Ceritasilat Novel Online

Mencari Busur Kumala 4

Mencari Busur Kumala Karya Batara Bagian 4


kelihatan. Maka lenyap dan meninggalkan dua mudamudi itu pemuda inipun minta maaf atas kelakuan
isterinya tadi, jawaban yang disambut helaan napas
dalam oleh Kang Hu.
Dua muda-mudi ini melihat lenyapnya suami
isteri muda itu sampai di bawah gunung. Di sini Kang
Hu berkerut-kerut mengherankan temannya. Dan
ketika pemuda itu membalik memasuki rumah maka
selanjutnya Kang Hu tampak murung dan akhirnya
kata-katanya membuat gadis itu terkejut.
"Rasanya tak mungkin lagi menjadi murid Fangtaihiap. Aku akan segera pergi begitu ia datang, Kui
Yang, sudah kutetapkan ini sebagai cara terbaik."
"Kau bicara apa? Apa maksudmu?"
22 "Aku tak dapat lagi tinggal di sini, harus tahu
diri. Mana mungkin mengganggu Fang-taihiap
sementara persoalan demi persoalan menimpanya
terus!"
Kui Yang tertegun, mendadak berubah. Tibatiba kening pun berkerut dan gadis itu terisak, sesuatu
menamparnya. Dan ketika Kang Hu beristirahat dan
malam itu ia sendiri, kata-kata temannya begitu
membekas maka Kui Yangpun berpikir bahwa apa
yang diucapkan tadi benar. Dan sesuatu terasa
menggores menyakitkan!
"Kang Hu, kau menghancurkan keinginanku.
Akan tetapi, ah!" Kui Yang tiba-tiba tersedu dan
malam itupun ia menangis sendirian. Ia hendak marah
kepada temannya akan tetapi semua itu benar. Tuan
rumah kesusahan, mana mungkin di ganggu mereka
lagi. Maka ketika ia menutupi mukanya dan hatipun
mulai bimbang, pecah maka keesokannya gadis ini
melampiaskannya kepada Kang Hu.
"Kau merobek cita-citaku, kau menghancurkan
nya. Kalau kau pergi tentu saja aku pergi, Kang Hu.
Mana mungkin aku mengganggu Fang-taihiap pula. Ia
pasti pergi dan akan pergi lagi!"
23 "Aku tak membujukmu. Apa yang kukatakan
kemarin berlaku untuk diriku sendiri, Kui Yang, bukan
untukmu. Kalau kau tetap di sini silakan, mau ikut juga
baik. Akan tetapi kulihat pula keraguan dalam
keinginan kita."
"Keraguan apa? Kenapa kau tiba-tiba berobah
begini?"
"Hm, akupun sebenarnya tetap ingin menjadi
muridnya. Akan tetapi ingatkah kau akan kata-kata
Fang-taihiap terhadap orang tua kita. Ingatkah
sebelum ayah atau kakek kita meninggalkan tempat
ini."
"Kata-kata apa?"
"Bahwa Fang-taihiap hanya memoles saja ilmuilmu yang telah kita punyai. Aku tiba-tiba terbentur
kenyataan pahit akan ini, Kui Yang, bahwa tak mungkin
Fang-taihiap akan memberikan semua kepandaiannya
kepada kita. Bukankah ada anak dan cucunya, kenapa
harus diberikan orang lain!"
Gadis itu terkejut, tiba-tiba memerah.
"Coba pikir dan renungkan ini. Kita begitu
tergila-gila kepada kepandaian pendekar ini, Kui Yang,
dan kita begitu mabok akan keinginan kita bahwa
24 Fang-taihiap kelak akan memberikan semua
kepandaiannya kepada kita. Padahal mungkinkah itu?
Bukankah ia memiliki anak isteri sendiri? Dan sekarang
bertambah dengan cucunya Cit Kong itu. Tak mungkin
dia memenuhi cita-cita kita dan kita inilah yang terlalu
mabok! Aku tiba-tiba sa dar diri bahwa betapapun diri
kita adalah orang luar, bukan sanak bukan kadang. Jadi
benar juga kalau Fang-taihiap hanya akan memoles
kita berdua, tidak memberikan semua ilmunya secara
sungguh-sungguh. Dan daripada ini terjadi dengan
akibat kita kecewa sebaiknya kita tak teria lu
mengharap dan aku mulai melepaskan keinginanku
ini!"
Kui Yang tak dapat lagi menahan sedu-sedannya
dan gadis inipun mengguguk. Sekarang benar-benar
hancurlah harapannya dan kata demi kata begitu
tepatnya. Kang Hu mengupas itu demikian lugas dan
masuk akal. Dan ketika ia serasa terlempar dan
robohlah tiang cita-cita untuk menjadi murid Fang
Fang maka gadis ini pun menjadi begitu sedihnya
hingga terguncang-guncang.
"Kang Hu, kau jahat. Kau tega benar meng
hancurkan aku. Padahal bukankah kita berdua samasama ingin menjadi muridnya!"
25 "Benar, akan tetapi waktu itu kita mabok. Aku
juga masih menggantungkan harapan dan cita-citaku
kepada Fang-taihiap ini, Kui Yang, akan tetapi setelah
kejadian demi kejadian menimpa kita mendadak saja
aku sadar bahwa kita menaruh harapan terlalu
berlebihan. Fang-taihiap memiliki keluarga, ia tidak
sendiri. Tentunya inilah yang akan didulukan bukan
nya kita!"
"Tapi... tapi..."
"Diamlah, hentikan dan tenangkan tangismu.
Seseorang telah menggantikan ke dudukannya, Kui
Yang, dan aku menaruh harapan besar. Kita tetap tak
kandas di tengah jalan!"
"Kakek itu?"
"Benar!"
Kui Yang tiba-tiba melompat bangun,
menghapus air matanya. Kang Hu begitu terharu
ketika sepasang pipi basah yang kemerah-merahan ini
diusap keras. Pipi itu tergosok memerah dadu. Akan
tetapi karena keraguan dan kekecewaan masih
membayang di situ, juga kemarahan maka pemuda ini
menahan getaran hatinya melihat telunjuk itu
menuding. 26 "Kau! Kau begitu percaya kepandaian kakek itu
mampu menandingi Fang-taihiap? Kau yakin ia tak
mengecewakan kita? Dia sama sekali belum
menandingi jago kita ini, Kang Hu, jangan mulukmuluk pula menaruh kepercayaan. Aku pribadi belum
yakin kakek itu!"
"Akan tetapi ada dasar-dasar kuat yang
membuatku percaya."
"Apa itu!"
"Bahwa Sia-tiauw-eng-jin berani menunggu di
sini tiga hari."
"Ah, kakek itu bukan dia!"
"Benar, akan tetapi justeru suheng-nya. Kalau
sutenya berani menantang dan menunggu tiga hari
berarti kepandaian kakek itu tidak main-main, Kui
Yang, dan kita dapat mengujinya nanti di depan Fangtaihiap sendiri!"
"Maksudmu?"
"Kita tanya Fang-taihiap apakah mengenal
seseorang bernama Sia-tiauw-eng-jin ini, bagaimana
reaksinya. Kalau berubah berarti berbobot, dugaan
kita tepat. Dia bukan kakek main-main."
27 "Akan tetapi kakek itu tak memperkenalkan
nama!"
"Cukup Sia-tiauw-eng-jin saja. Kalau yang ini
mendapat tanggapan berarti kakek berpakaian serba
putih tentu lebih hebat lagi!"
Gadis ini tertegun, berkejap-kejap. Sikap dan
kata-kata temannya begitu meyakinkan, iapun
terguncang. Dan ketika ia mulai tergerak dan Kui Yang
teringat bahwa di atas gunung masih ada gunung
maka perlahan-lahan iapun menaruh harapan. Apalagi
ketika harapan menjadi murid Liang-san terkikis. Buat
apa kalau hanya dipoles saja. Ia menginginkan guru
yang sungguh-sungguh, bukan setengah-setengah.
Dan ketika iapun mengangguk dan mulai percaya,
keluarga Liang-san dirundung persoalan maka
beberapa hari kemudian datanglah pendekar itu
bersama isterinya. Wajahnya murung dan gelap!
"Aku tak dapat menemani kalian lagi di sini,
urusan semakin panjang. Maafkan bila kami harus
pergi lagi, Kang Hu, orang yang kami cari tak ada di
tempat dan sesuatu yang mencemaskan mengharus
kan kami pergi."
"Dan kami pulang semata teringat kalian.
Tentunya tak enak kalau meninggalkan berbulan28
bulan, Kang Hu. Maafkan kami dan agaknya kalian
pulang dulu ke orang tua kalian."
Lengkaplah sudah pahitnya sebuah kenyataan.
Fang Fang suami isteri telah bicara kepada mereka dan
kembalinya mereka semata teringat anak-anak muda
ini. Nyatalah bahwa Kang Hu dan Kui Yang memberat
kan suami isteri itu. Dan ketika Kang Hu cepat-cepat
memberi hormat sementara Kui Yang terisak
menahan duka, juga kecewa maka pemuda inilah yang
maju bicara.
"Locianpwe berdua benar-benar dibuat susah,
kami turut prihatin. Kalau jiwi hendak pergi lagi silakan
pergi dan jangan pikirkan kami. Tentu saja kami akan
meninggalkan Liang-san. Hanya sebelum pergi ada
sebuah berita yang barang kali hanya menambah
kepedihan jiwi belaka. Bolehkah kami bicara karena ini
pesan untuk jiwi...?"
"Ada apa, pesan apa."
"Puteri locianpwe Kiok Eng-cici datang..."
"Ah, dia? Sendirian?"
"Tidak, Fang-taihiap, berdua bersama suami
nya, Tan-twako."
"Kapan dan apa pesannya."
29 "Cit Kong diculik orang, beberapa hari yang
lalu..."
"Aiihhhhh!" jerit si nyonya menghentikan Kang
Hu dan tampaklah betapa suami isteri itu berubah.
Fang Fang berkilat sekejap akan tetapi tenang kembali
sementara sang isteri melengking dan mencelat
mundur. Begitu kaget nyonya itu hingga wajahnya
merah padam, mata menyinarkan kemarahan akan
tetapi pendekar Liang-san ini segera menyambar dan
menenangkan isterinya. Kang Hu kagum betapa hanya
sedetik saja wajah pendekar itu berubah, selanjutnya
tenang dan pulih kembali. Dan ketika Kang Hu ditanya
ke mana Kiok Eng dan suaminya sekarang, juga siapa
kiranya penculik itu maka Kang Hu tergetar karena
sepuluh jari pendekar ini berkerotok dan merah
kehitaman tanda marah. Kiranya meskipun di luar
tenang-tenang saja akan tetapi pendekar ini gemuruh
di dalam. Pandai menyimpan perasaan!
"Katakan dan di mana sekarang Kiok Eng dan
suaminya itu. Siapa menculik Cit Kong."
"Tan-twako ragu mengatakan, akan tetapi enci
Kiok Eng menyebutnya nenek May-may."
Terdengar lagi pekik nyaring dan Fang-hujin
(nyonya Fang) mencelat mundur. Fang Fang sendiri tak
30 dapat menyembunyikan kagetnya dan tiba-tiba jari
tangan itu bergerak. Pinggir meja hancur dan roboh.
Dan ketika Kang Hu menjadi pucat sementara
pendekar itu berkilat mencorong, Kui Yang sampai
menjerit maka Kang Hu benar-benar melihat bahwa
tak mungkin lagi mengikuti keluarga Liang-san ini.
Suasana benar-benar panas membakar.
"May-may? Nenek May-may...?" pendekar itu
bergumam dan mengerotokkan jari-jarinya akan
tetapi tiba-tiba berkelebat dan lenyap di luar. Sang
isteri disambar dan tiba-tiba tampaklah mereka
meluncur turun gunung, cepat sekali. Dan ketika Kui
Yang maupun Kang Hu mengejar keluar, tertegun
melihat suami isteri itu maka Fang Fang mengerahkan
ilmunya berkata kepada anak-anak muda ini.
"Kami tak dapat menemani kalian lagi. Maaf
dan tinggalkan saja tempat ini, Kang Hu, lain kali kami
datang ke tempatmu jika keadaan sudah tenang!"
Termangulah pemuda ini dengan wajah pucat.
Dua orang itu meluncur cepat akan tetapi Kui Yang
tiba-tiba menjerit. Berteriaklah gadis itu memperingat
kan Sia-tiauw-eng-jin. Dan ketika Kang Hu berubah
dan teringat ini, meloncat dan mengejar maka buruburu pemuda ini memanggil, terbang ke bawah.
31 "Fang-taihiap, tunggu. Ada seorang lain lagi
yang datang ke sini. Kami ingin bertanya!"
Kui Yang juga mengejar dan jatuh bangun di
belakang temannya ini. Begitu gugup dan panik dua
orang muda itu hingga Kang Hu terpeleset dan
terguling-guling di bawah. Untunglah Fang Fang tak
meninggalkan mereka. Dan ketika bayangan pendekar
itu berkelebat dan tahu-tahu ke atas, menyambar dan
mencengkeram pemuda ini maka Fang Fang
mencorong memandang pemuda ini. Kang Hu pucat
mengebut-ngebutkan bajunya yang kotor.
"Maaf, ampunkan kami. Sesuatu membuat kami
lupa, Fang-taihiap. Seseorang telah menunggumu tiga
hari di sini akan tetapi pergi lagi. Kenalkah taihiap akan
seorang kakek muka merah berjuluk Sia-tiauw-engjin!"
"Sia-tiauw-eng-jin?"
"Ya, dan suhengnya, kakek berpakaian serba
putih. Usia mereka kira-kira enam puluh tahun dan
semua ahli panah!"
Terdengar suara suling ketika tiba-tiba
pendekar ini berkerut dan menggeleng. Memang Fang
Fang tak mengenal ini akan tetapi wajahnya berubah
mendengar seruling itu. Seorang kakek muncul pula di
32

Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tikungan bawah gunung. Dan ketika suami isteri itu
melompat menegur nyaring maka kakek ini melepas
kan sulingnya berkata tertawa.
"Sia-tiauw-eng-jin adalah laki-laki gagah
perkasa seangkatan gurumu. Kalau ia muncul dan
menunggumu apalagi maksudnya kalau bukan untuk
bertanding, Fang-taihiap. Akan tetapi suhengnya Hianko-sin-kun adalah kakek sareh tak suka keributan.
Anak-anak ini beruntung, akan tetapi biarlah
kuberitahukan agar berhati-hati bertemu si Pemanah
Rajawali itu. Ia bisa ganas dan edan-edanan sekali
waktu, ha-ha!"
"Sin-kun-bu-tek locianpwe!"
Fang Fang menyambut dan sudah menjura di
depan kakek ini. "Ada apa kau datang dan mana cucu
atau muridmu. Apakah locianpwe ada keperluan
khusus di Liang-san."
"Ha-ha, heh-heh, tidak juga. Hanya kebetulan
kucium bau sahabat lamaku itu, taihiap, dan ternyata
benar hidungku masih tajam. Ah, mereka ini
beruntung akan tetapi hati-hati saja. Kalau Sia-tiauw
eng-jin muncul kembali biasanya akan ada keributan!"
Kang Hu terkejut dan Kui Yang juga berubah.
Mereka tak tahu siapa kakek ini namun segera
33 tersentak mendengar Fang Fang menyebut kakek itu
Sin-kun-bu-tek (Malaikat Tanpa Tanding). Inilah satu di
antara tokoh tua yang amat sakti generasi atau
seangkatan mendiang Dewa Mata Keranjang. Maka
ketika mereka memberi hormat dan Kang Hu maupun
Kui Yang membungkuk dalam-dalam maka Fang Fang
tertegun mendengar kata-kata kakek itu, mengerut
kan kening.
"Locianpwe mengenal dua orang ini? Mereka
seangkatan locianpwe dan mendiang suhu?"
"Benar, akan tetapi empat puluh tahun yang
lalu mereka tak berada di Tiong-goan lagi. Barangkali
gurumu tak pernah menceritakannya karena dianggap
nya tewas, taihiap, namun akulah satu-satunya orang
yang tahu perihal mereka ini. Hm, mereka itu tak
boleh dibuat main-main dan gurumu sendiri belum
tentu dapat mengalahkannya kalau masih hidup,
begitu juga aku!"
Yang paling girang tentu saja Kang Hu berdua.
Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa dugaan
mereka benar, Kang Hu berseri-seri. Akan tetapi
karena mereka berhadapan dengan orang-orang tua
dan Kang Hu maupun Kui Yang menyimpan saja
perasaan itu maka Fang Fang akhirnya teringat
34 urusannya sendiri. Sin-kun-bu-tek ternyata muncul
kebetulan.
"Kalau begitu maafkan kami. Kalau locianpwe
tak ada keperluan khusus kami ingin melanjutkan
perjalanan lagi. Cucu kami Cit Kong diculik orang."
"Ah, diculik orang?"
"Benar, locianpwe, karena itu maafkan kami.
Kami tergesa mencari cucu kami dan silakan locianpwe
ke atas kalau ingin beristirahat. Kang Hu dapat
mewakili kami."
"Thian Yang Maha Agung, kiranya kehadiranku
malah mengganggu saja. Ah, maafkan aku, Fangtaihiap, akan tetapi akan kubantu kau mencari
penculik itu. Kapan dan di mana terjadinya, siapa pen
culik itu!"
"Katanya nenek May-may..."
"Astaga, orang dalam sendiri? Kalau begitu..."
"Benar, urusan keluarga. Maafkan kami,
locianpwe, kami tak dapat menemanimu lagi!"
Kakek itu mengangguk dan Fang Fang suami
isteri berkelebat. Kakek ini termangu-mangu dan
bibirnya yang tertanam di balik jenggot lebat itu
35 bergumam. Ada persamaan antara kakek ini dengan
kakek berpakaian serba putih, yang ternyata Hian-kosin-kun adanya, Malaikat Penyuguh Buah. Dan ketika
Kang Hu bersinar-sinar dan sekarang tahu siapa kakek
mengagumkan itu, suheng Sia-tiauw-eng-jin yang
bergendewa emas maka kakek itu akhirnya membalik
dan memandang mereka. Kui Yang juga bersinar-sinar
dan diam-diam berbagai perasaan mengaduk hatinya.
Kakek inipun sakti!
"Siapakah kalian dan ada hubungan apakah
dengan pendekar Liang-san ini. Agaknya kalian dekat
sekali."
"Siauwte (aku) Kang Hu, itu temanku Kui Yang.
Kakekku Bu-goanswe yang kini pensiun sedang ayah
Kui Yang adalah Kok-taijin. Barangkali locianpwe
mengenal sementara kami tentu saja sudah
mendengar tentang locianpwe yang kiranya Sin-kunbu-tek!"
"Ah, nama tinggallah nama, yang penting
orangnya. Kalau ayah kalian Kok-tai jin dan Bugoanswe pantas saja Fang Fang begitu dekat dengan
kalian. Heran, kalian di sini mengerjakan apa, anakanak, di mana pula ayah kalian!"
36 "Ayah sudah kembali ke rumah, kami sengaja
dititipkan untuk sekedar membantu Fang-taihiap.
Keluarga Liang-san dirundung malapetaka dan kami
turut sedih."
"Bagus, akupun tak tinggal diam. Baru kutahu
ada kejadian begini, anak muda, akan tetapi repotnya
urusan keluarga. Hm, apa maunya nenek itu menculik
anak kecil. Dan kalian sendiri, hendak ke manakah
kalian berdua?"
"Kami... kami hendak pulang."
Kang Hu berbohong.
"Tidak, Kang Hu hendak mencari kakek itu,
Hian-ko-sin-kun!"
Kang Hu dan kakek itu terkejut. Pemuda ini
menyesalkan temannya akan tetapi Kui Yang terlanjur
bicara. Gadis itu terlalu polos bicara, padahal Kang Hu
sengaja menyimpan maksudnya agar tak nyak ditanya.
Namun ketika kakek itu tiba-tiba terkekeh dan Kang
Hu lega, Kui Yang merasa heran mendadak kakek ini
menanya gadis itu.
"Baik, dan kau sendiri, ke mana kau Pergi, nona.
Apakah juga mencari sahabatku Hian-ko-sin-kun ini?
Ada maksud apa?"
37 Kui Yang bingung, tak menjawab. Ia sendiri tibatiba gugup dipandang kakek itu. Sekarang baru ia tahu
bahwa sebaiknya tak usah mengatakan terus terang
kalau mereka hendak mencari Hian-ko-sin-kun.
Bukankah jelas ingin mencari guru! Dan karena kakek
ini juga seorang luar biasa dan siapa tak mengenal Sinkun-bu-tek maka Kui Yang bingung ke manakah dia
sekarang. Hian-ko-sin-kun atau Sin-kun-bu-tek! Akan
tetapi karena temannya sudah memilih kakek itu dan
Hian-ko-sin-kun pun seorang ahli panah, cocok dengan
kepandaiannya tiba-tiba gadis ini mengangkat kepala
bahwa iapun hendak mencari kakek itu. Apa boleh
buat, ia dan Kang Hu sudah terbiasa bersama-sama!
"Aku juga akan mencari kakek itu. Aku, eh...
Kang Hu mengajakku ikut, locianpwe, dan aku
terlanjur berjanji!"
"Untuk apa? Ingin menjadi muridnya?"
"Ini... eh, mungkin begitu!"
"Ha-ha, sungguh jodoh. Kalian sama-sama
membawa busur, nona, tentu cocok dengan kakek itu.
Akan tetapi baru kutahu bahwa Hian-ko-sin-kun suka
pula bermain panah. Baiklah, tak usah malu-malu.
Selamat berpisah dan mudah-mudahan kalian segera
menemukannya. Akupun hendak pergi dan sampaikan
38 salamku pada kakek itu!" Sin-kun-bu-tek berkelebat
dan tiba-tiba iapun lenyap. Kang Hu terkejut dan
kagum bukan main sementara Kui Yang terlepas
himpitan batinnya. Gadis ini lega. Dan ketika Kang Hu
menegur temannya kenapa membuka rahasia maka
gadis itu cemberut membela diri, meskipun mereka
berdua sama-sama lepas dari ketidakenakan tadi.
"Aku tak suka bohong, dan sejak kapan kau
bohong pula. Untuk apa takut berterus terang, Kang
Hu, toh kita tidak mengganggu kakek itu!"
"Benar, akan tetapi sebaiknya kita menjaga
perasaan orang. Kalau kakek itu tersinggung tentu aku
yang tidak enak, Kui Yang, untunglah ia bijaksana dan
tidak marah. Kakek itu menebak tepat maksud kita."
"Dan sekarang mari pergi, mudah-mudahan
cepat ketemu!"
"Tunggu, aku hendak menguji kakek ini. Buah
buah ini dapat digunakan sebagai petunjuk."
"Buah?"
"Ya, ini, Kui Yang, tidakkah kau ingat!" lalu
ketika Kui Yang teringat dan sadar akan itu maka ia
berseri melihat Kang Hu mengeluarkan buah Sin-ko
itu, menepuk. "Coba kau beri tahu di mana majikanmu
39 berada. He, kami ingin menemuinya, buah aneh.
Tunjukkan kepada kami di mana kakek itu!"
Ajaib, buah ini meloncat dari tangan Kang Hu.
Begitu Kui Yang berseru kaget maka buah itupun
menggelinding, bergulir dan terus turun gunung
diikuti pandang mata Kang Hu yang kaget. Pemuda
inipun terkejut seperti temannya dan buah itu seakan
tersedot atau terbawa kekuatan gaib bagai sihir,
meloncat dan akhirnya terbang tak dapat ditangkap
anak muda itu. Lalu ketika Kang Hu berteriak keras
menyusul dan menangkap maka Kui Yang pun
berkelebat namun gagal menangkap buah itu, tak tahu
bahwa benda ini telah "diisi" oleh Hian-ko-sin-kun!
"la mengejek kita, kurang ajar. Bagaimana ada
kejadian begini aneh, Kang Hu. Buah ini tak dapat
kusambar!"
"Dan akupun tak dapat menangkapnya. He,
mari berlomba siapa cepat, Kui Yang, kalau kau
berhasil biarlah kau pemiliknya!"
"Sungguh?"
"Tentu saja!"
Lalu ketika dua anak muda ini melesat dan
menyambar namun gagal, tak terasa telah
40 meninggalkan Liang-san keluar masuk hutan akhirnya
di sebuah perbukitan sunyi buah itu lenyap dan
sebagai gantinya terdengarlah kekeh tawa dan kakek
itu tahu-tahu telah berada di depan mereka. Buah ini
telah di tangannya.
"Heh-heh, sudah kuduga, jodoh memang di
tangan kita. Berhenti dan jangan tangkap lagi, anakanak. Sin-ko ini milik kalian berdua. Ada apa kalian
mencari aku dan tahukah kalian bahwa Sin-kun-bu-tek
kecewa!"
"Locianpwe, eh... locianpwe di sini? Locianpwe
tahu kakek itu?"
"Ha-ha, kenapa tidak. Katakan apa maksud
kalian, anak-anak, ada apa mencariku. Cepat sebelum
dia ke sini."
"Dia siapa? Sin-kun-bu-tek itu?"
"Benar, dia akan menyusul. Ketahuilah dia
mengawasi gerak-gerikku dan suteku Sia-tiauw-engjin!"
"Ah, kalau begitu..."
"Cepat katakan maksud kalian, kita harus segera
pergi!"
41 "Kami ingin menjadi muridmu!" Kang Hu tak
ragu dan cepat menjatuhkan diri berlutut. "Telah bulat
keputusan kami bahwa kami ingin menjadi murid,
locianpwe. Semoga kau tak ragu dan menerima kami!"
"Pendekar Liang-san itu?"
"Ia sibuk, tak mungkin memperhatikan kami.
Lagi pula cucunya diculik dan pergi lagi."
"Dan kau?" kakek ini menunjuk Kui Yang.
"Akupun mengikuti temanku karena kami selalu
bersama-sama."
"Eh, belajar ilmu bukan sekedar ikut-ikutan.
Belajar kepandaian harus didorong sesuatu, bocah,
mana mungkin asal-asalan!"
"Aku tertarik karena tak mau kalah dengan Kang
Hu, dan lebih dari itu karena aku tak mau dikalahkan
anak laki-laki itu!" Kui Yang kemerah-merahan.
"Dan tak jadi menjadi murid Liang-san? Tak
ingin menjadi pewaris pendekar itu?"
"Kang Hu telah membuka kesadaranku
locianpwe, bahwa Fang-taihiap tak mungkin
mengambil kami secara sungguh-sungguh."
"Maksudmu?"
42 "Fang-taihiap memiliki anak isteri, bahkan
keluarganya besar. Masa kami diterimanya sungguhsungguh, locianpwe. Kalau ia sendirian mungkin saja,
akan tetapi anak isterinya itu merupakan orang-orang
paling dekat!" Kang Hu menjelaskan dan pemuda
inilah yang berseru membantu temannya. Kui Yang
tampak gugup dan malu menerangkan dan kakek
itupun akhirnya terkekeh. Jenggot dan alis matanya
bergerak-gerak. Dan ketika tiba-tiba ia menangkap
dua anak muda ini digandeng di kiri kanan, meloncat
dan terbang tak menginjakkan kaki di bumi maka
kakek ini tertawa berseru,
"Baik, aku sudah tahu. Aku telah mendengarkan
percakapan kalian, anak-anak, dan sekarang mari
pergi ke tempatku yang paling aman. Sin-kun-bu-tek
hampir melihat kita dan sekarang juga kalian menjadi
murid-muridku. Ha-ha, kalian memang berjodoh!"
Ngerilah Kui Yang dibawa terbang secepat ini.
Mereka berdua tak mampu lagi menyentuh tanah
karena begitu cepat kakek ini berlari cepat. Ilmunya
benar-benar luar biasa. Dan ketika gadis itu terpaksa


Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memejamkan matanya saking pedih dan pedas, Kang
Hu juga menutup kedua matanya maka di mulut hutan
berkelebat bayangan Sin-kun-bu-tek yang celingukan
tak melihat lawannya, terkekeh dan mengangguk43
angguk dan akhirnya kakek inipun meloncat pergi. Dan
begitu dua tokoh sakti itu menuju arah masing-masing
maka Kui Yang dan Kang Hu menemukan guru barunya
yang agaknya memang cocok. Sejak itu lenyap dan
tentu saja bakal membuat kalang kabut orang tua
masing-masing!
*** Kembali kepada Tan Hong dan Kiok Eng yang
marah-marah di puncak Liang-san. Apakah yang
terjadi dengan suami isteri muda ini dan benarkah Cit
Kong diculik nenek May-may.
Seperti diketahui telah terjadi perpecahan
keluarga di Bukit Angsa ini. Ming Ming yang membawa
puterinya meninggalkan tempat itu akhirnya
meneruskan perjalanan menuju bangsa kulit putih,
meninggalkan Tiong-goan. Sedangkan nenek Maymay yang ragu dan bimbang di tepi pantai akhirnya tak
jadi ikut.
"Aku tak dapat membiarkan semua ini lewat.
Kalian pergilah dan biarkan aku di sini, Ming Ming. Tak
boleh mereka itu hidup tenang. Pergilah dan biar aku
kembali dan jaga Beng Li baik-baik. Akan kuculik dan
kubunuh Cit Kong biar sama-sama tak punya cucubuyut!" May-may nenek berangasan ini mengepal
44 tinju ketika perahu siap berangkat. Ming Ming dan
puterinya menangis bercucuran dan tiada hentinya
ibu dan anak sesenggukan, terutama Beng Li. Wanita
muda ini memang sakit hati sekali atas kematian
puteranya dan betapa tendangan Kiok Eng serasa
teringat seumur hidup. Tendangan itulah yang
membuat ia keguguran. Itulah yang membuat ia sakit
hati. Dan ketika sang ayah dirasa membela Kiok Eng
sementara ia dan ibunya begitu tak dihiraukan,
demikianlah perasaannya maka keputusan meninggal
kan Tiong-goan adalah yang terbaik, paling tidak untuk
saat itu. "Ayah sudah tak mencintai kita lagi, ia berat
sebelah. Untuk apa tinggal di sini lagi, ibu, lebih baik
pergi dan biar nenek guru membalas dendam!"
Ming Ming tak menjawab ketika ia tersedu-sedu
berangkulan dengan puterinya ini. Hatinya masih
panas terbakar teringat Ceng Ceng, madunya. Masih
terasa sakit bekas tangkisan suaminya ketika melerai.
Ia terpelanting, bergulingan. Dan ketika dilihatnya
suaminya menolong dan mengusap madunya, betapa
Ceng Ceng mengguguk melapor manja, begitulah
perasaannya maka wanita ini panas sekali membuat
darah serasa mendidih.
45 Akan tetapi perahu sudah bergerak. Mereka
tidak mempergunakan kapal besar di mana ketika
pertama kali rombongan Franky mendarat. Kapal itu
masih di kota raja dan mereka mempergunakan
perahu biasa, perahu yang hanya cukup untuk mereka
sekeluarga di mana Yuliah juga ikut. Dan ketika perahu
menjauh meninggalkan pantai, ombak besar mulai
menerjang maka May-may melambaikan tangannya
untuk kemudian lenyap sambil tersedu-sedu. Tak ada
yang menyangka bahwa itulah pertemuan terakhir
mereka dengan nenek yang ganas ini.
May-may juga terpukul. Kiok Eng adalah
muridnya juga namun dibanding Ming Ming maupun
Beng Li tentu saja hubungannya lebih dekat dengan
dua terakhir ini. Ming Ming itulah muridnya pertama
sebelum bertemu Kiok Eng. Dan karena Kiok Eng
digembleng pula oleh sepuluh nenek lain yang semua
merupakan kekasih Dewa Mata Keranjang maka
kepandaian gadis itu menjadi bermacam-macam dan
tentu saja nenek ini kalah tinggi. Hanya Ming Ming
itulah betul-betul murid utama pewaris ilmu
tunggalnya. Kini menghadapi Kiok Eng yang dibantu
ibu dan nenek gurunya, Lui-pian Sian-li Yan Bwee Kiok
kemarahan nenek ini benar-benar terbakar, apalagi
dibantu Fang Fang. Mana mungkin ia mengalahkan
46 pendekar itu kalau mendiang Dewa Mata Keranjang
sendiri tak mampu menghadapi bekas murid yang
amat hebat ini. Maka ketika nenek itu menjadi
demikian marah dan segala pikiran jernih buyar
berentakan, dendam dan sakit hati mulai tertanam
maka apapun menjadi tidak sehat dan mudah keluar
jalur. Maksud nenek ini misalnya, menculik dan
membunuh Cit Kong. Dosa apakah anak sekecil itu
hingga harus dibunuh? Salah apakah anak ini kepada
yang tua-tua? Hanya karena dendam dan sakit hati
merasuki jiwa maka orang pun menjadi tidak waras.
Dan nenek itu tetap di Tiong-goan untuk menculik dan
melaksanakan niatnya!
Akan tetapi Bukit Angsa bukan tempat enteng.
Meskipun tak ada Ceng Ceng maupun Lui-pian Sian-li
(Dewi Cambuk Sakti) Yan Bwee Kiok keberadaan Kiok
Eng cukup berbahaya, apalagi suaminya Tan Hong.
Seorang diri saja tak mungkin nenek ini berhasil. Maka
ketika ia mencari-cari akal bagaimana menculik dan
membunuh Cit Kong, iapun ingin agar Ceng Ceng dan
gurunya merasakan tak punya cucu tiba-tiba di tengah
perjalanan seseorang menghadang nenek ini,
membuat nenek itu terkejut dan berubah.
47 "Heh-heh, ini kiranya si tua bangka May-may.
Bagus, berhenti dan serahkan dirimu, May-may,
hutang lama bayar dulu!" Seorang kakek gundul
terkekeh-kekeh dan matanya yang cekung ke dalam
terasa menyeramkan dengan pandang mata dingin.
Nenek itu terkejut dan berhenti dan tertegunlah dia
melihat siapa yang datang. Dan ketika ia mundur
menenangkan guncangan hatinya, berdetak dan mau
menangis maka ia membentak mengusir semua rasa
gentar. "Siang Lun Mogal tua bangka Mongol! Mau apa
dan siapa takut padamu. Minggir, aku sedang berduka
kehilangan cucu. Atau aku mengadu jiwa denganmu
dan jangan kira aku takut!"
Siang Lun Mogal, kakek ini terkekeh-kekeh. Ia
seorang kakek gundul berkepala pelontos, tak berbaju
dan memperlihatkan tulang iganya yang kering serta
kurus. Sepintas seakan orang kelaparan. Akan tetapi
kalau orang melihat betapa nenek sehebat ini gemetar
suaranya dan jelas gentar, inilah tokoh yang hebat
dengan Hoat-lek-kim-ciong-ko nya yang amat mengeri
kan maka orang tak heran lagi kenapa nenek itu
menggigil, biarpun May-may memberani-beranikan
hatinya. 48 "Heh-heh, ha-ha-ha! Kau seperti kucing betina
kesiangan, May-may, wajahmu pucat akan tetapi
masih juga cantik. Ah, kau tiba-tiba menggiurkan dan
menarik hatiku. Cobalah mendekat!" jari-jari kakek itu
terjulur dan tahu-tahu menangkap nenek ini. Maymay terkejut dan mengelak akan tetapi kalah cepat.
Tahu-tahu pinggang dan perutnya diusap. Dan ketika
kakek itu terkekeh nenek ini masih bertubuh kencang,
tak dapat disangkal May-may pandai merawat diri
maka kakek itu tergelak-gelak sementara nenek ini
membentak seram. Kuduk dan seluruh bulunya
berdiri. "Jangan kurang ajar, diam kau. Apa maksudmu
mengganggu aku dan jangan kira aku takut!" berkata
begini nenek itu meledakkan rambutnya dan Sinmauw-kang (Ilmu Rambut Sakti) siap dipergunakan.
Akan tetapi kakek itu malah tergelak-gelak, begitu geli
dan sepasang matanya membuat nenek ini gemetar.
Mata itu melahap tubuhnya penuh nafsu, seperti mata
seorang pemuda yang melihat seorang wanita
telanjang bulat.
"Heh-heh, ha-ha-ha! Benar dugaanku bahwa
kau masih bagus dan dapat dipakai, May-may. Usia tak
membuat tubuhmu kendor. Ah, perut dan pinggang
49 mu masih halus. Tak salah Dewa Mata Keranjang
memilihmu!"
"Jahanam!" nenek ini menerjang dan rambut
pun menyambar, bercuit bagai kawat-kawat baja.
"Tutup mulutmu dan jangan bicara kotor, Siang Lun
Mogal. Aku bukan perempuan hina yang dapat kau
permainkan!"
Akan tetapi si kakek mengebut. Kebutan ini
membuat anak rambut berhamburan, bahkan
meledak dan menyambar kembali nenek itu. Dan
ketika May-may menjerit dan melempar tubuh
bergulingan, kakek ini tergelak menyeramkan maka
nenek itu bergulingan meloncat bangun dengan wajah
seram. Kakek ini begitu bernafsu!
"Kau berkhianat, kau menggagalkan segala
usahaku. Hm, kali ini tak mungkin kau selamat, Maymay. Kau harus membayar segala hutangmu dan
kematian muridku!"
"Tahan, aku mau bicara. Tunggu dan dengarkan
dulu kata-kataku!" nenek ini mengangkat tangannya
dan jelas betapa ia gentar dan pucat bukan main.
Setua itu baru kali ini nenek May-may merinding. Ia
benar-benar takut akan ancaman pandang mata ini,
bukan kematian melainkan hinaan. Ia takut kalau
50 dihina dan dipermainkan. Ia ngeri kalau kakek itu
seperti gila. Maka ketika ia mengangkat tangan tinggitinggi dan buru-buru menyetop, kakek itu menyeringai
lalu terkekeh, berkatalah Siang Lun Mogal dengan
mata masih penuh nafsu. Yang diincar adalah perut
halus nenek ini, aneh!
"Kau mau bicara apa, apakah ingin aku
mengampunimu. Hm, tak bisa, May-may, tak
mungkin. Aku kehilangan murid dan amat menyakit
kan. Kau memberontak dan mengkhianati aku!"
"Yang dulu tak usah dibicarakan, yang penting
adalah sekarang. Musuhmu dan musuhku sama,
Mogal. Aku hendak ke Bukit Angsa membalas dendam.
Kalau kau mau dengarkan aku dan bicara baik-baik
akan kuterangkan kepadamu dan kebetulan aku butuh
kawan!"
"Heh-heh, aku memang kawan yang baik. Aku
laki-laki dan kau perempuan, May-may. Kita dapat
tidur bersama."
"Tutup mulutmu, jahanam!" akan tetapi ketika
nenek ini menahan kemarahannya dan membiarkan
kakek itu tertawa maka ia membentak apakah lawan
dapat diajak kerja sama. "Aku tak butuh itu, kau dan
aku sama-sama tua bangka. Aku dibuat sakit hatiku
51 oleh muridku Kiok Eng, Siang Lun Mogal. Kalau kau
mau membantuku dan kita culik lalu bunuh Cit Kong
maka apapun kupenuhi!"
"Cit Kong? Siapa ini?"
"Anak Kiok Eng, laki-laki. Aku ingin membunuh
nya sebagai balas dendam!"
"Heh-heh, ha-ha-ha! Tak masuk akal, lelucon
paling lucu. Eh, begini caramu menipu, May-may,
jangan harap kau mampu dan mudah mengelabuhi
aku. Bohong, kau dusta!" dan ketika tiba-tiba kakek ini
berkelebat menjulurkan lengannya, sepuluh jarinya
mencuatkan kuku-kuku tajam maka nenek May-may
menjerit dan melempar tubuh bergulingan.
"Cret!" pohon di belakangnya terkena. Pohon
ini roboh dan seketika hangus dan pucatlah nenek itu
meloncat bangun. Ia melengking dan memaki-maki
dan melihat kakek itu memutar tubuhnya. Siang Lun
Mogal merasa gembira. Akan tetapi ketika dia
menyeringai dan hendak menyerang lagi maka nenek
ini berkata, keras bercampur tangis.
"Aku tak takut mati, tak takut kalah. Akan tetapi
kalau kau menghina dan mempermainkan aku maka
sekarang juga kau mendapatkan mayatku, Mogal. Kau
tak dapat memiliki aku kecuali aku suka!"
52 Kakek ini tertegun, melihat nenek itu meng
genggam sebilah pisau kecil. Dengan sungguhsungguh dan air muka tak takut kematian nenek ini
bicara lantang. Air matanya bercucuran. Dan ketika
Mogal terkejut mengerutkan kening maka kakek itu
ragu-ragu dan melihat bahwa lawan tidaklah
berbohong.
"Hm, apa maksudmu dengan kata-kata kecuali
aku suka itu. Terangkan dan coba jelaskan kepadaku,
May-may, kau aneh akan tetapi rupanya tidak
bohong!"
"Aku tak ingin kau menjamah tubuhku, kecuali
ijinku. Kalau kau mau membantu dan menculik anak
itu maka apapun kuberikan termasuk tubuhku!"
Kakek ini terkekeh, berseri-seri.
"Kau tidak bohong? Bagaimana kalau bohong?"
"Kepandaianmu jauh lebih tinggi, Mogal, kau
dapat melakukan apa saja kalau kau mau. Akan tetapi
aku tak akan memberikannya suka rela kalau kau tak
membantuku!"
"Hm, heh-heh, kau wanita hebat. Baru kali ini
aku dipaksa tunduk nenek-nenek sepertimu. Kalau
saja, hmmm... kalau saja tubuhmu tak langsing
53 menarik tak sudi aku mendengarkannya, May-may,
tapi sekarang katakan kenapa sikapmu begini aneh.
Kenapa kau membenci dan hendak menculik anak itu.


Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bagaimana asal mulanya."
Nenek ini terisak, mulai lega. Usianya sudah
limapuluh lebih akan tetapi perawatan dan
kesehatannya memang dijaga baik. Rambutnyapun
belum ada yang putih. Maka ketika Mogal meraba
perutnya tadi dan betapa halus serta kencang bagi an
itu, juga pinggang yang masih ramping padat maka
kakek Mongol yang rupa nya tergila-gila ini tertarik.
Siang Lun Mogal adalah guru mendiang Wi Tok putera
kaisar dari selir, yang memberontak dan gagal itu.
"Aku... aku disakiti Fang Fang dan isterinya Ceng
Ceng, juga keparat Kiok Eng itu. Mereka membunuh
cucuku yang masih dalam kandungan!"
"Eh, muridmu Ming Ming hamil lagi?"
"Tidak, bukan dia, melainkan cucu muridku
Beng Li. Kau tentu ingat gadis baju merah ini yang
akhirnya menikah dengan pemuda kulit putih itu. Ia
mengandung, akan tetapi akhirnya digugurkan Kiok
Eng lewat tendangan berbahaya!" May-may lalu
menceritakan peristiwa itu dan kakek ini menganggukangguk. Kadang Siang Lun Mogal tertawa atau
54 terkekeh geli, dibiarkan dan tetap nenek itu bercerita.
Dan ketika akhirnya ia gagal merampas Cit Kong, ada
ibu dan ayahnya di situ maka nenek ini mengakhiri
dengan tinju terkepal. "Semua ini ditambah
pembelaan Fang Fang. Keparat itu membuat kami tak
dapat membalas sakit hati. Akan tetapi karena ia pasti
pulang dan kembali ke Liang-san maka Kiok Eng
berdua itulah yang menyulitkan aku. Kalau kau
membantuku dan menculik anak itu kubayar
semuanya dengan jiwa dan raga!"
"Heh-heh, ini kiranya. Sekali tepuk dua lalat
terjangkau. Ih, kalau begitu maumu tentu saja aku tak
keberatan, May-may, hanya tentu saja bantuan ini
harus ada ikatan. Mana mungkin gratis begitu saja!"
"Maksudmu?"
"Heh-heh!" kakek ini bangkit berdiri, melahap
tubuh wanita itu, lalu rambutnya yang hitam gemuk,
tak beruban. "Ikatan ini harus dilaksanakan beserta
bukti, May-may, masa lolos tak ada apa-apanya. Aku
percaya kesungguhanmu, akan tetapi lebih percaya
lagi setelah kau memberiku sesuatu."
"Jangan kurang ajar, tubuhku tak boleh kau
jamah sebelum anak itu di tangan kita!"
55 "Heh-heh, meskipun cium barang sedikit? Tidak
adil, kau mau menangnya sendiri. Aku tak minta yang
lebih kecuali mencium dan dicium, May-may. Kalau
kau setuju akupun membantumu. Hitung-hitung uang
panjar!"
Nenek ini merah padam, melompat bangun. Dia
menggigil dan marah sekali akan tetapi bantuan lawan
amatlah berharga. Kalau saja Siang Lun Mogal
memaksa tentu dia menolak. Kalau perlu melawan
mati-matian. Akan tetapi karena lawan bicara wajar
dan apalah artinya cium akhirnya ia mengangguk dan
berkata, suaranya gemetar menahan marah, juga
malu bercampur-aduk.
"Baiklah, kau tidak salah. Setua ini masih juga
mata keranjang, Siang Lun Mogal. Aku memenuhi
permintaanmu dan anggap sebagai panjar!"
Kakek itu terkekeh, menyambar. Tanpa ba-bi-bu
lagi ia memeluk dan mencium wanita ini, May-may
hampir muntah-muntah. Akan tetapi ketika ia
mengeraskan hati dan menerima semua itu, inilah
beratnya sakit hati maka kakek itupun minta dibalas
dan May-may hampir menampar.
56 "Sekarang kau, cium yang mesra. Tua-tua
semakin menggila, May-may, kau tak kalah dengan
yang tujuh belas tahunan. Ha-ha, lagi... cup-cup!"
May-may menahan muaknya hati dan tiba-tiba
nenek itu menampar. Ia telah mencium dan membalas
akan tetapi semua itu tentu saja dilakukan ala
kadarnya. Mana mungkin kelebat sementara kakek ini
tergelak-ge-lak, May-may telah "menjual" dirinya
sedemikian rupa maka kakek inipun bergerak dan
menyambar menuju Bukit Angsa, menggandeng
nenek itu.
(Bersambung jilid VII.)
57 COVER 1 =0= "MENCARI BUSUR KUMALA" =0=
Karya : Batara
Jilid VII *** "HA-HA, harum... harum dan manis. Ah, ciuman
mu menyegarkan, May-may, menerbangkan sukmaku.
Andai kudapatkan semuanya!"
Nenek ini tak menjawab dan mengipatkan
lengannya ketika kakek itu menyambar dan meng
gandeng dirinya. Ia merah padam dan malu serta
marah akan tetapi mau bagaimana lagi. Inilah bantuan
yang amat berharga. Maka ketika ia terbang
sementara kakek itu mengiringi di sebelahnya,
kadang, mengusap atau membelai bagian-bagian
tubuhnya secara kurang ajar maka nenek ini pun tak
berani banyak menolak agar si kakek tak marah. Ia
hanya menolak jika kakek itu berbuat lebih, melanggar
yang satu itu. Dan ketika Siang Lun Mogal gembira dan
semakin bersemangat, nafsunya benar-benar terbakar
maka kakek ini pun sungguh-sungguh membantu
nenek ini dan merekapun tiba di Bukit Angsa.
3 Waktu itu Cit Kong dibawa ibunya ke kota.
Sebagaimana kebiasaan Kiok Eng setiap minggu maka
kebetulan bersama suami dan anaknya ia pergi
berbelanja. Ceng Ceng sang ibu berburu di dekat
hutan mencari kelinci gemuk. Hanya Lui-pian Sian-li
Yan Bwee Kiok yang ada di rumah, membersihkan
ruangan dan mencuci piring sambil menunggu
kedatangan cucu dan muridnya. Maka ketika tiba-tiba
dua orang ini berkelebat dan langsung memasuki
rumah, terkejutlah Dewi Cambuk Kilat itu maka Maymay bertanya di mana Cit Kong dan lain-lain.
"Kenapa sepi, mana Kiok Eng dan puteranya.
Aku datang ingin mengambil Cit Kong, Bwee Kiok,
tunjukkan padaku dan jangan melindungi!"
Nenek ini tertegun dan berubah. Kalau saja
May-may datang sendiri tentu tak akan sekaget ini
nenek itu. Akan tetapi kakek gundul di samping nenek
ini! Maka ketika Bwee Kiok menenangkan guncangan
batinnya namun tetap juga gemetar, sikap dan
pandang mata May-may jelas tidak bersahabat maka
ia menegur untuk apa rekannya itu mencari Cit Kong.
"Anak ini dibawa ibunya, berbelanja. Ada apa
kau datang dan mencarinya sementara temanmu
adalah kakek ini, May may. Tidakkah kau tahu siapa
4 dia dan bagaimana membawa masuk seorang iblis tua
bangka!"
"Heh-heh-ha-ha, serang dan robohkan saja.
Siapa tahu ia bohong dan menyembunyikan anak itu,
May-may. Untuk apa banyak tanya dan sikat saja. Aku
mencarinya ke dalam!" Siang Lun Mogal terkekeh dan
kakek gundul ini langsung melompat menuju ruang
samping. Ia sengaja menghadapkan nenek itu dengan
May-may dan diri sendiri berkelebat mencari Cit Kong.
Jawaban itu tak mungkin dipercayanya begitu saja.
Dan ketika nenek itu membentak namun harus
melewati May-may, nenek ini menggerakkan rambut
nya maka Bwee Kiok ditangkis dan keduanya terpental
serta berseru keras.
"Plak!"
Dewi Cambuk Kilat menjadi marah dan
melengking mencabut senjatanya. Dalam saat-saat
tertentu boleh saja ia main-main dengan bekas rekan
ini, akan tetapi kalau May-may sudah mengeluarkan
silat rambutnya dan mainkan Sin-mauw-kang itu,
senjata ini jelas berbahaya maka nenek ini pun tak
mau lengah dan mencabut serta menyerang lawan.
Cambuk panjang meledak-ledak dan telah berada di
tangannya.
5 "Tak tahu malu, licik dan busuk. Kau masih juga
memusuhi anak kecil yang tak berdosa, May-may,
sakit hatimu tak beralasan. Dan kau datang bersama
kakek jahanam itu. Ah, mati hidup kuhalangi kau... tartarr!" lalu ketika cambuk menjeletar dan mengeluar
kan suaranya yang nyaring, semakin lama semakin
nyaring agar didengar Ceng Ceng di luar hutan maka
May-may mendengus dan ber kelebatan melayani
madunya ini. Sin-mauw-kang adalah andalannya
sementara lawan cambuk panjangnya.
Akan tetapi keduanya tak mungkin merobohkan
dalam waktu cepat. Ginkang dan ilmu silat keduanya
tak berselisih jauh dan masing-masing mengenal pula
permainan lawan. Baik Bwee Kiok maupun May-may
telah demikian hapal. Maka ketika masing-masing
mengelak dan menyerang lagi, balas-membalas dan
berkelebatan memaki-maki maka Siang Lun Mogal
keluar lagi dengan tangan hampa. Cit Kong memang
tak ada di rumah.
"Kosong, jahanam. Nenek ini benar, May-may,
bocah itu tak ada. Jangan-jangan ia benar dibawa
ibunya."
"Bantu aku, robohkan dan serang dia. Kalau
Kiok Eng datang tentu lawan kita semakin berat, Siang
6 Lun. Tan Hong tentu bersama isterinya itu dan mereka
ber dua cukup berbahaya. Jangan menonton!"
"Heh-heh, mudah. Kalau hanya itu apa
sukarnya? Lihat, ia kurobohkan, May may, akan tetapi
kita pun harus segera bersembunyi karena kudengar
langkah kaki orang!" kakek ini membungkuk dan tibatiba melepas Ang-mo-kang yang mengeluarkan suara
aneh dari perutnya itu.
Pukulan ini, Ilmu Katak Merah memang khas
dilepaskan dengan setengah jongkok. Pengerahan
sinkang dari dalam perut mengeluarkan suara nkokkok, yang aneh. Akan tetapi begitu menyambar dan
dilepas dengan cara mendorong, apalagi ke punggung
lawan maka Bwee Kiok menjerit dan cambuk di
tanganpun terlepas.
"Dess!"
Nenek ini terjengkang muntah darah. Memang
kepandaian si kakek gundul belumlah tandingannya
dan dulu dikeroyok sebelas saja kakek ini mampu
mengalahkan mereka. Maka dihantam dan dibokong
secara curang, nenek itu roboh maka Siang Lun Mogal
terkekeh akan tetapi secepat kilat ia menyambar dan
membawa lawan yang terluka, menendang rekannya
7 pula karena saat itu dari luar terdengar teriakan dan
seruan seseorang.
"Subo...!" Ceng Ceng masuk dan berubah pucat.
Wanita ini masih kalah cepat dengan gerakan Siang
Lun Mogal dan ia kehilangan subonya. Hanya meja
kursi yang berantakan membuat ia maklum bahwa di
tempat itu baru saja terjadi perkelahian. Dan ketika
wanita ini tertegun mencari-cari, May-may menekan
rekannya agar tidak memperlihatkan diri maka Ceng
Ceng gelisah bukan main dan berkelebat ke dalam.
"Subo!"
Akan tetapi May-may dan kakek ini menyelinap
di tempat lain. Nenek itu tak ingin mengganggu Ceng
Ceng sementara si kakek bersinar-sinar. Inilah wanita
muda yang lebih cocok lagi! Akan tetapi karena nenek
itu maklum dan cepat melompat keluar, yang diincar
adalah Cit Kong maka May-may mendesis bahwa yang
lain tak boleh diganggu. Hatinya panas melihat sinar
mata jelalatan kakek itu melahap Ceng Ceng.
"Kita tak ada urusan dengan yang lain. Yang
kucari dan kuincar adalah Cit Kong, Siang Lun Mogal,
melanggar ini berarti batal!"
"Heh-heh, akan tetapi ia manis sekali. Lagi pula
ibunya Kiok Eng!"
8 "Tutup mulutmu, aku hanya menghendaki Cit
Kong dan jangan macam-macam!"
Terpaksa kakek ini menahan kekehnya dan liur
yang menetes melihat wanita muda itu dilampiaskan
dengan usapan di tubuh May-may. Bwee Kiok yang
ditotoknya lumpuh juga menjadi gerayangannya,
Siang Lun Mogal memang kakek jahat. Dan ketika apa
boleh buat ia terpaksa bersembunyi dan hanya
melihat nyonya muda itu berkelebatan memanggilmanggil subonya, tentu saja tak mungkin ketemu
maka di kaki gunung menyambarlah dua bayangan ke
puncak. Yang satu berpakaian serba hitam yang lain
putih. "Kiok Eng!" Ceng Ceng berseru dan langsung
menubruk puterinya itu. "Subo-mu lenyap, ruang
tengah berantakan!"
Kiok Eng terkejut dan berhenti di puncak.
Pemuda berpakaian putih itu bukan lain suaminya Tan
Hong dan mereka baru saja pulang belanja. Di kedua
pundak pria ini tampak bungkusan besar hasil belanja
ke kota. Tan Hong juga terkejut dan mengerutkan
kening. Akan tetapi ketika isterinya melengking dan
berkelebat ke dalam, Kiok Eng marah mendengar ini
9 maka benar saja ruangan tamu acak-acakan. Subonya
Lui-pian Sian-li Yan Bwee Kiok tak ada di situ.


Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa yang terjadi, kenapa begini. Kapan
terjadinya, ibu, siapa jahanam keparat yang
mengganggu tempat kita!"
"Aku tak tahu, semuanya sudah begini. Hanya
suara subomu sempat kutangkap, Kiok Eng, lalu
lenyap."
"Dan sudah lama atau belum, jahanam dari
mana membuat onar di sini!"
"Kira-kira sejam yang lalu. Aku berburu kelinci
gemuk ketika suara cambuk subomu menjeletarjeletar. Kalau tidak salah... kalau tidak salah terdengar
maki-makian subomu terhadap May-may!"
"May-may? Keparat jahanam, kalau begitu ia
menghendaki Cit Kong. Tan Hong, cari keparat ini dan
kita memutari gunung, ibu ikut aku!" lalu ketika wanita
ini memekik dan turun lagi, berkelebat dan langsung
memutari pinggang gunung maka Tan Hong berdetak
melihat dan mendengar semuanya itu. Ia terkejut dan
merah kalau benar ini yang terjadi. Akan tetapi karena
isterinya sudah lenyap melengking-lengking, memaki
dan menyumpah-serapah maka pemuda ini pun
bergerak dan tak dapat berbuat apa-apa kecuali
10 mencari dan menemukan biang keladi kerusuhan ini.
Dan saat itulah di balik persembunyiannya nenek Maymay berkelebat keluar. Ia gentar dan pucat meng
hadapi kemarahan Kiok Eng akan tetapi gadis itu kini
sendiri, artinya tidak bersama suaminya lagi. Ceng
Ceng tak ada artinya baginya.
"Kau ganggu gadis itu dan rampas puteranya.
Mari sama-sama menutupi kedok Mogal, jangan
sampai ia mengenal kita. Di tikungan sana ada sebuah
jurang dan aku bersembunyi di situ. Lemparkan putera
nya kepadaku dan jangan sampai suaminya keburu
membantu!"
"Heh-heh, dan nenek ini?"
"Terserah padamu!"
"Kalau begitu kubunuh saja, ia tahu siapa kita!"
May-may terkejut namun terlambat ketika jari
kawannya mengetok ubun-ubun. Lui-pian Sian-li Yan
Bwee Kiok luka parah dan tentu saja tahu dan
mendengar itu namun tak dapat mengeluarkan suara.
Ia kaget dan marah dan gusar sekali memandang
rekannya yang keji ini. Tak disangkanya May-may
bersekongkol dengan lawan, dan bakal tak disangka
nya lagi kalau nenek itu memberi imbalan tubuh,
menjual diri. Maka ketika ia terkejut Siang Lun Mogal
11 menggerakkan jarinya, langsung menotok ubunubunnya maka nenek ini pun roboh dan tewas
seketika. May-may terkejut dan menyesal kenapa
dibunuh. "Kau...?!"
"Tak ada lain jalan. Semuanya sudah kepalang
basah, May-may, bukankah berbahaya untuk kita
kalau ia memberi tahu Kiok Eng. Sudahlah tak perlu
kecewa dan mari mengejar gadis itu. Aku mengenakan
topeng!"
May-may menggigit bibir dan menahan isak
melihat rekan atau madunya itu dibuang Siang Lun
Mogal. Memang berbahaya membiarkan nenek ini
hidup, tindakan mereka dilakukan hati-hati dan kalau
perlu tak boleh diketahui. Dan karena pada dasarnya
kakek ini memang kejam dan tak memiliki welas asih,
siapapun yang menghalang harus dilenyapkan maka
kakek ini tertawa ringan membunuh Dewi Cambuk
Kilat itu. Kiok Eng melengking-lengking dan berkelebat
di sebelah kiri gunung, sang ibu jatuh bangun
mengikuti.
"Jangan cepat-cepat, aku tak mampu menyusul
mu. Tenang dan sabar sedikit, Kiok Eng, lihat anakmu
menangis pula!"
12 "Aku tak ingin jahanam itu lolos. Ia harus ku
temukan dan mempertanggung jawabkan perbuatan
nya, ibu. Siapapun dia harus dihajar!"
"Ya, tapi anakmu jadi ketakutan. He, kulihat
bayangan di sebelah kanan!"
Kiok Eng berhenti dan membalik. Benar saja ia
melihat seseorang berkelebat amat cepatnya dan
menghilang di pinggang gunung. Sepintas seperti
seorang laki-laki. Akan tetapi ketika ia mendesis dan
berkelebat ke sini maka ibunyapun menuding dan
berseru, "He, itu ada pula!"
Kiok Eng terkejut dan merasa dipermainkan.
Bayangan ini berkelebat di tem pat gelap akan tetapi
rambutnya yang berkibar jelas seorang perempuan.
Kiok Eng memekik. Lalu ketika ia berkelebat mengejar
bayangan ini, sang ibu terkejut dan ditinggal maka
Ceng Ceng berteriak ketika sebutir batu hitam
mengenai dahinya. Seseorang menimpuk dan tepat
membuatnya roboh. "Aduh!"
Kiok Eng jadi bingung. Ia kaget dan marah bukan
main melihat ibunya terguling. Ibunya menjerit dan
pingsan. Dan ketika ia melengking-lengking me
nyambar ibunya, saat itulah Cit Kong menangis dan
13 mengganggu konsentrasi maka ia memanggil suami
nya bahwa musuh ada di sini.
"Tan Hong, ke mari. Jahanam itu ada di sini!"
Dan tujuh sinar hitam tiba-tiba menyambar
cepat. Kiok Eng harus mengelak dan menangkis akan
tetapi satu di antara batu-batu kecil itu mengenai kaki
anaknya. Cit Kong menjerit dan berteriak kuat. Dan
ketika wanita ini menjadi kalap namun juga bingung,
saat itulah seorang bertopeng muncul dan menyerang
maka wanita ini membentak dan memutar tubuh
sambil menendang. Ia gugup dan marah karena
anaknya menjerit kesakitan. Jangan-jangan tulang
kakinya patah!
"Jahanam, kau bangsat keparat siapa. Buka
topengmu dan apa maksudmu mengganggu
tempatku... dukk!" wanita ini terpental sementara
lawan terkekeh dan menyerang lagi. Laki-laki itu
memberikan pukulan amat kuat dan Kiok Eng kaget
bukan main. Ia merasa kakinya tergetar dan panas.
Tulangnya seakan kiut-miut. Akan tetapi karena ia
diserang dan sebentar kemudian lawan berkelebatan
mengelilingi, bau amis dan busuk membuat ia ingin
muntah maka yang membuat ia repot adalah tangis Cit
Kong dan suaranya yang gaduh. Akan tetapi untunglah
14 saat itu bayangan putih berkelebat. Tan Hong
mendengar teriakan isterinya ini dan menyambar
datang. Maka ketika Cit Kong kian menjadi-jadi
sementara ia terdesak hebat oleh pukulan lawan,
serangan dan totokan tiada berhenti maka wanita ini
pun melemparkan anaknya kepada suami.
"Tan Hong, tangkap anak kita. Jahanam ini
lihai!"
Akan tetapi laki-laki bertopeng tiba-tiba
melarikan diri. Begitu Tan Hong muncul ia pun
terkekeh, melepas satu pukulan keras lalu kabur. Dan
karena ia sengaja menggoda dan membuat panik
suami isteri itu, juga rupanya takut setelah Tan Hong
datang maka iapun turun gunung akan tetapi mana
mungkin Kiok Eng membiarkannya. Wanita ini
membentak dan mengejar namun tiba-tiba berseru
tertahan. Ceng Ceng, sang ibu mendadak lenyap,
padahal tadi tak jauh di situ menggeletak pingsan.
Maka ketika wanita ini berhenti dan menjadi kaget,
Tan Hong berkelebat menanya isterinya maka Kiok
Eng menuding.
"Ibu... ia tadi di sini. Ia... ia, keparat, musuh
mempermainkan kita, Hong-ko. Ibu diculik!"
15 Tan Hong terkejut dan berubah. Memang di
saat serang-menyerang tadi nenek May-may diamdiam berkelebat dan menyambar Ceng Ceng. Wanita
itu telah dirobohkan Siang Lun Mogal dan nenek inilah
yang menculik. Mereka hendak membuat keluarga
muda itu panik, teror dilancarkan. Dan karena Tan
Hong baru saja datang setelah Kiok Eng memanggil
nya, perhatian tertuju pada Siang Lun Mogal yang
bertopeng maka Kiok Eng marah bukan main karena di
samping subonya kini sang ibupun disambar musuh.
"Jahanam, keparat jahanam. Siapa pengecutpengecut yang melakukan semuanya ini, Hong-ko. Keji
dan tak tahu malu benar mereka itu!"
"Tapi laki-laki tadi bukan May-may..."
"Benar, akan tetapi ibu melihat bayangan kedua
berambut panjang. Ketika aku menoleh tiba-tiba ibu
menjerit, seseorang menimpuk. Lalu ketika aku
hendak menolong ibu maka jahanam itupun muncul
dan menyerang. Kepandaiannya tinggi!"
"Kita pulang dulu, jaga di rumah. Dan Cit Kong,
hmm... agaknya dititipkan ibuku saja, Eng-moi.
Dengan anak ini bersama kita tak akan tenang. Lagi
pula gampang menjadi sasaran musuh. Kakinya
bengkak!" Tan Hong terkejut dan memeriksa anaknya
16 dan ternyata batu yang menyambar tadi membuat
kaki puteranya lebam. Untung tak sampai patah atau
retak namun cukup membuat anak itu menangis terus.
Ia kesakitan. Dan ketika Kiok Eng membanting-banting
kakinya dan mencaci serta mengepal tinju, tangis
anaknya membuat ia marah bukan main maka iapun
menyetujui bahwa Cit Kong dititipkan dulu pada
neneknya yang lain, Mien Nio, ibu dari suaminya yang
hidup dan mengasingkan diri di belakang bukit.
Mien Nio wanita ini menghela napas melihat
dan mendengar cerita anaknya. Sejak Dewa Mata
Keranjang tewas dan ia menjanda maka ia mengasing
kan diri dan ingin menjadi pertapa. Bersama seorang
nikouw tua bernama Hiang Ci Nikouw ia ingin
menikmati masa tua dalam ketenangan. Karena di
Bukit Angsa sudah banyak pendamping maka wanita
ini menyepi sendiri, mendapat ruangan belakang di
kelenteng kecil di belakang bukit. Hanya Tan Hong dan
Kiok Eng serta keluarga Liang-san saja yang tahu,
orang luar sengaja dirahasiakan. Maka ketika suami
isteri muda ini datang membawa Cit Kong, Mien Nio
menerima dengan kening berkerut maka cerita anakanak muda itu membuat wanita yang rambutnya
sudah berwarna ini menarik napas dalam. Hiang Ci
17 Nikouw berulang-ulang menyebut nama Kwan Im
Pouwsat (Dewi Kwan Im).
"Menyedihkan,
sungguh menyedihkan.
Pertikaian dan kecurangan rasanya tak dapat dihindar
kan manusia, Tan Hong, terbebas dari ini adalah
kebahagiaan. Sebenarnya ibumu tak boleh diganggu,
tapi bagaimana lagi. Semoga Pouwsat melindungi
kalian dan pinni (aku) tak berani banyak mencampuri."
"Maaf, suthai memang benar. Akan tetapi kami
hanya hendak menitipkan anak ini sampai keadaan
aman lalu mengambilnya kembali. Harap suthai
maafkan kami dan semoga ibu tak keberatan."
"Hm, Cit Kong adalah cucuku, darah dagingmu.
Biarlah ia bersamaku, Tan Hong, semoga Kwan Im
Pouwsat melindunginya. Akan tetapi..." wanita ini
menghela napas. "Kalau subomu Yan Bwee Kiok
sendiri tak mampu menghadapi musuh lalu
bagaimana aku? Bukannya berkecil hati, hanya kalau
ada sesuatu di luar kekuasaanku harap kalian tahu.
Sekuat tenaga tentu kulindungi cucuku satu-satunya
ini, dan asal tak ada yang tahu keberadaanku di sini
tentu semuanya aman. Omong-omong siapakah orang
jahat itu."
18 "Kami tak tahu, hanya ibu Ceng Ceng memberi
tahu bahwa nenek Bwee Kiok menyebut-nyebut Maymay."
"May-may? Ah, sungguh gawat. Tapi kalau
hanya dia tentunya dapat kalian atasi."
"Yang lihai adalah jahanam bertopeng itu. Aku
sendiri belum bertemu dengan subo May-may, ibu,
akan tetapi laki-laki yang menyerangku ini kepandaian
nya tinggi. Entah siapa dia akan tetapi segera kabur
begitu Tan Hong muncul!"
"Baiklah, kalian kembalilah dan cari ibumu Ceng
Ceng, juga enci Bwee Kiok. Mudah-mudahan semua
selamat dan Cit Kong kulindungi di sini." Mien Nio
menghela napas lagi dan ia berdebar menekan
perasaannya yang terguncang. Ada sesuatu yang
dirasanya akan meledak. Ada sesuatu yang terasa
mencemaskan. Maka ketika Tan Hong berkelebat
meninggalkan ibunya, Kiok Eng terisak meninggalkan
puteranya di situ maka dalam perjalanan pulang dua
orang ini terkejut melihat betapa subo mereka Luipian Sian-li Yan Bwee Kiok telah menjadi mayat.
"Subo!" Kiok Eng menubruk dan tersedu-sedu
tak dapat menahan dirinya lagi melihat keadaan nenek
itu. Totokan Siang Lun Mogal menewaskan nenek ini.
19 Dan ketika hampir saja Kiok Eng kalap mengamuk di
situ, menghajar ini-itu maka Tan Hong cepat mem
bawa jenasah ke puncak, sekaligus mencari Ceng Ceng
dengan hati kian tegang.
Akan tetapi sehari itu tak ada apa-apa di situ.
Mereka telah merawat jenasah Dewi Cambuk Kilat ini
di Bukit Ang sa. Lalu ketika hari kedua dan ketiga juga
tak ada apa-apa, Kiok Eng seperti cacing kepanasan
maka hari keempat muncullah ibunya Ceng Ceng dan
Mien Nio. Dua orang itu pucat dan terhuyung naik
bukit.

Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ibu...!"
Baik Tan Hong maupun Kiok Eng menyambut
ibu mereka dengan gerakan cepat. Masing-masing
berkelebat dan turun bukit dan Kiok Eng girang bukan
main melihat ibunya selamat. Ibunya masih hidup!
Akan tetapi ketika ibunya tersedu-sedu disusul ibumertuanya yang mengeluh dan roboh di pelukan Tan
Hong, lung lai maka wanita ini pucat mendengar katakata tertahan.
"Cit Kong, putera kalian... ia... ia diculik
orang...!"
Berbareng dengan itu pingsanlah Mien Nio di
pelukan puteranya. Tan Hong tersirap dan seakan
20 berhenti denyut jantungnya sementara Kiok Eng
melengking dan mendorong ibunya. Wanita ini
berkelebat dan menyambar sang mertua. Akan tetapi
ketika Tan Hong memanggul ibunya dan berkelebat ke
puncak maka Ceng Ceng tersedu menyambar puteri
nya itu. "Tenang, diam dulu. Gak-bomu lebih terpukul
daripada aku, Kiok Eng, ia merasa tak dapat
melaksanakan tugasnya. Kami tak berdaya."
"Apa yang terjadi, kapan diculik!"
"Mari ke atas dan bicara di sana. Aku... ah,
ibumu pun inipun nyaris celaka!" lalu ketika dengan
terhuyung dan sempoyongan Ceng Ceng mendaki
Bukit Angsa, puterinya gemetar namun menuntun tak
keruan akhirnya dengan amat tak sabar dan penuh
nafsu Kiok Eng mendesak ibunya. Mereka telah tiba di
atas. "Aku... aku ingin minum. Berikan segelas air
putih..."
Kiok Eng menyambar dan memberikan itu.
"Aku, ah... akhirnya aku dibawa ke tempat gakbomu, Kiok Eng. Di kelenteng itu semuanya tak
21 mungkin disembunyikan lagi. Hiang Ci Nikouw bahkan
tewas terbunuh..."
"Jahanam! Siapa terkutuk itu dan bagaimana
tahu puteraku di sana!"
"Aku masih menduga-duga,
mereka menyembunyikan diri dalam kedok. Dan... dan yang
laki-laki itu gundul..."
"Tapi yang perempuan adalah nenek May-may?
Bukankah dia?"
"Aku tak berani memastikan, Kiok Eng, tubuh
dan wajahnya tertutup rapat."
"Akan tetapi ibu dapat mengenal suaranya!"
"Suara dapat dibuat-buat, serak parau atau
tinggi kecil..."
"Akan tetapi bentuk tubuhnya..."
"Tunggu, tenang dulu. Tiga hari aku tertotok
dan tak mampu memandang mereka, Kiok Eng, lagi
pula aku sering pingsan. Baru pagi tadi ketika aku
sadar tahu-tahu berada di tempat Hiang Ci Suthai.
Akan tetapi, ah... nikouw itu terbunuh dan gak-bomu
tersedu-sedu!" Ceng Ceng tak dapat bercerita lagi
karena iapun menangis dan sudah mengguguk di
22 pelukan puterinya ini. Kiok Eng merah padam
mengepalkan tinjunya sementara Tan Hong menyadar
kan ibunya. Lalu ketika wanita itu siuman dan
membuka mata maka yang pertama diucapkan adalah
permohonan maaf.
"Aku... aku tak dapat melindungi cucuku. Lakilaki itu lihai dan terlampau kuat bagiku, Kiok Eng, aku
terlempar dan terbanting ketika ia menyerang. Dan Cit
Kong, ah... nyawapun siap kutukarkan untuknya. Aku
tak mampu menjaga anak kalian. Aku bodoh dan
lemah... maafkan aku!"
Tan Hong memeluk dan mengurut-urut pundak
ibunya ini. Dalam keadaan seperti itu pukulan batin
lebih hebat daripada derita fisik. Ibunya mengguguk
dan menangis tiada berkesudahan. Akan tetapi karena
iapun maklum musuh betul-betul lihai, terbukti
Isterinya sendiri terpental dan kaget oleh pertemuan
tenaga maka ia menghibur ibunya agar tak terlalu
susah, bertanya bagaimana atau siapa yang membawa
Cit Kong, yang lelaki ataukah perempuan.
"Aku tak tahu, yang masuk ke kamar ku adalah
laki-laki itu. Akan tetapi samar-samar kulihat pula
temannya wanita berkelebat di belakangnya. Aku
menangkis dan roboh serta pingsan, anakku, selanjut
23 nya... selanjutnya Cit Kong pun lenyap. Yang kudapati
adalah Ceng Ceng ini...!"
"Bagaimana orang tahu kau di kelenteng itu.
Hanya keluarga besar kita saja yang tahu akan ini, ibu.
Kalau bukan nenek May-may tak mungkin itu. Ia
bersekongkol dengan seseorang!"
"Aku tak berani menuduhnya begitu..."
"Lalu siapa lagi yang harus dicurigai. Hanya dia
yang menghendaki Cit Kong, ibu, hanya dia yang ingin
membalas kematian cucunya yang tanpa sengaja itu.
Keparat, aku akan mencarinya dan turun bukit. Subo,
kubunuh kau!" lalu memutar tubuh dan terbang
meninggalkan Bukit Angsa, tak perduli ini-itu lagi Kiok
Eng pun mengerahkan ilmu lari cepatnya bagai seekor
kijang betina melesat dari sarang. Gerakannya amat
cepat melebihi anak panah terlepas dari busur,
wajahnya merah padam dan gigi yang gemeretuk itu
penuh bahaya dan ancaman. Kiok Eng sudah menjadi
seekor singa betina haus darah. Wanita mana
merelakan anaknya diculik, apalagi dibunuh. Maka
ketika ia meluncur dan Tan Hong kaget bukan main,
isterinya bagaikan kesetanan maka ia pun meloncat
dan terbang menyusul. Kedua ibunya ditinggalkan
dengan seruan.
24 "Harap ibu baik-baik di situ dulu, Eng moi
seperti orang kalap!"
Akan tetapi ilmu lari cepat Kiok Eng tak berbeda
jauh dengan Tan Hong. Suami isteri ini tak berselisih
jauh dan karena lebih dulu meninggalkan bukit maka
Tan Hong tak mampu memperpendek jarak. Isterinya
melengking-lengking dan hutan pun tergetar dibuat
nya. Pohon dan apa saja roboh tumbang. Dan ketika
pemuda itu berteriak-teriak namun tetap di belakang,
Kiok Eng mengelilingi dan naik turun bukit akhirnya
wanita ini melebarkan wilayah sambil memaki dan
meme-kik-mekik. Tiga hari sang suami mengikuti
sambil mengeluh sampai akhirnya menuju Liang-san.
Di sana mereka bertemu Kui Yang dan Kang Hu yang
dikibas roboh. Akan tetapi ketika tetap juga tak
ketemu dan turun lagi, di sinilah Tan Hong menangkap
isterinya maka enam hari setelah berputar-putar
wanita itupun roboh dan terguling. Makan minum tak
dihiraukan dan penat serta capai menggerogoti tubuh.
"Kubunuh kau... kubunuh kau! Licik dan keparat
jahanam kau, subo. Tak tahu malu dan curang serta
keji. Awas kalau kau mengganggu puteraku Cit Kong.
Kuhisap sumsummu!"
25 "Sabar, tenang..." Tan Hong terguling dan
mandi keringat pula di samping isterinya ini. "Kita
belum jelas siapa pen culiknya, Eng-moi, belum tentu
juga May may. Dugaan yang tak diperkuat mata kepala
sendiri belumlah kuat!"
"Kau!" Kiok Eng meloncat dan tiba-tiba
menuding suaminya ini, tersedu-sedu. "Kau biang
keladinya, Hong-ko. Kau awal malapetaka ini. Kalau
bukan karena kau tak semudah itu orang menculik
anakku!"
"Aku? Bagaimana aku?"
"Kenapa tidak? Kaulah yang membujuk agar
memberikan Cit Kong kepada ibumu. Kalau Cit Kong
tetap bersamaku dan tidak dengan ibumu tak mungkin
semudah itu orang menculiknya. Kaulah malapetaka
itu, kaupun harus bertanggung jawab!" lalu ketika
tiba-tiba wanita ini menerjang dan memusuhi
suaminya tak ayal lagi Tan Hong pun terkejut dan
bergulingan mengelak, dikejar dan menangkis dan
selanjutnya isterinya ini memaki-maki dirinya. Ia
disalahkan dan dianggap biang celaka. Dan ketika
pemuda ini menjadi pucat isterinya demikian
bersungguh-sungguh, serangan dan pukulan mulai
menjurus kepada maut maka iapun meloncat bangun
26 dan membentak isterinya itu. Kiam-ciang atau Tangan
Pedang berdesingan menyambar-nyambar, sekali
membuat sisi telinganya terbeset dan luka!
"Keparat, kau seperti orang gila. Tuduhanmu
sudah tidak waras lagi, Eng-moi. Ayah mana hendak
mencelakakan anaknya. Berhenti dan jangan
menyerang atau aku membalas!"
"Balaslah, robohkan aku. Lebih baik mati
daripada kehilangan anak... clap!" dan Tangan Pedang
yang kembali menyambar dan membelah batu di
belakang Tan Hong akhirnya membuat pemuda ini
benar-benar marah dan naik pitam. Isterinya menjadijadi dan semakin dibiarkan semakin kesetanan saja.
Serangan-serangan itu benar-benar untuk maksud
membunuh. Maka ketika ia menggeram dan
menyambar sebatang dahan, menangkis dan mainkan
Im-bian-kun menandingi kekalapan isterinya ini maka
dua orang itu sudah bertempur dan Kiok Eng menjadi
semakin gelap saja melihat perlawanan suaminya ini,
berkelebat dan mengurung untuk akhirnya meledak
kan rambutnya yang hitam gemuk menyambarnyambar. Wanita ini memang memiliki beragam ilmu
dari sebelas gurunya yang beraneka macam. Iapun
memiliki Bhi-kong-ciang dari nenek Lin Lin. Dan karena
iapun memiliki Sin-bian-ginkang (Ginkang Kapas Sakti)
27 yang diciptakan Dewa Mata Keranjang, suami dari
para subonya yang hebat itu maka Tan Hong benarbenar kewalahan dan hanya karena ia tak seberingas
dan kaku seperti isterinya ia bersikap banyak
mengalah dan lemah, hal yang membuat ia terhuyung
dan acap kali terpelanting!
Akan tetapi dahan di tangan pemuda itu amat
lah kuat. Tan Hong mainkan silat aneh ciptaan ayahnya
yang bernama Silat Tongkat Merayu Dewi. Silat ini
harus dilakukan sambil tersenyum-senyum dan
kelihaian atau keampuhannya akan tampak. Akan
tetapi karena mungkin harus tersenyum di saat seperti
itu, dahan diputar untuk melindungi dan
mempertahankan diri maka balasan atau serangan
yang sebetulnya dilancarkan pada saat-saat yang
tepat tak dapat dilakukan pemuda ini karena ilmu
silatnya dimainkan tidak dengan sepenuh biasanya. Ia
hanya bertahan dan membalas untuk pukulanpukulan keras. Kiam-ciang atau Bhi-kong-ciang
bukanlah serangan main-main, apalagi Sin-mauwkang atau Rambut Sakti yang dilancarkan isterinya
sering menyambar dan berubah menjadi batang
kawat baja yang amat berbahaya. Maka ketika dengan
dahan ini ia bertahan rapat sementara adu tenaga di
antara mereka sering membuat isterinya terpental,
28 dalam hal sinkang ia menang kuat akhirnya semalam
suntuk suami isteri ini bertanding sampai akhirnya
menjelang pagi Kiok Eng melompat pergi dengan air
mata bercucuran. Tubuh keduanya gemetar dan
nyaris roboh, tenaga benar-benar terkuras habis.
"Aku tak mau bersamamu lagi sebelum
puteraku ketemu. Dan kalau ada apa-apa dengannya
seumur hidup tak mau aku menjadi isterimu, Tan
Hong. Aku bersumpah!"
Tan Hong roboh dan pucat jatuh terduduk. Ia
begitu lelah dan habis daya melayani isterinya
bertanding. Maka ketika isterinya meloncat dan
memutar tubuh, jatuh lalu lari lagi pemuda ini
mengeluh dan meratap.
"Eng-moi...!"
Akan tetapi Kiok Eng telah menghilang dan
lenyap di luar hutan. Saat itulah suami isteri ini
berpisah. Baru kali itulah kepedihan benar-benar
dirasakan pemuda baju putih ini. Maka ketika Tan
Hong bangkit dan jatuh lagi, bangun dan terhuyung
serta terseok memanggil-manggil isterinya maka
pasangan ini terancam pecah dan kebahagiaan sudah
tak ada lagi. Yang ada hanya dendam dan
permusuhan. Sakit hati!
29 *** Memang betul nenek inilah yang memberi tahu
di mana beradanya Cit Kong. Setelah melihat Kiok Eng
tak bersama puteranya lagi dan Tan Hong menemani
isterinya berdua di Bukit Angsa maka nenek itu
berpikir apa yang dilakukan dua orang muda itu. Ia tak
ingin dikenal dan karena itu harus selalu berhati-hati.
Terlalu berbahaya kalau kelak ia harus berhadapan
langsung dengan bekas muridnya itu. Ia tahu benar
kekerasan dan tangan besi Kiok Eng. Maka ketika tiga
hari bersembunyi sementara temannya menjadi tidak
sabar, mengomel panjang pendek maka tiba-tiba ia
teringat Mien Nio. Hanya keluarga besar Liang-san
yang tahu di mana wanita ini mengasingkan diri.
"Kwan-im-bio, benar, kelenteng itu! Sekarang
aku ingat ke mana kita cari, Mogal. Pasti di sana Kiok
Eng menyembunyikan anaknya. Hi-hik, ingat aku. Ah,
benar itu. Pasti di sana. Kita tak perlu berdiam di sini
lagi karena bocah itu menyembunyikan anaknya di
Kwan-im-bio!"


Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Di mana tempat itu, benarkah kau begitu
yakin. Kalau aku sendiri lebih baik maju dan naik ke
atas, May-may, bekuk dan robohkan mereka lalu
paksa mengaku. Aku tak takut dua orang itu!"
30 "Jangan, bahaya untukku. Betapapun semuanya
ini harus dilakukan tanpa diketahui mereka, Mogal.
Aku tak ingin terlihat mereka dan harus bekerja secara
diam-diam. Kau ikutlah aku dan kita ke Kwan-im-bio!"
"Dan wanita itu?"
"Aku yang membawanya, mari!" lalu ketika
nenek ini menyambar Ceng Ceng yang dibuat pingsan,
dialah yang selama ini menjaga dan menghalangi
kakek itu maka Siang Lun Mogal menyeringai dan
diam-diam mengumpat. Dia tidak mengerti kenapa
temannya ini ketakutan kalau terang-terangan, tentu
saja tak tahu bahwa May-may memperhitungkan
beberapa hal. Pertama, belum tentu kakek itu selalu
bersamanya terus. Bahkan ia sudah merencanakan
untuk secepatnya melepaskan diri dan jijik dengan si
gundul ini. Kalau saja tidak mengharap bantuannya
yang dapat diandalkan tak sudi ia bersekongkol. Siang
Lun Mogal bukanlah teman menyenangkan. Maka
ketika ia harus berhati-hati dan tak boleh sembrono,
segala sepak terjangnya ini tak boleh diketahui Kiok
Eng maka ia tak ingin berhadapan langsung dengan
bekas muridnya itu. Tahu benar dia keganasan
muridnya kalau marah. Kiok Eng tak akan memberinya
ampun. Dan karena kedua ia akan secepatnya
menyusul Beng Li dan Ming Ming menyeberang
31 lautan, begitu Cit Kong dibunuh ia hendak
menghindari pertikaian lebih dalam antara dirinya
dengan Kiok Eng. Gadis itu tak bisa menuduhnya
begitu saja kalau tidak dengan mata kepala sendiri!
Maka nenek ini sudah berada di Kwan im-bio
ketika pagi itu berkelebat dan masuk. Tentu saja ia
mengenal Hiang Ci Nikouw yang baik itu. Akan tetapi
karena ia menduga bahwa ketua kelenteng itu pasti
tahu pertikaian ini, ia tak ingin bertemu maka ia
memberi isyarat untuk berpencar dan mencari.
"Tidak banyak orang di tempat ini. Kau ke kiri
aku ke kanan, Mogal, jangan membunuh kalau tidak
perlu. Kita cari anak itu lalu bunuh!"
"Heh-heh, dan segera mendapat imbalannya,
bukan? Uh, lapar beberapa hari ini berdekatan dengan
mu, May-may. Kalau saja urusan ini segera selesai
cepatlah bayar janjimu dan jangan membuatku panas
dingin!"
"Tak usah banyak mulut, semua kubayar sesuai
janji. Hayo berpencar dan siapa lebih dulu dapat,
Mogal, jangan bicara yang lain-lain dan pusatkan ke
pekerjaan ini!"
Kakek itu terkekeh dan merekapun sudah
menutupi muka dengan selembar kain hitam. May32
may tak ingin dikenal dan kakek itupun mengikuti
temannya saja. Maka ketika mereka bergerak ke kiri
kanan ternyata kebetulan yang pertama kali
menemukan adalah kakek ini. Waktu itu Cit Kong
diminumi neneknya sebotol susu. Maka begitu kakek
ini berkelebat dan Mien Nio berseru kaget, mengelak
dan melempar cucunya ke tengah pembaringan maka
kakek ini membentak menyerang nyonya itu.
"Serahkan anak itu kepadaku!"
Jelek-jelek Mien Nio adalah isteri De wa Mata
Keranjang. Ia berhasil mengelak dan menyelamatkan
cucunya akan tetapi sejauh mana ia menghadapi
kakek Mongol yang lihai ini. Dewa Mata Keranjang pun
harus bertanding mati-matian kalau berhadapan.
Maka ketika jari-jari kakek itu terulur dan terus
mengejar, tangan yang lain menampar dan bergerak
maka plak, robohlah nyonya itu dan Cit Kong pun
disambar, tepat ketika May-may mendengar ributribut ini dan masuk di belakang temannya.
Akan tetapi tangis si bocah mengejutkan Hiang
Ci Suthai. Ketua kelenteng yang berada tak jauh dari
kamar itu dan sedang berdoa tiba-tiba bangkit dan
berlari-lari. Iapun berteriak melihat adanya dua orang
ini. Akan tetapi ketika Siang Lun Mogal tertawa dan
33 mendorong nikou itu, tepat di dadanya maka sang
nikouw-pun terjengkang dan tewas oleh pukulan
Katak Merah.
"Ha-ha, sudah kudapat. Kiranya ini anak lelaki
yang kauinginkan, May-may, wah, montok benar.
Tulang kepalanya bagus dan ia memiliki Ceng-bongtoh yang mentakjubkan. Lihat, ini Ceng-bong-toh itu!"
"Berikan padaku!" si nenek tiba-tiba mendesis.
"Ia bagianku, Mogal, biar kubunuh!"
"Wah, nanti dulu. Ada sesuatu yang lain dari
pada yang lain. Ceng-bong-toh ini tak dimiliki satu di
antara sejuta anak!"
"Apa maksudmu!"
"Keluar dan pulang dulu. Nanti kuterangkan!"
lalu ketika kakek ini terbang dan menimang-nimang
anak itu, Cit Kong meronta dan menangis namun
ditepuk akhirnya diam maka kakek itu pun telah
menidurkan anak ini dengan totokannya yang lembut.
Ia terkejut dan kaget serta girang bahwa anak laki-laki
ini memiliki Ceng-bong-toh (Tanda Rejeki Dunia). Satu
di antara sejuta anak belum tentu memiliki itu. Maka
ketika Siang Lun Mogal terkekeh-kekeh dan Maymaypun cemas, mengejar dan mengikuti kakek ini
34 maka di luar tembok besar barulah kakek itu berhenti.
Wajahnya berseri dan bersinar-sinar.
"Ha-ha, calon Thian-cu (Anak Tuhan) yang
hebat. Wah, masa anak seperti ini hendak kau bunuh,
May-may, bodoh sekali. Ia dapat mengangkat derajat
hidup kita."
"Apa maksudmu," nenek ini mendekat, diamdiam tangan kanannya siap menampar. "Aku tak
mengerti dan kenapa sikapmu tiba-tiba begini aneh.
Berikan kepadaku dan coba kulihat, Mogal. Apa itu
Ceng-bong-toh!"
"Wah, bodoh, dasar orang kampung. Lihat ini,
May-may, lihat tanda ?Toh? di dada kanannya ini. Dulu
muridku Wi Tok hanya memiliki di bawah pusar akan
tetapi bocah ini di dada kanan. Wah, ia calon kaisar
atau wakil kaisar. Ia calon orang besar!"
May-may memperhatikan dan ia mengerutkan
kening melihat tanda kebiru-biruan di dada kanan.
Kalau tanda ini di jantung maka ia bakal menjadi orang
nomor satu di sebuah bangsa besar, kalau di dada
kanan akan menjadi wakil atau orang nomor dua,
begitu kakek itu bicara. Akan tetapi karena ia tak
begitu menggubris dan perduli itu, yang penting sakit
hati maka mendadak ia mengayun telapaknya dan
35 cepat bagai kilat ia menampar kepala bocah itu
dengan serangan maut.
"Plak!" Siang Lun Mogal menangkis dan
membentak nenek itu. Untunglah kakek ini waspada
dan ia tak kalah cepat dibanding tamparan itu. Si
nenek terjengkang. Dan ketika May-may memaki-maki
dan bergulingan meloncat bangun maka nenek itu
mendelik memandang rekannya.
"Kau!" bentaknya. "Kau melindungi anak ini?
Kau tiba-tiba berobah pikiran?"
"Heh-heh, tenang. Kau tak tahu dan bodoh
amat, May-may. Bangsa Mongol tak pernah memiliki
anak seperti ini dan sekarang tahu-tahu kudapatkan
bocah seperti ini. Ia keturunan Tuhan yang harus
dijaga. Ia pengangkat derajat dan hidup mulia orang
tuanya!"
"Akan tetapi ia anak Kiok Eng, musuh besarku!"
"Tenang, bersabarlah sedikit. Dengan hilangnya
anak ini saja kau telah membalas sakit hatimu.
Bayangkan orang tuanya yang kelabakan. Bayangkan
hati seorang ibu yang tak keruan rasanya. Eh, bocah ini
hendak kupersembahkan Raja Sabulai, May-may, dan
kau serta aku hidup mulia di sana!"
36 "Kau tak membunuh anak ini?"
Kakek itu membalik, sinar matanya tiba-tiba
mencorong. Lalu ketika ia memandang dengan wajah
keras dan membesi maka suaranya terdengar tidak
main-main ketika berkata, bahkan mengancam,
"Sudah kubilang bahwa anak ini adalah calon
orang besar dan merupakan Thian-cu. Kalau saja ia tak
memiliki Ceng-bong-toh mau bunuh boleh bunuh,
May-may, akan tetapi ia memiliki tanda-tanda yang
tak dimiliki satu di antara sejuta anak. Aku hendak
memberikannya kepada Raja Sabulai, ia tentu girang.
Di antara kami bangsa Mongol belum tentu terdapat
keturunan seperti ini biarpun menunggu seribu tahun.
Nah, jangan bicara seperti itu lagi atau kau tahu
akibatnya!"
May-may marah bukan main akan tetapi
menyadari betapa lihainya kakek ini. Ia menangis dan
membanting kaki dan merasa dikhianati. Perjanjian itu
dilanggar. Maka ketika ia membentak bahwa ia pun
tak sudi memberikan tubuhnya, kakek itu tersenyum
dan mengangguk-angguk justeru ia berkata,
"Tak apa, di tempat Sabulai banyak terdapat
penggantinya. Seratus yang lebih baik dan lebih cantik
akan mudah kudapatkan, May-may, pergilah dan
37 tinggalkan tempat ini. Atau kalau kau mau ikut ikutlah
baik-baik akan tetapi jangan berulah macam-macam!"
May-may menjerit dan memutar tubuhnya.
Kalau saja ia tahu bahwa ia dapat menandingi kakek
ini tentu diterjang dan dilabraknya kakek itu. Akan
tetapi Siang Lun Mogal terlalu lihai, ia tak boleh
menurutkan hawa nafsu. Maka ketika ia memaki dan
berkelebat meninggalkan kakek itu, lenyap di dalam
tembok besar maka kakek ini tertawa-tawa dan
memang benar ia kagum bukan main akan Ceng-bongtoh yang ada di dada kanan anak itu.
Waktu itu bangsa Mongol dipimpin seorang raja
bernama Sabulai. Dari isteri yang dinikahi raja ini
ternyata tak melahirkan keturunan. Selirnya banyak
akan tetapi semua melahirkan anak perempuan. Tujuh
belas jumlahnya! Maka ketika raja mengambil selir
baru akan tetapi semuanya kembali melahirkan anakanak perempuan maka Sabulai mengutuk isteriisterinya dan seorang ahli bintang meramal bahwa
raja tak akan mendapatkan seorang anak laki-laki pun
biar berganti seribu isteri.
"Paduka hanya akan mendapatkan seorang
anak laki-laki jika seseorang kelak memberikannya
secara suka rela. Akan tetapi anak inipun bukan
38 keturunan bangsa kita, ia berkulit kuning dan sedikit
sipit. Kalau paduka bersabar dan hanya minum selama
empat puluh hari maka paduka akan mendapatkan itu.
Inilah keterangan hamba dan mohon ampun bila
hamba salah bicara."
Ahli perbintangan itu mundur dan Raja Sabulai
termangu-mangu. Ia tergetar dan jengkel namun
bingung juga mendengar kata-kata pembantunya.
Siapakah yang akan memberikan anak secara suka
rela? Lagi pula bangsa apakah anak itu hingga
dikatakan berkulit kuning dan sipit? Di sebelah barat
adalah suku bangsa Uighur, berkulit hitam. Sedangkan
di timur dan utara adalah bangsa Turfan dan Huna.
Hanya di selatan tinggallah bangsa Han yang kuning
dan bermata sipit itu, tapi mereka musuh! Maka ketika
Sabulai termangu-mangu dan bingung serta heran,
juga jengkel akhirnya nasihat tukang ramalnya dituruti
juga. Ia minum selama empat puluh hari agar
mendapat anak laki-laki.
Dan pagi itu kejadian menggegerkan itupun
terjadilah. Siang Lun Mogal yang tahu kesedihan raja
nya ini datang. Kakek ini berseri-seri dan menghadap
raja dengan muka kemerah-merahan. Ia memondong
seorang bayi lelaki yang menangis tiada hentinya,
dibungkus atau digulung selimut bulu domba akan
39 tetapi dasar goblok merawat anak kecil maka Cit Kong
pun tak henti-hentinya melengking. Tangis anak ini
demikian kerasnya hingga membangunkan semua
orang. Ratusan tenda menguak dan berlompatanlah
laki-laki maupun perempuan. Lalu ketika Raja Sabulai
sendiri juga terbangun dan tersentak dari mimpi, ia
mendorong tiga selirnya dari atas pembaringan maka
pengawal melapor bahwa kakek itu minta
menghadap. Sabulai melompat dan langsung
membuka tendanya.
"Ampunkan hamba, selamat pagi. Hamba
membawa oleh-oleh untuk paduka, sri baginda. Maaf
pagi-pagi mengganggu karena hamba tak dapat
mendiamkannya. Hamba harus sering menotoknya
kalau ingin ia diam. Hamba hendak menyerahkan
seorang bocah bila paduka berkenan."
Sabulai tertegun, membelalakkan mata. Para
selir berhamburan dan para dayang berlutut dan cepat
menyambar ini-itu. Mereka mengipasi raja sementara
selir mengurut dan memijat-mijat tubuh junjungan
nya. Siang Lun Mogal adalah kakek aneh yang meski
pun merupakan bangsa Mongol akan tetapi jarang
bertemu rajanya. Hal ini tidak aneh karena sejak ia
mempunyai murid Wi Tok maka kiblatnya adalah
bangsa Han. Ia menganggap bangsa Han lebih besar
40 daripada bangsanya sendiri dan karena itu menaruh
cita-cita pada muridnya yang memang berdarah Han


Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu. Akan tetapi sejak muridnya tewas dan ia hidup
murung, kembali ke Mongol dan jarang saja menemui
suku bangsanya maka hari itu ketika ia menghadap
raja adalah seolah permintaan maafnya sekaligus
mencari nama baik. Dan Sabulai tahu betul kakek itu,
kakek lihai yang selama ini tak gampang didekati,
meskipun diam-diam ia ingin kakek ini menjadi
pembantunya, menjadi pelindungnya!
"Kau, ah... Siang Lun lo-enghiong kiranya. Apa
dan anak siapa yang kaubawa ini, Siang Lun loenghiong. Apa maksudmu dengan kata-katamu itu!"
"Hamba menemukannya secara kebetulan, tak
mampu mendiamkan tangisnya dan tiba-tiba teringat
paduka. Kalau paduka berkenan dan mau menerima
nya maka inilah persembahan hamba, sri baginda.
Paduka boleh mengambilnya sebagai anak akan tetapi
lima tahun lagi harus menjadi murid hamba. Anak ini
memiliki Ceng-bong-toh!"
Semua orang geger mendengar kata-kata itu.
Bagi bangsa Mongol Ceng-bong-toh adalah idaman
dunia, biasanya hanya merupakan dongeng dari mulut
ke mulut dan orang tua mana tak ingin memiliki anak
41 seperti itu. Anak yang memiliki Ceng-bong-toh adalah
anak yang bakal memberi rejeki. Ayah dan ibunya
bakal mulia seumur hidup! Maka ketika kakek itu
bicara seperti itu dan semua tentu saja berhamburan
ingin tahu, raja terkejut dan juga girang maka
Sabulaipun mengangkat tangan mendorong orangorangnya menyesak.
"Minggir, biarkan aku lihat. Siapakah anak ini
dan benarkah ia memiliki Ceng-bong-toh!"
Siang Lun Mogal tak membuang waktu lagi dan
iapun membuka selimut anak itu. Disaksikan orang
banyak dan Raja Sa bulai sendiri maka tampaklah
tanda kebiruan di dada kanan itu, bentuknya seperti
bintang. Dan ketika raja berseru takjub akan tetapi si
bocah menangis keras maka raja tertawa bergelak dan
tiba-tiba memanggil seorang dayang muda yang
biasanya bertugas merawat bayi.
"Anak ini, ha-ha, ia benar-benar memiliki Cengbong-toh. Siapa nama dan bagaimana kau memanggil
nya, lo-enghiong, bagaimana pula aku menyebutnya!"
"Hamba memanggilnya Cit Kong, akan tetapi
setelah di sini tentu saja terserah paduka."
"Cit Kong? Ha-ha, ia harus bernama Mongol.
Biarlah namanya mirip namaku, Sabuci. Ya, anak itu
42 kuberi nama Sabuci. Eh, bagaimana kau mendapatkan
nya, lo-enghiong, dan siapa pula ayah ibunya.
Bagaimana kalau tahu nanti di sini!"
"Hm, hamba mendapatkannya
secara kebetulan. Ibunya sakit di tengah jalan, sri baginda,
lalu meninggal dunia. Ayahnya, maaf... tentu saja
hamba tidak tahu."
"Wah, bagus sekali, kalau begitu yatim-piatu.
He, ambilkan hadiah untuk Siang Lun lo-enghiong dan
adakan jamuan besar-besaran!" Raja bertepuk girang
dan pagi itu juga bangsa Mongol dibuat gaduh.
Datangnya Cit Kong di tengah-tengah mereka serta
kegembiraan raja yang begitu besar cepat menjalar ke
seluruh tenda. Siapa tak girang akan itu. Maka ketika
raja menjamu besar-besaran sekaligus memberi
hadiah kakek ini, jamuan itu untuk Cit Kong dan si
kakek gundul maka di kemah bangsa Mongol mi
putera Kiok Eng bernama Sabuci!
Dayang yang pandai pintar sekali menghentikan
tangis anak ini. Ternyata Cit Kong lapar. Akan tetapi
karena dari sekian dayang tak ada yang menyusui,
Sabulai tak ingin memberikan susu kambing maka
selirnya termuda yang kebetulan baru saja melahirkan
43 anak diminta menyusui Cit Kong. Dan anak itu
demikian lahap menyusu. Raja tergelak-gelak!
"Bagus, kau ibunya. Minum dan teteki dia setiap
lapar, Kayima, dan Huni membantumu. Ah, jaga baikbaik anak ini dan jangan sampai menangis!"
Selir dan dayang itu sama-sama girang. Kayima
selir termuda ini bagai mendapat rejeki sorga, dari
buah dadanya lah anak itu melahap makanannya. Lalu
ketika Sabulai menghadapi kakek gundul dan
menawarkan kedudukan, juga wanita maka inilah
puncak hadiah bagi Siang Lun Mogal.
"Lo-enghiong sudah seharusnya bersama kita.
Sekarang ikatan di antara kita terjadi. Aku ingin
memberimu kedudukan dan isteri apakah lo-enghiong
siap menerimanya."
"Isteri? Heh-heh, tak akan awet. Hamba tak
suka itu, sri baginda, hamba tak ingin pusing
memikirkan isteri anak. Hamba sudah cukup
mempunyai murid Sabuci. Kalau paduka ingin
memberikannya biarlah sifatnya hiburan saja, tidak
mengikat. Dan tentang kedudukan, hmm... terserah
paduka."
Sabulai tertawa dan berseri-seri memandang
kakek gundul ini. Sudah lama dia dengar keanehan dan
44 sepak terjang kakek ini, juga tingkah lakunya akan
wanita. Maka ketika ia mengangguk-angguk dan
berkata bahwa siapapun boleh dipilih di situ, bahkan
para selir kecuali Kayima maka raja menawarkan
kedudukan sebagai panglima perang!
"Aku telah mendengar akan kepandaianmu
yang tinggi. Sudah lama aku menaruh kagum dan
hormat kepadamu, lo-eng hiong, akan tetapi karena
baru sekarang kau muncul biarlah tunjukkan kepadaku
semuanya itu. Sekarang juga kau menjadi panglimaku.
Wakililah aku dan bawalah bala tentara tundukkan
suku-suku bangsa Uighur dan Turfan serta Huna di
sekitar kita. Jadikanlah bangsa kita Mongol yang
besar!"
"Panglima? Hamba memimpin bala tentara?"
"Ya, kau wakili aku tundukkan mereka yang
membandel itu, lo-enghiong. Sudah lama ini aku gagal
karena mereka memiliki beberapa orang pandai!"
"Akan tetapi..." kakek ini terkejut. "Hamba
seorang ahli silat, baginda, bukan ahli perang. Mana
mungkin membawa bala tentara!"
"Kau akan didampingi pembantu-pembantuku
terpercaya. Inilah mereka!" lalu ketika raja bertepuk
dan muncullah empat orang bertubuh kokoh maka
45 Sabulai tersenyum menunjuk mereka, mulai yang
muda sampai yang hampir lima puluh tahun, "Itu
Sabhu, ini Honga. Dan. dua yang ini adalah singa-singa
padang rumput, lo-enghiong, panglimaku Sodor dan
Homba. Kau boleh buktikan kepandaian mereka
menyerang musuh dan inilah para pembantumu
sekarang. Ha-ha, kalian!" Raja berseru menuding
mereka. "Perhatikan dan dengarkan baik-baik bahwa
sejak hari ini juga Siang Lun lo-enghiong ini kuangkat
mewakili diriku dan memimpin kalian menundukkan
suku-suku bangsa Uighur dan Turfan serta Huna. Kalau
ada di antara kalian yang ingin mengeluarkan suara
harap lepaskan sekarang juga. Kita bangsa Mongol
bukan bangsa yang suka bertengkar sembunyisembunyi!"
Empat panglima terkejut dan mereka itu
tampak berubah bahwa sebegitu tinggi penghargaan
yang diberikan raja kepada kakek gundul ini. Belum
apa-apa kakek ini sudah diangkat sebagai panglimanya
panglima, siapa tidak penasaran. Dan karena mereka
adalah orang-orang keras yang biasanya jujur dan suka
bicara ceplas-ceplos jnaka setelah bisik-bisik dan
saling pandang maka Homba, panglima tertua
membungkuk di depan rajanya. Kata-katanya tenang
akan tetapi gagah dan tegas. Singa padang rumput ini
46 tampak memang berwibawa, biarpun rambutnya
sudah berwarna dua.
"Maafkan hamba. Siang Lun lo-enghiong ini
memang telah kami dengar nama besarnya, sri
baginda, akan tetapi sebagai orang baru di sini
mestinya harus mengikuti peraturan-peraturan yang
berlaku, apalagi jika hendak memimpin kami yang
sudah belasan tahun di sini. Kalau paduka tidak
keberatan kami berempat mohon diperkenankan
menguji dirinya sepuas mungkin. Calon pemimpin
harus berani menerima itu!"
"Hm, benar, tidak salah," Sabulai menganggukangguk dan memandang kakek itu. "Aku terlanjur
menaruh kepercayaan penuh kepadamu, lo-enghiong,
akan tetapi tentunya engkau tak akan mengecewakan
aku. Turutilah permintaan mereka dan justeru
tunjukkan kepada kami semua bahwa kedudukan yang
kuberikan tidaklah jatuh di pundak yang salah!"
"Hamba tak akan menolak apapun yang
diberikan. Sebuah kedudukan memang tidak seharus
nya diberikan cuma-cuma, sri baginda, kalau para
pembantu paduka ini ingin menguji hamba tentu saja
hamba tak keberatan." Kakek itu tersenyum.
"Baiklah, kalau begitu mari keluar."
47 Siang Lun Mogal mengeluarkan tawa mengejek
ketika empat calon pembantunya ini bergerak keluar.
Untuk pamer dan membuat kejutan sengaja ia
mengerahkan ilmunya meringankan tubuh, tahu-tahu
lenyap dan mendahului orang-orang itu. Lalu ketika
semua celingukan dan mencari-cari, Sabulai sendiri
juga terkejut maka kakek itu ternyata di atas tenda lain
berdiri di puncaknya, terayun-ayun santai.
"Hamba di sini. Silakan persiapkan apa saja yang
dikehendaki, sri baginda. Hamba akan turun kalau
sudah selesai!"
Semua tercengang, akan tetapi raja bertepuk
takjub. Lalu ketika pengawal juga berseru kagum dan
memuji riuh maka kakek itupun menggenjot tubuhnya
dan... berjungkir balik naik turun di puncak tenda,
tidak hanya berhenti di sini melainkan bergerak dan
kemudian meloncat ke tenda lain, berkelebat dan
akhirnya menyambar bagai burung beterbangan dan
tentu saja demonstrasi itu disambut pekik gemuruh
bangsa Mongol. Lalu ketika kakek itu lenyap dan
muncul berganti-ganti, berpindah dan menyambar
dan satu tempat ke tempat lain akhirnya terdengar
seruan bahwa empat panglima telah siap di bawah.
Lima ekor kuda berderap menghentikan gegapgempita.
48 Siang Lun Mogal melayang dan berseri-seri
mengejek empat panglima yang berwajah masam itu.
Mereka telah melihat kepandaian kakek ini akan tetapi
bukan itu yang hendak diuji. Ujian adalah ilmu
menunggang kuda dan berperang, lima batang
tombak telah disiapkan di situ pula. Dan ketika kakek
ini tertegun menerima seekor kuda maka panglima
tertua membungkuk dan berkata,
"Lo-enghiong benar-benar luar biasa, akan
tetapi semua itu bersifat perorangan. Kami hendak
menguji lo-enghiong ilmu menunggang kuda dan
melempar tombak, juga memanah. Kalau semua ini
dapat dilewati maka lo-enghiong harus menghadapi
keroyokan kami berempat. Dalam pertempuran sering
terjadi keroyok mengeroyok."
Kakek ini tertegun, menerima pula sebatang
gendewa. Lalu ketika seorang lain menyerahkan
segebung anak panah lengkap berikut perisai, inilah
tak diduga maka lima ekor kuda pun ditepuk dan
dengan sigapnya empat panglima itu tahu-tahu telah
meloncat di kuda masing-masing. Gemuruh dan sorak
riuh kini ditujukan oleh kelucuan kakek ini yang
terbengong-bengong. Memang Siang Lun Mogal
keblingsatan!
49 "Naiklah!" panglima Homba memberi aba-aba.
"Kuda hitam itu untukmu, lo-enghiong, kita beradu
cepat menuju ujung jalan itu. Siapa dapat menancap
kan tombaknya lebih dulu di pohon besar itu dialah
yang menang."
Kakek ini merah padam. Seumur hidup belum
pernah dia menunggang kuda. Andalannya adalah
ilmu lari cepat. Kuda pun kalah kencang jika beradu lari
dengannya. Akan tetapi karena ini berkaitan dengan
kedudukan yang diberikan Raja Sabulai, mau tidak
mau ia harus menerima itu maka iapun meloncat
dan... jatuh tegak lurus di punggung kuda. Tubuhnya
kaku dan orangpun terpingkal ketika kuda meringkik
dan melonjak-lonjak, nyaris meloncat ke depan.
"Pegang kendalinya, pegang kendalinya! Kuasai
tali kekang itu, lo-enghiong. Awas jangan kabur!"
Kakek ini melirik dan ternyata Raja Sabulai
sendiri yang memberi petunjuk. Ia merah padam akan
tetapi cepat menyambar tali kuda dan barulah kuda
berhasil dijinakkan. Empat panglima tertawa tak
mampu menahan geli. Akan tetapi ketika ia melotot
dan menyambar mereka dengan pandangan berapi,
kekuatan Hoat-lek-kim-ciong-ko muncul tiba-tiba
maka empat orang itu terkejut dan menutup mulut.
50 Panglima Sabhu kini membungkuk dan berseru pada
Raja Sabulai agar mem berikan aba-aba start.
"Mohon paduka hitung. Kami siap ber pacu!"
Sabulai berdebar, ragu-ragu. Dia sendiri sebagai
pemimpin bangsa Mongol yang tentu saja ratusan kali


Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menunggang kuda segera maklum bahwa kakek
gundul ini bukan ahlinya. Gerak ketika meloncat dan
menarik tali kekang sungguh menggelikan. Akan tetapi
karena empat panglimanya tidak salah dan kakek itu
memang harus diuji, inilah sanggup tidaknya kakek itu
maka raja pun mengangkat tinggi-tinggi sebuah
bendera start.
"Awas, perhatikan semua. Kuhitung! Satu...
dua... tiga!"
Tepat hitungan tiga maka empat kuda pertama
meringkik dan mencongklang pesat. Baik panglima
Sabhu maupun singa tua Homba menyentak dan
menendang perut kuda masing-masing. Dari sini dapat
dilihat tangkasnya dan kepandaian orang-orang itu.
Akan tetapi ketika kuda hitam Siang Lun Mogal
meringkik dan berputar-putar maka kuda inilah yang
paling konyol karena si kakek menarik ke kiri kanan
hingga sang kuda tak tahu ke mana tuannya
menghendaki, bukan lurus ke depan!
51 Terbahak-bahaklah bangsa Mongol melihat itu.
Hanya Raja Sabulai yang pucat dan kaget melihat ini.
Raja sama sekali tak tertawa. Dan ketika Siang Lun
Mogal juga kaget dan marah kudanya berputaran,
persis orang kena ayan maka saat itulah tali putus dan
kakek ini menggeram lalu menyambar leher kudanya
kuat-kuat dan sekali ia membentak tiba-tiba kudapun
meloncat dan... terbang bagai kilat menyambar,
bukan sekedar oleh kekuatan kaki melainkan oleh
kehebatan kakek ini mengangkat kudanya dan dalam
keadaan setengah melayang itulah kuda ini kabur!
Bukan main hebatnya yang dilakukan kakek
gundul ini. Marah bahwa kudanya tak keruan
sementara empat ekor kuda di depan sudah puluhan
meter maka kakek ini mempergunakan kepandaian
nya. Dengan tenaganya yang dahsyat dan
cengkeramannya yang kuat ia membawa terbang kuda
ini. Orang sampai terlongong-longong melihat kuda itu
tak menyentuh bumi. Sebenarnya kakek inilah yang
"terbang" membawa kudanya. Maka ketika ia
bergerak begitu cepatnya sementara empat panglima
tertawa dan menoleh ke belakang, saat itulah si kakek
gundul lewat maka mereka kaget bukan main karena
kuda dan penunggangnya lewat bagai halilintar
cepatnya. 52 "Siap!"
Kuda hitam benar-benar bak kilat menyambar.
Sebentar saja ia melewati empat kuda lawan dan
berada di ujung jalan. Kakek ini tak membuang-buang
waktu dan ditancapkannya tombak di pohon besar itu.
Lalu ketika ia membalik dan kembali ke tempat Raja
Sabulai, tepat di saat lawan masih setengah jalan
maka riuhlah tepuk tangan sorak menggegapgempita. Kakek ini telah berada kembali di tempatnya
dan kudanya bagaikan kuda iblis.
"Siang Lun lo-enghiong menang. Hore, Siang
Lun lo-enghiong menang...!"
Bukan hanya Raja Sabulai yang takjub akan
tetapi semua bangsa Mongol dan empat panglima
juga kagum dan tercengang-cengang. Mereka begitu
heran dan takjub akan apa yang dilihatnya ini. Kakek
itu benar-benar luar biasa. Maka ketika mereka
kembali dan berhenti mem balapkan kuda, siapapun
tak menyangka bahwa kakek inilah yang sebenarnya
"terbang" membawa kudanya maka empat panglima
itu menjura dan memberi hormat.
"Lo-enghiong menang, kami benar-benar kalah.
Akan tetapi masih ada sisa pertandingan lain
53 melempar tombak. Kita berlima tetap di atas kuda dan
menombak sasaran bergerak!"
"Ha-ha, semaumu. Apapun kulayani, panglima
Homba. Kalau belum puas mari-sampai puas!" kakek
ini tertawa bangga dan diam-diam ia mengusap
keringat dinginnya. Kalau tidak berkat kepandaiannya
itu tak mungkin ia menang. Sesungguhnya empat
orang itu hebat. Maka ketika ia ditantang lagi dan
masih tetap di atas kuda, ia tak boleh gentar maka lima
ekor merpati dikeluarkan dan Homba berlutut di
depan rajanya.
"Mohon paduka lepaskan merpati-merpati itu
dan harap beri tanda. Jelaskanlah kepada Siang Lun loenghiong mana-bagiannya dan mana pula bagian
kami."
Sabulai tersenyum, mengangguk-angguk. Lalu
ketika ia menghadapi kakek itu dan empat panglima
nya yang lain maka ia berkata bahwa masing-masing
merpati tak boleh diserobot yang lain.
"Kau, bagianmu adalah yang soklat ini. Lima
merpati ini akan kuterbangkan dan lepas bebas di
udara, lo-enghiong. Siapa yang tepat menombak
putus lehernya dialah pemenang sejati. Mengenai
bagian yang lain berarti kalah. Jadi kalian harus
54 mengejar dan membunuh sasaran bergerak ini.
Sekarang siap kumulai!"
Sabulai telah memberikan tanda-tanda bagi
empat merpati lain untuk empat panglimanya. Yang
putih dan hitam adalah milik panglima Sabhu dan
Honga, yang abu-abu dan blorok adalah bagian Sodor
dan Homba. Maka ketika semua di siapkan dan lima
merpati dilepas, tak boleh dikejar sebelum seratus
meter maka berserulah Raja Sabulai setelah waktunya
tiba. "Siap, perburuan dimulai!"
Kakek gundul mengumpat. Bersama itu
bertepuk riuhlah bangsa Mongol menggebah merpatimerpati itu. Burung yang kaget dan gesit ini
membubung tinggi. Lalu ketika empat panglima
mengejar namun sulit melepaskan tombak, jarak
begitu jauh maka yang soklat menghilang lenyap di
balik awan kelabu. Siang Lun Mogal mengutuk dan
menyumpah-serapah dan tak tahu bahwa itulah
merpati paling baik yang dimiliki bangsa Mongol,
merpati kesayangan Raja Sabulai sendiri akan tetapi
yang hari itu terpaksa dikorbankan untuk menguji
kehebatan kakek ini!
(Bersambung jilid VIII.)
55 COVER 1 =0= "MENCARI BUSUR KUMALA" =0=
Karya : Batara
Jilid VIII
*** AKAN tetapi Siang Lun Mogal bukanlah tokoh
kemarin sore. Sementara empat temannya mengejar
dan siap dengan tombak di tangan, siap lontar maka
kakek ini berkemak-kemik. Merpati coklat yang
menjadi sasarannya menghilang entah ke mana. Sorak
riuh bangsa Mongol membuat binatang itu ketakutan.
Empat merpati lain juga terbang tinggi akan tetapi
mereka itu kelihatan, dikejar dan diburu empat
panglima ini dan diam-diam mereka girang bukan
main bahwa sasaran di depan, tidak seperti kakek itu
yang kehilangan buruannya. Maka ketika mereka
mengejar dan yakin memenangkan pertandingan,
mereka adalah ahli tombak berpengalaman maka
justeru kakek itu tiba-tiba berhenti dan bersedekap.
Orang tertegun. Raja juga tertegun dan kaget
kenapa kakek ini mendadak berhenti. Akan tetapi
ketika tiba-tiba dari langit yang berawan muncullah
3 titik hitam menyambar turun, cepat dan luar biasa
tahu-tahu merpati coklat yang hilang lenyap kini
kembali. Jaraknya hanya beberapa tombak dari kakek
gundul ini!
"Cras!" orang tak tahu apa yang terjadi namun
semua melihat betapa dengan kecepatan kilat si kakek
menggerakkan tombaknya. Merpati itu mendadak
roboh dan jatuh ke tanah. Lalu ketika semua orang
sadar betapa Siang Lun Mogal membunuh sasarannya,
tepat di leher maka gemuruhlah sorak riuh di mana
kakek itu berkelebat dan telah menyambar bangkai
merpati ini, melaju dengan kuda hitamnya mendekati
Raja Sabulai sementara empat panglima yang lain
masih menguber-uber (mengejar-ngejar) binatang
buruan mereka. Belum satupun berhasil!
"Ha-ha, hamba sudah melaksanakan tugas.
Inilah hasil perlombaan hamba, sri baginda. Harap
paduka saksikan!"
Raja terkejut dan girang lalu bertepuk tangan
memuji kakek gundul ini. Rakyat riuh bersorak-sorai
dan empat panglima tertegun menoleh. Mereka
melihat keberhasilan kakek itu. Dan ketika raja
memberi tanda agar semua kembali, pemenang telah
4 ditentukan maka Homba dan lain-lain merah padam.
Untuk kedua kalinya mereka pecundang!
"Siang Lun lo-enghiong telah memenangkan
pertandingan ini. Berhenti dan tak usah diteruskan
pekerjaan kalian, Homba. Juara telah muncul!"
Empat panglima terheran-heran dan kagum
namun juga penasaran bagaimana kakek itu menang.
Mereka tak tahu bahwa dengan Hoat-lek-kim-ciongko nya kakek ini "memanggil" merpati itu. Hoat-lekkini-ciong-ko adalah sihir yang amat kuat di mana
merpati coklat bergetar pikirannya. Ia kacau dan
tersedot untuk akhirnya tertarik ke kakek gundul itu.
Pengaruh magis membuatnya bingung. Maka ketika
tanpa sadar ia tersedot ke kakek ini, itulah saatnya si
kakek bergerak maka dengan kepandaiannya mudah
lah Siang Lun Mogal melontarkan tombaknya, tepat
dan membuat leher merpati putus!
"Kami mengaku kalah, lo-enghiong benar-benar
luar biasa. Akan tetapi karena masih ada dua
pertandingan lagi kami harap akan mampu meng
imbangi dan marilah sekarang bermain panah!"
Homba panglima tertua membungkuk jujur, la dan
kawan-kawannya telah dipecundangi akan tetapi
masih ada dua pertandingan lagi, yakni panah
5 kemudian pertempuran keroyokan. Maka ketika ia
mengakui kekalahan akan tetapi dari dua yang
terakhir ini akan diperebut kemenangan, Sabulai pun
mengangguk-angguk maka untuk ke sekian kalinya lagi
kakek ini mengerutkan kening. Ia diajak adu panah!
"Bagaimana aturannya, apa yang kalian
kehendaki. Coba terangkan dulu kepadaku, Homba.
Bermain panah bagaimana yang kalian kehendaki!"
"Kami masing-masing meluncurkan sebatang
panah, lawan memukulnya dari samping. Kalau tiga
kali berturut-turut tak mampu meruntuhkan maka
dialah pihak yang kalah."
"Hm, begitu? Coba tunjukkan dulu biar aku
belakangan!"
Homba mengangguk. Ia memerintahkan Sabhu
bersiap sementara dia sendiri meloncat dan berlari ke
samping. Dalam jarak lima puluh tombak ia berhenti.
Lalu ketika ia memberi aba-aba dan Sabhu melepas
sebatang panahnya, panglima itu sendiri siap dengan
sebatang panah lain maka gendewa dijepret dan
panah yang melesat dari tangan panglima Sabhu
dibentur dan patah tengahnya.
"Tak!"
6 Bersoraklah bangsa Mongol memuji panglima
itu. Tidak hanya sekali melainkan tiga kali berturutturut panglima Homba memukul runtuh panah
lawannya. Dan ketika Raja bertepuk tangan dan
selesailah satu babak maka panglima Sabhu ganti
memukul runtuh panah yang dilepas panglima
Homba. Akan tetapi hanya dua yang kena, yang
terakhir dan melesat dengan kecepatan kilat tak
mampu dipukul runtuh. Maka ketika dengan ini
panglima tertua memenangkan pertandingan maka
kakek gundul mengangguk-angguk dan tiba-tiba
terkekeh gembira.
"Wah, permainan kecil. Kalau ini saja tak perlu
kutakuti, Homba, empat sekalipun dapat kupukul
bareng. Biarlah kalian selesaikan dulu dan aku
belakangan!"
Orang terkejut dan para panglima memerah
mukanya. Mereka menganggap kakek ini terlalu
sombong akan tetapi tentu saja ingin membuktikan.
Biarlah mere ka menyelesaikan babak mereka dulu
baru kakek ini dilihat kepandaiannya. Dan ketika dua
panglima lain yakni Sodor dan Honga mendapat nilai
sama dua, masing-masing luput memanah yang satu
maka kakek ini tertawa bergelak meloncat turun dari
7 kudanya, langsung berkelebat dan menuju lima puluh
tombak samping kiri, berhenti di sini.
"Kalian semua lepaskan panah berbareng. Aku
di sini meruntuhkan panah-panah kalian, Hombu.
Lihat kepandaianku dan semua kupukul runtuh, tanpa
gendewa!"
Semua bersorak kecuali empat panglima itu
sendiri. Setelah dua kali berturut-turut kakek ini
memperlihatkan kepandaiannya maka orang pun
menaruh kepercayaan. Sabulai pun juga begitu. Maka
ketika raja bertepuk tangan akan tetapi empat
panglima justeru cemberut maka kakek itu bersiapsiap dan telah memegang empat panah di kedua
tangan, tertawa memanaskan.
"Ayo, lepaskan panah kalian. Dari sini akan


Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kubentur runtuh!"
Terpaksa empat panglima melepaskan marah
dengan melepaskan panah secara serentak. Tanpa babi-bu lagi akan tetapi sudah saling memberi isyarat
mendadak mereka mementang busur. Masing-masing
berjajar dan empat panah terlepas berbareng. Hebat
mereka itu, tenaga diatur sedemikian rupa hingga dari
samping empat batang panah terlihat satu. Yang
sebelah kanan tertutup yang kiri. Jadi begitu empat
8 panah melesat akan tetapi hanya kelihatan yang
paling kiri, yang lain tertutup karena berjajar dengan
panah yang dilepas panglima Homba ini maka Siang
Lun Mogal terkejut karena pandang matanya tertutup
panah paling dekat, tiga yang lain seolah menempel
atau lekat menjadi satu!
Akan tetapi Siang Lun Mogal adalah kakek yang
juga bukan sembarangan. Meskipun dia mengumpat
dan diam-diam mengakui bahwa empat panglima itu
memiliki ilmu panah jempolan namun ia pun bertindak
tak kalah mengagumkan dengan empat panglima itu.
Semua orang, yang berada di belakang kakek ini juga
melihat bahwa panah yang meluncur seolah sebuah
saja. Membentur yang ini berarti gagal memukul
runtuh yang lain, karena panah kedua dan seterusnya
tentu terus menyambar dan terbang ke depan. Akan
tetapi ketika kakek itu berseru keras dan menggerak
kan kedua tangannya, empat batang panah meluncur
secara beriringan maka secara lihai akan tetapi cerdik
bukan main panah yang dilepas kakek ini melesat dan
membentur empat panah itu secara bergantian, yakni
ketika panah ke satu runtuh dan memperlihatkan
Senopati Pamungkas I 4 Wiro Sableng 113 Hantu Santet Laknat Pendekar Panji Sakti 9

Cari Blog Ini