Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 1
Sepasang Rajah Naga (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 01 Perahu itu berbentuk naga. Perahu yang sedang saja dan layarnya yang terkembang itu sudah penuh tambalan. Akan tetapi perahu itu melaju dengan tenangnya. Layarnya mengembung terdorong angin lembut yang cukup kuat. Perahu meluncur lembut seolah tidak terasa ada ombak yang mengganggu. Air laut amat biru dan tenang. Langit pun biru dan banyak awan putih mEnciptakan berbagai bentuk yang aneh-aneh di angkasa. Matahari pagi itu memancar dengan cerah. Tukang perahu yang berusia kurang lebih lima puluh tahun itu, duduk mengemudikan perahu dengan wajah berseri. Tidak ada kesenangan yang lebih menggembirakan bagi seorang tukang perahu dari pada keadaan laut tenang dan lembut seperti itu.
Di bagian perahu yang terlindung atap, duduk dua orang wanita berusia kurang lebih dua puluh lima tahun. Mereka bercakap-cakap sambil memangku anak mereka masing masing. Dua orang anak laki-laki yang usianya sekitar tiga tahun. Melihat pakaian wanita-wanita dan anak mereka itu, dapat diduga bahwa mereka adalah orang-orang kota, bukan orang-orang dusun yang miskin. Pakaian mereka terbuat dari Sutera halus. Wajah merekapun cantik dan terpelihara. Anak-anak merekapun tampan dan sehat, kemerahan warna pipi kedua anak itu. Terdengar suara orang bercakap-cakap dan tertawa di bagian depan perahu. Dua orang laki-laki, berusia kurang lebih tiga puluh tahun, duduk berhadapan di papan perahu. Seguci arak berada di antara mereka berikut dua buah cawan arak.
?Wong Siauw-te (Adik Wong), coba lihat itu. Engkau melihat bentuk-bentuk yang aneh di sebelah sana itu?? kata seorang antara mereka yang bertubuh tinggi besar berkumis tipis dan berjenggot pendek sambil menuding ke atas, ke arah langit sebelah barat. Orang kedua yang bertubuh sedang berwajah tampan dan mempunyai sebuah tahi lalat di dagunya, menengadah dan memandang ke arah langit yang ditunjuk oleh kawannya. Setelah memandang sejenak, dia berseru,
?Tan Twa-ko (Kakak Tan)! Engkau juga melihat apa yang kulihat? Awan-awan itu membentuk dua ekor naga, hitam dan putih!?
?Benar! Dua ekor naga, seekor putih dan seekor hitam, melayang-layang di angkasa. Kupikir, keadaan kita berdua ini mirip dengan sepasang naga itu, Wong Siauw-te. Terpaksa terbang, dikejar-kejar, melayang-layang tidak tentu arah tujuan, harus melarikan diri. Ah, betapa hal itu membuat hatiku merasa penasaran sekali!? Orang tinggi besar bermarga Tan itu menghela napas panjang.
?Betul sekali, Tan Twa-ko. Betapa amat kebetulan sekali. Bukankah kita berdua inipun Shio Liong Bertahun kelahiran Naga)? Dan lihat perahu yang kita tumpangi ini. Berbentuk naga pula! Anehnya, dua orang anak kita juga shio Liong! Mereka berselisih tepat dua puluh empat tahun dengan kita.? Wong Cin, pria yang bertubuh sedang dan berwajah tampan itu, mengangguk-angguk.
?Memang sungguh kebetulan sekali. Agaknya para dewa hendak menunjukkan sepasang naga di angkasa yang terbentuk dari pada awan-awan hitam putih itu sebagai pertanda akan keadaan kita berdua.?
?Mari kita mengangkat cawan dan minum arak.untuk memperingati peristiwa ini, Wong Siauw-te!? kata Tan Hok, pria yang tinggi besar itu sambil mengisi cawan mereka dengan arak yang dituangkannya dari dalam guci.
?Mari, Tan-Twako!? kata Wong Cin sambil mengangkat cawannya. Keduanya minum habis arak dalam cawan dengan sekali tenggak dan Wong Cin berkata, ?Kalau saja di sini terdapat seorang tukang rajah (pembuat lukisan di atas kulit) yang pandai, alangkah baiknya kalau kita menyuruh dia membuatkan rajah gambar naga kepada tubuh anak kita masing-masing untuk menandai peristiwa munculnya sepasang naga awan di angkasa itu!? Ucapannya terdengar ringan dan gembira, pertanda bahwa hawa arak mulai mempengaruhi lidahnya.
?Pikiran yang baik sekali!? kata Tan Hok. ?Akan tetapi di atas lautan ini, di mana kita bisa menemukan seorang tukung rajah? Apa lagi tukang rajah yang pandai, yang dapat membuat rajah di tubuh anak anak kita tanpa mendatangkan rasa nyeri.?
?Saya adalah seorang tukang rajah!? tiba-tiba terdengar suara yang dalam dan agak parau. Dua orang bersahabat itu menengok dan ternyata yang bicara adalah tukang perahu yang usianya sudah lima puluh tahun itu.
Dengan perasaan heran keduanya tanpa dikomando lalu bangkit berdiri, Tan hok membawa guci arak dan Wong Cin membawa dua cawan arak, lalu mereka menghampiri tukang perahu yang duduk di buritan memegang kemudi. Mereka berdua lalu duduk di depan tukang perahu itu dan mendengar pengakuan tukang perahu bahwa dia adalah seorang tukang rajah, kedua orang sahabat itu mengamati si tukang perahu yang sebelumnya tidak mereka perhatikan. Dia seorang pria berusia lima puluh taun lebih. Kulit muka dan tangannya yang tidak terlindung tampak coklat kehitaman karna dibakar terik matahari setiap hari. Wajahnya penuh keriput yang merupakan garis mendalam, akan tetapi sepasang matanya membayangkan kecerdikan dan kaya akan pengalaman hidup. Kedua tangan yang memegang kemudi itu tampak tegap dan kuat, walaupun tubuhnya agak kurus dan jangkung.
?Paman, benarkah engkau pandai merajah?? tanya Tan Hok setelah dia duduk di depan tukang perahu itu. Tukang perahu itu mengangguk. Muka yang menunjukkan penuh garis-garis kepahitan hidup itu selalu tampak muram, tidak pernah ada senyum muncul di sana.
?Banyak pelaut minta kepada saya untuk membuatkan rajah di tubuh mereka. Akan tetapi saya belum pernah merajah di tubuh bangsawan seperti tuan berdua.? Wong Cin mengerutkan alisnya.
?Paman, bagaimana Paman menduga bahwa kami berdua adalah orang-orang bangsawan.??
?Mudah saja, tuan. Dari bahasa percakapan, dari gerak dan gaya jiwi (anda berdua), juga melihat keadaan kedua Hujin (nyonya) dan kedua Kongcu (tuan muda), mudah diduga bahwa jiwi tentulah keluarga bangsawan.?
?Paman, engkau seorang tukang perahu yang aneh. Siapakah namamu? tanya Tan Hok.
?Orang-orang memanggil saya A-ming. Itulah nama saya,? jawab tukang perahu itu dengan sederhana.
?Benarkah engkau pandai merajah kulit tubuh, Paman A-ming?? tanya Wong Cin.
?Sudah bertahun-tahun saya merajah, sudai ratusan orang saya rajah kulitnya dan saya dapat membuat gambar rajah apa saja dari segala macamn bunga sarmpai segala macam binatang,? kata tukang perahu tanpa nada bangga. Suaranya dalam agak parau dan datar saja, seolah-olah yang dia bicarakan itu adalah soal yang biasa saja.
?Dan dapatkah engkau merajah kulit tubuh anak kami tanpa membuat mereka menderita nyeri?? tanya Tan Hok.
?Saya mempunyai obat khusus untuk menghilangkan rasa nyeri ketika kulit tubuh saya tusuk-tusuk dengan jarum untuk merajah.?
?Bagus! Kalau begitu buatkanlah rajah gambar naga kepada anak kami,? kata WongCin. ?Sebaiknya di manakah rajah itu dIbuat Tan-Twako? Di lengan atau jangan di lengan. Sebaiknya di dada saja agar jangan terlihat orang, akan tetapi menjadi kenangan atas peristiwa hari ini. Paman A-ming, aku ingin engkau merajah dada anakku Tan Song Bu dengan sebuah gambar naga hitam. Dapatkah??
?Tentu saja dapat, tuan.?
?Dan aku ingin engkau merajah dada anakku Wong Sin Cu dengan sebuah gambar naga putih!? kata pula Wong Cin dengan nada gembira.
?Aku ingin naga itu berbentuk seperti itu...! Tan Hok berdongak dan menuding ke atas, akan tetapi wajahnya tempak kecewa ketika dia melihat bahwa bentuk dua ekor naga di angkasa itu telah membuyar.
?Ah, awan berbentuk sepasang naga di angkasa itu telah hilang? katanya.
?Paman A-ming, engkau dapat merajah gambar naga tanpa melihat contoh, bukan?
?Gambar naga? Mudah saja!? jawab A-ming. Wong Cin dan Tan Hok segera memasuki bilik perahu dan memberitahu isteri mereka akan maksud mereka membuatkan rajah pada dada anak mereka.
?Hari ini adalah hari istimewa. Kami berdua tadi melihat awan di angkasa berbentuk gambar sepasang naga. Bukankah anak kita juga shio Liong??
?Akan tetapi, kalau dada anak kita dirajah, tentu dia akan kesakitan!? protes Liu Hong atau Nyonya Tan Hok yang berwajah cantik manis.
?Kalau perajahan itu menyakitkan, aku tidak membolehkan Sin Cu dirajah? berkata pula Su Leng Ci atau Nyonya Wong Cin yang juga cantik dan berkulit putih mulus.
?Tidak nyeri, jiwi Hujin (kedua nyonya), saya tanggung anak-anak itu tidak mengalami nyeri. Obat penghilang rasa nyeri saya amat ampuh. membuat kulit menjadi kebal rasa,? kata A-ming si tukang perahu yang mendengar percakapan itu, dari buritan. Dua pasang suami isteri itu lalu membawa anak mereka mendekati tukang perahu yang sudah mengeluarkan sebuah buntalan kain kuning yang tadi dia le takkan di dekatnya.
?Biar Song Bu yang lebih dulu dirajahi kata Tan hok dengan gembira sambil membuka baju anak itu sehingga tampak dadanya. Biarpun baru berusia tiga tahun, sudah tampak bahwa Tan Song Bu memiliki perawakan besar dengan tulang-tulang yang Kokoh jangan lupa Paman A-ming, rajah gambar naga hitam untuk anakku!?
?Harap tuan suka menggantikan saya memegang kemudi ini, Untuk saat ini air laut tenung sehingga mudah memegang kemudi dan saya dapat melakukan perajahan dengan baik.? Tan Hok lalu mengambil alih kemudi perahu.
Pekerjaan ini mudah saja karena air laut tenang dan angin berembus lembut namun kuat, Paman A-Ming lalu membuka buntalan kuning dan mengeluarkan alat rajah yang terdiri dari beberapa batang jarum, obat yang membuat kulit kebal dan semacam tinta hitam. Mula-mula dia meiumuri dada Tan Song Bu dengan obat penghilang rasa nyeri itu, membiarkan obat itu meresap ke dalam kulit untuk beberapa lamanya dan mulailah dia mengerjakan perajahan, menggunakan jarum-jarum untuk menusuki kulit dada anak itu. Ujung jarum itu telah dicelupkan ke dalam tinta hitam sehingga ketika ditusukkan, tinta hitam memasuki kulit yang terluka. Ternyata obat kebal kulit itu ampuh sekali. Buktinya Tan Song Bu yang ditusuki kulitnya sama sekali tidak menunjukkan rasa nyeri. Sambil bekerja menusukkan ujung jarum itu dengan teliti sekali, A-ming bercerita.
?Rajah Naga mengingatkan aku akan dongeng tentang Naga Putih dan Naga Hitam gumumnya lirih seperti bicara kepada diri sendiri. Mendengar ini, dua pasang suami isteri itu tertarik.
?Paman, ceritakanlah dongeng itu kepada kami!? pinta Liu Hong atau Nyonya Tan.
?Ya, ceritakanlah, Paman,? desak Su Leng Ci atau Nyonya Wong. A-ming mengangguk, mencelupkan ujung jarumnya ke dalam tinta hitam dan asyik bekerja lagi.
?Baik, akan kuceritakan. Dahulu kala, Raja Siang Sang Matahari dan Ratu Malam Sang Rembulan bersaing untuk menonjolkan kekuasaan mereka. Disaksikan para dewa, mereka ber tanding mengadu kesaktian untuk saling mengalahkan. Dalam pertarungan itu, Ratu Malam Sang Rembulan mEnciptakan seekor naga hitam yang mengumuk di angkasa. Raja Siang Sang Matahari tidak mau kalah dan dia mEnciptakan seekor naga putih untuk mengimbangi sepak terjang sang naga hitam. Terjadilah pertempuran dahsyat di angkasa. Kedua naga itu sama saktinya dan berimbang kekuatannya hingga terus terjadi perang di antara mereka sampai saat ini. Kalau mereka bertanding, mereka mengeluarkan halilintar. Guntur, geledek dan kilat menyambar-nyambar. Mereka meniupkan angin taufan, membuat air laut bergelombang menimbulkan badai, menurunkan hujan lebat. Kadang naga hitam unggul dan menutupi matahari dengan awan-awan hitam yang gelap namun kadang naga putih unggul mengusir awan awan gelap. Pertempuran itu terus menerus terjadi dan sampai kini tidak diketahui siapa yang kalah dan siapa yang menang.?
A-ming berhenti bercerita dan rajah naga hitam yang dIbuatnya di dada Tan Song Bu sudah selesai. Di dada anak itu terlukis sebuah gambar seekor naga hitam yang indah. Demikian indahnya gambar rajah itu sehingga seolah-olah naga kecil hitam itu hidup. di kala anak itu bernapas dan dadanya bergerak turun naik. Gambar naga itu ikut bergerak seperti terbang melayang! setelah selesai merajah dada Tan Song Bu dengan gambar naga hitam, A-ming mulai mengerjakan rajah gambar naga putih didada Wong Sin Cu.
?Dongeng itu sederhana sekali,? kata Tan Hok setelah A-ming selesai bercerita tentang naga putih dan naga hitam.
?Tidak begitu sederhana seperti tampaknya, Tan-Twako,? kata Wong Cin. Wong Cin adalah seorang terpelajar, mengerti tentang sastra, filsafat dan sejarah yang tadinya memegang jabatan sebagai seorang jaksa di Kotaraja.
?Tidak sederhana? Apa maksudmu, Wong-siauwte?? tanya Tan Hok yang tadinya menjabat sebagai seorang perwira, juga bertugas di Kotaraja. Dongeng itu mengandung arti yang mendalam. Ratu Malam Sang Rembulan dan Raja Siang Sang Matahari, naga hitam dan naga putih, itu melambangkan kekuatan Im dan Yang (Positif dan Negatif). Kedua unsur ini selalu bertentangan, saling tarik menarik, saling dorong mendorong, saling menguasai, seolah selalu saling bertandig, tidak henti-hentinya. Tidak ada yang kalah atau menang. Justeru karena dua sifat yang bertentangan inilah yang membuat seluru alam semesta bergerak, dunia berputar, saling isi tmengisi. Yang satu melengkapi yang lain, tanpa yang satu tidak akan ada yang lain. Yang satu jantan yang lain betina.?
?Wah, demikian dalamkah arti dongeng itu, Wong-siauwte? Lalu apa artinya tanpa yang satu tidak akan ada yangain itu?? tanya Tan Hok. Diapun seorang terpelajar, akan tetapi yang dipelajari secara mendalam hanyalah ilmu perang dan ilmu silat.
?Im dan Yang sifatnya berlawanan, yang satu menjadi kebalikan yang lain. Seperti siang dan malam, terang dan gelap, baik dan jahat, senang dan susah. Tanpa yang satu, apakah yang lain itu akan ada? Tanpa adanya gelap, dapatkah kita mengenal terang? Tanpa adanya yang jahat, dapatkah kita mengenal yang baik? Karena itu, yang satu harus ada untuk melengkapi yang lain agar menjadi utuh. kenyataan seperti inilah yang, tidak dikehendaki oleh Thian, karena tanpa kehendakNya hal itu tidak akan terjadi.
?Akan tetapi mengapa Thian mengadakan iblis yang menjadi sumber terjadinya kejahatan di dunia ini?? Tan Hok mengejar, suaranya pahit karena dia teringat akan keadaan dirinya sendiri bersama keluarga sahabatnya itu, yang menjadi korban dari perbuatan jahat.
?Hal ini sudah sewajarnya, twa-ko. Deagan adanya kebaikan dan kejahatan, manu-sia berwenang untuk memilih jalan mana yang akan diambilnya, jalan yang ditunjukkan Thian ataukah jalan yang ditunjukkan oleh iblis. Seperti yang telah disodorkan kepada kita berdua. Kalau kita mengambil jalan iblis tentu kita akan menjadi antek para pembesar korup itu dan hidup bermewah-mewahan di Kotaraja. Akan tetapi kita tidak sudi mengambil jalan itu yang menindas rakyat, maka kita memilih jalan Thian, menjauhi perbuatan maksiat dan jahat itu.
?Dan akibatnya kita dikejar-kejar dan selalu berada dalam ancaman bahaya sebagai orang-orang pelarian.?
?Itu sudah merupakan akibat yang harus kita hadapi dengan tabah, Tan-Twako. Mengambil jalan Thian, mempertahankan kebenaran dan keadilan, memang mengandung banyak resiko yang mungkin membawakita kepada kesengsaraan duniawi. Akan tetapi, kesenangan duniawi bukan hal yang mutlak penting dalam kehidupan ini. Kesenangan duniawi bukanlah segalanya! Bahkan seorang kun-cu (orang bijaksana) siap mengorbankan nyawanya demi mempertahkan kebenaran dan keadilan!?
?Ah, tuan sungguh seorang yang amat bijaksana!? Tiba-tiba A-ming membungkuk dengan hormat kepada Wong Cin.
?Sekarang saya mengetahui bahwa jiwi (anda berdua) adalah dua orang bangsawan pembela kebenaran dan keadilan yang menentang kelaliman dan karenanya menjadi buronan. Senang sekali hati saya telah dapat merajah putera putera jiwi!? Rajahan pada dada Wong Sin Cu sudah selesai. Pada dada anak itu terdapat sebuah lukisan naga berwarna putih. Juga lukisan itu amat indah seolah naga putih kecil itu hidup ketika dada itu bergerak naik turun seirama dengan pernapasan Sin Cu. lbunya lalu mengenakan baju anak itu kembali. A-ming mengambil alih kembali kemudi perahu yang meluncur ke arah selatan Dia memandang kepada dua orang pria yang dikaguminya itu dan berkata,
?Saya akan merasa terhormat sekali kalau jiwi suka memperkenalkan diri kepada saya, siapa sebenarnya jiwi dan mengapa jiwi sampai menjadi buronan pemerintah. Siapa tahu, saya akan dapat menolong jiwi sekeluarga.? Tan Hok saling pandang dengan Won Ci. Dua orang yang bersahabat akrab ini baiknya sudah saling mengenal watak dan pribadi masing masing. Melalui pandang mata mereka, kedua orang sahabat itu mengetahui bahwa mereka tidak keberatan untuk menceritakan keadaan mereka kepada tukang perahu yang mendatangkan kesan baik dalam hati nereka itu. Wajah Wong Cin yang tampan itu tersenyum ramah.
?Paman A-ming, namaku adalah Wong Cin, ini isteriku Nyonya Wong dan anak kami yang tunggal bernama Won Si Cu. Tadinya kami sekeluarga tinggal diKotaraja dan aku menjabat sebagai seorang jaksa di Kotaraja.? Tan Hong berkata dengan suaranya yang mantap,
?Dan aku adalah sahabat baiknya, Paman A-ming. Namaku Tan lok dan ini isteriku Nyonya Tan. Yang ini adalah putera kami, anak tunggal bernama Tan Song Bu. Seperti juga adik Wong Cin, kami tinggal di Kotaraja di mana tadinya aku menjabat sebagai seorang perwira dalam pasukan keamanan di Kotaraja.? A-ming segera mengangkat kedua tangan depan dada sambil membungkuk dan berkata,
?Tepat seperti yang saya duga, kiranya Tan-Ciangkun dan Wong- Taijin (pembesar Wong) beserta keluarganya yang menumpang perahu saya. Harap Ciangkun (Panglima) dan Taijin suka memaafkan saya kalau saya bersikap kurang hormat.?
?Aih, Paman A-ming, harap jangan menyebut kami seperti itu. Kini kami bukan lagi pejabat-pejabat pemerintah, melainkan pelarian, menjadi orang-orang buruan. Akan tetapi Paman sendiri kami lihat seperti bukan seorang nelayan biasa. Paman pandai merajah, dan sikap Paman mencerminkan seorang yang mengenal peraturan dan sopan santun. siapakah sebenarnya Paman A-Ming ini? tanya Wong Cin, Orang setengah tua itu menghela nafas panjang.
?Saya, sudah hampir melupakan kehidupan saya yang lalu. Belasan tahun yang lalu saya juga tinggal di Kotaraja sebagai seorang, Guru silat. Akan tetapl, gara-gara bentrok dengan seorang pejabat yang sewenang-wenang, dalam bentrokan itu saya membunuh satu pejabat dan terpaksa saya melarikan diri dan berkelana di sepanjang pantai timur sampai sekarang.?
?Ah, Paman A-ming, kalau begitu nasib kita sama!? seru Tan Hok. orang tua itu mengangguk.
?Akan tetapi saya hanya seorang Guru silat biasa, sedankan jiwi adalah seorang perwira dan seorang jaksa yang memiliki kedudukan tinggi. Bagaimana jiwi bisa seperti saya menjadi pelarian?? Kedua orang bekas pejabat itu saling pandang dan menghela napas panjang. Mereka berhadapan dengah seorang yang nasibnya sama dengan mereka, maka mereka kemudian tidak ragu-ragu lagi untuk menceritakan riwayat mereka.
?Ceritanya panjang,? Paman A-Ming kata Wong Cin. ?Akan tetapi akan kuceritakan singkat saja, mungkin sudah Paman ketahui bahwa banyak pejabat, bahkan hampir semua dari pejabat kecil sampai yang besar, tidak jujur dalam menjalankan jabatan mereka. Mereka itu sebetulnya tidak setia kepada Kaisar, dan tidak memperdulikan nasib rayat, hanya mementingkan diri sendiri belaka dan bahkan berlumba untuk memupuk harta bagi diri mereka sendiri. Semua pejabat, hampir semua, mclakukan kejahatan yang sama. Yang bawah menjilat yang atas, sogok menyogok terjadi di mana-mana, hukum keadilan diinjak-injak, yang benar dikalahkan dan yang salah dimenangkan karena pengaruh uang sogokan. Apa saja mampu dibeli oleh uang. Uang mendatangkan kebenaran, kemenangan, kekuasaan. Semua pejabat melakukan tindak korupsi tanpa ada yang mengawasinya maupun melarangnya. Bagaimana yang bawah dapat dicegah melakukan pencurian uang negara kalau yang di atas juga mencuri bahkan lebih banyak lagi? A-ming mengangguk-angguk.
?Saya mengenal juga keadaan seperti itu ketika saya berada di Kotaraja. Kaisar sendiri tidak berdaya karena kekuasaannya telah diambil alih secara halus oleh para Thaikam (kasim atau sida-sida).?
?Benar sekali, Paman A-ming. Kami berdua juga bentrok dengan kepala Thaikam yang bernama Liu Cin,? kata Tan Hok, ?Pada hal, dia itu masih terhitung Paman sendiri dari isteriku ini yang bernana Liu Hong, sungguhpun hubungan kekeluargaan itu sudah agak jauh. Pada mulanya aku melihat atasanku, seorang Panglima, melakukan korupsi besar-besaran dan memeras rakyat kecil, bahkan panglinma itu membela puteranya yang melakukan perampasan kepada seorang gadis dengan kekerasan. Aku menentangnya dan sahabatku Wong Cin ini sebagai jaksa lalu menuntut Panglima itu. Melalui pengadilan, kami berhasil menjatuhkan Panglima itu sehingga dia dihukum dan dipecat dari kedudukannya. Akan tetapi kemudian ternyata pariglima itu minta bantuan Kepala Thaikam Liu Cin. Liu Cin ini besar sekali kekuasaannya, bahkan dia seolah menjadi wakil Kaisar! Kami berdua lalu dituduh sebagai pemberontak dan akan ditangkap. Karena itulah kami berdua sekeluarga melarikan diri, dikejar-kejar sebagai buronan. Untung kami mempunyai banyak sahabat yang menolong kami melarikan diri sehingga akhirnya kami tiba di pantai laut Timur dan dapat menumpang perahu Paman untuk melarikan diri ke selatan lewat laut.? Tan Hok menghentikan ceritanya.
?Sebetulnya, Liu Cin bertindak demikian kepada kami bukan hanya karena urusan Panglima itu, Paman A-ming,? kata Wong Cin. ?Akan tetapi terutama sekali karena kami berdua selalu menentang tindakan sewenang-wenang para pemibesar. Sikap kami ini terdengar oleh Liu Cin dan tentu saja dia merasa tidak suka kepada kami. Tan-Twako dan aku sudah bersahabat seperti saudara sendiri, kami berjuang bersamA-Sama karena memiliki pendirian yang sama. Akan tetapi apa daya kami menentang arus yang demikian kuatnya? Hampir semua pembesar merupakan bawahan dan anak buah Kepala Thaikam Liu Cin.? A-ming menghela napas panjang.
?Sepanjang catatan sejarah, dari jaman dahulu sampai sekarang sama saja. Orang-orang sama saja saling memperebutkan kekuasaan dan siapa yang berkuasa dialah yang benar dan menang. Semua kemrkaan itu didorong oleh napsu hendak menyenangkan diri sendiri. Demi mengejar kesenangan, segala cara dilakukan orang, kalau perlu mereka itu akan bersenang-senang di atas mayat orang-orang lain. Betapa keruhnya dunia, betapa iblis-iblis bersuka ria karena mereka merasa mendapatkan kemenangan atas diri manusia.? Tiba-tiba terasa ada guncangan keras pada perahu itu. Semua orang terkejut sekali. Liu Hong cepat merangkul Tan Song Bu dan Su Ling Ci mendekap puteranya, Wong Sin Cu. Tubuh mereka bergoyang-goyang.
?Cepat memasuki bilik perahu? kata Tan Hok dan bersama Wong Cin dia membawa isteri dan anaknya ke dalam bilik perahu. Setelah anak isteri mereka berada dalam bilik, Tan Hok dan Wong Cin kembali ke buritan di mana A-ming sedang memegangi kemudi perahu dengan kuat-kuat. Angin datang bertiup sernakin kuat, bahkan berbolak balik dan berputar.
?Angin puting beliung!? seru A-ming.
?Cepat bantu turunkan layar!? Tan hok dan Wong Cin cepat bergerak dan bekerja keras. Perahu oleng ke kanan-kiri dan mereka berdua tahu bahwa bahaya besar mengancam mereka. Angin puting beliung adalah angin topin yang dahsyat. Biarpun selama hidup mereka belum pernah mengalaminya sendiri, narmun sudah banyak mereka mendengar tentang angin topan.
?Bantu dengan dayung!? kermbali terdengar A-ming memerintah. Bagaikan kesetanan Tan Hok dan Wong Cin mengambil dayung yang tersedia di perahu itu dan merekapun menggunakan dayung untuk menahan perahu agar tidak sampai terbalik. Angin bertiup keras, berbolak balik dan air laut mulai menggila. Mengalun tinggi melempar perahu ke atas, kemudian menghunjam ke bawah dan perahu seperti dihempaskan, kemudian diangkat lagi tinggi-tinggi. Semua itu ditambah dengan gemuruh suara angin dan air laut yang seolah menggulung mereka. Angin 'menggebu, berteriak, melolong, mendidih, menggereng dan serIbu satu macam suara yang mengerikan menyelimuti sekeliling mereka. Teriakan-teriakan A-ming yang memberi komando sudah tidak dapat terdengar lagi, ditelan hilang oleh gemuruh suara air dan angin.
?Cepat! lkat mereka! Ikat mereka de ngan perahu!!?
Berulang-ulang A-ming berteriak dan akhirnya dapat juga terdengar oleh Tan Hok dan Wong Cin. Mereka merangkak, terpelanting, bangun lagi dan merangkak menuju bilik perahu. Dua orang Ibu muda itu saling rangkul dengan dua orang anak mereka, bergulung menjadi satu sehingga mereka bersamA-Sama terpelanting ke kanan atau ke kiri. Mereka tidak merasakan lagi lecet-lecet pada tubuh mereka. Mereka menjerit-jerit setiap kali perahu oleng dan mereka terbanting ke kanan atau ke kiri. mata mereka terbelalak, muka mereka pucat rasa takut dan ngeri hampir membuat mereka gila. dengan terhuyung-huyung Tan Hok dan Won Cin memasuki bilik perahu. Hati mereka trenyuh sekali menyaksikan keadaan isteri dan anak mereka. Pakaian anak dan isteri mereka basah kuyup, awut-awutan, dan wajah mereka membayangkan kengerian dan ketakutan yang amat sangat.
?Ayah, Ayah...!!? teriak Tan Son Bu dan Wong Sin Cu ketika dua orang anak itu melihat Ayah mereka. Mereka melepaskan rangkulan pada Ibu mereka dan menubruk Ayah mereka, merangkul dengan kedua tangan mereka yang kecil sedemikian kuatnya terdorong rasa takut. Dengan hati yang seperti diremas-remas rasanya, Tan Hok dan Wong Cin lalu menggunakan tali yang terdapat di dalam bilik itu untuk mengikat anak isterinya kebadan perahu untuk menjaga agar mereka tidak sampai terlontar keluar dari dalam perahu.
?Apa artinya ini?? jerit Liu Hong.
?Kenapa kami. harus diikat?? jerit Su Leng Ci.
?Tenanglah, kalian dikat agar tidak sampai terlempar keluar dari dalam perahu.? Tan Hok dan Wong Cin menjelaskan dan mereka harus berteriak beberapa kali sampai arti kata-kata mereka yang suaranya tertelan gemuruh itu dapat tertangkap. Setelah selesai mengikat anak dan isteri mereka ke badan perahu, kedua orang itu kembali terhuyung huyung dan merangkak-rangkak menuju ke tempat mereka tadi membantu A-ming yang mengemudikan perahu dengan dayung mereka,
Angin topan mengamuk terus, kalau tadinya ada kepusingan mengganggu kepala Tan Hok dan Wong Cin, sekarang kepeningan itu lenyap. Amukan topan sudah melampaui batas yang membuat mereka mabok sehingga tidak terasa lagi kemabok itu. Telinga rasanya tuli dan pandang mata rasanya sudah hampir buta karena yang tampak hanya air belaka. Air yang memercik mercik, air yang bergelombang dan yang menimpa mereka sebagai air hujan. Yang mebuat hati mereka semakin ciut adalah cuaca yang menjadi semakin gelap. Entah dari mana datangnya, cuaca yang tadinya cerah itu kini tertutup mendung yang agaknya sedemikian rendahnya sehingga hampir menyentuh perahu mereka. Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba saja Tan Hok dan Wong Cing teringat akan bentuk sepasang naga yang tadi mereka lihat di angkasa, diciptakan oleh awan yang melayang-layang.
Agaknya sepasang naga itu yang kini mengamuk! Arah perahu sudah tidak menentu Mereka tidak tahu ke mana perahu dibawa oleh dorongan alun yang menggila. Perahu mereka bagaikan sebuah mainan kecil, dilanbungkan ke atas, dihempaskan ke bawah dan diguncang. Kemudian hujan rmulai turun Keadaan mereka semakin pAyah, A-ming berteriak minta kepada mereka berdua untuk menguras air yang mulai memenuhi perahu, menggunakan dua buali ember yang tersedia di perahu. Tan Hok dan Wong Cin bekerja keras, berlumba dengan hujan yang berusaha memenuhi perahu sehingga akan membuat perahu tenggelam. Mereka bekerja keras menguras, mengeluarkan air dari perahu. Tiba-tiba A-ming berteriak nyaring.
?Daratan! Cepat bantu mendayung perahu ke darat!? teriakan ini bernada gembira karena tukang perahu itu melihat titik terang yang mendatangkan harapan bahwa mereka akan dapat diselamatkan. Tan Hok dan Wong Cin mengangkat muka dan merekapun melihat bayang-bayang hitam memanjang di depan. Cepat mereka menyambar dayung dan mendayung sekuat tenaga ke arah bayang-bayang hitam itu. Tiba-tiba ada dorongan yang amat kuat, seolah ada tangan raksasa yang mengangkat perahu ke atas dan mendorong perahu ke depan.
?Awas! Berpegang pada perahu...!!? A-ming masih sempat berteriak kepada dua orang penumpang itu. Tan Hok dan Wong Cin melepaskan dayung dan berpegang pada Bibir perahu sekuat tenaga. Mereka merasa diri mereka melayang layang kemudian dihermpaskan dengan amat kuatnya ke atas benda keras.
?Bressss...!!! Perahu mereka pecah beratakan. Tan Hok dan Wong Cin terpental kekanan-kiri. Mereka masih melihat betapa buritan perahu itu pecah terpisah dan terseret air laut yang bergelombang, membawa A-ming yang masih duduk di atas bagian buritan itu.
Tan Hok yang terlempar tak jauh dari A-ming, berhasil meraih sepotong papan pecahan perahu. Dia melihat A-ming hanyut ditelan ombak dan hilang Wong Cin yang terlempar ke sebelah kiri perahu juga berhasil menangkap sepotong papan pecahan perahu. Seperti juga yang dilakukan Tan Hok, dia menggunakan papan itu sebagai pengapung dan menggerakkan kaki tangannya untuk berenang melawan ombak ke pantai Pulau itu. Hatinya gelisah sekali memikirkan anak isterinya yang masih berada di dalarn bilik perahu itu yang telah pecah. Dalam perjuangan dan pergulatannya melawan maut ditelan ombak, dia tidak dapat melihat lagi bagaimana nasib anak isterinya, juga bagamana nasib sahabatnya Tan Hok.
?Ibuuu... Ibu...!? Tangis dan jerit Tan Song Bu dan Wong Sin Cu bercampur dengan jerit tangis kedua orang Ibu masing-masing yang mendekap puteranya sambil menangis dan memanggil-manggil nama suami mereka. Mereka menanti datangnya maut yang ganas, menanti datangnya gelombang yang akan menelan mereka yang masih berada didalam bilik perahu yang miring. Akan tetapi tidak ada gelombang yang menerkam mereka. Bilik perahu itu miring, akan tetapi diam tak bergerak, seolah dicengkeram tangan raksasa yang Kokoh kuat. Hanya terdengar suara gemuruh angin dan air yang memecah di batu-batu karang di sepanjang pantai Pulau itu.
?Hok-ko (Kanda Hok)... berulang kali Liu Hong memanggil suaminya Tan Hok dengan suara mengandung jerit tangis penuh rasa gelisah dan kengerian.
?Cin-ko (Kanda Cin)...!? berulang kali pula Su Leng Ci atau Nyonya Wong Cin memanggil suaminya, bercampur dengan tangis anaknya. Wong Sin Cu menjerit-jerit sambil merangkul Ibunya.
?Ayah...Ayah!!? ?lbuuu...! Ayah di mana? Aku mau ikut Ayah. Ayaaaahhh...!? Tan Song Bu juga menjerit-jerit. Mendadak kedua orang Ibu muda itu baru menyadari betapa jerit anak-anak mereka terdengar amat jelas, pada hal tadinya semua jerit tangis mereka tertelan suara gemuruh di luar bilik.
Juga mereka mendapat kenyataan betapa bilik perahu itu sama sekali tidak bergerak lagi. Walaupun letaknya miring namun Kokoh dan tidak bergoyang sama sekali seolah tidak berada di atas air lagi. Sambil menggendong anak mereka, kedua orang Ibu muda itu perlahan-lahan merangkak keluar dari dalam bilik. Yangmereka lihat pertama kali adalah tubuh perahu itu yang telah terpotong, tinggal bagian yang ada biliknya itu saja, dan bagian tengah perahu itu terdampar di atas batu-batu karang di tepi pantai sebuah Pulau. Mereka selamat! Hanya mereka berempat yang selamat. Mereka tidak tahu bagaimana nasib suami mereka dan A-ming, tukang perahu itu. Sambil menahan tangis dan rasa takut, Liu Hong berkata kepada Su Leng Ci.
?Ci-moi, mari kita keluar dari sini dan naik ke daratan!?
Su Leng Ci juga menggendong anaknya dan melihat letak bagian perahu itu yang miring di atas batu karang dan untuk mendarat harus mendaki batu karang yang besar dan permukaannya tajam dan runcing itu, ia merasa ngeri.
?Hong-ci (Kakak Hong). Aku, aku takut terjatuh...?
?Gi-moi (adik Ci), apakah engkau lebih suka tinggal di sini dan sewaktu-waktu datang gelombang menyeret perahu ini? Lihat, sekarang laut telah tenang kembali udara menjadi terang. Inilah kesempatan kita untuk menyelamatkan diri, mendarat di Pulau ini. ayolah, siapa tahu suami suami kita juga sudah berhasil mendarat.?
?Cin-ko...? Su Leng Ci menyebut lirih ketika teringat akan suaminya dan mendengar bahwa mungkin suaminya sudah mendarat, timbul keberaniannya untuk keluar dari bilik perahu yang miring di atas batu karang itu. Mereka berdua merangkak di atas batu karang yang besar. Kaki mereka terlindung sepatu, akan tetapi kedua telapak tangan mereka yang tidak terlindung, ketika dipakai merangkak di permukaan batu karang yang kasar dan tajam meruncing itu, penuh dengan goresan yang merobek kulit dan mengeluarkan darah. Akhirnya, setelah dengan susah pAyah mereka merangkak menuruni batu karang yang besar itu, mereka turun dan berada atas pantai berpasir. Dari situ mereka dapat melihat bahwa perahu yang mereka tumpangi tadi tinggal bagian tengahnya yang ada biliknya itu saja yang tinggal, terdampar di atas batu karang yang besar itu, bagian depan dan belakangnya pecah terpotong.
Agaknya hagian tengah yang ada biliknya itu, di mana mereka berempat duduk terikat pinggang mereka dengan badan perahu, dilontarkan ombak dan terdampar di atas batu karang itu. Cuaca terang. Matahari yang sudah naik tinggi memancarkan sinarnya yang terik, cahayanya terpantul di atas pasir sehingga menyilaukan. Air laut tenang sekali, sama sekali tidak ada bekasnya ketika mengamuk dahsyat tadi, begitu tenang dan penuh damai! Tidak tampak ada pecahan perahu di atas lautan dan betapap?n kedua orang wanita itu mencari-cari dengan pandang mata mereka, mereka tidak menemukan sesuatu... Suami-suami mereka seperti lenyap ditelan lautan. Cin-ko. Su Leng Ci menjatuhkan diri berlutut sambil menggendong Wong Sin Cu dan menangis, meratapi suaminya. Liu Hong yang memiliki hati yang tabah, menghampiri dan memegang pundaknya.
?Sudahlah, Ci-moi, jangan menangis dan jangan putus harapan. Aku masih tidak percaya kalau suami kita tewas, karena kalau demikian halnya, tentu mayat mereka akan terdampar di pantai.? Su Leng Ci menyusut air matanya dan memandang kepada Liu Hong dengan kedua mata merah.
?Engkau pikir begitukah, Hong ci? Apakah suamiku masih hidup??
?Mudah-mudahan begitu. Kita hanya dapat berdoa semoga mereka juga tertolong seperti kita.? Mereka lalu membalikkan tubuh memandang ke arah daratan. Tampak sebuah bukit memanjang, akan tetapi bukit itu gersang, hanya ditumbuhi sedikit pohon yang biasa dapat bertahan hidup, di tempat gersang seperti itu. Tidak tampak ada pedusunan. Sunyi sekali di sini, Enci Hong, tidak tampak seorangpun manusia,? kata Su Leng Ci dengan nada suara khawatir.
?Kita harus mencari, kalau perlu ke balik bukit itu, sampai kita dapat menemukan sebuah dusun di mana kita dapat minta tolong,? kata Liu Hong.
?Eh, Enci Hong, itulah mereka! Suami suami kita...? Su Leng Ci yang kebetulan menengok ke kanan melihat dua orang laki-laki berlari-larian menuju ke tempat itu. Mereka itu masih jauh sehingga tidak dapat tampak jelas. Liu Hong cepat membalikkn tubuh menengok ke arah yang ditunjuk oleh Su Leng Ci dan iapun melihat dua orang laki-laki yang datang berlarian itu. Sesaat Liu Hong juga berseri wajahnya karena ia juga merasa yakin bahwa mereka itu tentulah suaminya, Tan Hok dan suami Su Leng Ci, Wong Cin. Siapa lagi adanya dua orang itu kalau bukan suami-suami mereka? Akan tetapi setelah dua orang laki-laki itu datang lebih dekat sehingga dua orang Ibu muda itu dapat mengenali wajah mereka, keduanya terbelalak dan wajah mereka berubah kecewa.
Dua orang laki-laki itu sama sekali bukan suami suami mereka, melainkan dua orang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun yang berpakaian kotor dan kumal dan berwajah keras. Akan tetapi, betapapun juga mereka merasa agak terhIbur karena dapat bertemu dengan manusia di tempat sesunyi itu. Kini dua orang laki-laki itu telah berada di depan mereka. Dua orang laki-laki itu juga terbelalak memandang mereka dan mulut mereka menyeringai, sepasang mata mereka memandang seperti hendak menelan bulat-bulat tubuh kedua orang Ibu muda ya cantik jelita itu, Mata dan mulut dua orang pria itu mendatangkan rasa ngeri dalam hati Liu Hong dan Su Leng Ci. Naluri kewanitaan mereka merasa bahwa mereka berhadapan dengan dua orang laki-laki kasar yang sama sekali tidak dapat dipercaya! Akan tetapi karena mereka sudah bertemu dan berhadapan, Liu Hong lalu berkata kepada mereka.
?Kebetulan sekali kami bertemu dengan kalian berdua. Kami mendapat kecelakaan, perahu kami diserang badai dan kami terdampar di sini. Akan tetapi dua orang suami kami telah hilang entah ke mana maukah kalian berdua berbaik hati dan menolong kami mencarikan suami kami yang hilang itu? Mungkin saja mereka terdampar di lain bagian Pulau ini.? Dua orang laki-laki itu menoleh dan memandang ke arah ba?ian perahu yang terdampar di atas batu karang itu. Kemudian merea kembali memandang kepada dua orang wanita cantik itu dan keduanya saling pandang lalu menyeringai sermakin lebar. Seorang dari mereka, yang berkumis panjang berkata,
?Jarang ada orang dapat keluar dengan selamat dari badai yang dahsyat seperti yang terjadi tadi. Para dewa agaknya sengaja menyelamatkan kalian berdua dan menuntun kalian ke sini untuk bertemu dengan kami! Kami adalah Kakak beradik yang belum mempunyai isteri. Kalian tidak perlu mencari suami yang telah hilang. Biarlah kami berdua menjadi penggantinya, menjadi suami kalian!? Dua orang nyonya muda itu menjadi pucat wajahnya mendengar ucapan itu. Su Leng Ci berseru lirih dengan tubuh gemetar.
?Saudara-saudara berdua, harap mengasihani kami, Kami adalah orang-orang yang ditimpa bencana dan membutuhkan pertolongan. Kami telah bersuami dan kami telah mempunyai anak. Kalau kalian berdua tidak mau menolong kami, sudahlah, harap tingalkan Kami dan harap jangan mengganggu kami,? kata Liu Hong yang lebih tabah, walaupun ia sendiri juga sangat gelisah menghadapi dua orang laki-laki kasar yang mempunyai niat buruk terhadap mereka itu. Orang kedua, yang bertubuh tinggi besar dan mukanya kehitaman, tertawa bergelak.
?Ha-ha-ha, Dewa Laut telah menyerahkan kalian kepada kami untuk menjadi isteri-isteri kami. Kita sudah dijodohkan olepara dewa. Kalian tidak boleh menolak lagi. Twa-ko, engkau pilihlah yang mana, nanti yang lain untukku. Bagiku mendapatkan yang manapun sama saja, mereka itu sama sama cantik jelita dan denok menggairahkan. Ha-ha-ha!?
?Ha-ha, aku memilih yang ini. Wanita ini pemberani dan penuh semangat! Mari manis, mari ikut denganku dan menjadi?steriku,? kata si kumis sambil mendekati Liu Hong.
?Kebetulan, akupun senang kepada yang ini. Alangkah putih mulus kulitnya? kata si muka hitam sambil mendekati Leng Ci. Kedua orang wanita itu melangkah mundur dan keduanya saling gandeng sambil memondong anak mereka, mundur-mundur ketakutan. Melihat ini, si kumis panjang agaknya merasa jengkel juga.
?Hei, kalian berdua dengarlah baik-baik! Sekarang kalian berdua boleh pilih. Kalian menyerah kepada kami dengan suka rela dan kalian menjadi isteri kami yang penurut dan anak itupun menjadi anak kami. Kalian akan hidup senang bersama kami. Ketahuilah, kami berdua adalah pimpinan gerombolan bajak yang berpengaruh, Kalau kalian menolak, kami akan membunuh anak kalian! Nah, boleh pilih sekarang!? Mendengar ancaman bahwa anak mereka akan dIbunuh, lemaslah seluruh tubuh kedua orang wanita itu dan mereka terkulai jatuh berlutut sambil menangis. Dua orang laki-laki itu menghampiri mereka.
?Sudahlah, jangan menangis. Kalau kalian sayang kepada anak dan tidak ingin kami perkosa dengan kekerasan, marilah ikuti kami. Laut telah tenang. Kita naik perahu menuju ke daratan,? kata si muka hitam sambil menyentuh pundak Su Len Ci. Disentuh tangan kasar itu, Su Leng tersentak kaget seperti dipagut ular dan menarik tubuhnya ke belakang. Liu Hong juga bergerak mundur ketika si kumis panjang mendekatinya. Si kumis panjang mengerutkan alisnya.
?Hemm, manis. Apakah engkau ingin aku membunuh anakmu lebih dulu?? Tangannya meraih untuk mengambil Tan Song Bu dari pondongannya.
?Jangan...! Tidak... jangan bunuh Anakku,? teriak Liu Hong sambil mendekap anaknya.
?Kalau begitu, engkau harus menurut semua kehendakku. Kalau tidak mau berjalan sendiri mengikuti aku, mari kupondong engkau!? Si kumis panjang lalu menubruk dan menangkap tubuh Liu Hong, dengan mudah dan ringan dipondongnya nyonya muda itu bersama puteranya.
Liu Ho tidak berani meronta, takut kalau anaknya dIbunuh. Melihat ini, si muka hitam tertawa lalu diapun menangkap Su Leng Ci dan dipondongnya nyonya muda itu. Su Leng Ci juga tidak berani berkutik, apalagi melihat betapa Liu Hong juga sudah menyerah. la hanya dapat mendekap anaknya sambil menangis ketakutan. la merasa menghadapi ancaman bahaya yang lebih mengerikan dari pada ancaman badai di perahu tadi! Dua orang laki-laki itu dengan gembira memondong wanita pilihan masing-masing, melangkah lebar dan di sepanjang jalan mereka mencoba untuk menggerayangi tubuh dan mEnciumi muka wanita tawanan mereka. Liu Hong dan Su Leng Ci mulai meronta dan sedapat mungkin menghindarkan muka mereka dari ciuman kasar dua orang laki-laki itu.
?Turunkan aku, biar aku berjalan kaki saja mengikutimu!? teriak Liu Hong sambil meronta. Si kumis panjang tertawa dan menurun kan Liu Hong.
?Lebih baik engkau berjalan agar aku tidak repot memondongmu. Mari jalan!? Melihat Liu Hong sudah terbebas dari perbuatan kasar dan tidak sopan penawannya, Su Leng Ci juga berseru,
?Aku juga mau berjalan kaki saja!? Si muka hitam juga menurunkannya dan kedua orang Ibu muda itu lalu berjalan kaki tersaruk-saruk, menggendong anak mereka sambil menahan tangis, dikuti oleh dua orang laki-laki itu Mereka berjalan menyusuri tepi laut tanpa mengeluarkan suara. Su Leng Ci berjalan mendekati Liu Hong. dalam keadaan seperti itu ia tidak mau berjauhan dengan sahabatnya itu seperti hendak minta perlindung walaupun Liu Hong sendiri tidak berdaya. Ketika mereka tiba di pantai yang penuh dengan pasir berwarna putih dan lembut, dan di situ tumbuh beberapa batang pohon pantai yang cukup lebat daunnya, si kurmis panjang berseru,
?Kita berhenti mengaso dulu di sini!? Liu Hong dan Su Leng Ci yang memang sudah merasa lelah sekali, menjatuhkan diri di atas pasir yang lembut di bawah pohon.
Akan tetapi pada saat itu, si kumis panjang sudah menyambar tubuhnya dan berusaha untuk memangku Liu Hong. Demikian pula muka hitam meringkus Su Leng Ci dan memangkunya. Kedua orang wanita itu meronta hendak melepaskan diri. Si kumis panjang merenggut Tan Song Bu dari dekapan Liu Hong dan mendorong anak itu sehingga terpental jauh dan bergulingan. Anak itu tentu saja menangis karena nyeri dan takut. Liu Hong tetap meronta-ronta dalam rangkulan si kumis panjang yang berusaha untuk membelai dan mEnciumnya. Su Leng Ci mengalami hal yang sama. Anaknya, Wong Sin Cu, direnggut lepas dari pondongannya dan dilemparkan oleh si muka hitam ke atas pasir sehingga anak berusia tiga tahun itu berguling-guling dan menangis keras. Su Leng Ci meronta sekuat tenaga ketika hendak dibelai.
?Tolong... Tolooooooonggg...!? Dua orang wanita itu menjerit-jerit, suara mereka bercampur dengan tangis dan lolong dua orang anak itu yang duduk di atas pasir dan memandang ke arah Ibu mereka yang bergumul dengan dua orang laki-laki kasar itu.
?Ha-ha-ha, biar engkau menjerit setinggi langit, siapa yang akan menolongmu di tempat yang sunyi ini? Pulau ini adalah sebuh Pulau kosong yang terkenal dengan namanya Pulau Ular. Di bukit sana itu penuh dengan ular. Apakah engkau lebih senang kalau kubuang di bukit itu agar dikeroyok ular?? Si kumis panjang tertawa dan mengancam, Selagi dua orang wanita itu bergelut dan meronta mempertahankan kehormatan mereka, tiba-tiba muncul dua orang yang pakaiannya cabik-cabik dan terdengar mereka membentak marah.
?Keparat jahanam! lepaskan isteriku!? Mendengar suara itu, Liu Hong dan Leng Ci yang sedang bergelut mempertahkan diri itu menengok dan alangkah girang rasa hati rnereka ketika melihat bahwa yang muncul ada?ah suami-suami mereka! Ternyata Tan Hok dan Wong Cin juga selamat. Papan di mana mereka bergantung dalam air itu dilontarkan ombak menuju ke tepi pantai. Mereka terdampar di tempat yang berbeda akan tetapi ketika keduanya menyusuri pantai mereka saling bertemu dan duanya lalu terus menyusuri pantai mencari isteri dan anak mereka dengan hati gelisah karena sedikit sekali kemungkinan mereka akan menemukan isteri dan anak mereka dalam keadaan hidup.
Badai di lautan itu sungguh dahsyat dan perahu yang mereka tumpangi telah hancur. Tiba-tiba mereka mendengar teriakan suara wanita-wanita minta tolong. Cepat mereka berlari menuju ke arah suara itu dan dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka melihat bahwa isteri-isteri mereka sedang bergumul mempertahankan diri dari cengkeraman dua orang laki-laki, sedangkan anak-anak mereka duduk di atas pasir sambil menangis. Tentu saja mereka menjadi marah, membentak lalu menerjang dua orang laki-laki yang sedang berusaha untuk memperkosa kedua orang wanita itu. Tan Hok menubruk si kurnis panjang, menjambak rambutnya dan menariknya dengan sentakan kuat sehingga si kumis panjang terpaksa melepaskan dekapannya atas diri Liu Hong. Tan Hok yang sudah marah sekali mengayun kepalan tangan kanannya, menghantam muka si kumis panjang.
?Desss...? Tubuh si kurnis panjang terjengkang keras. Akan tetapi rupanya dia memiliki kekebalan karena pukulan yang keras itu hanya membuat dia nanar sejenak. Dia lalu melompat bangun dan mencabut goloknya, kemudian menerjang dan mengayun goloknya membacok ke arah kepala Tan Hok. Bekas perwira ini memiliki ilmu silat yang memadai, cepat dia mengelak ke kiri dan dari kiri kaki kanannya mencuat dalam tendangan.
?Bukk!? kembali serangannya mengenai. Dada si kumis panjang tertendang sehingga untuk kedua kalinya dia terjengkang roboh. Akan tetapi dia sudah bangkit kembali dan menyerang secara membabi buta kepada Tan Hok. Terjadilah perkelahian yang seru antara si kumis panjang dan Tan Hok. Sementara itu, Wong Cin menyambar tangani si muka hitam dan menarik sekuat teaga sehingga si muka hitam terbetot lepas dari rangkulannya kepada Su Leng Ci dan terhuyung-huyung. Selagi dia terhuyung, Wong Cin sudah mengejarnya dan mengayun kepalan tangan kanannya ke arah dada si muka hitam.
?Bukk!? Dada itu terpukul dan si muka hitam terhuyung ke belakang. Akan tetapi, agaknya diapun memiliki kekebalan dan pukulan Wong Cin itu tidak terasa menyakitkan benar. Dia sudah dapat mengatur keseimbangan tubuhnya dan cepat mencabut golok- nya yang berkilauan saking tajarmnya. Wong Cin memasang kuda-kuda. Bekas jaksa ini pernah juga mernpelajari ilmu silat, akan tetapi dibandingkan dengan Tan Hok, dia kalah jauh. Maka, ketika si muka hitam mengamuk dan menyerangnya secara bertubi-tubi, Wong Cin menjadi kelabakan dan megelak kesana sini, melompat dan menyelinap untuk menghindarkan diri dari sambaran golok. Akan tetapi dia cukup cerdik. Ketika dia mengelak, dia merendahkan tubuh dan kedua tangannya sudah mencengkeram pasir sehingga berhasil menggenggam pasir dalam kedua tangannya.
Golok menyambar lagi. Dia mengelak ke kiri dan tiba-tiba dua tangannya secara susul menyusul meleparkan pasir ke arah muka si rnuka hitam dan mengenai muka dan si muka hitam berseru kaget, Matanya yang sebelah kanan kemasukan pasir, terasa pedih dan nyeri. Pada saat itu Wong Cin sudah mengayunkan kakinya menedang sekuat tenaga, mengenai tangan kanan si muka hitam yang memegangi, golok itu terlepas dan terlempar jauh, sempatan ini dipergunakan Wong Cin untuk menyerang dengan pukulan bertubi-tubi, akan tetapi si muka hitam itu bertubuh kuat dan kebal. Pukulan-pukulan Wong Cin hanya membuat dia terhuyung dan dia sudah menggosok mata kanannya dan membebaskan mata itu dari pasir. Kini tinggal terasa pedih sedikit akan tetapi dia sudah dapat membuka mata kanannya.
Si muka hitarn yang kini tidak memegang senjata lagi itu mengamuk. Terjadi perkelahian yang seru antara Wong Cin dan si muka hitam. Akan tetapi Wong Cin segera terdesak dan sudah beberapa kali terkena pukulan si muka hitam. Berbeda dengan keadaan Wong Cin, Tan Hok menghadapi si kumis panjang dengan tenang. Semua sambaran golok si kumis panjang dapat dielakkan dan ketika golok itu menyambar lagi, dia mengelak. Golok lewat disisi tubuhnya dan secepat kilat Tan Hok menyambar pergelangan tangan kanan lawan. Terjadi adu tenaga, saling betot dan saling dorong, bersitegang memperebutkan golok. Tan Hok mengayun kakinya menendang dada si kumis panjang, melepas pegangannya pada pergelangan tangan lalu memukul ke arah pergelangan tangan kanan lawan itu dengan tangan dimiringkan dan mengerahkan seluruh tenaganya.
?Desss...!? Si kumis panjang berseru sakitan dan goloknya terlepas dari pegangan, ditendang sampai terlempar jauh oleh Tan Hok dan bekas perwira yang tinggi besar ini lalu mengamuk, menghujani lawannya dengan pukulan-pukulan yang cukup keras Si kumis panjang terdesak terus dia tiba-tiba melompat jauh ke belakang meneriaki kawannya,
?Siauw-Ong (Raja Kecil), kita lari!? Si muka hitam yang disebut Siauw-Ong itu mengerti bahwa kawannya terdesak, maka diapun melompat dan melarikan diri bersama kawannya itu. Sementara itu, Liu Hok dan Su Leng Ci yang tadi dilepaskan oleh dua orang penjahat itu, telah memondong dan mendekap anak mereka dan menonton perkelahian antara suami mereka dan dua orang penjahat itu dengan khawatir sekali. Setelah dua orang penjahat itu melarikan diri, Tan Hok menghampiri Liu Hong, Wong Cin menghampiri Su Leng Ci. Dua pasang suami isteri itu lalu berangkulan.dua orang nyonya muda itu menangis, juga dua orang anak mereka yang tadi ketakutan dan juga kesakitan karena dilempar keatas pasir, ikut menangis.
?Sudahlah, kalian sudah dapat diselamatkan, terbebas dari bahaya. Kita semua akhirnya selamat dari badai dan dapat berkumpul kembali. Jangan menangis, kita sudah terlepas dari ancaman bahaya.? Wong Cin menghIbur.
?Aku tidak percaya kalau dua orang jahanam busuk tadi mau sudah begitu saja. Kita terlepas dari ancaman bahaya untuk sementara saja. Aku khawatir mereka akan datang lagi, mungkin membawa teman.?
?Ah, apa yang harus kita lakukan, Tan-Twako?? tanya Wong Cin sambil mengerutkan alisnya dengan hati khawatir.
?Tidak menguntungkan kalau kita berada di tempat terbuka begini,? kata Tan Hok. Sebagai bekas perwira tentu saja dia lebih tahu tentang siasat pertempuran dan pengetahuan itu kini dapat dia pergunakan untuk membela diri sekeluarga mereka.
?Kita harus mencari tempat perlindungan, tempat dimana kita dapat melawan musuh apa bila mereka menyerang dan anak isteri kita dalam keadaan terlindung. Mari, kalian ikut aku.? Tan Hok lalu melangkah, menuju ke kumpulan batu-batu karang besar yang berada di kaki bukit, diikuti oleh Wong Cin dan dua orang isteri mereka yang menggendong anak masing-masing. Matahari sudah mulai condong ke barat dan perut mereka mulai terasa lapar, seluruh tubuh terasa nyeri-nyeri dan lelah sekali. Pergulatan antara mati dan hidup di dalam perahu tadi telah menghabiskan tenaga mereka. Apa lagi Tan Hok dan Wong Cin yang tadi harus berjuang melawan gelombang, kemudian malah berkehi melawan dua orang penjahat tadi.
?Hok-ko, penjahat tadi mengatakan bahwa Pulau ini bernama, Pulau Ular dan bukit itu terdapat banyak ular!? kata liu Hong kepada suaminya.
?Hemm, begitukah?? kata Tan Hok. ?Biarlah, kalau ada ular terpaksa kita harus menghadapinya, karena tempat berlindung yang ada hanya di kaki bukit ini.? Tan Hok meneliti dan mencari dan akhirnya dia menemukan sebuah guha yang cukup luas. Lebarnya tidak kurang dari satu meter, dalamnya tiga meter dan tingginya tiga meter. Di depan guha itu terdapat seongkah batu karang yang besar-besar sehingga tempat itu merupakan tempat persembunyian sekaligus perlindungan yang baik. Akan tetapi karena matahari sudah mulai condong ke barat, ruangan dalam guha itu tidak mendapat sinarnya dan menjadi agak gelap. Teringat akan cerita isterinya tadi, Tan Hok berhenti di depan guha dan memberi isyarat kepada tiga orang itu untuk berhenti pula.
?Kita harus membuat api lebih dulu. Kalau ada ular di dalamnya, kita dapat mengusirnya dengan menggunakan api,? katanya. Berdua dengan Wong Cin, Tan Hok lalu mengumpulkan kayu dan daun kering dan membuat api unggun di depan guha, kemudian dia dan Wong Cin dengan bersenjatakan obor memasuki guha untuk melihat apakah di sana ada ularnya. Akan tetapi ternyata guha itu tidak ada ularnya. Mereka semua lalu memasuki guha dan duduk di lantai guha yang cukup kering.
?Hari tak lama lagi akan menjadi malam. Kita perlu beristirahat dan memulihkan tenaga semalam di sini agar besok pagi kita dapat memeriksa keadaan di Pulau ini, Mudah-mudahan saja kedua orang jahanam itu tidak akan mengganggu kita malam ini.? Liu Hong dan Su Leng Ci yang merasa lelah lahir batin, segera merebahkan diri diatas lantai guha dan memeluk anak mereka. Segera mereka dapat tertidur. Tan Hok dan Wong Cin berjaga di mulut guha sambi menjaga agar api unggun tidak menjadi padam. Api unggun itu amat penting bagi mereka. Pertama, untuk mengusir hawa dingin yang tentu akan datang menyerang mereka malam itu dan kedua untuk mengusir nyamuk.
?Siauw-te (adik), engkau mengaso dan tidur lah lebih dulu biar aku yang berjaga disini,? kata Tan Hok kepada Wong Cin.
?Aih, Tan-Twako, dalam keadaan seperti ini, bagaimana mungkin engkau menyuruh aku tidur sedangkan engkau sendiri melakukan penjagaan? Tidak, aku akan ikut menjaga bersamanu. Dalam keadaan seperti ini kita harus selalu bersama, mati hidup bersama!?
?Tentu saja kita harus bersamA-Sama siauw-te. Akan tetapi tidak untuk mati bersama, melainkan untuk hidup bersama. Kalau engkau tidak mau tidur dan beristirahat lebih dulu, kita sama-sarna melakukan penjagaan kemudian kita berdua kehabisan tenaga dan kelelahan lalu datang musuh menyerbu, bagaimana kita akan dapat melawan mereka? Kita harus bergantian, yang seorang tidur, seorang lagi berjaga. Dengan demikian kita berdua akan dapat beristirahat dan mengumpulkan tenaga. Tidur lah lebih dulu, nanti malarn Kau kubangunkan untuk menggantikan aku berjaga dan aku yang tidur.?
?Ah, begitukah maksudmu, twa-ko? Baik lah, aku akan tidur lebih dulu. Akan tetapi jangan lupa untuk membangunkan aku agar aku dapat menggantikanmu melakukan penjagaan, twa-ko.?
?Jangan khawatir. Akupun tidak kuat untuk berjaga terus semalam suntuk karena akupun lelah sekali. Nah, tidurlah di dalam guha, siauw-te.? Wong Cin tidak membantah lagi. Karena diapun amat lelah, maka setelah merebahkan diri di lantai guha, diapun segera tertidur pulas. Tan Hok menjaga di dekat api unggun dengan penuh kewaspadaan karena dia khawatir kalau-kalau dua orang penjahat akan datang lagi. Untung guha itu letak baik sekali. Dari depan guha itu dia dapat melihat kalau ada orang menghampiri gua dan diapun dapat bersembunyi di balik batu batu yang terdapat di depan guha
?Wong-siauwte... bangun... malam telah larut, Tan Hok menguncang pundak Wong Cin. Bekas jaksa itu
terbangun, bangkit duduk dan menggosok dua matanya.
?Apa...? Ada apa...?? tanyanya gagap akan tetapi dia segera mengenal siapa yang menggugahnya.
?Ah, engkau kah, Twako?? ?Ya, bangunlah, siauw-te. Malam telah larut. Engkau harus menggantikan aku berjaga, aku lelah sekali, ingin mengaso sebentar.? Wong Cin kini sudah sadar betul.
?Baiklah, twa-ko. Engkau tidurlah, biar aku yang menggantikanmu berjaga,? setelah berkata demikian Wong Cin lalu bangkit berdiri dan pindah duduk di dekat api unggun. Tan Hok lalu merebahkan diri di lantai guha dan segera tertidur pulas. Wong Cin berjaga di dekat api unggun menjaga agar api unggun jangan sampai padam atau mengecil. Langit bersih sekali sehingga tampak jutaan bintang berkelap-kelip di angkasa dan mendatangkan cahaya remang-remang di luar sana.
Dari tempat itu dapat terdengar bunyi air laut mendesis-desis, kadang menggelegar kalau menghantam batu karang. Suara itu tiada henti-hentinya dan Wong Cin senang mendengarnya, merasa seolah-olah ada yang menemaninya berjaga. Seperti Tan Hok tadi, diapun waspada melayangkan pandang matanya ke luar guha, melihat kalau-kalau ada orang yang datang menghampiri guha. Malam semakin larut. Karena guha itu menghadap ke timur, yaitu ke laut, maka ketika fajar mulai menyingsing, tampaklah langit di timur kemerahan. Cuaca masih remang-remang dan tiba-tiba Wong Cin terbelalak. Dia melihat bayangan orang! Dia turun mendekati batu dan mengintai. Tak salah lagi. Ada orang berindap-indap menghampiri guha, rnenyelinap di antara batu-batu Wong Cin cepat, memasuki guha mengguncang pundak Tan Hok.
?Tan-ko, bangunlah, twa-ko. Bangunlah!? Tan Hok yang diguncang pundaknya bangun, menggosok-gosok kedua mata.
?Ada apakah, siauw-te?? ?Twa-ko, ada orang menuju ke sini,? bisik Wong Cin.
?Apa? Ah, tentu penjahat itu!? Tan Hok seketika bangkit berdiri dan dia sudah sadar betul, lalu bersama Wong Cin berindap indap keluar dari guha, mengintai dari batu besar. Diapun melihat bayangan orang itu, bayang-bayang hitam yang menyelinap di antara batu-batu.
?Cepat, padamkan api unggun, siauwte,? bisik Tan Hok. Wong Cin cepat menghampiri api unggun dan memadamkananya. Tempat itu menjadi gelap karena kehilangan cahaya api unggun dan mereka dapat melihat keluar lebih jelas lagi. Sinar matahari yang belum nampak, hanya langit di timur seperti ada kebakaran memerah namun bintang-bintang masih belum kehilangan sinarnya sama sekali sehngga diluar guha sana cuacanya. remang-remang. Mereka berdua dapat mengintai keluar dan mengikuti gerak-gerik bayangan hitam itu yang kini telah mendekati guha.
?Siapkan batu, kita serang dia dengan batu? bisik Tan Hok, lalu dia nengumpulkan batu-batu sebesar kepalan tangan. Wong cin juga mengumpulkan batu-batu yang ditumpuk di dekat kakinya. Mereka mengintai lagi dan kini tampak bahwa bukan hanya satu orang saja yang berindap-indap mendekati guha, melainkan ada tiga orang! Tentu tiga orang penjahat yang kemarin dapat mereka usir itu datang lagi bersama seorang kawannya, pikir mereka. Setelah tiga bayangan orang itu tiba dekat, hanya dalam jarak belasan meter dan mereka muncul dari balik sebuah batu berserulah Tan Hok dengan suara nyaring,
?Serang!? Dan merekapun melontarkan batu-batu sebesar kepalan tangan itu dengan kedua tangannya. Wong Cin juga cepat menyerang tiga orang itu dengan lemparan batu-batu yang telah dikumpulkan. Terdengar suara orang mengaduh, tanda bahwa lontaran batu mereka mengenai sasaran dan tiga orang itu cepat berloncatan ke belakang lalu berlindung ke belakang batu besar. Tan Hok dan Wong Cin menghentikan serangan batu mereka. Suasana menjadi sunyi sekali, sunyi yang menegangkan karena mereka maklum bahwa tidak jauh dari situ terdapat musuh-musuh yang siap untuk menyerbu mereka. Akan tetapi setelah ditunggu-tunggu, tiga orang itu tidak muncul lagi, Agaknya mereka itu telah mengundurkan dan melarikan diri, menjauh dari situ.
(Lanjut ke Jilid 02) Sepasang Rajah Naga (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 02 Dua orang nyonya muda dan putera mereka terbangun oleh suara rIbut-rIbut tadi. Tan Song Bu dan Wong Sin Cu merengek kepada Ibu mereka.
?Ibu, aku lapar...? kata Sin Cu.
?Ibu, aku ingin makan,? kata Song Bu. Dua orang Ibu muda itu kebingungan. Mereka sendiripun merasa amat lapar, akan tetapi dari manakah mereka akan dapat menemukan makanan untuk mereka sendiri dan anak-anak mereka? Tan Hok dan Wong Cin juga merasa lapar dan mereka mendengar keluhan anak-anak mereka tadi. Kita tidak dapat tinggal terus di sini menanti kelaparan menggerogoti perut kita,? akhirnya Tan Hok berkata.
?Kita harus pergi ke pantai dan di sana kita dapat mencari ikan atau binatang laut lain untuk kita makan. Kita harus mendapatkan makanan agar tidak kelaparan, juga kita harus mencari air tawar untuk minum.?
?Akan tetapi penjahat-penjahat itu, Twa-ko...? Terpaksa kita lawan mati-matian kalau mereka berani muncul dan mencoba mengganggu kita. Mari kita persiapkan diri dan membawa tongkat untuk senjata, siauw-te.? Mereka ialu memilih ranting kayu yang cukup besar untuk dipergunakan sebagai senjata. Setelah matahari mulai muncul di permukaan laut merupakan sebuah bola besar merah yang makin lama menjadi semakin kecil dan naik dari permukaan laut, sinarnya yang merah pun mulai berubah menjadi kuning keemasan dan sinarnya mulai menerangi tanah, Tan Hok dan Wong Cin mengawal anak isteri mereka keluar dari dalam guha. Mula-mula mereka mencari air di antara batu-batu di kaki bukit. Akhirnya mereka menemukan sebuah pancuran air di antara batu-batu.
Agaknya air itu mengalir turun dari bukit. Karena mereka telah merasa haus sekali, mereka lalu minum air yang jenih itu, mencuci muka dan kaki tangan mereka sehingga terasa segar kembali. Setela itu, mereka mulai menuju ke tepi laut. Akan tetapi baru saja mereka tiba di pantai yang berpasir, tiba-tiba terlihat sebuah perahu dengan layar hitam bergerak ke tepi. Mereka memandang dengan hati penuh harapan. Kalau perahu itu milik orang baik-baik, mereka akan tertolong dan dapat meninggalkan Pulau itu! dengan wajah berseri penuh harapan dua keluarga itu berdiri di pantai memandang perahu yang semakin dekat. Setelah agak dekat, mereka dapat melihat ada tujuh orang berada di atas perahu dan hati mereka mulai terasa tidak enak karena ketujuh orang itu semua adalah laki-laki! Setelah perahu kandas di pasir dan layar diturunkan, tali dilempar keluar,
Tujuh orang laki-laki itu lalu berlompatan dari atas perahu. Mereka lari ke dalam air yang setinggi lutut menuju ke pantai sambil berteriak-teriak dan tertawa-tawa. Tan Hok dan Wong Cin terkejut sekali karena mereka mengenal bahwa dua orang diantara mereka adalah dua orang penjahat yang kemarin hampir memperkosa isteri mereka! Kiranya tujuh orang itu adalah orang-orang jahat! Liu Hong dan Su Leng Ci juga mengenal dua orang penjahat itu. Mereka segera berlindung di belakang suami sambil memondong anak mereka. Wajah mereka pucat dan kedua kaki mereka menggigil. Tan Hok dan Wong Cin melintangkan tongkat mereka, siap untuk melawan mati-matian karena tidak ada jalan lain kecuali melawan untuk melindungi anak isteri mereka. Tujuh orang laki-laki kasar itu kini mengepung mereka sambil tertawa-tawa gembira.
?Ha-ha-ha!? Si kumis panjang yang menjadi pimpinan mereka tertawa bergelak dengan gembira.
?Bunuh dua ekor anjing ini, akan tetapi dua betinanya itu jangan dilukai. Mereka berdua adalah milik kami berdua, jangan diganggu!? Mereka semua tertawa dan kepungan menjadi semakin ketat terhadap Tan Hok dan Wong Cin.
?Kalian orang-orang jahat!? bentak Tan Hok.
?Di antara kita tidak ada permusuhan mengapa kalian berniat jahat tehadap kami??
?Hahaha? kini pemimpin k?dua, yang bermuka hitam, tertawa lalu memberi aba-aba,
?Serang? Tujuh orang itu bergerak dengan golok di tangan, menyerbu Tan Hok dan Wong Cin. Dua orang ini menggerakkan tongkat dan melawan mati-matian. Mereka menangkisi golok-golok yang menyambar dengan tongkat mereka dan berusaha membalas pula dengan nekat.
Liu Hong dan Su Leng Ci berlutut saling rangkul sambil memondong anak mereka. Kedua orang Ibu muda ini ketakutan dan merasa khawatir sekali melihat suami mereka dikeroyok tujuh orang penjahat tu. Dua orang anak itupun menangis ketakutan. Betapapun nekatnya Tan Hok dan Wong mengamuk, kepandaian silat mereka haya terbatas dan tujuh orang pengeroyoknya adalah orang-orang yang biasa berkelahi dan ganas sekali. Tan Hok dan Wong Cin haya berhasil merobohkan masing-masing seorang pengeroyok, menghantam kepala meeka dengan tongkat sehingga dua orang pengeroyok itu roboh dengan kepala retak dan golok mereka terlepas dari tangan, menggeletak dekat dua orang wanita itu. Melihat dua batang golok itu, tanpa diperintah, Liu Hong dan Su Leng Ci segera mengambilnya dengan maksud untuk diberikan kepada suami mereka agar suami mereka dapat melawan lebih baik.
Akan tetapi kedua orang wanita itu terbelalak dan menjerit-jerit ketika melihat betapa dua orang suami mereka pada saat itu roboh mandi darah terkena bacokan golok golok yang menghujani tubuh mereka! sambil berlari menghampiri suaminya yang sudah roboh mandi darah. menghampiri suaminya dan menjatuhkan diri berlutut dekat tubuh suaminya yang sudah tidak bergerak lagi dan mandi darah itu. Song Bu dan Sin Cu yang ditinggalkan Ibu masing-masing menangis bingung dan ketakutan. Kedua orang anak berusia tiga tahun itu duduk di atas pasir sambil menangis. Setelah merobohkan Tan Hok dan Wo Cin, dua orang pimpinan gerombolan itu tertawa bergelak. Mereka berdua menghampiri Liu Hong dan Su Leng Ci.
?Manis, sudahlah jangan menangis. Suami kalian sudah tewas, akan tetapi ada pengantinya, yaitu kami dan kalian perdua akan hidup senang bersama kami!? kata si kumis panjang. Tiba-tiba Liu Hong bangkit berdiri dan memutar-mutar golok di tangannya, menyerang para penjahat itu dengan membabi buta. Melihat ini, Su Leng Ci juga bangkit dan mengamuk.
Dua orang wanita yang melihat suami mereka tewas itu menjadi nekat dan dengan golok di tangan mereka, mereka mencoba untuk menyerang dua orang pimpinan penjahat' itu. Akan tetapi tentu saja amukan mereka itu tidak ada artinya. Mereka tidak pernah belajar ilmu silat, bahkan tidak pernah memegang golok. Para penjahat itu mengelak sambil tertawa-tawa mempermainkan sambil mencari kesempatan untuk merampas golok itu dari tangan kedua orang wanita yang mengamuk. Melihat bahwa mereka tidak berdaya dan akhirnya tentu akan tertangkap oleh para penjahat itu, Liu Hong menjadi putus asa. Kalau sampai tertangkap para penjahat itu, ia tentu akan mengalami bencana yang lebih mengerikan dari pada maut. la menjadi nekat dan menggorokkan golok di tangan kanannya ke lehernya sendiri. Robohlah Liu Hong di atas mayat suaminya, mandi darah.
Melihat ini, Su Leng Ci terbelalak, akan tetapi iapun mengerti mengapa Liu Hong melakukan perbuatan nekat itu. la menjadi semakin ke takutan dan tahu nasib apa yang akan dideritanya kalau ia terjatuh ke tangan para penjahat itu. Maka, tanpa pikir panjang lagi, melupakan anaknya dalam keadaan tersudut, Su Leng Ci lalu menggerakkan goloknya, menggorok leher sendiri dan ketika terhuyung, ia menghampiri mayat suaminya dan roboh di atas mayat suaminya. Para penjahat itu terkejut bukan main Mereka itu sama sekali tidak menyangka bahwa dua orang wanita itu akan berbuat sedemikian nekatnya membunuh diri. Si kumis panjang dan si muka hitam menjadi terkejut dan menyesal sekali. Mereka telah kehilang an dua orang wanita cantik yang membuatnya tergila-gila dan yang tadinya sudah mereka tentukan akan menjadi isteri-isteri mereka. Pada saat itu terdengar suara berat dan parau,
?Kalian manusia-manusia iblis yang jahat!? Semua penjahat yang jumlahnya tinggal lima orang itu karena yang dua orang belum mampu bangun setelah kepala mereka dihantam tongkat oleh Tan Hok dan Wong Cin tadi, membalikkan tubuh dan melihat seorang laki-laki setengah tua berdiri di depan mereka. Laki-laki itu bukan lain adalah A-ming, tukang perahu yang kemarin terpisah dari dua keluarga itu ketika perahunya pecah.
Dia terapung-apung di atas laut, dipermainkan ombak sampai semalam suntuk. Baru pagi ini papan yang dijadikan pegangan itu dapat dia bawa ke tepi dan dia dapat mendarat dalam keadaan selamat. Dia menemukan bekas perapian yang dIbuat para penjahat, juga menemukan sisa makanan mereka berupa roti kering. Karena perutnya terasa lapar sekali A-ming lalu makan roti kering yang cukup banyak baginya itu sehingga tenaganya pulih kembali. Mulailah ia menyusuri pantai untuk mencari kalau-kalau dua keluarga itu ada yang terdampar dan selamat. Tiba-tiba dia mendengar suara tangis dua orang anak itu dan dia lalu berlari cepat menuju ke arah suara itu. Di tepi pantai itu dia melihat pemandangan yang xmembuat dia marah bukan main. Tan Hok dan Wong Cin beserta isteri-isteri mereka telah roboh mandi darah dan dua orang anak kecil itu menangis ketakutan di atas pasir!
Dan di situ terdapat tujuh orang penjahat, dua di antaranya duduk memegangi kepala mereka yang berdarah. Sekali pandang saja tahulah dia bahwa dua pasang suami isteri itu telah dIbunuh para penjahat ini dan dua orang anak kecil itupun terancam keselamatannya. Hal ini membuat dia marah sekali. Bangkitlah watak kependekarannya yang dimiliki ketika dia masih muda dahulu. Bekas Guru silat ini melirik ke arah dua batang golok yang menggeletak di dekat mayat dua pasang suami isteri itu. Tanpa mengeluarkan suara, tiba-tiba saja dia merebahkan dirinya ke atas pasir lalu bergulingan mendekati mayat-mayat itu. Sebelum para penjahat itu hilang kagetnya dan menyadari apa yang akan dilakukannya, A-ming telah melompat bangun lagi dan kini kedua tangannya memegang sepasang golok yang masih berlumuran darah Liu Hong dan Su Leng Ci.
?Majulah kalian! Aku akan membasmi kalian jahanam-jahanam busuk!? teriak A-ming dengan mata mencorong penuh kemarahan. Lima orang penjahat itu adalah orang orang kasar yang sudah terbiasa mempergunakan kekuatannya dan sudah terbiasa dalam perkelahian maka mereka tentu saja tidak menjadi takut.
?Bunuh!? Si Kumis panjang membentak.
?Nanti dulu! Sebelum aku membunuh kalian, katakan dulu siapa kalian yang begini kejam telah membunuhi orang-orang yang tidak berdosa!? bentak A-ming sambil melintangkan sepasang goloknya.
Si kumis panjang dan si muka hitam tertawa bergelak. Mereka berdua adalah kepala-kepala bajak dan perampok yang amat terkenal dan mereka merasa bangga memperkenalkan julukan mereka.
?Buka telingamu lebar-lebar? bentak Si kumis melintang.
?Aku dan adikku ini dikenal di dunia kang-ouw sebagai Hai-Coa-Ong Raja Ular Laut). Aku disebut Toa-Ong (Raja Besar) dan adikku ini disebut Siauw-Ong (Raja Kecil). Nah, engkau boleh mampus dengan mata terpejam setelah mendengar siapa yang akan membunuhmu!? Si kumis melintang memperkenalkan diri dan si muka hitam. A-ming memandang kepada dua orang itu dengan alis berkerut.
?Hari ini Raja Ular Laut akan menjadi ular mampus!? teriak A-ming dan dia lalu menerjang maju sambil mengayun kedua batang, goloknya. Lima orang itu menyambut serangannya dan terjadilah perkelahian yang seru dan mati-matian. Akan tetapi ternyata permainan sepasang golok dari A-ming cukup hebat. Biarpun sudah lama dia tidak pernah bersilat, akan tetapi karena dasarnya memang kuat, maka kini dia dapat memainkan sepasang goloknya demikian hebat sehingga lima orang pengeroyoknya itu tidak mampu mendekatinya! Bahkan dua orang pengeroyok telah terserernpet golok dipundaknya sehingga terluka dan berdarah Melihat ini, si kumis panjang tiba-tiba berseru dengan nyaring.
?Tangkap dan bunuh dua orang anak itu!?
Mendengar perintah ini, A-ming terkejut sekali dan cepat dia melompat ke dekat dua orang anak itu untuk melindungi mereka. Akan tetapi ternyata teriakan yang merupakan perintah dari Siauw-Ong (Raja Besar) yang berkumis panjang itu hanya merupakan pancingan belaka. Setelah A-ming melompat ke dekat kedua anak itu untuk melindungi, si tinggi besar memimpin anak buahnya untuk melarikan diri dari situ sambil memapah dua orang kawan mereka yang terluka, kepalanya oleh tongkat Tan Hok dan
Wong Cin tadi. Melihat ini, biarpun hatinya merasa kecewa, A-ming tidak berani melakukan pengejaran. Kalau dia mengejar, siapa yang akan melindungi dua orang anak kecil yang menangis ini? A-ming menyelipkan dua batang golok itu di pinggangnya, lalu dia berjongkok dan mengelus kepala dua orang anak kecil itu.
?Anak-anak yang baik, diamlah jangan menangis. Jangan takut, aku akan melindungi kalian dengan taruhan nyawaku.? Karena dielus dan dirangkul, kedua orang anak kecil itu menghentikan tangis mereka. Mereka masih terlalu kecil sehingga tidak tahu betapa Ayah Bunda mereka dib?nuh orang di depan mata mereka! A-ming lalu pergi menghampiri perahu berlayar hitam yang berada di tepi laut dan dari dalam perahu itu dia mendapatkan sebungkus roti kering. Dia mengambil beberapa potong dan diberikannya kepada dua orang anak kecil itu. Tan Song Bu yang lebih tua beberapa bulan dari Wong Sin Cu, menerima roti kering dan segera memakannya karena dia memang lapar sekali. Akan tetapi Wong Sin Cu menerima roti kering itu dan tidak segera memakannya. Dia menoleh dan memandang ke arah tubuh Ayah dan Ibunya.
?Ibuuu...! Ayaaahh...!!? Dia memanggil dan suaranya mengandung tangis. A-ming merangkulnya. Dari sikap kedua orang anak ini saja tahulah dia bahwa Tan Song Bu adalah seorang anak yang tabah dan mungkin berwatak keras, sedangkan Wong Cin Su lebih peka dan perasa dan mungkin berwatak lembut.
?Sudah, diamlah, Sin Cu anak baik. Makanlah roti itu agar perutmu tidak lapar.?
?Akan tetapi, Ayah dan Ibu...? tanya Sin Cu dengan suara masih agak cadel.
?Mereka... mereka telah pergi jauh...?
?Tapi, itu mereka? bantah Sin?u sambil menuding ke arah Ayah dan Ibunya.
?Kenapa mereka?? A-ming menjadi serba salah. Anak sekecil ini mana mengerti tentang kematian?
?Mereka sedang tidur. Sudahlah, makan rotimu dan jangan banyak bertanya,? katanya. Setelah kedua 'orang anak itu makan, dia memberi minum dari tempat minum air tawar yang terdapat dalam perahu yang ditinggalkan para penjahat tadi. Kemudian dia menyuruh kedua anak itu duduk di dalam bilik perahu dan berpesan.
?Aku mau bekerja di pantai. Kalian harus duduk menunggu di sini dan jangan keluar dari perahu. Kalian bisa terjatuh ke dalam air laut kalau kalian keluar. Ingat pesanku, jangan keluar dari sini dan tunggu aku. Setelah selesai bekerja di pantai, aku tentu akan datang ke sini.? Dia tidak dapat bercerita panjang dan hanya menekankan agar anak itu mengerti bahwa mereka harus menunggu dalam bilik perahu dan tidak boleh keluar dari situ.
Setelah kedua orang anak itu mengangguk-angguk secara meyakinkan, A-ming lalu keluar dari perahu. Menuju ke darat dan mulailah dia menggali lubang, agak jauh dari pantai agar kuburan yang dIbuatnya itu tidak akan terendam air laut kalau sedang pasang. Dengan menggunakan golok tadi, dia menggali dua buah lubang yang cukup besar, kemudian dengan hati-hati, penuh khidmat dan keharuan, dia lalu menguburkan dua pasang jenazah suami isteri itu. Masing masing pasangan suami isteri dia jadikan satu kuburan; dimasukkan dalam satu lubang dan ditimbuni tanah yang mengandung pasir. Setelah selesai, dia menggunakan dua buah batu karang untuk diletakkan di depan dua makam itu, masing-masing sebuah batu besar dan dengan sebatang golok, diukirnya beberapa buah huruf di atas batu besar yang menjadi batu nisan itu, dengan ukiran yang kasar namun huruf-huruf itu dapat dibaca dengan jelas.
Batu nisan di depan kuburan Tan Hok diberi ukiran MAKAM TAN HOK DAN ISTERI, dan di batu nisan di depan kuburan Wong Cin diberi ukiran MAKAM WONG CIN DAN ISTERI. Setelah selesai, dia memberi hormat kepada kedua kuburan itu lalu dia pergi ke perahu. Dua orang anak itu masih berada di dalam bilik perahu dan keduanya tertidur nyenyak. Jiwa kanak-kanak itu masih bersih, belum ternoda tebal oleh hati akal pikiran yang bergelimang nafsu. Oleh karena itu, jiwa mereka belum dapat terusik oleh duka nestapa. Setelah semakin besar nanti, mulailah hati akal pikiran bekerja sepenuhnya dan masuklah nafsu menguasai hati akal pikiran sehingga sinar jiwanya tertutup oleh kotoran nafsu. Setelah demikian, maka manusia menjadi permainan nafsu, diayun gelombang suka duka sepanjang hidupnya, tidak lagi mengenal apa itu yang disebut kebahagiaan.
Nafsu, akal pikiran manusia mendorongnya untuk selalu mengejar kesenangan atau yang dianggap akan mendatangkan kesenangan. Dan dalam pengejaran inilah dia lebih banyak bertemu dengan duka dari pada suka, lebih banyak bertemu dengan kekecewaan dari pada kepuasan, lebih banyak mendapatkan kekurangan dari pada kecukupan. Kebahagiaan bukanlah kesenangan. Kebahagiaan tidak dapat diperoleh melalui pengejaran. Kebahagiaan adalah... (maaf ketikan kurang jelas-Yons) dan senantiasa ada pada diri setiap orang manusia. Masalahnya adalah si orang dapat merasakannya ataukah tidak! Pengejaran kesenangan membuat kebahagiaan yang demkian dekat menjadi jauh, karena dengan pengejaran kesenangan manusia terlibat dalam ayunan susah senang karena kesusahan itu pada hakekatnya adalah permukaan yang lain dari mata uang yang sama atau kebalikan dari kesenangan.
Mengejar kesenangan, tidak dapat tiada orang akan bertemu juga dengan kesusahan karena yang satu tidak akan ada tanpa yang lain. A-ming memandangi dua orang anak itu dan menghela napas panjang. Alangkah menyedihkan nasib kedua orang anak kecil ini. Anak yang kebetulan sekali bertemu dengan dia, dan kebetulan sekali pula dia yang membuat rajah gambar naga di dada kedua orang anak itu. Dan sekarang, kedua orang anak itu telah kehilangan orang tua masing-masing. Ayah Ibu mereka terbunuh di depan mata mereka! Walaupun dalam usia sekecil itu mereka belurn mengerti benar apa yang telah terjadi rnenimpa orang tua mereka, namun, setidaknya penglihatan itu tentu akan menggores dalam-dalam dibatin mereka.
Dua orang anak sekecil itu telah kehilangan Ayah Bundanya dan sekarang sepenuhnya berada di tangannya. Nasib mereka seolah telah ditaruh ke dalam telapak tangannya dan mau tidak mau dia harus menGurus mereka! A-ming membiarkan dua orang anak itu tidur. Dia mulai memeriksa keadaan dalam perahu yang ditinggalkan para penjahat itu. Sebuah perahu yang lumayan besarnya dan di situ terdapat persediaan roti kering yang kiranya cukup untuk mencegah kelaparan selama beberapa hari. Juga ada persediaan air tawar yang cukup banyak. Layar hitam tergulung dan terdapat pula beberapa buah dayung. Bahkan di ujung perahu itu terdapat sebuah perahu kecil, sebuah perahu yang biasanya dipakai dua orang. Ketika tadi dia terdampar dan berusaha mencari kedua keluarga itu, dia melihat bahwa bukit itu gersang.
Sebuah Pulau yang kosong dan tidak subur seperti itu pasti tidak ada penghuninya. Siapa mau tinggal di sebuah Pulau yang tanahnya gersang? Dan di satu bagian yang terdapat pohon-pohon pantai, dia melihat banyak sekali ular besar kecil. Mengerikan sekali. Sebuah Pulau penuh ular dan tidak ada penghuninya. A-ming mulai melepaskan tali perahu itu, menggulungnya dan menaruh ke dalam perahu. Kemudian dia mendorong perahu ketengah. Dia harus meninggalkan Pulau ular ini. Harus berusaha untuk kembali ke daratan besar, walaupun daratan itu tidak tampak dari situ. Akan tetapi sebagai seorang pelaut yang berpengalaman, dia tahu ke mana dia harus membawa perahunya kalau ingin mencapai daratan besar. Tentu saja ke arah barat. Ini adalah Lautan Timur, dan tentu saja daratan sebelah barat.
Setelah perahu itu terapung di bagian yang lebih dalam, dia lalu naik ke dalam perahu, mendayungnya ke tengah kemudian mengembangkan layarnya yang hitam. Angin lembut bertiup dan Jayar mengembang, mendorong perahu melaju menuju arah barat. Air laut tenang dan lembut. tidak ada bekas-bekasnya lagi badai yang mengamuk dahsyat pada hari kemarin itu. Setelah perahu meluncur cepat beberapa lamanya, A-ming yang memegang kemudi dan selalu memandang ke depan, ke arah barat, tiba-tiba berseri wajahnya. Dia melihat baang-bayang daratan di sana! Bayangan hitam memanjang. Bagus, pikirnya. Dia akan segera mendarat dan kalau sudah berada didaratan besar sana, baru akan dia carikan jalan keluar akan masalah yang dia hadapi ini, yaitu merawat dan memelihara dua orang anak kecil!
Dia akan mencari keluarga-keluarga baik-baik yang kiranya akan suka dan mampu menerima anak-anak itu sebagai anak angkat mereka. Dia tidak berani membawa anak-anak itu ke Kotaraja dari mana mereka berasal. Dia tidak berani mencari keluarga orang tua anak-anak ini. Bukankah orang tua mereka telah menjadi buronan? Kalau pihak musuh keluarga itu mengetahui bahwa dua orang anak itu adalah putera keluarga Tan Hok dan Wong Cin, tentu kedua anak itu akan menghadapi ancaman pula. Bayangan hitam itu semakin lama menjadi semakin jelas. Sebentar lagi dia akan mencapai daratan itu. Terdengar suara dan ketika dia memandang ke arah bilik, Song Bu dan Sin Cu berjalan keluar dari bilik sambil menggosok-gosok kedua mata mereka, Ketika mereka berdua melihat A-ming yang duduk di buritan, tertatih-tatih mereka menghampiri.
?Kakek, aku haus!? kata Song Bu.
?Aku juga,? kata pula Sin Cu. A-ming meraih sebuah guci kecil yang sudah diisi air tawar.
?Ke sinilah. ini air untuk kalian minum,? katanya sambil tersenyum. Kedua orang anak itu menghampiri dan A-ming memberi mereka minum langsung dari mulut guci ke mulut mereka yang kecil. Setelah minum, kedua orang anak itu duduk di depan A-ming.
?Kakek, aku ingin ikut Ayah dan Ibu!? berkata pula Song Bu.
?Aku ingin ikut mereka,? kata Sin Cu.
?Di mana Ayah dan Ibuku??
?Ayah Ibu kalian sudah pergi kesana lebih dulu,? kata A-ming sambil menunjuk kedepan, ke arah daratan.
?Kalian jangan rewel dan aku akan membawa kalian menyusul Ayah Ibu kalian.? Akan tetapi tiba-tiba A-ming mengerutkan alisnya dan memandang ke depan dengan sinar mata penuh keraguan dan kekhawatiran. Ada sebuah perahu layar besar datang dari depan. Tentu saja dia akan merasa girang sekali kalau saja perahu itu merupakan perahu yang ditumpangi penduduk pantai biasa, atau perahu pedagang. Akan tetapi yang mencemaskan hatinya adalah melihat perahu itu bercat hitam dan juga berlayar hitam seperti perahu yang dikemudikannya! Dan biasanya, perahu yang serba hitam seperti itu adalah perahu bajak laut! Setelah perahu besar itu agak dekat dan d?a dapat melihat wajah orang-orang yang berada di perahu, jantungnya berdebar keras penuh ketegangan.
Dia mengenal Siauw-Ong dan Siauw-Ong berada diantara belasan orang yang sedang berdiri di perahu hitam itu! Dan agaknya kedua orang itu kini sudah yakin bahwa dia berada di perahu itu bersama dua orang anak kecil yang duduk di depannya karena terdengar dua orang itu mengeluarkan bentakan-bentakan dan belasan orang di atas perahu itu mulai bergerak. Tiba-tiba dari perahu besar itu meluncur banyak anak panah menuju ke perahunya, A-ming terkejut. Mereka menyerarng dengan, anak panah! Sungguh membahayakan keselamatan dua orang anak itu. Dia menyambar dua orang anak itu dengan kedua tangannya dan membawanya lari ke dalam bilik untuk berlindung dari hujan anak panah. Dia sama sekali tidak berdaya untuk membalas serangan mereka. Tiba-tiba terdengar orang-orang bersorak dari perahu besar itu dan dengan kaget A-ming melihat kobaran api pada layar perahunya.
?Celaka, mereka menggunakan anak panah berapi!? serunya sambil mengutuk Dia harus bertindak cepat. Kalau perahunya terbakar, dia dan dua orang anak itu akan celaka. Dia teringat akan perahu kecil yang berada di luar bilik. Pikirannya berjalan cepat dan dia sudah mengambil keputusan kilat. Cepat dia menyelinap keluar dari bilik, melepaskan ikatan perahu kecil itu. Kemudian dia memondong dua orang anak kecil, menyelinap ke belakang perahu, menurunkan perahu kecil dan memasukkan dua orang anak itu ke dalam perahu kecil. Kemudian didorongnya perahu kecil itu menjauhi perahunya. Perahu terbawa ombak, menjauh dari perahu yang mulai terbakar tihang layarnya itu. Sejenak ia memandang ke arah perahu kecil yang semakin menjauh dan hatinya merasa iba sekali kepada dua orang anak itu.
?Semoga Thian melindungi kalian!? katanya dan hatinya seperti ditusuk rasanya ketika mendengar dua orang anak itu mulai menangis dan memanggil-manggil Ayah Ibu mereka. Dia lalu melompat keluar dari balik bilik sambil membawa sebatang dayung. Begitu dia muncul, belasan batang anak panah menyambar ke arah dirinya. Akan tetapi dia memutar dayungnya dan belasan batang anak panah itu runtuh.
?Jahanam busuk kalian! Hayo kalau memang kalian berani, naiklah ke perahu ini dan kita bertanding sampai serIbu jurus!? tantangnya dengan marah sekali. Akan tetapi, jawaban yang didapat hanya anak-panah yang menyambar-nyambar dan di antaranya terdapat anak panah yang membawa api. Kebakaran terjadi di mana-mana dalam perahu itu dan akhirnya A-ming dikepung api. Tidak mungkin dapat dia pertahankan lagi atas perahu itu dan terpaksa dia lalu melompat keluar.
?Byuurrr...? Air laut terpercik keatas ketika tubuhnya menimpa permukaan air. Para penjahat itu segera menghujankan anak panah ke arah dia. A-ming maklum akan bahaya, apa lagi ketika sebatang anak
panah mengenai pundak kirinya. Dia menahan rasa nyeri. dan menyelam, lalu meluncur di dalam air menjauhi perahu para penjahat. Siauw-Ong dan Siauw-Ong yang melihat betapa A-ming telah terkena anak panah lalu tenggelam, tertawa puas. Mereka telah dapat membalas kekalahan mereka terhadap bekas Guru silat itu. Melihat perahu mereka yang tadi dipakai A-ming telah terbakar habis, Siauw-Ong dan Siauw-Ong memerintahkan kawan-kawannya untuk memutar perahu dan kembali menuju ke daratan. Kemujijatan adalah suatu peristiwa yang terjadi di luar perhitungan dan akal manusia.
Suatu kejadian aneh yang rasanya tidak masuk akal. Suatu senTuhan Kekuasaan Tuhan yang membuka mata kita bahwa ada Kekuasaan yang luar biasa, yang bekerja di luar jangKau an pengertian kita. Kemujijatan bukan hanya terjadi di jaman dahulu. Di jaman sekarang sekalipun, sampai hari ini, kemujijatan terjadi di mana-mana, setiap waktu. Setiap kali terjadi malapetaka, selalu saja terjadi kemujijatan yang berada di luar jangKau an penalaran kita. Misalnya terjadi bencana kecelakaan hebat di mana puluhan orang tewas, akan tetapi entah mengapa dan bagaimana, seorang bayi lolos dari maut yang telah menewaskan demikian banyak orang dewasa. Bayi yang tidak berdaya itu bahkan lolos dari maut. Banyak lagi terjadi hal-hal yang aneh di mana Kekuasaan Tuhan bekerja dengan luar biasa dan di luar perhitungan akal manusia.
Nasib Tan Song Bu dan Wong Sin Cu agaknya sudah dapat ditentukan. Kedua orang anak kecil itu hampir dapat dipastikan akan menemui ajalnya karena mereka tidak berdaya terapung-apung di atas lautan, disebuah perahu kecil. Apa dayanya anak-anak berusia tiga tahun dalam keadaan seperti itu? Mereka berdua hanya dapat menangis dan menangis lagi, memanggil-manggil Ayah Ibunya sampai suara mereka serak Air mata mereka telah terkuras habis dan tidak ada air mata lagi yang keluar dari pelupuk mata mereka. Hanya tangis mereka yang masih terdengar, itupun semakin melemah. Perahu kecil itu terombang-ambing dan tidak terkemudikan, menurut saja kemana Tangan Ajaib yang tidak tampak membawanya. Matahari telah naik tinggi. Masih untung bagi kedua orang anak kecil itu bahwa keadaan laut tetap tenang.
Kalau sekiranya terdapat ombak yang lebih besar sedikit saja, perahu itu tentu akan terhempas dan terguling dan dua orang anak itu tentu tidak akan dapat lolos'dari kematian yang mengerikan. Tenggelam ke dalam lautan atau menjadi mangsa ikan-ikan besar! Tiba-tiba tampak sebuah titik hitam melayang-layang di angkasa. Titik hitam itu melayang semakin rendah sehingga tampak bahwa benda itu adalah seekor burung Rajawali hitam yang besar sekali! Sepasang sayap yang terkembang itu dari ujung ke ujung tidak kurang dari dua meter panjangnya. Sepasang matanya yang tajam itu agaknya dapat melihat calon mangsanya yang berada dalam perahu kecil itu. Anak-anak kecil yang bergerak-gerak sambil menangis di dalam perahu kecil merupakan mangsa empuk bagi Rajawali itu. Tidak ada bahaya mengancam di sekeliling tempat itu.
Yang ada hanya air dan air, tidak tampak ada perahu lain, tidak ada manusia dewasa yang menjadi musuh utamanya yang paling berbahaya. Setelah merasa bahwa di sekitarnya aman, burung Rajawali hitam itu lalu menukik ke bawah, Tubuhnya meluncur bagaikan anak panah cepatnya menuju ke arah perahu kecil itu. Song Sin Cu yang lebih dulu melihat burung itu. Anak ini bangkit berdiri, tertarik, akan tetapi pada saat itu, burung Rajawali hitam menyambar dan menggunakan kedua kaKinya yang berkuku runcing melengkung itu untuk mencengkeram tubuh Sin Cu dan memawanya terbang ke atas dengan cepat sekali. Sin Cu merasa kesakitan dan ketakutan, dia menjerit-jerit, akan tetapi jeritnya itu tidak dapat terdengar lagi karena burung Rajawali itu membawanya terbang tinggi lalu meluncur ke arah daratan!
Tan Song Bu yang tidak mengerti apa yang telah terjadi dengan Sin Cu, terbelalak bingung dan melihat Sin Cu lenyap dan dia berada seorang diri saja dalam perahu itu diapun menjerit dan menangis. Akan tetap lautan tidak mengacuhkan jerit tangisnya terus saja membawa perahu itu terombang ambing, bergerak maju tanpa arah tertentu. Wong Sin Cu yang dicengkeram burung Rajawali hitam dan dibawa terbang tinggi itu, tidak dapat bertahan lama. Pundak dan pinggulnya yang dicengkeram kuku-kuk yang runcing melengkung itu, terasa nyeri sekali dan juga rasa takut tak dapat ditahannya lagi sehingga dia segera pingsan dalam cengkeraman burung Rajawali hitam itu. burung itu terus membawanya terbang menuju ke sebuah bukit yang menjadi tebing tepi laut yang amat curam. Di puncak tebing itu, di antara batu-batu karang, terdapat sarang Rajawali itu.
Di mana dua ekor anaknya yang lapar telah menanti induk mereka datang membawa makanan lezat. Ketika burung Rajawali itu membawa terbang Sin Cu dan tiba di atas tebing, mendadak Sin Cu siuman dari pingsannya. Melihat dirinya melayang-layang di atas tebing, anak itu menjerit-jerit ketakutan. Jeritnya nelengking nyaring. Kebetulan sekali pada saat itu terdapat seorang manusia berada di atas tebing itu. Dia seorang pria yang usianya sekitar lima puluh tahun, pakaiannya sederhana sekali, hanya kain kuning yang dilibat-libatkan di tubuhnya seperti pakaian Pendeta atau pertapa, kakinya memakai sepatu kulit yang sederhana pula. Rambutnya yang panjang itu digelung ke atas dan diikat dengan kain putih. Tubuhnya seang saja. Wajahnya menunjukkan bahwa di waktu mudanya dia adalah seorang pria yang tampan dan wajah itu diliputi keteangan dan kedamaian,
Mulutnya selalu tersungging senyuman dan sepasang matanya yang mencorong itupun mengeluarkan sinar lembut dan sabar. Melihat penampilannya, orang akan menduga bahwa dia tentu seong Tosu (Pendeta To) perantau yang berpindah-pindah tempat pertapaannya. da Kekuasaan yang tidak tampak membuat Sin Cu siuman di saat itu dan menjerit dengan lengkingan nyaring sehingga terdengar oleh Tosu yang sedang berada di atas tebing. Kita akan menganggap semua itu sebagai suatu hal yang kebetulan saja. Justeru ?Kebetulan? itulah mujijat yang telah ?diatur? oleh Kekuasaan Tuhan. Mendengar jerit tangis itu, Tosu tadi menengadah dan sepasang matanya terbelalak ketika dia melihat seekor burung Rajawali hitam terbang di atas tebing dan kedua kaki burung raksasa itu mencengkeram seorang anak kecil.
?Siancai (damai)...!? Dia berseru dan tubuhnya bergerak cepat sekali, mendaki tebing yang amat curam itu dengan gerakan yang amat cekatan, tiada ubahnya seperti seekor monyet.
Sin Cu sudah pingsan lagi ketika Rajawati Hitam itu melayang turun dan hinggap di sarangnya yang besar, yang berada di puncak tebing. Kedua anaknya mengeluarkan bunyi cecowetan menyambut kedatangan sang induk dengan girang karena induk mereka membawa makanan yang lezat. Pada saat Rajawali hitam itu siap untuk mencabik-cabik tubuh Sin Cu dengan paruhnya yang kuat dan kedua cakar kakinya yang runcing, tiba-tiba terdengar suara bentakan melengking nyaring yang menggetarkan seluruh puncak tebing itu! Rajawali itu terkejut sekali sehingga ia menGurungkan niatnya untuk mencabik-cabik tubuh Sin Cu, lalu memutar lehernya menoleh dan memandang ke arah Tosu yang telah muncul di dekat puncak dengan marah.
?Maaf, sobat Rajawali, kalau aku mengganggumu. Akan tetapi engkau tidak boleh makan manusia kecil itu. Carilah mangsa yang lain!? kata Tosu itu dan dia mendorongkan tangan kanannya ke arah sang Rajawali. Angin yang amat kuat bertiup menyambar ke arah burung Rajawali itu sehingga tubuh burung itu terdorong dengan kuatnya. Burung itu mengembangkan sayapnya lalu terbang untuk mernatahkan tenaga dorongan yang amat kuat. la menjadi marah karena mengira bahwa orang yang datang itu hendak merampas makanannya yang ia bawa untuk kedua anaknya. la menukik dan membalik lalu menyerang Tosu itu dengan paruh dan kedua kakinya.
?Maaf, sekali ini engkau harus mengalah!? Tosu itu berkata lagi dan menyambut serangan itu dengan dorongan tangan kanannya, kini dorongannya begitu kuatnya sehingga angin menyambar dahsyat memapaki terjangan burung Rajawali hitam.
?Wuuut... bress...!!? Tubuh burung Rajawali itu terpental sampai jauh dan ia mengeluarkan pekik lalu terbang mengitari sarangnya seolah hendak melindungi kedua anaknya, akan tetapi jerih menghadapi Tosu ya memiliki pukulan jarak jauh yang ampuh itu,
?Jangan khawatir, sobat Rajawali, aku tidak akan mengganggu anak-anakmu!? kata Tosu itu. Dia lalu memanjat batu mendekati sarang dan mengambil tubuh Sin Cu yang masih tergeletak pingsan di sarang itu. Dibawanya turun tubuh itu dan dibawanya masuk ke dalam sebuah guha kecil di sebelah bawah sarang Rajawali. Dari situ dia dapat melihat sarang itu dengan jelas. Akan tetapi dia tidak lagi memperhatikan burung Rajawali dan kedua anaknya karena dia sIbuk memeriksa keadaan Wong Sin Cu, anak berusia tiga tahun yang masih pingsan itu. Setelah memeriksa pernapasan dan denyut jantung anak itu, si Tosu lalu menotok beberapa jalan darah di punggung dan menGurut urat di leher anak itu. Sin Cu siuman dan membuka matanya. Dia segera terbelalak dan mulutnya berteriak,
?Burung jahat? Tosu itu mengelus kepalanya.
?Jangan takut, anak baik. Burung itu tidak akan mengganggumu lagi. Diamlah, Pinto akan mengobati luka-luka di pundak dan pinggulmu.? Pundak dan pinggul Sin Cu memang luka karena tertusuk kuku Rajawali. Tosu itu membuka baju anak itu dan dia terbelalak kagum melihat rajah gambar naga di dada anak itu. Rajah gambar naga putih yang indah sekali dan seperti hidup ketika dada nak itu kembang kempis bernapas.
?Naga.?? Dia bergumam. Akan tetapi dia segera dapat mengatasi kekaguman dan keheranannya melihat dada seorang anak kecil dirajah gambar naga. Dia menngeluarkan buntalan yang digendong di punggungnya dan membuka buntalan kain kuning dan mengeluarkan roti kering, sayur kering dan obat bubuk berwarna putih. Dia menaburkan obat bubuk itu ke atas luka di pundak dan pinggul Sin Cu.
?Bagaimana rasanya, anak yang baik??
?Rasanya dingin, Kek. Engkau siapakah kek? Dan di mana Ayah Ibuku?? tanya wong Sin Cu. Tentu saja Tosu itu menjadi bingung mendengar pertanyaan ini.
?Namaku Bu Beng Siauwjin, akan tetapi Kau sebut saja Suhu (Guru). Dan siapakah namamu, Anak sekecil Wong Sin Cu tentu saja tidak mempanyai kesan apapun akan nama itu. Akan tetapi kalau orang dewasa mendengarnya, tentu akan merasa terheran-heran. Tosu itu memperkenalkan namanya sebagai Bu-beng Siauwjin (Orang rendah Tanpa Nama): Mana ada orang yang menyebut diri sendiri Siauwjin (orang rendah) Biasanya, sebutan ini ditujukan kepada seorang yang rendah atau hina, bahkan digunakan sebagai makian kepada orang jahat dan tersesat. Akan tetapi Tosu itu mempergunakan sebutan yang buruk itu sebagai nama julukannya! Melihat anak itu sudah hilang rasa takutnya, Bu Beng Siauwjin lalu memberikan sepotong roti kering dan sepotong sayur kering kepada Sin Cu. Anak itu menerima makanan ini dan sambil makan roti dan sayur kering, dia menjawab,
?Namaku Sin Cu.? ?Engkau she (marga) apa?? tanya Bu Beng Siauwjin. Sin Cu memandang dengan tidak mengerti.
?Apa itu marga? Aku tidak tahu, Kong-kong (Kakek).?
?Jangan sebut Kong-kong kepadaku, akan tetapi sebut saja Suhu. Engkau pantas menjadi muridku, Sin Cu, anak baik.? Karena sikap Bu Beng Siauwjin yang ramah dan lembut, Sin Cu sudah hilang rasa takut dan canggungnya.
?Di mana Ayah dan Ibuku, Suhu?? Tentu saja Tosu itu tidak tahu ke mana perginya Ayah dan Ibu anak ini. Dia bingung bagaimana harus menjawab. Akan tetapi untuk tidak membuat anak itu susah atau bingung, dia berkata,
?Ayah dan Ibumu sedang pergi. Nanti kita cari mereka, ya?? Sin Cu mengangguk. Agaknya anak itu terkenang akan saat-saat yang mengerikan, maka katanya,
Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
?Suhu, aku takut pada laut! Bu Beng Siauwjin semakin terheran. Takut kepada laut? Akan tetapi dia yang tidak mengerti apa yang tersembunyi di balik pernyataan anak ini, tidak ingin membantah karena kalau dibantah tentu hanya akan membuat anak itu menjadi bingung.
?Jangan takut, Sin Cu. Di sini tidak ada laut yang perlu ditakuti.?
?Aku juga takut kepada orang-orang jahat itu, Suhu.? Laut? Orang jahat? Anak ini tentu telah mengalami hal-hal yang hebat, pikir Bu Beng Siauw-jn. Tidak ada orang jahat di sini, Sin Cu. Kalau ada orang jahat, Pinto yang akan melindungimu dan mengusir orang-orang jahat itu.
?Aku takut kepada burung jahat itu, Suhu.?
?Burung itu tidak jahat, Sin Cu. ia tidak tahu bahwa engkau bukanlah makanan untuk anak-anaknya. Lihat, ia kini telah mendapat mangsa lain.? Tosu itu menuding ke arah sarang burung Rajawali. Sin Cu mengangkat mukanya memandang dan matanya yang kecil itu menunjukkan sikap ngeri melihat betapa Rajawali hitam tadi kini mencengkeram seekor kelEnci. KelEnci itu diturunkan di atas sarang dan kini paruh dan cakar Rajawali hitam mulai mencabik-cabik kelinci itu.
?Burung jahat...!? Sin Cu berseru dan menutupi mukanya dengan tangan. Hati anak kecil yang peka itu tidak tahan melihat kelEnci itu berkelojotan ketika kulit dagingnya dicabik-cabik dan berdarah-darah. Bu Beng Siauwjin menghela napas panjang dan berkata lirih, lebih kepada diri sendiri untuk menenteramkan hatinya yang juga terasa ngeri menyaksikan pemandangan itu, dari pada bicara kepada Sin Cu.
?Sama sekali tidak jahat. Kelinci itu memang mangsanya, makanannya. Kalau ia pulang ke sarangnya tanpa membawa mangsa, anak-anaknya akan mati kelaparan.la menangkap mangsa dan memakannya karena memang itu makanannya, penyambung hidupnya. la tidak dapat makan buah-buahan atau daun-daunan seperti kera atau kerbau. la memang diciptakan dalam keadaan seperti itu. Tidak, Rajawali, Harimau, Srigala, Burung pemakan bangkai dan segala binatang pemakan daging mentah, sama sekali tidak kejam atau jahat. Keadaannya sejak lahir memang mengharuskan ia makan mangsa seperti itu, kalau tidak mereka akan mati kelaparan. Mereka tidak sejahat manusia yang makan segala macam bukan karena tuntutan perut melainkan tuntutan mulut yang penuh nafsu ingin makan enak.?
Tentu saja Sin Cu tidak mengerti akan semua kata-kata itu, bahkan tidak memperhatikan, akan tetapi anak itu lalu bangkit dan mengambil beberapa buah batu. Dia melemparkan batu-batu itu ke arah sarang burung dan tiada hentinya mengatakan burung jahat! Tentu saja sambitan batu kecil itu tidak ada artinya bagi Rajawali dan anak-anaknya yang sedang makan daging kelEnci dengan lahapnya. Melihat ini, Bu Beng Siauwjin mengangguk-angguk dan wajahnya berseri gembira.
Hantu Rimba Larangan 2 Pedang Dewa Naga Sastra Bun Liong Sian Kiam Karya Rajakelana Tiga Mutiara Mustika 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama