Triangle Karya Jaisii Quwatul Bagian 1
?TRIANGLE By: Jaisii Quwatul bagian 1 "Nevaaaan!! Nevaaan!! Nevaaan!! Ayoo semangat sayaaaangg!!"
Senna beserta kawan-kawan meneriaki nama Nevan yang sedang bertanding
bola basket dengan kakak kelas, lebih tepatnya kelas 12 IPA 2. Gadis itu
berteriak saat melihat Nevan berhasil memasukan bola ke dalam ring dengan
mulus. Murid-murid yang menyaksikan ikut bersorak ria. Sama-sama
menyemangati tim idola, rela menjadi suporter yang heboh.
"Nevan go go goo!! Nevaaan ayooo!!" Senna kembali berteriak, semakin
membuat suasana geger. Mengundang beberapa pasang mata tertuju ke arahnya,
mendelik risi. Kuping mereka terasa sangat panas kala mendengar suara Senna
yang melebihi kor knalpot motor ecek-ecek.
"Emang dasar miss A, biasa aja kali!"
"Berisik amat!"
"Tu suara atau kaleng rombreng?" Cibiran demi cibiran keluar beruntun.
"Eh mereka ngomong apaan, sih?" Senna bertanya kepada kedua temannya,
sedikit bisik-bisik layaknya cewek-cewek yang suka ngegosip. "Nggak tau tuh
syirik aja!" Senna balas mendelikan mata. Perempuan itu mencoba tidak memedulikan
cewek-cewek rempong yang selalu mengejeknya. Yang selalu merecoki
kehidupannya. Ini hidupnya, ini haknya, jadi kenapa jadi mereka yang rusuh?
Suara tepukan tangan kembali menggema, diiringi dengan seruan yang
berbahana. "Nevan menaaanggg!! Bebeb gue menang!!!" pekik Senna girang. Sasta dan
Nova yang berada di sebelah Senna, ikut ketularan alay-nya Senna, mereka
bertepuk tangan gembira. Sorak sorai sekeliling lapangan pecah saat
pertandingan berakhir. Dan pemenang itu jatuh ke grup Nevan, kelas 11 IPA 2.
Dalam lapangan itu, Nevan berkumpul dengan regunya, bermandikan keringat
namun mereka tampak bahagia. Saling bertepuk tangan bangga. Terlihat jelas
tampang-tampangpesona pemain basket yang membuat hati para kaum hawa
meleleh. Senna segera berlari, mengambil handuk dan satu botol air putih ke
barisan belakang, menyelinapi murid-murid lain hingga menimbulkan kegusaran
mereka, Senna pun tidak peduli. Lalu ia berlari lagi masuk ke dalam area
lapangan. Cewek-cewek yang ada di sana menggelengkan kepala sambil
merajuk dan mendecak. Begitu sampai di tim basket Nevan, Senna berlekas mengusap kening pacarnya
yang basah, lalu wajah dan lehernya dengan sangat apik. Sementara temanteman Nevan memandang iri sekaligus ngeri ke arah Nevan. Dia ada yang
ngelapin keringat, sementara mereka?
"Kamu hebat banget sayaang," puji Senna. Pujian yang acap kali dilontarkan,
dan membuat bosan di telinga teman-teman Nevan. Mereka menilai kalau pacar
dari capten tim basketnya ini lebay. Rempong, pula.
"Berkat kamu yang selalu nyemangatin," balas Nevan lalu mengambil sebotol
minuman yang berada di tangan Senna. "Kamu pasti capek dan haus ya."
Nevan tersenyum bangga kepada teman-temannya, merasa sudah seperti seorang
raja yang sedang diladeni oleh dayang paling cantik di khayangan. Mengingat
kalau semua teman dekatnya itu jomblo. Yang satu, selalu gagal nembak cewek.
Yang kedua, kalau mau PDKT suka gemeteran kayak orang yang lagi kesetrum
listrik, bikin cewek yang dideketin keburu kabur gara-gara takut. Dan yang
ketiga, dia terlalu jaim. Kalau ada cewek yang godain suka so cool gitu, deh.
"Emang dasar orang ganteng ya, keringetnya aja wangi," Senna berkata
hiperbola saat menghirup handuk kecil bekas lap keringat Nevan.
"Anjir!" celetuk Ari, teman sekelas Nevan. Yang lain ikut tercengang mendengar
perkataan Senna yang garing. Apalagi cewek itu sambil mengendus handuk di
tangannya. "Gileee keringat Nevan disamain sama parfum emak gue yang rasa
apel itu." "Emak gue rasa strawberry."
"Emak gue rasa nanas."
"Ya elaah emang sirop ada rasa-rasanya."
"Kan Le mineral, kayak ada manis-manisnya gitu."
"Kebanyakan nonton iklan lu, tong!"
"Emak gue bukan rasa buah, tapi rasa ayu ting-ting."
"Kenapa?" tanya Senna berkacak pinggang ke arah teman-teman Nevan.
Seketika celotehan tak bermutu mereka terinterupsi di titik itu juga, lantas samasama mengedip-ngedipkan mata melihat reaksi Senna yang sudah seperti ibu-ibu
yang marah ketika anaknya diganggu dan dibully. Nevan tertawa. "Kalian sirik,
ya. Karna gak punya wajah seganteng Nevan?"
"Eh nggak kok, Sen. Kita kan tadi abis curhat tentang parfum yang suka dipakai
emak-emak kita," elak Ari yang setengah bener setengah salah.
"Aaa ngaku aja!"
"Siapa yang sirik, orang gue aja udah ganteng mirip Goong apalaah itu yang
main film zombie itu," kata Ari ngaco.
"Ehh goong apaan, orang Gong Yo jugak!" ralat Senna tak terima.
"Iya tuh orang wajah gue udah mirip Gong Yo masa iya syirik sama wajah
Nevan yang di bawah rata-rata?"
"Apa lo bilang?" hardik Nevan tersinggung.
"Eh elo tersungging, maaf ya."
"Tersinggung kelleeess," Senna kembali merevisi.
"Ya pokoknya si Gong Yo itu kembaran gue, lah. Titik gak pakek koma! Segede
jeblug!" kukuh Ari mengomel. "Bukannya lo mirip zombie-nya, Ri. Yang kalau
pintunya ketutup terus nerobos aja." Wildan menyentil kepala Ari.
"Goong Yo kembaran gueee."
"Eeh itu si Kim Shin pacar gue kali! Jangan sama-samain dia sama lo apalagi
ngaku-ngaku jadi kembarannya," perkataan itu terlontar begitu saja dari mulut
Senna, tanpa menyadari bahwa di sebelahnya ada lelaki yang statusnya adalah
pacar dia. Nevan menutup botol yang barusan diminumnya tanpa peduli dengan
ucapan Senna barusan. "Pacar? Terus yang di sebelah lo siapa?" Teman-teman Nevan cekikikan,
rasanya ingin tertawa terpingkal-pingkal.
Senna tergemap. Tangannya menerima botol minuman yang disodorkan Nevan
dengan gerakan kaku. Lagi. Lagi dan lagi dia selalu menganggap aktor-aktor
Korea itu pacarnya, di dekat Nevan pula. Gadis itu menggerutu dalam hati
selama beberapa detik. Ari tertawa terbahak-bahak. Kali ini pancingannya berhasil lagi. Kedua tangan
Senna terkepal gereget melihat Ari yang malah semakin menjadi-jadi. Tapi dia
mencoba bersabar dan meredakan emosi. Sekarang bukan waktunya berantem
dengan si kunyuk satu itu.
"Ehh sayang udah ya minumnya," Senna berusaha mengusir kegugupannya.
Nevan memang selalu diam, tapi diamnya membuat Senna takut. Mungkin saja
sekarang hatinya sedang berapi-api.
"Udah yuk sayang, pacarannya jangan di sini, nanti pada ngeganggu lagi."
"Siapa yang ganggu?" Ari menjadi berang gara-gara diangggap kambing conge.
Senna malah menjulurkan lidah sambil memutar kedua bola matanya. Lalu dia
mengamit tangan Nevan, membawanya keluar lapangan. "Gue duluan ya, bro!
Nanti kita kumpul lagi di kelas," Nevan berpamitan kepada teman-temannya.
"Siiip!!" Nevan dan Senna berjalan meninggalkan lapangan, tangan Senna memang
seperti lem trakol yang selalu ingin nempel di lengan Nevan, tak mau lepas.
Perempuan itu juga tak henti-hentinya meminta maaf gara-gara ucapannya tadi.
"Woy, Sen! Terus kita gimanaaa? Lo selalu aja ninggalin kita kalau ada Nevan
Ganteng," bibir Nova cemberut Begitu pun dengan Sasta yang juga ikut
terabaikan. Tapi cemberutan Nova perlahan pudar tanpa sisa ketika mendapat
tatapan maut dari mata Nevan.
"Berhenti deh bilang Nevan Ganteng! Gue cemburuuuuu," tegur Senna gemas.
"Ih kan gue fans-nya. Soalnya mirip banget sama idola gue yang dagunya
kebelah dua itu, Dimas Anggara. Sama kaya Nevan Ganteng," Nova berasumsi
sesuka hati, tanpa memedulikan ekspresi sangar di wajah Senna.
"Lah jangan sama-samain gue sama Dimas Anggara, lah. Nanti hidung gue
terbang lagi," ucap Nevan menggeleng. "Oke deh nanti malam kita makan
malem ya di restorang bintang lima," lanjut dia sekenanya.
"Ehh sayang kamu ngomong apaan, sih," kontan Senna menjewer kuping Nevan
yang kegatelan. "Sas, sas, hati gue meleleh, hati gue meleleh nih mau diajak dinner sama Dimas
Anggara," Nova memegang dadanya dramatis, seumpama orang yang baru saja
melihat berita pesawat jatuh. Dan dalam pesawat itu ada salah satu anggota
keluarga yang terancam nyawanya. Kakinya juga seolah gemetaran.
Nevan malah menyeringai puas. "Satu kosooooong." Lelaki itu lantas berjalan
meninggalkan Senna yang melotot. Dan Sasta sibuk menjadi topangan tubuh
Nova yang nyaris pingsan. "Duuh lo nggak nyadar bodi, Nov."
"Nevaaaan," teriak Senna menjangkau Nevan seraya berlari mengikutinya.
"Sas, gue gak mimpi kan mau diajak makan malem di restoran bintang lima
sama Dimas Anggara?"
"Itu anting baru, Sen?" tanya Nevan saat mereka sudah berada di kantin untuk
memesan makan dan minum. Tak sengaja lelaki itu melihat anting asing yang
dipakai pacarnya itu. "Iya. Kemarin dibeliin nyokap. Kamu hari ini mampir ya ke rumah. Soalnya
mama aku baru pulang."
"Oooh," lelaki itu manggut-manggut. "Insyaallah."
"Jangan insyaallah! Harus janji!"
"Kamu suka banget ya sama bentuk segitiga?" Nevan bertanya lagi sambil terus
memandang wajah Senna lekat.
"Iya, dong! Segitiga itu, bentuk yang paling sederhana dari semua bentuk. Satu
garisnya, bisa nyatuin kedua garis yang terpisah," jawabnya.
Kali ini di mata Nevan, Senna bukan perempuan alay yang sering digandrungi
para siswi maupun siswa. Dia juga memiliki sisi baik dan lembutnya. Nevan
beruntung, karena bisa melihat kelebihan Senna yang tidak bisa dilihat orangorang.
"Tapi aku benci banget sama yang namanya cinta segitiga. Karna salah satu dari
mereka, bisa misahin satu pasangan."
"Terus kalau dia dateng di antara kita?"
"Aku cakar-cakar wajahnya!"
Tak lama kemudian pesanan mereka datang. Dua buah mangkuk mie bakso dan
dua gelas teh dingin di simpan di atas meja. "Selamat menikmati Nenaaaa."
"Nenaa apaan, bi?"
"Nevan Senaaa," si bibi tersenyum geli.
"Bibi alay!" ucap Senna.
"Lebih alay kamu!" kata Nevan kepada Senna. Kedua bola mata Senna yang
besar membulat. "Udaah jangan berantem," bibi kantin itu kembali ke roda dagangannya.
Menyisakan Nevan dan Senna yang mulai menyantap makanannya. Senna
memasukkan sambal ke dalam mangkuknya berkali-kali.
"Jangan pedes-pedes, nanti sakit perut," komentar Nevan yang sedang menaduk
mie baksonya. "Biarin, ah!" "Selamat kak Nevan! Keren ih mainnya! Aku suka!" sahut salah satu siswi
murid kelas 10 yang melewati meja Nevan dan Senna. "Ya, thanks adik
kelaskuuu." Wajah Senna memberengut. "Iih kakak gombal!" gadis itu pun pergi dengan rona merah di wajahnya. Senna
mengatup rahang keras-keras. "Bisa gak sih kalau ada yang muji gak usah
diladenin?!" "Nggak bisa." Senna mencibirkan bibir, langsung melahap mie yang sudah dicampur sambal
pedas. "Gue aneh deh sama si Nevan. Cewek kaya Senna yang galak, alay, centil kayak
gitu dipacarin," rutuk Ari terheran-heran. Lantas memasukan kaus basketnya ke
dalam loker. Mereka baru saja berganti pakaian. Sekarang waktunya masuk ke
kelas untuk belajar, menghadapi para guru-guru galak.
"Love is bilnd! Cinta itu buta!" balas Wildan menepuk-nepuk bahu Ari kalem.
Menutup pintu loker. "Nah buta itu gak bisa liat apa-apa. Jadi tai pun bisa
dimakan," lanjut Satya.
"Ettt daah. Berarti Senna kaya tai dong, terus dimakan sama si Nevan," seloroh
Ari bergelora. Ari dan Senna memang sudah seperti kucing dan tikus, tak pernah akur. Ari yang
suka sekali mengomentari segala tindakan yang dilakukan Senna, Senna yang
senang sekali mengomentari wajah Ari yang pas-pasan, membuat keduanya tak
mau rukun. Saling mengejek dan mencemooh.
"Kalian semua lagi ngomongin apaan?" Nevan tiba-tiba datang dan
menghentikan obrolan Ari, Wildan dan Satya. "Ngomongin gue lagi yang aneh
karena pacaran sama Senna?"
Wildan dan Satya malah membuang pandangan mereka ke arah lain, pura-pura
tidak ikut campur. Lantas mereka berdua mengobrol seadanya, entah tentang
Taylor Swift yang mempunyai pita suara sampai membuatnya terkenal atas
suaranya yang bagus atau tentang kucing yang mempunyai dua mata dan satu
hidung. "Hehe nggak lah, Van Eh bohong, eh iya. Bohong, nggak, iya. Eh " Ari
mendadak gelagapan sambil cengengesan. "Ada aqua?" tanya Nevan. "Dan,
beliin Ari aqua ke bibi Titi, Dan, cepetan."
"Siap, Van!" Wildan memberikan hormatnya. Layaknya satpam yang patuh
kepada majikannya. "Ehh jangan aqua, mending teh pucuk aja yang dingin," tukas Ari.
"Tenggorokan gue kering, nih."
"Beli aja ndilli," ledek Nevan.
"Jadi jadi beli nggak, nih?" tanya Wildan bingung.
"Lo bego atau tolol, sih. Ya kali Nevan mau beliin si kutu kupret air," sambar
Satya yang otaknya lumayan normal.
"Pokoknya gue gak mau denger kalian ngejelek-jelekin hubungan gue sama
Senna. Kalau sekali lagi gue denger kaya gitu, bola basket siap melayang dan
masuk ke mulut lo," entah ancaman aneh apa yang dipaparkan Nevan barusan,
sampai membuat ketiga temannya tercenung.
"Gak usah bola basket dah, mending bolu kukus aja. Kan enak."
"Itu namanya bukan hukuman sayaang," Wildan mengelus rambut Ari sayang.
"Tapi lo-nya yang keenakan!" lanjut dia emosi.
"Aduuuh para pemuda-pemuda, rupanya masih diem ya di sini. Sudah ayo
masuk!" ujar pak Budi yang kerjanya berpatroli di luar kelas. Menyuruh para
murid yang masih berkeliaran untuk masuk ke kelas masing-masing.
"Eh saya belum ganti pakaian, pak," ucap Nevan.
"Ya sudah ganti dulu bajunya."
"Nevan katanya pingin digantiin sama bapak katanya," celetuk Ari yang
langsung kabur, berlari terbirit-birit meninggalkan Pak Budi dengan raut
bertanya-tanyanya. Satya dan Wildan juga ikut kabur, Nevan menggaruk
tengkuknya di hadapan Pak Budi.
"Bajunya mau dibukain sama saya?" tanya Pak Budi sejurus kemudiannya.
"Nggak usah deh, pak. Saya kan udah gede. Kalau bapak yang bukain, hadiah
buat istri saya nanti bisa-bisa diambil bapak, deh. Kan hanya untuk Senna
seorang." "Apa kamu bilang?" Nevan beruntung, otak Pak Budi memang lola, jadi sulit
mencerna ucapan Nevan barusan.
"Ya elaah. Aneh deh, padahal lola, masih aja maksain jadi guru," gumam Nevan
pelan. Kerutan di kening Pak Budi semakin berlipat-lipat, matanya memandang
wajah Nevan intens. "Nggak, pak. Saya gak ngomong apa-apa. Ya udah saya
mau ganti pakaian dulu," Nevan berlalu meninggalkan Pak Budi yang belum
menghilangkan kerutan di dahinya, berpikir tentang ucapan muridnya. Sudah
jelas-jelas tadi dia bicara, tapi kenapa dia juga bilang kalau dia nggak bicara apaapa? Samar-samar telinganya mendengar kalau Nevan baru saja mengejeknya.
bagian 2. Jantung Ari berdegup kencang, karena sekarang dia sedang berusaha menembak
adik kelas yang sudah diincarnya sejak jauh-jauh hari. Mereka berjalan menuju
kantin sambil terus cengengesan, kadang Ari menggaruk rambutnya yang tidak
gatal, tersenyum kaku kepada seorang gadis di sampingnya. Gadis itu ikut
tersenyum, walaupun ia sebenarnya sedang menahan tawa melihat tingkah Ari
yang lucu. "Kita mau kemana, kak?" tanya Tasya.
"Ke ke hatimu."
"Hehehe." Ari semakin salah tingkah. Akhirnya mereka tiba di kantin dan duduk di depan
warung bi Titi. Suasana kantin lumayan penuh. Murid-murid mulai menyerbu
para pedagang. Entah itu mie bakso, mie ayam, batagor kuah kering, siomay, dan
masih banyak lagi. "Bi kerayoooon," panggil Ari panjang di tengah ingar-bingar siswa-siswa.
Pedagan yang dipanggilnya masih sibuk melayani para pembeli. Dia menjaga
dua warung sekaligus, pertama jajanan makanan riang, kedua batagor. Tapi
Triangle Karya Jaisii Quwatul di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tangannya yang gesit dan cekatan, membuat pekerjaannya terlihat ringan. Suatu
hal yang sangat lumrah. "Kok kakak nyebut bi Titi bi kerayon?" Tasya bertanya sambil menyipitkan
mata. Baru kali ini dia mendengarkan panggilan aneh itu.
"Titi itu kan nama merek kerayon. Ya udah aku sebut kerayon. Ditambah lagi
jajanannya warna-warni," jelas Ari yang mulai mengeluarkan kata-kata tidak
masuk akalnya. "Tapi gak baik loh kak ganti-ganti nama orang," tanggap Tasya polos.
"Daripada aku panggil titit, ya udaaahh pang "
"Apa?" potong Tasya yang mampu menghentikan ucapan Ari. "Apa kakak
bilang?" Kontan Ari membekap mulutnya sendiri. "Dasar cabul! Kalau aku tau
kakak jorok kaya gitu, gak bakal aku nemenin kakak ke kantin!" Tasya
menghentkakkan kakinya lalu beranjak berdiri. Pada saat yang bersamaan bi Titi
datang untuk bertanya tentang apa yang mereka pesan.
"Gak jadi, bi," ucap Tasya sinis. Dia pun meleos pergi meninggalkan Ari yang
masih tertegun. Dia merutuki dirinya sendiri, seharusnya di depan adik kelas
yang lungguhnya seperti Tasya, ia tidak boleh main-main dan becanda. Harusnya
dia lebih berhati-hati dan sopan.
"Mau pesen apa lu, Ri?" tanya bi Titi.
"Kagak jadi!" "Euuh ganggu bibi aja lu!" Bi Titi berlalu kembali ke roda dagangannya.
"Ditolak cinta emang gak enak, ditolak cinta emang gak enak. Ditolak cinta
dukun bertindak. Hahahaha hihihihi huhuhu hehehehe hohohoho.," Wildan
dan Satya tertawa bercekakakan begitu datang menghampiri Ari yang merenung
intens. Keduanya duduk di sebelah Ari tanpa menghilangkan tawaan renyahnya,
nyaris membuat perut mereka sakit.
Senna yang baru saja tiba di kantin lantas mengampiri meja Ari, disusul dengan
kedua temannya yang selalu membuntuti Senna kemana pun pergi. "Hey hey
heyy" "Ngapain lu ke sini?" tanya Ari kepada Senna dengan wajah garang.
"Kenapa si lo sinis banget sama gue?" balik tanya Senna sebal.
"Maklum, Sen. Dia baru aja ditolak adik kelas incarannya," Wildan menyahut,
sisa tawanya masih ada di tenggorokannya. "A apa?" Senna
menggembungkan pipi, tawa super kencangnya akan segera keluar dan
menyembur di segala penjuru kantin. Dan detik selanjutnya, tawaan itu lepas,
"Hahahahahaha." Senna tertawa cekikikan, mengundang tawa Wildan dan
Satya yang tadinya sudah mereda, kini meletup kembali. Semakin membuat
suasana kantin ricuh. Nova dan Sasta ikut-ikutan ketawa walaupun menurut
mereka itu tidak ada lucu-lucunya.
Seluruh penghuni kantin memusatkan pandangan mereka ke arah asal suara.
Mereka berdeham sambil menggeleng, "Pantesan ada si Miss A."
"Tuh kan apa kata gue bilang, wajah lo tuh pas-pasan, jadi gak usah mimpi deh
punya cewek!" ledek Senna gamblang. Kalau bukan Ari yang jadi sasaran
kalimat pedasnya, mungkin orang itu sudah tersinggung. Tapi Ari, dia sudah
kebal dengan semua ejekan Senna.
"Wah parah tuh Ri kata-kata si Senna," ucap Wildan menepuk bahu Ari heboh.
"Eh kok gak ada Nevan, sih?" tanya Senna mengerutkan keningnya, menyadari
bahwa ternyata orang yang dicarinya tidak ada di sini.
"Si Nevan ke laut! Selingkuh sama mermaid!" jawab Ari ketus. "Apa lo
bilaaang? Whaaaatt?" Senna kembali mengeluarkan pekikakannya dengan mata
yang hampir keluar. Sasta dan Nova mencoba menenangkan Senna dengan
tepukan di punggunya, jangan sampai temannya itu membuat keributan lagi.
"Woy Miss A! Berisik napa!" protes yang lain. "Huuuu!!" hampir yang berada di
sana menyuraki Senna. "Kok Nevan selingkuh sama mermaid? Mending sama gue aja, kan Nevan udah
janji mau makan malem sama gue di restoran bintang lima," ucap Nova yang
berhasil menambah naiknya darah Senna sampai ke ubun-ubun.
"Aduh, Novnov! Jangan bikin Senna makin marah lagi doong," sambung Sasta
ketakutan. "Lo pikir pacar gue gak normal apa pacaran sama mermaid?!"
"Dia normal kali. Secara kan mermaid itu cantik, seksii, lembuut, suarnya
merduuu. Yang gak normal itu, kalau Nevan pacaran sama elo!" Wajah Senna
mengkerut, disertai dengan warna merah mendidih. Kini di benak Senna
tergambar sosok putri duyung yang berada dalam drama Legend of the Blue Sea
yang baru selesai Senna tonton kemarin malam. Iya, duyung itu sangat cantik,
seksi pula, sampai seorang Lee Min Ho pun ikut terpincut. Tubuh Senna
menciut. "Elo yang suaranya udah kaya kucing kejepit pintu, yang alaynya gak
ketulungan dan yang "
"Ariiiiiiii!!" teriak Senna lantang. Mereka saling menutup telinga, termasuk
Nova dan Sasta yang berjarak sangat dekat dengan Senna. Tapi kalau mereka
berdua protes seperti yang lain, sudah pasti Senna akan mendendangnya.
"Apa? Emang itu kenyataannya, kan?" tantang Ari mengacung-acungkan
dagunya. Senna meremas rok seragam abunya sambil menggigit bibir bawah
keras-keras. "Gue emang alay! Kenapa sih lo pada selalu mojokin dan selalu ngurusin
kehidupan gue? Iya suara gue berisik, gue selalu jadi pengganggu. Tapi kalian
semua gak tau apa yang terjadi sama hidup gue selama ini! Jadi berhenti nilai
orang dari cover-nya doang!" jelas Senna membeberkan semua amarah yang
selama ini terkungkung dalam hatinya. Supaya mereka bisa sedikit saja berhenti
memberi lirikan jijik dan tak suka. Ini baru peringatan pertama.
Senna mendecakkan lidah, "Ayo guys! Kita balik!" perintah Senna kepada kedua
temannya yang ikut merinding. Buru-buru mereka mengikuti Senna, keluar dari
area kantin sambil meringis.
"Waah parah lu. Lu berhasil bikin si Senna marah besar!" Wildan bertepuk
tangan, sementara Satya tertawa. Dan Ari? Dia tersenyum senang. Siapa suruh
Senna mengejekknya? Kena balesan juga, kan?
"Kalau ada Nevan, udah pasti lo kena amukan dia juga," kata Satya. "Karna lo
udah buat pacar kesayanganya marah."
"Ya abis tu cewek nyebelin banget! Orang gue belum nembak kok, tapi kalian
malah ribut seoalah-olah gue ini ditolak," Ari menjelaskan sesuai dengan
kenyataan. "Terus kenapa lo cemberut?"
"Tadi gue salah ngomong di depan si Tasya, makannya dia pergi sambil
ngambek!" "Ngomong apaan lo?"
Ari segera membisikan sesuatu di telinga Wildan, detik berikutnya Wildan
tercengang dengan mata membulat. Lalu Ari mulai memberi tahu Satya lewat
bisikan pula. Dan sama, Satya ikut tercengang, tak jauh beda dengan reaksi
Wildan. Mereka menelan air liurnya dengan susah payah.
"Iiiih gue sebel gue sebel sama si Ari! Ari kampret! Ari tukang ngompol!
Ueuuuuhhh," gerutu Senna begitu tiba di depan kelasnya. "Awas aja ya gue
aduin dia ke Nevan. Biar tau rasa! Euuuuhhh," perempuan itu semakin gregetan,
ia terus menekan kedua rentetan giginya jengkel. Kedua telapak tangannya
mengepal, Senna super-super dongkol.
"Lo tau dari mana kalau Ari tukang ngompol?" tanya Nova bingung.
"Gak usah nanyain pertanyaan yang gak penting!" jawab Senna sengit, Nova
bergidig ngeri sambil mengedip-ngedipkan mata. Senna yang terlanjur marah
langsung melangkahkan kakinya ke dalam kelas dengan mood buruk. Dia duduk
di kursinya sambil marah-marah. Beberapa murid yang sudah berada di kelas
memandang Senna penuh tanya.
"Sen, gue minjem casan dong, batre gue lowbet, nih. Gue lupa bawa,
ketinggalan di rumah," ucap Dio yang menghampiri meja Senna sambil
mengotak-atik ponselnya. "Woy! Lo kira gue konter apa? Minjem-minjem, beliiii!"
"Yaelaaah galak amat si, lo!"
"Gue emang galak! Kalau tau gue galak kenapa berani minjem barang ke gue?"
"Dasar cewek galak gilak!" rajuk Dio meleos pergi.
Senna kemudian mengambil ponsel dari dalam saku bajunya. Lantas membuka
aplikasi instagram untuk menghilangkan bosan. Siapa tau saja ada foto-foto lucu
dan meme-meme lucu. Akun-nya memiliki followers sebanyak 100K. Maklum,
Senna memang artis instagram, selalu eksis dalam deretan foto-fotonya. Like
dan komentar berbagai pujian juga selalu banyak. Banyak yang bilang, Senna
mirip dengan salah satu aktris terkenal di Indonesia.
"Whaaattttsssss???" mulut Senna terbuka dengan sangat lebar. Nova dan Sasta
segera menghampiri Senna yang masih membuka mulutnya. "Ada apa ada apa,
Sen?" tanya Sasta ribut.
"Gue difollback sama artis Michelle Ziudith!!!" rasa jemu Senna kini berkahir
ketika dia melihat sebuah kalimat ?@michelleziu started following you? dalam
instagram-nya. "Wahh gue mimpi apa nih difollback sama kembaran? Di
instagram kan banyak yang nyama-nyamain gue sama Michelle. Banyak yang
bilang gue mirip sama pemain London Love Story itu!" Senna heboh sendiri.
Murid-murid yang melihat Senna hanya menggeleng. Seperti biasa, Senna selalu
bertindak berlebihan. "Hehe, emang difollback itu diapain, Sen?" tanya Nova hati-hati, takut kalau
jawaban Senna sama seperti sebelumnya, yang akan membuat jantungnya copot
keluar. "Di ikutin bebek gitu?"
"Sasta, jelasin semuanya ke ni anak," Senna berusaha menahan kekesalannya.
Untung saja mood-nya sedang baik.
Nevan bersandar santai di permukaan tembok kelas 11 IPS 5. Cowok itu ternyata
sedang menunggu murid-murid kelas itu bubaran. Dia mengangkat tangan untuk
melihat arloji yang melingkar di pergelangannya. "Kok belum keluar juga, ya?"
Kadang Nevan bersiul-siul untuk membunuh waktu, setiap cewek yang lewat
pasti melemparkan senyum, terpesona akan karisma yang ditebarkan Nevan.
Nevan juga selalu membalas senyuman mereka, sampai mereka jadi malu-malu.
Biasanya kalau cowok cakep suka so cool, tapi Nevan berbeda, dia termasuk
cowok kece yang ramah. Pantas, dia menjadi idola sekolah. Tapi kekurangannya
hanya satu, kenapa dia malah berpacaran dengan cewek dibawah rata-rata seperti
Senna? Padahal masih banyak perempuan baik yang cocok untuknya.
Tak lama kemudian, terdengar suara pintu yang terbuka. Dari sana, beberapa
murid keluar berhamburan. Tak lupa, guru yang mengajar di jam terakhir pun
keluar bersama tas dan buku-bukunya. Nevan mulai mencari-cari Senna. Dan,
akhirnya perempuan itu keluar dengan kedua temannya.
"Aduh Nevan kemana sih dari tadi nggak hubungin gue!"
Tak sengaja Nova melirik ke samping, dan melihat Nevan yang masih berdiri di
tempatnya dengan tangan terlipat di bawah dada. Nova menganga lebar, hampir
saja dia berteriak kalau Nevan tidak segera memberi kode untuk diam. Cewek
itu menutup kembali mulutnya, dengan terpaksa dia mengangguk. Lalu matanya
dialihkan kepada Sasta, kali ini dia yang memberi kode kepada temannya. Sasta
yang mengerti mengangguk, keduanya mundur beberapa langkah, sementara
Senna mulai mencibir kesal.
Begitu berada di belakang Senna, Nevan menyuruh mereka supaya cepat pergi
dengan gerakan di mulut tanpa suara. "Cepet!" Mau tak mau Sasta dan Nova
berlari kecil meninggalkan Senna juga Nevan.
"Kalian kok diem aja, sih?!" rasa bosan mulai menyergapnya.
"Haaay Sennaaa," bisik Nevan di telinga Senna. "Ih apaan si lo, Nov," Senna
mendorong pipi Nevan yang dikiranya Nova. Tapi merasakan adanya perbedaan
tekstur kulit di tangannya, Senna menoleh ke samping. Ternyata dia lelaki, dia
lelaki. Senna langsung melepaskan tangannya dari pipi Nevan dan melotot.
"Nevan? Kamu?" Wajah Senna menjadi sumeringah. "Haay," Nevan
memberikan senyum manisnya seraya melambaikan tangan.
"Ih kamu dari mana aja, sih! Aku tu cariin kamu tauu!!" Senna kembali
memonyongkan bibirnya. "Emang penting apa aku jawab pertanyaan itu sekarang?" Nevan malah balik
bertanya. Senna mendengus kecil. "Yang penting sekarang aku ada di sini. Dan
aku sengaja nungguin kamu karena aku mau tepatin janji."
"Janji apa?" "Ketemu sama mama kamu," jawab Nevan seraya menyenggol lengan Senna,
agar cewek itu tidak cemberut lagi. "Serius?"
"Iya dong aku serius. Kapan aku bohong?" Nevan lalu menautkan jari-jemarinya
di jemari Senna, menggenggamnya. Senyum Senna mengembang saat
merasakan sentuhan tangan Nevan yang membuat tangannya hangat dan
nyamam. Pasti wangi, pula.
"Ayo berangkat."
"Aaaaaa makasih sayaaaang," Senna kegirangan lalu mencium pipi Nevan
gemas. Mereka pun mulai meninggalkan koridor, sambil terus bergandengan
mesra. Senna terus saja tersenyum-senyum di sepanjang perjalanan sampai
berada di parkiran motor. Nevan memberikan helm kepada Senna lantas
mengeluarkan motornya. Sekarang mereka berdua sudah berada di motor. Motor ninja putih milik Nevan
melaju membelah jalanan kota Jakarta di antara antara gedung-gedung yang
menjulang tinggi, di antara kendaraan yang berlalu-lalang. Di bawah cuaca
mendung yang mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Senna memeluk
pinggang Nevan erat, bersandar di punggung lelaki itu damai. Kebahagiaannya
hanya sederhana, bisa dibonceng oleh Nevan setiap hari, setiap berangkat dan
pulang sekolah. Namun Senna tidak bisa meminta itu semua, karena Nevan
selalu sibuk dengan teman-temannya yang selalu berlatih basket. Di belakang
Nevan, Senna berusaha keras untuk tidak berteriak, karena dia sekarang sedang
sangat-sangat bahagia. Ekspresi dramatis kini mendominasi wajahnya,
bermanja-manja ria dalam punggung tegap Nevan. Terdengar pula kilatan petir
dari atas langit, tangan Senna semakin rapat ketika kilatan itu menyambar,
karena suaranya yang keras membuat Senna terkejut. Hanya tubuh Nevan-lah
yang menjadi pelindungnya.
Tiba-tiba Nevan menepikan motornya di sisi jalan saat rintik-rintik hujan mulai
turun ke dasar bumi. Dengan rusuh mereka turun dari motor dan berlari tergesagesa menuju warung kecil yang berada di sisi jalan.
"Padahal rumah aku sebentar lagi nyampe, jadi gak usah berteduh, Van," suara
Senna bertabrakan dengan suara air hujan yang keras. Kali ini hujan turun
dengan sangat deras. "Tetep aja kita bakalan kehujanan," jawab Nevan yang mulai membuka resleting
ranselnya. "Kan cuma sebentar."
"Nanti kalau sakit gimana?" Nevan mengeluarkan jaket di dalam tasnya. Lalu
dipakaikannya di kedua bahu Senna, "Kalau sakit tetep aja mama kamu yang
repot. Mending tunggu aja sampai hujannya reda."
Aroma jaket milik Nevan masuk ke dalam rongga hidung Senna, berbaur dengan
aroma petrikor. Ide cemerlang muncul di benak Senna, matanya melirik Nevan
yang sedang memandang titik demi titik air hujan yang jatuh di depannya. Ini
tidak adil. Di situ Nevan kedinginan, sementara dia? Jaket berbahan kaos dengan
warna hijau keabu-abuan melingkar di bahunya. Senna tersenyum, diraihnya
tangan Nevan sampai membuat pria itu terbelalak. Senna membawanya ke luar
area perteduhan, dan turun ke bawah rintikan air hujan.
"Asiiikk hujan-hujanaan bareng kamuu!" seru Senna yang mulai bermain hujan.
Rambut dan wajahnya mulai basah, air-air itu menembus pori-pori kulitnya.
Senna tidak peduli bahwa aksinya mendapat respon dari para peteduh yang
berdiri di warung, mereka memerhatikan kedua anak remaja itu seolah
mengatakan bahwa mereka seperti anak kecil.
"Gak enak loh dilitin sama mereka," ucap Nevan mengusap wajahnya yang terus
menerus dijatuhi air hujan. "Gak papa, dong! Ini hidup kita, gak usah liat orang
lain. Terserah kita dong mau ngapain juga."
Senna mulai menari di bawah siraman air hujan, tak lupa juga ia tertawa
mengajak Nevan agar mau mengikuti gayanya. "Ini kayak yang di film korea itu
loh." "Bukan, kalau kaya gini itu kaya film india." Senna tertawa.
"Adduh!" Senna terjatuh ke atas tanah, alhasil seragamnya kotor. Tak ada juga
rasa sakit yang terasa, mungkin karena gadis itu terlalu senang. Hal paling
istimewa itu, saat kita bisa bermain hujan dengan lelaki yang sangat kita cintai.
Lebih tepatnya, pacar semasa remaja. "Makannya hati-hati." Nevan berjongkok
melihat tali sepatu Senna yang terbuka, dan pasti gara-gara itu Senna jatuh.
Segera ditalikannya tali sepatu Senna yang berwarna putih. Kini tubuh mereka
sangat basah, termasuk jaket milik Nevan.
"Gendong," pinta Senna mengangkat kedua tangannya begitu Nevan berdiri.
Berharap Nevan mau menggendongnya sampai rumah, mau meninggalkan
motornya di sini. "Gak mau wleee." Nevan menjulurkan lidah. Lelaki itu pun berlari menuju
motornya. Senna berteriak, "Nevaaaaa iih jahaaat."
Bagian 3. Hujan mulai mengecil, dan saat itu pula Senna dan Nevan tiba di rumah Senna.
Mereka sama-sama basah kuyup, di depan pintu keduanya masih saja terkikihkikih, mentertawakan kejadian tadi di mana mereka hujan-hujanan layaknya
anak SD. Senna membuka pintu, kebetulan pintu rumahnya tidak dikunci. Sementara
Triangle Karya Jaisii Quwatul di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nevan menunggu di luar sambil menggosok-gosokan kedua telapak tangannya
untuk menghilangkan rasa dingin.
"Mamaaa," panggil Senna begitu masuk ke dalam beranda rumah. Rumah itu
sangat elegan, dibangun dengan interior indah dan unik. Semuanya berwarna
putih dan hitam, tanpa ada campuran warna lain. Tapi percuma kalau rumahnya
sepi, tak ada kehangatan sama sekali. "Mamaaa Senna pulaang," panggil
perempuan itu untuk yang kedua kalinya. Namun hasilnya sama, tak ada suara
yang menyahut. Lagi dan lagi hanya kesenyapan yang menyambutnya ketika
pulang sekolah. Bi Iyah datang dengan tergopoh-gopoh menghampiri Senna yang mulai kesal.
"Maaf non bibi tadi lagi masak di dapur jadi gak kedengeran."
"Siapa yang manggil bibi? Aku barusan manggil mama bukan bibi! Udah sana
ah ke dapur lagi!" titah Senna sinis.
Bi Iyah terunduk, "Maaf anu non. Emmm. "
"Anu anu apa?" penggal Senna.
"Anu itu Emmm, nyonya-nya udah pergi ke luar negri lagi. Katanya " Bi
Iyah tau sekarang Senna akan marah besar ketika mengetahui hal ini. Wajahnya
pasti berubah suram. Bi Iyah mulai bersuara lagi. ".... katanya ada kerjaan
mendadak." Perempuan paruh baya itu mencoba mengangkat kepalanya, melihat
binaran bahagia di mata Senna yang perlahan memudar.
"Pergi kerja lagi?" lirih Senna pelan. Padahal baru kemarin dia pulang dan
sekarang dia pergi lagi? Untuk apa pulang kalau akhirnya kembali dengan waktu
yang begitu dekat? Selalu seperti ini, tak pernah berubah
Di luar Nevan terus menengok ke dalam lewat lawang pintu, otaknya terus
bertanya-tanya.Bingung karena Senna belum juga kembali dan menyuruhnya
untuk masuk, padahal Nevan sudah kedinginan setengah mati. Dia butuh
handuk. "Tolong bilangin ke mama supaya jangan pernah pulang lagi, bi! Sana saja kerja
sesuka hatinya! Jangan dateng ke sini dan nyapa aku apalagi kasih barangbarang mahal!" Senna membentak tanpa jeda dan membuat Bi Iyah ketakutan
sambil terus merunduk meremas-remas dasternya dengan kedua tangan. "Aku
bosen ditinggalin terus! Kalau mau pergi minimal mama hubungin aku lewat
telfon atau dateng ke sekolah. Ini malah main pergi dan selalu ngucapin
pesannya ke bibi. Dia anggap aku anak bukan, sih?!" Suara Senna yang tinggi
dan keras sampai terdengar di telinga Nevan, garis kernyit tercetak di keningnya.
Mengapa tiba-tiba Senna jadi ribut? Pikir Nevan bingung.
Senna melepaskan tas ranselnya lalu melemparnya ke atas sofa. "Kayaknya
mama lebih sayang sama kerjaannya ketimbang anaknya sendiri."
"Tapi itu kan buat kebaikan non sendiri," tanggap Bi Iyah mencoba
membenarkan pola pikir Senna.
"Bibi gak usah so tau!" sentak Senna lagi. "Udaaah sanaa ke dapur lagi! Mama
itu kapan ngertinya, sih. Aku butuh dia bukan bibi!"
Nevan yang memutuskan untuk masuk ke dalam kini menyaksikan Senna yang
sedang membentak-bentak pembantunya. Perempuan itu lantas menoleh dengan
raut kusut, dilihatnya Nevan yang sudah berdiri tak jauh darinya. Senna segera
mendekati Nevan, "Mama aku gak ada," katanya pelan. Ia harus bisa mengontrol
emosinya. Bi Iyah berlalu ke dapurnya dengan degupan jantung naik turun tak
teratur. "Gak seharusnya kamu bentak Bi Iyah kaya gitu. Gimana pun dia itu orangtua,
orang yang lebih tua dari kamu," Nevan menasehati. "Ya udah kalau mama
kamu gak ada, kamu bisa hubungin mama kamu dan tanya baik-baik. Bukannya
marah di depan orang yang gak salah."
"Aku lagi kesel, kenapa? Kamu gak suka?" Senna tak habis pikir, untuk situasi
ini dia malah memberikan ceramahnya.
"Kalau kamu marah, jangan ngelampiasin kemarahan kamu sama orang yang
gak salah apa-apa. Apalagi Bi Iyah, dia kan yang selama ini ngerawat kamu dari
kecil sampai sekarang "
"Aku cuma marah aja. Mama pergi tanpa pamit sama aku. Ini terjadi berulang
kali. Apa aku harus diem dan bersikap baik-baik aja? Aku bukan peran utama
yang selalu sabar dalam sebuah sinetron, Van! Ini udah yang kesekian kalinya.
Aku sendirian lagi di rumah," Senna menjatuhkan setitik air matanya. Kecewa
bercampur marah menggumpal dalam relung hatinya. "Jadi kalau kamu gak suka
sama sikap aku, ya udah kamu boleh pergi! Aku cuma pingin terima cowok yang
nerima aku apa adanya."
Nevan memadukan kedua alisnya. "Kamu kenapa, sih? Kok tiba-tiba ngomong
gitu? Aku cuma mau ngasih tau sesuatu yang bener. Tapi anggapan kamu selalu
sama, kamu anggap kalau aku itu so ngatur kamu, kamu selalu bilang kalau aku
gak nerima kamu apa adanya. Selalu begitu."
"Iya aku lagi kesel, kamu gak bakal ngerti gimana perasaan aku sekarang. Jadi
berhenti nasehatin aku!"
Meski hubungan mereka terlihat baik-baik saja, selalu mesra, selalu manismanisan di depan umum, tapi tak ada yang tahu bahwa Nevan dan Senna selalu
bertengkar hanya karena hal sepele. Seperti sekarang ini, Nevan yang selalu
memberikan nasihat selalu dinilai buruk oleh Senna yang masih memiliki
pemikiran childish. Nevan menatap Senna serba salah.
Sebagai kekasih Nevan hanya ingin membuat sikap Senna bisa lebih baik dan
sopan. Ia bisa menerima sikap alay yang mengalir dalam jiwa Senna, tapi untuk
sikap santun kepada yang lebih tua, Senna harus mau mengubahnya. Bukan apaapa, tapi dengan cara itu sikapnya akan menjadi lebih baik, bukan?
"Aku cuma pingin kamu ngerti posisi aku," lanjut Senna.
"Aku ngerti posisi kamu, Sen. Aku juga selalu terima kamu apa adanya. Jadi
jangan mikir kalau aku egois," balas Nevan penuh pengertian. Selama ini dia
sudah berusaha memahami Senna dengan segala caranya.
"Berisik," Senna menggigit bibir bawahnya. Sesungguhnya dia malu telah
menunjukan sikap tidak baik di depan Nevan. Ia marah pada dirinya sendiri.
Namun siapa yang harus disalahkan? Dirinya lagi?
"Setelah ini kamu mandi dan ganti pakaian. Aku pulang dulu," ujar Nevan untuk
yang terakhir kalinya, menutup percakapan mereka. Senna merasakan atmosfir
yang tidak mengenakan, sayup-sayup lelaki itu pasti marah. Nevan berbalik,
berjalan meninggalkan Senna yang masih menundukkan kepala. Gadis itu
mendengus resah. Lagi-lagi ia harus bertengkar dengan Nevan karena
kesalahannya sendiri. Seharusnya hari ini dia sudah memperkenalkan Nevan
kepada mamanya, bersenang-senang, tapi yang terjadi ternyata berbanding
terbalik. Di luar angan. Dan ini semua gara-gara mamanya.
Senna menelungkupkan badan di atas kasur besar dengan motif menara eiffel
warna pink-nya. Kedua kakinya tidak bisa diam, dia menunggu ponselnya
bergetar, berharap ada pesan masuk dari Nevan. Dia menunggu dari jam tujuh
malam, dan sekarang jam sudah menunjukan angka sembilan. Tapi Nevan belum
juga mengirim SMS, WA, atau Line, padahal Senna menunggu sapaan ?Selamat
Malam? darinya. Apa lelaki itu masih marah? Senna menjadi gusar sendiri. Dia
mengerucutkan bibir seraya berganti posisi. Apa dia yang harus menghubungi
Nevan duluan? "Arrgghhh!!" ia melempar ponselnya di samping tubuhnya. Senna menjenggut
rambutnya frustasi. Hari ini dia benar-benar sial! "Ini gara-gara mamaaaaa
Mama gilaaaaa!! Yang dia pentingin cuma kerja doaaaang!!"
Namun beberapa detik kemudian sesuatu bergetar, sudah tidak salah lagi itu pasti
hp-nya. Dengan cekatan Senna kembali meraih ponsel yang baru saja ia
telantarkan. Ada satu pesan masuk ke dalam LINE-nya.
?Hello Senna Flu, selamat malam Sennaaaaa. Lo udah ngerjain PR belum?
Besok pelajaran sejarah looh. Gue mau niron doong.?
Kirain dari Nevan, eh ternyata dari si Nova. Senna membanting ponselnya lagi
dengan palak. Teman super lolanya itu malah mengingatkan dia pada pekerjaan
rumah yang sangat malas sekali untuk dikerjakan. Mana minta nyontek lagi.
"Nevaaan, jangan marah dong sama gue," Senna mencibirkan bibir.
Pagi ini siswa-siswi kelas 11 IPA 2 sudah berada di kelas untuk menunggu bel
masuk. Seperti biasa, keadaan selalu ribut dan berisik. Ada yang sibuk
mengerjakan PR, ada juga yang santai. Seperti Nevan sekarang, dia duduk di
kursinya sambil memainkan gadget. Biasanya sih kalau lelaki suka permainan,
entah itu COC atau permainan pertempuran. Tapi Nevan? Dia malah menyukai
aplikasi webtoon, lebih sering berjelajah di sana, kalau ada waktu santai dia pasti
membuka webtoon dan membaca cerita-cerita unik dengan genre thiller.
"Van, Van! Pinjem penghapus, dong!" Wildan menepuk-nepuk bahu Nevan
dengan recok sambil berdiri. Bangkunya berada di belakang bangku Nevan.
"Lo ke sekolah bawa apa aja si? Perasaan dari tadi minjem mulu," jawab Nevan
yang masih fokus dengan bacaannya. "Ambil di tas."
Wildan membawa ransel Nevan yang berada di punggungnya, lalu disimpannya
di atas meja. Tangannya membuka tas Nevan untuk mencari penghapus. Niat
jahil meluncur bebas di benak Ari, dia mendorong kursi milik Wildan pelanpelan dan hati-hati, agar tak ada suara yang muncul yang bisa menyebabkan
gagalnya rencana. Dia memberi kode kepada teman-teman yang menyaksikan
aksinya, mereka menahan tawa.
"Penghapus lo kecil amat sih, abis digigit ya terus dimakan? Atau dipotongpotong pake pisau terus dijadiin tahu bohong-bohongan?" ucap Widan yang
sudah berhasil mendapatkan penghapus. "Ya udah pakek aja kali. Ribet amat lu."
Wildan kembali duduk tanpa melihat ke belakang. Dan
Gedubrak!!!! Seketika tawaan para murid pecah. Terutama tawaan Ari yang paling enak dan
terbahak-bahak, hampir membuatnya tersedak, rencananya berhasil secara
sempurna. Wildan menjatuhkan bokongnya ke atas keramik. Nevan yang
mendengar suara keributan segera berbalik, Ari masih asik dalam tawanya, tapi
Nevan sama sekali tidak melihat Wildan.
"Anyon, lo! Anjing lu, Ri!" umpat Wildan memegang pantatnya yang nyeri. Dia
mencoba berdiri di antara kegaduhan yang terjadi. "Wkwkwkwkwk," masih
terdengar tawa Ari yang berdekak-dekak. Nevan ikut tertawa seraya
menggeleng, ada-ada saja tingkah temannya itu. "Dasar emang jail lu, Ri!"
komentarnya. Wildan menarik kembali kursinya dan duduk. Namun kericuhan terinterupsi kala
guru jam pelajaran pertama datang setelah beberapa detik lalu bel berbunyi. Bu
Ida berucap salam ketika masuk, kacamata minus bertengger di kedua matanya.
Begitu tiba di meja guru, dia menyimpan tumpukan buku dan tas selendangnya
di atas kursi. Matanya tertuju kepada semua anak didiknya yang sudah duduk
manis. Guru matematika satu itu terkenal kiler. Setiap selesai mengajar pasti
memberikan PR, dan pada pertemuan selanjutnya mereka harus bisa
mengerjakan satu persatu soal di depan kelas.
"Siapin, Van!" ucap Ari.
"Kok gue, sih?"
"Kan si Satya kagak sekolah, ya udah sama lo aja diwakilin."
"Emang presiden apa pakek diwakilin segala," balas Nevan malas.
"Anak-anak, hari ini kita kedatangan murid baru," ucap Bu Ida di antara
keheningan. "Waaah, murid baru brooo. Moga aja cewek," bisik Ari kepada Wildan. Wildan
yang masih menyimpan dendam sama sekali tidak mempedulikan bisikan Ari.
"Ayo silahkan masuk," Bu Ida menyuruh murid baru yang berdiri di luar pintu
itu untuk masuk. Tentu saja para murid di kelas tersebut menjadi kepo sambil
bertanya-tanya,semuanya mengarahkan kepala ke lawang pintu, menanti-nanti
kedatangan murid baru yang dimaksud Bu Ida.
Lalu, masuklah seorang siswa perempuan dengan balutan seragam putih abu-abu
yang rapi. Awalnya dia menunduk, tapi begitu mulai memperkenalkan diri, ia
mengangkat kepalanya. Kini rasa penasaran mereka raib.
"Selamat pagi," ucap murid baru itu untuk yang pertama kalinya.
"Perkenalkan diri kamu," ujar Bu Ida di kursinya.
"Perkenalkan nama saya Neina Fauziyah. Saya pindahan dari Surabaya. Saya
harap, kalian bisa menerima baik kedatangan saya," lanjut perempuan berambut
hitam yang dikucir seluruhnya itu. Dia memakai kacamata minus. Gayanya
memang terlihat seperti orang jenius. Simple. Kulitnya putih seputih susu.
Hidungnya pesek, tapi bibir tipis dan matanya terlihat sangat ayu, membuat
wajahnya patut untuk dikatakan cantik.
"Salam kenal!" sahut Nevan, "Salam kenal Neniii," sambung Ari menyambut
indah kedatangan murid baru itu. "Neina blo?on!" sambar Nevan menengok ke
belakang. "Blo?ooon. Punya kuping dipakek kali jangan dibiarin nganggur!"
ejek Wildan. Sebagian murid mulai berbisik-bisik tak jelas.
"Ya sudah. Silahkan duduk di kursi yang masih kosong."
Mata Neina tertuju pada meja Nevan, di sana lelaki itu duduk sendirian.
"Udah di situ aja duduknya. Gak ada lagi yang kosong soalnya," kata Ari
mengarahkan dagunya di kursu sebelah Nevan. "Itu kursinya si Satya keles!"
Wildan menabok pipi Ari. "Ah dia mah duduk di genting juga bisa."
"Lo udah kaya ibu-ibu kost aja. Giliran ada pengunjung yang bayar mahal, lo
usir orang yang udah nempatin itu kost!"
"Suka-suka gue, dong."
"Oh ini ada yang nempatin, ya?" tanya Neina kikuk.
"Nggak. Udah duduk aja, gue sendiri. Lagian ini kursi sekolah, siapa pun bisa
duduk," kata Nevan memastikan Neina.
"Seriusan?" "Iyaa." "Modus lu, Van! Mentang-mentang pacar lo ada di kelas lain lo bisa cari
kesempatan buat deketin cewek lain," sindir Ari
"Jangan dengerin jin di belakang gue. Udah duduk," kata Nevan lagi kepada
Neina. Neina pun akhirnya mau duduk di sebelah Nevan, walau sedikit ragu karena
kursi itu pasti ada pemiliknya. Dia sedikit menyunggingkan senyum kaku
kepada Nevan, mungkin sebagai tanda terimakasihnya. Nevan membalas
senyuman Neina, lelaki itu langsung menilai kalau Neina ini pasti orang yang
pemalu dan lungguh. Dapat dilihat dari gerakan badan dan wajah putihnya yang
berganti warna. Sementara di depan, Bu Ida memulai pelajaran. Kali ini dia akan menerangkan
bab matriks. Para siswa mengeluarkan buku dan alat tulis dalam tas.
"Kenalin, nama gue Nevan," Nevan mengulurkan tangan, memandang Neina
yang mulai ikut memandang wajah Nevan canggung. Lalu kedua pasang mata
hitam itu turun ke bawah, menatap tangan Nevan yang terulur kepadanya.
Antara membalas atau tidak. Lelaki itu menaikan kedua alisnya, menunggu
balasan tangan Neina. Di belakang, Ari dan Wildan memerhatikan tindakan Nevan penuh selidik.
Mereka mulai mencium bau-bau tidak sedap.
"Nevan!" panggil Bu Ida lantang. Kontan Nevan telonjak, tangannya langsung
dimasukan ke kolong bangku secara refleks. "Sekarang bukan waktunya buat
kenalan. Pandangan fokus ke bor!"
"I iya, bu." Neina tersenyum geli melihat Nevan yang kaget. Nevan segera mengeluarkan
buku dari dalam tasnya. Dengan terpaksa perkenalan itu terhenti.
bagian 4. Bel istirahat berbunyi, para murid mulai berhamburan keluar dari kelas berburu
jajanan untuk mengisi perut kosong. Senna mendecakkan lidah begitu sampai di
koridor, ia sama sekali tidak menemukan Nevan di luar. Padahal Senna sangat
berharap bahwa lelaki itu sudah menunggunya dan mengajak ke kantin. Nova
dan Sasta tiba di belakang layaknya jin yang siap meladeni bosnya. "Senna ayo
ke kantiiin," ajak Nova berdenging di telinga Senna.
"Kalian duluan aja, lah. Gue ada urusan!" Senna mencondongkan wajah ke arah
Nova. Dia pun melangkah meninggalkan kedua temannya yang buntu. "Mending
kita ikutin aja yuuk, daripada nanti marah. Gimana kalau terjadi sesuatu sama
Senna? Dia bakal nyalahin kita, kan?" kata Nova ngeri. "Iya udah ayo," tambah
Sasta setuju. Senna akhirnya berhenti di depan kelas 11IPA2 yang pintunya terbuka.
Kepalanya menengok ke dalam, alhasil Senna pun mendapat pandangan dari
puluhan pasang mata. Senna yang katanya tebal muka, mana mungkin malu
untuk melakukan hal ini. Ini sudah hal yang sangat biasa.
"Nevan dicariin Miss A tuh!" celoteh Dewi ?sekretaris kelas ini? sambil
mengulum permen lolinya. Salah satu grup yang sedang ngerumpi tiba-tiba
bubar untuk mengunjungi kantin, bercakap-cakap tentang makanan apa yang
nanti akan dibeli. Dan akhirnya Senna dapat melihat bangku Nevan yang berada
di belakang, yang tadinya ditutupi kerumunan murid-murid. Mulutnya menganga
jebab, mendapati siswa perempuan yang duduk di sebelah Nevan, pacarnya.
Nevan yang sibuk bercengkerama dengan Ari dan Wildan sambil menghadap ke
belakang sama sekali tidak menyadari kehadiran Senna, bahkan dia tidak
mendengar suara Dewi yang tadi memanggilnya.
"Nggak ke kantin?" tanya Nevan kepada Neina yang sedang mengeluarkan
buku-bukunya. "Nggak," jawabnya sedikit canggung.
"Bareng aja yuk sama kita."
"Van, Senna tuh!" Dan ternyata Ari lah yang pertama kali mengetahui
kedatangan Senna yang berdiri di depan pintu dengan wajah seram. Nevan
mengalihkan pandangannya untuk memastikan kebenaran akan ucapan Ari.
Tangan Senna terkepal geram. Sementara Nevan mulai keluar dari bangkunya,
langsung mengerti dengan ekspresi yang diluncurkan Senna, ia melewati Neina
yang terheran-heran.
Triangle Karya Jaisii Quwatul di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sayang! Kamu kenapa sih harus sebangku sama perempuan?!" tukas Senna
langsung tanpa aba-aba. Neina yang mendengar itu membulatkan kedua bola
matanya. Nevan membawa pergelangan tangan Senna dan membawanya keluar
bersama. "Siap-siap kena marah tuh si Nevan! Lagian so soan sih ngajak perempuan
supaya duduk di sampingnya," celetuk Ari. Neina menoleh ke belakang, "Itu
pacarnya?" "Yap!" "Yaah kayaknya tadi dia marah banget liat aku sebangku sama Nevan. Ya udah
mending aku pindah aja, deh." Neina merasa tidak enak hati. Sekarang dia
bingung harus pindah atau tidak, karena sudah tak ada bangku yang kosong lagi
kecuali di pojok, itu pun sendirian. Neina juga tidak berani kalau harus mencari
bangku lain lagi. Yang ia kenal sekarang hanya Nevan dan kedua temannya, Ari
dan Wildan. "Pindah kemana, neng?" tanya Ari lagi.
"Kita tukeran tempat aja. Aku di tempat kamu, aku di tempat kamu," ujar Neina
memberi ide. "Nggak bisa!" Wildan menimpali. "Gue gak bisa pisah sama Ari, dia kan sahabat
terbaik gue, gue gak bisa kalau tanpa dia. Meski pun dia barusan udah ngejailin
gue, gue tetep sayang sama dia," katanya lebay. Ari pun ikut menganggukanggukan kepala setuju. "Lagian gue gak mau sebangku sama lo, bisa-bisa gue
gugup liat wajah lo yang cantik," lanjutnya lagi dengan candaan dangdut. "Bisabisa gue disuruh ngerjain 100 soal cuma gara-gara gak fokus."
"Ih apaan, sih."
"Udah gak usah takut gitu. Gini ya gue kasih tau " Ari memajukan kepalanya,
seperti orang yang akan segera membeberkan aib seseorang. Melihat gerik Ari,
Neina mulai memasang raut seriusnya.
"Asal lo tau, pacarnya si Nevan itu super overprotektif. Dan alay-nya,
waaaaawww bangeeeeet." Wajah Neina mengkerut, bukan karena cerita yang
diucapkan Ari, melainkan bau mulut Ari yang menyengat ketika dia berkata
?waaw? sepanjang mungkin, juga cara bicara Ari yang berlebihan. "Gak usah
takut sama orang yang begituan! Sikapnya aja udah kaya anak balita."
"Balita kayak yang di iklan itu, ya?" sambung Wildan nyengir.
"Iya yang di iklan Batita tu. Yang ibu-ibunya bilang, ?waaah anak mama pinter?.
Padahal cuma masukin celana ke ember doang, mentang-mentang anak sendiri
jadi dipuji. Gue juga bisa kali masukin celana ke dalem gelas , itu baru keren!"
"Perasaan iklannya bukan gitu deh, Ri," pikir Wildan mengingat -ingat.
"Ya iyalah. Lo bahkan belum liat tu iklan. Orang tayangnya aja waktu mati
lampu," omongan Ari mulai ngaler-ngidul. Neina yang menyimak hanya terdiam
tanpa memberikan suara, seolah dia baru saja melihat orang macam Ari. Dan
Wildan? Dia mulai berpikir keras. Kalau tayangnya setiap mati lampu, berarti
iklannya gak ada, dong? "Kalau aja gue punya emak kayak di iklan-iklan susu itu. Yang katanya ?Aku
bangga melihat anakku melakukan kesalahan? Nah dia bangga? Sementara emak
gue, pasti langsung nendang gue ke ujung dunia kalau gue ngelakuin kesalahan,"
Ari melanjutkan lagi. Bercerita tentang iklan-iklan yang aneh menurut
penilaiannya. "Makin ke sini iklannya pada gak jelas ya, Ri."
"Mentang-mentang kita gak sekelas kamu jangan seenaknya gitu, dong!
Bukannya kamu sebangku sama Satya? Kenapa tiba-tiba jadi sama cewek lain?
Aku tau kemarin kamu marah sama aku, tapi balas dendamnya jangan
keterlaluan." Nevan meneguk ludah mendengar cecaran Senna yang sama sekali
tidak memberinya kesempatan untuk bicara. "Mana ceweknya cantik lagi. Gak
biasanya kamu deketin cewek lain tapi kenapa sekarang kam "
"Bukan gitu, Sen "
"Apa? Mau ngejelasin apa? Kamu mau bilang kalau Satya tiba-tiba berubah
bentuk jadi cewek?" potong Senna yang lagi-lagi tidak memberikan peluang
bagi Nevan untuk menjelaskan.
"Aku seneng kamu cemburu tapi jangan gini juga kali."
"Ini cemburu tingkat dewa Nevaaaan! Jangan seneng kalau aku cemburu!"
"Senna ayoo ke kantin," rengek Nova dramatis.
"Udah gue bilang kalian pergi berdua aja!! Gue mogok makaaaan," pekik Senna
berdengung di telinga Nova. Perempuan itu menutup kedua kupingnya rapat.
Lalu ia menyadari bahwa di sebelah Senna ada Nevan. Spontan Nova
membenarkan poni dan rambutnya, ala-ala cewek yang mau pergi ke ondangan.
"Eh ada Nevan Ganteng."
"Mulai deh centilnya!" timpal Sasta nyalang.
"Nevan Ganteng, kapan ajak gue ke restoran bintang lima?" Nova mengungkit
janji palsu Nevan lagi. Senna memelotot
"Itu cuma pura-pura, kok," jawab Nevan tanpa rasa bersalah. Nova tercenung
berkepanjangan. "Ih sayang kenapa sih kamu selalu ngeladenin si Nova yang
lola?" "Ya udah aku minta maaf. Maafin aku." Nevan akhirnya mengalah. Ia tidak
ingin memperpanjang masalah ini atau itu. Kalau keduanya tidak ada yang mau
mengalah, bisa-bisa hubungan mengalami keretakan yang tidak diinginkan.
Jangan sampai itu terjadi hanya karena hal kecil, hanya dengan mengalah, maka
masalah itu akan selesai. Nevan masih bisa memaklumi sikap Senna yang
overprotektif. Sampai pada saatnya, Senna harus mau bersikap dewasa. Nevan
harus mau bersabar. Kalau sudah cinta, memang sulit untuk dihentikan. Ia akan
terus mengingat sisi baik yang terselip dalam sikap Senna yang arogan, cepat
marah, dan berlebihan. "Minta maaf buat hal apa?" tanya Senna.
"Buat semuanya. Buat yang kemarin atau yang sekarang."
"Nggak bakal aku maafin!" Nevan mengernyit mendengar jawaban Senna yang
diluar perkiraan. "Nggak bakal aku maafin sebelum kamu ngajarin aku main basket sekarang
juga," Senna melipatkan kedua tangannya di bawah dada, mengangkat dagunya
bak orang yang sedang menantang.
"Main bola basket? Aaa gue ikutan gue ikutan!!" seru Nova ikut nimbrung.
"Lo jangan ikut-ikutan! Ini cuma acara gue sama Nevan," tandas Senna tegas.
Nova mengedikkan bahu kencang, terkejut dengan respon Senna.
"Sayang kamu mau, kan?" tanya Senna lagi kepada Nevan, kali ini dengan raut
memelas. "Iya ini juga salah aku," Senna lantas memeluk lengan Nevan manja,
"Yang kemarin itu aku juga salah."
Untung lapangan basket sedang kosong, Nevan sudah membawakan bola basket
untuk Senna. Dia akan mengajarkan Senna bermain bola basket sesuai
permintaannya, meski bajunya masih berbalut seragam putih abu-abu. Senna
mengangkat bola orange itu dan bersiap untuk dimasukan ke dalam ring. Tangan
Nevan ikut menginteruksi, mengarahkan lemparan Senna di belakang. Dan.
Hap! Bola gagal masuk ke dalam ring, melesat jauh dari harapan. Senna menjadi
marah, dicampur dengan tawaan. Cukup membuatnya senang dan merasa
konyol. "Lemparinnya harus pakai perasaan, Sen," Nevan berlari mengejar bola basket
yang menggelinding di sisi lapangan. Begitu ia berhasil menghentikan laju bola,
dia mulai mendrible bola ke tengah lapangan, didorongnya bola itu ke atas dan
plus! Bola masuk ke dalam ring secara sempurna. Nevan langsung menangkap
bola yang jatuh dari ring, lalu mendribel-nya lagi, dilemparnya ke arah Senna.
Bukannya menangkap, Senna malah menjauh karena takut. Nevan tersenyum
sambil menggeleng, tadinya ia ingin mengejar bola, tapi dihentikan oleh Senna.
"Biar aku aja!"
Senna berlari dan mengambil bola basket itu. Seperti apa yang dilakukan Nevan
barusan, Senna melakukannya, walaupun masih banyak perbedaannya. Ia
mendrible bolanya dan bersiap untuk melemparnya ke atas. Tapi lagi-lagi dia
gagal. Bola itu enggan masuk. Nevan menangkap bola yang barusan dilempar
Senna, lalu diberikannya secara pelan-pelan kepada Senna.
"Kok bolanya gak masuk-masuk, sih?" curhat Senna yang mulai capai. Mana
terik matahari semakin membakar kulit putih langsatnya. Senna berjanji, setelah
ini dia akan pergi luluran. Jangan sampai kulit yang selalu dijaganya dengan
teratur rusak hanya karena permainan basket.
"Coba angkat bolanya," ucap Nevan lagi, berusaha membangkitkan semangat
Senna yang mulai surut. Senna kembali mengangkat bola di tangannya seperti
apa yang dikatakan Nevan, kalau kali ini gagal lagi, Senna akan mundur dan
berhenti. Tanpa diduga, Nevan melingkarkan tangannya di pinggang Senna, dia
juga mengangkat tubuh Senna ketika perempuan itu mendorong bola basketnya
ke atas langit. Senna tergelak, apalagi saat melihat bola yang dilemparnya masuk
ke dalam ring, membuatnya semakin terkejut bercampur senang. Nevan
menurunkan Senna lagi, gadis itu segera berbalik dan memeluk Nevan riang,
memekau dan menjerit-jerit heboh. Tanpa mereka sadari, para siswa yang hilir
mudik di koridor menghentikan langkah hanya untuk menyaksikan apa yang ada
di tengah lapangan. Sebagian dari mereka hampir dibuat sirik oleh Senna, karena
dia bisa diajarkan Nevan secara mudah dan bisa sesuka hatinya, bisa sambil
mesra-mesraan pula. Ada juga yang menggerutu, menganggap Senna yang lebay.
Nevan mengangkat Senna lagi, menggendongnya dan membawanya berputar
bersamanya. Senna tertawa puas dan senang. Sekolah serasa milik berdua,
bahkan keduanya tidak takut kalau nanti akan ada guru yang lewat . Senna
menarik hidung mancung Nevan gemas. Hanya dengan begini, mereka bisa
melupakan masalah sebelumnya. Kunci untuk keluar dari masalah hanya berbuat
sesuatu yang akan membuat kita lupa akan semua hal, dan yang terasa hanya
efek dari apa yang kita lakukan di detik itu.
Dalam menjaga hubungan, kamu harus berpandai-pandai merangkai kesenangan
menyikapi masalah yang datang secara dewasa.
Nevan menurunkan tubuh Senna lagi. "Kapan-kapan kamu ajak mereka main
basket, supaya berhenti ngeliatin aku pake tatapan sinis," kata Senna yang risi,
dia bosan melihat itu semua.
"Serius, nih? Kamu gak bakal cemburu?"
"Eh jangan. Jangan sekali-kalinya, jangan," Senna memuyu-muyu kedua pipi
Nevan gemas. "Kamu itu cuma milik aku."
Bagian 5. Senna rebahkan tubuhnya di atas kasur empuknya. Kedua kakinya menggantung
di atas keramik. Memandang langit-langit kamar yang sepi nan sunyi.
Sesungguhnya dia bosan dengan ini semua. Bosan ketika membuka pintu, hanya
Bi Iyah yang menyambut. Bosan ketika makan malam, dia sendirian. Bosan
ketika pulang tengah malam, tak ada yang khawatir. Tak ada yang bertanya, tak
ada yang mencecar. Bosan ketika makan di meja makan, hanya dialah yang
makan, tanpa ada orang yang duduk di atas kursi yang selalu setia dengan
kekosongannya. Bosan bosan dan bosan. Hanya kata itu yang ada dalam kepala
Senna sekarang. Apalagi sekarang adalah hari Minggu.
Terdengar suara ketukan pintu dari luar kamar, tak ada niatan Senna untuk
membuka. Karena ia tahu kalau yang mengetuk pasti Bi Iyah. Memang siapa
lagi? Bukankah di rumah ini penghuninya hanya ada mereka berudua? Ketukan
kesekian kalinya kembali terdengar, Senna masih acuh tak acuh. Ketukan masih
tersengar, Senna mendengus sebal. "Buka ajaaa!!" teriaknya lantang. "Nggak
gue kunci, kok!" Ceklek. Pintu terbuka, Senna menoleh ke ambang pintu. Kedua sosok temannya sudah
berdiri di sana dan bersiap berhambur ke arah Senna dengan pakaian rok mini
dan segala aksesorisnya. Senna membeliak, dari mana datangnya dua cucurut
itu? "Sennaa Senna fluuu," seru Nova mendekati Senna. Senna bangun dari
rebahannya, menatap kedua temannya yang sudah terlihat sangat gaya, rambut
tergerai, bando pink di kepala dan tas mini yang terselendang. Wangi parfum
juga begitu menyengat. "Kalian kok bisa ada di sini? Mau ngapain?"
"Ayoo kita ke mall, kita jalan-jalan, terus kita nonton ke bioskop. Mumpung hari
minggu." Nova memainkan rambut hitam setengah merahnya, mengajak Senna
penuh keriangan. "Iya. Udah lama kan kita gak main ke luar? Belajar mulu, boseen," sambung
Sasta memorotkan bibir. "Iya udah lama ya kita nggak ke salon bareng-bareng, terus makan bareng di
restoran, main game," sambung Nova riang sambil nyengar-nyengir kecil.
Senna terdiam sambil terus berpikir. Benar juga dengan apa yang dikatakan
Sasta, sudah lama sekali mereka tidak jalan-jalan ke mall. Bukankah kemarin dia
baru saja membuat kulitnya gelap gara-gara belajar bermain bola basket bersama
Nevan? Mungkin ini waktu yang cocok untuk luluran, Senna juga ingin membeli
gelang baru. "Oke! Gue ikut. Tapi kalian harus mau nunggu gue siap-siap," kata Senna
mantap. "Selama apa sih lo dandan? Palingan dua jam," ujar Nova yang sudah tahu jelas
tentang Senna, termasuk tentang berapa lamanya dia dandan di depan cermin.
"Hehe lo tau aja, sih," Senna sedikit cengengesan, "Ya udah sana cepetan
keluar!" wajahnya berubah menjadi galak.
"I.. iya Sen maaf," Nova dan Sasta segera berbalik badan, keluar dari kamar
sebelum Senna mengusirnya lagi dengan nada jahat.
Senna, Sasta dan Nova keluar dari pagar rumah. Mobil Sasta yang terparkir di
luar menjadi kendaraan untuk pergi ke Mall. Senna membenarkan posisi bando
pink-nya. "Cuacanya dari kemarin mendung terus," dumelnya yang mulai
berjalan menuju mobil. Di ujung jalan, Senna melihat ada tiga buah sepeda yang mendekat. Kedua
matanya menerawang. "Lo ngeliat apa sih, Sen? Ayo masuk!" kata Nova.
"Bentar dulu!" Kedua bola mata Senna membesar, seolah baru mengetahui
sesuatu. Ternyata yang melajukan sepeda itu adalah seorang pangeran. Dia yang
paling tampan di antara kedua temannya yang berada di belakang. Dengan
balutan kaus putih dan celana abu pendek, juga sepatu kets abu putih. Bukan
hanya mata, tapi juga Senna membuka mulutnya lebar. Sasta dan Nova yang
penasaran mulai mengikuti arah pengelihatan Senna.
Sejurus kemudian sepeda itu terhenti di samping Senna yang masih terpana.
Belum bisa mengatakan apa-apa. Ini adalah Surga-nya dunia.
"Senna," sapa Nevan hangat. Tak lupa dengan senyum khas manisnya. Bukan
hanya Senna yang meleleh, tapi Nova juga ikut-ikutan lumer.
"Jangan panggil Senna, tapi panggil sayang," balas Senna yang nyaris pingsan.
Dari dulu, Senna memang selalu senang dan terpesona ketika melihat Nevan
berpakaian baju bebas, apalagi ketika dia memainkan sepeda putihnya dengan
style simple. Aura ketampanan dan kharismanya semakin merebak tanpa ampun.
Senna merasa sangat bersyukur, karena dialah yang menjadi kekasih hatinya,
yang menjadi pujaan hatinya. Sampai kapan pun, ia tak akan pernah melepaskan
Nevan. "Biasa aja kali liatinnya! Kayak liat Lee Seung Gi aja lu!" sambar Ari yang
mulai mengeluarkan komentarnya.
"Dia lebih ganteng dari Seung Gi oppa," lanjut Senna tanpa sadar, masih dengan
tampang mengiler. Tanpa meladeni Ari yang biasanya ia ladeni tiap kali cowok
itu meledek. "Nevan Ganteng, yang turun dari khayangan. Kenapa kamu ganteng-ganteng
amat? Udah gue bilang, Nevan mirip Dimas Anggara," ucap Nova tak ingin
kalah. Tentu saja dia langsung mendapat tatapan tajam dari Senna, perempuan
itu lantas tersenyum mengerti. Kita dilarang memuji lelaki yang sudah menjadi
pacar orang lain, apalagi kalau pacarnya teman sendiri. Nova mengerti.
"Si Ari nganggur tuh, Nov! Lo cocok sama dia!" Sasta menyikut lengan Nova.
"Gue juga nganggur, kok!" Wildan yang tadinya diam kini bersuara.
"Ahh bosen gue dengernya. Ya udah kita duluan, ya! Kalian mau kemana?"
tanya Nevan yang bergegas untuk kembali mengayuh sepedanya.
"Kamu mau kemana?" tanya balik Senna mendekati Nevan. Seolah tidak
mengizinkan pria itu untuk pergi.
"Mau sepedahan lagi sama dua cucurut. Mumpung suasananya lagi adem."
"Kamu gak mau main sepeda bareng aku?" Senna manyun. Nova dan Sasta
melongo. "Lho? Bukannya kita mau pergi luluran, Sen?"
"Kamu mau luluran? Kulit udah mulus, wajah udah cantik. Gak usah luluran,
yang penting aku makin cintaa," gombal Nevan tertawa miring. Ari dan Wildan
yang mendengar itu rasanya ingin muntah. Rasanya tidak pantas ketika cowok
tampan memuja pacarnya secara hiperbola dengan gombalan pasaran.
"Ya udah aku mau main sepeda aja bareng kamu."
"Terus itu Nova sama Sasta?"
"Udah. Biarin aja. Mereka bisa pergi berdua. Ya, kan?" Senna alihkan matanya
ke arah Nova dan Sasta yang masih bengong.
"Apaan sih lo ikut-ikutan? Udah kalau mau pergi bareng temen-temen lo pergi
aja. Jangan ganggu acara kita-kita," kata Ari tidak setuju.
"Gue ngajak Nevan aja ya, gak ngajak elo! Ge?er banget sih lo!" kali ini Senna
menanggapi ucapan Ari lagi dengan suara meninggi. "Ya udah lo main sepeda
aja sama si Wildan. Nevan sama gue. Ribet banget sih hidup lo! Apa janganjangan lo cemburu ya karna lo gak bisa bawa pacar main sepeda. Makannya
sewot banget kalo gue lagi ada sama Nevan! Apa lo jatuh cinta sama gue? Lo
diem-diem ngefans sama gue yaaa? Berapa lama lo jadi secret admirer gue"
Ari hampir keselek, tangannya memegang lehernya, tenggorokannya sangat
gatal. Dia terbatuk-batuk seperti kakek-kakek yang sudah repot dan beruban.
Triangle Karya Jaisii Quwatul di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Senna mengernyit karena batuknya Ari tak kunjung berhenti. "Apa? Gue cinta
sama kaleng rombeng kaya lo? Najis mugalazdah! Jangan so ngartis lo!"
Amarah Senna kembali tersulut, kalau di film kartun, mungkin sudah ada dua
tanduk yang berada di kepalanya, juga hidungnya yang mengeluarkan asap dari
api kemurkaan. Nevan yang tidak ingin membiarkan perdebatan mereka terus berlanjut lantas
melerai. "Udah udah udah. Kalian ini kalau ketemu selalu aja."
"Dia duluan, Van!" Senna membela diri.
"Udah, kamu mau ikut atau nggak? Nanti biar Ari aku ceburin ke kali ciliwung."
"Apa sayang? Kamu mau ceburin dia ke kali ciliwung? Nanti kebawa arus,
dong? Ii sayaang kamu gemesin deh," Senna mencubit kedua pipi Nevan gemas.
Ari membengang tak percaya. "Lo jadi temen nyebelin banget sih, Van. Gue
temen lo, sementara dia cuma pacar. Jangan mengenyampingkan aku hanya
karena dia," kata Ari lebay. Wildan yang berada di sebelahnya mengusap-ngusap
bahu Ari, supaya memberinya ketabahan. "Sabar ya, Ri. Ada gue, kok."
"Ayo naik." "Iih Senna flu nyebelin!" Nova mencibir kesal. "Tau ih Senna ngeselin!" tambah
Sasta. "Dadaaah." Senna memberikan kiss bye-nya dan mulai naik ke sepeda Nevan
dengan posisi berdiri. Dia mengalungkan tas mininya di leher Nevan, "Kok
tasnya diginiin, sih?"
"Gak papa dong biar romantis," tangannya disimpan di kedua bahu Nevan.
"Let?s goooo!!"
Nevan mulai mengayuh sepedanya, melaju pelan di atas aspal. Senna merasakan
embusan angin yang menerpa wajahnya yang kini terasa sejuk. Ari dan Wildan
menyusul dari belakang. Sedangkan Nova dan Sasta terpaksa masuk ke mobil,
kembali meluruskan niat untuk pergi ke mal walaupun tanpa Senna. Padahal tadi
Ari dan Wildan sudah mengajak mereka, tapi mereka menolak dan memilih
untuk naik mobil. Di perjalanan Senna membungkuk dan mencium pipi Nevan mesra dari
belakang, obrolan kecil pun tampak terjalin sagat manis. Hingga kadang
menimbulkan gelakan tawa. Rambut mereka ikut terbawa angin segar ketika
berada di jalan yang curam karena membuat sepeda melaju dengan kecepatan
tinggi. Angin bertiup menemani kemesraan kedua pasangan remaja itu. Suasana
komplek yang luas dan sepi, menjadikan Nevan dan Senna bebas. Seperti biasa,
dunia adalah milik berdua. Sesekali pula Senna merenggangkan kedua
tangannya, menerima baik angin yang datang menyambut.
"Nevan kamu punya lagu Surat Cinta Untuk Starla, gak?" tanya Senna dengan
volume suara lumayan tinggi.
"Lagu apaan tuh?"
"Lagu yang so sweet banget. Aku suka banget lagunya! Nanti kamu coba
download atau bluetooth dari aku. Setelah kamu dengerin, coba kamu bikinin
lagu Surat Cinta Untuk Senna yaaa," gadis itu tertawa lagi dan lagi. Merasa
konyol. "Oke siap!" Hanya Nevan yang mampu membuat Senna terus tertawa tanpa beban, meski
sederhana, tapi kebahagiaan yang didapat lebih mewah dari sekedar kata
?mewah?. Untuk kesekian kalinya, Senna merasa senang.
Satya menghentikan langkah ketika sampai di depan bangkunya, dia tercenung
ketika melihat ada perempuan asing yang duduk di kursinya. Perempuan itu
sedang memainkan gadget-nya dengan tampang serius. Baru saja mamanya
mengabarkan bahwa papanya sudah tiba di rumah.
"Lo siapa?" tanya Satya bingung. Neina mengangkat kepalanya, dilihatnya Satya
yang sedang memerhatikannya.
"Aku Aku murid baru di kelas ini."
"Oh pantesan baru liat. Soalnya kemarin-kemarin gue gak sekolah," ucap Satya.
"Eh tapi ini kursi gue."
"Hah?" "Iya ini kursi gue."
"Iya iya aku pindah," dengan gerakan super kaku Neina bangkit dari duduknya.
Kebetulan kelas itu masih kosong, jadi untuk sementara Neina duduk di sebrang
kursi bekas tempat duduknya. Satya memang harus datang paling awal, karena
dia adalah seorang ketua kelas. Ari, Wildan dan Nevan pun belum datang.
Perasaan Neina menjadi tidak tenang. Kelas ini masih terlalu asing utuknya.Apa
dia harus duduk di kursi yang berada di pojok? Sendirian? Gadis itu teringat
akan film Hantu Bangku Kosong yang dulu selalu ia tonton, seketika bulu
kuduknya meremang. Baru melihatnya saja sudah seram, apalagi harus duduk di
sana? Satu persatu murid mulai berdatangan, ada yang sendiria , berdua, atau
bergrup-grup. Menyadari kalau kursi yang didudukinya mempunyai pemilik,
Neina lantas beranjak dan berjalan pelan ke jajaran belakang. Tidak apa-apalah
duduk di belakang. Tak lama kemudian, Nevan tiba di kelas. Seperti biasa, lelaki itu hanya
mengaitkan tasnya di sebelah bahu, berjalan kalem menuju bangkunya.
Bertepatan saan Neina duduk di kursinya.
"Eh kemarin kemana aja lo, Sat?" tanya Nevan kepada Satya. "Biasaa, gue anter
emak gue ke rumah sakit," jawab Satya santai. Padahal yang dibahas adalah
tentang rumah sakit. Pasti Ibunya sakit.
"Kenapa emak lu?" ada nada khawatir yang terselip dalam suaranya.
"Sakit gigi." "Ya elaah kirain kenapa."
"Apa? Lo mau emak gue sakit kanker?"
Tak sengaja Nevan menoleh ke belakang, dilihatnya Neina yang sudah duduk
manis di tempat paling pojok dan terpencil.
"Heh, lo ngusir dia?" pertanyaan itu diajukan untuk Satya, tapi pandangannya
mengarah kepada Neina. "Iya kan ini bangku gue. Lo kenapa, sih?"
"Neina!" panggil Nevan. Neina menoleh. Nevan melangkahkan kaki
menghampiri Neina, "Pindah, yuk."
Satya meneguk ludahnya mendengar ajakan Nevan. Sama saja itu artinya Nevan
mengusirnya dari tempat duduk. Benar-benar kelewatan.
"Nggak aku di sini aja," jawab Neina kantradiktif. Padahal dalam hatinya dia
ingin sekali pindah. "Udah ayo sebangku sama gue lagi. Masa sendirian? Lo tau kan kalau kursi yang
ada di pojok itu selalu ada setannya?"
Neina terkesiap. "Woy bro!" Nevan memanggil Satya yang sekarang sudah menoleh ke arahnya.
"Pindah," lanjutnya seraya melambaikan tangan sebagai gerakan mengusir.
"Lah? Kok lo nyuruh gue pindah? Terus gue mau duduk dimana, Van?"
"Lo kan bisa duduk di genting juga."
"Anjir tega lo sama temen sendiri!"
Nevan meraih pergelangan Neina yang berada di atas meja, sontak Neina
tergemap. Merasakan sentuhan Nevan yang nyaris seperi setruman listrik.
Jantungnya berpacu lima kali lipat lebih cepat. Karena ini untuk yang pertama
kalinya ada lelaki yang berani menyentuh anggota tubuhnya. Neina yang kaku
mulai berdiri, membiarkan Nevan membawanya menuju bangkunya. Satya
menggendong tasnya lagi, berpindah tempat dengan Neina.
"Tega lo sama temen sendiri, mentang-mentang sama cewek cantik lo telantarin
gue, tega lo. Gue aduin lo ke bapak gue," Satya berkata dramatis. Bak anak kecil
yang ingin mengadu segala kesengsaraannya kepada mamanya karena permen
yang baru saja dibeli sudah jatuh gara-gara dijaili teman-temannya.
"Ma.. maaf ya," Neina menundukkan kepalanya. Melihat kelungguhan Neina
membuat Satya tidak tega kalau harus marah. Nevan dan Neina kembali duduk
bersebelahan. Detik berikutnya Ari dan Wildan datang dengan rangkulanrangkulan best friend-nya.
Namun begitu tiba di bangku, Ari langsung termenung melihat Satya yang
duduk di jajaran bangku paling belakang. Dipalingkannya wajah ke arah Nevan,
dia sedang sibuk mengetik nomor ponsel yang sedang dilisankan Neina. Ari
menggeleng-gelengkan kepala.
"Ok! Gue save, ya! Nanti nomor lo gue miscall."
"Sat, kenapa lo duduk di belakang, Sat? Sat sat bangsat," celoteh Ari sebagai
insinuasi, seraya duduk dibangkunya, disusul dengan Wildan.
"Tau tuh si Nevan!" Nevan yang tidak merasa bersalah malah sibuk menanyai
Neina. Tentang sekolahnya yang dulu, nama Ayah dan Ibunya, sampai mantan
pun dia tanyakan. "Ih nggak, kok. Aku gak punya mantan, pacaran juga belum pernah," begitulah
jawaban Neina. Selama ini Neina hanyalah seorang perempuan yang lumayan
pendiam. Jadi dia belum sama sekali mengenal kata ?pacaran?. Baginya pacar
ada di nomor dua. Dan tidak perlu dijadikan sebagai kewajiban.
"Mending lo di sini aja, kita duduk bertiga," ajak Wildan dengan raut memelas,
tidak tega melihat sahabat karibnya duduk menyendiri di pojokan. Nanti kalau
dia kesepian gimana? "Nggak usah, gue ada temen, kok," jawab Satya menolak ajakan Wildan,
ekspresinya seperti orang yang tidak ingin membebankan orang lain.
"Siapa?" "Ya elah, Dandan. Si Satya kan bapaknya tuyul-tuyul yang doyan duit itu, ya
jelas lah temen-temennya itu kuntilanak yang suka ngerumpi di pojok," kontan
Satya bergidig ngeri mendengar cerita horor Ari.
"Emang tuyul sama kuntilanak punya hubungan, ya?" tanya Wildan polos.
"Punya lah, hubungan spesial."
"Cinta?" "Iya hubungan cinta."
"Wah keren." "Tapi cinta mereka terlarang. Karena nanti si tuyul gak bisa cium kuntilanak,
karena badannya kependekan. Terus genderewo juga gak bisa ngerestuin
hubungan mereka, karena tuyul cuma bisa ngasih nafkah pake uang haram hasil
nyuri." "Bukan karena tuyulnya takut gara-gara kuntilanak wajahnya jelek? Terus
genderewo sama kuntilanak itu satu keluarga, ya?"
"Iya." Nevan tiba-tiba ikut nimbrung sambil berbalik ke belakang, "Wah? Lo tau berita
itu dari mana? Dari hotshot?"
"Dari berita!" jawab Ari dengan nada meyakinkan. Membuat Wildan yakin
bahwa kali ini cerita Ari itu benar, bukan karangan yang ngawur lagi.
"Kok gue gak pernah liat, sih?"
"Ya iyalah gak pernah liat, orang yang nyiarin beritanya aja setan, waktu mati
lampu tengah malam lagi, mana mungkin kalian bisa liat."
"Berarti lo hantu juga, dong?" tunjuk Wildan yang lagi-lagi kena tipu
"Kalau iya kenapa?!"
bagian 6. Pelajaran sudah selesai, saatnya para murid untuk berbondong-bondong keluar
dari kelas. Neina bangun dari duduknya, keluar dari bangku untuk segera pulang.
Sementara Nevan masih sibuk memasukan buku-bukunya ke dalam tas. Otaknya
benar-benar pusing, pelajaran fisika barusan sudah berhasil membuatnya serasa
dibawa ke wahana roller coaster. Bukan hanya Nevan, tapi juga yang lainnya.
"Eh, Na!" ujar Wildan melongo. Neina menghentikan langkah, sedikit berbalik.
"Ya?" "Itu kenapa rok lo ada warna merahnya?"
Neina tersentak, ditengoknya kepala ke bawah, tepat pada rok abu-abunya.
Batinnya terus waswas, apakah jangan-jangan?... Darah haid-nya bocor? Oh
tidak! Neina meringis, sudah pasti ini pasti bocor. Neina segera berbalik,
menyembunyikan roknya dari Wildan, Ari dan Satya yang masih berada dalam
kelas. Sekarang, hanya mereka berlima yang tersisa. Neina sedikit menurunkan
ranselnya, berharap bahwa noda merah sialan itu tidak akan terlihat. Dalam hati
Neina menggerutu kesal, bisa-bisanya dia ketahuan bocor. Sungguh memalukan.
"Wah, lo bocor ya, Na?" tanya Ari bingung. "Kayak di sinetron My Love itu
yang pemainya Yuki Kato, langsung dibeliin pembalut deh sama cowoknya," ia
kembali berceloteh, menyambungkan hal ini dan itu. Yang bahkan sama sekali
tidak ada gunanya untuk dibicarakan.
"Dasar pecinta sinetron lu!" ledek Wildan.
"Ih itu sinetron berbobot kali! Kalau sinetron zaman sekarang baru alay! Gue
emoh nonton kayak gituan," Ari membela. Dia juga suka kesel kalau emaknya
sudah menyetel siaran sinetron di TV-nya.
"Iya nih kayaknya. Maaf ya aku bener-bener gak tau. Emm akh boleh minta
tolong, gak?" Neina berharap bahwa salah satu dari mereka mau memberikan
bantuan. "Ada yang bawa jaket? Aku minjem boleh?"
"Nih pakek punya gue aja," Nevan menyodorkan jaket kaosnya kepada Neina,
padahal dari tadi dia seperti tidak peduli, tapi dia orang yang pertama kali
menawarkan bantuan. "Ayo ambil. Wangi, kok. Baru dicuci kemarin."
"Percuma wangi kalau akhirnya dipake buat itu " Ari menggantung
kalimatnya. Tapi menyadari kalau ucapannya tidak digubris sama sekali oleh
Nevan ataupun Senna, dia kembali diam.
"Serius, nih? Nggak ngerepotin, kan?" tanya Neina memastikan.
"Iya pakai aja. Gak usah dikembaliin juga gak papa, kok. Bisa jadi kenangkenangan juga boleh," jawab Nevan yang disambut dengan pelototan mata
teman-temannya. "Ini kalau ada si Senna pasti si Nevan abis, nih!" bisik Ari di telinga Wildan,
Wildan manggut-manggut setuju. Satya melemparkan sorot pertanyaan kepada
kedua temannya, seolah menanyakan tentang sikap manis Nevan kepada Neina.
"Bro, kita duluan keluar, ya!" kata Ari berpamitan. Neina meraih jaket Nevan
dan mulai memakainya, diikatnya kedua lengan jaket itu di pinggannya, untuk
menutupi noda merah yang ada di roknya. Di dalam kelas tinggal ada Nevan dan
Neina. "Udah?" "Makasih ya, Van. Setelah pulang langsung aku cuci, deh. Sekali lagi makasih."
"Sama-sama," Nevan menggendong ranselnya, "Gak usah berlebihan gitu kali.
Selow aja, kita kan temen."
"Temen?" "Iya!" Neina tersenyum. Dia merasa beruntung bisa dipertemukan dengan lelaki baik
seperti Nevan. Padahal mereka baru kenal, tapi sikap Nevan yang selalu manis
telah membuat Neina merasa kagum. Pria itu sudah melapukkan sedikit rasa
gugup yang menyerangnya ketika pertama kali masuk ke kelas ini. Nevan dan
Neina saling tersenyum. Di luar, Senna beserta kedua temannya berhenti menghampiri Ari, Wildan dan
Satya. "Eeehhh Nevan mana?" Tanpa permisi, tanpa meminta izin, dia langsung
bertanya dengan heboh. Selalu begini, kalau dalam gerombolan itu ia tidak
melihat Nevan, Senna selalu kepo.
Nevan dan Neina keluar dari kelas dengan beriringan, masih ada sisa-sisa tawa
mereka yang berlangsung dalam perjalanan. Senna segera menoleh, dilihatnya
gadis yang berada di sebelah Nevan dari ujung kaki hingga ujung kepala dengan
sorot penuh penyelidikan. Sudah seperti seorang Ayah yang baru bertemu
dengan pacar sang putri tercinta yang katanya ingin melamar.
"Ehhh gue duluan ya, gue gak mau ikut-ikutan!" Ari tahu apa yang akan terjadi,
perang dunia akan segera dimulai. Dia pun pergi, diikuti dengan Wildan dan
Satya, meninggalkan Senna, Nevan dan Neina. Juga Sasta dan Nova yang malah
menjauh dari area itu. Mereka juga tak ingin ikut campur.
"Pulang bareng?" tanya Nevan kepada Senna yang masih memandang Neina
dengan tatapan antipati. Sementara Neina yang gelisah karena ditatap penuh
kecurigaan, merunduk kaku. Dan ketika Senna melihat jaket Nevan yang
melingkar di pinggang perempuan itu, kedua iris hitamnya membesar. "Itu itu
jaket kamu kenapa dipake sama cewek ini?!"
"Itu sengaja aku pinjemin "
"Pinjemin buat apa?! Ih kamu kenapa, sih? Kamu masih sebangku sama dia?
Keluar kelas barengan? Pinjemin jaket ke dia?!" pertanyaan demi pertanyaan
kesal terlontar di mulut Senna.
"Aku cuma minjem sebentar, kok," Neina mengangkat kepalanya,
memberanikan diri untuk menjawab supaya bisa menghentikan kesalahpahaman
ini. "Buat apa?!" balas Senna sengit. "Lo gak usah kegatelan deh jadi cewek!
Cepetin lepas jaketnya!" Senna menyentak.
"Kamu lebay banget, sih! Aku pinjemin karena Neina butuh. Kamu tau kan
kalau perempuan suka menstruasi? Nah roknya Neina kena darahnya, makannya
aku pinjemin jaket aku supaya gak keliatan sama orang-orang," Nevan berusaha
menjelaskan. Berharap kali ini Senna mau mengerti.
"Tapi gak pake jaket kamu juga kali! Kan masih banyak yang bawa jaket bukan
cuma kamu! Apa temennya gak mau minjemin? Itu kan jaket yang selalu kamu
pinjemin ke aku? Masa dipakek juga sama perempuan lain?" Senna mencecar
tanpa koma. "Neina itu murid baru. Dia baru cuma kenal sama aku, dan tadi pun di kelas
cuma ada aku, Ari, Wildan sama Satya. Mana mungkin mereka mau minjemin?
Ya udah aku pinjemin. Ayo dong dewasa, Sen. Ini cuma hal kecil, jadi gak usah
dibesar-besarin. Aku udah anggap Neina temen aku, jadi apa salahnya aku bantu
Triangle Karya Jaisii Quwatul di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dia?" "Temen?" "Iya kenapa?" "Iya sekarang temen! Tapi ujung-ujungnya apa? Ini baru pertama kalinya loh
kamu bantuin cewek sampai segitunya."
Dering ponsel milik Neina mengentikan percakapan Nevan dan Senna yang
kurang baik. Neina segera mengangkat telfon yang masuk ke dalam ponselnya.
Dia lantas menempelkan benda itu di telinga. "Iya, ma?"
Senna terdiam untuk beberapa saat, menahan emosi yang menggebu dalam dada.
Dia benci dengan situasi ini. Padahal Senna hanya menunjukan
kecemburuannya, dia sama sekali tidak mau Nevan sampai berpaling. Apalagi
ada perempuan lain yang lebih cantik, lebih sopan dan terlihat lebih lungguh.
Berbeda dengan dia yang asal-asalan, danda secara berlebihan. Sekarang Senna
menunggu Nevan meminta maaf dan membujuk, tapi pria tidak kunjung
melakukan apa yang diharapkannya.
"Iya iya aku ke luar sekarang." Neina menutup sambungan telfonnya, lalu
menoleh kepada Nevan, juga Senna yang mendelikan mata ketika ditatap Naina.
"Aku duluan ya. Dan aku minta maaf sama kamu, aku janji bakal langsung
balikin jaket punya Nevan," ujar Neina kepada Senna penuh rasa bersalah. Neina
segera pergi untuk menemui mamanya yang ternyata sudah menunggunya di
gerbang sekolah. Senna yang terlanjur marah sudah tidak bisa mengatakan apa-apa lagi. Untuk
melirik Nevan sejenak pun rasanya sangat malas. Sebenarnya tidak ada yang
salah, wajar Nevan mau membantu temannya. Tapi ketakutan Senna selalu
membuat dia terlihat seperti perempuan overprotektif. Yang membuat orangorang memiliki paradigma buruk kepadanya.
"Cabut guys!" Sasta dan Nova yang sedari tadi bungkam, berlekas mengikuti perintah Senna
yang sudah lebih dulu berjalan. Tinggal Nevan sendirian, dipandangnya
kepergian Senna yang meninggalkan aroma tidak enak. Gadis itu sudah pasti
masih marah. Nevan pun merasa dirinya tak salah, jadi apa perlu dia minta maaf
lagi? Tidap apa-apalah, ini hanya pertengkaran biasa. Besok mereka juga bakal
akur lagi. Nevan bergegas pulang, serem juga kalau dia masih berada di koridor
yang perlahan kosong. "Bawa gue ke mall. Bawaaa gue ke shooping! Jangan pulang!" Senna uringuringan di dalam mobil milik Sasta. Tadinya dia ingin mengajak Nevan pulang
bareng, itu sebabnya dia tidak membawa mobil. Tapi karena Nevan sudah
membuatnya kecewa setengah mati, terpaksa ia harus numpang di mobil Sasta,
dia anti naik angkot. "Gue benci sama Nevan! Gue bencii!! Gue juga gak tau,
apa dia udah pindah bangku atau belum. Gue takut Nevan masih sebangku sama
si Neina Neina itu."
"Jangan bilang gitu dong, Sen. Kan elo sayang banget sama dia, jangan sia-siain
Nevan. Kan baru aja kemarin lo main sepeda sama dia, masa sekarang udah
berantem lagi?" Nova yang duduk di sebelah Senna berusaha menenangkan
Senna yang mood-nya sedang sangat-sangat buruk.
"Abis gue kesel! Nevan gak pernah peka kalau gue itu cemburu!" Air mata
Senna nyaris keluar. Tapi gadis itu mencoba menahannya, karena ia sama sekali
tidak ingin terlihat cengeng, apalagi menjadi cewek lemah hanya karena lelaki.
"Dia malah suruh gue bersikap dewasa. Bukannya dia udah tau, gue gini adanya.
Gue itu gampang cemburuu, dia harusnya ngertii!! Gue gak mau kehilangan dia.
Terserah kalian mau bilang gue lebay atau gimana, tapi keinginan gue cuma satu,
gue gak mau kehilangan Nevan."
"Senna. Yang namanya cinta itu gak selamanya seneng-senengan. Pasti bakalan
ada air mata juga ujung-ujungnya!" timpal Sasta yang sedang fokus melajukan
mobilnya. "Basi!" "Dikasih tau kok gitu sih, Seeen?" kata Sasta manyun.
"Kalau nanti ada perempuan yang mau coba rebut Nevan dari gue, dia harus mau
berhadapan sama gue. Siap-siap hidupnya gak bakalan pernah tenang!"
"Tapi menurut gue, lo jangan terlalu posesif gituu. Nanti kalau Nevan nya pergi
gimana? Cowok kalau terlalu dikekang terlalu ketat itu hasilnya gak baik,
mereka bakal berusaha buat keluar dan nyari yang lebih nyaman lagi. Hati-hati
loh, Sen," saran Sasta menakut-nakuti.Bukan hanya menakut-nakuti, tapi
memang itulah faktanya. Senna malah diam dengan raut semrawutnya. Perkataan Sasta ada benarnya.
Gadis itu mulai panik, hatinya terkencar-kencar. Membuncah tidak keruan.
"Lagian kenapa gak pulang dulu aja, sih? Liat nih aku bocor," keluh Neina
kepada kedua orangtuanya. Mereka sedang berada di restoran yang
pelanggannya lumayan ramai untuk makan bersama-sama. Tadi Tania ?mama
Neina? menjemputnya ke sekolah dan langsung pergi ke sini. Ini memang
mendadak, sesuai permintaan Ardi ?Papa Neina? yang ingin memberikan
kejutan atas kedatangannya.
"Papa udah gak sabar pengen ketemu kamu. Lagipula udah diganti, kan? Terus
itu jaket siapa? Pacar?" goda Ardi kepada putri kesayangannya. Berniat untuk
menghilangkan raut cemas di wajahnya.
"Iih apaan sih, pah. Aku baru aja pindah ke sana, masa udah punya pacar. Lagian
kan papa tau sendiri, aku itu seumur-umur belum pernah pacaran. Ini jaket
temen, kok. Kebetulan dia baik banget."
"Cowok apa cewek?" tanya Tania kepo.
"Cowok, sih." "Tuh kan pah! Cowok ternyata."
"Emang kenapa sih mah kalau cowok?" Neina menautkan kedua alisnya,
bingung dengan respon kedua orangtuanya yang senang sekali menggodanya.
"Ya nggak kenapa-napa, sih," jawab mamanya. "Berarti cowoknya baik, kan?
Kan biasanya mana mau mereka minjemin jaket buat penutup darah menstruasi
perempuan. Baru kenal lagi. Kalau dalam bahasa sunda, anak yang bageur."
"Ih mentang-mentang mama orang Sunda," kata Neina sedikit terkekeh.
"Gimana belajarnya? Enak, kan? Atau kamu gak nyaman?" tanya Ardi lagi.
Memastikan kalau putrinya senang dengan sekolah barunya.
"Seneng, kok. Ya cuma kan papa sama mama tau sendiri laah. Aku orangnya
susah banget buat bersosialisasi. Jadi ya gitu deh, Neina baru akrab sama temen
sebangku." "Ya bagus deh kalau gitu."
"Temen sebangkunya cewek atau cowok?" tanya mamanya mengulangi
pertanyaan yang pertama. Neina mengernyit tak habis pikir, mamanya ini terlalu
kepo. "Ayo jawab." "Iya ini yang minjemin Neina jaket itu temen sebangkunya Neina," jawabnya
sedikit bersemu. "Seriusan kamu?" sorot bergelora tampak di mata Tania. "Iya. Tapi biasa aja
kali, ma. Jangan lebay gitu, deh."
Ardi tertawa melihat istri dan anaknya. Tak lama kemudian, pesanan mereka
datang. Sang pelayan menyimpan beberapa hidangan makanan di atas meja.
Perut Neina yang mulai keroncongan rasanya ingin langsung menyantap
makanan lezat di hadapannya. Apalagi udang bumu saus tiram kesukaannya.
Senna menghentikan langkah, tak sengaja kedua matanya mengangkap sosok
perempuan yang sudah tidak asing lagi. Dia sedang bersama dengan kedua
orangtuanya dalam restoran Solaria yang berada di Mall yang sekarang ia
kunjungi. Dia Neina. Restoran itu didesain dengan serba kaca, jadi semua orang
bisa melihat jelas bagaimana keadaan restoran itu dari luar. Senna malah diam
memandang Neina dan kedua orangtuanya, tampak mereka sedang makanmakan enak, diselingi dengan canda tawa renyah penuh kehangatan. Ada afeksi
nyata yang tersalur dari orangtua kepada anaknya. Apalagi ketika tangan sang
ayah, terulur di kepala Neina, mengusapnya penuh kebanggaan dan kasih
sayang. Ekspresi datar Senna mengundang Sasta dan Nova menatapnya penuh tanya.
Pendar di matanya meredup, padahal tadi Senna begitu semangat untuk membeli
baju baru. Napas tersekat di tenggorokan. Senna menggigit bibir bawahnya
keras-keras, kalau saja ini bukan karena rasa amarah yang semakin menjadi,
mungkin dia sudah berteriak kesakitan. Dalam diamnya dia menahan, menahan
gejolak yang datang secara sekonyong-konyong. Tak ada yang bisa membaca
pikiran Senna sekarang, termasuk kedua temannya. Ada sesuatu yang membuat
Senna, tiba-tiba membenci Neina di detik itu. Kedua tangannya mengepal,
bahkan kuku-kukunya nyaris menusuk kulitnya. Namun bibir Senna dibiarkan
membekap, tanpa ada kata yang terlontar sepatah kata pun. Sesuatu telah
menohok jantungnya hingga menimbulkan nyeri. Senna mundur beberapa
langkah, tanpa melepas pandangannya pada obyek yang membuatnya mati kutu.
Pelupuk matanya membasah, Nova dan Sasta tercengang ketika melihat ada
gelembung bening yang bergelayut dalam kantung mata Senna yang selalu
kering. Kalau saja Senna mengedip, pasti air itu akan jatuh.
Mereka bingung, ada apa dengan Senna?
"Gue balik duluan," gumam Senna sangat pelan, dan hampir tidak terdengar. Dia
lantas berbalik, meninggalkan Sasta dan Nova yang semakin belingsatan. Di
sana Senna berjalan dengan kecepatan kencang.
Bagian 7. Dalam kamarnya Senna menangis hingga menimbulkan suara, bi Iyah yang
duduk di sebelahnya pun bingung dengan tangisan Senna yang parah, hampir
dua jam dia seperti itu. Sudah beberapa kali Bi Iyah bertanya, tapi majikan
mudanya tidak menjawab apa-apa, hanya menangis seperti anak kecil yang
kehilangan bonekanya, kadang juga malah bersungut-sungut. Perempuan itu
sudah menghabiskan sekotak tisu, kumparan-kumparan tisu yang basah karena
air mata dan ingusnya berserakan di atas kasur.
"Telfon mama bii, telfon dia dan suruh pulang secepatnya!" rengek Senna tak
mau tahu. Yang jelas pembantunya harus mau mengikuti perintahnya, tak ada
bantahan sama sekali. "Tapi kan, non," Bi Iyah kalang kabut. Majikannya sudah mengatakan bahwa dia
akan pulang dua hari lagi. Jadi Bi Iyah tidak bisa memaksa dia pulang lebih
cepat. Kecuali kalau Senna sendiri yang memintanya, tidak menggunakan
perantaranya. "Ya udah bibi keluar aja sana!" Senna mengeluarkan ingusnya pada lembar tisu
di tangannya, diremasnya tisu itu dan dilemparnya ke sembarang tempat. "Gue
pingin sendiri!" Senna lantas berbaring dan memeluk bantal gulingnya,
membelakangi bi Iyah yang tergemap. Perempuan itu menggeleng pelan,
memandang Senna prihatin.
"Nevan!" Nevan membalikan badannya. Dan yang memanggil ternyata Neina, perempuan
itu melambaikan tangan di ujung koridor sambil tersenyum. Lalu berlari
mendekati Nevan. Kebetulan koridor masih terbilang sepi.
Neina memberikan jaket milik Nevan di tangannya. "Bareng yuk ke kelasnya.
Dan ini jaket kamu, makasih ya."
Nevan memandang jaket itu dalam, harum semerbak merasuki rongga
hidungnya. Jaketnya juga terlipat sangat rapi dan bersih, Neina pasti merawatnya
dengan sangat baik. "Cepet banget balikinnya. Padahal jaket gue masih betah
mungkin ada di tangan lo," Nevan tersenyum miring lantas mengambil jaketnya,
"Thanks juga!" "Ih kok malah makasih, sih? Aku kan yang harusnya bilang makasih. Terus
dijawab ?sama-sama? gitu sama kamu."
"Makasih udah bikin jaket gue jadi wangi," ia menghirup jaketnya sendiri.
"Ya udah ke kelas yuk," ucap Neina mulai melangkah.
"Hay kak Nevaaan," sapa salah satu adik kelas yang sedang berjalan di koridor.
"Haay," balas Nevan tak kalah ramah, tak lupa juga dengan senyum maut di
bibirnya. Neina terpaksa menghentikan langkah, dan menoleh. Dilihatnya Nevan
yang sangat akrab dengan siswi lain. Pantas saja banyak sekali orang yang
mengaguminya, termasuk Neina. Karena dia mungkin tipe cowok yang yang
kerap terlihat keren dan ramah.
"Hay Nevan. Kapan nih tanding lagi?" kali ini bukan adik kelas, melainkan
kakak kelas yang mengidolakan Nevan lewat permainan bola basketnya yang
sangat keren. Dia selalu menjadi suporter Nevan saat pertandingan berlangsung,
padahal lawan tim Nevan adalah perwakilan dari kelasnya sendiri.
"Emmm mungkin minggu depan kali."
"Okeey aku tunggu, ya!"
"Siiip," Nevan mengacungkan jempolnya. "Dadah Nevaan," kakak kelas itu
mulai pergi sambil melambai-lambaikan tangan centil, melanjutkan perjalanan
yang tadi sempat terhenti hanya untuk menanyai Nevan. Lelaki itu manggutmanggut.
Nevan pun berjalan lagi, menyamakan posisinya dengan Neina.
"Banyak banget ya fans kamu," kata Neina.
"Mungkin." "Bola basket? Kamu ikut eskul basket?" tanya Neina lagi di perjalanan, kali ini
dia ingin tahu lebih tentang Nevan.
"Iya. Kebetulan juga gue ketua timnya, keren kan?"
Neina tertawa geli sambil mengangkat sebelah halisnya. "Sombong banget."
"Ya iyalah. Kita itu harus bangga sama apa yang kita milikin, apalagi kalau
sesuatu itu nggak dimilikin sama orang lain."
"Iya keren banget!"
Keduanya masuk ke dalam kelas dengan diiringi tawa. Meski pun baru beberapa
hari berkenalan, Neina sudah mulai merasa nyaman.
"Neina!" panggil Dewi. Neina menoleh. "Nilai ulangan fisika lo besar! Bahkan
paling besar di kelas ini," ujar Dewi sedikit gempar. "Wah? Serius?" Neina
mendekatinya dengan tampang kaget sekaligus senang. Sedangkan Nevan terus
melangkah menuju bangkunya. Disambut oleh ketiga temannya yang sudah lebih
dulu berada di kelas. "Bareng sama si Neina?" tanya Ari penuh selidik.
"Tadi gak sengaja ketemu di jalan, jadi kita bareng aja," Nevan menyimpan
tasnya di atas kursi. Ari menggeleng, Wildan dan Satya pun ikut-ikutan.
"Kayaknya lo mau main api nih, Van," Ari melanjutkan. Romannya menjadi
lebih serius, seolah sedang berpikir keras. Kalau dalam dunia kerja, dia sudah
seperti seorang bos yang akan segera menyemburkan amarah kepada bawahan.
"Maksud lo?" "Lo suka sama Neina? Ngaku aja kali. Gue bisa liat kok dari gerak-gerik lo,"
Wildan menimpali. Matanya penuh penyelidikan kritis.
"Wiisss Sembarangan aja kalau ngomong lu toong toong," jawab Nevan
kalem, karena dia sendiri tidak merasa kalau dia menyukai Neina. Temantemannya terlalu parnoan, mungkin kebanyakan nonton sinetron. Gampang
baper. "Ya terus kenapa lo nyuruh gue pindah demi Neina? Mau modus buat deketin
dia?" tanya Satya ikut memastikan. Tingkat kekepoannya naik satu level.
"Kalian kan tau sendiri. Gue orangnya kayak gini. Jadi jangan anggep kalau gue
baik sama seseorang, itu artinya gue cinta. Gue pernah nraktir lo makan bakso,"
telunjuknya di arahkan ke Wildan, "Gue pernah biarin lo nginep di rumah gue,"
telunjuknya diarahkan ke Ari, "Gue pernah bayarin lo renang di kolam renang,"
telunjuknya ia arahkan ke Satya. "Itu tandanya apa? Gue cinta sama kalian gitu?
"Dihh amit-amit!" dengan refleks Ari menarik badannya. Merasa jijik jika
dicintai oleh sejenisnya. Meski pun Nevan ganteng, tetep aja dia masih normal.
"Kayak yang laku aja lu!" ledek Nevan.
"Tapi ini beda, Van. Dia kan cewek," ujar Wildan.
"Lagi ngomongin apa, sih?" Neina tiba dengan pertanyaannya.
"Ehh nggak, nggak ngomongin apa-apa kok, Ni, eh Na. Eeehh Neina,"
sindrom gagap Ari kembali menyerang, tampangnya menjadi senewen.
"Gak papa kok kita cuma ngobrolin Ayu Ting-Ting yang katanya selingkuh sama
Rafi Ahmad," Nevan meralat ke arah cerita yang sama sekali tidak pantas untuk
dibicarakan. Reportasi sebagai seorang cowok terkeren tercontreng hanya karena
menggosipkan berita simpang siur tidak jelas.
"Senna! Kemari kamu," panggil Bu Wina ?guru mata pelajaran ekonomi di
antara keheningan. "Saya, bu?" tanya Senna menunjuk menunjuk dirinya sendiri,
takut salah. "Iya siapa lagi!"
Senna pun bangkit dari duduknya dengan gerakan pelan, lalu berjalan ke depan
sesuai perintah guru. Dan sekarang dia sudah berdiri di depan Bu Wina. Tanpa
tahu apa alasan mengapa guru itu memanggilnya.
"Tolong bawa buku-buku paket ini ke perpustakaan," ucap Bu Wina melirik
tumpukan buku paket di mejanya. Wajah Senna bekernyut, memandang bukubuku tebal di hadapannya ngeri, karena mereka begitu banyak, tebal, besar pula.
"Semuanya, bu?"
"Iya lah!" "Waaah ini banyak amat bu, kenapa harus suruh saya, sih? Kan masih banyak
murid lain, terutama lelaki. Kalau saya yang pindahin ini ke perpus, yang ada
tubuh saya gak bakal kuat nahannya. Kalau tiba-tiba tangan saya keram
gimana?" "Anak yang gak punya kesopanan kamu!" balas Bu Winda geram. Senna
terperangah mendengar sentakan gurunya. Yang lain tertawa, mentertawakan
adegan lucu di depan. Ada juga yang mengomel, berani-beraninya Senna yang
hanya seorang murid biasa protes kepada guru.
"Berisik kalian!" ucap Senna dongkol tatkala menengok ke belakang, lantas
mendelikan mata, lalu menghadap ke Bu Wina lagi. Meminta penjelasan lagi.
Triangle Karya Jaisii Quwatul di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ibu kenapa sih kayak yang sinis gitu sama saya. Masa saya disuruh bawa bukubuku sebanyak dan seberat ini?" Senna memorotkan bibir sambil merengek.
"Kenapa nggak siswa laki-laki aja, si?"
"Ini hukuman buat kamu. Karna nilai ulangan kamu selalu jelek, dan sekarang
pun, nilai ulangan kamu itu paling kecil di antara semuanya," jelas Bu Wina
secara gamblang. Senna membelalak, tercengang akan kabar nilai ulangannya
yang lagi-lagi berada di urutan terbawah.
Tawaan para murid kembali pecah memenuhi seisi kelas.Dan Senna yang merasa
terpojok, mengepalkan pergelangan tangan dengan jengkel. Setengah marah
kepada Bu Wina, setengah lagi kepada teman-temannya. Bisa-bisanya Bu Wina
membeberkan nilai ulangannya dalam situasi seperti ini.
"Makannya kamu ini. Belajar yang rajin, jangan cuma dandan doang. Pakai otak
kamu, jangan cuma ngehias rambut doang."
"Hahahaha," lagi dan lagi Senna menjadi bahan tawaan.
"Ih apaan sih bu pakek komentar-komentar tentang penampilan saya," Senna
tersinggung atas perkataan gurunya barusan. "Iya saya emang bodo, bu. Tapi ibu
gak usah juga dong larang-larang saya buat dandan. Saya ini cewek, wajar dong
kalau saya harus nata penampilan saya. Ini keperluan saya."
"Kamu ini, bener-bener. Berani sekali membela diri di depan guru."
Nova dan Sasta saling melirik, menggeleng-gelengkan kepala penuh penyesalan.
Ekspresinya seperti orang yang sedang makan mangga mentah, asem. Apalagi
sekarang sorot mata Bu Wina berubah, berkilat-kilat menatap Senna. Mereka
khawatir kalau Senna akan segera dihukum dan mendapatkan kemurkaan dari
Bu Wina. Si guru gendut dengan wajah sangar.
"Senna!" Bu Wina menggebrak meja. Yang dipanggil telonjak kaget. "I iya
bu Iya saya bawa ini ke perpustakaan," Senna tidak ingin mendapat hukuman
yang lebih besar lagi. Jadi mau tak mau dia harus mau mengikuti perintah Bu
Wina. Gadis itu mulai membawa beberapa buku-buku paket itu, "Saya gak bisa
bawa semuanya, bu," ia mencibir. "Tangan saya terlalu kecil."
"Itu risiko! Bisa kan bolak-balik?!"
Kalau bukan Guru, makhluk di depannya ini udah Senna cakar-cakar wajahnya
sampai berdarah. Apalagi bibirnya yang pedas, ingin sekali mengguntingnya
supaya dia berhenti mengoceh. Kini di tangan Senna sudah ada tumpukan buku
berjumlah 15 buku. Ia mulai melangkah keluar, matanya malas untuk melirik ke
bangku teman-temannya, yang jelas sekarang mereka pasti sedang
mentertawakan kesialannya. Tenang, nanti ia akan membalasnya.
"Aduuh miss A.. Miss A"
Kelas 11 IPA 2 baru saja menyelesaikan olahraga. Sekarang saatnya Pak Gian ?
Guru Penjaskes meninggalkan murid-murid di lapangan, memberikan kebebasan
mereka untuk berolahraga sesuai keinginan mereka. Masih tersisa satu jam
pelajaran. Ada yang bermain bola sepak, ada yang bermain bola voly, ada juga
yang basket. Seperti biasa, Nevan beserta ketiga temannya sedang memainkan
bola basket, itung-itung latihan untuk pertandingan nanti. Kalau banyak latihan,
peluang untuk menang kan banyak.
Dan Neina, dia memilih untuk beristirahat di pinggiran lapangan. Memandang
teman-temannya yang asik sendiri. Kebetulan Neina kurang suka dengan
pelajaran olahraga. Sejak SD hingga sekarang. Renang pun dia tidak bisa.
"Ayo ikutan!" ajak yang lain.
"Nggak aku di sini aja. Capek," Neina mengelap keringatnya.
"Kok bolanya ngga masuk-masuk sih, Dan? Lo kebiasaan masukin itu sih, jadi
lupa kan masukin bola ke ring," tegur Ari yang kesal melihat Wildan tidak
pernah berhasil memasukan bola.
"Cabul banget si lo, gak baik fitnah temen sendiri," Wildan menabok bahu Ari
hingga lelaki itu meringis.
Nevan dan Satya sibuk sendiri, Nevan berusaha memasukan bola, dan Satya
berusaha menghalangi dan merebut bola di tangan Nevan. Dan
Nevan berhasil memasukannya. Sekarang giliran Satya, lelaki itu mulai
mendrible bola, berkeliling lapangan. Nevan memilik kesempatan untuk
beristirahat, dipalingkannya wajah ke sisi lapangan. Alhasil, Neina yang
semenjak tadi memandangi Nevan penuh kekaguman kini tertangkap basah oleh
Nevan. Perempuan itu lantas mengalihkan matanya, melirik-lirik ke arah lain.
Yang jelas, bukan ke arah Nevan.
"Neina!" panggil Nevan. Neina menoleh lagi.
"Sini!" Neina menggelengkan kepala.
"Sini! Masa sendirian di sana?" teriak Nevan lagi. "Gue ajaran main basket!"
Neina malah mengernyitkan kening, telinganya kurang jelas mendengar ucapan
Nevan. Tapi samar-samar dia mendengar kalau Nevan mengajaknya belajar main
basket, tapi Neina tidak yakin. Mungkin dia salah dengar.
Namun melihat Nevan yang terus melambaikan tangannya, membuat Neina
penasaran dan beranjak dari duduknya. Dia mulai berjalan ke tengah halaman, di
sana Nevan tersenyum. Tapi tiba-tiba DUGG!! Salah satu bola voly terlempar ke kepala Neina. Yang lain tercengang, apalagi
dia yang barusan tak sengaja melemparkan bola itu. Neina memegang kepalanya
yang mulai keliyengan, pengelihatannya buram. Dan Bruk! Dia pingsan.
Nevan bergegas berlari menghampiri Neina, begitu pun dengan yang lainnya.
Semuanya mengerubuni Neina yang sudah tak sadarkan diri dengan raut cemas.
Takut terjadi sesuatu, mereka memang paling takut kalau melihat ada orang yang
pingsan. "Panggil Pak Gian, panggil Pak Gian!!"
"Elo sih gak bener!" Mereka menjadi ricuh dan saling menyalahkan. "Tadi
ngelemparnya nggak bener, jadi salah sasaran, kan!"
"Pak Gian udah berangkat gak tau kemana." jawab yang lain.
Nevan berjongkok sambil menepuk-nepuk pipi Neina, "Na bangun, Na. Lo gak
papa, kan? Na." "Bawa ke UKS aja, Van," usul Ari rusuh.
"Oke oke," Nevan segera membawa Neina ke dalam gendongannya.
"Dasar bu wina wini wene wono.. Wira wiri wuru wereee kaliiii. Euuuh si ibu
gembrot itu ngeselin banget sih!" Senna yang sedang ngedumel, menghentikan
langkah ketika melihat kerumunan di tengah lapangan. Kedua matanya menyipit.
Apa yang sedang terjadi? Di sana juga Senna melihat ada Wildan dan Ari, dan
sudah pasti itu adalah murid kelas 11 IPA 2, kelasnya Nevan.
Dan betapa terkejutnya Senna begitu melihat Nevan yang keluar dari kerumunan
itu sambil menggendong tubuh perempuan. Senna mangap, Nevan sedang
menggendong Neina yang pingsan! Oh god! Bagaimana mungkin itu terjadi?
Karena terlalu kaget, ia sampai menjatuhkan seluruh bukunya ke bawah hingga
buku-buku itu berserakan ke mana-mana. Pandangan Senna terus tertuju pada
Nevan yang berjalan menuju UKS seiring dengan tertutupnya kembali mulut
yang sebelumnya terbuka. Ini lebih mengerikan dibandingkan mendapat amarah
Bu Wina tadi. Bahkan, ini lebih membuatnya marah sekaligus sakit.
"Ini gak bisa didiemin!" katanya penuh penekanan. Senna pun melangkah pergi
tanpa peduli pada buku-buku paket yang telah terbengkalai itu. Masa bodo.
Nevan menidurkan Neina yang masih pingsan di atas brankar dengan panik.
"Duuh pasti sakit banget tadi. Gara-gara gue sii nyuruh Neina ke tengah
lapangan," omelnya sendiri penuh rasa bersalah. Pria itu melemparkan
pandangannya ke segala sudut UKS, berharap menemukan sesuatu yang bisa
membuat Neina siuman. "Nevan." Merasa namanya dipanggil, Nevan membalikan badan, menghentikan aksi
pencariannya. Senna sudah berada di belakangnya, sangat dekat.
"Kok kamu bisa ada di sini?" tanya Nevan bingung. Padahal sekarang masih jam
pelajaran. "Kamu bolos yaa?"
"Aku mau bicara!" Senna meraih pergelangan tangan Nevan, membawanya
keluar dari UKS. Nevan hanya mengikuti keinginannya tanpa ingin bertanya.
Begitu sampai di luar, Senna lepaskan tangan Nevan. "Ada apa, Sen? Ini masih
jam pelajaran, kok kamu malah keluyuran? Kamu kangen sama aku? Ya udah
nanti juga istirahat."
"Kamu bisa gak sih gak usah se-care itu sama perempuan itu?!" tanyanya secara
langsung tanpa prolog, tangannya pun ditunjukkan ke dalam UKS. Bahkan ia
sama sekali tidak menanggapi pertanyaan Nevan. Caranya yang sembrono
sedikit membuat Nevan tidak habis pikir. Senna menemuinya hanya untuk
mengatakan hal macam itu.
"Aku cuma bantuin dia. Tadi dia pingsan gara-gara kelempar bola di lapangan.
Masa aku diemin?" "Apa harus kamu? Apa di lapangan itu cuma ada kamu? Aku tadi liat, masih
banyak cowok lain yang ada di lapangan. Tapi kenapa harus kamu? Kamu itu
kenapa, sih? Kamu naksir sama cewek itu?!"
"Aku cuma bantuin. Niat aku cuma itu, gak ada maksud lain," jelas Nevan
setegas mungkin. Ingin membuktikan bahwa asumsi Senna itu sangat salah.
Salah besar. Dan tidak ada benarnya sama sekali.
"Apa kamu tau? Aku tu benci banget sama cewek itu! Aku benci banget sama
dia!" Senna sudah kesal gara-gara kejadian di kelas tadi, dan sekarang Neina
kembali menyulutkan api amarahnya lagi. Membuat Senna semakin naik pitam.
Ini adalah hari tersialnya!
Garis kernyit tercetak di kening Nevan. Mendadak dia heran. Mengapa Senna
bisa berbicara seperti itu sementara dia sendiri belum mengenal Neina sama
sekali. "Aku benci sama dia dan aku minta sama kamu, ini untuk terakhir kalinya kamu
bantuin dia!" "Kamu yang kenapa? Kamu aneh, bisa tiba-tiba benci sama seseorang padahal
kamu sendiri belum kenal sama orang itu," kata Nevan penuh tanya. "Senna,
kalau kamu benci sama seseorang itu harus ada alasannya."
"Pokoknya aku benci sama dia! Titik! Gak ada alasan apa pun, aku benci dia!
Puas kamu?" "Ya tapi?" "Kalau kamu tetep gak mau dengerin aku, kita putus," ujar Senna intens, untuk
pertama kalinya Senna melontarkan kalimat itu. Nevan tertegun selama beberapa
detik, menatap Senna penuh kelabakan. Kalau dilihat dari sorot mata Senna,
Nevan tidak melihat ada sorot main-main sama sekali. Masih saling menatap,
Senna melangkah mundur, lalu berbalik meninggalkan Nevan yang masih
terpaku di tempat. Ia sama sekali belum mengerti dengan semua ungkapan Senna
barusan. Bagian 8. "Gimana, Van? Si Neina udah sadar belum?" tanya Ari yang baru saja datang di
belakang. Nevan sedang melamun, sosok Senna pun sudah lama menghilang dari
pandangannya. Dia tidak menanggapi pertanyaan rusuh teman-temannya. "Duh
siapa si yang lempar tu bola? Kagak tanggung jawab banget! Udah tau salah
malah pura-pura gak tau apa-apa. Dan alhasil, jadi elo yang bawa dan nungguin
Neina." Wildan mencomel panjang lebar.
"Kok elo malah diem di sini, sih?" giliran Satya yang bertanya. Kebingungan
melihat Nevan yang malah berdiri di depan UKS, bukannya masuk dan
menunggui Neina di dalam.
Tanpa diduga, Neina keluar sambil sempoyongan. Jemarinya memijat kening
yang masih terasa nyeri. "Neina? Lo udah sadar?" Ari mulai menanyai Neina secara heboh. Merasa
takjub ketika mengetahui orang yang pingsan sudah bangun, sungguh keajaiban
baginya. Mendengar suara Ari, kontan Nevan berbalik.
"Lo udah siuman?" tanya Nevan waswas sambil mendekat. "Kepala lo masih
sakit?" "Aku gak papa, kok," jawab Neina menggeleng. Menghentikan pijatannya.
Mulai memperjelas pandangannya.
"Syukur, deh. Kita semua tadi panik banget liat lo pingsan," kata Ari yang
akhirnya lega. "Oh, ya. Tadi aku ngga sengaja denger percakapan kamu sama Senna. Aku jadi
nggak enak. Tolong sampain ke Senna, aku minta maaf."
Selamat Datang Dirumah Mati 2 Pendekar Mabuk 04 Perawan Sesat Gajah Kencana 18
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama