Ceritasilat Novel Online

Taman Bermain Angker 1

Horor Taman Bermain Yang Angker Bagian 1


TAMAN BERMAIN YANG ANGKER Melani duduk termenung di anak tangga teratas di depan
rumahnya sambil mengamati truk dinas kebersihan kota
membersihkan jalan. "Ah sayang sekali aku tak dapat menghapus pikiran-pikiran
sedih dari benakku seperti truk itu menghapus debu-debu jalanan
dengan air," pikirnya dalam hati.
Melani mengangkat bahunya, "Ya Tuhan, cuaca hatiku benarbenar buruk hari ini, aku begitu rindu pada Pine River."
Pine River adalah kota kecil di daerah agak sebelah barat.
Melani dan ibunya baru saja pindah dari kota itu. Ingatannya pada
Pine River membuatnya terkenang pada ayahnya. Ayah Melani
meninggal dunia setahun yang silam dan Melani benar-benar merasa
kehilangan. Ia tahu ibunya telah berusaha keras mengusir rasa
kehilangan itu selagi mereka masih tinggal di kota kecil itu. Namun
tanpa Ayah, rasanya segala sesuatu tidak berjalan sebagaimana
mestinya. Suatu hari, Ibu mengatakan pada Melani bahwa sebaiknya
mereka pindah saja ke luar kota.
"Di sini terlalu banyak kenangan tentang Ayah, sehingga sulit
untuk melupakannya," ujar Ibu. "Ibu mendapat tawaran pekerjaan di
daerah timur, tepatnya kota Madison. Ibu pikir harus segera menerima
tawaran itu, kita akan memulai hidup baru di sana," lanjut Ibu lagi.
Mulanya ide itu terdengar begitu bagus dan menyenangkan,
namun kini Melani tak begitu yakin lagi. Madison memang terlalu
kecil bila dibandingkan dengan kota-kota besar di daerah timur laut,
tetapi tetap terlalu besar bagi Melani. Dan lebih dari itu agak
menakutkan! Melani masih duduk di depan rumahnya dan mulai berpikir
tentang sekolah barunya yang besar yang dalam waktu dekat harus
segera dimasukinya. Darahnya seolah tersirap, karena begitu merasa
cemas dan takut. Tetapi waktu ia mengungkapkan rasa takutnya itu
pada ibunya, Ibu segera membelai rambutnya yang panjang dan
berwarna cokelat seraya tersenyum menenangkan. "Segala sesuatu
yang belum kita ketahui hampir selalu menakutkan kita. Tetapi begitu
kita menghadapinya, ternyata tidak begitu menakutkan seperti yang
kita bayangkan semula," ujar Ibu.
Ya, Melani pernah mencoba mengalahkan rasa takutnya ketika
ia masih tinggal di Pine River. Suatu malam ia pernah bersepakat
dengan sahabatnya, Laura, mencoba melintasi daerah pekuburan di
Pine River pada malam hari.
Laura mengatakan tak ada yang perlu ditakutkan. Ia tidak
percaya adanya hantu. Sebaliknya Melani sebenarnya sangat takut
untuk pergi, tetapi ia memberanikan diri dan ikut bersama Laura.
Namun ketika mereka baru separuh jalan menyelusuri jalan
setapak di halaman pekuburan itu, Melani dan Laura mendengar
lolongan samar-samar dari arah kuburan-kuburan. Mereka saling
bertatapan dan kemudian serentak berlari ke tengah kota sekuat
tenaga. Ketika mereka akhirnya sudah aman berada di tengah
keramaian kota, Laura dengan napas terengah-engah berkata,
"Seharusnya kita tak perlu lari-lari tadi. Mungkin saja hanya suara
angin berdesir di antara daun-daun. Itu kan biasa terjadi."
Melani juga tahu bahwa ucapan Laura mungkin benar, tetapi
keyakinannya belum sepenuhnya pulih. Ia dan Laura tidak pernah
pergi ke pekuburan itu lagi.
Ah aku rindu pada Laura. Aku rindu pada semua temanku.
Ia memandang ke jalan raya dan terlihat sebuah mobil ambulan
meluncur memasuki lingkungan komplek perumahan. Suara sirenenya
bertambah keras, Melani menerka mobil itu tengah menuju rumah
sakit umum Madison, tempat Ibu mulai bekerja sebagai kepala
perawat. Ia membayangkan Ibu pun merasa kesepian di rumah sakit.
Ibu pasti tidak kesepian di sana. Paling tidak Ibu punya kerabatkerabat kerja yang baru dikenalnya.
Selagi Melani tenggelam dalam pikiran-pikirannya, ia tiba-tiba
mendengar suara di belakang punggungnya.
"Hei!" Ia menoleh ke belakang dan melihat seorang anak gadis
mengenakan kemeja wol putih dan celana jeans bertambal.
Rambutnya pendek, hitam dan wajahnya berwarna cokelat kemerahan
terkena sinar matahari dengan senyum nakal di ujung bibirnya.
"Aku melihatmu waktu kau pindah ke sini beberapa hari yang
lalu," sapa gadis itu. Kemudian ia menggerakkan kepalanya ke arah
rumah berjendela besar di seberang jalan.
"Aku tinggal di I A, bagian bawah apartemen."
Walaupun bangunan tempat tinggal Melani disebut apartemen,
sebenarnya hanya berupa bangunan kuno bertingkat tiga yang dibagi
menjadi beberapa flat. Dan bangunan itu hanyalah salah satu dari
sekian banyak bangunan yang terbuat dari batu bata cokelat di kanan
dan kiri jalan. "Namaku Elizabeth," lanjut gadis itu. "Elizabeth Campino,
tetapi orang-orang sih memanggilku Beth saja. Siapa namamu?"
"Melani Blaine," jawab Melani yang baru menyadari aksen
Beth yang lain dengannya.
"Dari kota mana asalmu?" tanya Beth.
"Pine River," jawab Melani, "Kota kecil di sebelah barat."
Beth tersenyum "Yah, aku ingat sekarang. Aksen bicaramu
seperti anak-anak di saluran TV Barat. Dan kau juga kelihatan seperti
mereka. Tinggi, langsing, yah begitulah."
Melani mengira Beth mengolok-oloknya, tetapi wajah Beth
terlihat begitu bersungguh-sungguh.
"Hei, aku tebak kau pasti bisa naik kuda," ujar Beth. Melani
membenarkan. "Wah, aku senang sekali kuda," seru Beth dengan pandangan
menerawang jauh. "Aku ingin sekali mempunyai kuda, tetapi ibuku
bilang memelihara kuda itu sulit sekali."
Melani menatap Beth. Ia tidak tahu harus berkata apa.
Kemudian Beth tertawa dan berkata, "Eh, aku cuma bercanda kok."
Melani merasa lebih rileks. Kalau memang orang-orang yang
akan ia hadapi seperti Beth, maka mungkin keadaannya tidak akan
terlalu gawat. Ia baru saja mau bertanya apakah Beth sudah pernah
menunggang kuda, waktu Beth berkata: "Aku mau pergi ke taman
bermain di tengah kota. Mau ikut?"
Melani ragu. Ibunya berpesan agar tidak beranjak jauh dari
rumah. Ia menatap Beth dan mengangguk.
"Tapi aku harus menelpon Ibu dulu ya."
*********** Melani dan Beth berjalan menuju ke box telepon umum di sudut
jalan. Ibu memberi Melani izin pergi ke taman bermain, tetapi harus
segera pulang sebelum sore hari.
Tak lama kemudian Melani dan Beth tiba di pagar taman kota.
Walaupun lokasi taman itu hanya berjarak sepuluh blok di sebelah
barat dari tempat tinggal mereka, suasana sekitarnya sangat berbeda.
Daerahnya tak terpelihara dan beberapa bangunan ditutup.
Di pintu masuk taman ada dua tiang batu yang besar. Di atas
setiap tiang itu ada dua patung elang dari batu yang sudah rusak.
Paruhnya patah seolah terkena pukulan palu. Semuanya berwarna abuabu seperti warna langit saat itu. Melani menyangka hari akan hujan.
Udara terasa diberati butir-butir air dan waktu ia memasuki taman itu,
Melani merasa didorong oleh suatu kekuatan gaib untuk masuk ke
dalam taman. Atau mungkin taman itu mencoba mendorongnya keluar
dari tempat itu. Dapatkah sebuah taman tidak menyukai manusia?!
"Cepat Melani!" teriak Beth. "Aku ingin menunjukkan padamu
taman bermain yang ada di dalam. Tempat itu baru selesai
direnovasi." Taman kota itu besar namun terlihat tak terpelihara seperti
daerah sekitarnya. Melani dan Beth melewati bangku-bangku taman yang penuh
tulisan. Beberapa di antaranya telah rusak.
Suasana taman itu menimbulkan rasa ngeri di hati Melani. Ia
tak melihat banyak orang di tempat itu, sehingga ia mulai ragu apakah
cukup aman berada di sana. Ia mendengar banyak hal yang buruk
terjadi di kota-kota. Waktu mereka hampir sampai di taman bermain yang
dimaksudkan Beth, jalan setapak menyempit dan semak-semak
seolah-olah mengurung mereka. Tiba-tiba saja Melani merasa begitu
ingin berbalik dan berlari dari tempat itu.
"Lewat sini!" suara Beth memotong jalan pikirannya. Melani
menengok ke arah yang ditunjuk Beth dan melihat taman bermain itu.
Tempatnya hampir tak terlihat karena terlindung semak-semak
belukar dan pohon-pohon besar yang mengelilinginya.
Walaupun taman bermain itu hanya berjarak satu blok dari
pintu gerbang taman kota itu, tetapi tidak nampak dari jalan raya
karena letaknya jauh lebih rendah. Mereka seolah-olah menuruni
lembah kecil. Bagi Melani tempat itu tidaklah menyenangkan bahkan
tampak terpencil dan kesepian.
Seperti bisa membaca pikiran Melani, Beth berkata, "Banyak
orang tua dan anak yang tidak suka datang ke tempat ini, karena
daerah ini agak sepi. Bu Prescott, guru kami, bilang kalau pekerjaan
merenovasi taman bermain ini hanya menghambur-hamburkan uang
saja." "Taman ini begitu berbukit-bukit," ujar Melani.
"Ya," jawab Beth. "Madison adalah kota yang berbukit-bukit,
terutama di kawasan taman ini."
Kemudian kedua matanya melebar dan berkata lagi sambil
menatap Melani lekat-lekat.
"Kami mempelajari sejarahnya di sekolah. Kami juga
mempelajari bahwa kawasan taman ini bertahun-tahun yang silam
merupakan daerah pekuburan orang Indian. Guru kami
memperkirakan masih ada sisa-sisa kerangka orang Indian di bawah
tanah di kawasan sini."
Beth tiba-tiba mengangkat tangannya ke wajahnya dan tertawa
menyeringai. "Tahu nggak kau Melani, seperti ini nih: huuuuu!" teriak
Beth menirukan teriakan orang Indian. Melani balik tertawa
menyeringai pada Beth, tetapi ia merasa bulu-bulu di tangannya
berdiri.ebukulawas.blogspot.com
Mereka terus berjalan menyelusuri jalan setapak yang berkelokkelok. Beberapa menit kemudian mereka tiba di pagar hitam kukuh
yang mengelilingi taman bermain itu. Melani menatap lukisan di
pagar, ada lukisan anak-anak yang bermain bola, tali dan ayunan.
Aneh, seharusnya mereka kelihatan gembira, tetapi mereka justru
tampak sedih dan kesepian.
Mungkinkah benda mati merasa kesepian?!
"Hei, Melani," teriak Beth. "Melamun ya!"
Melani tersenyum tawar dan menghela napas. Ia memandang ke
alat penyemprot taman di ujung taman dan melihat seorang wanita
muda berambut keriting sedang tersenyum pada anak laki-laki kecil
yang mengenakan celana pendek berwarna biru. Ia tertawa terkikikkikik ketika berlari-lari di bawah percikan air yang berasal dari alat
penyemprot. Anak itu dan ibunya adalah satu-satunya pengunjung
taman selain Beth dan Melani.
"Jika aku jadi ibunya, aku tak akan membawa anak itu ke
tempat ini," gumam Melani.
"Yah," jawab Beth. "Sebenarnya nggak apa-apa. Di sini ada
penjaga taman yang berjaga setiap hari." Beth menunjuk sebuah
bangunan kecil berdinding batu merah dan beratap sirap coklat.
Letaknya di dekat pintu gerbang utama.
"Namanya Toni," lanjut Beth. "Toni Sandez. Ia orang yang baik
dan juga punya banyak anak. Mereka kini sudah dewasa semua, tetapi
ia masih tetap menyukai anak-anak."
Ketika Beth dan Melani terus berjalan-jalan, Melani merasa ada
keheningan aneh yang mencekam. Ia bahkan tak dapat mendengar
langkah kaki di jalan yang beraspal beton. Bahkan dedaunan yang
biasanya bergerisik, kini diam tak bergerak. Semua berjalan perlahan
seperti Slowmotion di film-film.
Kemudian Melani merasa ada seseorang di belakangnya.
Seseorang yang memaksa masuk ke taman. Melani membalik badan
dan melihat berkeliling mencari siapa gerangan kiranya. Tetapi tak
ada seorang pun. Bulu kuduknya berdiri. Melani merasa ngeri dan
cepat berbalik, dan dilihatnya Beth tengah mengamatinya.
"Sukakah kau pada tempat ini, Melani?" tanya Beth. Melani
baru sadar Beth tengah mengajaknya bicara, tapi ia tak mendengar
sepatah kata pun. "Oh ya, suka," gumam Melani menutupi kengeriannya.
Beth menyeringai dan merentangkan kedua tangannya ke
samping seolah-olah ia pemilik taman dan menyilakan para tamunya.
"Taman bermain kita yang mungil," ujarnya.
Melani melihat sekelilingnya dan mengenali bahwa segala
permainan yang ada di situ masih baru. Ayunan besar terlihat kokoh
dan kuat. Tempat duduk dan kedua rantainya yang terbuat dari logam
bersinar dalam cahaya redup di hari yang mendung. Tiang-tiang
tempat memanjat dan bergantungan terbuat dari sejenis plastik keras
berwarna. Sudut-sudutnya yang lengkung terbuat dari bahan yang
sama. Waktu mereka melewati alat permainan yang baru, Beth
berteriak, "Ayo main luncuran!"
Beth berlari ke tempat luncuran dan memanjat tangga besinya.
Melani mengikuti tepat di belakangnya dan waktu sampai di atas, ia
melihat sekeliling. Dari tempatnya berdiri, Melani dapat melihat permainan
ayunan. Tiba-tiba, ia melihat tempat duduknya terayun! Sebuah
ayunan yang pelan saja. Ah, itu pasti hanya angin, pikir Melani.
Tetapi kemudian tempat duduk itu terayun-ayun ke depan dan ke
belakang dengan perlahan seolah-olah ada tangan gaib yang
mendorongnya. Baru saja Melani mau memperlihatkan ayunan aneh itu pada
Beth, tiba-tiba terdengar olehnya suara rintihan halus yang
menyedihkan. Sepertinya suara anak laki-laki kecil, tapi Melani tak
begitu yakin. Penuh rasa ingin tahu, Melani mencondongkan tubuhnya ke
depan dengan berpegang pada pagar kayu yang mengelilingi tempat
untuk meluncur. Ia mencari apakah ada anak kecil di bawah luncuran
itu. Tiba-tiba ia merasa pusing, sehingga hilang keseimbangan dirinya.
"Hei, hati-hati!" teriak Beth sambil menarik tubuhnya.
Melani membalik dan menatap Beth.
"Ada beberapa kecelakaan yang terjadi di taman ini sejak
dibuka. Dan kau kelihatannya seperti orang mau terjun saja," kata
Beth. "A - Aku melihat ayunan itu bergerak sendiri," ucap Melani
pelan. Beth menatapnya dan melihat ke tempat ayunan.
"Ah, aku tidak melihatnya bergerak," tukas Beth.
Melani melihat ke ayunan itu lagi. Ayunan itu tak bergerak.
"Sungguh, aku tak berkhayal!" tegasnya. "Ayunan itu benar-benar
bergerak. Aku yakin. Dan aku juga mendengar suara rintihan
seseorang. Apa kau tidak mendengarnya?"
Beth memandangnya dengan aneh, tetapi kemudian menghela
napas dan berkata, "Yah, aku juga pemah membayangkan melihat
piring terbang tetapi ternyata hanya balon anak kecil berwarna perak."
"Tapi ini lain," tukas Melani. "Aku benar-benar melihatnya
bergerak."

Horor Taman Bermain Yang Angker di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Beth baru membuka mulutnya mau mendebat lagi, waktu
terdengar suara teriakan dari bawah, "Hei Nak, hati-hati!"
Mereka melihat ke bawah dan Melani melihat seorang laki-laki
gemuk pendek berseragam hijau dengan rambut abu-abu dan kumis
hitam tebal. "Hei Toni!" teriak Beth.
"Oh kau Beth," ujar laki-laki itu. "Aku mendatangi kalian
karena hari sudah sore dan kalian masih ada di sini."
Ia lalu memberi isyarat dengan ibu jarinya ke belakang
bahunya. "Aku harus memeriksa bagian lain taman ini, jadi aku harus
pergi. Sebaiknya kalian tidak terus di sini."
Melani melihat berkeliling mencari ibu dan anak yang tadi
dilihatnya, namun mereka sudah tak ada. Kemudian tiba-tiba Melani
bertanya pada Toni, "Apa betul pernah terjadi kecelakaan-kecelakaan
di taman bermain ini?"
"Siapa yang mengatakan itu padamu?" Toni balik bertanya
seraya memandang Beth. "Ah sudahlah. Aku tahu siapa yang
mengatakan itu padamu." Ia lalu menghela napas. "Yah pernah sekali
waktu seorang anak jatuh dari tiang panjatan, atau tertabrak ayunan,
atau terjatuh dan tergores lututnya. Hal seperti itu kan biasa terjadi
setiap saat di semua taman bermain," jawab Toni.
"Tapi Beth bilang ada kecelakaan yang mengerikan."
Melani melihat Toni mengedip dan tak segera menjawab.
Ketika akhirnya ia bicara, jawabannya hanya, "Tidak ada yang perlu
ditakutkan." Kemudian ia menatap Beth dengan tajam. "Kau tak perlu
menakut-nakuti orang seperti itu Beth!"
Melani ikut menatap Beth. Benarkah Beth menakut-nakutinya?
Bagaimanapun ia belum begitu mengenal Beth. Mereka baru saja
saling berjumpa. Mungkinkah Beth memperolok-olok dan menakutnakutinya karena ia berasal dari luar kota. Namun Beth balik
menatapnya tanpa salah. "Sungguh, Melani," bantahnya. "Aku tak menakut-nakutimu.
Aku hanya mengatakan apa yang aku dengar dari anak-anak lain."
Melani haru saja hendak membuka mulutnya, ketika kemudian
Toni memutuskan pembicaraan, "Ayo, anak-anak! Aku harus pergi
dan aku haru akan tenang kalau kalian pulang." Toni memandangi
mereka dan bersikap seolah-olah ia tak akan mau pergi sebelum
mereka lebih dulu beranjak pulang.
Melani melirik jam tangannya dan baru sadar kalau hari telah
larut senja. Ia menoleh pada Beth dan berkata, "Aku harus pulang
sekarang. Ibuku menyuruhku tiba di rumah sebelum waktu makan
malam tiba." "Oh ya, aku sih terserah kau saja," sahut Beth seraya meluncur
ke bawah. "Aku kan hanya ingin menunjukkan tempat ini padamu.
Lain kali kita dapat kembali lagi ke sini," lanjutnya.
Melani menatap taman dan pagar hitam yang mengelilinginya,
kemudian ayunan itu.... Sekejap ia merasa tak yakin akan mau lagi
datang ke tempat itu. ************** Beberapa hari kemudian, Melani duduk di atas anak tangga di
depan rumahnya, menanti Beth. Hari ini hatinya begitu gembira.
Langit berwarna biru, matahari bersinar cerah dan yang paling penting
ia sudah merasa betah tinggal di Madison.
Walaupun ia masih merasa kehilangan Pine River, ia mulai
belajar melihat sisi-sisi kota Madison yang menyenangkan. Misalnya
ada begitu banyak ragam manusia di lingkungan tempat tinggalnya.
Sungguh menyenangkan melihat-lihat toko setempat dan makananmakanan yang tak pernah didengarnya, apalagi dirasakannya.
Bahkan dialek-dialek yang berbeda pun menyenangkan untuk
didengar, dan ia asyik sendiri menerka-nerka dialek dari daerah mana
saja yang didengarnya itu.
Ya, pikirnya, bagaimanapun aku mulai dapat menyukai
Madison. Bahkan ingatan tentang kunjungan ke taman bermain tidak
mengganggunya lagi, walaupun mungkin karena ia belum pergi ke
sana lagi. Ia dan Beth sedang sibuk mengerjakan hal-hal lain.
Namun hari ini mereka merencanakan berkunjung ke taman itu
lagi. Tepatnya Beth yang memutuskan pergi ke sana. Menurut Beth
walaupun agak segan pergi ke sana, tapi itulah satu-satunya taman
bermain di wilayah mereka. Karena ia tak punya alasan untuk
menolak, Melani menerima ajakan itu.
Sosok Beth yang sedang berjalan menghentikan lamunannya.
"Hai Melani!" sapa Beth sambil tersenyum nakal seperti biasa.
"Hai," balas Melani sambil bangkit dari tangga.
"Wah, kalau suasana cerah seperti ini, tepat ya pergi ke taman,"
ucap Beth. "Yah," jawab Melani.
Ketika kedua sahabat itu berjalan menuju taman, mereka
berpapasan dengan orang-orang yang hendak pergi bekerja. Walaupun
saat itu baru jam sembilan pagi, banyak rumah makan 'Fast food' yang
sudah siap melayani orang yang ingin makan siang.
Melani mencium aroma saus dan lada, hot dog dan bahkan
pizza. Ia menggelengkan kepala dan tersenyum. Bau-bauan seperti itu
menurutnya tidak cocok untuk pagi hari. Bau 'Pan cake', sirup mapel,
telur rebus atau biskuit panas yang baru dipanggang adalah bau-bauan
yang lebih tepat untuk pagi hari. Melani tersenyum lagi. Selamat
datang di kota besar. Mereka memasuki taman melalui pintu yang sama saat mereka
pertama kali datang. Beberapa saat kemudian mereka sudah
menyusuri jalan setapak yang penuh desiran angin menuju kawasan
taman bermain. Ketika hampir tiba di taman bermain itu, Melani mulai merasa
tidak enak. Ia lalu berjalan pelan-pelan dan berpikir tentang
pengalamannya di tempat itu belum lama ini.
Namun setelah mereka sampai dan tidak ada sesuatu yang aneh,
Melani mulai merasa tenang. Yah, mudah-mudahan saja tidak ada
apa-apa, pikirnya. Pagi itu taman bermain masih kosong. Tampaknya mereka satusatunya pengunjung saat itu. Sekejap Melani mulai merasa tegang
lagi, tapi kemudian di ujung taman di dekat alat penyemprot tanaman
dilihatnya Toni. Ia tengah bersandar dan bercakap-cakap dengan
seorang wanita yang duduk di bangku taman.
Wanita itu sudah lanjut usia dan mengenakan baju merah muda
berbunga-bunga. Ia memakai kaca mata yang bergagang warna biru
dan kedua matanya terlihat sangat lebar di balik kaca matanya.
Kelihatannya ia sedang berdebat dengan Toni. Ketika Melani
dan Beth mendekati mereka, barulah Melani sadar wanita tua itu
terlihat sangat ketakutan.
"Dengar Toni, aku melihat hantu di tempat ini!" Melani
mendengar wanita itu berkata ketika Toni melihat Melani dan Beth
mendekat. Toni mengangkat kedua bahunya dan membelalakkan
matanya seolah-olah berkata: "Kau percaya?"
Beth berseru, "Hei, itu kan nenek Emilia, si Nenek Tupai."
"Nenek Tupai?" tanya Melani heran.
"Ya, orang-orang menjulukinya begitu," jawab Beth. "Ia suka
datang ke taman pagi-pagi sekali untuk memberi makan tupai-tupai.
Semua tupai mengenalnya seperti binatang peliharaannya saja."
"Bagaimana kau bisa mengenalinya?" tanya Melani lagi.
Beth menghela napas seraya berkata, "Ia tinggal di sekitar
tempat tinggal kita. Ia suka meramal dan menyatakan dirinya
mengetahui banyak hal yang tidak diketahui orang lain."
"Hal-hal apa?" tanya Melani penuh rasa ingin tahu.
"Yah, seperti hantu dan mahluk halus. Ah, kalau aku sih tidak
percaya pada semua itu, ya kan?" tandas Beth.
"Ya, a... aku kira, aku juga tidak," ujar Melani ragu. Nenek
Emilia tiba-tiba mengangkat kepala dan memperhatikan mereka. Ia
masih nampak ketakutan, tetapi waktu melihat Melani dan Beth ia
mengangguk dan tersenyum.
"Hantu itu berwujud anak laki-laki kecil berusia kira-kira tujuh
tahun, mengenakan sepatu olah raga berwarna merah," lanjut nenek
Emilia kepada Toni. "Aku sedang memberi makan tupai-tupai di dekat
bangku ini waktu melihatnya berada di dekat ayunan itu. Aku heran
ada anak kecil seorang diri di taman, sehingga kupanggil. Dan waktu
ia melihat padaku dengan pandangan yang menusuk, barulah aku tahu
bahwa anak itu hantu!!"
"Bagaimana Anda bisa tahu?" tanya Melani yang tersirap
darahnya waktu mendengar Emilia berkata hantu itu berada di dekat
ayunan. "Oh, jelas aku tahu. Tubuh anak kecil itu transparan dan ada
lingkaran cahaya di sekitarnya. Ya lingkaran merah setan."
Ia terlihat gemetar waktu mengatakan itu dan menggenggam
kantong kertas berisi kacang di pangkuannya. Di sekitar bangku itu
berserakan kulit-kulit kacang.
"Kemudian apa yang terjadi?" tanya Beth.
"Ia lalu menghilang," jawab nenek Emilia. "Ya, tepat di depan
mataku ia menghilang."
"Hei," tukas Toni. "Kau mungkin berkhayal. Sudahlah
sebaiknya kau pulang dan beristirahat."
Nenek itu menggelengkan kepalanya dan berteriak, "Aku tidak
berkhayal! Itu arwah yang ingin menuntut balas! Pasti ia dulu tewas di
taman ini dan arwahnya berkeliaran."
"Banyak arwah di sini, aku dapat merasakannya. Arwah orangorang yang meninggal sekian masa silam. Tetapi mereka berada dalam
kedamaian. Sedangkan arwah anak laki-laki itu terlihat tengah
mencari sesuatu atau mungkin seseorang. Aku dapat merasakan
kemarahannya." Kedua gadis itu menatap Toni yang hanya menggelenggelengkan kepalanya seraya berkata, "Tidak... tidak ada yang mati di
tempat ini. Aku berani sumpah, taman bermain ini kan baru saja
dibuka beberapa bulan yang lalu."
" Yah, aku beri tahu saja ya," lanjut nenek Emilia tak
menghiraukan apa yang dikatakan Toni. "Jika arwah itu tak kunjung
mendapatkan apa yang diingininya, maka itu akan berakibat buruk...
sangat buruk." Toni membimbing dan mengajak nenek Emilia beranjak untuk
pulang."Ayolah ke tempatku dan akan kubuatkan susu cokelat panas
untukmu," ujarnya lembut.
"Tidak, aku mau pulang saja," tukasnya. Kemudian nenek
Emilia menoleh ke Melani dan Beth.
"Jika kalian mau tahu apa yang sebaiknya kalian lakukan, aku
beritahu sebaiknya kalian pulang saja," ujar nenek Emilia.
Usai mengatakan hal itu ia bangkit meninggalkan taman
bermain tersebut. Ketika nenek Emilia itu telah berlalu Melani
memperhatikan Toni mengerutkan dahi dan air mukanya sulit diterka.
Melani merasa bahwa Toni mungkin tahu apa yang terjadi, atau ia
dapat menerkanya. "Toni," tegur Melani. "Apakah Anda yakin sebelum ini tidak
pernah terjadi sesuatu di taman bermain ini?"
Sebelum Toni sempat menjawab, Beth sudah menukas
pertanyaan Melani, "Ah tentu saja tidak. Kalau ada pasti kita sudah
mendengarnya dari masyarakat di sekitar tempat tinggal kita."
"Ya benar," ujarToni. "Tetapi...."
"Tetapi apa?" kejar Melani.
"Ya, aku tiba-tiba teringat suatu kejadian berapa tahun yang
silam waktu taman bermain ini belum lagi dipugar."
Toni pun mulai bercerita, "Waktu itu aku masih remaja belasan
tahun, ketika taman bermain yang lama masih ada di tempat ini kirakira empat puluh tahun yang lalu."
Melani dan Beth kemudian duduk di atas bangku yang baru saja
ditinggalkan Emilia. Toni duduk di ujungnya, di sebelah kanan
mereka. "Suatu hari terjadi kecelakaan tragis di sini. Aku baru
mendengarnya kemudian dari orang-orang yang tinggal di sekitar
sini." "Kecelakaan apa?" tanya Melani tak sabar.
"Seorang gadis sebaya kalian sedang mengayun adik lakilakinya tinggi-tinggi, tiba-tiba rantainya patah. Anak laki-laki itu
terjatuh dan kepalanya membentur tanah dengan kerasnya."
"Apakah ia terluka," tanya Beth.
Toni menggelengkan kepalanya dengan sedih. "Mereka bilang
anak itu langsung tewas."
Kemudian ia menengadah ke langit dan bergumam, "Rasanya
aku ingat peristiwa itu terjadi kira-kira di saat musim panas seperti
sekarang ini." Ia menundukkan kepala dan menggosok-gosok
dagunya. Ia masih terus bercerita. "Kira-kira setahun berikutnya,
kakak perempuannya meninggal dunia pula. Orang yang mengenalnya
mengatakan ia meninggal karena terlalu sedih dan terus-menerus
menyalahkan dirinya atas kecelakaan itu."
"Benarkah begitu?" bisik Melani.
Toni mengangguk dan memandang mereka lagi. "Taman
bermain itu segera ditutup, seminggu setelah peristiwa tragis tersebut
terjadi. Hampir semua alat permainan yang ada sudah terlalu tua
sehingga tidak aman lagi untuk digunakan.
"Tadi menurutmu ini adalah musim panas pertama sejak taman
bermain ini dibuka lagi?" tanya Melani lagi.
"Ya," jawab Toni.
"Hei, aku kira nenek Emilia baru saja melihat hantu anak lakilaki itu," seru Beth. Matanya terbuka lebar dan bibirnya tersenyum
nakal. Toni melihat pada Beth sejenak dan bergurau, "Oh jelas, ia
berkeliaran di sini selama empat puluh tahun menunggu saat yang
tepat untuk menakut-nakuti Emilia."
Beth tertawa dan Toni tersenyum sambil menggelenggelengkan kepala. Tetapi Melani hanya memandang berkeliling. Ia tak
yakin apakah hal itu memang patut dijadikan bahan tertawaan.
Tak lama kemudian taman bermain dipenuhi para pengunjung.
Melani dan Beth memutar radio kecil milik Beth dan
mendengarkannya melalui "headphone". Suara radio dan teriakan
anak-anak yang tertawa dan riang bermain di bawah sinar matahari
membuat pikiran suram Melani sirna.
Melani gembira pagi itu berlalu tanpa ada kejadian yang tidak
diinginkan... kecuali kalau ia mengambil kejadian ketika seorang
gadis kecil terpeleset dari tiang-tiang panjatan dan menuduh anak lain
mendorongnya. Namun semua orang menyaksikan ia terpeleset
sendiri. Itu hanyalah kecelakaan. Anak gadis kecil itu tidak benarbenar terluka, hanya kaget.
Siang harinya, Melani dan Beth keluar dari taman, membeli
makanan di mobil penjaja makanan. Satu-satunya penjaja yang
terdekat adalah seorang laki-laki berkulit gelap dan bertopi putih yang
menjual hot dog. Melani dan Beth masing-masing membeli sebuah
dan segelas minuman soda.
Mereka kembali ke taman dan asyik mengunyah hot dog yang
panas, lembut dan ditaburi garam dan serta sesekali meneguk
minuman soda mereka. Ketika mereka tiba kembali di taman, sudah
banyak pengunjung yang pulang. Hanya sedikit yang masih tinggal.
Melani dan Beth berjalan menuju ke ayunan. Mereka duduk di
bangku ayunan dan menggoyang ayunan itu pelan-pelan sambil
menghabiskan makanan dan minuman mereka. Usai meneguk sisa
minuman sodanya yang terakhir, Melani melihat berkeliling mencari
tong sampah untuk membuang gelas plastik. Ketika ia masih dalam
keadaan berdiri menoleh ke belakang, tiba-tiba ia melihat ayunan itu
melayang ke arahnya. Seolah-olah didorong dengan kerasnya oleh
seseorang. Syukurlah ia masih sempat melompat menghindar pada
detik-detik terakhir. Kalau tidak, kepalanya tentu akan terbentur
bangku ayunan dari logam berat itu.
Ia menoleh dengan berang ke arah Beth dan memekik, "Apa
kau gila, Beth! Lelucon apa yang baru kau kerjakan! Aku bisa terluka
parah kalau sampai kena!"
Beth menatapnya tercengang-cengang dan mengangkat kedua
lengannya menunjukkan keputusasaannya. "Aku tak melakukan apaapa. Sungguh, aku tak bohong!"


Horor Taman Bermain Yang Angker di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh ya?" jerit Melani lagi. "Jadi ayunan itu terdorong dengan
sendirinya. Begitu ya!?"
Pipi Beth terlihat memerah dan ia mulai marah juga,
"Barangkali saja memang hantu!"
"O... ya!" teriak Melani masih penuh amarah. "Aku kira kau
memang benar-benar menyangkaku pengecut. Kau mungkin diamdiam menertawakanku selama ini. Kau menakut-nakuti aku tentang
kuburan orang Indian, hantu-hantu dan semacamnya itu."
"Tidak, tak pernah!" Beth membantah. "Tapi jika aku benarbenar mau, itu sangat mudah. Soalnya kau benar-benar kampungan,
mudah percaya pada apa pun!"
"Oh begitu, dan aku pikir kau memang anak jalanan yang penuh
tipu daya!" ucap Melani ketus. "Kalau semua anak kota memang
seperti kau, aku bersyukur aku ini anak kampung!" jerit Melani pula.
"Ya, aku juga senang kau sadar bahwa kau anak kampung.
Kenapa tak kembali saja ke kampungmu?!" balas Beth tak kalah
ketusnya. Ucapan terakhir Beth membuat Melani benar-benar merasa
tercekat tenggorokannya. Ia berusaha keras untuk tidak menangis
ketika Beth kemudian berlari meninggalkannya.
Melani duduk di atas ayunan dan melihat Beth berlari
menyusuri jalan setapak menuju ke luar taman. Ketika ia memikirkan
pertengkaran yang baru saja terjadi, ia mulai sangsi kalau Beth
berbohong. Ia sebenarnya tak percaya Beth dengan sengaja akan
melukainya. Tapi kalau bukan Beth, siapa lagi yang mungkin
mendorong ayunan itu? Melani menghela napas dan melihat berkeliling. Panas matahari
terasa begitu menyengat. Ia kemudian turun dari ayunan dan berjalan
meninggalkan taman bermain itu.
************ Keesokan harinya, Melani memutuskan ikut ibunya pergi ke
rumah sakit karena ia tak yakin akan bertemu dengan Beth. Ibunya
sedang mendapat giliran tugas jaga di siang hari, sehingga mereka
baru meninggalkan rumah jam setengah dua belas siang.
Ketika mereka melewati kotak surat di depan rumah, Melani
melihat secarik kertas putih menyembul ke luar dari celah kotak surat
itu. Ia menarik dan membuka kertas itu. Wajahnya menjadi cerah
ketika tahu surat itu dari Beth.
Ketika ia dan ibunya berjalan menuruni tangga, Ibu bertanya,
"Apa itu sayang?"
"Ah cuma pesan dari teman kok," jawab Melani seraya
memasukkan surat itu ke saku belakang celana jeansnya. "Bacanya
nanti saja ah," tambahnya pula.
Ketika mereka tiba di rumah sakit, Melani memasuki ruang
tamu utama rumah sakit itu. Hawanya sejuk menyenangkan dan
penataannya terlihat sangat artistik dan modern dengan pohon-pohon
hijau besar, karpet berwarna biru dan gambar yang berwarna-warni di
dinding putih. "Aku di sini cuma sebentar lho Bu!" ujarnya waktu ibunya
membungkuk untuk menciumnya.
"Baiklah sayang," jawab Ibu. "Jangan lupa ya, nanti kita samasama datang ke acara temu warga di lingkungan kita."
Temu warga! Melani terperanjat, ia lupa pada acara itu. Ya,
acara itu adalah acara ramah tamah antar warga di blok tempat tinggal
Melani. Mereka akan berkumpul di salah satu jalan terbesar di
lingkungan tempat tinggal mereka. Ada parade mobil dan makananmakanan yang enak.
Melani ragu apakah ia dapat pergi bersama Beth karena mereka
baru saja bertengkar. Melani mengeluarkan surat dari Beth dan duduk
di sofa berwarna oranye dan mulai membaca...
Melani yang baik, Hai! Aku sedih dan menyesal bila ingat pertengkaran kita
kemarin. Aku ingin sekali segera bertemu denganmu pagi ini, tapi aku
harus pergi pagi-pagi sekali dengan ayahku untuk membeli sepatu
sekolah sebelum ia berangkat ke kantor. Setelah itu aku masih harus
membelikan pesanan ibuku. Aku tidak tahu kapan aku pulang.
Bagaimana kalau kita bertemu di taman bermain dan dari tempat itu
kita pergi bersama-sama ke acara temu warga. Oke? Aku akan ada di
sana sekitar jam lima sore.
salam manis Beth N.B. Kita berteman lagi ya!
Melani gembira sekali Beth masih mau berteman dengannya. Ia
melompat dari sofa dan memasukkan kembali surat itu ke kantong
celana panjangnya. Arloji di tangannya terlihat sudah menunjukkan
jam dua belas lewat beberapa menit. Sekarang ia akan ke
perpustakaan, membaca buku di sana dan setelah itu baru bertemu
dengan Beth di taman bermain. Tiba-tiba ia merasa sedikit ngeri. Ah,
taman bermain yang sunyi itu, pikirnya. Alangkah baiknya kalau Beth
memilih tempat bertemu yang lain. Tapi ia kemudian sadar harus
segera membuang rasa takutnya. Itu kan hanya sebuah taman bermain
dan tak perlu ditakuti. Lagipula, ia yakin akan ada orang-orang lain di
tempat itu, paling tidak tentu ada Toni.
Tanpa berpikir tentang hal itu lagi, Melani mendorong pintu
kaca rumah sakit dan bergegas menuju perpustakaan.
Beberapa jam kemudian ia sudah asyik membaca buku horor.
Begitu ia mulai membaca halaman pertama, ia seolah-olah terbius.
Ketika sampai pada bagian klimaks cerita itu, Melani menggigit
bibir bawahnya. Darahnya tersirap dan jantungnya terasa berdetak
lebih cepat. Usai membaca halaman terakhir ia menengadah dan
menggeleng-gelengkan kepalanya.
Aduh, ngerinya! Tokoh gadis muda dalam cerita itu nyaris
tewas akibat ulah hantu yang mengejar-ngejarnya. Namun syukurlah,
temannya datang tepat pada waktunya.
Ya Tuhan, ia benar-benar lupa akan janjinya dengan Beth. Ia
mencocokkan arloji di tangannya dengan jam besar di dinding
perpustakaan dan melihat hari sudah pukul setengah enam sore.
Segera diletakkannya buku yang baru dibacanya dan berlari ke taman
bermain. Pada saat Melani sampai di taman, matahari sudah mulai
menggelincir ke barat. Ia terus berlari menuruni jalan setapak ke arah
taman bermain. Dilihatnya masih ada beberapa orang pengunjung di
taman itu dan bahkan beberapa di antaranya adalah tetangganya. Ia
lalu berjalan perlahan dan melambaikan tangannya ke beberapa orang
yang dikenalnya. Mungkin nanti ia akan berjumpa lagi dengan mereka
di acara temu warga. Ia melihat berkeliling, tetapi tak dilihatnya Beth. Toni juga tak
ada. Mungkin ia sedang bekerja di bagian lain taman itu, pikirnya.
Melani lalu memutuskan untuk menunggu di bangku dekat pintu
masuk sampai salah satu dari dua orang itu muncul.
Pandangan mata Melani menerawang jauh mencari Beth atau
Toni. Dirasakannya sinar matahari sore begitu hangat di kepala dan
bahunya ketika ia menyandarkan badannya ke bangku dan
merentangkan kedua kakinya ke depan. Ia memejamkan kedua
matanya sejenak dan menghela napas. Didengarnya tawa riang anakanak yang bermain ayunan. Entah kenapa tiba-tiba tubuhnya terasa
memberat, tetapi itu tak dipedulikannya. Segala sesuatu terasa begitu
damai, lembut dan kepalanya terasa memberat juga.
************* Melani terbangun dan yang pertama-tama dilihatnya bintang di
langit yang biru tua. Ah, aku pasti tertidur barusan, pikir Melani.
Ketika ia melihat ke arah taman bermain yang gelap, tak dilihatnya
seorang pun di sana. Taman itu benar-benar telah lengang! Di mana
Beth? Apakah ia kembali mempermainkan aku? Pikirnya.
Ah tidak, apa pun yang terjadi, Melani yakin Beth teman
baiknya. Tiba-tiba ia teringat Toni dan mencarinya dengan matanya,
tetapi tetap tak terlihat juga.
Aku harus segera keluar dari tempat ini. Ia melompat dari
bangku taman dan baru mau berlari pulang waktu ia mendengar
samar-samar tawa seorang anak kecil. Ketika ia berbalik dan melihat
berkeliling, tampak bayang-bayang seseorang. Karena gelap, sulit
baginya untuk melihat dengan jelas.
"Kaukah itu Beth?" teriaknya. Suaranya terdengar melengking
ketakutan di tengah taman bermain yang lengang.
"Ayolah, Beth. Jangan berolok-olok!" teriaknya dengan suara
bergetar. "Aku mau pulang sekarang."
Jawaban yang terdengar hanya suara kikikan tawa. Tetapi kali
ini terdengar agak jelas. Seolah-olah suara anak kecil yang sedang
bergurau dengan binatang peliharaannya.
Ah anak ini mungkin sengaja memperolok-olokku. Ia yakin
bahwa itu bukan Beth. Baru saja ia mau berteriak lagi, ketika tiba-tiba
terlihat olehnya anak kecil itu berdiri di atas permainan luncuran.
Rambutnya yang pirang dan ikal jatuh di keningnya. Ia tampak
tersenyum menyeringai. Melani melihat berkeliling mencari orang dewasa yang
mungkin menyertai anak kecil itu, tetapi tak seorang pun terlihat. Ia
merasa heran mengapa anak sekecil itu seorang diri di taman pada saat
hari sudah malam. "Hei!" teriak Melani. "Kamu sendirian ya!?" Anak itu tak
menjawab dan malah tertawa terkikik-kikik lagi seraya memberi
isyarat pada Melani untuk mendekat. Melani melihat berkeliling lagi
mencari orang lain, tetapi tak ada siapa pun. Ia lalu berjalan menuju ke
tengah-tengah taman bermain dan menengadah ke atas, ke anak kecil
itu. "Hei, dengar anak kecil!" teriaknya. "Lebih haik kamu pulang
saja, hari sudah malam!"
Anak laki-laki kecil itu menatapnya dari atas. Matanya kelam
dan mulutnya menyeringai aneh. Melani merasa tercekat, tetapi anak
itu kemudian meluncur dan menghilang dari pandangan.
Ditunggunya sampai anak itu tiba di bawah, tetapi tak juga
tampak. "Hei!" panggil Melani lagi. "Aku pikir, kita harus benar-benar
pergi dari taman ini sekarang juga. Hari sudah malam!" Tetapi hanya
keheningan mencekam sebagai jawabannya.
Bulu kuduknya berdiri ketika ia berjalan menuju ujung papan
permainan luncuran itu. Tidak ada siapa-siapa di sana! Tiba-tiba ia
mendengar suara memanggil, "Selli, aku di sini!"
Melani memutar kepalanya ke arah suara dan melihat anak itu
sudah berada di bangku ayunan yang besar. Bagaimana ia bisa tibatiba berada di sana tanpa terlihat olehnya? Dan kini ia memanggil
seseorang bernama Selli. Di mana Selli itu berada?
Anak laki-laki itu melambaikan tangan padanya dan berseru
lagi, "Di sini, Selli. Aku di sini!"
Barulah Melani menyadari yang dimaksud Selli adalah dirinya
sendiri. Ia menyangkaku Selli, pikirnya.
Melani berjalan menghampiri anak laki-laki kecil itu. Tapi tibatiba saja ia menghentikan langkahnya. Ada sesuatu yang tidak
disukainya pada diri anak itu, namun ia terlihat begitu sedih dan
kesepian. Melani kemudian berjalan menghampiri lagi. Biar
bagaimana, aku tak mungkin meninggalkannya seorang diri di tempat
ini, pikirnya. Ketika Melani sampai di dekat ayunan itu, anak laki-laki kecil
itu menggerak-gerakkan kedua kakinya ke depan dan ke belakang.
"Ayunkan aku, Selli," pintanya sambil duduk di atas bangku
ayunan itu. "Hei dengar! Kau harus ikut aku keluar sekarang juga!" tukas
Melani. "Apa kau tak tahu taman ini dapat membahayakanmu jika
bermain di malam gelap?"
Tetapi anak itu kelihatan tidak menghiraukan ucapan Melani. Ia
malah menatap lekat-lekat kepada Melani dengan matanya yang aneh
berwarna biru pucat. Ia berkata, "Ayunkan aku, Selli!"
"Baiklah, kuayun kau sekali saja ya, setelah itu kita pergi!"
Melani akhirnya tak tega dan mengalah.
Tetapi anak itu tiba-tiba malah melompat dari ayunan dan
berkata, "Eh, tunggu! Aku saja deh yang mengayunmu."
Melani memandang anak laki-laki kecil itu dengan heran. "Kok,
anak ini tiba-tiba berubah pikiran," gumamnya.
Anak itu tersenyum manis dan berkata, "Ayolah Selli. Sekali
ayun saja. Setelah itu kau dapat pergi bersamaku."
Melani merasa aneh mendengar ucapan anak itu, tetapi ia naik
juga ke ayunan itu. Pada saat ia memenuhi permintaan anak itu, suasana hening
terasa mencekam di taman bermain itu. Melani tak mendengar lagi
suara lalu lintas di jalan raya di depan taman. Tiba-tiba ia teringat
suasana hening mencekam ini sama seperti yang dirasakannya dulu
ketika ia pertama kali datang bersama Beth ke taman itu.
Kelihatannya, seluruh dunia seolah-olah berhenti berputar.
Melani berbalik melihat ke anak laki-laki itu yang telah siap
mengayunnya dari belakang seraya berkata, "Hei, aku tak mau main
ayunan ah. Aku mau pergi sekarang juga dan kalau kau tak mau ikut,
aku akan tinggalkan kau sendirian saja di sini!"
Namun ketika Melani hendak turun dari ayunan, tiba-tiba kedua
kakinya terasa kaku dan tak dapat digerakkan. Sekujur tubuhnya
seolah-olah menjadi lumpuh oleh kekuatan gaib yang aneh agar tetap
berada dalam posisi itu terus.
"Ya, seperti kau dulu begitu saja meninggalkanku," kata anak
laki-laki itu mengejutkan Melani.
"Apa...." Melani hendak bertanya apa maksud ucapannya, tetapi
anak itu sudah mengayunkannya dari belakang dengan kuatnya,
hingga ia tak sempat lagi bernapas.
Segera ia melambung ke udara dan ia terkejut menyadari anak
laki-laki itu memiliki kekuatan yang luar biasa. Ketika ia melayang ke
bawah lagi, anak itu mengayunkannya lebih kuat lagi. Ia pun
melambung kembali ke udara, kali ini lebih tinggi lagi dan ia masih
tak dapat menggerakkan tubuhnya.
Ayunan itu kembali ke anak laki-laki itu lagi dan ia pun
mendorong lagi sekuat tenaga. Melani merasa seolah-olah jantungnya
terlepas, ketika ia kembali melambung ke atas. Sangat cepat! Lebih
cepat dari yang mungkin dapat dicapai dengan ayunan itu menurut
perkiraannya. Ayunan itu seolah-olah digerakkan oleh mesin yang
tersembunyi dan memiliki kekuatan luar biasa.
Ia berteriak karena merasa ngeri, ketika ia melihat langit dan
angin terasa berdesir di atas kepalanya.
"Bukankah kau suka diayun tinggi-tinggi, Selli?" teriak anak
itu. "Tinggi... tinggi sekali seperti layang-layang."
Ketika pada saat melambung kepalanya hampir setinggi tiang
ayunan itu, Melani melihat ke anak laki-laki di bawah dengan penuh
ketakutan. Anak itu berdiri agak di samping ayunan dan sudah
bersiap-siap mengayunnya lagi. Tiba-tiba Melani melihat lingkaran
merah yang aneh di sekeliling anak itu. Seperti lingkaran yang biasa
digunakan untuk menggambarkan orang yang sudah mati. Lingkaran
merah itu mengelilingi anak laki-laki itu dari kepala sampai kaki.
Kaki! Sekarang Melani baru sadar melihat sesuatu yang
sebelumnya tidak diperhatikannya. Tiba-tiba rasa takut yang luar biasa
terasa seperti arus listrik yang mengalir ke sekujur tubuhnya. Ya, anak
laki-laki itu memakai sepatu olah raga berwarna merah. Tepat seperti
yang dikatakan Emilia. Pasti anak laki-laki itu pula yang dilihat
Emilia dan yang disebutnya hantu.
Ketika Melani kembali lagi melayang ke bawah, anak itu
kembali mengayun dengan kuatnya. Melani berpikir pasti ia akan
terbang melampaui tiang ayunan itu. Didengarnya tiang itu berbunyi
seolah akan patah. Melani berdoa semoga tiang itu masih cukup kuat.
Melani menjerit. Tetapi anak laki-laki itu hanya tertawa dan
berkata, "Bukankah menyenangkan Selli?" Tiang itu kembali
terdengar berderit, ketika ayunan itu melambung lagi.
"Berhenti!" jerit Melani. "Apa kau gila? Kau mau
membunuhku, ya?" Anak itu tak menjawab, ia malah tertawa melengking dan


Horor Taman Bermain Yang Angker di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyeramkan. "Kau yang membunuhku, Selli," jeritnya terdengar bercampur
tangis. "Dan kau meninggalkanku seorang diri di tempat ini!"
Tiba-tiba saja Melani tersadar, Selli itu tentunya nama kakak
perempuan anak laki-laki itu yang secara tidak sengaja telah
menyebabkan kematiannya. Ketika pikirannya sampai ke hal itu, barulah ia sadar kekuatan
gaiblah kiranya yang telah memaksanya tetap terpaku di ayunan itu.
Tiba-tiba ia terayun kembali begitu cepat dan tingginya sehingga ia
mengira akan terlempar. Melani berusaha sekuat tenaga untuk terus berpegangan pada
rantai di kedua sisi bangku ayunan itu, tetapi tangannya licin karena
berkeringat. Pada saat itu ia merasa seolah-olah ada yang berusaha
mendorongnya, setelah sebelumnya memaksanya untuk terus berada
di bangku ayunan itu. Ayunan itu melambung lagi ke atas dan Melani hampir
kehilangan keseimbangan, tetapi pada saat-saat kritis itu ia masih tetap
dapat bertahan. "Berhenti!" jeritnya. "Mengapa kau lakukan semua ini!?"
Sebagai jawabnya anak laki-laki itu tertawa melengking dan
siap mengayunkan lagi. Melani merasa takut, tapi kini ia juga merasa
marah. Kemarahannya ternyata mengusir rasa takutnya begitu cepat.
Mukanya memerah dan jantungnya berdetak jauh lebih cepat.
"Apa yang lucu, sehingga kau tertawa begitu?" jeritnya marah.
"Apa menurutmu lucu, menakut-nakuti dan mencoba mencelakakan
orang lain?" Tetapi jawabannya hanyalah dorongan yang lebih keras lagi.
"Sekalipun kau hantu, aku pikir kau hantu yang jahat!" teriak
Melani marah. Kemarahannya menghilangkan rasa takutnya sama
sekali. Kembali ia merasakan kekuatan luar biasa yang mendorong
ayunan itu dan kali ini ia yakin telah melampaui tiang ayunan tersebut.
Saat itu pula ia sadar tak dapat bertahan terus. Kedua tangannya terasa
terlalu licin dan ia merasa terlalu lemah untuk dapat bertahan lebih
lama. Ketika ayunan itu melayang ke bawah lagi, Melani pasrah
menanti dorongan yang lebih keras lagi dan pasrah pula seandainya
kali ini ia benar-benar akan terlempar dan terjatuh.
Tetapi aneh! Tak ada dorongan sama sekali. Tak ada yang
mengayunnya lagi. Malah ia dapat merasakan ayunan itu melambat.
Apa yang terjadi? Melani menoleh ke belakang dan melihat figur anak perempuan
yang dikelilingi cahaya dan ia berdiri di samping anak laki-laki itu.
Anak perempuan itu seusia dengannya dengan rambut pendek
berwarna coklat dan berbaju kuning.
Anak perempuan itu membungkuk dan bercakap-cakap dengan
anak laki-laki itu. Melani menarik napas lega ketika akhirnya ayunan
itu benar-benar melambat sehingga ia dapat menjejakkan sepatunya ke
tanah. Ia berusaha menghentikan ayunan itu dan melompat.
Ketika ia mencoba berdiri ternyata kedua tungkai kakinya terasa
begitu lemah sehingga tak kuat menyangga tubuhnya. Ia beringsut ke
dekat pagar dan berbaring di atas rerumputan di sebelah ayunan.
Ditatapnya dua figur bercahaya di sisi lain ayunan itu. Melani
baru sadar, cahaya yang mengelilingi anak perempuan itu tidak sama
dengan yang ada di sekeliling anak laki-laki itu. Cahaya itu terlihat
begitu lembut, putih dan berkesan damai.
"Tomi, kau harus tinggalkan gadis itu!" didengarnya anak
perempuan itu berkata dengan suara yang manis dan lembut.
"Dia bukan aku, Tomi. Lagi pula tak baik mencoba membalas
dendam pada siapa pun. Kau adikku dan aku menyayangimu. Aku
datang untuk mengajakmu pulang."
Melani merasa melayang, ketika ia menyaksikan figur kakak
perempuan Tomi membelai rambut Tomi dan memeluk bahunya.
Tiba-tiba dilihatnya lingkaran cahaya merah di sekitar tubuh Tomi
berubah warna menjadi merah muda dan akhirnya putih seperti cahaya
yang ada di sekeliling kakaknya. Dilihatnya anak laki-laki itu
menitikkan air mata ketika ia memandang kakaknya.
"Aku mencarimu setelah kau tinggalkan aku seorang diri di
taman bermain ini," ujarnya. "Tetapi aku tak dapat menemukanmu
sekian lama karena taman bermain tidak ada lagi. Kemudian tiba-tiba
aku melihat taman bermain ini ada lagi di sini dan aku datang kembali
untuk mencarimu. Aku sebenarnya tidak mau berada di sini. Aku
merasa sedih dan ingin pulang. Tapi kulihat anak-anak begitu riang
gembira bermain. Itu benar-benar tidak adil! Mereka begitu gembira,
sementara aku sangat sedih! Karena itu aku menjahati mereka agar
mereka sama sedihnya denganku."
Selli mencium pipi adiknya dan berkata lembut, "Kau tak perlu
sedih lagi sekarang," ujarnya. "Aku datang untuk menjemputmu
kembali bersamaku." Selli menggandeng tangan adiknya dan membimbingnya
menjauhi ayunan itu. Ketika mereka berjalan, kedua figur itu kelihatan
bersatu sehingga cahayanya menjadi begitu benderang. Melani
terpaksa menutup matanya karena tidak kuat menentang cahaya itu.
Ketika ia membuka matanya lagi, kedua figur bercahaya itu telah
hilang. Melani menyandarkan kepalanya pada pagar dan
menghembuskan napas lega.
"Kaukah itu, Melani?" Panggilan itu membuatnya mengangkat
kepalanya dan melihat ke arah gerbang taman bermain.
Tampak Beth dan Toni bergegas ke arahnya dengan pandangan
penuh kekhawatiran. Ketika mereka akhirnya sampai ke dekatnya,
Toni membungkuk dan menegurnya, "Kau baik-baik saja, Nak?
Kelihatannya kau seperti baru melihat hantu."
Melani menengadah memandang mereka dan tiba-tiba saja
tertawa dan terus tertawa tanpa dapat dikendalikannya.
"Hei... hei tenang Melani. Kami di sini sekarang," ujar Beth
berusaha menenangkan. Melani berusaha keras menahan tawanya dan akhirnya berkata,
"Tidak usah khawatir. Aku hanya...." digelengkannya kepalanya.
Mereka tidak akan mempercayaiku, pikirnya.
Toni dan Beth menolongnya agar dapat berdiri.
"Bagaimana kalian tahu aku masih di sini?" tanya Melani.
"Aku mula-mula pergi ke acara temu warga itu," Beth
menjelaskan. "Aku terlambat sekali pulang ke rumah, sehingga
kupikir kau pasti segera pergi sendiri setelah lama menungguku."
"Ya," Toni menambahkan. "Ketika aku melihat Beth di sana,
kukatakan padanya aku mengunci taman itu lebih awal agar dapat
pergi ke acara temu warga. Ia hampir saja menginjak kakiku karena
terperanjat." Beth mengangguk, "Aku mencarimu di mana-mana dan tidak
melihatmu berada di acara itu. Maka aku pikir kau pasti masih berada
di taman dan mungkin saja telah terjadi sesuatu yang buruk pada
dirimu." Kemudian Beth memandang wajah Melani yang penuh butirbutir keringat. "Apa yang sebenarnya terjadi pada dirimu, Melani?"
tanyanya. "Aku akan menperitakannya nanti padamu, tetapi pasti kau
tidak mempercayaiku " ujar Melani. "Namun satu hal kuberitahukan
dulu padamu, hantu-hantu itu kelihatannya jauh lebih menakutkan jika
belum melihatnya." "Oh ya?" ucap Beth keheranan. Melani dapat membaca dari
wajahnya kalau sebenarnya Beth tidak memahami apa yang
diucapkannya. Melani tersenyum menyeringai.
"Yah!" ujarnya, "Aku pikir aku akan dapat menghadapi
sekolahku yang baru sama baiknya seperti aku telah dapat menerima
hal-hal lain di kota ini."
"Nah begitu dong!" seru Beth dengan kocaknya. Ia kembali
bergurau dengan gerakkan mempersilakan tamu. "Selamat datang di
kota ini!" Ketiganya berjalan keluar dari taman bermain itu melewati
pintu gerbang taman. Melani tersenyum pada Beth dan berkata riang,
"Hei Beth, aku sekarang benar-benar merasa betah di sini. Yuk kita
pergi ke acara temu warga...." TAMAT
MUMI Kevin Saunders berjalan menyusuri koridor museum kesenian
kota yang panjang dan lengang. Hanya suara langkah-langkah kakinya
sendiri yang menemaninya.
Ketika melewati cermin dengan bingkai penuh ornamen, Kevin
tersenyum pada bayangannya.Wajah kurus di cermin yang dikelilingi
rambut keriting coklat itu tersenyum kembali padanya. Hati Kevin
berdebar menyadari ia seorang diri saja di tempat itu. Saat itu jam
kunjungan museum memang sudah berakhir dan tak ada lagi orang
kecuali Kevin, ayahnya dan para penjaga malam.
Pak Saunders, ayah Kevin, bekerja sebagai asisten kepala divisi
benda-benda seni kuno dari Mesir. Pada saat ini ia sedang melakukan
riset di perpustakaan museum. Kevin berhasil membujuk ayahnya
agar ia diperbolehkan berada di museum malam ini. Kiriman dari
Mesir baru tiba dan ia sangat tertarik untuk melihat lebih dulu
sebelum benda-benda seni kuno dan lain-lainnya dipertunjukkan di
hadapan khalayak ramai. "Ya... Ayah kira boleh saja," ujar Ayah. "Sepanjang kau tidak
mengganggu Ayah." Ia yakin tidak akan mengganggu. Nyatanya saat ini saja ia
sedang menuju ke ruangan bagian Mesir di lantai atas, sedangkan
ayahnya membaca di perpustakaan di lantai bawah.
Di tangga, Kevin berjumpa dengan Joe Carrone penjaga
keamanan museum. "Hai, Kevin!" Joe menyapa. "Mau ke mana kau malam-malam
begini?" "Ayah mengizinkanku melihat kiriman-kiriman baru dari Mesir.
Ayah tahu aku sangat suka pada benda-benda kuno dari Mesir," jawab
Kevin. Joe menggeleng-gelengkan kepalanya. "Apa kau tidak takut
berada di sana hanya ditemani orang-orang mati yang dibalsem itu?
Kalau aku sih tak mau berada dekat mumi-mumi itu."
Kevin tersenyum. "Ah, aku kan sudah biasa. Aku berada di
dekat mumi-mumi dan segala macam benda-benda kuno sejak kecil."
Joe menghela napas. "Ya terserah kaulah, hanya saja aku
kadang-kadang punya pikiran aneh kalau suatu saat ada mumi yang
keluar dari petinya dan berjalan-jalan. Kau tahu 'kan maksudku?"
Kevin tertawa. "Ah, itu kan hanya ada di film-film horor."
Joe mengangguk dan berkata, "Ya, aku tahu." Ia lalu menuruni
tangga sambil melambai. Kevin terus menaiki tangga. Kali ini suara langkah-langkah
kakinya terdengar ganjil. Ia mulai berpikir itu mungkin suara langkahlangkah kaki orang lain. Darahnya tersirap dan sejenak ia
membayangkan jika menoleh ke belakang akan dilihatnya seseorang
tepat berada di belakangnya. Tiba-tiba ia tak tahan dan menoleh!
Tentu saja tak ada apa-apa.
Ia menghela napas. Uh, bodoh mau saja ditakut-takuti khayalan
sendiri, pikirnya. Akhirnya sampailah ia di pintu masuk daerah kerja
yang terlarang karena digunakan sebagai tempat membenahi bendabenda kuno yang baru datang. Ia masuk ke ruangan sebelah kiri.
Ruangan itu besar sekali dan atapnya tinggi serta dipenuhi petipeti kayu besar yang kebanyakan masih belum dibuka.
Kevin melihat ke sekelilingnya dan memperhatikan guci
keramik yang menarik dicat dengan desain berwarna merah dan biru
terletak di atas meja kerja. Ketika ia mengamat-amati benda-benda
berharga yang mempesona dengan saksama, tiba-tiba pandangannya
tertumbuk pada sebuah patung. Patung itu terlihat begitu hidup di
bawah cahaya lampu yang redup. Mata patung itu seolah-olah
menatap tepat ke matanya. Sesaat ia juga seolah-olah melihat mata
patung itu bergerak. Ah, itu kan hanya karena kena cahaya saja, pikir
Kevin menenangkan dirinya sendiri. Tetapi tak urung ia segera
berbalik dari mata yang menatapnya itu dan meninggalkan ruangan
tersebut. Darah Kevin kembali tersirap ketika ia menatap koridor panjang
di hadapannya. Koridor itu begitu panjang dan berakhir di ruangan
besar lainnya. Ruangan kedua dipenuhi benda-benda berharga yang lebih
indah. Patung-patung dewa dan dewi yang besar maupun yang kecil,
perhiasan-perhiasan dari emas permata, guci-guci keramik, lukisan
Mesir kuno dan kursi-kursi, meja serta perlengkapan rumah tangga
lainnya. Semua benda diletakkan dengan saksama di beberapa tempat
di atas meja kerja yang panjang dan dilapisi kertas kuning kecil yang
bertuliskan keterangan-keterangan tentang benda-benda itu.
Namun yang paling menarik dari semua itu adalah sebuah
mumi yang terbaring di dalam petinya. Peti mumi itu diletakkan di
atas meja kayu yang panjang. Ketika mendekati peti itu, Kevin merasa
jantungnya berdetak sangat cepat.
Kedua sisi peti mumi itu dilukisi dengan simbol-simbol religius
dan hieroglif yaitu tulisan dan abjad Mesir kuno. Ayah Kevin
mengajarinya membaca hieroglif. Tetapi Kevin saat itu tidak begitu
ingin membaca tulisan-tulisan di kedua sisi peti itu, yang paling
diinginkannya adalah melihat wajah dan tubuh mumi dari dekat.
Ia sudah sering melihat mumi di ruangan pameran, tetapi tidak
dalam jarak sedekat dan sejelas ini. Menyadari bahwa kalau ia mau, ia
dapat menyentuh mumi itu, membuat bulu kuduknya berdiri.
Ketika Kevin lebih mendekat lagi ke peti, ia dapat melihat
mumi itu seutuhnya tanpa balutan. Wajahnya terlihat jelas memiliki
hidung yang bengkok seperti paruh burung rajawali, tulang pipi yang
tinggi serta mulut yang kuat dan kokoh. Semua itu membuat mumi
tersebut memiliki ekspresi wajah yang keras dan tegas. Kevin
menduga ketika masih hidup mumi ini adalah seorang yang
berkemauan keras. ebukulawas.blogspot.com
Bulu kuduknya kembali berdiri ketika teringat kembali katakata Joe. "Aku kadang-kadang punya pikiran yang aneh kalau suatu
saat ada mumi yang keluar dari petinya dan berjalan-jalan. Kau tahu
kan maksudku?" Kevin tiba-tiba menjadi tegang dan takut. Untuk menghilangkan
perasaan-perasaan itu ia membaca hieroglif di kedua sisi peti mumi.
Seperti biasanya ada doa-doa untuk orang mati, simbol-simbol
keselamatan, mantra-mantra magis untuk perlindungan dan
semacamnya. Tapi ada sesuatu yang menarik dan lain dari biasanya.
Nampaknya mumi ini seorang ahli sihir terkenal di kerajaan Mesir
kuno. Seorang ahli sihir yang menyombongkan diri bahwa ia dapat
mempertahankan jiwanya di tubuhnya, meskipun ia telah mati.
Tulisan-tulisan pada kedua sisi peti mumi itu begitu menarik,
sehingga tak sadar telah menghabiskan banyak waktu. Namun ketika
akhirnya ia selesai membaca, tubuhnya menegang dan tiba-tiba saja ia
begitu ingin berlari menghampiri ayahnya di bawah. Ia memandang
mumi itu sekali lagi dan kali ini melihat sebuah liontin kecil berwarna
keemasan yang terletak di dalam sepotong kertas pembungkus di dada
mumi itu. Kelihatannya terbuat dari emas, dan ada hieroglif di atas
liontin itu. Diamatinya liontin itu dengan saksama dan disentuhnya. Tanpa
disengaja benda itu terlepas. Kevin sadar seharusnya ia tak berhak
mengganggu atau mengutak-atik satu benda pun yang ada di situ,
tetapi keingintahuannya itu mengalahkan kesadarannya.
Kevin begitu ingin mengetahui keterangan apa yang ada di
liontin itu, sehingga ia mengambilnya dari pembungkus kertasnya.
Ketika ditariknya liontin itu barulah ia tahu bahwa liontin tersebut
memiliki rantai dari emas yang panjang dan berat. Maka dengan
sekuat tenaga ditariknya liontin itu dari mumi. Pada saat benda itu
tercabut, sebuah keluhan panjang terdengar bergema di seluruh


Horor Taman Bermain Yang Angker di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ruangan. Jantungnya seolah-olah melompat ke luar dan ia melihat
berkeliling mengharap ada Joe atau salah seorang penjaga lainnya di
pintu. Tapi tak seorang pun berada di sana. Udara dingin merayap ke
seluruh tubuhnya dan napasnya menjadi terengah-engah.
Ah itu mungkin hanya angin dari luar gedung, pikir Kevin.
Walaupun rasanya tidak mungkin angin dari luar masuk ke ruangan
itu, tetapi tak ada penyebab lain yang mungkin. Atau mungkinkah?
Kevin melihat kembali liontin itu dan menyadari tulisan
hieroglif di atasnya terlalu kecil untuk dapat dibaca dengan
penerangan lampu yang samar-samar. Dibawanya liontin itu keluar,
dan di bawah lampu koridor dibacanya tulisan itu. Dirabanya tulisan
tersebut dengan jarinya sambil menggumam menerjemahkannya:
Jangan ambil milikku, atau aku akan menuntutnya.
Kevin terperanjat menyadari tulisan itu adalah peringatan.
Namun ia pun tahu ahli-ahli Mesir kuno sering menuliskan peringatan
di dinding-dinding atau bahkan di peti-peti muminya sendiri untuk
menakut-nakuti para pencuri di kuburan-kuburan kuno.
Meskipun bukan pencuri di kuburan, tetapi ia segera berpikir
sebaiknya mengembalikan liontin itu. Ketika ia mulai beranjak ke
dalam ruangan untuk mengembalikan liontin itu tiba-tiba didengarnya
keluhan panjang. Tubuh Kevin menjadi kaku seketika. Bunyi
gemerisik kertas terdengar dari dalam ruangan! Suara apa itu, pikir
Kevin panik. Aku yakin tak seorang pun ada di sana kecuali... mu...
mu... mumi!!! Dalam sekejap rasa takut menjalari dirinya seperti tersengat
listrik. Tanpa pikir panjang lagi, ia berlari sekuat tenaga menyusuri
koridor menuju pintu di ujung koridor.
Saat berlari, pikiran buruk melintas di benak Kevin. Waktu ia
masuk tadi pintu koridor terbuka. Dan sekarang tertutup! Napasnya
terengah-engah ketika sampai di muka pintu. Ketakutannya benarbenar menjadi kenyataan. Pintu itu terkunci!
Joe pasti berpikir ia tidak berada di ruangan itu dan
menguncinya. Mungkin waktu ia asyik membaca hieroglif itu, Joe
memanggilnya. KRESK... kresk... sebuah suara bergema di koridor
dari arah ruangan tempat mumi berada. Kevin tercekam. Sesuatu pasti
mengejar di belakangnya! Ia harus mencari tempat persembunyian,
tetapi di mana? Tanpa pikir panjang lagi, Kevin masuk ke kamar yang pertama
kali dimasukinya. Ia menghambur masuk dan berhadapan muka
langsung dengan patung yang bermata hitam. Tatapannya seolah
menembus diri Kevin. Kevin mengalihkan pandangannya.
Ketika ia dengan putus asa melihat berkeliling mencari tempat
persembunyian, didengarnya suara-suara lagi. Kresk... kresk. Itu suara
langkah kaki bercampur suara kertas.
Kevin begitu panik dan ketakutan. Tidak mungkin... tidak
mungkin mumi itu menyusulku, pikir Kevin penuh ketakutan.
Ia berdiri di kamar dengan tegangnya, menanti apa yang akan
terjadi. Tiba-tiba ia melihat tangannya masih menggenggam liontin.
Tulisan peringatan di liontin itu muncul lagi di benaknya.
Jangan ambil milikku, atau aku akan menuntutnya.
Liontin itu! Pikir Kevin segera. Mumi itu pasti mengira aku
mencuri liontin itu darinya! Aku harus mengembalikan padanya,
pikirnya. Aku harus.... Tidak! Tak ada sesuatu pun yang dapat memaksanya pergi
keluar dari kamar itu dan menjumpai mumi. Tetapi suara langkahlangkah kaki terdengar semakin dekat. Ia akan masuk ke kamar ini
sebentar lagi. Kevin meringkuk ketakutan di belakang peti-peti kayu
yang besar. Tubuhnya gemetar dari kepala sampai ke tumit mendengarkan
langkah-langkah kaki yang terus mendekat. Kevin sadar dirinya
terperangkap di dalam ruangan itu. Tetapi tak ada upaya yang dapat
dilakukannya saat itu untuk melepaskan diri. Tiba-tiba jantungnya
hampir berhenti berdetak. Ia merasa mumi itu sudah sampai di depan
pintu, karena kini tercium bau yang asing.
Kevin dapat mendengar napasnya sendiri terengah-engah. Ia
memaksa dirinya untuk sedapat mungkin tenang. Barangkali jika ia
tak bersuara sedikit pun, mumi itu akan pergi. Tetapi ketika pikiran itu
melintas di benaknya, ia tahu harapan itu sia-sia.
Ketika ia meringkuk di kamar itu dalam keadaan putus asa,
didengarnya langkah kaki memasuki ruangan. Dari tempatnya
bersembunyi, ia hanya dapat melihat dinding tembok seberang.
Cahaya lampu dari koridor membuat bayangan benda-benda yang ada
di situ. Dilihatnya dengan jelas bayangan patung. Saat ia melihat
bayangan-bayangan benda mati yang terlihat di tembok, ia melihat
bayangan lain yang bergerak di antara bayangan-bayangan tersebut.
Mumi!!! Bayangan itu melewati bayangan patung dan terus mendekati
sudut tempat ia bersembunyi.
"Tinggalkan aku sendiri, aku menyesal mengambil liontinmu.
Aku tak bermaksud mencurinya, a... aku hanya ingin membaca
tulisannya. Percayalah padaku!" teriak Kevin dengan panik dan putus
asa. Aneh! Langkah-langkah kaki itu berhenti.
"Ya... benar, sungguh!" Ia berteriak dengan suara bergetar. "A...
aku tak menginginkannya. Nih, lihat, kau dapat mengambilnya lagi!"
Ia melemparkan liontin itu dari tempatnya bersembunyi, Liontin
itu bergulir meluncur sepanjang lantai dan berhenti menumbuk peti
kecil. Bayangan mumi itu terlihat bergerak lagi dan Kevin menekan
dirinya sendiri begitu keras pada peti kayu di punggungnya, sehingga
ia merasa kayu itu akan pecah.
Tiba-tiba langkah-langkah kaki itu berhenti lagi. Kevin mulai
merasa lebih tenang waktu melihat liontin itu bergulir sepanjang lantai
menjauhinya. Ia tak berani melihat sekelilingnya. Pikirannya hanyalah
berusaha sekuat tenaga untuk tidak berteriak karena rasa takutnya
memuncak. Sedikit demi sedikit liontin itu menjauhinya. Kemudian
menghilang dari pandangannya dan suasana lalu menjadi hening
kembali. Kevin mendengar suara langkah kaki lagi. Ia menutupi
wajahnya dengan kedua tangannya. Ia tak mau melihat apa yang akan
terjadi. Ketika ia terus meringkuk di sudut mendengarkan langkahlangkah kaki dan menunggu datangnya hal yang dasyat, tiba-tiba ia
sadar langkah-langkah kaki itu justru menjauhinya. Seolah-olah
mahluk itu sudah mendapatkan apa yang dicarinya.
Ia terus mendengarkan langkah-langkah kaki yang semakin
samar dan akhirnya hilang sama sekali. Namun ia tak mampu
bergerak dan bangkit dari tempat persembunyiannya. Rasanya ia
begitu lelah luar biasa dan hanya ingin berbaring serta beristirahat
saja. Ia meletakkan kepalanya di antara kedua lututnya dan menutup
matanya. ************* Kevin terjaga dan melihat ayahnya yang bertubuh tinggi kurus
dengan rambut ikal pirang dan janggut lebat sedang menggoncanggoncangkan tubuhnya. Matanya yang coklat dan biasanya bersinarsinar, kini terlihat cemas.
Kevin juga melihat Joe ada di dekatnya dan seperti ayahnya,
Joe terlihat cemas. "Kenapa, Kevin?" tanya ayahnya ketika ia dan Joe
menolongnya berdiri. "Ya Kevin," tambah Joe. "Maaf ya, tadi aku mengunci pintu ini
dan kemudian turun untuk menemui ayahmu di perpustakaan. Aku
pikir kau pasti berada di sana. Tapi ternyata kau tidak ada, berarti aku
tidak sengaja telah menguncimu di sini." Kemudian jarinya
mengusap-usap rambut Kevin yang tebal dan berkata, "Aduh, maaf ya
Nak. Kuharap kau tidak ketakutan!"
Mendengar ucapan Joe hampir saja Kevin tertawa histeris,
tetapi ia berhasil menahan diri dan mulai bercerita.
Kata-katanya meluncur cepat dan ketika selesai bercerita, ia
melihat ayahnya dan Joe saling memandang penuh arti. Mereka tidak
mempercayaiku, pikir Kevin. Saat itu pun ia sendiri tidak yakin
apakah ia mempercayai hal yang baru saja dialaminya.
Waktu ia berhenti bercerita, Ayah menatapnya sesaat lalu
berkata, "Ayo kita lihat ke ruangan itu, mau?"
Kevin mengangguk dan beranjak mengikuti ayahnya dan Joe
keluar ruangan menuju ke ruangan tempat mumi berada. Sebenarnya
Kevin tak ingin melihat mumi itu lagi, tetapi ia memaksakan dirinya
untuk pergi bersama mereka.
Ketika mereka memasuki ruangan itu, Ayah Kevin dan Joe
langsung menghampiri peti mumi itu. Kevin berdiri saja di dekat
pintu. Ia tak berani beranjak lebih dekat lagi ke peti mumi itu. Namun
dari tempatnya berdiri pun ia dapat melihat mumi yang berbaring di
petinya. Mumi itu berada dalam posisi yang sama seperti saat pertama
dilihatnya dan liontin itu sudah berada di tempat semula.
Tiba-tiba Kevin mendengar ayahnya terpekik kecil, ketika
beliau menunjuk lantai di sekitar peti mumi itu. Beliau membungkuk
dan memungut sesuatu. Keingintahuan Kevin mengatasi rasa takutnya
dan ia berjalan mendekati. "Ada apa, Yah?" tanyanya tak sabar.
Ayah Kevin menengadah dan memandangnya dengan ekspresi
aneh ketika ia memperlihatkan sobekan-sobekan kertas pembalut
mumi yang dipungutnya dari lantai.
"Ayah menemukan ini di dekat peti mumi dan ada jejak-jejak
kaki besar di sekitar lantai di sini hingga menuju ke koridor."
Kevin menggeleng-gelengkan kepalanya.
"A... aku tak melihat apa-apa!" ucapnya gagap.
"Jejak-jejak kaki di koridor lebih samar, ucap Ayah lagi. "Tapi
tadi sambil lalu saja aku melihatnya dan tak mau mengatakan apa-apa
sampai aku benar-benar yakin."
"Apakah menurut Ayah, mumi ini telah berjalan dan
meninggalkan jejak-jejak kaki itu?" tanya Kevin tak sabar.
Ayah tidak menjawab dan Kevin sadar itulah yang sebenarnya
dimaksudkan ayahnya. "Tetapi bagaimana mungkin?" Kevin bergumam.
Ayah melihat ke arah mumi itu dan mengusap-usap janggut di
dagunya, "Aku tak tahu Kevin. Ada banyak misteri tentang kehidupan
dan kematian yang tidak pernah dapat kita pahami. Aku kira kejadian
ini adalah contohnya." TAMAT
MARVIN AKU menduga keras Marvin adalah pembunuh, tetapi aku
benar-benar tak dapat membuktikannya. Seandainya pun dapat
dibuktikan, aku tetap tak dapat melakukan apa-apa. Maksudku... kita
kan tak mungkin memenjarakan sebuah tanaman.
Ya benar! Sebuah tanaman.
Kupikir seharusnya sudah sejak awal aku menduga Marvin akan
menimbulkan kekacauan. Bagaimanapun juga seperti kata orang, kita
tidak dapat menjinakkan seekor binatang, atau kini kutambahkan,
sebuah tanaman liar.... Pertama kali kulihat Marvin maksudku gambar bagaimana
wujud Marvin nantinya dalam buku komikku yang berjudul "Orang
Magnit." Tokoh Orang Magnit adalah salah satu dari tokoh-tokoh
bacaan yang kusukai dan kisah-kisah petualangannya yang terbaru
tidak pemah kulewatkan. Kembali ke soal Marvin... aku baru saja menyelesaikan
halaman terakhir kisah petualangan Orang Magnit yang terbaru, ketika
kulihat sebuah iklan di halaman sebelah yang berbunyi:
Milikilah tanaman pemakan daging hanya seharga 4,95 dolar!
Tanaman eksotis dari daerah Amazon ini akan menjadi topik
pembicaraan yang paling seru di rumah atau di kantor Anda.
Makanannya adalah yang biasa dimakan kucing atau anjing. Kalau
sudah besar, tingginya dapat mencapai satu meter!!
Kata-kata selebihnya dari iklan itu memberitahukan cara
pengiriman uang dan sebagainya. Aku selalu tertarik pada tanaman,
bunga dan semacamnya. Ibuku bilang mungkin kelak aku akan jadi
ahli tumbuh-tumbuhan seperti Ayah. Ibu dan ayahku telah bercerai
dan Ayah pindah ke tempat lain, tetapi mereka masih tetap bersahabat
baik. Ayah bahkan masih suka mengirim bunga pada Ibu.
Kembali ke soal tanaman, karena aku begitu cinta pada
tanaman, maka aku segera memesannya. Dua minggu kemudian
tanaman pesanan itu pun tiba.
Tukang pos menyerahkan kotak kardus dialamatkan pada
Steven Malone, namaku! Detik itu juga kubuka kotak tersebut.
Tanaman itu berada dalam pot merah setinggi lima belas senti
dan lebar sepuluh senti. Ada kertas putih tertempel di pot berisi
petunjuk dan cara merawat tanaman tersebut. Kuangkat tanaman itu
dan kuletakkan di atas meja di ruang tamu agar dapat lebih saksama
aku pelajari. Tanaman itu agak aneh. Ia mempunyai empat daun kecil
berwarna kuning dengan garis-garis hijau. Tingginya hanya sepuluh
senti. Daunnya yang berbulu dan kalau kusentuh terasa lembut seperti
beludru, terlihat menyebar. Keempat daun itu seperti ekor-ekor
harimau kecil. Barulah aku melihat sesuatu yang tumbuh di tengah
daun-daun itu, dan aku menunduk untuk melihat lebih jelas.
Kelihatannya seperti tanaman kembang kol kecil berwarna hijau
tumbuh di tangkai yang besar berwarna hijau pula.
Kumasukan jariku ke bagian tengah daun yang seolah-olah
berlubang dan tiba-tiba saja jariku digigitnya. Digigit! Ya, kata itulah
yang paling tepat menggambarkan gerakkannya itu. Seolah-olah
sebuah rahang kecil, entah di bagian lipatan daun yang sebelah mana,
membuka dan mencoba menggigit jariku. Memang tidak sampai
terluka, hanya seperti dipatuk burung beo.
"Kupikir, ia mungkin lapar setelah berpergian jauh," ujarku
dengan keras. Entah bagaimana, rasanya wajar saja aku berbicara
dengannya seolah-olah ia makhluk hidup yang dapat mengerti seperti
manusia. Segala sesuatunya memang telah kupersiapkan. Aku sudah
membeli beberapa makanan kaleng untuk kucing dan anjing di pasar
swalayan. Segera aku lari dan mengambil satu kaleng dari dapur.
Kuangkat tanaman itu ke kamarku dan mencoba menentukan di
mana sebaiknya kuletakkan tanaman itu. Lalu kuanggap baik sekali
kalau tanaman itu kutaruh di dekat dinding berhadapan dengan jendela
di sisi lainnya. Di sebelah tanaman itu tergantung poster Marvin si
Manusia Ikan. Marvin si Manusia Ikan juga salah seorang tokoh cerita
favoritku. Ia mengenakan kostum ketat berwarna hijau dari kepala
sampai ujung kaki dan ia dapat bernapas di dalam air seperti ikan.
Karena warna kostumnya sama dengan tanamanku, aku memutuskan
untuk menamai tanaman itu Marvin.
Selama beberapa minggu kemudian, kurawat Marvin dengan
sungguh-sungguh. Selalu kuupayakan agar ia cukup makan sesuai
dengan petunjuk yakni dua kali sehari.
Aku segera tahu cara terbaik memberinya makan yakni dengan
meletakkan sesendok penuh makanan tepat di bagian yang
menyerupai kepala dan kemudian mendiamkannya sejenak.
Lalu tanaman itu seolah-olah tahu pasti apa yang harus
dilakukannya. Ia putar kepalanya ke arah makanan, membuka
rahangnya dan melahap makanan tersebut tepat dari sendok. Setiap
kali ia usai melahap habis makanannya, ia seolah-olah tersenyum puas
memandangku. Hari demi hari berlalu, Marvin tumbuh semakin besar dan kuat.
Aku harus terus-menerus mengambil tanah yang subur lebih banyak
dan meletakkannya ke dalam pot yang lebih besar. Suatu hari aku
mendapat ide yang cemerlang. Jika ia dapat tumbuh begitu baik hanya
dengan menghabiskan makanan kucing, tentu akan lebih hebat lagi
bila diberi makanan seperti hamburger yang diisi daging mentah. Dan
mungkin juga aku dapat memberinya vitamin-vitamin.


Horor Taman Bermain Yang Angker di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Keesokan harinya aku pulang dari pasar swalayan dengan
membawa sebotol vitamin dan beberapa hamburger isi daging mentah.
Setelah kusiapkan semuanya, aku mendekati Marvin dan berseru
padanya, "Buka mulutmu, Marvin!"
Marvin menoleh ke arahku dan membuka rahangnya. Dengan
segera dilahapnya hamburger yang kuberikan padanya. Baru saja aku
hendak memberinya vitamin, ketika kulihat ia seolah-olah meminta
lagi. Aku menghela napas dan memberikan hamburger lagi padanya.
Kali ini pun dilahapnya lagi dengan cepat dan masih terlihat meminta
lagi. "Hei, jangan rakus!" ujarku. "Kupikir kau sudah cukup kenyang
sekarang. Lagipula aku akan memberimu tambahan vitamin."
Pada saat itu, Ibu datang ke kamarku dan menyapa, "Hei, Stevi,
bagaimana kabarnya tanaman pemakan daging itu?"
"Wah, hebat Bu!" jawabku bersemangat sambil memaksakan
dua kapsul vitamin masuk ke dalam mulutnya. Kukira ia tidak
gembira harus menelannya.
Ibu menghampiri Marvin, dan menjerit kecil, "Ya Tuhan, ia
tumbuh begitu besar ya!" Lalu dikerutkannya alis matanya dan berkata
lagi, "Tapi ia tidak akan tumbuh lebih besar lagi 'kan?"
Aku memandang Marvin. Tingginya hampir satu meter
sekarang dan kepalanya hampir sebesar buah anggur. Kelihatannya
sudah hampir mencapai tinggi maksimalnya seperti yang tertulis di
iklan. "Ah... kukira tidak, Bu," jawabku menenangkan.
"Bagaimanapun, kamarku kan cukup besar Bu!"
"Ya, Ibu kira juga begitu," jawab Ibu, tetapi alisnya masih
dikerutkannya. ebukulawas.blogspot.com
Tiba-tiba ia tersenyum dan menggosok-gosok rambutku serta
berkata, "Kau ingat 'kan Stevie ..., Ibu pernah bilang padamu akan
pergi ke luar kota untuk urusan kantor?"
Aku mengangguk. Ibuku seorang karyawati yang bertugas
membeli barang berupa pakaian-pakaian olah raga untuk pusat
perbelanjaan "Sweetwater" di kota kami. Menurut ibuku, tempatnya
bekerja itu hanya salah satu cabang dari rangkaian pertokoan di
seluruh negeri. Kadang-kadang, Ibu harus keluar kota untuk melihat
pakaian-pakaian apa saja yang dibuat oleh para perancang dan pabrik
pakaian jadi untuk musim mendatang. Kemudian jika ia melihat yang
berkenan maka akan dibelinya dalam jumlah banyak dan dijual
kembali di "Sweetwater".
"Ya, Ibu kira, bagaimanapun juga Ibu memang harus pergi!"
tegas Ibu. "Kapan, Bu?" tanyaku.
Aku sungguh tak pernah suka bila Ibu harus pergi, walaupun
pada saat Ayah dan Ibu masih bersama-sama. Dan kali ini keadaannya
tentu akan lebih buruk lagi, karena untuk pertama kalinya Ibu pergi ke
luar kota sejak ia bercerai dengan Ayah.
Baru saja aku mau berkata lebih banyak lagi, Ibu sudah
bertanya, "Kau suka pada Bibi Mathilda 'kan?"
"Ya... kukira begitu," jawabku sambil memandangi Marvin,
"Kenapa Ibu bertanya begitu?"
Aku sebenarnya agak menyukai Bibi Mathilda, walaupun
kadang-kadang gayanya agak otoriter. Mungkin karena ia seorang
guru dan menganggapku salah seorang muridnya.
"Begini Stevi, Ibu kan harus pergi kira-kira sepuluh hari dan Ibu
akan minta tolong Bibi Mathilda menemanimu di sini selama Ibu
pergi," jawab Ibu memutuskan lamunanku.
Aku mengangguk. "Baik, Bu. Bibi Mathilda baik-baik saja,
hanya..." Ibu tersenyum. "Ibu tahu, gayanya agak unik ya?"
Memang benar, pikirku. Tapi satu hal yang lebih berbahaya dari
sifat otoriternya, ia adalah vegetaris, yaitu orang yang tak pernah
makan daging. Itu berarti aku harus makan makanan kelinci selama ia
berada di sini. Aku harus cari akal agar tetap dapat menikmati hot dog
atau hamburger kesukaanku.
Hal lain yang tak kusukai adalah kucing tuanya yang gemuk
dan galak bernama Otto. Dan aku pun tahu kucing itu juga tak
menyukaiku. Bibi Mathilda tinggal kira-kira sepuluh blok dari rumah
kami dan tiap aku berkunjung ke rumah Bibi, Otto pasti akan
melengkungkan punggungnya, menggerakkan ekornya dan mendesis
keras padaku. Dan kalau ia tidak melakukan hal itu, ia akan
mendekatiku dan menggosok-gosokkan badannya yang gemuk dan
berbulu itu ke badanku hingga bulunya akan menempel di seluruh
celana pendekku yang terbuat dari wol. Aku tahu ia melakukannya
dengan sengaja agar jika aku kemudian mengusirnya, ia pun akan
mendesis dan berusaha mencakarku.
Menurut Ibu, Otto mungkin menjadi kucing yang aneh karena
Bibi Mathilda juga hanya memberinya makan sayur-sayuran saja. Ia
begitu tidak menyukai daging, sehingga binatang peliharaannya pun
tidak diperbolehkan memakan daging.
Penjelasan Ibu menurutku masuk akal, tetapi tetap saja aku tak
menyukai Otto. Aku memandang Ibu dan bertanya ragu. "Kapan Ibu
berangkat?" Ibu tersenyum dan menjawab, "Oh tidak dalam waktu tiga
minggu ini!" Aku tersenyum lega dan mengangguk.
************** Seminggu setelah kuberi Marvin hamburger isi daging mentah
dan vitamin-vitamin, segera saja kepalanya sudah melewati batas
tanda satu meter dan batangnya sama gemuknya dengan pinggangku.
Lucunya, daun-daunnya tidak tumbuh bertambah tinggi, tetapi
membentang di sekitar kepalanya seperti kerah yang terbuat dari
daun-daunan. Tebalnya kira-kira dua setengah senti dengan panjang
hampir satu meter, dan liat seperti karet. Jika salah satu daunnya
ditekan ke bawah maka akan terpental kembali dengan bunyi seperti
lentingan. Hal itu membuatku berpikir mengajari Marvin sebuah atraksi.
Akan kuletakkan gumpalan daging mentah di salah satu daunnya.
Daging itu pasti akan terpelanting ke udara, sementara Marvin akan
menoleh dan membuka rahangnya serta menangkap gumpalan daging
itu. Saat ini kepalanya sudah sebesar bola basket dan rahangnya
juga menjadi lebih lebar. Jika sedang terbuka lebar, nampaknya cukup
untuk menelan satu buah semangka.
Aku lalu berkhayal, seandainya saja aku dapat mengajari
Marvin beberapa atraksi lagi, mungkin kelak bisa dipertunjukkan di
sebuah arena sirkus. Bahkan mungkin saja aku akan mendapat
penghargaan karenanya. Suatu siang, beberapa hari sebelum keberangkatan Ibu ke luar
kota, aku sedang melemparkan daging mentah keenam ke mulut
Marvin waktu Ibu masuk ke kamarku bersama Bibi Mathilda.
Ketika Bibi Mathilda melihat Marvin, ia begitu terperanjat.
Tinggi Marvin sudah satu setengah meter dan berada dalam pot merah
besar dengan tinggi setengah meter dan lebar hampir satu meter.
Kepalanya masih terlihat seperti bunga kol tetapi besarnya sudah
seperti bola basket dan batangnya setebal tiang listrik.
Kulihat Bibi memandang Ibu sambil menaikkan alis matanya
dan mendengus. "Hamburger isi daging mentahkah yang kau berikan
pada tanaman itu, Steven?" tanya Bibi dengan mengerutkan dahi.
"Oh ya," jawabku. "Ini memang tanaman pemakan daging, Bi."
"Pemakan daging?" ulangnya dengan sangat terkejut. Wajahnya
menjadi pucat, dan diambilnya saputangan dari tas kecilnya dan
diletakkannya di bawah hidungnya.
Ibu melirikku dan menghela napas seakan hendak berkata, Aku
lupa memberitahu tentang Marvin padanya.
"Baiklah," ujar Bibi Mathilda gusar. "Kita lihat saja nanti!"
Kemudian Ibu dan Bibi meninggalkan kamarku dan segera
kuselesaikan memberi makan Marvin.
************* Bibi Mathilda tidak datang-datang lagi sampai tiba suatu pagi
ketika ia harus tinggal bersamaku sesuai dengan pesan Ibu. Ia tiba di
pintu depan membawa tas koper kecil di satu tangan dan di tangan
lainnya membawa tas tempat pembawa kucing berwarna kuning.
Semangatku hilang ketika melihat Otto berada di dalam tempat itu.
Otto terlihat nakal dan lekas marah, seperti biasa setiap kali ia
melihatku, ia mendesis keras.
"Nah Otto, jangan nakal ya!" ujar Bibi pada Otto. "Rumah ini
akan menjadi rumahmu selama sepuluh hari. Kamu harus manismanis saja ya?"
Huh! Dengusku dalam hati. Aku masuk ke dapur untuk
menyantap sarapan pagiku. Bibi naik ke atas untuk menaruh barangbarangnya di kamar Ibu. Kamar Ibu tepat di sebelah kamarku dan itu
berarti Bibi akan mengetahui segala gerak-gerikku. Aku menggeram
dalam hati. Alangkah beratnya masa sepuluh hari yang harus kujalani
ini. Ibu memberiku jus jeruk dan semangkuk bubur. Beliau duduk
tepat di sebelahku dengan secangkir kopi di depannya dan tersenyum
padaku. "Stevi, Ibu ingin sekali kau dapat menyesuaikan diri dengan
Bibi Mathilda." "Baik Bu, jangan khawatir," ujarku meyakinkan Ibu.
"Ibu juga ingin kau menuruti semua yang dikatakan Bibi.
Maukah kau berjanji pada Ibu? Kalau kau mau, barulah Ibu dapat
berangkat dengan tenang."
"Ya, tentu Bu, aku janji," jawabku pula berusaha menenangkan
Ibu. Tiba-tiba perutku terasa sakit. Ibu tahu bahwa aku tak pernah
mengingkari janji. Aku juga tahu hal itu, maka aku pun berharap
sepenuh hati agar Bibi Mathilda tidak menyuruh atau melarang yang
tidak-tidak. Ibu menggenggam tanganku dan tersenyum. "Ibu merasa lebih
tenang sekarang." Seusai sarapan pagi, Ibu memesan taksi untuk membawanya ke
bandara sementara aku sudah siap berangkat ke sekolah. Bus
sekolahku datang lebih dulu. Aku memberikan ciuman perpisahan
pada Ibu dan mengatakan padanya semoga sepuluh hari yang akan
datang ini cepat berlalu. Kemudian aku berlari ke dalam bus dan
melambaikan tangan dari jendela bus.
Hari itu di sekolah segala sesuatu berjalan seperti biasa, hanya
saja aku merasa begitu lapar saat sekolah usai. Tetapi ketika aku
pulang ke rumah siang itu dan bergegas membuka kulkas, aku benarbenar terkejut. Kulkas ternyata dipenuhi bermacam ragam sayuran,
seperti: kol, wortel, seledri, bayam dan beberapa sayur-sayuran
lainnya yang bahkan belum pernah kulihat. Warna dan bentuknya
aneh seperti benda dari luar angkasa.
Ketika aku masih berdiri dengan pintu kulkas dan mulutku yang
terbuka, Bibi masuk dan meletakkan tangannya di pinggang.
"Itu semua makanan yang baik dan sehat, Steven," ujarnya
dengan anggukan pasti. "Dan sudah kubuang semua daging mentah
yang menjijikkan untuk tanamanmu yang mengerikan itu!" ucapnya
dengan dingin. "Tapi itu kan makanannya," ucapku setengah menggeram.
"Ah omong kosong," tandas Bibi. "Aku yakin tanaman itu akan
lebih sehat lagi jika menjalani diet tanpa daging, lagipula ia sendiri
tumbuhan 'kan?" "Tapi, itulah masalahnya Bi. Kalau Marvin memakan tumbuhan
juga, maka ia menjadi tanaman kanibal!"
Bibi mengibaskan tangannya seperti mengusir lalat. "Aku pikir
kau terlalu mendramatisir pertengkaran ini, Steven. Kau
memperlakukan tanaman itu dengan berlebihan. Lagipula aku tak
dapat membiarkan ada daging di dalam ruangan tempat aku berada.
Tanamanmu itu, eh, Marvin akan segera terbiasa untuk tidak makan
daging. Untuk sementara waktu, aku sangat yakin diet ini tidak
membinasakannya. Aku menundukkan kepalaku, meraih beberapa tangkai seledri
dari kulkas dan keluar dari dapur. Apa yang dapat kulakukan? Aku
sudah berjanji pada Ibu untuk tidak menyulitkan Bibi Mathilda dan
janji itu harus kutepati. Ah, sudahlah. Mudah-mudahan saja ini bukan
pertanda kiamat. Mungkin saja Marvin memang akan dapat bertahan
tanpa daging selama sepuluh hari atau lebih. Toh nampaknya ia begitu
besar dan sehat. Ketika aku keluar dari dapur sambil mengunyah-ngunyah
seledri, tiba-tiba aku menginjak sesuatu yang lembut yang
mengeluarkan suara MEOOONG!! Hampir saja aku melompat.
Ternyata aku tak sengaja menginjak ekor Otto.
Ia mundur menjauh dariku dan memandangku dengan seram
seperti kucing hantu. Ekornya kaku, punggungnya melengkung tinggi
dan mulutnya terbuka dengan desisan keras.
"Eh... maaf!" gumamku, lebih kutujukan kepada bibiku
dibanding Otto. Soalnya, siapa sih yang minta maaf pada kucing?
Apa kucing bisa mengerti permintaan maaf kita?
Otto lalu menyelinap pergi setelah melepaskan pandangan
penuh kebencian melalui bahunya ketika aku hendak masuk ke kamar
untuk mengerjakan pe-er-ku. Tapi di tengah tangga, aku teringat
sekarang saatnya mumberi makan Marvin. Maka aku pun berbalik lagi
ke dapur. Bibi masih ada di sana dan ketika aku berjalan menuju kulkas
lagi, aku bertanya, "Wah, apa yang dapat kuberikan kepada Marvin?"
Bibi tersenyum menenangkan dan menjawab, "Sudah kusiapkan
makanan yang enak untuk tanamanmu."
Kemudian ia menyerahkan padaku piring berisikan enam
bulatan seperti daging dan berkata, "Aku yakin makanan ini baik
untuk tanamanmu." "Tapi, kukira Bibi sama sekali tidak mau memberi daging pada
Marvin," kataku. "Oh... itu bukan terbuat dari daging, Steven," jawabnya. "Itu
terbuat dari sari terong dan bubur gandum. Sangat sehat!"
"Oh...!" seruku kecewa ketika aku dengan terpaksa mengambil
piring dan naik ke atas. Ketika aku memasuki kamar, aku benar-benar merasa Marvin
melihatku dengan antusias. Tetapi, mungkin itu hanya imajinasiku
saja. Aku sudah begitu terbiasa berada di dekat Marvin, sehingga ia
tak ubahnya seperti manusia juga bagiku. Yah... paling tidak seperti
binatang kesayanganku. "Kuharap kau menyukai makanan ini, Marvin," kataku penuh
harap ketika aku meletakkan gumpalan sayuran di dekat kepalanya.
Seperti biasa makanan itu terpental dan ditangkap Marvin dengan
antusias. Tetapi ketika aku akan memberikan gumpalan yang kedua,
Marvin menutup mulutnya rapat-rapat sehingga gumpalan yang
terpental itu membentur kepalanya dan berbunyi nyaring.
Aku beranjak lebih dekat ke Marvin dan mencoba membujuk,
"Ayo... Marvin, aku tahu makanan ini bukan daging, tetapi baik
untukmu. Lagipula ini kan hanya untuk seminggu atau lebih
sedikitlah. Setelah itu akan kuberikan semua hamburger yang
kauinginkan." Aku mencoba memberikan gumpalan makanan itu sekali lagi,
tetapi Marvin tetap tidak mau membuka mulutnya. Aku tak punya
pilihan lain kecuali memaksanya membuka rahangnya dan
memasukkan makanan itu ke dalamnya. Sungguh aku tidak suka
memaksanya, tetapi Marvin tetap harus makan.
Hari-hari selanjutnya dalam minggu itu menjadi hari-hari
terburuk dalam kehidupanku. Tidak saja karena aku merindukan Ibu,


Horor Taman Bermain Yang Angker di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tetapi juga karena aku harus terus-menerus makan sayur-sayuran saja.
Menurut Bibi Mathilda itulah hidangan yang paling lezat. Terlebih
lagi, Otto terlihat begitu puas dalam usahanya membuatku jengkel.
Dengan cepat ia terbiasa tidur di kamarku pada malam hari.
Sebenarnya itu tak terlalu menjadi masalah bagiku. Yang parah adalah
ia selalu menunggu kesempatan sampai aku tertidur, setelah itu
naiklah ia ke atas bantal dan tidur bergelung tepat di sebelah kepalaku.
Keesokan paginya aku bangun dengan wajah penuh bulu
kucing. Jika kebetulan aku terbangun di tengah malam dan melihatnya
di sebelahku, aku pun segera mengusirnya. Biasanya ia lalu mendesis
dan mengayunkan cakarnya padaku.
Hal buruk lainnya adalah ia menunggu untuk menyergapku
secara tiba-tiba setiap aku pulang sekolah. Begitu aku membuka pintu
depan, segera ia akan melompat padaku, mengeong dengan kerasnya
dan menyerang sepatuku. Suatu kali ia bahkan menggigit pergelangan
kakiku. Tetapi hal terparah yang dilakukannya adalah memakan
Marvin! Memang tidak terlalu tepat jika dikatakan memakan Marvin,
tetapi yang jelas setiap hari ia akan melompat di salah satu daun
Marvin yang terbesar dan menyerupai karet lalu mulai menggigit
ujung-ujungnya. Menurutku itu sungguh keterlaluan. Aku mengerti itu mungkin
dilakukannya karena Otto kucing vegetaris, sedangkan Marvin adalah
tanaman besar. Tetapi tetap saja aku menghentikan kegiatan Otto itu
setiap kali aku melihatnya.
Tahu saja, usahaku itu tidak membuat Otto semakin
menyukaiku. Seperti yang aku katakan, aku berusaha
menghentikannya. Tapi sulitnya, seringkali ia melakukan itu ketika
aku sedang tertidur lelap di malam hari.
Begitu ia melihat aku tertidur, mulailah ia bermain-main dengan
Marvin yang malang. Ia akan sengaja mementalkan diri dari satu daun
ke daun lain, seolah-olah ia berada di atas jaring yang lentur bagi
pemain akrobat. Jika Otto mulai berakrobat seperti itu, Marvin akan
membuka mulutnya seolah-olah ia memprotes. Aku yakin benar
mendengar Marvin menggeram tertahan. Ya, saat itu benar-benar saat
yang buruk bagiku dan Marvin.
Suatu hari, sehari sebelum rencana kedatangan Ibu, aku
memandang Marvin dan merasa takut kepada kemungkinan terburuk
yang dapat terjadi. Warna daunnya yang biasanya terlihat hijau segar,
kini terlihat kuning pucat dan terkulai seolah-olah tak bertenaga. Aku
tahu apa yang menjadi penyebabnya. Marvin sudah lama sekali tidak
makan daging sehingga terlihat begitu merana.
Aku menghampiri Marvin dan meletakkan tanganku di
kepalanya dan berbisik membujuknya, "Sabar ya Marvin, tinggal
sehari lagi. Kalau Ibu besok pulang, aku akan memberimu semua
hamburger yang kauinginkan."
Namun aku sendiri tak yakin Marvin mampu bertahan, walau
hanya tinggal sehari lagi. Aku benar-benar tergoda melanggar janjiku
pada Ibu. Aku ingin sekali membeli diam-diam beberapa hamburger
dan memberikannya pada Marvin malam itu tanpa setahu Bibi. Tetapi
kemudian aku pikir kalau selama ini ia mampu bertahan, ia pasti bisa
bertahan semalam lagi. Walaupun begitu, rasanya masih penuh resiko.
Aku sudah sering memperhatikan sekali saja tanaman mulai layu dan
melewati titik kritis tertentu, segala perawatan yang luar biasa pun
tidak akan dapat menghidupkannya lagi.
Aku hanya dapat berharap Marvin belum melewati titik kritis
itu. Walaupun kenyataannya jika melihat keadaan Marvin rasanya ia
memang akan melewati titik itu.
Aku merasa Marvin mengetahui apa yang dialaminya. Entah di
mana aku pernah membaca hasil penelitian seseorang yang
mengatakan tanaman juga dapat berpikir, tentu saja dengan cara yang
berbeda dari manusia. Mungkin saja itu benar, pikirku. Aku tak tahu
pasti. Kubelai kepala Marvin dan berkata lembut kepadanya, "Ya,
memang tidak enak ya Marvin. Kau tidak dapat pergi sendiri ke pasar
swalayan dan membeli beberapa hamburger yang enak."
Tentu saja Marvin tak menjawab. Ia hanya terpaku berdiri
dengan lemah dan lesu, dan kepalanya terkulai rendah.
Aku sengaja tidur lebih awal malam itu karena tak tahan
menanti datangnya hari esok. Malam itu aku bermimpi aneh sekali.
Dalam mimpi itu aku terbangun di tengah malam dan melihat Otto
melompat-lompat naik turun di atas daun-daunnya Marvin dan mulai
menggerogoti ujung ujungnya.
Ketika kuperhatikan dengan saksama, tiba-tiba saja kulihat
kepala Marvin mendongak. Ia tersenyum seolah-olah mendapat ide
gemilang. Aku tahu itu tak masuk akal, namun dalam mimpiku,
Marvin seakan benar-benar mempunyai wajah.
Kulihat kedua matanya mengikuti Otto ketika kucing tua yang
nakal itu kembali melambungkan diri dari satu daun ke daun lain,
makin lama makin cepat. Kemudian tiba-tiba Marvin bertindak aneh. Pada saat Otto
mendarat di atas daun, kelihatannya Marvin membungkuk sehingga
daun itu terkulai ke bawah. Marvin membungkuk begitu ke bawah,
sehingga kupikir akan patah.
Tiba-tiba, Otto berancang-ancang di atas kedua kaki
belakangnya seperti biasa dilakukan kucing yang akan melompat.
Pada saat yang bersamaan, daun itu terpental ke atas. Otto pun
melayang ke udara dan Marvin membuka rahangnya lebar-lebar....
Aku terbangun dan melompat dari tempat tidurku. Kamarku
begitu sepi dan aku baru sadar kalau tubuhku gemetar. Kucari Otto
berkeliling tetapi tak terlihat di mana-mana. Mungkin saja ia tengah
berkeliaran di dalam rumah. Lagipula itu kan hanya mimpi, bisikku
pada diriku sendiri. Aku masih begitu mengantuk untuk terus mencari
ke mana Otto menghilang. Yang pasti malam itu aku senang ia tidak
tidur di sebelah kepalaku seperti biasanya.
Keesokan paginya, aku terbangun dan melihat sinar matahari
sudah menembus masuk ke kamarku, dan aku melompat dari tempat
tidur. Rasanya aku begitu ingin bernyanyi. Betapa tidak, Ibu akan
pulang hari ini! Tiba-tiba aku teringat Marvin, dan segera berputar untuk
melihatnya, takut akan kemungkinan terburuk yang dapat terjadi.
Tetapi ternyata Marvin sama sekali tak terlihat sakit. Bahkan
kepalanya menjulur tegak dari bagian yang serupa kerah dan
warnanya begitu hijau, segar dan sehat.
Aku begitu terpukau sehingga hanya mampu terpaku berdiri
sambil memandanginya. Bagaimana mungkin? Pikirku. Kemudian tiba-tiba aku
teringat mimpiku! Pada saat yang bersamaan Bibi Mathilda masuk ke kamarku
dan bertanya, "Steven, apakah kamu melihat Otto? Aneh, aku kok
tidak dapat menemukan kucing kecilku yang manis itu di manamana."
Ia lalu menggosok-gosok dagunya dan berguman lebih
ditujukan pada dirinya sendiri, "Rasanya aneh, Otto tidak segera
datang begitu kupanggil untuk sarapan. Heran aku, di mana ya Otto
berada?" Aku menatap Bibi dan berkata, "Aku tidak melihat Otto sejak
tadi malam. Aku" Nampaknya Bibi tak berniat mendengarkanku sampai selesai. Ia
keluar dari kamarku dan berkata pada dirinya sendiri, "Yah... aku
harus mencarinya lagi. Mudah-mudahan saja ia tidak lari dari rumah."
Begitu Bibi meninggalkanku, aku segera berjalan ke Marvin.
Aku tak tahu apa yang harus kukatakan, atau bahkan apa yang harus
kupikirkan. Kutatap Marvin yang terlihat begitu kokoh dan sehat. Aku
mendekat padanya dan berbisik, "Marvin... kamu kan tidak...?
Maksudku kamu tidak memakannya kan? Maksudku... itu hanya
dalam mimpiku 'kan?" tanyaku ragu-ragu. Tentu saja Marvin tak dapat
berbicara, hingga aku pun tak mendapat jawabannya.
Otto tak pernah terlihat lagi sejak malam itu. Aku masih
percaya bahwa yang aku lihat adalah mimpi. Tetapi kalau itu hanya
mimpi, di mana Otto? Semua itu membingungkanku. Tetapi
bagaimanapun juga, seperti yang aku katakan terdahulu, seandainya
memang Marvin telah melalap Otto, kita kan tak mungkin
memenjarakan sebuah tanaman ... ya nggak? END
Pedang Kayu Harum 2 Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Hamka Sepasang Iblis Bermata Dewa 2

Cari Blog Ini