Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo Bagian 1
:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 1
:: CerSil KhoPingHoo : :: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 2
:: CerSil KhoPingHoo :
https://www.facebook.com/groups/KhoPingHoo
Penerbit :
CV. GEMA - Solo
Pelukis :
Soebagyo
Sumber Image :
Awie Darmawan
Kontributor :
Yon Setiono
Edit ke DOC, PDF, TXT (E-Book) oleh :
Cersil KPH
Cetakan 1992:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 3
:: CerSil KhoPingHoo :
Bayangan Bidadari/Sian Li Eng Cu (Cerita Lepas)
https://www.facebook.com/groups/KhoPingHoo
Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo
"Tolooong...! Tolooong...!!"
"Tolonglah... rumahku terbakar...!!"
"Ho-han (orang gagah), ampunkanlah kami... jangan bunuh kami. Ambil semua harta benda kami, akan
tetapi ampunkan dan jangan bunuh kami..."
Ratapan dan jerit tangis memilukan terdengar di dusun Tiang-On pada tengah malam itu, jerit tangis
yang disusul oleh bentakan-bentakan marah dan ganas dari orang-orang yang mendatangkan keributan
itu, disusul pula oleh berkelebatnya golok dan pedang yang tanpa kasihan membacoki leher orang-orang
yang minta tolong itu. Disusul pula oleh nyala api yang sebentar saja menjalar ke sana sini, memakan
habis semua gedung berikut isinya. Juga para penghuninya, mati atau hidup, banyak yang menjadi
korban api mengganas. Anehnya, serbuan orang-orang yang ratusan banyaknya itu, api yang memakan
rumah-rumah gedung-gedung, hanya ditujukan kepada para hartawan dan bangsawan, tidak memilih
bulu. Rumah penduduk yang miskin sama sekali tidak diganggu, bahkan para penyerbu yang menyebar
malapetaka kepada hartawan dan bangsawan itu berteriak-teriak ganas,
"Saudara-saudara petani miskin, kaum tertindas, mari bangkit dan membalas dendam kepada mereka
yang memeras keringat dan darah saudara-saudara!" Oleh seruan ini, tidak sedikit penduduk Tiang-On
yang merasa menjadi orang miskin dan memang hidupnya sehari-hari digencet dan diperkuda oleh para
hartawan dan bangsawan serentak keluar dari rumah dan membantu, terutama sekali untuk
mempergunakan kesempatan itu mencari keuntungan, merampok! Kemudian mereka ini mendapat
kenyataan bahwa diantara para penyerbu itu terdapat belasan orang petani di dusun itu yang jelas
menjadi anggauta penyerbu. Memang serbuan itu telah direncanakan lebih dulu. Para penyerbu terdiri
dari pasukan rakyat yang menamakan dirinya Kai-Sin-Tin (Pasukan sakti para pengemis).
Sebetulnya mereka ini bukan seluruhnya terdiri dari para pengemis, melainkan rakyat dusun-dusun yang
memberontak karena merasa hidupnya amat tertekan dan tertindas, baik oleh kemiskinan maupun oleh
penghisapan para tuan tanah dan para pembesar yang korup. Mereka menyebut pasukan jembel karena
keadaan hidup mereka memang tiada bedanya dengan para jembel. Kalau para jembel atau pengemis
minta makanan berdasarkan dermaan siapa saja yang menaruh hati kasihan, mereka lebih-lebih lagi,
selalu harus mengharapkan uluran tangan atau "Pertolongan" dari para tuan tanah. Akan tetapi
pertolongan macam apa! Mereka harus bekerja, membanting tulang melebihi kerbau atau kuda, dan
semua hasil cucuran darah dan peluh mereka mengalir ke dalam kantong para tuan tanah,
Sedangkan untuk mereka sendiri agar dapat makan setiap hari saja harus mengemis-ngemis dan
membongkok-bongkok terhadap para tuan-tanah itu. Inilah sebabnya maka di mana-mana timbul
pemberontakan rakyat kecil yang kelaparan, dipimpin dan dikepalai oleh orang-orang gagah yang
berjiwa patriotis. Akan tetapi, sebagaimana halnya segala sesuatu yang terjadi dunia ini, sifat-sifat yang
baik selalu memancing datang sifat-sifat yang bertentangan. Memang banyak sekali diantara para
pemberontak itu yang betul-betul memperjuangkan nasib, demi kebaikan tingkat hidup kaumnya, yakni
rakyat kecil, rakyat tani dan pekerja. Namun, tidak jarang diantara para "Pejuang" ini menyelundup
orang-orang yang memang pada dasarnya buruk watak. Tidak kurang banyaknya para perampok dan
manusia-manusia yang sudah bejat moralnya,:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 4
:: CerSil KhoPingHoo :
Menggabungkan diri, berkedok semboyan "Perjuangan suci" dan dalam kesempatan itu mereka
memuaskan nafsunya yang jahat, merampok, membunuh, memperkosa dan lain perbutan jahat lagi
yang semata-mata mereka lakukan atas dorongan nafsu. Tengah malam itu, dusun Tiang-On menjadi
korban. Semua rumah gedung dimakan api, orang-orang yang terbunuh mati tak terhitung banyaknya.
Mula-mula memang para bangsawan dan hartawan itu mengadakan perlawanan, tentu saja anak-buah
dan kaki tangan mereka yang maju menghalang serbuan pasukan Kai-Sin-Tin. Akan tetapi karena jumlah
para penyerbu banyak sekali, terutama dikepalai oleh seorang pemuda yang gagah perkasa, sebentar
saja mereka itu dibabat roboh dan sebagian besar melarikan diri, samasekali tidak mau memperdulikan
lagi nasib para majikan mereka.
Beberapa orang hartawan dan bangsawan mencoba untuk melarikan diri dari pintu belakang, namun
mereka disambut dengan babatan golok dan pedang. Mayat bergelimpangan, darah mengalir, tidak saja
di depan dan belakang rumah atau di dalam gedung, akan tetapi juga di jalan-jalan. Hiruk pikuk, soraksorai para penyerbu, jerit tangis keluarga yang menjadi korban, suara ketawa menghina dan mengejek
dari para anggauta penyerbu yang sudah keranjingan, bercampur aduk menjadi satu, mengotorkan
hawa malam yang sejuk dan bulan yang tadinya mengintai di balik awan cepat-cepat menyembunyikan
diri di belakang awan hitam. Agaknya ngeri menyaksikan tingkah manusia yang saling menyembelih,
dilakukan oleh manusia pada manusia, disebabkan oleh keserakahan manusia pula. Angin bersilir lembut
pada daun-daun pohon se-akan-akan berbisik,
"Manusia, mahluk yang terpilih, terpandai, berakal budi, akan tetapi... manusia pula mahluk yang paling
bodoh dan jahat! Kalau saja para bangsawan dan pembesar tidak serakah dan korup, kalau saja para
jembel tidak mudah dikuasai oleh nafsu, kalau saja... ya kalau saja manusia tidak diciptakan sama sekali,
takkan terjadi hal-hal yang mengerikan ini..." Pembunuhan dan pembakaran berlangsung terus. Biarpun
sebelum menyerbu, para anak buah dipesan keras oleh pemimpin mereka bahwa mereka tidak boleh
sekali-kali mengganggu wanita dengan perbuatan rendah, akan tetapi boleh membunuh para anggauta
keluarga wanita itu, namun diantara para penyerbu yang bermoral bejat ada yang diam-diam menculik
para wanita dan membawa lari mereka!
"Para pelayan boleh lari, tidak akan kami ganggu kalian asal saja tidak membantu para majikan!" seru
pemimpin penyerbu dan suaranya terdengar lantang, mengatasi semua suara hiruk pikuk itu. Ini
membuktikan bahwa pemimpin itu memang berilmu tinggi dan suaranya itu dikerahkan melalui tenaga
lweekang yang sudah tinggi tingkatnya. Mendengar ini, para pelayan otomatis meninggalkan majikan
mereka. Mereka tentu saja lebih sayang kepada nyawa sendiri. Namun, tidak kurang diantara mereka
yang diam-diam melarikan diri sambil menyambar barang-barang berharga!
Di ujung sebelah timur dari dusun itu, tinggal keluarga Kwee-Wangwe (hartawan Kwee) di dalam rumah
gedungnya yang besar. Kwee-Wangwe juga seorang tuan tanah yang kaya raya, kekayaan yang ia dapat
dari warisan orang-tuanya yang sudah enam keturunan lebih tinggal di tempat itu. Tidak ada lagi orang
yang dapat menerangkan bagaimana caranya Nenek moyang Kwee ini mengumpulkan harta bendanya,
entah dengan jalan halal dan memeras keringat atau berniaga, ataukah dengan jalan haram, mencekik
para buruh tani. Akan tetapi yang sudah jelas, dan hal ini diakui dan diketahui pula oleh seluruh
penghuni dusun Tiang-On, adalah bahwa Kwee Seng adalah seorang hartawan yang murah hati. Dialah
orang satu-satunya di dalam dusun itu yang menjamin kehidupan semua buruh taninya, tangannya
terlepas dan selalu ia siap sedia menolong mereka yang kekurangan atau yang menghadapi kesusahan.
Terutama sekali Kwee-Hujin (Nyonya Kwee), seorang wanita yang usianya baru dua puluh lima tahun,
Cantik jelita seperti bidadari, halus lembut tutur sapa dan gerak-geriknya, murah senyumnya dan murah:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 5
:: CerSil KhoPingHoo :
pula hatinya. Tidak ada orang di seluruh dusun yang tidak menaruh hormat dan sayang kepada Nyonya
Kwee. Dengan adanya hartawan Kwee di dusun itu, maka dusun Tiang-On terkenal sebagai dusun yang
tak pernah dilanda bahaya kelaparan, dalam arti kata bahwa belum pernah di dusun itu ada orang yang
mati kelaparan. Di waktu musim kering, keluarga Kwee tidak segan-segan menguras seluruh gudang
gandumnya untuk diberikan secara cuma-cuma kepada mereka yang sudah tidak mempunyai bahan
makanan lagi. Kwee Seng dan isterinya sudah menikah enam tahun lamanya dan mereka hanya
mempunyai seorang puteri yang diberi nama Kwee In Hong.
Nyonya Kwee cantik jelita seperti bidadari, Kwee Seng sendiripun berwajah tampan, maka tidak
mengherankan apabila Kwee In Hong seorang anak perempuan yang mungil manis, dan lucu. Semua
pelayan di dalam rumah itu, terutama sekali Can Ma inang pengasuh Kwee In Hong semenjak terlahir,
amat sayang kepada anak ini. Can Ma seorang janda tua yang hidup sebatangkara, maka terhadap In
Hong kesayangannya sama dengan kesayangan seorang Ibu kepada anaknya, atau kesayangan seorang
Nenek kepada cu-cunya. Ketika terjadi penyerbuan, Kwee Seng dan keluarganya juga menjadi panik.
Tidak seperti hartawan-hartawan yang lain, Kwee Seng tidak mempunyai tukang-tukang pukul, hanya
mempunyai pelayan-pelayan laki-laki perempuan yang mengurus rumah tangganya.
Para penyerbu masuk ke dalam kampung dari sebelah barat, maka biarpun banyak rumah sudah
menjadi lautan api, rumah gedung Kwee Seng masih belum mendapat giliran. Ini ada sebabnya, yaitu
karena belasan orang penduduk yang menjadi anggauta barisan penyerbu, masih merasa malu dan
sungkan untuk cepat-cepat menyerbu rumah hartawan Kwee. Tak seorangpun diantara mereka ini yang
belum pernah menerima pertolongan Kwee Seng, maka mereka tidak ada hati untuk menjadi penunjuk
jalan, dan membiarkan saja sampai para penyerbu dari luar dusun itu sendiri yang mendapatkan rumah
gedung Kwee-Wangwe. Di dalam rumah gedung Kwee Seng terjadi keributan hebat. Hartawan ini
memberi perintah kepada semua pelayan untuk segera melarikan diri, tak usah menjaga rumah.
"Kita harus melarikan diri, mencari jalan masing-masing agar dengan berpencaran lebih mudah
melarikan diri. Biarkan saja, rumah dan harta habis tidak apa asal kita dapat menyelamatkan diri," kata
Kwee Seng. Tiba-tiba Can Ma sambil menangis, dengan muka pucat berkata,
"Kwee-Wangwe, harap cepat melarikan diri bersama Hujin. Nona In Hong biar hamba bawa lari, jangan
ikut dengan Wangwe dan Hujin." Isteri Kwee Seng mengulurkan tangan hendak merampas In Hong dari
gendongan Can Ma, sambil berkata,
"Can Ma, kau bagaimanakah? Anakku akan pergi kemana juga orang tuanya lari. Tak mungkin dia harus
berpisah dari kami. Kesinikan, biar aku gendong sendiri dia!" Akan tetapi, Can Ma mundur dan
mendekap tubuh In Hong yang menjadi kebingungan,
"Tidak, Hujin. Ingatlah, mereka itu datang dengan nafsu iblis, dan mereka bermaksud membasmi semua
orang hartawan dan bangsawan. Sedikit sekali harapan bagi para hartawan dan bangsawan di dusun ini
untuk lari. Kalau terjadi demikian..." Can Ma menangis keras, "Kalau terjadi demikian... biarlah anak ini
selamat bersama hamba... Mereka takkan mengganggu hamba, seorang tua miskin dan lemah, dan nona
In Hong... biarlah dia menjadi cucuku, cucu seorang Nenek miskin..." Kwee-Hujin hendak membantah
dan kini iapun sudah mencucurkan airmata, akan tetapi Kwee Seng yang cerdik sudah maklum akan
maksud Can Ma. Tidak ada jalan lain, pikirnya, kalau seorang diantara kita bertiga harus selamat, maka
orang itu haruslah In Hong!:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 6
:: CerSil KhoPingHoo :
"Hayo kita pergi, biar kita titipkan In Hong untuk sementara waktu kepada Can Ma. Dengan Can Ma
keselamatannya lebih terjamin!" Sambil berkata demikian, Kwee Seng menarik tangan isterinya, diajak
lari.
"Terima kasih, Wangwe. Hamba akan menjagai anak ini dengan taruhan nyawa!" Can Ma berseru dan
Nenek inipun lari cepat keluar dari rumah gedung itu, sedangkan Kwee Seng bersama isterinya lari ke
arah kandang kuda.
"In Hong... anakku...!" Nyonya Kwee menjerit, akan tetapi suaminya cepat menariknya sehingga ia
terpaksa ikut berlari. Pada saat itu, suara sorak-sorai menggegap gempita dari para penyerbu sudah
mendekat. Mereka dari barat menuju ke timur dan seorang diantara mereka sudah tahu bahwa di ujung
timur terdapat rumah gedung Kwee-Wangwe.
"Mari cepat, kau tunggang kuda yang ini!" Kwee Seng berkata dengan gugup. Isterinya memang sudah
biasa naik kuda karena ketika masih belum menikah, isterinya ini mempunyai kesukaan menunggang
kuda milik Ayahnya yang menjadi pedagang kuda yang kaya raya pula. Kwee-Hujin dengan cekatan naik
ke atas punggung kuda dan sebentar kemudian sepasang suami-isteri ini melarikan kuda masing-masing
menuju ke timur. Suara derap kaki kuda mereka bergema di malam gelap.
"Mereka lari...! Kejar dan bunuh hartawan jahanam itu...!" Teriak para penyerbu ketika mereka dari jauh
melihat dua bayangan menunggang kuda melarikan diri. Akan tetapi, para penyerbu itu datang dengan
jalan kaki, dan biarpun di dusun itu banyak kuda yang mereka rampas, namun dalam kesibukan itu,
siapakah yang ingat untuk mempersiapkan kuda rampasan untuk mengejar orang? Tiba-tiba diantara
mereka berkelebat bayangan yang bukan lain adalah pemuda gagah yang menjadi pemimpin mereka.
"Habiskan mereka. Kumpulkan kuda dan jangan lawan kalau ada barisan penjaga datang. Bawa lari
semua kuda dan barang rampasan!" kata pemuda itu. Kemudian ia berlari cepat mengejar Kwee Seng
dan isterinya. Bukan-main hebatnya kepandaian pemuda ini. Biarpun ia hanya mempunyai dua buah
kaki, namun dibandingkan dengan kuda yang memiliki empat buah kaki, agaknya ia tidak akan kalah!
Ia berlari sambil mempergunakan ilmu lari cepat Cho-Sang-Hui (terbang di atas rumput). Larinya
demikian cepat dan ringan sehingga seakan-akan kedua kakinya tidak menyentuh bumi. Tidak terdengar
derap kakinya, tanda bahwa ginkangnya memang sudah tinggi. Namun, kuda adalah binatang yang tidak
saja terkenal pandai berlari cepat, juga amat terkenal akan kekuatan serta panjang napasnya. Apalagi
ketika Kwee Seng dan isterinya membedalkan kuda mereka, payahlah bagi pemuda itu untuk menyusul.
Akan tetapi, ada hal yang menguntungkan si pengejar dan merugikan Kwee Seng berdua, yakni bulan
yang tetap bersembunyi di balik awan. Kwee Seng dan isterinya tidak mengenal jalan, maka sambil
melarikan kuda, mereka mencari jalan yang tentu saja menghambat perjalanan itu. Sebaliknya, derap
kaki kuda mereka terdengar baik oleh telinga pemuda itu yang amat tajam pendengarannya.
Kurang lebih dua jam kemudian, setelah pemuda itu mulai merasa lelah, tiba-tiba ia menjadi amat girang
melihat betapa dari suara derap kaki kuda, dua ekor binatang itu dilarikan lambat, atau tidak secepat
tadi. Bulanpun mulai bersinar dan kini suara hiruk-pikuk dari dusun yang dibakar itu tidak terdengar lagi.
Memang Kwee Seng dan isterinya memperlambat larinya kuda mereka, karena tentu saja mereka tidak
mengira bahwa ada musuh yang mengejar mereka dan kini sudah dekat. Sebaliknya, pemuda itu juga
sudah terlampau lelah untuk mengejar terus dan kini iapun memperlambat larinya sambil mengatur
pernapasan. Bulan bersinar dan ia dapat melihat bahwa yang ia kejar adalah seorang laki-laki muda dan:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 7
:: CerSil KhoPingHoo :
seorang wanita muda. Ia mengeluarkan dua butir senjata rahasia berbentuk bulat dari sakunya. Inilah
thi-lian-ci (biji teratai besi) yang menjadi kepandaiannya yang amat disegani orang.
"Suamiku, bagaimana dengan In Hong...?" Kwee-Hujin bertanya dan kembali airmatanya mengucur
deras ketika ia teringat akan puterinya.
"Tentu selamat bersama Can Ma, mari kita sekarang pergi ke kota See-Ciu, ke rumah Paman Yo," jawab
suaminya.
"Apakah kita tidak menunggu Can Ma disini?" tanya isterinya ragu-ragu.
"Tak usah, laginya belum tentu Can Ma mengambil jalan ke jurusan ini. Tidak baik kalau kita menunggu
disini, siapa tahu para pemberontak itu akan datang di tempat ini pula. Lebih baik kita berangkat
sekarang juga, nanti dari kota See-Ciu kita mengirim orang untuk menyelidiki dimana larinya Can Ma
agar In Hong dapat diantar ke See-Ciu." Mendengar ini, Kwee-Hujin menjadi lega.
"Baiklah, mari kita..." Baru saja ia bicara sampai disini, tiba-tiba kudanya berdiri, meringkik kesakitan.
Gerakannya demikian mendadak dan kuat sehingga tak dapat dicegah lagi, Kwee-Hujin terlempar ke
belakang, jatuh dari atas punggung kuda! Kwee Seng kaget sekali, akan tetapi pada saat itu, peluru
kedua yang dilepas oleh pemuda pengejar mereka menyambar kepalanya.
"Tak!" Kwee Seng tak dapat mengeluarkan suara lagi dan ia terjungkal roboh dari atas kuda dengan
kepala pecah! Kwee-Hujin yang terjengkang dari atas kuda, jatuh dengan kepala tertumbuk batu
sehingga ia pingsan. Sesosok bayangan dengan beberapa kali lompatan telah berdiri disitu, dan
bayangan ini yang bukan lain adalah pemuda yang menyerang mereka, berdiri bertolak pinggang dengan
senyum puas.
Ia tadi memang sengaja menyerang kuda Kwee-Hujin, karena ketika ia mengayun tangan yang pertama,
tiba-tiba ia menjadi lemas dan tidak tega membunuh seorang wanita yang kelihatannya demikian tak
berdaya dan tak berdosa. Oleh karena ini ia lalu mengarahkan sambitannya kepada kuda yang
ditunggang oleh Nyonya Kwee. Namun, peluru kedua diayun tanpa ragu-ragu lagi ke arah kepala Kwee
Seng sehingga merampas nyawa hartawan muda itu. Pemuda itu setelah memandang ke arah mayat
Kwee Seng sambil tersenyum puas, kini mengalihkan pandangan matanya kepada tubuh Kwee-Hujin
yang telentang di atas tanah dalam keadaan pingsan. Senyumnya tiba-tiba lenyap, keningnya berkerut
dan bibirnya bergerak aneh. Berbeda dengan tadi, kini ia termangu. Ia terpesona oleh kecantikan
luarbiasa dari Nyonya muda itu.
Kebetulan sinar bulan menerangi wajah Nyonya Kwee dan lemaslah hati pemuda itu. Selama hidupnya,
banyak ia melihat wanita cantik, akan tetapi belum pernah ia menyaksikan kecantikan yang demikian
melemaskan dan memikat kalbunya. Bibir berbentuk indah yang kini ditarik seperti orang berada dalam
keadaan duka dan takut, benar-benar menggerakkan hatinya dan menimbulkan belas kasihannya. Ia
berlutut didekat tubuh Nyonya Kwee. Dijamahnya kening Nyonya itu yang terluka sedikit dan berdarah.
Dikeluarkan sehelai saputangan dan dengan penuh kasih sayang dan ibahati, dibalutnya kepala itu.
Ketika jari-jari tangannya menyentuh kulit jidat yang halus, rambut yang lemas dan halus serta
mengeluarkan keharuman yang memabokkan, hatinya berdebar. Tiba-tiba ia bangkit berdiri dan tangan
kanannya menampar pipinya sendiri!:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 8
:: CerSil KhoPingHoo :
"Ong Tiang Houw, kau harus malu kepada diri sendiri. Kau harus membunuhnya, bukan tergila-gila
kepadanya!" katanya kepada diri sendiri. Sambil merapatkan giginya ia mencabut pedang yang
tergantung di pinggang, mengangkat pedang itu, diayun ke arah leher Kwee-Hujin. Akan tetapi, pedang
itu berhenti di tengah udara dan seperti tadi, sepasang mata Ong Tiang Houw menatap wajah Nyonya
itu seperti orang kena hikmat. Tangan yang memegang pedang perlahan-lahan turun dan pedang itu
kembali masuk ke dalam sarungnya. Ong Tiang Houw menarik napas panjang, menggeleng-geleng
kepalanya.
"Kau memang orang bodoh, lemah!" ia memaki diri sendiri, kemudian ia membungkuk dan mengangkat
tubuh Kwee-Hujin. Tiba-tiba terdengar suara banyak kaki orang berlari-larian menuju ke tempat itu.
Tiang Houw melepaskan lagi tubuh Kwee-Hujin di atas tanah dan ia cepat melompat, bersembunyi di
balik pohon. Yang datang adalah serombongan anak-buahnya yang tadi menyerbu dusun Tiang-On.
Pemuda ini keluar dan menghadang mereka.
"Apa yang terjadi?" tanyanya. Anak buah itu girang melihat pemimpinnya dan mereka melihat tubuh
Kwee Seng dan istrinya yang menggeletak di atas tanah, maka tak seorangpun diantara mereka mengira
bahwa pemimpin mereka telah melakukan sesuatu yang ganjil, yakni tidak tega membunuh Nyonya
muda itu.
"Pasukan berkuda kerajaan datang dan kami terpaksa melarikan diri," seorang diantara mereka
melapor.
"Lekas lari, berpencar dan jangan melawan mereka. Kelak aku akan memberi tanda dimana kita harus
berkumpul lagi!" kata Tiang Houw. Mereka bubar dan melarikan diri mencari keselamatan masingmasing. Setelah keadaan disitu menjadi sunyi kembali, Tiang Houw kembali mengangkat tubuh KweeHujin yang masih pingsan. Akan tetapi begitu diangkat, terdengar Nyonya muda ini mengeluh.
"In Hong..." demikian keluhan pertama yang keluar dari mulut Nyonya itu. Ketika ia telah sadar betul
dan melihat bahwa ia berada dalam pondongan seorang laki-laki muda, Nyonya Kwee memberontak
marah,
"Siapa kau...? Kurangajar, lepaskan aku!" Tiang Houw melepaskannya dan kini Nyonya muda itu berdiri
Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tegak, marah sekali.
"Kau siapa? Mana... mana suamiku...?" Akan tetapi, sebelum laki-laki muda itu menjawab, Kwee-Hujin
telah melihat suaminya, menggeletak di atas tanah dengan kepala berlumur darah, tak bergerak lagi. Ia
menjerit dan hendak menubruk suaminya, akan tetapi laki-laki muda itu cepat menyambar tubuhnya,
dan memegang kedua tangannya.
"Dia sudah mati, tiada gunanya ditangisi," katanya menghibur, akan tetapi terdengar amat canggung.
"Kita harus cepat pergi dari sini, ada pasukan kuda datang mengejar!" Akan tetapi Kwee-Hujin merontaronta.
"Tidak, tidak...! Biarkan aku tinggal disini dengan suamiku... ahh... suamiku... In Hong..." Ia menangis
sedih dan betapapun ia meronta, ia tak dapat melepaskan diri dari pelukan pemuda yang amat kuat
kedua lengannya itu. Sementara itu, dari jauh terdengar derap kaki kuda yang makin lama makin
mendekat. Tiang Houw tidak mau membuang banyak waktu lagi. Ia melihat kuda yang tadi ditunggangi
oleh Kwee Seng masih berada disitu, maka cepat dipondongnya tubuh Nyonya Kwee dan sekali lompat:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 9
:: CerSil KhoPingHoo :
saja ia telah berada di punggung kuda! Kuda itu segera melompat maju dan sebentar kemudian larilah ia
kuat-kuat, dikemudikan oleh tangan kanan Tiang Houw yang pandai. Adapun Kwee-Hujin yang
dipondong di lengan kiri, meronta-ronta dan menjerit-jerit,
"In Hong...! Kwee Seng...!!" Akan tetapi segala usahanya untuk melepaskan diri sia-sia belaka dan angin
malam menyambar pada mukanya, membuat ia sukar bernapas.
Dan tak lama kemudian Nyonya muda ini menjadi lemas dan pingsan lagi dalam pondongan Tiang Houw.
Siapakah adanya Ong Tiang Houw yang memimpin penyerbuan ke dalam dusun itu? Dia sebetulnya
adalah anak seorang petani miskin. Semenjak kecil, Tiang Houw memang suka sekali belajar ilmu silat
dan akhirnya ia beruntung sekali menjadi murid Bu Sek Tianglo, tokoh besar di selatan, bahkan ia
menjadi ahliwaris tunggal dari Bu Sek Tianglo. Guru besar ini yang melihat dasar baik pada diri Tiang
Houw, sebelum meninggal dunia karena usia tua, ia menurunkan seluruh kepandaiannya sehingga Tiang
Houw menjadi seorang yang berkepandaian amat tinggi. Ia pulang kekampungnya dalam usia dua puluh
tahun dan oleh orang tuanya ia dijodohkan dengan seorang gadis petani yang sederhana.
Tiang Houw memang terkenal berbakti kepada orang-tuanya, maka ia tidak berani menolak.
Demikianlah ia menikah dengan seorang gadis, dan biarpun ia tidak menyinta gadis ini, namun ia hidup
rukun dan tinggal di rumah sampai setahun lebih. Isterinya memperoleh seorang putera dan setelah
hampir dua tahun tinggal di rumah, Tiang Houw tak dapat menahan lagi keinginan hatinya untuk
merantau. Ia tinggalkan rumah tangganya dan terjun di dalam dunia kangouw. Sebentar saja ia telah
mengangkat tinggi namanya dan di dunia kangouw tidak ada yang belum mengenal nama Ong Tiang
Houw. Tidak saja ilmu silatnya yang tinggi, terutama sekali sepak terjangnya yang sesuai dengan sikap
seorang pendekar itulah yang membuat nama Ong Tiang Houw menjadi terkenal. Di mana-mana ia
menyebar perbuatan baik, menolong kaum tertindas dan menghajar orang-orang yang jahat.
Selama enam tahun Tiang Houw merantau di dunia kangouw dan barulah ia teringat kepada
keluarganya. Yang terutama sekali menarik hatinya untuk pulang adalah kenangan kepada puteranya,
yakni Ong Teng San yang baru berusia satu tahun ketika ia pergi merantau. Akan tetapi setelah tiba di
dusunnya, apakah yang ia dapatkan? Isterinya telah meninggal dunia, membunuh diri dan kedua orang
tuanya juga meninggal dunia karena berduka. Beberapa tahun setelah Tiang Houw pergi, di dusunnya
terserang bencana alam. Musim kering jauh lebih lama daripada biasanya dan sebagian besar kaum tani
miskin yang hidupnya mengandalkan tenaga memburuh, kehabisan makanan dan banyak yang mati
kelaparan. Ayah-Bunda Tiang Houw yang juga merupakan keluarga miskin, terpaksa minta tolong
kepada seorang hartawan she Sim.
Hartawan ini mengulurkan tangan dengan memberi pinjaman kepada mereka. Hutang mereka
bertumpuk-tumpuk tanpa dapat terbayar dan akhirnya hartawan she Sim ini menagih dengan paksa.
Kakek Ong dan isterinya serta mantunya ditangkap, dimasukkan tahanan. Kemudian, hartawan she Sim
itu mengajukan usul untuk membayar hutang itu dengan diri mantu perempuan Kakek Ong yang
memang manis. Tentu saja Kakek itu menolak keras, akan tetapi dengan mengandalkan pengaruh harta
bendanya, hartawan she Sim berhasil membawa isteri Ong Tiang How dengan paksa keluar dari
tahanan. Orang tidak mendengar bagaimana nasib Nyonya muda ini, hanya tahu-tahu orang-orang
terkejut mendengar berita bahwa Nyonya muda ini membunuh diri dengan jalan membenturkan
kepalanya sampai pecah pada dinding!
Mendengar ini, Kakek Ong dari isterinya menjadi begitu berduka sampai mereka jatuh sakit dan
meninggal di dalam tahanan. Bagaimana dengan Ong Teng San? Anak ini ketika Kakek dan Nenek serta:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 10
:: CerSil KhoPingHoo :
Ibunya ditahan, melarikan diri dan berlindung ke rumah seorang petani miskin yang menjadi kenalan
baik dari keluarga Ong. Dua tahun kemudian setelah peristiwa menyedihkan itu terjadi, datanglah Ong
Tiang Houw di dusunnya! Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Tiang Houw mendengar akan
malapetaka yang menimpa keluarganya. Ia mencari puteranya dan pertemuan ini amat mengharukan.
Teng San tentu saja tidak mengenal Ayahnya, akan tetapi ia menangis tersedu-sedu dalam pelukan
Ayahnya ketika ia diperkenalkan.
"Jahanam she Sim! Jahanam dan jahat belaka hartawan-hartawan dan bangsawan-bangsawan yang
mencekik leher orang-orang miskin. Aku bersumpah akan membasmi mereka semua!" Berkali-kali Tiang
Houw berkata. Pada malam hari itu, hartawan Sim terdapat mati dengan leher terbabat pedang.
Gedungnya dibakar habis. Perbuatan ini tentu saja dilakukan oleh Tiang Houw. Orang-orang disitu, yakni
para petani miskin, merasa bersyukur. Bangkit semangat mereka karena perbuatan Tiang Houw dan
mereka lalu berkumpul, menyatakan hendak membantu gerakan Tiang Houw untuk membersihkan para
iblis yang masuk ke dalam diri hartawan-hartawan pelit dan bangsawan-bangsawan korup.
Tiang Houw gembira sekali melihat ini. Memang pada masa itu, dilain-lain daerah sudah banyak
terbentuk pasukan-pasukan rakyat yang hendak memberontak terhadap tuan-tuan tanah dan
bangsawan-bangsawan. Tiang Houw lalu membentuk barisan yang menamakan dirinya Kai-Sin-Tin
(Barisan sakti dari para jembel). Mulai saat itu, Tiang Houw memimpin orang-orangnya untuk melakukan
penyerbuan-penyerbuan terhadap rumah orang-orang besar. Nama Kai-Sin-Tin terkenal sekali dan
dusun demi dusun diserbu, orang-orang kaya dan bangsawan dibunuh, rumah mereka dibakar habis!
Demikianlah, bukan untuk pertama kalinya Tiang Houw memimpin kawan-kawannya menyerbu dusun
Tiang-On.
Akan tetapi, benar-benar baru untuk pertama kalinya hatinya lemas ketika ia menghadapi Kwee-Hujin!
Sebulan lewat kemudian, di luar kota See-Ciu masih sepi karena hari masih pagi. Waktu itu musim dingin
sudah mulai sehingga para penduduk yang masih meringkuk di atas pembaringan, malas meninggalkan
pembaringannya, bahkan menarik selimut makin ke atas agar terlindung seluruh tubuh dari hawa dingin.
Beberapa orang yang karena tugas pekerjaannya terpaksa keluar meninggalkan rumah, rata-rata
memakai pakaian tebal, karena hawa yang amat dingin memang luar biasa sekali. Di dalam baju
tebalpun orang masih menggigil dan kulit muka terasa kaku. Akan tetapi, pada saat sedingin itu, di luar
kota See-Ciu bagian selatan, dua orang manusia berjalan berpegangan tangan sambil menggigil
kedinginan.
Yang seorang sudah amat tua, dan hawa dingin membuatnya makin bongkok dan berkeriputan.
Mukanya pucat sekali sehingga kelihatan kehijau-hijauan. Lagaknya seperti hendak membimbing orang
kedua, akan tetapi jelas kelihatan bahwa dialah yang minta bantuan tenaga dari tangan kecil yang
dipeganginya. Orang kedua adalah seorang anak perempuan berusia lima tahun, pakaiannya kotor,
mukanya kurus dan pucat tanda kurang makan. Pada wajah yang kotor berdebu itu terdapat bekasbekas airmata, tangan kirinya sebentar-sebentar menekan perut dan tangan kanannya menggandeng
tangan Nenek itu. Anak ini menggigit bibirnya dan biarpun ada tanda-tanda kedukaan dan kebingungan
luar biasa pada sepasang matanya, namun ia berjalan dengan langkah dikuat-kuatkan, bahkan ialah yang
menarik tangan Nenek itu.
"Marilah, Can Mama, lekas masuk kota. Ayah dan Ibu tentu sudah menanti di dalam kota!" kata anak itu
berkali-kali. Nenek itu tak dapat mengeluarkan suara lagi untuk menjawab. Bibirnya gemetar dan
biarpun ia menggerakkan bibir itu namun tidak ada suara yang keluar. Ia hanya mengangguk-angguk dan
berjalan tersaruk-saruk seakan-akan ia memaksa sedikit tenaga yang masih ada untuk menggerakkan:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 11
:: CerSil KhoPingHoo :
kedua kakinya. Tiba-tiba ia batuk-batuk. Celakalah kalau orang terkena penyakit batuk dalam waktu
hawa sedingin itu, apalagi kalau perut sedang kosong. Nenek itu terpaksa menghentikan gerakan
kakinya, memegangi perut dengan kedua tangan, terus batuk-batuk dengan hebatnya. Ia merasa
dadanya sesak dan sakit, perutnya yang kosong dan perih terguncang-guncang. Ia membungkuk dan
melipat tubuh bagaikan pisau lipat hendak ditutup.
"Ugh... ugh-ugh-ughhh..." batuknya berkali-kali. Anak perempuan itu yang bukan lain adalah Kwee In
Hong, segera mengurut-urut punggung Nenek itu yang kini sudah bongkok dan membungkuk-bungkuk,
menggeliat-geliat kesakitan. Sudah beberapa hari Can Ma menderita batuk ini dan In Hong kini sudah
tahu bahwa ia harus mengurut-urut punggung Nenek itu apabila batuknya kambuh. Pada saat itu, dari
udara turun hujan kecil. Air bertitik-titik kecil, membawa hawa yang makin menggigilkan tubuh, hawa
dingin meresap ke dalam tulang sumsum, dan hal ini memperhebat rasa gatal ditenggorokan dan sesak
pada isi dadanya.
"Ugh-ugh-ugh..." suara batuknya makin gencar akan tetapi makin lemah.
"Can Mama, mari kita berteduh..." In Hong berkata bingung. Ia melihat ke kanan kiri dan kebetulan
sekali tak jauh dari jalan itu terdapat sebuah Kelenteng tua yang tidak terawat sama sekali. Rumput
alang-alang memenuhi halaman Kelenteng dan sebagian gentengnya sudah terbuka, bangunan bagian
kiri sudah hampir ambruk. In Hong segera menarik tangan Can Ma yang terpaksa berdiri sambil
terbongkok-bongkok.
"Can Mama, itu disana ada rumah kosong, mari kita berteduh, hawa begini dinginnya."
In Hong berkata keras-keras diantara suara batuk-batuk Nenek itu. Dia sendiri merasa dingin bukan
main, akan tetapi melihat keadaan Nenek itu, ia seperti tidak merasakan penderitaannya sendiri dan
sambil mengerahkan seluruh tenaganya ia menarik tubuh Nenek itu ke arah Kelenteng. Dengan susah
payah akhirnya In Hong berhasil membawa Can Ma memasuki Kelenteng tua. Baiknya masih ada
sebagian genteng yang utuh sehingga mereka dapat terlindung dari serangan air hujan, sungguhpun
hawa dingin tidak memperdulikan halangan ini dan dengan mudah dapat meresap masuk sampai ke
pojok-pojok ruangan Kelenteng tua. Can Ma menjatuhkan diri di atas lantai yang penuh debu. Ia masih
batuk-batuk terus dan tubuhnya setengahnya berbaring di atas lantai itu. Mukanya yang tadi kehijauan
sekarang sudah berobah menjadi kehitaman.
"Siocia... aku... aku tidak kuat lagi..." In Hong menubruknya dan merangkul leher Nenek itu. Tak terasa
lagi kedua matanya yang tadinya sudah hampir kekeringan air mata itu, menjadi basah lagi.
"Tidak, Can Mama, jangan berkata begitu. Kita akan masuk ke kota dan bertemu dengan Ayah-Ibu. Kau
akan mendapat obat, akan sembuh..."
"Ugh... ugh-ugh-ugh... siocia... kalau aku... mati disini... kau masuklah ke kota, carilah Paman dari
Ayahmu..."
"Kau takkan mati, Can Mama... jangan mati... jangan mati...!" Kini In Hong menangis tersedu-sedu dan
air matanya bercucuran, menyaingi air hujan yang mulai mengucur dari genteng Kelenteng itu.
"Nona... aku tidak kuat lagi... dadaku... dadaku... aaaachhh... sesak dan sakit sekali... ugh ugh-ugh...!"
Tubuh Can Ma menggeletar dan kini ia merebahkan diri, menggeliat-geliat ke kanan kiri seperti cacing:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 12
:: CerSil KhoPingHoo :
terkena abu panas. In Hong menjadi bingung sekali. Ia mengangkat kepala Can Ma, didekap dan
dipeluknya kepala itu di atas pangkuannya sambil bersambat,
"Can Mama... jangan... jangan tinggalkan aku...!" emudian sunyi, hanya napas berat Can Ma yang
terdengar diselingi oleh suara batuknya dan suara isak tangis In Hong. Tiba-tiba terdengar suara batuk
lain, suara batuk yang tinggi dan nyaring, seperti suara batuk buatan,
"Iihh-ihh-ihh...!" Tadinya In Hong tidak memperhatikan suara ini karena disangkanya suara batuk dari
Can Ma, akan tetapi suara batuk yang tinggi ini disambung oleh suara yang kecil nyaring.
"Thian Maha Adil! Manusia tahu apakah tentang keadilan Thian? Orang baik-baik menderita, yang jahat
makmur dan senang! Orang bertanya-tanya mana keadilan Thian? Padahal Thian memang Maha Adil,
hanya cara Thian bekerja penuh rahasia, mana manusia tahu? Ih-ih-ih...!" In Hong menengok ke kiri.
Ruangan itu memang gelap dan baru sekarang ia melihat sesuatu bergerak di sudut yang paling gelap
dari ruangan itu. Sesuatu yang hitam dan setelah ia memperhatikan, baru terlihat olehnya bahwa yang
bergerak dan batuk serta bicara itu adalah seorang Nenek pula. Seorang Nenek yang duduk melingkar
seperti seekor binatang trenggiling.
Muka Nenek itu tidak kelihatan, tertutup oleh rambutnya yang panjang dan hitam sekali, yang kacau dan
riap-riapan ke muka dan belakang, pendeknya disekeliling kepalanya yang kecil. Pakaiannya compang
camping, tidak tentu lagi warnanya karena kotor sehingga kelihatan menghitam. Kedua kakinya tidak
bersepatu. Sebatang tongkat panjang, juga warnanya hitam, menggeletak di dekatnya. In Hong
mengeluh di dalam hatinya. Terlalu banyak ia melihat kemelaratan. Sejak ia melarikan diri dengan Can
Ma, tidak saja ia sendiri mengalami apa artinya kelaparan dan kedinginan, juga di jalan-jalan ia melihat
orang-orang yang mati kelaparan, mati kedinginan, dan kesengsaraan yang mendirikan bulu tengkuknya.
Biasanya ia hidup mewah dan senang di rumah orang tuanya yang kaya raya, dan tak pernah ia mengira
bahwa di luar rumah gedungnya banyak terjadi hal-hal demikian.
Mimpipun tak pernah ia bahwa ada orang yang sampai mati kelaparan, padahal biasanya ia merasa
bosan dengan segala macam makanan enak yang disuguhkan kepadanya oleh para pelayannya. Kini,
berada di puncak penderitaan, dua hari ia tidak makan, dan Can Ma berada dalam keadaan yang amat
membingungkan, juga membikin ia ketakutan sekali karena Can Ma bicara tentang kematian, ia tidak
bertemu dengan orang yang dapat menolongnya, bahkan bertemu dengan seorang jembel lain yang
keadaannya tidak lebih baik daripada keadaan Can Ma! Ia sudah cukup besar untuk dapat mendengar
dari para pelayan betapa Ayah-Bundanya seringkali menolong orang-orang dengan menderma uang,
pakaian dan makanan. Sekarang barulah ia tahu bahwa perbuatan kedua orang tuanya itu memang
tepat.
"Kelak aku akan minta kepada Ayah dan Ibu untuk lebih banyak menolong orang-orang ini. Aku akan
minta kepada Ayah dan Ibu agar menolong semua jembel sehingga di dunia ini tidak ada orang mati
kelaparan dan menderita kedinginan," demikian bisik suara hati anak yang luar biasa ini. Memang luar
biasa kalau seorang anak berusia lima tahun bisa mempunyai pikiran seperti ini. Padahal orang-orang
dewasa, bahkan orang-orang yang sudah mengira cukup berpengetahuan dan cukup pengalaman,
kadangkala melupakan suara hati macam ini, melupakan atau sengaja tidak mau mendengar suara hati
nurani yang menggugah manusia mengulurkan tangan menolong mereka yang sengsara. Akan tetapi,
kembali ia mendengar Can Ma batuk-batuk dan napas Nenek ini makin sesak terengah-engah. Timbul
kembali rasa takut dan gelisahnya.:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 13
:: CerSil KhoPingHoo :
"Can Ma, berkatalah sesuatu... Can Ma, kuatkanlah, nanti kalau sudah berhenti hujan, kita melanjutkan
perjalanan!" ia berkata dengan suara memohon. Can Ma membuka matanya dan aneh, mata itu kini
basah sehingga tak lama lagi dua titik airmata jatuh di atas pipinya yang berkeriputan dan menghitam
warnanya. Tiba-tiba ia berkata, dan aneh lagi, suaranya kini lancar tidak berat seperti tadi, seakan-akan
ada sesuatu yang tadinya mengganjal hatinya telah lenyap.
"In Hong, anakku yang manis, cucuku yang mungil, jangan kau bersedih. Kau lanjutkanlah sendiri
perjalanan ini, cari Ayah-Bundamu, jangan perdulikan Can Mama. Can Mama sudah tua, sudah cukup
makan garam, sudah cukup merasa senang dan susah, sudah sepantasnya Can Mama mati..."
"Can Mama...!! Jangan mati...!!" In Hong menjerit dan kini ia menangis keras, meraung-raung sambil
memeluki tubuh Nenek itu. Pada saat itu, Nenek hitam yang tadi meringkuk di sudut, bangkit berdiri.
Ternyata tubuhnya jangkung sekali, nampak lebih jangkung karena ia memang kurus kering. Akan tetapi
luar biasa sekali. Jarak antara ia dan In Hong ada tiga tombak lebih. Agaknya ia tidak menggerakkan
tubuh atau kakinya, akan tetapi tahu-tahu ia telah berada di dekat In Hong dan Can Ma.
"Lahir tak dapat diminta, mati tak dapat ditolak, mengapa bicara yang bukan-bukan tentang mati? Tidak
takut mati bukan hal yang patut disombongkan, hanya berani hiduplah yang boleh dibanggakan!"
Setelah berkata demikian, dua kali tangan yang memegang tongkat panjang bergerak ke arah Can Ma
dan In Hong. In Hong merasa bawah tulang punggungnya di belakang pusar, tersentuh oleh benda keras
dan aneh sekali, tiba-tiba di dalam tubuhnya seperti ada api membakar. Hawa panas merayap dari
tempat yang ditotok oleh ujung tongkat itu dan sebentar saja hawa dingin yang membuat ia menggigil
lenyap terusir pergi oleh hawa hangat ini. Akan tetapi rasa lapar pada perutnya makin menghebat!
Adapun Can Ma yang juga terkena totokan ujung tongkat, segera bangkit duduk seperti mendapat
tenaga baru. Ia memandang kepada Nenek hitam tinggi kurus itu dengan mata terbelalak lebar,
kemudian menjatuhkan diri berlutut,
"Pouwsat (dewi) yang mulia, mohon beribu ampun kalau hamba berdua mengganggu tempat yang suci
dari pouwsat!" kata Can Ma sambil mengangguk-anggukkan kepala seperti orang bersembahyang di
depan patung Kwan Im Pouwsat. Nenek hitam itu tertawa bergelak dan suara ketawanya membikin In
Hong membuka mata lebar-lebar dengan hati ngeri. Suara ketawa ini seperti bukan suara manusia. Can
Ma mendengar suara ketawa ini makin takut lagi dan ia berlutut sampai jidatnya membentur lantai yang
berdebu.
"Can Ma, kau tua bangka sungguh bodoh dan tolol, mengira aku seorang pouwsat. Akupun seorang
Nenek tua bangka seperti kau pula yang menderita penyakit batuk, bahkan penyakitku seratus kali lebih
berat daripada penyakitmu. Siapakah bocah yang kau sebut siocia ini?" Pertanyaan dalam kalimat
terakhir ini terdengar berpengaruh, membuat siapa saja yang mendengar merasa takut untuk tidak
mengaku.
"Mohon ampun, hamba adalah pelayan keluarga Kwee di Tiang-On. Semua hartawan dan bangsawan di
Tiang-On dibunuh, rumah mereka dibakar. Majikan hamba, Ayah-Bunda anak ini, melarikan diri dan
hamba membawa siocia ini lari pula untuk menyusul mereka di kota See-Ciu. Ampunkanlah hamba kalau
hamba mengganggu, Lihiap." Karena Nenek hitam itu tidak mau disebut pouwsat, Can Ma yang sudah
banyak mendengar tentang orang-orang kangouw, dapat menduga bahwa ia berhadapan dengan
seorang wanita sakti, maka ia mengubah sebutannya kepada wanita itu dengan sebutan Lihiap
(pendekar wanita).:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 14
:: CerSil KhoPingHoo :
"Hm, dia ini anak bangsawan?"
"Bukan, Lihiap. Ayahnya adalah seorang hartawan yang berhati mulia dan budiman."
"Hah! Mana ada hartawan berhati mulia dan budiman? Barangkali betul terhadap kau, karena kau
pelayannya. Hm, manusia sekarang banyak yang buta dan sesat! Siapa percaya Ayah-Bunda anak inipun
tidak ikut gila?" Setelah berkata demikian, ia menggerakkan tangan, menjambak rambut In Hong dan
mengangkat bocah itu ke atas sehingga ia dapat melihat dengan jelas muka In Hong. Biarpun rambutnya
dijambak dan ia dipegang seperti orang memegang kelinci, In Hong tidak menjerit. Anehnya, ia tidak
merasa sakit biarpun rambutnya dijambak dan ia digantung seperti itu. Mukanya yang mungil dan lucu
itu kini nampak kotor penuh debu dan airmata, akan tetapi sepasang mata yang amat tajam dari Nenek
hitam itu dapat melihat dengan jelas, menembusi debu dan kotoran.
"Sayang, tunas yang baik tak boleh tumbuh dipohon yang buruk. Can Ma, kau carilah sendiri Ayah-Bunda
anak ini, bilang bahwa anak ini dibawa pergi oleh Hek Moli!" Tentu saja Can Ma hendak membantah,
akan tetapi sebelum ia sempat membuka mulut, di depan matanya berkelebat bayangan hitam dan
tahu-tahu Nenek hitam itu bersama In Hong telah lenyap dari situ tidak meninggalkan bekas lagi! Can
Ma bagun berdiri, memburu keluar, mencari ke dalam sambil menjerit-jerit, namun sia-sia saja, tidak
ada bayangan dari In Hong. Can Ma menjatuhkan diri dan menangis tersedu-sedu. Ia merasa bingung
dan ngeri. Bagaimana ia harus bertanggung jawab di depan majikannya? Ia merasa ngeri kalau
mengingat gerak-gerik dan sepak terjang Nenek hitam yang mengaku bernama Hek Moli (Iblis Wanita
Hitam) itu.
Can Ma dalam kebingungan dan kesedihannya sampai lupa bahwa tiba-tiba saja ia telah sembuh, bahwa
ia kini dapat bangkit berdiri, dan bahkan dapat berlari-larian menuju ke kota See-Ciu! Dengan tergesagesa ia mencari rumah hartawan Yo, Paman dari Kwee Seng yang tinggal di See-Ciu. Sambil menangis ia
menghadap Yo-Wangwe dan menuturkan semua pengalamannya. Yo-Wangwe mengerutkan kening dan
alisnya yang sudah putih itu bergerak-gerak. Ia sudah mendengar akan adanya pasukan Kai-Sin-Tin yang
menyerbu dusun-dusun dan kota-kota di selatan. Dan ia merasa amat berduka mendengar betapa
keponakannya ikut menjadi korban pula. Akan tetapi hatinya terhibur mendengar bahwa keponakannya
Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu dan isterinya telah dapat melarikan diri.
"Can Ma, kau tinggallah disini sambil menanti datangnya Kwee Seng dan isterinya. Heran sekali
mengapa mereka masih belum tiba, sedangkan kau sudah datang lebih dulu. Tentang In Hong, biarlah
kita menanti datangnya Kwee Seng, karena tak mungkin kita dapat mencarinya. Aku sudah mendengar
akan nama seorang tokoh kangouw wanita yang disebut Hek Moli itu, seorang yang seperti iblis saja,
yang tak pernah terlihat oleh orang lain, hanya namanya saja yang dikenal oleh semua orang. Bahkan
ada yang bilang bahwa Hek Moli sebetulnya tidak ada, atau kalau ada juga bukan manusia, melainkan
dewa atau iblis."
"Memang dia seperti bukan manusia, Yo-Wangwe." Can Ma menceritakan semua keadaan Hek Moli
yang amat luar biasa itu dan bahwa ia sama sekali tidak melihat mukanya yang tertutup oleh rambut
yang riap-riapan.
Demikianlah, Can Ma tinggal di rumah Yo-Wangwe, bekerja sebagai pelayan sambil menanti datangnya
Kwee Seng dan isterinya. Akan tetapi, tentu saja mereka semua tidak tahu bahwa Kwee Seng sudah
binasa di tengah hutan, terkena Thi-Lian-Ci yang dilepas oleh Ong Tiang Houw, dan bahwa Kwee-Hujin:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 15
:: CerSil KhoPingHoo : :: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 16
:: CerSil KhoPingHoo :
telah dibawa lari oleh orang muda itu. Namun mereka tetap menanti, menanti penuh harapan. Waktu
memang amat ganjil dan penuh rahasia. Gerakannya tidak kentara, kadang-kadang terasa lambat
merayap, lebih lambat daripada merayapnya seekor siput, akan tetapi kadang-kadang terasa cepat,
lebih cepat daripada menyambarnya kilat. Ada yang bilang bahwasanya waktu itu jalannya amat lambat,
akan tetapi coba saja kita renungkan, satu tahun, bahkan beberapa tahun lewat tanpa kita rasai dan
seakan-akan sesuatu yang terjadi pada beberapa tahun yang lalu itu seperti kejadian kemarin saja.
Alangkah cepatnya waktu berjalan, demikian kita akan berpikir kalau teringat akan hal ini. Sebaliknya,
ada pula yang bilang bahwasanya waktu itu amat cepat jalannya. Akan tetapi coba saja kita bayangkan
bilamana kita menanti datangnya kereta api di setasiun, terlambat seperempat jam saja datangnya
kereta api, terasa seperti seperempat abad! Alangkah lambatnya waktu merayap, sedemikian kita akan
berpikir pada saat seperti itu. Memang aneh, dan demikianlah, di dalam cerita ini, tahu-tahu tanpa
dapat dirasakan, empatbelas tahun telah lewat semenjak peristiwa yang telah dituturkan di atas! Di
puncak Ciung-lai-san, sebuah gunung di propinsi Secuan, tempat yang tersembunyi dan tak pernah
didatangi oleh manusia karena tempat ini masih liar dan jalan menuju ke puncak amat sukarnya,
tinggallah Hek Moli.
Belasan tahun yang lalu, nama Hek Moli pernah menggetarkan dunia kangouw karena sepak terjangnya
yang lihai dan hebat. Apalagi orang-orang biasa, bahkan para tokoh kangouw sendiri tidak tahu
darimana datangnya wanita sakti yang merupakan seorang Nenek berwajah dan bertubuh mengerikan
dipandang ini. Akan tetapi, sekali Nenek ini keluar di dunia kangouw, ia telah melakukan banyak hal yang
menggemparkan. Lima perampok terkenal di daerah Santung yang ditakuti orang dan disegani oleh para
tokoh kangouw, berjuluk Santung Ngo-kui (Lima setan dari Santung) bersama anak buahnya yang
puluhan orang banyaknya telah dibasmi habis oleh Hek Moli. Ini masih belum hebat, bahkan Hek Moli
telah mendatangi Go-Bi-Pai dan Kun-Lun-Pai, menantang pibu kepada para tokoh kedua partai
persilatan besar ini dan mengalahkan tokoh-tokoh itu.
Yang amat menggemparkan adalah ketika seorang diri Hek Moli menyerbu istana kaisar dan mengambil
dua buah barang pusaka kerajaan, yakni sebatang pedang mustika yang bernama Liong-Gan-Kiam dan
sebuah perhiasan rambut dari kemala yang berbentuk burung Hong dan amat indahnya. Akan tetapi,
seperti munculnya, tiba-tiba saja empatbelas tahun yang lalu Hek Moli lenyap dari dunia kangouw,
tanpa meninggalkan bekas seolah-olah ia ditelan oleh bumi. Ada beberapa orang tokoh kangouw yang
menyatakan bahwa mereka melihat Hek Moli terserang penyakit batuk dan keadaannya amat payah,
maka kehilangannya membuat semua orang mengira bahwa tokoh ini sudah meninggal dunia.
Sebetulnya bukan demikianlah keadaannya. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Hek Moli
secara kebetulan, ketika sedang menderita di dalam Kelenteng, terserang penyakit batuknya,
Ia telah bertemu dengan Kwee In Hong dan membawa pergi anak perempuan yang berusia lima tahun
itu. Ia merasa suka sekali kepada anak ini, maka dibawanyalah In Hong ke puncak Ciung-lai-san di
propinsi Secuan dimana ia menyembunyikan diri dan menurunkan seluruh kepandaiannya kepada murid
tunggalnya. Selama empatbelas tahun itu, In Hong menerima latihan ilmu silat yang amat tinggi dan
aneh, dan Gurunya demikian sayang kepadanya sehingga tidak ragu-ragu untuk mewariskan seluruh
kepandaiannya yang dimilikinya. Bahkan ia mengajar muridnya membaca dan menulis sekadarnya,
karena Hek Moli sendiri bukanlah seorang yang amat pandai dalam ilmu menulis. Selain ini, setelah
kepandaian In Hong cukup tinggi, ia memberikan pedang Liong-Gan-Kiam dan hiasan rambut burung
Hong kepada muridnya. Katanya sambil tertawa terkekeh ketika memberikan hiasan rambut itu,:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 17
:: CerSil KhoPingHoo :
"Muridku, namamu In Hong, hiasan rambut burung Hong ini tepat sekali menghias rambutmu yang
panjang, hitam dan halus. Pedang ini untuk memperlengkapi kepandaianmu karena tidak patut bagi
seorang gadis cantik seperti engkau bersenjata tongkat seperti Gurumu. Pakailah hiasan itu, muridku."
Dengan girang dan manja In Hong memakai hiasan rambut itu pada rambutnya. Ia kini telah menjadi
seorang gadis yang cantik jelita seperti Ibunya. Ketika hiasan itu telah dikenakan pada rambutnya,
Gurunya memandang dengan mata terbelalak, kemudian tiba-tiba dua titik airmata melompat keluar
dari sepasang mata Hek Moli,
"Alangkah cantiknya engkau, In Hong. Ah, seperti kau inilah aku dahulu...!" In Hong membalas kasih
sayang Gurunya dengan kebaktian, dan ia tidak saja merasa suka kepada Gurunya, juga merasa terharu
dan kasihan. Diam-diam ia sering bertanya rahasia apakah yang disimpan oleh Gurunya. Mengapa
Gurunya menjadi rusak muka dan tubuhnya seperti itu. Tentu dahulu pernah mengalami hal-hal yang
amat mendukakan hatinya. Akan tetapi tiap kali ia bertanya, Gurunya hanya menggeleng kepalanya dan
tidak mau menuturkan riwayatnya. Ia hanya mendesak agar gadis itu belajar lebih giat lagi.
"Muridku, di dunia ini banyak sekali orang-orang jahat yang amat lihai. Kau demikian cantik, tentu akan
mengalami hal-hal yang mendatangkan bencana kalau saja kau tidak mampu menjaga dirimu. Untuk itu
kau harus memiliki ilmu yang tinggi. Pula, sudah menjadi kewajibanmu untuk membantu usaha orangorang gagah, membasmi para penjahat dan membela para kaum tertindas." Tentu saja In Hong mengerti
akan kehendak Gurunya ini, karena semenjak dahulu iapun merasa amat sakit hati kepada orang-orang
jahat yang mencelakakan orang tuanya. Sering kali ia menyatakan rindunya kepada orang tua dihadapan
Gurunya, akan tetapi Hek Moli selalu menjawab,
"Sabarlah, muridku. Belum tiba masanya kau mencari orang tuamu. Aku sendiri tidak tahu dimana
mereka dan apakah mereka masih hidup. Akan tetapi, kalau sudah cukup kepandaianmu, kau harus
mencari mereka sendiri. Kurasa kau akan dapat mencari mereka kalau kau pergi ke kota See-Ciu." Kini In
Hong sudah berusia sembilanbelas tahun. Cantik jelita dan sikapnya gagah. Gurunya yang amat
menyayangnya, tidak ingin melihat muridnya memakai pakaian buruk. Beberapa kali Hek Moli turun
gunung dan ketika ia kembali, ia membawa pakaian-pakaian indah untuk In Hong. Dan untuk dia sendiri,
ia tak pernah berganti pakaian, tetap pakaian yang kotor menghitam! Kalau In Hong mencela Gurunya
dan mendesak agar supaya Gurunya berganti pakaian, Hek Moli berkata,
"Untuk apa aku berganti pakaian? Apakah kau menyuruh aku menjadi seperti seekor monyet berpakaian
dan menjadi tontonan orang? Aku sudah jemu dengan pakaian-pakaian, bahkan kalau semua orang di
dunia ini tidak memakai pakaian, aku akan lebih suka lagi, lebih bebas dan enak, tidak terganggu oleh
pakaian bermacam-macam!" Mendengar jawaban ini, In Hong tertawa cekikikan saking geli hatinya.
"Mengapa kau tertawa?" Gurunya bertanya heran karena muridnya benar-benar tertawa geli seakanakan dikitik-kitik.
"Subo memang lucu sekali. Kalau Teecu bayangkan betapa semua orang bertelanjang bulat, berjalan hilir
mudik seperti monyet-monyet liar tersesat dikota, ah alangkah lucunya pemandangan itu. Teecu bisa
mati tertawa melihatnya!" Mau tidak mau Hek Moli tertawa juga mendengar kata-kata muridnya itu,
karena iapun dapat membayangkan keadaan yang amat menggelikan itu. Tiba-tiba Hek Moli
menghentikan ketawanya dan In Hong juga, karena gadis inipun telah dapat menangkap bunyi yang
asing dengan pendengarannya yang sudah amat tajam.:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 18
:: CerSil KhoPingHoo :
"Ada orang datang!" bisik Hek Moli. Muridnya mengangguk dan tangan kanan In Hong meraba gagang
pedang yang tergantung di pinggangnya. Tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu, sekira lima
tombak dari mereka, terlihat seorang Tosu berusia kurang lebih enam puluh tahun, muncul dari balik
batu karang besar. Tosu ini berpakaian putih dan yang paling menyolok pandangan mata adalah tangan
kanannya yang buntung sebatas siku.
"Hek Moli, akhirnya Pinto dapat menemukan tempat persembunyianmu!" kata Tosu itu dan suaranya
halus dan lemah lembut, akan tetapi sepasang matanya memancarkan cahaya penuh kebencian. Hek
Moli mengeluarkan suara mengejek.
"Anjing buntung kakinya dari manakah berani mengotorkan tempatku?" Tosu itu tersenyum.
"Mata Hek Moli sudah lamur agaknya karena terlalu tua, dan ingatannyapun sudah pikun. Benarbenarkah kau tidak mengenal lagi siapa Pinto?"
"Siapa mengenal segala anjing yang berpura-pura suci? Siapa kau? Hayo lekas mengaku dan katakan apa
kehendakmu sebelum aku membikin buntung lehermu!"
"Hm, masih tetap galak dan ganas seperti belasan tahun yang lalu. Kau mau tahu maksud
kedatanganku? Tunggu sebentar!" Setelah berkata demikian, Tosu itu lalu menengok ke arah sebuah
batu besar, lalu dengan jari telunjuknya yang kiri ia membuat corat-coret di atas batu itu. Kemudian,
dengan tangan kirinya pula, ia mendorong batu itu ke arah Hek Moli. Bukan main hebatnya tenaga
dorongan ini. Batu yang besar dan beratnya paling sedikit enamratus kati itu terlempar ke arah Hek
Moli! Akan tetapi, dengan tenang Hek Moli mengangkat tongkat hitamnya dan sekali ia menggerakkan
tangan, batu itu terputar-putar di atas ujung tongkat, kemudian ia menarik tongkatnya dan batu itu
jatuh tepat di depannya demikian perlahan seakan-akan diangkat dan diletakkan disitu oleh tenaga yang
mujijat!
Hek Moli dan In Hong melihat batu yang dicorat-coret tadi dan disitu ternyata telah terdapat beberapa
huruf yang tergores dalam pada batu, tanda bahwa ketika mencoret dengan telunjuk, Tosu itu telah
mengerahkan lweekang yang tak boleh dipandang ringan. Tulisan itu berbunyi, Go-Bi-Pai mengundang
Hek Moli untuk melunaskan perhitungan lama di O-mei-san. Melihat tulisan ini, teringatlah Hek Moli.
Dahulu ia pernah naik ke Go-Bi-san untuk menantang tokoh-tokoh Go-Bi-Pai mengadakan pibu. Dalam
pertandingan pibu ini, seorang tokoh Go-Bi-Pai yang bersikap sombong dan mengucapkan kata-kata
memandang rendah, telah ia robohkan dan sebelah lengannya terputus. Mengingat akan hal ini, ia
memandang kepada Tosu itu dan tertawa,
"Aha, begitukah kehendak orang Go-Bi-Pai? Biarpun aku sudah tuabangka, siapa pernah takut terhadap
tikus-tikus Go-Bi-Pai! Tunggu saja, setengah bulan lagi aku akan datang ke tempat itu!" Tosu itu menjura
dan berkata singkat,
"Terima kasih. Pinto percaya Hek Moli takkan menjilat ludahnya sendiri. Kami menanti dengan sabar." Ia
lalu membalikkan tubuh dan berlari pergi. Akan tetapi baru saja ia berlari dengan cepat paling jauh se
puluh tombak, tiba-tiba di sebelah kanannya berkelebat bayangan orang. Tosu itu terkejut melihat
ginkang orang itu yang demikian lihai dan mengira bahwa tentu Hek Moli telah menyusul dan
mendahuluinya. Ia merasa khawatir karena melihat cara Hek Moli menyambut batu besar yang
dilemparkannya tadi, ia merasa tidak akan kuat menandingi iblis wanita hitam ini, dan mengira bahwa
Hek Moli menyusulnya dengan maksud buruk.:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 19
:: CerSil KhoPingHoo :
"Hek Moli, apa yang...?" Tegurannya terhenti sampai disitu karena kini ia berdiri tertegun melihat
seorang gadis cantik jelita berdiri dihadapannya dengan senyum mengejek. Gadis itu adalah gadis yang
tadi dilihatnya berdiri dekat Hek Moli. Tosu itu menjadi makin terkejut. Bukan main hebatnya, semuda
ini sudah memiliki kepandaian ginkang yang demikian tingginya!
"Nona, apa kehendakmu menghadang perjalananku?" tanyanya, menyembunyikan rasa khawatirnya di
balik senyum. In Hong mengeluarkan suara mengejek,
"Tosu busuk, kau datang-datang menyombongkan kepandaian dan menghina Guruku, bagaimana aku
dapat membiarkan kau pergi begitu saja? Hayo kau mengaku siapa namamu dan berlututlah minta
ampun kepada Guruku, kalau tidak, jangan harap kau akan dapat pergi dari sini!" Merah muka Tosu itu,
merah karena marah yang ditahan-tahan. Kata-kata gadis itu merupakan penghinaan yang amat besar.
Di Go-Bi-Pai, ia termasuk tokoh yang cukup disegani, dan biarpun bukan merupakan tokoh pimpinan
tertinggi, namun setidaknya ia adalah wakil Guru besar yang memberi pelajaran ilmu silat kepada muridmurid tingkat rendahan dan dalam hal kepandaian ilmu silat, ia bisa dikatakan menduduki tingkat
keempat.
"Nona, Pinto dengan kau belum pernah bertemu dan tidak mempunyai sangkut paut. Kalau Gurumu
merasa penasaran, biarlah dia sendiri yang memutuskan. Pinto tidak suka berurusan dengan segala
bocah kecil yang kurangajar."
"Hayo kau mengaku nama dan berlutut minta ampun!" In Hong memotong omongan Tosu itu dengan
bentakan mengancam. Akan tetapi, sambil mengeluarkan suara ejekan, Tosu itu tidak menjawab, hanya
menggerakkan tubuh berlari ke depan, memutari tubuh gadis itu yang menghadang di depannya.
"Minggirlah!" katanya dan tangan kirinya dengan lengan baju yang lebar itu menyambar ke arah muka In
Hong. Ini adalah gerakan serangan yang hebat, karena tidak hanya ujung lengan baju itu yang menyabet
dengan tenaga lwee-kang akan tetapi jari-jari tangan itupun dipentang dan dapat dipergunakan untuk
menyampok, memukul, atau mencengkeram menurut perkembangan dari perlawanan orang yang
diserangnya.
Orang lain yang menghadapi serangan hebat ini, yang merasa sambaran angin yang dahsyat, tentu akan
terkejut dan mengelak. Setiap orang ahli silat yang belum mengukur tenaga dan kepandaian lawan,
selalu akan mengelak dari pukulan pertama, karena untuk menangkis pukulan lawan sebelum mengukur
tenaga lawan yang menyerangnya, adalah hal yang berbahaya dan dianggap merugikan pihak sendiri.
Akan tetapi In Hong adalah seorang gadis yang amat tabah dan pula ia sudah percaya penuh akan
kepandaian sendiri. Biarpun ia belum mengukur tenaga Tosu itu, namun tadi Tosu itu telah secara
lancang memperlihatkan kepandaiannya ketika menggurat batu dengan jari tangan dan melontarkan
batu itu kepada Hek Moli.
Melihat betapa coretan pada batu itu masih kasar dan ada tanda-tanda guratan jari tangan, ia tahu
bahwa Tosu itu masih belum mampu mempergunakan lweekang secara mendalam dan lemas. Kalau
seorang ahli yang lweekangnya sudah tinggi dan dapat mengatur dengan hawa dalam tubuh sehingga
ujung-ujung kuku dapat dipergunakan dan disembunyikan dan biarpun tenaga yang keluar dari jari
tangan yang menggores batu adalah tenaga yang dahsyat, namun kulit jari sendiri demikian lemas
sehingga tidak akan mendatangkan bekas guratan jari pada batu. Dilihat dari sini saja ia sudah dapat:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 20
:: CerSil KhoPingHoo :
mengukur tenaga dari Tosu itu, maka kini melihat Tosu itu mempergunakan tangannya untuk
menyerang sambil lari,
In Hong mengangkat tangan kirinya dan dengan jari telunjuknya ia menyambut tangan itu. Melihat ini,
Tosu itu menjadi girang. Kalau ia tidak dapat dan belum berani membalas sakit hatinya kepada Hek Moli,
sedikitnya ia akan dapat membalas dengan jalan menyakiti murid iblis wanita hitam itu. Maka ia lalu
mempergunakan lima jari tangan kirinya untuk menampar dan maksudnya hendak mematahkan tulang
telunjuk gadis itu. Telapak tangan yang dikerahkan dengan tenaga lwekang dan menjadi keras seperti
baja bertemu dengan telunjuk In Hong yang runcing dan mungil. Kalau dibicarakan memang agaknya tak
masuk diakal, karena tiba-tiba Tosu itu menjerit dan meringis kesakitan, tangannya menjadi kaku dan
jari-jarinya direnggangkan, sakitnya bukan main!
Akan tetapi harus dimengerti bahwa In Hong telah mempergunakan im-kang (tenaga lemas) untuk
menghadapi yang-kang (tenaga kasar) dari Tosu itu, dan di dalam hal ilmu silat, yang lemas memang
mudah sekali menggulingkan yang kasar. Dengan telunjuknya yang sudah terlatih sempurna, gadis itu
dapat menyentuh jalan darah di pangkal Ibu jari, .jalan darah yang menjadi saluran ke arah nadi dan
semua jalan darah aseli, maka sebelum telapak tangan itu dapat mematahkan jari telunjuk In Hong,
lebih dulu jalan darah dari tangan Tosu itu telah kena ditotok! In Hong tertawa cekikikan melihat Tosu
itu meringis-ringis kesakitan. Akan tetapi timbul juga rasa kasihan di dalam hatinya karena kini lengan
kanan yang buntung itu mencoba untuk menolong tangan kiri yang terluka. Tentu saja lengan kanan
yang buntung itu hanya bisa bergerak-gerak sampai di siku kiri saja, mana bisa menolong.
"Hm, kini kau tahu bahwa kami tidak mudah dipermainkan begitu saja oleh kalian orang-orang Go-BiPai. Orang macam kau berani menghina Guruku? Hayo mengaku siapa namamu dan lekas kau berlutut
minta ampun!" Tosu itu mukanya menjadi sebentar pucat sebentar merah. Sebagai seorang tokoh tinggi
dari Go-Bi-Pai, ia telah mengalami hinaan yang amat memalukan. Mana ia sudi berlutut minta ampun?
Lebih baik ia mati! Hek Moli yang melihat keadaan itu, diam-diam dalam hatinya terkejut. Tak
disangkanya bahwa muridnya mempunyai hati yang lebih telengas dan ganas. Maka untuk menjaga agar
muridnya ini kelak jangan sampai bermusuhan dengan partai-partai besar yang akan mencelakakan
hidupnya, ia berseru,
"In Hong, Tosu itu bernama Tek Seng Cu, dan kalau memang dia sudah insaf, tak perlu dia berlutut minta
ampun, asal dia sudah mengakui kesalahannya cukuplah!" Mendengar kata-kata ini, Tek Seng Cu melihat
jalan keluar yang lebih enak baginya, maka cepat ia menjura sambil berkata ke arah Hek Moli,
"Hek Moli, Pinto benar-benar bermata akan tetapi tak pandai melihat. Biarlah kau maafkan sikapku yang
kasar tadi. Nah, sampai berjumpa di puncak O-mei-san!" Ia membalikkan tubuh dan berlari cepat sambil
menahan rasa sakit pada telapak tangannya, rasa sakit yang menusuk hatinya yang sudah sakit karena
penghinaan itu. In Hong menghadapi Gurunya,
"Subo, orang macam dia sudah sepatutnya dibunuh saja agar lain kali jangan datang menimbulkan
keributan lagi." Hek Moli menarik napas panjang.
"In Hong, kau belum tahu banyak tentang dunia kangouw. Ketahuilah, Tek Seng Cu itu hanyalah cucu
murid dari ketua Go-Bi-Pai, dan dahulu belasan tahun yang lalu, untuk menghadapi dan meng-alahkan
ketua Go-Bi-Pai, aku harus mengeluarkan seluruh kepandaianku. Ketua Go-Bi-Pai bukanlah orang jahat,
bahkan dia seorang Lo-Cianpwe yang disegani, maka tidak baiklah membuat permusuhan dengan Go-Bi-:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 21
:: CerSil KhoPingHoo :
Pai." In Hong mengerutkan keningnya dan sepasang alisnya yang hitam dan berbentuk indah itu
bergerak-gerak.
"Subo, mereka sudah menantang dan menghinamu, bagaimana tak dapat disebut jahat?" Hek Moli
tersenyum.
"Mungkin diantara tokoh-tokoh Go-Bi-Pai ada yang berwatak sombong dan kasar, bahkan aku tidak
menyangkal bahwa banyak orang-orang mengaku Pendeta namun hatinya kotor melebihi penjahat
biasa. Akan tetapi, untuk apakah bermusuhan dengan mereka kalau tidak ada alasan? Kalau kau melihat
mereka melakukan perbuatan jahat, siapapun juga adanya mereka, pantas kau musuhi dan kau basmi,
biarpun untuk itu kau harus mengorbankan nyawa. Akan tetapi, dalam hal ini tidak ada permusuhan
hebat, yang ada hanyalah menebus kekalahan dalam pibu."
"Akan tetapi Go-Bi-Pai menantangmu, Subo."
"Tidak apa, aku akan datang kesana pada waktunya dan dengan tulang-tulangku yang sudah tua, akan
kucoba mengalahkan mereka seperti belasan tahun yang lalu." Nenek ini memukul-mukulkan tongkat
hitam yang panjang ke atas tanah. "Biarpun aku sudah tua, akan tetapi tongkat ini tetap kuat dan masih
muda. Aah, manusia mana bisa menangkan benda mati. Benda hidup akan melayu dan mati, akan tetapi
tongkat ini sudah mati ketika lahir, bagaimana dia bisa layu dan akhirnya mati seperti aku?" Nenek ini
menghela napas lalu duduk termenung. Melihat Gurunya nampak berduka, In Hong menjadi terharu dan
berbareng merasa panas hatinya.
"Subo, biarkan Teecu pergi menemui mereka di O-mei-san! Biarkan Teecu mewakili Subo menghajar
mereka dan memperlihatkan bahwa murid Subo saja sudah cukup untuk mengalahkan semua tokoh GoBi-Pai dalam pibu!" Kata-katanya keras bersemangat, wajahnya yang cantik jelita itu kemerahan
sehingga menjadi demikian segar bagaikan setangkai bunga mawar merah yang sedang mekarnya. Akan
tetapi alangkah terkejutnya hati In Hong ketika tiba-tiba tongkat hitam panjang di tangan Nenek itu
menghantam batu yang segera menjadi hancur berkeping-keping. Nenek itu sendiri melompat bangun
dan membentaknya,
"Diam kau! Jangan mencampuri urusan ini, ini adalah urusan pribadiku, tidak ada sangkut-pautnya
denganmu, mengerti?"
In Hong tertegun, wajahnya yang tadi kemerahan tiba-tiba menjadi pucat. Selama menjadi murid Hek
Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Moli, belum pernah Gurunya ini marah kepadanya, selalu memperlihatkan kasih sayang. Gadis ini hanya
dapat memandang kepada Gurunya dengan mulut sedikit terbuka dan mata tak berkedip, kemudian
perlahan-lahan, dua butir air mata menitik turun ke atas pipinya yang berkulit halus bersih. Hek Moli
memandang kepada muridnya dan tiba-tiba saja rasa marahnya tadi lenyap seperti awan tipis tersapu
angin. Ia melangkah maju dan memeluk muridnya, mendekap kepala yang berambut hitam panjang itu
kepada dadanya yang tipis. Seperti air hujan, air mata mengalir dari sepasang mata In Hong. Gadis ini
merasa sengsara dalam hatinya karena sekali saja dimarahi oleh Gurunya, ia teringat kepada AyahBundanya.
"In Hong, muridku yang baik, muridku yang terkasih, jangan kau kecewa. Aku percaya bahwa kau akan
dapat mengalahkan tokoh-tokoh Go-Bi-Pai, bahkan ketuanya sendiri boleh maju, kau takkan kalah! Akan
tetapi, jangan kau kecewa. In Hong. Main-main dalam pibu ini dahulu adalah aku yang mencari sendiri,
akulah yang menjadi biangkeladi, oleh karena itu aku pula yang harus menyelesaikan. Kau tidak boleh:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 22
:: CerSil KhoPingHoo :
terseret-seret dalam permainan gila ini, permainan dari ahli-ahli silat yang tidak mempunyai pekerjaan,
yang sombong dan ingin memperlihatkan kepandaian, ingin diakui sebagai jagoan paling pandai di
dunia! Ya, dahulu aku amat sombong, In Hong, aku belum puas kalau belum mengalahkan tokoh
terbesar di dunia kangouw. Kau tidak boleh terseret-seret, aku akan merasa menyesal dan berduka
sampai mati kalau melihat kau dibenci oleh para tokoh-tokoh besar di dunia kangouw. Kau harus
menjadi seorang pendekar yang berguna bagi rakyat, berguna bagi manusia. Kerahkan kepandaianmu
untuk menolong manusia, bukan untuk mencari permusuhan dengan lain orang. Jangan salah mengerti,
muridku, aku melarangmu pergi atau ikut ke O-Mei-San, bukan sekali-kali karena aku tidak percaya akan
kepandaianmu. Pada waktu ini, kepandaianmu tidak kalah olehku sendiri. Aku hanya sayang kalau-kalau
kau muridku yang masih murni, masih suci, akan terseret ke dalam permusuhan yang tidak ada artinya,
permusuhan dicari-cari yang tidak ada dasarnya."
"Jadi Subo mau pergi sendiri, meninggalkan Teecu seorang diri disini?"
"Selalu aku pergi seorang diri kalau hendak berpibu, In Hong. Kesombongan itu sampai sekarang masih
ada di dalam dadaku. Aku tidak mau kalau orang mengira aku mengandalkan bantuanmu. Selain itu, kau
harus memenuhi tugasmu yang pertama, yakni mencari Ayah-Bundamu di See-Ciu." Mendengar
disebutnya Ayah-Bundanya, berseri wajah In Hong. Hal ini memang sudah dirindukan belasan tahun dan
kini mendengar bahwa Gurunya sudah memberi ijin kepadanya untuk mencari Ayah-Bundanya, tentu
saja ia menjadi girang sekali.
"Baik, Subo. Kapankah Teecu boleh berangkat mencari Ayah dan Ibu?" tanyanya. Hek Moli
menyembunyikan senyumnya penuh kegetiran dan iri hati. Ia maklum bahwa betapapun besar kasih
sayang muridnya terhadap dia, tetap saja kasih sayang muridnya kepada Ayah-Bundanya jauh lebih
besar.
"Sekarang juga, In Hong. Berangkatlah bersama doaku. Tiga puluh potong uang emas yang kusimpan itu
boleh kau bawa, juga pedang dan hiasan rambut yang kau pakai. Pakaianmu juga bawalah semua untuk
bekal di jalan. Kau harus berlaku hati-hati dan jangan lupa, disamping melakukan perbuatan sesuai
dengan kepandaianmu dan sesuai pula dengan tugas seorang pendekar seperti yang seringkali
kunasihatkan kepadamu, jangan sekali-kali kau mencari permusuhan dengan orang-orang kangouw
tanpa alasan yang kuat."
"Baik Subo, baik!" Dengan girang gadis ini lalu masuk ke dalam pondok untuk mengambil uang dan
pakaian, kemudian ia keluar lagi, siap untuk berangkat. Akan tetapi, ketika melihat Gurunya yang tua
dan kurus itu berdiri seperti orang melamun, seperti sebuah tonggak kayu yang tua dan buruk, lambang
kesunyian dan kelayuan, hatinya terharu sekali dan ia memeluk Subonya.
"Akan tetapi, Subo. Bagaimana Teecu tega meninggalkan Subo seorang diri?" isaknya. Hek Moli menjadi
besar kembali hatinya. Dielus-elusnya rambut muridnya penuh kasih sayang.
"In Hong, bagaimana kau bisa tinggalkan aku? Aku sendiri sekarang juga akan berangkat ke O-mei-san."
"Akan tetapi... bagaimana kalau terjadi sesuatu denganmu, Subo?"
"Ha, kau tidak percaya kepadaku? Aku dapat menjaga diri, In Hong, dan biarpun tulang-tulangku telah
tua, kiranya takkan mudah dicelakakan orang!":: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 23
:: CerSil KhoPingHoo :
"Bila Teecu dapat bertemu dengan Subo? Kemana Teecu harus mencari Subo?"
"Kalau kau sudah bertemu dengan orang tuamu, kau tidak boleh lagi meninggalkan mereka! Kalau kau
merasa rindu kepadaku, kau datanglah di puncak ini. Setelah beres menguruskan persoalan pibu dengan
orang-orang Go-Bi-Pai, aku tentu akan kembali kesini. Aku sudah terlalu tua dan sudah bosan untuk
merantau, aku mau menanti sisa umurku di puncak ini. Kalau kau datang kesini, aku pasti ada disini, In
Hong, kecuali kalau aku tidak ada disini, tentu.... ah, kau tak usah mencariku lagi kalau aku tidak ada
disini."
"Subo...!" In Hong menjerit sambil menjauhkan diri agar dapat memandang muka Gurunya. Hek Moli
tersenyum.
"In Hong, jangan seperti anak kecil! Betapapun juga, pibu adalah pertandingan silat dan luka atau tewas
dalam pibu bukanlah hal yang rendah."
"Subo, biarkan Teecu turut dan membantumu! Mereka tidak boleh menjatuhkanmu, Subo! Biar kelak
saja Teecu mencari Ayah-Bunda." Hek Moli menggeleng kepalanya perlahan.
"Tidak bisa, In Hong. Belum tentu aku kalah, dan tidak baik kalau kau ikut seperti sudah kukatakan tadi.
Berangkatlah kau, dan sekali lagi, kalau kelak kau tidak mendapatkan aku disini, jangan kau mencariku
lagi, dan ingat! Jangan kau mencari gara-gara dengan mereka yang menang dalam pibu melawanku.
Luka atau mati dalam pibu sudah sewajarnya!"
"Subo..."
"Berangkatlah! Jangan bikin aku jengkel!" Hek Moli membentak. In Hong menghapus airmatanya,
berlutut di depan Gurunya dan berkata lemah,
"Selamat berpisah, Subo. Tak lama lagi Teecu akan mencari Subo disini..."
"Pergilah, muridku." In Hong berdiri, sebelum berangkat ia maju dan menubruk, memeluk suhunya
untuk terakhir kali, kemudian ia berlari turun gunung dengan cepat sekali. Setelah bayangan In Hong
tidak kelihatan lagi, Hek Moli menjatuhkan diri duduk di atas batu dan mempergunakan ujung baju
untuk menghapus beberapa titik air mata. Gunung O-mei-san terletak di sebelah selatan pegunungan
Ciung-lai-san. Tepat setengah bulan kemudian semenjak Tosu Tek Seng Cu dari Go-Bi-Pai mendatangi
Hek Moli di puncak Ciung-lai-san, pada pagi hari kelihatan Hek Moli berjalan terbongkok-bongkok
mendaki puncak O-mei-san, dibantu oleh tongkatnya yang panjang dan hitam.
Untuk dapat tiba di lereng O-mei-san dalam waktu setengah bulan dari puncak Ciung-lai-san,
membutuhkan kepandaian berlari cepat yang tinggi, dan tentu saja Hek Moli mengeluarkan
kepandaiannya dalam perjalanan itu. Namun setelah tiba dikaki bukit O-mei-san, melihat bahwa waktu
setengah bulan itu kurang dua hari lagi, ia berhenti dan tidur sehari semalam di bawah pohon besar. Ia
hanya melakukan perjalanan sembilan hari saja, karena setelah In Hong pergi meninggalkannya, sepekan
kemudian barulah ia turun gunung berangkat ke O-mei-san. Sehari kemudian, barulah Hek Moli mendaki
bukit O-mei-san, berjalan kaki perlahan-lahan. Ia merasa betapa tubuhnya kini tidak sekuat dulu, bahwa
semangatnya tidak sepanas belasan tahun yang lalu. Ia berjalan-jalan sambil mengingat-ingat semua
pengalamannya. Diam-diam ia menghela napas panjang,:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 24
:: CerSil KhoPingHoo :
"Tua bangka yang tidak beruntung," bisiknya, "usiamu sudah sembilan puluh tahun, namun masih saja
dalam saat terakhir menghadapi kematian usia tua, kau masih mendaki bukit untuk berpibu! Ah, benarbenar memalukan!" Tiba-tiba ia mendengar suara orang berlari dari bawah bukit, dan tak lama
kemudian ia melihat Tek Seng Cu berlari naik melewatinya! Dari wajah Tosu ini, jelas nampak
kekaguman dan juga keheranan. Tek Seng Cu berlari cepat terus menerus menuju kebukit O-mei-san
ketika ia meninggalkan Hek Moli, dan sekarang ia melihat Nenek itu sudah berjalan perlahan di lereng Omei-san!
"Hek Moli, kau sudah sampai disini?" tak terasa pula ia menegur, tak kuasa menyembunyikan
keheranannya. Hek Moli terbatuk-batuk hebat. Memang, semenjak In Hong turun gunung
meninggalkannya, penyakit batuknya yang tadinya seperti sudah sembuh itu kumat kembali.
"Tek Seng Cu, kau datang? Kebetulan sekali, lekas kau memberi laporan kepada pimpinan Go-Bi-Pai
bahwa aku sudah datang untuk memenuhi undangan," kata Hek Moli setelah dapat mengatur napasnya
yang menjadi sesak karena batuk-batuk tadi. Tanpa menjawab Tek Seng Cu berlari terus mendaki
gunung itu.
Hek Moli tidak perduli dan tetap berjalan perlahan-lahan, dibantu oleh tongkatnya. Akan tetapi sebelum
tiba di puncak O-mei-san, baru saja tiba di lereng yang datar, ia melihat Tek Seng Cu berdiri menunggu
bersama tujuh oleh Kakek yang semuanya berdiri memandang kepadanya dengan mata penuh
kebencian. Hek Moli terkejut dan juga heran, hatinya terasa tidak enak. Ia tidak melihat ketua Go-Bi-Pai
yang sudah dikenalnya baik, yakni Pek Eng Taysu, dan menurut pandangan matanya yang biarpun sudah
tua masih amat tajam. Ia melihat bahwa tiga diantara tujuh orang itu adalah tokoh-tokoh penting dari
partai Kun-Lun-Pai. Apakah maksud kedatangan tiga orang Kun-Lun itu? Akan tetapi, biarpun di dalam
hatinya Hek Moli timbul pertanyaan ini, pada wajahnya ia tidak memperlihatkan sesuatu, dan langsung
ia berjalan terbongkok-bongkok menghampiri mereka.
"Tek Seng Cu, mana adanya Pek Eng Taysu ketuamu? Mengapa kalian berdiri disini? Hayo antar aku
menjumpainya. Apakah dia menanti kedatanganku di puncak?" Akan tetapi, kata-kata ini dijawab oleh
Tek Seng Cu dengan seruan kepada kawan-kawannya yang tujuh orang jumlahnya itu,
"Cuwi beng-yu, mari kita basmi siluman perempuan yang jahat ini!" Serentak tujuh orang kawannya itu
tanpa mengeluarkan kata-kata mencabut senjata. Ada yang bersenjata pedang, golok, dan bahkan ada
yang bersenjata toya dan siang-koan-pit. Melihat cara mereka mencabut senjata, Hek Moli maklum
bahwa mereka terdiri dari orang-orang berkepandaian tinggi. Kini ia dapat mengenal bahwa mereka
adalah orang-orang Go-Bi-Pai dan Kun-Lun-Pai yang dahulu belasan tahun yang lalu pernah ia robohkan
dalam pibu ketika ia mencoba kepandaian tokoh-tokoh dari dua partai besar itu.
Di Go-Bi-Pai, ia telah mengalahkan Pek Eng Taysu ketua Go-Bi-Pai dengan susah payah, akan tetapi di
Kun-Lun-Pai, ia tidak sempat bertemu dengan ketuanya, hanya dilayani oleh tokoh-tokoh ketiga dan
kedua yang semuanya dengan perlawanan gagah dapat ia kalahkan. Teringat akan semua itu, dan
mendengar seruan Tek Seng Cu, Hek Moli menjadi marah sekali. Ia dapat menduga bahwa undangan ini
tentulah perbuatan Tek Seng Cu yang sengaja mengumpulkan kawan-kawan untuk mencelakakannya,
atau untuk membalas dendam atas kekalahannya sehingga sebelah lengannya buntung. Inilah curang,
pikirnya. Untuk menghadapi pibu biasa, sampai kemanapun atau berhadapan dengan siapapun ia tidak
gentar dan menerima dengan gembira, akan tetapi menghadapi kecurangan ini, ia takkan dapat
membiarkan begitu saja.:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 25
:: CerSil KhoPingHoo :
"Tek Seng Cu, kau benar-benar penjahat berjubah pandeta!!" teriaknya dan jauh sekali bedanya dengan
ketika ia berjalan terbongkok-bongkok naik gunung tadi, kini tubuhnya bergerak cepat dan tahu-tahu
tongkatnya telah menusuk ke arah muka Tek Seng Cu! Sebagai seorang ahli, Tek Seng Cu yang kini
tangan kirinya telah bersenjata pedang tipis, cepat mengelak dan mencoba membalas dengan babatan
pedang. Namun, dua kali tongkat panjang hitam itu bergerak secara aneh setelah tadi mengancam muka
Tek Seng Cu.
Pertama-tama tongkat itu meluncur ke leher, akan tetapi, sewaktu Tek Seng Cu menggerakkan tubuh
mengelak, tahu-tahu tongkat itu berobah lagi gerakannya dan tanpa dapat dielakkan atau ditangkis lagi,
dada kiri Tosu itu kena ditotok. Tek Seng Cu menjerit, tubuhnya terhuyung dan ia roboh miring, tak
dapat ditolong lagi karena sebelum tubuh itu roboh, nyawanya telah melayang! Empat orang Tosu GoBi-Pai dan tiga orang Kakek Kun-Lun-Pai cepat maju mengeroyok Hek Moli. Tadi mereka tak sempat
melindungi Tek Seng Cu karena penyerangan Hek Moli benar-benar tidak terduga dan amat cepatnya.
Kini mereka serentak maju mengepung dan menyerang dengan hebat. Diam-diam Hek Moli terkejut.
Para penyerangnya ini memiliki kepandaian yang lebih tinggi daripada Tek Seng Cu, apalagi tiga orang
Kakek dari Kun-Lun-Pai itu benar-benar amat tangguh ilmu pedangnya.
"Hm, beginikah caranya kalian berpibu? Bagus, bagus, mari kita mengambil keputusan siapa yang akan
tinggal hidup!" kata Hek Moli sambil mengejek dan tongkatnya digerakkan secara luar biasa sekali.
Empat orang Tosu Go-Bi-Pai itu semua setingkat lebih tinggi dari Tek Seng Cu. Mereka adalah tokohtokoh tingkat tiga dari Go-Bi-Pai, maka ilmu silat mereka tentu saja sudah cukup tinggi. Mereka ini
adalah Paman-paman Guru dari Tek Seng Cu, yakni murid dari Pek Eng Taysu tingkat muda. Nama
mereka adalah Wi Tek Tosu, Wi Kong Tosu, Wi Jin Tosu, dan Wi Liang Tosu. Sebagai murid Pek Eng Taysu
yang terkenal sebagai seorang ahli silat serba bisa, maka senjata mereka juga bermacam-macam. Wi Tek
Tosu terkenal dengan siang-kiamnya, Wi Kong Tosu kuat sekali permainan toyanya, Wi Jin Tosu
mempergunakan sebatang golok besar, sedangkan Wi Liang Tosu bersenjata ruyung kuningan. Masingmasing mempunyai keistimewaan sendiri dan rata-rata merupakan lawan yang amat tangguh.
Adapun tiga orang Kakek dari Kun-Lun-Pai, bukanlah orang-orang sembarangan. Mereka ini adalah
tokoh-tokoh tingkat dua dari Kun-Lun-Pai, menjadi murid-murid tertua dari Pek Ciang San-Lojin (Kakek
gunung bertangan putih), yakni ketua Kun-Lun-Pai pada waktu itu. Ketika belasan tahun yang lalu Hek
Moli naik ke Kun-Lun dan menantang tokoh-tokoh Kun-Lun-Pai berpibu, kebetulan sekali Pek Ciang SanLojin sedang tidak ada disana dan sebagai wakilnya, yang maju adalah muridnya yang kedua, yakni Kim
Sim Sanjin (Orang gunung berhati emas). Biarpun tak dapat dikatakan mudah, akhirnya Kim Sim Sanjin
harus mengakui kelihaian Hek Moli dan ia kena dikalahkan dan hanya menderita luka ringan. Kini, tiga
orang Kun-Lun-Pai yang datang, adalah tiga orang tokoh yang menjadi wakil Pek Ciang San-Lojin,
merupakan tiga orang yang paling ternama di bawah Guru besar itu,
Yakni pertama adalah Cu Sim Sanjin (Orang gunung berhati penuh welas asih), orang kedua adalah Kim
Sim Sanjin sendiri, dan orang ketiga mempunyai sebutan Sun Sim Sanjin (Orang gunung berhati bersih).
Cu Sim Sanjin senjatanya adalah ujung lengan bajunya yang panjangnya satu kaki lebih, Kim Sim Sanjin
bersenjata sepasang siang-koan-pit, sedangkan Sun Sim Sanjin senjatanya adalah sebuah kebutan
Pendeta (hudtim) yang berbulu putih berkilau seperti perak. Melihat senjata-senjata ini saja sudah dapat
dinilai bahwa ilmu kepandaian tiga orang Kakek Kun-Lun-Pai ini benar-benar tinggi karena senjatasenjata mereka sudah menunjukkan bahwa mereka adalah ahli-ahli lweekeh (ahli ilmu lweekang) dan
ahli totok atau tiam-hoat. Namun, Hek Moli bukan disebut Hek Moli Iblis wanita hitam kalau dia gentar
menghadapi keroyokan tujuh orang jago tua yang lihai itu.:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 26
:: CerSil KhoPingHoo : :: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 27
:: CerSil KhoPingHoo :
Dengan tongkatnya yang panjang dan hitam, ia bersilat dengan aneh, ilmu silat yang tak pernah terlihat
di wilayah Tiongkok Pedalaman. Tongkat itu berubah menjadi segundukan sinar hitam yang
membungkus tubuhnya, dan tiap kali senjata lawan terbentur oleh sinar hitam ini, senjata lawan itu
pasti terpental, seakan-akan dari sinar hitam itu keluar tenaga dahsyat yang amat luar biasa. Hek Moli
benar-benar marah. Ia sudah amat tua dan tenaganya tidak seulet dahulu, maka ia merasa penasaran
sekali dan menganggap tujuh orang pengeroyoknya adalah pengecut-pengecut belaka yang
mempergunakan jumlah banyak untuk mengeroyok seorang perempuan tua seperti dia. Oleh karena
merasa gemas dan marah, timbullah hati ganas dan kejam di dalam dada Hek Moli. Apalagi ketika ia
merasa bahwa perlahan-lahan ia mulai terdesak hebat.
Kepandaian tujuh orang lawannya benar-benar kuat sekali. Apalagi ketiga orang Kakek Kun-Lun-Pai itu,
benar-benar sukar dilawan. Menghadapi seorang diantara tiga orang Kakek ini saja, agaknya ia harus
mengerahkan seluruh kepandaian untuk mengalahkannya. Dahulu, ketika ia mengalahkan Kim Sim
Sanjin, biarpun tidak begitu mudah namun kepandaiannya masih jauh mengatasi kepandaian Kim Sim
Sanjin. Akan tetapi sekarang ia mendapat kenyataan bahwa sepasang siang-koan-pit ditangan Kim Sim
Sanjin jauh lebih lihai daripada dahulu, tanda bahwa setelah dikalahkan, tokoh Kun-Lun ini telah
memperdalam ilmu kepandaiannya. Makin lama Hek Moli makin terdesak. Tiba-tiba wanita ini diamdiam merogoh sakunya dan sekali ia mengeluarkan jerit nyaring yang menyakitkan anak telinga dan
membuat hati tujuh orang lawannya tergoncang, tangan kirinya bergerak.
Sinar-sinar hitam melayang cepat ke depan. Tiga orang Kakek Kun-Lun-san dapat mengelak dan
menyampok sinar ini dengan senjata mereka. Juga dua diantara tokoh Go-Bi-Pai dapat mengelak. Akan
tetapi Wi Liang Tosu dan Wi Jin Tosu menjerit ngeri, tubuh mereka terhuyung-huyung, lalu roboh
berkelonjotan dan tak lama kemudian mereka menghembuskan nafas terakhir! Ternyata bahwa dalam
kemarahannya, Hek Moli telah mempergunakan senjata-senjata rahasia aneh yang ia sebut Toat-Beng
Hek-Kong (Sinar hitam pencabut nyawa)! Senjata-senjata rahasia ini juga tidak dikenal di daerah Tionggoan atau pedalaman Tiongkok, dan merupakan semacam pasir berwarna hitam yang kalau mengenai
tubuh lawan, terus menyusup ke dalam jalan darah dan mengandung bisa yang cepat merampas nyawa
lawan!
"Siluman wanita, kau benar-benar berbahaya dan jahat, patut dilenyapkan dari muka bumi!" teriak Cu
Sim Sanjin orang tertua dari Kun-Lun-Pai. Begitu ia berteriak, ia dan dua orang Sutenya lalu mendesak
hebat. Teranglah bagi Hek Moli bahwa tadi tiga orang Kun-Lun-Pai ini tidak bertempur sungguh-sungguh
dan sekarang barulah ia tahu bahwa kalau mereka bertempur sungguh-sungguh, tak mungkin baginya
untuk mempergunakan senjata rahasia. Baru beberapa gebrakan saja setelah mereka membulatkan
penyerangan dengan gerakan-gerakan cepat, pundaknya telah kena sabetan ujung lengan baju Cu Sim
Sanjin sehingga ia terhuyung tiga langkah dan merasa pundaknya sakit sekali.
"Bedebah, mampuslah kalian!" bentak Hek Moli dan kembali tongkatnya menyambar-nyambar. Diamdiam Cu Sim Sanjin tertegun. Pukulannya dengan ujung lengan baju tadi adalah pukulan To-san-ciang
(Pukulan menghantam gunung), hebatnya bukan main dan betapapun kuat tubuh seorang lawan, pasti
akan roboh kalau terkena pukulan ini. Akan tetapi, wanita tua ini hanya terhuyung tiga langkah, bahkan
dapat mengamuk lagi dengan hebatnya. Benar-benar luar biasa sekali!
"Siluman wanita, bukankah kau datang dari Sik-kim dan kau adalah keturunan dari Bhutan Koi-Jin (Orang
aneh dari Butan)?" Mendengar ini, berobahlah wajah Hek Moli, akan tetapi ia mengamuk makin hebat
sambil berseru,:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 28
:: CerSil KhoPingHoo :
"Tutup mulut dan mampuslah kalian!" Tongkatnya membuat gerakan memanjang yang luar biasa
kerasnya, disusul dengan gerakan terputar, kini tidak menghadapi lima orang pengeroyoknya, melainkan
menindih dan mendesak kepada Wi Kong Tosu.
Mana Tosu Go-Bi-Pai ini mampu mempertahankan diri setelah tongkat itu khusus diserangkan
kepadanya? Dengan tepat kepalanya terkena sambaran ujung tongkat sehingga pecah dan ia
menggeletak tak bernyawa tanpa dapat mengeluarkan sedikitpun suara! Akan tetapi, karena
perhatiannya ditujukan kepada seorang saja, sedetik setelah tongkatnya menghancurkan kepala Wi
Kong Tosu, empat orang lawannya hampir berbareng melakukan serangan hebat. Pedang kiri Wi Tek
Tosu menusuk pangkal lengan Hek Moli, ujung lengan baju Cu Sim Sanjin menampar kepalanya, Siangkoan-pit sebelah kanan dari Kim Sim Sanjin menotok jalan darah pada iganya, sedangkan ujung hud-tim
(kebutan) dari Sun Sim Sanjin menotok jalan darah pada lehernya.
"Tongkat jahanam... ternyata manusia tidak seperti engkau... kau tidak bisa mati, tak bisa rusak akan
tetapi aku... majikanmu... sudah lemah dan sekarang akan mati..." Empat orang pengeroyoknya
mendengar kata-kata ini dengan mata memandang heran, akan tetapi Cu Sim Sanjin orang tertua dari
Kun-Lun-Pai yang mengerti akan maksud kata-kata ini, merasa kasihan. Memang ia terkenal seorang
yang mudah sekali merasa kasihan kepada orang-lain, oleh karena itu ia dijuluki Cu Sim Sanjin (Oranggunung berhati penuh welas asih).
"Hek Moli, kau salah duga. Biarpun tongkat benda mati namun ia bisa lapuk dan rusak." Sambil berkata
demikian ia menyambar tongkat panjang yang tertindih oleh tubuh Hek Moli, menggenggamnya di
kedua tangan. Ia mengerahkan lweekangnya yang paling tinggi diantara kawan-kawannya. Terdengar
suara "krek! krek!" dan tongkat itu hancur pada bagian yang dicengkeramnya, lalu patah menjadi tiga
potong.
"Lihat, Hek Moli, tongkatmu pun lapuk dan tua seperti kau."
"Cu Sim Sanjin... terima kasih..." Hek Moli tersenyum puas, terengah-engah.
"Hek Moli, sebelum kau pergi, terangkanlah kepada Pinto, apakah betul dugaanku bahwa kau ada
hubungan dengan Bhutan Koi-Jin dari Sikkim?" tanya Cu Sim Sanjin. Hek Moli memandang kepadanya,
lalu tersenyum pahit.
"Kau baik... sudah berusaha menghiburku... kau tidak tahu... Koi-Jin itu adalah... adalah suamiku..."
Setelah berkata demikian, Hek Moli tertawa lemah dan suara tertawanya menghilang bersama
nyawanya. Cu Sim Sanjin menarik napas panjang.
Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Pantas saja dia begini ganas, dia tidak membunuh buta tuli masih cukup baik kalau mengingat akan
nasib suaminya..."
"Siapakah Butan Koi-Jin?" tanya Wi Tek Tosu penasaran mendengar tokoh Kun-Lun-san ini masih
menaruh hati kasihan kepada Hek Moli. Cu Sim Sanjin menggeleng kepalanya,
"Diberitahu juga kau takkan mengerti, Wi Tek To-yu. Lebih baik kau merawat empat orang kawanmu
yang terbinasa. Kami tidak dapat tinggal lebih lama lagi, selamat berpisah." Setelah berkata demikian, Cu
Sim Sanjin mengajak kedua orang Sutenya pergi meninggalkan tempat itu. Sebelum jauh ia menengok
dan berkata lagi,:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 29
:: CerSil KhoPingHoo :
"Kami datang karena kau undang dan Hek Moli maupun empat orang kawanmu tewas dalam
pertempuran yang diadakan oleh Go-Bi-Pai. Oleh karena itu, disamping empat orang kawanmu, agaknya
sudah sepatutnya kalau kau merawat jenazah Hek Moli juga."
Wi Tek Tosu mendongkol sekali mendengar kata-kata ini, akan tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu
karena tiga orang Kakek Kun-Lun-Pai itu sudah pergi dan tidak kelihatan bayang-bayangnya lagi.
Betapapun juga, ia harus akui bahwa tanpa bantuan tiga orang Kakek Kun-Lun-Pai itu, ia takkan dapat
membunuh Hek Moli, bahkan nyawanya sendiri tentu akan terbang pula oleh Nenek yang sakti ini. Ia
berhasil membujuk Kim Sim Sanjin untuk datang membantunya melawan Hek Moli dan hanya karena
Kim Sim Sanjin pernah dikalahkan oleh Hek Moli maka tiga orang Kakek itu mau datang membantu. Pula,
ia telah berdaya untuk memanaskan hati mereka dengan menyatakan betapa kejamnya Hek Moli
sehingga muridnya, yakni Tek Seng Cu dibuntungi lengannya oleh Nenek itu.
Kini, biarpun ia sudah dapat membunuh Hek Moli, akan tetapi tiga orang Sutenya tewas, bahkan
muridnya juga tewas oleh Hek Moli. Bagaimana ia sudi mengubur dan merawat jenazah Nenek yang
mendatangkan malapetaka bagi Go-Bi-Pai ini? Apalagi kalau diingat bahwa ia harus menghadapi
pertanggungan jawabnya apabila pibu ini terdengar oleh suhunya, yakni Pek Eng Taysu. Sudah berkalikali Pek Eng Taysu menyatakan bahwa Go-Bi-Pai tidak ada urusan dendam dengan Hek Moli. Memang
betul bahwa Hek Moli sudah pernah naik ke Go-Bi-san, sudah menjatuhkan mereka, bahkan melukai Tek
Seng Cu, akan tetapi semua itu terjadi dalam sebuah pibu yang adil. Tidak ada alasannya untuk bersakit
hati.
"Apalagi untuk membalasnya dengan jalan pibu. Pinto sendiri sudah bosan main-main seperti anak kecil,
mengadu kepalan seperti badut. Sedangkan kiraku tak seorangpun diantara kalian yang dapat
menandinginya, maka sudahlah, urusan kecil itu habiskan saja." Pek Eng Taysu pernah berkata ketika
murid-muridnya mengajukan penasaran dan hendak membalas kepada Hek Moli. Sekarang, di luar
tahunya Pek Eng Taysu, Wi Tek Tosu dan tiga orang Sutenya, bersama muridnya, minta bantuan tiga
Kakek Kun-Lun-Pai dan berhasil menewaskan Hek Moli. Akan tetapi tiga orang Sutenya dan seorang
muridnya tewas, bagaimana ia dapat menjawab pertanyaan suhunya?
"Dia inilah yang menjadi gara-gara dan biangkeladi?" Wi Tek Tosu memaki sambil memandang kepada
jenazah Hek Moli yang menggeletak miring. Makin dipandang, makin gemaslah dia, apalagi kalau ia
memandang kepada empat mayat kawan-kawannya. Dalam kegemasannya, Wi Tek Tosu mencabut
siang-kiamnya (sepasang pedangnya), lalu menghampiri jenazah Hek Moli.
"Siluman wanita, kalau belum menghancurkan tubuhmu, aku belum puas!" katanya. Pedang kanannya
digerakkan dan,
"Bless!" pedang itu amblas ke dalam punggung Hek Moli. Ia mencabut pedang itu dan hendak diayun
lagi untuk memenggal leher mayat Hek Moli. Akan tetapi, tiba-tiba menyambar sebuah benda kecil yang
tepat mengenai pedang yang diayunnya itu.
"Criing...!" Wi Tek Tosu terkejut dan melompat mundur. Tangannya terasa tergetar. Ia mengira bahwa
tiga orang Kakek Kun-Lun-san yang kembali dan mengganggunya, akan tetapi ketika ia menengok, ia
melihat seorang laki-laki bertubuh gagah, bermata tajam dan beralis tebal sedang memandangnya
sambil bertolak pinggang. Laki-laki ini berusia empat puluh tahun lebih dan melihat pakaiannya yang:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 30
:: CerSil KhoPingHoo :
sederhana itu, mudah diduga bahwa dia adalah seorang ahli silat yang sedang melakukan perjalanan
jauh dengan jalan kaki.
"Wi Tek Totiang, mengapa seorang Pendeta seperti kau mau mengganggu tubuh yang sudah tak
bernyawa lagi?" tanya laki-laki gagah itu dengan suaranya yang keras. Wi Tek Tosu tentu saja mengenal
laki-laki gagah itu karena dia ini adalah seorang tokoh kangouw yang terkenal. Dengan muka berobah
merah sekali saking jengah dan malu, Wi Tek Tosu tertawa masam lalu berkata,
"Eh, kiranya Ong Tiang Houw Tayhiap yang datang. Baiknya tayhiap keburu mencegah Pinto yang
menjadi hilap karena amarah sehingga Pinto tidak jadi merusak mayat manusia iblis ini." Wi Tek Tosu
menyimpan kembali pedangnya.
"Siapakah dia itu?" tanya orang gagah yang bukan lain adalah Ong Tiang Houw yang sudah kita kenal
dibagian depan dari cerita ini. Ia mendekati dan agak terkejut ketika mendapatkan mayat-mayat lain
yang ia kenal sebagai Tosu-Tosu terkemuka dari Go-Bi-Pai. "Ayaa a......! Kulihat Tosu-Tosu Go-Bi-Pai
ada yang tewas pula! Apakah yang telah terjadi, Totiang?" Wi Tek Tosu menarik napas panjang.
"Sute-Suteku dan muridku sebanyak empat orang ini tewas oleh siluman wanita ini." Ong Tiang Houw
kini mengalihkan perhatiannya kepada mayat Hek Moli. Ia melihat mayat seorang Nenek tua yang
berpakaian buruk, bertubuh kurus panjang dan mukanya tidak kelihatan karena tertutup oleh
lengannya, didekatnya terdapat sebatang tongkat hitam panjang yang sudah patah-patah. Ia merasa
hatinya terguncang keras.
"Wi Tek Totiang, tahukah kau siapa adanya wanita tua ini?" tanyanya sambil menekan guncangan
hatinya.
"Dia adalah Hek Moli, iblis wanita yang sejahat-jahatnya," jawab Wi Tek Tosu. "Tanpa sebab dia pernah
naik ke Go-Bi-san, menghina kami, bahkan membuntungi sebelah lengan muridku. Hari ini muridku
bersama Sute-Suteku hendak memberi hajaran kepadanya, akan tetapi dia ternyata jahat dan ganas
sekali sehingga murid dan Sute-Suteku tewas. Baiknya kami dapat menewaskan pula siluman ini."
Mendengar bahwa Nenek itu adalah Hek Moli, muka yang tampan dari Ong Tiang Houw menjadi gelap,
dan hatinya tidak enak sekali. Ia memandang tajam kepada Wi Tek Tosu sambil berkata,
"Wi Tek Totiang, aku tidak tahu urusan apa yang terjadi antara Hek Moli dan Go-Bi-Pai, akan tetapi yang
jelas, dia ini lihai sekali sehingga dapat mengalahkan empat orang tokoh Go-Bi-Pai. Sekarang dia tewas,
bagaimanapun juga, tidak patut sekali kalau kau menuruti nafsu iblis dan merusak mayat yang tidak
bernyawa lagi." Kembali muka Tosu itu menjadi merah. Ia menjura dan kata-katanya terdengar kering,
"Ong-tayhiap, kau tidak tahu bagaimana sakit hati orang melihat tiga orang Sute dan seorang muridnya
menggeletak tak bernyawa, sehingga Pinto menjadi mata gelap. Baiknya kau datang sehingga Pinto tak
jadi melakukan hal-hal yang kurang layak. Terima kasih atas kedatanganmu ini." Setelah berkata
demikian, tanpa meno]eh kepada Tiang Houw lagi, Wi Tek Tosu lalu menghampiri empat mayat kawankawannya, mengambil empat mayat itu satu demi satu, lalu memanggul mereka dengan sedikitpun tak
kelihatan berat, kemudian ia lari turun gunung O-mei-san dengan cepat. Ong Tiang Houw hanya
memandang dan menarik napas panjang.
"Tak pantas menjadi Pendeta," celanya dengan suara perlahan. Kemudian ia menghampiri mayat Hek
Moli, menurunkan lengan yang menutup muka Nenek itu. Ia melihat wajah yang sudah tua, wajah yang:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 31
:: CerSil KhoPingHoo :
keriputan dan menghitam, yang kelihatan sekelebatan amat buruk. Akan tetapi ketika ia
memperhatikan, ternyata olehnya bahwa sebetulnya wajah itu mempunyai garis-garis yang amat baik,
bahwa mata, hidung dan mulut itu dahulunya amat baik, wajah seorang yang dahulu amat cantik.
Teringatlah ia akan pesan dari mendiang suhunya, yakni Bu Sek Tianglo ketika Kakek itu hendak
menghembuskan nafas terakhir,
"Tiang Houw, kelak kalau kau sudah terjun ke dunia kangouw, dan kau bertemu dengan seorang wanita
yang memakai nama julukan Hek Moli, betapapun jahat ia nampaknya, jangan kau mengganggunya.
Bahkan kau harus membela dia sedapat mungkin, Tiang Houw. Dialah satu-satunya orang di dunia ini
yang kupuja, yang kuhormati dan yang takkan pernah terbayar budinya yang telah kuterima. Bela dan
lindungi dia, Tiang Houw, sungguhpun ilmu silatnya sudah amat tinggi, mungkin dia dibenci orang-orang
kangouw..." Memang sudah seringkali Tiang Houw dalam perantauannya di dunia kangouw, mendengar
akan nama Hek Moli yang amat ditakuti orang, akan tetapi belum pernah ia bertemu muka dengan
orangnya.
Ia mencari-cari keterangan dan akhirnya ia mendapat gambaran bahwa orang yang namanya Hek Moli
adalah seorang Nenek seperti siluman, bertongkat panjang hitam, berpakaian butut dan berwajah buruk
sekali, mempunyai watak aneh dan ganas. Dan kini, di puncak O-mei-san, tanpa tersangka-sangka, ia
telah bertemu dengan Hek Moli dalam keadaan sudah tak bernyawa lagi. Namun, hatinya bersyukur
bahwa dalam saat terakhir itu ia telah dapat memenuhi pesanan suhunya, yakni membela Hek Moli,
sungguhpun pembelaannya itu amat sedikit artinya, yakni hanya mencegah orang merusak mayat Nenek
itu. Dengan sebutir senjata rahasia thi-lan-ci, ia tadi mencegah Wi Tek Tosu menurunkan pedang
merusak jenazah Hek Moli. Diam-diam ia merasa lega.
Ia dapat membayangkan betapa sukar kedudukannya kalau ia datang lebih pagi, yakni selagi Hek Moli
bertempur menghadapi pengeroyokan orang-orang Go-Bi-Pai. Apa yang harus ia lakukan? Biarpun
suhunya sudah meninggalkan pesan agar ia membela Hek Moli, akan tetapi suara yang ia dengar
tentang Hek Moli yang dianggap sebagai seorang iblis wanita ganas dan kejam, lagi pula suka mencari
perkara, membuat ia ragu-ragu. Apalagi kalau melihat Hek Moli bertempur melawan tokoh-tokoh Go-BiPai! Ia mengenal baik ketua Go-Bi-Pai, yakni Pek Eng Thaisu yang diketahuinya benar-benar adalah
seorang Kakek pertapa yang berhati mulia dan suci. Ia tahu bahwa Go-Bi-Pai adalah sebuah partai
persilatan yang amat besar, berpengaruh dan ternama, yang menghasilkan banyak pendekar-pendekar
budiman. Bagaimana ia dapat membantu Hek Moli dan bermusuhan dengan Go-Bi-Pai?
"Betapapun juga, aku telah membelanya," kembali Tiang Houw menghela napas lega, "setidaknya
membela mayatnya."
Ia lalu menggali lubang di tempat yang baik di puncak gunung, kemudian memondong mayat Nenek itu
dan menguburnya baik-baik. Agar kuburan itu tidak akan lenyap begitu saja tanpa bekas, ia lalu
mengambil tongkat hitam yang sudah patah-patah itu, kemudian ia menancapkan tiga potongan tongkat
itu di depan gundukan tanah kuburan. Bagaimana Ong Tiang Houw dapat tiba di O-mei-san dan
kebetulan sekali dapat mencegah Wi Tek Tosu merusak mayat Hek Moli? Untuk mengikuti perjalanan
Ong Tiang Houw, baiklah kita mundur sebentar dan mengikuti pengalaman Nyonya Kwee Seng. Seperti
telah dituturkan dibagian depan dari cerita ini, empatbelas tahun yang lalu Ong Tiang Houw memimpin
pasukan rakyat yang mempergunakan nama Kai-Sin-Tin, menyerbu dan membasmi orang-orang
hartawan dan bangsawan di beberapa dusun, termasuk dusun Tiang-On.:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 32
:: CerSil KhoPingHoo :
Sudah diceritakan pula betapa keluarga hartawan Kwee Seng pun menjadi korban. Kwee Seng sendiri
tewas terkena sambaran senjata rahasia thi-lian-ci dari Ong Tiang Houw, adapun Kwee-Hujin atau
Nyonya Kwee yang masih muda dan cantik jelita itu menarik hati Ong Tiang Houw sehingga duda yang
masih muda dan gagah ini tidak tega untuk membunuhnya, bahkan lalu melarikannya di atas kuda.
Kwee-Hujin, atau nama kecilnya Yo Cui Hwa, siuman dari pingsannya, membuka mata perlahan dan
mengeluarkan suara rintihan. Ia membuka mata lebar-lebar ketika merasa betapa angin menyambarnyambar dan membuat kulit mukanya terasa dingin. Ia melihat pohon-pohon berlari-larian cepat sekali
dan setelah ia sadar betul-betul, barulah ia tahu bahwa ia berada dalam pondongan seorang laki-laki di
atas kuda!
Kenyataan ini demikian mengejutkan dan mengerikan hatinya sehingga sambil mengeluarkan keluhan
lemah, Nyonya muda ini pingsan kembali dalam pelukan Ong Tiang Houw. Tiang Houw merasa betapa
tubuh Nyonya yang dipondongnya tadi bergerak perlahan, lalu lemas kembali, akan tetapi kini terasa
hawa panas keluar dari tubuh yang dipondongnya itu. Bukan main panasnya sehingga ia sendiri sampai
berpeluh. Ia menahan kendali kudanya dan meraba jidat Nyonya Kwee. Alangkah terkejutnya ketika
tangannya meraba kulit jidat yang panas seperti terbakar. Ternyata bahwa luka dikepala karena beradu
dengan batu, ditambah dengan pukulan batin melihat dirinya dilarikan oleh seorang laki-laki, telah
menda-tangkan demam hebat pada diri Yo Cui Hwa Nyonya muda itu.
"Dia harus cepat-cepat mendapat perawatan yang baik," Ong Tiang Houw berkata seorang diri. Cepat ia
membalapkan kuda menuju ke kampungnya sendiri. Ketika Yo Cui Hwa sadar kembali, ia mendapatkan
dirinya telah rebah di atas pembaringan sederhana dalam sebuah kamar yang bersih. Di atas meja dekat
pembaringan itu terdapat sebuah tempat kembang terisi kembang yang masih segar. Keadaan disitu
tenteram dan damai, menyenangkan sekali.
"Ibu, harap suka minum dulu obat ini agar lekas sembuh." Cui Hwa tersentak kaget dan menengok. Di
sebelah pembaringan, ternyata seorang anak laki-laki berusia kurang lebih enam tahun tengah berlutut
dan memegang sebuah mangkok terisi obat masakan yang masih hangat dan berbau harum. Cui Hwa
tercengang. Anak itu berwajah Bundar, kulit mukanya putih bersih, matanya bersinar dan bibirnya
merah. Benar-benar muka seorang anak laki-laki yang tampan sekali. Cui Hwa segera bangun dan duduk,
memandang dengan mata terbuka lebar-lebar.
"Siapa kau? Dimana aku...?"
"Ibu, anak adalah Teng San dan Ibu berada di rumah kita sendiri. Marilah minum obatnya, Ibu...,"
ucapan itu seperti tadi, terdengar amat halus dan penuh kasih sayang, sehingga Cui Hwa menjadi makin
heran.
"Bagaimana kau memanggil aku Ibu dan... dan bagaimana aku bisa berada disini? Apa artinya ini
semua?" Cui Hwa hampir menjerit saking tegangnya perasaan diwaktu itu. Semua ini terjadi seperti
dalam mimpi buruk. Tahu-tahu ia berada disebuah kamar asing dan anak laki-laki ini, yang selama
hidupnya belum pernah dilihatnya, tiba-tiba saja menyebutnya sebagai Ibunya! Gilakah dia? Anak lakilaki itu memandang dan bibirnya bergerak seperti orang berduka.
"Ibu, anak mohon Ibu minum dulu obat ini agar lekas sembuh. Tentang semua pertanyaan itu, nanti
akan anak jawab setelah Ibu minum obat." Kata-kata yang amat halus dan penuh perhatian itu benarbenar membuat Cui Hwa terharu. Tak dapat lagi ia menolaknya, maka sambil memandang muka anak itu
tanpa berkedip, ia menerima mangkok dan minum isinya tanpa ragu-ragu lagi. Rasanya agak pait dan:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 33
:: CerSil KhoPingHoo :
masam. Adapun anak itu memandang dengan muka berseri ketika melihat Cui Hwa minum obatnya,
kemudian anak itu memandang kagum melihat betapa muka Cui Hwa bergerak-gerak menahan rasa
pahit. Dalam pandangannya, muka itu bukan main indahnya.
"Pahit, Ibu?" tanyanya dan suaranya mengandung kasih sayang yang menggetarkan kalbu Cui Hwa. Ia
menaruh mangkok kosong itu di atas meja dekat pembaringan, kemudian ia bertanya,
"Nah, sekarang ceritakanlah yang jelas. Siapa namamu tadi? Teng San?"
"Ong Teng San nama anak, Ibu. Ayahku yang membawa Ibu dalam keadaan sakit hebat. Kata Ayah, Ibu
ditolong oleh Ayah dari ancaman maut, dan menurut Ayah, kau adalah pengganti Ibuku yang sudah
meninggal dunia. Kata Ayah, aku harus menganggap kau sebagai Ibuku sendiri, dan karena... karena
akupun suka sekali mempunyai Ibu seperti kau, maka aku menurut pesan Ayah dan merawat Ibu disini.
Anak merasa senang sekali melihat Ibu berangsur sembuh dan..."
"Nanti dulu!" Cui Hwa kini memandang pucat. "Apa kau bilang? Siapa itu Ayahmu? Bagaimana ia berani
sekali mengatakan bahwa aku..."
"Ibu, maafkanlah Ayah... dia seorang yang paling mulia di dunia ini, jangan marah kepadanya. Dia... di...
Ibuku... telah meninggal dunia setahun lebih yang lalu dan dia... aku... amat berduka." Melihat anak itu
menangis tersedu-sedu, Cui Hwa menjadi terharu. Memang, kesedihan hati sendiri akan terobat melihat
penderitaan atau kesedihan orang lain, dan untuk sementara, seorang berhati mulia seperti Cui Hwa
yang sedang berduka, akan melupakan kedukaan sendiri menghadapi orang lain yang demikian berduka.
Ia turun dari pembaringan, memegang pundak Teng San dan menyuruhnya berdiri.
"Diamlah, nak," ia mengelus-elus kepala anak itu. "Dan kau pergilah, panggil Ayahmu kesini."
"Akan tetapi jangan marah kepadanya, Ibu..." Melihat betapa sepasang mata yang tajam dan bening itu
memandang kepadanya dengan penuh permohonan, mengucurlah airmata dari sepasang mata Cui Hwa
dan dengan mulut tersenyum sedih, ia menggeleng perlahan kepalanya sambil berkata perlahan,
"Kalau Ayahmu sebaik engkau, aku takkan marah, Teng San." Mendengar ini, Teng San kelihatan girang
sekali dan ia lalu berlari keluar. Sampai di pintu, ia menengok kembali dan berkata,
"Kau duduklah dulu, Ibu. Jangan berdiri saja, kau masih lemah. Biar anak memanggil Ayah!" Cui Hwa
menghela napas dan duduk, termenung. Dalam rumah siapakah ia tiba? Dengan orang macam apa ia
akan berhadapan? Ia mengingat kembali semua pengalamannya. Yang teringat olehnya hanyalah bahwa
suaminya sudah menggeletak mandi darah di dalam hutan, kemudian ia dibawa lari di atas kuda oleh
seorang laki-laki yang tak dilihat mukanya diwaktu itu. Apakah laki-laki itu yang menjadi Ayah Teng San?
"Suamiku... agaknya kau... kau telah..." Sampai disini, air matanya turun bertitik-titik di atas sepasang
pipinya yang agak pucat. Kemudian ia teringat akan puterinya, In Hong, maka makin deraslah air
matanya.
"In Hong... bagaimana nasibmu, anakku...??" bisiknya. Pada saat itu, terdengar suara langkah orang di
luar pintu kamar. Teng San muncul bersama seorang laki-laki yang sikapnya gagah, pakaiannya
sederhana, dan wajahnya tampan.:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 34
:: CerSil KhoPingHoo :
"Ibu, mengapa kau menangis...?" Teng San berlari menghampiri Cui Hwa dan memeluk Nyonya muda
yang sedang duduk menangis itu. "Jangan bersedih, Ibu, ada Teng San disini yang akan menghiburmu."
Cui Hwa makin terharu dan tak terasa pula ia mendekap kepala anak itu kepangkuannya, terisak-isak
menangis. Kemudian ia teringat akan laki-laki yang datang bersama Teng San, maka ia lalu mengangkat
muka memandang. Dua pasang mata bertemu lama, yang sepasang penuh kasih sayang, yang sepasang
lagi penuh selidik dan curiga, akhirnya sepasang mata Cui Hwa yang memandang penuh selidik itu
mengalihkan ke bawah, mukanya menjadi agak merah karena ia merasa amat tidak enak dan malu
berhadapan dengan seorang laki-laki muda yang tak dikenalnya di dalam kamar yang asing itu. Baiknya
disitu ada Teng San, maka ia mengelus-elus kepala anak itu untuk menghilangkan kebingungannya.
"Kau sayang kepada Teng San, bagus sekali. Bukan main lega hatiku melihatnya," terdengar laki-laki itu
berkata dan suaranya mempunyai gaya seperti suara Teng San, halus dan lemah lembut, namun
berpengaruh. Dengan perlahan, Cui Hwa mendorong kepala Teng San dari pangkuannya dan anak ini
lalu duduk di atas pembaringan dekat Cui Hwa.
"Kau siapakah? Dan apa maksudnya ini semua? Mengapa kau membawaku kesini dan bagaimana
Eragon 5 Pendekar Bloon 6 Undangan Maut Menuntut Balas 20
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama