Ceritasilat Novel Online

Mice And Men 1

Of Mice And Men Karya John Steinbeck Bagian 1


Of Mice and Men Sebuah Impian Lennie Diterjemahkan dari Of Mice and Men karya John Steinbeck Copyright ? 1937 by John Steinbeck
Copyright renewed John Steinbeck, 1965
Hak cipta dilindungi undang-undang
All rights reserved Penerjemah: Isma B. Koesalamwardi
Penyunting: Huzeim Pewajah Sampul: Eja Creative-14
Pewajah Isi: Rachma Kaolina
Cetakan I: Mei 2006 ISBN: 979-333-01-4-7 UFUK PRESS .PT. Cahaya Insan Suci Jl. Warga 23A, Pejaten Barat, Pasar Minggu,
Jakarta Selatan 12510, Indonesia
Phone: 62-21.7976587,79192866
Homepage: www.uftikpress.com
Blog: http://ufukpress.blogspot.com
Email: info@ufukpress.com
Beberapa mil di Soledad selatan, Sungai Sali-nas yang dalam dan berair hijau mengalir dekat sisi bukit. Airnya terasa hangat karena sungai itu mengalir meliuk-liuk melalui tanah kuning dan berkilauan yang diterpa sinar matahari sebelum mencapai danau sempit. Pada satu sisi sungai tersebut lereng kaki bukit menikung ke arah pengunungan Gabilan, tetapi pada sisi lembah air sungai dibatasi pepohonan willow1 yang segar dan hijau dengan daun-daun mudanya, yang ujung-ujung daunnya dipenuhi sampah-sampah yang terbawa banjir musim salju; pohon-pohon sika-mor2 dengan dahan-dahannya yang rebah berwarna putih corang-moreng serta cabang-cabangnya yang mencuat melebihi permukaan danau. Di bawah pepohonan di tepi sungai yang berpasir, dedaunan tertumpuk begitu tebal dan kering sehingga jika seekor kadal berlarian di sekitarnya akan menimbulkan bunyi-bunyi yang menakutkan. Beberapa ekor kelinci keluar dari semak-semak lalu duduk di atas-pasir pada malam hari, dan tanah datar yang lembab tertutup oleh jejak rakun yang berjalan di malam hari, oleh jejak anjing peternakan, dan oleh jejak rusa yang datang berkelompok untuk minum di sungai tersebut pada malam hari.
Ada jalan setapak menembus pepohonan willow dan di antara pepohonan sikamor, sebuah jalan setapak yang rusak karena terinjak-injak oleh anak-anak lelaki yang datang dari peternakan untuk berenang di danau yang dalam, dan juga oleh para tunawisma yang datang dari jalan raya, singgah karena keletihan pada malam hari untuk berkemah di dekat sungai. Di depan dahan pohon sikamor yang besar sekali ada tumpukan abu api unggun; batang-batang pohon itu jadi halus karena sering diduduki oleh orang-orang yang singgah.
Pada malam hari setelah siang yang panas, angin sepoi-sepoi menerobos di antara dedaunan. Bayangan malam merayap naik dari kaki bukit ke arah puncaknya. Di tepi sungai berpasir, kelinci-kelinci duduk tenang seperti patung-patung batu berwarna kelabu. Lalu, dari arah jalan raya terdengar langkah kaki menapaki daun-daun sikamor yang gugur. Kelinci-kelinci itu bergegas, ribut, mencari perlindungan. Seekor burung bangau yang jangkung terbang di angkasa, lalu menukik ke air. Sesaat tempat itu tampak mati, hingga dua orang lelaki muncul dari jalan setapak dan tiba di area terbuka di tepi kolam yang hijau.
Mereka berjalan beriringan di jalan setapak itu. Walaupun mereka berada di jalan yang cukup luas, namun yang satu berjalan di belakang yang lainnya. Mereka menggunakan celana dan jaket dari bahan denim. Kancingnya terbuat dari logam kuningan. Mereka mengenakan topi hitam tak berben-tuk dan membawa selimut yang digulung padat yang dipanggul pada bahu mereka. Lelaki pertama bertubuh kecil dan sigap, berwajah gelap, eksprisinya kuat, matanya tajam dan tampak cemas. Setiap bagian tubuhnya jelas: tangannya kecil dan kuat. Sepasang lengan yang ramping, serta bertulang hidung pipih. Di belakangnya berjalan seorang lelaki yang sebaliknya, bertubuh besar, bentuk wajahnya tak beraturan, matanya besar pucat serta punya bahu yang lebar menurun; Jalannya terkesan berat, agak menyeret kakinya, seperti seekor beruang menyeret kaki-kakinya. Kedua lengannya tidak terayun di sisi tubuhnya, tetapi hanya tergantung lemas.
Lelaki pertama tiba-tiba berhenti di tengah area terbuka, sehingga lelaki di belakangnya hampir menabraknya. Ia melepas topinya dan menyeka bandananya dengan telunjuknya. Kawannya yang bertubuh besar menjatuhkan selimutnya lalu dengan bebas berjalan ke tepi kolam yang hijau dan meminum air di permukaan kolam; meminumnya dengan tegukan-tegukan yang panjang, mendengus di atas permukaan air seperti seekor kuda. Lelaki bertubuh kecil dengan gugup melangkah ke sisinya.
"Lennie!" bentaknya. "Lennie, demi Tuhan, jangan minum sebanyak itu!" Namun, Lennie terus mendengus-dengus ke arah air kolam. Lelaki kecil itu lalu membungkuk dan mengguncang bahu Lennie. "Lennie, kau bisa sakit lagi seperti kemarin malam."
Lennie bahkan membenamkan seluruh kepalanya ke dalam air, bersama topi dan semuanya, lalu ia duduk di tepi kolam, sementara topinya meneteskan air sehingga membasahi jaket dan punggungnya. "Enak sekali," katanya. "Minumlah sedikit, George. Kau boleh minum banyak." Katanya sambil tersenyum gembira.
George melepaskan bawaannya dan menjatuhkannya perlahan di tepi sungai. "Aku tidak yakin air itu bisa diminum," katanya. "Kelihatannya agak berbuih."
Lennie mencelupkan tangan besarnya ke dalam air dan menggoyangkan jemarinya sehingga air membuncah dalam riak-riak kecil; membentuk lingkaran yang semakin lebar ke sisi lain kolam tersebut dan kembali lagi. Lennie melihat riak air itu menghilang. "Lihat, George. Lihat yang kulakukan tadi."
George berlutut di tepi kolam dan meminum air kolam dari cidukan tangannya. "Rasanya sih tak ada." katanya. "Tapi, air ini tidak mengalir. Kau tidak boleh meminum air yang tak mengalir, Lennie," katanya lagi dengan letih. "Jika kau haus, boleh minum air dari saluran air." Ia menyiram wajahnya dengan seciduk air, lalu membasuh tangan, dagu, dan leher belakangnya. Setelah itu, ia menanggalkan topinya, lalu mundur menjauh dari sungai, kemudian menekuk lututnya dan memeluk kedua lututnya. Lennie, yang sedang melihatnya, meniru semua yang dilakukan George. Ia bergerak mundur, menekuk lututnya, memeluk kedua lututnya, lalu menatap George untuk memastikan apakah ia telah melakukannya dengan benar. Ia menarik topinya sedikit ke bawah, hingga melewati matanya, persis seperti George mengenakan topinya.
George menatap murung ke arah sungai. Bagian pinggir matanya merah karena terpaan sinar matahari. Ia berkata dengan marah, "Kita seharusnya bisa saja tetap berada di dalam bis hingga tiba di peternakan jika supir bis sialan itu tidak bicara sembarangan. "Ya ampun! Tidak jauh" lagi dari jalan raya," katanya. "Ya Tuhan, tinggal Sedikit lagi". Empat mil lagi. Itu saja. Ia tak mau berhenti di depan pintu peternakan, itu saja. Dasar supir pemalas. Jangan-jangan ia juga tidak sanggup berhenti di Soledad. Ia menyuruh kita turun sambil berkata, "Ya ampun! Tinggal sedikit lagi." Aku bertaruh, itp tadi lebih dari empat mil. Mana panasnya minta ampun. Sialan."
Lennie menatap dengan malu-malu padanya. "George?"
"Apa. Kau mau apa?"
"Kita mau ke mana, George?"
Lelaki kecil itu menghentakkan tepian topinya dan menyumpahi Lennie. "Jadi kau sudah lupa, kan" Aku harus mengatakannya padamu lagi, gitu" Ya Tuhan, kau anak sialan!"
"Aku lupa," kata Lennie perlahan. "Aku coba untuk tidak lupa. Sumpah demi Tuhan. Aku berusaha, George."
"Oke...Oke, aku akan katakan lagi padamu. Aku tak peduli. Mungkin ini hanya membuang-buang waktuku, karena kau mungkin akan melupakannya lagi, dan aku pun harus mengatakannya lagi padamu."
"Kucoba dan kucoba lagi," sahut Lennie, "tapi tidak berhasil. Aku ingat tentang kelinci itu, George."
"Persetan dengan kelinci-kelinci itu. Kau hanya bisa mengingat kelinci-kelinci itu. Oke! Sekarang dengarkan! Dan kali ini kau harus ingat sehingga kita tak akan mendapat masalah. Kau ingat ketika kita bersembunyi di dalam saluran air di jalan Howard dan melihat papan tulis hitam itu?"
Senyuman ceria tampak di wajah Lennie. "Wah, ya tentu saja, George, aku ingat ketika ... tapi ... apa yang kita lakukan setelah itu" Aku ingat beberapa cewek datang dan kau bilang ... kau bilang ..."
"Persetan dengan yang aku bilang. Kau ingat kita pergi ke tempat Murray dan Ready, lalu mereka memberi kita kartu-kartu kerja dan karcis bis?"
"Oh, pasti, George. Aku ingat itu sekarang." Lalu dengan cepat tangannya merogoh saku sampingnya. Ia berkata dengan lembut. "George ... punyaku tidak ada. Aku pasti menghilangkannya." Ia menatap ke bawah ke tanah dengan sedih.
"Kau memang tidak pernah menyimpannya, dasar anak sialan. Aku simpan di sini. Kau pikir aku akan membiarkanmu membawa kartu kerjamu sendiri?"
Lennie tersenyum lega. "Ku .... kukira aku sudah memasukkannya ke dalam saku sampingku." Tangannya merogoh sakunya lagi.
George menatapnya dengan tajam. "Apa yang kau keluarkan dari sakumu itu?"
"Tidak ada apa-apa di dalam sakuku," sahut Lennie dengan tangkas.
"Aku tahu tidak ada apa-apa karena sekarang kau telah mengeluarkannya dan menggengamnya. Apa yang kau pegang" Apa yang tadi kau sembunyikan?"
"Aku tidak menyimpan apa-apa, George. Benar, deh."
"Ayo, berikan itu padaku."
Lennie menjauhkan kepalan tangannya dari penglihatan George. "Ini hanya seekor tikus, George."
"Seekor tikus" Tikus hidup?"
"Tidak. Hanya tikus mati, George. Tapi, aku tidak membunuhnya. Benar, deh! Aku menemukannya. Aku tadi menemukannya sudah -mati."
"Berikan padaku!" perintah George. "Jangan, aku mau menyimpannya, George."
"Berikan padaku!"
Tangan Lennie yang terkepal perlahan-lahan terulur, patuh. George mengambil bangkai tikus itu, lalu melemparkannya ke seberang kolam, di antara semak belukar. "Kenapa kau menyimpan bangkai tikus, sih?"
"Supaya aku dapat membelainya dengan jempolku sambil berjalan bersamamu," sahut Lennie.
"Kau tak boleh membelai-belai tikus ketika berjalan bersamaku. Kau ingat ke mana tujuan kita sekarang?"
Lennie tampak kaget. Karena malu, ia lalu menyembunyikan wajahnya di balik kedua lututnya. "Aku lupa lagi."
"Ya Tuhan," desah George menyerah. "Baiklah. Begini, kita akan bekerja di sebuah peternakan seperti di tempat asal kita, di daerah utara."
"Utara?" "Di Weed." "Ah, tentu saja. Aku ingat. Di Weed." "Oke. Nah, ketika kita masuk ke sana dan bertemu dengan bos, apa yang akan kau lakukan?"
"Aku ... aku," Lennie berpikir. Wajahnya berubah tegang. "Aku...tidak akan bilang apa-apa. Berdiri saja di sana."
"Anak baik. Itu hebat, sekali. Katakan dua atau tiga kali supaya kau tidak lupa."
Lennie mendengung perlahan. "Aku tidak akan bilang apa-apa. Aku tidak akan bilang apa-apa ... Aku tidak akan bilang apa-apa." "Oke." kata George. "Dan kau juga tidak akan melakukan kesalahan seperti yang kau lakukan di Weed."
Lennie tampak bingung. "Seperti yang pernah kulakukan di Weed?"
"Oh, jadi kau lupa itu juga" Nah, aku tidak akan mengingatkanmu, karena aku takut kau akan melakukannya lagi."
Seberkas cahaya ingatan menerpa wajah Lennie. "Mereka mengejar-ngejar kita hingga keluar Weed," serunya penuh kemenangan.
"Mengejar kita, mukamu," sahut George dengan sebal. "Kita kabur. Mereka mencari-cari kita, tetapi mereka tak dapat menangkap kita."
Lennie terkekeh gembira. "Yang itu aku tidak lupa, kau pasti tahu."
George membaringkan tubuhnya di atas pasir sambil menyilangkan kedua lengannya di bawah kepalanya. Lennie menirunya, lalu mengangkat kepalanya lagi untuk memastikan ia melakukannya dengan benar. "Tuhanku, kau benar-benar masalah besar," kata George. "Aku bisa berhasil dengan mudah jika kau tidak mengikutiku. Aku akan hidup dengan tenang dan mungkin punya pacar."
Sesaat Lennie berbaring tenang, lalu ia berkata penuh harap. "Kita akan bekerja di sebuah peternakan, George."
"Iya, iya. Kau benar. Tetapi, malam 'ini kita harus tidur di sini karena aku punya alasan."
Hari berjalan dengan cepat sekarang. Hanya puncak pegunungan Gabilan yang menyala terang karena sinar matahari yang masih terlihat dari, lembahnya. Seekor ular air berenang di sepanjang kolam, kepalanya berada di atas permukaan air seperti periskop kapal selam kecil. Alang-alang tersentak sedikit karena arus yang dibuatnya. Jauh ke arah jalan raya seorang lelaki meneriakkan sesuatu, dan yang lainnya membalasnya dengan teriakan juga. Dahan-dahan pohon si-kamor bergoyang-goyang karena sepoi angin yang tiba-tiba berhenti.
"George...mengapa kita tidak berangkat ke peternakan dan mencari makan malam" Mereka punya makanan di sana."
George berguling miring. "Sama sekali tidak ada alasannya bagimu. Aku senang di sini. Besok kita akan bekerja. Aku melihat truk mesin sampah di jalan raya. Itu artinya kita akan menggotong karung-karung biji-bijian, menyebalkan. Malam ini aku akan berbaring di sini saja sambil melihat-lihat. Aku senang."
Lennie berlutut, dan menatap George. "Kita akan makan malam kan?"
"Ya, tentu jika kau bisa mengumpulkan ranting-ranting willow. Aku membawa tiga kaleng buncis di dalam tasku. Kau nyalakan api. Aku akan memberimu korek api jika kau sudah mengumpulkan ranting-ranting. Kemudian kita akan memanaskan buncis-buncis itu lalu makan."
Lennie menyahut. "Aku suka buncis pakai kecap."
"Wah, kita tidak bawa kecap sama sekali. Kau cari kayu saja. Dan jangan iseng. Sebentar lagi gelap."
Lennie dengan berat berdiri dan menghilang di balik semak belukar. George tetap berbaring di tempatnya semula dan bersiul-siul lembut sendirian. Ada suara deburan dari sungai, berasal dari arah yang dituju Lennie tadi. George menghentikan siulannya dan menyimak.
"Anak jadah yang malang," katanya perlahan, lalu melanjutkan siulannya.
Tidak lama setelah itu Lennie kembali sambil menerobos semak belukar. Ia membawa sebatang ranting, yang kecil. George duduk tegak. "Ya ampun," katanya-kasar. "Berikan tikus itu padaku!"
Tetapi, Lennie bergerak berpantomim seakan tak berdosa. "Tikus apa, George" Aku tidak bawa tikus."
George mengulurkan tangannya. "Ayolah. Berikan padaku. Kau tidak boleh menyembunyikan apa pun."
Lennie ragu-ragu, lalu bergerak mundur sambil melihat dengan gugup pada semak belukar seolah ia berniat untuk melarikan diri
demi kebebasannya. Kemudian George berkata dengan dingin. "Kau berikan tikus itu padaku atau aku harus memukulmu?" "Memberimu apa, George?"
"Kau tahu, sialan kau! Aku minta tikus itu"
Dengan enggan Lennie merogoh sakunya. Suaranya agak bergetar. "Aku tidak mengerti mengapa aku tidak boleh menyimpannya. Ini "kan bukan tikusnya siapa-siapa. Aku tidak mencurinya. Aku menemukannya tergeletak begitu saja di tepi jalan."
Tangan George masih tetap terulur kaku. Perlahan-lahan, seperti seekor anjing pemburu yang tidak mau membawakan sebuah bola kepada majikannya, Lennie bergerak mendekat, namun mundur lagi, dan kembali mendekat. George menjentikkan jemarinya dengan tajam, lalu tepat ketika bunyi terdengar, Lennie meletakkan tikus itu di atas tangan George.
"Aku tidak nakal padanya, George. Hanya membelai-belainya."
George berdiri, kemudian melemparkan tikus itu sejauh mungkin ke dalam semak belukar yang gelap. Setelah itu ia menuju ke kolam dan mencuci tangannya. "Kau tolol. Kau pikir aku tidak bisa melihat kakimu yang basah karena kau menyeberangi sungai untuk mengambilnya?" Ia mendengar Lennie terisak, kemudian berpaling. "Kau seperti bayi! Ya Tuhan! Lelaki bertubuh besar seperti dirimu." Bibir Lennie bergetar dan air mata mulai menetes. "Ya ampun, Lennie!" George merengkuh bahu Lennie. "Aku tidak membuangnya karena aku jahat. Tikus itu sudah mati, Lennie. Mungkin kau sudah mematah-kannya ketika kau membelai-belainya. Kau cari saja tikus hidup lainnya dan aku akan membiarkanmu menyimpannya sebentar."
Lennie duduk di atas tanah dan menundukkan kepalanya dengan sedih. "Aku tidak tahu apa ada tikus lain. Aku ingat seorang nyonya pernah memberikannya padaku" satu-satunya yang dia punya. Tetapi, nyonya itu tidak ada lagi di sini."
George mengejek. "Nyonya, hah" Kau bahkan tidak dapat mengingat nyonya yang mana. Nyonya itu Clara, bibimu. Dia tidak lagi memberimu tikus karena kau selalu membunuhnya."
Lennie menatapnya dengan sedih. "Dia kecil sekali," katanya, penuh sesal. "Aku membelainya, dan tidak lama setelah itu menggigitku. Aku mencubit kepalanya sedikit, lalu dia mati"karena dia kecil sekali."
"Kuharap kita bisa segera menangkap kelinci. Aku tidak akan memberimu tikus hidup lagi. Bibi Clara-mu pernah memberimu tikus karet, tetapi kau tidak mau bermain dengannya."
"Tidak terlalu enak membelainya," sahut Lennie.
Cahaya matahari terbenam terpancar dari puncak-puncak gunung lalu kabut mulai menuruni lembah, disusul remang-remang di antara pepohonan willow dan sikamor. Seekor ikan gurami muncul di permukaan, menghirup udara dan menyelam lagi secara misterius ke dalam kegelapan air, dengan meninggalkan lingkaran riak air yang melebar. Di atasnya dedaunan bergerak-gerak lagi dan gumpalan kapuk willow tertiup angin dan melayang turun kemudian mendarat di atas permukaan kolam. "Kau mau kan mengambil kayu bakar?" tanya George. "Ada banyak di belakang pohon sikamor itu. Kayu yang terbawa banjir. Sekarang ambillah."
Lennie berjalan ke belakang pohon, lalu kembali membawa ranting dan daun-daun kering. Ia menaruhnya di atas tumpukan abu sisa api unggun lalu kembali lagi untuk mengambil lebih banyak. Sudah hampir malam ketika itu. Sepasang sayap merpati berdesing di atas permukaan air. George berjalan mendekati tumpukan kayu kering itu lalu membakar dedaunan kering. Api berderak-derak di antara ranting-ranting lalu menyala. George membuka ikatan buntalannya dan mengeluarkan tiga kaleng buncis. Ia mengaturnya di dekat api unggun, sangat dekat dengan nyala api, tetapi tidak terlalu dekat sehingga tidak sampai tersambar api.
"Buncis ini cukup untuk empat orang," jelas George.
Lennie menatapnya dari seberang api unggun. Dengan lambat ia berkata, "Aku suka memakannya dengan kecap."
"Wah, kita tidak punya kecap," teriak George. "Kau selalu mau sesuatu yang memang kita tak punya. Demi Tuhan, jika saja aku sendirian, aku akan hidup dengan lebih
mudah. Aku bisa mendapat pekerjaan, dan tidak punya masalah. Sama sekali tidak ada kekacauan, sehingga pada akhir bulan aku akan mendapatkan lima puluh dolarku, lalu aku pergi ke kota dan membeli apa saja yang kuinginkan. Wah, aku bisa tinggal di rumah bordil sepanjang malam. Aku bisa makan di mana pun, hotel atau di mana saja, dan memesan makanan apa saja yang muncul di pikiranku. Aku bisa melakukannya setiap bulan. Membeli segalon wiski, atau duduk di rumah bilyar dan main kartu atau menyodok bola bilyar." Lennie berlutut dan melihat George yang marah-marah melalui nyala api unggun. Wajah Lennie jadi ketakutan. "Lihat, seperti apa aku sekarang?" lanjut George dengan marah. "Aku harus bersamamu! Kau selalu mengacaukan pekerjaanku. Kau membuatku kehilangan pekerjaanku satu-satunya. Kau hanya membuatku terus menerus mencari pekerjaan baru di seluruh negeri. Dan itu bukan yang terburuk. Kau membuat masalah. Kau melakukan kejahatan dan aku harus mengeluarkanmu." Suaranya meninggi hingga hampir seperti teriakan. "Kau anak sialan. Kau selalu menyusahkan aku." Lalu, ia menirukan gerakan gadis-gadis kecil,"Hanya ingin menyentuh pakaian gadis itu"hanya ingin membelainya seperti aku membelai tikusku. Wah, bagaimana mungkin gadis itu tahu kalau kau hanya ingin menyentuh gaunnya" Gadis itu mundur dengan tiba-tiba, sementara kau menahannya seperti kau menjepit seekor tikus. Dia menjerit dan harus bersembunyi di dalam saluran air sepanjang hari. Karena itulah orang-orang Weed mencari-cari kita, dan kita harus menyelinap keluar dari kota itu dalam. Selalu begitu, setiap saat. Aku berharap bisa me-masukkanmu ke dalam kurungan yang berisi sejuta ekor tikus dan membiarkanmu bermain bersama mereka." Tiba-tiba kemarahannya menghilang. Ia menatap Lennie di seberang api unggun, lalu ke arah api unggun dengan perasaan malu.
Sekarang sudah sangat gelap, tetapi api itu menyinari dahan-dahan pepohonan, juga ranting-ranting yang bengkok di atasnya. Lennie perlahan-lahan merangkak mengelilingi api sehingga akhirnya ia berada di dekat George. Ia jongkok. George membalik kalengkaleng buncis sehingga sisi lain kaleng-kaleng tersebut menghadap ke api. Ia berpura-pura tidak tahu ada Lennie yang begitu dekat di sampingnya.
"George," panggil Lennie dengan sangat lembut. Tidak ada jawaban. "George!"
"Mau apa kau?" "Tadi aku hanya bercanda, George. Aku tidak mau kecap. Aku tidak akan makan kecap walaupun itu ada di sampingku, di sini." "Jika di sini ada kecap, kau boleh memakannya."
"Tetapi, aku tidak mau, George. Aku akan memberikan semuanya padamu. Kau bisa menimbun buncismu dengan kecap dan aku tidak akan menyentuhnya."
George masih terus menatap api dengan murung. "Ketika aku memikirkan saat-saat menyenangkan yang mungkin dapat kurasakan jika aku tidak bersamamu, aku jadi gila. Aku tak akan merasa tenang."
Lennie masih berlutut. Ia melihat ke arah kegelapan, ke seberang sungai. "George, kau mau aku pergi dan meninggalkanmu sendiri?" "Memangnya kau bisa ke mana, sih?"
"Yah, aku bisa saja. Aku bisa pergi menghilang ke bukit itu. Ke mana saja. Aku bisa menemukan sebuah goa."
"O, ya" Bagaimana kau akan makan" Kau tak punya kemampuan cukup untuk mencari makanan."
"Aku akan menemukan apa saja. George. Aku tidak perlu makanan enak dan juga kecap. Aku akan berbaring di bawah matahari, tidak ada yang akan melukaiku. Dan jika aku menemukan seekor tikus, aku bisa memeliharanya. Tidak ada yang mengambilnya dariku."
George dengan cepat berpaling, mencari-cari Lennie dalam kegelapan. "Aku jahat, ya?"
"Jika kau tidak menginginkan aku, aku bisa pergi ke bukit-bukit itu dan mencari sebuah goa. Aku bisa pergi kapan pun."
"Jangan'...begini! Aku hanya bercanda, Lennie. Sebenarnya aku ingin kau tetap bersamaku. Tentang tikus itu, itu karena kau selalu membunuhnya." Ia berhenti sejenak. "Begini, Lennie. Begitu aku punya uang, aku akan memberimu seekor anak anjing. Mungkin kau tidak akan membunuhnya. Anak
anjing akan lebih baik daripada seekor tikus. Kau boleh saja membelainya lebih keras." Lennie tak menghiraukan rayuan George. Ia mulai merasakan kemenangannya. "Jika kau tak menginginkan aku, kau tinggal bilang saja, dan aku akan pergi ke bukit-bukit di sana, di puncak bukit-bukit itu, dan hidup sendirian. Dan tidak akan ada yang mencuri tikusku."
George lalu berkata, "Aku ingin kau tetap bersamaku, Lennie. Ya Tuhan, kau bisa dikira seekor anjing koyote dan ditembak jika kau sendirian. Tidak. Kau tetap bersamaku.. Bibi Clara-mu tidak akan senang jika kau pergi sendirian, walaupun dia sudah meninggal dunia sekarang."
Lennie bicara dengan lugas. "Ceritakan padaku, seperti yang pernah kau ceritakan padaku."
"Ceritakan apa?"
"Tentang kelinci-kelinci itu."
George membentak. "Kau tak sedang mempermainkan aku kan ?"
Lennie memohon. "Ayolah, George. Ceritakan padaku. Ayolah, George. Seperti dulu itu."
"Kau senang mendengarnya, kan" Baiklah, aku akan ceritakan padamu, setelah itu kita makan malam ..."
Suara George terdengar lebih dalam. Ia mengulang kata-kata dengan berirama seolah ia telah pernah mengatakannya. "Orang-orang seperti kita, yang bekerja di peternakan adalah orang-orang yang paling kesepian di dunia. Mereka tak punya tempat. Mereka datang ke peternakan untuk bekerja ' keras demi uang, kemudian mereka pergi ke "kota dan menghabiskan uang mereka. Setelah itu, mereka akan bekerja keras lagi di peternakan lainnya. Mereka tak punya apa-apa untuk masa depan mereka."
Lennie merasa senang. "Itu dia, itu dia. Sekarang katakan bagaimana tentang kita sendiri,"
George melanjutkan. "Kita tidak seperti itu. Kita punya masa depan. Kita punya seseorang yang dapat kita ajak bicara yang sangat memperhatikan kita. Kita tidak perlu duduk di bar menghabiskan uang kita hanya karena kita tak punya tujuan pulang. Jika orang lain masuk penjara, tak ada yang membesuk mereka karena tidak ada yang peduli. Kita tidak seperti itu."
Lennie menyela. "Tetapi kita tidak seperti itu! Mengapa begitu. Karena ... karena aku punya kau yang selalu menjagaku, dan kau punya aku yang juga selalu menjagamu, yah...itulah sebabnya." Lalu, ia tertawa gembira. "Lanjutkan, George!"
"Kau telah hafal. Kau bisa melakukannya sendiri."
"Tidak, kau saja. Aku lupa beberapa bagiannya. Ceritakan apa yang akan terjadi." "OK. Suatu hari nanti, kita akan mendapatkan uang, memiliki sebuah rumah kecil, beberapa are tanah, seekor sapi, beberapa ekor ayam, dan...."
"Dan hidup dari tanah yang subur itu" seru Lennie. "Dan punya kelinci-kelinci. Lanjutkan, George! Ceritakan tentang apa yang akan kita miliki di taman dan tentang kelinci-kelinci di dalam kandang-kandang dan tentang hujan pada musim salju dan tungku, dan krim tebal di atas susu sehingga kau hampir tidak bisa memotongnya. Ceritakan tentang itu, George."
"Mengapa tidak kau lakukan sendiri" Kau tahu semuanya itu."
"Tidak ... kau saja. Tidak akan sama jika aku yang cerita. Ayo ... George. Bagaimana caranya memelihara kelinci?"
"Yah," lanjut George, "kita akan memiliki sebidang tanah yang luas untuk menanam sayuran dan sebuah kandang kelinci dan beberapa ekor ayam. Jika hujan saat musim dingin, kita hanya akan mengatakan, persetan dengan kerja hari ini, lalu kita akan menyalakan api di tungku dan duduk berkeliling sambil mendengarkan suara hujan yang menetes di atap...Gila!" George mengeluarkan pisau sakunya. "Aku tidak punya waktu lagi." Ia lalu menusukkan pisaunya ke salah satu tutup kaleng buncis, membukanya, dan memberikan kaleng itu pada Lennie. Kemudian ia membuka kaleng kedua. Dari saku sisinya, ia mengeluarkan dua buah sendok dan memberikan salah satunya pada Lennie.
Mereka duduk mengelilingi api unggun dan mengisi mulut mereka dengan buncis dan mengunyahnya dengan kuat. Beberapa potong buncis keluar dari mulut Lennie. George memberi isyarat menggunakan sendoknya.
"Apa yang akan kau 'katakan pada bos jika besok ia bertanya padamu?"
Lennie berhenti mengunyah dan menelan buncisnya. Wajahnya menunjukkan kalau ia sedang berkosentrasi. "Aku...aku tidak akan... mengatakan sepatah kata pun."
"Anak pintar! Tidak apa-apa, Lennie. Mungkin kau nanti akan jadi lebih baik. Ketika kita mendapat dua are tanah, aku akan membiarkan kau mengurus kelinci-kelinci itu. Terutama jika kau bisa meningat sebagus itu." Lennie tersedak karena merasa bangga. "Aku bisa ingat," katanya.
George memberi isyarat menggunakan sendoknya lagi. "Begini, Lennie. Aku ingin kau melihat sekitar daerah ini. Kau bisa ingat tempat ini, kan" Peternakan itu kira-kira seperempat mil dari sini ke arah sana. Ikuti saja sungai itu?"
"Tentu bisa," sahut Lennie. "Aku bisa ingat itu. Aku kan tadi ingat tidak mengatakan apa-apa?"
"Tentu saja. Nah, begini, Lennie. Jika kau kebetulan mendapat kesulitan seperti biasanya, aku ingin kau langsung ke tempat ini, dan bersembunyi di semak-semak."
"Bersembunyi di semak-semak," kata Lennie perlahan.
"Bersembunyi di balik semak-semak sampai aku menjemputmu. Kau ingat itu?"
"Pasti bisa, George. Sembunyi di semak belukar sampai kau datang."
"Tetapi, jangan pernah membuat masalah lagi, karena jika kau melakukan kesalahan, aku tak akan mengizinkanmu mengurus kelinci." George membuang kaleng buncis kosong ke semak-semak.
"Aku tidak akan membuat masalah, George. Aku tidak akan mengatakan apa-apa."
"Oke. Bawa ke sini buntalanmu, ke dekat api. Sepertinya enak tidur di sini. Melihat ke atas, dan dedaunan. Jangan perbesar nyala apinya. Biarkan saja api itu mati sendiri."Mereka membuat tempat tidur di atas pasir sementara cahaya dari api unggun mengecil; cabang-cabang yang melingkar menghilang, lalu hanya kilauan samar dari dahan-dahan pohon. Dari kegelapan Lennie memanggil, "George...kau sudah tidur?" "Belum. Mau apa?"
"Aku mau warna kelinci yang lain, George." "Tentu," sahut George sambil mengantuk. "Kelinci-kelinci merah, biru, dan hijau, Lennie. Jutaan ekor kelinci."
"Yang berbulu, George, seperti yang kulihat di pasar malam di Sacramento."
"Tentu, yang berbulu tebal."
"Karena aku bisa saja pergi, George, dan tinggal di goa."
"Kau juga bisa pergi ke neraka," sahut George. "Diamlah sekarang."
Nyala bara api meredup. Dari puncak bukit terdengar seekor koyote melolong, dan seekor anjing menyahutinya dari sisi lain sungai. Daun-daun sikamor berbisik diterpa angin.
Rumah sederhana itu merupakan bangunan yang panjang. Di bagian dalam, dindingnya berwarna keputihan dan lantainya tidak dicat. Pada tiga sisi dinding ada jendela-jendela persegi, dan pada sisi keempat; ada sebuah pintu yang tebal dengan sebuah palang pintu dari kayu. Ada delapan buah tempat tidur yang menempel di dinding. Lima di antaranya dilengkapi dengan selimut sedangkan kain kasur tiga lainnya terbuat dari goni. Di atas setiap tempat tidur ditempelkan paku, dua kotak laci dari kayu apel untuk menyimpan barang-barang pribadi setiap pengguna tempat tidur di bawahnya. Dan rak-rak terbuka tersebut berisi barang-barang kecil, seperti sabun, bedak talek, pisau cukur dan majalah peternakan Barat yang digemari para pekerja peternakan yang diselipkan di tempat yang mereka yakini sebagai tempat rahasia. Lalu, ada obat-obatan di rak itu juga, ada botol-botol kecil, sisir; dan beberapa potong dasi tergantung pada paku di sisi kotak itu. Di dekat salah satu dinding, ada sebuah tungku besi hitam, pipanya lurus ke atas menembus atap. Di tengah-tengah ruangan ada meja berbentuk persegi yang besar dan kotor karena permainan kartu, dan di sekelilingnya ada kotak-kotak tempat duduk para pemainnya.
Kira-kira pukul sepuluh pagi, sinar matahari menembus salah satu jendela samping yang berdebu, sementara sinar yang masuk dan keluar memantul tajam seperti bintang jatuh.
Palang pintu kayu terangkat. Pintu terbuka dan seorang lelaki tua jangkung ber-bahu masuk sambil membungkuk, Ia berpakaian jeans biru dan membawa sebuah sapu besar di tangan kirinya. Di belakangnya menyusul George, lalu di belakang George, datang Lennie.
"Bos menunggu kalian tadi malam," kata lelaki tua itu, "Dia sangat marah ketika kalian tidak datang, dan bekerja pagi ini." Ia menunjuk dengan tangan kanannya, dan dari lengan bajunya terjulur sebuah tongkat bulat seperti lengan, tetapi tidak ada tangannya. "Kalian boleh menempati dua tempat tidur yang ada di sana," katanya, sambil menunjuk dua buah tempat tidur di dekat tungku.
George melangkah masuk dan melemparkan selimutnya ke atas kasur berkain goni yang berisi jerami, yang menjadi alas tidur. Ia melihat kotak lacinya, lalu mengambil kaleng kecil berwarna kuning dari dalam laci itu. "Apa sih, ini?"
"Aku tidak tahu," sahut lelaki tua itu.
"Tertulis di sini, "pembunuh kutu busuk, kecoak, dan hama lainnya. Tempat tidur macam apa sih yang kalian berikan pada kami. Kami tidak mau tempat tidur bekas orang yang tidak bercelana."
Pekerja tua itu mengangkat sapunya dan mengempitnya di antara siku dan pinggangnya sementara ia memegangi kaleng itu dengan tangannya. Ia membaca labelnya dengan cermat. "Begini..." akhirnya ia berkata. "Orang terakhir yang menempati tempat tidur ini adalah seorang tukang besi, seorang yang sangat ramah dan sangat bersih seperti lelaki yang kau anggap bersih lainnya. Ia biasa mencuci tangannya, juga setelah makan."
"Lalu, bagaimana ia bisa punya banyak kutu?" kata George sambil berusaha menahan marahnya. Lennie meletakkan selimutnya di atas ranjang di sebelahnya dan duduk. Ia menatap George dengan mulut ternganga lebar.
"Begini," kata pekerja tua itu lagi. "Tukang besi ini, namanya Whitey, adalah seorang lelaki yang selalu meletakkan barang seperti itu walaupun tidak ada kutu di sekitarnya, hanya untuk berjaga-jaga, mengerti" Mau tahu kebiasaannya" Pada waktu makan, ia akan mengupas kentangnya, dan mencungkil setiap noda kecil di kentangnya, tak peduli noda apa itu, sebelum memakannya. Dan jika ada noda merah pada cangkang sebutir telur mentah, ia akan menggosoknya hingga hilang. Ia keluar karena makanan. Semacam itulah lelaki itu" bersih. Ia biasa berpakaian rapi pada hari Minggu walaupun ia tidak pergi ke suatu tempat pun, bahkan mengenakan dasi, lalu hanya duduk-duduk di pondok ini saja."
"Aku tidak terlalu yakin," kata George dengan curiga. "Tadi kau bilang apa tentang alasannya berhenti bekerja?"
Lelaki tua itu menyimpan kaleng kuning itu di dalam sakunya, lalu menggosok jambang putih yang kasar dengan kepalan tangannya. "Wah...ia...berhenti begitu saja, seperti yang lain. Katanya, karena makanan. Hanya ingin pindah saja. Ia tak memberikan alasan lain, hanya soal makanan. Ia hanya mengatakan "berikan aku waktu' satu malam, seperti orang lain."
George mengangkat kasurnya dan melihat bagian bawahnya. Ia membungkuk dan memeriksa kain goninya dengan cermat. Lennie segera berdiri dan melakukan hal yang sama pada ranjangnya. Akhirnya, George tampak puas. Ia membuka buntalannya dan mengatur barang-barangnya di rak; pisau cukur, sabun, sisir, botol pil, obat gosok, dan gelang kulit. Lalu, ia merapikan ranjangnya dengan selimut-selimut. Lelaki tua itu berkata, "Kukira bos akan ke sini sebentar lagi. Ia pasti marah jika kalian tidak ada di sini pagi ini. Aku masuk ketika ia sedang makan pagi dan ia berkata, "Di mana sih orang-orang baru itu"Dan si bos memarahi pengurus kandang kuda juga." George menepuk kerutan selimut di atas tempat tidurnya, lalu duduk. "Memarahi pengurus kandang kuda?"
"Tentu. Kau tahu, pengurus kandang kuda itu orang negro."
"Negro, ya?" "Ya. Orangnya ramah juga. Punggungnya bungkuk karena ditendang kuda. Bos marah sekali ketika si negro itu sakit. Tetapi, si negro tidak peduli. Ia banyak membaca. Punya buku-buku di kamarnya."
"Bos itu seperti apa sih?" tanya George. "Yah, ia seorang yang sangat baik. Kadang-kadang marah besan tetapi ia sangat baik. Kau tahu apa yang dilakukannya pada hari Natal" Ia membawa segalon wiski ke sini dan berkata, "Minumlah sampai puas, anak-anak. Natal hanya datang sekali setahun."
"Masa sih" Segalon penuh?"
"Ya, Pak. Ya Tuhan, kami senang sekali. Mereka bahkan membiarkan si negro itu masuk ke sini malam itu. Smitty yang bertubuh kecil dan kurus, memburunya. Ia berhasil. Orang-orang tidak membolehkannya menggunakan kakinya, sehingga si negro mengalahkannya. Orang-orang itu bilang, "itu karena si negro punggungnya bungkuk, karena itu Smitty tidak boleh menggunakan kakinya." Ia berhenti sejenak untuk mengumpulkan kenangannya. "Setelah itu orang-orang pergi ke Soledad dan membuat kerusuhan. Aku tidak pergi ke sana. Aku tidak punya cerita lagi."
Lennie baru saja selesai merapikan ranjangnya. Palang kayu itu terangkat lagi, lalu pintunya terbuka. Seorang lelaki gemuk pendek berdiri di ambang pintu terbuka. Ia mengenakan celana panjang jeans biru, kemeja kain fanel, rompi hitam tak dikancingkan dan jaket hitam. Kedua ibu jarinya digantungkan pada ikat pinggangnya, masing-masing pada sisi kepala ikat pinggangnya. Di atas kepalanya bertengger topi Stetson coklat kotor, dan mengenakan sepatu bot bertumit tinggi dan bertaji sehingga menunjukkan bahwa ia bukanlah seorang kuli.
Pekerja tua itu dengan cepat menatapnya, kemudian bergerak ke arah pintu sambil mengusap-usap jambangnya dengan kepalan tangannya ketika berlalu. "Mereka baru saja datang," katanya, lalu bergerak menyelinap melewati sang bos dan keluar dari pintu.
Sang bos melangkah masuk ruangan dengan langkah-langkah yang pendek dan cepat karena kakinya pendek. "Aku menulis surat untuk Murray dan Ready. Aku membutuhkan dua orang pagi ini. Kalian membawa kartu kerja?" George merogoh sakunya dan mengeluarkan kartu-kartu itu, lalu memberikannya kepada sang bos. "Ini bukan kesalahan Murray dan Ready. Di sini, di dalam kartu ini dikatakan kalian ke sini untuk bekerja-pagi ini."
George menatap kakinya. "Supir bisnya menurunkan kami," katanya. "Kami harus berjalan sepuluh mil. Karena itulah kami tidak bisa datang pada waktunya. Kami tidak mendapatkan tumpangan pagi ini."
Sang bos menyipitkan matanya. "Aku terpaksa mengirim regu yang kekurangan dua orang pekerja. Tidak ada gunanya kalian pergi sekarang. Nanti saja setelah makan malam." Ia lalu mengeluarkan buku catatannya dari saku dan membukanya di bagian
yang terselip sebatang pensil. George men-delik pada Lennie penuh arti, dan Lennie mengangguk untuk menunjukkan bahwa, ia mengerti. Sang bos menjilat pensilnya. "Siapa nama kalian?"
"George Milton."
"Dan namamu?" George menjawab. "Namanya Lennie Small."
Nama-nama itu tercatat di dalam buku itu. "Begini, hari ini tanggal dua puluh, siang, tanggal dua puluh." Ia menutup bukunya. "Kalian pernah bekerja di mana?"
"Di sekitar Weed," sahut George.
"Kau juga?" tanyanya pada Lennie.
"Ya, ia juga," kata George.
Sang bos menunjuk sambil bergurau pada Lennie. "Ia pendiam amat ya?"
"Begitulah, tetapi ia pekerja yang baik sekali. Kuat seperti banteng."
Lennie tersenyum pada dirinya sendiri. "Kuat seperti banteng," ia mengulang.
George mendelik padanya, dan Lennie segera menundukkan kepalanya, dengan malu karena lupa.
Tiba-tiba sang bos berkata,"Begini, Small!" Lennie mengangkat kepalanya. "Apa yang dapat kau kerjakan?"
Dengan gugup ia menatap George, minta tolong. "Ia bisa mengerjakan apa saja yang bos perintahkan," sahut George. "Ia penggembala yang terampil. Ia bisa menggotong karung-karung biji-bijian, mengemudikan traktor pembajak. Ia bisa mengerjakan apa saja. Dicoba saja."
Sang bos berpaling pada George. "Lalu, mengapa kau tidak membiarkannya menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaanku" Apa maumu?"
George menyela dengan suara keras. "Oh! Aku tidak mengatakan ia pandai. Ia tidak pandai. Tetapi, aku hanya bilang ia pekerja yang sangat baik. Ia bisa mengangkat jerami kering seberat empat ratus pon." Dengan hati-hati sang bos memasukkan bukunya ke dalam sakunya. Ia menekan kedua ibu jarinya pada ikat pinggangnya lalu menyipitkan sebelah matanya hingga nyaris tertutup. "Jadi, apa yang kau jual?"
"Hah?" "Aku bilang, apa yang kau dapatkan dari lelaki ini" Kau akan ambil upahnya?"
"Tidak, tentu saja tidak. Mengapa kau mengira aku menjualnya?"
"Yah, aku belum pernah melihat seorang lelaki mau begitu repot untuk orang lain. Aku hanya ingin tahu apa keuntungannya bagimu."
George menyahut. "Ia adalah ... sepupuku. Aku berjanji pada ibunya untuk mengurusnya. Kepalanya pernah ditendang kuda * ketika ia masih kecil. Tak ada kelainan padanya. Hanya tidak cerdas. Tetapi, ia bisa mengerjakan apa saja yang kau perintahkan padanya."
Sang bos memutar tubuhnya sedikit. "Yah, Tuhan tahu, ia tak perlu otak sedikit pun untuk menggotong karung-karung. Tetapi, jangan coba-coba mengambil keuntungan, Milton. Aku mengawasimu. Mengapa kau keluar dari Weed?"
"Pekerjaan sudah selesai," jawab George cepat.
"Pekerjaan apa?"
"Kami ... kami menggali sebuah kolam jamban."
"Baiklah. Tetapi, jangan coba-coba berbuat curang, karena kau akan mendapatkan hukumannya nanti. Aku pernah bertemu dengan seseorang yang licik. Pergilah bergabung dengan kelompok biji-bijian setelah makan malam. Mereka sedang mengumpulkan gandum dari mesin pengirik. Bergabunglah dengan kelompok Slim."
"Slim?" "Ya. Pemimpin Penggembala yang tinggi besar. Kau akan bertemu dengannya saat makan malam nanti." Ia lalu memutar tubuhnya dengan cepat dan pergi keluar pintu. Namun, sebelum keluar ia kembali berpaling dan menatap lama kedua lelaki itu.
Ketika suara langkah kaki sang bos. sudah tak terdengar lagi, George berpaling pada Lennie. "Kau sudah berjanji untuk tidak mengatakan apa-apa. Kau akan tetap menutup bibir besarmu itu dan membiarkan aku yang bicara. Keparat. Hampir saja kita kehilangan pekerjaan."
Lennie menatap kedua tangannya dengan putus asa. "Aku lupa, George."
"Ya, kau lupa. Kau selalu lupa, karena itu aku harus terus mengingatkanmu." Ia
duduk menjatuhkan diri di atas ranjangnya. "Sekarang ia akan mengawasi kita. Kita harus berhati-hati dan tidak berbuat kesalahan. Setelah ini, tutup saja bibir besarmu." Lalu Lennie terdiam murung.
"George." "Apa maumu sekarang?"
"Kepalaku tidak ditendang kuda, kan George?"
"Akan bagus sekali seandainya memang begitu," kata George bengis. "Bisa menyelamatkan orang lain dari banyak masalah." "Kau bilang aku sepupumu, George." "Yah, itu bohong. Dan aku senang sekali begitu keadaannya. Jika aku memang keluargamu, aku akan tembak diriku sendiri." Ia tiba-tiba berhenti bicara, lalu melangkah ke pintu depan dan mengintai. "Hei, mengapa kau menguping percakapan kami?" Lelaki tua itu perlahan-lahan masuk ke kamar. Ia tetap membawa sapunya. Di belakangnya seekor anjing gembala berjalan sambil menyeret kakinya, moncongnya berwarna kelabu, sedangkan matanya pucat buta, karena tua. Dengan susah payah anjing itu berusaha menepi ke sisi ruangan dan berbaring, sambil menggeram sendiri dan menjilati bulu-bulunya yang telah beruban dan dimakan kutu. "Aku tidak menguping. Aku hanya berdiri berteduh sebentar sambil membelai-belai anjingku. Aku baru saja membersihkan kamar mandi umum."
"Kau menempelkan kuping besarmu, menguping sesuatu yang bukan urusanmu," kata George. "Aku tidak suka orang yang usil dan ingin tahu urusan orang lain."
Dengan resah lelaki tua itu menatap George lalu Lennie lalu kembali. "Aku baru saja sampai di sana," katanya. "Aku tidak mendengar apa pun yang kalian bicarakan. Aku tidak punya urusan dengan apa yang kalian bicarakan. Pekerja peternakan tidak pernah menguping percakapan orang lain, juga tidak pernah ingin tahu urusan orang lain."
"Tentu saja tidak," sahut George, dengan agak mengancam, "tidak, jika ia ingin tetap bekerja di sini lebih lama." Tetapi, ia menjadi lebih yakin lagi karena jawaban pembelaan diri si pekerja tua itu. "Ayolah, masuk dan duduk sebentar," kata George. "Anjingmu itu tua sekali."
"Ya. Aku memeliharanya sejak ia masih bayi. Tuhanku, ia benar-benar seekor anjing gembala yang baik saat masih muda." Ia menyandarkan sapunya pada dinding dan mengusap berewok putih kakunya dengan kepalan tangannya. "Bagaimana bos menurutmu?" tanyanya.
"Lumayanlah. Kelihatannya ia baik."
"Ia memang seorang yang ramah," pekerja tua itu setuju. "Kau harus menghormatinya."
Pada saat itu seorang pemuda masuk ke' ruang tidur besar itu. Ia seorang lelaki muda yang kurus dengan wajah coklat, mata coklat, dan rambut keritingnya yang sangat rapat membungkus kepalanya. Tangan kirinya terbungkus sarung tangan untuk bekerja, lalu seperti sang bos, ia mengenakan sepatu bot bertumit tinggi. "Kau lihat ayahku?" tanyanya.
Lalu lelaki tua itu menyahut. "Ia baru saja dari sini, Curley. Mungkin pergi ke dapur umum."
"Aku coba mencarinya ke sana," sahut Curley. Matanya menyambar kedua pegawai baru, dan berhenti. Dengan dingin ia menatap George kemudian pada Lennie. Kedua lengannya lambat-lambat tertekuk pada sikunya dan kedua tangannya mengepal. Ia menjadi kaku dan agak membungkukkan tubuhnya. Tatapannya langsung menilai dan menantang. Lennie mengerut karena tatapan itu lalu menggeser kakinya dengan gugup. Curley melangkah dengan hati-hati sekali mendekatinya. "Kalian orang baru yang ditunggu ayahku?"
"Kami baru saja tiba," kata George.
"Biarkan orang besar ini bicara."
Lennie bergerak karena malu.
George berkata, "Mungkin ia tidak mau bicara."
Curley mengayun-ayunkan tubuhnya sambil berjalan mengelilingi mereka. "Demi Tuhan, ia harus menjawab jika ditanya. Kau siapanya?"
"Ia teman seperjalananku," sahut George dingin.
"Oh, jadi begitu."
George merasa tegang sehingga tidak bisa bergerak. "Ya, seperti itulah."
Lennie sangat ingin petunjuk dari George.
"Dan kau tidak akan membiarkan lelaki besar ini bicara, begitu?"
"Ia bisa bicara jika ia ingin mengatakan sesuatu padamu." Lalu ia mengangguk kecil pada Lennie.
"Kami baru datang," kata Lennie perlahan.
Curley menatapnya dengan tajam. "Yah, lain kali, kau harus menjawab jika ditanya." la lalu berpaling ke arah pintu dan berjalan keluar. Sikunya masih tertekuk sedikit.
George mengawasinya hingga ia keluar ruangan, lalu berpaling pada si tua. "Katakan, ada apa dengan orang itu" Lennie sama sekali tidak mengganggunya."
Lelaki tua itu dengan hati-hati melihat ke arah pintu untuk memastikan tidak seorang pun mendengar percakapan mereka. "Dia putra bos," katanya perlahan. "Curley sangat cekatan. Ia jagoan di atas ring tinju. Kelas ringan, dan gesit."
"Aku tidak peduli apakah ia cekatan," kata George. "Ia tidak perlu menantang Lennie. Lennie tidak mengganggunya. Mengapa ia membenci Lennie?"
Lelaki tua itu berpikir sejenak... "Begini. Curley, seperti kebanyakan lelaki yang bertubuh kecil. Ia benci pada lelaki yang bertubuh besar. Ia selalu berkelahi dengan lelaki yang bertubuh besar. Seolah ia membenci mereka karena ia tidak sebesar mereka. Kau sering melihat lelaki kecil seperti itu, kan" Selalu senang bertengkar?"
"Tentu," sahut George. "Aku cukup sering melihat lelaki bertubuh kecil. Tetapi, sebaiknya Curley tidak salah memahami Lennie. Lennie tidak tangkas sama sekali, tetapi si tengik Curley bisa terluka parah jika mengganggunya."
"Curley sangat cekatan," sahut si tua dengan ragu. "Bagiku sih itu tidak terlalu benar. Mungkin saja Curley menantang lelaki besar dan mengalahkannya. Semua orang mengatakan Curley senang main-main. Mungkin juga ia melakukan hal yang sama dan dikalahkan. Lalu semua orang mengatakan seharusnya lelaki besar harus memilih lawan yang sesuai, dan mungkin mereka berkelompok untuk melawan orang-orang bertubuh besar. Bagiku itu tidak benar. Tampaknya Curley tidak pernah memberi kesempatan pada orang lain."
George masih mengawasi pintu. Lalu ia berkata setengah mengancam. "Sebaiknya ia tidak mengganggu Lennie. Lennie bukan seorang petarung, tetapi Lennie sangat kuat dan sigap, ia juga tidak tahu aturan-aturan bertarung." Ia lalu berjalan ke meja persegi dan duduk pada.salah satu peti. Ia mengumpulkan kartu-kartu yang berserakan dan mengocoknya.
Si lelaki tua juga duduk di atas peti lainnya. "Jangan katakan pada Curley aku menceritakan ini padamu. Ia akan membantaiku. Ia tidak akan peduli. Ia tidak akan pernah kalah karena ayahnya adalah bos di sini."
George membagi tumpukan kartu dan -mulai membaliknya, sambil melihat setiap bagiannya kemudian melemparkan tumpukan itu dengan gambar menghadap ke bawah. Ia berkata, "Si Curley ini bagiku seperti anak sundal saja. Aku tidak suka lelaki kecil yang bengis."
"Bagiku ia kelihatan semakin jahat saja," tambah si tua. "Ia menikah beberapa minggu yang lalu. Istrinya tinggal di rumah bos. Curley menjadi lebih sombong setelah menikah."


Of Mice And Men Karya John Steinbeck di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

George menggerutu, "Mungkin ia berlagak di depan istrinya."
Si lelaki tua memanaskan gosipnya. "Kau lihat sarung tangan pada tangan kirinya?" "Ya; Aku lihat."
"Kau tahu, sarung tangannya penuh dengan vaselin."
"Vaselin" Untuk apa sih?"
"Katanya sih Curley menjaga tangannya untuk istrinya."
George mengamati kartu-kartu itu dengan seksama. "Itu cerita kotor untuk kau ceritakan pada orang lain," katanya.
Lelaki tua itu terpancing. Ia mendengar George baru saja menghina Curley. Sekarang ia merasa aman, lalu bicara dengan lebih percaya diri. "Tunggu saja hingga kau melihat istri Curley."
George membagi tumpukan kartu lagi dan mengaturnya untuk permainan soliter, perlahan dan hati-hati. "Manis?" tanyanya. "Ya. Manis... tetapi..."
George mengamati kartunya. "Tetapi apa?"
"Matanya." "Ya" Setelah menikah dua minggu, mata istrinya nakal. Mungkin karena itu Curley bersikap begitu resah seolah banyak semut di dalam celananya."
"Aku pernah melihat istrinya bermain mata dengan Slim. Si penggembala yang tangkas. Ia lelaki yang sangat ramah. Slim tidak perlu mengenakan sepatu but bertumit tinggi di kelompok penuai biji-bijian. Aku melihat istri Curley bermain mata dengannya. Dan aku juga melihatnya melakukan itu dengan Carlson."
George pura-pura tak begitu berminat mendengarkan. "Tampaknya kita akan bersenang-senang, seru nih."
Lelaki tua itu lalu berdiri. "Kau tahu apa yang kupikirkan?" George tidak menjawab. "Kukira pernikahan Curley ... tipuan saja." "Ia bukan yang pertama," kata George. "Banyak orang yang telah melakukannya." Lelaki tua itu beranjak ke pintu, dan anjing tuanya mengangkat kepalanya lalu memandang tajam, setelah itu susah payah berdiri dan mengikutinya. "Aku harus menyiapkan baskom untuk orang-orang itu. Tidak
lama lagi kelompok itu akan tiba. Kalian akan mengepak gandum?"
"Ya." "Kalian tidak akan mengatakan pada Curley apa yang tadi kuceritakan pada kalian kan?"
"Tentu saja tidak."
"Kau perhatikan saja perempuan itu, pak. Kau akan tahu apakah perempuan itu jujur atau tidak." Ia berhenti di ambang pintu di depan sinar matahari yang benderang.
George meletakkan kartu-kartu itu dengan penuh perhatian, membalik deretan tiga. Ia menambahkan empat sekop pada deretan AS. Sinar matahari sekarang sudah merata di lantai, dan lalat-lalat mulai beterbangan di atasnya seperti menyambar-nyambar. Bunyi dentingan pakaian kuda dan ringkik keledai-keledai yang diberi beban berat terdengar di luar. Dari kejauhan terdengar jelas suara teriakan. "Tukang kuda...hei, tukang kuda!" Kemudian, "Di mana sih, si Negro keparat itu?"
George menatap deretan kartu soliternya, lalu ia membanting kartu-kartu itu semua dan berpaling pada Lennie. Lennie sedang berbaring di atas ranjangnya sambil mengamati George.
"Lihat, Lennie! Di sini tidak aman. Aku takut kau akan mendapat masalah dari si Curley itu. Aku pernah bertemu dengan orang seperti ini. Ia mengira bisa membuatmu takut dan ia akan menghajarmu begitu ia punya kesempatan."
Mata Lennie bersinar ketakutan. "Aku tidak mau ada masalah," katanya datar. "Jangan biarkan ia menghajarku, George."
George berdiri dan mendekati Lennie yang sedang berbaring di tempat tidur, lalu duduk di sampingnya. "Aku benci pada anak sialan itu," katanya. Aku pernah bertemu banyak anak sialan seperti dia. Seperti yang dikatakan lelaki tua itu, Curley tak perlu menunggu peluang untuk menang. Ia selalu menang." Ia merenung sesaat. "Jika ia mengganggumu, Lennie, kita akan mendapat masalah. Jangan sampai salah tentang itu. Ia anak bos. Begini, Lennie. Berusahalah menjauhinya, mengerti" Jangan pernah bicara dengannya. Jika ia masuk ke sini, menyingkirlah ke sisi lain ruangan ini. Kau mau lakukan itu, Lennie?"
"Aku tidak mau ada masalah," sahut Lennie dengan murung. "Aku tidak pernah mengganggunya. "
"Wah, kau tak akan selamat jika Curley memilihmu sebagai lawannya. Jangan berurusan dengannya, itu saja. Kau bisa ingat itu?"
"Tentu, George. Aku tak akan bilang apa-apa."
Bunyi kedatangan kelompok pekerja terdengar lebih keras, derap kuku-kuku hewan besar di atas tanah keras, seretan rem dan denting rantai. Suara-suara kelompok pekerja itu saling bersahutan. George, yang masih duduk di samping Lennie, mengerutkan dahinya, berpikir. Lennie malu-malu bertanya, "Kau tidak marah, kan, George?"
"Aku tak marah padamu. Aku marah pada Curley, anak sialan itu. Aku berharap kita punya sedikit uang, mungkin seratus dolar." Suaranya menjadi tegas. "Kau hindari Curley, Lennie!"
"Tentu, George. Aku tidak akan bilang apa-apa."
"Jangan biarkan ia memancingmu. Jika si anak sialan itu mengganggumu, biarkan ia merasakannya."
"Biarkan ia merasakan apa, George?" "Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Aku akan bilang jika ia begitu. Aku benci orang-orang seperti Curley. Begini, Lennie, jika kau mendapat masalah semacam itu, kau ingat apa yang kukatakan padamu apa yang harus kau lakukan?"
Lennie bertumpu pada sikunya. Wajahnya tegang karena berpikir. Lalu matanya bergerak sedih ke wajah George. "Jika aku mendapat masalah, kau tak akan membiarkan aku mengurus kelinci-kelinci itu."
"Bukan itu maksudku. Kau ingat di mana kita tidur kemarin malam" Ditepi sungai?" "Ya, aku ingat. Oh, tentu aku ingat! Aku pergi ke sana dan sembunyi di semak belukar."
"Sembunyi hingga aku menjemputmu. Jangan sampai ada orang yang melihatmu. Sembunyi di balik semak belukar di tepi sungai. Ulangi kata-kataku."
"Sembunyi di balik semak belukar di tepi sungai."
"Jika kau mendapat masalah."
"Jika aku mendapat masalah."
Suara rem terdengar berdencit di luar. Suara panggilan terdengar. "Tukang kuda. Hei, Tukang kuda."
George berkata, "Ulangi sendiri, Lennie, supaya kau tidak lupa."
Kedua lelaki itu mendongak, karena sinar matahari yang persegi terpotong di ambang pintu. Seorang perempuan muda berdiri di sana sambil melihat ke dalam ruangan. Bibirnya penuh, berwarna merah muda dan matanya besar, berias wajah tebal. Kuku jemarinya merah. Rambutnya tergerai berupa kumpulan ikal-ikal rambut, seperti sosis. Dia mengenakan pakaian rumah dari bahan katun dan sepatu merah yang berhiaskan buket dari bulu burung unta berwarna merah. "Aku mencari Curley," katanya. Suaranya agak sengau dan serak.
George mengalihkan tatapan darinya, lalu kembali. "Ia di sini beberapa menit yang lalu, tetapi pergi lagi."
"Oh!" Perempuan itu memindahkan kedua tangannya ke belakang tubuhnya, dan bersandar pada bingkai pintu sehingga tubuhnya terdorong ke depan. "Kalian pegawai-pegawai baru itu, kan?"
"Ya." Mata Lennie bergerak menjelajahi tubuh perempuan itu sehingga walaupun istri Curley tidak melihat ke arah Lennie, agak tersentak juga. Lalu dia menatap kuku-kukunya. "Kadang-kadang Curley ke sini," katanya menjelaskan.
George menyahut dengan kasar. "Yah, sekarang ia tidak di sini."
"Jika tidak ada, kukira aku lebih baik mencarinya di tempat lain," katanya dengan genit.
Lennie menatapnya, terpesona. George berkata, "Jika aku melihatnya, aku akan katakan kau mencarinya."
Dia tersenyum lebar dan menghentakkan tubuhnya. "Tidak ada salahnya mencarinya," katanya. Terdengar langkah-langkah di belakang perempuan itu. Dia memalingkan kepalanya. "Hai, Slim," katanya.
Suara Slim masuk melalui pintu itu. "Hai, cantik."
"Aku sedang mencari Curley, Slim."
"Wah, kau tidak benar-benar mencarinya. Aku melihatnya masuk ke rumahmu."
Dia tiba-tiba ketakutan. "Sampai jumpa, anak-anak," serunya ke dalam ruangan, lalu ia bergegas pergi.
George menatap Lennie. "Ya, ampun. Dasar pelacur," katanya. "Jadi, perempuan seperti itulah yang dipilih Curley menjadi istrinya."
"Dia manis," kata Lennie membelanya.
"Ya, dan dia menyembunyikan sifatnya. Curley jelas lebih memperhatikan pekerjaannya. Tetapi, dia mengobral diri untuk dua puluh dolar."
Lennie masih menatap pintu, tempat perempuan itu tadi berdiri. "Ya ampun, dia cantik." Lalu tersenyum penuh kagum. George dengan cepat melihat Lennie, lalu menarik telinganya dan mengguncangnya.
"Dengarkan aku, kau anak sialan," katanya galak. "Jangan pernah menatap sundal itu. Aku tidak peduli apa yang dikatakannya dan apa yang dilakukannya. Aku pernah melihat racun seperti itu, tetapi aku belum pernah melihat umpan ke penjara yang lebih berbahaya daripada dia. Jangan kau goda dia."
Lennie mencoba melepaskan tangan George dari telinganya. "Aku tidak melakukan apa-apa, George."
"Ketika dia berdiri di ambang pintu memperlihatkan tungkainya, kau terus menatapnya."
"Aku tidak pernah berniat jahat, George. Benar, tidak pernah."
"Yah, kau jauhi saja dia, karena perempuan itu perangkap tikus, aku pernah melihat yang seperti itu. Kau jangan mengganggunya jika kau tak ingin seperti Curley. Ia membiarkan dirinya memasuki perangkap itu. Kau lihat kan, sarung tangannya penuh dengan vaselin," kata George dengan jijik. "Dan aku yakin, ia makan telur mentah dan pergi ke apotik-apotik untuk minta obat-obatan paten."
Tiba-tiba Lennie menjerit, "Aku tidak suka tempat ini, George. Ini bukan tempat yang baik. Aku ingin keluar dari sini."
"Kita harus bertahan hingga kita dapat uang. Harus, Lennie. Kita akan keluar secepat mungkin. Aku juga tidak suka seperti kau." Ia lalu kembali ke meja dan menyusun kartu untuk permainan soliter yang baru. "Tidak, aku tidak suka," katanya. "Aku akan keluar dari sini. Jika kita bisa mendapatkan beberapa dolar saja, kita akan keluar dan pergi ke Sungai Amerika dan menuai emas. Kita mungkin bisa mendapatkan dua dolar sehari di sana, dan mungkin kita akan beruntung."
Lennie mencondongkan tubuhnya dengan bersemangat pada George. "Ayo George, ayo keluar dari sini. Di sini jahat."
"Kita harus bertahan," sahut George pendek. "Diamlah sekarang. Orang-orang itu akan masuk sebentar lagi."
Dari kamar mandi di dekat istirahat mereka terdengar suara baskom-baskom berden-tingan George mengamati kartunya. "Mungkin kita harus membersihkan diri," katanya. "Tetapi, kita tidak melakukan apa pun yang mengotori badan kita."
Seorang lelaki jangkung berdiri di ambang pintu. Ia mengepit kuat-kuat sebuah topi Stetson di bawah lengannya sambil menyisir rambut panjangnya yang hitam dan basah lurus ke belakang. Seperti yang lainnya juga, ia mengenakan jeans biru dan jaket pendek dari bahan denim. Ketika ia selesai menyisir, ia bergerak memasuki ruangan dengan gaya keanggunan yang hanya dimiliki oleh seorang bangsawan dan seniman besar. Ia adalah si penggembala itu, pangeran peternakan itu, yang mampu mengendalikan sepuluh, enam belas, atau bahkan dua puluh keledai dengan hanya satu tali kekang. Ia mampu membunuh seekor lalat yang menempel pada bagian belakang kereta dengan menggunakan cemeti banteng tanpa menyentuh keledainya. Ada daya tarik pada sikapnya sehingga semua orang berhenti bicara jika ia bicara. Kewenangannya sangat besar sehingga kata-katanya digunakan pada semua hal, baik itu dalam politik maupun cinta. Ia adalah Slim, penggembala yang hebat. Wajahnya yang damai hingga tak dapat diterka umurnya. Ia mungkin saja berusia tiga puluh lima atau lima puluh tahun. Telinganya mampu mendengar lebih dari yang dikatakan pada dirinya, dan gaya bicaranya yang lambat memiliki nada tambahan bukan pemikiran, tetapi pengertian di luar pemikiran. Kedua tangannya, besar dan ramping, lembut seperti juga gerakannya, ibarat tangan-tangan seorang penari kuil.
Ia merapikan topinya yang kusut, melipatnya di tengah, lalu mengenakannya. Ia menatap ramah kedua lelaki yang ada di rumah istirahat itu. "Di luar sangat silau, jadi aku tidak dapat melihat dengan baik di dalam ruangan," katanya lembut. "Kalian pegawai baru?"
"Baru saja datang," sahut George.
"Akan mengangkat karung gandum?" "Itu yang dikatakan bos."
Slim duduk di atas sebuah peti, bersebe-rangan dengan George. Ia mempelajari kartu-kartu soliter yang terbalik. "Kuharap kau ada di kelompokku," katanya. Suaranya sangat lembut. "Di kelompokku ada dua orang yang tidak dapat membedakan antara karung gandum dan sebuah bola biru. Kalian pernah mengangkat karung gandum kan?" "Tentu saja," sahut George. "Aku tak perlu berteriak-teriak sombong, tetapi anak bertubuh besar ini dapat memanggul lebih banyak karung dibandingkan dengan orang lain."
Lennie, yang mengikuti percakapan itu dengan tatapan berganti-ganti, tersenyum karena pujian itu. Slim menatap setuju pada George karena memberi pujian. Ia mencondongkan tubuhnya ke meja lalu melipat ujung kartu yang lepas. "Kalian berdua datang ke sini bersama-sama?" Nadanya ramah.
"Tentu," sahut George. "Kami saling menjaga." George menunjuk Lennie dengan menggunakan ibu jarinya. "Ia tidak cerdas. Tetapi, ia seorang pekerja yang sangat baik. Seorang yang sangat ramah, tetapi ia tidak cerdas. Aku sudah mengenalnya sejak lama." Slim melihat ke belakang George. "Tidak banyak lelaki yang bepergian bersama-sama," katanya sambil merenung. "Aku tidak tahu mengapa, mungkin semua lelaki di seluruh dunia takut pada sesama lelaki."
"Bagiku jauh lebih menyenangkan bepergian dengan seseorang yang kau kenal," sahut George.
Seorang lelaki kuat, berperut gendut datang memasuki rumah istirahat. Kepalanya masih meneteskan air, ia baru selesai mandi. "Hai, Slim," sapanya, lalu berhenti dan menatap George serta Lennie.
"Mereka baru saja datang," kata Slim memperkenalkan mereka.
"Senang berkenalan denganmu," kata lelaki besar itu. "Namaku Carlson."
"Aku George Milton. Temanku ini namanya Lennie Small."
"Senang berkenalan denganmu," kata Carlson lagi. "Ia tidak terlalu small [kecil]." Ia lalu tertawa lembut pada leluconnya sendiri. "Sama sekali tidak kecil," ia mengulanginya. "Aku mau tanya, Slim. Bagaimana dengan anjing betinamu?"
"Dia melahirkan bayi-bayinya tadi malam," kata Slim. "Sembilan. Aku hanyutkan empat ekor. Dia tidak mungkin bisa memberi susu pada sembilan ekor anaknya."
"Kau masih punya sisa lima ekor, kan?"
"Ya, lima. Aku mau mengambil yang paling besar."
"Kau pikir, mereka akan jadi anjing jenis apa?"
"Entahlah," sahut Slim. "Mungkin sejenis anjing gembala. Jenis itu yang paling sering kulihat berkeliaran di sini ketika anjing betinaku saat masa kawin."
Carlson melanjutkan. "Kau punya lima ekor anak anjing. Kau akan memelihara semuanya?"
"Entahlah. Sementara ini aku harus memelihara mereka semua sehingga mereka dapat minum susu Lulu."
Carlson berkata penuh perhatian, "Begini, Slim. Aku sudah memikirkannya. Anjing yang dipelihara Candy, sudah sangat tua, ia hampir tidak dapat berjalan lagi. Baunya juga minta ampun. Setiap kali ia datang ke sini, aku masih dapat mencium baunya selama dua atau tiga hari. Mengapa kau tidak meminta Candy menembak anjingnya saja lalu kau berikan salah satu anak anjingmu untuk ia pelihara" Aku dapat mencium bau anjing itu dari jarak satu mil. Anjing itu sudah tidak punya gigi, nyaris buta, tidak dapat makan juga. Candy memberinya susu, karena anjing itu sudah tidak dapat mengunyah apa-apa lagi."
George sedang menatap Slim dengan penuh perhatian. Tiba-tiba sebuah logam segi-tiga dipukul di luar. Pada awalnya lambat-lambat, lalu lebih cepat dan lebih cepat lagi sehingga akhirnya bunyi pukulan itu berubah menjadi bunyi berdering. Bunyi itu berhenti tiba-tiba seperti juga saat mulainya.
"Nah itu dia," kata Carlson.
Di luar, ada suara-suara bergemuruh ketika sekelompok lelaki keluar.
Slim berdiri dengan lambat dan anggun. "Kalian sebaiknya segera datang selagi masih ada yang bisa dimakan. Beberapa menit lagi semuanya akan ludes."
Carlson melangkah mundur sehingga Slim dapat berjalan di depannya, lalu keduanya keluar dari pintu.
Lennie menatap George dengan bersemangat. George mengaduk kartunya hingga menjadi berantakan. "Ya!" kata George. "Aku mendengarnya, Lennie. Aku akan memintanya."
"Seekor yang berwarna coklat dan putih," seru Lennie gembira.
"Ayolah. Kita makan malam. Aku tidak tahu apakah ia punya yang berwarna putih dan coklat."
Lennie tidak bergerak dari ranjangnya. "Kau segera minta padanya, George, supaya ia tidak membunuhnya lagi."
"Tentu. Ayolah sekarang, berdiri."
Lennie berguling dari ranjangnya, lalu berdiri. Keduanya beranjak menuju pintu. Be-gitu mereka sampai di pintu, Curley muncul.
"Kalian melihat seorang perempuan muda di sekitar sini?" tanyanya dengan marah.
George menjawab dengan dingin. "Kira-kira setengah jam yang lalu, mungkin."
"Apa sih yang dilakukannya di sini?"
George berdiri tegak, sambil menatap lelaki kecil yang marah-marah. Lalu ia berkata dengan nada menghina, "Katanya mencarimu."
Curley tampak benar-benar baru pertama kali melihat George. Matanya berkilat menatap George, menaksir tingginya, memperkirakan jangkauannya, lalu melihat pinggangnya yang terlatih. "Nah, ke mana dia pergi?" akhirnya ia bertanya.
"Entahlah," sahut George. "Aku tidak melihat dia pergi."
Curley mendelik padanya, lalu berputar, dan bergegas menuju pintu.
George berkata, "Kau tahu, Lennie. Aku takut akan bermasalah dengan anak sialan itu. Aku membencinya. Ya Tuhan! Ayolah. Kita akan kehabisan makanan."
Mereka menuju pintu. Sinar tipis matahari menerobos di bawah jendela. Dari kejauhan terdengar suara dentingan piring-piring beradu.
Sesaat kemudian, seekor anjing renta berjalan melalui pintu yang terbuka. Ia menatap ke tengah ruangan, dengan matanya yang setengah buta. Ia mengendus, kemudian berbaring dan meletakkan kepalanya di antara kaki-kakinya. Curley muncul di pintu itu lagi dan berdiri sambil menatap ke dalam ruangan. Anjing itu mengangkat kepalanya, tetapi ketika Curley keluar dengan sentakan, kepala beruban itu tenggelam di lantai lagi.
Walaupun ada cahaya malam yang menerobos jendela-jendela rumah istirahat, di bagian dalamnya tampak remang-remang. Melalui pintu yang terbuka terdengar suara hentakan dan denting permainan ketangkasan melemparkan sepatu kuda, lalu sesekali suara yang meninggi yang menyatakan kegembiraan ataupun ejekan.
Slim dan George masuk ke rumah istirahat yang remang-remang. Slim mendekati meja kartu dan menyalakan lampu listrik yang tidak terlalu terang. Segera saja meja menjadi terang. benderang. Kap lampu yang berbentuk corong memusatkan sinarnya ke bagian bawahnya sehingga sudut-sudut ruangan masih tetap remang-remang. Slim duduk di atas sebuah peti dan George duduk di depannya.
"Tidak apa-apa," kata Slim. "Aku memang harus menenggelamkan sebagian besar dari mereka. Tidak perlu berterimakasih padaku untuk itu."
George berkata, "Memang tidak berarti bagimu, mungkin, tetapi sangat berarti baginya. Ya Tuhan, aku tidak tahu bagaimana kami bisa membawanya tidur di sini. Ia pasti mau tidur di lumbung bersama mereka. Kita akan kesulitan untuk melarangnya tidak tidur bersama anak-anak anjing itu di dalam kotak."
"Tidak apa-apa," kata Slim lagi. "Begini, kau pasti benar tentang dirinya. Mungkin saja ia tidak cerdas, tetapi aku belum pernah melihat pekerja seperti itu. Ia nyaris membunuh rekan kerjanya ketika menggotong karung-karung gandum. Tidak ada yang dapat mengimbanginya. Tuhan maha Kuasa, aku belum pernah melihat orang sekuat itu."
George berbicara dengan bangga. "Katakan saja pada Lennie apa yang harus dikerjakannya jika pekerjaan itu tidak memerlukan pikiran. Ia tidak bisa berpikir apa pun sendiri, tetapi ia pasti mampu mengerjakan apa yang diperintahkan padanya."
Ada suara denting sepatu kuda beradu dengan tiang besi di luar dan suara-suara sorakan lirih.
Slim' bergerak agak ke belakang sehingga cahaya lampu tidak menimpa wajahnya. "Lucu juga kalian bisa begitu terikat." Suara Slim tenang sehingga membuat George memercayainya.
"Apanya yang lucu?" tanya George.
"Entahlah. Jarang sekali lelaki bepergian bersama. Aku hampir tidak pernah melihat lelaki bepergian bersama. Kau tahu bagaimana para pekerja itu. Mereka hanya datang dan pergi sendirian. Tidak pernah kelihatan peduli pada orang lain. Lucu saja, melihat seorang lelaki tidak waras dan seorang lelaki kecil cerdas seperti dirimu, berjalan bersama."
"Ia bukan tidak waras," kata George. "Ia sangat tolol, tetapi tidak gila. Dan aku juga tidak terlalu cerdas, atau aku tidak akan bekerja sebagai penggotong dan menurunkan karung gandum demi lima puluh dolar. Jika aku cukup cerdas, aku sudah memiliki rumah kecil, dan akan memanen kebunku sendiri, bukan mengerjakan semua pekerjaan ini dan mengambil apa yang tidak berasal dari tanah." George terdiam. Ia hanya ingin bicara. Slim tidak memberi dukungan ataupun menyelanya. Ia hanya duduk tenang dan menyimak.
"Ia dan aku berjalan ke mana-mana bersama. Biasa saja, tidak terlalu lucu juga." Akhirnya George berkata. " Ia dan aku dilahirkan di Auburn. Aku mengenal bibinya, Clara. Dia merawatnya sejak Lennie bayi dan membesarkannya. Ketika bibinya meninggal dunia, Lennie begitu saja ikut bersamaku mencari pekerjaan. Kami dengan cepat jadi akrab."
"Mmm," kata Slim.
George menatap Slim dan melihat ketenangan itu, matanya yang seperti mata dewa menatapnya dengan tajam. "Lucu," kata George. "Aku biasa bersenang-senang bersamanya. Aku sering mengganggunya karena ia terlalu bodoh untuk menjaga dirinya sendiri. Tetapi, ia juga terlalu bodoh untuk mengerti bahwa ia sedang diolok-olok. Aku senang. Membuatku tampak sangat cerdas di sampingnya. Ia akan mengerjakan apa saja yang kuperintahkan. Jika aku menyuruhnya
berjalan di karang, ia akan lakukan itu. Tidak terlalu menyenangkan setelah itu. Tetapi, ia tidak pernah marah karenanya. Aku pernah memukulinya, padahal sesungguhnya ia bisa saja meremukkan tulang-tulangku hanya dengan jemarinya. Tetapi, ia tidak pernah melakukannya padaku sedikit pun." Suara George bernada pengakuan. "Apa yang membuatku berhenti melakukan itu, akan kukatakan. Suatu hari sekelompok lelaki sedang berdiri bergerombol di Sungai Sacramento. Aku merasa sangat pandai. Aku berpaling pada Lennie dan mengatakan padanya, "Meloncatlah." Dan ia meloncat. Padahal ia sama sekali tidak bisa berenang. Ia nyaris hanyut sebelum kami berhasil menyelamatkannya keluar dari sugai. Ia menjadi begitu baik padaku karena telah menyelamatkan-nya. Ia betul-betul lupa bahwa akulah yang menyuruhnya terjun. Aku tidak akan melakukan hal itu lagi."
"Ia orang yang ramah," kata Slim. "Orang tidak perlu cerdas untuk menjadi orang baik. Bagiku, kadang-kadang semuanya berlaku terbalik. Seorang yang benarbenar cerdas, jarang yang benar-benar baik hati."
George mengumpulkan kartu-kartu yang berserakan dan mulai menyusun permainan soliter. Terdengar suara derak sepatu di tanah di luar. Sinar sore masih membuat jendela terang benderang.
"Aku tidak punya teman," kata George. "Aku pernah melihat orang-orang yang berkeliaran sendirian di peternakan. Itu tidak bagus. Mereka tidak bahagia. Setelah lama di sana, ia jadi jahat. Mereka akan menunggu kesempatan untuk berkelahi."
"Ya, mereka jadi bengis," sahut Slim setuju. "Mereka juga tidak mau bicara pada seorang pun."
"Tentu saja Lennie sangat menjengkelkan, selalu," kata George. "Tetapi, aku terbiasa dengannya karena ke mana-mana bersamanya dan aku tidak dapat melepaskan diri darinya."
"Ia tidak jahat," kata Slim. "Aku tidak bisa melihat sifat Lennie yang jahat sedikit pun."
"Tentu saja ia tidak jahat. Tetapi, ia selalu mendapat masalah karena ia sangat
bodoh. Seperti yang terjadi di Weed..." Ia berhenti ketika sedang membalik sehelai kartu. Ia tampak waspada dan menatap Slim. "Kau tidak akan mengatakannya pada orang lain?"
"Apa yang ia lakukan di Weed?" tanya Slim tenang.
"Kau tidak akan mengatakan" ... Tidak, tentu saja kau tidak akan mengatakannya pada orang lain."
"Apa yang dilakukannya di Weed?" tanya Slim lagi.
"Yah, ia melihat seorang gadis berpakaian merah. Anak bodoh seperti Lennie ingin menyentuh apa pun yang disukainya. Hanya ingin merasakannya. Maka ia mengulurkan tangannya untuk meraba pakaian merah itu dan gadis itu menjerit, sehingga Lennie jadi bingung sekali. Ia kemudian mencengkeram pakaian itu karena hanya itulah yang terpikir olehnya. Maka gadis itu semakin menjerit-jerit. Aku berada agak jauh sehingga aku hanya mendengar semua jeritan itu. Aku berlari dan Lennie begitu ketakutan sehingga yang terpikir olehnya hanya terus memegangi pakaian itu. Aku memukulnya dengan tiang
pancang pagar supaya ia mau melepaskannya. Ia begitu ketakutan sehingga tidak dapat melepaskan gaun itu. Padahal kau tahu, ia sangat kuat."
Mata Slim datar saja dan tidak berkedip. Ia mengangguk sangat lambat. "Lalu apa yang terjadi?"
Dengan hati-hati George membuat barisan kartu-kartu soliter. "Yah, gadis itu melaporkan kejadian itu pada hakim dan mengatakan bahwa ia diperkosa. Orang-orang di Weed mulai berkumpul dan mengejar Lennie. Maka kami duduk bersembunyi di dalam saluran air yang berair sepanjang hari. Hanya kepala kami yang tersembul ke permukaan air kotor itu. Dan pada malam hari kami merangkak keluar dari situ."
Slim duduk diam sesaat. "Ia sama sekali tidak melukai gadis itu, kan?" akhirnya ia bertanya.
"Tentu saja tidak. Ia hanya membuatnya ketakutan. Aku juga akan ketakutan jika ia mencengkeramku. Tetapi, ia tidak pernah melukainya. Ia hanya ingin menyentuh gaun merahnya. Seperti ia ingin selalu membelai anak-anak anjing itu."
"Ia tidak jahat," kata Slim. "Aku bisa mengenali orang jahat dari jauh."
"Tentu saja ia tidak jahat, dan ia akan melakukan apa saja yang ku...."
Lennie masuk melalui pintu. Ia mengenakan jaket denim biru. Ia berjalan membungkuk.
"Hai, Lennie," sapa George. "Bagaimana anak anjingnya?"
Lennie berkata sambil terengah-engah. "Ia coklat dan putih, persis seperti yang kuinginkan." Ia langsung menuju pembaringannya dan berbaring. Ia memalingkan wajahnya lalu menekuk lututnya.
George meletakkan kartunya lambat-lambat. "Lennie," katanya tajam.
Lennie memutar lehernya dan menoleh. "Hah" Kau mau apa, George?"
"Aku sudah bilang padamu, kau tidak boleh membawa anak anjing itu ke sini." "Anak anjing apa, George" Aku tidak membawa anak anjing."
George dengan cepat mendekatinya, lalu mencengkeram bahunya dan menggulingkannya. Ia lalu mengambil seekor anak anjing
kecil dari sisi perut Lennie. Lannie ternyata menyembunyikannya.
Dengan cepat Lennie duduk tegak. "Berikan padaku, George."
George berkata, "Bangunlah dan bawa kembali bayi anjing ini pada induknya di sarangnya. Ia harus tidur bersama induknya. Kau mau membunuhnya" Ia baru saja dilahirkan dan kau telah membawanya pergi dari sarangnya. Kembalikan ke sana atau aku akan bilang pada Slim supaya kau tidak boleh memilikinya."
Lennie mengulurkan tangannya memohon. "Berikan padaku, George. Aku akan mengembalikannya. Aku tidak bermaksud jahat, George. Jujur. Aku tidak. Aku hanya ingin membelainya sedikit."
George memberikan anak anjing itu. "Baiklah. Kembalikan ke sana cepat, dan jangan kau bawa keluar lagi. Kau bisa membunuhnya, kau tahu itu." Lennie setengah berlari keluar dari ruangan.
Slim tidak bergerak. Mata tenangnya mengikuti Lennie keluar pintu. "Tuhan," katanya. "Ia betul-betul seperti seorang anak kecil, kan?"
"Memang, ia seperti anak kecil. Sama sekali tidak ada sifat jahat seperti juga pada anak kecil. Tetapi, ia begitu kuat. Aku bertaruh ia tidak akan kembali ke sini malam ini. Ia akan tidur di samping kotak itu di lumbung. Yah, biarkan saja. Ia tidak akan melukai siapa pun di sana."
Hampir gelap di luar sekarang. Candy tua, si pengurus semua, masuk dan pergi ke ranjangnya. Di belakangnya berjalan tertatih-tatih anjing tuanya. "Halo, Slim. Halo George. Kalian tidak bermain tapal kuda?"
"Aku tidak suka bermain setiap malam," sahut Slim.
Candy melanjutkan. "Kalian juga tidak minum wiski" Aku bisa sakit perut."
"Aku tidak," kata Slim. "Aku akan minum jika aku mau, sendirian, dan aku juga tidak akan sakit perut."
"Perutku sakit sekali," kata Candy. "Lobak cina itulah yang membuatku sakit. Padahal aku tahu, aku akan sakit sebelum aku memakannya."
Si tubuh tebal Carlson masuk dan keluar dari kegelapan halaman. Ia berjalan ke ujung rumah istirahat itu lalu menyalakan lampu
bertudung yang lainnya. "Gelap sekali di sini," katanya. "Si negro itu hebat sekali membidik tapal kuda."
"Ia memang hebat," sahut Slim.
"Benar sekali," sahut Carlson. "Ia tidak memberi kesempatan menang pada siapa pun..." Ia berhenti dan mengendus udara sambil melihat ke bawah pada anjing tua itu. "Ya ampun, anjing itu bau sekali. Keluarkan ia dari sini, Candy! Aku tidak tahu ada barang yang baunya melebihi anjing tua itu. Keluarkan anjingmu."
Candy bergulung ke tepi ranjang. Ia meraih dan membelai anjing renta itu, dan ia meminta maaf. "Aku sudah lama sekali bersamanya sehingga aku tidak tahu betapa baunya ia."
"Wah, aku tidak tahan ia ada di sini," kata Carlson. "Baunya masih menggantung di sekitar sini walaupun ia sudah pergi." Ia berjalan melewatinya dengan kaki beratnya yang terseret dan melihat ke bawah pada anjing tersebut. "Anjingmu tidak punya gigi lagi," katanya. "Ia begitu kaku karena rematik. Ia tidak ada gunanya bagimu, Candy. Dan ia juga tidak berguna bagi dirinya sendiri. Mengapa kau tidak menembaknya saja, Candy?"
Lelaki tua itu menggeliat tidak nyaman. "Persetan! Aku telah bersamanya begitu lama. Aku memeliharanya sejak bayi. Aku menggembala domba bersamanya," katanya dengan bangga. "Kau tidak akan percaya jika melihatnya sekarang, tetapi ia adalah anjing penggembala terbaik yang pernah kulihat."
George berkata, "Aku pernah melihat seorang lelaki di Weed yang memiliki seekor anjing jenis airedale yang bisa menggembala domba. Anjing itu belajar dari anjing-anjing lainnya."
Carlson tidak mau menyerah. "Begini, Candy. Anjing tua ini hanya merasakan penderitaannya sendiri setiap saat. Jika kau membawanya keluar dan menembaknya tepat di belakang kepalanya...." Ia membungkuk dan menunjuk, "tepat di sini, ia tidak akan tahu apa yang mengenainya."
Candy tampak tidak bahagia. "Jangan," katanya perlahan. "Tidak. Aku tidak sanggup melakukannya. Aku telah bersamanya terlalu lama."
"Ia sendiri juga tidak bahagia," desak Carlson. "Lagipula, ia bau sekali. Begini, aku akan bantu menembaknya, maka bukan kau yang menembaknya."
Candy menurunkan tungkainya dari tempat tidur. Ia menggosok misai putih tebal pada pipinya dengan gugup. "Aku sudah begitu akrab dengannya," katanya perlahan. "Aku bersamanya sejak ia masih bayi."
"Tetapi, kau juga tidak berbuat baik padanya jika kau tetap membiarkannya hidup seperti itu," kata Carlson. "Begini, anjing betina Slim sudah melahirkan sekarang. Aku yakin Slim akan memberikan seekor anak anjing padamu, betul kan, Slim?"
Si penggembala handal itu sedang mengamati anjing tua renta itu dengan mata tenangnya. "Ya," sahutnya. "Kau boleh mengambil seekor anak anjinglu jika kau mau." Ia tampak terbiasa berpidato. "Carlson benar, Candy. Anjing itu juga tidak bahagia. Aku sendiri berharap ada orang yang akan menembakku jika aku sudah tua dan lumpuh." Candy menatap putus asa padanya, karena pendapat Slim adalah hukum baginya.
"Mungkin itu akan menyakitinya," katanya. "Aku tak keberatan memeliharanya."
Carlson berkata, "Dengan caraku menembaknya, ia tidak akan merasakan, apa pun. Aku akan menempelkan pistolku tepat di sini." Ia menunjuk dengan ujung kakinya. "Tepat di belakang kepalanya. Ia bahkan tidak akan menguik."
Candy mencari pertolongan dengan menatap wajah-wajah orang di sekitarnya. Di luar sudah sangat gelap sekarang. Seorang pegawai muda masuk. Bahu turunnya terbungkuk ke depan dan ia berjalan dengan berat menyeret tumitnya, seolah ia menyeret sekarung gandum yang tidak terlihat. Ia menuju ranjangnya, lalu menyimpan topinya di raknya. Kemudian ia mengambil majalah dari raknya dan membawanya ke bawah lampu di atas meja. "Aku sudah memperlihatkan ini padamu, Slim?" tanyanya. "Memperlihatkan aku apa?"
Lelaki muda itu membalik majalah, lalu meletakkan di atas meja dan menunjuk dengan jarinya. "Di sana, dan bacalah." Slim membungkuk. "Ayo," kata lelaki muda itu. "Bacalah yang keras."
?"Editor yang terhormat:"," Slim membaca lambat-lambat. "Telah enam tahun aku membaca majalahmu dan kukira, majalahmu adalah yang terbaik yang ada di pasaran. Aku suka kisah-kisah karya Peter Rand. Kukira ia adalah seorang penulis yang hebat. Beri kami cerita semacam Dark Rider [Pengendara Kuda Gelap] lebih banyak lagi. Aku tidak banyak menulis surat. Hanya ingin memberitahumu, kukira majalahmu adalah barang terbaik yang dapat dibeli hanya dengan sepuluh sen."
Slim mendongak dan menatap tidak mengerti. "Untuk apa kau menyuruhku membacanya?"
Whit menyahut, "Lanjutkan, baca nama yang tertulis di bagian bawah."
Slim membaca. ?"Semoga berhasil. William Tenner." Ia menatap Whit lagi. "Untuk apa kau menyuruhku membacanya?"
Dengan cara yang mengesankan, Whit menutup majalah itu. "Masa kau tidak ingat Bill Tenner" Yang bekerja di sini kira-kira tiga bulan yang lalu?"
Slim mengingat-ingat ?"Lelaki kecil?" tanyanya. "Mengemudikan traktor pembajak?"
"Itu dia," seru Whit. "Itulah orang itu." "Kau pikir, ia adalah penulis surat ini?" "Aku tahu itu. Bill dan aku di sini ketika itu. Bill mengambil sebuah buku yang baru tiba. Ia menatapnya dan berkata, "Aku menulis selembar surat. Aku bertanya-tanya apakah mereka memasukkannya ke dalam buku!" Tetapi, surat itu tidak ada di sana. Bill berkata, "Mungkin mereka menyimpannya untuk nanti. Memang itulah yang mereka lakukan. Ini dia."
"Kukira kau benar," sahut Slim. "Mereka memuatnya dalam buku."
George memegang majalah itu. "Ayo kita lihat?"
Whit menemukan surat itu lagi, tetapi tidak mau melepaskan pegangannya pada majalah tersebut. Ia menunjuk surat itu dengan telunjuknya. Lalu ia pergi ke raknya lagi dan meletakkan majalah itu dengan hati-hati. "Aku bertanya-tanya, apakah Bill sudah melihat suratnya," katanya. "Bill dan aku pernah bekerja di ladang kacang polong. Menjalankan traktor pembajak, kami berdua. Bill sangat ramah."
Selama percakapan itu, Carlson tidak mau ikut bicara. Ia terus melihat anjing Candy dengan resah. Akhirnya Carlson berkata, "Jika kau mau, aku akan membantu iblis tua ini terbebas dari penderitaannya sekarang. Ia sudah tidak bisa apa-apa. Tidak bisa makan, tidak bisa melihat, bahkan tidak bisa berjalan tanpa kesakitan."
Candy menyahut penuh harap. "Kau tidak punya senjata."
"Tentu saja aku punya. Aku punya sepucuk Luger. Tidak akan menyakitinya sama sekali."
Candy berkata, "Mungkin besok. Mari kita tunggu sampai besok saja."
"Aku tidak melihat alasan untuk itu," sahut Carlson. Ia menuju ranjangnya, lalu menarik tasnya dari bawah ranjang dan mengeluarkan sepucuk pistol Luger. "Ayo kita selesaikan," katanya. "Kita tidak bisa tidur dengan anjing bau di sekitar sini." Ia lalu memasukkan pistolnya ke. dalam sakunya.
Candy menatap Slim lama, memohon pembelaan. Namun, Slim tidak bereaksi. Akhirnya, Candy berkata dengan lemah dan putus asa, "Baiklah, ambillah." Ia tidak melihat ke bawah, pada anjingnya sama sekali. Ia hanya berbaring di atas ranjangnya dan menyilangkan lengannya di bawah kepalanya sambil menatap langit-langit.
Dari sakunya, Carlson mengeluarkan tali kulit kecil. Ia membungkuk dan mengikatkannya pada leher anjing tua itu. Semua orang, kecuali Candy, menyaksikannya. "Ayo, kawan. Ayo, kawan," kata Carlson lembut. Lalu, dengan nada menyesal, ia berkata pada Candy, "Ia bahkan tidak akan merasakannya." Candy tidak bergerak ataupun menjawabnya. Carlson menarik tali kulit itu. "Ayo, kawan." Dengan kaku dan lambat, anjing tua itu berdiri lalu mengikuti tali yang ditarik Carlson dengan lembut.
Slim memanggil, "Carlson."
"Ya?" "Kau tahu yang harus kau lakukan?" "Apa maksudmu, Slim?"
"Bawa sekop juga," kata Slim singkat. "Oh, tentu! Aku mengerti maksudmu." Ia lalu membawa anjing itu menuju kegelapan.
George mengikutinya sampai pintu dan menutup pintu serta memasang palangnya. Candy berbaring kaku di atas ranjangnya sambil menatap langit-langit.
Slim berkata dengan keras. "Salah satu keledaiku kakinya cacat. Harus diberi tar." Suaranya mengalir tidak ada yang menyahut. Di luar sunyi. Bunyi langkah Carlson tidak terdengar lagi. Kesunyian menguasai ruangan. Dan bertahan di sana.
George terkekeh. "Aku yakin, Lennie sedang tidur di lumbung bersama anak-anak anjing itu. Ia tidak mau masuk ke sini lagi, karena ia sudah punya seekor anak anjing sekarang."
Slim berkata, "Candy, kau boleh mengambil seekor anak anjing yang mana saja, jika kau mau."
Candy tidak menjawab. Ruangan itu sunyi lagi. Kesunyian malam yang menguasai ruangan. George berkata, "Ada yang mau main kartu eucbre sebentar?"
"Aku mau bermain sebentar denganmu," sahut Whit.
Mereka duduk saling berhadapan di meja di bawah lampu, tetapi George tidak mengocok kartunya. Ia mempermainkan tepian tumpukan kartu tersebut dengan gugup. Ketika bunyi hentakan kecil itu menggetarkan dan menarik perhatian semua orang di dalam ruang itu, George menghentikan apa yang dikerjakannya. Kesunyian mengisi ruangan itu lagi. Satu menit berlalu, lalu menit berikutnya. Candy masih berbaring diam, sambil menatap langit-langit. Slim melihat padanya, lalu sesaat melihat ke bawah, pada tangannya; ia memegang satu tangannya dengan tangannya yang lain dan membawanya ke bawah. Ada suara mengerat lirih dari bawah lantai, dan semua orang melihat ke bawah ke arah suara itu. Hanya Candy yang masih tetap menatap langit-langit.
"Kedengarannya seperti ada tikus besar di bawah sana," kata George. "Kita harus memasang jebakan di bawah sana."
Whit berseru, "Mengapa kau lama sekali sih" Letakkan saja kartu itu di atas meja. Kita tidak akan main euchre kalau begitu caranya."
George merapikan kartu-kartu itu sambil mengamati bagian belakangnya. Ruangan itu kembali sunyi.
Suara tembakan terdengar di kejauhan. Orang-orang itu dengan cepat melihat ke arah lelaki tua itu. Semua kepala berpaling padanya.
Sesaat ia masih terus menatap langit-langit. Kemudian lambat-lambat ia menggulingkan tubuhnya menghadap ke dinding dan terbaring diam.
George mengocok kartunya dengan ribut, kemudian membagikannya. Whit membuat papan nilai, lalu mulai melempar kartu untuk memulai permainan. Whit berkata, "Kukira kalian benar-benar datang ke sini untuk bekerja."
"Maksudmu?" tanya George.
Whit tertawa. "Yah, kalian datang pada hari Jum"at. Kalian punya dua hari kerja hingga hari Minggu."
"Aku tidak mengerti," sahut George.
Whit tertawa lagi. "Kau akan mengerti jika kau sudah lama berada di peternakan besar ini. Orang yang ingin melihat-lihat saja datang ke peternakan pada hari Sabtu sore. Ia mendapatkan jatah makan malam Sabtu dan tiga kali makan pada hari Minggu, dan ia bisa keluar pada hari Senin pagi setelah makan pagi tanpa pernah bekerja sama sekali. Tetapi, kalian datang pada hari Jumat sore. Bagaimanapun, kalian harus bekerja satu setengah hari."
George menatapnya dengan tenang. "Kami memang akan berada di sini sementara waktu," katanya. "Aku dan Lennie ingin mengumpulkan uang."
Pintu terbuka perlahan dan si tukang kuda menjulurkan kepalanya ke dalam; kepala lelaki negro, tampak sedih, namun matanya tampak besinar sabar. "Pak Slim."
Slim mengalihkan tatapannya dari Candy. "Hah" Oh! Sialan kau Crooks. Ada apa?"
"Kau tadi menyuruhku menghangatkan ter untuk kaki keledaimu. Aku sudah menghangatkannya."
"Oh! Tentu, Crooks. Aku akan segera datang dan merawatnya."
"Aku bisa melakukannya jika kau mau, Pak Slim."
"Jangan. Aku akan ke sana dan melakukannya sendiri." Ia lalu berdiri.
Crooks berkata, "Pak Slim."
"Ya." "Lelaki besar itu mengganggu anak-anak anjingmu di lumbung."
"Yah, tetapi ia tidak akan melukainya. Aku memberikan seekor anak anjing padanya."
"Aku hanya ingin memberitahumu saja," sahut Crooks. "Ia mengeluarkannya dari sarangnya dan bermain dengan mereka. Itu tidak bagus untuk anakranak anjing itu."
"Ia tidak akan melukai mereka," kata Slim. "Aku akan ikut ke sana sekarang." George menoleh. "Jika anak sialan itu terlalu menjengkelkan, tendang saja ia keluar, Slim."
Slim mengikuti tukang kuda itu keluar ruangan.
George membagikan kartu lalu Whit mengambil kartu-kartu itu lalu memeriksanya. "Kau sudah melihat anak baru itu?" tanya Whit.
"Anak baru yang mana?" tanya George. "Itu loh, istri baru Curley."
"Ya, aku sudah melihatnya."
"Wah, ia seperti pelacur, kan?"
"Aku belum melihatnya dengan jelas," kata George.
Whit meletakkan kartu-kartunya dengan tenang. "Pasanglah matamu, kau akan melihat banyak hal. Perempuan itu tidak menyembunyikan apa-apa. Aku belum pernah melihat perempuan seperti itu. Dia main mata dengan semua orang, setiap saat. Aku yakin, dia bahkan juga bermain mata dengan si tukang kuda. Aku tidak tahu apa sih yang dicari perempuan itu?"
George bertanya dengan santai, "Sudah ada masalah sejak dia ada di sini?"
Whit akhirnya tak begitu berminat bermain kartu. Ia meletakkan semua kartunya dan George mengambilnya. Lalu George menyusun kartu-kartu soliternya dengan hati-hati"tujuh kartu, kemudian enam di atasnya, lalu lima kartu di atasnya lagi.
Whit berkata, "Aku tahu maksudmu. Belum, belum ada masalah apa-apa. Curley menyimpan senjata rahasia keluarganya rapat-rapat, tetapi hanya itu sejauh ini. Setiap kali ada lelaki di sekitarnya, perempuan itu selalu berlagak. Dia berpura-pura mencari Curley, atau dia akan mengatakan ketinggalan barangnya yang tercecer dan dia sedang mencarinya. Sepertinya dia tidak bisa hidup tanpa laki-laki. Sedangkan celana Curley bergulung saja bersama semut-semut, tetapi belum ada yang terjadi."
George menyahut, "Perempuan itu akan membuat kekacauan. Akan ada" kekacauan karenanya. Dia itu umpan untuk masuk penjara yang semuanya diatur untuk pemicunya. Pekerjaan Curley pun akan rusak. Peternakan dengan sekelompok pekerja laki-laki bukanlah tempat yang tepat bagi perempuan, terutama yang seperti dia."
Whit berkata, "Jika kau punya waktu, kau harus ikut bersama kami ke kota besok malam."
"Mengapa" Mau apa di sana?"
"Biasa saja. Kami akan pergi ke rumah si tua Susy. Tempat yang sangat menyenangkan. Si tua Susy sangat lucu, selalu mempunyai lelucon. Seperti yang dikatakannya ketika kami baru saja tiba di berandanya malam Sabtu yang lalu. Susy membuka pintu, lalu berteriak sambil menoleh ke belakang, "Pakai mantel kalian nona-nona, ada sheriff datang." Dia tidak pernah mengucapkan kata-kata kotor. Dia punya lima orang gadis di sana.
"Harus bayar berapa di sana?" tanya George.
"Dua setengah. Kau bisa minum satu kali dengan membayar dua puluh lima sen. Susy juga punya kursi-kursi yang nyaman untuk diduduki, Jika ada yang tidak mau bersama dengan gadis-gadisnya, boleh saja hanya duduk-duduk dan minum dua atau tiga kali untuk melewatkan waktu. Susy tidak akan peduli. Dia tidak akan mengusir tamu-tamunya jika mereka tidak mau tidur di sana."
"Aku harus pergi ke sana dan melihat-lihat," kata George.


Of Mice And Men Karya John Steinbeck di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tentu. Ikutlah. Sangat menyenangkan, selalu ada lelucon yang sangat lucu. Seperti yang dikatakannya suatu ketika, "Aku telah mengenal banyak orang. Ada yang baru saja punya permadani butut di lantai dan sebuah lampu berhiaskan boneka di atas fonografnya, mereka sudah mengira punya sebuah rumah minum." Itu adalah rumah Clara yang sedang dibicarakannya. Lalu Susy berkata, "Aku tahu apa yang kalian inginkan," katanya. "Gadis-gadisku bersih," katanya "dan
wiskiku tidak kucampur air," katanya. "Jika ada yang ingin melihat lampu boneka dengan resiko terbakar, kalian tahu ke mana harus pergi." Dan dia berkata lagi, "Ada laki-laki yang berjalan dengan tungkai tertekuk karena mereka suka melihat lampu boneka."
" George bertanya, "Clara juga menjalankan bisnis rumah bordil ya?"
"Ya," sahut Whit. "Kami tidak pernah ke sana. Clara minta tiga dolar untuk sekali datang dan tiga puluh lima sen sekali minum, dan dia tidak pandai melucu. Tempat Susy bersih dan kursi-kursinya nyaman. Juga tidak membiarkan orang-orang tidak beres masuk." "Aku dan Lennie sedang mengumpulkan uang," kata George. "Aku mungkin saja masuk dan minum sekali, tetapi aku tidak akan membayar dua setengah dolar."
"Yah, seorang lelaki kadang-kadang harus bersenang-senang," kata Whit.
Pintu terbuka, lalu Lennie dan Carlson masuk bersama-sama. Lennie memanjat ranjangnya dan duduk, berusaha untuk tidak menarik perhatian. Carlson meraba kolong ranjangnya dan mengeluarkan tasnya. Ia tidak melihat Candy tua yang masih menghadap ke dinding. Carlson menemukan tangkai pembersih di dalam tasnya dan sekaleng minyak. Ia meletakkannya di atas tempat tidur dan mengeluarkan pistolnya, melepas tempat pelurunya dan mengeluarkan tempat peluru itu dari ruangannya. Lalu ia membersihkan larasnya dengan tangkai kecil pembersih. Ketika pelatuknya terhentak, Candy berpaling, dan melihat pistol itu sesaat, kemudian ia kembali menatap dinding lagi.
Carlson berkata dengan santai, "Curley sudah kelihatan?"
"Belum," sahut Whit. "Ada apa dengan Curley?"
Carlson mengintai laras senjatanya. "Mencari istrinya. Aku melihatnya berjalan ke sana ke mari di luar."
Dengan sinis Whit berkata, "Ia menggunakan setengah hari waktunya hanya untuk mencari istrinya, sementara istrinya mencarinya setengah hari juga."
Curley masuk ke ruangan dengan penuh semangat. "Ada yang melihat istriku?" tanyanya.
"Dia tidak pernah ke sini," sahut Whit.
Curley menatap ke seluruh ruangan itu dengan tatapan mengancam. "Di mana Slim?" "Ke luar ke lumbung," kata George, "Ia akan menempelkan tar pada kaki keledai yang sakit."
Bahu Curley mengendor lalu tegak kembali. "Sudah berapa lama?"
"Lima sampai sepuluh menit."
Curley melompat ke luar pintu dan membantingnya di belakangnya.
Whit berdiri. "Kukira aku ingin menonton ini," katanya. "Curley hanya mengacaukan saja atau ia akan mulai mencari masalah dengan Slim. Padahal Curley tangkas sekali. Ia sempat mencapai final dalam pertandingan Sarung Tinju Emas. Ia mempunyai kliping korannya tentang berita itu." Ia merenung. "Tetapi sama saja, Curley juga sebaiknya tidak mengganggu Slim. Tidak seorang pun tahu apa yang bisa Slim lakukan."
"Kau pikir Slim sedang bersama istri Curley, kan?" kata George.
"Kayaknya sih begitu," sahut Whit. "Tentu saja Slim tidak begitu. Setidaknya menurutku begitu. Tetapi, aku ingin melihat pertengkaran itu. Ayo."
George berkata, "Aku di sini saja. Aku tidak mau ikut campur. Lennie dan aku barus mengumpulkan uang."
Garlson selesai membersihkan senjatanya dan menyimpannya di dalam tas lalu mendorong tas itu ke bawah ranjang. "Kukira aku akan keluar dan mencari istri Curley," katanya. Candy tua masih berbaring tidak bergerak, sementara Lennie, dari atas ranjangnya, mengawasi George dengan hati-hati.
Ketika Whit dan Carlson telah pergi dan pintu tertutup di belakang mereka, George berpaling pada Lennie. "Apa yang sedang kau pikirkan?"
"Aku tidak nakal, George. Slim bilang, aku sebaiknya tidak lagi membelai-belai anak-anak anjing itu untuk sementara. Slim bilang itu tidak baik bagi mereka; jadi aku kembali ke sini. Aku tidak nakal, George."
"Seharusnya aku bilang padamu begitu tadi," kata George.
"Tapi, benar, aku tidak menyakiti mereka. Aku hanya mengambil punyaku dan ku-pangku."
George bertanya, "Kau lihat Slim di lumbung?"
"Tentu aku melihatnya. Ia bilang padaku, sebaiknya aku tidak membelai-belai anak anjing itu lagi."
"Kau melihat gadis itu?"
"Maksudmu, gadisnya Curley?"
"Ya. Dia datang ke lumbung?"
"Tidak. Lagipula, aku tidak pernah melihatnya."
"Kau tidak pernah melihat Slim bicara dengannya?"
"Tidak. Dia tidak ada di lumbung."
"Oke." kata George. "Kukira orang-orang itu tidak akan melihat perkelahian. Jika ada perkelahian, Lennie, jangan ikut campur."
"Aku tidak mau ada perkelahian," kata Lennie. Ia bangkit dari ranjangnya dan duduk di dekat meja, di seberang George. Nyaris otomatis, George mengocok kartu-kartu itu lalu menyusunnya untuk bermain soliter. George bergerak lambat, hati-hati dan penuh perhatian.
Lennie meraih sebuah kartu yang terbu-ka, memutarnya, dan mempelajarinya. "Kedua ujungnya sama?" katanya. "Mengapa kedua ujungnya sama?"
"Aku tidak tahu," sahut George. "Begitulah mereka membuatnya. Apa yang sedang dilakukan. Slim di lumbung ketika kau melihatnya?"
"Slim?" "Tentu. Kau melihatnya di lumbung, kan" Dan ia bilang padamu untuk tidak membelai anak anjing terlalu sering."
"Oh, ya. Ia membawa satu kaleng cat dan kuasnya. Aku tidak tahu untuk apa"
"Kau yakin gadis itu tidak masuk seperti tadi pagi?"
"Tidak. Dia tidak pernah datang."
George mendesah. "Kau selalu memberiku sebuah rumah pelacuran yang bagus," katanya. "Seorang lelaki boleh masuk, mabuk, dan mengeluarkan semuanya dari tubuhnya sekaligus, dan tidak ada masalah. Dan ia tahu berapa yang harus dibayarnya. Umpan penjara itu diletakkan di depan pintu penjara."
Lennie menirukan kata-kata George dengan kagum, dan menggerakkan bibirnya sedikit supaya tidak tertinggal. George melanjutkan. "Kau ingat Andy Cushman, Lennie" Belajar di SD?"
"Lelaki yang istrinya senang membuat kue panas untuk anak-anak?" tanya Lennie.
"Ya. Itu dia. Kau bisa mengingat apa saja yang ada hubungannya dengan makanan." George menatap kartu soliternya dengan teliti. Ia meletakkan kartu AS terbuka pada deretan penilaian dan menumpuk kartu dua, tiga, dan empat wajik di atasnya. "Andy sekarang ada di penjara San Quentin karena seorang pelacur," kata George.
Lennie mengetukkan jemarinya di atas meja. "George?"
"Huh?" "George, berapa lama lagi kita bisa punya rumah kecil dan hidup di atas "tanah subur" dan punya kelinci?"
"Aku tidak tahu," sahut George. "Kita harus mengumpulkan uang banyak bersama. Aku tahu sebuah rumah kecil yang dapat kita beli dengan harga-murah, tetapi mereka tidak mau melepaskannya."
Candy tua memutar tubuhnya lambat. Matanya terbuka lebar. Ia menatap George dengan seksama.
Lennie berkata, "Ceritakan tentang tempat itu, George."
"Aku baru saja menceritakannya padamu kemarin malam."
"Ayo, ceritakan lagi, George."
"Yah, tanah itu luasnya sepuluh are," kata George, "ada kincir angin kecilnya. Ada pondok kecil di atasnya, dan sebuah jalan kecil. Ada sebuah dapur, kebun buah-buahan, ceri, apel, persik, aprikot, kacang-kacangan, beberapa pohon beri. Ada lahan untuk makan sapi dan banyak air untuk mengairinya. Ada kandang babi."
Cintaku Di Kampus Biru 2 Bulu Merak Serial 7 Senjata Qi Zhong Wu Qi Zhi Karya Gu Long Maryamah Karpov 5

Cari Blog Ini