Medal Of Love Karya Thelapislazuli Bagian 5
saat mendengar sahabat yang pernah ia ancam nyawanya itu masih menyatakan sayang padanya.
"Ngga ada yang bilang lo ngga pantes, Win. Tuhan maha memaafkan. Masa seorang Rara saja ngga bisa? Gue kangen suara teriakan lo di kubikel gue. Gue kangen
makan siang sama lo. Pokoknya gue kangen." Rara menangis lagi mengingat masa-masa indah persahabatan mereka.
"Raaa... Gue juga kangen. Kangen semua tentang lo." Winny dan Rara saling berpelukan mengeluarkan rasa rindu yang mereka punya.
Sedangkan Reno dan Andre juga berangkulan. Reno menyampaikan salam dari Bunda dan Ayah. Bagaimana pun Andre adalah orang yang selalu membantu Reno saat
awal-awal di perusahaan. "Terima kasih Mas, karena Mas, Reno sekarang bisa naikin kinerja. Membawa DE menjadi lebih baik." Reno mengucapkan hal ini dengan tulus.
"Maafkan Mas yaa, Ren. Mas ngga pantes diucapin terima kasih seperti ini. Mas sudah berdosa dan membunuh Orion." Andre menangis dalam rangkulan Reno.
"Semua orang pasti pernah berbuat dosa baik yang kecil maupun yang besar. Yang terpenting pertobatannya, Mas." Reno menepuk bahu mantan sekertaris Ayah
yang sebenarnya sangat berdedikasi itu.
"Wiiin.. Ini gue bawain anggur kesukaan lo. Semoga perutnya cepat isi lagi ya." Rara mengusap perut rata Winny dan menyerahkan anggur kesukaan sahabatnya
itu. "Anak lo udah lahir ya, Ra? Perempuan atau laki-laki?" Tanya Winny.
"Perempuan, Win. Namanya Varsha. Kapan-kapan kita ketemuan ya. Varsha juga harus ketemu dengan Tante Winny. Jangan minder. Lo tetep sahabat gue dan Varsha
harus kenal siapa sahabat Mamanya." Rara kembali memeluk sahabatnya yang terlihat sangat kurus dan suhu tubuhnya agak hangat.
"Makasih banyak ya, Ra. Semoga Tuhan selalu melindungi keluarga kecil lo. Cukup gue aja yang pernah jahat sama kalian. Tapi jangan orang lain." Winny menghapus
air mata di pipi Rara. Ia sangat menyesal dengan keirian hati yang pernah ia punya.
"Winny, Mas Andre kami pamit pulang dulu. Kasian Varsha di rumah." Reno pun berpamitan pada sepasang suami istri yang dulu pernah mengancam keselamatan
satu keluarganya. Awalnya Reno sudah tidak mau bertemu dengan mereka berdua lagi. Namun karena Reno beristrikan Clarissa Aurora yang berhati seluas langit
di angkasa, maka ia pun memilih untuk memaafkan kesalahan yang mereka lakukan.
"Hati-hati Moreno, Rara!! Sukses acara resepsinya!" Winny melambaikan tangan pada sepasang suami istri yang memang saling mencintai sejak lama itu.
"Kita dua brengsek yang masih disayang Tuhan ya, Mas?" Tanya Winny pada suaminya.
"Maafkan Mas yang membuat kamu hidup di sini, Win. Harusnya aku saja yang di sini. Kalau nanti kamu sudah keluar, Mas ikhlas kamu cari pria yang lebih
pantas daripada Mas, Win." Ucap Mas Andre dengan lirih.
"Ngga Mas, Winny mencintai Mas sampai kapanpun. Meski awalnya kita hanya dekat karena sebuah kerjasama, tapi cinta ini murni untuk Mas. Jangan pernah berpikir
aku akan berpaling." Winny menangis begitupun Mas Andre. Mereka pun harus kembali ke kamar sel masing-masing. Hanya selalu berharap, Tuhan mengizinkan
mereka hidup normal layaknya pasangan lainnya.
***** Pembagian seragam dilakukan di H-4 resepsi impian Reno. Lendra sudah heboh karena jas nya agak kesempitan.
"Makanya Mas Lendra, olahraga itu di lapangan." Celetuk Reno.
"Eeh yang lagi puasa diem aja! Ini namanya bahagia. Lala mengurus gue dengan baik dan benar." Lendra tak mau kalah.
"Moreno juga gemukan kok. Itu jas nya aku ubah lagi ukurannya." Nadine yang sedang berada di rumah keluarga Trisdiantoro ikut berkomentar.
"Tuuh lo juga Ren! Dine, ini jas gue bisa dibesarin ngga?" Tanya Lendra pada Nadine yang bertugas membuat semua seragam keluarga ini.
"Bisa kok sama Nadine semua bereees!" Ucap desainer itu dengan semangat.
"Karen mana Mba?" Tanya Reno mencari putri bungsu yang membuat istrinya ingin anak perempuan juga.
"Lagi pergi sama Papanya. Dia lagi ngintilin suamiku terus. Sampai Mamanya harus saingan." Semua tertawa dengan kelakuan Nadine si cantik yang selalu ceplas
ceplos ini. "Karen siapa, Uncle?" Tanya Dave yang baru menyoba jas yang ia anggap keren itu.
"Princess cantik anaknya Tante Nadine. Sana salim sama Tante Nadine. Siapa tahu itu ibu mertua." Reno mendapat cubitan dari Bunda.
"Renoo.. Masih kecil sudah dijodoh-jodohkan." Bunda menggeleng keras dengan semua bentuk perjodohan di Keluarga Trisdiantoro ini.
"Halo Tante Nadine cantik!" Dave memanggil Nadine yang memang senang dipanggil cantik itu.
"Waaaaaa! Kamu adalah pria tampan yang memanggil aku cantik tanpa diminta. Bahkan suamiku harus aku suruh-suruh dulu. Nama kamu siapa sayang?" Tanya Nadine
dengan senyum lebar. "Namaku Dave, Tante. Oh iya, tadi kata Uncle, Tante punya princess? Pasti cantik ya seperti Tante?" Tanya Dave penasaran yang membuat semua orang tertawa.
"Dave itu anak gue apa Reno sih? Kenapa jadi pinter gombal begitu?" Radith berkomentar yang membuat Lendra terbahak.
"Nanti anaknya Reno mesum kayak gue. Soalnya anak-anak gue kalem kayak lo, Dith." Lendra mendapat cubitan dari Neona.
"Ucapan itu doa, Mas. Mulut ih bener-bener." Neona protes dengan kelakuan kakak sablengnya itu.
"Iya, Karen itu princessnya Tante. Nanti pas pesta Uncle Reno, kamu ketemuan yaa sama Karen. Dia pasti senang ketemu pangeran tampan kayak kamu." Nadine
mencubit pipi gembul Dave yang mirip dengan Karen.
"Jadi Dave sudah memulai perjalanannya sebagai The Trisdiantoro?" Tanya Ayah yang membuat semuanya tertawa.
"Dave baru mau 8 tahun, Yah. Daddynya aja 28 tahun baru ketemu dan nikah." Radith berdecak sebal dengan semua orang yang sudah tertawa candaan sore itu.
"Saya ketemu sama besan saya, bahkan sebelum anak-anak kami dibuat." Pak Dipta ikut angkat suara yang membuat suasana di rumah kediaman Trisdiantoro semakin ramai dengan canda dan tawa.
*** BAB 33 Resepsi impian Reno akhirnya terselenggara di hari ini. Kemegahan dan kemewahan yang awal mulanya dipermasalahkan oleh Rara, kini ia terima karena sebagai
istri, Rara menghormati dan menghargai usaha sang suami membahagiakan hatinya.
Awalnya Reno kesal dan kecewa karena resepsi pernikahannya baru bisa dilakukan setahun setelah mereka menikah. Namun akhirnya papa muda ini sadar bahwa
Tuhan sudah merancang sesuatu yang terbaik untuk takdirnya. Kalau dulu ia ngotot mengadakan pesta, sudah pasti suasana pestanya penuh ketegangan dan mencekam.
Saat itu, Rara pun belum bertemu dengan Pak Dipta juga Bu Elisa. Sungguh semua akan indah pada waktunya.
"Mas Reno tampan." Suara halus nan lembut itu terdengar dari arah belakang tubuh Reno. Yang dipuji pun menoleh cepat.
"Kamu ini, sudah menikah sama aku setahun, baru sadar aku tampan, hmm? Perempuan di luaran sana memuja muji ketampanan suami kamu loh, Sa." Ucap Reno sambil
mengecup bibir istrinya. "Sudah sadar dari dulu kok. Cuma mau ngomongnya aja susah." Rara tersenyum meledek sang suami yang sudah menggeleng-gelengkan kepala.
"Muji suami itu dapat pahala. Suami kan hatinya sena.."
Tok tok tok tok tok tok "Astagaaa! Berisik!" Ucapan Reno terpotong karena suara ketukan pintu kamar yang sangat berisik itu.
"Oooy! Di dalem ngapain sih? Mau jalan ngga ke gedung? Jam berapa ini Renooo?!" Suara Lendra sudah membuat Reno menghembuskan nafas kasar sedangkan Rara
hanya tertawa lantas menggendong Varsha.
"Sabaaar kenapa sih?! Semua sudah siap Mas?" Reno membuka pintu lantas menemukan sosok yang tak kalah tampan dari dirinya dan Radith.
"Ngagumin wajah gue nya biasa aja dong! Serem nih. Yuk lah turun." Lendra membantu Reno membawa kereta bayi milik Varsha.
Mereka semua pun berangkat menuju ballroom yang disewa Reno. Ballroom ini terletak di dalam Hotel milik Sebastian Hendratama, duda yang akhir-akhir ini
menjadi pembicaraan wanita berbagai umur dan status.
Sesampainya mereka di sana, semua sudah terdekor dengan sempurna. Pelaminan didesain dengan menambahkan tempat tidur kecil dan penyejuk untuk Varsha. Ya,
Reno kemauannya selalu bisa membuat semua tak mungkin menjadi nyata.
Semua orang berganti baju dengan pakaian yang sudah dirancang oleh desainer terkenal ibu kota, Nadine Serilda Hendratama. Rara terlihat sempurna dengan
balutan gaun berwarna peach yang didampingi oleh Reno yang berbalut jas hitam mengkilat. Posisi para pengiring pengantin sudah pasti diisi oleh Lendra-Lala
dan Radith-Neona yang juga tampak memukau dan serasi.
"Ini pesta pernikahan paling gokil yang pernah ada. Sudah ada bayi di pelaminan, terus pengiringnya emak-emak sama babeh-babeh gini." Lendra selalu membuat
semua orang tertawa terutama Bunda yang selalu terlihat terpingkal dengan ucapan kakak kandung Neona itu.
Master of Ceremony pada pesta kali ini pun Reno pilih dari yang terbaik di negeri ini, Jocasta Adelia Russell. Teman saat Reno bersekolah di Inggris yang
juga merupakan penyiar radio favorit ibu kota.
"Dith, lihat deh! MC nya bening amat. Temen lo gitu semua apa ya, Ren? Dia blasteran ya?" Lendra berkomentar dan bertanya yang membuat telinga Lala dan
Neona waspada. "Yoih dong. Temen pas kuliah itu, Mas. Dia tuh keturunan Inggris-Jawa." Reno hanya sekedar menjawab pertanyaan Lendra.
"Pantes cakep. Iya ngga, Dith?" Tanya Lendra
"Iya." Jawab Radith singkat namun mengundang delikan mata ibu guru matematika di sampingnya
"Naa, hari ini duda-duda berkeliaran di sini. Eh Ren, Ibra Santoso dateng kan?" Lala pun bertanya hal yang membuat Lendra langsung mendidih. Ibra adalah mantan calon suami Lala yang kini sudah menduda.
"Ngapain kamu tanya-tanya Ibra? Mau ketemuan?" Tanya Lendra sewot.
"Mau nyapa-nyapa lah. Kangen. Di media sosial aja Mas Ibra tambah cakep. Aku mau lihat aslinya." Lala sudah berhasil membuat Lendra kalang kabut.
"Ngga ada ya, La. Kamu ngga boleh! Manggilnya ngga usah sok mesra. Bisa kan manggilnya Pak Ibra. Ngapain pake Mas." Lendra protes yang justru membuat Lala
bersemangat. "Biarin aja. Mas Lendra kan sukanya sama yang blasteran. Tuh sana aja sama yang bening. Ren, Mas Ibra diundangkan kan?" Lala bertanya lagi pada Reno yang
sudah tertawa-tawa. "Diundang dong. Kolega bisnis itu. Lagian juga, semua guru-guru SMA kami diundang kok." Reno mengalihkan pandangannya ke arah Radith yang sudah panik.
"Haa? Si Yolly ada dong?" Tanya Radith yang membuat Neona beride jahil seperti Lala.
"Yaiyalah Daddy. Mas Yolly kan gurunya Reno sama Rara. Duh ngga sabar ketemu mereka lagi." Neona membuat Radith lebih kalang kabut dari Lendra.
"Kalian ini kenapa sih? Acara belum mulai saja sudah heboh sendiri." Ayah bergabung dengan mereka semua yang disusul oleh Bunda.
"Biasa.. Heboh kalau mantan saingan dateng." Reno tertawa-tawa puas.
"Mantan saingan? Kalau gitu Andri Mahesa dateng ngga, Ren?" Bunda ikut bertanya dan ingin tahu reaksi Ayah saat nama mantan saingannya disebut.
"Bunda ngapain nanya-nanya si Andri? Dia belum duda." Ayah kini ikut waspada layaknya Radith dan Lendra.
"Loh kan nanya doang, Yah. Kali aja dateng." Bunda sangat senang dengan ekspresi cemburu suaminya.
"Kayaknya dateng, Bun. Ini pesta ngundang semua orang yang kita kenal. Nanti kita lihat yaa." Reno dan Rara pun bersiap menuju pelaminan. Adel membawakan
acara dengan sangat baik dan tamu-tamu pun mulai berdatangan.
Hal yang paling membuat Rara bahagia adalah karena di bangku orang tua mempelai wanita kini terisi Bapak dan neneknya. Kalau resepsi ini dilakukan setahun
yang lalu sudah pasti bangku itu kosong dan penuh tanya.
"Kok wajahnya kayak mau nangis? Kenapa sayang?" Tanya Reno yang sangat peka dengan perubahan ekspresi istrinya itu.
"Tuhan sudah mengatur semua yang tebaik ya, Mas. Kalau dulu kita jadian zaman remaja, belum tentu kita menikah. Kalau dulu resepsi kita tepat saat menikah,
pasti bangku orang tuaku kosong." Rara menjawab pertanyaan suaminya dengan mata yang berkaca-kaca.
"Iya, kamu benar, sayang. Tuhan sudah menuliskan takdir indah buat kita lengkap dengan ujiannya. Kalau kita lulus, hadiahnya pasti manis seperti ini."
Jawab Reno sambil mencium pipi Rara dengan cepat. Hal ini dikarenakan prosesi salam-salaman baru saja di mulai.
"Walah... Moreno sama Clarissa toh. Cinta bersemi dimana ini?" Tanya Pak Dedi, mantan kepala sekolah mereka.
"Di OSN, Pak." Jawab Reno sambil tertawa-tawa.
"Bukannya kalian itu saingan ya?" Kini giliran Pak Leon yg bersuara.
"Saingan jadi cinta, Pak." Jawab Rara pada mantan guru pembimbingnya itu. Mereka pun tertawa bersama karena mendapati kisah nyata tentang yang jodoh yang
selalu penuh misteri itu.
Kini giliran mantannya Langit Moreno datang! Ya, Nadhira datang dengan sang suami, Adi. Ingat siapa Adi? Dia adalah ketua kelas yang diamanahkan Neona
untuk memanggil Reno ke ruangannya.
"Hai Reno.." Sapa Nadhira yang membuat semuanya melirik ke arah Reno dan sang mantan.
"Hai Nad.. Jadinya sama Adi?" Tanya Reno dengan senyum.
"Kamu juga jadinya sama Clarissa?" Tanya Nadhira dengan senyum.
"Tiati Ren, nanti lo tidur di sofa." Celetukan Mas Lendra yang membuat semua orang tertawa lagi.
Meski tertawa, Nadhira tahu arah pembicaraan ini, sehingga ia beralih menyapa Rara.
"Hai Clarissa, selamat yaa! Aku sama Reno sudah teman biasa kok. Lagian aku kan cintanya sama Adi." Ucap Nadhira dengan jujur.
"Makasih juga sudah dateng, Nadh. Hahaha itu bercandaannya kakak ipar kami kok. Selamat dan langgeng yaa sama Adi." Rara menjawabnya dengan senyum lantas
memeluk Nadhira dengan erat yang tentu saja melegakan hati Reno.
"Mas Lendra lihat yaa pembalasan Reno." Ucap Reno sambil mencari sosok mantan saingan Lendra.
"Renooo! Clarissa! Yaampun kalian ternyata berjodoh ya?" Kali ini Sandra yang ditemani Yolly menyalami Reno dan Rara. Mantan guru Biologi yang akhirnya
menikah dengan guru kesenian ini pun menyalami kedua mempelai dengan penuh tawa.
"Iya yaa, Bu. Dulu kami yang kondangan ke pernikahan Ibu. Sekarang kami yang dikondangin." Kata Reno yang sudah melirik-lirik Radith.
"Neonaaaa! Apa kabar?" Sandra pun teriak ke arah Neona yang sudah memeluknya dengan erat.
"Baik Mba. Yaampun kangen Mba Sandra deh. Mba Sandra dan Mas Yolly apa kabar?" Neona mengalihkan pandangannya ke arah Yolly.
"Hai, Na. Kami berdua baik. Mas Radith apa kabar?" Tanya Yolly ramah.
"Baik." Jawab Radith datar dengan wajah ditekuk. Lendra dan Reno sudah cekikikan.
"Mas Radith ini ngga lagi cemburu kan ya, Na?" Tanya Sandra sambil tertawa. Bagaimana pun ia tahu kalau suami Neona ini pecemburu. Apalagi dulu Neona dan
Yolly punya kisah yang tak sampai.
"Oh engga." Jawab Radith bohong.
"Daddy beneran ngga cemburu? Kalau Mommy foto sama Mas Yolly boleh?" Neona memberikan kode kepada Sandra bahwa itu adalah bercandaan.
"Neona kita pulang. Mana Dave? Kita pulang." Itu tanda Radith sudah cemburu maksimal yang membuat semua tertawa kecuali Neona yang kini sibuk menenangkan
suami posesifnya itu. "Radith... Radith.. Pos.." Ucapan Lendra pun terpotong karena kedatangan seseorang yang membuatnya siap siaga.
"Mas Ibra tampan! Makasih sudah datang. Makin gagah perkasa aja nih." Ucap Reno merangkul rekanan bisnisnya.
. "Selamat Moreno! Langgeng ya! Aah bisa saja pujiannya. Gagah dan perkasa gini percuma kalau ngga ada yang digagahin." Kelakar Ibra ini membuat Lendra misuh-misuh.
"Mesum amat sih jadi orang. Duda gatel ini pasti." Begitu komentar Lendra.
"Mas juga lebih mesum. Lebih parah Mas Lendra, suami gatel. Duda mah bebas Mas, lah ini istri masih molek bahenol, lihat yang blasteran aja ngintil." Lala
pun mengeluarkan kekesalannya. Belum sempat Lendra menjawab sosok Ibra sudah berada di depan sang istri.
"Hai Kayla.. Semakin cantik aja." Sapa Ibra pada Lala.
"Hai, Mas. Semakin ganteng aja." Balas Lala yang membuat Lendra maju menghalangi Ibra.
"Saya masih jadi suami sahnya Kayla, kalau Mas lupa." Ucap Lendra pada pria yang dua tahun lebih tua darinya itu.
"Hai, Len. Masih takut saja kalau Lala saya ambil. Hmm.. Karena kamu begini, saya jadi merasa masih pantas untuk bersaing ya.." Ujar Ibra yang tahu keganasan
Lendra kalau sudah cemburu. Gigi atas kirinya lah saksinya.
"Masihlah Mas. Masa kini, pembinor itu penjahat nomor wahid yang setara teroris dan koruptor. Apalagi yang statusnya mantan calon suami. Pembinor kelas
Jenderal namanya." Lendra melingkarkan tangannya di pinggang Lala lantas meminta izin dari hadapan Ibra. Ibra sendiri terkekeh geli. Pasalnya Ibra sudah akan menikah lagi dengan seorang wanita pilihan hatinya.
Tamu-tamu terus berdatangan. Membuat Rara pun merasa lelah. Untungnya Varsha masih tertidur pulas. Seperti tidak merasa terganggu apa-apa.
"Selamat Mas Abi, akhirnya semua anaknya menikah ya." Wajah Ayah berubah datar. Ini dia Andri Mahesa.
"Iya, sama-sama. Terima kasih sudah datang." Jawab Ayah sambil tersenyum kaku. Padahal Andri datang dengan istrinya
"Hai Lin, apa kabar? Selamat akhirnya anaknya sudah nikah semua." Ucap Andri ramah yang tentu saja membuat Bunda tersenyum balik.
"Baik kok. Iya sama-sama. Semoga anak kamu juga nyusul ketemu jodohnya." Ucap Bunda yang sebenarnya biasa saja. Setelah Andri dan istri pergi, Bunda pun
melihat wajah sang suami.
"Ayah jangan ikutan kayak Radith dong. Andri juga nyapanya biasa aja." Ucap Bunda mengelus lengan suaminya.
"Di mata Ayah dia tetap berondong tengil yang mau bawa lari Bunda. Ayah emosi." Ucap Ayah yang langsung meminum air mineral yang tak jauh dari tempatnya.
2 Reno dan Rara tak henti-hentinya menebar senyum penuh bahagia. Hingga suara wanita cantik penuh tenaga terdengar dari ujung panggung pelaminan.
"Kyaaaaa Moreno dan Raraa! Akhirnya baju rancanganku dipakai juga! Selamat yaa buat first annivnya! Jangan lupa buat lagi anaknya!" Ucap wanita itu dengan
vulgar. "Nadine cantik, bicaranya sayang." Ucap pria kalem di belakangnya.
"Ahh iya, lupa Mas Bagasku. Moreno, Rara. Ini Mas Bagas suamiku. Papanya Karen dan tiga jagoanku. Mas, ini anaknya Pak Abimanyu. Moreno sama Rara. Mereka
pakai rancanganku." Nadine mengenalkan Reno dan Rara pada sang suami.
"Bagaskoro, suaminya Nadine." Ucap Bagas dengan senyum. Reno dan Rara pun mengenalkan diri dan menyambut tangan Bagas dengan ramah.
"Mba Nadine, suami kalem banget loh. Bumi dan langit dong ya?" Reno berkomentar pada pasangan beda watak ini.
"Banggeet! Mas Bagas ini titisan surga." Jawab Nadine yang sudah memeluk lengan suaminya.
"Padahal dia malaikat cantiknya." Ucap Bagas sambil mengecup puncak kepala istrinya. Membuat siapa saja yang melihat pasti iri. Tak terkecuali Rara. Karena
melihat ekspresi Rara yang terlihat iri, Reno pun mengecup pipi sang istri.
"Suamimu lebih romantis dan hot, sayang." Ucap Reno dengan nada posesif.
"Eh Karen mana, Mba, Mas?" Tanya Rara mengalihkan pembicaraan suaminya.
"Tadi sih bareng kita. Tapi dia lagi cari kue katanya." Nadine menjawab pertanyaan Reno lantas berbasa-basi sejenak lalu pamit mencari putri kecilnya.
Di sisi lain ruang resepsi itu, dua anak kecil sedang berebut kue sus cokelat terakhir. Sebenarnya masih banyak kue sus lainnya, hanya saja kue sus ini
berbentuk angsa dan berisi fla rasa cokelat.
"Kue sus berbentuk angsa itu punya Karen!" Teriak gadis kecil tak mau kalah.
"Tapi rasanya cokelat. Ini kesukaan Dave." Jawab pria kecil lebih tak mau kalah.
"Dasar kakak pelit! Ngga mau ngalah! Jelek!" Karen menjulurkan lidahnya pada Dave yang cuek karena mengunyah kue kesukaannya. Tidak boleh ada yang meminta
kalau itu tentang cokelat. Begitu peraturan Dave.
"Kamu juga jelek! Kamu berisik dan tidak anggun!" Balas Dave yang membuat Karen berteriak. Nadine dan Bagas yang sedang mencari putri bungsunya itu pun
berlari dan menghampiri Karen.
"Karen? Kamu kenapa sayang?" Tanya Nadine pada putri kecil yang kini sudah berusia 5 tahun itu.
"Ini ada kakak pelit. Dia ngga mau ngasih kuenya." Karen menangis di bahu sang Papa.
"Tante Nadine? Loh jadi yang katanya Uncle Reno, princess cantik itu Karen ini?" Tanya Dave tidak percaya.
"Davee.. Kamu ngapain di situ?" Radith menyela pembicaraan anaknya dengan keluarga kecil Setiawan.
"Waah ada Om tampan yang mukanya kayak Om Reno. Hai Om, aku Karen." Karen takjub dengan wajah Radith yang tampan lantas melupakan tangisannya tadi.
"Hai Princess Karen. Aku memang kakaknya Om Reno. Namaku Radith." Radith pun mencubit pipi gembil milik Karen. Neona yang mengikuti suaminya pun tersenyum
ke arah Karen. "Hai sayang.. Cantik banget sih. Siapa namanya?" Tanya Neona pada Karen. Neona ini sebenarnya ingin memiliki anak perempuan. Namun apa daya saat suaminya
melarang Neona untuk hamil lagi.
"Namaku Karen. Tante itu istrinya Om Radith ya? Nama Tante siapa? Tante cantik juga. Pasti anaknya Om Radith sama Tante ganteng ya?" Tanya Karen yang belum
tahu siapa anak Radith dan Neona.
"Nama Tante, Neona. Hahaha kamu pintar memuji ya. Ini anak Tante sama Om." Neona menunjuk Dave yang sejak tadi merengut kesal karena melihat interaksi
kedua orang tuanya dengan Karen.
"Haah? Anaknya Tante sama Om kakak pelit ini? Pasti ketuker di rumah sakit." Ucap Karen yang membuat Nadine dan Bagas meminfa maaf pada Radith dan Neona.
"Kalau Karen sampai ngomong begini, pasti Dave deh yang salah. Hayo Dave kamu ngapain Karen?" Radith bertanya pada Dave
"Anaknya Tante Nadine mau ngerebut kue sus cokelat kesukaan Dave. Dia ngatain Dave jelek dan pelit. Padahal dia juga tidak anggun dan berisik." Dave dengan
wajah merengut memalingkan pandangannya dari gadis kecil bergaun merah di depannya.
"Berarti minta adiknya batal ya? Dave belum bisa berbagi sama orang lain ternyata. Sekarang minta maaf sama Karen. Ngga baik ngatain begitu, Dave." Neona
berkata dengan tegas membuat Dave akhirnya menurut.
"Karen. Ingat kata Mama. Wanita cantik itu apa? Behave, sayang. Jangan begitu lagi yaa kalau berbicara. Sekarang minta maaf sama Kakak Dave." Nadine juga
membujuk putri kecilnya untuk minta maaf pada? Dave.
"Karen, Dave minta maaf." Ucap Dave sambil menjulurkan tangan kecilnya. Karen sempat ragu namun karena ia melihat sang Papa yang mengangguk, Karen pun
menyambut tangan Dave. "Iya, maafin Karen juga. Karen itu pecinta kue sus dan segala sesuatu yang berbentuk angsa. Aku ini putri angsa." Karen menunjukkan bando yang ia gunakan.
Ternyata memang berbentuk sayap angsa.
"Tapi kan angsa saat masih kecil buruk rupa. Jadi aku ngga salah bilang kamu jelek." Dave menabuh lagi genderang perangnya.
"Aaaaaa Mamaaa! Kak Dave bilang Karen jelek lagi! Katanya angsa buruk rupa saat masih kecil." Karen kembali memeluk Bagas yang sudah menggelengkan kepala
dan tertawa bersama Nadine.
"Davendra Nadhitya.. Ayo minta maaf lagi. Kamu bikin Daddy malu." Ucap Radith yang juga tak habis pikir dengan kelakuan anaknya. Neona juga tertawa sambil
mengelus tangan Radith. "Dave ngga salah Daddy. Jadi kata Uncle Reno ngga perlu minta maaf kalau ngga salah. Lagian angsa waktu kecil memang buruk kok. Tapi kan pas besar dia
cantik." Jawab Dave yang membuat Karen menoleh.
"Jadi aku akan cantik?" Tanya Karen pada Dave.
"Ya mungkin, kalau sudah besar dan tidak berisik." Jawab Dave sambil berlalu karena ia melihat ada es krim cokelat di sana.
Radith dan Neona pun meminta maaf pada Nadine dan Bagas. Mereka tak enak karena kelakuan Dave yang selalu tak mau kalah kalau sudah berurusan dengan cokelat.
Selain itu, Dave dan pendapat pribadinya kadang sering membuat orang lain pusing kepala.
"Ngga apa-apa Mas. Namanya juga anak-anak." Tanggap Bagas yang disetujui semua orang.
*** BAB 34 Tanpa terasa resepsi super heboh yang diselenggarakan Reno untuk merayakan ulang pernikahannya itu sudah terjadi sebulan yang lalu. Rumah tangga Reno dengan
Rara pun semakin harmonis dan penuh warna. Reno berhasil menunjukan pada Rara, bahwa dirinya bisa mengatur waktu dengan baik.
Hari ini ulang tahun Rara yang ke 26. Rara dan Reno memang hanya berjarak 4 bulan dimana sang suami sudah duluan berulang tahun dengan hebohnya waktu itu.
Bagaimana dengan perayaan ulang tahun Rara?
"Uncleeee! Auntyyy!!!" Suara anak kecil yang kini sudah berusia 8 tahun lebih sepekan itu pun terdengar memenuhi ruang tunggu di Bandara Soekarno-Hatta.
"Dave, jangan teriak-teriak sayang. Nanti dedek Varshanya bangun." Suara sang Daddy terdengar menyusul teriakan putra semata wayangnya.
Yang ditegur tampak biasa saja karena apa yang dikhawatirkan Daddynya tidak terjadi. Varsha sedang terlelap dengan nyenyaknya di dalam gendongan sang Mama.
"Mas Radith, kenapa sih dari dulu kalau mau pergi pasti deh paling terakhir datengnya? Ngapain dulu sama Mba Neona, Mas?" Reno sedang meledek Radith dan
Neona yang memang selalu datang paling akhir kalau keluarga mereka akan jalan-jalan seperti ini.
"Menyiapkan semuanya, Reno. Memangnya kamu. Nanti pinjem celana Mas, awas ya!" Radith pun membongkar akibat dari kebiasaan buruk Reno yang selalu buru-buru
dan ceroboh itu. "Oh tidak mungkin. Sekarang ada istri, jadi semuanya beres." Reno pun mendapat cubitan dari sang Bunda.
"Manja banget sama istri. Gantian dong kamu yang siapin buat Rara." Bunda berkomentar.
"Mana ada ceritanya The Trisdiantoro tidak manja?" Reno menanggapi perkataan Bunda yang didukung oleh Ayah dan Radith.
"Sudah lengkap semua kan? Ini Bapak kemana, Sa?" Tanya Reno pada Rara.
"Tadi Bapak ke toilet dulu, Mas." Jawab Rara sambil mengusap-usap pipi Varsha. Bayinya ini cukup pendiam dan tenang. Kalau kata Bunda mirip dengan bayinya
Radith. "Dedek Varsha cantik banget ya, Sa. Kayak kamu. Kalau Varsha sudah besar, aku harus nyiapin keamanan berlapis nih buat dia." Ucap Reno dengan wajah yang
dibuat serius. "Kebiasaan berlebihan deh. Jangan gitu juga ah. Nanti Varsha ngga mandiri. Aku maunya Versha jadi perempuan tangguh, mandiri gitu loh Mas." Tanggap Rara
yang akhirnya diangguki oleh Reno tanda setuju.
"Aunty cantik! Aunty bawa cokelat ngga? Cokelat Dave dimasukin Daddy ke koper yang ditaruh di bagasi." Dave dengan wajah lucunya mendekat ke arah Rara.
"Bawa kok. Coba minta Uncle ya sayang." Jawab Rara sambil mencubit pipi keponakannya itu.
"Uncleee.. Dave minta bagi cokelatnya Aunty cantik boleh?" Pinta Dave sambil menjulurkan tangannya.
"Engga ah! Ini kan cokelatnya Uncle. Nanti habis." Ucap Reno mirip anak seusia Dave.
"Peliiit! Bagi dong Uncle.. Dave mau cokelat. Satu aja." Pinta Dave dengan wajah memelas. Melihat hal ini, Neona pun maju mendekat ke arah Dave.
Medal Of Love Karya Thelapislazuli di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dave.. Coba jawab pertanyaan Mommy. Saat Dave ngga dibagi cokelat sama Uncle Reno. Rasanya gimana?" Neona mengelus kepala dari Radith versi anak kecil
itu. "Keseel. Uncle pelit banget sih sama Dave." Dave memanyunkan bibirnya sangat lucu.
"Dave juga pelit sama Karen waktu itu." Ucap Radith yang tiba-tiba duduk di samping istrinya.
"Waktu itu Karen juga kesel kayak Dave gini. Makanya Karen bilang Dave pelit kan? Sama kayak Dave yang bilang Uncle pelit." Radith melanjutkan kalimatnya.
"Jadi Dave salah karena ngga mau berbagi kue sus sama Karen? Tapi Karen berisik Daddy. Dave ngga suka." Jawab Dave yang membuat Reno ikut mendekat.
"Uncle juga ngga mau ngasih Dave karena Dave berisik. Teriak-teriak manggil Uncle sama Aunty. Mirip Karen."
Dibilang mirip Karen, Dave pun berlari pada sang Oma. Mencari perlindungan dan kedamaian di sana.
"Omaa.. Dave ngga kayak Karen kan? Dave anak manis kan? Anak baik? Masa Daddy sama Uncle jodoh-jodohin Dave sama Karen." Adu Dave pada Bunda. Bunda sebenarnya
ingin tertawa namun melihat awan mendung di wajah Dave, Bunda pun menahan tawanya.
"Siapa yang jodoh-jodohin cucunya Bunda?" Ucap Bunda sok galak pada kedua putranya.
"Reno ngga jodohin Dave kooook." Reno membela diri.
"Tapi Uncle bilang Dave mirip sama Karen. Kata Daddy kalau mirip itu jodoh. Daddy sama Mommy kan mirip." Entah yang mana yang didefinisikan Dave dengan
kata mirip, yang jelas protes Dave? terhenti karena mereka harus naik ke dalam pesawat yang sudah menanti para penumpangnya.
Ketika rombongan yang berisi Ayah, Bunda, Radith, Neona, Dave, Rara, Reno, Varsha, Pak Dipta dan Bu Elisa ini sampai di Jogja, mobil sewaan Bunda pun sudah
menunggu mereka. Kejadiannya mirip setahun yang lalu. Hanya saja kini Rara sudah berusia 26 tahun, sudah menikah, sudah punya anak dan juga sudah bertemu
dengan Bapak dan Neneknya.
Inilah yang Rara minta sebagai hadiah ulang tahun yang ditawarkan Reno padanya.
"Kamu yakin mau ke Jogja doang? Ngga Dinner romantis? Ngga honeymoon? Ngga.."
"Ngga Mas Renoku tampan. Rara mau berziarah ke makan Ibu. Sekalian ajak Bapak sama Nenek. Boleh ya?" Tanya Rara dengan senyum manis.
"Kamu minta bikinin hotel, Mas juga boleh kok. Apalagi ini, sayang." Reno mengecup dahi sang istri yang super sederhana itu.
"Sebenarnya ada satu lagi Mas yang Rara minta. Tapi kalau Mas Reno setuju." Ucap Rara ragu-ragu.
"Katakan Rissayangku. Kamu punya suami seorang Langit Moreno loh. Sayang kalau tidak dimanfaatkan" Ucap Reno provokatif.
"Hmm.. Aku ingin kita punya panti asuhan kayak Mba Nadine gitu, Mas. Boleh minta dibuatin panti asuhan ngga, Mas? Rara mau semua anak yang tidak punya
orang tua atau dibuang oleh orang tuanya ada di tempat yang aman dan penuh kasih sayang milik kita. Mas Reno setuju ngga?" Tanya Rara yang mendapat anggukan,
pelukan dan ciuman dari sang suami.
"Di saat wanita di luaran sana minta dibuatin Mansion, Resort dsb, kamu justru minta panti asuhan. Pantesan Tuhan minta aku nunggu kamu sewindu, kamunya
berharga kayak gini. Akan aku kabulkan, Sayang. Nanti nama panti asuhan kita Langit Beraurora, bagaimana?" Tanya Reno pada sang istri.
"Makasih banyak Mas sudah dikabulkan. Untuk urusan nama, Rara percaya sama keturunan Trisdiantoro aja yang jago-jago banget merangkai nama." Ucap Rara
lantas mencium bibir milik suaminya itu.
"Senyum-senyum sendiri itu biasanya mikir yang engga-engga nih, Dith." Ucap Ayah yang menyadarkan Reno dari ingatan akan percakapannya dengan Rara.
"Oh jelas, Yah. Mungkin setelah dulu melamar Rara di mobil travel, Reno mau minta nambah anak di sini jug Aw.... Sakit sayang. Kok dicubit?" Radith mengusap
lengan yang dicubit oleh Neona. Dari dulu cubitan Neona memang paling juara.
"Mulutnya Daddy kenapa jadi kayak Mas Lendra? Daddy dapat hukuman ya dari Mommy." Ancam Neona pada sang suami yang sudah kalang kabut. Untungnya putra
semata wayang mereka sedang tidur nyenyak dalam rangkulan Pak Dipta. Ya, Dave memang dekat dengan Pak Dipta yang ia anggap sebagai kakek baru.
"Duuuh seneng deh Reno. Masih dibelain sama Bu Neona. Daridulu loh, Reno jadi prioritasnya Bu Neona." Reno memancing jiwa posesif Radith.
"Dipta dan Bu Elisa maafkan kelakuan putra-putra kami ya. Mereka sering lupa usia kalau sudah ketemu." Bunda membuat Bu Elisa tertawa sumbang.
"Armand sama Dipta kan juga begitu, Lin. Bedanya saya yang ngga kayak kamu yang bisa membawa keharmonisan dan arti keluarga yang sesungguhnya." Sesal Bu
Elisa. Suasana mobil travel pun menjadi canggung. Bukan ini maksud perkataan Bunda. Radith dan Reno pun terdiam padahal tadi mereka masih adu mulut layaknya anak
SD. "Semua yang sudah terjadi jangan diungkit, Bu Elisa. Biarkan semuanya menjadi pelajaran berharga bagi kita semua." Ayah akhirnya angkat suara membuat suasana
sedikit mencair. Mau tahu siapa yang akhirnya mencairkan suasana?
"Perut Dave lapar.... Kita belum sampai ya Opa? Dave minta cokelat sama Uncle ngga dikasih. Opa punya apa? Atau Oma? Eyang Uyut?"
"Ini Eyang Uyut punga roti, Dave mau?" Tawar Bu Elisa yang menghapus cairan bening di ujung matanya.
"Mau Eyang Uyut. Terima kasih bayak Eyang. Rotinya isi cokelat." Dave pun sudah sibuk memakan roti itu yang sudah pasti membuat satu mobil travel itu tertawa
kembali. "Dave kenapa bisa suka banget sama cokelat sih?" Tanya Reno yang mendapat delikan mata dari sang istri.
"Coba tanya sama dirinya, Mas. Kenapa suka banget sama cokelat?" Tanya Rara pada Reno yang kini tampak berpikir keras.
"Bapak kan juga suka cokelat, Ra. Karena cokelat Bapak ketemu Ibumu." Pak Dipta ikut bersuara.
"Loh.. Kayak Reno ya, Om. Dulu Reno kecelakaan terus dapat cokelat buatan Rara. Mana pake ngga ngaku lagi sama Mas." Ucap Radith yang sepertinya masih
senang mengukit kejadian di rumah sakit dulu.
"Ternyata Reno dan Dipta ini sama ya? Lucu juga." Komentar Bunda yang baru sadar kalau putra bungsunya mirip dengan sang besan.
"Iya, Mba kami sama. Bedanya Reno berhasil menemukan Rara lebih baik dari saya." Ucapan Pak Dipta yang membuat Bunda merasa salah berbicara lagi. Bukan
ke sini arah pembicarannya.
"Kalau gitu nanti Dave ketemu dengan cintanya Dave karena cokelat dong?" Untungnya selalu ada Dave yang mencairkan suasana canggung di mobil yang rasanya
tidak sampai-sampai itu. "Mas.. Dave mancing minta dibahas tuh. Nanti kalau disebut namanya si princess angsa ngamuk lagi. Minta pembelaan Bunda." Reno memprovokasi sang kakak
yang sudah menggeleng-gelengkan kepala.
"Kok ngga ada yang jawab pertanyaan Dave?" Dave protes karena merasa diabaikan.
"Dave memangnya mau cari perempuan yang bisa buat cokelat?" Tanya Rara menanggapi Dave.
"Iya Aunty cantik. Pokoknya harus bisa buat cokelat yang rasanya ngalahin buatan Oma, Mommy dan Aunty." Jawab Dave dengan mantap.
"Jadi nanti di rumah Radith ada sayembara Pangeran Davendra mencari permaisuri dong ya.." Ayah kembali bersuara.
"Iyaa, Opa. Ketua jurinya Aunty Rara. Pembuat cokelat paling hebat kalau dibanding Mommy sama Oma." Tanggap Dave yang membuat semua orang ingin memeluk
Dave saat itu juga. Melihat bagaimana keluarga ini tertawa bersama, hati Bu Elisa terasa tercubit. Andai dulu ia tidak keras hati dan buta karena harta dan tahta. Maka mungkin
ia juga merasakan hal yang membahagiakan seperti ini. Sayangnya penyesalan selalu datang setelah semua berlalu dan tak bisa kembali.
***** "Tari, ini Mas Dipta, Sayang. Kamu apa kabar di sana? Putri kita sudah berusia 26 tahun sekarang. Itu artinya sudah 26 tahun, Mas ngga ketemu kamu dan
lebih tepatnya tidak akan pernah bertemu kamu lagi, Sayang. Maafkan Mas yang bodoh karena tidak bisa menemuimu lebih cepat dari ajal yang menjemput kamu,
Tari. Maafkan Mas." Pak Dipta menangis di samping pusara Mentari Abadi. Semua yang ikut ke sana pun ikut menangis mendengar kalimat penyesalan dan cinta dari Pak Dipta untuk sang istri.
Dave dan Varsha dititipkan pada Budhe Martini yang tidak ikut ke pemakaman. Rara yang ikut bersimpuh di seberang sang Bapak ikut menangis. Ia bisa merasakan
aura cinta sejati yang keluar bersama air mata Pak Dipta. Reno yang berada di samping Rara, merangkul bahu sang istri dengan erat.
Bunda dan Neona memeluk tubuh Bu Elisa yang sudah bergetar hebat karena menangis. Radith dan Bapak menutupi kesedihan mereka di balik kacamata hitam mereka
masing-masing. "Mentariku, terima kasih karena merawat Rara dengan sangat baik. Dia tumbuh menjadi wanita yang cantik, cerdas dan berhati mulia. Maaf jika Mas hanya membawa
duka untuk kehidupanmu. Mas mencintaimu dengan teramat sangat, Sayang. Layaknya cinta sang surya pada semesta yang tak pernah meminta balas. Mas ingin
menyusul kamu di sana, Sayang. Mas ingin bersama kamu lagi. Jangan tinggalin Mas, Mentariku. Mas mencintaimu...." Dipta menangis tergugu dan memeluk pusara
yang bertuliskan nama sang istrinya itu. Bapak dan Radith pun ikut bersimpuh dan memegang bahu Pak Dipta yang berguncang dengan hebatnya.
"Mas.. Rara ngga kuat ngeliatnya. Cinta Ibu sama Bapak yang begitu dalam kenapa tidak diizinkan Tuhan untuk bersatu? Padahal cinta mereka benar. Kenapa
Tuhan justru mengizinkan cinta para orang ke 3? Yang jelas-jelas menyakiti pihak lain." Rara memeluk suaminya dengan sangat erat. Hanya Reno yang bisa
membuatnya tenang dan merasa lebih baik.
"Ssstss.. Jangan membandingkan seperti itu, Sayang. Jangan menyalahkan Tuhan atas apa yang terjadi. Tuhan selalu punya maksud yang tidak kita tahu. Kita
hanya melihat dari jauh apa yang terjadi pada mereka tapi tidak tahu apa yang sebenarnya mereka alami." Reno menghapus air mata Rara yang selalu membuat
hatinya terasa sangat sakit.
Kini giliran Bu Elisa yang bersimpuh di depan pusara menantu yang dulunya tidak ia restui itu.
"Mentari... Maafkan Ibu, Nak. Maafkan kekerasan hati Ibu. Ibu sudah membuat Dipta, kamu dan Rara menderita bertahun-tahun. Ibu memisahkan kamu dengan anak
Ibu. Padahal Dipta adalah cintamu dan kamu adalah cintanya Dipta. Maafkan hinaan Ibu padamu. Nyatanya kamu adalah wanita bermartabat yang melahirkan seorang
putri berhati bagaikan malaikat. Hukum Ibu Tari, hukum Ibu. Kalau Ibu tidak masuk surga, asalkan itu bisa menebus kesalahan Ibu padamu, Ibu ikhlas, Mentari.
Kalau nyawa Ibu bisa ditukar untukmu, Ibu juga ikhlas." Bu Elisa menangis sangat keras hingga siapa saja yang mendengarnya pasti akan merasa miris dan
ikut menangis. Bunda dan Neona tiba-tiba terpekik saat Bu Elisa pingsan di tempat. Dengan sigap, Radith dan Ayah membawa Bu Elisa ke dalam mobil. Pak Dipta masih memeluk
pusara sang istri sedangkan Rara masih dalam pelukan Reno.
Beberapa menit kemudian, sang nenek siuman namun kembali pingsan saat mengingat dimana ia berada. Demi kesehatan Bu Elisa, semuanya pulang ke rumah Budhe
kecuali Pak Dipta, Rara dan Reno.
"Pak, sudah mau magrib. Kita pulang yuk." Rara mengajak sang Bapak untuk pulang namun ditolak mentah-mentah oleh Pak Dipta.
"Biarkan Bapak di sini, Rara. Sekian puluh tahun Bapak tidak tahu dimana Ibumu berada. Kini Bapak diberikan kesempatan bertemu Ibumu meski Tuhan hanya
mengizinkan Bapak bertemu dengan pusara Ibumu. Tinggalkan Bapak. Reno, ajak istrimu pulang. Ini perintah Bapak mertuamu." Pak Dipta menggunakan nada tegas
anti bantah yang membuat Reno menganggukan kepala.
"Beri Bapak waktu, Sa. Biarkan Bapak dulu. Kita pulang ya. Dedek Varsha pasti sudah menunggu Mama dan Papanya di rumah." Reno menatap Rara dengan sangat
lembut membuat yang ditatap justru menangis dengan keras.
"Kalau ajal datang, Rara mau duluan ya, Mas. Rara ngga bisa menjalani kehidupan ini tanpa Mas. Rara ngga sanggup." Rara memeluk Reno dengan sangat erat.
"Aku yang lebih ngga sanggup lagi, Sa. Langitku runtuh kalau kamu ngga ada di sampingku. Jangan berkata seperti itu, Sayang. Lebih baik kita berdoa agar
Tuhan mengizinkan kita bersama hingga semua tugas kita sebagai orang tua selesai bersama-sama. Aku mencintaimu Sayang dalam nama dan izin Tuhan." Reno
memeluk istrinya sebelum mereka berdua berjalan meninggalkan Pak Dipta dengan berat hati.
Penjaga makam yang berdiri tak jauh dari keberadaan Pak Dipta pun tersenyum. Ia tersenyum karena dari mata batinnya, ia melihat bayangan wanita cantik
yang menangis. Bayangan wanita itu memeluk pria yang juga sedang menangis di samping pusara bertuliskan Mentari Abadi Binti Abdullah Abadi.
*** BAB 35 1.K 323 62 Writer: thelapislazuli by thelapislazuli Setelah tiga hari dua malam berada di Jogja, rombongan Keluarga Trisdiantoro dan Bu Elisa pun kembali ke Jakarta. Hanya Pak Dipta lah yang memilih untuk
menetap di Jogja. "Hanya Ibumu yang Bapak cari dan butuhkan selama ini, Ra. Meski tidak bisa bertemu secara fisik, tapi Bapak masih bisa mengunjungi makam Ibumu setiap hari
dan merawatnya. Itulah yang mau Bapak lakukan sekarang." Begitu perkataan Pak Dipta yang coba dimengerti Rara.
Di satu sisi Rara paham bagaimana rasanya menjadi bapak. Namun di sisi lain, ia juga tidak ingin kalau bapaknya melupakan kesehatan lantas menyusul kepergian
ibunya. "Sayangnya Langit Moreno kok wajahnya mendung? Aku setuju liburan ke Jogja buat ngerayain ulang tahun kamu loh. Biar kamu happy. Ayo sekarang cerita sama
aku, ada apa?" Reno sudah duduk di samping Rara dan merangkul bahu sang istri.
"Mas.." Rara pun mengangkat wajahnya dan mengusap pipi sang suami.
"Kenapa sayang?" Tanya Reno balas mengusap pipi Rara.
"Rara khawatir sama keadaan Bapak. Aku ngga mau Bapak nyusul Ibu dengan sengaja begitu." Rara meletakkan kepalanya di bahu Reno.
"Jangan berpikiran seperti itu Rissayangku. Kasih Bapak waktu ya. Aku paham apa yang dirasakan Bapak saat ini. Mungkin kalau dulu aku ketemu kamu kayak
Bapak yang ketemu Ibu, aku akan seperti itu juga." Reno membawa Rara ke dalam pelukannya.
"Maafkan Rara, Mas." Rara mengeratkan pelukannya.
"Aku bilang gitu bukan karena mau bikin kamu minta maaf, Sayang. Aku cuma pernah di posisi Bapak saja. Kamu mau denger ngga cerita detail pas aku pulang
dari OSN waktu itu?" Reno menawarkan cerita yang selama ini tidak ingin ia ceritakan pada Rara. Bukan mau merahasiakan. Tapi Reno tak mau membuat Rara
merasa bersalah. "Iyaa! Mas Reno tuh belum pernah cerita detailnya. Pokoknya selalu bilang 'aku cari kamu'. Ayo cerita, Mas." Pinta Rara dengan semangat. Reno memang pintar
mengalihkan perhatian Rara.
"Selesai aku cerita, Bang Reno aku panggil ya? Biasa jarem." Ucap Reno dengan wajah tengil yang membuat Rara justru merona.
"Iya deh panggil Bang Renonya. Kangen juga aku sama dia." Tanggap Rara yang membuat Reno bersemangat.
"Ya sudah sini, aku mau cerita sambil meluk kamu dari belakang. Oh iya satu lagi. Janji jangan minta maaf setelah denger cerita aku ya." Pinta Reno yang
diangguk oleh Rara. Reno memeluk pinggang Rara dari belakang dan meletakan kepalanya di ceruk leher sang istri lantas mulai bercerita.
****** Setelah mendapatkan telepon dari Mbo' Lastri yang mengabarkan Radith mengalami musibah di bengkel. Reno dan Neona langsung pulang ke Jakarta, melupakan
euforia kemenangan yang baru saja diraih oleh Reno.
Sepanjang perjalanan, pikiran Reno terbagi dua. Antara keadaan sang kakak dan juga keadaan Rara yang tidak bisa ia hubungi.
"Ren, Mba langsung ke rumah sakit ya. Kamu ke rumah saja. Nanti Mba bilang Bunda." Neona berkata dengan wajah penuh air mata yang membuat Reno sudah tidak
bisa menolak permintaan calon kakak iparnya itu.
"Besok pagi, Reno ke rumah sakit ya, Mba. Reno pulang dulu ke rumah. Titip salam sama Bunda dan Ayah." Jawab Reno lantas masuk ke dalam taksi. Sepanjang
jalan ia masih mencoba menghubungi Rara. Gawatnya kini nomor itu di luar jangkauan.
'Kamu kemana sih Sa? Kamu kenapa menghilang? Aku sudah bawa syarat kamu. Kamu kemana? Kamu ngga ingkar janji kan?' Kalimat itu terus Reno ucap ulang di
dalam hatinya. Sesampainya di rumah, Reno membongkar tas nya dan memperhatikan medali yang sudah ada di tangannya.
"Ini syarat kamu kan Sa? Besok kamu ngga boleh nolak aku. Pokoknya kamu harus terima aku!" Ujar Reno dengan mantap hingga suaranya bergema di rumah yang
kosong itu. Semua orang sedang berada di rumah sakit termasuk para ART dan supir keluarga ini.
Ke esokan harinya, Reno sengaja menunda kedatangannya ke rumah sakit. Reno memilih pergi ke sekolah yang saat ini sudah selesai menjalani masa UAS. Sebagai
anak olimpiade, Reno mendapatkan dispensasi dari kewajibannya mengikuti UAS.
Ketika sampai di sekolah, semua orang menyambut dan memberikan selamat pada Reno dengan sangat meriah dan ramai. Namun sayangnya semua itu ditanggap biasa
saja oleh Reno. Bukannya sombong, tapi yang ingin Reno lihat saat ini hanya lah Rara seorang.
Reno mengelilingi sekolah mencari keberadaan sang pujaan hati. Mencari di kelas Rara, perpustakaan, kantin, uks, ruang KIR, ruang guru, ruang bimbingan
konseling namun semua hasilnya sama, nihil. Hingga akhirnya Reno bertemu Pak Leon.
"Hai Moreno! Selamat untuk medali emasnya! Kamu membanggakan kami dan sekolah ini, Nak." Pak Leon menepuk bahu the absolute winner OSN Matematika kebanggaan
sekolah ini. "Terima kasih banyak, Pak Leon. Tanpa bimbingan Bapak, saya juga tidak bisa apa-apa. Oh iya Pak, Bapak lihat Rissa?" Tanya Reno tanpa basa-basi.
"Rissa? Clarissa? Bukannya dia sudah pindah ya?" Tanya Pak Leon balik.
"Pindah? Maksudnya pindah gimana ya Pak?" Tanya Reno dengan jantung yang berdebar-debar.
"Sebelum kamu berangkat OSN, dia pamitan sama guru-guru di sini. Katanya dia harus pindah. Meski ngga bilang kemananya."? Keterangan dari Pak Leon ini
membuat Reno merasa ada jutaan ton baja menimpa hatinya.
"Ini yang Bapak ceritain Clarissa Aurora Pradipta? Bapak punya alamat rumahya Rissa?" Tanya Reno bertubi-tubi.
"Iyaa Clarissa Aurora, Moreno. Sayangnya Bapak tidak punya alamat pastinya. Mungkin kamu bisa meminta ke Bimbingan Konseling atau TU kalau diperbolehkan."
Pak Leon memberi solusi pada Reno yang sudah tampak bersedih dan lemas. Pak Leon sendiri hanya tahu daerah rumah siswi bimbingannya itu namun ia tidak
tahu dimana letak tepatnya.
"Baiklah, Pak. Terima kasih atas infonya, Pak Leon. Saya pamit dulu." Jawab Reno yang sudah berlari kencang menuju ruang bimbingan konseling.
"Hmm.. Ibu sendiri tidak tahu alasan mengapa Clarissa pindah dan kemana pindahnya. Kalau kamu meminta alamatnya, ini sulit Moreno. Kami punya prosedur
untuk menjaga kerahasiaan data siswa dan siswi." Ujar Bu Dini saat ditanya tentang kabar pindahnya Rara dari sekolah ini.
"Ya ampun, Bu. Ini kan cuma alamat. Saya juga tidak akan berbuat kriminal di sana." Reno berkata dengan wajah memelas.
"Apa jaminan kamu kalau saya kasih alamat Clarissa?" Tanya Bu Dini yang mulai kasihan pada Reno.
"Jaminan saya Ibu Neona Jyotika Bagaskara, Bu." Jawab Reno mantap. Meski ia belum bilang pada Neona, namun Reno yakin calon kakak iparnya itu akan setuju
menjadi jaminan Reno. Toh Reno memang tidak berniat buruk.
"Baiklah. Ini saya berikan." Bu Dini pun memberikan alamat Rara pada Reno.
Tanpa menunggu apa-apa, Reno mengendarai motornya menuju alamat yang tertulis rapi di kertas berwarna kuning itu. Setengah jam perjalanan yang harus Reno
tempuh hingga ia menemukan rumah Rara. Reno pun turun dari motor lalu mengetuk pintu rumah kontrakan petak yang tampak tak berpenghuni.
"Cari siapa, Dek?" Suara seorang wanita tiba-tiba terdengar di belakang tubuh Reno.
"Saya cari yang ditinggal di sini, namaya Clarissa. Ini rumahnya kan Bu?" Tanya Reno dengan semangat.
"Clarissa? Anaknya Bu Tari?" Tanya si Ibu memastikan.
"Iya, Bu." Jawab Reno meski ia tidak tahu siapa nama Ibu dari Rara.
"Sudah pindah, Dek. Sudah sepekan yang lalu." Si Ibu memberi keterangan yang sama dengan Pak Leon.
"Pindah kemana ya, Bu?" Tanya Reno mulai panik.
"Wah, Ibu ngga tahu, Dek. Kayaknya pindah jauh. Soalnya hanya bawa baju." Jawab si Ibu dengan wajah yang sama bingungnya dengan Reno. Setelah mengucapkan
terima kasih, Reno meminta alamat pemilik kontrakan, ketua rt dan rw setempat. Berharap salah satu dari mereka mengetahui keberadaan Rara. Namun hasilnya
tetap sama, nihil. "Kamu dimana Sa? Dimana?! Kamu harus tahu aku hampir gila cari kamu sepekan ini!" Ucap Reno dengan nada frustasi sambil melempar dart ke papan target.
"Kalau kamu nolak aku, bilang Sa. Jangan begini caranya. Kamu mau nguji aku, ha?!" Reno melampiaskan emosinya dengan melempar dart yang semakin tidak tepat
sasaran itu. "Reno... Kalau kamu emosi, dart itu tidak akan pernah tepat sasaran. Sama kalau kamu emosi, apa yang kamu cari tidak akan pernah ketemu." Suara Ayah pun
menginterupsi kegiatan Reno. Reno menoleh lantas memeluk sang Ayah. Ia menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada sang Ayah. Membuat Abimanyu Trisdiantoro
itu menghela nafas karena prihatin.
"Dengarkan hati kecilmu, Reno. Kalau kamu yakin dia yang terbaik, carilah ia sampai ketemu dan serahkan proses pencarianmu pada Tuhan. Mantapkan hatimu
sebelum mencarinya. Tanya pada dirimu untuk apa kamu mencarinya. Kamu ingin kehadirannya atau butuh kehadirannya." Ucap Ayah yang saat itu merasa Reno
sedang mengalami cinta monyet masa putih abu-abu.
Reno merenung dan memikirkan semua perkataan Ayahnya. Selain itu, Reno juga bercerita pada Neona yang juga memberikan nasihat yang mirip dengan Ayahnya.
Setelah bekutik dengan semua urusan pernikahan Radith dan Neona, Reno mencoba mencari Rara yang tidak meninggalkan jejak sedikit pun. Bagi Reno, ini bahkan
lebih sulit dari mengerjakan soal olimpiade matematika yang penuh jebakan itu.
Bulan berganti bulan hingga tahun berganti. Reno masih mempertahankan keinginan hatinya untuk menemukan Rara sang pujaan hati. Hingga Reno memilih kuliah
S2 di Inggris untuk menguji hatinya. Nyatanya setelah gelar master ia dapatkan, hatinya tidak berubah. Hanya Clarissa Aurora lah yang ditunggu dan dibutuhkan?seorang
Langit Moreno. "Aku butuh kamu, Sa. Aku cinta kamu sampai saat ini. Ini bukan sekedar cintanya remaja ingusan. Tapi aku mencintaimu hingga ajal menjemputku. Tuhan, tolong
jaga dimanapun Clarissa berada. Katakan padanya, ada Reno yang mencari dan menunggunya. Ada Reno yang menjaga perjanjian hatinya. Sebelum kami bertemu,
jangan dulu panggil salah satu dari kami untuk menghadap Mu, Tuhan." Reno berdoa setiap malam pada Tuhan untuk cintanya ini.
****** "Aku ngga akan minta maaf, Mas. Aku justru mau makasih banyak sama Mas. Terima kasih karena selalu melibatkan Tuhan dalam cinta kita. Aku sayang dan cinta,
Mas Reno." Ujar Rara yang membalik tubuhnya lantas memeluk tubuh pria yang ia cintai dengan sangat itu.
"Jadi ngga usah aku detail-in ya setiap tahunnya aku ngapain buat cari kamu?" Tanya Reno sambil menatap mata Rara dengan intens.
"Ngga usah. Kelamaan ah, Mas. Aku sudah tahu, Mas pasti melakukan hal-hal terbaik untuk mencari aku." Ujar Rara yang membuat Reno tersenyum menggoda.
"Bilang aja ngga sabar nungguin Bang Reno dateng.. Hayo ngaku!" Reno menggoda Rara dengan alis yang sengaja ia naik turunkan.
"Kalau godain aku terus, batal yaa.." Ancam Rara yang membuat Reno berubah menjadi kalem.
"Jangan batal dong, Neng. Abang Reno kan sudah datang. Yuk, Neng." Saat Reno baru akan memulai aktivitasnya, Varsha menangis dengan keras dari box bayinya.
Membuat Rara langsung bangkit meninggalkan Reno yang mengelus dada, prihatin.
"Pantesan Mas Radith punya anak cuma satu. Itu pasti siasatnya biar bisa kelonan sama Mba Neona terus deh." Gerutu Reno sambil ikut mengecek keadaan putri
kecilnya. Ternyata Varsha buang air kecil sehingga tidurnya terganggu lantas ia menangis.
Di tempat lain... "Uhuuk uhuuuk..."
"Minumnya pelan-pelan Daddy. Mommy belum ngantuk kok." Neona mengusap punggung sang suami yang sedang terbatuk saat meminum air putih. Itu kebiasaan Radith
sebelum ia melakukan aktivitas 'olahraga' bersama sang istri.
"Ini pasti ada yang ngomongin Daddy, deh. Kalau ngga Lendra ya Reno." Tuduh Radith yang baru saja tersedak air putih.
"Jangan nuduh-nuduh, Daddy. Lagian ngapain coba mereka jam segini ngomongin Daddy?" Neona menggelengkan kepala tanda tak setuju dengan pemikiran suaminya.
"Mereka itu hobi ngomongin kita, Na. Eeh.. Sudah yuk jangan bahas mereka. Jadi kan yang tadi?" Tanya Radith yang sudah memeluk sang istri.
"Jadi ngga ya? Mommy tiba-tiba ngantuk." Goda Neona pada suaminya itu.
"Masa jadi ngantuk sih, Na. Serius ngantuk?" Tanya Radith yang kini berwajah mirip Dave saat sedang merajuk minta cokelat.
"Mukanya lucu banget sih, Daddy. Bercanda kook. Sini-sini sama Mommy." Neona memeluk dan mengecup bibir manyun milik Radith. Membuat yang punya bibir terbang
ke langit. Di kamar Lendra kehebohan juga terjadi.
"Aaaaw!" Lendra teriak saat dirinya tidak sengaja menggigit lidahnya dengan keras.
"Mas Lendra ngapain sih sampai berteriak? Bikin Lala kaget aja." Lala yang baru keluar dari kamar mandi pun protes akan kelakuan suaminya yang selalu berlebihan
itu. "Lidah aku kegigiit... Sembuhiiiin." Lendra merajuk ala anak kecil yang membuat Lala menyipitkan matanya.
"Manja! Makanya makan yang hati-hati." Omel Lala yang melihat suaminya masih mengemil di saat jam sudah menunjukkan pukul 9 malam.
"Ini pasti ada yang ngomongin. Kalau ngga Reno ya Radith deh." Lendra menuduh layaknya Radith tadi.
"Kok malah nuduh-nuduh orang. Ngga ada hubungannya ya kegigit lidahnya sama diomongin orang. Mitos, Mas." Ucap Lala sambil mencari obat agar bekas gigitan
itu tidak berubah menjadi sariawan. Kalau Lendra sariawan, hidup Lala akan seperti pasar di H-1 lebaran. Heboh.
"Ngapain itu bawa obat? Ngga mau ah! Rasa obatnya aneh." Lendra menutup mulutnya namun otaknya mulai beride.
"Ayo Mas, buka mulutnya. Biar ngga sariawan. Kalau sariawan jangan nangis-nangis ya?" Ujar Lala dengan galak.
"Seneng deh disuruh buka mulut sama istri. Bisa aja sih, La modusnya pakai obat." Lendra pun mendapat pukulan bantal dari sang istri.
"Mesuuuum! Lala tidur sama Zahra saja pokoknya." Lala merengut dan bersiap meninggalkan suaminya yang kini sudah heboh seperti biasanya.?
***** Setelah mengurus berkas-berkas yang dibutuhkan selama dua pekan, sebuah panti asuhan impian Rara pun resmi berdiri hari ini. Rara tampak senang dengan
panti asuhan itu. Panti Asuhan Langit Beraurora adalah nama yang diberikan Reno pada panti asuhan milik mereka berdua. Reno menjual apartemen dan dua mobil mewah koleksinya
untuk membangun rumah panti asuhan ini. Kalau kata Rara begini,
"Sebaik-baiknya harta itu yang bermanfaat buat orang lain, Mas. Mobil Mas Reno sudah banyak, lagipula apartemennya sudah tidak pernah ditempati." Pernyataan
ini jelas disetujui oleh Reno.
"Kamu bahagia, Sayang?" Tanya Reno pada Rara yang matanya tampak berkaca-kaca.
"Sangat, Mas. Makasih karena sudah mewujudkan impian Rara." Rara memeluk Reno dengan erat.
Bunda, Neona, Lyra, Ibunya Neona dan Lala pun ikut bahagia dan bersemangat saat bertemu dengan anak-anak penghuni panti asuhan milik Rara dan Reno ini.
Medal Of Love Karya Thelapislazuli di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Gue bangga sama lo, Ren. Dermawan dan tidak sombong ternyata." Lendra menepuk bahu Reno dengan keras.
"Hahaha untungnya punya istri kayak Rissa, Mas. Kalau yang lain mintanya resort kali ya." Jawab Reno pada Lendra yang juga memiliki yayasan beasiswa pendidikan
bersama Radith. "Berbagi itu hukumnya wajib. Apalagi jika kita berlebih. Untungnya kita semua sepaham yang punya istri yang sama pemikirannya." Lendra menanggapi dengan
bijak. Membuat Reno menganggukan kepala tanda setuju. Lendra kalau sedang tidak kumat memang mengagumkan seperti saat ini.
Setelah acara pembukaan dan syukuran pada pagi itu, Reno membawa Rara dan Varsha ke sebuah tempat. Ini kado Reno untuk keluarga kecilnya.
"Kata Ayah, seorang permaisuri akan bahagia jika tinggal di istananya sendiri. Rissayangku, ini istana kita. Kita akan tinggal di sini bersama anak-anak
kita." Reno menunjukan rumah yang sudah ia siapkan untuk Rara secara diam-diam. Rumah yang besar dengan halaman yang luas.
"Mas Renoooo!! Makasih banyak yaa Masku sayang. Rara suka sama rumahnya. Halamannya luas." Rara memeluk Reno dengan sangat erat. Suaminya ini memang selalu
bisa membuat hati Rara berbuncah bahagia.
"Sama-sama sayangku cintaku negeriku. Eh tunggu. Satu lagi hadiahnya." Setelah mereka puas melihat-lihat rumah yang sudah lengkap dengan perabotannya,
Reno pun mengajak Rara ke sebuah tempat lagi.
"Ini ruko yang Mas beli untuk toko cokelat kamu, Sa. Rukonya masih satu kompleks sama rumah kita. Jadi kamu ngga usah jauh-jauh ke tokonya. Kamu suka?"
Tanya Reno pada Rara yang sudah menangis bahagia. Sebuah toko bernama MoCla's Chocolate dihadiakan Reno sebagai kado terakhir untuk Rara.
"Tidak mungkin aku ngga suka, Mas. Ini justru bikin aku bingung. Aku pasti ngga bisa balas semua hal yang Mas berikan ke aku." Ujar Rara sambil memeluk
Reno. "Cukup selalu ada di sampingku, genggam tanganku dengan erat dan kita berjalan bersama. Itu sudah lebih dari cukup, Sayang. Semua materi ini bisa kita
cari. Kalau cinta kita? Ini satu-satunya yang Tuhan kasih dan harus dijaga oleh kita berdua sampai kapan pun." Reno mencium puncak kepala sang istri yang
semakin memeluknya dengan erat.
"Aku akan selalu bersama Mas dan anak-anak kita. Aku janji, Mas. Aku mencintai Mas." Rara mengucapkan kalimat janji dan cintanya.
"Aku lebih mencintaimu, Rissayangku." Balas Reno dengan senyum yang membuat Rara merasa jatuh cinta lagi pada suaminya.
*** Bab 36 Rencana kepindahan keluarga kecil Reno ke rumah baru ditentang oleh Bunda.
"Rumah ini nanti jadi sepi. Reno jangan tega dong sama Bunda. Dulu Radith sudah tega sama Bunda." Rengek Bunda pada putra bungsunya.
"Kok tega? Reno ngga tega sama Bunda kok. Cuma, Reno mau punya istana sendiri. Masa Presdir DE rumahnya numpang orang tua." Tanggap Reno yang justru membuat
Bunda merengut. "Kita kan setiap akhir pekan akan tetap nginep di sini, Bunda." Rara mencoba membujuk Bunda.
"Bener ya nginep ke sini? Bunda tunggu loh. Kalau ngga, rumah kamu sama rumahnya Radith Bunda datangin." Ancam Bunda yang membuat semua orang tertawa.
"Mas, Bunda berubah jadi debt collector. Nyantronin rumah orang." Reno pun mendapat pukulan ringan dari Bunda.
"Bunda posesif sama menantunya, Ren. Mas sampai dibilang tega coba." Tanggap Radith atas perilaku sang Bunda.
"Iyaa Ibunda Ratu Trisdiantoro. Reno, Rara dan Varsha akan tetap mengunjungi rumah ini kok. Sama kayak keluarganya Mas Radith. Jadi bolehin pindah ya?"
Reno merayu sang Bunda. "Lagian Bunda bukannya bisa happy-happy sama Ayah? Kan bebas berduaan di rumah." Tambah Reno yang justru kembali kena pukul oleh sang Bunda.
"Naah ini baru anak Ayah! Tahu saja apa yang membuat Ayahnya senang." Ayah angkat suara menggoda Bunda.
"Na, siap-siap besok Radith juga begitu kalau Dave sudah punya keluarga." Ucap Bunda pada Neona yang sudah tertawa.
"Ngga usah nunggu Dave punya keluarga. Mas Radith kan sudah sering ngungsiin Dave ke sini. Itu memang siasatnya biar bisa mesra-mesraan sama Mba Neona."
Reno membuat wajah Neona memerah karena malu.
"Reno... Wajah Mba kamu sampai merah gitu loh. Murid kurang ajar ya kamu!" Bunda mengatakannya dengan tawa yang terderai dari mulutnya.
"Wahahaha maafin Reno, Bu Neona. Duuh kok rasanya pingin ngulang masa-masa Mas Radith masih ngejar Bu Neona deh." Celoteh Reno yang membuat Rara angkat
suara. "Kalau itu diulang, Mas Reno mau pacaran sama Nadhira lagi? Terus aku hilang lagi?" Tanya Rara dengan galak.
"Haah?! Ngga! Aduuhh bukan itu maksudnya. Mati deh Reno kalau nyonya ngambek. Sayangku ngga gitu maksudnya." Reno panik yang membuat Neona tertawa lepas.
"Bagus, Ra! Kamu memang anggota The Nyonya! Makanya jangan buat Mba malu, Ren!" Neona merasa senang karena akhirnya ia bisa membalas ucapan Reno meski
melalui Rara. "Ya ampuun... Tunggu pembalasan The Tuan ya, Mba!" Ancam Reno tak mau kalah.
"Eeh jadinya dibolehin kan Bun, kalau Reno sama Rara pindah?" Reno mengembalikan topik pembicaraan yang sudah kemana-mana itu.
"Boleh... Asalkan janji harus ke sini tiap akhir pekan. Radith dan Neona juga ya.." Pinta Bunda yang diangguki dua pasangan itu bersamaan.
"Makasih ya Bunda. Bunda sudah sayang banget sama kami." Neona berkata sambil memeluk Bunda bersama Rara.
"Makasih juga karena Bunda sudah melahirkan Reno yang luar biasa yang akhirnya menjadi suami Rara. Bunda itu ibu mertua yang sangat baik bagi kami." Rara
menambahi pernyataan Neona.
"Sama-sama menantu-menantu kesayangan Bunda. Kalian memang wanita yang pantas menjadi pendamping putra-putranya Bunda. Terus dampingi mereka ya, Na, Ra."
Bunda mengeratkan pelukan pada kedua menantu yang sangat ia cintai itu. Neona dan Rara pun mengangguk setuju serta berjanji untuk selalu ada di samping
suami mereka masing-masing.
****** Hari ini Rara sedang menunggu kepulangan Reno dengan tidak sabar. Rara menunggu sang suami di halaman depan dari rumah yang sudah ia tempati bersama sang suami selama lima bulan ini.
Ya, waktu terasa bergerak dengan cepat terutama setelah keduanya diizinkan pindah ke rumah yang disebut Reno sebagai istananya Langit Aurora.
Tak berapa lama kemudian, mobil Reno tampak memasuki garasi rumah mereka. Hal ini tentu saja membuat Rara berlari menuju sang suami yang sedang memarkirkan
mobilnya. "Mas Renoooo!" Rara terpekik dan memeluk sang suami. Reno yang baru keluar dari mobil pun kaget dengan penyambutan Rara yang sangat heboh ini.
"Sayang? Kamu kenapa sampai lari-lari gitu sih? Kangen sama aku ya?" Tanya Reno menggoda sang istri.
"Iiih ayoo pokoknya aku punya kejutan buat Mas Reno." Rara menarik tangan Reno dengan penuh semangat. Yang ditarik tangannya tentu lebih bersemangat lagi.
Pikiran-pikiran mesum pun mulai terbit di kepala Reno.
"Kalau kangen, akunya mandi dulu dong sayang. Lagian ini masih sore, nanti kalau Varsha menangis bagaimana?" Tanya Reno yang justru mendapat tatapan tajam
dari Rara. "Iiih pikirannya ke sana mulu!" Begitu protes Rara yang tetap menarik tangan Reno menuju kamar mereka.
"Gimana ngga mikirnya ke sana, kamu aja sekarang narik aku ke kamar. Apa lagi coba?" Protes Reno yang sebenarnya kecewa karena harapannya pupus.
"Kan ngambek! Sudah mau nambah buntut tapi masih manja aja kayak gitu." Ucap Rara saat keduanya sampai di kamar.
Rara membuka laci meja riasnya sedangkan Reno mencoba menelaah perkataan Rara. Tanpa berpikir panjang, Reno pun memeluk Rara dengan sangat erat.
"Pasti mau bilang kamu hamil lagi kan? Pasti di sini ada dedek bayi lagi ya? Jawab sayangku." Tanya Reno tak sabaran.
"Iyaaaaps! Mas benar! Niih lihat. Tadi siang aku cek ke dokter. Sebelumnya juga sudah cek sendiri. Ini hasilnya." Rara dengan bangga menunjukan kertas
yang menyatakan Rara sedang mengandung dua bulan.
"Makasih sayangku.. Makasih! Akhirnya aku punya anak lagi." Reno memeluk dan mencium seluruh hal yang bisa ia cium dari wajah istrinya. Membuat Rara ikut
menangis karena terharu. "Varshaaa.. Kamu akan punya adik sayangku. Kamu ngga sendirian di sini." Reno kini mengajak bicara pada bayi mungil nan cantiknya itu.
Rara memeluk tubuh sang suami yang baru saja pulang kerja itu. Membuat Reno tersadar lantas menghindar.
"Aku bau dan kotor karena habis kerja, Sayang." Kata Reno pada sang istri yang justru merengut.
"Tapi aku mau pakai kemeja Mas Reno yang habis kerja ini." Ucap Rara dengan wajah memelas.
"Kook kamu kayak Mba Neona yang seneng banget sama keringat Mas Radith pas lagi hamil Dave?" Tanya Reno sambil membuka kemejanya.
"Ngga tahu, Mas. Pokoknya Rara mau pakai kemeja Mas Reno." Pinta Rara lagi.
"Iya sayangku. Ini kemejanya. Tapi jangan lama pakainya. Itu kotor soalnya. Mending peluk aku sini." Ucap Reno sambil menggoda Rara.
"Mana ada sih Presdir bajunya kotor? Duduk di ruangan doang kan?" Tanya Rara dengan wajah galaknya.
"Astaga jangan galak dong sayang. Iya.. Iyaa.. kamu boleh pakai selama yang kamu mau. Aku mau mandi dulu habis itu aku mau ngobrol sama dedek di perut.
Kalau boleh sih ngunjungin." Reno pun mendapat cubitan dari Rara.
****** Kabar kehamilan Rara membahagiakan semua orang. Bahkan Pak Dipta jadi kembali ke Jakarta karena mendengar anaknya sedang mengandung lagi. Rara pun senang
dengan kembalinya sang Bapak meski ia sedih karena melihat tubuh Bapaknya yang sangat kurus.
Dave pun ikut heboh karena ia akan mendapat sepupu baru.
"Dave akan punya adik lagi ya? Berarti Dave ngga jadi ah minta adik sama Daddy sama Mommy. Dedeknya kayak Dave apa kayak Varsha, Uncle?" Tanya Dave pada
Reno. "Kalau itu tidak tahu, Dave. Uncle maunya kejutan." Jawab Reno dengan sumringah. Dave pun meninggalkan Reno lantas bercerita tentang hal yang membahagiakan
itu pada ikan barunya meski itu dari Lendra lagi. Ikan yang dulu sudah mati.
"Duileeeh Papa tokcer amat sih. Selamat Ren, lo jantan ngga kayak Radith." Lendra berkata setelah Dave pergi dan sibuk dengan ikannya di ruang tamu.
"Astaga.. Mas Lendra mulutnya!" Lala yang baru keluar dari dapur rumah Bunda pun menegur Lendra.
"Mulut aku kenapa sih Lala? Ini memang bagian terseksi dari tubuh aku kok."
Plaaaak... "Yaampuuun sakit, Na! Ngapain sih pake pukul-pukul Mas!" Protes Lendra pada sang adik.
"Mas itu mengkontaminasi Mas Radith tahu ngga? Kesel deh Neona!" Ucapan Neona ini justru membua Radith bangkit dan mendekat ke arah sang istri lantas meminta
Neona mengikutinya. "Kan... Radith pasti bawa Neona ke kamar nih. Yuk La, tidur siang." Lendra menarik pinggang Lala ke kamar tamu sedangkan Reno menggeleng-gelengkan kepala
melihat kelakuan dua kakaknya itu.
"Kok tumben mau manggil Mas Radith? Ini kode apa gimana?" Tanya Radith sambil berbisik di telinga Neona.
"Iiiih tadi keceplosan manggilnya." Sangkal Neona.
"Kangen dipanggil gitu sama kamu, Na. Jadi inget masa pacaran kita dulu." Radith memeluk Neona di dalam kamarnya yang tidak pernah berubah sejak dulu hingga
sekarang. "Masa pacaran kita indah ya, Mas. Tapi masa rumah tangga kita juga sangat indah." Neona melanjutkan panggilan Mas nya terhadap Radith.
"Mas sayang kamu Neonaku. Makasih untuk semuanya. Ngga apa-apa ya, anak kita cuma satu. Mas jantan kok. Tapi Mas ngga mau ngeliat kamu kesakitan lagi pas
ngelahirin. Mas takut kehilangan kamu." Radith memeluk tubuh Neona yang kini tersenyum menatap sang suami.
"Mulutnya Mas Lendra itu jangan didengerin, Mas. Neona sudah bahagia kok meski kita cuma punya Dave. Bagi Neona, punya kalian berdua adalah hal terindah
dalam hidup Neona." Neona mencium bibir Radith yang selalu menjadi candunya setelah bekas luka bakar di tubuh Radith.
"Kamu masih suka bekas luka bakar di tubuh, Mas?" Tanya Radith saat Neona membuka kaos Radith lantas mengecup bekar luka tersebut dengan lembut.
"Ini favoritnya Neona, Mas. Ini bukti kalau cinta kita pernah diuji. Kalau dulu tonjokan Mas Lendra ngebekas, Neona bakal suka juga." Ucap Neona dengan
senyum yang membuat Radith jatuh cinta pada guru les matematika sang adiknya itu.
***** Kehamilan kedua Rara berlangsung agak heboh dari sebelumnya. Sifat manja tiba-tiba hadir pada Rara yang tentu saja membuat Reno senang bukan main. Kapan
lagi melihat Rara mau bermanja-manja padanya?
"Mas Renoooo..." Itu dia suara manja Rara yang menjadi favorit Reno baru-baru ini.
"Iya sayangku... Aku di sini." Ujar Reno sambil menahan senyumya. Ia tahu kalau Rara sebenarnya kesal dengan hormon kehamilan yang membuat dirinya sangat
berbeda itu. "Ngga jadi deh." Rara memutar tubuhnya lantas meninggalkan Reno di ruang kerjanya.
"Eits... Ngga ada yang ngga jadi kalau sudah memanggil Mas Reno." Ujar Reno pada Rara yang tampak merona karena malu.
"Ini sudah jam 9, Mas Reno ngga mau tidur?" Tanya Rara membuang wajahnya.
"Muka suami kamu masih ganteng dan di sini loh. Kenapa lihatnya ke rak buku aku?" Tanya Reno yang sudah memeluk istrinya.
"Hmm... Bang Renonya dateng ngga malam ini? Dedek minta dijenguk." Setelah berbicara itu, Rara berlari meninggalkan Reno yang sudah memekik bahagia.
"Saaaayang, Bang Reno dateng nih. Kamu ngapain lari-lari gitu. Nanti dedek kenapa-napa. Sini yuuk." Reno mengejar sang istri yang sudah berbaring di tempat
tidur. Membuat Reno merasakan indahnya dunia ini.
****** Hari ini Radith dan Reno bertukar anak. Neona sedang sangat ingin bermain dengan Varsha sedangkan Dave ingin ikut Rara dan Reno ke panti asuhan. Dave kini
sedang menunggu sang Uncle bersama Aunty cantiknya di toko cokelat milik Rara.
"Aunty, Uncle jemput kita berapa lama lagi?" Tanya Dave sambil membuka toples berisi cokelat miliknya.
"Masih satu jam lagi sepertinya, Dave. Ngga apa-apa kan?" Tanya Rara pada keponakan yang semakin hari justru semakin mirip dengan Reno, kelakuannya.
"Oh baiklaah... Dave nunggu sambil makan cokelat saja." Jawab Dave yang membuat Rara tertawa lucu.
Tiba-tiba... "Papaaaaa... Ayo cepet!! Hari ini Karen itu sibuk. Pertama harus ambil cokelat pesenan Karen, terus kita janji jenguk Om Rizal, terus kata Mama nanti malem
GrandPa ngajak kita makan malam kan?" Sesosok gadis berambut ikal sudah mengubah toko yang tadinya sunyi menjadi sangat berisik.
"Oke siap, Karen. Jadi kita ambil cokelat dulu kan?" Tanggap sang Papa dengan lembut .
"Iyaps Papa! Tanteeeee cantik! Karen dateng!"
"Sssssssstttssssss... Berisik banget sih!" Dave meletakan jari telunjuknya di tengah bibirnya.
"Iiih ada kakak pelit! Papa ada kakak pelit!" Karen bersembunyi dibalik kaki sang Papa.
"Karen, kok ngomongnya gitu? Makanya jangan teriak-teriak sayang. Kak Davenya keganggu sama kamu." Sang Papa pun menggendong putri kecilnya yang sudah
merengut. "Selamat datang Karen dan Mas Bagas. Pasti mau ambil pesanan Karen ya?" Rara menyapa kedua pengunjungnya itu.
"Iyaa Tante. Cokelatnya Karen sudah jadi kan?" Tanya Karen dengan senyum mirip sang Mama.
"Sudah sayang. Nih cokelat pesenan Karen. Berbentuk angsa putih di dalam toples." Rara menyerahkan pesanan Karen yang langsung dibayar oleh Bagas.
"Terima kasih, Tante Rara. Karen pamit pulang dulu yaa!" Pekik Karen yang membuat Rara dan Bagas tertawa sedangkan Dave menutup telinganya.
Tak berapa lama setelah kepulangan Karen dan Bagas, Reno datang menjemput istri dan keponakannya untuk pergi ke panti asuhan. Sesampainya di sana Dave
memilih untuk berkeliling panti asuhan yang super besar itu.
Saat Dave sedang berjalan di sebuah lorong. Ia mendengar suara tangisan. Karena ia penasaran, Dave pun mencari sumber suara dan mendapati sebuah kamar
yang setengah terbuka. Dari luar tampak seorang gadis kecil sedang menangis sambil memegang sebuah foto di tangannya.
"Haaai..." Dave memberanikan diri menyapa gadis kecil tersebut.
"Kamu kenapa menangis?" Tanya Dave lagi dari luar kamar.
"Kalau kamu sedih, aku punya obat sedihnya." Dave pun mengeluarkan toples berisi cokelat miliknya. Untuk pertama kali dalam sejarah hidup Dave, ia mau
membagi cokelat kesayangannya untuk orang lain.
"I..ini cokelat buat Gala?" Tanya gadis itu sambil menghapus air matanya.
"Iya, ini untuk..." Dave mencoba mengingat siapa nama anak kecil di depannya ini.
"Namaku Laika Galaksiana." Anak itu mendekat ke arah Dave dan mengulurkan tangannya.
"Davendra, atau kamu bisa panggil aku Dave. Jangan menangis lagi ya. Ini cokelatnya." Dave pun menyerahkan toples berisi cokelat dengan senyum terbaiknya.
"Makasih Kak Dave." Gala juga ikut tersenyum manis ke arah Dave.
Sayangnya, saat Dave mau bertanya-tanya, suara Uncle Reno sudah menginterupsi niatnya. Ia pun berjanji pada Gala untuk main lagi ke sini. Gala pun tersenyum
senang karena menemukan teman baru di sini.
"Aunty, Dave minta buatin cokelat lagi ya.." Pinta Dave di dalam mobil pada sang Aunty yang sudah mengerutkan dahi.
"Cokelat yang tadi sudah habis Dave?" Tanya Rara dengan heran.
"Sudaah.. Makanya minta lagi. Boleh ya Aunty cantik?" Dave menampilkan wajah lucu yang sudah tentu membuat Rara mengabulkan permintaan sang keponakan.
"Pinter banget sih Dave ngerayunya. Belajar dari siapa, Dave?" Tanya Reno sambil mengusap-usap perut istrinya yang sudah berusia 6 bulan itu.
"Sama Pakde Lendra." Jawab Dave yang membuat Reno dan Rara tertawa terbahak-bahak.
"Apa tanggapan Mas Radith dan Mba Neona coba kalau tahu soal ini?" Tanya Reno pada sang istrinya yang masih tertawa.
"Pasti yang protes Mba Neona sih." Rara menjawab sambil tetap menggenggam tangan suaminya. Akhirnya Rara menikmati kemanjaannya pada Reno. Toh suaminya
ini memang sangat senang memanjakan dirinya.
"Kalau dedek laki-laki, kamu harus kayak Papa ya, Nak. Meski rupawan harus setia dengan satu wanita. Apalagi kalau wanitanya seperti Mamamu." Reno mengusap
perut Rara sambil berdoa di dalam hati untuk anaknya.
"Aamiin, Papa. Makasih untuk kesetiannya pada Mama." Rara mengusap tangan Reno dengan lembut membuat yang diusap menerbitkan senyum yang sangat manis dan memukau siapapun.
*** Bab 37 "Varshaa sayang... Tuh lihat kamu sudah punya adik sekarang. Dia tampan seperti Papa. Kamu cantik seperti Mama." Reno menggendong putri kecilnya dan menemani
sang istri yang sedang menyusui anak kedua yang baru saja dilahirkan dengan persalinan normal itu.
"Papa sudah siapkan nama untuk adik?" Tanya Rara dengan senyum meski wajahnya masih terlihat sangat lelah pasca melahirkan.
"Sudah dong, Mama. Namanya Abrha Rareno Trisdiantoro." Jawab Reno yang membuat Rara memandangnya dengan tatapan kagum.
"Papa selalu pintar membuat nama. Mama bangga. Artinya apa Pa?" Tanya Rara yang sudah membiasakan diri memanggil Reno dengan sapaan Papa kala sedang bersama
anak-anak mereka. Kalau Reno, ia memilih memanggil Mama dan Rissa secara bergantian. Yang mana yang keluar dari mulutnya, ya itu panggilannya.
"Abrha itu artinya Awan dan Rareno adalah gabungan nama kita berdua. Papa berharap dan berdoa, Abrha bisa menjadi awan yang meneduhkan dunia ini, sayang."
Reno mendekat dan mengecup dahi Rara. Rara pun mengaminkan doa dan harapan sang suami pada anak mereka.
Setelah Rara selesai menyusui, geng heboh sudah masuk dan membuat kerusuhan tentunya.
"Dedek Reno sudah punya buntut dua. Mana susunannya kebalik dari gue lagi. Moga anak terakhir lo, mirip gue ya, Ren. Tampan, rupawan, digilai wanita dan
juga seksi." Ucapan Lendra memang selalu berakhir dengan pukulan ringan yang dilakukan oleh Neona atau Lala.
Bunda hanya tertawa terbahak-bahak sedangkan Radith mengelus dadanya.
"Enak aja kayak Mas Lendra! Engga ya! Reno juga tampan, rupawan, digilai wanita dan juga hot." Ucap Reno yang tidak terima.
"Selamat ya Ren... Akhirnya punya anak lagi. Kamu hebat punya anak dua." Ucap Radith yang tampaknya masih kepikiran ucapan Lendra beberapa bulan yang lalu.
"Makasih Mas Radith kesayangannya Mba Neona. Jangan sedih gitu dong mukanya. Anaknya Reno kan anaknya Mas Radith juga." Reno tahu kalau sang kakak agak
sensitif dengan isu punya anak lebih dari satu seperti saat ini.
"Astagaaa. Dith, maafin gue. Gue bercanda waktu itu. Ngga maksud buat lo sedih atau tersinggung." Lendra merasa bersalah dengan ucapannya waktu itu.
"Iya Mas, ngga apa-apa." Jawab Radith. Meski mereka seusia, kadang Radith memanggil kakak iparnya ini dengan sapaan Mas. Meski Lendra melarangnya.
"Yaah lo manggil gue pakai sapaan 'Mas' berarti ada apa-apanya nih." Tebak Lendra yang sudah mendapat tatapan tajam dari sang adik.
"Makanya Mas, kalau mau ngomong dipikir dulu. Itu nyinggung apa ngga. Bercanda boleh tapi isunya ngga kayak gitu juga." Neona menegur sang kakak. Suasana
pun berubah menjadi tegang.
Lendra merasa sangat bersalah pada sahabat sekaligus adik iparnya ini.
"Kalau Mas Lendra mau menyelesaikan masalah sama Mas Radith, jangan di ruangan ini ya. Rissa mau istirahat soalnya." Reno mengingatkan semuanya.
Bunda, Neona, dan Lala memilih di dalam menemani Rara sedangkan Reno menemani kedua kakaknya yang hubungannya masih merenggang sejak Rara hamil kemarin.
"Aku ke luar dulu ya, Sayang. Kamu istirahat saja. Kalau ada apa-apa, ada Bunda, Mba Neona dan Mba Lala. Ayah sama Dave lagi cari makan siang." Begitu
pesan Reno pada Rara yang memang merasa sangat lelah karena baru saja melahirkan Abrha, putra mereka.
Kini Reno, Radith dan Lendra berada di kantin rumah sakit. Lendra tampak tidak tenang sedangkan Radith hanya diam seribu bahasa. Reno sudah menduga ada
masalah diantara mereka sejak Radith tampak menghindar dari Lendra.
"Dith, Mas minta maaf." Lendra membuka pembicaraan dengan nada serius dan dalam mode kakak-adik ipar.
"Iya, Mas. Radith maafkan." Jawab Radith datar.
"Ngga, Dith. Kamu belum maafin Mas." Tebak Lendra masih dengan mode serius.
"Mas tahu darimana Radith belum maafin?" Tanya Radith pada Lendra.
"Nada suara kamu masih datar. Radith itu memang tidak se ekspresif Reno, tapi ngga dingin kayak gini juga." Ucap Lendra yang membuat Radith membuang nafas.
"Oke, Radith memang agak tersinggung dengan pernyataan Mas. Kelihatannya itu bercanda. Tapi Mas ngga ngerasain rasanya Radith yang hampir gila kalau kehilangan
Neona saat itu. Neona melahirkan Dave sesusah itu, Mas. Saat itu nyawa Neona taruhannya. Kedengerannya konyol dan pengecut kalau Radith begini. Tapi Radith
pernah hampir kehilangan kesempatan bersama Neona dan itu mengajarkan Radith bahwa Neona seberharga itu untuk Radith, Mas." Radith akhirnya mengeluarkan
semua unek-uneknya. Membuat Lendra semakin merasa bersalah. Seharusnya ia menghargai dan menghormati Radith yang mencintai adiknya dengan begitu tulus
dan dalam seperti ini. Bukannya malah menjadikan Radith bahan bercandaanya.
"Maafin Mas, Dith. Mas buruk banget jadi kakak ipar." Lendra menunjukkan wajah penuh penyesalannya. Namun Radith masih terdiam tanpa kata membuat Reno
menjadi bingung. "Mas Radith... Mas Lendra.. Maafkan Reno ya. Gara-gara kabar kehamilan Rara, kalian jadi ribut kayak gini. Rara sama Reno kepikiran dan ikut sedih. Selama
kehamilan Rara yang ini, kita ngga pernah liburan bareng lagi. Ngga seru-seruan bareng lagi." Reno akhirnya angkat suara untuk mendamaikan dua kakak kesayangannya
ini. "Masa kehadiran Abrha membuat kalian berantem. Nanti Abrha ngga tahu kalau ada club The Tuan yang isinya kita-kita." Reno masih membujuk kedua kakaknya
yang masih tampak enggan bicara itu.
"Mas Radith, maafin Mas Lendra ya, Mas. Oke itu bercandaan yang sama sekali ngga lucu. Tapi mungkin Mas Lendra melakukannya tanpa tahu apa yang jadi alasan
Mas Radith selama ini. Apapun yang terjadi pada hidup Mas kan pasti penuh pemikiran dan pertimbangan. Itu yang membedakan Reno dan Mas Lendra dengan Mas
Radith. You're my best brother ever, Mas. Panutan dan kebanggaan Reno. Ayah hebat untuk Dave." Reno berhasil menyadarkan Radith akan satu hal.
Bahwa tidak semua hal yang menjadi keputusan kita dalam hidup dapat dipahami dengan baik oleh orang lain. Semua orang cenderung berkomentar macam-macam
dari apa yang ia lihat dan dengar. Bukan hanya Lendra yang melakukannya. Bahkan ini sudah menjadi budaya kurang baik di masyarakat kita.
"Mas Lendra. Radith minta maaf juga karena merenggangkan hubungan kita. Maaf karena Radith sangat sensitif kalau membahas soal itu." Ucap Radith tiba-tiba.
"Ngga Dith, yang salah itu, Mas. Maafkan Mas ya, Dith. Mas janji ngga akan bercanda ke arah sana." Lendra pun merangkul sahabat sekaligus adik iparnya
ini. Dulu Lendra pernah menonjok Radith saat Radith menyakiti hati adiknya. Jadi Lendra jelas salah kalau kali ini ia menjadikan cinta Radith yang begitu
besar pada Neona sebagai bahan lelucon.
"Nah gitu dong!! Masa kita kalah kompak sama The Nyonya! Sudah 9 bulan loh kita ngga pernah jalan bareng lagi. Ini Reno sudah mau anniv ke 2 aja yaa..
Anniv kalian dong dirayain!" Reno mengembalikan suasana akrab diantara ketiganya lagi.
"Profesinya presdir gini nih. Dikit-dikit pesta. Kita mah apa ya, Dith." Ucap Lendra merendah. Sebenarnya perusahaan keluarga Lala pun kini di tangan Lendra.
"Merendah untuk meroket itu dosa, Mas Lendra! Mas Radith ngga usah jadi presdir tapi mau beli mobil lagi." Beber Reno yang membuat Lendra melotot.
"Serius Dith? Ah gilaa.. Beli mobil apa lagi lo?" Lendra berusaha mengembalikan keakraban mereka.
"Masih menimbang sih, Len. Neona ngga setuju soalnya." Ucap Radith yang tidak menggunakan sapaan Mas. Oh ini baru dalam mode sahabat lagi. Baik Reno maupun Lendra kini merasa lega.
"Mas-mas ku. Kita liburan bareng lagi yuk! Ke pantai gitu misalnya. Lombok tuh seru!" Usul Reno yang diangguk kedua kakaknya.
"Ke hotel mana Ren, kalau kita ke sana?" Tanya Lendra.
"Sewa hotel Om Tian aja di sana. Gampanglah Nanti Reno yang nego. Kali dapet gratis." Ucap Reno yang membuat Radith dan Lendra tertawa.
"Lombok nih jadinya? Tapi nunggu Rara pulih aja Ren. Lo mau ke Lombok lagi puasa-puasa?" Tanya Lendra yang mendapat tonjokan dari Reno.
"Mas Radith sepakat banget sama Lendra sih. Raranya bebas dulu, Ren. Sayang banget, ini lombok loh." Ucapan Radith yang kali ini menunjukkan sang kakak
sudah kembali menjadi Bintang Radithya yang bersahabat dengan Sailendra Andrusha.
******* "Daddyyyy.. Nama hotelnya kok kayak nama seseorang yang Dave kenal?" Tanya Dave ketika mereka semua sudah sampai di sebuah hotel bintang lima di Jalan
Raya Senggigi, Lombok Barat.
"Ini memang punya kakeknya Karen, Dave." Jawab Radith sambil tertawa bersama Neona. Wajah Dave sudah cemberut soalnya.
"Tapi kenapa namanya Karenina Senggigi Beach Resort?" Tanya Dave lagi.
"Kata Uncle Reno, resort ini dibangun waktu Karen lahir dan katanya lagi, kalau Karen sudah besar, ini memang miliknya." Radith menceritakan hal yang diceritakan
Reno padanya di pesawat tadi.
Tanpa terasa sudah tiga bulan yang lalu, Radith bermaaf-maafan dengan Lendra. Hari ini liburan bersama yang diidekan Reno pun terlaksana. Kata Reno sekalian
membayar pesta ulang tahunnya yang tidak terlaksana tahun ini.
Di kamar lain, tampak Reno yang sedang mengajak bicara putri pertamanya yang mulai bisa mengoceh ini itu. Usia Varsha kini sudah 19 bulan.
"Ma tik.. Ma tik.." Begitu ucap Varsha yang membuat Rara tersenyum sedangkan Reno merengut. Rara sedang menyusui sang putra yang dinyatakan Reno sebagai
Medal Of Love Karya Thelapislazuli di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
anak terakhir mereka. "Coba bilang Papa tampan.. Ayoo Varshaaaa.." Reno mulai geram.
"Pa.. Pa.." Varsha hanya menyebutkan kata-kata itu.
"Papaa.. Kok Varsha dipaksa sih? Bikin mama gemes deh." Rara menggoda Reno yang sudah cemberut maksimal.
"Aku lagi ngajarin anak kita biar bisa menilai pria tampan itu seperti apa, Mama. Kenapa justru Mama terus yang kena puji?" Reno mengadu pada Rara layaknya
anak kecil. Oke, Rara punya tiga bayi sekarang.
"Varsha ngga boleh lihat manusia dari fisiknya saja, Papa. Ia harus melihat hati dan perbuatannya juga." Rara meletakan Abrha ke tempat tidur lantas mendekat
ke arah suaminya. "Mulai dari mereka lahir, kita harus berjanji untuk terus membesarkan dan mendidik mereka dengan cara terbaik yang kita miliki. Kita harus bisa menanamkan
konsep hidup yang baik juga bagi mereka." Rara memeluk tubuh suaminya dengan erat.
"Aku bisa ngga ya? Aku takut gagal jadi orang tua, Sa." Reno meletakan Varsha yang sudah kembali terlelap ke samping Abrha sang adik.
"Kita kan memang baru menjadi orang tua, Mas Renoku sayang. Kita belajar bareng. Kalau salah ya, harus saling membantu dan mengingatkan." Rara menangkup
wajah sang suami lantas menciumnya.
"Belajar barengnya kayak pas pelatihan OSN ngga?" Reno mengingatkan Rara akan hal yang justru membuat istrinya ini merengut karena kesal.
"Ngga mau belajar bareng kayak pelatihan OSN ah! Mas Reno kan tidur doang kerjaannya. Terus minjem catetan aku." Rara justru mendapat kecupan di ujung
bibir dari Reno. "Kuncir kuda masih galak aja sih dari dulu. Bikin lo'feli makin cinta deh. Iyaa ngga kayak dulu. Masa aku mau tidur sendirian terus kamu ngurus baby-baby
kita? Engga lah sayangku. Lagian aku mana bisa tidur kalau ngga sama kamu." Saat Reno mau menggoda sang istri ketukan pintu super heboh pun terdengar.
"Renooo Renoooo ooy! Ini anak! Woy!"
"Orang gila deh dateng! Kesel banget." Reno berujar pada Rara yang sudah tertawa terbahak-bahak.
"Iiiih ganggu aja dasar orang gil... Eh Bunda? Duuh maaf Bunda." Reno mendapat jeweran dari Bunda sedangkan pengetuk pintu suruhan Bunda itu tertawa puas.
"Sudah ngga keluar-keluar dari kamar, ngatain Bunda orang gila pula. Kamu lupa kalau kitaa ditunggu makan malam sama Mas Tian, Ren?" Bunda mengingatkan
Reno yang hampir lupa dengan kolega bisnisnya itu.
"Ya ampuuun.. Lupa! Ayo deh Bun. Sayang, kamu sudah siapkan?" Tanya Reno pada Rara.
"Sudah kok Mas. Anak-anak juga sudah siap buat ikut ke bawah." Rara yang dibantu Reno kini sudah membawa serta dua anak mereka dalam kereta bayi.
Di restoran hotel, sudah ada Pak Tian, Ayah, Neona, Radith, Dave, Lala dan kedua anak Lendra. Memang hanya Reno yang terlambat datang sehingga ia dijemput
Bunda dan Lendra1 "Selamat malam Om Tian. Maaf terlambat, Om. Biasa ngurus keluarga kecil." Ucap Reno sebagai kalimat pembuka.
"Sibuk sama keluarga kecil atau sama Mamanya?" Goda Pak Tian yang membuat Reno salah tingkah dan wajah Rara merah padam.
"Laaah si Om Tian tahu aja. Baru saya mau bilang begitu." Lendra menanggapi ucapan Pak Tian.
"Tahulah saya. Putri saya sama suaminya juga masih begitu sampai sekarang." Ujar Pak Tian dengan tawa renyahnya.
"Om sendirian aja? Mba Nadine beserta keluarganya kemana Om?" Tanya Reno mengalihkan pembicaraan.
"Lagi liburan sekeluarga ke Bandung. Katanya dia kangen sama villanya di sana. Anak Om yang bungsu lagi pemulihan paska kecelakaan sama calon istrinya."
Jawab Pak Tian. "Saya baru ingat Tian punya dua anak." Ucap Ayah yang membuat Pak Tian tertawa.
"Iya si Rizal itu beda sama kakaknya yang hobinya ngeksis dimana saja. Rizal kan dosen, jadi ya hidupnya sibuk di kampus." Terang Pak Tian.
"Calon istrinya dosen juga, Om?" Tanya Reno pada Pak Tian.
"Iya calon dosen lebih tepatnya. Eh ini kok jadi bahas saya. Berasa artis saya." Pak Tian tertawa lagi.
"Mas Tian kan lagi jadi bahan perbincangan media gosip. Sekalian lah kita kulik-kulik." Bunda angkat bicara yang membuat Ayah mendelik, Radith menggenggam
tangan Neona dan Lendra memeluk pinggang Lala dengan posesif. Ini duda incaran sejuta wanita, oy!
"Wahduh saya no comment soal itu. Saya ikut ngartis karena Nadine yang terkenal. Saya ini pembisnis bukan artis." Pak Tian mengerti maksud arah pembicaraan
Bunda. "Kayak saya dulu, Om. Bukan artis tapi karena ada gosip sama artis yaa ikut ngartis. Tapi lucunya editor artikel saya yaa istri saya ini." Kenang Reno.
"Wah lucu juga. Tapi saya kagum banget loh sama keluarga Mas Abi. Kompak dan bahagia sekali. Pembisnis sukses yang keluarganya harmonis." Saat Pak Tian
mengatakan itu, semua orang di meja makan bisa menangkap pancaran kesedihan dari mata sang pembisnis kelas wahid ini. Suasana pun berubah menjadi canggung.
Pak Tian pun menyadarinya lantas mencari topik pengalih suasana.
"Eheem.. Cucu-cucu Mas Abi yang duduk di sana lucu-lucu. Siapa namanya, Mas?" Pak Tian menunjuk tiga orang anak yang sejak tadi tidak peduli dengan obrolan
para orang tua. "Oh yang paling kiri itu anaknya Radith, Dave. Sampingnya Zahra dan paling kanan Fakhri, anaknya Lendra." Jawab Ayah yang memang menganggap anak Lendra
cucunya juga. "Hey kids! Salam kenal dari GrandPa!" Sapa Pak Tian ramah sehingga membuat Dave, Zahra dan Fakhri akhirnya berinteraksi dengan Pak Tian. Akhirnya suasana
makan malam itu penuh canda dan tawa tanpa kecanggungan lagi seperti tadi.
Sesampainya Rara dan Reno di kamar. Keduanya berbincang soal apa yang sama-sama mereka lihat tadi dari pancaran mata Pak Tian.
"Mas, tadi lihat tatapan sedihnya Om Tian kan?" Tanya Rara pada sang suami yang sudah berganti baju dan siap untuk tidur.
"Iya, sayang. Mungkin Om Tian teringat tragedi perceraian dan terkenang mantan istrinya yang sudah meninggal itu." Tanggap Reno sambil memeluk Rara.
"Memangnya hanya sedikit ya, pembisnis yang bisa punya keluarga harmonis? Mas Reno ngga usah hebat-hebat ya. Aku takut keluarga kita taruhannya." Ucap
Rara penuh kekhawatiran. "Sayangku, dengerin Mas Langit Moreno kamu mau ngomong. Coba kamu lihat Ayah dan Bunda. Itu dia panutan aku. Kata orang, semua itu tergantung komitmen
pasangan dan didikan keluarga kok, Sa. Komitmen kita kuat, terus didikan keluarga aku juga oke. Jadi kamu jangan khawatir ya. Kamu dan anak-anak kita adalah
prioritas aku." Jawab Reno meyakinkan sang istri.
"Makasih Mas Reno. Jangan lupa sertakan Tuhan dalam setiap langkah kita ya, Mas." Ucap Rara lantas memeluk Reno.
"Iya sayang. Kita harus selalu sertakan Tuhan dalam rumah tangga ini. Pokoknya kita harus berkomitmen untuk selalu tetap menggenggam tangan dan hati kita
bersama. Godaan dan ujian pasti datang. Tapi yang lebih harus dipastikan adalah kesiapan diri kita dalam menghadapinya." Reno pun memeluk dan mencium sang
istri. "Clarisaa Aurora, aku sangat mencintaimu."
"Langit Moreno, aku juga. Aku sangat mencintaimu, my lovely rival."
*** EPILOG "Haay... Anak-anak kemana sayangku?" Reno memeluk Rara yang sedang memasak di dapur.
"Mulai deh gangguin Rara.. Mending sana deh Ren sama Mas Lendra yang lagi nonton televisi." Lala menegur Reno yang ternyata tak jauh beda dari suaminya.
Suka mengganggu istri di dapur.
Reno pun cemberut dan merengut kesal karena ucapan Lala. Hal ini tentu membuat Rara tertawa lantas mengelus pipi suaminya.
"Papa jangan cemberut. Mendingan temenin Mas Lendra yang lagi nonton. Varsha masih sama Mas Radith sedangkan Abrha sama Bapak di studio." Rara justru membuat
Reno beride iseng pada istrinya.
"Cium dulu, baru pergi." Pinta Reno dengan wajah yang dibuat mirip anak kecil.
"Reno ampun deh! Usia sudah 34 tahun kelakuan masih kayak usia 4 tahun." Kini sang Bunda angkat suara. Meski Bunda sudah berkepala lima, dirinya masih
terlihat cantik, segar dan sehat.
Lima tahun yang lalu Ibu Elisa dipanggil menghadap Tuhan yang Maha Esa. Tentunya ini membuat Rara merasa sedih sekaligus beruntung karena telah diberikan
waktu untuk mengenal dan dekat dengan sang nenek. Apapun kesalahan yang dilakukan sang nenek di masa lalu, sudah termaafkan dengan sempurna oleh Rara.
"Papa ikutin kata Bunda yaa.." Rara mengusap lagi pipi sang suami yang kini wajahnya semakin tampan dan matang.
Sembilan tahun berumah tangga membuat keduanya menyelami kepribadian masing-masing. Menghadapi ujian beraneka macam yang tentunya membuat keduanya semakin
kompak dan semakin jatuh cinta di setiap harinya. Bukan tidak mungkin selama 9 tahun ini ada penggoda yang datang dan mencoba masuk ke dalam rumah tangga
mereka. Namun seperti yang dikatakan Reno,1
"Hubungan itu perlu sebuah komitmen yang sangat kuat dengan menyertakan Tuhan dan keluarga di dalamnya."
Hari ini semua sedang berada di rumah Reno. Neona, Lala dan Rara sedang menyiapkan menu makan siang bersama. Reno yang baru keluar dari ruang kerjanya
berniat menggoda sang istri di dapur. Namun bukannya mendapat ciuman, Reno justru mendapatkan kekecewaan karena di sana lah letak sarang The Nyonya.
Reno pun menuju ruang keluarga dan menemukan Lendra yang sedang menonton acara berita siang di sana.
"Duuh pasti habis diusir deh dari dapur." Lendra berkata begitu karena dirinya juga baru diusir oleh sang istri.
"Sesama diusir ngga usah ngeledek, Mas!" Reno menghempaskan tubuhnya di sofa.
Tak berapa lama suara Zahra memanggil sang Papa yang membuat Lendra meninggalkan Reno sendiri di ruang keluarganya itu. Reno pun beranjak dan memilih untuk
berkeliling rumahnya ini. Ia melihat Ayahnya, Bapak dan Ibu Neona serta Fakhri sedang bermain tenis meja di halaman samping.
Reno pun berjalan menuju studio lukis yang ia buat khusus untuk putra bungsunya di lantai satu. Ternyata di sana ada Abrha dan bapak mertuanya. Bakat lukis
Pak Dipta turun ke Abrha dengan sangat baik.
"Papaaaa! Lihat, Abrha baru melukis Papa. Kalau lukisan ini jadi, pasang di ruangan Papa yaa." Abrha yang sadar dengan kedatangan sang Papa pun memamerkan
hasil lukisannya yang sangat bagus itu.
"Lukisannya bagus banget sayang. Ini antara lukisan kamu yang memang bagus atau Papa yang memang tampan yaa?" Reno menggoda bocah berusia 7 tahun yang
kini jadi cemberut dan sangat mirip dengan dirinya.
"Bercanda sayang. Kok cemberut sih anak Papa? Lanjutin yaa ngelukisnya. Ini pasti Papa pajang di ruangan Papa kok." Reno mencium pipi gembil milik Abrha
yang tak jauh beda dengan Dave dulu.
"Pak, makasih banyak sudah menurunkan dan mengajarkan Abrha kemampuan yang luar biasa ini." Ucap Reno pada Pak Dipta yang tampak sudah menua seperti sang Ayah.
"Sama-sama, Reno. Terima kasih karena telah mencintai anak saya sedalam dan setulus itu. Kalau suatu hari saya dipanggil Tuhan untuk menghadapNya dan bertemu
Mentari, saya sudah tidak khawatir. Rara berada di tangan pria yang sangat tepat." Pak Dipta membuat Reno sedikit menitikkan air mata. Kisah cinta Pak
Dipta tetap menjadi yang tertragis bagi Reno.
Setelah berbincang-bincang sedikit tentang tema yang sengaja Reno alihkan dengan Pak Dipta, Papa dari Varsha Rissano dan Abrha Rareno ini pun mencari putri
sulungnya. Kalau kata Rara, putrinya ini sedang bersama Radith. Tapi dimana? Reno pun mulai menduga kalau bersama Radith pasti tidak jauh dengan...
"Papaaaa! Sepeda Varsha rantainya sudah benar! Ini Varsha loh yang benerin." Putri cantik Reno dan Rara itu menunjukan tangan penuh olinya dengan bangga.
"Astaga Varshaaa.. Tangan kamu! Cuci ya habis ini. Kita kan mau makan siang. Eeh mana coba Papa lihat sepedanya." Reno menunjukan apresiasi pada kerja
sang putri sulung yang sangat tomboy itu.
"Keren ya anak Papa. Bangga deh." Reno mengusap rambut hitam milik sang putri dengan penuh kasih sayang.
"Iya dong! Yang ngajarin aja Pakde Radith keren! Pokoknya Varsha mau buka bengkel juga kayak Pakde." Ucap Varsha yang membuat Reno kaget.
"Nah ini! Baru keponakan hebat! Tos dulu dong!" Radith berkata dengan wajah berseri-seri. Setelah mati-matian meracuni Dave, akhirnya ia mendapatkan Varsha
yang sangat antusias dengan isi mesin dan kawan-kawannya.
"Yeeeay!" Varsha berseru dengan sangat riang.
"Tukeran anak kayaknya ya Dith, Ren." Suara Lendra tiba-tiba terdengar dari arah pintu garasi.
"Haha kayaknya sih gitu, Len." Jawab Radith sambil melihat Varsha yang kini sudah berlari ke dalam rumah karena harus mencuci tangannya.
"Dith, remaja bau kencur lo mana? Belum kelihatan dari tadi." Lendra menyadarkan Radith akan keberadaan putra semata wayangnya itu. Dave kini bukan lagi
bocah gendut super menggemaskan. Melainkan menjadi remaja tanggung dengan sejuta pesona.
"Nah itu Dave datang!" Reno menunjuk sosok remaja yang menggunakan motor masuk ke garasi rumahnya.
"Bandel juga belum 17 tahun sudah bawa motor. Mentang-mentang Daddynya Kang Bengkel." Lendra menyindir Dave yang kini sudah berusia 16 tahun itu.
"Eeits.. Uncle Reno juga bawa mobil meski ngga punya SIM." Jawab Dave dengan senyum yang mirip Radith tapi kelakuan mirip Reno.
Loh ini cerita lama kok bisa bocor? Ya, Reno pelakunya! Motor yang dibawa Dave saja hadiah dari Reno.
"Darimana kamu Dave?" Tanya Radith yang sudah mengelus dada sejak tadi.
"Dari panti asuhan Uncle, Dad. Biasa.." Jawab Dave dengan senyum yang mencurigakan. Membangunkan ssetan gosip dari para The Tuan.
"Wah ini.. Curiga gue. Ketemu siapa sih di panti asuhan?" Tanya Lendra sang Pakde.
"Rahasia dong! Eh dulu Daddy ketemu Mommy usia 28, Pakde Lendra ketemu Budhe Lala usia 24, Uncle Reno bertemu Aunty Rara usia 17. Berarti Dave menang!
Dave ketemu pas usia 8 tahun dong." Dave menjawab sambil berlalu meninggalkan The Tuan yang kini melotot dan heboh.
"Anak lo, Dith! Cadas bangeeeet! Kalah oy kita-kita." Lendra menepuk bahu Radith yang sudah memicingkan mata ke arah adik dan kakak iparnya.
"Ini pasti ajaran kalian! Ah pokoknya harus dicari tahu nih. Ren, besok temenin ke panti ya.. Penasaran nih, Mas." Radith mendapat anggukan dan jempol sang adik yang kini sudah dipanggil sang istri.
"Kenapa sayang? Sudah bisa cium apa belum?" Tanya Reno yang mendapat pukulan sayang dari Rara.
"Masih siang, Papa! Banyak orang juga. Bang Reno biasanya datengnya malam. Kenapa muncul siang-siang gini?" Ucap Rara dengan galak.
"Kuncir kudanya Langit Moreno kok galak banget sih. Tapi makin cinta deh! Rissayangku, ngga nyangka yaa sudah mau dua dekade kita bersama. Tetap di sampingku,
genggam tanganku, jadi aurora langitku ya. Aku mencintaimu, Clarissa Aurora Pradipta. Terima kasih sudah memintaku sebuah syarat cinta, membuat perjanjian
hati, menepatinya dan berjuang bersamaku hingga saat ini." Ucap Reno sambil memeluk sang istri dan melupakan itu di garasi rumahnya.
"Tentu Mas Reno kesayangannya Rara. Aku akan tetap di sampingmu, menggenggam tanganmu karena Mas Reno adalah langit tempat auroraku berada. Aku juga mencintaimu
Langit Moreno Trisdiantoro. Terima kasih juga sudah berjuang untuk syarat cinta, menjaga perjanjian hati kita, dan selalu membahagiakanku." Ucap Rara sambil
meneteskan air mata harunya.
Rara tak menyangka jika Tuhan masih memberikan kesempatan padanya untuk kembali bertemu dengan Reno yang ternyata tetap menjadi seorang Langit Moreno Trisdiantoro
di 8 tahun yang lalu. Reno sang musuh kesayangan itu ternyata menjaga syarat cinta dan perjanjian hati yang mereka buat dahulu.
Reno pun demikian. Ia sangat bersyukur pada Tuhan karena pada akhirnya semua doa yang ia panjatkan terkabul tanpa ada yang berubah dan tidak juga terlambat.
Rara tetaplah Clarissa Aurora Pradipta yang hatinya hanya terpaut pada satu nama. Hanya pada Reno sang rival kesayangan yang berhasil membawa medali cinta
untuknya dan menjaga perjanjian hati mereka.
-The End- Mustika Naga Hijau 2 Dewi Ular 88 Misteri Bencana Kiamat Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama