Mencari Busur Kumala Karya Batara Bagian 6
tertawa. Tanpa ragu atau cemas sedikitpun laki-laki ini
masuk. Lalu ketika Buci mengikuti dan pintu ditutup,
berdualah dia dengan laki-laki itu maka Khu ciangkun
memberi aba-aba dan kereta bergerak. Belasan kuda
berderap dan pasukan itu mengiringi.
"Hm, kau..." Buci tak segan lagi memandang
pria ini, laki-laki yang ramah. "Kembalikan kantung
uangku atau aku merampasnya di sini. Kau perebut
terakhir!"
Laki-laki ini tertawa, tidak bersandiwara lagi.
Dan karena ia tadi sengaja menunjukkan itu untuk
menarik perhatian Buci, si anak terbawa maka ia
menggerakkan tangan ke belakang dan sekali tarik
lepaslah kantung uang itu dari punggungnya.
"Kuambil ini untuk menyelamatkan milikmu.
Terimalah dan jangan salah duga, anak baik, siapa
akan merampas uangmu. Terimalah, dan hitung tak
kurang sepeser pun."
Buci malah tertegun. Tak disangkanya laki-laki
ini memberikannya begitu mudah padahal di luar tadi
semua orang berebut. Dia terlanjur menganggap
51 semua orang buruk. Maka menerima dan tercengang
tak menyangka, inilah lain dari yang lain maka ia pun
tersipu dan berkata, 'Terima kasih, akan tetapi tak
kusangka kaulah penyelamat uangku. Kalau saja tak
kulihat kantung uang ini tentu tak mau aku ditangkap
Khu-ciangkun!"
"Sudahlah, sabar dan jangan marah-marah.
Sekarang apa yang akan kaulakukan, anak baik. Eh,
omong-omong siapa namamu. Aku Fang, namaku Lun,
pedagang keliling dan menarik sekali bertemu dengan
mu." Buci menghela napas, lagi-lagi bingung. Kalau
orang sudah menanya namanya maka biasanya ia
sukar menjawab. Bukan apa-apa melainkan semata
namanya nama Mongol, jangan-jangan hanya
menaruh kecurigaan saja. Maka ketika ia diam
sementara laki-laki itu menunggunya, ia gugup maka
laki-laki itu tertawa berkata,
"Sudahlah, aku tak mendesak. Mungkin kau
pelarian hingga tak ingin dikenal, He-he, kecil-kecil
sudah membawa uang, banyak mungkin milik ayah
mu, sobat cilik. Akan tetapi aku kagum dan betapa pun
suka kepadamu. Kau berani dan gagah. Dan ilmu
meringankan tubuhmu tadi, wah... hebat dan luar
52 biasa. Kau sebenarnya dapat melarikan diri kalau
hanya berurusan dengan Khu-ciangkun itu."
Wajah Buci memerah, malu. Ada rasa marah
dikata pelarian akan tetapi karena sikap dan nada
bicara laki-laki itu bersifat menggoda maka iapun
tersenyum kecut. Memang ia pelarian. Maka diam dan
serba salah, laki-laki ini seakan begitu tajam iapun
menyeringai saja akan tetapi bangga dipuji
ginkangnya. Senang! Dan keretapun berguncangguncang, sejenak masing-masing sama diam. Akan
tetapi ketika laki-laki itu bertanya apa yang akan
dilakukan setelah berhadapan dengan Lam taijin, juga
ikan Tampah di belakang punggung maka Buci bingung
untuk menjawab. Tiba-tiba ia merasa orang ini sudah
begitu akrab.
"Kau, apa yang akan kaulakukan jika
berhadapan dengan pembesar itu. Apa jawabanmu
kalau ia menanyaimu, terutama uang yang banyak di
kantungmu itu."
"Hm, memangnya kenapa? Uang ini bukan
kuperoleh mencuri, akan tetapi ku dapat secara baikbaik!"
"Bagus, pemberian ibumu?"
"Bukan, Pui-wangwe..."
53 "Eh, kau dari kota Cin-yang?" Buci kaget. "Kau
mengenal hartawan itu? Astaga, demikian murah hati
hartawan itu kepadamu, sobat cilik, padahal tak
gampang ia memberikan uangnya kepada orang lain!"
Buci jadi tertegun. Tak disangkanya laki-laki ini
mengenal Pui-wangwe dan ia tiba-tiba tak enak.
Jangan-jangan sahabat Pui-wangwe dan ia konangan.
Ia telah meninggalkan hartawan itu tanpa pamit! Akan
tetapi ketika pria itu batuk-batuk dan berkata bahwa
ia bukan apa-apa, sekedar kenal dan tahu selintas
maka Buci lega mendengar kata-katanya.
"Tidak, tidak. Aku tak begitu kenal dengannya
dan hanya tahu sekelebatan saja. Sebagai pedagang
keliling kudengar namanya di kota Cin-yang. Siapa
tidak kenal padanya? Aku bukan penduduk Cin-yang,
sobat cilik, aku perantau. Tempatku berpindah-pindah
dan tentu saja kukenal banyak orang. Justeru aku jadi
tak enak kalau kau sahabat hartawan itu. Aku orang
rendahan!"
"Hm, paman tak usah merendahkan diri. Aku...
aku pun kebetulan saja bertemu hartawan itu.
Sekarang ceritakan kenapa paman menghendaki ikan
ini, apa keistimewaannya, kenapa ia dikejar-kejar!"
54 "Ha-ha, kau betul. Aku tiba-tiba teringat
persoalan ini, anak baik, justeru yang membuatku tiba
di sini. Ikan itu milik istana dan semua pembesar
mencarinya, tentu saja diam-diam. Dan karena Lamtaijin berharap besar dengan ikan ini maka ia pasti
menekanmu dan hati-hati kalau berhadapan nanti. Ia
akan mengembalikannya ke istana dengan harapan
naik pangkat!"
"Milik istana?" Buci terkejut.
"Ya, tepatnya milik keputren. Ikan itu berada di
Kolam Emas akan tetapi beberapa waktu yang lalu
hilang dicuri orang, dikejar dan kabarnya dibuang di
sungai Huang-ho dan kebetulan nelayan itu
mendapatkannya."
Buci berdebar, mulai tertarik. Ia telah menyebut
paman kepada laki-laki ini sementara orang pun tak
keberatan. Jenggot pendek putih itu seharusnya tepat
disebut kakek. Dan ketika pembicaraan mulai berkisar
ke sini dan Buci bertanya apakah laki-laki itu butuh
pangkat, kenapa mengejar dan berani dengan harga
mahal maka Fang Lun atau pria ini terkekeh.
"Pangkat? Ha-ha, lucu sekali. Aku bukan
pembesar atau pogawai pemerintah, anak baik.
55 Maksudku adalah mencari keuntungan, itu saja. Ingat
bahwa aku adalah seorang pedagang!"
Buci mengangguk-angguk, melebarkan mata
nya yang bulat. "Dan berapa paman jual? Kepada siapa
pula?"
Laki-laki ini mengerutkan kening, tampak heran.
Akan tetapi tersenyum dan tetap ramah ia berkata,
"Tentu saja kujual ke istana, harganya tinggi.
Kalau tidak salah berani dibayar selaksa tail!"
Buci mendecak, kagum. Tak habis dimengerti
nya bahwa untuk ikan seperti ini dibayar begitu mahal.
Dan ketika ia memandang aneh laki-laki itu dan
bertanya apakah laki-laki itu menginginkannya, pria ini
terkejut maka ia menarik napas dan menggeleng.
"Rejeki bukan di tanganku, akan tetapi di tangan
mu. Kau sudah mendapatkannya dan kaulah yang
beruntung, anak baik. Aku tak menginginkannya dan
tak cukup pula uangku, membayar. Milikku hanya lima
belas keping emas itu."
"Kalau begitu ambil sajalah, aku sebenarnya
iseng saja. Hanya kalau boleh kuminta dapatkah kau
memberiku petunjuk siapakah di dunia ini pendekar
56 paling hebat. Sebagai pedagang keliling tentu paman
tahu dan dapat memberitahuku!"
Laki-laki itu terkejut, membelalakkan matanya.
Akan tetapi sebelum ia menjawab maka kereta pun
berhenti dan terdengar bentakan Khu-ciangkun
bahwa mereka sudah tiba.
(Bersambung jilid X.)
57 COVER 1 =0= "MENCARI BUSUR KUMALA" =0=
Karya : Batara
Jilid X *** "TURUN, kalian jangan di dalam saja!"
Buci mendongkol. Percakapannya dengan lakilaki itu terganggu sementara pintu kereta pun dibuka.
Khu-ciangkun perwira itu menyuruh mereka turun.
Dan ketika ia melompat dan keluar dari kereta, paman
Fang itu pun menyusul di belakang maka sikap perwira
ini tampak galak dan para pengawalpun mengelilingi
ketat. Mereka tiada ubahnya pesakitan.
"Mari menghadap Lam-taijin dan kalian
bersikaplah baik-baik. Kalau kalian memang tak
bersalah dan bebas dari segala kecurigaan maka kalian
boleh pergi!
"Hm, sombong," Buci menggumam. "Kalau
kalian macam-macam akulah yang akan memberi
pelajaran dan pergi atau tidak terserah aku."
3 "Kau bicara apa?" Khu-ciangkun mendelik.
"Tidak, dia bicara dengan aku," Fang Lun
tertawa dan menyenggol lengan Buci. "la berkata ingin
bersikap baik-baik dan segera pergi, ciangkun. Kami
merasa tak bersalah dan kalian tentu bersikap adil!"
"Hm, baik, tentu saja. Mari masuk!" dan gagah
memasuki gedung besar itu, seseorang telah melapor
pada Lam-taijin maka di ruang dalam, di dekat sebuah
cermin besar duduklah seorang laki-laki gendut
dengan baju indah bersulamkan benang emas. Khuciangkun cepat berlutut dan berseru bahwa ia telah
membawa para tawanan ini, hal yang membuat anak
laki-laki itu berkerut kening dan tak senang. Akan
tetapi ketika ia disuruh berlutut dan menolak, begitu
pula paman Fang maka Khu-ciangkun membalik dan
berseru marah.
"Kalian menghadap seorang pembesar. Letak
kan sopan-santun dan jangan seperti orang-orang
liar!"
"Kami bukan orang-orang liar, dan kami pun
datang bukan atas kemauan sendiri. Kau mengundang
dan membawa kami ke sini, ciangkun, bersifat
memeriksa. Kalau kau mengatakan kami tawanan
padahal belum jelas salah tidaknya maka justeru kau
4 lah yang tidak bersopan-santun. Kami tak ada
hubungan dengan siapapun dan berhak menentukan
sikap!"
"Akan tetapi ini Lam-taijin!"
"Kami tak perduli, kami bukan penduduk Kuicin!"
"Keparat!" perwira itu marah sekali, siap
memerintahkan pengawalnya membekuk dan
menangkap anak itu. Akan tetapi ketika Fang Lun
kembali angkat bicara dan berkata meredakan
suasana maka laki-laki inilah yang menghentikan
pertikaian itu.
"Khu-ciangkun harap bersabar sedikit, apa yang
dikatakan sobat cilik ini sebenarnya ada betulnya juga.
Daripada ribut-ribut padahal sudah di sini bukankah
sebaiknya bertanya kepada atasanmu apa yang harus
dilakukan. Menangkap dan menyerang kami bolehboleh saja, akan tetapi pokok persoalan kenapa kami
dibawa ke sini tentu tak bakal terselesaikan."
Perwira ini tertegun, ada benarnya juga. Dan
karena sesungguhnya yang dicari dan hendak
ditangkap adalah anak laki-laki itu, bukan pria
setengah baya ini maka iapun mengangguk dan
menghadap lagi majikannya yang gendut itu.
5 "Lam-taijin sudah dengar, kami menyerahkan
mereka ini kepadamu. Karena laki-laki ini hanya
terbawa saja oleh bocah ini maka mohon keputusan
taijin apa yang harus dilakukan!"
"Siapa kau," pembesar itu memandang laki-laki
ini. "Seingatku yang dipanggil dan dibawa menghadap
adalah seorang anak laki-laki yang menurut Khuciangkun mencurigakan. Bagaimana kau ada di sini
dan ikut-ikutan tertangkap."
"Hamba bernama Fang Lun, pedagang keliling.
Hanya karena hamba sama-sama memiliki uang emas
maka hamba ditangkap, taijin. Sebagai orang yang
baik dan tak merasa bersalah hamba siap diperiksa."
"Hm, kaupun membawa uang emas?"
Lam-taijin mengerling Khu-ciangkun.
"Hanya lima belas keping, taijin, kalah banyak
dengan sobat cilik ini. Hamba memang pedagang dan
di manapun harus siap uang."
"Bagus, kalau begitu keluarlah. Kau seorang
pedagang dan alasanmu masuk akal. Ciangkun, aku tak
berurusan dengan laki-laki ini dan bawa ia keluar!"
Lam-taijin berseru pada pembantunya dan
bergeraklah Khu-ciangkun bersama dua orang
6 pengawalnya. Ia menyambar dan menarik laki-laki ini
supaya keluar. Dan ketika laki-laki itu menurut dan
tinggallah Buci seorang diri, anak ini terbelalak maka
Khu-ciangkun muncul lagi dan kini berseri-seri. Pintu
ruangan ditutup dan berjaga lah para pengawal di luar
ruangan. Anak ini terkunci.
"Nah!" Khu-ciangkun tertawa. "Sekarang
giliranmu, bocah. Dari mana kaudapatkan uang
sebanyak itu dan bukan pedagang pula. Atau kau
hendak mengaku bahwa dirimu pedagang seperti
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
temanmu tadi? Jangan main-main, bicara yang jujur
dan katakan dari mana uang itu kaudapatkan!"
"Aku menerimanya dari Pui-wangwe," Buci
terpaksa mengaku. "Aku memang bukan pedagang
tapi tak mencuri atau hasil rampokan, ciangkun. Uang
ini kudapat kan secara baik-baik dan boleh kautanyakan!"
"Pui-wangwe? Siapa yang kaumaksud?"
"Hartawan dari Cin-yang itu..."
"Eh, bohong!" Khu-ciangkun memotong dan
tiba-tiba membentak. "Pui-wangwe adalah seorang
pelit dan amat kikir, bocah, tak mungkin begitu
gampang memberimu uang. Kau bohong!"
7 "Kalau begitu tanyakan dan datanglah ke sana,"
anak ini menjadi marah. "Aku dapat membuktikannya
dan jangan gampang menuduh, ciangkun. Kalau aku
bohong boleh kauambil semua uangku!"
"Cukup, begini saja!" Lam-taijin tiba-tiba
berseru dan mengangkat tangannya. "Kami akan
menyelidiki dan membuktikannya, sobat cilik.
Sekarang katakan siapa namamu dan untuk
sementara ini kau tinggal di sini. Siapa namamu!"
Buci tertegun, merah. Adalah hal yang paling
tak disukainya bila orang menanya namanya. Ia anak
Mongol, mana mungkin mengaku. Maka bingung dan
tertegun akan tetapi juga marah, ia tak segera
menjawab maka perwira itu terkekeh berseru,
"Nah, kau mencurigakan. Menjawab nam a saja
tidak diberitahukan, bocah, masa kau bebas begitu
saja. Kau kami tangkap dan selidiki lebih lanjut!"
"Nanti dulu!" anak itu melengking. "Namaku
Bu-beng-siauw-inkong,
ciangkun. Pui-wangwe
memanggilku begitu!"
"Bu-beng-siauw-inkong (Penolong Cilik Tanpa
Nama)? Kau mengada-ada, itu bukan nama. Kau tentu
bohong dan ada apa hartawan itu menyebutmu
siauw-in-kong. Ia memiliki pembantu dan guru silat
8 she Lu yang lihai dan menjadi tangan kanannya!" Khuciangkun tak dapat menerima ini dan tentu saja ia
menolak. Nama itu bukanlah nama. Dan karena siapa
percaya anak ini menjadi tuan penolong, di sana ada
Lu-kauwsu (guru silat Lu) yang lihai dan cukup dikenal
maka Buci terkejut dan sejenak hilang akal. Ia kaget
bahwa Pui-wangwe dikenal begitu baik, termasuk
guru silat she Lu yang lihai akan tetapi tak mampu
mengimbangi ilmu lari cepatnya itu. Dan ketika ia
terbelalak dan bingung serta habis sabar ditekan
perwira ini, Khu-ciangkun menjepitnya maka Lamtaijin lagi-lagi mengangkat tangan dan berseru,
"Begini saja, kami percaya dan membebaskan
mu bila kauserahkan ikan Tampah itu kepada kami.
Karena Pui-wangwe menyebutmu siauw-inkong
(penolong cilik) dan kau tampaknya kenal baik biarlah
urusan ini disudahi saja. Serahkanlah ikan itu dan
semuanya kami anggap selesai. Bagaimana?"
Buci terbelalak. Kalau saja ia tak tahu perihal
ikan ini dari teman barunya itu barangkali akan
dilepasnya ikan itu begitu mudah. Akan tetapi ia
sekarang tahu. Ikan ini adalah milik istana dan konon
bisa laku selaksa tail. Bagi pejabat atau bawahan kaisar
ikan ini dapat menaikkan pangkat. Siapa sudi!
9 Maka menggeleng dan tertawa mengerti tibatiba ia berseru, "Ketahuan belangnya, ini kiranya
kenapa kalian menangkap aku. Ha, tak akan kuberikan
ikan ini kepada siapapun, Lam-taijin. Aku telah tahu
bahwa dengan ini kau dapat menaikkan pangkatmu.
Ikan ini akan kujual ke istana, bisa laku selaksa tail.
Kalau kau mampu menggantinya sejumlah itu biarlah
ku berikan!"
Wajah pembesar itu berubah. Khu-ciangkun
yang terkejut dan terbelalak pula tiba-tiba berseru
keras. Lam-taijin telah memberi tanda kepadanya.
Maka ketika ia membentak dan menubruk anak itu,
berteriak lancang maka Buci diserang akan tetapi anak
itu berkelit dan menendang.
"Buk!" perwira itu terpelanting dan berteriak
kesakitan. Ia tak menyangka begitu mudahnya dikelit
dan menerima tendangan pula. Ia bergulingan
mengaduh-aduh. Dan ketika ia meloncat bangun dan
menjadi marah, Lam-taijin menghilang di balik
kursinya maka perwira itu memanggil anak buahnya
yang segera mendobrak pintu dan berhamburan
masuk. Khu-ciang kun masih mulas perutnya dan
gemetaran memegang golok.
10 "Tangkap... tangkap anak itu. Ia tak dapat
menyebut namanya dan mencurigakan. Serang dan
robohkan dia!"
Di sini Buci menjadi marah. Ruangan itu cukup
lebar dan tak kurang tiga puluh orang berlompatan
masuk. Para pengawal mencabut senjata mereka dan
langsung menyerang, aba-aba Khu-ciangkun tak perlu
diulang lagi. Dan ketika anak itu mengelak dan berkelit
ke sana-sini, membentak dan mengeluarkan
gendewanya maka Buci menangkis dan memaki-maki.
"Curang, kutu busuk. Katakan bahwa kau
hendak merampas ikanku, Khu-ciangkun. Kau
memaksa dan mendesak aku dengan segala macam
akal licik!"
Akan tetapi perwira itu berteriak-teriak dan
menyuruh pengawalnya menyerang lebih hebat.
Crang-cring-crang-cring tangkisan gendewa membuat
golok di tangan pengawal terpental. Buci telah
mendapat pengalaman bertanding dengan para
perampok itu. Maka ketika ia berkelebatan dan kini
membalas, berjungkir balik melesat menuju perwira
itu maka Khu-ciangkun terkejut bukan main melihat
anak itu tahu-tahu menyambarnya.
11 "Tak!" perwira ini menggerakkan golok akan
tetapi besi hitam di ujung gendewa mendahuluinya.
Gerakan Buci jauh lebih sebat dan berteriaklah
perwira itu. Ia terbanting dan bergulingan lagi. Dan
ketika anak buahnya menjadi marah dan mengejar
serta menyerang, Buci dikepung maka terdengar suara
Lam-taijin agar ikan di punggung anak itu jangan
sampai terbeset.
"Bocah itu boleh kalian bunuh akan tetapi hatihati ikan Tampahnya, jangan terluka. Siapa dapat
memberikannya kepadaku hadiahnya seribu tail!"
Berteriaklah pengawal itu membabi-buta. Pintu
ditutup rapat dan Buci dikejar di tengah ruangan,
golok dan senjata tajam berhamburan. Dan ketika
anak ini terpaksa menangkis sambil berkelit ke sanasini, membentak dan memaki-maki maka gendewanya
berdenting lagi bertemu golok atau senjata lain yang
menyambar.
Akan tetapi Buci kalah tenaga. Iapun sebenar
nya tak pandai silat karena Jouw-sang-hui-teng itulah
andalannya. Kalaupun ia menangkis dan membagi
pukulan adalah sebisanya saja. Besi hitam di ujung
gendewanya cukup ampuh. Akan tetapi karena
semuanya bersifat ngawur sebagaimana ia melabrak
12 perampok-perampok itu, sebenarnya anak panah
itulah kemahirannya akhirnya anak ini terdesak dan ia
teringat setelah terlambat. Gendewanya terpental
bertemu lima golok sekaligus.
"Crangg!"
Buci terhuyung dan saat itu Khu-ciangkun
menyambar. Perwira ini sakit hati dihajar Buci, dua kali
ia dihantam besi itu. Maka ketika menubruk dan
membentak girang, dialah yang akan merobohkan dan
mendapatkan ikan itu maka Buci benar-benar terkejut
dan mengelak namun terbabat bahunya.
"Crat!"
Anak ini marah. Ia memekik akan tetapi delapan
pengawal menyergapnya dari belakang. Para
pengawal ini jelas berbeda dengan para perampok
yang menawan Pui-wangwe itu, mereka adalah orangorang terlatih dan rata-rata berkepandaian cukup
tinggi. Maka terkejut dan mengeluh diserang dari
delapan penjuru, anak ini melompat akan tetapi
kakinya tertangkap maka Jouw-sang-hui-teng gagal di
tengah jalan dan saat itu Khu-ciangkun menyambar
pula dengan goloknya yang tajam.
"Mampus kau!"
13 Akan tetapi seberkas cahaya putih tiba-tiba
menyambar. Orang tak tahu apa yang terjadi namun
Khu-ciangkun dan pengawalnya berteriak. Mereka
terpelanting dan terlempar ke kiri kanan. Dan ketika
semua terkejut bukan main dan mengeluh, anak itu
tiba-tiba lenyap maka Khu-ciangkun terbelalak dan
bingung. Anak buahnya juga membelalakkan mata
dan bingung, bahkan bercampur ngeri.
"Mana anak itu, ia lenyap!"
"Benar, ia hilang, ciangkun. Kita disambar
setan!"
"Tak mungkin, tak ada setan. Kita di serang
seseorang atau anak itu mempunyai ilmu hitam. Cari,
kejar!"
Tiba-tiba terdengar kekeh di atas. Buci, anak
lelaki itu tahu-tahu nongkrong di belandar, ia duduk
bersama pedagang, pria berbaju putih itu. Dan ketika
semua terkejut sementara laki-laki ini tersenyum
simpul, Buci mementungkan gendewanya tiba-tiba ia
berseru pada perwira she Khu, anak panah di tali
busur. "Kau! Licik dan curang sekali caramu
menyerang. Kau tak tahu malu dan berwatak kejam,
orang she Khu, sekarang aku membalas dan terimalah
14 ini!" anak panah dilepas dan Khu-ciangkun tentu saja
kaget bukan main. Ia berteriak dan melempar tubuh
akan tetapi anak panah menancap di pundaknya. Ia
menjerit dan mengaduh-aduh. Dan ketika Buci
memasang anak panahnya lagi ke anak buah perwira
itu, paniklah orang-orang itu maka pintu yang tertutup
membuat mereka tunggang-langgang.
"Ha-ha, ini bagianmu, dan ini untukmu... cepcep!" satu demi satu anak-anak panah berhamburan
dan cepat sekali puluhan orang itu berteriak-teriak.
Entah bagaimana pintu tiba-tiba terkunci dan mereka
tak dapat keluar. Siapa yang berebut pundakpun
digigit anak panah, kepandaian Buci memang
mengagumkan. Dan ketika semua roboh dan merintihrintih, Khu-ciangkun malah mendapat dua anak panah
maka Buci meloncat turun mengebut-ngebutkan
pakaiannya. Sesungguhnya dia tadi ditolong pedagang
itu dan kini leluasa melakukan balasan.
"Nah," anak itu berdiri tegak. "Sekarang
tunjukkan padaku di mana Lam-taijin itu karena iapun
harus mendapat hukumannya."
"Ampun...!" Khu-ciangkun menggigil.
"Ia... ia tak ada di sini lagi, Bu-beng-siauwinkong. Lam-taijin telah pergi!"
15 "Bu-beng-siauw-inkong?
Heh-heh, siapa menolongmu, ciangkun, justeru aku melukaimu. Aku
tak percaya padamu dan bawa Lam-taijin ke sini, atau
anak panahku terlepas lagi dan kali ini menancap di
tenggorokanmu!"
"Benar," Fang Lun tertawa dan tiba-tiba
berkelebat turun, ternyata ia seorang berkepandaian
tinggi! "Kutu busuk macammu tak dapat dipercaya,
orang she Khu. Pergi atau tidak ia harus di sini, atau
kau gantinya!"
Khu-ciangkun terbelalak. Maklumlah bahwa
sesungguhnya yang berbahaya dalah laki-laki ini.
Pedagang she Fang itu jelas ahli silat kelas tinggi. Ia
bertemu batunya. Akan tetapi berlutut dan menjawab
bahwa ia tak bohong, Lam-taijin benar-benar tak ada
di rumah itu maka orang ini menyambarnya dan kini
membentak.
"Kalau begitu di mana. Kau harus mengantarkan
kami kepadanya atau kau kubunuh!"
"Ia... ia di tempat selirnya di barat kota. Kami
akan mengantarmu ke sana, taihiap, tapi jangan
bunuh aku. Kami hanya menjalankan perintah dan
Lam-taijin lah yang bersalah!"
16 "Pintar menyelamatkan diri. Hayo antarkan
kami kepadanya dan bawa kereta!" pria ini
membentak dan Khu-ciangkun kuncup nyalinya. Ia
bangkit dan terhuyung memegangi kedua pundaknya
sementara anak buahnya digiring pula. Bersama
pengawal itu laki-laki ini dan Buci mencari Lam-taijin.
Secara licik dan licin pembesar itu melarikan diri. Maka
ketika kereta berderap dan tiga puluh pengawal
mengiringi, jadi tontonan sepanjang maka Khuciangkun merah padam, penduduk terheran-heran
betapa perwira ini dicengkeram dan dikendalikan anak
laki-laki itu. Buci siap memasang panahnya untuk
mereka yang coba-coba melarikan diri, temannya di
dalam kereta dan tersenyum-senyum.
Tak sampai lima belas menit sampailah kereta
itu di sebuah rumah mungil. Semua berhenti dan
berlompatan turun dan dari jendela kaca melongoklah
seseorang dengan wajah berubah. Lam-taijin! Dan
ketika pembesar ini menghilang dan seorang wanita
cantik muncul menggantikan maka Khu-ciangkun
buru-buru memberi hormat sementara Buci di
belakang perwira itu dengan sikap mengancam. Anak
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ini memang luar biasa dan pemberani.
17 "Ampun, siauw... siauw-enghiong (orang gagah
cilik) ini hendak bertemu taijin. Kami mengantarnya
dan mohon bertemu."
"Taijin tak ada di sini. Kau salah dan
mengherankan aku, ciangkun, dan siapa siauwenghiong ini. Suamiku belum muncul."
"Jangan bohong!" Fang Lun tiba-tiba berkelebat
dan membentak wanita itu. "Bayangannya kulihat di
jendela kaca, hu jin (nyonya). Kau melindunginya dan
menyembunyikannya!"
"Tit... tidak!" wanita ini menjadi gentar, "la... ia
benar-benar tak ada di sini dan belum datang. Lamtaijin di kantornya!"
"Hm, biar kuperiksa dan kau jaga tikus busuk ini.
Kalau ia kutangkap maka dirimu harus menerima
hukuman!" tanpa memberi kesempatan wanita itu
pedagang ini berkelebat ke dalam. Gerik-geriknya
demikian cepat dan tiba-tiba terdengar teriakan di
dalam. Lam-taijin ngumpet di WC! Lalu ketika ia
ditendang dan mencelat terguling-guling, pria itu
menemukannya maka pembesar ini meratap dan
kedodoran. Ia berjongkok dan pura-pura buang air
besar. 18 "Babi najis!" pedagang itu membentak. "Berani
kau melarikan diri setelah anak buahmu dihajar. Nah,
kini kau tak dapat menyembunyikan diri lagi dan
sekarang terimalah hukumanmu. Juga kau!" wanita itu
dituding dan pucatlah selir Lam-taijin ini. la jatuh
mendeprok dan menangis, terbukalah kebohongan
nya. Dan ketika Lam-taijin mengguguk dan tersedusedu pula, Buci demikian muak dengan pembesar ini
maka ia melompat dan ujung gendewanya menekan
tenggorokan. Temannya telah memberikan tawanan
kepadanya.
"Kau!" anak ini membentak. "Hukuman apa
yang kau minta, taijin. Ingin ku tusuk atau ku pecahkan
kepalamu. Kau demikian jahat dan kejam dengan
memerintahkan membunuh aku. Apa dosaku, apa
salahku!"
"Ampun, kami... kami khilaf. Kami tertarik ikan
Tampahmu itu, siauw-enghiong. Sebenarnya
bermaksud mengembalikannya ke istana dan berbuat
baik kepada kaisar. Kami melakukan ini sebagai abdi
yang baik!"
"Dan kaisar menyuruhmu melakukan apa saja
untuk mendapatkan kembali ikan ini? Iapun
19 menyetujuimu kalau membunuh dan melenyapkan
aku?"
Pembesar itu menggigil, diam.
"Jawab, benarkah begitu!" Buci membentak lagi
dan barulah pembesar ini menggeleng. Ia terbata-bata
dan sinar matanya tiba-tiba melirik Khu-ciangkun. Ia
marah sekali kepada pembantunya itu kenapa lawan
didatangkannya di tempat itu. Akan tetapi ketika
pembantunya berlutut dan tak berani mengangkat
muka, yang lain juga menunduk dan habislah
harapannya maka laki-laki itu tertawa mengejek dan
kali ini berseru padanya,
"Sekarang pilihlah satu di antara dua hukuman
ini. Kembalikan uang sobat cilikku ini dan buat surat
pernyataan ampun terhadap sri baginda atau kau
dibunuh mati sebagai pembesar yang semena-mena
terhadap rakyat!"
"Ap... apa? Surat kepada sri baginda? Atasanku
adalah Gubernur Wong, taihiap (tuan pendekar), tidak
langsung ke sri baginda. Ini tak ada sangkut-pautnya
dengan sri baginda dan hanya untuk hal-hal luar biasa
saja bawahan seperti aku berani menyurati sri
baginda!"
20 "Kalau begitu anggap saja peristiwa ini sebagai
hal yang luar biasa. Mari ku bantu kau."
Dan ketika semua heran dan terkejut tak
mengerti, pedagang itu tersenyum dan mengeluarkan
sebatang pit dan mencorat-coret maka ia telah
menyerahkan sebuah surat dan melepas cincin yang
tadi tersembunyi di balik ujung lengan bajunya,
menyerahkannya kepada pembesar itu.
"Nah, ini dapat membantumu dan kau berikan
lah ke istana. Pasti sampai ke tangan sri baginda."
Pucat dan terbeliaklah laki-laki gendut ini begitu
melihat surat dan cincin. Ia begitu melotot dan tibatiba mengeluh. Cincin itu membuatnya roboh. Lalu
ketika ia bersuara seperti babi menguik, Buci heran
bukan main maka cincin itu dikembalikan lagi dengan
suara terbata-bata.
"Ampun... mohon ampun. Kami tak tahu
dengan siapa kami berhadapan, tai-hiap, akan tetapi
perintah dan suratmu akan kami sampaikan. Cincin ini
tak berani hamba terima dan mohon beribu ampun
bahwa kami bermata buta!"
Khu-ciangkun tiba-tiba pucat pula. Begitu
melihat dan mengenal cincin itu mendadak perwira
inipun menyungkurkan diri. la tergagap-gagap dan
21 membentur-benturkan dahinya di atas tanah, bahkan
sampai lecet berdarah. Dan ketika anak buahnya juga
terkejut dan heran, akan te tapi segera maklum bahwa
sesuatu yang luar biasa terjadi di depan mereka maka
merekapun menunggingkan pantat dan membenturbenturkan jidat mengikuti pimpinannya.
"Ha-ha!" Buci tiba-tiba tergelak tak dapat
menahan tawanya. "Apa-apaan mereka ini, paman
Fang? Kenapa begitu ketakutan seperti melihat hantu.
Eh, apakah kau hantu!"
Laki-laki itu tersenyum, tertawa pula.
"Barangkali begitu, anak baik, aku hantu yang
menakutkan. He, bagaimana menurutmu!"
"Kau orang baik dan bukan hantu. Kalau mereka
menganggapmu begitu patut dihajar. Lam-taijin ini
gara-garanya... buk!" lalu ketika pantat pembesar itu
ditendang dan keluarlah kentutnya yang nyaring, Buci
tertegun maka ia menendang lagi namun... brott,
saking takutnya pembesar itu kentut lagi.
"Jahanam!" Buci memaki. "Kentutmu bau,
taijin. Cium dan nikmati sendiri!"
Pembesar itu mengguguk-guguk dan sama
sekali tidak tertawa. Ia bahkan demikian pucat sampai
keringat membanjiri tubuhnya. Ia mengiba-iba minta
22 ampun kepada laki-laki di depannya itu, orang
kepercayaan kaisar! Dan ketika laki-laki ini tersenyum
dan mengejek mundur, Lam-taijin mengeluh maka
pembesar itu terguling dan roboh pingsan. Ia begitu ke
takutan oleh kentutnya sendiri!
"Hm," laki-laki itu membalik dan kini
menghadapi Khu-ciangkun. "Bagaimana dengan uang
milik anak ini, orang she Khu, haruskah kutunggu
atasanmu sadar dan memintanya merengek-rengek.
Kau tentu tahu di mana uang itu yang telah
kauterima."
"Uang... uang itu ada padaku. Masih kusimpan
di kantung ini, taihiap, utuh tiga puluh, eh... dua puluh
keping emas. Ini ku kembalikan!" perwira itu
terbungkuk dan terbata-bata dan ia pun menghampiri
Buci dengan takut-takut. Diserahkannya uang itu
dengan amat hormat namun sebaliknya Buci
menerimanya dengan kasar. Anak ini memang tak
senang kepada perwira itu. Dan ketika laki-laki ini
tersenyum dan mengangguk senang, ia pun memutar
tubuhnya maka pergilah dia dengan lenggang santai.
Buci melompat dan menyusul di belakangnya.
Sekarang Khu-ciangkun sibuk menolong atasan
nya. Lam-taijin yang gendut kena stres, selirnya
23 menghilang dan entah lari ke mana. Dan sementara
orang-orang itu sibuk oleh urusannya sendiri, Buci
mengikuti temannya sampai di batas kota maka lakilaki itu berhenti dan tertawa padanya. Anak ini
mengikuti dan sama-sama tak bicara sampai laki-laki
itu berhenti.
"Ha-ha, kau seperti anak ayam di belakang
induknya. Hei, sekarang waktunya kita berjalan
sendiri-sendiri, anak baik. Bukankah kau mempunyai
tujuan sendiri sedangkan aku akan meneruskan
berdagang!"
Buci tersenyum, menjura dalam-dalam.
"Sekaranglah saatnya kuucapkan terima kasih
banyak-banyak. Aku beruntung bersahabat dengan
mu, paman, akan tetapi ada sebuah hutang yang
belum kau bayar. Aku ragu memintanya akan tetapi
sekarang tidak lagi. Kau sudah bicara."
"Ha-ha, hutang apa? Kapan aku berhutang?"
"Paman ingat baik-baik, apa pembicaraan kita di
dalam kereta. Masa kau lupa?"
"Eh, jangan main-main. Aku tak merasa hutang
dan baru kali ini ditagih hutang!"
"Paman masih ada waktu?"
24 "Untuk apa?"
"Aku ingin bercakap-cakap lagi, melanjutkan
pertanyaan itu. Nah, itulah hutangmu dan sebelum
kita berpisah tentunya paman harus membayar dulu."
"Kurang ajar, terlalu sekali. Bocah cilik
menahanku di sini untuk sebuah hutang. Ha-ha, tak
apalah. Nah, kuluangkan waktuku dan apa yang
hendak kautagih. Aku betul-betul tak ingat!"
"Kita berdiri begini saja seperti caramu
berdagang?"
"Ha-ha, betul-betul kurang ajar. Baik, mari
duduk dan kau mau bicara apa. Apa hutangku!" lakilaki itu tergelak dan ia benar-benar geli oleh sikap dan
kata-kata anak ini. Setelah bergaul dan sama-sama
mengenal watak maka iapun tertarik dan tak dapat
disangkal lagi ada sesuatu yang luar biasa pada diri
anak ini. Buci memang menarik. Dan ketika ia duduk
dan menepuk rumput di sebelahnya, anak itu tertawa
dan duduk maka Buci mengambil ikan Tampahnya
menyerahkannya kepada laki-laki itu.
"Aku tak ingin berhutang pula, nih kaubawa.
Sebagai pedagang tentu untungmu besar. Akan tetapi
jawablah pertanyaanku tadi siapa dan di mana
25 pendekar paling hebat di dunia ini. Aku betul-betul
ingin tahu!"
Wajah tua itu terkejut, matanya terbelalak.
Akan tetapi ketika ia terkekeh dan begitu geli maka ia
menepuk pundak anak ini seraya berseru, "Kau! Inikah
hutangku itu? Ha-ha, kuingat sekarang, memang
pembicaraan kita terputus. Hei, apa maksudmu
menanyakan ini, siauw-enghiong. Memangnya ada
apa dengan pendekar paling hebat dan lihai di dunia
ini!"
Buci tersipu, wajahnya memerah. Orang
menyebutnya "siauw-enghiong" seperti Khu-ciangkun
dan Lam-taijin itu. Kata-katanya menggoda akan
tetapi mengena benar. Ia sudah tahu siapa sahabatnya
ini akan tetapi tetap juga dirahasiakannya namanya
itu. Maka ketika ia berdiri dan membungkuk hormat,
laki-laki itu terkejut maka untuk pertama kali anak ini
memberitahukan namanya. Bukan main!
"Aku Sabuci, bukan siauw-enghiong. Karena
paman telah menolongku dan amat baik biarlah
kuperkenalkan namaku yang buruk. Paman jangan
menggoda atau mengolok-olok aku. Siapa yang pantas
disebut siauw-enghiong!"
Laki-laki itu berubah, kaget dan heran.
26 "Kau... kau anak Mongol?"
"Benar, paman, apakah buruk."
"Tidak, eh... tapi kulitmu Han asli. Kau tak
pantas sebagai anak Mongol!"
"Aku memang anak Mongol paling tidak tempat
tinggalku dan rumahku memang di sana."
"Tapi kulitmu!"
"Kulitku memang bukan, paman, akan tetapi tak
enak rasanya membicarakan ini. Aku hanya ingin
memperkenalkan namaku agar tidak kausebut siauwenghiong ..."
"Ha-ha-ha!" laki-laki itu memotong. "Kau luar
biasa dan menarik sekali, Buci. Eh, memang tak enak
membicarakan warna kulit karena bukankah sebenar
nya kita sama. Tuhan tak membeda-bedakan warna
kulit karena sesungguhnya makanan dan minuman
kita sama. Kita sama-sama melahap nasi dan minum
air, bukan rayap atau kecoa busuk. Ha-ha, benar, kau
benar dan maafkan aku. Hmm, luar biasa sekali bahwa
kau seorang anak Mongol. Siapa menyangka dan
menduga jika melihat kulitmu ini!" lalu menganggukangguk dan tampak tertegun, wajah itu bersinar-sinar
maka pertanyaan kembali kepada tadi. "Baik,
27 jawablah pertanyaanku apa maksudmu dengan
mengetahui orang lihai atau hebat di dunia ini!"
"Aku menanyakan yang paling lihai..."
"Ya-ya, kuralat. Sekarang apa maksudmu
dengan mengetahui orang paling lihai atau hebat di
dunia ini, Buci. Ada apa ingin mengetahui ini!"
"Aku, hmm..." anak itu ragu-ragu. "Aku tidak
bermaksud apa-apa, paman, kecuali bahwa tahu. Itu
saja."
"Tak mungkin, kau bohong. Kalau sekedar tahu
tak mungkin serius. Kau malah menganggapku
hutang!"
Buci semburat, tersipu-sipu. Memang ia tak
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dapat menyembunyikan ini dan sikap atau pertanyaan
nya serius. Maka menarik napas dalam dan bicara jujur
iapun berkata, "Aku ingin mencari guru yang pandai
untuk menghadapi guruku yang bengis. Aku sedang
dikejar-kejar den dipaksa mempelajari sesuatu yang
tak kusuka."
"Begitukah?" laki-laki itu terbelalak. "Kalau
begitu pergi saja ke Liang-san, carilah seorang
bernama Tan Hong!"
"Tan Hong? Siapa ini?"
28 "Dia keturunan Dewa Mata Keranjang, lihai dan
tinggi ilmu silatnya. Dia..."
"Stop-stop! Aku tak suka dilanjutkan karena
siapa mau menjadi murid seorang mata keranjang.
Aku mencari yang baik dan berhati lurus, paman,
bukan seperti itu!" Buci memotong dan menggelenggeleng dan pedagang ini terbelalak. Ia belum habis
bicara ketika anak itu menggoyang-goyang tangannya.
Akan tetapi ketika ia sadar dan terbahak, anak itu lucu
sekali maka ia berseru,
"Buci, kau jangan sombong. Tan Hong bukanlah
Dewa Mata Keranjang, ia hanya putera pendekar itu!"
"Sama saja, tentu sama-sama berwatak tak
baik. Ada pepatah mengatakan buah tak jauh dari
pohonnya, paman. Kalau ayahnya begitu pasti
anaknya begitu pula. Tidak, tidak, aku tak suka!"
"Kalau begitu cari saja pendekar wanita Kiok
Eng. Ia lihai dan tak kalah tinggi dengan si Tan Hong
ini!"
"Kiok Eng? Di mana dia?"
"Di Liang-san pula, dapat kautemui. Akan tetapi
wanita ini aneh dan maukah mempunyai murid lakilaki? Ia membenci laki-laki!"
29 "Hm!" mata anak itu bersinar-sinar dan ia tak
memperdulikan kata-kata terakhir itu, tubuhnya
bergetar. "Lihai benarkah dia, paman? Mana lebih
hebat denganmu?"
"Ha-ha, suka membanding-bandingkan. Aku
jauh dibanding wanita itu, Buci, bukan apa-apa. Lagi
pula aku pedagang, waktuku cari duit. Kalau kau ikut
aku maka ilmu dagang yang kuajarkan, ha-ha!"
Anak itu menggeleng, tatapannya ke depan. Ia
tentu saja tak suka ilmu dagang karena gurunya Siang
Lun Mogal adalah seorang kejam yang tak bisa
dihadapi dengan ilmu dagang. Ilmu itu hanya untuk
cari duit, bukan untuk menyelamatkan diri. Dan ketika
ia begitu gembira dan bersinar-sinar, laki-laki itu
memandangnya tak berkedip maka pertanyaannya
membuat Buci terkejut.
"Maaf, bolehkah kutahu siapa gurumu yang
bengis itu. Melihat ilmumu meringankan tubuh dan
ilmu panahmu yang baik rasanya sukar kupercaya
bahwa gurumu jahat."
"Maaf, aku tak dapat memberi tahu ini.
Menceritakan kejelekan atau kejahatan orang lain
rasanya kurang enak, paman, bukankah kita sendiri
sering jahat dan tidak baik." Buci menolak.
30 "Hm, apakah Siang Lun Mogal?"
Pertanyaan itu membuat Buci berobah. Ia
begitu kaget sampai berjengit. Orang ini seakan tahu
segalanya! Dan ketika ia terkejut dan berubah maka
laki-laki itu tertawa padanya.
"Buci, aku adalah pedagang, perjalanku luas.
Kalau kau dari Mongol dan mengatakan gurumu
bengis maka siapa lagi orang itu kalau bukan Siang Lun
Mogal. Dia memang kejam dan amat bengis, dan
akupun tahu dia. Hm, mengherankan bagaimana
bocah sebaik engkau mempunyai guru seperti itu.
Akan tetapi seingatku Siang Lun Mogal tak mahir
panah!"
Buci benar-benar terhenyak dan ia terbelalak
begitu lebar memandang laki-laki di depannya ini.
Paman Fang ini sungguh mengagumkan, apapun
rasanya tahu! Maka ketika tertegun dan
membelalakkan matanya, tiba-tiba ia merasa gentar
dan "ngeri" berhadapan dengan pria di depannya ini
maka Buci tak perlu menyembunyikan diri lagi di
depan orang seperti ini. Ia bahkan kagum dan terkejut.
"Paman rasanya mengetahui semuanya. Rupa
nya tak ada gunanya lagi kalau aku bersembunyisembunyi. Baiklah, guruku memang kakek itu akan
31 tetapi guru panahku orang lain. Aku dilatih empat
guruku yang merupakan panglima Mongol dalam ilmu
memanah dan berkuda. Dari Siang Lun Mogal hanya
kupelajari ginkangnya (ilmu meringankan tubuh).
Akan tetapi ketika ia mulai memaksa dan mendesak
aku untuk belajar ilmu silat, aku menolak maka aku
meninggalkan guru-guruku yang lain dan kini berada
di sini!"
"Hm!" suara itu sukar ditangkap artinya. "Kalau
begitu kaulah anak yang kudengar itu, Buci. Kau
putera raja Sabulai. Kau kiranya yang melarikan diri
dan membuat ayahmu marah-marah."
Buci semakin kaget lagi. Ia betul-betul
terhenyak dan sampai tak dapat bicara, begitu
banyaknya orang ini tahu! Dan ketika ia berdesir
namun untunglah orang ini tidak jahat, ia telah
ditolong dan diselamatkan dari kepungan Khuciangkun dan pengawalnya maka anak itu terdiam
namun sepasang matanya bersinar-sinar, menguji.
"Apakah paman dari sana? Apakah paman
hendak menangkap aku?"
"Ha-ha, aku adalah pedagang. Tugasku bukan
mengurusi anak lari atau ayah yang marah-marah,
Buci. Tugasku mencari barang dan menjualnya dengan
32 untung lumayan. Aku tidak melakukan itu, tak perlu
khawatir. Kalaupun menangkap kenapa harus bicara,
bukankah sekali terkam akupun dapat melemparmu.
Ah, tidak, aku tak bertemu ayahmu. Aku hanya
mendengar di perjalanan dan kebetulan saja bertemu
kau. Sungguh tak kuduga!"
Buci lega, menarik napas dalam. Ia bakal
bingung kalau laki-laki ini sampai disuruh menangkap
nya. Entah apa yang di lakukan mengingat ia telah
berhutang budi. Maka berterima kasih dan mendesis
lirih, ia benar-benar lega maka ia teringat
pembicaraan tadi, pendekar wanita Kiok Eng itu.
"Syukurlah, aku harap paman tak menceritakan
keberadaanku kepada orang lain. Sekarang tentang
pendekar wanita itu, di mana dan bagaimana aku
menjumpainya, paman? Pastikah ia di Liang-san? Di
mana pula pegunungan itu?"
"Hm, kau tertarik menemuinya? Kau ingin
menjadi muridnya?"
"Kalau ia betul-betul lihai, paling tidak mampu
mengatasi guruku yang jahat Siang Lun Mogal itu!"
"Baiklah, akan tetapi terserah keberuntungan
mu. Ia sesungguhnya tak menyukai laki-laki dan
membenci laki-laki. Akan tetapi karena kau anak-anak
33 dan mungkin berbeda boleh saja kaupertaruhkan
keberuntunganmu. Akan tetapi ia galak, wataknya
keras dan saat ini ia sedang uring-uringan. Kalau
nasibmu baik barangkali jodoh, akan tetapi kalau jelek,
hmm... kau bisa dibunuhnya!"
Kening anak ini terangkat, wajahnya gelap.
"Takutkah kau?"
"Siapa takut? Yang takut ialah mereka yang
bersalah, paman. Aku tak melakukan kesalahan dan
tak perlu takut!" Buci berkata tegas dan sikap serta
kata-katanya gagah.
"Bagus, kau mengagumkan. Akan tetapi sekali
lagi nasib baik andalan utamanya. Kalau kau
beruntung dan diterima sebagai muridnya maka itulah
kebahagiaanmu. Akan tetapi kalau nasib buruk, hm...
kusampaikan kepada keluargamu dan aku sebagai
saksi."
Buci mengangguk, merasa girang. Ia mengucap
terima kasih dan bertanya di mana letak pegunungan
itu. Dan ketika diberi tahu bahwa ia harus ke barat,
tiga empat hari perjalanan akhirnya iapun bangkit dan
begitu berseri-seri. Ikan itu diberikannya kepada
paman Fang ini.
34 "Aku tak tahu lagi apa yang harus kuberikan.
Budi dan kebaikanmu semakin besar, paman,
terimalah ini dan biarlah kau ambil saja. Aku tak jadi
ke kota raja setelah mengetahui Liang-san. Harap
paman terima ini dan biarlah Kolam Emas diisi
penghuninya kembali."
"Kau memberikannya kepadaku?"
"Sebagai rasa terima kasihku, paman. Berikan
lah ke istana dan biar kutanamkan sebuah jasa tanpa
kuminta balasannya."
"Akan tetapi ikan ini berharga selaksa tail!"
"Aku tak membutuhkannya. Kalau tidak karena
penasaran dan melihat orang-orang itu sesungguhnya
aku tak ingin melibatkan diri. Sudahlah paman terima
sekalian tolong aku. Biar pemiliknya menemukan ini
dan mendapatkan kebahagiaan!"
Pedagang itu tertegun, berkejap-kejap. Akan
tetapi ketika ia tersenyum dan menyatakan keharuan,
kepala anak ini diusapnya maka Buci mendengar katakatanya yang aneh.
"Semoga kau menemukan kebahagiaanmu.
Pergilah dan cari pendekar wanita itu dan berlindung
lah kepadanya. Hanya dialah satu-satunya orang yang
35 tepat bagimu!" lalu membalik dan menggendong ikan
itu di punggung, persis seperti cara Buci maka pria ini
melenggangkan kakinya namun tiba-tiba ia telah
begitu jauh dan lenyap!
"Paman Fang!"
Buci terkejut dan memanggil. Ia tak tahu
bagaimana laki-laki itu tahu-tahu begitu jauh dan
lenyap di depan. Ia mengejar dan berkelebat dengan
Jouw-sang-hui-tengnya akan tetapi pria itu benarbenar lenyap. Dan ketika ia mengejar dan memanggil
sekali lagi, berhenti di tikungan maka dilihatnya
sahabatnya itu berada di punggung bukit, jauh di sana
dan melenggang pula, santai.
"Paman Fang!"
Buci menjadi penasaran dan berkelebat. Kini ia
memanggil bukan untuk apa-apa melainkan menguji
Jouw-sang-hui-tengnya itu. Ia berkelebat seperti anak
kijang ditanduk bapaknya atau panah terlepas dari
busur. Akan tetapi ketika pria itu lenyap dan berada di
bukit yang lain, begitu berulang-ulang maka anak ini
berubah dan sadar bahwa sahabatnya itu adalah
seorang berkepandaian tinggi. Gurunya sendiri tak
mampu secepat itu bila beradu ginkang!
36 Anak ini tertegun, berhenti. Ia terengah dan
kaget serta heran sekali. Orang itu jauh lebih hebat
daripada Jouw-sang-Ihui-teng. Dan ketika ia terbelalak
di tempat itu, tak mengharap lagi mengejar lawannya
mendadak laki-laki itu menoleh dan melambaikan
tangannya, suaranya seakan begitu dekat padahal
jauh di seberang bukit itu.
"Buci, kau anak baik. Pergi dan jangan kejar aku
dan ingatlah cita-citamu itu."
Anak ini benar-benar tertegun, la balas
melambaikan tangan akan tetapi pria itu menggerak
kan kakinya. Tiba-tiba ia lenyap dan hilang bagai
siluman. Lalu ketika anak ini sadar dan menarik napas
dalam-dalam, penuh kagum iapun memutar tubuhnya
menuju ke barat. Liang-san.
*** Buci tak tahu bahwa ia ditipu. Jalan ke barat
bukan menuju Liang-san melainkan kota raja. Dan
karena ia pun tak tahu betapa perjalanannya yang
tersendat-sendat memberi kesempatan gurunya
mengejar maka anak ini kaget dan seakan berhenti
detak jantungnya ketika tiba-tiba terdengar seruan
kakek itu. Siang Lun Mogal tahu-tahu di belakangnya.
37 "Buci, berhenti dulu. Kau harus kembali dan
mempelajari ilmu-ilmuku!"
Anak ini kaget dan pucat. Ia baru saja keluar dari
sebuah hutan dan mendekati kota raja. Tiga hari
dalam perjalanan membuat ia bingung. Orang yang
ditanyai selalu mengatakan bahwa jalan yang dilalui
menuju kota raja, Liang-san justeru di selatan. Dan
ketika ia berhenti dan kembali bertanya-tanya, inilah
yang membuat ia terkejar maka kakek itu tiba-tiba
berada di belakangnya setelah mencari jejak dan
menemukan bekas anak ini.
Tidak sukar bagi Siang Lun Mogal mencari Buci.
Setelah perajurit perbatasan dibuat terkejut dan
membicarakan anak ini tiada habisnya maka kakek
gundul itu menangkap. Begitu pula ketika di Cin-yang.
Pui-wangwe menyuruh orang-orangnya mencari anak
ini. Dan ketika di Kui-cin -Buci membuat heboh, orang
sepasar membicarakannya maka kakek itu mengerah
kan ilmu lari cepatnya dan setelah tiga hari memburu
maka tampaklah anak itu di mulut hutan. Buci sedang
bingung bagaimana petunjuk paman Fang berbeda
dengan orang-orang yang ditanyainya sepanjang jalan.
"Bukan, bukan ke Liang-san. Liang-Isan berada
di selatan, sobat cilik, arah Ibarat menuju kota raja.
38
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Langkahmu ke kota raja!" begitulah jawaban
berulang-ulang yang diterima anak ini setiap ia
berhenti dan bertanya. Buci sampai menjublak dan
benar-benar bingung, masa sahabat baiknya itu
menipu. Akan tetapi karena ia tetap percaya laki-laki
ini dan melangkahkan kakinya ke barat maka ia
sesungguhnya benar-benar sedang ke kota raja dan
kini di mulut hutan itu ia dikejar gurunya. Kakek itu
berseru nyaring dan suaranya seakan beberapa meter
di belakang, padahal kakek itu masih puluhan tombak
dan tadi mengerahkan tenaganya dalam kemarahan
sekaligus rasa girang.
Buci terkesiap dan menoleh. Kakek gundul itu
terbang menyambar dan ia benar-benar pucat.
Jantungnya seakan berhenti berdetik. Akan tetapi
ketika kakek itu melayang dan ia sadar, kedua lengan
itu terkembang seakan hendak mencengkeramnya
mendadak anak ini membalik dan... lari masuk hutan.
"Hei, berhenti. Tunggu kataku!"
Akan tetapi Buci mengerahkan Jouw-sang-huitengnya. Perlu diketahui bahwa ilmu meringankan
tubuhnya ini dikuasai begitu baik hingga nyaris
setingkat gurunya. Siang Lun Mogal sendiri tak
gampang menangkap jika berkejar-kejaran. Maka
39 ketika kakek itu terkejut dan membentak, menyesal
kenapa buru-buru meneriakkan suaranya maka anak
itu menghilang di dalam hutan dan cerdik sekali
bersembunyi.
"Haram jadah, anak siluman!" kakek itu
mengutuk dan memaki-maki. "Keluar dan mari pulang,
Buci. Aku diperintahkan ayahmu untuk membawamu
dan pulang baik-baik. Ayo, keluar atau aku memukul
mu!" Namun mana mungkin anak ini menampakkan
diri. Hutan kecil itu menjadi tempat persembunyian
nya yang paling baik dan ia ngumpet di belakang
pohon-pohon besar, lari dan menyelinap sana-sini
begitu bayangan gurunya mencari. Dan ketika ia aman
di sebuah pohon besar, meloncat dan naik ke atas
maka ia telah tertutup rimbunnya pohon yang
berdaun lebat.
"Jahanam, keparat terkutuk!" suara ka kek itu
menggetarkan hutan. "Keluar dan jangan sembunyi,
anak setan. Pulang dan ayo ikut aku baik-baik!"
Akan tetapi Buci gemetaran di pohon ini. Ia
semakin merapatkan diri di balik rerimbunnya daun
akan tetapi tiba-tiba terkejut. Kakek itu mulai
menampar dan meroboh-robohkan pohon. Dan ketika
40 isi hutan bergetar gemuruh sementara monyet dan
penghuninya lari berteriak-teriak, pucatlah pemuda
ini maka pohon di mana ia berada telah didekati dan
siap dirobohkan pula.
"Keluar, keluar kataku! Atau kau kubunuh!"
Anak ini benar-benar ngeri. Ia menggigil hebat
melihat kemarahan kakek itu, alangkah dahsyat dan
mengerikannya. Dan ketika pohon di dekatnya
berdebum mengeluarkan suara hiruk-pikuk, roboh
sampai akar-akarnya maka saat itulah ia meloncat dan
menghilang seperti kera.
"He!" akan tetapi kakek itu melihatnya. "Jangan
lari, bocah, kembali!"
Buci merunduk ketika sebutir batu mendesing
di belakang kepalanya. Ia hampir saja celaka ketika
saking marahnya kakek itu menimpuk, batu itu
menghantam dan hancur mengenai pohon di depan
nya. Dan ketika ia terbirit-birit dan lari lagi, menyeruak
dan merunduk di semak-semak belukar maka kakek ini
kehilangan jejak dan api kemarahannya benar-benar
seakan diledakkan.
"Jahanam, kubunuh kau. Keluar dan jangan
sembunyi, anak jadah. Sekali lagi keluar atau aku tak
akan mengampunimu!
41 Buci menjauhkan diri dan bajunya robek-robek
terkait onak-duri. Ia begitu pucat dan gemetaran jatuh
bangun. Suara kakek itu seakan harimau buas yang
kelaparan. Akan tetapi ketika ia telah bersembunyi lagi
dan masuk ke tempat lebat, menggigil maka ia hanya
mendengar suara kakek itu dari kejauhan.
Akan tetapi Siang Lun Mogal adalah kakek
dahsyat bangsa Mongol. Tidak dalam keadaan marah
saja kakek ini cukup menakutkan, apalagi marah dan
murka seperti itu. Maka ketika ia terus maju dan
membabat isi hutan, tunggang-langgang-lah babi
hutan dan ratusan kera kecil maka persembunyian
anak ini ketemu juga dan kakek itu menyumpahnyumpah. Kepalanya yang gundul tampak berkeringat
sementara bola matanya mendelik kemerah an
dengan hidung mendengus-dengus, persis banteng
melihat darah.
"Keluar, keluar kataku. Bersembunyi di mana
pun pasti ketemu, anak setan. Kau seperti bapakmu
yang keras kepala dan sombong, dasar anak kuning!"
Buci tertegun. Makian "anak kuning" adalah
makian bagi anak Han. Anak-anak Mongol sering
memakinya begitu bila terjadi pertengkaran. Maka
ketika kakek itu memakinya begitu dan inilah yang
42 membuat ia tak beranjak, kakek itu mengutuk caci lagi
maka terdengarlah makian terhadap seorang nenek
yang serasa pernah didengarnya.
"May-may, cucumu haram jadah. Ia membuat
ku berkobar. Awas kubunuh dia dan temuilah di
neraka!"
Buci semakin tertegun lagi. Kata-kata itu
membuat ia membelalakkan mata dan kakek ini
terlihat. Ia mengangkat sebuah pohon dan melempar
nya begitu hebat, berdebum dan nyaris menimpa anak
ini. Dan ketika Buci mendengar lagi kutuk caci, kakek
itu luar biasa marahnya maka ia mendengar disebutsebutnya nama Tan Hong, juga Kiok Eng.
"Keparat, tak ada gunanya menyimpan dan
memelihara anak setan. He, darah dan watakmu
diwarisi anakmu, Tan Hong. Ambil dia lagi setelah
menjadi mayat!"
Lalu ketika sebatang pohon ditendang dan
mencelat, isi hutan mulai terbuka lebar maka kakek ini
berkata lagi, suaranya penuh geram, "Terkutuk, anak
sial membawa petaka. Awas kuhantarkan mayat
anakmu, Kiok Eng, terima jenasahnya setelah ia
kubunuh!"
43 Makian dan kutuk caci ini membuat Buci
berubah. Wajah yang semula pucat itu perlahan-lahan
memerah, anak yang semula takut dan gentar ini
mendadak berobah. Dan ketika sekali lagi kakek itu
menyumpah dan marah-marah, Buci meloncat tibatiba anak ini berseru dan mengejutkan kakek itu. Siang
Lun Mogal tercengang dan terhenyak.
"Locianpwe, apa hubunganku dengan orangorang yang kau sebut itu. Siapa mereka dan kenapa
dihubung-hubungkan aku!"
"Ha-ha!" kakek itu berkelebat. "Keluar juga kau
sekarang, Buci. Ayo ikut aku dan kita pulang!"
Akan tetapi anak ini meloncat dan menjauh. Ia
mempergunakan Jouw-sang-hui-teng hingga tubrukan
gurunya luput, kakek itu membalik dan membeliak.
Lalu ketika ia menggeram dan siap menubruk I lagi,
Buci menggoyang tangannya maka ia berseru,
"Tunggu, aku tak mau pulang. Jawab siapa
mereka yang kausebut-sebut itu dan apa hubungan
nya dengan aku!"
"Heh-heh, aku bicara apa," kakek itu berputar.
"Aku memaki-makimu karena gemas kaupermainkan,
Buci, ayo pulang dan jangan membuat aku marah.
Sekarang kemarahanku hilang!"
44 "Tidak, jawab dulu dengan jujur. Aku mau
pulang kalau kau berkata terus terang!"
"Kau banyak tingkah?"
"Kaulah yang macam-macam. Kau menyebut
nama Tan Hong dan Kiok Eng, juga May-may.
Benarkah aku cucu May-may dan siapa kalau begitu
ayah ibuku!" Buci tak perduli dan malah membentak
dan ia membuat kakek ini mendelik. Siang Lun Mogal
adalah kakek yang biasa sewenang-wenang dan kini
ditusuk anak itu membuatnya marah. Ia melotot. Akan
tetapi mencoba bersabar dan menerkam anak itu tibatiba ia melompat dan berseru, Buci melejit pula.
"Kau tak usah tanya macam-macam karena
ayah ibumu adalah Raja Sabulai. Ayo ikut dan kita
pulang!"
Akan tetapi anak ini menghindar. Kakek itu
menubruk cepat namun iapun tak kalah cepat. Jouwsang-hui-teng dibalas Jouw-sang-hui-teng. Dan ketika
kakek itu memekik dan menyumpah-serapah, Buci
mengelak dan berkelit sana-sini akhirnya kakek ini
meledak karena ia bagai Ikan menangkap seekor tikus
yang cerdik dan licin.
"Buci, jangan buat kemarahanku dak. Serahkan
dirimu dan kita pulang!"
45 "Tidak, kau belum menjawab pertanyaanku.
Siapa ayah ibuku dan betulkah nenek itu nenekku,
locianpwe. Kalau kau mau bicara jujur dan berterus
terang barulah aku pulang!"
"Keparat, ayah ibumu adalah Raja Sabulai!"
"Tak usah bohong, kulitku bukan kulit mereka.
Kau pun memakiku sebagai anak kuning, locianpwe,
berarti aku benar-benar anak Han. Katakan siapa ayah
ibuku atau aku tak mau pulang!"
Kakek ini gusar. Ia melengking dan menggerak
kan tangannya dan serangkum angin pukulan
menyambar, Buci mengelak akan tetapi dipapak yang
lain. Dan karena ia tak belajar ilmu silat kecuali
ginkang, roboh terjengkang maka anak itu bergulingan
dan kakek itu membentaknya.
"Serahkan dirimu!"
Namun Buci bagaikan belut yang licin. Ia
mengelak dan berkelit sambil bergulingan menjauh.
Kakek itu menubruk angin dan marah sekali. Dan
ketika ia meloncat bangun dan marah namun juga
gelisah, teringatlah wajah paman Fang Lun maka ia
berharap moga-moga pamannya itu datang. Dan
karena tak mau ditangkap kakek ini, Buci berkelebat
46 dan lari menjauh maka anak ini menuju selatan ke
arah Liang-san.
"Locianpwe, aku akan mempertemukanmu
dengan orang-orang yang kausebutkan itu. Kebetulan
aku akan ke sana. Mari kita kejar-kejaran dan kubukti
kan omongan mu!"
"Kau mau ke mana?"
"Liang-san!"
"Apa?"
"Benar, locianpwe, aku akan ke Liang-san
mencari pendekar wanita itu atau Tan Hong. Kau
menyebut-nyebut namanya, kebetulan. Mari kita ke
sana dan kubuktikan omonganmu!"
"Haram jadah!" kakek itu kaget sekali. Kembali
dan serahkan dirimu baik-baik, Buci, kau anak Mongol
putera Raja Sabulai!"
"Tak usah menipuku. Kulit dan wajahku bukan
wajah Mongol, locianpwe, aku anak Han. Kau bohong
dan menyembunyikan sesuatu!"
Kakek ini marah sekali. Buci telah meloncat dan
terbang mengerahkan Jouw-sang-hui-tengnya. Ilmu
meringankan tubuh itu adalah miliknya dan kini
47 dipergunakan melawan ia harus mengerahkan tenaga
nya pula. Buci adalah anak yang gesit dan sepuluh
tahun ini ginkangnya memang hebat. Bagaimana tidak
hebat kalau anak itu mengkhususkan diri dalam lari
cepat. Ia tak mau belajar silat kecuali ini, Jouw-sanghui-teng! Maka ketika kakek itu menyumpah-serapah
dan anak kecil itu melesat bak seekor kijang muda, ia
membentak dan memaki-maki maka kemarahan
kakek ini benar-benar sudah di ubun-ubun dan tak ada
lagi rasa murah atau ingin mengampuni.
Tiga batu hitam menyambar cepat dan nyaris
sekali menghajar tengkuk anak itu. Buci merunduk dan
batu melayang meledak keras. Sebatang pohon
kembali dihajar. Akan tetapi karena ia tak belajar silat
sementara kakek itu adalah tokoh sakti yang
berkepandaian tinggi, kakek ini mulai berkemak-kemik
maka ia mengerahkan sihirnya membuat anak itu
tertegun. "Buci, kau lari di tempat. Langkahmu tak
berpindah-pindah!"
Anak ini terkejut. Benar saja tiba-tiba ia lari di
tempat. Kaki masih bergerak-gerak akan tetapi tak
pernah maju. Dan ketika kakek itu terkekeh dan
menyambar dengan tawa berseri, Buci terkejut maka
48 meluncurlah sehelai daun menghantam wajah kakek
ini. "Plak!"
Siang Lun Mogal berseru kaget dan sihir itupun
lenyap. Begitu kagetnya kakek ini hingga iapun
terhuyung. Daun itu menyambar seperti tangan setan,
menutup dan menghalang pandangannya. Dan ketika
ia terkejut sementara itu Buci meneruskan larinya lagi,
kakek ini tertegun maka ia celingukan namun tak ada
siapapun di situ. Kakek ini menyumpah dan mengejar
lagi. Akan tetapi Buci sudah jauh. la memasuki hutan
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kedua dan anak ini lega, di situ ia dapat bersembunyi.
Akan tetapi karena kakek ini menendang dan
memukul roboh setiap pohon, isi hutan diobrak abrik
akhirnya anak ini harus keluar lagi dan terlihat.
"Ha-ha, ayo menyerah, atau kau mampus!"
kakek ini menimpukkan lagi batu-batu gunung dan kini
tidak hanya batu sekepalan. Batu sebesar kepala
kerbaupun diungkit dan dilontarkannya ke kepala
anak itu, sekali kena tentu pecah! Akan tetapi karena
Buci berkelit dan mampu menghindar, deru batu itu
tertangkap telinganya yang tajam maka batu
berdebum dan anak ini sampai terpental.
49 "Keparat!" kakek itu berkemak-kemik lagi.
"Berhenti, Buci, larimu tak berpindah-pindah. Kau
tetap di tempat!"
Anak ini lagi-lagi terkejut. Ia terkena serangan
sihir dan benar saja lari di tempat, kedua kakinya
hanya bergerak di situ-situ saja, tak pernah maju. Akan
tetapi ketika kakek itu menyambar dan tertawa
bergelak, Buci pucat maka tanpa diketahuinya
menyambarlah seraup pasir menghantam wajah
kakek gundul ini.
"Aduh!"
Siang Lun Mogal mengumpat caci dan kedua
matanya buta sejenak. Pasir memasuki matanya dan
kakek ini tentu saja mencak-mencak. Ia menggosok
dan harus berhenti sementara anak itu lari lagi, Buci
heran dan kaget akan tetapi girang. Dan ketika anak
itu kembali jauh dan kakek ini membuka matanya,
pasir telah bersih maka Siang Lun Mogal menjadi
pucat karena seseorang membantu anak itu, tak
mungkin kebetulan!
Kakek ini memaki-maki. Ia mengutuk dan
menyebut penyerang itu sebagai pengecut gelap. Ia
mencari dan mengelilingkan matanya akan tetapi tak
ada seorang pun di situ. Dan ketika ia begitu marah
50 sementara Buci hampir lenyap, anak itu di seberang
bukit maka kakek ini mengejar lagi namun kedua
tangannya siap menghantam ke kiri kanan. Siapa tahu
musuh gelap itu terlihat dan ia tak akan memberi
ampun! Akan tetapi kakek ini sia-sia. Tak ada siapapun
di sekelilingnya dan Buci nyaris lenyap. Ia harus
mengerahkan seluruh Jouw-sang-hui-teng nya
mengejar anak itu. Dan ketika Buci kembali tersusul
dan menjadi gelisah, kakek itu berkemak-kemik lagi
maka sekarang ia memerintahkan anak ini berlari
mundur. Ia tak lagi mendekati atau menyerang anak
itu. "Kau tak lari ke depan, melainkan mundur dan
lari ke belakang. Ayo... mundur, Buci, mundur!"
Aneh, Buci tiba-tiba berlari mundur. Anak ini
berseru kaget ketika tiba-tiba kedua kakinya bengkok
ke belakang. Tanpa dapat dicegah lagi iapun berlari
mundur. Dan ketika kakek itu tergelak-gelak dan
bersiap menyerang lawan gelap, kesepuluh jarinya
sudah berkerotok penuh tenaga Ang-mo-kang maka
Buci mendekati kakek itu dan siap ditangkap!
Akan tetapi terjadi lagi sesuatu yang luar biasa.
Sebuah siulan tiba-tiba terdengar, bentakan atau
51 seruan kakek gundul menjadi kacau. Dan ketika kakek
itu terkejut sementara Buci juga tertegun maka siulan
itu menariknya ke depan dan... majulah anak ini bagai
dibetot suara gaib itu.
"Keparat!" kakek ini mencak-mencak. "Mundur
kataku, Buci, mundur!"
Anak ini mundur lagi. Siulan tertutup bentakan
dan anak ini terpengaruh sihir lagi, Siang Lun Mogal
mengerahkan segenap kekuatannya. Akan tetapi
ketika siulan menjadi lengking nyaring, menghantam
atau menghancurkan sihir maka Buci terlepas lagi dan
lari ke depan dengan muka ngeri. Ia ditarik dari muka
belakang! "Jahanam!" kakek itu tak tahan dan menyambar
ke depan. "Kubunuh kau, Buci, kau bedebah keparat!"
Akan tetapi serangkum angin menyedot anak
ini. Lengking tiba-tiba lenyap dan Buci melayang cepat,
begitu cepatnya hingga kakek gundul tak mampu
mengejar. Terkamannya menubruk angin. Dan ketika
kakek itu terguncang dan berubah mukanya, ini tidak
main-main maka ia melepas Ang-mo-kangnya
menghantam punggung anak itu. Pukulan jelas lebih
cepat daripada gerakan tubuh.
52 "Blarr!" apa yang terjadi tak diketahui akan
tetapi tiba-tiba kakek itu terpelanting ke belakang.
Siang Lun Mogal melihat sesosok bayangan berkelebat
dan menyambut pukulannya. Dua pukulan jarak jauh
bertemu dan ia kaget bukan main. Ia terbanting. Dan
ketika kakek itu bergulingan dan benar-benar pucat, ia
tak tahu siapa di balik pohon besar itu maka Buci
sudah tersedot ke sini dan... lenyap kembali memasuki
hutan. Ini adalah hutan ketiga di mana ia keluar masuk
dikejar-kejar.
Anak itu bercucuran keringat. Ia tak tahu
ditolong seseorang dan justeru heran kenapa kakek itu
terpelanting. Ia tak melihat bayangan ini apalagi
pukulannya. Yang tahu dan merasa hanyalah Siang Lun
Mogal! Akan tetapi karena kakek itu penasaran dan
amat marah, kini tahulah dia seseorang melindungi
anak itu maka kemarahannya ditumpahkan kepada
pelindung gelap ini.
"Keluarlah, keluarlah kau. Jangan bersembunyi
dan bersikap pengecut!
Buci menjadi bingung. Ia merasa kakek itu
seakan tidak waras, barangkali gila tak dapat
menangkapnya. Maka meneruskan lari dan kini
mendaki bukit atau gunung, bahkan menyeberang
53 sungai dan bersicepat dengan kakek itu maka tak
terasa dua hari dua malam mereka berdua kejarkejaran.
Siang Lun Mogal adalah seorang kakek yang
dimakan usia. Dia tidak seperti lawannya yang kecil
dan gesit, lagi muda. Maka ketika Buci hanya
bercucuran keringat bermandi peluh, lari jatuh
bangun dengan semangat dan daya tahan
mengagumkan adalah kakek ini mulai loyo dan
terhuyung-huyung. Belasan kali kakek itu melepas
pukulan akan tetapi setiap kali itu pula ia terbanting.
Ia mulai gentar dan jerih. Dan karena semua sihirnya
juga dihancurkan atau dilumpuhkan lawan, siulan atau
suara-suara aneh memecah sihirnya maka lama-lama
anak ini tahu juga bahwa seseorang melindungi nya!
Buci girang bukan main. Ia bertambah semangat
dan tak henti-hentinya mengerahkan ilmu lari cepat.
Sebenarnya iapun letih dan sempoyongan. Akan tetapi
ketika sebuah suara menyusup di telinganya, memberi
petunjuk atau langkah ke mana ia harus lari akhirnya
puncak Liang-san terlihat. Ia sudah bertanya-tanya
dan masuk keluar dusun menanyakan itu.
"Liang-san? Gunung itu, beberapa puluh li lagi!"
54 Buci girang dan melanjutkan larinya lagi. Ia
bertanya kepada seorang petani dan berkelebat lagi.
Akan tetapi baru saja ia meloncat dan terbang penuh
semangat maka petani itu terjengkang dan kakek
gundul menyambar lewat.
"Minggir, jangan beri tahu!"
Buci terkejut namun mengerahkan Jou-sanghui-tengnya. Ia kecut dan berdebar namun memiliki
kepercayaan terhadap penolong gelapnya itu. Setiap
kakek itu dekat dan hendak menangkapnya maka
kakek ini menjerit. Ia terpelanting dan selalu tergulingguling. Maka ketika saat itupun ia hendak ditangkap
dan dibentak bengis, kakek itu mengeluarkan semua
ilmunya maka iapun mengandalkan penolongnya ini
dan benar saja serangkum pukulan jarak jauh
menerpa kakek itu. Siang Lun Mogal berteriak dan
menjerit, terlempar ke samping.
"Bresss!"
Buci lari lagi dan lega berseri-seri. la tak tahu
siapa penolongnya itu akan tetapi girang. Ia menduga
paman Fang tapi bukan, suara itu berat dan serak. Dan
ketika berkat petunjuk suara inilah ia berlari dan terus
dikejar, hari ketiga lewat dengan cepat maka pagi itu
setelah jatuh bangun melewati pematang anak ini
55 berada di kaki Liang-san yang menjulang tinggi. Siang
Lun Mogal menggeram-geram dan marah bukan main,
napasnya bagaikan api yang siap menghanguskan
Buci, keluar masuk dengan begitu cepat.
"Berhenti, kulumat kau. Tunggu dan berhenti
kataku, anak setan. Kau benar-benar haram jadah
cucu May-may si keparat!"
Buci tertegun, hampir berhenti. Akan tetapi
ketika di mulut hutan terlihat bayangan seseorang,
mungkin Kiok Eng maka ia berlari lagi dan kakek ini
menyambar sebongkah batu karang sebesar anak
gajah, melontarkannya sambil berseru keras.
"Bumm!" Buci terangkat dan mencelat ke
depan. Anak itu hampir saja celaka akan tetapi
sedotan dari depan menyelamatkannya. Ia tak tahu
siapa yang melakukan ini akan tetapi berkali-kali hal
itu terjadi. Tentu saja kakek itu melotot sebesar
jengkol, marahnya membuat ia hampir mati kaku. Dan
ketika Buci berlari dan menuju pada bayangan ini,
sesosok tubuh di balik tikungan dinding gunung maka
ia berteriak dan berseru nyaring,
"ln-kong (Penolong), kakek ini seperti iblis. Ia
hendak membunuhku!"
56 Bayangan itu tiba-tiba lenyap. Buci terkejut
ketika sudah mendaki dan naik ke pinggang gunung,
mengira akan disambut dan itulah penolongnya. Akan
tetapi ketika orang itu lenyap sementara kakek itu
tertawa bergelak, menubruk dan begitu beringas
maka iapun mengeluh dan berusaha mengelak.
"Brett!" bajunya sobek.
Buci harus melempar tubuh bergulingan kalau
tak ingin tertangkap. Kini tak ada lagi dewa
penolongnya itu. Akan tetapi ketika ia mengeluh dan
meloncat bangun, seseorang terasa memegang
bahunya maka ia terkejut bukan main ketika sahabat
barunya itu ada di situ, berdiri tersenyum-senyum.
(Bersambung jilid XI.)
57 COVER 1 =0= "MENCARI BUSUR KUMALA" =0=
Karya : Batara
Jilid XI *** "PAMAN Fang!"
Laki-laki itu mengangguk. Ia memang pedagang
itu dan bukan main girangnya anak ini. Buci sampai
melompat dan menari-nari. Akan tetapi ketika ia
mendengar lengking kakek gundul dan sadar, menoleh
dan tertegun maka ia heran bukan main melihat
betapa kakek itu terhuyung dan menggigil.
"Kau?!"
"Ya, aku. Pergi dan biarkanlah anak ini di sini,
Mogal, jangan ganggu ia lagi atau kau mendapat
kesulitan besar. Pulang dan kembalilah dan kalian
berpisah baik-baik." Pedagang itu bicara dan aneh
sekali kakek ini mengangguk-angguk. Siang Lun Mogal
yang bengis dan menakutkan itu mendadak memutar
tubuh, entah bagaimana tiba-tiba begitu patuh dan
jinak kepada pedagang ini. Dan ketika ia berkelebat
3 dan lari turun gunung, terdengar erangan atau
semacam keluhan dari mulutnya maka Buci benarbenar heran dan takjub, hampir tak percaya.
"Paman Fang, kakek itu pergi!"
"Ya, pergi, dan ia tak akan mengganggumu lagi,
Buci, ia takut di sini."
"Tidak, ia takut padamu!" mendadak Buci
berseru. "Kakek itu takut padamu, paman, benar ia
takut padamu!" lalu membalik dan menghadapi lakilaki ini dengan pandangan penuh tanda tanya maka
Buci bertanya penuh kesungguhan, kini ia sadar
bahwa laki-laki inilah yang menolongnya, "Sekarang
siapakah sebenarnya paman ini. Kau jelas bukan
seorang pedagang. Kau seorang berkepandaian tinggi
yang ditakuti dan membuat gentar kakek itu. Kau
menolongku tapi juga menipuku. Nah, sekarang
paman berkata terus terang siapa sebenarnya
dirimu!"
Laki-laki itu tersenyum, lalu akhirnya tertawa.
"Aku? Siapa aku? Ha-ha, aku pedagang she Fang, Buci,
kau menyebutku paman Fang. Aku adalah aku dan
bukan siapa-siapa."
4 "Bohong! Kau seorang berkepandaian tinggi
dan bukan sembarang orang. Akan tetapi kau juga
menipuku!"
"Menipumu?"
"Ya, tidakkah menipu bila Liang-san di selatan
kau bilang di barat? Kau menipuku, paman, akan
tetapi kau juga menolongku. Kau membuatku
penasaran dan sebutkan siapa dirimu. Atau aku tak
akan bergaul denganmu sebab kau pembohong!"
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ha-ha, bocah kurang ajar akan tetapi menarik.
Sebelum menjawab coba kau jawab apakah dirimu
juga berterus terang, Buci. Apakah kaupun tak
menyimpan rahasia dirimu dan memberikannya
semua kepadaku. Jawab, haruskah seseorang
mengetahui diri orang lain sejelas-jelasnya padahal dia
baru saja ketemu di jalan!"
Anak ini tertegun, membelalakkan matanya.
"Begitukah? Bagaimana jawabanmu? Ayo
bilang, anak bengal, siapa salah siapa benar. Tentang
menipumu, hmm... sudah kubayar dengan mengantar
mu sekarang. Aku hanya ingin membuktikan bahwa
kau benar-benar murid kakek gundul itu."
5 Buci terkejut, tiba-tiba menjatuhkan diri
berlutut. Dan ketika pedagang itu heran kenapa ia
berlutut maka laki-laki ini terkejut mendengar katakata anak itu.
"Sekarang aku mengerti semuanya, dan
mendapat semuanya pula. Aku tak jadi naik menemui
orang-orang yang kausebutkan itu, paman. Aku
sekarang ingin menjadi muridmu. Kauterimalah aku
dan biar kusebut suhu (guru)!" lalu ketika anak ini
berpaikwi dan memberi hormat berulang-ulang,
membenturkan jidatnya dengan seruan "suhu"
berulang-ulang pula maka pedagang ini terkejut dan
benar-benar kaget, tiba-tiba ditendangnya anak itu.
"He, nanti dulu. Aku tak patut menjadi guru, aku
pedagang. Kau hanya mendapatkan ilmu dagang
bukan ilmu silat!"
"Ilmu apapun kuterima!" Buci terlempar dan
berjungkir balik, jatuh dan kembali berlutut. "Aku
tetap ingin menjadi muridmu, suhu. Kaulah yang
kucari-cari karena kaulah yang dapat menundukkan
kakek itu!"
"Wah-wah, nanti dulu. Aku tak punya tempat
tinggal tetap dan seumur hidup keluyuran!"
6 "Tak apa, akupun senang keluyuran. Ke mana
suhu pergi ke situlah murid mengikut."
"Kau bandel?"
"Kau idolaku, suhu, kau yang dapat membuat
kakek itu ketakutan."
"Akan tetapi belum kautemui Kiok Eng dan Tan
Hong, merekapun lihai!"
"Aku tak perduli yang lain. Aku memilihmu dan
tetap menjadi muridmu!"
"Kalau aku tak mau?"
"Aku akan ikut ke mana kau pergi, suhu, aku
siap mati di belakangmu!"
"Ha-ha, sebuah pemaksaan. Kau memaksaku
dan membuatku sulit. Begini saja, aku mau menjadi
gurumu setelah kau melaksanakan perintahku. Nah,
sanggup atau tidak menjalankan perintahku ini!"
"Aku tak akan menolak apapun yang kau
berikan. Asal aku menjadi muridmu apapun
kulakukan, suhu, perintahlah dan teecu (murid) siap
melaksanakannya!"
"Ha-ha, bocah edan. Pertama tak boleh kau
menyebutku suhu. Kedua cari dan temukanlah
7 pendekar wanita Kiok Eng itu. Ketiga dan keempat kau
harus menemukan Tan Hong dan membawa secarik
kertas bahwa kau sudah menemuinya. Kalau semua ini
dapat kaulaksanakan maka barulah aku menjadi guru
mu! Mengerti?"
Buci tertegun, berkejap-kejap. Akan tetapi
ketika ia bertanya bagaimana kalau sebagian saja yang
baru terlaksana maka pedagang ini tertawa lebar.
"Kau belum dapat menjadi muridku sepenuh
nya. Kalau begitu belajar dulu pada siapa yang lebih
dulu kautemukan."
"Maksud suhu Kiok Eng atau Tan Hong itu?"
"Eh, kau tak boleh menyebutku suhu, Buci, kau
belum kuterima murid! Kalau kau hanya bertemu
dengan satu di antara dua orang itu maka benar di
sanalah kau belajar dulu. Bawa surat dariku ini dan
mereka tak akan menolak!"
"Akan tetapi aku tak ingin menjadi murid
siapapun!"
"Kau membantah? Begini caramu ingin menjadi
muridku? He, calon murid tak boleh banyak cakap,
Buci, tinggal sanggup atau tidak!"
8 Anak itu mati kutu, menunduk. Kata demi kata
yang keluar dari pedagang ini benar-benar menyerang
nya. Ia tak dapat membantah. Dan karena inilah calon
gurunya yang diharap-harapkan, inilah orang paling
tepat yang dipilihnya maka anak itupun mengangguk
dan tak membantah lagi. Kalau saja pria ini tak mampu
mengusir Siang Lun Mogal!
"Baiklah, aku turut semua kata-katamu.
Keinginanku lebih besar daripada ketidaksenanganku,
su... eh, paman Fang. Kalau saja kau tak mampu
mengusir kakek itu belum tentu aku suka melaksana
kan perintahmu. Akan kucari dan kutemukan dua
orang itu akan tetapi di mana selanjutnya aku
mencarimu, bukankah tugasku harus dilaporkan!"
"Ha-ha, kau dapat mencariku di mana saja,
kapan saja. Akan tetapi jangan terlampau percaya diri
bahwa begitu cepat tugasmu berhasil. Nah, bawa
surat ini dan temui mereka. Kalau belum keduaduanya kaudapatkan maka tak boleh kau mencari
aku!" laki-laki ini memberikan sepucuk surat dan Buci
menerimanya mengangguk-angguk. Dia heran kapan
surat itu dibuat, juga heran apa isi surat yang demikian
ampuh hingga katanya tak akan ditolak. Akan tetapi
karena iapun tak ingin mengetahui apa dan
bagaimana isi surat itu, bahkan sebenarnya enggan
9 menemui orang-orang yang di maksud setelah tahu
kepandaian laki-laki ini maka anak itu menerimanya
hambar dan laki-laki itupun berkelebat lenyap.
"Aku pergi!"
Buci bengong terlongong-longong. Mendadak
saja ia begitu kagum akan kehebatan paman Fang ini.
Ia sendiri memiliki Jouw-sang-hui-teng akan tetapi
masih kalah dibanding laki-laki ini. Hal itu telah
dibuktikannya beberapa hari yang lalu ke tika ia
mengejar namun tak mampu menyusul laki-laki ini.
Jouw-sang-hui-teng-nya tak berarti apa-apa! Maka
ketika ia menarik napas dalam-dalam akan tetapi
sadar akan tugasnya, bahwa ia harus mencari
pendekar wanita itu dan juga Tan Hong maka anak ini
ogah-ogahan naik ke atas karena seluruh pikirannya
hanya tertuju kepada paman Fang itu. Ia melangkah
kan kaki dengan berat karena sesungguh nya ia ingin
cepat-cepat menjadi murid pedagang itu. Ia tak ingin
menjadi murid orang lain. Akan tetapi karena menjadi
murid pria itu harus mencari dulu dua pendekar ini,
Kiok Eng dan Tan Hong maka Buci pun naik ke atas dan
berjalan setengah hati dengan perasaan enggan.
*** 10 Rumah mungil di puncak itu kosong. Pagarnya
yang rendah dan pintu depannya yang tertutup rapat
tak menunjukkan tanda-tanda dihuni. Buci tertegun.
Akan tetapi karena ia telah di sini dan inilah tempat
tinggal pendekar wanita itu, begitu kata paman Fang
maka ia masuk juga dan coba mengetuk pintunya.
Akan tetapi benar-benar kosong. Tak ada
jawaban setelah tiga kali ia mengetuk. Rumah itu
benar-benar sunyi. Dan karena bingung harus mencari
atau pergi ke mana, siapa tahu penghuni
meninggalkan rumah sebentar maka Buci duduk di
emperan rumah dan... melamun.
Angin sepoi-sepoi meniupnya lembut. Hawa
pegunungan yang dingin membuat anak ini merasa
sejuk dan nikmat. Tak terasa iapun mulai lenggutlenggut, tidur ayam. Lalu ketika semua terasa begitu
tenang dan nyaman, angin semakin sejuk meniupnya
maka Buci pun tertunduk dan... benar-benar tidur.
Anak ini baru terkejut ketika terdengar
lengkingan dan bentakan. Dari bawah gunung terlihat
bayangan menyambar-nyambar dan dua orang
berpakaian serba merah mengejar seseorang
berpakaian hitam. Tiga orang itu menuju puncak
dengan amat cepatnya dan bayangan merah
11 membentak bayangan hitam. Lalu ketika bayangan
hitam berjungkir balik dan turun di halaman rumah
itu, Buci kaget dan menyembunyikan diri maka
bayangan merah menyambar dan berkelebat datang.
Ketiganya begitu cepat dan mengejutkan anak ini.
"Serahkan jiwamu dan bayar Kematian nenek
May-may. Berhenti dan jangan sembunyikan dirimu,
Kiok Eng. Hutang jiwa balas jiwa!" dua bayangan
merah berjungkir balik pula dan tampaklah seka rang
siapa mereka itu. Buci tertegun betapa mereka adalah
wanita yang cantik-cantik, yang pertama berusia
empat puluh lebih sedang yang kedua lebih muda dan
cantik serta gagah, tak akan lebih dari dua puluh
delapan tahun dan keduanya mengibaskan rambut.
Hebat sekali, dari ujung rambut itu menyambar tusuk
konde kecil-kecil dan benda berkilauan ini menyambar
cepat, meluncur dan menuju wanita berpakaian
hitam-hitam itu. Buci membelalakkan mata dan
tergetar oleh sorot wanita berbaju hitam ini,
mencorong dan berkilat bagai seekor naga betina. Lalu
ketika wanita itu membentak dan mengibaskan
rambutnya pula," aneh maka belasan tusuk konde
kecil-kecil itu rontok ke tanah diiring lengkingan.
"Aku tak membunuh dan benar-benar aku tak
tahu di mana nenek May-may. Berulang-ulang
12 kukatakan kepada kalian akan tetapi kalian tetap
mendesakku, Beng Lu. Kalau tak ingat kau masih
adikku tentu kau benar-benar kubunuh... cringcringg!" belasan tusuk konde itu runtuh dan kini
berhadapanlah tiga orang wanita itu dengan wajah
berbeda-beda. Yang berpakaian serba merah begitu
beringas dan berapi-api sementara yang berbaju
hitam berkilat akan tetapi tampak mengendalikan
kemarahannya. Buci tak tahu siapa mereka namun
perhatiannya lebih tertarik pada wanita baju hitam
itu. Inilah kiranya Kiok Eng, pendekar wanita itu! Maka
ketika ia berdebar dan lebih banyak memandang
wanita ini, wanita itu tampak gagah dan tak kalah
cantik maka Buci mendengar bentakan dan tudingan
marah. Satu di antara dua wanita baju merah
meledak-ledak.
"Kau! Tak mungkin dan tak masuk akal jika tak
membunuh nenek May May, Kiok Eng. Kau menaruh
dendam dan sakit hati atas hilangnya puteramu. Tak
usah banyak cakap, kau atau aku yang mati!" lalu
ketika wanita ini mencabut pedangnya dan menusuk
ke depan, disusul wanita kedua yang usianya empat
puluhan itu maka wanita baju hitam mengelak dan
menjadi marah. Dia membentak dan menyangkal akan
tetapi dua orang lawannya tak mau percaya. Dan
13 ketika apa boleh buat harus membalas dan
berkelebatan pula, bayangan merah telah mengelilingi
dan menyambar-nyambar maka Buci menjadi silau
oleh gerakan pedang yang begitu cepatnya.
"Cring-plak!" pendekar wanita itu menangkis
terpental dan Buci membelalakkan mata. Hanya
dengan tangan telanjang wanita itu menghalau
lawannya. Dan ketika lawan memekik dan semakin
buas, memaki dan meledakkan rambut berulangulang maka Buci ternganga dan kagum bukan main.
Tiga wanita itu kiranya orang-orang hebat yang tidak
sesuai dengan gemulai dan lemahnya tubuh mereka!
Mulailah pertandingan berjalan sengit.
Bentakan dan makian menjadi satu. Dan ketika tiga
bayangan berkelebat demikian cepat, Buci mengeluh
dan merasa pening akhirnya ia menonton dengan
mulut ternganga betapa bayangan hitam akhirnya
menyambar-nyambar lebih lebar dibanding bayangan
merah. Akhirnya anak ini tahu pula betapa dua
bayangan merah itu adalah sepasang ibu dan anak,
yang muda bernama Beng Li sementara yang tua
disebut bibi Ming, begitu anak ini mendengarnya. Dan
ketika pertandingan berjalan begitu cepatnya
sementara rambut dan pedang terpental bertemu
sepasang lengan wanita baju hitam maka Buci melelet
14 kan lidah dan kagum bukan main bahwa orang yang
dicarinya ini memang benar-benar lihai.
Akan tetapi anak ini harus berhati-hati pula.
Setelah dua wanita itu mengeluarkan jarum-jarum
rahasia dan menyerang semakin sengit, begitu sengit
hingga berkesan adu jiwa maka beberapa jarum yang
terpental melesat ke arahnya. Buci harus mengelak
atau membuang kepala dengan cepat kalau tak ingin
disambar. Sebenarnya dia harus semakin menarik
kepala menyembunyikan diri. Akan tetapi dasar
seorang bocah dan merasa asyik sekali, tontonan itu
benar-benar menarik dan mendebarkan akhirnya
hujan senjata rahasia yang berhamburan ke tubuh
wanita itu terpental dan celakanya menyambar lagi,
menancap di pundak.
"Aduh!"
Jeritan Buci mengejutkan yang bertanding dan
serentak semuanya menoleh. Wanita baju merah
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berkelebat dan berjungkir balik menuju tempat
persembunyian anak ini, kaget dan heran melihat
seorang anak laki-laki berada di situ. Akan tetapi
menyangka seorang bocah pelayan, lagi pula mengira
anak itu hendak disuruh majikannya berbuat curang
maka ia yang se dang marah tak dapat merobohkan
15 lawan malah menggerakkan kakinya dan menendang
hingga Buci mencelat terguling-guling.
"Keluar, jangan bersembunyi seperti kecoa
busuk. Kau hendak disuruh majikanmu berbuat
curang, ya, mengacau atau membagi perhatian kami...
des-dess!" dan anak itu yang terlempar dan tergulingguling akhirnya mengeluh dan semakin kesakitan dan
tiga wanita itu tahu-tahu telah berkelebatan
mengurungnya dan berseru tertahan betapa wajah
nya mirip Tan Hong. Buci terhuyung bangun dan
terkejut betapa serentak tiga wanita itu menudingnya.
"Kau, Tan Hong cilik!"
"Benar, ia bagai pinang dibelah dua!"
Buci tertegun dan terheran-heran dan ia
memang tak tahu betapa wajahnya mirip benar
dengan ayah kandungnya. Beng Li, wanita yang
menendangnya itu sampai mundur membelalakkan
mata. Sang ibu juga terkejut dan gemetar menuding.
Akan tetapi ketika wanita baju hitam menyambar dan
mencengkeram anak ini, Kiok Eng berubah pucat maka
wanita itu lah yang bertanya dan menggigil,
"Kau, siapa kau dan ada apa di tempat ini.
Bagaimana tahu-tahu bersembunyi dan disangka
pelayanku!"
16 Buci tergetar, melihat wajah dan bola mata
yang membelalak lebar itu. Entah kenapa mendadak
wanita ini menangis, jari-jari yang mencengkeram itu
menggigil hebat. Dan ketika ia diam saja merasa
bengong, Buci masih tertegun maka wanita baju
merah berkelebat pula menarik punggungnya.
"Kau, Tan Hong cilik yang pura-pura
bersembunyi. Hayo katakan bahwa majikanmu
menyuruhmu di sini dan jangan berpura-pura!"
"Tutup mulutmu!" Kiok Eng membentak. "Ia
bukan pelayan dan penghuni Liang san, Beng Li. Kami
tak usah berpura-pura kalau benar pelayanku.
Lepaskan dan biar ia menjawab dulu pertanyaanku!"
wanita itu menyambar dan Buci tertarik kembali.
Saking kuat dan marahnya maka baju punggungnya
robek, anak itu berteriak tertahan. Dan ketika wanita
baju merah menjadi gusar dan merampas pula, gagal
dan sang ibu melompat maka bibi Ming hampir saja
menarik anak itu merampas Buci. Anak ini tiba-tiba
menjadi rebutan.
"Lepaskan!" Buci berseru dan meronta. "Aku
bukan boneka, sam-wi-lihiap (tiga wanita gagah), aku
manusia dan bukan barang mainan!"
17 Akan tetapi wanita baju hitam menngkeramnya
kuat. Di antara semuanya tentu saja Kiok Eng wanita
ini yang paling terguncang, anak itu mirip suaminya
Tan Hong. Maka ketika ia menggigil dan bertanya
siapa anak itu, dari mana dan bagaimana tahu-tahu
berada di situ maka Buci terharu bukan main melihat
betapa wanita ini sudah bercucuran air mata.
"Kau, katakan kepadaku siapa dan dari mana.
Bagaimana pula berada di rumah ini seperti iblis!"
"Aku Buci, datang mencarimu tapi waktu itu tak
ada di rumah."
"Buci?"
"Ya, Buci, lihiap, Sabuci. Aku datang atas
suruhan paman Fang yang menitipkan sepucuk surat."
Buci merogoh sakunya dan ia tak melihat betapa tibatiba wanita itu kecewa. Wajah yang semula penuh
harap dan begitu tegang mendadak lemas kembali.
Ternyata anak ini anak Mongol! Maka ketika anak itu
memberikan suratnya dan wanita itu menerima acuh,
Buci heran mendadak wajah yang dingin itu berubah
lagi. Tulisan tangan di sampul surat membuatnya
kaget. "Ayah!"
18 Buci tercekat. Baru saja ia mengulurkan tangan
nya tahu-tahu surat itu sudah berpindah tempat.
Tanpa ba-bi-bu lagi surat itu disobek dan dibaca. Dan
ketika alis yang terangkat itu menjelirit panjang, wajah
yang semula gelap mendadak terang berseri-seri maka
Buci tergetar betapa wanita ini tiba-tiba terkekeh. Buci
menyangka tiba-tiba wanita ini menjadi gila, apalagi
menuding dan berseru padanya.
"Kau, hi-hik... kau Cit Kong! Kau anakku! Ah,
berapa lama kita berpisah, Kong-ji (anak Kong), tahutahu kau muncul mengejutkan ibumu. Aku ibumu!"
lalu ketika Buci disambar dan dipeluk, diciumi maka
bukan anak ini saja yang terkejut melainkan Beng Li
dan ibunya ikut membelalakkan mata. Buci bengong
dan terkesima akan tetapi tiba-tiba dia menjadi ngeri.
Wanita ini gila, benar gila! Maka ketika ia meronta dan
melepaskan diri, ciuman itu disusul hujan air mata
maka ia melompat mundur dan menggigil, kini jarinya
ganti menuding.
"Lihiap... Kiok Eng lihiap, ap... apa katamu ini?
Kau... kau ibuku? Aku anakmu? Bagaimana kau yakin?
Jangan bicara yang bukan-bukan, tunjukkan bukti dan
jangan sembarangan!"
19 "Ah, kau Cit Kong, memang anakku. Surat ini
buktinya dan tak mungkin keliru. Marilah, aku ibumu,
nak, wajahmu mirip benar dengan ayahmu Tan Hong.
Aku, ibu... ah, telah merindukanmu bertahun-tahun.
Kau anakku!" lalu ketika Buci disambar dan dipeluk
kembali, kini wanita itu mengguguk maka sejenak Buci
terguncang dan membiarkan saja dirinya diremas dan
diciumi. Ia masih setengah percaya setengah tidak
karena semuanya begitu tiba-tiba. Akan tetapi ketika
ia bingung diaku secepat itu, apakah isi surat itu
mendadak dua wanita itu berkelebat dan menyambar
nya dari kiri kanan, ia di rebut.
"Heii!" Buci terlepas dan tahu-tahu di tangan
Beng Li. Wanita inilah yang merampasnya sementara
sang ibu menyerang Kiok Eng. Dan ketika wanita itu
berkelit dan terkejut menghindar, saat itulah Buci
berpindah tangan maka Beng Li terkekeh dan berseru
ganas. "Kiok Eng, kau dulu membunuh puteraku, dan
sekarang anakmu ini muncul. Hi-hik, enak benar
menerima ini sementara kau telah membunuh pula
nenek May-may. Siapapun anak ini tak boleh kau
mengaku ibunya. Aku akan membunuh!" lalu ketika
secepat kilat wanita itu menurunkan tangannya
menghantam kepala Buci, anak ini kaget bukan main
20 maka secepat itu anak ini menggigit dan
menyembunyikan kepala di leher orang. Dan ketika
Beng Li berteriak tak menyangka, saat itulah Kiok Eng
berkelebat maka wanita itu menghajar pundaknya,
Kiam-ciang atau Tangan Pedang melesat lurus.
"Lepaskan dan jangan bunuh anakku!"
Hebat yang terjadi. Karena tak menyangka anak
itu tiba-tiba menggigit dan membenamkan kepala di
bawah lehernya, pukulan luput dan saat itulah Kiamciang menyambar maka Beng Li menjerit. Wanita ini
terbanting dan Buci terlempar sementara bibi Ming
berseru keras. Wanita itu membentak dan menyerang
Kiok Eng, pedang di tangan kanannya menusuk tu.
lang belikat. Dan karena gebrakan ini berlangsung
hampir sama cepat, Beng Li menjerit sementara Kiok
Eng mengaduh maka wanita baju hitam itu terhuyung
dan belakang pundaknya robek, berdarah.
Akan tetapi Ming Ming atau wanita itu tak mau
menunda serangannya lagi. Ia melengking dan
memaki betapa puterinya roboh, Beng Li patah
tulangnya bagai dibacok pedang ampuh. Dan ketika ia
menerjang dan menyerang kalap,. Kiok Eng menahan
sakit di belikat kanannya maka ia mengelak maju
21 mundur sementara lawan mengejar dan berkelebatan
cepat. "Kau melukai adikmu Beng Li, kau menghancur
kan perasaan kami lagi. Ah, kubunuh atau kaubunuh
aku, Kiok Eng, aku akan mengadu jiwa sampai satu di
antara kita roboh!" pedang menyambar-nyambar naik
turun sementara rambut juga meledak dan menyabet
bagai kawat-kawat baja. Ming Ming atau wanita ini
marah bukan main melihat puteranya luka, ia
menyerang bagai orang kesetanan.
Akan tetapi karena Kiok Eng lebih lihai dan
ilmunya lebih beragam, mengelak dan berkelit sanasini sambil menggerakkan tangan kirinya maka Kiamciang atau Tangan Pedang Itu menangkis terpental
pedang di tangan lawannya. Buci terbelalak pucat
melihat wanita yang mengaku ibunya itu menahan
sakit sambil membalas lawan.
"Pergilah, pergi kalian. Berulang-ulang kukata
kan aku tak tahu-menahu dan membunuh nenek Maymay, bibi Ming. Kalau aku membunuh kenapa mesti
kusangkal. Aku bukan pengecut, pergi dan Jangan
ganggu pertemuanku dengan anak kandungku itu!"
Akan tetapi wanita itu melengking-lengking.
Semakin diusir semakin ia marah. Ia benar-benar
22 nekat meskipun pedangnya berkali-kali terpental. Dan
ketika la membentak dan menggigit bibir me nahan
penasaran, sesungguhnya ia kalah tinggi dibanding
lawannya maka Beng Li wanita itu berteriak, ternyata
puterinya ini masih dapat berseru meskipun kesakit
an. "Bunuh dan serang anak siluman itu. Kejar dan
serang dia, ibu, biar Kiok Eng tahu bagaimana rasanya
hati seorang anak dibunuh!"
Buci terkejut. Tiba-tiba wanita baju merah itumemekik dan memutar tubuhnya, pedang yang
semula menyambar-nyambar dan naik turun
menyerang wanita baju hitam mendadak meluncur ke
arahnya. Dan ketika ia terkejut dan otomatis
mengelak, Jouw-sang-hui-tengnya bekerja maka Kiok
Eng terkejut dan membentak wanita itu.
"Bibi Ming, anak tak tahu urusan orang tua.
Jangan serang atau kupukul kau!"
"Pukullah!" wanita itu memekik, kaget
mengejar Buci. "Anak ini harus kubunuh, Kiok Eng. Kau
harus sama-sama merasakan bagaimana tak punya
anak!"
"Keparat!" wanita itu melengking. "Kau tak
dapat diberi hati, bibi, kalau kau menyerangnya maka
23 akulah lawanmu... trang!" Tangan Pedang bertemu
pedang dan kali ini wanita itu menjerit. Ia terpelanting
oleh kerasnya Kiam-ciang yang begitu hebat,
bergulingan meloncat bangun dan kaget serta marah.
Akan tetapi ketika puterinya kembali berteriak dan ia
memekik maka wanita itu meloncat lagi menerjang
Buci, anak inilah sasarannya.
"Kau bocah siluman membawa bencana.
Mampus dan pergilah ke neraka!"
Buci lagi-lagi terkejut. Tentu saja ia tak tahumenahu urusan orang-orang tua sepuluh tahun yang
lalu, betapa Kiok Eng membunuh anak Beng Li tanpa
sengaja, membuat wanita itu keguguran. Maka ketika
ia berkelit akan tetapi sang ibu berkelebat maju,
kembali menangkis dan mementalkan pedang maka
anak ini berseru bahwa tak perlu ia dilindungi.
"Aku dapat menyelamatkan diri kalau hanya
diserang dan menerima bacokan pedangnya. Mundur
dan biarkan ia mengamuk sampai habis tenaganya!"
Kiok Eng tertegun, membelalakkan mata. Tentu
saja ia tak tahu bahwa Buci adalah murid Siang Lun
Mogal. Biarpun tidak memiliki kepandaiannya akan
tetapi Jouw-sang-hui-teng yang dimiliki anak ini hebat.
Berkelit maju mundur dan membuat pedang menusuk
24 angin kosong menjadikan wanita itu gusar, Beng Li
juga terkejut. Dan ketika beberapa jurus anak ini
mampu menyelamatkan dirinya, akan tetapi lamalama tentu saja kewalahan dan tak mungkin
menghindar terus maka Kiok Eng berkelebat dan tak
tahan melihat puteranya diancam bahaya.
"Mundur dan menyingkirlah dan biarkan ibumu
menghadapi wanita siluman ini, plak-cringg!" dan
pedang yang tertolak dan akhirnya patah membuat
Ming Ming terhuyung pucat dan Kiok Eng meng
hentikan gerakan berdiri gagah. Ia menahan sakit di
belikat kanannya dan menuding, telunjuk kiri itulah
yang dipakai.
"Nah, pergi dan tahu dirilah atau aku benarbenar membunuh kalian. Cukup semuanya ini, bibi
Ming. Sekali lagi aku bersumpah tak membunuh nenek
May-may dan justeru aku melacak pembunuhnya
kalau benar-benar ia terbunuh!"
Ming Ming, wanita itu menangis tersedu. Saat
itu di belakang Kiok Eng dan Buci berkelebat bayangan
putih, Beng Li tahu-tahu lenyap. Dan ketika wanita itu
melihat dan berseru tertahan, sedu-sedannya
menjadi-jadi maka ia membalik dan lari turun gunung.
Bayangan itu berkelebat dan lenyap di bawah.
25 "Heii!" Buci terkejut. "Puterimu, bibi. Ia masih di
sini!"
Akan tetapi anak itu terkejut. Beng Li wanita itu
tak ada di situ lagi, dan ketika Kiok Eng juga terkejut
namun maklum apa yang terjadi, menarik napas
panjang dan mengeluh maka wanita ini terhuyung dan
... tiba-tiba roboh.
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Buci kaget, ia melihat wanita ini menyeringai
sakit dan menopang tulang belikatnya dengan tangan
kiri. Susah payah ia menahan dan merintih-rintih.
Akan tetapi ketika ia cepat bergerak dan membantu
wanita itu, Kiok Eng terisak maka wanita itu meminta
agar dibawa ke dalam.
"Tolong... tolong bawa ibumu ke dalam... Ah,
sakit hati ini, Kong-ji, sepuluh tahun bermusuhan
tiada habisnya. Dan kau tiba-tiba datang! Ayahmu...
ugh, bawa ke dalam dan telungkupkan aku di sana!"
Buci berdebar, semburat merah. Ia merasa
panas mendengar wanita itu mengaku ibunya. Ada
perasaan girang akan tetapi juga ragu. Siapa tak
senang menjadi putera wanita lihai ini. Iapun pasti
bangga! Akan tetapi menolong dan tak banyak bicara,
tiba-tiba mengangkat dan memanggul wanita itu di
atas pundaknya maka Kiok Eng kagum dan berseri26
seri. Sakit dan segala yang berkecamuk menda dak
hilang sekejap.
"Kau, ah... kuat sekali. Bagus, bawa dan
turunkan aku di situ, Kong-ji. Kau kuat sekali. Aduh,
bangga ibu padamu!"
Anak ini semakin merah. Untunglah ia sudah
tiba di dalam dan mendorong pintu depan, melihat
bangku panjang dan meletakkan wanita itu di situ. Lalu
ketika ia diperintahkan menyobek sebagian baju
wanita itu, dipakai bebat atau penahan luka maka ia
pun melaksanakan tugasnya akan tetapi... menyobek
bajunya sendiri.
"Brett!"
Kiok Eng terbelalak dan mengeluh bangga. Ia
merasa sayang kenapa anak itu merobek bajunya
bukan baju orang lain, terisak dan terharu bukan main.
Akan tetapi ketika secepatnya ia sudah dibebat dan
sebentar kemudian obat luka ditelan pula, Buci
mengambilkan air minum dan memberinya seteguk
maka ia bangkit dan bersandar dinding. Air mata itu
pun tiba-tiba membanjir.
"Kong-ji...!"
27 Buci tergetar dan tertusuk dalam. Ia diraih dan
tahu-tahu didekap wanita ini. Dan sebelum ia
meletakkan gelas itu di atas meja maka pendekar
wanita ini mengguguk dan mengguncang-guncangnya.
"Kau, dari mana dan ke mana saja selama ini? Di
mana kau menghilang? Ah, bertahun-tahun aku dan
ayahmu mencari, Kong-ji, akan tetapi selama itu pula
gagal. Kami menyangka kau dibunuh nenek Maymay!"
Anak ini menggigil dan cengkeraman serta
ciuman itu menggetarkan hatinya. Ia hampir larut dan
menangis pula, tak terasa matapun basah. Akan tetapi
ketika ia melepaskan diri dan bertanya benarkah
wanita itu ibunya, bagaimana bisa begitu dan apa
buktinya maka Kiok Eng menghentikan tangisnya
terkejut sejenak.
"Buktinya? Hmm, kau mirip ayahmu Tan Hong,
apalagi!"
"Tidak, aku tak mengenal siapa itu ayahku
kecuali Raja Sabulai!"
Sang ibu tertegun, meremas surat yang ada di
saku baju. Akan tetapi karena isi surat tak boleh
diketahui anak ini, ia pun bingung mendadak ia
berseru teringat sesuatu.
28 "Baik, ada bukti yang lain. Di dadamu ada Toh
berbentuk bintang, Kong-ji, benar atau tidak!"
Buci terkejut, gemetar.
"Benar atau tidak?" pertanyaan itu di ulang,
anak ini pucat. Lalu ketika Buci mengangguk namun
bertanya lagi di mana tanda itu maka Kiok Eng tibatiba menggerakkan tangan kirinya dan merobek baju
bagian kanan puteranya.
"Benda itu di sebelah kanan dadamu. Nah, biar
kulihat betul atau tidak!" dan ketika anak ini menjerit
dan menubruk ibunya, sang ibu telah merobek dan
melihat itu maka Buci tak sangsi lagi dan ia pun
meledak dan memeluk ibunya ini. Keduanya
bertangisan penuh bahagia.
"Ibu!"
"Kong-ji!"
Tak pelak lagi anak inipun roboh dan lunglai di
pelukan ibunya. Kini Buci benar-benar yakin bahwa dia
berhadapan dengan ibu kandungnya sendiri. Inilah ibu
yang dicari-carinya itu. Ia memang bukan anak
Mongol. Dan ketika mereka bertangis-tangisan dan
saling dekap, berulang-ulang Kiok Eng mencium dan
meremas puteranya ini akhirnya wanita itu
29 mendorong mundur puteranya yang mengagumkan
ini, teringat betapa puteranya mampu menyelamat
kan diri dari hujan serangan bibi Ming.
"Kau, siapa dan bagaimana gurumu, puteraku?
Kau sekecil ini sudah dapat melindungi dirimu sendiri?
Ah, pasti guru mu seorang lihai. Mana dia dan apakah
kau datang seorang diri!"
Buci mengusap air mata, bahagia, benar-benar
bangga dan bahagia sekali bahwa ibunya ini seorang
yang begitu lihai. Ibunya benar-benar seorang
pendekar wanita mengagumkan. Akan tetapi ditanya
gurunya dan kening itupun berkerut, mendadak
sepasang matanya berapi maka anak ini berkata
bahwa gurunya adalah musuhnya juga. Kata-katanya
mengejutkan sang ibu yang tentu saja terbelalak dan
berubah. "Guruku adalah musuhku. Bertanya tentang dia
membuatku sakit, ibu. Dia jahat dan tak pantas
disebut guru!"
"Kau, siapa gurumu itu?"
"Siang Lun Mogal!"
"Apa?"
30 "Benar, ibu, kakek gundul keparat itu. Dialah
guruku akan tetapi hanya ilmu meringankan tubuhnya
saja yang mau kupelajari. Itulah sebabnya mana
pantas ia menjadi guruku. Ia kakek siluman!"
Sang ibu mencelat dan menahan sakit di
belakang punggung. Hampir tak percaya bahwa
puteranya adalah murid kakek iblis itu maka wanita ini
berseru keras. Ia betul-betul kaget sekali. Dan ketika
Buci memandang ibunya dan ikut terkejut, rupanya
ibunya ini mengenal kakek itu maka ia menggeleng
bahwa tak perlu ibunya khawatir.
"Di bawah gunung hampir saja ia membunuhku.
Akan tetapi semuanya sudah lewat, ibu, aku sudah
menemukan guruku yang paling baru, guru yang
hebat!"
"Tidak, nanti dulu. Bagaimana kau bisa berada
di tangan kakek jahanam itu? Kapan kau ikut dia?"
"Aku tak tahu, ibu," Buci mengerutkan kening.
"Aku sudah bersama ayahku Reja Sabulai sejak kecil.
Kapan aku ikut tentu saja sejak kecil. Kau tampaknya
ke nal baik dengan kakek itu."
"Kenal baik? Tentu saja! Dulu ia menangkap dan
menawan ibumu ini ketika muda. Ia jahat dan
berbahaya dan bagaimana tiba-tiba kau bersamanya!"
31 "Aku tak tahu, tapi ayahku Sabulai tentu tahu."
"Tidak, jangan sebut-sebut lagi nama itu.
Ayahmu adalah Tan Hong, puteraku, bukan orang lain.
Kau adalah Cit Kong dan namamu Tan Cit Kong.
Sekarang bagaimana kakek gundul itu hendak
membunuhmu di buwah gunung!" Kiok Eng berapi-api
dan wanita ini marah sekali mende ngar cerita
puteranya. Tentu saja ia menjadi curiga dan heran
bagaimana kakek Mongol itu tahu-tahu membawa
puteranya. Ada apa di balik ini! Dan ketika ia bertanya
bagaimana kakek itu hendak membunuh, diam-diam
terkejut dan gusar bahwa kejadiannya di bawah
gunung maka Buci menceritakan kepada ibunya
tentang bahaya maut itu, sejak ia dikejar-kejar dan
hampir tertangkap beberapa hari yang lalu.
"Mula-mula ia melihatku di dekat kota raja,
berseru dan memanggil dan saat itulah aku terkejut.
Akan tetapi karena aku tak mau pulang dan
membelokkan langkah maka ia mengejar dan kami
berkejar-kejaran."
Sang ibu berdebar, terbelalak. "Lalu?"
"Lalu aku lari terus, ibu, kakek itu marah-marah
dan membuat nyaliku seakan terbang. Ia membabat
32 dan meroboh-robohkan seisi hutan. Baru setelah ia
menyebut nenek May-may tiba-tiba aku berhenti."
"Berhenti? Kakek itu tidak menerkammu?"
"Tentu saja, ibu, akan tetapi Jouw-sang-huitengku bekerja. Aku melejit dan mengelak terkamanterkamannya hingga luput."
"Hm!" sang ibu menyambar dan men
cengkeram puteranya ini, seolah-olah melindungi.
"Keadaanmu berbahaya, Kong-ji, kau tak memiliki
ilmu silat!"
"Benar, dan karena itu lari lagi. Kakek itu tak
mau bicara terus terang tentang nenek May-may. Aku
lalu dikejar dan ia menyumpah-nyumpah sepanjang
jalan!"
"Hm-hm, lalu bagaimana kau tiba-tiba selamat
di sini...!"
"Aku berlomba dengannya, ibu, kalau ia tak
mengeluarkan sihir dan membuat aku lari di tempat
tentu tiga hari tiga malam ia belum berhasil
menangkapku!"
"Lari di tempat?"
33 "Ya, ia membentak dan mengerahkan sihirnya.
Ia berseru bahwa aku lari di tempat. Dan ketika aku
terkejut dan lari di tempat maka ia terbahak dan
menyambarku..."
"Tak boleh itu terjadi!" sang ibu membentak
dan seolah-olah menghadapi peristiwa itu. "Kalau ia
mengganggumu ibu yang akan menghadapinya, Kongji, biar mampus kakek itu!"
"Terima kasih," anak ini tersenyum. "Akan
tetapi sesuatu yang aneh tiba-tiba terjadi, ibu. Tibatiba terdengar suara suling dan bentakan sihirnya
pecah..."
"Hm!" sang ibu mengangguk, teringat sesuatu.
"Lanjutkan, puteraku, keadaanmu benar-benar
berbahaya dan mencekam!"
"Ya, akan tetapi suara suling menyelamatkan
aku. Maka ketika aku dapat bergerak dan lari lagi maka
kutinggalkan kakek itu dan keparat itu mengutukcaci."
"Dan kau langsung ke sini?"
"Benar, ibu. Waktu itu sudah ada maksud di
hatiku untuk ke Liang-san. Aku, eh... aku bertemu
34 seorang sahabat yang amat mengagumkan. Aku
bertemu paman Fang. Dia itu..."
"Hi-hik, aku tahu. Orang ini yang menolongmu,
Kong-ji, akan tetapi jangan sebut paman!" sang ibu
terkekeh, geli memotong kata-kata puteranya dan
Buci tentu saja tertegun. Akan tetapi ketika dia
mengangguk dan justeru berseri maka ia berkata
bahwa itulah gurunya yang menjadi idola.
"Benar, aku tak menyebutnya paman, sekarang
suhu (guru). Itulah guru baruku, ibu, ia hebat dan
benar-benar mentakjub-kan. Kakek gundul begitu
jerih ketika melihatnya. Ia tiba-tiba ngacir dan
mengeluh begitu disuruh pergi. Kakek itu jinak!"
Sang ibu terpingkal, kali ini terkekeh-kekeh.
Begitu gelinya wanita itu hingga Buci menghentikan
ceritanya. Sang ibu sampai menangis begitu geli! Dan
ketika ia terkejut dan penasaran, bertanya kenapa
ibunya terpingkal maka wanita ini menghentikan
tawanya mencium kening puteranya itu, berseri dan
begitu gembira. "Ketahuilah, tentu saja kakek itu tak
berani macam-macam bertemu orang ini. Sahabat
yang kautemui itu adalah jago nomor satu di kolong
langit ini, kakek keparat itu bukan apa-apa dengannya.
Dan karena ia pernah dirobohkan dan pecundang di
35 tangan pendekar ini maka Siang Lun Mogal gentar dan
tak mungkin banyak tingkah!"
"Tapi ia pedagang, bukan pendekar!" Buci
terkejut. "Hi-hik, inilah bodohmu. Ia itu tak mau dipuji
dan disanjung, puteraku, ia orang rendah hati yang
selama ini kukenal. Ia bukan sekedar pendekar atau
pedagang melainkan juga pangeran!"
"Pangeran?" Buci kaget bukan main.
"Dia itu pangeran, ibu? Kau tidak main-main?"
"Hm, untuk apa ibumu main-main? Ia benarbenar seorang pangeran, puteraku, meskipun tidak
berarti asalnya darah biru. Ia tadinya orang biasa akan
tetapi di angkat Pangeran oleh mendiang sri baginda
lama. Orang ini jasanya amat besar terhadap negara,
dan satu di antara musuh negara yang hampir
menyengsarakan rakyat jelata adalah kakek gundul
Siang Lun Mogal itu. Akan tetapi ia bertemu laki-laki
ini, roboh dan terusir dan selanjutnya sri baginda
menganugerahkan gelar kebangsawanan itu kepada
pria itu. Ia bukan sekedar pendekar melainkan juga
Pangeran!"
36 Buci bengong terlongong-longong dan tiba-tiba
saja berdebar keras. Pangeran? Calon gurunya itu
seorang pangeran? Luar biasa sekali, dan ia akan
terangkat derajatnya menjadi murid pangeran ini.
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bukan main! Maka ketika ia terkejut dan terkagumkagum, sang ibu tertawa maka ia mendesis bahwa tak
disangkanya sama sekali bahwa paman Fang itu
seorang pangeran.
"Mengagumkan, dan ia begitu rendah hati. Ah,
teringat aku ketika di Kui-cin, ibu, betapa ia duduk
sekereta dengan aku. Waktu itu kami ditangkap dan
dibawa menghadap Lam-tuijin!"
"Lam-taijin?"
"Ya, walikota Kui-cin. Aku membuat gara-gara
ketika membeli seekor ikan Tampah enam ribu tail!"
Buci menceritakan itu dan sang ibu berkerut kening.
Akan tetapi ketika ibunya mengangguk-angguk dan
tersenyum lebar maka ia memeluk puteranya ini
penuh haru.
"Semuanya ini gara-gara kakek gundul itu. Kalau
ia tak mengejar dan kau rnela rikan diri tentu tak bakal
terjadi itu, puteraku, akan tetapi dari mana kaudapatkan uang sebanyak itu."
"Ibu kira dari mana?"
37 "Hm, memangnya pemberian Raja Sabulai?"
"Tidak!"
"Kalau begitu dari mana? Masa kau..."
"He, tidak, aku tak mendiri! Uang itu kudapat
kan secara baik-baik, ibu, dari Pui-wangwe!" anak ini
memotong dan sang ibu tertawa. Memang ia akan
mengatakan itu akan tetapi Buci mendahului, ia
terkekeh. Dan ketika anak ini cemberut namun kagum
betapa gigi ibunya bagai mutiara berderet, sebuah
lesung pipit tersembul pula di sudut bibirnya maka
anak ini memuji bahwa ibunya cantik, dan pujian
itupun terlontar begitu saja.
"Ibu cantik!"
Kiok Eng terkejut. Ia menghentikan tawanya
memandang puteranya ini, pandang matanya tibatiba tajam menyelidik. Dan ketika anak itu terkejut
kenapa pujiannya meluncur begitu saja, sang ibu
tampaknya tak senang maka ia meminta maaf bahwa
ia tak bermaksud apa-apa.
Hm, tidak, ibu tak marah. Akan tetapi ah...
benarkah ibu cantik, Kong-Ji. Sejak kapan kau
mengenal kecantikan wanita?"
38 "Aku tak tahu, namun ibu memang cantik.
Lesung pipit ibu melebihi ibu Kayima," anak ini malumalu, membandingkan ibunya sendiri dengan ibu
angkatnya di Mongol itu. Dan ketika sang ibu bertanya
siapa itu Kayima, Buci menarik napas dalam maka ia
berkata bahwa itulah ibunya selama di perkemahan
bangsa Mongol, isteri Sabulai.
"Ia baik kepadaku, dan dialah satu-satunya ibu
yang kusayang dan menyayangi sewaktu masih di
sana. Lihat, tusuk rambutnya ini pemberiannya, ibu,
dia benar-benar baik dan amat sayang padaku!" Buci
mengeluarkan tusuk rambut itu dan Kiok Eng
memandang terharu. Ia merasa bersyukur bahwa
puteranya berada di tangan isteri Sabulai. Akan tetapi
teringat kakek gundul Siang Lun Mogal akhirnya ia
From Sumatra With Love 3 Trio Detektif 10 Misteri Gua Raungan Naga Bhumi Mataram 10
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama