Baby Sitter Club 3 Rahasia Stacey Bagian 1
Bab 1
"SEBAGAI ketua Baby-sitters Club," ujar Kristy Thomas, "aku
bermaksud mengajak kalian untuk memikirkan apa yang akan kita
lakukan kalau Bu Newton melahirkan anaknya."
"Apa maksudmu?" tanyaku.
"Maksudku, kita perlu bersiap-siap. Kan sudah cukup lama kita
menunggu-nunggu kelahiran bayi ini. Sedangkan keluarga Newton
adalah klien terbaik kita. Mereka pasti akan memerlukan seseorang
untuk menjaga Jamie selama mereka berada di rumah sakit. Dan babysitter yang baik akan bersiap-siap untuk menghadapi keadaan seperti
itu."
"Aku pikir itu ide yang bagus," Mary Anne Spier angkat bicara.
"Aku mendukung Kristy." Mary Anne memang selalu setuju dengan
usul Kristy. Soalnya mereka sahabat karib.
Aku melirik ke seberang ruangan ke arah Claudia Kishi. Tapi
Claudia hanya mengangkat bahu. Claudia adalah sahabat karibku. Dia
wakil ketua klub kami.
Hanya kami berempat inilah anggota Baby-sitters Club: Kristy,
Claudia, Mary Anne (dia bertugas sebagai sekretaris), dan aku?
Stacey McGill. Aku menjabat sebagai bendahara. Kami memulai
bisnis ini dua bulan yang lalu. Kristy yang punya ide mendirikan klubini. Itulah sebabnya dia diangkat menjadi ketua. Tiga kali dalam
seminggu, mulai dari jam setengah enam sampai jam enam, kami
mengadakan pertemuan rutin di kamar Claudia. (Claudia punya
pesawat telepon pribadi di kamarnya.) Pada saat itulah klien-klien
kami menelepon untuk menyewa baby-sitter. Baby-sitters Club cukup
laris, karena hanya dengan satu kali menelepon klien-klien kami bisa
berbicara dengan empat orang baby-sitter sekaligus. Dengan demikian
setiap penelepon merasa yakin bahwa dia akan mendapatkan seorang
baby-sitter, kapan pun dia memerlukannya. Klien-klien kami
menyukai sistem kerja seperti ini. Mereka sering bilang bahwa terlalu
repot buat mereka untuk menelepon ke sana-kemari, hanya untuk
mendapatkan seorang baby-sitter saja. Lagi pula membuang-buang
waktu. Kecuali itu, mereka juga menyukai kami. Aku bukannya
sombong, tapi kami memang baby-sitter yang baik. Dan kami bekerja
keras untuk memajukan bisnis ini. Kami mencetak selebaranselebaran untuk dimasukkan ke kotak-kotak surat. Bahkan kami
sempat memasang iklan di Stoneybrook News, surat kabar dengan
oplah terbesar di Stoneybrook, Connecticut.
Di sinilah aku tinggal sekarang, di sebuah kota kecil yang
aman-tenteram di Connecticut. Sebenarnya perubahan seperti ini
sangat mengejutkan buatku, karena sebelum ini aku tinggal di New
York City. New York adalah kota besar. Sedangkan Stoneybrook
tidak. Di sini hanya ada satu middle school, yaitu sekolahku sekarang.
Kami semua bersekolah di situ. (Kami duduk di kelas tujuh.)
Sedangkan di New York ada sejuta middle school. Memang di New
York segala sesuatunya berjumlah jutaan?orang, mobil, bangunan,
pertokoan, merpati, teman-teman, dan hal-hal yang bisa dikerjakan.Di Stoneybrook, segala sesuatunya benar-benar serba... serba
sedikit. Orangtuaku dan aku pindah kemari pada bulan Agustus.
Mula-mula aku tidak punya teman sama sekali. Sampai aku bertemu
dengan Claudia di sekolah, bulan September yang lalu. Semua orang
di sini kelihatannya sudah lama saling mengenal, mungkin bahkan
sejak lahir. Claudia, Kristy, dan Mary Anne juga begitu. Mereka
sudah berteman sejak kecil. Kristy dan Mary Anne tinggal
bersebelahan di Bradford Court, dan rumah Claudia berseberangan
dengan rumah-rumah mereka. (Aku tinggal dua blok dari mereka.)
Aku sangat gembira waktu Claudia bilang padaku bahwa Kristy
ingin mendirikan klub ini. Akhirnya aku mendapatkan teman juga,
pikirku. Dan itulah yang terjadi. Walaupun aku paling dekat dengan
Claudia, rasanya masih belum lengkap kalau tidak ada Kristy dan
Mary Anne. Memang benar, mereka kelihatan lebih muda daripada
Claudia dan aku. (Mereka belum terlalu peduli pada pakaian atau
cowok?meskipun Kristy baru-baru ini untuk pertama kalinya pergi
ke sebuah pesta dansa.) Mary Anne sangat pemalu, sedangkan Kristy
agak tomboy. Tapi mereka semua sahabat-sahabatku, dan aku merasa
sudah menjadi bagian dari mereka. Mereka berbeda sekali dengan
sejumlah pengkhianat yang kutinggalkan di New York.
"Oke, inilah skenario yang pertama," Kristy berkata. "Siang
hari, seusai sekolah. Bu Newton menyadari bahwa sudah waktunya
untuk pergi ke rumah sakit. Dia menelepon Pak Newton, atau taksi,
atau apa pun. Kemudian dia menelepon kita, dan salah satu dari kita
harus menjaga Jamie."
"Bagaimana kalau kita semua sedang sibuk?" tanyaku."Hmmm," sahut Kristy. "Mungkin mulai sekarang, secara
bergantian salah seorang dari kita harus selalu siap. Dengan demikian
kita bisa memberikan jaminan pada Bu Newton bahwa dia pasti
mendapatkan seorang baby-sitter untuk menjaga Jamie. Ini pelayanan
khusus kita untuk dia, karena keluarga Newton pelanggan yang baik."
"Buat apa kita membuang-buang waktu seperti itu?" Claudia
angkat bicara. Aku sependapat dengan dia.
"Betul," kataku. "Kelahiran kan bisa saja terlambat. Bisa sampai
dua atau tiga minggu. Kita akan membuang-buang waktu di siang hari
hanya untuk sesuatu yang tidak ada gunanya."
"Betul juga," Kristy menanggapinya sambil berpikir keras.
"Terus, bagaimana kalau bayinya lahir di malam hari?" tanyaku.
"Sepertinya, para wanita hamil selalu berangkat ke rumah sakit sekitar
tengah malam. Contohnya aku. Aku dilahirkan jam dua lewat dua
puluh dua menit dini hari."
"Aku dilahirkan jam empat lewat tiga puluh enam menit pagi,"
ujar Claudia.
"Aku lahir tepat jam empat pagi," tambah Kristy.
Kami menoleh ke arah Mary Anne. Dia mengangkat bahu, lalu
berkata, "Aku tidak tahu jam berapa aku dilahirkan." Ibu Mary Anne
meninggal pada waktu dia masih kecil. Dan Mary Anne tidak begitu
dekat dengan ayahnya yang sangat disiplin. Kelihatannya mereka
tidak pernah bercakap-cakap tentang waktu kelahiran Mary Anne.
Tiba-tiba pintu kamar Claudia diketuk dari luar. Nenek Claudia,
Mimi, menyembulkan kepalanya di pintu. "Halo, anak-anak," katanya
dengan sopan.
"Hai, Mimi," kami menjawab."Apakah kalian ingin makan sesuatu?" tanyanya. Keluarga
Claudia berasal dari Jepang. Mimi baru datang ke Amerika Serikat
pada waktu dia berumur tiga puluh dua tahun, sehingga gaya
bicaranya masih lemah lembut dengan logat mengalun. Dia sudah
tinggal bersama keluarga Claudia sebelum Claudia lahir.
"Tidak, Mimi, terima kasih," jawab Claudia, "tapi mungkin
Mimi bisa membantu kami."
"Dengan senang hati." Mimi membuka pintu lebar-lebar, dan
berdiri di ambang pintu.
"Apakah Mimi tahu jam berapa Mary Anne dilahirkan?" tanya
Claudia. Dia yakin Mimi pasti mengetahuinya, karena orangtua
Claudia sudah lama berteman baik dengan keluarga Thomas dan
keluarga Spier. Mimi pun akrab dengan mereka.
Mimi kelihatan agak terperanjat mendengar pertanyaan itu.
"Coba kuingat-ingat sebentar, Claudia-ku.... Mary Anne, ibu dan
ayahmu berangkat ke rumah sakit sekitar waktu makan malam. Itu aku
ingat benar. Kurasa kamu dilahirkan sekitar jam sebelas malam."
"Oh!" Senyum lebar menghiasi wajah Mary Anne. "Aku baru
tahu. Kalau begitu, aku juga termasuk anak yang dilahirkan pada
malam hari. Terima kasih, Mimi."
"Terima kasih kembali." Mimi beranjak meninggalkan kamar
Claudia dan hampir bertubrukan dengan Janine, kakak Claudia. Dia
tiba-tiba muncul di belakang Mimi.
"Claudia! Claudia!" teriak Janine.
Aku langsung pasang kuda-kuda. Janine berumur lima belas
tahun. Dia sangat teliti, berotak jenius, dan?terus terang saja?agak
membosankan. Tidak menarik sama sekali. Selama ini aku belumpernah mendengar dia berteriak seperti barusan. Karena itu aku
langsung tahu ada sesuatu yang tidak beres.
Ternyata dugaanku benar.
"Janine! Ada apa?" seru Claudia.
"Ini." Janine melambai-lambaikan sebuah selebaran. Dia
menerobos masuk melewati Mimi, lalu memberikan selebaran itu
pada Claudia.
Claudia mengambilnya. Kristy, Mary Anne, dan aku berkumpul
mengelilingi Claudia. Kami membaca apa yang tertulis di kertas itu
dengan rasa waswas. Beginilah bunyinya:Kami berempat saling bertukar pandang. Bahkan Kristy pun,
yang biasanya banyak omong, tidak bisa berkata apa-apa. Mata Mary
Anne membelalak makin lebar, sampai kelihatan seperti mau copot
dari kepalanya.
"Ada masalah apa, Claudia-ku?" tanya Mimi.
"Saingan," ujar Claudia dengan kaku.
Kristy melihat arlojinya. Ternyata baru jam enam kurang
seperempat. Berarti waktu untuk pertemuan rutin hari Jumat masih
tersisa lima belas menit. "Dengan ini aku mengubah pertemuan rutin
Baby-sitters Club kali ini menjadi pertemuan darurat," dia
mengumumkan.
"Kalau begitu kami akan meninggalkan kalian," kata Mimi
dengan lembut. "Janine, tolong bantu aku menyiapkan makan malam."
Mimi berjingkat-jingkat ke luar, diikuti Janine yang menutup pintu
dengan sangat pelan.
Aku menatap ketiga sahabatku. Wajah mereka kelihatan tegang.
Sorot mata Claudia nampak redup. Tanpa sadar dia memilinmilin rambutnya yang panjang dan berwarna hitam. Dia menaruh
perhatian besar pada perkembangan mode, dan selalu berpakaian
sesuai dengan trend terbaru. Tapi kali ini Claudia sama sekali tidak
berpikir tentang pakaian.
Kristy memakai baju seperti umumnya anak kecil. Rambutnya
yang berwarna cokelat disisir ke belakang, dan diikat menjadi kucir
yang berantakan. Dia sama murungnya dengan Claudia.
Rambut Mary Anne, seperti biasanya, dikepang. (Ayahnya yang
memaksakan gaya rambut seperti itu.) Dia memakai kacamata baca
berbingkai logam untuk membaca selebaran tadi. Ketika selesaimembaca, dia mendesah, menyandarkan badannya ke dinding, lalu
melepaskan sepatu sekolahnya.
Seandainya aku sempat bercermin, maka aku akan melihat
seorang tukang dandan berwajah murung. Tampangku lebih dewasa
dibandingkan Kristy ataupun Mary Anne, tapi tidak secantik wajah
Claudia.
Aku memeriksa kukuku yang dicat merah muda, sementara
Kristy memegang selebaran saingan kami itu dengan tangan gemetar.
"Tamatlah riwayat kita," dia berkata tanpa tertuju pada siapa
pun. "Mereka lebih tua dari kita. Dan batas jam kerja mereka lebih
malam dari kita. Benar-benar malapetaka."
Tidak ada satu pun dari kami yang tidak sependapat dengannya.
Dengan gelisah Claudia mengambil sebuah kotak sepatu dari
bawah tempat tidur, merogoh isinya, lalu mengeluarkan sebungkus
permen. Claudia adalah pecandu camilan (walaupun dia tidak mau
mengakuinya), dan dia menyembunyikan permen dan kue-kue di
setiap sudut kamarnya. Selain itu, diam-diam dia juga menyimpan
buku-buku cerita karangan Nancy Drew. Orangtua Claudia
melarangnya membaca buku-buku seperti itu, karena mereka
menganggapnya kurang bermutu. Berita tentang saingan kami
membuat Claudia begitu senewen, sehingga dia juga menawarkan
permen padaku. Rupanya dia lupa bahwa aku mengidap penyakit
diabetes, dan dilarang keras untuk makan gula secara berlebihan.
Tadinya aku selalu berusaha untuk merahasiakan penyakitku ini. Tapi
kini Claudia, Mary Anne, dan Kristy sudah mengetahuinya, sehingga
mereka tidak pernah lagi menawarkan permen padaku."Siapa sih Liz Lewis dan Michelle Patterson?" tanya Mary
Anne sambil melirik ke selebaran itu.
Aku mengangkat bahu. Teman-teman satu kelas saja belum
semua kukenal, apalagi anak-anak dari kelas lain.
"Kurasa mereka bukan murid middle school," Kristy berkata.
"Kan pada selebaran mereka tertulis umur mereka tiga belas tahun ke
atas. Liz dan Michelle mungkin murid high school. Barangkali Sam
atau Charlie kenal mereka." (Charlie dan Sam adalah kakak-kakak
Kristy. Mereka berumur enam belas dan empat belas tahun. Kristy
juga punya seorang adik laki-laki. Namanya David Michael, dan
umurnya enam tahun.)
"Bukan, mereka murid Stoneybrook Middle School," Claudia
angkat bicara, dengan nada seperti orang yang mau pingsan. "Mereka
murid kelas delapan."
"Mereka pasti sering main dengan anak-anak high school,"
ujarku. "Kalau tidak, dari mana mereka mendapatkan baby-sitter yang
berusia tiga belas tahun ke atas?!"
Claudia mendengus. "Yang aku tahu, sebagian anak-anak kelas
delapan memang tua-tua. Liz dan Michelle mungkin sudah empat
belas atau lima belas tahun. Kalian akan pingsan kalau mengetahui
siapa mereka sebenarnya. Kalau mereka mengaku sebagai baby-sitter,
maka aku adalah Ratu Prancis."
"Memangnya kenapa mereka?" tanyaku.
"Yang pertama, aku tidak akan bisa mempercayai mereka," ujar
Claudia. "Mereka banyak omong, mereka berani melawan guru,
mereka membenci sekolah, dan mereka sering petentang-petenteng di
pertokoan. Kalian tahu, kan, model anak macam itu?""Tapi itu semua tidak berarti bahwa mereka bukan baby-sitter
yang baik," komentar Mary Anne.
"Aku akan sangat terkejut kalau mereka bisa melaksanakan
tugas dengan baik," jawab Claudia.
"Aku kepingin tahu bagaimana cara kerja mereka," kata Kristy
sambil merenung. Dia masih memegang selebaran itu. "Di sini hanya
tertulis dua nama, tapi di bawahnya dikatakan bahwa para klien bisa
mendapatkan sebuah jaringan yang terdiri dari para baby-sitter yang
bertanggung jawab. Harus kuakui bahwa Liz dan Michelle tahu
bagaimana caranya menarik pelanggan. Selebaran mereka jauh lebih
bagus daripada selebaran kita dulu."
"Hmm," sahutku.
"Hei!" seru Mary Anne. "Aku ada ide. Kenapa tidak kita
telepon saja mereka, dan berpura-pura membutuhkan seorang babysitter. Mungkin dengan cara itu kita bisa mengetahui bagaimana cara
kerja mereka." Mary Anne memang pemalu, tapi idenya kadangkadang agak nekat.
"Oh, ide cemerlang!" kata Kristy menyetujui. "Aku akan
menyebutkan nama samaran, dan mengatakan bahwa aku
membutuhkan baby-sitter untuk adik laki-lakiku. Setelah itu aku bisa
menelepon mereka kembali untuk membatalkannya."
"Oke," Claudia dan aku pun setuju.
"Siap! Kompetisi dimulai!" Kristy berkata pada gagang telepon.
"Inilah Baby-sitters Club!"Bab 2
KRISTY menelepon Liz Lewis, karena pada selebaran itu nama
dialah yang dicantumkan paling atas. Kristy menutup gagang telepon
dengan sebelah tangan. "Lagi berdering," dia berbisik pada kami.
"Satu... dua... ti... Halo? Apakah saya bisa bicara dengan Liz Lewis?
... Oh, hai, Liz. Namaku... Candy. Candy Kane.... Tidak, aku tidak
bercanda... Aku sudah membaca selebaran Baby-sitters Agency.
Besok sore aku seharusnya bertugas menjaga adikku, tapi..." Kristy
berhenti sejenak. Sementara itu kami bertiga terus mengamati gerakgeriknya, "...aku kebetulan ada janji dengan seseorang."
Mary Anne mulai ketawa cekikikan. Dia menyambar bantal dari
tempat tidur Claudia, lalu membenamkan wajah di dalamnya agar
suaranya tidak terdengar. Kristy cepat-cepat membalikkan badan,
sehingga ia tidak perlu melihat kami.
"Dari jam tiga sampai jam lima," Kristy berkata. (Liz pasti
sedang menanyakan kapan dia harus bertugas.) "Dia berumur tujuh
tahun. Namanya, ehm, Harry... Di Jalan Roper nomor dua puluh
Baby Sitter Club 3 Rahasia Stacey di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
delapan. Bisakah kamu menjaga dia? Di selebaran tertulis... Oh,
begitu... Hmmm-ehm... Aku sekarang sedang berada di KL5-2321.
Oh, tapi sepuluh menit lagi aku harus pergi. Ada... ada janji lagi...
Dengan siapa?" Pada saat itu, Claudia mulai tertawa, dan tawaku jugasudah hampir meledak. Kristy menatap kami dengan pandangan tak
berdaya. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Tiba-tiba dia
mendapatkan sebuah nama. "Dengan Winston Churchill," ujarnya
dengan harapan Liz tidak tahu siapa dia. Ternyata Liz memang tidak
tahu. "Yeah, dia murid high school," Kristy melanjutkan ceritanya
tanpa pikir panjang. "Kelas dua. Pemain sepak bola... Aku? Aku kelas
tujuh... Yeah, aku mengerti."
Aku harus meninggalkan kamar. Aku tidak bisa menahan diri
lebih lama lagi, dan aku tidak ingin merusak rencana Kristy. Aku
menutup pintu kamar Claudia, berlari ke kamar mandi, tertawa
sepuas-puasnya, lalu kembali lagi.
Kristy sedang berkata, "Oke, deh. Lima menit, ya... Yeah,
sampai nanti." Dia meletakkan gagang telepon, kemudian mulai
tertawa. "Kalian ini!" serunya. "Jangan begitu, dong, kalau aku sedang
menelepon."
"Tapi kenapa Winston Churchill?" seruku. "Apa tidak ada nama
lain?"
Waktu kami sudah bisa tenang kembali, Kristy melanjutkan,
"Oke, kira-kira beginilah cara kerja Baby-sitters Agency. Para klien
menelepon Liz atau Michelle kalau mereka membutuhkan baby-sitter.
Setelah itu, Liz dan Michelle menelepon ke sana-kemari untuk
mendapatkan orang yang mau menerima tugas itu. Dengan kata lain,
mereka mengambil alih kerepotan para klien menyangkut urusan
telepon-menelepon ini. Mungkin kadang-kadang mereka sendiri ikut
bertugas sebagai baby-sitter. Tapi kalau mereka memberikan tugas
tersebut pada orang lain, maka orang tersebut harus menyetorkan
sebagian dari penghasilannya pada mereka.""Pantas saja persediaan baby-sitter mereka banyak yang lebih
tua dari kita," ujar Mary Anne. "Yang perlu dikerjakan Liz dan
Michelle hanyalah menelepon anak-anak yang lebih tua."
"Yeah," sahut Kristy dengan muram. "Kalau dipikir-pikir, kita
sendiri juga bisa melakukan hal seperti itu." Dia berhenti sebentar.
"Kelihatannya Liz lebih berminat mendengar ceritaku tentang teman
kencanku daripada mencarikan baby-sitter untuk adikku."
"Benar, kan," kata Claudia.
Telepon berdering. "Biar aku yang angkat," ujar Kristy.
"Mungkin dari Liz."
Mary Anne sudah bersiap-siap dengan bantalnya.
"Halo, Ba... halo?" (Kristy hampir saja berkata, "Halo, Babysitters Club," seperti biasanya kalau kami menjawab telepon selama
pertemuan rutin.) "Ya, saya sendiri... Oh, bagus... Berapa orang? ...
Wow! Berapa umur mereka? ... Oke... Patricia Clayton.... Oke... Oke,
terima kasih banyak. Aku akan menemui Patricia besok... See you!"
Dia meletakkan gagang telepon.
"See you?" ulang Mary Anne.
"Begitulah cara Liz bilang 'sampai ketemu'."
"Jadi?" tanyaku.
"Dia sudah mendapatkan tiga orang baby-sitter," ujar Kristy.
"Liz bilang, aku tinggal memilih saja. Aku tidak mengenal seorang
pun dari mereka, tapi yang jelas, dua orang berumur tiga belas tahun,
dan yang satu lima belas tahun. Malahan ada seorang cowoknya. Aku
memilih yang berumur lima belas tahun. Orang-orang pasti gandrung
pada agen ini. Sungguh! Kita tidak pernah menawarkan pilihan umurseperti mereka. Tidak ada anak cowok di klub kita. Dan kita hanya
bisa bertugas sampai jam sepuluh, sekalipun pada akhir pekan."
Kami berpandangan dengan sedih.
Akhirnya Mary Anne berdiri. "Sudah jam enam lewat, nih. Aku
harus pulang." Pak Spier tidak suka kalau Mary Anne pulang
terlambat. Aku agak heran karena kali ini Mary Anne berani pulang
agak telat. Mungkin karena kekesalannya pada Baby-sitters Agency.
"Aku juga mau pulang, deh," kataku.
"Yeah," tambah Kristy.
Kami bertiga mengucapkan selamat tinggal pada Claudia, lalu
pulang ke rumah masing-masing. "Sampai besok, ya!" seru Mary
Anne, waktu kami sampai di teras depan rumah keluarga Kishi. Dia
agak terburu-buru. Aku bisa melihat ayahnya sudah menunggu di
depan pintu rumah mereka.
"Hmmm," kataku pada Kristy.
"Hmmm."
"Kristy, kita pasti menang. Kita kan baby-sitter yang baik."
"Aku tahu," sahut Kristy. Hanya itu yang dikatakannya.
Sebenarnya aku berharap agar dia bisa berpikir secara lebih positif.
Maksudku, Baby-sitters Club kan idenya. Mestinya dia rela
melakukan apa saja untuk kelangsungan klub ini. Aku saja mau, kok!
Tapi mungkin juga aku bersikap seperti itu karena buatku Babysitters Club bukanlah sekadar pekerjaan ataupun bisnis. Para anggota
klub ini adalah sahabat-sahabatku. Bergabung dengan Baby-sitters
Club adalah satu-satunya kejadian menyenangkan yang kualami
dalam setahun terakhir ini.
Aku berlari pulang.************
Entah bagaimana caranya, aku berhasil menghabiskan makan
malamku. Tapi itu tidaklah mudah. Masalahnya, sejak penyakit
diabetes bersarang di tubuhku, aku harus lebih berhati-hati memilih
makanan. Karena itu makan bukan lagi hal yang menyenangkan
untukku. Sering kali, kalau aku lapar, aku tidak peduli lagi apa yang
kumakan. Aku hanya makan untuk mengisi perut. Dan karena aku
sedang kesal pada Baby-sitters Agency, maka malam itu aku bahkan
tidak merasa lapar sama sekali. Tapi Mama selalu mengawasi dengan
ketat jumlah makanan yang kumakan, terutama karena baru-baru ini
berat badanku turun. Jadi, dengan terpaksa aku habiskan makanan
yang sudah disediakannya.
Secepat mungkin, aku kabur ke kamarku. Aku menutup pintu,
lalu duduk di kursi malas untuk berpikir. Gejala penyakit diabetes ini
muncul setahun yang lalu. Pada mulanya, kami tidak sadar bahwa itu
adalah suatu penyakit. Aku mulai sering merasa lapar?maksudku,
benar-benar lapar, tidak ada makanan yang bisa membuatku
kenyang?dan juga haus. "Yah, kamu kan sedang dalam masa
pertumbuhan," kata Mama. "Mama rasa ini adalah permulaan dari
dorongan pertumbuhan. Coba ukur tinggi badanmu." Memang benar,
aku bertambah tinggi empat sentimeter. Tapi setelah itu, walaupun
aku makan dan makan terus, berat badanku mulai menurun. Selain itu,
aku merasa agak kurang enak badan. Aku mulai cepat capek.
Malahan, kadang-kadang seluruh tubuhku rasanya lemas, dan tak
bertenaga sama sekali. Dua kali aku mengompol di tempat tidur.
(Yang kedua kalinya terjadi ketika aku dan bekas sahabatku, Laine
Cummings, tidur bersama di satu tempat tidur. Pada waktu itu akumenginap di rumahnya.) Setelah kejadian itu, Mama langsung berubah
pikiran. Dia tidak lagi menganggap itu sebagai dorongan
pertumbuhan, melainkan sebagai gangguan psikologis. Mama
membawaku ke psikiater termahal di New York. Pada pertemuan
pertama, psikiater itu menanyakan tentang ngompolku. Dia juga
menyinggung masalah berat badanku yang turun terus, dan sempat
melihatku menghabiskan tiga botol soda. Dialah yang menyadari apa
yang sebenarnya terjadi. Dia menyarankan agar Mama membuat janji
untuk bertemu dengan dokter anak, yang selama ini menjadi dokter
pribadiku. Mama melakukan itu. Dua minggu kemudian, aku mulai
belajar menyuntik. Aku berlatih dengan menggunakan buah jeruk,
karena jeruk tidak bisa melawan kalau disuntik. Sulit bagiku untuk
membayangkan bahwa tidak lama lagi buah-buah jeruk itu akan
digantikan oleh kulitku sendiri.
Diabetes sebenarnya adalah masalah dengan kelenjar di dalam
tubuh yang disebut pankreas. Kelenjar pankreas ini bertugas membuat
hormon bernama insulin. Insulin menggunakan zat gula dan zat
tepung yang masuk ke tubuh melalui makanan untuk menghasilkan
panas dan tenaga, dan mengolah makanan yang lain. Kalau pankreas
tidak menghasilkan insulin dalam jumlah yang cukup untuk
mengerjakan tugas itu, maka zat gula dan zat tepung akan menumpuk
di dalam darah. Dan ini membuat orang sakit. Dan bukan sekadar
sakit biasa. Kalau penyakit diabetes tidak ditangani sebagaimana
mestinya, maka kita bisa mati.
Yah, rasanya aku sudah mau mati waktu aku pertama kali
mendengarnya. Tapi kemudian dokterku menjelaskan bahwa aku bisa
menyuntikkan insulin setiap hari, agar jumlah insulin dalam tubuhkutetap cukup. Kalau aku mau melakukan itu, dan mulai memperhatikan
apa yang kumakan, maka aku bisa hidup seperti orang normal. Itulah
sebabnya aku mulai belajar menyuntik?supaya aku setiap hari bisa
menyuntikkan insulin ke dalam tubuhku.
Memang sangat mengerikan. Seperti juga anak-anak lain, baru
membayangkan jarum suntik saja aku sudah takut setengah mati. Aku
bahkan belum pernah belajar menjahit, karena takut jariku tertusuk
jarum jahit. Bisa kalian bayangkan kenyataan pahit yang harus
kuhadapi? Aku memerlukan suntikan setiap hari?sepanjang hidupku.
Dan bukan itu saja: Aku yang harus memberikan suntikan itu.
Rasanya tak sanggup aku memikul beban itu, tapi apa mau dikata?
Mama atau Papa bisa saja menyuntikku, tapi kalau begitu aku jadi
tergantung pada mereka. Bagaimana kalau aku sedang menginap di
rumah teman atau mengikuti studi lapangan?apakah aku harus
mengajak salah seorang dari mereka? Wah, sori saja! Mau tidak mau
aku harus berlatih memberi suntikan sendiri. Dulu aku tidak
menyukainya; dan sekarang pun aku tetap tidak suka. Tapi itu lebih
baik daripada terikat terus pada orangtuaku?atau mati. Satu hal yang
tidak akan pernah kulakukan adalah membiarkan sahabat-sahabatku di
Stoneybrook melihatku menyuntikkan insulin. Rasanya keterlaluan
kalau aku melakukan itu di hadapan mereka. Terus terang saja, setiap
kali aku menyuntikkan insulin, aku merasa seperti orang yang sakit
berat?paling tidak untuk beberapa saat. Dan aku tidak ingin sahabatsahabatku yang baru juga mempunyai pikiran seperti itu.
Sebelum aku terserang diabetes, hidupku benar-benar senang.
Aku anak tunggal. Dan sepanjang ingatanku, sejak kecil aku tinggal di
apartemen besar, di dalam bangunan yang indah dengan tingkatkeamanan tinggi, di Upper West Side, New York City. Aku
mempunyai kamar sendiri dengan jendela menghadap ke Central Park.
Aku bersekolah di sekolah swasta. Aku tidak mempunyai binatang
piaraan, dan?tentu saja?tidak mempunyai kakak atau adik. Tapi aku
tidak kesepian. Aku mempunyai banyak teman di sekolah dan di
apartemen-apartemen sebelah-menyebelah. Orangtuaku selalu
mengizinkanku mengundang teman-temanku itu kapan pun aku mau.
Papa dan Mama kelihatan seperti orangtua yang penuh pengertian.
Mereka memang agak ambisius, dan kadang-kadang terlalu
melibatkan diri dengan urusan pribadiku, tapi itulah mereka. Mereka
memperbolehkanku untuk berpakaian seperti apa mauku, pergi
bermain dengan teman-temanku seusai sekolah, dan menyetel
stereoku dengan volume tertinggi?asal para tetangga tidak protes.
Tepat sebelum aku jatuh sakit, Mama mengetahui bahwa dia
dan Papa sudah tidak bisa mempunyai anak lagi. Mereka sudah lama
berusaha, tapi mereka tidak bisa memberikan seorang adik laki-laki
ataupun perempuan padaku. Keadaan itu masih ditambah lagi dengan
berita tentang penyakit diabetesku. Bagaimana kalau aku mati? Aku
akan meninggal, dan mereka tidak bisa punya anak lagi. Tiba-tiba saja
mereka dihadapkan pada kemungkinan tidak punya anak sama
sekali?maksudnya, anak kandung.
Memang menyedihkan. Tapi sebagai akibat dari semua itu,
hanya dalam satu malam saja Mama dan Papa berubah menjadi
orangtua yang terlalu melindungi anak mereka. Dan bukan hanya
makanan dan insulin saja yang merisaukan mereka. Tiba-tiba mereka
mulai kuatir akan diriku kalau aku tidak ada di rumah. Mama pasti
menelepon ke apartemen teman-temanku untuk meyakinkan diribahwa aku baik-baik saja. Bahkan Mama mulai menelepon ke sekolah
setiap siang, sampai-sampai Ibu Kepala Sekolah mengatakan padanya
bahwa sikap seperti itu tidak akan membuatku lebih sehat. Dia juga
mengingatkan Mama bahwa di sekolah ada ruang P3K dengan juru
rawat yang bisa diandalkan.
Maka mulailah aku berurusan dengan dokter. Orangtuaku
percaya bahwa mereka pasti dapat mencarikan obat atau cara
pengobatan yang lebih baik untukku. Bukannya mereka tidak
mengakui kalau penyakitku diabetes; mereka hanya tidak bisa tinggal
diam melihatku sakit. "Mengobati Stacey" menjadi tujuan baru dalam
hidup mereka.
Masalahnya, sikap mereka tidak membantuku sama sekali.
Dengan cepat aku mulai kehilangan teman-teman. Sebentar-sebentar
aku dijemput dari sekolah, hanya untuk menemui dokter-dokter baru.
Hal-hal seperti ini justru memperburuk suasana. Laine Cummings
mulai membenciku pada malam aku mengompol di tempat tidurnya.
Aku maklum kalau dia marah, tapi kenapa marahnya begitu lama?
Kami kan sudah bersahabat sejak berumur lima tahun. Laine bilang,
dia marah gara-gara malam itu aku terlalu banyak ngobrol dengan
Allison Ritz, anak baru di sekolah. (Waktu itu kami memang
mengadakan pesta semalam suntuk dengan beberapa kawan.) Tapi aku
tidak yakin. Soalnya setelah kejadian itu tingkah lakunya jadi aneh.
Sikapnya bertambah aneh waktu aku untuk pertama kali harus tinggal
di rumah sakit, dan makin menjadi-jadi waktu aku mulai sering pergi
ke dokter. Mungkin aku seharusnya menceritakan penyakitku
padanya. Tapi karena berbagai alasan, orangtuaku merahasiakan hal
ini terhadap teman-teman mereka. Jadi aku juga berbuat begitu. Akubahkan tidak pernah menceritakannya pada seorang pun juga, sampai
kami meninggalkan New York dan pindah ke Connecticut. Pada
Claudia, Kristy, dan Mary Anne akhirnya aku membuka rahasia. Tapi
Laine sampai sekarang masih belum tahu. Dan walaupun orangtua
Laine adalah teman dekat orangtuaku, mereka juga tidak diberitahu.
Aku tidak tahu apa sebabnya orangtuaku merahasiakan penyakitku,
tapi rasanya itu sudah tidak penting sekarang.
Sejak aku mulai sakit, kunjungan ke rumah sakit tidak dapat
dielakkan lagi. Aku perlu menjalani berbagai macam tes. Aku harus
berdiet dan menyuntikkan insulin secara teratur. Pernah sekali aku
pingsan di sekolah dan diangkut ambulans ke Rumah Sakit St. Luke.
Seandainya temanku ada yang sakit separah itu, aku pasti akan
meneleponnya ke rumah sakit, mengirimkan kartu ucapan, dan
menengoknya setelah dia pulang ke rumahnya. Tapi Laine tidak. Dia
malah kelihatan agak takut (walaupun dia mencoba menutupi
perasaannya itu dengan bergaya sok cuek). Teman-temanku yang lain
juga berlaku seperti Laine, karena dialah pemimpin grup kami.
Pemimpin mereka. Pemimpinku. Dan kami adalah pengikutpengikutnya.
Hari-hari sekolah menjadi buruk dan semakin buruk. Aku
pingsan dua kali lagi di sekolah. Setiap kali aku pingsan, semua orang
langsung kalang-kabut. Setiap minggu, sedikitnya aku kehilangan satu
hari sekolah, karena Mama dan Papa membawaku ke dokter atau
klinik, dan sebagainya. Laine mulai mengataiku bayi, pembohong,
hypochondriac (orang yang terlalu cemas akan kesehatannya), dan
masih segudang julukan lainnya. Sepertinya, dia beranggapan bahwaorangtuaku dan aku sok berlagak genting, padahal sebenarnya tidak
ada apa-apa.
Tapi kalau dia benar-benar beranggapan bahwa tidak ada apaapa, kenapa dia tidak mau datang ke apartemenku lagi? Kenapa dia
tidak mau lagi makan sandwich atau nonton film bersamaku? Dan
kenapa dia tidak mau lagi duduk di dekatku di kelas? Aku jadi
bingung, sedih, dan sakit hati, dan aku tidak punya teman lagi.
Semuanya gara-gara Laine.
Aku membenci Laine.
Pada bulan Juni, Mama dan Papa mengumumkan bahwa kami
akan pindah ke Connecticut. Aku tidak punya teman di sana, tapi aku
juga tidak punya teman lagi di New York. Jadi buatku tidak ada
masalah. Mereka bilang kepindahan ini disebabkan oleh mutasi Papa
ke kantor cabang perusahaan tempatnya bekerja. Tapi aku tahu bahwa
salah satu penyebab kepindahan kami adalah aku? untuk menjauhkan
Baby Sitter Club 3 Rahasia Stacey di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aku dari New York, dari udara yang sumpek, dan dari lingkungan
yang kotor dan bising. Jauh dari semua kenangan buruk. Sebenarnya
mereka bertindak melampaui batas dan aku tahu itu.
Tapi aku tidak peduli.Bab 3
LAMUNANKU tentang masa lalu tiba-tiba terputus ketika
pikiranku melayang ke suatu objek yang lebih menarik cowok-cowok.
Bagiku semua cowok menarik, tapi ada dua yang secara khusus
kusukai. Yang pertama kakak Kristy?Sam. Dia berumur empat belas
tahun, dan baru saja masuk ke Stoneybrook High School. Ketika kami
pertama kali bertemu, aku langsung tahu bahwa dia juga menyukaiku.
Waktu itu aku sedang bertugas menjaga adik Kristy, dan Sam baru
pulang. Rahangnya hampir copot karena terbengong-bengong waktu
melihatku di dapur. Menurutku, dia juga, keren, sehingga rahangku
juga hampir copot waktu melihatnya. Kami bersenang-senang hari itu,
tapi sayangnya persahabatan kami tidak berlanjut. Aku tidak tahu apa
sebabnya. Penampilanku masih tetap seperti waktu pertemuan
pertama, dan aku tidak pernah melakukan hal-hal yang mungkin
menyakitkan hatinya. Meski aku kadang-kadang main ke rumah
Kristy sambil berharap untuk ketemu Sam, aku tidak pernah
mengejar-ngejarnya. Mungkin aku memang terlalu muda untuk dia.
Tapi sekarang aku sudah tidak terlalu mempedulikan dia lagi.
Aku sudah punya teman cowok yang sekelas denganku. Namanya
Pete Black. Kalau jam makan siang di sekolah, dia dan aku sering
duduk satu meja dengan Claudia, dan dengan anak-anak lain yangtelah dikenalkan oleh Claudia padaku?Dori, Emily, Rick, dan Howie.
Mula-mula Pete selalu bersikap biasa-biasa saja terhadapku. Tidak ada
apa-apa di antara kami. Kemudian, beberapa minggu yang lalu, dia
mengajakku pergi ke pesta Halloween Hop bersamanya. Tentu saja
aku mau. Kami pergi dan bersenang-senang di sana. Sejak peristiwa
itu, kami selalu duduk bersebelahan di kantin. Dan sudah beberapa
kali Pete meneleponku di sore hari, hanya untuk mengobrol.
"Tok, tok," seseorang berkata dari balik pintu kamarku.
Pasti Mama.
Aku lagi tidak kepingin mengobrol dengannya.
"Boleh masuk?" tanyanya.
"Oke."
"Sayang, apakah kamu sehat-sehat saja?" Mama langsung
bertanya, sebelum sempat duduk di tempat tidurku.
"Aku tidak apa-apa, kok." Sering sekali aku mendengar
pertanyaan seperti itu, kadang-kadang sampai sepuluh kali dalam
sehari.
"Tapi kamu tidak makan banyak malam ini."
"Aku tidak lapar."
Mama mulai kelihatan panik. "Kamu tidak makan camilan di
rumah Claudia, kan?"
"Ma, tentu saja tidak" Sebenarnya, aku bukannya sama sekali
tidak boleh menyentuh makanan yang manis-manis. Aku bahkan
diharuskan makan makanan yang manis-manis dalam jumlah tertentu
setiap hari, untuk mempertahankan keseimbangan antara kadar gula
dan insulin. Tapi dietku memang sangat ketat. Aku tidak bisa makan
camilan kapan saja aku mau. Misalnya, aku tidak bisa memutuskanuntuk makan sepotong Twinkie atau semacamnya di rumah Claudia,
lalu menyuntikkan insulin untuk mengimbangi zat gula yang
kumakan. Tak ada gunanya. Itu justru salah satu cara untuk membuat
penyakitku kambuh lagi. Nah, bisa dimengerti, kan, kalau Mama
panik karena menyangka aku makan camilan di rumah Claudia? Tapi
demi Tuhan, apakah Mama tidak percaya padaku? Aku kan juga tidak
mau sakit.
"Sayang, Mama hanya ingin tahu saja...Kamu benar-benar
merasa sehat?"
"Ya."
"Tapi berat badanmu turun satu setengah kilogram."
"Habis bagaimana lagi? Mungkin karena aku lebih banyak
kegiatan sekarang, dan sudah punya teman di sini. Barangkali sudah
saatnya untuk meningkatkan dietku."
"Apakah kamu mulai lapar terus-terusan lagi?"
"Tidak juga. Pokoknya, tidak seperti waktu kita belum tahu
bahwa aku terserang diabetes. Tapi kadang-kadang aku merasa, waktu
makan yang satu ke waktu makan yang lain terlalu lama."
"Tapi tadi kamu tidak begitu lapar?"
"Tidak...." Aku tidak mau berbicara tentang masalah yang
dihadapi Baby-sitters Club.
"Baiklah, hari Senin Mama akan menelepon dokter."
"Dokter yang mana?" Dokter utamaku adalah seorang wanita
bernama Dokter Werner. Dia dokter spesialis di New York. Aku
dikirim ke sana oleh dokter spesialis anak, waktu ketahuan bahwa aku
terserang diabetes. Tapi tentu saja aku juga harus punya dokter di
Stoneybrook. Karena itu Dokter Werner menganjurkan kami untukmenemui Dokter Frank. Kedua dokter itu sangat ramah, tapi aku lebih
menyukai Dokter Werner.
"Mama rasa, Mama akan menelepon Dokter Frank," ujarnya.
"Mama pikir kita tidak perlu mengganggu Dokter Werner."
Aku mengangguk.
Mama membuka mulut untuk mengatakan sesuatu. Tapi
kemudian dia ragu-ragu, lalu menutupnya lagi. Setelah sepi beberapa
lama, akhirnya dia berkata, "Mama hanya mengatakan ini supaya
kamu bisa bersiap-siap, Sayang..."
Aku agak waswas. Apa pun yang akan dikatakan Mama, pasti
bukan berita bagus.
"...Mama ingin kamu tahu, bahwa kamu akan dijadwalkan
untuk menjalani beberapa tes dengan dokter baru di New York pada
awal bulan Desember."
Aku mengerang.
"Mama mendengar tentang dokter ini dari Paman Eric. Dia
pernah melihatnya di salah satu acara TV."
"Jadi kita akan pergi ke dokter ini, hanya karena Paman Eric
melihatnya di TV?" seruku.
"Sayang, kata orang, dia bisa membuat keajaiban dalam
menyembuhkan penyakit diabetes. Setelah Paman Eric melihatnya di
TV, Mama membaca dua artikel tentang dokter ini di majalah
kedokteran. Majalah Profiles juga telah mewawancarainya secara
panjang-lebar. Mama sangat terkesan. Sekarang ini dia sedang
menjadi pusat perhatian."
"Apakah Dokter Werner pernah bilang bahwa kita perlu
menemui dokter ini?""Tidak."
"Dokter Frank?"
"Tidak."
"Apakah Mama pernah membicarakannya dengan mereka?"
"Tidak."
"Tapi, Ma, kenapa? Kenapa aku harus menemui dokter baru
lagi? Tidak ada cara lain untuk mengobati penyakitku, kecuali dengan
diet dan insulin. Dan sekarang kita sudah melakukan itu."
"Tapi kan selalu ada perkembangan-perkembangan baru,
Stacey," ujar Mama pelan. "Papa dan Mama menginginkan yang
terbaik untukmu."
"Sekarang kita sudah mendapatkan yang terbaik."
"Tesnya hanya tiga hari, kok."
"Tiga hari! Tiga hari? Apakah Mama sadar bahwa aku akan
ketinggalan pelajaran sekolah lagi? Dan semuanya pasti sia-sia saja.
Selalu begitu kejadiannya. Selama duduk di kelas enam, aku berusaha
keras untuk mengikuti pelajaran sekolah. Tapi tetap saja aku
ketinggalan terus. Sekarang aku sudah mulai lagi di tempat yang baru,
jauh dari New York City. Tapi kenapa Mama masih saja memaksaku
untuk kembali ke sana, dan menghancurkan hidupku? Ini tidak adil,
Ma."
"Hei, hei, hei. Ada apa, nih?" Papa menyembulkan kepalanya di
pintu.
"Dokter-dokter itu, Pa. Ada dokter baru lagi. Aku tidak
keberatan untuk pergi ke New York menemui Dokter Werner. Tapi
jangan memaksaku untuk terus mencari keajaiban di sana. Keajaibantidak akan pernah terjadi. Kalau Mama dan Paya mau mencarinya,
boleh-boleh saja, tapi jangan membawa-bawa aku."
"Non," sahutnya, "Papa tidak suka mendengar nada suaramu
itu."
Aku tidak menjawab.
"Kami melakukan ini semua karena kami menyayangi kamu,"
ujar Mama.
"Aku tahu."
"Kami menginginkan yang terbaik untukmu," tambah Mama.
"Aku tahu."
"Baiklah." Suara Papa kedengaran capek.
"Kalau begitu lain kali saja Mama cerita tentang dokter baru
ini," kata Mama. Kedua orangtuaku meninggalkan kamarku.
Baru saja mereka menutup pintu, aku mendengar telepon
berdering. Beberapa detik kemudian, Papa memanggil, "Stacey!
Untuk kamu."
"Sebentar!" aku berteriak.
Aku mengangkat telepon paralel di kamar orangtuaku, karena
mereka sedang di bawah. "Halo?" Setengah dari diriku berharap
bahwa yang menelepon adalah Pete. Setengahnya lagi berharap bahwa
yang menelepon adalah Sam Thomas.
Ternyata Kristy. "Hai," katanya dengan muram. "Dari tadi aku
terus berpikir."
"Oh, bagus! Moga-moga tentang klub kita."
"Apa lagi kalau bukan itu? Rasanya kita belum menghasilkan
apa-apa pada pertemuan sore tadi. Aku pikir kita perlu mengadakan
pertemuan khusus untuk membahas rencana selanjutnya.""Ide bagus. Aku akan melakukan apa saja untuk Baby-sitters
Club."
"Hei, makasih!" ujar Kristy. Suaranya sudah tidak muram lagi.
"Tentu, dong," sahutku. "Aku tidak ingin ada sesuatu yang
terjadi dengan klub kita." Oh, kalau saja dia tahu betapa takutnya aku
kalau terjadi sesuatu dengan klub kami.
"Besok siang, jam sebelas, di markas klub," kata Kristy.
(Markas klub kami, tentu saja, di kamar tidur Claudia.)
"Sampai besok, ya," ujarku. Kami memutuskan hubungan.
Aku terus memikirkan masalah yang dihadapi Baby-sitters
Club, sampai akhirnya aku tertidur.
************
Keesokan harinya, Kristy benar-benar bersemangat. Belum
pernah kulihat dia seperti itu. Pada setiap pertemuan, biasanya Kristy
duduk atau tidur-tiduran dengan santai di lantai. Tapi kali ini dia
duduk tegak di balik meja tulis Claudia. Selain itu, dia juga memakai
topi pet, memegang papan penjepit kertas, dan menyelipkan sebatang
pensil di belakang kupingnya.
Mary Anne, yang juga duduk di kursi, bertukar pandang dengan
Claudia dan aku yang duduk di tempat tidur. Aku tahu bahwa Mary
Anne dan Claudia ingin ketawa melihat sikap Kristy yang kelewat
bersemangat itu. Tapi karena beberapa alasan, aku tidak
"Baiklah, rapat akan segera dimulai," ujar Kristy dengan tegas.
Mary Anne dan Claudia menenangkan diri masing-masing. Aku
memusatkan perhatian pada Kristy.
"Oke," dia memulai. Sebelah kakinya menendang-nendang kaki
kursi yang didudukinya. "Aku sudah membuat daftar berisi cara-caramemperbaiki diri kita sebagai baby-sitter, sekaligus membuat
penampilan kita lebih baik di mata para pelanggan.
"Yang pertama, kita akan mengerjakan pekerjaan rumah tangga
di tempat kita bertugas, tanpa dibayar. Jadi selain menjaga anak, kita
juga membantu sang ibu. Dengan demikian klien-klien kita akan
senang, karena dengan bayaran yang sama mereka juga akan
mendapatkan rumah yang bersih."
Claudia langsung mengeluh. "Aku benci pekerjaan rumah
tangga."
"Apakah kamu mau kehilangan pekerjaan hanya gara-gara Liz
dan Michelle?" Kristy bertanya padanya dengan tajam.
"Tidak, sih," gerutu Claudia.
"Yang kedua," Kristy melanjutkan, "kita akan menawarkan
potongan harga khusus pada para pelanggan terbaik."
Aku menganggukkan kepala dengan penuh semangat.
"Yang ketiga, masing-masing dari kita membuat Kid-Kit yang
bisa dibawa kalau sedang bertugas."
"Apa itu Kid-Kit'?" tanya Claudia.
"Sabar, dong. Aku baru mau menjelaskannya," ujar Kristy.
"Kid-Kit adalah sesuatu yang tidak hanya bisa membuat kita tampak
sebagai baby-sitter yang bertanggung jawab di mata para orangtua,
tapi juga menyenangkan untuk anak-anak. Kalian kan tahu, bahwa
biasanya kita lebih senang main di rumah teman, karena kita anggap
dia punya barang-barang yang lebih bagus daripada kita. Makanan
yang lebih enak, hal-hal yang lebih menarik untuk dikerjakan, dan?
waktu kita masih kecil? mainan yang lebih bagus.""Oh, ya!" seruku. "Di New York aku punya teman bernama
Laine. Aku senang bermain ke apartemennya, karena ibunya selalu
membeli cokelat wafer yang disimpannya di dalam kulkas. Kalau kita
menggigitnya, rasanya seperti milkshake cokelat yang..."
Aku langsung diam karena menyadari bahwa Claudia, Kristy,
dan Mary Anne sedang menatapku.
"Oh, ehm, itu sebelum aku sakit," tambahku. "Pokoknya, aku
mengerti maksudmu, Kristy."
"Yeah," ujar Mary Anne. "Aku suka main ke rumah Kristy
karena dia punya keluarga yang besar, dan karena ada Louie." (Louie
adalah anjing collie milik keluarga Thomas.)
"Waktu aku masih kecil, aku suka main ke rumahmu, Claud.
Soalnya kamu punya berbagai macam permainan menarik, seperti
monopoli, halma, ular tangga, dan sebagainya," kata Kristy sambil
tersenyum. "Yang jelas, kita semua menyukai adanya perubahan?
hal-hal yang baru atau berbeda. Jadi aku bertanya pada diriku sendiri:
Bagaimanakah cara terbaik untuk membuat seorang anak gembira?
Bagaimana lagi kalau bukan dengan membawakannya mainan?
Mainan itu tidak perlu betul-betul baru. Yang penting, belum pernah
dilihat oleh anak-anak yang kita jaga. Dan jangan diberikan pada
mereka. Mainan itu hanya untuk bermain pada waktu kita bertugas di
sana. Anak-anak itu pasti akan menginginkan kita untuk menjaga
mereka lagi, karena kita seperti toko mainan berjalan. Malahan
mungkin mereka tidak kepingin ditinggal kita, dan hal ini akan
menambah nilai kita di mata orangtua mereka.
"Begini, yang harus dilakukan oleh kita masing-masing adalah
membuat kotak berlabel Kid-Kit. Kalau kita akan bertugas di suatutempat, kita isi kotak itu dengan mainan-mainan dan buku-buku milik
kita. Selain itu, ditambah lagi dengan kertas dan krayon, yang harus
diganti kalau sudah habis. Kita bisa membelinya dengan uang iuran
klub. Nah, pada waktu bertugas, kita bawa kotak Kid-Kit ini. Anakanak pasti akan suka sekali."
"Ide bagus!" seruku.
"Masih ada dua usul lagi," Kristy melanjutkan.
Dia berbicara dengan ragu-ragu, dan aku memperhatikan bahwa
Claudia menatapnya dengan tajam.
"Usul yang keempat adalah menurunkan tarif." (Terdengar
keluhan Claudia.) ''Tidak terlalu rendah," ujar Kristy mempertahankan
pendapatnya, "asal cukup untuk menyaingi Baby-sitters Agency."
"Tapi kita kan belum tahu berapa tarif mereka," aku protes.
"Sebentar lagi juga akan tahu," sahut Kristy. "Aku akan mencari
informasi. Dan usul yang kelima adalah... adalah melakukan apa yang
dilakukan oleh Baby-sitters Agency?memberikan tugas-tugas larut
malam, ataupun tugas-tugas yang tidak bisa kita tangani, pada anakanak yang lebih tua dari kita. Sam dan Charlie kadang-kadang juga
mau bertugas sebagai baby-sitter, dan aku rasa Janine ju..."
"TIDAK!" seru Claudia. "Tidak, Kristy, ini tidak masuk akal.
Kalau Kid-Kit memang ide bagus, tapi penurunan tarif dan pekerjaan
Baby Sitter Club 3 Rahasia Stacey di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rumah tangga dan memberikan tugas pada orang lain? Tidak, tidak,
tidak. Kalau klub ini akan menjadi seperti itu, maka aku tidak mau
menjadi anggota lagi."
"Aku juga," tambah Mary Anne pelan.
Tidak mau menjadi anggota lagi? Kalau mereka berdua keluar,
maka klub ini akan bubar. Mereka tidak serius. Mereka pasti tidakserius. Apa yang akan kulakukan kalau klub ini bubar? Mengobrol
dengan Pete lewat telepon memang asyik, dan berkumpul di kantin
juga menyenangkan. Tapi anak-anak itu bukanlah sahabat-sahabat
sejati seperti Claudia, Kristy, dan Mary Anne.
Aku membutuhkan klub ini.
"Teman-teman," kataku, "aku tidak ingin Baby-sitters Club ini
bubar. Kita tidak boleh membiarkan Liz dan Michelle menjatuhkan
kita. Kita harus membuktikan pada mereka bahwa kita bisa berhasil
juga."
"Ya," Claudia menyetujui, "tapi bukan dengan cara yang
diusulkan Kristy. Itu... itu artinya... apa istilahnya, ya?"
"Menurunkan martabat?" Mary Anne mengusulkan.
"Ya. Itu dia. Menurunkan martabat."
"Baiklah, menurut kalian, apa yang harus kita lakukan?" balas
Kristy dengan ketus. "Apa kalian punya usul yang lebih bagus?"
"Aku pikir," ujar Claudia, "kita bisa memakai dua dari usulusulmu?Kid-Kit dan potongan harga khusus untuk klien terbaik.
Yang lainnya, terutama yang kelima, disimpan sebagai alternatif
terakhir saja."
"Begitu lebih baik," Maiy Anne menyetujui. "Bagaimanapun,
kita kan tidak perlu memakai semua usulmu itu sekaligus."
"Betul juga," kataku.
"Baiklah," ujar Kristy sambil mendesah. Dia menatapku dengan
pandangan muram. Aku mengangkat bahu. Kristy tahu aku sependapat
dengan dia, tapi kami berdua menyadari bahwa kami tidak mungkin
memaksakan kehendak kami."Ayo," kata Claudia, "kita mulai membuat kotak Kid-Kit. Pasti
akan menyenangkan! Sekarang kalian ambil kotak dari rumah masingmasing, lalu kembali ke sini. Aku punya krayon, perca-perca kain,
cat... pokoknya segala macam yang bisa dipakai untuk menghias
kotak." (Claudia memang suka seni.)
"Kita akan membuat kotak-kotak terbagus yang pernah ada,"
ujarku, pura-pura ikut bersemangat. "Pokoknya, kita pasti akan
menjadi baby-sitter terbaik. Untuk selama-lamanya! Ayo kita mulai
bekerja!"Bab 4
HARI Senin berikutnya adalah hari yang cerah dan hangat.
Rasanya seperti bulan Mei saja, padahal sekarang bulan November.
Tepat jam setengah empat, dengan membawa kotak Kid-Kit, aku
memencet bel rumah Charlotte Johanssen. Charlotte, yang berumur
tujuh tahun, termasuk anak yang paling kusuka dari sekian banyak
anak yang pernah kujaga. Ibunya dokter dan ayahnya insinyur.
Charlotte anak tunggal. Anaknya cerdas, tapi agak pemalu dan tidak
punya banyak teman. Aku bisa mengerti kalau dia merasa kesepian.
Dokter Johanssen yang membuka pintu. "Halo, Stacey,"
sapanya dengan riang, walaupun dia kelihatannya agak capek. Hari
Senin itu dia pasti sedang libur, karena biasanya Dokter Johanssen
bekerja di Stoneybrook Medical Center. Jadwal kerjanya memang
berubah-ubah setiap bulan.
"Hai!" jawabku.
"Bagaimana dengan kesehatanmu?" Dokter Johanssen selalu
menanyakan hal itu padaku. Kalau orang lain yang mengajukan
pertanyaan itu, aku pasti jengkel. Berbeda kalau ibu Charlotte yang
menanyakannya.
"Saya merasa lapar terus," kataku dengan jujur. "Dan berat
badan saya juga turun.""Apakah ada masalah dengan insulin atau kadar gula dalam
darahmu?"
"Tidak. Saya rasa, saya memang harus makan lebih banyak lagi.
Saya kan sedang dalam masa pertumbuhan."
"Ya, memang betul. Tapi apa yang telah kaulakukan untuk
mengatasi masalah itu?"
"Hari ini ibu saya menelepon Dokter Frank. Tapi dia belum
mendapat kesempatan untuk berbicara langsung dengan dokter itu.
Mudah-mudahan saja sudah ada kabar kalau saya pulang nanti."
"Stacey! Hai, Stacey!" Charlotte berlari masuk ke ruang depan
dengan wajah berseri-seri. Dia selalu gembira kalau melihatku.
"Halo, Charlotte," sahutku.
"Itu kotak apa?"
"Pokoknya kejutan, deh. Kita akan membukanya kalau ibumu
sudah pergi."
"Ma, pergi dong, cepat!" seru Charlotte. Biasanya dia tidak suka
kalau ditinggal pergi orangtuanya, sekalipun aku yang bertugas
sebagai baby-sitter.
"Mama diusir, nih?" tanya Dokter Johanssen sambil mengambil
sweternya.
"Ah, tidak kok," ujarku.
"Baiklah, anak-anak. Semoga saja rapat ini tidak memakan
waktu lama. Mama sudah ada di rumah antara jam lima sampai
setengah enam."
"Sampai nanti, Ma." Hampir saja didorongnya ibunya ke luar.
"Sekarang?" tanyanya padaku."Aku buka jaket dulu, ya." Aku menggantungkan jaketku di
lemari yang terletak di ruang depan. Kemudian kami duduk di lantai
di ruang keluarga.
"Bisakah kamu membaca apa yang tertulis di sini?" tanyaku,
sambil menunjuk huruf-huruf yang tertempel pada tutup kotak.
Charlotte mencondongkan tubuhnya supaya bisa melihat lebih
jelas. "Kid-Kit," katanya dengan cepat. "Bagus sekali." Kotak itu
kulapisi dengan kain biru berbunga-bunga, dan pinggirnya kutempeli
renda putih. Huruf Kid-Kit-nya kubuat dari kain wol hijau daun.
"Terima kasih. Aku akan membawa kotak ini setiap kali aku
bertugas di sini." Aku membuka tutupnya. "Di dalam sini banyak
barang yang lucu-lucu, lho. Dan setiap bulan isinya akan kuganti,
supaya kamu tidak bosan."
"Wah, asyik, nih," ujar Charlotte dengan lembut sambil
mengeluarkan isi kotak itu. "Ular tangga... monopoli... The Cricket in
Times Square. Buku ini bercerita tentang apa?"
"Pokoknya kamu pasti suka, deh. Ceritanya tentang seekor
jangkrik bernama Chester yang tanpa sengaja sampai ke tengahtengah kota New York. Di sana dia berkenalan dengan seekor tikus
bernama Tucker, seekor kucing bernama Harry, dan seorang anak
laki-laki bernama Mario. Kita bisa membacanya sedikit-sedikit setiap
kali aku menjagamu. Dan aku bisa bercerita banyak tentang New
York." Charlotte sangat suka mendengar cerita-cerita tentang
kehidupanku di kota itu. "Dan setelah selesai membaca buku itu, kita
bisa meneruskan dengan Tucker's Countryside dan Harry Cat's Pet
Puppy. Di situ diceritakan lebih banyak lagi tentang binatang-binatang
dari buku pertama.""Asyik." Charlotte terus melihat-lihat isi kotak. Di situ ada
pensil warna, krayon, kertas gambar, teka-teki potongan gambar, dan
bermacam-macam benda berwarna-warni lainnya.
"Segala macam permainan ada di sini," ujarku, "tapi bagaimana
kalau hari ini kita membuat acara yang lebih istimewa lagi?"
"Apa?"
"Pergi berjalan-jalan ke pusat kota. Hari ini cukup cerah dan
indah. Kita bisa melihat-lihat etalase toko, dan melihat film apa yang
sedang diputar di bioskop. Kita juga bisa berhenti sebentar di
lapangan bermain sekolahmu dalam perjalanan pulang nanti."
Charlotte kelihatan agak bingung. Sepertinya dia disuruh
memilih satu dari dua es krim kegemarannya, tapi dia tidak tahu harus
memilih yang mana. Dia memandang ke luar jendela untuk melihat
matahari yang bersinar cerah, kemudian mengaduk-aduk kotak KidKit lagi. Setelah itu dia memandang ke arahku. "Ke pusat kota saja,"
dia akhirnya memutuskan. "Tapi kamu harus janji untuk membawa
lagi kotak Kid-Kit ini kalau kamu kemari."
Aku memberi isyarat dengan membuat tanda silang di dada.
"Janji, deh."
Kami memakai jaket masing-masing, lalu mulai berjalan
menuju pusat kota. Pusat kota Stoneybrook hanya berjarak delapan
ratus meter dari rumah Charlotte. Kalau berlari, kami bisa
mencapainya dalam waktu sepuluh menit. Kalau berjalan cepat,
kurang dari dua puluh menit. Tapi kami tidak berlari maupun berjalan
cepat. Kami berjalan dengan santai. Charlotte sebentar-sebentar
berhenti untuk memungut biji pohon ek yang jatuh tertiup angin."Aku harus menyimpannya," katanya. "Jadi kalau nanti aku
punya seekor tupai, aku bisa memberikan ini padanya untuk
dimakan."
"Kenapa sih kamu kepingin punya tupai?" tanyaku padanya.
"Untuk diajak mengobrol."
"Tapi kamu kan sudah punya Carrot. Kamu bisa mengobrol
dengan dia." (Carrot adalah anjing schnauzer milik keluarga
Johanssen.)
"Kan lebih senang kalau banyak teman. Jadi banyak yang bisa
diajak mengobrol."
"Apa kamu tidak punya teman, Charlotte? Maksudku, teman
sekolah?"
Charlotte menggelengkan kepalanya. Dia berhenti lalu
membungkuk untuk memungut biji pohon ek yang cukup besar.
Kemudian, sambil menegakkan badan, dia memasukkan biji itu ke
dalam kantong jaketnya.
Aku memperhatikan Charlotte. Dia anak yang manis?
rambutnya cokelat berombak, matanya besar dan berwarna gelap, dan
kalau dia tersenyum, lesung pipit di pipinya mengembang. Dia juga
anak yang cerdas, penuh perhatian, dan baik hati. Apa
kekurangannya? Kenapa dia tidak mempunyai seorang teman pun?
"Anak-anak di sekolah tidak menyukaiku," katanya, "dan aku
juga tidak suka pada mereka."
"Anak-anak di kelasmu?" tanyaku. "Kenapa kamu tidak suka
pada mereka?"
"Karena mereka tidak menyukaiku."
"Oke, tapi kenapa dong mereka tidak suka padamu?"Charlotte mengangkat bahu. Kemudian dia memasukkan jempol
ke dalam mulutnya. Kami berjalan sambil bergandengan tangan, dan
tetap membisu sampai ke pusat kota.
"Nah, apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanyaku.
Charlotte gembira mendengar pertanyaanku. Dia mengeluarkan
jempolnya dari dalam mulutnya. "Ke toko permen!"
"Oke." Polly's Fine Candy adalah toko permen yang paling top
di Stoneybrook. Bahkan lebih baik dari kebanyakan toko permen di
New York. Aku bisa mengerti kenapa Charlotte ingin sekali pergi ke
sana. Tokonya sangat menyenangkan, seperti dalam dongeng saja.
Apalagi pada bulan November seperti sekarang ini, ketika liburan
akhir tahun sudah dekat. Pasti toko itu lebih semarak lagi dari
biasanya.
Satu-satunya yang tidak kusukai dari Polly's Fine Candy adalah
Polly. Wanita itu pemilik toko tersebut, dan umurnya mungkin sudah
lebih dari seratus tahun. Adik perempuannya?yang kelihatannya
hampir sama tuanya dengan Polly?membantunya mengurus toko.
Setiap kali ada anak yang masuk ke toko mereka, mereka langsung
pasang mata lebar-lebar untuk mengawasi anak itu. Dan terus begitu,
sampai anak itu meninggalkan toko mereka. Tapi Charlotte dan aku
sudah bersiap-siap untuk menghadapi dua bersaudara itu.
Kami sampai di toko mereka. Belum lagi mencapai pintunya,
kami sudah dapat menghirup aroma cokelat.
"Mmm, sedapnya," ujarku.
"Yeah, sedapnya," Charlotte ikut-ikutan.
Kami melihat-lihat apa saja yang dipajang di etalase toko itu.
Sepertinya mereka sudah siap untuk menyambut hari Thanksgiving.Ada cokelat besar berbentuk ayam kalkun. Baru sekali ini aku melihat
cokelat sebesar itu. Cokelat itu dikelilingi oleh cokelat-cokelat kecil
yang juga berbentuk ayam kalkun. Permen berwarna-warni, seukuran
biji jagung, tersebar di sekelilingnya.
Charlotte dan aku berpandangan lalu tersenyum.
"Sekarang kita ke etalase yang satu lagi, yuk," kata Charlotte.
Kami melewati pintu toko?yang terletak di antara kedua kaca
etalase?kemudian menatap etalase kedua.
"Wah, apa sudah mau Natal?" tanya Charlotte sambil menatap
pohon Natal, boneka Sinterklas, dan hadiah-hadiah yang dipajang di
etalase itu. Dia kelihatan bingung... pandangannya menerawang.
"Stacey, berapa lama lagi, sih, hari Natal? Berapa hari lagi?"
"Masih cukup lama, Char. Kira-kira lima minggu lagi. Tapi
kelihatannya toko ini sudah bersiap-siap jauh hari sebelumnya. Kita
masuk, yuk."
Kami memasuki toko. Aku agak lega karena ternyata bukan
kami saja yang datang ke toko kecil itu. Tiga orang pembeli lain sudah
ada di sana. Polly dan adiknya sedang sibuk melayani mereka ?
berarti mereka tidak bisa mengawasi Charlotte dan aku.
Dari luar Polly's Fine Candy, kami hanya menghirup aroma
cokelat. Tapi di dalam tokonya, selain harum cokelat, masih banyak
aroma lain: jahe, kayu manis, marzipan (pasta manis yang terbuat dari
campuran buah badam, gula, dan telur), krem, selai raspberry, kacang
bakar, kismis, buah cherry, dan gula. Udara di situ terasa hangat dan
memabukkan. Rasanya aku hampir tidak bisa menahan diri lagi. Aku
bertanya-tanya dalam hati, apakah penyakitku bakal kambuh lagi jika
kumakan satu potong cokelat saja."Lihat, Stacey!" seru Charlotte. Dia berlari ke sebuah rak yang
memamerkan rumah-rumahan, yang terbuat dari susunan kue jahe dan
dihiasi dengan permen serta lapisan gula berwarna putih. "Oh, ada
peri! Dan tikus-tikus kecil. Lihat, Stacey! Banyak sekali makhluk
yang lucu-lucu di dalam rumah itu... Oh!" Dia meraih tanganku dan
menarikku ke rak yang memamerkan permen-permen berbentuk uang
logam. Kami menghadapi lusinan stoples berisi permen. Ada
butterscotch drop, Mary Jane, Gummi Bear, licorice stick, dan
peppermint....
"Stacey, beli dong. Satu saja! Satu orang satu?" Charlotte
memohon.
Aku memperhatikan cokelat-cokelat putih yang ukurannya tidak
terlalu besar. Bisa dimakan dengan sekali telan. Dapat kurasakan
cokelat itu meleleh dalam mulutku.
Aku mulai meraba-raba kantong jaketku. Aku punya lima puluh
sen?lebih dari cukup kalau hanya untuk membeli dua buah permen.
"Ayo, dong?"
Aku mengeluarkan uang dan meletakkannya di meja kasir. Pada
saat itu, jam kukuk milik Polly berbunyi. Ternyata sudah jam setengah
lima. Perlahan-lahan aku memasukkan uangku kembali ke kantong
sambil mengembuskan napas. Rasanya aku tidak bisa mempercayai
apa yang hampir kulakukan.
"Tidak usah, deh," ujarku. "Sebentar lagi kan waktu makan
malam. Selain itu, ibumu juga melarangmu makan permen, kan?"
"Memang, sih," sahut Charlotte. "Aku cuma kepingin..."
"Tidak apa-apa. Aku juga kepingin sekali. Tapi bukan cuma
kamu yang dilarang makan permen. Yuk, kita pergi dari sini."Kami berjalan meninggalkan toko itu. Charlotte masih terus
menengok ke belakang.
"Hei!" ujarku. "Masih cukup waktu untuk mampir di taman
bermain sekolahmu, sebelum pulang."
"Hore!"
Hari sudah mulai gelap, tapi kupikir masih cukup aman untuk
bermain sekitar sepuluh menit. Aku merasa senang ketika sampai di
taman bermain sekolah, dan melihat beberapa anak sedang bermain di
sana. "Ayo," kataku. Tapi Charlotte tidak mau beranjak dari
tempatnya.
"Tidak."
"Tidak apa-apa. Masih cukup terang untuk bermain. Dan di
Baby Sitter Club 3 Rahasia Stacey di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sana ada anak-anak lain."
"Tidak. Aku mau pulang. Ayo."
Terlambat. Anak-anak itu telah melihat Charlotte.
"Hei, itu si Char-Char!" teriak salah seorang anak.
"Hei, anak emas Bu Guru! Pergi kamu!"
"Yeah! Charlotte, Charlotte, pergi cepat, dan jangan coba dekatdekat!"
"Anak emas Bu Guru, anak emas Bu Guru...."
"Aku bukan anak emas Bu Guru!" teriak Charlotte. Dia
membalik dan mulai berlari pulang.
"Hei! Tunggu dulu! Charlotte?" Dengan mudah aku berhasil
menyusulnya.
"Pergi kamu."
"Hei, ini aku, Stacey."
"Aku bilang, pergi kamu.""Tidak bisa. Aku kan baby-sitter kamu. Aku harus
menemanimu."
Dengan dagu terangkat dan air mata membasahi pipinya,
Charlotte mempercepat langkahnya.
"Apakah anak-anak itu mengejekmu karena mereka melihatmu
ditemani baby-sitter? ...Charlotte?" Aku berjalan di sampingnya.
"Bukan," akhirnya dia menjawab sambil terisak-isak. "Mereka
tidak tahu kalau kamu baby-sitter-ku."
"Lalu kenapa kamu marah padaku?"
Charlotte berhenti. "Aku tidak marah padamu."
"Hanya kesal karena mereka mengejekmu?"
"Yeah."
"Kenapa mereka mengejekmu?"
"Aku tidak tahu."
"Mereka memanggilmu anak emas Bu Guru."
"Aku tidak mau bicara tentang itu."
"Hei, dengar dulu. Aku juga sering diejek seperti itu tahun
lalu."
"Di New York?"
"Ya, di New York."
"Siapa yang mengejekmu?"
"Sahabatku sendiri. Paling tidak, dia pernah menjadi sahabatku.
Tapi sekarang sudah tidak lagi."
"Kenapa dia mengejekmu?"
"Wah, ceritanya panjang."
"Apa kamu juga tidak mau cerita tentang itu?"
"Sebaiknya tidak."Kami sampai di ujung jalan rumah Charlotte. Dia sudah
berhenti menangis, dan kami sudah bergandengan tangan lagi. Tibatiba dia memekik lalu menunjuk sesuatu. "Lihat itu!"
Aku menoleh ke arah yang ditunjuknya. Yang bisa kulihat
dalam cahaya sore yang remang-remang hanyalah sekumpulan balon
gas yang sedang mendekat ke arah kami. Aku membelalakkan
mataku, dan akhirnya menyadari bahwa ada seseorang di belakang
balon-balon itu. Bisa begitu, tapi mungkin juga balon-balon itu
digerakkan oleh sepasang kaki yang memakai celana jeans dan sepatu
olahraga.
Balon-balon itu ternyata bisa berbicara. "Hai!"
Aku mengintip ke balik kumpulan balon. Ternyata ada seorang
gadis manis yang sedang menggenggam tali-tali pengikat balon-balon
itu. Umurnya kira-kira beberapa tahun lebih tua dariku. Tubuhnya
tinggi dan sangat langsing. Dia memakai kaus lengan panjang yang
bagus sekali. (Rasanya aku rela mati asal bisa memiliki kaus seperti
itu.)
Gadis itu mengambil sebuah balon merah, lalu memberikannya
pada Charlotte. Kemudian dia menoleh padaku. "Namaku Liz Lewis,"
katanya. "Aku ketua Baby-sitters Agency. Kuharap kamu mau
meneleponku kalau kamu membutuhkan baby-sitter untuk adik
perempuanmu ini." Charlotte cekikikan mendengar itu. "Nomor
telepon kami ada di balon itu. See you!" Dia berjalan meninggalkan
kami.
Bulu kudukku berdiri mendengar semua itu, dan tiba-tiba aku
merasa dingin sekali.Charlotte memegang balonnya dengan kedua tangan. Dia
memutar balon itu, dan membaca pelan-pelan, "Baby-sitters Agency.
Telepon Liz Lewis KL5-1162 atau Michelle Patterson KL5-7548."
Dia menengadah ke arahku. "Baby-sitter lagi? Apa artinya agency,
Stacey?"
"Itu juga cerita yang panjang. Ayo. Kita pulang ke rumah."
Aku tahu malam itu aku pasti akan menelepon Kristy lagi.Bab 5
KRISTY sangat gelisah. Dia menganggap balon-balon buatan
Baby-sitters Agency sebagai penghinaan pribadi. Ternyata, siang itu
Kristy sempat ketemu dengan Liz. Dan Kristy nekat mengatakan siapa
dirinya?ketua Baby-sitters Club, berarti saingan utama Liz. Kristy
bilang, mereka sempat "berbincang-bincang". Dan menurutku, ituartinya mereka bertengkar. Tapi waktu aku bicara dengan Kristy
melalui telepon sore itu, yang dikatakannya hanyalah, "Kenapa tak
terpikir oleh kita untuk menggunakan balon-balon? Kenapa tak
terpikir oleh kita?"
Keesokan harinya, pada hari Senin, ada berita baik yang
membuat kami melupakan persaingan kami dengan Baby-sitters
Agency. Tapi berita baik itu diikuti oleh berita buruk, yang membuat
pikiran kami langsung kembali ke agen sialan itu.
Seusai sekolah, para anggota Baby-sitters Club berjalan pulang
bersama-sama. Setelah sampai di Bradford Court, kami berpisah.
Claudia pulang ke rumahnya untuk mengerjakan sebuah lukisan, tugas
dari kursus melukisnya. Mary Anne juga langsung pulang, karena dia
harus memanggang roti cranberry untuk makan malam di hari
Thanksgiving. Dia akan makan malam bersama ayahnya dan keluarga
Kristy (termasuk Watson, calon ayah tiri Kristy, dan kedua anaknya).
Menurut Kristy, acara itu pasti mengasyikkan.
"Mau mampir ke rumahku?" tanya Kristy padaku, setelah
Claudia dan Mary Anne pergi. (Tidak satu pun dari kami punya tugas
sebagai baby-sitter siang itu.)
"Boleh juga," jawabku, karena ada kemungkinan untuk ketemu
Sam Thomas. Padahal bisa melihatnya saja, aku sudah senang.
Kami berjalan ke pintu depan rumah keluarga Thomas. Kristy
mengeluarkan kunci dari dalam tasnya. Karena kedua orangtua Kristy
sudah bercerai, ibunya harus bekerja sehari penuh. Oleh sebab itu
Kristy selalu menjadi orang pertama yang tiba di rumah setiap siang.
Tapi waktu dia memutar-mutar kunci itu di dalam lubangnya, dia
menyadari bahwa pintunya sudah tidak terkunci lagi."Aneh," dia menggumam. "Semoga saja David Michael tidak
pulang duluan. Dia tidak suka pulang ke rumah yang kosong." Kami
berjalan masuk ke ruang depan. Ternyata ibu Kristy sudah ada di situ.
"Ma! Kok sudah pulang?" seru Kristy.
Bu Thomas tersenyum. "Hai, Sayang. Hai, Stacey."
"Halo, Bu Thomas," sahutku.
"Coba tebak, siapa yang ada bersamaku di sini," ujar ibu Kristy.
"Siapa?" tanya Kristy penuh curiga.
"Ayo, kita ke dapur."
Seorang anak sedang duduk di meja dapur. Jamie Newton. Dia
sedang minum susu sambil mewarnai sebuah gambar di dalam
bukunya.
"Jamie!" seru Kristy. "Hai!"
"Halo, Jamie," ujarku.
"Hi-hi," jawab Jamie dengan riang.
"Kenapa kamu ada di sini?" Kristy bertanya pada anak itu.
Jamie menatap ibu Kristy.
"Ayolah, ceritakan pada Kristy dan Stacey, Sayang," kata Bu
Thomas.
"Sebentar lagi aku punya adik baru," Jamie mengumumkan.
"Sekarang Mama ada di rumah sakit."
"Bayinya sudah mau lahir? Sekarang?" tanya Kristy dengan
nada cemas.
"Kristy, Mama tahu Baby-sitters Club sudah punya rencana
untuk membantu Bu Newton," kata ibunya. "Tapi ternyata si bayi
sudah mau lahir sejak tadi pagi. Beberapa minggu yang lalu, Pak dan
Bu Newton sudah minta tolong pada Mama untuk menjaga Jamie,kalau-kalau bayi mereka lahir pada malam hari, atau pada saat-saat
kalian masih di sekolah. Mama tentu saja tidak keberatan. Nah, tadi
pagi Pak Newton menelepon Mama di kantor, untuk memberitahukan
bahwa dia harus membawa istrinya ke rumah sakit. Dan Mama bilang
bahwa dalam perjalanan ke rumah sakit, dia bisa mampir ke kantor
Mama untuk mengantar Jamie."
"Mampir dalam perjalanan ke rumah sakit?!" seru Kristy. "Tapi
Mama kan bekerja di Stamford."
"Mama tahu. Tapi dokter keluarga Newton kebetulan bekerja di
Rumah Sakit Stamford. Jadi dalam perjalanan ke rumah sakit mereka
memang melewati kantor Mama. Jamie dan Mama sudah bekerja
keras hari ini, betul kan, Jamie?"
Jamie mengangguk dengan bangga.
"Dia membuat gambar untuk adiknya yang akan lahir, membaca
buku-buku cerita, dan ikut membuat fotokopi dengan mesin fotokopi
di kantor."
"Dan kami makan siang bersama," tambah Jamie.
"Betul," ujar Bu Thomas. "Kami makan di kafetaria." Dia
melihat arlojinya. "Dan sekarang, anak-anak," katanya, "Mama akan
menyerahkan Jamie pada kalian. Soalnya Mama harus kembali ke
kantor untuk beberapa jam lagi."
Aku yakin bahwa banyak pekerjaan di kantor Bu Thomas yang
tertunda hari itu, karena dia harus mengurus Jamie.
"Tapi, Ma; tunggu dulu! Bagaimana dengan bayinya?" tanya
Kristy. "Jangan bikin suasana jadi tegang, dong!"
"Yeah!" seruku. "Bayinya perempuan atau laki-laki?""Maaf, Mama juga belum tahu. Tapi Pak Newton berjanji untuk
menelepon ke sini begitu bayinya lahir."
"Berapa lama, sih?" tanya Kristy dengan jengkel. "Maksudku,
untuk melahirkan bayi?"
Ibunya tersenyum. "Itu tergantung bayinya. Proses kelahiranmu
dulu memakan waktu dua puluh empat jam."
"Wow," kataku.
"Dua puluh empat jam!" seru Kristy. "Aduh, kok lama betul.
Aku tidak sanggup menunggu selama itu."
"Mungkin saja bayi ini akan lahir lebih cepat. Sekarang dengar
dulu, Jamie akan tinggal bersama kita sampai ayahnya pulang dari
rumah sakit. Karena ada kemungkinan dia bermalam di sini, maka
tolong ambilkan baju tidurnya, dan barang-barang lain yang
dibutuhkan. Tapi jangan pergi-pergi lagi setelah itu, kasihan Jamie. Ini
kunci rumah keluarga Newton. Ngomong-ngomong, Mama akan
membayarmu untuk tugas siang ini. Dan Mama akan pulang sekitar
jam setengah tujuh." Bu Thomas mengecup kening Kristy,
melambaikan tangan pada Jamie dan aku, kemudian berangkat ke
kantor.
"Aku tidak menyangka akan seperti ini jadinya," ujar Kristy,
"tapi ini adalah siang yang cukup mendebarkan."
"Memang! ...Eh, di mana kakak-kakakmu?"
"Maksudmu Sam, kan?" Kristy menggoda.
"Ehm-hem..."
"Coba kuingat-ingat. Hari ini hari Senin, berarti giliran Charlie
menjaga David Michael. Oh, aku berani bertaruh dia pasti menjemput
David Michael di sekolahnya, lalu mengajaknya ke Stoneybrook HighSchool untuk menonton anak-anak cewek latihan cheerleader.
Mungkin Sam ikut dengan mereka."
"Latihan cheerleader?"
"Yeah. David Michael suka melihatnya. Kalau habis nonton, dia
selalu memperagakan gerakan-gerakannya di depan kami."
Aku ketawa cekikikan.
"Nah, Jamie," kata Kristy. "Bagaimana perasaanmu? Sebentar
lagi kamu akan menjadi kakak, lho."
Jamie hanya mengangkat bahu lalu kembali mewarnai
gambarnya.
"Kamu kepingin punya adik laki-laki atau perempuan?" tanyaku
padanya.
"Laki-laki."
"Apakah kamu tidak deg-degan?"
Sekali lagi Jamie hanya mengangkat bahunya.
Kristy dan aku berpandangan.
"Eh, coba dengar dulu," kataku. Entah dari mana aku tiba-tiba
punya ide bagus. "Menjadi kakak laki-laki adalah peristiwa yang
sangat penting. Oleh sebab itu kamu perlu membuat PKL, Jamie."
Jamie menengadah padaku sambil membelalakkan matanya,
seakan-akan ingin bertanya.
Kristy langsung menangkap maksudku. "PKL berarti Pesta
Kakak Laki-laki," dia menjelaskan. "Kita harus merayakannya siang
ini. Kita akan membuat Pesta Kakak Laki-laki yang istimewa untuk
kakak laki-laki favorit kami?kamu."
"Pesta untukku?" pekik Jamie."Yeah, dan kita akan mengundang semua orang," tambahku.
"Kristy, apakah ibumu akan keberatan kalau kita bikin pesta di sini?"
"Kurasa tidak."
Aku langsung menyerbu ke pesawat telepon dan mulai
menelepon. Dalam sepuluh menit aku sudah menyebarkan berita ke
Claudia, Mary Anne, Charlotte, dan anak-anak keluarga Pike. Aku
juga menelepon beberapa anak lain yang pernah kami jaga, tapi
kebetulan mereka sedang tidak ada di rumah.
"Nah," kataku pada Kristy dan Jamie setelah selesai menelepon,
"Claudia sedang dalam perjalanan kemari. Mary Anne akan datang
setelah selesai membuat adonan roti cranberry?dia bilang dia bisa
memanggangnya malam nanti?Charlotte akan datang, dan Mallory
Pike akan membawa adik-adiknya?Claire dan Margo." (Keluarga
Pike punya delapan anak. Mallory berumur sepuluh tahun, sedangkan
Claire dan Margo berumur empat dan enam tahun.)
"Hebat!" seru Kristy. Dia mulai menggeledah isi dapur dan
mengeluarkan sekantong marshmallow, beberapa buah apel, sebotol
sirup jeruk, dan sebuah wortel yang mungkin untukku. "Claudia pasti
akan membawakan sesuatu dari kamarnya," tambahnya. "Mungkin
kue-kue kering yang asin. Jamie, apa yang ingin kamu kerjakan di
pesta nanti? Membuat acara permainan?" Dia mulai mengiris-iris apel.
Jamie mengangguk.
"Permainan apa?" tanyaku.
Jamie kelihatan bingung.
"Begini saja, deh! Tolong hidupkan stereo di ruang bermain dan
masukkan sebuah kaset. Kita akan main ular naga dengan iringan
musik," Kristy memberi instruksi padaku."Baiklah," sahutku. "Kita juga bisa mengadakan lomba balap
telur, dengan menggunakan sendok. Dan anak-anak bisa membuat
topeng-topeng kertas. Yang paling lucu kita beri hadiah."
"Ide bagus, tuh. Dan setelah semua anak mulai mengantuk, kita
akan meminta Mary Anne untuk membacakan cerita The Little Engine
That Could. Dia bisa membacakannya dengan lucu, sambil menirukan
suara tokoh-tokoh dalam cerita itu."
"Oh, asyik!" teriak Jamie. "Asyik!"
Pada saat itu, Claudia datang. Charlotte berjalan di
belakangnya. Aku memeluk Charlotte. Tidak, lama kemudian anakanak keluarga Pike menyusul. Dan setelah Mary Anne tiba, Charlie
masuk bersama David Michael. Karena pada saat itu perasaanku
begitu gembira, aku tidak terlalu kecewa ketika menyadari bahwa Sam
tidak datang bersama mereka.
Anak-anak kecil?Jamie, David Michael, Claire, dan Margo?
kelihatan gembira sekali. Mereka berkumpul bersama-sama di ruang
bermain, yang telah kuhias dengan menggunakan kertas krep
berwarna hijau. Para anggota Baby-sitters Club memperhatikan
mereka dengan bangga. Mallory mondar-mandir di antara kedua grup
itu. Tapi Charlotte menyendiri terus.
Baby Sitter Club 3 Rahasia Stacey di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak ada apa-apa, kan?" tanyaku padanya. Dia mengangguk
dengan malu-malu. "Ayo, kita bergabung dengan mereka." Aku
mengajak dia menemui grup anak-anak. "Nah, ini Jamie. Kamu kenal
kan dengan Jamie Newton?" Charlotte mengangguk lagi. "Dia tamu
kehormatan kita. Sebentar lagi dia akan menjadi kakak."
Wajah Jamie berseri-seri."Awas, tolong kasih jalan untuk makanan!" seru Kristy, sambil
membawa nampan berisi makanan dari dapur. Charlie mengikutinya.
Dia membawakan serbet kertas, piring-piring, dan gelas-gelas plastik.
Kemudian dia menghilang. Aku rasa dia tidak tertarik pada Pesta
Kakak Laki-laki seperti ini.
"Makan dulu, permainan menyusul!" Kristy mengumumkan.
Dia menoleh pada Mary Anne, Claudia, dan aku. "Singkirkan
makanan itu setelah dua puluh menit, biarpun mereka belum selesai,"
dia berbisik. "Kalau tidak, mereka akan terlalu kenyang untuk makan
malam nanti."
Semua anak makan dengan riang gembira. Jamie sedang makan,
ketika Claudia memasangkan sebuah mahkota kertas di kepalanya.
Setelah dua puluh menit, kami menyingkirkan makanan ke dapur.
Kemudian acara permainan dimulai. Charlotte tidak mau ikut bermain
ular naga, ataupun lomba balap telur. Tapi dia mau ikut perlombaan
membuat topeng. Claudia baru saja selesai memberi hadiah-hadiah
pada para pemenang (kami telah memutuskan untuk memberi hadiah
pada semua anak), ketika telepon berdering.
"Kristy!" panggil Charlie dari dapur. "Telepon! Dari Pak
Newton!"
"Aduh!" pekik Kristy.
"Jamie, telepon dari ayahmu!" teriakku. "Ayo!"
Semua peserta pesta ikut berkerumun di dapur. Charlie
langsung menyingkir.
Kristy merebut gagang telepon. "Halo? Pak Newton? ... Sudah?
... Sudah? Oh, hebat! Hebat sekali! ... Berapa? ... Wow... Yeah, tentusaja. Ini dia." Kristy memberikan gagang telepon pada Jamie.
"Ayahmu ingin bicara."
Jamie mengambil gagang telepon, dan menempelkannya ke
telinganya.
"Bilang halo pada ayahmu," Kristy menyarankan.
"Halo. Papa? ... Baik. Kami lagi bikin pesta... Oke... Oke...
Oke... Bye."
Kristy mengambil kembali gagang teleponnya. "Kapan Bapak
akan pulang?" dia bertanya pada Pak Newton. "Oh, oke. Kalau begitu
Jamie bisa makan malam bersama kami. Bapak bisa menjemputnya
kapan saja... Terima kasih kembali. Dan selamat atas kelahiran
bayinya! Bye."
Kristy meletakkan gagang telepon, lalu menatap kami.
"Apa bayinya? Apa bayinya? Apa bayinya?" seruku.
"Seorang anak..."
"Perempuan," ujar Jamie pelan.
Kami mulai memekik.
"Beratnya empat setengah kilogram," tambah Kristy, "dan
namanya Lucy Jane."
Kami kembali memekik.
Di tengah-tengah keramaian dan kegembiraan itu, aku tiba-tiba
menyadari bahwa Jamie menghilang.
Aku berlari keluar dari dapur dan memeriksa kamar mandi. Dia
tidak di situ. Dengan kalut aku memeriksa semua ruangan di lantai
bawah. Akhirnya aku menemukannya duduk di sebelah Louie, di
ruang cuci pakaian. Dia sedang menangis.Aku masuk dan duduk di sampingnya di lantai. "Lho, ada apa
dengan kakak laki-laki kita?" tanyaku.
"Adikku sudah lahir."
"Dan sebenarnya kamu kepingin punya adik laki-laki, ya?"
Jamie mengangkat bahunya.
"Kamu tidak suka namanya? Menurutku, Lucy nama yang
bagus."
"Memang, sih."
"Ini perubahan besar untukmu, ya?"
Jamie mengangguk.
"Keluargamu akan berubah, karena sekarang anggotanya
bertambah satu."
"Yap," sahutnya. "Tapi ada lagi."
"Apa maksudmu?"
"Ada lagi yang akan berubah. Pokoknya, banyak yang akan
berubah."
"Apa, misalnya?" tanyaku.
"Kristy tidak bisa menjadi baby-sitter-ku lagi."
"Apa maksudmu?" Aku mulai waswas.
"Mama menelepon seorang anak perempuan. Katanya, 'Kami
memerlukan baby-sitter yang lebih tua untuk bayi yang akan lahir.'"
"Apakah nama anak perempuan itu Liz Lewis?" aku berbisik.
"Barangkali. Tapi... tapi..." Air mata Jamie mulai mengalir lagi.
"Aku kepingin dijaga Kristy!"
Aku menarik Jamie ke pangkuanku dan duduk dengannya untuk
beberapa lama. Louie menyandar padaku dan menatap kami dengan
pandangan sedih.Aku berusaha menenangkan diri dan mencoba untuk berpikir
dengan kepala dingin. Jamie baru berumur tiga tahun. Dia mungkin
hanya samar-samar mendengar pembicaraan ibunya di telepon.
Bahkan dia juga tidak yakin kalau nama yang disebutkan ibunya
adalah Liz Lewis. Lagi pula, kalau memang benar Bu Newton sudah
menelepon seseorang untuk mencari baby-sitter yang lebih tua, itu
tidak berarti bahwa dia tidak akan memakai jasa Baby-sitters Club
lagi, kan?
Jadi kenapa aku menjadi gelisah seperti ini?
Aku tahu sebabnya. Memang masuk akal kalau Bu Newton
menginginkan seseorang yang lebih tua untuk menjaga bayi yang baru
lahir. Dan Liz Lewis dan Michelle Patterson dapat memenuhi
keinginannya itu.
Sedangkan Baby-sitters Club tidak.
Meski begitu, aku tetap merasa bahwa Bu Newton sudah
mengkhianati kami. Bagaimanapun juga, Kristy adalah baby-sitter
yang paling disukai Jamie. Dan para anggota Baby-sitters Club yang
lain juga merupakan baby-sitter langganan keluarga Newton.
Sebenarnya kami juga bisa menjaga bayi yang baru lahir. Kami
kan anak-anak yang sangat bertanggung jawab. Dan aku berani
bertaruh, walaupun baby-sitter Liz dan Michelle sudah duduk di high
school, itu tidak berarti bahwa mereka lebih bertanggung jawab dari
kami. Semakin lama aku memikirkan Baby-sitters Agency, semakin
marah saja aku rasanya.
Belakangan, ketika Pesta Kakak Laki-laki sudah selesai, aku
menceritakan semua yang dikatakan Jamie pada Kristy. Dia terkejutsekali mendengarnya. "Kamu tahu apa artinya ini?" kataku tiba-tiba,
karena kemarahanku sudah memuncak sampai di ubun-ubun.
Kristy menggelengkan kepalanya.
"Ini"?aku menyipitkan mataku dan menggertakkan rahang?
"berarti perang!"
Bab 6AKU sudah siap untuk berperang melawan Baby-sitters
Agency. Begitu juga Kristy. Kami berdua sudah siap untuk
menjalankan setiap rencana atau ide yang diusulkan oleh Kristy. Tapi
Claudia dan Mary Anne masih ragu-ragu. Sementara kami
membuang-buang waktu untuk memutuskan akan berbuat apa, Babysitters Agency malahan sudah maju selangkah lagi.
Klub kami bahkan tidak sempat membahas berita buruk dari
Jamie. Soalnya pertemuan rutin pada hari Senin dilakukan agak
terburu-buru, sehabis Pesta Kakak Laki-laki di rumah Kristy. Malahan
Kristy dan Mary Anne tidak bisa hadir, karena mereka harus tinggal di
rumah keluarga Thomas untuk menjaga Jamie dan membereskan
rumah. Keesokan harinya, pada hari Selasa, Baby-sitters Agency
menjalankan langkah berikut untuk merebut para klien kami. (Aku
tidak tahu apakah mereka sadar bahwa itu yang mereka lakukan, tapi
aku menganggapnya begitu. Yang jelas, mereka adalah tukang jiplak
yang tidak tahu malu. Seenaknya saja mereka mendirikan klub yang
begitu mirip dengan klub kami. Nama klub yang mereka pilih pun
meniru nama klub kami.)
Wah, aku melantur, nih. Oke, kembali ke pembicaraan semula.
Pada Selasa pagi, para anggota Baby-sitters Club berjalan bersamasama ke sekolah. Ini perkembangan yang menggembirakan, karena
pada mulanya klub kami terpecah menjadi dua grup? Kristy dan
Mary Anne, Claudia dan aku. Keadaan ini mulai berubah ketika Kristy
mulai sedikit tertarik pada cowok, dan aku kepingin punya sahabatdekat lebih dari seorang. Nah, kami sampai di sekolah, dan coba tebak
apa yang kami temui di sana? Baby-sitters Agency! Di mana-mana.
Michelle dan Liz sedang berusaha menjaring anak-anak yang mau
menjadi baby-sitter, karena mereka sudah mulai mendapat banyak
tugas menjaga anak.
Liz sedang berdiri di tangga depan sekolah sambil membagibagikan balon dan selebaran untuk mempromosikan Baby-sitters
Agency. Mary Anne berhasil mendapatkan sehelai selebaran?bukan
dari Liz, melainkan dari seorang cowok yang akan membuangnya ke
tempat sampah. Selebaran itu berbeda dari selebaran yang dibawa
kakak Claudia tempo hari.
"Lihat, nih," ujar Mary Anne. Dia membacakan isi selebaran itu
dengan suara keras. "'Berminat mendapat uang dengan cepat dan
mudah?'"
"Menghasilkan uang dengan cepat dan mudah!" teriak Kristy
dengan marah. "Liz pasti sudah gila. Betul-betul gila. Permainannya
licik sekali."
"Tunggu dulu, tunggu dulu. Dengarkan dulu, dong," ujarku.
"Teruskan, Mary Anne."
Kami berdiri menggerombol pada jarak beberapa meter dari
tempat Liz. Aku bisa merasakan bahwa Liz sedang melihat ke arah
kami dengan perasaan menang. Tapi aku pura-pura tidak peduli, dan
sengaja tidak menoleh padanya.
"'Bergabunglah bersama Baby-sitters Agency!" Mary Anne
melanjutkan. "'Kalian tinggal bekerja; urusan yang berat-berat kami
yang menangani. Biarkan kami mencarikan pekerjaan untuk kalian!'"Selebaran itu juga menjelaskan cara kerja Baby-sitters Agency.
Persis seperti yang ditebak Kristy tempo hari, waktu dia pura-pura
menelepon untuk mencari baby-sitter buat adiknya, "Harry Kane".
Kami terpaksa mengakui bahwa selebaran seperti itu membuat Babysitters Agency kelihatan semakin menarik. Yang harus kita lakukan
hanyalah bergabung bersama mereka?kemudian kita tinggal
menunggu. Liz atau Michelle akan menghubungi kita kalau ada
pekerjaan. Tentu saja, kita tidak bisa mengantongi seluruh uang yang
kita hasilkan. Kita harus menyetorkan sebagian dari uang itu kepada
Baby-sitters Agency. (Begitulah cara Liz dan Michelle mendapat uang
kalau mereka sedang tidak bekerja.) Tapi pasti banyak anak yang
beranggapan bahwa jumlah uang yang harus disetorkan tidak terlalu
banyak, kalau dibandingkan dengan repotnya mencari pekerjaan
ekstra seperti itu.
"Waduh," ujar Mary Anne. Dia merobek-robek selebaran itu,
lalu membuangnya ke tempat sampah. "Pasti banyak, tuh, anak kelas
delapan yang ingin bergabung dengan mereka."
"Yeah," komentar Claudia dengan muram, sambil menendang
sebutir kerikil dengan ujung sepatu olahraganya. "Aku takkan heran
kalau Liz dan Michelle juga punya agen di high school, yang bertugas
mencari anak-anak untuk bergabung. Mereka pasti bisa mendapatkan
anak-anak kelas dua belas. Dan aku berani bertaruh bahwa anak-anak
setua itu bisa bertugas sampai jam dua pagi?atau bahkan bermalam
di tempat mereka bertugas."
"Atau bertugas sepanjang akhir pekan," kataku.
"Tapi bagaimana agen itu bisa mengetahui kualitas para babysitter yang mereka kirim pada klien-klien mereka?" tanya Mary Anne."Bisa saja mereka mengirim baby-sitter yang tidak bertanggung
jawab, yang hanya ingin mendapatkan uang dengan cepat dan
mudah."
"Betul juga," sahut Kristy. "Tapi buat apa Liz dan Michelle
mempedulikan hal-hal seperti itu, sepanjang mereka mendapatkan
setoran secara teratur?"
Dengan perasaan sedih kami berjalan masuk ke gedung sekolah.
Kami sengaja tidak menoleh ke arah Liz, waktu kami lewat di
depannya. Tiba-tiba aku teringat pada kata-kata ayahku setahun yang
lalu. Pada saat itu aku sedang terbaring di rumah sakit, setelah aku
jatuh pingsan di sekolah?di kantin, di mana semua anak melihatku
jatuh menimpa semangkuk sop tomat?dan dibawa ke rumah sakit
dengan ambulans. "Stacey, coba kamu renungkan kata-kata Papa ini,
Sayang. Kemungkinan terburuk sudah terjadi," dia berkata padaku.
"Mulai sekarang keadaannya hanya bisa bertambah baik." Itu
pemikiran yang baik, yang selalu kuingat-ingat.
"Nah, teman-teman," aku berkata pada para anggota Babysitters Club ketika kami memasuki gedung sekolah, "coba kalian
renungkan kata-kataku ini. Kemungkinan terburuk sudah terjadi.
Mulai sekarang keadaannya hanya bisa bertambah baik."
"Salah," kata Kristy dengan nada datar.
"Apa?"
"Dia bilang kamu salah," ulang Claudia. "Lihat, tuh."
Kami sedang berjalan membelok. Aku melihat ke arah yang
ditunjuk Claudia. Di persimpangan lorong-lorong utama Stoneybrook
Middle School, sudah disiapkan sebuah meja. Di dinding di
belakangnya tergantung spanduk berisi kata-kata yang ditulis denganhuruf-huruf raksasa?THE BABY-SITTERS AGENCY. Dan dengan
huruf-huruf yang lebih kecil: SILAKAN DAFTAR DI SINI.
Michelle Patterson dan dua cewek dari kelas delapan sedang
duduk di belakang meja. Masing-masing membawa papan penjepit
kertas dengan beberapa lembar kertas di atasnya. Mereka kelihatan
sangat resmi. Segerombolan cewek dari berbagai kelas, serta tiga
cowok sedang mengerumuni meja itu. Mereka mengajukan berbagai
macam pertanyaan, dan bercakap-cakap dengan Michelle dan kedua
asistennya. Aku tidak bisa memastikan berapa banyak dari mereka
yang mendaftarkan diri, tapi itu tidak begitu penting.
"Aku heran, siapa yang memberikan izin pada mereka untuk
melakukan itu," kataku.
Claudia mengangkat bahunya.
"Ke toilet," ujar Kristy mendadak. Kami meninggalkan lorong
sekolah dan masuk ke toilet putri terdekat. Kami langsung memeriksa
setiap sudut untuk meyakinkan diri bahwa tak ada orang lain di situ.
Kristy menatap Claudia dan Mary Anne dengan kesal, lalu bersiapsiap membuka mulut.
Tapi Claudia mendahuluinya. "Kamu tidak perlu bilang apaapa. Aku sudah tahu apa yang akan kamu katakan. Oke, kami salah
dan kalian benar. Sekarang apa yang akan kita lakukan untuk
mengalahkan agen brengsek itu? Kami mau melakukan apa saja."
"Apa saja?" tanya Kristy. Dia menatap kami satu per satu.
"Apa saja," ulang Claudia.
"Setuju," ujar Mary Anne.
"Dua kali setuju," kataku.
"Bagus," kata Kristy. "Aku punya ide lain lagi, nih. Ide baru.""I... ide baru?" tanya Claudia.
Kristy mengangguk dengan geram.
Claudia menoleh ke samping?ke arah Mary Anne. Dia
menjentikkan butir-butir air yang menempel di wastafel. "Ide apa?
Aku kok jadi ngeri."
Tepat pada saat itu bel berbunyi.
Kristy memutar-mutar bola matanya. "Sekarang tidak ada
waktu lagi. Aku tidak peduli apa rencana kalian seusai sekolah.
Pokoknya aku akan mengadakan pertemuan super darurat."
"Kenapa tidak waktu keluar main saja?" tanya Mary Anne.
"Terlalu berbahaya," sahut Kristy. "Mulai sekarang tidak ada
lagi pembicaraan tentang klub kita di sekolah. Aku kuatir Baby-sitters
Agency punya mata-mata yang mengawasi gerak-gerik kita. Ada yang
Baby Sitter Club 3 Rahasia Stacey di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bertugas menjaga anak siang ini?"
Kami semua menggelengkan kepala.
"Aku bahkan belum sempat bicara dengan Dokter Johanssen
atau dengan suaminya dalam seminggu ini," aku menggerutu.
"Sudah kuduga," komentar Kristy. "Nah, siang ini aku bertugas
menjaga David Michael. Jadi kita akan mengadakan pertemuan di
rumahku, oke?"
"Oke," kami semua setuju.
**********
Pertemuan sore itu berlangsung dalam suasana murung. Para
anggota Baby-sitters Club duduk mengelilingi meja makan Kristy,
sedang David Michael membuat rumah-rumahan dari balok-balok
kayu untuk Louie. Kristy sudah menyiapkan makanan kecil untuk
dirinya sendiri, Claudia, dan Mary Anne. Dia juga menuangkan empatgelas soda diet untuk kami berempat. Tapi makanan di meja tidak
disentuh sama sekali. Kami semua duduk sambil menunduk?menatap
tangan masing-masing. Claudia merobek-robek sehelai serbet kertas,
lalu menyusun sobekan-sobekannya menjadi tumpukan yang rapi.
Tidak ada yang bicara kecuali Kristy.
"Ide-ideku yang lain bisa dibicarakan nanti," ujarnya, "tapi
ideku yang baru adalah mencari orang baru?anak-anak kelas
delapan?untuk masuk menjadi anggota klub kita. Dengan cara itu
kita bisa mendapatkan beberapa orang baby-sitter yang lebih tua,
tanpa perlu meniru-niru cara kerja Baby-sitters Agency." Dia menatap
kami satu per satu. "Semua setuju?"
Claudia, Mary Anne, dan aku mengangguk sambil tetap
membisu.
Baby-sitters Club akan menambah jumlah anggotanya.
Bab 7LIBURAN Thanksgiving tahun ini tidak terlalu menyenangkan.
Liburannya mulai dua hari setelah Baby-sitters Club memutuskan
untuk menerima anggota baru. Sebenarnya aku tidak berkeberatan
untuk meminta anak lain bergabung bersama kami?malahan ini
merupakan kesempatan baik buatku untuk menambah teman?tapi
aku tidak menyukai alasannya. Aku sangat marah pada Liz dan
Michelle, karena mereka telah merugikan klub kami.
Hal-hal seperti itulah yang terus mengganggu pikiranku
sepanjang hari Kamis dan Jumat, dua hari pertama dari liburan
Thanksgiving. Kami mendapat libur empat hari, dan setengah dari
liburanku kuhabiskan dengan mendongkol pada Baby-sitters Agency.
Yang setengah lagi kupakai untuk mendongkol pada
orangtuaku.
Masalahnya, sejak musim panas yang lalu mereka sudah
berjanji bahwa kami akan merayakan hari Thanksgiving di New York.
Tapi seminggu sebelum hari Thanksgiving, mereka tiba-tiba berubah
pikiran.
"Papa dan Mama berpendapat bahwa sebaiknya kita tetap
tinggal di Connecticut, dan merayakan hari Thanksgiving kita yang
pertama di sini dengan cara tradisional," ibuku berkata. "Mama akan
menyiapkan makanan-makanan enak yang boleh kamu makan"?aku
cemberut mendengarnya?"dan kita akan menghabiskan hari libur
bersama-sama. Papa akan menyalakan tungku perapian, supaya kita
bisa menikmati suasana yang nyaman dan menyenangkan di rumah
kita yang baru."Sebenarnya sih, usul Mama tidak terlalu buruk. Aku malah
merasa gembira sekali pada hari Thanksgiving. Bahkan ada hujan
salju segala. Tapi keesokan sorenya, Mama dan Papa memberitahuku
alasan sebenarnya kenapa kami tidak jadi pergi ke New York. Dan itu
membuatku sangat marah.
Pada waktu itu, mereka mengajakku pergi ke Washington Mall,
pusat pertokoan yang berjarak kira-kira setengah jam kalau
berkendaraan dari Stoneybrook. Sehari setelah Thanksgiving, pusatpusat pertokoan selalu dibanjiri oleh orang-orang yang ingin
berbelanja keperluan Natal. Aku tidak tahu apa sebabnya. Tapi aku
suka belanja, jadi kupikir acara sore itu pasti menyenangkan dan dapat
membantuku melupakan kemarahanku pada Baby-sitters Agency.
Kristy sudah pernah bercerita tentang Washington Mall. Pusat
pertokoan itu adalah pusat pertokoan terbesar di sekitar Stoneybrook.
Kelima lantai di bangunan itu diisi oleh toko-toko, segudang restoran
dan kios makanan, empat bioskop, arkade videogame, kebun binatang
mini dengan berbagai macam binatang piaraan, serta sebuah arena
pameran.
Aku telah mengambil sebagian uang tabunganku ?hasil jerih
payahku sebagai baby-sitter. Berbekal uang itu aku memisahkan diri
dari Mama dan Papa untuk berjalan-jalan sendiri, dan melihat-lihat
barang yang kusuka. Aku membeli dua buah hadiah Natal?sepasang
kaus kaki panjang dari wol untuk Claudia, dan buku tentang New
York untuk Mary Anne?serta jepit berbentuk dinosaurus untukku.
Aku akan memasangnya di topi baretku.
Pada jam satu aku menemui Mama dan Papa, dan kami makan
siang bersama di sebuah toko yang menjual sandwich. Setelah itu,kami nonton film di bioskop. Dua jam kemudian, pada waktu kami
berjalan kembali ke pertokoan, Papa berkata dengan cerah, "Nah,
bagaimana kalau sebelum pulang kita mampir lagi ke sebuah restoran?
Kita bisa minum di kafetaria kecil, di lantai paling atas."
"Ooh, boleh juga," ujarku.
Ketika kami sudah duduk menghadapi pesanan masingmasing?Papa memesan secangkir kopi, Mama segelas anggur, dan
aku segelas limun jahe diet?Papa menatap Mama, lalu berkata,
"Sekarang, Sayang?"
"Ada apa ini?" tanyaku. Aku langsung curiga.
"Kami punya berita untukmu."
"Apa?"
Mama dan Papa terus-terusan bertukar pandang, seakan-akan
tidak bisa memutuskan siapa yang harus menyampaikan berita itu
padaku. Aku mendapat kesan bahwa beritanya pasti cukup penting.
Kecuali itu, aku juga yakin bahwa apa pun yang hendak mereka
katakan, aku pasti tidak akan menyukainya.
"Kita tidak akan pindah rumah lagi, kan?" tanyaku.
"Jelas, tidak," ujar Mama. "Berita ini... ehm... sebenarnya bukan
berita buruk, kok..."
"Mama hamil, ya?!" teriakku. "Akhirnya aku akan punya adik!"
"Sst!" Papa mendesis. "Semua orang menoleh ke arah kita."
"Jadi, apa dong?"
Mama mendehem. "Begini, kami sudah menghubungi seorang
dokter baru dan menjadwalkan beberapa tes yang harus kamu jalani.
Mama pernah bercerita tentang dokter itu beberapa minggu yang lalu.
Kamu masih ingat?""Bagaimana mungkin aku bisa lupa?"
"Stacey," Papa memperingatkanku, dengan suara meninggi.
"Maaf."
"Tadinya kami pikir tes-tes itu bisa dilaksanakan pada awal
bulan Desember ini, tapi ternyata mundur beberapa hari."
"Sekitar hari Natal?" tanyaku dengan cemas.
"Kita berangkat hari Jumat, tanggal dua belas Desember, dan
akan kembali pada hari Rabu, tanggal tujuh belas."
"Tapi... itu kan lima hari!" aku protes. "Katanya cuma tiga
hari."
"Tapi cuma tiga hari yang hari sekolah... Senin, Selasa, dan
Rabu," sahut Papa. "Waktu Papa dan Mama mendapat kabar bahwa
tesnya akan memakan waktu lima hari, kami sengaja
menjadwalkannya di akhir minggu, supaya kamu tidak perlu
membolos lima hari berturut-turut. Itulah sebabnya kita tidak pergi ke
New York pada hari Thanksgiving ini. Kamu pasti terlalu capek kalau
kita pergi dua kali berturut-turut."
"Apakah aku harus tinggal di rumah sakit selama lima hari itu?"
Tinggal di rumah sakit dalam keadaan sehat adalah hal yang paling
membosankan di seluruh dunia.
"Kamu harus sering berada di klinik dokter ini selama tes
dilaksanakan," jawab Mama, "tapi kamu termasuk pasien yang
berobat jalan.... Kita bisa bersenang-senang pada sore hari. Dan hari
Minggu tidak ada tes sama sekali. Kita bisa mengunjungi sepupusepupumu, dan berbelanja untuk hari Natal...."
"Dan," ujar Papa dengan senyum lebar, "Papa punya karcis
untuk pertunjukan Paris Magic pada hari Minggu.""Paris Magic!" seruku, untuk sesaat aku melupakan semua
dokter dan klinik-klinik mereka. "Papa jangan bercanda! Rasanya aku
tidak percaya! Oh, terima kasih!" Paris Magic adalah pertunjukan
musik yang sudah lama kutunggu-tunggu.
"Dan kita akan pergi ke Rockefeller Center untuk melihat
pohon Natal raksasa," Mama melanjutkan. "Coba kamu pikir, Stacey.
Hari Natal di New York. Dari dulu kamu kan suka suasana Natal di
sana."
"Memang, sih," jawabku. Aku telah kembali ke dunia nyata.
Menonton Paris Magic memang mengasyikkan, tapi tetap tidak bisa
mengimbangi perlakuan Papa dan Mama padaku. "Jadi, apa pendapat
Dokter Werner tentang... siapa nama dokter baru itu?"
"Dokter Barnes," jawab Papa.
"Apa pendapat Dokter Werner tentang Dokter Barnes?"
"Dokter Werner belum tahu bahwa kita akan menemui Dokter
Barnes," ujar Mama.
"Aduh, Mama! Kenapa Mama tidak menanyakan pendapat
Dokter Werner dulu?"
"Stacey," kata Papa. "Kamu tidak perlu ikut-ikutan dalam hal
ini. Mama dan Papa yang akan memutuskannya."
"Tapi ini kan menyangkut diriku, tubuhku!"
"Itulah perlunya punya orangtua," kata Papa dengan masam.
"Jadi, apa keistimewaan Dokter Barnes?" tanyaku. "Kenapa kita
harus menemui dia? Dia pria atau wanita, sih?"
"Pria," sahut Mama. "Dia dokter holistic."
Holistic... holy? "Maksud Mama, orang pintar?" aku memekik.
"Mama dan Papa akan membawaku ke dukun, dan berharap bahwa diaakan membuat keajaiban?" Dalam bulan-bulan terakhir ini kedua
orangtuaku memang sempat mempertimbangkan beberapa cara
pengobatan yang tidak umum, tapi mereka belum pernah
menyinggung soal dukun.
"Stacey, demi Tuhan. Bukan itu," kata Papa. "Tenanglah. Ilmu
kedokteran holistic adalah bagian dari ilmu kedokteran yang
berhubungan dengan seluruh tubuh, dengan manusia sebagai satu
kesatuan; bukan hanya segi fisiknya, tapi juga segi kejiwaan,
perasaan, lingkungan, gizi...."
"Oh, begitu," aku berkata sambil menahan malu.
Papa meneguk habis kopi di cangkirnya, Mama menghirup
anggurnya, tapi aku hanya mengaduk-aduk minumanku dengan
sedotan.
"Nah," ujar Papa akhirnya, "Papa dan Mama hanya ingin agar
kamu tahu apa yang menantimu di New York. Dan agar kamu tidak
membuat rencana lain pada hari-hari itu."
"Bagaimana dengan PR sekolahku?" tanyaku.
"Kami akan membicarakannya dengan guru-gurumu sebelum
kita berangkat. Mungkin kamu bisa membawa sebagian PR-mu dan
mengerjakannya di klinik," Mama mengusulkan. "Jadi kamu tidak
terlalu ketinggalan kalau kita kembali nanti."
Aku mengangguk. "Aku tetap merasa bahwa ini tidak adil
untukku," kataku dengan pelan.
Orangtuaku mendesah bersamaan. "Yah, apa boleh buat,
Sayang," jawab Mama. "Beginilah keadaannya."
***********Pada hari Sabtu siang, aku bertugas menjaga Charlotte
Johanssen. Sudah lebih dari seminggu aku menganggur. Aku tahu
orangtua Charlotte menggunakan jasa Baby-sitters Agency pada
malam hari, supaya mereka tidak perlu pulang dengan terburu-buru.
Sejak PKL-nya Jamie, aku belum ketemu Charlotte lagi. Aku
membawa kotak Kid-Kit, seperti yang telah kujanjikan padanya,
kemudian kami mulai membaca The Cricket in Times Square.
Ketika suami-istri Johanssen pulang, aku menunggu sampai
Dokter Johanssen membayarku, sebelum akhirnya bertanya, "Bisakah
saya bicara sebentar? Ini agak penting."
"Tentu saja, Stacey," Ibu Charlotte menjawab. "Kita bicara di
ruang kerja saja, yuk."
Kami berjalan menyeberangi ruang depan dan Dokter
Johanssen menutup pintu. "Ada apa? Apakah kamu sehat-sehat saja?"
tanyanya.
"Itulah masalahnya. Saya merasa baik-baik saja. Tapi Mama
dan Papa ingin supaya saya menemui dokter baru di New York. Dia
akan mengadakan beberapa tes di kliniknya. Kami harus pergi selama
lima hari."
Dokter Johanssen menggelengkan kepalanya sebagai tanda ikut
prihatin.
"Dia dokter holistic. Papa sudah menjelaskan apa artinya." Aku
cekikikan. "Tadinya saya pikir dia seorang dukun."
Tapi ibu Charlotte tidak tersenyum mendengarku. Dia malah
menatapku dengan tajam. "Holistic. Dan klinik? Tahukah kamu nama
dokter itu?"
"Dokter Barnes."Dokter Johanssen langsung mendesah. "Dugaanmu tidak
meleset jauh, Stacey. Dokter Barnes memang mengaku sebagai dokter
holistic, tapi sebenarnya dia hanya seorang dukun. Kebetulan saja
namanya sering disebut-sebut belakangan ini. Dia bukan dokter
betulan. Dia malah merusak nama baik dokter-dokter holistic yang
lain. Aku tidak mengenalnya secara pribadi," Dokter Johanssen
menambahkan, "aku hanya mendengar berita tentang dia."
"Apa kubilang, apa kubilang?" aku berkata pada diriku sendiri.
"Tapi kamu tidak perlu kuatir. Dari apa yang telah kudengar,
Dokter Barnes tidak pernah membahayakan pasien-pasiennya. Dia
tidak akan mengutak-atik soal insulinmu, dan kalau dia sampai
mengubah dietmu, paling-paling perubahannya hanya sedikit. Yang
akan dilakukannya adalah menganjurkan segala macam program dan
terapi yang mahal-mahal, untuk membuat hidupmu lebih positif, lebih
memuaskan, dan sesehat mungkin. Aku jamin ramalanku ini tidak
keliru. Dia juga akan mengatakan pada orangtuamu bahwa hal-hal itu
akan menyembuhkan penyakitmu."
"Seperti apa, sih, terapinya?" tanyaku.
"Oh, macam-macam. Dia akan menyuruh orangtuamu
membawamu ke psikolog atau psikiater. Dia juga akan memberikan
program latihan padamu, misalnya terapi rekreatif. Dia bahkan
mungkin menganjurkan kamu untuk pindah sekolah, agar kamu bisa
mengikuti terapi yang khusus disusun untuk dirimu."
"Tidak!" seruku.
"Sebenarnya, semua hal yang dilakukannya tidak bisa dibilang
salah. Hanya saja... yah, menurutku, tidak ada program khusus yang
bisa menghilangkan penyakit diabetes dari tubuhmu."Aku berdiri. "Tentu saja tidak ada! Apa mereka semua sudah
gila? Bagaimana mungkin seorang psikiater bisa mengubah kadar gula
dalam darah saya? Dokter Johanssen, Anda harus membantu saya.
Bantulah saya mencari jalan keluar dari masalah ini."
"Stacey, aku ingin sekali membantumu, tapi kurasa aku tidak
bisa ikut campur. Aku tidak begitu kenal dengan orangtuamu."
"Tapi Anda kan kenal saya, dan Anda seorang dokter."
"Memang, sih. Tapi aku kan bukan doktermu."
"Tolong, deh?"
Dokter Johanssen berdiri dan melingkarkan lengannya di
bahuku. "Aku akan memikirkannya, Sayang. Aku tidak bisa ikut
campur secara langsung, tapi sebelum kamu pergi ke New York aku
akan..." Dia berhenti. "Aku berjanji tidak akan membiarkan kamu
pergi ke New York tanpa melakukan sesuatu. Aku hanya perlu waktu
untuk memikirkannya. Adil, kan?"
Aku mengangguk. "Terima kasih."
Dalam perjalanan pulang sore itu, aku berjanji pada diriku
sendiri bahwa aku tidak akan membiarkan Dokter Barnes memaksaku
Baby Sitter Club 3 Rahasia Stacey di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
untuk mengikuti program-programnya. Tapi aku hanya punya waktu
dua minggu untuk mencari jalan keluar.
Bab 8SUDAH bertahun-tahun orangtuaku melihatku pergi ke sekolah
dengan pakaian dan aksesori yang tidak biasa dipakai oleh anak-anak
lain. Mereka tidak pernah berkomentar kalau aku memakai pakaian
yang aneh-aneh: jepit berbentuk dinosaurus di topi baretku, sepatu
kanvas merah dengan hiasan manik-manik, kaus kaki panjang dari
bahan wol bergambar telapak kaki, bando plastik dengan seekor kupukupu hinggap di atasnya. Malahan waktu di New York, aku pernah
selama dua minggu berturut-turut memakai sarung tangan dari bahan
renda berwarna merah, dengan bagian ujung-ujung jarinya terpotong.
Tapi itu semua tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa
yang kupakai ke sekolah pada hari Senin setelah liburan
Thanksgiving. Kristy telah membuat "sesuatu" yang harus dipakai
oleh semua anggota Baby-sitters Club ke sekolah. Sebenarnya, aku
malu memakainya. Apalagi Mary Anne! Seandainya dia boleh
memilih, maka dia lebih suka terdampar di sebuah pulau tak
berpenghuni, daripada harus memakai benda itu.
Sepertinya Kristy cukup sibuk selama liburan. Dia telah
membuatkan papan reklame untuk masing-masing anggota Babysitters Club. Papan reklame itu terdiri dari dua papan kayu yang
dihubungkan dengan tali, lalu digantungkan di leher. Papan yang
menghadap ke depan bertuliskan: BERGABUNGLAH BERSAMA
KLUB TERBAIK. Dan papan yang menghadap ke belakang
menampilkan logo yang dirancang oleh Claudia: THE BABYSITTERS CLUB."Pakailah ini," kata Kristy ketika para anggota Baby-sitters
Club bertemu di pinggir jalan, di depan rumahku. Dia sendiri sudah
memakai papan reklamenya.
"Sekarang?" tanyaku.
Kristy mengangguk. "Kita akan mencari anggota baru hari ini,
dan tidak ada salahnya kalau kita mulai sejak berjalan ke sekolah.
Pasti banyak anak-anak yang akan melihat kita."
"Itulah yang aku takutkan," bisik Claudia.
Aku mengangkat bahu. Kemudian aku meletakkan buku
catatanku. "Oke, aku sudah siap."
Kristy membantuku mengalungkan papan reklame di leherku.
Aku membetulkan letak tali di bahuku. Lalu kami membantu Claudia
dan Mary Anne. Pipi Mary Anne bersemu merah, waktu papan-papan
itu sudah terpasang di dada dan punggungnya.
"Oke, kita mulai," kataku. Dengan salah tingkah, aku
melambaikan tangan pada kedua orangtuaku yang masih berdiri di
ambang pintu.
Kami bergegas menuju Stoneybrook Middle School. Sepanjang
jalan, anak-anak lain berhenti untuk menonton kami.
"Moga-moga kita tidak ketemu Trevor," Claudia mengeluh
padaku.
Trevor Sandbourne teman dekat Claudia. Dia pernah mengajak
Claudia ke pesta Halloween Hop, dan sekali mereka pergi nonton ke
bioskop. Aku bisa mengerti kalau Claudia tidak ingin dilihat oleh
Trevor dalam keadaan seperti ini.
"Aku mengerti, Claud," jawabku. "Aku juga tidak ingin dilihat
oleh Pete. Atau Sam.""Oh, gawat. Oh, gawat!" Claudia tiba-tiba berteriak.
"Ada apa? Trevor? Pete?"
"Bukan. Lihat, tuh!" Claudia menunjuk ke belakang.
Aku membalikkan badan. Sebuah bus sekolah sedang menuju
ke arah kami, penuh sesak dengan anak-anak high school. Mereka
menyembulkan kepala dari jendela dan berteriak-teriak pada saat bus
mereka lewat di samping kami.
"Hei, hei!"
"Wooow! Baby-sitters Club!"
"Hei, cewek-cewek, berapa nomor telepon kalian? Aku juga
perlu dijaga baby-sitter, nih!"
Kristy menegakkan kepalanya. Ia tetap berjalan dengan
pandangan lurus ke depan.
"Mati aku, mati aku," aku berbisik pada Claudia. Tapi aku sadar
bahwa semua ini perlu kulakukan demi Baby-sitters Club. Klub kami
lebih penting dari segala-galanya.
Kami sampai di sekolah lima belas menit sebelum bel pertama
berbunyi.
"Oke, sekarang kita berpencar," Kristy mulai memerintah lagi.
"Maksudmu, kita harus melakukan ini sendiri-sendiri?" seru
Mary Anne.
Kristy mengangguk. "Ya," dia berkata dengan tegas. "Kita
harus berkeliling-keliling di halaman depan gedung sekolah, supaya
anak-anak yang baru datang bisa melihat kita. Kalau ada yang
mengajukan pertanyaan, ceritakan segala sesuatu tentang klub kita
pada mereka. Jelaskan bahwa seluruh uang yang mereka hasilkan
sebagai baby-sitter akan masuk ke kantong mereka sendiri. Dan yangpaling penting, cobalah untuk menarik perhatian anak-anak kelas
delapan. Katakan pada mereka yang berminat bahwa pertemuan
pertama akan diadakan hari Rabu."
Kami berpencar. Aku menuju pintu masuk utama, lalu mulai
berjalan mondar-mandir di situ. Setiap anak yang berpapasan
denganku pasti melihat ke arahku. Beberapa dari mereka menunjuknunjuk papan reklame yang kupakai, kemudian berpaling untuk
membicarakannya dengan teman-teman mereka. Ada juga yang
tertawa waktu melihatku. Tapi dari sekian banyak anak, hanya tiga
orang yang berhenti dan mengajukan pertanyaan padaku.
"Apa, sih, Baby-sitters Club itu?" masing-masing dari mereka
ingin tahu.
Aku menjelaskan segala sesuatu tentang klub kami. Aku bahkan
bercerita tentang beberapa anak yang pernah kami jaga.
"Kapan-kapan kamu harus berkenalan dengan Charlotte
Johanssen," aku berkata pada seorang anak perempuan (sayangnya dia
baru kelas enam). "Charlotte lucu dan manis sekali. Dia suka sekali
kalau dibacakan cerita-cerita dari buku."
"Jadi kamu sering membaca untuknya?" tanya anak itu dengan
heran. "Wow, aku sih selalu nonton TV kalau sedang bertugas sebagai
baby-sitter."
"Oh, ya?" ujarku, sama herannya dengan dia. "Kalau kamu
nonton TV, lalu apa yang dikerjakan oleh anak-anak yang kamu jaga?
Ikut nonton TV bersamamu?"
Dia mengangkat bahunya. "Kadang-kadang... Aku tidak terlalu
peduli.""Oh...." Dia bukanlah anak yang tepat untuk dijadikan anggota
klub. Aku bersyukur bahwa dia tidak bertanya apa-apa lagi setelah itu.
Anak kedua, seorang anak laki-laki, berkata, "Kita harus
mengikuti tiga pertemuan setiap minggu? Wah, rasanya, aku tidak
bisa?jadwalku sudah penuh."
Anak ketiga adalah anak kelas delapan, seorang gadis yang
membenci Liz Lewis. Nah, cocok sekali!
Aku bercerita tentang Charlotte.
Aku bercerita tentang David Michael.
Aku bercerita tentang Jamie.
Aku bercerita tentang Claire dan Margo Pike, dan Nina dan
Eleanor Marshall.
Kemudian aku bercerita tentang pertemuan-pertemuan rutin,
dan buku catatan klub kami.
"Sepertinya terlalu repot dan terlalu banyak yang harus
dikerjakan," dia berkomentar singkat, lalu pergi.
Bel masuk berbunyi. Para anggota Baby-sitters Club bersamasama memasuki gedung sekolah. Sambil berjalan, Claudia, Mary
Anne, dan aku melepaskan papan reklame masing-masing.
Kristy menghampiri kami dengan senyum lebar. "Bagaimana?
Kalian berhasil?" tanyanya.
"Tidak," aku bergumam.
"Tidak," sahut Claudia.
"Gagal total," ujar Mary Anne. "Kenapa kamu tersenyumsenyum seperti itu?"
"Karena aku punya kabar baik!" Kristy mengumumkan. "Tapi
kita tidak akan membicarakannya di sekolah. Aku akan menceritakansemuanya pada pertemuan rutin siang nanti.... Ayo, papan reklamenya
dipakai lagi. Kalian harus terus memakainya di lorong-lorong sekolah,
dan juga pada waktu makan siang di kantin."
"Di kantin! Bagaimana kita bisa makan, kalau memakai papan
reklame?" tanya Claudia dengan jengkel. "Duduk saja sudah sulit,
apalagi makan."
"Kalau begitu pakailah waktu antre makanan."
"Bagus betul," Claudia menggerutu. Tapi kemudian dia pun
kembali memasang papan reklamenya. Begitu juga Mary Anne dan
aku. Aku berjalan menuju locker-ku, menyimpan kotak makan siang,
lalu mengambil beberapa buku yang kuperlukan untuk pelajaran pagi
itu. Kemudian aku berlari ke ruang kelas bahasa Inggris. Dalam
perjalanan ke sana aku berpapasan dengan Pete Black.
Rasanya aku hampir pingsan waktu melihat dia.
Ketika aku sedang berjalan dari ruang kelas matematika ke
ruang kelas bahasa Prancis tingkat lanjut (aku mengikuti kelas tingkat
lanjut, karena waktu di New York aku sudah belajar bahasa Prancis
sejak di Taman Kanak-kanak), aku berpapasan lagi dengan Pete.
Dia tidak melihat ke arahku.
Apakah dia benar-benar tidak melihatku, atau dia malu karena
aku memakai papan reklame?
Aku mendapatkan jawabannya pada waktu makan siang di
kantin. Pada saat itu aku baru sampai di meja tempat kami biasa
makan. Aku membawa nampan dan masih memakai papan reklame.
Pete sudah duduk di situ. Dia menengadah dan tersenyum padaku."Sini, biar aku bantu," katanya. Lalu dia mengangkat papan-papan itu
dari bahuku.
"Kamu malu kalau dilihat orang, karena aku memakai papan
ini?" tanyaku.
Pete tersenyum lebar. "Tidak juga... Yah, mungkin sedikit. Tapi
aku salut, lho. Yang kamu lakukan itu memerlukan keberanian."
"Kamu mau menjadi anggota Baby-sitters Club? Kami juga
menerima anggota cowok, kok."
Pete tersedak. "Aku? Menjaga anak-anak kecil?"
"Tentu, kenapa tidak?"
"Tapi aku... aku tidak tahu apa yang harus kukerjakan."
"Baiklah, tidak apa-apa."
Kami kembali menyantap makan siang masing-masing. Pete
makan sambil berpikir. Tampangnya kelihatan serius. Setelah lima
menit kami makan sambil membisu, aku tiba-tiba menyadari bahwa
wajah Pete memerah.
"Hei, ada apa? Kamu tidak apa-apa, kan?" Aku pikir mungkin
ada makanan yang tersangkut di tenggorokannya, sehingga dia tidak
bisa bernapas.
Pete menelan ludah. "Aku tidak apa-apa. Tapi ada yang mau
kutanyakan."
"Apa?"
"Aku mau tanya apakah... apakah kamu mau pergi ke
Snowflake Dance bersamaku?"
"Tapi pesta itu kan baru bulan Desember nanti."
"Sekarang sudah bulan Desember. Sudah tanggal satu, lho.""Oh, wow! Betul juga." Aku merasa amat tersanjung. Sekalipun
sudah bulan Desember, pesta itu baru akan diadakan sekitar tiga
minggu lagi. Dan sekarang Pete sudah memintaku untuk pergi
dengannya. "Tentu saja aku mau, Pete," aku berkata padanya. "Terima
kasih."
Dari seberang meja, Claudia tersenyum lebar padaku.
Tiba-tiba aku menyadari bahwa aku tidak akan merasa
keberatan lagi untuk memakai papan reklame itu.
***********
Pada pertemuan rutin siang itu, Kristy kelihatan sangat gembira.
Aku tidak tahu kenapa. "Tidak seorang pun mau bergabung dengan
kita," aku berkata padanya. Aku sedang berbaring di tempat tidur
Claudia, dengan kaki diletakkan di atas kepala tempat tidur.
"Sepertinya mereka menganggap tugasnya terlalu berat."
"Yeah," tambah Claudia, yang duduk di sebelahku. Dia merabaraba sarung bantalnya, mencoba menemukan permen yang
disembunyikannya di situ.
"Yeah," ujar Mary Anne menyetujui. Dia duduk di kursi belajar
Claudia.
"Tapi aku dapat dua orang anggota baru," Kristy
mengumumkan dengan bangga. "Dan dua-duanya anak kelas
delapan."
"Yang betul?!" seruku. "Hebat sekali!"
"Siapa nama mereka?" tanya Claudia.
"Janet Gates dan Leslie Howard."
Claudia langsung mengerutkan keningnya. "Aku pikir mereka
teman-teman Liz," katanya lambat-lambat.Kristy kelihatan puas. "Tidak lagi. Memang mereka sempat
bergabung dengan Liz, tapi sekarang mereka sudah mengundurkan
diri. Mereka bilang mereka tidak menyukai Baby-sitters Agency."
"Pembelot," ujarku.
"Begitu cepat?" tanya Mary Anne.
"Yap," sahut Kristy.
"Wah, kalau begitu pasti ada yang tidak beres dengan agen itu.
Bisa-bisanya mereka keluar secepat itu," kataku.
"Leslie bilang, mereka tidak suka kalau mereka harus
menyetorkan sebagian dari uang penghasilan mereka pada Liz dan
Michelle. Ditambah lagi, Liz tidak adil dalam pembagian tugas. Leslie
dan Janet selalu kebagian tugas menjaga anak-anak yang bandel.
Sedangkan Liz dan Michelle selalu memilih anak-anak yang sopan
dan berkelakuan baik."
"Jadi mereka akan ikut pada pertemuan berikut?" tanya Claudia.
"Yeah."
"Tapi... rasanya ada sesuatu yang kurang di sini," ujar Mary
Anne. "Apa, ya... Oh! Aku tahu. Kalian masih ingat waktu klub kita
baru dimulai, dan kita bingung untuk memutuskan apakah Stacey
diajak bergabung atau tidak? Waktu itu kita belum mengenal Stacey,
sehingga kita mengajukan berbagai macam pertanyaan tentang
pengalamannya sebagai baby-sitter di New York. Soalnya kita
menginginkan klub yang terdiri dari para baby-sitter yang baik. Babysitter yang bertanggung jawab. Apakah kamu sudah tahu banyak
tentang Janet ataupun Leslie, Kristy?"
"Belum, sih," dia mengakui."Tapi kamu sudah bilang pada mereka, bahwa mereka akan
diterima sebagai anggota klub kita?"
Manusia Setengah Dewa 13 Selagi Hari Terang While The Light Lasts Karya Agatha Christie Misteri Kucing Bengkok 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama