Fear Street Super Chiller Gelombang Pasang High Tide Bagian 2
mau mengajak berkelahi.
Ketika aku berbalik menghadap Joy dan Raina, kulihat Ian
berlari ke arah kami. Percaya deh, Ian pasti akan muncul bila ada
cewek-cewek cantik di sekitar sini, pikirku sambil tersenyum.
"Hai, Ian," sapaku ketika dia bergabung bersama kami. "Apa
yang kaulakukan di sini?"
"Ini waktu makan siangku," jelasnya. "Aku mau beli hot dog,
lalu kluyuran di pantai sampai tiba waktunya untuk kerja lagi."Dia tersenyum pada Joy dan Raina, lalu kembali menatapku.
"Tidakkah kau mau mengenalkan aku."
"Tentu saja." Kutepuk bahunya. "Ian Schultz, ini Joy Bailey dan
Raina Foster. Kami bertiga sama-sama sekolah di Shadyside High.
Kami sudah tidak saling bertemu sejak lulus dari sekolah."
"Kau percaya tidak?" tanya Joy. Dia cewek periang dengan
rambut pendek berwarna cokelat. "Ini hari pertama kami di Logan
Beach, dan ini seperti reuni saja!"
Ian tertawa dan mendorong pinggangku. "Beruntung kau,"
bisiknya.
Aku mendorongnya sedikit. "Ian teman sekamarku," aku
menjelaskan pada Joy dan Raina.
Raina tersenyum padanya. Dia bertubuh tinggi dan indah,
dengan rambut pirang. "Apakah kau juga pengawas pantai" tanyanya.
Ian menggelengkan kepala. "Aku bekerja di tempat penyewaan
perahu motor di pantai."
"Oh, aku suka perahu motor!" seru Joy. "Mungkin kami akan
menyewanya selama kami di sini."
Ian segera berbicara tentang berbagai jenis perahu motor yang
disewakan dan berapa ongkos sewanya. Ketika mereka mengobrol,
sekilas aku memandang ke sekeliling lagi.
Sean sedang dalam separo perjalanan kembali ke panggung
pengawas pantai. Tetapi sementara aku memperhatikannya, dia
berhenti dan berbalik.
Dan menatapku lagi. Bahkan dari kejauhan pun, aku dapat
melihat tangannya mengepal. Dan aku benar-benar dapat melihat sorot
kemarahan di matanya.Aku berusaha keras tidak memedulikannya, mengingat kisah
yang dia ceritakan padaku tentang anak yang dia pukuli di SMU.
Memukulinya sampai hampir mati karena dia pergi diam-diam dengan
pacar Sean.
Aku masih belum dapat mempercayainya. Maksudku, tidak
apa-apa sih kalau Sean memang pemarah. Tetapi apakah dia benarbenar ingin membunuh orang bila sedang marah besar? Atau dia cuma
mencoba menakut-nakutiku untuk memastikan aku tidak akan
mengganggu Alyce?
Aku tak dapat memastikannya, pikirku. Sean temanku. Tetapi
lebih baik aku hati-hati. Jangan sampai bikin dia marah.
Aku berpaling kembali kepada teman-temanku. "Kalian tampak
oke," kataku pada Raina dan Joy. "Bagaimana? Apa saja yang kalian
kerjakan sejak lulus dari SMU?"
"Melanjutkan kuliah," kata Raina padaku. "Kami sekamar di
Duke."
Joy mengangguk. "Benar, dan kami sudah memiliki pekerjaan
musim panas sekembalinya kami ke Shadyside. Tetapi pekerjaan itu
baru mulai minggu yang akan datang," dia menambahkan sambil
meringis. "Sehingga kami berdua memutuskan untuk bersenangsenang dulu."
"Kalian datang ke tempat yang tepat," kata Ian pada mereka.
"Pantai di sini sungguh memesona."
"Aku masih tak percaya kau ada di sini juga, Adam!" seru Joy.
"Aku sudah bilang kan, bahwa kami membicarakanmu kemarin?"
Ian mendorongku lagi. "Beruntung kau," dia mengulangi.Aku tertawa. Joy memang suka bercanda, seingatku. "Yah, kau
sudah mengatakan padaku," kataku padanya. "Kebohongan apa yang
kauceritakan tentang aku?"
Joy terkikik.
Raina memutar bola matanya. "Menurut Joy, kau cowok paling
menarik di Shadyside High."
"Adam?cowok yang menarik?" teriak Ian. "Ah, yang benar
saja!"
"Benar," kata Joy padanya. "Lalu dia pergi dan menghancurkan
hatiku," Joy menambahkan, sambil berpura-pura merajuk.
"Aku?" aku menaikkan alis mataku. "Aku tidak percaya.
Bagaimana bisa aku menghancurkan hatimu?"
"Dengan meninggalkan aku untuk kencan dengan Raina," Joy
menjelaskan.
"Apa?" teriak Raina. "Aku tidak tahu Adam sedang pacaran
denganmu ketika dia mengajakku kencan!"
"Tunggu dulu!" aku mengangkat tanganku. "Aku tidak
meninggalkanmu, Joy. Yang benar adalah kita sama-sama saling
berteman, lalu kau mabuk cinta dengan siapa namanya? Gary
Brandt."
"Oh, dia," keluh Joy. "Dia memang benar-benar imut. Tetapi
aku tidak mencintainya. Dan aku benar-benar hancur ketika kau mulai
berkencan dengan Raina," tambahnya dramatis.
Raina memutar bola matanya lagi. "Adam dan aku pergi ke
bioskop," katanya pada Joy. "Benar kan, Adam?""Benar," kataku menyetujui. "Lalu kami lulus dan aku
mendapat pekerjaan sebagai pengawas pantai di sini sebelum aku
meneruskan kuliah." Aku berhenti bicara.
Itu yang terjadi musim panas yang lalu, pikirku. Musim panas
ketika aku bertemu Mitzi.
Musim panas ketika Mitzi meninggal.
"Adam?" Joy menyentuh tanganku lagi. "Apa kau baik-baik
saja? Kau tiba-tiba jadi begitu serius."
"Ya, apakah kami salah omong?" tanya Raina. "Kami cuma
bercanda, lho."
"Kau tidak benar-benar menghancurkan hatiku, Adam" kata Joy
mengakui. Lalu dia menambahkan. "Yah, mungkin sedikit."
"Aku masih tak percaya kau ini seorang penghancur hati,
Adam," Ian berkata, sambil menggelengkan kepala. "Dengar, aku
harus kembali bekerja sekarang. Sampai ketemu lain kali." Dia
memberi salam hormat kepada Joy dan Raina, lalu berjalan menuju
jalan papan.
"Yakin kau baik-baik saja, Adam?" tanya Joy lagi.
Aku menghela napas dalam. Jangan pikirkan Mitzi, kataku pada
diri sendiri. Joy dan Raina ada di sini untuk bersenang-senang.
Mengapa aku tidak mencoba bersenang-senang juga?
"Aku baik-baik saja," kataku pada mereka sambil tersenyum.
"Benar kok. Cuma saja aku harus bertugas sekarang padahal aku lebih
suka pergi bersama kalian."
"Yah, kami kan di sini selama seminggu penuh," Joy
mengingatkan aku. "Kau tidak bekerja selama dua puluh empat jam
sehari, kan?""Tentu saja tidak. Hei, aku tahu?bagaimana kalau kita makan
malam di kota nanti malam?" saranku. "Di Main Street ada tempat
makan enak dengan musik live. The Sea Shanty."
"Kayaknya oke juga," kata Raina.
"Bagus. Sampai ketemu di sana sekitar jam tujuh." Aku
bersenyum lagi, lalu mulai berlari melintasi pantai, menuju ke arah
panggung pengawas pantai.
Sean menunggu di panggung sana, memperhatikanku.
Sementara aku datang mendekat, dia mulai menuruni tangga.
Tampaknya tergesa-gesa, pikirku. Kepala pengawas pantai pasti akan
marah jika dia tahu Sean meninggalkan pos penjaga sebelum aku
sampai sana.
"Tepat waktu, huh?" teriakku ketika aku naik. "Sebenarnya, aku
datang terlalu pagi beberapa menit hari ini."
Sean melompati beberapa anak tangga terakhir dan melompat
ke atas pasir. Dia berdiri memperhatikan aku, matanya yang gelap
menyorotkan kemarahan.
"Hei, ada apa sih?" aku bertanya. "Apa yang terjadi?"
Dia tidak menjawab. Hanya terus menatapku.
Tampangnya saja dapat membunuh, pikirku. "Hei, ayo, man.
Ada apa sih?"
Sean masih tidak menjawab. Otot-otot di lengannya
mengencang, dan rahangnya bergetar seolah-olah dia sedang
mengertakkan giginya.
Dia melangkah ke arahku dan aku jadi tegang.
Apa yang akan dia lakukan?Bab 13
"SEAN?a-ada apa?" aku tergagap.
Tetapi dia tidak menjawab.
Tanpa berkata sepatah kata pun, dia berbalik dan berlari.
Aku memperhatikannya selama beberapa saat ketika ia
melintasi pasir. Dia marah padaku, pikirku.
Hati-hati, aku mengingatkan diriku sendiri. Sean tampaknya
sedikit "panas". Aku tak ingin jadi korban kemarahannya.
Ketika Sean menghilang dalam keramaian orang yang sedang
berjemur, aku berbalik dan naik ke atas panggung pengawas pantai.
Sambil duduk di kursiku, aku menatap ke arah lautan.
Tidak terlalu banyak orang yang berenang di laut hari ini,
karena gelombang sedang pasang. Tetapi selalu saja ada beberapa
orang yang tidak memedulikan gelombang pasang. Orang-orang yang
suka mengambil risiko.
Aku mendesah, berharap tidak ada seorang pun yang mendapat
masalah.
Pekikan tawa dari pantai di bawah panggung menarik
perhatianku. Aku menatap sekilas.Joy dan Raina mencebur ke dalam laut yang dangkal di dekat
pantai, terengah-engah sambil memekik ketika ombak yang tinggi
menerjang kaki mereka.
Aku tersenyum sendiri. Makan malam dengan mereka pasti
akan menyenangkan. Joy suka bercanda dan Raina akan
menimpalinya, dan kami pasti akan sering tertawa.
Sehingga aku tidak akan memikirkan Mitzi.
Untuk sementara waktu, aku dapat melupakannya.
Sinar matahari terasa seperti api di atas kepalaku. Aku meraih
topiku. Saat itulah aku melihat sesuatu berwarna biru berkilauan
melambung naik-turun di atas ombak.
Sebuah jet ski.
Aku berdiri dan mengedipkan mata.
Mula-mula jet ski itu tampak seperti sebuah titik, tetapi lalu
menjadi makin besar diiringi suara yang makin keras. Aku mendengar
dengung mesinnya dan melihat lutut pengendaranya menekuk saat
ombak yang kuat menampar mesin biru metaliknya.
Jet ski itu terus mendekat, semakin cepat. Menjadi semakin
dekat dengan pantai.
Terlalu dekat.
Apa cowok itu gila? Tidakkah dia tahu ada batu-batu karang
yang tersembunyi di dekat garis pantai?
Ada pengumuman yang dipasang di dermaga mengenai betapa
berbahayanya batu-batu karang itu. Setiap orang yang mengendarai jet
ski sudah diperingatkan tentang itu.
Apakah cowok itu tidak bisa baca? Apa dia tidak mendengar?
Mesinnya berdengung semakin keras.Jet ski itu meraung melintasi ombak yang melambung.
Semakin dekat. Semakin dekat ke pantai.
Melaju cepat, terus maju ke depan.
Cowok itu tidak bermaksud membelok.
"Tidak!" teriakku. Aku melambaikan tangan dan mencoba
menarik perhatian cowok itu.
Tetapi jet ski itu terus melaju. Mengarah tepat menuju batu
karang itu.
Aku berpaling, menuruni tangga, dan berlari ke arah tepi air.
"Ayo, balik!" teriakku di antara bunyi mesin. Aku melambaikan
kedua tanganku. "Balik, ayo balik!"
Jet ski itu tidak berbalik. Cowok itu tetap berjalan lurus ke
depan, tampaknya dia tidak melihatku sama sekali.
Aku menceburkan diri ke dalam air, berteriak dan melambaikan
tanganku lagi. "Kau akan menabrak!" teriakku. "Balik! Ayo balik,
balik!"
Dengung suara mesin semakin keras meraung, dan aku berlari
semakin jauh ke laut, sampai ombak menampar pinggangku.
"Balik!" teriakku lagi, sambil melambaikan tangan dan
memberi isyarat seperti orang gila. "Kau akan celaka?"
Tiba-tiba aku terhenti, menatap si pengendara.
Rambutnya yang lurus menempel di kepalanya. Rambutnya
cokelat, persis seperti rambutku.
Bintik-bintik tersebar di bahunya yang bidang. Seperti diriku.
Pakaian renang nilon biru dengan garis-garis hijau di
sampingnya.
Pakaianku.Rambutku.
Wajahku.
"Itu aku!" kataku terengah-engah. "Itu aku!"Bab 14
"ORANG itu ternyata aku" laporku pada Dr. Thall sore itu.
"Ketika aku memperhatikan wajah cowok itu, ternyata seperti
menatap cermin. Kecuali... dia itu tidak nyata!"
Dr. Thall menatapku dari seberang mejanya, dengan ekspresi
bijaksana di matanya yang biru. "Halusinasi lagi," gumamnya. "Aku
senang kau langsung datang ke mari."
Aku mengangguk.
Semua kejadian ini hanyalah halusinasi saja. Tidak ada jet ski
yang melaju ke arah karang yang tersembunyi. Tidak ada pengendara
yang wajahnya seperti wajahku, menatapku dengan mataku sendiri.
Tidak terjadi apa-apa.
Yang terjadi hanyalah segala yang telah kulakukan, tentunya.
Berlari menuju laut seperti orang gila, melambaikan tangan tidak
kepada siapa-siapa. Berteriak-teriak kepada pengendara yang
sebenarnya tidak ada.
Aku ngeri membayangkan bagaimana orang-orang di pantai
menatapku ketika aku masuk ke dalam air. Setidaknya Joy dan Raina
berada terlalu jauh sehingga tidak memperhatikanku, pikirku lega.
Tetapi orang-orang yang lainnya! Cara mereka saling berbisik
kepada sesamanya. Pandangan yang mereka arahkan kepadaku.Mereka pasti berpikir aku ini benar-benar sinting.
Aku menatap Dr. Thall. "Mengapa ini masih saja terjadi?"
tanyaku. "Apakah aku benar-benar gila?"
Dr. Thall menggelengkan kepalanya dengan tegas. "Sedikit pun
aku tidak percaya itu, Adam. Dan kurasa kau juga begitu."
"Aku tidak tahu harus berpikir apa!" kataku padanya.
"Maksudku, mengapa aku tetap saja melihat hal-hal yang tidak nyata?
Mitzi sudah setahun meninggal. Katakan padaku, Dokter. Jika aku
tidak gila, lalu apa yang sedang terjadi?"
"Jawabannya masih tersembunyi," jawabnya. "Itulah yang akan
kita cari, Adam. Ada sesuatu yang masih mengganggumu mengenai
kecelakaan Mitzi. Sesuatu yang masih terbenam dalam pikiranmu dan
belum mau muncul."
"Tetapi kupikir kita telah memecahkannya," bantahku. "Mitzi
sudah meninggal. Aku dihantui rasa bersalah. Aku mulai
mengunjungimu. Dan sekarang aku menyadari bahwa itu bukan
kesalahanku. Apa lagi yang harus dipecahkan?"
Dia menggelengkan kepala. "Ada sesuatu yang tersembunyi.
Terpendam jauh di dalam lubuk hatimu. Sesuatu yang mencoba untuk
keluar. Sesuatu yang begitu penting."
Dia pasti benar, pikirku resah. Tidak ada hal lain lagi yang
dapat menjelaskan halusinasi itu.
Tetapi apa sih yang tersembunyi dalam pikiranku?
Ketika aku berusaha memikirkan tentang hal itu, Dr. Thall
Fear Street Super Chiller Gelombang Pasang High Tide di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bangkit dari kursinya. "Waktu kita sudah selesai untuk hari ini, Adam.
Tetapi jangan menyerah. Kita akan mencari apa yang mengganggu
pikiranmu.""Bagaimana caranya?" desakku. "Jika itu terbenam begitu jauh
di dalam, bagaimana cara kita mengeluarkannya? Dengan dinamit?"
"Tidak ada yang sedrastis itu," katanya meyakinkanku sambil
tersenyum. "Tetapi masih ada beberapa pengobatan eksperimental
yang akan kita coba."
"Aku akan mencoba apa saja," kataku. "Aku harus mengetahui
apa yang tersembunyi itu."
**********
"Ayo, Adam, kita berdansa!" teriak Joy di antara gelegar musik
dari panggung kecil di restoran Sea Shanty. "Aku tidak pernah
mendapat kesempatan berdansa denganmu selama di SMU!"
"Aku juga belum pernah," kata Raina kepadanya. "Tetapi kau
sudah kencan dengannya dua kali. Aku hanya satu kali, jadi aku yang
pertama-tama harus berdansa dengan Adam."
"Wow!" kataku sambil tersenyum. "Apa aku boleh
mengeluarkan pendapat?"
"Tidak." Raina beralih ke arah Joy. "Ayo kita undi," sarannya.
Sambil tertawa, Joy mencari-cari di dalam tasnya dan akhirnya
mengeluarkan sekeping uang logam. Ketika dia melemparkannya,
Raina berteriak dia memilih gambar.
Kami semua memandangi koin itu melambung melintasi
restoran, jatuh ke lantai, dan menggelinding ke bawah meja.
Joy meraih dompetnya lagi, tetapi aku mencegahnya. "Ada cara
sederhana untuk menyelesaikan masalah ini," kataku, sambil meraih
kedua tangan mereka. ."Kita dansa bersama-sama."
Ketika band mulai membawakan lagu baru, kami bertiga
menyelusuri jalan di antara meja-meja dan mulai berdansa."Aku benar-benar senang kau mengundang kami, Adam!" teriak
Joy, rambutnya yang keriting cokelat melambung-lambung. "Aku
sungguh senang sekali."
"Aku juga," kataku. Dan itu benar. Bukan karena aku telah
melupakan masalah halusinasiku pagi tadi. Itu aku tak dapat
melupakannya.
Tetapi berada bersama Joy dan Raina membuatku dapat
mengenyahkan masalah itu dari pikiranku.
Aku merasa begitu sedih dan terpukul setelah meninggalkan
ruang Dr. Thall. Aku bahkan berpikir untuk membatalkan makan
malam ini.
Untung aku tidak jadi membatalkannya, pikirku sambil berputar
dan berhadapan dengan Raina. Ini lebih menyenangkan daripada cuma
duduk-duduk saja di apartemen, menguatirkan diriku yang menjadi
gila.
Aku juga mengalami saat-saat yang menyenangkan semalam,
tetapi yang ini lebih asyik lagi. Raina dan Joy sahabat lamaku. Dan
mereka benar-benar suka tertawa dan berkelakar.
Dr. Thall ingin mencoba beberapa pengobatan eksperimental.
Bagus. Sementara itu, kuputuskan untuk menikmati sebanyak
mungkin kesenangan yang dapat kuraih.
Ketika berbalik menghadap Joy, aku melihat Ian. Dia duduk di
meja di seberang ruangan. Aku melambaikan tangan, tetapi dia tidak
melihat.
Mungkin sebaiknya aku menghampirinya, pikirku.
Mengajaknya makan bersama.Lalu Ian meletakkan sikunya di meja dan mengatakan sesuatu,
dan ternyata dia tidak sendirian. Di seberang mejanya duduk gadis
berambut hitam panjang dengan kulit indah kecokelatan.
Pantas saja dia tidak melihatku, pikirku sambil meringis. Dan
dia pasti tidak ingin bergabung dengan kami bertiga. Dia terlalu sibuk
berusaha membuat teman kencan barunya terkesan.
"Hei, makanan kita sudah siap!" panggil Raina, menunjuk ke
arah meja. "Ayo kita makan."
Kami bergegas kembali ke tempat duduk. Pelayan menyiapkan
mangkuk-mangkuk berisi jagung dengan tongkolnya dan salad, lalu
menyajikan tiga porsi kepiting rebus di atas meja yang dilapisi kertas.
Dengan serbet di leher, kami memecahkan kepiting dan mulai
memasukkannya ke dalam mentega cair. Ketika sedang mengambil
jagung, tiba-tiba aku melihatnya.
Leslie.
Dia berdiri di depan pintu masuk, menatap lurus ke arahku
melalui kerumunan orang di restoran.
Dia mengenakan baju kuning yang memperlihatkan kulitnya
yang terbakar matahari, rambut hitamnya berkilap di bawah lampu.
Penampilannya luar biasa.
Tetapi matanya diliputi amarah.
Ya, ampun, pikirku sedih. Dia pasti mengira aku sedang kencan
sembunyi-sembunyi atau semacamnya. Dia tidak tahu Joy dan Raina
adalah teman dekatku.
Ketika pandangan kami bertemu, Leslie masuk dan berjalan ke
arah meja kami. Ebukulawas.blogspot.com
Pasti akan terjadi adegan seru, pikirku. Hentikan dia.Aku mendorong kursiku ke belakang dan berdiri, melepaskan
serbet kertasku.
"Hei, mumpung kau berdiri, maukah kau menemui pelayan dan
memesan soda jahe untukku lagi?" kata Raina.
"Baik." Kujatuhkan serbet kertas di atas meja dan melangkah
pergi, tetapi Joy meraih tanganku. "Aku juga," katanya.
"Hah?" Apa maksudnya?
"Soda jahe," ulang Joy. "Aku mau satu lagi juga."
"Baik. Dua soda jahe." Sekilas kuberi mereka senyum lalu aku
bergegas pergi.
Tetapi kakiku tersandung kaki kursi. Pada saat aku berusaha
bangun dan berdiri kembali, Leslie sudah sampai di mejaku.
"Leslie, hai. Aku... eh... Aku tidak menyangka kau ada di sini, "
kataku tergagap.
Dia menyilangkan lengan, mata kelabunya menyorot lagi. "Pasti
tidak. Kelihatannya kau sedang bersenang-senang," katanya sengit,
memandang sekilas ke arah Joy dan Raina.
"Dengar, Leslie...," aku mulai berkata.
"Bahkan kali ini lebih asyik daripada semalam, kan?" selanya.
"Maksudku, kali ini kau keluar dengan dua teman baru."
"Hah? Apa maksudmu?"
"Aku melihatmu pergi semalam, Adam," Leslie menjelaskan.
"Kau bilang padaku kau sedang tidak enak badan dan kau mau tiduran
saja, ingat? Lalu aku memutuskan untuk berjalan-jalan. Dan tebak apa
yang kulihat, kau berjalan-jalan, sepanjang Main Street dengan cewek
lain?""Maafkan aku," kataku padanya. "Aku benar-benar minta maaf,
Leslie. Cewek itu? aku bertemu dengannya di pantai dan kami
langsung memutuskan keluar bersama. Sama sekali bukan kencan atau
semacamnya."
"Astaga, aku benar-benar merasa lebih baik sekarang," katanya
sinis.
"Leslie, maafkan aku," ulangku. "Itu sudah berlalu. Aku tidak
bermaksud melukai hatimu."
"Lupakan itu," bentaknya, memandang tajam ke arah Joy dan
Raina. "Kulihat kau sedang sibuk."
"Hei, ayolah," kataku memohon. "Joy dan Raina temanku di
SMU."
"Lalu kenapa?" tuntutnya. "Kau pergi dengan mereka, bukan
denganku. Dan kau berbohong semalam. Kau pikir bagaimana
perasaanku?"
Sebelum aku dapat berpikir mau bilang apa pun, Leslie
merenggut lenganku dan mendorongku ke belakang hingga
membentur meja.
Joy dan Raina memekik, dan aku mendengar suara piring pecah
di lantai.
"Kau telah menyakiti hatiku, Adam!" katanya marah. "Dan aku
akan mencari cara untuk membalasmu!"
"Hah? Apa katamu? Kau?kau tidak bermaksud begitu, kan?"
teriakku.
Tanpa berkata-kata lagi, Leslie berbalik dan pergi
meninggalkan meja kami."Leslie?tunggu! Kau tidak bermaksud begitu, kan!" teriakku di
belakangnya. "Jangan lakukan, Leslie!"Bab 15
KEESOKAN harinya, dengan tergesa-gesa aku menuju pos
pengawas pantai. "Tidak perlu repot-repot datang, Adam," kata Sean,
menatapku dari panggung.
"Kenapa?" aku berhenti, dengan satu kaki berada pada anak
tangga, sambil memandang ke atas ke arahnya. "Jangan bilang kalau
aku kepagian," aku bercanda.
Bibir Sean melengkung?lebih menyerupai seringai daripada
senyuman.
Semoga mood-nya lebih baik hari ini. "Mengapa aku tidak perlu
datang?" ulangku. "Gelombang pasang akan semakin tinggi?harus
ada orang yang memasang bendera-bendera peringatan."
"Jangan main-main." Dia pergi selama beberapa saat lalu
kembali, satu tangannya menggenggam bendera-bendera merah. "Nih.
Kau saja yang mengurusnya."
Sambil mengarahkan salah satu bendera seperti tombak, dia
meluncurkannya melewati pinggir panggung pengawas. Bendera itu
menancap ke pasir, bergoyang, lalu jatuh.
Ketika aku membungkuk untuk mengambilnya, bendera lain
melesat lalu masuk ke dalam pasir beberapa inci dari kakiku.
"Hei!" teriakku. "Lihat-lihat dong!""Oops. Arahku meleset," jawab Sean. Dia menarik tangannya
ke belakang dan melemparkan bendera terakhir tegak lurus ke arah
garis pantai. "Kalau begini bagaimana?"
"Bagus," gerutuku, mengerutkan dahi ke arahnya. "Terima
kasih banyak."
Sean balas memandang dengan ekspresi dingin di wajahnya.
"Lebih baik kauurus saja bendera-bendera itu," katanya. "Gelombang
mulai naik, ingat?" Tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi, dia
berbalik pergi dan duduk di kursinya.
Aku berdiri di sana selama beberapa menit, marah. Naik ke atas
dan hadapi dia, kataku dalam hati. Katakan kalau dia bertingkah
seperti orang gila.
Benar, dan pukul dia sampai babak belur. Setidaknya tunggu
sampai dia sedikit tenang.
Sambil mengenyahkan rasa marahku, aku mengambil dua
bendera lalu berjalan ke arah air. Saat itulah kulihat Raina dan Joy
melambai ke arahku dari bawah payung pantai bercorak garis merah
muda dan hijau.
Bagus, pikirku. Mereka mungkin ingin membicarakan peristiwa
tidak menyenangkan dengan Leslie kemarin malam.
Padahal yang ingin kulakukan adalah melupakan peristiwa itu.
"Adam!" teriak Joy. Dia berdiri dan melambaikan tangan. "Hai,
Adam!"
Aku balik melambai, lalu mengeluh. Sebaiknya cepat selesaikan
masalah ini, aku memutuskan.
Aku berjalan ke arah payung mereka seraya memasukkan salah
satu bendera ke pasir. Ketika aku melangkah menghampiri mereka,mereka saling lirik, lalu meringis ke arahku. "Aku lega sekali!" kata
Joy berlebihan. "Maksudku, ternyata kau masih hidup!"
"Yah, kami takut Leslie mungkin akan menyerangmu atau
semacamnya dalam perjalanan pulang," Raina menimpali. Dia
berdecak. "Lihat, apa yang terjadi kalau kau menipu pacarmu,
Adam?"
"Lebih baik kau berhati-hati dengan kotak suratmu," Joy
menambahkan. "Dia mungkin mengirim paket dinamit sungguhan
padamu." Dia mengelus-ngelus rambut cokelatnya sambil terkikik.
"Dinamit?kau mengerti?'
"Yah, aku mengerti," kataku. "Dengar, aku telah menyakiti
perasaan Leslie. Aku tidak menyalahkannya bila dia marah."
"Yah, aku pun demikian," kata Joy. "Tetapi dia lebih dari
sekadar marah?dia benar-benar ngamuk!"
Tatapan marah di mata Leslie terlintas dalam pikiranku. Dan
aku mendengar kata-katanya lagi?kau telah menyakiti hatiku, Adam.
Aku akan mencari cara untuk membalasmu.
Apakah Joy benar? pikirku. Apakah Leslie benar-benar
bermaksud begitu?
Tentu saja tidak, aku memutuskan. Orang suka mengatakan
sesuatu yang bodoh bila sedang marah.
Sambil mengenyahkan ingatan tentang peristiwa itu, aku mulai
menancapkan bendera ke dalam pasir. "Aku minta maaf mengenai
kejadian tadi malam," kataku pada mereka. "Tetapi kurasa itu tidak
lucu, oke?"
"Oh, maaf." Dengan cepat Raina saling bertukar pandang
dengan Joy, lalu meraih tas pantainya dan mengambil tube tabir surya."Bendera itu untuk apa?" katanya sambil menggosok lotion di
tangannya.
"Gelombang pasang," jelasku. "Di sana mungkin ada arus
dalam yang kuat."
"Kami masih bisa berenang, kan?", tanya Joy cemas.
"Ya, jika kau benar-benar menginginkannya," kataku. "Tetapi
untuk apa sih terburu-buru?"
"Tidak terburu-buru sih. Kami cuma ingin sekali masuk ke air,
itu saja," ujar Raina cepat. "Maksudku, kita kan tidak berada di sini
sepanjang musim panas."
"Yah, silakan saja," kataku. "Tetapi di dekat-dekat pantai saja
dan hati-hati." Kutinggalkan mereka dan aku berjalan lebih jauh ke
pantai untuk memasang bendera terakhir.
Ketika kembali menuju panggung pengawas pantai, kulihat
mereka ada di dalam air, saling memercikkan air sambil tertawa-tawa.
Ombak yang datang tingginya tidak melebihi lutut mereka, sehingga
kurasa mereka baik-baik saja.
Ketika aku naik ke panggung, Sean memandangku sekilas
sambil menyipitkan matanya. Lalu berbalik memandangi lautan.
Pasti mood-nya jelek, kataku memutuskan.
Sambil melangkahi kakinya, aku melompat ke kursi dan
mengawasi pantai. Di sebelah kanan, sekelompok anak kecil sedang
membangun istana pasir, menggali parit dan membiarkan ombak
mengisinya.
Di ujung bawah sana, sepasang orang tua berjalan perlahanlahan sambil membungkuk mencari kerang.
Sekelompok anak sekolah yang berisik sedang bermain Frisbee.Ada banyak orang di air, tetapi kebanyakan mereka tetap berada
di dekat pantai. Kulihat Joy dalam baju renang merah jambu cerahnya
dan Raina dalam baju renang hitamnya. Mereka masih berada dalam
air yang tingginya selutut.
Segalanya tampak terkendali.
Aku menoleh ke arah Sean.
Dia duduk seperti patung, wajahnya menatap lurus ke depan.
Hanya matanya yang bergerak, berputar ke kiri-kanan mengawasi
keramaian.
Sambil mengangkat bahu, aku meraih tas dan mengambil
sebotol air. Aku menengadah siap minum?dan terdengarlah jeritan
tinggi yang nyaring.
"Hah?"
Aku melompat berdiri, jantungku berdebar-debar ketakutan.
Mataku mengamati laut dan pantai.
Terdengar jeritan lagi. Disusul kilatan warna merah di sebelah
kananku.
"Ini punyaku!" jerit seorang gadis kecil ketika dia mencoba
merenggut ember merah dari gadis kecil yang lain. "Lepaskan, tolol,
ini punyaku!"
Suaranya semakin nyaring, berubah menjadi jeritan yang
memekakkan telinga.
Fear Street Super Chiller Gelombang Pasang High Tide di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gadis kecil yang lain itu akhirnya melepaskan ember. Anak
perempuan kecil itu melesak ke dalam pasir dan segera berhenti
berteriak.
Aku menggelengkan kepala. Kuasai diri, kataku pada diri
sendiri. Itu cuma pertengkaran memperebutkan ember plastik.Tak seorang pun dalam kesulitan.
Aku meregangkan tangan dan mengamati pantai lagi.
Lalu kulihat Joy dan Raina.
Mereka melambaikan tangan ke arahku pada jarak yang terlalu
jauh dari pantai.
Terlalu jauh.
Mengapa mereka pergi terlalu jauh ke tengah? pikirku.
Apakah arus bawah telah menarik mereka? Apakah mereka
dalam kesulitan?
Kepala Raina yang berambut pirang hilang sejenak. Lalu tibatiba muncul kembali. Penuh ketakutan, mereka berdua melambaikan
tangan di atas kepala.
Jantungku berdebar-debar.
Arus laut sedang menarik mereka semakin menjauh, aku
menyadari. Mereka sedang dalam kesulitan.
Ombak besar yang datang lagi benar-benar menutupi kedua
gadis itu.
Kali ini keduanya lenyap.Bab 16
INI pasti tidak terjadi. Kejadian itu tidaklah nyata! kataku pada
diri sendiri. Itu cuma halusinasi.
Aku sudah mengatakan pada mereka untuk tetap berada di
dekat pantai. Mereka tidak bodoh. Mereka tidak akan mengambil
risiko.
Itu pasti halusinasi. Aku mengalaminya lagi.
Kupejamkan mataku erat-erat, lalu kubuka cepat.
Kedua gadis itu ada di permukaan. Aku dapat melihatnya
dengan jelas, muncul naik dan turun di atas air.
Tetapi mereka masih terlalu jauh ke tengah.
Dan masih melambaikan tangan ketakutan.
Aku mengedipkan mata supaya dapat melihat dengan lebih
baik.
Raina memiringkan kepalanya ke belakang, mencoba
mempertahankan mulut dan hidungnya di atas air.
Joy menatap lurus ke depan, menepuk-nepuk air dengan kacau.
Memukul dan menendang-nendang.
Tidak terkendali.
Kedua gadis telah kehilangan kontrol.
Arus menyeret mereka semakin menjauh.Aku mengedipkan mata lagi. Menatap terus.
Joy menghilang.
Tetapi aku masih dapat melihat Raina, melambaikan tangan
sambil memukul-mukul. Wajahnya tampak pucat dalam air yang
gelap. Mulutnya terbuka dan mengeluarkan jeritan putus asa.
Ini benar-benar terjadi! Aku menyadarinya, ketakutan.
Ini kenyataan.
"Ayo, kita pergi!" teriakku, sambil menjauh dari pagar. "Ayo,
Sean, kita?"
Aku berhenti, tertegun.
Kursi Sean sudah kosong.
Dia pasti sudah bersiap-siap menolong, pikirku sambil bergegas
ke arah tangga.
Tetapi lalu aku melihat pelampung. Masih ada di tempatnya.
Dan ransel Sean sudah lenyap.
Dia sudah pergi. Dia pergi beristirahat tanpa bilang apa-apa
padaku.
Sekarang aku sendirian.
Kusambar pelampung dan talinya, kulemparkan melewati
panggung, lalu menuruni tangga.
Aku mengambil pelampung dari atas pasir dan membawanya
menuju pantai. Ketika berlari melintasi pasir, aku meraih peluit dan
membunyikannya, memperdengarkan nada-nada nyaring. Mungkin
kepala pengawas pantai akan mendengarnya dari kantornya di jalan
papan.Orang-orang bubar di depanku. Gadis kecil dengan ember
merah itu menjerit lagi. Anak-anak sekolah menghindari ketika aku
berlari menuju air.
Aku meniup peluit lagi. Mungkin Sean akan mendengarnya,
pikirku putus asa. Mungkin dia pergi tidak terlalu jauh sehingga
mendengar suara peluit dan kembali untuk menolong.
Di tepi air, aku berhenti dan menatap ke lautan, terengah-engah.
Aku tak dapat melihat Joy dan Raina sama sekali.
Apakah arus sudah menarik mereka ke bawah?
Aku memandang ke kiri ke kanan.
Tidak ada tanda-tanda kedatangan Sean.
Dia tidak mendengarku, aku menyadarinya. Dia tidak datang.
Setiap orang di pantai berdiri tertegun, menatap ke laut.
Menatap. Dan menunggu. Membayangkan apa yang akan
terjadi.
"Itu di sana!" teriak parau seorang pria. "Aku melihat sesuatu di
sana!"
Tatapanku terpaku pada arah yang ditunjukkannya.
Pertama kali yang kulihat hanyalah ombak. Berbusa, terkocok,
suaranya seperti guntur ketika bergulung-gulung.
Tetapi lalu,aku melihat tangan-tangan.
Dua tangan di atas air, dengan jari-jari terentang di udara.
Perlahan, mereka tenggelam di bawah permukaan.
Hanya ada dua tangan? pikirku ketika aku berlari sepanjang
pasir yang basah dan keras. Tangan Joy? Tangan Raina?
Apakah salah seorang dari mereka sudah tenggelam? Apakah
aku juga terlambat?Tidak! Jangan pikirkan itu! kataku pada diri sendiri.
Segera pergi ke sana dan selamatkan mereka!
Aku menyandang pelampung di salah satu bahuku dan berlari
ke dalam air.
Sambil menghirup napas dalam, aku terjun ke dalam ombak
yang pertama datang dan mulai berenang ke arah Joy dan Raina.
Aku harus menemukan mereka! tekadku sambil berusaha
berjuang melawan ombak. Aku akan sampai di sana dalam waktu
kurang dari satu menit.
Lalu sebuah pertanyaan berkelebat dalam pikiranku. Pertanyaan
yang hampir-hampir melumpuhkanku dalam ketakutan.
Ketika aku sampai di sana, apa yang harus aku lakukan?
Apakah aku dapat menyelamatkan mereka berdua?Bab 17
AKU muncul ke permukaan air, napasku terengah-engah.
Sebelum aku dapat menghirup udara, ombak tinggi lainnya
datang dan pecah di atasku, menarikku ke bawah lagi.
Aku dapat merasakan arus yang menyeretku, menarikku dengan
keras, semakin jauh. Berjuang sekuat tenaga, aku naik ke permukaan
dengan napas tercekik.
Aku mengusap air laut dari mata dan mulutku, lalu
mengedipkan mata melawan cahaya menyilaukan.
Tidak ada tangan yang menggapai-gapai di atas permukaan air
sekarang. Yang kulihat hanyalah busa putih yang terkocok.
Apakah aku sudah terlambat?
Ombak kuat lainnya menamparku, dan aku tertarik ke bawah.
Arus bawah yang kuat menyeretku. Telingaku penuh berisi deru suara
yang menulikan.
Aku berjuang naik ke atas permukaan air, berusaha keras agar
tidak kehilangan pelampung. Air laut yang asin membuat pedih
mataku dan mengaburkan pandanganku.
Aku menggelengkan kepala dan berusaha keras mengerjapkan
mata.
Di manakah mereka?Di mana?
Air laut masuk ke dalam mulutku. Sambil meludah, aku
menghirup napas dalam dan berteriak keras-keras. "Joy! Raina!"
Air laut lebih banyak lagi membasahi mulut dan hidungku.
Sambil terbatuk-batuk dan tersedak, kuteriakkan nama mereka lagi.
Lalu aku menendangkan kaki dengan kuat-kuat dan mulai berenang.
Setelah beberapa kayuhan, aku berhenti dan memandangi air
yang bergulung.
Itu dia di sana!
Kepala seseorang tampak di atas permukaan air.
Kedua matanya diliputi ketakutan.
Joy! Kepala lain tiba-tiba muncul, dengan rambut pirang yang basah
kuyup. Sekilas kulihat mata Raina yang panik, lalu dia tenggelam lagi.
Mereka berdua di sana! pikirku. Mereka masih hidup!
Adrenalin bergelora di dalam darahku, dan aku bergerak maju,
sementara tanganku mengayuh matian-matian.
Mengatasi deru laut, aku mendengar suara lain. Tidak ada katakata. Hanya jeritan ketakutan yang membubung tinggi.
Mungkin itu suara Joy. Raina tampaknya terlalu lemah untuk
berteriak.
"Bertahanlah!" Aku mendorong mereka sambil berenang.
"Bertahanlah!"
Aku mengayuh lagi?dan melihat Joy tak begitu jauh dari
tempatku.
Raina tidak tampak di mana-mana.Aku menghirup udara sebanyak-banyaknya, lalu meluncur
menuju ke arah Joy.
Ketika aku hanya tinggal beberapa kayuhan dari Joy, kepala
Raina tiba-tiba muncul di depanku.
Dia tampaknya sudah mati, pikirku. Matanya kosong. Kulitnya
licin. Dia bahkan tidak bergerak-gerak.
Ketika Raina mulai tenggelam lagi, aku menyelam di
bawahnya, menangkap pinggangnya dengan satu tangan, lalu
menariknya? menariknya ke atas permukaan air.
"Oke, aku telah menyelamatkanmu!" kataku terengah-engah,
berusaha menahan kepalanya di atas ombak yang berpusar. "Aku telah
menyelamatkanmu !"
Raina tidak memberikan respons. Kepalanya terkulai ke
samping. Badannya yang licin terkulai lemas, sehingga berat
badannya menarik kami berdua ke bawah.
Aku menendang-nendang dengan kuat dan merenggutnya ke
atas lagi. Apakah dia bernapas? Aku tak pasti.
"Bertahanlah, bertahanlah!" kataku sambil berusaha
mengalungkan pelampung ke lehernya. "Ayo, Raina! Selamatkan
dirimu! Jangan menyerah sekarang!"
Raina masih tidak memberikan respons.
Ombak bergulung di atas kami. Airnya mendorong, lalu
menarik. Raina hampir terlepas dari peganganku. Tetapi aku
merenggut tali pengikat baju renangnya dan menyeretnya lebih dekat
padaku.
Aku hanya punya waktu sedikit sebelum ombak yang lain
memukul, pikirku. Lalu ombak-ombak yang lain lagi.Pasangkan pelampung pada Raina!
Terengah-engah, akhirnya aku berhasil memasangkan
pelampung itu.
Lalu sesuatu mendarat dengan keras di punggungku.
Jari-jari tangan menyentuh bahuku.
Ada tangan yang merangkul leherku dengan kuat, seperti catok.
Dan jeritan panik Joy terdengar di telingaku.
"Tolong! Tolong aku, Adam!" Dia meneguk air dan terbatuk
ketika air laut melanda mulutnya. "Tolong aku!"
Lengannya menekan keras tenggorokanku, mencekikku. Sambil
memegang tali pelampung di satu tangan, kuraih rangkulan Joy
dengan tangan yang lain dan melepaskannya.
"Lepaskan!" teriakku. "Aku akan menolongmu?tetapi kau
harus melepaskan peganganmu!"
Dia menjerit lagi. Tajam melengking. Histeris.
Dia memegang kepalaku dengan kedua tangannya. Jari-jarinya
mencengkeram rambutku dan menusuk mataku.
Ombak besar kembali melemparkan kami.
Tubuh Raina menabrakku. Dan ketika kami menembus
permukaan air, posisi Raina dalam keadaan menelungkup, wajahnya
masuk ke dalam air.
Kurenggut keras tali pelampung. Kuku Joy menusuk wajahku
sehingga menimbulkan rasa pedih. Dia menekan kepalaku, berusaha
mengangkat kepalanya lebih tinggi.
Aku tenggelam ke bawah, lalu menendang-nendang untuk naik
ke atas permukaan air, terbatuk-batuk, mencoba melepaskan diri dari
Joy. "Lepaskan!" teriakku. "Joy! Lepaskan!"Ombak yang datang lagi membuat pegangan Joy lepas dan
membawa Raina makin dekat. Aku meraih bahu Raina, lalu
membaliknya sehingga wajahnya menghadap ke langit.
Aku tak tahu apakah dia masih bernapas.
Mungkin dia masih bernapas, kataku dalam hati. Aku tak dapat
meninggalkan dirinya.
Bawa dia ke pantai?segera.
Sebelum aku dapat bergerak, Joy melompat ke punggungku
lagi, menangis dan menjerit-jerit. Benar-benar panik. Lepas kontrol.
"Joy!" teriakku ketika aku berusaha menahannya untuk tidak
menyeretku ke bawah. "Keadaan Raina buruk sekali. Aku butuh
bantuanmu!"
Joy tidak mendengarkan. Tangannya mencengkeram bahuku.
Kakinya membelit di tubuhku seolah-olah dia sedang naik kudakudaan.
Masih berteriak-teriak panik, dia mencoba memanjat
punggungku dan meraih bahuku.
Kepalaku dengan cepat masuk ke dalam air, membuatku
menelan air laut. Joy menempel di tubuhku, meronta-ronta dan
menjerit. Berat tubuhnya menarikku lebih jauh ke bawah.
Kehabisan udara, aku memutar badanku ke samping dan
menendang-nendang keras. Joy terguling dari punggungku, masih
mencengkeram salah satu lenganku. Sambil menendang-nendang lagi,
aku berusaha naik ke atas permukaan air.
Dadaku sakit ketika aku menghirup udara. "Joy, dengarkan
aku!" teriakku parau. "Cobalah tenang! Kau tidak apa-apa, tetapikondisi Raina buruk sekali! Dia perlu bantuanmu, Joy! Aku
memerlukannya!"
Matanya liar karena panik. Joy tercekik dan terbatuk-batuk lalu
mencakar lenganku. Lalu dia mulai menjerit lagi.
"Joy!" teriakku di wajahnya. "Berhentilah meronta! Tolonglah
aku!"
Tubuh Joy masih menempel padaku, masih menjerit-jerit.
Sekilas kupandang Raina, yang mengambang lemas di air, tak
bernyawa.
Genggaman Joy makin kencang. Kami mulai tenggelam lagi.
Joy akan menarik kami semua ke bawah, pikirku. Lakukan
sesuatu!
Aku tak dapat menyelamatkan mereka berdua sekaligus, aku
menyadari. Aku harus menentukan pilihan.
Putuskan!
"Joy!" teriakku. "Raina mungkin akan mati. Aku harus
membawanya ke pantai!"
Hanya ini pilihanku, pikirku. Selamatkan Raina. Lalu
menjemput Joy.
"Tetaplah di sini, Joy!" teriakku. "Kau tidak apa-apa. Kau tidak
terluka! Aku akan membawa Raina dan kembali lagi untuk
menolongmu!"
Dengan menangis tanpa kata-kata, Joy bergerak maju dan
merangkulkan lengannya di sekitar leherku.
"Lepaskan, Joy!" teriakku. "Lepaskan dan aku akan segera
Fear Street Super Chiller Gelombang Pasang High Tide di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kembali!"Kepalaku mulai turun ke bawah lagi. Aku mencoba berenang
sambil menendang-nendang mencari jalan ke permukaan, tetapi berat
tubuh Joy menyeretku lebih dalam. Ketika aku berusaha
mendorongnya, dia meraih tali pelampung dan menarik Raina ke
bawah juga.
Ombak demi ombak melanda kami.
Arus menarik dan menyeret, membawa kami lebih jauh dari
pantai.
Jantungku bergemuruh di dada dan telingaku.
Paru-paruku berteriak minta udara.
Aku menendang-nendang lagi, menegangkan leherku, mencoba
membawa kepalaku ke permukaan air.
Tetapi aku tak dapat mencapai permukaan.
Kami bertiga tenggelam, semakin jauh ke bawah.
Berat air menekan telingaku, dan kepalaku serasa berat.
Aku semakin lemah, pikirku.
Kekuatanku habis.
Aku kehabisan waktu.
Kami bertiga akan tenggelam.
Kami bertiga...Bab 18
PARU-PARUKU serasa panas. Dadaku siap meledak.
Kukatupkan rahang kuat-kuat, berusaha keras tidak membuka
mulutku.
Jika aku bernapas sekarang, aku akan mati.
Kami semua akan mati.
Tetapi aku tak dapat menahan lebih lama lagi. Hanya tinggal
beberapa detik, aku harus bernapas.
Salah satu lengan Joy terlepas dari leherku. Ketika dia berusaha
berpegangan lagi, aku meraih pergelangan tangannya.
Lalu aku berenang sambil menendang-nendang lebih kuat lagi,
berusaha mati-matian mencapai permukaan air.
Lakukan terus, Adam! perintahku pada diri sendiri. Tetaplah
menendang-nendang. Jangan menyerah sekarang!
Jangan menyerah...
Berat Joy menyeretku, tetapi aku dapat melihat sinar matahari
di permukaan air sekarang. Tak mungkin aku menutup mataku dan
membiarkan kami tenggelam dalam kegelapan.
Mati-matian, aku menendang-nendang. Kepalaku berhasil
mencapai permukaan.Kelelahan, aku menghirup udara dan menghirup lagi. Kakiku
terasa begitu berat, seperti terbuat dari timah.
Kepalaku berdenyut-denyut dan dadaku masih terbakar.
Seandainya aku dapat berbaring telentang dan mengapung di atas air.
Di sampingku, Joy tercekik dan terbatuk-batuk, mencoba
meraih leherku lagi.
Selamatkan Raina, kataku dalam hati. Bawa dia ke pantai.
Lalu kembali untuk menjemput Joy.
Lalu aku dapat beristirahat.
Sebelum Joy dapat mencekik lagi, aku mendorongnya.
"Tenang, Joy!" teriakku. "Tenang dan kau akan selamat!"
"Tidaaaak!" Joy menggapai-gapai panik, mengulurkan
lengannya, mencoba meraih kepalaku.
Aku menepis tangannya dan mulai mengayuh. "Aku akan
kembali, Joy!" janjiku. "Kau harus bertahan!"
Joy menggelengkan kepala, terengah-engah histeris dan
mencoba meraihku lagi. "Tolonglah!" dia memohon. "Kumohon,
jangan biarkan aku tenggelam!"
"Kau tak akan tenggelam!" kutarik Raina mendekat ke
sampingku dan kupegang dengan satu tangan. "Kau tak akan
tenggelam?aku tak akan membiarkannya! Dengarkan aku? aku
akan segera kembali!"
"Tidaaak!" teriak Joy, sambil memukul-mukul air ke arahku.
"Adam, tolong jangan tinggalkan aku! Bawa kami berdua! Tolong,
Adam?jangan biarkan aku tenggelam!""Tidak akan!" teriakku. Dengan satu tangan pada Raina, aku
menendang-nendang dalam air dan mulai berenang ke arah pantai.
"Aku akan kembali, Joy! Aku berjanji!"
Aku mengayuh kuat-kuat dengan tanganku yang bebas. Sambil
meneguk air dan terbatuk-batuk, kutarik Raina.
Di belakangku, jeritan Joy yang memilukan melengking di
udara.
Aku menggigil karena merasa bersalah.
Tetapi aku terus berenang, menjauh darinya.
Aku melakukan apa yang benar, pikirku. Aku tak dapat
menyelamatkan mereka berdua pada saat bersamaan.
"Adaaaaam!" tangisan Joy sekarang terdengar semakin jauh.
Dan semakin lemah.
Jangan menoleh ke belakang, pikirku. Jangan berhenti. Joy
masih dapat menjerit, dan itu pertanda baik. Dia tidak akan apa-apa.
Bawa Raina dulu, lalu kembali.
Kakiku menjadi semakin berat ketika aku berusaha melawan
arus. Lenganku rasanya mau copot.
Air laut terus membanjiri mulutku, napasku terengah-engah dan
tercekik.
Aku tak dapat lagi melakukannya, pikirku. Ternyata, aku tidak
cukup kuat.
Aku menarik Raina lebih kuat, sambil terus menendangnendang....
Aku mencoba mengenyahkan pikiran pesimisku. Melupakan
rasa sakit di otot-ototku. Tendang... tendang... tendang kuat-kuat
sehingga aku tidak merasakan sakit atau dadaku yang terasa terbakar.Jalan terus, perintahku pada diri sendiri. Jangan menyerah.
Jika aku menyerah, kami semua akan mati.
Sambil mencoba menahan kepala Raina supaya tidak
tenggelam, kutarik lenganku lagi menembus air. Menendang.
Mengayuh. Menendang.
Mengayuh. Menendang.
Satu kayuhan lagi, dan jari-jariku, meraih dasar yang berpasir.
Hampir sampai! Hampir selamat!
Aku meletakkan lututku di atas pasir, lalu perlahan berdiri.
Tanganku gemetar karena kehabisan tenaga. Kakiku terasa seperti jeli.
Ayo, kembali segera untuk menolong Joy, pikirku. Tarik Raina
ke pantai, lalu kembali lagi.
Aku membungkuk, meletakkan kedua tanganku di bawah bahu
Raina dan menariknya melewati beberapa meter air dangkal yang
terakhir.
Terengah-engah, aku roboh di samping Raina. Bersiap-siap
membalikkan tubuhnya.
Aku mendengar teriakan dan jeritan. Orang-orang berlari ke
arah kami.
Punggung Raina tiba-tiba terangkat. Aku mendengar suara
tercekik, lalu ia memuntahkan air dari mulutnya.
Dia masih hidup! Aku tahu. Dia selamat.
Sekarang kembali ke laut untuk menyelamatkan Joy, kataku
pada diri sendiri. Raina baik-baik saja. Kembali untuk menolong Joy,
tekadku.
Sambil menghirup napas dalam, aku mendorong diriku sendiri
untuk melangkah dan berbalik ke laut.Joy?
Tidak ada kepala yang jnuncul di air sekarang. Tidak ada
tangan yang melambai-lambai di udara. Tidak ada jeritan lagi.
Joy? Di manakah kau?
Aku menyipitkan mata ke arah ombak yang melambung.
Joy? Joy telah hilang di bawah ombak.
Ternyata aku terlambat.BAGIAN TIGABab 19
ADAM TERDENGAR suara rintihan.
Raina?
Aku berbalik untuk melihatnya, tetapi tak bisa. Aku tak bisa
melihat apa pun. Semuanya benar-benar gelap.
Suara rintihan itu terdengar lagi. Kali ini lebih keras.
Ternyata akulah yang merintih. Akulah yang sedang merintih.
Aku berbalik lagi. Sesuatu yang lembut dan tebal mengenai
wajahku.
Kuraih benda itu dan kusingkirkan.
Dan aku terbangun, dengan tangan menggenggam bantal.
Bantalku, aku menyadarinya, ketika aku memandangi sekitar
ruangan. Aku berada di tempat tidurku. Di apartemenku.
Aku duduk, bingung. "Apa... yang telah terjadi?"
Ian masuk ke dalam kamar. "Kau sudah bangun?" katanya.
"Rasanya aku mendengarmu bergerak. Bagaimana keadaanmu?"
"Ian!" teriakku. Tenggorokanku masih terasa sakit. Aku merasa
tak berdaya."Ian?apakah ini benar-benar terjadi?" tanyaku dengan suara
tercekat. "Kumohon? katakan padaku ini tidak terjadi. Katakan
padaku Joy tidak tenggelam."
Ian menunduk. "Maaf, Adam," katanya perlahan.
"Maaf?" teriakku, bingung tanpa harapan. Ruangan seakan-akan
miring. Aku merasa seolah-olah akan terguling dari tempat tidurku.
"Maaf? Apa maksudmu? Apakah ini benar-benar terjadi, Ian? Ataukah
cuma khayalanku saja?"
Ian menggigit bibir bawahnya. "Kau tidak mengkhayalkannya,
Adam," jawabnya sedih.
Aku terperangah.
"Kepala pengawas pantai membawamu pulang, Adam. Dokter
tadi ada di sini. Dia baru saja pergi beberapa menit yang lalu."
"Aku?aku tidak ingat apa-apa," kataku tergagap.
Kurenggut seprai kuat-kuat, begitu kerasnya sehingga tanganku
terasa sakit. Aku masih dapat merasakan gelombang arus yang
meluap, tamparan ombak yang keras dan dingin. Seluruh ruangan
seakan terguncang dan melambung.
"Tolonglah, Ian," kataku memohon. "Katakan padaku ini cuma
halusinasiku yang gila saja."
Dia duduk di pinggir tempat tidur. "Aku pun berharap
demikian. Aku ingin mengatakan padamu bahwa segalanya baik-baik
saja, Adam. Tetapi?" Suaranya terdengar lemah.
"Tetapi temanmu tenggelam," dia melanjutkan, menghindari
tatapanku. "Kau telah melakukan yang terbaik. Semua orang di pantai
melihatmu. Semua orang bilang kau telah melakukan apa yang
seharusnya kaulakukan.""Tetapi?joy tenggelam?" bisikku.
Ian menganggukkan kepala.
Aku telah membunuh seorang gadis lagi!
Pikiran yang menakutkan mendadak melintas dalam kepalaku.
Satu lagi... aku telah membunuh orang lagi.
"Tapi kau telah menyelamatkan temanmu yang lainnya," kata
Ian lembut. "Kau boleh bangga tentang itu, Adam. Kau
menyelamatkan temanmu yang satu lagi. Dan kau telah
menyelamatkan dirimu sendiri."
"Lebih baik aku yang tenggelam!" jeritku.
"Jangan begitu. Ayolah, man," kata Ian. "Jangan bilang begitu
lagi. Kau benar-benar pemberani. Itu yang dikatakan kepala pengawas
pantai dan setiap orang. Kau melakukan semuanya itu seorang diri,
karena Sean sudah tidak ada di sana."
Aku menjatuhkan diriku lagi di atas bantal.
Aku merasa tak berdaya. Benar-benar letih sekali. Aku tak
dapat berbicara lagi.
"Kau baik-baik saja?" kata Ian. "Apakah aku harus memanggil
dokter kembali?"
"Tidak perlu," kataku muram.
Aku menutup mataku dan melihat Joy lagi.
Mitzi dan Joy. Joy dan Mitzi.
Ian berdiri, lalu berjalan melintasi ruangan. Ia mengangkat
telepon.
"Kau mau menelepon siapa?" tanyaku dengan suara parau."Aku ada janji kencan," jawab Ian. "Aku akan menelepon untuk
membatalkannya sehingga aku bisa tinggal di rumah bersamamu." Dia
mulai menekan nomor telepon.
"Jangan. Jangan dibatalkan," kataku. "Pergi saja. Pergilah. Aku
cuma ingin tidur. Aku? lagi pula aku benar-benar tak dapat bicara
lagi."
Ian ragu-ragu, gagang telepon masih ada di tangannya. "Kau
yakin? Kau yakin tidak apa-apa?"
Aku mengeluh. "Aku butuh sendirian," kataku padanya.
Ian meletakkan telepon. Lalu ia berjalan ke arah lemari pakaian
dan mengambil jaket warna hitam dan hijau. "Di luar angin bertiup
keras," katanya padaku sambil mengenakan jaket. "Dan gumpalan
awan hitam yang mengerikan berarak-arak."
Aku membayangkan awan di atas laut.
Gelap. Mengerikan, seperti yang dikatakan Ian. Dengan angin
yang bertiup, air laut juga mengerikan. Kasar dan berombak.
Dan tubuh Joy ada di luar sana.
Apakah dia akan hanyut ke pantai?
Atau apakah dia akan pergi untuk selamanya, terkubur di bawah
berton-ton air?
Aku bergidik, lalu mataku melotot ke arah Ian. "Apakah itu
jaket baruku?"
"Yah." Dia meringis malu. "Kau tidak keberatan kan kalau aku
meminjamnya?"
Aku ingin mengatakan aku keberatan, tapi lalu mengubah
pikiranku. Apa urusanku kalau dia memakainya? Apa bedanya
buatku? "Pakai saja," kataku."Terima kasih. Hei, aku akan menggantungkannya kalau aku
sudah kembali."
"Apa?" aku merasa pusing. Tak berdaya. Aku bahkan tak dapat
mendengar Ian berbicara. Di telingaku masih saja terdengar suara deru
ombak lautan.
Dan teriakan Joy yang penuh ketakutan...
Ian mulai menutup jaket, lalu kemudian berhenti. "Apa kau
yakin tak ingin kutemani? Aku tidak apa-apa kok kalau membatalkan
kencanku. Kita dapat menonton TV atau bermain kartu atau apa
sajalah. Untuk mengenyahkan pikiranmu dari apa yang telah terjadi."
"Tidak, pergi saja," desakku.
"Apa yang akan kaulakukan?" tanyanya. "Apa kau benar-benar
mau tidur? Apa kau mau menelepon Dr. Thall?"
"Pertanyaanmu kebanyakan," rintihku sambil menggosok
kepalaku. Aku kembali menenggelamkan kepalaku ke bantal. "Begitu
banyak pertanyaan..."
"Kalau begitu, jaga dirimu baik-baik," kata Ian. "Nanti aku akan
meneleponmu. Cuma mau tahu keadaanmu."
Dia berhenti di pintu lalu berbalik. "Aku benar-benar menyesal,
Adam. Setelah musim panas yang lalu, kau berhak mendapat libur.
Kau benar-benar membutuhkannya."
Aku tak tahu mau berkata apa. Lalu kutatap langit-langit,
berharap tempat tidurku ini berhenti melambung dan mengeras.
Pintu depan terbanting.
Kulkas berdengung, lalu mati.
Apartemen menjadi tenang.Di luar, aku dapat mendengar suara ombak bergelora keras.
Ombak yang pecah di pantai. Ambruk, jatuh. Lalu bergelora lagi.
Lagi dan lagi.
Joy ada di luar sana, pikirku.
Laut sedang melambungkan dirinya seperti ganggang laut.
Seperti apa dia sekarang? Apakah matanya masih melebar
penuh ketakutan? Apakah mulutnya masih tetap terbuka menyuarakan
jeritan sunyi?
Ketika aku memejamkan mataku untuk mengenyahkan
bayangan itu, aku mendengar lagi suara Joy yang memohon padaku
Fear Street Super Chiller Gelombang Pasang High Tide di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
supaya tidak meninggalkannya. Aku menggelengkan kepala sambil
menutup telinga dengan tanganku.
Tetapi aku masih melihat wajah Joy yang penuh ketakutan.
Dan aku masih merasa sangat bersalah.
Sambil mengembuskan napas, kuayunkan kakiku ke lantai dan
berdiri. Lakukan sesuatu, pikirku. Jangan cuma duduk-duduk saja
memikirkan banyak hal. Jika kau cuma bengong-bengong saja, kau
akan benar-benar gila.
Pergi jalan-jalan? Mungkin nanti saja, pikirku. Aku masih
merasa gamang.
Seandainya saja aku dapat tidur. Tetapi jika aku tidur, aku tahu
aku pasti akan bermimpi. Dan hal terakhir yang kuinginkan adalah
mendapat mimpi buruk lagi.
Aku pergi ke ruang duduk dan memasang CD. Suara musik
rock yang berdentum-dentum memenuhi ruangan apartemen,
menutupi gemuruh suara lautan di luar.Perutku keroncongan sehingga aku membuat semangkuk sereal.
Oke, kataku dalam hati, aku mau makan, baca-baca beberapa majalah,
dan mendengarkan musik.
Untuk mengenyahkan Joy dari pikiranku.
Untuk menghapuskan perasaan bersalah.
Ketika aku duduk di sofa, mangkuk serealku miring, lalu
tumpah. Susu dingin dan cornflake yang lembek jatuh ke atas T-shirtku. Kuletakkan mangkuk yang belepotan susu di meja kopi, lalu
segera kulepaskan T-shirt. Memang sudah waktunya ganti baju,
pikirku menggigil. Udara semakin dingin.
Aku balik ke kamar tidur. Kukenakan celana jeans, lalu
kugeledah laci untuk mencari kaus lengan panjang. Ketika aku berdiri
tegak, kulihat sekilas diriku di dalam cermin.
Mataku balik menatap.
Dengan cepat aku berbalik. Aku tak tahan melihat diriku
sendiri.
Kau telah membunuh Joy, mataku menuduh diriku.
Tetapi aku tak dapat menyelamatkan mereka berdua sekaligus!
kataku membela diri.
Aku mengambil napas dalam, mencoba menenangkan diri
sendiri.
Dan telepon berdering.
Aku tersandung meja ketika mengangkatnya. "Halo?" jawabku
gemetar."Adam," bisik sebuah suara. Bisikannya begitu rendah, begitu
parau, sehingga aku tak dapat memastikan apakah itu suara laki-laki
atau perempuan.
"Adam, kau akan mendapat balasan atas perbuatanmu padaku.
Aku berjanji. Kau akan segera mendapatkannya."Bab 20
JANTUNGKU berdegup, lalu mulai berdebar keras seperti
sebelumnya. Aku mencoba berbicara, tetapi tenggorokanku serasa
tertutup.
"Kau akan mendapat balasan untuk apa yang telah kaulakukan
padaku." Suara bisikannya parau seperti ombak lautan, memekak di
telingaku.
"Siapa..." aku tercekik. "Siapa ini?"
Lalu telepon terputus.
Terdengar nada dengung.
Aku meletakkan telepon, lalu menatapnya dengan tegang.
Akankah telepon berdering lagi?
Siapakah itu? Siapa yang ingin membalas dendam kepadaku?
Sean, pikirku.
Dan Leslie marah kepadaku. Katanya dia akan mencari cara
untuk membalasku. Kupikir dia tidak sungguh-sungguh.
Tapi mungkin saja Leslie memang bermaksud melakukannya.
Atau mungkin telepon itu cuma main-main.
CD di ruang duduk telah berakhir. Apartemen sunyi kembali.
Telepon tidak berdering.Jantungku masih berdebar-debar. Telapak tanganku berkeringat,
dan kakiku mengetuk-ngetuk gelisah di lantai.
Pergi keluar saja, pikirku. Keluar dari apartemen dan jalan-jalan
sampai pikiranmu benar-benar jernih.
Sambil merenggut sweatshirt dari atas kepalaku, aku
mengenakan sepatu karetku dan bergegas keluar apartemen.
Di luar, aku berlari-lari dengan cepat, menyeberangi jalan dan
berusaha mendaki bukit pasir. Kakiku terasa sakit karena telah
menendang-nendang keras sekuat tenaga di lautan. Tetapi aku tidak
peduli.
Yang kuinginkan cuma berlari dan berlari. Lari dari diriku
sendiri...
Setelah beberapa saat, aku berhenti, menatap ke sekitar pantai
yang sunyi.
Aku dapat mendengar suara ombak bergulung kian kemari,
tetapi aku tak dapat melihatnya.
Kabut yang tebal menutupi segalanya. Kabut bergulir di
sepanjang pasir dan berputar di sekitarku seperti gumpalan asap
bergulung-gulung.
Dingin. Basah. Mengerikan.
Mungkin sebaiknya aku kembali saja, pikirku. Pantai terasa
begitu mengerikan dengan kabut seperti ini.
Tidak, aku memutuskan. Berjalan-jalan lebih baik daripada
tinggal di dalam rumah.
Jalan. Jangan kembali sampai kau merasa lelah sekali, sehingga
kau bisa tidur tanpa bermimpi.Aku berjalan semakin dekat ke garis pantai, lalu mulai
melangkah di sepanjang pantai di atas pasir yang keras dan basah.
Kabut kelihatannya semakin tebal, menutupiku seperti kain
katun basah. Kecuali suara ombak dan peluit kabut di kejauhan, aku
tidak mendengar suara apa pun.
Dan tidak melihat seorang pun.
Setiap kali memikirkan Joy dan Mitzi, atau mendengar suara
bisikan parau di kepalaku, aku mempercepat langkahku. Aku meraih
sepotong kayu apung dan melemparkannya ke dalam ombak. Aku
terus berlari sampai kakiku semakin sakit.
Semuanya kulakukan untuk mengenyahkan pikiran tentang
kejadian sore itu. Pilihan menakutkan yang harus kulakukan...
Ketika aku berlari, tiba-tiba batu-batu karang gelap bergerigi
muncul melalui kabut, hanya beberapa meter di depanku. Ombak
memukul batu-batu karang itu, lalu berdebur dan pecah.
Aku berhenti, merasa letih dan kehabisan napas. Dan aku
menyadari ternyata pikiranku sama lelahnya seperti kakiku. Waktu
yang tepat untuk pulang. Naik ke tempat tidur dan segera tidur.
Aku menekan tanganku ke paha dan membungkuk beberapa
saat untuk mengatur napas.
Ketika aku menegakkan tubuh, sesosok tubuh muncul dari balik
batu karang.
"Hai," panggilku, memandang tajam menembus kabut. "Kupikir
aku hanya seorang diri di pantai malam ini."
Sosok itu bergerak semakin dekat. Tidak bersuara.
"Hai," aku mengulangi.Angin berembus. Kabut bergulung-gulung lalu naik untuk
sesaat.
Dan yang kulihat ternyata seorang gadis. Berkaki telanjang.
Aku memicingkan mata, mencoba melihat wajahnya.
Tetapi wajahnya tertutup kabut tebal.
Dia melangkah lebih dekat. Dia bergerak dengan tenang, seolah
melayang, melayang seperti tirai kabut yang bergulung-gulung.
Mengapa tiba-tiba aku menggigil?
Jubahnya melayang-layang di belakangnya, seperti mantel
tanpa lengan. Dalam kegelapan kabut, dia tampak seolah tembus
pandang. Seakan-akan dia bagian dari bayang-bayang, bagian dari
kabut. Seakan-akan aku dapat melihat menembus dirinya.
Aku mundur, tiba-tiba merinding.
Tiba-tiba aku ketakutan.
Seandainya saja aku dapat melihat wajahnya.
Jubahnya yang gelap menggelembung ditiup angin. Gumpalan
kabut muncul mengelilinginya.
"Adam..." bisiknya.
Aku terkesiap. Dia tahu namaku.
"Adam?kau membiarkan aku tenggelam!"
"TIDAKKKKK!" teriakku.
Joy! Sosok itu Joy yang mengambang dalam bayang-bayang,
melayang-layang dalam kabut.
Arwah Joy, datang untuk menghantuiku.
Aku menghela napas dalam. "Kau cuma bayangan!" teriakku.Ombak memecah di dekatku. Kulitku terasa dingin terkena
percikan air laut. Sosok itu kembali melangkah mendekatiku. Kakinya
yang telanjang begitu sunyi, sunyi seperti hantu.
"Kau bukan Joy!" teriakku, suaraku terhalang kabut. Terhalang
ketakutanku. "Kau cuma bayangan. Aku sedang membayangkan
dirimu. Dan pergilah kau sekarang!"
"Adam..." bisiknya. "Adam..."
Aku merinding. Kusadari seluruh tubuhku gemetaran.
Jangan lari, perintahku pada diriku sendiri, menutup mataku.
Jangan takut. Ketika kau membuka mata, dia akan pergi.
Karena dia tidak ada di sini. Dia cuma bayangan!
Joy sudah meninggal.
Perlahan-lahan, aku membuka mata.
Di depanku, kabut mulai bergerak.
Aku menahan napas ketika kabut melingkar-lingkar dan
terangkat ke atas.
Tidak ada apa-apa.
Tak ada seorang pun.
"Aku tahu!" teriakku keras.
Aku tahu sosok itu tidak nyata.
Kuangkat tanganku ke atas kepala sambil tertawa, seolah-olah
aku baru saja memenangkan pertarungan. Memang, aku telah
memenangkan pertarungan, pikirku. Aku tidak membiarkan halusinasi
mengelabuiku kali ini.
Aku sudah menyingkirkannya.
Dengan perasaan sedikit lebih enak, aku menurunkan tanganku
dan memasukkannya ke dalam saku.Dan aku ternganga ketika melihat jejak kaki.
Jejak kaki telanjang di atas pasir. Terpampang di hadapanku.
Tepat di tempat Joy tadi berdiri.
Aku berdiri di situ, gemetar ketakutan. Hatiku berdebar-debar.
Kepalaku berdenyut-denyut.
Aku tetap berdiri dan menatap jejak kaki di pasir.
Dan bertanya-tanya: Sejak kapan halusinasi meninggalkan jejak
kaki?Bab 21
AKU membanting pintu apartemen hingga tertutup lalu
bersandar di baliknya, terengah-engah karena berlari.
Dan karena ketakutan.
Joy betul-betul muncul di depanku malam ini, kataku pada diri
sendiri untuk kesekian kalinya.
Tetapi bukankah dia sudah meninggal?
Dan jejak kaki itu?
Jejak kaki...
Aku tak bisa menjelaskannya. Aku tak dapat mengerti. Yang
kutahu hanyalah jejak kaki itu memang ada.
Dan gadis yang berbisik padaku di antara kabut adalah nyata.
Bukan halusinasi.
Aku tak dapat melihat wajahnya. Kabut dan bayang-bayang
menutupi dirinya.
Tetapi aku melihat baju renangnya. Itu milik Joy. Dan aku
mendengar suaranya, begitu lemah, begitu lirih.
"Adam, kau membiarkan aku tenggelam..."
Joy. Hantu Joy.
Suara gemuruh perlahan membuatku terloncat. Sambil menahan
napas, aku menatap tegang ke sekitar ruang duduk yang kosong."Siapa itu?" teriakku sambil mengulurkan leher mencoba
melihat ke dalam kamar tidur. "Ian?"
Tidak ada jawaban.
"Ian? Kau sudah kembali?"
Suara gemuruh itu berubah menjadi suara tenang yang konstan
dengan dengungan lemah.
Lemari es, aku menyadari, sambil menggelengkan kepala
dengan sebal. Apa yang terjadi padaku? Aku ketakutan pada lemari
es! Kau benar-benar keterlaluan, Adam! hardikku pada diri sendiri.
Benar-benar payah. Tidur saja. Jangan pikirkan apa-apa lagi. Jangan
mencoba membayangkan apa-apa lagi.
Tidur saja.
Begitu memikirkan tentang tidur, gelombang kelelahan
menghanyutkanku.
Kelopak mataku terasa berat ketika aku melintasi ruang duduk.
Aku menubruk meja kopi, dan menumpahkan susu lebih banyak lagi
dari mangkuk sereal yang sebelumnya kutinggalkan di situ.
Aku berhenti. Menguap. Jangan sembrono, kataku pada diri
sendiri. Setidaknya letakkan mangkuk di tempat cuci piring.
Tetapi pikiran mengangkat mangkuk dan berjalan beberapa
langkah membuatku bahkan lebih lelah lagi. Agak pening, aku
tersandung ketika berjalan ke kamar tidur.
Aku terjatuh melintang di tempat tidur. Kupejamkan mataku
lalu tertidur dengan nyenyak.
*************Berkali-kali aku menenggelamkan kepalaku dalam bantal,
mencoba melarikan diri dari mimpi.
Aku sedang bermimpi, kataku pada diri sendiri. Aku bisa
merasakan selimut di atas mukaku. Dan juga kelembaban sweatshirt
dan jeans-ku yang basah.
Aku telentang di tempat tidurku. Aku bahkan tidak merasa perlu
berganti pakaian. Aku sedang bermimpi lagi. Dan aku mengetahuinya.
Bertindaklah dengan cepat, pikirku. Bangun!
Tetapi aku tak dapat melakukannya. Mimpiku mendorongku
lebih jauh lagi, sampai aku tak dapat merasakan selimut atau pakaian
basah lagi.
Malahan, aku merasakan panasnya matahari di kepalaku dan air
yang memukul kakiku ketika aku mengarungi lautan.
Angin bertiup di atas laut, menghamburkan cipratan air garam
yang semakin tinggi. Burung-burung camar memekik ketika embusan
angin menerbangkan mereka ke samping. Ombak bergulung dan
terkocok, lalu pecah di pantai.
Aku menyelam ke dalam air, lalu muncul di permukaan, dan
berenang terus sampai menyentuh dasar yang berpasir.
Ketika aku berhenti dan mulai menginjak-nginjak air, mataku
menangkap bintik berwarna.
Bintik berwarna biru elektrik cerah, terombang-ambing di atas
ombak.
Sebuah jet ski.
Bintik itu makin membesar ketika jet ski itu semakin dekat ke
arahku. Suara mesin berdengung di dalam otakku.
Hatiku mulai berdebar-debar.Apakah jet ski itu akan menabrak batu karang yang
tersembunyi?
Mesinnya meraung, lalu mulai menghilang ketika jet ski itu
berbalik arah dengan tiba-tiba dan pergi ke arah berlawanan.
Aneh sekali, pikirku.
Air laut terlalu berombak. Ombak akan melambungkannya
seperti kapal mainan dan membuatnya hancur berkeping-keping.
Aku mulai berenang lagi, sambil tetap memperhatikan jet ski
itu. Mungkin aku dapat melambaikan tangan untuk menyuruhnya
berhenti.
Fear Street Super Chiller Gelombang Pasang High Tide di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketika aku berusaha mengarungi ombak, jet ski itu berbalik
lagi. Kembali menderu ke arahku.
Ada dua orang yang mengendarainya. Seorang cowok dan
cewek.
Aku memicingkan mata untuk menahan kilauan cahaya,
mencoba melihat wajah mereka.
Siapakah mereka?
Jet ski itu terguncang-guncang, semakin dekat.
Aku dapat melihat wajah cewek itu sekarang. Tertawa-tawa.
Menggoyang-goyangkan kepalanya sambil tertawa ketika jet ski itu
melompat di udara.
Wajah Joy.
Ketika jet ski berbelok tajam, cewek itu tertawa dan
menggoyangkan kepalanya lagi.
Dan rambutnya yang pirang melambai-lambai di belakangnya.
Bukan Joy, pikirku.
Mitzi!Tetapi siapakah cowok itu. Itu pasti bukan aku, karena aku
sedang berada di air, memperhatikan mereka.
Siapakah yang mengendarai jet ski dengan Mitzi?
Ketika aku menatapnya, jet ski itu melompati ombak, naik ke
udara, dan terbanting jatuh dengan keras. Ombak yang kedua muncul,
melemparkan jet ski ke samping.
Melemparkan Mitzi ke dalam air.
Tidak! pikirku, hatiku berdebar semakin keras. Peristiwa itu
terjadi lagi!
Jet ski itu berputar-putar, menambah kecepatan ketika melaju
lurus ke arah Mitzi.
Berhenti! Aku ingin berteriak. Tidakkah kau melihat Mitzi? Dia
tepat di depanmu. Berbaliklah!
Tetapi tampaknya semua kata-kata terperangkap di dalam
mulutku.
Dan jet ski itu tetap meluncur melintasi lautan, meraung
semakin dekat ke arah Mitzi.
Mataku menjadi panas ketika dengan susah payah aku berusaha
melihat dengan lebih jelas. Siapakah cowok yang mengendarai jet ski
itu? Mengapa aku tidak dapat melihat wajahnya?
Siapakah dia?
Jet ski itu meraung semakin cepat. Sekarang hampir berada di
atas Mitzi. Tidak melambat. Tidak berbalik arah.
Tidak! pikirku. Tidaaak!
Jeritan yang mengerikan pecah di udara.
Dan ombak putih yang berbusa menjadi merah darah ketika jet
ski itu menghantam tubuh Mitzi.Tidak! pikiranku menjerit lagi. Aku terjun ke dalam ombak, lalu
mulai berenang ke arah Mitzi. Aku harus menghampirinya. Harus
menolong dirinya!
Bertahanlah, Mitzi! pikirku sambil berenang menembus air.
Aku akan datang. Bertahanlah!
Lenganku terasa sakit dan dadaku terasa membara, tetapi aku
tetap menembus ombak. Jika aku dapat meraihnya tepat pada
waktunya, aku dapat menyelamatkannya! kataku pada diriku sendiri.
Teruslah maju!
Ombak yang kuat menyapuku, menghantamku ke bawah. Aku
muncul dengan cepat dan memandang berkeliling. Aku meneriakkan
nama Mitzi berkali-kali.
Tidak ada jawaban.
Aku memandangi sekelilingku lagi. Air tiba-tiba tampak rata.
Rata, tenang, dan kosong.
Dan merah darah.
Mitzi tidak ada di mana-mana.
Aku telah mencoba menyelamatkanmu, Mitzi! jeritku dalam
pikiranku. Hanya saja aku tak dapat menolongnya tepat pada
waktunya!
Aku telah mencoba! jeritku lagi.
Lalu aku terduduk tegak di tempat tidur, sambil mengejapkan
mata dalam kegelapan.
Mencoba mengenyahkan mimpi buruk lagi.
Berapa kali lagi aku harus bermimpi buruk? Aku bertanya
sambil menggigil ketakutan.
Tetapi tunggu.Ini bukan mimpi yang sama. Berbeda sama sekali.
Udara dingin merayapi punggungku ketika aku memikirkan
mimpi ini.
Dan menyadari ada sesuatu yang sangat berbeda.
Kali ini, orang lain yang menggilas Mitzi.
Bukan aku yang berada di atas jet ski itu. Aku sedang berada di
dalam air. Aku sedang berenang untuk menyelamatkan Mitzi.
Apa artinya ini? Mengapa mimpiku berubah?
Aku menggigil lagi. Pakaianku masih lembap dan dingin. Lain
kali, jangan tidur dalam pakaian basah kuyup karena kabut, kataku
dalam hati.
Aku bangun.
Dan tertegun.
Sesosok tubuh bergerak di ujung dalam kegelapan ruang tidur.
Terdengar bunyi lantai berderak
Sosok itu bergerak lagi.
Tanpa suara. Bergerak perlahan-lahan.
Ada orang di ruangan ini, menyelinap menuju tempat tidurku.
"Siapa itu?" teriakku.Bab 22
AKU meloncat dari tempat tidur dengan tangan terkepal. "Siapa
itu?" teriakku dengan suara parau.
Sosok itu bergerak lagi. "Ini aku," bisik Ian di antara kegelapan.
"Tenang saja."
"Ya, ampun."
Aku menjatuhkan diri kembali di tempat tidur dan menarik
napas panjang. "Aku sudah siap-siap mau memukulmu sampai remuk.
Kenapa kau mengendap-endap seperti itu?"
"Aku sebenarnya tidak mengendap-endap." Ian melepaskan
jaketku dan mengibaskannya hingga tetesan air di jaket itu tepercik ke
arahku. "Aku tinggal di sini juga, kan?"
"Yah." Aku duduk tegak dan menggosok wajahku.
"Aku pulang kemalaman," kata Ian menjelaskan. "Dan ketika
masuk, aku mendengar kau sedang tidur. Sehingga aku mencoba
untuk tenang."
Dia berjalan menuju ke lemari pakaian, menjentikkan
lampunya. "Ternyata aku tidak cukup tenang. Maaf, aku membuatmu
terbangun, Adam."
"Tak apa-apa." Aku menggosok wajahku lagi sambil sedikit
mengeluh. "Aku sudah bangun kok.""Ada apa sih?" tanyanya sambil menggantungkan jaket. "Kau
baik-baik saja?"
"Aku bermimpi buruk lagi," kataku. "Tentang Mitzi dan jet
ski."
"Ya, ampun. Itu lagi yang kaumimpikan," dia menggelengkan
kepala. "Kurasa apa yang terjadi di pantai sore ini membawamu
kembali ke masa lalu, ya?"
"Kurasa begitu," keluhku. "Tetapi mimpi kali ini aneh, Ian. Kali
ini mimpiku berbeda."
Dia menyipitkan matanya. Ekspresinya kembali penuh
perhatian. "Apa maksudmu?"
Aku mengerutkan dahi, mencoba mengingat-ingat. Aku bisa
mendengar suara jet ski itu. Melihat warna birunya yang berkilauan.
Merasakan diriku berjuang dalam ombak yang bergelora. Merasakan
hatiku berdebar-debar ketakutan ketika jet ski itu menderu makin
dekat ke arah Mitzi.
Tetapi aku tak dapat mengingat selanjutnya. Sisa-sisa mimpi itu
lambat laun memudar dan menghilang.
"Apa maksudmu?" ulang Ian.
Aku tidak tahu, jawabku. "Ada sesuatu yang berbeda dalam
mimpi itu, tapi aku tak dapat mengingatnya sekarang. Semuanya
lenyap."
"Bagus, setidaknya mimpi itu sudah berlalu." Ian mematikan
lampu dan menjatuhkan diri ke tempat tidur. "Apa kau sudah
menghubungi Dr. Thall hari ini?"
"Besok," kataku sambil masih berusaha keras memikirkan
mimpi buruk itu."Kau harus bicara dengannya," kata Ian sambil menguap. "Apa
kau mau tidur lagi?"
"Mungkin," jawabku.
Ian sudah terlelap dalam waktu tiga puluh detik.
Aku tetap duduk di tempat tidurku, menatap kegelapan kamar.
Sekarang mimpiku hampir hilang sama sekali. Hanya perasaannya
saja yang masih tetap tinggal di hatiku.
Ada sesuatu yang berbeda pada mimpiku.
Tetapi apa?
Ian berguling di tempat tidurnya dan mulai mendengkur
perlahan. Aku mendengar suara ombak di luar, dan suara tetesan hujan
yang menampar jendela.
Sambil menarik napas panjang, aku berdiri dan berjalan ke
lemari pakaian mencari pakaian kering.
Apa pengaruhnya kalau mimpi itu berbeda? kataku pada diri
sendiri.
Jadi mimpi itu berbeda. Bukan masalah. Mimpi memang selalu
aneh. Selalu berubah.
Lagi pula mimpi buruk itu sudah berakhir, aku mengingatkan
diriku. Setidaknya untuk saat ini.
Tetapi kapankah semua ini akan berakhir untuk selamanya?
Aku bertanya-tanya sambil melepaskan sweatshirt yang lembap.
Kapankah aku bisa melewatkan malam yang penuh
ketenangan?
***********Pagi harinya curah hujan membangunkanku. Hujan lebat
menghantam jendela seperti peluru dan menenggelamkan suara
ombak lautan.
Aku duduk dengan kepala pening, lalu memandangi jam radio.
Jam sepuluh tiga puluh. Sambil menguap, kunyalakan radio.
"Para pencinta pantai, kalian tak mungkin bersenang-senang di
bawah sinar matahari hari ini!" kata penyiar dengan riang. "Ramalan
menyebutkan hujan lebat dengan embusan angin yang keras akan
berlangsung sampai jauh malam. Pantai ditutup untuk berenang, ski
air, dan semua perahu. Jika Anda bukan seekor ikan, sebaiknya hari
ini Anda membuat rencana untuk tinggal di dalam rumah saja."
Aku mematikan radio dan meregangkan badanku. Tidak ada
tugas hari ini, pikirku. Bagus. Aku bisa menikmati hari liburku.
Bidadari Bermata Bening 2 Serba Hijau Serial Oey Eng Si Burung Kenari Karya Xiao Ping Patung Dewa Aneh 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama