Ceritasilat Novel Online

Kemenangan Manis 2

Merival Mall 10 Kemenangan Manis Bagian 2


dollar per jam? Kalau kamu bekerja baik, akan saya beri tambahan."
Lima dollar per jam, bagus sekali! Jelas lebih menguntungkan
daripada bekerja sebagai pelayan restoran fast-food. Lagi pula,
sebagai pengasuh anak ia tak perlu mengenakan seragam yang konyol.
"Apa gajinya cocok untukmu?" tanya wanita itu penuh harap.
"Cukup kok," ujar Danielle.
"Mmm... begini. Dapatkah kamu mulai malam ini? Memang
mendadak sekali, tapi kami mau pergi," jelas wanita itu. "Lagi pula
kami ingin memberimu kesempatan untuk melihat apakah kamu
menyukai pekerjaan itu. Kalau suka, bisa diteruskan. Saya dan suami
saya sering pergi beberapa kali dalam seminggu. Kami... mmm,
pasangan yang aktif. Oh, saya harap kamu menyukai pekerjaan ini."
Wanita itu bercerita seolah-olah Danielle yang
mewawancarainya, dan bukan sebaliknya! "Oke," jawab Danielle
setuju, berusaha supaya tak terdengar telalu berhasrat. "Jam berapa
aku bisa datang?"
"Sekitar jam tujuh, kalau kamu tak keberatan. Kami nggak lama
kok, jadi takkan menyusahkanmu."
Danielle tersenyum lega. Setelah bekerja dengan si seram Pak
Rivici, mengurus anak kecil jauh lebih mudah!
"Baik," sahut Danielle.
"Alamat kami di Ridge Street 340. Kamu tahu Wood Hollow
Hills?" tanya wanita itu penuh harap.
"Tahu? Aku tinggal di sana kok," jawab Danielle sambil tertawa
kecil. "Kalau begitu, sampai jam tujuh nanti."
"Asyik!" pekik Danielle perlahan saat meletakkan gagang
telepon dan kembali ke mobilnya. Akhirnya! Inilah keajaiban yang
ditunggunya! Lima dollar per jam akan cepat bertambah banyak?apa
lagi kalau mereka sering memanggilnya. Dalam beberapa minggu saja
mobilnya sudah dapat diperbaiki, sekaligus sweater angora itu bisa
terbeli. Aku berhasil! ujar Danielle pada dirinya sendiri, sambil
membuka pintu mobil lalu masuk ke dalamnya. Memang tak mudah,
tetapi ia sudah bertekad untuk pergi bekerja dan melakukan sesuatu
yang disukainya. Bagaimana mungkin ia sempat meragukan
kemampuannya sendiri!
Sembilan "Bu, aku pergi," teriak Danielle pada ibunya di kamar. Akhirakhir ini ibunya selalu mengurung diri. Danielle tak tahu apa yang
dilakukannya di situ, namun kamar itu selalu sepi.
"Dah Ibu?" Danielle menjulurkan kepalanya ke dalam kamar
mewah orangtuanya. Ia melihat ibunya berbaring di atas tempat tidur
memakai pakaian mandi suteranya sambil membolak-balik majalah
Metropolitan Home terbaru dengan dengan wajah sendu.
"Dah sayang," ibunya terbiasa mengucapkan kata 'sayang'
dengan nada formal.
"Mungkin aku pulang sekitar jam sebelas," sahut Danielle.
"Boleh sayang," jawab ibunya lagi tanpa gairah.
Bukankah seorang ibu seharusnya melontarkan pertanyaan
seperti "ke mana" dan "kapan"? Danielle menghela napas berat sambil
membuka pintu rumahnya yang besar yang terbuat dari kayu oak.
Ah, peduli amat, pikir Danielle. Barangkali ibunya tidur-tiduran
karena depresi, tetapi Danielle tidak bisa begitu. Ia harus segera
menyingsingkan lengan bajunya untuk mencari uang, kalau itu
memang satu-satunya jalan. Danielle tak mampu membayangkan hal
yang lebih buruk akan menimpanya.
Danielle masuk ke dalam mobilnya dan mengarahkannya ke
luar dari pekarangan rumahnya. Dijalankannya mobilnya pelan-pelan
menyusuri Ridge Street, sementara matanya menikmati berbagai
pepohonan dan kebun-kebun yang ada di Wood Hollow Hills. Benarbenar pemukiman yang mengasyikkan, dengan kelas dan gaya
tersendiri.
Kita bisa saja kehilangan rumah ini, Danielle. Terngiang
kembali kata-kata ayahnya yang mengerikan itu di telinganya.
Tampaknya ia serius dengan kata-katanya itu. Betul-betul
menakutkan.
Tiba-tiba Danielle dicengkam perasaan takut. Jika mereka
terpaksa pindah, ke mana mereka harus pergi? Kembali ke
pemukiman lama dengan rumah-rumah yang sangat sederhana?
Nah itu dia. Ridge Street 340. Sebuah rumah modern terbuat
dari kayu dengan sepeda roda tiga di halamannya. Sementara di
pekarangan sebuah Mercedes biru tua terparkir dengan mesin yang
menyala. Seorang pria berusia kira-kira tiga puluh lima tahun berada
di belakang kemudi sambil membaca koran. Pria itu menatapnya dan
mengangguk saat Danielle berjalan menuju ke pintu.
Danielle memencet bel, dan terdengar bunyinya berderingdering. Sesaat kemudian seorang wanita cantik berambut pirang
membuka pintu.
"Oh, hai!" sapanya lega saat melihat Danielle. "Kamu pasti
pengasuh anak-anak itu. Saya Maureen Stone."
"Hai," balas Danielle gembira saat wanita itu membuka pintu
dalam baginya.
"Saya khawatir kalau kamu tiba-tiba berubah pikiran!" sahut
Maureen lega.
Danielle melempar senyum bijaknya. "Ah, pekerjaan ini
menyenangkan, kok."
Wajah Maureen berseri-seri. Tak lama kemudian terdengar
suara klakson mobil dari luar. "Itu suamiku," ujarnya, sambil berlari
ke pintu depan. "Aku datang!" teriaknya. "Tunggu sebentar!"
"Nah, kamar tidur ada di lantai atas. Teve ada di ruang duduk.
Dan kalau butuh sesuatu ambil saja di lemari es. Kami mau ke
Bioskop Six Plex. Nomor telepon dokter anak ada di dekat telepon."
Dengan cepat Maureen menginformasikan segala sesuatu, seakanakan ia telah menghafalkannya. "Semoga sukses."
Suara klakson di luar terdengar lagi.
"Aku datang!" teriak Maureen sambil meraih mantel dan
tasnya. "Tunggu!" pekik Danielle yang kebingungan. "Di mana anakanak itu?"
"Oh, ya!" Maureen mengangkat tangannya dengan malu, tasnya
meluncur ke bawah. "Anak-anak," panggilnya sambil memungut
tasnyia. "Sini, kenalan dengan Danielle. Dia akan menjaga kamu
malam ini."
"Halo, Danielle." Danielle menoleh dan melihat seorang gadis
kecil berambut keemasan berjalan menuruni tangga. Di belakangnya
menyusul seorang anak laki-laki kecil berambut pirang diikuti dengan
adiknya yang berambut cokelat. Anak yang paling kecil itu berjalan
tertatih-tatih menuruni tangga sambil memeluk erat-erat boneka
beruangnya.
"Ini Rebecca," jelas Maureen saat anak pertama telah
menginjakkan kakinya di lantai bawah. "Umurnya lima setengah
tahun."
"Halo Rebecca," ujar Danielle saat gadis itu menengadahkan
mukanya dan tersenyum.
"Dan ini Albert," lanjut Maureen saat anak lelaki itu meloncat
dari anak tangga terbawah dan menghampiri kakak perempuannya.
"Umurnya empat tahun. Betul kan Albert?"
"Yap," sahut Albert sambil melambaikan tangannya. "Hiya,"
pekiknya sambil tersenyum membuat hati Danielle luluh seketika.
"Dan itu Sean." Anak yang paling kecil itu masih sibuk
menuruni tangga. Wajahnya yang penuh tekad bulat membuat
Danielle tersenyum.
"Berapa umurmu, Sean?" tanya sang ibu begitu Sean tiba di
bawah. "Figa," sahut Sean dengan suara keras.
"Belum dong," koreksi Maureen sambil tersenyum. "Umurnya
dua setengah tahun, Danielle, tapi ia lebih suka menyebutnya 'Figa'."
Danielle tertawa geli. Pekerjaan yang gampang, pikirnya.
"Silakan pergi Maureen. Kami akan baik-baik saja, ya kan?"
"Hu-uh," sahut ketiganya saat bunyi klakson terdengar lagi.
Maureen mengecup ketiga anaknya. "Kamu bisa menyuruh
mereka tidur begitu saya pergi, Danielle. Mereka sudah mencuci
tangan, kaki dan siap untuk tidur. Kami pulang pukul sepuluh tiga
puluh."
"Dah, Ibu!" pekik ketiga Stone kecil itu.
"Danielle berdiri di pintu dan melambaikan tangan pada
Maureen saat mobil meluncur meninggalkan pekarangan.
"Nah, anak-anak?sudah waktunya tidur," perintah Danielle
sambil memutar tubuhnya. "Anak-anak...."
Danielle memandang ke sekelilingnya, tetapi tak tampak
seorang anak pun! Ke mana mereka pergi? Mungkinkah mereka sudah
ke atas sendiri dan tidur?
Tak lama kemudian terdengar suara jeritan dari ruang tamu,
diikuti bunyi pecahnya porselin dan lengkingan tawa. Ya ampun! pikir
Danielle, panik sambil buru-buru menghampiri tempat keributan itu.
Tetapi belum ada tiga langkah, ia mendengar suara, "Nyah,
nyah, nyah! Kamu nggak bisa menemukan aku!" Suara itu datang dari
ruang makan. Danielle memutar tubuhnya dan berlari ke sana.
Dilihatnya Albert dan Sean saling memukul dengan sikat sambil
berkejar-kejaran mengelilingi meja.
"Horeee! Kita main perang-perangan!" pekik Rebecca, diikuti
Danielle yang berusaha menangkap gadis cilik itu. "Ayo Albert! Sean!
Kita lawan dia! Weeee!"
Sambil berlari mengitari meja makan Rebecca menarik taplak
meja, hingga barang-barang pecah belah di atasnya hancur berantakan.
Tak heran Maureen begitu senang melihat kedatangannya.
Mungkin saja ketiga monster cilik itu telah mengganyang para
pengasuh mereka sebelumnya! Nah, kali ini akan berbeda. Danielle
bermaksud memberi pelajaran pada ketiga anak itu. Danielle akan
menunjukkan siapa yang berkuasa. Ia akan menyekap mereka satu
demi satu, membawanya ke atas dan meletakkannya di tempat tidur.
"Ayo Rebecca," panggil Danielle ramah namun tegas sambil
melangkah menuju ruang tamu. "Sudah waktunya tidur."
"Nggak mau!" jerit Rebecca, yang dengan panik
menyembunyikan diri di balik permadani.
"Ya, kamu!" seru Danielle, seraya menangkap gadis kecil yang
menendang-nendang dengan liarnya. Namun Rebecca berhasil
meloloskan diri. Dalam sekejap ketiga anak kecil itu berlarian ke arah
yang berbeda sambil menjerit-jerit sekuat tenaga, dan memukuli apa
saja yang ada.
Danielle mengejar dan menangkap Sean, yang berada paling
dekat dengannya. Ia mengangkat anak itu di bahunya. "Ayo,"
bentaknya. Tetapi begitu Danielle menginjakkan kakinya di tangga,
terasa gigi-gigi kecil dan tajam menggigiti pundaknya hingga terasa
perih. "Auuuw!" jeritnya sambil melepaskan anak itu.
Sean memekik kesenangan dan berlari menjauh.
Dengan gusar Danielle melihat apakah bahunya terluka.
Untungnya tak apa, namun tampak jelas deretan gigi berwarna merah.
Dasar setan kecil!
Tiba-tiba saja keheningan menyelimuti rumah itu. Sunyi berarti
bahaya. Pasti ketiga monster cilik itu sedang melakukan sesuatu.
Suara cekikikan di dapur menyadarkan Danielle bahwa
ketiganya berada di sana. Dengan cemas dilihatnya Sean dan Albert
berada di lantai, sambil menikmati sekantung besar gula. Rebecca
berdiri di kursi dekat dapur, menumpahkan minuman pada kedua
adiknya. "Cukup!" bentak Danielle kesal. "Cukup!" suaranya yang
menggelegar membuat ketiga anak itu berhenti, namun hanya sesaat.
Dalam sekejap, ketiganya berlari menjauh sambil tertawa-tawa, Albert
dan Sean menuju arah lain, sedang Rebecca berusaha meloloskan diri
melewati Danielle.
"Ketangkap!" seru Danielle senang, sambil merenggut si
perusuh cilik yang meronta-ronta itu. Dengan menggunakan seluruh
kekuatannya, Danielle mengepit Rebecca dengan satu lengannya
menuju ke lantai atas dan meletakkannya di tempat tidur.
"Selamat tidur, Rebecca." Nah! pikirnya, sambil menutup pintu
dan menghembuskan napas frustasi dan amarahnya. Untung aku ikut
Boddy Shoppe. Tanpa latihan dua kali seminggu ia pasti tak mampu
melakukan hal tadi!
Kembali ke bawah dilihatnya Albert menuangkan bercangkircangkir air di atas gula yang tersebar di lantai.
"Lihat Danielle! Kalau dikasih air jadi abu-abu!" Penemuan
ilmiah itu tak mampu menggoyahkan Danielle.
"Waktunya tidur," ujarnya pada anak itu dengan suara ramah
seperti penjaga penjara.
"Ah, apa harus?" tanya Albert. Namun anak itu menurut,
Danielle merasa lega.
Dua sudah kalah, tinggal satu lagi.
"Sean?" panggil Danielle. "Kamu di mana?"
"Ka-yon." Danielle tak tahu apa maksud si bungsu Stone,
sampai ia menemukan anak itu dengan krayon di tangan dan wajahnya
terpaku pada dinding di ruang makan.
"Bawa sini!" ujarnya tegas, sambil mengulurkan tangannya
untuk meraih krayon-krayon itu.
"Nggak," jerit si kecil sama tegasnya.
"Kasih padaku semua," ulang Danielle lagi. Dan kali ini begitu
si anak menolak, Danielle merebut krayon-krayon itu dan
membuangnya ke dalam tempat sampah. Kemudian dijepitnya Sean
dengan lengannya dan dibawanya ke atas.
Sean menjerit-jerit terus di telinganya. Kalau aku nggak jadi
tuli, batin Danielle, ini benar-benar ajaib.
Saat menurunkan Sean, Danielle mendengar suara cekikikan.
Dengan ketakutan dilihatnya Albert keluar dari kamar mandi diikuti
kakaknya. Sial!
"Kembali!" Saat mengikuti keduanya ke bawah, Danielle
tersandung hingga ia hampir jatuh. Saat ia masih limbung, kedua anak
kecil tadi sudah menghilang entah ke mana!
"Albert! Rebecca? Kalian di mana?" Satu-satunya suara yang
terdengar adalah jeritan pilu Sean di ruang atas yang sedih karena
tidak terlibat dalam permainan.
Danielle menatap jamnya. Jam sembilan malam! Maureen
bilang mereka akan kembali pukul sepuluh tiga puluh! Bagaimana
caranya menyelamatkan diri dari situasi ini?
Saat itu juga sayup-sayup terdengar suara tangisan. Danielle
mengikuti suara itu hingga di sebuah ruangan yang mirip kamar
mandi. Waktu membuka pintu ia mendengar deru bunyi mesin dari
ruang bawah. Uh-oh. Inilah puncak kesialannya!
Tampak busa bertebaran di mana-mana menutupi lantai hingga
dua kaki dalamnya. Di tengah-tengah berdiri Rebecca dan Albert,
keduanya meraung-raung ketakutan. Nah lho, akhirnya kena batunya
juga! Tepat pukul sepuluh dua puluh Danielle telah selesai membawa
kedua anak itu ke lantai atas, mengganti pakaian dan menidurkan
mereka. Ia juga tak lupa membersihkan semuanya yang berserakan di
lantai dasar, mengepel lantai dapur, menggosok sisa-sisa krayon, serta
membersihkan dirinya. Dari kejauhan ia mendengar suara mobil
mendekat lalu bunyi kunci diputar.
"Hai!" sapa Maureen diikuti suaminya. "Bagaimana?"
"Baik-baik saja," jawab Danielle. "Baik-baik saja, kok..." Tak
ada gunanya menceritakan masalahnya tadi. Toh keduanya sudah
kebal menghadapi 'setan-setan' kecil itu.
"Aduh, senang sekali!" komentar Maureen dengan gembira. "Ini
uangmu, dan sedikit tambahan karena kamu baik terhadap mereka.
Mau kamu datang lagi malam minggu nanti?"


Merival Mall 10 Kemenangan Manis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Maaf, tidak bisa. Mmm, aku ada janji."
"Bagaimana kalau minggu depannya?" tanya Maureen penuh
harap, tetapi Danielle tak tergoyahkan.
"Maureen, maaf, mungkin aku nggak bisa datang lagi. Tadi
ayahku menelepon kemari, dan beliau ingin aku bekerja dengannya.
Tapi terima kasih banyak. Anak-anak Anda manis-manis sekali."
Setelah berbasa-basi sedikit, Danielle meminta izin pulang lalu
bergegas menghampiri mobilnya.
Begitu menyalakan mesin mobil dan menyetirnya pulang,
Danielle seolah-olah melihat bayangan ketiga Stone kecil itu
memburunya dengan senapan mesin. Kemudian ia tersadar?bukan
anak-anak itu yang mengejarnya, melainkan suara peredam mobilnya.
Hebat. Benar-benar hebat. Semuanya berantakan. Bagaimana
caranya ia dapat memperbaiki peredam mobilnya yang rusak itu?
Sepuluh "Hai, apa kabar? Rasanya aku ingin bicara, deh." wajah Lori
tampak tegang dan dadanya terasa sakit saat ia memanggil kedua
sahabatnya, Patsy dan Ann. Keduanya sedang membawa buku dan
baru akan meninggalkan Merivale High.
Dengan wajah heran Patsy menatap Ann yang kemudian balas
menatapnya dengan pandangan heran. "Oke, baik," ujar Patsy
perlahan. "Apa yang mau kamu bicarakan?"
Lori tahu Patsy masih marah, sangat marah, hanya saja ia tak
mengatakannya. Sungguh menyakitkan.
"Mengenai persahabatan kita!" sahut Lori sambil menyentuh
lengan baju Patsy perlahan.
Patsy mengibaskan tangannya pelan. "Sudah lewat, kan?"
"Apa?" sergah Lori heran. "Kok kamu tega sih, bilang begitu?"
Patsy hanya mengangkat bahunya dengan ekspresi dingin.
"Patsy!" Rasanya isak tangis takkan membantunya.Karena itu
Lori berusaha keras menahan tangisnya yang hampir meledak. "Apa
kamu tak mau jadi temanku lagi?"
Patsy hanya memalingkan wajahnya. Namun Lori sempat
menangkap bayangan sedih di mata temannya itu.
"Jadi kamu nggak mau?" tanya Lori putus asa. Waktu Patsy tak
menyahut, Ann menjawab lembut. "Tentu saja dia mau. Tapi Lor,
setiap kali kami ingin berteman denganmu, kamu nyuekin kita! Kamu
nggak nelepon, padahal sudah janji. Katanya kamu sibuk, tapi kami
lihat kamu keluar dari Facades! Gimana mau percaya?"
Wajah Lori merona merah, hampir saja tangisnya meledak lagi.
"Kalian sih nggak mengerti," gumamnya putus asa. "Maksudku, maaf,
aku lupa menelepon. Memang itu salahku. Tapi aku nggak sengaja,
sungguh! Dan Facades... hanya ihi, aku nggak bisa menjelaskannya.
Tapi akhir-akhir ini aku stress berat, dan belanja dapat membantuku.
Apa kalian nggak bisa mengerti?"
Lori tak tahu apa alasannya itu dapat diterima? namun apa
yang dikatakannya itu memang benar.
"Kamu sudah berubah, Lor," ujar Patsy, sambil menatap mata
cokelat temannya. "Makin lama kamu makin nggak seperti Lori lagi,
tapi seperti sepupumu Danielle!"
Pendapat Patsy mengenai Danielle sudah jelas. Menurut dia,
Danielle adalah cewek manja, egois dan senang menjadi pusat
perhatian. Beberapa waktu silam, Patsy sangat gusar melihat cara
Danielle menyombongkan kekayaannya pada Lori dan temantemannya.
"Ayolah Pats," sela Ann lembut. "Kamu kan tak bermaksud..."
"Iya, iya!" sembur Patsy, amarahnya meledak. "Tiba-tiba saja
Lori berubah, dari Lori yang baik hati jadi Lori Randall? sang
perancang yang sombong. Tiba-tiba saja Lori muncul di sekolah
memakai rok suede dan blus satin. Dan kamu sama sekali nggak
peduli lagi dengan masalah orang lain."
"Patsy maafkan aku," ujar Lori terisak.
"Sudahlah," sahut Ann menengahi.
"Maafkan aku juga," ujar Patsy, tiba-tiba gadis itu merangkul
Lori. "Aku nggak bermaksud mengataimu seperti itu."
"Nggak apa-apa," ujar Lori. "Aku memang pantas
menerimanya."
"Nggak kok. Kamu nggak seperti Danielle. Dan kamu bukan
Danielle."
"Oh, Patsy," sambil menangis dan tertawa Lori membalas
pelukan sahabatnya. "Kan sudah kubilang berkali-kali, Danielle nggak
segitu jahat amat kok."
"Aduh kalian ini," sela Ann sambil tertawa kecil. "Nggak usah
sebut-sebut Danielle, deh."
"Itu semua gara-gara pekerjaanku," jelas Lori setelah ia dan
Pasty melepaskan pelukan. "Sejak 'Rancangan Lori' dimulai, seluruh
kehidupanku jadi berubah. Kamu pasti nggak akan percaya dengan
kesibukan yang ada di pabrik. Mereka menyuruhku merancang satu
set pakaian, ditambah baju pesta. Benar-benar melelahkan."
Dagu Patsy menonjol ke luar, dan kemarahan membayang
kembali di wajahnya. "Lori," sahutnya datar. "Kamu selalu
membicarakan soal usahamu itu? Padahal kami sama sekali nggak
tahu apa-apa!"
"Betul Lor," Ann menyetujui. "Patsy bukannya ingin
menyakitimu. Tapi kami kan buta soal rancang merancang? Itu dunia
yang sama sekali asing bagi kami!"
Perlahan-lahan kebenaran kata-kata kedua sahabatnya itu
menyadarkan Lori. Bagaimana ia bisa mengharapkan kedua
sahabatnya memahami pekerjaannya? Sejak awal ia tak pernah
melibatkan mereka.
"Nah," ujar Lori, tiba-tiba saja sebuah ide mencuat dalam
pikirannya. "Bagaimana kalau kalian berdua ikut? Jadi kalian bisa
melihat semuanya dengan mata kepala sendiri. Aku sekarang mau ke
pabrik, jadi kalau kalian ada waktu?"
Semoga mereka mau, doa Lori dalam hati.
"Aku masuk kerja jam lima. Jadi aku masih ada waktu," ujar
Patsy. Wajahnya menyunggingkan senyuman senang.
"Aku juga!" jawab Ann sambil menyeringai senang.
"Bagus! Ayo kita pergi!" ujar Lori penuh semangat. "Rasanya
aku nggak sabar lagi ingin menunjukkannya pada kalian."
************
Danielle duduk dalam mobilnya yang terparkir di lapangan
parkir Atwood dengan selembar Merivale Mirror terbitan hari itu
terbentang di depannya.
Kalau ia pulang, ia pasti malas mencari pekerjaan, dan ia tak
ingin seperti itu. Lagi pula Don selalu mengatakan, "kalau ingin
sesuatu, Red, kejar terus. Oke?" Yap, apa yang diingininya adalah
uang. Dan ia takkan pulang sampai ia mendapat pekerjaan.
Namun bukan pekerjaan yang ruwet, seperti menjadi pengasuh
anak. Sialnya, ia sama sekali tak dapat mengetik, pikirnya sambil
mengamati daftar lowongan kerja paruh waktu. Ia harus melakukan
sesuatu....
Saat itu juga sebuah nama yang tak asing lagi menarik
perhatiannya. Premier Caterers mencari karyawan paruh-waktu.
Hubungi: 477 Interstate, dengan Jimmy.
Hubungi Jimmy? Itu mudah! Sudah dua tahun ini Danielle
mengenal Jimmy. Dia adalah pemuda yang selalu dihubungi
keluarganya untuk memesan makanan sejak pindah ke Wood Hollow
Hills. Selama ini dia dan Danielle sering bercanda di dapur! Hubungi
Jimmy! Itu soal kecil!
Sambil tertawa kecil Danielle menghempaskan koran itu ke
lantai mobil dan menyalakan mesin. 477 Interstate, aku datang!
************
"Hai, Lori!" Yvonne mengalihkan pandangannya dari mesin
jahit yang mendengung saat Lori melangkah masuk diikuti kedua
temannya. "Hai, Yvonne! Hai, Maria!" sapa Lori pada kedua karyawati
yang sedang sibuk itu. "Selamat datang di 'Rancangan Lori'," katanya
pada kedua sahabatnya dengan bangga.
"Waw, tempatnya besar sekali!" Mata Patsy mengitari seluruh
ruangan, mulai dari langit-langit yang setinggi enam belas kaki hingga
bagian belakang pabrik.
"Ini semua untuk 'Rancangan Lori?'" tanya Ann, wajahnya
tampak kagum.
"Nora Pringle yang menemukan tempat ini," ujar Lori. "Kantorkantor yang di belakang sana itu untuk manajer produksinya, dan
semua jahitannya dikerjakan di sini."
"Ini apa, Lor?" Ann menunjuk ke sebuah rak di mana
tergantung tuxedo bentuk aslinya tanpa bahu. Warnanya abu-abu
berhiaskan satin putih.
"Kalian suka, ya?" tanya Lori penuh semangat.
"Suka sekali!" pekik Ann.
"Aku juga!" ujar Patsy sambil menyentuh satin tersebut. "Bagus
sekali! Berapa harganya? Mungkin aku mau beli satu."
Wajah Lori berkerut cemas. "Aku berusaha menekan harganya.
Tapi kayaknya akan tetap mahal."
"Nggak apa-apa," ujar Patsy." Sudah lama aku menabung untuk
membeli baju pesta yang bagus."
"Barangkali sekitar dua ratus lima puluh ribu..." sahut Lori
perlahan. "Oh!" komentar keduanya, mengakhiri percakapan.
"Nggak heran kamu sibuk terus," ujar Ann, sambil memandang
sekitarnya. "Terus, gimana caramu mengatur tugas-tugas sekolahmu?"
"Lori, syukur kamu datang!" suara Betty Finn memecah
dengungan suara mesin. "Ada yang harus dibicarakan denganmu
sekarang juga!"
Betty langsung menghilang ke dalam kantornya sebelum Lori
sempat mengenalkan kedua temannya. Jelas manajer produksi itu
sedang menghadapi masalah serius.
"Aku akan kembali," janji Lori sambil menunjuk kamar Betty.
"Ada apa?" tanya Lori bingung. Betty berdiri di depan mejanya,
dengan jas hujan navy dalam tangannya.
"Ada masalah besar. Lihat jas hujan itu!" Betty menunjuk
selusin atau lebih jas hujan yang tergantung di rak di sebelah ruangan.
"Memangnya kenapa?" tanya Lori gugup.
"Lihat potongan lehernya, kita tak mungkin menyambung
tudungnya! Jahitannya lepas! Entah polanya yang salah atau Maria
yang keliru menerapkannya." Betty tampak gusar atau mungkin sebal,
Lori tak tahu yang mana.
"Jadi bagaimana?" tanya Lori. Jantungnya berdebar keras.
"Nah, Maria dan yang lainnya terlalu sibuk mengerjakan tuxedo
dan tak sempat mengerjakan yang ini. Kamu dan aku harus melepas
jahitannya lalu menyambungnya kembali."
"Sekarang?" tanya Lori.
"Ya, sekarang! Subkontraktor yang kami pekerjakan untuk
mengurus vinyl ini sebentar lagi akan datang untuk mengambilnya."
"Yang benar."
"Benar. Ini!" ujar Betty sambil menyodorkan pembuka jahitan
pada Lori dan mengambil satu untuk dirinya sendiri. "Kalau dia
datang, mungkin kita bisa memintanya untuk menunggu. Kalau tidak,
matilah kita!"
Dengan perasaan kacau balau, Lori meraih jas hujan yang
disodorkan Betty dan mulai mengerjakannya. Apakah Betty marah
padanya? Apa itu salahnya? Lori tak tahu dan ia tak ingin bertanya.
Kening Betty berkerut saat ia melepas jahitan dengan kesal....
********* Saat laki-laki itu datang, pekerjaan mereka telah selesai. Wajah
Betty tampak senang dan cerah kembali waktu jas hujan itu telah
terkirim semua. Lori melihat jam. Pukul 5.45!
Pukul lima empat puluh lima! Patsy dan Ann! Ia lupa pada
mereka! Sebelas Begitu Lori tiba di rumah, tubuhnya terasa begitu lunglai.
Mungkin Patsy memang benar. Mungkin ia memang sudah berubah.
Ia telah melecehkan teman-temannya lebih dari sebulan.
"Hai, Yah," gumamnya saat memasuki pintu depan.
Ayahnya memalingkan wajah dari buku yang sedang dibacanya,
dan memperhatikan kerutan di wajah anak gadisnya itu.
"Hari ini ada kabar buruk. Pamam Mike barusan menelepon
mengatakan bahwa dia sedang mengalami masalah dengan uang."
"Oh, masa?" tanya Lori tak percaya, lupa akan masalahnya
sendiri. "Beberapa proyeknya mengalami kesulitan, dan ia meminjam
banyak uang untuk mengatasinya. Tampaknya mereka sedang terlibat
masalah besar. Mungkin kamu mau menelepon Danielle."
"Nanti saja," Lori berjanji. Sungguh sulit rasanya
membayangkan Danielle kehilangan kekayaan yang sangat disukainya
itu. Sepupunya pasti tergoncang karenanya.
"Nah sekarang kita bicara tentang masalahmu." Ayahnya
meletakkan bukunya di meja di sampingnya dan menatap wajah anak
gadisnya dengan penuh pengertian.
"Apa maksudnya?"
"Kamu kelihatan kacau!" sahut ayahnya. "Apa semuanya baikbaik saja?"
Lori menggantung jaketnya dan mengambil napas dalam-dalam.
"Ya," akunya.
"Mau cerita?"
"Nggak." Lori menatap ayahnya dengan penuh kasih. Usianya
kini sudah enam belas tahun. Sudah saatnya ia mengurus masalahnya
sendiri. Lagi pula masalahnya begitu banyak, sampai ia tak tahu mana
yang harus diatasinya lebih dahulu. Sambil menggeleng, Lori
melangkah ke kamarnya di lantai atas.
"Oh, ngomong-ngomong," ujar ayahnya waktu Lori tiba di
puncak tangga. "Nick tadi menelepon."
Nick menelepon! Dua kata yang paling disukainya di dunia ini.
"Trims, Yah." Lori masuk dalam kamarnya, melepas sepatunya
lalu menghempaskan tubuhnya di tempat tidur. Sungguh
menakjubkan, perasaannya jadi nyaman saat ia meraih telepon dan
memutar nomor Nick.
"Halo?"
Lori menghembuskan napas sedih. Sudah lama ia tak
mendengar suara yang menenteramkan itu. "Hai Nick!"
"Wah, kejutan!" canda Nick sambil tertawa kecil. "Lori
Randall, perancang terkenal?meneleponku!"
"Jangan gitu ah," pinta Lori, sambil menyembunyikan
kesedihannya. "Apa kabar? Aku kangen nih."
"Tentu, tentu," canda Nick.
"Betul deh!" protes Lori lagi.
"Kukira kamu mau meneleponku minggu lalu."
Lori merasa kedua pipinya merona. "Iya, tapi? aduh Nick,
maaf ya. Aku sibuk sekali dengan 'Rancangan Lori."'
"Tapi kita ketemu kan, malam Minggu nanti?"
"Yap!" Meskipun sudah berbulan-bulan mereka pacaran, namun
jantungnya selalu berdesir senang setiap kali Nick mengajak bertemu.
"Gimana kalau kita nonton?"
"Wah, boleh juga.
"Bagus, sampai ketemu, oke Lor? Aku lagi pusing menghadapi
tes nih," tambah Nick sambil menghela napas frustasi.
"Oke deh," sahut Lori, berharap Nick tak buru-buru meletakkan
telepon. "Selamat tes deh. Sampai besok, ya?"
"Oke, sampai ketemu," gumam Nick lembut membuat jantung
Lori berdebar.


Merival Mall 10 Kemenangan Manis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dah," sahut Lori. Lalu menunggu hingga terdengar suara klik.
Kemudian Lori meletakkan gagang telepon dan menyandarkan
tubuhnya, perasaannya terasa tenang.
***********
"Apa kabar, Yah?" Danielle menengadahkan kepalanya dari
tempat di mana ia membuat sandwich selai kacang untuk makan sore.
Ayahnya tampak kacau. Kedua matanya dilingkari warna hitam, dan
tiba-tiba saja beliau kelihatan kurus.
"Hai, sayang," sapanya lembut. "Bagaimana?"
"Aku baru mau tanya Ayah," ujar Danielle dengan nada
bercanda. "Payah." Ayahnya meraih pisau dan roti, lalu mulai menyiapkan
sandwich untuk dirinya sendiri.
Keduanya duduk berdampingan selama beberapa waktu, sambil
mengunyah sandwich mereka. Tak lama kemudian ayahnya telah
selesai. "Semua baik-baik saja?" tanyanya sebelum pergi.
Danielle mengerti maksud ayahnya. Ia tahu laki-laki itu sangat
menyayanginya. Hanya saja keadaan sedang sulit dan cuma
pertanyaan singkat tadi yang dapat dilontarkannya saat ini.
"Baik!" sahut Danielle, dengan suara yang dibuat-buat riang.
"Aku dapat pekerjaan. Aku akan kerja di Premier Caterers malam ini."
"Danielle, itu bagus!" sahut ayahnya gembira sesaat. Namun
mendung kembali meliputi wajahnya sebelum ia meninggalkan dapur.
"Ayah masih ingin membelikanmu mobil baru. Kamu tahu itu,"
gumamnya dengan nada bersalah.
***********
Pesta di rumah keluarga Chandlers. Tentu saja Danielle
berharap bisa hadir di sana sebagai tamu. Rasanya ada keasyikan
tersendiri memasuki rumah yang begitu besar.
"Hai, aku Danielle. Jimmy bilang aku harus bertemu Sheila?"
tanyanya saat seorang gadis yang membawa nampan berjalan di
samping rumah itu.
"Aku Sheila. Ikutlah aku," ujar gadis itu yang lalu
mengantarkan Danielle melewati pintu bagi para karyawan menuju ke
dapur. Sheila mengenakan rok hitam dan kaos putih, dilengkapi
dengan sepatu hitam. Jimmy pun telah berpesan agar Danielle
mengenakan seragam yang sama.
"Kamu belum pernah kerja di pesta, ya?" tanya Sheila sambil
meletakkan nampan di atas meja dapur yang berwarna putih.
"Kok tahu?" tanya Danielle dengan wajah merah.
"Sepatu hak tinggimu itu," jelas Sheila. "Itu tak boleh. Asal tahu
saja, rasanya tak nyaman kalau harus berdiri lama dengan sepatu
seperti itu. Lagi pula, kalau sepatumu itu mengganggu pekerjaanmu,
maka tamatlah riwayatmu dengan Premiers Carterer. Selain itu, suara
hak sepatumu itu berisik. Kita harus berusaha untuk tetap tenang dan
tak bersuara."
Danielle mengangguk perlahan. Banyak sekali yang harus ia
pelajari tentang catering!
"Itu juga...." Sheila menjabarkan kekurangan Danielle dengan
penuh semangat. "Anting-anting itu juga dilarang. Juga permen karet.
Dengar, bisakah kamu membawa nampan ini ke dekat panggung?"
Sheila menyerahkan nampan berisi jamur dari meja dapur. "Taruh di
ujung meja, di ruang makan."
Danielle melepaskan anting-antingnya lalu meraih nampan.
Namun saat ia membuka pintu besar di ruang makan Chandler, ia
terpaku. Seekor anjing pemburu Rusia yang besar, menghadang
langkahnya!
Anjing itu meringkuk sambil menggeram ke arah Danielle.
Salah-salah langkah, maka tamatlah ia. Untung saja saat itu seorang
gadis kecil muncul dari belakang anjing itu, lalu berseru, "Boris!
Jangan nakal!"
Bagai anak anjing yang jinak, makhluk menyeramkan itu
memutar tubuhnya. Dengan lidah menjulur, anjing itu melonjaklonjak kegirangan, bercanda dengan si gadis kecil.
"Anjing ini baik kok," jelas gadis kecil itu sambil tertawa-tawa,
saat si anjing menggigit-gigit celananya. "Dia baik dan ramah kok."
"Ya," sahut Danielle lega. "Anjing baik, uh? Emm, tolong ajak
dia ke luar, ya? Di sini banyak orang yang lalu lalang ke dapur malam
ini."
Anak kecil itu tampak kesal, namun dengan patuh dibawanya
anjing itu pergi. Danielle meletakkan jamur di meja, tepat saat pintu
terbuka. Begitu Danielle memutar tubuhnya, dilihatnya cowok keren
meletakkan tempat lilin di meja. Aduh, kece sekali! Rambutnya
berwarna kuning kecokelatan, dan otot-ototnya tampak menonjol. Dia
juga mengenakan celemek Premier Caterers! Tiba-tiba saja malam ini
berubah jadi malam yang menyenangkan.
"Hai," sapa Danielle.
"Hai, kamu pasti karyawati yang baru itu," ujarnya dengan
suara jantan, yang membuat Danielle ingin mendengarnya lagi. "Aku
Brian."
"Aku Danielle," sahut Danielle serak.
"Sebaiknya kita mengambil barang-barang yang lain," ajak
cowok itu sambil melemparkan senyumnya yang membuat Danielle
serasa melayang.
Saat Danielle menata meja, Brian mengatakan bahwa umurnya
tujuh belas tahun, dan ia bersekolah di Morehouse School di Center
Valley, kira-kira sepuluh mil di sebelah selatan Merivale. Morehouse
adalah sekolah mahal, pikir Danielle. Jelas Brian anak orang berada.
"Brian, bisa tolong aku mengikat celemek ini?" tanya Danielle
sambil mendekatkan tubuhnya serapat mungkin pada cowok itu.
"Kencangkan, tapi jangan terlalu ketat."
"Baik, aku ahli pasang celemek kok," canda Brian sambil
mengedipkan sebelah matanya dan melingkarkan tangannya di
pinggang Danielle.
"Trims," sahut Danielle sambil melontarkan senyumnya yang
paling manis, begitu cowok itu selesai mengikat celemeknya.
Kalau cowok kece ini tidak mengajaknya kencan sebelum
malam berakhir, maka namanya bukan Danielle!
*************
Sambil bersandar di dinding ruang makan, mata Danielle
menatap lekat-lekat Brian yang sedang menuangkan minuman di
ruang duduk. Danielle tak ragu lagi. Cowok itu menyukainya.
Senyuman-senyuman kecilnya yang menawan jelas-jelas
mengungkapkannya.
"Danielle, mana nampan satunya yang berisi sosis?"
Danielle terhenyak saat mendengar lengkingan Sheila di
telinganya. Dengan patuh ia menuju ke dapur, sambil memikirkan saat
yang tepat untuk dapat mendekati Brian sendirian. Ia tahu mata cowok
itu pun melemparkan pandangan yang serius.
"Mau istirahat?" kali ini suara Brian yang terdengar di
telinganya saat Danielle mengambil nampan sosis dari panggangan
untuk dihidangkan di ruang makan. "Yuk!" Cowok itu menunjuk
sebuah pintu keluar dari dapur.
Sambil tertawa cekikikan bercampur rasa bersalah keduanya
melihat-lihat kalau-kalau Sheila mengawasi. Lalu keduanya melewati
pintu menuju ke sebuah tangga spiral yang gelap. "Lampunya jangan
dinyalakan, supaya nggak menarik perhatian. Kamu bisa lihat, kan?"
"Aku pegangan jaketmu saja," jawab Danielle terkikik. Akalnya
ternyata berhasil.
"Ini," ujar Brian tertawa sambil menyerahkan permen karet
melalui bahunya, saat keduanya berjalan menuruni tangga. "Ini buah
terlarang, lho."
Tetapi tiba-tiba saja cowok itu menghentikan langkahnya dan
merentangkan kedua tangannya lebar-lebar, menghalangi langkah
Danielle. "Ups! IItu..." ucapnya tergagap-gagap.
"Ada apa Brian?" tanya Danielle khawatir.
Terdengar suara geraman sebagai jawabannya. Gadis kecil yang
nakal itu pasti telah menaruh binatang pemangsa itu di sini untuk
menutup jalan!
Melalui bahu Brian yang gemetaran Danielle menatap binatang
buas itu. Anjing pemburu itu berada tak jauh di depan mereka.
Giginya tampak tajam dan bersinar di kegelapan malam. Tiba-tiba saja
anjing itu mendekatinya, hingga Danielle nyaris pingsan.
Namun anjing itu tidak menerkam kakinya seperti yang
dikiranya. Anjing itu malahan melahap potongan-potongan kue pastri
yang terjatuh di lantai.
Danielle mencengkeram bahu Brian dengan satu tangan. "Nih
Boris," katanya sambil mengambil kue-kue kecil lainnya dari nampan
dan melemparkannya pada anjing itu. "Kamu baik ya...." Anjing itu
segera melompat, mengganyang makanan itu, lalu lari. Kemudian ia
datang lagi dan menunggu.
"Dengar Brian," ujar Danielle. "Aku akan melemparkan seluruh
isi nampan ini ke sudut pada hitungan ke tiga, lalu kamu cepat-cepat
lari ke atas tangga dan membukakan pintunya untukku. Ngerti?"
Brian tak mampu mengucapkan sepatah kata pun, namun ia
mengangguk, "Ya."
"Bagus," ujar Danielle. Matanya memancarkan tekad bulat,
berusaha untuk tidak pingsan karena takut. "Satu, dua... tiga!"
Danielle melemparkan makanan di nampan, dan seketika itu
juga anjing itu melesat, melahap makanan tadi satu persatu lalu
mengendus ke sana kemari. Danielle tak membuang waktu lagi. Ia
menyerbu tangga lalu naik ke atas, hingga salah satu hak sepatunya
patah. Boris terlalu sibuk untuk memperhatikan kepergian mereka.
Dasar anjing penjaga, pikir Danielle sambil membanting pintu di
belakangnya dan menghembuskan napas lega.
Namun rasa leganya berubah menjadi kecemasan saat ia
berhadapan dengan kepala koki.
"Nona!" tegurnya pada Danielle. "Apa maksudmu menghilang
di tengah-tengah pesta?" Lalu ia menoleh pada nampan yang kosong.
"Kau habiskan semua makananku, ya? Mana sosis-sosisku yang cantik
dalam pastri itu?"
Danielle tak menyahut apa-apa. Ia cuma membuka pintu dan
menyuruh kepala koki itu menengok ke bawah tangga. Di kaki anak
tangga tampak anjing penjaga itu dengan wajah memelas.
Kelihatannya pastri itu tak sesuai dengan seleranya. Tampak anjing
malang itu mengais-ngais sosis yang belum termakan dengan tampang
bingung. "Kamu berikan makanan istimewaku pada anjing itu?" sembur
tukang masak itu, wajahnya yang galak berubah memerah. "Kamu
dipecat. Lepaskan celemek itu dan tinggalkan tempat ini segera!"
Dengan malu Danielle melakukan perintah tukang masak itu.
"Dan kamu Brian," lanjut tukang masak itu. "Aku heran dengan
tingkah lakumu. Apa kata ibumu nanti? Kamu diharapkan untuk
menjadi penerus perusahaan ini kalau dia pensiun nanti! Tapi lihat
kelakuanmu!"
Danielle terpaku, mulutnya terbuka lebar. Ia tak percaya. Brian
hanya dimarahi?sedangkan ia dipecat dari pekerjaan!
Dari pintu dapur Danielle memandang kesal pada Brian. Cowok
malang itu masih gemetaran. Dan semua itu gara-gara seekor anjing
sial. Dasar sial, pikir Danielle. Kenapa sih, hidup ini tidak adil?
Dua belas "Saya gugup. Benar-benar luar biasa." Lori merasakan
ketegangan mencengkam dirinya saat ia, Betty Finn dan Nora Pringle
menaiki lift menuju ke lantai empat gedung Merivale Mall. "Saya
pikir, saya tak perlu memperagakannya juga. Bagaimana kalau saya
membuat kesalahan?"
"Jangan khawatir, Lor, kamu pasti berhasil." Nora menepuk
pundak Lori untuk menenteramkannya. "Ingat, ini pertemuan tidak
resmi dengan para pemilik toko. Mereka ingin gadis-gadis remaja
sesungguhnya untuk memperagakannya. Tetapi saya janji, lain kali
saya akan menggunakan model yang profesional."
"Kalau saja ada lain kali," goda Lori sambil tersenyum gelisah.
Dengan menyandang tas di bahu, Lori berjalan menuju ke
Facades. Aneh rasanya mengunjungi tempat itu sebagai penjual,
bukannya pembeli. Tetapi itu bukan masalah besar.
"Hai!" Michele tersenyum saat Nora, Betty dan Lori masuk.
"Jackie dan Tanya akan datang. Lori, kamu mau bersiap-siap di kamar
ganti?"
Jackie Renaud dan Tanya Richards adalah pemilik Facades dan
Snazz. Keduanya dikenal sebagai pengamat mode di Merivale.
Mereka memiliki kemampuan ajaib untuk memilih pakaian-pakaian
yang akan digemari para pembeli.
Lori mengenakan celana pendek padu-padannya saat Betty
menjulurkan kepalanya. "Oke, Lor. Tunjukkan hasil karyamu! Buat
mereka terpukau!"
Sambil tertawa Lori mengancingkan bajunya lalu melangkah ke
luar dari kamar ganti. Ia siap.
Dari satu baju bertukar ke baju yang lain, Lori masih dibayangi
kecemasan apakah rancangannya cukup menarik. Kedua pemilik toko
itu saling berbisik-bisik atau mencatat sesuatu. Tetapi sama sekali
tidak terdengar suara "uuuh" atau "ahhh" seperti yang biasa didengar
Lori pada berbagai acara peragaan busana.
Mungkin mereka nggak suka semuanya.Pikiran buruk itu
melintas dalam pikiran Lori dan tak dapat dihilangkannya sampai ia
memperagakan pakaian yang terakhir, sebuah tuxedo tanpa bahu
berwarna hitam putih. Waktu memakainya, Lori teringat akan kedua
sahabatnya, Patsy dan Ann ketika di pabrik. Patsy sebenarnya ingin
membeli satu, dan Ann pun menyukainya!
Teringat akan kedua sahabatnya itu membuat langkah Lori
terasa ringan, sehingga ia memperagakan pakaian itu dengan
senyuman cerah di wajahnya dan pancaran rasa bangga di matanya.
Acara itu pun selesai. Syukurlah.
Lori keluar untuk diperkenalkan pada para pemilik toko itu.
Tiba-tiba ia merasa malu, seakan-akan ia bukan dirinya lagi.
Meskipun tugas yang paling berat sudah lewat, jantung Lori masih
berdebar-debar penuh harap.
"Rancangannya benar-benar menakjubkan!" ujar Tanya
Richards, pemilik Snazz, lalu ia menepuk-nepuk bahu Lori. Setelah
itu, sambil menoleh kepada Nora Pringle ia berkata, "Nora, saya
tertarik. Kapan kita bisa membicarakan soal pemesanannya?"
"Secepat mungkin," sahut Nora gembira. "Kalau Anda
berminat, maka Betty yang akan mengurusnya denganmu."
"Lori, semuanya benar-benar bagus sekali!" pekik Jackie
Renaud, sambil merentangkan tangannya dengan jari-jari yang terawat
rapi dan mengguncang tubuh Lori perlahan. "Tuxedo-tuxedo itu! Dari
mana kamu mendapat ide yang brilyan itu! Sebenarnya saya ingin
memperagakannya pada para pelanggan saya di sini, di Facades,
minggu depan. Nanti akan kuatur dengan Nora."
Bagus sekali? Brilian? Menakjubkan? Lori menggelengkan
kepalanya tak percaya. Apa yang mereka maksud itu dirinya?
Sepanjang hidupnya, terutama sejak SMU, cita-cita Lori adalah
menjadi orang yang terkenal. Seseorang yang mandiri, dengan ciri
yang unik. Mampukah ia mewujudkannya?
Lori melihat Nora mengedipkan sebelah matanya dengan
gembira. Tidak, semua itu bukan mimpi. 'Rancangan Lori' ternyata
memang sukses!
Senyuman kecil masih membayang di wajah Lori saat ia


Merival Mall 10 Kemenangan Manis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengenakan kembali pakaian yang dipakainya saat datang tadi.
Semua kemewahan yang diperagakannya tadi betul-betul hebat, tetapi
Lori ingin membagi perasaannya dengan seseorang yang spesial, yang
sudah lama tak dijumpainya.
"Kalau sudah selesai, saya mau pulang sekarang," ujar Lori
pada Nora, setelah ia keluar dari kamar ganti.
"Baiklah Lori," kata Nora. "Sampai bertemu lagi hari Minggu
depan. Kamu juga perlu istirahat dan berganti suasana!"
"Sampai bertemu lagi, dan terima kasih kalian menyukai
rancanganku!" Lori melambaikan tangan dengan rasa lega.
Begitu pintu kaca di belakangnya menutup, Lori segera menuju
ke eskalator menuju toko Hobart Electronics. Tunggu sampai Nick
mendengar kabarnya! Akhirnya ia punya waktu untuk cowok itu!
Sambil menuruni eskalator, Lori memejamkan matanya.
Terbayang ia dan Nick berduaan, saling berpelukan dan berciuman....
Setibanya di bawah, Lori langsung menuju ke toko Hobart. Ia
bebas sampai hari Minggu! Kini ia punya waktu untuk membereskan
masalahnya dengan Patsy dan Ann, serta menyelesaikan tugas-tugas
sekolahnya. Syukurlah!
"Bangun Merivale," soraknya dalam hati dengan gembira saat
menuju ke lantai dasar. "Lori Randall beredar kembali!"
************
Danielle sedang menuju ke loker-nya saat ia mendengar suarasuara. Heather dan Teresa sedang bergunjing dengan Jane Haggerty, si
biang gosip Atwood. Apa yang menjadi topik pembicaraan mereka
membuat Danielle merinding.
"Sudah dengar suara mobilnya, belum?" tanya Heather.
"Hancur, deh. Bunyinya persis kayak pecahnya Perang Dunia Ketiga!"
"Kan sudah kubilang?" sela Teresa. "Dia sedang kesulitan uang
sampai nggak bisa membetulkan mobilnya."
"Tunggu," ujar Jane ragu-ragu. "Danielle Sharp kesulitan uang?
Yang benar! Lihat aja barang-barang yang dibelinya!"
"Tapi akhir-akhir ini nggak lagi, kok," Teresa menimpali.
"Kecuali satu sweater, dia sudah nggak membeli satu barang pun
selama sebulan. Keluarganya sebenarnya nggak kaya-kaya amat.
Mereka cuma suka pamer saja, kata ibuku."
Danielle tak mungkin membantah. Kalau ia tak segera
memperoleh uang, maka tamatlah riwayatnya. Atwood Academy
bukanlah tempat yang menyenangkan kalau kita tak punya teman.
Setelah menyimpan barang-barangnya di dalam loker, Danielle
langsung menuju ke lapangan parkir agar ia tak perlu bertemu dengan
teman-temannya itu. Ia mengeluarkan mobilnya dari tempat parkir dan
menuju ke jalan raya. Belum jauh mobilnya melaju, terdengar bunyi
kelontang yang keras hingga ia langsung menginjak rem.
Danielle melihat ke belakang dari kaca spionnya. Terkejut ia
melihat peredam suara mobilnya tergeletak di jalan! Dengan wajah
merah padam Lori menginjak pedal gas mobilnya, yang melaju cepat
dengan suara laksana senapan mesin dan meninggalkan kepulan asap
hitam di belakangnya.
Nah lho! pikir Danielle. Tamat juga riwayatnya. Dengan hati
kesal ia mengarahkan mobilnya ke lapangan parkir mall dan
melangkah ke luar.
Tanpa mempedulikan orang-orang yang lalu-lalang, ia masuk
ke dalam gedung itu. Kehidupannya kini telah berubah, itu harus
diakuinya. Bekerja di restoran Taco benar-benar merupakan nasib
yang buruk, namun itu masih lebih baik daripada tidak punya uang.
Tio's Tacos. Betapa ironisnya. Dulu Lori yang bekerja keras di
tempat itu. Melayani dan menyiapkan makanan untuk orang-orang
yang ingin makan di situ. Sekarang giliran Danielle.
Dengan menahan kesombongannya, Danielle membuka pintu
retoran itu dan melangkah masuk.
Jika Heather dan Teresa tahu ia bekerja di situ, maka ia harus
bisa mengatasinya. Mungkin ia akan mengatakan bahwa ia sedang
membuat makalah untuk pelajaran sosial... atau mungkin juga ia akan
mengatakan yang sebenarnya. Toh hal itu tak ada pengaruhnya lagi.
"Hai, ada yang bisa kubantu?" tanya seorang gadis cantik
berambut hitam panjang yang terkepang. Ia mengenakan celemek
Tio's Tacos yang norak berwarna oranye dan membawa sebuah
stoples plastik berisi saos pedas. Danielle tak tahu apakah gadis itu
mengenalinya sebagai sepupu Lori.
Danielle berusaha berkata, tetapi tak sepatah kata pun keluar
dari mulutnya. "Mmm... aku... lowongan itu?" ujarnya tergagap.
"Oh, lowongan itu. Temui saja Ernie?dia ada di belakang.
Namaku Isabel. Dan bukankah kau sepupu Lori?"
"Ya."
"Kami rindu padanya! Tapi dengar-dengar bisnisnya sekarang
hebat. Syukur deh. Sepupumu itu memang hebat! Kamu beruntung!"
Danielle berusaha tersenyum. Ia berharap bisa masuk ke dalam
tanah dan menghilang, seketika. Namun sebaliknya, ia justru menemui
seorang lelaki botak di belakang.
"Hai!" sapa lelaki itu. "Ada apa?"
"Hmm, ya." Danielle berusaha tersenyum. "Eh, mmm,
lowongan itu...?"
"Kamu saudaranya Lori, kan?" tanya Ernie sambil menatap
Danielle dengan saksama.
"Yap."
"Kamu diterima."
Danielle menelan ludahnya dengan susah payah. "Oke,"
sahutnya, berusaha agar suaranya terdengar mantap. "Kapan saya bisa
mulai?"
Tiga belas
"Nick!" panggil Lori riang dari eskalator. Nah, itu dia. Nick
sedang berjalan menuju pintu dok pemuatan yang terletak di lantai
bawah tanah Merivale Mall. Sebagai pengurus barang-barang di toko
ayahnya, tentu saja ia harus sering-sering ke tempat itu, dan bilamana
sempat dengan senang hati Lori akan menemaninya.
Suasana di ruang bawah tanah itu bagai sebuah dunia yang lain,
bagian dari mall yang berbeda dan mempunyai arti tersendiri bagi Lori
dan Nick. Keduanya sering minum soda di sana, duduk-duduk di atas
kotak sambil membicarakan tentang kehidupan, masalah mereka, serta
hal-hal lainnya.
"Lori!" sahut Nick sambil menatap Lori senang saat gadis itu
menghampirinya. "Aku mau mengambil tape dek dulu. Mau ikut
nggak, ke dok?"
"Mau dong," jawab Lori bangga. Sesaat kemudian lengan Nick
telah melingkar di pinggangnya dan cowok itu mendekap tubuhnya.
Lori menarik napas dalam-dalam dan menyandarkan dirinya pada
tubuh yang tinggi dan tegap itu. Mereka menyusuri koridor mall, yang
serasa bagai di awang-awang.
"Bagaimana tesmu?" tanya Lori waktu Nick membukakan pintu
menuju ruang bawah tanah.
Nick mengacungkan ibu jarinya sebagai jawaban. "Oke deh."
"Hebat!" sahut Lori, berusaha untuk tidak memikirkan tugastugas sekolah yang diabaikannya akhir-akhir ini. Minggu ini ia harus
belajar keras. "Aku baru saja mengadakan pertunjukan di Facades."
"Terus?"
"Mereka menyukainya dan ingin mengadakan pertunjukan total
hari Minggu nanti."
"Lori, hebat sekali!" keduanya telah sampai di ruang bawah
tanah. Nick menarik tubuh Lori, memeluk dan menciumnya dengan
hangat. "Lori..." sahut Nick. "Aku rindu sekali."
"Aku juga," jawab Lori sebelum Nick menciumnya sekali lagi.
"Tak sabar rasanya menunggu sampai malam minggu," sahut
Nick lembut di telinga Lori setelah melepaskan pelukannya.
"Aku juga," balas Lori berbisik
"Gimana kalau aku menjemputmu lebih pagi?" Napas Nick
terasa hangat di telinganya, setiap kata Nick menimbulkan getarangetaran yang indah pada Lori.
"Boleh boleh saja...," sahut Lori setuju sambil memeluk bahu
Nick yang kekar.
"Jam tujuh?"
"Boleh juga." Setelah mencium gadis itu sekali lagi, Nick
melepaskan pelukannya. "Nah, sekarang bantu aku mencari kotak tape
dek ya?"
***********
"Oke Danielle, pertama-tama kamu harus tanyakan keinginan
pembeli, apakah mereka mau yang tak pedas, sedang atau pedas
sekali. Paham?"
"Yap," jawab Danielle sambil menatap Ernie dengan bosan.
Kerja di Tio's rasanya tak perlu cerdas-cerdas amat. Tapi biarlah,
namanya juga kerja.
"Bagus. Di bawah sini," jelas Ernie sambil membuka pintu di
bawah lemari. "Semua bahan-bahan tambahan ada di sini. Kalau kamu
kehabisan saus panas di meja, ambil saja di sini."
"Oke," jawab Danielle sambil membuka rak itu dengan cepat.
"Salah satu tugasmu adalah mengisi tempat saus, tapi nanti saja
kujelaskan." Sambil meneruskan penjelasannya, Ernie membawa
Danielle menuju ke meja minuman.
"Di sini kamu bisa mengambil minuman untuk para pembeli.
Pertama-tama, letakkan pesanan di dapur, lalu kamu ke sini. Kita
punya Coke, Sprite, Tab dan minuman tanpa soda. Kalau ada yang
minta kopi, tekan tombol ini. Dan kalau ada yang minta teh, ambilkan
di sini. Mengerti?"
"Yap, aku paham." Saat Ernie lengah, Danielle menatap langitlangit dengan pandangan gusar.
"Ayo, kita coba lagi," ujar Ernie sambil bersandar ke meja
kasir. "Nah, apa yang pertama-tama harus kamu lakukan kalau ada
pembeli datang?" ebukulawas.blogspot.com
"Mm... kutanya apakah ia mau yang tidak pedas, sedang, atau
pedas sekali," jawab Danielle, tak menyangka akan mendapat
pertanyaan seperti itu.
"Salah!" pekik Ernie seperti pengacara dalam pengadilan. Saat
Danielle menatap dengan pandangan heran lelaki itu menjelaskan,
"Yang pertama-tama harus kamu lakukan adalah tersenyum.
Tunjukkan mutiara-mutiara putih yang ada di mulutmu itu."
Danielle tak dapat menahan senyumnya. Ernie adalah orang
paling konyol yang pernah ditemuinya.
"Ya, betul! Seperti itu!" sahut Ernie memberi dukungan.
"Dengan senyum, bukan cuma para pelanggan yang senang? kamu
juga akan senang."
"Wah, lagi ada penataran tentang senyum nih," goda Isabel
yang kebetulan melintas menuju ke dapur. "Semua pasti dapat di hari
pertamanya."
"Mengapa orang mau ke Tio's Tacos?" tanya Ernie sambil
bercanda. "Untuk menikmati tacos? Bukannya merendahkan lho,
Isabel. Tapi orang-orang datang ke sini karena senyum di wajah para
pramuniaga kita! Ingat itu!"
"Oke, oke," sahut Isabel tersenyum. "Danielle sudah tahu kok.
Betul kan?"
Kali ini senyuman tulus muncul di wajah Danielle. "Aku tahu.
Aku sudah tahu."
"Lihat!" pekik Ernie bangga. "Nah, coba jawab pertanyaanku.
Apa perasaanmu sekarang lebih enak?"
"Kayaknya begitu," jawab Danielle terkikik.
"Bagus! Sekarang tentang taconya. Kita punya yang berisi
ayam, sapi, alpukat dan keju...."
Barangkali kerja di Tio's nggak terlalu buruk juga, pikir
Danielle. Lagi pula makanannya sudah jauh lebih enak dibandingkan
dulu, saat ia pertama kali membelinya. Waktu itu tempat itu baru
dibuka dan Ernie sendiri yang memasak makanannya.
Semua orang yang bekerja di situ ramah-ramah. Mereka semua
siap membantu, dan saat Danielle memandang ke sekelilingnya
dengan wajah bingung, selalu ada seseorang yang siap mengulurkan
tangan dengan senyuman di wajah.
"Nah bagaimana? Siap melayani pembeli pertamamu?" tanya
Ernie. "Tentu," jawab Danielle sambil mengangkat bahunya dan
tersenyum.
"Nah ini celemek yang bersih. Pakai dan bersiaplah di belakang
kasir. Pembeli akan bermunculan dalam empat jam lagi," candanya.
Dengan canggung, Danielle meraih celemek berwarna oranye
bertuliskan Tio's Tacos yang mencolok di depannya itu dan
mengenakannya. Isabel mengenakan celemek yang sama juga. Hal itu
agak melegakan Danielle. Barangkali celemek itu memang norak,
tapi? uh oh ...
"Danielle!" pekik Heather, saat ia dan Teresa memasuki pintu
restoran itu sambil tertawa-tawa.
"Nggak salah, nih? Kamu kerja di tempat ini?" tanya Teresa tak
percaya. "Kata Jane Haggerty, dia melihatmu di sini, tapi kita nggak
percaya!" seru Heather seolah-olah ia terkena serangan jantung karena
terkejut. Wajah Danielle memerah, namun ia berusaha untuk tetap tegar.
Sambil menegakkan bahunya ia membalas, "Hai Heather, Teresa."
"Rasanya aku nggak percaya!" pekik Teresa lagi. " Aku nggak
percaya!"
"Apa kamu belum pernah dengar soal penelitian? Kami sedang
mempelajari masalah pengaruh gaji kecil untuk mata pelajaran sosial."
Sambil menyandarkan tubuhnya pada meja kasir, Danielle mengarang
kebohongannya dengan sebaik-baiknya.
Namun Heather dan Teresa tak percaya sedikit pun. "Sudah
deh, Dan, jangan bohongi kami," ujar Heather, mata birunya menatap
lekat pada Danielle.
Danielle menghembuskan napasnya. "Oke," akunya kemudian.
"Aku lagi butuh uang." Kalau saja ada lubang di bawah meja kasir,
ingin rasanya ia menghilang ke dalamnya.
"Kamu pasti lagi kesulitan uang," gumam Teresa sambil
memandang ke sekelilingnya.
"Kasihan," ujar Heather dengan rasa simpati. "Dan kalau Jane
sudah tahu, maka semua orang akan tahu juga."
"Itulah sialnya," gumam Danielle pilu.
"Hei siapa yang peduli dengan omongan orang! Kita kan tetap
temanmu, Dan!" pekik Teresa bangga.
Danielle nyaris tak percaya! Ia yakin kedua temannya itu akan
mendepaknya begitu mereka tahu keadaannya. "Trims," ujarnya penuh
rasa terima kasih. "Kalian baik sekali. Mau beli sesuatu, nggak?"
"Nggak ah!" pekik Teresa ketakutan. "Kamu nggak makan
makanan murahan ini kan? Jangan bilang kamu sudah segitu
miskinnya!"
"Aku beli Coke aja deh," ujar Heather sambil mengangkat bahu.
"Karena Coke tetap saja Coke."
"Dua Coke deh?tanpa salsa," gurau Teresa. "Tahu nggak Dan,
benar-benar heboh deh, kamu kerja di sini."
"Bagus dong kalau begitu," gumam Danielle pelan.
"Ngomong-ngomong kamu mau nonton pagelaran sepupumu di
Facades nggak, hari Minggu ini?" tanya Heather.
"Acaranya sore kok. Jadi kamu masih bisa datang ke pestaku,"
tambah Teresa.
"Pagelaran apa?" tanya Danielle setelah selesai mengisi gelas
dengan soda. "Kamu nggak tahu ya, Facades dan Snazz mengadakan
peragaan busana khusus, untuk rancangannya!" jelas Teresa gembira.
"Pasti aku akan datang," sahut Danielle sambil meletakkan
gelas pada nampan plastik Tio dan menyerahkannya pada kedua


Merival Mall 10 Kemenangan Manis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

temannya. Beberapa menit yang lalu ia tak berpikir ada hal yang lebih
buruk lagi yang akan menimpanya, namun kini rasa malunya sudah
sampai di puncaknya.
Berapa lama lagi ia akan jadi miskin? pikir Danielle pilu.
Mudah-mudahan saja, doanya dalam hati. Semoga urusan Ayah segera
beres. Aku janji nggak akan boros dan sombong lagi? sumpah deh!
Empat belas
Rasanya nikmat sekali bisa bangun siang. Untuk pertama
kalinya selama berminggu-minggu Lori tidak harus berpergian. Ia
akan mengundang Patsy dan Ann untuk menonton pagelarannya, dan
sorenya Nick akan datang. Selain itu, hari ini ia bisa bermalasmalasan seperti seekor kucing.
"Selamat pagi Bu!" sapanya gembira, sambil menuju ke dapur
setelah ia bangun dan berganti pakaian. Dengan tersipu-sipu Lori
menatap jam warna hitam putih di dinding. Hari sudah cukup siang.
"Selamat pagi, Lori," balas ibunya yang sedang mengeluarkan
belanjaan di dapur.
"Pagi, Yah," Lori memandang ayahnya dengan bingung.
Ayahnya sedang duduk di meja dapur sambil melipat tangannya.
Tampaknya ia sedang menunggu Lori.
"Duduklah, Lor. Ada yang perlu dibicarakan." Suara ayahnya
terdengar begitu tegas. Lori menarik sebuah kursi lalu melakukan
semua perintah ayahnya, jantungnya berdebar keras.
"Ada apa, Yah?" tanyanya takut-takut.
Sambil menghela napas ayahnya mengeluarkan lipatan kertas
berwarna biru dari sakunya. Itu rapornya.
Uh-oh, Lori mengernyitkan keningnya. Ia sudah bisa menduga
apa yang akan terjadi.
"Lihat nilai sejarahmu," ujar ayahnya sambil menyerahkan buku
rapor itu pada Lori. Lori melirik angkanya dan menatap dengan takuttakut. Di samping tulisan sejarah terlihat huruf F!
"Lori, kamu belum pernah mendapat nilai seburuk ini," ujar
ibunya yang lalu bergabung dengan keduanya di meja.
"Saya tahu," gumam Lori pilu.
"Kamu mau membicarakannya?" tanya ayahnya, sambil meraih
rapor itu dengan lembut dari tangan Lori.
"Memang, saya terlalu sibuk kerja." Lori menunduk
memandangi meja dapur.
"Terlalu sibuk... Ayah tahu," ujar ayahnya berusaha
memahaminya.
Terkadang Lori berharap orangtuanya akan berteriak padanya.
Lebih baik dicaci-maki ketimbang ditatap dengan pandangan sedih.
"Lori, apa cita-citamu untuk kuliah telah sirna?" tanya ibunya
dengan cemas, namun penuh perhatian.
"Belum!" protes Lori. Tetapi ia sadar, akhir-akhir ini ia telah
melalaikan hal itu.
"Ayah, Ibu, saya memang telah berjanji. Tapi sungguh, baru
setelah akhir minggu ini saya akan bebas dari segala urusan
'Rancangan Lori.' Mereka tak membutuhkan saya lagi."
Ibunya menatap dengan pandangan ragu. "Ibu tak tahu, Lor. Ibu
tak mau menghalangi impianmu, tapi sepertinya ini tidak realistis."
"Benar kok! Bahkan Nora bilang begitu. Mereka sudah
mendapat semua rancangan yang bisa mereka gunakan, dan para
penjahit sekarang sedang membuatnya!"
"Lori," ujar ayahnya sambil menyapu wajahnya yang tampak
lelah dengan sebelah tangannya. "Kamu sudah melewati batas. Ingat,
kamu masih kecil!"
Lori tahu ayahnya tak serius dengan kata-katanya, namun ia
merasa tertampar. "Ayah tak mengerti," bantahnya lagi. "Kesempatan
ini tak akan datang lagi!"
Pria itu menatap Lori dingin. "Maaf sayang. Sampai saat ini
kamu masih boleh melakukan keinginanmu itu. Tapi kalau sekali lagi
nilai rapormu seperti ini, kami terpaksa turun tangan."
"Baik," gumam Lori, berharap agar pembicaraan segera usai.
"Aku berjanji untuk belajar lebih keras lagi pada ujian yang akan
datang."
Sambil memandang sekilas pada kedua orangtuanya, Lori
bangkit dari kursinya dan meninggalkan dapur. Ia harus bicara dengan
seseorang. Seseorang yang benar-benar memahaminya!
Lori meraih telepon dalam kamarnya dan memutar nomor
Patsy. "Halo?" terdengar suara ibu Patsy yang hangat dan ramah.
"Bu Donovan! Ini saya, Lori. Patsy ada?"
"Aduh Lor. Dia dan Ann sedang libur hari ini, dan mereka pergi
ke museum. Kok kamu nggak ikut?"
"Bisa titip pesan, Bu?" tanya Lori sambil menyembunyikan
kekecewaannya. Kedua temannya itu tidak mengajaknya.
"Tentu sayang. Sebentar saya catat."
"Tolong sampaikan, ada peragaan rancangan saya di Facades
besok pukul satu siang."
"Peragaan busana di Facades... pukul satu."
"Saya berharap Patsy bisa datang? Ann juga." Dengan gugup
Lori memainkan kabel teleponnya. Kalau mereka tak datang maka
tamatlah ia!
"Baik, akan saya sampaikan kalau mereka pulang nanti, tapi
saya rasa mereka pulang agak sore hari ini."
"Baik, terima kasih Bu Donovan."
"Oh, kembali. Semoga peragaan busanamu sukses. Kata Patsy,
usahamu di bisnis rancang busana maju pesat. Bagus sekali!"
"Terima kasih," jawab Lori sebelum meletakkan gagang
telepon. Setidaknya, seseorang menilai pekerjaannya bagus sekali!
Setelah meletakkan gagang telepon di mejanya Lori mengambil
buku sejarahnya dan mengertakkan giginya. Oke Bismarck?siapa
pun kamu! Aku akan menghafalkannya sekarang juga!
Menteri yang memiliki semangat besar itu mulai melaksanakan
rencananya. Satu demi satu dipersatukannya negara-negara yang
sedang bertikai menjadi satu kesatuan Jerman, di bawah pemerintahan
Kaisar Wilhelm I, pimpinannya. Banyak orang meragukan, siapa yang
lebih berkuasa, atasan atau bawahannya...
Kriiing! Dering telepon membuyarkan bayangan Lori dari abad
ke sembilan belas kembali ke masa kini.
"Halo?" jawab Lori.
"Lori! Kamu di rumah!" suara Betty Finn terdengar penuh
kelegaan. "Syukurlah!"
"Ada apa, Betty?" tanya Lori cemas. Suara manager produksi
itu terdengar panik.
"Salah seorang model mengundurkan diri?itu masalahnya!"
jelas Betty beruntun. "Dia disewa oleh sebuah perusahaan di Karibia!"
"Oh! Jadi apa yang akan Anda lakukan?" Lori tahu sulit sekali
mencari model pengganti di malam minggu.
"Itu sebabnya saya menelepon. Kamu bisa kan menggantikan
dia." suara Betty terdengar putus asa.
"Aku? Mana bisa?" tanya Lori penasaran. "Aku kan bukan
model. Aku juga tak pernah latihan. Katanya Anda perlu empat orang
model yang serasi untuk peragaan itu. Dan Anda ingin agar
pertunjukan ini benar-benar rapi. Aku tak tahu bagaimana cara yang
biasa Anda lakukan, dan lain sebagainya!"
"Betul!" ujar Betty tegas. "Itu sebabnya kamu harus datang ke
pabrik malam ini. Ada latihan khusus untukmu."
"Tapi aku nggak bisa. Aku sudah ada janji!"
"Maaf Lori. Tolong deh, kamu tunda. Tak ada cara lain."
Selama mereka bekerja sama, Lori menyukai wanita itu. Tetapi
saat ini, ia berharap bisa lenyap seketika seperti suatu mimpi buruk.
"Tidak! Tak bisa," pekik Lori.
Keduanya terdiam, suasana jadi hening setelah Lori
mengutarakan penolakannya.
"Lori," lanjut Betty lagi dengan suara lembut. "Saya tahu ini
pasti berat untukmu. Tapi kamu tak bisa meninggalkan kami begitu
saja. Hanya kamu satu-satunya yang dapat membantu. Kami
membutuhkanmu malam ini. Tanpa kamu pertunjukannya akan
tampak amatiran. Mereka pasti takkan mau memberi kesempatan
kedua pada kita."
Jantung Lori berdebar keras, ia tahu apa artinya. Bisa saja ia
tetap bersikeras dan kehilangan semua yang telah dikerjakannya,
atau... "Oke, aku akan datang," gumamnya pasrah. "Jam berapa
latihannya?"
"Tujuh, dan barangkali sampai larut malam," suara Betty tibatiba berubah ceria. "Sampai ketemu nanti, Lor. Terima kasih banyak."
"Oke," jawab Lori tanpa semangat, kemudian ia meletakkan
gagang telepon dan menundukkan kepalanya di meja.
Tak mungkin membatalkan tugas selanjutnya.
Dengan kening berkerut Lori meraih telepon dan memutar
nomornya. "Nick?" tanyanya sambil menggosok kedua matanya dengan
punggung tangan. Tiba-tiba saja Lori merasa kepalanya pening.
"Kamu pasti marah, tapi ?"
"Lori..." suara Nick di seberang terdengar tenang, tetapi Lori
tahu bahwa cowok itu marah dan terluka. "Kamu takkan
membatalkannya lagi, kan?"
"Mmm?"
"Sekarang kan malam minggu. Aku akan menjemputmu dan
kita pergi bersama."
"Oh Nick...."
"Aku mengerti pekerjaanmu."
"Oh ya, Nick? Kuharap demikian. Karena waktu
memamerkannya kemarin, kupikir aku bisa bebas malam ini. Tapi
model yang seharusnya memperagakannya besok tiba-tiba
mengundurkan diri. Jadi mereka ingin aku menggantikannya, dan?
Nick? Kamu masih di situ?"
"Aku dengar Lori," ujar Nick sambil mendesah panjang.
"Hanya saja aku tak senang mendengarnya. Apa artinya kalau kita
sama sekali nggak bisa bertemu? Tahu maksudku, kan?"
Lori menelan ludah dan berusaha menahan air mata yang mulai
menggenang di pelupuk matanya. "Maksudmu, kamu mau putus?"
bisiknya. "Aku sih nggak mau putus. Tapi ingat, bukan aku yang
membatalkan janji. Kalau kamu tak punya waktu untukku, kita hadapi
kenyataan saja, oke?"
"Ayolah Nick," rengek Lori. "Beri aku waktu sedikit lagi. Aku
tahu aku sudah pernah mengatakan ini sebelumnya, tapi kali ini
sungguhan, deh. Dan Nick, aku ingin kamu menonton pertunjukkan
itu. Bisa? Demi aku? Setidaknya kita bisa ketemu, dan setelah itu aku
janji deh, untuk meluangkan waktu lebih banyak untukmu. Sumpah!"
Selama beberapa saat tak terdengar jawaban dari seberang.
Akhirnya Nick berkata, "Baik, aku datang. Tapi kupikir kita harus
membicarakan masalah ini Lor. Segera."
"Maafkan aku Nick," pinta Lori penuh harapan.
Tak terdengar jawaban apa-apa. "Kita bicarakan saja nanti,"
ujar Nick sambil menutup telepon.
Lori meletakkan gagang telepon dan menutup wajahnya dengan
kedua tangannya. Masalah apa lagi yang akan dihadapinya? Patsy dan
Ann telah menyingkir, ujian sejarahnya berantakan dan kini ia telah
mengecewakan Nick!
Tangisnya hampir saja meledak saat Lori bersiap untuk pergi
latihan. Kapan semua ini akan berakhir? Dapatkah hidupnya normal
kembali? Lima belas
Dengan jantung berdebar keras, Lori mengintip dari balik
gorden beludru. Para pengunjung telah memenuhi Facades dengan
wajah penuh semangat. Akankah mereka tetap demikian saat
menyaksikan peragaan busananya?
Dengan mulut terbuka lebar, Lori menyaksikan Heather Barron
dan Teresa Woods. Mereka asyik bercakap-cakap dengan Tanya
Richards. Kemudian dilihatnya orangtua Danielle. Keduanya tampak lesu.
Paman Mike tampak murung dan Bibi Serena kelihatan depresi.
Sambil mengernyitkan keningnya Lori teringat bahwa ia seharusnya
menelepon Danielle. Tambah seorang lagi telah kuabaikan....
Lori mencengkeram tirai kuat-kuat dan menarik napas dalamdalam. Ia berusaha mengubur perasaan bersalahnya. Jangan sampai
perasaan itu mengacaukannya hari ini. Ada tugas besar yang
diembannya!
Senyuman mengembang di wajahnya saat ia melihat orangtua
serta adik-adiknya datang. Mark dan Teddy tampak lucu dalam setelan
mereka. Mark mengamati keadaan di sekitarnya dengan mata melotot,
padahal Lori yakin bahwa ibunya telah mengajari Teddy cara
bertingkah laku yang apik dalam peragaan busana.
Tetapi di mana Nick? Mata biru Lori meneliti seluruh ruang
pertunjukan, berharap ia dapat menemukan sosok tubuh yang tinggi
dan kekar itu. Dia belum datang!
Sesaat kemudian dilihatnya Nora Pringle. Lori tersenyum lebar
dan melambaikan tangan pada pelindungnya itu. Nora membalas
lambaiannya dan mengacungkan ibu jarinya, lalu ia menunjuk pada
jam yang tergantung di atas. Sudah saatnya untuk bersiap-siap.
Nah, ini dia! Musik mulai mengalun begitu tamu terakhir
duduk. Kemudian Lori mendengar suara Betty melalui pengeras suara.
"Selamat datang pada peragaan khusus 'Rancangan Lori.'
Siapakah Lori? Dia adalah Lori Randall, pelajar SMU Merivale High.
Seperti gadis-gadis lainnya, Lori memiliki bakat terpendam.
Saksikanlah! Lori Randall ?"
Setelah kata pembukaan itu, Lori muncul dari balik tirai. Para
pengunjung menyambut kedatangannya sambil bertepuk tangan riuh.
Betty melanjutkan, "Jaket yang simpel dan anggun ini
merupakan karya Lori yang sangat sederhana. Baju ini tepat
dikenakan pada wawancara pekerjaan, tapi...."
Saat Lori membuka jaket tersebut sambil melemparkan senyum
menggoda, para pengunjung bersorak kagum. Bagian dalam jaket itu
bergaris-garis penuh warna, cocok untuk ke pesta.
"Anda dapat saksikan. Inilah karya perancang muda Lori!" ujar
Betty lagi. "Dan apa yang akan Anda saksikan nanti, semuanya adalah
hasil karyanya!" Kemudian musik kembali terdengar dan pertunjukan
pun dimulai.
Benar-benar suatu gebrakan yang berani dengan menampilkan
jaket yang dapat dibolak-balik. Tetapi Betty dan Nora menyukai ide
tersebut. "Tunjukkan pada mereka bahwa kamu berbeda, Lori. Maka
mereka akan mengagumimu," Nora pernah berkata padanya.
Ternyata benar, decak kagum dan tepukan tangan riuh penonton
mengiringinya. Nenek Nora memang baik hati, pikir Lori waktu ia
mengganti bajunya dengan yang kedua, sementara salah seorang
model memperagakan rancangannya yang lain.
Satu demi satu, sambil berputar dan memperagakan pakaian
yang berganti-ganti, Lori beserta ketiga model lainnya memamerkan
pakaian untuk musim semi. Jas hujannya menjadi pusat perhatian,
demikian pula baju tuniknya. Sambutan yang begitu antusias membuat
Lori gembira.
Jadi inilah hasilnya! Lori merasa dirinya sangat berbakat, cantik
dan luar biasa ? seperti yang selalu diinginkannya. Benar-benar saat
yang menggembirakan.
Bukan hanya itu. Tepuk tangan riuh dan berkepanjangan
terdengar meriah di akhir pertunjukkan, saat keempat model tampil
bersamaan memperagakan tuxedo tanpa bahu. Tuxedo itu benarbenar menakjubkan. Suara tepuk tangan kembali membahana. Bahkan
setelah musik berhenti dan para model menghilang ke balik panggung,
suara tepuk tangan masih terdengar.


Merival Mall 10 Kemenangan Manis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Selamat Lori!" puji salah seorang model di balik panggung.
"Kamu berhasil!"
Lori menutup wajah dengan kedua tangannya, sementara
berpuluh-puluh tangan menepuk punggungnya. Benar-benar saat yang
menakjubkan!
Kemudian Nora muncul ke balik panggung dan menarik lengan
Lori. "Ayo keluar dan temui penggemarmu Lori!" perintahnya.
"Lori! Hebat sekali!" pekik Betty gembira di belakang Lori.
Lori keluar dan menyambut penonton yang ingin memberi
selamat kepadanya.
"Sayangku, kami bangga sekali!" ibunya mengusap air matanya
sementara ayahnya tersenyum bangga.
Di samping mereka, Bibi Serena dan Paman Mike
menganggukkan kepala mereka. "Masa depan yang cerah, Lor," puji
Paman Mike, sementara Bibi Serena tersenyum tipis.
"Astaga Lori," tanya Teddy. "Apa orang-orang ini mau membeli
baju-baju itu?"
"Mudah-mudahan, Teddy!" Lori tersenyum lebar menikmati
perasaan bahagia yang menyelimuti dirinya. Hidupnya bagai roda
yang berputar! Dan kini ia berada di puncaknya.
"Seperti mimpi saja. Seolah-olah ini semua bukan kenyataan!"
ujar Lori pada ibunya sambil mencubit lengannya.
"Ini kenyataan sayang," jawab Nora, yang muncul di belakang
Lori. "Lihat ke sana, kalau kamu tak percaya."
Nora menunjuk pada rak berisi rancangan Lori. Tampak gadisgadis remaja berkerumun, sibuk memilih. Ruang coba dipenuhi
pengunjung yang sibuk mencoba. Sementara pemilik Facades, Jackie
dan Bob Renaud sibuk menjawab pertanyaan klien mereka, kapan
barang-barang tersebut dapat diperoleh.
Tak lama kemudian Teresa dan Heather keluar sambil
mengenakan tuxedo mereka. "Benar-benar kejutan, Lor!" kicau
Teresa. "Rasanya sulit dipercaya deh, tapi kamu benar-benar
berbakat."
"Di mana kamu simpan baju-baju ini selama ini?" kicau
Heather lagi, seolah-olah mereka merupakan sahabat.
"Oh ya! Aku sibuk sekali sampai lupa mengundangmu ke
pestaku malam ini," sahut Teresa. "Kamu bisa datang?"
"Mmm, tapi aku sudah ada janji," jelas Lori.
"Ben bilang, Nick datang kok," jawab Teresa.
"Oh," sahut Lori heran. "Kalau begitu aku datang juga."
Nick! Di mana dia? Lori mengamati seluruh ruangan, dicarinya
sosok tubuh cowoknya itu. Tetapi tak secuil pun bayangan Nick yang
tampak. Begitu pula Patsy dan Ann?juga Danielle.
Lori merasa terpukul. Tak adakah yang menyayanginya lagi?
"Lori, aku menyukaimu?maksudku, rancanganmu benar-benar
bagus!" sembur Jane penuh semangat.
"Trims, Jane," gumam Lori sambil memandang keramaian di
sekitarnya. Beberapa cewek menggenakan rancangannya dengan
penuh semangat. Di tengah-tengah keramaian itu Lori merasa sesuatu
yang aneh timbul dalam dirinya. Tetapi bukan perasaan yang
diharapkannya?sama sekali bukan.
Ada sesuatu yang salah. Ya. Melihat rancangannya dikenakan
Heather Barron, Teresa Woods, Ashley Shepard dan bahkan Jane
Haggerty membuat Lori merasa aneh. Meski gadis-gadis itu menyukai
rancangannya, ia merasa aneh melihat baju-baju itu dikenakan oleh
cewek-cewek Atwood.
Lori sadar. Selama membuat rancangan ia tidak membayangkan
Heather atau Teresa mengenakannya. Bahkan saat ia menyatukan
tuxedo itu, yang ada dalam benaknya adalah Patsy dan... Ann.
Tiba-tiba saja air matanya menetes. Lori meraih tisu dari bufet
untuk menghapus air matanya. Ia tahu Nora memperhatikan dengan
rasa ingin tahu, tetapi pasti wanita itu menyangka Lori menangis
bahagia. Nora tersenyum pada Lori dan mengedip gembira sebelum
kembali terlibat pembicaraan dengan Jackie Renaud.
Tetapi kini Lori tahu. Ia yakin, bukan kesuksesan macam ini
yang diharapkannya. Sukses, namun kesepian.
Seharusnya Nick datang?demikian juga Patsy dan Ann.
Ketiganya seharusnya datang pula. Meskipun mereka tidak terlibat,
namun seharusnya Lori dapat berbagi rasa dengan mereka?
kegembiraannya, kekhawatirannya dan semua perasaannya.
Lori mendesah panjang dan memandang suasana toko yang
dipenuhi pengunjung. Keriuhan mulai berkurang, namun mesin
penghitung masih sibuk bekerja.
"Permisi," potong Lori pada Nora dan Jackie. "Saya mau pergi.
Nggak lama, kok." Tanpa menunggu jawaban, Lori meninggalkan
toko menuju eskalator. Sambil menuruni tangga berjalan itu,
pikirannya berkecamuk dengan rasa cemas.
"Nick!" Tampak cowok itu duduk di bangku beton di luar toko
Hobart Elektronics. Saat melihat Nick, Lori merasa tenggorokannya
tercekat. Nick berada di tempat tepat di mana Lori pertama kali
melihatnya berbulan-bulan yang lalu.
Nick tampak lebih rapi dibanding dengan biasanya, dengan
jaket olah raganya. Saat melihat gadisnya, Nick tidak menyambut. Ia
hanya menatap dengan pandangan kosong. Selama mengenalnya, baru
kali ini Lori melihat pandangan sedih di mata cowok itu.
"Nick? kamu datang tadi?" tanya Lori.
"Ya," jawab Nick sedih. "Rancanganmu memang bagus. Benarbenar bagus. Aku sudah mengiranya."
"Tapi..." Lori terpaku. "Kenapa kamu pergi dan tidak
menyapaku? Kamu ke mana sih, setelah aku keluar?"
"Aku di sana selama beberapa menit," ujarnya. "Tapi keadaan
di sekitarmu begitu penuh. Dan aku tak bisa mendekatimu. Jadi
kupikir lebih baik aku menyingkir saja."
Air mata Lori mulai menggenang lagi. "Nick," bisiknya dengan
suara parau. "Kamu tidak mencintaiku lagi?"
Agak lama Nick menatapnya, lalu katanya, "Kurasa kamu tahu
jawabannya. Kamu yang tak punya waktu lagi. Kamu terlalu sibuk,
tahu."
Tanpa menunggu jawaban Lori, Nick berdiri lalu melangkah
gontai, mendekati orang-orang yang lalu lalang lalu menghilang dari
pandangan.
Lori hanya terdiam, ia tak mampu mengejar cowok itu. Kakinya
serasa lumpuh. Seluruh rasa sakit, serta perasaan bersalahnya muncul
ke permukaan. Air matanya menetes. Begitu banyak yang ia
korbankan demi kesuksesannya.
Ia telah terperangkap, tanpa menyadarinya. Namun kini
semuanya telah terlambat. Cowok paling keren di dunia telah pergi
meninggalkannya.
Enam belas
Lori tak tahu, berapa lama sudah ia duduk di atas bangku beton
itu setelah kepergian Nick. Semuanya bercampur aduk dalam
kepalanya. Bukan hanya masalah Nick, tetapi juga Patsy dan Ann.
Tak ada sesuatu pun yang dapat dilakukannya. Sekembalinya ia
ke lantai atas, dilihatnya Nora dan Betty mengurus pemesanan.
Pengunjung terakhir baru saja berlalu.
"Lori!" panggil Betty riang, saat dilihatnya gadis itu memasuki
ruangan yang kini kosong. "Lihat pesanan-pesanan itu!"
"Bagus. Itu artinya aku libur untuk sementara kan?" tanya Lori
penuh harap.
Betty menggelengkan kepalanya perlahan. "Begini..." ujarnya,
"Nggak juga."
"Apa?" Lori terperanjat. Berapa kali sudah janji-janji kosong
terlontar dari mulut wanita itu? "Tapi kata Anda, mereka
menyukainya."
Nora menengahi. "Memang betul, Lor. Tapi ingat, pakaianpakaian itu merupakan rancangan khusus butik ini. Mereka ingin
menjual sesuatu yang eksklusif. Lagi pula mereka juga sudah
menanyakan rancanganmu untuk musim gugur nanti. Jadi, rasanya
tidak terlalu pagi untuk menyiapkan rancanganmu yang baru."
Baju-baju eksklusif? Rancangan untuk musim gugur? Bisa-bisa
dibutuhkan waktu sebulan bagi Lori untuk mendisain itu semua! Dan
pada saat itu ia sudah bukan Lori Randall lagi!
"Tidak," bantah Lori serius. "Aku nggak bisa lagi."
"Nggak bisa?" ulang Betty. "Saya tak mengerti. Kamu kan
sudah bekerja keras untuk ini."
"Aku tahu," sahut Lori. "Tapi ada sesuatu yang lain. Begini, aku
lupa?juga banyak orang di sekitarku, lupa?bahwa aku kan masih
murid SMU. Banyak yang masih harus kupelajari tentang hidup ini,
juga tentang diriku sendiri. Aku masih harus berkembang! Aku punya
banyak tugas yang mesti kukerjakan, seperti ujian, teman-teman dan
pacar. Aku tak bisa merancang terus-terusan. Paling tidak dalam
waktu lima tahun lagi!"
Ruangan menjadi hening. Rahang Betty menegang, lalu ia
mengalihkan pandangannya dari Lori. Seorang lagi telah kubuat
kecewa, pikir Lori dengan rasa bersalah.
Akhirnya Nora memecah keheningan. "Lori, saya tahu
maksudmu. Dan saya pikir kamu benar," ujarnya singkat. "Tentu saja
saya kecewa. Kami telah berusaha keras untuk membangun usaha
'Rancanga Lori' ini. Tapi saya juga tak luput dari kesalahan.
Seharusnya saya telah menduganya."
Ingin rasanya Lori menangis. Bekerja sama dengan Nora
Pringle merupakan hal terbaik yang diperolehnya dari usaha
'Rancangan Lori.' Lori berharap agar ia bisa menjadi wanita yang
pandai, energik dan fantastik, saat ia seusia dengan Nora nantinya.
"Aku ingin menjadi perancang, Nora. Betul, hanya ?"
"Saya tahu, sayang," sahut Nora. "Saatnya akan tiba nanti. Dan
bila saatnya tiba, cari aku, ya."
Lori tertawa bercampur rasa haru. "Oh Nora, pasti, Anda tahu
itu!" Tiba-tiba wajahnya berubah serius. "Apakah aku berhutang pada
Anda?"
"Tidak sayang. Mungkin kita masih bisa mendapat keuntungan
besar setelah membayar para karyawan."
"Oke, dan aku juga ingin belanja," ujar Lori. "Aku mau beli dua
tuxedo. Nomor tujuh dan nomor sembilan. Aku ingin membelikan
Patsy dan Ann sesuatu yang khusus."
"Silakan," ujar Nora. "Saya akan memotongnya dari gajimu
yang berikut," jelasnya sambil melemparkan senyum.
"Trims," ujar Lori seraya memeluk rekan kerjanya. "Terima
kasih untuk segalanya. Apa pernah kukatakan bahwa Anda orang yang
paling baik?"
"Tidak, Lori," jawab Nora lembut. "Belum. Dan mendengar
kata-kata demikian dari mulut seorang gadis hebat sepertimu, rasanya
sungguh berarti. Sungguh menyenangkan bekerja sama denganmu."
"Betty, kuharap Anda mengerti."
Betty mengulurkan tangannya, lalu memeluk Lori.
"Saya mengerti. Hanya saja saya harus mencari pekerjaan lain!"
candanya. "Tak heran. Semua orang pasti ingin aku melanjutkan usaha
ini."
"Baik, sampai bertemu." Setelah memilih baju bagi kedua
temannya, Lori meninggalkan tempat itu. Senyum lebar menghiasi
wajahnya, kedua matanya bersinar-sinar bahagia. Ia tahu ia telah
melakukan hal yang benar.
Benar ia akan merindukan 'Rancangan Lori.' Tetapi itu bukan
masalah besar. Hidupnya?sebagai Lori Randall, pelajar SMU? jauh
lebih berarti.
*************
Danielle mengendarai mobilnya menuju pemukiman keluarga
Woods, lampu mobilnya menyinari deretan pohon raksasa tua. Gadis
itu menghembuskan napas letih.
Otot-otot tubuhnya terasa kaku. Belum pernah sebelumnya ia
berdiri demikian lamanya seperti yang dilakukannya di Tios's
beberapa hari belakangan ini. Ia bahkan tak tahu apa ia masih mampu
berdansa di pesta Teresa.
Di sana pasti ramai. Anak-anak Atwood akan memenuhi tempat
itu. Danielle mencengkeram setir mobilnya. Bahkan ia mungkin
terpaksa menghabiskan waktunya dengan berkelit dari cecaran Jane
Haggerty dan Wendy Carter. Masih tergiang olehnya komentar
Wendy Carter saat ia melintas. "Itu Danielle. Kasihan ya, dia." Salah
satu ciri khas Wendy, selalu menyatakan rasa ibanya pada saat yang
bersangkutan masih dapat mendengar.
Danielle meraba bagian dalam jaketnya dan menggaruk kulit di
balik sweater angoranya. Mungkin Heather dan Teresa telah lupa akan
rencana mereka untuk mengenakan sweater itu di pesta.
Mungkin ia seharusnya bertanya pada Lori, kalau-kalau ada
yang dapat dipinjamnya untuk ke pesta. Ia yakin sepupunya itu takkan
menolak... Lagi pula bukankah Lori adalah sepupunya, meskipun
gadis itu telah menjadi salah satu orang top di antara cewek-cewek
Atwood. Danielle memasuki lapangan parkir keluarga Woods, lalu
menginjak rem mobilnya. "Apa yang kulakukan?" tanyanya pada
dirinya sendiri. Kini ia berada di tempat itu, mengenakan sweater yang
dibencinya, serta mengendarai mobil dengan suara berisik yang
menunjukkan kemiskinannya, dan mendatangi pesta di mana semua
orang pasti akan membicarakan kesuksesan sepupunya, Lori Randall!
"Lupakan saja!" maki Danielle sambil memundurkan mobil
SHARP 1-nya dan menghilang kembali ke jalanan.
Dulu ia memang hidup di kalangan menengah, tinggal di rumah
kecil di pinggiran kota, tak jauh dari tempat Lori. Keduanya tak dapat
dipisahkan, dan bisa bermain berjam-jam lamanya.
Anehnya, waktu itu ia merasa bahagia. Bahkan mungkin lebih
bahagia dibandingkan setelah ia pindah ke Atwood Academy dan
Wood Hollow Hills.
Mungkinkah keadaan itu akan terulang kembali? pikir Danielle.
Apakah ia harus hidup seperti Lori lagi? Apakah ia harus menabung
untuk biayanya di universitas, dan membeli mobil dari hasil
keringatnya sendiri seperti Lori?
Danielle membayangkan dirinya berkerja di Tio?s untuk jangka
waktu lama?mengendarai mobil tua, tinggal di sebuah rumah kecil
dan bersekolah di Merivale High School.
Pasti akan sangat menyakitkan, kesepian dan memalukan. Jelas
akan membuatnya frustasi. Tetapi ia juga tahu, bagaimanapun
sulitnya, ia pasti mampu bertahan. Apa pun yang terjadi, ia harus
dapat mengatasinya dengan baik.
Memang, ia menyukai kekayaan, dan semua yang
diterimanya? pakaian, status sosial, gaya. Tetapi miskin atau kaya, ia
tetap dirinya sendiri, itulah untungnya.
Ingat, katanya dalam hati, Danielle Sharp adalah pemenang.
Dan suatu saat nanti, seluruh dunia akan mengetahuinya.
**********
Sejak saat Lori tiba di pesta, semuanya terasa salah.
"Hai! Nick belum datang," seru Teresa sambil meraih lengan
Lori dan membawanya masuk.
"Lori! Hai!" kicau Ashley Shepard dan Wendy Carter, yang
mengenakan baju rancangan gadis itu. "Apa kabar?" tanya Wendy.
"Kayaknya baik-baik saja," jawab Lori ragu. Mereka semua
mengerumuninya, dan Lori tak tahu bagaimana menghadapi semua
itu. "Betul?" mata cokelat Jane Haggerty menatap Lori tajam.
"Kamu mau pindah ke Atwood?"
"Nggak tuh!" ujar Lori terkejut mendengar saran yang baru
didengarnya itu.


Merival Mall 10 Kemenangan Manis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wajah Jane berkerut kecewa. "Pasti asyik deh kalau kamu di
sana."
"Hai, Lori aku suka deh bajumu."
"Lori! Kamu cantik sekali. Rambutmu diapakan? Aku suka
deh!"
"Hai Lori! Lihat bajumu kupakai, bagus nggak?" Mereka lalu
lalang di hadapannya, seolah-olah Lori termasuk di antara mereka.
Kemana pun ia pergi, mereka menghujaninya dengan pujian, rasa
hormat dan kagum.
Terlalu! Dan saat mereka tak memujinya lagi, topik pembicaraan beralih
pada pakaian, belanja dan mobil.
Tak heran, Danielle berubah menjadi egois begitu ia pindah ke
Atwood. Lori memperhatikan keadaan di sekitarnya. Masing-masing
berusaha mengalahkan temannya, entah dengan perkataan, pakaian,
atau makanan yang mereka nikmati... dan juga bergosip.
"Sudah dengar belum, tentang Danielle?" Lori mendengar Jane
berkata pada Ashley Shepard yang asyik mondar-mandir
memamerkan tuxedo barunya.
"Benar nggak sih, dia kerja di restoran fastfood?" tanya Ashley
ingin tahu. "Aku nggak percaya!"
Sambil menyimak, Lori menikmati pate dan crackernya.
"Maksudmu, si Sharp itu? Iya dong, siapa lagi?" Wendy tertawa
cekikikan. "Yah, begitulah kalau hidupmu melarat, hidup ini keras.
Aku benar-benar kasihan padanya."
"Tahu nggak, apa julukan dia?" sela Ashley. "Wanita pembawa
tas di Merivale Mall! Kan harus ada yang menggantikan si sinting
Nora Pringle!" Ashley dan Jane tertawa terbahak-bahak.
Ingin rasanya Lori menampar mereka. Untungnya Heather tidak
ikut-ikutan. Sebagai sahabat Danielle, ia cuma berkata, "Ah, sudahlah.
Barangkali saja dia sedang menabung untuk sesuatu yang khusus."
Tetapi Heather pun kelihatannya tidak yakin.
"Oh, kalian sudah lihat belum, mobil baru Charlotte Haines?
Sulit dipercaya?mobilnya mobil bekas!" umum Wendy. "Ih, maumaunya dia bawa ke sekolah, ya?"
Cis! Tak tahan rasanya Lori berada di antara orang-orang
sombong itu serta omong kosong mereka. Sekarang ia tahu apa yang
dialami Danielle selama dua tahun terakhir ini.
Kasihan Danielle, pikir Lori. Pasti sulit baginya hidup di
tengah-tengah mereka. Lori berjanji untuk tidak mengkritik
kesombongan sepupunya itu lagi. Mungkin ia akan menelepon
Danielle besok dan berusaha menghiburnya.
Lamunannya terpotong oleh keributan di pintu. Kira-kira lima
atau enam cewek menyingkir saat seseorang masuk. Dengan jantung
berdebar, Lori melihat orang yang baru masuk itu, Nick!
Seharusnya kita datang bersama, pikir Lori. Ini semua salah.
Salah! Sekarang saatnya untuk membenahi kesalahan. Lori menarik
napas dalam-dalam lalu berjalan ke tengah ruangan. Disibaknya gadisgadis yang mengerumuni cowok itu, Lori menyentuh lengan Nick,
lalu menariknya menyingkir.
"Sekarang aku punya waktu," ujarnya sambil menatap mata
Nick yang kebingungan. "Kamu?"
"Tentu," jawab Nick.
"Kamu benar. Juga orangtuaku," Lori mengakui. "Sudah
kukatakan pada Nora bahwa aku ingin berhenti. Semuanya sudah
selesai, Nick."
"Apa?"
"Kulakukan bukan demi kamu, tapi demi diriku sendiri."
Lori melingkarkan lengannya ke tubuh Nick, ia merasakan
kekuatan otot-otot bahu cowok itu. Nick tidak menolak pelukannya
namun juga tidak membalasnya.
"Lori, kamu yakin?"
Lori tak menjawab. Ia hanya membalas dengan senyuman
hangat dan penuh arti pada cowok itu. Lalu dipeluknya tubuh Nick
lebih erat, bibirnya menyentuh bibir cowok itu. Ya, aku yakin....
Tujuh belas
Danielle mengitari Tio's Tacos, meletakkan tempat garam dan
lada di setiap meja, pikirannya melayang-layang. Semakin cepat ia
belajar hidup miskin, semakin baik. Itulah keputusan yang
diambilnya. Untuk apa menghabiskan energi dengan berangan-angan
menjadi kaya? Mungkin saja ia tidak akan jadi kaya untuk jangka
waktu yang lamaaa sekali. Kalau tidak... Danielle tertawa memikirkan
semua itu. Nah, mengapa tak memulainya sejak sekarang?
"Sini!" panggil Ernie dari meja kasir.
"Ada apa, Tio?"
"Istirahatlah dulu. Makananmu sudah siap," ujar Ernie sambil
tersenyum.
"Trims Ernie," ujar Danielle, sambil membalas senyuman lelaki
itu saat dan menghampiri meja untuk mengambil nampan makanannya
yang telah disiapkan Ernie.
Kerja di Tio memiliki arti tersendiri. Danielle telah mencoba
taco avokadnya dan menurutnya makanan itu enak.
Para karyawan di situ pun menyenangkan. Ia tak perlu
membuktikan apa-apa pada mereka. Dia adalah dia, itu yang penting.
Tak ada yang bertanya, dan tak ada dengki tersimpan.
Danielle menghabiskan taconya lalu kembali ke belakang kasir.
Kemudian seseorang masuk ke dalam, ternyata ayahnya!
Yang membuat Danielle terperangah, ayahnya tersenyum!
Untuk pertama kalinya selama sebulan ayahnya menjadi 'manusia'
bukannya 'zombi' lagi.
"Ada apa, Yah?" tanya Danielle. "Baru menang lotre, ya?"
"Lebih dari itu, sayang," ujarnya seraya memeluk Danielle.
"Proyek Ayah berhasil! Ayahmu jenius, kamu tahu? Semuanya beres,
dengar nggak? Syukurlah!"
Laki-laki itu tertawa lega, Danielle hampir tak percaya. Mereka
kaya lagi? "Ayah bilang...?" ia bertanya.
"Mulai sekarang uang sakumu kembali utuh, sayang. Dan
maafkan Ayah yang telah menyusahkanmu. Ayah merasa tak enak.
Kamu di sini kerja keras, semua ini gara-gara ketidakmampuan Ayah.
Dan Ayah juga menyebutmu pemalas. Maaf ya, sayang. Apa yang
kamu inginkan sekarang? Untuk hadiah? Bilang saja, nanti Ayah
belikan."
Betapa leganya Danielle! Siapa yang bertahan pasti menang.
"Mm, aku ingin mobil baru....''
Namun menyadari bahwa ayahnya juga bekerja keras mencari
uang, Danielle menyahut perlahan,
"Tidak, kayaknya belum perlu, belikan saja peredam mobil
yang baru."
"Boleh," ujar ayahnya sambil tertawa.
Danielle menyandarkan tubuhnya pada dinding berwarna
oranye terang itu. Kehidupannya bak roda berputar dalam sebulan ini!
Dan kini ia kembali dengan kehidupannya yang mapan.
"Ayah, terima kasih! Aku senang sekali!" Danielle .
membiarkan perasaan senang menjalari tubuhnya. Ditatapnya mata
cokelat ayahnya dengan senyum bahagia.
Apa yang dialami ayahnya pasti lebih buruk dari yang
dialaminya, pikir Danielle. Sulit untuk dipercaya, tetapi ternyata ia
suka bekerja di Tio! Ia telah menabung sebagian dari gajinya, dan ia
menyukai para pekerjanya.
Untuk sesaat Danielle hampir saja memutuskan untuk tetap
bekerja di tempat itu. Tetapi akhirnya ia mengambil keputusan.
Bagaimanapun juga, ia masih lebih suka menghabiskan uang daripada
mengumpulkannya!
Masalahnya adalah bagaimana menyampaikannya pada Ernie.
Pria itu pasti kecewa! Semua karyawannya telah meninggalkannya
karena sesuatu yang lebih baik. Dan mana mungkin lelaki itu
menemukan seseorang yang sama fantastisnya dengan dia?
"Hai Danielle! Hai Paman Mike!" sapa Lori dengan senyum
lebar tersungging di wajahnya.
"Hai Lori," balas Paman Mike. "Bagaimana dengan
pekerjaanmu?"
"Oh baik, Paman Mike. Tapi aku baru saja minta berhenti. Aku
berhenti sampai sekolahku selesai."
Mike Sharp tampak terkejut sesaat, namun ia lalu mengangguk
penuh pengertian. "Paman tahu. Itu pasti merupakan keputusan yang
sulit bagimu, Lori. Danielle," ujarnya kemudian, "sepupumu ini
memang benar-benar berani."
Kali ini Danielle setuju. Ia tak percaya dalam waktu sesingkat
itu Lori berhasil melakukan sesuatu yang menakjubkan. Dan kini ia
menghentikan semua itu! Danielle mengagumi sepupunya itu, tetapi ia
tak pernah dapat mengutarakannya. Tidak sekalipun.
"Hai Danielle!" seru Lori. "Kamu kerja di sini? Bagaimana?"
Jelas sampai saat itu Lori belum memperhatikan celemek oranye yang
dikenakan Danielle.
Danielle menatap Lori, menyadari betapa tepatnya peristiwa itu.
"Maaf, Yah," sahutnya. "Aku mau ngomong sama Lori, berduaan."
Setelah menarik Lori, Danielle berkata, "Tadinya aku kerja di
sini. Aku sedang membuat makalah sosial tentang gaji rendah dan
remaja bekerja. Tugas penelitian, tapi semuanya selesai hari ini."
"Oh ya?" tanya Lori, berusaha menyembunyikan keraguraguannya.
"Nah, kalau kamu mau kerja di sini lagi, silakan. Tentu kamu
lebih membutuhkannya dibanding aku. Dan aku tahu Ernie pasti
senang sekali?"
"Benar kamu mau berhenti?"
"Benar," tukas Danielle cepat. "Memang menyenangkan kerja
di sini, tapi nggak terlalu juga sih."
Maka tercapailah kesepakatan. Danielle melepas celemeknya
lalu menyerahkannya pada Lori. Kedua gadis itu tertawa-tawa
menyadari nasib yang menimpa mereka.
Saat meninggalkan Tio's dalam gandengan tangan ayahnya,
Danielle menoleh ke belakang, ke arah Lori yang sedang mengenakan
celemeknya. Keduanya tersenyum penuh pengertian. Tak ada yang
dapat dikatakan lagi. Bumi berputar kembali pada porosnya, dan
kehidupan Merivale Mall berjalan normal, seperti biasanya.END
Hamukti Palapa 3 Pendekar Rajawali Sakti 117 Memburu Pengkhianat Pedang Sakti Tongkat Mustika 8

Cari Blog Ini