Jeritan Pintu Kubur Karya Abdullah Harahap Bagian 1
Jeritan Pintu Kubur Karya Abdullah Harahap Sumber Image : Awie Dermawan
Pembuat Djvu :Kang Ozan Edit teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
Ebook persembahan Group Fb Kolektor E-Book
Selesai di edit : 8 Juli 2018 (Situbondo)
Selamat membaca ya !!! ***** ABDULLAH HARAHAP JERITAN PINTU KUBUR Sarana Karya JAKARTA JERITAN PINTU KUBUR karya Abdullah Harahap judul asli Jeritan Pintu Kubur penerbit Sarana Karya
Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit
cerita ini adalah fiktif. Persamaan nama tokoh, tempat ataupun peristiwa hanyalah kebetulan belaka.
*** SATU Lila BARU saja akan mengetuk, ketika pintu terbuka.
Sesaat, hati Lila terkesiap, Dihadapannya berdiri seorang laki-laki tinggi besar, berkepala licin bagai tempayan. Tanpa rambut selembarpun, dan sedikit berminyak. Di bawah alis yang berbentuk golok, menyorot sepasang mata yang berkilat memandang Lila. Dingin. Dan tajam menusuk sampai kesumsum. Seperti disiksa oleh penyakit sesak nafas, mulutnya kemudian terbuka melepas suara yang terengah-engah:
...Nyonya....Lila?" Agak lama, baru leher Lila yang kaku, bisa bergerak.
"Ya". 'Masuk!". Beberapa helai rambut Lila berkibar di tiup angin malam yang berhembus kencang .Ia menggigil. Tertatih-tatih melangkah kedalam.
Selintas terbayang dibenaknya betapa tinggi laki-laki itu. Rambut yang berkibar hanya sampai dibatas lengan yangjuga licin tetapi tampak sangat kukuh itu. Pintu kemudian tertutup
dibelakang Lila. la kini berada disebuah ruangan yang selebar kebun di belakang rumahnya sendiri seperangkatan perabotan antik sejenak membuat mata berkilat.
"Duduk". Tersadar dari kekagumannya pada isi ruangan itu. Lila terhenyak diatas sebuah kursi berpikir dengan jok tebal berbusa. Betapa kelam permukaan meja didepan matanya. Betapa kelam lantai tegel kelabu di telapak kaki. Lebih kelam lagi lampu yang bersinar redup dari balik layon yang terbuat dari anyaman bambu dipojok. Langkah-langkah kaki silelaki gundul berdetak detak waktu memasuki sebuah pintu kecil dan kemudian lenyap meninggalkan suasana sepi yang mencekik.
Lila menarik nafas. Berat dan susah. Ada sekali dua ia lewat dihalaman rumah besar dan megah ini. Ia tahu betul, ruangan dimana kini ia duduk menunggu dengan jantung yang berdebur, selalu tampak terang benderang. Tetapi mengapa kini semua menjadi gelap gulita" O, lampu di pojok. Hampir-hampir tak bersinar. .Dan layon itu. Mengingatkan Lila pada kematian! la menggigil lagi. Bagai pernah menderita demam. Tetapi ia tidak pernah semenggigil sekarang. Ruangan rumahkah ini" Atau...bangunan ditengah-tengah pekuburan"
Pintu kecil tadi terbuka kembali.
Tubuh tinggi besar bagaikan tumpukan bukit itu, berdiri di sana.
"Masuk", lagi-lagi ucapan yang sama
Lila berdiri, Ragu-ragu. Ragu-ragu pula ia melangkahkan kaki kesepanjang ruangan menuju pintu kecil itu. Rasanya sudah beriburibu langkah ia lakukan, dan sudah bermil-mil ia berjalan baru ia sampai disebelah sana pintu kecil. Untuk kedua kalinya pula ia dengar perintah yang sama.
"Duduk!" Perintah itu datang dari arah sebuah ranjang besar yang hampir memenuhi setengah dari ruangan yang ternyata kamar tidur, Barulah Lila terjengah. Firasat buruk yang menyerang dirinya semenjak meninggalkan rumah, kini mulai membentuk sebuah kenyataan yang memang belum tampak buruknya, tetapi sudah terasa betapa sangat tidak enaknya. Letih karena goncangan perasaan. Bila kemudian mengambil tempat duduk disebelah kursi rotan bersandar tinggi, tak jauh dari pintu.
Reflex, ia menoleh. Laki-laki berkepala licin itu telah menghilang. Dan pintu tertutup rapat. Hampir-hampir tidak bertepi, sehingga Lila berpikir-pikir disebelah mana letaknya pintu-pintu dari mana ia tadi masuk. Firasat buruknya kian menjadi. Namun ia belum sempat untuk melakukan apalagi memikirkan sesuatu, terdengar bunyi derit halus dari arah ranjang .
Sesosok tubuh kehitaman karena piyama gunting cina yang berwarna pekat duduk mencangkung diatas tempat tidur. Matanya berkilau
tajam, lurus menelan bulat-bulat kehadiran perempuan yang duduk dikursi rotan. Lila jadi terperangah. ialah kini yang sesak nafas. Benarbenar sesak nafas.
"Takut?" Pertanyaan yang ganjil itu justru mendatangkan jawaban yang dikehendaki Lila.
"Saya... pak lurah."
"Kenapa?" Lila menjilat bibirnya yang kering kerontang.
Baru kemudian: "Entah". 'Tak perlu takut". laki-laki setengah baya diatas ranjang kemudian duduk di pinggir tempat tidur. Sepasang kaki menjuntai, hampirhampir menyentuh lantai.
'Minum?" "Suaramu gemetar."
"Takut, pak lurah."
"Sudah kubilang?"
"Mengapa disini" Mengapa tidak di kamar tamu saja?"
Suara cekakak yang tertahan-tahan dan sedikit parau, hampir mencopot jantung Lila. Ia berpegang ketangan kursi. berusaha berdiri. Tetapi dengan susah payah ia sadari kalau semua telah terlambat. Sorot mata yang tajam dari laki-laki di atas tempat tidur, telah melumpuhkan' seluruh tenaganya. Ia ingin menjerit. Menjerit, sekeras-kerasnya. Tetapi yang keluar cuma keluhankeluhan pendek, disusul oleh
IsaK tangis. Mata Lila yang bundar dan indah, mulai berlinang
Diantara linangan air matanya ia lihat lakilaki itu turun dari atas tempat tidur. Satu-satu melangkah. Gontai, seperti orang mabuk. Atau memang mabuk. Lila menjerit lagi dalam hati. Dan telinganya semakin perih oleh suara cekakakan yang perlahan-lahan berubah jadi tawa yang ganjil, laki-laki itu kini berdiri tepat di depannya. Memandang ke bawah, pada perempuan yang sudah tinggal seperti cacing yang terdampar di laut pasir yang panas oleh terik matahari.
'...tidakkah kau tahu berterima kasih. Lila?"
Terengah-engah Lila menyahut:
"Maksud...maksud pak lurah?"
"Janganlah memandangku seperti itu. Toh aku bukan setan." '
"Kau memang setan! Setan. Setaaan!" Lila menjerit lengking. Namun jeritan itu cuma menghantam paru-parunya sendiri. Menghantam keras sehingga paru-parunya seperti pecah dan dada mulai rekah. Ia hampir pingsan waktu tangan lelaki setengah baya berpakaian pekat itu mulai meraba pUndak, kemudian pipinya. Tanpa bisa di elakkan sama sekali oleh Lila.
"...kau semakin cantik saja. Lila," menggeram laki-laki itu. "Kau sepantasnya menerima jamahan... tanganku..."
"Pak lurah...pak lurah!"
'Ah. Sudah. Lupakan kalau aku ini lurah.
Pandanglah aku ini sebagai laki-laki. Bukankah kau sudah lama merindukan kehangatan tubuh seorang laki-laki" Dan ranjangku...o, sudah lama terasa amat dinginnya. Lebih dingin dari udara malam ini, Sebentar lagi akan hujan. Akan bertambah dingin..." dan tiba-tiba saja ia telah merahup Lila.
Perempuan itu seketika tersentak.
'Jangan !', keluhnya. Lirih.
Sebuah ciuman mendarat di bibirnya.
Ganas dan buas. Rakus menjijikan. Lila ingin muntah.
"Sayangku. O, sambutlah cintaku. Peluklah aku, Lila. Peluklah aku?" suara terengah-engah merayapi cupil telinganya.
"Saya sudah bersuami, pak lurah."
'Bertahun-tahun kau ditinggalkannya, Lila. Bertahun-tahun aku telah membantu hidupmu agar tidak terlantar...o, isilah hatiku yang sedang kosong. Lila, hangatilah ranjangku yang dingin!" _ "
Sebuah sentakan yang keras merobek blouse atas Lila.
Bunyi robekan itu seperti bunyi petir. Menyambar-nyambar ke jantung Lila. Ia mulai histeri. Tangannya mencakar. Kaki menendangnendang seluruh tubuhnya seperti dipatahpatahkan oleh betotan sepasang tangan yang melilit-lilit bagaikan ular. Dengan putus asa. Lila terpekik tertahan waktu tubuhnya terangkat kemudian dihempaskan ke atas ranjang. Ia berusaha bangkit. Tetapi laki-laki itu sudah
melompat. Kaki Lila tercengkeram, ia tarik dengan sekuat tenaga sambil tangannya terus memukul-mukul. Pukulan itu bagaikan cubit cubitan lembut saja bagi silelaki yang tertawatawa saja diantara desah nafasnya yang menggebu-gebu.
"Auuu; auuu! Lila terpekik lagi waktu roknya yang kemudian sobek karena sebuah sentakan yang cepat.
la jadi nekad karena rasa malu.
Kakinya yang masih tercengkeram. Melipat dengan tiba-tiba. Di detik berikutnya terdengar bunyi "duk' yang keras. Laki-laki itu mengeluh, kemudian jatuh terhumbalang di atas lantai, membentur kaki meja. Dudukan lampu Hotel di atasnya goncang, perlahan-lahan jatuh persis di atas kepala si lelaki.
'Jadah!", ia memaki.
Lampu itu mati. Gelap gulita seketika.
Lila tak ingin berpikir panjang. Kesempatan itu ia pergunakan untuk meluncur dari atas ranjang. Dengan terantuk-antuk ia akhirnya mencapai tepi dinding. Namun suara ribut yang ia timbulkan memberi petunjuk bagi si lelaki untuk mengikuti arah perempuan yang sedang berjuang membela kehormatan itu. Karena sudah terbiasa diam diruangan yang sama, mata si lelakilah yang lebih dulu awas mengatasi kegelapan.
' Dan Lila berhasil mendorong salah satu bagian dinding yang ia perkirakan tempatnya mula-mula masuk. Dinding itu terbuka tetapi
gelap sekali di dalamnya. Itu. bukan ruangan duduk. Namun Lila tidak perduli. la terobos dengan nekad. la melewati lorong yang gelap beberapa langkah, kemudian membentur anak tangga. Hampir saja Lila terjatuh. ia terpekik. Dan suara tertawa halus di belakangnya mengejar semakin dekat. Tenang-tenang saja lelaki itu, seakan-akan ia tahu ia tidak akan kehilangan mangsanya.
Ketakutan dan keputus asaanlah yang menolong Lila melampaui anak tangga demi anak tangga yang berputar-putar terus ke atas. Suatu saat ia merasa kepalanya membentur sesuatu. Ia benturkan terus. Sesuatu itu kehempas ke arah luar. Ternyata bingkai penutup. Lila segera menghambur ke luar. Dan hujan deras menyambut kedatangannya. Sedetik, Lila menggigil oleh kucuran air hujan yang membasahi sisa-sisa pakaian yang melekat ditubuhnya. Matanya jelalatan dalam remang-remang malam berhujan. Ada suara menderuderu di depan, datangnya dari arah bawah.
Lila tidak perduli. Ia berlari sepanjang lantai tak beratap yang rupanya terras bagian paling atas dari bangunan rumah itu. Dibelakangnya, seorang lelaki berpakaian pekat tertawa cekakakan, seolaholah ingin mengimbangi deru hujan yang membahana,
"Lari kemana, manisku?", ia menggeram, dan kembali mengejar. Lila mencapai pinggir terras setinggi dada. Nanap, ia memandang ke
bawah. bagian belakang rumah itu berdiri di atas pundamen yang kukuh oleh batu-batu padas. Samar-samar ia melihat sungai yang tengah banjir di bawah. Lila gemelutuk. Takuttakut, ia membalik.
"Sini, manis. Dingin di sini. Kembali ya kekamar?", bujuk si lelaki.
"Cobalah!", Lila mendesis.
"Sini, sayangku. Sini, manisku..."
"Setaaan! Setaaan!, Lila menjerit. Jeritan yang bersamaan dengan meledaknya petir di langit. Dalam kilatan petir, si lelaki melihat bagaimana mangsanya berusaha naik ke pinggir terras, berdiri sempoyongan sesaat. Disaat berikutnya terdengar jerit Lila yang menyayatkan hati" Tubuh perempuan itu lenyap ditelan kegelapan. Sesaat sebelum lenyap, masih sempat Lila mengutuk:
"Aku akan datang untuk membalasmu!"
*** DUA PARMAN JATUH terduduk disisi makam.
"Aku akan tetap setia. kang. Sampai matipun, kau akan tetap kutunggu!" suara yang tersendat-sendat itu seolah-olah keluar dari timbunan tanah yang masih kemerah-merahan itu. Tangis Lila membasahi kemeja Parman, yang tak berdaya untuk membujuk isterinya. Tangan Parman terbelenggu. Betapa ingin ia memeluk isterinya. Dan betapa perih terasa dihati karena keinginan itu berhalang oleh belenggu besi yang semakin lama semakin menjepit kedua pergelangan tangannya. Sakit sampai ke tulang.
"Aku akan pulang. Lila-ku. Selama kau masih cinta padaku, aku akan .pulang sayangku". itulah kata-kata terakhir yang bisa diucapkan Parman. Kemudian, ia cuma bisa menggigit bibir menahan tangis, ketika ia diseret oleh dua orang petugas polisi naik ke atas Jeep yang terbuka. Di tengah-tengah goncangan Jeep karena jalan yang becek dan berlubanglubang, Parman melihat Lila semakin jauh, jauh dan jauh. Akhirnya hanya merupakan titik kecil
ditengah-tengah kerumunan penduduk yang menyemut menyaksikan salah seorang warganya diangkut pihak berwajib dengan cap yang mencoreng muka : perampok.
Manusia-manusia yang menyemut itu tidak seorangpun yang memperlihatkan muka ketika sejam yang lalu Parman kembali ke kampungnya. Tetapi ia yakin, dibalik tirai-tirai jendela atau pintu-pintu yang setengah terbuka, banyak mata yang mengintai. Tak ada kata yang terucap. Tetapi Parman mendengar suara suara sinis dihatinya sendiri:
"Perampok itu telah pulang!"
Satu-satunya orang yang bersedia menyambut kedatangannya, hanyalah mertua perempuannya. Janda tua yang telah pikun -itu _ menerima kedatangan Parman dipintu rumah mereka yang hampir ambruk.
"Mana Lila, bu?" tanya Parman dengan jantung berdegup, sadar akan pandangan mata yang menjorok, di wajah yang pikun itu.
"Kata mereka Lila telah mati.-Tetapi Parman tidak percaya seujung rambutpun juga. Sampai ia tiba dimakam dan membaca papan nisan yang bertuliskan nama Lila, hari lahir dan hari matinya. Lama sekali Parman bersimpuh memandangi papan nisan itu. Lila akan menunggu katanya. Sampai mati Lila akan menunggu. Sampai mati. Dan kini Lila telah" mati.
"Tidak!", Parman menjerit
*** Ia peluk nisan papan itu. Ia rahup dan cakar tanah yang masih memerah di dekat kakinya. Ia ingin membongkar makam itu sampai kedasar dengan seluruh kekuatannya. Ia ingin melihat Lila. Memandangi wajah isterinya. Apakah tersenyum melihat kedatangan Parman. Ataukah menangis terisak-isak. seperti ketika ia melepas kepergian Parman. Parman menjerit-jerit seperti orang gila memanggil-manggil nama isterinya sambil terus menggali dengan tangannya.
"Hentikan, Parman!"
Suara yang berat dan memerintah itu, seketika menyadarkan Parman. Ia menoleh. Seorang laki-laki tua berkain sarung berdiri didekatnya. Parman mengharapkan senyum sympathi atau wajah yang turut berduka. Tetapi didepannya ia cuma mendapatkan wajah yang dingin serta senyum yang teramat kaku
"Percuma kau bongkar kuburan isterimu," kata orang itu.
'....tetapi Lila....Lila...'
"Lila sudah mati".
"Aku tak percaya, pak Angga. Tak percaya.
"Kami sendiri yang menemukan mayatnya disungai. Kami sendiri pula yang memakamkannya?"
Parman terhenyak. Wajahnya seketika ternganga.
"Di sungai?". Ia mendesis, "Ia kalian temukan di sungai?"
"Ya" "Tidak. Tak mungkin Lila membUnuh diri!".
Laki-laki bersarung itu cuma angkat bahu.
"Pokoknya mayatnya kami temukan di sungai'.
Laki-laki itu mengajak Parman kepinggir sungai, beberapa ratus meter dari pemakaman. Disebidang tanah berawa dengan akar-akar pepohonan yang telah ratusan tahun umurnya menyuntai disana sini, mereka berhenti.
"Akar-akar ini yang menahan tubuh Lila", kata orang itu.
Parman menggigil. 'Siapa...siapa yang membunuhnya?"
"Membunuh" Tak seorangpun yang membunuhnya. Ia memang ditemukan dalam keadaan terluka. Pemeriksa mengatakan Lila terjatuh dari tempat ketinggian dan membentur batu-batu cadas. Jatuh kesungai. Hanyut sampai kemari...".
'kata Mertuaku, Lila ditemukan dalam keadaan setengah telanjang," Parman menggeram
"Tidak seorangpun yang memperkosanya!"
"Pak Angga bisa membuktikan?" Parman menjadi marah.
Laki-laki tua yang dipanggil pak Angga itu pun ikut marah. Matanya menatap tajam pada Parman.
"Kampung ini masyhur karena kesuburan dan keramah tamahan penduduknya Parman .Satu-satunya orang yang mencemarkan nama baik kampung ini, hanya kau. Ingatlah itu!"
Parman terdiam. Namun sinar matanya
tidak menerima tuduhan itu. "Kau akan lama disini?", tanya pak Angga setelah mereka terdiam.
"Aku telah berjanji untuk selalu didekat isteriku bila aku _ kembali," rungut Parman. Lirih.
"Lila telah mati".
"Aku tak akan meninggalkannya!"
Pak Angga menelan ludah. "Sebagai ketua erka', katanya hati-hati, "Aku cuma ingin menyampaikan keinginan penduduk. Mereka tak ingin kampung ini kembali tercemar.
Parman gemetar. Kedua telapak tangannya mengepal.
"Aku telah berjanji pada Lila untuk hidup secara baik-baik."
"Lila telah mati'. 'Jangan ulang-ulangi kalimat itu pak Angga. Bagiku, Lila tidak mati, Tidak pernah mati!"
"Lila telah mati! Tak ada yang membutuhkanmu lagi dikampung ini!"
"Bapak mengusir?"
"Terserah anggapanmu".
Lantas, laki-laki tua itu nyelonong pergi.
Lama Parman terpaku ditempatnya berdiri. Ia tidak perduli pada ketua erka. Ia tidak perduli apa kata dan keinginan tetangganya. Dimatanya, cuma terlukis akar-akar pohon dirawa-rawa yang menjulur sebagian ketengah sungai. Diantara akar-akar pohon itu mereka konon menemukan tubuh Lila. Terbuka. tetapi
kata mereka bukan terbunuh. Hampir telanjang, tetapi kata mereka bukan karena diperkosa.
"Aku cinta padamu Lila", ia bergumam Parau. Setengah menangis. "Aku akan ikut kemanapun kau pergi. Tetapi aku harus tahu. mengapa kau mesti pergi begitu saja, tanpa menungguku seperti yang telah kau janjikan!".
Parman kemudian kembali ke makam isterinya.
Tanah yang tidak karuan lagi bentuknya karena habis ia bongkar tadi, ia betulkan dengan hati-hati dan penuh kasih sayang. Setelah itu, ia mendekap lantas mencium papan nisan isterinya. Lalu duduk mencangkung, menatap lurus kekepala makam. Matanya tidak berkedip. Tubuhnya tidak bergerak-gerak. Ia tidak perduli pada malam yang telah mulai datang. Pada kesepian yang mencekam di kuburan. Pada angin yang enggan bertiup seperti keengganan manusia untuk diam ditengah-tengah kuburan.
*** KABUT menyelimuti bumi ketika sesosok bayangan menyelinap memasuki pagar bambu sebuah halaman'rumah yang besar dan terletak didaerah tertinggi kampung yang sepi itu. Beberapa saat bayangan itu termangu-mangu memandangi rumah didepannya. Seperti biasa, jendela kaca bentuk modern dibagian depan tertutup oleh tirai tipis sehingga cahaya yang terang benderang dari dalam membias keluar. Seperangkatan perabotan antik menggeletak diam-diam dibeberapa bagian ruangan.
Sesosok tubuh tadi hati-hati berjalan di antara pohon jambu dan rambutan sepanjang jalan berbatu kerikil sampai ke pintu besar berwarna hitam pekat. Bunyi kerikil terinjak ditelan oleh angin yang mendesau-desau. Daundaun tua berguguran kebumi, diantara kakikaki yang terus melangkah kepintu. Tiba disana, sesosok tubuh itu kembali termangu mangu. Kepalanya berputar kesana kemari dengan mata yang jelalatan mengintai. Merasa aman, ia kemudian mengetuk pintu hati-hati dengan ketukan yang berirama. Kemudian diam menanti. Tak lama, pintu terbuka. Sedikit tapi.
Sebentuk wajah yang berbentuk segi empat dengan kepala yang licin tanpa sehelai rambut. Tersembul dari sela-sela daun pintu.
"Siapa" terdengar suaranya yang berat.
'PARMAN" Daun pintu kemudian dilebarkan.
Parman masuk Mau. apa?" tanya laki-laki berkepala licin dan bertubuh tinggi besar itu. setelah lebih dulu nenutupkan pintu
'Mana pak lurah'" "Tidur" 'Bangunkan "Tetapi Bangunkan. Bejo" Laki-laki besar yang dipanggil Bejo itu, sesaat ragu-ragu. Matanya penuh selidik di bawah alis berbentuk golok dan segera bertemu de
ngan sepasang mata Parman yang tegang, dingin tetapi penuh ancaman. Dalam hati Bejo berpikir cepat. Dengan mudah akan ia taklukkan si Parman ini dan lemparkan keluar. Tetapi Parman kelihatannya nekad. Bukan kekalahan yang ia takutkan. Akan tetapi sesuatu yang bersirat dibalik sinar mata Parman. Dan itu berarti ancaman bagi kedudukan majikannya.
Enggan, Bejo berjalan kepintu kecil.
ia ketuk. Sekali. Dua kali. Tiga. Empat.
Bejo hampir mengundurkan niatnya ketika pintu itu terbuka diiringi suara yang malas:
"Ada apa, Bejo" Tengah malam inikau?"
Suara itu mendadak sontak berhenti setelah melihat kehadiran laki-laki lain di belakang Bejo. Sesaat, ia menggeleng-gelengkan kepala Kemudian mengkucek-kucek mata. Tetapi dilihatnya tidak berubah. Seorang laki-laki lain dibelakang Bejo.
Pak Lurah perlahan-lahan tersenyum
"Parman" Kapan pulang"
"Tadi siang". Keduanya kemudian berjabatan tangan. Parman heran, jabatan pak lurah kaku dan dingin. Namun diam-diam ia mengerti. Mungkin kedatangannya bisa berakibat lain pada pak lurah. Setidak-tidaknya hanyalah Parmanlah satu satunya setelah Bejo siapa ada orang lain yang' sebenarnya ikut mencemarkan nama baik kampung mereka selama ini.
'Duduk. Duduklah. Cepat juga kau keluar
dari penjara", kata pak lurah tersendat-sendat. seraya menyeret Parman untuk duduk diruang tamu.
Di belakang mereka, Bejo pelan-pelan menghilang.
'Apa maumu, Parman"!"
Parman menatap langsung kemata pak lurah tajam.
"... kukira bapak ingin berterima kasih", katanya.
Parau. Pak lurah tertawa. Kecil
"Jadi itu yang kau inginkan. Terima kasih. Parman. Kau benar-benar seorang sahabat yang kuat rasa setia kawannya."
Tetapi orang-orang kampung tak lagi bersahabat padaku".
"Oh"' "Pak Angga mengusirku pergi".
"Ooo". Mata Parman menyipit Pak Lurah cuma nengatakan. "Ooo" saja. Demikian tenang. Tanpa ekpressi. Namun lagi-lagi Parman hanya bisa menelan ludah. Sebagai ketua kampung, tentu saja laki-laki setengah baya didepannya telah mengetahui apa keinginan masyarakat yang berada dibawah perlindungannya. Tetapi bukankah pak lurah juga harus memandang Parman sebagai salah seorang anggota masyarakat itu" Setidak-tidaknya, seperti yang telah ia katakan Seorang sahabat! Yang tahu rasa setia kawan!
?"aku mohon pertolongan bapak", kata Parman tak bersemangat.
"O. tentu. Tentu. Sebagai seorang sahabat, aku akan menolongmu. Hanya, sampai dimana kemampuanku untuk menolong. Berapa kau perlukan uang?"
Parman menggigit bibir. Hatinya terasa amat sakit.
"Aku akan menetap di kampung ini", katanya.
'O, Lantas?" "Aku tak butuh uang. Selama dipenjara aku dipekerjakan di bengkel. Kelakuanku baik. Hasil kerjaku di bengkel tidak seberapa tetapi kepala personalia penjara kemudian memperkenalkan aku pada salah seorang temannya di luar penjara. Tentu saja setelah aku dibebaskan. Temannya itu memberi pekerjaan ' padaku; Hasilnya kukumpulkan, setelah kurasa cukup, aku minta berhenti. lantas kembali kesini. Tetapi kudapati, Lila telah mati."
Wajah pak lurah agak pucat tiba-tiba.
Parman heran. "Ya, ya... Lila kami temukan tersangkut di pinggir sungai. Perempuan yang malang. Terimalah bela sungkawaku, Parman," kata pak lurah terburu-buru.
"Jadi kau akan menetap di sini?"
Parman mengangguk. "Baiklah. Besok akan kutanyakan pendapat pak Angga".
'Jangan tanyakan. Tetapi tentukan!"
"Tetapi mereka semua. Parman...'
"Bapak lurah disini. Selama bertahun-tahun tidak seorangpun penduduk yang berani menghitamkan apa yang kata bapak putih."
Pak lurah menelan ludah. "Baiklah," katanya hambar... Besok akan kutemui er-ka dan erte. Setelah itu aku akan kerumahmu. Tunggu saja disana. Ingat jangan kemana-mana."
Parman lantas berdiri. Tetapi sebelum keluar. Ia memutar tubuh.
"Saya juga berterima kasih," katanya "Kata mertuaku, selama aku di penjara ia dan anaknya Lila. Selalu memperoleh bantuan keuangan dari bapak."
Pak lurah tertawa. "Ah. Itu belum seberapa, Parman. Di banding dengan kekuatan mentalmu untuk menutup mulut tidak membuka rahasiaku, bantuanku itu benar-benar tidak berarti apa-apa..."
"Aku menutup mulut karena aku harus pikirkan isteri dan _mertuaku. Bapak tidak ikut masuk penjara, berarti Lila dan ibunya tidak hidup sengsara!"
Pak lurah terdiam. Dan Parman membuka pintu. Keluar, lalu menutupkan pintu dengan keras. Berdentam bUnyinya. Pak lurah pucat. Beberapa saat ia tercenung ditempat duduknya. Ia menyulut sebatang cerutu. Dihisapnya berulang-ulang. Dalam, Asapnya kemudian ia hembus. Berkepul-kepul Naik ke langit-langit ruangan. la agak gemetar ketika berdiri dan masuk kembali
ke kamar tidurnya. la mau naik ke atas ranjangnya yang besar dan lebar, tetapi tak jadi. Angin dingin meniup dari samping.
Laki-laki itu menoleh. Ternyata salah satu bagian dinding terbuka. Gelap di dalamnya. Pak lurah terpaku sesaat. Angin dingin merembes keras dari bagian dinding yang terbuka itu. Mulutnya terbuka. Maksud memanggil Bejo. Tapi tak jadi. Ah, mengapa hal sepele begitu harus ia perintahkan pada satu-satunya pelayan dan temannya di rumah ini"
Ia lantas berjalan ke pintu itu.
Bermaksud menutupkannya. Namun, lagilagi ia tertegun. Tidak mungkin ada angin yang masuk kedalam, kalau tidak tingkap penutup di bagian atas, terbuka.
"Sialan?" ia memaki. "Mengapa pula si Bejo tidak menutupkannya sejak tadi-tadi?"
Seraya menggerutu, ia kemudian berjalan memasuki lorong sempit dan pendek di balik pintu itu. Dengan hati-hati ia melangkah, menaiki anak tangga demi anak tangga yang berputar-putar sampai ke bagian atas. Akhirnya ia tiba di terras paling atas dari rumahnya. Di luar tenang, tetapi angin betapa dinginnya. Kabut tipis menutupi pandangan matanya. Namun setelah lama memperhatikan. ia tidak melihat sesuatu yang mencurigakan.
Ia kembali turun. Dan bermaksud menutupkan kembali tingkat di atas tangga ketika terdengar sebuah jerit yang menyayat hati.
*** Di BAWAH di luar rumah parman juga mendengar Jeritan itu. ia tertegun, diam mendengarkan kemudian berlari mengikuti arah jeritan tadi menghilang. Beberapa kali ia ter perosok pada lumpur dan hampir membentur cabang-batang pepohonan, sebelum ia mencapai pinggir tebing di bagian belakang rumah pak lurah Sampai di sana, ia berhenti dengan nafas tersengal-sengal .Memandamg dengan teliti ke arah anak sungai.
Ketika itu, sungai telah surut. Air mengalir dengan tenangnya, menimbulkan suara gemericik halus menerpa batu-batu yang menyembul di beberapa bagian sungai. Kabut telah menipis. dan bulan pucat di langit, menerangi tempat itu dengan cahaya yang samar-samar. Tetapi Parman tidak melihat seseorangpun juga,dia tidak lagi mendengar jeritan yang menyayatkan hati tadi. Tetapi ia pasti. Ada seseorang yang menjerit. Orang itu perempuan. Berdegup jantung hati Parman setelah mengingat-ingat ia seperti. ia seperti mengenal suara jeritan itu.
"...Lila', ia mendesah.
"Lilaaaa!". kemudian ia berteriak.
Suaranya memecah disekitar tempat itu bergaung kebukit-bukit di kejauhan kemudian" Kembali dengan suara mengaung ditelinganya.
"Lila-ku," Parman berbisik. lirih dan sakit.
Seperti ditarik oleh tenaga gaib, ia melangkah menuruni tebing. Tetapi karena curam dan licin bekas hujan renyai-renyai siang harinya, ia jatuh bergulingan ke bawah. Untungnya. langsung tercebur dalam genangan air berlumpur, hanya beberapa inci dari sebuah batu besar
, dan runcing di pinggir-pinggirnya. Dengan hati. hati Parman naik ke atas batu itu. Tubuhnya menggigil kedinginan, dari sana ia kemudian menatap ke hilir. Sungai itu berbelok sekitar tiga ratus meter di sebelah sana. Di ujung belokan itulah ia dengar ditemukan mayat
isterinya tersangkut. . "0, Lila-ku," ia berbisik lagi. "Kau mau menuntunku bukan ?"
Mulutnya tersenyum. Lembut dan mesra.
Kemudian ia merangkak ke tepi. Sampai di sana, matanya'mencari-cari. Ia sudah terbiasa oleh kegelapan. Kata mereka Lila meninggal seminggu yang lalu. Amat sukar baginya mencari jejak, namun hatinya yakin ia akan menemukan sesuatu petunjuk. Entah apa. tetapi ia pasti menemukannya.
"Dengan bantuanmu, Lilaku" gumamnya.
Berulang kali' ia berjongkok, berjalan. berjongkok lagi, berjalan dengan mata mencari cari sepanjang pinggiran sungai, dengan tubuh ' basah oleh keringat ia sampai ditempat di mana ia dan pak Angga tadi sore berdiri. Sepanjang tiga ' ratus meter mencari tidak ia temukan sesuatu apapun. Parman tidak kalah semangat . ia cinta pada Lila dan penduduk toh akan
mengusirnya lambat atau cepat. Hati kecilnya mengatakan tipis sekali harapan ia dapat bantuan dari pak lurah....
Ha! pak lurah! Mengapa ia tidak coba mencari mulai dari arah sana ke hulu" Bukankah jeritan itu ia dengar di bagian sana" Jeritan-Jeritan siapa" Memang wanita, Lilakah"
Tetapi Lila sudah mati seminggu yang lalu lantas jeritan siapakah yang ia dengar tadi" Ataukah hanya hallusasinasinya saja"
"Persetan". ia memaki. "Biar hallusinasi, kalau itu jerit arwah isteriku, aku tak perduli!"
Atau, siapa tahu kalau ia bisa menolong seseorang yang saat itu membutuhkan bala bantuan" _
Dengan kemungkinan-kemungkinan yang simpang siur itu, ia kembali ke tempat di mana tadi ia berdiri. Tetapi tepat di puncak batu besar berujung runcing. di mana lumpur yang memercik dari pakaiannya yang basah terjatuh kesana, masih membekas. Pada saat itu, hari sudah menjelang subuh. Kokok ayam mulai bersahut-sahutan dari arah kampung, dan bulan pucat semakin pucat, namun cahaya subuh yang remang-remang semakin memperjelas pandangan matanya.
Parman menatap jauh ke hulu.
Tetap saja ia tidak melihat seseorang atau sesuatu yang mencurigakan. Agak kecewa, ia tengadah. Betapa perih matanya. Dan tiba-tiba ia tertegun. Diam.
karena tengadah. matanya telah menangkap sesuatu yang menari di tebing batu yang sekaligus menjadi pundamen yang kukuh dari bagian belakang rumah pak lurah yang bertingkat. disalah satu ujung batu tebing, tersangkut secarik kain yang warnanya sudah tidak karuan hanya bisa dilihat oleh orang bermata tajam.
Dalam sedetik. Parman telah terjun ke sungai.
Ia berenang ke bagian yang dalam, kemudian menepi persis dibagian bawah tebing pundamen rumah orang kampung yang paling terhormat itu. Dengan susah payah ia merangkak memanjat tebing yang curam itu dengan_mengandalkan ujung-ujung batu cadas yang tersembul dari tembok tebing.
Ia sudah kepayahan ketika tiba dibagian mana carikan kain tadi tersangkut. Ternyata bukan pada ujung cadas, melainkan pada ujung sebuah kayu bekas akar pohon yang patah.
Setelah memasukkan benda itu ke balik kemejanya, ia tidak lagi merayap turun. Melainkan, mendoyongkan tubuh sedikit ke depan, kemudian terjun ke bawah. Tubuhnya mencebur di bagian yang dalam. Ia biarkan dirinya hanyut di bawa air. dan kemudian tidak jauh dari tempat mandi kaum wanita ia kemudian merangkak ketepi. Beberapa menit ia duduk melepas lelah. Setelah itu berjalan menuju ke rumah. Disana, Benda yang ia temukan ia dekatkan pada lampu. Benda itu ternyata
Jeritan Pintu Kubur Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebuah beha "Kutang. Lila!". sungutnya dengan wajah pucat
*** DI RUMAHNYA, pak lurah meluncur menuruni tangga kemudian bergegas memanggil manggil pelayannya.
"Tutupkan tingkap atas, bangsat!', ia memaki kalang kabut. Terheran-heran. Bejo naik juga ke atas, menutupkan tingkap yang terbuka dan kembali ke bawah, disana ia lihat majikannya meringkuk di tempat tidur. Seluruh tubuhnya terbenam dalam selimut yang tebal. Namun jelas terlihat bagaimana tubuh pak lurah gemetar hebat. dan suaranya menggigil seperti orang di jangkiti malaria.
*** TIGA PARMAN BERDIRI tegak dipekarangan rumah pak lurah.
Seluruh wajah sampai Ketelinganya merah padam.
"Pak lurah !", ia berteriak memanggil .
Suara teriakannya yang keras melengking seketika memecahkan kesepian subuh hari itu. Beberapa orang penduduk yang masih enggan bangun karena udara yang dingin, mau tak mau terloncat dari tempat tidur kemudian berlari keluar rumah. Atau memperhatikan dari balik pintu. Tak sedikit pula yang mengintai dari jendela.
"Pak lurah! Keluar kau, laki-laki jahanam!"
Tak terdengar sahutan. Penduduk yang memandang, jadi penasaran. Ada apa pagi-pagi bekas perampok itu memanggil-manggil lurah mereka" Sesubuh ini pula lagi. Hari masih berkabut. Alangkah dinginnya. Uap panas yang membara hanya bergejolak dalam diri satu orang. Parman, yang berdiri mengkangkangkan kaki di halaman rumah pak lurah.
Ia kemudian menyambar sebuah batu besar.
Mata semua orang terbeliak. Batu itu melayang di udara, menghempas dengan keras di jendela rumah pak lurah. Bidang kaca berwarna gelap dari luar terang dari dalam, yang termodern dan termegah di kampung itu, seketika pecah berantakan mengiringi suara yang gegap gempita dari batu besar yang kemudian menggelinding di ruang tamu, menghantam apa saja yang ada di dalam.
Hanya orang yang bertenaga dalam yang tinggi yang bisa melakukan hal itu. Namun Parman bukanlah seorang jagoan. Tenaganya mendapat dorongan dari amarah dan kebencian yang meluap-luap.
Suara yang hiruk pikuk itu, selama beberapa saat berikutnya digantikan oleh kesepian yang menyentak. Bahkan ayam yang tadi ribut berkokok maupun berkotek, pada bungkam. Sedang burungburung yang bercuit bersahut-sahutan di pepohonan, tidak ada lagi yang berani bernyanyi. Semua diam. Semua tegang. Semua menunggu. Tetapi tak lama.
Seorang keluar dari pintu besar hitam di bagian samping rumah. Ia bukan pak lurah. Melainkan Bejo, yang melangkah tegap mendatangi Parman. Yang di datangi diam tidak bergerak, sementara mukanya yang merah berubah semakin kelabu.
"...mau apa kau?", geram Bejo. Parman meludah.
"Aku tidak membutuhkan kau. Bejo, aku Panggil majikanmu "
"la tidur." Parman tertawa. "Kalau tak salah, batu yang kulemparkan juga mengenai pintu kamar tidurnya Tak beranikah ia bangun untuk menghadapi tangan salah Seorang penduduknya?"
"Jangan menghina!"
"Majikanmu memang hina. Seorang lakilaki bi-sex, berpelayankan seorang laki-laki homo sex. Panggil keluar pak lurah. dan kau cari saja laki-laki lain untuk jadi mainanmu!"
Kepala yang gundul licin itu, berkilau kemerah-merahan.
"Haram jadah!", makinya dan meninju kedepan Parman yang sudah tahu akan di hadapkan pada pelayan itu mengelak dengan cepat. Demikian cepat dan demikian tiba-tiba. sehingga pelayan yang sedang diamuk amarah itu terdorong kedepan. Tubuhnya tidak bisa ia imbangi lagi. Terdengar suara berdebuk yang riuh diatas tanah berkerikil .Bejo mengaduh kesakitan. Dengan sigap ia bangkit lagi, tetapi Parman sudah maju ke depan. Cepat sekali.
"Aku sudah banyak latihan dipenjara, Bejo", bentaknya mengiringi hantaman lutut yang deras kedagu Bejo. Pelayan itu terdongak, lantas terhempas kebelakang oleh sesudah tinju Parman yang tubuhnya jauh lebih kecil dari Bejo. Kekuatan yang membahana dibalik tubuh yang besar dan perkasa itu ternyata tidak dibarengi dengan kelihaian otak dan pengalaman. Selama bertahun-tahun bekerja dengan
pak lurah, tidak seorangpun yang pernah menjamah tubuh Bejo. Karena tidak punya urusan. Kalaupun ada, karena tidak punya keberanian!
Sekali dua ia dapat pula menyarangkan pukulannya ketubuh Parman sehingga pembuat gaduh disubuh itu beberapa kali sempat terbanting-banting. Tetapi pengalaman sebagai seorang perampok dan bekas narapidana menguntungkan baginya. Ia hanya perlu mengelak dan mengelak sambil melayangkan pukulanpukulan berbahaya sehingga Bejo akhirnya terhempas kandas kelelahan. Tidak ada luka-luka atau biru lembam bekas pukulan di wajah maupun tubuhnya. Sebaliknya dengan Parman. Ia masih bisa tegak memandangi lawannya yang menggeliat di tanah. Namun hidung Parman berdarah, dan sebelah matanya membiru.
"Sudah", maki Parman. Tersenggal senggal. "Sekarang panggil! keluar majikanmu yang berkutuk itu!"
Bejo mengumpat-umpat. Namun tidak kuasa berdiri.
Terdengar tawa parau dari mulut Parman. Lantas ia berjalan tertatih-tatih kearah pintu rumah yang terbuka. Ia baru saja menginjak lantai terras ketika beberapa orang penduduk meloncat keluar dari rumah dan berlari memasuki halaman rumah pak lurah.
"Tahan, dia!" seseorang berseru.
Parman tertegun. Waktu ia membalikkan tubuh. ia lihat belasan orang telah mengepungnya. Ia menyeringai
Kesal dan marah. "Mau apa kalian?"
pak Angga yang berdiri paling depan. meludah.
"Jangan sekali-kali kau jamah tubuh pak lurah!" umpatnya.
Mata Parman menyipit. "Kenapa pula ia harus kalian bela?"
"Terkutuk. Sudah tahu diri bekas perampok, masih menghina orang-orang terhormat"
"Terhormat?", Parman tertawa berkakakan. "Pak lurah yang pengecut dan tidak berani memperlihatkan muka itu. kalian katakan terhormat?"
Pantas, sambil mencerca begitu Parman mengeluarkan kutang perempuan yang lusuh dari balik kemejanya yang basah oleh keringat.
"Kalian lihat!", ia menggeram. Matanya berkilat memandangi orang-orang yang pernah menjadi tetangga-tetangga baiknya tetapi kini mengepung untuk mengeroyoknya
"...ini kutang isteriku. Kutang Lila' Kalian dengar" ini kutang Lila!
Semua orang terdiam seketika
Semua mata, membulet melihat kutang lusuh ditangan Parman.
Pak Angga batuk-batuk kecil
"Apa hubungan kutang itu dengan kegaduhan yang kau buat " "tanyanya
"Kutang ini tersangkut ditebing belakang mmah ini!".
"Lantas?" Mata Parman merah menahan marah dan kesal.
"Bodoh!". gerutunya. Tak sabar... ltu artinya, isteriku jatuh atau dijatuhkan orang dari terras belakang dibagian atas rumah ini"
"Tak mungkin.". beberapa mulut menggumam.
"Mengapa tidak" Apa kalian pikir Lila merangkak dulu dari sungai, naik ketebing baru menjatuhkan diri?"
"Kau menghasut!"
"Aku mengemukakan fakta!"
"Kau menghasut. Karena kau mau di usir dari kampung ini dan pak lurah tidak berdaya menghadapi keinginan seluruh penduduk, kau lantas menghasutnya. Orang haram. Perampok. Buangan. Mana kami mau percaya pada ucapan-ucapan kotor seseorang yang menggerutu tak berkeputusan. "Kau hina orang paling terhormat dan budiman dikampung ini. Bertahun tahun ia jadi lurah disini. Tanpa cacat tanpa cela.
Bertahun-tahun ia mengeluarkan uang untuk mendirikan sekolah. Membangun madrasah. Memperbesar mesjid. Menyumbang penduduk yang tidak mampu. Orang'sebaik itu, kau tuduh pembunuh dan pemerkosa?"
Suara-suara mengumpat berkecamuk di sekeliling Parman.
"Kekayaan pak lurah didapat dari merampok!", ia berteriak mengatasi suara berkecamuk itu. "Ia yang membiayaiku kesana kemari dari
tahun ketahun. hasil usahaku sebagian besar ia ambil untuk dirinya sendiri. Apa yang ia sumbangkan pada kalian, hanya satu dua sen dari kerja sama kami!",
"Puih !", pak Angga meludah. Mukanya merah padam pula.
"Ia sudah semakin menghasut. anak-anak. Usir dia dari kampung ini!"
Hanya dalam beberapa menit kekacauan itu menjadi reda. Perlawanan Parman yang sudah gelap mata, toh tidak sebanding dengan amukan belasan laki-laki yang ganti berganti menghantam serta menghambat langkah tubuhnya kesana kemari. Pakaiannya sudah robekrobek dan disana sini berlumur darah sementara mukanya sudah mulai tidak berbentuk. Dalam hati ia memangggil nama isterinya Mengeluh:
"Akan matikah aku sekarang. Lila?".
*** PARMAN tidak mati. Ia hanya hampir mati, ketika terdengar suara pak lurah yang keras tetapi lembut berwibawa:
"Sudahlah, saudara-saudara!"
Terdengar suara-suara nafas lelah. Semua mata memandang ke pintu. Di sana, pak lurah berdiri tenang. Bersandar ke bendul pintu .Wajahnya pucat, tetapi mulutnya tersenyum. Ia mengenakan kain sarung dan berpeci.
"...aku sedang sembahyang subuh ketika
ribut-ribut ini terjadi," katanya dengan tenang Tenang sekali. "Barusan sempat kudengar apa yang dikatakan oleh Parman. Percayakah kalian?"
"Tidak. Tidak. Tak mungkin," ia dengar suara-suara bergumam. Aku tahu kalian tidak percaya. Kasihan anak malang itu. Mungkin karena dipenjara, ia shock. Dan setelah isterinya mati. pikirannya jadi engga karuan. Ia mengatakan yang bukan-bukan. Harap kalian maklumi hal itu, saudara-saudara. Hentikan kegaduhan ini. Aku tak mau salah seorang pendudukpun tangannya dikotori oleh darah. Kalian tidak boleh jadi pembunuh!"
Semua diam. Terpekur. Bahkan ada yang menjadi malu.
Banyak orang telah keluar dari rumah.
Berkerumun di depan pagar pak lurah. Ayam-ayam sudah bertaburan di sana sini. Burung telah kembali bernyanyi. Seekor kambing mengembik. Dan beberapa ekor kerbau melenguh di gelandang oleh seorang anak kecil.
"Sekarang begini," melanjutkan pak lurah. "Keinginan kalian untuk mengusir Parman, apa boleh buat Terpaksa dengan berat hati kukabulkan. Tetapi tidak dengan cara yang kalian lakukan. Sayang, aku terlambat menengahi .Tetapi sudahlah. Apa guna menyesal. Aku maklum luapan kemarahan kalian..." ia berhenti sebentar.
Menarik nafas panjang. Lantas:
"Kalian bawalah Parman ke klinik. Bila
besok ia cukup kuat kalian antar ke batas desa dan katakan jangan ia coba-coba kembali ke sini. Pergilah. Akan kuberikan sejumlah uang untuk biaya pengobatan anak yang malang itu...!"
Sambil mendorong tubuh Parman yang babak belur dan pingsan ke klinik, pak Angga mengeluh:
'Apa kubilang" pak lurah tidak akan ada tandingan dalam soal berderma dan soal budi di kampung ini. Mungkin juga di kampungkampung lain. Apalagi di kota. Hem, anak ini," ia menggeleng-gelengkan kepala memandangi tubuh Parman. "Benar tak tahu diuntung!"
Di rumahnya, pak lurah termangu-mangu.
Bejo berjongkok kelelahan disebelahnya.
"Tahukah kau apa keinginanku, Bejo?"
tanya pak lurah. . Bejo memandang, kemudian menggeleng pak lurah tersenyum. Dingin. Katanya:
"Pergilah nanti malam ke klinik. Jangan sampai ada yang lihat. Dan bunuh si Parman!"
*** EMPAT PARMAN TERLONJAK Kaget. la mengerang sesaat diserang rasa perih yang teramat sangat sekujur tubuh terutama diwajah yang penuh pembalut. Nanap, ia memandang ke jendela. Ia sempat tersadar tadi siang, kemudian pingsan lagi. Ia sadar kembali sore harinya. Karena ingin tahu di mana ia berada, Parman ingat betul jendela kamar klinik di mana ia rawat, tetap tertutup. Rapat.
Kini, jendela itu terbuka. Mengapa lebar.
Bunyi jendela yang menghempas ke dinding itulah yang menyadarkan Parman dari serangan kantuk yang luar biasa-dan kelelahan yang mengesalkan. Mata Parman mencari-cari. Liar. Namun ia tidak melihat kehadiran seseorangpun.
Baik di dalam kamar maupun di luar jendela. Ia terengah dan menggigil waktu angin yang keras menampar wajahnya.
Dengan susah payah, Parman turun dari dipan.
Sakit sekali sekujur tubuhnya.
"Terkutuk mereka semua," ia memaki-maki sendiri, "Hampir saja tulang-tulangku mereka remukkan!"
Seraya memaki ia terus merangkak ke pinggir jendela. Bermaksud menutupkannya Dan'
?"kang!" Parman terdongak. "Kang Parman!" Seketika itu juga, Parman menghambur ke
jendela. Berpegangan dibendulnya. Memandang keluar dengan mata membesar. Gelap sekali. Mula-mula ia hanya melihat kabut tipis yang bergerak perlahan-lahan. Ia juga melihat dedaunan berguguran dari cabang-cabang pohon yang bergerak lambat-lambat. Lantas. dari tengah kabut yang tipis itu, menjelma kabut lain Yang lebih tebal. Mata Parman kian melotot Dan kabut itupun kian tebal. _
"Kang?" Parman menggeleng-gelengkan kepala. Keras-keras. Sakit bukan alang-kepalang tetapi ia tidak perduli.
"Mungkinkah?", ia berbisik.
Dan kabut menebal tadi berjalan kearah tepi jendela. Semakin lama semakin dekat. semakin jelas. Tidak. Parman tidak bermimpi. Di depan biji matanya, ia melihat Lila muncul dari tengah-tengah kabut. Isterinya yang malang itu hampir-hampir tidak berpakaian sama sekali. Blusenya tinggal setengah, sedangkan salah satu tali kutangnya lepas. Payudaranya Lila agak menyembul ke luar .Sebelah payudara itu membiru. Jelas terlihat karena kulit Lila yang putih gemerlap.
"Jahanam itu menggigit dadaku kang "
bisikan yang hilang timbul. Hilang timbul itu seperti helaan nafas yang menyapu telingga Parman." "Balaskan sakit hatiku, kang. Balaskan sakit hatiku!"
Lantas bayangan Lila menjauh. Menjauh dan menjauh.
Barulah Parman tersadar. "Lila!", ingin ia menjerit. Memanggilmanggil isterinya. Namun lidah Parman kelu. Hanya keluhan pendek saja yang keluar.
'Jangan...", ia mengerang. "Jangan kau tinggalkan aku, Lila...!" _
Kemudian, dengan mengerahkan sisa-sisa tenaganya ia merangkak memanjat jendela. Malang, kekuatan Parman belum pulih.
Tiba di tepi jendela, ia jatuh terhumbalang ke bawah. Berguling-guling diantara barangbatang pohon buah-buahan di atas rerumputan bertanah lembut yang menurun. Beberapa kali Parman mengeluh dan merintih kesakitan. Salah satu rusuknya membangkitkan kengiluan yang amat sangat waktu membentur sebatang pohon.
Parman terhenyak. Lama. Ia kira ia kembali pingsan. Tetapi tidak. Suara mendesau-desau dari balik pohon memaksanya membuka mata. Parman merangkak sedikit, berpegangan ke pohon itu.
Dan tiba-tiba ia membalik, berguling kembali ketempat semula. Ternyata disebelah sana pohon, terdapat jurang yang menganga diantara semak belukar yang rimbun. Untunglah ia mengenali sungai yang mengalir di bawah sana. Kalau tidak ia tentu akan terus mengejar bayangan Lila yang menghilang ke arah semak belukar itu.
"Ya Tuhan!", ia mengucap.
Lalu berusaha bangkit. Ia harus kembali ke klinik, karena salah satu luka di kakinya mengucurkan darah. Kepalanyapun berdenyutdenyut. Mungkin pukulan orang-orang kampung itu telah merekahkan batok kepalanya.
Parman memaki dan memaki lagi. Tak berkeputusan. Kaki kanannya yang luka berat itu membuat ia tidak bisa berdiri. Mau tidak mau ia merangkak kearah klinik dimana ia bisa membangunkan salah seorang perawat jaga di sana untuk menolongnya dari kematian karena kehabisan darah. Belikatnya lagi aduh!
"Krasak!" Parman tertegun. Liar, matanya mencari lagi. Suara itu datang dari arah jendela klinik. Seperti ranting terpijak. Kemudian sepi. Hanya deru angin malam saja yang menyambar-nyambar ribut. Tampaknya akan badai. Lila-kah. Dengan penuh harap, Parman kembali merangkak. Hatihati. Ia tidak boleh kehilangan Lila untuk kedua kalinya malam ini.
Ia harus mencapai jendela, melihat istrinya itu. memeluk dan menangis diharibaannya, menanyakan mengapa ia begitu cepat mati dan siapa yang menyebabkan kematiannya!
Tetapi niat Parman tidak kesampaian.
Yang ia lihat didepan matanya, bukan bayangan Lila yang berpakaian tidak karuan dan setengah telanjang. Melainkan bayangan sesosok tubuh tinggi besar. Mengenakan pakaian hitam pekat. Sesosok itu mendempet sepanjang dinding klinik menuju jendela kamar Parman. Dengan kecut, Parman memandang ke jendela itu. Matanya berbelalak. Aneh. Jendela kamar Parman telah terbuka kembali. Mungkin karena dihempaskan angin.
la alihkan lagi pandangan matanya ke arah sesosok tubuh tadi, sambil meringkukkan tubuh dibalik bayang-bayang semak belukar. Orang misterius itu telah mencapai jendela. Lantas mengintai ke dalam. Percuma, tentu saja. Karena kaca jendela kabur dibasah kabut. Hatihati, orang tadi mulai mencukil pinggir jendela. Berderik-derik bunyinya. Tak lama kemudian jendela terbuka. Didorong perlahan-lahan. Kemudian diam. Menunggu.
Tidak ada reaksi. Sesosok tubuh tadi lantas merangkak menaiki jendela masuk kedalam.
Ditempatnya bersembunyi. Parman terhenyak. Menunggu dengan tegang. Apa yang akan dilakukan orang itu" Siapa dia" Mengapa harus ke kamar Parman" Sembunyi-sembunyi pula lagi" Dan tengah malam buta begini, selagi petugas-petugas klinik dan semua penduduk kampung terlelap dalam buaian tidur yang nyenyak diserang hawa dingin"
tak lama ia dengar suara ribut di dalam, disusul oleh caci maki:
"Jadah! anak jadah si Parman itu!"
Parman tersenyum. Bejo! gumamnya sendirian. "Tentu di suruh pak lurah!"
Bejo cepat-cepat keluar dari kamar Parman dan sesaat menyalangkan mata disekitar halaman belakang klinik. Namun ia tidak melihat apa-apa, kecuali kegelapan dan kabut menyelimut. Sambil menghentak-hentakkan kaki ke tanah menimbulkan suara berdebum-debum ditelinga Parman yang diam tergeletak dipersembunyiannya, Bejo mengumpat-umpat:
"Dimakan setanlah hendaknya si jadah itu!"
Setelah mengumpat kesal demikian. Bejo kemudian menghilang disamping klinik.
Parman menarik nafas. "Kau menolongku lagi, Lila-ku sayang' ucapnya dengan nafas lega.
Beberapa saat lamanya, ia terbaring di atas rerumputan yang basah oleh embun. Otaknya berputar cepat. Setelah itu, ia berusaha berdiri Susah sekali. Udara yang beku mungkin telah menghentikan darah keluar dari kaki kanannya. Terpaksa Parman berjalan menyeret-nyeret se belah kaki, kadang-kadang merangkak, istirahat sebentar, merangkak lagi, berjalan menyeretnyeret kaki. "Begitu terus. Semakin lama semakin jauh ia dari arah klinik .
*** "kemana ia tadi ?"
Bejo panik dan panik. Wajahnya yang basah oleh keringat, merunduk lesu.
"Jadi Parman lari" celetuk majikannya seraya menekan puntung serutu ke asbak. Abunya bertebaran dan asapnya menyapu hidung Bejo.
"Ada yang melihat kau?"
"Tidak," sungut Bejo.
"Hem. Jadi si Parman lari" Ia telah menduga ada yang akan kita lakukan atas dirinya. Setan benar. Coba tadi pagi kubiarkan saja orang-orang kampung mengeroyoknya sampai mati seperti cacing!
Lelaki setengah baya itu kemudian berdiri. Ia melangkah ke arah kamar tidur. Tetapi di depan pintu kecil, ia tertegun. Lantas membalik. Memandang tajam pada pelayannya yang bertubuh kekar itu.
"Bejo!" "Ya?" "Sudah kau dengar bagaimana perkembangan bayi anak Nyi Saodah yang sakit itu?"
"Semakin payah. Pak lurah," .
"Ada harapan hidup?"
"Kata mantri, tak mungkin lagi di tolong Kemungkinan besar malam ini sudah mati!"
Sepasang mata pak lurah berkilat. la bertepuk-tepuk. Puas.
"Malam apa ini, Bejo"
"Jum'at, pak lurah."
"jum'at apa" "Kliwon, pak lurah."
Pak lurah manggut-manggut. Puas. Bayangan kekesalan karena kehilangan Parman telah lenyap sama sekali dari wajahnya. Ia tersenyum. Gembira. Matanya menatap memandangi pelayanannya yang masih berdiri terpekur-pekur ditempatnya semenjak tadi. Ia pandangi tubuh Bejo dengan mata liar, menjelajahi dari ujung rambut ke ujung kaki, berhenti di beberapa bagian tubuh yang kukuh itu, kemudian menjilat ludah.
"...Bejo?" suara pak lurah berubah parau.
"Ya?" "Masuklah ke kamar tidurku."
Seketika. kemasgulan di Wajah Bejo karena gagal melaksanakan perintah majikannya, ikut pula lenyap. Ia memandang tubuh pak lurah yang berjalan melenggang ke kamar tidur. Seperti yang dilakukan majikannya itu, Bejo pun memandangi pak lurah dari ujung rambut ke ujung kaki menjilat bibir waktu memandang lenggang punggung pak lurah sebelum hilang di dalam kamar.
Bejo dengan cepat berjalan kesebelah kanan ruangan. Dari dalam sebuah rak ia keluarkan sebuah botol besar. Etiketnya menandakan botol itu berisi bier. Dengan giginya. Bejo melepaskan tutup botol. Meneguk isinya dengan leher meleguk-leguk. lsi botol itu habis hanya dalam sekali teguk. Bejo menutupkan rak, meletakkan botol bier yang telah kosong seenaknya di atas sebuah kursi Kemudian ia
memandang ke pintu kamar tidur majikannya. Matanya berkilat, sedikit kemerah-merahan.
"Malam yang dingin ya, pak lurah?" ia tersenyum.
Kemudian tertawa cekakakan. Lantas berjalan ke arah pintu kamar tidur majikannya, seraya melepaskan kemeja . kemudian celananya. Tiba di kamar tidur majikannya ia lihat laki-laki setengah kaya itu telah berbaring di atas ranjang. Pak, lurah memakai selimut tebal, Bejo yakin majikannya'itu tidak mengenakan pakaian sama sekali. Mereka berpandangan beberapa lama. tanpa berkedip Pak Lurah gemetar waktu Bejo pelan-pelan naik ke atas tempat tidur dan menarik selimut yang dipakainya.
*** LIMA IBU LASMI mendengar suara ketukan halus dipintu disusul suara berdebum benda berat terjatuh. Perempuan itu terkejut, dan dengan hati-hati ia melangkah kepintu. Sesaat ia mendengarkan, tak ada suara apa-apa.
Ketika pintu ia buka, dihadapannya tergeletak sesosok tubuh. Berpakaian compangcamping, kotor lumpur bercampur darah kering. Wajah dan kepala hampir tertutup seluruhnya oleh pembalut setelah berjongkok baru ia kenali siapa orang itu.
"Parman!" serunya kaget.
Mata Parman tertutup rapat namun mulutnya menganga. Ia bernafas tersengal-sengal. Ibu Lasmi segera menyeret tubuh Parman masuk ke dalam rumah. Kemudian ia berlari lagi kepintu. Memandang keluar sesaat. Lantas menutupkan pintu cepat-cepat. Lantas berlari lagi kearah Parman yang tengah berusaha untuk duduk dengan susah payah.
"Parman. Apa yang terjadi" Mengapa kau sampai begini?", tanya ibu Lasmi bcrtubi-tubi seraya membantu Parman berdiri, membim
bingnya kekamar dan kemudian menidurkan laki-laki itu diatas tempat tidurnya sendiri. Lambat-lambat Parman mengucapkan terima kasih. Kemudian jatuh tertidur. Ibu Lasmi memandangi tamunya yang datang secara aneh sesubuh begini. Masih dengan mata tidak percaya. Waktu tadi ia mendengar suara benda berat jatuh didepan rumahnya ia kira maling mula-mula. Sampai ia dengar suara patah-patah meminta tolong.
"Parman, Parman!", gumamnya. Lantas geleng-geleng kepala. Cuma itu yang bisa ia perbuat.
Waktu Parman membuka matanya, hari sudah siang.
Menoleh kejendela yang terbuka, ia lihat ibu Lasmi tengah membalikkan sebuah kasur diatas jemuran yang disusun dari dua buah kursi. Parman menoleh lagi. Tempat tidur dimana ia terbaring rupanya berkasur dua. Salah satu kasur berada dibawah punggungnya yang masih-masih sakit-sakit. Yang lainnya tengah di jemur ibu Lasmi. Dilantai, Parman melihat sehelai tikar terhampar Ibu Lasmi dilantai pada malam itu.
Parman menghela nafas. Tidak mengerti.
"Mengapa ibu lurah tidur dilantai?", tanyanya ketika perempuan setengah baya itu tak lama kemudian masuk seraya membawakan segelas kopi susu panas untuk Parman.
Ibu Lasmi tersenyum. Ramah.
'"minum, Parman. Itu lebih baik bagimu. dari pada mengajukan pertanyaan yang tidak perlu".
"Mengapa tak sama-sama diranjang?"
"Kau mau minum apa tidak?", ancam ibu Lasmi dengan mata ancaman, namun melihat pandangan mata perempuan itu akhirnya ia mengalah. Ia kemudian meneguk minuman yang disodorkan siperempuan langsung kemulutnya. Ia hidup dengan kenikmatan yang tidak tiada tara, tersenyum puas karena minuman itu serasa menghilangkan seluruh rasa nyeri disekujur tubuhnya.
"Melihat keadaanmu, Parman, kau bukan datang dari rumah sakit dikota. Kau tentu baru dari klinik. Karena agak berlumpur, bukan,-pula klinik didesa ini!" _
"Aku dari kampung kita tadi malam".
"Siapa yang memukulimu disana?"
'Orang kampung, siapa lagi".
"Tetapi mengapa?".
".,..karena mereka tahu aku seorang perampok".
"Kudengar kau telah masuk penjara. Kapan kau keluar?".
"Baru". "lantas mereka pukuli kau. Merampok lagi?".
"Kata mereka, menghina".
"Siapa?". Parman memandangi wajah siperempuan sejenak, lantas:
"Pak lurah". Namun tidak ada reaksi apa apa diwajah perempuan itu.
"Mengapa tak kau katakan saja ia yang paling banyak makan uang hasil rampokan mu?".
Parman tertawa. "Ibu tahu, mereka tak akan percaya".
Ibu Lasmi tersenyum. Lirih. Kemudian angkat bahu.
"Makan ya?". "Kebetulan. Sejak kemaren aku cuma makan Tinju dan tendangan orang orang kampung".
Ibu Lasmi membantu menyodorkan nasi kemulut Parman tidak sampai lima menit berikutnya. Selama itu mereka diam. Hanya mata Parman yang tidak mau diam. Sepasang matanya liar, menjelajahi sekujur tubuh ibu Lasmi. Usia perempuan itu lebih tua sepuluh tahun diatas umurnya sendiri, tetapi masih tampak berisi. Tiada kerut merut kedukaan diwajahnya, sehingga Parman berpikir pikir apa yang kira kita bisa membahagiakan .siperempuan semenjak ia menetap didesa ini, setengah jam perjalanan dengan jalan kaki dari kampung asal mereka bersama.
"Ku lap dengan air hangat ya?", tanya ibu Lasmi selesai menyuapi Parman. Selama pe rempuan itu melap tubuhnya, Parman tidak mengeluh sama sekali. Ia memang merasa kesakitan, namun matanya yang menjilati payu dara perempuan itu dibalik kebaya yang
kancing bagian atasnya terlepas, benar-benar pemandangan yang merupakan impian semata selama ia mendekam dibalik jeruji besi. Dada lbu Lasmi masih penuh dan Parman merasakan betapa hangatnya dada itu. Dulu.
Ketika itu Parman masih bujangan.
Ia belum menikah dengan Lila. Malah belum pernah memikirkan seorang perempuan secara serius. satu satunya perempuan yang pernah jadi pikirannya, hanyalah ibunya. Tetapi ibu Parman sudah meninggal diserang malaria ketika Parman baru saja menginjak usia remaja. Ayahnya menyusul tiga tahun berikutnya. karena kanker di dada jatuh melarat karena harta habis di pakai membayar biaya perawatan sang ayah selama menderita kanker yang ternyata sia-sia karena toh ayahnya akhirnya mati juga, Parman kemudian bekerja sebagai pelayan di rumah lurah.
Baru sebulan bekerja ia sudah digoda.
Bukan oleh ibu Lasmi, isteri lurah. Akan tetapi oleh pak lurah sendiri. Seorang laki-laki seperti Parman. ia tak mengerti mengapa suatu hari pak lurah menyuruh berjongkok diatas tempat tidur setelah lebih dulu diharuskan pula membuka celana. Baru ketika pak lurah membuka celananya sendiri dan kemudian naik ketempat tidur, Parman mulai curiga. la berlari keluar dan bersembunyi didapur.
la sembunyi sampai tengah malam di dapur itu. sampai ibu Lasmi menemukannya dan kemudian menyuruh Parman kembali kekamar
nya sendiri. Tetapi ibu Lasmi bukan sekedar menyuruh saja. Ia juga mengantarkan Parman. Sampai kedalam kamar.
Bahkan menutupkan pintu sekalian. Lantas membuka pakaian yang melekat ditubuhnya seraya menciumi wajah dan mulut Parman bertubi-tubi. Alangkah jauh perbedaan pengaruh antara tubuh pak Lurah dan ibu Lurah yang sama-sama telanjang, atas diri Parman.
Ibu Lasmi tersentak Dengan wajah merah ia tepiskan cepat-cepat tangan Parman yang meraba pahanya yang tersembul dari balik kain ketika berjongkok untuk meremas air hangat pada lap.
'Jangan begitu, Parman. Tak baik' gerutunya.
Mata Parman yang kelopaknya masih membiru, terbelalak heran.
"Kau sudah beristeri. Parman" menjelaskan ibu Lasmi.
Seketika, Parman menjadi pucat. Matanya kuyu.
"Lila sudah mati', bisiknya, parau.
"Aku juga dengar. Aku ikut berduka cita, Parman. Tetapi kematian isterimu tidak lantas berarti kau boleh menjamah tubuhku".
"Maafkan aku bu lurah..."
Perempuan itu tersenyum. Menghibur.
'Jangan sebut-sebut lagi aku ibu lurah.
Kau tahu, kami, telah bertahun bercerai! Itupun tidak berani sembarang lelaki boleh menjamah tubuhku karena aku telah menjanda?"
Lesu, Parman menyela: "Sudah ada laki-laki tertentu, bu Las?"
'Tak lama lagi". "Boleh aku tahu, siapa?"
"Ah. malu. Nanti saja. Yang jelas, ia bukan seorang perampok seperti suami yang pertama. Pula bukan seorang laki-laki yang tidak saja menyukai perempuan akan tetapi tak kuat menahan nafsu melihat kaum sejenisnya sendiri...", wajah ibu Lasmi keruh.
"Kalau kuingat semua itu Parman, aku benar-benar takut sama laki-laki. Ketakutan itulah yang mendorongku untuk pernah merayumu. Lantas bersetubuh denganmu di rumah suamiku sendiri, benar-benar pelampiasan kebencian yang ditimbulkan suamiku karena memergoki dia bersetubuh. Bukan saja dirumahku, akan tetapi terutama karena lawan bersetubuhnya justru laki-laki seperti kau".
Lantas ia menggeleng-gelengkan kepala. Susah.
"Tetapi yah. Sudahlah", ia tersenyum lagi. 'Semua telah berlalu, bukan" Nah. Parman Gantilah pakaianmu. Dirumah ini banyak pakaian. Punya suamiku yang akan datang, Mudah-mudahan ia tidak kecewa kalau sepasang pakaiannya kukenakan ketubuh seorang laki-laki lain'.
"Ia orang kampung ini juga?"
"Bukan. Tetapi karena sering urusan jual beli keluar masuk kampung dari tempat tinggal
nya dikota, ia sering mampir diwarung nasi yang kubuka. Mula-mula tertarik pada masakanku, kemudian pada anak perempuanku yang masih kecil. lama kelamaan, ia tertarik padaku. Anak perempuanku ia bawa kekota, ia sekolahkan disana dan tinggal bersamanya menanti aku benar-benar melupakan masa laluku dan mulai kembali menyukai seorang laki-laki...".
"Ibu perempuan yang beruntung".
Ibu Lasmi berdiri. Katanya:
"Luka lukamu lumayan. Terutama itu yang dikaki kanan. Kebetulan hari ini suamiku biasanya singgah disini sebelum pulang kekota. Kau ikut dengannya ya?".
"Untuk disekolahkan?"
'Kerumah sakit, tolol!"
Parman menggeleng kepala!"
"Kau memerlukan perawatan kusus" rungut ibu Lasmi.
Jeritan Pintu Kubur Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lila juga memerlukannya".
"Isterimu sudah mati. Parman."
"Tetapi arwahnya memerlukan perhatian yang khusus. Aku tidak bisa meninggalkannya. Ia bahkan sempat datang tadi malam kekamarku diklinik'.
"Omong kosong!"
"Sungguh, bu Las. Karena ia datang, aku selamat dari maut yang datang bersama si Bejo'.
"Bejo"'. bu Lasmi terpana.
"bejo?" Atas suruhan lurah, tentu saja"
Ibu Lasmi terdiam lama. Lantas berkata serius:
"Kalau begitu, kau harus kekota. Pak lurah akan terus mengejarmu. Pasti bukan sematamata karena kau satu-satunya orang lain yang tahu siapa ia sebenarnya. Entah persoalan apa, tetapi kau harus lari".
"Tidak. Pak lurah tak akan tahu aku bersembunyi dirumah ini.''
"Tetapi calon suamiku nanti...", ibu Lasmi kebingungan. "Berikan alasan apa saja, bu Las. Atau akan kuceritakan padanya siapa pertama yang memperkenalkan kehangatan tubuh perempuan padaku!", rungut Parman. Kasar.
*** ENAM SEORANG PEREMPUAN tua berjongkok didepan makam Lila.
Diam. Mematung. ' Tak terdengar suara apa-apa. Kecuali berisik dedaunan dan keresek batang-batang bambu ditiup angin. Bulan pucat di langit kemudian menerangi sesosok tubuh keluar dari balik timbunan bambu. Ia menyeret-nyeret sebelah kaki dengan bantuan tongkat kayu.
Lama ia tegak dibelakang perempuan itu. Baru membungkuk. Hatihati pundak siperempuan ia jamah.
Yang dijamah menoleh. Tengadah. Tiada kejutan diwajahnya.
"Pulanglah, bu. Sudah larut malam...!'.
Perempuan itu memandang makam lagi. Tanpa kata-kata.
Kalau saja ia tidak pikun tentu ia akan meratap.
"Mengapa, nak" Mengapa kau mendahului ibu" Padahal kau masih muda Cantik. Punya suamiPunya masa depan..."
Tetapi ia cuma menatap makam tanpa
berkedip. Hanya itu yang bisa ia sadari. Datang kemakam, duduk didekatnya: Karena ia tahu. anak perempuannya telah disemayamkan di sana. Tidak pernah lagi kembali kerumah .Ia kini tinggal sendirian didunia ini, seperti Parman. Bedanya, Parman ditinggaLkan kedua orang tuanya. Perempuan itu ditinggalkan anak satu-satunya. Namun bagaimanapun mereka sama-sama telah kehilangan orang-orang yang mereka cintai. Suami si perempuan. Dan istri Parman.
"Pulanglah!" ulang Parman seraya membantu si perempuan berdiri.
Lalu ia tuntun perempuan itu keluar di antara gundukan-gundukan makam: Setelah dekat ke rumah salah seorang penduduk, ia baru lepaskan perempuan itu yang berjalan terbungkuk-bungkuk ke rumahnya sendiri. Lama Parman memperhatikan siperempuan berjalan di tengah-tengah kesepian malam yang mencekik. Lampu-lampu minyak di pintu-pintu gerbang rumah menimbulkan bayangan-bayangan memanjang tiap kali terlewati oleh siperempuan. Akhirnya hilang dibalik tembok sebuah rumah. Parman menghela nafas. Berat.
Seekor kelelawar terbang menggelepar dari balik daun pisang ketika Parman berjalan kembali kearah makam istrinya. Tiba disana. bulan persis tenggelam-dibalik awan. Gelap sekali. Parman membungkuk, seperti yang di lakukan ibu mertuanya tadi. memandangi makam. Dan berbisik perlahan-lahan.
"Nyenyak tidurmu, sayang?". Seakan-akan ia mendengar suara Lila: "Engga".
"Mengapa?". "Kau belum menciumku'.
Parman mencium batu nisan dikepala makam.
"Tidurlah ya?" Biasanya, Lila akan merajuk:
"Selimuti aku".
Awan kian tebal juga menyelimuti langit,
Parman terkejut karena seekor tupai tibatiba terjatuh didekat kakinya. Tupai itu tergelak sesaat, bergerak-gerak disaat berikutnya lantas lari cepat-cepat kebalik semak-semak. Bunyi kelepak-kelepak di udara menarik hati Parman. Ia tengadah. Terbiasa oleh cahaya gelap, kemudian lihat banyak'sekali kelelawar. Lari serabutan. Beberapa diantaranya mengeluarkan jeritan nyaring. Naluri Parman mengatakan sesuatu.
Hati-hati, ia merangkak dari makam kebalik serimbunan bambu.
Di sana, ia diam menunggu.
Ia tidak melihat apa-apa.
Tetapi kemudian telinganya menangkap suara melucut-lucut halus. Seperti ada orang memacul tanah. Ah, siapa pula manusia yang datang untuk memacul tengah malam buta begini di kuburan" Penasaran, Parman mendorong batang-batang bambu di depannya kekiri dan kanan. Dari celah-celah yang terkoyah
itu ia kemudian mengintai.
Sosok tubuh tinggi besar sedang menggali sebuah kuburan. Ia bekerja dengan buru-buru: tiap kali awan meninggalkan bulan, orang itu menoleh kelangit. Menyeka keringat. Sesekali ia menggerutu tiap kali paculnya menyentuh batu. Parman jelas mendengar salah satu gerutuan.
"Sialan! Mereka tanam bayi itu diantara cadas!"
Benturan besi pacul kebatu-batu cadas berulang-ulang mengiris telinga. Tampaknya orang yang sibuk menggali itu tidak perduli pada suara-suara ribut yang ia timbulkan. Toh orang kampung sudah pada lenyap tertidur.
Kalaupun ada yang mendengar suara berisik, tak akan ada yang berani keluar. Siapa yang berani coba-coba menyelidik suara berbisik di tengah malam, apabila ia tahu suara itu berasal dari tengah-tengah kuburan" Tetapi Parman di luar perhitungan orang itu.
Takut kakinya yang terseret-seret terbentur benda-benda yang bisa membuat gaduh. Parman berjongkok di atas tanah, kemudian merayap diantara gundukan-gundukan makam.
Bila bulan pucat dilangit muncul, ia rapatkan tubuh ke tanah. Diam tak bergerak. Kalau sudah gelap oleh gumpalan awan, ia teruskan merayap. Sampai akhirnya ia berada hanya dua meter dari arah orang yang tengah sibuk Menggali makam. Penggali kuburan itu telah terbenam setengah dari tubuhnya dalam lubang
yang ia buat. Parman memperhatikan dengan teliti. Lantas mengenali tanah makam yang tengah digali. Ternyata masih kemerahan. Sebuah kuburan baru. Dan mayat bayi di dalamnya!
Parman menahan nafas waktu tak lama kemudian orang itu keluar dari dalam lubang seraya mengapit benda bungkusan kain kafan. Melihat bentuknya tentulah mayat bayi yang dimaksud orang tadi. Setelah menginjakan kaki di permukaan bumi, orang tadi menatap ke langit. Mulutnya melepas senyum, sementara kepalanya yang licin berkilau oleh kubangan kermgat.
"Mudah-mudahan Nyi Saodah tak semaput kalau tahu kuburan anaknya dibongkar maling?". orang itu berkata pada diri sendiri.
"Pak lurah tentu akan ikut ribut sana ribut sini..." orang itu tertawa. Dengan kakinya ia dorongkan pacul masuk kelobang yang kemudian ia tutupi dengan tanah. Juga dilakukan oleh kaki yang sama.
"Bejo terkutuk!" Parman menyumpah nyumpah dalam hati seraya mengikuti pelayan pak lurah itu keluar dari pemakaman. Karena orang itu merasa gembira dengan hasil kerjanya, ia sama sekali tidak mendengar suara berisik yang ditimbulkan oleh kaki Parman yang terseret-seret dan tongkat kayunya yang kadang-kadang mengenal batu. Kaki kanan Parman berdenyut-denyut dibagian tulang kering karena ia terpaksa setengah berlari-lari
mengejar dari belakang. Bejo tidak masuk dari halaman depan rumah pak lurah.
Ia bergerak kesamping belakang. Dipinggir tebing, ia merayap turun kebawah Lebih dulu ia letakkan bungkusan mayat bayi diatas. Kemudian baru menggapainya dari bawah. Parman lebih mendekat. la lihat Bejo memindahkan beberapa bungkalan batu dari balik serimbunan semak belukar didinding tebing. Riak-riak sungai dibawah memecah di batubatu besar menelan suara ribut karena gerakan Bejo.
Parman tersenyum dibalik persembunyian
nya. "Awas kau, lurah bejat!" desisnya.
Setelah melepaskan lelah selama lebih dari satu jam. Parman kemudian menuruni bibir tebing yang sama. Selama ini ia melakukan hal itu hanya dalam beberapa detik. Tetapi pembalut tulang kering kaki kanannya mengeluarkan darah. Berulang kali ia merintih. ia bongkar batu-batu dibalik semak-semak yang telah disusun kembali oleh Bejo sebelum menghilang ke dalam:
Kegelapan yang meremangkan bulu kuduk, membuat Parman tertegun sesaat setelah berada didalam.
Baru pengap menyerang hidungnya: Ia tahu ia berada dalam lorong tanah yang disangga kayu-kayu balok dikiri kanan dan papan tebal melapisi bagian atas Karena lorong itu rendah.
ia lantas merayap seperti yang tadi Ia lakukan dikuburan. Kaki kanannya semakin terasa sakit. Mudah-mudahan saja perban itu cukup tebal sehingga bisa menyerap darah yang keluar. Kalau tidak, darah dari kaki Parman akan menetes disepanjang lorong. Sehingga pak lurah akan tahu kalau telah ada orang lain yang mengetahui jalan rahasia yang telah mereka pakai selama bertahun-tahun.
Seingat, Parman, lorong itu menuju ke satu rumah. Yakni ruang gudang di tengah rumah, dari mana orang bisa menaiki tangga ke ruang tengah atau langsung ke terras di tingkat atas. Tetapi didepan pintu yang telah dikenal baik Parman, ternyata ia menemukan sebuah lorong yang lain. Uap hangat menerobos dari ujung lorong kedua ini Parman mengikutinya dengan hati-hati. Makin lama ia makin yakin lorong itu berakhir disebuah ruangan lain yang tidak begitu besar dan biasanya dipakai menyimpan barang-barang hasil rampokan selama berminggu-minggu sebelum dikeluarkan kembali untuk dijual kepada para penadah.
Tetapi kenapa dari arah ruangan yang ia duga tempat penyimpanan barang-barang itu keluar uap hangat dan bau api perdiangan. Sambil menahan rasa sakit dibelikat dan kaki kanannya, ia terus merayap. Dalam keadaan demikian rasanya jauh dan lama sekali jarak yang ia tempuh. Sampai ia tiba dihadapan sebuah pintu yang masih menganga. Cahaya lampu samar-samar membias lewat pintu. Par
man memepetkan tubuh ke dinding. Lantas diam. Menunggu dengan tubuh dan dada tegang.
"... rasanya kok bayi yang mungil ini masih hangat " ia dengar suara pak lurah.
"Ah. Yang benar," rungut Bejo.
"Kau kepit kuat-kuat ya" Lihat sampai tulang lututnya patah. Coba kalau Nyi Saodah tahu lutut anaknya telah patah.".
Bejo tertawa mendengarnya.
"Besar api, Bejo".
Parman dengan hati-hati mengintai.
Ia lihat pak lurah membelakanginya. Lakilaki itu memangku sesuatu. Tentu mayat bayi itu. Didekat kakinya, bertumpuk kain kafan yang telah dilepaskan dari tubuh mayat. Bejo menyorongkan beberapa batang kayu-kayu besar dan kering kedalam sebuah tungku. Diatas tungku, tidak terdapat periuk atau belanga seperti biasanya.
Yang ada ialah batang-batang pohon pisang yang dipotong pendek-pendek kemudian disatu-satukan dengan kayu seperti sebuah rakit kecil.
Batang-batang pisang itu menahan kobaran api agar tidak menjilat pada sebidang bambu yang tersusun rapih. Biasanya diatas bidang belahan-belahan bambu yang selebar satu meter persegi itu, didiangkan ikan atau ayam untuk disalei. Tetapi yang dilihat Parman untuk disate adalah bayi yang oleh pak lurah digantungkan di atas para bambu itu, pada seutas tali
jerami yang ujungnya membelit pada bahu langit-langit ruangan. Kepala bayi kebawah. Kaki-kakinya terikat pada ujung tali yang lain.
Ketika pak lurah melepaskannya, mayat bayi itu berputar-putar sesaat mengikuti gerakan tali yang mendapat beban, kemudian diam. Batang-batang pohon pisang mulai mengerut, membubungkan uap yang tebal kepara bambu. Uap itu menerobos lewat sela-sela bambu menimbulkan garis-garis melingkar disekitar tubuh mayat si bayi. Parman menutup mata. tak tahu melihat pemandangan buruk didepannya. Ia baru membuka matanya ia dengar suara pak lurah:
"Siapkan bunga-bunga rampai, Bejo"
Si Bejo menjadi sibuk mencampur bau sejumlah akar-akar dan dedaunan-dedaunan jeruk purut ketan hitam yang ia aduk dalam sebuah baskom berisi air. Pak Lurah memperhatikan pekerjaan pelayannya itu seraya bergumam lambat-lambat.
?"semenjak Parman dipercaya, telah kupikirkan untuk mencari jimat. Bejo. Tapi jarang sekali bayi yang mati pada malam jum'at Kliwon. Siapa nyana, kalau bayi pertama yang akan kita jadikan percobaan, justru baru beberapa hari yang lalu ikut kuhadiri selamatan puput pusarnya...!
Setelah Bejo selesai mengaduk ramuan.pak lurah mendesah:
'Tutup pintU' lorong. Dan marilah kita masuk kekamar tidur, Bejo. Aku lelah sekali..."
Parman buru-buru merapatkan tubuh ketembok lorong. Detik berikutnya, pintu di depannya tertutup rapat. Parman membuang nafas yang terasa kering berdebu.
*** TUJUH SUBUH HARI itu kembali ibu Lasmi menemukan tubuh Parman terkapar diambang pintu rumahnya. Seraya menyeret laki-laki ketempat tidur. siperempuan tidak habis-habisnya menggerutu.
'Apa sudah kubilang. Jangan pergi lagi kesana. Mana malam-malam. Mana jauh. Mana sakit. Belum lagi ada yang lihat, kau di keroyok lagi dan..."
"Bayi itu... bayi itu, hiii!"
Ibu Lasmi terhenyak. Memandangi Parman yang matanya melotot terbuka, tetapi kelihatan pudar
"Bayi itu. Pak lurah memanggangnya. Bayi itu...0, jangan! Jangan dekatkan "padaku! Tidak! Aku tak sudi menyentuhnya. Tidak Tidak! Tidaaaak!" sambil berkata begitu Parman memberontak di tempat tidur seraya kedua tangannya menggapai-gapai seperti mendorongkan sesuatu agar menjauh dari depannya.
'Parman' Parman! sadarlah...', sungut ibu Lasmi. Pucat.
Seorang laki-laki setengah umur keluar mandi. Masih mengenakan handuk. Tergopoh gopoh mendekati ibu Lasmi.
Ada apa, Las" Siapa dia"
'.... bekas pelayan kami dulu, kata siperempuan tanpa berpikir lagi. Matanya mulai berkilau oleh linangan butir-butir air. Ia sesenggukan, berulang-ulang menggoyangkan kepala dan menceracau tidak karuan.
lstigfar, Las Istigfar, laki-laki itu menggoyang-goyangkan bahunya.
lbu Lasmi istifar. Lantas menjadi tenang kembali.
Kasihan, katanya memandangi Parman. Ia mengigaukan sesuatu yang menggoncangkan syarafnya..."
Beri dia air hangat. Ibu Lasmi lari kedapur dan tak lama kembali membawa apa yang diperintahkan silakilaki. Tetapi ketika gelas berisi air hangat itu didekatkan kemulut Parman. tangan Parman cepat menepiskannya. Keras sekali. seraya memekik.
'Jangaaan !' Gelas itu melayang di udara. membentur tembok. pecah lantas berderai diatas lantai. Suara berisik itu justru membuat Parman semakin histeris. Ia mau bangkit dan matanya menjadi buas.
'Apa boleh buat," ucap laki-laki disamping ibu Lasmi yang terpukau tak tahu mau berbuat apa. Lantas dengan sekali tinju Parman ter
baring kembali di atas ranjang. Tidak sadarkan diri
Kau apakan dia, kak" ibu Lasmi panik.
Cuma sekedar menyadarkannya dari histeris.
'Tetapi .tetapi... ia pingsan. Kalau-kalau
Diam las. Orang ini cuma tertidur. Mandilah. Siapkan Sarapan pagi. Aku harus kembali kekota hari ini. Kasihan anakmu, ia tentu kasihan dirumah"
Ibu Lasmi menarik nafas. Memandang lakilaki disebelahnya dengan lembut.
Kak" Ngh" Gimana Siti" Laki-laki itu tertawa. . Masih memanggil Oom padaku. Sahutnya kemudian.
"Belum mau panggil bapak?"
'Perlahan-lahan, Las, perlahan-lahan. Kita harus bersabar. Lagi pula...", ia balas menatap mata siperempuan. "Kau sendiri, sudahkah kau putuskan?"
Ibu Lasmi teringat pada jamahan Parman tadi malam pada pahanya.
Wajah perempuan itu jadi bersemu merah.
Seraya merunduk ia mengangguk
'Alaaa, kayak perawan saja," kata si lakilaki tertawa. 'Sudah, pergi mandi sana. Lantas kita makan pagi bersama, sebagaimana layaknya suami isteri. Sayang, ada orang ini di atas
tempat tidurmu. Kalau tidak, kau yang kutidurkan di atasnya. Tidak perduli sudah mandi apa belum..."
'Idiih. si kakak!" Tersipu-sipu, ibu Lasmi kabur dari kamar
*** PERNAH, suatu malam yang gerah dan menyesakkan nafas, ibu Lasmi terbirit-birit lari dari kamar Parman ketika sang suami tiba-tiba muncul diambang pintu. Parman menduga majikannya laki-lakinya akan marah besar. Ia sudah merungkut di pojok tempat tidur, pucat dan ketakutan.
*** Dengan gemetar ia lihat bagaimana pak lurah masuk ke dalam kamar. Lantas duduk di pinggir dipan Parman yang barusan di tinggal isterinya .
Diluar dugaan Parman, pak lurah berbicara dengan tenang:
?" aku tahu Lasmi toh akan melakukannya."
Parman terdiam. Masih gemetar karena takut memandang mata majikannya.
"Sudah sering. ya?"
Enggan, Parman mengangguk.
"Hem. Biarlah. Mungkin salahku. Tetapi, Parman," ditatapnya Parman dengan tajam. "... lain kali kuncilah pintu kamarmu. Jangan coba coba dekati isteriku.
Sekali kau langgar, akan kusuruh si Bejo melemparkanmu ke sungai dari tingkat atas rumah ini...!"
Parman terbungkuk-bungkuk mengangguk.
'Tetapi bukan cuma itu. Kau harus lakukan sesuatu untukku!"
Mendengar itu, Parman pucat kembali. Haruslah ia menelanjangi tubuhnya di kamar pak lurah, dan melakukan apa yang telah ia lakukan pada laki-laki itu seperti apa yang ia lakukan bersama isteri laki ski itu" Parman menggigil, dan semakin menciut di pojok ranjang.
Sini kau..!" Parman buru-buru mengenakan pakaian seadanya. Setelah itu. terbungkuk-bungkuk ia mengikuti majikannya ke luar dari kamar. Mereka langsung menuju kamar tidur pak lurah. Bayangan ketika pertama kali ia disuruh telanjang oleh pak lurah, membuat Parman mau lari saja dari tempat itu. Tetapi bayangan tubuhnya terhumbalang dari tingkat atas, jatuh ke sungai dengan lebih dulu membentur batu-batu cadas pada tebing, memaksa Parman untuk diam saja dan patuh pada apapun yang dikehendaki majikan darinya.
Setelah berada dalam kamar, pak lurah bergerak ke sebuah peti empat persegi yang terletak di atas lemari pakaian pak lurah. Tidak seorangpun yang diperbolehkan menyentuh peti itu. Biar ibu Lasmi sendiri. Apalagi Parman. Tetapi kini pak lurah menyodorkan peti
kecil itu kehadapannya seraya memerintah.
"...buka!" Parman memandang majikannya dengan ragu.
"Buka tutupnya Parman."
Dengan tangan gemetar dan tubuh basah oleh keringat dingin, Parman membuka tutup peti itu: la sampai gagal dua kali.
Pada kali yang ketiga ia berhasil menyentakkan tutup peti sampai menganga terbuka sebagai seorang pelayan, ia cepat-cepat mengalihkan wajah, agar tidak melihat isi peti yang pasti merupakan rahasia pribadi majikannya. Namun pak lurah segera mendengus:
"Pegang isinya!"
Tanpa melihat. Parman merogohkan tangannya kedalam peti.
Hatinya berdetak ketika ia meraba sesuatu benda kira-kira sebesar lengan kanannya sendiri. Lembut dan hangat, namun Parman merasakan suatu aliran yang dahsyat dari benda itu ke tubuhnya. Ia sampai gemetar, tidak kuat menjaga keseimbangan badan. Dalam sekejap, Parman telah terjatuh di lantai dengan wajah biru kepucatan dan basah kuyup oleh peluh. Di tangannya ia menggenggam benda yang berasal dari dalam peti.
"Tatap, Parman. Tatap !'. dengus pak lurah.
Takut takut, Parman menatap benda itu.
Ia dekatkan ke muka. Segera hidungnya mencium bau anyir di antara bau ramuan yang sangit. Namun bukan bau-bauan itu yang
membuatnya hampir pingsan dan perutnya mulas mau muntah .Benda yang di pegangnya, jelas bukan patung karena terdiri dari daging, tulang dan tengkorak yang berbalut kulit manusia. Dengan mata melotot lebar. Parman melihat sesosok tubuh bayi yang telah mati, diciutkan sampai sebesar lengan!
"...tidaaak!", Parman terpekik, lantas melemparkan benda itu jauh-jauh.
Pak lurah memungutnya tenang-tenang, memasukkan ke peti lantas menyimpannya kembali di tempat semula. Setelah itu ia berdiri di hadapan Parman yang masih meringkuk di lantai, antara sadar dan tidak.
Antara dengar dan tidak pula Parman menangkap suara berat majikannya:
"Kau telah memegangnya, Parman. Itu sudah cukup!"
'Tetapi...tetapi...benda itu..."
"Bayi, Parman. Mayat bayi yang telah kuselei selama berbulan-bulan! Keampuhannya telah tersalur ketubuhmu begitu kau memegang dan kemudian menatapnya. Kau akan jadi orang kaya. Parman. Kau dan aku akan jadi orang terkaya dikampung ini, kemudian paling kaya di seluruh kecamatan. Tak perlu lagi kau susah-susah memikirkan uang maupun kebutuhan sehari-hari. Gampang sekali. Parman. Gampang sekali kau memperolehnya Berkat bantuan ajimat itu!"
Masih ingat Parman, bagaimana pertama kali ia mendapat contoh praktek memperoleh
uang secara gampang. la disuruh pak lurah memilih salah satu rumah penduduk untuk dijadikan percobaan sasaran.
Parman memilih rumah pak Baria. yang menolak keras anak perempuannya bernama Lila berkasih-kasihan dengan Parman. Ketika itu, baru saja lepas magrib. Lila berserta kedua orang tuanya sedang berseloro di kamar depan. Parman masuk, tetapi tidak seorangpun yang melihat. Dengan kagum. Parman terus ke kamar orang tua Lila, menyambar sebuah tas besar berisi uang hasil penjualan panen ayah Lila.
Ketiga orang penghuni rumah terkejut dan pucat melihat bagaimana tas milik mereka melayang-layang di udara seperti di pegang oleh seseorang yang tidak kelihatan saking terpukau, mereka cuma diam memperhatikan. Baru setelah Parman bersama tas hilang di telan kegelapan malam yang mulai turun di luar mereka tersadar. Dari kejauhan Parman tertawa-tawa mendengar bagaimana ayah kekasihnya berteriak-teriak dengan panik.
'Tasku! Tasku! Uangku! Dicuri setan! Tolooooong!" '
Lewat kekasihnya, Parman sehari kemudian mengembalikan tas itu.
"Kutemukan ditengah-tengah kuburan," katanya memberi alasan.
Tetapi ayah Lila sudah kelewat shock oleh apa yang dilihatnya. la terkena serangan jantung .Mati. Seminggu Lila menangis. Seminggu
berikutnya, ia juga menangis. Tetapi tangisnya lain dari tangis yang pertama. Tangis Lila yang kedua, adalah tangis kebahagiaan karena Parman melamarnya untuk diperisteri, dan ibu Lila yang selama ini bertengkar saja soal jodoh anak mereka dengan ayah Lila, dengan gembira memberi restu.
*** PARMAN termenung di hadapan ibu Lasmi dan calon suaminya.
Lama ia dalam keadaan demikian, sementara kedua orang lainnya cuma diam memperhatikan. Setelah menarik nafas panjang, Parman berkata:
?" mustahil, memang. Tetapi nyatanya, semenjak itu dengan mudah aku memasuki rumah orang-orang kaya tanpa dicurigai. Mereka menyangka setan yang meludeskan barangbarang berharga yang ada di rumah mereka."
"Aku benar-benar tak percaya," gumam calon suami ibu Lasmi.
"lantas mengapa akhirnya kau tertangkap?"
"Kena tangkal."
"Tangkal?" "He-eh. Suatu malam di kota, sebelum beroperasi aku tidur di rumah seorang pelacur. Aku tak tahu kalau rambut pelacur itu melekat di sela-sela kuku. Pengaruh jimat itu hilang apabila bersentuhan dengan rambut manusia di ."
saat beroperasi. Aku ketahuan, lari ke kampung. Karena terbiasa leluasa, aku kurang teliti menghilangkan jejak. Kasihan Lila. Ia baru tahu aku perampok. Setelah polisi datang menangkapku ke rumah"!"
Calon suami ibu Lasmi angkat bahu. Lelah. Lantas berdiri.
"Sebentar lagi bus menuju kota akan lewat. Nah. Parman.
Siap-siaplah." Di kota, kita akan ke rumah sakit. Tulang kering kaki kananmu harus segera di operasi, kalau tidak bisa menimbulkan kelumpuhan total pada tubuhmu!"
*** DELAPAN SORE HARI itu Parman terbangun karena serangan ngilu di lutut kanan. la kira ia telah tertidur selama berabad-abad. Merasa lebih tua bertahun-tahun. Lemah. Tidak bersemangat. Dadanya dipenuhi perasaan ganjil yang membingungkan. Beberapa saat ia geleng-gelengkan kepala. Juga menggosok-gosok mata. Namun perasaan ganjil itu kian menghebat.
"Lekas sembuh ya?" ia dengar suara seseorang.
Parman menoleh. Disampingnya, di atas tempat tidur yang sama dengan tempat tidurnya sendiri, ia lihat seorang pasien tengah bersalaman dengan seseorang yang lain. Pasti tamu. Kedua orang itu bertatapan selama tiga helaan nafas. Baru sang tamu memutar tubuh mengangguk halus pada Parman kemudian berjalan menuju kepintu. Rupanya ia adalah tamu terakhir yang keluar sore hari itu Parman lantas mengerti, ia telah dipindahkan dari kamar operasi kedalam sal ini.
Rasa ngilu menyentak lagi dilutut kanan.
Parman tiba-tiba gemetar. Aneh. Ya.
Keganjilan itu datang dari ' kaki kanannya. Telah berhasilkah dokter mengOperasi tulang kering Parman" Kata mereka, tulang keringnya telah borok. Infeksi telah menjalar sampai kesum-sum. Pantas ia sampai pingsan dalam perjalanan bus menuju ke kota ini. Ia ingat. Ibu Lasmi mengantar mereka sampai ke pintu pagar. Bus merangkak menuju kota: Membawa Parman. Dan calon suami ibu Lasmi. la ingat lagi, keringat sebesar-besar jagung memercik hampir dari semua pori-pori kulit. Lantas hentakan yang keras ditulang kering membuat ia terpekik bersakitan. Ia pingsan seketika.
Baru kini ia terbangun. Kedua kalinya. Yang pertama, setiba ia di kamar bedah.
Waktu itu, ia menjerit-jerit menahan rasa sakit. Sekarang rasa sakit itu telah hilang. Diganti perasaan ganjil. Kaki kanannya kok seolah olah lebih ringan. Parman tak habis mengerti. Perlahan-lahan, dengan jantung dagdig-duk ia balik selimut yang menutupi kaki kanannya. Dan ia melihatnya. Kaki kanan Parman terbalut oleh perban tebal. Sampai batas lutut. Dari lutut ke bawah, ia cuma melihat sprei yang putih dan sedikit bercak-bercak darah.
"Kakiku...". Parman mendesis. "Kemana kakiku?"
"Kemanapun ia cari, ia tidak akan menemukan tulang keringnya yang borok. Juga betis. Juga telapak. Dan jari-jemari. Yang bersisa
hanya dari lutut ke atas. Parman terkesiap. Darah memancar dari kepala kebagian bawah tubuhnya sehingga wajah Parman seketika jadi pucat pasi. Keringat dingin membasahi ketiak. Menetes. Terus. Terus. Terus. Juga darah di pembuluh. Menetes. Terus Terus. Terus. Parman terbelalak.
Dan tiba-tiba: 'Kakiku!" ia berteriak lantang.
Pasien-pasien lain dalam sal yang sama. tersentak dan semua memperhatikan bagaimana Parman berusaha duduk lantas memegangi lutut kanannya seraya memekik-mekik dan menangis. Tak ada yang buka suara. Semua ikut terharu. Bahkan lupa pada penyakit yang diderita masing-masing .Sal yang beberapa saat sebelumnya tenang dan diam, meledak oleh jerit tangis Parman.
Hanya dalam beberapa detik, terdengar langkah-langkah sepatu berlari. Seorang perawat laki-laki buru-buru masuk kedalam. mendekati Parman dan berusaha membujuknya.
"Tidurlah. Nanti lututnya terganggu.'
Parman meraung: "Tapi kakiku" ke mana kakiku". Kemana?"
"Terpaksa dipotong. bung...".
Dipotong! Ya Tuhan. Bagaimana aku akan berjalan. Bagaimana?" 'Kakimu yang lain masih sempurna. bung. Kalau yang kanan tak di potong, mungkin yang kiri' akan terjangkit. Bahkan sampai kepinggang. Ah, sudahlah. Tidur, bung. Usahakan untuk tidur. Perjalanan darah
mu harus normal kembali. Biar kau lekas sembuh..."
"Sembuh!" jerit Parman. "Tanpa kaki!"
"Kau bisa pakai tongkat":
"Tongkat ?", mata Parman terbelalak." Lila akan marah kalau ia lihat aku pakai tongkat!"
Perawat itu... dan pasien-pasien lainnya tidak tahu siapa Lila: Yang ia tahu menyabarkan Parman. Namun ia justru mendapat X Perlawanan. Sehingga terjadi dorong mendorong. Perawat itu berusaha mendorong bahu Parman agar ia berbaring kembali. Sebaliknya. Parman berusaha melemparkan perawat itu agar menjauhi dirinya. Dokter yang dipanggil oleh seorang pasien yang agak kuat tubuhnya segera datang dan menyuntikkan obat penenang ke tubuh Parman.
Perlawanan Parman mulai melemah.
Kemudian, sepasang matanya yang basah. mulai redup. Ia kemudian terbaring. Lesu. Namun masih sempat mengerang:
"Kakiku mereka potong: Lila. Mereka potong"."
Dokter dan perawat juga pasien-pasien lain menyangka Parman mulai tertidur. Tetapi proses dari kehilangan kesadaran itu memerlukan waktu itu dimanfaatkan oleh ingatan Parman kembali pada orang-orang yang mengeroyoknya dihadapan rumah pak lurah. ingatannya semakin tertuju pada lurah itu. Parman menggeram. Dan tiba-tiba menjerit.
"Aku akan membalasmu, lurah keparat."
Lalu, iapun jatuh tertidur
*** DALAM tidurnya Parman melihat dirinya berjalan dengan mempergunakan tongkat kayu. Biasanya ia menempuh perjalanan lima menit dari mulut desa sampai ke depan pintu rumah. Akan tetapi dengan tongkat kayu itu ia memerlukan waktu yang lebih lama. Demikian lama dan melelahkan. Sehingga tiba di depan pintu tangannya sampai tidak bisa terangkat untuk mengetuk. Lama ia tersandar disana. Sampai Lila sendiri membukakan pintu untuknya.
Tidak ada suara yang keluar dari mulutnya.
Parman ingin menangis. Ia peluk Lila .Isterinyapun menangis.
"Mereka potong kakiku, sayang", Parman mengadu.
Lila masih tak menyahut. Ia cuma membimbing tangan suaminya masuk kedalam kamar kemudian membaringkan Parman diatas tempat tidur. Setelah itu. ia duduk diatas sebuah kursi. Memandangi suaminya dengan sorot mata penuh belas kasihan:
"Kau tak malu bersuamikan laki-laki cacat, Lila?"
Isterinya menggelengkan kepala:
"Aku tak akan bisa kemana-mana lagi, Lila. Aku terpaksa harus diam di rumah saja.
Tidak bisa lagi cari uang"
Lila mengangguk pula. "mengapa kau cuma mengangguk" bicaralah".
Lila tidak bicara. Tubuhnya malah mengabur. Lama-lama berubah jadi kabut. Dari tengah-tengah kabut itu ia dengar suara isterinya yang menghiba:
"Sanggupkah kau kini membalaskan sakit hatiku, akang?"
PARMAN terkejut Bangun. "Lila..." gumamnya. "Lila. Lila. Lilaaaaa!"
suaranya kian keras. Pasien disampingnya terbangun. Juga satu dua orang pasien lainnya. Ada yang menggerutu. Hanya pasien di samping Parman yang berusaha tersenyum. Dan sebelum membalikkan tubuh di bawah selimut, sempat nyeletuk:
"Tidurlah bung!"
"Siapa kau?": tegur Parman.
Laki-laki dibawah selimut itu tak bergerak. Tapi menyahut:
"Handoko!" "Siapa kau?" ulang Parman.
"Namaku Handoko kerjaanku pegawai toko..."
"Siapa kau?" Orang itu membuka selimutnya. Memandang Parman. Dan berkata jengkel
'Tak bisakah kau diam bung."
Parman menelan liur. Seluruh tubuhnya basah oleh keringat.
"Lila ku..." ia bersungut-sungut.
Pasien di sebelahnya tak jadi tidur kembali Ia agak berminat rupanya. "Dari tadi kau menyebut-nyebut nama Lila. Siapa Lila-mu itu?"
" .isteriku' Kejengkelan di bawah pasien sebelah Parman mereda.
"Aku juga punya isteri", katanya. "Yang bertemu tadi sore. Tetapi ia tak lagi sayang padaku. Dua hari yang lalu kutemukan ia menelungkup di atas tubuh keponakanku. Di kamar tidur kami. Isteriku kupukul. Keponakanku.membelanya. Kami berkelahi. Pinggangku kena ditusuk. Ini..." ia memperlihatkan bagian pinggangnya yang berbalut perban. "Kau tahu betapa sakit rasanya?"
"Kakiku sakit sekali..." Parman bergumam tak karuan:
Pasien disebelahnya tak perduli. Ia terus ngomong:
"Bukan pinggangku: Berapalah rasa sakit tusukan pisau Yang lebih sakit adalah tusukan sembilu pada hati. Aduhai, tak ada duanya. Untung aku masih ingat pada anak-anak. Keponakanku tak kuadukan polisi. Cuma kuusir. isteriku meratap-ratap Minta maaf. Sebagai suami yang sudah hidup belasan tahun denganku. aku memaafkan dia Dengan syarat. agar
ia tak mengulanginya lagi. Kubilang padanya. sangat memalukan kalau ...
Jeritan Pintu Kubur Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lelaki itu berhenti bicara
Menoleh kesamping, ia lihat Parman telah terbaring dengan mata setengah terbuka. Dari mulut Parman lepas dengkur yang tersentaksentak. Mungkin mengiringi irama rasa ngeri dan ngilu dikaki. Atau mungkin juga dihati. Orang yang menamakan dirinya Handoko, seorang pegawai toko yang ditusuk oleh ponakannya sendiri serta dihianati sang isteri itu, angkat bahu. Lantas kembali menarik selimut, menutupi seluruh tubuhnya. Iapun lelah seperti Parman lelah jasmani. Lelah rohani. Dan dalam sekejap, Handoko tertidur pulas.
Tetapi mana bisa Parman tidur pulas seperti Handoko.
Ingatan pada kaki kanannya yang tidak lengkap lagi: membuat tidurnya tak nyenyak. ingatan pada Lila, membuat perasaannya tetap tergoncang. Dinihari. la terbangun lagi karena mimpi buruk melihat isterinya terapung-apung ditengah sungai dalam keadaan setengah telanjang dan tubuhnya berlumur darah. Parman berusaha terjun kesungai. Mau menolong. Tetapi kakinya terantuk akar pohon.
Dengan suara berbisik. Parman terguling
Bukan diatas akar-akar pohon akan tetapi diatasjubin.
Malangnya, justru lutut kanan Parman yang lebih dulu menyentuh lantai. "Aduh '.ia rewel"lantas merangkak menggapai tepi tempat tidur Sudah payah, ia berhasil berdiri-. Namun susah sekali naik kembali keatas kasur. Dengan putus asa. Parman menyadari kalau lutut kanannya
kembali mengucurkan darah. Pembalutnya telah merah karena kuyup oleh darah. Ia menahan rasa sakit yang amat sangat, lantas melakukan usaha terakhir. Ia tekankan tumit kuat-kuat kelantai lantas melambungkan tubuh diudara. Detik berikutnya, tubuhnya Parman terbaring di atas ranjang.
'Lututku...lututku...", Ia mengerang.
Teringat pada ucapan perawat sore harinya, ia menggeram.
'Tidak. Kaki yang lain tak boleh di potong".
Lantas ia gapaikan tangan kebesi kepala tempat tidur. Darah semakin banyak juga mengucur. Juga keringat. Parman benar-benar hanya memiliki sisa-sisa terakhir untuk menggerakkan anggota badan, pada tombol kecil berwarna kuning yang bersambung pada seutas kabel dinding. Ia tekan kuat-kuat tombol itu, lantas tangannya kemudian menggapai disebelahnya. Lunglai. Tak berdaya.
Lama ia menunggu. ' Matanya menatap kearah pintu sal. Lama sekali. Lalu, pintu sal terbuka. Muncul seorang. Berpakaian seragam putih-putih. Gerakan kakinya lamban. Namun toh makin lama makin dekat ketempat tidur Parman: Dari samarsamar, Parman kemudian melihat jelas siapa orang itu. Seorang perempuan dengan sepasang mata bundar, hidung berbentuk manis mulut, mungil yang kemerahan, dagu yang melekuk lembut, leher yang jenjang Tak sadar mulut Parman melepas seruan terlepas seruan ter
tahan. "Lila, kau!" SUSTER jaga pada malam itu bengong seketika.
la sama sekali tidak mengerti apa yang dimaksud oleh pasien bernama Parman itu.
Tetapi kebengongan suster segera lenyap setelah melihat warna merah samar-samar membasahi lantai. Sprei lebih merah lagi oleh bercak-bercak darah.
Terkejut, ia bergumam: "Perdarahan!" Seketika ia memutar tubuh. bermaksud panggil dokter. ia hampir terpekik saking kaget waktu lengannya tiba-tiba dicekal oleh pasien yang tampaknya sedang histeris itu.
"Lila! Jangan pergi!"
Suster terpana. Lalu: "Kau perlu pertolongan, bung!"
"Akang, begitu: Jangan main bung-bungan segala... kata mereka kau sudah mati?"
"Mati", suster bergidik. Mendengar dan melihat orang mati sudah tidak asing baginya sebagai seorang petugas rumah sakit. Akan tetapi, orang itu menyebut dirinya Lila. dan menganggap dirinya sudah...
'Tidak!" ujarnya tergopoh-gopoh "Namaku Dorothea".
"Kau Lila! Lila!. Suara Parman tiba-tiba berubah jadi keras. Kemudian agak menghiba waktu ia melanjutkan: "Sayangku. Jangan pergi. Jangan lagi ya" Jangan?" dan ia berusaha
menarik perempuan itu ke atas tempat tidur. Suster mulai panik. Ia berusaha melepaskan cengkeraman tangan Parman. Namun tenaga laki-laki yang dalam keadaan luka payah itu masih kuat sekali. Suster jadi ingin menangis. Ingin menjerit. kalau saja ia tidak ingat sebuah pekikan akan membangunkan seisi rumah sakit yang sedang tertidur nyenyak. Ia akan malu besar. Akan ditegor oleh atasan. Akan...
"Lepaskan, bung", katanya tergopoh-gopoh. "Kau perlu pertolongan dokter".
"Dokter" Aku memerlukanmu, Lila. Bukan dokter".
"Bung, lepaskan. Demi Tuhan!".
Mengapa. sayangku" Mengapa kau panik dijamah oleh suamimu sendiri?"
"Bung... bung mengigau".
"Tidak. Aku sadar seperti kau. Lila".
"Namaku Tea. Dorothea !'.
"Kau Lila! Dan kau masih hidup! Ini. Lenganmu hangat. Bisa kugenggam. Berarti kau bukan hantunya Lila. Kata mereka kau telah mati. Ditanam dipekuburan kampung kita. Lalu siapa yang mereka tanam dalam kuburan itu, Lila" Siapa" bukankah, kau Lila!"
Rentetan kata-kata yang berbau kematian itu membuat suster semakin panik. Pikirannya berkecamuk. Yang ia hadapi laki-laki. Tidak pernah ia takut terhadap laki-laki. Yang ia takutkan laki-laki ini berbicara tentang seseorang bernama Lila yang telah mati. Yang telah dikubur. Pasien ini berbicara tentang
orang mati. Dan.. dan hantu, Tengah malam buta begini.. Dalam keadaan putus asa karena tekanan bathin yang menegangkan sebelah tangannya yang bebas menggapai-gapai, berusaha mencari tombol berwarna merah dikepala tempat tidur. Ia tekan terus, terus dan terus sambil terus pula berusaha melepaskan tangan yang lain dari betotan pasien yang sudah setengah gila dipengaruhi bayangan-bayangannya yang jauh lebih gila itu. Hanya dalam beberapa detik seorang laki-laki bertubuh tinggi besar telah muncul di dalam sal, berlari kearah kedua orang yang sedang bergumul itu dan membantu melepaskan betotan Parman dilengan suster.
"Siapa orang ini, Lila" Kenapa kau panggil dia" Siapa dia" Parman tiba-tiba membentak"
Satu dua orang pasien disekitarnya terbangun. Lantas menggerutu. "Kau lelah, bung?" bersungut-sungut perawat laki-laki yang datang belakangan. Dan pada suster yang berdiri kebingungan setelah lengannya lepas dari cekalan Parman, ia bergumam.
"Obat penenang. Cepat!"
"Tidak!" jerit Parman ketika melihat suster berlari keluar "Aku butuhkan dia. Dia isteriku. Lepaskan, lepaskan aku. Biarkan aku bertemu dengan Lila. Biarkan!"
"Bung, kau bermimpi!"
"Tidak! Tidak! Tidaaaak!"
"Siapa kau" Mengapa turut campur urusan rumah tangga orang?"
"Bung ini rumah sakit!"
"Aku tahu. Aku tahu. Tetapi istriku?"
"Ia suster. Tenanglah. Kami akan menolong bung"
Parman terus berteriak-teriak sehingga seisi sal terbangun.
Semua memperhatikan bagaimana seorang petugas telah memegangi Parman. Beberapa orang menyumpah-nyumpah, kemudian tidur seraya menekankan bantal guling ketelinga. Yang lain duduk mencangkung. Ada pula yang tetap berbaring, seraya menghela nafas. Seorang pasien yang sudah lama ngendon disal itu karena tekanan darah tinggi berteriak lantang:
"Suruh diam dia! Suruh diam!"
Tetapi orang itulah yang kemudian disuruh diam seorang petugas lain yang segera datang bersama dengan munculnya suster bersama Dorothea. Suster itu tidak berani dekat-dekat ketempat tidur Parman ia hanya memperhatikan dari jauh kedua orang rekannya berusaha menekan Parman agar terbaring seperti biasa, lantas menyuntikan 'obat penenang kelengan kirinya .Parman sesaat masih menuding-nuding kearah Dorothea seraya berteriak-teriak:
"Tolonglah aku, Lila! Tolonglah! Mereka akan membunuhku. Kawan-kawanmu ini anak buah pak lurah. Mereka akan membunuhku. Lila, kasihanilah suamimu. Kasihanilah sayangku, kasihanilah... mereka... mereka akan..." dan kepalanya kemudian terkulai!" Sepasang matanya terkatup. Lesu. Tak lama kemudian nafasnya yang kembang kempis, mulai bergerak "
teratur. la sama sekali tidak sadar bagaimana dokter yang segera datang setelah dipanggil, memperbaiki gips di lututnya, membedah beberapa bagian kecil secara kilat ditempat itu juga setelah pasien-pasien lain disuruh tidur oleh Dorothea menarik nafas. Ia tatap wajah pasien yang pucat pasi itu.
Ia kira, ia sendiri sama pucatnya. Tak heran, suaranya bergetar:
"la bilang aku Lila. Isterinya. Yang telah mati..." dan ia menggigil kembali kemudian tersuruk-suruk mengikuti rekan-rekannya yang keluar dari dalam sal.
*** SEMBILAN KETIKA PARMAN terbangun, hari sudah siang.
Lutut kanannya berdenyut-denyut, tetapi tidak lagi sesakit tadi malam. Tadi malam! Rasa-rasanya tadi malam ia mengalami sesuatu. Seperti ia melihat Lila masuk ke dalam sal, akan tetapi bukan untuk memeluknya dengan penuh rasa kasih sayang seorang isteri, melainkan malah berusaha melarikan diri setelah mendatangkan beberapa orang laki-laki. Bermimpikah ia"
Dan pada pasien disebelahnya, yang rupanya terus memperhatikan Parman semenjak terbangun, ia mengulangi pertanyaan yang tersirat di benak.
"Bermimpikah aku, saudara Handoko?"
Handoko, pegawai toko yang masuk rumah sakit karena ditusuk pakai pisau oleh ponakan yang meniduri isterinya, manggut-manggut. Seraya manggut-manggut ia menegaskan:
"Ya. Kata mereka kau bermimpi."
"Oh...!" Parman terkulai. Betapapun mengerikan impiannya tadi malam, ia lebih suka kalau
kejadian itu adalah kenyataan. Betapa ingin ia melihat isterinya, Lila masih hidup, meski Lila telah tidak menyukai dia lagi. Ya, siapa tahu lila masih hidup" Toh Parman sendiri belum membongkar kuburan isterinya" Hanya orangorang kampung yang mengatakan isterinya telah mati.
Dan mertua perempuannya yang sudah benar-benar pikun itu! Kalau saja.. kalau saja Lila masih hidup... ah, akan sudikah Lila lagi mencintai Parman yang sudah tak punya masa depan sama sekali" Dan sudah tidak punya sebelah kaki" Lalu, lalu apa yang harus dilakukan Parman, kalaupun toh ia sembuh tanpa sebelah kaki" Untuk apa ia hidup"
'... kau tentunya sangat mencintai isterimu, bukan?" pegawai toko bernama Handoko itu tiba-tiba bertanya.
"Ya," sahut Parman.
"Diapun mencintaimu?"
"Ya, suara Parman ragu-ragu."
"'Kenapa kau ragu?"
'.. kaki kananku sudau dipotong Mana mungkin Lila mencintaiku lagi?"
"Mencintaimu lagi" Tetapi kau katakan, isterimu sudah mati!"
Parman menghela nafas. Berat.
"Yah. Kata mereka isteriku telah mati
Orang-orang kampung itu. Dan lurah. Yang telah mengusir bahkan ingin melenyapkan aku dari muka bumi ini?"
"Melenyapkan kau"'
parman manggut-manggut. "Mungkin juga mereka pula yang telah melenyapkan isteriku," gerutunya dengan suara tersendat. Ya. Pasti mereka, kalau Lila benarbenar telah mati. Bukankah Parman telah menemukan kutang isterinya tersangkut dipinggir cadas yang membatasi bagian belakang rumah lurah dengan sungai di bawahnya" Pasti! Pasti! Pasti lurah itu yang telah membunuh isterinya. Bahkan tidak saja membunuh. Sebelum Lila mati, lurah telah" terkutuk. Terkutuklah lurah keparat itu. Setelah Parman membelanya mati-matian sehingga tidak ikut terpenjara demi hidup isteri dan mertua Parman, tak tahunya orang bermuka manis namun berhati bejat itu jadi pagar makan tanaman.
"Hem! Untuk dialah aku harus tetap hidup," Parman menggeram. "Dia" Dia siapa?" tukas Handoko.
"Lurah itu." "Ah. Saudara Parman," pegawai toko Handoko itu angkat bahu. "Tak baik membalas dendam. Aku tahu apa yang diperbuat lurah terhadap almarhumah isterimu. Ataupun pada kau Tetapi. kau lihat bukan" Ponakanku tidak kuadukan ke polisi. Isteriku kumaafkan. Demi anak-anak kami. Demi masa depan kami...."
"Kau punya anak. Punya isteri. Punya masa depan . Aku ?"." sungut Parman Kemudian ia membalikkan tubuh Berusaha mengatupkan mata memikirkan cara apa yang ia lakukan untuk membunuh lurah sebagai pembalas sakit
hatinya. serta kematian isterinya sanggupkah niat itu ia laksanakan dengan kaki kanannya buntung" Lalu bagaimana dengan orang-orang kampung" Mereka akan bertempur untuk membela lurah yang mereka anggap sangat terhormat hidupnya. Dan masih ada Bejo Lakilaki homosex yang bertubuh besar itu, telah dilumpuhkan Parman sebelum ia lari dari kampung. Akan tetapi, dengan kaki buntung, masih sanggupkah Parman mengulangi hal yang sama terhadap laki-laki berkekuatan raksasa meski tanpa mempergunakan otak kalau berkelahi itu"
Pikiran kacau serta keragu-raguan akan kemampuan dirinya hampir saja membuat Parman putus asa. Kalau saja tidak ingat pada tekad ketika berjanji di depan makam Isterinya serta pada saat-saat dimana bayangan Lila muncul diantara kabut yang menyelimuti klinik tempat Parman di rawat pertama kali, maulah ia hantam-hantamkan saja lututnya yang buntung kelantai atau mencabut tombol bel dan menempelkan ujung kabel ketubuh sehingga ia mati karena dihisap stroom listrik.
"Tidak, Lila sayangku," seringkali ia bergumam tiap kali pikiran nekad hampir mempengaruhi rasa putus asanya. "Kau telah menolongku malam itu di klinik. Aku tahu matimu penasaran. Aku akan menolongmu menyempurnakan kematian. Semoga kau tabah. sayangku dan..."
Dan terngiang-ngiang ucapan isterinya dua
tahun yang lalu, ketika ia diseret polisi karena terlibat perampokan-perampokan:
"Kau akan kutunggu sampai mati, kang Parman!"
Sampai mati! Waktu itu, ucapan Lila ia anggap hanyalah ucapan seorang isteri yang ingin menunjukkan kesetiaannya yang murni, siapapun dan apapun juga pekerjaan suaminya. Itulah cinta. Demi cinta Parman bekerja sama dengan lurah untuk mengumpulkan harta yang bisa ia persembahkan bagi isterinya. Demi cinta ia masuk penjara. Demi cinta isterinya menunggu sampai ia keluar dari penjara. la yakin demi cinta pulalah isterinya sampai mati penasaran. Lila tetap akan menunggu Parman. Sampai matinya. Untuk bertemu kembali. Biarpun di alam baka. Tetapi tidak. Sebelum Parman membalaskan dendam mereka bersama!
Dengan tekad yang bulat itu Parman berusaha untuk tetap hidup. Hari demi hari ia berangsur sembuh. Kemudian ia dituntun oleh beberapa suster atau perawat laki-laki seraya bergantian. Mula-mula disepanjang gang dalam sal. Terus ke kebun bunga. Lama kelamaan mereka melepaskan Parman bergerak sendirian. Dengan tongkat yang tercapit di ketiak kanannya. Ibu Lasmi. Bekas isteri lurah sekali dua berkunjung bersama calon suami dan anaknya.
Mereka pulalah yang membayar segala biaya perawatan Parman selama di rumah sakit. Pada mereka, Parman berjanji dalam hati,
kalau diizinkan Tuhan, ingin membalas jasa. Tidak dengan harta, paling dengan do'a.
*** SEPULUH LUBANG HIDUNG Parman mengembung. Udara segera menerobos masuk lewat jendela sal yang baru saja dibuka oleh seorang suster. Dihirupnya dalam-dalam. Sesaat ia berusaha duduk tenang-tenang di pinggir tempat tidur. Kemudian ia sambar tongkat kayu yang tersandar ke tembok. Ia lekatkan di bawah ketiak kanan, dengan bantuan tongkat itu ia berjalan ketepi jendela. Memandang ke luar. Kepekarangan samping yang dihiasi segelintir bunga-bunga ros dan tulip. Ke rerumputan hijau yang di basahi embun. Setetes'air jatuh dari ujung sehelai daun ceri. Jatuh di atas jalan aSpal di luar pagar. Jalan yang tenang.
"0, pagi yang cerah," ia bergumam sendirian. "Bantulah aku keluar dari masa depanku yang pudar ini!"
Tersuruk-suruk ia kemudian berjalan ke arah pintu.
Seorang petugas laki-laki tersenyum padanya. Ramah,
"Selamat pagi," kata orang itu.
"Pagi." "Enak tidurnya semalam?"
"Ya. Seenak enaknya tidur di rumah sakit dengan pikiran tak lepas dari bayangan sebelah kaki yang hilang."
"Sabarlah. Nanti juga terbiasa pakai tongkat"
"Terima kasih."
"Tidak mandi dulu?"
"Ah. Seminggu terbaring di tempat tidur, saya sudah terbiasa di-lap. Nanti sajalah lagi .."
Lantas ia meninggalkan petugas yang cuma bisa memandang laki-laki yang malang itu dengan mata bersimpati. Suara ketukan tongkat kayu diketiak Parman bergema sepanjang korridor. Seorang dua suster menoleh. Kemudian mengangguk seraya tersenyum. Seorang pasien ia lihat sedang berlari-lari kecil dikorridor. Nafasnya terengah-engah. Keluar dari mulut yang kering setelah melewati leher yang tipis. Wajah pasien itu juga tipis. Setipis tubuh yang tersembunyi dibalik piyama tidur yang tampaknya sudah beberapa hari tak diganti. Sering Parman melihat lelaki kurus itu melakukan olah raga kecil, pagi, sore. Kata seorang suster, terkena rheumatik yang akut sudah sering berlangganan dengan rumah sakit. Tiap keluar, selalu tak lama lagi pasti kembali.
"Pantas matanya begitu layu," bisik Parman dalam hati, ketika berpapasan dengan pasien itu. Dan ketika mata si pasien terpaut pada kaki kanan Parman yang buntung. Parman mengeluh, juga dalam hati:
"Namun ia lebih beruntung. Bisa berjalan bisa berlari. Dengan kedua kakinya.?"
Parman melangkah terus. Tersuruk-suruk. Dengan tongkat berdetuk-detuk.
Dan bergumam lagi: "Bisakah kubalaskan dendamku dengan kaki yang buntung begini?"
Pikiran Parman melambung ke masa silam. Ketika kedua orang tuanya meninggal karena dimakan kolera, ia tidak berputus asa. Mungkin karena waktu itu ia masih berumur belasan tahun, belum mengenal bagaimana sebenarnya susah hidup ini. Lebih-lebih setelah ia diangkat sebagai pembantu di rumah pak lurah. Tidur cukup. Makan cukup. Dimanja bagai anak sendiri. Bahkan kemudian lebih dari itu, ketika suatu malam isteri lurah ibu Lasmi masuk ke kamar tidur kemudian mencium bibirnya. Harihari berikutnya, tak saja mencium. Juga menggelut. Dan melampiaskan Parman ke sebuah penghidupan lain. Yang indah. Yang bergairah. Panas. Membara.
Ia juga tidak begitu berputus asa ketika pada saat lain, bukan ibu Lasmi saja yang dengan setengah paksa menggelut tubuhnya. Akan tetapi juga, suami perempuan itu. Mengerikan memang Laki-laki. Dengan lakilaki. la cuma terkaget. Panik. Dan takut. Mulamula. Lama-lama terbiasa. Lebih-lebih kebutuhan hidupnya semakin dipenuhi. Sampai benda lembut yang mengerikan yang selalu tersimpan dalam kotak hitam di kamar pak lurah, ter
genggam di tangannya. Mayat bayi yang tidak saja di awetkan. Tetapi kemudian juga diciutkan. Dengan itu. Parman leluasa pergi kedesadesa lain. Juga ke kota. Mengambil harta milik orang lain dengan leluasa, tanpa sekalipun ketahuan.
Ketika kekebalan mayat bayi yang menciut itu punah karena selembar rambut perempuan lacur terselip di kuku Parman sehingga rahasianya terbongkar, iapun tidak merasa berputus asa. Betapa tidak. Ketika ditangkap polisi, Lila cuma menangis tersedu, akan tetapi tidak menyesali perbuatan suaminya. Karena semua itu demi rumah tangga mereka, perkawinan yang tanpa modal. "Kau akan kutunggu". terngiang-ngiang ucapan Lila. "Sampai mati. akan kutunggu dengan janji setia itu. Parman bisa melampaui hidup yang sengsara selama terpenjara. Terjauh dari dunia luar, terjauh dari cinta dan tubuh isterinya sempat membuat Parman kehilangan gairah untuk hidup. Namun tak sempat sampai berputus asa Dengan harapan keluar dari penjara, ia masih memiliki sesuatu yang paling berharga di dunia ini: Lila.
Tetapi kini Lila sudah tiada. Juga sebelah kakinya.
"Tidak!" mulutnya berdecip. "Aku tak boleh berputus asa. Demi Lila!"
Detuk-detuk tongkatnya bergema lagi sepahjang korridor.
Entah sudah berapa puluh meter ia berjalan. Tubuhnya lelah. Terutama pUndak kanan
yang menahan tekanan tongkat. Lengan. apalagi. Tetapi ia tidak mau berhenti. Ia harus terus. Terus. Dan terus. Ia harus kuat. Ia tidak boleh menyerah. Dokter bilang, beberapa hari lagi luka-luka bedah di lutut kanannya akan mengering. Lalu ia boleh pulang.
"Kemana !", sesaat ia teringat. "Ya. Ke mana?"
"Pintu rumah kami terbuka lebar untuk kamu, Parman," terngiang-ngiang pula ucapan bu lasmi tiap kali datang bezuk.
Bibir Parman kering. Memang. la yakin bu Lasmi tidak akan menutup pintu baginya. Tetapi pantaskah" Bu Lasmi akan segera menikah, setelah cukup lama bertahan jadi janda. Ia tak lagi akan sendiri di rumahnya. Ia akan ditemani suaminya yang kedua. Suami yang tampaknya bertanggung jawab. Dan tidak bisex seperti suami pertama bu lasmi Lurah terkutuk itu. Yang menyebabkan Parman mengenal hangatnya tubuh perempuan sebelum waktunya. Bisakah kehangatan tubuh perempuan itu ia tekan dan buang jauh-jauh selama ia tinggal bersama ibu Lasmi nanti" .
"O, andai saja," keluhnya halus. "Andai saja ' Lila masih hidup?"
Dan tiba-tiba. hatinya yang terkoyak berdenyut. Keras.
Seorang perempuan berpakaian seragam putih-putih, keluar dari pintu sebuah kamar. Detuk-detuk tongkat kayu yang terhenti tibatiba menarik perhatian siperempuan. Ia meno
leh. Hati Parman semakin berdenyut. Jantungnya, apalagi. Ia ternganga, perempuan itu juga ternganga. Sepasang bola matanya yang bundar sesaat membesar. Mulutnya tergagap. Seperti mau berkata sesuatu. Tetapi tertahan di tenggorokan. Dan parman mendahului:
"... Lila," ia setengah berbisik. Lalu, setengah berseru: 'Lila!". Tongkatnya berdetuk detuk kencang. la setengah berlari perempuan itu menjadi pucat waiahnya. Lalu bergerak mundur. "Lila! Lila! Lila!
Belasan pasang mata petugas dan pasien yang sedang berada di luar, terpusat pada Parman yang menyeret-nyeret sebelah kakinya dengan tongkat kayu yang seperti menggapai gapai. Keheningan pagi, dipecahkan oleh detuk-detuk tongkat dan suara Parman yang memanggil-manggil. Semua terpukau. Tak mengerti. Dan tak tahu mau berbuat apa-apa. Sampai disebuah lorong yang bersudut empat, Parman tertegun dengan mata liar mencaricari. lorong itu sepi. Salah satu, berakhir di pintu kamar mati. Parman membasahi bibirnya yang kering.
Kemudian, tersuruk-suruk berjalan lurus ke kamar mati. '
"Lila?" suaranya setengah menangis. "Mengapa kau lari?" Mengapa kau lari?"
Tiba di pintu kamar mati. ia coba membukanya. Terkunci. Dengan sekuat suara. Parman berteriak:
"Lila, bukalah pintu. Bukalah!"
Sepi. Diam. "Bencikah kau padaku, Lila" Bencikah" Karena aku cacad?"
Sepi lagi. Diam lagi. Mencekam, sesepi dan sediam pintu kamar mati yang tetap tertutup. Akhirnya, kesabaran Parman habis. Ia menjadi marah. Merasa dipermainkan. Merasa terhina. Oleh isterinya sendiri. Yang ia cintai, dan katanya mencintai dirinya. Yang akan setia menunggunya. Sampai mati, dengan kemarahan yang bergumpal-gumpal di dada, Parman memukul-mukul pintu kamar mati. Kemudian menghantamnya berulang-ulang dengan tongkat kayunya. Berdentam-dentam. Suara hingar bingar segera memenuhi sekitar tempat itu. Tidak lagi berbelas-belas. tetapi sudah berpuluh-puluh bahkan mungkin beratus-"ratus pasang mata memperhatikan kejadian di depan pintu kamar mati yang terkunci rapat itu.
'Buka! Buka! Buka! Lila, buka. Lilaaaaa!".
Beberapa orang petugas laki-laki mendekat dari belakang Parman. Setelah saling pandang, seseorang berkata hati-hati.
"Bung, tak ada apa-apa di dalam."
Parman membalikkan tubuh. Wajahnya merah padam. Matanya kelabu, "Tak ada?" ia bersungut-sungut. "Isteriku. Isteriku ada di dalam". _
'Isterimu?" Petugas-petugas itu kembali saling berpandangan.
"lsteriku! Isteriku, dengar" Ia lari dariku.
dan bersembunyi di dalam. Mana: kunci pintu" Mana?"
Seraya menelan ludah, laki-laki tadi berkata: .
"Itu pintu kamar mati, bung".
Parman menghentak hentakkan tongkat kayunya kelantai lorong. Berteriak-teriak:
"lsteriku memang sudah mati. Sudah mati.
Seorang diantara perawat laki-laki itu bergidik. Yang seorang bergerak maju. Tersenyum dibibir, tetapi cemas dihati. Dalam hati kecilnya orang itu menggelinding dugaan-dugaan: 'Pasien ini sudah gila. Benar-benar gila!" Dan kedua lengannya terkembang kedepan. Berusaha memegang tangan Parman.
Yang mau dipegang, bergerak mundur, dan bertahan ke pintu kamar mati.
"Mau apa kau?". suaranya serak. "Mana kunci?" '
"Kemarilah, bung, Kau harus kembali ke tempatmu".
"Kembali?" mata Parman membesar.
'Tidak Aku tak sudi. Tanpa Lila".
"Bung', kata petugas dengan sabar "Kau bilang, istrimu sudah mati. Berarti ia tak ada disini, bukan?"
"Di dalam! Ia ada di dalam'"
"Bung. tak ada apa-apa Kamar mati itu kosong'.
"Tidak. Tidak! Tidaaaak!"
"Petugas-petugas lainjuga mulai mendekat mengitari Parman.
Tongkat kayu ditangm Parman segera teracung ke udara.
"Mengapa kalian mengepungku" tanyanya dengan suara tak puas. "Kalian mau melarang aku bertemu dengan isteriku, eh" kalian mau menyembunyikannya dikamar mati'! Membiarkan ia sepi sendiri" kalian menyiksanya. Kalian membunuhnya. Kalian antek-antek lurah. Kalian pasti anak buahnya".
Dan tongkat kayu Parman melayang diudara. Petugas yang terdekat segera membungkuk, kemudian menyambar kaki kiri Parman yang masih utuh. Parman terhenyak. Tongkat kayu ditangannya mau ia hujamkan kebawah. Akan tetapi, petugas lain segera bertindak. Seorang menyambar ayunan tongkat, seorang lagi memegangi lengannya. dan yang lain berusaha memeluk pinggangnya, Parman meronta-ronta.
"Lepaskan! Lepaskan aku! Kubunuh kalian! Kubunuh kalian". _
Ditonton banyak orang. Parman berhasil diringkus. Ia menangis setelah kedua lengannya dibetot kebelakang punggung, dan tubuhnya diangkat oleh petugas-petugas itu. Ia menangis tersedu-sedu.
'".O. kakiku. Kakiku !'.
Kemudian perlawanannya terhenti. Ia menangis.
"Lila, mengapa kau tega" Mengapa, sayangku?"
Petugas-petugas yang membopongnya sa
ling berpandangan kemudian saling mengangguk Mengerti Sama-sama sependapat: pasien ini histeris. Atau bermimpi waktu tidur. Dan setelah bangun, terpengaruh oleh impian pada isterinya. Tetapi kekamar mati" hi! Mungkin pasien ini sudah rusak jiwanya. Mungkin. Lakilaki malang!
"Kasihan..." seorang pasien perempuan ber
ucap. "Ya. Kasihan" kata orang lain didekat.
Dengan perasaan kasihan, kedua pasien itu masuk kembali kekamarnya. Sesaat. Mereka tertegun dan pucat saking kaget, ketika sesosok tuouh berpakaian putih-putih dan berwajah pucat pasi muncul dari-balik pintu. Ingatan mereka lari pada pasien aneh tadi.
Dan.. kamar mati! Namun setelah mengenal perempuan cantik yang tersenyum ramah dihadapan mereka, kedua pasien tadi menjadi lega. Seorang diantaranya bergumam:
"Ah suster Tea, Kirain" apa"
Dorothea, tetap tersenyum kaku. Kemudian melangkah. Kaku.
*** SEBELAS MASIH DENGAN wajah pucat. Dorothea masuk keruangan kantor di sebelah utara rumah sakit. Seorang petugas yang sedang membereskan sejumlah arsip di atas meja menoleh sekilas. Kemudian meneruskan pekerjaannya. Biasa, kalau sepagi itu sudah ada suster muncul dengan wajah pucat. Apalagi, suster yang baru bertugasjuga malam. Tetapi...
"... he, Tea. Kau tak tugas malam tadi bukan?"
Dorothea duduk disebuah kursi. Tubuhnya menggigil. "Tidak", katanya. Antara terdengar dan tidak:
"Kok: Wajahmu pucat. Sakit?"
Dorothea menggeleng "Baru lihat pasien yang mati?"
Mendengar itu, wajah Dorothea terdongak. Makin pucat.
Pasien mati" Apa anehnya" kemudian kepalanya terkulai lagi. Layu, diatas leher yang manis. Jenjang... mati, gumamnya. Laki-laki itu bidara soal isterinya yang mati lagi. Kali ini... didepan kamar mati"
Temannya yang sedang memberes-bereskan arsip, memandang penuh perhatian.
"Naa, apa kubilang," katanya. "Jangan percaya laki-laki?"
"Engga usah meledek Nur."
"Habis. Marah main laki didepan kamar mati! Apaan?"
"Siapa bilang!"
"Lho. Tadi kau bilang..."
"Ah. Kau. Mengada-ada saja. Aku cuma bilang laki-laki itu bicara soal isterinya yang sudah mati!" .
"Tentu saja. Supaya kau bersedia menerima cintanya. Eh. omong-omong. laki-laki pasien atau... Ha. Pasti dokter Nata, ya?"
'Nata?" rungut Dorothea. Tak bersemangat.
"lyalah. Dokter Nata. Ia kan sudah duda"
"Yang benar saja", Dorothea tersenyum. Wajahnya mulai memerah kembali. Laki-laki tua renta begitu" Huh"
"Tua-tua sih, kalau sedang jatuh cinta. Coba. Kalau kasih kuliah, apa engga sering matanya melirik-lirik kau?"
"Tak pernah kuperhatikan, sungut Dorothea seraya angkat bahu. Lagi pula, yang benar saja kau. Dokter kan harus jaga gengsi. Masa pacaran didepan kamar mati. Pagi begini?"
Gengsi ya tinggal gengsi. Tapi kalau cinta bicara...
SUdah, Sudah Bosan! Nur tertawa. Katanya: Kalau begitu, Parno ya"
Parno" Alaa. Yang paling rajin menyalinkan hasil kuliah kebuku Catatanmu, tiap kali kau absen...
Jangan mengada-ada Nur! Khawatir musti begitu.
Musti bagaimana" Menulis diakhir catatan: Tea. Tea-ku. Begitu"
Ia iseng sih. Apakah dokter Pandi juga iseng, sampaisampai ia meremehkan isterinya yang suka main kontrol kerumah sakit. kalau ia tahu sang suami yang anti cewek itu sering memakai kau sebagai partner di kamar bedah?"
"Ia membedah pasien. Bukan membedah tubuhku".
"Tubuhmu sih tidak. Pakaianmu"'
"E e, Nur...!' "Engga ngaku?" Dengan dongkol. Dorothea mengeluh:
"Kau kan kenal mama. Paling benci laki-laki yang sudah beristeri, tetapi masih coba dekatin perempuan".
"Kau?" "Aku?", Dorothea angkat bahu, 'Kuhargai mamaku".
"Kalau begitu. siapa lagi Tea" Dokter Nata tidak, Parno tidak. Dokter Andi juga tidak. Pasien ya?"
Dorothea menghela nafas. Sahutnya:
"Ya". Nur tertawa lebar. "Biasa, Pasien laki-laki memang suka be
gitu. Kita tak ambil open. dibilang judes Serba salah".
"Ya ini lain". "Lain?". "Ia malah sangka aku ini isterinya".
Nur mengernyitkan dahi. Lalu:
"Kau maksud.... pasien bernama Parman yang berusaha memeluk tubuhmu beberapa malam yang lalu?"
"He-eh". Wajah Nurjadi serius. Katanya:
"Diapainnya pula kau tadi?"
"Dikejar. Aku lantas bersembunyi di balik pintu kamar kelas tiga. la sangka aku bersembunyi dikamar mati..."
"Ka...mar mati?"
"He-eh Kau takut" Aku apalagi. Ketahananku menghadapi orang-orang mati atau yang sekarat menjelang mati selama ini, punah begitu saja. Laki-laki itu tampaknya bukan saja menganggap aku sebagai isterinya.. tetapi juga.. juga sebagai hantu isterinya. Hi!.
"Kau percaya hantu?"
"Dan kau?", Dorothea balik bertanya.
'.... kata orang. disekitar kamar mati suka berisik kalau malam hari, apalagi kalau malam Jum'at. Malah pernah katanya ada yang lihat. Penjual bakso. Ia disuruh berhenti dan baksonya dibeli seseorang. Setelah baksonya habis orang itu pergi. Tak bayar. Penjual bakso nyusul. Tetapi orang itu menghilang dibalik pintu kamar mati. Penjual bakso itu panik. lari.
Menabrak dengannya. Tumpah. Berantakan. Lalu seorang rekan juga pernah lihat perempuan cekikikan didepan kamar mati. Mulamula disangka suster yang lagi pacaran. Tetapi suara cekikikan berubah minta tolong. Rekan itu mendatangi, bermakSUd menolong. Tetapi disekitar kamar mati tak ada apa-apa?".
Macan Tutul Lembah Daru 3 Apalagi Jennings Karya Anthony Buckeridge Sepasang Garuda Putih 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama