Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp Bagian 5
dengan sifat dan tabiat pribadi ini. Pribadi ini
sama sekali tidak mengindahkan kehendak
Beng Hek-hou tadi, kehendak untuk melawan
Cu Tong-liang dengar ilmu silat.
Demikianlah, ketika Cu Tong-liang mendekati lawannya, lawannya tiba-tiba
terlontar dari tanah dan mengaum dahsyat
sambil menerkam Cu Tong-liang.
Mulut Macan 8 25 Cu Tong-liang masih belum merasakan
perubahan Beng Hek-hou, belum menyadari
bahwa meskipun yang dihadapinya masih raga
yang sama, tetapi sudah dikendalikan oleh jiwa
yang lain. Menghadapi terkaman raga Beng
Hek-hou itu, Cu Tong-liang merebahkan diri
sambil menendangkan kedua kakinya ke langit,
ke tubuh Beng Hek-hou yang meluncur di
atasnya. Dengan punggung bertumpu tanah,
tendangan dua kaki Cu Tong-liang berkekuatan
luar biasa dan membuat tubuh Beng Hek-hou
melambung tinggi bagaikan bola saja.
Cu Tong-liang puas dengan serangan itu,
menyangka bahwa kali ini Beng Hek-hou pasti
knock-out dan tidak bakal bisa bangkit lagi.
Sambil melejit berdiri, dia berkata sambil
tertawa, "Beng Hek-hou, bukan ilmu gaibku saja
yang ampuh sehingga dapat mengalahkan
penyihir-penyihir di Lam-koan, tetapi ilmu
silatku pun kau sudah merasakannya sekarang."
Dilihatnya tubuh Beng Hek-hou terhempas
ke tengah-tengah ilalang beberapa langkah dari
arena pertempuran. Mulut Macan 8 26 Beberapa saat dari tempat itu tak terjadi
apa-apa, sampai tiba-tiba terdengar auman
dahsyat disertai suara kain pakaian yang
terkoyak-koyak. Yang jatuh ke tempat itu tadi
masih berujud manusia, yaitu Beng Hek-hou,
sekarang yang muncul dari situ ialah seekor
harimau hitam yang besar dan garang. Besarnya
dua kali lipat harimau-harimau biasa, dan dia
keluar dari ilalang dengan berjalan pada dua
kaki belakangnya! Cu Tong-liang kaget setengah mati
menghadapi mahluk jadi-jadian ini. Ia menelan
ludahnya sambil melangkah mundur, untunglah
langit sudah gelap sehingga muka Cu Tong-liang
yang memucat tak nampak. Tetapi suaranya
yang gugup itu sudah disembunyikan, "Kau
sudah berjanji tidak akan menggunakan ilmu
gaib." Kemudian Cu Tong-liang sadar bahwa katakatanya
tadi hanya menunjukkan kelemahannya sendiri. Maka ia ganti siasat, la
berdiri dan dengan mulut berkomat-kamit
pura-pura membaca mantera dan jari
Mulut Macan 8 27 menggores-gores langit. Gayanya itu meniruniru orang-orang Seng-tin kalau mereka hendak
berjalan di atas api atau memanjat tangga golok.
Anak buah Heng Hek-hou yang melihat itu
sudah berdebar-debar melihat gaya Cu Tongliang. Tetapi setelah sekian lama Cu Tong-liang
"membaca mantera dan menggoreskan huruf
suci" ternyata tidak muncul apa-apa.
Sementara harimau hitam yang besar itu
melangkah makin dekat. Aumnya menggetarkan
udara, dan setiap ia melangkah rnaka di
sekitarnya seolah-olah ada angin prahara yang
mengguncangkan tempat itu.
Cu Tong-liang sudah kebingungan, untunguntungan dia menudingkan telunjuk sambil
membentak, "Kembali ke asalmu!"
Bukannya "kembali ke asal" malahan
harimau besar itu mulai menyerang dengan
ganas. Cu Tong-liang berlompatan menghindar
beberapa kali, tetapi ia merasakan tekanan yang
makin berat. Sorot mata kuning kehijauan dari
sepasang mata harimau jadi-jadian itu
menimbulkan pusing berat di kepala Cu TongMulut Macan 8
28 liang. Sedangkan aumnya punya pengaruh
tersendiri yang setiap saat menggedor jantung
Cu Tong-liang. Dengan gangguan seperti itu,
perlawanan Cu Tong-liang tambah kacau.
Cu Tong-liang merasa sebentar lagi
hidupnya akan berakhir, bahkan tubuhnya pun
mungkin takkan utuh. Akan hancur tercabik
sampai ke tulang-tulangnya oleh kuku-kuku dan
gigi macan jadi-jadian itu.
Suatu kesempatan, Cu Tong-liang mencoba
melompat keluar dari arena, tetapi harimau
hitam itu melompat menghalang-halangi.
Cu Tong-liang makin panik, suatu kali ia
berdesis kesakitan ketika kuku-kuku macan itu
menyerempet pundaknya. Sementara kepalanya
makin sakit dan jantungnya makin terasa
digedor-gedor oleh aum si macan jadi-jadian.
Saat itulah dari arah kota Seng-tin tiba-tiba
terdengar seruan orang, "Saudara Cu, kaukah
itu?" Hati Cu Tong-liang seperti ditetesi air sejuk,
sebab ia mengenal suara itu sebagai suara Pang
Mulut Macan 8 29 Se-bun. Cu Tong-liang menjawabnya dari
tengah-tengah kesulitannya, "Ya! Ini aku!"
Kelima anak buah Beng Hek-hou pun
bersiaga, lalu menyongsong ke arah suara Pang
Se-bun dan lain-lainnya itu.
Muncullah orang-orang Seng-tin yang sudah
berlatih sebagai pengawal-pengawal kota.
Jumlahnya ada hampir lima belas orang, dan
semuanya bersenjata. Anak buah Beng Hek-hou tidak berani
meremehkan mereka, teringat malam ketika
mereka terusir dari Seng-tin, dan kini para anak
buah Beng Hek-hou itu segera "membangunkan" kekuatan-kekuatan pribadi
lain yang bersembunyi dalam jiwa mereka, yang
mempengaruhi mereka untuk bertingkah laku
sesuai dengan mahluk-mahluk itu.
Pang Se-bun dan teman-temannya pun
langsung pula mengundang "kekuatan suci"
agar beraksi melalui tubuh dan senjata mereka.
Para pengawal kota itu mulai berseru macammacam mengundang kekuatan andalan mereka.
Ada yang mengundang "panglima dari barat"
Mulut Macan 8 30 ada yang mengundang "sang penunggang
menjangan", "penguasa angin" "penunggang
lingkaran cahaya" dan sebagainya, sesuai yang
diajarkan Wong Lu-siok tentang kerajaan langit
dan penghuni -penghuni perkasanya.
Bedanya antara anak buah Beng Hek-hou
dengan pengikut-pengikut Wong Lu-siok ialah,
pengikut-pengikut Beng Hek-houw setelah
diambil alih oleh mahluk-mahluk gaib dalam
jiwa mereka, maka mereka kelihatan berubah
secara fisik. Ada yang kukunya tumbuh seperti
elang, ada yang keluar taringnya dan memekik
seperti monyet, ada kulitnya berubah warna
atau keluar sisiknya, dan sebagainya. Sedang
orang-orang Seng-tin pengikut-pengikut Wong
Lu-siok itu setelah tubuh mereka dikuasai
"penghuni-penghuni kerajaan langit" tubuh
mereka tidak mengalami perubahan apa-apa,
tetapi tingkah laku mereka yang berubah.
Mereka dalam keadaan memejam, tidak sadar,
mampu melakukan apa-apa yang sebelumnya
tidak dapat mereka lakukan. Ada yang tidak
pernah belajar main golok panjang sedikit pun,
Mulut Macan 8 31 tiba-tiba saja bermain golok panjang dengan
amat menakjubkan seolah sudah berlatih
puluhan tahun. Pertempuran di padang ilalang itu jadi amat
seru, karena yang mendalangi pertempuran
adalah mahluk-mahiuk tak kelihatan yang
menunggangi anak-anak manusia.
Pang Se-bun belum ikut bertempur, ia juga
belum kerasukan. Sambil memanggul tombaknya, ia mendekati arena antara Beng
Hek-hou dan Cu Tong-liang, lalu berkata,
"Saudara Cu, biar kutangani yang ini. Inilah
penjahat yang harus bertanggung jawab kepada
warga Seng-tin." Cu Tong-liang ketika itu sudah mendapat
beberapa luka-luka, tapi untuk minggir begitu
saja dan menyerahkannya kepada Pang Se-bun,
ia merasa gengsi juga, la tahu bahwa dalam hal
silat, Pang Se-bun jauh di bawahnya, tentunya
sekarang Pang Se-bun ingin melawan macan
jadi-jadian itu dengan ajarannya Wong Lu-siok,
bukan dengan silat. Mulut Macan 8 32 Namun Cu Tong-liang akhirnya sadar, kalau
terlambat minggir, tubuhnya akan terceraiberai oleh Beng Hek-hou. Suatu kesempatan ia
bergulingan keluar dari gelanggang.
Beng Hek-hou dalam wujuh jadiannya itu
hendak mengejarnya, tetapi Pang Se-bun sudah
melompat maju, ujung tombaknya memaksa
macan hitam itu mundur. Pang Se-bun agaknya
sudah kesurupan juga, sebab matanya terpejam
dan dia bermain tombak dengan anggun. Cu
Tong-liang yang menyaksikannya di tepi arena
melihat bahwa permainan tombak Pang Se-bun
kali ini jauh lebih hebat dari biasanya kalau
tidak kesurupan. Cu Tong-liang sudah tidak
heran lagi. Sambil menyaksikan orang-orang Seng-tin
bertempur, Cu Tong-liang menimbang-nimbang
untung rugi dan baik buruk kalau ia memiliki
ilmu gaib "putih" seperti orang-orang Seng-tin
ini. Ilmu gaib yang "untuk kebaikan" dan untuk
"membendung kejahatan".
Kini, selagi semua orang bertempur sedang
dirinya sendiri hanya menonton, Cu Tong-liang
Mulut Macan 8 33 merasa malu juga. Apalagi kedatangan orangorang tadi untuk menolongnya. Menolong
pelatih peng-hoat (ilmu kemiliteran) yang
hampir mampus dibunuh Beng Hek-hou, betapa
memalukannya! Ke mana muka Si Pelatih ini
hendak ditaruh? "Keparat Beng Hek-hou, janjinya hanya
main silat dan tidak pakai ilmu gaib, eh, dasar
mulut bandit susah dipercaya." gerutunya
dalam hati. "Padahal aku hampir menang tadi,
dia sudah kena pukulan dan tendanganku.
Alangkah bangganya seandainya kuringkus dia
dan kugiring ke Seng-tin."
Ketika itu udara malam digetarkan oleh
suara pekikan monyet yang melengking
panjang, yaitu waktu salah seorang anak buah
Beng Hek-hou tertusuk perutnya oleh seorang
pengawal Seng-tin. Disusul oleh suara hewan-hewan lain dari
mulut manusia-manusia anak buah Beng Hekhou, ketika mereka menjadi mangsa senjata
orang-orang Seng-tin. Ada satu anak buah Beng
Hek-hou yang suaranya tidak seperti binatang
Mulut Macan 8 34 apa pun, tetapi mirip geram seorang raksasa,
mengiringi tubuhnya yang tumbang ke tanah.
Kekalahan mereka agaknya mempengaruhi
Beng Hek-hou pula. Apalagi kemudian orangorang Seng-tin yang mulai sadar dari
kerasukannya itu mendukung Pang Se-bun
dengan nyanyian-nyanyian ajaran Wong Lusiok. Nyanyian yang agaknya mempengaruhi
mahluk gaib di dalam Beng Hek-hou,
mempengaruhi dan menjadikannya makin
lemah dan makin bingung. Suatu kali, ujung tombak Pang Se-bun
mengenai lambung macan hitam jadi-jadian ini.
Agaknya Beng Hek-hou belum saatnya mati.
Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah kelima anak buahnya terbunuh dan
dirinya sendiri terluka, Beng Hek-hou dalam
wujud jadiannya itu meraung dahsyat dan
melompat menghilang dalam kegelapan.
Di kejauhan terdengar lolong serigaJa
mengalun memanjang. Menurut kepercayaan,
kalau serigala atau anjing malam melolong
seperti itu tandanya ada mahluk-mahluk gaib
dari dunia lain sedang keluyuran di bumi.
Mulut Macan 8 35 Pelan-pelan Pang Se-bun sadar, lalu
membuka matanya dan menoleh ke sekelilingnya. Ketika melihat kelima mayat anak
buah Beng Hek-hou tapi tidak ada mayat Beng
Hek-hou, ia bertanya, "Kenapa tidak ada Beng
Hek-hou?" Seorang, pengawal Seng-tin yang bersenjata
golok panjang dan tadi kerasukan "penjaga
gunung Thian-san", menjawab, "Tadi Kakak
melukainya, lalu dia lari."
Sementara Cu Tong-liang dengan agak
tersipu-sipu mengucapkan terima kasih kepada
orang-orang itu. "Kalau tidak ada saudara-saudara, aku
sudah jadi daging cincang oleh kuku macan jadijadian tadi."
"Saudara Cu, malam-malam begini mau ke
mana?" "Hendak pulang ke rumah Tabib Kian."
"Saudara Cu, kau sudah disambut baik di
Seng-tin. Tidak perlu kau bolak-balik ke pondok
Tabib Kian. Kalau kemalaman setiap rumah di
Mulut Macan 8 36 Seng-tin akan menerimamu dengan tangan
terbuka. "Ah, kalian begitu baik. Tetapi niat ku ke
pondok Tabib Kian itu bukan karena tidak
mempercayai keramahan kalian, melainkan
karena aku ingin memperbincangkan sesuatu
dengan temanku. "Liu Yok?" tanya Pang Se-bun. Cu Tong-liang
tercengang. "Kok tahu?"
"Nona Siau bercerita sedikit kepadaku
tentang Saudara Liu Yok. Tadi, ketika
mengantar pulang A-kun...."
Cu Tong-liang selama ini memang enggan
bercerita tentang Liu Yok sebab dianggapnya
agak memalukan. Ia anggap Liu Yok kalah jauh
dalam soal kebijaksanaan dan keanggunan
sikap maupun kemampuan gaib kalau
dibandingkan Wong Lu-siok. Tapi ternyata Siau
Hiang-bwe sudah menceritakannya kepada
Pang Se-bun, apa boleh buat, Cu Tong-liang
mengakuinya. "Ya, menjelang sore tadi, aku berbincang
dengan Guru Wong. Guru Wong menawariku
Mulut Macan 8 37 sedikit ilmu untuk berjaga jaga terhadap niat
jahat orang. Ini yang ingin kuperbincangkan
dengan Saudara Liu Yok sebelum kuterima
tawaran Guru Wong." Beberapa pengawal Seng-tin diam-diam
menggerutu dalam hati. Menganggap Cu Tongliang ini kurang bersyukur menerima anugerah
besar. Anugerah besar ditawari ilmu Wong Lusiok. Cu Tong-liang masih jual mahal dengan
hendak membicarakan dulu dengan Liu Yok
segala. Orang macam apa Liu Yok itu? Apakah
lebih hebat dari Guru Wong?
Namun sikap Pang Se-bun ternyata tetap
ramah. "Aku dengar dari Nona Siau, Liu Yok itu
juga mengajarkan jalan kebajikan kepada
Saudara Cu dan Nona Siau. Pastilah dia sejalan
dengan Guru Wong. Sama-sama mengajar
kebajikan. Pastilah dia tidak keberatan kalau
Saudara Cu mendapat ilmu dari Guru Wong,
ilmu untuk berbuat kebajikan."
Cu Tong-liang mengangguk-angguk, hatinya
sudah mulai condong ke pendapat Pang Se-bun
itu. Mulut Macan 8 38 "Bagaimana, Saudara Cu? Masih ingin
menemui temanmu yang bernama Liu Yok itu?
Kalau masih ingin, bukan saja kami tidak
menghalangi, bahkan kami akan mengantar ke
sana. Bagi kami bertemu orang suci macam Liu
Yok pastilah membawa manfaat besar, sebagai
mana dulu kami bertemu dengan Guri Wong."
Cu Tong-liang menggeleng. "Rasanya aku
tidak perlu ke sana."
"Malam ini, Saudara Cu kupersilakan
menginap di rumahku."
Rombongan itu kemudian kembali menuju
Seng-tin. Sebelum jauh dari tempat itu, tiba-tiba
seorang berkata, "Guru muda Pang, bagaimana
dengan mayat-mayat para penjahat ini?"
Jawaban Pang Se-bun makin membuat
kagum Cu Tong-liang, "Mereka memang jahat,
tetapi kita harus menghormati martabat
mereka sebagai manusia. Jadi, bawa mayat
mereka. Besok kita makamkan baik-baik."
"Malam ini mayat-mayatnya mau diinapkan
di mana?" Mulut Macan 8 39 "Di rumah ibadah saja. Kukira Guru Wong
takkan keberatan." Yang dimaksud "rumah ibadah" ialah rumah
bekas kediaman guru silat Ciu Koan, yang kini
dipakai untuk beribadah oleh penganutpenganut ajaran Wong Lu-siok.
Ketika melewati rumah Ciok Yan-lim Si
Tukang Peti Mati, Pang Se-bun mengetuk pintu
rumah itu. Ciok Yan-lim membukakan pintu dan
agak kaget melihat sekian banyak orang berdiri
di depan pintu rumahnya, lebih tegang lagi
ketika mengenali ada Pang Se-bun ada Cu Tongliang dan ada lima mayat yang digotong oleh
pengawal-pengawal kota. "A... ada... apa... ini?" tanyanya gugup
Sahut Pang Se-bun, "Saudara Ciok, sekarang
kau punya berapa biji peti mati untuk orang
dewasa?" "Yang sudah siap pakai ada empat, ada satu
lagi yang hampir selesai."
"Besok siang bisa kirim lima ke bekas
rumah guru silat Ciu Koan?"
Mulut Macan 8 40 Ciok Yan-lim melirik mayat-mayat anak
buah Beng Hek-hou yang dibawa dengan usungusungan darurat itu. Lalu menjawab girang,
"Bisa... bisa... Malam ini juga kurampungkan
yang setengah jadi itu dan besok kukirim ke
sana." "Bagaimana adikmu?"
"Masih murung, tetapi kami terus berusaha
membangkitkan kembali semangatnya."
"Bagus, jangan biarkan dia putus harapan.
Kami pergi dulu, Saudara Ciok, kami masih
harus menaruh jenazah-jenazah ini."
"Maaf, Guru Muda Pang, mayat-mayat
siapa?" "Anak buah Beng Hek-hou yang kembali
hendak mengacau Seng-tin, tapi berhasil kami
atasi." "Syukurlah. Penguasa-penguasa di langit
masih tetap melindungi Seng-tin dari orangorang jahat itu."
"Nah, selamat malam, Saudara Ciok."
Setelah Pang Se-bun dan lain-lainnya Pergi,
Ciok Yan-lim hampir saja berteriak kegirangan.
Mulut Macan 8 41 Dengan bersemangat dikatakannya kepada
isterinya, "Isteriku, kata-kata Nona A-kun siang
tadi benar-benar bertuah. Kita kebanjiran
rejeki. Bayangkan, siapa sangka malam-malam
begini ada pesanan lima peti mati sekaligus?
Hitung saja berapa uang yang bakal kita dapat....
dan kalau tiap hari lima peti terjual, berarti...."
".... berarti tiap hari lima nyawa melayang...."
sambung isterinya sambil menghilang ke dapur,
memberesi bekas-bekas makan malam.
*** Pagi itu Janda Giam bingung, karena selain
anak lelakinya, Giam Lok, belum membaik
sedikit pun sakitnya, tahu-tahu anak
perempuannya, Giam Lik, jatuh sakit pula.
Awalnya, ketika Janda Giam menyuruh
puterinya untuk membantunya dan puterinya
mengaku tidak sanggup bangun dari dipan,
Janda Giam menyangka puterinya enggan untuk
membantunya. Tetapi ia meraba badan
puterinya dan terasa tinggi suhunya.
Mulut Macan 8 42 "Ini yang kukuatirkan!" Janda Giam hampir
menjerit saking pepat batinnya. "Kemarin sore
waktu kauceritakan bahwa gadis asing yang
menginap di pondoknya Tabib Kian itu datang
kemari, hatinya sudah tidak enak. Gadis itu
pembawa bencana Ia hendak menyimpangkan
keyakinan orang-orang kota ini dari ajaran suci
Guru Wong! Ia datang ke rumah ini, dan rumah
ini kena bencana!" Karena kini Janda Giam tinggal satu-satunya
orang sehat di rumah itu, sudah tentu ia tak
dapat mengerjakan segalanya sendirian. Ia
minta bantuan tetangga. Sambil menghubungi
tetangga-tetangga, sekaligus ia juga menyebarkan berita tentang gadis pembawa
bencana" yang mulai berkeliaran di Seng-tin.
"Gadis itu menentang keyakinan suci kita.
Ketika kudorong-dorong A-lok anakku untuk
mematuhi permintaan Guru Wong untuk
menjadi pembantunya, gadis itu malah
menganjurkan A-Lok untuk bertahan. Jadinya Alok tidak sembuh sampai sekarang. Sekarang
malahan A-lik ikut sakit."
Mulut Macan 8 43 "Kita harus waspada, kita sebar-luaskan
peringatan kepada yang lain-lain agar jangan
mengijinkan pembawa bencana itu masuk ke
rumah kita." "Ya, kedatangannya membawa siluman yang
jahat." "Kalau yang rumahnya sudah terlanjur
dimasuki dia, bagaimana?" tanya isteri Ciok
Yan-lim yang kini bergabung dengan nyonyanyonya yang sedang bergosip itu. Ia bertanya
demikian, karena kemarin si pembawa
bencana" itu mengunjunggi rumahnya, bahkan
juga kemarin lusa. "Kau harus adakan upacara menolak
pengaruh jahat" "Gadis itu sungguh-sungguh jahat, kemarin
kulihat dia menggandeng-gandeng A-kun.
padahal A-kun bocah suci, penghubung antara
kita di alam kasar mi dengar penghunipenghuni kerajaan langit yang menolong kita.
Ingatkan Nyonya Pang agar menjaga putermya
Mulut Macan 8 44 baik-baik..jangan sampai siluman betina itu
mempengaruhi A-kun."
"Lihat, baru dua hari siluman betina itu
muncul di kota kita dan kota kita sudah
mendapat bahaya. Kalian sudah dengar bahwa
kemarin sore Beng Hek-hou dan beberapa anak
buahnya mencoba menerobos masuk kota
kembali? Untunglah tentara gaib dari kerajaan
langit membentengi kita, sehingga Beng Hekhou kabur dan kelima anak buahnya terbunuh."
"Barangkali gadis yang bernama Siau Hiangbwe itu mata-mata Beng Hek-hou?"
"Bukan barangkali lagi, tetapi pasti!
Buktinya, begitu dia muncul maka Beng Hekhou pun muncul kembali."
"Bukti lain, dia mencoba menggoyahkan
keyakinan kita kepada ajaran Guru Wong.
Rupanya yang paling ditakuti Beng Hek-hou
ialah ajaran suci itu, maka ia berusaha
memisahkan kita dari ajaran itu, agar lebih
mudah kita dimangsanya."
Seorang nyonya pendek gemuk mengangguk-angguk, berlagak paranormal. "Pantas...
Mulut Macan 8 45 pantas... semalam aku bermimpi melihat gadis
itu menunggangi seekor macan hitam yang bisa
Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terbang. Gadis itu berjubah hitam dan
bertaring." Biasanya tidak ada yang menggubris mimpi
dari nyonya sok paranormal tersebut, tetapi kali
ini berhubung mimpinya cocok dengan topik
yang sedang digosipkan, mimpinya langsung
mendapat sambutan dari pendengarpendengarnya. Ketika nyonya-nyonya itu bubar, gosipnya
menyebar ke seluruh kota dan bumbu-bumbu
dahsyat pun ditambahkan. Apalagi karena di
kota Seng-tin muncul beberapa peristiwa yang
bisa dikait-kaitkan dengan Siau Hiang-bwe,
meskipun pengkaitannya sekedar ngawur atau
mengada-ada. Ciok Yan-lim dengan penuh sukacita
mengantarkan lima peti ke bekas rumah guru
silat Ciu Koan, lalu dengan sukacita pula pulang
membawa uangnya. Tetapi begitu tiba di rumahnya, sukacitanya
berubah menjadi dukacita karena mendapati
Mulut Macan 8 46 adiknya kembali minum racun. Kali ini tak
tertolong lagi. Adiknya hanya meninggalkan
sepucuk surat pendek yang mengungkapkan
kekecewaannya bahwa ia tidak dapat menjadi
pengawal kota yang baik, dan ia ingin
menghilangkan kekecewaannya dengan menenggak racun. Tetangga-tetangga berdatangan membantu
dan menghibur, lalu entah siapa yang mulai,
tuduhan pun dialamatkan kepada Siau Hiangbwe. Diperkuat "bukti" yang dibawa oleh
Nyonya Ciok dari hasil gosipnya dengan
nyonya-nyonya lainnya. Biasanya kalau Ciok Yan-lim mengerjakan
peti mati, ia mengerjakannya dengan gembira
karena membayangkan uang yang akan
diperolehnya, tak peduli siapa yang mati. Kali
ini Ciok Yan-lim mengerjakannya dengan
sebentar-sebentar mengusap air matanya.
"Pemesan" kali ini adalah adiknya sendiri,
saudara satu-satunya. Ditambah lagi, A-koan anak sulungnya tibatiba sakit panas, sering mengigau tak sadar,
Mulut Macan 8 47 dalam igauannya itu menyebut-nyebut tentang
"sebuah taman indah dengan mahluk-mahluk
suci yang elok dengan A-kun dan A-hwe di
dalam taman". Makin lama makin banyak yang berdatangan ke rumah Ciok Yan-lim untuk
menyatakan belasungkawa. Malam harinya, lolong tangis isteri Ciok
Yan-lim mengejutkan para tetangga, yaitu
ketika ibu muda itu mendapatkan A-koan sudah
tidak bernapas lagi. Kesedihan, di saat akal sehat buntu, dengan
mudah dibelokkan oleh beberapa ucapan tak
berdasar untuk berubah menjadi kemarahan
dan kebencian hebat yang dialamatkan ke arah
Siau Hiang-bwe, "Si Pembawa Bencana".
"Siluman betina itu jangan sampai terlihat
kembali di kota ini!" seru Lui Kong-sim yang
sudah hadir di rumah duka bersama "kelompok
keamanan"nya yang galak-galak. "Kalau ada di
antara kalian yang melihatnya berkeliaran di
kota, cepat laporkan aku! Aku tidak takut
Mulut Macan 8 48 biarpun dia punya ilmu siluman, aku punya
ilmu dewa sebagai penangkalnya!"
Yang agak bingung menghadapi suasana
Seng-tin yang tiba-tiba diamuk wabah
kebencian terhadap Siau Hiang-bwe itu, adalah
Cu Tong-liang. Cu Tong-liang sudah menjadi
tokoh terhormat di Seng-tin, namun persahabatannya dengan Siau Hiang-bwe
membuatnya berkuatir untuk nasib Siau Hiangbwe bila berani muncul lagi di Seng-tin.
Jauh di dasar hati Cu Tong-liang jug..
percaya bahwa Siau Hiang-bwe pasti bukan
"pembawa bencana" atau "siluman betina" atau
"mata-mata Beng Hek-hou" segala. Tapi Cu
Tong-liang pun sadar mulutnya yang hanya satu
itu takkan bisa melawan sekian banyak mulut
orang-orang Seng-tin. Yang bisa dilakukan Cu Tong-liang ialah
diam-diam menyelundup keluar Seng-tin,
menuju ke pondok Tabib Kian dan
memberitahu Siau Hiang-bwe agar tidak
mengunjungi Seng-tin lagi. Habis memberi tahu
Mulut Macan 8 49 Siau Hiang-bwe, Cu Tong-liang kembali diamdiam ke Seng-tin.
Pergi pulang melewati padang ilalang itu Cu
Tong-liang tidak lagi gentar seandainya
kepergok kawanan serigala maupun Beng Hekbou sendiri. Dikantongnya ia sudah diberi bekal
oleh Wong Lu-siok berupa sehelai ikat kepala
yang bertuliskan "huruf suci" yang dapat
menangkal semua pengaruh jahat.
Siau Hiang-bwe menjadi murung mukanya
setelah mendengar dari Cu Tong liang tentang
peristiwa-peristiwa di Seng-tin. Bukan hanya
Siau Hiang-bwe, tetapi juga Tabib Kian yang
mulai ragu-ragu akan keampuhan jamujamunya.
Dalan. suatu kesempatan, Siau Hiang-bwe
bertanya kepada Liu Yok di tengah-tengah
kebun obat Tabib Kian. "Kakak Yok, aku merasa gagal. Ajaranajaran yang Kakak ajarkan kepadaku ternyata
setelah dipraktekkan, hasilnya tidak seperti
yang kuharapkan Aku berbuat baik, memberi
semangat dan harapan, hasilnya malah orangMulut Macan 8
50 orangnya tambah menderita, bahkan ada yang
mati. Sekarang orang-orang Seng tin membenciku semua." Liu Yok mendengarkan sambil menggemburkan tanah kebun dengan cetoknya.
Mendengar pertanyaan Siau Hiang-bwe, Liu Yok
tidak menjawabnya langsung, malahan berkata,
"Ada suatu tempat yang berdekatan, tetapi
punya dua keadaan. Ada daratan berbelukar
yang berdampingan letaknya dengan sebuah
teluk yang berhubungan dengan laut. Di kedua
macam tempat itu ada penguasanya masingmasing. Daratan belukar dikuasai seekor singa
yang garang dan semua mahluk di situ tunduk
kepadanya. Sedangkan di teluk itu dihuni
seekor ikan hiu yang ganas, terkuat di antara
sekalian mahluk air. Nah, seandainya kedua
hewan berkuasa itu bertarung, siapa
pemenangnya?" Siau Hiang-bwe benar-benar kesal bahwa
selagi ia membutuhkan jawaban, malahan Liu
Yok memberinya teka-teki macam itu. Ia
Mulut Macan 8 51 membungkam dengan muka merenung sambil
mencabuti rumput-rumput di dekatnya.
Tetapi jauh di dalam hatinya tiba-tiba ia
ingat bahwa Liu Yok bukan jenis orang yang
suka menghamburkan kata-kata dengan sia-sia.
Liu Yok yakin benar bahwa setiap katanya
tergores di dalam batin dan akan terlihat
hasilnya di alam nyata. Ingat itu, Siau Hiang-bwe menjawab, "Kalau
perkelahian terjadi di darat, si ikan hiu akan jadi
mangsa si singa. Tidak usah dimangsa singa,
dibiarkan pun akan mati. Tetapi kalau
perkelahiannya terjadi di dalam air, singa itulah
yang akan diganyang si hiu. Jadi, tergantung
tempatnya." "Itulah jawaban untuk masalah yang kau
hadapi di Seng-tin."
Siau Hiang-bwe mengangkat wajahnya,
menatap tajam Liu Yok yang tidak berhenti dari
kegiatan berkebunnya. "Kakak Yok, tolong
jelaskan." "Sejak kau menyambut uluran anugerah
Yang Maha Kuasa, diubah menjadi ciptaaan
Mulut Macan 8 52 yang baru, maka pada dirimu ada dua keadaan.
Keadaan lama, yaitu keadaan alamiah yang kau
bawa sejak kelahiranmu dari orang tuamu. Lalu
keadaan yang baru, keadaan ilahiah yang
kaudapatkan langsung dari Maha Penciptamu
sebagai anugerah yang kau sambut, bukan
pahala yang kau peroleh dengan usaha-usaha
kebajikanmu." Siau Hiang-bwe mendengarkan, tapi belum
terlalu bersungguh-sungguh, sebab yang
didengarnya itu sudah berulang kali dikatakan
oleh Liu Yok. Tanpa menggubris sikap Siau Hiang-bwe,
Liu Yok melanjutkan, "Keadaan yang kau hadapi
di Seng-tin adalah keadaan yang berakar di
alam gaib, bukan dalam kenyataan-kenyataan
alamiah yang tertangkap panca indera. Kau
tidak bisa menyentuh sesuatu yang gaib dengan
sesuatu yang alamiah. Kau tidak bisa menolong
orang Seng-tin yang dikuasai penguasapenguasa gaib itu dengan keadaanmu sebagai
manusia alamiah, meski bagaimanapun baik
dan mulianya yang alamiah itu."
Mulut Macan 8 53 "Maksud Kakak Yok?"
"Kau berbuat baik kepada Giam Lok, kepada
Yao Sin-lan, kepada Ciok... siapa itu, yang bunuh
diri?" "Ciok Yan-bok...."
"Ya, ya, kau berbuat baik kepada mereka.
Tetapi perbuatan baikmu bersumber dari
manusia alamiahmu, maka meski pun baik
tetapi sama sekali tidak menyentuh akar
masalah mereka. Di mana akar masalah
mereka? Di alam gaib. Maka perbuatanperbuatan alamiahmu itu sia-sia. Sekali lagi,
yang gaib tidak tersentuh oleh yang alamiah."
Sekarang Siau Hiang-bwe mulai lebih
bersungguh-sungguh terlibat dalam pembicaraan. "Jadi?"
"Coba jawab, waktu kau berbuat baik
kepada orang-orang Seng-tin itu, kau lakukan
dengan pikiran siapa, perasaan siapa dan
kehendak siapa?" "Aku merasa kasihan kepada orang-orang
itu, lalu kupikir aku dapat berbuat sesuatu
Mulut Macan 8 54 untuk menghibur mereka dengan kata-kata dan
perhatian, dan aku mau melakukannya."
"Kamu kasihan, kamu berpikir kamu dapat
berbuat sesuatu, kamu mau. Itulah masalahmu.
Kamu, kamu, kamu. Rasa kasihanmu
menyumbat rasa kasihan-Nya yang amat
berkuasa menolong, pikiranmu menghalangi
pikiran-Nya, rasa mampumu menghalangi
kemampuan-Nya, kehendakmu menghalangi
kehendak-Nya. Segala yang berasal dari
manusia alamiahmu, betapapun bagusnya,
menyumbat segala yang dari manusia
ilahiahmu. Semua yang dalam manusia
ilahiahmu berasal dari Yang Maha Kuasa. Maka
dikatakan bahwa manusia ilahiah itu tidak
dapat berdosa. Bukan tidak ingin berdosa,
melainkan tidak dapat! Seandainya manusia
ilahiahmu yang beraksi di Seng-tin, hasilnya
pasti jauh berbeda."
"Jadi?" "Pikiran, kehendak dan perasaanmu harus
amblas dan musnah dalam pikiran-Nya,
Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kehendak-Nya dan perasaan-Nya. Kau pikir
Mulut Macan 8 55 yang Dia pikirkan, kau kehendaki yang Dia
kehendaki, kaurasakan yang Dia rasakan."
"Wah, mana aku mampu?"
"Nah, kau bersikap alamiah lagi, kaupikir
Yang Maha Kuasa butuh kemampuanmu? Tidak.
Dia hanya butuh kemauanmu. Kau bilang mau,
Dia bekerja dalam batinmu. Ini anugerah. Bukan
upah usaha." "Dia Yang Maha Kuasa, kenapa butuh
kemauanku? Bukankah dia dapat melewati
begitu saja?" "Karena Dia menghormatimu dan tidak
main terobos saja. Anugerah-Nya disalurkan
kepada siapa saja, tetapi yang tidak mau
menerimanya ya tidak dipaksa. Yang merasa
mampu bisa mendekati-Nya dengan usaha
sendiri dengan berusaha menjadi orang sebaikbaiknya, ya tidak dipaksa menerima anugerahNya yang menyempurnakan."
"Kakak Yok, aku ingin menolong orangorang Seng-tin, aku mau manusia ilahiahku
beraksi keluar, bagaimana caranya?"
Mulut Macan 8 56 "Sederhana. Penghalangnya dihancurkan.
Penghalangnya adalah manusia alamiahmu,
yang selalu ingin bertindak sendiri tanpa
mengajak Sumber Kekuatannya."
Siau Hiang-bwe agar berdebar-debar.
"Dihancurkan?" "Ya, disangkal, dianggap tidak ada nilainya
lagi. Yang dijunjung tinggi oleh manusiamanusia alamiah seperti harga diri, nama baik,
takut kehilangan muka dan sebagainya, akan
disapu habis!" Siau Hiang-bwe termenung-menung lama
sekali, lalu bangkit melangkah meninggalkan
kebun untuk menuju pondok Tabib Kian. Tetapi
berjalan baru beberapa langkah, ia berhenti dan
bertanya, "Kakak Yok, apa arti ceritamu tentang
singa dan ikan hiu tadi?"
"Itu tentang lawan sejatimu dan kau. Kalau
pertarungan terjadi di kawasan alamiah, kau
pecundang. Sebab manusia alamiahmu adalah
keturunan seorang pelanggar yang telah
menjual seluruh keturunannya ke dalam kuasa
si malaikat durhaka. Kalau pertarungannya di
Mulut Macan 8 57 kawasan manusia ilahiahmu, kau pemenang,
sebab kau adalah wakil Yang Maha Kuasa di dua
alam, alam gaib dan alam kasar, kaulah
pelaksana undang-undang-Nya dan hukumhukut i i-Nya."
Siau Hiang-bwe melangkah ke dalam
pondok, merenungkan kata-kata Liu Yok.
* * * Hampir seluruh warga Seng-tin hadir di
kuburan untuk ikut menyatakan simpati, saat
jenazah Ciok Yan-bok dan keponakannya, Akoan, diturunkan ke liang lahat. Jerit tangis
isteri Ciok Yan-lim tak terbendung lagi, bahkan
menular ke beberapa ibu-ibu dan bahkan
beberapa lelaki pun tak tahan dan matanya ikut
berkaca-kaca. Setelah kuburan diuruk, dan para pelayat
siap-siap bubaran, tiba-tiba Lui Kong-sim
mengambil kesempatan selagi orang banyak
berkumpul, Lui Kong-sim mengambil tempat di
Mulut Macan 8 58 atas sebuah batu besar lalu berseru, "Saudarasaudara, para warga Seng-tin yang baik!
Mumpung kita berkumpul hampir semuanya,
coba dengarkan aku!"
Sebagian besar orang-orang Seng-tin
berhenti dan memandang ke arah Lui Kong-sim.
Ada juga para pelayat yang tidak menggubris,
dan tetap saja mereka ngeloyor pergi. Mungkin
karena sudah tengah hari lebih dan mereka
sudah lapar. Mereka tidak sadar bahwa Lui
Kong-sim diam-diam menyuruh temantemannya untuk mematut siapa-siapa saja
orang-orang yang tidak mau mendengarkannya
itu. Setelah mendapat perhatian dari sebagian
besar pelayat, Lui Kong-sim membuka
pidatonya, "Saudara-saudaraku, kita belum lupa
pedihnya penindasan oleh gerombolan jahat.
Oleh pertolongan dari langit yang mengutus
utusan sucinya, Guru Wong, kita bebas. Guru
Wong bukan saja diutus untuk membebaskan,
tetapi untuk membimbing kita ke jalan suci!
Hanya dengan mengikuti jalan suci itulah kita
Mulut Macan 8 59 terlindung dari kembalinya kekuatan-kekuatan
jahat ke kota ini. Benar tidak?"
Di antara para pendengar memang banyak
yang sudah mengikuti ajaran Wong Lu-siok, dan
mereka pun berseru-seru membenarkan
ucapan Lui Kong-sim. Lui Kong-sim amat puas dengan sambutan
itu. Lanjutnya, "Ternyata Beng Hek-hou si
bangsat itu belum rela melepaskan kota kita ini,
meskipun ia telah terusir. Ia berusaha kembali!
Inginkah Saudara-saudara kota ini kembali
dikuasainya?" "Tidak! Tidak!" seru orang banyak.
"Saudara-saudara! Beng Hek-hou tahu kita
punya benteng yang tak bisa dia tembus, yaitu
ajaran Guru Wong! Ajaran yang membuat
balatentara gaib dari kerajaan langit berkenan
membentengi kita! Ajaran yang membuat ilmu
jahatnya tak berdaya!"
Orang-orang berseru memuji Wong Lu-siok
maupun para penguasa-penguasa gaib yang
diperkenalkan oleh Wong Lui-siok kepada
rakyat Seng-tin. Mulut Macan 8 60 "Saudara-saudara! Beng Hek-hou tahu kita punya
benteng yang tak bisa dia tembus, yaitu ajaran
Guru Wong! Mulut Macan 8 61 Lui Kong-sim sendiri seolah kemasukan
suatu pengaruh yang amat kuat, hingga ia
berhasil memiliki pengaruh yang mencengkeram atas pendengar - pendengarnya.
la seolah menyihir pendengar-pendengarnya.
"Sekarang Beng Hek-hou secara pengecut
hendak mempengaruhi kita meninggalkan
ajaran suci, meninggalkan pelindung kita! Dia
tidak berani muncul terang-terangan, tetapi
memakai seorang gadis cantik untuk
melemahkan keyakinan kita terhadap ajaran
Guru Wong. Ya, seorang gadis yang dengan
bebas masuk-keluar rumah-rumah kita sambil
rnelt paskan sihir jahatnya! Dua korban sudah
jatuh! Apakah kita ingin melihat korban-korban
berikutnya berjatuhan?"
"Tidak! Tidak!" kembali orang banyak
bergemuruh. "Kalau begitu, hai warga Seng tin yang
gagah perkasa, yang dilindungi para dewa,
tunggu apa lagi? Penyihir jahat itu sekarang
masih bersembunyi di kediaman Tabib Kian!
Mulut Macan 8 62 Derni para penguasa langit, kita datangi dan
kita tangkap dia!" Orang-orang bersorak setuju, yang berteriak paling keras ialah Ciok Yan-lim yang
sangat mendendam kepada Siau Hiang-bwe atas
kematian anaknya dan adiknya. Beberapa hari
yang lalu ia punya kesan baik terhadap Siau
Hiang-bwe, sekarang kesan baiknya itu sudah
tersapu habis oleh gosip, prasangka, kemarahan, kedukaan, kebencian.
Begitulah, dipimpin Lui Kong sin orangorang yang marah bercampur ketakutan itu
berbaris ke pondok Tabib K i,
Di kediaman Tabib Kian, Liu Yok yang
sedang memperbaiki penyangga tanaman
rambat di kebun, dikejutkan oleh kedatangan
Cu Tong-liang yang berlari terengah-engah dari
arah padang ilalang. Bahkan ia tidak sempat
membuka pintu pagar kediaman Tabib Kian
melainkan melompatinya saja.
Bersambung jilid IX Mulut Macan 8 63 Sumber Image : Koh Awie Dermawan
first share in Kolektor E-book
Pringsewu 24/08/2018 17 : 27 PM
Mulut Macan 8 64 Mulut Macan 9 1 JILID IX * Karya : STEVANUS S.P. pelukis : WIDODO Percetakan & Penerbit
CV "G E M A" Mertokusuman 761 RT 02 RW VII
Telp 35801 - SOLO 57122 Mulut Macan 9 2 Mulut Macan 9 1 Dari Mulut Macan ke Mulut Buaya
Karya : STEFANUS S.P. Jilid IX K EPADA Liu Yok dia berteriak, "Saudara Liu,
A-kui di sini?" Liu Yok melangkah
mendekati Cu Tong-liang dengan tangan dan
pakaian masih berlepotan tanah. "Ya, ada apa?"
"Orang-orang Seng-tin dalam kemarahan
tak terkendali sedang berbondong-bondong
menuju kemari, mereka menuduh A-kui sebagai
pembawa kutukan. Bantu aku membujuk A-kui
pergi dari sini... ia menurut kepadamu, Saudara
Liu." Liu Yok hanya sedikit mengerutkan alis
mendengar ini, ia tidak sepanik Cu Tong-liang,
sebab rasa-rasanya apa yang terjadi hari ini
sudah "terbaca" oleh ketajaman firasatnya sejak
beberapa hari yang lalu. Bersama Cu Tong-liang,
ia melangkah masuk ke dalam pondok.
Mulut Macan 9 2 Siauw Hiang-bwe sedang membenahi
ruangan tengah, sementara Tabib Kian di
tempat biasanya meracik obat.
Dengan tergopoh-gopoh Cu Tong-liang
berkata, "A-kui, kemasi barangmu secepatnya,
aku akan mengantarmu ke tempat yang aman
untuk sementara!" "Kenapa?" "Hari ini warga Seng-tin menguburkan Ciok
Yan-bok dan Ciok Koan keponakannya, di
kuburan, Lui Kong-sim berhasil menghasut
massa pelayat untuk beramai-ramai kemari
hendak menangkapmu. A-kui! Tak seorang pun
bisa menghentikan mereka."
Wajah Siau Hiang-bwe memang menjadi
tegang, dan tangannya sedikit gemetar. Ia
menoleh ke arah Liu Yok, tatapan matanya
bertanya kepada Liu Yok. Liu Yok berkata kalem, "Inilah saat memilih.
Apakah kau rela manusia alamiahmu dianggap
tak berarti, atau kau hendak menyelamatkannya dan membiarkannya tetap
menjadi penyumbat bagi manusia ilahiahmu.
Mulut Macan 9 3 Mana pun yang kau-pilih, kehendak bebasmu
tidak ditekan atau dipaksa, Kalau kau hendak
menyelamatkan diri, kau tetap akan dilindungi.
Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kalau kau menyerahkan diri, kaupun tetap tidak
dilepaskan oleh tangan-Nya."
Siau Hiang-bwe yang ditawari pilihan belum
menjawab, malahan Cu Tong-liang yang sudah
mencak-mencak duluan. "Saudara Liu, bagaimana kau ini? Punya otak atau tidak?
Kalau A-kui menyerah, dia akan dihina,
dipermainkan, diarak keliling kota, dan entah
diapakan lagi. Kau rela A-kui dibegitukan?"
"Aku tidak berkata begitu, aku menyodorkan dia pilihan."
"Jangan disodori pilihan! Paksa dia
menyelamatkan diri!"
Ketika itulah A-kui alias Siau Hiang-bwe
justeru menjawab tenang, "Aku sudah
merenung-renungkan kata-kata Kakak Yok
beberapa hari yang lalu, dan aku sudah siap
menyerahkan diri." "A-kui, kau gila!" Cu Tong-liang tak dapat
menahan emosinya. "Kaupikir, kalau kau
Mulut Macan 9 4 menyerah, lalu kau akan didengarkan lalu katakatamu ditimbang-timbang dengan kepala
dingin, lalu kau diputuskan tidak bersalah,
begitu? Tidak! Kau berhadapan dengan massa
yang sedang emosi. Setiap patah kata mereka
akan dilaksanakan tanpa pikir panjang lagi!"
Namun Siau Hiang-bwe makin bulat
tekadnya. "Inilah kesempatan emas buatku
untuk mengikuti jejak-Nya."
Cu Tong-liang tambah geregetan sampai
membanting-banting kaki, "A-kui, kau sudah
melakukan ajaran-ajaran-Nya, dan semua sudah
tahu kau seorang yang baik, baiiik, baiiiiik
sekali. Bahkan orang-orang Seng-tin pun
seandainya pikirannya jernih dan tidak
dikeruhkan hasutan, pasti akan menyadari
bahwa kau seorang yang amat baik, pribadi
yang menyenangkan. Buat apa kau lakukan
tindakan tolol dengan menyerahkan diri ke
tangan orang-orang yang sedang dirasuk
kemarahan?" Selama A-kui dan Cu Tong-liang berbicara,
Liu Yok memilih diam. Ia tidak ingin
Mulut Macan 9 5 mempengaruhi pembicaraan. Tetapi mendengar
bujukan manis Cu Tong-liang yang terkahir itu,
Liu Yok mengomentari biarpun hanya dalam
hati, "Kakak Liang bicara seolah-olah tidak dari
dirinya sendiri, melainkan ada yang memakai
mulutnya. Yang memakai mulutnya itu pastilah
pihak yang paling ketakutan kalau manusia
alamiah A-kui terbongkar lalu manusia ilahiah
A-kui tampil gemilang. Makanya, pihak yang
meminjam mulut Cu Tong-liang itu berusaha
menyokong manusia alamiah A-kui dengan
memuji-muji A-kui sebagai orang baik, pribadi
yang menyenangkan dan sebagai-nya, agar Akui kembali menyayangi manusia alamiahnya
dan tidak jadi terbongkar."
Liu Yok tahu, tetapi diam saja. Ia benarbenar seperti seorang ibu yang membiarkan
anaknya ketika mulai belajar melangkah
sendiri. Sahut Siau Hiang-bwe, "Kakak Liang, Selama
ini aku memang sudah menjadi orang baik, oleh
karunia-Nya. Aku jadi orang menyenangkan,
tapi belum menghidupkan."
Mulut Macan 9 6 "Ah, bicara aneh-aneh apalagi kau ini, A-kui.
Sudahlah, waktu kita tidak banyak. Kemasi
barang-barangmu secepatnya!"
"Tidak, Kakak Liang. Aku harus mengikuti
setiap tahap dari jejak guru kita. Tahap ini pun
tidak akan kuhindari."
Cu Tong-liang menoleh ke Liu Yok. "Saudara
Liu, bagaimana ini? Kenapa kau diam saja?"
"A-kui sudah memilih."
"Dia belum membayangkan apa yang bias
dialaminya!" "Aku tidak dapat mengubah pendiriannya."
Cu Tong-liang tak dapat menahan diri.
"Ajaranmu benar-benar aneh, Saudara Liu.
Kenapa tidak mengajar seperti Guru Wong saja:
berbuat baik sebanyak-banyaknya, menjauhi
kejahatan sebisa-bisanya, sambil menghormati
mahluk-mahluk suci yang lebih tinggi
derajatnya dari manusia dengan upacaraupacara tertentu? Kenapa ajaranmu pakai
mengajarkan penderitaan segala?"
Liu Yok tidak ingin berbantah dengan Cu
Tdng-liang. Hati kecilnya yakin bahwa Cu TongMulut Macan 9
7 liang tidak berbicara menurut kepribadiannya
sendiri, melainkan ada yang menungganginya.
Ketika mata Liu Yok menatap tajam ke mata Cu
Tong-liang, ternyata Cu Tong-liang tak sanggup
menentang tatapan Liu Yok. Ia membuang
wajah. Tabib Kian muncul dari ruang lain, tertarik
mendengar pembicaraan seru di ruangan itu.
Begitu Tabib Kian muncul, Cu Tong-liang pun
minta dukungan Tabib Kian untuk mengungsikan Siau Hiang-bwe sambil membereskan situasinya. Di mata batin Liu Yok, makin jelas niat "yang
menunggangi Cu Tong-liang" untuk menyelamatkan manusia alamiah Siau Hiangbwe agar manusia ilahiahnya tetap tersumbat.
Liu Yok jadi ingat ketika gurunya pun dihalanghalangi memasuki tahap kesengsaraan-Nya oleh
seorang murid terkasih-Nya sendiri yang
mulutnya dipinjam suatu kekuatan dari dunia
kegelapan. Persis Cu Tong-liang.
Pikir Liu Yok "Kadang musuh-musuh
sejatiku di angkasa tidak memakai orang-orang
Mulut Macan 9 8 asing yang belum kenal, orang-orang yang
terang-terang memusuhiku, melainkan menggunakan orang-orang yang akrab denganku, dan kelihatannya berniat menolong
dan menyelamatkanku."
Kemudian Tabib Kian pun menganjurkan
Siau Hiang-bwe untuk menyelamatkan diri.
Tetapi Siau Hlang-bwe sudah tidak bisa diubah
lagi tekadnya. "Aku sudah mengucapkan
selamat tinggal kepada diri sendiri yang lama,
dan selamat datang pikiran, kehendak dan
perasaan ilahiah yang bakal memimpin
hidupku...." Saat itulah dl luar terdengar suara orang
banyak yang makin dekat. Itulah suara orangorang Seng-tin yang makin marah.
"He, siluman perempuan, keluar!"
"Kau akan menerima nasibmu, mata-mata
Beng Hek-hou!" "Arwah korban-korbanmu takkan tenteram
sebelum kau menerima hukuman setimpal!"
"Keluar, atau kami bakar tempat sembunyimu!" Mulut Macan 9 9 Dalam beberapa hari ini Siau Hiang-bwe
terus-menerus belajar menyangkal kodrat
alamiahnya, agar kodrat itu makin lemah hari
demi hari, dan pada saatnya nanti tidak menjadi
penghalang yang berarti lagi. Tetapi sekarang
ketika kupingnya menangkap betapa garang
dan marahnya suara orang-orang di luar, rasa
gentar muncul juga. Namun ia membulatkan
tekad, lalu melangkah keluar.
Cu Tong-liang panik. Kepanikannya adalah
kepanikan rangkap dua. Kepanikan asli "milik"
Cu Tong-liang sendiri, disebabkan karena tidak
paham soal adanya tahap kesengsaraan dalam
jalan yang diajarkan Llu Yok. Dan ketidakmengertian Cu Tong-liang itu ditunggangi oleh
kepanikan mahluk gaib yang tanpa disadari
sudah menyusup ke dalam jiwa Cu Tong-liang.
Mahluk-mahluk yang panik karena sadar betapa
hebat akibatnya kalau sampai Siau Hiang-bwe
lulus dari tahap kesengsaraan dan penghancuran manusia alamiah itu.
Dengan mata berapi-api Cu Tang-liang
berdiri di depan Liu Yok dan menuding.
Mulut Macan 9 10 "Saudara Liu, kalau kaubiarkan Siau Hiang-bwe
keluar dan menyerahkan diri kepada orangorang itu, kau benar-benar lelaki pengecut yang
tak berguna! Tak bisa melindungi teman yang
menghadapi bahaya!" Tabib Kian yang melihat itu sudah tegang,
bagaimana kalau Liu Yok dan Cu Tong-liang
berkelahi? Ternyata Liu Yok malah menghadapi sikap
Cu Tong-liang itu dengan tertawa lega. "Nah,
kalian akhirnya muncul juga ke permukaan,
penghuni-penghuni liar! Aku tahu niat kalian
sejak tadi, dan kalian memperalat temanku ini
untuk menjadi juru bicara kalian! Kalian...."
Kata-kata Liu Yok terputus oleh jeritan yang
keluar dari mulut Cu Tong-liang, ia
menyilangkan kedua lengannya di depan wajah,
seperti orang ketakutan, kemudian kabur
secepatnya lewat dapur. Tabib Kian geleng-geleng tak mengerti.
Yang tak dimengertinya ialah ketika Liu Yok
menyebut Cu Tong-liang dengan sebutan
"kalian", padahal Cu Tong-liang hanya satu.
Mulut Macan 9 11 Lebih membingungkan lagi, kenapa Cu Tongliang lari seperti orang ketakutan?
Sementara itu, Siau Hiang-bwe sudah
melangkah keluar. Orang-orang Seng-tin yang
dipimpin Lui Kong-sim dan Yao Kang-beng itu
tambah gemuruh dalam ungkapan kemarahan
dan kebencian terhadap "pembawa bencana"
ini. Di belakang Siau Hiang-bwe, menyusullah
Liu Yok dan Tabib Kian. Tabib Kian sudah punya
rencana untuk menggunakan sedikit pengaruhnya untuk mempengaruhi orangorang Seng-tin agar tidak sewenang-wenang.
Tetapi melihat orang-orang di luar segarang itu,
Tabib Kian sudah ciut nyalinya.
"Aku menyerahkan diri...." kata Siau Hiangbwe.
Beberapa pasang tangan menarik dengan
kasar, ia lalu didorong-dorong dengan kasar
menuju Seng-tin. Rambutnya dijambak-jambak,
bahkan kadang ditendang dari belakang, namun
Siau Hiang-bwe menjalaninya dengan tabah.
Ketika rombongan itu sudah jauh, Liu Yok
menengadah ke langit, katanya pelan, "Di LamMulut Macan 9
12 koan dulu, aku yang menghancurkan pekerjaan
kalian. Sekarang di Seng-tin, Siau Hiang-bwe
yang akan mematahkan lengan-lengan kalian."
Sementara itu, ketika rombongan yang
menangkap Siau Hiang-bwe sudah tiba di Sengtin, matahari pun sudah sangat dekat dengan
cakrawala barat. Keadaan Siau Hiang-bwe
sudah berantakan, rambutnya kacau karena
sering dijambak, pakaiannya lebih tidak keruan
lagi. Jalannya pincang karena kakinya
ditendangi. Di Seng-tin, masyarakat yang tidak ikut
Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menciduk Siau Hiang-bwe sudah menunggu di
tepi jalan. Sekelompok ibu-ibu yang dimotori
oleh Nyonya Giam serta Nyonya Ciok sudah
menyiapkan buah-buahan busuk dan telur-telur
busuk. Tetapi mereka juga tidak lupa membawa
benda-benda suci penangkal pengaruh jahat.
Ketika Siau Hiang-bwe diarak lewat di
depan mereka, serempak benda-benda suci
penangkal pengaruh jahat itu diangkat di depan
mereka, seolah untuk membentengi mereka
dari "pengaruh jahat yang terpancar dari diri
Mulut Macan 9 13 siluman betina" itu satu tangan mengacungkan
benda suci yang bermacam-macam ujudnya,
ada bendera kecil, ada patung kecil penguasa
langit, ada kalung dan sebagainya sementara
tangan kirinya melempar-lemparkan telur
busuk dan sebagainya ke arah Siau Hiang-bwe
disertai kutukan sengit. Nyonya Ciok yang hari itu harus
menguburkan anaknya, melempar dengan amat
sengit sambil mencaci-maki dan menghamburkan air matanya. Ia menyalahkan
Siau Hiang-bwe sepenuhnya atas kematian Akoan. Banyak orang terpengaruh oleh sikap
Nyonya Ciok, dan ikut menumpahkan
kemarahan atas diri Siau Hiang-bwe yang wajah
dan tubuhnya sekarang sudah penuh telur
busuk dan buah-buahan busuk.
Siau Hiang-bwe digiring ke tanah lapang
dan diikat pada sebuah patok yang biasanya
untuk mengikat kuda. Hampir seluruh warga
Seng-tin berkumpul di situ, kecuali beberapa
orang yang tidak tampak batang hidungnya.
Yang tidak terlihat antara lain adalah Pang SeMulut Macan 9
14 bun, tetapi A-kun terlihat di situ dengan boneka
porselennya, bahkan di barisan depan.
Lui Kong-sim amat bangga bahwa dialah
pemrakarsa sekaligus penyelenggara "acara
besar" itu, diawali ketika di kuburan tadi.
Sekarang dia berjalan mondar-mandir di bawah
tatapan ribuan pasang mata warga Seng-tin. Di
tangan Lui Kong-sim ada cambuk. Beberapa
teman Lui Kong-sim juga nampak peten-tengan
di dekatnya. "Tenang, saudara-saudara!" Lui Kong-sim
mengangkat tangannya. Setelah orang-orang
diam dan suasana sunyi, Lui Kong-sim berkata,
"Kita akan tanyai mata-mata Beng Hek-hou ini,
untuk mengetahui apa yang direncanakan oleh
kepala bandit itu terhadap kita!"
Suasana tetap sunyi, lalu tanya Lui Kong-sim
kepada Siau Hiang-bwe, "Nah, bandit betina, apa
yang direncanakan gerombolan jahatmu
terhadap kota kami?"
Siau Hiang-bwe mengangkat wajahnya yang
berlepotan telur busuk dan buah busuk. "Maaf,
Mulut Macan 9 15 gerombolan apa? Aku tidak tahu-menahu soal
gerombolan." "Pembohong!" Lui Kong-sim menampar pipi
Siau Hiang-bwe, begitu keras sehingga kepala
gadis itu seperti tersentak ke samping. Pipi itu
jadi merah dan ujung bibirnya meneteskan
darah. "Jawab yang benar! Apa rencana gerombolanmu?"
Siau Hiang-bwe tidak menjawab, kali ini
mendapat tamparan dari arah sebaliknya.
Para penonton berteriak mendukung, tomat
busuk dan telur busuk tetap be-. terbangan ke
arah Sang Pesakitan. Yang paling histeris adalah
Nyonya Ciok yang baru saja kehilangan
anaknya, seandainya tidak dicegah, ia pasti
sudah mencabik-cabik kulit Siau Hiang-bwe
dengan jari-jarinya. "Paksa terus sampai mengaku! Paksa terus!"
orang-orang berteriak. "Lui Kong-sim, pakai cambukmu!"
Lui Kong-sim gembira sekali bahwa
penduduk Seng-tin sekarang seolah Mulut Macan 9 16 melimpahkan kuasa tanpa batas. Sambil
menyeringai, ia mengurai cambuk kulitnya.
Beberapa saat ia memutar-mutarnya di udara,
kemudian cambuk itu menerpa tubuh Siau
Hiang-bwe beberapa kait. Setiap kali kena
cambuk, tubuh Siau Hiang-bwe bergetar
meregang menahan sakit, sambil berdesis
pedih. Sebab Lui Kong-sim mengayunkan
cambuknya dengan sekuat tenaga. Dan tiap kali
cambuk mengenai Siau Hiang-bwe, orang-orang
bersorak mendukung. Ketika hari mulai gelap, obor-obor pun
dinyalakan di lapangan itu. Orang-orang belum
rela bubaran menyaksikan "tontonan" macam
itu. Setelah beberapa cambukan, pakaian Siau
Hiang-bwe sudah koyak-koyak. Beberapa
bagian tubuhnya tadi terlihat. Namun sudah
tidak menarik lagi karena gurat-gurat biru
merah yang menghiasi kulit itu sebagai akibat
cambukan. Namun Lui Kong-sim maupun orang-orang
lama-kelamaan merasa bosan juga karena cam
Mulut Macan 9 17 Beberapa saat ia memutar-mutarnya di udara,
kemudian cambuk itu menerpa tubuh Siau Hiangbwe beberapa kali.
Mulut Macan 9 18 buknya itu tidak menghasilkan apa-apa. Lui
Kong-sim berseru kepada penonton, "Saudarasaudara, dia tidak mau bicara! Apa yang harus
kita lakukan" Nyonya gemuk pendek yang sok jadi
paranormal itu maju ke depan dan berkata,
"Tidak perlu dia katakan, kita sudah aman. Para
panglima dari langit melindungi kota kita ini,
kapan pun Beng Hek-hou menyerang."
"Bagaimana Nyonya bisa berkata begitu?"
"Melalui isyarat gaib yang kuterima lewat
mimpi. Dalam mimpi itu, kulihat gadis ini
berjubah hitam, bertaring, bertanduk, diiringi
tengkorak-tengkorak, terbang di atas rumah
Nyonya Giam, Ciok Yan-lim."
Tak ada yang menggubris bahwa kata-kata
Si Nyonya pendek gemuk itu kedengaran
mengada-ada, berlagak memakai "bahasa
ramalan" tetapi kejadiannya sudah lebih dulu
terjadi. Saat itu orang-orang hanya senang
mendapat alasan untuk menambahkan penderitaan pada Siau Hiang-bwe, tak peduli
alasan yang lemah sekalipun.
Mulut Macan 9 19 Mendengar kata-kata Si Nyonya pendek
gemuk, Nyonya Ciok menjerit menangis dan
mengutuk Siau Hiang-bwe habis-habisan. Lalu
mendekati Lui Kong-sim, merebut cambuk dari
tangan Lui Kong-sim untuk mencambuki Siau
Hiang-bwe. Tenaga Nyonya Ciok sudah tentu
kalah jauh dari Lui Kong-sim, tetapi yang
memedihkan hati Siau Hiang-bwe ialah bahwa
yang mencambukinya adajah ibu dari seorang
gadis cilik yang baru meninggal, dan kesalahan
ditimpakan kepadanya. Nyonya Ciok mencambuki Siau Hiang-bwe
sampai kelelahan sendiri, bahkan sampai rubuh
kelelahan. Orang-orang jadi ribut dan
menggotong Nyonya Ciok pulang ke rumahnya.
Pingsannya isteri Ciok Yan-lim itu adalah
karena lelah dan sedih yang bertumpuk-tumpuk
selama beberapa hari. Namun Si Nyonya pendek
gemuk yang sedang mencari ketenaran sebagai
pelihat gaib, menggunakan kesempatan itu
untuk meyakinkan orang-orang akan "kemampuannya, "Siluman betina itu membuat Nyonya
Ciok pingsan dengan sorot matanya yang
Mulut Macan 9 20 berpengaruh jahat! Memang tidak bisa dilihat
dengan mata biasa, tetapi 'mata ke tiga'ku dapat
melihatnya! Dia tak dapat mengelabuhi aku! Dia
tidak bisa mengelabuhi orang yang dianugerahi
dewa-dewa dengan 'mata ke tiga? Dia membuat
pingsan Nyonya Ciok dengan sihir jahat dari
matanya! Bersinar, aku lihat!"
Kali ini Nyonya Giam yang maju ke depan,
tangannya membawa "bendera suci" yang
diacung-acungkan beberapa kali ke arah Siau
Hiang-bwe, "Hai siluman yang menghuni gadis
jahat ini, para panglima langit di pihakku, dan
aku tidak takut kepadamu!"
Lalu Nyonya Giam mengambil cambuk yang
tadi lepas dari tangan Nyonya Ciok, lalu
sekarang ia yang bertindak sebagai algojo,
meluapkan perasaannya sepuas-puasnya atas
Siau Hiang-bwe dan orang-orang mendukungnya. Ia berkeringat dan terengahengah, tetapi tidak sampai pingsan seperti
Nyonya Ciok. Si Nyonya Pendek Gemuk kembali
membeberkan "penglihatan gaib"nya. "Ya! Ya!
Mulut Macan 9 21 Kulihat ada sorot jahat dari mata siluman betina
ini, tetapi semuanya kandas oleh cahaya yang
keluar dari 'bendera suci'! Kulihat dengan 'mata
ke tiga'ku bahwa dari rambutnya keluar ularular banyak sekali!"
Entah dari mana Si Nyonya Pendek Gemuk
sampai dapat berkhayal seperti itu, tetapi
sebagian orang mulai terpengaruh, meski bukan
semuanya. Orang-orang yang terpengaruh itu
melototkan matanya lebar-lebar karena ingin
melihat "rambut ular" Siau Hiang-bwe.
"Mana? Mana rambut ularnya?"
Si Nyonya Pendek Gemuk menyahut, "Sudah
tentu kalian tak bisa melihat! Hanya yang punya
'mata ke tiga' yang bisa melihat!"
"Ooo...." Sementara itu, Nyonya Giam lelah
mencambuk, sebab sikap Siau Hiang-bwe yang
tetap tenang itu amat menjengkelkannya.
Inginnya, Siau Hiang-bwe menangis, mintaminta ampun, itu baru mengasyikkan. Tetapi
Siau Hiang-bwe tetap tenang, meskipun orang
Mulut Macan 9 22 mudah membayangkan betapa kesakitannya
dia. Lelah mencambuk, tiba-tiba mendengar Si
Nyonya Pendek Gemuk menyebut-nyebut soal
rambut, Nyonya Giam pun mendapatkan pikiran
baru untuk menyiksa Siau Hiang-bwe. Kali ini
bukan menyiksa tubuhnya, melainkan jiwanya,
dengan mempermalukannya. "Ambil gunting!" teriak Nyonya Giam
kepada orang di sekitarnya.
Lui Kong-sim yang masih merasa dirinya
sebagai "ketua panitia" dalam acara itu, agak
tidak senang oleh tindakan Nybnya Giam yang
melancanginya. "Nyonya Giam, buat apa gunting segala?"
tanyanya. "Kita gunduli rambutnya! Di rambutnya
mungkin ada kekuatan sihirnya!"
Lui Kong-sim hendak mencegah, bukan
karena kasihan kepada Siau Hiang-bwe,
melainkan sekedar untuk menunjukkan
kekuasaannya atas Nyonya Giam. Namun baru
saja bibirnya hendak bergerak membatalkan
Mulut Macan 9 23 kata-kata Nyonya Giam, didengarnya orang
banyak sudah bersorak mendukung gagasan
Nyonya Giam. Lui Kong-sim batal mengatakan
apa-apa karena tidak berani bertentangan
dengan massa. Namun dalam hatinya, Lui
Kong-sim sudah mencatat Nyonya Giam
Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebagai saingan yang kelak harus "diurus".
Orang yang mengambil gunting sudah tiba,
lalu menyerahkan gunting ke tangan Nyonya
Giam. Dengan gunting di tangan, Nyonya Giam
melangkah mendekati Siau Hiang-bwe sambil
menyeringai mengancam, berharap Siau Hiangbwe ketakutan.
"Nah, gadis siluman, ilmu hitammu tidak
berdaya di kota yang penuh dengan kekuatan
suci dewa-dewa ini. Mau bilang apa kau
sekarang?" Muka Siau Hiang-bwe terangkat. Nyonya
Giam tercengang melihat wajah yang sudah
babak-belur dan sangat jelek itu tidak
memancarkan dendam sedikit pun. Bagaimana
bisa begini? Mulut Macan 9 24 Dan inilah yang dikatakan Siau Hiang-bwe,
desis dari sela-sela bibirnya yang bengkak dan
berdarah, "Yang ingin kukatakan kepadamu,
Nyonya Giam, kedua anakmu akan sembuh
tidak lama lagi...." Sama sekali bukan kutukan
atau sumpah serapah. Nyonya Giam sampai mematung beberapa
saat, jantungnya seakan dicekam pengaruh
aneh. Pengaruh yang amat Saat itulah Si Nyonya Pendek Gemuk
berteriak, "Nyonya Giam, kau hendak disihirnya! Awas!"
Nyonya Giam mengeraskan hatinya, lalu
guntingnya pun bekerja dengan ganas.
Segumpal demi segumpal rambut Siau Hiangbwe dipotongnya, berhamburan di tanah.
Pemotongan rambut yang dilakukan dengan
dorongan kemarahan dan kebencian, sudah
tentu tak menghiraukan soal indah buruknya
potongan. Nyonya Giam memotong sejelekjeleknya, maka kepala Siau Hiang-bwe yang
berambut indah itu pun jadi brondol dan amat
jelek. Orang-orang bersorak-sorak.
Mulut Macan 9 25 Habis memotong, Nyonya Giam tersenyum
lebar, ingin melihat Siau Hiang-bwe menampilkan mimik derita batinnya. Namun
Nyonya Giam kecewa, sebab Siai Hiang-bwe
tidak menunjukkan sikap yang diharapkannya.
"Keparat, kau ini punya perasaan atau
tidak?" "Tentu saja punya, Nyonya...." desis Siau
Hiang-bwe. "Kenapa kau tidak malu, tidak menangis,
tidak mohon ampun mengalami semuanya ini?"
"Perasaanku tidak dikendalikan lagi oleh
sesuatu yang terjadi di luarku, tetapi milik Dia
yang di dalamku...."
Nyonya Giam geleng-geleng kepala. "Kau
benar-benar mahluk aneh."
Si Nyonya Pendek Gemuk kembali beraksi.
"Hati-hati, Nyonya Giam. Penyihir-penyihir
jahat memang mahluk-mahluk aneh yang tidak
seperti orang normal. Termasuk perasaannya
dan cara berpikirnya juga lain."
Tetapi entah kenapa, Nyonya Giam
kehilangan nafsunya yang tadi menggebu-gebu
Mulut Macan 9 26 untuk menyiksa dan mempermalukan Siau
Hiang-bwe. Dengan alasan bahwa ia harus
menunggui kedua anaknya yang sakit, dia
mengeloyor pergi dari situ.
Bergantian orang-orang mengejek, mempermalukan, dan bertingkah macammacam kepada Siau Hiang-bwe. Namun orangorang itu lelah sendiri dan beberapa di
antaranya pulang ke rumah karena malam
sudah larut. Lui Kong-sim, si penyelenggara acara itu
merasa agak kecewa juga bahwa acaranya
ternyata tidak se"meriah" yang diharapkannya.
Tetapi ketika malam sudah makin dingin
dan beberapa obor sudah padam sendiri dan
orang-orang yang berkerumun di lapangan itu
tinggal separuh dari yang semula, tiba-tiba
muncullah "acara baru' untuk memeriahkan
acara yang nyaris membosankan itu.
Salah seorang teman Lui Kong-sim sambil
tertawa-tawa menuntun si gila Ho Tong ke
tempat itu. Dibisikkannya sesuatu ke kuping Ho
Tong, dan ketika dibisiki, nampak Ho Tong
Mulut Macan 9 27 cengar-cengir ke-gila-gilaan. Orang-orang jadi
tegang menunggu apa yang akan terjadi
berikutnya? Ho Tong si gila dengan kulitnya yang
menghitam oleh daki dan pakaiannya yang
compang-camping serta amat kotor, menyerbu,
memeluk Siau Hiang-bwe lalu menciumi muka,
leher dan dada Siau Hiang-bwe dengan
bernafsu. Orang-orang yang tadinya sudah agak
mengantuk, sekarang kembali bersorak-sorak
meriah, menjadi "suporter" Ho Tong. Begitu
meriahnya acara itu, sampai beberapa orang
yang sudah meninggalkan lapangan itu berbalik
kembali ke lapangan untuk melihat ada apa.
Yang tidak tega untuk bersorak-sorak ialah
orang-orang yang ada hubungan keluarga
dengan Ho Tong. Di antara orang-orang yang
tinggal di lapangan itu ada ayah Ho Tong, juga
pamannya dan kakak laki-lakinya. Tadi mereka
ikut mengolok-olok Siau Hiang-bwe, ikut
mencoreng-morengkan zat pewarna ke wajah
dan tubuh Siau Hiang-bwe, namun sekarang
Mulut Macan 9 28 ketika melihat Ho Tong beraksi dalam
kegilaannya, mereka bungkam.
Dalam hati ia memprotes Lui Kong-sim yang
tega memanfaatkan orang sakit ingatan untuk
tontonan, tetapi protes itu hanya disimpan di
hati, mana berani mereka menyatakannya
terang-terangan kepada Lui Kong-sim dan
teman-temannya yang galak-galak, apalagi
sedang di atas angin karena merasa didukung
olet warga Seng-tin? Dasar orang hilang ingatan, Ho Tong mulamula melakukan adegan itu karena disuruh oleh
teman-teman Lui Kong-sim, tetapi setelah
tubuhnya merapat dan bergesekan dengan
tubuh Siau Hiang bwe, nafsu Ho Tong menyala.
Lupa bahwa ia sedang di depan mata orang
banyak, mendadak Ho Tong melorotkai
celananya sendiri lalu melakukan gerakan
seperti orang sedang berhubungan badar atas
diri Siau Hiang-bwe, meskipun tidak terjadi
hubungan sungguh-sungguh karena Siau Hiangbwe masih berpakaian.
Mulut Macan 9 29 Orang-orang yang melihatnya bersorak, ada
yang tertawa geli sampai ter bungkuk-bungkuk.
Beberapa wanita yang masih ada di situ,
mukanya jadi jengah dan sikapnya kikuk, tetapi
sayang juga meninggalkan "tontonan sebagus
itu" yang belum tentu terjadi lagi.
Yang tak mampu ikut tertawa adalah ayah
dan kakak Ho Tong, mereka dengan malu dan
murung meninggalkan lapangan itu. Tak
sanggup melihat Ho Tong "jadi lakon" seperti
itu, tetapi juga tak sanggup mencegahnya
karena takut kepada Lui Kong-sim dan kawankawannya.
Yang paling malu tentu saja adalah Siau
Hiang-bwe. Ini benar-benar adalah puncak dia
dipermalukan di depan umum. Bukan saja ia
hampir muntah karena bau tubuh dan napas Ho
Tong yang terengah-engah memeluknya, tetapi
ia juga merasakan penasaran dan harga dirinya
sekaligus bangkit teraduk-aduk jadi satu.
Penasaran, bahwa dirinya yang tidak bersalah
apa-apa itu tiba-tiba saja diperlakukan seperti
itu. Juga harga dirinya yang sudah nekad
Mulut Macan 9 30 hendak dikorbankan itu, ternyata bangkit lagi.
Dada Siau Hiang-bwe terasa panas, lalu air mata
iba diri sendirinya pun mengalir keluar.
Ho Tong yang masih "beraksi" itu ketika
melihat air mata Siau Hiang-bwe, malahan
tertawa, bisiknya parau di kuping Siau Hiangbwe, "Kenapa tadi tidak lari saja? Kaupikir bisa
mengalahkan kami yang sudah ribuan tahun
menguasai nianusia? Sekarang kami hancurkan
kau, baik tubuhmu maupun martabatmu."
Air mata Siau Hiang-bwe makin deras.
Tetapi dalam hatinya tiba-tiba muncul sesuatu
yang hangat dan lembut, membuat hatinya
teguh. Entah dari mana itu. Lalu di pikiran Siau
Hiang-bwe ber munculan adegan-adegan dalam
angan-angan. Adegan tentang seorang lelak
yang dengan tabah menjalani hukumannya,'
hukuman yang sebenarnya tidak pantas
untuknya, namun dijalaninya tanp; mengeluh
dan tanpa rasa iba diri. Sehingga ia disamakan
dengan seekor domba yang dibawa ke tempat
penyembelihan tetapi tidak mengembik sedikit
pun Lalu khayalan Siau Hiang-bwe beralih ke
Mulut Macan 9 31 masa-masa gelap dalam hidupnya sendiri ketika
dia menjadi seorang gila. Jiwanya terkurung di
suatu keadaan gaib yang asing dengan
penguasa-penguasa gaibnya yang kejam. Ia
akhirnya bebas dari masa pahit itu, dan itu
mendorongnya untuk menolong orang-orang
Seng-tin. Kini, terhadap Ho Tong, tiba-tiba belas
kasihannya membludag dari bagian terdalam
dari hatinya, bagian wilayah manusia
ilahiahnya. Bukan belas-kasihan alamiah.
Luapan dari bagian terdalam hatinya itu pun
terekpresi lewat tetesan air matanya.
Air mata yang keluar itu, zatnya sama
dengan air mata yang tadi, kalau dijilat juga
sama asinnya, keluar dari mata yang sama,
tetapi dorongan hatinya berbeda. Kalau yang
pertama tadi kasihan kepada diri sendiri, kini
belas kasihan tanpa batas kepada Ho Tong.
Dan akibatnya juga jauh berbeda atas Ho
Tong. Ketika air mata belas kasihan kepada Ho
Tong ini mengenai wajah Ho Tong, Ho Tong
Mulut Macan 9 32 menjerit keras lalu terkapar telentang, kedua
tangannya menutupi wajahnya seolah-olah
wajah itu baru saja disiram air mendidih.
Orang-orang yang mengerumuni tempat itu
seketika bungkam... suasana riuh-rendah tibatiba jadi amat sunyi seperti di kuburan.
Dalam suasana sunyi di mana jarum jatuh
pun akan terdengar, terdengar suara Siau
Hiang-bwe, "Dia akan sembuh. Benteng-benteng
gaib yang mengurungnya mulai runtuh...."
Ho Tong menggeloser-geloser di tanah dan
melolong panjang. Bagian bawal tubuhnya
masih telanjang, dan tiba-tiba dia melompat
bangkit lalu berlari sekencang-kencangnya
meninggalkan tempat itu. Di kejauhan
terdengar lolong tangis nya mengalun panjang
membelah suasana malam. Celananya tertinggal
di tengah lapangan itu. Beberapa saat orang-orang di lapangan itu
tercengkeram kesunyian, tak menduga terjadinya peristiwa di luar dugaan itu. Namun
Si Nyonya Pendek Gemu yang berlagak ahli
dalam hal-hal gaib itu kemudian memecah
Mulut Macan 9 33 kesunyian denga suaranya yang melengking
tinggi, "Siluman betina ini coba mengelabuhi
kita! hendak berlagak sebagai penolong, agar
kita tidak menghukumnya dengan berat. Tetapi
kita takkan termakan oleh siasatnya. Benar,
Saudara-saudara?" "Benar! Benar!" sahut orang-orang itu tetapi
suara mereka tidak seserempak tadi. Mungkin
karena sudah mengantuk atau karena mulai
Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
merasa di hati kecil mereka bahwa perlakuan
terhadap Siau Hiang-bwe ini keterlaluan.
Lui Kong-sim agaknya tanggap terhadap
perasaan orang-orang, dan dia pun merasa
sudah saatnya acara itu diakhiri. Yang penting,
hari itu Lui Kong-sim merasa telah berhasil
mengangkat dirinya di mata orang-orang Sengtin setelah sekian lama merasa dilupakan. Lui
Kong-sim anggap apa yang dilakukannya hari
itu adalah sesuatu yang berarti, ia telah
menangkap "mata-mata Beng Hek-hou"
sekaligus "penyihir hitam penyebar bencana",
dan Lui Kong-sim bangga. Mulut Macan 9 34 Karena itu, ia kemudian berkata kepada
orang-orang, "Saudara-saudara para warga
kota, hari ini kekuatan-kekuatan suci di kota
kita telah memberi kita menang besar!
Sekarang, tawanan ini akan kita kurung di
belakang rumah ibadah. Hanya di situlah dia
bisa benar-benar terkurung secara aman. Bukan
saja aman secara fisik, tetapi juga secara gaib,
karena Guru Wong ada di situ!"
Yang dimaksud ialah rumah bekas
kediaman guru silat Ciu Koan. Di bagian
belakang rumah besar itu memang dibangun
ruangan-ruangan yang kuat untuk memenjarakan orang. Sejak dulu Seng-tin tidak
kenal adanya penjara, namun sejak Wong Lusiok di Seng-tin, rumah kurungan itu dibangun
untuk mendisiplinkan masyarakat dalam
mentaati "jalan suci".
Ke dalam sebuah ruangan yang sempit dan
gelap bagaikan dalam kuburan itulah Siau
Hiang-bwe dijebloskan. Entah berapa lama
bakal menghuni "kuburan" itu dan setelah itu
Mulut Macan 9 35 apa yang bakal dihadapinya,! Siau Hiang-bwe
tak peduli. * ** Tidak jauh di luar kota Seng-tin, di sebuah
bukit batu kecil yang tumbuh ilalangnya tak
terlalu banyak, Cu Tong-liang si bekas perwira
istana itu sedang duduk merenung.
Lama sekali ia duduk merenung, sejak
menjelang matahari terbenam tadi, sampai kini
hampir tengah malam dan pakaiannya sudah
agak lembab oleh embun. Yang direnungkan Cu Tong-liang ialah
dirinya sendiri. Ia mulai bingung memandang
kepribadiannya sendiri. Dulu ketika ia berjalan
bersama-sama Liu Yok, ia tidak sebingung ini. Ia
dapat melihat kepribadiannya sendiri dengan
jernih, kelebihan-kelebihan dan kekurangankekurangannya.
Namun sekarang tiba-tiba ia merasa dalam
kepribadiannya ketambahan beberapa "unsur
Mulut Macan 9 36 asing" yang entah dari mana. Tiba-tiba saja Cu
Tong-liang heran sendiri bahwa ia bisa
membenci Liu Yok tanpa alasan, juga ada rasa
takut yang aneh untuk berdekatan dengan Liu
Yok. Orang macam Liu Yok, apanya yang harus
ditakuti atau dibenci? Lalu mengingat kejadian siang tadi ketika
Siau Hiang-bwe ditangkap orang-orang Sengtin, kenapa ia tidak membela? la menuduh Liu
Yok pengecut karena tidak membela Siau Hiangbwe, tetapi dirinya sendiri pun tidak membela
Siau Hiang-bwe karena takut kehilangan
hormat dari orang-orang Seng-tin yang selama
ini sudah dinikmatinya dan terlanjur
membuatnya "ketagihan hormat".
"Entah apa yang dialami A-kui di tangan Lui
Kong-sim dan teman-temannya. Pang Se-bun
tidak dapat mengendalikan Lui Kong-sim dan
teman-temannya." Tiba-tiba Cu Tong-liang bangkit. Ia merasa
sudah kehilangan sebagian kepribadiannya
sendiri, dan sekarang ia ingin mempertahankan
yang tersisa itu. Bukan hanya mempertahankan,
Mulut Macan 9 37 bahkan membuatnya utuh kembali. Sambil
melangkah turun dari bukit, ia bertekad.
"Sekarang harus kubereskan hubunganku
dengan Liu Yok dan A-kui...."
Tetapi sambil melangkah menuju ke pondok
Tabib Kian, pikirannya bergolak.! "Kalau hendak
kutolong A-kui, berarti! aku harus berhadapan
dengan orang-orang Seng-tin yang selama ini
ramah kepadaku. Selain tidak enak hati, aku
harus berhadapan dengan orang-orang yang
tidak mempan senjata, dapat menginjaki api
tanpa luka, dapat berkelahi dalam! keadaan
tidak sadar dalam kemampuan yang hebat, jauh
melebihi kemampuan normalku. Sungguh berat
bagiku...." Langkah Cu Tong-liang jadi tersendat ragu.
Ia benar-benar dihadapkan pilihan sulit.
Hubungannya dengan orang-orang Seng-tin
telah menjadi semacam belenggu kuat bagi
jiwanya, begitu pula hubungan persahabatannya dengan Siau Hiang-bwe, dan
kini belenggu-belenggu jiwa itu seakan ditarik
Mulut Macan 9 38 ke kedua arah yang berlawanan dan merobek
jiwanya. Kekacauan dalam jiwanya bertambah ruwet
lagi, ketika makin dekat ke pondok Tabib Kian,
maka ketakutan yang tak beralaskan itu
kembali memenuhi jiwanya. Ketakutan kepada
Liu Yok! Tengah ia melangkah ragu di gelapnya
malam, tiba-tiba di suatu arah terdengar
lolongan serigala. Bisa dikira-kira bahwa
tempat serigala itu tepat di tengah-tengah
antara tempat Cu Tong-liang saat Itu dengan
tempat terletaknya pondok Tabib Kian. Jadi
serigala-serigala itu seolah menghalangi
jalannya. "Kalau kau tidak menemui Liu Yok, pasti Liu
Yok bisa memahaminya dan takkan marah. Ada
serigala...." sebuah bisikan muncul di hati Cu
Tong-liang, mencegah suara halus agar tidak
usah menemui Liu Yok. Cu Tong-liang memang berhenti lama di
situ, ada dorongan kuat untuk kembali saja ke
bukit batu tadi dan menunggui sampai pagi saja.
Mulut Macan 9 39 Tetapi dorongan lain muncul, dorongan ingin
bicara terbuka dengan Liu Yok untuk mendapat
keteguhan hati. Begitu Cu Tong-liang seolah berdiri di
antara dua arus yang berlawanan.
"Tidak, aku tidak tahan lagi terombangambing begini. Aku harus menemui Liu Yok,
apapun yang terjadi...." lalu kakinya pun
melangkah terus. "Kuharap dia punya jawabannya kenapa dia
biarkan A-kui dibawa Lui Kong-sim dan ternantemannya, bukannya menyuruh A-kui kabur
menyelamatkan diri."
Tetapi ketika mendengar lolong serigala
lagi, langkahnya terhenti lagi, dan pertimbangan
lain muncul. "Kalau aku ke arah pondok Tabib
Kian, berarti kuserahkan diriku ke moncong
serigala-serigala itu. Aku mati konyol. Lebih
baik kucoba menolong A-kui dulu, tidak dengan
kekerasan, melainkan dengan mencoba mendekati Pang Se-bun dan Wong Lu-siok."
Langkahnya pun berubah arah, ke Seng-tin.
Sisa bubuk yang baunya dibencl serigala itu
Mulut Macan 9 40 ditaburkan ke tubuhnya. Jauh dalam hatinya
ada tuduhan bahwa dia sebenarnya tidak takut
kepada serigala-serigala itu, melainkan takut
kepada Liu Yok. Sudah lewat tengah malam, ketika ia tiba di
kota Seng-tin. Tetapi kota itu nampak tidak
sesepi biasanya. Di beberapa sudut jalan masih
terlihat ada orang-orang berbincang-bincang,
dan di lapangan masih ada obor yang menyala
meskipun sebagian besar padam.
"Pasti keramaian yang disebabkan oleh
ditangkapnya A-kui," pikir Cu Tong-liang.
Biasanya Cu Tong-liang tidak takut berjumpa
orang-orang Seng-tin karena ia teman Pang Sebun, kemudian ikut melatih pengawal-pengawal
kota. Tetapi kali ini Cu Tong-liang tidak ingin
bertemu siapa pun sebelum ketemu Pang Sebun. la sengaja menyelinap-nyelinap untuk
menghindari orang-orang, sampai tiba di rumah
Pang Se-bun. Rumah Pang Se-bun tentu saja sudah sepi,
semua penghuninya sudah tidur. Cu Tong-liang
tidak menggedor pintu depan, melainkan
Mulut Macan 9 41 melompati tembok kemudian mendekati
jendela kamar tidur Pang Se-bun dari luar. Ia
sudah kenal tempat-tempatnya, sebagai hasil
dari beberapa kali kunjungannya ke situ.
Tiba di luar jendela, Cu Tong-liang tidak
langsung mengetuk, melainkan mendengarkan
dulu. Ternyata di luar kamar masih terdengar
percakapan pelan antara Pang Se Bun dan
isterinya. Terdengar Nyonya Pang sedang
mengeluh tentang sifat puterinya, A-kun, yang
makin susah dimengerti. Makin sering bicara
yang tidak sebenarnya, menentang orang
tuanya, dan yang ditaati hanyalah "A-hwe".
Suaminya menghibur, katanya tingkah laku Akun itu hanya ulah kanak-kanak yang "kelak
akan hilang sendiri kalau sudah dewasa".
Namun kata-kata hiburan Pang Se-bun itu
terdengar tidak yakin. Diam-diam Cu Tong-liang membatin. "Aku
benar-benar tak menduga. Keluarga Pang ini
bisa dibilang merupakan keluarga yang bisa
dicontoh oleh semua keluarga di Seng-tin ini...
beberapa hari ini kulihat hubungan mesra
Mulut Macan 9 42 antara suami isteri dan orang tua anak.
Ternyata A-kun menjadi masalah bagi kedua
orang tuanya, dan kalau tidak mendengar
sendiri maiam ini pastilah sulit dipercaya."
Cu Tong-liang merasa kurang enak juga
harus menguping pembicaraan sepasang suami
isteri malam-malam dalam kamar, meskipun
dulu waktu masih menjadi agen rahasia
kerajaan, urusan menguping ini merupakan
bagian dari tugasnya. Maka ia sengaja mundur
beberapa langkah menjauhi jendela tanpa
suara, kemudian dari situ melangkah kembali
mendekati jendela, tetapi dengan sengaja
memperberat langkahnya sehingga yakin Pang
Se-bun dapat mendengarnya.
Benar juga, sebagai seorang pesilat, kuping
Pang Se-bun tajam. Dalam kamarnya ia cepat
meraih tombak yang disandarkan di sudut, lalu
mendoronR jendela sehingga terbuka dan
membentak, "Siapa?"
Cu Tong-liang menampakkan diri di tempat
terbuka. "Aku, Saudara Pang. Mohon maaf telah
Mulut Macan 9 43 mengganggu kalian berdua malam-malam
begini." "Jangan sungkan, Saudara Cu. Ada apa?"
tanya Pang Se-bun meski sebenarnya ia sudah
dapat menebak apa yang ingin dibicarakan Cu
Tong-liang, pasti bersangkut-paut dengan Siau
Hiang-bwe. "Apakah aku... tidak merepotkan Saudara
Pang?" "Tidak, kita kan sahabat? Masuklah ke ruang
buku, akan kutemui Saudara di sana."
Beberapa saat kemudian, dua sahabat itu
sudah berada di ruang buku. Karena tidak ingin
pembicaraan berlarut-larut, Cu Tong-liang
langsung saja ke sasaran, "Saudara Pang,
temanku Siau Hiang-bwe menjelang sore tadi
ditangkap. Apa salah Nona Siau?"
Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pang Se-bun menarik napas. "Ada segelintir
orang di Seng-tin yang percaya bahwa
kehadiran temanmu itu untuk menyebarkan
kutukan sihir yang jahat. Sakitnya beberapa
orang, bahkan matinya Ciok Yan-bok dan
keponakan perempuan dijadikan alasan."
Mulut Macan 9 44 "Saudara Pang, kau percaya juga?"
Pang Se - bun menggeleng, lalu Cu Tongliang mendesaknya. "Kalau begitu, kau biarkan
A-kui ditangkap? Kau berpangkutangan saja?"
"Saudara Cu, seandainya aku punya
pengaruh yang cukup, pasti tak akan kubiarkan
Nona Siau diperlakukan demikian. Tetapi...
seluruh kota saat ini seolah-olah berdiri di
belakang Lui Kong-sim, seolah tersihir oleh
hasutan Lui Kong-sim. Mereka takkan
mendengarkan aku. Untuk mendengarku
kembali, harus ditunggu sampai emosi mereka
reda." "Saat emosi reda, entah bagaimana nasib Akui?"
"Apa boleh buat, saudara Cu. Ini benarbenar di luar kekuasaanku."
"Para pengawal yang biasanya mematuhi
Saudara Pang, juga terpengaruh Lui Kong-sim?"
"Ya." "Apa yang mereka lakukan atas A -kui?"
Pang Se-bun membungkam cukup lama,
sehingga membuat Cu Tong-liang berdebarMulut Macan 9
45 debar membayangkan nasib temannya. Apa
yang berat untuk dikatakan oleh Pang Se-bun
pastilah bukan sesuatu yang menggembirakan.
"Saudara Pang...."
Pang Se-bun menarik napas sambil
mengangkat tangannya menyuruh Cu Tongliang tidak bicara lagi, lalu ialah yang bicara,
"Aku tidak melihat sendiri. Tetapi yang aku
tahu, Nona Siau diarak, diolok-olok, digunting
rambutnya sampai gundul, dan dijebloskan ke
ruang kurungan di bagian belakang rumah
bekas guru silatku."
Sengaja Pang Se-bun tidak menyebutkan
soal Siau Hiang-bwe dicambuki, disakiti secara
fisik, agar tidak membingung kan Cu Tong-liang.
Cu Tong-liang mengepalkan tinjunya,
giginya gemeretak. Tetapi mau marah kepada
siapa'' Kepada belasan ribu warga Seng-tin'?
Beberapa saat kedua sahabat itu membisu,
lalu kata Cu Tong-liong, "Kalau kutemui Guru
Wong malam ini juga, bisa atau tidak, ya?"
"Kalau itu, mungkin bisa. Guru Wong sering
bangun malam-malam, mempelaiari kitabMulut Macan 9
46 kitabnya. Kalau Saudara Cu mau ke sana, tunggu
sebentar. Saudara akan kuantar."
"Wah, tentu aku berterima kasih sekali."
"Tidak usah begitu. Aku pun berprihatin
untuk nasib temanmu, sekaligus juga untuk
membujuk Guru Wong agar menertibkan Lui
Kong-sim." Kedua orang itu lalu berangkat. menuju
bekas rumah guru silat Ciu Koan. Jalannya
sudah sepi. Tetapi di kejauhan terdengar lolong
tangis si gila Ho Tong yang dari tadi tidak juga
berhenti, mendirikan bulu kuduk.
Tiba di depan bangunan besar bekas
perguruan silat itu, Pang Se-bun menarik tali
untuk membunyikan lonceng di bagian dalam
bangunan. Beberapa saat kemudian mereka
berdua menunggu di depan pintu. Di atas
mereka, bendera-bendera besar bertuliskan
huruf-huruf yang dipercaya punya kekuatan
gaib berkibar-kibar oleh angin malam. Bau dupa
dan kembang terasa menyengat hidung.
Daun pintu yang tebal dan berat itu
berkeriut pelan ketika dibuka hanya sebelah
Mulut Macan 9 47 Yang muncul adalah Ek Yam-lam, salah seorang
dari empat orang kepercayaan Guru Wong.
Muka Ek Yam-lam nampak kesal, tetapi begitu
nampak yang datang malam-malam adalah
Pang Se-bun dan Cu Tong-liang, maka Ek Yamlam memaksakan diri bersikap ramah.
"Kakak Pang, Saudara Cu, kiranya kalian
yang datang." "Ya." Cu Tong-lianglah yang menjawab tidak
sabar. "Kami ingin menjumpai Guru Wong."
"Saudara Cu tahu, ini saat apa?"
"Aku tahu dan aku mohon maaf
kunjunganku begini larut. Tapi ini benar-benar
penting. Aku takkan pergi dan akan
membunyikan lonceng terus sebelum menjumpai Guru Wong."
Ek Yam-lam menggerutu dalam hati,
"Beginilah kalau orang tidak kenal ajaran yang
suci. Tidak bisa menghormati Guru Wong
sebagai utusan dari langit, mungkin dianggap
Guru Wong sekedar guru kerohanian biasa
seperti temannya yang bernama Liu Yok itu."
Mulut Macan 9 48 "Untuk urusannya benar-benar penting,
akan kukatakan kepada Guru Wong. Tetapi
tolong katakan urusanmu dulu."
"Untuk menanyakan tentang temanku, Siau
Hiang-bwe." "Ooo, penyihir wanita itu?"
"Dia bukan tukang sihir. Dia hanya difitnah."
"Tunggu sebentar, akan kutanyakan Guru
Wong." Lalu Ek Yam-lam menghilang ke dalam.
Kedudukan Pang Se-bun dan Ek Yam-llam
sama, tetapi urusan di bagian dalam rumah
yang seolah menjadi "pusat pemerintahan" di
Seng-tin itu, wewenang Pang Se-bun kalah. Ek
Yam-lam mengurus segala sesuatunya dalam
rumah itu. Tak bisa orang menghadap Wong Lusiok tanpa melalui Ek Yam-lam. Maka meskipun
Ek Yam-lam jarang nampak di luar dinding
rumah besar itu, tetapi pengaruhnya cukup
besar di Seng-tin. Ternyata Ek Yam-lam tidak lama di dalam,
ia muncul kembali dan berkata, "Guru Wong
sedang tidak bisa ditemui. Tapi kalau bicara
Mulut Macan 9 49 soal gadis itu, aku pun bisa memberi keterangan
yang Saudara Cu butuhkan. Gadis itu tidak apaapa, sekarang dikurung dan menunggu untuk
diputuskan nasibnya oleh Guru Wong."
"Ditentukan nasibnya? Ditentukan nasibnya
untuk apa? Dan siapakah yang berhak
menentukan nasibnya? Memangnya dia itu
hakim atau pejabat kerajaan di bidang hukum?"
suara Cu Tong-liang meninggi karena
kemarahannya bangkit. Mesti tidak menyebut
nama, jelas bahwa yang dimaksud "dia itu"
adalah Guru Wong, manusia pujaan orangorang Seng- tin.
Kali ini Pang Se-bun yang bersahabat baik
dengan Cu Tong-Liang pun agak tersinggung. Ia
menegur ringan kepada Cu Tong-liang, "Saudara
Cu, kumohon sedikit hormatlah kepada Guru
Wong. Seluruh Seng-tin berhutang budi
kepadanya." Sedangkan Ek Yam-lam lebih keras katakatanya, "Guru Wong bukan hakim dan bukan
pejabat hukum di kerajaan dunia ini, tetapi jauh
lebih tinggi dari itu. Dia utusan dari langit, dari
Mulut Macan 9 50 negeri dewa-dewi dan mahluk-mahluk suci. Dia
pembawa ajaran suci! Dia berhak menentukan
nasib seluruh Seng-tin sebab seluruh Seng-tin
berhutang nyawa kepadanya!"
Cu Tong-liang yang pikirannya sedang
gundah dan hatinya panas, terpancing emosi
pula, "Belum pernah kudengar ada manusia
yang diberi hak menentukan nasib orang lain!
Sang Pencipta pun menghormati kehendak
mahluk ciptaan termulia-Nya, dan mereka
diciptakan dengan kehendak bebas, agar saat
mematuhi-Nya maka manusia mematuhi-Nya
dengan bebas, bukan karena diancam!"
"Saudara Cu, kau mau menanyakan soal
gadis itu, atau mau berkotbah'? Kami sudah
punya ajaran sendiri, agama yang akan
menyatukan umat manusia dar agama-agama
yang sudah ada sebelumnya, dan kami tidak
butuh ajaranmu?" Ek Yam-lam dan Cu Tong-liang jadi samasama panas hati, sehingga Pang Se-bun buruburu menengahinya. "He, kalia-berdua ini
kenapa jadi seperti anak kecil berebut kembang
Mulut Macan 9 51 gula,? Saudara Cu, kau sudah tahu bahwa Nona
Siau dikur.eh, diamankan di sini dengan tak
kurang suatu apa. Nah, urusamu selesai, bukan
?" Cu Tong-liang coba meredakan emosinya
sendiri. "Belum selesai
sampai A-kui diperlakukan dengan adil. Ia tidak bersalah. Ia
tidak pernah menyihir siapa-siapa. Ia orang
baik, bahkan lebih baik dari aku."
Pang Se-bu menepuk pundak Cu Tong-liang.
"Jangan cemas soal adik angkatmu, Saudara Cu.
Guru Wong akan memutuskan dengan adil, dan
kalau tidak bersalah tentu Nona Siau akan
dibebaskan. Guru Wong orang bijaksana,
kujamin dengan leherku sendiri.
Ek Yam-lam menambahkan, "Kalau Guru
Wong menghakimi, ia memutuskan seadiladilnya, sebab ia dapat melihat kenyataan yang
terlihat mata maupun kenyataan yang tak
terlihat alias yang gaib-gaib. Pejabat hukum
biasa mana bisa memutuskan begitu adil
Mereka cuma bisa melihat bukti yang tampak,
Mulut Macan 9 52 dan pikiran mereka dikuasi ayat-ayat kitab
hokum." Demi menghindari perdebatan, Cu Tong
liang tidak membantah kata-kata Ek Yam-lam
itu. Yang penting, sekarang cari jalan untuk
menolong Siau Hiang-bwe. Sementara Pang Se-bun berkata, "Saudara
Ek, sayang sekali Guru Wong tidak bias ditemui
mala mini. Sebenarnya aku juga punya
keperluan dengan beliau. Keperluan yang
berbeda dengan keperluan sadaura Cu."
"Kalau boleh kuketahui, keperluan apa?
Akan kusampaikan begitu aku bias menemuinya." Pang Se-bun berpikir sejurus, lalu
memutuskan tidak ada salahnya beritahukan
keperluannya kepada Ek Yam-lam, "Aku ingin
membicarakan tentang tingkah laku Lui Kongsim dan teman-temannya yang semakin tak
terkendali." "Akan kusampaikan."
Itulah pengusiran halus untuk Pang Se-bun
dan Cu Tong-liang. Kedua orang itu pun
Mulut Macan 9 53 meninggalkan rumah almarhum Ciu Koan itu.
Kata Pang Se-bun sambil medangkah, "Saudara
Cu, kau menginap di rumahku saja."
Cu Tong-liang hanya mengangguk lesu.
* ** Siau Hiang-bwe yang terkurung di tempat
sempit dan gelap dalam keadaan lapar, haus
dan sakit pada kulitnya yang dicambuki itu,
berusaha untuk tidak iba diri. Ia menetapkan
pikiran dan hatinya pada tujuan dari semua
yang dijalaninya itu. Ia tidak ingin menderita
sia-sia tanpa hasil. Ia ingin penyangkalan
dirinya yang hebat itu meniadakan "penyumbat-penyumbat" yang ada pada dirinya
untuk jadi seluruh kehidupan yang baik bagi
sesama manusia, bukan hanya orang-orang
Seng-tin tetapi juga bagi manusia-manusia yang
masih banyak akan ditemuinya. Ia selama ini
sudah menjadi bejana penampung yang baik,
Mulut Macan 9
Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
54 tetapi belum jadi saluran, dan sekaranglah
saatnya ia "digarap" sebagai saluran.
Di dinding ruangan itu ada sebuah jendela
kecil berterali besi yang ditaruh tinggi tak
terjangkau tangan. Tetapi meski terjangkau pun
kekuatan Siau Hiang-bwe pastilah tak berdaya
menghadapi terali-terali besi yang kokoh kuat
itu. Lewat lubang persegi kecil berterali itu, Siau
Hiang-bwe dapat melihat waktu. Dan saat itu ia
tahu malam sudah larut. Embun pun dingin
menyusup ke dalam bilik kecil itu, padahal ia
tidak punya selimut dan pakaiannya pun robekrobek.
Kembali kodrat alamiah hendak membangkitkan lagi si iba diri, harga diri,
penasaran, keinginan membalas dan sebagainya. Semuanya itu bangkit begitu Uu.it
dan Siau Hiang-bwe tidak memiliki kekuatan
jiwa untuk menekannya, namun Siau Hang-bwe
segera beralih ke Sumber Kekuatan Sejatinya
yang berlimpah-limpah. Menghadapi udara
amat dingin yang menyerbu ruangan, Siau
Hiang-bwe cukup dengan pakaian seadanya
Mulut Macan 9 55 yang sudah robek-robek itu mencoba
menghangatkan badannya. Badannya dilipat
sekecil-kecilnya di pojokan agar bisa tidur
hangat. Namun tiba-tiba pintu papan tebal itu
terbuka, di luar nampak ada seseorang
membawa lampion bertangkai berdiri di depan
pintu. Silau oleh cahaya lampion, Siau Hiangbwe tidak dapat mengenali orang yang
memegang lampion. Kemudian ia tahu bahwa
orang itu seorang gadis yang kira-kira seusia
Siau Hang-bwe, ketika mendengar suaranya
yang dingin, "Nona Siau, keluarlah. Sang Ratu
ingin berbicara denganmu."
Alangkah dingin dan pahitnya suara itu.
Suara seorang yang kenyang penderitaan.
"Sang Ratu?" Siau Hiang-bwe heran juga. Di
kota terpencil ini mana ada ratu segala?
Tapi Siau Hiang-bwe melangkah keluar juga,
dan setelah matanya tidak silau lagi, ia melihat
Si Pembawa Lampion adalah seorang gadis
cantik seusia Siau Hiang-bwe, sayang dalam
cantiknya itu ia dingin dan menyimpan kedukaMulut Macan 9
56 Namun tiba-tiba pintu papan tebal itu terbuka, di
luar nampak ada seseorang membawa lampion
bertangkai berdiri di depan pintu.
Mulut Macan 9 57 an mendalam, juga nampak acuh tak acuh
terhadap sekitarnya. Ia memakai jubah panjang
warna putih yang sederhana sekali dan
jubahnya disambung dengan penutup kepala
yang putih pula. "Apakah Nona ini yang bernama Ciu Bianli?" Siau Hiang-bwe coba berkomunikasi dengan
Si Nona sedingin gunung es ini. Gadis itu
mengangguk. Ia memang Ciu Bian-li.
Sambil melangkah berdampingan menyeberangi halaman belakang, Siau Hiangbwe berkata, "Dari Tabib Kian kudengar nasib
mu dari ayahmu, aku bersimpati untukmu,
Nona Ciu." "Nasibku atau nasib keluargaku yang lain
adalah urusan kami sendiri, tidak perlu kau ikut
campur." Siau Hiang-bwe menarik napas. "Aku peduli,
sebab umat manusia ini bukankah sebuah
keluarga besar yang wajibnya saling memperhatikan?" "Aku tidak peduli."
Mulut Macan 9 58 "Baiklah kalau Nona Ciu tidak ingin aku ikut
campur. Eh, omong-omong, aku harus menemui
Sang Ratu itu ratu dari negeri mana?"
"Nanti akan kaulihat sendiri."
"Ada baiknya Nona Ciu memberi tahu
sedikit kepadaku, supaya jangan aku nanti
kurang hormat kepadanya."
"Sang Ratu bukan dari suatu kerajaan di
bumi ini, tetapi dari suatu negeri di langit. Ia
sedang turun ke bumi dan mengenakan tubuh
kasar. Ia adalah sumber ilham semua agama,
pelindung tempat-tempat ziarah, pengendali
tanda-tanda melalui benda-benda langit,
pengawal seribu jalan kebajikan yang ada di
bumi." Alis Siau Hiang-bwe berkerut mendengar
penjelasan itu. la agak merinding juga, apakah
dirinya akan dipertemukan dengan sesosok
mahluk gaib? Habis Ciu Bian-li ini tadi
omongnya, ratu ini "bukan dari bumi tetapi dari
langit". Lalu tanpa diminta, Ciu Bian-li menambahkan, "Jangan mencoba membohong
Mulut Macan 9 59 terhadap setiap pertanyaan, sebab Sang Ratu
mengetahui isi hati dan pikiran manusia. Ia bisa
mengutukmu dan membuat seumur hidupmu
selalu bernasib malang."
Kata-kata yang Ini tidak terlalu mempengaruhi Siau Hiang-bwe. Ia pegang katakata Liu Yok, bahwa hati terdalam manusia
adalah suatu tempat suci, tempat manusia
menjumpai Penciptanya untuk bercengkerama
dan saling menikmati kehadiran masingmasing. Dan tak ada mahluk gaib sesakti apa
pun yang bisa menerobos ke situ tanpa
diijinkan oleh manusianya sendiri. Tak peduli
mahluk gaib yang disebut Ratu Langit dengan
sederetan gelar yang hebat sekalipun.
Ternyata Ciu Bian-li tidak langsung
membawa Siau Hiang-bwe "menghadap Ratu
Langit" melainkan lebih dulu membawa Siau
Hiang-bwe ke sebuah ruangan di mana di
dalamnya ada seorang perempuan setengah
baya berjubah putih yang sikapnya sama
dinginnya dengan Ciu Bian-li. Selain itu ada tong
kayu besar yang biasa untuk mandi, berisi air
Mulut Macan 9 60 hangat, juga ada obat-obatan untuk luka-luka
Siau Hiang-bwe, dan ada pakaian bersih.
"Bersihkan dirimu, obati lukamu, ganti
pakaianmu, supaya kau layak menghadap Sang
Ratu," kata Ciu Bian-li bernada memerintah.
Dibantu Si Perempuan setengah baya
berwajah dingin, Siau Hiang-bwe menurut
ketika pakaiannya yang robek-robek dilucuti,
lalu ia dimandikan dalam tong sehingga lukalukanya pedih kena air, luka-lukanya diboreh
dengan obat cair, lalu mengenakan pakaian
yang kering. Sisa-sisa rambut Siau Hiang-bwe
yang tak keruan itu "dirapikan" sedikit dengan
gunting. Siau Hiang-bwe melihat, selama perempuan
setengah baya itu menolongnya mandi,
berpakaian dan sebagainya, bibir perempuan
itu kelihatan komat-kamit membaca jampijampi. Siau Hiang-bwe langsung merasa bahwa
ia "dikerjai" lewat air mandi, obat luka, pakaian
dan sebagainya tadi. Siau Hiang-bwe tidak
menunjukkan sikap melawan, tetapi dalam
Mulut Macan 9 61 hatinya Siau Hiang-bwe mohon perlindungan
dari Yang Maha Kuasa. Lalu Siau Hiang-bwe diantar ke sebuah
ruangan dalam, ia sudah berdebar-debar
membayangkan "Sang Ratu" itu meskipun kata
Ciu Bian-li tadi "Sang Ratu sedang mengenakan
tubuh kasar". Setelah berhadapan, ternyata Siau Hiangbwe tidak berhadapan dengan mahluk halus
yang tubuhnya tembus pandang seperti kaca
dan kakinya tidak menginjak tanah, bukan,
melainkan ia yakin yang dihadapinya itu
manusia biasa seperti dirinya, meskipun
berdandan seperti ratu langit.
Orang itu memakai topeng seorang
perempuan cantik, memakai kerudung kepala
berwarna merah tua dan bentuk mahkotanya
seperti mahkota negeri-negeri gurun pasir.
Pakaiannya yang sampai menutup kaki itu
berlapis-lapis. Pakaiannya didominasi warna
merah dan ungu, dan mantel terluarnya
berwarna merah keunguan, dipenuhi sulaman
benang emas yang membentuk lambangMulut Macan 9
62 lambang kepercayaan-kepercayaan yang ada di
seluruh dunia. Ia menunggu di sebuah ruang
yang terang benderang oleh ratusan lilin di
seputar ruangan dinding penuh digantungi
topeng-topeng berbagai "panglima langit" atau
"bangsawan-bangsawan langit" dan salah satu
gantungannya nampak kosong, karena topengnya sedang dipakai. Topeng Ratu Langit.
Orang bertopeng itu sendiri duduk anggun di
belakang meja besar yang penuh hidangan
mewah, dan di seberang mejanya ada kursi
berukir indah yang belum diduduki siapa-siapa.
"Jadi inikah ratu langit yang sedang
mengenakan tubuh kasar itu?" kata Siau Hiangbwe dalam hatinya. Tetapi ia tidak berani
menganggap dandanan orang itu sekedar
gagah-gagahan yang tidak ada apa-apanya.
Sebagai puteri Siau Hok-to, bekas ketua cabang
Pek-lian-hwe di Lam-koan, Siau Hiang-bwe tahu
topeng-topeng dan pakaian-pakaian itu bisa
menimbulkan "kekuatan ekstra" atau gaib bagi
pemakainya. Mulut Macan 9 63 Ketika Siau Hiang-bwe melangkah masuk
ruangan, "sang ratu" bangkit dari duduknya dan
nampak dia terlalu tinggi buat seorang wanita
normal, pundaknya juga kelewat tegap dan
pinggangnya kelewat besar. Ciu Bian-li bersujud
dengan muka menyentuh lantai.
Bersambung jilid X Sumber Image : Koh Awie Dermawan
first share in Kolektor E-book
Pringsewu 24/08/2018 19 : 44 PM
Mulut Macan 9 64 Mulut Macan 10 1 JILID X * Karya : STEVANUS S.P. pelukis : WIDODO Percetakan & Penerbit
CV "G E M A" Mertokusuman 761 RT 02 RW VII
Telp 35801 - SOLO 57122 Mulut Macan 10 2 Mulut Macan 10 1 Dari Mulut Macan ke Mulut Buaya
Karya : STEFANUS S.P. Jilid X S ANG RATU" melambaikan tangannya sambil
menyuruh pergi Ciu Bian-li. Dengan sikap
amat hormat, Ciu Bian-li mundur dari ruangan
itu. Siau Hiang-bwe sudah
Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
siap mempertahankan sikap agungnya, sadar
sesadar-sadarnya kedudukannya sebagai manusia, mahluk tertinggi ciptaan Tuhan, yang
tidak diijinkan oleh Yang Maha Kuasa untuk
tunduk kepada mahluk yang lain, yang gaib
maupun yang tidak gaib, dan hanya tunduk
sukarela kepada Sang Maha Pencipta.
Ternyata dari balik topeng itu keluar suara
merdu yang ramah, "Silakan duduk, Nona Siau."
Siau Hiang-bwe duduk dengan sikap
anggun, sikap yang bukan untuk Mulut Macan 10 2 kebanggaannya sendiri, melainkan sebagai
wakil Tuhannya. "Nona Siau, aku kagum akan ketabahanmu
yang sudah kau perlihatkan tadi. Aku menyesal
bahwa itu terjadi atas dirimu."
Sahut Siau Hiang-bwe tenang, "Aku tidak
menyesal. Apapun yang menimpaku, tidak
pernah lepas dari rencana-Nya."
"Nona benar-benar luar biasa. Aku akan
gembira sekali, kalau Nona mau bersantap
bersama-sama aku." Siau Hiang-bwe memang lapar dan haus.
Sejak ia ditangkap di rumah Tabib Kian, lalu
diarak dan mengalami berbagai aniaya,
tubuhnya terasa lemah, dan alangkah
menggiurkan hidangan-hidangan yang tersaji di
hadapannya. Tetapi dalam tubuh yang lemah itu
ada jiwa yang justeru mengalami gemblengan,
lebih tajam dan lebih peka terhadap bahayabahaya gaib. Karena itu, sebelum menyetujui, ia
bertanya lebih dulu, "Siapa yang mengundangku
bersantap ini?" "Aku. Siapa lagi?"
Mulut Macan 10 3 "Aku siapa? Ini harus jelas."
"Aku yang punya tujuan yang sama
denganmu, yaitu ingin menebar benih-benih
kebajikan di bumi." Siau Hiang-bwe menggeleng. "Belum cukup.
Seorang petani dan seekor kerbau yang menarik
bajaknya disawah, menghasilkan yang sama,
yaitu hasil yang baik dari tanah itu. Tetapi
meski hasilnya sama, tetap harus dibedakan
mahluknya, yang satu manusia dan yang satu
kerbau. Apalagi kalau tujuan kita belum tentu
sama, meski kelihatannya sama."
Tubuh "sang ratu" menggeletar. Sepasang
mata dari balik topeng itu memancarkan
kemarahan dan kebencian bagaikan halilintar.
Namun ketika Siau Hiang-bwe balas menatapnya, "sang ratu" membuang muka.
Tanya Siau Hiang-bwe pula, "Yang
mengajakku makan ini manusia, mahluk yang
sederajat denganku, atau mahluk ciptaan lain
yang lebih rendah dari derajat manusia?"
"Apa maksudmu, Nona?" desis "sang ratu"
seperti suara seekor ular yang marah.
Mulut Macan 10 4 "Kau tak mau menjawabnya?"
"Akulah ratu yang disujudi jutaan orang di
seluruh bumi, meskipun mereka menggunakan
berbagai nama untuk menyembahku. Aku
pemberi ilham untuk ribuan guru kebatinan
dari berbagai bangsa selama ribuan tahun, aku
menentukan nasib jutaan orang melalui mulut
para ahli nujum. Aku penguasa balatentara gaib
di langit yang tak terhitung jumlahnya. Aku
yang kini mengajakmu bersantap bersama.
Nona Siau!" "Kalau begitu, aku menolak."
"Kenapa?" "Kalau ada seorang manusia hendak dijamu
oleh seekor anjing untuk makan muntahannya,
manusia itu mau atau tidak?"
Di atas kursinya "sang ratu" nampak
menggeliat-geliat dan geliatnya mirip benar
dengan geliat seekor ular. Juga desis di
mulutnya. Siau Hiang-bwe agak berdebar-debar juga,
namun terus berusaha meneguhkan hati.
Mulut Macan 10 5 Beberapa saat kemudian, "sang ratu"
menjadi tenang kembali, mimik wajahnya tak
terlihat karena terselubung topeng, namun
suaranya terdengar ramah kembali, "Baiklah,
soal makan minum bukanlah soal penting.
Meskipun sebenarnya aku mencemaskan
kesehatanmu." "Aku takkan apa-apa. Cemaskan saja dirimu
sendiri." "Sikapmu tidak bersahabat, Siau Hiang-bwe.
Tapi biarlah aku mencoba mengulurkan tangan
persahabatan Kepadamu. Siau Hiang-bwe, kau
sudah diperlakukan amat buruk hari ini,
kutawarkan kepadamu, bagaimana kalau
kuhukum orang-orang itu?"
"Siapa yang hendak kau hukum? Manusiamanusia Lui Kong-sim, Nyonya Giam dan
sebagainya itu.?" "Bahkan seluruh kota Seng-tin ini.
Bagaimana? Bukankah tawaranku ini luar biasa
" "Mereka tidak menyadari sang mereka
lakukan. Manusia yang tidak menyadari, masa
Mulut Macan 10 6 harus dihukum. Kalau mau dihukum, hukumlah
mahluk-mahluk gaib yang menguasai pikiran
mereka untuk melakukan hal-hal itu."
"Bukankah Lui Kong-sim itu mendcambukimu, Janda Giam menggunting
rambutmu, Ho Tong bahkan melakukan sesuatu
yang amat memalukanmu?"
"Sudah kukatakan, mereka tidak menyadarinya. Mereka cuma boneka-boneka
wayang yang digerakkan oleh dalang-dalang tak
terlihat. Dalang-dalang itulah yang akan
menerima hukuman, dan aku adalah pelaksana
hukuman Yang Maha Kuasa."
Kini "sang ratu"lah yang diserbu kegentaran
hebat, untung topeng itu menyembunyikan perasaan hatinya. Bahkan ia
kemudian tertawa, "Kau benar-benar seorang
pemaaf, Siau Hiang-bwe. Itu bagus. Pertanyaanku tadi tidak bersungguh-sungguh,
hanya untuk mengujimu. Setelah mendengar
jawabanmu, aku senang. Terserah kau anggap
apa, aku benar-benar merasa bahwa kita
Mulut Macan 10 7 sebenarnya satu arah, yaitu memperbaiki bumi
ini, mengajarkan kebaikan untuk semua orang."
"Tujuanmu bukan menyelamatkan orang,
tetapi mengalihkan perhatian orang-orang dari
jalan yang sudah diulurkan turun dari langit ke
bumi. Kau ajak orang-orang membangun tangga
sendiri dari bumi ke langit," potong Siau Hiangbwe sambil berdiri dari tempat dud knya.
"Ratu langit" menepukkan tangannya, lalu
Ciu Bian-li dan perempuan setengah baya
berwajah dingin itu muncul. Lebih dulu mereka
bersujud kepada "ratu langit" lalu dengan kasar
mereka menyeret Siau Hiang-bwe di kiri
kanannya untuk dibawa kembali ke selnya.
"Manusia tak tahu diuntung, kau membuat
gusar 'ratu langit' dan akan segera merasakan
akibatnya...." desis Si Perempuan setengah baya
sambil terus menyeret tawanannya. "Aku bisa
merasakan kemarahannya, meskipun ia tidak
mengucapkannya." "Kau akan kami biarkan mati kelaparan
dalam sel." sambung Ciu Bian Li yang sama
gusarnya. Mulut Macan 10 8 Agaknya tadi Ciu Bian-li dan perempuan
setengah baya ini ikut mendengarkan dari luar
pintu, dan mereka mendengar setiap patah kata
yang Siau Hiang-bwe ucapkan.
Ketika tiba di depan sel Siau Hiang-bwe
yang pintunya masih terbuka, Siau Hiang-bwe
berkata kepada kedua penjaganya itu, "Kalian
mahluk ciptaan yang tertinggi, jangan tunduk
kepada mahluk yang lebih rendah, biarpun
mengaku penguasa dari langit."
"Keparat, kau memang patut dikutuk!" Si
Perempuan setengah baya berwajah dingin itu
menggereng dan mendorong punggung Siau
Hian-bwe keras-keras untuk memasukkannya
ke sel. Pintu yang berat itu ditutup kembali, dan
Siau Hiang-bwe kembali terjebak dalam
kegelapan yang amat pekat.
Siau Hiang-bwe dalam keadaan tubuh sakit,
lapar, haus, kedinginan terutama di kepalanya
yang hampir gundul, meringkuk di pojokan.
Berusaha untuk tidur, dan berhasil.
Sementara itu, "ratu langit" duduk di
ruangan tadi, termenung sekian lama. Tiba-tiba
Mulut Macan 10 9 dengan gusar ia merenggut topengnya sendiri.
Muka di balik topeng itu ternyata digambari
persis wajah topeng itu. Lalu dengan sehelai lap,
rias wajah itu dihapus, dan terlihatlah wajah...
Wong Lu-siok. Seorang lelaki, bukan perempuan. Begitu juga tangan-tangan itu dengan
kegusaran meluap-luap melepaskan dandanan
"ratu langit" yang berlapis-lapis itu. Yang agak
aneh adalah mimik muka Wong Lu-siok. Muka
itu terlihat begitu ketakutan, sementara tangantangannya bergerak dalam kemarahan. Wajah
dan tangan tidak cocok satu sama lain, seolaholah milik orang yang berbeda dan bertindak
tidak sama. Apalagi yang keluar dari mulutnya pun
adalah suara seorang perempuan, yang tadi
bicara dengan Siau Hiang-bwe, "Kau goblok,
Wong Lu-siok! Kau sangat goblok! Kau gagal
merebut kota ini bagiku! Kau harus dihajar!"
Lalu tubuh Wong Lu-siok tiba-tiba
diguncang-guncang, dihempas-hempaskan ke
Mulut Macan 10 10 dinding dan lantai, oleh sesuatu kekuatan tak
terlihat. Ruangan itu berantakan.
Di luar ruangan, Ciu Bian-li bersama
perempuan setengah baya berwajah dingin itu
berdiri mematung dengan wajah ngeri. Mereka
mendengar suara-suara dalam kamar dan
mereka tahu apa yang terjadi. Wong Lu-siok
sedang menjalani hukuman, karena gagal
menyenangkan "sang ratu".
Tak lama kemudian, Ek Yam-lam bergabung
hanya untuk gelisah bersama-sama tanpa tahu
jalan keluarnya. * * * Sebagian besar warga Seng-tin agak bangun
kesiangan, karena semalam mereka berada di
lapangan untuk menonton "si pembawa
bencana" dihajar dan dipermalukan. "Acara"
Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
baru selesai setelah melewati tengah malam,
dan itu membuat orang-orang Seng-tin
mengantuk. Mulut Macan 10 11 Nyonya Giam yang bangun kesiangan.
Begitu bangun, bergegas dia keluar dari
kamarnya untuk menuju ke dapur, menyiapkan
hal-hal yang perlu bagi keluarganya, sebab
dialah sekarang satu-satunya orang sehat di
keluarga itu. Tetapi ketika ia sampai ke dapur, ia
tercengang melihat anak perempuannya, Giam
Lik, sudah berada di dapur. Tungku tanah liat
sudah dinyalakan dan beberapa jenis masakan
tinggal menunggu matangnya saja.
"A-lik, bukankah kau sakit?"
"Maaf, dalam dua hari ini aku sudah
merepotkan Ibu. Sebetulnya sakitku ringan.
Cuma pusing-pusing sedikit, dan sekarang
rasanya sudah sembuh."
Nyonya Giam tercengang. Cuma pusingpusing sedikit? Kemarin panas tubuhnya begitu
tinggi, sampai Nyonya Giam sudah menyangka
yang buruk. Itu bukanlah "cuma pusing sedikit".
Nyonya Giam meraba jidat puterinya, dan ia
tidak menemukan sisa penyakit sedikit pun.
Giam Lik benar-benar sehat, meski agak kurus.
Mulut Macan 10 12 Belum habis herannya, di pintu kamar Giam
Lok tiba-tiba Giam Lok berdiri di ambang pintu,
meskipun sambil berpegangan ambang pintu
tapi sambil tersenyum. Katanya, "Aku lapar
sekali, dan ingin makan banyak-banyak."
Nyonya Giam tertegun, tubuh Giam Lok
memang sudah seperti tengkorak hidup karena
kurusnya, tetapi ia yakin bahwa yang berdiri di
ambang pintu itu bukannya arwah, melainkan
manusia utuh jiwa dan raga.
Giam Lok melangkah lemah ke meja makan
di dapur, dan Nyonya Giam buru-buru
menuntunnya. Setelah duduk di bangku kayu yang kasar,
Giam Lok berkata, "Semalam sudah kurasakan,
tetapi aku tidak mau membangunkan Ibu dan Alik."
"Kau rasakan apa?"
"Semangatku bangkit, lalu kekuatankekuatan aneh yang mencengkeram dan
melumpuhkan tubuhku terbuang menjauh
semuanya." Mulut Macan 10 13 Hampir saja Nyonya Giam menanggapinya
dengan kata-kata, "Itu karena penyihirnya
sudah ditangkap dan dihukum. Penyihirnya
ditangkap, kutukan jahat pun berakhir."
Namun kata-kata itu tidak jadi keluar dari
mulut Nyonya Giam, tertahan oleh ketidakyakinan dalam hatinya sendiri. Malah tiba-tiba
ia ingat desisan Siau Hiang-bwe yang tulus di
tengah penderitaannya, "Kedua anak Nyonya
akan sembuh...." Akhirnya Nyonya Giam hanya bersikap,
"Apapun yang terjadi, hari ini anak-anakku
sembuh." Di keluarga Yao, Yao Kang-beng pagi-pagi
benar sudah menjumpai adiknya di kamarnya.
Dengan tatapan mata menyesal, ia mengamatamati lebam-lebam bekas pukulan dan
tamparannya di wajah adiknya. Yao Sin-lan
sendiri masih tidur, ketika diamat-amati oleh
kakaknya. Ketika Yao Sin-lan menggeliat dan
membuka mata, lalu melihat kakaknya ada di
dekat tempat tidurnya, dia kaget sekali dan
Mulut Macan 10 14 dengan ketakutan menggeser diri ke sisi tempat
tidur yang lain, menjauhi kakaknya, sementara
mulutnya menyapa, "Kakak..."
"Ya, kenapa kau takut kepadaku?" tanya Yao
Kang-beng, namun lalu dijawab sendiri, "Ya, ya,
aku tahu yang menyebabkan kau takut. Aku
semalam merenungkan dan sadar bahwa
sikapku kepadamu belakangan ini memang
keterlaluan. Aku heran sendiri, entah pengaruh
jahat dari mana yang menguasaiku sehingga
aku tega memukulimu hanya untuk urusan
sepele. Padahal sejak kecil aku begitu
menyayangimu." Yao Sin-lan tetap bungkam, namun matanya
berkaca-kaca. Bahkan Si Kakak semalam
merenung lalu mendapatkan kesadaran akan
tindakannya, itu sudah ajaib. Yao Sin-lan seolaholah menemukan kembali kakaknya yang dulu,
kakaknya yang belum bertabiat asing sejak ikutikutan "menegakkan jalan suci". Lebih ajaib lagi,
tanpa sengaja Yao Kang-beng menyebutkan
uruan "tarian suci" itu sebagai "urusan sepele",
padahal belakangan ini Si Kakak menganggap
Mulut Macan 10 15 segala urusan yang ada sangkut-pautnya
Hancurnya Sian Thian San 1 Ibu Sinder Karya Pandir Kelana Pelangi Dilangit Singosari 27
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama