Panglima Gunung Karya Stefanus Sp Bagian 8
Ang Siok-sim menggelengkan kepala, "Itu kelemahan manusia. Tiap golongan atau suku bangsa mencekoki rakyat 'masing-masing bahwa suku mereka yang paling unggul dibandingkan yang lain. Aku pun dicekoki gambaran tentang Manchu yang buas, Manchu yang setengah binatang, Manchu yang suka makan daging mentah, suka membakar kampung dan memperkosa wanita-wanita Han. Dan setelah aku beberapa lama di sini, aku tahu, tidak semua yang pernah kudengar itu benar. Mungkin benar sebagian. tapi pasti "tidak semua. Dari percakapanku dengan banyak sobat baru di sini, terungkap betapa banyak prajurit Manchu sebenarnya adalah orang-orang yang suka hidup tenang di tanah mereka di Liaotong sana. Tetapi tiba-tiba saja mereka dicomot dari kampung-kampung, dilatih menggunakan senjata, lalu dikirim ke medan laga yang jauh dari keluarga tercinta, diterjunkan ke tengah-tengah pilihan. membunuh atau .dibunuh, padahal banyak di antara yang membunuh 'maupun yang dibunuh itu adalah orang-orang baik. Hal yang sama juga terjadi di antara bangsa kami, bangsa Han. Penduduk dikerahkan, dipersenjatai, disuruh berperang."
Bersambung jilid XIV. Panglima Gunung
Karya Stefanus SP Sumber Ebook : Awie Dermawan
Edit teks : Saiful Bahri Ebook persembahan group fb Kolektor E-Book untuk pecinta ceritasilat Indonesia
*** Panglima Gunung jilid 14 ORANG-ORANG baik yang tidak terbiasa saling membenci dan membunuh, makin lama makin dibiasakan membenci dan membunuh setelah melakukannya beberapa kali," sambung An Lung. "Beberapa temanku begitu. Pertama kali mereka membunuh orang dalam pertempuran, semalaman mereka tidak bisa tidur. Mereka gelisah, merasa bersalah membayangkan kesedihan dari keluarga dari orang yang terbunuh. itu. Lama-lama mereka tidak gelisah lagi, tidak merasa bersalah lagi. ini menakutkan. Malah ada, yang kalau beberapa lama tidak membunuh lalu perasa ketagihan."
"Kakak Lung sendiri bagaimana?" tiba-tiba Ma Wan-yok bertanya.
An Lung nampak sulit menjawab, namun ia memberanikan diri jujur, "Aku kuatir bahwa aku pun sudah hampir menjadi manusia yang kebal dari rasa bersalah setelah membunuh orang, meski belum sampai ketagihan membunuh seperti temanku. Mulai sekarang, dalam tugas pun akan kuhindarkan sejauh-jauhnya jatuhnya korban. Meski amat sulit, bahkan hampir mustahil. Korban pasti jatuh, tetapi aku dan pasukanku tak akan menjadi kelompok yang keranjingan membunuh."
"Berapa anak buah Kakak Lung?"
"Aku seorang pek-hu-thio (komandan seratus prajurit), maka di tempat ini ya cuma seratus prajurit itulah yang di bawah pimpinanku. Akan kubina agar jangan menjadi manusia-manusia ganas, kepada siapa pun, terutama kepada yang tak berdaya."
Tersentuh oleh tekad An Lung itu, Ma Wan-yok tiba-tiba berkata, "Kalau aku sudah ketemu ayahku di Makao, akan kubujuk ayah agar menggunakan pengaruhnya di kalangan penguasa koloni, agar para penguasa koloni tidak sembarangan menjual senjata api ke berbagai pihak di negeri ini. Pihak yang memiliki senjata api ternyata seperti disulut nafsunya untuk berperang, menaklukan pihak lain. Pengaruh ayahku tidak terlalu besar karena pangkatnya hanya menengah saja, namun ia punya banyak teman."
Seandainya Ma Wan-yok tahu bahwa ia disandera di tempat itu justru supaya Phui Tat-liong selalu mendapatkan keterangan dari Ma Bian tentang pengiriman senjata-senjata api, supaya Phui Tat-liong bisa mengadu domba. supaya perang jangan padam-padam.
Sementara Ang Sick-sim berkata, "jangan kalian berkecil hati karena kalian saat ini hanyalah orang-orang yang tidak besar pengaruhnya atas jalannya peristiwa-peristiwa perang di negeri ini. Tapi sebarkan terus semangat kalian ini."
"A-sim. tahukah kau bahwa kudapatkan semangat itu dari kau?"
"Dari aku?" "Ya, ketika tadi Paman Boan bercerita kepadaku tentang kau yang bukan cuma mendoakan orang-orang yang tewas
melainkan juga orang-orang yang sudah ditewaskan mereka, aku merenungkannya dan tersentuh. Juga ketika melihat kalian bertiga ini sebagai arang yang kami tawan. kami susahkan. tetapi A-sim selalu saja bersikap baik kepada kami dan menguatkan semangat kami."
"Makanya, cepat-cepat lepaskan kami." kata Ma Wan-san'sambil meleletkan lidah.
An Lung menyeringai kikuk, "Seandainya aku komandan tempat ini. sudah kubebaskan kalian... sahabat-sahabatku."
Terdengar langkah kaki di luar pintu yang terbuka, Paman Boan muncul membawa keranjang bersusun tiganya. Kalau biasanya ia hanya membawa satu keranjang. kini ia membawa dua keranjang, sehingga mengherankan Ang Siok-sim. "Eh. Paman. apa akan ada tawanan baru di sini, sehingga Paman membawa dua keranjang?"
Sahut Si_ Kepala juru masak dari tangsi tersembunyi itu. "Bukan, tetapi karena hari ini di dapur masak jauh lebih banyak dari biasanya karena sembahyangan besar itu. Sisa di dapur pun jauh lebih banyak dari _biasanya. Nah daripadi terbuang, kan bisa untuk berpesta kita sendiri di sini. Eh, Kapten' An ada di sini juga?" _
An Lung berlagak amat serius dalam kata-katanya tetapi perkataan itu sendiri sudah menunjukkan bahwa dia berkelakar, "jaringan mata-mataku melaporkan ada gerakan mencurigakan dari dapur untuk memasak makanan ke tempat ini, maka kuhadang di sini."
Paman Boan tertawa lebar memperlihatkan gusinya dan satu dua giginya yang masih menempel di gusi, la lega mengetahui An Lung agaknya sudah beranjak dari kesedihannya. ia duduk, membuka keranjang-keranjang susun itu. dibantu Ma Wan-yok dan Ma Wan-aan ia atur hidangan-hidangan itu di atas meja yang ada lilinnya. Ternyata jumlahnya maupun jenis "masakannya benar-benar mengungguli jauh di atas makanan sehari-hari. Bahkan ada anggur-anggur pilihan pula.
Paman Boan sendiri tak bisa paham kecenderungan hatinya sendiri. kenapa ia justru ingin menikmatinya bersama tawanan-tawanan ini. dan bukan dengan yang lain-lain" Ada kebahagiaan tersendiri berdekatan dengan Ang Siok-sim yang lugu dan menyenangkan sikapnya ini.
"Nah, mari kita berpesta sendiri," kata Paman Boan setelah semuanya terhidang di atas meja. Khusus kepada An Lung. ia berkata, "Yang mati tak bisa hidup lagi, yang hidup harus dipikirkan caranya agar tidak lebih menderita."
An Lung menyahut, "Pokok pembicaraan itulah yang tadi baru saja kami bicarakan di sini."
Ruangan itu pun segera bersuasana hangat. Makanan dan arak menghangatkan -tubuh, semangat persahabatan dan usaha saling memahami menghangatkan jiwa. '
*** Sementara di lapisan bawah sudah muncul benih persahabatan, di kalangan atas masih saja berkecamuk semangat
permusuhan. kecurigaan dan niat saling memperalat atau saling memanfaatkan.
Pangeran lou-ong Cu Yu-long menyuruh Han San-ciok, salah seorang pembantu kepercayaannya yang agak mahir mencari dan menemukan sasaran-sasaran 'tersembunyi, untuk memancing datangnya Helian Kong ke istana Pangeran Lou-ang, untuk dipanas-panasi hatinya soal Pangeran Tong-ong.
Kata Han San-ciok, ia sudah memperhatikan bahwa tempat-tempat umum seperti warung-warung dan penginapan-penginapan yang memasang lukisan gunung hijau, biasanya adalah titik-titik penghubung antara orang-orangnya Helian Kong. Karena itu. Han San-ciok menyebar orang-orang ke tempat-tempat macam itu. bukan untuk menggeledah atau mengacau, sebab itu malah bisa menggusarkan Helian Kong dan bisa gawat akibatnya, melainkan hanya sekedar menyuruh orang-orangnya di situ berlagak mengobrol, supaya didengar oleh yang mengurus tempat itu. Yang diobrolkan ialah soal ancaman meletusnya kembali perang saudara antara Pangeran Lou-ang dan Pangeran Tong-ong karena dirampoknya kapal-kapal Pangeran Lou-ong di Sungai Mutiara.
Rupanya. karena situasi sedang "hangat", selain orang sedang bicara soal ancaman Manchu dari utara, juga pertikaian antar pangeran di wilayah tenggara, maka Helian Kong mudah sekali "dikontak" dengan cara Han San-ciek.
Tidak sampai sepuluh hari semenjak Han San-ciok menjalankan aksinya itu, Helian Kong sudah muncul di kediaman Pangeran Lou-ong di istananya di Siaohin.
Suatu malam, ketika Pangeran Louong sedang merasa bingung di kamar bukunya dan kerjanya cuma berjalan hilir-mudik sendirian, tahu-tahu di ambang pintu terdengar suara berat, "Selamat malam, Pangeran."
Biarpun Pangeran bou-ong sudah lama tahu kalau kemunculan Helian Kong selalu mirip hantu macam itu, tak urung kaget juga ia. Kaget sekaligus bergidik
takut. Sebab saat'itu Pangeran Lou-ong sedang ada di pusat dari kediamannya yang mirip benteng kokohnya, sebuah istana sekaligus benteng perang yang dibangun meniru kediaman para penguasa militer Jepang. Tempatnya maupun penjagaannya amat sulit ditembus. Toh tanpa terdengarnya tanda bahaya apa pun, tanpa suara ribut sedikit pun tahu-tahu Helian Kong sudah di kamar bukunya. Ada ratusan kamar di istana itu di mana Pangeran bou-ong kemungkinannya berada namun Helian Kong begitu mudah menemukannya. Kadang-kadang terlintas di pikiran Pangeran Lou-ong, apakah Helian Kong ini sudah menemukan ilmu maha sakti dan sudah "menjadi setengah dewa" seperti cerita orang-orang" Ataukah Helian Kong ini sudah meninggal dan sudah jadi arwah gentayangan yang mudah saja berkeliaran ke sana ke mari" Atau... ada kaki tangan Helian Kong di antara pengawal-pengawal Pangeran Lou-ong sendiri" Namun Pangeran Louvong merasa sedikit beruntung juga bahwa waktu Helian Kong muncul. ia tidak sedang berkasak-kusuk dalam rencana busuk dengan orang-orangnya. Seandainya demikian. tak terbayangkan reaksi Helian Kong.
"Pangeran melihat hamba seperti melihat hantu." tegur Helian Kong sambil sedikit membungkuk dan berkata pula, "Salam hormat hamba untuk Pangeran."
Pangeran Lou-ang tergagap, lalu memaksa dirinya nampak ramah, "Oh. jenderal Helian, selamat malam juga. Silakan duduk." '
Dandanan Helian Kong saat itu sungguh amat tak sesuai dengan kemewahan ruangan itu. Helian Kong hanya memakai jubah panjang dari kain kasar, bahkan pinggiran jubahnya sudah 'agak terlepas jahitan kelimannya. Sepatu yang dipakainya juga sekedar sepatu jerami seperti kaum peladang di pegunungan. Namun sikapnya yang kokoh dengan mata yang tajam itu memancarkan wibawa yang tak bisa diatasi Pangeran Lou-ang. Bahkan meski Helian Kong menempatkan dirinya lebih rendah dengan menyebut dirinya "hamba".
Helian Kong melangkah masuk dan mengambil tempat duduk. begitu pula Pangeran Lou-eng. Lalu, tanyanya tanpa berbelit-belit, "Hamba tahu Pangeran mengundang hamba, dan sekarang hamba sudah di sini."
"jenderal Helian, aku yakin jenderal pasti juga sudah mendengar apa yang terjadi di Sungai Mutiara. Ketika kapal kapalku dirampok sekawanan orang."
Untuk memperoleh simpati Helian Kong, Pangeran Lou-ang tidak langsung menuduh Pangeran Tong-ong, melainkan pura-pura bertanya kira-kira kelompok manakah yang mendalangi perampokan di sungai itu" Namun dalam keterangannya, Pangeran lou-ong mencoba menimbulkan kecurigaan Helian Kong terhadap Pangeran Tong-eng. Seperti istilah-istilah "pemimpin gerombolannya berbicara dalam logat Hok-kian" dan tingkah-laku seluruh perampok seperti prajurit yang terlatih, tidak liar seperti gerombolan bandit.
"Pangeran belum menuduh siapa-siapa, kan?" sodok Helian Kong.
"Jenderal Helian. terus terang saja di hadapanmu, aku mencurigai... Adinda Tong-ong. Mungkin dia masih mendendam atas seranganku dulu. Aku sudah minta maaf, aku tahu aku yang bersalah dalam urusan itu. Tetapi kalau benar kali ini Adinda Tong-ang merampok kapal-kapalku, aku ingin minta pendapat Jenderal Helian, apa yang harus kulakukan. Aku benar-benar tidak ingin bertengkar dengan saudara sendiri selagi negeri leluhur terancam oleh Manchu," kalimat terakhir ini tentu saja untuk mengambil hati Helian Kong.
"Pangeran bilang, perampok-perampok itu melakukan gerakan-gerakan amat terlatih. Nah, seberapa terlatihnya?"
"Yang bisa menceritakan lebih terperinci adalah pembantuku, Kapten San Kin-mo. Maukah Jenderal menunggu sebentar, supaya kusuruh orang memanggil dia?"
"Kalau dia bisa bercerita lebih terperinci. hamba akan menunggu."
Pangeran Lou-ong lalu menyuruh orang memanggil San Kin-mo, sambil berharap San Kin-mo akan berbicara di depan Helian Kong persis tepat seperti yang sudah dilatihkan oleh Pangeran lou-ong. Yaitu membakar hati Helian Kong agar gusar kepada Pangeran Tongong, atau setidaknya mengijinkan Pangeran Lou-ong menggempur Hok-kian, atau setidaknya lagi memaksa Pangeran Tong ong menyerahkan suatu daerah subur sebagai "denda kesalahan".
Satu jam kemudian San kin-mo sudah ada di mangan itu. Si Bekas Bandit yang berjulukan "dewa gunung bertinju petir" itu belum pernah melihat Helian Kong. Sekarang ketika melihatnya, melihat tampang si "kaisar gunung" itu begitu sepele, San Kin-mo diam-diam membatin, bisakah Helian Kong itu menahan tiga kali jotosannya" Namun karena Pangeran Lou-ong bersikap begitu sungkan kepada Helian Kong, maka San Kin-mo juga tidak berani bersikap kurang hormat.
Setelah diperintahkan Pangeran Lou ong, San Kin-mo pun bercerita tentang jalannya peristiwa perampokan. Sesuai petunjuk Pangeran Lou-ang, San Kin-mo dalam ceritanya itu tidak menuding Pangeran Tong-ong terang-terangan, namun secara tersirat dari kata-katanya.
Selama San Kin-mo bercerita, diam diam Pangeran Lou-ong sering melirik ke wajah Helian Kong, berharap wajah itu akan jadi merah karena geram dan mengepal-ngepel tinju lalu berjanji akan menggempur Pangeran Tong-eng. Ternyata, Helian Kong duduk tenang-tenang saja dengan wajah yang susah ditebak gejolak hatinya, bahkan. sambil sekali sekali menghirup teh suguhan Pangeran Lou-ong.
Ketika San Kin-mo selesai bercerita tentang betapa terlatihnya perampok perampok itu dalam meluncur turun dari tebing dengan tali, juga ketika memanjat lambung kapal, serta meriam-meriam yang disembunyikan di tebing, tiba-tiba Helian Kong mengangkat tangannya sebagai isyarat agar San Kin-mo berhenti bicara. Lalu Helian Kong berkata. "Rasanya itu bukan orang-orangnya Pangeran Tong-Ong. Terus terang saja, aku kenal semua pasukan yang ada di bawahnya Pangeran Tong-ong dan tak ada pasukan
sebagus itu." Nada dalam kata-katanya begitu pasti sepasti kalau ia mengatakan bahwa jari jari tangannya pasti ada lima.
Tentu saja Pangeran Lou-ang amat kecewa, merasa gagal membakar kemarahan Helian Kong. Namun demi mengikuti arah angin, la pura-pura lega, "Ah, syukurlah. Mudah-mudahan memang bukan Adinda Tong-eng yang mendalangi parampokan itu. Aku pun sungguh tak suka diadu-domba oleh pihak ketiga untuk memerangi keluargaku sendiri."
Helian Kong yang bukan cuma sehari dua hari kenal "isi perut" para pangeran dinasti Beng, tentu sulit mempercayai kata-kata Pangeran Lou-eng itu. Namun ia berlagak tak peduli, "Baiklah, Pangeran, hamba mohon agar sebelum semuanya menjadi jelas, Pangeran tidak bertindak dulu memperkeruh situasi. Hamba sendiri akan menyelidiki ini."
Biarpun Helian Kong memakai kata "hamba mohon" tetapi Pangeran Lou-eng cukup paham apa artinya. itulah perintah tak terbantah dari si "kaisar gunung",
kalau dibantah Pangeran Lou-eng akan digempur.
"Terima kasih atas bantuan jenderal Helian dalam perkara yang ruwet ini." kata Pangeran Lou-eng berbasa-basi. "Aku mempersilakan Jenderal dengan hormat sudi menginap di tempatku. Aku akan sangat beruntung kalau mendapat banyak petunjuk dari Jenderal."
Namun Helian Kong sudah bangkit dari duduknya dan menghormat Pangeran. "Terima kasih atas keramahan Pangeran. Tetapi hamba masih banyak pekerjaan, hamba mohon pamit sekarang juga."
"Biarlah Kapten San mengantarkan sampai keluar."
Tetapi Helian Kong melangkah ke pintu sambil tertawa, "Tidak perlu repotrepot. Tadi datangnya hamba bisa masuk sendiri, sekarang pun hamba akan bisa keluar sendiri."
Pangeran Lou-eng menyeringai kikuk mendengar itu. Secara tidak langsung, Helian Kong mengatakan bahwa penjagaan di puri kediaman Pangeran Lou-ong yang berlapis-lapis itu tak ada artinya
sedikit pun bagi Helian Kong yang bisa datang dan pergi sesukanya.
Lalu melangkahlah Helian Kong keluar pintu ruangan itu.
Setelah Helian Kong tak terlihat, San Kin-mo memukulkan tinju kanannya ke telapak kiri sambil berkata, "Pangeran. tidakkah kita baru saja melewatkan kesempatan emas berlalu begitu saja?"
"Kesempatan emas macam apa?"
"Tadi Helian Kong sudah berada di ruangan ini, bukankah sudah seperti ikan "dalam penggorengan" Sebenarnya hamba menunggu isyarat dari Pangeran dan orang itu akan hamba bereskan Kalau tidak ada lagi Helian Kong, Pangeran bebas bertindak dengan kekuatan militer yang Pangeran miliki. Tentara Pangeran saat ini adalah yang terkuat di selatan, Pangeran bisa melepaskan diri dari Lamkhia dan menaklukkan pangeran-pangeran lain. mengangkat diri jadi Kaisar."
"Tahukah kau, kenapa aku tidak memberi isyarat kepadamu agar kau menangani Helian Kong?"
"Boleh hamba tahu. Pangeran?"
"Karena kau lebih berguna bagiku kalau dalam keadaan hidup, bukannya jadi mayat."
* ** Di markas tersembunyinya, Phui Tatiiong menerima laporan dari orang-orangnya yang disebarkan keluar, bahwa situasi di wilayah tenggara itu masih tenang tenang saja setelah peristiwa pembajakan di Sungai Mutiara. Tidak ada tanda-tanda Pangeran Lou-ong lalu menggempur Pangeran Tong-eng. seperti yang diharapkan.
Duduk di ruang komandonya. dihadapi lima orang perwira pembantunya, Phui Tat-liong nampak berpikir tenang membahas laporan orang-orangnya. Katanya sambil memain-mainkan jari-jari tangannya di pegangan kursi, "Aku menduga pasti Helian Kong yang berperan dan mencegah perang terbuka antara Lou-ang dan Tong-ong. Hebatnya, dia masih juga mampu bersembunyi. tidak ada jejaknya sedikit pun yang dapat diikuti orang orang kita."
.. Salah seorang perwira bawahan Phui Tat-liang yang bernama Tamtai Jin, yang dulu juga ikut merampas di Sungai Mutiara, memperingatkan panglimanya itu, "Panglima. kalau tidak salah. Panglima Tertinggi Ni menugaskan kita dan semua teman-teman kita yang bersembunyi di selatan ini agar memancing keluar 'laskar gunung'nya Helian Kong agar bisa diketahui posisi-posisi mereka dan kekuatan mereka dan bisa dimasukkan oleh Panglima Ni dalam rencana militernya. Tetapi kita tidak disuruh mencari tahu di mana Helian Kong secara pribadi, sebab siapa yang mampu mengikut gerak gerik Helian Kong yang seperti hantu itu" Sebentar di sini, sebentar di sana, seolah-olah bisa berpindah tempat dengan cepat, dan tempat-tempat yang kokoh penjagaannya macam istana para pangeran, bahkan istana Kaisar di Lam-khia, bisa ia datangi dan tinggalkan semaunya seolah-olah tempat yang tak ada orangnya. Memburu Helian Kong bukan tugas kita. Memperjelas posisi-posisi laskar Helian Kong, itu baru tugas kita...
Ditegur bawahannya macam itu. Phui Tat-liang tidak marah karena ia sendiri yang dulu menyuruh para pembantunya agar tidak segan menegur kalau ia melakukan kekeliruan yang membahayakan rencana rahasia.
Toh ia merasa masih penasaran perihal berkeliarannya Helian Kong itu. dia lalu jadi ingat seorang pendekar Manchu yang mirip Helian Kong.
baik ilmunya yang tinggi maupun gerak geriknya yang susah ditebak. sambil menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi , ia mendesah " seandainya sek hong hua mau bekerja pada pemerintah
ia cocok diberi tugas menguber uber helian kong"
kelima perwira pembantunya itupun ingat pada pendekar manchu tersebut
pendekar itu adalah murid bungsu dari kat hu yong. Penasehat militer panglima tertinggi Manchu namun ada kabar angin
bahwa ilmunya sudah menyamai gurunya.karena ketekunannya sendiri dalam menggemblengan diri.
sayang bahwa tokoh muda berbakat itu.
berbeda mendapat dalam banyak hal dengan tokoh tokoh atas kerajaan manchu.
Sek hong hua tidak setuju penyerbuan ke daratan tengah.
ia juga marah besar ketika terjadi pembantaian rakyat sipil di yang ciu dan ke teng.
Dan yang terakhir seng hong hua terang terangan menunjukkan ketidaksetujuannya akan rencana penyerbuan ke sebelah selatan sungai besar yang masih dikuasai keturunan dinasti beng.
Dengan sikapnya itu ia jadi bersimpang jalan dengan gurunya dan kakak seperguruannya yang merupakan pembantu pembantu kepercayaan panglima ni kam yang merencanakan penyerbuan ke selatan itu.
Pertentangan yang menyebabkan seng hong hua dipecat dari ketentaraan meskipun banyak orang menyayangkan karena meramalkan masa depan seng hong hua akan sangat cemerlang di jalur ketentaraan.Tahu tahu dipecat karena terlalu banyak tidak setujunya.Namun sek hong hua menjawab dengan kalem ketika menanggapi pemecatan dirinya " Buat apa mendapat kedudukan tinggi berlandaskan kesengsaraan jutaan orang korban perang " jadi orang bebas menurut hati kecil itupun sudah amat tinggi derajatnya"
sejak itu tak ada orang tahu dimana sek hong hua berada . ia hidup sebagai pengembara.
seorang perwira pembantu phui tat hong bernama yeh lu long orang keturunan suku sianbi yang jauh dari utara yang bersalju berkata "sek hong hua tidak bersama kita jadi kita harus membuat rencana
sesuai apa yang ada di tangan kita tidak perlu mengharap apa yang tidak ada pada kita .
aku setuju dengan saudara tamtai tadi kita hanya perlu memancing kekuatan kekuatan pendukung Helion kong bukan menangkap Helian kong sendiri"
Phui tat liong mengangguk "Perampokan kapal di sungai Mutiara itu agaknya kurang memanaskan situasi antara lou ong dan tong ong.Karena kurang panas kita akan memanaskannya. Rencananya kita akan menyamar sebagai prajurit prajuritnya louong untuk merampas pos pemeriksaan perbatasan antar propinsi dekat lembah Ban-kui. Pos itu adalah pos di bawah Pangeran Tong-ong, namun letaknya agak menjorok masuk ke wilayahnya Lou-ong, pos itu juga merupakan pos yang menghasilkan banyak uang karena setiap harinya ada ribuan orang lewat pos itu."
Perwira-perwiranya mengangguk-angguk setuju. Phui Tat-Hong berkata pula, "Akan kupimpin langsung penyerangan ini. Dan yang akan kubawa ialah kelompokmu. Yehlu Long. Kita berangkat nanti malam."
Yehlu Long menyahut, "Siap, Panglima. Mohon agar anak buahku beristirahat dari segala kegiatan hari ini, biar mereka beristirahat agar nanti malam bisa berangkat dengan tubuh dan pikiran segar."
"Kuijinkan." Lima orang pembantu terpercaya Phui Tat-liong itu masing-masing membawahi seribu prajurit dan beberapa perwira. Yang sudah agak berkurang adalah kelompoknya Tamtal Jin dan sebuah kelompok lagi yang beberapa waktu yang
lalu "dipakai" menghadang kapal-kapal di Sungai Mutiara.
Yehlu Long lalu menyiapkan orang orangnya.
An Lung adalah anak buah Yehlu Long, maka dia pun termasuk di antara orang-orang yang harus bersiap-siap.
Siang itu, begitu tahu kelompoknya hendak bertugas, An Lung mengunjungi Ang Siok-sim di tempat. Ang Siok-sim bertiga dikurung. Kebetulan Ang Siok-sim tidak sedang ke mana-mana, melainkan sedang mengobrol di bawah pohon rindang dengan seorang penghuni pangkalan tentara tersembunyi itu.
An Lung langsung duduk di tempat itu, dan langsung pula berkata, "Nanti malam aku berangkat." '
Baik rekannya itu maupun Ang Sioksim sudah paham berangkat ke mana. Temannya itu menyahut, "Nah. suatu kesempatan untuk meluapkan dendam atas kematian adikmu, Kakak Lung. Kau bisa membunuh banyak orang demi adikmu."
An Lung menggeleng dan berkata, "Membunuh sebanyak-banyaknya pun tidak
membuat adikku hidup lagi, malah membuat banyak orang sengsara."
"Tapi dulu kau bilang begitu, ketika diberi tahu adikmu gugur."
"Dulu kan perasaanku sedang kacau karena sedih."
"Tetapi ini perang, Kak, kalau tidak membunuh ya terbunuh."
"Tidak. Aku yakin sebenarnya pasti ada pilihan ke tiga yang lebih baik, meski belum kuketahui pilihan ke tiga itu apa, tetapi kalau aku memikirkannya, pasti akan kutemukan itu. Tidak harus membunuh atau terbunuh."
Ang Siok-sim tidak mencampuri percakapan kedua perwira itu. namun ia lega melihat An Lung tetap bersiteguh dengan tekad yang sudah dicanangkannya di depan Ang Siok-sim dulu. Harap Ang Siok-sim dalam hati. "Mudah-mudahan suasana ganasnya medan laga nanti tidak melunturkan _sikap Kakak Lung... dan mudah-mudahan semangat seperti itu menulari siapa pun di pihak ini maupun di pihak sana."
Tiba-tiba saja An Lung melontarkan sebuah pikiran yang aneh, "Eh. A-sim. bagaimana... kalau kau ikut dalam kepergian kami nanti?"
Keruan Si Perwira rekan An Lung maupun Ang Sick-sim sendiri tercengang. "Kakak Lung ini bagaimana" Aku ini bekerja di sebuah perusahaan pengawalan saja tidak bisa jadi pengawal. cuma jadi kuli angkut barang. soalnya tidak bisa berkelahi sejurus pun. Di tengah pertempuran nanti, bukankah aku akan jadi seperti kayu kering dimasukkan ke dalam api?"
"Bukan begitu, A-sim. aku tidak .memintamu untuk berperang. Aku hanya ingin kau mendampingi aku dan tetap menguatkan hatiku memegang teguh sikap yang sudah kutekadi" Kalau kau tidak ikut, aku kuatir ganasnya pertempuran membuat aku dirasuk dendam lagi.,
Ang Siok-sim merenung sesaat, kemudian, "Seandainya aku bersedia, masih ada rintangannya. Aku belum tentu beroleh ijin. aku tawanan."
"Akan kumintakan ijin kepada Panglima. Lagi pula yang tawanan adalah kedua None Ma. bukan kau. Kau cuma kebetulan ikut tertawan."
perwira yang satu lagi geleng geleng kepala "mustahil kau dapat ijin kakak Lung.Panglima dan komandanmu pasti keberatan kerahasiaan tempat ini akan di temukan orang kalau ang siok sim keluar"
"Kalau perlu aku akan minta panglima Phui dan komandan Yehlu waktu perginya dan pulangnya A-sim ditutup matanya. Tidak perlu kuatir membocorkan kerahasiaan tempat ini"
Ang siok sim geleng geleng kepala "lebih baik aku disini. kalau mau membebaskan aku bebaskan juga kedua nona Ma.Kalau kedua nona tidak kalian bebaskan akupun tak mau kalian bebaskan "
Ma. wan yok dan ma wan san yang tak sengaja mendengarkan percakapan itu dari balik dinding kayu merasa terharu mendengar tekad Ang siok sim itu.seorang yang bukan sanak keluarga juga bukan orang "derajatnya tinggi" dalam masyarakat hanya seorang kuli angkut di perusahaan pengawalan ternyata punya tekad semacam itu.
Kepada An lung Ang siok sim berkata"Kakak lung .kau sudah mendapat orang yang sependapat dengan sikapmu untuk tidak membunuh semena mena dalam pertempuran ?"
"Baru dua orang" jawab Ang lung bernada mengeluh "itupun yang satu tidak berani menampakkan sikapnya terang terangan karena tak tahan di tertawakan"
"mereka ikut pergi malam ini?"
"yaa keduanya anak buahku"
"Kalau begitu kakak Lung minta mereka berdua harus saling mengingatkan "
An Lung mengangguk angguk tetapi perwira satunya geleng geleng kepala lalu beranjak pergi sambil bergumam "Aneh aneh saja.dalam perang kok saling menasehati untuk tidak membunuh musuh. perang macam apa itu" perang perangan?"
Ang siok sim menguatkan hati An Lung "jangan kecil hati kakak Lung. suatu hari nanti entah berapa tahun pasti orang orang akan melihat benarnya pendapat kita"
Paman Boan datang menjinjing karanjang susunnya untuk Ang Siok-sim bertiga, kepada An Lung ia berkata. "Kapten An, kalau kau pulang hidup. akan kumasakkan hidangan enak untukmu. tetapi aku tidak senang kalau harus membuat hidangan untuk ditaruh di altar di depan hun-pai (papan arwah) yang bertuliskan namamu."
"Kalau begitu. mulai sekarang siapkan bahan-bahan makanan lezat yang kau janjikan itu. sebab aku akan pulang segar bugar dan akan banyak makan," kata An Lung sambil melangkah pergi.
Hari itu. semua anak buah Yehlu Loug beristirahat sebaik-baiknya. Yang bisa tidur ya tidur sehari penuh, yang tidak bisa tidur karena gelisah. ya sekedar duduk-duduk atau mengobrol dengan teman untuk mengurangi kegelisahan. Meski mereka sudah sekian lama disiapkan untuk bertempur, namun bayang-bayang bahwa sebagian dari mereka bakal gugur di medan laga menggelisahkan juga. Ada yang ingin tidur siang tapi baraknya terlalu bising. lalu mereka mencari tempat untuk tidur lainnya. Ia
pasti di dekat dapur atau dekat gudang perbekalan. atau bahkan di dekat kandang ternak meskipun agak berbau kotoran ternak.
Ketika malam tiba. pasukan yang terpilih untuk berangkat pun bersiap. Dengan keputusan Phui Tat-liang. semua pasukan akan memakai seragam pasukannya Pangeran Lou-eng. dan membawa bendera-bendera Pangeran Leu-eng. Rupanya, Phui Tat-liang merasa, kalau tidak terang-terangn memakai seragam pasukannya Lou-eng. suasana yang ditimbulkan akan "kurang panas". Seperti beberapa waktu yang lalu. ketika merampok kapal di Sungai Mutiara tanpa seragam salah satu pihak. hasilnya 'kurang menggemparkan".
Seragam itu mereka keluarkan dari gudang besar.
Sebelum berangkat. pasukan berkumpul di lapangan sudah dengan seragam palsunya. di bawah cahaya obor-obor yang ditancapkan sekeliling lapangan. Phui Tat-liong berpesan sungguh-sungguh agar dalam tutur kata dan tingkah laku di medan laga nanti, pasukannya benar benar bersikap sebagai pasukannya Louong. Petunjuknya ditutup dengan katakata, "... misi adu domba ini harus berhasil, demi menambah kekayaan Kerajaan Manchu kita yang agung!" Prajurit-prajuritnya bersorak sambil mengacung-acungkan senjata mereka. Yang tidak ikut bersorak hanya An' Lung dan seorang prajuritnya yang sudah satu paham dengannya, satu prajurit lagi sudah sepaham namun belum berani bersikap terang-terangan dan ikut bersorak. Habis 'itu, pasukan pun berangkat malam-malam. Phui Tat-Hong dan Yehlu Long berjalan paling depan, dalam seragam prajurit .Lou-ong pula. Phui _Tat liong tidak membawa toya perunggunya, sebab senjata itu agak jarang digunakan dan ia kuatir orang akan menghubung hubungkannya dengan "pemimpin gerombolan bandit" di Sungai Mutiara. Maka Phui Tat-liang membawa senjata yang agak umum, yaitu golok. Perwira pemhantunya, Yehlu Long biasanya mahir memainkan sepasang pedang lengkung, pedang khas bangsa Sianbi, tetapi atas anjuran Phui Tat-liong, ia membawa senjata yang cukup lazim di wilayah selatan yaitu tombak. '
Dari jendela ruang penyekapannya, Ang Siok-sim mendengarkan kata-kata Phui Tat-liong tadi, dan juga melihat seragam yang dikenakan pasukan itu berbeda dengan seragam waktu sembahyang arwah dulu. hati Ang Siok-sim jadi sedih. Pikirnya, "Ada satu dua gelintir manusia yang mulai sadar dan ingin menyebarkan semangat perdamaian seperti Kakak Lung, tetapi sebagian besar, bahkan hampir semua, masih berpegang teguh untuk tercapainya tujuan dari pihaknya sendiri, bahkan tidak segan memakai cara adu domba. Mengobarkan perang yang seharusnya tidak terjadi antara Lou-eng dan Tong-eng, mengakibatkan matinya orang orang yang tak seharusnya mati." Ang Siok-sim tidak tahu-menahu siapa itu Lou-ong siapa itu Tong-ong, yang-ia tahu banyak orang akan mati gara-gara ulah adu domba Phui Tat-liang itu.
Kalau semula Ang Sick-sim tidak ingin pergi 'dari situ karena merasa "semua tempat sama saja" dan juga demi menemani nona Ma, tiba-tiba kini Ang Sick-sim ingin dunia luar tahu soal siasat adu domba itu agar tidak termakan olehnya dan banyak orang terhindar jadi' korban. Tetapi bagaimana lolos dari situ" Meski orangnya ramah-ramah, tetapi mereka benar-benar mengawasinya dengan ketat.
Sementara itu, Phui Tat-liong dan pasukan samarannya menyusuri lorong lorong di tengah hutan dan bukit-bukit yang hampir tak terjamah manusia. Melewati dasar-dasar jurang terjal dan kadang-kadang harus berjalan di tempat tempat berair atau berlumpur juga. Mereka berjalan sampai hampir fajar. dan ketika langit timur mulai berwarna lebih muda, mereka tiba di sebuah peternakan kuda yang dikelilingi bukit-bukit. Peternakannya sendiri berujud sebuah dataran rumput dengan bangunan-bangunan yang berpencaran, dan dalam perternakan itu ada hampir dua ribu ekor kuda.
Phui Tat-liong dan pasukannya disambut di peternakan kuda yang luas itu, sebab ternyata peternakan kuda itu hanya sebuah kedok untuk tempat menyimpan kuda-kuda. Perwira Manchu yang menyamar sebagai pemilik peternakan itu. Cek Sun-yan, yang fasih berbicara dengan logat setempat sehingga tidak dicurigai, juga ahli dalam hal kuda. Pangkatnya setingkat dengan Phui Tatliong.
"Kolonel Phui. apakah ada tugas dari Panglima Tertinggi sehingga kau bawa pasukanmu keluar dari persembunyian dengan menyamar sebagai pasukannya Louong?" tanya Cek Sun-yan yang menyambut rekannya itu.
"Masih dalam rangka perintah Panglima Tertinggi yang dulu, yaitu menimbulkan suasana yang panas agar kekuatan Helian Kong memunculkan diri dari persembunyian masing-masing. Kalau keadaan sangat tidak aman, pasti Helian Kong akan menyuruh orang-orangnya tampil terang-terangan untuk mengendalikan situasi. Bukankah kau juga menerima perintah Panglima Tertinggi itu?"
'Semua komandan di selatan ini menerimanya. Dan kau ingin mengadu domba Lou-ong dan Tong-ong, sebab kalau mereka bertikai sengit maka 'laskar gunung' Helian Kong akan terpaksa muncul melerai sehingga bisa kita hitung posisinya' dan kekuatannya, begitu?"
"Benar. Tetapi sekarang aku dan pasukanku sedang mengantuk dan kelaparan. .
"Di tempatku ada cukup tempat untuk beristirahat. dan cukup banyak makanan"
Piui Tat-liang dan pasukannya pun beristirahat di peternakan kuda itu.
Menjelang sore Cek Sun-yan mengajak bicara Phui Tat-liang. "Saudara Phui, kalau kau bertindak sekarang. saatnya tepat. Situasi wilayah ini sedang panas. Gara-gara Peristiwa di Sungai Mutiara.
Ada beberapa penambahan pasukan Pangeran lou ong di beberapa desa perbatasan, " diimbangi oleh peningkatan pasukan Tong-eng di beberapa desa di seberang perbatasan.Entah kedua pangeran hendak bertempur sungguh-sungguh, entah hanya saling gerak sambal kurang pasti juga.
Tetapi tugasmu ialah membuat mereka bertempur sungguh sungguh. Begitu pula tugas teman-teman kita di tempat lain.
"Kolonel Cek. kau dapat berita dari teman-teman kita?"
He-he-he, teman kita Goh Tiok-lip kabarnya juga sudah berhasil memanaskan hubungan antara Pangeran Lou-ong dengan pangeran Kui-ong di perbatasan Kui-cat dan Giat-kang. soal jalan raya dagang yang makmur di wilayah itu'
"He-he-be, agaknya waktuku memang tepat."
"Asal hati-hati. Di titik-titik panas ini pasti Helian Kang juga menempatkan pengamat-pengamat yang cerdas. Kalau kita ceroboh sedikit saja,terbukalah kedok kita!
'Kuperhatikan kata-katamu Kolonel Cek. Aku sedikit pun tidak meremehkan Helian Kong ! Kalau Panglima Ni Kam saja tidak berani meremehkannya, apa lagi aku.'
Ketika matahari mulai terbenam. pasukan Phui Tat-liong yang sudah segar kembali setelah beristirahat seharian segera bersiap-siap. Mereka akan menggunakan kuda agar bisa menyerang dengan cepat kemudian menghilang dengan cepat pula. Mereka akan menyerang sebuah desa yang ditempati sebuah pasukannya Pangeran Tong-ong', menurut peta yang sudah dibuat oleh Cek Sun-yan.
"Kita takkan merebut desa itu, hanya menembakkan panah-panah api, lalu kabur. Kaburnya ke arah desa di mana ada pasukannya Lou-ong supaya kita disangka dari sana, namun di tengah jalan kita akan masuk jalan rahasia untuk kembali ke peternakan ini." Phui Tat-Hong menerangkan kepada sepuluh orang perwira bawahannya termasuk An Lung, sambil menunjuk-nunjuk di peta.
An Lung agak lega bahwa malam itu takkan terjadi pembantaian besar. Dalam hati ia bahkan berharap agar usaha adu domba antar pangeran itu gagal saja. Kasihan rakyat di daerah-daerah yang menjadi ajang perang.
Setelah kuda-kuda dipelanai, pasukan berkuda itu pun berderap meninggalkan peternakan. namun tidak melalui jalan depan yang wajar melainkan lewat jalan rahasia. mereka harus berkuda di tengah sebuah sungai dangkal sepanjang belasan li agar kaki kuda mereka tidak meninggalkan jejak, habis itu baru naik ke daratan. itu saja tidak langsung menuju sasaran, melainkan berputar arah sedemikian rupa sehingga seandainya ada yang ingin mengikuti jejak mereka, akan menyangka_ pasukan berkuda itu datang dari desa pangkalan tentaranya Pangeran lou-ong.
Ketika mereka melewati sebuah lubuk seorang penduduk yang sedang membuat perangkap ikan. terkejut oleh derap pasukan berkuda di malam buta itu. Si penduduk desa itu sendiri jadi basah kuyup karena cipratan air' yang dilontarkan oleh keseribu ekor kuda'itu. _
"Sudah mulaikah perangnya?" orang desa itu mengeluh dalam hatinya. "Di desa-desa dekat perbatasan. pasukan kedua" pangeran sudah menyusun pertahanan.
Sementara itu. setelah Phui
dan pasukannya tiba di suatu jalan besar mereka pun menyerbu ke arah desa yang dikuasai tentaranya Tong-ang. Mereka melewati beberapa pos tentara yang di jaga regu-regu kecilnya Pasukan Pangeran Lou-eng. namun regu-regu kecil itu tak mampu menghalangi, apalagi ketika melihat seragam pasukan berkuda itu ternyata adalah "teman sendiri". Pasukan terus berderap, ketika melintasi pos perbatasan yang biasa untuk menarik pajak orang lewat, prajurit-prajuritnya Tong-ong yang menjaga tempat itu memilih untuk kabur menyelamatkan diri ke dalam rimbunnya pepohonan gelap di sekitar pos, setelah melepaskan satu dua anak panah yang ditembakkan sembarangan saja. Mereka tidak berani merintangi, sebab jumlah mereka kalah jauh. Setelah rombOngan berkuda itu lewat, baru mereka keluar kembali sambil menatap ekor pasukan itu, meski gelap malam menghalangi pandangan mereka. "Gila," desis komandan regu tempel itu, yang masih terengah-engah dan pucat mukanya. "Tak salahkah pandanganku,
mereka itu pasukannya Pangeran Louong?" .
Beberapa prajurit anak buahnya memnarkan.
"Benar. Meskipun mereka tidak membawa bendera, namun sekilas dalam cahaya obor yang remang bisa kulihat lambang pasukannya Pangeran Lou-eng di kain pelapis pelana kuda mereka. Tak salah lagi. Mataku belum rabun."
"Aku juga melihat saputangan pengikat leher mereka berwarna merah. itu pasukannya Lou-ong."
"Mereka benar-benar memulai perang. Tak gentar lagikah mereka kepada Helian Kong?"
"Mungkin mereka anggap Helian Kong sedang sibuk di garis depan, lalu Pangeran Lou-eng berani bertingkah di sini."
"Mereka menuduh kitalah yang merampok kapal-kapal mereka di Sungai Mutiara, padahal itu dilakukan oleh bandit-bandit sungai. Tak ada pasukan kita yang berkeliaran di Sungai Mutiara."
"Memang dasarnya ingin cari gara gara seperti beberapa tahun yang lalu,
biarpun tanpa bukti ya tetap saja menuduh dan tetap saja menyerang
"Gilanya, mata-mata kita di desa musuh tidak memberi tahu akan adanya serangan malam ini. Mungkin mata mata kita di desa musuh sudah diketahui dan sudah dibungkam?"
"Sekarang kita harus bagaimana" Pasukan kita dalam bahaya akan diserang mendadak."
"Mau bagaimana lagi" Kita tak sempat memberitahu mereka. lari kita pasti kalah dari larinya kuda."
_ "Kita tidak punya panah isyarat?"
"Tidak ada persediaan. Kita tidak menduga serangan ini."
Sementara itu. di sebuah desa yang termasuk garis depannya wilayah Pangeran Tong-eng. di mana ada lima ratus prajurit ditempatkan di situ. suasananya dalam keadaan siap-siaga tetapi tidak tegang. Mereka tidak berpikir bahwa malam itu ' akan ada serangan. sebab mereka menempatkan mata-mata di desa pangkalannya Pangeran Lou-eng, dan tidak ada berita apa-apa dari mata-mata
lagipula mereka menganggap pangeran lou-ong hanya menggertak dengan pura-pura menggelar pasukan di perbatasan Hok-kian, tetapi pastilah takkan berani bertindak karena gentar kepada Helian Kong.
Sekeliling desa sudah dipagari pagar batangan-batangan kayu rapat, yang dibaliknya ada pijakan untuk para pemanah dan penembak senapan. Pintu-pintu masuk ke desa dipasangi pintu-pintu yang kuat, maka penduduk desa itu jadi merasa seperti dalam penjara.
Namun malam itu, sekelompok prajurit propinsi Hok-kian duduk-duduk. dengan santai di pintu gerbang desa yang dibuka separuh dan diberi penerangan obor berlimpah-limpah. Bahkan beberapa puluh langkah di luar desa juga dinyalakan api-api unggun besar agar kalau musuh datang, malam akan terlihat.
Prajurit-prajurit itu bercanda sambil menikmati arak dan kacang goreng.
Tetapi canda mereka terhenti ketika mereka tiba-tiba merasakan tanah bergetar, derum sebuah pasukan berkuda dalam jumlah cukup besar sedang melaju mendekat.
Prajurit-prajurit Hok-kian itu pun berlompatan kaget, komandan regu mereka dengan tergesa-gesa memerintah, "Semua masuk. cepat! Palang pintunya dan awaskan semua pemanah!"
Prajurit-prajurit itu berebutan masuk tak mempedulikan arak dan kacang yang masih bergeletakan di tanah. Pemanah pemanah pun dengan tergesa-gesa naik ke pijakan-pijakan di belakang dinding kayu karena sebagian besar dari mereka pun sedang santai.
Phui Tat-liong dan pasukan berkudanya muncul begitu cepat dari kegelapan dan langsung menyebar, Mereka disambut oleh panah-panah dan tembakan-tembakan senapan dari atas dinding kayu. Beberapa prajurit Phui Tat-liang terjungkal dari kudanya, namun prajurit-prajurit Lou-ong gadungan itu_ sempat menghujankan panah-panah ke pasukan Tong-eng yang mempertahankan desa. Beberapa prajurit di atas dinding kayu terkena panah. Selain panah biasa, prajurit-prajurit Phui Tat-liong juga melepaskan panah-penat api yang terbang di atas dinding kayu dan hinggap di atas atap-atap rumah penduduk desa dan menyalakannya. Dari dalam desa, terdengar jerit tangis penduduk yang terbangun dari tidur mereka.
An Lung, salah seorang prajurit Phui Tat-Hong, tak tega hatinya mendengar jerit tangis itu. Karena itu, meskipun dia ikut memanah. ia memanah sembarangan saja dan bisa dibilang hanya membuang-buang panah sekedar supaya ia terlihat "ikut bertempur". Sudah tentu usaha An Lung yang hanya seorang dari seribu orangnya Phui Tat-liang itu hanya berpengaruh amat kecil terhadap perubahan, namun Ang Lung melakukannya juga untuk melegakan hati kecilnya sendiri. '
Beberapa prajurit Phui Tat-liong juga melemparkan senjata-senjata yang agak aneh. itulah buli-buli tanah liat bermulut kecil yang diisi penuh-penuh dengan arak. sumbatnya dari kain dan dinyalakan, leher buli-buli diikat tali sepanjang kurang lebih satu setengah meter. Buli-bull menyala itu diputar-putar di ujung tali sambil berkuda, lalu dilontarkan ke dinding-dinding kayu pertahanan musuh. Buli-buli pecah, araknya membasahi dinding kayu dan api pun membakar dinding yang sudah basah arak.
Di bagian-bagian dinding yang terbakar itu, sudah tentu prajurit-prajurit pemanah tak bisa berdiri di atasnya. Mereka harus berlompatan turun, yang terlambat melompat turun. ada yang terbakar bajunya sehingga mereka harus bergulingan di tanah sambil berteriak menyayat hati. .
Phui Tat-Hong tidak pernah merencanakan untuk benar-benar merebut dan menduduki desa itu. sebab kalau sampai begitu ia berarti menaruh dirinya dalam terang dan kedok penyamarannya bisa terbongkar. ia hanya ingin menggusarkan pihak Pangeran Tong-ong. Meskipun tak benar-benar ingin merebut desa, namun gempurannya amat sengit, seakan amat bernafsu merebutnya. Seperti yang sudah ia pesankan, anak buahnya pun banyak meneriakkan kata-kata seperti "hidup Pangeran Lou-ang" atau "Pangeran Tongong perampok" dan semacamnya.
Serangan ke desa itu ' berlangsung kurang lebih dua jam; lalu Phui Tat-liang memberi aba-aba agar yang terluka dibawa pergi dulu dari palagan, dan mayat-mayat yang tewas pun dinaikkan kuda. Phui Tat-liong tak ingin ada mayat anak buahnya ketinggalan satu pun di sekitar desa itu. nanti akan bisa dikenali kalau ia dan orang-orangnya bukanlah pasukannya Lou-eng. Sementara yang terluka dan yang tewas dinaik-naikkan kuda, yang lain tak mengurangi sedikit pun kegencaran serangan mereka sambil memuji Pangeran Dou-ong seraya mengutuk Pangeran Tong-eng.
Setelah mendengarkan kode dari orang orangnya bahwa penyingkiran orang-orang terluka dan gugur sudah selesai, Phui Tat-liang pun menyerukan aba-aba agar pasukannya mundur meninggalkan medan.
Sebagaimana datangnya yang secepat angin. begitu pula perginya, meninggalkan kebakaran, orang terluka dan tewas di desa itu. Lebih-lebih lagi meninggalkan
kemarahan dan dendam. Phui Tat-liang memimpin pasukannya kembali ke peternakan kuda Cek Sun-yani namun tidak mengikuti jalan yang wajar melainkan sengaja menimbulkan jejak yang salah seperti berangkatnya tadi. Kalau berangkatnya tadi mengesankan pasukan datang dari arah desa tempat pangkalan pasukannya Pangeran Lou-ong, kini pun berusaha menimbulkan kesan ' pasukan itu "kembali ke desa pasukan Lou-ong". Di suatu tempat mereka membelok masuk lorong rahasia dan menghapuskan jejak dan melewati sungai dangkal seperti berangkatnya tadi sebelum masuk ke peternakan kudanya Cek Sun-yan.
Sedangkan komandan pasukan di desanya Pangeran Tong-hong itu dengan emosi meluap melapor" kepada atasannya di' sebuah kota kecil terdekat. Laporannya bernada membakar hati. menceritakan betapa Pangeran Lou-ang mengirim tentara untuk "berusaha merebut" desa tempatnya bertahan.
Atasannya yang berpangkat Cong-peng
itu pun terbakar hatinya. "Kurang ajar. Pangeran Lou-ong benar-benar cari perkara dengan kita. Selagi sepertiga pasukan kita dalam perjalanan ke Lam-khia untuk membantu pusat dan kekuatan kita di sini berkurang, dia menikam punggung kita dan memulai lagi pertikaian yang sudah terkubur bertahun-tahun. Kita tidak bersalah kalau mempertahankan diri. bahkan membalas. karena Pangeran Lou onglah yang mulai lebih dulu!"
Hari itu juga Si Komandan memerintahkan dikirimnya bala bantuan ke desa yang diserang itu, yang tentunya menambah berat beban penduduk setempat sebab berarti akan lebih banyak mulut yang harus diberi makan. Tetapi penduduk tak berdaya dengan ujung-ujung senjata di depan hidung itu pun tak bisa menolak.
Sedangkan untuk membalas serangan, komandannya pasukan Tong-ang itu agaknya tahu kalau kekuatan militernya lebih lemah dari Lou-ang, maka ia tidak merencanakan serangan militer, melainkan mengupah sekawanan jagoan bayaran untuk membuat kehancuran di desa tempat pasukannya Lou-ong. _
Seperti yang diharapkan Phui Tatliong. situasi di perbatasan wilayah kekuasaan kedua pangeran itu memang memanas.
*** Setelah berjalan melewati Lembah Selaksa Mawar yang indah dan udaranya berbau harum itu. Helian Kong tiba di jalan raya yang menghubungkan propinsi Giat-kang dan Hok-kian. Langkahnya lalu berbelok menuju ke perbatasan.
Langkah Helian Kong di jalan itu berlawanan arus dengan orang-orang yang nampaknya sebagian besar justru sedang menjauhi perbatasan.
Helian Kong pernah melewati jalan itu. dan tahu bahwa jalan itu menjadi urat nadi perdagangan yang ramai. Rombongan-rombongan pedagang mengalir ke kedua arah. Namun kini kebanyakan yang dilihatnya bukanlah pedagang-pedagang melainkan pengungsi-pengungsi dengan
wajah yang digayuti kecemasan nan keputus-asaan.
Helian Kong berdiri di tepi jalan dengan hatinya tersentuh melihat wajah wajah tak berpengharapan itu. Pikirnya, "Di garis perbatasan antara Wilayah merdeka bangsa Han dengan wilayah pendudukan Manchu sana saja belum terjadi kegelisahan sehebat ini. kini jauh di dalam wilayah bangsa Han sendiri, rakyat Han sudah lebih dulu digelisahkan oleh pertentangan antara pangeran-pangeran dinastinya bangsa Han sendiri yang seharusnya mengayomi rakyat. Menyedihkan. Situasi begini bisa dimanfaatkan oleh pembawa-pembawa propaganda Manchu yang menyebarkan berita bahwa di wilayah utara yang dikuasai Manchu keadaannya lebih baik. keamanannya lebih terjamin, dan itu menggoyahkan kepercayaan bangsa Han kepada pemerintahan bangsa mereka sendiri," Helian Kong menyadari ini. sebab berulang-kali ia menerima laporan orang-orangnya bahwa mereka memergoki orang-orang yang menyebar luaskan ketidak-puasan di antara rakyat wilayah selatan terhadap keturunan dinasti Beng. Helian Kong tahu. Manchu menyusupkan bukan hanya orang-orang bersenjata yang pintar bertempur, tetapi juga penghasut-penghasut yang pintar bicara dan pintar menimbulkan' simpati rakyat ke pihak Manchu. Helian Kong pernah memperingatkan hal itu kepada para pangeran, namun celakanya tingkah laku para pangeran sendiri sulit mendapatkan simpati orang banyak.
Helian Kong sebenarnya ingin melihat sendiri keadaan situasi perbatasan. namun kalau ia berjalan melawan arus manusia. ia akan mudah menarik perhatian orang banyak. Dan Helian Kong sadar bahwa di antara arus manusia itu terdapat entah berapa banyak mata-mata dari berbagai pihak. Karena itu. Helian Kong memutuskan untuk ikut arus saja. berarti malah menjauhi perbatasan. Urusan menyelidiki situasi perbatasan. ia putuskan akan melakukannya nanti malam saja.
Di antara orang-orang itu. tampang dan dandanan Helian Kong memang tidak menarik perhatian, ia tak ada bedanya dengan ' orang lain. Jubah panjangnya yang terbuat dari kain kasar itu terkesan lusuh dan sudah amat lama, jahitannya di bagian pinggir bahkan sudah lepas kelimannya di beberapa bagian. krah bajunya, terutama di bagian tengkuk juga sudah _nampak mengelupas. Yang dipakai kakinya hanyalah sepatu jerami seperti orang-orang pegunungan umumnya. Tampang macam ini pastilah membuat orang takkan menyangka kalau dialah "kaisar gunung" yang bahkan berani Mengancam Kaisar di Lam-khia.
Arus pengungsi itu menepi, ketika berpapasan dengan sebuah pasukan tentara yang menuju ke perbatasan. Pasukan yang berbendera pasukannya Pangeran Lou-ong ini nampak juga. membawa dua pucuk meriam besar yang ditarik kuda.
Helian Kong diam-diam membatin. 'Pangeran Lou-ong .sudah berjanji kepadaku untuk menahan diri. namun orang orangnya di tempat ini bertindak tidak sesuai dengan janjinya. Kalau dibiarkan. wilayah tenggara ini bisa berantakan oleh ulah orang-orang ini."
Ketika menemui sebuah desa yang agak besar, Helian Kong memutuskan untuk berhenti. Nampaknya desa itu pun dipenuhi oleh pasukannya Lou-eng, di sekitar desa dibangun dinding-dinding pertahanan dari kayu, batu dan tanah liat, pintu-pintu gerbang dijaga prajurit dan di jalan-jalan maupun' di warung warung nampak prajurit-prajurit berkelompok-kelompok sedang berjalan atau duduk-duduk. Namun suasananya nampak tak begitu tegang, mungkin karena letaknya yang agak jauh dari garis depan.
Helian Kong yang merasa lapar itu melangkah masuk sebuah warung di tepi jalan. Warung itu penuh, tapi masih ada sebuah tempat duduk di pojok di dekat dapur, meski Helian Kong harus berbagi meja dengan tiga orang lainnya sekeluarga. Seorang lelaki hampir enam puluh tahun, seorang ibu muda seusia Helian Kong, dan seorang gadis cilik berusia sekitar sebelas. Agaknya mereka adalah kakek, anak dan cucu yang juga mengungsi, namun melihat jenis makanan yang mereka pesan di meja mereka.
agaknya mereka cukup berada.
Setelah mengangguk ramah kepada mereka bertiga, Helian Kong pun menduduki bangkunya.
Helian Kong menyapukan pandangan ke sekitar ruang makan itu, melihat separuh lebih dari pengunjung warung adalah serdadu. Mereka bicara dengan ribut dan bangga tanpa peduli pembicaraan mereka didengar pengunjung lain atau. bahkan mengganggu. Pembicaraan mereka bercampur-aduk antara situasi yang sedang terjadi dengan pembicaraan jorok pengalaman pribadi mereka.
Helian Kong tak terlalu menggubris, kemudian tatapan matanya berhenti pada sebuah lukisan yang tergantung di dinding." Lukisan pegunungan hijau. Mendadak Helian Kong merasa sedang di rumah sendiri dan ia tersenyum dalam hati.
Si tukang warung mendekatinya untuk menanyakan pesanan. Helian Kong langsung tahu kalau 'Si Tukang Warung ini bukan jago sembarangan, entah kapan bergabung dengan "kaum gunung hijau" nya Helian Kong sebab Helian Kong belum pernah mengenalnya secara pribadi. Tapi beribu-ribu anggota kaum gunung hijau yang belum pernah bertemu muka dengan Helian Kong namun bergabung juga karena setuju dengan tujuan kaum gunung hijau. Sambil memesan makanan dan minumannya, Helian Kong memperhatikan dan menilai orang itu, terutama sorot mata dan tutur-katanya dan Helian Kong menilai orang ini cukup baik dan berwatak gagah. Sikap orang itu kepada Helian Kong biasa saja. rupanya tidak tahu kalau si "pengungsi" yang tak berbeda dengan lainnya itu adalah si "kaisar gunung" alias pemimpin tertinggi kaum gunung hijau. Apalagi karena yang dipesan juga makanan dan minuman sederhana.
Helian Kong merasa belum perlu memperkenalkan siapa dirinya. karena belum ada keperluannya. ia pun berlaku seperti tamu-tamu lain, bahkan sempat mengobrol sedikit dengan keluarga pengungsi yang semeja dengannya.
Ketika itulah beberapa prajurit selesai makan minum dan hendak pergi begitu saja, dan adalah di luar kelaziman bahwa Si Tukang Warung mendekati prajurit-prajurit itu lalu menagih harga makan minumnya. Lazimnya, para pemilik warung tidak berani menagih, namun tukang warung yang ini memang lain dari yang lain.
Para prajurit itu kontan melotot keheranan. Mereka seolah memandang mahluk aneh di depan mereka.
"Siapa yang kau tagih?" tanya seorang perwira berberewok pendek kaku.
"Tuan-tuan yang kami tagih. tentu saja."
"Kenapa kami ditagih?"
"Karena Tuan-tuan sudah makan-minum di warungku, dan makanan serta minuman di sini dijual, tidak disedekahkan. Kami hanya memberi sedekah kepada pengemis yang benar-benar tidak mampu."
_ Keruan kuping para prajurit itu jadi memerah. Si Perwira berberewok pendek kaku-membentak, "Kau tidak lihat siapa kami" Matamu bisa lihat siapa kami" Pakaian kami?"
"Bisa, Tuan. Tuan-tuan adalah prajurit prajuntnya Pangeran Lou-ong, dan aku sungguh menghina Tuan-tuan kalau aku menyedekahi Tuan-tuan dengan makanan minuman tadi. Aku tidak ingin menghina Tuan-tuan, makanya kutagih."
"Kau tidak tahu kami di sini untuk apa?" ,
"Untuk' bertugas tentunya."
"Kami sedang membela mengamankan negeri, tahu" Harusnya kau mendukung kami, menjamu kami. Baru menyuguhi makan-minum begitu saja sudah menuntut balas jasa berupa bayaran!"
Si Tukang Warung menjawab tajam. "Kalau ingin mengamankan negeri, lawanlah Manchu di sebelah utara Sungai Besar sana. Kalau saling gempur antara sesama bangsa Han, itu namanya bukan mengamankan tetapi malah mengacau. Membuat penduduk meninggalkan rumah
dan kehilangan harta mereka." Tamu warung yang bukan prajurit,
sangat setuju dengan kata-kata tajam Si Tukang Warung, sekaligus juga mencemaskan nasib Si Tukang Warung.
Sedangkan para prajurit merasa seolah ditampar. Si Perwira berewokan itu biasanya amat ditaati di mana-mana, bahkan dilayani dan menuntut pelayanan penduduk setempat, dengan dalih bahwa ia sedang menjalankan tugas demi kepentingan penduduk. Baru sekarang ada yang menudingnya terang-terangan di muka orang banyak bahwa prajurit-prajurit itu bukan sedang mengamankan. malah sedang mengacau.
Karena itu. melayang'lah tinju Si Perwira dengan derasnya hendak menghunjam ke wajah Si Tukang Warung. Tetapi kepalan itu tidak berhenti di wajah Si Tukang_ Warung. melainkan dalam genggaman kokoh telapak tangan Si Tukang Warung.
"Tersinggung ya?" Si Tukang Warung tertawa haha-hehe sambil mempererat cengkeramannya atas tinju Si Perwira, dan jari-jarinya aeolah amblas ke dalam daging kepalan Si Perwira tetapi belum sampai merobek kulit.
Si Perwira kesakitan sampai wajahnya basah keringat, dalam hati sadar bahwa kali ini ia kena batunya. Namun demi gengsi. ia pantang menyerah. kakinya terangkat hendak menendang selangkangan Si Tukang Warung. .
Si Tukang Warung membarengi bertindak dengan menyentakkan tangan Si Perwira sehingga Si Perwira jatuh terjengkang beberapa langkah. Tendangannya tadi tanpa diapa-apakan pun sirna sendiri.
Teman-teman Si Perwira gusar namun jeri juga. Mereka membangunkan Si Perwira, lalu membayar makan minum kemudian pergi dari situ. Sebelum meninggalkan depan pintu warung. Si Berewok mengancam, "Tukang warung keparat, kau akan kena akibat perbuatanmu 'ini."
Jawaban Si Tukang Warung menggetarkan hati para prajurit itu, "Kau mau apakan aku" Bahkan seluruh kekuatan yang dipunyai Pangeran Lou-ong tidak bisa mengapa-apakan aku, sebab aku adalah bagian dari 'laskar tiga pegunungan' (nama lain dari kelompok 'gunung hijau') yang jauh lebih kuat dari pasukanmu. Di sekitar sini pun ada teman temanku yang .jumlah maupun mutunya
sanggup menumpas pasukanmu dalam waktu singkat!"
Para prajurit itu pun mengeloyor pergi tanpa berani berkata-kata lagi. Prajurit-prajurit lain yang masih tinggal di warung itu pun berubah jadi "anak-anak manis". mereka tidak lagi makan sambil tertawa terbahak atau membual dengan suara keras. Dan ketika hendak pergi, mereka membayar.
Helian Kong puas dalam hati melihat adegan itu. Ia memang sudah mengeluarkan perintah kepada seluruh anak buahnya di seluruh negeri agar mereka tidak lagi terlalu bersembunyi, di mana perlu mereka harus unjuk kekuatan agar para pangeran yang cenderung bertikai terus itu dapat digertak dan dipaksa hidup rukun. Tindak-tanduk dan ucapan Si Tukang Warung dinilai tepat oleh Helian Kong.
Bersambung jilid XV. Panglima Gunung Karya Stefanus SP
Panglima Gunung Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sumber Ebook : Awie Dermawan
Edit teks : Saiful Bahri Ebook persembahan group fb Kolektor E-Book untuk pecinta ceritasilat Indonesia
*** Panglima Gunung jilid 15 Kemudian dengan melihat tampang dan gerak gerik si tukang warung. Helian kong menebak bahwa si tukang warung adalah han hoat yang berjuluk han hwe bin ( han si muka api) jagoan yang punya nama di perbatasan ciat kang dan hokkian itu.
Jadi han hoat sudah bergabung dengan kami.mungkin ik jin hoa yang merekrutnya" demikian pikir Helian kong. Ik jin hoa adalah anak buah Helian kong yang bertanggung jawab di wilayah itu dengan kedudukan sebagai hu san cu (wakil penguasa gunung)
Selesai makan minum Helian kongpun membayar pada si tukang warung sambil menanyakan apakah di desa itu ada penginapan.
Si Tukang Warung "bermuka api" menjawab sopan, "Jalan saja sampai ke ujung utara jalan ini sampai ketemu simpang tiga. Di sebelah pertigaan ada tulisan rumah penginapan 'Ceng-san-tiam' kepunyaan temanku, pelayanannya baik." " Mendengar nama "Ceng-san-tiam" (Penginapan Gunung Hijau) Helian Kong tersenyum dalam hati, tak sulit menebak bahwa rumah penginapan itu pun salah satu "pos" kaumnya di daerah sekitar situ. Setelah berterima kasih dan berpamitan kepada Si Tukang Warung, Helian Kong menuju Ceng-san-tiam.
Sambil melangkah Helian Kong membandingkan hidupnya sekarang dengan beberapa tahun yang silam. Dulu, ia begitu kecewa karena gagal mempertahankan Ibu kota Pak-khia dari kaum pemberontak Pelangi Kuning, disusul kekecewaan berikutnya ketika gagal pula membujuk sahabatnya, Bu Sam-kui, agar tidak membukakan ' pintu San-hai-koan bagi orang Manchu (dalam "Kembang Jelita Peruntuh Tahta" I & II), hingga Helian Kong memilih hidup "di pegunungan. bersama anak isteri dan iparnya untuk menjadi peladang yang jauh dari keramaian orang-orang berperang berebut kekuasaan. Namun di pegunungan pun ia disusul oleh puteri almarhum Kaisar Cong-Geng, Puteri Tiang-ping yang sudah menggundul rambutnya dan mengenakan jubah Bhikuni. Dari puteri Kaisar itu Helian Kong kembali "terpancing" untuk turun gunung kembali ke dunia ramai, dan turunlah ia ke Lam-khia atau Kim-leng, ibu kota lama dinasti Beng, yang saat itu sudah menjadi ajang persaingan beberapa pangeran keturunan dinasti Beng untuk menentukan siapa yang bakal mewarisi tahta dinasti Beng dan mewarisi negeri leluhur yang tinggal separuh di bagian selatan. Helian Kong bergabung dengan beberapa jenderal dan laksamana yang masih setia kepada dinasti Beng, menekan dan mengekang ambisi para pangeran agar ada yang mengalah, dan akhirnya Pangeran Hok-onglah yang jadi Kaisar Beng dan memerintah dari "Lam-khia(dalam "Puing-puing Dinasti"). Dalam perjalanan dari pegunungan menuju Lam
khia, Helian Kong serta anak isterinya mengalami penderitaan, sampai-sampai ikut antri pembagian bubur gratis yang tak ada rasanya untuk para pengungsi. Perasaan helian Kong saat itu sempat juga diamuk rasa iba diri dan penasaran. Jenderal dinasti Beng yang sudah banyak berkorban dan banyak berjasa, kok mengalami nasib semacam ini" Kemudian di Lam-khia, setelah Pangeran Hok-ong berhasil dinobatkan, Helian Kong pun terangkat kembali, dijadikan Gubernur Militer di Lam-khia. Namun kedudukannya itu hanya sebentar, ia difitnah lalu dicopot dan dijadikan buronan oleh pemerintah baru di Lam-khia, hingga harus sembunyi di pegunungan.
Membandingkan hidupnya yang dulu, sekarang Helian Kong boleh berjalan dengan membusungkan dada dan mengangkat kepala. Ia mendengar dirinya dijuluki "kaisar gunung" dan ditakuti Kaisar di Lam-khia maupun para pangeran di selatan. Laskarnya yang setia ada ratusan ribu orang dan tersebar di mana-mana. semuanya bergerak dengan perintahnya.
Bahkan seorang pembantu terdekatnya pernah berkata kepadanya. "Kakak Helian, rasanya cukup beralasan kalau sekarang ini bangsa Han di selatan ini mendapat Kaisar baru yang kuat. berwibawa, berakar di hati rakyat dan dapat mempertahankan negeri ini dari ancaman Manchu di utara Sungai Besar. Bukan seperti para keturunan dinasti Beng yang bisanya cuma menggelisahkan rakyat seperti sekarang ini."
"Kalau Kaisar di Lam-khia harus diganti, siapa yang cocok untuk menggantikannya?" '
"Kakak Helian sendiri."
"Hus! Aku bukan keturunan raja!"
"Apa salahnya" Berabad-abad yang lalu, dinasti Cao mengalami kemelut tak habis-habisnya diperintah Kaisar Kiongte yang masih anak-anak dan disetir para pembesar korup. Apa yang dilakukan para panglima yang prihatin akan kondisi negara" Para panglima menobatkan Jenderal Tio Gong-in dan mengepung ibu kota Kai-hong. jenderal Tio Gong-in menjadi Kaisar baru dan mendirikan dinasti baru.
dinasti Song. Kalau kemelut di wilayah selatan sekarang ini tak habis-habisnya gara-gara ulah para pangeran. apa salahnya Kakak mengikuti jejak Tio Gong-in" Kakak punya dukungan luas, orang-orang kita ratusan ribu. Ditambah dukungan para panglima-panglima yang tersebar di seluruh negeri. Laksamana The Seng' kong di Hok-kian, Jenderal Thio Bengciu dan Thio Hong-goen di Ciat-kang, Jenderal Li Teng-kok di Se-cuan, Jenderal Li Tiang-hong di Hun-lam, semuanya pasti mendukung Kakak. Begitu Kakak mengumumkan diri jadi raja, dukungan akan berdatangan dari segala penjuru dan para pangeran takkan bisa menghalangi, bahkan juga Kaisar tak berwibawa yang sekarang bercokol di Lam-khia." .
"Mendukung... atau malahan kecewa..." sambung Helian Kong ketika itu. "Kecewa, karena sahabat-sahabatku itu tibatiba menganggap kegigihanku sekian tahun ternyata menyembunyikan ambisi pribadi untukku sendiri."
"Aku yakin takkan ada yang menganggap demikian, Kak. Siapa yang tidak tahu pengorbanan Kakak sejak jamannya ibu kota masih di Pak-kina sampai pindah ke Lam-khia sekarang" Siapa tidak tahu kesetiaan Kakak yang sulit ditandingi jenderal manapun" Bahkan Kakak sudah berulang kali dikecewakan tetapi tetap tunduk dan setia?"
Helian Kong adalah manusia biasa dan bukan malaikat. "gosokan" pembantu kepercayaannya itu diakuinya dengan jujur, mempengaruhinya juga. Ya, apa salahnya setelah sekian tahun mengalami pahit getirnya pengabdian tanpa diberi balas jasa, lalu sekarang ia tampil memimpin wilayah selatan itu" Apalagi posisinya saat itu sangat kuat, bisa dibilang Helian Kong "mengenggam" wilayah selatan dan untuk menguasainya tak lebih sukar dari mengambil benda di kantong bajunya sendiri. Namun Helian Kong lalu menepis jauh-jauh pikiran itu. ia sendiri sering menganjurkan kepada anak buahnya agar "berjuang semata-mata demi tanah air dan tanpa memperhitungkan keuntungan diri sendiri", dan Helian Kong tahu bahwa nasehat sebagus itu tidak cukup di
pidatokan melainkan harus diteladankan dalam sikap hidupnya sendiri.
Namun untuk tidak menyakiti hati pembantunya yang menganjurkan itu. Helian Kong menolaknya secara berkelakar, "Mana bisa orang Liao menjadi rajanya bangsa Han" Aku akan coba-coba jadi Kaisar kalau besok kerajaan Liao berdiri kembali."
Pembantunya hanya menyengir kecewa waktu itu. .
Nama keluarga "Helian" berabad-abad yang lalu memang bukan nama keluarga yang lazim bagi bangsa Han, melainkan nama keluarga bangsa Liao di wilayah barat laut. Ketika bangsa Han dan Liao sama-sama ditindas bangsa Mongol selama berabad-abad, kedua bangsa melebur. Ketika Mongol angkat kaki, Han dan Liao sudah sulit dibedakan, sama-sama menjadi warga dinasti Beng bersama beberapa suku lain.
-Sambil melangkah menuju Ceng-santiam, percakapan lama dengan pembantunya itu sempat terngiang kembali, namun Helian Kong belum tergoda. "Cukup
seperti sekarang saja, bermain dari belakang layar, pokoknya pengaruhku ada dan terasa di pusat-pusat kekuasaan di belahan selatan ini," katanya dalam hati.
Ketika Helian Kong tiba di Ceng-san tian, ia tidak heran lagi melihat gambar "gunung hijau" tergantung di dinding-dindingnya. Pengurus rumah penginapannya bertubuh kurus ceking dan bermuka cemberut.
Helian Kong mendapat sebuah kamar berukuran kecil yang hawanya panas dekat kandang kuda, yang harganya agak murah.
Tidur-tiduran siang hari di kamarnya, Helian Kong sempat berkelakar dengan diri sendiri, "Siang-siang begini selagi orang lain bekerja, aku malah tiduran, gayaku benar-benar sudah seperti seorang Kaisar. Bedanya, kamar istirahat seorang Kaisar tidak beraroma kotoran kuda seperti ini."
Ketika malam turun dan Helian Kong bersiap-siap untuk menyelinap keluar dan menyelidiki situasi perbatasan, tiba-tiba Helian Kong mendengar suara orang melompati dinding dekat kandang kuda. Lewat celah-celah jendela, Helian Kong mengintip. dan ia melihat Si Tukang Warung yang berani menentang para prajurit tadi. melangkah melintasi lorong antara deretan kamar-kamar belakang dengan kandang kuda. Dia langsung mengetuk pintu sebuah bangunan kecil di sudut halaman, bangunan yang ditempati pengurus penginapan dan keluarganya.
"Saudara jiu... Saudara Jiu..." Si Tukang Warung memanggil-manggil dengan suara lirih. tetapi kuping tajam Helian Kong tetap mendengarnya.
Pintu dibuka dan Si Pengurus Penginapan yang ceking muncul menjawab, "Aku sudah siap berangkat, Saudara Han."
Mendengar nama "saudara Han" ini Helian Kong pun semakin kuat dugaannya bahwa tukang warung tadi memang Han Hoat alias Han Hwa-bin.
Kedua orang itu berjalan dalam kegelapan makin ke pinggiran desa. Ketika sudah sampai di tempat belukar, mereka berlari-lari dan nampak gerakan mereka yang enteng.
Mereka tiba di suatu tempat belukar jauh di luar desa, namun di tempat itu sudah ada api unggun dan ada beberapa orang duduk mengelilingi tempat itu. Yang sudah menunggu dan yang baru datang saling sapa dengan akrab, bahkan saling ejek namun dalam suasana persababatan.
Masih datang lagi beberapa orang,
' bahkan ada yang membawa bekal makanan yang lalu dinikmati bersama-sama.
Pembicaraan serius baru dimulai setelah datangnya seorang lelaki berusia empat puluhan tahun bertampang terpelajar yang dipanggil "Kakak Ik" oleh semua orang, meskipun oleh orang yang lebih tinggi usianya.
Si Kakak ik itu duduk dan tanpa bertele-tele langsung memasuki persoalannya, "Nah, Saudara-saudara, kita akan langsung membicarakan situasi yang menghangat di perbatasan ini. San-cu Helian Kong pasti tidak suka mendengar ini. Ini bisa menjurus jadi perang saudara antara Pangeran Lou-ong dan Pangeran Tongong yang akan melemahkan kekuatan
bangsa Han sendiri. ini harus diatasi."
lk Jin-hoa, pemimpin orang-orang itu, menyapukan pandangannya ke wajah orang-orang sekitarnya. lalu menyodorkan pertanyaannya, "Ada yang tahu penyebab pertikaian terbuka ini?" '
Beberapa saat suasana sunyi, lalu Si Tukang Warung Han Hoat berkata, "Sebelum ini, suasananya memang sudah tegang, yaitu sejak terjadinya perampokan kapal di Sungai Mutiara. Kedua pihak mengerahkan kekuatan di sebelah menyebelah perbatasan, namun tidak ada yang berani bergerak lebih dulu."
"itu karena pengaruh San-cu kita di Siao-hin maupun Hok-ciu," kata lk Jinhoa dengan nada agak bangga.
"Kurasa begitu," jawab Han Hoat. "'Sampai tiba-tlba keadaan saling menunggu itu berakhir. Malam itu tiba-tiba ada pasukan berkuda melakukan pembakaran di desa yang ditempati pasukannya Pangeran Tong-ong. Pihak Pangeran Tongong menuduh bahwa pasukan itu datang dari arah posisi pasukannya Pangeran Lou-ong dan ketika kembali juga ke arah
posisinya pasukan Lou-ong. Lalu kemarin lusa ada kebakaran di lumbung pangannya pasukan Lou-ong. Sepintas lalu, Pangeran Lou-ong nampaknya mengawali perang dengan serangan pasukan berkuda, tetapi pada malam terjadinya serangan itu ada kejadlan yang agak ganjil."
"Kejadian ganjil apa, Saudara Han?"
"Seorang penangkap ikan penduduk desaku, yang sering menjual ikan-ikan segar ke warungku, bercerita bahwa malam itu ketika ia sedang membuat perangkap ikan di lubuk, tiba-tiba di malam gelap ada suatu pasukan berkuda yang cukup banyak berjalan di sepanjang sungai itu. Bukan di tepi sungai tetapi di air sungainya. Penangkap ikan itu sampai basah kuyup." _
Orang-orang yang berkeliling api unggun itu sudah kenyang pengalaman dunia petualangan, maka begitu mendengar laporan Han Hoat itu, mereka semua langsung tahu satu hal, hampir bersamaan mereka menyebut satu hal, "Lewat di sungai yang dangkal adalah cara membuat tapak kaki kuda tak bisa dilacak jejaknya."
"Terjadinya di malam terjadinya penyerbuan pasukan berkuda ke salah satu desa pertahanan Pangeran Tong-ong, Saudara Han?" .
"Benar." . "Kalau begitu, yang menyerang desa pertahanannya Tong-ong malam itu belum tentu pasukannya Lou-ang," ik Jin-hoa menyimpulkan. "Orang-orang kita di desa-desa yang ditempati pasukan-pasukannya Lou-ong juga melaporkan tidak adanya gerakan tentara malam itu."
"Lalu pasukan dari pihak mana?"
"Harus kita selidiki."
"Rasanya kita tidak punya banyak waktu untuk menyelidiki hal ini, Kakak lk. Penyelidikan mungkin butuh waktu lama, sedangkan komandan-komandan di kedua pihak sudah panas hatinya dan aulit menahan diri. Pihak Tong-ang menuduh pihak Lou-ong menyerang desanya, pihak Lou-eng balik menuduh pihak Tong-eng mengadu-ada dan cari-cari alasan, sambil menuduh pihak Tong-ong duluan yang cari perkara di Sungai Mutiara. Kedua pihak juga sudah memperkuat garis depan, suatu gerakan keeil saja bisa mengobarkan perang besar."
"Apakah perlu kita tunjukkan kekuatan kita untuk menengahi kedua pasukan itu. agar sabar menunggu hasil penyelidikan?"
"Aku tidak tahu apakah San-cu setuju atau tidak."
"Kakak ik, bukankah San-cu sudah menyebar perintah agar, kita jangan terlalu sungkan menunjukkan diri, agar kehadiran kita terasa oleh semua pihak?" .
"Saudara, 'jangan terlalu sungkan menunjukkan diri' itu berbeda dengan 'menggelar laskar kita terang-terangan di tempat terbuka"
Ketika itulah dari tempat gelap _yang tak terjangkau cahaya api, terdengar suara yang dalam, "Kuijinkan kalian menggelar laskar mengambil posisi di antara kedua pasukan para pangeran itu."
Orang-orang itu kaget dan serempak" berpaling bersiaga, ada yang sudah hampir menghunus senjata. Namun mereka tidak gegabah menyerang ke arah sosok
tubuh berjubah yang melangkah dari tempat gelap mendekati api unggun.
Setelah wajah orang itu diterangi cahaya api, lk Jin-hoa maju menyambutnya, "San-cu!"
Sementara. Han Hoat Si Tukang Warung kaget, bukankah ini adalah tamu di warungnya siang tadi yang hanya memesan makanan dan minuman yang paling murah" Seperti inikah tampang orang yang seenaknya masuk keluar istana Kaisar dan para pangeran serta nyaris mendikte keputusan-keputusan para petinggi negara itu" ,
Begitu pula Jiu Ko-tian Si Pengurus Penginapan. Jadi tamu yang diberinya tempat kecil dekat kandang kuda itu adalah Helian Kong Sang San-cu"
Hampir serempak orang-orang di situ berdiri menghormat dan menyapa. Hanya Han Hoat serta Jiu Ko-tian yang tidak berdiri karena mereka berlutut, memohon ampun kepada Sang San-cu akan perlakuan mereka yang mereka rasakan sendiri kurang hormat kepada Sang San-cu siang tadga
Namun Helian Kong cepat cepat mengangkat bangun Si Tukang Warung dan Si Pengurus Penginapan itu sambil memuji bahwa mereka cukup pantas menerima tamu-tamu mereka dan tidak ada yang kurang sopan. Kepada Han Hoat, malahan Helian Kong memuji sikap tegas Han Hoat kepada para prajurit, siang tadi.
Tanpa banyak basa-basi sebagaimana kebiasaan "kaum gunung" ini, Helian Kong langsung duduk di seputar api unggun itu. Ketika lk jin-hoa hendak melaporkan pembicaraan tadi, Helian Kong sudah mencegatnya, "Aku sudah mendengar. Kerahkan laskar kita sebanyak-banyaknya dan tempatkan posisinya sebagai dinding penghalang antara pasukan-pasukannya Lou-ong dan Tong-eng. Sedangkan soal menyelidiki pasukan berkuda yang berjalan di tengah sungai itu, serahkan kepadaku." _
lk jin-hoa mengangguk-angguk. "Sudah lama kami menunggu itu, San-cu."
Helian Kong menjawab, "Terima kasih buat kepatuhan kalian selama ini menahan diri dalam perintahku. Aku paham. kalian pasti sudah bertahun-tahun muak melihat tingkah sewenang-wenang beberapa pihak namun harus menyembunyikan diri demi perintahku. Orang bilang Helian Kong hebat, Helian Kong kaisar gunung, Helian Kong mengantongi wilayah selatan seperti tanah nenek moyangnya, Helian Kong ditakuti Kaisar dan para pangeran. Semua itu benar. Dan tahukah kalian apa yang menjadikan kata-kataku ditaati oleh Kaisar sekalipun" Kalianlah yang menjadikannya demikian, saudara-saudaraku. Kalian. Kepatuhan dan kedisiplinan kalian kepada setiap perintahku, membuat aku bisa menekan para penguasa. Seandainya aku hanya memiliki segerombolan orang liar yang tidak berdisiplin, bertindak sendiri-sendiri, mana bisa aku menekan para pangeran itu" Saudara-saudara, kita ini ratusan ribu orang tetapi bertindak dan bersikap seperti satu orang, itulah kekuatan kita. Tetaplah sadari hal itu, jangan sampai kita terpecah-belah. Aku berterima kasih kepada kalian, aku tidak menggaji kalian satu sen pun, tetapi
kalian sedisiplin dan sepatuh ini.'
Mengucapkan kata-katanya yang belakangan itu, suara Helian Kong agak tergetar karena haru. Getarannya seolah merambat ke hati orang-orang di seputar api unggun itu. Orang-orang itu merasa bahwa sebutan 'saudara' atau 'kakak' atau 'adik' dalam kaum gunung hijau itu bukan sebutan basa-basi belaka. Mereka merasa betapa Sang San cu memperhatikan mereka, tahu isi hati mereka.
Salah seorang dari orang-orang itu menjawab, 'Apa yang kami korbankan belum seberapa dengan pengorbanan dan pengabdian San-cu yang tak dihargai para pembesar kerajaan sejak dulu. Belum apaapa. San-cu."
Yang lain menyambung. "Dalam kelompok ini, kami merasa di tengah-tengah keluarga sendiri, merasa pribadi kami dihargai. Dulu di ketentaraannya Pangeran Kui-ong aku sudah berpangkat Hu-ciang. tapi" meski berseragam mentereng. aku merasa hanya sebagai alat mati belaka. Terhadap rakyat pun aku dulu merasa jauh. rakyat melihat aku
seperti melihat hantu. Baru sekarang aku merasa hidupku ada artinya sedikit buat orang banyak.'
habis saling mengungkapkan isi hati yang melibatkan emosi .mereka kembali ke masalah yang mereka hadapi.
kata ik jin hoa " san cu ,disini aku membawahi hampir empat puluh hong kun (tongkat merah kode sebutan untuk hulubalang di garis depan).Tiap tiap memiliki laskar yang bervariasi .Ada yang laskarnya tidak lebih dari lima puluh orang tetapi ada yang hampir tiga ribu orang . Hong kun yang di kota lebih sulit merekrut anggota sebab harus amat berhati hati terhadap gerakan gerakan bawah tanah dari golongan yang lain sedang Hong kun yang di gunung lebih gampang mengumpulkan laskar. Saat ini kami seluruhnya di wilayah kami ini hampir tiga puluh ribu laskar. jumlah yang jauh dimiliki seandainya pasukan lou ong dan tong ong di wilayah ini digabungkan sekalipun. Tetapi ada sedikit kendala .san cu"
"Apa?" 'Laskar yang dekat-dekat di wilayah ini bisa dikerahkan dengan cepat untuk menempati posisi sebagai penghalang antara pasukan Lou-eng dan Tong-eng, namun jumlahnya barangkali tak lebih dari tiga ribu laskar, mungkin akan dipandang remeh oleh Lou-ong maupun Tong-ong. Selebihnya, yang harus dibawa turun dari gunung-gunung sekitar sini, perlu waktu tiga atau empat hari untuk sampai ke posisi yang dikehendaki."
Helian Kong berpikir sebentar, lalu mengangguk-angguk. "Kita bisa menimbulkan kesan seolah-olah kekuatan kita di pegunungan tak terbatas."
"Tetapi kita terbatas."
"Makanya kupakai kata 'seolah-olah' karena tidak demikian sesungguhnya. Kekuatan yang bisa dikerahkan dalam waktu dekat, segera munculkan untuk mengendalikan situasi. Yang jauh di pegunungan biar terus berdatangan dan ini akan menimbulkan kesan bahwa kekuatan kita yang tersembunyi di pegunungan tak ada batasnya. Lakukan secepatnya, dan kau adalah penanggung-jawab semua ini.
Saudara lk." "Terima kasih atas kepercayaan Sancu." '
"Sekarang, tolong tunjukkan kepadaku rumah penangkap ikan yang mengaku melihat pasukan berjalan di tengah sungai itu."
"Kurasa Saudara Han sebagai penghuni desa itu akan lebih bisa menjelaskannya. Silakan, Saudara Han."
Dengan menggunakan sepotong ranting Han Hoat menggores-gores tanah, menggambar denah desanya secara kasar dan menjelaskannya kepada Helian Kong. Helian Kong menyatakan paham. lalu menghilanglah ia dalam kegelapan malam.
Pengikut-pengikutnya mengomentarinya macam-macam, "Tak kusangka San.cu muncul di sini."
"Harusnya sudah kita duga. Di mana terjadinya peristiwa yang membahayakan keutuhan tanah air, San-cu pasti datang tanpa diundang."
"Memang" Tetapi yang tak kuduga, penampilannya benar-benar tak ada bedanya sedikit pun dengan orang lain, bahkan sepotong senjata pun tak kelihatan di tubuhnya, padahal kabarnya ia punya pedang Tiat-eng Po-kiam (Pedang Pusaka Elang Besi) yang merupakan ciri khasnya sekaligus tanda kepimpinannya dalam perguruan Tiat-eng-bun."
"Ya, beda benar dengan pendekar pendekar kelas kambing yang pakaiannya sengaja dibuat aneh-aneh dan lagaknya kalau di warung pun menggebrak-gebuk meja ,
"Pendekar berlagak macam itu baru kena batunya kalau mampir ke warungnya Kakak Han."
lk Jin-hoa mengangkat tangannya untuk menghentikan pembicaraan simpang siur itu. Lalu ia mulai mengatur para hong-kun itu untuk membawa laskar ,mereka masing-masing ke posisi yang sudah ditetapkan.
Orang-orang itu bubar untuk mengumpulkan laskar masing-masing.
Malam dingin berkabut, namun Helian Kong Justru menyelusuri tepian sungai kecil yang diceriterakan Si Penangkap Ikan itu. Sebentar-sebentar ia memeriksa rerumputan, mencari jejak, namun jejak itu seolah nihil. Seolah pasukan berkuda yang diceritakan Si 'Penangkap ikan itu adalah pasukan dari negeri hantu dengan menunggang kuda-kuda siluman yang tak meninggalkan jejak di alam kasar.
Namun Helian Kong punya keyakinan dalam hati, "Aku mencurigai pihak Manchulah yang mendalangi semuanya ini. Siasatnya siasat kuno, adu domba, namun pelaksanaannya amat halus sehingga orang macam Lou-ong dan Tong-ong termakan, apalagi mereka masih menyimpan benih dendam dan saling mencurigai. Aku yakin bandit-bandit air di Sungai Mutiara itu bukan orang-orangnya Tong-eng, sebab aku menyimpulkan dari cerita San Kin-mo bahwa pasukan itu terlalu baik untuk dimiliki Tong-ang. Tong-ang 'tidak punya prajurit-prajurit setangkas itu. Dan pasukan berkuda yang menyerang desanya Tong-ong itu pun paSti bukan pasukannya
Lou-ang." _ _ Sekian lama Helian Kong hilir mudik
di tepian sungai itu, namun tak menemukan jejak yang diingininya, akhirnya ia memutuskan untuk menunggu matahari terbit agar tempat itu lebih terang. Helian Kong lalu mulai mencari tempat yang cocok untuk beristirahat.
Tetapi, dalam kegelapan tiba-tiba beberapa anak panah menyambar ke arah Helian Kong. Dalam kegelapan, ternyata Helian Kong dapat melompat menghindari panah itu. Bahkan ketika beberapa batang panah lagi menyambar dari arah yang berbeda-beda, Helian Kong dapat meruntuhkan panah-panah itu dengan kebutan lengan bajunya.
Para pemanah .gelap itu tidak menyangka bahwa sasaran mereka kali ini ternyata begitu hebat. Merasa gentar, mereka cepat-cepat kabur "
Helian Kong yang sekian lama tidak menemukan apa-apa, sudah tentu sekarang tak melewatkan kesempatan itu. Ia tidak mau dibingungkan oleh suara langkah para pemanah gelap yang langkahnya lari berpencaran, melainkan dipilihnya salah satu saja. Bagaikan elang, tubuh Helian Kong melayang di atas pepohonan mengejar salah satu pemanah gelap itu. Untuk meruntuhkan nyali lawan, sengaja Helian Kong bersuara, "Hehe-he, setelah memanah terus hendak minggat begitu saja" Mana ada urusan begitu enak?"
Orang itu memang mempercepat larinya sekuat tenaga karena rasanya suara Helian Kong itu berdengung hebat di sekitar tubuhnya dan membuat telinganya mendenging hebat. .
Namun ada saatnya langkahnya terhenti karena tengkuknya dicengkeram sebuah telapak tangan yang kuat, yang rasanya menyedot seluruh kekuatannya. Ketika telapak tangan itu menekan, orang itu tak kuasa untuk tidak jatuh berlutut, tak peduli ia bertubuh kuat penuh otot, hasil latihan hebat bertahun tahun.
Helian Kong melepaskan cengkeramannya dan membiarkan tangkapannya terpuruk di tanah. Katanya, "Kenapa kau memanah aku?"
Orang itu menjawab, "Maaf, Tuan, kami ini pemburu-pemburu binatang yang sudah kesal karena sekian lama berburu tidak mendapatkan apa-apa. Ketika melihat Tuan, dalam kegelapan kami mengira Tuan seekor hewan buruan, jadi kami panah. Kami mohon maaf, Tuan."
Jawaban yang kelewat lancar dari orang itu, seperti sudah dihapalkan, malah menimbulkan kecurigaan Helian Kong "Hem, biarpun dalam gelap, pasti kan dan teman-temanmu melihat aku berjalan di atas dua kaki, bukan empat kaki. Dan setelah panah pertama menyerangku, kalian seharusnya tahu aku manusia, namun kalian tetap juga memanah beberapa kali. Alasanmu ini tidak masuk akal. Sekarang aku inginkan jawaban sebenarnya, apa yang kalian lakukan di sini dan siapa kalian" Aku siap menggunakan siksaan yang paling keras untuk memperoleh jawabanmu itu."
Ketika itulah dua batang anak panah kembali membelah kegelapan. Sebatang terarah ke Helian Kong, sebatang lagi
ke arah orang yang mengaku sebagai pemburu itu. Ketepatan panah-panah itu membuat Helian Kong makin yakin bahwa yang sedang dihadapinya bukanlah kawanan pemburu, bidikan panahnya terlalu mahir, dan juga terlalu kejam. Agaknya ada yang ingin membunuh orang tangkapan Helian Kong, sedang panah yang terarah 'kepada Helian Kong itu hanya semacam pengalih perhatian.
Helian Kong bukan hanya menyelamatkan dirinya sendiri, melainkan juga orang tangkapannya. Dengan kebasan lengan bajunya. kedua batang panah itu dapat dihalau sekaligus.
Habis itu, Helian Kong kembali menanyai tangkapannya, "Tidak ada pemburu yang ingin membunuh sesama pemburu hanya karena pemburu itu ditanyai orang. kalian pasti bukan pemburu. Nah, jawablah.
Orang tangkapan itu sudah tak punya alasan untuk berbohong, namun tidak percuma ia digembleng selama ini. Sebagai gantinya bohong, ia katupkan mulutnya kuat-kuat dan tidak mau menjawab sepatah pun.
Helian Kong makin yakin bahwa orang ini sebenarnya adalah seorang prajurit terlatih. Hanya prajurit terlatih yang bersikap senekad ini bila tertangkap dan hendak ditanyai keterangannya. Bahkan ada regu-regu berani mati yang diperintahkan membunuh diri dengan cara apa saja apabila tertangkap.
Helian Kong bukan orang kejam, namun demi menyelamatkan wilayah tenggara itu dari perang saudara antara Louong dan Tok-eng, ia menggunakan jempolnya untuk menekan urat kui-jong di bagian dada. Orang tangkapannya itu mulai berdesis dan menggeliat kesakitan, lalu dalam waktu singkat ia sudah merintih-rintih sambil bergelesoran di tanah.
"Kau amat kejam," kutuk orang itu. "Biar kau bunuh aku. aku takkan menjawab pertanyaanmu."
"Kalau begitu, silakan nikmati penderitaanmu. Kau anggap aku kejam, pihakmu sendiri kejam karena mengadu domba dan membakar-bakar timbulnya perang tanpa memperhitungkan kesengsaraan rakyat."
Tiba-tiba kuping Helian Kong mendengar suara desis lembut hanya sedikit. desis lembut yang bukan suara angin malam karena kuping Helian Kong yang lihai dapat membedakannya. Setelah desis itu terdengar sedetik. orang tangkapan Helian Kong pun berhenti merintih.
Helian Kong merasa kecolongan, dengan segenap kewaspadaan ia berjongkok untuk meraba nadi leher orang tangkapannya. Masih hangat, namun orangnya sudah mati.
Helian Kong mengerahkan ketajaman panca inderanya karena sadar sekarang di sekitar dirinya ada jagoan tingkat tinggi. ltulah jagoan yang membunuh orang tangkapannya, entah dengan apa.
Setelah sekian lama menajamkan panca inderanya, Helian Kong menangkap suara napas dua orang di tempat yang berbeda. Napas yang amat halus dan teratur dan itulah pernapasan jagoan tingkat tinggi. Helian Kong pun berkata, "Keluar dari persembunyian kalian, kedua
sobat. Atau kalian juga ingin mencoba menyerangku secara gelap seperti menyerang orang kalian sendiri tadi?"
Dengan menyebut "kedua sobat" Hee lian Kong ingin memberi tahu kedua jagoan yang masih bersembunyi itu bahwa ia sudah tahu jumlah mereka.
Tak lama terdengar suara gemerisik rumput yang terinjak, dari balik sebatang pohon muncullah seorang bertubuh pendek dan kurus yang langsung bersuara, "Kudengar kabar Helian Kong sudah maju pesat ilmunya sampai katanya sudah bisa disejajarkan dengan guruku, setelah kulihat buktinya sekarang, rasanya kabar angin itu ada benarnya. Selamat, Helian Kong."
Helian Kong pun mengenal tokoh yang baru muncul itu, "Ternyata Tiat_-jiausoat-ho (Musang Salju Berkuku Besi) Ngo Tat berkeliaran jauh sampai di selatan ini, yang tak ada saljunya."
Sekarang Helian Kong merasa pasti bahwa pihak Manchulah dalang dibalik adu domba itu. Sebab tokoh yang disebutnya itu adalah murid tertua dan sekaligus pembantu terpercaya dari Kat
Hu-yong. Kat Hu-yong sendiri adalah penasehat militernya Jenderal Ni Kam, Panglima Tertinggi Manchu. Kat Hu-yong bisa memberi nasehat-nasehat yang amat tepat kepada panglimanya, karena dia pun menerima keterangan-keterangan amat terperinci dari murid sulungnya ini, Ngo Tat, yang membina jaringan mata mata Manchu yang amat rapi diwilayah' selatan. Kini Helian Kong tahu kehadiran Ngo Tat di kawasan kemelut itu bukan suatu kebetulan.
Namun tadi Helian Kong mendengar napas dua orang, siapa yang satu lagi"
Yang satu lagi pun muncul. Seorang lelaki Manchu tua, rambutnya sudah putih semua, di bawah cahaya rembulan nampak kulit wajahnya yang kuning halus seperti perunggu. Di tangannya nampak tergulung seutas cambuk panjang, dan ketika ia berbicara, suaranya seperti dua potong logam yang digesekkan, "0, jadi inikah manusianya yang namanya mengguncangkan bumi dan memekakkan kuping itu?"
"Dengan sedikit bekerja sedikit keras malam ini, Paman Yim, sebab Panglima Tertinggi akan senang kalau kita menyerahkan orang ini hidup atau. mati. Tetapi seperti pernah kubilang dulu, meskipun masih sangat muda. ia berhasil mematangkan ilmu silatnya sampai setingkat dengan guruku" itulah ajakan sekaligus peringatan kepada temannya. ' Helian Kong mengenal dua murid Kat Hu-yong. Yang tua, Nge Tat, yang sekarang ada di depannya, cukup hebat juga, namun masih kalah hebat dari adik seperguruannya yang bernama Sek Honghua. Beberapa tahun yang silam Helian Kong pernah bertarung dengan Sek Honghua tanpa ada yang kalah dan menang. Ketika Helian Kong sudah meningkat ilmunya, ia dengar Sek Hong-hua juga sudah meningkat ilmunya namun dikeluarkan dari jajaran keprajuritan Manchu karena "terlalu berperikemanusiaan" dan sering tidak 'setuju kepada keputusan atasannya. Entah bagaimana "kemajuan ilmu Ngo Tat" Nada dalam kata-katanya terdengar begitu yakin akan bisa menangkap Helian Kong meski sadar harus bekerja keras dan mengandalkan temannya yang berambut putih itu.
Si Rambut Putih bermuka kuning hangus itu menyahut, "Tentu saja, Perwira Ngo, kesempatan membuat pahala sebesar ini kapan lagi kalau tidak sekarang?"
Helian Kong pun mempersiapkan diri. Ngo Tat ia ketahui berbahaya cakaran jari-jarinya yang terlatih dan amat lincah. selain itu bisa ilmu Thong-pi-kang (llmu Memulurkan Lengan). Entah sampai di mana kemampuan Si Rambut Putih bermuka seperti perunggu" Tetapi kalau _diandalkan oleh Ngo Tat dan ia sendiri begitu bernafsu menangkap Helian Kong untuk membuat pahala, pastilah bukan jago kelas kambing atau pemburu hadiah yang sekedar main untung-untungan.
Dalam kegelapan malam, tiga jagoan tingkat tinggi itu siap melakukan pertarungan, dua lawan satu. Ngo Tat dan Yim Mo, orang berambut putih dan berkulit wajah kuning hangus itu, biarpun di pihak yang berjumlah lebih banyak serta memanggul senjata, tetap tak berani meremehkan Helian Kong.' terlalu besar taruhannya.
Kesunyian malam terkoyak oleh bentakan hebat Yim Mo, Si Pendekar Manchu yang punya Siu-kut-kang (llmu Menyurutkan Tulang) sampai bisa memasukkan seluruh tubuhnya ke dalam sebuah guci kecil itu (dalam '"Kembang Jelita Peruntuh Tahta" II). Cambuknya membelah udara bagaikan naga terbang menyerang Helian Kong, Helian Kong berpindah tempat menghindar sambil menubruk ke arah Yim Mo dengan dua tinju menggedor sekaligus dalam tipu Siangliong-jut-hai (Sepasang Naga Keluar Lautan).
Yim Mo melangkah mundur dua tindak, mencoba mengacaukan perhitungan jarak Helian Kong, sambil menyentakkan cambuk panjangnya balik ke arah dirinya sendiri, seolah hendak mencambuk diri sendiri. Namun cambuk itu seolah mengejar punggung Helian Kong. Di tempat penuh pepohonan macam itu, nampaknya Yim Mo tidak ragu sedikit pun memainkan cambuk panjangnya tanpa takut melibat pepohonan, menandakan ia amat percaya akan kelihaian mengendalikan cambuknya. ' '
Helian Kong mengayun diri di tengah udara, satu tangan ke atas untuk meraih tangkai pohon di atasnya, tangan lain hendak menjambret cambuk Yim Mo.
Gerak tangan Helian Kong cepat dan mengincar tepat, cambuk itu terpegang lalu disentakkannya agar Yim Mo tertarik mendekat untuk dihajar. ' Yim Mo coba mempertahankannya dengan pasang kuda-kuda dan menguatkan pegangannya. Terjadi tarik-menarik.
Cambuk itu terbuat dari helai-helai kulit yang dijalin, pada bagian pegangannya, yang dipegangi Yin Mo, dilapisi kulit bulu domba agar enak dipegangnya. Namun bagian yang dipegangi Helian Kong adalah tubuh cambuk yang tajam. Ketika tarik-menarik terjadi, telapak tangan Helian Kong terluka, namun Helian Kong mengertakkan gigi memegangi terus dan menariknya dengan hebat, sambil mewaspadai Ngo' Tat yang entah kenapa belum juga bertindak, malah menonton tarik-menarik itu.
Yim Mo sampai berkeringat dan berkunang-kunang matanya karena pengerahan tenaganya 'yang berlebihan dalam mempertahankan cambuknya. Sudah begitupun ia masih merasakan tubuhnya tertarik juga ke depan sedikit demi sedikit. Tertarik dalam posisi kuda-kuda yang belum berubah.
Tiba-tiba Helian Kong melakukan sesuatu yang tak terduga oleh Yim Mo, ketika itu ia masih bergelantungan di pohon dengan sebelah tangan, suatu posisi yang tidak memungkinkan ia menggunakan tangannya maksimal dibandingkan kalau berkuda-kuda di atas tanah. Toh dalam posisi macam itu Helian Kong tetap mampu menarik Yim Mo ke ,arahnya, padahal Yim Mo berkuda-kuda di atas tanah. Dalam posisi itu, Helian Kong tiba-tiba malahan melepaskan dahan pohon yang dipegangnya, sehingga tubuhnya tertarik meluncur ke arah Yim Mo, sambil meluncur juga melakukan beberapa gebrakan sekaligus. Bagian cambuk Yim Mo yang dipegang tangannya disabetkan ke wajah Si Empunya cambuk sendiri, tangan yang tidak memegang cambuk ikut menjotos, kedua kaki menjejak sekaligus dengan arah berbeda.
Yim Mo masih terhuyung ke belakang karena teriakannya yang tiba-tiba tak terbebani lagi, dalam posisi masih kacau begitu. hujan serangan Helian Kong tiba.
Sambil menyerang hebat, Helian Kong tetap menyisakan sedikit perhatian bagi Ngo Tat. Helian Kong sempat dipercik keheranan, bahwa sampai sebegitu jauh Ngo Tat belum juga turun tangan menolong temannya, apa maunya si "musang salju berkuku besi" ini dengan sikapnya yang ganjil itu"
Ternyata sikap aneh Ngo Tat juga membuat penasaran temannya sendiri. Yim Me, yang berteriak panik di bawah serangan hebat Helian Kong, "Saudara Ngo, tolong..."
Teriakan Yim Mo berubah jadi pekik kematian ketika tubuhnya terhempas terpental karena kena terjang kaki Helian Kong. ia menggelepar sebentar di rerumputan sambil menggelogokkan darah dari mulutnya. setelah itu ia terdiam.
Helian Kong berdiri teguh dan memutar tubuhnya menghadap Ngo Tat. "Kenapa kau tidak nampak ingin menolong temanmu" Apakah kau merasa mampu menangkapku sendiri?"
"Ia memang patut mati," kata-kata Ngo Tat terhenti mengambang di tengah tengah.
"Kenapa?" tanya Helian Kong.
"ltu urusan dalam kami, tak perlu kau ikut campur."
"Sekarang tinggal kita berdua. aku tidak tahu bagaimana sikapmu kepadaku, tetapi sikapku pasti. Aku harus menangkapmu dan menunjukkanmu kepada Louong dan Tong-ong bahwa mereka diadu domba oleh pihak ketiga macam kau."
Sambil mengucapkan ancamannya, Helian Kong melangkah maju. namun Helian Kong benar-benar heran melihat
ketenangan Ngo 'Tat. Helian Kong memang pernah mendengar kabar bahwa adik seperguruan Ngo Tat, yaitu Sek Hong-hua. yang seusia dengan Helian
Kong, sudah berhasil menggembleng diri sampai memiliki kemampuan tempur sejajar dengan angkatan tua, sebagaimana Helian Kong sendiri. Tetapi apakah Ngo Tat Juga sudah mengalami peningkatan ilmu" Kenapa setenang itu menghadapi Helian Kong seorang diri"
"jangan mimpi untuk menangkapku," _sahut Ngo Tat dingin, tak ragu sedikit pun. "Aku membubuhkan racun ganas di cambuk Yim Mo, dan ia tidak mengetahuinya sedikit pun. Tadi ketika kalian tarik menarik cambuk, kau memegangi bagian tengah cambuk yang beracun dan telapak tanganmu terluka. Racun itu sekarang sudah memasuki pembuluh-pembuluh darahmu. Makin hebat aliran darahmu karena gerakanmu sendiri, makin cepat racun itu sampai ke jantungmu dan menghentikanmu. He-he-he."
Helian Kong kaget dan menghentikan langkahnya, dan saat itu juga ia merasa telapak tangannya yang terluka tadi mulai terasa panas, pedih, bercampur gatal gatal juga. Kemudian dalam waktu singkat terasa hampir seluruh telapak tangan kanannya, dari pergelangan sampai ke ujung jari-jari tangan terasa menebal kulitnya dan kehilangan rasa. Kini Helian Kong dapat menduga sikap Ngo Tat tadi. Agaknya Ngo Tat diam-diam ingin melenyapkan rekannya sendiri 'yaitu Yim Mo, namun dengan "meminjam" tangan Helian Kong. Tetapi sekaligus Ngo Tat juga ingin menangkap Helian Kong dengan "meminjam" Yim Mo. Menangkap Helian Kong adalah pahala tak terkirakan besarnya di pandangan mata Jenderal Ni Kam, Panglima Tertinggi Manchu. Demikianlah Ngo Tat melakukan "sekali tepuk dua lalat".
Menyadari siasat Ngo Tat itu. bukan kepalang gusarnya Helian Kong. Namun Helian Kong pun sadar bahwa kegusaran akan mempercepat aliran darah dan mempercepat menyebarnya racun, dia pun menahan diri, tapi diam-diam memutar otak agar dapat meringkus Ngo Tat tanpa membuang banyak tenaga untuk dapat memperoleh obat penawar racun.
Helian Kong bersyukur untuk gelapnya malam sehingga perubahan air mukanya
yang menunjukkan kegusaran itu mudahmudahan tak terlihat oleh Ngo Tat. Helian Kong justru memperdengarkan tarikan napas seolah-olah ia sudah pasrah nasib, disertai kata-kata, "ini namanya kapal terdampar di parit kecil. Siapa sangka hari ini aku dijatuhkan olehmu?" Namun Ngo -Tat, komandan jaringan mata-mata Jenderal Ni Kam itu tak mudah menanggalkan kewaspadaannya. ia justru ingin Helian Kong mengamuk dan mempercepat kerja racun. la sengaja melangkah mundur menjauhi Helian Kong sambil berkata, "Terus terang saja, Helian Kong, aku merasa agak malu juga melakukan ini. Tetapi aku tidak sehebat adik seperguruanku yang mampu menandingimu satu lawan satu dalam pertarungan yang jujur, aku tidak berbakat sebaik itu. Tetapi... he-he-he... inilah bakatku. Meski kurang terhormat tetapi ada juga gunanya kan?" Tiba-tiba Helian Kong meluncur maju bagaikan kilat. Tangan kirinya yang tidak keracunan terulur sepanjang mungkin ke depan hendak mencengkeram ke bahu
Ngo tat. Gerak Helian Rong itu adalah gerakan maksimalnya, menggunakan seluruh kecepatan dan kekuatannya. ia mempertaruhkan seluruh nasibnya ke dalam satu gerakan ini.
Meski sudah amat waspada, Ngo Tat tetap kaget juga mendapat serangan secepat itu yang tidak nampak ancang-ancangnya sedikit pun. Tapi ia sempat membanting diri ke samping, biarpun agak pontang-panting tetapi selamat.
Lalu tangan Ngo Tat bergerak menerbangkan beberapa buah Hui-tiat-seng (Bintang Besi Terbang)-nya. Ngo Tat tidak terlalu berharap serangannya bisa mengenai Helian Kong, itu hanyalah upaya untuk membuat Helian Keng bergerak terus dan mempercepat bekerjanya racun.
Helian Kong juga tahu resikonya, namun ia tak mungkin membiarkan tubuhnya ditancapi bintang-bintang besi itu, dengan tangan kanan sudah setengah lumpuh, ia bergerak kian-kemari menghindar sambil memakai lengan kirinya dengan lengan jubahnya ' untuk mengebut runtuh bintang-bintang besi itu.
Yang tak disangka Ngo Tat ialah ketika Helian Kong menangkap salah satu bintang besi itu lalu menyambitkannya balik ke arah Ngo Tat. Semula Helian Kong agak ragu ketika hendak menangkap bintang besi itu, kuatir bintang besi itu beracun juga dan tangan kirinya pun akan keracunan, namun akhirnya Helian Kong tak peduli lagi, bahkan kebetulan kalau bintang besi itu beracun sama dengan racun yang menyerangnya, ia berharap akan melukai Ngo Tat dan memaksa Ngo Tat mengeluarkan obat penawarnya.
Ngo Tat mengaduh, sebuah bintang besi menancap di lengan atasnya, namun tidak beracun. Ngo Tat terluka, tetapi tak sebahaya Helian Kong. _
Helian Kong pun tahu itu. Ujung jari jari tangan kirinya yang bersentuhan dengan bintang besi tadi tak merasakan gejala-gejala keracunan. Tetapi suara Ngo Tat mengaduh tadi cukup membangkitkan semangat Helian Kong untuk berupaya merebut peluang hidup. Hidup matinya bukan miliknya sendiri lagi melainkan jutaan rakyat di wilayah selatan yang mendambakan kemerdekaan dari Manchu. Karena itulah Helian Kong kembali menubruk ganas ke arah Ngo Tat.
Ngo Tat jungkir-balik menghindar ke sana kemari, sebagai manusia biasa. meski jagoan silat, terasa juga ketakutan Menghadapi Helian Kong ini, terasa maut begitu dekat dengan kulitnya. Namun setelah menghindar beberapa kali, dia pun melihat terjangan-terjangan Helian Kong makin lemah, penurunan kekuatannya cepat sekali.
Beberapa terjangan kemudian, Helian Kong sudah terpuruk di tanah.
Ngo Tat tak mau gegabah, kuatir kena tipu daya Helian Kong. Melihat Helian Kong roboh, Ngo Tat amat gembira membayangkan pahalanya di depan jenderal Ni, bahkan pahala berganda karena ia juga berhasil melenyapkan Yim Mo yang oleh Jenderal Ni dicurigai berkasak-kusuk dalam rencana rahasia yang tidak disenangi Jenderal Ni. Tetapi dalam gembiranya, Ngo Tat tak mau ceroboh, ia tidak langsung mendekati Helian
Kong, melainkan mengawasinya dulu "' sekian lama.
Setelah sekian lama Helian Kong terlihat tetap tak bergerak dan terdengar napasnya yang berat tersendat. Ngo Tat masih belum mendekatinya melainkan dengan tenang mulai mengobati luka di lengannya sambil memperhatikan Helian Kong dengan waspada. Tadinya ia agak kuatir kalau disergap Helian Kong selagi sibuk dengan lukanya. .
Habis membalut lukanya, Ngo Tat masih menunggu setengah jam lagi, untuk meyakinkan bahwa Helian Kong benarbenar sudah tak berdaya. Akhirnya dia pun bersuit panjang.
Tak lama kemudian terlihat ada obor obor mendekat. Muncullah Phui Tat-liong, Cek Sun-yan dan Yehlu Long, perwira perwira Manchu yang diselundupkan ke selatan itu. Mereka juga diikuti beberapa prajurit. Semuanya, perwira maupun prajurit, berdandan sebagai pemburu.
Melihat tubuh-tubuh yang bergelimpangan di situ dan Ngo Tat yang terluka parah. Phui Tat-liong bertanya, "Komandan. apa yang terjadi di sini?"
Phui Tat-liong amat hati-hati menghadapi Ngo Tat ini. Biarpun tampangnya tak berarti, tak berseragam dan tak pernah memimpin pertempuran terbuka. namun sebagian besar perwira tinggi Manchu paham bahwa Si Pendek Kurus ini amat dipercaya kata-katanya oleh Jenderal Ni Kam. Kata-katanya bisa menjatuhkan atau mengangkat siapa saja yang dalam jajaran ketentaraan Manchu.
Setan Dari Luar Jagat 2 The Thrill Of Chase Karya Lynda Chance Sepasang Garuda Putih 10
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama