Silent Girl Karya Indah Thaher Bagian 3
posisi tidurku. Aku mendengar Ayah mendengus tidak percaya. Ibuku terkekeh. "Jawaban bagus, Lauren," katanya.
"Kakak selalu tidur di sini setiap kali ada hujan." Noah yang bersuara. Dan sama sepertiku, Ayah dan Ibu langsung terdiam, sama sekali tidak menyangka
Noah benar-benar memperhatikan hingga sedetil itu. Perkataannya memang benar. Aku memang selalu tidur di sofa ruang tamu setiap kali ada hujan.
Dan sebenarnya aku yakin Ayah dan Ibu sudah bisa menerka sejak awal alasan mengapa aku selalu memilih tidur di sini daripada kamarku sendiri saat hujan
datang. "Apa Kakak takut dengan petir?"tanya Noah lagi. Isyarat keluguan terdengar jelas di dalam suaranya.
Aku kembali tersenyum dalam selimutku, menunggu apa yang akan dikatakan Ayah dan Ibu pada pertanyaan yang dilontarkan Noah. Tapi tidak ada yang menjawab.
Beberapa detik kemudian sofaku merosot turun. Aku akhirnya membuka mata dan mendongak ke ujung kakiku, mendapati Ayah sedang duduk di ujung sofa sambil
membawa dua piring sandwich di kedua tangannya. Ibu dan Noah berada di sebelahnya, juga sedang membawa piring berisi sandwich.
Ayah memberikan cengirannya padaku, sambil menyodorkan sepiring sandwich itu ke arahku. "Jika kau benar-benar takut pada hujan petir dan memutuskan tidur
di sini karena merasa lebih ramai-terutama karena kamarku dan ibumu hanya beberapa meter dari sini, kami bisa mengerti."
Aku menatap Ayah dengan diam, tidak bisa berkata apa-apa. Aku tidak tahu apakah Ayah memang sengaja berkata begitu karena ia memang tahu atau memang hanya
kebetulan saja. Aku tidak pernah menyukai dingin, dan hujan selalu membuatku merasa gelisah. 1
Alasanku tidur di sofa ini karena aku tau sepanjang malam aku akan bisa mendengar suara Ayah dan Ibu sampai aku benar-benar terlelap, seolah mendengar
suara mereka saja sudah bisa membuatku merasa aman. Suara Ibu yang mengaduk segelas susu untuk Noah, suara Ayah yang baru pulang saat tengah malam atau
suara langkah kaki mereka dari atas setelah mengucapkan selamat malam pada Noah. Suara-suara kecil seperti itu saja sudah bisa menentramkan malamku.
"Sekarang ayo makan bersama-sama. Kau sendiri ingat, kan? Aturan makan bersama dari ibumu," ujar Ayah lagi. Ia melirik sekilas pada ibuku dengan senyum
khasnya itu. Aku terkekeh pelan, lalu mulai mengambil sepiring sandwich itu kemudian menyilangkan kakiku di atas sofa sambil mulai menyantap sandwich tersebut. Mereka
pun ikut mulai menyantap sandwichnya.
"Mungkin sebaiknya kita pergi keluar hari ini," ujar Ayah beberapa saat kemudian.
"Ayo, Ayah!" seru Noah dengan mata berbinar-binar. Kami semua langsung terkekeh. Noah selalu yang paling bersemangat jika kami berencana berjalan-jalan
ke luar-kemana pun Ayah terkekeh. "Kau punya ide, Noah?"
Noah mengangguk cepat. "Aku ingin ke Danau Angor. Sudah lama kita tidak pernah ke sana lagi."
"Kita bisa piknik di sana, atau memancing," timpalku sambil tersenyum.
Ibu langsung tersenyum lebar. "Kurasa itu ide bagus. Lagipula hari ini sepertinya akan terus cerah, terutama setelah kemarin hujan terus-menerus."
Ayah menepuk lututku sambil nyengir. "Baiklah, kalau begitu. Lebih baik kita keluar sekarang sebelum semuanya kembali meringkuk ke tempat tidur masing-masing,"
... Aku berdiri di depan danau. Danau itu luas dan airnya begitu tenang. Di sekeliling danau ini ditumbuhi oleh hutan dengan pohon-pohon tinggi menjulang.
Danau itu kini sepi, sesuatu yang sedikit aneh sebetulnya karena biasanya tempat ini selalu ramai saat akhir pekan seperti hari ini. Hari ini sepertinya
hanya ada kami di sini. "Duduklah, Lauren."
Aku mendongak dan mendapati Ayah yang kini sedang duduk sambil memegang alat pancingnya. Aku menuruti Ayah dan mulai duduk di sebelahnya. Suara tawa Noah
dan Ibu kemudian terdengar, membuat aku dan Ayah langsung berbalik menatap mereka berdua dengan bingung.
"Apa yang kalian tertawakan?" tanya Ayah.
Noah langsung mengatupkan mulutnya, menahan tawanya dengan susah payah. Ibu menggeleng, masih tertawa. "Tidak ada apa-apa."
Ayah langsung berpura-pura cemberut. "Kalian pasti sedang membicarakan Lauren dan aku."
"Kenapa Ayah membawa-bawaku dalam hal ini?" kataku sambil mendorong pelan lututnya.
Ayah mulai tertawa dan aku mulai menggoyangkan alat pancingnya-membalaskan dendamku.
Ayah langsung terkesiap. "Hei!" serunya. Kami langsung tertawa, tahu bahwa tindakanku baru saja membuat peluangnya mendapatkan ikan langsung hilang.
"Lauren." Tawaku langsung hilang. Suara itu terdengar begitu tenang, namun terdengar begitu jelas dan bersih. Suara itu berhasil membuatku terpaku tidak bergerak selama beberapa saat, seolah
suara itu hanya diperuntukkan untukku dan memiliki kekuatan untuk menarikku keluar dari mana pun tempatku hidup.
"Lauren," panggilnya lagi. Dan kali ini aku mulai berbalik mencari asal suara itu.
Dan di sanalah ia, sedang berdiri di ujung dermaga kayu yang tiba-tiba saja dekat dari tempatku berdiri.
Hilda. Aku menatapnya, sama sekali tidak bisa berkata apa-apa. Ada rasa canggung sekaligus penyesalan yang muncul di dalam diriku saat ini.
Karena bagaimana pun juga, mungkin ini pertama kalinya aku berbicara bertatapan muka dengannya.
"Kemarilah," katanya padaku.
Lalu kakiku mulai melangkah menuju tempatnya berdiri, mendekati dermaga kayu itu. Mataku tetap terpaku pada Hilda. Begitu derik kayu terdengar, bertanda
aku sudah menaiki dermaga itu, barulah aku berhenti.
Ia kemudian berjalan mendekatiku dengan perlahan. Tidak sedetik pun ia pernah mengalihkan tatapannya padaku. Ada sorot lembut tersirat di kedua matanya.
Ia menatapku seolah kami ... sudah berteman lama dan ini adalah reuni kami setelah sekian lama berpisah.
"Kau sendirian?" tanyaku akhirnya begitu ia sudah berhenti di depanku.
Hilda kemudian tersenyum lalu mengangguk. "Sama sepertimu."
Aku langsung mengerutkan dahi, lalu berbalik dan menatap tepi danau yang kini kosong tanpa ada tanda sedikit pun yang membuktikan keberadaan Ayah, Ibu
dan Noah beberapa menit lalu, seolah mereka tidak pernah datang ke sini bersamaku.
"Ini bukan lagi ingatanku ..." gumamku dengan pelan, menyadari situasi ini. Aku kemudian menatap Hilda dengan sorot bertanya. "Apa ... ini mimpi?" Apa
aku tertidur? Hilda hanya diam dan senyum itu masih bertengger di sana. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menatapnya dalam-dalam. Rasanya ini pertama kalinya aku
benar-benar menatap gadis itu sepenuhnya.
Tidak pernah kusadari sebelumnya bahwa gadis itu memiliki senyum yang menawan. Aku tahu ia memang memiliki wajah yang cantik, dengan rambut hitam lurus
yang selalu diikat ekor kuda sederhana. Tapi semua itu selalu tertutupi karena selama ini ia selalu menunduk setiap kali melewati kami, menyembunyikan
wajahnya dari dunia. 1 Dan alasan utama ia melakukannya karena kami-semua orang kota ini.
"Aku minta maaf ..." ujarku akhirnya. Suaraku tercekat, merasakan betapa sesaknya dadaku kini karena semua penyesalan itu muncul dengan cepat hingga nyaris
tumpah. Aku menunduk, tidak memiliki nyali untuk menatapnya.
"Tidak apa-apa, Lauren," ujar Hilda dengan nada menenangkan, seolah ia sudah lama memaafkan semua kesalahanku.
Aku tetap diam, tidak tahu harus membalas pengampunannya yang terdengar begitu mudah diucapkan. Beberapa saat kemudian tidak ada yang berbicara, hanya
terdengar suara angin yang berembus di sekitar danau itu.
"Danau ini memang selalu terlihat indah," ujarnya kemudian. Ia menghirup napas dalam-dalam sambil memejamkan mata. "Tidak heran jika semua orang di kota
ini menyukai tempat ini," sambungnya.
Aku menatapnya beberapa saat, kemudian kembali menunduk. Tenggorokanku kembali terasa kering. Kenangan tentang danau ini kembali memenuhi isi kepalaku,
sudah cukup membuatku kembali menunduk dan tidak berani menatapnya.
"Aku sudah memaafkanmu atas semuanya, Lauren. Termasuk kejadian di danau ini beberapa tahun lalu," ujar Hilda, seolah sudah bisa menebak apa yang sedang
ada di pikiranku. Ini adalah tempat dimana waktu itu kami mendorong Hilda jatuh ke dalam danau dan membiarkannya hampir tenggelam saat tengah malam yang dingin beku.
Aku merasakan tanganku yang mulai gemetaran. "Aku benar-benar minta maaf karena sama sekali tidak pernah membantumu selama ini ..."
"Tapi kau membantuku sekarang, Lauren," sahutnya.
Aku mendongak dan mendapatinya tersenyum lembut padaku, seperti seorang ibu yang sedang menghibur anaknya setelah mengakui kesalahan terburuknya.
"Begitukah menurutmu?" tanyaku enggan.
"Ya." Ia menatapku dengan bingung. "Ada apa?" tanyanya, menyadari ekspresi wajahku.
Aku menggeleng pelan. Tidak pernah rasanya aku merasakan malu seperti sekarang, tapi di saat bersamaan aku bisa merasakan ada keberanian yang semakin meluap
dari dalam diriku. "Hilda, bolehkah aku bertanya padamu?" tanyaku akhirnya.
Ia tersenyum. "Tentu saja,"
Aku terdiams sesaat. "Aku bukanlah orang yang mereka maksud, kan? Bukan aku ... yang melakukan itu semua padamu-maksudku, sebagai otaknya-pemimpin. Benar,
kan?" tanyaku terbata-bata.
Hilda menatapku beberapa saat. "Tidak. Sarahlah orangnya."
Aku mengangguk kecil, merasakan sedikit kelegaan begitu mendengarnya.
"Hilda," panggilku.
"Ya?" Aku menelan ludah. "Apa Sarah atau orang kota ini terlibat dalam kematianmu?" tanyaku akhirnya.
Suasana hening kembali beberapa saat. Aku kemudian mendongak dan mendapati wajah Hilda kini berubah datar tanpa ekspresi, seolah ada yang menahannya untuk
berkata apa pun yang sebenarnya sedang ada di pikirannya saat ini.
Aku menunggunya mengatakan sesuatu. Kemudian ia menatapku dengan senyum pilu. "Sayangnya aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu, Lauren," jawabnya.
"Kenapa?" Ia menggeleng pelan. "Rasanya waktunya belum tepat."
"Kau akan memberitahuku lain kali?"
Hilda tersenyum, tidak menjawab pertanyaanku. "Kau tau, Lauren? Sejak dulu aku selalu mengagumimu-kurasa ibuku pernah mengatakan hal itu padamu," katanya,
lagi-lagi kembali mengubah topik. Tapi ucapannya itu tetap mengalihkan pikiranku.
Aku kembali terdiam, tidak bisa menemukan kata-kata di mulutku.
"Kau memiliki semua kebahagiaan itu," ujarnya. Ia terdiam sejenak. "Tapi satu hal yang paling membuatku iri adalah bahwa kau memilik keluarga lengkap dan
utuh yang menyayangimu dengan sepenuh hati," sambungnya.
Aku mendengus pelan. "Kalau begitu kau tidak lagi mengagumiku lagi, karena aku sudah tidak memiliki hal itu lagi."
Hilda mengamatiku beberapa saat. "Kau masih belum merelakan mereka," gumamnya. Itu sebuah pernyataan.
"Aku berusaha ..."
"Dan sebaiknya kau melakukannya lebih keras lagi. Karena itu hanya akan membuatmu semakin sengsara."
Aku menatap Hilda dan menyadari tatapannya kini terfokus pada apa yang ada di belakangku.
Lalu suara kobaran api dan suara teriakan pilu menyakitkan itu mulai membahana menyelimuti pendengaranku. Suara Ayah, Ibu dan Noah yang sekali lagi terbakar
dalam kobaran api, meminta tolong padaku dengan suara pilu menyayat hati.
*** BAB 20. Manusia Aku membuka mata dengan cepat, terkesiap menatap ke atas langit-langit ruang tamu. Begitu menyadari semua situasi, barulah aku bangun, menyandarkan punggungku
ke pinggir sofa dan mulai menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungku yang sejak tadi berdetak liar. Aku memejamkan mata, merasakan
suara detak jantung itu mulai sedikit demi sedikit tidak lagi berpacu kencang.
Pikiranku langsung kembali berkecamuk penuh dengan semua ingatan dan mimpi itu.
Apakah aneh jika aku benar-benar mengingat dengan jelas semua hal yang terjadi pada mimpiku barusan?
Atau apakah itu memang bukan sepenuhnya mimpi?
Aku kembali menatap ke sekeliling rumah itu. Langit kini sudah gelap gulita, dan ruangan ini bahkan sudah gelap tanpa ada satu pun lampu yang hidup. Semuanya
yang ada di ruangan ini sama persis dengan apa yang ada di mimpiku. Sofa ini, selimut ini, bantal sofa dan meja makan dapur itu. Tapi justru yang kurasakan
saat ini justru hanyalah rasa sepi dan keheningan yang kosong. Rasa-rasa itu datang dengan cepat menyelimutiku, seolah-olah tidak sabar untuk menarikku
kembali pada kenyataan yang sebenarnya.
Badanku kembali gemetar begitu mengingat kembali percakapanku dengan Hilda. Sekali pun itu hanya mimpi, aku benar-benar merasakan betapa nyatanya hal tersebut.
Rasanya seperti Hilda benar-benar datang untuk berbicara denganku.
Dan aku sangat berharap semua yang ia katakan padaku di mimpi itu memang benar-benar terjadi.
Aku mulai mencoba bangkit berdiri dari sofa. Namun begitu aku berjalan menuju tombol lampu, tiba-tiba saja kepalaku terasa mulai berputar-putar dengan
cepat. Tanganku dengan cepat menggapai apa pun untuk menyangga tubuhku yang mulai lemas. Sambil bersandar di dinding, aku memejamkan mata menahan rasa
pusing itu. Aku mengumpat pelan, mengingat bahwa aku tidak membawa obatku hari ini. Keputusanku untuk menginap di rumah ini baru muncul setelah aku bertemu
dengan David tadi, jadi tentu saja aku tidak berpikir untuk membawa obat itu. Sejak dulu aku memang tidak pernah suka membawa obat itu kemana-mana. Itu
hanya membuktikan pada orang sekelilingku betapa lemahnya aku.
Aku bergegas menekan tombol lampu lalu kembali bersandar di kursi dengan cepat. Tarikan napas beberapa kali keluar dari mulutku, mencoba membuat denyut
sakit kepalku sedikit menghilang.
Beberapa lama aku hanya menatap diam meja di hadapanku. Kemudian begitu rasa denyut sakit mulai mereda, aku mulai mengeluarkan ponselku dan memencet tombol
untuk melakukan panggilan.
Pada nada sambung kedua, panggilanku langsung diterima.
"Hallo?" Aku menelan ludah. "David," sahutku dengan pelan, masih tidak yakin mengapa aku tiba-tiba menghubunginya.
Ada jeda. "Lauren?"
"Ya, ini aku." "Ada apa?" tanyanya dengan nada waspada.
"Tidak, tidak ada apa-apa," ujarku serak. Aku lalu berdeham.
"Kau baik-baik saja?" tanyanya. Ia pasti mendengar suaraku yang tiba-tiba serak.
"Aku baik-baik saja. Aku hanya ... bisa kau datang menjemputku?" pintaku akhirnya.
Tidak ada suara beberapa saat. "Tentu saja," jawab David akhirnya.
*** "Terima kasih sudah datang," ujarku.
David menatapku sesaat. "Tidak masalah," sahutnya. Tatapannya masih tertuju padaku. "Apa yang sebenarnya yang kau lakukan di sini?"
Aku terdiam sejenak. "Ini rumahku," jawabku singkat.
Ia sama sekali tidak terlihat puas dengan jawabanku. Tapi ia tidak lagi mengajukan pertanyaan. David mulai berjalan mengintari ruangan ini, pandangannya
mulai bergerak menjelajahi semua benda di sini. Bahkan saat ia tidak mengenakan jaket kulit hitam dan hanya dengan mengenakan baju kaos biru tua dan jeans,
ia masih tetap mengeluarkan aura penyidik yang selama ini selalu terlihat.
"Rumahmu tidak terlihat seperti sudah ditinggali selama bertahun-tahun," ujarnya pelan.
"Bibiku selalu membersihkan rumah ini setiap minggu," jawabku.
Ia kembali dia beberapa saat. "Dia berharap kau akan kembali ke sini," katanya akhirnya. Itu sebuah pernyataan. Dan aku tidak menyahutinya karena aku yakin
ia sudah tahu perkataan itu memang benar. Aku tahu Bibi masih mengharapkanku untuk tetap tinggal di kota ini.
Kemudian ia berhenti di depan foto besar keluargaku. Ia menatapnya beberapa lama tanpa bersuara sedikit pun.
"Berapa umur adikmu di foto ini?"
Jantungku berdetak keras sedetik kemudian. " tahun."
Ia mengangguk kecil. Dan aku tidak bisa menahan diri untuk tidak memikirkan bahwa David sedang menghitung umur Noah saat ... ledakan pom bensin itu terjadi.
Ia kemudian berbalik dan kini bersandar di dinding-tepat di depan sofa yang kududuki. Kami bertatapan beberapa saat dalam suasana diam. Hanya terdengar
suara detik jarum jam selama beberapa saat.
"Kau ke sini-ke rumah keluargamu, tempat semua kenangan yang selama ini kau takuti-untuk membuktikan padaku bahwa kesehatanmu sudah sepenuhnya pulih, bahwa
kematian keluargamu sudah tidak lagi mempengaruhi kondisi mentalmu dan membuktikan bahwa kau tidak membayangkan semua tuduhanmu tentang Sarah pada kematian
Hilda," ujar David. Lagi-lagi itu terdengar seperti sebuah penyataan.
Aku menatapnya beberapa saat, merasakan rasa kepuasan yang aneh muncul.
"Ya." David mengamatiku. "Dan menurutmu kau sudah baik-baik saja?"
Aku tahu ia pasti menyadari keadaanku yang sedikit berantakan. Dan fakta bahwa aku memintanya menjemputku sekarang pasti sudah membuat pembelaanku menjadi
sangat meragukan. "Aku hanya sedikit pusing. Itu saja."
David melipat lengannya dan masih tidak mengalihkan tatapannya pada wajahku. Tapi kini aku mulai merasakan perubahan di sorot matanya.
"Kenapa aku?" tanyanya beberapa saat kemudian.
"Apa?" sahutku bingung.
Ia mengangkat bahu dengan cepat. "Kenapa kau ingin memiliki kepercayaanku? Kau bisa melaporkan semua tuduhanmu pada penyidik lain-bukan dari kota ini tentu
saja. Aku tau kau tidak akan mempercayai penyidik dari kota ini. Tapi kau bisa mempercayai penyidik lain di ibukota."
Aku terdiam beberapa saat, menyadari bahwa aku sendiri tidak pernah menyadari hal ini. Tentu saja aku pernah berpikir untuk memperkejakan penyidik lain
dari ibukota. Bagaimana pun juga aku pasti akan dapat menemukannya dengan mudah. Teman-temanku memiliki kenalan penyidik yang bisa saja membantuku dalam
kasus ini. Tapi kenapa David? Ada sesuatu yang mendorongku untuk merapat padanya. Bukan karena ia kebetulan adalah penyidik yang menangani kasus Hilda, tapi sesuatu yang lain. Sampai
sekarang pun aku sendiri belum menemukan jawabannya.
Aku menatap David dalam-dalam. "Mungkin alasannya sama seperti mengapa kau tetap datang kembali ke kota ini dan menemuiku," jawabku akhirnya.
David terdiam, selama beberapa saat aku menyadari perubahan di sorot matanya. Kemudian ia mendengus pelan. "Mungkin kau benar." Ada sedikit nada takjub
terdengar di suaranya. Aku mengamati David, menyadari kali ini wajahnya sedikit melunak. Dan entah kenapa tiba-tiba saja aku merasakan perasaan terhubung yang terasa aneh di
antara kami, seolah kami tidak perlu menemukan alasan itu. Kami tahu alasan itu ada dan tidak memiliki dorongan untuk tergesa-gesa menemukannya.
"Ayo, akan kuantarkan kau ke rumah pamanmu, sekarang," ujarnya kemudian.
Aku mengangguk, lalu mulai berdiri dengan perlahan. Sakit kepala itu masih ada, namun sudah tidak lagi separah tadi-satu hal yang tidak biasa terjadi.
David melirikku sekilas, dan aku menatapnya sambil tersenyum kecil-mengisyaratkannya bahwa aku baik-baik saja.
Begitu kami keluar dari rumah, aku mulai mengikutinya ke arah mobil sedan hitam yang terparkir di belakang mobilku. Ia membukakan pintunya untukku dan
aku mulai masuk ke dalam.
Ia langsung menghidupkan mesin dan melajukan mobil. Aku menatap diam rumah itu beberapa saat hingga akhirnya memalingkan wajahku kembali ke jalan.
"Dugaanku kau tidak memberitahu paman dan bibimu bahwa kau mengunjungi rumah itu hari ini?" tanyanya, menyadari tatapanku pada rumah itu tadi.
Aku menggeleng. "Tidak. Aku berencana akan memberitahu mereka bahwa aku ingin menginap di sana. Tapi sepertinya rencana itu tidak bisa kulakukan saat ini."
David melirikku sekilas. "Kau ingin menginap di sana?"
Aku mendesah pelan. "Aku sudah bilang aku baik-baik saja. Aku bahkan sebenarnya menikmati suasana di rumah itu. Aku bahkan bisa mengingat ingatan itu tentang
rumah itu dalam tidurku."
David tidak menanggapi ucapanku. Tapi aku merasakan tatapannya sekilas padaku. Aku menunduk, mengingat kembali tentang mimpiku yang berbicara dengan Hilda.
Semua percakapan itu, percakapan yang terasa begitu nyata. Bahwa dugaanku tentang keterlibatan Sarah atau orang kota ini pada kematian Hilda memang benar,
bahwa aku-bukanlah otak dari pembullyan dan pengasingan yang dituduhkan Nika padaku. Sarahlah orangnya-bukan aku. Dan tuduhan Nika itu hanya ditujukan
untuk membuatku seperti gadis gila yang tidak stabil dan tiba-tiba ingin mengacau di kota ini.
Dan Hilda yang berjanji akan memberitahuku tentang penyebab kematiannya padaku-entah kapan.
Aku menatap sekilas David, ragu untuk menceritakan hal itu padanya. Tapi aku memutuskan untuk mengurungkan niatku tersebut.
Aku mendengus pelan. Jika kuceritakan hal itu, ia justru akan kembali mengecapku seperti gadis gila schizophrenia yang percaya pada mimpi.
"Apa?" sahutnya, mendengar dengusanku.
Aku menggeleng. "Tidak apa-apa."
Ia melirikku sekilas, tapi tidak lagi mengajukan pertanyaan.
"Kurasa kau sudah tau bahwa besok aku akan kembali ke Ibukota," ujarku.
David tidak tampak terkejut. "Ya. Aku sudah dengar dari Bu Eli dan pamanmu."
Jadi itu artinya David juga sudah mengetahui bahwa aku akan menemui Bu Eli besok. Aku kembali menatapnya. "Kau sadar bahwa aku mungkin akan kembali ke
kota ini dan tetap mencari petunjuk tentang kematian Hilda sampai semuanya tuntas, kan?" tantangku.
Tapi lagi-lagi David tidak terlihat terkejut sama sekali. "Ya. Aku sadar itu," jawabnya dengan tenang, terdengar justru lebih yakin daripadaku. Aku menatapnya,
menyadari memang ada sedikit keraguan muncul dalam diriku.
Rasa takut bahwa aku mungkin akan menemukan sesuatu yang nantinya akan membuatku terpuruk lebih dalam. Rasa itu sudah cukup membuatku sedikit ragu untuk
tetap kembali ke kota ini.
Mobil kami berhenti dan aku menyadari kami sudah sampai di depan rumah Paman dan Bibi. Mobil Paman sudah terparkir di pekarangan dan lampu teras sudah
dihidupkan. Paman dan Bibi jelas-jelas sudah berada di rumah. Aku melirik ke jam tanganku dan menyadari bahwa sekarang sudah lewat jam 10 malam.
"Lauren." Aku mendongak dan menatap David, menunggunya melanjutkan perkataanya.
"Kau tidak perlu membuktikan apa-apa padaku untuk mendapatkan kepercayaanku," ujarnya.
Aku menatapnya diam, tertegun dengan apa yang baru saja kudengar. Aku tidak berani untuk langsung mengambil kesimpulan dari apa yang ia katakan, sekalipun
rasa lega itu sudah mulai muncul.
"Sebagai penyidik, aku belum bisa sepenuhnya mempercayaimu sampai semua penyelidikan berdasarkan kesaksianmu terbukti atau setidaknya mengarah pada sesuatu,"
ujarnya. Ia mengamatiku sesaat. "Tapi instingku, sejak pertama kali berbicara denganmu, sepertinya sudah langsung mempercayaimu," sambungnya.
Aku menatapnya beberapa lama. Lalu kemudian akhirnya yang bisa kulakukan hanya mengangguk kecil.
"Itu saja sudah cukup bagiku saat ini," ujarku.
*** BAB 21. Ruang Dingin Aku mengetuk pintu tersebut beberapa kali, kemudian membukanya. Seketika itu juga aroma khas rumah sakit langsung memenuhi indera penciumanku, sekali pun
aku tahu tidak ada obat-obatan di ruangan ini-ruangan in bahkan berada paling jauh dari bagian apotek.
"Duduklah, Lauren," ujarnya.
Bu Eli langsung mendongak dan tersenyum saat aku sudah berada di dalam ruangan. Ia masih menggunakan kacamata kecilnya-yang selalu ia kenakan setiap kali
masih berkutat dalam buku catatan besar berwarna merah yang selalu tergeletak di mejanya. Tangannya masih memegang pulpen, baru saja berhenti menuliskan
sesuatu di buku itu. Aku mengangguk kecil, kemudian mulai berjalan menuju mejanya sambil melemparkan pandanganku ke seluruh ruangan. Kamar itu tidak terlalu luas, tapi cukup
menyisakan banyak ruang kosong. Di ruangan ini hanya terdapat meja dengan kursi nyaman yang saling berhadapan. Di sampingnya terdapat sebuah jendela besar
dengan tirai transparan yang masih samar-samar memperlihatkan pemandangan taman depan rumah sakit ini. Di dekat pintu, terdapat sebuah kasur kecil dan
meja kecil dengan segelas air putih.
Tidak ada yang berubah dari tempat ini-aku sadar itu.
Termasuk rasa dingin aneh yang selalu terasa setiap kali aku masuk ke dalam ruangan ini. Rasa dingin yang tidak ada hubungannya dengan pendingin udara
di ruangan itu. Rasa dingin itu berbeda. Rasa itu tidak hanya bisa menembus kulit dan tulang di seluruh badanku, tapi juga bisa menembus jantungku. Seperti
ada sesuatu yang basah dan dingin yang menempel di jantungku.
Aku menarik napas kecil, berusaha untuk bersikap biasa dan tidak memperlihatkan rasa tidak nyaman saat rasa dingin itu kembali datang menyelimutiku dengan
cepat.
Silent Girl Karya Indah Thaher di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bu Eli kini menutup bukunya, kemudian melepas kacamatanya. Ia bangkit dan berjalan menghampiriku sambil merentangkan kedua tangannya padaku. Aku tersenyum,
menyambut pelukannya. Ia kemudian menepuk punggungku dengan lembut, sebagaimana seorang ibu menyambut anaknya yang sudah berkelana jauh selama beberapa
tahun. "Bagaimana kabarmu?" tanyanya padaku.
Aku mendengus enggan. "Kupikir kau lebih tau soal itu daripada aku," gumamku.
Bu Eli terkekeh pelan, seolah sudah menebak bahwa aku akan berkata seperti itu padanya. Ia kemudian melepas pelukannya, lalu mengamatiku beberapa saat.
"Kau terlihat baik, Lauren," ujar Bu Eli singkat.
Aku hanya diam, tidak tahu apakah perkataannya barusan hanya basa basi untuk membuatku nyaman.
"Kau mau minum?" tanyanya.
Aku mengangguk. "Air putih saja."
Bu Eli kemudian berbalik dan menuju meja kecil di samping kasur kecil itu. Ia menuangkan segelas air putih kemudian menaruhnya di meja hadapanku. Ia menelengkan
kepala padaku, mengisyaratkanku untuk duduk. Aku kembali mengangguk kecil, lalu duduk di kursi yang berhadapan dengan mejanya.
Begitu Bu Eli duduk kembali ke kursinya dan kami kini duduk berhadapan, barulah aku merasakan suasana hening yang sejak dulu sangat tidak kusukai setiap
kali aku datang ke sini. Keheningan itu selalu membuatku gelisah. Karena aku tahu saat itu Bu Eli seolah sedang membaca situasiku, apa yang ada di dalam
otakku-di bagian yang paling ingin kurahasiakan dari semua orang di dunia ini.
"Jam berapa kau sampai di ibukota?" tanya Bu Eli dengan nada biasa.
"Subuh. Sekitar jam 6." Ini pertama kalinya aku melakukan penerbangan dini hari. Aku bahkan tidak meminta Paman dan Bibi untuk ikut mengantarkanku ke bandara.
"Kau bekerja hari ini?" tanyanya lagi.
Aku menggangguk. "Aku harus kembali ke kantor sebelum jam 1."
Bu Eli mengangguk paham. Lalu suasana kembali hening dan aku sadar sepenuhnya bahwa Bu Eli menungguku membuka mulut, menceritakan apa saja-terutama tentang
penyebab kondisiku kembali memburuk begitu datang ke Angor.
"Jadi bagaimana perjalananmu selama di Angor?" tanya Bu Eli pada akhirnya.
Aku terdiam sesaat. "Membingungkan. Tapi yang jelas, kedatanganku ke sana jelas-jelas merusak segalanya."
"Merusak?" Bu Eli menatapku dengan penasaran. Tapi ia tetap menungguku melanjutkan.
Aku hanya mengangguk, sedikit ragu untuk melanjutkan. Aku melirik Bu Eli sekilas. "Kudengar David menemuimu beberapa hari yang lalu," ujarku pada akhirnya.
Bu Eli mengamatiku beberapa saat, menyadari aku menghindari pertanyaannya. Tapi seperti biasa, ia tidak pernah memaksaku menjawab. Ia tahu pada akhirnya
aku akan menjawab dengan sendirinya.
"Ya. Dia menanyakanmu."
"Dia datang menemuimu di sini?"
Bu Eli mengangguk. Aku tidak tahan untuk tidak mendesah frustasi.
"Kau tidak nyaman dengan hal itu?" tanya Bu Eli, menyadari ekspresiku.
Aku menggeleng lemah. "Aku hanya membayangkan apa yang ada di pikirannya saat melihat tempat ini dan mengetahui aku pernah dirawat di sini. Wajar jika
dia langsung tidak mempercayaiku."
"Apa menurutmu yang dia pikirkan?"
"Gadis gila." Bu Eli terdiam sesaat. "Itukah menurutmu yang dia pikir?"
Aku mendengus, kembali merasakan ketakutan aneh bahwa David sama sekali tidak mempercayaiku. Bahkan sekali pun aku sudah mendengarnya malam itu, bahwa
instingnya mengatakan bahwa ia mempercayaiku. Semua perkataan itu masih mengambang dan aku tahu ia belum seratus persen mempercayaiku.
"Menurutku dia sama sekali tidak melihatmu seperti itu."
"Mungkin tidak sepenuhnya. Dia mungkin hanya melihatku sebagai gadis yang masih depresi karena kematian keluarganya yang tragis. Terutama setelah seisi
kota itu membuatku terlihat seperti itu," ujarku datar.
"Apa maksudmu?"
Aku menggeleng pelan. "Kurasa kau sudah dengar ceritanya dari David tentang tuduhanku pada kematian Hilda dan keterlibatan Sarah di dalamnya." Aku melihat
Bu Eli mengangguk. Aku tetap melanjutkan. "Mereka berkata bahwa akulah yang menjadi dalang dan pemimpin semua pembullyan dan pengasingan yang terjadi pada
Hilda dan keluarganya. Mereka berkata selama ini mereka berusaha menyembunyikan hal itu demi aku, agar aku tidak semakin terguncang, merasa bersalah dan
kembali gila," sambungku.
Suasana kembali hening beberapa saat. "Menurutmu mereka sengaja melakukan itu untuk menutupi apa pun yang dilakukan Sarah atas kematian Hilda?" tanya Bu
Eli. "Ya," kataku. Aku lalu menatap Bu Eli, mencari sorot mata ragu di kedua matanya. Tapi aku sama sekali tidak bisa membaca ekspresi wajahnya.
"Gadis ini-Hilda? Kukira kau dan dia tidak terlalu dekat. Kurasa kau pernah mengatakan hal itu padaku sebelumnya," ujarnya. Aku mengangguk, membenarkan
ucapannya. "Dia membuatmu agak berubah," sambungnya dengan nada tenang.
"Maksudmu?" Ia tersenyum kecil. "Mengapa aku merasa kau menganggapnya lebih dari teman biasa sekarang. Kau seperti memiliki hutang besar padanya dan tiba-tiba memiliki
keberanian yang sangat besar atas apa pun."
Aku tertegun mendengar apa yang baru saja keluar dari mulut Bu Eli. Beberapa lama suasana kembali hening dan tiba-tiba saja aku tidak bisa berkata apa-apa.
Bu Eli pun tidak melontarkan apa pun lagi, seolah ia membiarkanku untuk mencerna perkataannya terlebih dulu.
Aku akhirnya menoleh dan menatap ke arah jendela, mencoba meredakan emosi yang mulai muncul di dalam diriku. Rasa dingin itu kembali terasa, lebih pekat
daripada sebelumnya. Berkali-kali aku mencoba menarik napas, mencoba menghiraukan rasa dingin itu. Tapi aku tau rasa itu sudah terlanjur membuat pikiranku
kembali berkecamuk penuh dengan semua hal menakutkan itu.
"Aku sering memimpikan mereka," ujarku akhirnya. Aku menelan ludah. "Dan juga Hilda."
Bu Eli tidak bersuara, menungguku melanjutkan.
"Seringkali itu adalah mimpi buruk yang sering kuceritakan padamu, kebakaran dan teriakan itu." Aku menarik napas dengan perlahan, mencoba menekan kekalutan
itu dan usahaku sedikit berhasil. "Terkadang beberapa kenangan saat kami bersama dulu muncul. Dan kenangan itu bercampur dengan kenangan bersama teman-temanku
dulu saat ... menganggu Hilda," sambungku.
Suasana kembali diam beberapa saat. Bu Eli masih tidak bersuara.
"Kemarin malam, aku menginap di rumah keluargaku," ujarku lagi.
Terlihat keterjutan kecil di mata Bu Eli. Tapi ia tetap diam, membiarkanku melanjutkan.
"Aku kembali bermimpi tentang mereka. Aku sadar sebagian besar dari mimpi itu adalah kenanganku. Kenanganku dengan keluargaku saat kami pergi ke danau
di kota itu dan Hilda ..." Aku tiba-tiba berhenti, kembali merasakan ingatan percakapan itu kembali terpampang jelas di otakku.
"Kau memimpikan kenangan buruk tentang Hilda?" bantu Bu Eli.
Aku menggeleng pelan, lalu menatapnya dengan senyum lemah. "Aku bermimpi berbicara dengannya."
Bu Eli mengangguk pelan. "Apa yang kalian bicarakan?"
Aku menelan ludah. "Aku meminta maaf karena tidak pernah membantunya dulu, bersikap pengecut dan menutup mata atas apa pun yang terjadi padanya selama
24 tahun ia di sana." Aku terdiam sejenak. "Dan dia bilang dia memaafkanku. Dia bahkan memberiku saran untuk merelakan keluargaku, seolah selama ini kami
sudah berteman lama dan dia tahu betul betapa semua ini menyiksaku."
Aku melirik sekilas Bu Eli. "Aku tau semua ini mungkin memiliki penjelasan ilmiah atau apa pun itu. Tapi bagiku rasanya kedua mimpi yang bercampur menjadi
satu ini adalah sebuah pertanda dan pengingat. Pengingat bahwa dulu aku hanya terbuai dengan kebahagiaanku sendiri sampai tidak peduli lagi dengan sekitarku.
Aku dulu punya segalanya, keluarga yang sangat mencintaiku apa adanya. Dan itu sudah cukup membuatku memiliki tenaga untuk menutup mata dan telingaku setiap
kali Hilda dan keluarganya mengalami perlakuan tidak adil itu," jelasku. Aku tidak menyadari bahwa suaraku kini bergetar.
Suasana kembali hening dan beberapa saat hanya terdengar suara samar-samar dari arah taman. Aku kembali menatap jendela itu, membiarkan pandanganku dipenuhi
oleh pohon-pohon besar dan rerumputan hijau yang menyelimuti taman itu.
"Aku hanya tidak ingin menjadi pengecut lagi ..." ujarku tanpa sadar.
Suara kursi berderit terdengar. "Lauren," panggil Bu Eli.
Aku menoleh dan mendapati Bu Eli kini menatapku dalam-dalam.
"Apa yang kau rasakan ini, tentang Hilda dan keluarganya. Kurasa itu adalah hal yang baik," ujarnya.
Aku menatap Bu Eli beberapa saat, masih tidak berani untuk menarik kesimpulan dari perkataannya barusan.
"Terkadang manusia membutuhkan sebuah dorongan untuk menemukan perubahan yang tersimpan di dalam dirinya," ujarnya. Ia terdiam sesaat, mengamatiku. "Tapi,
terkadang dorongan itu belum tentu akan menghasilkan sesuatu yang baik. Tergantung pada Si Manusia itu sendiri," sambungnya.
Aku tetap diam, menunggunya melanjutkan penjelasannya.
"Jika dia terjatuh dan terluka, kemudian memilih untuk fokus pada sakit dari lukanya dan mempertanyakan ketidakadilan tentang alasan mengapa dia didorong,
berarti dia akan berdiri dengan dendam di dalam dirinya," jelasnya. Ia lalu tersenyum. "Tapi jika dia lebih memilih untuk fokus pada pelajaran untuk berhati-hati
atau menopang badannya dengan tangannya sendiri jika dia kembali didorong nanti, berarti dia akan berdiri dengan senyum kemenangan. Karena dia tau dia
tidak akan terjatuh lagi nanti," sambungnya.
Aku tertegun, mencerna perkataan Bu Eli.
"Dan kuharap kau memilih pilihan terakhir, Lauren."
Selama beberapa saat, aku hanya diam menatap kosong ke depan. Lalu kemudian kembali menatap Bu Eli.
Aku mengangguk kecil. "Ya. Aku memilih pilihan terakhir."
*** BAB 22. Satu Kebenaran "Ini pesanan anda, Nona."
Aku mengambil kopi itu. "Terima kasih."
Pelayan itu tersenyum sambil mengangguk ramah. Aku lalu berbalik, berjalan keluar dari kedai kopi ini. Begitu sampai di luar, aku langsung menyesap kopi
itu, membiarkannya mengalirkan rasa hangat di dalam tubuhku dengan perlahan. Titik-titik hujan kecil masih berjatuhan dari langit dan rasa dingin hujan
masih sangat berbekas, terutama saat malam seperti ini.
Aku berjalan, masih mengenakan baju kantorku-kemeja biru gelap dan rok coklat selutut. Beberapa toko di sekitar stasiun kereta kini semakin ramai, terutama
saat malam seperti ini. Hari ini aku memang lembur, seperti yang kuduga. Terlebih karena hari ini aku juga izin keluar menemui Bu Eli tadi siang dan baru
kembali ke kantor sekitar jam 3, sedikit terlambat dari jam yang kujanjikan.
Percakapanku dengan Bu Eli ternyata lebih lama dari yang diperkirakan. Aku sendiri tidak menyangka hal ini. Kurasa itu mungkin adalah percakapan terlama
antara aku dan Bu Eli selama berada di ruangan itu.
Pikiranku kembali dipenuhi oleh percakapan kami tadi. Kurasa tidak hanya aku, tapi juga Bu Eli, yang menyadari betapa berubahnya aku saat terakhir kali
aku berada di ruangan itu bersamanya. Semua hal, tentang keluargaku, paman dan bibiku, Hilda sampai David sekali pun.
Dan aku rasa Bu Eli juga menyadari tentang obsesiku yang sedikit aneh untuk mendapatkan kepercayaan David. Bu Eli tahu bahwa selama ini aku tidak pernah
peduli dengan pendapat orang lain di sekitarku, bahkan sampai sekarang.
Dan lagi-lagi, kenapa David berbeda?1
Aku sendiri tidak berani menanyakan jawabannya pada Bu Eli, entah kenapa.
Helaan napas keluar dari mulutku tanpa sadar. Aku kembali menyesap kopiku, mencoba kembali menenangkan pikiranku dari semua hal itu. Hari ini terasa sungguh
panjang. Dan badanku tidak terasa lelah, pikiranku yang tearasa lelah.
"Lauren?" panggil seseorang samar-samar dari belakangku.
Sejenak aku ragu untuk berbalik, tidak yakin apakah ada yang benar-benar memanggilku.
"Lauren?" Kali ini suara itu terdengar lebih keras. Dan badanku seketika langsung kaku begitu aku mengenali suara itu.
Aku langsung berbalik dengan cepat dan jantungku langsung berdebar penuh kelegaan menatap pemuda itu.
Tommy. Ia langsung tersenyum lebar, menatapku dengan sorot penuh kegembiraan. Dan aku berharap ia juga dapat melihat sorot itu dari mataku. Aku langsung berlari
dan memeluknya dengan erat. Tommy langsung terkekeh menyambut pelukanku.
"Apa kabar, Cantik?" tanyanya. Aku tersenyum mendengar suaranya yang selama ini selalu memberikan rasa nyaman yang menyenangkan.
Aku masih membenamkan wajahku pada bahunya yang bidang, membiarkan aroma khasnya memenuhi pikiranku lagi. Tangannya kini mulai membelai rambutku dengan
lembut. "Kuharap kau tidak melakukan hal seperti ini pada setiap mantan pacarmu. Setidaknya aku ingin menjadi mantan pacarmu yang istimewa," candanya.
Aku terkekeh pelan, lalu mulai melepaskan pelukanku. "Jangan khawatir, Tommy. Kau selalu istimewa bagiku," ujarku.
Ia ikut terkekeh. "Baguslah."
Aku mengamati wajahnya beberapa saat. Ia masih seperti Tommy yang terakhir kulihat sejak 4 tahun lalu. Ia masih Tommy yang memancarkan aura boyish, bebas
dan menawan. Hanya saja penampilannya kini terlihat sedikit lebih dewasa. Tidak ada lagi rambut berantakan sebahu yang selalu ia ikat, kemeja besar dengan
kaos dan jins robek. Ia kini terlihat rapi dengan setelan kemeja biru muda dan potongan rambut pendek.
"Aku tidak tau kau bekerja di ibukota," ujarku sambil mengerutkan alis, sedikit kesal. Sejak 2 tahun lalu, aku tidak mendapat kabar apa pun darinya. Yang
kutahu ia memutuskan pindah ke luar pulau dan bekerja di sana.
"Aku baru bekerja di sini beberapa hari," katanya sambil nyengir.
"Benarkah?" sahutku. Jadi selanjutnya ia akan tetap bekerja di sini. Aku tidak bisa menyembunyikan kelegaan bahwa ia kini satu kota denganku.
Tommy tersenyum dan mulai mengamatiku. Sekarang gilirannyalah yang sedang memandangiku dari atas hingga ujung kaki. "Kau terlihat berubah, Lauren," katanya
sambil tersenyum miring. Aku ikut tersenyum. "Kuharap itu pertanda baik."
"Ya. Memang sangat baik." Ia kemudian menarik lenganku, mengisyaratkanku untuk menepi dan memberi jalan pada pejalan kaki. Aku hampir lupa bahwa kami masih
berdiri di tepi jalan umum.
"Rumahmu dimana? Biar kutemani kau pulang," katanya.
"Kau yakin? Aku hanya perlu naik kereta dan turun di stasiun B12."
Ia tersenyum puas. "Kita searah, kalau begitu. Ayo," ujarnya sambil memeluk bahuku. Aku terkekeh dan mulai berjalan bersamanya. Rasanya seperti dulu saat
kami masih bersekolah dan pulang bersama.
Tapi begitu kami melewati sebuah restoran, ia langsung berbelok dan menuntunku masuk ke dalam restoran itu.
"Tommy-" "Temani aku makan. Lagipula karena aku akan mengantarmu pulang, tidak masalah jika aku memulangkanmu selarut mungkin. Kau akan aman bersamaku," potongnya
dengan wajah serius yang dipaksakan.
Aku tertawa pelan, menyadari ini adalah trik yang sama yang selalu ia lakukan padaku sejak dulu. Dan aku tahu aku tidak pernah bisa menolaknya-tidak ada
yang bisa. "Aku tidak percaya kau masih bisa melakukan trik ini padaku. Sudah berapa gadis ibukota yang kaudapatkan dari trik ini sejak aku?" candaku.
Ia langsung menatapku dengan wajah protes. "Aku hanya melakukan trik ini padamu."
Aku tergelak. "Oh, ya. Mengapa?"
"Karena aku tidak pernah berani mengajakmu secara langsung."
Aku menatapnya, mencari tanda-tanda bahwa ia sedang bercanda. Seorang Tommy tidak pernah takut untuk berbuat apa pun, terutama soal wanita. Tapi wajahnya
kini benar-benar terlihat serius. Aku lalu merangkul lengannya, menariknya ke dalam restoran.
"Ayo, kita makan saja. Aku juga lapar," ujarku sebiasa mungkin, berusaha untuk tidak terpengaruh dari ucapannya barusan.
Kami kemudian memasuki restoran. Restoran ini lumayan besar dan dihiasi dengan ornamen kayu dengan ukiran cantik. Hampir semua meja sudah penuh. Tapi kami
berhasil menemukan meja kosong yang berada tepat di sebelah jendela yang menghadap jalan tempat kami berjalan tadi.
Begitu kami sudah duduk berhadapan, kami langsung memanggil pelayan dan mulai memesan pesanan kami. Setelah Si Pelayan pergi, barulah aku menyadari bahwa
sejak tadi Tommy menatapku dengan sorot penasaran.
"Apa?" tanyaku.
"Apa kau sudah punya pacar?" tanyanya blak-blakan, tipikal Tommy yang sangat kukenal.
Aku tersenyum kecil, menyadari bahwa Tommy pasti menyadari sikapku yang tiba-tiba menghindarinya beberapa menit lalu. "Tidak, aku tidak punya."
"Ada seseorang yang kau sukai?" tanyanya lagi.
Aku menggeleng pelan. "Katakan padaku kalau kau hanya menanyakan hal ini untuk sebatas basa- basi teman lama yang sudah lama tidak bertemu satu sama lain,"
ujarku. Tommy menatapku beberapa saat, lalu menelengkan kepalanya sedikit. Kemudian beberapa detik kemudian ia akhirnya menghela napas kalah. "Alasanku ada dua.
Pertama, seperti yang kau katakan barusan. Kedua, karena aku sadar bahwa aku memang masih memiliki perasaan itu padamu sejak aku mengenalimu di luar tadi,"
jawabnya. Kami bertatapan dalam diam beberapa saat.
"Aku berniat menghubungimu sejak 4 tahun lalu. Tapi kau benar-benar menghilang dan aku sadar kalau kau memang ingin sendiri saat itu," katanya lagi.
Senyumku muncul. Kemudian aku mulai memajukan badanku, lalu melipat lenganku di meja. "Ingat, Tommy. Bukan aku yang memutuskan hubungan kita yang sudah
berjalan 6 tahun itu," ujarku.
Kami bertatapan beberapa saat. Kemudian Tommy akhirnya mendesah kalah. "Aku tau kau pasti akan mengatakan hal itu padaku."
Aku menatapnya sambil memangku wajahku dengan satu tangan, menunggunya melanjutkan.
"Aku benar-benar membuat kesalahan fatal saat itu, ya," gumamnya sambil meringis penuh sesal.
Aku tersenyum. "Kita berdua sama-sama melakukan kesalahan fatal."
Ia menatapku dengan senyum kalah. "Jadi hubungan kita hanya sampai teman masa kecil?"
Aku mengangguk. "Kau tidak membenciku?"
Aku tertawa pelan. "Tentu saja tidak, Tommy. Aku menyayangimu. Kau selalu menjadi bagian di hidupku selamanya. Hanya saja ... nantinya akan ada orang lain
yang menjadi bagian lebih besar di hidupku," ujarku.
Satu hal yang paling kusukai dari Tommy adalah hubungan kami yang jujur satu sama lain. Tidak ada rahasia di antara kami. Satu-satunya yang menimbulkan
pertengkaran di antara kami hanyalah keegoisan kami sendiri. Dan puncaknya adalah saat 4 tahun lalu.
Tapi rasa sayang itu masih ada sampai sekarang.
Sejak dulu, ia selalu menjadi pusat perhatianku. Dan ia selalu menjadi seseorang dengan selalu bersinar di antara siapa pun. Mungkin sejak dulu, aku sudah
menyimpan rasa itu pada Tommy. Tommy yang selalu berhasil menarikku keluar dan membuat sesuatu dalam diriku lebih lepas dan bebas. Bahkan sampai detik
ini pun, ia tetap berhasil melakukannya.
"Fair enough," katanya pada akhirnya.
Pesanan kami kemudian datang dan kami langsung mulai menyantap santapan masing-masing. Aku langsung menyadari beberapa kebiasaan aneh Tommy masih belum
berubah. Dan sekali lagi ada rasa kelegaan muncul dari dalam diriku saat menyadari hal ini.
"Apa?" sahutnya bingung.
Aku menggeleng. "Kebiasaanmu, membuatku merasa seperti saat kita kecil lagi."
Ia langsung menatap piringnya dan langsung tergelak saat sadar apa yang kumaksud. "Sepertinya aku tidak akan pernah suka bawang goreng sampai kapan pun
dan aku harus selalu ingat untuk meminta pelayan untuk tidak memasukkannya ke makananku," katanya sambil kembali menepikan serpihan-serpihan bawang goreng
di piringnya. Aku terkekeh. "Jujur aku justru tidak ingin kau mengubah kebiasaanmu ini."
Alisnya terangkat. "Kenapa?" tanyanya penasaran.
Aku mengangkat bahu, tiba-tiba muncul sedikit kesedihan di dalam diriku. "Aku hanya tidak ingin kau berubah, tetap menjadi Tommy yang kukenal."
Ia terdiam sesaat, kemudian mengangguk. "Kurasa semuanya akan lebih menyenangkan jika tidak ada yang berubah sejak kita kecil dulu di Angor."
Aku mengangguk diam. Tapi perkataan Tommy yang menyebut Kota Angor tiba-tiba saja membuatku kembali teringat pada Hilda. Beberapa saat aku sedikit ragu
untuk bertanya padanya. "Tommy," panggilku akhirnya.
Ia mendongak, menungguku melanjutkan.
Aku terdiam sesaat. "Kau tidak menghadiri pemakaman Hilda," ujarku. Sebenarnya sudah sejak lama aku benar-benar ingin menanyakan ini padanya.
Tommy diam, kemudian mulai menepikan piringnya. Ia kembali menatapku, kini ada senyum penyesalan muncul di wajahnya. "Tidak, hari itu aku harus mengurus
kepindahanku di sini."
Aku mengangguk paham. Aku mulai merasakan detak jantungku berdebar tidak nyaman. "Apa kau mendengar kabar yang terjadi di Angor akhir-akhir ini dari ayahmu?"
tanyaku hati-hati. Tommy menatapku dengan sorot datar beberapa saat. "Kau tau jawabanku, Lauren. Aku tidak lagi berbicara dengannya."
Aku terdiam, tiba-tiba saja sadar dan merasa yakin bahwa Tommy masih belum memperbaiki hubungannya dengan ayahnya sejak kuliah dulu.
"Bagaimana dengan teman-temanmu yang lain di sana?" cobaku lagi.
"Tidak terlalu banyak." Ia kini mengerutkan dahi. "Ada apa, Lauren? Apa yang ingin yang kau ketahui?"
Aku menatapnya diam beberapa saat. Lalu menghela napas. "Ini soal Hilda," ujarku. Aku menarik napas lagi. "Apa saja yang kau ketahui tentang kabar ini?"
Ia menggeleng. "Tidak banyak. Aku hanya mendengar bahwa Hilda bunuh diri ... dengan memotong nadinya. Hanya itu. Setelah itu aku tidak lagi menghubungi
teman-temanku di sana karena terlalu sibuk mengurus kepindahanku ke sini," jelasnya. Aku menyadari ada nada minta maaf tersirat di dalam suaranya saat
bercerita tentang Hilda. "Ada apa, Lauren? Kau bisa menceritakannya padaku," cobanya lagi.
Aku sadar bahwa ia mempercayaiku. Tapi setelah pembicaraanku dengan Nika, aku sadar ada sebagian kecil diriku yang masih takut bahwa tuduhan mengerikan
itu memang benar. Dan aku yakin jawaban Tommy menentukan semuanya.
Karena Tommy tidak akan pernah berbohong padaku.
Sejak dulu, sejak aku pertama kali berbicara dengannya saat aku berumur 6 tahun.
Aku menatapnya dalam-dalam, berusaha mengumpulkan keberanian itu di ujung mulutku. Kemudian barulah aku membuka mulut.
"Saat aku menghadiri pemakaman Hilda, aku menyadari beberapa hal yang aneh," ujarku.
Tommy mengangguk, mempersilahkanku melanjutkan cerita.
"Aku menyadari hampir semua orang di kota itu datang menghadiri pemakamannya, memberikan Ibu Hilda pelukan hangat dan ucapan belasungkawa. Semuanya, termasuk
Sarah." Aku menunduk, terdiam sejenak. "Dia merangkul Ibu Hilda sambil menangis, seolah ia juga terluka karena kematian Hilda."
Aku kembali menatap Tommy dan menyadari ia kini mulai terlihat tegang. Aku tetap melanjutkan ceritaku. "Lalu aku bertemu dengan penyidik yang menangani
kasus Hilda dan kecurigaanku semakin besar. Dia bilang semua orang di kota ini mengaku kalau Sarah dan Hilda sudah bersahabat dekat sejak kecil. Bersahabat,
bisa kau bayangkan itu?" aku mendengus lelah. "Semua orang di kota itu bersikap seolah-olah pengasingan dan pembullyan itu tidak pernah terjadi sebelumnya
pada Hilda dan keluarganya," sambungku akhirnya.
Suasana diam sejenak. Selama beberapa saat Tommy terdiam. Kemudian ia akhirnya menatapku. "Itu tidak mungkin," ujarnya.
Aku terdiam, merasakan jantungku berdetak keras. Ketakutan dengan cepat langsung merambat masuk ke dalam tubuhku.
Tapi kemudian ia kembali membuka mulutnya.
"Karena aku masih berada di sana 2 tahun lalu dan sikap Sarah atau semua orang sekota itu tidak berubah sama sekali. Sarah justru semakin membencinya,"
jawabnya. *** BAB 23. Satu Suara Aku menatapnya dengan penuh kelegaan, bercampur dengan rasa penyesalan sama yang terpancar di matanya. Rasanya ia adalah manusia pertama yang terlihat
nyata di hidupku selama beberapa hari terakhir ini-terutama sejak aku kembali ke kota itu dan menghadiri pemakaman Hilda.
Pikiranku kembali dipenuhi dengan perkataan Tommy yang lain tentang Sarah. Aku kembali menatapnya dengan serius.
"Kau bilang Sarah ... semakin membencinya?" ulangku hati-hati.
Tommy mengangguk. "Aku mungkin tidak terlalu dekat dengan Sarah-tapi aku hampir sering bertemu di kantor ayahnya selama 2 tahun terakhir itu. Dan beberapa
kali aku sering mendengarnya membicarakan Hilda."
Aku mengerutkan dahi. "Apa yang dia bicarakan?"
Tommy diam sejenak, berpikir keras. "Aku tidak terlalu ingat. Tapi yang pasti itu masih menyangkut dengan Dion," ujarnya.
Aku tertegun, langsung mengerti dengan apa yang dimaksud oleh Tommy. Dan sedikit tidak menyangka akan mendengar tentang hal ini lagi setelah bertahun-tahun
Silent Girl Karya Indah Thaher di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berlalu. Sejak kuliah dulu, ada gosip yang mengatakan bahwa Dion pernah terlihat bersama dengan Hilda. Kabar itu sangat heboh di kalangan kami, tentu saja. Dion,
satu-satunya pemuda yang sangat Sarah cintai, justru adalah pemuda yang digosipkan bersama Hilda.
"Sarah dan Dion membatalkan pertunangannya beberapa bulan lalu."
"Benarkah?" tanyaku tak percaya.
Tommy mengangguk. "Dion kini sudah pindah ke luar pulau, beberapa hari setelah pertunangan mereka batal."
"Apa Dion dan Hilda digosipkan bersama lagi?"
Tommy melipat lengannya, mencoba mengingat kembali. "Rumor itu memang kembali heboh begitu kabar pertunangan mereka batal." Tommy mengerutkan dahi. "Kurasa
aku pernah mendengar Sarah berkata bahwa ia ingin semuanya langsung melapor padanya jika mereka sedang memergoki Dion bersama Hilda lagi," sambungnya.
Aku terdiam beberapa saat, memikirkan informasi baru ini. Rasanya sangat wajar jika semua informasi ini mulai merangkaikan sebuah dugaan baru di kepalaku.
Dugaan bahwa alasan Sarah melakukan sesuatu dalam kematian Hilda adalah karena ketidaksukaan dan kecemburuannya pada Hilda dan Dion.
Tapi aku juga menyadari bahwa dugaan ini sedikit meragukan, bahkan bagiku sendiri.
Rasanya sampai sekarang pun, aku masih tidak mempercayai gosip kebersamaan Dion dan Hilda itu benar-benar terjadi.
Entah darimana gosip itu berasal. Karena tidak ada satu pun-termasuk aku sendiri-tidak pernah melihat Dion berbicara dengan Hilda. Dion memang pria yang
baik dan menawan, tapi sayangnya dulu ia tetap memihak pada orang Angor. Apalagi karena keluarganya juga adalah salah satu teman dekat pejabat kota. Tentu
saja ia pastinya akan memikir dua kali untuk tidak merusak nama baik keluarganya. Ia sedikit sama denganku, kami sama-sama memutuskan untuk menutup mata
dan larut dengan kebahagiaan kami sendiri.
Kini jika aku memikirkan hal itu, rasanya tidak aneh jika rumor itu sebenarnya memang berasal dari Sarah sendiri. Hanya untuk mendapatkan alasan untuk
membuat semua orang semakin membenci Hilda. Bagaimana pun juga, pasangan Sarah dan Dion adalah pasangan yang sangat dikagumi dan direstui sepenuhnya oleh
seisi kota ini. Mereka serasi dan seperti sudah ditakdirkan bersama, seperti pangeran dan putri.
"Apa kau pernah memergokinya melakukan sesuatu-setidaknya berbicara dengan Hilda?" tanyaku.
Tommy berpikir sejenak. "Kurasa tidak. Aku tidak pernah melihatnya berbicara akrab dengan siapa pun. Hilda tetap diperlakukan sebagai ... outcast, sama
seperti dulu," jawabnya pelan. Lagi-lagi ada penyesalan tersirat di dalam suaranya. "Tidak ada yang berubah," katanya lagi.
Aku menatap kosong ke arah jendela, memandangi pejalan kaki yang berlalu lalang melewati restoran ini. Pikiranku kembali berkecamuk, memikirkan semua hal
yang kami bicarakan hari ini. Rasanya banyak misteri yang masih belum benar-benar terbuka dengan jelas tentang Hilda. Dan aku sadar tidak banyak orang
yang bisa kumintai bantuan dalam hal ini.
Aku kembali menoleh pada Tommy, lalu menarik napas pelan. "Hari ini aku datang menemui psikiaterku lagi," ujarku akhirnya.
Tommy menatapku diam. Sama seperti Paman dan Bibiku, aku sadar ia sudah langsung bisa menebak penyebab yang mengirimkanku ke psikiater. Ia tidak bersuara,
menungguku melanjutkan. "Salah satu penyebab aku menemuinya memang karena itu." Aku tahu aku tidak perlu lagi menjelaskan siapa yang kumaksud pada Tommy. Aku kembali diam beberapa
saat. "Dan sepertinya itu sudah cukup memberikan alasan semua orang untuk tidak mempercayai dugaanku."
"Dugaan apa?" Aku menatap Tommy beberapa saat. "Aku curiga kalau Sarah terlibat dalam kematian Hilda."
Tommy terdiam, hanya menatapku dengan sorot kosong. Ia terlihat jelas sedang menahan diri untuk tidak berkata apa-apa sebelum aku menyelesaikan semua penjelasanku.
Aku menarik napas pelan. "Keanehan bahwa mereka menutup-nutupi semua tentang pengasingan itu sudah cukup membuatku curiga. Jadi aku mencoba menyeledikinya,
mencoba bertemu dengan semua orang yang kukenal dekat di kota itu dan mencoba mengorek alasan mengapa mereka menyembunyikan hal itu," ujarku. Aku menggeleng
pelan. "Tapi semuanya benar-benar bersikap hal itu tidak pernah terjadi, seolah hanya aku yang mengingat semuanya," sambungku.
Tommy kini mengerutkan dahi, menatapku dengan sorot dalam.
Aku menggeleng. "Aku sudah menemui mereka. Bu Emma, Pak Harris ..." Aku terdiam beberapa saat. "Bahkan Paman dan Bibiku sendiri," sambungku dengan pelan.
Suasana hening beberapa saat. Aku lalu menatap Tommy. "Lalu aku bertemu dengan Nika." Aku diam sejenak, merasakan emosi campur aduk itu datang menyelimutiku
kembali. "Nika bahkan berkata bahwa akulah dalang dan pemimpin dari semua pengasingan dan semua hal yang pernah kami lakukan pada Hilda," ujarku akhirnya.
"Apa?" sahut Tommy tak percaya.
"Dia bilang alasan semua orang menyembunyikan ini-terutama dariku adalah karena mereka tidak ingin membuatku kembali terbebani karena aku melupakan hal
ini dari ingatanku sendiri. Ingatan yang terhapus setelah kondisi mentalku yang hancur karena kematian keluargaku."
Tommy tidak berkata apa-apa beberapa saat. Ia kemudian menunduk, dahinya berkerut merenungkan apa yang baru saja kukatakan. Lalu ia akhirnya menggeleng
pelan. "Aku benar-benar tidak mengerti mengapa Nika sampai membuat kebohongan seperti itu."
Aku hanya diam. Tommy kembali mengamatiku. "Lauren,"
Aku mendongak menatapnya. Tommy kini menatapku dengan serius. "Aku tau kau tidak menyelidiki semua ini hanya untuk mencari alasan mereka menutupi pengasingan
itu. Dan kau bukan orang yang langsung membuat dugaan hanya dengan alasan ringan seperti ini." Ia memajukan badannya padaku, berusaha memperkecil jarak
kami. "Kurasa kau pasti punya cerita lain-sesuatu yang belum kau beritahu padaku, Lauren."
Aku menatapnya beberapa lama, menyadari bahwa aku belum menceritakan tentang kesaksianku pada percakapan Sarah dengan seorang pria di pemakaman itu. Aku
akhirnya mengangguk. Kerutan dahinya semakin dalam. "Ceritakan padaku dari awal, semua hal yang terjadi padamu selama kau di sana beberapa hari lalu," pintanya.
*** "Aku ingin bertemu denganmu," ujarku.
Tidak ada suara beberapa saat dari ujung sana. "Kau masih di ibukota?" tanyanya akhirnya.
"Ya." Aku terdiam sejenak. "Kau bisa menemuiku? Aku ingin kau bertemu dengan seseorang."
"Seseorang?"ulangnya dengan tenang.
"Ya. Teman lamaku." Seseorang yang akan membuatmu percaya bahwa semua perkataanku memang benar.
David kemudian menghela napas pelan. "Kebetulan aku memang sedang di ibukota. Akan kutemui kau sore ini," ujarnya.
"Oke. Sampai nanti kalau begitu." Kelegaan sedikit tersirat jelas di suaraku.
Aku memutuskan panggilan dan menaruh ponsel itu kembali di meja. Lalu menarik napas pelan, mencoba menenangkan detak jantungku kembali.
Kukira setelah aku keluar dari kota itu, aku akan kembali tenang dan menjalani hariku seperti biasa. Tapi keinginan itu kini terasa jauh. Bahkan saat aku
sudah berada di dalam apartemen kecilku-satu-satunya tempat yang biasanya membuatku merasa terlindungi dari apa pun yang menyiksaku di dunia luar sana.
Aku merebahkan badanku ke sofa, memejamkan mataku beberapa saat dan mencoba mencari ketenangan yang biasanya mudah kudapatkan dari tempat ini.
Tapi justru bayangan Hilda yang muncul di kepalaku.
Apa pun yang terjadi di Kota Angor beberapa hari kemarin, semua itu masih mengikutiku hingga ke sini. Semuanya, termasuk kemunculan Tommy yang tiba-tiba
datang kembali ke hidupku.
Ada rasa yang kini mendorongku dengan penuh untuk menyelesaikan semua yang tertinggal di kota itu sampai tuntas.
*** "Dia akan datang?"
Aku mengangguk. "0 menit lagi dia akan sampai."
Tommy mengangguk kecil, matanya menatap kosong ke lantai. "Aku benar-benar tidak menyangka mereka memperkerjakan orang yang benar-benar asing dalam kasus
ini," ujar Tommy kelam.
"Kurasa hal ini benar-benar tidak direncanakan dengan sengaja. Dia kebetulan hanya menggantikan temannya yang tiba-tiba kecelakaan," jelasku.
Tommy mengangguk paham. Ia kemudian menatap ke jendela dengan sorot diam. Aku menatapnya beberapa saat.
"Aku minta maaf harus memanggilmu lagi hari ini," ucapku dengan pelan.
Ia mendongak dan langsung mendengus geli. "Tentu saja aku akan datang, Lauren. Aku sudah bilang akan membantumu kapan pun."
Aku tersenyum, merasa berterima kasih. Sejak kemarin malam, setelah aku menceritakan semuanya pada Tommy, ia tidak henti-hentinya mengatakan betapa tidak
masuk akalnya sikap semua orang kota pada kematian Hilda-terutama sikap Sarah pada Hilda dan juga alasan yang diberikan Nika padaku tentang mengapa mereka
menyembunyikan pengasingan itu.
"Mereka baru menyadari kedatanganmu saat hari pemakaman Hilda. Jika yang dituduhkan Nika itu memang benar dan mereka bersikap seperti itu hanya untuk menyembunyikannya
darimu, seharusnya mereka tidak perlu berpura-pura di depan penyidik itu tepat sejak kedatangannya di kota itu-sehari sebelum kau datang. Lagipula apa
untungnya? Kau juga tidak mungkin menjadi tersangka, kau sudah menghilang dari kota itu 4 tahun terakhir ini. Nika benar-benar membual," jelas Tommy padaku
saat itu. Saat itu aku benar-benar tertegun, sama sekali tidak memikirkan pembelaan ini sebelumnya pada David. Tapi wajar saja, saat berbicara dengan David waktu
itu, pikiranku benar-benar kalut dan kacau. Jadi semua ucapan Tommy ini sama sekali tidak terbesit di pikiranku.
Dan saat itu, aku sadar ada sebagian diriku yang takut jika semua yang dituduhkan Nika padaku adalah benar. Takut bahwa penyakitkulah yang menyebabkanku
melupakan ingatan pembullyan itu, kemudian membayangkan percakapan Sarah di pemakaman, dan juga seseorang yang mengawasi Adit di hutan belakang taman bermain
hingga membuatnya ketakutan setengah mati. Aku pernah mengidap PTSD dan Schizophrenia, dan aku yakin aku sudah sembuh. Tapi tetap saja, masih ada keraguan
di dalam diriku bahwa mungkin saja penyakit itu kambuh lagi.
Kini, aku tahu aku mulai merasa yakin sepenuhnya dengan diriku sendiri. Bahwa apa yang kulihat dan rasakan memang benar dan nyata.
Suara pintu kemudian berderik membuka. Aku langsung mendongak dan merasakan kelegaan yang selalu muncul setiap kali melihat sosoknya. David masuk dan langsung
menatap ke sekeliling mencari keberadaanku. Begitu menemukanku, ia langsung bergegas berjalan menghampiriku tanpa ada perubahan ekspresi di wajahnya.
"David, ini Tommy. Temanku saat tinggal di Angor dulu," ujarku begitu ia sudah berdiri di depan meja kami.
Tommy berdiri dan mengulurkan tangannya pada David. David kemudian menerima jabatan tangan Tommy dengan tegas. "David," ujarnya dengan nada formal.
Tommy mengangguk ramah, kemudian mengisyaratkannya untuk duduk. Aku bergeser, membiarkan David duduk di sebelahku. Tatapannya tertuju padaku saat ia membungkuk
untuk duduk di sampingku, mengamatiku sepersekian detik sebelum akhirnya menoleh menatap Tommy kembali.
"Jadi kau juga pindah ke ibukota?" tanya David pada Tommy.
Tommy tersenyum. "Aku baru pindah ke sini beberapa hari. Tapi aku sudah pindah dari Angor sejak 2 tahun terakhir. Selama 2 tahun itu aku tinggal di luar
pulau." David mengangguk paham. Beberapa saat kemudian, ia menoleh padaku. "Jadi, apa yang ingin kau bicarakan padaku?"
Aku menatapnya beberapa saat. "Kurasa kau sudah tau alasanku memintamu datang hari ini." Aku melirik Tommy sekilas. "Aku bisa membuktikan padamu bahwa
ceritaku tentang pengasingan seisi kota dan hubungan Sarah dengan Hilda itu memang benar. Dan tidak ada yang berubah sama sekali," sambungku.
David menatapku sesaat kemudian tatapannya beralih pada Tommy.
"Aku berani bersaksi untuk ini," timpal Tommy. "Juga tuduhan Nika bahwa dalang semua itu adalah Lauren, bukan Sarah. Aku bisa menjelaskan bahwa semua itu
hanya omong kosong."
David diam beberapa saat.
"Aku juga sudah merasa kalau itu cuma omong kosong," kata David dengan tenang.
Aku langsung tertegun, menatapnya dengan bingung. Beberapa saat aku sama sekali tidak bisa berkata-kata.
"Kau ... percaya padaku?" tanyaku hati-hati.
David menghela napas. "Aku tidak pernah berkata kalau aku tidak percaya padamu, Lauren," katanya, seolah seharusnya dari awal aku sudah menyadari hal ini
sejak lama. Aku terdiam dan tidak bisa menahan helaan napas lega bahwa ia kini benar-benar akan mendengarkan kesaksianku dengan serius.
Tommy kemudian menatapku dan David bergantian dengan sorot penasaran.
"Dan kurasa kasus ini akan segera dibuka kembali," ujarnya.
Aku langsung membelalak. "Benarkah?"
David mengangguk. "Aku baru saja menerima laporan bahwa di malam Hilda bunuh diri, memang ada seorang pria yang berkeliaran dengan mencurigakan di sekitar
rumahnya. Ada kamera CCTV jalan yang tidak sengaja merengkamnya tidak jauh dari sana."
"Persis seperti yang kudengar dari pembicaraan Sarah di taman pemakaman waktu itu," gumamku dengan syok.
David melirikku dan Tommy bergantian, menyadari bahwa aku benar-benar sudah menceritakan semuanya pada Tommy.
"Kau punya fotonya? Mungkin kami bisa mengenalinya," kata Tommy.
"Belum. Kami ingin membuatnya lebih jelas terlebih dulu. Begitu selesai, aku akan menunjukkannya pada kalian."
Ia kemudian menatapku. "Dan kurasa kita harus melakukan otopsi pada mayat Hilda."
"Kau tidak melakukannya saat ... dia ditemukan waktu itu?"
David menggeleng. "Ibunya tidak menginginkan anaknya di otopsi. Ia sudah langsung menerima penyebab kematian Hilda."
Aku mengangguk diam, lalu kembali menatap David.
"Aku akan ikut denganmu," ujarku.
David terdiam. Lalu ia mengangguk, mengerti apa yang aku maksud.
Karena ia jelas-jelas tahu bahwa aku juga ingin bertemu dengan Ibu Hilda.
*** BAB 24. Trust to Open Aku langsung mengenali mobil sedan hitam itu begitu muncul dari ujung jalan. Begitu mobil sedan itu berhenti tepat di depanku, wajah David langsung muncul
di balik jendela mobil yang kini terbuka sepenuhnya. Aku membungkuk, kemudian memberikannya senyum kecil. Lalu mulai berjalan menghampiri mobil itu.
Begitu aku sudah masuk dan duduk di kursi penumpang, David kemudian bergerak mendekatiku. Sedetik kemudian ia terdiam.
"Kau hanya membawa tas kecil itu? Kau tidak membawa pakaian ganti atau apa pun?" tanyanya.
Aku mendongak, menyadari David berniat menaruh tas bawaanku ke kursi belakang. "Tidak. Aku hanya membawa seperlunya. Lagipula besok malam aku akan kembali
ke Ibukota." David mengangguk. Ia kemudian mulai menjalankan mobil, meninggalkan tempat ini.
Beberapa saat tidak ada yang berbicara. Hanya suara angin yang terdengar melewati mobil ini.
"Kau sudah mengatakan pada Paman dan Bibimu kalau kau datang hari ini?" tanyanya beberapa saat kemudian.
Aku menatapnya sekilas. "Ya. Sudah."
"Apa yang kau katakan pada mereka?"
Aku kini menatapnya dengan bingung. "Apa maksudmu?"
David mengangkat bahu. "Aku merasa Paman dan Bibimu tidak akan menerima dengan baik jika kau berkata bahwa kau tiba-tiba ingin berkunjung kembali ke Angor
selama akhir pekan hanya untuk bertemu dengan Ibu Hilda, langsung setelah kau mendarat di kota ini."
Aku mendengus pelan, menyadari apa yang ia maksud. "Kau benar. Aku bisa membayangkan hal itu dengan sangat jelas." Setelah kedatanganku ke sini seminggu
lalu, aku sudah yakin Paman dan Bibi menyadari sikapku yang menaruh perhatian besar pada kematian hilda dan juga hubungan Sarah dengannya. Tidak sulit
untuk menyadari bahwa Paman dan Bibi juga sudah mengetahui betapa semua orang di kota ini mulai merasa tidak nyaman dengan apa yang aku coba lakukan.
David melirikku sekilas. "Jadi apa yang kau katakan pada mereka?"
Aku terdiam beberapa saat. "Aku hanya berkata akan datang hari ini dan aku meminta mereka untuk tidak menungguku karena jam keberangkatanku masih belum
pasti. Aku berkata akan sampai sebelum tengah malam," jawabku akhirnya.
David mengangguk paham. Aku kembali mengamatinya. "Sejak kapan kau kembali ke sini?"
"Sejak dua hari lalu."
"Kau menginap di Hotel Nurwangsa lagi?"
Ia menggeleng. "Tidak." Ia melirikku sekilas, senyum kecil muncul di wajahnya. "Aku berusaha untuk tidak menarik perhatian sebanyak mungkin."
Aku terdiam. "Karena kasus ini?"
"Ya." "Kalau begitu, kurasa hal itu juga berlaku padaku."
"Tepat sekali."
Aku menatapnya beberapa saat. "Baiklah. Aku mengerti."
Aku menyadari sepenuhnya bahwa apa yang kulakukan sebelum ini tentu saja menarik perhatian orang-orang di kota ini. Saat itu, pikiranku hanya dipenuhi
oleh rasa frustasi dan penyesalan tanpa memedulikan bahwa aku mungkin saja membahayakan korban-korban dari kasus ini.
Dan Sarah pun tentu saja sudah mengetahui bahwa aku mulai menyelidikinya. Kurasa tinggal sebentar lagi sampai aku benar-benar didatangi oleh Sarah sendiri.
Aku menyadari bahwa aku tidak takut jika hal itu benar-benar terjadi. Yang kutakutkan justru adalah ia mulai menyadari bahwa aku memiliki kesaksian yang
lebih dari ia tahu, yaitu tentang percakapannya dengan pria besar bertato di pemakaman itu.
Tatapanku kembali tertuju pada David. "Jadi apakah sekarang kita benar-benar partner?" tanyaku.
Ia mendengus pelan. "Klien. Kau adalah klienku. Bukankah sejak awal kau sudah mempekerjakanku?"
Aku mengerutkan alis. "Jika aku klienmu, seharusnya kau langsung melakukan apa yang aku suruh dan mempercayaiku. Bukan malah menyelidiki latar belakangku."
Ia kini tersenyum, satu lagi ekspresi baru yang pertama kali aku lihat darinya. "Tapi aku memang melakukannya. Dan aku berusaha mempercayaimu tapi bukan
berarti aku tidak mempercayaimu, karena itulah aku menyelidiki latar belakangmu."
Aku menatapnya ragu, masih belum sepenuhnya puas dengan jawabannya.
"Jadi apa kau mempercayaiku sekarang?" tanyaku akhirnya.
Aku masih menatapnya, menunggunya memberikan jawaban. Tapi kemudian mobil berhenti. Aku langsung menoleh menatap jendela dan menyadari kami berada di sebuah
kedai kopi yang berada tidak jauh dari taman kota.
Aku menatap bingung pada David, menyadari bahwa kami belum sampai di rumah Hilda. Ia mulai mematikan mesin mobil dan melepas sabuk pengaman. "Aku ingin
membeli sarapan dulu. Ayo," ujarnya, menjawab ekspresi bingungku.
David kemudian membuka pintu mobil dan keluar. Aku bergegas mengikutinya dan keluar. Kami kemudian memasuki kedai tersebut dan memesan sandwich dan kopi
hangat lalu membawanya keluar begitu pesanan kami dibuat.
Kami bersandar di pinggir mobil sambil meneguk kopi masing-masing. Aku menatap kedai ini dan menyadari bahwa aku sama sekali tidak pernah mendatangi tempat
ini sebelumnya. Tapi beberapa dari pekerjanya terlihat cukup familiar bagiku. Aku sedikit takut jika keberadaan kami sedikit mencolok. Tapi ia sepertinya
tidak terlalu memperhatikan.
Sama seperti pinggir jalan tempat kami berdiri, semuanya masih terlihat sepi dan tidak banyak pejalan yang melewati kami untuk sempat menyadari keberadaan
kami. "Bersikaplah seperti biasa. Tidak ada informasi yang bisa mereka dapatkan sekali pun mereka mengenali kita sekarang."
Aku mengangguk, menyadari ucapannya memang benar. Aku kembali meneguk kopiku, merasakan ketenangan yang mulai sedikit demi sedikit muncul menyelimutiku.
Beberapa saat tidak ada yang bersuara.
"Paman dan bibimu tidak memiliki anak?" tanyanya kemudian padaku.
Aku meliriknya sekilas lalu menggeleng. "Tidak. Bibiku punya rahim yang lemah, jadi dia mudah keguguran," jawabku pelan.
David mengangguk paham. "Karena itu dia selalu menantikan keberadaanmu di sini dan menganggapmu seperti anaknya sendiri."
"Ya. Bisa dibilang begitu," gumamku. "Dan terkadang aku merasa bersalah saat mereka memperlakukanku seperti itu. Rasanya seperti mereka melihatku sebagai
sesuatu yang tidak akan pernah melakukan kesalahan sedikit pun," sambungku. Suaraku semakin mengecil.
Suasana kembali hening. Aku lalu menatap David dan menyadari bahwa aku kembali menceritakan isi pikiranku padanya tanpa sadar. Lagi-lagi aku tidak bisa
memikirkan mengapa aku selalu merasa nyaman untuk melakukan hal ini dengannya.
"Apa?" sahutnya, menyadari ekspresiku.
Aku meringis. "Kau mungkin sudah mengenalku lebih dari teman-teman dekatku sendiri," ujarku. "Aku tidak mengerti mengapa aku merasa nyaman untuk menceritakan
hal semacam ini padamu," sambungku tanpa sadar.
"Kau merasa nyaman denganku?" tanyanya.
Aku mengangguk, lagi-lagi menjawab pertanyaannya dengan mudah. Aku menatapnya dan menyadari sejak tadi ia sedang mengamatiku dengan sorot aneh. Beberapa
lama kami berdua hanya bertatapan dengan diam. Detik berikutnya, David melipat lengannya. Ia lalu memalingkan wajahnya dariku.
"Aku tidak pernah mendengar seseorang berkata mereka nyaman berada di dekatku," sahutnya akhirnya. Ada nada geli tersirat di suaranya.
"Tapi mengintimidasi?" tebakku.
Ia menatapku kembali, dengan sorot aneh itu. Tapi kini satu sudut bibirnya tertarik ke atas, seperti takjub dengan ucapanku.
"Kau tidak merasa terintimidasi padaku?" tanyanya.
Aku menatapnya sejenak. "Aku merasakannya. Hanya sedikit," jawabku akhirnya.
Lalu ia tertawa. Dan aku langsung terdiam, memandangi satu lagi ekspresi yang pertama kali kulihat dari wajahnya. Rasanya ia kini terlihat jauh berbeda dari yang biasa
kulihat. Tidak ada garis keras di dahi dan sorot tajam mata itu kini. Ia jelas-jelas tetap tampan-justru malah semakin tampan. Tapi ada sesuatu yang memancarkan
bahwa ia kini lebih mudah dijangkau daripada sebelumnya. Aura ketegasan yang selama ini ia pancarkan kini hilang, digantikan dengan aura sedikit kekanakan.
Dan tanpa kusadari aku ikut tertawa kecil bersamanya.
Begitu tawanya reda, ia kemudian mengacak rambutku pelan. "Ayo, saatnya kita bekerja sekarang," katanya. Ia kemudian mulai berjalan mengintari mobil dan
aku mengikutinya, masih dengan perasaan aneh yang sejak tadi mulai muncul dari dalam diriku dengan cepat.
Mobil kami mulai melaju meninggalkan kedai kopi tersebut. Beberapa menit kemudian, kami akhirnya sampai di depan sebuah rumah sederhana yang memiliki pagar
berwarna coklat tua. Aku memandangi rumah itu dengan seksama, selama beberapa menit hanya tertegun diam menatap tempat itu.
"Menurutmu Ibu Hilda ada di rumah sekarang?" tanyaku.
"Seharusnya, iya. Dia biasanya baru berangkat ke pabrik saat siang hari. Sehabis jam makan siang."
Aku mengangguk diam. "Ayo," ujar David.
Kami kemudian memarkirkan mobil sedikit jauh dari rumah Hilda. Aku menatap ke sekeliling sambil berjalan di belakang David. Jalan ini memang sedikit sepi
daripada lainnya dan hutan sudah langsung terlihat dekat dari sini. Hanya ada satu rumah yang berjarak 100 meter di depan rumah Hilda. Dan seingatku, bahkan
penghuni rumah itu sudah pindah beberapa tahun lalu.
Begitu kami sampai di depan pagar, perasaanku kembali berkecamuk. Hanya beberapa kali aku melewati rumah ini dan rasanya tidak ada berubah dari rumah itu.
Rumah itu masih bercatkan putih, dengan teras kecil yang kosong. Dan dinding di sebelah pagar itu terhubung, terdapat bagian cat yang memiliki warna yang
sedikit berbeda dengan yang lain, seperti sengaja di cat ulang untuk menutupi coretan yang samar-samar masih terlihat di sana.
Badanku langsung menegang begitu menyadari coretan itu. Coretan yang familiar.
Aku mengingat coretan itu dengan jelas sekarang.
"Ada apa?" tanya David.
Aku menyadari David kini berdiri di sampingku. Tanganku kemudian menunjuk bekas coretan yang kini tersamarkan itu dengan gerakan lemas.
"Tulisannya 'Terjual. Beserta pemiliknya'," ujarku lirih, merasakan kembali penyesalan itu muncul dengan cepat dan meremas jantungku dengan kencang. Aku
kemudian melirik sekilas David. "Kami yang menulisnya dulu," sambungku.
Beberapa saat kemudian tidak ada yang berbicara. Hingga akhirnya David mulai menepuk bahuku pelan. "Ayo, sebaiknya kita masuk sekarang," ujarnya.
Aku menarik napas panjang, kemudian mengangguk menurutinya. Kami berjalan melewati pagar. Hingga kemudian akhirnya kami sampai di teras rumah.
David kemudian mengetuk pintu tersebut beberapa kali. Namun tidak terdengar sedikit pun suara dari dalam. Rumah itu sunyi, seperti tidak berpenghuni. David
tetap mengetuk pintu tersebut.
Dan kemudian barulah suara langkah kaki terdengar. Beberapa detik kemudian suara kunci berderik terdengar dan pintu itu terbuka.
Wajah Ibu Hilda kemudian muncul dari balik pintu. Wajah itu terlihat was-was, sama sekali tidak mengharapkan siapa pun untuk datang ke rumahnya-siapa pun
itu. Begitu ia mengenali kami, wajahnya sedikit berubah lega. Tapi ketidaknyamanan itu tetap tampak jelas di wajahnya.
"Lauren, David?" Ia jelas-jelas tidak hanya bingung dengan kedatangan kami, tapi juga karena kebersamaan kami.
Aku tersenyum ramah. "Apa Ibu ada waktu? Kami ingin berbicara sebentar."
Ibu Hilda terlihat ragu sejenak. Ia kemudian menatap David.
"Ini tentang Hilda," kata David dengan tenang.
Dan seketika itu juga wajah Ibu Hilda berubah pucat dan lemas tanpa tenaga.
*** BAB 25. Permintaan Aku sudah bersiap untuk mendengar penolakan yang keluar dari Ibu Hilda, namun penolakan itu tidak muncul. Ia masih berdiri di depan kami, menatap kami
dengan sorot penuh keraguan. Tapi wajah pucat dan lemas itu tidak lagi muncul-atau lebih tepatnya dipaksakan pergi dari wajahnya, seolah ia sadar kalau
ekspresi itu tidak seharusnya muncul di hadapan kami. Tangannya mulai saling bertautan, meremas dengan gemetar yang samar-samar bisa kulihat.
Silent Girl Karya Indah Thaher di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pemandangan ini entah kenapa membuatku merasa bersalah dan secara bersamaan juga merasa ingin cepat-cepat membongkar misteri ini.
"Masuklah, kalau begitu," ujar Ibu Hilda akhirnya.
"Terima kasih, Bu," sahutku dengan penuh kelegaan.
Ibu Hilda kemudian mengangguk dengan senyum lemah, lalu membukakan pintu rumah berwarna coklat tua itu lebar-lebar. Aku berjalan memasuki rumah itu, David
mengikutiku dari belakang.
Rumah itu sama sederhana dengan penampilan luarnya, namun sangat nyaman. Ruang tamu itu cukup besar dengan sofa oranye pudar, kemudian di bagian belakang
terdapat dapur. Di sebelahnya terdapat dua pintu berjajar dan sebuah tangga kecil menuju lantai atas.
Ibu Hilda mempersilahkan kami duduk di sofa. Aku berjalan menuju sofa dan duduk di sofa yang menghadap ke arah dua pintu itu. David mengikuti, duduk di
sebelahku. "Kau ingin minum apa?" tanya Ibu Hilda.
Aku tersenyum ramah. "Air putih saja, Bu."
Ibu Hilda mengangguk, lalu menatap David.
"Aku juga," jawabnya.
Ia kembali mengangguk. "Tunggu sebentar, ya." Kemudian ia mulai berjalan menuju dapur.
Aku mulai menatap ke sekeliling ruangan ini dan menyadari hanya ada dua foto yang berjajar di dinding ruang tamu ini. Tatapanku langsung terpaku pada foto
yang berada paling kanan. Foto itu adalah foto Hilda bersama adiknya, Adit. Foto yang sepertinya diambil tidak lebih dari beberapa tahun belakangan ini-mungkin
saat tahun terakhir Hilda kuliah. Di foto itu, tangan Hilda sedang memeluk Adit dengan penuh sayang.
Aku tertegun melihat foto tersebut. Karena rasanya itu pertama kalinya aku melihat Hilda tersenyum.
Dan gadis itu memang cantik. Ada sesuatu dari senyumnya yang justru menimbulkan rasa untuk melindunginya. Ironi, aku tau. Tapi aku menyadari bahwa Hilda
selama ini menyembunyikan senyumnya dari dunia luar yang menyakitinya. Dan aku sadar ia mungkin jauh lebih kuat daripadaku.
"Foto-foto itu sebelumnya lebih banyak daripada sekarang," ujar David, menyadari arah tatapanku sejak tadi. "Sepertinya ibunya sengaja menurunkan foto-foto
itu setelah pemakaman itu," sambungnya.
Aku terdiam beberapa saat. "Itu pertama kalinya aku melihatnya tersenyum," ujarku pelan.
Suasana kemudian hening beberapa saat. "Setidaknya kau tau dia bisa tersenyum dengan orang-orang yang dicintainya," ujar David beberapa saat kemudian.
Aku mulai membuka mulut, namun kemudian sosok Ibu Hilda kemudian muncul dari dapur. Ia membawa nampan kecil yang berisikan dua gelas air putih. Lalu mulai
menaruh gelas itu di hadapan kami.
"Terima kasih, Bu."
Ia mengangguk sambil tersenyum, masih dengan senyum lemah yang sejak tadi muncul di wajahnya. Ia kemudian duduk di hadapan kami.
Suasana kembali hening. Aku sadar Ibu Hilda menunggu salah satu dari kami untuk langsung mengatakan sesuatu tentang tujuan utama kami datang ke sini. Wajahnya
was-was, namun juga terlihat ingin cepat-cepat menuntaskan pertemuan ini secepatnya.
"Apa Adit masih di sekolah?" tanyaku akhirnya.
Ia menatapku beberapa saat, kemudian ia mengangguk. "Ya. Seharusnya sebentar lagi ia akan pulang." Aku mendengar nada enggan di dalam suaranya, sedikit
takut bahwa kedatangan kami ke sini juga untuk menemui anaknya lagi. Dan aku rasa aku menyadari bahwa Ibu Hilda tentu saja sudah mengetahui kabar kalau
aku menemui anak lelakinya di sekolah beberapa hari lalu.
"Kami minta maaf karena kedatangan kami yang tiba-tiba," kata David.
Ibu Hilda tersenyum lemah. "Tidak apa-apa."
David kemudian menarik napas pelan. "Seperti yang aku katakan tadi, kami datang ke sini untuk membicarakan tentang masalah Hilda."
Matanya bergerak tidak tenang sesaat. "Kau bilang kasus ini sudah selesai," ujarnya lemah.
"Ya. Awalnya. Tapi beberapa hari ini ada informasi yang datang padaku, informasi yang sepertinya memunculkan kemungkinan-kemungkinan baru tentang penyebab
kematian Hilda," jawab David dengan tenang.
Kini aku bisa melihat jelas wajah Ibu Hilda kembali pucat, kedua matanya kini mulai berkaca-kaca penuh pilu. Beberapa saat kami menunggunya mengatakan
sesuatu, karena sejak tadi bibirnya bergetar membuka hendak mengatakan sesuatu. Ia menatap kami bergantian dengan sorot bingung bercampur was-was.
Ia kemudian menelan ludah, berusaha mengeluarkan suara dari mulutnya.
"Ap-apa maksud kalian?" tanyanya terbata-bata.
Aku menoleh pada David, mulai tidak tahan menatap wajah pilu itu. Rasanya ada sebagian diriku yang berharap kalau kemungkinan yang aku pikirkan tentang
kematian Hilda tidak benar-benar terjadi. Ini seperti memberitahu Hilda kembali mati untuk kedua kalinya.
David tetap menatap Ibu Hilda dengan tenang, wajahnya tidak berubah sama sekali. Jelas sekali hal ini bukan pertama kali sesuatu yang pernah ia lalui selama
ia bertugas sebagai penyidik.
"Dugaan ini kemungkinannya masih sangat tipis. Namun kami mencoba untuk memastikan kembali dan menggunakan informasi-informasi baru untuk mencari kepastian
dugaan ini." "Dugaan ... apa?" tanya Ibu Hilda. Suaranya kini mulai terdengar lirih.
David melirikku sekilas, kemudian kembali menatap Ibu Hilda. "Dugaan kalau Hilda kemugkinan dibunuh," ujarnya akhirnya.
Aku akhirnya memberanikan diri untuk kembali menatap Ibu Hilda. Dan aku langsung menyadari seketika itu juga wajahnya membeku, pucat seperti tidak bernyawa.
Beberapa saat kemudian barulah bibirnya mulai gemetar. Ia menatap kami dengan mata berkaca-kaca.
"Aku tidak mengerti ..." katanya sambil menggeleng lemah.
"Seperti yang kukatakan tadi. Ini masih dugaan awal. Karena itu, aku sangat berharap jika kau bisa membantu kami dan memberikan informasi yang mungkin
bisa kita gunakan untuk kasus ini."
"Aku ... sudah memberikan semua informasi tentang hari itu padamu," ujar Ibu Hilda.
David mengangguk, kemudian diam beberapa saat. Ia masih menatap Ibu Hilda dengan diam.
"Kami ingin melakukan otopsi pada Hilda," kata David akhirnya.
Suasana kemudian hening. Ibu Hilda kembali membeku, namun sorot matanya penuh dengan horor bercampur kesedihan dalam. Dan lagi-lagi aku menunduk, mengalihkan
pandanganku darinya. "Kau ingin membongkar kuburan anakku?" bisiknya. Kesedihan terasa jelas di suaranya.
"Otopsi akan sangat membantu kami untuk mendapatkan informasi penyebab kematiannya. Sesuatu yang mungkin saja kami lewatkan saat pertama kami menemukan
mayatnya hari itu," jelas David.
Ia kemudian menatap nanar bergantian pada kami, mulai terlihat tidak nyaman dengan percakapan ini. Ia menggeleng lemah. "Darimana asal semua dugaan ini?
Aku tidak mengerti-" Ia tiba-tiba berhenti, lalu menatapku beberapa saat. "Ini bukan karena masalah pengasingan dan semua tuduhan tentang Sarah, kan? Ya,
Tuhan-" Ia menutup mulutnya, menahan isakan yang keluar dari mulutnya. Air matanya kini mulai mengalir, matanya berkaca-kaca penuh kepedihan. Ia kemudian
menunduk, mencoba menahan air matanya yang terus keluar.
Aku mulai membuka mulut, berniat mengatakan sesuatu. Tapi kemudian David memegang lenganku, mengisyarakatku untuk tetap diam. Aku mengatupkan rahang, merasakan
rasa frustasi yang muncul dari dalam diriku.
"Ada beberapa informasi baru, dan salah satunya memang ada hubungannya dengan Sarah. Aku memang ingin menanyakan padamu-"
"Sarah tidak pernah melakukan apa pun pada Hilda," potong Ibu Hilda dengan nada bergetar.
Aku menatapnya dengan perasaan campur aduk, berusaha untuk tidak menambah tekanan padanya.
"Ada beberapa saksi yang sudah mengatakan kalau Sarah dan-" David melirikku sekilas. "Hilda tidak pernah memiliki hubungan yang baik satu sama lain."
Ibu Hilda menatap kami bergantian dengan sorot ketakutan, kemudian ia kembali menunduk sambil meremas tangannya.
"Ini hanya salah satu informasi yang mungkin dapat menuntun kita pada sesuatu. Ada beberapa informasi lain yang juga ingin kutanyakan padamu." David terdiam
sesaat. "Tapi mungkin nanti saja kita bicarakan," sambungnya.
Ibu Hilda masih menunduk, tidak berkata apa-apa selama beberapa saat. Aku bisa menyadari betapa kabar ini menyakitinya, dan aku juga tidak bisa menghiraukan
betapa tidak nyamannya ia saat nama Sarah disebut. Entah itu adalah hal baik atau hal buruk.
"Aku sangat mengharapkan izinmu untuk melakukan otopsi pada Hilda," kata David dengan nada tenang.
Ibu Hilda tetap diam. Kemudian ia mulai menggeleng pelan.
"Sarah dan keluarganya atau siapa pun di kota ini tidak penah melakukan apa pun pada kami," katanya dengan nada bergetar.
"Apa kau bertemu dengan Sarah setelah pemakaman Hilda?" tanya David.
Ibu Hilda masih diam, tidak menjawab.
"Apa mereka mengancammu untuk tidak berkata apa pun tentang ini?"
Ibu Hilda menegang, kemudian menatapnya dengan sorot memohon. "Kumohon, hentikan semua ini. Biarkan Hilda beristirahat dengan tenang. Kumohon ... jangan
menganggunya lagi," katanya dengan bibir gemetar.
Lagi ... Ia kemudian menatapku dengan sorot yang sama. "Biarkan Hilda tenang sekarang ..." ulangnya dengan lirih.
Aku menelan ludah, tidak punya nyali untuk menatap kepedihan di sorot matanya lebih lama.
"Baiklah." David yang bersuara. Ia menatapku dengan sorot aneh sekilas.
Ibu Hilda langsung mulai terlihat sedikit lega. Ia masih meremas tangannya dengan gerakan was-was.
"Sebaiknya kita pergi sekarang," ujar David lagi.
Aku menatapnya beberapa saat, kemudian akhirnya mengangguk. Mungkin David benar, sebaiknya kami membiarkan Ibu Hilda sendiri terlebih dulu.
Kami kemudian berdiri beranjak dari sofa.
"Aku minta maaf atas kedatangan kami ke sini," ujar David.
Ibu Hilda menggeleng lemah. "Tidak, tidak apa-apa."
Lalu tiba-tiba saja ada sesuatu yang membuat tatapanku tertuju pada pintu kamar di sebelah dapur itu. Selama beberapa saat tatapanku terpaku pada pintu
itu. Lalu akhirnya aku kembali menatap Ibu Hilda.
"Boleh aku meminjam kamar mandimu sebentar?" tanyaku dengan tenang.
Ibu Hilda kemudian mengangguk ramah. "Tentu. Kamar mandinya ada di dapur, tepat di depan pintu kamar berwarna biru itu."
Aku mengangguk, lalu menatap David. Ia menatapku dengan diam selama beberapa saat, seolah bisa membaca pikiranku saat ini.
"Kalau begitu aku tunggu di luar," ujarnya.
Ibu Hilda kemudian berjalan bersama David keluar rumah, sedangkan aku mulai berbalik berjalan keluar dari ruang tamu. Aku tetap berjalan ke arah pintu
berwarna biru itu dengan detak jantung yang mulai berpacu cepat, sangat aneh rasanya. Begitu sampai di depan pintu itu, aku berbalik dan memastikan keberadaan
Ibu Hilda. Aku melihatnya masih berbicara dengan David, membelakangiku.
Aku kembali berbalik, menatap pintu kamar itu. Lalu aku menarik napas pelan dan mulai membuka pintu kamar itu.
Pintu kamar yang entah mengapa sudah kuyakini sejak awal sebagai kamar Hilda.
*** BAB 26. Crowded Room Aku memasuki kamar itu dengan pelan, berusaha untuk tidak menimbulkan suara sedikit pun. Kemudian aku kembali menutup pintu kamar tersebut. Lalu aku membiarkan
pandanganku berputar mengelilingi kamar itu.
Rasanya tidak sukar menyimpulkan kalau kamar ini adalah milik Hilda. Kamar itu tidak terlalu besar, namun terasa nyaman. Dan sama seperti bibiku, Ibu Hilda
juga sepertinya tetap merawat kamar ini. Kamar ini terlihat bersih dan rapi, seolah Hilda tidak pernah pergi dari sini dan ia hanya sedang pergi keluar
rumah sementara waktu. Kamar itu bercatkan biru muda, senada dengan pintu kamarnya. Ada dua lemari buku tinggi yang berisikan banyak buku di sana, tepat di sebelah tempat tidurnya
yang berada di pojok ruangan. Tidak perlu diragukan lagi kalau Hilda memiliki kesenangan membaca buku.
Jendelanya ditutupi dengan tirai putih bercorak bunga. Meja kayu berada tepat di depannya. Beberapa buku masih tergeletak di atas meja dan juga perlengkapan
alat tulisnya. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya ingin kulakukan di kamar ini. Aku hanya mengikuti sesuatu di dalam diriku yang mendorongku untuk masuk. Dan sepertinya,
David juga mengerti itu. Saat aku menatap David tadi, tepat sebelum ia mengajak Ibu Hilda keluar, aku sudah menyadari bahwa ia sudah mengetahui niatku
yang sebenarnya. Aku mulai berjalan mendekati meja belajar itu dan beberapa saat tatapanku tertuju pada satu bingkai foto yang terpajang di ujung meja. Foto itu adalah
foto Hilda bersama ibunya, sedang tersenyum. Dan lagi-lagi aku tertegun melihat senyum itu di wajahnya.
Kemudian pandanganku teralihkan pada goresan aneh yang berada di rangka tempat tidur Hilda. Aku mulai mendekati tempat tidur, kemudian berjongkok untuk
mencoba melihat lebih jelas goresan itu. Goresan itu berada paling tepi rangka, hampir tertutupi oleh meja belajar itu.
Dahiku mengerut, masih mencoba mengenali bentuk goresan itu. Goresan itu berjumlah banyak, menyebar, berjejer tidak beraturan dan berliku-liku. Aku mulai
menyentuh goresan itu, merasakan beberapa dari goresan itu tidak terasa dalam.
Lalu jantungku kemudian berdesir kencang, begitu aku menyadari goresan itu terbuat dari apa.
Itu seperti bekas cakaran tangan.
Badanku seketika membeku, tidak bisa mencerna informasi ini selama beberapa saat. Aku kembali menyentuh goresan-goresan itu, mencoba merasakan bahwa apa
yang baru saja kulihat ini adalah nyata dan benar-benar ada. Serat-serat kayu tipis yang mencuat dari goresan itu bisa kurasakan dengan jelas. Aku kembali
tertegun, merasakan tanganku mulai gemetar.
David ... Apakah David juga menyadari hal ini? Bagaimana pun juga, ia pasti menyelidiki kamar ini selama beberapa saat ketika menemukan mayat Hilda?
Mungkin David memang menyadarinya dan melihat bekas goresan ini hanya sebagai bukti bahwa Hilda memang sedang depresi dan menyakar tempat tidur ini untuk
pelampiasan. Sesuatu yang biasa dilakukan orang saat ia tidak ingin meneriakkan kepedihan yang ada di dalam hatinya.
Aku sangat mengerti hal itu.
Tapi ada satu pikiran yang membuatku tetap memikirkan bahwa ada sesuatu yang lebih buruk dari goresan-goresan cakaran itu.
Dduum. Suara dentuman pelan itu cukup berhasil membuatku terlonjak kaget. Aku mengerutkan alis, menyadari asal suara itu berasal dari balik tempat tidur. Suara
itu terdengar seperti sesuatu yang terjatuh ke lantai.
Aku mulai menggeser meja belajar itu, membuat ruang agar aku bisa menjangkau tanganku ke balik kepala rangka tempat tidur. Aku mulai menggapai, mencari-cari
apa pun yang baru saja terjatuh di sana.
Lalu tanganku meraba sebuah buku.
Aku mulai menarik keluar buku itu dari pojok rangka tempat tidur itu. Begitu keluar, aku menyadari bahwa itu adalah sebuah buku catatan berwarna coklat
gelap yang sudah lusuh. Buku itu tidak tertutupi penuh dengan debu, yang artinya buku ini tidak terlalu lama berada di balik tempat tidur ini. Aku mulai membuka buku itu dan mendapati
buku itu hampir penuh dengan tulisan tangan yang kuduga adalah tulisan tangan milik Hilda.
Aku membaca halaman itu dan badanku langsung membeku sejenak.
15 Januari, 2008. Ibu berpesan padaku untuk segera menemui Pak Arto begitu aku sampai di kampus. Dia bilang Pak Arto akan membantuku untuk mengurus beasiswa itu. Dan untunglah
aku benar-benar menemukannya.
Rasanya menyenangkan untuk berbicara panjang dengan orang lain lagi. Aku tidak mengeluh. Aku sudah menduga bahwa mereka tidak akan memedulikan keberadaanku.
Ada sebagian diriku yang merasa lega dengan kenyataan ini.
Setidaknya mereka tidak akan menatapku dengan sorot jijik itu lagi ...
Aku menemukan jurnal milik Hilda.
Jantungku mulai berdebar tidak keruan menyadari hal ini. Aku berniat untuk terus membaca buku itu, tapi kemudian kuurungkan niat tersebut. Aku kembali
menutup buku itu dan mulai berjalan keluar dari kamar itu. Buku itu kuselipkan di belakang punggungku, lalu aku membuka pintu dan keluar dari kamar ini.
Dengan jantung masih bertalu liar, aku berusaha berjalan setenang mungkin sampai aku mencapai sofa. Aku menatap David dan Ibu Hilda yang masih berdiri
di depan teras, memunggungiku.
Cepat-cepat aku meraih tasku yang tergeletak di sofa ruang tamu. Kemudian aku memasukkan buku jurnal itu ke dalam. 2
Aku tidak tahu apa tujuan sebenarnya dari tindakanku yang mencuri jurnal ini dari kamar Hilda. Tapi sekali lagi, aku mengikuti instingku. Dan instingku
menyuruhku untuk menyimpan jurnal ini. Aku sangat yakin aku bisa menemukan sesuatu dari jurnal itu.
Aku mulai bangkit dan berjalan ke teras, menyusul David dan Ibu Hilda. Entah sudah berapa lama waktu berlalu selama aku berada di kamar Hilda. Dan kuharap
itu tidak menimbulkan kecurigaan dari Ibu Hilda padaku.
David kemudian menoleh, menyadari keberadaanku. Ibu Hilda kemudian ikut berbalik dan aku menyadari wajah sendu yang masih terpampang jelas di wajahnya.
Apa pun yang mereka bicarakan, sepertinya itu masih berhubungan dengan Hilda.
Aku berusaha tersenyum. "Kita pergi sekarang?"
David menatapku sesaat, kemudian akhirnya mengangguk. Ia lalu menatap Ibu Hilda. "Kalau begitu kami permisi dulu, Bu."
Ibu Hilda mengangguk, berusaha tersenyum pada kami.
*** Kami berkendara dengan diam, seolah kami sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing.
Tanganku yang berada di atas tasku, masih merasakan buku jurnal Hilda yang kutemukan beberapa menit lalu. Dan itu sudah cukup memenuhi pikiranku tentang
Hilda. Aku mengamati David dan menyadari adanya kerut di dahinya.
"Apa yang kau bicarakan dengan Ibu Hilda?" tanyaku akhirnya.
Ia tidak menoleh, masih menatap ke arah jalan. Tapi aku bisa menyadari bahwa ekspresinya kini sedikit lebih rileks.
"Aku menanyakan tentang pria yang berkeliaran di rumahnya di hari itu," ujarnya beberapa saat kemudian.
"Lalu?" "Dia bilang dia sama sekali tidak melihat siapa pun seharian itu," jawabnya. Ia mendengus pelan. "Walaupun dia terlihat sedikit tidak nyaman saat aku menanyakan
itu," sambungnya. Aku mengangguk paham, sangat mudah untuk membayangkan hal itu. Ibu Hilda sejak tadi memang sangat jelas menyembunyikan sesuatu dari kami?bahkan David.
Dan aku yakin David juga sangat menyadari hal ini.
Aku kembali menatap David. "Jadi apakah ini artinya kita tidak akan melakukan otopsi pada Hilda?"
David terdiam sesaat. "Aku akan memikirkan hal ini lagi nanti. Tapi untuk sementara, kita akan fokus pada petunjuk-petunjuk lain dulu."
Suasana kembali hening beberapa saat.
"Aku menemukan goresan-goresan aneh di rangka tempat tidur Hilda," ujarku akhirnya.
David sama sekali tidak terlihat terkejut. Baik dengan fakta bahwa aku menyelinap masuk ke kamar Hilda atau pun fakta tentang goresan aneh itu di sana.
"Itu terlihat seperti ... bekas cakaran tangan," sambungku, tiba-tiba merasa sulit mengatakan hal itu.
David tetap diam. "Apa dugaanmu?" tanyanya beberapa saat kemudian.
Aku menggigit bibir, merasakan jantungku kembali berdesir tidak nyaman.
"Aku tidak tahu ..." jawabku akhirnya. "Tapi kurasa itu bukan tindakan akibat depresi atau semacamnya," sambungku kelam. Pikiranku kembali dipenuhi oleh
jurnal itu. Instingku mengatakan kalau jurnal itu akan menjawab hal itu nantinya.
"Cakaran itu tidak terlihat baru saat aku menemukan mayatnya di hari dia bunuh diri. Cakaran itu sepertinya sudah terbuat jauh sebelum Hilda bunuh diri.
Jadi bisa disimpulkan kalau cakaran itu tidak terbentuk karena kepanikan Hilda saat seseorang mencoba menyakiti atau membunuhnya hari itu," jelas David.
Aku mengangguk, sudah menyadari kebenaran dari perkataan David barusan. "Aku tau. Aku juga menyadari itu ..." gumamku.
Tapi dugaanku masih kuat. Perasaan ini sungguh aneh, membuatku benar-benar terlihat seperti orang tidak waras yang hanya mengandalkan instingnya.
David kemudian menatapku sekilas, dengan sorot menilai. Kemudian ia kembali menatap ke depan dan kami kembali berkendara dengan diam.
Sampai akhirnya kami sampai di depan rumah paman dan bibiku. Saat mobil benar-benar berhenti, aku mulai menatap David lekat-lekat.
"David," panggilku akhirnya.
Aku menyadari bahwa aku belum memberitahunya tentang jurnal itu. Aku tahu jurnal itu akan membawa kami untuk menemukan petunjuk baru, bahkan sebelum aku
sempat membacanya. Dan ini merupakan sesuatu yang penting dalam kasus ini.
Tapi aku akhirnya mengurungkan niat itu, entah kenapa. Bukan karena tidak percaya dengannya. Tapi ada sesuatu yang menyuruhku untuk menunggu sementara
waktu sampai waktunya sudah tepat untukku memberitahunya tentang jurnal itu.
Ini seperti rahasia kecil antara aku dan Hilda.
Aneh rasanya. Kini sepertinya aku benar-benar merasa bahwa aku dan Hilda akan menjadi dekat dan memiliki sesuatu bersama-sama. Aku menatap David dan berusaha
tersenyum. "Kurasa aku akan menetap di sini lebih lama dari yang kurencanakan."
David menatapku dengan diam beberapa saat. Matanya bergerak-gerak mencari sesuatu di mataku. Kemudian ia melepas tangannya dari kemudi. "Kurasa aku sudah
menduga hal ini," katanya dengan tenang.
Aku mengangguk, kemudian mulai meraih tasku dan keluar dari mobil.
"Lauren," panggil David.
Aku berbalik dan mendapati wajah David yang kini terlihat datar. Aku menunggunya melanjutkan perkataannya.
"Seharusnya kau sudah tau kalau apa yang sedang kita lakukan sekarang akan melibatkan kita dalam sesuatu yang berbahaya," ujarnya.
Aku terdiam sesaat, meremas buku jurnal yang berada di dalam tasku tanpa sadar.
"Ya. Aku tau." *** BAB 27. Closer Aku berdiri diam, menatap Bu Diana yang masih membaca surat yang baru saja kuberikan padanya beberapa saat lalu. Matanya masih bergerak-gerak membaca dengan
raut tenang. Beberapa saat kemudian, barulah ia mengangkat kepalanya dan kami kini beradu pandang.
"Ini agak terlalu mendadak, Lauren. Kau juga merasa begitu, kan?" ujarnya dengan tenang.
Aku mengangguk. "Ya, aku sadar itu, Bu Diana. Dan aku minta maaf karena itu."
Bu Diana menghela napas pelan, kembali menatap surat itu. Beberapa lama tidak ada suara yang terdengar. Kemudian akhirnya Bu Diana menaruh surat itu kembali
ke meja. Ia mengamatiku beberapa saat. "Baiklah, aku mengizinkan."
Aku tersenyum kecil. "Terima kasih, Bu."
Ia mengangguk kecil, kemudian mengambil pulpen dan mulai menandatangani suratku. Begitu ia selesai menorehkan tanda tangannya, ia lalu menyodorkan surat
itu kembali padaku. Aku langsung meraih surat itu.
"Kau akan kemana selama cuti ini?" tanyanya.
Aku melirik Bu Diana sekilas. "Aku akan kembali ke kota asalku."
Bu Diana mengangguk. "Kukira itu yang terbaik. Kau bisa menggunakan kesempatan ini untuk berlibur dan beristirahat, setidaknya sampai hari liburan nasional
minggu depan." Aku hanya mengangguk, tapi tidak berkata apa-apa pada apa yang dikatakan Bu Diana barusan.
"Selama beberapa hari terakhir ini, kau memang benar-benar terlihat tidak sehat dan pikiranmu seperti sedikit ... teralihkan," ujar Bu Diana lagi.
Aku menunduk, tidak menyangka bahwa Bu Diana juga menyadari perubahan yang terjadi padaku beberapa minggu ini-terutama sejak kepulanganku dari Angor. Rasanya
sangat memalukan bahwa semua hal ini berhasil mempengaruhi hidupku begitu besar, bahkan pada hal-hal trivial di hidupku.
"Aku minta maaf, Bu." Hanya itu yang bisa kukatakan saat ini.
Bu Diana mengamatiku beberapa saat, menyadari kembali bahwa sampai sekarang pun keadaanku masih belum sepenuhnya berubah. Ia kemudian menghela napas pelan.
"Aku sangat berharap sekembalinya kau ke sini, setelah cuti ini, kau sudah kembali menjadi dirimu yang dulu."
Menjadi dirimu yang dulu ...
Aku tertegun, merasakan ada perasaan ragu yang besar di dalam diriku bahwa keinginan itu kemungkinan besar tidak akan terjadi.
"Ya, kuharap juga begitu, Bu."
Bu Diana mengangguk dan aku bisa menyadari bahwa ada sorot keraguan yang muncul di matanya, seolah ia juga tahu bahwa hal itu mungkin tidak akan terjadi.
*** "Kau juga sudah lama sekali tidak merayakan natal dan tahun baru di sini," ujar bibiku.
Aku menoleh dan memberikan senyum padanya. Begitu aku memberikan kabar tentang keputusanku untuk berlibur, mereka langsung menanggapinya dengan gembira.
Silent Girl Karya Indah Thaher di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Walaupun aku juga sadar ada keraguan dan sedikit was-was yang tersirat di mata mereka. Aku yakin mereka juga menyadari bahwa ada maksud lain dari kedatanganku
kembali ke kota ini. "Apa kau sudah makan siang?" tanya Paman, pandangannya masih tertuju ke depan jalan.
"Sebenarnya, aku bahkan belum sarapan," akuku sambil terkekeh pelan.
Bibi kembali mendongak ke belakang, menatapku dengan raut khawatir. "Kau belum makan sejak pagi?" tanyanya syok.
"Apa sebaiknya kita mampir dulu? Di sekitar sini banyak restoran enak," usul pamanku.
Aku tersenyum. "Kalau kalian tidak keberatan."
Bibi kemudian mengibaskan tangannya pelan, mengisyaratkan kalau aku tidak perlu meminta pendapat mereka tentang hal semacam ini.
Paman menunjuk ke depan, ke sebuah restoran dengan papan nama berwarna biru gelap. "Kita makan di sana saja," katanya.
Aku menyipitkan mata, mencoba membaca papan nama tersebut. Kemudian begitu mobil kami akhirnya mulai dekat, barulah aku bisa membacanya. Papan nama itu
bertuliskan 'Sali Nusi' dan itu adalah sebuah restoran seafood.
"Restoran ini selalu ramai." Paman mendengus. "Aku sendiri baru beberapa kali datang ke tempat ini," sambungnya.
Tempat itu dari luar memang tampak ramai. Ada beberapa mobil yang terparkir di pinggir jalan, sedangkan tempat parkir kecil yang disediakan restoran itu-yang
terletak di sebelahnya pun sudah penuh.
"Ayo, semoga saja tidak benar-benar penuh," ajak Paman sambil mulai mematikan mesin mobil.
Aku membuka pintu mobil dan turun. Pandanganku kembali ke restoran itu. Rasanya seingatku, aku memang belum pernah ke tempat ini.
"Restoran ini baru buka 2 tahun lalu," kata Bibi, seolah menjawab pertanyaan yang ada di pikiranku.
Aku mengangguk paham, kemudian mulai berjalan mengikuti Paman dan Bibi dari belakang. Begitu kami memasuki restoran itu, suara ramai pengunjung langsung
memenuhi pendengaranku. Tempat ini benar-benar penuh pengunjung. Tapi mataku tetap mulai mencari-cari tempat meja yang kosong.
Kemudian seorang pelayan wanita muda berjalan melewati kami, sedang sibuk membawa nampan berisi piring sisa.
"Permisi," kataku begitu ia berjalan tepat melewatiku.
Si Pelayan itu langsung mendongak dan selama beberapa detik aku menyadari ada sorot kaget muncul di matanya saat melihatku.
"Bisa tolong carikan kami meja kosong, untuk 3 orang," ujarku seramah mungkin.
Matanya bergerak ragu sesaat. "Eeh ... baiklah. Lewat sini," katanya dengan nada aneh.
Ia kemudian menaruh nampan itu ke rak yang berada di pojok ruangan, kemudian ia kembali melirikku sekilas dan berjalan melewati meja-meja yang sudah terisi
penuh dengan pengunjung. Paman dan Bibi kemudian mengikuti, dan tiba-tiba saja badan mereka kini menegang kaku saat berjalan. Mereka kemudian mulai menunduk,
jelas-jelas berusaha menghindari tatapan-tatapan itu.
Saat itulah aku baru menyadari bahwa hampir semua pengunjung restoran ini sedang menatap kami-bukan hanya aku, tapi juga Paman dan Bibi. Tatapan mereka
hampir sama. Sorot-sorot mata itu sangat dingin dan penuh dengan ketidaksukaan, seolah-olah keberadaan kami di sini sangatlah menganggu dan benar-benar
membuat siapa pun menjadi tidak nyaman.
Jantungku langsung berdetak keras, namun aku tetap berusaha untuk tetap terlihat tenang dan memasang wajah datar. Aku bahkan berusaha untuk berani membalas
tatapan mereka. Beberapa dari mereka langsung kembali menunduk, namun tidak banyak juga dari mereka yang justru semakin memperlihatkan ketidaksukaan mereka
pada keberadaanku di sini.
Tidak perlu waktu lama untuk menyimpulkan bahwa perlakuan yang kudapatkan ini tentu saja berhubungan dengan tindakanku yang masih sibuk menyelidiki penyebab
kematian Hilda yang sebenarnya. Dan juga keterlibatan keluarga Waksono dalam hal ini.
Aku sangat yakin kabar bahwa aku dan David yang mengunjungi Ibu Hilda beberapa hari lalu sudah tersebar luas di kota ini.
Si Pelayan itu mengantarkan kami pada satu meja kosong yang berada di pinggir jendela.
"Silahkan," katanya. Kini aku menyadari dengan jelas ada nada enggan di suaranya. Ia bahkan tidak lagi menatap kami dan langsung kabur meninggalkan kami
di sini sebelum aku sempat meminta menu padanya.
Paman dan Bibi kemudian duduk di hadapanku. Dan kini aku benar-benar menyadari perubahan raut wajah mereka. Mereka kini benar-benar terlihat tidak nyaman,
tegang dan nyaris ketakutan.
Aku sekali lagi menatap ke sekeliling dan menyadari beberapa pengunjung masih menatap kami dengan tidak suka. Lalu pandanganku kembali pada Paman dan Bibi.
Dan aku sadar bahwa aku baru saja membawa mereka dalam masalah ini bersamaku, membuat mereka ikut dalam bahaya yang mungkin akan muncul lebih cepat karena
apa yang sedang kulakukan saat ini. Perubahan sikap semua orang di kota ini sudah berubah padaku dan mereka mungkin sudah tidak lagi menerimaku di sini.
Dan sekarang Paman dan Bibi juga tidak lagi diterima.
Tidak. Masih belum terlambat.
Aku bisa mengeluarkan mereka dari bahaya dan konsekuensi yang kulakukan saat ini.
"Paman, Bibi," panggilku datar.
Paman dan Bibi mendongak menatapku. Aku menatap mereka dengan tenang.
"Aku akan tinggal di rumah keluargaku dan aku harap kalian tidak lagi mengusik rumah itu lagi. Itu milikku." Aku terdiam sejenak. "Jadi kurasa aku tidak
perlu bertemu dengan kalian lagi setelah ini," ujarku sedikit keras dengan wajah dingin.
Bibi menatapku dengan nanar, sama sekali tidak mengerti mengapa tiba-tiba aku melontarkan ucapan kasar seperti itu padanya. Paman menatapku dengan sorot
kaku, tapi ia tidak mengatakan apa-apa.
"Kami tidak pernah mencoba mengambil rumah itu darimu," kata Paman dengan kaku.
"Kalau begitu buktikan. Jangan usik lagi rumah itu. Itu milikku," balasku.
Bibi terkesiap pelan. Paman terdiam, hanya menatapku dengan sorot terluka. Aku kemudian memalingkan wajah dan mendapati keinginanku mulai terwujud. Aku
tidak lagi melihat tatapan itu tertuju pada Paman dan Bibiku, tapi kini semuanya benar-benar tertuju penuh padaku. Beberapa bahkan dengan jelas menatapku
dengan benci. Tapi anehnya, kini aku benar-benar tidak lagi merasakan ketakutan saat melihat semua tatapan itu. Mungkin karena aku tahu setidaknya mereka tidak akan
menggunakan paman atau bibiku lagi untuk mendapatku.
Aku benar-benar sendiri sekarang.
*** Suara berderik pintu mulai terdengar, diikuti suara langkah kakiku. Begitu aku sudah memasuki ruang tamu, aku berbalik dan mengunci pintu rapat-rapat.
Aku lalu menaruh koperku di pinggir sofa, kemudian menghempaskan badanku ke sofa.
Aku menghembuskan napas panjang, sambil mulai memijit dahiku dengan pelan.
Sampai detik ini aku masih belum sepenuhnya mengerti mengapa aku melakukan semua ini. Rasanya kehidupanku benar-benar langsung berubah drastis sejak detik
pertama aku mendapat kabar kematian Hilda dari Bibi beberapa minggu lalu.
Aku memutuskan datang kembali ke kota yang selama ini ingin kuhapus dari ingatanku, membiarkan kembali ingatanku pada keluargaku muncul kembali, mencoba
menyelidiki kematian Hilda dan membuktikan dugaan gila bahwa ada keterlibatan Sarah dalam hal ini, sampai akhirnya aku mengundang reaksi semua orang di
kota ini hingga hampir saja mengikutkan Paman dan Bibiku dalam bahaya.
Tapi anehnya, sampai sekarang aku masih yakin pada diriku sendiri bahwa aku akan menyelesaikan semuanya hingga tuntas. Keberanian itu kini justru semakin
besar, sangat besar hingga aku merasa bisa melakukan apa saja dengan bebas sekarang.
Dan fakta bahwa aku memutuskan untuk kembali menghabiskan waktu di rumah ini adalah suatu keanehan sekaligus keajaiban. Ada suatu perubahan di diriku,
ada sedikit keberanian bahwa mungkin aku mulai bisa menerima kematian keluargaku.
Bahkan ada sebagian diriku yang menunggu untuk kembali bermimpi tentang keluargaku lagi, hanya untuk melepas rindu dengan mereka.
Aneh rasanya, karena semua hal ini seperti berhubungan dengan mimpiku beberapa hari lalu di rumah ini. Percakapanku dengan Hilda, perkataannya yang mengajurkanku
untuk segera merelakan keluargaku.
Rasanya seperti Hilda yang memanggilku ke sini, seolah ia memintaku untuk membantunya.
Dan sebagai gantinya, ia juga akan berusaha membantuku merelakan kematian keluargaku.
Pandanganku kemudian tertuju pada tas hitam kecilku yang tergeletak di meja ruang tamu. Aku mulai menggapai dan mengeluarkan apa yang sejak tadi kupikirkan.
Buku jurnal berwarna coklat tua lusuh itu kemudian muncul.
Aku menatap buku jurnal itu beberapa saat.
Mungkin ini waktu yang tepat bagi Hilda untuk memberitahuku apa yang sebenarnya terjadi.
Lalu aku mulai membuka jurnal itu.
*** BAB 28. Tulisan Sepi 3 Juli 2005 Ini tulisan pertamaku. Rasanya sangat aneh melakukan ini. Tapi ibuku menyuruhku untuk menulis jurnal ini. Dia bilang ini akan menjadi kenangan dan cerita
hidupku nanti saat aku sudah memiliki anak.
Tapi aku sudah tau alasan sebenarnya mengapa Ibu memintaku menulis jurnal. Dia hanya ingin aku menuangkan semua perasaan yang terpendam di dalam diriku
selama ini. Aku memang sering bercerita pada ibuku, tapi aku yakin dia juga menyadari masih banyak hal yang ingin kupendam juga darinya.
Kami hanya saling menyayangi, karena itulah aku dan Ibu masih saling memendam perasaan yang sebenarnya. Kami tidak ingin menambah beban masing-masing.
Hari ini hari pertamaku masuk SMA. Sejak pagi tadi, Ibu sudah bersikeras untuk membiarkannya ikut mengantarku ke sekolah. Sangat sulit hingga akhirnya
aku berhasil meyakinkannya untuk tidak usah khawatir. Aku selalu berkata padanya bahwa aku baik-baik saja dan aku tidak takut pada mereka.
Tapi tentu saja aku berbohong.
Kukira perasaan takut ini akan berhenti begitu usiaku sudah beranjak 17 tahun. Tapi tetap saja-aku justru semakin membenci diriku karena membiarkan ketakutan
itu hidup di dalam diriku berlama-lama.
Aku masih berharap bahwa semua akan berubah begitu memasuki masa SMA. Dan aku tidak perlu lagi merasa ketakutan setiap kali aku menyadari keberadaan mereka.
Aku merasa sangat bodoh setiap kali harapan mustahil ini muncul di pikiranku.
Sepanjang hari, seperti biasa, aku berusaha untuk tidak terlihat oleh siapa pun. Untunglah hari ini semua siswa baru dipulangkan siang hari, hanya mengikuti
upacara penerimaan, mendengar pidato kepala sekolah dan acara penyambutan lainnya.
Saat istirahat, aku berusaha untuk menjaga jarak jauh dari kerumunan Sarah dan teman-temannya. Aku melihat bahwa sesekali Sarah memang melirikku. Dan dengan
sekejap saja badanku langsung gemetar ketakutan, menunggunya mendatangiku dan melontarkan kata apa saja dari mulutnya. Kata apa saja.
Begitu acara penyambutan itu selesai, aku benar-benar merasa lega dan tidak sabar untuk cepat-cepat pulang, kembali ke rumah dan menjauh dari Sarah dan
teman-temannya. Tapi mereka tentu saja tidak akan melepasku begitu saja, bahkan sehari pun.
Saat aku baru saja berjalan beberapa meter dari gerbang masuk, Sarah tiba-tiba menarik tasku dari belakang dengan cepat. Saat aku terjatuh dengan suara
keras dan menyakitkan, mereka semua langsung tertawa terbahak-bahak. Lalu seperti biasa, Sarah kemudian meneriakkan 'Tolol' dan 'Sampah tidak berguna'
di telingaku dengan sekencang-kencangnya.
Dan seperti biasa, aku memejamkan mata lalu merasakan sedikit demi sedikit mulai mempercayai bahwa panggilan itu memang sesuai denganku apa adanya.
Aku ingat saat itu lagi-lagi Sarah tersenyum. Dan aku sadar ia selalu melakukan itu setiap kali dia melihat wajah takutku muncul. Aku yakin dia sadar kalau
aku juga merasa perkataannya padaku memang benar.
Yang bisa kulakukan saat itu hanya menahan tangis.
Karena aku tau, Sarah justru akan menamparku jika aku menangis dan berteriak di telingaku tentang betapa munafiknya air mataku itu. Seperti yang dia lakukan
sewaktu SMP dulu padaku. Sejak saat itu, aku berusaha menahan air mataku di depannya.
20 Juli 2005 Ibu menyadari luka di siku kiriku. Dan lagi-lagi aku berbohong. Aku tidak akan pernah mengaku kalau luka itu diberikan oleh orang yang sama yang memberikanku
Adat Muda Menanggung 1 Pendekar Naga Putih 03 Algojo Gunung Sutra Dalam Mihrab Cinta 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama