadang. Anak Pak Lurah. Jangan pura-pura
kepada ibumu ini, Nak," perempuan tua berwajah
lembut itu tersenyum manis. "Sudah tak sabar
menunggu hari pernikahan kalian, ya?"
Nengsih menggeleng. 215 216 "Lantas?" ibunya keheranan.
"Aku pikir, Bu. Aku keberatan mengurus kedua
anak-anak Kang Dadang..."
"Lho. Tetapi beberapa waktu yang lalu..."
Nengsih tidak memberi ibunya kesempatan meneruskan ucapannya. Gadis itu lantas saja memotong
dengan suara gundah."Aku juga takut, suatu kali
aku akan disiksa seperti pernah dia perbuat kepada
istrinya terdahulu!"
"Hai. Apa-apaan ini. Mengapa kau mendadak
berpikir yang bukan-bukan" Jangan-jangan..." Dengan khawatir perempuan itu mengawasi wajah anak
gadisnya, dan berujar lebih khawatir lagi, "aku toh
tidak bermaksud ingin membatalkan janji yang telah
kita berikan kepada Pak Lurah?"
"Itulah yang lagi kupikirkan, Bu!"
Heboh seketika terjadi di tengah keluarga
Nengsih. *** Beberapa rumah dari tempat itu, ketika malam baru
jatuh, Alex pulang bersama Luki. Mereka membawa
beberapa ikan besar dan segar-segar, hasil pancingan
mereka di sungai sepanjang sore hari itu.
Tanpa memperlihatkan kegembiraan menerima
oleh-oleh sebagai tambahan lauk makan malam
itu, nenek Erika terang-terangan memarahi Luki di
depan Alex. "Apa-apan ini, Luki" Pulang ke rumah
lewat Isya!" Luki menyeringai. "Keasyikan, Nek!" jawabnya, manja.
"Sampai lupa sholat?"
"Aduh! Iya-ya...!"
Lantas Luki berlari-larian pergi ke dapur
dan mengambil air dari gentong untuk kemudian
dipakai berwudhu. Neneknya menyusul ke dapur,
menyerahkan ikan hasil pancingan itu kepada Erika
yang hampir saja mematikan api di tungku.
"Goreng kalau kau mau!" sungut sang nenek
pada cucu gadisnya, dan menunggu sampai Luki selesai wudhu. Baru setelahnya, berkata seraya tersenyum
manis kepada cucu laki-lakinya yuang masih bocah
tanggung itu. "Kalau mau tinggal dengan nenek,
Luki, jangan lupa sholat lima waktu..."
"Tidak lagi, Nek."
"Janji?" "Berani potong kuping, Nek!"
"Ah. Simpan saja kupingmu. Nih, kainmu. Pergi
sana. Jangan sampai kau terlambat hadir di meja
makan!" Setelah Luki pergi, Erika bertanya kepada
neneknya, "Luki tetap nenek tahan di sini?"
217 218 Yang ditanya, terkejut. Sebentar cuma. Lalu,
"aku tak mau melepaskan dia ke sarang harimau,
Rika. Bahkan sekali lagi kau kuingatkan. Kau sendiri
pun sebenarnya tidak ingin kulepaskan...!"
Erika menelan ludah. "Nenek tetap tak menyukai Alex, ya?"
"Tepat!" "Mengapa, Nek?"
"Apakah tantemu Sunarti tak pernah menceritakan kepadamu" Atau ibumu" Selagi mereka masih
hidup?" Sesaat, Erika gemetar. "Mama memang tidak," sahutnya. "Tante Narti
sudah!" Lantas seraya memandang neneknya dengan
mata memelas, ia bergumam lirih, "Tetapi aku percaya
Alex telah berubah!"
"Aku tidak, Rika. Lihat saja. Orang tak pernah
sholat seperti dirinya, lemah imannya. Tak usah
jauh-jauh. Lihat saja papa dan pamanmu. Yang satu
korupsi sampai masuk penjara. Yang lain suka judi dan
mabuk-mabukan, mana keranjingan main perempuan
pula. Hasilnya, kini masuk rumah sakit. Dan penjara
sudah menunggu pula, setelah membunuh istrinya
Bunga Bunga Indah Berduri Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kapas Kapas Di Langit 1 Pengemis Binal 02 Kemelut Kadipaten Bumiraksa Your Secret Memories 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama